SKRIPSI
PENGARUH METODE APLIKASI KITOSAN, TANIN, NATRIUM METABISULFIT DAN MIX PENGAWET TERHADAP UMUR SIMPAN BAKSO DAGING SAPI PADA SUHU RUANG
Oleh : DENNY ANGGA W. F24103078
2007 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PENGARUH METODE APLIKASI KITOSAN, TANIN, NATRIUM METABISULFIT DAN MIX PENGAWET TERHADAP UMUR SIMPAN BAKSO DAGING SAPI PADA SUHU RUANG
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : DENNY ANGGA W. F24103078
2007 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH METODE APLIKASI KITOSAN, TANIN, NATRIUM METABISULFIT DAN MIX PENGAWET TERHADAP UMUR SIMPAN BAKSO DAGING SAPI PADA SUHU RUANG
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh DENNY ANGGA W. F24103078
Dilahirkan pada 25 Mei 1985 di Kebumen, Jawa Tengah Tanggal Lulus: 22 Agustus 2007 Menyetujui, Bogor,
Agustus 2007
Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA Pembimbing II
Dr. Ir. Joko Hermanianto Pembimbing I Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen ITP
Denny Angga W. F24103078. Pengaruh Metode Aplikasi Kitosan, Tanin, Natrium Metabisulfit dan Mix Pengawet Terhadap Umur Simpan Bakso Daging Sapi Pada Suhu Ruang. Dibawah bimbingan: Dr. Ir. Joko Hermanianto dan Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA
RINGKASAN Bakso adalah produk daging yang dihaluskan, dicampurkan dengan pati, dibentuk bulat-bulat dan dimasak dengan air panas. Cara produksi yang kurang saniter dan pemasaran bakso yang dilakukan pada ruang terbuka dan di suhu kamar menyebabkan bakso mudah mengalami kerusakan secara mikrobioligis. Penelitian ini bertujuan mencari bahan pengawet untuk bakso daging sapi agar umur simpannya dapat mencapai 2 hari pada suhu ruang (30°C ± 5°C). Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi produsen bakso sebagai pengawet pengganti boraks atau formalin. Penelitian pendahuluan bertujuan memilih jenis pengawet yang mampu memperpanjang umur simpan bakso pada suhu ruang. Pengawet yang mampu mengawetkan bakso lebih dari 1 hari digunakan pada penelitian utama. Jenis pengawet yang digunakan adalah daun jambu biji (tua, muda, dan kering), tanin (asam tanat), asam laktat, Na-metabisulfit, premix pengawet FTO dan COG, serta kitosan. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa bakso dengan pengawet FTO 0.2%, COG 0.5%, kitosan 5% pada adonan dapat memperpanjang umur simpan bakso hingga 1 hari, sedangkan kombinasi Na-metabisulfit 450 ppm dan perebusan dengan tanin 0.25% serta metode coating dengan kitosan 2% dapat mengawetkan bakso hingga 2 hari. Hasil analisis TPC pada hari ke-0 menujukkan bahwa pada kontrol terdapat total bakteri sebesar 4.50 log cfu/g, FTO 4.48 log cfu/g, sulfit dan tanin 4.44 log cfu/g, COG 4.53 log cfu/g, kitosan adonan 4.44 log cfu/g, dan kitosan coating 4.20 log cfu/g. Jumlah total bakteri pada seluruh sampel dan kontrol telah melebihi batas SNI (5 log cfu/g) pada hari kedua yaitu pada kontrol sebesar 8.13 log cfu/g, FTO 8.04 log cfu/g, COG 7.44 log cfu/g, sampel dengan penambahan kitosan di adonan 7.02 log cfu/g, sampel dengan sulfit dan tanin 6.55 log cfu/g serta sampel yang dicoating dengan kitosan 5.77 log cfu/g. Secara sensori, sampel dengan penambahan COG memiliki rata-rata skor kesukaan yang tertinggi pada parameter-parameter sensori bakso. Penggunaan kitosan sebagai pelapis pada bakso memberikan kontribusi kenaikan biaya bahan baku untuk 1 kg adonan sebesar 14.51% dengan daya awet yang cukup baik, yaitu selama 2 hari di suhu ruang, sehingga merupakan alternatif pengawet yang masih kurang sesuai untuk digunakan secara komersial. Secara teknis, tujuan penelitian ini telah tercapai yaitu adanya kitosan dengan metode coating dan natrium metabisulfit dan tanin yang mampu memperpanjang umur simpan bakso hingga 2 kali lipat dari kontrol menjadi 2 hari.
i
KATA PENGANTAR
Bismillahhirrahmanirrahim. Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan atas segala nikmat, kemudahan, petunjuk, dan berbagai hal yang telah ALLAH SWT limpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Metode Aplikasi Kitosan, Tanin, Natrium Metabisulfit dan Mix Pengawet Terhadap Umur Simpan Bakso Daging Sapi pada Suhu Ruang. Skripsi ini penulis susun dibawah bimbingan Dr. Ir. Joko Hermanianto dan Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA. Ucapan terima kasih ingin penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu : 1. Papa, Mama, dan Mbak Mike atas segala dukungan, kasih sayang, perhatian, dan doa kepada penulis selama ini. 2. Dr. Ir. Joko Hermanianto dan Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, bimbingan, dan saran kepada penulis dalam menyusun skripsi ini. 3. Ir. Elvira Syamsir, MSi selaku dosen penguji atas kesediaannya menguji, memberikan masukan, saran, dan koreksinya pada penulisan ini. 4. Bu Rubiyah, Pak Gatot, Mbak Ari, Mas Edi, Teh Ida, Pak Wahid, Bu Antin, Pak Sidik, Pak Rozak, Pak Mul, Pak Sobirin dan teknisi serta laboran Departemen ITP dan SEAFAST atas segala bantuan, kesediaan untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan penulis selama penelitian. 5. Beti, Sumarto, dan
Mbak
Hana. Terima kasih untuk bantuannya
“mengenalkan” penulis dengan kitosan. 6. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas semua bantuannya kepada penulis selama ini.
Bogor, Agustus 2007
Penulis
ii
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Denny Angga Wicaksono, dilahirkan pada tanggal 25 Mei 1985 sebagai anak kedua (terakhir) dari Bapak Sudjiarto dan Ibu Heni Retnani. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Babadan 01 Wlingi pada tahun 1997. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 1 Wlingi dan selesai pada tahun 2000. Penulis mengikuti pendidikan tingkat menengah atas di SMU 1 Talun dan lulus pada tahun 2003. Bulan Juli 2003, penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB melalui jalur USMI. Selama di Departemen ITP, penulis bergabung dalam kepengurusan HIMITEPA tahun 2005-2006 sebagai anggota divisi hubungan luar dan aktif dalam beberapa kepanitiaan diantaranya Seminar Pangan Halal, Kegiatan Pengenalan Departemen kepada mahasiswa angkatan 41, Ketua tim formatur Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia, Kegiatan Studi Banding ITP IPB-UGM, Kegiatan Studi Banding Teknologi Pangan Universitas Pasundan-ITP IPB, National Student’s Paper Competition (NSPC 2006). Penulis juga mengikuti beberapa seminar dan pelatihan, diantaranya adalah Konferensi Internasional IDF yang diselenggarakan FGW Student Forum for Milk and Milk Products tahun 2005, Seminar Buah Merah tahun 2005, Studium Generale Keamanan Pangan FKH-IPB 2005, dan Pelatihan Corel Draw 12 2006. Penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum Biologi Dasar semester ganjil 2004-2005, anggota tim peneliti kadar oksigen udara ruang di kampus IPB tahun 2005, asisten praktikum Kimia Dasar TPB alih semester 2005-2006, dan asisten praktikum Teknologi Pengolahan Pangan ITP semester genap 2006-2007. Penulis juga aktif di kegiatan non akademis yaitu sebagai ketua divisi Humas UKM TaekwonDo IPB 2003-2005 dan sebagai atlet berprestasi pada berbagai kejuaraan TaekwonDo di Bogor, Jabodetabek, dan Tingkat Jawa Barat. Tahun 2006-2007 penulis berkesempatan menerima beasiswa dari Yayasan Goodwill International yang memberikan bantuan finansial dan pelatihan soft skills.
iii
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN........................................................................................... i KATA PENGANTAR..............................................................................
ii
RIWAYAT HIDUP..................................................................................
iii
DAFTAR ISI.............................................................................................
iv
DAFTAR TABEL..................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR................................................................................. viii
I.
II.
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................
ix
PENDAHULUAN ....................................................................................
1
A. LATAR BELAKANG ........................................................................
1
B. TUJUAN .............................................................................................
2
C. MANFAAT .........................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
3
A. BAKSO ...............................................................................................
3
B. PEMBUATAN BAKSO .....................................................................
3
C. KERUSAKAN PANGAN DAN MIKROORGANISME...................
6
D. PENGAWETAN BAKSO ..................................................................
8
E. BORAKS DAN FORMALIN .............................................................
8
F. BAHAN PENGAWET YANG DITELITI .........................................
10
1. TANIN........................................................................................... 10 2. DAUN JAMBU............................................................................
12
3. ASAM LAKTAT .........................................................................
12
4. SULFIT ........................................................................................
15
iv
5. KITOSAN ....................................................................................
16
III. METODOLOGI ........................................................................................
19
A. BAHAN DAN ALAT .........................................................................
19
B. METODE PENELITIAN ....................................................................
19
1. PENELITIAN PENDAHULUAN ...............................................
20
2. PENELITIAN UTAMA ...............................................................
22
C. METODE ANALISIS ........................................................................
23
1. Pengukuran pH .............................................................................
23
2. Uji Mikrobiologi Produk Hewani ................................................
23
3. Uji Organoleptik ..........................................................................
24
4. Pengukuran Daya Iris ...................................................................
24
5. Pengukuran Kekenyalan...............................................................
25
6. Analisis Warna .............................................................................
25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
27
A. PENELITIAN PENDAHULUAN ......................................................
27
B. PENELITIAN UTAMA ......................................................................
34
1. Pengaruh Bahan Pengawet Terhadap pH ......................................
34
2. Pengaruh Bahan Pengawet Terhadap Tekstur...............................
39
a). Daya Iris ..................................................................................
39
b). Kekenyalan .............................................................................
41
c). Uji Kesukaan Terhadap Tekstur .............................................
43
3. Pengaruh Bahan Pengawet Terhadap Warna ................................
45
v
V.
a). Nilai L .....................................................................................
45
b). Nilai Derajat Hue ....................................................................
48
c). Uji Kesukaan Terhadap Warna ...............................................
50
4. Pengaruh Bahan Pengawet Terhadap Umur Simpan Bakso .........
51
a). Pengamatan Visual ..................................................................
51
b). Analisis Total Mikroba ...........................................................
53
c). Analisis Total Kapang-Khamir ...............................................
57
5. Pengaruh Bahan Pengawet Terhadap Organoleptik ......................
60
6. Kajian Ekonomi ............................................................................
64
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
67
A. KESIMPULAN ...................................................................................
67
B. SARAN ...............................................................................................
68
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................
69
LAMPIRAN.............................................................................................
72
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Sifat fisik asam laktat.......................................................................... 13 Tabel 2. Penilaian Mutu Sensoris Bakso..........................................................
21
Tabel 3. Hasil pengamatan uji keawetan bakso dengan bahan pengawet pada hari pertama.......................................................................................
27
Tabel 4. Hasil pengamatan uji keawetan bakso dengan bahan pengawet pada hari kedua..........................................................................................
28
Tabel 5. Hasil pengamatan umur simpan bakso dengan beberapa bahan Pengawet..........................................................................................
34
Tabel 6. Hasil pengamatan uji keawetan bakso penelitian utama pada hari pertama....................................................................................
52
Tabel 7. Hasil pengamatan uji keawetan bakso penelitian utama pada hari kedua...................................................................................... Tabel 8. Harga bahan pengawet yang digunakan pada penelitian utama .....
52 64
Tabel 9. Perbandingan biaya bahan baku 1 kg adonan bakso dengan berbagai pengawet ..........................................................................
65
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Grafik hasil pengukuran pH sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang...................................
37
Gambar 2. Grafik hasil pengukuran daya iris sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang...................................
39
Gambar 3. Grafik hasil pengukuran kekenyalan sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang...................................
42
Gambar 4. Grafik nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap tekstur bakso
44
Gambar 5. Grafik hasil pengukuran kecerahan sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang..................................
46
o
Gambar 6. Grafik hasil pengukuran nilai Hue sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang..................................
49
Gambar 7. Grafik nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap warna bakso
50
Gambar 8. Grafik hasil analisis total mikroba rata-rata dari dua ulangan sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang
54
Gambar 9. Grafik hasil analisis kapang-khamir rata-rata dari dua ulangan sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang
58
Gambar 10.Grafik nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap rasa bakso
61
Gambar 11. Grafik nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap aroma bakso
62
Gambar 12. Grafik nilai rata-rata kesukaan panelis secara keseluruhan terhadap bakso........................................................................
63
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Diagram Proses Pembuatan Bakso.............................................. 72 Lampiran 2. Rekapitulasi Data Pengamatan pH Bakso (Rata-rata 2 ulangan)……………………………………………
73
Lampiran 3. Rekapitulasi Data Pengamatan Kekenyalan Bakso (Rata-rata 2 ulangan)……………………………………………
74
Lampiran 4. Rekapitulasi Data Pengamatan Daya Iris Bakso (Rata-rata 2 ulangan)……………………………………………
75
Lampiran 5. Rekapitulasi Data Pengamatan Nilai L Bakso (Rata-rata 2 ulangan)……………………………………………
76
Lampiran 6. Rekapitulasi Data Pengamatan Nilai a Bakso (Rata-rata 2 ulangan)……………………………………………
77
Lampiran 7. Rekapitulasi Data Pengamatan Nilai b Bakso (Rata-rata 2 ulangan)…………………………………………… o
Lampiran 8. Rekapitulasi Data Pengamatan Nilai Hue Bakso......................
78 78
Lampiran 9. Form Uji Organoleptik…………………………………………. 79 Lampiran 10. Hasil Uji Statistik Hedonik terhadap Warna………………….. 80 Lampiran 11. Hasil Uji Statistik Hedonik terhadap Aroma………………….
81
Lampiran 12. Hasil Uji Statistik Hedonik terhadap Tekstur………………… 82 Lampiran 13. Hasil Uji Statistik Hedonik terhadap Rasa……………………
83
Lampiran 14. Hasil Uji Statistik Hedonik terhadap Atribut Keseluruhan
84
Lampiran 15. Rekapitulasi Data Hasil Pengamatan TPC H-0…………......... 85 Lampiran 16. Rekapitulasi Data Hasil Pengamatan TPC H-1……………….. 86 Lampiran 17. Rekapitulasi Data Hasil Pengamatan TPC H-2……………….. 87 Lampiran 18. Rekapitulasi Data Hasil Pengamatan TPC H-3………………. 88 Lampiran 19. Rekapitulasi Hasil Pengamatan Jumlah Kapang-Khamir H-1
89
Lampiran 20. Rekapitulasi Hasil Pengamatan Jumlah Kapang-Khamir H-2…………………………………………
90
Lampiran 21. Rekapitulasi Hasil Pengamatan Jumlah Kapang-Khamir H-3
91
Lampiran 22. Kajian Biaya Bahan Baku per 1 kg Adonan Bakso dengan FTO, COG, Sulfit dan Tanin………………………..
92
Lampiran 23. Kajian Biaya Bahan Baku per 1 kg Adonan Bakso dengan Kitosan………………………………………………
93
ix
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bakso merupakan produk olahan daging yang relatif murah dan telah dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia. Bakso yang banyak dikonsumsi adalah jenis bakso daging sapi. Bakso umumnya dibuat dari daging sapi yang dihaluskan yang kemudian dicampur dengan bumbu-bumbu dan pati lalu dicetak bulat dan direbus hingga masak. Bakso mempunyai kandungan nutrisi cukup baik karena terbuat dari daging sapi yang komposisi proteinnya lebih mudah dicerna oleh manusia, selain itu juga mengandung lemak yang juga diperlukan untuk metabolisme tubuh Penggilingan daging dan pembuatan adonan bakso yang dilakukan oleh industri rumah tangga penyedia jasa penggilingan umumnya kurang saniter dan tidak memperhatikan cara pengolahan makanan yang baik. Selain itu, pemasaran bakso yang dilakukan pada ruang terbuka (dijajakan di jalanan) dan di suhu ruang menyebabkan bakso mudah mengalami kerusakan secara mikrobioligis. Kerusakan ini dipercepat oleh adanya kandungan nutrisi, pH, dan kadar air bakso yang tinggi sehingga menjadi media pertumbuhan yang sangat baik untuk mikroba. Salah satu cara yang umum digunakan oleh produsen bakso untuk memperpanjang daya awet produknya adalah dengan penambahan bahan pengawet. Sebagian produsen menggunakan formalin atau boraks karena harganya murah dan daya awetnya tinggi, sehingga produk bakso mereka tetap awet dan harga jualnya terjangkau. Namun sejak terungkapnya penggunaan formalin pada mie basah, tahu, ikan asin, dan bakso pada tahun 2005 lalu, menyebabkan berkurangnya minat masyarakat untuk mengkonsumsi jenis makanan ini. Hal ini tentu saja berpengaruh pada pedagang dan industriawan bakso yang terkena efek paling besar dari isu formalin tersebut. Walaupun saat ini masih terdapat pro dan kontra tentang efek formalin terhadap kesehatan manusia, tetapi pemerintah
1
melalui Badan POM dan kepolisian telah membatasi dan mengawasi secara ketat peredaran formalin, sehingga bahan ini sulit diperoleh. Masalah yang kemudian timbul adalah adanya target masa simpan bakso pada suhu ruang oleh industri bakso menengah yang umumnya lebih dari 1 hari. Namun, bakso tanpa bahan pengawet hanya mempunyai umur simpan 12 jam atau maksimum 1 hari. Kerusakan mikrobiologis pada bakso ditandai oleh adanya lendir, miselium kapang, dan bau basi akibat adanya aktivitas bakteri proteolitik. Hal ini dapat diatasi dengan penambahan pengawet dengan status aman yang memiliki efektivitas yang baik pada bakso untuk menghambat pertumbuhan kapang, khamir dan bakteri sehingga umur simpan bakso dapat mencapai 2 hari. Bahan pengawet yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanin, daun jambu, natrium metabisulfit, asam laktat, khitosan, dan dua jenis mix pengawet, yaitu FTO dan COG.
B. Tujuan Penelitian ini bertujuan mencari bahan pengawet yang dapat memperbaiki keawetan bakso daging sapi agar umur simpannya mencapai dua kali lipat dari bakso kontrol (2 hari) pada suhu ruang (30°C ± 5°C).
C. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi produsen bakso sebagai pengawet pengganti boraks atau formalin.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BAKSO
SNI 01-3818-1995 mendefinisikan bakso daging sebagai produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak dengan kadar daging tidak kurang dari 50% dan pati atau serealia dengan atau tanpa bahan tambahan pangan yang diizinkan. Bakso yang banyak dipasarkan di Indonesia umumnya dibuat dari daging sapi. Namun, sebenarnya bakso dapat dibuat dari berbagai jenis daging seperti daging ikan, daging ayam, daging kelinci, daging babi, bahkan daging ikan cucut. Karakteristik yang berbeda-beda dari setiap jenis daging tersebut tentunya berpengaruh terhadap cara pengolahan dan mutu bakso yang dihasilkan. Hasil survey yang dilakukan oleh Andayani (1999), menunjukkan bahwa karakteristik bakso sapi yang disukai konsumen adalah rasanya yang gurih, agak asin, mempunyai rasa daging yang kuat, berwarna abu-abu pucat atau muda, beraroma daging rebus, memiliki tekstur yang empuk dan agak kenyal, serta berbentuk bulat dengan ukuran sedang (diameter 3-5 cm). Bakso mempunyai kandungan nutrisi cukup baik karena terbuat dari daging sapi yang kadar proteinnya 20-22% dan kadar lemak 4.8% (lean meat) (Varnam and Sutherland, 1995). Kualitas protein daging juga tinggi, jenis dan rasio asam-asam amino dalam daging sapi memenuhi kebutuhan untuk perawatan dan pertumbuhan jaringan tubuh manusia. Namun, selain kaya nutrisi daging sapi juga memiliki kadar air yang tinggi (70-73%) menyebabkan bakso sangat rentan terhadap kerusakan secara mikrobiologis.
B. PEMBUATAN BAKSO
Bakso dibuat dari beberapa bahan baku seperti daging sapi, bahan pengisi, es, garam, bumbu, juga bahan tambahan seperti bahan pengawet dan pemutih (TiO2). Daging sapi yang baik digunakan sebagai bahan baku bakso adalah daging yang masih dalam fase prerigor. Daging yang masih berada
3
dalam fase prerigor umumnya diperoleh segera setelah pemotongan ternak tanpa mengalami proses penyimpanan, sehingga daging tersebut masih berupa daging segar. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), daging prerigor memiliki WHC yang tinggi serta pH yang jauh diatas titik isoelektrik dari aktin dan miosin sehingga protein tersebut akan mengikat air lebih banyak dan permukaan daging akan terlihat kering. Daging segar atau prerigor akan menghasilkan produk yang baik karena adanya protein aktin dan miosin dalam bentuk bebas dan belum terbentuk ikatan aktomiosin antara keduanya (Sunarlim, 1992). Hal ini menyebabkan lebih banyaknya protein yang dapat terekstrak jika dibandingkan dengan daging rigor mortis dan post rigor. Protein aktin dan miosin merupakan jenis protein yang larut dalam larutan garam dan juga berfungsi penting dalam pembentukan emulsi daging. Adanya kandungan protein terekstrak yang tinggi pada daging akan meningkatkan stabilitas adonan bakso. Protein daging juga berperan dalam meningkatkan water holding capacity, yaitu kemampuan daging dalam mempertahankan dan mengikat air selama pemasakan sehingga akan menurunkan cooking loss dan menghasilkan produk yang empuk dan juicy. Bahan pengisi juga merupakan salah satu bahan baku yang digunakan untuk membuat bakso. Menurut Rust (1987), bahan pengisi yang digunakan pada proses produksi emulsi daging bertujuan untuk memperbaiki stabilitas emulsi, meningkatkan rendemen, memperbaiki daya iris, memperbaiki flavor, dan juga mengurangi biaya produksi. Bahan pengisi merupakan fraksi bukan daging dan mempunyai kandungan karbohidrat tinggi dan protein yang rendah. Hal ini menyebabkan bahan pengisi memiliki kemampuan mengikat air yang baik, tetapi tidak dapat mengemulsikan lemak (Sunarlim, 1992). Tepung yang umum digunakan dalam pembuatan bakso adalah tepung tapioka, tepung gandum, tepung sagu atau tepung aren yang dapat digunakan secara terpisah maupun campuran dengan jumlah 10-100% atau lebih dari berat daging. Bakso yang bermutu baik memiliki kadar pati rendah (sekitar 15%), semakin banyak jumlah tepung yang ditambahkan, maka mutu bakso semakin rendah dan murah harganya.
4
Bahan pengisi pati dapat meningkatkan daya ikat air karena mampu menahan air selama proses pengolahan dan pemasakan. Bahan pengisi tersebut dapat mengabsorpsi air dua hingga tiga kali lipat dari berat semula, sehingga bobot adonan menjadi lebih besar. Kemampuan dari pati dalam menyerap air ini ditentukan oleh perbandingan amilosa dan amilopektin dalam pati tersebut. Semakin besar kandungan amilosa, maka pati semakin bersifat kering dan kurang lengket serta cenderung menyerap air lebih banyak (Sidik, 1990). Garam dan MSG (monosodium glutamat) juga digunakan sebagai bahan dalam pembuatan bakso. Garam mempunyai fungsi sebagai pemberi citarasa produk, pelarut protein (aktin dan miosin) sehingga dapat menstabilkan emulsi daging, dan meningkatkan daya ikat air yang biasanya dikombinasikan dengan alkali fosfat (Sodium Tripolifosfat) (Sunarlim, 1992). Sedangkan monosodium glutamat dominan digunakan untuk memperkuat citarasa gurih pada produk. Lawrie (1988), menjelaskan mekanisme garam dalam memperbaiki sifat fungsional produk daging dengan cara mengekstrak protein miofibrilar dari sel-sel otot selama perlakuan mekanis dan berinteraksi dengan protein otot selama pemanasan sehingga protein membentuk matriks yang kuat dan mampu menahan air bebas serta membentuk tekstur produk. Penambahan garam sebaiknya dilakukan dengan jumlah antara 2 - 4%. Menurut Sunarlim (1992), penambahan garam kurang dari 1.8% dapat menyebabkan rendahnya protein terlarut, sedangkan penambahan garam dengan konsentrasi terlalu tinggi dapat menyebabkan pengendapan protein (salting out) dan berakibat pada turunnya daya ikat. Es umumnya juga ditambahkan dalam pembuatan bakso sebagai fase pendispersi seperti halnya fungsi air. Penambahan es atau air dingin pada pembentukan emulsi daging diantaranya adalah untuk melarutkan garam dan mendistribusikannya secara merata ke seluruh bagian massa daging, memudahkan ekstraksi protein serabut otot, membantu pembentukan emulsi, serta mempertahankan suhu adonan tetap rendah akibat pemanasan mekanis (Elviera,
1988).
Fungsi
pokok
dari
es
sebenarnya
adalah
untuk
mempertahankan suhu adonan. Hal ini disebabkan oleh adanya suhu optimum
5
untuk ekstraksi protein serabut otot adalah 4-5oC, sedangkan suhu untuk mempertahankan kestabilan emulsi adonan sebaiknya tidak melebihi 20oC. Pembuatan bakso pada prinsipnya terdiri dari penghancuran daging, penambahan bahan dan pembentukan adonan, pencetakan, dan pemasakan. Penghancuran daging dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah pencacahan, pencincangan, ataupun penggilingan. Penghancuran daging tersebut bertujuan memperluas permukaan daging dan memecahkan dinding sel serabut otot, sehingga protein yang larut dalam garam (aktin dan miosin) lebih mudah terekstrak. Protein yang terekstrak tersebut memiliki kemampuan mengikat air yang lebih baik dibandingkan dengan myosin yang teragregat dalam daging. Hal ini disebabkan oleh adanya pemaparan sisi pengikatan pada myosin terhadap pelarut. Myosin secara total memiliki asam amino polar
mencapai 38% dengan kandungan residu asam aspartat dan
glutamat yang tinggi dimana setiap komponen tersebut dapat mengikat 6-7 molekul air (Varnam and Sutherland, 1995). Pembentukan adonan dapat dilakukan dengan menggiling daging bersama garam dan es batu terlebih dahulu kemudian diikuti penambahan bahan lainnya (Sunarlim, 1992). Pemasakan bakso bertujuan membentuk struktur produk yang kompak, kenyal dan padat sebagai akibat koagulasi protein dan gelatinisasi pati.
C. KERUSAKAN PANGAN DAN MIKROBA
Mikroba merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan atau kebusukan makanan. Menurut Buckle et al. (1985), pembusukan bahan pangan adalah setiap perubahan sifat-sifat kimia, fisik maupun organoleptik dari bahan pangan yang masih segar maupun setelah diolah yang mengakibatkan ditolaknya bahan pangan tersebut oleh konsumen. Bahan pangan yang memiliki nutrisi tinggi dengan nilai pH pada kisaran pH netral dan kadar air tinggi seperti pada bakso merupakan media pertumbuhan yang baik bagi mikroba.
6
Kerusakan yang disebabkan oleh mikroba pada makanan adalah timbulnya lendir, perubahan warna, berjamur, timbulnya penyimpangan aroma, kerusakan fermentatif serta pembusukan bahan-bahan berprotein. Bakso merupakan produk olahan daging yang memiliki nutrisi tinggi, pH 6.06.5 dan aw tinggi (> 0.9) sehingga masa simpan maksimalnya adalah 1 hari (12-24 jam). Menurut Surjana (2001), produk-produk olahan daging akan memiliki masa simpan relatif lama bila mempunyai pH di bawah 5.0 atau aw di bawah 0.91. Kontaminasi mikroba pada produk pangan dapat mencerminkan kondisi sanitasi pengolahan produk pangan tersebut. Kelompok mikroba koliform merupakan salah satu jenis mikroba yang digunakan sebagai indikator sanitasi. Bakteri indikator merupakan bakteri yang dapat digunakan untuk menentukan kondisi mikrobiologi dari suatu bahan pangan, seperti adanya kontaminasi fekal, bakteri patogen atau pembusuk, maupun kondisi sanitasi pada pengolahan, produksi maupun penyimpanan makanan. Menurut Sinaga (1988), bakso yang dijual di pasar lebih banyak mengandung mikroba koliform dibandingkan bakso yang dijual di supermarket. Bakteri koliform didefinisikan sebagai semua bakteri basili gram negatif baik aerobik maupun aerobik fakultatif, tidak membentuk spora, dan dapat memfermentasi laktosa menghasilkan gas pada suhu 35°C selama 48 jam (Banwart, 1989). Bakteri koliform dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu : (1) koliform fekal, misalnya Escherichia coli, dan (2) koliform non-fekal, misalnya Enterobacter aerogenes. E. coli merupakan bakteri yang berasal dari kotoran hewan maupun manusia, sedangkan E. aerogenes ditemukan pada hewan atau tanam-tanaman yang telah mati. Oleh karena itu, koliform digunakan sebagai bakteri indikator adanya polusi kotoran dan kondisi sanitasi, misalnya terhadap air, susu, dan makanan lainnya. Mikroba koliform maupun patogen yang mengkontaminasi makanan dapat membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi makanan tersebut. Hal ini merupakan salah satu alasan pentingnya penerapan GMP (Good Manufacturing Practices) atau cara produksi makanan yang baik dan
7
HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) sebagai upaya pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya bahaya pada produk pangan.
D. PENGAWETAN BAKSO
Bakso yang rentan terhadap kerusakan mikrobiologis dapat diperpanjang masa simpannya dengan penambahan bahan-bahan pengawet. Bahan pengawet merupakan salah satu kelompok dari sejumlah besar bahan kimia yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam bahan pangan atau ada dalam bahan pangan sebagai akibat dari perlakuan prapengolahan, pengolahan atau penyimpanan (Buckle et al., 1985). Bahan pengawet kimia adalah semua bahan kimia yang bila ditambahkan pada pangan cenderung untuk mencegah atau menghambat kerusakan (deteriorasi), tetapi tidak termasuk garam dapur, gula, cuka, rempah atau minyak yang diekstrak dari rempah, bahan yang ditambahkan pada makanan dengan pemaparan secara langsung terhadap asap kayu, atau bahan-bahan kimia yang diaplikasikan untuk kemampuan insektisidal atau herbisidalnya. Bahan pengawet umumnya mencegah pertumbuhan mikroba dengan mempengaruhi kondisi lingkungan dan faktor-faktor pertumbuhannya, seperti pH, ketersediaan mineral atau nutrisi lain, juga merusak membran sel, menghambat aktifitas enzimatik dan mekanisme genetiknya (Frazier dan Westhoff, 1988). Namun, kemampuan suatu bahan pengawet untuk menghambat pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya konsentrasi zat pengawet, sifat-sifat fisik dan kimia makanan termasuk kadar air, pH, jenis dan jumlah senyawa di dalamnya, suhu lingkungan serta waktu penyimpanan (Fardiaz, 1989).
