Implikasi Hukum Terhadap Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Legal Implications against Government Regulation No. 26 of 2008 on National Spatial Plan)
Oleh Nuribadah1
Abstract Article 1 point 17 of Government Regulation No. 26 Year 2008 on National Spatial planning is a national strategic areas are those areas prioritized spatial arrangement because it has a very important influence on the national state sovereignty, national defense and security, economic, social, cultural, and/or the environment, including areas designated as world heritage. Government regulations stipulate that Leuser Ecosystem Area (KEL) as one of the national strategic area in the province of Aceh. Which were analyzed in this paper is the legal implications if the violation of the provisions set out in Law No. 26 Year 2007 jo. Government Regulation No. 26 of 2008 on National Spatial Plan. Therefore, efforts need to be ongoing information dissemination on the importance of conservation of the Leuser Ecosystem Area (KEL) and implement the National Spatial Plan ( RTRWN ) to the Provincial Spatial Plan (RTRWP) and policy development in Aceh, especially in the region of KEL . Keyword : Implication of Law, Legislations, National Spatial Plan
A. PENDAHULUAN 1.
Latar Belakang
Ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di Dosen Tetap pada Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh. 1
42
Implikasi Hukum Terhadap Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008.. (Nuribadah)
dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia yang perlu disyukuri, dilindungi, dan dikelola secara berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta makna yang terkandung dalam falsafah dan dasar negara Pancasila. Untuk mewujudkan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, Undang-Undang tentang Penataan Ruang ini menyatakan bahwa negara menyelenggarakan penataan ruang, yang pelaksanaan wewenangnya dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan tetap menghormati hak yang dimiliki oleh setiap orang. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (2) disebutkan bahwa “Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupten/kota dilakukan secara berjenjang dan komplementer”. Artinya penataan ruang baik wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota disusun secara hierarki dan saling melengkapi satu sama lain, bersinergi, dan tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam penyelenggaraannya. Kemudian Pasal 14 ayat (2) Rencana umum tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a secara berhierarki terdiri atas: a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan c. Rencana tata Ruang Wilayah Kabupaten Dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Hal senada disebutkan juga di dalam pasal 20 ayat (2) huruf g, UU 26 Tahun 2007 yakni “rencana tata ruang wilayah nasional menjadi pedoman untuk penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Penegasan kembali bahwa RTRWP harus mengacu kepada RTRWN dapat dilihat pada isi pasal 22 ayat (1) huruf a UU 26 Tahun 2007, yang menyebutkan “penyusunan rencana tata ruang provinsi mengacu kepada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional”. Sedangkan RTRWP menjadi pedoman untuk penataan ruang wilayah kabupaten/kota (pasal 23 ayat (2) huruf g).
43
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) merupakan pedoman untuk penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional, penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional, mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta keserasian antarsektor, penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi, penataan ruang kawasan strategis nasional, dan penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Oleh karena itu, RTRWN disusun dengan memperhatikan dinamika pembangunan yang berkembang, antara lain, tantangan globalisasi, otonomi dan aspirasi daerah, keseimbangan perkembangan antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia, kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana, dampak pemanasan global, pengembangan potensi kelautan dan pesisir, pemanfaatan ruang kota pantai, penanganan kawasan perbatasan negara, dan peran teknologi dalam memanfaatkan ruang. Untuk mengantisipasi dinamika pembangunan tersebut, upaya pembangunan nasional juga harus ditingkatkan melalui perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang lebih baik agar seluruh pikiran dan sumber daya dapat diarahkan secara berhasil guna dan berdaya guna. Salah satu hal penting yang dibutuhkan untuk mencapai maksud tersebut adalah peningkatan keterpaduan dan keserasian pembangunan di segala bidang pembangunan, yang secara spasial dirumuskan dalam RTRWN. Penggunaan sumber daya alam dilakukan secara terencana, rasional, optimal, bertanggungjawab, dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya, dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, memperkuat struktur ekonomi yang memberikan efek pengganda yang maksimum terhadap pengembangan industri pengolahan dan jasa dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup serta keanekaragaman hayati guna mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Sehubungan dengan itu, RTRWN yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional merupakan matra spasial dalam pembangunan nasional yang mencakup pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan dan pelestarian lingkungan hidup dapat dilakukan secara aman, tertib, efektif, dan efisien. 44
