STUDI PERAN KEANDALAN MANUSIA DALAM TUBRUKAN KAPAL (STUDI KASUS PELABUHAN TANJUNG PERAK SURABAYA) Rima Gusriana Harahap * ) Daniel M. Rosyid** ) *) Mahasiswa Jurusan Teknik Kelautan FTK – ITS ** ) Dosen Jurusan Teknik Kelautan FTK – ITS ABSTRAK Tugas Akhir ini menyajikan tentang penentuan bobot human failure (kegagalan manusia) yang biasa terjadi dalam tubrukan kapal. Metode yang digunakan dalam tugas akhir ini adalah pertama, menyebarkan kuesioner kepada beberapa responden yang telah dipilih. Kedua, mengolah hasil kuesioner dan melakukan pembobotan dengan metode Analytic Hierarchy Process (AHP). Ketiga, membandingkan hasil pembobotan dengan frekuensi human failure berdasarkan beberapa laporan kecelakaan dan disajikan dalam Matriks FrekuensiKebermaknaan. Dan terakhir, merancang skenario kegagalan untuk faktor manusia, lingkungan berbahaya, dan faktor peralatan/kapal yang disajikan dalam bentuk Fault Tree. Dari Fault Tree ini dapat diketahui peluang kegagalan dan keandalan masing-masing faktor dalam peristiwa tubrukan kapal. Kata kunci : human failure, AHP, Fault Tree, keandalan, tubrukan. kecelakaan di laut, terutama kecelakaan akibat tubrukan. Pernyataan ini diperkuat dengan penelitian lainnya yang menunjukkan 43%-96% kecelakaan disebabkan kesalahan manusia (Manen and Frandsen 1998, Grabowski et al. 2000, Antao et al. 2006, Hetherington 2006, Rothblum 2006, Kujala et al. 2009). Kejadian tersebut disebabkan oleh human failure yang beragam, seperti kesalahan operasi, prosedur yang tidak tepat, kesalahan membaca instrumen, dan sebagainya. Dengan demikian, perlu dipertimbangkan tingkat keandalan manusia (human reliability) untuk memperhitungkan keandalan sistem secara keseluruhan (Bariyah, 2006).
1. PENDAHULUAN Sebagai salah satu pelabuhan terpenting dengan tingkat kepadatan lalu lintas yang tinggi, area Pelabuhan Tanjung Perak merupakan daerah rawan terjadi kecelakaan. Dari sekian jumlah kecelakaan yang terjadi, tubrukan kapal mewakili angka 37.15% total kejadian kecelakaan sejak tahun 1995 hingga 2010 (Adpel Tg. Perak, 2010). Tabel 1. Persentase Kecelakaan di Pelabuhan Tanjung Perak Tahun 1995-2010 Jenis Kecelakaan Persentase
Tenggelam Tubrukan/Senggolan Kandas Kebakaran Muatan rusak/jatuh ke laut Penumpang/ABK jatuh ke laut Mesin rusak/hilang/bocor Kapal hilang/hanyut Jangkar tersangkut/putus Tidak terdata Lain-lain Total
16.85 37.15 7.34 7.56 4.97 6.05 12.74 0.86 1.08 2.59 2.81 100
% % % % % % % % % % % %
2. METODOLOGI PENELITIAN Mulai
Studi Literatur
Pengumpulan data
Buku, jurnal, dan berita acara pengadilan
Data lingkungan, kapal, dan kecelakaan
Perumusan human failure
Perhitungan bobot human failure Metode AHP
Pembuatan Matriks Frekuensi-Kebermaknaan
(Sumber : Adpel Tg. Perak, 2010) Desain Fault Tree
Dalam industri maritim, tubrukan kapal memang telah lama menjadi sorotan karena kerugian yang ditimbulkan. Walaupun International Maritime Organization (IMO) telah melakukan segala upaya untuk menanggulanginya, angka kecelakaan akibat tubrukan tidak menunjukkan penurunan yang berarti (Manen and Frandsen, 1998).
