PENERAPAN UANG PAKSA (DWANGSOM) DALAM PERKARA HADHANAH (Analisis Putusan Perkara Nomor : 2/Pdt.G/2013/PTA.MKS)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh : MUHAMMAD AKBAR ALFATHTAA NIM : 108044100080
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1436 H / 2015 M
ABSTRAKSI MUHAMMAD AKBAR ALFATHTAA, 108044100080, Penerapan Hukuman Dwangsom (Uang Paksa) Dalam Perkara Hadhanah (Analisis Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA.MKS). Pada perkara di Pengadilan Agama pada dasarnya semua perkara bisa dikenakan uang paksa/dwangsom (perkawinan, harta bersama, waris, wasiat, hadhanah, hibah, wakaf, maupun di bidang ekonomi syariah) kecuali terhadap putusan hakim dalam perkara-perkara tersebut yang hukuman pokoknya berupa pembayaran sejumlah uang. Dalam perkara mengenai boleh atau tidaknya menerapkan dwangsom dalam putusan hadhanah masih diperselisihkan oleh para praktisi hukum. Sebagian praktisi hukum berpendapat bahwa dwangsom ini tidak boleh diterapkan dalam putusan hadhanah karena konteksnya berbeda, sebagian yang lain berpendapat bahwa lembaga dwangsom dapat juga diterapkan dalam putusan hadhanah karena dengan mencamtumkan dwangsom, pihak tergugat akan memenuhi isi putusan hakim jika ia mengetahui ada kewajiban yang harus dipenuhi apabila ia tidak melaksanakan hukuman pokok yang dibebankan kepadanya. Namun demikian, dalam putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar Nomor: 2/Pdt.G/2013/PTA.Mks hakim menyertakan dwangsom dalam perkara Hadhanah. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau normanorma dalam hukum positif, dalam hal ini data bahan hukum primer yaitu Kompilasi Hukum Islam, dan Burgelijk Wetbok. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan, bahwa dalam putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar Nomor: 2/Pdt.G/2013/PTA Mks) yang menyertakan dwangsom dalam perkara hadhanah, sudah memenuhi unsur dibolehkannya tuntutan tambahan uang paksa/dwangsom. Yang mana legal opinion hakim masuk dalam kriteria dwangsom yaitu: (1) dwangsom diminta secara tegas oleh pihak berperkara; (2) dwangsom diajukan bersama-sama dengan hukuman pokok; (3) hukuman pokok yang diminta bukan berupa pembayaran sejumlah uang; (4) terhukum dalam keadaan mampu dan memungkinkan untuk melaksanakan hukuman pokok; (5) dwangsom menjadi solusi efektif bagi penyelesaian perkara bersangkutan. Kata kunci: Uang paksa (Dwangsom), Hadhanah, Pengadilan Tinggi Agama Agama Makasar. Pembimbing: Hj. Rosdiana, M.A/Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sysarif Hidayatullah Jakarta.
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan izin dan karunia Dzat yang selalu memberikan kekuatan kepada penulis; Allah SWT. Shalawat teriring salam kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, semoga syafaatnya senantiasa tercurah kepada kaum muslimin. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Konsentrasi Peradilan Agama, Universitas Islam Negeri. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh banyak dukungan dan saran dari berbagai pihak, sehingga ucapan terima kasih penulis sampaikan dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada: 1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. 2. Bapak Dr. Asep Saepuddin Jahar, S.Ag, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Bapak H. Kamarusdiana, S.Ag, MH, Dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum. 4. Bapak JM. Muslimin, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis yang telah banyak memberikan saran dan nasehat dalam perkuliahan. 5. Ibu Hj. Rosdiana, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang saya cintai. 6. Ayahanda tercinta Drs. Hambali Sahak dan Ibunda tersayang Sulismiani sujud baktiku kepada kalian atas segala do’a dan pengorbanan kalian selama ini,
v
“Robbighfirlii Waliwaalidayya Warhamhumaa Kamaa Robbayaanii Shoghiiroo”. Saudaraku tercinta kanda dr. M. Hafiizh Alfarisii, Nenekku tersayang Hj. Sukarmi yang selalu memberi doa. 7. Sahabat-sahabatku: Rusdi Nurridho, S.Sy, S.H, M Athoilah, S.Sy, S.H, IBM Andhika, S.Sy, Ali Seto, S.Sy, Udi Wahyudi, S.Sy, Ade Taufik, S.Sy, Fahrur Rodzy, S.Sy, Mawardi, S.Sy, Monica Lauren, S.Par, Bramantyo Faga, S.Ds, Aby Respati, S.Kom, canda tawa kalian akan menjadi kenangan terindah dan tak terlupakan. 8. Teman-teman Mahasiswa PA.B Angkatan 2008 dan teman-teman KKN Malfath 2011 terima kasih untuk kalian semua semoga sukses selalu. 9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai rujukan penyusunan skripsi lainnya di masa mendatang. Penulis pun menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya. Jakarta, 19 Maret 2015 Pesilun
aiaMaaMl raMk laMhahMM
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................
iii
ABSTRAK ............................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ...........................................................................................
v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii BAB I
PENDAHULUAN .........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ...........................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................
6
C. Tujuan Penelitian .....................................................................
7
D. Study Review............................................................... .............
7
E. Manfaat Penelitian ...................................................................
8
F. Metode Penelitian .....................................................................
9
G. Teknik Penulisan ...................................................................... 11 H. Sistematika Penulisan .............................................................. . 11 BAB II
UANG PAKSA (DWANGSOM) DALAM PERKARA HADHANAH ................................................................................ 13 A. Pengertian Uang Paksa (dwangsom) ...................................... 13 B. Kegunaan Uang Paksa (dwangsom) ........................................ 15 C. Eksistensi Hadhanah Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif .......................................................................... 18
BAB III
PROFIL PENGADILAN TINGGI AGAMA MAKASAR ....... 33 A. Histori Pengadilan Tinggi Agama Makassar ........................... 33 B. Struktur Organisasi Pengadilan .............................................. 36 C. Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama Makassar .................................................................................. 37
BAB IV
PENERAPAN UANG PAKSA (DWANGSOM) PADA PERKARA HADHONAH (analisis putusan nomor 2/Pdt.G/2013/PTA MKS) ...................... 43 A. Dasar Hukum Implementasi Uang Paksa (dwangsom) ........... 43 B. Kategori Perkara Yang Dapat Dijatuhi Uang Paksa (Dwangsom) ........................................................ 52 C. Tata Cara Pengajuan Dwangsom Dalam Gugatan ................... 56 D. Analisis Penulis Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Uang Paksa (Dwangsom) (Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA MKS) ............................ 57
BAB V
PENUTUP ..................................................................................... 66 A. Kesimpulan .............................................................................. 66 B. Saran-saran .............................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 69 LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Satu di antara persoalan penting yang direkomendasikan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Mahkamah Agung R.I di Manado tanggal 31 Oktober 2012 yang lalu adalah mengenai penerapan lembaga dwangsom dalam perkara pengasuhan anak (hadhanah), di mana berdasarkan hasil Rakernas tersebut dalam perkara pemeliharaan anak (hadhanah) hakim dapat menghukum tergugat untuk membayar dwangsom. Hal ini dimaksudkan antara lain untuk mengantisipasi berbagai kesulitan pelaksanaan eksekusi anak yang selama ini kerap terjadi.1 Berbagai masalah dan kesulitan dalam penyelesaian baik pada tahapan pemeriksaan apalagi saat pelaksanaan eksekusi, karena sampai saat masalah eksekusi putusan anak masih ada perselisihan dimana ada ahli hukum yang berpendapat anak tidak dapat di eksekusi sedangkan ahli hukum yang lain putusan hadhanah dapat di eksekusi. Para ahli hukum yang berpendapat putusan hadhanah tidak dapat di eksekusi beralasan bahwa selama ini Yurisprudensi yang ada tentang eksekusi semuanya hanya bidang hukum kebendaan, bukan terhadap orang. Oleh karena itu eksekusi terhadap anak sesuai dengan kelaziman yang ada
1 Cik Basir, Hakim pada Pengadilan Agama Lubuk Linggau (Sum-Sel) hal ini Rumusan hasil Rakernas dimaksud selengkapnya menyatakan bahwa pada dasarnya putusan perkara hadhanah dapat dieksekusi, akan tetapi dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kepentingan dan psikologis anak. Untuk menghindari kesulitan pelaksanaan eksekusi, hakim dapat menghukum tergugat untuk membayar dwangsom. Lihat Rumusan Hasil Diskusi Kelompok Bidang Peradilan Agama (Komisi II), (Manado, tanggal 31 Oktober 2012), h.2-3.
1
2
maka tidak ada eksekusinya, apalagi putusan bersifat deklatoir, karena kenyataan sekarang eksekusi terhadap anak hanya bersifat sukarela. Sedang ahli hukum yang memperbolehkan eksekusi terhadap anak dapat dijalankan bahwa perkembangan hukum yang dianut akhir-akhir ini menetapkan bahwa masalah penguasaan anak yang putusannya bersifat comdennatoir. Sejauh ini di Pengadilan Agama menerima permohonan dwangsom itu justru lebih banyak diajukan dalam perkara-perkara sengketa kebendaan, sedangkan dalam perkara pengasuhan anak (hadhanah) dapat dikatakan masih sangat jarang yang disertai dengan tuntutan dwangsom.2 Dari sekian banyak permohonan dwangsom yang diajukan di Pengadilan Agama selama ini khususnya dalam perkara-perkara sengketa kebendaan (zakenrecht) ternyata masih sangat jarang yang sampai dikabulkan hakim. Hal ini tidak dipungkiri disebabkan antara lain karena masih terbatasnya pemahaman sebagian hakim Pengadilan Agama terhadap eksistensi dan urgensi lembaga dwangsom itu sendiri di satu sisi dan penerapannya di Pengadilan Agama di sisi lain.3 Dalam aspek teori dan praktik tuntutan uang paksa (dwangsom) lazim dijumpai dalam setiap gugatan. Kongkritnya, tuntutan uang paksa merupakan hal
2
Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. (Bandung: Mandar Maju, 2002), h. 34 3
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di Indonesia. (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h. 9.
3
wajar dan semestinya diminta oleh pihak penggugat atau para penggugat kepada pihak tergugat atau para tergugat sebagai upaya tekanan agar nantinya pihak tergugat atau para tergugat mematuhi, memenuhi dan melaksanakan tuntutan atau hukuman pokok.4 Uang paksa (Dwangsom) diartikan sebagai hukuman tambahan yang dibebankan hakim kepada pihak tergugat (terhukum) untuk membayar sejumlah uang kepada pihak penggugat dengan tujuan agar tergugat (terhukum) bersedia memenuhi hukuman pokok yang dijatuhkan hakim secara sukarela dalam waktu yang telah ditentukan. Sedangkan dari ketentuan Pasal 606a dan 606b Rv setidaknya ada tiga hal yang perlu dipahami yang merupakan sifat sekaligus sebagai prinsif dasar dari dwangsom sebagaimana diuraikan oleh Harifin Tumpa:5 Pertama, dwangsom itu bersifat pelengkap (accessoir). Oleh karena bersifat accessoir maka gugatan mengenai dwangsom hanya dapat dikabulkan oleh hakim apabila diajukan bersama-sama dengan gugatan pokok. Dengan perkataan lain gugatan mengenai dwangsom tidak bisa diajukan secara tersendiri atau terpisah dengan gugatan pokok, ia selalu harus mengikuti gugatan pokok. Dengan demikian dwangsom tidak mungkin dijatuhkan hakim jika gugatan pokok
4 Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Perdata Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan; Hukum Acara Perdata, Hukum Perdata Materiil, Peradilan Hubungan Industrial, Peradilan Perkara Perdata (Bandung: P.T Alumni, 2009), h. 71. 5
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 18-19.
4
tidak dikabulkan. Gugatan mengenai dwangsom hanya dapat dijatuhkan hakim apabila bersama-sama dengan dijatuhkannya hukuman pokok. Kedua, dwangsom merupakan hukuman tambahan. Dalam hal ini dwangsom yang dijatuhkan hakim bersama-sama dengan hukuman pokok hanya akan diberlakukan terhadap tergugat (terhukum) manakala ia tidak memenuhi hukuman pokok dalam putusan tersebut. Apabila hukuman pokok dalam putusan tersebut telah dilaksanakan dan dipenuhi oleh tergugat (terhukum) sebagaimana mestinya maka dengan sendirinya dwangsom tidak mempunyai kekuatan hukum lagi sehingga tidak perlu dilaksanakan lagi oleh tergugat. Sebaliknya, manakala tergugat lalai melaksanakan hukuman pokok, lalu ia hanya memenuhi dwangsom sebagaimana yang dijatuhkan hakim dalam putusan, pelaksanaan dwangsom tersebut sama sekali tidak menghapuskan hukuman pokok. Keharusan tergugat melaksanakan hukum pokok tetap tidak gugur dengan dilaksanakannya dwangsom. Ketiga, dwangsom merupakan media untuk memberikan tekanan psychis (dwaang middelen) kepada terhukum. Hal ini berarti bahwa dwangsom dimaksudkan untuk memberikan tekanan secara psikis kepada pihak tergugat agar yang bersangkutan mau melaksanakan putusan hakim secara sukarela. Di sini kedudukan dwangsom jelas fungsi utamanya adalah sebagai alat untuk menekan pihak tergugat agar ia mau memenuhi hukuman pokok secara sukarela.6
6
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana Prenada Madia Group, 2008), h. 439.