E. BORAKS DAN FORMALIN
Boraks merupakan garam natrium (Na2B4O7.10H2O) yang banyak digunakan dalam industri gelas, pengawet kayu, keramik. Pengawetan bakso daging sapi pada suhu kamar dengan boraks maupun formalin dapat
8
memperluas pemasaran bakso tersebut, akibat keawetan yang tinggi pada bakso tersebut (Harjanto, 2000). Daya pengawet boraks disebabkan oleh adanya senyawa aktif asam borat yang sering digunakan sebagai antiseptik (Surjana, 2001). Penggunaan boraks telah dilarang dengan adanya SK menteri kesehatan RI No. 722/MEN.KES/PER/IX/88. Toksisitas dari boraks yang dinyatakan dalam LD 50 akut adalah 4.5-4.98 g/kg berat badan tikus, selain itu boraks juga tidak termasuk dalam daftar bahan tambahan pangan yang diizinkan oleh Codex Alimentarius. Boraks yang ditambahkan pada makanan dapat diserap tubuh melalui saluran pencernaan dan akan disimpan secara kumulatif dalam hati, otak dan testes (Winarno, 1997). Dosis boraks yang tinggi dalam tubuh dapat menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing, muntah, mencret, kram perut, cyanis dan kompulsi dengan dosis kematian untuk orang dewasa 10-20 gram atau lebih (Syamadi, 2002). Penelitian Sendih (1998), menunjukkan bahwa 63% pedagang bakso di Kotamadya Bogor menggunakan boraks sebagai pengawet untuk memperluas distribusi produknya. Formalin merupakan salah satu bahan kimia yang juga digunakan sebagai pengawet pada produk bakso. Walaupun saat ini masih terdapat perdebatan mengenai berbahaya atau tidaknya penambahan formalin sebagai pengawet dalam makanan, tetapi saat ini otoritas yang berwenang (Depkes dan BPOM) sangat ketat dalam mengawasi peredaran formalin. Hal ini menyebabkan formalin sangat sulit untuk diperoleh. Menurut Hart (1983), formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Di dalam larutan formalin terkandung 30 – 50% formaldehid dan ditambahkan metanol sebanyak 10 – 15% untuk mencegah terjadinya polimerisasi formaldehid. Formaldehida termasuk kelompok senyawa desinfektan kuat yang dapat membasmi berbagai jenis bakteri pembusuk, cendawan atau kapang, serta dapat mengeraskan bagian tubuh sehingga formalin 3.7% digunakan untuk mengawetkan mayat serta bahan biologi dan patologi lainnya (Winarno, 1997). Hasil penelitian Widowati (1997), menunjukkan bahwa tahu cina yang mengandung formalin dengan
9
kadar 0.11, 0.14, dan 0.22 mg/kg BB baik mentah maupun digoreng dapat merusak organ hati, ginjal, lambung, dan usus tikus percobaan.
F. BAHAN PENGAWET YANG DITELITI
Berikut adalah kajian pustaka tentang beberapa bahan pengawet yang digunakan dalam penelitian ini :
1. TANIN
Tanin adalah salah satu jenis polifenol yang secara alami terdapat dalam beberapa tanaman yang mempunyai sifat dapat mengikat protein dan mempunyai atribut flavor yang sepat (astringent). Tanin dalam berbagai jenis tanaman memiliki struktur kimia dan reaksi yang berbeda-beda,
tetapi
memiliki
sifat
yang
sama
yaitu
dapat
mengendapkan gelatin dan protein (Shahidi dan Naczk, 1995). Secara medis, tanin umum digunakan sebagai komponen antidiare, hemostatic dan antihemorrhoidal. Tanin juga bersifat toksik bagi mikroba dengan tiga mekanisme, yaitu penghambatan enzim dan penghambatan penggunaan substrat oleh mikroba, mengganggu membran, dan menghambat penggunaan ion logam oleh mikroba (Shahidi dan Naczk, 1995). Tanin umumnya dibagi menjadi dua jenis yaitu tanin terhidrolisa dan
tanin
terkondensasi
(proantocyanidin).
Tanin
terhidrolisis
mempunyai karbohidrat poliol (umumnya D-glukosa) pada pusat molekulnya. Tanin terhidrolisa terdiri dari senyawa poliester dan glikosida yang satu sama lainnya dihubungkan oleh atom O. Hal ini menyebabkan tanin terhidrolisa dapat larut dalam air dan juga dapat dihidrolisis oleh asam lemah dan basa lemah yang akan memproduksi karbohidrat dan asam fenolat (Shahidi dan Naczk, 1995). Senyawa tanin terkondensasi adalah polimer dari 2-50 atau lebih unit flavonoid yang dihubungkan oleh ikatan karbon yang tidak dapat
10
dihidrolisis oleh asam, basa, maupun enzim (Gupta et al., 1981). Tanin terkondensasi terdapat pada buah-buahan, biji-bijian dan tanaman yang dapat dimanfaatkan manusia sebagai makanan, sedangkan tanin terhidrolisa banyak terdapat pada kelompok tanaman bukan makanan tetapi berperan penting dalam industri makanan, minuman dan obat (Singleton, 1981). Tanin dapat diekstrak dari bagian-bagian tumbuhan tertentu dengan menggunakan pelarut. Pelarut yang umum digunakan adalah aseton, etanol, maupun metanol. Tanin yang masih terdapat pada bahan yang telah diekstrak dengan penambahan amonia adalah nontoksik dan dapat dikonsumsi. Lagipula, tanin yang telah diberi perlakuan secara alkali akan membentuk phlobaphenes yang merupakan komponen yang tidak reaktif (Shahidi dan Naczk, 1995). Tanin terhidrolisa mempunyai efek toksik bagi ruminansia. Hal ini disebabkan oleh adanya metabolisme mikroba dan pencernaan lambung yang mengubah tanin terhidrolisa menjadi metabolit dengan bobot molekul rendah sehingga dapat diserap tubuh (wikipedia.com). Efek utama dari keracunan tanin terhidrolisa adalah hemoragik gastroentritis, kerusakan liver dan kerusakan ginjal dengan kerusakan proximal tuberal. Tanin terkondensasi (proantosianidin) mempunyai toksisitas yang lebih rendah dari tanin terhidrolisa. Toksisitas proantosianidin ini terkait dengan efeknya terhadap pencernaan protein dan karbohidrat. Proantosianidin ini tidak diserap oleh saluran pencernaan, tetapi kemungkinan dapat melukai lapisan mukosa gastrointestinal dan menurunkan penyerapan nutrisi terutama asam amino esensial seperti metionin dan lisin. LD50 tanin untuk tikus dan kelinci dengan pemberian oral dosis tunggal adalah 2.25-6.00 g per kg berat badan (Shahidi dan Naczk, 1995). Selain itu FDA juga mengatur residu tanin yang diperbolehkan dalam jus maupun anggur merah (red wine) adalah tidak lebih dari 3.0 g/L dihitung setara dengan asam galat.
11
2. DAUN JAMBU
Jambu Biji (Psidium guajava) tersebar meluas sampai ke Asia Tenggara termasuk Indonesia, sampai Asia Selatan, India dan Srilanka (Anonim, 2004). Jambu biji termasuk tanaman perdu dan memiliki banyak cabang, ranting serta batang pohonnya keras. Bentuk daunnya umumnya bercorak bulat telur dengan ukuran yang agak besar. Bunganya kecil-kecil berwarna putih dan muncul dari balik ketiak daun. Buah, daun, dan kulit batang pohon jambu biji mengandung tanin. Daun jambu biji juga mengandung zat selain tanin, seperti minyak atsiri, asam ursolat, asam psidiolat, asam kratogolat, asam oleanolat, asam guajaverin dan vitamin (Anonim, 2004). Daun jambu biji umum digunakan pada proses pembuatan telur asin dengan metode perebusan. Penggunaan bahan penyamak pada proses ini dapat mengubah kulit telur menjadi impermeable, sehingga menghambat keluarnya air dan gas dari dalam telur serta menghambat masuknya mikroba ke dalam telur (Ariningsih, 2005). Penelitian Ariningsih (2005), menunjukkan bahwa daun jabu biji memiliki aktifitas antimikroba dengan menghasilkan areal bening seluas 21.75 mm diikuti daun teh 16.22 mm dan kulit bawang merah 7 mm. Daun jambu biji menghambat bakteri telur dan menurunkan populasi angka lempeng total bakteri hingga 1 log (10x), sedangkan daun teh dan kulit bawang merah tidak menghasilkan aktifitas antimikroba.
3. ASAM LAKTAT
Asam laktat merupakan asam yang luas sekali penggunaanya, terdapat secara alami, serta umum digunakan dalam pengolahan pangan. Asam laktat umum digunakan untuk mengontrol pH dan juga sebagai flavoring. Menurut Davidson dan Juneja (1990), pada konsentrasi 6-8 μM dapat menghambat bakteri pembentuk spora pada pH 5.0 tetapi efektifitasnya rendah pada khamir dan kapang. Kapasitas
12
penghambatan bakteri oleh asam ini terletak pada kemampuannya menurunkan pH sampai ke tingkat dimana bakteri tidak dapat tumbuh. Tidak seperti asam organik lainnya, larutan asam laktat sangat kental dan tidak bersifat volatil. Selain itu aroma asam laktat mudah diterima karena aromanya tidak tajam. Tabel 1 memperlihatkan sifatsifat fisik asam laktat. Asam laktat sangat larut air tapi tidak larut dalam pelarut organik. Penggunaan asam laktat sebagai pengasam pada berbagai macam makanan dan minuman dapat memberikan hasil yang baik. Hal ini disebabkan oleh rasa asam laktat yang relatif tidak masam dibanding asam organik lainnya, aroma asam laktat juga tidak mempengaruhi komponen aroma lainnya. Selain itu asam laktat juga dapat mencegah kebusukan dan bentuknya sebagai larutan membuat asam laktat mudah digunakan.
Tabel 1. Sifat fisik asam laktat (Furia, 1972) Rumus kimia
CH3CHOHCOOH
BM
90.08 g/mol
Aspek fisik
Kental, tidak berwarna, non volatil
Titik leleh
16.8oC
Bentuk umum
88% dan 50% larutan
Kelarutan
Sangat larut
Kalor jenis, 20oC
0.505 kal/goC
Densitas
10.0 lbs/gal (88%), 9.4 lbs/gal (50%)
Aroma
Terdapat dalam bentuk asam lemah
Rasa
asam
13
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyemprotan asam laktat terhadap karkas daging dapat membatasi pertumbuhan mikroba secara efektif dengan beberapa perlakuan penyimpanan. Menurut Doores (1993), asam laktat dengan konsentrasi 1-1.25% yang disemprotkan terhadap karkas sapi muda diikuti dengan pengemasan vakum dapat menurunkan jumlah mikroba setelah penyimpanan selama 14 hari pada 2°C. Metode lain dari pengawetan dengan asam laktat adalah dengan pencelupan. Jumlah mikroba dari kulit unggas yang telah dicelupkan selama 15 detik pada 19°C dalam 2% pada pH 2.2 turun dari 5.2 menjadi 3.7 log CFU/g (van der Marel et al., 1988 dalam Doores 1993). Percobaan Zeitoun dan Debevere (1990) menunjukkan bahwa penyemprotan asam dengan buffer 10% asam laktat dan natrium laktat (pH 3.0) terhadap kaki ayam meningkatkan umur simpannya dari 6 menjadi 12 hari pada 6°C, sedangkan perendaman dengan asam laktat 2% pada pH 2.3 dapat memperpanjang umur simpan kaki ayam tersebut
hingga
8
hari.
Perlakuan-perlakuan
tersebut
dapat
menghambat bakteri yang memproduksi hidrogen sulfida seperti Pseudomonas spp., yang berkontribusi terhadap kebusukan makanan. Perlakuan di atas juga tidak mempengaruhi kualitas sensori dari sampel.
Namun, konsentrasi asam laktat yang lebih tinggi dan
perlakuan yang berulang tidak selalu menjamin dekontaminasi yang lebih baik. Aspek legalitas dari penggunaan asam laktat pada berbagai tujuan penggunaan telah disetujui oleh U.S. FDA dengan nomor peraturan 21 CFR 184.1061 dengan tanpa pembatasan konsentrasi yang digunakan (Doores, 1993). Sedangkan USDA melalui nomor peraturan 9 CFR 318.7 memperbolehkan penggunaan asam laktat pada produk daging dengan konsentrasi yang paling rendah yang perlu dilakukan untuk tujuan tertentu (Doores, 1993).
14
4. SULFIT
Sulfur dioksida dan garam-garamnya telah digunakan secara luas sebagai antimikroba dan dalam pencegahan perubahan warna enzimatis dan nonenzimatis. Sulfur dioksida mempunyai ciri fisik tidak berwarna, gas yang dihasilkan tidak dapat terbakar, akan mencair pada suhu -10oC dan mengeras pada suhu -72oC dan dapat larut di dalam air (85% pada suhu 25oC) membentuk asam yang mengandung sulfur (H2SO3) (Davidson and Juneja, 1990). Sulfur dioksida dan garamnya (bisulfit dan metabisulfit) dalam air membentuk asam sulfit, HSO3-, dan SO3- yang kesetimbangannya dipengaruhi oleh pH (Winarno dan Laksmi, 1974). Aktifitas antimikroba pada sulfit tergantung pada pH lingkungan, tipe mikroba, dan lama kontak. Seperti halnya asam laktat, sulfit juga lebih aktif sebagai pengawet jika terdapat dalam bentuk yang tidak terdisosiasi karena itu sulfit akan berfungsi efektif dalam pH kurang dari 4 (Davidson and Juneja, 1990). Selain itu bentuk sulfit yang berikatan dengan molekul lain juga akan memiliki aktifitas antimikroba yang lebih rendah dibandingkan dengan bentuk bebasnya. Sulfit dapat menghambat khamir, kapang dan bakteri, tetapi kapang dan khamir mempunyai sensitifitas yang lebih rendah terhadap sulfit jika dibandingkan dengan bakteri. Sulfit umumnya digunakan pada produk buah dan sayur untuk menghambat tiga jenis mikroba, yaitu bakteri pembentuk asam asetat dan malolaktat, khamir yang mampu melakukan pembusukan dan fermentasi serta kapang pada buah (Davidson dan Juneja, 1990). Pada beberapa bakteri, sulfur dioksida pada konsentrasi rendah (1-2 ppm) bersifat bakteriostatik sedangkan sifat bakterisidal muncul ketika konsentrasinya tinggi. Selain itu, sulfur dioksida ternyata lebih efektif menghambat bakteri Gram negatif yang berbentuk batang seperti E. coli dan Pseudomonas jika dibandingkan dengan bakteri Gram positif (Davidson dan Juneja, 1990).
15
Menurut Davidson dan Juneja (1990), sulfur dioksida umumnya digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan pada buah segar, jus buah, anggur (wines), sosis, udang segar, pikel, dan juga dalam ekstraksi pati. Selain itu sulfit juga mempunyai fungsi untuk mencegah kerusakan oksidatif, reaksi pencoklatan enzimatik dan nonezimatik juga menghambat kerusakan warna yang terpicu oleh reaksi kimia (Winarno dan Laksmi, 1974). Umumnya konsentrasi sulfit yang digunakan pada anggur untuk menghambat tumbuhnya kapang dan khamir adalah 50-100 ppm. Beberapa negara mengizinkan penggunaan sulfit untuk menghambat mikroba pada daging segar dan produk daging seperti sosis. Sulfit atau metabisulfit
yang
ditambahkan
pada
sosis
efektif
menunda
pertumbuhan kapang, khamir, dan Salmonellae selama penyimpanan pada suhu dingin dan ruang (Davidson and Juneja, 1990). USFDA telah memasukkan sulfur dioksida dan beberapa garam sulfit sebagai GRAS (21 CFR 182), tetapi tidak boleh digunakan dalam daging atau sumber thiamin, buah dan sayuran segar (Davidson dan Juneja, 1990). Namun, di beberapa negara sulfit masih diperbolehkan untuk digunakan pada daging, produk olahan daging, dan juga seafood. Jumlah sulfit yang diperbolehkan di Australia untuk produk sosis adalah 500 ppm (Davidson dan Branen, 1993). Berdasarkan Winarno dan Laksmi (1974), konsentrasi yang sulfit yang sebaiknya tertinggal dalam makanan yang dikonsumsi adalah 500 ppm.
5. KITOSAN
Kitosan (poly-β-1,4-glucosamine) adalah polimer alami yang memiliki struktur molekulnya menyerupai selulosa dengan perbedaan yang terletak pada gugus rantai C-2, dimana gugus –OH pada C-2 digantikan oleh gugus amina (-NH2) (Hardjito, 2006). Kitosan merupakan turunan dari kitin yang telah mengalami deasetilasi. Senyawa berkitin sebagai polimer alami dapat dihasilkan dari hewan
16
laut yang bercangkang (Crustaceae) seperti udang, kepiting, lobster, dan rajungan (Hardjito, 2006). Menurut Hardjito (2006), proses pembuatan kitosan dilakukan dengan proses demineralisasi (DM), deproteinasi (DP), decolorisasi (DC), dan deasetilasi (DA). Proses demineralisasi dilakukan dengan larutan asam encer untuk menghilangkan mineral yang terkandung dalam bahan baku. Deproteinasi dilakukan dengan larutan basa encer untuk menghilangkan sisa-sisa protein yang masih terdapat pada bahan baku. Deasetilasi merupakan proses yang menghasilkan kitosan dari kitin dengan cara memasaknya pada larutan basa konsentrasi tinggi (NaOH 40-50%). Pemutihan dimaksudkan untuk menghilangkan warna agar kitosan yang dihasilkan berwarna putih. Hardjito (2006), menyatakan bahwa kombinasi dan variasi proses-proses tersebut dapat menghasilkan sifat kitosan sebagai berikut: a. DC-DM-DP-DA akan meningkatkan BM kitosan b. DM-DC-DP-DA dapat meningkatkan kadar abu kitosan c. DM-DP-DC-DA akan menurunkan viskositas kitosan d. DM-DP-DA-DC menghasilkan kitosan terdegradasi berwarna kecoklatan yang sifat polielektrolitnya lemah. Deasetilasi kitin akan menghasilkan kitosan yang kehilangan gugus asetil dan menyisakan gugus amino yang bermuatan positif, sehingga mempunyai sifat polikationik. Sifat polikationik inilah yang menyebabkan kitosan mempunyai banyak kegunaan seperti untuk pengawet makanan, penstabil warna, penjernih jus dan bir, deasidifikasi jus buah, edible film, sebagai flokulan, membantu proses penjernihan air, sebagai aditif produk agrokimia dan pengawet benih (Shahidi et al. 1999). Kitosan merupakan bahan alami yang telah dimodifikasi, tetapi tidak beracun dan mempunyai LD 50 pada mencit 16g/kg bb (Hirano, 1996). Kitosan telah dicoba aktifitas antimikrobanya, diantaranya sebagai pengawet buah-buahan dengan metode coating yang dapat menekan proses respirasi dan pertumbuhan mikroba pembusuk.
17
Metode ini dilakukan dengan cara pencelupan buah selama 30 detik pada larutan 1% kitosan dalam 1% asam asetat (Hardjito, 2006). Kitosan juga dapat mengawetkan ikan hering dan kod sebagai edible film sehingga mampu mempertahankan kualitas produk perikanan selama penyimpanan (Meidina, 2005). Pencelupan udang dengan atau tanpa kepala dalam larutan kitosan 1% dan 2% yang kemudian disimpan selama 20 hari pada suhu 4-7oC dapat meningkatkan umur simpan udang hingga 4 hari lebih lama (20 hari) jika dibandingkan dengan kontrol (16 hari) (Hardjito, 2006).
18
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi, sagu aren, dan tapioka sebagai bahan baku pembuatan bakso. Bahan lain yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah garam, STPP, air, es, dan bumbu seperti lada, bawang putih, serta MSG. Bahan pengawet yang digunakan adalah tanin (asam tanat), daun jambu, natrium metabisulfit, asam laktat, dan kitosan serta dua jenis mix pengawet, yaitu FTO dan COG. Bahan untuk uji mikrobiologi dari laboratorium mikrobiologi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yaitu PCA (Plate Count Agar), PDA (Potato Dextrose Agar), asam tartarat, dan garam fisiologis. Alat yang digunakan meliputi peralatan untuk pembuatan bakso seperti pisau, chopper, panci, kompor, dan penggiling daging. Peralatan untuk analisis fisik seperti texture analyzer, dan chromameter. Alat untuk analisis kimia adalah pH meter dan alat uji mikrobiologis seperti stomacher, inkubator, mikropipet, cawan petri, dan peralatan gelas lainnya.
B. METODE PENELITIAN
Bakso yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dengan formula sebagai berikut : Daging sapi
: 100%
Tepung sagu aren : 25% Tapioka
: 25%
Es
: 20%
Bawang Putih
: 7.5%
Garam
: 3%
Lada
: 1%
MSG
: 0.5%
STPP
: 0.3%
19
1. Penelitian Pendahuluan Tahap ini bertujuan menyeleksi beberapa alternatif bahan pengawet yang mampu memperpanjang umur simpan bakso pada suhu ruang. Pengawet yang mampu mengawetkan bakso hingga 2 hari akan digunakan pada penelitian utama. Jenis pengawet yang digunakan adalah daun jambu biji (tua, muda, dan kering), tanin (asam tanat), asam laktat, Na-metabisulfit, premix pengawet FTO dan COG , serta kitosan. Perlakuan pada penelitian pendahuluan adalah : a. Penambahan daun jambu (muda, tua, dan kering) masing-masing pada perebusan akhir dengan konsentrasi 2% dari berat bakso. b. Tanin masing-masing ditambahkan sebanyak 0.5% dan 1% dari air untuk perebusan akhir bakso. c. Na-metabisulfit 400, 450, dan 500 ppm dari berat daging yang ditambahkan pada pembuatan adonan bakso. d. Kombinasi Na-metabisulfit 400, 450, dan 500 ppm pada adonan dan perebusan akhir bakso dengan 0.25% tanin. e. Asam laktat 2% sebanyak 1% dan 2% dari berat daging yang ditambahkan pada pembuatan adonan bakso. f. Premix FTO sebanyak 0.05%, 0.1%, dan 0.2% dari berat daging yang ditambahkan pada adonan bakso. g. Premix COG 0.5%, 0.4%, dan 0.3% dari berat daging pada adonan bakso. h. Larutan kitosan 2% dan 5% dari berat daging pada adonan bakso i. Pencelupan bakso yang telah matang pada larutan kitosan 2% dan 5% selama 1 menit Sampel kemudian dikeringanginkan lalu dikemas dengan plastik dan disimpan pada suhu ruang.
Pengamatan dilakukan setiap hari secara
subyektif yang meliputi aroma, warna, rasa, dan tekstur. Pengamatan dihentikan jika sudah terjadi penyimpangan aroma dan terbentuknya lendir atau miselium kapang sebagai indikator kerusakan bakso. Perlakuan yang paling efektif ditentukan berdasarkan umur simpan dan nilai uji keawetan bakso tersebut yang mengacu pada Tabel 2.
20
Tabel 2. Penilaian Mutu Sensoris Bakso Nilai
Parameter Penampakan
2
Warna
Bau
Rasa
Tekstur
Bulat halus
Abu-abu
Khas
Enak dan
Kompak,
dan tidak ada
cerah atau
daging
rasa daging elastis, dan
lendir
kemerahan* segar rebus dominan
kenyal
(+++) 1
Mulai
Abu-abu
Khas
Enak tapi
Mulai
berlendir
kusam atau
daging
mulai
lengket
(++)
kemerahan
segar rebus sedikit
dan basah
yang lebih
(++)
hambar
(++)
gelap* 0
Berlendir
Abu-abu
Bau asam
Sudah
Lengket
(+++)
kecoklatan
dan basi
tidak layak
(+++) tapi
(+) atau
(+++)
dikonsumsi tidak rapuh
kemerahan yang gelap dan berkapang*
Keterangan : +++ : banyak ++ : lebih sedikit + : sangat sedikit (*) : hanya untuk sampel dengan daun jambu muda 2% dan tanin
2. Penelitian Utama Penelitian utama ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik fisik dan mikrobiologis bakso yang menggunakan bahan pengawet terpilih.
21
a). Perlakuan Beberapa perlakuan pada tahap penelitian utama: A
: Penambahan FTO 0.2% pada adonan bakso
B
: Penambahan COG 0.5% pada adonan bakso
C
: Penambahan Na-metabisulfit 450 ppm pada adonan + perebusan akhir dengan tanin 0.25%
D
: Penambahan larutan kitosan 5% pada adonan bakso
E
: Pencelupan (coating) bakso yang matang pada larutan kitosan 2%
b). Pembuatan larutan kitosan Larutan asam laktat dengan konsentrasi 2% dibuat terlebih dahulu dengan mengencerkan larutan asam laktat pekat 90% menggunakan labu takar. Selanjutnya kitosan ditimbang sebanyak 2% dan 5% b/b dari berat daging yang digunakan. Kitosan tersebut dilarutkan dalam asam laktat 2% yang jumlahnya disesuaikan agar konsentrasi kitosan dalam larutan tersebut tetap 2% dan 5% b/v sambil dipanaskan 60oC dan diaduk dengan magnetic stirrer.
c). Metode coating bakso pada larutan kitosan Bakso yang telah matang setelah perebusan kedua, ditiriskan untuk sekedar mengurangi jumlah air pada permukaan bakso. Kemudian bakso tersebut dicelupkan selama 1 menit dalam larutan kitosan yang telah dipersiapkan dan kemudian dikeringanginkan sebelum dikemas dalam plastik dan disimpan.
d). Pengamatan Pengamatan ini dilakukan terhadap semua perlakuan pada penelitian utama selama 3 hari penyimpanan, karena umur simpan perlakuan terbaik adalah selama 2 hari.
22
Parameter mutu bakso yang diamati dalam penelitian ini adalah : ¾ pH ¾ total mikroba dan kapang khamir ¾ karakteristik fisik yang meliputi tekstur (daya iris dan kekenyalan) dan warna ¾ uji organoleptik
C. METODE ANALISIS 1. Pengukuran pH (AOAC, 1986) Sebanyak 5 gram sampel ditambahkan akuades 50 ml sebagai pelarut lalu dihaluskan dengan stomacher selama 60 detik. Kemudian pH meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan buffer pH 7 dan pH 4. Elektroda siap ditempatkan dalam sampel sehingga dapat terbaca nilai pH yang terukur. Elektroda diangkat lalu dibilas dengan air destilata dan dapat digunakan untuk pengukuran pH sampel berikutnya.
2. Uji Mikrobiologi Produk Hewani (Fardiaz, 1992) Sebanyak 10 gram sampel dimasukkan dalam plastik steril dan ditambahkan 90 ml akuades steril secara aseptis. Sampel tersebut kemudian dihancurkan dalam alat stomacher selama 60 detik. Sampel tersebut adalah sampel dengan pengenceran 10-1, kemudian dari sampel diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan dalam larutan pengencer 9 ml secara aseptis untuk memperoleh pengenceran 10-2. Cara yang sama dilakukan untuk pengenceran 10-3, 10-4 dan seterusnya. Pengenceran diambil sebanyak 1 ml secara duplo dan dimasukkan ke dalam cawan petri yang kemudian ditambah media PCA 15-20 ml. Setelah media beku, cawan-cawan tersebut diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 37oC selama 2 hari. Perhitungan jumlah total mikroba dilakukan dengan metode Harrigan, dengan rumus : N = C/ [(1 x n1) + (0.1 x n2)] x d N = jumlah koloni per gram C = Jumlah total koloni yang tumbuh dalam cawan yang dihitung
23
n1 = Jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung n2 = Jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung d = tingkat pengenceran pertama
3. Uji Organoleptik Penilaian mutu organoleptik bakso dengan bahan pengawet terpilih dilakukan dengan metode penerimaan hedonik oleh 30 panelis. Kriteria mutu organoleptik yang dianalisa adalah warna, rasa, aroma, dan tekstur. Tingkat persepsi panelis digambarkan berdasarkan skor sebagai berikut : 7 : sangat suka 6 : suka 5 : agak suka 4 : netral 3 : agak tidak suka 2 : tidak suka 1 : sangat tidak suka Contoh lembar uji organoleptik (Score sheet) dapat dilihat pada lampiran 9.
4. Pengukuran Daya Iris Pengukuran daya iris dilakukan dengan alat Texture Analyzer XT2Tri dengan probe berupa pisau. Sampel diletakkan pada base plate dan selama pengukuran dipotong dengan probe. Grafik yang terbentuk sebagai hasil pengukuran adalah antara sumbu Y (gaya dalam gf) terhadap sumbu X (waktu dalam detik). Daya iris merupakan gaya maksimum yang diperlukan untuk memotong sampel yang dapat diperoleh dari grafik.
5. Pengukuran Kekenyalan Kekenyalan merupakan perbandingan terbalik antara gaya reaksi (reaction force) maksimum sampel bila diberikan tekanan (stress) tertentu pada jarak regangan (strain) tertentu dengan gaya reaksi (reaction force) sampel setelah tekanan (stress) ditahan pada jarak regangan (strain) yang
24
sama dan melewati waktu tertentu. Kekenyalan ini dinyatakan dalam persen. Pengukuran kekenyalan menggunakan alat Texture Analyzer XT2Tri dengan probe silinder diameter 35 mm (P/35). Sebelum proses penekanan, pengaturan alat perlu dilakukan untuk menentukan jarak probe dari base plate, menggunakan mode Hold until time selama 60 detik. Hasil dari pengukuran ini berupa grafik yang dibentuk antara sumbu Y (gaya dalam gf) terhadap sumbu X (waktu dalam detik). Kekenyalan dapat dihitung dari dua data yang diambil dari grafik, yaitu nilai gaya puncak tertinggi (maximum positive value) (Ft) saat waktu tertentu (t) dan nilai gaya saat t+60 (Ft+60). Persentase kekenyalan diperoleh dari Ft+60 dibagi dengan Ft dikalikan 100%.
