TEKNIK MAKRAME DALAM TREN FASHION: IRONI TERHADAP PRINSIP DROMOLOGI (STUDI KASUS KOLEKSI SPRING/ SUMMER DIOR 2011) Penulis : Waridah Muthi’ah
[email protected] Staf Pengajar Program Studi Fashion Fakultas Seni Rupa dan Desain, UK. Maranatha Jl. Prof. Drg. Soeria Sumantri, MPH no. 65, Bandung
ABSTRACT In history, fashion had been used as nonverbal language to indicate job, social class, gender, sexual status, richness, and affiliation to a certain group. Fashion can be used to analyze cultural developments or changes in a certain period or society, which represents their paradigms about beauty, values, and social dynamics. Other than designer’s creativity and market demand, contemporary fashion also influenced by trend, which can be judged by analyze repetitive aspects or elements in a certain season. One of the styles that appears repetitively in the last Spring/Summer 2011 runway is the using of macramé technique. This old technique that began in Ancient Asia and America, also developed as sailor’s knotting technique in Europe’s Medieval Ages, widely known for its strong, masculine, yet rustic characters. But, in few designer’s collection, these images has been transformed to more soft feminine, even girly images, by using soft, light materials and more cherish colors. This article focused to analyze the cultural values behind the usage of macramé technique in some examples of Dior’s 2011 Spring/ Summer runway collection, as retrospective to 1960-1970’s fashion. The key concept that differentiate the existing image of macramé fashion and contemporary image in Dior’s collection is the bipolarize of masculine-feminine. Deconstructivism of existing image of certain technique in fashion is the main concept. But behind those scenes, those designs can be viewed as the critic of dromology and simplicity principles of modern society that also can be seen as an irony related to the capitalism principles in fashion trend cycles. Keywords: macramé, fashion, trend, concept, dromology
35 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
1. PENDAHULUAN Busana dan aksesoris yang dipakai oleh manusia merupakan bentuk komunikasi nonverbal untuk mengindikasikan pekerjaan, kelas sosial, gender, status seksual, kekayaan, dan afiliasi terhadap suatu kelompok tertentu (Thomas, 2005). Sebagai artefak yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, fashion tidak hanya dianggap sebagai bahasa tanda, simbol, dan ikonografi, tetapi juga dianggap sebagai representasi masyarakat pada suatu masa tertentu. Fashion dapat dianggap barometer perkembangan kultural masyarakat, yang merepresentasikan konsep masyarakat mengenai kecantikan, nilai-nilai yang dianut secara kultural, juga dinamika sosial (Payne, 1997:4-6). Fashion kontemporer berkembang berdasarkan dua hal: kreativitas desainer dan permintaan pasar. Kendati demikian, tidak bisa ditampik adanya pengaruh satu kekuatan besar yaitu trend. Trend dapat diartikan sebagai kecenderungan, pola-pola umum yang muncul (Kernerman English Multilingual Dictionary, 2010). Pada pagelaran runway trend Summer/Spring 2011 pada akhir 2010 yang lalu, muncul satu gaya yang dimunculkan secara repetitif oleh beberapa desainer, yakni penggunaan teknik simpul (knotting) makrame pada busana musim panas. Keberadaan teknik makrame pada busana tidak muncul dari satu desainer/ rumah mode saja, melainkan hadir sebagai pola perulangan sehingga dapat dianggap sebagai trend atau kecenderungan. Berdasarkan pengamatan fashion sebagai representasi realitas masyarakat pada masanya, tentunya trend penggunaan teknik makrame pada busana pada musim panas 2011 adalah fenomena fashion yang layak dikaji secara kultural. Dalam artikel ini, akan ditelaah penggunaan teknik makrame pada beberapa busana yang dianggap representatif. Pembahasan akan dibatasi pada busana pret a porter rumah mode Dior koleksi Summer/Spring 2011, yang secara general dari tema, warna, dan penggunaan bahan mewakili trend busana musim panas 2011. Analisis yang akan dilakukan meliputi aspek-aspek berkenaan dengan sifat dan kemunculan makrame dalam fashion menurut teori-teori studi masyarakat modern.
2. TEKNIK MAKRAME DALAM FASHION Teknik makrame adalah teknik fashion yang terbilang kuno. Makrame berasal dari bahasa Prancis macramé (mãk’ramã’) atau bahasa Italia macramè, yang berarti teknik membentuk renda jala yang dibuat dengan menenun dan mengikat/menyimpul tali hingga membentuk sebuah pola ( The American Heritage Dictionary of the English Language, 2004). Kata ini berasal dari bahasa Arab ‘miqramah’ yang berarti pinggiran yang dikepang atau cadar yang dihias ( The Columbia Electronic Encyclopedia, 2011). Teknik makrame diyakini berasal dari bangsa Arab pada abad ke-13 M., yang menggunakan berbagai variasi simpul untuk menghias upholstery, antara lain permadani, sarung bantal, dan berbagai perlengkapan rumah tangga lain. Selanjutnya, teknik makrame menyebar ke Asia dan Eropa. Para pelaut Eropa pada Abad Pertengahan menggunakan teknik ini pada berbagai perlengkapan pelayaran, sebelum akhirnya dipakai menjadi salah satu teknik hias dalam fashion dan perlengkapan rumah pada abad ke-15 (Olga, 2011). Kendati demikian, teknik ini diyakini berasal dari masa yang lebih tua. Bangsa Cina, Jepang, dan Inca menggunakan teknik simpul yang kurang lebih serupa dalam kuil-kuil, perlengkapan upacara, bahkan sebagai alat hitung (www. yqyq.net – pengarang tidak bisa dipastikan karena website hanya mengambil dari yang lain). Teknik simpul kembali dimunculkan oleh beberapa desainer dunia untuk koleksi Spring/Summer 2011. Beberapa rumah mode seperti Dior, Diane von Furstenberg, Gucci, Chanel, Roberto Cavalli, Eleanor Amorosso, Lanvin, dan Burberry tercatat memunculkan teknik makrame dan crochet dalam pergelaran runway di beberapa kota seperti Paris, New York, dan Milan. Teknik makrame, yang awalnya dipakai sebagai simpul penguat pada jaring nelayan serta teknik ornamental pada hiasan gantung dan perlengkapan rumah tangga, muncul pada beragam produk fashion seperti rompi, sepatu, sandal, bahkan gaun pesta.
Penelusuran makna di balik hal tersebut dilakukan dengan dasar semiotika sosial, namun ditekankan pada penemuan makna/interpretasi yang dilakukan dengan metode analisis ideologis, sehingga lebih cenderung kepada metode kajian fenomenologis. Analisis dilakukan secara deskriptifkomparatif-interpretatif, dengan menitikberatkan pada kesesuaian dan kontradiksi antara aspek-aspek yang muncul dalam objek kajian dengan konsep-konsep masyarakat modern seperti dromologi dan simplisitas. Gambar 1 dan 2 Teknik makrame pada busana pantai, Gucci (kiri), dan busana pesta, Roberto Cavalli (kanan)
36 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
(Sumber: www.fashionising.com & head2heels.onsugar.com)
37 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
Kemunculan teknik makrame dalam tren fashion tahun ini bukan berarti untuk yang pertama kalinya. Teknik ini pernah menjadi trend pada dekade 1960-an dan 1970-an setelah sempat kehilangan popularitas sejak era modern. Teknik ini kembali populer seiring dengan gelombang Hippies dan kesukaan terhadap kerajinan tangan yang antik. Selain itu, teknik ini menjadi teknik hias utama dalam membuat tas tangan, hiasan dinding, gantungan pot, hingga perhiasan (www.ehow.com).
Penggunaan teknik makrame pada trend fashion 2011 memunculkan hal yang berbeda karena teknik makrame tak lagi hanya digunakan pada busanabusana berpotongan maskulin ala koboi. Bahan yang digunakan pun tak lagi terbatas pada bahan kulit, tali goni, abaca, kenaf, yute, atau serat alam lain yang berkesan kuat. Sebaliknya, teknik ini muncul dalam gaya busana yang lebih variatif, mulai dari sackdress hingga gaun malam bersiluet feminin. Bahan yang digunakan pun tidak hanya tali-tali serat alam yang mempertegas nuansa Western, melainkan juga bahan yang selama ini diidentikkan dengan jenis bahan feminin, seperti tali dari
Gambar 3 dan 4 Teknik makrame pada gaun pesta, Diane von Furstenberg (Sumber: www.coolpotters.com & www.net-a-porter.com)
Pada dekade 1960-an dan 1970-an, teknik ini muncul sebagai pelengkap gaya Western. Teknik makrame menjadi teknik ornamental pada rompi, cape, dan tas selempang. Kesan yang dimunculkan sesuai dengan trend gaya androgini pada masa itu yakni kesan maskulin dan rustic. Inspirasi utama trend ini terlihat jelas dengan kemunculan dari gaya busana para koboi dan kaum Indian di dunia Wild West.
Gambar 7 & 8 Teknik makrame pada busana pantai, Dior (Sumber: www.highots.com)
bahan sutra, chiffon, katun, hingga tille. 3. ANALISIS PENGGUNAAN TEKNIK MAKRAME DALAM FASHION TREND 2011 Kehadiran teknik makrame dalam trend busana 2011 merupakan sebuah upaya retrospektif dengan melihat kembali gaya busana pada tahun 19601970-an. Namun, teknik makrame di sini dilakukan beberapa perubahan, sehingga menghasilkan citra yang berbeda. Teknik makrame pada trend busana 2011 banyak menggunakan kompleksitas ranah citra feminin-maskulin. Teknik simpul (knotting), dilihat dari sejarah yang melibatkan penggunaannya sebagai teknik fungsional oleh para nelayan
38 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
39 Gambar 5 & 6 Makrame pada fashion 1960-1970-an (Sumber: stonehillcollectibles.blogspot.com)
Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
dan penggunaan tali keras sebagai bahan utamanya, dengan sendirinya memunculkan kesan maskulin. Walaupun teknik ini telah digunakan sebagai teknik hias pada perlengkapan rumah tangga, penggunaan tali sebagai bahan utama tidak berubah, sehingga citra tentang makrame sebagai teknik yang maskulin tidak sepenuhnya surut. Hal ini kian dikuatkan oleh penggunaan teknik ini pada gaya busana 1960-an dan 1970-an. Sesuai dengan trend tahun itu, teknik makrame digunakan pada busana bertema Wild West,dengan bahan utama tali kulit dan tali-tali tebal dan keras yang lain. Penggunaan bahan yang keras menghasilkan bentuk yang umumnya lebar dan longgar, seperti rompi, slayer, dan jubah/cape. Bentuk lain terbatas pada aksesoris yang juga dipakai untuk menguatkan kesan rustic, seperti ikat pinggang (belt), kalung, tas, dan lain sebagainya. Warna yang digunakan juga umumnya warna-warna tanah (earth tones), seperti coklat, beige, hijau tentara, dan khaki yang memperkuat kesan androgini.
dengan bahan semi-transparan yang segera mengingatkan pada gaya a la Greek dengan sendirinya menimbulkan pernyataan tersendiri, karena gaya yang terinspirasi patung-patung berdraperi a la dewi-dewi Yunani tersebut lekat dengan citra feminin yang berulangkali didengungkan para desainer. Pada gaun Dior, sebagian dari bahan ini dibiarkan terlepas sehingga dapat melayang dan menyingkap kaki di bawahnya saat berjalan sebagai aspek kunci yang berupaya menghadirkan aspek sensualitas perempuan. Dalam hal ini terjadi pertentangan antara citra makrame yang sudah ada di benak masyarakat sebagai suatu teknik yang lekat dengan citra maskulin, dan citra teknik makrame yang baru yakni citra feminin. Citra maskulin tidak dihadirkan, tetapi dalam benak masyarakat terhubung kedua citra yang berlawanan dari teknik yang sama tersebut secara diakronis. Pola dekonstruktif berlaku terhadap citra yang telah matang, yakni pembongkaran konsep makrame sebagai teknik yang maskulin. Perbandingan
Image/ citra
Teknik makrame dalam gaya Teknik makrame dalam fashion Wild West/Rustic koleksiDiorSpring/Summer 1960-1970-an 2011 Maskulin, androgini Feminin Kokoh, kuat, kaku, rustic
Gambar 9 & 10 Teknik makrame pada gaun, Dior (Sumber: www.highots.com, www.ifashionnetwork.com)
Pada trend busana 2011, warna yang mendominasi koleksi busana Dior adalah warna-warna ringan dan terang sesuai dengan karakter busana musim panas. Dalam situs www.fashionising.com, disebutkan bahwa warna tersebut tidak hanya digunakan untuk menangkap nuansa psychedelic dari tahun 1960 - 1970-an, tetapi juga warna yang ceria untuk mendukung kesan feminin dan girly. Bahan tali rami atau katun yang biasa digunakan sebagai bahan pembuatan makrame diganti dengan tali dari bahan yang diambil dari kain jadi dan memiliki citra feminin, yakni kain sutra, chiffon, dan tille. Kontradiksi image tersebut kian diperkuat oleh bentuk hasil akhir dari produk. Walaupun koleksi Dior tetap mengedepankan bentuk-bentuk longgar seperti kaftan dan gaun-gaun melayang, bentuk busana yang menonjolkan lekuk tubuh, bahkan seringkali mengekspos kulit, menjadi kontradiktif dengan kecenderungan gaya rustic 1970-an yang longgar. Bentuk gaun melayang
40 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
Bentuk
Longgar, lebar
Bahan
Bahan dasar keras, tebal;
Lembut, anggun, seksi, ceria Longgar, tetapi pada beberapa bagian menon jolkan bentuk tubuh
Bahan dasar lembut, halus, tipis/tembus pandang;
tali-temali bahan kulit, serat alam(rami,katun,abaca,kenaf, Chiffon, sutra, tille sisal, dan lain lain) Bentuk asal bahan Tali temali Bahan tenunan (yang baku digunting memanjang) Warna
Earth tones (warna-warna Psychedelic (warna-warni kecoklatan) cerah) Prosespembentukan Konstruksi Dekonstruksi dan rekon struksi Tabel 1: Perbandingan Penggunaan Teknik Makrame dalam Fashion 1960-1970-an bertema Wild West dan koleksi Dior Spring/Summer 2011 (Sumber: Data Penulis)
Upaya dekonstruktif ini diperkuat oleh penggunaan bahan, yakni kain yang dipecah menjadi tali-tali, yang dibentuk kembali menjadi lembaran tekstil yang lekat dengan citra feminin. Desainer berusaha mendekonstruksi lembaran kain, untuk menunjukkan upaya dekons truktif nilai-nilai yang
41 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
sudah pakem dan mempertentangkan beberapa nilai sekaligus, yakni antara kain yang bersifat feminin dan teknik makrame yang bersifat maskulin. Tahapan selanjutnya adalah pembentukan lembaran kain baru dengan teknik makrame melalui tahap rekonstruksi atau pembentukan makna baru. Tahap rekonstruksi sengaja menggunakan teknik simpul/ikatan, berbeda dengan teknik yang lazim, yakni jahitan. Dior tidak menghadirkan tahap rekonstruksi ini dalam pola yang diharapkan atas peminjaman simbol makrame dalam citra maskulinnya. Sebaliknya, Dior melebur citra makrame dalam karakter bahan yang feminin, sehingga menghadirkan hasil akhir yang benar-benar feminin. Kehadiran teknik makrame pada trend busana 2011 juga dapat dipandang dari kacamata kritik terhadap konsep simplicity dan dromology dalam budaya visual modern. Asas simplicity atau kesederhanaan mengutamakan reduksi cara-cara kerja yang kompleks. Hal ini merupakan pengaruh kebudayaan yang dikuasai oleh kultur instan atau kesegeraan. Berdasarkan prinsip dromologi dalam kebudayaan Paul Virilio, kebudayaan dan segala unsur di dalamnya dibangun dan dikuasai oleh prinsip-prinsip kecepatan dan percepatan. Teknologi berperan penting dalam pembentukan kultur tersebut, sekaligus memiliki fungsi sebagai mesin yang mendukung percepatan. Teknologi dituntut untuk menjadi semakin cepat sehingga dapat memproduksi artefak yang mendukung kebutuhan manusia sebagai penggunanya. Pengaruh dromologi meluas pada berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk pada politik, ekonomi, dan fashion. Fashion adalah sebuah artefak dalam masyarakat modern sehingga dengan sendirinya harus tunduk pada prinsip-prinsip kecepatan itu. Sistem kerja pembuatan sebuah busana dalam dunia modern adalah sistem yang sederhana. Teknik jahit mesin dan potongan pas badan yang menjadi ciri fashion modern ditujukan untuk mendukung ritme yang cepat dalam arus perputaran barang, demi efektivitas dan efisiensi, yang juga bersesuaian dengan ritme pemakai, yakni masyarakat modern yang mengutamakan gerak yang ringkas dan cepat. Fashion merupakan produk yang mendukung kapitalisme dengan kekuatan utamanya berupa perputaran arus uang dan barang. Trend fashion yang berganti secara cepat setiap musim adalah dampak dari kedua prinsip tersebut, yakni kebutuhan kapitalisme akan perputaran modal dan kebutuhan pemenuhan tuntutan manusia dromotariat sebagai penggunanya. Daur hidup produk fashion yang sangat pendek harus ditunjang oleh teknologi pembuatan produk yang juga cepat. Cara-cara lama yang rumit dengan sendirinya harus ditinggalkan karena menghambat efisiensi. Koleksi Dior Spring/Summer 2011 menampilkan cara rumit dalam proses pembentukan produk-produknya, sehingga timbul pertentangan antara
42 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
konsep simplisitas dan kompleksitas. Perlu dilihat bahwa penggunaan teknik makrame dalam karya busana Dior maupun Gucci tidak hanya dipakai pada busana haute couture, tetapi untuk membuat busana siap pakai (pret a porter). Teknik makrame dalam pembuatan busana siap pakai adalah teknik yang dengan sendirinya tidak efisien, karena mengharuskan pembuatan simpul satu per satu dalam konstruksi kain. Faktor sumber daya manusia dalam proses ini merupakan faktor penting yang tidak dapat digantikan oleh mesin. Teknik makrame yang mengedepankan unsur craftmanship pun mengharuskan sumber daya manusianya memiliki kemampuan penguasaan teknik yang memadai. Dengan demikian, faktor produksi akan jauh tidak efisien, baik dari segi waktu maupun ongkos. Hasil akhir dari bentuk yang secara global bersesuaian dengan ritme masyarakat modern tadi adalah suatu bentuk yang sederhana. Pada rancangan Dior tidak tampak cara pemakaian yang kompleks, rancangan yang bertumpuk, atau bahkan warna dan motif yang berat dan rumit. Satusatunya yang rumit adalah teknik makrame, sehingga bisa diasumsikan bahwa aspek lain sengaja disederhanakan untuk menonjolkan teknik makrame sebagai focal point busana. Namun hal ini juga dapat diterjemahkan secara berbeda sebagai suatu teknik rumit yang dipakai untuk membuat suatu bentuk akhir yang sederhana, bahkan memiliki makna lain yang berbeda atau kontradiktif karena bertujuan menampilkan fungsi yang sederhana. Makna ini bisa ditelusuri pada konsep pret a porter dan kecenderungan trend dalam fashion. Gini Stephen Frings (2007) dalam