KECEMASAN DAN STRATEGI COPING REMAJA PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN Oleh : Ulfa Dyah Mustika
[email protected] Program Studi Psikologi, FISIP, Universitas Brawijaya ABSTRACT Anxiety has occurred among teenegers in Juvenile Penitentiary. This anxiety may be insignification because it is still easily eliminated or kept minimally. The objective of research is to understand anxiety symtomps and coping strategies used by te homicide proprietor teenagers at Juvenile Penitentiary in Blitar. Research type is qualitative with phenomenology structure. Data collection techniques are interview, observation and documentation. Data analysis involves data reduction, data display and deductive conclusion. General symptomp of anxiety in all subject include (a) pyschological components such as restless, worried, insecure, and frightened; (b) physiological component such as scratching the limb, inhaling deep breath, trembling, and diarrhea; and (c) social components such as abnormal behavior and insomnia. Specific symtomps of DYR Subject are closely related with psychological components, mainly strained. All subject have implemented several coping strategies such as (a) psychological component, by expressing the complaint verbally with rommated, parent and visiting relative; (b) socializing with friend; and (c) social component, by telling stories with rommates and/or by reading books. Specific coping startegy used by AJ Subject is Psychological component, which is by writing a diary and by watching over family photographs. DYR Subject takes few options such as reciting Holy Book, comprehending Islam Science, and playing a ball. Coping strategies suggested by Skinner include : (a) problem focused coping and (b) Emotional- focused coping. Keywords: teenagers, homicide proprietor, anxiety, coping
ABSTRAK Kecemasan dapat terjadi pada remaja di LAPAS Anak, namun mereka mempunyai cara meminimalisasi/menghilangkan. Penelitian ini bertujuan mengetahui gejala kecemasan dan strategi coping remaja pelaku tindak pidana pembunuhan di LAPAS Anak Blitar. Jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi ini menggunakan teknik wawancara, observasi, dan studi dokumentasi untuk mengumpulkan data. Analisis data dilakukan melalui reduksi data, display data dan penarikan kesimpulan secara deduktif. Gejala kecemasan semua subjek adalah: (a) komponen psikologis berupa kegelisahan, kecemasan, rasa tidak aman, takut; (b) kompoenen fisiologis berupa:sering menggaruk anggota badan, menghela nafas panjang, gemetar, diare; (c) komponen sosial berupa tingkah laku, dan gangguan tidur. Gejala khusus (subjek DYR) adalah pada komponen psikologis berupa tegang. Semua subjek melakukan strategi coping berikut (a)komponen psikologis, dalam bentuk menyampaikan keluhan secara lisan kepada teman sekamar dan orang tua atau saudara yang menjenguk; (b) bersosialisasi dengan teman; (c) komponen sosial, dalam bentuk bercerita kepada teman sekamar dan membaca buku. Strategi coping khusus pada subjek AJ, yaitu dalam komponen psikologis, dalam bentuk membuat catatan harian (diary) dan melihat foto-foto keluarga. Sedangkan subjek DYR, mengaji, memperdalam ilmu agama Islam, memainkan bola. Strategi coping tersebut sesuai pendapat Skinner, yaitu: (a) Problem-focused coping, (b) Emotional Focused Coping. Kata-kata kunci: remaja, pelaku pembunuhan, kecemasan, coping
1
PENDAHULUAN Remaja adalah seseorang yang ada pada masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dengan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial–emosional yang usianya antara 12 sampai dengan 19 tahun (Santrock, 2003). Salah satu individu yang ada dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak di Indonesia adalah remaja. Setiap remaja mempunyai tugas perkembangan berupa serangkaian keterampilan dan kompetensi yang harus dicapai atau dikuasai pada tahapan perkembangan tertentu (Wong, 2009).
Tugas perkembangan tersebut harus dilakukan individu sesuai dengan norma-norma dalam
masyarakat (Dharmanjaya & Agency, 2009). Tugas perkembangan remaja menurut Havighurst (dalam Sarwono, 1997) yaitu: (a) menerima kondisi fisiknya dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif; (b) menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebayanya dari jenis yang sama atau berbeda, (c) mencapai peran sosial pria dan wanita, (d) mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, (e) mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya, (f) mempersiapkan karier ekonomi, (g) mempersiapkan perkawinan dan keluarga, (h) memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku–mengembangkan ideologi. Remaja dapat memilih cara untuk memenuhi tugas perkembangannya, karena menurut Hurlock (dalam Afrinisna, 2013) status remaja dapat menguntungkan karena memberikan kebebasan pada remaja untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya. Untuk mengetahui apakah perkembangan perilaku individu efektif atau tidak dapat dilihat dari tingkat pencapaian tugas- tugas perkembangan dalam setiap tahap perkembangan (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, 2007). Jika batasan usia tersebut dikaitkan dengan ketentuan dalam hukum pidana, maka sebagian masa remaja tersebut termasuk dalam pengertian anak yaitu berusia antara 12 sampai 18 tahun (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Remaja yang terbutkti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pembunuhan akan dijatuhi pidana penjara oleh hakim melalui putusan pengadilan, kemudian dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan Anak (LAPAS) Anak untuk dididik dan dibina (Widodo, 2013). Tidak jarang sesorang yang masuk dalam LAPAS Anak pertama kali akan merasakan kecemasan karena mereka perlu beradaptasi dengan lingkungan barunya dan juga dengan peraturan yang sangat ketat dan jika dilanggar akan mendapatkan sanksi. Pengertian kecemasan menurut Kaplan dan Sadock (2010) adalah suatu indikator yang menyadarkan; ia memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk megatasi ancaman. Berkaitan dengan adanya kecemasan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dan strategi coping yang dilakukan, Vareoy (dalam Afrinisna, 2013) menyimpulkan bahwa di penjara Norwegia sering kali narapidana mengalami kecemasan, gangguan perasaan bahkan gejala depresi. Mohino (dalam Afrinisna, 2013) juga mengungkapkan bahwa beberapa kondisi psikologis yang dialami narapidana di penjara adalah depresi, hysteria dan paranoid. Berdasarkan penelitian lain, ternyata seluruh subjek narapidana mengalami kecemasan pada tingkatan tinggi, baik pada kategori state anxiety maupun kategori trait anxiety. Namun, 2
semua subjek mengembangkan emotion-focused coping strategies
sebagai upaya mengurangi derajat
kecemasan yang dialami (Herdiana, 2009). Selanjutnya, dalam penelitian Selvi (2003) disimpulkan bahwa bagi narapidana, berada di penjara membawa dampak psikologis yang jauh lebih berat dibandingkan pidana penjara itu sendiri. Penggunaan strategi coping yang efektif dapat meminimalisasi gejala-gejala gangguan neurosis cemas yang timbul pada narapidana. Solihatun menyimpulkan bahwa penyebab kecemasan bersumber dari hubungan personal, keterpisahan dengan keluarga; faktor ekonomi, lingkungan LAPAS. Strategi coping yang dilakukan adalah usaha-usaha yang berfokus emosi baik melalui strategi kognitif maupun perilaku. Secara kualitatif menurut Candice L, Odgers, et all., ada perbedaan tingkat gangguan kecemasan pada pemuda yang dipenjara dengan remaja yang tidak dipenjara. Carina Agita (2012) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kecemasan anak dalam menghadapi masa bebas, yaitu faktor lingkungan keluarga dan lingkungan sosial. Pengertian kecemasan dalam konteks penelitian ini adalah emosi yang tidak menyenangkan dan ditandai dengan istilah-istilah seperti kekhawatiran, keprihatinan dan rasa takut yang kadang–kadang dialami dalam tingkat yang berbeda beda (Atkinson, 1983 dalam Andriawati, 2012). Gejala kecemasan yang bersifat mental adalah ketakutan merasa akan ditimpa bahaya, tidak dapat memusatkan perhatian, tidak tenteram, ingin lari dari kenyataan (Sundari, 2004 dalam Agita, 2012) dan remaja yang mengalami kecemasan pasti punya cara untuk menghadapi kecemasan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian dan pendapat ahli di atas, dapat dipahami bahwa setiap remaja yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan mengalami kecemasan dan selalu mencari upaya meminimalisasi kecemasan melalui strategi coping yang sesuai dengan kondisinya dan sesuai dengan norma yang ada dalam mayarakat agar dapat melakukan tugas perkembangannya secara efektif. Strategi coping dilakukan oleh setiap individu untuk mekanisme pertahanan dirinya. Pernyataan ini dikuatkan oleh pendapat Gunarsa (2008) bahwa untuk melindungi diri dari kecemasan, maka setiap individu akan melakukan mekanisme pertahanan diri. Namun demikian, Dacey dan Kenny (dalam Zahra, 2005) menjelaskan bahwa kemampuan individu untuk mengatasi masalah dan menghadapi situasi yang tidak menyenangkan berbeda-beda. Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat dipahami bahwa remaja yang mengalami kecemasan akan menentukan langkah yang berbeda-beda untuk mengurangi atau menghilangkan kecemasan, yaitu dengan cara melakukan mekanisme pertahanan diri. Namun, perlu diketahui lebih lanjut tentang bagaimana gambaran kecemasan remaja pelaku tindak pidana pembunuhan yang tinggal di dalam LAPAS Anak Blitar, dan bagaimana strategi coping yang dilakukan oleh remaja pelaku tindak pidana pembunuhan untuk mengatasi kecemasannya. Hasil penelitian ini digunakan sebagai bentuk kontribusi pada pengembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi forensik dan psikologi perkembangan. Selain itu, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada Petugas Kemasyarakatan tentang kecemasan remaja dan cara mendukung atau memberikan solusi strategis agar remaja mampu menyelesaikan kecemasannya secara baik, dan juga menjadi bahan pertimbangan bagi remaja 3
yang sudah lama di dalam LAPAS Anak dan remaja yang baru memasuki LAPAS Anak dalam rangka mengelola kecemasannya. Karena itu, untuk mengetahui bagaimana fenonema kecemasan dan strategi copingnya agar bermanfaat secara teoretik dan praktik, penulis melakukan metode penelitian di LAPAS Anak Blitar
TINJAUAN PUSTAKA Kecemasan Kecemasan adalah suatu keadaan perasaan keprihatinan, rasa gelisah, ketidaktentuan atau takut dengan kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual yang tidak diketahui atau dikenal (Stuart and Sundens, 1998). Nevid et. all. (2005) mengemukakan bahwa salah satu faktor penyebab kecemasan adalah faktor sosial (lingkungan). Suhardjono (1988), mengemukakan bahwa Freud, Hall, dan Mowrer memiliki kesamaan dalam memahami penyebab kecemasan, yaitu terdiri atas dua faktor, yaitu sebagai berikut. a.
