STUDI KASUS PATOLOGI FELINE INFECTIOUS PERITONITIS PADA ANAK KUCING (Felis catus)
ASWAR
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
STUDI KASUS PATOLOGI FELINE INFECTIOUS PERITONITIS PADA ANAK KUCING (Felis catus)
ASWAR
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
ABSTRAK ASWAR. Studi Kasus Patologi Feline Infectious Peritonitis pada Anak Kucing (Felis catus). Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan DEWI RATIH AGUNGPRIYONO. Penelitian berupa studi kasus telah dilakukan untuk mempelajari perubahan patologi anatomi akibat Feline Infectious Peritonitis (FIP) pada anak kucing. Kasus ini terjadi pada seekor anak kucing ras Persia berumur 4 bulan berjenis kelamin betina. Anak kucing menunjukkan gejala klinis berupa dispnoe, nafas abdominal dan dalam, anoreksia, berat badan turun drastis, lesu dan lemah. Pemeriksaan klinis dengan Roentgent menunjukkan terjadinya akumulasi cairan di rongga perut dan rongga dada, menyebabkan pembengkakan daerah perut disertai kesulitan bernafas. Perubahan patologi anatomi berupa hidrotoraks berisi cairan transudat warna bening kekuningan, sebanyak kurang lebih 100 ml. Pleura pulmonum dan kantong perikardium mengalami penebalan, kardiomyopathy. Ditemukan pula peritonitis fibrinosa dan adanya cairan dalam rongga abdomen. Hidropascites ditemukan lebih sedikit dengan eksudat fibrinous disertai peritonitis, selain itu ditemukan multifokal nekrotikan hepatitis dan splenitis, serta gastroenteritis. Hasil pengamatan histopatologi terlihat pada usus terjadi infiltrasi sel radang pada mukosa dan lamina propria, serta hiperplasia sel epitel. Pada omentum terjadi akumulasi sel limfoid, tubulus ginjal mengalami degenerasi lemak, pada glomerulus terdapat endapan protein. Perihepatitis pada hati ditandai oleh hadirnya infiltrasi sel radang yang didominasi oleh sel mononukleus pada bagian subserosa kapsula. Pada limpa terjadi penebalan kapsula, kongesti, fibrosis, endapan protein dan infiltrasi sel radang. Sel pada folikel limfoid mengalami deplesi, terutama pada bagian tengah banyak terdapat sel retikulum endoplasmik Otot jantung mengalami degenerasi membentuk vakuola dan sitoplasma berisi butiran-butiran protein. Otak mengalami kongesti, infiltrasi sel radang mononuklear, degenerasi neuron, proliferasi sel-sel glia, oedema perivaskular. Meningen mengalami hemoragi dan meningitis yang ditunjukkan dengan hadirnya makrofag dan sel
mononuklear. Berdasarkan temuan patologi anatomi dan histopatologi pada anak kucing ini, dapat disimpulkan bahwa anak kucing mengalami infeksi virus Feline Infectious Peritonitis tipe basah. Bentuk penyakit yang muncul sangat tergantung pada reaksi kekebalan tubuh kucing, infeksi Feline Infectious Peritonitis terjadi melalui rute fekal-oral. Kata Kunci : Coronavirus, FIP, kucing, patologi, peritonitis.
ABSTRACT ASWAR. Case Study on Pathology Feline Infectious Peritonitis In a Kitten (Felis catus). Supervised by SRI ESTUNINGSIH and DEWI RATIH AGUNGPRIYONO. This research was conducted to learn pathological changes in a kitten died due to Feline Infectious Peritonitis. This case was occured in a female, Persian kitten, 4 months age. The Kitten showed symptoms of dyspnoe, with the abdominal respiration, anorexia, lethargic and weak. Clinical examination showed the occurrence of fluid accumulation in the thoracic and abdominal cavity and causing abdominal enlargement. The grosslesion were hydrothorax accumulation of 100 ml clear transudate inside the thoracic cavity. Pleuro pulmonum and pericardium were thickened and paleness of myocardium. This kitten also had peritonitis with the accumulation of fibrinous fluid. Other findings were, multifocal granulomatous hepatitis and splenitis. Stomach and intestine showed mucosal and serosal inflammation or peritonitis. Accumulation of lymphoid cell was occurred within the omentum. Kidney tubules showed fatty degeneration
and protein sedimentation in the
glomeruli. Histopathology of myocardium showed vacuolar degeneration and protein cytoplasmic granulation Brain showed congestion, mononuclear cell infiltration, neuron degeneration, glia cells proliferation and perivascular oedema. Meningen showed hemorrhages and inflammation with macrophages and mononuclear cells accumulation. The
results of macroscopic and microscopic examination concluded that the lesions were due to wet type feline infectious peritonitis. The form of this feline infectious peritonitis in the present case is seem depend on the immune response of the kitten, and the infection was occurred through the fecal-oral route. Keywords : Cat, coronavirus, FIP, pathology, peritonitis.
PERNYATAAN MENGENAI PENELITIAN DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Studi Kasus Patologi Feline Infectious Peritonitis pada Anak Kucing (Felis catus)” adalah karya saya sendiri dibawah bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip atau berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tulisan ini dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2009
Aswar NIM: B04103075
Judul Tugas Akhir Nama Mahasiswa NIM
: Studi Kasus Patologi Feline Infectious Peritonitis pada Anak Kucing (Felis catus) : Aswar : B04103075
Disetujui Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi.
Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD.
NIP : 19600629 199002 2 001
NIP : 19631201 198803 2 001
Diketahui Wakil Dekan FKH IPB
Dr. Nastiti Kusumorini NIP : 19621205 198703 2 001
Tanggal lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pare-pare, Selawasi Selatan pada 28 Juli 1985. Penulis merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara, pasangan Bapak Muslimin dan Ibu Megawati (alm). Pendidikan formal penulis dimulai pada 1991 di SD Negeri Inpres Nabarua Nabire, 1997 di SLTP Negeri 01 Nabire dan 2000 di SMU Negeri 01 Nabire Papua. Pada 2003 penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada FKH IPB, penulis melakukan penelitian berupa studi kasus dengan judul “Studi Kasus Patologi Feline Infectious Peritonitis pada Anak Kucing (Felis catus)”.
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas karena-Nyalah skripsi yang berjudul “Studi Kasus Patologi Feline Infectious Peritonitis pada Anak Kucing (Felis catus)” telah selesai. Dan pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada: 1. Ayahanda Muslimin, Ibunda Megawati (alm) dan keluarga besar penulis.s 2. Ibu Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi. selaku pembimbing skripsi pertama dan Ibu Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD. selaku pembimbing akademik dan pembimbing skripsi kedua. 3. Seluruh Staf dan Teknisi dibagian Patologi Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi FKH IPB. 4. Drh. Deni Noviana, PhD. selaku dosen penguji. 5. Teman-teman sekelas perkuliahan angkatan 40, 41, 42 dan 43 FKH IPB. 6. Keluarga besar Asrama Mahasiswa IPB Sylvalestari. Semoga Skripsi ini bermanfaat.
Penulis,
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ..................................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
ii
PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
Latar Belakang .........................................................................................
1
Tujuan .......................................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................
3
Klasifikasi Kucing (Felis catus) ...............................................................
3
Karakteristik Kucing (Felis catus) ...........................................................
3
Feline Infectious Peritonitis pada Kucing (Felis catus) ...........................
5
Pengertian dan Kausa FIP ..................................................................
5
Kejadian dan Penyebaran FIP ............................................................
6
Gejala Klinis FIP ................................................................................
8
Diagnosis FIP .....................................................................................
9
Patofisiologi .......................................................................................
10
Histopatologi dan imunohistopatologi ...............................................
12
MATERI DAN METODE .............................................................................
14
Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................................
14
Bahan dan Alat .........................................................................................
14
Metode Penelitian .....................................................................................
14
Riwayat Kasus ........................................................................................
14
Nekropsi ...................................................................................................