6. Analisis Warna (chromameter Minolta tipe CR 200) Chromameter dikalibrasi dengan mengukur plate kalibrasi yang berwarna putih sebanyak tiga kali. Kemudian sampel diletakkan pada tempat pengukuran sampel, lalu ditekan tombol start dan akan diperoleh nilai L, a, dan b dari sampel. L menyatakan kecerahan sampel dengan kisaran nilai 0 sampai 100 (putih). Semakin tinggi nilai L, maka semakin tinggi tingkat kecerahan sampel tersebut. Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai +100 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai – b (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna biru. Selanjutnya dari nilai a dan b dapat dihitung oHue dengan rumus : o
Hue = tan-1 b a Jika hasil yang diperoleh : 18o-54o
maka produk berwarna red (R)
54o-90o
maka produk berwarna yellow red (YR)
90o-126o o
126 -162
maka produk berwarna yellow (Y) o
maka produk berwarna yellow green (YG)
25
162o-198o
maka produk berwarna green (G)
198o-234o
maka produk berwarna blue green (BG)
234o-270o
maka produk berwarna blue (B)
o
270 -306
o
maka produk berwarna blue purple (BP)
o
o
maka produk berwarna purple (P)
306 -342 o
o
342 -18
maka produk berwarna red purple (RP)
26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN
Penelitian pada tahap ini bertujuan memilih beberapa jenis alternatif pengawet yang dapat memperpanjang umur simpan bakso hingga 2 hari. Pengamatan yang dilakukan pada tahap ini merupakan pengamatan subyektif terhadap keawetan bakso dengan kriteria yang mengacu pada Tabel 2. Hasil pengamatan uji keawetan terhadap bakso dengan beberapa bahan pengawet pada hari pertama dan kedua penyimpanan terdapat pada Tabel 3 dan 4. Tabel 3. Hasil pengamatan uji keawetan bakso dengan bahan pengawet pada hari pertama. Perlakuan Kontrol Daun Jambu Tua 2% Daun Jambu Muda 2% Daun Jambu Kering 2% Tanin 0.5% Tanin 1% Na-metabisulfit 400 ppm Na-metabisulfit 450 ppm Na-metabisulfit 500 ppm Na-metabisulfit 400 ppm+tanin 0.25% Na-metabisulfit 450 ppm+tanin 0.25% Na-metabisulfit 500 ppm+tanin 0.25% Asam laktat 1% Asam laktat 2% FTO 0.05% FTO 0.1% FTO 0.2% COG 0.3% COG 0.4% COG 0.5% Kitosan Adonan 2% Kitosan Adonan 5% Kitosan Coating 2% Kitosan Coating 5%
Penampakan Tekstur Rasa Aroma Warna 1 1 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 2 2 2 2 2 2 1 1 0 0 2 1 1 0 1 2 1 1 0 1 2 2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2 1 1 1 1 2 1 1 2 1 2 2 2
2 1 1 1 1 2 1 1 2 1 2 2 2
2 1 1 0 1 2 0 0 2 0 2 2 2
2 1 1 1 1 2 1 1 2 2 2 2 2
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
27
Tabel 4. Hasil pengamatan uji keawetan bakso dengan bahan pengawet pada hari kedua Perlakuan Kontrol Daun Jambu Tua 2% Daun Jambu Muda 2% Daun Jambu Kering 2% Tanin 0.5% Tanin 1% Na-metabisulfit 400 ppm Na-metabisulfit 450 ppm Na-metabisulfit 500 ppm Na-metabisulfit 400 ppm+tanin 0.25% Na-metabisulfit 450 ppm+tanin 0.25% Na-metabisulfit 500 ppm+tanin 0.25% Asam laktat 1% Asam laktat 2% FTO 0.05% FTO 0.1% FTO 0.2% COG 0.3% COG 0.4% COG 0.5% Kitosan Adonan 2% Kitosan Adonan 5% Kitosan Coating 2% Kitosan Coating 5%
Penampakan Tekstur Rasa Aroma Warna 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
1
0
1
2
2
2
2
2
2
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 2
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 2
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 2
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2
Hasil pengamatan uji keawetan pada semua sampel pada hari ke-0 secara umum menunjukkan bahwa semua parameter yang diamati (penampakan, rasa, warna, bau, dan tekstur) memiliki nilai 2. Hal ini disebabkan oleh bakso tersebut baru matang sehingga semua atributnya normal, kecuali pada sampel dengan daun jambu dan tanin yang warnanya lebih kemerahan. Bakso yang direbus dengan berbagai jenis daun jambu biji (daun kering, muda, dan tua) pada hari ke-0 menunjukkan bahwa penampakan fisik dari bakso yang direbus dengan daun tua dan kering menunjukkan warna yang sama dengan kontrol yaitu abu-abu cerah, sedangkan bakso yang direbus dengan daun jambu biji muda sebanyak 2% berwarna kemerahan. Hasil yang diharapkan dari perebusan akhir bakso dengan daun jambu biji adalah adanya
28
reaksi penyamakan permukaan bakso oleh zat penyamak (tanin) dari daun jambu. Hal ini diharapkan dapat mengurangi kontaminasi mikroba dari lingkungan terhadap bakso sehingga umur simpannya bertambah. Namun pada hari pertama penyimpanan ternyata perlakuan dengan daun jambu biji menunjukkan hasil yang tidak memenuhi target. Seluruh perlakuan dengan daun jambu biji tersebut telah menunjukkan tanda kerusakan pada hari pertama penyimpanan yaitu adanya lendir (+) dan permukaannya yang lengket seperti pada kontrol. Pada hari kedua, baik pada kontrol maupun semua sampel dengan perlakuan daun jambu biji telah ditumbuhi kapang (++) dan telah timbul bau basi, hal ini menunjukkan bahwa kandungan mikroba pada bakso-bakso tersebut cukup tinggi dan perlakuan perebusan dengan daun jambu tidak dapat memperpanjang umur simpan bakso. Hasil ini dapat disebabkan oleh adanya kandungan tanin yang rendah pada daun jambu, sehingga hasil ekstraksi tanin yang berinteraksi dengan permukaan bakso tidak maksimal dan mikroba masih dapat mengkontaminasi bakso. Perlakuan selanjutnya pada penelitian pendahuluan ini adalah perebusan akhir bakso dengan penambahan asam tanat sebanyak 0.5% dan 1% dari air rebusan. Asam tanat merupakan jenis tanin yang dapat dihidrolisis dan berbentuk serbuk dan dapat larut dalam air. Penambahan asam tanat sebagai sumber tanin ini dimaksudkan untuk menyamak permukaan bakso seperti halnya pada penambahan daun jambu pada perlakuan sebelumnya. Jumlah asam tanat yang ditambahkan lebih rendah daripada penambahan daun jambu karena tanin pada asam tanat lebih terkonsentrasi dari daun jambu, sehingga tanin yang berinteraksi dengan permukaan bakso lebih banyak dibandingkan dengan tanin dari daun jambu. Pengamatan hari ke-0 terhadap sampel dengan penambahan asam tanat 0.5% dan 1% menunjukkan persamaan secara kuantitatif parameter aroma, rasa, warna, dan tekstur dengan kontrol yang semuanya bernilai dua. Adanya warna kemerahan ini merupakan ekspresi dari tanin yang secara alami mempunyai
warna
kuning-coklat.
Pengamatan
pada
hari
pertama
menunjukkan bahwa sampel dengan 0.5% tanin telah berlendir seperti halnya kontrol, sedangkan sampel yang mengalami perebusan dengan 1% tanin masih
29
menunjukkan permukaan bakso yang kering dan tidak berlendir. Namun, pada hari kedua seluruh sampel dan kontrol telah ditumbuhi kapang dan berbau basi sehingga pengamatan dihentikan. Adanya perbedaan yang tidak terlalu signifikan antara kontrol dan sampel dengan penambahan tanin 0.5 dan 1% ini disebabkan oleh protein sebagai komponen yang diharapkan untuk berinteraksi dengan tanin agar terjadi penyamakan telah terkoagulasi dan membentuk struktur bakso yang kompak akibat adanya perebusan. Hal ini menyebabkan tanin tidak dapat berikatan secara maksimal dengan bakso sehingga efek penyamakan yang diharapkan dapat memperpanjang umur simpan bakso tidak dapat tercapai. Penambahan bahan pengawet pada adonan juga dilakukan pada penelitian pendahuluan ini. Pengawet yang ditambahkan tersebut adalah Nametabisulfit (Na2S2O5) sebanyak 400, 450, dan 500 ppm dari jumlah daging yang digunakan pada pembuatan bakso. Penambahan sulfit ini bertujuan menghambat pertumbuhan mikroba yang berasal dari bahan baku yang masih bertahan setelah mengalami proses pemanasan. Jumlah sulfit yang ditambahkan tidak lebih dari 500 ppm karena berdasarkan Winarno dan Laksmi (1974), konsentrasi yang sulfit yang sebaiknya tertinggal dalam makanan yang dikonsumsi adalah 500 ppm. Menurut Furia (1972) jika residu sulfit dalam makanan lebih dari 500 ppm, maka akan terdeteksi perubahan rasa makanan tersebut. Selain itu, jumlah sulfit yang diperbolehkan di Australia untuk produk sosis adalah 500 ppm (Davidson dan Branen, 1993). Hasil pengamatan terhadap sampel dengan penambahan Na-metabisulfit 400, 450 dan 500 ppm pada hari ke-0 menunjukkan adanya persamaan atribut sensori antara sampel-sampel tersebut dengan kontrol. Persamaan tersebut adalah adanya aroma khas daging rebus, rasa dominan daging rebus, tekstur kenyal, dan warna abu-abu cerah. Nilai masing-masing parameter tersebut pada semua sampel dan kontrol adalah dua. Hal ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi Na-metabisulfit yang ditambahkan tidak menyebabkan perubahan atribut sensori pada bakso. Pengamatan pada hari pertama penyimpanan menunjukkan adanya lendir pada kontrol dan semua sampel dengan penambahan sulfit 400, 450, dan 500 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa
30
kerusakan secara mikrobiologis telah terjadi pada seluruh sampel. Lemahnya keawetan bakso dengan Na-metabisulfit ini dapat disebabkan oleh adanya kemungkinan mikroba awal yang tinggi. Selain itu kondisi pH bakso yang tidak cukup rendah untuk mendukung bekerjanya sulfit secara efektif untuk menghambat pertumbuhan mikroba. Penambahan Na-metabisulfit 400, 450, dan 500 ppm pada adonan yang dikombinasikan dengan perebusan akhir dengan tanin 0.25% dilakukan pada penelitian pendahuluan untuk mengetahui adanya kemungkinan sinergi antara kedua bahan tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan uji keawetan ternyata bakso dengan 400 ppm dan direbus dengan tanin 0.25% belum menunjukkan terbentuknya lendir pada hari pertama, tetapi pada hari kedua sampel ini telah kerusakan (berkapang dan bau yang menyimpang). Sampel dengan 450 dan 500 ppm Na-metabisulfit dan 0.25% tanin mampu mempertahankan keawetan bakso hingga 2 hari penyimpanan. Hal ini ditunjukkan oleh permukaan kedua sampel tersebut yang masih kering, aroma yang masih normal, dan tidak ada miselium kapang hingga hari kedua penyimpanan pada suhu ruang. Namun, pada hari ketiga baik sampel 450 ppm maupun 500 ppm yang direbus dengan tanin 0.25% telah ditumbuhi kapang, tetapi masih belum berlendir, hal ini mengindikasikan bahwa kedua pengawet ini lebih menghambat pertumbuhan bakteri dibandingkan dengan kapang. Formula pengawet ini akan diteliti lebih lanjut dalam penelitian utama karena kemampuannya mengawetkan bakso hingga mendekati target 2 hari penyimpanan di suhu ruang. Asam laktat yang merupakan asam organik yang mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan mikroba pada karkas sapi muda (Doores, 1993) juga diuji dalam penelitian pendahuluan ini. Asam laktat diencerkan terlebih dahulu dari 90% menjadi 2% agar tidak menyebabkan perubahan rasa dan bau pada bakso. Hal ini berdasarkan pada Zeitoun dan Debevere (1990) yang hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perendaman kaki ayam dengan asam laktat 2% pada pH 2.3 dapat memperpanjang umur simpannya hingga 8 hari tanpa mempengaruhi kualitas sensori sampel. pH asam laktat 2% yang digunakan pada penelitian ini adalah 2.39.
31
Hasil pengamatan dari uji keawetan pada sampel dengan asam laktat ternyata tidak mencapai target yang diinginkan. Sampel dengan penambahan asam laktat telah menunjukkan terbentuknya lendir pada hari pertama seperti halnya kontrol. Hal ini dapat disebabkan oleh kapasitas penghambatan bakteri oleh asam ini terletak pada kemampuannya menurunkan pH sampai ke tingkat dimana bakteri tidak dapat tumbuh (pH < 2.5), sedangkan bakso sebagai produk emulsi memerlukan pH yang relatif tinggi (pH > 5.2) agar protein miosin yang berperan dalam pembentukan emulsi tidak mengalami kerusakan. Adanya pH yang cukup tinggi tersebut menyebabkan asam laktat tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada sampel. Industri pangan sering menggunakan bahan tambahan pangan yang merupakan campuran atau mix dari beberapa bahan tambahan pangan yang memiliki fungsi yang sama dan bersifat sinergis. FTO dan COG merupakan jenis mix pengawet yang digunakan dalam pengawetan produk olahan daging. Mix pengawet ini memiliki efek pengawetan yang maksimal bila digunakan dengan kombinasi penyimpanan suhu dingin. Namun, pada penelitian ini mix pengawet tersebut digunakan pada sampel yang disimpan pada suhu ruang. Dosis maksimal FTO yang boleh ditambahkan dalam produk adalah 0.2%, sedangkan COG 0.5%. Pada tahap penelitian pendahuluan konsentrasi FTO dan COG yang digunakan adalah masing-masing 0.05%, 0.1%, dan 0.2% serta 0.3%, 0.4%, dan 0.5%. Berdasarkan hasil pengamatan uji keawetan, diketahui bahwa hanya dosis maksimum yang dapat memperpanjang umur simpan bakso pada suhu ruang selama 1 hari. Sedangkan konsentrasi dibawah maksimum telah mengalami kerusakan berupa terbentuknya lendir dan adanya bau basi seperti pada kontrol pada hari pertama. Kedua dosis maksimum mix pengawet tersebut diteliti lebih lanjut pada penelitian utama untuk mengetahui kemampuan
penghambatan
mikrobanya
dan
pengaruhnya
terhadap
karakteristik fisik sampel. Kitosan merupakan jenis alternatif pengawet yang berasal dari bahan alami yang telah mengalami beberapa proses pengolahan. Kitosan yang ditujukan sebagai pengawet dalam penelitian ini digunakan sebagai pelapis
32
(coating) dan penambahan pada adonan. Konsentrasi kitosan yang digunakan adalah 2% dan 5% yang dilarutkan dalam asam laktat 2%. Hasil pengamatan pada uji keawetan menunjukkan bahwa penambahan kitosan pada adonan sebanyak 5% dari bobot daging yang digunakan dalam pembuatan adonan dapat menambah umur simpan bakso hingga 1 hari pada suhu ruang, sedangkan pada kontrol dan sampel dengan kitosan 2% tidak menunjukkan perbedaan yaitu telah timbul lendir pada permukaan bakso di hari pertama. Metode coating pada bakso dengan kitosan 2 dan 5% memperpanjang umur simpan bakso hingga hari kedua penyimpanan pada suhu ruang. Namun, coating dengan menggunakan kitosan 5% dapat mengubah rasa dari bakso walaupun telah direbus kembali, sedangkan perubahan rasa bakso akibat coating dengan kitosan 2% dapat dihilangkan dengan perebusan kembali selama 10 menit. Metode pengawetan dengan penambahan kitosan 5% pada adonan dan coating dengan kitosan 2% diteliti lebih lanjut pada penelitian utama. Secara keseluruhan, umur simpan bakso dengan beberapa bahan pengawet pada penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Tabel 5. Perlakuan yang diteliti lebih lanjut dalam penelitian utama adalah perlakuan dengan Na-metabisulfit 450 ppm yang dikombinasikan dengan penambahan tanin 0.25% pada perebusan akhir, FTO 0.2%, COG 0.5%, kitosan pada adonan 5% dan kitosan coating 2%. Perlakuan dengan tanin 1% tidak dilanjutkan karena jumlah tanin yang digunakan melebihi batas FDA yang mengatur residu tanin yang diperbolehkan dalam jus maupun anggur merah (red wine) adalah tidak lebih dari 3.0 g/L dihitung setara dengan asam galat.
33
Tabel 5. Hasil pengamatan umur simpan bakso dengan beberapa bahan pengawet
Jenis Pengawet Kontrol A1= Daun Jambu Tua 2% A2= Daun Jambu Muda 2% A3= Daun Jambu Kering 2% . Tanin 0.5% B1= B2= Tanin 1% C1= Na-metabisulfit 400 ppm C2= Na-metabisulfit 450 ppm C3= Na-metabisulfit 500 ppm D1= Na-metabisulfit 400 ppm+tanin 0.25% D2= Na-metabisulfit 450 ppm+tanin 0.25% D3= Na-metabisulfit 500 ppm+tanin 0.25% E1= Asam laktat 1% E2= Asam laktat 2% F1= FTO 0.05% F2= FTO 0.1% F3= FTO 0.2% G1= COG 0.3% G2= COG 0.4% G3= COG 0.5% H1= Kitosan Adonan 2% H2= Kitosan Adonan 5% I1= Kitosan Coating 2% I2= Kitosan Coating 5%
Umur Simpan Bakso (Hari) 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 2 2 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 2 2
B. PENELITIAN UTAMA
1. Pengaruh Bahan Pengawet Terhadap pH pH merupakan tingkat konsentrasi ion H+ yang ada pada sampel yang diukur. Ion H+ tersebut dapat berasal dari disosiasi komponen asam dalam sampel tersebut, semakin banyak ion H+ yang terdisosiasi, maka nilai pH akan semakin rendah. Nilai pH juga menentukan sifat dan karakteristik suatu bahan atau produk pangan. Sifat fungsional beberapa komponen yang penting dalam proses pengolahan pangan sangat tergantung pada pH dari sistem pangan tersebut. Protein merupakan salah
34
satu komponen yang sensitif terhadap pH lingkungannya. Protein sebagai salah satu penyusun daging memiliki karakteristik
yang sangat
dipengaruhi oleh pH daging. Protein pada daging memiliki peranan yang penting dalam proses pengolahan lanjut dari daging seperti produk bakso atau sosis. Kemampuan daging dalam mengikat air dan kontinyuitas emulsi daging merupakan peranan protein yang signifikan pada produk tersebut. Produk emulsi daging memerlukan bahan baku daging yang memiliki nilai pH yang tinggi. Hal ini disebabkan pada pH tinggi (pH > 5.5) protein daging akan lebih mudah larut sehingga proses ekstraksinya dengan garam akan lebih maksimal (Sheard, 2002). Semakin tinggi protein miosin yang terekstrak maka produk yang dihasilkan akan memiliki WHC yang baik sehingga cooking loss semakin rendah. Selain itu menurut Sheard (2002), protein miosin pada daging memiliki daya adhesi yang baik dibandingkan dengan aktomiosin dan protein sarkoplasma sehingga semakin banyak protein miosin pada produk emulsi maka tekstur produk akhir akan semakin baik. Pengamatan pH dari kontrol pada hari ke-0 menunjukkan nilai yang mendekati pH netral yaitu 6.11. Beberapa perlakuan dengan bahan pengawet juga menunjukkan nilai pH dengan kisaran 6 pada hari ke-0, yaitu FTO 6.10, COG 6.23, Na2S2O5 dan tanin 6.19, dan kitosan pada adonan 6.34. Nilai pH awal yang cukup tinggi pada sampel FTO, COG, Na2S2O5 dan tanin serta kitosan di adonan ini menunjukkan bahwa mekanisme penghambatan mikroba oleh pengawet-pengawet tersebut bukan dengan cara menurunkan pH dari lingkungannya. Pengamatan pH pada hari ke-0 menunjukkan perbedaan yang nyata dari sampel yang dicoating dengan kitosan 2% dengan kontrol dan sampel-sampel lain. Nilai pH dari sampel dengan coating kitosan tersebut adalah 4.88. Nilai pH yang rendah ini disebabkan oleh larutan kitosan yang digunakan pada pelapisan bakso mempunyai pH 2.95. Kitosan yang digunakan pada penelitian ini bersifat larut asam sehingga diperlukan asam laktat 2% sebagai media pelarutnya, hal ini disebabkan oleh adanya gugus
35
amino bebas pada kitosan sehingga sifat kelarutannya spesifik pada larutan asam dan tidak larut pada pH netral (Alamsyah, 2006). Namun, rendahnya pH bakso ini tidak menyebabkan terganggunya sifat fungsional dari protein karena nilai pH tersebut dapat disebabkan oleh ikut terukurnya lapisan coating yang asam, sedangkan bagian dalam bakso sebenarnya memiliki kisaran nilai pH yang mendekati netral. Pengukuran pH pada hari pertama penyimpanan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada sampel FTO dan kitosan coating dengan sampel-sampel lain dan kontrol. Nilai pH FTO pada hari pertama mengalami penurunan menjadi 6.06, sedangkan pada sampel dengan kitosan coating menunjukkan kenaikan pH menjadi 4.99. Pengamatan pH pada kontrol menunjukkan kenaikan, sehingga pH bakso kontrol adalah 6.34. Adanya kenaikan pH ini diikuti oleh munculnya tanda-tanda kerusakan pada kontrol yaitu telah munculnya lendir di permukaan bakso. Lendir tersebut dibentuk oleh bakteri yang tumbuh pada bakso. Menurut Jay et al. (2005), terdapat beberapa jenis bakteri yang pada aktivitas awalnya menaikkan pH dari substratnya, yaitu Enterobacter aerogenes dan Clostridium acetobutylicum, sehingga terdapat kemungkinan bahwa bakteri tersebut yang menyebabkan kenaikan pH dari kontrol dan beberapa sampel. Nilai pH pada hari pertama sampel bakso dengan COG 6.26, Na2S2O5 dan tanin 6.21, sedangkan sampel dengan penambahan kitosan di adonan mengalami sedikit penurunan menjadi 6.32. Hasil pengukuran pH hasil rata-rata dua ulangan dapat dilihat pada Gambar 1.
36
Gambar 1. Grafik hasil pengukuran pH sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang
Hasil pengamatan nilai pH pada kontrol, sampel dengan FTO dan COG selama hari kedua dan ketiga menunjukkan adanya kecenderungan penurunan pH. Selain mengalami penurunan pH, sampel FTO dan COG juga telah mengalami tanda-tanda awal kerusakan berupa terbentuknya lendir di permukaan bakso dan adanya bau basi pada kontrol dan kedua sampel tersebut. Menurut Frazier dan Westhoff (1988), bau basi dan pengasaman dapat disebabkan oleh adanya proteolisis dan putrefaksi yang disebabkan oleh bakteri anaerob (stinking sour fermentation). Penurunan pH dan terbentuknya bau basi ini menunjukkan bahwa aktivitas mikroba fakultatif anaerob dan anaerob pada kontrol dan sampel cukup tinggi karena pengasaman ini adalah kerusakan akibat pertumbuhan bakteribakteri tersebut pada bagian dalam bakso.
37
Sampel bakso dengan penambahan Na-metabisulfit dan tanin menunjukkan nilai pH yang menurun pada hari kedua penyimpanan lalu pada hari ketiga menunjukkan kenaikan. Adanya penurunan pH ini dapat disebabkan oleh adanya disosiasi sulfit yang berkontribusi terhadap peningkatan ion H+ dalam sampel. Reaksi yang terjadi menurut Winarno dan Laksmi (1974), adalah sebagai berikut : SO2 + H2
H2SO3
H2SO3
HSO3- + H+
HSO3-
SO32- + H+
Adanya ion bebas H+ hasil disosiasi sulfit tersebut menunjukkan bahwa pada bakso yang mempunyai kisaran pH netral sulfit mudah terdisosiasi sehingga aktivitas antimikrobanya berkurang. Menurut Winarno dan Laksmi (1974), garam-garam sulfit dalam air akan membentuk asam sulfit yang jumlahnya dipengaruhi oleh pH, semakin rendah pH lingkungannya maka akan semakin efektif kinerja dari asam-asam sulfit tersebut dalam menghambat mikroba. Hal ini disebabkan oleh pada kondisi yang tidak terdisosiasi penetrasi asam sulfit ke dalam membran sel mikroba akan lebih efektif. Pengukuran nilai pH pada hari ke-2 menunjukkan perbedaan nyata antara sampel kitosan pada adonan dan kitosan secara coating dan kontrol serta FTO dengan sampel-sampel yang lain. Pengukuran pH pada sampel dengan kitosan adonan dan coating menunjukkan adanya kenaikan pH pada hari kedua. Sedangkan di hari ketiga, pengukuran pH sampel dengan kitosan coating dan kontrol tidak menunjukkan perbedaan. Kenaikan pH yang terjadi di hari ketiga penyimpanan beberapa sampel ini dapat disebabkan oleh aktivitas bakteri yang mampu meningkatkan pH substratnya. Menurut Jay et al. (2005), ketika bakteri berada di lingkungan yang asam, untuk terus bertahan hidup dalam lingkungan tersebut maka bakteri harus mampu mengeluarkan kelebihan ion H+ dari dalam sel dengan laju yang sama dengan laju masuknya. Komponen asam amino dekarboksilase pada mikroba merupakan komponen yang berperan dalam menyesuaikan pH lingkungan mendekati
38
netral dengan cara menghasilkan amina dari proses dekarboksilasi komponen asam amino pada substrat (Jay et al.,2005).
2. Pengaruh Bahan Pengawet Terhadap Tekstur
a). Daya Iris Daya iris menunjukkan besarnya gaya maksimum yang diperlukan untuk memotong sampel yang diukur. Daya iris berbanding lurus dengan kekerasan, yaitu semakin besar gaya yang diperlukan untuk mendeformasi maka sampel tersebut juga memiliki kekerasan yang semakin tinggi. Grafik hasil pengukuran daya iris secara rata-rata dua ulangan yang dilakukan pada sampel selama tiga hari penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Grafik hasil pengukuran daya iris sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang
39
Berdasarkan hasil pengamatan secara obyektif, pada hari ke-0, terlihat perbedaan daya iris yang cukup signifikan dari sampel dengan penambahan kitosan di adonan dengan beberapa sampel dan kontrol. Daya iris dari sampel dengan kitosan pada adonan adalah sebesar 1636.93 gf, sedangkan pada kontrol, FTO, COG, sulfit dan tanin, serta kitosan coating daya irisnya tidak terlalu jauh berbeda, yaitu dalam kisaran 1379 hingga 1460 gf. Hasil pengukuran daya iris pada kontrol, sampel dengan FTO, COG, sulfit dan tanin, serta kitosan coating menunjukkan bahwa penambahan bahan-bahan pengawet tersebut tidak mempengaruhi daya iris bakso, kecuali pada kitosan yang ditambahkan di adonan. Kekerasan pada bakso lebih dipengaruhi oleh jumlah dan jenis tepung yang ditambahkan, pada umumnya tepung yang digunakan untuk pembuatan bakso adalah sagu aren atau tapioka. Semakin banyak tepung yang ditambahkan pada adonan bakso, maka kekerasan bakso akan cenderung meningkat. Jumlah tepung yang ditambahkan pada formula untuk seluruh sampel adalah sama, yaitu sebanyak 50% dari berat daging dengan jenis tepung sagu aren dan tapioka (1:1). Struktur pati yang terdiri dari sejumlah besar gugus hidroksil menyebabkan pati mampu menyerap air dengan jumlah cukup banyak (Winarno, 2002). Perbedaan daya iris antara sampel dengan penambahan kitosan dalam adonan sebanyak 5% dari daging dengan kontrol dan beberapa sampel lain menunjukkan adanya pengaruh dari komponen kitosan tersebut. Kitosan merupakan polisakarida yang bermuatan positif (polikationik). Kitosan memiliki bentuk kristal rombik dengan struktur silang antar bentuk alfa, beta dan gamma, membentuk matriks yang memiliki kemampuan absorpsi yang kuat (Suptijah, 2006). Daya iris yang lebih tinggi pada sampel ini dapat disebabkan oleh adanya kemampuan kitosan membentuk gel seperti halnya pati sehingga terbentuk struktur yang lebih padat pada sampel tersebut. Selama penyimpanan pada suhu ruang, semua sampel dan kontrol mengalami penurunan daya iris. Penurunan daya iris ini dapat disebabkan
40
oleh adanya aktivitas mikroba pada sampel yang semakin tinggi tiap harinya. Mikroba memperoleh nutrisi dengan cara mendegradasi komponen-komponen organik seperti protein dan karbohidrat dari substratnya. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan sifat fungsional dari komponen organik yang terdegradasi tersebut sehingga mempengaruhi karakteristik fisik produk dan menyebabkan penurunan mutu produk tersebut. Pelunakan tekstur bakso ini diikuti oleh adanya pembentukan lendir di permukaan bakso yang semakin banyak. Semakin banyak lendir yang terbentuk, maka jumlah mikroba pada sampel semakin banyak sedangkan pelunakan tekstur bakso selalu diiringi oleh pembentukan lendir, sehingga dapat dikatakan bahwa aktivitas mikroba merupakan faktor yang berkontribusi pada penurunan daya iris bakso.
b). Kekenyalan Kekenyalan merupakan perbandingan terbalik antara gaya reaksi (reaction force) maksimum sampel bila diberikan tekanan (stress) tertentu pada jarak regangan (strain) tertentu dengan gaya reaksi (reaction force) sampel setelah tekanan (stress) ditahan pada jarak regangan (strain) yang sama dan melewati waktu tertentu. Kekenyalan juga dapat diartikan sebagai kemampuan suatu sampel untuk mempertahankan bentuknya ketika diberi suatu gaya. Gambar 3 menunjukkan hasil pengamatan kekenyalan pada bakso selama penyimpanan. Berdasarkan grafik hasil pengamatan tersebut dapat dilihat bahwa selama penyimpanan tiga hari di suhu ruang cenderung terjadi penurunan kekenyalan. Secara obyektif, sampel dengan penambahan kitosan pada adonan menunjukkan perbedaan nyata dengan sampel lain dan kontrol yang nilai kekenyalannya sebesar 68.13%, sedangkan kekenyalan antar sampel (selain kitosan di adonan) pada H-0 tidak terlalu jauh berbeda dengan kontrol pada kedua ulangan. Kekenyalan kontrol pada H-0 ini adalah 66.33%.
41
Gambar 3. Grafik hasil pengukuran kekenyalan sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang
Menurut Varnam dan Sutherland (1995), dalam produk daging hasil penghancuran dan pembentukan kembali (comminuted and reformed meat products) interaksi yang sangat menentukan kualitas dari produk tersebut adalah protein-protein, protein-air (pengikatan) dan protein-lemak. Kekenyalan merupakan salah satu parameter mutu fisik dari bakso yang dapat digolongkan sebagai produk daging hasil penghancuran dan pembentukan kembali. Golongan produk ini dapat diilustrasikan sebagai bagian-bagian daging yang terikat dalam sebuah matriks yang dibentuk oleh protein yang terlarut (Sheard, 2002). Seperti halnya daya iris dan kekerasan, kekenyalan juga dipengaruhi oleh STPP, jumlah protein yang terekstrak dan kemampuan pengikatan air dan pembentukan gel oleh protein maupun bahan lain seperti pati atau serat pangan. Selama penyimpanan, protein maupun pati yang berfungsi
42
mengikat bagian-bagian daging dan bahan-bahan lain serta air dapat terdegradasi oleh mikroba. Hal ini yang menyebabkan terjadinya penurunan kekenyalan pada sampel yang disimpan pada suhu ruang. Penurunan kekenyalan dan daya iris pada bakso selama H-1 hingga H-3 dapat dihubungkan dengan keawetan bakso. Pada kontrol yang tidak terdapat bahan pengawet, persentase penurunan kekenyalan terhadap nilai awalnya cukup besar pada hari kedua dan ketiga, hal ini disebabkan oleh pertumbuhan mikroba yang sama sekali tidak terhambat. Sampel dengan penambahan FTO , COG, dan kitosan pada adonan juga mengalami penurunan yang cukup signifikan pada hari kedua dan ketiga, sehingga dapat dikatakan bahwa pengawet-pengawet tersebut tidak efektif dalam penghambatan pertumbuhan mikroba setelah hari pertama. Sedangkan sampel dengan penambahan sulfit pada adonan dan tanin pada perebusan akhir serta pelapisan kitosan pada bakso menunjukkan persentase penurunan kekenyalan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan kontrol dan sampel lain.
c). Uji Kesukaan Terhadap Tekstur Tekstur pada bakso dipengaruhi oleh jumlah daging dan tepung serta jumlah tepung yang ditambahkan dalam adonan. Tekstur bakso yang menentukan kesukaan konsumen adalah kekenyalan dan keempukan (Surjana, 2001). Menurut survey Andayani (1999), tekstur merupakan atribut yang menentukan penerimaan konsumen yang berada pada urutan ketiga dari lima jenis atribut. Hasil uji hedonik unsur tekstur terhadap kontrol dan sampel dapat dilihat pada Gambar 4.
