TEKNIK PEMBENTUKAN FATWA HUKUM Oleh Drs. H. Nawawi. N, M.Pd.I Widyaiswara Madya Balai Diklat Keagamaan Palembang A. Pendahuluan Pada masa modern ini seluruh umat manusia berpacu dalam segala bidang kehidupan baik bersifat duniawi maupun ukhrawi. Untuk keseimbangan antara tujuan duniawi dengan tujuan ukhrawi diperlukan adanya pengetahuan yang luas, baik pengetahuan umum maupun pengetahuan agama Islam. Dengan ilmu pengetahuan tersebut manusia akan mengalami kemajuan, kebahagiaan dan kesejahteraan pada dirinya apabila ilmu pengetahuan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Akan tetapi sebaiknya jika tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya, karena ilmu tersebut digunakan untuk kezaliman, maka malapetaka akan selalu menimpa pada setiap insan di bumi ini. Bagi umat Islam harus mengetahui, mempelajari dan menggali ajaran-ajaran Islam secara mendetail, dengan demikian umat Islam tidak terjerumus ke dalam ajaran-ajaran yang sesat dan zalim. Fatwa hukum sebagai hasil pemikiran para ahli agama Islam tentu memberikan warna dan corak yang pasti tentang ajaran al-Quran dan hadits, sehingga umat Islam akan mengetahui secara persis seluk beluk ajaran Islam dengan segala keistimewaannya. Dalam kehidupan, apalagi zaman modern sekarang ini permasalahan umat baik masalah sosial keagamaan maupun kemasyarakatan senantiasa berkembang dengan pesat, sehingga perlu adanya suatu pemikiran yang sistimatis dan komprehensif dan integral, agar ajaran Islam mampu menjawab tantangan zaman. Sebab permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kehidupan ini kadang-kadang tidak ditemui jawabannya secara harfiah baik Al-Quran maupun dalam As-Sunnah. Dengan demikian pernyataan tentang fatwa keagamaan maupun fatwa hukum Islam, lisan atau tulisan memberikan arahan dan jawaban yang konkret kepada masyarakat, terutama dalam menghadapi segala persoalan yang timbul, tentunya selalu dikaitkan dengan aspek qurani dan hadits. Para mujtahid/ mufti tidak diragukan lagi kredibilitas ilmu dan daya nalar mereka, sehingga secara kualitatif hasil yang diusahakan sudah dapat dipertanggungjawabkan, asalkan persyaratan sebagai seorang mujtahid/ mufti dapat terpenuhi secara sempurna. Selanjutnya telah menjadi ketetapan Allah (sunnatullah) atas makhluknya, untuk menjadikan fenomena kehidupan manusia senantiasa herkembang dan silih berganti, persoalan dan problematikanya tidak terhenti dalam suatu batas serta tidak masuk di bawah lingkup batas tertentu. Di samping itu juga menjadikan polemik manusia dalam persoalan agama dan dalam tuntutan duniawinya, semakin beraneka ragam dari hari ke hari dan waktu ke waktu. Maksudnya, Andaikata Tuhanmu menghendaki wahai utusan Allah yang selalu menjaga iman kaumnya, untuk menjadikan seluruh manusia ini menjadi umat yang bersatu, yang terintegrasi dalam satu agama yang benar, niscaya Allah akan menjadikannya. Akan tetapi Allah tidak menghendaki demikian, agar bisa dibedakan antara orang-orang yang berakal dari orang-orang yang dungu. Selagi dunia ini ada, maka tak henti-hentinya manusia tersebut bersilang pendapat dalam persoalan agama
