f
BAB IV DATA DAN INFORMASI
Untuk mendukung studi ‘Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran’, untuk mengambil data dan informasi yang dibutuhkan maka dilaksanakan studi di beberapa pelabuhan di Indonesia yaitu : 1. Pelabuhan Belawan di Medan; 2. Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta; 3. Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya; 4. Pelabuhan Makassar di Makassar; 5. Port Klang di Malaysia. Selain itu, data yuridis berupa data sekunder juga akan ditelusuri melalui literatur-literatur agar lebih memperkaya khasanah data yang ditampilkan. Ulasan dari orientasi lokasi studi yang disebutkan di atas selebihnya dapat dijabarkan pada sub bahasan berikutnya dalam bab ini. A. PERKEMBANGAN COMMERCIAL CODE (HUKUM DAGANG) DAN PERLUNYA REVIEW MUATAN ISI PASAL-PASAL KUHD. 1. Selintas Sejarah dan Pemberlakuan KUHD di Indonesia. Menurut C.S.T Kansil (1985) Hukum pedagang ini mulanya belum merupakan unifikasi (berlakunya satu sistem hukum untuk seluruh daerah), karena berlakunya masih bersifat kedaerahan. Tiap-tiap daerah mempunyai hukum dagangnya sendiri. Kemudian disebabkan bertambah eratnya hubungan perdagangan antar daerah, maka pada abad ke-17 di Perancis diadakanlah kodifikasi dalam hukum pedagang. Menteri Keuangan dari Raja Louis XIV (16431715) yaitu Colbert membuat suatu peraturan yaitu “Ordonnance du Commerce” pada tahun 1673. Peraturan ini mengatur hukum pedagang itu sebagai hukum untuk golongan tertentu yaitu kaum pedagang.
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -1
Ordonnance du Commerce ini pada tahun 1681 disusul dengan suatu peraturan lain yaitu “Ordonnance de la Marine” yang mengatur hukum perdagangan laut (untuk pedagang kota pelabuhan). Selanjutnya pada tahun 1807 di Perancis selain terdapat Code Civil des Francais yang mengatur Hukum Perdata Perancis, telah dibuat juga Kitab UU Hukum Dagang sendiri yaitu Code de Commerce yang didasarkan dari Ordonnance du Commerce dan Ordonnance de la Marine. Dengan demikian pada tahun 1807 di Perancis terdapat Hukum Dagang yang dikodifikasikan dalam Code de Commerce dan dipisahkan dari hukum Perdata yang dikodifikasikan dalam Code Civil. Kemudian kodifikasi hukum Perancis tersebut tahun 1807 dinyatakan berlaku juga di Belanda sampai tahun 1838. Pada saat itu Pemerintah Belanda menginginkan adanya Hukum Dagang sendiri. Dalam usul KUHD Belanda dari tahun 1819 direncanakan sebuah KUHD yang terdiri atas 3 Kitab, tetapi di dalamnya tidak mengakui lagi pengadilan istimewa yang menyelesaikan perkaraperkara yang timbul di bidang perdagangan. Perkara-perkara dagang diselesaikan di muka pengadilan biasa. Usul KUHD Belanda inilah yang kemudian disahkan menjadi KUHD Belanda tahun 1838. Akhirnya berdasarkan asas konkordansi pula, KUHD Nederland 1838 ini kemudian menjadi contoh bagi pembuatan KUHD di Indonesia. Pada tahun 1893 UU Kepailitan dirancang untuk menggantikan Buku III dari KUHD Nederland dan UU Kepailitan mulai berlaku pada tahun 1896 (C.S.T. Kansil, 1985). 2. Kondisi sebelum Kemerdekaan Indonesia. Menurut sejarahnya, KUHD (W.V.K.) yang berlaku di Indonesia berasal dari Negara Belanda. Di Negeri Belanda sendiri W.V.K mulai dinyatakan berlaku sejak 1 Oktober 1838. Pada waktu itu dunia luar memuji kodifikasi yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda, karena cara penyusunannya sangat baik. Tetapi kemudian terjadilah kemajuan yang sangat pesat dengan ditemukannya mesin uap yang diterapkan pada kapal-kapal laut, sehingga kapal-kapal tersebut berlayar dengan menggunakan mesin uap. Perubahan ini membawa akibat berubahnya hukum bagi nakhoda dan para pengusaha kapal, terutama yang terkait dengan risiko. Dengan digunakannya uap untuk menjalankan kapal, maka kodifikasi tahun 1838 yang dulunya mendapat pujian, kemudian dianggap sudah tidak mamadai lagi dengan perkembangan kemajuan tekonologi perkapalan (Soedjono, 1982). Melihat perkembangan tersebut, terdapat upaya-upaya untuk memperbarui hukum pelayaran laut, yang dianggap sudah ketinggalan zaman. Upaya-upaya tersebut oleh H.M.N. Purwosutjipto diringkaskan sebagai berikut :
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -2
a. Pada akhir abad ke-19 (1890), atas dorongan dari Kamar Dagang Rotterdam diusulkan kepada Pemerintah Belanda agar memperbarui Hukum Laut. Komisi yang dibentuk oleh Kamar Dagang tersebut berhasil mengumumkan rencana perubahan/pembaruan hukum laut pada tahun 1901. b. Karena desakan dan dorongan kepada Pemerintah Belanda ini makin santer, maka akhirnya pada tahun 1905 Menteri Kehakiman Negeri Belanda pada wakttu itu, Mr.E.E.Van Raalte, memerintahkan kepada Prof.Mr.W.L.P.A Molengraaff untuk menyusun rencana pembaruan hukum laut dan Rencana tersebut telah selesai pada tahun 1907. c. Rencana tersebut kemudian dikirim kepada Raad van State untuk advis, yang baru diberikan pada tahun 1910. d. Dengan disahkan Traktat Brussels pada tahun 1910 tentang Tubrukan kapal, uang tolong dan uang penyelamat (hulp en bergloon), maka rencana undang-undang tersebut disesuaikan dengan Traktat Brussels oleh penyusunnya dan baru pada tahun 1914 dapat diumumkan. e. Pada tahun 1920 rencana undang-undang pembaruan hukum laut itu oleh Menteri Kehakiman Negeri Belanda pada waktu itu, Mr.Heemskerk diajukan kepada Staten Generaal. f.
Pada tahun 1924 rencana undang-undang tersebut dibicarakan dalam Staten Generaal dan pada tangal 22 Desember 1924 diundangkan dalam S.Ned.1924-573.
g. Pada tahun 1924 itu juga telah diterima sebagai perjanjian internasional “The Hague Rule”. Ini merupakan suatu alasan untuk merubah undang-undang tentang “Hukum Laut” yang baru saja diundangkan itu. Hal ini terjadi pada tahun 1926. h. Undang-undang Hukum Laut Baru tahun 1926 ini mengatur tentang: kapal-kapal laut, pengusaha kapal, nakhoda, carter kapal, pengangkutan laut, dan tubrukan kapal. Ini mulai diberlakukan sejak 1 Februari 1927 bersama-sama dengan undang-undang tentang: Surat-Surat laut (Zeebrievenwet) yang diundangkan pada tanggal 10 Juni 1926 (S.Ned.1926-171). i.
Undang-undang tentang Hukum Laut yang baru tersebut setelah dilakukan beberapa perubahan kemudian diberlakukan di Hindia Belanda (Indonesia) dan semua daerah jajahan Belanda lainnya. Untuk Hindia Belanda (Indonesia) Hukum laut yang baru ini dimasukkan dalam S.1933-47 jis 38-1 dan 2, yang mulai berlaku pada 1 April 1938. Pemberlakukan tersebut didasarkan pada asas konkordansi, yakni W.V.K Hindia
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -3
Belanda konkordansi dengan (H.M.N.Purwosutjipto, 1985).
W.v.K
Belanda
3. Perkembangan Setelah Kemerdekaan Indonesia. Sejak proklamasi 17 Agustus 1945, W.v.K Indonesia yang disebut pula KUHD tetap diberlakukan dengan berdasarkan pada asas toleransi yuridis berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945: “Segala peraturan perundang-undangan dan lembaga negara yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Dengan demikian sejak proklamsi 17/8/1945 KUHD tetap dalam keadaan pada saat diberlakukan oleh Pemerintah Belanda. Semangat kemerdekaan Indonesia telah membangkitkan Bangsa Indonesia untuk membangun dan mengembangkan industri pelayaran nasional, yang selama zaman penjajahan dikuasai oleh perusahaan pelayaran milik Belanda. Pelayaran pantai, yaitu pelayaran antar pulau di Indonesia, sejak tahun 1891 dikuasai dengan hak monopoli oleh N.V. KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) yang terikat oleh suatu kontrak yang disebut “Groot Archipel Contract” dengan Pemerintah Belanda. Sedangkan pelayaran ke/dari luar negeri, diselenggarakan oleh perusahaanperusahaan Belanda lainnya dan milik asing. Perubahan kebijakan terjadi pada tahun 1936 setelah dikeluarkannya Indische Scheepvaartwet 1936 (Undang-Undang Pelayaran, S.1936. No.700) oleh Pemerintah Belanda. Undang-undang Pelayaran 1936 ini yang menjadi dasar pengaturan pelayaran setelah Indonesia merdeka berdasarkan asas toleransi yuridis. a.
Undang-Undang Pelayaran Indonesia Scheepvaartwet)
1936
(Indische
Undang-Undang Pelayaran 1936 pada intinya mengatur dua hal pokok yaitu: (1) Perizinan pelayaran; (2) regime tentang pelabuhan laut. Berdasarkan UU 1936 tersebut yang kemudian digunakan sebagai dasar oleh Pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan peraturan-peraturan perizinan usaha pelayaran secara luas, antara lain: PP No. 47 Tahun 1957, kemudian PP No. 5 Tahun 1964, dan PP No. 2 Tahun 1969. Bahkan justru pengaturan yang berbentuk perizinan tersebut dilakukan secara ekstensif dan intensif pada zaman setelah Indonesia merdeka dibandingkan dengan zaman kolonial.
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -4
Beberapa peraturan-peraturan pelaksanaan yang lahir berdasarkan UU Pelayaran 1936 tersebut adalah sebagaimana diuraikan berikut ini. 1) PP No. 61/ 1954 PP ini mengatur tentang Perusahaan Muatan Kapal Laut. Menurut PP tersebut, yang dimaksud dengan perusahaan muatan kapal laut adalah perusahaan yang mengurus barang muatan kapal laut dalam lingkungan pelabuhan, baik perusahaan stuwadoor, maupun perusahaan pengangkutan pelabuhan dan perusahaan pergudangan. PP ini juga mengatur tentang perizinan usaha yang didasarkan pada ordonansi Peraturan Perusahaan 1934 (Bedrijfsreglementeringsordonantie 1934, LN.No.86/1938). Pada pokoknya PP Ini memuat hal-hal sebagai berikut: a)
Setiap usaha muatan kapal laut harus mendapat izin Pemerintah termasuk untuk kegiatan yang omsetnya kurang dari 50 ton/m3 sebulan;
b)
Usaha muatan kapal laut harus merupakan perusahaan yang berdiri sendiri dalam bentuk badan hukum (PT) dan tidak dapat dikerjakan oleh pemilik barang atau perusahaan pelayaran;
c)
Usaha muatan kapal laut merupakan bidang usaha yang bersifat khusus, sehingga perusahaan dagang, infustri dan lain-lain tidak diperkenankan menjalankan usaha tersebut;
d)
Objek yang diatur mengenai semua macam barang muatan kapal laut (tidak hanya barang dagangan);
e)
Kewarganegaraan Indonesia merupakan syarat bagi permodalan dan pengurusan usaha.
Pelaksanaan PP ini dituangkan dalam berbagai SK Menteri Perekonomian. Dalam praktik perusahaan-perusahaan muatan kapal laut yang mempunyai izin menjadi terkotakkotak menurut jenis kegiatan yang dilakukan seperti, perusahaan stuwador, perusahaan pengangkutan pelabuhan, dan perusahaan perdagangan menurut berbagai kategori (A, B, dan C). Perusahaan-perusahaan muatan kapal luat itu akhirnya berjumlah sangat banyak di tiap-tiap pelabuhan,
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -5
sehingga tidak lagi menjamin efisiensi kerja yang diharapkan. 2) PP No. 47 Tahun 1957 PP ini mengatur tentang penyelenggaraan pelayaran dalam fungsinya untuk perkembangan ekonomi sosial. Sebelumnya, peraturan perundang-undangan pelayaran yang ada hanya ditujukan terutama untuk: (1) mengatur hubungan hukum antara pengusaha pelayaran dan orangorang yang berkepentingan dengan pelayaran seperti yang diatur dalam Buku II KUHD ; (2) mengatur tentang keselamatan kapal dan pelayaran dari segi nautik-teknis. Tujuan PP ini adalah menjamin terselenggaranya angkutan laut di semua bagian wilayah Indonesia, dengan suatu sistem koordinasi yang tertib melalui mekanisme perizinan pelayaran. Jadi PP tersebut hakikatnya mengatur tentang perizinan pelayaran yang didasarkan pada UU Pelayaran 1936. PP tersebut mengatur hal-hal pokok sebagai berikut: a)
Pengangkutan laut dengan kapal-kapal niaga hanya diperbolehkan setelah diberikan izin oleh atau atas nama Menteri Pelayaran;
b)
Izin tersebut hanya dapat diberikan kepada perusahaan pelayaran Indonesia yang berbentuk badan hukum;
c)
Untuk mencapai koordinasi dan ketertiban setingitingginya maka tiap-tiap izin hanya diberikan setelah permohonan yang bersangkutan dipertimbangkan oleh suatu panitia khusus dibentuk untuk itu;
d)
Dalam izin tersebut harus ditetapkan antara lain trayek, peraturan perjalanan kapal dan tarif pengangkutan;
e)
Pelaksanaan perizinan tersebut harus diawasi sebaikbaiknya dan tiap-tiap pelanggaran yang bersangkutan harus dihukum.
Ketentuan pelaksanaan PP tersebut dituangkan dalam bentuk berbagai SK Menteri Pelayaran. Karena untuk memperoleh izin pelayaran tidak begitu berat, maka
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -6
akibatnya jumlah perusahaan-perusahaan pelayaran menjadi sangat banyak, terutama untuk pelayaran pantai. 3) PP No. 12 tahun 1962 PP ini sebenarnya merupakan revisi atas PP No. 47 tahun 1957 meskipun tidak secara eksplisit mencabutnya. Pada tahun 1962, Pemerintah merasa perlu untuk menata kembali kegiatan usaha muatan kapal laut dengan tujuan untuk meningkatkan kegiatan bongkar muat kapal, penimbunan serta pengangkutan barang di pelabuhan. Sistem perizinan usaha berdasarkan PP 61 Tahun 1954 yang membagi-bagi perusahaan muatan kapal laut menjadi beberapa golongan, dan melapaskan sepenuhnya kegiatan bongkar muat kapal dan ekspedisi muatan dari bidang perusahaan pelayaran, ternyata menimbulkan masalah-masalah praktis operasional di pelabuhan, karena sulitnya mengatasi masalah kejelasan tanggungjawab. PP ini merumuskan pengertian perusahaan muatan kapal laut sebagai perusahaan yang mengurus barang muatan yang akan dikirimkan melalui laut, atau yang dibongkar dari kapal untuk disalurkan, termasuk di dalamnya rangkaian pekerjaan: a)
Membongkar/memuat barang dari/ke kapal termasuk menyusunnya di atas kapal;
b)
Memindahkan barang tersebut dari/ke gudang dan atau tempat penimbunan;
c)
Mengurus barang-barang tersebut di dalam gudang dan atau tempat penimbunan;
d)
Menimbang, menghitung, mengukur, mengambil contoh, menguji, menandai dan atau membungkus kembali barang, termasuk semua pekerjaan yang bersangkutan;
e)
Mengurus pemindahan barang dari gudang ke tempat penimbunan lain dan sebaliknya.
