STRATEGI COPING REMAJA KORBAN PERKOSAAN Siti Munawarah
Universitas Muhammadiyah Gresik Email :
[email protected] Abstrak Coping adalah suatu proses dimana individu berusaha untuk “manage” ketidak sesuaian yang dirasakan antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki dalam situasi yang menimbulkan stres (Sarafino, 1994:139). Untuk mengatasi dampak perkosaan baik secara fisik, seksual dan psikis remaja dapat melakukan upaya yang disebut dengan strategi mengatasi masalah atau disebut dengan istilah coping. Penelitian ini mengacu pada The Cope Scale yang dikemukakan oleh Carver karena lebih rinci sehingga diharapkan dapat memperoleh bentuk perilaku coping yang lebih spesifik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perilaku coping remaja korban perkosaan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode kasus eksplanatoris. Informan penelitian ini tidak menggunakan sampel yang besar, melainkan dipilih secara selektif agar sesuai dengan kekhususan masalah penelitian dan kecocokan konteks. Ada beberapa teknik yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini diantaranya : wawancara mendalam, observasi non partisipan, dan tes grafis. Kata Kunci: Coping, remaja korban perkosaan
PENDAHULUAN Latar Belakang Pada kasus perkosaan selalu disebutkan bahwa korban perkosaan adalah perempuan. Secara umum memang banyak perempuan yang menjadi korban perkosaan. Mereka dapat dipaksa untuk melakukan hubungan seksual meskipun tidak menghendaki hal tersebut. Berdasarkan pada pembagian masa remaja yang dimulai usia 10 tahun sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 tahun dan 22 usia. Tabel 1 dan 2 di atas menunjukkan bahwa perkosaan sebagian besar dialami oleh korban berusia remaja. Ada tiga hal yang dilakukan oleh korban perkosaan yaitu : (1) korban menahan perasaan dan berusaha untuk tetap tenang; (2) korban menunjukkan kemarahan, ketakutan, kebencian, menangis,
Jurnal Psikosains, Vol. I/Th. III/Agustus 2008
berteriak, atau apa saja; (3) korban yang menarik diri, menjadi pendiam dan tidak mengucapkan sepatah katapun selama berharihari. Korban perkosaan dapat mengalami akibat yang sangat serius baik secara fisik maupun secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain: (1) kerusakan organ tubuh seperti robeknya selaput darah, nyeri pada perut, luka memar; (2) korban sangat mungkin mengalami penyakit menular seksual (PMS); (3) kehamilan tidak dikehendaki. Reaksi fisik dan psikis yang muncul juga berbeda-beda, antara lain: nafsu makan menurun, susah tidur, sakit kepala, lelah fisik, rasa sakit di daerah perut, rasa tidak enak di sekitar vagina (alat kelamin perempuan), dan merasa pembengkakan di sekitar sekujur tubuh. Korban juga dapat merasakan sakit pada satu tempat tertentu di tubuhnya, biasanya di daerah di mana terjadi tekanan yang hebat (Kalyanamitra, 2002:6-8). Untuk mengatasi dampak dari perkosaan baik secara fisik, seksual maupun psikis, remaja dapat melakukan upaya yang disebut strategi mengatasi masalah atau dikenal dengan istilah coping. Bentuk-bentuk perilaku coping menurut Carver yang mendasari dibuatnya the COPE scale adalah: Active coping; Planning; Suppression of competing activities; Restraint coping; Seeking sosial support for instrumental reasons; Seeking social support for emosional reasons; Positive reinterpretation and growth; Acceptance; Turning to religion; Focus and fenting emotion; Denial; Behavioral disengagemen; Mental disengagement; Alcohol and/or other drugs; (Schafer, 2000:297-298); Humour; (Bright, 2001:146). TINJAUAN PUSTAKA Remaja Menurut Hurlock istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang yang luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Pandangan ini didukung oleh Piaget yang mengatakan secara psikologis remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi kedalam masyarakat dewasa, suatu masa dimana anak tidak lagi merasa bahwa dirinya berada dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama atau paling tidak sejajar (Asrori, 2005:9). Karakteristik perkembangan remaja Remaja awal merupakan masa percepatan pertumbuhan fisik. Hormon-hormon pertumbuhan dan hormon-hormon seks bekerja
80
Siti Munawarah, Strategi Coping Remaja….
