KETERANGAN AHLI Dr. Hamid Chalid, SH. LL.M. Staf Pengajar Tetap & Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Di Sidang ke-5 perkara no. 86/PUU-X/2012 perihal pengujian UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat terhadap UUD 1945 Mahkamah Konstitusi RI
24 Oktober 2012
Yang Mulia, Ketua dan Anggota Majelis Hakim, Izinkanlah kami akan memberikan keterangan dan pendapat sebagai Ahli atas pengujian material UU nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang diajukan oleh Pemohon dalam sidang ini. Dalam pembahasan-pembahasan yang telah disampaikan oleh para Saksi Ahli dan Saksi dari Pemohon, sudah banyak dibahas mengenai beberapa kerancuan dan inkonsistensi dari UUPZ baik secara historis dan praktek operasionalnya. Pada kesempatan ini, kami ingin menekankan beberapa isu yang menjadi pangkal dari pengajuan judicial review ini. Dalam Putusan No. 19/PUU-VI/2008, Mahkamah Konstitusi secara jelas memberikan pertimbangan mengenai hubungan antara negara dan agama yaitu sebagai berikut : “Indonesia bukan negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu, namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada individu dan masyarakat. Indonesia adalah negara yang berKetuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Dalam hubungannya dengan dasar falsafah Pancasila, hukum nasional harus menjamin keutuhan ideologi dan integrasi wilayah negara, serta membangun toleransi beragama yang berkeadilan dan berkeadaban. … Jika masalah pemberlakuan hukum Islam ini dikaitkan dengan sumber hukum, maka dapatlah dikatakan bahwa hukum Islam memang menjadi sumber hukum nasional, tetapi hukum Islam bukanlah satu-satunya sumber hukum nasional, sebab selain hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat, serta sumber tradisi hukum lain pun menjadi sumber hukum nasional. Oleh sebab itu, hukum Islam dapat menjadi salah satu sumber materiil sebagai bahan peraturan perundang-undangan formal. Hukum Islam sebagai sumber hukum dapat digunakan bersama-sama dengan sumber hukum lainnya, sehingga menjadi bahan pembentukan peraturan perundangundangan yang berlaku sebagai hukum nasional.”
Pertimbangan hukum tersebut, menurut kami adalah pendapat sahih dan mutakhir yang menjelaskan hubungan negara dan agama (dalam hal ini Agama Islam) di Indonesia. Hubungan mana merupakan suatu diskursus yang tidak ada hentinya baik di dunia Islam maupun di Indonesia pada khususnya. Sejak diundangkan UU nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan terlebih sejak era reformasi, banyak lahir UU yang didasarkan dari hukum Islam sebagai sumber materiil baik yang diatur dalam bagian isi dari UU tersebut seperti UU Perbankan, maupun UU yang khusus disusun untuk kebutuhan pelaksanaan ajaran Islam seperti UU Haji, UU Wakaf dan UU Zakat yaitu UU nomor 38 tahun 1999. Dalam perspektif ajaran Islam, Zakat harus diatur oleh Negara, maka salah satu argumen dalam sejarah Islam adalah keputusan Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq untuk memerangi kaum yang menolak membayar zakat. Keputusan tersebut dilaksanakan oleh Abu Bakr RA, menurut hemat kami, merupakan kewenangan yang timbul karena adanya kewajiban zakat yang diterapkan secara imperatif kepada kaum muslimin apa masa itu. Hal ini tentu sangat berbeda keadaannya dengan di Indonesia, dimana membayar zakat lebih dilandaskan pada iman dan kesadaran sebagai seorang Muslim ketimbang karena ketakutan akan adanya sanksi oleh negara. Fakta historis, seperti antara lain diungkap secara jelas oleh Ibu Amelia Fauzia pada persidangan tanggal 17 Oktober 2012 yang lalu, gerakan masyarakat sipil dalam pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat di Indonesia sudah jauh berkembang sebelum adanya pengaturan Negara melalui peraturan perundang-undangan. Karena aktifitas Zakat adalah suatu bagian dari pengamalan agama yang tidak hanya berdimensi sosial bahkan lebih dari itu, juga merupakan dimensi Tauhid. Semangat berzakat itu emakin berkembang dengan tumbuhnya lebaga-lembaga amil zakat yang profesional, transparan dan akuntabel serta sanggup menyalurkan zakatr yang mereka kumpulkan ke tempat-tempat yangdan dalam bentuk=-bentuk yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang muzakki sendirian. Dari uraian di atas, ketika DPR dan Pemerintah merumus pasal 6 UU a quo dengan kalimat
“BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional” dan dalam pasal 5 disebutkan bahwa BAZNAS merupakan lembaga Pemerintah nonstuktural, maka melalui ketentuan-ketentuan tersebut memberi pesan bahwa Pemerintah adalah pihak tunggal yang berwenang untuk mengatur salah satu ibadah dari Rukun Islam yaitu Zakat. Konsisten dengan konsepsi hubungan negara dan agama di NKRI, maka tidak ada larangan untuk Negara/Pemerintah mengatur tentang pengelolaan zakat dalam hukum positif sebagaimana dimaksud dengan UU nomor 38 tahun 1999. Namun berbeda dengan UU 38
tahun 1999 yang memberikan kesempatan yang sama antara Pemerintah (BAZNAS) dan masyarakat (LAZ) untuk melakukan pengelolaan zakat, maka UU nomor 23 tahun 2011 telah menempatkan posisi yang berbeda dimana BAZNAS sebagai pihak yang berwenang sedangkan LAZ hanyalah “membantu” (pasal 17 UU a quo). Kata “membantu” itu semakin menegaskan bahwa memang BAZNAS sendirian sajalah yang sesungguhnya memiliki wewenang a quo. Sesungguhnya Negara juga boleh saja mengatur atau meregulasi pengelolaan zakat dalam konteks menciptakan tata kelola yang baik dan mempersempit ruang penyimpangan dalam pengelolaan zakat seperti sanksi-sanksi yang dimaksud dalam pasal 39 dan pasal 40 UU aquo, tetapi Negara tidak dapat mengambil alih hak pilih yang dimiliki masyarakat untuk menentukan amil yang dipercaya untuk menyalurkan zakat mereka. Jadi, persoalan sesungguhnya bukanlah terletak pada ada tidaknya kewenangan negara untuk mengatur kehidupan keagamaan, tetapi ditiadakannya peran masyarakat sipil untuk melaksanakan kewajiban keagamaannya itu secara sukarela di antara mereka. Ketentuan pidana Pasal 41 jo. Pasal 38 UU aquo menjelaskan itu secara amat gamblang. Persoalan ini dapat kita ibaratkan dengan pengelolaan pendidikan nasional. Kita sama-sama mengetahui bahwa berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 311 menegaskan bahwa pendidikan adalah hak dan sekaligus kewajiban setiap warga negara. Implikasi aadanya hak dan kewajiban tersbut adalah bahwa negara wajib menyelenggarakan pendidikan tersebut bagi warga negara. Dan negara, sebagaimana kita maklum memang telah menyelenggarakannya melalui sekolah-sekolah negeri. Namun, kita juga tahu negara terbukti tidak mampu menyediakan pendidikan itu bagi seluruh warga negaranya. Dari situ muncullah inisiatif
1
Bunyi Pasal 31 UUD 1945 adalah sebagai berikut: (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. ****) (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. ****) (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undangundang. ****) (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. ****)
masyarakat untuk mengisi gap itu dengan partisipasi aktif dalam penyelenggaraan pendidikan bagi lingkungannya. Maka sangatlah tidak pantas apabila, misalnya, UU Pendidikan Nasional kita memberikan sanksi pidana bagi masyarakat yang karena kesadarannya ingin memberikan pendidikan informal kepada anak-anak di lingkungannya. Jangan kita bayangkan bahwa yang dimaksud pendidikan informal ini sama dengan pendidikan formal di sekolah-sekolah. Tetapi bayangkanlah anak-anak yang belajar di musholla-musholla di samping rumahnya, taman-taman pendidikan al-qur’an, sekolah-sekolah minggu bagi ummat Nasrani, dan pesantren-pesantren salafiyah yang telah berdiri jauh sebelum Indonesia dijajah oleh Belanda. Model seperti inilah yang analog dengan amil-amil zakat tradisional, yang oleh UU Zakat diancam pidana hanya karena membantu menyalurkan zakat di lingkungannya yang mungkin tidak pernah terjangkau oleh BAZNAS maupun LAZ berijin. Pasal 38 UUPZ yang berbunyi “Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.” Secara nyata melingkupi semua orang tanpa kecuali, dan mereka semua diancam dengan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 41 a quo. Penjelasan Pasal 38 pun tidak mengatakan apa-apa kecuali sekedar ungkapan singkat: “cukup jelas.”