Mikrokosmos (keadaan diri individu), yang meliputi: 1) Sifat dasar konstitusi individu sejak lahir yang meliputi: emosi, tingkah laku,dan proses berpikir individu. 2) Keadaan biologi individu seperti jenis kelamin. 3) Perkembangan individu yang dapat dilihat dari usia individu.
b. Makrokosmos (keadaan lingkungan), yang meliputi: 1) Orang tua atau keluarga di rumah. 2) Sekolah (kelas), tetangga, teman-teman, 3) Masyarakat, meliputi: keadaan sosial, budaya, lingkungan agama, dan sebagainya. Untuk mengenali adanya kecemasan pada individu dapat didasarkan pada pendapat Nevid, et. all. (2003), bahwa ada ciri-ciri kecemasan baik ciri fisik, ciri behaviorial, maupun ciri kognitif. a.
Ciri-ciri fisik, yaitu: kegelisahan, kegugupan; tangan atau anggota tubuh yang bergetar atau gemetar; sensasi dari pita ketat yang mengikat di sekitar dahi; kekencangan pada pori-pori kulit perut atau dada; banyak berkeringat; telapak tangan yang berkeringat; pening atau pingsan; mulut atau kerongkongan terasa kering; sulit berbicara; sulit bernafas; bernafas pendek; jantung yang berdebar keras atau berdetak kencang; suara yang bergetar; jari-jari menjadi dingin; pusing; merasa lemas; sulit menelan; kerongkongan terasa tersekat; leher punggung terasa kaku; sensasi seperti tercekik; tangan yg dingin dan lembab; terdapat gangguan sakit perut atau mual; panas dingin; sering buang air kecil; wajah terasa merah; diare; dan merasa sensitif.
b.
Ciri-ciri behavioral, yaitu: perilaku menghindar, perilaku melekat dan dependen; dan perilaku terguncang.
c.
Ciri- ciri kognitif, yaitu: khawatir tentang sesuatu; peraaan terganggu akan ketakutan atau aprehensif terhadap sesuatu yang terjadi dimasa depan; keyakinan bahwa sesuatu yang 4
mengerikan akan segera terjadi tanpa ada penjelasan jelas; terpaku pada sensasi ketubuhan; sangat waspada dengan sensasi ketubuhan; merasa terancam oleh orang atau peristiwa yang normalnya hanya sedikit atau tidak mendapat perhatian; ketakutan akan kehilangan kontrol; ketakutan akan ketidakmampuan mengatasi masalah; berpikir bahwa dunia mengalami keruntuhan; berpikir bahwa semuanya tidak dapat dikenndalikan; berpikir semuanya terasa sangat membingungkan; khawatir terhadap hal sepele; khawatir ditinggal sendiri; dan sulit berkonsentrasi Menurut Dacey (2001) dalam mengenali gejala-gejala kecemasan dapat ditinjau melalui tiga komponen, yaitu: a.
Komponen psikologis, berupa kegelisahan, gugup, tegang, cemas, rasa tidak aman, takut, cepat terkejut;
b.
Komponen fisiologis,berupa jantung berdebar, keringat dingin pada telapak tangan, tekanan darah meninggi (mudah emosi), respon kulit terhadap aliran galvanis (sentuhan dari luar) berkurang, gerakan peristaltik (gerakan berulang-ulang tanpa disadari) bertambah, gejala somatik atau fisik (otot), gejala somatik atau fisik (sensorik), gejala Respiratori (pernafasan), gejala Gastrointertinal (pencernaan), gejala Urogenital (perkemihan dan kelamin); dan
c.
Komponen sosial, sebuah perilaku yang ditunjukkan oleh individu di lingkungannya.Perilaku itu dapat berupa tingkah laku (sikap) dan gangguan tidur.
Strategi Coping Menurut Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) pengertian coping adalah suatu proses dari individu yang mencoba mengatur kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan mereka dalam memenuhi tuntutan tersebut. Setiap orang mempunyai mekanisme coping yaitu berupa langkah-langkah yang digunakan individu untuk menghadapi kecemasan. Mekanisme coping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat. Belajar yang dimaksud adalah kemampuan menyelesaikan diri (adaptasi) pada pengaruh faktor internal dan eksternal (Nursalam, 2003). Lipowski (dalam Nursalam, 2009) membagi coping dalam 2 bentuk yaitu coping style dan coping strategy. a.
Coping Style merupakan mekanisme kognitif dan persepsi. Sifat dasar style coping adalah mengurangi makna suatu konsep yang dianutnya, misalnya penolakan atau pengingkaran yang bervariasi yang tidak realistis atau berat (psikosis) hingga pada tingkatan yang sangat ringan saja terhadap suatu keadaan.
b.
Coping Strategy merupakan merupakan coping yang digunakan individu secara sadar dan terarah dalam mengatasi sakit atau stresor yang dihadapinya. Terbentuknya mekanisme coping bisa 5
diperoleh melalui proses belajar dalam pengertian yang luas dan relaksasi. Apabila individu mempunyai mekanisme coping yang efektif dalam menghadapi stresor, maka stresor yang tidak menimbulkan stres berakibat kesakitan (disease), tetapi stresor justru menjadi stimulan yang mendatangkan wellness dan prestasi. Serupa dengan Lazarus dan Folkman tersebut, ternyata E.A. Skinner sebagaimana dikemukakan oleh Sarafino (dalam Hasjanah, 2012) juga mengategorikan strategi coping dalam dua klasifikasi, dan pada masing-masing klasifikasi strategi coping terdiri atas beberapa bentuk, yaitu sebagai berikut. a.
Perilaku Coping yang Berfokus pada Masalah (Problem-Focused Coping). Perilaku coping yang berorientasi pada masalah dibedakan dalam 4 bentuk berikut. 1. Planfull Problem Solving Individu memikirkan dan mempertimbangkan secara matang beberapa alternatif pemecahan masalah yang mungkin dilakukan, meminta pendapat dan pandangan dari orang lain tentang masalah yang dihadapi, bersikap hati-hati sebelum memutuskan sesuatu dan mengevaluasi strategi yang pernah dilakukan. 2. Direct Action Direct Action meliputi tindakan yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah secara langsung serta menyusun secara lengkap apa yang diperlukan. 3. Assistance Seeking Assistance Seeking dilakukan dengan cara individu mencari dukungan dan menggunakan bantuan
dari orang lain berupa nasehat maupun tindakan didalam menghadapi masalahnya. 4. Information Seeking Information seeking dilakukan individu dengan cara mencari informasi dari orang lain yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan individu tersebut. b.
