PENGARUH LUAS KANDANG DAN PEMBERIAN BEBERAPA LEVEL PROTEIN TERHADAP JUMLAH ERITROSIT, KADAR HEMOGLOBIN DAN NILAI HEMATOKRIT ITIK KAMANG BETINA FASE STARTER
SKRIPSI
Oleh
FAHLI REVSIANTO 1110611036
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2016
PENGARUH LUAS KANDANG DAN PEMBERIAN BEBERAPA LEVEL PROTEIN TERHADAP JUMLAH ERITROSIT, KADAR HEMOGLOBIN DAN NILAI HEMATOKRIT ITIK KAMANG BETINA FASE STARTER
SKRIPSI
Oleh
FAHLI REVSIANTO 1110611036
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG, 2016
PENGARUH LUAS KANDANG DAN PEMBERIAN BEBERAPA LEVEL PROTEIN TERHADAP JUMLAH ERITROSIT, KADAR HEMOGLOBIN DAN NILAI HEMATOKRIT ITIK KAMANG BETINA FASE STARTER Fahli Revsianto, dibawah bimbingan Prof.Dr.Ir.Hj. Husmaini, MP dan Dr.Ir. Sabrina, MP Program Studi Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang, 2016
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi antara luas kandang dengan pemberian beberapa level protein terhadap gambaran darah itik Kamang betina fase starter. Penelitian ini menggunakan 135 ekor itik betina umur 1 minggu dan kandang box berukuran (75 cm x 60 cm x 50 cm ) sebanyak 27 unit yang di sekat sesuai dengan luas kandang perlakuan. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial 3 x 3 dengan 3 kelompok bobot badan sebagai ulangan. Faktor A adalah luas kandang yaitu: 0,03 m2/ekor; 0,04 m2/ekor; 0,05 m2/ekor dan faktor B adalah pemberian protein 16%, 18%, 20%. Peubah yang diamati adalah jumlah eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi yang nyata (P>0,05) antara luas kandang dan level protein terhadap gambaran darah itik Kamang betina fase starter, sementara luas kandang dan level protein masingmasing berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap gambaran darah itik Kamang betin a fase starter. Luas kandang dan level protein terbaik untuk itik Kamang betina fase starter adalah 0,05 m2/ekor dan18%.
Kata Kunci : Eritrosit, Gambaran Darah, Hematokrit, Hemoglobin, Itik Kamang, Level Protein, Luas Kandang
KATA PENGANTAR Alhamdulillah
penulis
ucapkan kepada
Allah SWT
yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Luas Kandang Dan Pemberian Beberapa Level Protein Terhadap Jumlah Eritrosit, Kadar Hemoglobin dan Nilai Hematokrit Itik Kamang Betina Fase Starter”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi sarjana di Fakultas Peternakan Universitas Andalas. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua yang telah mendukung secara moril dan materil, tanpa adanya dukungan dari kalian tidak akan ada seorang “Fahli”. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hj. Husmaini, MP selaku Pembimbing I dan Dr.Ir. Sabrina, MP selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan dan saran yang sangat berguna dalam penulisan skripsi ini. Tak lupa kepada dosen Penguji dari seminar proposal, seminar hasil dan ujian sarjana yaitu Ir. Arif Rachmat, MS. Ir. H. Rijal Zein, MS. Lendrawati S.Pt, M.Sc. Dr. Ir. Tertia Delia Nova, MS. Rusdimansyah S.Pt, M.Si. Dino Eka Putra S.Pt, M.Sc Ucapan terima kasih juga penulis dampaikan kepada Dekan, Ketua Jurusan Peternakan, Ketua Bagian Program Studi Produksi Ternak, Kepala Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) serta seluruh dosen, Karyawan/ti Fakultas Peternakan Univeritas Andalas dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
i
Apabila terdapat kekurangan dalam hal penulisan ataupun isi skripsi, kritik dan saran sangat diharapkan agar maksud dan tujuan penulis tercapai. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan kita semua. Amin. Padang, 14 April 2016
Fahli Revsianto
ii
DAFTAR ISI ABSTRAK KATA PENGANTAR ...................................................................................
i
DAFTAR ISI ..................................................................................................
iii
DAFTAR TABEL .........................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
vi
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .........................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................
3
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................
3
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................
4
1.5 Hipotesis .....................................................................................................
4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Itik Kamang ...............................................................................................
5
2.2 Pemeliharaan Itik ......................................................................................
5
2.3 Luas Kandang ............................................................................................
6
2.4 Ransum itik ...............................................................................................
8
2.5 Protein .......................................................................................................
9
2.6 Gambaran Darah ........................................................................................
10
2.7 Eritrosit ......................................................................................................
11
iii
2.8 Hemoglobin ...........................................................................................
12
2.9 Hematokrit ............................................................................................
13
III. MATERI DAN METODA PENELITIAN 3.1 Materi Penelitian ........................................................................................
14
3.2 Metode Penelitian.......................................................................................
15
3.3 Parameter Penelitian ...................................................................................
18
3.4 Pelaksanaan Penelitian ...............................................................................
21
3.5 Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................................
22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Eritrosit .........................................
23
4.2 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Hemoglobin ....................................
26
4.3 Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Hematokrit .......................................
28
V. KESIMPULAN dan SARAN 5.1 Kesimpulan ................................................................................................
30
5.2 Saran ...........................................................................................................
30
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….
31
LAMPIRAN………………………………………………………. ...............
35
RIWAYAT HIDUP........................................................................................
49
iv
DAFTAR TABEL Tabel
Teks
Halaman
Tabel 1. Kebutuhan gizi itik fase starter umur 0 – 8 minggu ....................................
8
Tabel 2. Standar konsumsi Ransum Itik Berdasarkan Tingkat Umur .......................
9
Tabel 3. Kandungan Zat-Zat Bahan Makanan dan Energi Metabolisme Bahan Penyusun Ransum Penelitian .......................................................... 15 Tabel 4. Komposisi Bahan Penyusun dan Kandungan Zat Nutrisi serta Energi Metabolisme .................................................................................... 15 Tabel 5. Bagan Pengamatan untuk Setiap Perlakuan ................................................ 17 Tabel 6. Analisis Keragaman ..................................................................................... 17 Tabel 7. Rataan Jumlah Eritrosit yang Diberi Perlakuan Luas Kandang dan Level Protein Berbeda (juta/mm3) .............................................................. 23 Tabel 8. Rataan Kadar Hemoglobin yang Diberi Perlakuan Luas Kandang dan Level Protein Berbeda (gram/100 ml) .................................................... 26 Tabel 9. Rataan Nilai Hematokrit yang Diberi Perlakuan Luas Kandang dan Level Protein Berbeda (%) .................................................................... 28
v
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Teks
Halaman
Lampiran 1. Konsumsi Pakan Itik (gram/ekor/7 minggu). .....................................
35
Lampiran 2. Pertambahan Bobot Badan Itik (gram/ekor/7 minggu). .....................
37
Lampiran 3. Rataan Jumlah Eritrosit Darah Itik Kamang Betina Fase Starter. ......
38
Lampiran 4. Rataan Kadar Hemoglobin Darah Itik Kamang Betina Fase Starter. .
42
Lampiran 5. Rataan Nilai Hematokrit Darah Itik Kamang Betina Fase Starter......
46
vi
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk dan kualitas hidup masyarakat berbanding lurus dengan peningkatan kebutuhan akan protein hewani. Pemenuhan kebutuhan akan protein hewani dapat diperoleh dari berbagai jenis hewan ternak seperti itik. Menurut data Roadmap Pembibitan Lokal 2012, Direktorat Jendral Pembibitan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, kebutuhan daging itik terus meningkat dari tahun 2010-2014. Kebutuhan daging itik di Indonesia tahun 2014 sekitar 17,0 ribu ton. Sedangkan ketersediaan daging itik di Indonesia tahun 2014 hanya 12,2 ribu ton. Sehingga Indonesia masih kekurangan daging itik di Indonesia sekitar 4,8 ribu ton. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan mengembangkan dan memanfaatkan potensi sumber daya ternak lokal yang terdapat di Indonesia salah satunya adalah jenis itik yang terdapat didaerah Kamang Magek Bukittinggi Provinsi Sumatra Barat. Itik Kamang memiliki ciri khusus ada garis melengkung putih diatas mata putih. Warna bulu cenderung coklat tua, dengan warna paruh kehitaman (Mito dan Johan, 2011). Berdasarkan hasil penelitian Arsih (2013) itik Kamang betina memiliki warna bulu kepala lebih didominasi berwarna coklat tua putih (73,33%), warna bulu leher didominasi warna coklat muda (66,67%), warna bulu dada didominasi warna coklat muda (48,89%), warna bulu sayap didomninasi warna coklat muda coklat tua (70%). Warna bulu
punggung
didominasi warna coklat tipis coklat muda (71,11%). Warna bulu paha didominasi warna coklat tipis (40%) dan warna bulu ekor didominasi warna coklat muda (41,11%). 1
Pada pemeliharaan ternak itik, umumnya peternak belum memperhatikan luas kandang padahal tingkat satuan luas kandang berhubungan dengan pertumbuhan itik karena adanya persaingan dalam mengambil pakan yang pada akhirnya dapat menentukan konsumsi pakan, pertambahan bobot badan konversi pakan dan kualitas darah itik. Setiap varietas itik mempunyai tingkat satuan luas kandang yang berbeda dalam pemeliharaannya. Kandang yang terlalu sempit dapat mengakibatkan peningkatkan akumulasi zat karbondioksida serta penurunan kadar oksigen di dalam kandang yang dapat menyebabkan pertumbuhan yang lambat serta itik rentan terhadap penyakit hingga dapat mengakibatkan kematian pada anak itik (Pinky, 2012). Satuan luas kandang juga memberikan pengaruh terhadap gambaran darah itik karena
akan mempengaruhi proses fisiologis dalam tubuh itik. Hasil
penelitian Effendi (2009) menjelaskan bahwa darah itik Bayang menunjukkan jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin darah itik Bayang fase starter pada luas kandang 0,48 m2/ekor masing- masing 2,46 juta/mm2, 31,28% dan 16,56 g/100 ml darah nyata lebih tinggi dari jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin pada luas kandang 0,08 m2/ekor masing – masing 2,33 juta/mm2, 27,4% dan 15,81 g/100 ml darah (Effendi, 2009). Luas kandang sangat erat kaitannya dengan kebutuhan protein dalam ransum itik, karena luas kandang adalah salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi protein dalam ransum. Jika luas kandang kecil maka ransum yang dikonsumsi akan sedikit sehingga protein yang terkonsumsi sedikit begitu juga sebaliknya.