Implikasi Hukum Terhadap Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008.. (Nuribadah)
RTRWN memadukan dan menyerasikan tata guna tanah, tata guna udara, tata guna air, dan tata guna sumber daya alam lainnya dalam satu kesatuan tata lingkungan yang harmonis dan dinamis serta ditunjang oleh pengelolaan perkembangan kependudukan yang serasi dan disusun melalui pendekatan wilayah dengan memperhatikan sifat lingkungan alam dan lingkungan sosial. Untuk itu, penyusunan RTRWN ini didasarkan pada upaya untuk mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah nasional, antara lain, meliputi perwujudan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan serta perwujudan keseimbangan dan keserasian perkembangan antarwilayah, yang diterjemahkan dalam kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang dan pola ruang wilayah nasional. Struktur ruang wilayah nasional mencakup sistem pusat perkotaan nasional, sistem jaringan transportasi nasional, sistem jaringan energi nasional, sistem jaringan telekomunikasi nasional, dan sistem jaringan sumber daya air nasional. Pola ruang wilayah nasional mencakup kawasan lindung dan kawasan budi daya termasuk kawasan andalan dengan sektor unggulan yang prospektif dikembangkan serta kawasan strategis nasional. Selain rencana pengembangan struktur ruang dan pola ruang, RTRWN ini juga menetapkan kriteria penetapan struktur ruang, pola ruang, kawasan andalan, dan kawasan strategis nasional; arahan pemanfaatan ruang yang merupakan indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; serta arahan pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas indikasi arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, dan arahan sanksi. Secara substansial rencana tata ruang pulau/kepulauan dan kawasan strategis nasional sangat berkaitan erat dengan RTRWN karena merupakan kewenangan Pemerintah dan perangkat untuk mengoperasionalkannya. Oleh karena itu, penetapan Peraturan Pemerintah ini mencakup pula penetapan kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Berdasarkan hal diatas, secara jelas dapat dikatakan secara hierarki penataan ruang adalah RTRWN merupakan pedoman bagi penyusunan RTRWP, dan RTRWP merupakan pedoman bagi penyusunan RTRW kabupaten/kota. Dan oleh karena sifat hierarki tersebut maka penataan ruang dilevel nasional dilakukan sebelum penataan ruang dilevel provinsi. Penataan ruang dilevel provinsi harus mengikuti apa yang telah ditetapkan dilevel nasional, dan demikian selanjutnya bagi penataan ruang dilevel kabupaten/kota harus mengikuti apa yang telah ditetapkan dilevel provinsi. 45
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
Hal penting yang ingin ditegaskan terhadap pengaturan hierarki penataan ruang di Indonesia dalam kaitannya dengan penetapan KEL sebagai Kawasan Strategis Nasional berdasarkan PP 26 Tahun 2008 tentang RTRWN adalah, apabila RTRWN telah menetapkan KEL sebagai kawasan strategis nasional, maka RTRWP harus mengacu dan mengadopsi hal tersebut, dan kemudian RTRW kabupaten/kota juga harus mengikuti hal-hal yang di tetapkan di dalam RTRWP. 2.
Rumusan Permasalahan
Adapun yang menjadi fokus pemasalahan dari pembahasan diatas dalam tulisan ini adalah : Bagaimana implikasi hukum apabila melanggar ketentuan yang telah ditetapkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional? 3.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk mengetahui implikasi hukum apabila melanggar ketentuan yang telah ditetapkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. 4.
Metode Penulisan
Studi ini merupakan pendekatan kualitatif dengan metode normatif yaitu suatu metode yang mendasarkan sumbernya pada penelitian kepustakaan atau literatur untuk memperoleh teori, konsepsi dan prinsip-prinsip berkenaan dengan ketetapan hukum berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji/menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum terutama bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai seperangkat peraturan atau normanorma positif di dalam sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia. Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa aspek-aspek hukum di Indonesia, peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya ilmiah, bahan kuliah, putusan
46
Implikasi Hukum Terhadap Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008.. (Nuribadah)
pengadilan, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lain. Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.2 5.
