SKRIPSI
PENAMBAHAN TEPUNG WORTEL DAN KARAGENAN UNTUK MENINGKATKAN KADAR SERAT PANGAN PADA NUGGET IKAN NILA (Oreochromis sp.)
FATIMAH ABDILLAH F24102035
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
SKRIPSI
PENAMBAHAN TEPUNG WORTEL DAN KARAGENAN UNTUK MENINGKATKAN KADAR SERAT PANGAN PADA NUGGET IKAN NILA (Oreochromis sp.)
Oleh : FATIMAH ABDILLAH F24102035
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENAMBAHAN TEPUNG WORTEL DAN KARAGENAN UNTUK MENINGKATKAN KADAR SERAT PANGAN PADA NUGGET IKAN NILA (Oreochromis sp.) Oleh : FATIMAH ABDILLAH F24102035 SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Dilahirkan pada tanggal 8 April 1985 di Kediri Tanggal lulus : Agustus 2006 Menyetujui, Bogor, 30 Agustus 2006
Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS. Dosen Pembimbing Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fatimah Abdillah. F24102035. Penambahan Campuran Tepung Wortel dan Karagenan untuk Meningkatkan Kadar Serat Pangan pada Nugget Ikan Nila (Oreochromis sp.). Dibawah Bimbingan Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS. 2006. RINGKASAN Produk beku siap saji merupakan suatu produk yang telah mengalami proses pemanasan kemudian dibekukan. Salah satu produk beku siap saji adalah nugget ikan nila. Pembuatan nugget ikan nila dengan penambahan tepung wortel dan karagenan sebagai sumber serat pangan merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi kesulitan anak-anak dalam mengkonsumsi sayuran serta memenuhi tuntutan konsumen untuk tersedianya produk pangan yang praktis, lezat, bergizi dan memiliki sifat fungsional yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan potensi sumber daya perikanan darat, terutama ikan nila menjadi salah satu produk makanan beku yang siap saji yaitu nugget ikan. Selama ini produk nugget ikan komersial bahan bakunya hanya berasal dari ikan laut, padahal isu yang berkembang saat ini adalah banyaknya ikan laut segar yang ditangkap dan diawetkan dengan menggunakan formalin. Penelitian ini juga bertujuan untuk mempelajari proses pembuatan produk beku siap saji, terutama nugget ikan nila, dengan mengetahui tingkat penambahan tepung wortel dan karagenan dalam formulasi. Pada nugget yang diberi enam kelompok perlakuan (enam formula) dilihat pengaruh konsentrasi tepung wortel dan karagenan terhadap sifat organoleptik secara keseluruhan. Konsentrasi tepung wortel terdiri dari tiga taraf yaitu 10, 12.5 dan 15 % dari total daging. Sedangkan jumlah karagenan terdiri dari dua taraf yaitu 0.5 % dan 1 % dari total daging. Analisis kimia dan fisik dilakukan hanya pada nugget ikan dengan penerimaan terbaik dan nugget ikan kontrol (tanpa perlakuan). Rendemen tepung wortel yang diperoleh dari hasil penelitian pendahuluan adalah 7.4 %. Nilai rendemen tepung wortel tersebut sangat dipengaruhi oleh kadar air wortel. Hasil uji hedonik dan uji ranking menunjukkan bahwa nugget
ikan nila yang menggunakan 10 % tepung wortel dan 1 % karagenan (formula 2) merupakan formulasi terbaik dengan skor hedonik 5.17 (suka) dan skor ranking 2.13 (paling suka). Hasil kedua uji tersebut juga menunjukkan bahwa formula 2 berbeda nyata (p<0.05) dengan formula-formula lainnya. Kedua hasil uji tersebut saling mendukung satu sama lainnya. Hasil analisis proksimat terhadap produk kontrol adalah kadar air 54.06 % (bb); kadar abu 5.56 % (bk); kadar lemak 22.09 % (bk); kadar protein 25.49 % (bk); dan kadar karbohidrat by difference 46.9 % (bk). Hasil analisis proksimat terhadap produk dengan formula terbaik adalah kadar air 47.48 % (bb); kadar abu 5.18 % (bk); kadar lemak 26.07 % (bk); kadar protein 20.45 % (bk); dan kadar karbohidrat by difference 48.3 % (bk). Kadar air bahan pangan sangat berpengaruh dalam analisis proksimat sehingga kedua produk dibandingkan berdasarkan berat kering dari kedua produk tersebut. Nilai pH produk kontrol adalah 5.8 dan pH produk dengan formulasi terbaik adalah 5.69. Nilai pH sangat berpengaruh pada umur simpan suatu produk. Kandungan serat pangan produk kontrol adalah serat larut air 2.28 % (bk); serat tidak larut air 2.23 % (bk); dan total serat pangan 4.50 % (bk). Kandungan serat pangan produk dengan formula terbaik adalah serat larut air 4.58 % (bk); serat tidak larut air 10.13 % (bk); dan total serat pangan 14.70 % (bk). Kandungan serat pangan pada empat buah nugget terpilih untuk satu takaran saji sudah dapat mencukupi 20 % kebutuhan serat pangan orang dewasa sehingga dapat diklam sebagai “sumber serat pangan yang baik” dan dapat dikategorikan sebagai pangan fungsional. Hasil analisis kekerasan atau daya iris produk kontrol adalah 1188.35 gf dan produk terpilih adalah 1943.5 gf. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa tingkat kekerasan dipengaruhi serat pangan. Kandungan total natrium produk kontrol adalah 368.50 mg/100 g (bk) sedangkan produk terpilih adalah 210.89 mg/100 g (bk). Kadar total karoten dari hasil analisis menggunakan spektrofotometer menunjukkan bahwa nugget kontrol memiliki total karoten 2.28 ppm (bk) dan nugget terpilih 39.47 ppm (bk). Kandungan beta karoten hasil analisis dengan metode HPLC pada nugget kontrol adalah 1.63 ppm (bk) dan nugget terpilih
23.02 ppm (bk). Hasil analisis kromatisitas warna menunjukkan bahwa nugget kontrol (L = 58.64; a = + 4.19; b = + 58.52) memiliki warna kulit yang lebih cerah daripada nugget terpilih (L = 46.18; a = + 6.84; b = + 49.96). Perbedaan kecerahan ini merupakan akibat penambahan tepung wortel yang berwarna merah jingga.
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi robbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan skripsi ini. Skripsi ini dibuat sebagai hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Teknologi Pertanian di Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan baik secara moral maupun material dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Kedua orang tua dan kakakku yang selalu memberikan doa, kasih sayang, motivasi, dan bantuan baik moril maupun material kepada penulis hingga detik ini. Semoga Allah memuliakan dan membalasnya. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS selaku dosen pembimbing akademik atas arahan, bimbingan, dan kesabarannya selama kuliah sampai dengan penulisan skripsi. Semoga Allah membalas kebaikan Bapak. 3. Bapak Dr. Ir. Sukarno, MSc. dan Ibu Didah Nur Faridah, STP, Msi yang telah bersedia menjadi dosen penguji. 4. Seluruh staff pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang telah membagi ilmunya kepada penulis selama penulis empat tahun kuliah. 5. Nenek di Aceh, Tante Dina, Bude Wiek, Om Herry, Bunda Enny dan seluruh keluarga yang selalu memberi semangat dan doa untuk mendorong keberhasilan penulis. 6. Teman-teman Golongan B ITP 39. Terima kasih untuk semua kebersamaannya. 7. Teman-temanku Tina, Yayah, Muslimah dan Maya terima kasih atas kebersamaan, persahabatan dan bantuannya selama penelitian dan empat tahun ini. Terima kasih untuk semua kebaikan dan ketulusannya. 8. Teman-teman ITP 39 (Alin, Vivi, Evrin, Heru, Gugum, Eko, Bekti, Arif, Julia, Hanny, Nea, Susan, Novi, Hana, Olga, Ijal, Steisi, Fahrul, Rohana,
Inda, Manto, Knot, Dhenok, Meilin, Evie, dll) atas kerjasama, dukungan dan kebersamaan selama ini yang begitu bermakna. 9. Seluruh teman-teman ITP 39 dan ITP 40 yang telah mendorong dan membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan sarjana di IPB. 10. Pak Sobirin, Pak Gatot, Ibu Rubiah, Teh Ida, Pak Yahya, Pak Nur dan Pak Rozak yang banyak membantu penulis selama melaksanakan penelitian. 11. Semua pihak yang turut membantu selama kuliah sampai dengan penulisan skripsi ini. Penulis sangat berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis menyadari penulisan laporan ini tidak luput dari kesalahan dan penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran dari berbagai pihak.
Bogor, Agustus 2006
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
I. PENDAHULUAN
1
A. LATAR BELAKANG
1
B. TUJUAN PENELITIAN
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
4
A. DAGING IKAN
4
B. PROTEIN DAGING IKAN
4
C. IKAN NILA
5
1. Morfologi
6
2. Komposisi kimia
6
D. NUGGET IKAN
7
E. SERAT PANGAN
8
F. SAYURAN
9
1. Wortel
10
G. ANTIOKSIDAN
15
H. KAROTENOID
16
I. KARAGENAN
18
III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT
22 22
B. METODE PENELITIAN 1. Penelitian Pendahuluan
22
2. Penelitian Utama
23
a. Proses Pembuatan Nugget Ikan Nila
24
b. Proses Pembuatan Nugget Ikan Nila dengan Penambahan Tepung Wortel dan Karagenan c. Rancangan Percobaan
25 26
C. METODE ANALISIS
28
1. Kadar Air (AOAC, 1984)
28
2. Kadar Protein Kasar (AOAC, 1984)
28
3. Kadar Lemak Kasar (AOAC, 1984)
29
4. Kadar Abu (AOAC, 1984)
29
5. Kadar Karbohidrat (by difference)
30
6. Analisis Kadar Serat Pangan, Metode enzimatis
30
7. Analisis β-Karoten, Metode HPLC
33
8. Analisis Total Karoten, Metode Spektrofotometer
34
9. Analisis Kadar Natrium Total (AAS)
35
10. Nilai pH (AOAC, 1984)
37
11. Kekerasan (Texture Analyser TA-XT2i)
37
12. Kromatisitas Warna (Chromameter)
38
13. Uji Organoleptik (Rahayu, 1997)
39
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
40
A. PENELITIAN PENDAHULUAN
40
1. Rendemen Tepung Wortel
41
B. PENELITIAN UTAMA
42
1. Formulasi
42
2. Uji Organoleptik
43
a. Uji hedonik
43
b. Uji Ranking
44
3. Analisis Proksimat
45
a. Kadar air
45
b. Kadar abu
46
c. Kadar protein
47
d. Kadar lemak
48
e. Kadar Karbohidrat
48
4. Nilai pH
49
5. Kadar Serat Pangan
50
6. Kekerasan
52
7. Kadar Total Natrium
53
8. Total Karoten
54
9. Kadar β-Karoten
55
10. Intensitas Warna
55
V. KESIMPULAN DAN SARAN
59
A. KESIMPULAN
59
B. SARAN
60
DAFTAR PUSTAKA
61
LAMPIRAN
66
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Ikan nila
6
Gambar 2. Wortel (Daucus carota L)
11
Gambar 3. Mekanisme antioksidan primer
16
Gambar 4. Struktur kimia karagenan
19
Gambar 5. Diagram alir pembuatan tepung wortel
23
Gambar 6. Diagram alir proses pembuatan nugget ikan
26
Gambar 7. Proses pengeringan wortel dengan fluid bed dryer
41
Gambar 8. Tepung wortel
41
Gambar 9. Hasil analisis kadar air
45
Gambar 10. Hasil analisis kadar abu
46
Gambar 11. Hasil analisis kadar protein
47
Gambar 12. Hasil analisis kadar lemak
48
Gambar 13. Hasil analisis kadar karbohidrat
49
Gambar 14. Hasil analisis nilai pH nugget ikan terpilih dan nugget kontrol
50
Gambar 15. Hasil analisis kekerasan
52
Gambar 16. Nugget ikan kontrol dan nugget ikan terpilih
57
Gambar 17. Nugget ikan dengan enam kombinasi penambahan serat
58
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Daftar komposisi kimia ikan nila
7
Tabel 2.
Syarat mutu nugget ayam
8
Tabel 3.
Komposisi kimia wortel
15
Tabel 4.
Karakteristik bahan pembentuk gel jenis karagenan
21
Tabel 5.
Formula nugget ikan
24
Tabel 6.
Formula batter
25
Tabel 7.
Kondisi yang direkomendasikan untuk analisis logam
35
Tabel 8.
Setting texture analyzer yang digunakan dalam pengukuran
37
Tabel 9.