yang benar. Sebagian mereka percaya dengan agama yang benar tersebut dan sebagian lainnya berpaling darinya, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Allah. Mereka ini sejak awal telah diberi petunjuk oleh Allah kepada jalan yang lurus sehingga mereka tidak berselisih tetapi bersepakat dalam satu keimanan pada agama yang benar karena Allah telah menjaga mereka dari perbedaan yang tercela. Ketahuilah wahai utusan Allah bahwa untuk perbedaan dan rahmat inilah, Allah menciptakan mereka, agar Allah dapat membalas orang-orang yang berbuat jelek atas perbuatannya dan dapat membalas orang-orang yang berbuat baik dengan kebajikan. Allah telah memberikan akal kepada manusia agar ia berpikir tentang bagaimana cara ia memperoleh segala yang maslahat untuknya dalam persoalan agama dan dunia, memperoleh segala apa yang menjadikan nya, saling tolong menolong dengan manusia lainnya dalam hal kebajikan dan ketaqwaan bukan kedurhakaan dan permusuhan, memperoleh segala sesuatu yang menjadikannya memperoleh hak-hak dirinya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya terhadap Penciptanya, dirinya maupun orang lain. Jadi, tugas akal manusia adalah berpikir tentang hal ikhwal kehidupan baik yang bersifat agama maupun duniawi, agar di balik itu manusia dapat memperoleh kebenaran, keadilan dan kebaikan. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa "tidaklah seseorang melakukan sesuatu (yang menguntungkan dirinya) = setelah takwa, seperti akal yang dapat menunjukkan si empunya kepada petunjuk (hidayah) dan dapat menolaknya dari kebinasaan". Selagi fenomena dan tuntutan kehidupan manusia tidak berhenti pada suatu batas, di samping ikhtilaf manusia dalam memutuskan problematikanya adalah hal yang harus dicapai, maka saya mengatakan bahwa selagi kenyataannya seperti itu maka sudah semestinya setiap orang yang berakal melakukan ijtihad dalam batasbatas spesialisasinya dan dalam tiap persoalan yang mengakomodir untuk dilakukannya ijtihad untuk mencapai kebenaran yang dicari di samping maksud dan tujuan yang dituju. Oleh karena itu kepada calon penghulu yang sebagian tugasnya memberikan fatwa hukum munakahat dan muamalat kepada umat, perlu diberikan pengetahuan tentang dasar-dasar dan bahan-bahan fatwa hukum, meliputi Pengertian fatwa hukum unsur-unsur fatwa; Persyaratan dan bentuk fatwa; Dasar hukum fatwa hukum munakahat dan muamalat; Teknis pembuatan fatwa hukum munakahat dan muamalat dan Pembukuan fatwa ulama fiqh. Di samping itu perlu diketahui oleh Penghulu tentang dasar-dasar ijtihad yang sangat erat hubungannya dengan fatwa hukum. Masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah dasar-dasar fatwa hukum munakahat dan muamalat. Dengan tujuan penulisan untuk mengetahui secara mendalam dan memberi informasi kepada para penghulu tentang dasar-dasar fatwa hukum meliputi Pengertian fatwa hukum munakahat dan muamalat; Urgensi dan unsur-unsur fatwa; Persyaratan dan bentuk fatwa; Dasar hukum fatwa hukum munakahat dan muamalat. Manfaat hasil fatwa bagi masyarakat dan Teknis pembuatan fatwa hukum munakahat dan muamalat.
B. PENGERTIAN DAN BENTUK FATWA 1. Pengertian –
FATWA (Ar.: al-fatwa= petuah, nasihat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum; jamak: fatawa). Dalam ilmu usul fikih, berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau fakih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Pihak yang meminta fatwa tersebut bisa pribadi, lembaga, maupun kelompok masyarakat. Fatwa yang dikemukakan mujtahid atau fakih tersebut tidak mesti diikuti oleh orang yang meminta fatwa, dan karenanya fatwa tersebut tidak mempunyai daya ikat. Pihak yang memberi fatwa dalam istilah fikih dan usul fikih disebut mufti, sedangkan pihak yang meminta fatwa disebut al-mustafti. Dalam kajian usul fikih, dilihat dari segi produk hukum, terdapat perbedaan antara mujtahid dan mufti. Para mujtahid berupaya meng-istinbat-kan (menyimpulkan) hukum dari nas (Al-Qur'an dan sunah) dalam berbagai kasus, baik