43
5.17
5.43
5.33
kontrol
fto
cog
6.00
5.33
5.27
khitosan adonan
khitosan coating
4.97
Skor Kesukaan
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 sulfit+tanin
Jenis Pengaw et
Gambar 4. Grafik nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap tekstur bakso Berdasarkan
grafik
tersebut
terlihat
bahwa
sampel
dengan
penambahan FTO memiliki rata-rata nilai kesukaan terhadap unsur tekstur yang tertinggi dibandingkan dengan sampel lain dan kontrol. Sedangkan sampel dengan penambahan sulfit dan tanin memiliki nilai yang terendah. Namun, hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kesukaan terhadap unsur tekstur antar sampel dan kontrol. Berdasarkan
pengujian
secara subyektif, dapat
dikatakan
bahwa
penambahan bahan pengawet tidak menyebabkan perubahan tekstur bakso. Pengujian secara subyektif ini dilakukan pada bakso yang baru matang (H-0) menunjukkan tidak adanya perbedaan antar sampel dan kontrol. Namun, hasil pengukuran daya iris dan kekenyalan secara obyektif
menunjukkan
adanya
perbedaan
antara
sampel
dengan
penambahan kitosan 5% pada adonan dengan sampel-sampel lain dan kontrol. Perbedaan hasil uji obyektif dengan subyektif ini dapat disebabkan oleh adanya keterbatasan indera manusia dalam mendeteksi perbedaan tekstur sampel yang terukur oleh texture analyzer. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa perbedaan antara sampel kitosan dalam adonan dengan sampel lain dan kontrol pada H-0 yang terukur secara obyektif, tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur bakso.
44
3. Pengaruh Bahan Pengawet Terhadap Warna
a). Nilai L Warna adalah salah satu parameter fisik yang menentukan penerimaan suatu produk oleh konsumen. Warna juga merupakan komponen fisik yang pertama kali berinteraksi dengan konsumen, ketika produk tersebut dipasarkan. Soekarto (1990), menjelaskan bahwa warna merupakan sifat produk yang dapat dipandang sebagai sifat fisik yang obyektif dan sifat organoleptik yang subyektif. Sehingga warna dapat diukur secara obyektif dengan instrumen fisik seperti chromameter, tintometer, whiteness meter, maupun diukur secara subyektif dengan uji organoleptik yang menggunakan manusia sebagai subyek penilai warna sampel. Pengukuran warna sampel secara obyektif pada penelitian ini menggunakan instrumen chromameter Minolta tipe CR 200 dengan sistem notasi Hunter yang mempunyai 3 parameter dalam mengukur warna sampel. Parameter tersebut adalah nilai L, a, dan b. L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam pada sampel dengan kisaran nilai 0 sampai 100 (putih). Semakin tinggi nilai L, maka semakin tinggi tingkat kecerahan sampel tersebut. Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai +100 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna biru. Grafik perubahan nilai L sampel dengan dua ulangan selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 5.
45
Gambar 5. Grafik hasil pengukuran kecerahan sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang
Kecerahan (nilai L) menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam (Soekarto, 1990). Hasil pengukuran terhadap kecerahan bakso pada hari ke-0 menunjukkan perbedaan nyata dari kontrol dengan sampel-sampel lainnya. Pengukuran nilai L pada kontrol di hari ke-0 menunjukkan nilai kecerahan sebesar 40.32. Nilai ini menunjukkan bahwa kontrol memiliki warna abu-abu gelap, selain itu nilai ini juga merupakan nilai kecerahan yang paling tinggi dibandingkan dengan kecerahan sampel-sampel lain. Rendahnya kecerahan
dari
kontrol
maupun
sampel
disebabkan
oleh
tidak
ditambahkannya bahan pemutih dalam pembuatan bakso ini. Bahan pemutih yang ditambahkan pada proses pembuatan bakso umumnya
46
adalah TiO2 (titanium dioksida) dengan konsentrasi 0.5-1% dari berat adonan (Yovita, 2000). Warna abu-abu gelap pada bakso ini dapat disebabkan oleh adanya penambahan tepung aren yang mempunyai warna putih keabu-abuan, sehingga berkontribusi terhadap warna produk akhir. Selain itu, reaksi Maillard antara gula pereduksi dari tepung seperti glukosa dengan gugus amina primer yang biasanya terdapat pada bahan awal sebagai asam amino (Winarno, 2002). Sampel dengan penambahan Na2S2O5 pada adonan dan tanin pada perebusan akhir memiliki nilai L pada H-0 yang lebih rendah dari kontrol yaitu 32.28 begitu juga dengan FTO yang salah satu penyusunnya adalah sulfit dengan nilai kecerahan 34.35. Sulfit yang merupakan bahan yang dapat mencegah pencoklatan enzimatis maupun non-enzimatis ternyata tidak memberikan pengaruh terhadap kecerahan bakso. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya proses pemanasan pada perebusan bakso sehingga sulfit mengalami penguapan. Lewis (1989), menyatakan bahwa umumnya sulfit tidak digunakan pada produk yang akan dikonsumsi secara langsung (fresh) hal ini dimaksudkan agar residu sulfit dalam produk berkurang akibat pemasakan. Menurut Winarno dan Laksmi (1974), sulfit mudah mengalami penguapan setelah pendidihan sehingga residu dalam bahan umumnya mencapai setengah dari konsentrasi awal yang ditambahkan. Penambahan tanin pada perebusan akhir juga menyebabkan warna akhir sampel bakso menjadi lebih pucat dibandingkan dengan kontrol maupun sampel yang lain. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya warna tanin yang cenderung kuning-coklat sehingga bakso menjadi lebih pucat sebagai akibat dari ekspresi warna dari tanin tersebut. Sampel dengan penambahan COG juga mempunyai tingkat kecerahan yang rendah yaitu 32.60. Hal ini disebabkan oleh adanya asam askorbat sebagai salah satu komponen penyusun mix pengawet ini. Vitamin C (asam askorbat) merupakan senyawa reduktor dan juga dapat bertindak sebagai precursor pembentukan warna gelap nonenzimatik (Winarno, 2002). Menurut Winarno (2002), jika asam-asam askorbat berada dalam keseimbangan
47
dengan asam dehidroaskorbat, maka cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversible dengan membentuk senyawa diketogulonat dan kemudian berlangsunglah reaksi Maillard dan proses pencoklatan. Penambahan kitosan pada adonan bakso ternyata juga menyebabkan nilai kecerahan yang rendah yaitu 31.74, sedangkan metode pelapisan pada bakso menyebabkan nilai kecerahan sampel lebih tinggi dibandingkan dengan sampel lain tetapi masih di bawah kontrol yaitu sebesar 34.69. Adanya lapisan kitosan yang terbentuk di permukaan bakso dapat menyebabkan
nilai
kecerahan
sampel
yang
relatif
lebih
tinggi
dibandingkan sampel lain. Selama penyimpanan terjadi penurunan nilai kecerahan pada semua sampel. Namun, pada beberapa sampel terjadi peningkatan kecerahan seperti sampel dengan sulfit dan tanin, COG, dan kitosan coating. Peningkatan kecerahan ini dapat disebabkan oleh adanya miselium kapang yang berwarna putih yang terbentuk pada hari ketiga penyimpanan. Sehingga pada pengukuran, miselium ini terukur sebagai bagian dari sampel sehingga nilai kecerahan sampel naik.
b). Nilai Derajat Hue Parameter warna lain yang juga diukur adalah nilai a yang menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dan notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning. Hasil pengukuran nilai a dan b ini dapat diolah lebih lanjut untuk menghasilkan nilai oHue, yaitu suatu nilai yang menunjukkan kecenderungan warna sampel. Hasil pengukuran nilai oHue pada sampel selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 6.
48
Gambar 6. Grafik hasil pengukuran nilai oHue sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang Berdasarkan pengamatan nilai oHue tersebut, keseluruhan sampel dan juga kontrol memiliki unsur warna merah. Suatu produk dikatakan memiliki kecenderungan warna merah jika kisaran nilai oHue produk tersebut 18 o -54o. Nilai oHue pada sampel FTO, COG, kitosan adonan dan coating serta kontrol berada pada kisaran 24.12o – 52.09o, sehingga dapat dikatakan
bahwa
sampel-sampel
tersebut
dan
kontrol
memiliki
kecenderungan warna kromatik merah dan warna akromatik abu-abu gelap yang dinyatakan dalam nilai L. Selama penyimpanan terdapat perubahan nilai oHue untuk semua perlakuan dan kontrol, tetapi perubahan tersebut masih berada pada kisaran warna merah. Sampel dengan penambahan sulfit dan tanin memiliki nilai oHue yang lebih rendah dibandingkan dengan sampel-sampel yang lain dan kontrol, dengan kisaran nilai oHue 8.53o-17.66o. Rendahnya nilai oHue
49
sampel ini dapat disebabkan oleh adanya tanin yang membentuk warna yang cenderung kecoklatan pucat pada permukaan bakso, sehingga warna kromatis merah dari komponen daging, tertutup oleh ekspresi warna tanin tersebut. Selama penyimpanan, terlihat adanya kenaikan oHue pada sampel ini. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya degradasi komponen protein yang berinteraksi dengan tanin oleh mikroba, sehingga ekspresi warna coklat pucat dari tanin berkurang dan kecenderungan warna merah dari sampel menjadi lebih dominan.
c). Uji Kesukaan Terhadap Warna Warna produk merupakan unsur yang pertama kali berinteraksi dengan indera konsumen. Karena itulah warna memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan tingkat penerimaan konsumen. Hasil uji hedonik unsur warna terhadap kontrol dan sampel dapat dilihat pada Gambar 7.
Skor Kesukaan
6.00
5.10
5.13
5.00
4.87
4.93
4.73
khitosan adonan
khitosan coating
3.40
4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 kontrol
fto
cog
sulfit+tanin
Jenis Pe ngaw et
Gambar 7. Grafik nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap warna bakso
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan terhadap data hasil uji hedonik unsur warna, diperoleh bahwa terdapat perbedaan kesukaan panelis terhadap unsur ini diantara sampel. Berdasarkan hasil uji lanjut tersebut diketahui bahwa sampel bakso dengan penambahan sulfit di adonan dan perebusan dengan tanin berbeda dengan kontrol dan semua sampel yang lain. Nilai rata-rata sampel ini berada pada kisaran 3.40 yang berarti agak
50
tidak suka. Hal ini disebabkan oleh adanya warna pucat pada bakso akibat perebusan dengan tanin yang berinteraksi dengan protein dan karbohidrat pada bakso dan memunculkan warna tanin yang pucat dan cenderung coklat. Sedangkan selama ini persepsi konsumen tentang warna bakso adalah abu-abu cerah, sehingga adanya perbedaan antara persepsi tersebut dengan warna sampel dengan sulfit dan tanin menyebabkan panelis cenderung agak tidak suka pada sampel ini. Sampel dengan penambahan COG, FTO, kitosan di adonan dan coating tidak menunjukkan perbedaan dengan kontrol. Berdasarkan hasil uji lanjut tersebut dapat dikatakan bahwa penambahan bahan pengawet tersebut tidak menyebabkan perubahan warna dan tidak berpengaruh terhadap kesukaan panelis terhadap warna bakso. Pengujian secara subyektif terhadap warna bakso yang baru matang (H-0) menunjukkan adanya perbedaan kesukaan panelis terhadap warna bakso yang menggunakan sulfit dan tanin, dimana panelis cenderung agak tidak suka pada warna sampel ini. Perbedaan warna dari sampel sulfit dan tanin juga terlihat pada pengukuran warna secara obyektif, yang menunjukkan rendahnya nilai oHue sampel ini dibandingkan dengan sampel-sampel lain dan kontrol. Persamaan hasil uji obyektif dan subyektif terhadap warna kromatis ini dapat disebabkan oleh besarnya perubahan
warna
akibat
ekspresi
warna
dari
tanin,
sehingga
mempengaruhi kesukaan panelis secara subyektif yang juga terukur perbedaannya secara obyektif.
4. Pengaruh Bahan Pengawet Terhadap Umur Simpan Bakso
a). Pengamatan Visual Pengamatan bakso secara visual tetap menjadi acuan dalam menentukan umur simpan bakso. Parameter utama yang mempengaruhi penilaian uji keawetan bakso adalah penampakan dan bau. Sampel yang telah terdeteksi adanya lendir, miselium kapang, dan bau basi dianggap tidak layak lagi untuk dikonsumsi sehingga nilai uji keawetannya nol.
51
Berikut ini adalah hasil uji keawetan sampel yang diamati pada penelitian utama di hari penyimpanan pertama dan kedua.
Tabel 6. Hasil pengamatan uji keawetan bakso penelitian utama pada hari pertama Perlakuan
Penampakan Tekstur
Rasa
Aroma Warna
Kontrol
1
1
0
0
2
FTO 0.2%
1
1
0
0
2
COG 0.5%
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
Kitosan Adonan 5%
2
2
2
2
2
Kitosan Coating 2%
2
2
2
2
2
Na-metabisulfit
450
ppm
+
tanin0.25%
Tabel 7. Hasil pengamatan uji keawetan bakso penelitian utama pada hari kedua Perlakuan
Penampakan Tekstur
Rasa
Aroma Warna
Kontrol
0
0
0
0
0
FTO 0.2%
0
0
0
0
0
COG 0.5%
0
0
0
0
0
2
2
2
2
2
Kitosan Adonan 5%
0
0
0
0
0
Kitosan Coating 2%
2
2
2
2
2
Na-metabisulfit
450
ppm
+
tanin0.25%
Hasil pengamatan uji keawetan pada semua sampel pada hari ke-0 secara umum menunjukkan bahwa semua parameter yang diamati (penampakan, rasa, warna, bau, dan tekstur) memiliki nilai 2. Hal ini disebabkan oleh bakso tersebut baru matang sehingga semua atributnya normal. Pengamatan pada hari pertama terhadap keawetan bakso,
52
menunjukkan bahwa pada sampel dengan penambahan FTO 0.2% dan kontrol telah mengalami kerusakan berupa terbentuknya lendir pada permukaan bakso dan adanya bau basi, sedangkan pada sampel-sampel lain belum terdeteksi adanya kerusakan. Pengamatan pada hari kedua menunjukkan bahwa hanya sampel dengan penambahan Na-metabisulfit 450 ppm dan sulfit 0.25% serta kitosan 2% sebagai coating yang masih belum mengalami kerusakan, sedangkan pada sampel-sampel yang lain telah terbentuk lendir dan bau basi. Seluruh sampel telah mengalami kerusakan pada hari ketiga, yang ditunjukkan oleh bau basi yang sangat menyengat, tekstur yang lembek, dan adanya pembentukan lendir pada kontrol, sampel dengan FTO, COG, dan kitosan pada adonan, serta adanya miselium kapang yang berwarna putih pada sampel dengan penambahan Na-metabisulfit 450 ppm dan sulfit 0.25% serta kitosan 2% sebagai coating.
b). Analisis Total Mikroba SNI 01-3818-1995 mencantumkan salah satu standar berupa jumlah total mikroba untuk produk bakso maksimal sebesar 1.0 X 105 koloni/gram atau sebesar 5 log cfu/g. Sebagai produk dengan kadar air, pH, dan aw yang tinggi, bakso yang tidak menggunakan pengawet dan disimpan pada suhu ruang akan memiliki umur simpan yang sangat pendek, yaitu maksimum 1 hari. Hasil pengamatan total mikroba pada kontrol dan sampel selama tiga hari penyimpanan terdapat pada Gambar 8. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, pada hari ke-0, semua sampel dan kontrol mempunyai beban mikroba pada kisaran 4 log cfu/g. Jumlah awal mikroba pada bakso yang cukup rendah ini disebabkan oleh adanya perebusan dalam proses pembuatan bakso, sehingga mikroba pembusuk yang tidak tahan panas mati. Namun, pemanasan pada proses perebusan tidak menjamin bahwa seluruh mikroba telah mati, beberapa spesies bakteri Gram positif yang relatif lebih tahan terhadap perlakuan fisik kemungkinan masih terdapat dalam sampel (Fardiaz, 1992). Contoh
53
bakteri tersebut adalah Staphylococcus, Leuconostoc, Micrococcus, dan Streptococcus.
Jumlah Mikroba (Log CFU/gram)
9.00 8.00
C
7.00
B
6.00 5.00
A
4.00 3.00 H-0
H-1 H-2 Lama Penyimpanan
H-3
Kontrol FTO 0.2% Na-metabisulfit 450 ppm+Tanin 0.25% COG 0.5% Khitosan Adonan 5% Khitosan Coating 2%
Keterangan : A = Syarat jumlah mikroba maksimal pada bakso (SNI 013818-1995) B = Jumlah mikroba dimana mulai terdeteksi lendir pada produk olahan daging (Frazier dan Westhoff, 1988) C = Jumlah mikroba dimana mulai terdeteksi bau basi pada produk olahan daging dan tidak aman dikonsumsi (Frazier dan Westhoff, 1988) Gambar 8. Grafik hasil analisis total mikroba rata-rata dari dua ulangan sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang
Hasil pengamatan hari pertama penyimpanan menunjukkan jumlah mikroba pada kontrol telah meningkat drastis menjadi 7.48 cfu/gram, nilai ini hampir sama dengan sampel dengan penambahan FTO yang beban mikrobanya mencapai 7.32 cfu/gram. Pada hari pertama ini juga telah
54
terbentuk lendir pada kontrol dan sampel dengan FTO. Lendir merupakan salah satu indikasi adanya mikroba dalam sampel, lendir ini dapat berfungsi sebagai komponen yang berperan dalam adhesi sel pada permukaan benda padat (Fardiaz, 1992). Lendir dibentuk oleh bakteri pembentuk kapsul yang jika tumbuh pada medium akan membentuk koloni yang bersifat mukoid, tetapi jika tumbuh pada makanan akan membentuk lendir (Fardiaz, 1992). Hasil tersebut memperlihatkan bahwa pengawet FTO tidak efektif untuk digunakan dalam pengawetan bakso pada suhu ruang. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya bahan-bahan penyusun mix pengawet ini merupakan bahan yang mempunyai aktivitas yang maksimal untuk menghambat pertumbuhan mikroba jika kondisi lingkungannya memiliki pH yang rendah. Sedangkan pH pada bakso berada dalam kisaran pH netral yang sangat mendukung perkembangan mikroba, khususnya bakteri. Sampel dengan penambahan COG, sulfit dan tanin, kitosan pada adonan, dan kitosan coating masih belum menunjukkan adanya lendir maupun bau yang menyimpang pada hari pertama penyimpanan. Jumlah mikroba pada sampel-sampel tersebut adalah sebesar 5.85, 5.27, 5.20, dan 4.90 log cfu/gram. Jumlah mikroba pada sampel COG, sulfit dan tanin, serta kitosan yang ditambahkan pada adonan telah melebihi standar yang ditetapkan dalam SNI yaitu 5 log cfu/g, tetapi pada sampel ini belum ditemui adanya tanda-tanda kerusakan mikrobiologis. Menurut Frazier dan Westhoff (1988), pada produk olahan daging lendir mulai terdeteksi ketika jumlah mikroba per satuan luas permukaannya adalah 107 hingga 108/cm2, sedangkan bau asam terdeteksi pada 1-1.3x108/cm2. Pengamatan pada hari kedua dan ketiga penyimpanan menunjukkan bahwa jumlah mikroba pada kontrol, FTO, COG, dan kitosan di adonan telah mencapai 7 hingga 8 log cfu/gram. Lendir dan bau basi telah terbentuk pada sampel-sampel ini. Jumlah mikroba kontrol pada hari kedua dan ketiga penyimpanan adalah 8.13 dan 8.32 log cfu/gram, FTO 8.04 dan 8.31 log cfu/gram, COG 7.44 dan 8.23 log cfu/gram, sampel dengan penambahan kitosan di adonan 7.02 dan 7.29 cfu/gram. Sampel
55
dengan penambahan kitosan di adonan sebesar 5% dari berat daging ternyata telah mengalami kerusakan pada hari kedua dan jumlah mikrobanya juga sangat tinggi (7.02 log cfu/gram). Aktivitas kitosan sebagai pengawet berkaitan erat dengan sifatnya sebagai polikationik yang dapat berikatan dengan muatan negatif dari membran sel bakteri melalui interaksi elektrostatik, sehingga mempengaruhi permeabilitas membran sel dan menyebabkan kebocoran sel (Chen et al. dalam Meidina, 2005). Namun, di dalam adonan bakso yang merupakan sistem pangan yang heterogen dapat mempengaruhi efektivitas kitosan sebagai pengawet. Adanya komponen STPP (fosfat) yang berfungsi dalam meningkatkan efektifitas ekstraksi protein dan meningkatkan WHC mempunyai muatan yang
negatif
ketika
terdisosiasi
dalam
adonan.
Hal
ini
dapat
mengakibatkan terikatnya kitosan oleh fosfat sehingga jumlah kitosan bebas yang terdapat dalam bakso yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan mikroba tidak cukup untuk melakukan aktivitasnya dengan maksimal. Pengamatan pada sampel dengan sulfit dan tanin serta kitosan dengan metode coating di hari kedua masih belum terlihat adanya lendir maupun bau basi. Sampel ini pada hari kedua memiliki jumlah mikroba sebesar 6.55 dan 5.77 log cfu/gram.. Namun, pada hari ketiga telah terbentuk miselium kapang pada kedua sampel ini walaupun belum terbentuk lendir pada permukaan bakso. Jumlah mikroba pada sampel dengan sulfit dan tanin serta kitosan dengan metode coating adalah sebesar 7.53 dan 7.20 log cfu/gram. Metode pelapisan pada bakso ini terlihat lebih efektif dalam pengawetan dibandingkan dengan penambahan pengawet dalam adonan bakso. Hal ini disebabkan oleh sumber kontaminasi mikroba paling besar adalah berasal dari udara atau kontak antara bahan pengemas maupun manusia dengan permukaan bakso. Adanya lapisan yang mempunyai aktivitas antimikroba dapat mencegah pertumbuhan mikroba kontaminan tersebut.
56
Kitosan yang memiliki gugus amin yang reaktif, adanya sifat polikationik dan kemampuannya membentuk gel membuat kitosan ini lebih sesuai digunakan sebagai pelapis (coating). Mekanisme kitosan sebagai coating dalam menghambat pertumbuhan mikroba ini juga tidak terganggu oleh adanya STPP dalam bakso, karena kitosan hanya terbentuk di bagian luar bakso. Menurut Chung et al. yang dikutip oleh Meidina (2005), bakteri gram negatif yang permukaan selnya memiliki muatan negatif dan komponen peptidoglikannya lebih tipis dibandingkan dengan gram positif mempunyai kecenderungan lebih sensitif terhadap kitosan. Menurut Frazier dan Westhoff (1988), kerusakan pada daging secara aerobik umumnya berupa terbentuknya lendir pada permukaan yang disebabkan oleh Pseudomonas, Alcaligenes, Streptococcus, Leuconostoc, Bacillus, Micrococcus dan beberapa spesies dari Lactobacillus. Beberapa bakteri utama pembentuk lendir tersebut merupakan bakteri gram negatif, sehingga kitosan secara coating lebih sesuai digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri tersebut.
c). Analisis Total Kapang-Khamir Kapang dan khamir umumnya memiliki ketahanan untuk tumbuh pada lingkungan yang lebih ekstrim dibandingkan dengan bakteri. Namun, pada kondisi yang ideal seperti pH substrat yang netral, kadar air yang tinggi, dan adanya nutrisi yang ideal, kapang dan khamir pertumbuhannya justru cenderung lebih lambat dibandingkan dengan bakteri karena kalah dalam
kompetisi
pertumbuhan.
Menurut
Fardiaz
(1992),
suhu
pertumbuhan optimum bagi pertumbuhan kapang dan khamir adalah 2530oC. Sehingga bahan pangan yang disimpan pada kisaran suhu ini, selain rentan terhadap kerusakan akibat bakteri, juga rentan terhadap kapang dan khamir. Menurut Frazier dan Westhoff (1988), pada kondisi aerob khamir dapat tumbuh pada permukaan daging dan menyebabkan lendir, lipolisis, penyimpangan bau dan rasa, serta perubahan warna. Selain itu, pertumbuhan kapang juga dapat menyebabkan permukaan daging menjadi
57
lengket, adanya spot hitam akibat pertumbuhan Cladosporium herbarum, spot putih yang dibentuk oleh Sporotrichum carnis dan Geotrichum (Frazier dan Westhoff, 1988). Gambar 9 menunjukkan hasil pengamatan
Jumlah Kapang-Khamir (Log CFU/gram)
jumlah kapang dan khamir selama penyimpanan pada sampel dan kontrol. 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 H-0
H-1
H-2
Lama Penyimpanan (Hari)
H-3
Kontrol FTO 0.2% Na-metabisulfit 450 ppm+Tanin 0.25% COG 0.5% Khitosan Adonan 5% Khitosan Coating 2%
Gambar 9. Grafik hasil analisis kapang-khamir rata-rata dari dua ulangan sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang
Hari ke-0 pada semua sampel dan kontrol belum terlihat adanya pertumbuhan dari kapang dan khamir. Tahap ini juga merupakan tahap lag phase bagi pertumbuhan kapang dan khamir. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan kapang dan khamir yang lebih lambat dibandingkan dengan bakteri dan juga adanya proses perebusan pada bakso sehingga tidak terdapat kapang ataupun khamir yang tumbuh pada bakso di hari ke-0. Pengamatan jumlah kapang-khamir pada kontrol di hari ke-1 menunjukkan bahwa telah terdapat total kapang dan khamir sebanyak 4.34 log cfu/gram. Sedangkan pada sampel dengan FTO, COG, dan sulfit dan tanin masing-masing memiliki beban total kapang dan khamir sebanyak
58
3.60, 3.53, 3.43 log cfu/gram. Sampel dengan kitosan pada adonan dan coating juga telah ditumbuhi kapang-khamir yang jumlahnya 3.28 dan 2.72 log cfu/gram. Sampel dengan FTO dan COG pada penyimpanan hari kedua dan ketiga juga telah mempunyai beban total kapang dan khamir sebesar 5.18 dan 6.18 serta 5.43 dan 6.27 log cfu/gram. Secara kualitatif, pertumbuhan kapang pada kontrol dan sampel dengan FTO dan COG dapat diketahui dari terbentuknya miselium kapang yang berwarna putih pada hari kedua penyimpanan. Kapang yang memiliki ciri pembentukan spot putih adalah Sporotrichum carnis dan Geotrichum (Frazier dan Westhoff, 1988). Selain itu, menurut Jay et al. (2005), kapang yang paling sering ditemui pada kerusakan daging adalah Aspergillus, dan Penicillium, sedangkan khamir adalah Debaryomyces. Sampel dengan penambahan sulfit dan tanin belum menunjukkan adanya pembentukan miselium kapang pada hari kedua penyimpanan, seperti halnya sampel dengan penambahan kitosan pada adonan dan juga coating. Ketiga sampel ini baru menunjukkan adanya miselium kapang pada hari ketiga penyimpanan. Jumlah total kapang dan khamir pada sampel-sampel tersebut pada hari ketiga sebesar 6.19, 6.28, dan 6.08 log cfu/gram. Pesatnya pertumbuhan kapang dan khamir ini disebabkan oleh telah beradaptasinya mikroba tersebut dengan kondisi substrat sehingga dapat bersaing dengan bakteri yang juga terdapat pada substrat yang sama. Berdasarkan analisis keawetan secara visual, bakso dengan penambahan COG dan kitosan 5% pada adonan masih memiliki atribut rasa dan aroma yang dapat diterima serta belum terbentuk lendir pada permukaannya, walaupun telah melebihi batas total mikroba SNI bakso sejumlah 5 log cfu/gram (5.85 dan 5.20 log cfu/gram). Menurut Frazier dan Westhoff (1988), pada produk olahan daging lendir mulai terdeteksi ketika jumlah mikroba per satuan luas permukaannya adalah pada kisaran 7 hingga 8 log cfu/cm2, sedangkan bau asam terdeteksi pada 8 log cfu/cm2. Hal ini diperkuat dengan telah terbentuknya lendir pada kontrol dan sampel dengan FTO pada hari pertama dengan jumlah mikroba total 7.48
59
dan 7.32 log cfu/gram, sehingga telah tidak layak dikonsumsi dan nilai uji keawetannya nol. Analisis total mikroba pada hari kedua menunjukkan bahwa sampel dengan penambahan sulfit dan tanin serta kitosan sebagai coating memiliki kandungan total mikrobanya sebesar 6.55 dan 5.77 log cfu/gram, tetapi berdasarkan uji keawetan sampel-sampel tersebut masih memiliki penampakan yang baik dan masih layak dikonsumsi. Namun, pada hari ketiga, seluruh sampel telah mengalami kerusakan dan tidak layak lagi untuk dikonsumsi.
5. Pengaruh Bahan Pengawet Terhadap Organoleptik
Uji organoleptik digunakan untuk mengetahui pengaruh dari bahan pengawet yang digunakan dalam penelitian utama terhadap berbagai unsur sensori bakso. Bahan pengawet yang ideal memiliki kriteria sifat yang stabil pada proses pengolahan dan tidak mempengaruhi unsur sensori dari bahan yang diawetkan. Jenis uji organoleptik yang populer digunakan adalah uji pembedaan dan uji penerimaan. Uji penerimaan merupakan uji yang digunakan dalam penelitian ini dengan jenis uji hedonik yang menggunakan skala angka untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis.
a. Rasa Rasa merupakan unsur yang penting dalam menentukan penerimaan konsumen terhadap suatu produk pangan. Produk bakso mempunyai tiga komponen rasa yang berpengaruh terhadap tingkat penerimaan konsumen, yaitu rasa asin, gurih, dan rasa daging. Rasa asin merupakan rasa yang timbul dari penambahan garam yang juga berfungsi dalam ekstraksi protein dari daging. Sedangkan rasa gurih berasal dari asam amino tertentu dari daging yang diperkuat oleh penambahan bahan penyedap (MSG). Hasil uji hedonik atribut rasa terhadap kontrol dan sampel dapat dilihat pada Gambar 10.