2
Nutrien yang berperan besar dalam pertumbuhan organ dan produksi adalah protein (Sudaryani dan Santoso, 1994). Pemberian protein adalah cara yang terbaik dilakukan agar produktifitasnya meningkat. Pemberian protein dalam ransum untuk itik lokal belum diketahui secara pasti, hanya berdasarkan pada kebiasaan dan keinginan peternak saja. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya pemberian pakan dengan kandungan protein yang meningkat dengan level protein 13%, 15%, 17%, 19% dan 21% akan meningkatkan kadar total protein plasma (Utari et al, 2013). Status nutrisi memberikan pengaruh terhadap gambaran darah. Hal ini sesuai dengan penjelasan Swenson (1997) bahwa jumlah eritrosit dipengaruhi oleh status nutrisi, volume darah, spesies dan ketinggian tempat. Menurut Whittow (2000) nilai hematokrit juga dipengaruhi oleh status nutrisi, umur, dan jenis kelamin. Berbeda dengan eritrosit dan hematokrit, kadar hemoglobin dalam darah tidak dipengaruhi oleh status nutrisi (Arifin, 1989). Dari uraian tersebut penulis tertarik dengan penelitian tentang” Pengaruh Luas Kandang dan Pemberian Beberapa Level Protein terhadap Jumlah Eritrosit, Kadar Hemoglobin dan Nilai Hematokrit Itik Kamang Betina fase Starter. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimanakah pengaruh luas kandang dan pemberian beberapa level protein terhadap gambaran darah itik Kamang betina fase starter?
3
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi luas kandang tertentu dan pemberian beberapa level protein terhadap gambaran darah itk Kamang betina fase starter. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil yang diperoleh dari penelitian digunakan sebagai informasi tentang luas kandang dan level protein ransum itik periode strater yang tepat berkaitan dengan gambaran darah itik Kamang betina fase starter. 1.5 Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah luas kandang dan pemberian beberapa level protein berpengaruh terhadap gambaran darah itik Kamang betina fase starter.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Itik Kamang Menurut Mito dan Johan (2011) itik Kamang berasal dari Kamang Magek Bukittinggi. Itik Kamang memiliki ciri khusus ada garis melengkung putih diatas mata putih. Warna bulu cenderung coklat tua, dengan warna paruh kehitaman. Berdasarkan hasil penelitian Arsih (2013) itik Kamang betina memiliki warna bulu kepala lebih didominasi berwarna coklat tua putih (73,33%), warna bulu leher didominasi warna coklat muda (66,67%), warna bulu dada didominasi warna coklat muda (48,89%), warna bulu sayap didominasi warna coklat muda, coklat tua (70%). Warna bulu punggung didominasi warna coklat tipis coklat muda (71,11%). Warna bulu paha didominasi warna coklat tipis (40%) dan warna bulu ekor didominasi warna coklat muda (41,11%). 2.2 Pemeliharaan Itik Rasyaf (2004) menyatakan sistem pemeliharaan itik terdiri dari sistem ektensif, semi intensif dan intensif. Sistem ekstensif merupakan pemeliharaan yang tidak ada campur tangan manusia sebagai pemiliknya karena dilepas begitu saja dan itik akan datang dengan sendirinya pada sore harinya, sementara semi intensif ada sebahagian campur tangan pemeliharaan. Sistem intensif adalah campur tangan manusia sangat berperan dalam kehidupan ternak, cara ini memerlukan modal tambahan tetapi jauh lebih memuaskan dari pemeliharaan lain. Menurut Cahyono (2005)
pemeliharaan intensif mempunyai beberapa
keuntungan antara lain, produksi meningkat secara optimal karena pengadaan energi tidak terbuang untuk mencari makan, pertumbuhan lebih baik karena makannya terkontrol, menjamin kesehatan itik karena setiap hari diawasi dan
5
mempermudah pemeliharaan terutama dalam kegiatan pemberian pakan, minum dan pengawasan terhadap itik yang sakit. Berdasarkan penelitian Rahim et.al (2009) bahwa tidak terdapat perbedaan hematologi (jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin) pada itik Bayang yang dipelihara secara intensif maupun ekstensif dengan luas kandang yang sama, karena pada pemeliharaannya itik tidak berada pada kondisi stres. 2.3 Luas Kandang Permasalahan dari pemeliharaan itik secara intensif yang perlu diperhatikan adalah masalah tatalaksana (Margawati, 1985). Diantaranya penempatan itik dalam satuan luas kandang. Semakin kecil tingkat satuan luas kandang akan mengakibatkan pertumbuhan terhambat dan tingkat satuan luas kandang yang terlalu besar
mengakibatkan tidak efisien dalam pemakaian
kandang. Soesantoso (2002) menyatakan bahwa kepadatan kandang yang tinggi atau rendah akan memberikan respon yang kurang baik pada pertumbuhan atau segi ekonomisnya. Menurut Atmoko (1988) kandang yang terlalu padat akan mengganggu performa ternak, sebaliknya jika kepadatan kandang rendah secara ekonomis akan merugikan. Jumlah yang terlalu banyak tiap petak kandang akan menyebabkan mudah timbulnya gangguan diantara ternak itu sendiri (Srigandono, 1996). Luas lantai kandang hendaknya disesuaikan dengan jumlah dan umur itik yang akan dipelihara (Suharno,2006). Djanah (1985) menyatakan bahwa carry capacity kandang tiap 1 m2 luas lantai dapat menampung 12 ekor itik. Samosir (1993) menyatakan bahwa luas lantai kandang yang dibutuhkan itik sangat bervariasi tergantung dari umur itik,
6
luas kandang itik umur 2-3 minggu 0,07 m2/ekor, umur 3-4 minggu 0,09 m2/ekor, umur 4-5 minggu 0,11 m2/ekor dan umur 6-8 minggu 0,15 m2/ekor. Ukuran luas lantai kandang 100-150 m2 dapat menampung 650 ekor itik yang berumur 1-2 bulan. Rasyaf (1995) menyatakan jika memadatkan jumlah ternak unggas persatuan luas melebihi dari yang dianjurkan akan menyebabkan konsumsi makanan menjadi menurun, pertumbuhan terlambat, feed efisiensi berkurang, meningkatkan persentase kematian, kanibalisme dan menambah kebutuhan udara segar untuk mengusir udara kotor dari kandang. Tingkat konsumsi makanan akan dipengaruhi oleh luas kandang. Semakin kecil tingkat stuan luas kandang maka pertambahan bobot badan cenderung berkurang, sebailknya pada tingkat luasan kandang yang besar pertambahan berat badan semakin meningkat (Tami, 1988). Menurut Murtidjo (dalam Ali, 2009) kepadatan kandang yang melebihi kebutuhan optimal dapat menurunkan konsumsi ransum yang menyebabkan terlambatnya pertumbuhan ternak dan berkurangnya berat badan ternak. Berdasarkan penelitian Ali (2009) itik pada luas kandang 0,5 m2 untuk 7 ekor tidak dapat memanfaatkan ransum dengan baik. Hal ini disebabkan karena suhu di dalam kandang menjadi tinggi karena terlalu padat, sehingga tubuh itik menjadi panas dan akan menyebabkan itik banyak minum air untuk menurunkan suhu tubuhnya. Itik yang dipelihara dengan luas kandang yang tidak sesuai akan menyebabkan cekaman dan stress, perebutan dalam mengkonsumsi ransum, pertambahan bobot badan lebih rendah, dan meningkatnya konsumsi air minum. Menurut penemuan Harlova dalam Rahim et. al (2009) menyatakan bahwa
7
cekaman panas dapat menurunkan jumlah eritrosit, leukosit, konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit darah ayam broiler berumur satu minggu. 2.4 Ransum Itik Menurut Wahju (1997) bahan makanan untuk ransum itik tidak berbeda dengan ransum ayam . Bahan pakan yang dipergunakan dalam menyusun ransum pada itik belum ada aturan bakunya, yang terpenting ransum yang diberikan kandungan nutriennya dalam ransum sesuai dengan kebutuhan itik. Rasyaf (1995) menyatakan bahwa ransum dasar dianggap telah memenuhi standar kebutuhan ternak apabila cukup energi, protein, serta imbangan asam- amino yang tepat. Ransum adalah bahan pakan yang telah diramu dan biasanya terdiri dari berbagai jenis bahan dengan komposisi tertentu. Ransum itik umumnya terbuat dari bahan nabati dan hewani (Sudaro dan Siriwa, 2000). Menurut NRC (1994) bahwa itik periode starter dan grower mempunyai kebutuhan 20% dan 16% dengan energi metabolis 2800% kkal/kg, sedangkan kalsium dan fosfor adalah 0,85% dan 0,40%. Tinggi rendahnya kualitas ransum tergantung pada tinggi rendahnya kadar protein dari ransum tersebut. Tabel 1. Kebutuhan gizi itik fase starter umur 0 – 8 minggu No
Gizi
1 Protein Kasar (%) 2 Energi Metabolisme (Kkal/kg) 3 Kalsium (%) 4 Fosfor (%) 5 Lemak (%) 6 Serat Kasar (%) Sumber: NRC (1994)
Fase Starter umur ( 0-8 mingu)
16-22 2800 0,6-1 0,6 7 5
Standar kebutuhan gizi itik umur 0-8 minggu dalam penyusunan ransum Wakhid (2010) membutuhkan kandungan protein sebesar 18%, energi
8
metabolisme (ME) 2.900 Kkal/kg, Kalsium (Ca) 0,65-1%, Fosfor (P) 0,63% dalam ransum. Tabel 2. Standar konsumsi Ransum Itik Berdasarkan Tingkat Umur No Umur itik (minggu) Kebutuhan ransum (gram) 1 0-1 20 2 1-4 40 3 4-6 120 4 6-30 160 Sumber: Wakhid,(2010) 2.5 Protein Winarno (1984) menyatakan bahwa protein adalah suatu zat yang sangat penting dalam tubuh karena zat ini disamping berfungsi sebagai zat pembakar. Fungsi utama protein bagi tubuh adalah untuk membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada, perotein akan digunakan sebagai bahan bakar apabila energi tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Protein yang terutama dibutuhkan oleh itik untuk pembentukan telur adalah protein hewani. Menurut Anggorodi (1985) protein adalah unsur pokok alat-alat tubuh dan jaringan lunak tubuh ternak unggas. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan protein pada ternak unggas antara lain umur, laju pertumbuhan, reproduksi, iklim, tingkat energi, penyakit dan bangsa ternak. Srigandono (1986) membagi secara garis besar kebutuhan protein untuk itik menjadi 2 bagian yaitu untuk itik muda yang sedang tumbuh dan untuk dewasa yang berproduksi. Oleh sebab itu, protein harus ada dalam ransum baik untuk kelangsungan hidup maupun untuk produksi. Djanah (1985) menyatakan bahwa kadar protein dalam pakan itik fase starter 22,1% dengan energi termetabolisme 3000 kkal dan pada fase grower kadar protein 17,9% dengan energi termetabolisme sebesar 2800 kkal (Supardjata dalam Samosir, 1993).