diminta oleh pihak lain maupun tidak. Adapun mufti tidak mengeluarkan fatwanya kecuali apabila diminta dan persoalan yang diajukan kepadanya adalah persoalan yang bisa dijawabnya sesuai dengan pengetahuannya. Oleh sebab itu, mufti dalam menghadapi suatu persoalan hukum harus benarbenar mengetahui secara rinci kasus yang dipertanyakan, mempertimbangkan kemaslahatan peminta fatwa, lingkungan yang mengitarinya, serta tujuan yang ingin dicapai dari fatwa tersebut. Ini sesuai dengan kaidah usul fikih: "akibat dari suatu fatwa kadangkala lebih berat dari fatwa itu sendiri". Oleh sebab itu, jabatan mufti dalam Islam cukup berat dan penuh risiko, baik di dunia maupun di akhirat. Fatwa yang salah dapat berakibat menyesatkan umat: Mufti juga berbeda dari hakim, dilihat dari sudut kekuatan hukum dari produk hukum masing-masing. Fatwa seorang mufti sifatnya tidak mengikat almustafti. Artinya, apabila seseorang meminta fatwa dan mufti memberikan solusi hukum, maka al-mustafti boleh menerima dan mengamalkan fatwa tersebut dan boleh juga menolak serta tidak mengamalkannya. Ini berbeda dengan hukum yang diputuskan oleh hakim. Putusan hakim bersifat mengikat dan harus dilaksanakan oleh pihak yang dihukum. Sejalan dengan perkembangan fikih itu sendiri yang terkelompok menjadi beberapa mazhab, maka mufti pun mengalami perubahan. Mufti tidak lagi disyaratkan sebagai seorang mujtahid mutlak, tetapi berubah menjadi mufti dalam mazhab atau mufti yang hanya menguasai fikih suatu mazhab. Dalam persoalan memberi fatwa berdasarkan pendapat atau hasil ijtihad seorang mujtahid, terdapat perbedaan pendapat ulama usul fikih. Abu al-Husain al-Basri (ahli usul fikih Mazhab Syafi'i) dan sebagian ulama usul fikih lainnya berpendapat bahwa seorang mufti dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya tidak boleh mengambil pendapat atau hasil ijtihad seorang mujtahid yang masih hidup, karena pertanyaan itu diajukan kepadanya dan bukan
kepada mujtahid tersebut. Dengan demikian semestinya jawaban diberikan atas usaha mufti itu sendiri. Namun Fakhruddin ar-Razi dan Imam al-Baidawi (keduanya tokoh usul fikih Mazhab Syafi'i) berpendapat bahwa seorang mufti boleh saja memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan mengambil pendapat seorang mujtahid yang masih hidup. Menurut mereka, seorang mufti tidak mesti berupaya mencarikan hukum yang dipertanyakan itu, karena Allah SWT sendiri berfirman: "...maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui" (QS.16:43). Menurut mereka, ayat ini tidak membedakan apakah yang bertanya itu mufti atau orang awam. Mengeluarkan fatwa berdasarkan pendapat mujtahid lain juga termasuk salah satu cara bertanya kepada orang lain dengan cara tidak langsung. Menurut keduanya, hal ini termasuk dalam kandungan firman Allah SWT di atas. Mayoritas ulama usul fikih mengatakan bahwa mufti boleh saja memfatwakan pendapat mujtahid yang masih hidup, dengan syarat mufti tersebut mengetahui landasan hukum serta jalan pikiran yang dipergunakan mujtahid tersebut. Hal ini banyak dipraktekkan para sahabat, tabiin dan ulama-ulama besar sesudah mereka. Misalnya, Ibnu al-Qasim (tokoh fikih Mazhab Maliki), Imam Abu Yusuf (tokoh fikih Mazhab Hanafi), dan Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H/878 M; tokoh fikih Mazhab Syafi'i) tidak membantah hasil ijtihad mereka difatwakan oleh orang lain. Adapun memfatwakan pendapat atau hasil ijtihad para mujtahid yang telah wafat, menurut kesepakatan ulama usul fikih, adalah boleh dengan syarat mufti tersebut mengetahui landasan