sangat efektif, mengakibatkan percepatan tinggi badan (height spurt) serta pemasakan organ-organ seks primer dan sekunder. Terdapat perbedaan waktu dan karakteristik penampilan fisik antara remaja laki-laki dan perempuan. Remaja perempuan mengalami percepatan pertumbuhan dua tahun lebih awal daripada laki-laki (Kimmel & Weiner,1995:77). Meningkatnya minat seks pada remaja menyebabkan remaja selalu berusaha mencari tahu lebih banyak informasi mengenai seks. Oleh karena itu, remaja mencari berbagai sumber informasi yang mungkin dapat diperoleh, misalnya hygiene seks di sekolah atau perguruan tinggi, membahas dengan teman-teman, buku-buku tentang seks, atau mengadakan percobaan dengan jalan mastrubasi, bercumbu, atau bersanggama. Coping adalah suatu proses dimana individu berusaha untuk “manage” ketidak sesuaian yang dirasakan antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki dalam situasi yang menimbulkan stres. Kata “manage” dalam definisi ini menunjukkan bahwa usaha individu untuk coping terhadap situasi yang berbeda-beda dan tidak selalu merupakan pencegahan terhadap masalah. Usaha tersebut sekaligus dapat memperbaiki dan membantu untuk mengubah persepsinya mengenai ketidak sesuaian, mentoleransi atau menerima penderitaan atau ancaman dan melarikan diri atau menghindari situasi (Sarafino, 1994:139). Menurut Fleming, Baum & Singer (Terry, 1994: 895), strategi coping merupakan cara-cara kognitif maupun perilaku yang digunakan seseorang untuk mengurangi efek stres. Usaha untuk mengurangi efek stres dapat dilakukan dalam dua cara, yakni dengan mengubah sumber masalah dan mengontrol respon emosi yang timbul akibat masalah (Sarafino, 1994:140). Cara-cara yang langsung diarahkan pada sumber masalah disebut sebagai Problem-Focused Coping. Cara-cara untuk mengurangi rasa tidak nyaman akibat stres tanpa berusaha mengubah sumber masalah disebut sebagai EmotionFocused Coping. Coping sebagai proses Transaksional Coping merupakan proses transaksional yang dinamik antara individu dengan lingkungan, melibatkan rangkaian penilaian dan penilaian kembali yang terus-menerus. Lazarus (Cox, 1995:27) menyebutkan bahwa coping memiliki tiga karakteristik utama : Sebagai suatu proses, coping hendaknya dipandang lepas dari hal atau akibat yang di timbulkannya. Coping adalah usaha individu
81
Jurnal Psikosains, Vol. I/Th. III/Agustus 2008
untuk mengelola stres, dan usaha ini tidak selalu berhasil mengurangi efek stres yang dialaminya. Stresor tambahan dari peristiwa-peristiwa lain. Strategi coping erat kaitannya dengan keyakinan individu terhadap kemampuannya mengubah situasi sulit yang dialami (Sarafino,1994: 140-141). Strategi problem-focusedcoping cenderung dipilih jika individu menilai keadaan dapat diubah atau merasa mampu memiliki sumber daya memadai untuk mengubahnya. Strategi emotion-focused coping cenderung digunakan jika individu menilai dirinya tidak mampu atau tidak memiliki sumber daya memadai untuk mengubah keadaan. Sebagai proses transaksional, kedua strategi coping tersebut dapat dilakukan oleh seseorang untuk menghadapi stres yang sama. Keduanya dapat sama-sama efektif untuk menurunkan stres, namun ketergantungan seseorang kepada emotional-focused coping dapat berakibat negatif dalam jangka panjang. Analisis Suls & Barbara (Sarafino,1994: 143) menyimpulkan bahwa strategi penghindaran (avoidance) dapat menguntungkan dalam jangka pendek, misalnya pada tahap-tahap awal stres. Bentuk-bentuk strategi Coping Billing & Moos (1984: 877-891) mengelompokkan coping menjadi tiga, yaitu Appraisal Focused Coping, Problem- Focused Coping (PFC), dan Emotion Focused Coping (EFC). Lisa G. Aspinwall dan Shalley E, Taylor dalam penelitiannya mengenai pengaruh individual differences dan perilaku coping terhadap proses performance dan penyesuaian diri mahasiswa mengelompokkan perilaku coping menjadi active coping dan avoidant coping. Active coping adalah perilaku coping yang lebih cenderung berorientasi pada penyelesaian masalah (problem focused coping) dan mencari dukungan sosial (seeking socialsupport). Faktor yang mempengaruhi strategi coping Berbagai faktor kepribadian menpengaruhi coping yang digunakan individu dalam cara yang positif maupun dalam cara yang negatif. Kobasa (1982) mengatakan bahwa individu yang teguh (hardinees) yang dikarakteristikkan dengan komitmen dan kontrol diri yang tinggi serta suka akan tantangan, akan melihat kehidupan yang menimbulkan stres sebagai suatu kesempatan untuk berkembang daripada sebagai suatu ancaman, sehingga mereka cenderung menggunakan perilaku coping yang efektif. Scheier et al
82
Siti Munawarah, Strategi Coping Remaja….
