Keterangan Ahli Fitra Arsil, S.H. M.H. Staf Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dalam Pengujian Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat Disampaikan pada 24 Oktober 2012 Pointers : 1. Baznas adalah lembaga yang sebelumnya telah berdiri namun kemudian dilegitimasi oleh undang-undang sebagai lembaga Negara khusus.
UU
23
Tahun
2011
menyebutnya
sebagai
lembaga
pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri.Menurut Prof Dr. JimlyAsshiddiqie, SH Pascaperubahan UUD 1945, lembaga-lembaga sejenis ini banyak dilahirkan. Pendiriannya ditujukan untuk (1) Efisiensi pelayanan; (2) Pemusatan (konsentrasi/integrasi) fungsional; (3) Independensi dari intervensi politik dan mencegah konflik kepentingan; (4) Prinsip pembagian habis fungsi-fungsi kekuasaan Negara dan pemerintahan sehingga tidak ada yang tumpang tindih. Namun kenyataannya lahirnya
lembaga-lembaga
khusus
ini
banyak
menyebabkan
permasalahan ketatanegaraan terutama dalam hal tumpang tindih kedudukan, fungsi dan kewenangan baik dalam norma pengaturannya maupun
dalam
pendiriannya
prakteknya.
dalam
segi
Sehingga
efisiensi,
tidak
tercapai
konsentrasi,
tujuan
integrasi
dan
independensi.Baznas sebagai lembaga Negara khusus juga tidak terhindar
dari
permasalahan-permasalahan
tersebut.
Bahkan
permasalahannya sudah terlihat dari norma pengaturannya dalam undang-undang, dalam hal ini, UU No. 23 Tahun 2011.
2. UU No. 23 Tahun 2011 menyebut Baznas sebagai satu-satunya pihak yang melaksanakan pengelolaan zakat di Indonesia. (Pasal 5ayat (1): “Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk
BAZNAS.” ). Pesan sentralisasi pengelolaan zakat lewat Baznas dapat dipahami sangat jelas dengan melihat ketentuan-ketentuan lain yang menyebutkan: a. Baznas melakukan seluruh aktivitas pengelolaan zakat yaitu: pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat. Mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengendalian hingga ke pelaporan. (Pasal 7 ayat (1)) b. Lembaga-lembaga amil zakat (LAZ) yang dibentuk masyarakat hanya berkedudukan sebagai “membantu” Baznas dalam pelaksanaan
pengumpulan,
pendistribusian,
dan
pendayagunaan zakat. Padahal notabene lembaga-lembaga ini hidup di masyarakat dan terbukti efektif melakukan pengelolaan zakat dibandingkan Baznas sekalipun. (Pasal 17) c. Baznas memberikan rekomendasi pendirian LAZ (Pasal 18 ayat (2)
huruf
c).
LAZ
berkewajiban
melakukan
pelaporan
pengelolaan zakat ke Baznas secara berkala (Pasal 20). d. Masyarakat secara pribadi-pribadi atau berkelompok dilarang untuk bertindak sebagai amil zakat (Pasal 38). Terdapat ancaman pidana jika ada masyarakat yang melakukan aktivitas sebagai amil zakat (Pasal 41). Padahal kenyataannya zakat saat ini pada umumnya justru pengelolaannya dilakukan sebagai bentuk aktivitas masyarakat sipil dalam melaksanakan kebebasan
beragamanya.
Ketentuan
ini
bukan
hanya
menunjukkan sentralisasi pengelolaan zakat namun juga dapat mengganggu
pelaksanaan
kebebasan
beragama
dan
memberikan ancaman ketakutan di masyarakat. 3. Dengan sentralisasi pengelolaan zakat melalui Baznas efektivitas pelaksanaan zakat sebagai kebebasan beragama berpotensi terganggu secara regulative dengan bentukan birokrasi baru dalam pengelolaan zakat. Selain itu, dari segi kenyamanan pelaksanaan kebebasan beragama juga terganggu dengan adanya ancaman pidana bagi setiap orang yang melakukan aktivitas pengelolaan zakat yang selama ini hidup sebagai aktivitas masyarakat sipil.
4. Sentralisasi pengelolaan zakat dengan mengharuskan pengelolaan zakat dilakukan oleh lembaga pemerintah ditambah dengan penegakannya melalui ancaman pidana d apat dianggap membingungkan. Penunaian zakat sebagai norma utamanya justru tidak ditegakkan sebagai norma yang imperatif. Tidak ada kewajiban bagi warga Negara Indonesia untuk melaksanakan norma ini. Namun, di pihak lain, pengelolaannya dipenuhi dengan norma-norma imperative dimana terdapat banyak kewajiban-kewajiban bagi warga maupun kelompok warga dalam pengelolaan zakat bahkan terdapat kriminalisasi terhadap warga masyarakat yang melakukan aktivitas pengelolaan zakat.