Perhitungan Probabilitas Kegagalan dan Keandalan Tubrukan Kapal
Analisa dan Rekomendasi
Selesai
Dari sekian banyak faktor, faktor manusia merupakan salah satu penyebab terjadinya
Gambar 1. Diagram Alir Pengerjaan Tugas Akhir
1
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Penentuan Human Failure
16-20 tahun 8%
Penentuan human failure dalam penelitian ini diolah berdasarkan penelitian Liu Zhengjiang(2001) dari World Maritime University Swedia yang me-review laporan kecelakaan tertulis dari berbagai lembaga negara pada tahun 1980-2000. Selain itu juga ditambahkan dengan laporan kecelakaan untuk wilayah Tg. Perak berdasarkan laporan Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT) divisi maritim (tahun 2003 dan 2009) serta berita acara persidangan olah Mahkamah Pelayaran tahun 2009. Proses penentuan human failure ini telah melalui proses diskusi yang dilakukan penulis dengan beberapa ahli dari Administrator Pelabuhan (Adpel) Tg. Perak divisi kecelakaan dan staf pengajar di Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Surabaya. Adapun human failure yang berhasil dihimpun adalah sebagai berikut :
< 10 tahun 46%
10-15 tahun 46% (b)
Ya 21%
Tidak 79% (c)
a. Tidak melakukan pengamatan sekitar dengan seksama b. Tidak berhati-hati c. Kurang perencanaan sebelum keberangkatan d. Gagal menilai situasi e. Gagal mengambil tindakan awal f. Gagal mengikuti alur pelayaran yang seharusnya g. Tidak mematuhi aturan h. Menjalankan kapal pada kecepatan tidak i. Gagal mengendalikan kapal j. Gagal berkomunikasi k. Tidak mengenali spesifikasi kapal dengan baik l. Gagal mengirimkan/menerima sinyal
Gambar 2. (a) usia responden, (b)pengalaman berlayar, (c)pernah kecelakaan kapal
3.3. Langkah – Langkah Penentuan Bobot dengan AHP •
Tabel 2. Skala Banding Berpasangan (Saaty, 1987)
3.2. Metode Survey dan Latar Belakang Responden Survey dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada para pelaut yang sedang mengkuti pendidikan dan staf pengajar di Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Surabaya sejumlah 24 orang. Adapun latar belakang responden yang disurvey adalah sebagai berikut :
Intensitas
Definisi
Kepentingan
Verbal
1
Kedua elemen sama pentingnya
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada yang lain. kepentingan yang kuat terhadap yang lain, jelas lebih penting dari elemen yang lain
5
Usia 20-30 tahun 29%
Usia 41-50 tahun 21% Usia 31-40 tahun 50%
Tahap I (tahap awal) Responden mengisi kuesioner menggunakan perbandingan berpasangan dengan skala Saaty (1sampai 9) yang menunjukkan tingkat kepentingan numerik masing-masing human failure.
7
Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lainnya.
9
Satu elemen mutlak lebih dari elemen lainnya
2,4,6,8
(a)
2
Nilai-nilai tengah diantara dua pertimbangan yang berdampingan
•
Tabel 3. Relative Weight dan Consistency Vector (CV)
Tahap II (rata-rata geometrik) hasil perbandingan Merata-ratakan berpasangan dengan rata-rata geometrik karena penilaian melibatkan banyak orang (group decision). Untuk menghitung ratarata geometrik, nilai harus dikalikan, dan dari hasil ini ditarik akar pangkat bilangan yang sama dengan jumlah orang yang memberi penilaian itu.
HUMAN FAILURE Gagal pengamatan visual/elektrik(radar) Tidak berhati-hati Kurang perencanaan sebelum keberangkatan Gagal menilai/menganalisa situasi Gagal mengambil tindakan awal Gagal mengikuti alur pelayaran yang seharusnya
= ܩඥܺଵ ܺଶ ܺଷ … … ܺ .......................(1)
Tidak mematuhi aturan Menjalankan kapal pada kecepatan tidak aman
dengan : G = rata – rata geometrik X1X2….Xn = penilaian ke 1,2,….,n (skala Saaty) n = banyaknya penilaian (jumlah responden) •
Gagal mengendalikan kapal Gagal berkomunikasi (secara langsung/radio) Tidak mengenali spesifikasi kapal dengan baik Gagal mengirim/menerima sinyal (suara/cahaya)
WEIGHT
Consistency Vector(CV)
0.074 0.068 0.076 0.093 0.099 0.078 0.106 0.083 0.095 0.07248 0.07246 0.083
12.157 12.168 12.168 12.187 12.190 12.157 12.212 12.189 12.170 12.173 12.166 12.171
Setelah mendapatkan CV, kita akan menghitung consistency index (CI) dengan menggunakan persamaan :
Tahap III (pengolahan data) Berdasarkan data yang sudah diolah dengan rata-rata geometrik, nilai-nilai numerik antar elemen akan diproses dalam sebuah matrik perbandingan. Matriks ini kemudian diolah untuk menemukan relative weight dari masing-masing human failure. Rasio konsistensi matriks harus kurang dari 10%. Bila lebih dari 10% berarti pengambil keputusan (responden) tidak konsisten dalam memberikan penilaian dalam perbandingan berpasangan. Untuk itu perlu dilakukan lagi penilaian ulang dengan melakukan perbandingan berpasangan lagi.