Perumusan tersebut mengatur bahwa seluruh mata rantai pekerjaan usaha muatan kapal laut merupakan satu kesatuan usaha, dan tidak lagi seperti PP 61 Tahun 1954 yang memecah-mecah kegiatan usaha tersebut dalam beberapa jenis kegiatan, di mana untuk masing-masing kegiatan diperlukan izin usaha tersendiri. Dengan demikian maka LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -7
pemegang izin usaha perusahaan muatan kapal laut dapat melakukan seluruh mata rantai atau jenis-jenis kegiatan sejak barang dibongkar dari kapal sampai barang diserahakan kepada si penerima dalam lingkungan daerah pelabuhan atau sebaliknya, serta melakukan kegiatankegiatan lainnya yang ada hubungannya dengan pengurusan barang yang bersangkutan, satu dan lain tergantung dari kebutuhan keadaan. 4) PP No.5 Tahun 1964 PP ini mencabut PP No.47 Tahun 1957 dan PP No12 Tahun 1962. Lahirnya PP ini bertujuan untuk menata ulang penyelenggaraan dan pengusahaan angkutan laut secara menyeluruh. PP ini menempatkan penyelenggaraan dan pengusahaan angkutan laut dan kegiatan usaha penunjang, dalam satu peraturan yang meliputi usaha pelayaran, ekspedisi muatan, perantaraan jual-beli/sewa kapal dan perwakilan pelayaran asing. Sejalan dengan PP tersebut Pemerintah menetapkan pula peraturan-peraturan untuk menunjang dunia usaha pelayaran nasional yang meliputi: a)
Perpres No.18 Tahun 1964 tentang Pembinaan organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan dan daerah Pelayaran.
b)
Perpres No.30 Tahun 1964 tentang Pengaturan dan Pengapalan Muatan Eksport dan Import Indonesia melalui Biro Pengapalan Indonesia (BIPALINDO).
c)
Kepres No.93 Tahun 1965 tentang Pengendalian Lalu Lintas Muatan antar Pulau-Pulau Melalui Badan Pengendalian Lalu Lintas Muatan antar Pulau (BAPELUMA).
d)
Kepres Menteri Perhubungan Laut No.Kab.4/17/9 tertanggal 6 Juli 1965 tentang penunjukan PN Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) sebagai satu-satunya badan yang berwenang menentukan klasifikasi bagi kapal-kapal berbendera Indonesia.
Dari peraturan-peraturan tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah pada waktu itu telah mengatur hal-hal yang menyangkut pelayaran/angkutan laut Indonesia secara fundamental dan konsepsional yang meliputi pembinaan usaha maritim nasional yang sehat dan tangguh, ditunjang dengan berbagai perangkat kebijakan lainnya. KebijakanLAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -8
kebijakan tersebut telah memperkuat kedudukan perusahaan-perusahaan pelayaran nasional, baik dalam rangka sistem distribusi nasional maupun dalam posisinya terhadap dunia internasional (pelayaran asing). 5) PP No.2 tahun 1969 Lahirnya PP ini bertujuan untuk mengoreksi kebijakankebijakan Pemerintah sebelumnya (Orde Lama) setalah lahirnya Orde Baru. Pemerintah Orde Baru perlu untuk menghapuskan hal-hal yang bersifat ekonomi terpimpin dan perlu menetapkan kembali asas-asas dan dasar-dasar pokok mengenai pengusahaan dan penyelanggaraan angkutan laut termasuk kegiatan-kegiatan usaha penunjangnya. PP No.2 Tahun 1969 menyempurnakan PP No.5 tahun 1964 dalam hal-hal sebagai berikut: a)
Menyesuaikan pembinaan penyelenggaraan dan pengusahaan angkutan laut dengan jiwa TAP MPRS No.XXIII/MPRS/1969 dan kebijaksanaan ekonomi Pemerintah, antara lain yang menyangkut debirokratisasi ekonomi;
b)
Menegaskan pentingnya pelayaran tetap dan teratur guna melayani dan mendorong perkembangan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi nasional;
c)
Lebih menyesuaikan penggunaan kapal-kapal dalam penyelenggaraan berbagai jenis pelayaran dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan nautis/teknis yang berlaku;
d)
Menghidupkan kembali kegiatan usaha perveeman sebagai salah satu unsur penunjang kegiatan angkutan laut;
e)
Menegaskan peran pembinaan Pemerintah yang ditujuakan kepada pengarahan dan perlindungan seperlunya terhadap armada kapal-kapal niaga nasional.
Sejalan dengan ditetapkannya PP No.2 Tahun 1969, khusunya dalam kaitannya dengan penataan kembali administrasi pelabuhan, Pemerintah menetapkan PP No.1 Tahun 1969 yang melahirkan lembaga Administrator Pelabuhan, menggantikan lembaga Penguasa pelabuhan menurut Keppres No.18 Tahun 1964. Di samping itu, LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -9
Pemerintah juga membubarkan BIPALINDO dan BAPELUMA. Hal ini berarti bahwa Pemerintah tidak melakukian pengendalian muatan (cargo control) sehingga penyelenggaraan angkutan laut, baik terhadap muatan angkutan laut dalam negeri maupun muatan ke/dari luar negeri dapat dilakukan secara bebas tanpa campur tangan Pemerintah. Namun dalam hal penentuan tarif angkutan laut dalam negeri, izin trayek dan penempatan kapal dalam trayek yang bersangkutan tetap dikendalikan oleh Pemerintah. Kenyataanya, terutama antara tahun 1978-1985 lambat laun terjadi proses pengetatan prosedur berbagai perizinan operasional, yang oleh dunia usaha pelayaran dirasakan sebagai kekangan. Demikian pula pelaksanaan prosedur pengeluaran S.K.U. (Surat Keagenan Umum) semakin tajam memperoleh sorotan dunia internasional. Karena berbagai foktor, baik internal maupun eksternal perusahaan, penyelanggaraan usaha pelayaran baik dalam maupun ke/dari luar negeri tidak mengembirakan, yang sangat menghambat perkembangan usaha pelayaran nasional. Uang tambang dan biaya-biaya angkutan secara keseluruhan oleh para pemakai jasa angkutan laut dianggap tinggi, sehingga dunia pelayaran pada umumnya dianggap menyebabkan ekonomi tinggi, dan kemampuannya belum dapat diandalkan. 6) INPRES No.4 tahun 1985 Pada tahun 1985 terjadi resesi ekonomi dunia yang berkepanjangan dan berdampak ke Indonesia. Untuk mengadakkan ekspor non-migas Pemerintah mengeluarkan Inpres No.4 tahun 1985 yang ditujukan kepada Menko Ekuin, Menteri Keuangan, Industri dan Pengawasan Pembangunan, Panglima ABRI/Pangkopkamtib, Jaksa Agung, Gubernur BI, Ketua Badan Kooordinasi Penanaman Modal dan Menteri-Menteri lain. Inpres tersebut ditujukan untuk melaksanakan dan mengambil langkah-langkah guna makin memperlancar arus barang antar pulau, ekspor dan impor, dalam rangka peningkatan kegiatan ekonomi dan ekspor komoditi non-migas.
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -10
7) PP No. 25 tahun 1985 Pada subsektor perhubungan laut, Inpres No. 4 tahun 1985 dan perangkat peraturan pelaksanaannya, memberikan dampak luas terhadap pengaturan dan struktur angkutan laut yang berlaku sebelumnya. Kemudian oleh Pemerintah ditetapkan PP No.25 Tahun 1985 yang menetapkan bahwa: a)
Penyediaan dan pengusahaan gudang laut dan tempat penimbunan barang di pelabuhan dilaksanakan oleh badan yang ditunjuk oleh Menteri Perhubungan untuk kegiatan tersebut;
b)
Pekerjaan bongkar muat barang (cargo handling) dilakukan oleh perusahaan yang didirikan khusus untuk tujuan tersebut.
Ketentuan ini secara fundamental mengubah ketentuan yang selama ini dianut dalam PP No.2/ 1969 dimana kegiatan bongkar muat termasuk dalam lingkup kegiatan perusahaan pelayaran. Maksud ketentuan ini adalah untuk memberikan tekanan pada fungsi gudang laut sebagai gudang transit lalu lintas barang di pelabuhan, untuk mempercepat arus barang serta mempercepat keberangkatan kapal dan menekankan agar perusahaan pelayaran mengfokuskan pada kegiatan operasionalnya pada pelaksanaan pengangkutan itu sendiri. Dalam SK Menteri Perhubungan No.KM 88/1985 ditetapkan persyaratan-persyaratan mengenai izin usaha perusahaan bongkar muat barang dari dan ke kapal. Dalam Inpres No. 4 Tahun 1985 ditetapkan persyaratan-persyaratan mengenai izin usaha perusahaan bongkar muat barang tidak dilakukan lagi oleh perusahaan pelayaran. Selain itu, dikeluarkan pula SK Menteri Perhubungan No.Km 82/1985 tentang Perusahaan Ekspidisi Muatan Kapal Laut (EMKL). 8) PP No. 17 Tahun 1988 (Pakno 21) Kebijaksanaan Pemerintah dalam wujud deregulasi di bidang perhubungan laut seperti yang tercermin dalam Pakno 21, merupakan salah satu tonggak perkembangan penting dalam sejarah kebijaksanaan Pemerintah di bidang perhubungan laut. Kebijaksanaan baru tersebut telah mengubah struktur penyelenggaraan angkutan laut dari yang selama ini diperinci dalam sub-sub bidang usaha yang diatur secara sendiri-sendiri oleh PP. No. 2 Tahun 1969,
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -11
menjadi satu kesatuan pengaturan yang mencakup dimensi usaha yang lebih luas. Melalui PP No.17/1988 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut dan Peraturan-peraturan pelaksananya, Pemerintah mengambil berbagai langkah kebijaksanaan di bidang angkutan laut secara mendasar. Pakno 21 dimaksudkan untuk menata kembali peraturanperaturan angkutan laut yang selama ini dianggap birokratis dalam pelaksanaannya, kemudian disesuaikan dengan kebijaksanaan Pemerintah mengenai deregulasi ekonomi. Kebijaksanaan baru itu meliputi persyaratan usaha, perizinan usaha, pola trayek, dan penerapan asas cabotage. Kebijakan tersebut pada intinya memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada dunia usaha untuk menyelenggarakan angkutan laut, baik di dalam negeri maupun dari/ke luar negeri yang selama ini harus memperhatikan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi. Salah satu implikasi penting dari kebijakan tersebut adalah bahwa perusahaan-perusahaan pelayaran nasional diarahkan untuk mandiri tanpa tergantung pada bantuan dan proteksi Pemerintah, baik dalam kegiatan dan pengembangan usahanya, maupun dalam berhadapan dengan perusahaan-perusahaan pelayaran asing. Namun kebijakan tersebut masih difokuskan pada masalah angkutan laut secara konvensional. Padahal dengan adanya perkebangan teknologi dan konsep-konsep baru di bidang transportasi di dunia, masalah angkutan laut telah melampaui sekedar bidang pelayaran dan kepelabuhanan. Kontenerisasi, sistem transportasi dari pintu ke pintu (door to door system) dan sistem angkutan multimoda yang diselenggarakan perusahaan-perusahaan internasional, secara global mencerminkan suatu perkembangan yang bersifat universal, juga berpengaruh pada sistem penyelenggaraan angkutan laut di Indonesia. Hal tersebut belum tercermin dalam kebijakan Pakno 21. Bahkan kebijaksanaan tersebut justru tidak sejalan dengan kecenderungan yang terjadi di dunia internasional. Konvensi Hamburg 1978 dan Konvensi Transportasi Multimoda 1982 menjabarkan penyelenggaraan angkutan laut dan tanggungjawab pengangkut dari terminal ke terminal, bahkan dari pintu ke pintu. Kebijaksaan tersebut tidak mengandung unsur-unsur pembinaan yang bersifat konsepsional dan aktif terhadap terhadap tumbuh dan berkembangnya potensi dan partisipasi armada niaga
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -12
nasional, karena baru merupakan bagian dari kebijaksaan yang bersifat khusus dalam menunjang perdagangan, khusunya eksport non-migas pada waktu itu. Kebijaksaan tersebut disebabkan ringannya persyaratan-persyaratan izin usaha menyebabkan bertambahnya jumlah perusahaan pelayaran, tetapi belum meningkatkan jumlah dan tonase armada kapal-kapal nasional. 9) INPRES No. 3 tahun 1991 Dengan dikeluarkannya Inpres No.3 Tahun 1991, maka Inpres No. 4 Tahun 1985 dinyatakan tidak berlaku lagi, sedangkan segala peraturan yang selama ini telah dikeluarkan sebagai tindak lanjut Inpres No.4 Tahun 1985 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Inpres No. 3 Tahun 1991. Pada dasarnya Inpres No. 3 Tahun 1991 mengatur kembali tata laksana ekspor dan impor dengan mengembalikan fungsi dan tugas-tugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan kembali wewenang dan tugas-tugas operasional pelabuhan, khusunya Surveyor yang ditetapkan oleh Pemerintah. Namun di bidang angkutan laut tidak diadakan perubahan ketentuan laksana operasional pelabuhan, khusunya mengenai administrator pelabuhan laut utama. Dengan demikian ketentuan-ketentuan pokok yang semula terdapat pada Inpres No. 4/1985 dan berbagai peraturan dalam melaksanakannya tetap berlaku. b. Undang-Undang Pelayaran Indonesia 1992 (UU No. 21 Tahun 1992) UU ini mulai berlaku pada 1 September 1992 dan mengatur segala aspek palayaran baik nautik-teknis, ekonomi pelayaran, maupun hal-hal teknis perundang-undangan yang lazim yaitu ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan penutup. Secara substantif muatan UU tersebut meliputi: kenavigasian (lalu lintas di laut), kepelabuhanan, perkapalan (termasuk kelaiklautan kapal), peti kemas, pengukuran, pendaftaran kapal, awak kapal, pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut oleh kapal, pengangkutan, kecelakaan kapal, pencarian dan pertolongan, serta sumber daya manusia. Dari aspek ekonomi pelayaran UU ini membuat terobosan penting karena memuat ketentuan yang merupakan kebijakan dasar untuk mengembangkan armada niaga dan usaha pelayaran nasional yang selama ini belum pernah ditetapkan
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -13
dengan UU. Dalam UU tersebut disebutkan adanya 61 kali mengenai perlunya Peraturan Pemerintah. Yang menarik diperhatikan terkait dengan commercial code adalah pengaturan tentang nakhoda/pemimpin kapal dan anak buah kapal. Ketentuan tersebut menimbulkan kerancuan mengingat Buku II KUHD juga mengatur hal yang sama secara luas. Memang dalam hal ini dapat diterapkan asas lex posterriore derogat lex priori. Namun jika dilihat dari masalahnya pengaturan yang terdapat dalam KUHD Buku II jauh lebih luas jangkauannya. Masalah awak kapal ini sebenarnya mengandung 2 aspek, yaitu aspek hukum publik dan aspek hukum privat. Aspek hukum publik terkait dengan tugas, tanggungjawab dan kedudukan awak kapal dalam penegakan peraturan terkait keselamatan kapal dan pelayaran. Aspek privat terkait hubungan hukum antara nakhoda dan anak buah kapal dengan pemilik atau operator kapal dengan pemilik/ pengirim barang. c. Undang-Undang Pelayaran Indonesia 2008 (UU Nomor 17 Tahun 2008) Dalam perjalanan waktu, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran perlu dilakukan penyesuaian karena telah terjadi berbagai perubahan paradigma dan lingkungan strategis, baik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia seperti penerapan otonomi daerah atau adanya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, pengertian istilah “pelayaran” sebagai sebuah sistempun telah berubah dan terdiri dari angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim, yang selanjutnya memerlukan penyesuaian dengan kebutuhan dan perkembangan zaman serta ilmu pengetahuan dan teknologi agar dunia pelayaran dapat berperan di dunia internasional. Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka disusunlah UndangUndang tentang Pelayaran yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992, sehingga penyelenggaraan pelayaran sebagai sebuah sistem dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat, bangsa dan negara, memupuk dan mengembangkan jiwa kebaharian, dengan mengutamakan kepentingan umum, dan kelestarian lingkungan, koordinasi antara pusat dan daerah, serta pertahanan keamanan negara. Undang-Undang tentang Pelayaran yang memuat empat unsur utama yakni angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -14
dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim dapat diuraikan sebagai berikut: 1) pengaturan untuk bidang angkutan di perairan memuat prinsip pelaksanaan asas cabotage dengan cara pemberdayaan angkutan laut nasional yang memberikan iklim kondusif guna memajukan industri angkutan di perairan, antara lain adanya kemudahan di bidang perpajakan, dan permodalan dalam pengadaan kapal serta adanya kontrak jangka panjang untuk angkutan; Dalam rangka pemberdayaan industri angkutan laut nasional, dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai hipotek kapal. Pengaturaan ini merupakan salah satu upaya untuk meyakinkan kreditor bahwa kapal Indonesia dapat dijadikan agunan berdasarkan peraturan perundangundangan, sehingga diharapkan perusahaan angkutan laut nasional akan mudah memperoleh dana untuk pengembangan armadanya; 2) pengaturan untuk bidang kepelabuhanan memuat ketentuan mengenai penghapusan monopoli dalam penyelenggaraan pelabuhan, pemisahan antara fungsi regulator dan operator serta memberikan peran serta Pemerintah Daerah dan swasta secara proposional di dalam penyelenggaraan kepelabuhanan; 3) pengaturan untuk bidang keselamatan dan keamanan pelayaran memuat ketentuan yang mengantisipasi kemajuan teknologi dengan mengacu pada konvensi internasional yang cenderung menggunakan peralatan mutakhir pada sarana dan prasarana keselamatan pelayaran, di samping mengakomodasi ketentuan mengenai sistem keamanan pelayaran yang termuat dalam “International Ship and Port Facility Security Code”; dan 4) pengaturan untuk bidang perlindungan lingkungan maritim memuat ketentuan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan laut yang bersumber dari pengoperasian kapal dan sarana sejenisnya dengan mengakomodasikan ketentuan internasional terkait seperti “International Convention for the Prevention of Pollution from Ships”. Selain hal tersebut di atas, yang juga diatur secara tegas dan jelas dalam Undang-Undang ini adalah pembentukan institusi di bidang penjagaan laut dan pantai (Sea and Coast Guard)
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -15
yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri. Penjaga laut dan pantai memiliki fungsi komando dalam penegakan aturan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran, dan fungsi koordinasi di bidang penegakan hukum di luar keselamatan pelayaran. Penjagaan laut dan pantai tersebut merupakan pemberdayaan Badan Koordinasi Keamanan Laut dan perkuatan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai. Diharapkan dengan pengaturan ini penegakan aturan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran dapat dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi dengan baik sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan penegakan hukum di laut yang dapat mengurangi citra Indonesia dalam pergaulan antarbangsa. Terhadap Badan Usaha Milik Negara yang selama ini telah menyelenggarakan kegiatan pengusahaan pelabuhan tetap dapat menyelenggarakan kegiatan yang sama dengan mendapatkan pelimpahan kewenangan Pemerintah, dalam upaya meningkatkan peran Badan Usaha Milik Negara guna mendukung pertumbuhan ekonomi. Dengan diundangkannya Undang-Undang tentang Pelayaran ini, berbagai ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan pelayaran, antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Tahun 1939, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan sepanjang menyangkut aspek keselamatan dan keamanan pelayaran tunduk pada pengaturan Undang-Undang tentang Pelayaran ini. Dalam Undang-Undang ini diatur hal-hal yang bersifat pokok, sedangkan yang bersifat teknis dan operasional akan diatur dalam Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya. Pada Tahun 2008 UU Nomor 21 Tahun 1992 dicabut dan diganti dengan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Dalam UU yang baru tersebut kebijakan baru yang lahir adalah terbukanya peluang bagi diperlakukannya privatisasi dalam penyediaan layanan kepelabuhanan. Kebijakan privatisasi yang
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -16
dikembangkan dalam penyediaan layanan pelabuhan ini memiliki beberapa manfaat, yaitu : 1) Menaikkan efisiensi manajemen layanan pelabuhan; 2) Memberdayakan sektor swasta untuk menginvestasikan dana mereka dalam mengembangkan dan mengoperasikan infrastruktur dan fasilitas layanan pelabuhan; 3) Menarik pasar baru, investasi, dan aplikasi teknologi dari sektor swasta yang memiliki kinerja lebih baik dalam mengelola layanan pelabuhan; 4) Meningkatkan kualitas layanan konsumen dengan harga bersaing. Model yang dikembangkan dalam privatisasi pelabuhan ini adalah publik-swasta yang memposisikan fungsi regulator pelabuhan dan pemilik tanah pelabuhan pada wilayah publik (Pemerintah) dan memberikan ruang bagi swasta untuk masuk dan berkompetisi pada wilayah operator pelabuhan. Upaya peningkatan sembilan layanan pelabuhan dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dikembangkan dengan membangun interaksi yang relevan antara otoritas pelabuhan, operator pelabuhan dan pengguna layanan jasa pelabuhan. Pola interaksi tersebut merupakan perwujudan dari integrasi ketiga komponen untuk mencapai tujuan bersama yaitu optimalisasi pelayanan. Dengan demikian segala jenis pelayanan jasa yang diusahakan di Pelabuhan tidak boleh terpisah dari kontribusi semua komponen yang terlibat dalam kegiatan pelabuhan, baik yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Target yang ingin dicapai dari interaksi ini adalah optimalisasi pelayanan pelabuhan. Dari perkembangan commercial code, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 31 ayat 2 UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yaitu : 1) Bongkar muat barang; 2) Jasa pengurusan transportasi; 3) Angkutan perairan pelabuhan;
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -17
4) Penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut; 5) Tally mandiri; 6) Depo peti kemas; 7) Pengelolaan kapal (ship management); 8) Perantara jual beli dan/atau sewa kapal; 9) Keagenan awak kapal; 10) Keagenan kapal; 11) Perawatan dan perbaikan kapal. Pasal 33 juga menyebutkan bahwa setiap badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) wajib memiliki izin usaha. Oleh karenanya, hal-hal yang terkait dengan ijin usaha perusahaan angkutan laut perlu dibangunkan standar yang relevan kualitasnya. Dalam pasal 90 ayat (3) juga disebutkan layanan bongkar muat sebagai salah satu bentuk kegiatan pengusahaan di pelabuhan. Dalam satu pelabuhan biasanya terdapat satu koperasi tenaga kerja bongkar muat yang menjalin kerjasama dengan perusahaan bongkar muat (PBM) dalam memberikan layanan bongkar muat barang bagi kapal yang sandar di sebuah pelabuhan. Upaya untuk meningkatkan profesionalitas dalam layanan bongkar muat ini dilakukan melalui penetapan standarisasi mengenai tenaga kerja bongkar muat yang memberikan layanan di pelabuhan.
4. Hal-Hal Pokok yang Diatur dalam KUHD Berdasarkan titik tolak dari cakupan hukum maritim dalam arti luas, menurut M. Husseyn Umar hukum maritim meliputi baik hukum yang bersifat keperdataan maupun hukum publik. Hal ini mencakup (Umar, 2001): a. Ketentuan-ketentuan yang menyangkut hukum perdata secara khusus terdapat dalam Buku II KUHD dengan judul: Hakhak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari pelayaran.
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -18
b. Ketentuan-ketentuan yang menyangkut hukum publik pada umumnya mengenai aspek teknis/nautis pelayaran, peraturan ekonomi (seperti persyaratan izin usaha dan lain-lain) terdapat di berbagai peraturan perundangan yang tersebar (Ordonansi, undang-undang, peraturan pemerintah, surat keputusan menteri dan sebagainya). Terkait dengan Buku II KUHD memuat materi hukum yang meliputi: a. Kapal laut dan muatannya, b. Pengusaha kapal dan pengusaha pelayaran, c. Nakhoda, awak kapal dan pelayar d. Perjanjian kerja laut, e. Mencarterkan dan mencarter kapal f. Pengangkutan barang, g. Pengangkutan orang, h. Tubrukan kapal, i. Kapal karam, kandas dan penemuan barang di laut, j. Asuransi atau pertanggungan terhadap bahaya-bahaya di laut, k. Awar (kerugian di laut) l. Hapusnya perikatan-perikatan dalam perdagangan laut, m. Kapal dan alat pelayaran di sungai dan perairan pedalaman. Ketentuan-ketentuan dalam Buku II KUHD banyak yang sudah ketinggalan zaman, khusunya dengan perkembangan teknologi, pola-pola transportasi dan konvensi-konvensi internasional yang berkembang sangat pesat. Dalam praktik di dunia pelayaran, terutama pelayaran dari atau ke luar negeri digunakan ketentuanketentuan yang lazim berlaku di dunia internasional, sehingga ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHD sepenuhnya dikesampingkan. Demikian pula pelayaran dalam negeri, beberapa ketentuan penting KUHD tidak dapat dilaksanakan, khususnya mengenai batas tanggungjawab pengangkut yang tidak memadai karena besarnya batas ganti rugi secara nominal dalam ketentuan Pasal 470 dan 474 yang tidak mencerminkan batas ganti rugi yang wajar (Umar, 2001). Di bidang hukum publik, khusunya mengenai hal-hal yang bersifat teknis dan juga yang menyangkut kesejahteraan sosial terdapat berbagai kesenjangan karena sebagian besar dari KUHD tersebut belum mengalami penyesuaian dengan berbagai konvensi internasional, meskipun beberapa konvensi telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia (Umar, 2001).
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -19
5. Pasal-pasal yang Masih Berlaku dan Perlu Kajian Dengan mengacu pada “asas toleransi yuridis” dan juga “asas hukum yang kemudian mengalahkan hukum terdahulu”, maka dapat dikatakan bahwa pemberlakukan KUHD di Indonesia didasarkan pada kedua asas tersebut. Ini berarti bahwa pemberlakukan KUHD hanya bersifat sementara dan melengkapi untuk menjaga agar tidak terjadi adanya kekosongan hukum. Jika sudah ada ketentuan baru yang mengatur hal yang sama, maka yang berlaku adalah hukum yang baru tersebut. Berikut ini terdapat beberapa ketentuan dalam KUHD yang masih berlaku dan perlu mendapatkan kajian: a. Masalah Perjanjian Pengangkutan dan Carter Party (Pasal 466 KUHD) Dalam Pasal 466 KUHD ditentukan bahwa penyelenggaraan pengangkutan oleh pengangkut dapat dilakukan berdasarkan perjanjian carter, baik carter waktu maupun carter perjalanan atau pun perjanjian apapun bentuknya. Yang perlu dikaji lebih lanjut di sini adalah perbedaan perjanjian dengan menggunakan konosemen (Bill of Lading) dengan perjanjian carter (Carter Party). Pada pengangkutan dengan menggunakan konosemen, lazimnya berupa penyelenggaraan pengangkutan dengan berjadwal (liner). Kapal pada umumnya mengangkut barang-barang perdagangan umum dari berbagai pelabuhan yang dkunjungi secara tetap dan teratur, yang mana pengoperasian kapal dan risiko-risiko sepenuhnya di bawah pengendali pengangkut. Demikian pula semua biaya-biaya, baik investasi maupun operasional, termasuk bongkar muat di pelabuhan sepenuhnya merupakan hak dan kewajiban pengangkut. Besarnya uang tambang lazimnya didasarkan atas berat atau ukuran/volume barang yang diangkut. Di sisi lain pada carter kapal pada hakikatnya merupakan perjanjian penggunaan ruang kapal oleh pencarter dengan tujuan untuk menggunakannya untuk mengangkut barang. Pembayaran atas penggunaan ruang kapal baik seluruh atau sebagian dilakukan tanpa memperhitungkan jumlah barang yang dimuat. Uang tambang lazimnya berdasarkan jumlah barang yang disepakati untuk tiap perjalanan. b. Masalah tanggungjawab dalam Perjanjian Pengangkutan (Pasal 468 KUHD), Pasal 468 ayat (2) menyatakan bahwa pengangkut diwajibkan mengganti segala kerugian yang disebabkan
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -20
karena barang tersebut seharusnya atau sebagain tidak dapat diserahkannya, atau karena terjadi kerusakan pada barang itu, kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa tidak diserahkannya barang atau kerusakan tadi disebabkan oleh suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun dihindarkannya atau cacat dari barang tersebut atau kesalahan dari yang mengirimkannya. Ketentuan tersebut perlu diharmonisasikan dengan ketentuan lainnya yang juga mengatur hal yang sama seperti pada Protocol Brussel 1968 dan ketentuan konvensi lainnya agar tidak terjadi konflik aturan. c. Pembebasan Tanggungjawab Pengangkut (Pasal 469 dan 478 KUHD) Pasal 469 dan 478 KUHD pada intinya membebaskan tanggungjawab pengangkut untuk memberi ganti rugi, jika pengirim barang (Shipper) tidak memberikan keterangan yang benar mengenai sifat dan nilai barang sebelumnya atau pada waktu dia menerimanya yang kemudian menimbulkan kerusakan pada barang. Bahkan pengangkut berhak untuk memperoleh ganti rugi yang dideritanya akibat pemberitahuan yang diberikan tidak benar atau tidak lengkap mengenai waktu dan sifat barang. Ketentuan tersebut perlu kajian lebih lanjut terkait dengan kehilangan atau kerusakan barang yang diangkut. d. Pembatasan Tanggungjawab ganti Rugi (Pasal 470 KUHD) Pasal 470 KUHD menentukan bahwa pengangkut berwenang untuk mensyaratkan bahwa dia tidak akan bertanggungjawab tidak lebih dari suatu jumlah tertentu atas tiap barang yang diangkut, kecuali bila kepadanya diberitahukan tentang sifat dan nilai barangnya sebelum atau pada waktu penerimaan. Batas tersebut adalah tidak boleh lebih rendah dari Rp.600. (aslinya Nfl.600; enam ratus gulden). Jumlah tersebut sudah sangat tidak memadai. Ketentuan tersebut perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman dan perkembangan aturan-aturan konvensi internasional. e. Konosemen/BL (Pasal 506 dst KUHD) Meskipun pembuatan konosemen oleh pengangkut merupkan hal yang fakultatif namun mempunyai arti penting, terutama dari segi perdagangan maupun dari segi hukum. Konosemen mempunyai 3 fungsi pokok yaitu: merupakan bukti penerimaan barang; b. bukti adanya perjanjian pengangkutan; c. dokumen yang dapat
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -21
diperdagangkan. Ketentuan tersebut perlu kajian lebih lanjut dengan berkembangnya dunia perdagangan dan juga munculnya konvensi-konvensi internasional. f.
Tanggungjawab Pengirim Barang (Pasal 468 ayat 2; Pasal 478 ayat 1 dan 479 KUHD) Meskipun KUHD lebih menekankan pada tanggungjawab pengangkut, namun perlu dikaji lebih lanjut terkait dengan tanggungjawab pengirim barang (Shipper) terutama atas kelalaian pengirim barang dalam mempersiapkan kondisi barang yang akan diangkut.
g. Masalah Sewa guna kapal (leasing) Perlu kajian terkait dengan sewa guna kapal laut dengan opsi untuk membeli. Hal ini terkait dengan pengadaan kapal terutama untuk pembiayaan yang dirasa lebih ringan dibanding pembelian kapal secara tunai. h. Masalah eksekusi hipotek kapal laut. Hipotik kapal laut sebagai jaminan untuk memperoleh dana/pembiayaan dalam pengadaan kapal atau mengatasi biaya-biaya operasional kapal, merupakan isu-isu penting di dunia usaha pelayaran. Suatu perjanjian kredit (pinjam uang) biasanya diikuti dengan jaminan berupa hipotek. Ini perlu dikaji lebih lanjut terkait dengan perkembangan commercial code di bidang pelayaran. B. DATA DATA PELABUHAN KEBERLANGSUNGAN COMMERCIAL CODE
TERKAIT
1. PT. Pelabuhan Indonesia I (Medan) Pelabuhan Belawan terletak pada posisi 03º 47’ 00” LU dan 98º 42’ 08” BT, berjarak kurang lebih 26 Km dari kota Medan. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan utama dan cabang di lingkungan PT Pelabuhan Indonesia I (Persero). Letaknya yang strategis menghubungkan jalur perdagangan Asia, Amerika, Australia, Afrika dan Eropa. Dari aspek ekonomi nasional, merupakan pintu gerbang perekonomian di Pulau Sumatera Bagian Utara, yang memiliki hinterland di sekitar Provinsi Riau dan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang kaya hasil pertanian. Ekspor komoditas agroindustri terbesar di Indonesia melalui pelabuhan ini meliputi : minyak kelapa sawit, karet, coklat, kopi,
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -22
tembakau, kayu olahan, kertas serta sayuran. Gambar berikut adalah kegiatan bongkar-muat petikemas di Pelabuhan Belawan.