5
Inilah tiga hal yang merupakan sifat sekaligus prinsif lembaga dwangsom yang penting untuk diketahui dan dipahami guna memudahkan dalam memahami eksistensi dan urgensinya dalam praktik Peradilan di Indonesia. Disisi lain, persoalan mengenai boleh atau tidaknya menerapkan dwangsom dalam putusan hadhanah masih diperselisihkan oleh para praktisi hukum. Sebagian praktisi hukum berpendapat bahwa dwangsom ini tidak boleh diterapkan dalam putusan hadhanah karena konteksnya berbeda, sebagian praktisi hukum yang lain berpendapat bahwa lembaga dwangsom dapat juga diterapkan dalam putusan hadhanah karena dengan mencamtumkan dwangsom itu pihak tergugat akan memenuhi isi putusan hakim jika ia mengetahui ada kewajiban yang harus dipenuhi apabila ia tidak melaksanakan hukuman pokok yang dibebankan kepadanya. Hipotesa atas persoalan ini tampaknya pendapat yang terakhir menginginkan diterapkan lembaga dwangsom dalam putusan hadhanah apabila dilihat dari doolmattigheit-nya, lebih-lebih lagi apabila penerapan itu dengan tujuan kemaslahatan.7 Berdasarkan uraian di atas yang telah dijelaskan, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh bagaimana penerapan atau implementasi uang paksa dalam perkara hadhanah. Berangkat dari keingintahuan penulis inilah, penulis ingin mencoba meneliti dan menguraikan bentuk penulisan skripsi dengan judul: “Penerapan Uang Paksa (Dwangsom) Dalam Perkara Hadhanah (Analisis Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks)”
7
438.
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, h.
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Pembahasan mengenai penerapan atau implementasi uang paksa dalam perkara hadhanah banyak perbedaan antara para ahli hukum, karena masih banyak ahli hukum yang berbeda pendapat akan hal ini, maka dari permasalahan ini penulis ingin mengkaji lebih dalam dan memberikan batasan pada Penerapan Uang Paksa (Dwangsom) Pada Pelaksanaan Putusan hanya pada Perkara Hadhanah saja (Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks) di Pengadilan Tinggi Agama Makassar. 2. Perumusan Masalah Perkara Hadhanah yang sering kita temui dalam praktek yang terkadang kasusnya sangat komplek dan cukup luas jangkauannya dikarenakan banyaknya pihak tergugat atau yang kalah jarang sekali yang melaksanakan putusan dari pengadilan, sehingga proses eksekusi terhadap anak sering terjadi tarik-ulur. Sehingga banyak ahli hukum berpendapat untuk memasukkan unsur uang paksa (dwangsom) pada perkara hadhanah ini agar memberikan efek jera pada tergugat, akan tetapi hal psikis anak harus juga diliat berkaitan eksekusinya, dalam skripsi ini penulis mencoba untuk menganalisis juga terkait putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar (Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks) yang menyertakan dwangsom dalam perkara hadhanah. Hal ini lah yang masih menjadi perdebatan para ahli. Berdasarkan uraian pokok permasalahan di atas, maka penulis mencoba memformulasikan
7
dalam rumusan penelitian ini dengan mengajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: a. Bagaimana Dasar Hukum implementasi uang paksa (dwangsom)? b. Apa saja Kategori Perkara yang dapat dijatuhi uang paksa (dwangsom)? c. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
uang paksa
(dwangsom) terhadap tergugat dalam perkara hadhanah Analisis Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
C. Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan penulis bertujuan: 1. Untuk mengetahui Dasar Hukum implementasi uang paksa (dwangsom). 2. Untuk mengetahui Apa saja
Perkara yang dapat dijatuhi uang paksa
(dwangsom). 3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan uang paksa (dwangsom) terhadap tergugat dalam perkara hadhanah Analisis Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
D. Review Study 1. Pelaksanaan Eksekusi Sengketa Hadhanah di Pengadilan agama Cikarang, oleh: RA Didin Dlliyauddin, (109044200003) Tahun 2014. 2. Hak Asuh Anak Akibat Istri Nusuz (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta
Timur
(Putusan
Nomor:
377/Pdt.G/2006/PAJT)
Zulkarnain, (106044201462) Tahun 2011.
oleh:
Hadi
8
3. Hadhanah Perspektif Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi’i dan Prakteknya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan (Studi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1185/Pdt.G/2006/PAJS) oleh: Sabaruddin (204044103057) Tahun 2009.
E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis a. Diharapkan memberikan manfaat bagi pihak terkait, yang dalam hal ini para pihak khususnya yang konsen mengkaji Hukum Acara Perdata. b. Untuk menambah serta memperdalam ilmu pengetahuan penulis akan hal Hukum Acara Perdata. c. Sebagai bahan pertimbangan untuk dijadikan acuan terhadap pembuatan penelitian yang serupa di masa mendatang. 2. Manfaat Praktis a. Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai hak asuh anak (hadhanah) dan uang paksa (dwangsom). b. Untuk meningkatkan penalaran dan membentuk pola pikir dinamis serta mengaplikasikan ilmu yang diperoleh penulis selama studi di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9
F. Metode Penelitian Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka Penulis menggunakan metode: 1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah a. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.8 b. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini. Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini menggunakan pendekatan konseptual (Conseptual Approach).9 Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandang dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan dokrtin-doktrin didalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asasasas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.
8
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h. 294. 9
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta, Kencana, 2011), cet. 7, h. 137.
10
2. Sumber Hukum Sumber Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bahan hukum primer yaitu bahan-bahan mengikat yakni, Kompilasi Hukum Islam, dan Burgelijk Wetbok. Dan sumber data sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer yang terdiri dari buku-buku (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi.10 Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.11 3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.12 4. Teknik Analisis Bahan Hukum Analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang berkaitan dengan pengelolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan
10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 13.
201.
11
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, h. 29.
12
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, h.
11
untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah. Pada penelitian hukum normatif, pengelolahan bahan hukum hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahanbahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Dalam analisis Bahan Hukum ini kegiatan yang dilakukan antara lain a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang hukum hak asuh anak serta tentang uang paksa dalam peraturan perundang-undangan. b. Membuat sistematik dari pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu.
G. Teknik Penulisan Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
H. Sistematika Penulisan Pendahuluan dalam sub bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, Studi review terdahulu, manfaat penelitian, metode penelitian, teknik penulisan dan sistematika penulisan.
12
Kedua dalam Bab ini menjelaskan tentang Pengertian Uang
Paksa
(dwangsom) kemudian tentang Kegunaan Dwangsom dan yang terakhir tentang Eksistensi Hadhanah dalam Hukum Islam dan Hukum Positif. Ketiga dalam bab ini penulis menjelaskan tentang Histori Pengadilan Tinggi Agama Makassar kemudian menjelaskan tentang Struktur Organisasi Pengadilan Tinggi Agama Makassar dan yang terakhir menjelaskan tentang Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama Makassar. Keempat dalam bab terakhir ini berisikan tentang Dasar Hukum Implementasi Uang Paksa (dwangsom) kemudian menjelaskan tentang Kategori Perkara Yang Dapat Dijatuhi Uang Paksa (dwangsom) kemudian menjelaskan tentang Tata Cara Pengajuan Dwangsom Dalam Gugatan dan yang terakhir tentang Analisis Penulis Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Uang Paksa (dwangsom) (putusan nomor 2/Pdt.G/2013/PTA.MKS). Kelima dalam bab terakhir ini berisikan tentang kesimpulan dari penulis beserta saran-saran penulis dan penutup.
BAB II UANG PAKSA (DWANGSOM) DAN PELAKSANAAN PUTUSAN (EXECUTIE VERKOOP) HADHANAH
A. Pengertian Uang Paksa (dwangsom) Hukuman adalah resiko yang ditanggung oleh siapa saja yang melakukan kesalahan akibat perbuatannya. Hukuman tidak selamanya berbentuk penjara untuk mengekang dalam arti fisik agar orang itu terasing dari komunitas sosial dalam pembinaan diri untuk menjadi lebih baik. Hukuman menjadi sebuah sarana pengendalian sosial (social control) yang efektif dalam pembinaan terhadap orang yang melakukan kesalahan. Dalam ranah hukum privat/perdata terdapat hukuman yang disebut “uang paksa” sebagai uang hukuman bagi seseorang tergugat (orang yang menimbulkan kerugian bagi orang lain) yang ditetapkan dalam putusan hakim yang sifatnya komdemnatoir.1 Qudelaar menjelaskan sebagaimana dikutip oleh Lilik Mulyadi, tuntutan uang paksa (dwangsom) adalah sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan
1
Ditinjau dari segi sifatnya, terdapat beberapa jenis putusan yang dapat dijatuhkan hakim: Putusan declatoir atau deklarator adalah yang berisi pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum semata-mata, Misalnya putusan yang menyatakan ikatan perkawinan sah, perjanjian jual beli sah. Putusan Constitutief atau konstitutif (constitutief vonnis) adalah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan hubungan hukum baru, misalnya putusan perceraian. Putusan Condemnatoir atau kondemnator adalah putusan yang memuat amar menghukum salah satu pihak yang berperkara. Putusan yang bersifat kondemnator merupakan bagian yang tidak terpisah dari amar deklaratif atau konstitutif. Lihat M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 872874.
13
14
hakim yang harus dibayar oleh si Terhukum untuk kepentingan pihak lawan apabila ia tidak memenuhi hukuman pokok.2 Dasar hukum dwangsom dijelaskan dalam Pasal 606a Rv. menentukan: Sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada pembayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan,bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim, dan uang tersebut dinamakan uang paksa.3 Tuntutan uang paksa dalam praktik peradilan perkara perdata di Indonesia lazim disebut dengan terminology "Dwangsom". Terminology "dwangsom" ini berasal dari bahasa Belanda, yang merupakan kata absorptie dari bahasa Perancis yaitu kata "astreinte". Dalam aspek teori dan praktik tuntutan uang paksa (dwangsom) lazim dijumpai dalam setiap gugatan. Konkritnya, tuntutan uang paksa merupakan hal wajar dan semestinya diminta oleh pihak Penggugat atau para Penggugat kepada pihak Tergugat atau para Tergugat sebagai upaya tekanan agar nantinya pihak Tergugat atau para Tergugat mematuhi, memenuhi dan melaksanakan tuntutan atau hukuman pokok.4 Penerapan dwangsom (uang paksa) dalam hukum acara perdata berkaitan dengan amar putusan yang mesti dilaksanakan oleh pihak yang kalah dalam
2
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia: Teori, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya (Bandung: PT. Citra Aditya Abadi, 2009), h. 70. 3
Harifin A.Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (dwangsom) dan Implementasinya di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 17. 4
Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Perdata Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan; HukumAcara Perdata, Hukum Perdata Materiil, Peradilan Hubungan Industrial, Peradilan Perkara Perdata (Bandung: P.T Alumni,2009), h. 71. .
15
sengketa perdata terhadap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan pengertian ini dapat diketahui bahwa sifat dwangsom adalah sebagai berikut:5 1. merupakan accecoir, tidak ada dwangsom apabila tidak ada hukuman pokok, apabila hukuman pokok telah dilaksanakan maka dwangsom yang ditetapkan bersama hukuman pokok tersebut menjadi tidak mempunyai kekuatan lagi; 2. merupakan hukuman tambahan, apabila hukuman pokok yang ditetapkan oleh hakim tidak dipenuhi oleh Tergugat, maka dwangsom tersebut dapat dijalankan eksekusi; 3. merupakan tekanan pcychis, dengan adanya hukuman dwangsom yang ditetapkan oleh putusan hakim dalam putusannya, maka orang yang dihukum tersebut ditekan secara pcychis agar ia dengan sukarela menjalankan hukuman pokok yang telah ditentukan oleh hakim. B. Kegunaan Uang Paksa (dwangsom) Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar pemeriksaan perkara perdata adalah gugatan. Oleh karena itu, apabila di dalam gugatan diminta adanya suatu dwangsom, hakim dapat saja mengabulkannya. Kewenangan ada pada hakim tingkat pertama, banding maupun kasasi.6 Tentang seberapa jauh hakim
5
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet ke5, (Jakarta: Kencana Prenada Madia Group, 2008), h.230. 6 Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 51.
16
agar dapat mengabulkan suatu dwangsom, itu sangat tergantung pada kebijaksanaan (diskresioner) dari hakim. Tidak harus setiap permintaan dwangsom yang memenuhi rumusan ketentuan pasal 611a Rv harus dikabulkan oleh
hakim.
Hakim
pulalah
yang
mempunyai
kewenangan
untuk
mempertimbangkan fakta-fakta dan menentukan suatu jumlah uang paksa (dwangsom). Adalah suatu sifat yang sangat bijaksana bila hakim mempertimbangkan kemampuan dr si terhukum (tergugat) didalam menjatuhkan dwangsom. Di samping itu, dalam menetapkan besarnya uang paksa (dwangsom) hakim hendaknya juga mempertimbangkan apkah jumlah uang paksa (dwangsom) yang dijatuhkan itu dapat bekerja secara efektif sesuai dengan tujuannya, artinya apakah hukuman dwangsom itu akan sungguh-sungguh merupakan tekanan psychis bagi terhukum, sehingga si terhukum ini akan dengan sukarela memenuhi hukuman pokoknya.7 Pembayaran suatu jumlah uang secara paksa (setidak-tidaknya ancaman untuk melakukan itu) digunakan sebagai alat pemaksa, maka alat pemaksa ini tidak diperlakukan di dalam hal keputusan itu berupa pembayaran sejumlah uang. Dengan melihat maksud dan tujuan dari dwangsom tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dalam eksekusi riil hanya mempunyai 2 unsur, yaitu: 8 7
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 51. 8
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di Indonesia, h. 21.