60
7.00 Skor Kesukaan
6.00
5.37
5.23
kontrol
fto
5.70
5.00
4.83
4.83
4.90
s ulfit+tanin
khitosan adonan
khitosan coating
4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 cog
Jenis Pengawet
Gambar 10.Grafik nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap rasa bakso
Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa skor kesukaan tertinggi terdapat pada sampel dengan COG. Hal ini dimungkinkan oleh adanya bahan antikempal, yaitu SiO2 pada mix pengawet COG yang dapat berpengaruh terhadap tekstur sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi penilaian panelis terhadap rasa bakso. Flavor suatu produk sebenarnya merupakan gabungan dari beberapa parameter sensori seperti tekstur, aroma, maupun warna dari produk tersebut, sehingga parameter-parameter tersebut dapat mempengaruhi penilaian panelis terhadap rasa bakso. Berdasarkan hasil uji Duncan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kesukaan panelis terhadap atribut rasa antar sampel. Sampel dengan penambahan COG memiliki persamaan tingkat kesukaan panelis dengan kontrol dan FTO, tetapi berbeda dengan sampel yang ditambahkan kitosan dalam adonan dan coating serta sulfit dan tanin. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya pelarut asam laktat yang digunakan untuk melarutkan kitosan yang dapat mempengaruhi rasa bakso dan adanya rasa yang tawar dari sampel dengan tanin. Sampel dengan penambahan kitosan sebagai coating jika langsung dikonsumsi akan menghasilkan rasa asam karena larutan kitosan yang digunakan dalam penelitian ini dilarutkan dalam asam laktat 2%. Namun, setelah direbus dalam air hangat 70-80oC selama 10 menit, rasa bakso menjadi netral kembali.
61
b. Aroma Aroma dari produk bakso didefinisikan sebagai aroma khas daging rebus. Berdasarkan hasil survey Andayani (1999), aroma bakso menempati urutan kedua sifat mutu yang menentukan pilihan konsumen terhadap bakso sapi setelah rasa. Hasil uji hedonik unsur aroma terhadap kontrol dan sampel dapat dilihat pada Gambar 11. 7.00 Skor Kesukaan
6.00
5.77
5.13
5.07
kontrol
fto
5.00
4.67
4.83
4.80
sulfit+tanin
khitosan adonan
khitosan coating
4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 cog
Jenis Pengaw et
Gambar 11. Grafik nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap aroma bakso Berdasarkan grafik tersebut terlihat bahwa sampel dengan penambahan COG memiliki rata-rata nilai kesukaan terhadap unsur aroma yang tertinggi dibandingkan dengan sampel lain dan kontrol, sedangkan sampel dengan penambahan sulfit dan tanin memiliki nilai yang terendah. Hasil dari uji Duncan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara sampel COG dengan kontrol dan sampel-sampel lainnya. Berdasarkan hasil ini, terlihat bahwa penambahan COG meningkatkan kesukaan panelis terhadap aroma bakso. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya komponen antioksidan pada mix pengawet ini, sehingga dapat mempertahankan komponen-komponen volatil yang menentukan aroma bakso dari kerusakan oksidatif.
62
c. Penilaian Umum Kesukaan panelis terhadap suatu sampel secara keseluruhan (penilaian umum) dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang subyektif dan berbeda antar panelis. Hal inilah yang menyebabkan adanya perbedaan antar sampel dengan kriteria penilaian secara keseluruhan. Hasil analisis ANOVA menunjukkan nilai signifikansi sampel yang lebih kecil dari 0.05, yaitu sebesar 0.001. Nilai rata-rata hasil uji hedonik terhadap sampel secara keseluruhan terdapat pada Gambar 12. 7.00 Skor Kesukaan
6.00
5.33
5.40
5.60 4.47
5.00
4.87
5.00
khitosan adonan
khitosan coating
4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 kontrol
fto
cog
sulfit+tanin
Jenis Pe ngaw et
Gambar 12. Grafik nilai rata-rata kesukaan panelis secara keseluruhan terhadap bakso
Berdasarkan uji lanjut Duncan terlihat bahwa sampel dengan sulfit dan tanin memiliki kesamaan dengan sampel yang ditambahkan kitosan pada adonan dalam hal kesukaan panelis secara keseluruhan. Namun, sampel dengan sulfit dan tanin tersebut berbeda dengan kontrol dan sampel dengan pelapisan kitosan. Sampel dengan penambahan FTO memiliki kesamaan dengan kontrol dan sampel dengan coating kitosan namun berbeda dengan sampel yang ditambahkan kitosan pada adonan dan sampel dengan penambahan sulfit dan tanin. Sampel COG memiliki kesamaan dengan kontrol dan sampel FTO namun berbeda dengan sampel yang dicoating dengan
63
kitosan, sampel dengan penambahan sulfit dan tanin, dan sampel dengan penambahan kitosan di adonan.
6. Kajian Ekonomi
Bahan pengawet atau sistem pengawetan pangan yang ideal adalah yang dapat memperpanjang umur simpan produk tanpa mengubah unsurunsur sensori dengan kontribusi terhadap biaya produksi yang tidak terlalu tinggi. Kajian ekonomi sederhana yang dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui tambahan biaya akibat penggunaan bahan pengawet terhadap raw material cost bakso. Asumsi yang digunakan dalam kajian ekonomi sederhana ini adalah kurs dolar terhadap rupiah yaitu 1 USD senilai Rp. 9.345,00 berdasarkan harian berita Kompas tanggal 11 Agustus 2007. Asumsi ini digunakan karena mix pengawet yang digunakan dalam penelitian ini (FTO dan COG) diperdagangkan dengan mata uang USD. Kajian ekonomi ini dihitung dengan basis produksi 1 kg adonan bakso yang formulasinya mengacu pada formula yang digunakan dalam penelitian ini. Harga bahan pengawet dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Harga bahan pengawet yang digunakan pada penelitian utama Jenis Pengawet
Harga/kg
FTO
8.5 USD = Rp. 79.433,00
COG
8.5 USD = Rp. 79.433,00
Kitosan
Rp.
310.000,00
Na-metabisulfit
Rp.
20.000,00
Asam laktat (teknis) Rp. Asam tanat (PA)
60.000,00 (per liter)
Rp. 2.489.800,00
Berdasarkan hasil analisis ekonomi yang dapat dilihat pada lampiran 16 dan 17, ternyata penambahan bahan pengawet sangat mempengaruhi biaya bahan baku bakso. Tabel 9 menunjukkan perbandingan biaya bahan
64
baku untuk 1 kg adonan bakso tanpa pengawet dengan adonan yang menggunakan pengawet.
Tabel 9. Perbandingan biaya bahan baku 1 kg adonan bakso dengan berbagai pengawet Jenis Pengawet
Biaya Bahan Baku/ 1 kg adonan
Persentase kenaikan biaya
Tanpa Pengawet
Rp. 34.706,00
-
FTO
Rp. 34.812,00
0.31%
COG
Rp. 34.971,00
0.76%
Sulfit dan Tanin
Rp. 96.957,00
179.36%
Kitosan Adonan
Rp. 35.265,00
1.61%
Kitosan coating
Rp. 39.741,00
14.51%
Penambahan pengawet COG dan kitosan dalam adonan yang hanya dapat memperpanjang umur simpan bakso selama 1 hari berkontribusi terhadap kenaikan biaya bahan baku yang cukup rendah. Rendahnya kontribusi COG terhadap biaya bahan baku bakso dengan daya awet yang sama dengan kitosan dalam adonan membuat pengawet ini dapat lebih dipilih untuk digunakan secara komersil. FTO yang tidak dapat memperpanjang keawetan bakso hingga 1 hari memiliki kontribusi kenaikan biaya bahan baku yang terendah, tetapi tidak dapat diterapkan untuk penyimpanan bakso di suhu ruang. Pengawet yang dapat memperpanjang keawetan bakso hingga 2 hari yaitu sulfit dan tanin, justru tidak menguntungkan secara ekonomi karena tambahan biaya yang sangat tinggi dan mencapai 3 kali lipat biaya bahan dasar. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya asam tanat yang merupakan bahan kimia yang memiliki tingkat kemurnian yang tinggi, sehingga lebih mahal dan lebih umum digunakan dalam analisis kimia, seperti analisis kadar tanin suatu bahan pangan. Pengawet lain yang juga dapat memperpanjang umur simpan bakso hingga 2 hari yaitu kitosan dengan metode coating mempunyai kontribusi kenaikan biaya bahan baku yang
65
lebih rendah dibandingkan dengan sulfit dan tanin, yaitu sebesar 14.51%. Namun, metode coating ini ternyata lebih mahal dibandingkan dengan metode penambahan kitosan dalam adonan, hal ini disebabkan oleh jumlah larutan kitosan yang digunakan untuk melapisi bakso jauh lebih banyak dibandingkan dengan metode adonan. Berdasarkan analisis ekonomi sederhana ini, terlihat bahwa penggunaan kitosan dengan metode coating masing kurang sesuai untuk digunakan secara komersial, karena daya awet yang cukup baik (2 hari di suhu ruang), tetapi memberikan biaya tambahan terhadap bahan baku yang masih terlalu tinggi.
66
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Hasil uji keawetan terhadap bakso menunjukkan bahwa kontrol telah mengalami pembentukan lendir pada hari pertama, sampel dengan penambahan COG 0.5% dan FTO 0.2%, serta kitosan pada adonan sebanyak 5% dapat memperpanjang umur simpan bakso hingga 1 hari. Sampel dengan penambahan natrium metabisulfit sebanyak 450 ppm pada adonan yang dikombinasikan dengan perebusan akhir dengan asam tanat 0.25% mempunyai umur simpan hingga 2 hari. Metode pelapisan bakso dengan menggunakan larutan kitosan 2% juga mampu memperpanjang umur simpan bakso hingga 2 hari. Nilai pH terendah pada ke-0 dimiliki oleh bakso yang dilapisi dengan larutan kitosan, yaitu 4.88. Parameter pH kontrol, FTO, dan COG selama penyimpanan mengalami penurunan. Pengukuran daya iris dan kekenyalan menunjukkan adanya nilai yang tertinggi pada hari ke-0 yang dimiliki oleh sampel dengan penambahan kitosan 5% pada adonan sebesar 1636.93 gf serta 68.13%. Selama penyimpanan, terjadi penurunan daya iris dan kekenyalan pada semua sampel dan kontrol. Pengukuran warna pada hari ke-0 menunjukkan nilai kecerahan yang tertinggi pada kontrol sebesar 40.32. Selama penyimpanan tiga hari, terdapat variasi kecenderungan perubahan tingkat kecerahan dan nilai oHue pada tiap sampel dan kontrol. Hasil analisis TPC pada hari ke-0 menujukkan bahwa pada kontrol terdapat total bakteri sebesar 4.50 log cfu/g, FTO 4.48 log cfu/g, sulfit dan tanin 4.44 log cfu/g, COG 4.53 log cfu/g, kitosan adonan 4.44 log cfu/g, dan kitosan coating 4.20 log cfu/g. Jumlah total bakteri pada seluruh sampel dan kontrol telah melebihi batas SNI (5 log cfu/g) pada hari kedua yaitu pada kontrol sebesar 8.13 log cfu/g, FTO 8.04 log cfu/g, COG 7.44 log cfu/g, sampel dengan penambahan kitosan di adonan 7.02 log cfu/g, sampel dengan sulfit dan tanin 6.55 log cfu/g serta sampel yang dicoating dengan kitosan 5.77 log cfu/g. Jumlah kapang dan khamir pada sampel baru dapat diukur pada hari pertama penyimpanan yaitu sebesar 4.34 log cfu/g pada kontrol, FTO, COG,
67
dan sulfit dan tanin masing-masing memiliki beban total kapang dan khamir sebanyak 3.60, 3.53, 3.43 log cfu/gram. Sampel dengan kitosan pada adonan dan coating juga telah ditumbuhi kapang-khamir yang jumlahnya 3.28 dan 2.72 log cfu/gram. Jumlah kapang dan khamir pada kontrol di hari ketiga sebanyak 6.76 log cfu/g, sampel dengan FTO 6.18 log cfu/g, COG 6.27 log cfu/g. Sampel dengan penambahan sulfit dan tanin 6.19 log cfu/g, sampel dengan penambahan kitosan pada adonan 6.28 log cfu/g, sampel dengan kitosan coating 6.08 log cfu/g. Hasil uji hedonik pada sampel menunjukkan bahwa perbedaan kesukaan panelis antar sampel terdapat pada parameter aroma, warna, rasa, dan unsur sensori secara keseluruhan. Secara umum sampel dengan penambahan COG memiliki rata-rata skor kesukaan yang tertinggi pada parameter-parameter sensori bakso. Penggunaan kitosan sebagai pelapis pada bakso memberikan kontribusi kenaikan biaya bahan baku untuk 1 kg adonan sebesar 14.51% dengan daya awet yang cukup baik, yaitu selama 2 hari di suhu ruang, sehingga merupakan alternatif pengawet yang masih kurang sesuai untuk digunakan secara komersial. Secara teknis, tujuan penelitian ini telah tercapai yaitu adanya kitosan dengan metode coating dan natrium metabisulfit dan tanin yang mampu memperpanjang umur simpan bakso hingga 2 kali lipat dari kontrol menjadi 2 hari.
B. Saran Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode pelapisan bakso dengan larutan kitosan 2% dapat mengawetkan bakso hingga 2 hari pada suhu ruang. Penelitian lanjut yang dapat dilakukan adalah 1. Peningkatan kemampuan lapisan kitosan dalam mencegah pertumbuhan mikroba dengan penambahan minyak esensial, seperti minyak esensial dari bawang putih, ataupun dari bahan rempah-rempah yang lain 2. Penggunaan berat adonan bakso sebagai basis dari persentase bahan pengawet yang ditambahkan 3. Penggunaan beberapa metode aplikasi asam laktat terhadap bakso, seperti penyemprotan atau perendaman
68
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Jangan Remehkan Jambu Biji. htpp://www.suaramerdeka.com. [27 November 2006] AOAC. 1986. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists, 14th ed. AOAC Inc., Virginia. Alamsyah, R. 2006. Pengembangan Proses Produksi Kitosan Larut Air. Prosiding Seminar Nasional Kitin-Kitosan. Departemen Teknologi Hasil Perairan. FPIK IPB, Bogor. Andayani, R.Y. !999. Standarisasi Bakso Sapi Berdasarkan Kesukaan Konsumen (Studi Kasus Bakso di Wilayah DKI Jakarta). Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Ariningsih, K. 2005. Penambahan Bahan Sumber Tanin yang Berbeda dalam Perebusan Telur Asin terhadap Kualitas Mikrobiologi Selama Penyimpanan. Skripsi. Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Banwart, G. J. 1989. Basic Food Microbiology 2nd edition. Van Nostrand Reinhold, New York. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wootton. 1985. Ilmu Pangan. Terjemahan : H. Purnomo dan Adiono. UI Press, Jakarta. Davidson, M.P. dan A. L. Branen. 1993. Antimicrobials in Foods. Marcel Dekker Inc., New York. Davidson, M.P. dan V. K. Juneja. 1990. Lactic acid. Di dalam : Brannen, A. L., M. P. Davidson, S. Salminen (Ed). Antimicrobial Agents in Food Additives. Marcel Dekker Inc., New York. Dores, S. 1993. Organic acids. Di dalam : Davidson, M. P. dan A. L. Brannen (Ed). Antimicrobials in Foods 2nd Edition. Marcel Dekker Inc., New York. Elviera, G. 1988. Pengaruh Sodium Tripoliphosphate terhadap Rendemen dan Mutu Bakso Daging Sapi yang Dilayukan. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Fardiaz, S. 1992. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. IPB Press, Bogor. ________. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Frazier, W. C. Dan D. C. Westhoff. 1988. Food Microbiology. Mc. Graw Hill Inc., New York. Furia, T.E. 1972. Handbook of Food Additives. CRC Press, Florida.
69
Hardjito, L. 2006. Aplikasi Kitosan Sebagai Bahan Tambahan Makanan dan Pengawet. Prosiding Seminar Nasional Kitin-Kitosan. Departemen Teknologi Hasil Perairan. FPIK IPB, Bogor. Harjanto, S. 2000. Pengembangan Metode Pengawetan Bakso Daging Sapi pada Penyimpanan Suhu Kamar. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Hart H. 1983. Kimia Organik. Suminar Achmadi (penerjemah). Erlangga, Jakarta. Hirano, S. 1996. Chitin biotechnology applications. Biotechnology Annual Rev., 2: 237-258. Jay, J. M., Martin J. L., dan David A. G. 2005. Modern Food Microbiology 7th Edition. Springer Science and Business Media Inc., New York. Lawrie, R. 1988. Development in Meat Science 4. Elseiver Science Publisher, Ltd., New York. Meidina. 2005. Aktivitas Antibakteri Oligomer Kitosan Hasil Degradasi Oleh Kitosanase Bacillus licheniformis MB-2. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1989. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Rust, R. E. 1987. Sausage Products. Di dalam : The Science of Meat and Meat Products 3rd Edition. J. F. Prince dan B. S. Schweigert (Eds.). Food and Nutrition Press Inc., Westport, Connecticut. Sendih. 1998. Pengaruh Pemberian Bakso yang Mengandung Boraks terhadap Keadaan Fisiologik dan Morfologik Tikus Percobaan (Rattus norvegicus). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Shahidi, F., Arachchi JKV, Jeon YJ. 1999. Food Applications of Chitin and Chitosans. Trends Food Sci Technol 10:37-51. Shahidi, F dan M. Naczk. 1995. Food Phenolics. Technomic Publishing Co. Inc, Basel. Sheard, P. 2002. Processing and Quality Control of Restructured Meat Products. Di dalam : Meat Processing. J. Kerry, J. Kerry, dan D. Ledward (Eds.). CRC Press, Florida. Sidik, H. 1990. Mempelajari Penggunaan Tepung Sagu (Metroxylon sp.) dalam Pembuatan Bakso Goreng dari Daging Ikan Cucut. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Sinaga, L.W. 1988. Kandungan Kimia dan Mikrobiologi Bakso Hasil Pengamatan Pasar di Kotamadya Bogor. Skripsi. Fateta IPB, Bogor.
70
SNI 01-3818. 1995. Bakso Daging. Dewan Standarisasi Nasional. Soekarto, S. T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. IPB, Bogor. Suptijah. P. 2006. Deskripsi Karakteristik Fungsional dan Aplikasi Kitin Kitosan. Prosiding Seminar Nasional Kitin-Kitosan. Departemen Teknologi Hasil Perairan. FPIK IPB, Bogor. Surjana, W. 2001. Pengawetan Bakso Daging Sapi dengan Bahan Aditif Kimia pada Penyimpanan Suhu Kamar. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Sunarlim, R. 1992. Karakteristik Mutu Bakso Daging Sapi dan Pengaruh Penambahan Natrium Klorida dan Natrium Tripolipospat terhadap Perbaikan Mutu. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syamadi, R. K. 2002. Aplikasi Penggunaan H2O2 dan Iradiasi dalam Pengawetan Bakso Sapi pada Penyimpanan Suhu Kamar. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Varnam, A. H. dan J. Sutherland. 1995. Meat and Meat Products. Chapman and Hall, London. Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F.G. dan B.S. Laksmi. 1974. Dasar Pengawetan, Sanitasi, dan Keracunan. Departemen Teknologi Hasil Pertanian. Fatemeta IPB, Bogor. Widowati. 1997. Pengaruh Pemberian Tahu yang Mengandung Formalin terhadap Kondisi Fisiologis dan Morfologis Tikus (Ratus norvegicus). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Yovita, I. 2000. Pengaruh Penambahan Berbagai Bahan Antimikroba Terhadap Daya Awet Bakso Sapi pada Penyimpanan Suhu Kamar. Skripsi. Fateta IPB, Bogor.
71
Lampiran 1. Diagram Proses Pembuatan Bakso Daging
Trimming dan pencucian
Penghancuran daging
Garam 3%
Pencampuran dan penggilingan
Sagu:Tapioka (1:1)
Es 20%
MSG Lada Bawang putih
Pembentukan
Perebusan 60oC, 10 menit
Perebusan 80oC, 10 menit
Bakso
Penyimpanan pada suhu kamar
72
Lampiran 2. Rekapitulasi Data Pengamatan pH Bakso (Rata-rata 2 ulangan) Perlakuan Kontrol 1 Kontrol 2 Kontrol STDEV FTO 0.2% 1 FTO 0.2% 2 FTO 0.2% STDEV COG 0.5% 1 COG 0.5% 2 COG 0.5% STDEV Na-Metabisulfit 450 ppm + tanin 0.25% 1 Na-Metabisulfit 450 ppm + tanin 0.25% 2 Na-Metabisulfit 450 ppm + tanin 0.25% STDEV Khitosan coating 2% 1 Khitosan coating 2% 2 Khitosan coating 2% STDEV Khitosan adonan 5% 1 Khitosan adonan 5% 2 Khitosan adonan 5% STDEV
H-0 H-1 H-2 H-3 6.05 6.33 5.18 5.16 6.18 6.35 5.22 5.11 6.11 6.34 5.20 5.13 0.09 0.02 0.03 0.03 6.07 6.09 5.89 5.85 6.13 6.04 5.84 5.81 6.10 6.06 5.86 5.83 0.04 0.04 0.03 0.03 6.21 6.23 6.26 6.19 6.25 6.30 6.36 6.19 6.23 6.26 6.31 6.19 0.03 0.05 0.07 0.00 6.20
6.21
6.21
6.42
6.18
6.20
6.12
6.23
6.19 0.01 4.81 4.94 4.88 0.09 6.35 6.32 6.34 0.02
6.21 0.01 4.92 5.06 4.99 0.10 6.35 6.30 6.32 0.03
6.16 0.06 4.97 5.04 5.00 0.05 6.61 6.63 6.62 0.01
6.32 0.14 4.85 5.31 5.08 0.33 6.65 6.63 6.64 0.01
73
Lampiran 3. Rekapitulasi Data Pengamatan Kekenyalan Bakso (Rata-rata 2 ulangan)
Perlakuan Kontrol 1 Kontrol 2 Kontrol STDEV FTO 0.2% 1 FTO 0.2% 2 FTO 0.2% STDEV COG 0.5% 1 COG 0.5% 2 COG 0.5% STDEV Na-Metabisulfit 450 ppm + tanin 0.25% 1 Na-Metabisulfit 450 ppm + tanin 0.25% 2 Na-Metabisulfit 450 ppm + tanin 0.25% STDEV Khitosan coating 2% 1 Khitosan coating 2% 2 Khitosan coating 2% STDEV Khitosan adonan 5% 1 Khitosan adonan 5% 2 Khitosan adonan 5% STDEV
H-0 H-1 H-2 H-3 66.11 64.95 62.80 58.87 66.55 65.74 62.74 61.03 66.33 65.34 62.77 59.95 0.31 0.56 0.04 1.52 64.99 63.89 62.87 61.15 65.41 64.01 62.69 60.02 65.20 63.95 62.78 60.58 0.29 0.08 0.13 0.80 67.08 65.91 65.28 64.11 66.86 64.79 64.02 63.30 66.97 65.35 64.65 63.71 0.16 0.79 0.89 0.57 66.64
65.98
65.48
64.84
66.15
65.14
64.76
63.38
66.39 0.35 65.02 66.15 65.58 0.80 68.68 67.58 68.13 0.78
65.56 0.59 65.35 65.81 65.58 0.33 66.86 66.26 66.56 0.42
65.12 0.51 64.49 65.02 64.75 0.38 65.69 64.29 64.99 0.99
64.11 1.03 64.83 63.92 64.37 0.64 65.00 63.85 64.42 0.81
74
Lampiran 4. Rekapitulasi Data Pengamatan Daya Iris Bakso (Rata-rata 2 ulangan)
Perlakuan Kontrol 1 Kontrol 2 Kontrol STDEV FTO 0.2% 1 FTO 0.2% 2 FTO 0.2% STDEV COG 0.5% 1 COG 0.5% 2 COG 0.5% STDEV Na-Metabisulfit 450 ppm + tanin 0.25% 1 Na-Metabisulfit 450 ppm + tanin 0.25% 2 Na-Metabisulfit 450 ppm + tanin 0.25% STDEV Khitosan coating 2% 1 Khitosan coating 2% 2 Khitosan coating 2% STDEV(%) Khitosan adonan 5% 1 Khitosan adonan 5% 2 Khitosan adonan 5% STDEV
H-0 1378.30 1380.00 1379.15 1.20 1414.20 1423.15 1418.68 6.33 1460.20 1474.25 1467.23 9.93
H-1 1353.90 1362.85 1358.38 6.33 1410.15 1420.25 1415.20 7.14 1430.20 1457.50 1443.85 19.30
H-2 1290.65 1332.40 1311.53 29.52 1422.65 1417.95 1420.30 3.32 1383.40 1441.15 1412.28 40.84
H-3 1279.60 1284.30 1281.95 3.32 1405.60 1412.85 1409.23 5.13 1326.80 1351.90 1339.35 17.75
1392.60 1414.00 1398.60 1389.40 1394.60 1391.20 1383.75 1375.45 1393.60 1.41 1424.75 1432.75 1428.75 5.66 1643.30 1630.55 1636.93 9.02
1402.60 16.12 1426.55 1424.25 1425.40 1.63 1618.75 1626.30 1622.53 5.34
1391.18 10.50 1334.40 1365.50 1349.95 21.99 1536.10 1553.45 1544.78 12.27
1382.43 9.86 1213.70 1322.25 1267.98 76.76 1373.60 1420.05 1396.83 32.85
75
Lampiran 5. Rekapitulasi Data Pengamatan Nilai L Bakso (Rata-rata 2 ulangan)
Perlakuan Kontrol 1 Kontrol 2 Kontrol STDEV FTO 0.2% 1 FTO 0.2% 2 FTO 0.2% STDEV COG 0.5% 1 COG 0.5% 2 COG 0.5% STDEV Na-Metabisulfit 450 ppm + tanin 0.25% 1 Na-Metabisulfit 450 ppm + tanin 0.25% 2 Na-Metabisulfit 450 ppm + tanin 0.25% STDEV Khitosan coating 2% 1 Khitosan coating 2% 2 Khitosan coating 2% STDEV Khitosan adonan 5% 1 Khitosan adonan 5% 2 Khitosan adonan 5% STDEV
H-0 H-1 H-2 H-3 41.41 33.08 33.84 36.04 39.23 34.11 34.76 36.00 40.32 33.59 34.30 36.02 1.54 0.72 0.65 0.03 34.17 30.70 32.38 33.86 34.53 35.50 34.82 35.26 34.35 33.10 33.60 34.56 0.25 3.39 1.72 0.99 32.67 31.12 34.14 33.55 32.54 32.12 35.97 35.81 32.60 31.62 35.05 34.68 0.09 0.70 1.30 1.60 32.44
30.63
32.58
31.56
32.12
31.58
33.04
31.16
32.28 0.23 33.84 35.54 34.69 1.20 31.57 31.92 31.74 0.24
31.10 0.68 35.17 35.09 35.13 0.06 32.19 32.94 32.56 0.53
32.81 0.33 34.86 35.29 35.07 0.31 30.83 33.52 32.17 1.91
31.36 0.28 36.69 35.69 36.19 0.70 30.29 33.55 31.92 2.31
76
Lampiran 6. Rekapitulasi Data Pengamatan Nilai a Bakso (Rata-rata 2 ulangan)
Perlakuan Kontrol 1 Kontrol 2 Kontrol STDEV FTO 0.2% 1 FTO 0.2% 2 FTO 0.2% STDEV COG 0.5% 1 COG 0.5% 2 COG 0.5% STDEV Na-Metabisulfit 450 ppm + tanin 0.25% 1 Na-Metabisulfit 450 ppm + tanin 0.25% 2 Na-Metabisulfit 450 ppm + tanin 0.25% STDEV Khitosan coating 2% 1 Khitosan coating 2% 2 Khitosan coating 2% STDEV Khitosan adonan 5% 1 Khitosan adonan 5% 2 Khitosan adonan 5% STDEV
H-0 H-1 H-2 H-3 6.77 6.57 5.83 5.62 6.64 6.40 6.25 6.14 6.71 6.49 6.04 5.88 0.09 0.12 0.30 0.37 8.98 8.69 8.23 7.71 7.72 7.41 6.93 6.43 8.35 8.05 7.58 7.07 0.89 0.91 0.92 0.91 3.07 3.04 3.11 3.06 2.84 3.21 3.00 2.91 2.95 3.12 3.05 2.98 0.16 0.12 0.07 0.10 3.88
3.45
4.00
4.00
3.75
4.12
3.98
3.80
3.81 0.09 2.90 3.04 2.97 0.10 3.09 3.13 3.11 0.03
3.78 0.47 3.35 3.24 3.29 0.08 3.10 3.26 3.18 0.11
3.99 0.01 3.26 3.47 3.37 0.15 3.15 3.32 3.24 0.12
3.90 0.14 3.26 3.34 3.30 0.06 3.19 3.38 3.29 0.13
77
Lampiran 7. Rekapitulasi Data Pengamatan Nilai b Bakso (Rata-rata 2 ulangan)
Perlakuan Kontrol 1 Kontrol 2 Kontrol STDEV FTO 0.2% 1 FTO 0.2% 2 FTO 0.2% STDEV COG 0.5% 1 COG 0.5% 2 COG 0.5% STDEV Na-Metabisulfit 450 ppm + tanin 0.25% 1 Na-Metabisulfit 450 ppm + tanin 0.25% 2 Na-Metabisulfit 450 ppm + tanin 0.25% STDEV Khitosan coating 2% 1 Khitosan coating 2% 2 Khitosan coating 2% STDEV Khitosan adonan 5% 1 Khitosan adonan 5% 2 Khitosan adonan 5% STDEV
H-0 3.25 3.15 3.20 0.07 4.06 3.43 3.74 0.45 2.98 2.86 2.92 0.08
H-1 3.71 3.72 3.71 0.00 4.30 3.68 3.99 0.44 2.85 3.24 3.04 0.28
H-2 3.57 3.28 3.42 0.21 3.59 3.20 3.39 0.28 3.97 3.88 3.92 0.06
H-3 3.40 3.01 3.20 0.27 2.29 2.94 2.61 0.46 3.72 3.75 3.73 0.02
0.69
0.60
0.73
0.98
0.74
0.54
0.82
1.51
0.71 0.03 2.76 2.84 2.80 0.06 2.18 2.21 2.19 0.02
0.57 0.04 4.00 3.94 3.97 0.05 2.85 3.01 2.93 0.11
0.77 0.06 3.82 4.10 3.96 0.20 3.29 3.24 3.27 0.04
1.24 0.37 3.97 4.20 4.09 0.16 3.35 3.35 3.35 0.00
Lampiran 8. Rekapitulasi Data Pengamatan Nilai oHue Bakso
Hari 0 1 2 3
Kontrol 25.50 29.79 29.55 28.57
FTO 0.2% 24.14 26.36 24.12 20.29
COG 0.5% 44.63 44.26 52.09 51.37
Na2S2O5 450 ppm + tanin 0.25% 10.59 8.53 10.93 17.66
Kitosan coating 2% 43.31 50.33 49.63 51.09
Kitosan Adonan 5% 35.20 42.63 45.26 45.56
78
Lampiran 9. Form Uji Organoleptik
UJI HEDONIK Nama : Jenis Sampel : Bakso matang segar
Tanggal : 13 Juli 2007
Instruksi : 1. Netralkanlah lidah Anda dengan air putih yang disediakan (sebelum memulai dan menilai antarsampel) 2. Cicipilah sampel berurutan dari kiri ke kanan dan beri penilaian dengan skala berikut : 1 : sangat tidak suka
4 : netral
2 : tidak suka
5 : agak suka
3 : agak tidak suka
6 : suka 7 : sangat suka
Jangan membandingkan antarsampel Atribut Warna Aroma Rasa Tekstur Overall
808
378
413
252
546
769
Komentar :
Terima kasih atas partisipasi Anda.