Tinjauan Pustaka a. Konsep Implikasi Hukum
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Ketentuan ini terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam amandemen ketiga UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), ditegaskan kembali bahwa „Indonesia adalah negara hukum‟. Indonesia sebagai negara hukum didasarkan pada cita hukum (recht-idee) yang dibangun oleh pejuang dan pendiri republik kerakyatan (demokratik) dengan semboyan “… dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat …” Cita hukum ini dinyatakan secara singkat dalam konstitusi bahwa Indonesia adalah negara hukum. Mochtar Kusumaatmadja, menjelaskan prinsip negara hukum Indonesia yang utama adalah kekuasaan itu tidak tanpa batas.3 Artinya, kekuasaan harus tunduk kepada hukum. Secara populer dapat dikatakan bahwa negara hukum adalah negara berdasarkan atas hukum, di mana kekuasaan dibatasi dan tunduk kepada hukum. Prinsip lain yang melandasi Indonesia sebagai negara hukum adalah semua orang sama dihadapan hukum. Hal ini berarti bahwa hukum memperlakukan semua orang tanpa perbedaan yang didasarkan pada ras (keturunan), agama, kedudukan, status sosial, kekayaan dan lain-lain. Penegasan Indonesia sebagai negara hukum dan bukan negara kekuasaan dapat juga diartikan bahwa tindakan yang dilakukan pemerintah dan aparatnya haruslah berdasarkan atas hukum, yaitu memiliki dasar hukum yang sah, berdasarkan wewenang hukum yang diatur secara jelas dan sah pula. Tindakan pemerintah atau aparatnya yang bertentangan atau tidak memiliki dasar hukum dapat 2 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007) hlm. 57 3 Mochtar Kusumaatmadja, “Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas hukum Nasional di Masa Kini dan Masa yang Akan Datang “ dalam Jurnal Padjadjaran, No. 1 Tahun 1999, Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, 1999. Hlm. 1.
47
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
dipersoalkan dan dianggap tidak sah, sehingga tidak sesuai dengan cita negara hukum.4 Dalam negara hukum Indonesia, hak-hak perseorangan dihormati dan dilindungi dari tindakan sewenang-wenang aparat pemerintah atau pihak-pihak lain. Perlindungan hak-hak warga negara tentunya berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam negara hukum, kekuasaan kehakiman/badan peradilan bersifat merdeka dan bebas dari pengaruh pemerintah atau pihak-pihak lain. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 24 dan 25 UUD 1945. Konsep dan ciri negara hukum yang dianut UUD 1945 sebenarnya mengarah kepada negara kesejahteraan (welfare state). Paham negara kesejahteraan berkembang sebagai akibat dari kesadaran warga masyarakat mengenai keberadaan dirinya dalam negara. Kesadaran itu tersimpul pada tujuan negara yang tidak sematamata untuk menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya, akan tetapi negara sepenuhnya melibatkan diri dalam kegiatan mensejahterakan masyarakatnya. Oleh karena itu, negara berkewajiban menata dirinya menghadapi tugas yang cukup luas meliputi semua bidang kehidupan. Tipe negara semacam ini disebut dengan negara kesejahteraan atau sociale rechtsstaat.5 Untuk mengkaji implementasi hukum dan kebijkan, paling tidak ada dua cara yang harus diketahui, yaitu kajian melihat isi dari kebijakan (policy content) dan kajian melihat bagaimana kebijakan sebenarnya dibuat dan dilaksanakan (policy process), kajian isi kebiajkan (policy content) kebanyakan berupa analisis legaal normatif. Kajian antara lain ingin melihat konsistensi kebijakan yang ada dalam peraturan perundang-undangan, perubahan kebijakan dari waktu ke waktu serta ketercakupan prinsip-prinsip keadilan dalam isi kebijakan.6 Berdasarkan klasifikasi hukum diatas maka penetapan ruang Kawasana Ekosistem Leuser di atas, penataan ruang kawasan strategis nasional masuk kedalam klasifikasi penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan. Jika KEL ditetapkan Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, Nadiya Foundation, Lhokseumawe, 2004, hlm. 37-38. 5 Tim Legal Development Management, Arah Pembangunan Hukum Aceh 20082028, Satker BRR Pengembangan Sarpras Hukum NAD, Banda Aceh, 2007, hlm. 2. 6 T. Nazaruddin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Penataan Ruang Menuju Kota Berkelanjutan, Jurnal Nanggroe, Vol. 2 No. 1 April 2013, ISSN, 2302-6219, Hlm. 31-32. 4
48
Implikasi Hukum Terhadap Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008.. (Nuribadah)