17
1. Adanya suatu ancaman (de bedreiging) yang bekerja secara psychis; dan 2. Pelaksanaan secara paksa (de uitvoering geweld). Sedangkan dwangsom mempunyai unsur yang lebih luas, yaitu: 1.
Ancaman yang berasal dari penerapan dwangsom;
2.
Berlakunya dwangsom;
3.
Tuntutan pelaksanaan dwangsom. Dengan adanya ancaman dari suatu kemungkinan penerapan dwangsom
yang kemudian diterapkan dan dilaksanakan secara paksa, si berutang diharapkan melaksanakan secara sukarela apa yang ditentukan dalam hukuman pokok, sebelum dwangsom betul-betul dilaksanakan. Dalam rumusan ketentuan pasal 61d Ayat 1 menetukan bahwa hakim yang telah menjatuhkan dwangsom, dapat menghapuskan, atau menunda untuk suatu jangka waktu atau mengurangi dwangsom baik mengenai jumlahnya maupun jangka waktunya, di dalam hal si terhukum tidak mungkin melaksanakan hukuman pokok. Kemudian Ayat 2 menegaskan bahwa hakim tidak boleh mengubah suatu dwangsom yang telah berkekuatan hukum, sebelum ternyata adanya
ketidak-mungkinan
tersebut.9
Ternyata
undang-undang
tidak
menjelaskannya. Hal ini tentunya diserahkan sepenuhnya kepada kearifan dari hakim dan para ahli hukum. Menurut yurisprudensi dan literatur ditemukan dua kemungkinan sebagai dasar “ketidakmungkinan” tersebut yaitu:
9
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 39.
18
1. Tidak mungkin melaksanakan prestasi pokok secara materiil/fisik; 2. Tidak mungkin melaksanakan prestasi pokok secara psychis.
C. Eksistensi Hadhanah Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif 1. Menurut Fiqh Dalam islam pemeliharaan anak disebut hadhanah. Secara etimologis, hadhanah jamaknya ahdhan atau hudhun terambil dari kata hidhn yaitu anggota badan yang terletak di bawah ketiak hingga al-kayh (bagian badan sekitar pinggul antara pusat hingga pinggang). Burung dikatakan hadhanattha’ir baydhahu, manakala burung tidak mengerami telurnya karena dia mengumpulkan (mengempit) telurnya itu kedalam dirinya di bawah (himpitan sayapnya).10 Demikian pula sebutan hadhanah diberikan kepada seorang perempuan (ibu) manakala mendekap (mengemban) anaknya di bawah ketiak, dada, serta pinggulnya.11 Hadhanah menurut bahasa berarti meletakan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan.12 Hadhanah juga berarti “di samping” atau berada “di bawah ketiak”. Sedangkan secara terminologis, hadhanah adalah merawat dan mendidik
seseorang
yang
belum
mumayiz
atau
yang
kehilangan
10
Ahmad Warson, kamus Al-Munawir Arab – Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 296. 11
12
Sayyid Sabiq, Fiqhus-Sunnah Jilid 2, (Beirut-Lubhan : Dar al-Fikr, 1973), h. 339.
DEPAG RI, Ilmu Fiqh, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN Jakarta, 1984/1985. Jilid II, h. 206.
19
kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.13 Dalam kajian fiqh, pemeliharaan anak biasa disebut dengan hadhanah yang berarti memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan segala sesuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat merusaknya.14 Para
ulama
fiqh
mendefinisikan
hadhanah
yaitu
melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, akhlaknya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.15 Dalam kitab Subulussalam disebutkan bahwa hadhanah adalah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri mengurus dirinya, pendidikannya
serta
pemeliharaannya
dari
segala
sesuatu
yang
membinasakannya atau membahayakannya.16 Dalam literatur fiqh, hadhanah didefinisikan dalam beberapa terminologis diantaranya: 13
Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), h.
14
Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), h. 67.
15
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut : Dar Fikr, 1983), h. 287.
293.
16
Imam Muhammad Ibnu Ismail As-Shan‟ani, Subulussalam Juz III, (Kairo: Dar Ihya AlTuras Al-Araby, 1960), h. 227.
20
a. Menurut Sayyid Sabiq:17
Artinya: “Suatu sikap pemeliharaan terhadap anak kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang kurang akal, belum dapat membedakan antara baik dan buruk, belum mampu dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikan, dan memeliharanya dari sesuatu yang menyakiti dan membahayakannya, mendidik serta mengasuhnya baik fisik maupun mental atau akal, supaya menegakkan kehidupan sempurna dan bertanggung jawab”. b. Menurut Qalyubi Dan Umairah:18
Artinya : “Hadhanah ialah menjaga anak yang tidak dapat mengurus urusannya dan mendidiknya dengan hal-hal yang baik”. Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hadhanah adalah mengasuh atau memelihara anak yang belum mumayiz supaya menjadi manusia yang hidup sempurna dan tanggung
jawab.
Hadhanah
diartikan
dengan
pemeliharaan
dan
pendidikan. Yang dimaksud mendidik dan memelihara disini adalah 17
18
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr, 1983), h. 289.
Syeikh Al-syihab Al-Din Al-Qalyubi Wa Al-„Umairah, Al-Mahalli Juz IV, (Kairo: Dar Wahya Al-Kutub, 1971), h. 88.
21
menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal yang anak-anak itu belum sanggup mengatur sendiri.19 Menurut Wahbah Al-Zuhaili, hadhanah merupakan hak bersama antara kedua orang tua serta anak-anak, sehingga apabila nantinya timbul permasalahan dalam hadhanah, maka yang diutamakan adalah hak anak.20 Dalam meniti kehidupannya di dunia seorang anak memiliki hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Orang tua tidak boleh begitu saja mengabaikan lantaran hak-hak anak tersebut termasuk ke dalam salah satu kewajiban orang tua terhadap anak yang telah digariskan dalam islam, yakni hadhanah memelihara anak sebagai amanah Allah yang harus dilaksanakan dengan baik.21 Kewajiban orang tua merupakan hak anak. Menurut Abdul Rozak, anak mempunyai hak-hak sebagai berikut:22 1) Hak anak sebelum dan sesudah melahirkan. 2) Hak anak dalam kesucian keturunannya. 3) Hak anak dalam pemberian nama yang baik. 4) Hak anak dalam menerima susuan. 19
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), h. 391.
20
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Islam Wa Adillatuhu Juz VII, (damaskus: Dar Al-fikr, 1984), h. 279.
21
Abdur Rozak Kusein, Hak Anak Dalam Islam, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995), h. 49.
22
Neng Djubaedah, dkk, Hukum Perkawinan Islam DI Indonesia, (Jakarta: PT. Hecca Utama, 2005), h. 177.
22
5) Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaan. 6) Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau hak warisan demi kelangsungan hidupnya. 7) Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Undang-undang
perkawinan saat ini belum mengatur secara
khusus tentang pengawasan anak sehingga pada waktu sebelum tahun 1989, para hakim masih menggunakan kitab-kitab fiqh. Barulah setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan KHI, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikan.23 2. Menurut Hukum Perdata Pemeliharaan anak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Kesatu hal Orang pada Bab X, XI, dan XIV, Pada pasal 289 bab XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua bagian 1 Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa setiap anak, berapapun juga umurnya wajib menghormati dan menghargai kedua orang tuanya. Dalam tinjauan hukum perdata mengenai siapa yang paling berhak memelihara atau mengasuh anak yang masih di bawah umur, akibat dari perceraian suami istri adalah kewajiban orang tuanya. 23
298-299.
Amiur Nuruddin dkk, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006). h.
23
Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang masih di bawah umur. Kehilangan kekuasaan orang tua atau kekuasaan wali tidak membebaskan mereka dari kewajiban untuk memberi tunjangan menurut besarnya pendapatan mereka guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka itu.24 Kemudian juga dijelaskan pada pasal 299 bab XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua bagian 1 Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa selama perkawinan orang tuanya, sejauh kedua orang tua tersebut tidak dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan itu. Kecuali jika terjadi pelepasan atau pemecatan dan berlaku ketentuan-ketentuan mengenai pisah meja dan ranjang, bapak sendiri yang melakukan kekuasaan itu. Bila bapak berada dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan kekuasaan orang tua, kecuali dalam hal adanya pisah meja atau ranjang. Bila ibu juga tidak dapat atau tidak berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri diangkat seorang wali sesuai dengan pasal 359. Hal ini terdapat dalam pasal 300 bab XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.25 Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, orang tua (bapak ataupun ibu) memiliki hak yang setara dan sama 24
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: sinar Grafika, 2007), h. 72.
25
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h.76.
24
sebagai orang tua untuk mengasuh, memelihara dan merawat serta melindungi hak-hak anak. Yang terpenting, kemampuan orang tua untuk mengasuh dan memelihara anak.26 Mengenai pemeliharaan anak yang masih dibawah umur, diatur dalam pasal 229 bab X Tentang Pembubaran Perkawinan pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berisikan: “Setelah memutuskan perceraian, dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah para orang tua atau keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak yang dibawah umur, Pengadilan Negeri akan menetapkan siapa dari kedua orang tua akan melakukan perwalian atas tiap-tiap anak, kecuali jika kedua orang tua itu dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua, dengan mengindahkan putusan-putusan hakim terdahulu yang mungkin memecat atau melepas mereka dari kekuasaan orang tua.27 Dari uraian tersebut di atas, bahwa setelah adanya kekuasaan orang tua atau para wali atau yang ditetapkan oleh Pengadilan, kecuali keduanya telah dipecat dari kekuasaannya, dikarenakan telah melalaikan tugasnya atau berperilaku tidak baik. Jadi, menurut hukum perdata, bahwa hak memelihara atau mengasuh anak yang masih kecil tetap berada dalam tanggungan orang tua baik dari ibu maupun ayah. 26
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), h. 211. 27
h. 72.
Soedharyo soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
25
Sebagaimana dijelaskan juga dalam pasal 231 bab X Tentang Pembubaran Perkawinan pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, “Bubarnya perkawinan karena perceraian tidak akan menyebabkan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu kehilangan keuntungan-keuntungan yang telah dijamin bagi mereka oleh undang-undang atau oleh perjanjian perkawinan orang tua mereka”. Menurut pasal tersebut di atas, bahwa hak mengasuh terhadap anak kecil meskipun
orang
tua
telah
terjadi
perceraian,
tetap
berada
dalam
tanggungannya, dengan syarat anak tersebut adalah yang dilahirkan atas perkawinan yang sah.28 3. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan KHI Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara tegas yang merupakan rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum pengauasaan anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah penguasaan anak (hadhanah) ini belum dapat diberlakukan secara efektif sehingga pada hakim di lingkungan Peradilan Agama
pada waktu itu masih mempergunakan
hukum hadhanah yang tersebut dalam Kitab-Kitab Fiqh ketika memutus perkara yang berhubungan dengan hadhanah itu. Setelah diberlakukan 28
h. 55-56.
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
26
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menjadi dan menyelesaikannya.29 Kompilasi Hukum Islam juga melakukan antisipasi jika kemungkinan seorang bayi disusukan kepada perempuan yang bukan ibunya sebagaimana dikemukakan dalam pasal 104 yaitu: (1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayah. Apabila ayahnya meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya; (2) Penyusuan dilakukan paling lama dua tahun dan dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayahnya.30 Antisipasi ini sangat positif sebab meskipun ibu yang harus menyusui anaknya tetapi dapat diganti dengan susu kaleng atau anak disusukan oleh seorang ibu yang bukan ibunya sendiri. Ketentuan ini juga relavan dengan hal yang terdapat dalam ayat 233 surat Al-Baqarah yang menjadi acuan dalam hal pemeliharaan anak. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 41, dapat dipahami bahwa ada perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat material dengan tanggung jawab pengasuhan. Pasal 41 ini lebih memfokuskan kepada kewajiban dan tanggung jawab 29
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 428-429. 30
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 149.
27
material yang menjadi beban suami atau bekas suami jika ia mampu, dan sekiranya tidak mampu Pengadilan Agama dapat menentukan lain sesuai dengan keyakinannya.31 Dalam kaitan ini, Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 menjelaskan secara lebih rinci dalam hal suami istri terjadi perceraian yaitu (1) pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; (2) pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; (3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.32 Pada pasal 48 bab X mengenai Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan orang tua juga tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.33 Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 menyatakan pada ayat: 1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak tercatat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. 31
Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986) h. 149.
32
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h. 138. 33
Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus untuk Anggota ABRI, POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negara Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 14-15.
28
2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan. 3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.34 Jadi, dengan adanya perceraian, hadhanah bagi anak yang belum mumayiz dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan tersebut tetap dipikulkan kepada ayahnya. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun mereka bercerai. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 34 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dimana dijelaskan bahwa suami mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan memberi segala kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan rumah tangganya. Apabila suami ingkar terhadap tanggung jawabnya, bekas istri yang diberi beban untuk melaksanakan, maka Pengadilan Agama setempat agar menghukum bekas suaminya untuk membayar biaya hadhanah sebanyak yang dianggap patut jumlahnya oleh Pengadilan Agama. Jadi, pembayaran itu dapat dipaksakan melalui hukum berdasarkan putusan Pengadilan Agama.35 Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anakanaknya, maka kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan Pengadilan Agama. Adapun alasan pencabutan tersebut karena: (1) orang tua itu sangat
34
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan agama (Dalam Sistem Hukum Nasional), (Jakarta: Logos, 1999), h. 189. 35
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h. 13.