CI = λ – n / n -1.................................(2) Dengan λ = rata-rata CV , dan n = jumlah elemen yang dibandingkan, sehingga : CI = λ – n / n – 1 CI = (12.18 – 12) / (12 – 1) CI = 0.092 Untuk mendapatkan nilai ratio(CR) digunakan persamaan :
Untuk menghitung rasio konsistensi (consistency ratio), terlebih dahulu kita harus mengetahui consistency vector (CV) dari matriks perbandingan. CV merupakan nilai rata-rata yang diperoleh dari penjumlahan perbandingkan nilai setiap elemen pada matriks perbandingan dengan relative weight (bobot). Adapun nilai relative weight dan CV untuk jawaban responden adalah sebagai berikut.
consistency
CR = (CI / RI) x 100%........................(3) dengan RI (random index) untuk matriks perbandingan di atas telah ditentukan sebesar 1.57, sehingga : CR = (CI / RI) x 100% CR = (0.092 / 1.57) x 100% CR = 5.88%
(< 10% = memenuhi)
3.3 Peluang Kegagalan dan Fault Tree a. Kegagalan Manusia Jika kita membandingkan frekuensi munculnya kegagalan dengan tingkat kebermaknaan suatu kegagalan berdasarkan relative weight yang telah dihitung sebelumnya, kita dapat mengetahui kegagalan apa yang memiliki peran terbesar dalam suatu tubrukan. Dengan mengadopsi risk matrix, dapat disajikan data seperti berikut.
3
F r e k u e n s i
Tidak mematuhi aturan
1
2
Tidak berhatihati Gagal menilai situasi
3 Gagal pengamatan visual/elektrik
4 Gagal komunikasi
5
6
Gagal sinyal Gagal mengendalikan kapal
7
Gagal mengambil tindakan
8 Kecepatan tidak aman
9 Gagal memposisikan kapal
10 Kurang perencanaan
11
12
12 KET
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
Kebermaknaan Human Failure
CRITICAL HIGH MEDIUM LOW
Gambar 3.. Matriks Frekuensi-Kebermaknaan Human Failure Untuk studi kasus di Tg. Perak, frekuensi kegagalan manusia diambil berdasarkan tiga kasus tubrukan kapal berdasarkan hasil investigasi KNKT dan Mahkamah Pelayaran. Adapun tiga kasus tubrukan itu adalah : 1. Tubrukan antara MV. Uni Chart dan KM Mandiri Nusantara, 26 September 2003. 2. Tubrukan KM Safira Nusantara dan KLM Jaya Mulia I, 25 Februari 2009. 3. Tubrukan antara KM. Tanto Niaga dan KM. Mitra Ocean, 22 Mei 2009.
disajikan dengan perangkat lunak Relex 2009. Adapun desain fault tree untuk peluang kegagalan manusia adalah seperti dibawah ini.
Berdasarkan tiga kasus tubrukan di atas, diperoleh peluang masing-masing kegagalan seperti berikut Tabel 4. Peluang Kegagalan Manusia Kegagalan
Basic Event
Tidak mematuhi aturan Gagal mengendalikan kapal Gagal menilai situasi Manusia Gagal berkomunikasi (radio) Gagal mengambil tindakan awal Gagal mengirim/menerima sinyal Gagal pengamatan visual/elektrik(radar)
P = Na/Ns
4.56621E-05 4.56621E-05 3.42466E-05 5.70776E-05 2.28311E-05 2.28311E-05 2.28311E-05
Gambar 4. Fault Tree Kegagalan Manusia dengan : K = 1- Pgagal K = 1 – 0.000171223 K = 0.99982878
. Untuk menghitung peluang kegagalan manusia, penelitian ini menggunakan analisis Fault Tree yang
4
1 m/s. Angka ini diperoleh dari pengamatan kondisi lingkungan ketika terjadi beberapa kecelakaan kapal di area Tg. Perak oleh BMKG Maritim Perak.