15
Pembuatan Preparat Histopatologi ...........................................................
15
Pengamatan Preparat Histopatologi..........................................................
16
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................
17
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
38
Kesimpulan ..............................................................................................
38
Saran ........................................................................................................
38
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….
iv
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 : Anak kucing Persia ....................................................................... 17 Gambar 2 : Cairan transudat pada rongga thoraks .......................................... 18 Gambar 3 : Deposisi fibrin pada pleura ........................................................... 19 Gambar 4 : Fibrosis pada paru......................................................................... 19 Gambar 5 : Atelektasis pada paru .................................................................... 20 Gambar 6 : Histopatologi jaringan paru-paru .................................................. 20 Gambar 7 : Degenerasi otot jantung membentuk vakuola .............................. 21 Gambar 8 : Cairan transudat dalam rongga abdomen ..................................... 22 Gambar 9 : Diafragma mengalami oedema ..................................................... 23 Gambar 10 : Fokus granulomatous pada diafragma .......................................... 23 Gambar 11 : Radang granulomatous multi fokus pada permukaan hati ........... 24 Gambar 12 : Multi fokus peradangan pada hati ................................................ 25 Gambar 13 : Multi fokus peradangan pada hati ................................................ 26 Gambar 14 : Infiltrasi sel radang pada hati ....................................................... 26 Gambar 15 : Fokal diffus dan PMN pada hati ................................................... 27 Gambar 16 : Pembuluh darah dengan endotel yang rusak ............................... 27 Gambar 17 : Makrofag di sinus medularis limpa .............................................. 28 Gambar 18 : Hemosiderofag pada pulpa merah ................................................ 29 Gambar 19 : Penebalan kapsula limpa .............................................................. 29 Gambar 20 : Sel RES pada limpa ...................................................................... 30 Gambar 21 : Degenerasi sel asinar ................................................................... 30 Gambar 22 : Degenerasi lemak pada ginjal ....................................................... 31 Gambar 23 : Degenerasi tubulus ginjal ............................................................. 32 Gambar 24 : Peradangan pada lambung ............................................................ 32 Gambar 25 : Hiperplasia sel epitel penutup usus .............................................. 33 Gambar 26 : Infiltrasi sel radang pada lapisan tunica muscularis ..................... 33 Gambar 27 : Peradangan pada omentum ........................................................... 34 Gambar 28 : Hemoragi dan kongesti kronis pada lapisan meningen ................ 35 Gambar 29 : Oedema perivascular pada otak .................................................... 35 Gambar 30 : Perivascular cuffing pada otak ....................................................
36
Gambar 31 : Gliosis yang diffus pada otak…………………………………...
36
PENDAHULUAN Latar Belakang Kucing peliharaan atau kucing rumah adalah salah satu predator terhebat di dunia. Kucing ini dapat membunuh atau memakan beberapa ribu spesies, tetapi karena ukurannya yang kecil, kucing tidak berbahaya bagi manusia. Satu-satunya bahaya yang dapat timbul adalah kemungkinan terjadinya infeksi Rabies akibat gigitan kucing. Kucing dianggap sebagai karnivora yang sempurna dengan gigi dan saluran pencernaan yang khusus. Tidak seperti karnivora lain, kucing hampir tidak makan apapun yang mengandung tumbuhan. Setiap kucing memiliki daerahnya sendiri (jantan yang aktif secara seksual memiliki daerah terbesar, sedang jantan steril memiliki daerah paling kecil) dan selalu terdapat daerah netral. Melihat perilaku kucing yang ada saat ini, kucing liar yang merupakan nenek moyang kucing peliharaan diperkiraan berevolusi pada iklim gurun. Kucing memiliki kekerabatan yang dekat dengan binatang gurun, membuat kucing memiliki ketahanan terbatas terhadap panas dan dinginnya iklim daerah subtropis. Kucing tidak tahan terhadap kabut, hujan dan salju meskipun ada beberapa jenis seperti Norwegian Forest Cat dan Maine Coon yang mampu bertahan dan berusaha mempertahankan suhu tubuh normalnya, yaitu 390C, dalam keadaan basah. Kebanyakan kucing tidak suka berendam di air, kecuali jenis Turkish Van (Suwed dan Budiana 2006). Kucing dapat hidup selama 15 hingga 20 tahun, kucing tertua diketahui berusia 36 tahun. Kucing peliharaan yang tidak diperbolehkan keluar rumah dan disterilkan dapat hidup lebih lama (mengurangi resiko perkelahian dan kecelakaan). Kucing liar yang hidup di lingkungan urban modern hanya hidup selama dua tahun atau bahkan kurang dari itu (Anonim 2004a). Beberapa penyakit kucing yang penting antara lain Feline Infectious Peritonitis, Feline Rhinotracheitis, Calicivirus dan Panleukopenia (Distemper) yang mematikan bagi kucing yang terinfeksi, karena kesulitan mendiagnosa dan masalah pengendalian penyakit tersebut. Mengingat hal tersebut, maka sangat penting untuk pemilik kucing melakukan perawatan yang baik dan menyadari ada
banyak penyakit kucing yang bersifat fatal, seperti Feline Infectious Peritonitis (FIP) (Meadows dan Flint 2006). Skripsi ini ditulis berdasarkan studi kasus patologi Feline Infectious Peritonitis (FIP) pada anak kucing yang difokuskan pada perubahan patologisnya.
Tujuan Penulisan ini bertujuan untuk: 1. Mempelajari perubahan patologi anatomi dan histopatologi dari kasus Feline Infectious Peritonitis (FIP) pada anak kucing; 2. Mempelajari penyebab dan patogenesis FIP.
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Kucing (Felis catus) Kucing merupakan salah satu jenis hewan yang sering dijadikan sebagai hewan peliharaan atau kesayangan, karena memiliki karakter yang unik dan berbeda dibandingkan dengan hewan kesayangan lainnya. Kucing adalah sejenis karnivora kecil dari famili felidae yang telah dijinakkan selama ribuan tahun (Suwed dan Budiana 2006). Klasifikasi kucing menurut Linnaeus (1758) dalam Ereshefsky (2000) sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Superphylum
: Deuterostomia
Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Infraphylum
: Gnathostomata
Superclass
: Tetrapoda
Class
: Mamalia
Ordo
: Carnivora
Subordo
: Feliformia
Famili
: Felidae
Subfamili
: Felinae
Genus
: Felis
Spesies
: Felis catus
Karakteristik Kucing (Felis catus) Kucing merupakan hewan yang fleksibel dalam ketergantungannya pada manusia, karena pada umumnya kucing mampu bertahan hidup di lingkungan liar. Hubungan antara kucing dan manusia adalah hubungan saling menguntungkan atau simbiosis. Kucing memperoleh tempat berteduh, ketersediaan makanan, dan perawatan kesehatan, sedangkan kita sebagai pemilik kucing memperoleh pengendali rodensia dan sebagai teman bermain. Tidak seperti anjing, kucing
tidak selalu menganggap manusia sebagai bagian dari kelompok sosialnya sendiri (Meadows dan Flint 2006). Perkembangan evolusi keluarga kucing terbagi dalam tiga kelompok, yaitu Panthera, Acinonyx, dan Felis. Felis adalah sejenis kucing kecil, yang salah satunya Felis sylvestris yang kemudian berkembang menjadi kucing modern (Suwed dan Budiana 2006). Kucing memiliki kelenjar keringat yang kecil yang terletak pada dagu, bibir (daerah wajah), bagian antara kuku dan sole serta daerah anus. Selain itu, kucing memiliki kelenjar keringat yang menghasilkan feromon yang digunakan sebagai penanda teritorial untuk menemukan pasangan dan sebagai alat komunikasi (Anonim 2004b). Kucing merupakan binatang karnivora sejati yang dilengkapi dengan cakar yang kuat dan struktur gigi taring yang besar, melengkung dan berbentuk pisau belati serta gigi geraham yang kecil dan agak runcing (Anonim 2003a). Kucing memiliki struktur tulang yang ramping dengan ukuran panjang serta lebar tubuhnya seimbang dan proporsional yang ditunjang oleh tulang yang kuat membuat gerakannya semakin lincah dan mampu berlari kencang (Suwed dan Budiana 2006). Indera penciuman kucing sangat tajam dilengkapi dengan alat khusus yaitu organ vomeronasal atau organ Jacobson yang membantunya mendeteksi bau (Meadows dan Flint 2006). Kucing mempunyai penglihatan stereoskopis yang baik dengan kemampuan mendeteksi cahaya tiga sampai delapan kali lebih baik dari pada kemampuan manusia. Selain itu, kucing memiliki struktur khusus yaitu tapetum cellulosum yang memantulkan kembali cahaya ke dalam retina sehingga mampu melihat dengan baik dalam keadaan gelap ( Meadows dan Flint 2006). Ketika cahaya yang ada terlalu sedikit untuk melihat, kucing akan menggunakan misainya (vibrissae) untuk membantunya menentukan arah, mendeteksi perubahan angin yang amat kecil dan menjadi alat indera tambahan (Anonim 2003b). Meadows dan Flint (2006) menyatakan bahwa kucing sangat sensitif pada bunyi frekuensi tinggi yaitu 60 kHz, yang dapat mendeteksi pekikan ultrasonik rodensia. Selain memiliki pendengaran yang tajam, kucing juga memiliki detektor yang getaran dalam kakinya yang membuatnya dapat mendeteksi bunyi 200-400 Hz namun hanya untuk periode waktu yang pendek.