hukum dan jalan pikiran yang dipergunakan mujtahid tersebut. Dalam kaitan dengan ini, Imam asy-Syafi'i mengatakan, "Suatu pendapat tidak ikut wafat dengan orang yang mengemukakan pendapat tersebut." Di beberapa negara Islam saat ini, mufti menduduki posisi penting dan merupakan salah satu lembaga resmi yang mengurus berbagai persoalan umat Islam, seperti di Mesir, Arab Saudi, Suriah, dan Maroko. Mufti sebagai salah satu jabatan keagamaan tidak lagi terikat dengan salah satu mazhab, tetapi bersifat komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai pendapat mazhab, sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat. Di samping itu, mufti juga terikat dengan perundang-undangan yang disusun oleh negaranya. 2. Persyaratan Fatwa. Ulama usul fikih mengemukakan persyaratan yang harus dipenuhi seorang mufti agar fatwanya dapat dipertanggungjawabkan. Persyaratan tersebut adalah: balig, berakal, dan merdeka; adil; dan memenuhi persyaratan seorang mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk memberikan fatwa. Berdasarkan persyaratan ini, seorang mufti tidak harus seorang laki-laki. Wanita pun boleh menjadi mufti asal memenuhi persyaratan di atas. Adapun yang dimaksudkan dengan adil, menurut Imam Abu Hamid al-Gazali, ahli usul fikih Mazhab Syafi'i, adalah seseorang yang istikamah dalam agamanya dan memelihara kehormatan pribadinya. Syarat ini sangat diperlukan, karena mufti
merupakan panutan bagi masyarakat, baik dari segi fatwa yang dikeluarkannya maupun dari segi kepribadiannya. Terkait dengan syarat adil bagi mufti, ulama usul fikih juga mengemukakan implikasi dari syarat ini. Menurut mereka, ada tiga hal yang harus diperhatikan para mufti dalam kaitannya dengan syarat adil ini. 1. Setiap fatwanya harus senantiasa dilandasi oleh dalil. Apabila fatwanya itu diambil dari pendapat para mujtahid terdahulu, maka ia harus memilih pendapat yang terkuat dalilnya dan lebih berorientasi pada kemaslahatan. 2. Apabila mufti tersebut mempunyai kapasitas ilmiah untuk mengistinbatkan hukum, maka ia harus berusaha menggali hukum dari nas dengan mempertimbangkan berbagai realitas yang ada. 3. Fatwa itu tidak mengikuti kehendak al-mustafti, tetapi mempertimbangkan dan mengikuti kehendak dalil dan kemaslahatan umat manusia. Sejalan dengan perkembangan fikih itu sendiri yang terkelompok menjadi beberapa mazhab, maka mufti pun mengalami perubahan. Mufti tidak lagi disyaratkan sebagai seorang mujtahid mutlak, tetapi berubah menjadi mufti dalam mazhab atau mufti yang hanya menguasai fikih suatu mazhab. Pada prinsipnya seseorang mengeluarkan fatwa keagamaan harus memiliki beberapa persyaratan yang mendasar yaitu : 1. Mengetahui secara detail seluruh isi kandungan Al-Quran, mampu menganalisis serta menafsirkan secara mantap dan meyakinkan; Al-Quran adalah kitab suci agama Islam dan sumber utama syariat serta ajarannya. Menurut Syatibi dalam (Al-Muwafaq, juz III, hal 346) bahwa alQuran adalah himpunan syariat, tiang agama, sumber hikmah, mukjizat kerasulan dan cahaya bagi mata kepala dan mata hati orang Islam.. Sesuai denan isyarat Allah dalam firmannya Surat al-Nahl, 89 : (dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. Menurut Imam Al-Ghazali (al-Munqidz min al-dhalal) ada keringanan dalam persyaratan ini yaitu cukup mengetahui ayat-ayat hukum saja dan mengetahui tempat-tempat ayat tersebut. Mungkin pendapat yang kuat dalam hal ini adalah seorang mujtahid hendaknya memiliki pengetahuan secara global tentang arti al-Quran secara menyeluruh dan mengarahkan perhatiannya secara khusus terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum. Jelasnya yang termasuk dalam persyaratan ini : a) Mengetahui sebab turunnya ayat (asbabun nuzul). b). Mengetahui nasikh dan mansukh. c). Mengetahui ayat-ayat muhkam dan mutasyabih