79
Lampiran 10. Hasil Uji Statistik Hedonik terhadap Warna
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 4061.900a 31.467 62.560 187.100 4249.000
df 35 29 4 145 180
Mean Square 116.054 1.085 15.640 1.290
F 89.941 .841 12.121
Sig. .000 .700 .000
a. R Squared = .956 (Adjusted R Squared = .945)
Post Hoc Tests SAMPEL Homogeneous Subsets SKOR Duncan
a,b
Subset SAMPEL tanin khitosan coating cog khitosan adonan kontrol fto Sig.
N
1 30 30 30 30 30 30
2 3.40
1.000
4.73 4.87 4.93 5.10 5.13 .232
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.290. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.
80
Lampiran 11. Hasil Uji Statistik Hedonik terhadap Aroma
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 4619.033a 15.367 4.533 180.967 4800.000
df 35 29 4 145 180
Mean Square 131.972 .530 1.133 1.248
F 105.743 .425 .908
Sig. .000 .996 .461
a. R Squared = .962 (Adjusted R Squared = .953)
Post Hoc Tests SAMPEL Homogeneous Subsets SKOR Duncan
a,b
Subset SAMPEL tanin khitosan coating khitosan adonan fto kontrol cog Sig.
N
1 30 30 30 30 30 30
2 4.67 4.80 4.83 5.07 5.13 .154
5.77 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.248. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.
81
Lampiran 12. Hasil Uji Statistik Hedonik terhadap Tekstur
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 5013.967a 48.667 3.800 177.033 5191.000
df 35 29 4 145 180
Mean Square 143.256 1.678 .950 1.221
F 117.335 1.375 .778
Sig. .000 .114 .541
a. R Squared = .966 (Adjusted R Squared = .958)
Post Hoc Tests SAMPEL Homogeneous Subsets SKOR Duncan
a,b
SAMPEL tanin kontrol khitosan coating khitosan adonan cog fto Sig.
N 30 30 30 30 30 30
Subset 1 4.97 5.17 5.27 5.33 5.33 5.43 .158
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.221. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.
82
Lampiran 13. Hasil Uji Statistik Hedonik terhadap Rasa
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 4796.633a 14.300 7.467 147.367 4944.000
df 35 29 4 145 180
Mean Square 137.047 .493 1.867 1.016
F 134.846 .485 1.837
Sig. .000 .988 .125
a. R Squared = .970 (Adjusted R Squared = .963)
Post Hoc Tests SAMPEL Homogeneous Subsets SKOR Duncan
a,b
Subset SAMPEL tanin khitosan adonan khitosan coating fto kontrol cog Sig.
N
1 30 30 30 30 30 30
2 4.83 4.83 4.90 5.23 5.37 .069
5.23 5.37 5.70 .092
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.016. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.
83
Lampiran 14. Hasil Uji Statistik Hedonik terhadap Atribut Keseluruhan
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 4739.200a 11.200 17.173 126.800 4866.000
df 35 29 4 145 180
Mean Square 135.406 .386 4.293 .874
F 154.841 .442 4.910
Sig. .000 .994 .001
a. R Squared = .974 (Adjusted R Squared = .968)
Post Hoc Tests SAMPEL Homogeneous Subsets SKOR Duncan
a,b
Subset SAMPEL tanin khitosan adonan khitosan coating kontrol fto cog Sig.
N 30 30 30 30 30 30
1 4.47 4.87
.100
2
3 4.87 5.00 5.33
.069
4
5.00 5.33 5.40 .120
5.33 5.40 5.60 .302
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .874. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.
84
Lampiran 15. Rekapitulasi Data Hasil Pengamatan TPC H-0 10Perlakuan Kontrol
Ulangan 1 2
FTO 0.2%
1 2
Na-metabisulfit 450 ppm+Tanin 0.25%
1 2
COG 0.5%
1 2
Khitosan Adonan 5%
1 2
Khitosan Coating 2%
1 2
3
27 35 35 29
Pengenceran 10-4
10-5
10-6
Jumlah Mikroba 3.1E+04 3.2E+04
37 25 32 28
3.1E+04
28 25 28 28
2.7E+04
31 39 35 29
3.0E+04
2.8E+04
Rata-rata
Log CFU/g
3.2E+04
4.50
3.1E+04
4.48
2.8E+04
4.44
3.4E+04
4.53
2.8E+04
4.44
1.6E+04
4.20
3.5E+04 3.2E+04
27 25 28 30
2.6E+04
13 21 18 15
1.7E+04
2.9E+04
1.6E+04
85 85
Lampiran 16. Rekapitulasi Data Hasil Pengamatan TPC H-1 Perlakuan Kontrol
Ulangan 1 2
FTO 0.2%
1 2
Na-metabisulfit 450 ppm+Tanin 0.25%
1 2
COG 0.5%
1 2
Khitosan Adonan 5%
1 2
Khitosan Coating 2%
1 2
10 TBUD TBUD TBUD TBUD
Pengenceran 10-5 4 10 403 245 387 237 395 242 412 227
TBUD TBUD TBUD TBUD
324 338 357 349
189 181 156 167
121 149 114 93
87 76 96 91
18 10 20 24
1.9E+05
311 302 317 309
78 69 84 79
27 23 19 25
6.7E+05
120 114 142 137
49 47 38 48
12 10 17 13
1.5E+05
82 85 84 68
20 17 15 10
3 1 1 1
8.3E+04
-3
-6
10
101 93 107 87 66 53 49 71
Jumlah Mikroba 3.1E+07 3.0E+07
Rata-rata
Log CFU/g
3.1E+07
7.48
2.1E+07
7.32
1.9E+05
5.27
7.1E+05
5.85
1.6E+05
5.20
8.0E+04
4.90
2.2E+07 2.0E+07
1.8E+05
7.4E+05
1.7E+05
7.6E+04
86
86
Lampiran 17. Rekapitulasi Data Hasil Pengamatan TPC H-2 Perlakuan Kontrol
Ulangan 1 2
FTO 0.2%
1 2
Na-metabisulfit 450 ppm+Tanin 0.25%
1 2
COG 0.5%
1 2
Khitosan Adonan 5%
1 2
Khitosan Coating 2%
1 2
10-3 TBUD TBUD TBUD TBUD
Pengenceran 10-4 10-5 531 286 497 293 572 297 516 280
10-6 134 126 141 137
Jumlah Mikroba 1.3E+08 1.4E+08
TBUD TBUD TBUD TBUD
481 477 465 478
267 280 254 273
116 68 106 113
1.1E+08
312 327 307 319
189 212 197 221
103 134 127 132
63 76 58 67
3.5E+06
TBUD TBUD TBUD TBUD
517 497 512 481
178 168 163 187
117 126 132 145
2.7E+07
539 544 495 506
252 261 257 274
97 75 87 95
27 31 29 40
1.0E+07
311 307 320 313
54 58 74 50
18 21 14 23
1.1E+08
3.6E+06
2.8E+07
1.1E+07
Rata-rata
Log CFU/g
1.4E+08
8.13
1.1E+08
8.04
3.6E+06
6.55
2.8E+07
7.44
1.1E+07
7.02
5.9E+05
5.77
5.6E+05 6.2E+05
87 87
Lampiran 18. Rekapitulasi Data Hasil Pengamatan TPC H-3 Perlakuan Kontrol
Ulangan 1 2
FTO 0.2%
1 2
Na-metabisulfit 450 ppm+Tanin 0.25%
1 2
COG 0.5%
1 2
Khitosan Adonan 5%
1 2
Khitosan Coating 2%
1 2
10-3 TBUD TBUD TBUD TBUD
Pengenceran 10-4 10-5 TBUD 516 TBUD 483 TBUD 522 TBUD 547
TBUD TBUD TBUD TBUD
TBUD TBUD TBUD TBUD
439 447 458 435
10-6 233 221 247 236
Jumlah Mikroba 2.3E+08
386 412 437 426
195 187 211 226
1.9E+08
321 318 334 329
244 238 229 247
132 146 128 140
3.4E+07
TBUD TBUD TBUD TBUD
TBUD TBUD TBUD TBUD
265 253 279 251
147 164 189 171
1.6E+08
TBUD TBUD TBUD TBUD
418 567 532 511
122 125 137 128
89 93 74 107
1.9E+07
396 401 418 389
312 307 314 305
124 119 115 130
63 73 48 39
1.7E+07
2.4E+08
2.2E+08
3.4E+07
1.8E+08
2.0E+07
1.5E+07
Rata-rata
Log CFU/g
2.4E+08
8.37
2.1E+08
8.31
3.4E+07
7.53
1.7E+08
8.23
2.0E+07
7.29
1.6E+07
7.20
88
88
Lampiran 19. Rekapitulasi Hasil Pengamatan Jumlah Kapang-Khamir H-1 10Perlakuan Kontrol
Ulangan 1 2
FTO 0.2%
1 2
Na-metabisulfit 450 ppm+Tanin 0.25%
1 2
COG 0.5%
1 2
Khitosan Adonan 5%
1 2
Khitosan Coating 2%
1 2
2
134 158 127 139
Pengenceran 10- 10-5 3 4 10 71 95 61 82 -
Jumlah Mikroba 2.50E+04 1.90E+04
35 48 46 29
3 1 6 4
-
-
4.2E+03
27 25 26 29
7 11 5 9
-
-
2.6E+03
39 26 41 32
4 7 9 6
-
-
3.2E+03
3.8E+03
2.8E+03
3.6E+03
21 18 15 23
-
-
-
1.9E+03
7 4 2 8
-
-
-
5.5E+02
1.9E+03
5.0E+02
Rata-rata
Log CFU/g
2.2E+04
4.34
4.0E+03
3.60
2.7E+03
3.43
3.4E+03
3.53
1.9E+03
3.28
5.3E+02
2.72
89
89
Lampiran 20. Rekapitulasi Hasil Pengamatan Jumlah Kapang-Khamir H-2
284 305 268 270
Pengenceran 10- 10-5 3 4 10 128 75 135 81 145 86 133 80
213 209 234 221
120 112 115 131
59 35 47 44
1.5E+05
214 208 202 194
125 138 120 114
89 77 69 62
1.9E+05
230 248 221 237
144 156 142 164
82 64 108 111
189 172 204 218
94 89 127 115
74 64 59 47
1.5E+05
179 157 162 171
108 96 116 104
42 30 68 81
1.3E+05
10Perlakuan Kontrol
Ulangan 1 2
FTO 0.2%
1 2
Na-metabisulfit 450 ppm+Tanin 0.25%
1 2
COG 0.5%
1 2
Khitosan Adonan 5%
1 2
Khitosan Coating 2%
1 2
2
Jumlah Mikroba 1.9E+05 2.0E+05
1.5E+05
1.7E+05
Rata-rata
Log CFU/g
2.0E+05
5.29
1.5E+05
5.18
1.8E+05
5.26
2.7E+05
5.43
1.6E+05
5.19
1.5E+05
5.18
2.4E+05 3.0E+05
1.6E+05
1.7E+05
90 90
Lampiran 21. Rekapitulasi Hasil Pengamatan Jumlah Kapang-Khamir H-3 10Perlakuan Kontrol
Ulangan 1 2
FTO 0.2%
1 2
Na-metabisulfit 450 ppm+Tanin 0.25%
1 2
COG 0.5%
1 2
Khitosan Adonan 5%
1 2
Khitosan Coating 2%
1 2
2
Pengenceran 10-3 -5 4 10 10 TBUD 189 TBUD 172 TBUD 166 TBUD 180
59 71 44 57
Jumlah Mikroba 6.5E+06 5.1E+06
216 194 207 181
109 122 134 112
54 38 32 43
358 341 347 329
102 119 127 112
59 66 51 45
231 240 212 198
117 128 132 109
84 93 88 76
254 267 252 278
174 149 182 166
38 35 49 34
1.8E+06
243 231 227 219
129 112 101 84
26 29 28 38
1.3E+06
Rata-rata
Log CFU/g
5.8E+06
6.76
1.5E+06
6.18
1.6E+06
6.19
1.9E+06
6.27
1.9E+06
6.28
1.2E+06
6.08
1.5E+06 1.5E+06
1.6E+06 1.5E+06
1.9E+06 1.8E+06
2.0E+06
1.1E+06
91
91
Lampiran 22. Kajian Biaya Bahan Baku per 1 kg Adonan Bakso dengan FTO, COG, Sulfit dan Tanin Bahan baku Daging Sagu Aren Tapioka Garam STPP Lada MSG Bawang Putih Es FTO COG Na-metabisulfit Tanin Kitosan Asam laktat Larutan Kitosan 5% Larutan Kitosan 2% Total Biaya/kg adonan bakso
Harga/kg (Rp) 46000 7000 6000 12000 7500 55000 21000 10000 5000 79433 79433 20000 2489800 310000 60000/L 16.77/ml 7.5/ml
FTO Digunakan (gr) 667 166.5 166.5 20.01 2 6.67 3.34 50.02 133.4 1.33 − − − − − − −
Harga (Rp) 30682 1166 999 240 15 367 70 500 667 106 − − − − − − − 34812
COG Digunakan (gr) 667 166.5 166.5 20.01 2 6.67 3.34 50.02 133.4 3.34 − − − − − −
Harga (Rp) 30682 1166 999 240 15 367 70 500 667 265 − − − − − − 34971
Sulfit+Tanin Digunakan Harga (gr) (Rp) 667 30682 166.5 1166 166.5 999 20.01 240 2 15 6.67 367 3.34 70 50.02 500 133.4 667 − − − − 0.3 6 25 62245 − − − − − − − − 96957
92 92
Lampiran 23. Kajian Biaya Bahan Baku per 1 kg Adonan Bakso dengan Kitosan Bahan baku Daging Sagu Aren Tapioka Garam STPP Lada MSG Bawang Putih Es FTO COG Na-metabisulfit Tanin Kitosan Asam laktat Larutan Kitosan 5% Larutan Kitosan 2% Total Biaya/kg adonan bakso
Harga/kg (Rp) 46000 7000 6000 12000 7500 55000 21000 10000 5000 79433 79433 20000 2489800 310000 60000/L 16.77/ml 7.5/ml
Kitosan Adonan Digunakan Harga (gr) (Rp) 667 30682 166.5 1166 166.5 999 20.01 240 2 15 6.67 367 3.34 70 50.02 500 133.4 667 − − − − − − − − − − − − 33.35 ml 559 − − 35265
Kitosan Coating Digunakan Harga (gr) (Rp) 667 30682 166.5 1166 166.5 999 20.01 240 2 15 6.67 367 3.34 70 50.02 500 133.4 667 − − − − − − − − − − − − − − 670 ml 5035 39741
93 93
Jurnal Skripsi 2007 Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor PENGARUH METODE APLIKASI KITOSAN, TANIN, NATRIUM METABISULFIT, DAN MIX PENGAWET TERHADAP UMUR SIMPAN BAKSO DAGING SAPI PADA SUHU RUANG Joko Hermanianto 1), Nugraha Edhi S.2), dan Denny Angga W. 3) 1) Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB 2) Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB 3) Sarjana Teknologi Pertanian IPB
Abstrak Bakso merupakan produk olahan daging yang mudah mengalami kerusakan secara mikrobioligis. Penelitian ini bertujuan mencari bahan pengawet untuk bakso daging sapi agar umur simpannya dapat mencapai 2 hari pada suhu ruang (30°C ± 5°C). Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa bakso dengan pengawet FTO 0.2%, COG 0.5%, kitosan 5% pada adonan dapat memperpanjang umur simpan bakso hingga 1 hari, sedangkan kombinasi Na-metabisulfit 450 ppm dan perebusan dengan tanin 0.25% serta metode coating dengan kitosan 2% dapat mengawetkan bakso hingga 2 hari. Analisis TPC pada hari ke-2 menujukkan bahwa jumlah total mikroba pada seluruh sampel dan kontrol telah melebihi batas SNI (5 log cfu/g) yaitu pada kontrol sebesar 8.13 log cfu/g, FTO 8.04 log cfu/g, COG 7.44 log cfu/g, sampel dengan penambahan kitosan di adonan 7.02 log cfu/g, sampel dengan sulfit dan tanin 6.55 log cfu/g serta sampel yang dicoating dengan kitosan 5.77 log cfu/g. Penggunaan kitosan sebagai pelapis pada bakso memberikan kontribusi kenaikan biaya bahan baku untuk 1 kg adonan sebesar 14.51% dengan daya awet yang cukup baik, yaitu selama 2 hari di suhu ruang, sehingga merupakan alternatif pengawet yang masih kurang sesuai untuk digunakan secara komersial. Secara teknis, tujuan penelitian ini telah tercapai yaitu adanya kitosan dengan metode coating dan natrium metabisulfit dan tanin yang mampu memperpanjang umur simpan bakso hingga 2 kali lipat dari kontrol menjadi 2 hari. Kata kunci : Bakso, umur simpan, kitosan coating
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Bakso merupakan produk olahan daging yang relatif murah dan telah dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia. Bakso umumnya dibuat dari daging sapi yang dihaluskan yang kemudian dicampur dengan bumbubumbu dan pati lalu dicetak bulat dan direbus hingga masak. Bakso mempunyai kandungan nutrisi cukup baik karena terbuat dari daging sapi yang komposisi proteinnya lebih mudah dicerna oleh manusia, selain itu juga mengandung lemak yang juga diperlukan untuk metabolisme tubuh Penggilingan daging dan pembuatan adonan bakso yang
dilakukan oleh industri rumah tangga penyedia jasa penggilingan umumnya kurang saniter dan tidak memperhatikan cara pengolahan makanan yang baik. Selain itu, pemasaran bakso yang dilakukan pada ruang terbuka (dijajakan di jalanan) dan di suhu ruang menyebabkan bakso mudah mengalami kerusakan secara mikrobioligis. Kerusakan ini dipercepat oleh adanya kandungan nutrisi, pH, dan kadar air bakso yang tinggi sehingga menjadi media pertumbuhan yang sangat baik untuk mikroba. Salah satu cara yang umum digunakan oleh produsen bakso untuk memperpanjang daya awet produknya adalah dengan penambahan bahan pengawet. Sebagian produsen
menggunakan formalin atau boraks karena harganya murah dan daya awetnya tinggi, sehingga produk bakso mereka tetap awet dan harga jualnya terjangkau. Namun sejak terungkapnya penggunaan formalin pada mie basah, tahu, ikan asin, dan bakso pada tahun 2005 lalu, menyebabkan berkurangnya minat masyarakat untuk mengkonsumsi jenis makanan ini. Hal ini tentu saja berpengaruh pada pedagang dan industriawan bakso yang terkena efek paling besar dari isu formalin tersebut. Walaupun saat ini masih terdapat pro dan kontra tentang efek formalin terhadap kesehatan manusia, tetapi pemerintah melalui Badan POM dan kepolisian telah membatasi dan mengawasi secara ketat peredaran formalin, sehingga bahan ini sulit diperoleh. Masalah yang kemudian timbul adalah adanya target masa simpan bakso pada suhu ruang oleh industri bakso menengah yang umumnya lebih dari 1 hari. Namun, bakso tanpa bahan pengawet hanya mempunyai umur simpan 12 jam atau maksimum 1 hari. Kerusakan mikrobiologis pada bakso ditandai oleh adanya lendir, miselium kapang, dan bau basi akibat adanya aktivitas bakteri proteolitik. Hal ini dapat diatasi dengan penambahan pengawet dengan status aman yang memiliki efektivitas yang baik pada bakso untuk menghambat pertumbuhan kapang, khamir dan bakteri sehingga umur simpan bakso dapat mencapai 2 hari. Bahan pengawet yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanin, daun jambu, natrium metabisulfit, asam laktat, khitosan, dan dua jenis mix pengawet, yaitu FTO dan COG. B. Tujuan Penelitian ini bertujuan mencari bahan pengawet yang dapat memperbaiki keawetan bakso daging sapi agar umur simpannya mencapai dua kali lipat dari bakso kontrol (2 hari) pada suhu ruang (30°C ± 5°C). C. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi produsen bakso sebagai pengawet pengganti boraks atau formalin.
II. METODOLOGI A. Alat dan Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi, sagu aren, dan tapioka sebagai bahan baku pembuatan bakso. Bahan lain yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah garam, STPP, air, es, dan bumbu seperti lada, bawang putih, serta MSG. Bahan pengawet yang digunakan adalah tanin (asam tanat), daun jambu, natrium metabisulfit, asam laktat, dan kitosan serta dua jenis mix pengawet, yaitu FTO dan COG. Bahan untuk uji mikrobiologi dari laboratorium mikrobiologi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yaitu PCA (Plate Count Agar), PDA (Potato Dextrose Agar), asam tartarat, dan garam fisiologis. Alat yang digunakan meliputi peralatan untuk pembuatan bakso seperti pisau, chopper, panci, kompor, dan penggiling daging. Peralatan untuk analisis fisik seperti texture analyzer, dan chromameter. Alat untuk analisis kimia adalah pH meter dan alat uji mikrobiologis seperti stomacher, inkubator, mikropipet, cawan petri, dan peralatan gelas lainnya. B. Metode Bakso yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dengan formula sebagai berikut : Daging sapi : 100% Tepung sagu aren : 25% Tapioka : 25% Es : 20% Bawang Putih : 7.5% Garam : 3% Lada : 1% MSG : 0.5% STPP : 0.3% 1.
Penelitian Pendahuluan Tahap ini bertujuan menyeleksi beberapa alternatif bahan pengawet yang mampu memperpanjang umur simpan bakso pada suhu ruang. Pengawet yang mampu mengawetkan bakso hingga 2 hari akan digunakan pada penelitian utama. Jenis pengawet yang digunakan adalah daun jambu biji (tua, muda, dan kering), tanin (asam tanat), asam laktat, Na-metabisulfit, premix
pengawet FTO dan COG , serta kitosan. Perlakuan pada penelitian pendahuluan adalah : a. Penambahan daun jambu (muda, tua, dan kering) masing-masing pada perebusan akhir dengan konsentrasi 2% dari berat bakso. b. Tanin masing-masing ditambahkan sebanyak 0.5% dan 1% dari air untuk perebusan akhir bakso. c. Na-metabisulfit 400, 450, dan 500 ppm dari berat daging yang ditambahkan pada pembuatan adonan bakso. d. Kombinasi Na-metabisulfit 400, 450, dan 500 ppm pada adonan dan perebusan akhir bakso dengan 0.25% tanin. e. Asam laktat 2% sebanyak 1% dan 2% dari berat daging yang ditambahkan pada pembuatan adonan bakso. f. Premix FTO sebanyak 0.05%, 0.1%, dan 0.2% dari berat daging yang ditambahkan pada adonan bakso. g. Premix COG 0.5%, 0.4%, dan 0.3% dari berat daging pada adonan bakso. h. Larutan kitosan 2% dan 5% dari berat daging pada adonan bakso i. Pencelupan bakso yang telah matang pada larutan kitosan 2% dan 5% selama 1 menit Sampel kemudian dikeringanginkan lalu dikemas dengan plastik dan disimpan pada suhu ruang. Pengamatan dilakukan setiap hari secara subyektif yang meliputi aroma, warna, rasa, dan tekstur. Pengamatan dihentikan jika sudah terjadi penyimpangan aroma dan terbentuknya lendir atau miselium kapang sebagai indikator kerusakan bakso. Perlakuan yang paling efektif ditentukan berdasarkan umur simpan dan nilai uji keawetan bakso tersebut yang mengacu pada Tabel 1 .
Tabel 1. Penilaian Mutu Sensoris Bakso Nilai 2
Penampakan Bulat halus dan tidak ada lendir
1
Mulai berlendir (++)
0
Berlendir (+++)
Parameter Warna Bau Khas Abu-abu daging cerah atau kemerahan* segar rebus (+++) Abu-abu Khas kusam atau daging kemerahan segar yang lebih rebus gelap* (++) Bau Abu-abu asam kecoklatan dan (+) atau basi kemerahan (+++) yang gelap dan berkapang*
2. Penelitian Utama Penelitian utama ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik fisik dan mikrobiologis bakso yang menggunakan bahan pengawet terpilih. a). Perlakuan Beberapa perlakuan pada tahap penelitian utama: A : Penambahan FTO 0.2% pada adonan bakso B : Penambahan COG 0.5% pada adonan bakso C : Penambahan Nametabisulfit 450 ppm pada adonan + perebusan akhir dengan tanin 0.25% D : Penambahan larutan kitosan 5% pada adonan bakso E : Pencelupan (coating) bakso yang matang pada larutan kitosan 2% b). Pembuatan larutan kitosan Larutan asam laktat dengan konsentrasi 2% dibuat terlebih dahulu dengan mengencerkan larutan asam laktat pekat 90% menggunakan labu takar. Selanjutnya kitosan ditimbang sebanyak 2% dan 5% b/b dari berat daging yang digunakan. Kitosan tersebut dilarutkan dalam asam laktat
Rasa Enak dan rasa daging dominan
Enak tapi mulai sedikit hambar
Sudah tidak layak dikonsumsi
kemudian dihancurkan dalam alat stomacher selama 60 detik. Sampel tersebut adalah sampel dengan pengenceran 10-1, kemudian dari sampel diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan dalam larutan pengencer 9 ml secara aseptis untuk memperoleh pengenceran 10-2. Cara yang sama dilakukan untuk pengenceran 10-3, 10-4 dan seterusnya. Pengenceran diambil sebanyak 1 ml secara duplo dan dimasukkan ke dalam cawan petri yang kemudian ditambah media PCA 15-20 ml. Setelah media beku, cawan-cawan tersebut diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 37oC selama 2 hari. Perhitungan jumlah total mikroba dilakukan dengan metode Harrigan, dengan rumus : N = C/ [(1 x n1) + (0.1 x n2)] x d N = jumlah koloni per gram C = Jumlah total koloni yang tumbuh dalam cawan yang dihitung n1 = Jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung n2 = Jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung d = tingkat pengenceran pertama
2% yang jumlahnya disesuaikan agar konsentrasi kitosan dalam larutan tersebut tetap 2% dan 5% b/v sambil dipanaskan 60oC dan diaduk dengan magnetic stirrer. c). Metode coating bakso pada larutan kitosan Bakso yang telah matang setelah perebusan kedua, ditiriskan untuk sekedar mengurangi jumlah air pada permukaan bakso. Kemudian bakso tersebut dicelupkan selama 1 menit dalam larutan kitosan yang telah dipersiapkan dan kemudian dikeringanginkan sebelum dikemas dalam plastik dan disimpan. d). Pengamatan Pengamatan ini dilakukan terhadap semua perlakuan pada penelitian utama selama 3 hari penyimpanan, karena umur simpan perlakuan terbaik adalah selama 2 hari. Parameter mutu bakso yang diamati dalam penelitian ini adalah : ¾ pH ¾ total mikroba dan kapang khamir ¾ karakteristik fisik yang meliputi tekstur (daya iris dan kekenyalan) dan warna ¾ uji organoleptik C. METODE ANALISIS 1. Pengukuran pH (AOAC, 1986) Sebanyak 5 gram sampel ditambahkan akuades 50 ml sebagai pelarut lalu dihaluskan dengan stomacher selama 60 detik. Kemudian pH meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan buffer pH 7 dan pH 4. Elektroda siap ditempatkan dalam sampel sehingga dapat terbaca nilai pH yang terukur. Elektroda diangkat lalu dibilas dengan air destilata dan dapat digunakan untuk pengukuran pH sampel berikutnya. 2.
Uji Mikrobiologi Produk Hewani (Fardiaz, 1992) Sebanyak 10 gram sampel dimasukkan dalam plastik steril dan ditambahkan 90 ml akuades steril secara aseptis. Sampel tersebut
3.
Uji Organoleptik Penilaian mutu organoleptik bakso dengan bahan pengawet terpilih dilakukan dengan metode penerimaan hedonik oleh 30 panelis. Kriteria mutu organoleptik yang dianalisa adalah warna, rasa, aroma, dan tekstur. Tingkat persepsi panelis digambarkan berdasarkan skor sebagai berikut : 7 : sangat suka 6 : suka 5 : agak suka 4 : netral 3 : agak tidak suka 2 : tidak suka 1 : sangat tidak suka
4.
Pengukuran Daya Iris Pengukuran daya iris dilakukan dengan alat Texture Analyzer XT2Tri dengan probe berupa pisau. Sampel diletakkan pada base plate dan selama pengukuran dipotong dengan probe. Grafik yang terbentuk
sebagai hasil pengukuran adalah antara sumbu Y (gaya dalam gf) terhadap sumbu X (waktu dalam detik). Daya iris merupakan gaya maksimum yang diperlukan untuk memotong sampel yang dapat diperoleh dari grafik. 5.
6.
Pengukuran Kekenyalan Kekenyalan merupakan perbandingan terbalik antara gaya reaksi (reaction force) maksimum sampel bila diberikan tekanan (stress) tertentu pada jarak regangan (strain) tertentu dengan gaya reaksi (reaction force) sampel setelah tekanan (stress) ditahan pada jarak regangan (strain) yang sama dan melewati waktu tertentu. Kekenyalan ini dinyatakan dalam persen. Pengukuran kekenyalan menggunakan alat Texture Analyzer XT2Tri dengan probe silinder diameter 35 mm (P/35). Sebelum proses penekanan, pengaturan alat perlu dilakukan untuk menentukan jarak probe dari base plate, menggunakan mode Hold until time selama 60 detik. Hasil dari pengukuran ini berupa grafik yang dibentuk antara sumbu Y (gaya dalam gf) terhadap sumbu X (waktu dalam detik). Kekenyalan dapat dihitung dari dua data yang diambil dari grafik, yaitu nilai gaya puncak tertinggi (maximum positive value) (Ft) saat waktu tertentu (t) dan nilai gaya saat t+60 (Ft+60). Persentase kekenyalan diperoleh dari Ft+60 dibagi dengan Ft dikalikan 100%. Analisis Warna (chromameter Minolta tipe CR 200) Chromameter dikalibrasi dengan mengukur plate kalibrasi yang berwarna putih sebanyak tiga kali. Kemudian sampel diletakkan pada tempat pengukuran sampel, lalu ditekan tombol start dan akan diperoleh nilai L, a, dan b dari sampel. L menyatakan kecerahan sampel dengan kisaran nilai 0 sampai 100 (putih). Semakin tinggi nilai L, maka semakin tinggi tingkat kecerahan sampel tersebut.
Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai +100 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna biru. Selanjutnya dari nilai a dan b dapat dihitung oHue dengan rumus : o Hue = tan-1 b a Jika hasil yang diperoleh : 18o-54o maka produk berwarna red 54o-90o maka produk berwarna yellow red 90o-126o maka produk berwarna yellow (Y) III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pada tahap ini bertujuan memilih beberapa jenis alternatif pengawet yang dapat memperpanjang umur simpan bakso hingga 2 hari. Pengamatan yang dilakukan pada tahap ini merupakan pengamatan subyektif terhadap keawetan bakso dengan kriteria yang mengacu pada Tabel 1. Hasil pengamatan uji keawetan pada semua sampel pada hari ke-0 secara umum menunjukkan bahwa semua parameter yang diamati (penampakan, rasa, warna, bau) memiliki nilai 2. Hal ini disebabkan oleh bakso tersebut baru matang sehingga semua atributnya normal, kecuali pada sampel dengan daun jambu dan tanin yang warnanya lebih kemerahan. Bakso yang direbus dengan berbagai jenis daun jambu biji (daun kering, muda, dan tua) pada hari ke-0 menunjukkan bahwa penampakan fisik dari bakso yang direbus dengan daun tua dan kering menunjukkan warna yang sama dengan kontrol yaitu abu-abu cerah, sedangkan bakso yang direbus dengan daun jambu biji muda sebanyak 2% berwarna kemerahan. Hasil yang diharapkan dari perebusan akhir bakso dengan daun jambu biji adalah adanya reaksi penyamakan permukaan bakso
oleh zat penyamak (tanin) dari daun jambu. Hal ini diharapkan dapat mengurangi kontaminasi mikroba dari lingkungan terhadap bakso sehingga umur simpannya bertambah. Namun pada hari pertama penyimpanan ternyata perlakuan dengan daun jambu biji menunjukkan hasil yang tidak memenuhi target. Seluruh perlakuan dengan daun jambu biji tersebut telah menunjukkan tanda kerusakan pada hari pertama penyimpanan yaitu adanya lendir (+) dan permukaannya yang lengket seperti pada kontrol. Pada hari kedua, baik pada kontrol maupun semua sampel dengan perlakuan daun jambu biji telah ditumbuhi kapang (++) dan telah timbul bau basi, hal ini menunjukkan bahwa kandungan mikroba pada bakso-bakso tersebut cukup tinggi dan perlakuan perebusan dengan daun jambu tidak dapat memperpanjang umur simpan bakso. Hasil ini dapat disebabkan oleh adanya kandungan tanin yang rendah pada daun jambu, sehingga hasil ekstraksi tanin yang berinteraksi dengan permukaan bakso tidak maksimal dan mikroba masih dapat mengkontaminasi bakso. Perlakuan selanjutnya pada penelitian pendahuluan ini adalah perebusan akhir bakso dengan penambahan asam tanat sebanyak 0.5% dan 1% dari air rebusan. Asam tanat merupakan jenis tanin yang dapat dihidrolisis dan berbentuk serbuk dan dapat larut dalam air. Penambahan asam tanat sebagai sumber tanin ini dimaksudkan untuk menyamak permukaan bakso seperti halnya pada penambahan daun jambu pada perlakuan sebelumnya. Jumlah asam tanat yang ditambahkan lebih rendah daripada penambahan daun jambu karena tanin pada asam tanat lebih terkonsentrasi dari daun jambu, sehingga tanin yang berinteraksi dengan permukaan bakso lebih banyak dibandingkan dengan tanin dari daun jambu. Pengamatan hari ke-0 terhadap sampel dengan penambahan asam tanat 0.5% dan 1% menunjukkan persamaan secara kuantitatif parameter aroma, rasa, warna, dan tekstur dengan kontrol yang semuanya bernilai dua. Adanya warna kemerahan ini merupakan ekspresi dari
tanin yang secara alami mempunyai warna kuning-coklat. Pengamatan pada hari pertama menunjukkan bahwa sampel dengan 0.5% tanin telah berlendir seperti halnya kontrol, sedangkan sampel yang mengalami perebusan dengan 1% tanin masih menunjukkan permukaan bakso yang kering dan tidak berlendir. Namun, pada hari kedua seluruh sampel dan kontrol telah ditumbuhi kapang dan berbau basi sehingga pengamatan dihentikan. Adanya perbedaan yang tidak terlalu signifikan antara kontrol dan sampel dengan penambahan tanin 0.5 dan 1% ini disebabkan oleh protein sebagai komponen yang diharapkan untuk berinteraksi dengan tanin agar terjadi penyamakan telah terkoagulasi dan membentuk struktur bakso yang kompak akibat adanya perebusan. Hal ini menyebabkan tanin tidak dapat berikatan secara maksimal dengan bakso sehingga efek penyamakan yang diharapkan dapat memperpanjang umur simpan bakso tidak dapat tercapai. Penambahan bahan pengawet pada adonan juga dilakukan pada penelitian pendahuluan ini. Pengawet yang ditambahkan tersebut adalah Nametabisulfit (Na2S2O5) sebanyak 400, 450, dan 500 ppm dari jumlah daging yang digunakan pada pembuatan bakso. Hasil pengamatan terhadap sampel dengan penambahan Nametabisulfit 400, 450 dan 500 ppm pada hari ke-0 menunjukkan adanya persamaan atribut sensori antara sampel-sampel tersebut dengan kontrol. Persamaan tersebut adalah adanya aroma khas daging rebus, rasa dominan daging rebus, tekstur kenyal, dan warna abu-abu cerah. Nilai masing-masing parameter tersebut pada semua sampel dan kontrol adalah dua. Hal ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi Na-metabisulfit yang ditambahkan tidak menyebabkan perubahan atribut sensori pada bakso. Pengamatan pada hari pertama penyimpanan menunjukkan adanya lendir pada kontrol dan semua sampel dengan penambahan sulfit 400, 450, dan 500 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan secara mikrobiologis telah terjadi pada seluruh sampel. Lemahnya keawetan bakso dengan Na-metabisulfit ini dapat disebabkan oleh adanya kondisi pH
bakso yang tidak cukup rendah untuk mendukung bekerjanya sulfit secara efektif untuk menghambat pertumbuhan mikroba. Penambahan Na-metabisulfit 400, 450, dan 500 ppm pada adonan yang dikombinasikan dengan perebusan akhir dengan tanin 0.25% dilakukan pada penelitian pendahuluan untuk mengetahui adanya kemungkinan sinergi antara kedua bahan tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan uji keawetan ternyata bakso dengan 400 ppm dan direbus dengan tanin 0.25% belum menunjukkan terbentuknya lendir pada hari pertama, tetapi pada hari kedua sampel ini telah kerusakan (berkapang dan bau yang menyimpang). Sampel dengan 450 dan 500 ppm Nametabisulfit dan 0.25% tanin mampu mempertahankan keawetan bakso hingga 2 hari penyimpanan. Namun, pada hari ketiga baik sampel 450 ppm maupun 500 ppm yang direbus dengan tanin 0.25% telah ditumbuhi kapang, tetapi masih belum berlendir, hal ini mengindikasikan bahwa kedua pengawet ini lebih menghambat pertumbuhan bakteri dibandingkan dengan kapang. Asam laktat yang merupakan asam organik yang mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan mikroba pada karkas sapi muda (Doores, 1993) juga diuji dalam penelitian pendahuluan ini. Asam laktat diencerkan terlebih dahulu dari 90% menjadi 2% agar tidak menyebabkan perubahan rasa dan bau pada bakso. Hal ini berdasarkan pada Zeitoun dan Debevere (1990) yang hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perendaman kaki ayam dengan asam laktat 2% pada pH 2.3 dapat memperpanjang umur simpannya hingga 8 hari tanpa mempengaruhi kualitas sensori sampel. pH asam laktat 2% yang digunakan pada penelitian ini adalah 2.39. Hasil pengamatan dari uji keawetan pada sampel dengan asam laktat ternyata tidak mencapai target yang diinginkan. Hal ini dapat disebabkan oleh kapasitas penghambatan bakteri oleh asam ini terletak pada kemampuannya menurunkan pH sampai ke tingkat dimana bakteri tidak dapat tumbuh (pH
< 2.5), sedangkan bakso sebagai produk emulsi memerlukan pH yang relatif tinggi (pH > 5.2) agar protein miosin yang berperan dalam pembentukan emulsi tidak mengalami kerusakan. Adanya pH yang cukup tinggi tersebut menyebabkan asam laktat tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada sampel. Industri pangan sering menggunakan bahan tambahan pangan yang merupakan campuran atau mix dari beberapa bahan tambahan pangan yang memiliki fungsi yang sama dan bersifat sinergis. FTO dan COG merupakan jenis mix pengawet yang digunakan dalam pengawetan produk olahan daging. Mix pengawet ini memiliki efek pengawetan yang maksimal bila digunakan dengan kombinasi penyimpanan suhu dingin. Namun, pada penelitian ini mix pengawet tersebut digunakan pada sampel yang disimpan pada suhu ruang. Dosis maksimal FTO yang boleh ditambahkan dalam produk adalah 0.2%, sedangkan COG 0.5%. Pada tahap penelitian pendahuluan konsentrasi FTO dan COG yang digunakan adalah masing-masing 0.05%, 0.1%, dan 0.2% serta 0.3%, 0.4%, dan 0.5%. Berdasarkan hasil pengamatan uji keawetan, diketahui bahwa hanya dosis maksimum yang dapat memperpanjang umur simpan bakso pada suhu ruang selama 1 hari. Sedangkan konsentrasi dibawah maksimum telah mengalami kerusakan berupa terbentuknya lendir dan adanya bau basi seperti pada kontrol pada hari pertama. Kitosan merupakan jenis alternatif pengawet yang berasal dari bahan alami yang telah mengalami beberapa proses pengolahan. Kitosan yang ditujukan sebagai pengawet dalam penelitian ini digunakan sebagai pelapis (coating) dan penambahan pada adonan. Konsentrasi kitosan yang digunakan adalah 2% dan 5% yang dilarutkan dalam asam laktat 2%. Hasil pengamatan pada uji keawetan menunjukkan bahwa penambahan kitosan pada adonan sebanyak 5% dari bobot daging yang digunakan dalam pembuatan adonan dapat menambah umur simpan bakso hingga 1 hari pada suhu ruang, sedangkan pada kontrol dan
sampel dengan kitosan 2% tidak menunjukkan perbedaan yaitu telah timbul lendir pada permukaan bakso di hari pertama. Metode coating pada bakso dengan kitosan 2 dan 5% memperpanjang umur simpan bakso hingga hari kedua penyimpanan pada suhu ruang. Namun, coating dengan menggunakan kitosan 5% dapat mengubah rasa dari bakso walaupun telah direbus kembali, sedangkan perubahan rasa bakso akibat coating dengan kitosan 2% dapat dihilangkan dengan perebusan kembali selama 10 menit. Secara keseluruhan, umur simpan bakso dengan beberapa bahan pengawet pada penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Tabel 2. Perlakuan dengan tanin 1% tidak dilanjutkan karena jumlah tanin yang digunakan melebihi batas FDA yang mengatur residu tanin yang diperbolehkan dalam jus maupun anggur merah (red wine) adalah tidak lebih dari 3.0 g/L dihitung setara dengan asam galat.
B. PENELITIAN UTAMA 1. Pengaruh Bahan Pengawet Terhadap pH
Tabel 2. Hasil pengamatan umur simpan bakso dengan beberapa bahan pengawet
Jenis Pengawet Kontrol A1= Daun Jambu Tua 2% A2= Daun Jambu Muda 2% A3= Daun Jambu Kering 2% B1= Tanin 0.5% B2= Tanin 1% C1= Na2S2O5 400 ppm C2= Na2S2O5 450 ppm C3= Na2S2O5 500 ppm D1= Na2S2O5 400 ppm+tanin 0.25% D2= Na2S2O5 450 ppm+tanin 0.25% D3= Na2S2O5 500 ppm+tanin 0.25% E1= Asam laktat 1% E2= Asam laktat 2% F1= FTO 0.05% F2= FTO 0.1% F3= FTO 0.2% G1= COG 0.3% G2= COG 0.4% G3= COG 0.5% H1= Kitosan Adonan 2% H2= Kitosan Adonan 5% I1= Kitosan Coating 2% I2= Kitosan Coating 5%
Umur Simpan Bakso (Hari) 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 2 2 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 2 2
pH merupakan tingkat konsentrasi ion H+ yang ada pada sampel yang diukur. Ion H+ tersebut dapat berasal dari disosiasi komponen asam dalam sampel tersebut, semakin banyak ion H+ yang terdisosiasi, maka nilai pH akan semakin rendah. Nilai pH juga menentukan sifat dan karakteristik suatu bahan atau produk pangan. Pengamatan pH dari kontrol pada hari ke-0 menunjukkan nilai yang mendekati pH netral yaitu 6.11. Nilai pH awal yang cukup tinggi pada sampel FTO, COG, Na2S2O5 dan tanin serta kitosan di adonan ini menunjukkan bahwa mekanisme penghambatan mikroba oleh pengawet-pengawet tersebut bukan dengan cara menurunkan pH dari lingkungannya. Pengamatan pH pada hari ke-0 menunjukkan perbedaan yang nyata dari sampel yang dicoating dengan kitosan 2% dengan kontrol dan sampel-sampel lain. Nilai pH dari sampel dengan coating kitosan tersebut adalah 4.88. Nilai pH yang rendah ini disebabkan oleh larutan kitosan yang digunakan pada pelapisan bakso mempunyai pH 2.95. Kitosan yang digunakan pada penelitian ini bersifat larut asam sehingga diperlukan asam laktat 2% sebagai media pelarutnya, hal ini disebabkan oleh adanya gugus amino bebas pada kitosan sehingga sifat kelarutannya spesifik pada larutan asam dan tidak larut pada pH netral (Alamsyah, 2006). Pengukuran pH pada hari pertama penyimpanan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada sampel FTO dan kitosan coating dengan sampelsampel lain dan kontrol. Nilai pH FTO pada hari pertama mengalami penurunan menjadi 6.06, sedangkan pada sampel dengan kitosan coating menunjukkan kenaikan pH menjadi 4.99. Pengamatan pH pada kontrol menunjukkan kenaikan, sehingga pH bakso kontrol adalah 6.34. Adanya kenaikan pH ini diikuti oleh munculnya tanda-tanda kerusakan pada kontrol yaitu telah munculnya lendir di permukaan bakso. Lendir tersebut dibentuk oleh bakteri yang tumbuh pada
bakso. Menurut Jay et al. (2005), terdapat beberapa jenis bakteri yang pada aktivitas awalnya menaikkan pH dari substratnya, yaitu Enterobacter aerogenes dan Clostridium acetobutylicum, sehingga terdapat kemungkinan bahwa bakteri tersebut yang menyebabkan kenaikan pH dari kontrol dan beberapa sampel. Nilai pH pada hari pertama sampel bakso dengan COG 6.26, Na2S2O5 dan tanin 6.21, sedangkan sampel dengan penambahan kitosan di adonan mengalami sedikit penurunan menjadi 6.32. Hasil pengukuran pH hasil rata-rata dua ulangan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Grafik hasil pengukuran pH sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang Hasil pengamatan nilai pH pada kontrol, sampel dengan FTO dan COG selama hari kedua dan ketiga menunjukkan adanya kecenderungan penurunan pH. Selain mengalami penurunan pH, sampel FTO dan COG juga telah mengalami tanda-tanda awal kerusakan berupa terbentuknya lendir di permukaan bakso dan adanya bau basi pada kontrol dan kedua sampel tersebut. Menurut Frazier dan Westhoff (1988), bau basi dan pengasaman dapat disebabkan oleh adanya proteolisis dan putrefaksi yang disebabkan oleh bakteri anaerob (stinking sour fermentation). Penurunan pH dan terbentuknya bau
basi ini menunjukkan bahwa aktivitas mikroba fakultatif anaerob dan anaerob pada kontrol dan sampel cukup tinggi karena pengasaman ini adalah kerusakan akibat pertumbuhan bakteribakteri tersebut pada bagian dalam bakso. Pengukuran nilai pH pada hari ke-2 menunjukkan perbedaan nyata antara sampel kitosan pada adonan dan kitosan secara coating dan kontrol serta FTO dengan sampel-sampel yang lain. Pengukuran pH pada sampel dengan kitosan adonan dan coating menunjukkan adanya kenaikan pH pada hari kedua. Sedangkan di hari ketiga, pengukuran pH sampel dengan kitosan coating dan kontrol tidak menunjukkan perbedaan. Kenaikan pH yang terjadi di hari ketiga penyimpanan beberapa sampel ini dapat disebabkan oleh aktivitas bakteri yang mampu meningkatkan pH substratnya. Menurut Jay et al. (2005), ketika bakteri berada di lingkungan yang asam, untuk terus bertahan hidup dalam lingkungan tersebut maka bakteri harus mampu mengeluarkan kelebihan ion H+ dari dalam sel dengan laju yang sama dengan laju masuknya. Komponen asam amino dekarboksilase pada mikroba merupakan komponen yang berperan dalam menyesuaikan pH lingkungan mendekati netral dengan cara menghasilkan amina dari proses dekarboksilasi komponen asam amino pada substrat (Jay et al.,2005). 2.
Pengaruh Bahan Pengawet Terhadap Tekstur
a). Daya Iris Daya iris menunjukkan besarnya gaya maksimum yang diperlukan untuk memotong sampel yang diukur. Daya iris berbanding lurus dengan kekerasan, yaitu semakin besar gaya yang diperlukan untuk mendeformasi maka sampel tersebut juga memiliki kekerasan yang semakin tinggi. Grafik hasil pengukuran daya iris secara ratarata dua ulangan yang dilakukan pada sampel selama tiga hari penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 2.
pembentukan lendir di permukaan bakso yang semakin banyak. Semakin banyak lendir yang terbentuk, maka jumlah mikroba pada sampel semakin banyak sedangkan pelunakan tekstur bakso selalu diiringi oleh pembentukan lendir, sehingga dapat dikatakan bahwa aktivitas mikroba merupakan faktor yang berkontribusi pada penurunan daya iris bakso. b). Kekenyalan Kekenyalan dapat diartikan sebagai kemampuan suatu sampel untuk mempertahankan bentuknya ketika diberi suatu gaya. Gambar 2. Grafik hasil pengukuran daya iris sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang Berdasarkan hasil pengamatan secara obyektif, pada hari ke-0, terlihat perbedaan daya iris yang cukup signifikan dari sampel dengan penambahan kitosan di adonan dengan beberapa sampel dan kontrol. Daya iris dari sampel dengan kitosan pada adonan adalah sebesar 1636.93 gf, sedangkan pada kontrol, FTO, COG, sulfit dan tanin, serta kitosan coating daya irisnya tidak terlalu jauh berbeda, yaitu dalam kisaran 1379 hingga 1460 gf. Kitosan merupakan polisakarida yang bermuatan positif (polikationik). Kitosan memiliki bentuk kristal rombik dengan struktur silang antar bentuk alfa, beta dan gamma, membentuk matriks yang memiliki kemampuan absorpsi yang kuat (Suptijah, 2006). Daya iris yang lebih tinggi pada sampel ini dapat disebabkan oleh adanya kemampuan kitosan membentuk gel seperti halnya pati sehingga terbentuk struktur yang lebih padat pada sampel tersebut. Selama penyimpanan pada suhu ruang, semua sampel dan kontrol mengalami penurunan daya iris. Penurunan daya iris ini dapat disebabkan oleh adanya aktivitas mikroba pada sampel yang semakin tinggi tiap harinya. Mikroba memperoleh nutrisi dengan cara mendegradasi komponen-komponen organik seperti protein dan karbohidrat dari substratnya. Pelunakan tekstur bakso ini diikuti oleh adanya
Gambar 3. Grafik hasil pengukuran kekenyalan sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang Gambar 3 menunjukkan hasil pengamatan kekenyalan pada bakso selama penyimpanan. Berdasarkan grafik hasil pengamatan tersebut dapat dilihat bahwa selama penyimpanan tiga hari di suhu ruang cenderung terjadi penurunan kekenyalan. Secara obyektif, sampel dengan penambahan kitosan pada adonan menunjukkan perbedaan nyata dengan sampel lain dan kontrol yang nilai kekenyalannya sebesar 68.13%, sedangkan kekenyalan antar
6.00
sampel (selain kitosan di adonan) pada H-0 tidak terlalu jauh berbeda dengan kontrol pada kedua ulangan. Kekenyalan kontrol pada H-0 ini adalah 66.33%. Penurunan kekenyalan dan daya iris pada bakso selama H-1 hingga H-3 dapat dihubungkan dengan keawetan bakso. Pada kontrol yang tidak terdapat bahan pengawet, persentase penurunan kekenyalan terhadap nilai awalnya cukup besar pada hari kedua dan ketiga, hal ini disebabkan oleh pertumbuhan mikroba yang sama sekali tidak terhambat. Sampel dengan penambahan FTO , COG, dan kitosan pada adonan juga mengalami penurunan yang cukup signifikan pada hari kedua dan ketiga, sedangkan sampel dengan penambahan sulfit pada adonan dan tanin pada perebusan akhir serta pelapisan kitosan pada bakso menunjukkan persentase penurunan kekenyalan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan kontrol dan sampel lain.
tekstur antar sampel dan kontrol. Secara subyektif, dapat dikatakan bahwa penambahan bahan pengawet tidak menyebabkan perubahan tekstur bakso. Pengujian secara subyektif ini dilakukan pada bakso yang baru matang (H-0) menunjukkan tidak adanya perbedaan antar sampel dan kontrol. Namun, hasil pengukuran daya iris dan kekenyalan secara obyektif menunjukkan adanya perbedaan antara sampel dengan penambahan kitosan 5% pada adonan dengan sampel-sampel lain dan kontrol. Perbedaan hasil uji obyektif dengan subyektif ini dapat disebabkan oleh adanya keterbatasan indera manusia dalam mendeteksi perbedaan tekstur sampel yang terukur oleh texture analyzer. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa perbedaan antara sampel kitosan dalam adonan dengan sampel lain dan kontrol pada H-0 yang terukur secara obyektif, tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur bakso.
c). Uji Kesukaan Terhadap Tekstur Tekstur pada bakso dipengaruhi oleh jumlah daging dan tepung serta jumlah tepung yang ditambahkan dalam adonan. Tekstur bakso yang menentukan kesukaan konsumen adalah kekenyalan dan keempukan (Surjana, 2001). Hasil uji hedonik unsur tekstur terhadap kontrol dan sampel dapat dilihat pada Gambar 4.
3.
5.17
5.43
5.33
kontrol
fto
cog
4.97
5.33
5.27
Sko r K esu kaan
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 sulfit+tanin khitosan adonan
khitosan coating
Jenis Pengaw et
Gambar
4.
Grafik nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap tekstur bakso
Berdasarkan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kesukaan terhadap unsur
Pengaruh Bahan Terhadap Warna
Pengawet
a). Nilai L Warna merupakan komponen fisik yang pertama kali berinteraksi dengan konsumen, ketika produk tersebut dipasarkan. Soekarto (1990), menjelaskan bahwa warna merupakan sifat produk yang dapat dipandang sebagai sifat fisik yang obyektif dan sifat organoleptik yang subyektif. Sehingga warna dapat diukur secara obyektif dengan instrumen fisik seperti chromameter, tintometer, whiteness meter, maupun diukur secara subyektif dengan uji organoleptik yang menggunakan manusia sebagai subyek penilai warna sampel. Pengukuran warna sampel secara obyektif pada penelitian ini menggunakan instrumen chromameter Minolta tipe CR 200 dengan sistem notasi Hunter yang mempunyai 3 parameter dalam mengukur warna sampel. Parameter tersebut adalah nilai L, a, dan b. L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam pada sampel dengan kisaran nilai 0 sampai 100 (putih). Semakin tinggi nilai L, maka
semakin tinggi tingkat kecerahan sampel tersebut. Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai +100 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna biru. Grafik perubahan nilai L sampel dengan dua ulangan selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Grafik hasil pengukuran kecerahan sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang Hasil pengukuran terhadap kecerahan bakso pada hari ke-0 menunjukkan perbedaan nyata dari kontrol dengan sampel-sampel lainnya. Pengukuran nilai L pada kontrol di hari ke-0 menunjukkan nilai kecerahan sebesar 40.32. Nilai ini menunjukkan bahwa kontrol memiliki warna abu-abu gelap, selain itu nilai ini juga merupakan nilai kecerahan yang paling tinggi dibandingkan dengan kecerahan sampel-sampel lain. Rendahnya kecerahan dari kontrol maupun sampel disebabkan oleh tidak ditambahkannya bahan pemutih dalam pembuatan bakso ini. Bahan pemutih yang ditambahkan pada proses pembuatan bakso umumnya
adalah TiO2 (titanium dioksida) dengan konsentrasi 0.5-1% dari berat adonan (Yovita, 2000). Warna abu-abu gelap pada bakso ini dapat disebabkan oleh adanya reaksi Maillard antara gula pereduksi dari tepung seperti glukosa dengan gugus amina primer yang biasanya terdapat pada bahan awal sebagai asam amino (Winarno, 2002). Penambahan tanin pada perebusan akhir menyebabkan warna akhir sampel bakso menjadi lebih pucat dibandingkan dengan kontrol maupun sampel yang lain. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya warna tanin yang cenderung kuning-coklat sehingga bakso menjadi lebih pucat sebagai akibat dari ekspresi warna dari tanin tersebut. Sampel dengan penambahan COG juga mempunyai tingkat kecerahan yang rendah yaitu 32.60. Hal ini disebabkan oleh adanya asam askorbat sebagai salah satu komponen penyusun mix pengawet ini. Vitamin C (asam askorbat) merupakan senyawa reduktor dan juga dapat bertindak sebagai precursor pembentukan warna gelap nonenzimatik (Winarno, 2002). Menurut Winarno (2002), jika asamasam askorbat berada dalam keseimbangan dengan asam dehidroaskorbat, maka cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversible dengan membentuk senyawa diketogulonat dan kemudian berlangsunglah reaksi Maillard dan proses pencoklatan. Selama penyimpanan terjadi penurunan nilai kecerahan pada semua sampel. Namun, pada beberapa sampel terjadi peningkatan kecerahan seperti sampel dengan sulfit dan tanin, COG, dan kitosan coating. Peningkatan kecerahan ini dapat disebabkan oleh adanya miselium kapang yang berwarna putih yang terbentuk pada hari ketiga penyimpanan. Sehingga pada pengukuran, miselium ini terukur sebagai bagian dari sampel sehingga nilai kecerahan sampel naik. b). Nilai Derajat Hue Parameter warna lain yang juga diukur adalah nilai a yang menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dan notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning. Hasil
pengukuran nilai a dan b ini dapat diolah lebih lanjut untuk menghasilkan nilai oHue, yaitu suatu nilai yang menunjukkan kecenderungan warna sampel. Hasil pengukuran nilai oHue pada sampel selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 6.
disebabkan oleh adanya tanin yang membentuk warna yang cenderung kecoklatan pucat pada permukaan bakso, sehingga warna kromatis merah dari komponen daging, tertutup oleh ekspresi warna tanin tersebut. Selama penyimpanan, terlihat adanya kenaikan o Hue pada sampel ini. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya degradasi komponen protein yang berinteraksi dengan tanin oleh mikroba, sehingga ekspresi warna coklat pucat dari tanin berkurang dan kecenderungan warna merah dari sampel menjadi lebih dominan. c). Uji Kesukaan Terhadap Warna Warna produk merupakan unsur yang pertama kali berinteraksi dengan indera konsumen. Karena itulah warna memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan tingkat penerimaan konsumen. Hasil uji hedonik unsur warna terhadap kontrol dan sampel dapat dilihat pada Gambar 7.
o
Berdasarkan pengamatan nilai Hue tersebut, keseluruhan sampel dan juga kontrol memiliki unsur warna merah. Suatu produk dikatakan memiliki kecenderungan warna merah jika kisaran nilai oHue produk tersebut 18 o 54o. Nilai oHue pada sampel FTO, COG, kitosan adonan dan coating serta kontrol berada pada kisaran 24.12o – 52.09o, sehingga dapat dikatakan bahwa sampel-sampel tersebut dan kontrol memiliki kecenderungan warna kromatik merah dan warna akromatik abu-abu gelap yang dinyatakan dalam nilai L. Selama penyimpanan terdapat perubahan nilai oHue untuk semua perlakuan dan kontrol, tetapi perubahan tersebut masih berada pada kisaran warna merah. Sampel dengan penambahan sulfit dan tanin memiliki nilai oHue yang lebih rendah dibandingkan dengan sampel-sampel yang lain dan kontrol, dengan kisaran nilai oHue 8.53o-17.66o. Rendahnya nilai oHue sampel ini dapat
Skor Kesukaan
6.00
Gambar 6. Grafik hasil pengukuran nilai oHue sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang
5.13
5.10
5.00
4.93
4.73
khitosan adonan
khitosan coating
4.87 3.40
4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 kontrol
fto
cog
sulfit+tanin
Jenis Pengaw et
Gambar
7.
Grafik nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap warna bakso
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan terhadap data hasil uji hedonik unsur warna, diperoleh bahwa terdapat perbedaan kesukaan panelis terhadap unsur ini diantara sampel. Berdasarkan hasil uji lanjut tersebut diketahui bahwa sampel bakso dengan penambahan sulfit di adonan dan perebusan dengan tanin berbeda dengan kontrol dan semua sampel yang lain. Nilai rata-rata sampel ini berada pada kisaran 3.40 yang berarti agak tidak suka. Hal ini disebabkan oleh adanya warna pucat pada bakso akibat perebusan dengan tanin yang berinteraksi dengan protein dan karbohidrat pada bakso dan memunculkan warna tanin yang pucat
dan cenderung coklat. Sedangkan selama ini persepsi konsumen tentang warna bakso adalah abu-abu cerah, sehingga adanya perbedaan antara persepsi tersebut dengan warna sampel dengan sulfit dan tanin menyebabkan panelis cenderung agak tidak suka pada sampel ini. Pengujian secara subyektif terhadap warna bakso yang baru matang (H-0) menunjukkan adanya perbedaan kesukaan panelis terhadap warna bakso yang menggunakan sulfit dan tanin, dimana panelis cenderung agak tidak suka pada warna sampel ini. Perbedaan warna dari sampel sulfit dan tanin juga terlihat pada pengukuran warna secara obyektif, yang menunjukkan rendahnya nilai oHue sampel ini dibandingkan dengan sampel-sampel lain dan kontrol. Persamaan hasil uji obyektif dan subyektif terhadap warna kromatis ini dapat disebabkan oleh besarnya perubahan warna akibat ekspresi warna dari tanin, sehingga mempengaruhi kesukaan panelis secara subyektif yang juga terukur perbedaannya secara obyektif. 4.
Pengaruh Bahan Pengawet Terhadap Umur Simpan Bakso
a). Pengamatan Visual Pengamatan bakso secara visual tetap menjadi acuan dalam menentukan umur simpan bakso. Parameter utama yang mempengaruhi penilaian uji keawetan bakso adalah penampakan dan bau. Sampel yang telah terdeteksi adanya lendir, miselium kapang, dan bau basi dianggap tidak layak lagi untuk dikonsumsi sehingga nilai uji keawetannya nol. Berikut ini adalah hasil uji keawetan sampel yang diamati pada penelitian utama di hari penyimpanan pertama dan kedua. Hasil pengamatan uji keawetan pada semua sampel pada hari ke-0 secara umum menunjukkan bahwa semua parameter yang diamati (penampakan, rasa, warna, bau, dan tekstur) memiliki nilai 2. Hal ini disebabkan oleh bakso tersebut baru matang sehingga semua atributnya normal. Pengamatan pada hari pertama terhadap keawetan bakso, menunjukkan bahwa pada sampel dengan penambahan FTO 0.2% dan kontrol
Tabel
3.
Perlakuan Kontrol FTO 0.2% COG 0.5% Na2S2O5450 ppm + tanin0.25% Kitosan Adonan 5% Kitosan Coating 2% Tabel
Penampakan 1 1 2 2
Rasa 0 0 2 2
Aroma 0 0 2 2
Warna 2 2 2 2
2
2
2
2
2
2
2
2
4.