Feline Infectious Peritonitis pada Kucing (Felis catus) Pengertian dan Kausa FIP Feline Infectious Peritonitis (FIP) adalah penyakit yang sangat serius pada kucing, karena tidak mudah didiagnosis, sulit dikendalikan, dan hampir selalu berakibat kematian pada kucing. Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia dan tidak hanya mempengaruhi kucing domestik, tapi juga kucing yang liar, termasuk cougars, bobcats, lynx, singa, dan Cheetah (Sherding 2004). Penyakit ini disebabkan oleh Feline Coronavirus (FCoV), yaitu termasuk keluarga coronavirus yang menimbulkan beragam gejala klinik, dari gejala yang tidak tampak sampai bentuk infeksi progresif yang fatal (Sparkes 2004). Coronavirus adalah virus RNA ber-envelope yang memiliki genom RNA terbesar, yang menyebabkan virus ini sangat rentan terhadap mutasi spontan selama replikasi (Sparkes 2004). FCoV terdiri dari dua serotipe yaitu tipe satu (FCoV-1) dan tipe dua (FCoV-2) yang dibedakan dengan uji netralisasi. Prevalensi infeksi tipe satu dan dua sangat bervariasi di setiap negara, namun virus tipe satu umumnya lebih banyak terjadi, walaupun sulit dibiakkan secara in vitro. Sedangkan tipe dua jarang terjadi, namun mudah dibiakkan secara in vitro. Serotipe FCoV penting dari perspektif evolusi, tetapi tidak terlalu penting dari perspektif klinis. Dari perspektif klinis, dikenal biotipe FCoV yang tidak ada kaitannya dengan serotipe. Biotipe FCoV yang dikenal adalah Feline Infectious Coronavirus dan Feline Enteric Coronavirus (Hartmann 2003). Pada dasarnya biotipe Feline Enteric Coronavirus (FECV) relatif tidak berbahaya dan biasa menyerang kucing. FECV yang bermutasi menjadi virus ganas disebut Feline Infectious Peritonitis virus (FIPV). Bila respon kekebalan tubuh kucing kurang baik, FECV yang bermutasi jadi FIPV ini dapat menyebabkan penyakit sistemik yang disebut Feline Infectious Peritonitis (Bell 2006). Virus FCoV bersifat labil dan tidak tahan desinfektan, namun beberapa studi menunjukkan bahwa FCoV mampu bertahan pada lingkungan selama 2-7 minggu, yang berpotensi sebagai sumber infeksi terutama bila praktek higiene tidak diterapkan (Sparkes 2004).
Selain terjadi pada kucing, FIPV juga dapat menginfeksi anjing, babi dan beberapa spesies virus ini dapat pula menyerang manusia. Virus yang menyebabkan FIP pada kucing, tidak dapat menyerang manusia. Feline Coronavirus termasuk dalam kelompok coronavirus penyebab Transmisible Gastroenteritis Virus (TGEV) pada babi, Porcine Respiratory Coronavirus, Canine Coronavirus (CCV), dan Human Coronavirus (HCV-229E). Penularan antar spesies pernah dilaporkan pada coronavirus ini yang terkait dengan mutasi (Foley 2005). Kejadian dan Penyebaran FIP Infeksi FCoV terjadi pada kucing di seluruh dunia. Survei serologis menunjukkan bahwa 25-40% kucing peliharaan memiliki seropositif terhadap FCoV, sedangkan gambaran ini meningkat mencapai 80-100% pada kucingkucing di breeding cateries. Walaupun infeksi FCoV pada populasi kucing tinggi, tetapi infeksi FIP relatif jarang terjadi secara langsung. Sebagian besar penyakit FIP yang terjadi diduga berasal dari mutasi FECV yang memang banyak terdapat pada pencernaan kucing dan relatif tidak berbahaya (Simons 2005). FIP terjadi paling banyak pada anak kucing. Kasus klinis biasanya terjadi selama periode sapih, namun FIP terjadi antara umur 6 bulan dan 2 tahun. Secara umum mortalitas FIP relatif rendah sekitar 5% (Sparkes 2004). Virus FIP dapat bertahan hidup selama 2-3 minggu dengan suhu ruangan pada permukaan kering, termasuk pada peralatan makan kucing, mainan, kotak kotoran (litter), tempat tidur (bedding), pakaian kucing (clothing) atau rambut kucing. Dalam waktu 24 jam sejak virus tertelan, virus akan menyebar dari tonsil ke dalam saluran cerna. Dalam waktu 2 minggu sudah menyebar ke usus besar, kelenjar getah bening, dan hati. Dari sana ia dapat menyebar ke organ tubuh lainnya (Evermann et al 1995). Anak kucing yang dilahirkan pada lingkungan dengan infeksi FCoV nampaknya dapat dilindungi oleh antibodi maternal. Bila kucing terinfeksi FCoV secara alami pada umur 6-8 minggu titer antibodi maternalnya akan mengalami penurunan dan titer antibodi maternal akan meningkat kembali pada umur 8-14 minggu. Studi yang menggunakan PCR menunjukkan bahwa anak kucing akan
mengeluarkan (shedding) virus pada feses pada umur 5-11 minggu dan pengeluaran virus ini biasanya mengarah pada serokonversi (Hartmann 2003). Kucing sehat tertular coronavirus melalui kontak langsung dengan kucing yang terinfeksi atau kotorannya (feses). Kucing yang terinfeksi menyebarkan virus melalui liur dan feses. Penularan terutama terjadi melalui jalur fekal-oral, selain melalui air liur atau lendir dan saluran pernafasan. Anak kucing yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala klinis, namun beberapa anak kucing dapat menunjukan gejala ringan sampai sedang seperti muntah dan diare selama beberapa hari dan juga mengeluarkan virus dalam fesesnya. Pada beberapa kucing shedding virus bersifat tidak teratur (intermitant) yang menunjukkan adanya infeksi berulang. Sedangkan shedding virus pada kucing lainnya bersifat persisten, yang menunjukkan adanya infeksi persisten di ileum, colon dan rektum. Meskipun demikian shedding virus dalam feses tidak berhubungan dengan besarnya titer antibodi dalam serum (Bell et al 2006). Carier FCoV dalam jangka panjang yang tidak menunjukkan gejala klinis akan mengeluarkan virus dalam feses selama beberapa bulan, hal ini menunjukkan bahwa kucing tersebut terinfeksi oleh galur virus dengan virulensi rendah. Studi lain menunjukkan bahwa infeksi dengan galur virus FIP dapat mengarah pada status carrier jangka panjang (Sparkes 2004). Induk yang carrier dapat menularkan virus keanaknya. FIP biasanya ditemukan pada anak kucing yang menggunakan litter individual dalam jangka waktu lama. Selain itu kejadian FIP juga dipengaruhi oleh faktor stres. Beberapa faktor yang menyebabkan stres adalah perpindahan tempat, tindakan bedah, vaksinasi dan adanya infeksi oleh virus lain seperti Feline Leukemia dan Feline Imunodeficiency (Sparkes 2004). Infeksi FCoV terjadi melalui rute fekal-oral. Sekali kucing sudah terinfeksi biasanya akan bersifat persisten dan mengeluarkan virus dalam fesesnya, sedangkan beberapa kucing mengeluarkan virus hanya pada waktu tertentu. Virus bereplikasi dalam enterosit matang di usus halus dan besar, yang menyebabkan diare dan muntah. Gejala terparah ditunjukkan dengan adanya lesio yang parah di ileum, dengan terjadinya atrofi vili dan fusi vili ( Foley 2005).