mengemukakan bahwa optimisme merupakan strategi yang efektif dalam penilaian mengatasi masalah (Taylor, 1991 : 240). Penilaian kognitif (cognitive appraisal) adalah istilah yang digunakan Lazarus untuk menggambarkan interpretasi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup mereka sebagai sesuatu yang berbahaya, mengancam, atau menantang dan keyakinan mereka apakah mereka memiliki kemampuan untuk menghadapi suatu kejadian dengan efektif (Santrock, 2002: 563). Keterampilan sosial Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat. Dukungan sosial ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan sekitarnya. Dukungan dapat diberikan dalam berbagai bentuk. Para ahli mengelompokkan bentuk-bentuk dukungan sosial dalam lima tipe dasar (Sarafino, 1994:103), yakni dukungan emosional, esteem support, dukungan instrumental, dukungan informasional, dan network support. Perkosaan Menurut Wignjosoebroto yang dimaksud dengan pemerkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual seorang (lelaki) terhadap seorang korban (biasanya perempuan) dengan cara menurut moral atau hukum yang berlaku adalah melanggar. Brownmiller mendefinisikan sebagai pemaksaan terjadinya hubungan seks terhadap perempuan tanpa persetujuan ataupun tanpa kehendak yang disadari oleh perempuan tersebut (Hariadi, 2000). Tindak perkosaan dalam sistem hukum negara kita diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang pengaturannya tertuang dalam pasal-pasal berikut : Pasal 285: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun” Jenis Perkosaan ada lima macam, yakni perkosaan oleh orang yang dikenal, perkosaan saat kencan, perkosaan dengan ancaman halus, perkosaan di dalam perkawinan, dan perkosaan oleh orang
83
Jurnal Psikosains, Vol. I/Th. III/Agustus 2008
yang tidak dikenal. Hubungan antara pelaku dan korban Adanya anggapan masyarakat bahwa perkosaan dilakukan secara spontan dan tiba-tiba jelas tidak terbukti. Pelaku perkosaan telah mengenal dengan dekat dan tahu kebiasaan korban sehingga dapat merencanakan perkosaan tersebut dengan teliti. Menurut Parrot seorang pakar tentang date rape, perkosaan dengan pelaku yang dikenal oleh korban mengalami penyembuhan yang lebih sedikit dibandingkan korban perkosaan dengan pelaku yang tidak dikenal korban. Hal tersebut dapat diakibatkan karena korban yang mengalami perkosaan oleh orang yang dikenal menyimpan kenyataan dampak dari serangan yang dialaminya dalam jangka waktu yang lebih lama (Faturochman, 2002:19). Kota tempat kejadian perkosaan Menurut daerah terjadinya, mayoritas tempat yang potensial bagi terjadinya tindak pelecehan dan kekerasan seksual adalah di kota-kota besar dan kota-kota menengah. Situasi lingkungan di berbagai kota besar yang umumnya ananonim, dan hubungan yang saling acuh tak acuh dan impersonal antar rumah tangga satu dengan yang lain akan menyebabkan kemungkinan terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual tingkat keluarga menjadi lebih besar. Banyaknya kawasan-kawasan yang umum berada di luar jangkauan pengawasan sosial keluarga atau pelaksana-pelaksana kontrol sosial yang lain atau yang disebut oleh Soetandyo Wignjosoebroto (1997) sebagai zonezone netral tidak pelak menyebabkan lingkungan sosial kota besar menjadi lebih rawan bagi anak perempuan (Suyanto, 2002: 189). Dampak Perkosaan Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres paska perkosaan yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi merupakan reaksi paska perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah pada diri sendiri (self-blaming), takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa percaya diri yang rendah, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan. Stres jangka panjang yang berlangsung lebih dari 30 hari juga dikenal dengan istilah PTSD atau
84
Siti Munawarah, Strategi Coping Remaja….