Gambar 4.1
Kegiatan bongkar-muat petikemas dengan crane darat di Pelabuhan Belawan (Sumber : Konsultan, 2012)
Fasilitas Pelabuhan Belawan antara lain terminal multy purpose yang dilengkapi dengan fasilitas special handling seperti sistem pemompaan CPO (Crude Palm Oil) melalui pipa terpadu yang berkapasitas 200-250 ton/jam/unit loading point. Penanganan bongkar-muat CPO melalui pipanisasai dilaksanakan dengan kerja sama pihak ketiga. Di terminal curah kering memiliki kapasitas 400-500 ton/jam/conveyor. Di pelabuhan ini tersedia fasilitas penumpukan seperti gudang dan tangki timbun yang cukup untuk menampung lalu lintas barang hasil perkebunan dan pertanian dari daerah hinterland. Upaya untuk meningkatkan kemudahan layanan jasa kepelabuhanan dilakukan melalui pengembangan sistem Pusat Pelayanan Satu Atap (PPSA). Pelayanan Kapal telah dilengkapi dengan Standar ISO 9001:2000. Dalam penanganan sistem keamanan fasilitas pelabuhan terhitung 28 Juni 2010 telah diberlakukan persyaratan sesuai ketentuan International Maritime Organization (IMO) dan telah dikeluarkan “Pernyataan Pemenuhan
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -23
Keamanan Fasilitas Pelabuhan” (Statement of Compliance of Port Facility) oleh Dirjen Perhubungan Laut No : 02-0157-DN, yang berarti Pelabuhan Belawan telah memenuhi ketentuan International Ships and Port Facility Security Code (ISPS-Code). (Panduan PT. PELINDO I Cabang Belawan, 2012). Gambar berikut adalah pipa tranmisi untuk kegiatan bongkar-muat CPO.
Gambar 4. 2.
Pipa tranmisi untuk bongkar-muat CPO (Sumber : Konsultan, 2012)
Sesuai dengan tuntutan pengguna yang menghendaki petikemas dalam pengiriman barang, maka Pelabuhan Belawan telah mengembangkan Berlian International Container Terminal (BICT). Hal ini bisa dilihat dari perkembangan volume bongkar-muat petikemas di BICT dari tahun 2007 – 2011, di mana untuk domestik dari 260,839 TEUS menjadi 336,323 TEUS. Sementara untuk internasional dari 320,515 TEUS menjadi 406,185 TEUS. (Data primer 2012,diolah). Bidang usaha jasa utama meliputi : labuh, pandu, tunda, tambat, penimbunan, depo peti kemas, dan jasa alat bongkar-muat. Sedangkan jasa-jasa lainnya bersifat menunjang kegiatan utama kepelabuhan. Berikut data kunjungan kapal on call dan GRT dari tahun 2008 – 2012 (April)
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -24
Tabel 4. 1 Kunjungan kapal di Pelabuhan Belawan KUNJUNGAN KAPAL ON CALL Tahun
2008
2009
2010
2011
2012
Kapal DN
2.511
2.217
2.044
1.916
615
Kapal LN
1.734
1.476
1.268
955
324
Total
4.245
3.693
3.312
2.871
939
KUNJUNGAN KAPAL DALAM GRT Kapal DN
7.115.965
7.706.426
7.873.859
7.569.871
2.457.327
Kapal LN
6.959.091
6.938.695
7.141.371
6.925.823
2.406.340
14.075.056
14.645.121
15.015.230
14.495.694
4.863.667
Total
Sumber : PT. PELINDO I (Persero) Cabang Belawan, 2012
Kemudian kinerja operasional pelabuhan Belawan dari tahun 2008 – 2012 (April) dapat dilihat pada tabel di bawah.
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -25
Tabel 4.2
No
kinerja operasional Pelabuhan Belawan dari tahun 2008 – 2012
Uraian
Satuan
Tahun 2008
2009
2010
2011
2012
A
Service Time
1
Waiting Time (WT)
2,55
3,10
2,45
3,11
2,15
2
Approach Time (AT)
2,17
2.31
2,42
2,0
2,10
3
Berthing Time (BT)
80,07
85,21
81,31
103,45
80,97
a.Berth Working Time (BWT)
36,44
36,61
61,80
73,92
60,57
0,54
0,33
0,45
0,57
0,31
35,89
36,28
61,35
73,35
60,26
114,54
114,73
107,09
135,20
105,78
Jam/Kpl
1)Idle Time (IT) 2)Effective Time (ET) B
b.Non Operational Time (NOT)
Ton/m
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -26
1
Utilization
249,49
226,52
29,52
13.465,48
979,01
2
Berth Throuhg Put (BTP)
0,44
0,39
4,30
372,64
38,25
3
Shed Throuhg Put (STP)
0,14
0,49
1,22
221,01
16,15
4
Yard Throuhg Put (YTP)
%
77,23
77,62
72,62
74,08
63,97
5
Berth Occupancy. Ratio (BOR)
%
21,13
18,62
16,39
68,57
49,33
%
1,14
1,68
1,10
61,85
49,98
40,09
32,14
28,71
30,26
27,82
45,89
47,35
41,49
43,82
39,32
116,42
106,76
118,16
92,16
97,22
76,49
65,59
69,12
59,66
55,67
T/P/H
158,78
159,09
151,39
163,60
154,91
T/G/H
95,12
113,23
122,04
109,01
82,20
6 C 1 2 3 4
Shed Occupancy Ratio (SOR)
T/G/H
Yard Occupancy Ratio (YOR) Productivity General Cargo Bag Cargo Unitized Cargo
5
Curah Cair a.Truck Lossing
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -27
b.Pipe Lossing
T/C/H
155,33
D
Curah Kering
Ton
E
a.Truck Lossing
Unit
149,14
152,59
146,66
11.407.714 10.064.724
9.872.151
10.182.772 3.014.175
2.900
2.321
2.037
2.487
b.Conveyor Jumlah Bongkar Muat Jumlah Kapal Sumber : PT. PELINDO I (Persero) Cabang Belawan, 2012
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -28
91,64
627
Dari data di atas sekilas dapat dianalisis sementara bahwa waktu tunggu kapal setelah memasuki perairan pelabuhan sampai memperoleh pelayanan kapal pandu masih lebih dari 2 jam. Demikian juga produktivitas fasilitas (BOR, SOR,YOR), selama kurun waktu di atas belum mencapai 80 %. Sebab-sebab rendahnya produktivitas ini adalah : fasilitas masih terbatas, sumberdaya manusia belum memadai dari segi skill dan tak panjangnya birokrasi. a. Kegiatan Utama Maksud dan tujuan PT Pelabuhan Indonesia I sesuai Anggaran Dasar Perusahaan adalah melakukan usaha di bidang penyelenggaraan dan pengusahaan jasa kepelabuhanan serta optimalisasi pemanfaatan sumber daya yang dimiliki perusahaan untuk menghasilkan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat untuk mendapatkan/mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan dengan menerapkan prinsipprinsip Perseroan Terbatas. Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut PT Pelabuhan Indonesia I dapat melaksanakan kegiatan usaha utama sesuai Anggaran Dasar Perusahaan sebagai berikut: 1) Penyedia dan/atau pelayanan kolam-kolam pelabuhan dan perairan untuk lalu lintas dan tempat berlabuhnya kapal; 2) Penyedia dan/atau pelayanan jasa-jasa yang berhubungan dengan pemanduan (pilotage) dan penundaan kapal; 3) Penyedia dan/atau pelayanan dermaga dan fasilitas lain untuk bertambat, bongkar muat peti kemas, curah cair, curah kering (general cargo), dan kendaraaan; 4) Penyedia dan/atau pelayanan jasa terminal peti kemas, curah cair, curah kering, multi purpose, penumpang, pelayaran rakyat dan Ro-Ro; 5) Penyedia dan/atau pelayanan gudang-gudang dan lapangan penumpukan dan tangki/tempat penimbunan barang-barang, angkutan bandar, alat bongkar muat, serta peralatan pelabuhan; 6) Penyedia dan/atau pelayanan tanah untuk berbagai bangunan dan lapangan, industri dan gedung-gedung/bangunan yang
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -29
berhubungan dengan kepentingan kelancaran angkutan multi moda; 7) Penyedia dan/atau pelayanan listrik, air minum, dan instalasi limbah serta pembuangan sampah; 8) Penyedia dan/atau pelayanan jasa pengisian bahan bakar minyak untuk kapal dan kendaraan di lingkungan pelabuhan; 9) Penyedia dan/atau pelayanan kegiatan konsilidasi dan distribusi barang termasuk hewan; 10) Penyedia dan/atau pelayanan jasa konsultansi, pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan kepelabuhanan; 11) Pengusahaan dan pelayanan depo peti kemas dan perbaikan, cleaning, fumigasi, serta pelayanan logistik; Selain kegiatan utama di atas, PT Pelabuhan Indonesia I dapat melakukan kegiatan usaha lain yang dapat menunjang tercapainya tujuan Perusahaan dan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumber daya yang dimiliki Perusahaan meliputi : 1) Jasa angkutan; 2) Jasa persewaan dan perbaikan fasilitas dan peralatan; 3) Jasa perawatan kapal dan peralatan di bidang kepelabuhanan; 4) Jasa pelayanan alih muat dari kapal (Ship to Ship Transfer) termasuk jasa ikutan lainnya; 5) Properti di luar kegiatan utama kepelabuhanan; 6) Fasilitas pariwisata dan perhotelan; 7) Jasa konsultan dan surveyor kepelabuhanan; 8) Jasa komunikasi dan informasi; 9) Jasa konstruksi kepelabuhanan; 10) Jasa forwarding/ekpedisi; 11) Jasa kesehatan; 12) Perbekalan dan catering; LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -30
13) Tempat tunggu kendaraan bermotor dan shuttle bus; 14) Jasa penyelaman (salvage); 15) Jasa tally; 16) Jasa pas pelabuhan; 17) Jasa timbangan. b. Prospek Bisnis Daerah lingkungan kerja PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I berada di tempat yang strategis. Hinterland perusahaan umumnya merupakan daerah penghasil komoditi ekspor yang bersumber dari industri pertanian, perkebunan, pertambangan, pariwisata dan industri lainnya. Pihak manajemen menyadari bahwa pengembangan usaha kepelabuhanan tersebut, tidak semua dapat dikelola sendiri karena dibutuhkan investasi yang cukup besar untuk pembangunan dan pengembangan pelabuhan. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja dan pendapatan perseroan adalah melakukan pelaksanaan kerjasama usaha dengan pihak swasta. Terdapat beberapa kerjasama usaha yang telah dilaksanakan oleh PT. Pelabuhan Indonesia I, yaitu: 1) Kerjasama pengelolaan air kapal/umum yang layak minum di pelabuhan Belawan, Dumai dan Tanjung Balai Karimun; 2) Kerjasama pelayanan penundaan kapal di pelabuhan Belawan, Dumai, Pekanbaru dan Tanjungpinang; 3) Kerjasama pengoperasian Dermaga untuk Kepentingan Sendiri (DUKS) dilingkungan kerja PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I; 4) Kerjasama pengoperasian Container Gantry Crane di Terminal Internasional UTPK Belawan; 5) Kerjasama penanganan bongkar muat komoditi minyak kelapa sawit (CPO) dan ikutannya dengan sistem pipanisasi di Pelabuhan Belawan; 6) Kerjasama pengoperasian pelabuhan umum Teluk Lembu Pekanbaru khusus kegiatan bongkar muat peti kemas;
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -31
7) Pengoperasian Public Tank Storage untuk komoditi minyak kelapa sawit (CPO) dan turunannya di Pelabuhan Belawan; 8) Pengoperasian Gudang Curah Kering khusus untuk komoditi bungkil di Pelabuhan Belawan; 9) Kerjasama pengoperasian alat bongkar muat untuk handling container di Terminal Container Pelabuhan Perawang Pekanbaru; 10) Kerjasama pengelolaan dan pengoperasian area Ship To Ship (STS) Transfer Perairan Karimun di cabang Tanjung Balai Karimun; 11) Kerjasama pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Ancharage Area (area labuh jangkar kapal-kapal) di area perairan Pulau Nipah di luar DLKR/DLKP pelabuhan Tanjung Balai Karimun dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana. Kerjasama usaha yang akan dilaksanakan: 1) Kerjasama pelayanan jasa bunkering Bahan Bakar Minyak (BBM) di Pelabuhan Belawan; 2) Kerjasama pelayanan jasa kepalabuhanan di Pulau Batam; 3) Kerjasama pembangunan dan pengelolaan gudang terpadu khusus komoditi curah kering di Pelabuhan Dumai; 4) Kerjasama pelayanan komoditi curah cair minyak kelapa sawit (CPO) dan turunannya melalui instalasi pipa terpadu di Pelabuhan Dumai; 5) Kerjasama pelayanan tangki timbun untuk umum dan B/M CPO di Pelabuhan Dumai. Pengembangan pelabuhan strategis perlu diarahkan untuk meningkatkan level of service guna mempertahankan pangsa pasar yang telah ada serta penetrasi pasar dengan memanfaatkan pertumbuhan bisnis di Hinterland. Kebijakan yang ditempuh untuk pencapaian tersebut adalah dengan melakukan efisiensi dan optimalisasi aset serta investasi yang selektif. Sehubungan hal tersebut di atas, pihak manajemen perseroan akan melakukan program-program pengembangan pelabuhan untuk mencapai sasaran perusahaan, yang meliputi, Pelabuhan Belawan, Unit
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -32
Terminal Peti Kemas, Pelabuhan Dumai, Pelabuhan Pekanbaru, PelabuhanTanjung Pinang, Pelabuhan Lhokseumawe, Pelabuhan Tanjung Balai Karimun, Pelabuahan Sabang dan Pelabuhan Kuala Enok. Untuk meningkatkan kinerja operasional dan mutu pelayaran, manajemen PT. Pelabuhan Indonesia I telah melakukan upaya penataan dan pengembangan pelabuhan. Penataan dan pengembangan yang dilakukan meliputi peningkatan kapasitas dari fasilitas dan peralatan pelabuhan, serta peningkatan nilai perusahaan melalui peningkatan pendapatan sesuai dengan pertumbuhan permintaan jasa kepelabuhanan. c. Alur Proses di PPSA
Gambar 4.3
Alur Proses Pelayanan Kapal dan barang
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -33
Gambar 4. 4.