29
melalaikan kewajiban terhadap anaknya; (2) orang tua berkelakuan buruk sekali, M. Yahya Harahap (1975:216) menjelaskan bahwa orang yang melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidak becusan si orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan waktu lama, sakit uzur atau gila dan berpergian dalam suatu jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh sebagai pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh yang baik.36 Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaimana tersebut di atas, maka terhentinya kekuasaan orang tua itu untuk melakukan penguasaan kepada anaknya. Jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya ayahnya saja, maka dia tidak berhak lagi mengurusi urusan pengasuhan, pemeliharaan dan mendidik anaknya, tidak berhak lagi untuk mewakili anak di dalam dan di luar pengadilan.37 Dengan demikian, ibunyalah yang berhak melakukan
pengasuhan
terhadap
anak
tersebut,
ibunyalah
yang
mengendalikan pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut. Berdasarkan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
36
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 431. 37
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, h. 431.
30
biaya
pemeliharaan
ini
tetap
melekat
secara
permanen
meskipun
kekuasaannya terhadap anaknya dicabut.38 4. Dasar Hukum Hadhanah Islam telah mewajibkan pemeliharaan atas anak sampai anak tersebut telah mampu berdiri dengan sendirinya tanpa mengharapkan bantuan orang lain. Oleh karena itu mengasuh anak yang masih kecil adalah wajib karena apabila anak yang masih dibawah umur dibiarkan begitu saja akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai membahayakan. Selain itu, ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat merusaknya. Dasar hukum hadhanah yaitu: a. Al-Qur‟an Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 223: Artinya: “ Para ibu hendaklah menyusunkan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu memberi makan dan Pakaian kepada para ibu 38
h. 15.
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sianar Grafika, 2007),
31
dengan cara ma‟ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. Pada ayat ini, Allah SWT mewajibkan kepada orang tua untuk memelihara anak mereka, ibu berkewajiban menyusuinya sampai umur dua tahun. Dan bapak berkewajiban memberikan nafkah kepada ibu. Dibolehkan mengadakan penyapihan (menghentikan penyusuan) sebelum dua tahun apabila ada kesepakatan antara kedua orang tua dan mereka boleh mengambil perempuan lain untuk menyusukan anak tersebut dengan syarat memberikan upah yang pantas. Hal ini demi keselamatan anak itu sendiri.39 b. As-Sunnah Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :40
525.
39
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 392-393.
40
Abu Daud Sulaiman bin Al-Sajastani, Sunan Abu Daud Juz I, (Beirut: Daar Fikr, 2003), h.
32
. Artinya: “Dari hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Syuaib dari ayahnya, dari kakeknya, Abdullah bin Amr bahwa seorang perempuan berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini telah menjadikan perutku sebagai tempat (naungan)-nya, air susuku menjadi minumannya, dan pangkuanku sebagai tempat berteduhnya. Sedangkan ayahnya telah mentalakku seraya menginginkan untuk mengambilnya dariku”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Kamu lebih berhak terhadapnya selama belum menikah”. Hadis ini menjelaskan bahwa ibu lebih berhak dari pada bapak selama ibunya belum menikah lagi. Ibu lebih diutamakan karena mempunyai kelayakan mengasuh dan menyusui, mengingat ibu lebih mengerti dan mampu mendidik anak. Kesabaran ibu dalam hal ini lebih besar dari pada bapak. Waktu yang dimiliki ibu lebih lapang dari pada bapak. Karena itu, ibu lebih diutamakan demi menjaga kemaslahatan anak. Jika si ibu telah menikah dengan laki-laki lain, maka hak hadhanah menjadi hilang.41
41
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq jilid 2, (Jakarta: Al-I‟tishom, 2008), h. 528.
BAB III PROFIL PENGADILAN TINGGI AGAMA MAKASSAR
A. Histori Pembentukan Pengadilan 1. Masa Sebelum Penjajahan Pada pemerintahan Raja Gowa III (1637-1653) yang bernama Sultan Malikus Saleh dibentuk semacam Pengadilan Tinggi Agama, dimana kepalanya diberi gelar Parewa Syara’ (Pejabat Syari’at) dan bawahannya disebut IMAM dan dibantu oleh seorang Khatib dan seorang Bilal.1 Pada tahun 1611 Kerajaan Bone menerima agama Islam sebagai agama resmi dan Raja adalah penghulu tertinggi (Syaikhul Islam). Parewa Syara’ bertugas sebagai aparat pelayanan bagi masyarakat Islam, seperti pelaksanaan ibadat, upacara keagamaan, pembinaan dan perawatan bangunan keagamaan, melayani upacara pernikahan, kematian dan menyelesaikan perkara-perkara kewarisan. Parewa Syara’ mendapat nafkah dari zakat fitrah, zakat harta, sedekah Iedul Fitri dan Iedul Adha, penyelenggaraan mayat, kenduri kerajaan dan pernikahan. 2. Masa Penjajahan Belanda dan Jepang Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang Parewa Syara’ tidak mengalami perubahan sekalipun Kerajaan Bone dan Gowa telah ditaklukkan 1
Diakses dari website www.pta-makassar.co.id pada tanggal 24 November 2013 pkl. 16.15 wib
33
34
oleh Belanda dan Jepang, penyelesaian masalah perceraian dan kewarisan tetap ditangani oleh Parewa Syara’. 3. Masa Kemerdekaan Pada tahun 1957 Pemerintah RI mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957 Lembaran Negara No. 99 tentang Pembentukan Mahkamah Syari’ah di luar Jawa dan Madura, Kalimantan serta sebagian Kalimantan Timur. Pada tahun 1958 Menteri Agama menetapkan Penetapan Menteri Agama Nomor : 5 tahun 1958 tentang pembentukan beberapa Mahkamah Syari’ah antara lain Mahkamah Syari’ah Propinsi di Makassar yang wilayah hukumnya meliputi Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya.2 4. Masa berlakunya Undang-undang No. 1 tahun 1974 Setelah Undang-undang Nomor: 1 tahun 1974 berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor: 9 tahun 1975, maka Mahkamah Syari’ah Propinsi di Makassar berangsur-angsur dikurangi wilayah hukumnya hanya meliputi Sulawesi-Selatan dan Tenggara saja, dan namanya berubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama Ujungpandang. 5. Masa Berlakunya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Pengadilan Tinggi Agama Ujungpandang dikembangkan lagi menjadi dua
Pengadilan
Tinggi
Agama,
yakni
Pengadilan
Tinggi
Agama
Ujungpandang dan Pengadilan Tinggi Agama Kendari berdasarkan Undang2
Diakses dari website www.pta-makassar.co.id pada tanggal 26 maret 2015 pkl. 09.18 wib
35
undang Nomor: 3 tahun 1995, jadi Pengadilan Tinggi Agama Ujung Pandang hanya mewilayahi Sulawesi Selatan saja dan Pengadilan Tinggi Agama Kendari mewilayahi Sulawesi Tenggara. 6. Masa Sekarang Dengan berubahnya nama Kota Ujungpandang menjadi Kota Makassar pada tahun 2000, maka secara otomatis Pengadilan Tinggi Agama Ujungpandang berubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama Makassar. Dan pada tanggal 30 Juni 2004 Pengadilan Tinggi Agama Makassar berada di bawah naungan Mahkamah Agung RI berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi, dan Finansial di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung yang ditetapkan pada tanggal 23 Maret 2004 yang sebelumnya berada di bawah naungan Departemen Agama RI.3 Berdasarkan Undang-undang nomor 26 tahun 2004 telah terbentuk propinsi baru di Sulawesi yakni Sulawesi Barat yang memiliki 5 wilyah kabupaten. Dengan terbentuknya propinsi baru tersebut, maka Pengadilan Agama yakni : PA Polewali, PA Mamuju, dan PA Majene masuk menjadi wilayah Sulawesi Barat. Dengan belum terbentuknya Pengadilan.
3
Diakses dari website www.pta-makassar.co.id pada tanggal 26 Maret 2015 Pkl. 09.20 wib.
36
B. Struktur Organisasi Pengadilan Tinggi Agama Makassar
37
C. Kedudukan Dan Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama Makassar Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding. Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yakni menyangkut perkaraperkara:4 1. Perkawinan; 2. Waris; 3. Wasiat; 4. Hibah; 5. Wakaf; 6. Zakat; 7. Infaq; 8. Shadaqah; dan 9. Ekonomi Syari’ah. Di samping itu, Pengadilan TInggi Agama juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan.
4
Diakses dari website www.pta-makassar.co.id pada tanggal 26 Maret 2015 pkl. 09.20 wib
38
Fungsi: Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Tinggi Agama mempunyai fungsi sebagai berikut :5 1. Memberikan pelayanan teknis yustisial bagi perkara banding. 2. Memberikan pelayanan di bidang administrasi perkara banding dan administrasi peradilan lainnya. 3. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam pada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta sebagaimana diatur dalam pasal 52 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 4. Mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan perilaku Hakim, Panitera, Sekretaris dan Jurusita di daerah hukumnya. 5. Mengadakan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Agama dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya. 6. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan Tinggi Agama dan Penagdilan Agama. 7. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti hisab rukyat dan sebagainya. Pengadilan Agama Merupakan Pengadilan Tingkat Pertama yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di 5
Diakses dari website www.pta-makassar.co.id pada tanggal 26 Maret 2015 Pkl. 09.22 wib
39
tingkat pertama antara orang–orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta waqaf, zakat, infaq dan shadaqah serta ekonomi Syari’ah sebagaimana di atur dalam Pasal 49 UU Nomor 50 Tahun 2009. Pengadilan Agama mempunyai dua kewenangan yaitu : 1. Kewenangan relatif Kewenangan relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat banding. Artinya, cakupan dan batasan kewenangan relatif pengadilan ialah meliputi daerah hukumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kewenangan relatif diartikan sebagai kewenangan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kewenangan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya, misalnya antara Pengadilan Negeri Magelang dengan Pengadilan Negeri Purworejo, antara Pengadilan Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama Baturaja. Pengadilan Negeri Magelang dan Pengadilan Negeri Purworejo satu jenis, sama-sama lingkungan peradilan umum dan sama-sama pengadilan tingkat pertama. Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Pengadilan Agama Jakarta Utara satu jenis, yaitu sama-sama lingkungan peradilan agama dan satu tingkatan, sama-sama tingkat pertama.6
6
Chatib Rasyid dkk, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik Pada Peradilan Agama, Yogyakarta : UII Press 2009 h. 26
40
2. Kewenangan absolut Kewenangan absolut artinya kewenangan pengadilan agama yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan. Dalam perbedannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, misalnya : Pengadilan agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kewenangan peradilan umum. Pengadilan agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di pengadilan tinggi agama atau mahkamah agung. Banding dari pengadilan agama diajukan ke pengadilan tinggi agama, tidak boleh diajukan ke pengadilan tinggi.7 Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat pertama (vide : Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006). 2. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik 7
Ibid, h. 27-28
41
menyangkut teknis yudicial, administrasi peradilan, maupun administrasi umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan. (vide : Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor KMA/080/VIII/2006). 3. Fungsi
pengawasan,
yakni
mengadakan
pengawasan
melekat
atas
pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera Pengganti, dan Jurusita/ Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya (vide : Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006) dan terhadap pelaksanaan administrasi umum kesekretariatan serta pembangunan. (vide: KMA Nomor KMA/080/VIII/2006). 4. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. (vide : Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006). 5. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan, dan umum/perlengakapan) (vide : KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006). 6. Fungsi Lainnya : a. Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-lain (vide: Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).
42
b. Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.8
8
Diakses dari website www.pta-makassar.co.id pada tanggal 24 November 2013 pkl.16.15wib
BAB IV PENERAPAN UANG PAKSA (DWANGSOM) PADA PERKARA HADHANAH
A. Dasar Hukum Implementasi Uang Paksa (Dwangsom) 1. Dasar Hukum Dwangsom Sebagai Salah Satu Instrumen Pelaksanaan Putusan Hakim Ketentuan mengenai lembaga dwangsom ini diatur dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering) atau yang lebih dikenal dengan singkatan Rv. Keberadaan lembaga dwangsom itu sendiri diatur dalam Bab V Bagian 3 Rv yakni dalam Pasal 606a dan 606b. Rumusan pasal tersebut (yang aslinya berbahasa Belanda) menurut Harifin Tumpa sama bunyinya dengan ketentuan Pasal 611a dan 611b Rv lama Belanda.1 Namun sebelum membahas lebih jauh rumusan kedua pasal tersebut ada baiknya dibicarakan terlebih dahulu bagaimana dan mengapa lembaga dwangsom yang diatur dalam Rv tersebut ternyata masih diberlakukan dan diterapkan dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini khususnya di lingkungan peradilan umum. Bukankah Rv itu sendiri seperti dinyatakan Supomo sudah tidak berlaku lagi di Indonesia dengan dihapuskannya Raad Van Justitie dan Hooggerechtshof, sejak itu yang berlaku sebagai hukum acara perdata di 1
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media Group, 2010). h.52.
43
44
Indonesia hanya HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan R.Bg (Rechts Reglement Buitengewesten) saja.2 Sementara Mertokusumo menyatakan bahwa Rv itu sudah tidak berlaku lagi di Indonesia sejak adanya Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951 karena Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang tersebut dengan tegas menyatakan berlakunya HIR dan RBg, dalam hal ini hukum acara perdata yang dinyatakan resmi berlaku hanya HIR untuk daerah Jawa dan Madura dan R.Bg untuk daerah lainnya di Indonesia3. Hal ini dipertegas pula dengan ketentuan dalam SEMA Nomor: 19/1964 dan SEMA Nomor 3/1965 yang menegaskan tentang berlakukannya HIR dan RBg. Sedangkan Pasal 393 ayat (1) HIR4 jo. Pasal 721 R.Bg dengan tegas melarang segala bentuk hukum acara selain yang diatur dalam HIR dan RBg tersebut. Atas dasar ketentuan pasal dalam HIR dan R.Bg tersebut maka seharusnya semua ketentuan yang terdapat dalam Rv itu dan termasuk aturan mengenai lembaga dwangsom tersebut sama sekali sudah tidak berlaku dan tidak boleh diterapkan lagi. Dengan demikian mengenai lembaga dwangsom ini sebenarnya dapat dikatakan telah terjadi kekosongan (kevakuman) hukum. Lalu bagaimana dan mengapa lembaga dwangsom yang diatur dalam Rv tersebut ternyata hingga saat ini masih diterapkan dan diberlakukan
2
Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri., (Jakarta: Fasco 1958), h. 11.
3
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Liberty,1999), h.38.
45
sedemikian rupa dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu kiranya terlebih dahulu dikemukakan beberapa pendapat pakar hukum dan juga yurisprudensi Mahkamah Agung berkaitan dengan hal ini. Menurut beberapa pakar hukum antara lain Mertokusumo bahwa meskipun HIR dan R.Bg tidak mengatur mengenai lembaga dwangsom, tetapi karena dwangsom ini penting bagi penggugat untuk memaksa tergugat melaksanakan putusan maka tuntutan itu patut dikabulkan sepanjang diminta oleh penggugat.4 Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Sutanto dan Oeripkartawinata bahwa walaupun Pasal 393 ayat (1) HIR jo. Pasal 721 R.Bg melarang segala bentuk hukum acara selain HIR dan R.Bg, tetapi apabila benar-benar dirasakan perlu dalam perkara perdata dapat digunakan peraturan lain seperti Rv.5 Demikian juga menurut Harifin Tumpa (Mantan Ketua Mahkamah Agung)
bahwa meskipun Rv sudah tidak berlaku lagi sebagai pedoman
hukum acara perdata di Indonesia, namun karena kebutuhan pada keadaan tertentu, di mana peraturan-peraturan yang ada tidak memadai maka praktik peradilan kita masih kadang-kadang harus memakai ketentuan-ketentuan hukum acara dalam Rv sebagai pedoman termasuk dalam hal lembaga
4
5
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. h.50
Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. (Mandar Maju, Bandung, 2002), h 8
46
dwangsom ini.6 Pendapat para pakar tersebut dipertegas pula dengan yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 7 Mei 1967 Nomor: 38 K/SIP/1967 dalam perkara Frederika Melane Hilverdink von Ginkel berlawanan dengan Leon Johannes, di mana majelis hakim dalam putusan tersebut antara lain mempertimbangkan sebagai berikut: “Lembaga uang paksa, sekalipun tidak secara khusus diatur di dalam HIR haruslah dianggap tidak bertentangan dengan sistem HIR dan berdasarkan penafsiran yang lazim dari pada Pasal 393 HIR dapat diterapkan di pengadilan-pengadilan”. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa diterapkannya lembaga dwangsom yang diatur dalam Rv tersebut dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini khususnya di lingkungan peradilan umum ternyata memang dapat dibenarkan karena tuntutan kebutuhan dalam praktik dan hal itu dianggap tidak bertentangan dengan sistem HIR maupun R.Bg. Adapun yang menjadi dasar penerapan lembaga
dwangsom tersebut selain
yurisprudensi Mahkamah Agung juga pendapat para pakar hukum (doktrin) sebagaimana yang telah diuraikan di atas. 2. Dasar Penerapan Lembaga Dwangsom di Pengadilan Agama Suatu persoalan yang sering dimunculkan pada beberapa diskusi dalam penerapan Hukum Acara di Lingkungan Peradilan Agama, adalah dapat atau tidaknya lembaga dwangsom diterapkan dalam putusan hadhanah oleh hakim.
6
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di Indonesia, ,( Jakarta: Prenada Media Group, 2010). h.50.
47
Sebagian praktisi hukum berpendapat bahwa lembaga dwangsom ini tidak boleh diterapkan dalam putusan hadhanah karena konteksnya berbeda, sebagian praktisi hukum antara lain berpendapat bahwa lembaga dwangsom dapat juga diterapkan dalam putusan hadhanah karena dengan mencantumkan dwangsom itu pihak tergugat akan mematuhi isi putusan hakim jika ia mengetahui ada kewajiban yang harus dipenuhi apabila ia tidak melaksanakan hukuman pokok yang dibebankan padanya. Hipotesa atas persoalan ini, tampaknya pendapat yang terakhir menginginkan diterapkan lembaga dwangsom dalam putusan hadhanah apabila dilihat dari doolmattigheit-nya, lebih-lebih lagi apabila penerapan itu dengan tujuan kemaslahatan.7 Dwangsom merupakan upaya optimalisasi kebijakan hakim dalam memutus Perkara, telah dipahami bahwa Peradilan Agama ialah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undangundang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.8 Pasal ini menjelaskan para hakim di Pengadilan Agama berkewajiban untuk memutus dan menuntaskan setiap perkara yang masuk sesuai dengan peraturan perundangundangan tanpa terkecuali dalam bentuk penetapan dan putusan. 7
Kamarusdiana, Buku Daras Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Fakultas Syariah Dan Hukum UIN, 2013), h. 319-320. 8
Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
48
Dalam menjalankan fungsi peradilan ini, para hakim Peradilan Agama harus menyadari sepenuhnya bahwa tugas pokok hakim adalah menegakan hukum dan keadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam setiap putusan yang hendak dijatuhkan oleh hakim dalam mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara, perlu diperhatikan tiga hal yang sangat esensial, yaitu keadilan, kemanfatan dan kepastian. Ketiga hal ini harus mendapatkan perhatian yang seimbang
dan
profesional,
meskipun
dalam
praktik
sangat
sulit
mewujudkannya.9 Seperti telah diuraikan di atas bahwa lembaga dwangsom telah diterapkan sedemikian rupa dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini. Diterapkannya lembaga dwangsom yang diatur dalam Rv tersebut dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini khususnya di lingkungan peradilan umum memang dapat dibenarkan dan dianggap tidak bertentangan dengan sistem HIR maupun R.Bg. Hal ini selain didasarkan beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung juga sejalan dengan pendapat para pakar hukum berkenaan dengan hal itu. Namun yang menjadi pertanyaan bagaimana halnya dengan di lingkungan peradilan agama. Apakah peradilan agama juga berwenang menerapkan, mengabulkan atau menjatuhkan hukuman dwangsom tersebut sebagaimana peradilan umum, dan kalau peradilan agama berwenang, apa saja dasar penerapannya.
9
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet ke-5 (Jakarta: Kencana Prenada Madia Group, 2008), h.230
49
Pertanyaan di atas menjadi penting untuk dijawab karena masih banyak di antara para hakim yang belum cukup memahami eksistensi dan urgensi lembaga dwangsom itu sendiri dalam konteksnya dengan kompetensi peradilan, juga disebabkan karena masih banyak di antara para hakim peradilan agama yang belum cukup yakin bahwa permohonan dwangsom itu termasuk kewenanganan lingkungan peradilan agama. Bahkan hingga saat ini masih ada di antara para hakim peradilan agama yang berpendirian bahwa permohonan dwangsom itu bukan kewenangan peradilan agama. Sehingga terhadap permohonan dwangsom yang diajukan di pengadilan agama harus ditolak atau dinyatakan tidak diterima (Niet Ontvankelijke verklaard).10 Untuk mengetahui apakah pengadilan agama berwenang atau tidak dalam mengabulkan atau menjatuhkan hukuman dwangsom yang diajukan kepadanya, tentunya harus merujuk pada landasan utama penerapan hukum acara yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama yaitu ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor: 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor: 3 Tahun 2006 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor: 50 Tahun 2009, yang selengkapnya menyatakan bahwa: “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini” 10
Cik Basir, Penerapan Lembaga Dwangsom Di Pengadilan Agama, (Makalah Rumusan Hasil Diskusi Kelompok Bidang Peradilan Agama Komisi II), Manado, tanggal 31 Oktober 2012, h. 17.
50
Berdasarkan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang tersebut dapat dipahami bahwa hukum acara yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama paling tidak terdiri dari dua bagian yaitu: 11 Pertama, Hukum Acara Perdata sebagaimana yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Dalam hal ini baik yang diatur dalam R.Bg (Rechts Reglement Buitengewesten), HIR (Het Herziene Inlandsche Reglement), termasuk beberapa ketentuan yang diatur dalam Rv (Reglement of de Rechtsvordering), KUH Perdata (BW), UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta beberapa peraturan lain yang berkenaan, termasuk dalam hal ini ketentuan-ketentuan hukum acara yang bersumber dari yurisprudensi dan juga diatur dalam beberapa Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang berlaku bagi peradilan umum dengan sendirinya berlaku juga bagi peradilan agama. Ketentuan-ketentuan hukum acara tersebut harus dipedomani khususnya dalam menangani perkara-perkara di luar bidang perkawinan. Kedua, Hukum Acara yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang Peradilan Agama itu sendiri. Dalam hal ini khususnya yang menyangkut pemeriksaan perkara di bidang perkawinan12 sebagaimana dimaksud dalam
11
Cik Basir, Penyelesaikan Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, cet.2, (Jakarta: Prenada Media 2012), h.135-142. 12
Yang dimaksud dengan perkara-perkara di bidang perkawinan adalah perkara-perkara sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 49 huruf ( a) UU No.3 Tahun 2006 tetang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
51
Undang-Undang Perkawinan Dalam menangani perkara-perkara di bidang perkawinan tersebut bagi pengadilan agama tidak cukup hanya berpedoman pada ketentuan hukum acara yang diatur dalam HIR/R.Bg, Rv dan KUH Perdata saja. Bahkan dalam beberapa hal menyangkut kompetensi relatif pengadilan agama misalnya, masalah pemanggilan para pihak, pemeriksaan di persidangan, pembuktian serta pelaksanaan putusan, pengadilan agama sepenuhnya harus tunduk dan berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 91 UU Peradilan Agama serta ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berikut penjelasannya, PP No.9 Tahun 1975 termasuk beberapa ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan demikian khusus dalam menangani perkara-perkara dalam bidang perkawinan pengadilan agama tidak boleh hanya berpedoman pada hukum acara yang terdapat dalam HIR/R.Bg, Rv dan atau KUH Perdata saja misalnya, melainkan harus berpedoman pada ketentuan hukum acara yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang peradilan agama itu sendiri. Berdasarkan cakupan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Peradilan Agama yang diuraikan di atas dapat dipahami bahwa oleh karena lembaga dwangsom tersebut merupakan salah satu lembaga yang diatur dalam Rv yang berlaku dan diterapkan sedemikian rupa pada pangadilan dalam lingkungan peradilan umum maka atas dasar ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Peradilan Agama tersebut dengan sendirinya lembaga dwangsom tersebut
52
juga dapat diterapkan dan diberlakukan pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa penerapan lembaga dwangsom di lingkungan peradilan agama secara yuridis mempunyai landasan hukum yang jelas sehingga dapat ditegaskan bahwa lingkungan peradilan agama secara yuridis berwenang menerapkan, menerima dan mengabulkan permohonan dwangsom yang diajukan kepadanya. Dengan demikian hakim peradilan agama dalam hal ini tidak perlu ragu untuk menerapkan atau memberlakukannya, dalam hal ini menerima dan mengabulkan permohonan dwangsom sepanjang hal itu memang diminta oleh para pihak dalam gugatannya dan secara yuridis, sosiologis atau filosofis permohonan tersebut memang beralasan serta bermanfaat bagi penyelesaian perkara bersangkutan.
B. Kategori Perkara Yang Dapat Dijatuhi Uang Paksa (Dwangsom) Setelah memahami dasar hukum penerapan lembaga dwangsom di lingkungan peradilan agama, lalu yang perlu diketahui pula dalam hal ini adalah mengenai putusan hakim dalam perkara apa saja di lingkungan peradilan agama yang dapat dijatuhkan dwangsom. Apakah setiap putusan pengadilan agama dapat dijatuhkan dwangsom, ataukah hanya terhadap putusan tertentu saja. Selama ini ada kesan seolah-olah penerapan dwangsom di pengadilan agama hanya terbatas pada putusan hakim dalam perkara pengasuhan anak (hadhanah) saja, karena hal inilah yang paling sering dibicarakan dalam berbagai
53
kesempatan diskusi atau pelatihan-pelatihan bimbingan tehnis para hakim peradilan agama selama ini. Padahal tentu sama sekali tidak demikian halnya. Untuk mengetahui putusan dalam perkara apa saja di lingkungan peradilan agama yang dapat dijatuhkan dwangsom dapat merujuk pada ketentuan Pasal 606a Rv. Untuk memudahkan memahaminya berikut diketengahkan kembali ketentuan Pasal 606a Rv tersebut yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut: “Sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada membayar sejumlah uang maka dapat ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim dan uang tersebut dinamakan uang paksa (dwangsom).” Dari ketentuan pasal tersebut jelas bahwa yang dikecualikan dalam menjatuhkan dwangsom hanya terhadap putusan hakim yang hukuman pokoknya berupa pembayaran sejumlah uang saja. Artinya, terhadap semua putusan hakim dalam perkara apapun yang mengandung hukuman dapat dijatuhkan dwangsom, kecuali hukuman dimaksud berupa pembayaran sejumlah uang. Bahkan dalam hal ini termasuk kemungkinan eksekusi riil atas suatu putusan sama sekali tidak menjadi halangan untuk menjatuhkan dwangsom sebagaimana yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 244 K/Pdt/2008 tanggal 29 Desember 2008 yang menegaskan bahwa “kemungkinan eksekusi riil tidak menjadi halangan untuk menjatuhkan dwangsom. Satu-satunya halangan untuk menjatuhkan dwangsom
54
adalah hukuman pembayaran sejumlah uang”.13 Dengan demikian dalam hal ini dapat ditegaskan bahwa hanya putusan hakim yang hukuman pokoknya berupa pembayaran sejumlah uang saja yang tidak dapat dijatuhkan dwangsom, di luar itu, semua putusan hakim dalam perkara apapun di bidang perdata yang mengandung hukuman dapat dijatuhkan dwangsom. Dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 606a Rv tersebut dapat dipahami bahwa di pengadilan agama semua putusan hakim dalam perkara contentious yang mengandung hukuman dapat dijatuhkan dwangsom, kecuali terhadap putusan hakim yang hukuman pokoknya berupa pembayaran sejumlah uang. Dengan demikian di pengadilan agama bukan hanya terhadap putusan hakim dalam perkara pengasuhan anak (hadhanah) saja yang dapat dijatuhkan dwangsom seperti yang selama ini sering diwacanakan, tetapi semua putusan hakim yang mengandung hukuman dapat dijatuhkan dwangsom, baik di bidang perkawinan, harta bersama, waris, wasiat, hadhanah, hibah, wakaf, maupun di bidang ekonomi syariah, semuanya dapat dijatuhkan dwangsom, kecuali terhadap putusan hakim dalam perkara-perkara tersebut yang hukuman pokoknya berupa pembayaran sejumlah uang.14 Lalu apa yang dimaksud dengan hukuman pokok berupa pembayaran sejumlah uang dalam konteksnya dengan putusan pengadilan agama, dan mengapa terhadap hukuman tersebut tidak boleh dijatuhkan dwangsom. 13
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h.25-26 14
Cik Basir, Penerapan Lembaga Dwangsom Di Pengadilan Agama, (Makalah Rumusan Hasil Diskusi Kelompok Bidang Peradilan Agama Komisi II), Manado, tanggal 31 Oktober 2012, h. 22
55
Seperti diketahui unsur penghukuman dalam amar atau diktum putusan hakim dapat berupa: Menyerahkan sesuatu; Mengosongkan suatu tempat; Melakukan suatu perbuatan; Tidak melakukan suatu perbuatan; Menghentikan suatu perbuatan, atau Membayar sejumlah uang. Terhadap putusan yang amar atau diktumnya yang mengandung unsur penghukuman yang disebut terakhir inilah yang tidak boleh dijatuhkan dwangsom, yakni apabila hukuman pokok yang dijatuhkan hakim dalam amar atau diktum putusan tersebut memerintahkan terhukum (tergugat) agar membayar sejumlah uang kepada pihak yang menang (penggugat). Dalam konteksnya dengan putusan hakim di lingkungan peradilan agama misalnya dalam perkara gugatan isteri atas nafkah yang dilalaikan suaminya atau nafkah anak atau bisa juga dalam hal gugatan harta bersama dalam bentuk uang. Misalnya dalam amar putusan hakim menyatakan: Menghukum Tergugat (mantan suami) untuk membayar nafkah yang dilalaikannya (madhiyah) kepada Penggugat (mantan isteri) sebesar Rp.100.000.0000,- (seratus juta rupiah);
Atau,
Menghukum Tergugat (mantan suami) untuk membayar nafkah anak sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) per bulan hingga anak tersebut dewasa. Atau, Menghukum Tergugat (mantan suami) untuk menyerahkan bagian harta bersama berupa uang sebesar Rp.100.000.000,- (sertatus juta rupiah) kepada Penggugat (mantan isteri). Hukuman semacam inilah yang dimaksud dengan hukuman berupa pembayaran sejumlah uang yang tidak boleh dijatuhkan dwangsom.
56
C. Tata Cara Pengajuan Dwangsom Dalam Gugatan Penggugat dalam gugatannya dapat mengajukan tuntutan dwangsom sebagaimana diatur dalam Pasal 606 a Rv dengan ketentuan: a) tuntutan tentang dwangsom tersebut diajukan bersama-sama dalam bentuk satu kesatuan dengan gugatan pokok perkara; b) tuntutan dwangsom tersebut didasarkan kepada posita yang jelas c) besarnya dwangsom tidak berkenaan dengan gugatan pembayaran sejumlah uang; d) tuntutan dwangsom tersebut dicantumkan secara jelas dan tegas secara petitum. Apabila tuntutan dwangsom diajukan dalam gugatan hadhanah, maka petitum gugatan dirumuskan sebagai berikut: a) mengabulkan gugatan tergugat; b) menetapkan secara hukum anak atas nama ............... bin/binti ............... berada dibawah asuhan dan pemeliharaan penggugat; c) menghubungkan tergugat untuk menyerahkan anak atas nama ...............bin/binti kepada penggugat; d) menghukum tergugat untuk membayar kepada penggugat sebesar Rp ...............(................) setiap hari keterlambatannya melaksanakan putusan ini terhitung sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap; e) biaya perkara menurut ketentuan yang berlaku.15
15
Kamarusdiana, Buku Daras Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Fakultas Syariah Dan Hukum UIN, 2013), h. 322.
57
D. Analisis Penulis Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Uang Paksa (Dwangsom) (Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks) 1. Pertimbangan Hukum Hakim Menimbang, bahwa penetapan hak hadhanah (pemeliharaan anak) terhadap dua orang anak tersebut kepada penggugat/terbanding, tidak mengurangi hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan tergugat/pembanding selaku orang tuanya sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, demikian juga tidak menghapus kewajiban Tergugat selaku ayah dalam menanggung biaya pemeliharaan dan pendidikan kedua orang anaknya tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 41 huruf b Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 105 huruf c Kompilasi Hukum Islam; Menimbang, bahwa sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 791 K/Sip/1972, tanggal 26 Februari 1973 dan No. 307 K/Sip/1976, tanggal 7 Desember 1976 yang mengandung abstrak hukum, bahwa “uang paksa (dwangsom) tidak berlaku terhadap tindakan untuk membayar uang dan harus ditolak dalam hal putusan dapat dilaksanakan dengan eksekusi riil bila keputusan yang bersangkutan mempunyai kekuatan yang pasti”, maka Pengadilan
Tinggi
Agama
berpendapat
bahwa
mengenai
tuntutan
penggugat/terbanding agar menghukum tergugat/pembanding membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap
58
hari apabila tergugat/pembanding lalai melaksanakan isi putusan, adalah hal yang dapat dibenarkan dan beralasan mengingat eksekusi anak berbeda dengan eksekusi riil dan eksekusi pembayaran sejumlah uang yang di lapangan kadang mendapatkan kendala, diantaranya melalui uang paksa (dwangsom), oleh karena itu tuntutan penggugat/terbanding a quo dapat dikabulkan. Menurut penulis sebagaimana disebutkan Harifin Tumpa dalam bukunya dalam pertimbangan hukum hakim di atas pada Putusan (Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks), hakim dalam menjatuhkan suatu hukuman dwangsom terhadap tergugat (terhukum) di samping hukuman pokok maka sebelum menjatuhkan hukuman dwangsom tersebut paling tidak ada 5 (lima) hal pokok yang perlu diperhatikan, yaitu: a.
Dwangsom Diminta Secara Tegas oleh Pihak Berperkara: Inilah hal yang pertama-tama harus diperhatikan sebelum menjatuhkan suatu hukuman dwangsom, bahwa hukuman dwangsom tersebut memang diminta oleh pihak penggugat secara tegas dalam petitum surat gugatannya. Hal ini perlu diperhatikan karena hakim tidak dibenarkan menjatuhkan hukuman dwangsom secara ex officio atau karena jabatannya (ambtshalve) tanpa diminta melainkan harus atas dasar permohonan dari para pihak berperkara itu sendiri yang dicantumkan secara tegas dalam petitum surat gugatannya.16 Jika hakim menjatuhkan
16
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h.81
59
hukuman dwangsom tanpa diminta para pihak berperkara jelas hal ini melanggar asas ultra petita17 yang tentunya tidak dibenarkan dalam hukum acara perdata. b. Dwangsom Diajukan Bersama-sama dengan Hukuman Pokok: Adapun hal kedua yang harus diperhatikan sebelum mengabulkan permohonan dwangsom, bahwa hukuman dwangsom yang diajukan oleh penggugat dalam petitum gugatannya bersama-sama dengan gugatan pokok. Hal ini penting diperhatikan terlebih dahulu karena hukuman dwangsom hanya mungkin dikabulkan apabila diajukan dalam petitum gugatan bersama-sama dengan hukuman pokok. Tanpa hukuman pokok permohonan dwangsom tidak mungkin dan tidak boleh dikabulkan karena seperti telah dikemukakan di atas bahwa salah satu sifat dwangsom adalah accessoir, dalam pengertian bahwa keberadaan dwangsom tergantung dan mengikuti keberadaan hukuman pokok, tidak ada dwangsom tanpa hukuman pokok. c.
Hukuman Pokok Yang Diminta Bukan Berupa Pembayaran Sejumlah Uang: Hal ketiga yang harus diperhatikan terlebih dahulu sebelum mengabulkan permohonan dwangsom, bahwa hukuman pokok yang diminta dalam perkara tersebut harus bukan berupa pembayaran
17
Ultra Petita dalam hukum acara perdata adalah memutus hal yang tidak diminta atau tidak dituntut atau memutus lebih dari yang diminta/dituntut, di mana menurut ketentuan Pasal 189 ayat (2) R.Bg jis. Pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 50 ayat (3) serta Psl 385 ayat (2) dan (3) RV hakim perdata dilarang memberi putusan tentang hal-hal yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut.
60
sejumlah uang. Hal ini sesuai dengan Penerapan ketentuan Pasal 606a Rv, di mana dwangsom hanya dapat dijatuhkan terhadap putusan hakim yang hukuman pokoknya bukan berupa pembayaran sejumlah uang. Terhadap putusan hakim yang hukuman pokoknya berupa pembayaran sejumlah uang tidak boleh dan tidak perlu dijatuhkan dwangsom karena pemenuhan hukumannya dapat diperoleh dengan suatu upaya hukum biasa dengan melalui executorial beslag kemudian dilakukan penjualan dengan cara pelelangan sehingga tidak perlu hukuman dwangsom.18 d. Terhukum Dalam Keadaan Mampu dan Memungkinkan untuk Melaksanakan Hukuman diperhatikan
terlebih
Pokok: Hal selanjutnya
dahulu
sebelum
mengabulkan
yang harus permohonan
dwangsom adalah bahwa terhukum (tergugat) dalam keadaan mampu dan memungkinkan untuk memenuhi dan melaksanakan hukum pokok. Dwangsom tidak boleh dijatuhkan apabila sebelumnya menurut penilaian hakim debitur atau terhukum (tergugat) tidak akan mampu memenuhi hukuman pokok misalnya, seorang terhukum (tergugat) dalam amar putusan ia dihukum untuk mengembalikan suatu barang tidak bergerak kepada penggugat. Padahal barang dimaksud sudah nyata tidak lagi berada di bawah penguasaan terhukum (tergugat) tersebut. Dalam keadaan demikian tentu tidak ada manfaatnya menjatuhkan hukuman
18
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di Indonesia, h.29.
61
dwangsom karena terhukum (tergugat) sudah nyata tidak akan mampu atau tidak memungkinkan untuk memenuhi hukuman pokok tersebut.19 e.
Dwangsom Menjadi Solusi Efektif bagi Penyelesaian Perkara bersangkutan: Seperti telah diketahui bahwa tujuan utama dijatuhkannya hukuman dwangsom tidak lain dimaksudkan untuk menjadi solusi yang efektif bagi penyelesaian perkara bersangkutan manakala pihak terhukum (tergugat) tidak bersedia memenuhi hukuman pokok secara sukarela dalam batas waktu yang telah ditentukan. Oleh karena itu sebelum menjatuhkan hukuman dwangsom hakim perlu memastikan terlebih dahulu bahwa hukuman dwangsom tersebut benar-benar akan menjadi solusi yang efektif bagi penyelesaian perkara bersangkutan jika sekiranya pihak terhukum tidak mau memenuhi hukuman pokok. Dalam hal jumlah uang paksa (dwangsom) misalnya, seperti dinyatakan Harifin Tumpa hakim harus memastikan terlebih dahulu bahwa jumlah uang paksa yang dijatuhkan itu dapat bekerja secara efektif sesuai dengan tujuannya, di mana dengan hukuman uang paksa sejumlah itu benar-benar akan menjadi tekanan psikis bagi terhukum (tergugat) sehingga ia akan dengan sukarela memenuhi hukuman pokok.20
19
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di Indonesia, h. 79 20
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di Indonesia, h. 51
62
Dengan adanya syarat-syarat ini menurut penulis maka tuntutan dwangsom
penggugat/terbanding
terhadap
tergugat/pembanding
telah
memenuhi unsur sebagai berikut : a. Dalam hal poin pertama, dikarenakan selama ini tergugat/pembanding belum pernah menyerahkan kedua anak ke penggugat/terbanding dalam pengadilan tingkat pertama. Sehingga dwangsom masuk dalam tuntutan tegas. b. Dalam hal poin dua, penggugat/terbanding telah memenuhi unsur karena dwangsom ini hanya tuntutan penggugat/terbanding karena sudah memenuhi unsur sebagai tutuntan tambahan dalam pokok perkara hadhanah. c. Dalam hal poin tiga, diperhatikan terlebih dahulu sebelum mengabulkan permohonan dwangsom, bahwa hukuman pokok yang diminta dalam perkara tersebut harus bukan berupa pembayaran sejumlah uang. Karena dwangsom merupakan tuntutan tambahan bukan tuntutan pokok sejumlah uang. d. Dalam hal poin empat, dikarenakan secara financial dan ekonomi tergugat/pembanding mampu. e. Dwangsom
merupakan
salah
satu
solusi
efektif
karena
penggugat/terbanding belum menerima penyerehan hak asuh anak dari tergugat/pembanding padahal di amar putusan pada tingkat pertama hak asuh ada pada penggugat/terbanding.
63
2. Amar Putusan Hakim MENGADILI Menyatakan permohonan banding pembanding dapat diterima; DALAM EKSEPSI Menyatakan tuntutan provisi dari penggugat/terbanding tidak dapat diterima; DALAM PROVISI Menolak eksepsi tergugat/pembanding; DALAM POKOK PERKARA Menguatkan
putusan
Pengadilan
Agama
Makassar
Nomor
1138/Pdt.G/2012/PA Mks., tanggal 28 November 2012 M., bertetapan tanggal 14 Muharam 1434 H., yang dimohonkan banding, dengan perbaikan dan penambahan amar sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut : 1.
Mengabulkan gugatan penggugat/terbanding ;
2.
Menetapkan anak yang bernama Ahmad Farel bin Wawan, umur 5 tahun 7 bulan dan Hilwa Nuratifah binti wawan, umur 4 tahun 6 bulan, berada di bawah hadhanah penggugat/terbanding, Sri Derajat Tenriola binti A. Abd. Kadir sampai dengan anak tersebut berumur 12 tahun (mumayyiz);
64
3.
Menghukum tergugat/pembanding untuk menyerahkan kedua orang anak
tersebut
pada
petitum
angka
2
di
atas
kepada
penggugat/terbanding ; 4.
Menghukum tergugat/pembanding untuk membayar uang paksa (dwangsom) kepada penggugat/terbanding, sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap hari apabila ia lalai melaksanakan isi putusan tersebut terhitung sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap ;
5.
Menghukum penggugat/terbanding untuk membayar biaya perkara di tingkat pertama sebesar Rp 211.000,00 (dua ratus sebelas ribu rupiah);
6.
Menghukum tergugat/pembanding untuk membayar biaya perkara ditingkat banding sebesar Rp 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah). Menurut penulis dengan diajukan tuntutan dwangsom dalam gugatan
penggugat maka hakim yang memeriksa perkara tersebut dalam memutus pokok perkara harus pula memberikan putusan terhadap dwangsom ini dengan mengabulkan atau menolak permohonan tersebut. Majelis hakim
dalam
memeriksa tuntutan dwangsom ini harus betul-betul memerhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) beralasan hukum atau tidaknya tuntutan dwangsom itu; (2) boleh atau tidaknya dwangsom itu ditetapkan dalam perkara tersebut; (3) kondisional
ekonomi
melaksanakan
tuntutan
dwangsom
itu.
Jika
65
pertimbangan yang dikemukakan ini tidak terpenuhi secara utuh
dan
menyeluruh,
atau
sebaiknya
tuntutan
dwangsom
tersebut
ditolak
dikesampingkan. Jadi, putusan hadhanah itu harus tegas dan jelas dengan amar bersifat declatoir dan comdemnatoir.21 Dari pertimbangan hukum dan amar putusan hakim, penulis melihat hakim telah memenuhi unsur-unsur dalam penerapan uang paksa (dwangsom) terhadap tergugat/pembanding. Tentu masih banyak hal lain yang dapat dijadikan pertimbangan hakim untuk menilai sejauh mana urgensi dijatuhkannya
dwangsom
bagi
perkara
bersangkutan.
Hal-hal
yang
dikemukakan di atas merupakan beberapa di antaranya yang sudah lazim di temukan dalam praktik peradilan selama ini. Adapun yang terpenting untuk dipahami dalam hal ini baik untuk mengabulkan atau menolak suatu permohonan dwangsom haruslah dipertimbangkan sebagaimana mestinya sehingga kepentingan hukum yang ingin dicapai dari penerapan dwangsom bagi perkara bersangkutan benar-benar terwujud dan hukuman dwangsom itu sendiri memang bermanfaat bagi pihak yang mimintanya, bukan justeru menimbulkan permasalahan baru bagi penyelesaian perkara bersangkutan. Semoga dengan adanya dwangsom ini memberi tekanan psikis kepada tergugat/pembanding agar menjalankan putusan hakim.
21
Kamarusdiana, Buku Daras Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Fakultas Syariah Dan Hukum UIN, 2013), h. 323.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis penulis pada bab sebelumnya, kesimpulan yang dapat diambil yaitu : 1. Dasar implementasi dwangsom adalah 606a Rv yang mana dwangsom merupakan tuntutan uang paksa tambahan terhadap tuntutan pokok perkara kepada pihak yang kalah apabila lalai dalam menjalankan amar putusan pengadilan. Dwangsom dalam perkara hadhanah di Peradilan Agama serta hukum acaranya mengikuti hukum acara Peradilan Umum sebagaimana yang disebutkan pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. 2. Dwangsom sebagai upaya memaksimalkan isi putusan hakim dijalankan dengan sukarela seyogyanya diterapkan dalam putusan hakim, karena dengan keberadaan dwangsom tersebut dapat menekan secara kejiwaan dan meminimalisir putusan yang sia-sia (illusoir). Terlebih lagi bila penerapan dwangsom tersebut didasarkan dengan tujuan kemaslahatan, yaitu mencegah kemudaratan dan membuka selebar mungkin kemaslahatan-kemaslahatan yang terdapat dalam putusan hakim, dalam artian mencegah kemungkinan Tergugat tidak menjalankan isi putusan hakim sebagaimana mestinya. Pada perkara di Pengadilan Agama pada dasarnya semua perkara bisa dikenakan uang paksa/dwangsom (Perkawinan, Harta Bersama, Waris, Wasiat,
66
67
Hadhanah, Hibah, Wakaf, maupun di Bidang Ekonomi Syari’ah) kecuali terhadap putusan hakim dalam perkara-perkara tersebut yang hukuman pokoknya berupa pembayaran sejumlah uang. 3. Penerapan dwangsom dalam perkara cerai gugat hanya sebatas pada gugatan isteri yang bersifat kumulatif (penggabungan gugatan), karena pada dasarnya dalam gugatan ini isteri tidak sekedar menuntut perceraian semata melainkan tuntutan hak asuh anak juga (Hadhanah) dalam satu surat gugatan. Meskipun dwangsom dapat diterapkan dalam gugatan kumulatif, namun tidak sertamerta dapat diterapkan pada seluruh tuntutan hukum, melainkan sebatas pada tuntutan hukum hak asuh anak . Dwangsom tidak dapat diterapkan bersamaan dengan penyerahan sejumlah uang, seperti pembayaran nafkah mad’iyah (nafkah terhutang) atau nafkah anak. Dalam pertimbangan hakim putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA MKS sudah memenuhi unsur dibolehkannya tuntutan tambahan uang paksa/dwangsom, yang mana legal opinion hakim masuk dalam kriteria dwangsom yaitu: (1) dwangsom diminta secara tegas oleh pihak berperkara; (2) dwangsom diajukan bersama-sama dengan hukuman pokok; (3) hukuman pokok yang diminta bukan berupa pembayaran sejumlah uang; (4) terhukum dalam keadaan mampu dan memungkinkan untuk melaksanakan hukuman pokok; (5) dwangsom menjadi solusi efektif bagi penyelesaian perkara bersangkutan.
68
B. Saran-Saran Setelah menelaah dari permasalahan yang terdapat dalam penulisan ini, maka ada beberapa hal yang penulis rekomendasikan antara lain: 1. Dwangsom merupakan solusi antisipasi terhadap pihak yang lalai dalam menjalankan putusan pengadilan, maka dwangsom bisa menjadi alternatif bagi pihak yang berperkara khususnya di pengadilan agama. 2. Selama ini dwangsom lebih banyak dipakai di perkara Pengadilan Negeri, maka sudah saatnya hakim di Pengadilan Agama memberikan terobosan hukum dwangsom, agar putusan di Pengadilan Agama lebih bertaring. 3. Dengan adanya Dwangsom diharapkan menjaga kwalitas perkara yang diajukan di Pengadilan Agama khusunya, sehingga penerapan dwangsom dalam putusan menjadi suatu tuntutan tekanan (psikis) terhadap pihak yang kalah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qalyubi, Al-syihab Al-Din, Al-Mahalli Juz IV, Kairo : Dar Wahya Al-Kutub, 1971 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006 Aripin, Jaenal, Pengadilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Islam, Jakarta : Kencana, 2008 Arto, Mukti, Praktik Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003 Ashofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 1996 Ayyub, Hasan, Fiqh Keluarga, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2004 Ayyub, Syaikh Hasan, Fiqh keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006 Bisri, Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan agama (Dalam Sistem Hukum Nasional), Jakarta : Logos, 1999 Djohansyah, J, Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, Jakarta : Kesain Blanc, 2008 Djubaedah, Neng, Hukum Perkawinan Islam DI Indonesia, Jakarta : PT. Hecca Utama, 2005 Hamza, Andi, Kamus Hukum, Jakarta : Ghalia, Indonesia, 1986 Hanitijo Soemitro, Ronny, Metodologi Penelitian Hukum dan Jumetri, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990 Harahap, Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 2010
69
70
Tumpa, Harifin A, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di Indonesia, Jakarta : Prenada Media Group, 2010
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayumedia Publishing, 2008 Ismail, Muhammad Ibnu, Subulussalam Juz III, Kairo : Dar Ihya Al-Turas Al-Araby, 1960 Kamarusdiana, Buku Daras Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Fakultas Syariah Dan Hukum UIN, 2013
Kusein, Abdur Rozak, Hak Anak Dalam Islam, Jakarta : Fikahati Aneska, 1995 Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2011 Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2005
--------------, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Perdata Pada Peradilan Agama, Jakarta : Al-Hikmah, 1997 --------------, Beberapa Tinjauan Mengenai sistem Peradilan dan Penyelsaian Sengketa,
Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992
--------------, Hukum Acara Perdata Peradilan Indonesia, Medan : Zakir, 2001 --------------, Kedudukan kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta : Pustaka Kartini,
1993
--------------, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 2007 Mujahidin, Ahmad, Pembaharuan Hukum Acara Perdata, Peradilan Agama dan Mahkamah
Syariyah Di Indonesia, Jakarta : IKAHI, 2008
Nuruddin, Amiur, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2006
71
Pangaribuan, Luhut MP., Menuju Sistem Peradilan Pengayoman, (suatu catat awal ), Jakarta : Ghalia Indonesia, 1995 Rasjidi, Lili, Hukum Sebagai Sistem, Jakarta : PT. Remaja Rosdakarya, 1993 Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung : Mandar Maju, 2002 Romy H, Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990 Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah Jilid 2, Beirut-Lubhan : Dar al-Fikr, 1973 Saraswati, Rika, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2009 Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Bandung : Alumni, 1992 Simorangkir, Kamus Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2007
Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Pustaka Pelajar, 1992 Soimin, Soedharyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : sinar Grafika, 2007 Sulaiman, Abu Daud bin Al-Sajastani, Sunan Abu Daud Juz I, Beirut: Daar Fikr, 2003 Warson, Ahmad, kamus Al-Munawir Arab – Indonesia, Surabaya : Pustaka Progresif, 1997 Zainuddin, Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2007 Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Islam Wa Adillatuhu Juz VII, damaskus : Dar Al-fikr, 1984
PUTUSAN Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Tinggi Agama Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara
tertentu pada tingkat banding dalam sidang musyawarah majelis telah
menjatuhkan putusan atas perkara yang diajukan oleh : PEMBANDING, umur 27 tahun, agama Islam, pekerjaan karyawan swasta, pendidikan terakhir SMA, tempat tinggal di Kota Makassar, dalam hal ini memberi kuasa kepada kuasa hukumnya, Sri Wahyuningsih, S.H., Advokat / Penasehat Hukum pada Kontor Hukum Sri Wahyuningsih,S.H. & Rekan, berkantor di Jalan Topaz Raya Ruko Zamrud I Blok G No.15, Kelurahan Masale, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 4 September 2012, yang telah terdaftar di kepaniteraan Pengadilan
Agama
Makassar
dengan
register
No.464/SK/IX/2012/PA Mks., tanggal 5 September 2012, tergugat / pembanding; m e l a w a n TERBANDING, umur 32 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, tempat tinggal di Kota Makassar, dalam hal ini memberi kuasa kepada kuasa hukumnya, Hamka Jarod, S.H., Advokat / Penasehat Hukum pada Law Offices Advokat dan Penasehat Hukum Hamka Jarod, S.H., berkantor di Jalan Arif Rahman Hakim No.40 di Makassar, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 8 Agustus 2012, yang telah terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama Makassar dengan register No.432/SK/VIII/2012/PA Mks., tanggal 13 Agustus 2012, penggugat / terbanding; Pengadilan Tinggi Agama tersebut , Telah membaca dan mempelajari berkas perkara dan semua surat yang berhubungan dengan perkara ini.