sebagai salah satu kawasan strategis nasional, maka hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa KEL adalah kawasan yang memiliki nilai strategis kawasan. Atau secara sederhana dapat dikatakan karena KEL benilai strategis maka ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional. Penjelasan Pasal 5 ayat (5) UU No. 26/2007 menyebutkan kawasan strategis merupakan kawasan yang didalamnya berlangsung kegiatan yang mempunyai pengaruh besar terhadap: a. tata ruang diwilayah sekitarnya; b. kegiatan lain dibidang yang sejenis dan kegiatan dibidang lainnya; dan/atau c. Peningkatan kesejahteraan Masyarakat Bagi provinsi Aceh, ada 12 kabupaten kota yang tergantung dari jasa ekologis KEL seperti fungsi persediaan kebutuhan air, pencegah banjir dan kekeringan, sumber energi terbarukan, penyerap karbon dan pengendali iklim, pendukung kegiatan pertanian dan perikanan, penghasil hutan non-kayu, objek penelitian dan daerah wisata. Dengan kata lain penetapan KEL sudah ada perencanaan yang matang melalui kebijaksanaan, yang dinyatakan dalam hubungan timbal balik antara kebijaksanaan dengan hukum. Dengan kata lain, perencanaan adalah proses kebijaksanaan dan perwujudan rencana merupakan bagian dari hukum, sehingga tunduk pada norma-norma hukum.7 Dengan demikian jelaslah bahwa penataan ruang KEL sebagai Kawasan Srategis Nasional mengandung dimensi yang sangat luas. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila banyak dijumpai adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hal tersebut, bila masalah penataan ruang diletakan dalam konteks negara hukum kesejahteraan.8 sebagaimana yang dianut oleh negara Kesatuan Republik Indonesia, dapat dikatakan bahwa kebijakan penetapan KEL sebagai Kawasan Srategis Nasional adalah relevan dengan negara hukum dan juga sesuai dengan penjelasan umum Oleh karena itu, RTRWN disusun dengan memperhatikan dinamika pembangunan yang berkembang, antara lain, tantangan globalisasi, otonomi dan aspirasi daerah, keseimbangan perkembangan antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia, Ridwan , HR, Hukum Adminitrasi Negara, Yogyakarta, UII-PRES, 2003. Hlm. 149. Hasni, Hukum Penataan Ruang Dan Penatagunaan Tanah Dalam Konteks UupaUupr-Uuplh, Rajawali Pers, PTT Rajagrfindo Persada, 2010. Hlm. 18. 7 8
49
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana, dampak pemanasan global, pengembangan potensi kelautan dan pesisir, pemanfaatan ruang kota pantai, penanganan kawasan perbatasan negara, dan peran teknologi dalam memanfaatkan ruang. Untuk mengantisipasi dinamika pembangunan tersebut, upaya pembangunan nasional juga harus ditingkatkan melalui perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang lebih baik agar seluruh pikiran dan sumber daya dapat diarahkan secara berhasil guna dan berdaya guna. Salah satu hal penting yang dibutuhkan untuk mencapai maksud tersebut adalah peningkatan keterpaduan dan keserasian pembangunan di segala bidang pembangunan, yang secara spasial dirumuskan dalam RTRWN. Penggunaan sumber daya alam dilakukan secara terencana, rasional, optimal, bertanggungjawab, dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya, dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, memperkuat struktur ekonomi yang memberikan efek pengganda yang maksimum terhadap pengembangan industri pengolahan dan jasa dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup serta keanekaragaman hayati guna mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Sehubungan dengan itu, RTRWN yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional merupakan matra spasial dalam pembangunan nasional yang mencakup pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan dan pelestarian lingkungan hidup dapat dilakukan secara aman, tertib, efektif, dan efisien. b. Pengertian KEL dan Kawasan Srategis Nasional KEL adalah wilayah yang secara alami terintegrasikan oleh-oleh faktor-faktor bentangan alam, karakteristik khas dari flora dan fauna, keseimbangan habitat dalam mendukung keseimbangan hidup keanekaragaman hayati, dan faktor-faktor khas lainnya sehingga membentuk satu kesatuan ekosistem tersendiri yang disebut Ekositem Leuser. KEL di wilayah Aceh adalah seluruh kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian sumber daya lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan yang terdiri dari KEL sebagai kawasan suaka alam dan atau kawasan pelestarian alam.