Alur Proses Persewaan Tanah
Proses Pengajuan Permohonan Persewaan di Cabang : 1) Pengguna jasa mengajukan permohonan persewaan tanah/perairan/bangunan, dilengkapi dengan dokumendokumen lain sesuai dengan persyaratan dan ditujukan kepada Kepala Cabang/GM Cabang. 2) Kepala Cabang memeriksa dan mendisposisi permohonan tersebut ke Tim Terpadu Cabng. 3) Tim Terpadu Cabang melakukan evaluasi baik dari segi dokumen, fisik, kesesuaian dengan Master Plan Cabang dan lain-lain. 4) Hasil evaluasi tersebut kemudian disampaikan kepada Kepala Cabang/GM Cabng dalam bentuk surat rekomendasi 5) Kepala Cabang/GM Cabang kemudian memberikan keputusan apakah permohonan tersebut diijinkan atau ditolak. 6) Jika permohonan tersebut ditolak, Maka Divisi Komersial akan menerbitakan surat penolakkan. Akan tetapi jika permohonan persewaan tersebut diijinkan maka Divisi Komersial akan menerbitkan surat rekomendasi persewaan
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -34
tanah/perairan yang ditujukan kepada direksi, proses ini kemudian dilanjutkan di kantor pusat. 7) Surat penolakan ini kemudian disampaikan kepada pengguna jasa, dan hal ini merupakan akhir dari proses permohonan ini. Proses Pengajuan Permohonan Persewaan di Kantor Pusat terdiri dari tahapan2 kegiatan sebagai berikut : 1) Direksi menerima surat rekomendasi persewaan yang dikirim oleh cabang dan mendisposisikan ke Tim Terpadu Kantor Pusat. 2) Tim Terpadu Kantor Pusat melakukan evaluasi baik dari segi dokumen , fisik, kesesuaian dengan Master Plan Dan lainlain. 3) Hasil evaluasi tersebut kemudian disampaikan kepada direksi dalam bentuk surat rekomendasi. 4) Direksi kemudian memberikan keputusan permohonan tersebut diijinkan atau ditolak.
apakah
5) Jika permohonan tersebut ditolak, maka direksi (Tim Terpadu kantor Pussat) akan menerbitkan Surat Penolakan Direksi yang ditujukan kepada Kepala Cabang/GM Cabang. 6) Berdasarkan surat penolakkan tersebut maka Kepala Cabang / GM Cabang (Divisi Komersial Cabang) akan menerbitkan surat penolakan yang ditujukan kepada pengguna jasa. 7) Surat penolakan ini kemudian disampaikan kepada pengguna jasa, dan hal ini merupakan akhir dari proses permohonan ini. 8) Jika permohonan tersebut diijinkan maka Direksi (Tim Terpadu Kantor Pusat) akan menerbitkan surat persetujuan persewaan tanah/perairan yang ditujukan kepada pengguna jasa. 9) Proses pengajuan permohonan selesai dilaksanakan, kemudian dilanjutkan dengan proses persewaan yang terdiri dari kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -35
a) Pembayaran uang Muka (jika ada) b) Pembuatan surat perjanjian persewaan yang ditanda tangani kedua belah pihak. c) Pembayaran uang Sewa/Angsuran 2. PT. Pelabuhan Indonesia II (Jakarta) a. Bidang Usaha 1) Pelayanan Jasa Kapal 2) Perairan dan kolam pelabuhan untuk lalu lintas pelayaran dan tempat berlabuh. 3) Pelayanan pemanduan dan penundaan kapal keluar masuk pelabuhan dan olah gerak kapal di pelabuhan. 4) Fasilitas untuk tempat bertambat kapal serta melakukan kegiatan bongkar muat barang dan hewan 5) Pelayanan Jasa Barang 6) Fasilitas pergudangan dan lapangan penumpukan. 7) Terminal konvensional. 8) Terminal petikemas. 9) Terminal curah untuk melayani bongkar muat komoditas sesuai jenisnya. 10) Terminal mobil 11) Pengelolaan cargo distribution centre maupun inland container depot. 12) Pelayanan Jasa Properti 13) Fasilitas listrik, air minum dan telepon untuk pelanggan di dalam daerah pelabuhan. 14) Lahan untuk industri, bangunan dan ruang perkantoran umum.
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -36
15) Terminal penumpang untuk pelayanan embarkasi dan debarkasi penumpang kapal laut 16) Limbah dan Sampah b. Fasilitas Fasilitas Pokok 1) Luas Kolam Pelabuhan Tabel 4.3 Luas Kolam Pelabuhan Luas Kolam Pelabuhan
424 Ha.
1.
Pelabuhan Nusantara I : 1.448,20 M
Kedalaman 6 M s/d 8M
2.
Pelabuhan Nusantara II : 1.344.20 M
kedalaman 5 M s/d 8 M
3.
Pelabuhan I : 3.077.20 M
kedalaman 6 M s/d 14M
4.
Pelabuhan II : 1.983 M
Kedalaman 7 M s/d 12 M
5.
Pelabuhan III : 1.040,60 M
6.
J I C T II : 516,60 M
7.
J I C T I : 1.833,40 M
8.
Terminal Petikemas Koja : 650 M
Kedalaman 14 M
9.
Dermaga Khusus Pertamina : 100 M
Kedalaman 12 M
Kedalaman 12 M Kedalaman 9 M Kedalaman 11 M s/d 14 M
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -37
10.
Dermaga Khusus Bogasari : 376,50 M
Kedalaman 12 M
11.
Dermaga Khusus Sarpindo : 277 M
Kedalaman 12 M
12.
Dermaga Khusus DKP : 204 M
Kedalaman 8 M
13.
Terminal Mobil : 308 M
Kedalaman 10 M
14.
Total Panjang Dermaga Komersial
12,958,70 M
15.
Total Panjang Dermaga Non Komersia;
1.548.45
2) Luas Daratan
Luas Daratan : 604 Ha 3) Panjang Penahan Gelombang
Panjang Penahan Gelombang : 8.456 M 4) Panjang Alur
Panjang Alur : 16.853 M
5) Panjang Dermaga
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -38
Tabel 4.4
Panjang Dermaga
No
Jenis Dermaga
Jumlah
Panjang
Kedalaman
1.
Terminal General Cargo
42
6.597.70
5 – 11
2.
Terminal Serbaguna
5
914
8 – 11
3.
Terminal Petikemas
13
2.800
9- 14
4.
Terminal Penumpang
3
450
9
5.
Terminal Curah Kering
8
1.242
4 – 10
6.
Terminal Curah Cair Khusus Minyak
4
377
12
7.
Terminal Curah Cair Khusus Kimia
1
204
8
8.
Beaching Point
1
66
6
9.
Terminal Mobil
2
308
10
c. Fasilitas Penumpukan
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -39
Tabel 4.5 Fasilitas Penumpukan No
Jenis Fasilitas
Jumlah
Luas
Kapasitas
1.
Gudang Umum
21 Unit
101.972,27 M 2
2.
Gudang Barang Berbahaya
6 Unit
10.260 M 2
3.
Lapangan Umum
62 Unit
361.627,20 M2
4.
Gudang CFS
2 Unit
16.447.14 M2
5.
Lapangan Petikemas
3 Unit
156,7 HA
6.
lapangan penumpukan untuk mobil
1 unit
5Ha
d. Fasilitas Pelayanan Petikemas 1) Terminal Konvensional
1. Gudang (21 Unit)
: 101.972,27 M 2
2. Lapangan Penumpukan (62 Unit) :
361.627,20 M2
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -40
2) Terminal Petikemas
1. Gudang CFS (2 Unit) : 16.447,14 M 2
2. Lapangan Petikemas
:
156,7 H A
e. Fasilitas Peralatan 1) Pelayanan Kapal Tabel 4.6
Pelayanan Kapal
1.
Kapal Tunda
:
15 Unit
2.
Kapal Pandu
:
7 Unit
3.
Kapal Kepil
:
6 Unit
4.
Kapal Survey
:
1 Unit
5.
Kapal Gandeng
:
4 Unit
6.
Tongkang Air
:
1 Unit
7.
Reception Facilities
:
2 Unit
8.
Kapal Pembersih Sampah
:
4 Unit
2) Pelayanan Terminal (MTI)
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -41
Tabel 4.7
Pelayanan Terminal (MTI)
1.
Container Crane
:
4 Unit
2.
Transtainer
:
11 Unit
3.
Forklift
:
20 Unit
4.
Top Loader
:
1 Unit
5.
Side Loader
:
1 Unit
6.
Truk dan Chassis
:
16 Unit
7.
Lapangan Petikemas
:
59.981 M 2
3) Pelayanan Terminal Petikemas (JICT) Tabel 4.8 Pelayanan Terminal Petikemas (JICT) 1.
Container Crane
:
21 Unit
2.
Transtainer
:
62 Unit
3.
Truk dan Chassis
:
150 Unit
4.
Lapangan Petikemas
:
75 Ha
4) Pelayanan Terminal Petikemas (KOJA)
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -42
Tabel 4.9 Pelayanan Terminal Petikemas (KOJA) 1.
Container Crane
:
6 Unit
2.
Transtainer
:
21 Unit
3.
Superstacker
:
40 Unit
4.
Head Truck
:
40 Unit
5.
Chassis
:
49 Unit
6.
Lapangan Petikemas
:
21,8 Ha
5) Pelayanan Terminal Konvensional Tabel 4.10
Pelayanan Terminal Konvensional
1. lapangan Penumpukan (62 Unit)
:
361.627,20 M 2
2. Gudang (21 Unit)
:
101.972,27 M 2
3. Gudang CFS (2 Unit)
:
16.447,14 M 2
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -43
f. Arus Kunjungan Kapal berdasarkan Pelayaran (UNIT)
Gambar 4.5 Grafik Kunjungan Tabel 4.11 Kunjungan
No
Uraian
Satuan
2008
2009
2010
2011
1
OCEAN GOING
Unit
5.321
4.508
4.687
4.489
2
INTER ISLAND
Unit
12.789
12.029
12.770
14.425
g. Kegiatan Sertifikasi ISPS-CODE Pada tanggal 12 Desember 2002, IMO telah menyetujui amandemen SOLAS dalam meningkatkan sistem keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan. Amandemen tersebut adalah Chapter baru dari SOLAS yaitu XI-2 “Special Measure to Enhance Maritime Security”. IMO juga menyetujui pemberlakuan International Ship Security and Port Facility
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -44
Code (ISPS Code). Pemenuhan Part A dari ISPS Code adalah mandatory bagi kapal-kapal yang terkena lingkup penerapan serta fasilitas pelabuhan yang melayani jasa kepelabuhan terhadap kapal`yang beroperasi secara internasional. Tujuan dari ISPS Code adalah : 1) Membentuk kerangka kerjasama internasional antar negaranegara anggota (Contracting Government), Badan-badan Pemerintah, Pemerintah setempat, Industri Pelayaran dan Pelabuhan untuk mendeteksi ancaman keamanan dan mencegah insiden keamanan yang berpengaruh terhadap kapal-kapal atau fasilitas pelabuhan yang dipergunakan untuk perdagangan internasional. 2) Menetapkan peran dan tanggung jawab setiap negara anggota (Contracting Government), Badan-badan Pemerintah, Pemerintah setempat, Industri Pelayaran dan Pelabuhan, baik ditingkat nasional maupun internasional untuk menjamin keamanan di laut (maritim). 3) Menjamin pengumpulan dan saling tukar informasi keamanan yang dini dan efisien. 4) Menyediakan suatu metodologi untuk penilaian keamanan yang dipergunakan untuk membuat rencana keamanan dan prosedur-prosedur untuk tindakan aksi terhadap perubahan setiap level keamanan; dan 5) Menjamin kepercayaan diri bahwa tindakan keamanan maritim telah mencukupi dan sesuai dengan proporsinya. ISPS Code ini diberlakukan secara internasional mulai 1 Juli 2004, untuk : 1) Tipe-tipe kapal yang melayari perairan internasional, meliputi Kapal Penumpang, termasuk High Speed Passenger Craft, Cargo Ship, termasuk High Speed Craft dengan tonase > 500 GT dan Mobile Offshore Drilling Unit (MODU). 2) Fasilitas Pelabuhan yang memberi layanan terhadap kapalkapal yang melayari perairan internasional. Sesuai dengan persyaratan ISPS Code, semua kapal yang terkena peraturan ini, harus menetapkan Sistem Manajemen Keamanan
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -45
kapal yang didokumentasikan dalam manual Ship Security Plan (SSP) dalam rangka menjamin operasional kapal dengan aman. Persyaratan tersebut, meliputi mendokumentasikan Ship Security Assessment (SSA) dan Ship Security Plan (SSP), menerapkan dan mempertahankan Sistem Manajemen Keamanan yang pada akhirnya akan diverifikasi oleh Pemerintah atau organisasi yang diakui (Recognized Security Organization / RSO) dalam rangka penerbitan sertifikat International Ship Security Certificate (ISSC) setelah dipenuhinya semua persyaratan ISPS Code. Masa berlakunya sertifikat ISSC adalah 5 tahun. Kapal yang tidak dapat memenuhi persyaratan ISPS Code akan menghadapi kesulitan dalam operasionalnya, khususnya diperairan internasional. BKI sebagai Organisasi keamanan yang diakui (RSO) oleh Pemerintah Indonesia telah ditunjuk atas nama Pemerintah untuk melaksanakan approval, verifikasi dan menerbitkan sertifikat ISSC Interim atau short term. Sedangkan sertifikat ISSC permanen akan diterbitkan oleh Pemerintah c.q Ditjen Perhubungan Laut. Data perusahaan dan kapal yang telah disertifikasi akan didaftarkan dan dipublikasikan dalam Buku Register ISPS Code oleh BKI. Prosedur untuk mendapatkan sertifikat ISSC-ISPS Code : 1) Perusahaan pemohon menyerahkan form aplikasi dengan dilampirkan manual Ship Security Plan (SSP), Ship Security Assessement (SSA) dan salinan sertifikat Company Security Officer (CSO) / Ship Security Officer (SSO) kepada BKI Kantor Pusat cq Divisi Statutoria atau Kantor Cabang BKI terdekat. 2) BKI akan melakukan approval atas manual SSP. Apabila ada kekurangan, maka manual akan dikembalikan untuk diperbaiki. 3) Apabila manual SSP telah memenuhi syarat, BKI akan memberikan Laporan Kesesuaian Dokumen SSP dan memberikan stempel “Approval” pada halaman depan dan setiap halaman dari manual SSP. 4) Manual SSP yang sudah disetujui dikembalikan ke pemohon untuk diteruskan ke kapal yang bersangkutan dalam rangka implementasi di atas kapal.
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -46
5) Setelah diimplementasikan minimal 2 bulan, Perusahaaan pemohon mengajukan aplikasi untuk dilakukan Verifikasi Awal (Initial Verification) di atas kapal untuk diperiksa kesesuaian antara manual SSP dengan penerapannya. Untuk ini, BKI akan mengirimkan auditor yang kompeten dalam memeriksa penerapan Sistem Manajemen Keamanan di atas kapal. 6) Jika memenuhi syarat, maka BKI akan menerbitkan Laporan Verifikasi Awal (Initial Verification Report) dan Sertifikat ISSC sementara (short term) yang berlaku 5 bulan. 7) Untuk penerbitan ISSC permanen dari Pemerintah, BKI akan mengurus penerbitannya setelah semua ketidaksesuaian yang ditemukan saat verifikasi sudah diperbaiki dan dilaporkan ke BKI. Setelah mendapatkan sertifikat ISSC, maka ada kewajiban dari Perusahaan dan kapalnya untuk mempertahankan sertifikat tersebut dengan mengajukan permohonan verifikasi periodik dengan jadwal sebagai berikut : 1) Verifikasi Antara (Intermediate Verification), dengan masa pengajuan antara tahun ke 2 hingga tahun ke 3 dari ulang tahun sertifikat. 2) Verifikasi Pembaruan (Renewal Verification), pada tahun ke 5 dengan masa pengajuan 6 bulan sebelum habisnya masa berlaku sertifikat. Selain itu, BKI diberi otorisasi untuk menerbitkan sertifikat ISSC Interim yang ditujukan bagi kapal dengan kondisi sebagai berikut : 1) Kapal yang belum memiliki sertifikat ISSC. 2) Kapal ganti perusahaan induknya, yang sebelumnya belum mengoperasikan kapal tersebut. 3) Kapal baru berganti bendera kapal. Persyaratan untuk mendapatkan ISSC Interim adalah : 1) Ship Security Assessment (SSA) telah dilakukan dan didokumentasikan untuk kapal yang bersangkutan.