9
Srigandono (1996) juga menjelaskan bahwa itik periode starter membutuhkan pakan dengan kadar protein antara 20-22% dan energi termetabolisme
3000
kkal/kg, sementara pada periode finisher, kadar protein tersebut turun menjadi antara 16–17% dan energi metabolisme berkisar antara 2800 kkal/kg. Seperti halnya karbohidrat dan lipida, protein mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen, tetapi protein juga mengandung nitrogen. Hampir lima puluh persen dari berat kering suatu sel hewan adalah protein. Penyusun struktur sel-sel, antibodi-antibodi dan banyak hormon adalah protein. Melekul protein adalah sebuah polimer dari asam-asam amino yang digabungkan dengan ikatan peptide-peptide. Asam-asam amino adalah unit dasar dari struktur protein Ditambahkan juga oleh Bharoto (2001) bahwa protein berguna untuk menggantikan sel-sel tubuh yang telah rusak, untuk pertumbuhan dan juga merupakan unsur pembentukan telur. Itik yang dipelihara biasanya untuk dua tujuan, yaitu untuk diambil dagingnya dan untuk diambil telurnya (Sudaro & Siriwa, 2000). Adapun akibat kelebihan protein adalah mengakibatkan penurunan pertumbuhan yang ringan, penurunan penimbunan lemak tubuh. Tanda-tanda defisiensi protein atau asam amino esensial yaitu defisiensi ringan mengakibatkan pertumbuhan menurun sesuai dengan derajat defisiensinya. Defisiensi protein yang hebat atau defisiensi sebuah asam amino tunggal menyebabkan segera berhentinya pertumbuhan dan kehilangan pertumbuhan ratarata sebesar 6-7% dari berat badan per hari. 2.6 Gambaran Darah Darah terdiri dari sel-sel yang terendam dalam cairan yang disebut plasma (Frandson, 1996). Darah memiliki banyak fungsi dalam tubuh makhluk hidup.
10
Menurut Arifin et al. (1984) menjabarkan bahwa fungsi darah yaitu sebagai media transport, membawa zat-zat makan dari tempat penyerapan kejaringan-jaringan yang membutuhkan. Membawa sisa-sisa metabolisme dari sel-sel ketempat pembuangan. Membawa oksigen dari paru-paru kejaringan dan membawa sisa gas hasil pembakaran (CO2) dari jaringan keparu-paru. Membawa sekresi glandula endokrin dari tempat asalnya ketempat targetya. Berdasarkan laporan Guyton dan Hall (2001) bahwa terdapat persamaan dan perbedaan antara darah unggas dan darah mamalia. Perbedaannya terdapat pada eritrosit unggas berinti dan dalam pembekuan darah sel disatukan oleh keping-keping trombosit tetapi inti trombosit yang tertutup tampak seperti eritosit. Jika tubuh mengalami perubahan fisiologis maka gambaran darah juga akan mengalami perubahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi gambaran darah yaitu faktor internal seperti pertambahan umur, status gizi, kesehatan, stres dan suhu tubuh serta faktor eksternal seperti infeksi kuman dan perubahan suhu lingkungan. 2.7 Eritrosit Swenson (1997) menyebutkan bahwa eritrosit mengandung hemoglobin dan berfungsi sebagai transpor oksigen. Eritrosit berbentuk bikonkaf dengan lingkaran tepi tipis dan tebal ditengah, eritrosit kehilangan intinya sebelum masuk sirkulasi. Pembentukan sel darah merah (erithropoiesis) terjadi di sumsum tulang panjang. Pada fetus eritrosit dibentuk juga di dalam hati dan limpa. Erithropoiesis merupakan suatu proses yang kontinu dan sebanding dengan tingkat pengrusakan sel darah merah. Menurut Arifin (1989) sel darah merah dari unggas berbentuk lonjong dan mempunyai inti, tidak seperti sel darah merah mamalia pada umumnya. Sel darah
11
merah unggas berukuran agak besar dibandingkan dengan hewan ternak yang lainnya. Jumlah eritrosit menurut Sturkie (1976) dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan hormon. Swenson (1997) juga menyebutkan jika jumlah eritrosit juga dipengaruhi oleh status nutrisi, volume darah, spesies dan ketinggian. Selain mempengaruhi jumlah eritrosit juga mempengaruhi kadar hemoglobin, nilai hematokrit, dan konsentrasi kandungan darah lainnya. Jumlah eritrosit itik lokal India 2,92x106 per mm3, itik Peking 2,71x106 per mm3 dan ternak itik betina 2,0x106 per mm3 (Sturkie, 1976). Berdasarkan hasil penelitian Effendi (2009) terdapat perbedaan jumlah eritrosit pada darah itik Bayang yang dipelihara dengan luas kandang 0,48 m2/ ekor dibandingkan dengan luas kandang 0,08 m2/ekor yaitu 2,46 juta/mm3 dan 2,33 juta/mm3. 2.8 Hemoglobin Menurut Srigandono (1996) hemoglobin merupakan senyawa organik yang mengandung ferrum (zat besi) dan yang memberi warna merah pada eritrosit dalam darah. Kadar hemoglobin itik adalah 15,5 gram/100 ml, kadar hemoglobin dalam darah dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, kondisi hewan, cuaca, tekanan udara dn penyakit (Whittow, 2000). Hormon kelamin juga mempengaruhi kadar hemoglobin, ini disebabkan karena androgen dapat meninggikan level hemoglobin pada ayam yang dikebiri mendekati ayam jantan yang normal. Ganong (2002) menyebutkan jika hemoglobin merupakan pigmen merah yang membawa oksigen dalam darah, yaitu suatu protein yang mempunyai berat molekul 64,450. Jumlah hemoglobin dalam beberapa literatur sangat bervariasi, variasi ini timbul karena perbedaan metode pengamatannya. Tiap eritrosit mengandung 400 juta hemoglobin (Schalm et al., 1975). Level hemoglobin pada
12
itik Peking jantan dewasa adalah 14,2 gram/100 ml dan 12,7 gram/100 ml pada betina (metode Sahli), pada itik lokal India dewasa pada jantan 13,3gram/100 ml dan 12,7 gram/100 ml pada yang betina (metode Wong atau iron). Berdasarkan hasil penelitian Effendi (2009) terdapat perbedaan kadar hemoglobin pada darah itik Bayang yang dipelihara dengan luas kandang 0,48 m2/ ekor dibandingkan dengan luas kandang 0,08 m2/ekor yaitu 16,56 gr/100ml darah dan 15,81 gr/100ml darah. 2.9 Hematokrit Nilai hematokrit adalah suatu istilah yang artinya persentase (berdasarkan volume) dari darah yag terdiri dari sel-sel darah merah (Frandson, 1996). Rataan hematokrit normal pada unggas adalah 30-33% berdasarkan laporan Swenson (1997). Sel darah sebagian besar terdiri dari eritrosit dan sedikit leukosit. Hubungan volume sel dengan plasma dapat diketahui dengan menggunakan hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV). Swenson (1997) menyatakan bahwa nilai hematokrit berhubungan dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin pada hewan normal. Nilai hematokrit untuk itik lokal India dewasa jantan 40,7%, betina tidak bertelur 38,1%, sedang itik peking dewasa jantan 46,7% dan betina 44,2%. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah sel darah merah dan ukuran sel darah merah juga ikut mempengaruhi nilai hematokrit (Sturkie, 1976). Berdasarkan hasil penelitian Effendi (2009) terdapat perbedaan nilai hematokrit pada darah itik Bayang yang dipelihara dengan luas kandang 0,48 m 2/ ekor dibandingkan dengan luas kandang 0,08 m2/ekor yaitu 31,28% dan 27,49%.
13
III. MATERI DAN METODA PENELITIAN 3.1 Materi Penelitian 3.1.1 Ternak Percobaan Ternak itik yang digunakan adalah itik Kamang betina umur 1 minggu sebnayak 135 ekor. 3.1.2 Kandang dan Peralatan Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang boks berlantai kawat, luas kandang untuk A1 (0,03 m2/ekor = 38 cm x 60 cm), A2 (0,04 m2 ekor = 48 cm x 60 cm) dan A3 (0,05 m2/ekor = 54,5 cm x 60 cm), dengan total keseluruhan 27 boks dan setiap boks ditempati 5 ekor itik. Alat yang dibutuhkan adalah timbangan digital (CHQ) kapasitas 2 kg . Setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat minum yang diletakkan langsung di dalam boks, sumber panas yang digunakan adalah lampu pijar 65 watt / boks. 3.1.3 Ransum Ransum yang digunakan dalam penelitian ini ,terdiri dari jagung, dedak halus, bungkil kedele, tepung ikan dan top mix. Kandungan zat – zat makanan dan energi metabolis bahan penyusun ransum pada Tabel 3 dan komposisi bahan pakan penyusun dengan zat nutrisi serta energi metabolisme pada Tabel 4.