b. Lingkungan Berbahaya Prakiraan cuaca digunakan sebagai dasar pembuatan informasi keselamatan dan keamanan pelayaran ataupun pekerjaan lainnya di laut. Dalam penelitian ini, data cuaca yang diolah adalah berdasarkan informasi cuaca ekstrem yang dikeluarkan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Maritim Tg. Perak Surabaya. Cuaca ekstrem adalah keadaan cuaca yang melebihi keadaan rata-rata atau kondisi biasanya. Hal-hal yang biasanya dijadikan rujukan cuaca ekstrem dan dilakukan early warning system oleh BMKG adalah jika : 1. Suhu udara permukaan ≥ 35⁰ Celcius 2. Curah hujan dalam satu hari ≥ 50 mm 3. Kecepatan angin ≥ 25 knot 70 60 50 40 30 20 10 0
Untuk lebih jelasnya, peluang kegagalan karena kondisi lingkungan yang sekaligus menjadi basic event dari fault tree dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 5. Peluang Lingkungan Berbahaya Kegagalan
Basic Event Pendangkalan Arus kencang (≥ 1 m/s) Kondisi lingkungan Curah hujan ≥ 50 mm Kecepatan angin ≥ 25 knot
P = Na/Ns 4.98E-05 6.16E-03 1.92E-02 1.29E-01
Berdasarkan perhitungan di atas, dapat dirancang suatu fault tree untuk peluang lingkungan berbahaya seperti di bawah ini.
Jumlah tubrukan (%)
NOVEMBER
SEPTEMBER
JULI
MEI
MARET
JANUARI
Kec.angin ≥ 25 knot (%) Curah hujan ≥ 50 mm (%)
Suhu udara ≥ 35⁰ C (%)
Grafik 1. Perbandingan Pola Cuaca Ekstrem dan Tubrukan per bulan di Tg. Perak Dengan melihat grafik perbandingan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa faktor cuaca yang paling berpengaruh terhadap terjadinya tubrukan adalah curah hujan dan kecepatan angin. Curah hujan yang tinggi dapat berakibat fatal terhadap jarak pandang (visibility) saat berolah gerak di laut. Pada beberapa kasus, hujan juga dapat mempengaruhi stabilitas kapal akibat berat kapal yang bertambah karena banjir atau muatan basah. Kecepatan angin yang tinggi terkadang juga meyebabkan kapal kehilangan kendali hingga larat dan menubruk obyek lain.
Gambar 5. Fault Tree untuk Lingkungan Berbahaya Maka, peluang lingkungan berbahaya adalah sebesar 0.008671 dengan Keandalan Lingkungan sebesar 0.991329.
Dalam pelayaran, kondisi alur juga merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan. Dalam penelitian ini, kondisi alur yang dianggap paling mempengaruhi adalah kondisi arus dan juga pendangkalan yang terjadi di sekitar Tg. Perak. Untuk kecepatan arus, BMKG Maritim Perak menyatakan bahwa arus yang mempengaruhi kondisi pelayaran di Tg. Perak adalah arus yang terjadi karena pasang surut, sesuai dengan karakteristik Pelabuhan Tg. Perak yang berada di daerah selat. Arus pasut ini dikatakan kencang dan membahayakan pelayaran jika kecepatannya ≥
c. Kegagalan Peralatan/Kapal Dalam beberapa kejadian tubrukan, tercatat beberapa kegagalan yang bersumber dari peralatan atau aspek kapal lain seperti material atau stabilitas. Dalam penelitian ini diklasifikasikan beberapa macam kegagalan dari aspek peralatan atau kapal lainnya sebagaimana berikut : a. Kegagalan Peralatan ; meliputi sistem permesinan, propulsi, kemudi, dan jangkar b. Kegagalan Elektrik ; gagal sistem kelistrikan, korsleting, atau tersambar petir
5
c. Kegagalan Material ; kerusakan bagian kapal karena terbakar, korosi, las-lasan retak, kebocoran, tali/rantai putus, dll. d. Kegagalan Stabilitas ; kapal miring, terbalik, banjir, muatan jatuh, dll.
Peluang kegagalan di atas secara faktual di lapangan dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain : 1.