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -47
2) Ship Security Plan (SSP) telah disusun, telah disetujui oleh Pemerintah /RSO yang ditunjuk dan siap / sedang diimplementasikan. 3) Kapal dilengkapi dengan Ship Security Alert System (SSAS) sesuai dengan pemberlakuannya. 4) Company Security Officer (CSO) menjamin SSP diterapkan di atas kapal, termasuk pelaksanaan security drill, pelatihan dan internal audit. 5) Merencanakan waktu pelaksanaan Verifikasi Awal (Initial Verification). 6) Nakhoda dan awak kapalnya mengetahui tugas dan tanggung jawabnya dalam hal keamanan kapal. 7) Ship Security Officer (SSO) sesuai dengan persyaratan ISPS Code. ISPS Code PT. Pelindo II Cabang Pelabuhan Tanjung Priok
Gambar 4.6
ISPS- CODE Barang Muat
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -48
Gambar 4.7
Kebutuhan
Gambar 4.8 Lini 1
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -49
Gambar 4.9
Gambar 4. 10
Lini 2
Pengamanan
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -50
3. PT. Pelabuhan Indonesia III (Surabaya) Pelabuhan Tanjung Perak merupakan salah satu pelabuhan utama di Indonesia, terbesar kedua setelah Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, merupakan pusat kolektor dan distributor barang ke kawasan timur Indonesia. Letaknya yang strategis dan didukung oleh daerah hinterland maka Pelabuhan Tanjung Perak juga merupakan pusat pelayanan interinsuler kawasan timur Indonesia. Letak Pelabuhan Tanjung Perak, sebelah timur berbatasan dengan Selat Madura, sebelah selatan berbatasan dengan Kota Surabaya, sebelah barat berbatasan dengan Kota Gresik sebelah utara berbatasan dengan Pulau Madura. Jarak dari Kota Surabaya ± 6 Km, tersedia banyak akses untuk menuju sana, di antaranya jalan tol dan jalan konvensional. Luas daerah perairan 1.546 Ha dan daerah daratan 5.747 Ha (Tanjung Perak Port Directory 2011). a. Prosedur Memasukkan dan Mengeluarkan Barang Dari Pelabuhan 1) Prosedur Memasukkan Barang a) Pemasukkan/Penumpukan Barang (PPB) dilampiri Surat Jalan dan surat Resi Muat, paling lambat 36 jam sebelum kapal tiba. (Petugas pelayanan operasi dokumen melakukan pengecekan dokumen). b) Petugas operasi akan memasukkan ke Billing untuk melakukan perhitungan biaya kemudian di komfirmasi ke pelanggan, setelah itu pelanggan melakukan pembayaran. c) Petugas Billiang mencetak nota lunas dua rangkap, satu untuk pelanggan dan satu untuk petugas operasi dilampiri PBB untuk percetakan Surat Jalan Masuk (Surat jalan di copy dua rangkap untuk diserahkan kepada petugas dan pelanggan) d) Pelanggan menyerahkan surat jalan ke petugas gudang/lapangan. e) Petugas melakukan pengecekean terhadap dokumen dan fisik barang ketika barang tiba.
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -51
f) Petugas gudang/lapangan akan menerima barang dan melakukan penempatan/ penumpukan barang sesuai dengan rencana penumpukan. 2) Prosedur mengeluarkan Barang a) Pelanggan mengajukan permohanan mengelurkan barang ke petugas gudang/lapangan dengan melampirkan Dilevery Order (OD) dan SPPB asli. b) Petugas mengeluarkan bukti pelayanan B/M nol T/L kemudian menyerahkannya kepelanggan beserta DO dan SPPB. c) Petugas Pelayanan Dokumen (Billing) menerima nota bukti pelayanan gudang/lapangan dilampiri DO dari pelanggan, kemudian melakukan perhitungan, setelah pelanggan melakukan pembayaran, petugas Billing mencetak nota lunas dan diberikan kepelanggan d) Pelanggan menyerahkan nota lunas dan DO asli ke petugas gudang/lapangan untuk proses pengeluaran barang. e) Petugas mengeluarkan barang dan memberikan surat pengantar kepada pelanggan. f) Pelanggan membawa keluar barang ke get-out dan dilakukan pemeriksaan dokumen dan fisik barang oleh petugas get-out. b. Beberapa syarat dokumen yang menjadi syarat keluar masuknya barang dari pelabuhan 1) Master Cable 2) Manifest 3) Pemberitahuan Kegiatan Bongkar Muat (PKBM ) yang telah mendapat persetujuan dari otoritas pelabuhan III Tanjung Perak 4) Surat Pernyataan Kerja Bongkar Muat (SPKBM) yang telah mendapat persetujuan dari otoritas pelabuhan III Tanjung Perak
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -52
5) Estimasi Perhitungan Biaya (EPB) 6) Bukti Pelunasan Jasa Kepelabuhan (BPJK) 7) Warkat dana kapal dan barang 8) Pennjukan PBM 9) Daftar rencana muat (Loading List) 10) PKK Pemberitahuan kedatangan kapal 11) Operating Planing 12) Menunjukan Surat Jalan (Memasukkan barang dari gudang dan lapangan) 13) Menunjukan Resi Muat (Memasukkan barang dari gudang dan lapangan) 14) Menunjukkan Delivery Order asli (Mengeluarkan barang dari gudang dan lapangan) 15) Menunjukkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang Asli (Mengeluarkan barang dari gudang dan lapangan) c. Kegiatan Usaha yang Bergerak Dalam Bidang Bongkar dan Muat Barang Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Perairan Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 tentang angkutan perairan pada pasal 80 (kegiatan Usaha Bongkar Muat) dijelaskan bahwa kegiatan usaha bongkar muat barang merupakan kegiatan usaha yang bergerak dalam bidang bongkar dan muat barang dari dan ke kapal di pelabuhan yang meliputi kegiatan 1) Stevedoring adalah kegiatan pelayanan jasa membongkar dari atau ke kapal, dermaga, tongkang atau truk ke dalam palka kapal dengan menggunakan derek kapal. 2) Cargodoring adalah kegiatan pelayanan jasa yang berupa pekerjaan mengeluarkan sling (extacle) dari lambung kapal di atas dermaga kegudang line 1 dan menyusun di dalam gudang tersebut, atau lapangan penumpukan barang atau sebaliknya.
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -53
3) Receiving/delivery adalah kegiatan pelayanan jasa yang berupa mengambil dari timbunan barang atau tempat penumpukan barang di gudang line 1 atau lapangan penumpukan barang dan menyerahkan barang sampai tersusun rapi di atas kendaraan atau alat angkut secara rapat dipintu darat lapangan penumpukan barang atau sebaliknya. Pelabuhan Tanjung Perak merupakan salah satu cabang dan terbesar dari PT (Persero) PELINDO III. Dalam pengoperasian terminal petikemas yang dikuasainya, PT (Persero) PELINDO III Cabang Tanjung Perak mempunyai 2 anak cabang perusahaan, yaitu PT. Berlian Jasa Terminal Indonesia (PT. BJTI) dan PT. Terminal Petikemas Surabaya (PT.TPS). Foto di bawah adalah kegiatan di terminal petikemas yang diopersikan oleh PT. BJTI.
Gambar 4.11 Kegiatan bongkar-muat di terminal petikemas oleh PT. BJTI (Sumber : Konsultan, 2012)
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -54
Fasilitas pelabuhan terdiri dari : 1) Alur Pelayaran Ada 2 alur pelayaran menuju Pelabuhan Tanjung Perak, yaitu alur pelayaran barat dan alur pelayaran timur. Alur pelayaran barat mempunyai pajang 25 mil laut, lebar 100 meter dengan kedalaman bervariasi antara 9,7 sampai 12 meter. Dilengkapi dengan 8 buoys utama dan beberapa buoys pelengkap seperti buoys pisang dan buoys kuning yang tersebar di seluruh area alur perairan. 2) Area Labuh Jangkar Area labuh jangkar dimanfaatkan kapal untuk menunggu giliran sandar atau melakukan bunker. Ada beberapa wilayah area labuh jangkar yang disesuaikan dengan panjang, draft dan jenis kapal yaitu : Tabel 4.12 Alur Pelayaran di Pelabuhan Tanjung Perak No
Diskripsi
Peruntukan Kapal
1
ZONA A
LOA < 100 M
2
ZONA B
100 M < LOA <151 M
3
ZONA C
Tongkang
4
ZONA D
Tongkang
5
ZONA E
Tongkang
Sumber : Tanjung Perak Port Directory, 2011 3) Pemanduan Untuk menjamin keselamatan kapal-kapal yang keluarmasuk pelabuhan tersedia cukup tenaga pandu yang siaga di Stasiun Karang Jamuang dan siap melayani tugas
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -55
pemanduan selama 24 jam. Para pandu dapat dihubungi melalui radio VHF pada chanel 12-14-16. Sedangkan kapal pandunya adalah : Tabel 4.13 Kapal Pandu
Jumlah (unit)
Kapasitas
Kapal Tunda (Tug Boat)
7
800 - 2400 HP
Kapal Pandu ( Pilot Boat)
4
350 – 960 HP
Kepil (Berth Ship)
5
125 – 250 HP
Jenis Kapal
Sumber : Tanjung Perak Port Directory 2011 4) Bunker Pelayanan Bunker dilaksanakan oleh PT. Pertamina yang disalurkan melalui pipa di dermaga yang terdiri dari: a) b) c) d)
Jamrud Selatan Jamrud Timur Jamrud Barat Nilam Timur
: 5 tempat. : 3 tempat : 4 tempat. : 5 tempat.
5) Pelayanan Air Bersih Pelayanan air bersih (air minum) untuk kapal yang sedang tambat dilayani melalui pipa di sepanjang dermaga Jamrud, Berlian, dan Nilam Timur yang memiliki kapasitas 100 ton per jam dan di Terminal Petikemas Surabaya (TPS) dengan kapasitas 30 ton per jam. Untuk kapal-kapal di tambatan lainnya atau di rede, dilayani melalui 4 buah tongkang air dengan kapasitas berkisar 1000-1500 ton per hari. Pelayanan ini dilaksanakan oleh PT.(Persero) Pelabuhan Indonesia III Cabang Tanjung Perak dari air produksi PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) Surabaya.
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -56
6) Terminal Pelabuhan Tanjung Perak mempunyai 7 terminal, yaitu: a) Terminal Jamrud Tabel 4.14
Pelabuhan Jamrud dan Peruntukannya Jamrud Utara
Diskripsi Peruntukan
Samudera (GC)
Jamrud Selatan
Jamrud Barat
Antar Pulau
Antar pulau & Samudera
(GC & Roro)
(GC)
Sumber : Tanjung Perak Port Directory 2011 b) Terminal Penumpang teridiri dari Gapura Nusantara dan Gapura Surya c) Terminal Berlian Diperuntukan muatan berupa curah cair dan curah kering Tabel 4.15 Terminal Berlian dan Peruntukannya
Berlian Timur
Berlian Barat
Berlian Utara
Diskripsi Samudera
Antar Pulau
Antar Pulau
Curah Cair, Curah Kering, Petikemas
GC, Petikemas
Petikemas
Peruntukan
Sumber : Tanjung Perak Port Directory 2011
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -57
d) Terminal Intan, untuk muatan petikemasantar pulau e) Terminal Nilam, untuk antar pulau muatan curah cair, curah kering, general cargo dan petikemas Diperuntukan barang curah kering antar pulau. f) Terminal Mirah, untuk antar pulau muatan general cargo dan petikemas g) Terminal Kalimas, untuk kapal layar motor Berikut adalah gambar Pelabuhan Tanjung Perak saat mengalami congesti karena terbatasnya dermaga dan ramainya kapal.
Gambar 4.12
Pelabuhan Tanjung Perak Mengalami Congesti (Sumber : Konsultan, 2012)
Kegiatan Pelabuhan Tanjung Perak dapat dilihat dari traffic-nya sebagai berikut.
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -58
Tabel 4.16
Kegiatan Pelabuhan Tanjung Perak
URAIAN
ARUS KAPAL LUAR NEGERI & DALAM NEGERI Satuan
2009
2010
2011 (Juni)
Luar Negeri
Unit
2.435
2.114
935
Dalam Negeri
Unit
12.629
12.084
4.922
Total
Unit
15.064
14.198
5.857
ARUS JENIS KAPAL Kapal Petikemas
Unit
4.877
4.645
1.992
Kapal Non Petikemas
Unit
6.515
6.272
1.485
Kpal Penumpang
Unit
1.346
1.340
94
Kapal Tanker
Unit
1.459
1.344
545
Kapal Lainnya
Unit
867
597
1.741
Total
Unit
15.064
14.198
5.857
ARUS BARANG EKSPOR-IMPOR & BM Ekspor
T/M3
863.967
811.003
317.200
Impor
T/M3
3.302.189
3.939.264
2.191.014
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -59
Bongkar
T/M3
4.310.566
4.021.324
1.505.044
Muat
T/M3
1.837.025
1.602.470
748.122
Total
T/M3
10.313.747
10.374.061
4.761.380
ARUS PETIKEMAS PER TERMINAL Terminal Konvensional
PT. TPS
Box
315.858
353.735
250.702
TEUS
326.753
365.446
263.010
Box
838.912
543.996
-
1.126.621
734.416
Box
764.030
455.270
TEUS
825.717
502.574
Box
1.918.800
1.353.001
250.702
TEUS
2.279.091
1.602.436
263.010
TEUS PT. BJTI
Total
-
Sumber : Tanjung Perak Port Directory 2011
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -60
Gambar 4.13
Prosedur Pelayanan Barang/Petikemas
Gambar 4.14
Prosedur Pelayanan Dokumen
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -61
Gambar 4.15
Prosedur Pelayanan Jasa Kapal
7) Statistik Sedangkan secara statistik, arus kegiatan bisnisnya dapat digambarkan dalam tabel berikut ini:
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -62
Tabel 4.7 Sirkulasi Bongkar Muat & Gambar
No
Uraian
Sat
2007
2008
2009
2010
2011
1
2
3
4
5
6
7
8
1
Impor
T/M3
4.144.213
3.710.256
3.302.189
3.939.264
2
Ekspor
T/M3
786.340
1.071.883
863.967
3
Bongkar
T/M3
4.251.063
4.378.372
4
Muat
TOTAL
9
5.654.802
1.711.359
811.003
678.793
274.372
4.310.566
4.021.324
4.433.579
967.039
2.153.341
490.203
T/M3
1.853.028
2.144.839
1.837.025
1.602.470
T/M3
11.034.644
11.305.350
10.313.747
10.374.061
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
2012
I V -63
12.920.515
3.442.973
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -64
Tabel 4.18 Statistik Arus Kunjungan Kapal No
Uraian
Sat
2007
2008
2009
2010
2011
2012
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
Luar Negeri
Unit
2.262
2.346
2.453
2.114
2.216
530
GT
26.741.540
28.961.362
29.522.768
70.558.087
33.187.221
7.756.877
Unit
13.197
13. 053
12.629
12.084
11.901
3.043
GT
32.044.003
33.047.098
33.725.382
35.398.221
35.444.996
9.023.545
Unit
15.459
15.399
15.064
14.198
14.117
3.573
2 3
Dalam Negeri
4 TOTAL
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -65
GT
58.785.543
62.004.460
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
63.248.150
I V -66
65.956.308
68.632.217
16.780.422
Tabel 4. 19 Statistik Arus Penumpang No
Uraian
Sat
2007
2008
2009
2010
2011
2012
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
Emberkasi
Org
559.006
585.090
510.795
478.018
506.871
90.752
2
Debarkasi
Org
495.349
569.690
476.957
405.473
473.982
90.476
TOTAL
Org
1.054.355
1.154.780
987.752
847.811
980.853
181.228
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -67
Tabel 4. 20 Statistik Arus Petikemas & Gambar No
Uraian
Sat
2007
2008
2009
2010
2011
2012
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Box
1.887
1.122
6.667
22.915
36.021
2.609
Teus
1.936
1.163
6.712
23.098
36.233
2.775
Box
172.503
206.703
309.181
330.820
502.637
120.760
Teus
178.984
214.454
320.041
342.348
533.735
128.000
1
Luar Negeri
2 3 4
Dalam Negeri
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -68
TOTAL
Box
174.390
207.825
315.858
353.735
538.658
123.369
Teus
180.920
215.617
326.753
365.446
569.986
130.775
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -69
8) Kendala-kendala yang terjadi pada PT. Pelabuhan Indonesia. a) PT. Pelabuhan Indonesia III cabang Tanjung Perak Surabaya Adapun permasalahan pertama yang dihadapi PT. Pelabuhan Indonesia III cabang Tanjung Perak Surabaya sebagai terminal operator saat ini adalah kurangnya dukungan regulasi dan fasilitas suprastruktur yang belum memadai, sehinga PT. Pelabuhan Indonesia III cabang Tanjung Perak Surabaya belum dapat menjalankan tugasnya dengan baik. b) Otoritas Pelabuhan (OP) Berdasarkan data di lapangan, bahwa comercial code yang terdapat dalam surat Menteri. Kewenangan OP jadi tidak dapat dilaksanakan. Sebagai contoh Hak Pengelolaan Lapangan (HPL), tidak dapat dilaksanakan selama ini HPL masih dikuasai Pelindo, padahal sudah jelas pada pasal 84 dan 85 undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran disebutkan bahwa Otoritas Pelabuhan mempunyai wewenang: (1) Mengatur dan mengawasi penggunaan lahan daratan dan perairan pelabuhan; mengawasi penggunaan Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan; (2) Mengatur lalu lintas kapal ke luar masuk pelabuhan melalui pemanduan kapal; dan (3) Menetapkan standar kinerja operasional pelayanan jasa kepelabuhanan. Sedangkan dalam pasal 85 berbunyi : “Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan diberi hak pengelolaan atas tanah dan pemanfaatan perairan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -70
Jelasnya, dalam hal pengelolaan HPL yang lebih berhak untuk melakukan pengelolaan adalah pihak Otoritas Lapangan (OP) bukan ada pada PT.Pelindo, karena tugas PT. Pelindo hanya sebagai pelaksana lapangan bukan pada ranah mengatur dan mengawasi penggunaan lahan. Sebagai contoh, pengelola bandara adalah adbandara (administrator bandara), pengelola terminal adalah angkasa pura. Terminal operator, contoh lion air di terminal 1A dan lainlain. Hubungan adbandara dan angkasa pura adalah konsesi. Pemerintah memiliki HPL. Sebagian lahan adalah untuk pelayanan terhadap gedung dan lain lain. Operatornya angkasa pura. Angkasa pura menyewa dari adbandara sebagai perwakilan Pemerintah. HPL tidak dapat dimiliki oleh pihak ketiga. HPL milik Pemerintah. Begitu pula yang ada di pelabuhan UU Nomor 17 untuk di laut belum bisa jalan murni. Terjadinya perselisihan kewenangan pengelolaan atas lapangan antara Otoritas Pelabuhan (OP) dengan Pelindo tersebut ditenggarai karena adanya faktor kepentingan (interest) hal tersebut diperparah dengan belum adanya konsesi dan belum terbit serta HPL masih di Pelindo. c) Perusahaan Bongkar Muat Adapun kendala yang terdapat pada Perusahaan Bongkar Muat adalah barang yang belum bisa dibongkar atau dimuat, jika terlambat akhirnya tertunda dan berakibat pada waktu kerja tidak efektif. Sedangkan permasalahan lain timbul akibat pengaruh undang-undang yang baru kaitannya dengan PT. Pelindo dan PJTI sebagai anak perusahaannya dalam hal monopoli Hak Pengelolaan Lapangan (HPL). Karena HPL berada pada Pelindo, maka Perusahaan Bongkar Muat harus bayar pada Pelindo yang penarifannya direkomendasikan oleh OP. LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -71
Sedangkan mengenai koperasi permasalahannya ada pada mayoritas SDM yang berkerja masih didominasi orang-orang lama, jadi perusahaan bongkar muat tidak bisa berbuat apa-apa, padahal mereka yang bayar tapi pihak koperasi hanya jadi mandor. Selain itu dari segi rekrutmen, sebagain dari mereka yang bekerja banyak yang hanya bermodalkan relasi tanpa memiliki keterampilan di bidangnya, tentunya hal ini menjadi evaluasi untuk selanjutnya. PT. PELINDO III (TANJUNG PERAK)
BELUM ADANYA KONSESI DAN BELUM TERBIT SERTA HPL MASIH DI PELINDO.