Perilaku Coping yang Berfokus pada Emosi (Emotional Focused Coping) Perilaku coping yang berorientasi pada emosi dibedakan dalam 4 bentuk berikut. 1.
Avoidance Avoidance dilakukan oleh individu dengan cara menghindari masalah yang ada dengan cara berkhayal atau membayangkan seandainya ia berada pada situasi yang menyenangkan.
2. Denial Denial dilakukan individu dengan cara menolak masalah yang ada dengan menganggap seolaholah masalah individu tidak ada, artinya individu tersebut mengabaikan masalah yang dihadapinya. 3. Self-Criticism Self-Criticism adalah keadaan individu yang larut dalam permasalahan dan menyalahkan diri sendiri atas kejadian atau masalah yang dialaminya. 4. Possitive Reappraisal 6
Possitive Reappraisal terjadi jika individu melihat sisi positif dari masalah yang dialami dalam kehidupannya dengan mencari arti atau keuntungan dari pengalaman tersebut. Menurut Mutadin (2002) cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan (kecemasan) ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi 6 faktor berikut. a.
Kesehatan Fisik Kesehatan fisik merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar. Fisik yang sehat adalah kondisi terhindarnya jasmani dari penyakit, misalnya tidak sakit perut, sakit gigi, dan sakit-sakit lain.
b.
Keyakinan atau Pandangan Positif Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan tentang nasib (external locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi coping.
c.
Keterampilan Memecahkan Masalah Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi menganalisis situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif-alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.
d. Keterampilan Sosial Keterampilan sosial meliputi kemampuan individu untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat. e. Dukungan Sosial Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya. f. Materi Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang barang atau layanan yang biasanya dapat dibeli.
Tindak Pidana Pembunuhan dan Lembaga Pemasyarakatan Anak Tindak pidana adalah perbuatan manusia yang melanggar hukum pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maupun ketentuan pidana di luar KUHP. Tindak pidana pembunuhan tersebut dianggap selesai apabila dilakukan oleh seseorang dan menimbulkan akibat yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh Undang-undang, yaitu berupa hilangnya nyawa orang lain. Dengan demikian, pembunuhan dianggap terjadi jika korban sudah hilang nyawanya. Dalam KUHP, ketentuanketentuan pidana tentang kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang lain diatur dalam buku II bab XIX, yang terdiri atas 13 Pasal, yakni Pasal 338 sampai Pasal 350. Pembunuhan yang paling berat ancaman 7
pidananya adalah pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP, yaitu diancam dengan pidana mati. Pelaku tindak pidana pembunuhan dididik dan dibina di LAPAS Anak secara sistematis yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan secara khusus berdasarkan sistem pemasyarakatan di Indonesia. Tahapan pembinaan meliputi tahap awal, lanjutan dan akhir. Tahap awal dan tahap lanjutan dilakukan di dalam LAPAS Anak, sedangkan tahap akhir dapat dilakukan di luar LAPAS Anak melalui program pembebasan bersyarat.
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, sehingga diharapkan akan lebih bisa menggali data tentang kecemasan dan strategi coping pada pelaku tindak pidana pembunuhan secara lebih mendalam dan menyeluruh (holistik). Fokus penelitian ini adalah kecemasan yang terjadi pada remaja pelaku pembunuhan dan strategi copingnya. Karena itu ada dua jenis data yang dibutuhkan, yaitu (a) data primer, yang diperoleh dari remaja pelaku tindak pidana pembunuhan, dan (b) data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari Petugas LAPAS Anak. Subjek penelitian yang akan diteliti oleh penulis adalah remaja (dalam hukum disebut Anak Pidana) yang sedang menjalani masa pidana dengan tindak pidana pembunuhan, yang berjumlah 8 orang (penulis hanya mengambil 4 subjek), yaitu subjek yang memenuhi semua karakteristik subjek yang ditentukan penulis, yaitu tidak tuna wicara dan tuna rungu, pelaku pembunuhan secara sengaja atau kelalaian, sudah dijatuhi pidana penjara, sudah dibina di dalam LAPAS paling singkat dalam waktu 6 di LAPAS Anak Blitar, atau kurang dari 6 bulan di LAPAS Anak Blitar tetapi dia merupakan anak pidana pindahan dari LAPAS lain, dan belum memasuki masa asimilasi. Teknik pengumpulan data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara (jenis campuran menggunakan panduan wawancara), observasi (jenis observasi tak berstruktur), dan studi dokumentasi. Dalam analisis data ini, penulis mengadopsi pendapat Miles dan Huberman (1994) bahwa analisis data terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Keabsahan data dalam penelitian ini meliputi tiga hal yaitu: (1) triangulasi metode, (2) triangulasi sumber data, dan (3) triangulasi teori.
Penelitian ini hanya dilakukan oleh penulis, sehingga tidak
menggunakan triangulasi antar-peneliti.
HASIL 8
1. Gejala kecemasan remaja pelaku pembunuhan di LAPAS Anak Blitar mencakup 3 komponen, komponen kecamasan yang terjadi pada remaja pelaku tindak pidana pembunuhan di LAPAS Anak Blitar, yaitu: (a) komponen psikologis; (b) komponen fisiologis; dan (c) komponen sosial berupa tingkah laku, dan gangguan tidur. Gejala kecemasan tersebut sama dengan gejala kecemasan sebagaimana dikemukakan oleh Dacey. 2. Strategi coping yang dilakukan oleh remaja pelaku pembunuhan di LAPAS Anak Blitar adalah mencakup 2 perilaku yaitu coping yang berorientasi pada masalah, dan coping yang berorientasi pada emosi. Dan semua subjek melakukan strategi coping tersebut. Bentuk strategi coping tersebut sama dengan yang dikemukakan oleh Skinner.
DISKUSI Remaja pelaku tindak pidana pembunuhan dibina bersama-sama dan menjadi satu dengan pelaku tindak pidana lain di Lembaga Pemasyarakatan yang aman, dan mempunyai fasilitas relatif memadai. Masing-masing remaja didampingi oleh seorang wali agar semua kegiatan yang terjadwal secara padat dapat diikuti secra baik dengan tanpa banyak mengalami kecemasan. Tata tertib yang ketat dan mempunyai sanksi selalu digunakan untuk menjamin agar semua remaja dapat hidup nyaman. Subjek GPP (subjek 1) mengalami gejala kecemasan yang berkaitan dengan tiga komponen dalam gejala kecemasan. Komponen Psikologis yang terjadi pada Subjek GPP terdiri dari empat faktor dominan antara lain adalah faktor kegelisahan, cemas, rasa tidak aman dan takut. Strategi coping yang dilakukan GPP dalam mengatasi kegelisahannya adalah dengan bercerita kepada teman, meminta solusi agar kegelisahannya sedikit terobati, strategi coping GPP terhadap kecemasannya adalah dengan menanyakan kabar tentang anggota keluarga kepada orang tua yang belum sempat menjenguknya. Rasa tidak aman yang dirasakan GPP membuat dirinya melakukan olahraga dan lari kecil supaya pikiran tentang hal tersebut dapat hilang atau sedikit berkurang, ketakutan yang dirasakan oleh GPP membuat GPP harus berfikir positif terhadap petugas dan teman-teman lain yang belum ia kenal dengan baik. Komponen Fisiologis yang terjadi pada subjek GPP terdiri dari satu faktor dominan yaitu gejala somatik atau fisik (sensorik). Strategi coping yang dilakukan GPP dalam mengatasi gejala somatic atau fisik (sensorik) adalah bersosialisasi dengan lingkungan dan mengobrol dengan teman-teman.Komponen Sosial yang berkaitan erat dengan satu faktor dominan yaitu tingkah laku (sikap) dan gangguan tidur. Strategi coping yang dilakukan GPP adalah bersosialisasi dengan teman lain kamar dan para petugas dan membaca buku cerita yang dipinjam dari perpustakaan. Komponen psikologis GPP yaitu kegelisahan, yaitu GPP takut dianaiaya oleh teman yang sudah lama tinggal disana ataupun para petugas ketika pertama kali masuk di LAPAS ANAK. Hal yang dilakukannya apabila mengalami kegelisahan adalah bercerita pada teman yang GPP kenal di LAPAS ANAK, meminta pendapat agar tidak takut lagi. Komponen psikologis selanjutnya yang dialami GPP adalah cemas terhadap keluarganya dikampung ketika membayangkan keluarga korban akan membalaskan dendam kepada 9