d). Mengetahui takwil e). Mengetahui ayat-ayat makkiyah dan madaniyah. . Mengetahui secara mendetail As-Sunnah. Al-Sunnah adalah ucapan, perbuatan dan ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. Terkandung dalam persyaratan ini adalah : a. Mengetahui ilmu Dirayah hadits. Yaitu mengetahui riwayat dan memisahkan hadits yang sahih dan yang rusak, yang bisa diterima dan ditolak. b. Mengetahui haditz yang nasikh dan mansukh. c. Mengetahui sebab wurud hadits 3. Menguasai ilmu agama secara komprehensip meliputi ilmu fikih, ushul fikih, ilmu kalam, bahasa arab dan ilmu-ilmu lain yang sifatnya untuk menunjang aspek-aspek tersebut. 3. Jenis dan Bentuk Fatwa. Bentuk-bentuk fatwa kontemporer sekarang ini dapat dibedakan dalam dua bentuk berdasarkan asal usul lahirnya fatwa itu, yaitu Fatwa Kolektif (al-fatwa alijma`i) dan fatwa individu (al-fatwa al-fardi). 1. Fatwa Kolektif. Maksudnya ialah fatwa yang dihasilkan oleh ijtihad sekelompok orang, tim atau panitia yang sengaja dibentuk Pada lazimnya dihasilkan melalui diskusi dalam lembaga ilmiyah yang terdiri atas para personal yang memiliki kemampuan tinggi dalam bidang fikih dan berbagai ilmu lainnya. 2. Fatwa Perorangan. Maksudnya ialah hasil penelitian dan penelaahan individu terhadap dalil dan hujjah yang akan dijadikan dasar berpijak dalam perumusan sesuatu fatwa. Para ulama Islam pada umumnya mengikuti bahwa hasil ijtihad individu yang menghasilkan fatwa individu pula, lebih banyak memberi warna terhadap fatwa kolektif. Hal ini di dunia fikih Islam selama ini ijtihad perorangan dijadikan landasan ijtihad kolektif yang disebut jalan fikiran individu ( mazhab). 3. Fatwa Tarjih. Maksudnya Fatwa kolektif yang dihasilkan oleh sekelompok orang atau suatu tim yang memilah-milah dan menyeleksi hujjah dari berbagai pihak atau berbagai mazhab, kemudian ditetapkan yang paling kuat argumentasinya. Menurut Yusuf Qardhawi (ijtihad dalam Islam, 1987, hal 150) bahwa tolok ukur tarjih : a. Pendapat itu lebih cocok dengan zaman sekarang. b. Lebih banyak mencerminkan rahmat kepada manusia. c. Pendapat itu dekat dengan kemudahan yang diberikan oleh syara` d. Pendapat itu lebih utama dalam merealisasi maksud-maksud syara`, maslahat makhluk dan usaha untuk menghindari kerusakan dari manusia. 3. Fatwa Kreatif.(fatwa insya`) Maksudnya ialah mengambil konklosi hukum baru dalam suatu permasalahan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu, baik masalah itu baru maupun lama.
4. Dasar Hukum Fatwa. 1. Dalam ayat-ayat al-Quran banyak ditemui kata-kata “ yas aluu naka” artinya mereka menanyakan sesuatu kepadamu Muhammad saw. Beberapa contoh pertanyaan yang diajukan dalam al-Quran menggunakan kata yas aluunaka yang memerlukan jawaban konkret, antara lain : a. Surat al-Baqarah ayat 189, pertanyaan tentang bulan sabit, jawaban sebagai tanda waktu untuk melaksanakan haji. Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. b. Surat al-Baqarah ayat 219, pertanyaan tentang khamar dan judi, itu dosa besar. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". 2. Allah swt sering menggunakan firman/ sighat/ bentuk ungkapan “ yastaftuunaka” Artinya mereka meminta fatwa/ nasehat/ keterangan. Dalam surat an-Nisa` ayat 176, Allah berfirman, Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
3.
4.
5. a. b.
c. d.