Post traumatic Stres Disorder (Faturochman, 2002 : 6). Biasanya korban perkosaan akan menunjukkan perilaku sebagai berikut : 1. Tidak mampu memusatkan perhatian. 2. Sering salah ucap dalam bicara. 3. Penampilan tidak rapi atau tidak terurus. 4. Banyak melamun dan sulit bicara. 5. Cemas, sikapnya grogi atau serba canggung. 6. Tegang, tampak serba bingung dan panik, mata melihat kesana kemari. 7. Menperlihatkan amarah dan kebencian. 8. Depresif, sedih dan putus asa, perasaan menjadi sensitif dan mudah salah sangka. 9. Cenderung merasa bersalah. 10. Mudah curiga pada orang lain. Problem-problem kesehatan pada korban perkosaan meliputi : 1. Luka-luka kemaluan 2. Penyakit yang menular lewat hubungan seks 3. Kehamilan yang tidak di inginkan METODOLOGI PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus eksplanatoris. Metode studi kasus menurut Poerwandari melibatkan penyelidikan yang lebih mendalam dan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap tingkah laku individu berkaitan dengan reaksi dan kemampuan individu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Kasus itu sendiri oleh Poerwandari didefinisikan sebagai fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi (bounded context), meski batas-batas antara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas. Kasus dapat berupa individu, kelompok kecil, organisasi, komunitas, atau bahkan suatu bangsa. Penelitian ini menggunakan desain multi kasus holistik karena peneliti ingin meneliti lebih jauh sebuah kasus tunggal dan mengkaji sifat umum dari variabel yang bersangkutan. Bukti dari multi kasus seringkali dipandang lebih mendorong dan keseluruhan penelitiannya dipandang lebih kuat dibanding kasus tunggal. Desain multi kasus harus mengikuti logica replica, artinya logika yang menggarisbawahi studi multi kasus harus sama, dan setiap kasus harus dapat memperbaiki hasil yang berupa dan menghasilkan latar
85
Jurnal Psikosains, Vol. I/Th. III/Agustus 2008
belakang berbeda untuk alasan-alasan tertentu seperti yang diprediksi sebelumnya (Yin, 1994:47). Berdasarkan pertanyaan penelitian dalam Bab pendahuluan, maka unit analisis dalam penelitian ini adalah remaja, strategi coping, dan perkosaan Teknik Pengumpulan Data Ada beberapa teknik yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini diantaranya: 1. Wawancara Mendalam (Indepth Interviuw) 2. Observasi non partisipan Validitas dan Realibilitas Penelitian Validitas penelitian, konstruk, internal, eksternal dan realibilitas penelitian Teknik analisis data Analisis data dimulai dengan wawancara berdasarkan topik (tematik) pada materi yang diperoleh dari masing-masing kasus. Selanjutnya penganalisaan data secara perkasus dan memberikan penjelasan landasan kepustakaan yang terkait atau logika logis disebut explanation building, setelah data dianalisa perkasus, hasil analisa tersebut dikombinasikan antara kasus satu dengan yang lain kemudian data temuan lapangan tersebut dibandingkan pola, karakter, dan cirinya dari teori yang dipakai, hal ini disebut dengan pattern matching. Hasil dari pattern matching menguatkan validitas internal penelitian studi kasus (Yin, 1994:106-110). PEMBAHASAN Hasil Penelitian (Kasus 1) Observasi ini dilakukan sebanyak empat kali terhadap identitass korban satu Wawancara ayah korban seorang pensiunan AD dan ibu seorang ibu rumah tangga, sehingga perekonomian keluarga ditopang oleh korban dan ketiga kakaknya. Relasi keluarga korban sangat dekat, menurut penuturan korban kalau meminta nasehat biasanya sama ibu dan kakak perempuannya. Menurut penuturan ibu, korban dekat dan manja dengan ibu. Kehidupan agama dirumah korban cukup religius, korban biasanya ikut pengajian, tadarusan, dan menjadi anggota remaja Masjid.