Yang Mulia, Ketua dan Anggota Majelis Hakim yang saya hormati, Pasal 18 ayat 2 UU a quo menyebutkan persyaratan paling sedikit yang wajib dipenuhi oleh LAZ. Dalam pembahasan persidangan ini juga sudah banyak diskusi mengenai persyaratan “terdaftar sebagai organisasi kemasyarakat Islam….” dan “berbentuk lembaga berbadan hukum”. Penjelasan Pasal 1 UU nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) menyebutkan bahwa salah satu ciri penting Ormas adalah kesukarelaan dalam pembentukan dan keanggotaan. Di sisi lain, Ormas bukanlah badan hukum. Maka, apabila dikaitkan dengan wajib “berbentuk lembaga berbadan hukum” maka satu-satunya badan hukum yang bisa memenuhi syarat sebagai LAZ menurut UU a quo adalah Perkumpulan yang saat ini masih diatur dalam Staatblad 1870 Nomor 64 tentang Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid van Varenigingen) dan Pasal 1653 – 1665 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan argumen tersebut di atas, UU a quo secara implisit melarang LAZ dalam bentuk badan hukum Yayasan sebagaimana diatur dalam UU nomor 16 tahun 2001 dan sebagaimana diubah dengan UU nomor 28 tahun 2004. Memang UU a quo memberi kesempatan penyesuaian
selama 5 tahun, tapi kesempatan tersebut hanya berlaku untuk LAZ yang sudah dikukuhkan oleh Menteri sebelum UU a quo. Keharusan bahwa LAZ harus berbentuk Ormas juga berpotensi menciptakan fragmentasi sosial di masyarakat. Jika semula zakat yang dikumpulkan oleh LAZ disalurkan seluruhnya bagi masyarakat yang membutuhkan, maka bukan tidak mungkin jika dikemudian hari, zakat dari LAZ mensyaratkan keanggotaan bagi para mustahik yang ingin memperoleh penyaluran zakat dari LAZ yang bersangkutan. Ini dapa terjadi mengingat LAZ diharuskan berbentuk Ormas yang memiliki sifat menghimpun anggota. Akibat lain dari ketentuan ini adalah keengganan para muzakki untuk membayarkan zakatnya kepada LAZ tertentu dengan keanggotaan tertentu pula. Inilah fragmentasi sosial yang dikhawatirkan dapat terjadi akibat pemberlakuakn syarat “ormas” tadi. Padahal di sisi lain, UU Yayasan telah mengatur dengan sangat baik bagaimana Suatu Yayasan harus bertanggung jawab atas setiap dana masyarakat yang terkumpul di tangannya. Agak aneh jika bentuk badan hukum Yayasan dikesampingkan oleh UU aquo. Ini belum lagi jika kita hendak mempersoalkan definisi “ormas Islam” sebagaimana bunyi Pasal 18 ayat 2 UU a quo. Masyarakat tentu akan bingung apa yang dimaksud dengan “Ormas Islam” itu dan apakah ia juga terikat pada UU Keormasan. Sebab, jika berpedoman pada UU Keormasan yang berlaku, tidak ada lagi yang disebut sebagai “Ormas Islam” sebagai sebuah legal term, mengingat semua sudah diasas-tunggalkan. Istilah itu bersifat sosiologis dan tidak selayaknya dipakai sebagai persyaratan hukum dalam perijinan LAZ. Di samping itu, kita sama-sama mafhum bahwa munculnya UU Keormasan sangat sarat dengan nuansa politis, dan penolakan besar-besaran terjadi pada waktu itu akibat penerapan “asas tunggal” berdasarkan UU Keormasan tersebut.