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Sunah Rasul juga memberikan penjelasan konkrit tentang-tentang hukum-hukum yang bersifat asasi dan kadang menjawab persoalan yang ditimbulkan oleh para sahabat; seperti Abu Asy`ri bertanya dan mengharapkan fatwa Rasul tentang orang-orang yang suka minuman keras, jawaban Rasulullah “ Kullu muskirin haramun” (kitab sahih Buhari dan Muslim). Banyak pendapat para ahli tentang fatwa agama dan hukum Islam. Dalam sejarah hukum Islam, fatwa memegang peranan penting dalam kehidupan umat Islam, mulai dari zaman klasik, pertengahan dan zaman modern. Pada mulanya fatwa-fatwa yang diberikan para mufti tidak terdokumentasi dengan baik, karena kebiasaan membukukan fatwa belum tersosialisasi di kalangan umat Islam. Pada abad ke-12 H, atas usaha beberapa ulama fikih, fatwa-fatwa yang ada sebelumnya dibukukan, sesuai dengan mazhab fikih masing-masing. Manfaat Hasil Fatwa bagi Masyarakat: Masyarakat mengetahui secara persis tentang permasalahan umat Islam yang seharusnya. Masyarakat tidak bimbang dalam melaksanakan prinsip muamalah dan ubudiyah setelah mereka mengerti dan memahami pelbagai aspek fatwa keagamaan dalam fikih Islam. Masyarakat mempunyai tolok ukur yang pasti dalam menjalankan syariat Islam. Masyarakat tergugah untuk melakukan pengkajian secara mendalam terhadap pelbagai masalah fikih Islam., sebab usaha mengadakan penelitian dan pengkajian tidak pernah tertutup/ berhenti, dalam arti pintu ijtihad dan fatwa keagamaan tidak pernah tertutup untuk selamanya. Kitab-kitab yang mengumpulkan berbagai fatwa ulama fikih di antaranya sebagai berikut. (1) Zahir ar-Riwayah, merupakan kitab kumpulan fatwa Imam Abu Hanifah yang disusun oleh murid dan sahabatnya, Muhammad bin Hasan asySyaibani. Buku ini terdiri atas 6 jilid. (2) AI-Mudawwanah al-Kubra, merupakan kumpulan fatwa Imam Malik, disusun oleh Abdus Salam bin Sa'id at-Tanukhi (w. 240 H/845 M; ahli fikih Mazhab Maliki) terdiri atas 8 jilid dengan 6.200 masalah fikih. (3) Az-Zakhirah al-Burhaniyyah, berisi kumpulan fatwa Burhanuddin bin Maza (w. 570 H/1174 M; ahli fikih Mazhab Hanafi). (4) AI-Khaniyyah, berisi fatwa Qadi Khan (w. 592 H/1196 M), ahli fikih Mazhab Hanafi. (5) TatarKhaniyyah, merupakan kumpulan fatwa Ibnu Abidin, ahli fikih Mazhab Hanafi. (6) AI-Mi`yar al-Murib wa al-Jami `al-Mugrib `an Fatawa Ulama' Ifriqiyyah al-Magrib, disusun oleh Abu al-Abbas Ahmad bin Yahya bin Muhammad al-Winsarisi (w. 914 H/1508 M; ahli fikih Mazhab Maliki) terdiri atas 12 jilid. (7) AI-Fatawa al-Hindiyyah, yang dikenal juga dengan nama al-Fatawa al`Alamkiriyyah, disusun oleh sekelompok ulama India yang dipimpin oleh Syekh Nizamuddin, pakar fikih Mazhab Hanafi di zaman pemerintahan
Sultan Abu al-Muzaffar Muhyiddin Aurangzeb (1618-1707), terdiri dari 6 jilid. (8) Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah, disusun oleh Muhammad bin Abdur Rahman bin Qasim (anak Ibnu Taimiyah), tokoh fikih Mazhab Hanbali, terdiri atas 33 jilid. (9) Fiqh al-Imam Jabir ibn Zaid, disusun oleh Yahya bin Bakus al-Ibadi, ahli fikih kontemporer. Buku ini merupakan kumpulan fatwa Imam Jabir bin Zaid (w. 93 H), seorang tabiin. Kitab-kitab fatwa ulama kontemporer di antaranya adalah al-Fatawa oleh Mahmud Syaltut (mantan rektor Universitas al-Azhar, Mesir), Yas'alunaka fl ad-Din wa al-Hayah oleh Ahmad Syarbashi, al-Fatawa oleh Syekh Mutawalli asy-Sya'rawi, dan al-Fatawa oleh Yusuf al-Qardawi. Keempatnya adalah tokoh fikih dari Mesir. Di Indonesia dijumpai pula beberapa kitab yang berisi fatwa ulama fikih Indonesia, di antaranya Soal Jawab Berbagai Masalah oleh Abdul qadir Hasan, Tanya Jawab Agama dan Kata Berjawab oleh Tim Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia.