Studi TerhadapFenomena Acara Win-HT di Media Kelompok MNC

ELIT POLITIK DALAM ACARA TV NASIONAL JELANG PEMILU 2014

Studi TerhadapFenomena Acara “Win-HT” di Media Kelompok MNC

MAKALAH NONSEMINAR Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Ilmu Komunikasi

Reginal Andreas Lumban Tobing 1006695311

Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2013

Elit politik dalam ..., Reginal Andreas Lumban Tobing, FISIP UI, 2014





ELIT POLITIK DALAM ACARA TV NASIONAL JELANG PEMILU 2014 Studi TerhadapFenomena Acara “Win-HT” di Media Kelompok MNC Reginal Andreas Lumban Tobing Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Email: [email protected]

ABSTRAK Kepemilikan media massa yang independen merupakan syarat mutlak untuk mengarahkan proses pemilu yang jujur, adil dan transparan. Hanya saja media massa yang dimiliki elit politik sekarang ini justru tidak mengarah kepada pemilu yang diinginkan. Kepentingan pemilik media yang terjun ke dunia politik menyebabkan adanya ketimpangan yang terjadi. Dalam konteks Pemilu 2014 yang akan datang, media massa terutama TV memegang peranan penting dalam sosialisasi program, pengenalan caleg parpol, hingga pasangan capres dan cawapres yang berasal dari partai, baik dalam bentuk pemberitaan ataupun non-pemberitaan. Fenomena ini penulis analisis dari teori social responsibility dan teori agenda setting yang menjadi akar masalah penerapan Undang-undang Penyiaran untuk memberi sanksi kepada televisi hari ini di Indonesia. Kata kunci: kepemilikan media; politik; peraturan

POLITICAL ELITES IN THE TV ENCOUNTERING ELECTION 2014 Studies to “Win-HT” Phenomenon in MNC Media Group ABSTRACT Independency of media is an important requirement for an honest, fair dan transparent election. Unfortunately, some TV stations owned by the elites are actually misleading concept of providing te referred election process. One skepticism occurred toward media ownership linked with one political elite has led to the current the disproportionate distribution of people‟s attention. In the context of of the 2014 election, mass media especially TV holds an important role in the socialization program, of the candidates of parliament members,, even the president candidate of which the media is affiliated with. This phenomena will be analyzed by using the theories of Social Responsibility and Agenda Setting. This misleading efforts of certain TV has the root of law enforcement of broadcast regulations.

Keywords: media ownership; politics; regulation


BAGIAN 1: Pendahuluan

1.1. Permasalahan Penegakan hukum terhadap pelanggaran isi siaran televisi di Indonesia masih lemah. Penegakan hukum selama ini hanya berupa teguran tertulis, baik terhadap tayangan berita ataupun nonberita. Belum ada televisi yang diberi denda tinggi hingga Rp 5 milyar atas pelanggaran tujuan, fungsi, dan arah isi siaran yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dengan tidak adanya sanksi yang membuat efek jera, Penulis melihat fenomena isi siaran yang menyesatkan dan bohong seperti yang terjadi dalam penayangan acara Kuis Win-HT akan terus terjadi di jajaran media milik Hary Tanoesodibjo yang menjadi calon wakil presiden Partai Hanura di Pemilu 2014 nanti. Fungsi media massa yang digagas Laswell (1948) yang seharusnya dilaksanakan oleh Global TV, sebagai media yang menayangkan Kuis Win-HT ini, dicurigai juga tidak akan dilaksanakan oleh media massa milik Hary Tanoesodibjo lainnya seperti RCTI serta MNCTV (saluran TV), dan Indovision (operator TV berlangganan). 1.2. Latar Belakang Teori Laswell (1948) membagi fungsi media menjadi 4 bagian, yakni; Surveillance atau pengawasan, Correlation atau korelasi dalam pengambilan kebijakan, Cultural Transimission transmisi nilainilai budaya, dan Socialization atau sosialisasi. Keempat fungsi media tersebut harus dijalankan dengan baik oleh industri media demi memperoleh kepercayaan publik. Sudah menjadi kewajiban media untuk memberikan informasi yang akurat, objektif, dan sesuai dengan kepentingan publik. Sebagai konsekuensinya, media harus memiliki jurnalis yang kredibel dalam memproduksi informasi, sebagai ujung tombak penyampaian informasi. (Gordon, 1999). Fokus pertama adalah terkait tanggungjawab sosial (Social Responsibility Theory), dan selanjutnya dari korelasi pengambil kebijakan, yaitu partai politik yang kelak akan menang di Pemilu 2014 dibahas dalam Teori Agenda Setting.


1.2.1.

Teori Social Responsibility

Dalam masyarakat modern, media massa memiliki fungsi sebagai alat pemenuhan kebutuhan sosial dan kepentingan publik akan informasi. Fungsi sosial tersebut muncul hasil dari sudut pandang teori Social Responsibility yang menyatakan bahwa, informasi merupakan barang publik (public goods) (McQuail, 2005). Media massa seharusnya menempatkan kepentingan publik sebagai prioritas, dalam menyebarkan informasi. Kepercayaan publik (public trust) merupakan hal yang paling penting dalam menentukan eksistensi media massa, sehingga media massa harus bisa menjaga kepercayaan publik sekaligus mempertanggungjawabkan informasi yang dipublikasikan (Gordon, et.al 1999). Teori pertanggung jawaban sosial atau teori tanggung jawab sosial berkembang di AS pada abad 20 dan teori ini merupakan perbaikan dari teori libertarian. Teori ini muncul karena teori libertarian dirasa terlalu bebas. Dalam teori ini, masyarakat diberi kebebasan untuk mengeluarkan pendapatnya atau kebebasan mencari kebenaran tetapi harus ada tanggung jawab yang sepadan. Tujuan dari teori ini adalah memberikan informasi, menghibur, menjual dan terutama mengangkat konflik pada forum diskusi yanga ada. Di sini media dikontrol oleh masyarakat melalui etika yang berlaku. Media tidak diperbolehkan menulis tulisan yang melanggar hak pribadi, serta melanggar kepentingan vital masyarakat. Pers atau media memiliki tanggung jawab utama untuk menentukan dan menerapkan standar tanggung jawab sosial. Prosesnya pun harus sejalan dan sistematis dengan usahausaha masyarakat, konsumen dan pemerintah. Pemerintah bisa membantu agar distribusi lebih seimbang dengan menghilangkan batasan terhadap aliran gagasan, mengurangi kebingungan masyarakat dan mendukung adanya debat publik, serta memberikan aturan hukum atas pelanggaran yang dilakukan pers atau media. Teori tanggung jawab sosial ini tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Ia menjelaskan bahwa wilayah hak-hak moral berbeda dengan wilayah hak hukum. Teori ini memiliki pandangan liberal terhadap diskursus publik yang sehat. Ia mematuhi gagasan pemikiran pasar (marketplace of ideas) tapi juga memahami bahwa pasar tersebut harus


berada dalam sebuah medium. Dengan kata lain, pandangan sebelumnya media bersaing di pasar berubah menjadi pasar yang berada dalam media. 1.2.2.

Teori Agenda Setting

Agenda publik memiliki hubungan yang bersifat resiprokal atau timbal balik. Ketika agenda media memandang suatu topik penting, maka topik atau isu tersebut juga akan menjadi penting pada agenda publik. Di sini hal yang ditekankan adalah, ketika adanya sebuah topik yang seharusnya tidak menjadi perhatian publik, namun sebuah media mengangkat topik atau isu tersebut ke publik, maka publik dengan sendirinya akan mengangkat topik atau isu tersebut penting. kemudian dari dua variabel agenda tersebut akan diikuti oleh variabel agenda kebijakan. Hanya saja, apabila melihat penyajian informasi media massa di Indonesia saat ini, sebagian besar di antaranya memiliki kepentingan politik dari suatu golongan tertentu, serta kepentingan dari pemilik modal. Informasi yang tidak berorientasi pada kepentingan publik, independen, dan tidak terganggu oleh kepentingan pribadi dianggap tidak mungkin terjadi, dimana media di masa globalisasi ini sudah menjadi organisasi bisnis transnasional (McQuail, 2005). Kondisi ideal media sebagai pemenuh kebutuhan publik tidak terjadi, karena konten media cenderung bias kepentingan seseorang atau suatu golongan tertentu. “Corporations have multimilion-dollar budgets to dissect and attack news reports they dislike. But wich each passing year they have yet another power: They are not only hostile to independent journalist. They are their employers” (Bagdikian, 2004) Shoemaker dan Reese (1996:139) menyatakan dalam hierarki faktor, pembentuk konten atau isi media dilatarbelakangi oleh lima faktor yang direpresentasikan dengan lingkaran konsentrik. Level pertama, menggambarkan pengaruh individu dari pekerja media. Latar belakang dan karakteristik dari pekerja media, perilaku, nilai dan kepercayaan serta orientasi termasuk didalam level pertama ini. Level kedua representasi jenjang rutinitas media (media routines) level ini terbentuk berdasarkan tiga unsur: sumber berita


(suppliers), organisasi media (processor) dan audiens (consumer). Level ketiga yaitu jenjang organisasi yang menekankan isi media sebagai wujud pengaruh dari pemilik, serta tujuan dan kebijakan dari organisasi. Pada level keempat, terdapat pengaruh dari luar media. Sumber informasi, sumber pendapatan atau pengiklan, kontrol dari pemerintah, pangsa pasar, dan teknologi merupakan contohnya. Level terakhir atau level kelima adalah pengaruh ideologi. Ideologi yang diartikan sebagai kerangka berpikir tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Dampak lain dari pengaruh kepemilikan media adalah berubahnya arah pemberitaan. Area pemberitaan atau porsi pemberitaan bisa berubah intensitasnya dengan pengaruh dari pemilik media. Sebuah studi yang dilakukan oleh Rystrom (1987) dan Thrift (1977) menyatakan bahwa editorial dan konten berita dalam media yang memiliki afiliasi politik cenderung kurang argumentatif dalam membahas isu-isu kontroversial. Kepemilikan media yang berafiliasi dengan partai politik juga mempengaruhi frekuensi dan proporsi pemberitaan dalam media tersebut. Demers (1996) mengatakan bahwa berita yang mengenai isu-isu yang terkait dengan kepentingan pemilik seringkali mendapatkan porsi pemberitaan lebih (Shmykova, n.d.). Menurut Giddens, yang dikutip oleh Werner A. Meier “pemilik media merupakan pihak yang kuat dan belum dapat „ditundukan‟ dalam sistem demokrasi.” Golding dan Murdock melihat adanya hubungan erat antara pemilik media dengan kontrol media sebagai hubungan tidak langsung. Pemilik media, menurut Meier, dapat memainkan peranan yang signifikan dalam melakukan legitimasi terhadap ketidaksetaraan pendapatan (wealth), kekuasaan (power) dan privilege. Dengan demikian kepemilikan media akan mempengaruhi berita-berita yang akan dimuat atau diberitakan ke khalayak. Dalam arti kepemilikan media menjadi dominan dalam independensi konten pemberitaan. Hal ini menjadi vital mengingat masyarakat Indonesia masih menjadikan media massa sebagai jembatan utama aliran informasi tentang berbagai hal yang terjadi dalam masyarakat. Keterlibatan media dalam membentuk suatu opini publik adalah sebuah kekuatan tersendiri, dan itu jelas mempengaruhi tatanan kehidupan di masyarakat.


Teori ini diperkenalkan oleh McCombs dan DL Shaw pada tahun 1972. Teori ini menyatakan bahwa media massa yang berlaku merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media massa untuk mentransfer dua elemen, yaitu kesadaran dan informasi kedalam agenda publik dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu yang dianggap penting oleh media massa. “the media may not only tell us what to think about, they also may tell us how and what to think about it, and perhaps even what to do about it” (McCombs, 1997) Teori ini memiliki asumsi: - Khalayak tidak hanya mempelajari isu-isu pemberitaan, tetapi juga mempelajari seberapa penting arti yang diberikan pada satu isu atau topik. Dasar pemikirannya adalah diantara banyak topik yang dimuat di media, dan media tersebut memberikan perhatian pada topik tertentu, maka topik tersebut akan lebih dikenal dan dianggap penting dalam periode waktu tertentu. Begitu juga sebaliknya - Media massa mempunyai kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tertentu. Seperti yang diungkapkan oleh Griffin (2003:490), khalayak akan menganggap isu penting karena media sudah terlebih dulu menganggap isu itu penting. Teori agenda setting berhubungan tiga model agenda yakni; agenda publik, agenda media, dan agenda politik. Agenda media adalah seperangkat topik atau isu yang dibahas oleh media. Agenda publik adalah seperangkat topik atau isu yang dianggap penting oleh publik. Sementara agenda politik merupakan topik atau isu yang diyakini penting oleh para legislatif dan atau eksekutif (para pembuat keputusan). Dua dari tiga agenda tersebut, yakni agenda publik dan agenda media memiliki hubungan yang bersifat resiprokal atau timbal balik. Ketika agenda media memandang suatu topik penting, maka topik atau isu tersebut juga akan menjadi penting pada agenda publik. Disini hal yang ditekankan adalah, ketika adanya sebuah topik yang seharusnya tidak menjadi perhatian publik, namun sebuah media mengangkat topik atau isu tersebut ke publik, maka


publik dengan sendirinya akan mengangkat topik atau isu tersebut penting. kemudian dari dua variabel agenda tersebut akan diikuti oleh variabel agenda kebijakan. 1.2.3. Catatan Khusus terkait EtikaMedia David Gordon dan Michael Kittross dalam bukunya yang berjudul Controversies in Media Ethics memiliki cara yang berbeda dalam memandang masalah konflik kepentingan di media. David Gordon yang cenderung idealis mengatakan: “Jurnalis dan pekerja media harus bebas dari segala kepentingan dan aktivitas pribadi yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dalam pekerjaan profesional mereka” (Gordon, et.al, 1999:261) Gordon memandang bahwa jurnalis harus bersih dari intervensi apapun sehingga informasi apa yang ditulis dan akan dimuat tidak dipengaruhi oleh kepentingannya pribadi, maupun kepentingan dari luar. Sehingga jurnalis tersebut bisa berdiri objektif, dan netral. Konflik kepentingan bisa menyebabkan hancurnya kredibilitas dari sang jurnalis bahkan hingga ke media tersebut. Menurut Gordon, media seharusnya melindungi pekerjanya dari pengaruh luar yang bisa mempengaruhi berita atau informasi yang telah didapat. Sedangkan Kittross yang berpandangan kompromistis mengatakan: “Kredibilitas media massa tidak akan hilang apabila praktisi media yang jujur mendapatkan kebebasan untuk melakukan kegiatannya sebagai manusia dan warga negara biasa” (Gordon, et.al, 1999:257). Kittross meletakkan kepentingan primer jurnalis adalah memberikan informasi kepada publik, sehingga kepentingan publik diutamakan dan diletakan pada prioritas. Akan tetapi, menurut Kittross seorang profesional di bidang jurnalisme akan mengedepankan profesionalisme pekerjaannya dibanding kepentingan pribadi dirinya sendiri.


BAGIAN 2: Metode Analisis terhadap Konsep Universal dan Keindonesiaan 2.1. Metode Analisis Artikel ini dibuat atas analisis sampling beberapa tayangan media massa yang tergabung dalam MNC Group (media cetak, elektronik, dan daring/online)1. Penulis melihat dan mengamati perubahan signifikan atas formulasi tayangan-tayangan baik berita ataupun non-berita yang dimiliki oleh MNC Grup sejak Hary Tanoesoedibjo menggabungkan dirinya dengan partai Hanura sebagai Calon Wakil Presiden dari Calon Presiden Wiranto per 17 Februari 2013 (sumber: liputan6.com). Kuis Win-HT, yang ditayang perdana 10 Desember 2013, merupakan tayangan yang “bermain” antara peraturan dan etika. Tayangan yang bermuatan “menyesatkan dan bohong” (tataran peraturan perundangan di Indonesia) merupakan antitesis terhadap perilaku pemilik media massa yang etis secara universal. Analisis sampling Kuis Win-HT kemudian didasari atas teori social responsibility dan teori agenda setting dengan pendekatan kualitatif etika. 2.2. Media dan Pengaruh Pemilik Media secara Universal Eoin Deveraux dalam bukunya Understanding The Media mendefinisikan media sebagai; Pertama, media merupakan “tempat”dilakukannya komunikasi antara sender dan receiver. Kedua, media merupakan sebuah industri atau organisasi. Ketiga, media merupakan institusi yang memproduksi teks sebagai hasil komoditas. Keempat, media merupakan agen perubahan 1

Beberapa media massa yang dimiliki Hary Tanoesodibjo menurut Laporan Tahunan PT Bhakti Investama, Tbk per tahun 2012 adalah sebagai berikut: 1) Saluran televisi terestrial jangkauan nasional: PT. Rajawali Citra Telev isi Indonesia (RCTI, Jakarta 1989, kepemilikan 100,00%), PT. Global Inf ormasi Bermutu (GIB, Jakarta 2002, kepemilikan 100,00%), PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI, Jakarta, 1990, kepemilikan 75,00%), dan 2) Jaringan TV lokal di bawah pengelolaan PT. MNC Networks (MNCN) 3) Media daring/online: PT. Okezone Indonesia (Okezone, Jakarta, 2011, kepemilikan 99,90%) 4) Operator TV berbayar: PT. MNC Sky Vision (MNCSV, Jakarta, 1988, kepemilikan 66,47%) 5) Jaringan radio swasta yang tersebar di Medan, Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Banjarmasin). Kelompok MNC merupakan salah satu korporasi media terbesar yang ada di Indonesia saat ini. Selain memiliki stasiun televisi Free To Air (FTA) yaitu RCTI, MNCTv, GlobalTV. MNCGrup juga memiliki channel berbayar atau langganan MNCEntertainment, MNCNews, MNCMusic, MNCSports, MNCLifestyles, MNCMovie, MNCDrama, MNCComedy, MNCKids, dll. Radio Networks ada Sindo Radio, V-Radio, Global Radio, dan Radio Dangdut Indonesia. Untuk media printing terdapat koran Seputar Indonesia, Tabloid Mom & Kiddie, Highend, dan MNI Global. Media online serta sindonews.com dan okezone.com (www.mediacom.co.id/) . Jaringan media yang besar ini sangat besar kemungkinannya untuk digunakan oleh para pemilik guna menaikan elektabilitas capres-cawapres Win-HT.


sosial dan global. Dan yang terakhir atau yang kelima, media merupakan agen sosialisasi dan menjadi sumber yang sangat kuat dalam membentu “makna sosial” (social meaning). Berdasar definisi yang dikemukakan Eoin, maka media massa adalah segala bentuk media yang memungkinkan terjadinya komunikasi berupa pesan atau teks dari komunikator kepada receiver yang mampu berkomunikasi dengan orang banyak dalam ruang yang varian pada setting sosial tertentu. Dengan catatan, media merupakan institusi ekonomi yang memproduksi teks dengan tujuan mendapat keuntungan atau profit yang berasal dari iklan. Beberapa jenis media massa yang ada di masyarakat sekarang ini antara lain seperti televisi, radio, majalah, koran hingga internet. Dalam masyarakat Indonesia, televisi tetap media yang paling berpengaruh. Hal ini terjadi karena televisi masuk ke Indonesia disaat budaya membaca masyarakat belum tinggi. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi, dimana pemerintah tidak banyak dalam mengatur media. Pasar yang memegang semangat kapitalisme memegang kendali. Analisis kepemilikan media bersifat kapitalistik ini muncul berdasarkan buah pemikiran tadi. Para peneliti sepakat bahwa kepemilikan media itu erat pada kapitalisme. Kepemilikan media selalu dihubungkan dengan konglomerasi dan monopoli media. Dalam melihat bentuk kepemilikan media, Eoin membedakan media berdasarkan penonton dari media tersebut. Media komunitas, media publik, dan media privat merupakan bentuk kepemilikan media yang ada sekarang ini. Media komunitas mencoba untuk mengakomodasi dan menarik penonton/audience dari ruang yang terbatas seperti kota tertentu. Media publik sering kali disebut dengan “state-owned media” atau bisa dikatakan bahwa media publik ini merupakan media yang dikontrol oleh pemerintah. Media privat inilah kemudian disebut sebagai “media konglomerat” yang dikelola secara kapitalistik. 2.3. Independesi Media dan Demokratisasi Penyiaran di Indonesia Di Indonesia konglomerasi dan monopoli media tersebut dapat dilihat dengan banyaknya contoh: Jawa Post Grup, MNC Grup, Media Grup, Bakri Grup, Trans Corp, Gramedia Grup dan lain sebagainya. Bukan hanya memiliki media televisi dalam konteks tulisan ini, namun media media


tadi juga memiliki jaringan media lainnya seperti koran, tabloid atau majalah, dan bahkan situs informasi melalui internet. Sejatinya pemerintah sudah membatasi kepemilikan media melalui regulasi berupa UndangUndang Penyiaran. UU Penyiaran Pasal 16 ayat 2 mengatakan; “Kepemilikan silang antara lembaga penyiaran swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio, dan lembaga penyiaran swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi; antara lembaga penyiaran swasta dengan perusahaan media cetak; dan antara lembaga penyiaran swasta dengan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya; baik langsung maupun tidak langsung, dilarang.” Namun, UU ini “ditolak dan ditentang” oleh para pemilik media dan praktisi dengan dasar UU ini tidak mendukung kebebasan pers, revolusi teknologi informasi dan paham demokrasi yang sedang dibangun Indonesia pada masa itu. Alasan penolakan tersebut terdengar rasional dan sulit dibantah, khususnya untuk kebebasan pers. Namun, asumsi bahwa adanya alasan lain berupa pemilik media yang dengan kekuatan modalnya akan mencari keuntungan sebesar besarnya melalui free-trade dari bisnis kepemilikan media di sini menjadi kemungkinan yang sangat besar. Baik disadari maupun tidak, masyarakat Indonesia masih menjadikan media sebagai jembatan informasi tentang apa yang sedang berlangsung dalam masyarakat baik yang menjadi perhatian, maupun berita yang tidak menjadi highlight. Keterlibatan media dalam membentuk opini publik adalah kekuatan besar yang dimiliki oleh media, dan itu sangat berpengaruh dalam tatanan kehidupan di masyarakat. Namun seiring dengan kebebasan pers pada masa reformasi silam, berimbas kepada media yang “kebablasan” menyikapi euforia tersebut. Independensi serta kode etik jurnalisme telah tertutupi oleh orientasi bisnis. Bahkan parahnya lagi, saat ini “dapur” dari ruang redaksi sudah dimasuki oleh pengaruh kekuasaan, finansial, bahkan politik. Normalnya, independensi jurnalisme diartikan sebagai kemandirian, terlepas dari berbagai kepentingan, sehingga mampu menghadirkan fakta tanpa harus menghadapi intervensi dari pihak pihak tertentu dalam penyajian informasinya. Manejemen media harus memisahkan antara “dapur” redaksi dengan unsur bisnis. Tujuannya adalah mampu menyajikan informasi yang


sesuai fakta, dan dapat dipertanggungjawabkan tanpa melihat latar belakang sumber berita. Dengan melakukan hal tersebut, maka kekuatan media dapat menjadi sebuah kekuatan besar yang disegani, dan kemudian masyarakat akan memberikan kepercayaan penuh para keberadaan sajian informasi dari media tersebut yang disebut juga dengan public trust. Media yang netral dan bebas dari unsur kekuasaan negara dianggap sebagai salah satu tonggak demokrasi. Kondisi media disebuah negara juga bisa dijadikan sebagai indikator kualitas demokrasi yang ada, dan yang pada gilirannya akan juga menentukan kemajuan dari negara tersebut. Berbeda dengan tiga pilar sebelumnya – eksekutif, legistlatif, yudikatif – yang hanya berorientasi kepada kekuasaan, media bukan hanya menjadi sumber berita, tapi sekaligus pembawa dan penyambung suara rakyat. Bahkan tidak jarang, media dijadikan alat penekan bagi tiga pilar demokrasi sebelumnya. Dengan peran pentingnya dalam dunia politik tersebutlah media harus benar benar menjaga independensinya dalam menyajikan informasi. Baik dari sisi lembaga institusi, maupun dari individi pekerja yang ada didalamnya. Kebebasan pers tersebut harus dijaga dari adanya unsur intervensi yang mungkin terjadi baik dari luar maupun dalam media tersebut. Media yang idealnya merupakan perpanjangan demokrasi akhirnya menjadi ancaman demokrasi. Dalam situasi ini media sudah tidak bisa lagi menjadi saluran yang pasif, dan atau sekedar menjadi medium yang memberikan informasi. Namun menjadi arena sosial dimana berbagai kelompok berusaha menampilkan definisi situasi serta definisi realitas sosial menurut versi mereka masing masing. (Nugraha, 1991: vii) Dugaan bahwa pelaku politik menjadikan media sebagai jembatan menuju popularitas merebak dan bahkan sudah menjadi satu fakta yang sering diangkat dalam pembahasan mengenai media massa dan politik. Iklan politik yang ada dalam media sekarang ini, sudah mirip dengan propaganda kepada publik. Dalam politik modern, proses kampanye dan sosialisasi politik yang ada memposisikan media massa menjadi sentral dalam proses kampanye tersebut. Dengan karakter media yang memiliki kekuatan dapat menyatukan dan menggiring opini publik kepada salah satu partai politik. Media memberikan arah kemana publik/masyarakat harus berpihak dan prioritas apasaja yang harus dilakukan. Dengan kemampuan tersebut, media seakan


menyuarakan semangat perubahan, demokrasi dan memobilisasi publik sebagai pemilih dalam pemilu nantinya. BAGIAN 3: Kasus dan Pembahasan 3.1.

Analisis Tayangan Kelompok MNC dengan Porsi Parpol Lain

Pada umumnya, pemilik modal media di Indonesia merupakan pengusaha besar yang sedikit banyak memilki kepentingan yang beragam. Kepentingan tersebut tidak hanya murni secara bisnis, namun juga secara politis. Apabila konflik kepentingan tersebut sudah menginjak ke ranah politis, maka hal ini bisa menjadi berbahaya bagi profesionalitas dan independenitas dari media tersebut. Konsep kepercayaan publik (public trust) merupakan hal yang paling penting dalam menentukan eksistensi media massa, sehingga media massa harus bisa menjaga kepercayaan publik sekaligus mempertanggungjawabkan informasi yang dipublikasikan. (Gordon, et.al 1999). Sedangkan fungsi media menurut Laswell dibagi menjadi 4 bagian, yakni; Surveillance atau pengawasan lingkungan, Correlation atau korelasi dalam pengambilan kebijakan, Cultural Transimission transmisi nilai-nilai budaya, dan Socialization atau sosialisasi. (Laswell, 1948). Keempat fungsi media tersebut harus dijalankan dengan baik oleh industri media demi memperoleh kepercayaan publik. Media memiliki wajib memberikan informasi yang akurat, objektif, dan sesuai dengan kepentingan publik. Sebagai konsekuensinya, media harus menjamin jurnalis yang kredibel dalam memproduksi informasi, sebagai ujung tombak penyampaian informasi. (Gordon, 1999). Namun konsep kepercayaan publik dan fungsi media tadi, mendapatkan tantangan ketika tayangan tayangan berbau politik diproduksi oleh media MNCGrup. Contoh yang jelas adalah masuknya Hary Tanoesudibjo (pemilik dari MNC Grup) ke dunia politik. Tidak hanya masuk dunia politik, namun secara khusus beliau menjadi calon wakil presiden dari partai Hanura yang mengusung Wiranto sebagai capres. Dengan jargon Win-HT, salah satu media milik HT ini sudah melakukan “kampanye terselubung” melalui beberapa media. Awalnya kemunculan fenomena Win-HT ini hanya berada


di berita atau program program news, namun kelamaan, produksi program non-berita seperti kuis dengan iming iming hadiah, juga mulai menghiasi daftar acara dari media yang dimiliki MNC Grup. Penulis memantau secara acak dan juga menganalisis jadwal penayangan di semua TV milik Hary Tanoesoedibjo selama Desember 2013, dan ditemukan bahwa semua TV itu tidak memberikan porsi acara kuis serupa untuk partai politik lain. Penulis bahkan menemukan video yang diunggah ke Youtube oleh akun KIDPIndonesia 2 berjudul “Media dan Politik 1”3 tertanggal 4 Mei 2013, atau sebelum deklarasi capres dan cawapres Partai Hanura, yang berisikan rekaman pembicaraan manajemen Kelompok MNC di depan jajaran pegawainya untuk “membantu penuh” Partai Hanura dengan fasilitas media massa yang mereka miliki. Transkrip dari pembicaraan ini: 1. “... untuk bagaimana acara RCTI Jawa Timur itu akan bisa dimasuki slot untuk kampanye teman-temn yang daerahnya jauh-jauh.” 2. “... Pak Arya, sebagaimana dulu pernah saya usulkan waktu masih di partai yang lama [atau Nasional Demookrat/Nasdem], kita kan punya Indovison... saya usulkan seluruh kantornya Hanura dan

kantornya Perindo di seluruh Jawa Timur diberi Indovision

gratis.” 3.2.

Program “Kuis Kebangsaan”

Program acara baru dengan nama “Kuis Kebangsaan” pun ramai diperbincangkan. Kuis dengan pertanyaan sepanjang sejarah dan konsep kebangsaan ini merupakan salah satu program acara televisi yang bergenre kuis interaktif. Kuis ini ditayangkan di RCTI secara langsung (live) setiap hari pada pukul 09.30 WIB dan pada pukul 17.00 WIB. Dengan format kuis interaktif, sebelumnya peserta kuis harus mengatakan kata sandi (password) yaitu: Bersih, Peduli, Tegas. Sebelum bisa memilih dan menjawab pertanyaan. Kemudian 2

KIDP adalah Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran. Sebuah koalisi masyarakat sipil yang menolak monopoli (pemusatan kepemilikan) televisi dan radio, serta penyalahgunaan frekuensi publik untuk kepentingan politik. KIDP terdiri atas Aliansi Jurnalis Independen (AJI), LBH Pers, Yayasan 28, PR2Media, dan MediaLink yang pernah mengajukan uji yuridis (judicial review) UU 32/2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi. 3 http://www.youtube.com/watch?v=esQc37dGmS0


peserta kuis nantinya akan diminta memilih satu dari lima pertanyaan yang disediakan. Pertanyaan tersebut diurutkan dengan urutan W, I, N, H, dan T. Penjejeran huruf yang tendensius yang digunakan dalam kampanye-kampanye kandidat presiden dan wakil presiden sejak deklarasi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dari Partai Hanura per 2 Juli 2013. Pembahasan mengenai program tersebut merupakan program kuis yang sudah diatur pun ramai di dunia maya. Baik social media (seperti Twitter), ataupun forum diskusi (seperti Kaskus) ramai membicarakan keganjilan yang terjadi di program tersebut. Salah satu komentar4 di media sosial seperti yang diberitakan Tribun, anak perusahaan Kompas, mengkaji kuis ini merupakan acara yang sudah diatur sebelumya: ” Dalam sebuah video yang diunggah di Twitter dan Kaskus, seorang warga bernama Syaifudin dari Trenggalek, Jawa Timur, melontarkan jawaban, "A. Istana Maimun." Padahal, Syaifuddin belum memilih pertanyaan yang diajukan.” Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) berkoordinasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menindaklanjuti dugaan rekayasa dalam program siaran kuis kebangsaan Win-HT. Daniel Zuchron menyatakan “... [k]arena ini sudah soal konten (isi siaran), baiknya koordinasi dengan KPI dulu. Kalau memang ada setting-an, dilihat dulu apa masuk dalam ranah Pemilu.”5 Hal ini untuk menetapkan juga status pidana atau administratif dari penayangan kuis ini. Pada dasarnya, menurut Pedoman Perilaku Penyiaran (Tahun 2012) Pasal 49 mengenai program kuis, undian berhadiah, dan permainan berhadiah lain dalam ayat (3) dinyatakan: “Lembaga penyiaran dilarang menyiarkan program kuis, undian berhadiah, dan/atau permainan lainnya yang mengandung unsur penipuan dan perjudian.” Ketua KPI Judhariksawan mengatakan tidak boleh ada program media yang dibiayai oleh peserta pemilu, kecuali iklan. “Tayangan tersebut seperti berlindung di balik iklan. Padahal pengiklan itu merupakan pihak ketiga yang terafiliasi dengan pasangan capres-cawapres. Dengan

4

http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2013/12/10/ramai-di-twitter-kuis-kebangsaan-win-ht-di-rcti-ternyatasetting-an 5 http://nasional.kompas.com/read/2013/12/10/2243290/Dugaan.Rekayasa.Kuis.Kebangsaan.WinHT.Bawaslu.Koordinasi.dengan.KPI


alasan iklan, mereka seolah lepas di situ (larangan pembiayaan berita oleh parpol atau politisi)” tambahnya.6 Pedoman Perilaku Penyiaran Pasal 50 mengenai siaran pemilu dan pilkada menyatakan: “lembaga penyiaran wajib: menyediakan waktu yang cukup bagi peliputan pemilu/pilkada, bersikap adil dan proporsional terhadap para peserta pemilu/pilkada, tidak boleh bersikap partisan, dan tidak boleh menyiarkan program siaran yang dibiayai atau disponsori oleh peserta pemilu/pilkada.” 3.3.

Dukungan Kuis Win-HT dalam Pemberitaan Media Online

Belum lama ini, media online ramai memberitakan hasil survei IRC mengenai elektabilitas calon bakal pasangan capres-cawapres 2014 dari masing masing partai. Berikut merupakan beberapa berita dari media online terkait sebagai sister company TV tertentu: 1. Kelompok Kompas Gramedia (Kompas TV): kompas.com membuat berita dengan headline: “Di Luar Jawa, Jokowi Pun Lebih "Kondang" daripada Prabowo dan Ical”7 2. Kelompok Emtek (SCTV dan Indosiar): merdeka.com dengan headline “Survei IRC: Wiranto geser Prabowo, Jokowi di puncak”8 3. Kelompok Lippo (saluran TV berbayar Berita Satu, majalah Investor, harian Jakarta Globe):

beritasatu.com dengan “IRC: Jokowi Nomor 1, Wiranto Geser

Prabowo9 4. Kelompok MNC: okezone.com dengan headline: “Survei IRC: Win-HT Geser Prabowo, Hanura Tembus Empat Besar”10 Dari tajuk (headline) keempat

media online tersebut, kita bisa mendapatkan, kompas.com

menyebutkan nama Jokowi, Prabowo, dan Ical (Aburizal Bakrie). Merdeka.com menyebutkan Wiranto, Prabowo, dan Jokowi. Beritasatu.com mereka menyebutkan Jokowi, Wiranto, dan 6

http://nasional.kompas.com/read/2013/12/11/1821528/KPI.RCTI.Bilang.Kuis.Kebangsaan.Win-HT.adalah.Iklan http://nasional.kompas.com/read/2013/06/27/1509252/Di.Luar.Jawa.Jokowi.Pun.Lebih.Kondang.daripada.Prabo wo.dan.Ical 8 http://www.merdeka.com/politik/survei-irc-wiranto-geser-prabowo-jokowi-di-puncak.html 9 http://www.beritasatu.com/nasional/145948-irc-jokowi-nomor-1-wiranto-geser-prabowo.html 10 http://pemilu.okezone.com/read/2013/10/22/567/884840/survei-irc-win-ht-geser-prabowo-hanura-tembusempat-besar 7


Prabowo. Bandingkan dengan okezone.com yang menyebutkan Win-HT, Prabowo, dan Hanura (partai Hati Nurani Rakyat). Media lain hanya menyebutkan satu nama bakal calon dari masing masing partai; sedangkan media milik MNCGrup menyebutkan slogan dari capres dan cawapres mereka (Win-HT) dan juga menyebutkan partai dimana mereka diusung. Selanjutnya bahkan pemberitaan di Okezone.com juga memiliki tajuk yang cukup tendensius: “Pengamat: WIN-HT Menanjak, Bukti Rakyat Butuh Pemimpin Alternatif.”11 Berita-berita yang disampaikan di media massa seringkali subjektif dan membawa kepentingan pihak tertentu. Berita politik, merupakan satu dari sekian banyak konten informasi yang dapat diintervensi oleh kepentingan pihak tertentu yang memiliki tujuan untuk membentuk pandangan atau sikap politik dari publik penonton. Dalam usahanya, media atau pemilik media memiliki kemungkinan besar untuk besinggungan langsung dengan kekuasaan. Pemilik media biasanya merupakan elite-elite bisnis industri besar yang berhubungan dengan elite politik, atau bahkan elite pemegang kekuasaan. “Politik Dagang” menjadi bisnis baru yang berkaitan dengan kedua elite tadi, dengan melestarikan status quo tokoh politik yang sedang dan atau akan berkuasa dan menjadi rekanan dari pemilik media tersebut. Berikut penulis melampirkan beberapa gambar dari berita yang ditayangkan di media televisi yang dimiliki MNC Grup, mengenai kampanye dengan kedok “sosialisasi” pengenalan bakal pasangan capres dan cawapres dari partai Hanura. (gambar dan penjelasan ada di lampiran) 3.4. Debat Etika Dalam Kepentingan dan Kepemilikan Media Konflik kepentingan didasari terminologi untuk menjelaskan bias kepentingan privat yang muncul dalam konten media massa yang seharusnya mengutamakan publik (Gordon, et.al 1999). Perdebatan ini muncul karena didasari adanya praktik pekerja media yang diintervensi oleh berbagai kepentingan dalam memproduksi sebuah berita, sehingga berita atau informasi tersebut tidak sesuai dengan kepentingan publik. 11

Selasa, 22 Oktober 2013 09:55 wib http://pemilu.okezone.com/read/2013/10/22/568/884848/pengamat-win-ht-menanjak-bukti-rakyat-butuhpemimpin-alternatif


Nina Mutmainnah Armando mengungkapkan: “Media-media siaran tersebut telah bersikap partisan. Sikap partisan ini susah dihindari karena aktor politik itu adalah si pemilik media. Bahkan newsroom, yang seharusnya netral dan independen, juga tampak diintervensi oleh si pemilik media, dengan seringnya kiprah sang pemilik media diberitakan.”12 Contoh konflik kepentingan di media massa tersebut menunjukan bahwa media tidak bisa lepas dari kepentingan atau intervensi tertentu. Konten media yang bias kepentingan politik pun menjadi semacam pengkhianatan bagi fungsi utama media yang seharusnya menempatkan publik sebagai prioritas utama. Hal tersebut memang tidak bisa dihindari mengingat tidak adanya regulasi tertulis yang mengatur mengenai kepentingan pemilik terhadap konten atau isi media yang dihasilkan. Kode etik jurnalis yang ada pun tidak mampu menghalangi intervensi yang memiliki pengaruh lebih besar dibanding profesionalitas dan independensi jurnalis dari media tersebut. Terdapat dilema regulasi media ini terletak pada sejauh mana negara dapat mengontrol isi, kepemilikan media, dan hidup mati dari media tersebut. Dilema ini pernah sebelumnya membuat trauma masyarakat dengan besarnya kekuasaan negara dalam pembatasan media. Namun seakan kita lupa dengan kekuatan serta kekuasaan modal yang memiliki kekuatan besar, atau mungkin lebih besar dibanding intervensi yang dapat dilakukan oleh negara itu sendiri. Kekuasaan modal disini bisa dikolaborasikan dengan jenis kekuasaan dan jenis kapitalis apapun. Ada tendensi besar untuk semaksimal mungkin menentang fungsi dari negara. Apabila diperhatikan lebih dalam, masalah yang berlaku saat itu tidak hanya intervensi pemerintah dalam industri media, tapi juga transformasi peran baru dari negara yang diciptakan media tersebut. Dilema terbesar akan dihadapi oleh negara yang sedang mengalami proses transisi, dimana kekuatan pemerintah negara mulai terpecah, atau bahkan terganti sepenuhnya oleh yang baru. Birokrasi negara yang baru, sistem jaringan birokrasi yang luas membuat negara kesulitan mengatur seluruh sarana dan prasarana yang ada didalam negara tersebut. Lain halnya dengan 12

http://koran.tempo.co/konten/2013/11/02/326408/Pemilik-Televisi-Sebagai-Aktor-Politik


kekuatan modal yang memiliki fleksibilitas tinggi dalam menyesuaikan diri dalam situasi yang ada. Mereka bisa berjalan bersama dengan pemerintahan baru, atau mencari tempat lain dimana negara nantinya akan mau tidak mau bekerjasama dengan media kekuatan modal di media tersebut. Konglomerasi kepemilikan media di Indonesia ini tidak hanya didorong oleh perebutan iklan dan efisiensi produk, tapi juga oleh kapitalisasi informasi. Media tidak hanya berlaku sebagai penyaji informasi, namun juga memberikan pasokan informasi kepada media media lain. Konglomerasi media disini bukan merupakan hal yang baik. Informasi yang homogen (monopoli isi media) serta arah pemberitaan yang condong ke arah tertentu, menyebabkan publik atau masyarakat tidak dapat mendapatkan informasi yang layak dan yang mereka butuhkan. 3.4.1. Undang-Undang Penyiaran Tidak tegas dalam mengatur pelanggaran sekaligus memberikan sanksi hukum kepada yang melanggar, merupakan persoalan yang dimiliki oleh Undang-Undang Penyiaran yang berlaku saat ini. Dengan tidak adanya aturan rinci tentang sanksi hukum bagi pemilik media, Komisi Penyiaran Indonesia selaku pemegang wewenang sulit menegakan serta menindak tegas setiap pelanggaran serta penyimpangan yang ada. Padahal perlu dicatat bahwa media televisi yang memiliki afiliasi dengan partai politik, jelas akan berlomba mencitrakan partai dari pemilik medianya, dengan menggunakan frekuensi publik. Mantan Ketua Pansus DPR RUU Penyiaran, Paulus Widiyanto (2013) menyatakan: “Sesuai pembahasan dalam rapat kerja Pansus, Pasal 18 ayat (1) harus dibaca tidak boleh terjadi pemusatan kepemilikan oleh satu orang atau satu badan hukum tertentu baik di satu wilayah siaran maupun beberapa wilayah siaran”13 Norma yang terkandung dalam pasal 18 tersebut semestinya ditujukan untuk menjaga keseimbangan penyebaran informasi dengan tetap memberikan kesempatan bagi berkembangnya industri penyiaran di Indonesia. Prof. Ichlasul Amal bahkan berpendapat

13

“Regulasi Penyiaran Belum Lindungi Publik”, 26 Apr 2013, www.hukumonline.com


bahwa sentralisasi atau pemusatan kepemilikan media tersebut sudah mengingkari amanat UUD 1945.14 Sedangkan pemilik media sebaagai pelaku bisnis yang menjadi “konglomerat media” tersebut, selalu berkelit dengan menggunakan pasal tersebut, walaupun dengan cara salah menafsirkan arti dari kesatuan ayat ayat yang ada dalam pasal tersebut. maka dari itu menurut penulis, media siar harus memiliki kontrol atau pengawasan, serta regulasi yang lebih tegas, rinci dan detail mengenai apa yang harus dan akan diatur. Salah satunya dengan melakukan revisi Undang-Undang Penyiaran. 3.4.2. Kode Etik Jurnalistik Pembahasan mengenai cara pemberitaan seorang jurnalistik dibahas dalam Kode Etik Jurnalistik Bab 5 yang berisikan: “Wartawan menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan ketepatan dari kecepatan serta tidak mencampuradukkan fakta dan opini. Tulisan yang berisi interpretasi dan opini, disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.

Penyiaran karya jurnalistik rekaulang dilengkapi

dengan keterangan, data tentang sumber rekayasa yang ditampilkan.” Dengan penafsiran: 1. Yang dimaksud berita secara berimbang dan adil ialah menyajikan berita yang bersumber dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan, penilaian atau sudut pandang masing-masing kasus secara proporsional. 2. Mengutamakan kecermatan dari kecepatan, artinya setiap penulisan, penyiaran atau penayangan berita hendaknya selalu memastikan kebenaran dan ketepatan sesuatu peristiwa dan atau masalah yang diberitakan. 3. Tidak mencampuradukkan fakta dan opini, artinya seorang wartawan tidak menyajikan pendapatnya sebagai berita atau fakta.

14

Ibid.


Apabila suatu berita ditulis atau disiarkan dengan opini, maka berita tersebut wajib disajikan dengan menyebutkan nama penulisnya. Namun menurut penelitian yang dilakukan Dewan Pers, hanya sebagian dari 1200 responden berbagai jenis media di 33 provinsi yang memahami arti dari kode etik jurnalistik.15 Hal ini menunjukan adanya ketidakterampilan dari para pelaku jurnalisme (terutama wartawan) dalam memahami kode etik jurnalistik, yang seharusnya menjadi “kitab pedoman” dalam melakukan pekerjaannya sebagai profesional jurnalistik. 3.4.3. P3SPS Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) sudah mengatur prosedur, serta standar program dari setiap jenis tayangan yang ada. P3SPS ini adalah panduan bagi pekerja dan pengelola di industri penyiaran televisi dan radio. Di beberapa negara, terutama di negara-negara Persemakmuran Inggris (British Commonwealth) panduan ini dibuat oleh pelaku industri itu sendiri, bukan oleh negara ataupun lembaga kuasi-negara seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Untuk program siaran jurnalistik atau berita, menurut Pedoman Perilaku Penyiaran pasal 1 mengenai ketentuan umum, ayat 12 “Program Siaran Jurnalistik adalah program yang berisi berita dan/atau informasi yang ditujukan untuk kepentingan publik berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran” Untuk program siaran jurnalistik atau program berita, diatur dalam Standar Program Siaran pasal 40 mengenai prinsip-prinsip Jurnalistik poin (a) yang berisikan “Akurat, adil, berimbang, tidak berpihak, tidak beritikad buruk, tidak menghasut dan menyesatkan, tidak mencampuradukan fakta dan opini probadi, tidak menonjolkan kekerasan, dan tidak mempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan.” Untuk program kuis, menurut Pedoman Perilaku Penyiaran Pasal 1, ayat (19): “Program kuis, undian berhadiah, dan permainan berhadiah lainnya adalah program siaran berupa 15

http://mpn.kominfo.go.id/index.php/2013/04/23/dominasi-pemilik-media-terhadap-kebijakan-pemberitaan/


perlombaan, adu ketangkasan, adu cepat menjawab pertanyaan, undian, dan permainan lain yang menjanjikan hadiah.” Sedangkan program siaran yang berisikan pemilihan umum dan pemilihan umum kepala daerah terdapat pada pada SPS Pasal 71, terutama pada ayat (4) yang berisikan: “Program siaran dilarang dibiayai atau disponsori oleh peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah, kecuali dalam bentuk iklan.”

BAGIAN 4: Kesimpulan dan Saran 4.1.

Kesimpulan

Salah satu peran media yang dibagi oleh Mcquail adalah “Media bertindak sebagai petunjuk jalan, membedakan mana yang benar dan mana yang salah dan memperkecil adanya ketidakpastian. Kejadian yang beritanya masih simpang siur akan dipastikan kebenarannya oleh media massa. Media massa memberikan informasi yang akurat dan selalu diperbarahui” (Mcquail: 2000). Terlebih dengan adanya media yang menggunakan frekuensi yang berada di ruang publik, media memiliki tanggung jawab kepada masyarakat mengenai isi siaran (P3SPS). Jenis program siar yang dimiliki pun diatur dalam peraturan tertulis yang dituang dalam P3SPS. Dalam artikel ini program kuis dan program berita memiliki peran yang seharusnya mencerdaskan, atau memberikan informasi yang berimbang kepada publik sebagai penonton sebagai bagian dari pemilik ruang publik. Program kuis dan program berita yang ada memiliki pertanggungjawaban sosial kepada publik. Secara perlahan media selalu bisa mempengaruhi kemana publik “harus” berpikir. Media bisa berkelit dengan alasan hiburan, menarik iklan dan banyak lainnya. Namun, kenyataannya, media tidak hanya sekedar mempengaruhi publik, namun mengarahkan “bagaimana” publik harus berpikir. Pemberitaan mengenai elit politik tertentu, akan berbeda tiap media tergantung dengan apa afiliasi media tersebut dengan elit politik yang diberitakan. Program “kampanye” dengan kedok kuis pun ditemukan menjelang pemilu 2014 ini.


Kondisi ini menyebabkan etika atau kode etik dari profesionalisme masing masing pekerja media harus dipertanyakan. Apakah pekerja media tadi bekerja untuk publik? Atau justru mereka bekerja hanya untuk pemilik media sebagai pemilik modal? Media yang memiliki afiliasi dengan elit politik tertentu memiliki agenda setting yang menyeramkan. Mereka mengatur agenda media yang berkaitan dengan kepentingan elit media – sekaligus elit politik – untuk menjadi agenda publik. Intervensi dari pemilik media sedikit banyak akhirnya akan tetap mempengaruhi konten siaran. Padahal, sudah ada peraturan serta hukum yang berlaku yang mengatur tentang kepemilikan media, isi siaran, hingga kode etik dari profesional pekerja yang terkait. Kondisi ini kemungkinan akan terus berlanjut, atau bahkan memburuk menjelang pemilu 2014 karena peraturan yang ada tidak ditegakan, serta penerapan sanksi yang tidak tegas oleh badan pengawas. 4.2.

Saran

Regulasi yang ada harus ditegakan dan dijalankan sebagaimana mestinya. Undang-Undang penyiaran yang merupakan dasar dari peraturan yang ada harus mengikuti perkembangan yang ada, dan harus diberikan penjelasan secara menyeluruh, jangan sampai ada peraturan yang tidak jelas dan menjadi “celah” bagi para pelaku media untuk mengakali peraturan tersebut. Pendidikan kode etis dari para profesionalisme pekerja media pun harus diberikan dengan baik. Penggunaan P3SPS untuk pekerja media siar non-berita dan pemahaman mengenai kode etik jurnalistik untuk pekerja media siar berita harus menjadi “pedoman” bagi para pelaku media tadi. Tidak lupa dengan fungsi KPI sebagai regulator dan pengawas yang dimaksimalkan. Wewenang serta hak dari KPI ini tidak sebanding dengan kewajiban yang mereka harus lakukan. Teguran, sanksi, bahkan hingga pencabutan izin siaran seharusnya bisa dilakukan oleh badan pengawas ini. Semua itu menurut penulis, untuk penerapan sistem demokrasi yang lebih baik.


Daftar Pustaka Mustofa, Ali “Peran Media Massa Sebagai Sarana Iklan Politik Parpol (Kajian Terhadap Kasus Surya Paloh dan Partai Nasdem)” Jurnal Magister Ilmu Komunikasi FISIP UNDIP” Gordon, A. David dan John Michael Kitross. (1999). Controversies in Media Ethics. UnitedStates: Wesley Longman Educational Publishers Inc. McQuail, Dennis. (2005). McQuail’s Mass Communication Theory (Fifth Edition). London: SagePublication. Werner A. Meier, “Media Ownership – Does It Matter?. http://www.lirne.net Shoemaker, Pamela & Stephen D. Reese. (1996) Mediating the Message: Theories of influenceon Mass Media Content. New York: Longman Publishing Group Jalaludin Rakhmat, Catatan Kang Jalal; Visi Media, Politik dan Pendidikan. Bandung: rosdakarya, 1997 Ekaterina Shmykova, “Effects of Mass Media Ownership on Serving Public Interest”. www.scribd.com.

Bagdikian, B. H. (2004). The Media Monopoly (6th Edition ed.). Boston: Beacon Press Gatra, S. (2013). Ini Alasan Hary Tanoe Bersedia Jadi Cawapres Hanura. Kompas 2 Juli http://nasional.kompas.com/read/2013/07/02/1737052/Ini.Alasan.Hary.Tanoe.Bersedia.Jadi.Cawapres.Han ura [Accessed: 22 Dec 2013]. Global Mediacom (2013). MNC Media Company Structure Content & Advertising-based Media. [online] Retrieved from: http://www.mediacom.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=28 [Accessed: 22 Dec 2013]. Shmykova, E. (n.d.). Effects of Mass Media Ownership on Serving Public Interest. Retrieved from: http://web.mit.edu/comm-forum/mit5/papers/Ekaterina_Shmykova.pdf [Accessed: 22 Dec 2013].


Studi TerhadapFenomena Acara Win-HT di Media Kelompok MNC

Recommend Documents