keluarganya. Hal yang dilakukan GPP dalam mengatasi rasa cemasnya yaitu menanyakan kabar keluarganya serta menceritakan apa yang subjek ingin ceritakan kepada keluarganya. Komponen psikologis selanjutnya yaitu rasa tidak aman. Subjek merasa tidak aman apabila kelak keluarga korban akan membalas dendam apabila ia telah keluar dari LAPAS Anak. Hal yang dilakukan GPP guna mengatasi hal itu adalah berlari-lari kecil serta berolahraga di sekitaran kamarnya sehingga membuatnya tenang. Komponen psikologis lainnya adalah takut, yaitu GPP takut kepada petugas dan teman-teman yang belum dia kenal. Hal yang dilakukan GPP ketika mengalami rasa takut ini adalah selalu berfikiran positif serta tak lupa selalu mentaati jadwal yang telah ditetapkan, sehingga subjek terus berkelakuan baik. Komponen selanjutnya adalah komponen fisiologis subjek yaitu gejala somatik atau fisik. GPP sering mengalami gemetar akibat kurang beradaptasinya dia dengan lingkungan. Hal yang menyebabkan GPP gemetar yang utama adalah karena subjek takut kepada petugas serta teman-teman yang belum dikenalnya. Hal yang dilakukannya untuk mengatasi hal tersebut adalah sering bersosialisasi dengan orang di sekitarnya. Komponen selanjutnya adalah komponen sosial yaitu tingkah laku. GPP kurang dapat mengakrabkan diri kepada teman-teman lainnya. Hal yang dilakukannya untuk beradaptasi adalah dengan sering bersosialisasi dengan petugas serta sesama penghuni lainnya serta petugas-petugas lainnya. Komponen sosial selanjutnya adalah ganguan tidur. GPP mengalami gangguan tidur pada saat awal-awal dia berada di LAPAS ANAK. Hal yang dilakukan GPP apabila mengalami susah tidur adalah membaca buku yang dipinjamnya di perpustakaan. Subjek AJ (subjek 2) mengalami kecemasan berikut, komponen psikologis pertama adalah kegelisahan. Subjek geliasah karena kangen dengan orangtuanya. Jika subjek gelisah ingin bertemu anggota keluarga (kangen dengan teman), maka subjek dapat berkirim surat, atau memandangi foto yang ada di dompet. Komponen psikologis selanjutnya yaitu cemas. AJ cemas apabila keluarga korban akan membalas dendam. Hal yang dilakukan subjek apabila cemas adalah menulis puisi serta diary. Komponen psikologis lainnya adalah rasa tidak aman. Subjek membayangkan bahwasanya nyawanya terancam dari dalam maupun dari luar LAPAS Anak. Hal yang dilakukan AJ ketika mengalami rasa tidak aman ini adalah memperbaiki pergaulan, serta menjadikannya tidak mendapat musuh. Kemudian meminta saran kepada petugas, dan yang pasti berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Komponen psikologis terakhir adalah takut. Subjek merasa takut akan terjadi sesuatu yang menyakitkan serta mengecewakan yang akan terjadi di LAPAS Anak. Hal yang dilakukan AJ apabila merasa takut adalah menyadari kesalahannya atau berintrospeksi, kemudian selalu berkelakuan baik dengan memperbaiki komunikasi sehingga akrab dengan teman-temannya. Komponen selanjutnya adalah komponen fisiologis subjek yaitu gejala somatik atau fisik. AJ mengalami gangguan kesehatan diare karena salah makan, batuk serta pilek ringan. Hal yang dilakukannya untuk mengatasi hal tersebut adalah menjaga pola makan, meminum obat apabila telah mengalami sakit, serta berolahraga guna menjaga kebugarannya. Komponen selanjutnya adalah komponen sosial yaitu tingkah laku dimana subjek sering bertengkar dengan penghuni lainnya. Hal yang dilakukannya agar tidak terjadi kesalahan itu lagi adalah menyadari kesalahannya serta memahami teman-temannya sehingga dapat menjaga tingkah laku serta tidak saling menyinggung. Komponen sosial terakhir yaitu gangguan tidur. AJ susah tidur apabila menjelang 10
upacara dan apabila pada malam hari raya. Hal yang dilakukannya untuk beradaptasi adalah membaca, berdoa serta berdialog dengan teman-temannya sehingga akan membuatnya merasa ngantuk dan tidur. Subjek ND (subjek 3) mengalami kecemasan berikut, komponen psikologis ND yaitu kegelisahan dimana ND ingin segera keluar dari LAPAS ANAK. Hal yang dilakukan ND apabila mengalami kegelisahan ini adalah dengan curhat dengan sesama penghuni lainnya. Hal ini dilakukan untuk mengurangi beban pikiran dan membaginya kesesama teman-temannya sehingga dicarikan solusi yang terbaik oleh teman-temannya. Komponen psikologis selanjutnya yaitu cemas karena jarang dijenguk oleh keluarganya, sehingga ND tidak mengetahui kabar orangtuanya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran ND karena subjek mencemaskan apa yang terjadi dengan keluarganya sehingga tidak menjenguknya. Hal yang dilakukan ND apabila mengalami cemas adalah mencoba berfikir positif dan selalu menyerahkan segalanya kepada Allah. Komponen psikologis selanjutnya adalah rasa tidak aman. ND berfikir bahwa keluarga korban akan membalas dendam dengan menyewa pembunuh bayaran dan mencelakai keluarganya. Hal yang dilakukan ND apabila mengalami rasa tidak aman tersebut adalah dengan membaca buku serta mendengarkan radio. Komponen psikologis lainnya adalah takut, yaitu manakala ND takut kehilangan adik balitanya dan melarang orangtuanya untuk sering-sering menjenguk. Hal yang dilakukan ND ketika mengalami rasa takut ini adalah menahan rasa kangennya serta berolahraga di malam hari. Komponen selanjutnya adalah komponen fisiologis subjek yaitu gejala somatik atau fisik. ND sering mengalami diare serta sering mengalami gemetaran ketika membayangkan korban yang ia bunuh. Hal yang dilakukannya untuk mengatasi hal tersebut adalah mengalihkan fikirannya dengan hal yang indah-indah. Komponen selanjutnya adalah komponen sosial yaitu tingkah laku. ND kurang beradaptasi sehingga ketika bertemu petugas yang tidak dikenalnya subjek sedikit takut. Hal yang dilakukannya untuk beradaptasi adalah dengan sering bersosialisasi dengan agar dapat berbaur penghuni lainnya. Komponen sosial selanjutnya adalah ganguan tidur. ND kurang tidur karena belum terbiasa dengan jadwal tidur yang teratur. Hal yang dilakukan ND adalah harus beradaptasi dengan mentaati semua peraturan. Subjek DYR (Subjek 4) mengalami kecemasan berikut, komponen psikologis DYR yaitu kegelisahan karena tidak mau kehilangan keluarga serta kepikiran akan keluarganya yang ditinggalkannya. Hal yang dilakukan DYR ketika kegelisahan timbul dalam pikirannya adalah dengan menanyakan kabar anggota keluarganya. Hal lain yang dilakukannya adalah mengaji serta bermain bola dengan teman-temannya sehingga sedikit mengobati kegelisahan yang dialaminya. Komponen psikologis selanjutnya yang dialami DYR adalah tegang karena mengingat korban serta adanya rasa penyesalan di dalam dirinya, serta tegang ketika bertemu orang yang baru dikenalnya. Hal yang dilakukan DYR dalam mengatasi rasa tegangnya yang pertama adalah memohon ampun kepada Tuhan atas apa yang telah diperbuatnya. Kemudian kepada orang yang baru dikenalnya DYR berusaha beradaptasi dengan orang serta lingkungan baru bagi dirinya. Komponen psikologis selanjutnya yaitu cemas dengan “bayangan korban”. Jika bayangan tersebut terlalu sering “menghantui” maka jika orang tua subjek berkunjung ke LAPAS Anak. Jika takut mendapatkan pembalasan kekerasan fisik atau tindakan balas dendam lain (misalnya di-santet) oleh keluarga, maka subjek 11