Infeksi Galur virus FCoV penyebab enteritis bersifat terbatas khususnya hanya pada epitelium saluran intestinal. Galur FCoV penyebab FIP mampu menerobos barier usus dan menimbulkan infeksi sistemik terkait replikasi di dalam makrofag. Penelitian mengunakan RT-PCR material genom FCoV ditemukan ekstra intestinal pada kucing sehat dengan FCoV seropositif (Sparkes 2004).
Gejala Klinis FIP Sebagian besar kucing yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala yang nyata, tetapi sebenarnya virus tetap berkembang di dalam tubuh. Setelah kontak, virus mulai berkembang di tenggorokan dan usus halus kucing. Kemudian pindah ke paru-paru, perut dan menyebar di seluruh usus (Sparkes 2004). Sekitar 1–10 hari kemudian virus sudah dapat ditularkan ke kucing lain. Selama infeksi ini, gejala yang muncul bisa berupa bersin-bersin, mata berair, lendir hidung yang berlebihan, diare, berat badan berkurang, lemah dan lesu. Gejala yang muncul bisa juga non spesifik seperti hilang nafsu makan, depresi, rambut kasar dan demam (Simons et al 2004). Bentuk penyakit yang muncul sangat tergantung pada reaksi kekebalan tubuh kucing.
Kucing
dengan
imunitas
selular
relatif
kuat,
biasanya
dapat
menyingkirkan infeksi. Kucing dengan imunitas selular yang relatif sedang, tidak dapat membunuh semua virus, sehingga gejala penyakit bisa tidak muncul tetapi kucing dapat menjadi carrier dan dapat menularkan virus selama beberapa tahun, hingga kekebalan tubuhnya berkurang sedikit demi sedikit. Kucing dengan imunitas seluler relatif rendah sangat mudah terinfeksi dari kucing lain, sifat carrier menjadi aktif, seiring dengan berkurangnya kekebalan, penyakit akan semakin berkembang hingga timbul gejala sakit dan akhirnya menyebabkan kematian (Foley 2005). Penyakit ini bermanifestasi dalam dua bentuk, yaitu tipe basah dan tipe kering. Tipe basah menyebabkan sekitar 60-70% dari keseluruhan kasus penyakit ini dan lebih ganas dari tipe kering. Bila kekebalan tubuh bereaksi cepat biasanya yang muncul adalah tipe kering. Sebaliknya bila kekebalan tubuh lambat bereaksi, maka tipe yang muncul adalah tipe basah (Scott 1997).
Pada bentuk basah terlihat gejala klinis seperti berat badan menurun, demam, kehilangan nafsu makan dan kecapaian atau lemas. Anemia, sehingga membrana mukosa terlihat pucat, sembelit dan diare juga dapat terjadi akumulasi cairan di rongga perut dan rongga dada, menyebabkan pembengkakan daerah perut (biasanya tanpa rasa sakit) disertai kesulitan bernafas. Pada bentuk kering, cairan yang menumpuk relatif sedikit dan gejala yang muncul tergantung organ yang terinfeksi virus. Sekitar setengah dari kasus bentuk kering, menunjukkan gejala radang mata atau gangguan syaraf seperti lumpuh, cara berjalan yang tidak stabil dan kejang-kejang. Gejala lainnya bisa berupa gagal ginjal atau pembengkakan hati, depresi, anemia, berat badan berkurang drastis, gangguan pankreas dan sering disertai demam, muntah, diare dan ikterus (warna kekuningan pada kulit dan selaput lendir) (Sparkes 2004).
Diagnosis FIP Menurut Hartmann (2003) diagnosa FIP biasanya didasarkan pada hasil pemeriksaan hewan-hewan dengan tanda dan gejala klinis, foto sinar-X, pemeriksaan rutin, dan evaluasi cairan pada rongga dada dan abdominal. Dalam beberapa kasus sangat sulit untuk mendiagnosa karena gejalanya sangat bervariasi dan mirip dengan penyakit lainnya. Hal ini menjadikan pemeriksaan mikroskopis dan sampel jaringan (biopsi) sebagai satu-satunya cara untuk mengetahui diagnosa FIP secara tepat. Tes yang biasanya digunakan pada kucing dengan tanda-tanda klinis mencurigakan adalah sebagai berikut : 1. Enzyme Linked Immunoabsorbent Assay (ELISA), Immunoflourescent Assay (IFA) dan tes netralisasi virus dapat mendeteksi adanya FCoV pada kucing, tetapi tes ini tidak dapat membedakan macam-macam strain dari FCoV. Hasil positif hanya menunjukkan bahwa kucing pernah terinfeksi FCoV tetapi bukan virus penyebab FIP. Kucing yang sehat dengan titer antibodi tinggi bukan berarti pembawa dan penyebab FIP dibanding dengan kucing yang titer rendah. Kucing sehat dengan titer tinggi akan aman dari kemungkinan menderita FIP dikemudian hari.
2. Tes lain yang telah dikembangkan untuk mendeteksi virus ini adalah tes immunoperoxidase. Tes ini mendeteksi sel yang terinfeksi virus di dalam jaringan tubuh, dengan cara biopsi dari jaringan yang terinfeksi. 3. Tes antigen lainnya menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mendeteksi material genetik virus pada jaringan atau cairan darah. Tetapi tes ini hanya bisa mendeteksi FCoV secara umum, bukan virus penyebab FIP. 4. Sampai saat ini, tidak ada cara untuk mendiagnosa FIP pada kucing sehat, satu-satunya jalan adalah dengan biopsi atau analisa jaringan pada saat autopsi. Secara umum, dokter hewan mungkin akan menggunakan diagnosa dugaan yang dapat dibuat dengan keyakinan yang tinggi dengan cara mengevaluasi sejarah kucing tersebut, gejala yang muncul, menganalisa cairan (kalau ada) dan hasil dari laboratorium termasuk titer antibodi coronavirus yang hasilnya positif. Dalam diagnosis FIP harus memiliki diagnosa banding dimana suatu kondisi tentang selaput atau yang berkaitan dengan toraks dan akumulasi cairan yang berkenaan dengan penyakit kronis pada kucing. Infeksi FIP dengan keterlibatan selaput harus dapat dibedakan dengan ascites karena kongesti kegagalan jantung atau hypoproteinemia (ginjal dan penyakit hati, glomerulonepritis, malabsorbsi, parasitisme), neoplasia, toxoplasmosis, tuberculosis, kehamilan dan trauma (Simons et al 2005). Patofisiologi Sumber cairan pada rongga abdomen dan rongga thoraks dapat bersumber dari efusi plasma dari pembuluh darah maupun transudat peritoneum yang mengalami peradangan. Cairan bersifat transudat pada rongga abdomen yang disebut sebagai hidrops ascites dapat berasal dari plasma yang berefusi dari pembuluh darah terutama akibat gangguan keseimbangan protein. Menurut Macfarlane (2000), kongesti dan oedema adalah akibat dari penurunan tekanan osmotik darah dan peningkatan tekanan hidrostatik vena. Rendahnya protein dalam darah berakibat pada dua hal yaitu rendahnya daya ikat air serta penurunan osmolaritas darah. Hal ini berkaitan dengan albumin sebagai komponen protein utama dalam darah yang bertanggung jawab untuk mempertahankan tegangan osmolaritas aliran darah.