50
Implikasi Hukum Terhadap Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008.. (Nuribadah)
Luas Areal KEL berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. 227/Kpts-II/1995 adalah 1.790.000 ha yang kemudian setelah dilakukan penataan tapal batas, luas KEL untuk wilayah Aceh adalah 2.255.57ha. Hal ini dipertegas melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 190/Kpts-II/2001. Menurut pasal 1 angka 17 PP Nomor 26 Tahun 2008 yang dimaksud dengan kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia. Pepohonan yang ada di KEL berfungsi sebagai penahan air hujan agar sempat diserap oleh tanah dan tidak hanya menjadi aliran air permukaan yang dapat mencuci hara yang ada dilapisan tanah bagian atas. Air yang diserap oleh tanah sebagian akan menjadi air tanah yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan diatasnya dan juga sebagai sumber air yang dapat mengalir di dalam tanah sebagai aliran sungai. Beberapa sungai besar mengalir dari kawasan ini dan membentuk Daerah Tangkapan Air (DTA) utama. Diantaranya adalah DTA Jambo Aye, DTA Tamiang, DTA Wampu, DTA Krueng Tripa, DTA Krueng Kluet, dan DTA Alas. Daerah Tangkapan Air inilah yng menunjang komunitas lokal dalam hal ketersediaan air, irigasi, pertanian dan sumber protein. Ketersediaan air inilah yang menjadikan alasan akan arti penting KEL sebagai pendukung kegiatan pertanian dan perikanan. Pohon-pohon yang berasal dari Kawasan Ekosistem Leuser berfungsi juga sebagai pabrik oksigen untuk membersihkan udara yang kotor (miskin oksigen). Proses ini dihasilkan pada saat pohon melakukan proses fotosintesis, dimana menyerap karbondioksida dan melepaskan oksigen sebagi hasil sampingannya. Hutan di KEL juga memberikan hasil hutan non-kayu yang sangat bernilai ekonomis. Beberapa hasil hutan non-kayu yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat seperti rotan, jerendang, aren, sagu, nipah, pandan, damar, kemiri, buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan obat-obatan. Selain itu, pemanfaatan lain yang dapat dilakukan di KEL adalah kegiatan penelitian dan pariwisata. Obyek penelitian tersedia begitu melimpah dan penelitian yang dilakukan secara seksama dan berkelanjutan akan menghasilkan penemuan baru bagi ilmu pengetahuan. Nilai ekonomi KEL juga dpat diukur secara nominal. Hal 51
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
ini dapat dilihat dari hasil penelirtian yang dilakukan oleh Pieter Van Beukering dan Herman Cesar, peneliti yang berasal dari Belanda pada tahun 2001. Studi tersebut dilakukan untuk menentukan nilai ekonomi keseluruhan (Total Economic Value atau TEV) KEL dan mengevaluasi dampak kerusakan hutan bagi pihak terkait utama.9 Hasil studi yang telah dilakukan oleh kedua peneliti di atas tentang nilai ekonomi KEL dapat dikemukakan sebagai berikut: 1.
Konservasi KEL mencegah kerusakan dan kerugian pendapatan sebesar Rp. 85 Triliun. Sementara kerusakan hutan hanya menghasilkan Rp. 31 triliun untuk pendapatan daerah selama 30 tahun.
2.
Konservasi menyebarkan manfaat KEL secara adil bagi daerah kabupaten dan dapat mencegah konflik. Sementara kerusakan hutan memperlebar kesenjangan pendapatan antara daerah-daerah kabupaten dan hal ini dapat menjadi sumber konflik yang berlanjut. Ketergantungan ini dapat memberikan insentif yang kuat bagi setiap kabupaten untuk mengembangkan dan melaksanakan perencanaan bersama-sama.