86
Siti Munawarah, Strategi Coping Remaja….
Latar belakang pendidikan Korban menyelesaikan sekolah di Sidoarjo. Prestasi korban sewaktu sekolah baik, waktu sekolah Madrasah (SD) korban rangking 1 terus, kemudian SMP korban masuk kelas unggulan karena sering masuk 3 besar. Relasi sosial korban dengan lingkungan (teman sekolah, permainan, tetangga atau organisasi) cukup baik. Korban sering mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan dikampungnya. Kehidupan emosi korban lebih suka memendam perasaan saat sedih ataupun marah. Menurut penuturan korban, dia hanya diam ketika barang-barangnya ada yang hilang di loker tempat dia bekerja. Korban juga sering memendam amarahnya saat dicemooh oleh teman kerjanya karena takut. Korban mengakui bahwa dia termasuk orang yang pasif. Deskripsi kasus pada tanggal 7 Maret korban berkenalan dengan pelaku melalui telefon. Setelah 1 bulan berkenalan, pelaku datang ke rumah korban dan mengajak korban jalan-jalan ke Mall Sidoarjo. Ibu sempat melarang korban ke luar bersama pelaku karena melihat sikap pelaku yang seperti pencuri. Ketika ibu bertanya dimana rumahnya, pelaku memberi jawaban yang tidak jelas, pelaku juga menjulurkan lidah kepada ibu korban. Di Pandaan pelaku memberi korban air mineral yang isinya tinggal setengah, dan menyuruh korban untuk meminumnya. Korban sempat menolak namun setelah dirayu oleh pelaku yang bersumpah demi nama Allah akan menbawa korban jalan-jalan ke Mall, korban mau meminum air tersebut.setelah korban meminum air tersebut, pelaku menarik korban ke dalam kamar, dan korban berteriak minta tolong. Pelaku menyuruh korban untuk diam dengan menampar korban sebanyak 4 kali di daerah muka dan kening sewaktu korban bersembunyi di bawah tempat tidur. Setelah di perkosa, korban diturunkan di tengah jalan. Stresor setelah diperkosa Korban menceritakan kejadian tersebut kepada salah satu teman kerja yang telah berjanji tidak akan menceritakan pada yang lain namun ternyata korban dikhianati. Cerita tersebut akhirnya diketahui oleh (1unit) 150 teman korban yang lain. Di tempat kerja korban kehilangan jaket di lokernya dan menemukan jaket orang lain sehingga korban berpikir mungkin tertukar dengan teman yang lain. Satpam yang mengetahui kejadian
87
Jurnal Psikosains, Vol. I/Th. III/Agustus 2008
tersebut menuduh korban mencuri dan menarik paksa korban ke kantor kemudian mengancam korban untuk mengakui perbuatannya atau korban dikeluarkan dari pekerjaan. Perlakuan Satpam tersebut membuat korban teringat kembali pada perkosaan yang dialaminya ketika ditarik paksa oleh pelaku masuk ke dalam Villa. Teman-teman kerja korban juga menuduh korban dengan mengatakan “sudah diperkosa, stress, maling jaket lagi”. Sebelum perkosaan terjadi, menurut penuturan ibu korban termasuk anak yang rajin, bersih, sangat rapi menata baju di lemari, pola makannya teratur. Korban termasuk orang yang cepat akrab dengan orang yang baru dikenal sehingga memiliki banyak teman bahkan yang datang ke rumah bisa 8 orang sehari, namun semenjak perkosaan tersebut korban menjadi takut didekati oleh orang yang baru dikenal. Setelah diperkosa, korban tidak mau mandi, tidak mau makan, suka melamun di depan pintu, mata berkaca-kaca tapi tidak keluar airmata dan lemari pakaian tidak rapi bahkan CD dan pembalut berserakan di bawah tempat tidur. Bila ditanya korban hanya menjawab tidak ada apa-apa, dan korban terkadang marah-marah dan ngomong tidak jelas. Perilaku coping setelah diperkosa Mendengar hasil visum dari Dokter, korban rutin meminum jamu sepet wangi 2 kali sehari agar vagina korban kembali rapat. Korban