selalu berdoa untuk memohon kepada Allah agar balas dendam tersebut tidak terjadi dan berjanji dalam hati untuk bertobat dari perbuatan yang sudah dilakukan. Selain itu, sebjek juga berkonsultasi atau mengeluh kepada keluarga subjek yang berkunjung ke LAPAS Anak. Subjek juga sering mencoba mengalihkan ketakutan tersbut dengan cara mengubah cara berpikir ke arah positif. Jika masih gagal maka jika siang hari akan menemui wali dan atau ke teman, dan jika malam hari akan menyampaikan kekhawatiran tersebut ke teman satu kamar agar mendapatkan nasihat atau solusi. Komponen psikologis lainnya adalah takut, yaitu manakala DYR takut kehilangan ibu serta adik-adiknya. Hal yang dilakukan DYR ketika mengalami rasa takut ini adalah memandangi foto keluarganya. Foto keluarganya merupakan sumber semangat bagi subjek untuk menjadi lebih baik lagi. Komponen selanjutnya adalah komponen fisiologis subjek yaitu gejala somatik atau fisik. DYR jarang terkena sakit serius, penyakit yang biasa dialaminya adalah flu dan batuk ringan, gatal-gatal karena tidak menjaga kebersihan dan diare karena salah makan. Hal yang dilakukannya untuk mengatasi hal tersebut adalah menjemur kasur serta membersihkan kamar dan tidak lupa menjaga makanan. Komponen selanjutnya adalah komponen sosial yaitu tingkah laku. DYR masih belum beradaptasi karena DYR merupakan penghuni baru di LAPAS Anak. Hal yang dilakukannya untuk beradaptasi adalah dengan sering bersosialisasi dengan petugas serta sesama penghuni lainnya. Komponen sosial selanjutnya adalah ganguan tidur. DYR jarang tidur apabila teringat ibu dan saudara-saudaranya. Hal yang dilakukan DYR apabila mengalami gangguan tidur adalah membaca Al-Quran. Hal ini dilakukannya agar pikirannya tenang. Berdasarkan hasil pengumpulan data melalui wawancara dan observasi tergambar gejala-gejala kecemasan yang terjadi pada remaja pelaku tindak pidana pembunuhan serta strategi coping yang mereka lakukan dalam mengatasi kecemasan. 1. Gejala Kecemasan pada Remaja Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Perasaan yang dialami oleh subjek antara lain berupa kekhawatiran subjek mendapatkan tindakan yang tidak wajar dari teman remaja di dalam LAPAS dan Petugas Pemasyarakatan, merasa tidak dapat melindungi keluarganya di rumah, kegelisahan atas kemungkinan adanya tindakan balas dendam dari keluarga korban, sering membayangkan kehilangan anggota keluarga yang dicintai, kekhawatiran tidak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), kekhawatiran akan adanya penolakan masyarakat atas kehadiran keluarga dan dirinya di masyarakat, ketidaknyamanan ketika mulai masuk di LAPAS Anak merupakan gejala-gejala kecemasan, karena semua merupakan ancaman pada subjek yang mengganggu pikirannya, meskipun ancaman tersebut ada yang benar-benar terjadi maupun munkin terjadi. Padahal, tidak semua kekhawatiran tersebut nyata dan dapat terjadi. Pendapat penulis tersebut sesuai dengan uraian pendapat Lubis (2009 dalam Agita 2012) bahwa kecemasan adalah tanggapan dari sebuah ancaman nyata ataupun khayal yang dialami individu yang tidak menyenangkan. Kecemasan tersebut merupakan rasa khawatir, takut yang tidak jelas sebabnya (Gunarsa, 2008). Jika gejala kecemasan yang terjadi pada remaja pelaku tindak pidana pembunuhan dikaitkan dengan pendapat Nevid, dkk. (2003), maka diperoleh penjelasan berikut. 12
a. Ciri-ciri fisik, hanya dalam bentuk gangguan sakit perut atau mual dan diare. b. Ciri-ciri behavioral, yaitu: perilaku remaja untuk menghindar dari semua tingkah laku yang dapat mendatangankan sanksi pelanggaran jadwal kegiatan. c. Ciri- ciri kognitif, berupa (1) kekhawatiran tentang akan terjadinya sesuatu yang buruk di rumah (misalnya adanya penyerangan fisik terhadap anggota keluarga oleh keluarga korban dan masyarakat, khawatir keluarganya dikucilkan oleh masyarakat), dan sesuatu yang terjadi pada dirinya sendiri (misalnya khawatir tidak mendapatkan remisi); (2) dirinya merasa terancam (yaitu pada saat awal masuk ke LAPAS merasa terancam oleh teman remaja lain yang sudah lama tinggal di LAPAS Anak, merasa terancam dengan petugas pemasyarakatan, terancam dengan tindakan balas dendam oleh keluarga korban); dan (3) ketakutan tentang ketidakmampuan dalam mengatasi masalah, yaitu jika ada berbagai masalah di masyarakat yang menimpanya setelah ke luar dari LAPAS. Sedangkan tingkah laku remaja yang sering menggaruk-garuk anggota badan, mengusap tangan berkali-kali dengan intensitas yang tinggi juga memrupakan gejala kecemasan. Hal ini dikemukakan oleh Gunarsa (2008), bahwa salah satu gejala kecemasan adalah melakukan gerakan-gerakan wajah atau anggota tubuh dengan intensitas dan frekuensi berlebihan. Berkaitan dengan pendapat Spielberger (1966), yang membedakan kecemasan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu state anxiety dan trait anxiety, maka remaja pelaku tindak pidana pembunuhan mengalami kedua bentuk kecemasan. Kecemasan alam kategori state anxiety berupa kegelisahan pada saat menjelang diumumkannya remisi. Situasi tersebut timbul pada remaja hanya dalam waktu menjelang pengumuman, yaitu sulir tidur dan jika terjaga maka akan sulit tidur lagi. Selain itu, state anxiety juga terjadi pada remaja yaitu pada saat kali pertama masuk ke LAPAS Anak, berupa ketakutan dengan sitausi di LAPAS Anak yang serba diatur. Sedangkan trait anxiety terjadi pada subjek yang takut dengan “pembunuh bayaran” yang menyerang ke LAPAS Anak. Peristiwa tersebut menurutnya dapat terjadi karena di media massa pernah ada berita tentang penyerangan pelaku pembunuhan dari luar LAPAS. Berkaitan dengan pendapat Freud (Hall dan Lindsey, 1993) bahwa kecemasan dikelompokkan dalam dalam tiga jenis, yaitu kecemasan realitas (Reality or Objective Anxiety), neurosis (Neurotic Anxiety), dan moral (moral anxiety) atau perasaan bersalah, maka ketiga-tiganya juga terjadi. Kecemasan realitas terjadi karena remaja takut dengan sesama remaja yang sudah lama tinggal di LAPAS, petugas pemasyarakatan di LAPAS. Kecemasan neurosis terjadi karena remaja menginginkan hidup bebas bersama keluarga dan teman-temannya sebagaia bentuk pelaksanaan tugas perkembangan remaja, namun mereka harus ada dalam bangunan yang terisolasi sehingga tidak dapat melaksanakan keinginankeinginan instinktifnya. Sedangkan kecemasan moral terjadi karena remaja merasa bersalah melakukan pembunuhan, sehingga sering merasa dikejar-kejar oleh bayangan korban. Berkaitan dengan tingkat kecemasan yang terjadi pada remaja pelaku pembunuhan, maka berdasarkan 4 tingkatan kecemasan sebagaimana dikemukakan Peplau (dalam Townsend, 2008), maka remaja mempunyai tingkatan kecemasan yang berbeda-beda, tetapi hanya bersifat insidental sesuai 13
dengan penyebab kecemasan. Gejala kecemasan tersebut bersifat insidental dan berubah-ubah sehingga dari waktu ke waktu tidak selalu sama. Kecemasan pada tingkat kecemasan ringan sudah terjadi pada remaja, misalnya pernah terjadi subjek AJ mudah marah pada saat diganggu remaja lain. Kecemasan ini hanya terjadi pada masa-masa awal masuk ke LAPAS Anak. Tingkat kecemasan sedang misalnya terjadi pada GPP, yaitu sering menghela nafas panjang ketika mengingat terjadinya pembunuhan. Sedangkan gejala kecemasan tingkat tinggi terjadi pada semua subjek, yaitu diare, gangguan pencernakan. Namun, gejala ini hanya terjadi dalam rentang waktu yang lama. Tidak ada satu subjekpun yang pernah mengalami serangan panik. Pembahasan tentang tahapan terjadinya kecemasan pada remaja pelaku tindak pidana pembunuhan akan lebih jelas jika dikaitkan dengan pendapat Spielberger, yang menyatakan bahwa ada 5 (lima) tahapan proses terjadinya kecemasan pada individu. Hal tersebut terjadi pada semua subjek, yaitu sebagai berikut. a.
Evaluated Situation. Proses ini terjadi pada subjek yaitu pada saat masuk ke LAPAS Anak karena adanya situasi yang dianggap mengancam subjek (baik yang berasal dari remaja lein, petugas pemasyarakatan, atau anggota keluar korban yang datang).
b.
Perception of Situation. Tahapan ini terjadi pada subjek, misalnya pada saat membaca tata tertib, jadwal kegiatan yang padat dan tertib, dan ancaman sanksi, serta pada saat kali pertama bertemu dengan remaja yang lebih dewasa (tua usianya). Semua hal tersebut dianggap dapat mengancam keberadaan subjek. Namun, dalam sitauasi tersebut subjek kemudian melakukan penilaian atas sanksi tata tertib dan remaja lainnya sehingga subjek dapat membuat persepsi.
c.
Anxiety State of Reaction. Dalam Proses ini individu menganggap bahwa ada situasi berbahaya, misalnya pada saat menjelang pengumuman remisi, yaitu berupa kegelisahan tidur.
d.
Cognitive Reappraisal Follows. Dalam proses ini subjek kemudian menilai kembali situasi yang dianggap mengancam (baik orang maupun keadaan di LAPAS Anak) kemudian subjek melakukan tindakan atau tingkah laku yang tidak melanggar tata tertib atau tidak mengecewakan petugas atau teman remajanya.
e.
Coping. Dalam proses ini subjek mencari jalan keluar atas kecemasan yang ada dengan menggunakan strategi yang sesuai dengan penyebabnya. Berdasarkan jabaran tentang gejala kecemasan yang dialami subjek, dapat dipahami bahwa
gejala-gejala kecemasan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai gangguan kecemasan. Kesimpulan ini didasarkan pada rasionalitas berikut. a.
Kecemasan pada remaja hanya terjadi sesaat, bahkan ada gejala yang terjadi pada saat kali pertama masuk ke LAPAS Anak. Selain itu, kecemasan-kecemasan pada remaja tersebut banyak yang muncul disebabkan oleh hal-hal yang bersifat provokatif, misalnya ada petugas pemasyarakatan yang sedang patroli, kewajiban semua remaja mengikuti semua kegiatan secara ketat, ancaman sanksi dalam peraturan tata tertib yang berat, atau mendengar berita tentang terjadinya pembunuhan di radio. Namun, ada juga kecemasan yang tidak disebabkan oleh situasi provokatif, 14
misalnya terjadinya kekhawatiran terjadinya balas dendam dari keluarga korban pada diri dan keluarganya, padahal tidak ada keluarga atau anggota keluarga korban yang besuk ke LAPAS Anak. Namun, gejala tersebut jarang dirasakan subjek. b.
Gejala-gejala kecemasan fisik yang bersifat menahun (sebagaimana dikemukakan Ramaiah, (2003) sebagai gejala gangguan kecemasan juga tidak terjadi, karena remaja tidak selalu merasa gugup, jengkel, tegang, dan rasa panik, sakit kepala, ketegangan otot (pada kepala, daerah tengkuk, dan di tulang punggung).
c.
Untuk mengetahui terjadinya ganguan kecemasan pada individu tidak cukup dengan hasil wawancara, observasi, dan studi dokumentasi sebagaimana untuk memenuhi kebutuhan pengumpulan data dalam rangka menyusun karya ilmiah, tetapi harus dilakukan melalui penilaian menyeluruh dengan cara pemeriksanaan kesehatan fisik (oleh tenaga media dan paramedis) dan pemeriksaan psikologis dan mental baik melalui wawancara mendalam maupun tes psikologi (oleh psikolog), dan pemeriksaan riwayat individu. Kewajiban diagnosis dengan lanagkah-langkah tersebut disyaratkan oleh Emilien, dkk. (2002) bahwa “ ... In their diagnosis, a full assessment, which includes a history, physical examination an mental state is mandatory.”
2. Strategi Coping pada Remaja Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan di LAPAS Anak Blitar Secara teoretik, ketika seseorang merasakan kecemasan dalam dirinya, pasti mencari cara untuk menanggulangi rasa cemas tersebut, cara menaggulangi kecemasan tersebut dalam kamus psikologi disebut dengan strategi coping. Strategi coping adalah sebuah cara yang disadari dan rasional untuk menghadapi dan mengtasi kecemasan hidup. Stone & Neale (dalam Folkman dkk, 1986) berpendapat bahwa strategi coping merupakan tingkah laku seseorang dalam menghadapi masalah atau tekanan. Menurut Lipowski (dalam Nursalam, 2002) Strategy copying adalah strategi merupakan coping yang digunakan individu secara sadar dan terarah dalam mengatasi sakit atau stresor yang dihadapinya. Terbentuknya mekanisme coping bisa diperoleh melalui proses belajar dalam pengertian yang luas dan relaksasi. Apabila individu mempunyai mekanisme coping yang efektif dalam menghadapi stresor, maka stresor yang tidak menimbulkan stres berakibat kesakitan (disease), tetapi stresor justru menjadi stimulan yang mendatangkan wellness dan prestasi. Strategi coping antara subjek satu dengan lainnya ternyata ada yan tidak sama. Hal ini dapat dipahami bahwa subjek adalah remaja, dan sesuai dengan pendapat Hurlock (dalam Afrinisna, 2013) bahwa remaja mempunyai peluang untuk mencoba gaya hidup yang berbeda sehingga menntukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya. Para remaja tersebut berusaha mencari strategi coping yang sesuai dengan dukungan masyarakat sekitarnya (Mutadin (2002), dan norma-norma ada di masyarakat. Hal ini terjadi pada subjek DYR (subjek 4) yang senantiasa mengaji dan memperdalam ilmu
15
agama Islam. Lingkungan dlaam LAPAS mayoritas beragama Islam, begitu juga lingkungan tempat asalnya di Jombang. Strategi coping yang dilakukan oleh semua subjek dibentuk melalui proses belajar dengan teman sebayanya atau pada Petugas Pemasyarakatan atau pada masa lalunya. Hal ini dapat dipahami bahwa tugas perkembangan remaja menurut Sarwono (1997) adalah menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebayanya dari jenis yang sama atau berbeda. Selain itu, pembelajaran antar-teman yang dipercaya juga terjadi karena pada hakikatnya dalam perkembangan remaja tuga terjadi sifat percaya versus tidak percaya sebagaimana dikemukakan Erikson (dalam santrock 2003). Adapun bentuk coping menurut Skinner (dalam Sarafino, 2006) adalah melalui perilaku coping yang berorientasi ada masalah, dan perilaku coping yang berorientasi pada emosi. Langkah-langkah tersebut udah dilakukan oleh semua subjek, namun ada perbedaan dalam pola tingkah lakunya. Uraian berikut menunjukkan pola strategi coping remaja pelaku pembunuhan di LAPAS ANAK Blitar. a.
Perilaku coping yang berorientasi pada masalah. 1. GPP (Subjek 1) Planfull Problem Solving GPP biasanya menceritakankepada orang tuanya tentang apa yang terjadi didalam LAPAS, GPP mengutarakan keinginannya untuk segera keluar dari LAPAS, dan sebagai penghilang rasa kangen ia menanyakan kabar anggota keluarganya, selain itu GPP mencoba mengakrabkan diri dengan teman-teman lain yang baru ia kenal (b) Direction Action dalam tahap ini GPP menghilangkan rasa cemas dengan menceritakan kepada teman apa yang sedang dialaminya, kemudian teman GPP memberikan saran yang menurut GPP dapat dijadikan suatu solusi untuk menghadap kecemasannya tersebut dan juga GPP berjalan-jalan disekitar kamar dan berolah raga. (c) Assistence Seeking GPP mencoba bercerita kepada orang tuanya bagaimana keadaan disini dan meminta nasihat kepada orang tuanya. Sedangkan teman GPP juga menyarankan agar sabar menghadapi semuanya (d) Information Seeking GPP mengikuti kegiatan yang dilakukan temannya dengan berolah raga malam, berjalan-jalan disekitar blok agar pikiran yang ada diotaknya sedikit hilang.