Formula nugget ikan yang digunakan dalam penelitian
42
Tabel 10. Formula nugget ikan setelah ditambahkan serat
43
Tabel 11. Hasil uji hedonik dan ranking terhadap rasa, tekstur dan warna secara keseluruhan dari tiap sampel
44
Tabel 12. Hasil analisis serat pangan larut pada produk terpilih dan kontrol
51
Tabel 13. Kadar total natrium produk kontrol dan produk terpilih
54
Tabel 14. Hasil analisis total karoten dan β-karoten nugget kontrol dan nugget terpilih Tabel 15. Hasil analisis warna pada produk kontrol dan produk terpilih
55 56
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Formulir isian untuk uji hedonik secara overall
66
Lampiran 2. Formulir isian untuk uji ranking secara overall
67
Lampiran 3. Hasil uji hedonik sampel
68
Lampiran 4. Hasil uji lanjut Duncan
69
Lampiran 5. Hasil Friedman test
70
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkembangnya isu penggunaan formalin pada ikan air laut membuat masyarakat enggan untuk mengkonsumsi ikan, khususnya ikan air laut. Hal ini tentu saja berdampak pada semakin rendahnya konsumsi ikan pada masyarakat Indonesia. Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Perikanan dan Kelautan (2006) tingkat konsumsi ikan nasional hanya 19 kg/kapita/tahun, sedangkan di negara Vietnam maupun Malaysia tingkat konsumsinya dapat mencapai 33 kg/kapita/tahun (Anonim, 2006a). Salah satu solusi untuk meningkatkan konsumsi ikan di Indonesia adalah dengan mengembangkan sektor perikanan darat. Perikanan darat merupakan sektor perikanan Indonesia yang memiliki potensi cukup besar selain sektor kelautan. Meskipun demikian, potensi tersebut belum dapat dikembangkan dan dimanfaatkan dengan baik, terutama untuk kepentingan di dalam negeri. Salah satu faktor yang menjadi kendala dalam pemanfaatan sumber daya perikanan darat saat ini ialah masih terbatasnya diversifikasi produk olahan ikan. Penyelesaian dari masalah tersebut, ialah dengan pengembangan teknologi pengolahan produk-produk perikanan. Contoh produk olahan ikan yang saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat dan mendapatkan tempat di hati masyarakat ialah nugget ikan. Nugget ikan adalah suatu bentuk produk olahan dari daging ikan giling yang diberi bumbu-bumbu halus serta dicampur dengan bahan pengikat lalu dicetak menjadi bentuk tertentu, dicelupkan ke dalam batter dan breading kemudian digoreng atau disimpan. Ikan nila (Oreochromis sp) merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang potensial dan dapat digunakan sebagai bahan baku nugget, karena memiliki protein tinggi, lemak yang rendah serta hanya sedikit memiliki daging merah. Tingkat produksi ikan nila di Indonesia cukup tinggi, hal itu dapat dilihat pada angka ekspor ikan ini untuk negara Amerika yang mencapai 4.906,73 ton pada tahun 2005 (Dadang, 2006). Selain itu harga ikan nila juga terjangkau yaitu Rp. 8.000 - Rp. 10.000/kg dengan rasa daging yang sangat
enak. Introduksi dari produk nugget ikan nila ini diharapkan dapat meningkatkan konsumsi ikan masyarakat. Perkembangan
ilmu
pangan
dan
gizi
menunjukkan
bahwa
sayur-sayuran mengandung komponen zat gizi dan non-gizi yang sangat berguna bagi kesehatan. Salah satunya adalah serat pangan (dietary fiber). Serat pangan merupakan salah satu komponen yang sering digunakan dalam komposisi diet sehari-hari. Serat memiliki fungsi mencegah terjadinya beberapa
penyakit
yang
berhubungan
dengan
saluran
pencernaan,
kardiovaskuler dan diabetes. Serat pangan dapat diperoleh melalui konsumsi bahan-bahan pangan yang kaya serat serta melalui penambahan serat pada produk makanan olahan. Komponen lainnya yang juga berasal dari tanaman (sayuran, bumbu-bumbu masak dan buah-buahan) dan bermanfaat bagi kesehatan tubuh adalah antioksidan. Sayuran merupakan salah satu sumber serat pangan serta sejumlah antioksidan yang terbukti mempunyai peranan penting untuk menjaga kesehatan tubuh (Muchtadi dan Anjarsari, 1996). Wortel merupakan salah satu sayuran yang cukup dikenal oleh masyarakat luas. Wortel dikenal sebagai sayuran sumber vitamin A karena kandungan karotennya. Karoten dapat berfungsi sebagai antioksidan bagi tubuh manusia. Wortel juga merupakan sumber serat pangan yang baik. Oleh karena itu pada penelitian ini wortel digunakan sebagai salah satu sumber serat pangan dan antioksidan. Karagenan sering digunakan sebagai bahan pengental atau penstabil pada berbagai makanan dan minuman. Nugget merupakan adonan yang memerlukan suatu bahan pengisi (filler) yang sekaligus berfungsi sebagai emulsifier untuk menjaga adonan agar tetap stabil. Salah satu bahan pangan yang dapat digunakan sebagai pengisi adalah karagenan. Dengan alasan tersebut di dalam penelitian ini karagenan digunakan sebagai salah satu sumber serat pangan terutama serat pangan yang larut air (soluble dietary fiber). Saat ini, penggunaan karagenan dan tepung wortel pada produk olahan ikan terutama nugget masih jarang. Selain itu, seberapa besar pengaruh
penambahan karagenan dan tepung wortel terhadap mutu nugget juga masih belum banyak dikaji di Indonesia. B. Tujuan Penelitian ini diharapkan dapat memberi variasi pada produk pangan yang terbuat dari ikan, khususnya ikan darat. Di dalam penelitian ini dicari tingkat penambahan tepung wortel dan karagenan yang tepat dalam pembuatan nugget ikan nila. Tujuan penelitian ini adalah meneliti pengaruh penambahan tepung wortel dan karagenan terhadap kandungan serat pangan dan karoten nugget ikan nila. Dari penelitian ini diharapkan dihasilkan nugget ikan nila dengan kandungan serat yang tinggi melalui pemanfaatan tepung wortel dan karagenan, sekaligus mendapatkan karakteristik sensori yang baik dan disukai oleh konsumen.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. DAGING IKAN Di antara beberapa sumber protein yang ada, secara kuantitas dan kualitas daging ikan sangat baik untuk dikonsumsi. Hal ini disebabkan daging ikan merupakan sumber protein yang tinggi kandungan asam amino esensialnya dan tinggi ketersediaannya di perairan Indonesia. Selain produksinya yang tinggi, kualitas gizi ikan juga sangat baik. Daging ikan umumnya memiliki nilai daya cerna sebesar 90 % (Astawan, 1990) dan komposisi daging ikan secara umum terdiri dari protein sebesar 15.0-24.0 % (bb), karbohidrat 1.0-3.0 % (bb), 0.8-2 % (bb) senyawa anorganik, lemak sebesar 0.1-22.0 % (bb) dan air sebesar 66-84 % (Suzuki, 1981).
B. PROTEIN DAGING IKAN Protein daging ikan terdiri dari protein miofibril, sarkoplasma dan stroma. Protein miofibril merupakan jenis protein yang jumlahnya terbesar dari ketiga jenis protein tersebut yaitu antara 66-77 %. Protein miofibril terdiri dari miosin, aktin, aktinin dan troponin (Suzuki, 1981). Protein miofibril terdiri dari aktin dan miosin yang terletak berselang-seling. Gabungan dari aktin dan miosin membentuk aktomiosin yang sangat berperan dalam membentuk gel ikan (Fennema, 1976). Tetapi, protein miofibril mudah mengalami kerusakan oleh perlakuan fisik dan kimia sehingga pengolahan yang dilakukan harus memperhatikan faktor-faktor yang dapat menyebabkan kerusakan miosin. Protein miofibril lebih tidak stabil pada kondisi asam dibandingkan kondisi netral dan kestabilan protein miofibril berbeda-beda tergantung spesies ikan (Suzuki, 1981). Apabila daging ikan mentah digiling dengan penambahan garam, maka miofibril akan larut dalam larutan garam tersebut dan menyebabkan strukturnya berubah dari gel menjadi sol (Suzuki, 1981).
C. IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Ikan nila merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan bentuk tubuh memanjang dan pipih kesamping dan warna putih kehitaman atau kemerahan. Ikan nila berasal dari Sungai Nil dan danau-danau sekitarnya. Sekarang ikan ini telah tersebar ke negara-negara di lima benua yang beriklim tropis dan subtropis. Sedangkan di wilayah yang beriklim dingin, ikan nila tidak dapat hidup baik (Sugiarto, 1988). Ikan nila disukai oleh berbagai bangsa karena dagingnya enak dan tebal seperti daging ikan kakap merah (Sumantadinata, 1981). Ikan nila didatangkan ke Bogor pada tahun 1969 oleh Lembaga Penelitian Perikanan Darat (LPPD) setelah diteliti dan diperbanyak. Kemudian disebarluaskan ke berbagai propinsi di seluruh Indonesia sekitar tahun 1971. Ikan nila memiliki rupa yang mirip ikan mujair, tetapi ikan ini berpunggung lebih tinggi dan lebih tebal. Ciri khas lainnya adalah garis-garis (bars) yang jelas pada badan, sirip ekor dan sirip punggung. Pertumbuhan individu ikan nila lebih cepat daripada ikan mujair dan dapat mencapai ukuran yang jauh lebih besar. Ikan nila dapat mencapai ukuran lebih dari satu kilogram pada kolam yang subur akan plankton. Karena berbagai sifat yang lebih unggul daripada ikan mujair, maka ikan nila diharapkan dapat menggeser kedudukan ikan mujair yang dipelihara di kolam-kolam (Sumantadinata, 1981). Terdapat tiga jenis ikan nila yang dikenal, yaitu nila biasa, nila merah (nirah) dan nila albino (Sugiarto, 1988). Gambar ikan nila dapat dilihat pada Gambar 1. Klasifikasi ikan nila menurut Saanin (1968) adalah sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Sub Phylum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub Kelas
: Teleostei
Ordo
: Perchomorphy
Sub Ordo
: Percoidea
Famili
: Cichilidae
Genus
: Oreochromis
Spesies
: Oreochromis niloticus
1. Morfologi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Ikan nila mempunyai sirip punggung, sirip dubur dan sirip perut yang masing-masing mempunyai jari-jari lemah dan jari-jari keras yang tajam seperti duri. Sirip punggung mempunyai lima belas jari-jari keras dan sepuluh jari-jari lemah, sirip ekor mempunyai dua buah jari-jari keras dan lima belas jari-jari lemah sedangkan sirip perut mempunyai satu jari-jari keras dan enam jari-jari lemah. Sirip punggung berwarna hitam dan sirip dada menghitam. Pada sirip ekor terdapat enam buah garis tegak sedangkan pada sirip punggung delapan buah (Anonymous, 1991).
Gambar 1. Ikan nila (Oreochromis niloticus)
2. Komposisi Kimia Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Air merupakan komponen utama pada ikan. Kandungan air pada ikan berkisar antara 70-80 %, protein 18-20 %, lemak 0.5-20 % serta berbagai vitamin dan mineral (Ilyas, 1983). Komposisi kimia ikan sangat bervariasi tergantung dari spesies, jenis kelamin, umur, musim penangkapan, kondisi ikan dan habitat (Zaitsev et al., 1969). Tabel 1 menyajikan komposisi kimia daging ikan nila (Oreochromis niloticus).
Tabel 1. Daftar komposisi kimia ikan nila per 100 gram Komposisi Daging Ikan
Jumlah (% bb)
Kadar air
83.99
Kadar abu
0.78
Kadar protein
13.40
Kadar lemak
1.03
Sumber : Samsudin (2003)
D. NUGGET IKAN Secara umum nugget adalah suatu bentuk olahan daging giling yang diberi bumbu-bumbu serta dicampur dengan bahan pengikat kemudian dicetak menjadi bentuk tertentu. Selanjutnya dilumuri dengan tepung roti (coating) yang akhirnya digoreng setengah matang (Mesra, 1994). Bentuk nugget pada umumnya
persegi
panjang,
ketika
digoreng
nugget
menjadi
kekuning-kuningan dan kering. Produk nugget dapat dibuat dari daging sapi, ayam, ikan dan lain-lain. Nugget yang paling banyak diperdagangkan adalah nugget daging ayam. Syarat mutu nugget ayam terdapat pada Tabel 2 (SNI 01-6683-2002). Elingosa (1994) menyatakan bahwa nugget adalah suatu bentuk produk daging giling yang telah dibumbui, kemudian diselimuti oleh perekat tepung dan dilumuri tepung roti, digoreng setengah matang lalu dibekukan untuk mempertahankan mutu selama penyimpanan. Menurut Apriadji (2001) nugget termasuk ke dalam salah satu bentuk produk beku siap saji. Produk beku siap saji adalah suatu produk yang telah mengalami pemanasan sampai setengah matang kemudian dibekukan. Produk beku siap saji ini memerlukan waktu pemanasan akhir yang cukup singkat untuk siap dikonsumsi.
Pembekuan
dilakukan
setelah
produk
setengah
matang
(precooked). Pada saat diperlukan masakan tinggal dipanaskan hingga matang. Sekalipun dibekukan terlebih dahulu, makanan siap saji tidak akan kehilangan
banyak zat gizi, juga tidak ada perubahan pada cita rasa terutama teksturnya (Apriadji, 2001). Nugget ikan adalah suatu bentuk produk olahan dari daging ikan giling dan diberi bumbu-bumbu serta dicampur dengan bahan pengikat lalu dicetak menjadi bentuk tertentu, dicelupkan ke dalam batter dan breading kemudian digoreng atau disimpan terlebih dahulu dalam ruang pembeku atau freezer sebelum digoreng (Hapsari, 2002). Daging ikan berasal dari ikan segar yang telah dibuang kepala, sisik, kulit, sirip, isi perut dan ingsang serta telah dipisahkan dari tulangnya (Mesra, 1994). Tabel 2. Syarat mutu nugget ayam Jenis analisis
Satuan
Syarat Mutu
Kadar air
% bb
Maks 60
Kadar protein
% bb
Min 12
Kadar lemak
% bb
Maks 20
Kadar Karbohidrat
% bb
Maks 25
Sumber : SNI Nugget Ayam 01-6683-2002
E. SERAT PANGAN Secara umum, serat pangan banyak didefinisikan sebagai kelompok polisakarida dan polimer-polimer lain yang tidak dapat dicerna oleh sistem sekresi normal. Konsep dasar serat pangan terfokus pada komponen penyusun dinding sel, dimana dapat diterangkan bahwasanya serat pangan adalah sejumlah polisakarida dan lignin yang tidak dapat dicerna oleh alat pencernaan manusia (Towell, 1973). Menurut Winarno (1997), serat pangan (dietary fiber) merupakan bagian dari karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan. Serat pangan banyak berasal dari dinding sel berbagai sayuran dan buah. Menurut Linder (1985), serat pangan adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dicerna secara enzimatis (enzim yang dikeluarkan oleh manusia),
sehingga tidak digolongkan sebagai sumber zat makanan. Serat pangan meliputi selulosa, hemiselulosa, pektin, gum dan lignin. Penggunaan kata serat sebenarnya pemberian nama yang kurang tepat karena materi tersebut bukanlah berserat, tidak panjang berupa benang, ternyata ada yang larut (terurai) walaupun dalam jumlah terbatas (Linder, 1985). Dalam ilmu pangan, serat pangan total (Total Dietary Fiber, TDF) terdiri dari komponen serat pangan larut (Soluble Dietary Fiber, SDF) dan serat pangan tidak larut (Insoluble Dietary Fiber, IDF). SDF diartikan sebagai serat pangan yang dapat larut dalam air hangat atau panas serta dapat terendapkan oleh air yang telah dicampur dengan empat bagian etanol. Sedangkan IDF diartikan sebagai serat pangan yang tidak larut dalam air panas atau dingin (Winarno, 1997). Secara fisiologis, serat pangan larut (SDF) lebih efektif dalam mereduksi serum kolesterol plasma low density lipoprotein (LDL) yang berkaitan dengan kolesterol, hal ini berhubungan dengan penurunan secara signifikan terhadap resiko jantung koroner dan tekanan darah tinggi. Selain itu SDF juga bermanfaat bagi penderita diabetes yaitu mereduksi absorpsi glukosa dalam usus. Serat pangan tidak larut (IDF) lebih bermanfaat dalam mengatasi gangguan sistem pencernaan seperti sembelit, mempercepat transit bahan makanan di usus dan meningkatkan volume feses, serta dapat digunakan untuk mengontrol berat badan (Prosky dan Devries, 1992).
F. SAYURAN Sayuran adalah bagian dari tanaman atau berupa tanaman yang dapat dikonsumsi dalam keadaan mentah maupun matang. Sayuran merupakan bahan pangan yang penting untuk memperoleh suatu kesetimbangan konsumsi makanan. Sayuran merupakan salah satu sumber pro-vitamin A dan C, sumber kalsium dan zat besi dan menyumbangkan sedikit kalori serta sejumlah elemen mikro (Muchtadi dan Anjarsari, 1996). Sayuran segar, berdasarkan bentuknya, dapat dikelompokkan dalam 4 macam, yaitu sayuran daun (kol, caisin, seledri, daun bawang, kucai, lettuce,
kangkung, bayam), sayuran buah (terung, tomat, cabai, gambas, mentimun), sayuran umbi (gobo, kentang, wortel, radis), dan sayuran bunga (bunga kol, tebu telor). Semua jenis sayuran tersebut umumnya berupa bahan yang kandungan airnya cukup tinggi dan cepat mengalami kelayuan serta pembusukan. Hasil penelitian Amira (1997) menunjukkan terdapat beberapa sayuran yang tergolong sebagai sumber serat pangan yang tinggi yaitu kangkung, bayam, selada, brokoli, kacang panjang, katuk dan wortel. Sayuran hijau bernilai khusus dalam susunan makanannya karena kandungan vitamin C, karoten (prekursor vitamin A) dan asam folatnya. Kadar karoten akan meningkat dengan peningkatan warna hijau sayuran. Menurut Agoes dan Lisdiana (1995), manfaat sayuran bagi tubuh manusia diantaranya adalah untuk memelihara kesehatan tubuh sehingga akan memperkecil resiko tubuh mendapat serangan berbagai penyakit seperti kanker, jantung, diabetes, hipertensi dan untuk mengontrol berat badan. Semua sayuran mengandung serat pangan dan berkalori rendah. Sayuran umbi-umbian, kecuali wortel, tidaklah bernilai gizi tinggi seperti sayuran lainnya, tetapi jenis ini juga menyediakan serat (Gaman dan Sherrington, 1992). Sayuran dapat menunda proses penuaan karena mengandung antioksidan yang berfungsi memberikan perlindungan terhadap sel-sel tubuh dan proses oksidan yang mempercepat proses penuaan. Manfaat lain dari sayuran yang tak kalah pentingnya adalah memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral. 1. Wortel ( Daucus carota, L) Dalam taksonomi botani tumbuhan wortel diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi
: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub-divisi
: Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas
: Dicotyledonae (berbiji keping-keping)
Ordo
: Umbelliferae (Apiceae)
Genus
: Daucus
Spesies
: Daucus carota L. Di Indonesia wortel dikenal dengan beberapa nama diantaranya
disebut bortol (Sunda dan Priangan), wortel, wertol atau ortel (Madura) (Rukmana, 1995). Wortel dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Carrot, di perancis dikenal dengan nama Carotte, di Belanda dikenal dengan nama Bortel, sementara di Indonesia secara umum dikenal dengan nama wortel (Anonim, 2005a). Wortel merupakan salah satu anggota suku Umbelliferae yang ditanam untuk menghasilkan umbi. Wortel juga merupakan tanaman tahunan atau setahun yang tumbuh tinggi tegak setinggi 30-100 cm (LIPI, 1977). Batang pendek, basah, merupakan sekumpulan tangkai daun yang keluar dari ujung umbi bagian atas. Daun majemuk berganda, menyirip, berbatang lanset atau garis, pinggirnya bercangap, ujung runcing, pangkal berlekuk, panjang 15-20 cm, lebar 10-13 cm, pertulangan menyirip, berwarna hijau. Bunga berkumpul dalam payung majemuk, mahkota berbentuk bintang, halus, berwarna putih atau merah jambu agak pucat. Buah buni, lonjong, diameter kurang lebih 3 mm, berwarna cokelat, kecil berbulu. Biji lonjong, berwarna putih. Akarnya akar tunggang, membengkak menjadi umbi berdaging berwarna jingga (Dalimartha, 2006). Gambar wortel terdapat pada Gambar 2.
Gambar 2. Wortel (Daucus carota L.)
Menurut Sunarjono (1984), tanaman wortel mempunyai beberapa varietas. Pada umumnya varietas yang ditanam di Indonesia adalah varietas Chantenay, Nantes dan Imperator. Diantara ketiga varietas tersebut yang paling disukai adalah Chantenay karena rasanya lebih manis dibandingkan kedua varietas lainnya yaitu Nantes dan Imperator. Wortel jenis Chantenay, yakni wortel yang memiliki umbi akar berbentuk bulat panjang dan rasanya manis. Wortel jenis Imperator, yakni wortel yang memiliki umbi akar berukuran panjang dengan ujung meruncing dan rasanya kurang manis. Sedangkan wortel jenis Nantes, yakni wortel hasil kombinasi dari jenis wortel Imperator dan Chantenay (Anonim, 2005a). Sifat-sifat yang diinginkan dari sayuran terutama ditentukan oleh tujuan penggunaannya. Sunarjono (1984) menyatakan bahwa tanaman wortel dapat tumbuh dengan baik di daerah yang mempunyai ketinggian lebih dari 500 meter di atas permukaan air laut terutama pada ketinggian 1200 meter atau pegunungan. Tanaman wortel membutuhkan suhu udara dingin dan lembab.
Di
negara-negara
yang
beriklim
sedang
(sub-tropis)
perkecambahan benih wortel membutuhkan suhu minimum 9 °C dan maksimum 2 °C. Namun pertumbuhan dan produksi umbi yang optimal membutuhkan suhu udara antara 15.5-21.1 °C (Rukmana, 1995). Syarat-syarat lainnya adalah tanah berstruktur remah, dalam dan mempunyai kandungan bahan organik yang cukup. Tanah dengan pH 6.06.5 sangat baik untuk pertumbuhan wortel (Tindall, 1987). Setelah tanaman berumur 2.5-4 bulan, dilakukan pemanenan hasil dan diperoleh wortel dalam keadaan yang optimum baik ukuran maupun warnanya. Wortel yang mutunya baik adalah wortel yang renyah, manis dan berwarna kuning tua sampai oranye serta umbi yang tidak berserabut (Tindall, 1987). Wortel mempunyai umur simpan selama 4 minggu, pada suhu 0 °C, RH 90-95 %, dengan kadar air 88.2 %. Wortel segar mengandung air, protein, karbohidrat, lemak, serat, abu, zat anti kanker (alkaloid, flavonoid), gula alamiah (fruktosa, sukrosa, dektrosa, laktosa, dan maltosa), pektin, glutanion, mineral (kalsium,
fosfor, besi, kalium, natrium, magnesium, kromium), vitamin (beta karoten, B1, dan C), asam lemak tak jenuh ganda serta asparagine (Dalimartha, 2006). Wortel merupakan salah satu komoditas hortikultura yang berasal dari kelompok sayuran yang memiliki potensi sebagai sumber vitamin A. Pigmen pada wortel yang memiliki potensi sebagai sumber vitamin A adalah karoten (α-, β-, γ-karoten). Karoten pada wortel tersebar di seluruh sitoplasma sel dan terdapat dalam tiga bentuk, yakni: (1) membentuk ikatan dengan protein; (2) membentuk kompleks dengan butir-butir pati; (3) sebagai caroten bodies (Paul dan Palmer, 1972). Lebih lanjut dikatakan kadar karoten dalam wortel berkisar antara 7-12 µg/g pada wortel yang berwarna muda sampai 100-170 µg/g pada wortel yang berwarna tua atau gelap. Beta karoten merupakan pigmen paling aktif apabila dibandingkan dengan alpha dan gamma karoten (Anonim, 2006c). Sebuah wortel ukuran sedang mengandung sekitar 15.000 IU beta karoten (Dalimartha, 2006). Diperkirakan setiap 6 µg β-karoten mempunyai
aktivitas
biologi
1
µg
retinol.
Winarno
(1997)
mengkategorikan wortel kedalam sumber vitamin A dengan kandungan sedang (RE 1.000-20.000 µg/100 g). Kandungan α- dan β-karoten pada wortel segar yang diperoleh dari sebuah Institut Pertanian di Sao Paulo, Brazil masing-masing adalah 2067 dan 4584 µg/100 g. Kandungan α dan β-karoten yang berbeda-beda ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti varietas, musim tanam, kondisi penyimpanan sampai kepada metode analisis (Goodwin, 1980; Hsieh dan Karel, 1983 Di dalam Setiana 1993). Pemanasan mampu meningkatkan aktivitas antioksidan wortel rata-rata 34 % lebih tinggi daripada dalam keadaan mentah. Hal itu terjadi karena wortel memiliki banyak dinding-dinding sel yang keras, sehingga banyak antioksidan berbagai senyawa yang masih terikat dan terperangkap dalam susunan senyawa lainnya. Pemanasan dapat membebaskan senyawa antioksidan tersebut sehingga aktivitas antioksidan wortel masak menjadi lebih tinggi. Tetapi pemasakan wortel tidak boleh terlalu lama karena
dapat
mengakibatkan
senyawa
antioksidannya
menjadi
rusak
(Hariyadi, 2006). Soewito
(1989)
menyatakan
bahwa
wortel
mengandung
provitamin A yaitu karoten yang dapat mencegah penyakit rabun senja, diare, dan mengandung enzim pencernaan yang bersifat diuretik. Selain itu β-karoten (provitamin A) juga memegang peranan penting dalam kesuburan (fertilitas), menghadang laju kolesterol darah dan pencegahan kanker (Linder, 1985). Wortel mentah atau dimasak merupakan sumber kalium dan vitamin C (Anonim, 2005b). Vitamin C pada tanaman ini berkhasiat sebagai antioksidan yang melindungi kolesterol LDL dari proses oksidasi (Anonim, 2000). Kandungan kalium dalam wortel dapat membantu menetralkan asam dalam darah (Anonim, 2005b). Senyawa lainnya yang terdapat pada wortel dan dapat menurunkan resiko perkembangan kanker yaitu falcarinol (C17H24O), suatu komponen yang juga merupakan pestisida alami (Anonim, 2006b). Falcarinol bukan senyawa kimia yang berbahaya dan dalam jumlah tertentu punya kemampuan merangsang mekanisme tubuh untuk melawan kanker. Akibat fatal dari mengkonsumsi falcarinol hanya akan terjadi kalau seseorang memakan 400 kilogram wortel sekali makan (Anonim, 2006b). Daun wortel liar dan biji berkhasiat diuretik dan peluruh haid. Daun wortel mengandung porphirins. Zat ini dapat merangsang kelenjar pituitari dan meningkatkan hormon seks. Buah mengandung bisabolene, tiglic acid dan geraniol. Biji wortel liar mengandung flavonoid, minyak menguap
termasuk
asarone,
carotol,
pinene,
dan
limonene
(Dalimartha, 2006). Mendapatkan dan mengonsumsi wortel sangatlah mudah, dapat dicampur dalam berbagai variasi makanan, minuman jus ataupun suplemen (Anonim, 2005b). Daftar kandungan nutrisi wortel tercantum dalam Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia wortel Komposisi
Satuan
Wortel
Protein
gram
1,20
Lemak
gram
0,30
Karbohidrat
gram
9,30
Kalsium
miligram
39,00
Fosfor
miligram
37,00
Besi
miligram
0,80
Vitamin A
SI
12000,00
Vitamin B1
miligram
0,06
Vitamin C
miligram
6,00
Air
gram
88,20
Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1995)
G. ANTIOKSIDAN Antioksidan adalah senyawa yang mampu menghambat atau mencegah terjadinya oksidasi (Schuler, 1990). Menurut Winarno (1997), antioksidan dibagi menjadi dua ketegori yaitu antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer merupakan zat yang dapat bereaksi dengan radikal bebas atau mengubahnya menjadi produk yang stabil, sedangkan antioksidan sekunder atau antioksidan preventif dapat mengurangi laju awal reaksi (Gordon, 1990). Dengan mengkonsumsi antioksidan setiap hari dapat mengurangi peluang munculnya penyakit degenaratif dan memperlambat penuaan. Antioksidan tersebut akan merangsang respon imun tubuh sehingga mampu menghancurkan radikal bebas, mempertahankan kelenturan pembuluh darah, mempertahankan besarnya jaringan otak dan mencegah kanker. Penggunaan antioksidan tidak boleh berlebihan karena aktivitas antioksidan akan hilang pada konsentrasi yang tinggi dan mungkin akan menjadi
prooksidan.
Penggunaan
antioksidan
yang
berlebihan
akan
menyebabkan senyawa lebih bersifat sebagai akselerator daripada inhibitor
dalam oksidasi lemak. Dalam keadaan berlebihan, antioksidan akan meningkatkan dekomposisi oksidasi lemak dan pembentukan produk radikal. Menurut Shahidi (1995), antioksidan primer (AH) bekerja dengan mekanisme seperti pada Gambar 3. Antioksidan primer (AH) bereaksi dengan oksida lipid dengan cara meberikan atom hidrogen secara terus-menerus kepada radikal lipida (reaksi 1 dan 2). Reaksi berikutnya berkompetisi dengan rantai reaksi propagasi (reaksi 5 dan 6). (1)
ROO. + AH
ROOH + A.
(2)
RO. + AH
ROH + A .
(3)
ROO. + A. .
.
ROOA
(4)
RO + A
(5)
RO. + RH
ROOH + R.
(6)
ROO. + RH
R. + ROOH
ROA
Gambar 3. Mekanisme antioksidan primer Antioksidan alami yang paling umum adalah flavonoid (flavanol, isoflavon, flavon, katekin, dan flavanon), turunan dari asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam organik polifungsional (Pratt dan Hudson, 1990). Secara alami, antioksidan terdapat dalam hampir semua bahan pangan. Walaupun demikian, jika bahan pangan tersebut diolah maka antioksidan yang terkandung di dalamnya dapat mengalami degradasi kimia atau fisik sehingga fungsinya berkurang (Fardiaz, 1996).
H. KAROTENOID Telah diidentifikasi terdapat lebih dari 600 jenis karotenoid yang berbeda yang cukup dikenal di dunia kesehatan antara lain karoten, lutein, dan likopen (Dalimartha, 2006). Semua karotenoid larut lemak, artinya karotenoid dapat larut dalam lemak atau minyak dan tidak larut dalam air. Karotenoid yang merupakan prekursor vitamin A adalah karotenoid yang mengandung cincin beta ionon yang dapat diubah menjadi vitamin A, di antaranya α-, β-,
dan γ-karoten. Pigmen α-, β-, dan γ-karoten disebut provitamin A, dimana dalam tubuh hewan dipecah atau diubah menjadi vitamin A (Apandi, 1984). Karotenoid yang merupakan prekursor vitamin A disebut sebagai provitamin A, sedangkan vitamin A yang disimpan dalam jaringan hewan disebut sebagai preformed vitamin A. Provitamin A ialah zat organik yang tidak aktif, tetapi setelah dikonsumsi diubah menjadi zat yang aktif di dalam tubuh
manusia (Andarwulan dan Koswara, 1992). Karotenoid yang
mengandung pigmen yang lebih kecil dikenal sebagai karoten dan xantofil. Karoten
yang
paling
bermanfaat
dalam
makanan
manusia
adalah
beta-carotena dan alfa-carotena, sedangkan xantofil yang penting adalah lutein dan zeaxanthin (Ikrawan, 2006). Beta-carotane adalah pembentuk vitamin A atau retinol yang bermanfaat dalam membantu pertumbuhan dan pembentukan jaringan tubuh, pembentukan tulang dan gigi, daya tahan tubuh dan membentuk jaringan mata. Beta Karotennya merupakan antioksidan yang menjaga kesehatan dan menghambat proses penuaan. Selain itu beta karoten dapat mencegah dan menekan pertumbuhan sel kanker serta melindungi asam lemak tidak jenuh ganda dari proses oksidasi (Ikrawan, 2006) Alfa-carotena sering disebut karotenoid pro-vitamin A yang bisa mencegah
mutasi
selular
dan
menahan
masuknya
oksigen
yang
membahayakan (radikal bebas). Alfa-karoten dapat mengurangi resiko kerusakan hati, paru-paru dan kulit dan diduga sebagai senyawa yang lebih kuat dibandingkan beta-karoten dalam menghambat proses pertumbuhan sel tumor (Ikrawan, 2006). Lutein dan Zeaxanthin merupakan komponen yang berada di lingkungan makula mata, salah satu bagian kecil di pusat retina yang bertanggung jawab mengatur fokus penglihatan. Karotenoid ini mengurangi risiko kerusakan mata akibat penurunan makula yang berkaitan dengan penuaan dan katarak (Ikrawan, 2006). Di alam karoten terutama terdapat sebagai isomer trans. Bentuk trans dari karoten memiliki derajat aktifitas vitamin A yang lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk cis. β-karoten memiliki 100 % aktivitas
vitamin A, α-karoten memiliki 50-54% aktivitas vitamin A, sedangkan γkaroten memiliki 42-50% aktivitas vitamin A (Iwasaki dan Murakoshi, 1992). Penyinaran langsung cahaya ultraviolet dan cahaya matahari akan menyebabkan isomerisasi cis dan trans atau kerusakan pada karoten. Kepekaan karoten terhadap cahaya serta panas biasanya menjadi katalis dalam proses oksidasi. Karoten bersifat larut dalam lemak dan stabil bersama antioksidan dan juga dapat melindungi lemak itu sendiri. Peroksida atau asam lemak yang terbentuk pada proses oksidasi lemak akan mempercepat oksidasi karoten (Setiana, 1993). Provitamin A pada umumnya cukup stabil selama pengolahan pangan, tetapi mempunyai sifat yang sangat mudah teroksidasi oleh udara dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi bersama udara, sinar dan lemak yang sudah tengik (Winarno, 1997).