5. Dalam konteks hukum Islam, sebagai sumber hokum dalam legislasi UU ini, perlu diperiksa bagaimana pengaturan norma mengenai zakat. Islam memerintahkan menunaikan zakat sebagai kewajiban setiap pemeluknya baru kemudian mengatur mengenai pengelolaannya.Bagi umat Islam zakat adalah kewajiban dan tetap menjadi kewajiban walaupun Negara tidak terlibat dalam pengelolaannya seperti yang terjadi selama ini.Jadi yang perlu ditegakkan paling utama adalah mengenai kewajiban zakatnya bagi umat Islam bukan keterlibatan Negara dalam pengelolaannya.
6. Syarat pembentukan LembagaAmil Zakat (LAZ) menurut Pasal 18 UU N0. 23 Tahun 2011 mengandung beberapa hal yang mengandung ketidakpastian hukum dan berpotensi mengganggu pelaksanaan kebebasan beragama: a. Kata-kata “paling sedikit” pada kalimat“ Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit:” dalam Pasal 18 ayat (2) memberikan‘blancomandat’ kepada pembentuk peraturan pelaksanaan undang-undang ini untuk membuat berbagai
isyarat tambahan yang dapat berpotensi sulitnya pembentukan LAZ yang pada gilirannya menghambat pelaksanaan ibadah zakat di tengah masyarakat. Atau setidak-tidaknya pemerintah, dalam hal ini, yang berwenang mengeluarkan izin dapat membuat berbagai syarat tambahan baru, padahal syarat yang sudah ditentukan dalam peraturan ini sudah dianggap memberatkan. b. Syarat terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan yang disebut dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a mengandung ketidakpastian hukum karena i. Organisasi kemasyarakatan bukanlah bentuk yang terdapat dalam konteks hukum. Organisasi kemasyarakatan adalah terminologi yang diperkenalkan oleh Orde Baru dalam mengelompokkan masyarakat dalam rangka melakukan kebijakan represinya melalui uniformisasi/penyeragaman aspirasi masyarakat. Dengan dikelompokkan dalam Ormas masyarakat menjadi lebih mudah dikontrol dan diarahkan sesuai dengan kebijakan Orde Baru. Selain represi melalui kebijakan fusi dan penyederhanaan partai politik, Orde Baru juga melakukan represi masyarakat di luar aktivitas politik formal melalui pembentukan Ormas yang diaturdengan UU No. 8 Tahun 1985. ii. UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang dianggap produk represi Orde Baru hingga kini belum dilakukan reformasi sehingga mensyarakatkan pendirian LAZ harus terdaftar sebagai Ormas membuat LAZ terjebak pada organisasi yang berpotensi mendapatkan represi, penyeragaman atau bentuk represi lain seperti yang dimaksudkan Orde Baru dalam pemberlakuan pendaftaran Ormas bagi kelompokkelompok masyarakat. iii. Organisasi kemasyarakatan dibentuk dengan
berbasiskan keanggotaan/kader seperti yang dimaksud dalam UU 8 Tahun 1985, hal ini berbeda dengan karakter LAZ yang tidak memerlukan basis keanggotaan dalam melakukan aktivitasnya karena pengumpulan, dan pendistribusian zakat dapat dilakukan kepada kelompok masyarakat manapun tanpa harus melihat dari kelompok mana mereka berasal. Kebijakan pendaftaran Ormas justru akan membuat pengumpulan dan pendistribusian zakat menjadi eksklusif atau dilakukan hanya dalam kelompok tertentu saja. iv. Pendaftaran Ormas bagi LAZ membuat jalur birokrasi pembentukan LAZ menjadi rumit dan panjang. Jika melihat ketentuan Pasal 18, kelompok masyarakat ketika membentuk LAZ harus berurusan paling tidak kepada tiga lembaga pemerintahan yaitu: BAZNAS untuk mengurus rekomendasi, Kemendagri mengurus pendaftaran Ormas dan Kemenag untuk mendapatkan izin.
7. Ketentuan Peralihan dalam undang-undang ini (Pasal 43) hanya mengatur mengenai kedudukan BAZNAS dan LAZ. LAZ diberi kesempatan 5 (lima) tahun sejak undang-undang ini diundangkan untuk menyesuaikan diri sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Dengan demikian, selain mengenai BAZNAS terutama LAZ semua ketentuan dalam undang-undang ini langsung ef ektif berlaku, termasuk mengenai ketentuan-ketentuan pidana.
Jakarta, 24 Oktober 2012
Fitra Arsil, SH. MH.