OP
Per. Pelayaran
Prespektif Nara Sumber
Prespektif Nara Sumber
PBM
Hak Pengelolaan Lapangan (HPL), tidak dapat dilaksanakan selama ini HPL masih dikuasai Pelindo,
1.
Harusnya Pelindo jadi operator, tapi faktanya ia masih ingin menjadi regulator. Harusnya regulator itu OP. Pelindo tinggal operator. Ini banyak diprotes oleh para pengusaha dan orang-orang pelayaran. dalam hal monopoli Hak Pengelolaan Lapangan (HPL).
2.
PJTI itu anak perusahaan pelindo. formalnya tidak. Mungkin seperti oligharki, tapi faktanya monopoli.
3.
Undang-undang yang baru tidak memberikan pengaruh terhadap kekuasaan Pelindo
Prespektif Nara Sumber
Pengaruh undang-undang yang baru kaitannya dengan PT. Pelindo dan PJTI sebagai anak perusahaannya dalam hal monopoli Hak Pengelolaan Lapangan (HPL). dalam hal monopoli Hak Pengelolaan Lapangan (HPL).
Gambar 4.16
Pemetaan Masalah di Tanjung Perak
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -72
4. PT. Pelabuhan Indonesia IV (Makassar) Sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, Pelabuhan Makassar termasuk pelabuhan yang diusahakan, badan usaha yang mewadahi adalah PT (Persero) PELINDO IV Cabang Makassar. Pelabuhan Makassar termasuk pelabuhan utama, organsisasi utama yang berfungsi di sini adalah Otoritas Pelabuhan, Kesyahbandaran, dan PT (Persero) PELINDO IV Cabang Makassar. PT (Persero) PELINDO IV adalah pelabuhan yang diusahakan untuk wilayah timur dengan kantor pusat di Makassar. Cabang-cabang PELINDO IV antara lain adalah : a. Pelabuhan Makassar; b. Pelabuhan Bitung; c. Pelabuhan Manado; d. Pelabuhan Gorontalo; e. Pelabuhan Pontoloan; f.
Pelabuhan Toli-Toli;
g. Pelabuhan Kendari h. dan pelabuhan di wilayah timur lainnya. Pelabuhan Makassar berada di Propinsi Sulawesi Selatan dan berada pada posisi 05° 07’ 25” LS dan 119° 22’ 20” BT. Pelabuhan Makassar dibagi menjadi 4 terminal : (1) Terminal Soekarno (multi purpose, konvensional), panjang 1.360 M dan kedalaman – 9 M LWS, dioperasikan oleh PT Persero Pelindo IV Cabang Makassar. (2) Terminal Hatta (terminal petikemas), panjang 850 M dan kedalaman - 12 M LWS, dioperasikan oleh PT. Terminal Petikemas Makassar. (3) Terminal Hasanuddin (Ro-Ro/ multi purpose). Panjang 210 M dan kedalaman 15 M LWS. (4) Paotere (Pelayaran Rakyat), panjang 510 M dan kedalaman – 3 M LWS. Berikut adalah gambar kegiatan bongkar muat semen di Pelabuhan Makassar.
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -73
Gambar 4.17
Kegiatan bongkar muat semen dalam bag diPelabuhan Makassar
(Sumber : Tim Konsultan, 2012) Fasilitas pelabuhan Makassar terdiri atas : alur pelayaran, tambatan/dermaga, gudang, lapangan penumpukan, terminal penumpang, kapal tunda dan pandu, gedung kantor, rumah dinas, banker, peralatan bongkar muat konvensional, peralatan bongkar muat peti kemas, air dan listrik. Panjang alur 2 Mil dengan lebar minimum 150 M dan kedalaman alur – 16 M LWS (PT Persero Pelindo IV Cabang Makassar). Cargo terminal dan pergudangan kota berjarak 5 Km dari pelabuhan. Potensi di sekitar (hinterland) terdiri dari Kawasan Industri dan Zona Kawasan Berikat Kota Makassar (berjarak 12 Km dari pelabuhan), Pabrik Semen PT. Tonasa dan PT. Bosowa, serta pusat pengolahan kayu di Sungai Tallo. Hasil penelusuran lapangan ditemukan permasalahan: a. Alat bongkar muat utama petikemas masih terbatas (container crane) hanya 2 unit, masih perlu 4 unit lagi namun harus diimbangi dengan penambahan jam kerja buruh di luar pelabuhan. b. Pelayanan di terminal petikemas berjalan selama 24 jam dan di terminal konvensional berjalan selama 12 jam, sementara
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -74
buruh di luar pelabuhan / hinterland hanya bekerja selama 8 jam, dan gudang hanya mau menerima barang sampai jam 18.00 WIT saja. Akibatnya terjadi penumpukan (crowdit) di pagi hari, karena pengguna jasa menghendaki segera dilayani pagi hari khawatir kalau sampai sore buruh sudah tidak kerja lagi. Akibat lainnya di terminal konvensional alat sering menganggur, karena buruh tidak mau bekerja di atas 8 jam, apalagi untuk kapal-kapal besar dengan muatan banyak. c. Sistem bagging muatan semen dilaksanakan di pelabuhan sehingga mengganggu mobilitas cargo. d. Akses jalan ke kawasan pergudangan terbatas, kondisi ini terasa pada jam-jam sibuk angkutan. Permasalahan-permasalahan itu berdampak pada produktivitas pelabuhan menjadi rendah, waktu tunggu kapal menjadi lebih lama dan pada gilirannya akan bermuara pada high cost economy. Kinerja pelayanan kapal di Pelabuhan Makassar dari tahun 2009 – 2011 dapat dilihat pada tabel berikut :
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -75
Tabel 4.21 Kinerja pelayanan kapal WT (Jam)
AT (Jam)
ET : BT (%)
Jenis Pelabuhan STD
EKSISTING 2009
2010
2011
STD
EKSISTING
STD
2009
2010
2011
EKSISTING 2009
2010
2011
Konvensional
1,00
0,23
1,24
0,57
2,00
1,89
1,55
1,67
80
84,42
81,07
80,07
Petikemas
1,00
0,23
1,24
0,57
2,00
1,89
1,55
1,67
80
66,67
66,67
66,67
Sumber : Otoritas Pelabuhan Makassar, 2012 Ket : STD : Standar WT : Witing Time, waktu kapal menunggu kapal pandu AT : Approching Time, waktu memandu kapal dari daerah enker ke tambatan LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -76
ET : Effective time, waktu kerja sebenarnya mulai kapal tambat sampai selesai kegiatan bongkar muat BT : Berth Throuhgt, jumlah barang dalam ton yang ditangani
Kemudian kinerja pelayanan bongkar muat barang di Pelabuhan Konvensional dari tahun 2009 – 2011 nampak sebagai berikut :
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -77
Tabel 4.22 kinerja pelayanan bongkar muat barang
GC (T/G/H)
BC (T/G/H)
UN (T/G/H)
CC (T/H)
CK (T/H)
STD
2009
2010
2011
STD
2009
2010
2011
STD
2009
2010
2011
STD
2009
2010
2011
STD
2009
2010
2011
25
19
24
23
30
25
27
23
35
35
35
35
150
88
100
100
100
22
94
93
Sumber : Otoritas Pelabuhan Makassar, 2012
Ket : STD
: Standar
GC
: Genaral Cargo, jenis muatan rupa-rupa
BC
: Bulk Cargo, jenis muatan curah yang dikemas
UN
: Unitized Cargo, jenis muatan dalam satuan unit
CC
: Curah Cair, jenis muatan curah cair yang tidak dikemas
CK
: Curah Kering, jenis muatan curah kering yang tidak dikemas
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -78
T/G/H : Ton/Gang/Hour T/H
: Ton/Hour
Sedangkan kinerja bongkar muat petikemas di Pelabuhan Petikemas meliputi receiving dan delivery dari tahun 2009 – 2011 nampak sebagai berikut :
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -79
Tabel 4.23
kinerja bongkar muat petikemas BM (B/C/H)
RECEIVING (Menit/Box)
DELIVERY (Menit/Box)
STD
09
10
11
STD
09
10
11
STD
09
10
11
25
25
26
27
30
22
21
27
45
22
22
27
Sumber : Otoritas Pelabuhan Makassar, 2012 Ket : STD
: Standar
BM
: Bongkar Muat petikemas
RECEIVING : Proses penerimaan petikemas dari shipper untuk dimuat DELIVERY
: Proses penghantaran petikemas ke consignee
B/C/H
: Box/Crane/Hour
Adapun kinerja Utilisasi Fasilitas Pelabuhan Makassar dari tahun 2009 – 2011 sebagai berikut :
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -80
Tabel 4.24 Kinerja Utilisasi Fasilitas Pelabuhan BOR (%)
SOR (%)
YOR (%)
Jenis Pelabuhan STD
EKSISTING 2009
2010
2011
STD
EKSISTING
STD
2009
2010
2011
EKSISTING 2009
2010
2011
Konvensional
70
45
52
75
65
17
5
25
70
14
58
68
Petikemas
70
31
33
54
65
13
15
20
70
45
61
60
Sumber : Otoritas Pelabuhan Makassar, 2012 Ket : STD : Standar BOR : Berth Occupancy Ratio, tingkat penggunaan dermaga,perbandingan antara waktu penggunaan dermaga dengan waktu yang tersedia dermaga siap operasi dalam periode waktu tertentu
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -81
SOR : Shed Occupancy Ratio, tingkat penggunaan gudang/ lapangan penumpukan,perbandingan antara pemakaian ruang dalam ton atau m3 per hari dengan kapasitas tersedia dalam periode waktu tertentu YOR : Yield Occupancy Ratio, tingkat penggunaan lapangan penumpukan petikemas, perbandingan antara penumpukan petikemas dalam TEUS per hari dengan kapasitasyang tersedia dalam periode waktu tertentu
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -82
Namun, dalam kaitanya pelaksanaan kegiatan usaha yang ada di Pelabuhan, permasalahan secara umum dapat digambarkan melalui ilustrasi berikut ini:
FUNGSI AWAL
PELAKSANA BUKAN REGULATOR
PT. PELINDO
FUNGSI LAIN
MEMBANGUN KEGIATAN USAHA
PERSEWAAN TANAH
DASAR HUKUM/KEBIJAKANNYA APA …???