Tabel 6. Peluang Kegagalan Peralatan/Kapal
Kegagalan
Basic Event
Peralatan Peralatan/ Elektrik Kapal Material Stabilitas
P = Na/Ns
3.42466E-05 1.14155E-05 3.42466E-05 5.70776E-05
Pemanduan Pemanduan di Alur Pelayaran Barat Surabaya dilaksanakan selama 24 jam, dengan jumlah pandu sebanyak 41 orang yang dibagi menjadi 2 shift, yaitu shift pertama 22 orang dan shift kedua 19 orang. Kapal yang masuk ke alur pelayaran Surabaya adalah ± 120 kapal/hari dengan jumlah kapal yang wajib pandu ( ≥ GT 500) berjumlah ± 60 kapal/hari. Alur pelayaran dengan panjang 25 mil laut harus di tempuh paling sedikit 2 – 3 jam pelayaran. Melihat pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa jumlah pandu yang tersedia tidak mencukupi untuk memandu semua kapal wajib pandu yang keluar masuk pelabuhan. Dengan jumlah pandu yang tidak mencukupi serta operasional kapal di pelabuhan tidak boleh terhambat, maka banyak kapal yang keluar masuk Pelabuhan Tg. Perak tanpa menggunakan jasa pandu laut. Pemberian ijin dispensasi tanpa pandu ini dikenal dengan istilah ”Pandu Charlie”.
Gambar 6. Fault Tree untuk Kegagalan Peralatan/Kapal Dari fault tree di atas dapat dihitung Peluang Kegagalan Peralatan/Kapal di Tg. Perak adalah sebesar 1.36893E-4 dengan Keandalan sebesar 0.99986.
Sesuai ketentuan Keputusan Menteri Perhubungan No.24 Tahun 2002, tentang Penyelenggaraan Pemanduan diatur tentang sistem Pemanduan dan Dispensasi Pandu seperti tertera di bawah ini.
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat didesain sebuah Fault Tree dengan Top Event Tubrukan Kapal seperti pada Gambar 7.
Pasal 9 Ayat (3) ”Pemanduan harus dilakukan dengan memberikan pelayanan secara wajar dalam arti pemanduan dilaksanakan secara fisik dan nyata yaitu pandu melaksanakan tugas di kapal dan bagi kapal konvoi, pemanduan dapat dilakukan dari kapal yang di pandu yang terdepan dengan menggunakan sarana bantu pemanduan”.
Dengan demikian, kita dapat menemukan Peluang Tubrukan Kapal di Pelabuhan Tg. Perak Surabaya sebesar 0.008976 dengan Keandalan sebesar 0.991024. 3.4. Peran Keandalan Manusia dalam Tubrukan Kapal Berdasarkan pembahasan sebelumnya, didapatkan Peluang Kegagalan Manusia sebesar 0.000114151 dengan keandalan sebesar :
Pasal 12 (1) Kapal yang melayari perairan wajib pandu secara tetap dan teratur kurang dari 24 jam (dua puluh empat) jam serta di nakhodai oleh seorang Nakhoda yang memiliki kemampuan dan memenuhi persyaratan, dapat tidak menggunakan petugas pandu
K = 1- Pgagal K = 1 – 0.008976 K = 0.991024
6
Gambar 7. Fault Tree untuk Tubrukan Kapal di Tg. Perak pandu di berikan oleh Pemanduan setempat.
(dispensasi tanpa menggunakan Petugas pandu). (2) Pemberian dispensasi tanpa menggunakan Petugas pandu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan apabila Nakhoda memiliki kemampuan dan memenuhi persyaratan meliputi: a. Mengenal dengan baik situasi dan kondisi perairan wajib pandu yang di layari; b. Dinyatakan telah memahami peraturan bandar setempat oleh pengawas pemanduan; c. Lalu-lintas kapal tidak padat pada waktu kapal berlayar tanpa pandu. (3) Pemberian dispensasi tanpa menggunakan Petugas pandu terhadap kapal yang berlayar di perairan wajib
Pengawas
Berdasarkan hasil investigasi KNKT untuk kasus tubrukan antara KM. Tanto Niaga dan KM. Mitra Ocean tanggal 22 Mei 2009 di Perairan Tg. Perak Surabaya disebutkan bahwa pada saat kejadian KM. Tanto Niaga berlayar sendirian tanpa beriringan, tanpa menggunakan pandu serta tidak mengikuti kapal yang dipandu. Kapal memperoleh izin masuk alur tanpa pandu hanya melalui izin dari petugas operator radio pandu Karang Jamuang yang sebenarnya tidak mempunyai kewenangan secara teknis operasional pemanduan. Hal yang sama juga terjadi kasus tubrukan antara MV. Uni Chart dan KM Mandiri Nusantara tanggal 26 September
7
jumlah Perwira bagian dek 4 (empat) orang dengan jabatan dan sertifikat sebagai berikut:
2003, dimana KM Mandiri Nusantara memperoleh dispensasi memasuki alur pelayaran tanpa pandu dari operator Stasiun Pandu Karang Jamuang dengan syarat mengikuti (konvoi) dengan kapal di depannya yang menggunakan pandu. Namun pada pelaksanaannya, KM Mandiri Nusantara gagal melakukan konvoi dan berubah jalur dari yang seharusnya. Karena terlambat menilai situasi, akhirnya tubrukan dengan MV. Uni Chart tidak dapat terhindarkan.