Daya ikat air yang rendah dan rendahnya tekanan osmolaritas aliran darah menyebabkan air terlepas dan merembes ke luar pembuluh darah, kemudian menurunnya
tegangan
osmolaritas
menyebabkan
endotel
mengalami
perenggangan sehingga cairan merembes ke ekstravaskular. Oedema juga terjadi saat ada peningkatan tekanan intravena (tekanan hydrostatik) terutama akibat gagal jantung dan obstruksi vena pada ujung ekstermitas. FIP menyebabkan peradangan pada pembuluh darah (vaskulitis) akibat infeksi coronavirus. FIP tipe basah adalah bentuk awal yang akut pada kucing muda yang sangat peka terhadap infeksi coronavirus (FCoV). Virus ini menginfeksi pembuluh darah sehingga mengalami peradangan, degenerasi sampai rusak. Rusaknya pembuluh darah mengakibatkan terlepasnya cairan ke rongga tubuh, kemudian kerusakan pembuluh darah diatasi oleh pembentukan jaringan fibrinous oleh trombosit yang dampak negatifnya dapat menyebabkan thrombus hemoragi yang mengobstruksi pembuluh darah. Adanya obstruksi pada pembuluh darah kapiler menyebabkan serum darah merembes keluar menuju rongga tubuh seperti rongga abdomen atau rongga thoraks. Akumulasi cairan pada rongga abdomen akan menyebakan kerusakan pada permukaan peritoneum sehingga peritoneum mengalami peritonitis (Simons et al 2005). Vaskulitis jarang terlihat secara klinis maupun secara patologi anatomi terutama pada kapiler. Oleh karena itu lesi dan gejala klinis yang terlihat akibat infeksi coronavirus pada FIP hanyalah saat peritoneum mulai mengalami peradangan sehingga lebih mudah disebut sebagai peradangan pada peritoneum yang bersifat infeksius pada kucing (FIP) (Hartmann 2003). Peritoneum adalah organ yang sangat sensitif dan penting bila mengalami peradangan. Peritonitis menyebabkan peritoneum melekat pada organ dan jaringan disekitarnya sehingga dengan cepat membuat organ lain turut mengalami peradangan. Selain itu pada peritoneum yang mengalami peradangan akan menghasilkan eksudat serous yang merembes keluar (effusi) sebagai produk dari lapisan sel-sel serosa pelapis rongga tubuh yang mengalami peradangan akut sehingga semakin hebat pemicu radang peritoneum maka semakin hebat pula pula kerusakan yang dialami peritoneum sehingga eksudat yang dihasilkan terakumulasi pada permukaan peritoneum membentuk eksudat serofibrinos (Carlton dan Mc Gavin 1995).
Kongesti umum yang terjadi di organ kucing ini penyebabnya dapat merupakan komplikasi dari berbagai pemicu. Vaskulitis akibat infeksi, kompensasi jantung paru pada kongesti yang berlanjut, kelemahan kontraksi jantung akibat adanya tamponade jantung, serta akibat kerusakan hati yang umum terjadi pada FIP dimana semua lesi patologi anatomi ini dapat ditemukan pada pemeriksaan nekropsi.
Histopatologi dan Imunohistopatologi Satu-satunya cara untuk membuat diagnosis FIP yang pasti adalah dengan pemeriksaan histopatologi sel-sel yang mengalami perubahan yang telah dikumpulkan saat postmortem maupun antemortem. Pada FIP dimungkinkan terjadi diagnosa banding, antara lain Lymphocytic Cholangitis atau neoplasia. Pemeriksaan laparatomi dapat menunjukkan pengaruh jaringan sebagai analisa histologi. Demikian juga dengan diagnostik banding, dapat dilakukan dengan memperhatikan biopsi pada organ tertentu, operasi atau melalui kulit dengan ultrasound. Pemeriksaan ultrasound dapat dilakukan melalui perut, hal ini berguna untuk mendeteksi adanya granuloma dalam hati, ginjal, limpa, atau pun mesenteric lymphadenomegali (Sparkes 2004). Pemeriksaan histologi sel-sel yang terkena FIP menunjukkan hasil dengan karakteristik peradangan granulomatous dan atau pyogranulomatous. Meskipun gejala patognomonis FIP menunjukkan peradangan secara histologi, namun agen menular lainnya juga memiliki kemiripan. Oleh karena itu dengan memperhatikan gejala klinis dan anamnase dapat menjadi bukti yang definitif dalam mendiagnosa. Dalam kasus tertentu untuk mendeteksi keberadaan FcoV dengan imunohistokimia diperlukan anti bodi terhadap antigen FcoV (Bell et al 2006). Banyak penelitian menunjukkan keterlibatan dari sistem kekebalan dalam pengembangan FIP. Antibodi FCoV dalam kucing dapat mengakibatkan peningkatan bentuk penyakit menjadi FIP, produk dari virus pada infeksi antibodi dependen (ADE) meskipun hal ini tidak dapat terjadi secara langsung, akan tetapi imunitas pasif dapat ditransfer melalui FIP serum kekebalan dari kucing. Hal ini menunjukkan bahwa sel mediated imunitas sangat penting dalam menentukan hasil infeksi. Produksi antibodi penting dalam patogenesis FIP melalui
pengembangan peningkatan
kekebalan perubahan
kompleks, berupa
Kekebalan
kompleks
immunomediated
menunjukkan
vasculitis
(reaksi
hypersensitifitas tipe III) terhadap tanda-tanda klinis yang terlihat pada FIP (Sparkes 2004).
MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian berupa studi kasus dilakukan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, pada Mei sampai Juli 2009.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, 95% dan alkohol absolut), Xilol, Lithium karbonat, pewarnaan Hematoxilin Mayer, pewarnaan Eosin, parafin Histoplast®, dan Canada Balsam. Alat-alat yang digunakan adalah alat nekropsi, gelas objek, rak gelas objek, gelas penutup, cetakan blok parafin, pinset, tissue processor, mikrotom, inkubator, mikroskop cahaya, dan digital fotomikroskop.
Metode Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik patologi anatomi yaitu dengan melakukan nekropsi pada kadaver hewan yang dilanjutkan dengan tehnik histopatologi dari berbagai organ interna.
Riwayat Kasus Signalemen •
Nomor protokol
: P130 / 08
•
Nama hewan
: Blaster
•
Jenis
: Kucing
•
Ras
: Persia
•
Jenis kelamin
: Betina
•
Umur
: 4 bulan
•
Nama pemilik
: Dr. Drh. Sri Estuningsih, MSi
Anamnese Seekor anak kucing yang dibawa ke Rumah sakit Hewan IPB memperlihatkan gejala klinis berupa dispnoe, nafas abdominal dan dalam, anoreksia, pucat, lesu dan lemah. Kucing tersebut telah divaksin terhadap Panleukopenia, Calicivirus dan Hepatitis pada saat berumur dua bulan, dan belum dilakukan booster. Setelah dilakukan roentgen, pada foto roentgen paru terlihat kecil dengan kesan paru-paru tidak jelas terlihat karena penumpukan cairan sehingga kucing tersebut mengalami kematian setelah satu hari dirawat. Anak kucing tersebut dilahirkan bersama empat saudara lainnya yang sudah mati berturut-turut sejak berumur tiga bulan. Kematian saudaranya disebabkan karena diare dan komplikasinya. Blaster adalah anak kucing terakhir yang mengalami kematian dengan gejala klinis paling parah, sebelumnya kucing ini merupakan anak kucing yang sehat, gemuk dan lincah.
Nekropsi Nekropsi dilakukan segera setelah anak kucing mengalami kematian.
Pembuatan Preparat Histopatologi. Fiksasi Sediaan organ direndam dalam larutan fiksatif buffer neutral formalin (BNF) 10%. Kemudian dipotong dengan ketebalan kurang lebih 3 mm dan potongan tersebut dimasukkan ke dalam kaset jaringan. Dehidrasi Organ yang telah berada dalam kaset jaringan dimasukkan ke dalam ruang kedap udara mesin tissue processor untuk dilakukan dehidrasi, penjernihan (clearing) dan infiltrasi jaringan oleh paraffin (infiltring). Dehidrasi dilakukan bertahap dengan menggunakan alkohol dengan konsentrasi bertingkat, dimulai dari konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, alkohol absolute I, alkohol absolute II, setelah itu dilakukan proses penjernihan (clearing) dengan cara memasukkan sediaan ke xilol 1 dan xilol 2. Serta infiltrasi jaringan oleh parafin (infiltring). Perendaman (Embedding) dan pencetakan (block) Sediaan yang telah diinfiltrasi oleh parafin (infiltring) ditanam dalam cetakan yang telah berisi parfin cair setengah volume dinding cetakan, setelah mulai
membeku parafin cair ditambahkan lagi hingga cetakan penuh. Proses ini sebaiknya dilakukan dekat sumber panas agar parafin tidak cepat membeku. Sedian tersebut diatur letaknya kemudian diberi label lalu dibekukan dalam refrigerator untuk memudahkan dalam pemotongan. Pemotongan Jaringan dipotong setebal 5-6µm menggunakan mikrotom dan hasil potongan diletakkan di atas air hangat untuk mencegah terjadinya lipatan akibat pemotongan. Sediaan dilekatkan di atas gelas objek, kemudian dikeringkan dalam inkubator. Pewarnaan Hematoksilin Eosin Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) termasuk dalam jenis pewarnaan ganda (double staning) karena menggunakan dua jenis zat warna. Pada pewarnaan ganda, umumnya pewarnaan yang digunakan satu bersifat asam dan yang lain bersifat basa. Paduan sifat tersebut menyebabkan bagian-bagian yang bersifat asidofilik dan basofilik dapat ditonjolkan, sehingga inti yang bersifat asam akan berwarna biru karena berikatan dengan hematoxillin yang bersifat basa, dan sitoplasma yang bersifat basa akan berwarna merah karena berikatan dengan eosin yang bersifat asam. Tujuan pewarnaan ganda agar terlihat kontras antara bagian yang bersifat asidofilik dan basofilik, sehingga pengamatan bagian tertentu dapat lebih cepat dan jelas terlihat. Setelah proses pewarnaan selesai, sediaan dikeringkan kemudian dilakukan mounting yang merupakan proses penutupan preparat dengan cover glass yaitu dengan cara meneteskan entelan sebanyak 1-2 tetes pada bagian yang ada jaringannya, lalu preparat ditutup dengan cover glass dan selanjutnya dapat dilakukan pengamatan dengan menggunakan mikroskop (Humason 1972).
Pengamatan Preparat Histopatologi Pengamatan preparat histopatologi dilakukan di bawah mikroskop cahaya dengan berbagai pembesaran lensa objektif (20, 40 dan 100 x). Organ-organ yang diamati yaitu paru-paru, hati, limpa, ginjal, omentum, jantung, diafragma, pankreas, lambung, usus, dan otak. Lesio dianalisa secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Feline Infectious Peritonitis (FIP) adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh Feline Enteric Coronavirus (FECV) yang bermutasi menjadi virus ganas yang disebut Feline Infectious Peritonitis virus (FIPV). Kucing yang terinfeksi menyebarkan virus melalui liur dan feses. Setelah kontak, virus mulai berkembang di tenggorokan dan usus halus kucing (Bell et al 2006). Kemudian pindah ke paru-paru, usus dan menyebar diseluruh rongga perut. Hasil pengamatan pada kucing yang berumur empat bulan menunjukkan gejala klinis berupa dispnoe, nafas abdominal dan dalam, anoreksia, pucat, lesu dan lemah.
Gambar 1. Anak kucing Persia berumur 4 bulan (Blaster) yang terinfeksi Feline Infectious Peritonitis virus, terlihat lesu dan lemah.
Pengamatan secara patologi anatomi dari hasil nekropsi, rongga thoraks kucing tersebut dipenuhi cairan transudat dengan warna bening kekuningan, volume cairan kurang lebih berjumlah 100 ml, dan kondisi ini dikenal dengan istilah hidrothoraks, seperti terlihat pada gambar 2.
Gambar 2. Gambaran anatomi patologi cairan transudat pada rongga thoraks (tanda panah), terdapat multi fokus nodul pada permukaan hati (tanda kepala panah).
Secara makroskopis perikard mengalami penebalan, dan dibaliknya terlihat lesio kardiomyopathy, permukaan miokardium tampak pucat, selain itu terlihat deposisi fibrin pada pleura interkostalis dan diafragma, diketahui dengan palpasi pada saaat nekropsi paru-paru terasa keras. Hidropascites ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit, terdapat nodul dekat pankreas dengan insisi padat putih, serta nodul putih halus pada omentum, mukosa mengalami sianotis. terlihat pada gambar 3. Dengan pemeriksaan histopatologi paru-paru tampak mengalami penebalan pleura, atelektasis yang luas atau diffus, infiltrasi sel radang, berupa sel plasma, makrofag dan limfosit, terutama daerah tepi atau yang dekat dengan pleura dan fibrosis di permukaan. Keadaan ini menunjukkan kejadian pleuro pneumoni. Perubahan histopatologi ditunjukkan pada gambar 4, 5 dan 6.
Gambar 3. Gambaran patologi anatomi setelah cairan dikeluarkan (a) Deposisi fibrin pada pleura, mediastinum (b) Paru terlihat gelap, (c) Otot jantung terlihat pucat.
Gambar 4. Gambaran histopatologi paru-paru, lesio berupa fibrosis dan infiltrasi sel radang berupa makrofag dan limfosit di permukaan (tanda panah), pewarnaan HE, skala = 2 µm.
Gambar 5. Gambaran histopatologi paru-paru, struktur alveol tidak mengembang (atelektasis) (tanda panah), hemoragi (H), infiltrasi sel radang (R) menandakan pneumonia, pewarnaan HE, skala = 2 µm.
Gambar 6. Gambaran histopatologi jaringan paru-paru, lesio berupa penebalan pleura (tanda panah), infiltrasi sel radang mononuklear (M), menandakan pleuropneumonia, pewarnaan HE, skala = 2 µm.
Secara histopatologi, pada jantung kucing tidak terlihat penebalan perikardium, namun sitoplasma otot jantung mengalami degenerasi membentuk vakuola dan sitoplasma berisi butiran-butiran protein, seperti pada gambar 7.
Gambar 7. Gambaran histopatologi jantung, lesio berupa degenerasi otot membentuk vakuola dan sitoplasma terlihat berbutir (tanda panah), menunjukan degenerasi otot jantung pewarnaan HE, skala = 2 µm.