Majelis Hakim yang Mulia, Di luar argumentasi yang berkaitan hukum positif Indonesia, tidak ada salahnya untuk sedikit menyinggung argumen pendukung peran sentral negara dalam pengumpulan zakat yang berasal dari Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 103 (QS9:103) yang berbunyi sebagai berikut: 103. ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Jika kita tengok latar belakang turunnya ayat (asbab al-nuzul) dari ayat tersebut, maka kita dapati bahwa sesungguhnya ayat tersebut tidak terpisahkan dari ayat sebelumnya. Sehingga secara lengkap kedua ayat tersebut berbunyi: 102. dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 103. ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Dalam Kitab Asbāb al-Nuzūl karya 'Alī ibn Ahmad al-Wāhidī (wafat 468H/1075M), Ibnu Abbas menjelaskan bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan adanya sekelompok sahabat yang menolak pergi berjihad bersama Rasulullah SAW dalam peperangan Tabuk lalu menyesali perbuatannya ketika Rasulullah telah berangkat menuju Tabuk. Mereka lalu mengikatkan diri mereka di salah satu tiang masjid Nabi dan membiarkan diri mereka dalam keadaan demikian sampai Allah سبحانه و تعالىdan Rasul-Nya memaafkan mereka. Ibnu Abbas berkata bahwa mereka berjumlah sepuluh orang. Ketika Rasulallah kembali dari Tabuk dan menyaksikan mereka dalam keadaan demikian, Rasul SAW bertanya tentang apa yang tgerjadi pada mereka dan kemudian dijelaskan oleh salah seorang di antara sahabat. Rasul SAW kemudian bersabda: Aku tidak akan mengambil tindakan aapun sebelum datang perintah dari Allah سبحانه و تعالى. Lalu datanglah ayat tersebut kepada Rasul SAW yang atas dasar itu, Rasulullah membebaskan, memaafkan dan mengambil “sadaqah” mereka untuk diserahkan kepada yang berhak. Jadi, dari Asbāb al-Nuzūl tersebut diperoleh keterangan bahwa ayat tersebut sewsungguhnya merujuk kepada “sadaqah” sebagaimana bunyi ayat itu sendiri. Sedangkan penafsiran makna “sadaqah” tersebut sebagai zakat diperoleh dari kata yang maknanya adalah “yang dengannya disucikan mereka”. Kata zakat diambil dari akar kata yang sama dengan kata tersebut. Andaipun kata “sadaqah” dimaknai sebagai “zakat” dan diberlakukan sebagai ketentuan umum, maka pesan ayat itu utamanya adalah pada “kewajiban” membayar zakat yang berimplikasi pada munculnya “hak” penguasa untuk “mengambil”nya (berasal dari kata perintah yang
artinya”ambillah”). Adanya “hak” penguasa untuk “mengambil” tentu saja dengan sendiri gugur apabila “kewajiban” telah ditunaikan. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah “kewajiban” itu “wajib” dilaksanakan melalui tangan negara? Jika menilik hadits-hadits Nabi SAW yang sangat banyak yang berisi anjuran untuk bersedekah, berzakat dan berinfak serta beramal kebajikan lainnya kepada lingkungan terdekat, maka sesungguhnya dapat dikatakan bahwa norma imperatifnya adalah “membayar/menunaikan kewajiban” dari muzakki, sedangkan “mengambil”nya (oleh negara) merupakan perintah yang sifatnya implied, dimana hak mengambil itu hilang apabila kewajiban telah tunai. Jika norma imperatifnya ada pada “mengambil”, maka menjadi tidak sah zakat yang dibayarkan kepada pihak lainnya, misalkan saja kepada mustahiq secara langsung, sebagai contoh. Apakah demikian maksud ayat itu? Tentu saja tidak. Apalagi jika kita pulangkan kepada UU a quo sendiri, dimana membayar zakatnya sendiri bukan merupakan ketentuan imperatif, tetapi fakultatif. Bagaimana mungkin norma yang fakultatif semacam itu harus diatur secara imperatif. Adanya lembaga pemerintah yang diberi wewenang memungut zakat adalah baik. Tetapi membiarkan masyarakat membayar dan menyalurkan zakatnya kepada pihak manapun yang dipercayainya adalah juga hak yang harus dilindungi oleh konstitusi. Karenanya, menerapkan ketentuan pidana atas suatu pelaksanaan kewajiban agama sama sekali tidak layak dan tidak konstitusional. Penyelewengan atas suatu palaksanaan kewajibanlah yang harus dipidana, bukan pelaksanaanya. Demikianlah pendapat kami. Semoga Allah سبحانه و تعالىtunjukkan kepada kita jalan yang lurus untuk menegakkan kebenaran.
Wallahul-Muwafiq ilaa aqwamith-Thariq Wasalamuallaikum wr. wb.