14
Tabel 3. Kandungan Zat-zat Bahan Makanan dan Energi Metabolisme Bahan Penyusun Ransum Penelitian Bahan Makanan PK (%) LK (%) SK (%) Ca (%) P (%) ME (kkal/kg) Jagung* 8,28 2,9 2,66 0,37 0,19 3300 Dedak* 12,9 4,09 16,15 0,69 0,26 1640 Tepung Ikan** 38,00a 1,52 2,8 5,5 2,88 3080 Bungkil kedelai 45 2,49 7,5 0,63 0,32 2240 Top Mix** 5,38 1,14 Minyak Kelapa*** 100 8600 Sumber : * Nuraini et,al (2013) ** Batubara (2012) *** Scott et,al (1982) Tabel 4. Komposisi Bahan Penyusun dan Kandungan Zat Nutrisi serta Energi Metabolisme Bahan Makanan P1 P2 P3 Jagung 54 52 48 Dedak 19 15 15 Tepung Ikan 14 14 15 Bungkil Kedele 9 15 19 Top Mix 2 2 1 Minyak Kelapa 2 2 1 Total 100 100 100 Protein (%) 16,29 18,31 20,16 Lemak (%) 5,14 5,07 5,09 Serat Kasar (%) 7,44 7,19 7,55 Ca (%) 1,27 1,28 1,28 P (%) 0,61 0,61 0,63 ME (kkal/kg) 2898,4 2901,2 2889,6 Disusun berdasarkan tabel 3 3.2 Metode Penelitian 3.2.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metoda Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan pola faktorial 3x3 dengan 3 kelompok sebagai ulangan. Perlakuan faktor A adalah luas kandang dan faktor B adalah protein. Faktor A : A1: Luas kandang 0,03 m2/ekor A2: Luas kandang 0,04 m2/ekor 15
A3: Luas kandang 0,05 m2/ekor Faktor B : B1 = Pemberian protein 16 % B2 = Pemberian protein 18 % B3 = Pemberian protein 20% Model matematika rancangan percobaan yang digunakan mengacu pada Steel dan Torrie (1996) sebagai berikut : Yijk = µ + αi + βj +ρk + (αβ)ij + ∑ijk dimana : Yij = Respon yang didapat dari pengaruh perlakuan antara ke-i dan antara f ke-j serta ulangan ke-k µ
= Nilai tengah umum
i
= Luas kandang
j
= Pemberian protein (16%,18% dan 20%)
αi
= Pengaruh perlakuan pengamatan ke i (luas kandang)
βj
= Pengaruh perlakuan kedua taraf ke j (pemberian protein )
ρk
= Pengaruh akibat kelompok
(αβ)ij = Pengaruh interaksi antara taraf ke-i faktor A dengan taraf ke-j faktor B ∑ij
= Pengaruh sisa dari unit percobaan
K
= Ulangan 1, 2, 3
16
Tabel 5. Bagan Pengamatan untuk Setiap Perlakuan Luas Kandang
Level Protein B1 B2 B3 B1 B2 B3 B1 B2 B3
K1
K2
K3 Jumlah Rata – rata
Ulangan – Ulangan 1 A1B1 1 A1B2 1 A1B3 1 A2B1 1 A2B2 1 A2B3 1 A3B1 1 A3B2 1 A3B3 1 ∑Y1 Ῡ1
2 A1B1 2 A1B2 2 A1B3 2 A2B1 2 A2B2 2 A2B3 2 A3B1 2 A3B2 2 A3B3 2 ∑Y2 Ῡ2
3 A1B1 3 A1B2 3 A1B3 3 A2B1 3 A2B1 3 A2B3 3 A3B1 3 A3B2 3 A3B 3 ∑Y3 Ῡ3
Jumlah
Rata - Rata
∑Y1A1 ∑Y2A1 ∑Y3A1 ∑Y1A2 ∑Y2A2 ∑Y3A2 ∑Y1A3 ∑Y2A3 ∑Y3KA3 ∑YK Ῡ
Ῡ1A1 Ῡ2A1 Ῡ3A1 Y3A2 Ῡ2A2 Ῡ3A2 Ῡ1A3 Ῡ2A3 Ῡ3A3 ∑ Ῡ ∑ Ῡ
Jika perlakuan menunjukkan hasil berpengaruh nyata (F hitung > F tabel 0.05), dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) berdasarkan Steel and Torrie (1996) Tabel 6. Analisis Keragaman SK
Db
JK
KT
Fhit
Kelompok Faktor A Faktor B Faktor AB Sisa Total
k-1 a-1 b-1 (a-1) (b-1) (9-1) (k-1) tk-1
JKK JKA JKB JKAB JKS JKT
KTK KTA KTB KTAB KTS
KTK/KTS KTA/KTS KTB/KTS KTAB/KTS
Ftabel 0.05 0.01
Jika : F hitung > F tabel 5 % berarti berbeda nyata (P < 0.05) F hitung > F tabel 1 % berarti berbeda sangat nyata (P < 0.01) F hitung < F tabel 5 % berarti berbeda tidak nyata (P > 0.05) Keterangan : FK = Faktor Koreksi = (ΣX)2/r2 17
JKT
=
Jumlah Kuadrat Tengah = ΣXij2 – FK
JKP
=
Jumlah Kuadrat Perlakuan = ΣXk2/r – FK
JKA
=
Jumlah Kuadrat A = (ΣXi.2/r)– FK
JKB
=
Jumlah Kuadrat B = (ΣX.j2/r) – FK
JKAB
=
Jumlah Kuadrat AB = JKP – JKA – JKB
JKS
=
Jumlah Kuadrat Sisa = JKT – JKP
3.3 Parameter Penelitian 3.3.1 Variabel yang diukur Variabel yang diukur pada penelitian ini meliputi eritrosit, hemoglobin dan hematokrit darah itik yang diambil setelah berumur 8 minggu. Darah itik diambil pada bagian vena axilaris dengan menggunakan spuit 3 cc. Setelah diambil, masukkan darah kedalam tabung EDTA (Ethylene Diamine Tetracetic Acid), kemudian masukkan kedalam kotak yang telah berisi es. Darah selanjutnya di bawa kelaboratorium Fisiologi Ternak untuk menghitung jumlah
eritrosit, kadar
hemoglobin dan nilai hematokrit.
1. Jumlah Eritrosit Alat dan Bahan : - Seperangkat alat haemocytometer - Pipet penghisap - Mikroskop - Kamar hitung - Darah - Larutan Hayem Cara Kerja :
18
1. Hisaplah darah pada tabung EDTA sampai kepada garis tanda 0,5 tepat. Hapus kelebihan darah yang melekat pada ujung pipet. 2. Larutan Hayem dihisap perlahan-lahan sampai garis tanda 101, jangan sampai terjadi gelembung hawa. Angkatlah pipet dan tutup ujung pipet dengan jari lalu lepaskan karet penghisap. 3. Kocoklah pipet itu selama 15-30 detik dengan membuat angka delapan. Kocoklah pipet yang diisi tadi selama 3 menit terus-menerus, jangan sampai ada cairan terbuang dari dalam pipet itu waktu mengocok. 4. Buanglah cairan yang ada didalam batang kapiler pipet sebanyak 3 atau 4 tetes karena tidak bercampur dengan darah, dan segeralah sentuhkan ujung pipet itu dengan sudut 30 derajat pada permukaan kamar hitung yang sudah diletakkan di bawah mikroskop dengan menyentuhkan pada pinggir kaca penutup. Biarkan kamar hitung itu terisi cairan perlahan-lahan dengan daya kapilaritasnya sendiri. 5. Hitunglah semua eritrosit yang terdapat dalam 5 bidang yang tersusun dari 16 bidang kecil, umpamanya pada keempat sudut bidang besar ditambah yang ditengah-tengah. Cara menghitung sel yaitu dari kiri ke kanan kemudian dari kanan ke kiri dan seterusnya. 6. Pengenceran dalam pipet eritrosit adalah 200 kali. Tinggi kamar hitung 1/10 mm, sedangkan jumlah luasnya 1/5 mm2. Faktor untuk mendapatkan jumlah eritrosit dalam µl darah menjadi 5 x 10 x 200 = 10.000. Jumlah eritrosit yang dihitung dari 5 kotak ditotalkan dan dikalikan 10.000, maka didapatkan jumlah eritrosit per mm3.
19
2. Nilai Hematokrit Alat dan Bahan : - Pipa Kapiler - Centrifuge - Haemofuge - Darah - Cristal seal cat no 01503 - Haemotokrit Reader Cara Kerja : 1. Isilah tabung mikrokapiler hematokrit dengan darah. 2. Tutuplah salah satu ujungnya dengan cristal seal cat. 3. Masukkanlah tabung kapiler kedalam sentrifuge yang mencapai kecepatan 12.000 rpm (haemofuse). 4. Sentrifuge selama 3-5 menit. 5. Bacalah nilai hematokrit dengan menggunakan Hawksley mikrohematokrit reader 3. Kadar Hemoglobin Alat dan Bahan : a. Seperangkat alat haemometer yang terdiri dari: - Pipet Hb Sahli - Hemoglobinometer - Batang Pengaduk - Tabung Pengencer Hemometer b. Larutan HCl 0,1 N 20
Cara kerja : 1. Masukkan kira-kira 5 tetes HCl 0,1 N kedalam tabung pengencer hemometer. 2. Isaplah darah pada tabung EDTA dengan pipet hemoglobin sampai garis tanda 20 µl. 3. Hapuslah darah yang melekat pada sebelah luar ujung pipet menggunakan kertas tisu. 4. Masukkan darah dari pipet kedalam tabung yang berisi HCl 0,1 N pelan-pelan. Hati-hati jangan sampai terjadi gelembung udara. 5. Angkatlah pipet itu sedikit, lalu hisap HCl 0,1 N kedalam pipet 2 atau 3 kali untuk membersihkan darah yang masih tinggal dalam pipet dan masukkan kembali ke dalam tabung. 6. Tambahkan HCl 0,1 N setetes demi setetes, tiap kali diaduk dengan batang pengaduk yang tersedia. Persamaan warna campuran dan batang standard harus dicapai dalam waktu 3-5 menit setelah saat darah dan HCl dicampur. 7. Setelah warna pada tabung terlihat sama dengan warna kotak standar. Bacalah kadar hemoglobin dengan melihat skala yang ditunjukkan pada tabung tersebut dengan satuan gram/100 ml darah 3.4 Pelaksanaan Penelitian 1. Persiapan Kandang a.
Satu minggu sebelum DOD masuk, kandang harus dibersihkan dengan pengapuran dan pemberian desinfektan (Rhodalon). Lakukan persiapan kandang dan alat-alat penelitian seperti tempat pakan, tempat minum, lampu pijar 65 Watt sebanyak 27 buah, plastik penampung kotoran, timbangan,
dan alas kandang sudah dipasang sebelum DOD masuk 21
kandang. Setiap kandang diberi nomor urut dan itik diletakan per unit kandang b.
Itik ditimbang sebelum ditempatkan pada unit kandang.
2. Penempatan itik dalam Kandang Kandang diberi nomor 1-27 secara acak dan perlakuan ditempatkan secara acak berdasarkan kelompok. Itik ditimbang dan dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Setiap kelompok ditempatkan unit kombinasi perlakuan secara acak. Setiap unit-unit kandang ditempati oleh 5 ekor anak itik. Luas kandang untuk A1 (0,03 m2/ekor = 38 cm x 60 cm), A2 (0,04 m2 ekor = 48 cm x 60 cm ) dan A3 (0,05 m2/ekor = 54,5 cm x 60 cm). 3. Penyediaan ransum penelitian 4. Minum diberikan secara adlibitum. 5. Itik dipelihara sampai umur 8 minggu dan diambil sampel darah kemudian di analisa dilaboratorium. 3.5 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di UPT Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang. Waktu penelitian adalah 8 Juni sampai 9 Agustus 2015
22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Eritrosit Rataan jumlah eritrosit darah itik Kamang betina fase starter masingmasing perlakuan yang diperoleh pada akhir penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Jumlah Eritrosit yang diberi Perlakuan Luas Kandang dan Level Protein Berbeda (juta/mm3) Level Protein Ransum B1 B2 B3 Rataan 2 1,77 2,06 2,22 A1 (0,03 m /ekor) 2,02A 1,74 2,56 2,25 A2 (0,04 m2/ekor) 2,18A 2,22 2,65 2,92 A3 (0,05 m2/ekor) 2,60B Rataan 1,91A 2,42B 2,46B 2,26 Keterangan: Superskrip pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01) Hasil analisis ragam terhadap rataan jumlah eritrosit menunjukkan interaksi antara luas kandang dan level protein tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap jumlah eritrosit darah itik Kamang betina fase starter, sementara luas kandang dan level protein masing-masing berpengaruh sangat nyata (P<0,01). Berdasarkan uji lanjut Duncan’s diketahui bahwa A3 (0,05m2/ekor) dengan jumlah eritrosit 2,60 juta/mm3 sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan dengan A2 (0,04 m2/ekor) dan A1 (0,03 m2/ekor), namun antar A2 (0,04 m2/ekor) dengan jumlah eritrosit 2,18 juta/mm3 tidak nyata lebih tinggi (P>0,05) dibandingkan dengan A1 (0,03 m2/ekor) dengan jumlah eritrosit 2,02 juta/mm. Perbedaan jumlah eritrosit darah itik Kamang betina fase starter disebabkan oleh pengaruh stres yang terjadi karena perbedaan luasan kandang, dimana semakin sempit luasan kandang menyebabkan stress semakin tinggi, selain itu juga akan menyebabkan itik berdesak-desakan di dalam kandang. Itik
23
pada luas kandang A1 memiliki cekaman panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan luas kandang lainnya karena lebih sempitnya luasan kandang perekor itik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Effendi (2009) yang mendapatkan jumlah eritrosit itik Bayang periode starter dengan dua luas kandang berbeda akan mendapatkan jumlah eritrosit yang lebih banyak pada luas kandang yang lebih besar 0,48 m2/ekor dengan jumlah eritrosit 2,46 juta/mm3. Harlova et al (2002) juga mendapatkan stres yang disebabkan cekaman panas karena kenaikan suhu kandang pada unggas ternyata menurunkan jumlah eritrosit, leukosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin. Rataan jumlah eritrosit itik penelitian ini berdasarkan luasan kandang adalah berkisar antara 2,02 – 2,60 juta/m3 darah. Sturkie (1976) menyatakan bahwa jumlah eritrosit pada itik adalah 2,8 juta/mm3 darah. Ismoyowati (2006) juga melaporkan bahwa rataan status hematologis itik betina lokal (itik Tegal) produksi tinggi umur 22 minggu yaitu 2,30 ± 0,27 juta/mm3. Perbedaan hasil yang didapatkan disebabkan faktor luas kandang, itik yang digunakan, ransum yang diberikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sturkie (1976) bahwa perbedaan jumlah eritrosit dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya umur, jenis kelamin, bangsa, penyakit, temperatur, lingkungan, kedaan geografis, kebuntingan dan kegiatan fisik. Didukung Swenson (1997) yang menyebutkan status nutrisi, volume darah, spesies dan ketinggian tempat juga mempengaruhi jumlah eritrosit darah. Berdasarkan uji lanjut Duncan’s diketahui bahwa B3 dengan jumlah eritrosit 2,46 juta/mm. Pada tabel 8 dapat dilihat bahwa rataan jumlah eritrosit ransum B3 yaitu 2,46 juta/mm3 dan B2 yaitu 2,42 juta/mm3 sangat nyata lebih
24
tinggi (P<0,01) dengan B1 dengan jumlah eritrosit 1,91 juta/ mm3. Hal ini menunjukkan ransum dengan protein yang cukup akan meningkatkan jumlah eritrosit darah merah pada itik Kamang betina fase starter. Ransum B2 dan B3 tidak berbeda sangat nyata (P>0,05) dalam mempengaruhi jumlah eritrosit sehingga pemberian level protein 20% tidak efisien jika dilihat dengan signifikansi (P<0,01) karena tidak berbeda sangat nyata dengan B2. Lebih rendahnya jumlah eritrosit pada itik yang diberi ransum dengan level protein 16% disebabkan tidak terpenuhinya kecukupan protein ransum itik. Pemberian beberapa level protein terhadap ternak menyebabkan terjadinya perbedaan jumlah eritrosit dikarenakan terjadi perbedaan metabolisme yang terjadi karena berbedanya jumlah protein yang dimakan itik. Sesuai dengan pendapat Widodo (2006) yang menyatakan bahwa protein ransum yang memasuki usus halus akan dipecah menjadi asam-asam amino, kemudian seluruhnya akan diabsorpsi oleh dinding usus halus sampai masuk ke peredaran darah melalui vena porta ke hati. Pemberian ransum untuk itik Kamang betina fase starter lebih baik dengan level protein 18% karena dengan level 20% akan terjadi kelebihan asupan nutrien. Standar kebutuhan protein itik umur 0-8 minggu menurut NRC (1994) adalah 20%. Menurut Wakhid (2010) kebutuhan protein itik umur 0-8 minggu adalah 18%. Rendahnya konsumsi ransum berpotensi sekali terjadinya kekurangan asupan gizi sehingga pembentukan sel darah merah mengalami penurunan (Kusnadi, 2008). Suryana dalam Utari (2013) juga menyatakan ransum untuk itik fase starter adalah dengan
protein 19% dan energi metabolis 2900 kkal.
Konsumsi protein akan mempengaruhi proses eritropoesis dalam membentuk
25
eritrosit. Proses eritropoesis membutuhkan bahan bahan dasar protein, glukosa dan berbagai mineral aktivator salah satunya Fe yang berperan dalam pembentukan senyawa heme pada hemoglobin (Praseno, 2005) 4.2. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Hemoglobin Rataan kadar hemoglobin darah itik Kamang betina fase starter masingmasing perlakuan yang diperoleh pada akhir penelitian dapat dilihat pada Tabel 8, Tabel 8. Rataan Kadar Hemoglobin yang diberi Perlakuan Luas Kandang dan Level Protein Berbeda (gram/100ml) Level Protein Ransum Luas Kandang B1 B2 B3 Rataan 2 12,30 14,13 15,20 A1 (0,03 m /ekor) 13,92A 12,60 16,57 15,40 A2 (0,04 m2/ekor) 14,81A 14,20 16,87 17,93 A3 (0,05 m2/ekor) 16,33B Rataan 13,03A 15,86B 16,18B 15,02 Keterangan: Superskrip pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata(P <0.01) Hasil analisis ragam terhadap rataan kadar hemoglobin menunjukkan interaksi antara luas kandang dan level protein tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kadar hemoglobin darah itik Kamang betina fase starter, sementara luas kandang dan level protein masing-masing berpengaruh sangat nyata (P<0,01). Hasil uji lanjut Duncan’s menunjukkan bahwa rataan kadar hemoglobin A3 (0,05 m2/ekor) dengan kadar Hb 16,33 gram/100 ml sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan dengan A2 (0,04 m2/ekor) dengan kadar Hb 14,81 gram/100 ml dan A1 (0,03 m2/ekor) dengan kadar Hb 13,92gram/100 ml. Hal ini menunjukkan itik yang dipelihara pada luas kandang yang sempit dan berdesakdesakan ternyata menyebabkan kadar hemoglobin darah lebih rendah. Hasil ini sesuai dengan Effendi (2009) yang mendapatkan kadar hemoglobin darah itik
26
Bayang yang dipelihara dengan luas kandang yang lebih besar akan lebih tinggi dibanding yang dipelihara dengan luas kandang yang lebih sempit yaitu 16,56 g/100 ml. Lebih rendahnya kadar hemoglobin itik yang dipelihara pada kandang sempit pada penelitian disebabkan pengaruh lingkungan kandang terutama cekaman panas sehingga suhu dalam kandang meningkat yang menyebabkan konsumsi ransum lebih rendah serta itik kesulitan dalam melakukan respirasi dan akhirnya stres. Selain itu jumlah eritrosit mempengaruhi kadar hemoglobin dalam darah itik. Hal ini didukung pendapat Guyton (1990) yang menyatakan hemoglobin merupakan 90% dari bobot kering eritrosit atau sel darah merah. Tabel 8 menunjukkan bahwa rataan kadar hemoglobin pada perlakuan B3 yakni 16,18 gram/100 ml dan B2 yakni 15,86 gram/100 ml sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan B1 dengan kadar hemoglobin 13,03 gram/100 ml. Hal ini menunjukkan itik yang diberi perbedaan level protein tertentu mempengaruhi kadar hemoglobin dalam darah. Menurut Anggorodi (1979) protein adalah unsur pokok alat tubuh dan jaringan lunak aneka ternak unggas. Pemberian level protein 18% dan 20% menunjukkan hasil yang tidak signifikan perbedaannya, sehingga penggunaan ransum dengan protein 20% menyebabkan inefisiensi dalam pemeliharaan ternak itik Kamang betina fase starter. Rataan kadar hemoglobin yang diperoleh penelitian ini adalah 15,02 gram/100ml, hasil ini tidak jauh berbeda dengan Whittow (2000) yang menyatakan kadar hemoglobin itik adalah 15,5 gram/100 ml. Perbedaan kadar
27
hemoglobin dalam darah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, kondisi hewan, cuaca, tekanan udara dan penyakit. 4.3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Hematokrit Rataan nilai hematokrit darah itik Kamang betina fase starter masingmasing perlakuan yang diperoleh pada akhir penelitian dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Rataan nilai Hematokrit yang diberi perlakuan luas kandang dan level protein berbeda(%) Luas Kandang A1 (0,03 m2/ekor) A2 (0,04 m2/ekor) A3 (0,05 m2/ekor) Rataan
B1 29,00 30,33 36,67 32,00A
Level Protein Ransum B2 32,67 39,00 40,67 37,44B
Rataan B3 36,67 36,67 42,00 38,44B
32,78A 35,33A 39,78B 35,96
Keterangan: Superskrip pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata(P <0.01) Hasil analisis ragam terhadap rataan nilai hematokrit menunjukkan interaksi antara luas kandang dan level protein tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kadar hemoglobin darah itik Kamang betina fase starter, sementara luas kandang dan level protein masing-masing berpengaruh sangat nyata (P<0,01). Tabel 9 menunjukkan bahwa rataan nilai hematokrit pada A3 (0,05 m2/ekor) yakni 39,78% sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan A2 (0,04 m2/ekor) dan A1 dengan (0,03 m2/ekor) dengan nilai hematokrit berturutturut yakni 35,33% dan 32,78%. Hal ini menunjukkan itik yang dipelihara pada luas kandang yang sempit dan berdesak-desakan ternyata mempunyai nilai hematokrit darah lebih rendah. Hasil ini sama dengan Effendi (2009) yang mendapatkan nilai hematokrit dengan kandang yang lebih luas akan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai hematokrit dengan kandang yang lebih sempit. Lebih rendahnya nilai hematokrit disebabkan itik menderita stres akibat tingkat luas
28
kandang yang sempit. Nilai hematokrit yang lebih rendah
dipengaruhi oleh
jumlah eritrosit, semakin sedikit jumlah eritrosit maka akan semakin rendah nilai hematokrit, semakin banyak jumlah eritrosit maka akan semakin tinggi nilai hematokrit. Tabel 9 menunjukkan bahwa rataan nilai hematokrit pada perlakuan B3 yakni 38,44% dan B2 yakni 37,44% sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan B1 dengan nilai hematokrit 32,00%. Hal ini menunjukan itik yang protein ransumnya semakin tinggi akan meningkatkan nilai hematokrit. Namun antar pemberian level protein 18% dan 20% tidak menunjukkan hasil yang signifikan (P<0,01) sehingga pemberian level protein 20% dalam ransum itik Kamang betina fase starter merupakan tidak efisien karena terjadinya kelebihan kandungan nutrisi. Lebih rendahnya nilai hematokrit selain diakibatkan stres pada itik juga terjadinya penurunan konsumsi ransum terutama yang mengandung protein lebih sedikit. Turunnya asupan protein dalam tubuh mengakibatkan terjadi penurunan sintesis darah merah dalam darah yang berakibat turunnya jumlah eritrosit. Turunnya jumlah eritrosit mengakibatkan turunnya nilai hematokrit dalam darah. Terjadinya perubahan sel darah merah nampaknya memiliki pola dengan kandungan hematokrit, hal ini dapat dipahami karena persentasi hematokrit merupakan kandungan sel darah merah dibandingkan volume total darah (Kusnadi, 2008).
29
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Tidak terdapat interaksi antara luas kandang dan level protein terhadap gambaran darah itik Kamang betina fase starter. Peningkatan luas kandang dan level protein juga meningkatkan jumlah eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit itik Kamang betina fase starter. Luas kandang terbaik yaitu 0,05 m2/ekor dengan jumlah eritrosit 2,60 juta/mm3, kadar hemoglobin 16,33 gram/100 ml dan nilai hematokrit 39,78%. Level protein terbaik adalah 18% dengan jumlah eritrosit 2,42 juta/mm3, kadar hemoglobin 15,86 gram/100 ml dan nilai hematokrit 37,44%. 5.2. Saran Disarankan kepada peternak untuk memperhatikan faktor luas kandang dan level protein dalam pemeliharaan itik. Dalam pemeliharaan itik Kamang betina fase starter disarankan dengan luas kandang 0,05 m2/ekor dengan pemberian level protein ransum 18%.
30