1) 1 (satu) orang Nakhoda yang memiliki sertifikat Ahli Nautika Tingkat I (ANT I), yang telah memperoleh pengukuhan sebagai nakhoda dan memiliki sertifikat sebagaimana di maksud dalam pasal 9 huruf a.2 s/d 8; 2) 1 (satu) orang Mualim I yang memiliki sertifikat ahli nautika tingkat I (ANT I) dan memiliki sertifikat sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf a.2 s/d 8; 3) 2 (orang) orang Mualim yang memiliki sertifikat Ahli Nautika Tingkat III (ANT III) dan memiliki sertifikat sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf d.2 s/d 7.
Dalam penelitian ini, peran Pandu belum melalui proses penelusuran yang mendalam. Namun yang perlu ditekankan, Pandu memegang peranan penting terhadap berbagai kasus tubrukan di Tanjung Perak. Dari tiga kasus yang diteliti, dua kasus tubrukan terjadi dengan Pandu berada di atas kapal, dan satu kasus terjadi tanpa Pandu di atas kapal (telah diberi dispensasi pandu). Ketidakdisiplinan dalam proses pemberian dispensasi pandu, kegagalan komunikasi antara Pandu dan nakhoda, serta fakta bahwa masih ada Pandu yang belum memenuhi kualifikasi memandu menjadi pekerjaan rumah besar bagi dunia pelayaran kita. Dalam beberapa sidang perkara kasus kecelakaan di Mahkamah Pelayaran, Pandu lebih sering dijadikan saksi, walaupun fakta secara jelas menerangkan bahwa ketika kecelakaan terjadi, Pandu tengah dalam kondisi memberikan panduan kepada awak kapal. Nakhoda sebagai mata rantai terakhir dari suatu sistem manajemen perjalanan kapal adalah orang yang paling dianggap bertanggungjawab terhadap kecelakaan. Namun pada kenyataannya, masih banyak pihak yang secara implisit juga turut berkontribusi menyebabkan kecelakaan, seperti perusahaan pelayaran, administrator pelabuhan, dan Pandu itu sendiri. 2.
Dan pada Bab V Pasal 13 huruf d, juga diterangkan bahwa : “Untuk kapal tonase kotor GT 500 s/d kurang dari GT 1.500 yang berlayar di daerah pelayaran kawasan Indonesia, jumlah Perwira bagian dek 3 (tiga) orang dengan jabatan dan sertifikat sebagai berikut: 1) 1 (satu) orang Nakhoda yang memiliki sertifikat Ahli Nautika Tingkat II (ANT II), yang telah memperoleh pengukuhan sebagai nakhoda dan memiliki sertifikat sebagaimana di maksud dalam pasal 9 huruf b.2 s/d 8; 2) 1 (satu) orang Mualim I yang memiliki sertifikat ahli nautika tingkat II (ANT II) dan memiliki sertifikat sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf b.2 s/d 8; 3) 1 (satu) orang Mualim yang memiliki sertifikat Ahli Nautika Tingkat III (ANT III) dan memiliki sertifikat sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf b.2 s/d 8.” Kurangnya jumlah awak kapal yang memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang disyaratkan menyebabkan banyaknya kejadian tubrukan yang terjadi terutama di alur pelayaran yang sempit dan padat seperti di Tg. Perak. Data tubrukan kapal di Tg. Perak menggambarkan bahwa sebanyak 81,4% kapal yang mengalami tubrukan merupakan kapal dengan bobot lebih dari GT 500 yang merupakan kapal
Kualifikasi Pengawakan Awak Kapal Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perhubungan No. 70 Tahun 1999, tentang Pengawakan Kapal Niaga pada Bab V Pasal 13 huruf b, menerangkan bahwa : “Untuk kapal tonase kotor GT 3.000 s/d kurang dari GT 10.000 yang berlayar di daerah pelayaran kawasan Indonesia,
8
wajib pandu dengan sertifikat keahlian Nakhoda minimal Ahli Nautika Tingkat II (ANT II). Hal ini tentu sangat ironis mengingat sudah sekian lama peraturan ini belum bisa ditegakkan baik oleh operator pelabuhan maupun pihak perusahaan pelayaran yang seharusnya menyediakan awak kapal dengan kompetensi memadai dan mampu mengoperasikan serta menjaga keselamatan selama pelayaran.
c.
d.
e.