3.
konservasi memberikan keadilan sosial dan ekonomi karena konservasi mendukung masyarakat miskin, sementara kerusakan hutan memperlebar jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
KEL sebagai kawasan strategis nasional yang dipandang dari sisi sudut kepentingan sisi fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, berpengaruh terhadap kebijakan pengembangan kawasan dan strategi untuk pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidupnya. Hal ini seperti disebutkan di dalam pasal 9 ayat (1) huruf a dan ayat (2) PP 26/2008, yakni: 1) Kebijakan pengembangan kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf c meliputi: Pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi
Fauzan Azima, Kawasan Ekosistem Leuser antara Kenyataan dan Harapan, Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL Aceh), 2008. Hlm.3 9
52
Implikasi Hukum Terhadap Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008.. (Nuribadah)
perlindungan kawasan, melestarikan keunikan bentang alam, dan melestarikan warisan budaya nasional; 2) Strategi untuk pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup meliputi: a. Menetapkan kawasan strategis nasional berfungsi lindung; b. Mencegah pemanfaatan ruang di kawasan strategis nasional yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan; c. Membatasi pengembangan prasarana dan sarana di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional yang dapat memicu perkembangan kegiatan budi daya; d. Mengembangkan kegiatan budidaya tidak terangun disekitar kawasan strategis nasional yang berfungsi sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan lindung dengan kawasan budi daya terbangun; dan e. Merehabilitasi fungsi lindung kawasan yang menurun akibat dampak pemanfaatan ruang yang berkembang di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional. Dari isi pasal 9 di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan pengembangan KEL sebagai Kawasan Strategis Nasional adalah pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikan keunikan bentang alam, dan melestarikan warisan budaya nasional di KEL. Sedangkan strategi untuk pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup KEL sebagai kawasan strategis nasional adalah: a. Menetapkan KEL sebagai kawasan yang berfungsi lindung (kawasan lindung); b. Mencegah pemanfaatan ruang di KEL yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan; c. Membatasi pengembangan prasarana dan sarana di dalam dan di sekitar KEL yang dapat memicu perkembangan kegiatan budi daya;
53
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
d. Mengembangkan kegiatan budi daya tidak terbangun di sekitar KEL yang berfungsi sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan lindung dengan kawasan budi daya terbangun; dan e. Merehalibitasi fungsi lindung KEL yang menurun akibat dampak pemanfaatan ruang yang berkembang di dalam dan disekitar KEL. Sebagai kawasan strategis nasional, penataan ruang KEL berdasarkan pasal 8 ayat (1) huruf c UU 26 Nomor 2007 dilaksanakan oleh pemerintah, dimana disebutkan bahwa Wewenang pemerintah dalam penyelenggara penataan ruang meliputi pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional. Selanjutnya dalam pasal 8 ayat (3) disebutkan, wewenang pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional meliputi: a. Penetapan kawasan strategis nasional; b. Perencanaan tata ruang kawasan strategis nasional; c. Pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional; dan d. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional. Berdasarkan pasal 8 ayat (3) di atas secara jelas telah disebut bahwa penetapan, perencanaan, pemanfaaan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang KEL sebagai kawasan strategis nasional merupakan kewenangan pemerintah. Tetapi di dalam pasal 8 ayat (4) memberikan kemungkinan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kepada Pemerintah Daerah melalui dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan. Artinya menurut pasal ini, untuk pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang KEL sebagai kawasan strategis nasional ”dapat dilaksanakan” oleh pemerintah Aceh.10 Penataan ruang KEL sebagai kawasan strategis nasional dilakukan secara rinci dan khusus bagi KEL dan ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Hal ini seperti dijabarkan di dalam pasal 123 ayat (1) huruf b, ayat (3) dan ayat (4). Apabila melihat penataan ruang KEL sebagai kawasan strategis nasional berdasarkan UU 26 Nomor 2007 jo. PP 26 Tahun 2008 dimana penetapan, perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang kawasan strategis nasional 10
54
Fauzan Azima, Ibid, 2009. Hlm. 13.