juga rutin minum obat dari Dokter yang ada di PPT agar dapat tidur. Korban berusaha melupakan kejadian tersebut, dengan tinggal di rumah neneknya yang terletak di daerah Pandaan. Di tempat tersebut, korban menyibukkan diri dengan kembali bekerja menjahit tas, dan memiliki teman baru yang membantu korban melupakan kejadian tersebut. Peran keluarga, teman, lingkungan sekitar dalam proses coping. Ketika korban menceritakan perkosaan tersebut kepada ibu, reaksi ibu tenang dan mengajak korban untuk cepat melapor ke pihak yang berwajib. Selama proses penyelidikan berlangsung keluarga terutama ibu selalu mendampingi korban. Keluarga juga selalu berusaha memenuhi kebutuhan korban seperti obat-obatan, dan makanan. Keluarga juga menyakinkan korban bahwa semuanya sudah berlalu dan kondisi korban akan semakin membaik. Hal ini membuat korban merasa diterima dan dicintai. Teman dekat korban juga memberi dukungan emosional dengan mengatakan bahwa
88
Siti Munawarah, Strategi Coping Remaja….
kejadian tersebut sebaiknya dilupakan, dan diambil hikmahnya. Korban membutuhkan lingkungan baru dan teman yang mau menerima keadaan korban dan tidak menyalahkan korban atas kejadian tersebut. Identitas korban penelitian 2 (korban 2) Observasi ini dilakukan sebanyak empat kali terhadap identitass korban dua. Korban merupakan anak pertama dari 3 bersaudara. Hubungan korban dengan keluarga cukup dekat, menurut penuturan ayahnya, korban manja dengan ayahnya. Menurut penuturan mbak Yanti, sebelum kejadian hubungan korban dengan orang tua tidak begitu dekat, bahkan orangtua sempat bertengkar karena korban tidak mau membantu melakukan pekerjaaan domestik seperti menyapu dan mengepel. Setelah terjadi perkosaan, hubungan korban dengan orang tua menjadi dekat. Ayah korban bekerja di pabrik susu, sedangkan ibu sebagai ibu rumah tangga. Ayah orang Madura dan ibu orang Jawa. Kehidupan emosi Korban mengekspresikan marahnya melalui intonasi suara yang tinggi dengan mata melotot. Bila tidak suka pada sesuatu hal, korban langsung protes, seperti ketika korban marah kepada ibunya yang diminta oleh korban untuk memanggilkan ayahnya karena sepeda mau dipakai oleh korban ke sekolah tetapi ibu malah menyuruh korban untuk naik angkutan umum. Deskripsi kasus Korban keluar bersama teman-temannya dengan alsan ingin melihat bazar. Korban tidak pulang selama 2 hari, dan ayah kebingungan mencari korban. Akhirnya korban ditemukan pingsan oleh Polisi di bawah jembatan Kebun Binatang Surabaya. Ayah langsung membawa korban ke rumah saudaranya yang berada di daerah Kapasan, untuk menemui orang pintar yang dipanggil dengan sebutan Abah. Di sana korban diberi minuman yang sudah didoakan untuk melupakan bayangan pelaku. Di persidangan korban mengaku pernah ditampar 2 kali oleh pelaku bila menolak melakukan hubungan seksual menurut penuturan mbak Yanti, korban sempat shock karena tidak menyangka diperkosa oleh pacarnya sendiri.. Stresor yang dirasakan
89
Jurnal Psikosains, Vol. I/Th. III/Agustus 2008
Korban merasa takut diteror oleh pelaku di sekolahnya, karena rumah korban juga pernah diteror oleh seseorang yang mengaku sebagai ayah pelaku dan saudara korban juga sering menyamar sebagai pengamen agar dapat melihat keadaan korban. Ayah merasa tertekan, melihat korban yang tidak mau bicara hanya menonton televisi dan kembali masuk ke kamar. Ayah korban juga merasa tertekan dengan hasil visum yang menyatakan bahwa korban masih perawan namun ternyata korban hamil. Untuk menggugurkan kandungan tersebut, ayah korban memberi minuman durian muda dan nanas muda atas saran nenek korban. Selama di