4. REKOMENDASI 4.1. Regulator / Pemerintah
f.
a. Meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian dispensasi terhadap Nakhoda yang memasuki Alur Wajib Pandu (APBS) tanpa menggunakan Pandu yang seharusnya diberikan oleh Pejabat Penanggung Jawab Keselamatan Pelayaran (Administrator Pelabuhan) setempat. b. Pelaksanaan terhadap ketentuan pemanduan diluar prosedur harus ditindak tegas dan diberikan sanksi yang sesuai. c. Pemberian peringatan kepada petugas/pejabat pengawas kapal di pelabuhan pemberangkatan dan/atau pelabuhan pengeluaran sertifikat kapal yang menyalahi aturan keselamatan. d. Peningkatan Pengawasan terhadap penerapan ISM-Code untuk semua perusahaan pelayaran. e. Memberikan teguran terbuka terhadap pihak perusahaan pelayaran yang tidak memenuhi standar yang diharuskan. f. Meningkatkan kualitas dan jumlah tenaga pengajar yang memenuhi persyaratan (terutama di Diklat Kepelautan Swasta). g. Meningkatkan penyediaan alat peraga/ simulator/kapal-kapal praktek yang memenuhi persyaratan. h. Melakukan supervisi terhadap program pendidikan dan pelatihan pelaut (terutama pada Diklat Kepelautan Swasta).
terinformasikan setiap saat ke kapal-kapal yang akan berlabuh Fasilitator harus menyediakan alat pendeteksi kecepatan arus dan angin yang diinformasikan ke kapal - kapal yang akan berlabuh Kondisi kedalaman alur diharapkan layak untuk dilayari kapal – kapal yang akan berlabuh Fasilitas kepanduan harus ditingkatkan dari sisi kemampuan, jumlah SDM dan ketersediaan kapal–kapal pengangkut kepanduan untuk bertugas. Mengadakan pelatihan penyegaran kepanduan secara berkala kepada para pandu.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Setelah melaksanakan seluruh proses pengerjaan Tugas akhir ini, dan dari hasil pengolahan data yang diperoleh, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : a. Dari berbagai macam kegagalan manusia, “Tidak Mematuhi Aturan” merupakan kegagalan yang paling sering terjadi dan paling besar bobotnya, yaitu sebesar 10.6% dari total bobot kegagalan. b. Dari tiga kasus tubrukan yang dianalisis, diketahui bahwa manusia bukan penyebab utama terjadinya tubrukan di Tanjung Perak. Hal ini diperkuat dengan diperolehnya nilai Keandalan Manusia sebesar 99%. c. Peluang Tubrukan Kapal di Tanjung Perak adalah sebesar 8.976.10-3 dengan rincian kontribusi Peluang Kegagalan Manusia = 1.71223.10-4, Peluang Lingkungan Berbahaya = 8,671.10-3, dan Peluang Kegagalan Peralatan/Kapal = 1.36893.10-4. d. Peluang Kegagalan Manusia secara umum dipengaruhi oleh faktor pemanduan dan kualifikasi awak kapal.
4.2. Kepelabuhanan/ fasilitator terminal dan dermaga
5.2. Saran a.
Apabila terdapat penelitian dengan topik dan metode yang sama hendaknya pengambilan sampel dilakukan lebih banyak untuk lebih mendukung hasil penelitian. b. Kasus kecelakaan sebaiknya lebih banyak untuk lebih mendekatkan hasil penelitian pada kondisi sesungguhnya. c. Jika lokasi penelitian adalah di area wajib pandu, maka perlu ada pembahasan lebih mendalam menyangkut faktor Pemanduan.