2. AJ (Subjek 2) (a) Planfull Problem Solving subjek AJ aa sangat gelisah karena ingin bertemu dengan anggota keluarganya, akhirnya AJ memutuskan untuk menulis surat, membuat puisi ungkapan hati di selembar kertas atau memandangi foto anggota keluarganya yang ada didompet AJ. Ketika kecemasan itu belum mereda AJ menanyakan atau meminta pendapat kepada temannya, jika mereka merasakan hal yang sama seperti AJ apa yang mereka lakukan. (b) Direct Action menanyakan kepada teman tentang apa yang ia rasakan dan bagaimana solusi yang tepat untuk menanggulangi rasa gelisah tersebut ketika berbincang dengan temannya AJ mendapatkan solusi dari temannnya untuk sholat dan 16
berdzikir agar pikiran tentang orang tuanya sedikit hilang. (c) Assistance Seeking AJ meminta nasihat kepada teman-teman dan orang tuanya untuk menanggulagi kegelisahan tersebut, nasihat dari orang tua AJ adalah AJ harus bersabar dengan musibah yang menimpanya ini dan dari teman lain AJ diharapkan dapat mendekatkan diri kepada Allah. (d) Information Seeking AJ mencari informasi lain selain kepada teman-temannya juga kepada petugas agar kegelisahan tersebut dapat diminimalisir. 3. ND (Subjek 3) (a) Planfull Problem Solving ND merasa tertekan dengan jadwal kegiatan, biasanya ND melakukan hal-hal yang menyenangkan. (b) Direct Action, ND mencoba untuk bermain sepak bola, atau sekedar berkeluh kesah kepada teman sekamarnya. (c) Assistance Seeking ND mencoba bertanya kepada teman-temannya apa yang dilakukukan ketika merasa jadwal kegiatan membuat mereka jenuh . (d) Information Seeking setelah ND menanyakan kepada teman-teman dan diberikan solusi dengan membaca buku yang dipinjam dari perpustakaan, ND mencoba solusi tersebut untuk mengatasi kecemasannya.
4. DYR (Subjek 4) (a) Planfull Problem Solving DYR takut mendapatkan pembalasan kekerasan fisik atau tindakan dendam lain (misalnya di–santet) dengan cara berdoa memohon kepada Allah agar balas dendam tersebut tidak terjadi dan berjanji dalam hati untuk bertobat dari perbuatan yang sudah dilakukan. (b) Direct Action dengan cara berdoa memohon kepada Allah agar balas dendam tersebut tidak terjadi dan berjanji dalam hati untuk bertobat dari perbuatan yang sudah dilakukan. (c) Assistance Seeking. DYR berkonsultasi atau mengeluh kepada keluarga agar keluarga dapat memberikan nasihat kepadanya. (d) Information seeking DYR berkonsultasi dengan teman dan juga orang tuanya jika nasihat tersebut sudah didapatkan DYR akan mencoba menggunakan nasihat tersebut supaya meminimalisir ketakutan tersebut.
b. Perilaku Coping yang berorientasi pada emosi ( Emotional Focused Coping)
1.
GPP (Subjek 1) (a) Avoidance yang dilakukan GPP adalah ketika sedang gelisah memikirkan keadaan orang tuanya, GPP akan mengalihkan pikirannya dengan kegiatan olah raga dan juga membayangkan jika GPP telah keluar dari LAPAS Anak ia akan membuka usaha pengukiran kayu atau bekerja pada perusahaan ukiran untuk membantu orang tua dan mendapatkan uang dengan usaha sendiri. (b) Denial, GPP menganggap masalah yang lalu biarkan berlalu, karena GPP sadar, GPP salah dan berdosa karena telah melakukan 17
hal tersebut, GPP tidak mau rasa bersalah tersebut tetap mengahntui dirinya, menurutnya balasan dari perbuatan tersebut sudah dirasakannya saat ini. (c) Self-criticism pada GPP adalah GPP memikirkan jika ia tidak membunuh korban maka ia tidak akan masuk di LAPAS Anak dan tidak jauh dari keuda orang tuanya, tidak merasakan gelisah was wasketika jauh dari mereka. (d) Possitive Reapprasial yang dirasakan oleh GPP adalah, ia dapat belajar hidup mandiri, dapat mempelajari pelajaran yang belum tentu ia dapatkan ketika diluar LAPAS Anak, karena didalam LAPAS Anak ia mendapatkan pelatihan kerja mengukir, membuat keset dan lainnya. 2. AJ (Subjek 2) (a) Avoidance
pada AJ adalah ketika AJ sedang merasakan kecemasannya, AJ
membayangkan jika ia tidak berada disini ia dapat bermain dengan teman-teman lain, bebas kemana saja, becanda dengan teman, dapat berkumpul bersama keluarga tanpa adanya jarak yang dapat membuat AJ sangat bahagia. (b) Denial , AJ berpikir perbuatan ini sudah terjadi dan juga ia sudah berada di LAPAS Anak, AJ mencoba untuk menerima kenyataan karena memang salah. AJ berusaha menerima dengan lapang dada agar tidak semakin memperkeruh pikirannya saat ini, dengan begini AJ akan merasa lebih tenang. (c) Self-criticism, ketika sedang berdiam diri, melamun sering terbesit dipikiran AJ semua ini adalah kesalahannya, ia berada disini karena salahnya tetapi juga membuat orang tuanya repot, AJ merasa salah bergaul dengan teman-temannya ketika itu, sehingga membuat dirinya masuk dalam LAPAS Anak, jarang antara Sidoarjo dan Blitar yang cukup jauh membuat AJ menyusahkan bahkan merepotkan orang tuanya untuk menjenguk, karena biaya transport yang mahal. (d) Possitive reappraisal yang dirasakan oleh AJ dalah, ia bisa hidup mandiri, hidup disiplin karena ketika masih berada diluar LAPAS Anak kehdupan yang dijalaninya sangat tidak disiplin, karena setiap malam ia tidur ketika sudah pagi, sedangkan disini ia tidur pada pukul 22.00 dengan perubahan jadwal tidur tersebut membuat badan AJ merasa lebih sehat dan bugar karena ketika bangun hari masih pagi dan udaranya sangat sejuk untuk dihirup, selain itu AJ dapat bersekolah lagi meskipun sebenarnya ia mulai bosan dengan sekolah. 3. ND (Subjek 3) (a) Avoidance ND membayangkan jika ia berada dirumah ia dapat bermain dengan adiknya yang paling kecil, karena menurutnya ia sangat menyukai anak kecil, ia dapat menjaganya, menggendongnya dan selalu berada disamping semua keluarganya, ND juga bisa bermain dengan teman-teman di kampungnya, karena di LAPAS Anak ND belum merasanya nyaman bercerita apapun kepada teman dekatnya karena menurut ND meskipun sudah dekat tetapi pembicaaran mereka kadang tidak menyambung. (b) Denial ND memasrahkan semuanya karena ia sadar ia salah tapi sebenarnya kadang 18
masih ada saja hal mengganjal didalam dirinya karena menurutnya ia masih kecil dan tidak pantas berada di LAPAS Anak ini. (c) Self-criticism Menurut ND jika semua ini tidak terjadi ND dapat bebas diluar tanpa paksaan dan tanpa harus mematuhi jadwal, tetapi karena kesalahan yang tak disengaja tersebut membuat dirinya berada di LAPAS Anak ini dan harus mempertanggung jawabkan semua. Sedangkan (d) Possitive reapprasial ND senang berada di LAPAS Anak ini karena banyak teman meskipun ada yang tidak dekat, ND dapat hidup mandiri, dapat bersekolah lagi hingga lulus dan dapat hidup displin meskipun terpaksa, menurutnya karena adaptasi yang kurang membuat dirinya kadang masih merasa tidak terima berada di LAPAS Anak. 4. DYR (Subjek 4) (a) Avoidance DYR membayangkan seharusnya ia saja yang dipukul oleh korban karena dengan begitu DYR tidak perlu berada disini dan jauh dari orang tuanya, DYR menyalahkan diri sendiri semua yang terjadi karena keteledorannya sehingga membuat situasi menjadi seperti ini, DYR juga memkirkan ketika telah keluar dari LAPAS Anak ini ia akan rajin membantu orang tuanya dan akan menjadi petani yang sukses. (b) Denial DYR menganggap semuanya telah terjadi dan telah berlalu sehingga DYR menganggap yang berlalu biarlah berlalu. (c) self-criticism DYR merasakan keteledorannya ketika memukul korban, jika ia tidak menangkis pukulan korban mungkin akan lain ceritanya. Kemudian (d) Possitive reappraisal DYR, ia dapat memperdalam ilmu agama, beribadah lebih khusu’ kenal dengan teman-teman yang berbeda kota, dapat hidup mandiri dan bisa berdisiplin waktu, selain itu DYR juga mendapatkan pelatihan kerja yang belum tentu ia dapatkan jika tidak berada dalam LAPAS Anak. Selain bentuk coping yang dilakukan oleh para subjek, faktor- faktor yang memperngaruhi strategi coping yang dilakukan orang menurut Mutadin (2002) dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu kesehatan fisik, keyakinan atau pandangan positif, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial, dukungan sosial, dan materi.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka faktor-faktor tersebut terbukti