persidangan ayah korban merasa dipojokkan dan tidak puas akan hukuman yang diberikan kepada pelaku. Ayah korban berniat menuntut balik, tetapi karena masalah dana akhirnya tuntutan tersebut dibatalkan. Sebelum perkosaan terjadi, menurut penuturan ibunya korban termasuk anak yang rajin merawat diri dan sering keluar rumah. Setelah diperkosa korban malas merawat diri, tidak mau keluar rumah dan tidak mau melanjutkan sekolah. Perilaku coping setelah diperkosa Setelah diperkosa, ayah membawa korban ke rumah saudaranya di daerah Kapasan, di tempat tersebut korban diberi minuman untuk melupakan bayangan pelaku. Korban juga diberi minuman berupa durian muda dan nanas muda untuk menggugurkan kandungan. Hal ini dilakukan oleh ayah korban karena tidak tega melihat korban yang bila menikah dengan pelaku hidupnya akan menderita karena pelaku seorang pemabuk dan tidak bekerja. Keluarga selalu mendampingi korban khususnya selama proses persidangan. Teman-teman korban juga tidak ada yang mengetahui kejadian tersebut sehingga korban merasa nyaman. Tetangga korban tidak memberikan komentar apapun hanya memandang korban. Menurut penuturan ayahnya, korban membutuhkan teman untuk berbagi agar dapat melupakan kejadian tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN Remaja korban prekosaan menggunakan bentuk coping active coping, seeking social support for emosional reason, seeking social support for instrumental reasons, planning, restrain coping, alcohol and / or other drugs, focus and fenting emotion turning to religion, mental disengagement, humor.
90
Siti Munawarah, Strategi Coping Remaja….
Faktor pendukung keberhasilan coping adalah dukungan dari orang-orang di sekitar korban. Proses penyembuhan korban dari trauma perkosaan ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan ini diperlukan untuk membangkitkan semangat korban dan rasa percaya diri korban kembali meningkat. Korban perkosaan membutuhkan kawan bicara baik teman, orangtua, saudara, pekerja sosial atau siapa saja yang dapat mendengarkan keluhan mereka. Diharapkan dengan adanya dukungan ini maka korban akan mampu berdaya dan menjalani hidupnya seperti sedia kala. Saran bagi penelitian selanjutnya informasi yang diperoleh dari key person dalam penelitian ini sangat penting, sehingga bila memungkinkan hendaknya wawancara yang dilakukan dengan key person dilakukan lebih intensif. Saran bagi komunitas Psikologi hendaknya hasil penelitian ini dapat diaplikasikan sebagai pedoman dalam melakukan terapi psikologis. Saran bagi korban memotivasi diri sendiri untuk belajar menerima keadaan dan mencari dukungan sosial kepada orang-orang yang dipercaya akan sangat membantu proses penyembuhan kondisi psikologis korban. Saran bagi keluarga, teman yang terlibat langsung dengan dengan korban. Meningkatkan dukungan psikologis, baik berupa motivasi, layanan informasi dan layanan kesehatan di rumah.Tidak melakukan diskriminasi terhadap korban. Saran bagi masyarakat adalah untuk mengeliminasi agar tidak terjadi proses perkosaan yang kedua kali oleh masyarakat terhadap korban perkosaan, maka yang diperlukan disini adalah kedewasaan dan kesadaran masyarakat terhadap penderitaan anak perempuan yang menjadi korban perkosaan. Selama ini sering terjadi lingkungan sosial korban bukannya berusaha mendukung rehabilitasi atau pemulihan kondisi psikologis korban, tetapi budaya dan norma sosial yang berlaku dimasyarakat sering kali justru bersifat kontradiktif; ikut-ikutan menghakimi korban, mempergunjingkan, mempermalukan atau minimal memberikan tatapan “aneh” yang justru terkesan memojokkan korban.