Perlakuan Kontrol FTO 0.2% COG 0.5% Na2S2O5450 ppm + tanin0.25% Kitosan Adonan 5% Kitosan Coating 2%
Hasil pengamatan uji keawetan bakso penelitian utama pada hari pertama
Hasil pengamatan uji keawetan bakso penelitian utama pada hari kedua Penampakan 0 0 0 2
Rasa 0 0 0 2
Aroma 0 0 0 2
Warna 0 0 0 2
0
0
0
0
2
2
2
2
telah mengalami kerusakan berupa terbentuknya lendir pada permukaan bakso dan adanya bau basi, sedangkan pada sampel-sampel lain belum terdeteksi adanya kerusakan. Pengamatan pada hari kedua menunjukkan bahwa hanya sampel dengan penambahan Na-metabisulfit 450 ppm dan sulfit 0.25% serta kitosan 2% sebagai coating yang masih belum mengalami kerusakan, sedangkan pada sampel-sampel yang lain telah terbentuk lendir dan bau basi. Seluruh sampel telah mengalami kerusakan pada hari ketiga, yang ditunjukkan oleh bau basi yang sangat menyengat, tekstur yang lembek, dan adanya pembentukan lendir pada kontrol, sampel dengan FTO, COG, dan kitosan pada adonan, serta adanya miselium kapang yang berwarna putih pada sampel dengan penambahan Na-metabisulfit 450 ppm dan sulfit 0.25% serta kitosan 2% sebagai coating.
b). Analisis Total Mikroba SNI 01-3818-1995 mencantumkan salah satu standar berupa jumlah total mikroba untuk produk bakso maksimal sebesar 1.0 X 105 koloni/gram atau sebesar 5 log cfu/g. Sebagai produk dengan kadar air, pH, dan aw yang tinggi, bakso yang tidak menggunakan pengawet dan disimpan pada suhu ruang akan memiliki umur simpan yang sangat pendek, yaitu maksimum 1 hari. Hasil pengamatan total mikroba pada kontrol dan sampel selama tiga hari penyimpanan terdapat pada Gambar 8. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, pada hari ke-0, semua sampel dan kontrol mempunyai beban mikroba pada kisaran 4 log cfu/g. Jumlah awal mikroba pada bakso yang cukup rendah ini disebabkan oleh adanya perebusan dalam proses pembuatan bakso, sehingga mikroba pembusuk yang tidak tahan panas mati. Namun, pemanasan pada proses perebusan tidak menjamin bahwa seluruh mikroba telah mati, beberapa spesies bakteri Gram positif yang relatif lebih tahan terhadap perlakuan fisik kemungkinan masih terdapat dalam sampel (Fardiaz, 1992). Contoh bakteri tersebut adalah Staphylococcus, Leuconostoc, Micrococcus, dan Streptococcus.
J u m la h M ik ro b a ( L o g C F U /g ra m )
9.00 8.00
C
7.00
B
6.00 5.00
A
4.00 3.00 H-0
H-1 H-2 Lama Penyimpanan
H-3
Kontrol FTO 0.2% Na-metabisulfit 450 ppm+Tanin 0.25% COG 0.5% Khitosan Adonan 5% Khitosan Coating 2%
Gambar 8. Grafik hasil analisis total mikroba rata-rata dari dua ulangan sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang
Keterangan : A = Syarat jumlah mikroba maksimal pada bakso (SNI 01-3818-1995) B = Jumlah mikroba dimana mulai terdeteksi lendir pada produk olahan daging (Frazier dan Westhoff, 1988) C = Jumlah mikroba dimana mulai terdeteksi bau basi pada produk olahan daging dan tidak aman dikonsumsi (Frazier dan Westhoff, 1988) Hasil pengamatan hari pertama penyimpanan menunjukkan jumlah mikroba pada kontrol telah meningkat drastis menjadi 7.48 cfu/gram, nilai ini hampir sama dengan sampel dengan penambahan FTO yang beban mikrobanya mencapai 7.32 cfu/gram. Pada hari pertama ini juga telah terbentuk lendir pada kontrol dan sampel dengan FTO. Lendir merupakan salah satu indikasi adanya mikroba dalam sampel, lendir ini dapat berfungsi sebagai komponen yang berperan dalam adhesi sel pada permukaan benda padat (Fardiaz, 1992). Hasil tersebut memperlihatkan bahwa pengawet FTO tidak efektif untuk digunakan dalam pengawetan bakso pada suhu ruang. Sampel dengan penambahan COG, sulfit dan tanin, kitosan pada adonan, dan kitosan coating masih belum menunjukkan adanya lendir maupun bau yang menyimpang pada hari pertama penyimpanan. Jumlah mikroba pada sampel COG, sulfit dan tanin, serta kitosan yang ditambahkan pada adonan telah melebihi standar yang ditetapkan dalam SNI yaitu 5 log cfu/g, tetapi pada sampel ini belum ditemui adanya tandatanda kerusakan mikrobiologis. Menurut Frazier dan Westhoff (1988), pada produk olahan daging lendir mulai terdeteksi ketika jumlah mikroba per satuan luas permukaannya adalah 107 hingga 108/cm2, sedangkan bau asam terdeteksi pada 1-1.3x108/cm2. Pengamatan pada hari kedua dan ketiga penyimpanan menunjukkan bahwa jumlah mikroba pada kontrol, FTO, COG, dan kitosan di adonan telah mencapai 7 hingga 8 log cfu/gram. Lendir dan bau basi telah terbentuk pada sampel-sampel ini. Sampel dengan
penambahan kitosan di adonan sebesar 5% dari berat daging ternyata telah mengalami kerusakan pada hari kedua dan jumlah mikrobanya juga sangat tinggi (7.02 log cfu/gram). Aktivitas kitosan sebagai pengawet berkaitan erat dengan sifatnya sebagai polikationik yang dapat berikatan dengan muatan negatif dari membran sel bakteri melalui interaksi elektrostatik, sehingga mempengaruhi permeabilitas membran sel dan menyebabkan kebocoran sel (Chen et al. dalam Meidina, 2005). Namun, di dalam adonan bakso yang merupakan sistem pangan yang heterogen dapat mempengaruhi efektivitas kitosan sebagai pengawet. Adanya komponen STPP (fosfat) yang berfungsi dalam meningkatkan efektifitas ekstraksi protein dan meningkatkan WHC mempunyai muatan yang negatif ketika terdisosiasi dalam adonan. Hal ini dapat mengakibatkan terikatnya kitosan oleh fosfat sehingga jumlah kitosan bebas yang terdapat dalam bakso yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan mikroba tidak cukup untuk melakukan aktivitasnya dengan maksimal. Pengamatan pada sampel dengan sulfit dan tanin serta kitosan dengan metode coating di hari kedua masih belum terlihat adanya lendir maupun bau basi. Sampel ini pada hari kedua memiliki jumlah mikroba sebesar 6.55 dan 5.77 log cfu/gram.. Namun, pada hari ketiga telah terbentuk miselium kapang pada kedua sampel ini walaupun belum terbentuk lendir pada permukaan bakso. Jumlah mikroba pada sampel dengan sulfit dan tanin serta kitosan dengan metode coating adalah sebesar 7.53 dan 7.20 log cfu/gram. Metode pelapisan pada bakso ini terlihat lebih efektif dalam pengawetan dibandingkan dengan penambahan pengawet dalam adonan bakso. Hal ini disebabkan oleh sumber kontaminasi mikroba paling besar adalah berasal dari udara atau kontak antara bahan pengemas maupun manusia dengan permukaan bakso. Adanya lapisan yang mempunyai aktivitas antimikroba dapat mencegah pertumbuhan mikroba kontaminan tersebut. Menurut Chung et al. yang dikutip oleh Meidina (2005), bakteri gram
negatif yang permukaan selnya memiliki muatan negatif dan komponen peptidoglikannya lebih tipis dibandingkan dengan gram positif mempunyai kecenderungan lebih sensitif terhadap kitosan. Menurut Frazier dan Westhoff (1988), kerusakan pada daging secara aerobik umumnya berupa terbentuknya lendir pada permukaan yang disebabkan oleh Pseudomonas, Alcaligenes, Streptococcus, Leuconostoc, Bacillus, Micrococcus dan beberapa spesies dari Lactobacillus. Beberapa bakteri utama pembentuk lendir tersebut merupakan bakteri gram negatif, sehingga kitosan secara coating lebih sesuai digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri tersebut. c). Analisis Total Kapang-Khamir Kapang dan khamir umumnya memiliki ketahanan untuk tumbuh pada lingkungan yang lebih ekstrim dibandingkan dengan bakteri. Namun, pada kondisi yang ideal seperti pH substrat yang netral, kadar air yang tinggi, dan adanya nutrisi yang ideal, kapang dan khamir pertumbuhannya justru cenderung lebih lambat dibandingkan dengan bakteri karena kalah dalam kompetisi pertumbuhan. Menurut Fardiaz (1992), suhu pertumbuhan optimum bagi pertumbuhan kapang dan khamir adalah 25-30oC. Sehingga bahan pangan yang disimpan pada kisaran suhu ini, selain rentan terhadap kerusakan akibat bakteri, juga rentan terhadap kapang dan khamir. Menurut Frazier dan Westhoff (1988), pada kondisi aerob khamir dapat tumbuh pada permukaan daging dan menyebabkan lendir, lipolisis, penyimpangan bau dan rasa, serta perubahan warna. Selain itu, pertumbuhan kapang juga dapat menyebabkan permukaan daging menjadi lengket, adanya spot hitam akibat pertumbuhan Cladosporium herbarum, spot putih yang dibentuk oleh Sporotrichum carnis dan Geotrichum (Frazier dan Westhoff, 1988). Gambar 9 menunjukkan hasil pengamatan jumlah kapang dan khamir selama penyimpanan pada sampel dan kontrol.
Jumlah Kapang-Khamir (Log CFU/gram)
8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 H-0
H-1
H-2
Lama Penyimpanan (Hari)
H-3
Kontrol FTO 0.2% Na-metabisulfit 450 ppm+Tanin 0.25% COG 0.5% Khitosan Adonan 5% Khitosan Coating 2%
Gambar
9.
Grafik hasil analisis kapang-khamir rata-rata dari dua ulangan sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang
Hari ke-0 pada semua sampel dan kontrol belum terlihat adanya pertumbuhan dari kapang dan khamir. Tahap ini juga merupakan tahap lag phase bagi pertumbuhan kapang dan khamir. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan kapang dan khamir yang lebih lambat dibandingkan dengan bakteri dan juga adanya proses perebusan pada bakso sehingga tidak terdapat kapang ataupun khamir yang tumbuh pada bakso di hari ke-0. Sampel dengan FTO dan COG pada penyimpanan hari kedua dan ketiga juga telah mempunyai beban total kapang dan khamir sebesar 5.18 dan 6.18 serta 5.43 dan 6.27 log cfu/gram. Secara kualitatif, pertumbuhan kapang pada kontrol dan sampel dengan FTO dan COG dapat diketahui dari terbentuknya miselium kapang yang berwarna putih pada hari kedua penyimpanan. Kapang yang memiliki ciri pembentukan spot putih adalah Sporotrichum carnis dan Geotrichum (Frazier dan Westhoff, 1988). Selain itu, menurut Jay et al. (2005), kapang yang paling sering ditemui pada kerusakan daging adalah Aspergillus, dan Penicillium, sedangkan khamir adalah Debaryomyces. Sampel dengan penambahan sulfit dan tanin belum menunjukkan adanya pembentukan miselium kapang pada hari kedua penyimpanan, seperti halnya sampel dengan penambahan kitosan pada adonan dan juga coating. Ketiga sampel ini baru menunjukkan adanya miselium kapang pada hari ketiga penyimpanan. Jumlah total kapang dan
khamir pada sampel-sampel tersebut pada hari ketiga sebesar 6.19, 6.28, dan 6.08 log cfu/gram. Pesatnya pertumbuhan kapang dan khamir ini disebabkan oleh telah beradaptasinya mikroba tersebut dengan kondisi substrat sehingga dapat bersaing dengan bakteri yang juga terdapat pada substrat yang sama. Berdasarkan analisis keawetan secara visual, bakso dengan penambahan COG dan kitosan 5% pada adonan masih memiliki atribut rasa dan aroma yang dapat diterima serta belum terbentuk lendir pada permukaannya, walaupun telah melebihi batas total mikroba SNI bakso sejumlah 5 log cfu/gram (5.85 dan 5.20 log cfu/gram). Menurut Frazier dan Westhoff (1988), pada produk olahan daging lendir mulai terdeteksi ketika jumlah mikroba per satuan luas permukaannya adalah pada kisaran 7 hingga 8 log cfu/cm2, sedangkan bau asam terdeteksi pada 8 log cfu/cm2. Hal ini diperkuat dengan telah terbentuknya lendir pada kontrol dan sampel dengan FTO pada hari pertama dengan jumlah mikroba total 7.48 dan 7.32 log cfu/gram, sehingga telah tidak layak dikonsumsi dan nilai uji keawetannya nol. Analisis total mikroba pada hari kedua menunjukkan bahwa sampel dengan penambahan sulfit dan tanin serta kitosan sebagai coating memiliki kandungan total mikrobanya sebesar 6.55 dan 5.77 log cfu/gram, tetapi berdasarkan uji keawetan sampel-sampel tersebut masih memiliki penampakan yang baik dan masih layak dikonsumsi. Namun, pada hari ketiga, seluruh sampel telah mengalami kerusakan dan tidak layak lagi untuk dikonsumsi. 5.
a.
Pengaruh Bahan Pengawet Terhadap Organoleptik
Rasa Rasa merupakan unsur yang penting dalam menentukan penerimaan konsumen terhadap suatu produk pangan. Hasil uji hedonik atribut rasa terhadap kontrol dan sampel dapat dilihat pada Gambar 10.
7.00
7.00
5.23
5.70 4.83
5.00
4.83
6.00
4.90
Skor Kesukaan
5.37
4.00 3.00 2.00 1.00
5.77 5.13
5.07
kontrol
fto
4.67
4.83
4.80
sulfit+tanin
khitosan adonan
khitosan coating
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
0.00 kontrol
fto
cog
sulfit+tanin khitosan adonan
khitosan coating
cog
Jenis Pengaw et
Jenis Pengawet
Gambar
10.Grafik nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap rasa bakso
Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa skor kesukaan tertinggi terdapat pada sampel dengan COG. Hal ini dimungkinkan oleh adanya bahan antikempal, yaitu SiO2 pada mix pengawet COG yang dapat berpengaruh terhadap tekstur sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi penilaian panelis terhadap rasa bakso. Flavor suatu produk sebenarnya merupakan gabungan dari beberapa parameter sensori seperti tekstur, aroma, maupun warna dari produk tersebut, sehingga parameter-parameter tersebut dapat mempengaruhi penilaian panelis terhadap rasa bakso. Berdasarkan hasil uji Duncan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kesukaan panelis terhadap atribut rasa antar sampel. Sampel dengan penambahan COG memiliki persamaan tingkat kesukaan panelis dengan kontrol dan FTO, tetapi berbeda dengan sampel yang ditambahkan kitosan dalam adonan dan coating serta sulfit dan tanin. Sampel dengan penambahan kitosan sebagai coating jika langsung dikonsumsi akan menghasilkan rasa asam karena larutan kitosan yang digunakan dalam penelitian ini dilarutkan dalam asam laktat 2%. Namun, setelah direbus dalam air hangat 70-80oC selama 10 menit, rasa bakso menjadi netral kembali. b. Aroma Aroma dari produk bakso didefinisikan sebagai aroma khas daging rebus. Hasil uji hedonik unsur aroma terhadap kontrol dan sampel dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Grafik nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap aroma bakso Berdasarkan grafik tersebut terlihat bahwa sampel dengan penambahan COG memiliki rata-rata nilai kesukaan terhadap unsur aroma yang tertinggi dibandingkan dengan sampel lain dan kontrol, sedangkan sampel dengan penambahan sulfit dan tanin memiliki nilai yang terendah. Hasil dari uji Duncan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara sampel COG dengan kontrol dan sampel-sampel lainnya. Berdasarkan hasil ini, terlihat bahwa penambahan COG meningkatkan kesukaan panelis terhadap aroma bakso. c. Penilaian Umum Kesukaan panelis terhadap suatu sampel secara keseluruhan (penilaian umum) dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang subyektif dan berbeda antar panelis. Hasil analisis ANOVA menunjukkan nilai signifikansi sampel yang lebih kecil dari 0.05, yaitu sebesar 0.001. Nilai rata-rata hasil uji hedonik terhadap sampel secara keseluruhan terdapat pada Gambar 12. 7.00 6.00 Sko r K esu kaan
Skor Kesukaan
6.00
5.33
5.40
5.60 4.47
5.00
4.87
5.00
khitosan adonan
khitosan coating
4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 kontrol
fto
cog
sulfit+tanin
Jenis Pengaw et
Gambar 12. Grafik nilai rata-rata kesukaan panelis secara keseluruhan terhadap bakso
Berdasarkan uji lanjut Duncan terlihat bahwa sampel dengan sulfit dan tanin memiliki kesamaan dengan sampel yang ditambahkan kitosan pada adonan dalam hal kesukaan panelis secara keseluruhan. Namun, sampel dengan sulfit dan tanin tersebut berbeda dengan kontrol dan sampel dengan pelapisan kitosan. Sampel dengan penambahan FTO memiliki kesamaan dengan kontrol dan sampel dengan coating kitosan namun berbeda dengan sampel yang ditambahkan kitosan pada adonan dan sampel dengan penambahan sulfit dan tanin. Sampel COG memiliki kesamaan dengan kontrol dan sampel FTO namun berbeda dengan sampel yang dicoating dengan kitosan, sampel dengan penambahan sulfit dan tanin, dan sampel dengan penambahan kitosan di adonan. 6.
Kajian Ekonomi
Bahan pengawet atau sistem pengawetan pangan yang ideal adalah yang dapat memperpanjang umur simpan produk tanpa mengubah unsurunsur sensori dengan kontribusi terhadap biaya produksi yang tidak terlalu tinggi. Kajian ekonomi sederhana yang dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui tambahan biaya akibat penggunaan bahan pengawet terhadap raw material cost bakso. Asumsi yang digunakan dalam kajian ekonomi sederhana ini adalah kurs dolar terhadap rupiah yaitu 1 USD senilai Rp. 9.345,00 berdasarkan harian berita Kompas tanggal 11 Agustus 2007. Asumsi ini digunakan karena mix pengawet yang digunakan dalam penelitian ini (FTO dan COG) diperdagangkan dengan mata uang USD. Kajian ekonomi ini dihitung dengan basis produksi 1 kg adonan bakso yang formulasinya mengacu pada formula yang digunakan dalam penelitian ini. Harga bahan pengawet dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 5. Harga bahan pengawet yang digunakan pada penelitian utama Jenis Pengawet Harga/kg FTO 8.5 USD = Rp. 79.433,00 COG 8.5 USD = Rp. 79.433,00 Kitosan Rp. 310.000,00 Na-metabisulfit Rp. 20.000,00 Asam laktat Rp. 60.000,00 (per (teknis) liter) Asam tanat (PA) Rp. 2.489.800,00 Tabel 6. Perbandingan biaya bahan baku 1 kg adonan bakso dengan berbagai pengawet
Jenis Pengawet Tanpa Pengawet FTO COG Sulfit dan Tanin Kitosan Adonan Kitosan coating
Biaya Bahan Baku/ 1 kg adonan Rp. 34.706,00
Persentase kenaikan biaya -
Rp. 34.812,00 Rp. 34.971,00 Rp. 96.957,00
0.31% 0.76% 179.36%
Rp. 35.265,00
1.61%
Rp. 39.741,00
14.51%
Berdasarkan hasil analisis ekonomi ternyata penambahan bahan pengawet sangat mempengaruhi biaya bahan baku bakso. Tabel 6 menunjukkan perbandingan biaya bahan baku untuk 1 kg adonan bakso tanpa pengawet dengan adonan yang menggunakan pengawet. Penambahan pengawet COG dan kitosan dalam adonan yang hanya dapat memperpanjang umur simpan bakso selama 1 hari berkontribusi terhadap kenaikan biaya bahan baku yang cukup rendah. Rendahnya kontribusi COG terhadap biaya bahan baku bakso dengan daya awet yang sama dengan kitosan dalam adonan membuat pengawet ini dapat lebih dipilih untuk digunakan secara komersil. FTO yang tidak dapat memperpanjang keawetan bakso hingga 1 hari memiliki kontribusi kenaikan biaya bahan baku yang terendah, tetapi tidak dapat diterapkan untuk penyimpanan bakso di suhu ruang.
Pengawet yang dapat memperpanjang keawetan bakso hingga 2 hari yaitu sulfit dan tanin, justru tidak menguntungkan secara ekonomi karena tambahan biaya yang sangat tinggi dan mencapai 3 kali lipat biaya bahan dasar. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya asam tanat yang merupakan bahan kimia yang memiliki tingkat kemurnian yang tinggi, sehingga lebih mahal dan lebih umum digunakan dalam analisis kimia, seperti analisis kadar tanin suatu bahan pangan. Pengawet lain yang juga dapat memperpanjang umur simpan bakso hingga 2 hari yaitu kitosan dengan metode coating mempunyai kontribusi kenaikan biaya bahan baku yang lebih rendah dibandingkan dengan sulfit dan tanin, yaitu sebesar 14.51%. Namun, metode coating ini ternyata lebih mahal dibandingkan dengan metode penambahan kitosan dalam adonan, hal ini disebabkan oleh jumlah larutan kitosan yang digunakan untuk melapisi bakso jauh lebih banyak dibandingkan dengan metode adonan. Berdasarkan analisis ekonomi sederhana ini, terlihat bahwa penggunaan kitosan dengan metode coating masing kurang sesuai untuk digunakan secara komersial, karena daya awet yang cukup baik (2 hari di suhu ruang), tetapi memberikan biaya tambahan terhadap bahan baku yang masih terlalu tinggi. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Hasil uji keawetan terhadap bakso menunjukkan bahwa kontrol telah mengalami pembentukan lendir pada hari pertama, sampel dengan penambahan COG 0.5% dan FTO 0.2%, serta kitosan pada adonan sebanyak 5% dapat memperpanjang umur simpan bakso hingga 1 hari. Sampel dengan penambahan natrium metabisulfit sebanyak 450 ppm pada adonan yang dikombinasikan dengan perebusan akhir dengan asam tanat 0.25% mempunyai umur simpan hingga 2 hari. Metode pelapisan bakso dengan menggunakan larutan kitosan 2% juga mampu memperpanjang umur simpan bakso hingga 2 hari. Hasil analisis TPC pada hari ke-0 menujukkan bahwa pada kontrol terdapat total bakteri sebesar 4.50 log
cfu/g, FTO 4.48 log cfu/g, sulfit dan tanin 4.44 log cfu/g, COG 4.53 log cfu/g, kitosan adonan 4.44 log cfu/g, dan kitosan coating 4.20 log cfu/g. Jumlah total bakteri pada seluruh sampel dan kontrol telah melebihi batas SNI (5 log cfu/g) pada hari kedua yaitu pada kontrol sebesar 8.13 log cfu/g, FTO 8.04 log cfu/g, COG 7.44 log cfu/g, sampel dengan penambahan kitosan di adonan 7.02 log cfu/g, sampel dengan sulfit dan tanin 6.55 log cfu/g serta sampel yang dicoating dengan kitosan 5.77 log cfu/g. Jumlah kapang dan khamir pada sampel baru dapat diukur pada hari pertama penyimpanan yaitu sebesar 4.34 log cfu/g pada kontrol, FTO, COG, dan sulfit dan tanin masing-masing memiliki beban total kapang dan khamir sebanyak 3.60, 3.53, 3.43 log cfu/gram. Sampel dengan kitosan pada adonan dan coating juga telah ditumbuhi kapang-khamir yang jumlahnya 3.28 dan 2.72 log cfu/gram. Jumlah kapang dan khamir pada kontrol di hari ketiga sebanyak 6.76 log cfu/g, sampel dengan FTO 6.18 log cfu/g, COG 6.27 log cfu/g. Sampel dengan penambahan sulfit dan tanin 6.19 log cfu/g, sampel dengan penambahan kitosan pada adonan 6.28 log cfu/g, sampel dengan kitosan coating 6.08 log cfu/g. Penggunaan kitosan sebagai pelapis pada bakso memberikan kontribusi kenaikan biaya bahan baku untuk 1 kg adonan sebesar 14.51% dengan daya awet yang cukup baik, yaitu selama 2 hari di suhu ruang, sehingga merupakan alternatif pengawet yang masih kurang sesuai untuk digunakan secara komersial. Secara teknis, tujuan penelitian ini telah tercapai yaitu adanya kitosan dengan metode coating dan natrium metabisulfit dan tanin yang mampu memperpanjang umur simpan bakso hingga 2 kali lipat dari kontrol menjadi 2 hari. B. Saran Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode pelapisan bakso dengan larutan kitosan 2% dapat mengawetkan bakso hingga 2 hari pada suhu ruang. Penelitian lanjut yang dapat dilakukan adalah peningkatan kemampuan lapisan kitosan dalam mencegah pertumbuhan
mikroba dengan penambahan minyak esensial, seperti minyak esensial dari bawang putih, ataupun dari bahan rempah-rempah yang lain, penggunaan berat adonan bakso sebagai basis dari persentase bahan pengawet yang ditambahkan, penggunaan beberapa metode aplikasi asam laktat terhadap bakso, seperti penyemprotan atau perendaman. DAFTAR PUSTAKA
Additives. Marcel Dekker Inc., New York. Dores, S. 1993. Organic acids. Di dalam : Davidson, M. P. dan A. L. Brannen (Ed). Antimicrobials in Foods 2nd Edition. Marcel Dekker Inc., New York. Elviera, G. 1988. Pengaruh Sodium Tripoliphosphate terhadap Rendemen dan Mutu Bakso Daging Sapi yang Dilayukan. Skripsi. Fateta IPB, Bogor.
Anonim. 2004. Jangan Remehkan Jambu Biji. htpp://www.suaramerdeka.com. [27 November 2006]
Fardiaz, S. 1992. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. IPB Press, Bogor.
AOAC. 1986. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists, 14th ed. AOAC Inc., Virginia.
________. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Alamsyah, R. 2006. Pengembangan Proses Produksi Kitosan Larut Air. Prosiding Seminar Nasional Kitin-Kitosan. Departemen Teknologi Hasil Perairan. FPIK IPB, Bogor. Andayani, R.Y. !999. Standarisasi Bakso Sapi Berdasarkan Kesukaan Konsumen (Studi Kasus Bakso di Wilayah DKI Jakarta). Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Ariningsih, K. 2005. Penambahan Bahan Sumber Tanin yang Berbeda dalam Perebusan Telur Asin terhadap Kualitas Mikrobiologi Selama Penyimpanan. Skripsi. Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Banwart, G. J. 1989. Basic Microbiology 2nd edition. Nostrand Reinhold, New York.
Food Van
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wootton. 1985. Ilmu Pangan. Terjemahan : H. Purnomo dan Adiono. UI Press, Jakarta. Davidson, M.P. dan A. L. Branen. 1993. Antimicrobials in Foods. Marcel Dekker Inc., New York. Davidson, M.P. dan V. K. Juneja. 1990. Lactic acid. Di dalam : Brannen, A. L., M. P. Davidson, S. Salminen (Ed). Antimicrobial Agents in Food
Frazier, W. C. Dan D. C. Westhoff. 1988. Food Microbiology. Mc. Graw Hill Inc., New York. Furia, T.E. 1972. Handbook of Food Additives. CRC Press, Florida. Hardjito, L. 2006. Aplikasi Kitosan Sebagai Bahan Tambahan Makanan dan Pengawet. Prosiding Seminar Nasional Kitin-Kitosan. Departemen Teknologi Hasil Perairan. FPIK IPB, Bogor. Harjanto, S. 2000. Pengembangan Metode Pengawetan Bakso Daging Sapi pada Penyimpanan Suhu Kamar. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Hart H. 1983. Kimia Organik. Suminar Achmadi (penerjemah). Erlangga, Jakarta. Hirano, S. 1996. Chitin biotechnology applications. Biotechnology Annual Rev., 2: 237-258. Jay, J. M., Martin J. L., dan David A. G. 2005. Modern Food Microbiology 7th Edition. Springer Science and Business Media Inc., New York. Lawrie, R. 1988. Development in Meat Science 4. Elseiver Science Publisher, Ltd., New York. Meidina. 2005. Aktivitas Antibakteri Oligomer Kitosan Hasil Degradasi Oleh Kitosanase Bacillus licheniformis MB-
2. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1989. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Rust, R. E. 1987. Sausage Products. Di dalam : The Science of Meat and Meat Products 3rd Edition. J. F. Prince dan B. S. Schweigert (Eds.). Food and Nutrition Press Inc., Westport, Connecticut. Sendih. 1998. Pengaruh Pemberian Bakso yang Mengandung Boraks terhadap Keadaan Fisiologik dan Morfologik Tikus Percobaan (Rattus norvegicus). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Shahidi, F., Arachchi JKV, Jeon YJ. 1999. Food Applications of Chitin and Chitosans. Trends Food Sci Technol 10:37-51.
Surjana, W. 2001. Pengawetan Bakso Daging Sapi dengan Bahan Aditif Kimia pada Penyimpanan Suhu Kamar. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Sunarlim, R. 1992. Karakteristik Mutu Bakso Daging Sapi dan Pengaruh Penambahan Natrium Klorida dan Natrium Tripolipospat terhadap Perbaikan Mutu. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syamadi, R. K. 2002. Aplikasi Penggunaan H2O2 dan Iradiasi dalam Pengawetan Bakso Sapi pada Penyimpanan Suhu Kamar. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Varnam, A. H. dan J. Sutherland. 1995. Meat and Meat Products. Chapman and Hall, London. Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Shahidi, F dan M. Naczk. 1995. Food Phenolics. Technomic Publishing Co. Inc, Basel.
Winarno, F.G. dan B.S. Laksmi. 1974. Dasar Pengawetan, Sanitasi, dan Keracunan. Departemen Teknologi Hasil Pertanian. Fatemeta IPB, Bogor.
Sheard, P. 2002. Processing and Quality Control of Restructured Meat Products. Di dalam : Meat Processing. J. Kerry, J. Kerry, dan D. Ledward (Eds.). CRC Press, Florida.
Widowati. 1997. Pengaruh Pemberian Tahu yang Mengandung Formalin terhadap Kondisi Fisiologis dan Morfologis Tikus (Ratus norvegicus). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
Sidik, H. 1990. Mempelajari Penggunaan Tepung Sagu (Metroxylon sp.) dalam Pembuatan Bakso Goreng dari Daging Ikan Cucut. Skripsi. Fateta IPB, Bogor.
Yovita, I. 2000. Pengaruh Penambahan Berbagai Bahan Antimikroba Terhadap Daya Awet Bakso Sapi pada Penyimpanan Suhu Kamar. Skripsi. Fateta IPB, Bogor.
Sinaga, L.W. 1988. Kandungan Kimia dan Mikrobiologi Bakso Hasil Pengamatan Pasar di Kotamadya Bogor. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. SNI 01-3818. 1995. Bakso Daging. Dewan Standarisasi Nasional. Soekarto, S. T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. IPB, Bogor. Suptijah. P. 2006. Deskripsi Karakteristik Fungsional dan Aplikasi Kitin Kitosan. Prosiding Seminar Nasional KitinKitosan. Departemen Teknologi Hasil Perairan. FPIK IPB, Bogor.