Implikasi Hukum Terhadap Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008.. (Nuribadah)
merupakan kewenangan pemerintah, meski untuk pemanfaatan dan pengendalian ruang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh melalui dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan, tetapi perlu digaris bawahi bahwa bagi KEL melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, telah menjadi kewenangan Pemerintah Aceh. Sehingga perlu dilakukan harmonisasi diantara ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam UU No. 26 Tahun 2007 jo. PP 26 Nomor 2008 sesuai dengan hal-hal yang menjadi keistimewaan dan kekhususan Aceh sebagi provinsi yang memiliki otonomi khusus dan seluas-luasnya berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 termasuk di dalam pengelolaan KEL yang meliputi kegiatan perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari. Terlebih lagi saat ini telah disahkannya Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2008 tentang tata cara konsultasi dan pemberian pertimbangan atas rencana persetujuan internasional, rencana pembentukan undang-undang dan kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan pemerintah Aceh. Dimana dengan berlakunya peraturan presiden ini, mewajibkan pemerintah termasuk juga departeman/lembaga pemerintah non departemen untuk melakukan non konsultasi dan meminta pertimbangan terlebih dahulu dari pemerintah Aceh atau DPR-Aceh, terhadap rencana persetujuan internasional, rencana pembentukan undang-undang dan kebijakan administratif yng berkaitan langsung dengan pemerintah Aceh. B. IMPLIKASI HUKUM TERHADAP KETETAPAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2008 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang jo. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memberikan ancaman sanksi baik bersifat administratif maupun sanksi pidana. Hal ini diatur di dalam pasal 120 dan 121 Peraturan Pemerintha Nomor 26 Tahun 2008 serta pasal 69 sampai dengan pasal 75 UU 26/2007. Pasal 120 PP 26 Tahun 2008 menyebutkan, arahan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 85 ayat (2) huruf d merupakan acuan dalam pengenaan sanksi terhadap:
55
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
a. Pemanfaatan ruang yang tidak tidak sesuai dengan rencana struktur ruang dan pola ruang wilayah nasional;11 b. Pelanggaran ketentuan arahan peraturan zonasi sistem nasional; c. Pemanfaatan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRWN; d. Pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diterbikan berdasarkan RTRWN; e. Pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRWN; f. Pemanfaatan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum; dan/atau g. Pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh dengan prosedur yang tidak benar. Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Aceh yang disusun hendaknya mengacu kepada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), khususnya mengenai kebijakan dan strategi pengembangan KEL sebagai kawasan strategis nasional. Memperhatikan keistimewaan dan kekhususan Aceh berdasarkan UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh jo. Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2008, meski penataan ruang KEL sebagai kawasan strategis nasional ditetapkan melalui Peraturan Presiden, tetapi pelaksanaannya dilakukan dengan konsultasi antara Pemerintah dengan Pemerintah Aceh sebelum Peraturan Presiden tentang penataan ruang KEL sebagai kawasan strategis nasional ditetapkan. Selanjutnya pasal 121 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 menyatakan: 11 Penjelasan Pasal 120 PP 26/2008, Struktur ruang wilayah nasional mencakup sistem pusat perkotaan nasional, sistem jaringan transportasi nasional, sistem jaringan energi nasional, sistem jaringan telekomunikasi nasional, dan sistem jaringan sumber daya air nasional. Pola ruang wilayah nasional mencakup kawasan lindung dan kawasan budi daya termasuk kawasan andalan dengan sektor unggulan yang prospektif dikembangkan serta kawasan strategis nasional.
56
Implikasi Hukum Terhadap Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008.. (Nuribadah)
1) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 120 huruf a, b, d, e, f, dan huruf g dikenakan sanksi administratif berupa: a. Peringatan tertulis; b. Penghentian sementara kegiatan; c. Penghentian sementara pelayanan umum; d. Penutupan lokasi; e. Pencabutan izin; f. Pembatalan izin; g. Pembongkaran bangunan; h. Pemulihan fungsi ruang; dan/atau i. Denda administratif. 2) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 120 huruf c dikenakan sanksi administratif berupa: a. Peringatan tertulis; b. Penghentian sementara kegiatan; c. Penghentian sementara pelayanan umum; d. Penutupan lokasi; e. Pembongkaran bangunan; f. Pemulihan fungsi ruang; dan/atau g. Denda administratif. Pasal 69 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan, bahwa : 1) Setiap orang yang tidak mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima Ratus Juta Rupiah). 2) Jika tindak pidana sebagimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana 57
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak RP. 1.500.000.000,00 (Satu Milliar Lima Ratus Juta Rupiah). 3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milliar rupiah). Selanjutnya Pasal 70 Undang-Undang Nomor Penatan Ruang menyatakan, bahwa :
26 Tahun 2007 tentang
1) Setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling kama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 2) Jika tindak pidana sebagimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan perubahan fungsi ruang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak RP. 1.000.000.000,00 (Satu Milliar Rupiah). 3) Jika tindak pidana sebagimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak RP. 1.500.000.000,00 (Satu Milliar Lima Ratus Juta Rupiah). 4) Jika tindak pidana sebagimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak RP. 5.000.000.000,00 (lima Milliar Rupiah). Pasal 71 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan, bahwa: Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima Ratus Juta Rupiah). Pasal 72 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan, Setiap orang yang tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum sebagaimana
58
Implikasi Hukum Terhadap Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008.. (Nuribadah)
dimaksud dalam pasal 61 huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus Juta Rupiah). Pasal 73 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menyatakan bahwa: 1) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 37 ayat (7), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima Ratus Juta Rupiah). 2) Selain sanksi pidana sebagimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya. Pasal 74 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menyatakan bahwa: 1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72. 2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. Pencabutan izin usaha; dan b. Pencabutan status badan hukum. Pasal 75 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menyatakan bahwa: 1) Setiap orang yang menderita kerugian akibat tindak pidana sebagimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 dapat menuntut ganti kerugian secara perdata kepada pelaku tindak pidana. 2) Tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan hukum acara pidana.