I. KARAGENAN Karagenan merupakan getah rumput laut yang diekstraksi dengan air atau larutan alkali dari spesies tertentu dari kelas Rhodophyceae (alga merah), biasanya Chondrus crispus, Eucheuma cottonii, dan Eucheuma spinosum. Jenis algae yang mengandung karagenan adalah dari marga Eucheuma. Karagenan diperoleh dari tumbuhan laut Chondrus cripus yang diekstraksi menggunakan alkali panas dan diikuti dengan proses dekolorisasi dan pengeringan (Towle, 1973). Karagenan merupakan polisakarida linier, khususnya galaktan dengan residu galaktosa yang terikat dengan alternatif ikatan α-(1,3) dan β-(1,4). Pada umumnya ikatan galaktosa β-(1,4) muncul sebagai 3.6-anhidro-D-galaktosa dan mungkin terdapat grup ester sulfat pada beberapa atau seluruh unit galaktosa (Fardiaz, 1989). Menurut Glicksman (1979) secara alami terdapat tiga fraksi karagenan, yaitu kappa-karagenan, lambda-karagenan serta iota-karagenan. Kappakaragenan merupakan fraksi yang peka terhadap ion kalium, terdiri dari unitunit galaktosa 4-sulfat yang berikatan (1,3) dan 3,6-anhidro-D-galaktosa berikatan (1,4). Lambda-karagenan tersusun dari 1,4-galaktosa-2,6-disulfat
dan 1,3-galaktosa-2-sulfat. Sedangkan iota-karagenan mempunyai monomer primer 1,3-galaktosa-4-sulfat dan 3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat berikatan (1,4). Sifat-sifat kappa, iota, dan lambda karagenan terdapat pada Tabel 4. Daya larut karagenan dalam air juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : tipe karagenan, ion, bahan pelarut lainnya, suhu, dan pH. Karagenan beserta garam-garamnya diklasifikasikan dalam kategori GRAS (Generally Recognized as Safe) yang digunakan pada taraf GMP (Good Manufacturing Practices) yaitu suatu jumlah bahan yang ditambahkan kedalam makanan tidak lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk mendapatkan pengaruh yang diinginkan. Struktur kimia dari karagenan ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur kimia karagenan (Anonim, 2004) Karagenan dalam jumlah secukupnya dapat diaplikasikan pada berbagai produk sebagai pembentuk gel, penstabil, pengental (thickener), pensuspensi, pembentuk tekstur emulsi terutama pada produk-produk jelly, permen, sirup, dodol, nugget, produk susu, bahkan untuk industri komestik, tekstil, cat, obat-obatan dan pakan ternak (Suptijah, 2002). Menurut Istini et al., (1986) karagenan bersifat hidrokoloid yang terdiri dari dua senyawa utama, senyawa pertama bersifat mampu membentuk gel dan senyawa kedua mampu membuat cairan menjadi kental. Di dalam Fardiaz (1989) yang mengacu pada Food Chemical Codex III pada tahun 1981 menyatakan bahwa karagenan seharusnya mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
Arsenik (sebagai As)
tidak boleh lebih dari 3 ppm (0.0003 %)
Abu (tidak larut asam)
tidak lebih dari 1.0 %
Abu (total)
tidak lebih dari 35.0 %
Logam berat (sebagai Pb)
tidak boleh lebih dari 40 ppm (0.004 %)
Timah hitam
tidak boleh lebih dari 10 ppm (0.001 %)
Kehilangan pada pengeringan
tidak lebih dari 12 %
Sulfat
Antar 18.0 dan 40.0 % (berat kering)
Kekentalan dari larutan 1.5 %
tidak kurang dari 5 cps pada 75 °C
Menurut Winarno (1995), standar mutu karagenan dalam bentuk tepung adalah 99 % lolos saringan 60 mesh, tepung yang terendap alkohol 0,7 dan kadar air 15 % pada RH 50 dan 25 % pada RH 70. penggunaan ini biasanya dilakukan pada konsentrasi serendah 0,005 % sampai setinggi 3 % tergantung produk yang ingin diproduksi.
Tabel 4. Karakteristik bahan pembentuk gel jenis karagenan Karakteristik Kelarutan dalam air dan susu Kelarutan dalam larutan garam Kelarutan dalam larutan gula Kelarutan dalam etanol Viskositas larutan Kisaran pH optimal Kisaran padatan terlarut optimal Kondisi pembentukan gel Tekstur
Suhu pembentukan
Kekuatan gel
Fardiaz (1989)
Jenis bahan pembentuk gel Iota Lambda Kappa Larut pada suhu Larut pada suhu Larut air dingin lebih dari 70 °C lebih dari 70 °C dan panas Tidak larut Larut dalam Larut dalam panas panas Larut dalam Tidak larut Larut dalam panas panas Tidak larut di Tidak larut di Tidak larut di atas 20 % atas 20 % atas 20 % Rendah Menengah Tinggi 4-10 4-10 4-10 0-40 % 0-20 % 0-80 % Ada ion K, Ca atau Na, suhu di bawah suhu pembentukan Kuat, rapuh, kerapuhan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi ion K, Ca serta menurunnya locust bean gum termoreversibli Meningkat dengan meningkatnya konsentrasi ion K, Na, dan gula
Ada ion K, Ca atu NA, suhu di bawah suhu pembentukan Lembut, kohesif, termoreversible
Tidak membentuk gel
Meningkat dengan meningkatnya konsentrasi ion K, Na, Ca, Gula dan Locust bean gum Meningkat Meningkat dengan dengan meningkatnya meningkatnya konsentrasi ion konsentrasi ion K, Na, Ca, dan K, Na, dan Ca locust bean gum
Tidak membentuk gel
Tidak membentuk gel
Tidak membentuk gel
III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan nila (Oreochromis sp) dalam keadaan segar yang diperoleh dari “Kurnia Fishery”. Asal serat pangan yang digunakan berasal dari tepung wortel dan karagenan. Wortel tersebut diperoleh dari pasar Ciampea-Bogor dan karagenan diperoleh dari toko kimia Setia Guna. Sebagai bahan pengisi digunakan tepung maizena dan tepung terigu dengan perbandingan 1:2. Bahan tambahan yang digunakan adalah air, tepung roti, minyak goreng, garam dapur, lada, MSG (monosodium glutamat), bawang putih, bawang merah, biji pala dan jahe. Peralatan yang digunakan adalah timbangan, kompor, penggorengan, pisau, penggiling daging (chopper), mixer, blender, pH meter, pipet Mohr, cawan porselin, labu Erlenmeyer, gelas piala 150 ml, gelas ukur 100 ml dan 250 ml, tanur, labu Kjeldahl, labu lemak Soxlet, alat ekstraksi Soxhlet, oven, Chromameter, Texture Analyser TAX2i, perangkat Kjeldahl, buret, neraca analitik, timbangan, HPLC (High Performance Liquid Chromatography) dan AAS (Atomic Absorbtion Spectrofotometry). B. METODE PENELITIAN 1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan merupakan persiapan awal yang nantinya akan digunakan dalam penelitian utama, yaitu pembuatan tepung wortel dan menghitung rendemen tepung wortel yang diperoleh. •
Pembuatan Tepung Wortel Tepung
wortel
dibuat
dengan
menggunakan
metode
pengeringan. Wortel segar dicuci dan dibersihkan kotoran-kotoran
yang
menempel
pada
kulit
terluarnya.
Wortel
kemudian
dipotong-potong menjadi bentuk ukuran dadu. Wortel yang telah dipotong-potong lalu dikeringkan dengan menggunakan metode fluid bed dryer yaitu alat yang beroperasi menggunakan udara yang bergerak untuk mengurangi kadar airnya. Proses pengeringan ini dilakukan pada suhu 55-60 °C selama 2-3 jam. Flakes wortel kering yang dihasilkan kemudian dihancurkan hingga halus dengan menggunakan blender hingga menghasilkan bentuk tepung (tidak diayak). Diagram alir proses pembuatan tepung wortel dapat dilihat pada Gambar 5. Wortel segar Pencucian Pemotongan Pengeringan suhu 55-60°C (fluid bed dryer) Penggilingan (blender) Tepung wortel Gambar 5. Diagram alir pembuatan tepung wortel
2. Penelitian Utama Penelitian utama terdiri dari dua bagian. Bagian yang pertama yaitu menentukan formula nugget ikan nila. Bagian kedua yaitu membuat nugget ikan yang ditambahkan tepung wortel dan karagenan.
a. Proses Pembuatan Nugget Ikan Nila Pembuatan nugget ikan dalam penelitian ini dimulai dengan menentukan formula nugget. Formula nugget yang digunakan merupakan hasil modifikasi dari formula nugget yang digunakan dalam penelitian Hapsari (2002). Penentuan formula nugget dan batter dilakukan berdasarkan metode trial and error untuk memperoleh perbandingan komposisi bahan yang paling tepat. Formulasi nugget yang akan dimodifikasi terdapat pada Tabel 5. Sedangkan komposisi batter terdapat pada Tabel 6. Tahapan proses pembuatan nugget dalam penelitian ini dilakukan dengan memodifikasi proses pembuatan yang digunakan dalam penelitian Aswar (1995) dengan yang terdapat dalam Asian Pasific Food Industry (2002). Modifikasi dilakukan dalam tahap pemasakan. Dalam penelitian Aswar (1995) dilakukan pengukusan setelah pencetakan, sedangkan pada Asian Pasific Food Industry (2002) langsung dilakukan pencelupan dalam larutan batter setelah dicetak. Diagram alir proses pembuatan nugget dapat dilihat secara jelas pada Gambar 6. Tabel 5. Formula nugget ikan No Bahan
Jumlah
1
Daging Ikan giling
80 %
2
Tepung
15 %
3
Susu skim
1%
4
Soya Lecitin
1%
5
Garam
1.5 %
6
STPP
0.25 %
7
Bumbu
1.25 %
Sumber : Hapsari (2002) Keterangan : Bahan Pengisi terdiri dari tepung terigu dan tepung maizena dengan perbandingan 1 : 1
Tabel 6. Formula batter Bahan
Jumlah (per 100 g adonan)
Terigu
24.81 g
Maizena
5.64 g
Garam
0.75 g
Air
68.8 g
b. Proses Pembuatan Nugget Ikan Nila dengan Penambahan Tepung Wortel dan Karagenan Pembuatan nugget ikan nila dilakukan dengan menggunakan formula nugget ikan yang diperoleh (Tabel 9). Selanjutnya dalam formula tersebut ditambahkan tepung wortel dan karagenan. Penambahan serat pangan (tepung wortel dan karagenan) dilakukan dengan beberapa konsentrasi berdasarkan total daging ikan yang digunakan. Proses pembuatannya dapat dilihat pada Gambar 6. Batas maksimum penambahan serat pangan dicari melalui metode trial and error. Setelah didapat batas maksimum penambahan, dibuat enam kombinasi perlakuan berdasarkan batas maksimum yang telah diperoleh. Kemudian dilakukan uji organoleptik pada enam kombinasi penambahan serat pangan menggunakan uji kesukaan (hedonik) terhadap warna, aroma, rasa dan tekstur secara keseluruhan (over all) serta uji ranking secara keseluruhan (over all). Selanjutnya pada nugget yang mendapatkan penerimaan terbaik dari panelis dan nugget kontrol (tanpa penambahan serat pangan) dilakukan analisis sifat fisik yang meliputi warna (chromameter), daya iris (Texture Analyser TAX2i) dan sifat kimia yang meliputi analisis proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein), analisis nilai pH, analisis serat pangan (metode enzimatis), analisis total karoten (metode HPLC), analisis kadar natrium (metode AAS).
Tepung wortel
Ikan
karagenan
Pencucian Pemfilletan Penggilingan Pembuatan adonan (penambahan tepung, emulsi dan bumbu) Pencetakan Pencelupan dalam larutan batter Pelumuran tepung roti (breading/coating) Penggorengan secara deep fat frying T = 180°C, 70 detik Nugget ikan Gambar 6. Diagram alir proses pembuatan nugget ikan
3. Rancangan Percobaan Penentuan perlakuan terbaik pada nugget di dalam penelitian utama ini menggunakan dua faktor yaitu faktor α dan β, dimana : faktor α adalah jumlah tepung wortel (dari total daging ikan nila) α1 = tepung wortel 10 % α2 = tepung wortel 12,5 % α3 = tepung wortel 15 % faktor β adalah konsentrasi karagenan (dari total daging ikan nila). β1 = karagenan 0,5 % β2 = karagenan 1 % Rancangan percobaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap faktorial 2x3 dengan dua kali ulangan (Gaspersz, 1991) dengan model linear sebagai berikut : Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Dimana : Yijk = Output dari nugget ke-k yang dibuat dengan jumlah tepung wortel pada konsentrasi ke-i dan karagenan dengan konsentrasi j µ
= Nilai rata-rata output yang sesungguhnya
αi
= Pengaruh aditif dari taraf ke-i faktor α
βj
= Pengaruh aditif dari taraf ke-j faktor β
(αβ)ij = Pengaruh interaksi jenis taraf ke-i dari faktor α dan taraf ke-j dari faktor β εijk = Pengaruh galat percobaan pada nugget yang dibuat dengan tepung wortel pada konsentrasi ke-i dan karagenan dengan konsentrasi-j
C. METODE ANALISIS 1. Kadar Air (AOAC, 1984) Sampel sebanyak 2.0 gram dihancurkan dan dimasukkan ke dalam cawan, lalu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 °C selama 3 jam. Setelah itu dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang beratnya. Kadar air = (berat cawan akhir) – (berat cawan awal) x 100 % (berat basah)
berat sampel
2. Kadar Protein (AOAC, 1995) Sampel sebanyak 1.0 - 2.0 gram dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan 1.0 gram K2SO4, 40 mg HgO dan 2.0 ml H2SO4 pekat. Setelah itu didestruksi sampai cairan berwarna hijau jernih. Dibiarkan dingin, lalu ditambahkan sedikit air suling dan 10 ml 60 % NaOH-5 % Na2S2O3 lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi 5 ml H3B03 dan 2-4 tetes indikator merah metil serta metil biru hingga diperoleh sekitar 15 ml destilat. Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N standar hingga titik akhir. %N = (bb)
(ml contoh - ml blanko) x N HCl x 14.007 x 100 % berat contoh (mg)
3. Kadar Lemak Kasar (AOAC, 1984) Labu lemak yang akan digunakan dalam alat ekstraksi Soxhlet dikeringkan di dalam oven, lalu didinginkan di dalam desikator kemudian ditimbang. Sejumlah sampel ditimbang kemudian dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet. Pelarut heksan dimasukkan ke dalam labu lemak, sesuai dengan ukuran alat
ekstraksi Soxhlet yang digunakan, lalu dilakukan refluks selama 5 jam. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan di dalam oven pada suhu 105 °C. Setelah itu didinginkan di dalam desikator, kemudian ditimbang. % lemak = (bb)
berat lemak
x 100 %
berat sampel
4. Kadar Abu (AOAC, 1984) Sampel ditimbang 2.0 - 3.0 gram, dimasukkan ke dalam cawan porselen dan dibakar pada pembakar sampai asapnya habis. Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 °C selama 4 - 5 jam. Setelah itu sampel dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang. % kadar abu = (bb)
berat abu
x 100 %
berat sampel
5. Kadar Karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat (bb) = 100 – (kadar protein+lemak+air+abu)
6. Analisis Kadar Serat Pangan, Metode enzimatis (Asp et al., 1983) a) Persiapan sampel Sepuluh gram sampel (W) dimasukkan kedalam labu Erlenmeyer kemudian ditambah 25 ml buffer Na-fosfat dan dibuat menjadi suspensi. Penambahan buffer berguna untuk menstabilkan enzim termanyl. Ke dalam labu Erlenmeyer ditambah 100 μl termanyl, labu ditutupi dan diinkubasi pada T= 100 oC selama 15 menit sambil sekalikali diaduk. Tujuan penambah termanyl dan pemanasan adalah untuk
memecah pati dengan menggelatinisasi terlebih dahulu. Kemudian labu diangkat dan didinginkan. Setelah itu ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi pH 1.5 dengan menambahkan HCl 4 M. setelah itu ditambahkan 100 mg pepsin. Pengaturan pH menjadi 1.5 dimaksudkan agar kondisi lingkungan optimum bagi aktivitas pepsin. Labu Erlenmeyer ditutup dan diinkubasi pada suhu 40 oC dan diagitasi 60 menit. Setelah 60 oC labu Erlenmeyer diangkat dan ditambah 20 ml air destilata, kemudian pH diatur menjadi 6.8 (dengan NaOH 4 M) yang merupakan pH optimum bagi aktivitas enzim pankreatin. Setelah pH sesuai lalu ditambahkan 100 mg enzim pankreatin, labu ditutup kemudian diinkubasi pada suhu 40oC dan diagitasi selama 60 menit. pH diturunkan sampai 4.5 dengan menggunakan HCl. Larutan disaring melalui crucible kering yang telah diketahui beratnya (porositas 2) yang mengandung 0.5 gram celite kering. Kemudian dicuci 2 kali masing-masing dengan 10 ml air destilata. Setelah proses ini didapat residu dan filtrat. b) Penentuan Kadar Serat Pangan Tidak Larut (IDF) Residu yang didapat dari tahap persiapan sampel dicuci dua kali masing-masing dengan 10 ml aseton. Kemudian residu dikeringkan pada suhu 105
o
C sampai beratnya tetap (sekitar 12 jam) dan
ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (X1). Residu diabukan dalam tanur pada suhu 500 oC paling tidak selama 5 jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang setelah dingin (Y1). c) Penentuan Kadar Serat Pangan Larut (SDF). Filtrat yang didapat dari tahap persiapan sampel ditepatkan volumenya sampai 100 ml dengan menggunakan labu takar 100 ml. Larutan dituang kedalam gelas piala lalu ditambah 400 ml etanol 95 % hangat (60 oC) dan diendapkan selama satu jam. Larutan disaring dengan crucible kering (porositas 2) yang mengandung 0.5 gram celite
kering, kemudian dicuci 2 kali masing-masing dengan 10 ml etanol 95 %, dua kali masing-masing dengan 10 ml etanol. Endapan dikeringkan pada suhu 105 oC sampai beratnya tetap (sekitar 12 jam) dan ditimbang setelah dingin (Y2). d) Pembuatan Blanko Blanko untuk serat pangan tidak larut (IDF) dan serat pangan larut (SDF) diperoleh dengan cara yang sama pada tahap persiapan sampel tetapi pada pembuatan blanko tidak digunakan sampel dan semua pereaksi yang digunakan dalam tahap persiapan sampel harus digunakan. Dari tahap pembuatan blanko juga didapat residu dan filttrat. Residu yang didapat diberikan perlakuan yang sama seperti pada tahap penentuan kadar serat pangan tidak larut. Berat residu setelah dikeringkan dan diabukan digunakan sebagai blanko untuk penentuan kadar serat pangan larut. Berat filtrat setelah dikeringkan dan diabukan digunakan sebagai blanko untuk penentuan kadar serat pangan larut (B2). e) Koreksi protein pada residu Koreksi protein dilakukan pada residu IDF (K1) maupun SDF (K2). Koreksi protein bertujuan untuk menghindari kesalahan positif akibat adanya protein dalam residu yang yang belum terurai oleh enzim termanyl dan pankreatin. Analisis protein pada residu dilakukan dengan metode mikro Kjeldahl. f) Perhitungan serat pangan total
IDF (% bb) = (X1-Y1-B1-K1) X 100% W
SDF (% bb) = (X2-Y2-B2-K2) X 100% W
Total serat pangan (TDF) = IDF + SDF
Keterangan : W : berat sampel X1 : berat residu setelah dianalisis dan dikeringkan (g) X2 : berat filtrat setelah dianalisis dan dikeringkan (g) Y1 : berat residu setelah diabukan (g) Y2 : berat filtrat setelah diabukan (g) B1 : berat blanko serat makanan bebas abu untuk kadar serat pangan tidak larut (IDF) B2 : berat blanko serat makanan bebas abu untuk kadar serat pangan larut (SDF) K1 : Koreksi protein pada residu serat pangan tidak larut (IDF) K2 : Koreksi protein pada residu residu pangan larut (SDF) 7. Analisis β-Karoten Metode HPLC (Parker, 1992) Pengukuran kadar β-karoten dilakukan dengan metode High Performance Liquid Chromatographi (HPLC). Sampel sekitar 0.1 gram diblender 15-20 menit kemudian diekstrak dengan heksan dan aseton (1:1) dan disaring menggunakan corong Buchner dalam kondisi vakum. Filtrat yang dihasilkan dimasukkan kedalam tabung reaksi untuk dikeringkan dengan gas N2 atau di freez dryer. Filtrat yang sudah kering ditambah 4 ml KOH 5 % dalam metanol. Selanjutnya filtrat dikocok satu menit dan diaerasi selama 30 menit. Ekstrak dipanaskan dalam penangas air suhu 60 oC selama 30 menit. Ekstrak dikocok kembali satu menit. Lapisan atas ekstrak diambil dan dikumpulkan. Filtrat hasil pengumpulan disentrifuse dengan kecepatan 2000 rpm sehingga terpisah. Fase organik yang
terbentuk dikumpulkan dan ditambah 3 ml asam asetat 5 % dalam air bebas ion, dikocok. Selanjutnya fase organik yang telah ditambah asam asetat dan air bebas ion disentrifuse dengan kecepatan 2000 rpm selama 5 menit. Fase organik dipindahkan dan dikeringkan dengan N2 (freezdryer). Residu kering ditambah 5 ml CHCl3 5 % dalam metanol. Selanjutnya dikeringkan dan diaerasi selama 30 menit. Ekstrak didiamkan dalam pendingin suhu -20 oC selama 12 jam. Selanjutnya ekstrak dikeringkan dengan N2. Residu kering ditambah 2 ml metanol, asetonitril dan NHCl3, sebagai fase gerak (48.5 %, 48.5 %, 3 %). Standar β-karoten dicampurkan dalam petroleum eter, dievaporasi dan dicampurkan dengan diklorometan. Konsentrasi standar ditunjukkan secara spektrofotomketrik menggunakan koefisien ekstensi molar E tem 1 % = 2530,. Konsentrasi yang berbeda digunakan untuk analisa HPLC dan memplot grafik standar. Koefisien korelasi dihitung untuk menaksir kelinieran diantara konsentrasi standar dan puncak area grafik. Sampel diencerkan untuk diinjeksikan dan pemisahan analisa dihubungkan dengan rata-rata aliran pelarut pada 1.5 ml per menit dengan sensitifitas detektor (AUFS) 0.02 dan standar lebar gelombang 450 nm. Konsentrasi β-karoten dihitung dengan grafik standar menggunakan rumus :
Kadar β-karoten (ppm) =
Luas puncak sampel x konsentrasi standar x FP Luas puncak standar
Keterangan : FP = faktor pengenceran = 4 8. Analisis Total Karoten Metode Spektrofotometer (Parker, 1992) Sampel yang sudah halus ditimbang sebanyak 7.0 gram dan diaduk dengan 42 ml akuades. Sebanyak 20 ml suspensi sampel tersebut ditambahkan 0.1 gram MgCO3, 10 ml aseton dan 15 ml heksan, diblender selama 5 menit, kemudian disaring. Filtrat dipindahkan ke labu pemisahan, sedangkan residu ditambahkan 5 ml aseton dan 10 ml heksan, diblender 5
menit, diekstraksi dan filtrat dipindahkan ke labu pemisahan yang sama. Ekstraksi dilakukan 1-2 kali sampai residu tidak terekstrak lagi. Filtrat yang terdapat di labu pemisahan, ditambahkan sedikit air. Dikocok dan didiamkan hingga terjadi pemisahan antara aseton-air-residu di bagian bawah dengan heksan karotenoid di bagian atas. Larutan di bagian bawah dibuang sedangkan ekstrak karoten di bagian atas disaring dengan kertas saring anhydrate. Kertas saring tersebut dibilas dengan heksan. Filtrat dipindahkan ke labu takar 100 ml, ditambahkan 22,5 ml aseton, ditepatkan dengan heksan hingga tanda tera. Hasil ekstraksi dapat disimpan menggunakan botol gelap pada freezer dengan suhu -29°C. Sebagai faktor koreksi ekstraksi di cari recovery factor yaitu sampel yang sama ditambahkan β-karoten 0,5 mg sebagai larutan standar. Kemudian dilakukan proses ekstraksi seperti pada larutan sampel. Untuk pengukuran total karoten, sampel dan sampel yang ditambahkan standar diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 453 nm, dengan blanko yaitu 9 % aseton dalam heksan, lalu dibaca absorbennya. Kadar β-karoten dengan memperhitungkan recovery factor dihitung dengan menggunakan rumus : Total karoten (ppm) = A x D x V x 10 x 100 E 1%1 cm x M Keterangan :
Recovery factor
A = absorben
m
= total karoten sampel (ppm)
D = faktor pengencer
n
= total karoten sampel + standar (ppm)
V = volume ekstrak 100 ml
s
= standar yang ditambahkan (0,5 mg)
m-n
= a dimana seharusnya a = s
E
1%
1 cm
= berat sampel (g)
9. Analisis Kadar Total Natrium Metode AAS (Apriyantono et al., 1989) Penetapan kadar natrium total dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode AAS. Prinsip dari metode ini adalah residu
sampel yang telah dihilangkan kandungan bahan-bahan organiknya dengan menggunakan pengabuan basah dapat dilarutkan dalam asam encer. Larutan disebarkan dalam nyala api yang ada dalam nyala AAS sehingga absorpsi atau emisi logam dapat dianalisis dan diukur pada panjang gelombang tertentu. a. Pereaksi 1. H2SO4 pekat, HNO3 pekat dan HClO4 2. Air demineralisasi 3. Larutan stock standar (1000 mg/L) natrium 4. Larutan standar Encerkan larutan stock standar dengan menggunakan air demineralisasi sampai konsentrasinya berada dalam kisaran kerja logam yang bersangkutan seperti dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kondisi yang direkomendasikan untuk analisis logam Unsur
Panjang
Limit
gelombang
deteksi (µg
1
Natrium
(A’’)
logam ml)
589.0
0.002
Kisaran 1
Sistem nyala2
kerja (µg logam/ml)1 0.1-5
Udara-asetilen
1 Apriyantono et al., (1989) 2 AOAC (1995)
b. Persiapan sampel dengan pengabuan basah menggunakan H2SO4, HNO3 pekat dan HClO4 Ditimbang tepat sejumlah sampel dan dimasukkan ke dalam Labu Kjeldahl. Ditambahkan 4 ml asam perklorat, beberapa butir batu didih, dan HNO3 secukupnya. Ditambahkan pula H2SO4 sambil diaduk perlahan. Dipanaskan perlahan-lahan dengan api kecil selama 5-10 menit sampai timbul asap tebal. Hentikan pemanasan dan biarkan larutan menjadi dingin. Larutan kemudian dipanaskan lagi dengan api kecil selama 5-10 menit sampai timbul asap (H2SO4) putih tebal. Besarkan api dan lanjutkan pemanasan 1-2 menit. Tambahkan 1-2 ml HNO3 jika diperkirakan masih ada karbonnya dan panaskan. Larutan
yang dihasilkan kemudian didinginkan. Setelah dingin, larutan kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman dan diencerkan sampai volume 100 ml dengan menggunakan air demineralisasi. Hasil pengabuan basah ini selanjutnya siap untuk dianalisis dengan menggunakan AAS. c. Kalibrasi alat dan penetapan sampel 1. Set alat AAS sesuai dengan instruksi dalam manual alat tersebut 2. Ukur larutan standar logam dan blanko 3. Ukur larutan sampel (selama penetapan sampel, periksa secara periodik apakah nilai standar tetap konstan) 4. Buat kurva standar untuk masing-masing logam (nilai absorpsi vs konsentrasi logam dalam mg/L). d. Perhitungan Konsentrasi natrium total dalam sampel dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Kadar logam (mg/1000 g) = a x 1000 g x FP W Keterangan : W = berat sampel (g) a = konsentrasi larutan sampel yang terbaca dari kurva standar (mg/L) FP = faktor pengenceran
10. Nilai pH (AOAC, 1984) Pengukuran nilai pH dilakukan dengan alat pH-meter. Alat pH meter terlebih dahulu dikalibrasi dengan menggunakan buffer pH 4 dan pH 7 sebelum digunakan untuk mengukur pH sampel. Sampel sebanyak
10 gram ditambah dengan 50 ml aquades kemudian dihomogenkan. Nilai pH diukur dengan menempatkan elektroda pada sampel dan nilai pH sampel terbaca pada layar.
11. Kekerasan (Daya Iris) Pengukuran sifat fisik tekstur nugget ikan yaitu daya iris atau hardness diukur dengan menggunakan alat Stevens LFRA Texture Analyzer (Texture Expert TA-XT2i) dengan parameter yang diamati adalah kekerasan. Cara kerja alat ini adalah pisau pada alat akan memotong sampel kemudian akan terbaca kurva. Kurva yang tertinggi menyatakan nilai kekerasan sampel. Nilai kekerasan adalah besarnya gaya tekan untuk memecah produk padat, dinyatakan dalam gram force (gf). Semakin besar gaya yang digunakan untuk memecah produk, maka semakin besar nilai kekerasan produk tersebut. Tabel 8.
Setting texture analyzer yang digunakan dalam pengukuran Parameter
Setting
Probe set
Warner-Bratzer Blade
Test speed
2.0 mm/s
Pre test speed
2.0 mm/s
Post test speed
10.0 mm/s
Repture test dist
1.0 mm
Force
100 gram
Distance
20.0 mm
Time
5.00 sec
Count
2 Alat Texture Analyzer (Texture Expert TA-XT2i) sudah dilengkapi
dengan sistem komputerisasi, sehingga alat tersebut harus disetting sesuai dengan kebutuhan dan jenis probe yang diuji sebelum digunakan. Probe yang digunakan dalam penelitian ini adalah Warner Bratzel Blade. Probe
blade yang digunakan memberi gaya tekan atau kompresi yang dapat memotong nugget. Adapun setting yang digunakan dalam pengukuran tekstur nugget ikan dapat dilihat pada Tabel 8.
12. Kromatisitas Warna Pengujian warna secara objektif dilakukan dengan menggunakan alat chromameter (R-20, Minolta Camera Co., Japan) dengan menentukan nilai L, a dan b. Chromameter Minolta bekerja berdasarkan pengukuran pantulan warna yang dihasilkan oleh permukaan sampel yang dianalisis. Sebelum dilakukan pengukuran sampel, alat harus dikalibrasi dengan warna kalibrasi agar diperoleh data yang akurat. Nilai L berhubungan dengan derajat kecerahan, yang berkisar antara nol
samapi
seratus.
Kecerahan
dinyatakan
meningkat
dengan
meningkatnya nilai L. Nilai a menggambarkan tingkat kemerahan dan kehijauan. Nilai a negatif menunjukkan warna hijau dari nol sampai delapan puluh, sedang a positif menunjukkan warna merah dari nol sampai seratus. Nilai b menunjukkan tingkat kekuningan dan kebiruan. Nilai b positif menunjukkan intensitas warna kuning, sedangkan nilai b negatif menunjukkan intensitas warna biru.
13. Uji Organoleptik (Rahayu, 1997) Uji organoleptik merupakan penilaian terhadap mutu produk berdasarkan panca indera manusia melalui sensorik. Penilaian dengan indera banyak digunakan untuk penilaian mutu suatu produk terutama produk hasil pertanian dan makanan. Beberapa cara penilaian organoleptik terhadap suatu produk dapat dilakukan, antara lain yaitu dengan menggunakan uji hedonik dan uji ranking. Pengujian organoleptik pada penelitian ini dilakukan secara keseluruhan (over all) terhadap rasa, warna, dan tekstur pada produk nugget ikan yang diberi perlakuan dengan menggunkan uji hedonik dan uji
ranking. Pada uji ini nugget ikan nila yang telah siap akan dinilai oleh panelis setengah terlatih sebanyak 30 orang untuk menunjukkan tingkat kesukaan atau ketidaksukaan secara keseluruhan dengan instruksi dari penyaji. Panelis memberikan penilaian sesuai dengan skala penilaian yang terdapat pada formulir yang tersedia. Skala penilaian yang digunakan pada uji hedonik memiliki rentang 1-6, yaitu (1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = agak suka, 5 = suka dan 6 = sangat suka). Sedangkan untuk uji ranking juga menggunakan enam skala sama seperti pada uji hedonik. Formulir isian untuk uji hedonik dapat dilihat pada Lampiran 1 dan uji ranking pada Lampiran 2.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN Tepung wortel dibuat dengan menggunakan metode pengeringan. Tahap awal pada pembuatan tepung wortel ialah melakukan pemilihan bahan bakunya. Bahan baku yang digunakan yaitu wortel, dengan kondisi yang masih segar, tidak lecet atau luka-luka, berwarna kuning tua (jingga) kemerahan dan cerah. Wortel segar dicuci dengan air dan dipisahkan dari bagian yang tidak memenuhi persyaratan melalui proses sortasi. Wortel yang telah bersih dan telah ditiriskan, kemudian dipotong-potong menjadi bentuk dadu kemudian dikeringkan dengan menggunakan alat pengering fluid bed dryer. Proses pengeringan ini dilakukan pada suhu 55-60 °C selama 2-3 jam. Proses pengeringan wortel dapat dilihat pada Gambar 7. Flakes wortel kering yang dihasilkan kemudian dihancurkan hingga halus dengan menggunakan blender hingga menghasilkan bentuk tepung (tidak diayak). Proses penggilingan dengan menggunakan blender dilakukan dalam waktu singkat hingga diperoleh bentuk serbuk tepung. Kondisi tepung wortel dapat dilihat pada Gambar 8. Menurut Winarno, Fardiaz, dan Fardiaz (1980) diperkirakan 30-40 % sayuran dan buah-buahan di Indonesia mengalami kerusakan sebelum dikonsumsi. Salah satu komoditas pertanian yang cepat mengalami kerusakan adalah wortel (Daucus carota L). Tujuan pengolahan wortel menjadi
tepung
adalah
untuk
memudahkan
penyimpaan
dan
pendistribusian. Kadar air yang rendah akan membuat wortel menjadi lebih tahan lama dan mempermudah tempat penyimpanan. Wortel dalam bentuk tepung juga memudahkan penambahannya pada produk nugget ikan. Tepung wortel yang dihasilkan disimpan dengan menggunakan kantong plastik polipropilen yang diseal untuk mengurangi penyerapan uap air dari udara dan agar tidak terjadi kontaminasi yang dapat merusak tepung wortel tersebut. Pengepakan dengan oksigen rendah dapat
menurunkan kecepatan kehilangan β-karoten selama penyimpanan (Andarwulan dan Koswara, 1992).
Gambar 7. Proses pengeringan wortel dengan fluid bed dryer
Gambar 8. Tepung wortel 1. Rendemen Tepung wortel Nilai rendemen merupakan parameter yang sangat penting untuk mengetahui
nilai
ekonomis
suatu
produk.
Semakin
tinggi
rendemennya, maka semakin tinggi nilai ekonomis produk tersebut dan semakin rendah rendemennya maka produk tersebut dapat dianggap kurang ekonomis.
Perhitungan rendemen didasarkan pada perbandingan antara berat tepung wortel yang dihasilkan dengan berat wortel segar. Hasil perhitungan rendemen wortel adalah 7.4 %. Nilai rendemen tepung wortel tersebut sangat dipengaruhi oleh kadar airnya. Semakin rendah bahan kering dan semakin tinggi kadar air yang terkandung dalam wortel, maka semakin rendah rendemennya. B. PENELITIAN UTAMA 1. Formulasi Pada tahap ini dilakukan penelitian untuk mendapatkan formula nugget ikan yang akan digunakan. Berdasarkan hasil modififkasi dan trial and error dari formula nugget ikan Hapsari (2002), didapatkan formulasi nugget ikan terpilih. Formula nugget ikan tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. Gambar dari formula nugget ikan tanpa perlakuan apapun (kontrol) dapat dilihat pada Gambar 16. Tabel 9. Formula nugget ikan yang digunakan dalam penelitian No
Bahan
Jumlah
1
Daging Ikan giling
2
*
Tepung
8%
3
Susu skim
1.3 %
4
**
5
Garam
6
Air
7
Bumbu
Emulsi
60 %
16.7 % 1.3 % 4% 8.7 %
Keterangan : * Bahan Pengisi terdiri dari tepung terigu dan tepung maizena dengan perbandingan 2 : 1 ** Emulsi terdiri dari telur dan minyak nabati dengan perbandingan 1:1
Berdasarkan formula nugget ikan pada Tabel 9, kemudian dibuat menjadi enam perlakuan dengan penambahan serat pangan (tepung wortel dan karagenan). Bagian masing-masing bahan untuk enam perlakuan
tersebut dapat dilihat pada Tabel 10 dan gambar hasil dari enam formula nugget tersebut dapat dilihat pada Gambar 17. Tabel 10. Formula nugget ikan setelah penambahan serat pangan Bahan Daging Ikan
Jumlah bahan untuk tiap perlakuan (%) formula formula formula formula formula formula 1 2 3 4 5 6 53.7 53.4 52.2 51.9 50.7 50.4
giling Tepung
6
6
7.5
7.5
9
9
0.3
0.6
0.3
0.6
0.3
0.6
Tepung
8
8
8
8
8
8
Susu skim
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
16.7
16.7
16.7
16.7
16.7
16.7
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
4
4
4
4
4
4
8.7
8.7
8.7
8.7
8.7
8.7
wortel Karagenan *
**
Emulsi
Garam Air Bumbu Keterangan :
* Bahan Pengisi terdiri dari tepung terigu dan tepung maizena dengan perbandingan 2 : 1 ** Emulsi terdiri dari telur dan minyak nabati dengan perbandingan 1:1
2. Uji Organoleptik a. Uji Hedonik Uji hedonik dilakukan secara keseluruhan (over all) terhadap keenam sampel yang telah diberi perlakuan. Analisis sidik ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa penambahan tepung wortel dan karagenan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap keseluruhan parameter organoleptik yang diuji pada pada uji hedonik. Uji lanjut Duncan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan tepung wortel 10 % dan karagenan 1 % (formula 2) memberikan nilai tertinggi (5.17) dan berbeda nyata dengan formula-formula lainnya. Sedangkan
formula 1, 3, 4, 5 dan 6 tidak berbeda nyata satu sama lainnya. Tabel 11 menunjukkan hasil uji hedonik secara keseluruhan (rasa, tekstur dan warna). Gambar dari sampel formula terpilih dapat dilihat pada Gambar 16. Tabel 11. Hasil uji hedonik dan uji ranking terhadap rasa, tekstur dan warna secara keseluruhan dari tiap sampel hasil penelitian Formula
1
Perlakuan
Rata-rata skor
Rata-rata skor
(% dari total daging)
hedonik
Ranking
(over all)
(over all)
4.60 b
3.17
5.17 c
2.13
3.93 a
3.90
4.03 a
4.33
4.20 ab
3.83
3.93 a
3.63
Tepung wortel 10 % dan karagenan 0.5 %
2
Tepung wortel 10 % dan karagenan 1 %
3
Tepung wortel 12.5 % dan karagenan 0.5 %
4
Tepung wortel 12.5 % dan karagenan 1 %
5
Tepung wortel 15 % dan karagenan 0.5 %
6
Tepung wortel 15 % dan karagenan 1 %
Keterangan : • Huruf yang berbeda pada angka di kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05)
b. Uji Ranking Uji ranking dilakukan secara keseluruhan (over all) terhadap keenam sampel yang telah diberi perlakuan. Hasil uji ranking yang dianalisis dengan Friedman test (Lampiran 5) menunjukkan bahwa nugget penambahan 10 % tepung wortel dan 1 % karagenan (formula 2) memiliki nilai ranking tertinggi (2.13). Hasil ini
menunjukkan bahwa penambahan tepung wortel dan karagenan berpengaruh
nyata
(p<0.05)
terhadap
keseluruhan
parameter
organoleptik yang diuji pada pada uji ranking.
3. Analisis Proksimat Analisis proksimat dilakukan terhadap bahan baku yaitu daging ikan nila, nugget ikan yang tidak diberi perlakuan (nugget kontrol) dan nugget ikan dengan nilai skor hedonik terbaik yaitu nugget dengan formula 2. Hasil analisis proksimat meliputi analisis kadar air, abu, protein, lemak dan analisis karbohidrat (by difference). a. Kadar Air Berdasarkan Gambar 9 kadar air daging ikan nila, nugget kontrol dan nugget dengan formula 2 masing-masing sebesar 78.06 %, 54.06 %, 47.48 %. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa kadar air nugget
terpilih
memiliki
kandungan
air
yang
lebih
rendah
dibandingkan nugget kontrol. Hal ini disebabkan total serat pangan di dalam nugget formula 2 lebih tinggi dibandingkan nugget kontrol. Tetapi kedua nilai kadar air tersebut masih dapat diterima karena kadar air maksimum untuk nugget ayam berdasarkan SNI 01-6683-2002 adalah 60 %.
90 80
78.06
Kadar Air (%)
70 60 50
60 54.06 47.48
40 30 20 10 0 Daging ikan Nugget kontrol Nugget terpilih
Gambar 9. Hasil analisis kadar air
SNI
b. Kadar Abu
6
5.33
5.56
5.18
Kadar abu (%)
5 4 3
2.56
berat basah
2.72
berat kering
2 1.17 1 0 Daging ikan
Nugget kontrol
Nugget terpilih
Gambar 10. Hasil analsisi kadar abu Kadar
abu
yang
terdapat
dalam
suatu
bahan
pangan
menunjukkan kandungan mineral dari bahan pangan tersebut. Dari Gambar 10 kadar abu pada daging ikan, nugget kontrol dan nugget dengan formula 2 masing-masing sebesar 1.17 %, 2.56 %, 2.72 % berdasarkan berat basah atau 5.33 %, 5.56 %, 5.18 % berdasarkan berat kering. Berdasarkan hasil analisis berat kering dapat ditentukan kandungan mineral yang tertinggi terdapat dalam nugget kontrol. Hal ini disebabkan nugget kontrol sebagian besar terbuat dari daging ikan (60 %) selain bahan tambahan lainnya. Seperti diketahui kadar abu dari daging ikan nila cukup tinggi yaitu 5.33 % berdasarkan berat kering. Namun, kandungan mineral pada daging ikan nila masih dibawah kandungan nugget kontrol karena pada daging ikan tidak terdapat bahan tambahan seperti bawang merah, bawang putih, lada, garam, tepung, dan bahan-bahan lainnya yang dapat meningkatkan kandungan mineralnya. Nugget terpilih juga memiliki kandungan mineral yang
cukup tinggi akibat penambahan tepung wortel dan karagenan. Kadar abu tidak tercantum dalam SNI 01-6683-2002.
c. Kadar Protein
90
84.22
Kadar protein (%)
80 70 60 50
berat basah berat kering
40 30 20
25.49 18.49 11.71
20.45 10.74
12
10 0 Daging ikan
Nugget kontrol
Nugget terpilih
SNI
Gambar 11. Hasil analsisi kadar protein Berdasarkan Gambar 11 kadar protein pada daging ikan, nugget kontrol dan nugget dengan formula 2 berturut-turut adalah 18.49 %, 11.71 %, 10.74 % berdasarkan berat basah atau 84.22 %, 25.49 %, 20.45 % berdasarkan berat kering. Nugget terpilih (formula 2) memiliki kadar protein yang lebih rendah daripada nugget kontrol karena perbedaan jumlah daging ikan yang ditambahkan. Kadar protein dari nugget kontrol dan nugget terpilih (formula 2) masih belum memenuhi persyaratan SNI 01-6683-2002 untuk nugget ayam. Dimana dalam SNI tersebut dijelaskan bahwa kadar minimum protein untuk nugget ayam adalah 12 % berdasarkan berat basah. Hal ini kemungkinan disebabkan masih kurangnya jumlah komposisi bahan-bahan (baik bahan utama maupun bahan pembantu) yang digunakan dalam pembuatan nugget ikan ini.
d. Kadar Lemak
30
26.14
Kadar lemak (%)
25
22.09 20
20 berat basah
13.69
15
berat kering
10.15 10 4.88 5
1.07
0 Daging ikan
Nugget kontrol
Nugget terpilih
SNI
Gambar 12. Hasil analsisi kadar lemak Kadar lemak pada daging ikan, nugget kontrol dan nugget dengan formula 2 sesuai Gambar 12 berturut-turut adalah 1.07 %, 10.15 %, 13.69 % berdasarkan berat basah atau 4.88 %, 22.09 %, 26.14 % berdasarkan berat kering. Nugget terpilih (formula 2) berdasarkan berat kering memiliki kadar lemak yang lebih tinggi daripada nugget kontrol. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh lebih banyaknya minyak yang terserap pada nugget terpilih, sehingga juga menyebabkan kadar air produk terpilih lebih rendah dari nugget kontrol. Tetapi hasil pengukuran kadar lemak nugget kontrol dan nugget terpilih masih memenuhi persyaratan SNI 01-6683-2002 untuk nugget ayam. Dimana dalam SNI tersebut dijelaskan bahwa kadar maksimum lemak untuk nugget ayam adalah 20 % berdasarkan berat basah. e. Kadar Karbohidrat
Kadar karbohidrat pada daging ikan, nugget kontrol dan nugget dengan formula 2 dari Gambar 13 berturut-turut adalah 1.22 %, 21.52 %, 25.37 % berdasarkan berat basah atau 5.57 %, 46.9 %, 48.3 % berdasarkan berat kering. Kadar karbohidrat sangat bergantung kepada faktor pengurangnya, yaitu kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak.