menjadi elemen pendukung pelaksanaan strategi coping remaja pelaku pembunuhan dalam menghadapi kecemasan di LAPAS Anak. Uraian ini membuktikan kesesuaian pendapat Mutadin (2002) dengan kondisi di LAPAS Anak. a. Kesehatan Fisik Kondisi fisik semua subjek berdasarkan hasil observasi adalah sehat. Mereka memiliki fisik normal dan rajin berolah raga serta diajarkan untuk selalu berpikir positif agar selalu bugar. b. Keyakinan atau Pandangan Positif Semua subjek mempunyai pandangan positif terhadap nasib. Apa yang dialami dianggap sebagai konsekuensi logis dari perbuatannya. Namun justru melalui LAPAS Anak, mereka yakin akan mampu berbenah diri menuju pada tingkah laku yang lebih baik. Keyakinan yang dimiliki oleh para 19
subjek berdasarkan hasil observasi dan wawancara, keyakinan yang dimiliki mereka tentang nasib yang sedang dialaminya kuat, mereka sudah menerima dan yakin jika mereka berada disini dan tidak macam-macam akan tidak terasa dan segera menyelesaikan masa hukuman mereka. c. Keterampilan Memecahkan Masalah Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, bermacam-macam cara memecahkan masalah yang dilakukan oleh 4 subjek tersebut. Mereka kadang berdiskusi bersama teman–teman lainnya membicarakan bagaimana cara memecahkan masalah yang sedang mereka hadapi, Mereka melakukan analisis semampunya dan mereka mencoba mengurangi rasa cemas dengan cara belajar dari masa lali dan lingkunagnnya. Nasihat yang diberikan oleh teman-teman dan petugas pemasyarakatan sering menjadi harapan besar bagi subjek untuk meminimalissasi atau bahkan menghilangkan kecemasan. d. Keterampilan sosial Berdasarkan observasi dan wawancara dengan para subjek,diketahui bahwa kemampuan berkomunikasi para subjek cukup baik terbukti dengan cara mereka bersosialisasi dengan teman lain dan petugas, pergaulan dan cara bersosialisasi mereka wajar sebagaimana remaja yang ada di luar LAPAS Anak. e. Dukungan sosial Dukungan sosial yang didapatkan oleh para subjek datang dari banyak pihak, terutama dari orang tua atau familinya yang memberikan dukungan moral agar tetap tabah dan optimis. Dukungan tersebut disampaikan ketika sedang angota keluarga sedang menjenguk subjek di ruangan khusu. Oorang tua subjek selalu memberikan dukungan (misalnya membawakan makanan kesukaan, memberikan uang), dan nasihat agar subjek selalu aktif mengikuti kegiatan dan tidak mengulangi kesalahannya kembali. Bentuk dukungan dari teman-teman antara lain saling memberikan rasa nyaman dan memberikan bantuan jika diperlukan. Dukungan sosial lain diperoleh dari petugas pemasyarakatan, termasuk para wali dan tokoh agama yang senantiasa memberikan dorongan agar menjadi orang yang lebih bermanfaat bagi sesamanya. f. Materi Berdasarkan hasil observasi, dukungan untuk para subjek dari LAPAS Anak diwujudkan dengan menyediakan semua kebutuhan hidup berupa makan, minum, peralatan mandi, pakaian, obatobatan, dan semua fasilitas pendidikan dan pembinaan. Dukungan materi yang diberikan oleh orang tua para subjek dapat adalah makanan dan minuman kesukaan, pakaian, obat-obatan, uang saku sesuai dengan tata tertib LAPAS Anak.
DAFTAR PUSTAKA Afrinisna, R.Y., (2013). Penyebab dan kondisi psikologis narapidana kasus narkoba pada remaja. ejournal. Semarang, Universitas Ahmad Dahlan. portalgaruda.org 20
Agita, Charina. (2012). Kecemasan dalam Menghadapi Masa Bebas Pada Narapidana Anak di Lembaga Pemasyarakatan Kutoarjo, Skripsi, Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Andriawati, Siti. (2012). Hubungan Konsep Diri dengan Kecemasan Narapidana Menghadapi Masa Depan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Malang. Skripsi.Malang: UIN Malik Ibrahim Malang Carducci. J. Bernando. (2009). The Psychology of personality:Viewpoint, Research and Application (second edition). USA: Wiley-Blackwell Cutler, Howard C. (2004). Seni Hidup Bahagia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Contrada R.J,Baum Andrew.(2011).The Handbook of Stress Science Biology, Psycholgical and Health. New York: Springer Publishing Company Dacey, J.S., & Lisa B. fiore.( 2002). Your Anxious Child: How Parents and Teachers Can Relieve Anxiety in Children. New York: John Wiley & sons, Desmita. (2012). Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset Dharmanjaya,D.I & Agency B.,(2009) Bila Anak Usia Dini Bersekolah, Elex Media Komputindo: Jakarta Emilien G, et al. (2002) Anxiety Disorder Pathopsycologi and Pharmacological Treatment. Deutche Bibliotek Cataloging-in-publication data: Berlin Folkman & Lazarus. (1984). Stress Apprasial and Coping. New York : Springer Publishing Company Gunarsa Singgih D.(2008). Psikologi Perawatan. Jakarta: Gunung Mulia. Hall, L & Lindzey,G.(1993). Teori-teori psikodinamik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius Hajaroh, Mami. (2012). Difusi Kebijakan Pengarusutamaan Gender di Fatayat Nadhatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta. Disertasi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Hasjanah,Yusrita. (2012). Pada Ibu yang Mengalami Baby Blues Syndrome. e-Journal. Universias Ahmad Dahlan :Yogyakarta Herdiana,Ike. (2012). Profil Kecemasan Narapidana Wanita. Thesis. Surabaya: Fak.Psikologi Universitas Airlangga Lubis N. Lumongga . (2009). Depresi, Tinjauan Psikologis. Jakarta:Kencana
Milles and Huberman. (2004). Qualitativ Data Analysis: A Method Sourcebook. USA. SAGE Publication, Inc. Nevid, Jeffrey S., dkk, (2003). Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga Nursalam. (2009). Model Holistik Berdasar Teori Adaptasi (Roy dan PNI) sebagai Upaya Modulasi Respon Imun. Odgers, Candice L., at All, (2012), Misdiagnosing the Problem Mental Health Profile of Incarcerated Juveniles (National Center for Biotechnology Information) (http://www.ncbi.nlm.nih.gov), (diakses pada 5 Februari 2014 pkl. 19.00)
21
Rahmaniah S. (2003). Kecemasan: Bagaimana cara Mengatasi Penyebabnya. Pustaka Populer Obor: Jakarta Rochman. Kholil. L., (2010). Kesehatan Mental. Purwokerto: Fajar Media Press Santrock W. John. (2003). Adolescence: Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga Sarwono S.W., (1997). Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Balai Pustaka : Jakarta Selvi, Rahmawati (2003) Hubungan Coping Behavior dengan Gangguan Neurosis Cemas pada Narapidana Wanita. Undergraduate thesis, Universitas Indonesia: Jakarta Spielburger. (1966). Anxiety and Behaviour. Academic Press. Florida: Florida State University Tim Pengembang Ilmu Pendidikan UPI. (2007) Ilmu dan aplikasi pendidikan. PT Imperial Bhakti Utama:Bandung Townsend. (2008). FMRI Activation in Amygdala and Orbito Frontal Cortex In Unamedicated Subjects with Major Depressive Disorder. Jurnal Undang-Undang No.12 Tahun (1995) tentang Pemasyarakatan. Undang-Undang No. 11 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Varcoralis, E. M. (2000). Pschiatric nursing clinical guide: Assesment tools & Diagnosis. Philadelphia: W.B. Saunders Company Wicaksono,et al. (2013), mengelola kecemasan siswa dalam pembelajaran Matematika, jurnal prosiding vol 12. UNY Widodo. (2013). Prisonisasi Anak Nakal:Fenomena dan Penanggulangannya.Yogyakarta:Aswaja Pressindo Wong, D. L. et al, (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Vol 1, EGC: Jakarta
22