Pegamatan secara patologi anatomi pada rongga abdomen cairan bersifat transudat yang disebut sebagai hidropascites dapat berasal dari plasma yang berefusi dari pembuluh darah terutama akibat gangguan keseimbangan protein. Kongesti dan oedema adalah akibat dari penurunan tekanan osmotik darah dan peningkatan tekanan hidrostatik vena. Pada peritoneum yang mengalami peradangan menghasilkan eksudat serous yang merembes keluar (effusi) sebagai produk dari lapisan sel-sel serosa tubuh pelapis rongga yang mengalami peradangan akut. Dengan demikian, semakin hebat pemicu radang peritoneum maka semakin hebat pula kerusakan yang dialami peritoneum, sehingga eksudat yang dihasilkan terakumulasi pada permukaan peritoneum membentuk eksudat serofibrinous. Secara patologi kucing ini mengalami peritonitis fibrinous, pleuritis dan adanya cairan transudat dalam rongga abdomen yang bersifat serofibrinous. Oedema juga terjadi saat ada peningkatan tekanan intravena (tekanan hidrostatik)
terutama akibat gagal jantung dan obstruksi vena pada ujung ekstermitas serta hipoproteinemia (Carlton dan Mc Gavin 1995).
Gambar 8. Gambaran anatomi patologi cairan transudat yang jumlahnya sedikit dalam rongga abdomen bersifat serous (tanda panah).
Rendahnya protein dalam darah berakibat pada dua hal yaitu rendahnya daya ikat air serta penurunan osmolaritas darah. Hal ini berkaitan dengan albumin sebagai komponen protein utama dalam darah yang bertanggung jawab untuk mempertahankan tegangan osmolaritas aliran darah. Daya ikat air yang rendah dan rendahnya tekanan osmolaritas aliran darah menyebabkan air terlepas dan merembes ke luar pembuluh darah, kemudian menurunnya tegangan osmolaritas menyebabkan endotel mengalami perenggangan sehingga cairan merembes ke ekstravaskular (Macfarlane 2000). Otot diafragma secara histopatologi menunjukkan adanya genangan cairan oedema, deposis fibrin, infiltrasi sel radang dari lapis serosa hingga serabut otot yang terdiri dari kumpulan sel radang berupa makrofag dan limfosit berbagai ukuran (gambar 9 dan 10).
Gambar 9. Gambaran histopatologi otot diafragma, radang membentuk fokus granulomatous (tanda panah), pewarnaan HE, skala = 2 µm.
Gambar 10. Gambaran histopatologi otot diafragma, diafragma mengalami oedema, infiltrasi sel radang (tanda panah), pewarnaan HE, skala = 2 µm.
Eksudat fibrinous dapat dilihat pada permukaan organ hati, limpa, kadangkadang pada omentum, serosa saluran pencernaan dan ginjal. Peradangan multi fokal di temukan pada hati, ginjal, paru-paru dan limpa, tetapi fokal inflamasi juga dapat ditemukan pada pankreas, vesica urinaria dan usus. Pada banyak kasus, limfonodus mesenterica dan limfonodus cecal membesar dan terlihat multi fokal nekrotik (Sparkes 2004). Nodul multi fokus secara makroskopis pada permukaan hati terlihat berwarna putih, terlihat pada gambar 11. Histologi hati, sinusoid vena dan sel-sel hati dilapisi oleh dua tipe sel yaitu sel endotel khusus dan sel kupffer yang merupakan makrofag jaringan yang mampu memfagosit bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus. Sel kupffer merupakan makrofag spesifik dalam organ hati yang berasal dari monosit. Kerusakan pada sel hati dapat bersifat tetap ataupun sementara. Sel akan mengalami perubahan untuk beradaptasi mempertahankan hidup pada kerusakan yang bersifat sementara. Perubahan ini disebut dengan degenerasi.
Gambar 11. Gambaran patologi anatomi permukaan hati, lesio sarang radang granulomatous multi fokus.
Terdapat beberapa bentuk kerusakan sel hati berupa degenerasi diantaranya adalah degenerasi lemak dan degenerasi hidropis. Selain itu dapat juga terjadi mineralisasi, nekrosa, pigmentasi. Kerusakan sel yang berkelanjutan dapat menyebabkan sel mengalami kematian, multi fokus nekrotik hepatitis. Pada fokus nodul yang tampak pada perubahan patologi anatomi (gambar 11), secara histopatologi pada organ hati anak kucing tampak adanya fokus-fokus atau multi fokus peradangan terlihat pada gambar 12 dan 13. Perihepatitis yang ditandai oleh infiltrasi sel radang yang didominasi oleh sel mononukleus pada bagian sub serosa kapsula hati (gambar 14). Keadaan ini menunjukkan kejadian hepatitis nekrotika multifokal.
Gambar 12. Gambaran histopatologi hati, lesio berupa multi fokus peradangan (tanda panah), pewarnaan HE, skala = 2 µm.
Gambar 13. Gambaran histopatologi hati, lesio berupa multi fokus peradangan (tanda panah), pewarnaan HE, skala = 2 µm.
Gambar 14. Gambaran histopatologi hati, lesio berupa infiltrasi sel radang yang didominasi oleh sel mononukleus (M), pewarnaan HE, skala = 2 µm.
Gambar 15. Gambaran histopatologi hati, lesio berupa radang pada pembuluh darah (tanda panah), dan fokal diffusi menyeluruh, pewarnaan HE, skala = 2 µm.
Gambar 16. Gambaran histopatologi hati, lesio berupa pembuluh darah dengan endotel yang rusak (tanda panah), pewarnaan HE, skala = 2 µm.
Secara histopatologi pada limpa kucing terlihat mengalami penebalan kapsula, kongesti, fibrosis, endapan protein dan infiltrasi sel radang. Sel pada folikel limfoid mengalami deplesi mengakibatkan penurunan sel-sel limfoid, terutama pada bagian tengah banyak terdapat sel retikulum endoplasmik. Pada pulpa merah terlihat hemosiderin, kongesti, dan adanya sel darah yang pecah. Sinus subkapsularis (trabekula) mengalami kongesti serta banyak makrofag. Keadaan ini memperlihatkan limpa mengalami peradangan yang dikenal dengan sebutan splenitis (Meadows dan Flint 2006).
Gambar 17. Gambaran histopatologi limpa, hadirnya makrofag di sinus medularis limpa (tanda panah), pewarnaan HE, skala = 2 µm.
Gambar 18. Gambaran histopatologi limpa, lesio pulpa merah banyak terdapat hemosiderofag (tanda panah), pewarnaan HE, skala = 2 µm.
Gambar 19. Gambaran histopatologi limpa, lesio berupa penebalan kapsula limpa, infiltrasi makrofag (M) pada sinus subkapsularis, pewarnaan HE, skala = 2 µm.
Gambar 20. Gambaran histopatologi limpa, banyak terdapat sel limfoid sedikit (L), pewarnaan HE, skala = 2 µm.
RES, deplesi folikel
Sel asinar pankreas mengalami degenerasi dan tidak menghasilkan enzim, terlihat pada gambar 21.
Gambar 21. Gambaran histopatologi pankreas, lesio degenerasi dan nekrosa sel asinar dan tidak menghasilkan enzim (tanda panah), pewarnaan HE, skala = 2 µm.
Patologi anatomi ginjal terdapat nodul seperti pada permukaan hati. Histopatologi tubulus ginjal mengalami degenerasi sel lemak pada glomerulus, dilatasi tubulus dan terdapat endapan protein (gambar 22 dan 23). Secara
histopatologi
lambung
kucing memperlihatkan
adanya
erosi,
hiperplasia epitel, edema pada lamina propria dan infiltrasi sel radang mononuclear pada muskularis mukosa. Keadaan ini menunjukkan kejadian gastritis dan peritonitis, terlihat pada gambar 24.
Gambar 22. Gambaran histopatologi ginjal, lesio degenerasi lemak dan degenerasi berbutir epitel tubulus (tanda panah), pewarnaan HE, skala = 2 µm.
Gambar 23. Gambaran histopatologi ginjal, lesio degenerasi tubulus pewarnaan HE, skala = 2 µm.
(tanda panah),
Gambar 24. Gambaran histopatologi lambung, lambung mengalami gastritis. Tampak infiltrasi sel radang pada tunica muscularis (tanda panah), pewarnaan HE, skala = 2 µm.
Hasil pengamatan histopatologi terlihat usus mengalami infiltrasi sel radang pada mukosa dan lamina propria, serta hiperplasia sel epitel penutup (gambar 25 dan 26).