Kadar karbohidrat (%)
60 46.9
50
48.3
40 30
21.52
25.37
25
berat basah berat kering
20 10 1.22
5.57
0 Daging ikan
Nugget kontrol
Nugget terpilih
SNI
Gambar 13. Hasil analisis kadar karbohidrat Berdasarkan hasil analsis kadar karbohidrat yang diperoleh, nugget kontrol telah memenuhi SNI 01-6683-2002 untuk nugget ayam yaitu 25 % berdasarkan berat basah. Sedangkan nugget terpilih berada sedikit diatas batas maksimum SNI 01-6683-2002 untuk nugget ayam dikarenakan kadar airnya yang rendah. Hal itu dapat dilihat pada perbedaan yang tidak terlalu jauh antara kadar karbohidrat berdasarkan berat kering nugget terpilih yaitu 48.3 % dan nugget kontrol 46.9 %.
4. Nilai pH Hasil pengukuran nilai pH dari nugget ikan kontrol (tidak diberi perlakuan) dan nugget ikan terpilih (formula 2) disajikan pada Gambar 14. Dari Gambar 14 terlihat bahwa nilai pH nugget ikan kontrol dan nugget ikan terpilih memiliki perbedaan sebesar 0.11 nilai pH. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa penambahan serat pangan pada nugget cukup berpengaruh terhadap nilai pH produk yang dihasilkan. Menurut Syarief dan Halid (1991), kondisi pH bahan pangan dapat digunakan sebagai pembatas bagi perkembangan jasad renik. Jenis mikroorganisme dapat diduga dari nilai pH yang terdapat di dalam bahan pangan. Berdasarkan perbedaan nilai pH antara nugget kontrol dan nugget terpilih (formula 2) menunjukkan kemungkinan bahwa nugget terpilih memiliki ketahanan umur simpan yang lebih lama dibandingkan nugget kontrol. Dari hasil analisis nilai pH juga dapat diketahui bahwa kedua nugget tersebut termasuk ke dalam bahan pangan yang tidak asam (pH di
Nilai pH
atas 5.0) (Buckle et al, 1987).
5.82 5.8 5.78 5.76 5.74 5.72 5.7 5.68 5.66 5.64 5.62
5.8
5.69
Nugget kontrol
Nugget terpilih
Produk
Gambar 14. Nilai pH nugget kontrol dan nugget terpilih
5. Analisis Serat Pangan Analisis serat pangan dilakukan pada nugget ikan dengan formula 2 sebagai produk terpilih dan nugget ikan kontrol. Hasil analisis serat pangan pada Tabel 12 menunjukkan bahwa kadar total serat pangan pada produk terpilih lebih besar (14.70 % bk) dibandingkan total serat pangan pada kontrol (4.50 % bk). Kadar serat pangan yang tinggi pada produk terpilih disebabkan adanya penambahan tepung wortel dan karagenan.
Serat pangan larut pada produk terpilih yang lebih tinggi daripada produk kontrol menunjukkan adanya pengaruh penambahan karagenan pada produk terpilih. Serat tidak larut pada produk terpilih yang lebih tinggi daripada produk kontrol disebabkan oleh adanya penambahan tepung wortel. Menurut Harianto (1996) serat yang tidak larut dalam air adalah komponen struktural tanaman, sedangkan yang larut adalah komponen non struktural. Tabel 12. Hasil analisis serat pangan larut pada produk terpilih dan produk kontrol Jenis Analisa SDF IDF TDF
Nugget kontrol
Nugget terpilih
% bb
1.05
2.41
% bk
2.28
4.58
% bb
1.02
5.32
% bk
2.23
10.13
% bb
2.07
7.73
% bk
4.50
14.70
Menurut Jahari dan Sumarno (2001), konsumsi serat yang dianjurkan per hari untuk orang dewasa sebesar 25-30 gram, sedangkan untuk anak-anak usia diatas 2 tahun dianjurkan untuk mengkonsumsi serat sebanyak umur mereka ditambah 5 gram/hari. Sebagai contoh untuk panelis yang berumur 10 tahun, jumlah konsumsi serat yang dianjurkan adalah 15 gram/hari. Jumlah total serat pangan yang terkandung dalam produk terpilih adalah 7.73 gram per 100 gram produk. Berat satu buah produk adalah sekitar 20 gram berarti satu produk mengandung 1.546 gram serat pangan. Itu berarti untuk mencukupi 20 % konsumsi serat orang dewasa per hari yaitu 5 gram serat pangan, dibutuhkan sekitar 4 buah produk per sajian sebagai pelengkap konsumsi makanan yang mengandung serat. Sedangkan untuk mencukupi 100 % kebutuhan konsumsi serat orang dewasa per hari yaitu 25 gram, dibutuhkan sekitar 17 buah produk per hari. Panelis yang berumur 10 tahun membutuhkan serat yaitu 3.0 gram serat untuk
mencukupi 20 % kebutuhan serat pangannya, sehingga dibutuhkan kurang lebih 2 buah produk per sajian untuk mencukupi kebutuhan serat pangannya tersebut. Menurut petunjuk aturan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia (2004), suatu produk dapat diklaim sebagai “sumber yang baik” jika mengandung sedikitnya 10-19 % dari yang dianjurkan per sajiannya. Berdasarkan hal tersebut produk beku siap saji terpilih dapat diklaim sebagai produk sumber serat pangan yang baik dengan aturan per sajiannya untuk orang dewasa membutuhkan 4 buah nugget. Astawan (2003) menyatakan suatu produk dapat diklaim sebagai pangan fungsional jika produk merupakan suatu produk pangan (bukan berbentuk kapsul, bubuk, atau tablet), dapat dan layak dikonsumsi sebagai diet atau menu sehari-hari, mempunyai fungsi tertentu pada saat dicerna dan dapat memberikan peran pada proses tubuh. Produk yang dihasilkan merupakan produk beku siap saji yang mengandung serat pangan, dimana serat pangan mempunyai fungsi tertentu pada saat dicerna dan memberikan manfaat bagi kesehatan tubuh, dan dapat dikonsumsi layaknya makanan biasa. Berdasarkan hal itu, produk nugget ikan terpilih hasil penelitian dapat dikategorikan sebagai pangan fungsional.
6. Kekerasan (daya iris)
Nilai kekerasan (gf)
2500 1943.5
2000 1500
1188.35
1000 500 0 Nugget kontrol
Nugget terpilih
Produk
Gambar 15. Hasil analisis kekerasan nugget kontrol dan nugget terpilih Kekerasan didefinisikan sebagai gaya yang dibutuhkan untuk menekan suatu bahan atau produk sehingga terjadi perubahan produk yang diinginkan (Ranggana, 1986). Kekerasan dapat juga didefinisikan sebagai besarnya gaya yang diperlukan untuk menekan produk hingga pecah atau terbelah. Tekstur merupakan unsur mutu yang penting pada produk olahan daging. Kelembutan (tenderness), firmness dan sliceability pada produk akan mempengaruhi penerimaan konsumen. Pengukuran kekerasan pada penelitian ini dinyatakan dalam besarnya gaya (gf) yang diperlukan untuk memotong nugget ikan kontrol dan nugget ikan terpilih (formula 2). Gaya yang semakin besar menunjukkan semakin keras nugget ikan tersebut. Hasil analisis kekerasan tekstur nugget ikan kontrol dan nugget ikan terpilih dapat dilihat pada Gambar 15. Penambahan
serat
pangan
pada
produk
nugget
terpilih
meningkatkan kekerasan produk tersebut. Hasil pengukuran kekerasan menunjukkan bahwa produk kontrol memiliki tingkat kekerasan yang lebih rendah yaitu 1188.35 gf, sedangkan nugget ikan terpilih memiliki tingkat kekerasan 1943.5 gf. Berdasarkan data tersebut dapat dinyatakan bahwa kekerasan dipengaruhi oleh serat pangan, semakin tinggi serat pangan maka tekstur produk juga semakin keras. Tingkat kekerasan dapat juga dipengaruhi oleh jumlah air yang terkandung di dalam bahan pangan tersebut. Adanya serat menyebabkan kandungan air bebas dalam bahan menjadi semakin sedikit, hal itu dikarenakan
air
terserap
ke
dalam
struktur
molekul
serat.
Offer dan Knight (1998) menyatakan bahwa jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan berpengaruh terhadap tekstur, juiceness dan tingkat kekerasan.
7. Analisis Kadar Total Natrium
Hasil pengukuran kadar total natrium dari produk kontrol dan produk terpilih menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil analisis kadar natrium nugget kontrol dan nugget terpilih dapat dilihat pada Tabel 13. Berdasarkan pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa produk kontrol memiliki kadar natrium yang lebih besar yaitu 169.29 mg/100 g berat basah atau 368.50 mg/100 g berat kering, sedangkan pada produk terpilih kadar natriumnya menjadi lebih rendah yaitu 110.74 mg/100 g berat basah atau 210.89 mg/100 g berat kering. Berdasarkan data hasil analisis kadar natrium tersebut dapat diketahui bahwa kadar natrium dari nugget ikan dipengaruhi oleh kandungan serat pangannya. Semakin tinggi serat pangan yang terdapat didalam nugget maka semakin rendah kadar natriumnnya. Jika takaran saji untuk orang dewasa adalah 4 buah nugget, maka untuk tiap takaran saji setiap orang dewasa mengkonsumsi 135.43 mg natrium untuk produk kontrol dan 88.59 mg natrium untuk produk terpilih. Kedua data tersebut juga menunjukkan bahwa kedua produk tersebut masih berada dalam kadar natrium yang aman untuk dikonsumsi karena kadar maksimum konsumsi natrium pada produk pangan yaitu 2400 mg per takaran saji pada diet 2000 Kal berdasarkan AKG. Tabel 13. Kadar total natrium produk kontrol dan produk terpilih Produk
Satuan
Total Natrium
Nugget kontrol
mg/100 g (bb)
169.29
mg/100 g (bk)
368.50
mg/100 g (bb)
110.74
mg/100 g (bk)
210.89
Nugget terpilih Keterangan : bb bk
: berat basah : bera kering
8. Kadar Total Karoten Kadar total karoten menunjukkan kadar seluruh karoten yang terdapat di dalam suatu bahan pangan. Hasil analisis total karoten pada
nugget kontrol dan nugget terpilih menggunakan metode spektrofotometer dapat dilihat pada Tabel 14. Hasil analisis pada Tabel 14 menunjukkan bahwa
produk
kontrol
menghasilkan
total
karoten
sebanyak
1.05 mg/1000 g berat basah atau 2.28 mg/1000 g berat kering, sedangkan produk terpilih menghasilkan total karoten sebanyak 20.73 mg/1000 g berat basah atau 39.47 mg/1000 g berat kering. 9. Kadar β-Karoten Karoten adalah pigmen yang paling banyak terdapat di dalam wortel. Peran karoten menjadi penting karena bagian dari karoten yaitu β-karoten merupakan prekursor vitamin A. Warna jingga pada wortel dan produk olahannya dapat dijadikan sebagai indikasi kasar dari kandungan β-karoten. Hasil analisis β-karoten pada Tabel 14 menunjukkan bahwa rata-rata β-karoten yang dihasilkan oleh produk kontrol adalah 0.75 mg/1000 g berat basah atau 1.63 mg/1000 g berat kering. Sedangkan produk terpilih memiliki rata-rata β-karoten sebesar 12.09 mg/1000 g berat basah atau 23.02 mg/1000 g berat kering. Berdasarkan pada hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa di dalam nugget terpilih selain mengandung serat pangan yang tinggi juga mengandung β-karoten yang tinggi. Sehingga produk terpilih dapat dijadikan sebagai salah satu sumber antioksidan yang baik. Tabel 14. Hasil analisis total karoten dan β-karoten nugget kontrol dan nugget terpilih Jenis Analisis *
*
Nugget Kontrol
Nugget Terpilih
Total Karoten (bb)
1.05 ppm
20.73 ppm
Total Karoten (bk)
2.28 ppm
39.47 ppm
β-Karoten (bb)
0.75 ppm
12.09 ppm
β-Karoten (bk)
1.63 ppm
23.02 ppm
** **
Keterangan :
*
: metode spektrofotometer
** : metode HPLC
10. Analisis Kromatisitas Warna Warna mempunyai arti dan peranan yang sangat penting pada komoditas pangan. Peranan itu sangat nyata terhadap daya tarik, tanda pengenal dan sebagai atribut mutu. Selain itu, warna dapat memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan, seperti pencoklatan dan pengkaramelan. Intensitas kecerahan warna kulit dari nugget ikan kontrol maupun nugget ikan terpilih diukur dengan alat Chromameter dengan menggunakan notasi L menurut Hunter (Soekarto, 1990). Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa produk kontrol memiliki nilai L antara 50-60, sedangakan produk terpilih memiliki kisaran nilai L antara 40-50. Nilai L menunjukkan derajat kecerahan produk, semakin besar nilai L maka produk semakin berwarna terang (lebih kuning). Parameter warna lainnya yang turut mempengaruhi tingkat kesukaan terhadap warna nugget ikan ini adalah tingkat nilai a dan nilai b yang menunjukkan warna merah dan biru. Nilai a positif pada produk kontrol antara 1-5 sedangkan produk terpilih memiliki kisaran nilai a positif 5-8, nilai a positif tersebut menunjukkan tingkat intensitas warna merah. Nilai b untuk produk kontrol dan produk terpilih memiliki kisaran yang sama yaitu antara 50-60. Tabel 15. Hasil analisis warna pada nugget kontrol dan nugget terpilih Produk Nugget kontrol
Notasi Hunter (L, a, b) L = 58.64 a = + 4.19 b = + 58.52
Nugget terpilih
L = 46.18 a = + 6.84 b = + 49.96
Hasil pengujian warna tersebut menunjukkan bahwa derajat kecerahan pada kulit produk kontrol lebih terang daripada kulit produk
terpilih. Tetapi derajat warna merah produk terpilih lebih tinggi daripada produk kontrol. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan warna akibat penambahan tepung wortel yang berwarna merah jingga, sehingga membuat warna produk terpilih menjadi lebih gelap.