DAFTAR PUSTAKA Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak. UI Press, Jakarta Ali, A dan F. Nanda. 2009. Performans itik pedaging (lokal x peking) fase starter pada tingkat kepadatan kandang yang berbedadi desa laboi jaya kabupaten kampar. Jurnal Peternakan Vol 6 No 1 Februari 2009 (29 – 35) ISSN 1829 – 8729, Pekanbaru Arifin, A. L. Naim dan F. Rahim. 1984. Fisiologi Ternak. Diktat fakultas Peternakan, Universitas Andalas, Padang Arifin, A. 1989. Fisiologi Ternak Unggas. Diktat Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang Arsih, C.C. 2013. Keragaman sifat kualitatif itik lokal di usaha pembibitan “ER” di Koto Baru Payobasung. Skripsi. Universitas Andalas, Padang Atmoko, A.I.D. 1988. Broiler jantan dan betina alternatif pemeliharaan terpisah . Poultry Indonesia. 114:15 Batubara, L. 2012. Pengaruh penggunaan jamur tiram (Pleurotus ostreatus) dalam ransum terhadap total kolesterol, HDL, LDL plasma darah ayam broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang Bharoto, K.D. 2001. Cara Beternak Itik. Edisi ke-2. Aneka Ilmu, Semarang. Cahyono, B. 2005. Pembibitan Itik. Penebar Swadaya, Jakarta Direktorat Jendral Pembibitan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Roadmap Pembibitan Lokal, Jakarta Djanah, D. 1985. Beternak Ayam dan Itik. CV. Yasaguna, Jakarta Effendi, R. 2009. Pengaruh luas kandang dan cara pemberian pakan terhadap beberapa gambaran darah itik Bayang. Skripsi. Universitas Andalas, Padang Frandson, R.B. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Cetakan ke-2, diterjemahkan oleh Srigandono dan Koen Prasono. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Ganong, W.F. 2002. Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Terjemahan D. Widjajakusumah. E.G.C, Jakarta 31
Gandasoebrata, R. 2011. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat , Jakarta Guyton, A.C., dan Hall, J.E., 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Alih bahasa: Setiawan, I. dan Santoso, A., Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Harlova,H. J. Blaha, M. Koubkova, J. Drasralova and A. Fucikova. 2002. Influence of heat stress on the metabolic response in broiler chickens. Scientia Agriculture Bohemica 33:145-149 Ismoyowati, T. Yuwanta, J.H.P Sidadolog, dan S. Keman. 2006. Performans reproduksi itik Tegal berdasarkan status hematologis. Fakultas Peternakan UNSOED dan fakultas peternakan UGM. Animal Production Vol. 8, No. 2 : 88-93 Kusnadi, E. 2008. Pengaruh temperatur kandang terhadap konsumsi ransum dan komponen darah ayam broiler. Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang Margawati, E. T. 1985. Pengaruh tingkat kepadatan itik dalam sangkar terhadap berat badan pada periode pertumbuhan awal. In Prosiding Seminar Peternakan dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak. Bogor, 19-20 Maret 1985. Puslitbang Peternakan, Bogor Mito dan Johan, ST. 2011. Usaha Penetasan Telur Itik. PT Agromedia Pustaka, Jakarta NRC. 1994. Nutrient Requirement of Poultry, 9th Revised Academy Press, Washington. DC
Edition. National
Pearce. E.C. 1989. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Diterjemahkan oleh Sri Yuliani. PT Gramedia, Jakarta Pinky. 2012. Pengaruh kepadatan kandang terhadap performan itik hibrida dan itik Mojosari periode starter. Skripsi. Universitas Brawijaya, Malang Praseno, K. 2005. Respon eritrosit terhadap perlakuan mikromineral Cu, Fe dan Zn pada ayam (Gallus gallus domesticus). J. Indo. Trop. Anim Agric 30 (3) :179-185 Rahim, F. L. Naim, Yetmaneli dan E. Kusnadi. 2009. Potensi plasma nutfah itik Bayang ditinjau dari karakteristik fisiologis dan produktivitas pada pemeliharaan ekstensif dan intensif. Jurnal. Universitas Andalas, Padang Rasyaf, M.. 1995. Beternak Ayam Pedaging. PT Penebar Swadaya, Jakarta 32
_________. 2004. Beternak Itik Komersial. Penebar Swadaya, Jakarta Samosir, D.J. 1993. Ilmu Ternak Itik. Cet II PT. Gramedia, Jakarta. Soesantoso, I.R.H. 2002. Respon fisiologi, tingkah laku dan pertumbuhan ayam pedaging dengan kepadatan yang berbeda. Jurnal Peternakan dan Lingkungan, 8:35 Srigandono, B. 1986. Ilmu Unggas Air. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta _________. 1996. Beternak Itik pedaging. PT. Trubus Agriwidiya Unggara, Jakarta Steel, R. G. D., and J. H. Torrie. 1996. Principles and Procedures of Statistics; a Biometrical Approach. McGraw-Hill Book Company, New York. Sturkie, P.D. 1976. Blood Physical Characteristic, Formed, Element, Hemoglobin and Coagulation. In : Avian Physiology. 3th Ed. Comstock Publishing Associates, New York. Sudaro, Y. dan A. Siriwa, 2000. Ransum Ayam dan Itik. Penebar Swadaya, Jakarta Sudaryani, T. dan H. Santoso. 1994. Pembibitan Ayam Ras. Penebar Swadaya, Jakarta Suharno. 2006. Beternak Itik Intensif. Penebar Swadaya, Jakarta Swenson. 1997. Duke’s Physiology of Domestic Animals. 9th Ed. Crnel University Press, London. Tami, D. 1988. Makanan Ternak Unggas. Cetakan ke-4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Utari, A.G. N, Iriyanti dan S. Mugiyono. 2013. Kadar total plasma dan glukosa darah pada itik Manila yang diberi pakan dengan protein dan energi metabolis yang berbeda. Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas .Cetakan ke -4. Gadjah Mada Universitas Press,Yogyakarta Wakhid, A. 2010. Beternak dan Berbisnis Itik. PT. Agromedia, Jakarta
33
Widodo. 2006. Pengantar Ilmu Nutrisi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang, Malang Whittow, G.C. 2000. Sturkie’s Avian Physiology 5th Edition. Academic Press, San Diego
34
Lampiran 1. Analisa Statistik Konsumsi Pakan Itik (gram/ekor/7 minggu) Level Protein
Kelompok 1 2 3
B1 Jumlah Rataan
1 2 3
B2 Jumlah Rataan
1 2 3
B3 Jumlah Rataan Total Rataan
A1 4724,60 4747,60 4787,20 14259,40 4753,13 4716,80 4786,60 4768,60 14272,00 4757,33 4727,00 4749,20 4761,80 14238,00 4746,00 42769,40 14256,47
Luas Kandang A2 4792,00 4821,60 4836,40 14450,00 4816,67 4782,20 4766,60 4791,20 14340,00 4780,00 4778.60 4789,80 4790,80 14359,20 4786,40 43149,20 14383,07
Jumlah A3 4863,60 4872,00 4845,20 14580,80 4860,27 4797,60 4816,80 4856,20 14470,60 4823,53 4876.20 4903,80 4925,80 14705,80 4901,93 43757,20 14585,73
14380,20 14441,20 14468,80 43290,20 14296,60 14370,00 14416,00 43082,60 14381,80 14442,80 14478,40 43303,00 129675,80 14256,47
35
Rataan Konsumsi Ransum Itik /Ekor/Hari Selama Penelitian Perlakuan Kelompok Minggu II III IV V 1 40,80 66,86 93,71 114,29 A1B1 2 41,03 69,43 93,51 116,54 3 41,54 65,71 94,31 120,00 1 41,03 68,00 93,14 114,34 A1B2 2 38,03 67,14 93,29 120,06 3 41,06 68,71 96,60 114,40 1 41,06 70,57 89,40 115,40 A1B3 2 41,00 69,71 85,71 116,26 3 41,26 60,14 91,43 114,94 1 41,11 69,57 96.57 117,31 A2B1 2 41,23 68,00 96,94 118,20 3 41,09 67,14 94,29 115,09 1 38,23 66,57 94,00 115,00 A2B2 2 42,49 66,29 91,09 117,66 3 41,14 66,60 97,60 119,66 1 41,03 66,57 92,86 123,17 A2B3 2 41,09 66,89 97,91 117,49 3 41,17 67,00 96,37 119,97 1 41,83 69,43 94,66 120,03 A3B1 2 42,20 61,40 97,14 121,23 3 41,34 67,29 94,60 119,66 1 41,11 68,86 96,11 118,26 A3B2 2 41,14 68,29 95,14 118,43 3 41,09 68,57 94,91 122,86 1 43,09 70,00 94,34 123,49 A3B3 2 44,37 67,43 97,14 120,94 3 43,17 70,86 95,06 120,34
VI 120,71 118,29 122,49 113,71 119,00 115,89 114,77 122,66 124,11 119,31 119,60 129,40 125,71 115,11 118,69 120,00 122,14 122,29 120,49 125,49 123,00 115,20 118,89 121,57 118,54 124,11 125,09
VII 115,71 114,51 124,43 118,54 123,66 120,69 119,66 119,31 125,29 116,00 120,00 122,20 119,31 123,46 120,49 115,29 114,63 116,63 124,57 123,74 122,34 121,57 123,20 123,69 123,17 121,69 124,89
VIII 122,86 124,91 115,40 125,06 122,46 123,89 124,43 123,80 123,14 124,69 124,83 125,71 124,34 124,86 120,29 123,74 124,11 120,97 123,80 124,80 123,94 124,26 123,03 121,06 123,97 124,86 124,29
Jumlah
Rataan
674,94 678,22 683,88 673,82 683,64 681,24 559,89 592,89 680,31 684,51 688,8 690,92 683,16 680,96 684,47 682,66 684,26 684,4 694,81 696,00 692,17 685,37 688,12 693,75 696,6 697,54 703,7
96,42 96,89 97,70 96,26 97,66 97,32 79,98 84,70 97,19 97,79 98,4 98,70 97,59 97,28 97,78 97,52 97,75 97,77 99,26 99,43 98,88 97,17 98,30 99,11 99.51 99,65 100,53
36
Lampiran 2. Pertambahan Bobot Badan Itik (gram/ekor/7 minggu) Level Protein
Kelompok
B1
1 2 3 Jumlah Rataan 1 2 3
B2 Jumlah Rataan
1 2 3
B3 Jumlah Rataan Total Rataan
Luas Kandang A1 A2 736.8 807.20 870.4 742.80 700.4 789.60 2307.6 2339.6 769.2 779.87 807.6 834.40 765.4 1150.00 896 1026.20 2469 3010.6 823 1003.53 872.2 897.40 851.40 1029.40 902.00 980.80 2625.6 2907.6 875.2 969.2 7402.2 8257.8 822.4667 917.53
Jumlah A3 943.80 960.40 961.20 2865.4 955.13 1062.40 1114.40 1087.40 3264.2 1088.07 1135.20 1100.60 1150.00 3385.8 1128.6 9515.4 1057.27