Gambar 4.18
Pemetaan Masalah Dalam Pelabuhan Indonesia Secara Umum
5. Pelabuhan Klang Malaysia a. Selintas Sejarah dan Kondisi Umum Menurut sejarahnya, Port Klang pertama kali dibuka pada tahun 1901 dengan nama Port Swettenham. Dalam perjalanan pengelolaanya, Port Swettenham Authority dibentuk untuk mengambil alih menejemen pelabuhan dari Malayan Railway Administration pada 1 Juli 1967. Pada 6 Juli 1972 The Port Swettenham Authority berganti nama menjadi Klang Port Authority (KPA), dan pada 1973 pada pertama kalinya kapal besar Tokyo Bay berlabuh di pelabuhan ini. 6 juli 1983 mengambil alih wilayah administrasi pelabuhan Malacca. 6 Juli 1986 fasilitas terminal container milik KPA untuk pertama kalinya di privatisasi dan sebagai operator yaitu Klang Container Terminal (KCT). Pada Desember 1992 Klang Port Management (KPM) mengambil LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -83
alih pengelolaan fasilitas sandar dari PKA. 1994 West Port diprivatisasi. Pada Oktober 2001 terjadi merger antara KCT and KPM yang berkolaborasi sebagai operator Northport. PADA November 2006 Port Klang Free Zone dibuka untuk pertama kalinya (Port Klang Authority, 2012). Port Klang terletak di Negara bagian selangor, di pesisir selatan Peninsular, Malaysia. Lokasinya yang strategis di lembah Klang, wilayah paling kaya dan maju di mana hanya 40 Km dari Ibukota Negara, Kuala Lumpur. Port Klang juga merupakan pintu masuk utama yang tumbuh secara konsisten. Berdasarkan Instruksi Pemerintah pada tahun 1993, pelabuhan ini dibangun sebagai pelabuhan pusat B/M nasional dan terkadang juga digunakan sebagai persinggahan. Port Klang melayani hinterland yang menguasai dan dan menjadi pusat pertumbuhan terencana di Selangor. Di antara hinterland tersebut adalah Bandara Udara Internasional. Port Klang masuk dalam 12 pelabuhan terbaik di dunia dan menangani 37% perdagangan laut Malaysia. Lokasinya yang strategis menjadikan Port Klang sebagai pelabuhan pertama yang menghubungkan lingkar barat dan timur dari jalur perdagangan belahan Eropa dan timur dunia. Pelabuhan ini memiliki hubungan dagang dengan lebih dari 120 negara dan jaringan lebih dari 300 pelabuhan di seluruh dunia. Dalam performance-nya, total alur barang yang diangkut pada tahun 2011 mencapai 9,603,926 TEUS dan kontainer sebanyak 194,167,667 FWT yang dapat dirinci sebagai berikut. Tabel. 4.25 Performance alur barang dan kontainer 2011 Portklang
Indigenous
3,515,050
37%
Transshipment
6,088,876
63%
Containerised
166,576,695
87%
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -84
Conventional
275,909,72
13%
Hal tersebut karena juga ditunjang dengan kapal dan sarana yang ada dengan rincian dalam tabel di bawah ini:
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -85
Tabel. 4.26
Jumlah Kapal Portklang
Dry
Liquid
General
Container
Passenger
TOTAL
%
Northport
153
618
973
5,386
574
7,704
43
Westport
200
1,555
722
7,001
2
9,480
52
Private Jetty
58
43
0
0
687
788
4
Glenn Cruise
0
0
0
0
145
145
1
G. Total
411
2,216
1,695
12,387
1,408
18,117
100
Operator
Year
2011
Sumber : Portklang Authority 2011
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -86
Kondisi tersebut di atas, menempatkan Portklang sebagai pelabuhan terbaik ke 13 pada tahun 2011 sebagai berikut:
Tabel. 4.27
Peringkat Dunia Pelabuhan Berdasarkan Jumlah Arus barang
World Ranking
Port Name
1 (2)
Shanghai
31.5
2 (1)
Singapore
29.8
3 (3)
Hong Kong
24.3
4 (4)
Shenzhen
22.9
5 (5)
Busan
15.9
6 (8)
Ningbo
14.5
7 (6)
Guangzhou
13.9
8 (9)
Qingdao
12.8
9 (7)
Dubai
12.8
10 (10)
Rotterdam
12.2
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
Total TEU (Million)
I V -87
11 (11)
Tianjin
11.2
12 (12)
Kaohsiung
9.8
13 (13)
Port Klang
9.6
14 (14)
Hamburg
9.1
15 (16)
Antwerp
8.7
16 (17)
Los Angeles
7.8
17 (18)
Port Tanjung Pelepas
7.5
18 (15)
Long Beach
6.6
19 (19)
Xiamen
6.4
20 (22)
Dalian
6.3
Sumber : Portklang Authority 2011 b. Manajemen Port Klang Beberapa hal penting terkait pengelolaan pelabuhan di Malaysia sebagai berikut (MISC, 2003; Departemen Perhubungan, 2007:
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -88
1) Pemerintah Malaysia mempunyai 2 pelabuhan utama terbesar yaitu Port Klang yang terletak di wilayah Kuala Lumpur dan Pelabuhan Tanjung Pelepas terletak di Wilayah Johor; 2) Pembinaan penyelenggaraan Port Klang oleh Port Klang Authority; 3) Port Klang memiliki manajemen personal, fasilitas peralatan dan program operasional pelabuhan berkualitas; 4) Port Klang terdiri dari 2 terminal yaitu Nort Port dan West Port; 5) Nort Port terminal yang merupakan pelabuhan multipurpose dioperasionalkan oleh perusahaan Nort Port (Malaysia) Bhd yang merupakan cabang dari perusahaan NCB Holding Bhd; 6) Demikian juga dengan West Port Terminal dioperasionalkan oleh Klang Multi Terminal Sdn Bhd yang juga merupakan cabang dari NCB Holding Bhd dan PTP dioperasionalkan oleh Johor West Port Sdn Bhd; Pembinaan penyelenggaraan Pelabuhan oleh Port Authority. Di samping itu, pengelolaan mencakup beberapa aktivitas antara lain (MISC, 2003; Departemen Perhubungan, 2007): 1) Pelabuhan Tanjung Pelepas memiliki manajemen personal, fasilitias peralatan dan program operasional pelabuhan yang berkualitas; 2) Port Klang ditetapkan sebagai kawasan bebas (Free Zone) tepatnya Nortport pada 1 April 1993, South Point pada 19 Februari 2004 dan Westports 20 Juni 1996 di mana investor bebas bersyarat untuk ke pelabuhan tersebut. Di samping itu kedua pelabuhan tersebut dilengkapi sarana angkutan yang komprehensif baik angkutan container melalui prasarana jalan raya, rel KA, laut dan sarana angkutan udara secara multi moda. c. Kebijakan Privatisasi Dalam Aktivitas Port Klang Peraturan-peraturan yang melandasi aktivitas Port Klang dan Tanjung Pelepas dapat dilihat dari penjelasan di bawah ini: 1) Sesuai peraturan perundang-undangan Pemerintah Malaysia, bahwa penyelenggaraan pelabuhan umum adalah menjadi LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -89
tanggungjawab Pemerintah Malaysia melalui Menteri Pengangkutan Malaysia yang dalam pelaksanaan diselenggarakan oleh Regulatory Authority dengan tugas melakukan pembinaan atas penyelenggaraan kepelabuhan; 2) Port Klang dibangun dengan investasi total untuk Port Klang sebanyak 50 million RM dan dibangun melalui pola kerja sama antara Pemerintah Malaysia dengan pihak Swasta, di mana untuk Port Klang dengan NCB Holding Bhd; 3) Keikutsertaan pihak swasta tersebut dilakukan melalui prosedur tender terbuka dan Pemerintah Malaysia dengan memberikan hak konsesi selama 30 tahun dengan skema Built Operate dan Transfer (BOT); 4) Pola bagi hasilnya dilakukan berdasarkan revenue sharing sebesar 30% dari revenue tahunan. Sedangkan pihak swasta mendapatkan revenue dari kegiatan stevedoring dan penumpukan, sedangkan pelayanan kapal menjadi revenue dari Pemerintah Malaysia; 5) Lahan dan perairan serta fasilitas basic infrastruktur seperti break water, alur, kolam, serta sarana bantu navigasi pelayaran disediakan oleh Pemerintah Malaysia, sedangkan bangunan dan fasilitas operasional pengelolaan pelabuhan disamakan dengan pihak swasta; 6) Mengenai tarif pelabuhan Pemerintah Malaysia.
dikontrol
langsung
oleh
d. Peraturan yang berkaitan aktivitas bisnis di Port Klang Sebagai payung hukum dalam praktik bisnis yang terjadi dan perangkat-perangkat terkait di Portklang terdapat beberapa peraturan nasional yang dirujuk dan berpengaruh terhadap kegiatan bisnis pelayaran. Peraturan-peraturan tersebut antara lain: 1) Ordinan Pengangkutan Kargo Melalui Air 1950 2) Ordinan Perkapalan Saudagar 1952 3) Ordinan Perkapalan Saudagar (Sabah) 1960 4) Ordinan Perkapalan Saudagar (Sarawak) 1960
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -90
5) Akta Lembaga Dius Api 6) Akta Lembaga Pelabuhan 1963 7) Akta Suruhanjaya Pelabuhan Pulau Pinang 1955 8) Akta Lembaga Pelabuhan Bintulu 1981 9) Akta Pelabuhan (Penswastaan) Selain peraturan yang berlaku secara nasional tersebut, di Portklang juga diberlakukan pengaturan yang berasal dari perjanjian internasional baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Perjanjian internasional secara bilateral maupun multilateral yang dapat di lihat dalam 2 tabel di bawah sebagai berikut: Tabel 4.28
Perjanjian bilateral Malaysia
Tahun
Negara
1983
Malaysia-Bangladesh
1983
Malaysia-Turkey
1985
Malaysia-Belgo-Luxemburge
1985
Malaysia-Sri Lanka
1985
Malaysia-Pakistan
1987
Malaysia-Russia
1987
Malaysia-China
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -91
(Sumber : Port Klang Authorit y, 2012) S e l a i n
1988
Malaysia-Indonesia
1988
Malaysia-South Korea
1991
Malaysia-Romania
1992
Malaysia-Vietnam
p 1997 Malaysia-South Africa e r janjian internasional yang bersifat bilateral, perjanjian-perjanjian internasional yang bersifat multilateral yang diberlakukan di Malaysia adalah sebagai berikut (Port Klang Authority, 2012): 1) International Convention on Load Lines (LL) 1966 2) Convention on the International Maritime Organization 1948 3) Convention on the International Regulations for Preventing Collisions at Sea (COLREG) 1972, as amended 4) International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS) 1974, as amended 5) Protocol of 1978 relating to the International Convention for the Safety of Life at Sea 1974, as amended 6) International Convention on Tonnage Measurement of Ships (Tonnage) 1969 7) Convention on the International Mobile Organization (INMARSAT) 1976, as amended
Satellite
8) Operating Agreement on the International Mobile Satellite Organization 1976, as amended 9) International Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW) 1978, as amended
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -92
10) Protocol of 1978 relating to the International Convention for the Prevention of Pollution from Ships (MARPOL) 1973, as amended (Annexes I and II ) 11) Protocol of 1978 relating to the International Convention for the Prevention of Pollution from Ships (MARPOL) 1973, as amended (Annexes V ) 12) International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and Co-operation (OPRC) 1990 13) Amendments Adopted in November 1991 to the Convention of the International Maritime Organization (Institutionalization of the Facilitation Committee) 14) International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage (CLC) 1992 15) International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage (FUND) 1992 16) The International Convention on Civil Liability for Bunker Oil Pollution Damage, 2001 (Bunkers Convention 2001) 17) The International Convention for the Limitation of Liability for Maritime Claims, 1976 as Amended by Protocol of 1996 (LLMC Convention 1996) 18) International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage (FUND) 19) MARPOL 73/78, Annex III: Regulations for the Prevention of Pollution by Harmful Substances Carried by Sea in Packaged Form 20) MARPOL 73/78, Annex IV: Regulations for the Prevention of Pollution by Sewage from Ships 21) MARPOL 73/78, Annex VI: Regulations for the Prevention of Air Pollution from Ships 22) International Convention on the Control Harmful Antifouling Systems on Ship
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -93
23) The Control and Management of Ship’s Ballast Water 2004 Sedangkan dalam hal pelaksanaan hukum komersil di bidang pelayaran, Malaysia memberlakukan Malaysia Carriage of Goods by Sea Act atau disingkat Malaysia COGSA yang diberlakukan 1950 sejak pendudukan Inggris. Pasca kemerdekaanya, beberapa peraturan lain ditetapkan untuk diberlakukan di dua wilayah Malaysia yaitu, Convention Relating to the Carriage of Goods by Sea and to the Liability of Shipowners and Others yang diberlakukan tahun 1960 di Malaysia Timur (Sarawak), dan di wilayah Sabah peraturan turunan tahun 1961 yang mengadopsi Hague Rules. Namun saat ini Malaysia masih dalam proses upaya revisi peraturanya yaitu COGSA dengan disesuaikan peraturan internasional yang lebih relevan saat ini seperti Hague-Visby Rules 1968 terutama dalam hal tanggungjawab dan ganti rugi. e. Organ yang berwenang di Port Klang Di Malaysia, semua pelabuhan laut pengoperasianya di bawah wewenang Jabatan Laut Malaysia (Marine Department), kecuali 10 pelabuhan besar seperti Pelabuhan Klang, Penang, Johor, Kuantan, Kemaman di Semenanjung Malaysia dan Bintulu, Kuching, Rajan, Miri di Sarawak serta Pelabuhan Kota Kinabalu di Sabah yang sejak tahun 1963 dialihkan dibawah wewenang Port Authority. Namun demikian, Jabatan Laut di Pelabuhanpelabuhan yang berada di bawah wewenang Port Authority tetap dipertahankan untuk mengawasi pemberlakuan peraturanperaturan International Maritime Organisation (IMO) terutama dalam menentukan kelaikan kapal dan peralatan yang dimiliki kapal serta ABKnya. Port Authority adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dibentuk pemerintah untuk mengawasi dan pelaksana langsung operasional di dalam pelabuhan. Port Authority tersebut ada yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat (Federal) yang bertanggung jawab kepada Kementerian Pengangkutan, dan ada juga yang dibentuk oleh Kerajaan Negeri/Daerah yang bersifat otonomi. Pelabuhan-pelabuhan yang di bawah Federal adalah Pelabuhan Klang, Penang, Johor, Kuantan, Kemaman dan Bintulu. Tugas Port Authority adalah mengawasi lalu-lintas kapal dalam pelabuhan, menentukan tarif, pilotage, tunda dan penetapan posisi kapal di dermaga, namun sejak tahun 1986 dalam rangka pengembangan pelabuhan, peningkatan kinerja pelabuhan dan upaya efisiensi, beberapa pelabuhan utama seperti Pelabuhan Klang, Pelabuhan Johor diswastanisasi. Dengan Swastanisasi LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -94
pelabuhan maka tugas-tugas yang sebelumnya dikendalikan oleh Port Authority ikut dialihkan menjadi wewenang swasta, kecuali untuk tugas-tugas pengawasan dan penetapan tarif. e. Arah Pengembangan Pelabuhan Klang dan Malaysia Pada Umumnya Pemerintah Malaysia mengembangkan semua pelabuhan sesuai dengan rencana pembangunan sampai tahun 2020. Pelabuhan Klang yang merupakan pelabuhan utama Malaysia dikembangkan sebagai Hub, untuk menampung seluruh kebutuhan impor dan ekspor industri/perusahaan besar terutama dengan menggunakan kontainer. Pembangunan Barat diberikan kepada swasta, karena sesuai dengan rencana pelabuhan ini juga akan dijadikan pelabuhan Marina dan Pelabuhan Feeder bagi Pelabuhan Klang (Utara). Sedangkan Pelabuhan Tanjung Pelepas akan menjadi Pelabuhan Hub kedua sebagai bagian dari pembangunan Johor selatan sebagai koridor Hub. Pemerintah Malaysia juga telah mempersiapkan prasarana/sarana pendukung seperti pembangunan jalan Toll Utara-Selatan, TimurBarat dan jalur kereta api di seluruh semenanjung Malaysia. Bagi daerah-daerah yang berpotensi tidak mempunyai pelabuhan laut tapi terjangkau oleh jalan darat dan kereta api di bangun Inland Port. Namun demikian pembangunan pelabuhan di Malaysia tetap memperhatikan kebutuhan umum lainya terutama untuk kebutuhan feeder pelabuhan Klang. Upaya-upaya untuk menjadikan Pelabuhan Klang sebagai regional hub telah dilakukan dengan promosi yang cukup telah menampakan hasil. Beberapa perusahaan pelayaran utama dunia seperti PIL of Singapore, Neptune Orient Lines (NOL) Singapore, P&O Nedllyod, MOL of Japan, HMM of Korea, OOCL Hongkong telah menjadikan Pelabuhan Klang sebagai port-call schedule. Selain itu, pengembangan pelabuhan juga tidak dapat dilepaskan dengan isu sentral globalisasi. Memasuki era globalisasi ini pemerintah Malaysia menyerahkan operasi pelabuhan-pelabuhan sepenuhnya kepada swasta untuk meningkatkan kinerja pelabuhan dan pengurusan yang lebih fleksibel. Pelabuhan-pelabuhan yang sudah diswastanisasi di Malaysia dapat dilihat sebagai berikut (Port Klang Authority, 2012): 1) Pelabuhan Klang (Westports & Northports)
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -95
2) Pelabuhan Tanjung Pelepas 3) Pelabuhan Johor 4) Pelabuhan Kuantan 5) Pelabuhan Kemaman 6) Pelabuhan Pulau Pinang 7) Pelabuhan Bintulu Dalam hal ini, Pemerintah Malaysia berhasil menjembatani terbentuknya Federation of Malaysia Port Operation Company (FMPOC) yang bertanggun jawab sebagai operator pelabuhan yaitu, Klang Port Management, Klang Multi Terminal, Penang Port, Johor Port dan Lumut Maritime Terminal. Pembentukan FMPOC dimaksudkan untuk kerjasama operasi antar perusahaan. Namun selain itu, pembentukan dimaksudkan untuk memupuk persahabatan untuk saling tukar menukar informasi dan fasilitas guna meningkatkan kualitas operasional, manajemen dan mengefisienkan penswastaan pelabuhan di seluruh Malaysia, hingga mampu bersanding dengan pelabuhan-pelabuhan internasional.
LAPORAN AKHIR - Studi Pengembangan Commercial Code di Bidang Pelayaran
I V -96