SKRIPSI
PEMANFAATAN TEPUNG HOTONG (Setaria italica (L) Beauv.) DAN PATI SAGU DALAM PEMBUATAN COOKIES
Oleh: MITA ARYANI PRATIWI F24103020
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Mita Aryani Pratiwi. F24103020. Pemanfaatan Tepung Hotong (Setaria Italica (L) Beauv.) dan Pati Sagu dalam Pembuatan Cookies. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc. dan Elvira Syamsir, STP, MSi.. RINGKASAN Upaya peningkatan pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri dewasa ini dilakukan dengan intensifikasi pertanian dan diversifikasi bahan pangan. Intensifikasi diarahkan pada pemanfaatan lahan kering. Diversifikasi bahan pangan dilakukan dengan mengembangkan tanaman bahan pangan alternatif pengganti beras dan terigu, khususnya yang dapat tumbuh pada lahan-lahan kering. Pengembangan produk pangan di Indonesia diarahkan pada pemanfaatan potensi sumber bahan pangan lokal demi tercapainya ketahanan pangan. Jenis bahan pangan pokok yang banyak digunakan di Indonesia pada umumnya berasal dari jenis serealia, seperti beras. Terdapat banyak jenis serealia lain yang merupakan sumber bahan pangan lokal yang belum dimanfaatkan secara optimum. Salah satunya adalah buru hotong (Setaria italica (L) Beauv.). Buru hotong merupakan tanaman pangan alternatif pengganti beras yang dapat tumbuh dengan baik pada lahan-lahan kering yang tidak beririgasi teknis. Buru hotong merupakan jenis serealia yang merupakan tanaman asli dari Pulau Buru. Pengolahan buru hotong menjadi produk cookies diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan konsumsi buru hotong. Penelitian yang dilakukan bertujuan melakukan formulasi produk cookies yang berbahan dasar campuran tepung hotong dan pati sagu, mengamati perubahan karakteristik produk cookies yang dihasilkan selama penyimpanan, serta menduga umur simpannya. Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah adanya alternatif pemanfaatan buru hotong menjadi produk olahan berupa cookies sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis buru hotong di daerah asalnya, yaitu Pulau Buru. Penelitian dibagi ke dalam dua bagian, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri dari pembuatan tepung hotong, penentuan perlakuan pendahuluan terhadap tepung hotong, dan evaluasi tepung hotong (analisis sifat amilografi dan proksimat). Penelitian utama terbagi ke dalam proses pengolahan cookies hotong, formulasi cookies hotong (uji organoleptik), karakterisasi produk cookies hotong (uji rendemen cookies, derajat pengembangan cookies, densitas kamba cookies, pengukuran aktivitas air, analisis proksimat, analisis kadar serat kasar, perhitungan nilai energi, dan penentuan kadar air kritis cookies), dan penyimpanan cookies hotong (pengamatan perubahan karakteristik cookies hotong selama penyimpanan dan pendugaan umur simpan cookies hotong dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi). Pembuatan cookies hotong dilakukan dengan menggunakan campuran tepung hotong kukus dan pati sagu dengan rasio tepung hotong kukus : pati sagu 100:0, 80:20, 65:35, dan 50:50. Secara organoleptik, cookies hotong dapat diterima oleh panelis. Nilai kesukaan panelis terhadap semua atribut cookies hotong berada di atas netral (4). Berdasarkan parameter warna, skor rata-rata kesukaan panelis terhadap warna cookies hotong berkisar antara 4.80-5.60 atau netral hingga agak suka. Berdasarkan parameter aroma, nilai rata-rata kesukaan panelis berkisar antara 5.20-5.87 atau agak suka. Berdasarkan parameter rasa, skor
rata-rata kesukaan panelis terhadap rasa cookies hotong berkisar antara 4.60-6.23 atau netral hingga suka. Berdasarkan parameter tekstur, skor rata-rata kesukaan panelis terhadap tekstur cookies hotong berkisar antara 4.63-5.73 atau netral hingga agak suka. Secara keseluruhan (overall), tingkat kesukaaan berkisar antara 4.67-6.07 atau netral hingga suka. Penambahan pati sagu pada pembuatan cookies hotong dapat berpengaruh pada penerimaan panelis terhadap seluruh atribut pengujian dan meningkatkan skor rata-rata kesukaan panelis terhadap cookies hotong. Nilai penerimaan produk (ranking) cookies hotong secara berurutan dari yang tertinggi adalah cookies dengan rasio tepung hotong kukus:pati sagu 50:50, 65:35, 80:20, dan 50:50 Nilai penerimaan cookies dengan rasio tepung hotong kukus:pati sagu 50:50 dan 65:35 memiliki nilai penerimaan yang tidak berbeda nyata. Oleh karena itu, formula cookies yang dipilih sebagai hasil dari tahap formulasi ini adalah cookies dengan rasio tepung hotong kukus:pati sagu 65:35. Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa dalam 100 g cookies hotong terkandung 3.48% air, 1.25% (bb) atau 1.30% (bk) abu, 6.29% (bb) atau 6.52% (bk) protein, 20.99% (bb) atau 21.75% (bk) lemak, 2.24% (bb) atau 2.32% (bk) serat kasar, dan 67.98% (bb) atau 70.43% (bk) karbohidrat. Nilai energi yang dihasilkan sebesar 486.39 kkal. Hasil analisis fisik menunjukkan nilai aktivitas air (aw) yang dimiliki cookies hotong adalah 0.327 dengan derajat pengembangan produk sebesar 132.32% dan nilai densitas kamba sebesar 0.485 g/ml. Hasil analisis selama 30 hari penyimpanan cookies hotong menunjukkan bahwa nilai kadar air dan bilangan TBA (Thiobarbituric Acid) dalam produk cookies hotong cenderung mengalami kenaikan selama penyimpanan. Sebaliknya, hasil analisis fisik menunjukkan nilai kerenyahan dan kekerasan cookies hotong cenderung mengalami penurunan selama penyimpanan. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa sampai dengan hari penyimpanan ke-25, panelis menilai cookies hotong tidak berbeda nyata dengan reference, sedangkan pada hari penyimpanan ke-30 cookies hotong dinilai berbeda dengan reference. Pendugaan umur simpan cookies hotong menggunakan pendekatan kadar air kritis termodifikasi membutuhkan beberapa variabel sebagai pendukung. Hasil penentuan kadar air kritis cookies hotong menunjukkan nilai rata-rata kadar air kritis cookies hotong adalah 4.75%. Hasil perhitungan menunjukkan umur simpan produk cookies hotong jika disimpan pada suhu ruang menggunakan kemasan HDPE adalah ±370 hari atau 12.35 bulan atau 1.03 tahun, kemasan PP ±71 hari atau 2.36 bulan atau 0.20 tahun, dan kemasan PET ±37 hari atau 1.23 bulan atau 0.10 tahun.
PEMANFAATAN TEPUNG HOTONG (Setaria italica (L) Beauv.) DAN PATI SAGU DALAM PEMBUATAN COOKIES
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: MITA ARYANI PRATIWI F24103020
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PEMANFAATAN TEPUNG HOTONG (Setaria italica (L) Beauv.) DAN PATI SAGU DALAM PEMBUATAN COOKIES
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh: MITA ARYANI PRATIWI F24103020 Dilahirkan pada tanggal 12 September 1985 di Bandung, Jawa Barat Tanggal lulus : 21 Januari 2008 Menyetujui, Bogor, 25 Januari 2008
Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc.
Elvira Syamsir, STP, MSi.
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Mita Aryani Pratiwi, dilahirkan di Bandung, 12 September 1985. Penulis merupakan anak kedua, dari tiga bersaudara, dari pasangan Tata Syafa’at Sastrawiria dan Ati Kusmia. Pendidikan formal ditempuh penulis di SDN Muktiharjo 10 Semarang (1991-1997), SLTPN 2 Semarang (1997-2000), dan SMUN 3 Semarang (2000-2003). Pada tahun 2003, penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selain mengikuti kegiatan perkuliahan, penulis aktif di berbagai kegiatan kampus. Penulis pernah menjabat sebagai anggota Badan Pengawas Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) (2005), Ketua Divisi Kesekretariatan HIMITEPA (2006), dan berbagai kepanitiaan kegiatan yang diselenggarakan oleh HIMITEPA, seperti Masa Perkenalan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (BAUR), Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan (LCTIP) XIII Tingkat Nasional (2005), National Student Paper Competition (NSPC) IV Tingkat Nasional (2005), maupun kepanitiaan tingkat fakultas. Selain itu, penulis juga merupakan anggota Paguyuban Mahasiswa Bandung (PAMAUNG) (2003-2004), bendahara Paguyuban Putra Atlas Semarang (PATRA ATLAS) (2005), dan anggota PATRA ATLAS (2003-2008). Penulis juga pernah menjadi beaswan BBM (2005) dan PPA (2006-2007). Tahun 2006, penulis melakukan kegiatan Praktek Lapangan (PL) di Subdivisi Bakery, Divisi Fresh Food, PT. Makro Indonesia Store 5, Bandung. Penulis mengakhiri masa studi di IPB dengan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemanfaatan Tepung Hotong (Setaria italica (L) Beauv.) dan Pati Sagu dalam Pembuatan Cookies” di bawah bimbingan Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc. dan Elvira Syamsir, STP, MSi., sebagai bagian dari Program Kerja sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) Litbang Pertanian.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt., karena atas rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir strata S1 pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Orang tua penulis, atas segala doa, dukungan, dan cinta yang tiada henti. 2. Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc. dan Elvira Syamsir, STP, MSi. yang selalu membimbing dan mengarahkan penulis. 3. Ir. Subarna, MSi., atas kesediaan untuk menguji penulis. 4. Program Kerja sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) Litbang Pertanian, yang telah mendanai penelitian ini, serta Dr. Ir. Sam Herodian, MS. selaku penanggung jawab dan Ibu Iin selaku bendahara, yang telah memberikan bantuan dan saran selama penelitian. 5. My luvly brother, Ryan Adhitya Nugraha, ‘n sister, Nadia Indriani Karina. 6. TiLo & LiChan,, terima kasih untuk persaudaraan yang luar biasa. 7. The incredible, d’Vill++ : Adie MR (“Thanks a lot ya Bang! Maaf sering membuatmu shock,,☺”), n’Chüz (“Klo ada kata yang lebih dari ‘Terima Kasih’, that’s 4 u Chuz,,☺”), Ujo (“Ganbatte ne,,”), p’Dé, Arie, Tathan, Eja, bang Oma, Sarwo (Sang Penasihat ☺), èRTé, TiLo, LiChan, Yoga, Gading (“Best wishes,,☺”), Ados & Onig,,,, para sahabat terbaikku, juga saudaraku, kini dan selalu,, semoga persaudaraan ini selamanya... 8. Teman-teman seperjuangan dan sebimbingan (Sarwo, Hanifah, Helmi), atas kerja sama dan semangat yang telah diberikan, it was so nice bisa sebimbingan sama kalian... 9. Seluruh anggota ‘Tim Hotong Ceria’ (Sarwo, Hanifah, Helmi, Kindy, Yandra, Bagus, Kaltika, Siska, dan Chacha), atas kerja sama dan semangat yang telah diberikan. Ganbatte kudasai!! 10. Mio bello amico, Ratri Hanindha Majid (and my cutest nephew Tubagus Alifiyan Akhyar) & Umi Hartatik (“Don’t know what to say anymore,, thanks gals..”).
11. Warga Ponytail Bawah + “the-X”: Umul, Anul, d’Sitoel, m’Ocha, Ratna, Ndhiet, Nira, Abank Pepenk, m’Mpiet, m’Catur, m’Yulvi, m’Febi, m’Ade, Ririn, m’Ninid, m’Ririn, m’Nova, Dimin, Nira, m’Neni, Ratih, m’Dian, t’Uli, Maya, m’Susi, m’Nana, Ike,, trima kasih utk setiap saat yg akan selalu mjd memori yg akan menimbulkan kerinduan kelak... 12. Teman-teman TPG’40 (Fena, Oneth, Dhea, Montje, Boss Fina, m’Asih, Her2, Hay2, Ade, Dion, Primuz, I2n, Teddy, Susanto, Nunu, Gonggo, Agus, Sindhu, Sinung, Gilang, bang Ma2t, Kanin, Martin, Steph, Aca, Om Wid, dll), “reunian yah 10 taun lagi.!!”. 13. Kakak2ku TPG’39 (mas Ulik, m’Alin, mas Dadik, k’Di2n (alm.), a Deddy, k’Ijal, k’Ajeng, k’Dora, k’Ina, mas Tmin, k’Ami, dkk.) dan IPN (k’Fenny, k’Hana, k’Cynthia, da Akhyar), serta adik2ku TPG’41 (Ririn, Tika, Bima, dkk.). 14. Para dosen Departemen ITP dan para karyawan (pa Muchtadin, pa Misdi, pa Sopiyan, bu Sri, bu Ratna). 15. Para laboran dan teknisi: bu Rub, bu Antin, pa Wahid, pa Sob, pa Rojak, pa Koko, pa Sidik, pa Yahya, pa Mul, teh Ida, mas Edi, m’Darsih, pa Iyas, pa Nur, ‘abah’ Karna, pa Taufik, mba Sri, mba Ari, bi Cacih, bi Sari, pa Jun, dan mang Ujang, atas segala bentuk bantuan yang telah diberikan kepada penulis. 16. Para pustakawan PITP, LSI, dan PAU, atas bantuan yang telah diberikan. 17. Astrea-nya Ujo, Supra Fit + Kompi-nya Sarwo, Kompi-nya Adie, Moty-nya Gading, mas Ben-nya Umul, mas Com-nya d’Sitoel, ‘n of course My Kompi (dan segala ‘penyerang’nya incl. "tati.my love”). 18. Semua pihak telah ada dalam kehidupan penulis, yang tidak dapat disebutkan satu per satu, namun telah menjadikan penulis seperti sekarang ini, terima kasih,,, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Bogor, Januari 2008 Penulis
DAFTAR ISI RINGKASAN .................................................................................................. i RIWAYAT HIDUP.......................................................................................... v KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi DAFTAR ISI.................................................................................................... viii DAFTAR TABEL............................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xv I.
PENDAHULUAN .................................................................................... 1 A. Latar Belakang .................................................................................. 1 B. Tujuan ............................................................................................... 2 C. Manfaat ............................................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3 A. Buru Hotong (Setaria italica (L) Beauv.) ......................................... 3 1. Botani ......................................................................................... 3 2. Karakteristik ............................................................................... 5 B. Sagu................................................................................................... 7 1. Agronomi.................................................................................... 7 2. Pati Sagu..................................................................................... 7 3. Potensi dan Pemanfaatan Sagu................................................... 9 C. Biskuit ............................................................................................... 9 1. Definisi ....................................................................................... 9 2. Parameter Mutu Cookies ............................................................ 11 3. Bahan Pembuat Cookies............................................................. 11 4. Proses Pembuatan Cookies......................................................... 15 D. Kemasan............................................................................................ 16 E.
Umur Simpan .................................................................................... 18
III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................... 21 A. Bahan Dan Alat................................................................................. 21 B. Tahapan Penelitian............................................................................ 21 1. Penelitian Pendahuluan .............................................................. 21 a.
Pembuatan tepung hotong................................................... 21
b.
Penentuan perlakuan pendahuluan pada tepung hotong ..... 22
c.
Evaluasi tepung hotong....................................................... 23
2. Penelitian Utama ........................................................................ 23 a.
Proses pengolahan cookies hotong ..................................... 23
b.
Formulasi cookies hotong ................................................... 24
c.
Karakterisasi produk cookies hotong.................................. 25
d.
Penyimpanan cookies hotong.............................................. 26
C. Metode Analisis ................................................................................ 28 1. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)............................................. 28 2. Sifat Amilografi (AACC, 1983)................................................. 29 3. Rendemen Cookies ..................................................................... 30 4. Derajat Pengembangan Produk .................................................. 30 5. Densitas Kamba Cookies............................................................ 30 6. Aktivitas Air (Aw) ...................................................................... 31 7. Analisis Tekstur.......................................................................... 31 8. Analisis Proksimat...................................................................... 32 a.
Kadar air, metode oven (AOAC, 1995).............................. 32
b.
Kadar abu, metode gravimetri (AOAC, 1995) ................... 33
c.
Kadar protein, metode mikro Kjeldahl (AOAC, 1995) ...... 34
d.
Kadar lemak, metode Soxhlet (AOAC, 1995).................... 34
e.
Kadar karbohidrat by difference ......................................... 35
9. Kadar Serat Kasar (Fardiaz et al., 1986) .................................... 35 10. Nilai Energi Cookies (Almatsier, 2001) ..................................... 36 11. Kadar Bilangan TBA (Thiobarbituric Acid), Metode Tarladgis (Apriyantono et al., 1989) .......................................................... 37 12. Kadar Air Kritis Produk Cookies Hotong, Metode Konvensional 38 13. Penentuan Variabel Pendukung Umur Simpan .......................... 38
a.
Penentuan berat kering per kemasan dan luas kemasan ..... 38
b.
Penentuan permeabilitas kemasan ...................................... 39
14. Penentuan Perbedaan Tekanan di Luar dan di Dalam Kemasan
39
15. Pendugaan Umur Simpan Cookies Hotong, Pendekatan Kadar Air Kritis Termodifikasi.............................................................. 39 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 41 A. Penelitian Pendahuluan ..................................................................... 41 1. Pembuatan Tepung Hotong ........................................................ 41 2. Penentuan Perlakuan Pendahuluan pada Tepung Hotong.......... 44 3. Evaluasi Tepung Hotong ............................................................ 46 B. Penelitian Utama ............................................................................... 54 1. Proses Pengolahan...................................................................... 54 2. Formulasi Cookies Hotong......................................................... 55 a.
Warna.................................................................................. 58
b.
Aroma ................................................................................. 59
c.
Rasa..................................................................................... 61
d.
Tekstur ................................................................................ 62
e.
Keseluruhan (overall) ......................................................... 64
3. Karakterisasi Produk Cookies Hotong ....................................... 65 a.
Uji rendemen cookies.......................................................... 65
b.
Derajat pengembangan produk ........................................... 66
c.
Pengukuran densitas kamba cookies................................... 66
d.
Pengukuran aktivitas air (aw) .............................................. 67
e.
Analisis proksimat .............................................................. 68 1)
Kadar air...................................................................... 68
2)
Kadar abu .................................................................... 69
3)
Kadar protein............................................................... 69
4)
Kadar lemak ................................................................ 71
5)
Kadar karbohidrat........................................................ 71
f.
Kadar serat kasar................................................................. 72
g.
Nilai energi cookies hotong ................................................ 73
h.
Analisis kadar air kritis produk cookies hotong, metode konvensional ....................................................................... 73
4. Penyimpanan Cookies Hotong ................................................... 76 a.
Pengamatan terhadap perubahan karakteristik cookies hotong selama penyimpanan .............................................. 76 1)
Perubahan kadar air selama penyimpanan .................. 76
2)
Perubahan kadar bilangan TBA (Thiobarbituric Acid) dalam produk cookies hotong...................................... 77
3)
Analisis objektif fisik terhadap tekstur (kekerasan dan kerenyahan) ................................................................. 79
4) b.
Uji organoleptik (duo-trio) .......................................... 81
Pendugaan umur simpan cookies hotong, pendekatan kadar air kritis termodifikasi ........................................................ 83
c.
1)
Penentuan variabel pendukung umur simpan.............. 83
2)
Pendugaan umur simpan cookies hotong .................... 84
Perbandingan umur simpan hasil perhitungan berdasarkan perubahan karakteristik selama penyimpanan .................... 86
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 88 A. Kesimpulan ....................................................................................... 88 B. Saran ................................................................................................. 89 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 91 LAMPIRAN..................................................................................................... 97
DAFTAR TABEL Tabel 1 Hasil analisis kandungan biji buru hotong....................................... 6 Tabel 2
Kandungan gizi buru hotong dibandingkan dengan biji hermada dan beras .......................................................................................... 6
Tabel 3 Komposisi kimia dalam 100 g tepung pati sagu .............................. 8 Tabel 4
Persyaratan mutu biskuit.................................................................. 12
Tabel 5 Setting alat texture analyzer TA-XT2i untuk produk cookies ......... 32 Tabel 6
Hasil pengujian perlakuan pendahuluan pada tepung hotong.......... 45
Tabel 7 Hasil analisis kimia tepung hotong .................................................. 46 Tabel 8
Sifat amilografi tepung hotong mentah, tepung hotong kukus, dan tepung campuran hotong kukus-pati sagu ................................. 49
Tabel 9
Hasil trial and error penentuan waktu pengadukan ........................ 54
Tabel 10 Hasil trial and error penentuan suhu dan waktu pemanggangan .... 55 Tabel 11 Formulasi cookies hotong dalam 100 g tepung................................ 56 Tabel 12 Hasil analisis statistik uji organoleptik ............................................ 57 Tabel 13 Perhitungan densitas kamba cookies hotong.................................... 67 Tabel 14 Hasil analisis kimia cookies hotong per 100 g cookies.................... 68 Tabel 15 Umur simpan dan variabel pendukung penentuan umur simpan..... 85
DAFTAR GAMBAR Gambar 1
Tanaman buru hotong dan biji buru hotong ................................. 5
Gambar 2
Diagram alir pembuatan tepung hotong ....................................... 22
Gambar 3
Diagram alir pembuatan cookies hotong...................................... 25
Gambar 4
Cookies hotong yang dikemas menggunakan toples.................... 26
Gambar 5
Profil parameter sifat amilografi .................................................. 29
Gambar 6
Profil kerenyahan dan kekerasan yang diuji dengan texture analyzer ........................................................................................ 32
Gambar 7 Mesin penyosoh biji buru hotong................................................. 41 Gambar 8
Biji buru hotong kulit dan sosoh .................................................. 43
Gambar 9
Tepung hotong mentah dan kukus ............................................... 45
Gambar 10 Grafik amilografi tepung hotong mentah, tepung hotong kukus, dan tepung campuran hotong kukus-pati sagu ............................. 48 Gambar 11 Cookies hotong............................................................................. 57 Gambar 12 Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut warna cookies hotong........................................................................................... 59 Gambar 13 Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut aroma cookies hotong........................................................................................... 60 Gambar 14 Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut rasa cookies hotong........................................................................................... 61 Gambar 15 Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut tekstur cookies hotong........................................................................................... 63 Gambar 16 Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap keseluruhan atribut (overall) cookies hotong............................................................... 64 Gambar 17 Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai penerimaan panelis 74 Gambar 18 Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai kerenyahan cookies hotong........................................................................................... 75 Gambar 19 Hubungan nilai kerenyahan dengan nilai penerimaan panelis ..... 75 Gambar 20 Perubahan kadar air cookies hotong selama penyimpanan .......... 77 Gambar 21 Perubahan nilai bilangan TBA cookies hotong selama penyimpanan ................................................................................ 78
Gambar 22 Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai kerenyahan cookies hotong........................................................................................... 80 Gambar 23 Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai kekerasan cookies hotong .......................................................................................... 81
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Form uji organoleptik formulasi................................................ 98 Lampiran 2 Form uji organoleptik duo-trio .................................................. 99 Lampiran 3
Form uji rating penentuan kadar air kritis................................. 100
Lampiran 4
Hasil penilaian organoleptik atribut warna................................ 101
Lampiran 5
Hasil penilaian organoleptik atribut aroma ............................... 102
Lampiran 6
Hasil penilaian organoleptik atribut rasa ................................... 103
Lampiran 7
Hasil penilaian organoleptik atribut tekstur............................... 104
Lampiran 8
Hasil penilaian organoleptik atribut keseluruhan (overall) ....... 105
Lampiran 9
Hasil penilaian organoleptik uji rangking ................................. 106
Lampiran 10 Hasil pengujian statistik atribut warna ...................................... 107 Lampiran 11 Hasil pengujian statistik atribut aroma ...................................... 108 Lampiran 12 Hasil pengujian statistik atribut rasa.......................................... 109 Lampiran 13 Hasil pengujian statistik atribut tekstur ..................................... 110 Lampiran 14 Hasil pengujian statistik atribut keseluruhan (overall).............. 111 Lampiran 15 Hasil pengujian statistik uji rangking ........................................ 112 Lampiran 16 Hasil pengolahan data uji organoleptik duo-trio ....................... 114 Lampiran 17 Tabel peluang binomial α = 0.05............................................... 115 Lampiran 18 Tabel uap air (Labuza, 1982)..................................................... 116 Lampiran 19 Umur simpan cookies hotong .................................................... 117
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia karena berhubungan erat dengan kelangsungan hidup manusia. Ketahanan pangan suatu negara sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakatnya, sehingga sudah seharusnya mendapatkan perhatian khusus. Indonesia sebagai negara agraris dan maritim yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat potensial sudah sewajarnya dapat memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduknya. Upaya peningkatan pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri dewasa ini dilakukan dengan intensifikasi pertanian dan diversifikasi bahan pangan. Intensifikasi pertanian diarahkan pada pemanfaatan lahan kering untuk penanaman. Diversifikasi bahan pangan dilakukan dengan mengembangkan tanaman bahan pangan alternatif pengganti beras dan terigu, khususnya yang dapat tumbuh pada lahan-lahan kering. Pengembangan
produk
pangan
di
Indonesia
diarahkan
pada
pemanfaatan potensi sumber bahan pangan lokal demi tercapainya ketahanan pangan. Jenis bahan pangan pokok yang banyak digunakan di Indonesia pada umumnya berasal dari jenis serealia, seperti beras. Terdapat banyak jenis serealia lain yang merupakan sumber bahan pangan wilayah yang belum dimanfaatkan secara optimum. Salah satunya adalah buru hotong (Setaria italica (L) Beauv.). Buru hotong merupakan tanaman pangan alternatif pengganti beras yang merupakan tanaman asli dari Pulau Buru.Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada lahan-lahan kering yang tidak beririgasi teknis. Di tempat asalnya, pemanfaatan buru hotong dalam pembuatan produk pangan terbatas pada pembuatan nasi hotong sebagai makanan pokok masyarakat setempat. Studi ilmiah tentang pemanfaatan buru hotong masih sangat kurang. Oleh karena itu, penelitian tentang pemanfaatan buru hotong sebagai bahan baku dalam pembuatan produk pangan bermutu tinggi perlu terus dilakukan.
Salah satu di antaranya adalah dengan pembuatan cookies. Pengolahan hotong menjadi produk cookies diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan konsumsi buru hotong. Hal ini merupakan suatu alternatif yang cukup baik untuk meningkatkan nilai ekonomis buru hotong dengan biaya produksi yang rendah.
B. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah melakukan formulasi produk cookies yang berbahan dasar campuran tepung hotong dan pati sagu, mengamati perubahan
karakteristik
produk
cookies
yang
dihasilkan
selama
penyimpanan, serta menduga umur simpannya.
C. Manfaat Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah adanya alternatif pemanfaatan buru hotong menjadi produk olahan berupa cookies sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis buru hotong di daerah asalnya, yaitu Pulau Buru.
II. TINJAUAN PUSTAKA
D. Buru Hotong (Setaria italica (L) Beauv.) 1.
Botani Buru hotong (Setaria italica (L) Beauv.) merupakan tanaman asli Pulau Buru, Maluku. Tanaman buru hotong merupakan sejenis padi atau alang-alang yang tumbuh di dataran rendah sampai dengan dataran tinggi pada semua jenis lahan. Tanaman buru hotong merupakan tanaman pangan alternatif pengganti beras yang dapat tumbuh dengan baik di lahan-lahan kering yang tidak beririgasi teknis. Hingga kini tanaman tersebut ditanam dan dibudidayakan secara terbatas di Pulau Buru (Maluku). Budi daya tanaman buru hotong tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif sebagaimana tanaman padi, sehingga memungkinkan untuk dapat ditanam hampir pada semua tempat dengan cara menaburkan biji. Tanaman buru hotong merupakan tanaman semusim. Tanaman ini tumbuh dalam bentuk rumpun dengan tinggi 60-150 cm (Dassanayake, 1994). Umur panen tanaman ini 75-90 hari setelah tanam, tergantung jenis tanah dan lingkungan tempat budi dayanya. Waktu penanaman terbaik pada bulan Juli hingga pertengahan Agustus di daerah beriklim tropis (Krishiworld, 2005). Menurut Dassanayake (1994), jenis-jenis buru hotong yang banyak dibudidayakan adalah: Setaria italica (L) Beauv., Setaria italica (Var.) Metzgeri, dan Setaria italica (Var.) Stramiofructa. Botani tanaman buru hotong dapat dilihat sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Division
: Magnoliophyta (Angiospermae)
Class
: Liliopsida
Subclass
: Commelinidae
Ordo
: Cyperales
Family
: Poaceae (Graminae)
Genus
: Setaria Beauv.
Species
: Setaria italica (L) Beauv.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman buru hotong di antaranya adalah tanah, varietas tanaman, iklim, dan tindakan budi daya. Setiap tanaman menghendaki kondisi tanah yang berbeda-beda sebagai tempat hidup yang optimum. Pada budi daya tanaman graminae maka pengolahan tanah yang intensif dengan pencacahan tanah akan sangat menguntungkan dari segi kemampuan perkembangan akar dan penghambatan pertumbuhan gulma. Tanaman buru hotong tidak memerlukan tanah khusus untuk tumbuh, namun perlu dilakukan perlakuan-perlakuan terhadap jenis tanah tertentu (Baker, 2003). Menurut Baker (2003) dan Krishiworld (2005), tanaman buru hotong dapat tumbuh pada daerah beriklim tropis maupun subtropis dengan curah hujan yang tidak terlalu besar. Swarbrick (1997) menyatakan bahwa secara umum, tanaman buru hotong tumbuh baik pada lahan tadah hujan sampai kering, karena tanaman ini relatif sedikit membutuhkan air. Krishiworld (2005) melaporkan bahwa di India, tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada tanah aluvial, bahkan pada tanah liat. Tanah dengan sifat liat yang tinggi harus mendapatkan pengolahan tanah yang baik agar dapat mendukung perakaran dan meningkatkan perkolasi air tanah, karena tanaman buru hotong memerlukan drainase yang baik. Tanaman buru hotong dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, namun tanaman ini bereaksi positif terhadap fosfor (P) dan nitrogen (N), sehingga tanah dengan kandungan fosfor dan nitrogen yang cukup akan menghasilkan produksi yang lebih baik.
2.
Karakteristik Batang tanaman buru hotong bersifat liat, semakin kering batang tanaman buru hotong setelah dikeringkan akan semakin berkurang sifat liatnya. Malai sebenarnya adalah lanjutan dari batang, hanya saja tumbuh cabang-cabang yang semakin ujung posisinya semakin kompak. Cabang terdiri dari koloni kulit ari yang berisi biji buru hotong. Panjang malai buru hotong rata-rata 15.2 cm dengan diameter 1.2 mm dan memiliki berat rata-rata 5.7 g per malai. Biji buru hotong memiliki ukuran panjang 1.7 mm, lebar 1.3 mm, dan ketebalan 1.1 mm (Kharisun, 2003). Biji buru hotong yang telah dikupas berwarna putih. Buru hotong sebenarnya bukan hal baru di kalangan masyarakat setempat, sebab selama ini tanaman buru hotong telah diolah oleh para petani untuk dijadikan tanaman sela. Proses pengolahan biji buru hotong (kulitnya berwarna coklat tua) sampai tahap siap tanak (dimasak) tak jauh berbeda dengan padi. Hanya saja proses pengupasan kulitnya tidak dapat menggunakan alat yang biasa dipakai untuk mengupas kulit padi, karena biji buru hotong lebih kecil dibanding padi. Gambar tanaman dan biji buru hotong dapat dilihat pada Gambar 1.
(a) (b) Gambar 1 Tanaman buru hotong (a) dan biji buru hotong (b) Kandungan karbohidrat buru hotong lebih tinggi atau sama dengan kandungan karbohidrat pada beras-beras di Indonesia, sedangkan kandungan proteinnya lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan protein pada bahan pangan sumber karbohidrat lainnya (beras, kentang). Hasil analisis kandungan gizi buru hotong dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil analisis kandungan biji buru hotong Kandungan Jumlah (%) Metode analisis Air 11.78 oven Abu 1.32 gravimetri Protein 11.18 Mikro Kjeldahl Lemak 2.36 Soxhlet Karbohidrat 73.36 by different Energi* 359 kkal/100 g Keterangan: *Energi diukur sebagai kkal/100 g tepung Sumber: Andarwulan (2003)
Dibandingkan dengan beras dan hermada, kandungan karbohidrat biji buru hotong hampir sama dengan kandungan karbohidrat pada beras maupun hermada (Sorghum bicolour (L) Moench) seperti tercantum pada Tabel 2. Dengan demikian, biji buru hotong diharapkan dapat dijadikan alternatif makanan pokok sumber karbohidrat nonberas dengan tetap memperoleh protein dan lemak untuk mendukung upaya diversifikasi pangan. Tabel 2 Kandungan gizi buru hotong dibandingkan dengan biji hermada dan beras Hermada Komponen Buru hotongb) Berasa) Jepanga) ASa) Karbohidrat 75% 72% 73% 70-80% Protein 9.4% 11.3% 11.2% 4.0-5.0% Lemak 4.2% 5.2% 2.4% 1.0-2.0% Serat kasar 8.3% 8.5% 8.0-15.0% Abu 3.8% 3.3% 1.3% 2.0-5.0% Keterangan : a) http//www.republika.co.id/9810/11/341.htm b) hasil analisis dari laboratorium IPB Sumber: Hasbullah et al. (2003)
Keberhasilan dalam penanaman dan pengembangan buru hotong akan memberikan dampak yang sangat positif bagi usaha mencapai diversifikasi pangan. Hal ini juga akan memberikan manfaat bagi negara. Oleh karena itu, diperlukan masukan teknologi yang tepat agar dapat memberikan hasil yang maksimum.
E. Sagu 1.
Agronomi Sagu merupakan salah satu tanaman sumber karbohidrat (Ruddle et al., 1978). Batang sagu yang merupakan bagian terpenting dalam tanaman sagu adalah tempat penyimpanan cadangan makanan (karbohidrat) yang dapat menghasilkan pati sagu. Batang sagu berbentuk silinder dan berdiameter 35-60 cm (McClatchey et al., 2004). Batang sagu terdiri dari lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian dalam yang mengandung pati dan serat. Tebal kulit luar yang keras sekitar 3-5 cm. Secara makroskopis, struktur batang sagu dari arah luar terdiri dari lapisan sisa-sisa pelepah daun, lapisan kulit luar yang tipis dan berwarna kemerah-merahan, lapisan kulit dalam yang keras dan padat berwarna coklat, lapisan serat, dan empulur (Haryanto dan Pangloli, 1992). Batang pohon sagu mempunyai pusat yang lunak berwarna ”pale pink” yang merupakan tempat terakumulasinya sebagian besar pati. Pusat yang lunak (empulur) ini dilindungi oleh suatu lapisan setebal kurang lebih 2 cm berupa serat-serat kulit kayu (Cecil et al., 1982). Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), tanaman sagu dapat dipanen untuk diambil patinya pada umur 11 tahun ke atas. Ukuran batang sagu serta pati yang terkandung di dalamnya tergantung pada jenis sagu, umur, dan habitat pertumbuhannya. Makin tua umur tanaman sagu, kandungan pati di dalam empulur makin besar. Kandungan pati yang terdapat dalam empulur batang ketika sagu berumur 3-5 tahun jumlahnya belum terlalu banyak. Namun ketika sagu berumur sekitar 11 tahun ke atas, empulur sagu mengandung pati sekitar 15-20%.
2.
Pati Sagu Pati merupakan cadangan makanan yang terdapat di dalam bijibijian atau umbi-umbian. Pati atau karbohidrat secara umum merupakan bahan organik pertama yang diproduksi dari udara dan air dari dalam tanah, pada suatu proses fotosintesis dengan menggunakan energi radiasi sinar matahari (Hodge dan Osman, 1976).
Secara mikroskopik, granula pati sagu terkonsentrasi pada empulur batang sagu. Empulur batang sagu mengandung 20.2-29% pati, 50-66% air, dan 13.8-21.3% bahan lain atau ampas. Dihitung dari berat kering, empulur batang sagu mengandung 54-60% pati dan 40-46% ampas. Untuk mengekstrak pati dari jaringan empulur maka dinding sel harus dipecahkan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara pemarutan sehingga granula pati akan terbebaskan dan dapat dipisahkan dengan cara pemberian air secara berlebihan. Dalam pengolahan untuk mendapatkan pati sagu biasanya batang sagu akan dipisahkan menjadi tiga bagian. Bagian pertama merupakan pati yang akan diendapkan, kedua adalah bagian dinding sel, dan ketiga adalah jaringan-jaringan pembuluh yang akan menjadi bahan kering (Flach, 1983). Komposisi kimia yang terkandung dalam 100 g pati sagu dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi kimia dalam 100 g pati pagu Komposisi Jumlah Air (g) 14.0 Protein (g) 0.7 Karbohidrat (g) 84.7 Serat kasar (g) Lemak (g) 0.2 Abu (g) Fosfor (mg) 13.0 Kalsium (mg) 11.0 Besi (mg) 1.5 Kalori (kkal) 353 Sumber: Depkes (1991)
Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi yang tidak larut disebut amilopektin (Winarno, 1992). Pati sagu mengandung 27% amilosa dan 73% amilopektin. Perbandingan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati (Flach, 1983). Pati sagu juga memiliki suhu gelatinisasi yang cukup tinggi yaitu sekitar 69oC (Cecil et al., 1982).
Cecil et al. (1982) menyebutkan bahwa granula pati sagu berbentuk oval dengan ukuran yang cukup besar, yaitu 20-60 μm. Lebih lanjut, Griffin di dalam Tan (1977) menambahkan, kisaran ukuran granula pati sagu adalah 5-80 μm dengan ukuran rata-rata sekitar 30 μm. Ukuran granula pati sagu lebih besar daripada ukuran granula pati tanaman yang lainnya, misalnya ukuran granula pati singkong hanya 18 μm.
3.
Potensi dan Pemanfaatan Sagu Dewasa ini, sagu merupakan salah satu komoditi yang penting bagi perekonomian dan secara komersial tumbuh di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Papua Nugini untuk menghasilkan pati sagu, pakan ternak, dan bahan bakar etanol (McClatchey et al., 2004). Maluku, Papua, Kalimantan, dan Riau dikenal sebagai daerah sagu potensial (Djoefrie, 1999). Di Papua terdapat 6 juta hektar lahan sagu, sedangkan di Papua Nugini terdapat 1 juta hektar lahan sagu liar dan 20 ribu hektar lahan sagu budi daya (McClatchey et al., 2004). Produksi tanaman sagu bervariasi dari 200-350 kg/pohon. Apabila di Indonesia diasumsikan terdapat 3 juta hektar pohon sagu dan setiap hektarnya terdapat 30 pohon dan setiap pohonnya diperoleh 300 kg pati sagu, maka dalam setahun dapat diperoleh pati sagu sebanyak 27 juta ton (Djoefrie, 1999). Di Indonesia, penggunaan pati sagu secara umum bukan merupakan hal asing, terutama bagi masyarakat di propinsi Papua atau Malaku. Pati sagu banyak digunakan sebagai bahan campuran produk mie, soun, roti, dan bakso (Anonim, 2006).
F.
Biskuit 1.
Definisi Biskuit merupakan makanan kering yang tergolong makanan panggang atau kue kering. Biskuit merupakan produk kering yang mempunyai daya awet yang tinggi, sehingga dapat disimpan dalam
waktu yang lama dan mudah dibawa dalam perjalanan, karena volume dan beratnya yang relatif ringan akibat adanya proses pengeringan (Whiteley, 1971). Menurut Faridi (1994), biskuit merupakan produk yang berasal dari tepung terigu halus dan dalam formulanya mengandung gula dan lemak yang tinggi, tapi mengandung sedikit air. Menurut DSN (1992), biskuit adalah sejenis makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan. Pengklasifikasian biskuit didasarkan pada beberapa sifat, yaitu tekstur dan kekerasan biskuit, perubahan bentuk akibat pemanggangan, serta ekstensibilitas dan jenis adonannya (Manley, 1983). Menurut sifat adonannya, biskuit dibedakan menjadi tiga, yaitu adonan pendek atau lunak, adonan keras, dan adonan fermentasi. Pada adonan lunak, gluten tidak sampai mengembang akibat efek shortening dari lemak dan efek pelunakan dari gula atau kristal sukrosa. Pada adonan keras, gluten mengembang sampai batas tertentu dengan penambahan air. Pada adonan fermentasi, gluten mengembang penuh karena air yang ditambahkan, sehingga memungkinkan kondisi tersebut yang berakibat pada perubahan bentuk akhir dengan penyusutan panjang setelah pencetakan dan pembakaran (Soenaryo, 1985). Jenis adonan lunak memiliki kadar gula 25-40% dan kadar lemak 15%, contohnya pada biskuit glukosa, biskuit krim, biskuit buah, biskuit jahe, dan biskuit kacang. Pada adonan keras terjadi pengikatan pati dengan protein, pelarutan garam, gula, pengembang, dan dispersi lemak ke seluruh adonan. Adonan ini mengandung kadar gula 20% dan kadar lemak 12-15%, contohnya yaitu biskuit marie dan rich tea. Pada adonan fermentasi, produk akhir memiliki sifat kerenyahan tertentu. Kadar gula rendah dan kadar lemak 25-30%, contonya adalah crackers (Soenaryo, 1985). Biskuit dapat digolongkan berdasarkan cara pencampuran dan resep yang dipakainya. Berdasarkan cara pencampurannya, biskuit
dibagi menjadi dua golongan, yaitu busa dan adonan. Kue kering yang dapat dicetak merupakan biskuit jenis adonan, sedangkan biskuit jenis busa adalah meringue dan sponge (Purnawati, 1999). Menurut Deprin (1978), biskuit dapat diklasifikasikan menjadi biskuit keras, crackers, cookies, dan wafer. Biskuit keras dibentuk dari adonan keras dan memiliki tekstur padat. Crackers adalah biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui fermentasi dan memiliki struktur yang berlapis-lapis. Cookies merupakan jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak dengan sifat yang lebih renyah karena tekstur yang kurang padat. Wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair dengan sifat yang sangat renyah dan memiliki tekstur yang berongga.
2.
Parameter Mutu Cookies Umumnya cookies berwarna coklat keemasan, permukaan agak licin, bentuk dan ukuran seragam, kering, renyah dan ringan, serta memiliki aroma yang menyenangkan. Cookies terbuat dari bahan dasar tepung (Vail et al., 1978) dan diproses dengan pemanggangan dengan kadar air tidak lebih dari 5% (Deprin, 1978). Kadang-kadang pada bahan dasar diberi beberapa bahan tambahan untuk memperbaiki cita rasa dan penampakan. Persyaratan mutu cookies mengacu kepada persyaratan mutu biskuit dalam SNI 01-2973-1992, seperti terdapat pada Tabel 4.
3.
Bahan Pembuat Cookies Menurut Matz (1972), bahan baku utama pembuatan cookies adalah terigu, gula, minyak, dan lemak. Sedangkan bahan pembantu yang digunakan adalah garam, susu, flavor, pewarna, pengembang, ragi, air, dan pengemulsi. Bahan-bahan pembuat cookies dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bahan pengikat (binding materials) dan bahan pelembut (tenderizing materials). Bahan pengikat terdiri dari tepung, susu, putih telur, dan air. Bahan-bahan ini berfungsi membentuk adonan yang
kompak. Sedangkan bahan pelembut terdiri dari gula, kuning telur, shortening, dan bahan pengembang (Matz dan Matz, 1978). Tabel 4 Persyaratan mutu biskuit No. Karakteristik 1. Kadar air (maksimum) 2. Kadar protein (minimum) 3. Kadar lemak (minimum) 4. Kadar abu (maksimum) 5. Kadar serat kasar (maksimum) 6. Kadar karbohidrat (minimum) 7. Kalori (minimum) 8. Jenis tepung 9. Kadar logam berbahaya 10. Warna 11. Bau dan rasa
Syarat Mutu 5.00% 9.00% 9.50% 1.50% 0.50% 70.00% 400 kal/100 g terigu negatif normal normal, tidak tengik
Sumber: DSN (1992)
Fungsi tepung dalam adonan adalah membentuk adonan selama proses pencampuran, menarik atau mengikat bahan lainnya, serta mendistribusikannya secara merata, mengikat selama proses fermentasi, dan membentuk struktur biskuit selama pemanggangan (Matz dan Matz, 1978). Bermacam-macam tepung dapat digunakan untuk pembuatan cookies. Menurut Matz dan Matz (1978), tepung yang mengandung protein tinggi akan menghasilkan tekstur cookies yang keras, tekstur bagian dalam dan penampakan luar kasar. Penambahan tepung sebaiknya sesuai dengan takaran yang telah ditentukan. Apabila penambahan tepung terlalu sedikit, lemak yang berasal dari margarin akan menjadi berlebih sehingga biskuit akan kehilangan bentuk dan mudah patah (Matz dan Matz, 1978). Lemak biasa digunakan untuk memberikan efek shortening dengan memperbaiki struktur fisik seperti volume pengembangan, tekstur dan kelembutan, serta memberikan flavor (Matz dan Matz, 1978). Lemak nabati (margarin) lebih banyak digunakan karena memberikan rasa lembut dan halus. Penggunaan margarin bertujuan mengurangi
kekerasan produk, memperkuat tekstur, memberi rasa lezat, sebagai penghantar panas, menurunkan kebutuhan air untuk memperoleh konsistensi adonan tertentu sehingga gluten yang terbentuk menjadi sedikit, dan mencegah tekstur menjadi sangat lunak (Dirjen POM, 1994). Selain itu, margarin mengandung lemak yang dapat mencegah campuran adonan dari curdling pada waktu creaming. Lemak dapat membuat cookies menjadi renyah karena lemak melapisi molekul pati dan gluten dalam tepung dan memutuskan ikatannya (Kaplon, 1971). Kandungan lemak cookies yang baik yaitu berkisar antara 65-70% dari berat tepung (Sultan, 1981). Gula berfungsi sebagai pemberi rasa manis, pembentuk flavor, pembentuk warna pada permukaan cookies, dan pengontrol penyebaran (Matz dan Matz, 1978). Selain itu juga membantu pembentukan krim dan pengocokan pada proses pencampuran serta menambah nilai energi (Sultan, 1981). Gula yang digunakan bisa dalam bentuk gula pasir, gula pasir halus atau tepung gula. Penggunaan gula halus akan memberikan hasil yang lebih baik karena tidak menyebabkan pelebaran cookies yang terlalu besar (Matz dan Matz, 1978). Penggunaan gula dengan struktur kristal yang kasar akan menyebabkan gula mengalami pelelehan selama pembakaran
sehingga
mengakibatkan
penyebaran
cookies
yang
berlebihan sehingga akan menyebabkan kesulitan dalam penanganan adonan (Sultan, 1981). Jumlah gula yang ditambahkan akan berpengaruh terhadap tekstur dan penampakan cookies. Matz dan Matz (1978) menerangkan bahwa meningkatnya kadar gula di dalam adonan akan membuat produk yang dihasilkan menjadi semakin keras. Selain itu, waktu pembakaran harus sesingkat mungkin agar tidak hangus karena gula yang terdapat di dalam adonan dapat mempercepat proses pembentukan warna. Susu berfungsi memberikan aroma, memperbaiki tekstur, dan memperbaiki warna permukaan. Laktosa yang terkandung dalam susu merupakan disakarida pereduksi, yang jika berkombinasi dengan protein melalui reaksi Maillard dan adanya proses pemanasan akan memberikan
warna coklat menarik pada permukaan cookies setelah dipanggang (Manley,
1983).
Penambahan
susu
skim
dimaksudkan
untuk
memperbaiki nilai gizi cookies, meningkatkan keharuman dan kelezatan cookies, mempertinggi volume cookies, memperbaiki butiran dan susunan cookies, serta memperbaiki umur simpan. Telur berpengaruh terhadap tekstur produk sebagai hasil dari fungsi emulsifikasi, pelembut tekstur, dan daya pengikat. Fungsi lainnya adalah untuk aerasi, yaitu kemampuan menangkap udara pada saat adonan dikocok sehingga udara menyebar rata pada adonan. Telur dapat mempengaruhi warna, rasa, dan melembutkan tekstur cookies dengan daya emulsi dari lesitin yang terdapat pada kuning telur. Pembentukan adonan yang kompak terjadi karena daya ikat dari putih telur (Indrasti, 2004). Penggunaan kuning telur berkaitan dengan komponen lemak (lesitin) kuning telur sebesar 7-10% sehingga dapat digunakan untuk improve creaming dan volume adonan (Sultan, 1981). Dalam pembuatan cookies, penggunaan kuning telur tanpa putih telur akan menghasilkan cookies yang lembut dengan kualitas cita rasa yang sempurna. Tetapi struktur cookies tidak sebaik pada penggunaan telur secara keseluruhan. Oleh karena itu, agar adonan lebih kompak sebaiknya ditambahkan putih telur secukupnya (Matz dan Matz, 1978). Garam berfungsi memberikan rasa gurih, mengontrol waktu fermentasi, dan menambah keliatan gluten (US Wheat Associates, 1981). Sebagian besar formula cookies menggunakan 1% garam atau kurang dalam bentuk kristal-kristal kecil (halus) untuk mempermudah kelarutannya (Matz dan Matz, 1978). Leavening agent (pengembang adonan) yang sering digunakan dalam pembuatan cookies adalah baking powder. Baking powder merupakan campuran sodium bikarbonat (NaHCO3) dan asam seperti sitrat atau tartarat. Biasanya baking powder mengandung pati sebagai bahan pengisi. Sifatnya cepat larut pada suhu kamar dan tahan lama selama pengolahan (Matz dan Matz, 1978). Kombinasi sodium bikarbonat
dan
asam
dimaksudkan
untuk
memproduksi
gas
karbondioksida baik sebelum dipanggang maupun pada saat dipanaskan dalam oven (Manley, 1983).
4.
Proses Pembuatan Cookies Menurut Matz (1992), pembuatan cookies meliputi tahap pembuatan adonan, pencetakan, dan pemanggangan. Metode yang digunakan untuk pencampuran adonan adalah metode krim atau creaming method (Whiteley, 1971). Pada metode ini, bahan baku dicampur secara bertahap. Pertama dengan pencampuran lemak dan gula, kemudian ditambah pewarna, flavor, dan garam. Pengembang dilarutkan dengan air atau susu cair lalu dimasukkan ke dalam krim. Terakhir yang dicampurkan adalah tepung (Soenaryo, 1985). Metode ini baik untuk cookies karena menghasilkan adonan yang bersifat membatasi pengembangan gluten yang berlebihan seperti pada pembuatan roti (Matz, 1992). Setelah adonan terbentuk, biasanya adonan mengalami aging. Waktu aging tergantung pada jenis pengembang yang digunakan. Aging dipelukan untuk memberi kesempatan kepada bahan pengembang untuk bekerja. Menurut US Wheat Associates (1981), lamanya aging pada adonan yang menggunakan baking powder ada dua jenis, yaitu baking powder yang reaksinya lambat dan baking powder yang reaksinya cepat. Jenis baking powder yang reaksinya cepat misalnya kalsium pirofosfat di mana setelah mixing jenis ini akan melepaskan banyak gas dalam waktu yang relatif pendek (5-15 menit). Jenis baking powder yang reaksinya lambat yaitu sodium pirofosfat dan sodium alumunium sulfat. Jenis ini tidak terlalu banyak membebaskan gas sampai adonan dipanaskan. Waktu yang dibutuhkan sekitar 15-30 menit. Sebelum dicetak, adonan mengalami penipisan terlebih dahulu sampai dengan ketebalan ±0.5 cm kemudian dicetak dengan bentuk tertentu. Untuk menghindari kelengketan adonan dengan alat digunakan tepung pada permukaan adonan untuk dusting atau digunakan alat yang gesekannya rendah seperti teflon.
Adonan yang telah dicetak selanjutnya ditata dalam loyang yang telah diolesi dengan lemak lalu dipanggang dalam oven. Adonan dipanggang dalam oven pada suhu ±176.7ºC (350ºF) selama 10 menit. Matz dan Matz (1978) menerangkan bahwa semakin sedikit jumlah gula dan lemak yang digunakan dalam adonan, suhu pemanggangan dapat dibuat lebih tinggi (177-204ºC). Suhu dan lama waktu pemanggangan akan mempengaruhi kadar air cookies. Perubahan yang kompleks terjadi selama pemanggangan. Pada awal pemanggangan belum terjadi perubahan, tetapi setelah lemak meleleh pada suhu 37-40ºC, ada tiga perubahan yang terjadi, yaitu lemak menjadi bentuk tetesan, emulsi air dalam minyak (W/O) berubah menjadi minyak dalam air (O/W), dan gelembung udara bergerak dari fase lemak ke fase air. Pada suhu 52-99ºC terjadi gelatinisasi pati. Udara dibebaskan dari adonan pada suhu 65ºC. Selanjutnya pada suhu 70ºC terjadi penguapan air serta denaturasi dan koagulasi protein (Kamel di dalam: Faridi, 1994). Pada waktu pemanggangan struktur cookies akan terbentuk akibat gas yang dilepaskan oleh bahan pengembang dan uap air akibat kenaikan suhu. Ketebalan biasanya meningkat sampai 4-5 kali. Kadar air dari 21% menjadi lebih kecil dari 1.5%. Setelah keluar dari oven, cookies harus cepat didinginkan untuk menurunkan suhu dan mengeraskan cookies akibat pemadatan gula dan lemak. Waktu mendinginkan biasanya 2-3 kali lebih lama daripada waktu pemanggangan (Manley, 1983). Menurut Vail et al. (1978), mutu cookies tergantung pada komponen pembentuknya dan penanganan bahan sebelum dan sesudah proses produksi. Penyimpangan mutu produk akhir dapat terjadi akibat penggunaan bahan-bahan tidak dalam proporsi dan cara pembuatan yang tepat.
G. Kemasan Kemasan memegang peranan penting dalam pengawetan suatu produk pangan. Adanya wadah atau pembungkus dapat mencegah atau mengurangi
kerusakan dan melindungi bahan pangan dari bahaya pencemaran serta gangguan fisik, seperti gesekan, benturan, dan getaran. Bahan kemas dapat terbuat dari logam, plastik, gelas, kertas, dan karton. Bahan kemas seharusnya mempunyai enam fungsi utama, yaitu: a) menjaga produk pangan tetap bersih; b) melindungi makanan terhadap kerusakan fisik; c) mempunyai fungsi yang baik, efisien, dan ekonomis; d) memberikan kemudahan dalam membuka, menutup, mencetak, serta menangani distribusi; e) mempunyai ukuran, bentuk, dan bobot yang sesuai dengan standar yang ada; dan f) menampakkan identifikasi, informasi, dan penampilan yang jelas (Buckle et al., 1987). Faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan tersebut, keadaan lingkungan, dan sifat bahan kemasan. Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap lingkungan. Bahan pangan yang bersifat higroskopis, faktor suhu dan kelembaban sangat penting. Produk pangan kering yang bersifat higroskopis harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Umumnya, produk pangan kering mempunyai kadar air rendah sehingga harus dikemas dengan kemasan yang mempunyai daya tembus atau permeabilitas uap air yang rendah untuk menghambat penurunan mutu produk seperti menjadi tidak renyah (Buckle et al., 1987). Kemasan sintetik berbasis bahan plastik telah berkembang. Kelebihan plastik dari kemasan lain di antaranya adalah harga yang relatif rendah, dapat dibentuk menjadi berbagai macam bentuk, dan mengurangi biaya transportasi. Menurut Buckle et al. (1987), kemasan plastik mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan kemasan logam, yaitu kuat tapi ringan, inert, tidak berkarat, termoplastik, dan dapat diberi warna. Beberapa jenis plastik yang dapat dibuat sebagai kemasan produk cookies adalah High Density Polyethylene (HDPE), Polyprophylene (PP) dan Polyethylene Terephtalat (PET). Masing-masing jenis plastik tersebut memiliki sifat-sifat yang berbeda. HDPE tergolong jenis plastik polietilen, yang merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan dalam industri. Menurut Syarief et al. (1989), sifat-sifat umum polietilen yaitu: a)
penampakannya bervariasi dari transparan, berminyak, sampai keruh; b) mudah dibentuk, lemas, dan mudah ditarik; c) daya rentang tinggi tanpa sobek; d) tahan terhadap asam, basa, alkohol, deterjen, dan bahan kimia lainnya; e) transmisi gas cukup tinggi sehingga tidak cocok untuk mengemas bahan makanan yang beraroma; dan f) memiliki sifat kedap air dan uap air. HDPE banyak digunakan sebagai kemasan kaku. Sifat-sifat utama dari polipropilen adalah : a) ringan, mudah dibentuk, tembus pandang, dan jernih dalam bentuk film, tidak transparan dalam bentuk kemasan kaku; b) mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari PE; c) lebih kaku dari PE dan tidak mudah sobek; d) tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak; dan e) permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang. Beberapa sifat umum PET adalah: a) transparan, bersih, dan jernih; b) tidak tahan terhadap asam kuat, fenol, benzil, dan alkohol; c) tahan terhadap pelarut organik seperti asam-asam pada buah-buahan sehingga dapat digunakan untuk kemasan sari buah; dan d) permeabilitas uap air dan gas sangat rendah.
H. Umur Simpan Umur simpan produk pangan menurut Institute of Food Technology adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi di mana produk berada dalam kondisi memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma tekstur dan nilai gizi. Sedangkan menurut National Food Processor Association, umur simpan suatu produk didefinisikan sebagai berikut: suatu produk dikatakan berada pada kisaran umur simpannya bilamana kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah dan Syarief, 2000). Hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible (tidak dapat balik) selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu makanan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluarsa. Bahan pangan disebut
rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya makanan tersebut telah mengalami penurunan mutu gizi meskipun penampakannya masih bagus (Syarief dan Halid, 1993). Penentuan batas kadaluwarsa dapat dilakukan dengan menggunakan metode-metode tertentu. Penentuan batas kadaluwarsa dilakukan untuk menentukan umur simpan (shelf life) produk. Menurut Ellis di dalam Man dan Jones (1994), penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Penentuan umur simpan didasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan produk pangan. Faktor-faktor tersebut misalnya adalah keadaan alamiah (sifat makanan), mekanisme berlangsungnya perubahan (misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen), serta kemungkinan terjadinya perubahan kimia (internal dan eksternal). Faktor lain adalah ukuran kemasan (volume), kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban), serta daya tahan kemasan selama transit dan sebelum digunakan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau (Astawan, 2007). Produk pangan yang memiliki kelarutan yang tinggi, seperti produk yang mengandung sukrosa tinggi (misalnya permen), maka akan sulit tercapai kondisi kadar air kesetimbangannya dan kurva sorpsi isotermis tidak dapat diasumsikan linier, karena pada RH tertentu kadar airnya akan terus meningkat (tidak mencapai kondisi kesetimbangan) (Kusnandar, 2006). Model kadar air kritis termodifikasi ini mengganti variabel kurva sorpsi isotermis dan kadar air kesetimbangan yang tidak dimiliki oleh produk pangan yang memiliki kelarutan tinggi dengan mengukur perbedaan tekanan di dalam dan di luar kemasan (∆P) untuk mengetahui pola penyerapan uap air dari lingkungan ke dalam produk pangan. Variabel pendukung umur simpan terdiri atas permeabilitas kemasan, luas kemasan, dan berat solid per kemasan cookies hotong. Variabel tersebut digunakan untuk melengkapi persamaan penentuan umur simpan sebagai berikut:
t=
(Mc − Mi )Ws ⎛k⎞ ⎜ ⎟( A)ΔP ⎝ x⎠
Keterangan: Mc
= kadar air kritis produk (%)
Mi
= kadar air awal produk (%)
Ws
= berat kering produk dalam kemasan (g)
k/x
= konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg)
A
= luas permukaan kemasan (m2)
ΔP
= (P
out
– P in) selisih antara tekanan udara di luar dan di dalam
produk (mmHg) Nilai permeabilitas kemasan (k/x) digunakan untuk mengetahui pengaruh kemasan terhadap umur simpan produk pangan (Labuza, 2002). Nilai k/x ini tidak dipengaruhi oleh ketebalan kemasan. Permeabilitas uap air kemasan didefinisikan sebagai kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan dengan ketebalan tertentu sebagai akibat perbedaan unit tekanan uap air antara permukaan produk pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu (Robertson, 1993). Perbedaan tekanan di dalam dan di luar kemasan digunakan untuk menggantikan kurva sorpsi isotermis yang tidak dimiliki oleh semua produk pangan. Produk pangan yang memiliki kandungan sukrosa tinggi, misalnya permen, tidak memiliki kurva sorpsi isotermis yang bagus karena pada RH tertentu kadar air permen akan semakin meningkat (Kusnandar, 2006). Akibat dari kenaikan kadar air tersebut, kadar air kesetimbangan produk pangan tidak akan tercapai. Adanya perbedaan tekanan antara produk pangan dengan lingkungan akan menyebabkan proses difusi uap air baik dari produk pangan ke lingkungan maupun sebaliknya tergantung nilai aw produk pangan dan RH tempat penyimpanan. Penentuan perbedaan tekanan (∆P) memerlukan waktu yang singkat karena menggunakan perhitungan matematis saja berdasarkan nilai aw produk pangan dan RH tempat penyimpanan pada suhu tertentu.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan Dan Alat Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung hotong. Bahan-bahan lain yang digunakan meliputi pati sagu, air, gula halus, margarin, mentega, santan, susu skim, telur, garam, dan baking powder. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah n-heksana, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, H3BO3, NaOH, Na2S2O3, HCl, asam asetat glasial, alkohol 95%, indikator methylene blue dan methylene red, pereaksi TBA, dan air destilata. Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan cookies adalah mixer, baskom plastik, roller, alat cetak, loyang, oven, kompor, retort, timbangan, sendok, dan kuas kue. Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah alatalat Kjeldahl, alat-alat Soxhlet, alat-alat uji organoleptik, alat-alat distilasi, Texture Analyzer TA-XT2i, Brabender Viscoamylograph, spektrofotometer, pH-meter, aw-meter, dan alat-alat gelas lainnya.
B. Tahapan Penelitian 1.
Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan merupakan tahap awal penelitian ini. Penelitian pendahuluan terdiri dari tiga tahap, yaitu pembuatan tepung hotong, penentuan perlakuan pendahuluan terhadap tepung hotong, dan evaluasi tepung hotong. a. Pembuatan tepung hotong Pada tahapan pembuatan tepung hotong, biji buru hotong yang digunakan disosoh menggunakan alat penyosoh hotong. Biji sosoh kemudian digiling, tepung yang diperoleh diayak dengan ayakan 100 mesh. Penepungan biji buru hotong mengikuti metode Sutanto (2006) yang dimodifikasi. Modifikasi dilakukan pada tahap sebelum penyosohan, yaitu tanpa proses pengeringan. Diagram alir pembuatan tepung hotong dapat dilihat pada Gambar 2.
Biji hotong Disosoh Biji hotong tersosoh & tepung Digiling Diayak 100 mesh Tepung hotong Gambar 2 Diagram alir pembuatan tepung hotong (modifikasi Sutanto, 2006) b. Penentuan perlakuan pendahuluan pada tepung hotong Tahap kedua pada penelitian pendahuluan adalah penentuan perlakuan pendahuluan terhadap tepung hotong untuk mengurangi tekstur berpasir cookies hotong yang dihasilkan. Tahap ini dilakukan dengan trial and error terhadap proses dan waktu proses. Kombinasi proses dan waktu proses yang dilakukan adalah pengukusan dengan pencampuran air (tepung : air = 1 : 1) selama 15 menit, pengukusan tanpa penambahan air selama 30 menit, pengukusan tanpa penambahan air dengan retort (suhu 121.5oC, tekanan 1.3 atm) selama 15 menit, pengukusan tanpa penambahan air dengan retort (suhu 121.5oC, tekanan 1.3 atm) selama 30 menit, dan pengukusan tanpa penambahan air dengan retort (suhu 121.5oC, tekanan 1.3 atm) selama 60 menit. Tepung yang telah diberikan perlakuan kemudian digunakan untuk membuat cookies yang lalu diujikan secara organoleptik dengan atribut penilaian yaitu tekstur berpasir yang minimum pada cookies. Pengujian dilakukan terhadap 15 panelis tidak terlatih melalui diskusi. Hasil dari tahap ini adalah tepung hotong yang telah mengalami perlakuan pendahuluan, untuk digunakan dalam tahap penelitian selanjutnya.
c. Evaluasi tepung hotong Evaluasi
tepung
hotong
dilakukan
untuk
mengetahui
karakteristik bahan baku tepung hotong yang digunakan dalam penelitian ini. Analisis yang dilakukan pada tahapan ini adalah sebagai berikut: 1)
Analisis sifat amilografi Analisis ini dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat amilografi tepung. Analisis dilakukan terhadap tiga contoh tepung, yaitu tepung hotong mentah (tanpa pengukusan), tepung hotong yang mendapat perlakuan pendahuluan (pengukusan), dan tepung campuran hotong kukus-pati sagu hasil formula terpilih dari tahap formulasi.
2)
2.
Analisis proksimat, meliputi: a)
Kadar air
b)
Kadar abu
c)
Kadar protein
d)
Kadar lemak
e)
Kadar karbohidrat
Penelitian Utama a. Proses pengolahan cookies hotong Tahap proses pengolahan bertujuan menentukan parameter proses yang digunakan dalam tahap formulasi cookies hotong. Parameter yang ditentukan dalam tahap ini adalah waktu pengadukan, suhu pemanggangan, dan waktu pemanggangan. Tahap ini dilakukan dengan trial and error terhadap waktu dan suhu proses. Penentuan parameter waktu pengadukan dilakukan pada saat pembentukan cream dan pencampuran telur. Pengujian dilakukan pada 0.5 menit, 1 menit, dan 2 menit. Evaluasi terhadap hasil
pengujian dilakukan dengan melihat penampakan visual dari cream dan adonan yang dihasilkan. Penentuan dilakukan
parameter
terhadap
suhu
beberapa
dan
waktu
kombinasi
suhu
pemanggangan dan
waktu
pemanggangan, yaitu 140oC, 20 menit; 130oC, 10 menit; 120oC, 30 menit; dan 125oC, 18 menit. Evaluasi dilakukan dengan mengamati penampakan visual (warna) dan tekstur cookies yang dihasilkan.
b. Formulasi cookies hotong Tahap
formulasi
cookies
hotong
merupakan
tahapan
pembuatan cookies dari bahan dasar campuran tepung hotong kukus dan pati sagu sesuai dengan perlakuan. Tahapan ini bertujuan memperoleh formula cookies hotong yang optimum, yaitu formula yang memiliki basis bahan tepung hotong terbanyak dan memiliki nilai terbaik dalam penerimaan konsumen terhadap produk. Metode pengujian yang dilakukan pada tahap ini adalah uji organoleptik (hedonik) metode rating dan ranking. Pengujian dilakukan terhadap 30 orang panelis tidak terlatih. Hasil dari tahap formulasi cookies hotong adalah satu formula cookies hotong terpilih yang digunakan dalam tahap karakterisasi produk dan penyimpanan cookies hotong. Metode pembuatan cookies hotong mengikuti metode Tasman (1981), dengan modifikasi dilakukan pada suhu dan waktu pemanggangan. Diagram alir pembuatan cookies dapat dilihat pada Gambar 3. Perlakuan yang diterapkan dalam penelitian ini terdiri dari satu variabel, yaitu rasio komposisi tepung hotong dan pati sagu dalam adonan cookies (A). Rasio yang diterapkan pada formulasi adalah sebagai berikut: A1 = tepung hotong kukus:pati sagu 100:0 (100%) A2 = tepung hotong kukus:pati sagu 80:20 (80%) A3 = tepung hotong kukus:pati sagu 65:35 (65%) A4 = tepung hotong kukus:pati sagu 50:50 (50%)
Gula, margarin, mentega Mixing (1 menit) Cream Mixing (1 menit)
Tepung hotong & pati sagu(A), garam, baking powder
Telur Air
Mixing Adonan Forming Baking (125oC, 18 menit) Cooling Cookies Hotong
Keterangan: (A) : Perbandingan tepung hotong dan pati sagu sesuai dengan perlakuan
Gambar 3 Diagram alir pembuatan cookies hotong (modifikasi Tasman, 1981) c. Karakterisasi produk cookies hotong Karakterisasi
produk
cookies
hotong
dilakukan
untuk
mengetahui karakteristik awal produk cookies hotong, baik dari segi kimia maupun fisik. Karakterisasi dilakukan terhadap produk cookies hotong formula terpilih hasil uji organoleptik pada tahap formulasi. Analisis yang dilakukan meliputi: 1)
Rendemen cookies
2)
Derajat pengembangan cookies
3)
Densitas kamba cookies
4)
Aktivitas air (aw)
5)
Analisis proksimat, meliputi: a)
Kadar air
b)
Kadar abu
c)
Kadar protein
d)
Kadar lemak
e)
Kadar karbohidrat
6)
Kadar serat kasar
7)
Nilai energi cookies
8)
Kadar air kritis cookies
d. Penyimpanan cookies hotong Tahap ketiga dari penelitian utama adalah tahap penyimpanan cookies hotong. Tahap ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu pengamatan terhadap perubahan karakteristik cookies hotong selama penyimpanan dan pendugaan umur simpan produk cookies hotong. 1)
Pengamatan terhadap perubahan karakteristik cookies hotong selama penyimpanan Pada bagian ini, cookies hotong yang sudah dikemas dalam toples (Gambar 4) disimpan selama 30 hari pada suhu ruang. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui pola perubahan karakteristik cookies hotong selama penyimpanan, baik dari segi fisik (analisis tekstur, kerenyahan dan kekerasan), kimia (kadar air dan nilai bilangan TBA), maupun organoleptik (uji perbedaan dari produk yang telah disimpan terhadap kontrol). Uji organoleptik dilakukan dengan metode duo-trio terhadap 35 orang panelis tidak terlatih.
Gambar 4 Cookies hotong yang dikemas menggunakan toples
2)
Pendugaan umur simpan cookies hotong dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi Prinsip utama dari pendekatan ini adalah menentukan perbedaan tekanan (ΔP) di dalam kemasan dan di luar kemasan. Tekanan di dalam kemasan berhubungan dengan aktivitas air (aw) sedangkan tekanan di luar kemasan berhubungan dengan RH lingkungan. Nilai (ΔP) ini digunakan untuk mengetahui pola penyerapan uap air cookies hotong sehingga umur simpan cookies hotong dapat ditentukan. Tahapan analisisnya adalah sebagai berikut; a)
Penentuan kadar air awal (Mi) cookies hotong
b)
Penentuan aktivitas air (aw) cookies hotong
c)
Penentuan kadar air kritis (Mc) cookies hotong
d)
Penentuan perbedaan tekanan (ΔP) di dalam dan di luar kemasan
e)
Penentuan variabel pendukung umur simpan cookies hotong
f)
Penentuan umur simpan cookies hotong Variabel
pendukung
umur
simpan
terdiri
atas
permeabilitas kemasan, luas kemasan, dan berat padatan per kemasan cookies hotong. Variabel tersebut digunakan untuk melengkapi persamaan penentuan umur simpan sebagai berikut:
t=
(Mc − Mi )Ws ⎛k⎞ ⎜ ⎟( A)ΔP ⎝ x⎠
Keterangan: Mc = kadar air kritis produk (%) Mi = kadar air awal produk (%) Ws = berat kering produk dalam kemasan (g) k/x = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg)
A = luas permukaan kemasan (m2) ΔP = (P out – P in) selisih antara tekanan udara di luar dan di dalam produk (mmHg)
C. Metode Analisis 1.
Uji Organoleptik (Soekarto, 1985) Uji organoleptik yang dilakukan pada tahap penentuan perlakuan pendahuluan pada tepung hotong adalah diskusi kepada 15 orang panelis tidak terlatih. Penilaian difokuskan pada tekstur berpasir cookies. Pada uji ini, panelis menerima contoh produk yang dibuat dari masing-masing perlakuan tepung. Melalui diskusi, ditentukan satu jenis perlakuan optimum, yaitu proses yang paling sederhana dan menghasilkan produk cookies hotong dengan tekstur berpasir yang minimum dan diterima panelis. Uji organoleptik yang digunakan untuk tahap formulasi cookies adalah uji hedonik rating dan ranking. Panelis yang digunakan untuk uji hedonik adalah panelis tidak terlatih sebanyak 30 orang. Skor penilaian yang digunakan dalam uji ini ada 7 tingkat, yaitu 7 = sangat suka, 6 = suka, 5 = agak suka, 4 = netral, 3 = agak tidak suka, 2 = tidak suka, dan 1 = sangat tidak suka. Penilaian tingkat kesukaan didasarkan pada karakteristik produk meliputi warna, rasa, aroma, tekstur, dan keseluruhan (overall). Lembar kuisioner uji organoleptik hedonik dapat dilihat pada Lampiran 1. Produk yang diujikan adalah produk dalam keadaan matang, yaitu yang sudah melewati proses pemanggangan. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap tingkat kesukaan panelis, dilakukan analisis ragam terhadap data hasil uji organoleptik. Jika berdasarkan analisis ragam (ANOVA) dinyatakan ada pengaruh nyata pada perlakuan maka akan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Uji organoleptik yang dilakukan selama penyimpanan produk cookies hotong adalah uji duo-trio. Panelis yang digunakan untuk uji ini adalah 35 orang panelis tidak terlatih. Pada uji ini, tiga contoh disajikan
kepada panelis di mana satu contoh diberi tanda R (reference) dan dua contoh lainnya diberi kode. Contoh R merupakan cookies hotong yang belum mengalami penyimpanan (fresh cookies). Salah satu contoh berkode merupakan contoh identik dengan contoh R. Setiap panelis akan menerima urutan penyajian yang berbeda. Panelis diminta untuk menunjukkan contoh berkode yang sama dengan contoh R. Lembar kuisioner uji organoleptik duo-trio dapat dilihat pada Lampiran 2.
Sifat Amilografi (AACC, 1983) Pengukuran sifat-sifat amilografi (viskositas dan suhu gelatinisasi) dilakukan dengan menggunakan Brabender Viscoamilograph. Parameter yang diperoleh dari kurva amilograf yaitu suhu awal gelatinisasi (SG), viskositas maksimum (VM), suhu pada saat tercapai viskositas maksimum (SVM), stabilitas pasta panas, viskositas balik (setback), dan stabilitas pasta dingin. Profil parameter sifat amilografi dapat dilihat pada Gambar 5.
Viskositas (BU)
2.
750 700 650 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
95
95
20 menit
50
50 20 menit
viskositas puncak gelatinisasi
suhu awal gelatinisasi
Suhu (˚C)
Gambar 5 Profil parameter sifat amilografi Pati dilarutkan dengan akuades hingga konsentrasi 10% (bahan kering) dan diaduk (±5 menit) sampai homogen, kemudian dipindahkan ke mangkuk amilograf yang sebelumnya telah dipasang pada alat.
Mangkuk amilograf yang berisi contoh diputar dengan kecepatan 75 rpm. Pemanasan awal dilakukan sampai suhu 30oC dan perubahan viskositas mulai dibaca. Pemanasan dilakukan hingga suhu mencapai 95oC (kenaikan suhu 1.5oC/menit), dilanjutkan dengan pemanasan selama 20 menit pada suhu konstan 95oC dan pendinginan hingga suhu mencapai 50oC (penurunan suhu 1.5oC/menit). Perubahan viskositas pasta dicatat secara otomatis pada kertas grafik dalam satuan Brabender Unit (BU).
3.
Rendemen Cookies Pengukuran rendemen cookies dihitung berdasarkan berat adonan. Rendemen cookies dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: Berat cookies (g) Rendemen biskuit (%) =
x 100% Berat adonan (g)
4.
Derajat Pengembangan Produk, Metode Diameter Cookies Derajat pengembangan produk diukur berdasarkan perbandingan antara diameter cookies setelah dipanggang dan diameter adonan sebelum
dipanggang.
Derajat
pengembangan
produk
dihitung
berdasarkan rumus sebagai berikut: Derajat pengembangan (%) =
∅2 – ∅1
x 100%
∅1 Keterangan: ∅1 : Diameter adonan sebelum dipanggang (cm) ∅2 : Diameter cookies hotong (cm)
5.
Densitas Kamba Cookies Dua keping cookies dimasukkan ke dalam gelas piala 250 ml lalu ditambah dengan pasir hingga mencapai volume 250 ml. Volume pasir yang dimasukkan diukur menggunakan gelas ukur. Volume cookies
diperoleh dari selisih volume gelas piala dengan volume pasir. Berat cookies yang diukur volumenya ditimbang. Densitas kamba cookies dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut: Berat cookies (g) Densitas kamba (g/ml) = Volume cookies (ml)
6.
Aktivitas Air (Aw), Menggunakan Aw-meter Aktivitas air menentukan tekanan di dalam kemasan. Aktivitas air dari cookies hotong pada awal penyimpanan dilakukan dengan menggunakan aw-meter yang telah dikalibrasi dengan garam NaCl dengan nilai kelembabannya (RH) adalah 75%. Cookies hotong dimasukkan ke dalam chamber pada aw-meter dan ditutup rapat. Pembacaan dilakukan saat angka penunjuk pada aw-meter tidak berubah. Hal ini ditunjukkan dengan indikator pada aw-meter yaitu tertulis complete test.
7.
Analisis Tekstur, Menggunakan Texture Analyzer Analisis tekstur dilakukan dengan menggunakan Texture Analyzer TA-XT2i. Aksesoris yang digunakan adalah probe silinder yang sesuai untuk produk cookies. Spesifikasi probe dan setting untuk analisis kekerasan dan kerenyahan produk cookies dapat dilihat pada Tabel 5. Cookies ditekan dengan probe sehingga menghasilkan suatu kurva yang menunjukkan profil tekstur cookies. Nilai kerenyahan (gramforce) dilihat dari peak pertama yang signifikan pada kurva. Nilai kekerasan (gramforce) dilihat dari peak maksimum pada kurva (Rosenthal, 1999). Semakin renyah suatu produk maka nilai peak yang dimiliki semakin tinggi. Profil perbedaan kerenyahan dengan kekerasan pada sampel secara umum dapat dilihat pada Gambar 6.
Tabel 5 Setting alat texture analyzer TA-XT2i untuk produk cookies Product BISCUITS Type Plain dough biscuits Objective Hardness measurement of Biscuit by probing TA-XT2 Mode Measure Force in Compression Option Return to start Pre-Test speed 2.0 mm/s Test speed 0.5 mm/s Post-Test speed 10.0 mm/s Distance 4 mm Trigger type Auto-5 g Data Acquistion Rate 200 pps Probe 2 mm cylinder probe (P/2)
Gambar 6 Profil kerenyahan dan kekerasan yang diuji dengan texture analyzer 8.
Analisis Proksimat a. Kadar air, metode oven (AOAC, 1995) Kadar air diukur dengan metode oven biasa karena kandungan bahan volatil pada sampel rendah dan sampel tidak terdegradasi pada suhu 100ºC. Cawan alumunium kosong dikeringkan dalam oven suhu 105°C selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator selama 5 menit atau sampai tidak panas lagi. Berat cawan ditimbang dan dicatat. Sampel ditimbang sebanyak 5 g di dalam cawan
tersebut. Sampel kemudian dikeringkan dalam oven sampai beratnya konstan (perubahan berat tidak lebih dari 0.0003 g). Setelah itu cawan yang berisi sampel kering didinginkan di dalam desikator. Berat akhir cawan berisi sampel kering ditimbang. Dihitung kadar air dengan persamaan sebagai berikut: (X – Y) Kadar air (% bb) =
x 100% (X – A)
(X – Y) Kadar air (% bk) =
x 100% (Y – A)
Keterangan: X
= berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g)
Y
= berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g)
A
= berat cawan alumunium kosong (g)
b. Kadar abu, metode gravimetri (AOAC, 1995) Cawan porselin dibakar dalam tanur selama 15 menit kemudian didinginkan di dalam desikator. Setelah dingin, berat cawan kosong ditimbang. Sampel sebanyak 5 g ditimbang di dalam cawan lalu diabukan di dalam tanur hingga diperoleh abu berwarna putih dan beratnya tetap. Pengabuan dilakukan dilakukan dalam 2 tahap yaitu tahap pertama suhu 400°C lalu dilanjutkan pada suhu 550°C. Cawan kemudian didinginkan di dalam desikator lalu ditimbang. Perhitungan kadar abu dilakukan sebagai berikut: Kadar abu (%) =
W2 W1
Keterangan: W1 = berat sampel (g) W2 = berat abu (g)
x 100%
c. Kadar protein, metode mikro Kjeldahl (AOAC, 1995) Sampel sebanyak ±0.2 g (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl 0.01N/0.02N) ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Lalu ditimbang 2 g K2SO4, 50 mg HgO, 2 ml H2SO4 pekat, dan batu didih. Sampel didekstruksi (dididihkan) selama 1-1.5 jam hingga jernih, lalu didinginkan. Lalu ditambahkan 2 ml air secara perlahan dan didinginkan kembali. Cairan hasil dekstruksi (cairan X) dipindahkan ke dalam alat destilasi dan labu kemudian dibilas dengan air. Air bilasan juga dipindahkan ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer 125 ml berisi 5 ml H3BO3 dan 2 tetes indikator (Methylene red:Methylene blue = 2:1) diletakkan di ujung kondensor alat destilasi dengan ujung selang kondensor terendam dalam larutan H3BO3. Cairan X ditambahkan 10 ml NaOH-Na2S2O3 dan destilasi dilakukan hingga larutan dalam erlenmeyer ±50 ml. Kemudian larutan dalam erlenmeyer dititrasi dengan HCl 0.02N. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari hijau menjadi abu-abu. Prosedur yang sama dilakukan juga untuk penetapan blanko. Blanko dibuat dengan tahapan yang sama dengan pembuatan sampel dengan mengganti sampel dengan air destilata. Perhitungan kadar protein dilakukan melalui persamaan sebagai berikut:
Kadar protein (%) =
(Vs-Vb) x C x 14.007 x 6.25
x 100%
W Keterangan: Vs
= volume HCl untuk titrasi sampel (ml)
Vb
= volume untuk titrasi blanko (ml)
C
= konsentrasi HCl (N)
W
= berat sampel (mg)
d. Kadar lemak, metode Soxhlet (AOAC, 1995) Labu lemak yang telah bebas lemak dikeringkan di dalam oven kemudian ditimbang setelah dingin. Sampel sebanyak 5 g
dibungkus dalam kertas saring kemudian ditutup kapas yang bebas lemak. Sampel dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet, kemudian kondensor dan labu dipasang pada ujung-ujungnya. Pelarut heksana dimasukkan ke dalam alat lalu sampel direfluks selama 5 jam. Setelah itu pelarut didestilasi dan ditampung pada wadah lain. Labu lemak dikeringkan di dalam oven pada suhu 105°C sampai diperoleh berat tetap. Labu lemak kemudian dipindahkan ke desikator, didinginkan, dan ditimbang. Perhitungan kadar lemak dilakukan berdasarkan persamaan: Kadar lemak (%) =
W2
x 100%
W1 Keterangan: W1 = berat sampel (g) W2 = berat lemak (g)
e. Kadar karbohidrat by difference Perhitungan kadar karbohidrat menggunakan metode by difference dilakukan dengan persamaan: Kadar karbohidrat (%bb) = 100% - (a + b + c + d) Keterangan:
9.
a
= kadar air (%)
b
= kadar abu (%bb)
c
= kadar protein (%bb)
d
= kadar lemak (%bb)
Kadar Serat Kasar (Fardiaz et al., 1986) Sampel dihaluskan sehingga dapat melalui saringan diameter 1 mm dan diaduk merata. Jika bahan tidak dapat dihaluskan, diusahakan dihancurkan sebaik mungkin. Sampel ±2 g diekstrak lemaknya dengan soxhlet, lalu sampel dipindahkan ke dalam erlenmeyer 600 ml. Jika ada,
ditambahkan 0.5 g asbes yang telah dipijarkan dan 3 tetes zat anti buih. Larutan H2SO4 mendidih ditambahkan kemudian erlenmeyer ditutup dengan pendingin balik. Sampel kemudian dididihkan selama 30 menit dan kadang-kadang digoyangkan. Suspensi yang didapat disaring melalui kertas saring. Residu yang tertinggal di dalam erlenmeyer dicuci dengan air mendidih. Residu dalam kertas saring dicuci sampai air cucian tidak bersifat asam lagi (diuji dengan kertas lakmus). Residu dari kertas saring dipindahkan secara kuantitatif ke dalam erlenmeyer kembali dengan menggunakan spatula. Sisanya dicuci lagi dengan 200 ml larutan NaOH mendidih sampai semua residu masuk ke dalam erlenmeyer. Dididihkan dengan pendingin balik selama 30 menit sambil kadang-kadang digoyangkan. Setelah itu, disaring kembali melalui kertas saring yang diketahui beratnya sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10%. Residu dicuci lagi dengan air mendidih kemudian dengan 15 ml alkohol 95%. Kertas saring dikeringkan pada 110oC sampai dengan berat konstan (1-2 jam), didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (dikurangi dengan berat asbes). Berat residu yang diperoleh merupakan berat serat kasar. Kadar serat kasar dalam sampel diperoleh melalui persamaan: Kadar serat kasar (%) =
W2
x 100%
W1 Keterangan: W1 = berat sampel (g) W2 = berat residu (g)
10. Nilai Energi Cookies (Almatsier, 2001) Penentuan nilai energi makanan melalui perhitungan dapat dilakukan menurut komposisi karbohidrat (setelah dikoreksi dengan kadar serat), protein, dan lemak makanan tersebut: Energi = (4.1 kkal/g x (kadar karbohidrat-kadar serat kasar)) + (4.1 kkal/g x kadar protein ) + (9.1 kkal/g x kadar lemak)
11. Kadar Bilangan TBA (Thiobarbituric Acid), Metode Tarladgis (Apriyantono et al., 1989) Lemak tengik mengandung aldehid dan kebanyakan sebagai malonaldehid. Banyaknya malonaldehid yang terkandung dalam sampel dapat ditentukan dengan jalan destilasi terlebih dahulu. Malonaldehid kemudian direaksikan dengan tiobarbiturat sehingga terbentuk kompleks berwarna merah. Sampel sebanyak 10 gram ditimbang dengan teliti, kemudian dimasukkan ke dalam waring blender. Sampel dihancurkan dengan 50 ml akuades. Sampel yang telah dihancurkan dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47.5 ml akuades. Ke dalam sampel ditambahkan larutan HCl 4M sebanyak ±2.5 ml (atau hingga pH menjadi 1.5). Sampel kemudian didestilasi dengan menggunakan pendingin tegak hingga diperoleh cairan destilat 50 ml selama 10 menit pemanasan. Cairan destilat yang diperoleh kemudian diaduk hingga homogen dan dipipet sebanyak 5 ml ke dalam tabung reaksi bertutup. Pereaksi TBA ditambahkan sebanyak 5 ml kemudian divorteks hingga homogen. Larutan sampel dipanaskan dalam air mendidih selama 35 menit kemudian didinginkan dengan air mengalir selama 10 menit. Larutan blanko dibuat dengan menggunakan 5 ml akuades dan 5 ml pereaksi dengan cara yang sama seperti penetapan sampel. Larutan blanko digunakan sebagai titik nol dalam pengukuran absorbansi. Larutan sampel kemudian diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang 528 nm. Bilangan TBA didefinisikan sebagai mg malonaldehid per kg sampel. Penghitungan bilangan TBA dalam sampel dilakukan melalui persamaan: 7.8 Bilangan TBA =
x A528 W
Keterangan: W
= berat sampel (g)
A528 = nilai absorbansi pada 528 nm
12. Kadar Air Kritis Produk Cookies Hotong, Metode Konvensional Cookies disimpan tanpa kemasan pada suhu kamar (300C) selama 3 jam penyimpanan. Cookies dianalisis secara organoleptik, fisik, dan kimia pada 0, 30, 60, 90, 120, 150, dan 180 menit penyimpanan. Uji organoleptik yang digunakan adalah uji rating kepada 30 panelis tidak terlatih. Skor rating yang digunakan untuk menilai cookies yaitu 1 (sangat tidak renyah) sampai dengan 7 (sangat renyah). Uji organoleptik difokuskan kepada penilaian panelis terhadap kerenyahan (tekstur) cookies. Uji fisik yang dilakukan adalah uji tekstur yaitu kerenyahan cookies dengan Texture Analyzer. Uji kimia yang dilakukan untuk menentukan kadar air kritis cookies. Hasil uji organoleptik dibandingkan dengan hasil uji fisik (tekstur cookies), sehingga didapatkan kurva hubungan antara nilai kerenyahan cookies selama penyimpanan dengan skor rating. Cookies yang dinyatakan telah ditolak oleh panelis secara organoleptik (skor 3) ditetapkan telah mencapai kadar air kritisnya. Lembar kuisioner uji rating untuk penentuan kadar air kritis ini dapat dilihat pada Lampiran 3.
13. Penentuan Variabel Pendukung Umur Simpan a. Penentuan berat kering per kemasan dan luas kemasan Berat produk awal dalam satu kemasan ditimbang dan dikoreksi dengan kadar air awalnya dan selanjutnya dinyatakan sebagai berat kering produk per kemasan (Ws). Luas kemasan (A) dihitung dengan menggunakan perhitungan luas permukaan silinder, yaitu menjumlahkan luas alas dan tutup yang berbentuk lingkaran dan luas selimut yang berbentuk tabung. Luas kemasan dinyatakan dalam m2.
b. Penentuan permeabilitas kemasan Penentuan
permeabilitas
kemasan
dilakukan
dengan
menggunakan nilai Water Vapor Transmission Rate (WVTR) sesuai dengan jenis kemasan. Nilai konstanta permeabilitas kemasan dihitung menggunakan persamaan: k x
=
WVTR Po
Keterangan: k/x
= konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg)
WVTR = laju perpindahan uap air yang melalui kemasan (g/m2.hari) Po
= tekanan uap air pada suhu 38oC RH 90% (mmHg)
14. Penentuan Perbedaan Tekanan di Luar dan di Dalam Kemasan Tekanan uap di luar kemasan pada suhu tertentu dihitung dari perkalian tekanan uap murni pada suhu tertentu (Po) dengan kelembaban udara (%RH). Tekanan uap di dalam kemasan dihitung dari perkalian tekanan uap murni pada suhu tertentu (Po) dengan aktivitas air (aw). Nilai aw yang digunakan terdiri dari aw hasil pengukuran aw-meter. Nilai Po pada suhu tertentu diperoleh dari Tabel uap air (Labuza, 1982). P = Pout – Pin 15. Pendugaan Umur Simpan Cookies Hotong, Pendekatan Kadar Air Kritis Termodifikasi Data-data yang telah ditentukan sebelumnya untuk menentukan umur simpan cookies hotong adalah kadar air awal cookies hotong, kadar air kritis cookies hotong, aktivitas air (aw) awal cookies hotong, variabel pendukung umur simpan cookies hotong, dan perbedaan tekanan di dalam dan di luar kemasan. Umur simpan cookies hotong dengan model
kadar air kritis termodifikasi ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:
t=
(Mc − Mi )Ws ⎛k⎞ ⎜ ⎟( A)ΔP ⎝ x⎠
Keterangan: Mc = kadar air kritis produk (%) Mi
= kadar air awal produk (%)
Ws = berat kering produk dalam kemasan (g) k/x = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg) A
= luas permukaan kemasan (m2)
ΔP
= (P
out
– P in) selisih antara tekanan udara di luar dan di dalam
kemasan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
I.
Penelitian Pendahuluan 1.
Pembuatan Tepung Hotong Biji buru hotong yang digunakan dalam penelitian ini langsung didatangkan dari daerah asalnya, yaitu Pulau Buru, Maluku, dalam bentuk biji yang masih memiliki kulit. Penyosohan dilakukan dengan menggunakan mesin penyosoh buru hotong yang dimodifikasi oleh Kalabadi (2007), untuk menghilangkan kulit yang menempel pada biji. Mesin penyosoh yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Mesin penyosoh biji buru hotong Bagian-bagian yang terdapat pada mesin penyosoh buru hotong (Kalabadi, 2007) adalah sebagai berikut: a. Hopper, berfungsi sebagai saluran pemasukan biji buru hotong ke dalam rumah penyosoh. b. Rumah penyosoh, merupakan tempat penampung elemen-elemen penyosoh mesin. Rumah penyosoh tersusun atas pisau penyosoh (berfungsi menekan dan menggesekkan biji buru hotong hingga kulit arinya terlepas), silinder penyosoh (berfungsi sebagai komponen yang akan memutar biji buru hotong sehingga menyebabkan pergesekan biji buru hotong), dan saringan (berfungsi sebagai penutup roller penyosoh dan memisahkan kulit dan dedak dari biji yang tersosoh).
c. Sistem transmisi dan dudukannya, merupakan bagian penyalur tenaga dari motor listrik yang melakukan pergerakan penyosoh. d. Saluran pengeluaran biji sosoh dan kulit, yang terletak di bawah rumah penyosohan. e. Saluran penghisap kulit dan dedak, berfungsi menghembuskan udara penghisap
ke
mempercepat
dalam
rumah
pembuangan
kulit
penyosoh. dan
Udara
dedak
penghisap
sehingga
hasil
penyosohan lebih bersih. Saluran penghisap kulit dan dedak dihubungkan dengan saluran pengeluaran kulit dan dedak. f.
Blower, berfungsi menghasilkan udara penghisap dan udara penghembus. Udara penghisap berguna untuk menghisap kulit dan dedak, sedangkan udara penghembus berguna membuang kulit dan dedak menuju ruang penampung kulit dan dedak (siklon).
g. Motor listrik, merupakan sumber tenaga penggerak mesin penyosoh. h. Rangka penyangga, berfungsi sebagai penopang mesin penyosoh, motor listrik, dan blower. i.
Siklon, berfungsi menampung kulit dan dedak sisa penyosohan. Mesin penyosoh buru hotong bekerja menggunakan prinsip
tekanan dan gesekan (friction type). Mesin ini meniru prinsip kerja mesin penyosoh beras tipe engelberg. Mesin tipe ini memiliki dua fungsi, yaitu sebagai pengupas kulit sekaligus penyosoh (Kalabadi, 2007). Biji buru hotong dimasukkan ke dalam hopper. Biji buru hotong akan jatuh ke dalam ruang penyosoh akibat gaya gravitasi. Kemudian, untuk sementara, saluran pengeluaran biji sosoh yang terletak di bawah ruang penyosohan ditutup. Ruang penyosohan merupakan celah antara saringan dengan silinder penyosoh. Biji buru hotong yang telah memadati ruang penyosohan ditekan oleh himpitan dua permukaan. Silinder penyosoh yang berputar menyebabkan biji-biji buru hotong bergerak. Pisau-pisau penyosoh menghambat pergerakan biji selama penyosohan, sehingga kulit biji terkikis dan terkupas. Kulit biji buru
hotong juga terkupas oleh pergesekan sesama biji buru hotong dan pergesekan biji buru hotong dengan saringan. Kulit dan dedak keluar melalui lubang-lubang saringan. Kulit dan dedak kemudian jatuh ke saluran pengeluaran dan dihisap oleh blower dan akhirnya dibawa ke siklon untuk ditampung. Penutup saluran pengeluaran biji sosoh kemudian dibuka, sehingga biji sosoh keluar melalui saluran pengeluaran untuk kemudian ditampung (Kalabadi, 2007). Kadar kebersihan biji sosoh tergantung dari pengaturan lamanya proses penyosohan. Biji disosoh sebanyak 5 kali penyosohan, sehingga dihasilkan biji sosoh. Proses penyosohan menghasilkan rendemen biji sosoh sebesar 94.17% dari berat biji utuh. Biji buru hotong kulit dan biji sosoh yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 8.
(a)
(b)
Gambar 8 Biji buru hotong kulit (a) dan sosoh (b) Pada metode Sutanto (2006), sebelum digiling, biji sosoh dikeringkan hingga mencapai kadar air 11.1%. Pada penelitian ini, kadar air biji sosoh telah mencapai 11.16%, sehingga dilakukan modifikasi metode, yaitu tanpa melalui pengeringan biji sosoh. Biji sosoh kemudian digiling untuk ditepungkan. Proses penepungan dilakukan dengan menggunakan penggiling tipe disc mill. Menurut Subarna et al. (2007), disc mill banyak digunakan untuk menggiling biji-bijian. Alat ini terdiri dari cakram pada dinding penutup dan cakram yang berputar. Pada setiap permukaan cakram terdapat tonjolan-tonjolan atau pin yang letaknya bersesuaian sehingga tidak bertabrakan saat rotor berputar.
Produk yang telah halus akan lolos saringan yang mengelilingi cakram dan keluar. Prinsip kerja alat ini adalah bahan yang akan dihancurkan masuk di antara dinding penutup dan cakram berputar. Bahan mengalami gaya gesek karena adanya lekukan-lekukan pada cakram dan dinding alat. Gaya pukul terbentuk karena adanya logam-logam yang dipasang pada posisi yang bersesuaian. Proses penggilingan dilakukan sebanyak 2 tahap. Pada tahap pertama dihasilkan grits atau biji pecah. Tahap penggilingan kedua menghasilkan
tepung
hotong
yang
kemudian
diayak
dengan
menggunakan ayakan 100 mesh. Proses penepungan menghasilkan rendemen tepung hotong 100 mesh sebesar 47.34% dari berat biji sosoh atau 44.58% dari berat biji utuh.
2.
Penentuan Perlakuan Pendahuluan pada Tepung Hotong Tahapan penelitian pendahuluan yang kedua adalah penentuan perlakuan pendahuluan pada tepung untuk mengurangi tekstur cookies yang berpasir. Tahap ini dilakukan dengan trial and error pada berbagai waktu pengukusan. Kombinasi proses dan waktu proses yang dilakukan adalah pengukusan dengan pencampuran air (tepung : air = 1 : 1) selama 15 menit, pengukusan tanpa pencampuran air selama 30 menit, pengukusan tanpa pencampuran air dengan retort selama 15 menit, pengukusan tanpa pencampuran air dengan retort selama 30 menit, dan pengukusan tanpa pencampuran air dengan retort selama 60 menit. Pencampuran air dilakukan dengan menambahkan sejumlah air ke dalam tepung hingga merata. Evaluasi dilakukan terhadap cookies yang dibuat dari tepung yang telah mengalami perlakuan pendahuluan. Pengujian dilakukan secara organoleptik melalui diskusi. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan hasil diskusi, perlakuan pendahuluan yang terpilih adalah pengukusan tepung selama 30 menit dengan tekanan 1.3 atm pada suhu 121.5oC (250.7oF). Tepung yang telah dikukus ini merupakan
tepung yang digunakan pada tahapan penelitian selanjutnya. Tepung hotong mentah dan kukus yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 9. Tabel 6 Hasil pengujian perlakuan pendahuluan pada tepung hotong Proses Hasil Pengujian Pengukusan dengan air (15 menit) Tekstur berpasir berkurang, timbul butiran keras Pengukusan tanpa air (30 menit) Tekstur berpasir sangat terasa o Pengukusan dengan suhu 121.5 C, Tekstur berpasir sangat terasa tekanan 1.3 atm (15 menit) Pengukusan dengan suhu 121.5oC, Tekstur berpasir berkurang tekanan 1.3 atm (30 menit) Pengukusan dengan suhu 121.5oC, Tekstur berpasir sangat berkurang tekanan 1.3 atm (60 menit)
(a) (b) Gambar 9 Tepung hotong mentah (a) dan kukus (b) Tahapan pengukusan tepung hotong mengakibatkan perubahan warna tepung menjadi lebih gelap. Hal ini dapat disebabkan oleh terjadinya reaksi Maillard pada tepung. Menurut Winarno (1992), reaksi Maillard merupakan reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Reaksi tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat. Selain itu, adanya pemanasan saat proses pengukusan mengakibatkan reaksi berjalan lebih cepat, sehingga mengakibatkan tepung hotong menjadi berwarna lebih gelap setelah pengukusan. Menurut Desrosier (1988), reaksi Maillard dapat terjadi pada pemanasan dalam keadaan lembab. Pengukusan juga mengakibatkan kenaikan kadar air tepung dari 7.93% menjadi 16.52%. Hal ini disebabkan terserapnya uap air yang
dihasilkan saat pengukusan oleh granula-granula pati yang terdapat pada tepung. Menurut Muharam (1992), pengukusan menyebabkan terjadinya perubahan fisik pada granula pati akibat terjadinya gelatinisasi, di mana granula pati yang telah tergelatinisasi memiliki daya serap air yang lebih tinggi dibandingkan dengan granula pati biasa.
3.
Evaluasi Tepung Hotong Pada tahapan ini dilakukan analisis kimia terhadap kandungan tepung hotong melalui analisis proksimat. Hasil analisis kimia terhadap tepung hotong dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil analisis kimia tepung hotong Jumlah Komponen Basis Basah Basis Kering (g/100 g tepung) (g/100 g padatan) Air 7.93 Abu 0.67 0.73 Protein 7.44 8.08 Lemak 1.48 1.60 Karbohidrat 82.49 89.58 Energi* 382.14 Keterangan: *Energi diukur sebagai kkal/100 g tepung
Pada tahapan penelitian ini juga dilakukan analisis terhadap sifatsifat amilografi tepung hotong. Tepung yang digunakan dalam analisis terdiri dari tiga jenis, yaitu tepung hotong mentah, tepung hotong yang telah dikukus, dan tepung campuran hasil formula terpilih pada tahap formulasi cookies hotong, yang terdiri dari tepung hotong kukus dan pati sagu, dengan perbandingan 65:35. Grafik amilografi ketiga jenis tepung tersebut dapat dilihat pada Gambar 10. Sifat amilografi berkaitan dengan pengukuran viskositas tepung dengan konsentrasi tertentu selama pemanasan dan pengadukan. Pengukuran dilakukan secara kontinyu menggunakan brabender amilograf. Pengukuran sifat amilografi meliputi pengukuran suhu awal gelatinisasi (SG), viskositas maksimum (VM), suhu pada saat tercapai
viskositas maksimum (SVM), stabilitas pasta panas, viskositas balik (setback), dan stabilitas pasta dingin. Rekapitulasi data sifat-sifat amilografi ketiga jenis tepung tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Suhu awal gelatinisasi (SG) adalah suhu pada saat viskositas pertama kali naik karena terjadinya pembengkakan granula pati yang irreversible. Hasil analisis amilografi menunjukkan bahwa suhu awal gelatinisasi tepung hotong mentah berkisar antara 81-82.5oC, suhu awal gelatinisasi tepung hotong kukus 79.5-85.5oC, dan suhu awal gelatinisasi tepung campuran hotong kukus-pati sagu berkisar antara 37.5-43.5oC. Adanya proses pengukusan mengakibatkan suhu gelatinisasi tepung menjadi lebih rendah. Hal ini dapat terjadi karena pada proses pengukusan telah terjadi gelatinisasi dari granula pati hotong. Viskositas maksimum (VM) didefinisikan sebagai titik maksimum viskositas pasta selama proses pemanasan. Pada tepung hotong mentah, viskositas maksimum yang dicapai adalah 342.50 BU pada saat suhu 95oC. Tepung hotong kukus tidak memiliki viskositas maksimum pada saat pengukuran. Hal ini diduga disebabkan oleh perlakuan pengukusan yang diterapkan pada tepung menyebabkan puncak viskositas tepung telah terjadi selama proses pengukusan, artinya tepung hotong telah mengalami gelatinisasi sempurna pada saat pengukusan. Tepung campuran hotong kukus-pati sagu memiliki viskositas maksimum sebesar 424.00 BU pada saat suhu 95oC. Viskositas maksimum yang dihasilkan oleh tepung campuran hotong kukus-pati sagu lebih besar jika dibandingkan dengan viskositas maksimum yang dihasilkan oleh tepung hotong mentah. Semakin tinggi viskositas maksimum, berarti kemampuan pati dalam
menyerap
air
semakin
besar
dan
daya
thickening-nya
(kelengketan) semakin besar. Hal ini memungkinkan penggunaan tepung dalam jumlah yang lebih sedikit untuk mencapai viskositas tertentu, dan akhirnya dapat mengurangi biaya produksi (Rahman, 2008).
1100
33’
1050 1000
63’
93’
20 menit
113’ 20 menit
950 900 850 800 750 Viskositas (BU)
700 650 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
95 Tepung Mentah
Suhu (˚C)
95
Tepung Kukus
50
50
Tepung Campuran
Gambar 10 Grafik amilografi tepung hotong mentah, tepung hotong kukus, dan tepung campuran hotong kukus-pati sagu
Tabel 8 Sifat amilografi tepung hotong mentah, tepung hotong kukus, dan tepung campuran hotong kukus-pati sagu Jenis Tepung Sifat Amilografi
Suhu awal gelatinisasi Suhu puncak Viskositas puncak Viskositas 95 Viskositas 95/20 Viskositas 50 Viskositas 50/20 Breakdown Setback Stabilitas pasta dingin
Tepung Hotong Mentah 1 82.50 95.00 340.00 255.00 340.00 975.00 900.00 0.00 635.00 75.00
2 81.00 95.00 345.00 305.00 338.00 995.00 920.00 7.00 657.00 75.00
Rata-rata 81.75 95.00 342.50 280.00 339.00 985.00 910.00 3.50 646.00 75.00
Tepung Hotong Kukus 1 85.50 18.00 58.00 85.00 98.00 27.00 13.00
2 79.50 40.00 60.00 90.00 90.00 30.00 0.00
Rata-rata 82.50 29.00 59.00 87.50 94.00 28.50 6.50
Tepung Campuran 1 37.50 94.50 453.00 453.00 350.00 503.00 515.00 103.00 153.00 12.00
2 43.50 95.00 420.00 355.00 370.00 510.00 538.00 50.00 140.00 28.00
Rata-rata 40.50 94.75 436.50 404.00 360.00 506.50 526.50 76.50 146.50 20.00
Pengukusan mampu mengubah puncak kurva amilograf yang semula runcing menjadi lebih tumpul (plateau) (Muharam, 1992). Gambar 10 menunjukkan bahwa tepung hotong kukus memiliki kurva amilograf yang tumpul. Hal ini menunjukkan bahwa tepung hotong kukus memiliki toleransi lebih tinggi terhadap proses pemanasan, pendinginan, maupun pengadukan selama pemanasan dan pendinginan. Pengaruh pengukusan pada sifat amilografi tersebut disebabkan karena terjadinya perubahan fisik pada granula pati akibat terjadinya gelatinisasi, di mana granula pati yang telah tergelatinisasi memiliki daya serap air yang lebih tinggi dibandingkan dengan granula pati biasa. Pati yang telah mengalami gelatinisasi masih mampu menyerap air lagi dalam jumlah yang besar. Penggunaan pati tergelatinisasi dengan komposisi yang berbeda pada pembuatan cookies menyebabkan perbedaan jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan. Semakin banyak jumlah pati tergelatinisasi yang digunakan dalam adonan, jumlah air yang ditambahkan semakin besar. Hal ini disebabkan daya serap air yang besar pada pati yang telah tergelatinisasi. Daya serap air menunjukkan kemampuan produk untuk mengikat air. Nilai daya serap air yang besar disebabkan oleh adanya perlakuan pemanasan awal yang dilakukan terhadap tepung, terutama pemanasan yang cukup tinggi seperti pengukusan. Menurut Gomez dan Aguilera (1983), nilai daya serap air tergantung pada ketersediaan grup hidrofilik dan kapasitas pembentukan gel dari makromolekul yaitu pati yang tergelatinisasi
dan
terdekstrinasi.
Semakin
banyak
pati
yang
tergelatinisasi dan terdekstrinasi, semakin besar kemampuan produk menyerap air. Pasta pati yang telah mengalami gelatinisasi terdiri dari granulagranula yang membengkak tersuspensi dalam air panas dan molekulmolekul amilosa yang terdispersi dalam air (Winarno, 1992). Pada pati yang telah tergelatinisasi, molekul-molekul amilosa lebih cepat terdispersi ke dalam air pada saat pemanasan.
Perbedaan daya serap air yang dimiliki oleh tepung hotong kukus dan tepung campuran hotong kukus-pati sagu dapat menyebabkan perbedaan tekstur produk yang dihasilkan. Semakin besar daya serap air tepung menyebabkan tekstur produk yang semakin poros karena semakin banyak air yang teruapkan pada saat pemanggangan. Stabilitas pasta panas diukur berdasarkan selisih dari viskositas maksimum (VM) dengan setelah pemanasan pada suhu konstan (95°C) selama 20 menit. Stabilitas pasta panas juga dikenal sebagai breakdown. Stabilitas pasta panas bernilai positif jika terjadi peningkatan viskositas dan bernilai negatif jika terjadi penurunan viskositas. Berdasarkan hasil pengamatan, viskositas tepung hotong mentah dan tepung campuran hotong kukus-pati sagu selama penahanan mengalami penurunan. Hal ini berarti stabilitas pasta panas untuk tepung hotong mentah dan tepung campuran hotong kukus-pati sagu bernilai negatif. Tepung hotong mentah memiliki nilai breakdown sebesar 3.50 BU dan tepung campuran hotong kukus-pati sagu memiliki nilai breakdown sebesar 76.50 BU. Nilai breakdown menunjukkan kemampuan tepung atau pati dalam mempertahankan viskositasnya selama pemanasan. Tepung hotong mentah dapat dikatakan cenderung lebih stabil dibandingkan dengan tepung campuran hotong kukus-pati sagu. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya nilai breakdown yang dimiliki tepung hotong mentah. Nilai breakdown tepung hotong kukus tidak dapat terbaca karena viskositas puncak dari tepung hotong kukus sudah terlewati. Nilai breakdown yang besar selama pemasakan menunjukan bahwa granula pati yang telah membengkak secara keseluruhan memiliki sifat yang rapuh. Selain itu, pengadukan yang kontinyu juga menyebabkan granula pati yang rapuh akan pecah sehingga viskositas turun secara tajam (Pomeranz, 1991). Viskositas balik (setback) merupakan selisih antara viskositas pada akhir pendinginan (50°C) dengan viskositas pada akhir pemasakan pada suhu konstan (95°C). Nilai setback ini menunjukan kecenderungan pati
dalam beretrogradasi. Semakin tinggi viskositas setback berarti semakin tinggi pula kemampuan pati dalam beretrogradasi (Li dan Yeh, 2001). Menurut Eliasson dan Gudmundsson (2006), suatu gel pati bukanlah merupakan sistem yang seimbang, namun akan berubah seiring dengan waktu. Struktur kristalin pati akan rusak pada saat gelatinisasi, namun akan muncul kembali saat penyimpanan. Kemampuan molekul pati untuk membentuk kristal setelah gelatinisasi disebut retrogradasi. Menurut Winarno (1992), retrogradasi adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi. Beberapa molekul pati, khususnya
amilosa
yang
dapat
terdispersi
dalam
air
panas,
meningkatkan granula-granula yang membengkak dan masuk ke dalam cairan yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, pasta pati yang telah mengalami gelatinisasi terdiri dari granula-granula yang membengkak yang tersuspensi ke dalam air panas dan molekul-molekul amilosa yang terdispersi ke dalam air. Molekul-molekul amilosa tersebut akan terus terdispersi, asalkan pati tersebut dalam kondisi panas. Dalam kondisi panas, pasta masih memiliki kemampuan mengalir yang fleksibel dan tidak kaku. Bila pasta pati tersebut kemudian mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul-molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggir-pinggir
luar
granula,
dengan
demikian
mereka
menggambungkan butir-butir pati yang bengkak tersebut menjadi semcam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan mengendap. Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh bahwa tepung hotong mentah memiliki nilai viskositas setback sebesar 646.00 BU, tepung hotong kukus memiliki nilai viskositas setback sebesar 28.50 BU, dan tepung campuran hotong kukus-pati sagu memiliki nilai viskositas setback sebesar 146.50 BU. Dapat dikatakan bahwa tepung hotong mentah memiliki kecenderungan yang besar untuk beretrogradasi, hal ini ditunjukan dengan tingginya nilai viskositas setback yang dimiliki tepung hotong mentah. Hal ini menunjukkan bahwa molekul-molekul
amilosa dalam tepung hotong mentah memiliki kecenderungan yang besar untuk kembali berikatan satu sama lain saat proses pendinginan (cooling). Berbeda dengan tepung hotong mentah, kemampuan tepung hotong kukus dalam beretrogradasi paling kecil dibandingkan dengan sampel lainnya. Hal ini dapat dilihat dari nilai viskositas setback tepung hotong kukus yang sangat kecil. Adanya perbedaan kecenderungan retrogradasi pada tepung hotong kukus dan tepung campuran hotong kukus-pati sagu juga dapat menyebabkan perbedaan tekstur produk yang dihasilkan. Kecenderungan retrogradasi yang lebih besar menunjukkan kecenderungan molekulmolekul pati untuk kembali mengkristal pada saat proses pendinginan. Semakin besar kecenderungan untuk beretrogradasi, kekerasan produk setelah didinginkan semakin meningkat. Dalam pembuatan produk, sifat retrogradasi dapat menjadi hal yang tidak diinginkan. Berdasarkan Gambar 10, kecenderungan tepung hotong mentah dalam beretrogradasi mulai terlihat pada saat pendinginan berlangsung hingga akhir pengadukan setelah pendinginan (50oC). Dapat dikatakan bahwa produk yang dibuat dari tepung hotong mentah memiliki kecenderungan beretrogradasi selama penyimpanan. Sifat tersebut merupakan sifat yang tidak diinginkan terjadi pada produk-produk seperti jam dan jelly, karena pada jenis produk tersebut dibutuhkan ketahanan viskositas yang tinggi agar tidak cepat mengeras saat penyimpanan. Stabilitas pasta dingin diperoleh dari selisih viskositas selama pendinginan pada suhu konstan (50°C). Stabilitas pasta dingin digunakan untuk mengetahui kestabilan pasta pati terhadap proses pengadukan selama pendinginan setelah pemasakan. Selisih viskositas yang tinggi menunjukan stabilitas pasta dingin yang lebih rendah, karena perubahan viskositasnya selama pendinginan konstan sangat besar. Tepung hotong mentah memiliki nilai stabilitas pasta dingin sebesar 75.00 BU, tepung hotong kukus memiliki nilai stabilitas pasta dingin sebesar 6.50 BU, dan tepung campuran hotong kukus-pati sagu memiliki nilai stabilitas pasta dingin sebesar 20.00 BU. Tepung hotong kukus
memiliki nilai stabilitas pasta dingin paling besar di antara ketiga jenis tepung. Hal ini menunjukan kemampuan ikatan antara molekul tepung hotong kukus terhadap air cenderung tinggi selama pendinginan dan tidak terlalu terpengaruh oleh proses pengadukan, sehingga stabilitasnya selama fase pendinginan pada suhu konstan (50°C) lebih stabil. Sebaliknya, nilai stabilitas pasta dingin paling rendah dimiliki oleh tepung hotong mentah. Hal ini menunjukan bahwa stabilitas pasta dingin pada tepung hotong mentah cenderung kurang stabil akibat pengadukan, sehingga perubahan viskositasnya selama pendinginan pada suhu konstan (50°C) cukup tinggi.
J.
Penelitian Utama 1.
Proses Pengolahan Pada tahap ini, proses pembuatan adonan dilakukan dengan menggunakan campuran tepung hotong yang telah dikukus tanpa penambahan pati sagu. Setelah pengukusan, kadar air tepung hotong mengalami kenaikan dari 7.93% menjadi 16.52%, sehingga dalam penentuan jumlah air yang ditambahkan pada adonan merupakan jumlah total dari penambahan air akibat pengukusan dan penambahan air dari luar yang dicampurkan pada adonan. Penentuan parameter waktu pengadukan dilakukan pada saat pembentukan cream dan pencampuran telur. Pengujian dilakukan pada 0.5 menit, 1 menit, dan 2 menit. Hasil trial and error penentuan waktu pengadukan dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan hasil pengujian, diperoleh waktu pengadukan pada saat pembuatan cream selama satu menit dan pencampuran telur selama satu menit. Tabel 9 Hasil trial and error penentuan waktu pengadukan Waktu Pembentukan Cream Pencampuran Telur 0.5 menit Tidak merata Tidak merata 1 menit Merata Merata 2 menit Merata, cream agak pecah Merata
Penentuan parameter suhu dan waktu pemanggangan dilakukan terhadap beberapa kombinasi suhu dan waktu pemanggangan, yaitu 140oC, 20 menit; 130oC, 10 menit; 120oC, 30 menit; dan 125oC, 18 menit. Hasil dari trial and error penentuan suhu dan waktu pemanggangan dapat dilihat pada Tabel 10. Dari hasil pengujian, diperoleh kombinasi suhu dan waktu pemanggangan 125oC selama 18 menit. Tabel 10 Hasil trial and error penentuan suhu dan waktu pemanggangan Kombinasi Suhu Hasil Pengamatan dan Waktu 140oC, 20 menit Warna cookies bagian luar lebih gelap daripada bagian dalam, aroma agak gosong, bagian luar cookies kering, bagian dalam normal. o 130 C, 10 menit Warna cookies coklat muda (normal), permukaan cookies matang, bagian dalam tidak. o 120 C, 30 menit Warna cookies coklat muda (normal), cookies kasar dan kering o 125 C, 18 menit Warna cookies coklat muda (normal), bagian luar cookies kering, bagian dalam matang (kematangan merata) 2.
Formulasi Cookies Hotong Cookies yang dibuat dalam penelitian ini adalah cookies berbahan dasar tepung hotong yang telah dikukus dengan penambahan pati sagu sebagai salah satu bahan bakunya. Penggunaan pati sagu dilakukan dengan tujuan mengoptimumkan penggunaan bahan pangan lokal dari Maluku. Penambahan pati sagu dilakukan mulai 0% hingga 50% dari total tepung yang digunakan dalam pembuatan cookies. Formulasi cookies hotong dilakukan secara trial and error untuk menentukan formulasi cookies yang secara organoleptik disukai oleh konsumen. Cookies hotong tersebut dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah, dan penampangnya memiliki tekstur berongga jika dipatahkan. Formula cookies hotong yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 11.
Penentuan jumlah air yang ditambahkan saat pembuatan adonan dilakukan dengan mengamati konsistensi adonan secara visual. Konsistensi adonan yang diharapkan pada penelitian ini adalah adonan yang kalis (tidak lengket) dan dapat dicetak dengan cara dropping (alat cetak tekan). Perbedaan konsistensi adonan yang dihasilkan sebelum ditambahkan air disebabkan adanya perbedaan jumlah pati sagu yang dicampurkan ke dalam adonan, yang mempengaruhi daya serap air pada adonan. Semakin besar jumlah pati sagu dalam adonan, adonan menjadi semakin lunak. Akibatnya, penambahan jumlah air ke dalam adonan dilakukan dalam jumlah yang semakin berkurang. Tabel 11 Formulasi cookies hotong dalam 100 g tepung Perlakuan Komposisi A1 A2 A3 Tepung hotong kukus (g) 100 80 65 Pati sagu (g) 0 20 35 Margarin (g) 25 Mentega (g) 10 Gula halus (g) 48 Kuning telur (g) 12 Putih telur (g) 3.7 Garam (g) 0.5 Baking powder (g) 0.5 Air (g) 4 2 1.4 Air (dari tepung hotong) (g) 8.59 6.87 5.58
A4 50 50
0.7 4.30
Pembuatan cookies dilakukan tanpa penambahan flavor dan pewarna makanan dengan tujuan untuk mengetahui penerimaan panelis terhadap rasio penggunaan tepung hotong dan pati sagu dalam adonan dan mengetahui perubahan aroma dan rasa cookies akibat berkurangnya rasio tepung hotong dalam adonan. Adonan cookies dicetak dengan menggunakan alat cookies maker dan dipanggang dalam oven bersuhu 125oC (257°F). Cookies yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 11.
(A1) Keterangan:
(A2)
(A3)
(A4)
A1 = tepung hotong : pati sagu 100 : 0 (100%) A2 = tepung hotong : pati sagu 80 : 20 (80%) A3 = tepung hotong : pati sagu 65 : 35 (65%) A4 = tepung hotong : pati sagu 50 : 50 (50%)
Gambar 11 Cookies hotong Uji organoleptik terhadap cookies hotong dilakukan untuk mengetahui daya terima panelis terhadap beberapa atribut sensori cookies, meliputi warna, aroma, rasa, tekstur, dan keseluruhan (overall). Panelis diminta untuk memberikan penilaian seberapa banyak panelis menyukai produk tersebut tanpa membandingkan antar produk dengan menggunakan skala hedonik sangat tidak suka (1) sampai sangat suka (7). Lembar penilaian yang digunakan pada uji hedonik dapat dilihat pada Lampiran 1. Panelis yang melakukan penilaian sebanyak 30 orang panelis tidak terlatih. Hasil penilaian organoleptik disajikan pada Lampiran 4 sampai Lampiran 9. Rekapitulasi penilaian rata-rata uji organoleptik dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Hasil analisis statistik uji organoleptik Atribut Organoleptik Formula Ranking Warna Aroma Rasa Tekstur Overall A1 4.80a 5.20a 4.60a 4.63a 4.67a 3.70a A2 5.47b 5.63b 5.60b 5.03ab 5.33b 2.80b A3 5.43b 5.70b 5.80b 5.37bc 5.73c 1.93c A4 5.60b 5.87b 6.23c 5.73c 6.07c 1.57c
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (uji Duncan α = 5%)
Hasil penilaian rata-rata karakteristik organoleptik cookies hotong selajutnya dianalisis secara statistik. Pengujian statistik yang dilakukan adalah analisis ragam (ANOVA) dengan uji lanjut Duncan. Hasil
pengujian statistik dapat dilihat pada Lampiran 10 sampai dengan Lampiran 15. a. Warna Warna merupakan kesan pertama yang diperoleh konsumen dari suatu produk pangan. Oleh karena itu, warna memegang peranan yang penting dalam menentukan penerimaan konsumen terhadap produk tersebut. Menurut Meilgaard et al. (1999), warna merupakan salah satu atribut penampilan pada suatu produk yang sering kali menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk tersebut secara keseluruhan. Warna cookies dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies terutama oleh lemak, gula, dan telur. Pada cookies hotong ini, rasio tepung hotong dan pati sagu yang digunakan juga akan mempengaruhi warna cookies yang dihasilkan. Secara visual, warna cookies yang dihasilkan berkisar antara coklat sampai coklat muda (Gambar 11). Semakin banyak tepung hotong yang digunakan ke dalam adonan cookies, maka warna cookies menjadi semakin coklat. Warna kecoklatan terbentuk karena reaksi Maillard, yaitu reaksi yang terjadi antara gula pereduksi dengan asam amino yang terjadi pada saat pemanggangan, juga karamelisasi gula sederhana. Pada Gambar 12 dapat dilihat skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut warna cookies hotong. Berdasarkan uji organoleptik, skor rata-rata kesukaan panelis terhadap warna cookies hotong berkisar antara 4.80-5.60 atau netral hingga agak suka. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 10) diketahui bahwa perbedaan rasio tepung hotong dan pati sagu yang digunakan berpengaruh nyata terhadap warna cookies hotong pada taraf kepercayaan 95%. Uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa terdapat keragaman antar perlakuan. Warna yang berbeda dari cookies hotong tanpa penambahan pati sagu mulai disukai oleh
panelis pada cookies dengan komposisi tepung hotong 80% (formula A2). 5.80 5.60
5.60
5.47
5.43
5.40 Skor
5.20 5.00 4.80
4.80
4.60 4.40 A1
A2
A3
A4
Sampel
Gambar 12 Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut warna cookies hotong (untuk perbandingan tepung hotong dan pati sagu A1 = 100 : 0; A2 = 80 : 20; A3 = 65 : 35; A4 = 50 : 50) Penambahan pati sagu ke dalam adonan dapat mempengaruhi warna cookies yang dihasilkan. Semakin besar konsentrasi pati sagu yang ditambahkan, warna cookies yang dihasilkan semakin terang. Hal ini dapat disebabkan oleh warna pati sagu yang lebih putih jika dibandingkan warna tepung hotong. Akibatnya, pencampuran pati sagu yang semakin banyak ke dalam adonan menghasilkan warna cookies yang semakin terang (semakin coklat muda) jika dibandingkan warna cookies hotong tanpa pencampuran pati sagu. Berdasarkan hasil uji organoleptik, semakin terang warna cookies yang dihasilkan, nilai kesukaan panelis semakin meningkat. b. Aroma Setser (1995) menjelaskan bahwa aroma merupakan hasil rangsangan kimia dari syaraf-syaraf olfaktori yang berada di bagian akhir dari rongga hidung. Aroma merupakan bau yang dicium karena sifatnya yang volatil (mudah menguap). Aroma pada cookies dipengaruhi oleh beberapa bahan baku yang digunakan dalam pembuatan cookies, antara lain lemak, susu, telur, dan tepung yang
digunakan. Aroma cookies tercium terutama setelah cookies selesai dipanggang. Sebagian besar aroma yang tercium pada cookies hotong merupakan aroma hotong, lemak, telur. Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut aroma cookies hotong dapat dilihat pada Gambar 13. 6.00 5.80
5.80
5.70 5.63
Skor
5.60 5.40 5.20
5.20
5.00 4.80 A1
A2
A3
A4
Sampel
Gambar 13 Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut aroma cookies hotong (untuk perbandingan tepung hotong dan pati sagu A1 = 100 : 0; A2 = 80 : 20; A3 = 65 : 35; A4 = 50 : 50) Perlakuan perbedaan rasio tepung hotong dan pati sagu yang digunakan pada pembuatan cookies ternyata berpengaruh nyata pada aroma cookies (Lampiran 11) pada taraf kepercayaan 95%. Nilai rata-rata uji organoleptik berkisar antara 5.20-5.87 atau agak suka. Aroma yang berbeda dari cookies hotong tanpa penambahan pati sagu mulai disukai oleh panelis pada cookies dengan komposisi tepung hotong 80% (formula A2). Penambahan pati sagu ke dalam adonan mempengaruhi aroma cookies hotong yang dihasilkan. Semakin besar konsentrasi pati sagu yang ditambahkan, aroma hotong dalam cookies semakin berkurang. Berkurangnya aroma khas hotong dalam cookies meningkatkan nilai kesukaan panelis terhadap produk cookies hotong.
c. Rasa Rasa merupakan faktor yang menentukan tingkat kesukaan konsumen terhadap produk pangan. Atribut rasa meliputi asin, manis, asam, dan pahit. Sebagian dari atribut ini dapat terdeteksi pada makanan pada kadar yang sangat rendah. Rasa pada makanan sangat ditentukan oleh formulasi produk tersebut (Fellows, 2000). Rasa dinilai dengan adanya tanggapan rangsangan kimiawi oleh lidah. Pada Gambar 14 dapat dilihat skor rata-rata kesukaan panelis
Skor
terhadap atribut rasa cookies hotong. 6.40 6.20 6.00 5.80 5.60 5.40 5.20 5.00 4.80 4.60 4.40 4.20
6.23 5.80 5.60
4.60
A1
A2
Sampel
A3
A4
Gambar 14 Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut rasa cookies hotong (untuk perbandingan tepung hotong dan pati sagu A1 = 100 : 0; A2 = 80 : 20; A3 = 65 : 35; A4 = 50 : 50) Berdasarkan uji organoleptik, skor rata-rata kesukaan panelis terhadap rasa cookies hotong berkisar antara 4.60-6.23 atau netral hingga suka. Hasil analisis ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa perbedaan rasio tepung hotong dan pati sagu yang digunakan pada pembuatan cookies berpengaruh nyata pada skor kesukaan panelis terhadap rasa cookies hotong. Hasil ini diperkuat dengan hasil uji lanjut Duncan yang menunjukkan bahwa rasa yang berbeda dari cookies hotong tanpa penambahan pati sagu mulai disukai oleh panelis pada cookies dengan komposisi tepung hotong 80%. Rasa pada cookies terutama dipengaruhi oleh lemak, susu, dan gula yang digunakan dalam formulasi. Cookies hotong yang
dihasilkan memiliki rasa manis dan gurih. Faktor yang menyebabkan perbedaan rasa cookies hotong adalah perbedaan komposisi tepung hotong yang digunakan. Penggunaan tepung hotong sebagai salah satu bahan baku cookies menghasilkan rasa khas hotong pada cookies. Semakin banyak komposisi tepung hotong maka rasa hotong pada cookies semakin tidak dapat ditutupi oleh komponen lainnya. Di Indonesia, penggunaan tepung hotong dalam produk cookies masih baru dan belum dikembangkan, sehingga rasa hotong pada cookies merupakan hal baru bagi konsumen. Namun demikian, panelis masih dapat menerima rasa hotong pada cookies, walaupun belum dapat menyukai karena nilai rata-rata penerimaan panelis terhadap cookies hotong tanpa penambahan pati sagu berada dalam kisaran netral. d. Tekstur Tekstur merupakan parameter kritis pada penampakan, flavor, dan penerimaan keseluruhan dari produk bakery (Setser, 1995). Pada cookies, tekstur merupakan atribut produk yang cukup penting karena cookies biasanya dinilai dari teksturnya. Tekstur pada cookies meliputi kekerasan, kemudahan untuk dipatahkan, dan konsistensi pada gigitan pertamanya (Fellows, 2000). Lebih lanjut Fellows menerangkan bahwa tekstur pada makanan sangat ditentukan oleh kadar air, kandungan lemak, dan jumlah serta jenis karbohidrat dan protein yang menyusunnya. Dalam hal ini, tekstur cookies dipengaruhi oleh semua bahan baku yang digunakan meliputi tepung hotong, gula, lemak, susu, telur, dan bahan pengembang. Skor ratarata kesukaan panelis terhadap atribut aroma cookies hotong dapat dilihat pada Gambar 15. Berdasarkan uji organoleptik, skor rata-rata kesukaan panelis terhadap tekstur cookies hotong berkisar antara 4.63-5.73 atau netral hingga agak suka. Hasil analisis ragam (Lampiran 13) menunjukkan bahwa perbedaan rasio tepung hotong dan pati sagu yang digunakan
pada pembuatan cookies berpengaruh nyata pada skor kesukaan panelis terhadap tekstur cookies hotong. Hasil ini diperkuat dengan hasil uji lanjut Duncan yang menunjukkan bahwa penambahan pati sagu hingga 20% menghasilkan nilai kesukaan yang tidak berbeda nyata dengan cookies hotong tanpa penambahan pati sagu. Tekstur yang berbeda dari cookies hotong tanpa penambahan pati sagu mulai disukai oleh panelis pada cookies dengan komposisi tepung hotong 65%. 6.00 5.73
5.80 5.60 5.37
Skor
5.40 5.20
5.03
5.00 4.80
4.63
4.60 4.40 4.20 A1
A2
A3
A4
Sampel
Gambar 15 Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut tekstur cookies hotong (untuk perbandingan tepung hotong dan pati sagu A1 = 100 : 0; A2 = 80 : 20; A3 = 65 : 35; A4 = 50 : 50) Perubahan pada tekstur cookies terutama disebabkan oleh berkurangnya tekstur berpasir pada produk seiring dengan meningkatnya jumlah pati sagu yang ditambahkan. Penambahan pati sagu ke dalam adonan menyebabkan tekstur cookies menjadi lebih lembut. Hal ini disebabkan oleh tekstur pati sagu yang lebih halus dibandingkan tekstur tepung hotong yang lebih banyak mengandung serat. Penambahan konsentrasi pati sagu yang ditambahkan menyebabkan nilai kesukaan panelis terhadap cookies yang dihasilkan meningkat.
e. Keseluruhan (overall) Parameter keseluruhan (overall) digunakan dalam uji hedonik untuk mengukur tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan atribut yang ada pada produk. Hal ini dilakukan karena hasil pengujian terhadap atribut tertentu saja, seperti warna, aroma, rasa, dan tekstur, menunjukkan nilai yang berbeda-beda. Misalnya pada atribut
warna,
penggunaan
tepung
hotong
sebanyak
80%
menunjukkan hasil yang berbeda dengan cookies hotong 100%, sedangkan pada atribut tekstur hasil yang berbeda diperoleh pada penggunaan tepung hotong 65%. Dengan pengujian atribut keseluruhan diharapkan dapat diketahui rasio tepung hotong dan pati sagu yang terpilih oleh konsumen. Pada Gambar 16 dapat dilihat skor rata-rata kesukaan panelis terhadap keseluruhan atribut (overall) cookies hotong.
6.20
6.07
6.00 5.73
5.80
Skor
5.60 5.33
5.40 5.20 5.00 4.80
4.67
4.60 4.40 4.20 A1
A2
A3
A4
Sampel
Gambar 16 Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap keseluruhan atribut (overall) cookies hotong (untuk perbandingan tepung hotong dan pati sagu A1 = 100 : 0; A2 = 80 : 20; A3 = 65 : 35; A4 = 50 : 50) Berdasarkan hasil pengujian organoleptik dapat diketahui bahwa tingkat kesukaan panelis tertinggi adalah pada cookies dengan komposisi tepung hotong 50%, yaitu sebesar 6.07. Tingkat kesukaaan keseluruhan berkisar antara 4.67-6.07 atau netral sampai suka. Hasil analisis ragam (Lampiran 14) menunjukkan bahwa perbedaan rasio tepung hotong dan pati sagu yang digunakan pada
pembuatan cookies berpengaruh nyata pada skor kesukaan panelis terhadap keseluruhan atribut cookies hotong. Hasil ini diperkuat dengan hasil uji lanjut Duncan yang menunjukkan bahwa perubahan komposisi tepung hotong menghasilkan nilai penerimaan yang berbeda mulai komposisi tepung hotong 80%. Tetapi cookies yang paling disukai adalah cookies dengan komposisi tepung hotong 50%. Hasil uji organoleptik cookies hotong menunjukkan bahwa nilai penerimaan konsumen terhadap seluruh produk cookies hotong, baik formula A1 (tepung hotong : pati sagu = 100 : 0), A2 (tepung hotong : pati sagu = 80 : 20), A3 (tepung hotong : pati sagu = 65 : 35), maupun A4 (tepung hotong : pati sagu = 50 : 50), berada pada kisaran netral hingga suka. Hal tersebut menunjukkan bahwa cookies hotong memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan lebih lanjut. Namun, dalam penelitian ini dilakukan penentuan formula cookies yang terpilih berdasarkan nilai penerimaan tertinggi pada produk. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa cookies hotong yang menghasilkan penerimaan tertinggi adalah formula A4 (tepung hotong : pati sagu = 50 : 50). Namun, hasil analisis LSD menunjukkan bahwa formula A3 (tepung hotong : pati sagu = 65 : 35) dan A4 (tepung hotong : pati sagu = 50 : 50) memiliki nilai penerimaan yang tidak berbeda nyata. Oleh karena itu, formula cookies yang dipilih sebagai hasil dari tahap formulasi ini adalah cookies hotong formula A3 (tepung hotong : pati sagu = 65 : 35) karena komposisi tepung hotong yang digunakan pada formula A3 (tepung hotong : pati sagu = 65 : 35) lebih banyak daripada komposisi pada formula A4 (tepung hotong : pati sagu = 50 : 50).
3.
Karakterisasi Produk Cookies Hotong a. Uji rendemen cookies Pengujian rendemen dilakukan dengan membandingkan berat produk yang diperoleh dengan berat adonan awal. Berdasarkan perhitungan, nilai rendemen produk cookies hotong adalah sebesar
85.57% dari berat adonan awal (jumlah bahan penyusun cookies). Pengurangan berat produk yang dihasilkan disebabkan adanya adonan yang tersisa pada alat pengaduk setelah proses pengadukan dan proses penguapan air yang terjadi selama proses pemanggangan, sehingga berat produk yang dihasilkan lebih kecil jika dibandingkan dengan berat adonan awalnya. b. Derajat pengembangan produk Penentuan nilai derajat pengembangan produk dilakukan dengan membandingkan diameter produk cookies hotong dengan diameter adonan awalnya. Berdasarkan data yang diperoleh, ratarata nilai derajat pengembangan produk cookies hotong adalah sebesar 132.32%. Nilai ini menunjukkan bahwa kerja bahan pengembang yang digunakan pada adonan cookies cukup baik dalam menghasilkan gas selama pemanggangan. Bahan pengembang yang digunakan dalam penelitian ini adalah baking powder, yang memiliki komposisi sodium bikarbonat (NaHCO3) dan asam seperti sitrat atau tartarat. Selain itu, derajat pengembangan yang cukup besar menunjukkan kemampuan protein dalam hotong untuk membentuk matriks dengan pati yang dapat menahan keluarnya gas yang dihasilkan oleh bahan pengembang cukup baik. Takeuchi (1969) melaporkan bahwa protein dan pati membentuk kompleks ketika terjadi gelatinisasi. c. Pengukuran densitas kamba cookies Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempatinya dan dinyatakan dalam satuan g/ml. Nilai densitas kamba menunjukkan porositas dari suatu bahan (Khalil, 1999). Dengan mengetahui densitas kamba, kita dapat memperkirakan keefektifan dan keefisienan volume ruang yang dibutuhkan suatu bahan pangan dengan berat tertentu.
Penentuan
densitas
kamba
cookies
dilakukan
dengan
membandingkan berat cookies dengan volumenya. Densitas kamba yang kecil menunjukkan bahwa dalam jumlah yang sama, produk akan lebih cepat memberikan rasa kenyang dibandingkan produk yang memiliki densitas kamba lebih besar. Perhitungan densitas kamba cookies hotong yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Perhitungan densitas kamba cookies hotong Berat Volume Densitas Ulangan Cookies (g) Cookies (ml) Kamba (g/ml) 1 6.00 13.00 0.46 2 6.00 11.50 0.52 3 5.90 12.50 0.47 Rata-rata 0.48 Berdasarkan hasil perhitungan, densitas kamba yang dimiliki oleh cookies hotong adalah 0.4851 g/ml. Nilai energi yang terkandung dalam 100 g cookies hotong cukup besar, yaitu 486.39 kkal, namun nilai densitas kamba yang dimiliki cookies hotong cukup kecil. Artinya, volume cookies hotong yang harus dikonsumsi untuk memperoleh energi senilai dengan 100 g cookies hotong lebih besar (setara dengan 17 keping cookies hotong), sehingga cookies hotong belum dapat digunakan sebagai produk pangan sumber energi. d. Pengukuran aktivitas air (aw), menggunakan aw-meter Aktivitas air (aw) menggambarkan jumlah air bebas yang dapat menunjang reaksi biologis atau kimiawi. Nilai aw ini mempengaruhi daya tahan produk terhadap serangan mikroba (Winarno, 1992). Aktivitas air merupakan perbandingan tekanan parsial uap air dalam bahan dengan tekanan uap air jenuh. Selain itu, aktivitas air dapat pula dinyatakan sebagai RH kesetimbangan dibagi 100. Semakin tinggi nilai aw suatu bahan, semakin tinggi pula kemungkinan
tumbuhnya jasad renik dalam bahan pangan tersebut (Syarief dan Halid, 1993). Hasil pengukuran dengan aw-meter menunjukkan bahwa ratarata nilai aw awal produk cookies hotong adalah 0.327 pada suhu pengukuran 30oC. Cookies merupakan salah satu produk pangan yang memiliki umur simpan relatif lama karena memiliki nilai aw rendah, sehingga jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya juga rendah. e. Analisis proksimat Untuk mengetahui kandungan gizi yang terdapat pada cookies hotong, maka dilakukan analisis kimia pada cookies. Analisis yang dilakukan berupa analisis proksimat, meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat. Selain itu juga dilakukan penghitungan nilai energi yang terkandung di dalam cookies hotong. Hasil analisis kimia yang dilakukan pada cookies hotong formula terpilih dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Hasil analisis kimia cookies hotong per 100 g cookies Jumlah Komponen Basis Basah Basis Kering (g/100 g tepung) (g/100 g padatan) Air 3.48 Abu 1.25 1.30 Protein 6.29 6.52 Lemak 20.99 21.75 Karbohidrat 67.98 70.43 Serat kasar 2.24 2.32 Energi 486.39 Keterangan: *Energi diukur sebagai kkal/100 g tepung
1)
Kadar air Kadar air yang terdapat pada suatu produk pangan akan mempengaruhi penampakan, cita rasa, dan keawetannya. Kadar air pada produk cookies merupakan karakteristik kritis yang
akan mempengaruhi penerimaan konsumen tehadap cookies karena kadar air ini menentukan tekstur (kerenyahan) cookies. Kandungan air yang tinggi membuat cookies tidak renyah dan teksturnya kurang disukai. Menurut DSN (1992), syarat mutu cookies berdasarkan SNI 01-2973-1992 maksimum mempunyai kadar air 5.00%. Kadar air cookies hotong yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 3.48%. Kadar air cookies hotong masih berada di bawah persyaratan kadar air maksimum pada SNI, sehingga dapat dikatakan bahwa berdasarkan kadar airnya, cookies hotong yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan mutu cookies. 2)
Kadar abu Kadar abu merupakan unsur mineral sebagai sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar sampai bebas karbon. Kadar abu juga dapat diartikan sebagai komponen yang tidak mudah menguap, tetap tertinggal dalam pembakaran dan pemijaran senyawa organik (Soebito, 1988). Syarat mutu cookies berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar abu yang terdapat pada cookies maksimum adalah 1.50%. Kadar abu cookies hotong yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 1.25% (bb) atau 1.30% (bk). Kadar abu cookies hotong masih berada di bawah persyaratan kadar abu maksimum pada SNI, sehingga dapat dikatakan bahwa berdasarkan kadar abunya, cookies hotong yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan mutu cookies.
3)
Kadar protein Protein merupakan senyawa yang mengandung unsurunsur C, H, O, dan N. Penetapan kadar protein pada cookies hotong dilakukan dengan metode mikro-Kjeldahl. Kadar protein yang diperoleh adalah kadar protein kasar karena dihitung
berdasarkan pada nitrogen yang terkandung dalam bahan. Dengan mengalikan hasil analisis tersebut dengan angka konversi 6.25, diperoleh nilai protein dalam bahan makanan tersebut. Angka 6.25 berasal dari angka konversi serum albumin yang biasanya mengandung 16% nitrogen. Angka konversi untuk beras adalah 5.95, kedelai 5.72, dan gandum 5.83 (Winarno, 1992). Penghitungan kadar protein cookies menggunakan angka konversi 6.25 karena protein yang terkandung dalam cookies tidak hanya berasal dari tepung hotong, sehingga digunakan angka konversi yang bersifat umum. Protein yang ada pada cookies sebagian besar berasal dari tepung dan telur. Menurut DSN (1992), syarat mutu cookies berdasarkan SNI 01-2973-1992 minimum mempunyai kadar protein 9.00%. Kadar protein cookies hotong yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 6.29% (bb) atau 6.52% (bk). Jika dibandingkan dengan persyaratan kadar protein minimum cookies terigu yang terdapat pada SNI, kadar protein cookies hotong yang dihasilkan pada penelitian ini berada di bawah persyaratan kadar protein minimum cookies terigu. Hal ini dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu kandungan protein tepung hotong yang memang berada di bawah kandungan protein tepung terigu (tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan cookies pada umumnya berasal dari terigu lunak, dengan kadar protein 8-9%) dan kurangnya sumber protein tambahan pada bahan penyusun cookies selain tepung. Rendahnya kadar protein pada tepung hotong mengakibatkan kadar protein cookies hotong yang dihasilkan juga rendah. Jika mengacu pada persyaratan kadar protein minimum cookies pada SNI, maka perlu dilakukan reformulasi pada cookies hotong untuk dapat memenuhi persyaratan kandungan protein pada SNI.
4)
Kadar lemak Lemak
berfungsi
sebagai
sumber
cita
rasa
dan
memberikan tekstur yang lembut pada cookies. Selain itu, lemak juga merupakan sumber energi yang dapat memberikan nilai energi lebih besar daripada karbohidrat dan protein, yaitu 9.1 kkal per gram. Lemak yang terdapat pada cookies sebagian besar berasal dari penggunaan margarin, mentega, serta telur. Lemak pada cookies diukur dengan menggunakan metode ekstraksi Soxhlet. Kadar lemak cookies hotong yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu sebesar 20.99% (bb) atau 21.75% (bk). Berdasarkan standar mutu SNI, jumlah minimum lemak pada cookies terigu adalah sebesar 9.50%. Jika dibandingkan dengan persyaratan kadar lemak minimum pada SNI, kadar lemak cookies hotong berada di atas persyaratan kadar lemak minimum pada SNI, sehingga dapat dikatakan bahwa berdasarkan kadar lemaknya, cookies hotong yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan mutu cookies jika mengacu pada persyaratan mutu cookies pada SNI. 5)
Kadar karbohidrat Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi utama bagi tubuh. Komponen karbohidrat yang banyak terdapat pada produk pangan adalah pati, gula, pektin, dan selulosa. Karbohidrat juga berperan dalam pembentukan karakteristik pada produk pangan. Kadar karbohidrat pada cookies dihitung dengan metode by difference. Analisis kimia menunjukkan bahwa kadar karbohidrat cookies hotong bernilai 67.98% (bb) atau 70.43% (bk). Jika dibandingkan dengan persyaratan minimum kadar karbohidrat cookies terigu yang tercantum pada SNI (70.00%), kadar karbohidrat cookies hotong dapat dikatakan relatif setara
dengan
persyaratan
seperti
pada
SNI,
yaitu
senilai
67.98±0.29%. Jika dibandingkan dengan persyaratan mutu cookies terigu pada SNI, kandungan gizi pada cookies hotong memang berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kandungan gizi yang dimiliki oleh bahan baku penyusunnya, yaitu tepung hotong. Pada dasarnya, perbedaan nilai gizi yang dikandung oleh cookies hotong terhadap SNI tidak menjadi suatu permasalahan. Namun, untuk meningkatkan nilai cookies hotong, diperlukan reformulasi sehingga diperoleh komposisi gizi yang yang dapat meningkatkan nilai guna cookies hotong. f.
Kadar serat kasar Serat kasar biasa digunakan dalam analisis kimia bahan pangan. Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penentuan kadar serat kasar, yaitu H2SO4 dan NaOH. Kadar serat kasar pada produk pangan lebih rendah dibandingkan dengan kadar serat pangannya. Kadar serat kasar cookies hotong yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 2.24% (bb) atau 2.32% (bk). Jika dibandingkan dengan persyaratan mutu minimum serat kasar cookies terigu pada SNI (0.50%), kadar serat kasar cookies hotong masih tergolong cukup besar. Nilai serat kasar yang cukup besar berasal dari biji yang tidak tersosoh sepenuhnya dan ikut tergiling saat penepungan. Untuk dapat mengurangi nilai serat kasar pada produk yang dihasilkan,
alternatif
yang
dapat
dilakukan
adalah
dengan
melakukan penyosohan biji pada tingkat yang lebih tinggi, sehingga biji sosoh yang dihasilkan lebih bersih dan kulit biji yang ikut tergiling saat penepungan berkurang. Di sisi lain, tingginya kadar
serat pada produk cookies hotong menyebabkan cookies hotong dapat dijadikan produk alternatif sumber serat. g. Nilai energi cookies hotong Nilai energi merupakan nilai yang diperoleh dari konversi protein, lemak, dan karbohidrat menjadi energi. Sumber energi terbesar adalah lemak yang menghasilkan 9.1 kkal energi per gram, sedangkan karbohidrat dan protein menghasilkan energi sebesar 4.1 kkal per gram. Berdasarkan SNI, standar nilai minimum energi yang ada pada cookies adalah 400 kkal per 100 gram. Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata nilai energi cookies hotong yang dihasilkan adalah sebesar 486.39 kkal per 100 g sampel. Kandungan energi cookies merupakan total energi yang dihasilkan dari protein, lemak, dan karbohidrat (setelah dikurangi kadar serat kasar) yang terkandung dalam cookies. Jika mengacu pada persyaratan mutu cookies terigu pada SNI, nilai energi cookies hotong telah berada di atas persyaratan minimum nilai energi pada SNI. Pada cookies hotong, komponen gizi yang memberikan nilai energi terbesar adalah karbohidrat dan lemak yang kandungannya cukup tinggi. h. Analisis
kadar
air
kritis
produk
cookies
hotong,
metode
konvensional Kadar air kritis didefinisikan sebagai kadar air pada saat kerenyahan cookies tidak dapat diterima oleh konsumen. Penentuan kadar air kritis cookies hotong dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menyimpan cookies hotong pada ruang terbuka. Metode ini dilakukan untuk mengkondisikan cara penyimpanan cookies hotong agar sesuai dengan kondisi penyimpanan produk cookies hotong oleh konsumen. Setiap 30 menit, dilakukan pengujian secara organoleptik
terhadap
kerenyahan
cookies
hotong
dengan
menggunakan 8 panelis terlatih dan dilakukan pengukuran tekstur
cookies hotong. Hal ini dilakukan selama 180 menit penyimpanan. Uji organoleptik yang dilakukan dalam penentuan kadar air kritis cookies hotong adalah uji rating terhadap kerenyahan cookies hotong selama penyimpanan. Berdasarkan uji organoleptik, nilai penerimaan panelis terhadap kerenyahan cookies hotong akan menurun dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Grafik hubungan antara waktu penyimpanan dengan nilai penerimaan panelis dapat dilihat pada Gambar 17. 8 Nilai rating kerenyahan
7 6 5
y = -0.0268x + 7.0536
4
R = 0.9733
2
3 2 1 0 0
30
60
90 120 Menit ke-
150
180
210
Gambar 17 Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai penerimaan panelis Berdasarkan uji objektif fisik menggunakan Texture Analyzer terhadap kerenyahan cookies hotong selama penyimpanan, nilai kerenyahan
akan
menurun
dengan
bertambahnya
waktu
penyimpanan. Grafik hubungan antara waktu penyimpanan dengan nilai kerenyahan cookies hotong dapat dilihat pada Gambar 18. Hasil uji organoleptik dibandingkan dengan hasil uji fisik (kerenyahan cookies), sehingga didapatkan grafik hubungan antara nilai kerenyahan cookies selama penyimpanan dengan nilai penerimaan panelis. Grafik hubungan antara nilai kerenyahan dengan nilai penerimaan panelis dapat dilihat pada Gambar 19.
400
Nilai kerenyahan (gf)
350 300 250 200
y = -1.5623x + 361.23
150
R = 0.9013
2
100 50 0 0
30
60
90 120 Menit ke-
150
180
210
Gambar 18 Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai kerenyahan cookies hotong 400
Nilai kerenyahan (gf)
350 300 250 200 150 y = -46.869x + 408.1 R2 = 0.9013
100 50 0 7.00
6.00
5.38
5.00
4.25
3.00
1.88
Nilai kesukaan
Gambar 19 Hubungan nilai kerenyahan dengan nilai penerimaan panelis Berdasarkan grafik hubungan nilai kerenyahan dengan nilai penerimaan panelis, dapat disimpulkan bahwa perubahan nilai penerimaan panelis terhadap atribut kerenyahan cookies hotong memiliki korelasi positif dengan perubahan nilai kerenyahan cookies hotong hasil pengukuran secara objektif. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pengukuran nilai kerenyahan secara objektif dapat digunakan untuk mengetahui tingkat penerimaan produk oleh konsumen tanpa harus melakukan pengujian secara subjektif. Penentuan kadar air kritis dilakukan dengan menyimpan cookies tanpa kemasan pada suhu kamar (300C) selama 3 jam penyimpanan. Pengambilan contoh dilakukan setiap 30 menit. Cookies dianalisis secara organoleptik melalui atribut kerenyahan.
Uji organoleptik yang digunakan adalah uji rating kepada 30 panelis tidak terlatih. Skor rating yang digunakan untuk menilai cookies yaitu 1 (sangat tidak renyah) sampai dengan 7 (sangat renyah). Kadar air kritis cookies hotong ditentukan pada saat kerenyahan cookies hotong tidak dapat diterima oleh konsumen. Kondisi tersebut ditetapkan pada saat nilai penerimaan panelis berada pada taraf agak tidak renyah (skor 3). Taraf agak tidak renyah digunakan sebagai batas minimal penolakan konsumen terhadap kerenyahan cookies hotong. Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh bahwa nilai rata-rata kadar air kritis cookies hotong adalah 4.75% pada saat mencapai nilai kerenyahan 80.016 gf.
4.
Penyimpanan Cookies Hotong a. Pengamatan terhadap perubahan karakteristik cookies hotong selama penyimpanan 1)
Perubahan kadar air selama penyimpanan Menurut Singh di dalam Man dan Jones (1995), makanan kering akan mengalami kenaikan kadar air dan menjadi tidak renyah bila disimpan pada RH tinggi. Hal ini disebabkan produk menyerap uap air yang berlebihan. Beberapa penelitian terdahulu melaporkan bahwa pada makanan jenis biskuit, termasuk cookies, kerusakannya lebih sering dihubungkan dengan kerusakan tekstur. Berdasarkan hasil penelitian, kadar air cookies hotong cenderung mengalami kenaikan selama penyimpanan. Hal ini dapat dilihat dari pergerakan grafik yang terus menaik pada Gambar 20. Kenaikan kadar air selama penyimpanan disebabkan cookies menyerap uap air yang ada di udara. Adanya penyerapan uap air disebabkan kadar air cookies yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kelembaban udara (RH) lingkungan tempat penyimpanannya, sehingga saat disimpan
berusaha
cookies
mencapai
kesetimbangan
dengan
Kadar Air (%)
lingkungannya dengan menyerap uap air dari lingkungan.
4.00 3.90 3.80 3.70 3.60 3.50 3.40 3.30 3.20 3.10 3.00 2.90 2.80 2.70 2.60 2.50
y = 0.0316x + 2.7567 2
R = 0.9745
0
5
10
15
20
25
30
Hari Penyimpanan
Gambar 20 Perubahan kadar air cookies hotong selama penyimpanan 2)
Perubahan kadar bilangan TBA (Thiobarbituric Acid) dalam produk cookies hotong Uji TBA adalah suatu uji kimia untuk ketengikan yang dapat digunakan pada bermacam-macam bahan. Uji TBA merupakan uji yang paling sering digunakan untuk mengukur ketengikan dan spesifik untuk hasil oksidasi asam lemak tidak jenuh serta dapat digunakan pada produk makanan sehari-hari yang proporsi asam lemak tidak jenuhnya rendah. Kelebihan lain dari uji ini adalah pereaksi TBA dapat digunakan langsung untuk menguji lemak dalam suatu bahan tanpa mengekstraksi fraksi lemaknya (Ketaren, 1986). TBA mengukur warna merah muda yang dihasilkan oleh pereaksi TBA dengan malonaldehid. Warna merah muda ini diketahui merupakan bentuk kondensasi produk antara dua molekul TBA dengan satu molekul malinic dialdehid. Malonaldehid merupakan produk oksidasi lanjut yang berasal dari aldehid tidak jenuh yang merupakan hasil pemecahan hidroperoksida. Uji TBA memiliki kelemahan, yaitu pereaksi TBA tidak stabil dan terurai dalam kondisi yang panas dan
tinggi asam, terutama bila ada peroksida. Produk uraian ini dapat menyerap panjang gelombang yang sama dengan TBA (Ketaren, 1986) Menurut Fan (2002), nilai bilangan TBA tidak spesifik untuk malonaldehid. Beberapa komponen lain juga dapat memberikan hasil reaksi dengan warna yang dapat diserap pada panjang gelombang pengukuran. Karbohidrat sederhana dan pigmen
secara
alami
terdapat
pada
jaringan
tanaman.
Komponen tersebut cukup dikenal dapat mempengaruhi hasil pengukuran bilangan TBA. Berdasarkan hasil pengukuran, nilai bilangan TBA produk cookies hotong selama penyimpanan cenderung mengalami kenaikan. Hal ini dapat disebabkan terjadinya oksidasi lemak pada cookies. Oksidasi lemak menghasilkan malonaldehid yang dapat diukur menggunakan pereaksi TBA. Grafik nilai bilangan TBA produk cookies hotong dapat dilihat pada Gambar 21. 1.40 y = 0.0126x + 0.7384
Nilai TBA
(mg malonaldehid/kg sampel
1.20
2
R = 0.9262 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 0
5
10
15 20 Hari ke-
25
30
35
Gambar 21 Perubahan nilai bilangan TBA cookies hotong selama penyimpanan Menurut DSN (1991), produk yang kualitasnya masih baik menurut SNI 01-2352-1991 memiliki nilai TBA kurang dari 3 mg malonaldehid/kg sampel. Menurut Winarno (1992), proses ketengikan disebabkan oleh molekul-molekul asam
lemak yang mengandung radikal asam lemak tidak jenuh mengalami oksidasi. Namun bila lemak telah diolah menjadi bahan makanan, pola ketengikannya akan berbeda. Kandungan gula yang tinggi akan mengurangi kecepatan timbulnya ketengikan, misalnya pada cookies yang manis. 3)
Analisis objektif fisik terhadap tekstur (kekerasan dan kerenyahan) Cookies memiliki ciri utama berupa teksturnya yang renyah. Menurut Piazza dan Massi (1997), kerenyahan dipengaruhi oleh sejumlah air terikat pada matriks karbohidrat yang mempengaruhi pergerakan relatif dari daerah kristalin dan amorf. Menurut Adawiyah (2002), struktur amorf atau partially amorf dalam bahan pangan terbentuk karena berbagai proses, salah satunya adalah proses pemanggangan. Kerenyahan cookies dipengaruhi oleh komposisi utama cookies, proses pemanggangan, dan jenis kemasan cookies. Komponen yang berperan sebagai pembentuk struktur cookies hotong adalah tepung dan lemak. Air ditambahkan ke dalam formulasi cookies hotong untuk memperbaiki teksur cookies hotong. Kerenyahan merupakan kriteria mutu penting dari berbagai produk sereal atau snack. Kerenyahan produk pangan berkadar air rendah dipengaruhi oleh kandungan air dan akan hilang karena adanya plastisasi struktur fisik oleh suhu atau air. Produk sereal memiliki tekstur yang renyah dalam keadaan gelas, tetapi plastisasi akibat peningkatan kadar air atau suhu menyebabkan terjadinya perubahan material menjadi keadaan karet (rubbery) sehingga produk menjadi lembek (sogginess). Uap air akan menyebabkan plastisasi dan pelunakan terhadap pati atau protein yang mengakibatkan penurunan kerenyahan cookies (Navarrete et al., 2004), sehingga kadar air merupakan karakteristik kritis produk pangan kering karena menentukan
tekstur (kerenyahan) produk yang mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap produk (Brown, 2000). Selama penyimpanan, cookies menyerap uap air dari lingkungan tempat penyimpanannya. Kadar air cookies yang lebih rendah daripada kelembaban relatif (RH) lingkungan sekitarnya menyebabkan terjadinya penyerapan uap air dari lingkungan untuk mencapai keadaan setimbang antara cookies dengan lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian, kerenyahan dan kekerasan hotong
cookies
menurun
dengan
bertambahnya
waktu
penyimpanan. Hal ini disebabkan oleh penyerapan uap air dari lingkungan sehingga kadar air cookies hotong meningkat (Gambar 20). Pada hasil pengukuran menggunakan Texture Analyzer TA-XT2i, kerenyahan yang menurun ditunjukkan dengan semakin kecilnya gaya (gf) yang diperlukan untuk mendeformasi cookies. Namun, besarnya gaya (gf) yang diperlukan untuk memecah cookies bukan merupakan satusatunya penentu renyah atau tidaknya suatu produk cookies, namun dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti yang telah disebutkan
sebelumnya.
Grafik
hubungan
lama
waktu
penyimpanan dengan nilai kekerasan dan kerenyahan cookies hotong dapat dilihat pada Gambar 22 dan Gambar 23.
450
Nilai kerenyahan (gf)
400 350 300 250 200 y = -6.812x + 381.71
150
2
R = 0.9066
100 0
5
10
15 20 Hari ke-
25
30
Gambar 22 Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai kerenyahan cookies hotong
35
1400
Nilai kekerasan (gf)
1300 1200 1100 2
R = 0.6867
1000 900 800 0
5
10
15
20
25
30
35
Hari ke-
Gambar 23 Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai kekerasan cookies hotong Grafik perubahan nilai kerenyahan dan kekerasan pada Gambar 22 dan Gambar 23 memiliki nilai R2 yang berbeda. Nilai R2 yang besar menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara parameter-parameter pengamatan. Grafik perubahan kerenyahan memiliki nilai koefisien korelasi (R2) sebesar 0.9066, sangat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan grafik perubahan kekerasan yang memiliki nilai koefisien korelasi (R2) sebesar 0.6807. Artinya, dalam mengamati perubahan mutu cookies hotong secara objektif, pengamatan melalui perubahan nilai kerenyahan lebih disarankan dibandingkan dengan pengamatan melalui perubahan nilai kekerasan. 4)
Uji organoleptik (duo-trio) Uji organoleptik cookies hotong selama penyimpanan dilakukan menggunakan metode duo-trio. Penilaian dilakukan dengan fokus terhadap atribut keseluruhan dari aroma, kerenyahan, dan kekerasan. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa sampai dengan hari penyimpanan ke-25, panelis menilai cookies hotong tidak berbeda nyata dengan reference, sedangkan pada hari penyimpanan ke-30 cookies hotong dinilai berbeda dengan reference. Rekapitulasi pengolahan data hasil uji duo-trio berdasarkan tabel peluang binomial yang dibuat
dengan program spreadsheet Microsoft Excel dapat dilihat pada Lampiran 16 sampai dengan Lampiran 17. Hasil uji organoleptik duo-trio menunjukkan bahwa sampai dengan hari penyimpanan ke-25, jumlah panelis yang dapat membedakan cookies hotong yang telah disimpan dari reference kurang dari jumlah minimum panelis yang harus menjawab benar untuk dapat menyimpulkan bahwa cookies hotong yang telah disimpan berbeda dari reference pada taraf kepercayaan 5%, yaitu 23 orang. Sehingga sampai dengan hari penyimpanan ke-25, contoh cookies hotong dapat dikatakan tidak berbeda dari reference. Sedangkan pada hari penyimpanan ke-30, jumlah panelis yang dapat membedakan cookies hotong yang telah disimpan dari reference telah mencapai jumlah minimum panelis yang harus menjawab benar untuk dapat menyimpulkan bahwa cookies hotong yang telah disimpan berbeda dari reference pada taraf kepercayaan 5%, sehingga pada hari penyimpanan ke-30, contoh cookies hotong dapat dikatakan telah berbeda dari reference. Berdasarkan penilaian 35 orang panelis, atribut yang dinilai paling berbeda dari reference adalah aroma cookies contoh. Aroma khas hotong pada cookies yang telah disimpan tidak setajam aroma hotong pada cookies yang belum disimpan. Selain itu, 7 dari 23 panelis yang dapat membedakan cookies contoh dari reference mendeteksi adanya aroma lain pada cookies yang telah disimpan, namun aroma tersebut belum dapat terdefinisikan secara tepat. Diduga, aroma yang muncul adalah hasil oksidasi lemak yang semakin meningkat dalam cookies, namun belum dapat terdeteksi oleh panelis lain. Seperti terlihat pada Gambar 20, nilai bilangan TBA meningkat dengan bertambahnya hari penyimpanan. Hasil oksidasi lemak yang mempengaruhi kenaikan nilai bilangan TBA tersebut juga mempengaruhi aroma cookies. Menurut
Winarno (1992), perubahan kimia atau penguraian lemak dapat mempengaruhi bau dan rasa suatu bahan makanan. Oksidasi lemak akan menghasilkan bau tengik yang tidak sedap. Menurut DSN (1991), produk yang kualitasnya masih baik menurut SNI 01-2352-1991 memiliki nilai TBA kurang dari 3 mg malonaldehid/kg sampel. Nilai TBA cookies contoh hingga hari penyimpanan ke-30 adalah sebesar 1.1164 mg malonaldehid/kg sampel. Angka tersebut masih lebih rendah dari batas TBA menurut SNI, sehingga dapat dikatakan bahwa perubahan aroma yang terjadi belum tentu disebabkan oleh ketengikan. b. Pendugaan umur simpan cookies hotong, pendekatan kadar air kritis termodifikasi 1)
Penentuan variabel pendukung umur simpan Berat kering per kemasan merupakan berat awal cookies hotong yang telah dikoreksi dengan kadar air awal cookies hotong (3.48%). Berat kering per kemasan (Ws) cookies hotong adalah 188.79 gram. Kemasan yang digunakan untuk menyimpan cookies hotong adalah toples. Luas kemasan dapat dihitung dengan menggunakan luas permukaan silinder. Luas permukaan kemasan (A) yang dianalisis adalah 0.0562 m2. Menurut Kusnandar (2006), semakin besar luas kemasan maka uap air yang masuk semakin besar ke dalam kemasan dan mempercepat tercapainya kadar air kritis sehingga umur simpan produk menjadi semakin singkat. Jenis kemasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah toples yang berbahan dasar High Density Polyethylene (HDPE). Sebagai pembanding, ditentukan pula permeabilitas kemasan untuk bahan Polyprophylene (PP) dan Polyethylene Terephtalat (PET). Besarnya nilai koefisien permeabilitas (k/x)
kemasan HDPE adalah 0.8563 g/m2.hari.mmHg, kemasan PP adalah 4.4793 g/m2.hari.mmHg (Piringer dan Baner, 2000), sedangkan nilai koefisien permeabilitas (k/x) kemasan PET adalah 8.5634 g/m2.hari.mmHg (Robertson, 1993). Besarnya nilai tekanan di luar (Pout) dan tekanan di dalam (Pin) kemasan ini dipengaruhi oleh besaran tekanan uap air murni pada suhu terukur (Po). Tekanan di luar kemasan sangat dipengaruhi oleh RH lingkungan sedangkan tekanan di dalam kemasan sangat dipengaruhi oleh aw cookies hotong. Suhu tempat penyimpanan yang digunakan pada penelitian ini adalah 300C. Proses difusi uap air yang terjadi antara cookies hotong dengan lingkungan adalah proses adsorpsi karena aw cookies hotong lebih rendah dari RH tempat penyimpanan yaitu 75% sehingga tekanan di luar kemasan lebih tinggi daripada tekanan di dalam kemasan sehingga mobilisasi uap air berlangsung dari lingkungan ke cookies hotong. Nilai aw cookies hotong adalah 0.327. Tekanan uap air murni pada suhu 300C berdasarkan tabel uap air (Lampiran 18) adalah 31.824 mmHg (Labuza, 1982). Nilai ∆P untuk cookies hotong diperoleh sebesar 13.4616 mmHg. Rekapitulasi nilai variabel pendukung umur simpan dapat dilihat pada Tabel 15. 2)
Pendugaan umur simpan cookies hotong Secara umum, umur simpan produk cookies hotong ditetapkan pada saat kadar air produk sama dengan kadar air kritisnya. Saat mencapai kadar air kritisnya, kerenyahan cookies sudah tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Cookies akan menyerap uap air dari lingkungannya hingga mencapai batas kritis ini. Pada penelitian ini digunakan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dalam pendugaan umur simpan produk cookies hotong jika dikemas dengan beberapa jenis kemasan
plastik. Hasil perhitungan dan pendugaan umur simpan produk cookies hotong dalam kemasan High Density Polyethylene (HDPE), Polyprophylene (PP), dan Polyethylene Terephtalat (PET) dapat dilihat pada Lampiran 19. Tabel 15 Umur simpan dan variabel pendukung penentuan umur simpan Jenis Kemasan Parameter HDPE PP PET Aktivitas air (aw) 0.327 Kadar air awal (Mi) (%) 3.48 Kadar air kritis (Mc) (%) 4.75 Permeabilitas kemasan (k/x) 0.8563 4.4793 8.5634 (g H2O/m2.hari.mmHg) Luas kemasan (A) (m2) 0.0562 Berat padatan per kemasan (Ws) 188.7931 (g) ∆P (mmHg) 13.4616 Umur Simpan (hari) 370 71 37 (bulan) 12.35 2.36 1.23 (tahun) 1.03 0.20 0.10 Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur simpan cookies hotong yang dikemas menggunakan toples berbahan HDPE lebih lama (370 hari atau 12.35 bulan atau 1.03 tahun) dibandingkan dengan umur simpan cookies yang dikemas menggunakan bahan PP (71 hari atau 2.36 bulan atau 0.20 tahun) maupun PET (37 hari atau 1.23 bulan atau 0.10 tahun). Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan nilai permeabilitas masing-masing
jenis
kemasan.
Nilai
permeabilitas
menunjukkan kemampuan kemasan untuk berfungsi sebagi barier terhadap uap air maupun gas. Semakin besar nilai permeabilitas kemasan terhadap uap air atau gas, maka ketahanan kemasan terhadap migrasi uap air ataupun gas melalui kemasan rendah. Artinya, jumlah uap air ataupun gas yang dapat melewati kemasan tersebut per satuan waktu
tertentu lebih besar. Hal ini akan berpengaruh terhadap laju perubahan mutu produk yang dikemas. Semakin besar permeabilitas uap air kemasan, maka jumlah uap air yang dapat melewati kemasan per satuan waktu tertentu semakin besar. Akibatnya, jumlah uap air yang diserap oleh produk dalam kemasan semakin besar, sehingga penurunan nilai kerenyahan semakin cepat. Menurut Syarief et al. (1989), kemampuan plastik polietilen sebagai barier terhadap uap air dan gas lebih tinggi jika dibandingkan dengan plastik jenis PP maupun PET. c. Perbandingan
umur
simpan
hasil
perhitungan
berdasarkan
perubahan karakteristik selama penyimpanan Berdasarkan hasil pengukuran sebelumnya diperoleh kadar air kritis produk cookies hotong sebesar 4.75%. Hasil pengamatan perubahan kadar air selama penyimpanan menunjukkan bahwa selama penyimpanan, kadar air cookies hotong akan berubah mengikuti persamaan garis linier y = 0.0316x + 2.7567 dengan koefisien korelasi (R2) sebesar 0.9745, di mana y adalah kadar air (%) dan x adalah lama hari penyimpanan. Berdasarkan data yang diperoleh, dapat ditentukan umur simpan produk cookies hotong berdasarkan saat tercapainya kadar air kritis menurut persamaan linier perubahan kadar air, sehingga diperoleh umur simpan produk cookies hotong selama 63 hari atau 2.10 bulan atau 0.18 tahun. Berdasarkan SNI 01-2352-1991, batas nilai TBA produk agar dikatakan masih memiliki kualitas baik (nilai TBA kritis) adalah 3 mg malonaldehid/kg sampel. Hasil pengamatan perubahan nilai bilangan TBA selama penyimpanan menunjukkan bahwa selama penyimpanan, nilai bilangan TBA cookies hotong akan berubah mengikuti persamaan garis linier y = 0.0126x + 0.7384 dengan koefisien korelasi (R2) sebesar 0.9262, di mana y adalah nilai TBA (mg malonaldehid/kg sampel) dan x adalah lama hari penyimpanan. Berdasarkan data yang diperoleh, dapat ditentukan umur simpan
produk cookies hotong berdasarkan saat tercapainya nilai TBA 3 mg malonaldehid/kg sampel menurut persamaan linier perubahan nilai bilangan TBA, sehingga diperoleh umur simpan produk cookies hotong selama 179 hari atau 5.98 bulan atau 0.50 tahun. Pendugaan umur simpan produk cookies hotong berdasarkan perubahan
kadar
air
dan
perubahan
nilai
bilangan
TBA
menghasilkan nilai yang berbeda. Berdasarkan hasil pendugaan umur simpan produk cookies hotong menggunakan variabel perubahan nilai kerenyahan (berdasarkan perubahan kadar air) dan perubahan nilai TBA, diperoleh bahwa penurunan mutu (kerusakan) yang lebih cepat terjadi pada cookies hotong adalah nilai kerenyahan, sehingga nilai kerenyahan dapat dijadikan sebagai parameter utama batas akhir penentuan umur simpan produk cookies hotong.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Pembuatan cookies hotong dilakukan dengan penggunaan tepung hotong dengan campuran tepung pati sagu dengan komposisi tepung hotong mulai 50%, 65%, 80%, dan 100 % dari total tepung yang digunakan. Secara organoleptik, cookies hotong dapat diterima oleh panelis. Nilai penerimaan (kesukaan) panelis terhadap semua atribut cookies hotong berada di atas netral (4). Berdasarkan parameter warna, skor rata-rata kesukaan panelis terhadap warna cookies hotong berkisar antara 4.80-5.60 atau netral hingga agak suka. Berdasarkan parameter aroma, nilai rata-rata kesukaan panelis berkisar antara 5.20-5.87 atau agak suka. Berdasarkan parameter rasa, skor rata-rata kesukaan panelis terhadap rasa cookies hotong berkisar antara 4.606.23 atau netral hingga suka. Berdasarkan parameter tekstur, skor rata-rata kesukaan panelis terhadap tekstur cookies hotong berkisar antara 4.63-5.73 atau netral hingga agak suka. Secara keseluruhan (overall), tingkat kesukaaan berkisar antara 4.67-6.07 atau netral hingga suka. Penambahan pati sagu pada pembuatan cookies hotong dapat berpengaruh pada penerimaan panelis terhadap seluruh atribut pengujian dan meningkatkan skor rata-rata kesukaan panelis terhadap cookies hotong. Nilai penerimaan produk (ranking) cookies hotong secara berurutan dari yang tertinggi adalah A4 (tepung hotong : pati sagu = 50 : 50), A3 (tepung hotong : pati sagu = 65 : 35), A2 (tepung hotong : pati sagu = 80 : 20), dan A1 (tepung hotong : pati sagu = 100 : 0). Nilai penerimaan cookies hotong formula A3 dan A4 memiliki nilai penerimaan yang tidak berbeda nyata. Oleh karena itu, formula cookies yang dipilih sebagai hasil dari tahap formulasi ini adalah cookies hotong formula A3. Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa dalam 100 g cookies hotong terkandung 3.48% air, 1.25% (bb) atau 1.30% (bk) abu, 6.29% (bb) atau 6.52% (bk) protein, 20.99% (bb) atau 21.75% (bk) lemak, 2.24% (bb) atau 2.32% (bk) serat kasar, dan 67.98% (bb) atau 70.43% (bk) karbohidrat. Nilai
energi yang dihasilkan sebesar 486.39 kkal. Hasil analisis fisik menunjukkan nilai aktivitas air (aw) yang dimiliki cookies hotong adalah 0.327 dengan derajat pengembangan produk sebesar 132.32% dan nilai densitas kamba sebesar 0.485 g/ml. Hasil
analisis
selama
30
hari
penyimpanan
cookies
hotong
menunjukkan bahwa nilai kadar air dan bilangan TBA (Thiobarbituric Acid) dalam produk cookies hotong cenderung mengalami kenaikan selama penyimpanan. Sebaliknya, hasil analisis fisik menunjukkan nilai kerenyahan dan kekerasan cookies hotong cenderung mengalami penurunan selama penyimpanan. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa sampai dengan hari penyimpanan ke-25, panelis menilai cookies hotong tidak berbeda nyata dengan reference, sedangkan pada hari penyimpanan ke-30 cookies hotong dinilai berbeda dengan reference. Pendugaan umur simpan cookies hotong menggunakan pendekatan kadar air kritis termodifikasi membutuhkan beberapa variabel sebagai pendukung. Hasil penentuan kadar air kritis cookies hotong menunjukkan nilai rata-rata kadar air kritis cookies hotong adalah 4.75%. Hasil perhitungan menunjukkan umur simpan produk cookies hotong jika disimpan pada suhu ruang menggunakan kemasan HDPE adalah ±370 hari atau 12.35 bulan atau 1.03 tahun, kemasan PP ±71 hari atau 2.36 bulan atau 0.20 tahun, dan kemasan PET ±37 hari atau 1.23 bulan atau 0.10 tahun.
B. Saran Pengembangan pemanfaatan tepung hotong menjadi produk cookies hotong memiliki peluang yang cukup baik. Beberapa saran yang dapat disampaikan adalah: 1.
Perlu dilakukan perbaikan formula sehingga dapat meningkatkan nilai gizi produk cookies hotong. Jika hendak mengacu pada persyaratan mutu cookies pada SNI, maka perbaikan formula diarahkan pada peningkatan kadar protein cookies.
2.
Dapat dilakukan penambahan flavor dalam formula untuk mendapatkan aroma dan rasa yang bervariasi.
3.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kaitan antara perubahan ketengikan yang terjadi selama penyimpanan produk cookies hotong dengan umur simpan produk cookies hotong.
DAFTAR PUSTAKA [AACC] American Association of Cereal Chemist. 1983. American Association of Cereal Chemist Approved Methods Vol II. American Association of Cereal Chemist. Adawiyah, D.R.. 2002. Efek transisi gelas terhadap tekstur bahan pangan. Makalah Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. http://tumoutou.net/3_semi_012/dede_adawiyah.htm [4 Desember 2007]. Almatsier, S.. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia, Jakarta. Andarwulan, N.. 2003. Hasil Analisa Kandungan Gizi Biji Tanaman Hotong Buru (Setaria italica (L) Beauv.) [hasil analisis]. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anonim. 2006. Sagu, Potensial Perkaya Keragaman Pangan. http://www.bppt.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=6033 &Itemid=30 [4 Desember 2007]. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC. Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N.L., Yasni, S., Budijanto, S.. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arpah, M., Syarief, R.. 2000. Evaluasi Model-Model Pendugaan Umur Simpan Pangan dari Difusi Hukum Fick Undireksional. Buletin Teknologi dan Industri Pangan. 11(1): 11. Astawan, M.. 2007. Awas, Bencana dalam Makanan Kedaluwarsa. http://www.depkes.go.id/index.php?option=articles&task=viewarticle&artid= 190&Itemid=3 [4 Desember 2007]. Baker, R.D.. 2003. Millet Production. Cooperative Ekstension Service. College of Agriculture and Home Economic of New Mexico State University, USA. Brown, A.. 2000. Understanding Food: Principles and Preparation. Wadsworth Inc., Belmon. Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., Wootoon, M.. 1987. Ilmu Pangan. UI Press, Jakarta.
Cecil, J.E., Lau, G., Heng, S.H., Ku, C.K.. 1982. The Sago Starch Industry: A Technical Profile Based on A Prelimentary Study Made in Sarawak. Tropical Product Institut, Overseas Development Administration, London. Dassanayake, M.D.. 1994. A Revised Handbook of The Flora of Ceylon Vol. VIII. http://www.hear.org/pier/index.html [20 Februari 2007]. [Depkes] Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1991. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhatara Karya Aksara, Jakarta. [Deprin] Departemen Perindustrian RI. 1978. Mutu dan Cara Uji Biskuit (SII 0177-78). Departemen Perindustrian, Jakarta. Desrosier, N.W.. 1988. The Technology of Food Preservation 3rd Ed.. The AVI Publ. Co. Inc., Westport, Connecticut. [Dirjen POM] Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. 1994. Pedoman Pemeriksaan Produk Bakeri dan Biskuit. Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Djoefrie, M.H.B.. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu sebagai Penghasil Bahan Pangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri yang Potensial dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. [DSN] Dewan Standardisasi Nasional. 1991. Penentuan Angka Asam Tiobarbiturat (SNI 01-2352-1991). Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta. ----------------------------------------------------. 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit (SNI 01-2973-1992). Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta. Eliasson, A.C., Gudmundsson, M.. 2006. Starch: physicochemical and functional aspects. Di dalam: Eliasson, A.C. (Eds.). Carbohydrate in Food 2nd Ed.. CRC Press Taylor & Francis Group, Boca Raton. Ellis, M.J.. 1994. The Methodology of Shelf Life Determination. Di dalam: Man, C.M.D., Jones, A.A.. Shelf Life Evaluation of Foods. Blackie Academic and Proffesional, London. Fan, X.T.. 2002. Measurement of malonaldehyde in apple juice using GC-MS and a comparison to the thiobarbituric acid assay. Food Chemistry. 77(3): 353359. Fardiaz, D., Apriyantono, A., Yasni, S., Budijanto, S., Puspitasari, N.L.. 1986. Petunjuk Laboratorium Analisa Pangan. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Faridi, H. 1994. The Science of Cookie and Cracker Production. Chapman and Hall, New York, London.
Fellows, P.J.. 2000. Food Processing Technology, Principle and Practice 2nd Ed.. CRC Press, England. Flach, M.. 1983. The Sago Palm: Domestication Exploitation and Products. FAO, Rome. Gomez, M.H., Aguilera, J.M.. 1983. Changes in the starch fraction during extrusion cooking of corn. Journal of Food Science. 48(2): 378-381. Griffin, G.J.L.. 1977. Current Developments in Starch-Filled Plastics. Di dalam: Tan, K. (Eds.). Sago. Papers of The First International Sago Symposium. University of Malaya Press: Kuala Lumpur Indrasti, D.. 2004. Pemanfaatan tepung talas belitung (Xanthosoma sagittifolium) dalam pembuatan cookies [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Haryanto, B., Pangloli, P.. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius, Yogyakarta. Hasbullah, R., Koswara, S., Herodian, S.. 2003. Teknologi pengolahan hermada dalam rangka diversifikasi usaha tani hotong. Makalah Lokakarya Pengembangan Hotong – Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta; Jakarta, 6-7 Oktober 2003. Hodge, J.E., Osman, E.M.. 1976. Carbohydrates. Di dalam: Fennema, O.R. (Eds.). Food Chemistry. Marcel Dekker Inc., New York and Bassel. Kalabadi, K.. 2007. Modifikasi dan uji performansi mesin penyosoh biji buru hotong (Setaria italica (L) Beauv.) [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kamel, B.S. 1994. Creaming, emulsions, and emulsifiers. Di dalam: Faridi, H. (Eds.). The Science of Cookie and Cracker Production. Chapman and Hall, New York. Kaplon, A.. 1971. Element of Food Production and Baking. ITT Educational Services Inc., New York. Ketaren, S.. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta. Khalil. 1999. Pengaruh Kandungan Air dan Ukuran Partikel Terhadap Perubahan Perilaku Fisik Bahan Pakan Lokal: Kerapatan Tumpukan, Kerapatan Pemadatan, dan Berat Jenis. Jurnal Media Peternakan. 22(1): 1-11. Kharisun, A.. 2003. Uji performansi mesin perontok hotong pada berbagai ukuran puli [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Krishiworld (The Pulse of Indian Agriculture). 2005. Field Crops of Setaria italica (L) Beauv.. http://www.krishiworld.com/startsearch.asp [18 Februari 2007]. Kusnandar, F.. 2006. Disain percobaan dalam penentapan umur simpan produk pangan dengan metode ASLT (model arrhenius dan kadar air kritis). Modul Pelatihan Pendugaan dan Pengendalian Masa Kadaluarsa Bahan dan Produk Pangan; Bogor, 7-8 Agustus 2006. Labuza, T.P.. 1982. Shelf Life Dating of Foods. Food and Nutrition Press Inc., Westport, Conneticut. ----------------. 2002. Water Activity and Sorption Isotherm. IFT Short Course, Department of Food Science and Nutrition, University of Minnesota. Li, J.Y., Yeh, A.I.. 2001. Relationship between thermal, rheological characteristics, and swelling power for various starches. Journal of Food Engineering. 50: 141-148. Manley, D.J.R.. 1983. Technology of Biscuits, Crackers, and Cookies. Ellies Horwood Ltd. Publ., England. Matz, S.A.. 1972. Bakery Technology and Engineering 2nd Ed. The AVI Publ. Co. Inc., Westport, Connecticut. ------------. 1992. Bakery Technology and Engineering 3rd Ed. Pan-tech International Inc., Texas. Matz, S.A., Matz, T.D.. 1978. Cookies and Crackers Technology. The AVI Publ. Co. Inc., Westport, Connecticut. McClatchey, W., Manner, H.I., Elevitch, C.R.. 2004. Metroxylon amicarum, MM. paulcoxii, M. sagu, M. salomonense, MM. vitiense, and MM. warbugii (sago palm) Arecaceae (Palm Family): Species Profiles for Pasific Island Agroforestry . http://www.traditionaltree.org [30 November 2007]. Meilgaard, M., Civille, G.V., Carr, B.T.. 1999. Sensory Evaluation Techniques 3rd Ed.. CRC Press, Boca Raton. Muharam, S.. 1992. Studi Karakteristik Fisiko Kimia dan Fungsional Tepung Singkong (Menihot esculenta Crantz) dengan Modifikasi Pengukusan, Penyngraian, dan Penambahan GMS serta Aplikasinya dalam Pembuatan Roti Tawar [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Navarette, N., Moraga, G., Talens, P., Chiratlt, A.. 2004. Water sorption the effect plasticization in wafers. Journal Food Science and Technology. 39: 555-562.
Piazza L., Massi, P.. 1997. Development of crispiness in cooking during baking in an industrial oven. Cereal Chemistry. 74(2): 135-140. Piringer, O.G., Baner, A.L.. 2000. Plastic Packaging Materials for Food: Barrier Function, Mass Transport, Quality Assurance, and Legislation. Wiley-VCH, Weinheim. Pomeranz, Y.. 1991. Functional Properties of Food Components. Academic Press Inc., San Diego, California. Purnawati, E. 1999. Kestabilan sukrosa poliester asam lemak dan aplikasinya pada cookies [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rahman, A.M.. 2008. Mempelajari karakteristik kimia dan fisik tepung tapioka dan MOCAL sebagai penyalut kacang pada produk kacang salut [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Robertson, G.L.. 1993. Predicting the shelf life of packaged foods. Di dalam: Liang, O.B., Buchanan, A., Fardiaz, D. (Eds.). Development of Food Science Technology in Southeast Asia. IPB Press, Bogor Rosenthal, A.J.. 1999. Food Texture, Measurement, and Perception. An Aspen Publication, Maryland. Ruddle, K., Johnson, D., Townsend, P.K., Rees, J.D.. 1978. Palm Sago A Tropical Starch from Marginal Lands. An east-west center book, Honolulu. Setser, C.S.. 1995. Sensory evaluation. Di dalam: Kramel, B.S., Stauffer, C.E. (Eds.). Advances In Baking Technology. Blackie Academic and Professional, Glasgow. Singh, R.P.. 1995. Scientific principles of shelf life evaluation. Di dalam: Man, C.M.D., Jones, A.A.. Shelf Life Evaluation of Foods. Blackie Academicand Proffesional, London. Soebito, S.. 1988. Analisis Farmasi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Soekarto, S.T.. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Penerbit Bharata Karya Aksara, Jakarta. Soenaryo, E.. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Subarna, Adawiyah, D.R., Syamsir, E., Wulandari, N., Hariyadi, P., Kusnandar, F.. 2007. Penuntun Praktikum Teknik Pangan. Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sultan, W.J.. 1981. Practical Baking 3rd Ed. The AVI Publishing Company Inc., Westport, Connecticut. Sutanto. 2006. Uji performansi mesin penyosoh dan penepung biji buru hotong (Setaria italica (L) Beauv.) [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Swarbrick, J.T.. 1997. Weeds of the pasific islands. Technical Paper South Pasific Commision 209:124. http://www.hear.org/pier/index.html [20 Februari 2007]. Syarief, R., Halid, H.. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syarief, R., Santausa, S., Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi., Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tasman, A.. 1981. Mempelajari pembuatan biskuit dari campuran tepung sagu dan kedelai [skripsi]. Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. U. S. Wheat Associates. 1981. Pedoman Pembuatan Roti dan Kue. Djambatan, Jakarta. Terjemahan dari: Baker Hand Book and Practical Baking. Vail, G.E., Philips, J.A., Rust, L.O., Griswold, R.M., Justin, M.. 1978. Foods 7th Ed.. Houghton Mifflin Co., Boston. Whiteley, P.R.. 1971. Biscuit Manufacture. Applied Science Publ. Ltd., London. Winarno, F.G.. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta.
Lampiran 1 Form uji organoleptik formulasi Produk Tanggal
: Cookies Hotong : 05/09/07
Nama : No. Hp :
UJI HEDONIK RATING Instruksi : 1. Di hadapan Anda terdapat 4 contoh cookies hotong. Anda diminta untuk menilai atribut warna, aroma, rasa, tekstur, dan overall masing-masing contoh. 2. Lakukan penilaian terhadap contoh paling kiri terlebih dahulu sampai selesai, lalu pindahlah ke contoh di sebelah kanannya dan lakukan hal yang sama hingga contoh yang paling kanan. Netralkan indera pencicip Anda sebelum dan di antara penilaian contoh. 3. Penilaian dilakukan dengan menuliskan angka yang sesuai dengan tingkat kesukaan Anda terhadap contoh, yaitu: 1 = sangat tidak suka 4 = netral 7 = sangat suka 2 = tidak suka 5 = agak suka 3 = agak tidak suka 6 = suka 4. Jangan mengulang pengujian contoh. Kode Sampel Atribut 861 123 357 768 Warna Aroma Rasa Tekstur Overall Komentar : ___________________________________________________________________________
UJI HEDONIK RANGKING Instruksi : 1. Di hadapan Anda terdapat 4 contoh cookies hotong. Anda diminta untuk mengurutkan tingkat kesukaan Anda terhadap atribut overall masing-masing contoh. 2. Lakukan penilaian terhadap seluruh contoh. Netralkan indera pencicip Anda sebelum dan di antara penilaian contoh. 3. Penilaian dilakukan dengan menuliskan peringkat yang sesuai dengan tingkat kesukaan Anda terhadap contoh, dari peringkat 1 (contoh yang paling disukai) hingga peringkat 4 (contoh yang paling tidak disukai). Anda boleh mengulang pengujian contoh jika diperlukan.
861
Kode Sampel 123 357
768
Komentar : ___________________________________________________________________________ Terima kasih atas partisipasi Anda dalam penelitian ini.
Lampiran 2 Form uji organoleptik duo-trio Nama/No. Hp Produk
: : Cookies Hotong
Tanggal Uji : 10/12/07
UJI DUO-TRIO Instruksi: Di hadapan Anda terdapat contoh yang bertanda R dan dua contoh berkode. Sampel yang paling kiri (R) merupakan contoh acuan. Tentukan manakah dari kedua contoh berkode, yang SAMA dengan contoh acuan. Beri tanda checklist (√) pada kode contoh yang sama dengan contoh R. Kode contoh:
Contoh 256
Contoh 259
Komentar: ____________________________________________________________________________ ____________________________________________________________________________
ô Terima kasih atas partisipasi Anda dalam penelitian ini ô
Lampiran 3 Form uji rating penentuan kadar air kritis
UJI RATING Produk : Cookies hotong Instruksi : 1. Di hadapan Anda terdapat contoh cookies hotong. Anda diminta untuk menilai atribut kerenyahan dari contoh. 2. Penilaian dilakukan dengan memberikan tanda checklist (√) pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian Anda terhadap contoh. Pernyataan 1 = sangat tidak renyah 2 = tidak renyah 3 = agak tidak renyah 4 = netral 5 = agak renyah 6 = renyah 7 = sangat renyah Pertanyaan lanjutan: Apakah sampel masih dapat diterima? Ya / Tidak
Penilaian
Lampiran 4 Hasil penilaian organoleptik atribut warna
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Sampel A1 5 4 4 4 4 4 4 5 5 6 5 5 6 5 3 4 2 5 5 4 5 7 6 5 5 6 5 5 4 7
A2 6 6 4 6 5 7 6 5 5 5 5 6 6 5 6 5 5 6 6 6 6 6 5 5 4 6 5 6 4 6
Keterangan: A1 = tepung hotong : tepung sagu 100 : 0 (100%) A2 = tepung hotong : tepung sagu 80 : 20 (80%) A3 = tepung hotong : tepung sagu 65 : 35 (65%) A4 = tepung hotong : tepung sagu 50 : 50 (50%)
A3 5 5 5 6 5 6 6 6 5 5 6 6 7 6 5 5 4 6 6 6 6 5 5 5 4 6 5 6 4 6
A4 6 6 6 5 6 6 6 7 5 6 7 7 5 5 4 6 6 6 7 6 6 3 4 5 5 5 5 7 4 6
Lampiran 5 Hasil penilaian organoleptik atribut aroma
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Sampel A1 7 5 7 5 5 4 7 6 6 5 5 6 3 5 6 4 6 3 5 4 6 6 4 5 4 6 5 6 4 6
A2 7 6 4 5 5 5 7 6 5 6 5 6 5 6 7 3 6 5 6 6 7 6 4 7 5 6 6 6 5 6
Keterangan: A1 = tepung hotong : tepung sagu 100 : 0 (100%) A2 = tepung hotong : tepung sagu 80 : 20 (80%) A3 = tepung hotong : tepung sagu 65 : 35 (65%) A4 = tepung hotong : tepung sagu 50 : 50 (50%)
A3 6 5 7 6 6 6 7 6 6 5 6 6 7 4 7 4 5 4 7 6 6 3 5 6 6 6 5 6 6 6
A4 6 6 7 6 5 7 7 6 6 7 7 6 6 5 7 6 5 4 6 7 6 4 5 6 6 5 5 6 5 6
Lampiran 6 Hasil penilaian organoleptik atribut rasa
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Sampel A1 5 5 6 6 6 3 3 6 6 5 4 4 5 5 3 3 4 5 5 4 6 3 4 6 4 5 4 5 3 5
A2 5 5 7 6 5 6 5 6 6 6 4 5 7 6 4 5 6 5 5 6 7 6 4 7 6 5 7 6 5 5
Keterangan: A1 = tepung hotong : tepung sagu 100 : 0 (100%) A2 = tepung hotong : tepung sagu 80 : 20 (80%) A3 = tepung hotong : tepung sagu 65 : 35 (65%) A4 = tepung hotong : tepung sagu 50 : 50 (50%)
A3 6 6 7 7 6 5 6 6 6 5 6 5 7 5 5 4 5 5 7 7 7 5 5 6 5 6 5 7 6 6
A4 6 6 7 7 5 7 6 6 6 7 7 7 6 7 7 6 5 6 7 7 7 6 5 7 6 6 5 5 6 6
Lampiran 7 Hasil penilaian organoleptik atribut tekstur
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Sampel A1 6 4 2 5 6 2 4 5 5 5 6 5 4 4 5 4 5 4 7 5 6 3 3 6 4 6 4 5 4 5
A2 5 4 4 5 5 7 6 5 3 6 4 5 3 6 4 4 6 5 7 6 7 4 4 6 5 6 5 5 4 5
Keterangan: A1 = tepung hotong : tepung sagu 100 : 0 (100%) A2 = tepung hotong : tepung sagu 80 : 20 (80%) A3 = tepung hotong : tepung sagu 65 : 35 (65%) A4 = tepung hotong : tepung sagu 50 : 50 (50%)
A3 5 6 3 6 6 5 6 5 4 5 6 6 6 6 5 4 5 6 6 6 7 6 5 6 4 6 4 6 5 5
A4 6 6 5 7 4 6 6 5 5 6 7 6 5 7 6 5 6 6 5 7 7 7 5 5 5 6 5 6 5 5
Lampiran 8 Hasil penilaian organoleptik atribut keseluruhan (overall)
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Sampel A1 5 4 5 5 6 4 4 6 5 4 5 5 5 4 5 4 4 4 6 4 6 3 4 6 4 5 4 5 4 5
A2 5 4 4 6 5 6 5 6 4 6 5 5 5 5 5 4 5 6 6 6 7 5 4 7 6 6 6 6 5 5
Keterangan: A1 = tepung hotong : tepung sagu 100 : 0 (100%) A2 = tepung hotong : tepung sagu 80 : 20 (80%) A3 = tepung hotong : tepung sagu 65 : 35 (65%) A4 = tepung hotong : tepung sagu 50 : 50 (50%)
A3 5 6 6 7 6 4 6 6 4 5 6 6 7 6 6 4 5 6 7 6 7 6 5 6 5 6 5 6 6 6
A4 6 6 6 7 4 6 6 6 5 7 7 7 6 7 7 6 6 6 7 7 6 5 5 6 6 6 5 6 6 6
Lampiran 9 Hasil penilaian organoleptik uji rangking
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Sampel A1 3 3 3 4 4 4 4 2 2 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4
A2 4 4 4 3 3 2 3 4 4 2 4 3 3 3 3 2 3 3 3 3 1 3 4 1 1 2 1 2 3 3
Keterangan: A1 = tepung hotong : tepung sagu 100 : 0 (100%) A2 = tepung hotong : tepung sagu 80 : 20 (80%) A3 = tepung hotong : tepung sagu 65 : 35 (65%) A4 = tepung hotong : tepung sagu 50 : 50 (50%)
A3 1 1 2 2 2 3 2 3 3 3 2 2 1 2 2 3 2 2 2 2 2 1 1 2 3 1 3 1 1 1
A4 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 3 2 2 3 2 3 2 3 2 2
Lampiran 10 Hasil pengujian statistik atribut warna
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 3450.742a 36.575 11.492 56.258 3507.000
df 33 29 3 87 120
Mean Square 104.568 1.261 3.831 .647
F 161.708 1.950 5.924
a. R Squared = .984 (Adjusted R Squared = .978)
Post Hoc Tests SAMPEL Homogeneous Subsets SKOR Duncan
a,b
Subset SAMPEL A1 A3 A2 A4 Sig.
N
1 30 30 30 30
2 4.80
1.000
5.43 5.47 5.60 .454
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .647. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.
Sig. .000 .009 .001
Lampiran 11 Hasil pengujian statistik atribut aroma
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 3824.767a 54.300 7.267 57.233 3882.000
df 33 29 3 87 120
Mean Square 115.902 1.872 2.422 .658
F 176.182 2.846 3.682
a. R Squared = .985 (Adjusted R Squared = .980)
Post Hoc Tests SAMPEL Homogeneous Subsets SKOR Duncan
a,b
Subset SAMPEL A1 A2 A3 A4 Sig.
N
1 30 30 30 30
2 5.20
1.000
5.63 5.70 5.87 .299
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .658. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.
Sig. .000 .000 .015
Lampiran 12 Hasil pengujian statistik atribut rasa
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 3793.275a 42.842 43.025 49.725 3843.000
df 33 29 3 87 120
Mean Square 114.948 1.477 14.342 .572
F 201.115 2.585 25.093
a. R Squared = .987 (Adjusted R Squared = .982)
Post Hoc Tests SAMPEL Homogeneous Subsets SKOR Duncan
a,b
SAMPEL A1 A2 A3 A4 Sig.
N
Subset 2
1 30 30 30 30
3
4.60 5.60 5.80 1.000
.308
6.23 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .572. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.
Sig. .000 .000 .000
Lampiran 13 Hasil pengujian statistik atribut tekstur
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 3311.575a 57.342 19.825 61.425 3373.000
df 33 29 3 87 120
Mean Square 100.351 1.977 6.608 .706
F 142.133 2.801 9.360
a. R Squared = .982 (Adjusted R Squared = .975)
Post Hoc Tests SAMPEL Homogeneous Subsets SKOR Duncan
a,b
SAMPEL A1 A2 A3 A4 Sig.
N
Subset 2
1 30 30 30 30
4.63 5.03
.069
5.03 5.37 .128
3
5.37 5.73 .095
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .706. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.
Sig. .000 .000 .000
Lampiran 14 Hasil pengujian statistik atribut keseluruhan (overall)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 3631.633a 34.700 32.633 40.367 3672.000
df 33 29 3 87 120
Mean Square 110.049 1.197 10.878 .464
F 237.183 2.579 23.444
a. R Squared = .989 (Adjusted R Squared = .985)
Post Hoc Tests SAMPEL Homogeneous Subsets SKOR Duncan
a,b
SAMPEL A1 A2 A3 A4 Sig.
N
Subset 2
1 30 30 30 30
3
4.67 5.33
1.000
1.000
5.73 6.07 .061
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .464. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.
Sig. .000 .000 .000
Lampiran 15 Hasil pengujian statistik uji rangking
NPar Tests Friedman Test Ranks RANK_A1 RANK_A2 RANK_A3 RANK_A4
Mean Rank 3.70 2.80 1.93 1.57
Test Statisticsa N Chi-Square df Asymp. Sig.
30 49.000 3 .000
a. Friedman Test
Lampiran 15 (lanjutan) Hasil pengujian statistik uji rangking Panelis A1 A2 A3 1 3 4 1 2 3 4 1 3 3 4 2 4 4 3 2 5 4 3 2 6 4 2 3 7 4 3 2 8 2 4 3 9 2 4 3 10 4 2 3 11 3 4 2 12 4 3 2 13 4 3 1 14 4 3 2 15 4 3 2 16 4 2 3 17 4 3 2 18 4 3 2 19 4 3 2 20 4 3 2 21 4 1 2 22 4 3 1 23 3 4 1 24 4 1 2 25 4 1 3 26 4 2 1 27 4 1 3 28 4 2 1 29 4 3 1 30 4 3 1 Sum 111 84 58 Keterangan: A1 = tepung hotong : tepung sagu 100 : 0 (100%) A2 = tepung hotong : tepung sagu 80 : 20 (80%) A3 = tepung hotong : tepung sagu 65 : 35 (65%) A4 = tepung hotong : tepung sagu 50 : 50 (50%)
T>χ2
A4 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 3 2 2 3 2 3 2 3 2 2 47
p t
= =
30 4
a = pt(t+1) = 600 b = 12/a = 0.02 c = ΣR2 = 24950 d = bc = 499 e = 3p(t+1) = 450 Nilai T = 49 χ2 = 7.81
a = pt(t+1) = b = a/6 = c = √c = d = ttabel = e = 3p(t+1) = LSD Rank =
600 100 10 1.96 450 19.6
Ada perbedaan peringkat kesukaan di antara sampel pada taraf 5%
RA1-RA4 RA1-RA3 RA1-RA2 RA2-RA4 RA2-RA3 RA3-RA4
64 53 27 37 26 11
> LSD rank > LSD rank > LSD rank > LSD rank > LSD rank < LSD rank
A1 ≠ A4 A1 ≠ A3 A1 ≠ A2 A2 ≠ A4 A2 ≠ A3 A3 = A4
A1
A2
A3
A4
Lampiran 16 Hasil pengolahan data uji organoleptik duo-trio PROBABILITY OF X OR MORE CORRECT JUDGEMENTS (ONE TAILED) α = 0.05 n = 35 Hari ke-
x
P
Kesimpulan
H-5
10
0.997
>α
tidak berbeda
H-10
13
0.955
>α
tidak berbeda
H-15
13
0.955
>α
tidak berbeda
H-20
18
0.500
>α
tidak berbeda
H-25
21
0.155
>α
tidak berbeda
H-30
23
0.045
<α
berbeda
Keterangan: α : taraf kepercayaan n : jumlah panelis x : jumlah panelis yang menjawab benar
Lampiran 17 Tabel peluang binomial α = 0.05
n
x
Peluang
n
x
Peluang
35
1
1.0000
35
19
0.3679
35
2
1.0000
35
20
0.2498
35
3
1.0000
35
21
0.1553
35
4
1.0000
35
22
0.0877
35
5
1.0000
35
23
0.0448
35
6
1.0000
35
24
0.0205
35
7
0.9999
35
25
0.0083
35
8
0.9997
35
26
0.0030
35
9
0.9991
35
27
0.0009
35
10
0.9970
35
28
0.0003
35
11
0.9917
35
29
0.0001
35
12
0.9795
35
30
0.0000
35
13
0.9552
35
31
0.0000
35
14
0.9123
35
32
0.0000
35
15
0.8447
35
33
0.0000
35
16
0.7502
35
34
0.0000
35
17
0.6321
35
35
0.0000
35
18
0.5000
Keterangan: α : taraf kepercayaan n : jumlah panelis x : jumlah panelis yang menjawab benar
Lampiran 18 Tabel uap air (Labuza, 1982) Temp 0C … 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 …
0.0 … 23.756 25.209 26.739 28.349 30.043 31.824 33.694 35.663 37.729 39.898 42.175 44.563 47.067 49.692 52.442 55.324 …
0.2 … 24.039 25.509 27.055 28.680 30.392 32.191 34.082 36.068 38.155 40.344 42.644 45.054 47.582 50.231 53.009 55.910 …
0.4 … 24.326 25.812 27.374 29.015 30.745 32.561 34.471 36.477 38.584 40.796 43.117 45.549 48.102 50.774 53.580 56.510 …
0.6 … 24.617 26.117 27.696 29.354 31.102 32.934 34.869 36.891 39.018 41.251 43.595 46.050 48.627 51.323 54.156 57.110 …
0.8 … 24.912 26.426 28.021 29.697 31.461 33.312 35.261 37.308 39.457 41.710 44.078 46.556 49.157 51.879 54.737 57.720 …
Lampiran 19 Umur simpan cookies hotong Jenis Kemasan
Parameter
HDPE
PP
Satuan
PET
Kadar air awal (Mi)
3.48
%
Kadar air kritis (Mc)
4.75
%
Permeabilitas kemasan (k/x)
0.8563
4.4793
8.5634 g/m2.hari.mmHg
0.0562
m2
Berat solid per kemasan (Ws)
188.7931
g
∆P
13.4616
mmHg
Luas kemasan (A)
Umur Simpan
370
71
37
hari
12.35
2.36
1.23
bulan
1.03
0.20
0.10
tahun
Contoh perhitungan: Umur simpan cookies pada kemasan HDPE
t=
(Mc − Mi )Ws ⎛k⎞ ⎜ ⎟( A)ΔP ⎝ x⎠ (4.75 - 3.48) 188.7931 g
t=
(0.8563 g/m2.hari.mmHg) (0.0562 m2) (13.4616 mmHg)
= 370 hari