Nugget ikan kontrol
Nugget ikan terpilih Gambar 16. Nugget ikan kontrol dan nugget ikan terpilih (formula 2)
Formula 1
Formula 2
Formula 3
Formula 4
Formula 5
Formula 6
Gambar 17. Nugget ikan dengan enam kombinasi penambahan serat Keterangan : Formula 1
: Penambahan tepung wortel 10 % dan karagenan 0.5 %
Formula 2
: Penambahan tepung wortel 10 % dan karagenan 1 %
Formula 3
: Penambahan tepung wortel 12.5 % dan karagenan 0.5 %
Formula 4
: Penambahan tepung wortel 12.5 % dan karagenan 1 %
Formula 5
: Penambahan tepung wortel 15 % dan karagenan 0.5 %
Formula 6
: Penambahan tepung wortel 15 % dan karagenan 1 %
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa ikan nila potensial untuk digunakan sebagai bahan baku nugget ikan. Penambahan serat pangan pada kombinasi tepung wortel 10 % dan karagenan 1 % menghasilkan nugget ikan dengan rasa, tekstur dan warna yang paling disukai oleh panelis. Nugget ikan kontrol telah memenuhi komposisi zat gizi sesuai persyaratan SNI 01-6683-2002. Sedangkan untuk nugget ikan kaya serat pangan yang terpilih memiliki komposisi zat gizi yang baik tetapi masih belum dapat memenuhi kadar karbohidrat dan kadar protein yang sesuai dengan SNI 01-6683-2002 (persyaratan mutu nugget ayam). Kandungan serat pangan dari empat buah nugget ikan terpilih untuk satu takaran saji sudah dapat mencukupi 20 % kebutuhan serat pangan orang dewasa sehingga produk tersebut dapat diklaim sebagai “sumber serat pangan yang baik”. Nilai pH dari nugget kontrol dan nugget terpilih memiliki perbedaan yang tidak terlalu jauh (0.11 nilai pH) tapi cukup memperlihatkan adanya perbedaan. Sehingga kemungkinan nugget ikan terpilih memiliki umur simpan yang lebih panjang dari pada nugget ikan kontrol. Meningkatnya serat pangan yang terkandung dalam nugget ikan terpilih dapat menurunkan kadar total natrium di dalam nugget tersebut. Nugget ikan terpilih memiliki kandungan total karoten terutama β-karoten yang cukup tinggi (12.09 ppm berat basah), sehingga dapat juga dijadikan sebagai sumber antioksidan yang baik. Tekstur dari nugget ikan terpilih (1943.5 gf) lebih keras daripada nugget ikan kontrol (1188.35 gf) akibat adanya penambahan serat pangan. Warna yang lebih gelap (lebih merah) nugget ikan terpilih daripada nugget ikan kontrol merupakan efek dari penambahan serat pangan terutama tepung wortel.
B. SARAN Pada pembuatan nugget ikan dengan penambahan serat pangan, masih perlu dicoba penambahan serat pangan lainnya menggunakan kombinasi tepung sayuran dan bahan hidrokoloid yang berbeda. Diharapkan nantinya dihasilkan variasi nugget ikan lain yang dapat dijadikan sumber serat pangan yang baik dengan cita rasa yang disukai oleh semua orang. Perlu adanya optimasi lebih lanjut pada formula dasar nugget ikan yang diperoleh pada penelitian ini, serta perlu adanya penelitian lanjutan untuk mengetahui umur simpan dari produk nugget ikan yang kaya serat. Selain itu untuk meningkatkan kadar protein dari produk terpilih dapat ditambahkan bahan berprotein tinggi seperti isolat protein ataupun whey protein. Selanjutnya dapat dilakukan penelitian lain untuk menutupi beanny flavor yang dihasilkan dari bahan berprotein tinggi berbasis kedelai, misalnya dengan penambahan perisa ikan.
DAFTAR PUSTAKA Agoes, D. Dan L. Lisdiana. 1995. Memilih dan Mengolah Sayur. Penebar Swadaya. Jakarta. Amira, N. 1997. Analisis Serat Makanan Larut, Tidak Larut dan Total pada Berbagai Jenis Sayuran Segar dan Hasil Olahannya dengan Metode Enzimatis. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Andarwulan, M dan S. Koswara. 1992. Kimia Vitamin. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anonim. 2000. http://www.suarakarya-online.com. [16 April 2006] Anonim. 2004. An Introduction to Carrageenan. http://www.philexport.org. [Sabtu, 16 Oktober 2004]. Anonim. 2005a. http://www.iptek.net.id. [15 Mei 2006] Anonim. 2005b. http://www.republika.co.id. [15 Mei 2006] Anonim. 2006a. Konsumsi Ikan Indonesia Masih Rendah. Gatra. 26 Januari 2006. Anonim. 2006b. http://www.keluargasehat.com. [15 Mei 2006] Anonim. 2006c. http://www.kingfoto.com. [15 Mei 2006] Anonymous. 1991. Petunjuk Teknis Budidaya Ikan Nila. Jakarta. Departemen Pertanian. Dirjen Perikanan. AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. 14 th ed. AOAC Inc. Arlington, Virginia. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. 14 th ed. AOAC Inc. Arlington, Virginia. Apandi, M. 1984. Teknologi Buah dan Sayur. Penerbit Alumni, Bandung. Apriadji, W. 2001. Makanan Beku Siap Saji. www. Sedap-sekejap.com Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati, S. Budiyanto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. IPB Press, Bogor. Asia Pasific Food Industry. 2002. Frozen Food. Elsevier Applied Science. London. New York.
Asp, N. G., C. G. Johansson, H. Halmer dan M. Siljestrom. 1983. Rapid Enzymatic Assay of Insoluble and Soluble Dietary Fiber. Journal of Agricultural and Food Chemistry 31 : 476-482. Astawan, M. 1990. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi dan Sifat Fungsional Konsentrat Protein Ikan Cucut. Tesis. Program Studi Ilmu Pangan. Fakultas Pasca Sarjana, IPB, Bogor. Astawan, M. 2003. Pangan Fungsional untuk Kesehatan yang Optimal. http://www. kompas.com. Aswar. 1995. Pembuatan Fish Nugget dari Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.). Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan, IPB, Bogor. Badan Standardisasi Nasional. 2002. Standardisasi Nasional Indonesia. SNI 016683-2002. Nugget Ayam (Chicken nugget). Badan Standardisasi Nasional. Jakata. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. Dadang W.I. 2006. Dari Toba ke Amerika dan Eropa. Agrina. [24 Januari 2006] Dalimartha, S. 2006. http://www.pdpersi.co.id. [15 mei 2006] Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1995. Daftar Komposisi Bahan Makanan, Jakarta. Direktorat Jendral Perikanan dan Kelautan. 2006. Statistik Perikanan Indonesia Tahun 2006. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Direktorat Standardisasi Produk Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Pedoman Pangan Fungsional Edisi I. 2004. Direktorat Standardisasi Produk Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta Elingosa, T. 1994. Pembuatan Fish Nugget dari Ikan Tenggiri. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor. Fardiaz, D. 1989. Hidrokoloid. Bogor. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan, PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Fardiaz, S. 1996. Mikrobiologi Pangan. Lembaga Sumber Daya Informasi, IPB, Bogor. Fennema, O. R. (Ed.). 1976. Food Chemistry. Marcel Dekker, Inc., New York dan Basel.
Gaman, P. M. Dan K. B. Sherrington. Di dalam M. Gardhito, S. Naruki, A. Murdiyati, dan Sardjono. 1992. Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Gasperz. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Armico. Bandung. Glicksman, M. 1984. Food Hidrocoloids II. CRC Press, Boca Rotan, Florida. Gordon, M. H. 1990. The Mechanism of Antioxidant Action In Vitro. Di dalam B. J. F. Hudson (ed.). Food Antioxidant., Elsevier Appiied Science, London. Hapsari RD. 2002. Pengolahan Daging Ikan Patin (Pangasius pangasius) Menjadi Bakso, Sosis, Nugget dan Pemanfaatan Limbahnya menjadi Tepung Ikan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Harianto. 1996. Manfaat Serat Makanan. Buletin Sadar Pangan dan Gizi, 5(2):4-5 Hariyadi, Purwiyatno Ph.D. 2006. http://www. Ayahbunda-online.com.htm. [23 Juli 2006] Ikrawan, Yusep Dr. M.Sc. 2006. http://www. Pikiran-rakyat.htm. [23 Juli 2006] Ilyas S. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan: Teknik Pendinginan Ikan. CV. Paripurna. Jakarta. Istini, S., A. Zatnika, Suhaimi dan J. Anggadireja. 1986. Manfaat dan Pengolahan Rumput Laut. Jurnal Penelitian. Balai Pusat Pengembangan Teknologi. Jakarta. Iwasaki, R dan M. Murakoshi. 1992. Palm Oil Yields Carotene for World Market Inform.3 (2): 210-217. Jahari, A dan I. Sumarno. 2001. Tingkat Konsumsi Serat Penduduk Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Departemen Kesehatan RI. Bogor. Lembaga Biologi Nasional-LIPI. 1977. Buah-buahan. PN Balai Pustaka, Jakarta. Linder, M.C. 1985. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. (1st ed) (A. Parakkasi, penerjemah). Universitas Indonesia Press, Jakarta. Mesra. 1994. Chicken Nugget dan Shrimp Nugget. Bulletin Hero. [Mei 1994].
Muchtadi, D. dan B, Anjarsari. 1996. Penanganan Pascapanen dalam Meningkatkan Nilai Tambah Komoditas Sayuran. Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Komoditas Sayuran. Lembang 24 Oktober 1995. balai Penelitian Tanaman Sayuran Bekerjasama dengan Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Pemda Bandung dan CIBA Plant Protection. Offer, G. dan P. Knight. 1988. The Structural Basis of WHC in Meat. Elsevier Applied Science. Parker, R. 1992. Extract ion of carotenoid from palm oil. Cornel University. New York. Pratt, D. E. dan BJF. Hudson. 1990. Natural Antioxidants not Exploited Commercially. Di dalam B. J. F. Hudson (ed.). Food Antioxidant., Elsevier Appiied Science, London. Prosky, L dan J. W. De Vries. 1992. Controlling Dietary Fiber in Food Products. Van Nostrand Reinhold, New York. Rahayu, W. P. 1997. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ranggana, S. 1986. Handbook of Analysis and Quality Control for Fruit and Vegetable Products. Tata Mc Graw Publ. Co. Ltd. New Delhi. Rukmana. 1995. Bertanam Wortel. Kanisius. Yogyakarta. Saanin, H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I dan II. Binacipta. 245 hal Samsudin, R. 2003. Pengaruh Penggorengan terhadap Kualitas Protein Beberapa Jenis Ikan. Skripsi. IPB, Fakultas Pertanian. Bogor. Schuler, P. 1990. Natural Antioxidants Exploited Commercially. Di dalam B. J. F. Hudson (ed.). Food Antioxidants. Elsevier Applied Science, London Setiana. 1993. Pengaruh Perebusan terhadap Ketersediaan β-karoten Wortel (Daucus carota L.) pada Hati dan Plasma Tikus (Ratus novergius). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Shahidi, F. 1995. The Chemistry Processing Technology and Quality of Seafood an Overview. Di dalam Seafood : Chemistry, Processing Technology and Quality. F. Shahidi dan J. R. Boota (Ed). Blackle Academic and Professional, London.
Soekarto, S.T. 1990. Penilaian Organoleptik. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi, PAU Pangan dan Giziz, IPB, Bogor. Soewito. 1989. Bercocok Tanam Wortel. Titik Terang. Jakarta. Sugiarto. 1988. Teknik Pembenihan Ikan Mujair dan Nila. Penerbit CV. Simplex. Jakarta. Sumantadinata, K. 1981. Pengembangbiakan Ikan-ikan Pekarangan di Indonesia. Bogor. Sastra Hudaya. Sunarjono, H. 1984. Kunci Bercocok Tanam Sayur-sayuran yang Penting di Indonesia. Sinar Baru, Bandung. Suptijah, P. 2002. Rumput Laut: Prospek dan Tantangannya. htttp://www. Rudyet.tripod.com/sem2-012./hml.[5 Juni 2002]. Suzuki, T. 1981. Fish and Krill Processing Technology. Applied Sci. Publisher Ltd., London. Syarief, R. dan H. Halid. 1991. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan, Jakarta. Tindall, H. D. 1983. Vegetables in Tropics. Mc. Millan Press Ltd, Hongkong. Towle, G.A. 1973. Carrageenan. Di dalam: Whistler RL, Editor. Industrial Gums. New York : Academic Press. Winarno, F. G. 1995. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. Winarno, F.G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia. Jakarta. Winarno. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta. Zaitsev, V., I. Kizevetter, L. Lagunov, T. Makarova, L. Minder dan V. Podsevalov. 1969. Fish Curing and Processing. Mir Publisher. Moskow. Uni Sovyet
Lampiran 1. Formulir isian untuk uji hedonik secara overall FORM UJI HEDONIK Produk : Nugget Ikan Nama panelis :
Tanggal Telp
: 31 Mei 2006 :
UJI HEDONIK Instruksi : 1. Cicipilah sampel satu persatu dari kiri ke kanan sesuai dengan sampel yang disediakan 2. Setiap anda selesai mencicipi berikan penilaian Anda berdasarkan tingkat kesukaan pada tempat yang disediakan dengan memberikan check list (√) 3. Netralkan indera pengecap anda dengan air putih setiap selesai mencicipi satu sampel 4. Jangan membandingkan tingkat kesukaan antar sampel 5. Setelah selesai berikan komentar Anda pada tempat yang disediakan Over all Respon
Kode sampel
Sangat suka Suka Agak suka Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka Komentar : _______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________
Lampiran 2. Formulir isian untuk uji ranking secara overall FORM UJI RANKING Produk : Nugget Ikan Nama panelis :
Tanggal Telp
: 31 Mei 2006 :
UJI RANKING Instruksi : 1. Jangan lupa netralkan lidah anda sebelum mencicipi sampel 2. Cicipilah sampel dari kiri ke kanan sesuai dengan sampel yang disediakan 3. Netralkan indera pengecap anda dengan air putih setiap selesai mencicipi satu sampel 4. Bandingkanlah tingkat kesukaan Anda terhadap setiap sampel 5. Urutkan ranking sampel berdasarkan tingkat kesukaan Anda, jangan ada angka ranking yang sama Uji Overall Kode Sample
Note
Urutan ranking
: Urutan Ranking (1-6) Ranking 1 (untuk sample yang paling Anda sukai), Ranking 6 (untuk sample yang paling tidak Anda sukai)
Komentar : Apa Alasan Anda Memilih? ____________________________________________________________ ____________________________________________________________ ____________________________________________________________
Lampiran 3. Hasil uji hedonik Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Type III Sum of Source Corrected
Squares
Mean df
Square
F
Sig.
92,956(a)
34
2,734
3345,422
1
3345,422
Panelis
57,244
29
1,974
2,080
,003
Sampel
35,711
5
7,142
7,525
,000
Error
137,622
145
,949
Total
3576,000
180
230,578
179
Model Intercept
Corrected Total
a R Squared = ,403 (Adjusted R Squared = ,263)
2,881 3524,76 7
,000 ,000
Lampiran 4. Hasil uji lanjut Duncan Skor Duncan a,b Subset Sampel
N
1
3
30
3,93
6
30
3,93
4
30
4,03
5
30
4,20
1
30
2
30
Sig.
2
3
4,20 4,60 5,17
,341
,114
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,949. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 5. Hasil Friedman test
Ranks Mean Rank skor_1
3,17
skor_2
2,13
skor_3
3,90
skor_4
4,33
skor_5
3,83
skor_6
3,63
Test Statistics(a) N Chi-Square
30 25,390
df Asymp. Sig. a Friedman Test
5 ,000