buku Fashion: From Concept to Consumer, sebagaimana dilansir dalam situs www.ehow.com, mengartikan pret-a-porter atau ready-to-wear fashion sebagai busana yang diproduksi secara massal dan dijual dalam standar-standar ukuran tertentu. Produk ini dibuat di pabrik, dengan metode konstruksi yang lebih murah ketimbang haute couture yang dibuat berdasarkan pesanan dengan ukuran personal. Hal ini ditujukan agar busana jenis tersebut dapat menjangkau kalangan yang lebih luas. Banyak rumah mode memproduksi busana siap pakai, baik sebagai main line maupun second line di samping haute couture, dengan pertimbangan dapat meningkatkan popularitas desainer dan menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Masyarakat modern terbiasa dengan segala yang serba cepat, sederhana, dan ringkas sangat merindukan sesuatu yang berbeda. Teknologi memisahkan manusia dari produk, karena produk dibuat oleh mesin, bukan tangan manusia. Manusia modern yang biasa hidup dengan teknologi menginginkan sentuhan manusia dalam produk yang dipakainya. Romantisme masa lalu selalu menjadi jalan keluar bagi situasi masa kini yang dirasa kurang atau terlalu menekan. Sebagaimana disampaikan dalam sejarah fashion, pada akhir masa konflik yang melibatkan teknologi
43 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
sebagai bentuk modernisasi yang menekan kehidupan manusia, seperti perang dunia atau industrialisasi modern, selalu hadir era romantisme; yang ditandai oleh fashion yang bersifat retrospektif dan kenaikan popularitas produk-produk yang dibuat secara manual. Era romantis Victorian dapat dipandang dari kacamata reaksi terhadap Revolusi Industri, kembalinya gaya romantis pada 1915-1919 sebagai bentuk pelarian dari ekses Perang Dunia I, gaya Victorian Revival 1930-an sebagai akibat dari resesi ekonomi 1929, kembalinya romantisme Victorian dalam New Look 1950-an sebagai reaksi dari Perang Dunia II, era 1970-an sebagai reaksi atas era Space Age akhir 1960-an, dan era Retro pada dekade 2000-an yang lalu sebagai reaksi atas gaya minimalis-futuristik 1990-an (Payne, dkk, 1992: 469-490, 559-561, 583-587, 599-602, 623-625). Dalam hal ini, kerajinan tangan merupakan sesuatu yang selalu dianggap sebagai sebuah kemewahan (luxury). Anggapan ini tidak mutlak didasari oleh kerumitan dan ongkos produksi yang diperlukan dalam pembuatannya. Jika diamati lebih lanjut, sebenarnya teknik makrame yang digunakan dalam busana Dior bukanlah teknik yang mewah karena dari segi material, bahan yang digunakan hanyalah printed chiffon silk biasa dan tidak menggunakan elemen-elemen mahal seperti emas atau permata. Teknik makrame adalah teknik yang berasal dari kalangan masyarakat nelayan dan pedesaan, sehingga tidak merepresentasikan kemewahan kaum bangsawan. Akan tetapi, konsumen memandang kemewahan tersebut dari perspektif yang berbeda. Bagi masyarakat metropolitan modern sebagai sasaran pengguna produk Dior, walaupun teknik tersebut tidak terlampau rumit ataupun membutuhkan banyak biaya, produk yang dibuat dengan teknik tersebut menjadi mahal karena sulit mendapatkan waktu untuk mengerjakannya dan juga sulit untuk menguasai teknik tersebut karena keterbatasan kesempatan. Masyarakat modern memiliki jalan keluar bagi masalah tersebut yakni berupa uang. Teknik makrame menyediakan romantisme masa lalu sekaligus kemewahan produk hasil sentuhan tangan. Penempatan teknik tersebut dalam busana pret a porter berarti menyajikan pesona romantisme tersebut dalam produk yang lebih mudah didapat dan dengan harga yang lebih terjangkau ketimbang haute couture. Konsumen yang terbiasa dengan gaya hidup modern yang serba praktis tidak perlu menunggu lama hingga produk tersebut jadi, tidak perlu melibatkan diri dalam pembuatannya, juga tidak perlu direpotkan oleh tata cara pemakaian yang rumit.