Gambar 25. Gambaran histopatologi usus, lesio hiperplasia sel epitel penutup (tanda panah), infiltrasi sel radang (R) pada bagian sub mukosa, pewarnaan HE, skala = 2 µm.
Gambar 26. Gambaran histopatologi usus, infiltrasi sel radang pada lapisan tunica muscularis (tanda panah), pewarnaan HE, skala = 2 µm.
Pada omentum terjadi akumulasi sel limfoid yaitu berupa sel-sel limfoid mononukleus membentuk gugus. Sel limfositnya tersebar diikuti nodul yang sifatnya nekrotik.
Gambar 27 : Gambaran histopatologi omentum, peradangan pada omentum limfosit (L), pewarnaan HE, skala = 2 µm.
Otak mengalami kongesti, infiltrasi sel radang mononuklear yang berkumpul membentuk fokus radang, degenerasi neuron, proliferasi sel-sel glia, oedema perivascular, hemoragi pada meningen, meningitis, terdapat makrofag dan sel mononuklear.
Gambar 28. Gambaran histopatologi otak, lesio berupa hemoragi dan kongesti kronis pada lapisan meningen (tanda panah), infiltrasi sel radang (R), pewarnaan HE, skala = 2 µm
Gambar 29. Gambaran histopatologi otak, lesio berupa oedema perivascular (tanda panah), pewarnaan HE, skala = 2 µm
Gambar 30. Gambaran histopatologi otak, lesio ruangan oedema perivascular (tanda panah), pewarnaan HE, skala = 2 µm
Gambar 31. Gambaran histopatologi otak, lesio gliosis yang diffus (tanda panah), pewarnaan HE, skala = 2 µm
Sekitar 1–10 hari kemudian virus sudah dapat ditularkan ke kucing lain. Virus ini menginfeksi pembuluh darah sehingga mengalami degenerasi, peradangan sampai rusak. Rusaknya pembuluh darah mengakibatkan terlepasnya cairan ke rongga tubuh (abdominal dan thoraks), kemudian kerusakan pembuluh darah diatasi oleh pembentukan jaringan fibrinous oleh trombosit yang dampak negatifnya dapat menyebabkan embolus hemoragi yang mengobstruksi pembuluh darah. Adanya obstruksi pada pembuluh darah kapiler menyebabkan serum darah merembes keluar menuju rongga tubuh seperti abdominal dan thoraks. Vaskulitis jarang terlihat secara klinis maupun secara patologi anatomi terutama pada kapiler. Oleh karena itu lesio dan gejala klinis yang terlihat akibat infeksi coronavirus pada FIP hanyalah saat peritoneum mulai mengalami peradangan sehingga lebih mudah disebut sebagai peradangan pada peritoneum yang bersifat infeksius pada kucing. Kongesti umum yang terjadi di organ kucing ini penyebabnya dapat merupakan komplikasi dari segala pemicu. Vaskulitis akibat infeksi, kompensasi jantung paru pada kongesti yang berlanjut, kelemahan kontraksi jantung akibat adanya tamponade jantung, serta akibat kerusakan hati yang umum terjadi pada FIP dimana semua lesio patologi anatomi ini dapat ditemukan pada pemeriksaan nekropsi (Hartmann 2003). Bentuk penyakit yang muncul sangat tergantung pada reaksi kekebalan tubuh kucing. Bila kekebalan tubuh bereaksi cepat biasanya yang muncul adalah tipe kering. Sebaliknya bila kekebalan tubuh lambat bereaksi, maka tipe basah yang muncul. Bila respon kekebalan tubuh cukup kuat, gejala penyakit bisa tidak muncul tetapi kucing dapat menjadi carrier dan dapat menularkan virus selama beberapa tahun hingga kekebalan tubuhnya berkurang sedikit demi sedikit. Seiring dengan berkurangnya kekebalan, penyakit akan semakin berkembang hingga timbul gejala sakit dan akhirnya menyebabkan kematian (Foley 2005). Pada bentuk basah terjadi akumulasi cairan di rongga perut dan rongga dada, menyebabkan pembengkakan daerah perut (biasanya tanpa rasa sakit) disertai kesulitan bernafas. Dari pengamatan anatomi patologi dan histopatologi kucing ini terinfeksi virus FIP tipe basah.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Dari pengamatan anatomi patologi dan histopatologi kucing ini terinfeksi virus Feline Infectious Peritonitis (FIP) tipe basah. 2. Pemeriksaan histopatologi sel-sel yang terkena FIP menunjukkan hasil dengan karakteristik peradangan granulomatous. Saran Agen menular lainnya antara lain, Feline Rhinotracheitis, Calicivirus dan Panleukopenia (Distemper) memiliki kemiripan dengan Feline Infectious Peritonitis, oleh karena itu memperhatikan gejala klinis dan anamnase sangat penting agar dapat menjadi bukti yang definitif dalam mendiagnosa.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim 2003 a. Ensiklopedia Indonesia buku petunjuk Anatomi. Hlm. 27. Anonim 2003 b. Ensiklopedia Indonesia buku petunjuk Anatomi. Hlm. 31. Anonim 2004a. Royal Canine, buku petunjuk Sistem Endokrin. Hlm. 6. Anonim 2004b. Royal Canine, buku petunjuk Sistem Endokrin. Hlm. 18. Bell ET, Malik R, Norris JM. 2006. The relationship between the Feline Coronavirus antibody titre and the age, breed, gender and health status of Australia cats. Australian Veterinary Journal.;84(1/2):2-7. Carlton WW and Gavin. 1995. Special Veterinary Pathology. 2nd Edition. St. Louis, Missouri: Mosby-year book,Inc. Ereshefsky, M. 2000. The Poverty of the Linnaean Hierarchy: A Phylosopycal Study of Biological Taxonomy. Cambridge: Cambridge University Press. Hlm. 256-266. Evermann, JF; Henry, CJ; Marks, SL. 1995. Feline infectious peritonitis. Journal of the American Veterinary Medical Association; 206(8):1130-1134. Foley, JE. 1995. Feline infectious peritonitis and feline enteric coronavirus. in Ettinger, SJ; Feldman EC (eds.): Text book of Veterinary Medicine. W.B. Saunders Co. Philadelphia, PA; 663-666. Hartmann K, Binder C, Hirschberger J. 2003. Comparison of different tests to diagnose
feline
infectious
peritonitis.
Journal
of
Veterinary
Medicine.;17(6):781-790. Humason GL 1972. Animal Tissue Technique. WH Freeman and Company. Hlm.3-154 Macfarlane PS., Reid R., Callander. R. 2000. Pathology Illustrated. 5th Edition. China: Churchill Livingstone. P: 64-570. Meadows G dan Flint E. 2006. Buku Pegangan Bagi Pemilik Kucing. Batam: Karisma Publishing Group. Hlm.56-64.
Scott, FW. 1997. Feline infectious peritonitis. in Tilley, LP; Smith, FWK (eds.) The 5 Minute Veterinary Consult. Williams and Wilkins. Baltimore, MD;;586-7. Sherding, RG. 2004. Feline infectious peritonitis. in Birchard, SJ; Sherding, RG (eds.) Saunders. Manual of Small Animal Practice, 2nd ed. W.B. Saunders Co. Philadelphia, PA;;91-96. Simons FA, Vennema H, Rofina JE. 2005. A mRNA s. PCR for the diagnosis of feline infectious peritonitis. Journal of Virological Methods.;124(1/2):111116. Sparkes AH. 2004. Feline Coronavirus Infection. in Chandler EA, Gaskell CJ, Gaskell RM (editor), Feline Medicine and Therapeutics.
Edisi ke-3.
Oxford: Blackwell Pub dan BSAVA. Hlm 623-636. Suwed MA dan Budiana NS. 2006. Membiakkan Kucing Ras. Jakarta: Penebar Swadaya. Hlm. 5-10.