a. Manajemen traffic di alur agar dilaksanakan dengan menggunakan fasilitas VTIS (Vessel Traffic Information System) yang kondisinya diinformasikan ke kapal-kapal yang akan menggunakan alur tersebut. b. Kondisi kapasitas tempat berlabuh di kolam pelabuhan dan tempat berlabuh lainnya harus
9
6. DAFTAR PUSTAKA 1. Administrator Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, 2010, Data Kunjungan dan Kecelakaan Kapal Tahun 1995-2010, Surabaya. 2. Antao, Pedro.,Soares, C. Guedes., 2006, “Fault Tree Models of Accident Scenarios of RoPax Vessels”, International Journal of Automation Computing 2. 107-116, Portugal. 3. Bariyah, Choirul, 2006, Aplikasi Human Reliability Assessment Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Benang pada PT. Industri Sandang Nusantara Unit Patal Secang Magelang, Tesis, Jurusan Teknik Indutri FTI-ITS, Surabaya. 4. Grabowski, M., Merrick, J. R. W., Harrald, J. R., Mazzuchi, T. A., van Dorp, J. R., 2000, “Risk Modelling in Distributed, Large-Scale Systems”, IEEE Transactions on System, Man, and Cybernetics – Part A : Systems and Human, 30(6) : 651-660. 5. Hanninen, M., Kujala, P., 2009, “The Effect of Causation Probability on the Ship Collision Statistics in the Gulf if Finland”, Helsinki University of Technology, Finland. 6. Hetherington, C., Flin, R., and Mearns, K., 2006, “Safety in shipping : The human element”, Journal of Safety Research 37(4): 401-411. 7. Kristiansen, Svein, 2005, Maritime Transportation : Safety Management and Risk Analysis, Elsevier, Oxford. 8. Komite Nasional Kecelakaan Transportasi, 2003, Final Report-Tubrukan MV Uni Chart dan KM Mandiri Nusantara, Surabaya 9. Komite Nasional Kecelakaan Transportasi, 2009, Final Report-Tubrukan KM Tanto Niaga dan KM Mitra Ocean, Surabaya 10. Lin, Bin., 2006, “Behaviour of Ship Officers in Maneuvering to Prevent a Collision”, Journal of Marine Science and Technology, Vol. 14, No. 4, pp. 225-230, Taiwan. 11. Lutzen, M., 2001, Ship Collision Damage, PhD Tesis, Maritime Engineering. Departement of Mechanical EngineeringDTU, Denmark. 12. Mahkamah Pelayaran Indonesia, 2010, Himpunan Putusan Mahkamah Pelayaran Tahun 2009, Kementrian Perhubungan, Jakarta. 13. Manen, S.E. and Frandsen, A.G., 1998, “Ship Collision with Bridges, Review of
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21. 22.
23.
10
Accidents”, Proceedings of the International Symposium on Advances in Ship Collision Analysis, Denmark, pp. 3-11. Mathes, S.,Nielsen, K., Engen, J., Haaland, E., 1997, ATOMOSR II-Final Report, European Commision, Brussels. Otterland, Anders et.al., 1960. “The Human Factor in Shipwrecks and Other Accident to Ships-Analysis of An Official Swedish Series”, Brit. J. prev. soc. Med. 14, 49-56, Swedia. Rosyid, Daniel M., 2007, Pengantar Rekayasa Keandalan, Airlangga University Press, Surabaya. Rothblum, A. M., 2006. Human error and Marine Safety. Vol. 4 in U.S. Coast Guard Risk-Based Decision-Making Guidelines, US Coast Guard Research and Development Center. Saaty T.L., 1987. “Risk- Its Priority and Probability: the Analytic Hierarchy Process", Risk Analysis, Vol. 7, No. 2, pp. 159-172. Sarifudin, Amir, 2009, Kajian Penentuan Danger Score Kapal saat Berlayar dengan Memanfaatkan Data AIS (Studi Kasus di Selat Madura), Tugas Akhir, Jurusan Teknik Sistem Perkapalan FTK-ITS, Surabaya. Transportation Board of Canada (TSB), 1998, Safety study of operational relationship between ship master/watchkeeping officers and marine pilots, http://www.bst.gc.ca. (diakses : 04 Agustus 2010). UU Republik Indonesia No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Yudistira, Sangkya Yuda, 2009, Studi Penetapan Daerah Bahaya (Dangerous Area) di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya berdasarkan AIS Data, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Sistem Perkapalan FTK-ITS, Surabaya. Zhengjiang, Liu, 2001, Identifying and Reducing The Involvement of Human Element in Collision at Sea, Dissertation, Maritime Safety and Environmental Protection. World Maritime University, Sweden.