Sifat ritme fashion yang terus berubah mengakibatkan busana pret a porter akan mudah diganti. Trend selalu terbatas pada waktu, selera masyarakat yang terus berubah atau digerakkan untuk berubah. Demikian pula trend makrame dalam fashion akan tergantikan oleh
44 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
trend-trend lain. Hal tersebut berakibat pada kemunculan dua ironi. Ironi pertama terkait dalam proses pembuatan produk fashion dengan teknik makrame yang melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap pola-pola efektivitas dan efisiensi masyarakat modern. Sedangkan ironi kedua adalah pada penjualan produk tersebut ke tengah masyarakat, untuk memenuhi
DAFTAR PUSTAKA Frings, Gini Stephen. 2007. Fashion: From Concept to Consumer. Payne, Blanche. 1992. The History of Costume. 2nd Ed. New York: Addison-Wesley Educational Pub., Ltd.
Sumber Lain : Braukämper,Tania.2010.CrochetandMacrameFashionTrend.http://www.fashionising. com/trends/b--crochet-macrame-clothing-5612.html#crochet-cothing, diakses tanggal 19 Mei 2011. e-HowStyle.WhatisPretaPorter?http://www.ehow.com/facts_5339255_pret-porter. html, diakses tanggal 20 Mei 2011. Fashion Clothes. 2011. Fashion Clothes – Crochet & Macrame. http://www.highots. com/tag/crochet-macrame, modifikasi terakhir pada 17 Maret 2011. Diakses tanggal 20 Mei 2011. Head2Heels. Macrame: Knotty or Nice? Head to Heels and Everything in Between. Tanggal akses 20 Mei 2011. http://head2heels.onsugar.com/MacramKnotty-Nice-12997128 iFashion Network. Christian Dior at Paris Prêt-à-Porter Spring/Summer Collections 2011.iGallery-DesignerCollection.Tanggalakses18Mei2011. http://www. ifashionnetwork.com/igallery/detail/298/11113 KernermanEnglishMultilingualDictionary.2010.Trend.http://www.thefreedictionary. com/trend, diakses tanggal 19 Mei 2011. Nereavi.DianevonFurstenbergAmmandsMacrameDress.Coolspotters.Tanggalakses 20 Mei 2011. http://coolspotters.com/clothing/diane-von-furstenbergammand-macrame-dress. Net-a-porter.com. Diane con Furstenberg’s Macrame Dress. http://www.net-a-porter. com/product/93633, diakses tanggal 17 Mei 2011. Olga’sMacrameHobbySite.2011.TheHistoryofMacrame.http://www.olgasmacrame. com/2pageHistory.html, diakses tanggal 19 Mei 2011. Stonehill Collectibles. Fab! Bare Hug Macrame and Crochet Bib Top with Belly Flab. Modifikasi terakhir pada 17 Mei 2009. Tanggal akses 20 Mei 2011. http:// stonehillcollectibles.blogspot.com/2009/05/fab-bare-hug-macramecrochet-bib-top.html
45 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
The American Heritage Dictionary of the English Language, Fouth Edition. 2004. Macramé. http://www.answers.com/topic/macrame, diakses tanggal 20 Mei 2011. The Columbia Electronic Encyclopedia, Sixth Edition. 2011. Macramé. http://www. answers.com/topic/macrame, diakses tanggal 20 Mei 2011. Thomas, Pauline Weston. 2005. Theory of Fashion Costume and Fashion History. http://www.fashion-era.com/sociology_semiotics.htm,diaksestanggal14 Mei 2011. Yqyq.net.The Art Macrame, dalam All News in One. http://yqyq.net/33432-Iskusstvo_ makrame.html, diakses tanggal 19 Mei 2011.
46 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013