2487.8 2573.6 2451.2 7512.6 2704.4 3029.8 3009.6 8743.8 2904.8 2981.4 3032.8 8919 25175.4
37
Lampiran 3. Rataan Jumlah Eritrosit Darah Itik Kamang Betina Fase Starter Perlakuan Ulangan A1 A2 A3 Jumlah Rataan 1 1,85 1,93 2,3 6,08 2,03 B1 2 1,76 1,88 1,97 5,61 1,87 3 1,71 1,41 2,38 5,5 1,83 Junlah 5,32 5,22 6,65 17,19 Rataan 1,77 1,74 2,22 1,91 1 2,07 2,6 2,62 7,29 2,43 B2 2 2,09 2,48 2,58 7,15 2,38 3 2,01 2,59 2,74 7,34 2,45 Jumlah 6,17 7,67 7,94 21,78 Rataan 2,06 2,56 2,65 2,42 1 2,46 2,35 2,93 7,74 2,58 B3 2 2,16 2,23 3,04 7,43 2,48 3 2,03 2,17 2,8 7 2,33 Jumlah 6,65 6,75 8,77 22,17 Rataan 2,22 2,25 2,92 2,46 Total 18,14 19,64 23,36 61,14 Rataan 2,02 2,18 2,60 2,26 FK
= (61,14)2 27 = 3738,1 27 = 138,45
JKT
=((1,85)2+(1,932)+(2,3)2+(1,76)2+..........+(2,8)2) – 138,45 = 3,42+3,72+5,29+3,10+......+7,84–138,45 = 4,13
JKA
= (18,14)2+(19,64) 2+(23,36) 2 – 138,45 9 = 329,06+385,73+545,69 – 138,45 9 = 1,61
JKB
= (17,19)+ (21,78)+(22,17) – 138,45 9 = 295,50+474,37+3738,10–138,45 9 =1,70
38
JKAB = (5,32)2+(5,22)2+.......+ 8,772 –138,45 3 = 28,30+27,25+.........+76,91–138,45 –1,61 –1,70 3 = 0,38 JKK
= (6,08+7,29+7,74)2+(5,61+7,15+7,43)2+(5,5+7,34+7)2 –138,45 9 = 445,63+407,64+393,63–138,45 9 = 0,10
JKS
= JKT-JKA-JKB-JKAB-JKK = 0,34
KTK = JKK 2 = 0,048 KTA = JKA 2 = 0,803 KTB
= JKB 2 = 0,852
KTAB = JKAB 4 = 0,095 KTS
= JKS 16 = 0,021
39
Tabel Anova SK
DB
Kelompok Faktor A Faktor B Faktor AB Sisa Total Keterangan
2 2 2 4 16 26 : ** Ns
JK
KT
F hitung 2,233 37,475 39,796 4,435
F tabel 0,05 0,01 3,63 6,23 3,63 6,23 3,63 6,23 3,01 4,77
0,10 0,048 1,61 0,803 1,70 0,852 0,38 0,095 0,34 0,021 4,13 = Berpengaruh Sangat Nyata (P<0,01) = Non Signifikan (P>0,05)
Keterangan Ns ** ** Ns
Uji Lanjut SE
𝐾𝑇𝑆
=√
𝑛
= 0,05 2 2,998 4,131 0,15 0,20
SSR 0.05 SSR 0.01 LSR 0.05 LSR 0.01
3 3,144 4,308 0,15 0,21
Urutan nilai tengah faktor A (Luas Kandang) dari tertinggi sampai yang terendah A3
A2
A1
2,60
2,18
2,02
Uji Lanjut DMRT Perlakuan A3-A2 A3-A1 A2-A1 Keterangan
Jarak Selisih LSR 1% 2 0,41 0,20 3 0,58 0,21 2 0,17 0,20 : Ns = Non Signifikan (P>0,05) **
Keterangan ** ** Ns
= Berbeda Sangat Nyata (P<0,01)
Superskrip : A1A
A2A
A3B
Urutan nilai tengah faktor B ( Level Protein) dari tertinggi sampai yang terendah B3
B2
B1
2,46
2,42
1,91 40
Perlakuan B3-B2 B3-B1 B2-B1
Jarak 2 3 2
Superskrip
:
B1A
B3B
B2B
Selisih 0,04 0,55 0,51
LSR 1% 0,20 0,21 0,20
Keterangan Ns ** **
41
Lampiran 4. Rataan Kadar Hemoglobin Darah Itik Kamang Betina Fase Starter Perlakuan Ulangan A1 A2 A3 Jumlah Rataan 1 11,9 12,4 14 38,3 12,767 B1 2 12,6 12,6 14,2 39,4 13,133 3 12,4 12,8 14,4 39,6 13,200 Jumlah 36,9 37,8 42,6 117,3 39,100 Rataan 12,3 12,60 14,2 13,033 1 16 16,4 17,4 49,8 16,600 B2 2 12,4 16,4 16,8 45,6 15,200 3 14 16,9 16,4 47,3 15,767 Jumlah 42,4 49,7 50,6 142,7 47,567 Rataan 14,13 16,57 16,87 15,856 1 14,6 15,9 17,8 48,3 16,100 B3 2 15,5 15,1 18 48,6 16,200 3 15,5 15,2 18 48,7 16,233 Jumlah 45,6 46,2 53,8 145,6 48,533 Rataan 15,20 15,40 17,93 16,178 Total 124,9 133,7 147 405,6 Rataan 13,88 14,86 16,33 135,200 135,200 FK
= (405,6)2 27 = 6093,01
JKT
= (11,9)2+((12,4)2+(14) 2+(12,6) 2+..........+(18) 2– 6093,01 = 141,61+153,76+196+158,76+..........+324 – 6093,01 = 96,09
JKA
= (124,9)2+(133,7)2+(1472)– 6093,01 9 = 15600,01+17875,69 +21609– 6093,01 9 = 27,51
JKB
= (117,3)2+(142,7)2+(145,6)2– 6093,01 9 = 13759,29+20363,29 +21199,36– 6093,01 9 = 53,87
42
JKAB = (36,9)2+(37,8)2+(42,6)2+(42,4)2+........+(53,8)2– 6093,01 3 = 1361,61+1428,84+1814,76+1797,76+........+2894,44– 6093,01 3 = 6,16 JKK
=(38,3+49,8+48,3)2+(39,4+45,6+48,6)2+(39,6+47,3+48,7)2– 6093,01 9 = 18604,96+17848,96+18387,36–6093,01 9 = 0,46
JKS
= JKT–JKA–JKB–JKAB–JKK = 8,08
KTK = JKK 2 = 0,231 KTA = JKA 2 = 13,754 KTB
= JKB 2 = 26,934
KTAB = JKAB 4 = 0,385 KTS
= JKS 16 = 0,505
43
Tabel Anova SK
DB
JK
KT
F hitung 0,457 27,222 53,306 0,762
F tabel 0,05 0,01 3,63 6,23 3,63 6,23 3,63 6,23 3,01 4,77
2 0,462 0,231 Kelompok 2 27,509 13,754 Faktor A 2 53,869 26,934 Faktor B 4 6,162 0,385 Faktor AB 16 8,084 0,505 Sisa 26 Total Keterangan : ** : Berpengaruh sangat nyata (P<0,01)
Keterangan Ns ** ** Ns
Ns : Non Signifikan (P>0,05) Uji Lanjut SE
𝐾𝑇𝑆
=√
𝑛
= 0,24 2 2,998 4,131 0,71 0,98
SSR 0.05 SSR 0.01 LSR 0.05 LSR 0.01
3 3,144 4,308 0,74 1,02
Urutan nilai tengah faktor A (Luas Kandang) dari tertinggi sampai yang terendah A3 16,33
A2
A1
14,86
13,88
Uji Lanjut DMRT Perlakuan A3-A2 A3-A1 A2-A1 Keteranga
Jarak Selisih LSR 1% 2 1,48 0,98 3 2,46 1,02 2 0,98 0,98 : Ns = Non Signifikan (P>0,05) **
Keterangan ** ** Ns
= Berbeda Sangat Nyata (P<0,01)
Superskrip : A1A
A2A
A3B
44
Urutan nilai tengah faktor B (Level Protein) dari tertinggi sampai yang terendah A3 16,18
A2
A1
15,86
13,03
Uji Lanjut DMRT Perlakuan A3-A2 A3-A1 A2-A1 Keteranga
Jarak Selisih LSR 1% 2 0,32 0,98 3 3,14 1,02 2 2,82 0,98 : Ns = Non Signifikan (P>0,05) **
Keterangan ** ** Ns
= Berbeda Sangat Nyata (P<0,01)
Superskrip : B1A
B2B
B3B
45
Lampiran 5. Rataan Kadar Hematokrit Darah Itik Kamang Betina Fase Starter Perlakuan Ulangan 1 B1 2 3 Jumlah Rataan 1 B2 2 3 Jumlah Rataan 1 B3 2 3 Jumlah Rataan Total Rataan FK
A1 30 29 28 87 29 32 31 35 98 32,67 35 34 41 110 36,67 295 32,78
A2 31 29 31 91 30,33 40 40 37 117 39,00 40 34 36 110 36,67 318 35,33
A3 34 37 39 110 36,666 41 39 42 122 40,67 44 40 42 126 42,00 358 39,78
Jumlah Rataan 95 31,667 95 31,667 98 32,667 288 96,000 96 32,000 113 37,667 110 36,667 114 38,000 337 112,333 112,3333 37,444 119 39,667 108 36,000 119 39,667 346 115,333 38,444 971 323,6667 35,963
= (971)2 27 = 34920,04
JKT
= (30)2+((31)2+(34) 2+(29) 2+..........+(42) 2– 34920,04 = 900+961+1156+841+..........+1764 –34920,04 = 572,96
JKA
= (295)2+(318)2+(3582)– 34920,04 9 = 87025 +101124 +128164– 34920,04 9 = 225,85
JKB
= (288)2+(337)2+(346)2– 34920,04 9 = 82944 +113569 +119716– 34920,04 9 = 216,52
46
JKAB = (87)2+(91)2+(110)2+(98)2+........+(126)2– 34920,04 3 = 7569+8281+12100+9604+........+15876– 34920,04 3 = 38,59 JKK
=(95+113+119)2+(95+110+108)2+(98+114+119s)2– 34920,04 9 = 106929+97969+109561–34920,04 9 = 19,85
JKS
= JKT–JKA–JKB–JKAB–JKK = 72,15
KTK = JKK 2 = 9,93 KTA = JKA 2 = 112,93 KTB
= JKB 2 = 108,26
KTAB = JKAB 4 = 9,65 KTS
= JKS 16 = 4,51
47
Tabel Anova SK Kelompo k Faktor A Faktor B Faktor AB Sisa Total
DB
F hitung
F tabel 0.05 0.01
JK
KT
Keterangn
2 2 2
19.85 225.85 216.52
9.93 112.93 108.26
2.20 25.04 24.01
3.63 3.63 3.63
6.23 Ns 6.23 ** 6.23 **
4 16 26
38.59 72.15
9.65 4.51
2.14
3.01
4.77 Ns
Uji Lanjut SE
𝐾𝑇𝑆
=√
𝑛
= 0,71 2 2,998 4,131 2,12 2,92
SSR 0.05 SSR 0.01 LSR 0.05 LSR 0.01
3 3,144 4,308 2,23 3,05
Urutan nilai tengah faktor A (Luas Kandang) dari tertinggi sampai yang terendah A3 39,78
A2
A1
35,83
32,78
Uji Lanjut DMRT Perlakuan A3-A2 A3-A1 A2-A1 Keteranga
Jarak Selisih LSR 1% 2 4,44 2,92 3 7,00 3,05 2 2,56 2,92 : Ns = Non Signifikan (P>0,05) **
Keterangan ** ** Ns
= Berbeda Sangat Nyata (P<0,01)
Superskrip : A1A
A2A
A3B
48
Urutan nilai tengah faktor B (Level Protein) dari tertinggi sampai yang terendah B3 38,44
B2
B1
37,44
32,00
Uji Lanjut DMRT Perlakuan A3-A2 A3-A1 A2-A1 Keteranga
Jarak Selisih LSR 1% 2 1,00 2,92 3 6,44 3,05 2 5,44 2,92 : Ns = Non Signifikan (P>0,05) **
Keterangan ** ** Ns
= Berbeda Sangat Nyata (P<0,01)
Superskrip : B1A
B2B
B3B
49
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 09 Desember 1993 di Padang Kunik, Kuantan Singingi. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Raja Sahan dan Ibu Evi Rianis. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2005 di SDN 09 Padang Kunik, Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2008 di SMPN 2 Pangean, Kuantan Singingi dan pendidikan lanjutan menegah atas diselesaikan pada tahun 2011 di SMAN Pintar Kab Kuantan Singingi. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Andalas pada tahun 2011. Selama masa pendidikannya penulis mengikuti berbagai kegiatan kampus diantaranya BAKTI, BBMK di UKF Neotelemetri Universitas Andalas. Penulis melaksanakan KKN pada Juni-Juli 2014 di Nagari Ampalu, Kabupaten Lima Puluh Kota. Farm Experience gelombang III pada bulan November-Desember 2014.
14 April 2016
Fahli Revsianto