DAFTAR PUSTAKA
91
Jurnal Psikosains, Vol. I/Th. III/Agustus 2008
Allen, BP. 2003. Personality Theories : Development Growth and Diversity (4th ed). Boston : Pearson Education, Inc. Amirkhan, H. 1990. A Factor Analytically Derived Measure of Coping : The Coping Strategy Indicator. Journal of Personality and Social Psychology, 59, 1066-1074. Aspinwall, L.G & taylor. S.E. 1992. Modelling Cognitive Adaptation : A Longitundinal Investigation of the Impact of Individual Differences and Coping on College Adjusment and Perfomance. Journal of Persoanlity and Social Psychology. 63, 989-1003. Baihaqi, MIF. 1999. Anak Indonesia Teraniaya Potret Buram Anak Bangsa. Bandung : PT. Raja Grafindo Persada. Billing & Moos, 1984. Coping Stres and Social Resources Among Adult with Unipolar Depression. Journal of Personality and Social Psychology, 31, 877-891. Cox, T. 1995. Stres, Coping and Phsycal Health dalam A. Broome & S.Llewelyn (editor). Health Pschology : Processes Applicated (2nd ed). Chapman & Hall. Etsem, B.M. Ekowarni, E.Patnani, M.2002. Kekerasan Fisik Terhadap Anak dan Strategi Coping yang dikembangkan Anak. Indegenous, Jurnal ilmiah berkala Psikologi. Vol. 6. No.1,40-51. Faturochman, Sulistyaningsih, E.2002. Dampak Sosial Perkosaan. Buletin Psikologi. Tahun X Nomor 1, hal : 9-20. Gadis Diperkosa Lima ABG. (23 Juni 2006). Jawa Post, hal 17. Hariadi, S. 2000. Anak perempuan Korban Kekerasan Seksual. Surabaya : Lutfansah Mediatama. Hayati, E.N. Panduan untuk Pendampingan Perempuan Korban Kekerasan Konseling Berwawasan Gender. Yogyakarta : Rifka Annisa Hukum Saja tak Cukup Membantu Koran Perkosaan Memikul Beban. Republika, 30 Juli 2005. Irfan, M.Wahid, A. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi Perempuan. Bandung : Refika Annisa. Kalyamitra, 2005. Data Kasus Perkosaan. Jakarta : Tidak diterbitkan. Kimmel, D.C. Weiner, I.B. 1995. Adolescence : A Development Transition (2nd ed). John Willey & Sons Inc.
92
Siti Munawarah, Strategi Coping Remaja….
LBH & KPPD. 2000. Data Korban Perkosaan Jawa Timur. Surabaya : Tidak diterbitkan. LBH & KPPD. 2005. Data Korban Perkosaan Jawa Timur. Surabaya : Tidak diterbitkan. Monks, F.J, Knoers, A.M.P & Haditono, S.R. 1989. Psikologi Perkembangan. Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. PPT. 2005. Data Kasus Korban Perkosaan Jawa Timur. Surabaya : Tidak diterbitkan. Sarafino, E.P. 1994. Health Psychosocial Interactions (2nd ed). John Wiley & Sons, Inc. Santrock, W.J. 2003. Adolescence perkembangan Remaja. Jakarta : Erlangga. Suyanto, B. Hariadi, S.S. 2002. Krisis dan Child Abuse. Surabaya : Erlangga University Press. Terry, D.J. 1994. Determinant of coping : The Role of stable and Situasional factors. Journal of personality and social Pshchology. Vol 66. No. 5. 895-910. Taslim, A. 1995. Bila Perkosaan terjadi. Jakarta : Kalyanamitra, Komunikasi dan informasi perempuan. Taylor, S.Peplau, E.Anne, L & Sears, D.O. 1997. Social Psychology (9th Ed). New Jersey : Prentise-Hall. Taylor, S.E. Health Psychology (13th ed). New York : Mc. Graw Hill, Inc. Warshaw, R. 1994. I never Called it Rape. New York : Ms. Foundation for Education and Commuication, Inc. Yusuf, S. 2005. Psikologi perkembangan Anak & Remaja. Bandung : PT.Remaja Roda Karya. Younis, J & Smollar, J.1985. Adolescent Relation with Mother, father, and Friend. The University of Chicago Press. Zimbardo, P.G & Gerrig, R.J. 1996. Psychology and Life (14th ed). Harper Collins College Publisher.
93