59
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
C. PENUTUP Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan: Hieraki penataan ruang Indonesia dilakukan secara berjenjang dan komplementer yang dimulai Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) sebagai pedoman penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan RTRW Kabupaten/Kota serta RTRWP sebagai pedoman penataan ruang RTRW Kabupaten/Kota. Kebijakan dan strategi pengembangan KEL sebagi kawasan strategis nasional harus mengikuti kebijakan dan strategi berdasarkan RTRWN. Kebijakan pengembangan KEL sebagai kawasan strategis nasional berdasarkan RTRWN adalah melestarikan dan meningkatkan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikan keunikan bentang alam, dan melestarikan warisan budaya nasional di KEL. Penataan ruang KEL sebagai kawasan strategis nasional ditetapkan berdasarkan keputusan presiden. Pengabaian terhadap penataan ruang KEL sebagai kawasan strategis nasional, diancam dengan sanksi administratif dan sanksi pidana.
DAFTAR PUSTAKA Achmad, Sodik., Juniarso, Ridwan, Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah, Penerbit Nuansa, bandung, 2008. Fauzan Azima., Kawasan Ekosistem Leuser antara Kenyataan dan Harapan, BPKEL, NAD. 2008. ________________, Kawasan Ekosistem Leuser Sebagai Kawasan Srategis Nasional, BPKEL, NAD. 2009. Hasni, Hukum Penataan Ruang Dan Penatagunaan Tanah Dalam Konteks UUPAUUPR-UUPLH, Rajawali Pers, PTT Rajagrfindo Persada, 2010.
60
Implikasi Hukum Terhadap Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008.. (Nuribadah)
Mochtar Kusumaatmadja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas hukum Nasional di Masa Kini dan Masa yang Akan Datang, dalam Jurnal Padjadjaran, No. 1 Tahun 1999, Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, 1999. Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, Nadiya Foundation, Lhokseumawe, 2004. T. Nazaruddin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Penataan Ruang Menuju Kota Berkelanjutan, Jurnal Nanggroe, Vol. 2 No. 1 April 2013, ISSN, 2302-6219. Tim Legal Development Management, Arah Pembangunan Hukum Aceh 2008-2028, Satker BRR Pengembangan Sarpras Hukum NAD, Banda Aceh, 2007, hal. 2. Ridwan , HR, Hukum Adminitrasi Negara, Yogyakarta, UII-PRES, 2003. Hlm. 149. Republik Indonesia, Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Republik Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Republik Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Republik Indonesia, Keputusan Menteri Kehutanan, No. 227/Kpts-II/1995 tentang Penetapan Luas areal Aceh dan Sumatera. Republik Indonesia, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan, No. 170/KptsII/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Provinsi daerah Istimewa Aceh Seluas 3.549.813 (Tiga Juta Lima Ratus Empat Puluh Sembilan Ribu Delapan Ratus Tiga Belas) Hektar. Republik Indonesia, Keputusan Menteri Kehutanan, No. 190/Kpts-II/2001 tentang Pengesahan Batas Kawasan Ekosistem Leuser di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Republik Indonesia, Keputusan Menteri Kehutanan, No. 10193/Kpts-II/2002 tentang Pengesahan Batas Kawasan Ekosistem Leuser Di Propvinsi Sumatera Utara. http://www.kbri-canberra.org.au/s_issues/aceh/regulasi/UU%20Aceh.pdf http://landspatial.bappenas.go.id/peraturan/the_file/UU_No26_2007.pdf http://www.penataanruang.net/taru/nspm/BatangTubuh_PP26-2008.pdf http://id.wikipedia.org/wiki/Kawasan_Ekosistem_Leuser
61