Hlm. 1 dari 15 / Pts .No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
TENTANG DUDUK PERKARANYA Mengutip segala uraian sebagaimana termuat dalam putusan Pengadilan Agama Makassar Nomor 1138/Pdt.G/2012/PA Mks., tanggal 28 November 2012 M., bertepatan tanggal 14 Muharam 1434 H., yang amarnya sebagai berikut; Dalam Eksepsi -
Mengabulkan eksepsi tergugat;
Dalam Provisi -
Menyatakan tidak menerima permohonan provisi penggugat;
Dalam Pokok Perkara 1. Mengabulkan gugatan penggugat ; 2. Menetapkan anak bernama Ahmad Farel bin Wawan, umur 5 tahun dan Hilwa Nuratifah binti Wawan, umur 4 tahun berada di bawah hadhanah penggugat, Sri Derajat Tenriola binti A. Abd. Kahar ; 3. Membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara, sejumlah Rp 211.000,00 (dua ratus sebelas ribu rupiah) ; Membaca Akta Permohonan Banding Nomor 1138/Pdt.G/2012/PA Mks. yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Makassar, tanggal 11 Desember 2012, yang menyatakan bahwa tergugat / pembanding telah mengajukan permohonan banding terhadap putusan Pengadilan Agama Makassar tersebut dan permohonan banding tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawannya secara seksama pada tanggal 13 Desember 2012 ; Bahwa tergugat / pembanding telah mengajukan memori banding bertanggal 26 Desember 2012 yang diterima oleh Panitera Pengadilan Agama Makassar pada tanggal
3 Januari 2013, dan telah disampaikan kepada penggugat
/ terbanding melalui kuasanya pada tanggal 7 Januari 2013, kemudian terhadap memori banding tersebut penggugat / terbanding telah mengajukan kontra memori banding bertanggal 7 Januari 2013 dan telah disampaikan pula kepada tergugat / pembanding pada tanggal 9 Januari 2013; Bahwa terhadap kedua pihak telah diberitahukan untuk memeriksa berkas (inzage), sesuai surat pemberitahuan tanggal 8 Junuari 2013 kepada kuasa hukum masing-masing pihak, dan berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Berkas Nomor 1138/Pdt.G/2012/PA Mks. , tanggal 9 Januari 2013, tergugat / pembanding telah datang memeriksa berkas perkara banding (inzage), sedangkan penggugat / terbanding telah datang memeriksa berkas perkara banding (inzage) berdasarkan
Hlm. 2 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
Berita Acara Pemeriksaan Berkas Nomor 1138/Pdt.G/2012/PA Mks. , tanggal 10 Januari 2013 ; TENTANG HUKUMNYA Menimbang, bahwa oleh karena permohonan banding pembanding diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara-cara serta memenuhi syarat menurut ketentuan perundang-undangan, maka permohonan banding tersebut formal harus dinyatakan dapat diterima; Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi Agama setelah membaca, meneliti, mempelajari dengan seksama berkas perkara banding yang terdiri dari berita acara persidangan, surat-surat bukti dan surat-surat lainnya yang berhubungan dengan perkara ini serta keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh para pihak berperkara, salinan resmi putusan Pengadilan Agama, dan setelah pula memperhatikan pertimbangan hukum Pengadilan Agama, maka Pengadilan Tinggi Agama menyatakan tidak seluruhnya sependapat dengan pertimbangan Pengadilan Agama tersebut, oleh karena itu Pengadilan Tinggi Agama akan memberikan pertimbangan sebagai berikut : DALAM EKSEPSI Menimbang, bahwa eksepsi tergugat / pembanding sebagaimana yang diuraikan dalam jawabannya adalah berupa bantahan atas tuntutan provisi penggugat / terbanding yang bertujuan agar hak asuh kedua orang anak dari perkawinan penggugat / terbanding dengan tergugat / pembanding diserahkan kepada penggugat / terbanding sambil menunggu keputusan yang berkekuatan hukum tetap. Oleh karena tuntutan provisi sudah menyentuh pokok perkara dan bertentangan dengan tujuan provisi yang hanya berkenaan dengan tindakan sementara yang tidak termasuk pokok perkara, maka tuntutan penggugat / terbanding tersebut harus ditolak (vide Putusan Mahkamah Agung No. 1967 K/Pdt/1995, tanggal 4 Juni 1998); Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Agama atas dasar apa yang dipertimbangkan
sepanjang
mengenai
eksepsi
dalam
putusannya
telah
mempertimbangkan bahwa eksepsi tersebut sudah membahas pokok perkara maka pada dasarnya eksepsi tergugat / pembanding tersebut beralasan dan tidak melawan hukum, sehingga eksepsi tersebut patut dikabulkan, namun Pengadilan Tinggi Agama dalam hal ini tidak sependapat dengan pertimbangan hukum Pengadilan Agama tersebut dengan pertimbangan sebagai berikut :
Hlm. 3 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi Agama menilai eksepsi tergugat / pembanding tersebut adalah jawaban yang berupa bantahan tergugat / pembanding atas tuntutan provisi penggugat / terbanding yang bertujuan agar hak asuh kedua orang anak dari perkawinan penggugat / terbanding dengan tergugat / pembanding diserahkan kepada penggugat / terbanding sambil menunggu keputusan yang berkekuatan hukum tetap dan lagi pula akan dipertimbangkan dalam provisi maka eksepsi tergugat / pembanding a quo harus ditolak, sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 361 K/Sip/1973, tanggal 30 Desember 1975, yang mengandung abstrak hukum bahwa “karena tangkisan tergugat / terbanding tanggal 28 Oktober 1968 bukan merupakan tangkisan dalam arti eksepsi, tetapi jawaban (verweer), sedang menurut pasal 162 RBg. yang diputus bersama-sama dengan pokok perkara adalah tangkisan dalam arti kata eksepsi, putusan Hakim pertama terhadap tangkisan tergugat / terbanding tersebut adalah keliru maka harus dibatalkan“ ; Menimbang, bahwa atas dasar pertimbangan di atas maka Pengadilan Tinggi Agama tidak dapat menyetujui dan menilai pertimbangan hukum sebagai mana terurai dalam putusan Pengadilan Agama (hlm. 14 alinea kedua dan ketiga) serta amar putusan dalam eksepsi adalah tidak tepat dan tidak benar, oleh karenanya tidak dapat dipertahankan dan selanjutnya Pengadilan Tinggi Agama menyatakan menolak eksepsi tergugat / pembanding, DALAM PROVISI Menimbang, bahwa penggugat dalam tuntutan provisinya menuntut agar memerintahkan kepada tergugat / pembanding untuk menyerahkan kedua anak penggugat / terbanding dan tergugat / pembanding kepada penggugat / terbanding sambil menunggu putusan berkekuatan hukum tetap, dan menghukum tergugat / pembanding membayar uang paksa (dwangsom), sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap hari apabila lalai melaksanakan putusan provisi ini; Menimbang, bahwa tuntutan provisi penggugat menyangkut dua hal yaitu pertama menuntut menyerahkan kedua anak penggugat / terbanding dan tergugat / pembanding kepada penggugat / terbanding sambil menunggu putusan berkekuatan hukum tetap, dan kedua menuntut tergugat / pembanding membayar uang paksa ( dwangsom ), apabila lalai melaksanakan putusan provisi ini : Menimbang, bahwa terhadap tuntutan yang pertama sudah masuk pokok perkara karena memerlukan pembuktian, sedangkan terhadap tuntutan kedua menyangkut pelaksanaan putusan yang akan dipertimbangkan dalam pokok
Hlm. 4 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
perkara, karena itu putusan Pengadilan Agama dalam provisi dapat dikuatkan dengan menyatakan tuntutan provisi penggugat / terbanding tidak dapat diterima : DALAM POKOK PERKARA Menimbang,
bahwa
Pengadilan
Tinggi
Agama
memperhatikan pertimbangan hukum Pengadilan Agama,
setelah
pula
maupun memori
banding pembanding dan kontra memori para terbanding, maka Pengadilan Tinggi Agama akan memberikan tanggapan terlebih dahulu atas keberatan pembanding tersebut sebagai berikut ; Menimbang, bahwa keberatan pembanding pada angka 1 s.d. 5 sebagaimana terurai dalam memori banding a quo, pada dasarnya hanyalah merupakan pengulangan atas jawaban yang disampaikannya pada waktu pemeriksaan perkara, dan telah dipertimbangkan dengan cermat oleh hakim tingkat pertama, sehingga tidak perlu dipertimbangkan lagi oleh Pengadilan Tinggi Agama, dengan demikian keberatan pembanding a quo tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak ; Menimbang,
bahwa
terlepas
dari
keberatan-keberatan
tergugat
/
pembanding yang terurai dalam memori bandingnya, maka atas dasar apa yang telah dipertimbangkan oleh Pengadilan Agama dalam putusannya adalah telah tepat dan benar, oleh karenanya Pengadilan Tinggi Agama menyatakan sependapat dan dapat menyetujui pertimbangan hukum Pengadilan Agama tersebut dan kemudian diambil alih sebagai pertimbangan hukum sendiri dalam putusan ini, namun demikian Pengadilan Tinggi Agama memandang perlu untuk menambah pertimbangan hukum sendiri sebagai berikut ; Menimbang, bahwa gugatan tentang hadhanah dalam perkara ini pada pokoknya didasarkan atas dalil bahwa penggugat / terbanding dan tergugat / pembanding telah bercerai, dimana dua orang anak dari perkawinannya belum mumayyiz dan belum ditetapkan pemegang hak hadhanahnya, anak pertama bernama Ahmad Farel bin Wawan berumur 5 (lima) tahun dan anak kedua bernama Hilwa Nuratifah binti Wawan berumur 4 (empat) tahun, tergugat telah membatasi dan menghalangi hak penggugat untuk pemeliharaan kedua anak tersebut, anak pertama hanya ikut bersama penggugat / terbanding pada setiap hari Senin dan Selasa, sedangkan terhadap anak kedua, tidak pernah lagi diizinkan oleh tergugat / pembanding untuk bertemu dengan penggugat / terbanding, dan bahkan saat ini kedua anak tersebut dirahasiakan tempat tinggalnya oleh tergugat / pembanding ;
Hlm. 5 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
Menimbang, bahwa sesuai pengakuan tergugat / pembanding di depan sidang dan didukung bukti P.1, P.2 dan P.3 maka ditemukan fakta bahwa penggugat / terbanding dan tergugat / pembanding pernah menikah pada tanggal 4 September 2006 kemudian bercerai pada tanggal 24 Juli 2012, selama perkawinannya dikarunai dua orang anak, yaitu Ahmad Farel bin Wawan, lahir tanggal 20 Juli 2007 atau masih berusia 5 tahun 7 bulan dan anak kedua bernama Hilwa Nuratifah binti Wawan, lahir tanggal 6 Agustus 2008 atau masih berusia 4 tahun 6 bulan (belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun atau belum mumayyiz), yang berada dalam penguasaan tergugat / pembanding hingga pada saat putusan perkara ini diputus di Pengadilan Agama Makassar tanggal 28 November 2012 ; Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 66 ayat (5) Undang undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 dinyatakan bahwa permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau pun sesudah ikrar talak diucapkan, jo. Pasal 86 Undang-undang yang sama dinyatakan bahwa gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau pun sesudah keputusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap maka gugatan penggugat / terbanding tersebut berdasarkan hukum dan karenanya patut dipertimbangkan; Menimbang, bahwa berdasarkan fakta di persidangan Penggugat menuntut hak pengasuhan dan pemeliharaan anak (hadhanah), karena secara hukum sejak penggugat / terbanding bercerai dengan tergugat / pembanding, ternyata dua orang anak penggugat / terbanding dengan tergugat / pembanding belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun atau belum mumayyiz), dan hingga saat ini belum ditetapkan siapa yang berhak mengasuh dan memeliharanya (belum ditetapkan/diputuskan siapa pemegang hak hadlonahnya) ; Menimbang, bahwa sejak terjadinya perceraian tersebut ditemukan pula fakta bahwa anak pertama yang bernama Ahmad Farel bin Wawan berada dalam pemeliharaan penggugat / terbanding hanya pada setiap hari Senin dan Selasa, sedangkan anak kedua yang bernama Hilwa Nuratifah binti Wawan tidak lagi berada dalam pemeliharaan penggugat / terbanding dan bahkan tidak pernah dipertemukan dengan penggugat / terbanding sebagai ibu kandungnya, sehingga secara de fakto kedua anak tersebut hingga kini berada dalam penguasaan tergugat
Hlm. 6 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
/ pembanding sebagai ayah kandungnya, sesuai Pasal 41 huruf a UU No.1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa ”akibat putusnya perkawinan karena perceraian bahwa baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberikan keputusannya”, maka dengan demikian harus ada kepastian hukum siapa yang berhak menjadi hadhin (pengasuh dan pemelihara) demi kelangsungan hidup dan kepentingan terbaik bagi kedua anak tersebut; Menimbang, bahwa sesuai Pasal 45 ayat (1) dan (2) yang menentukan bahwa : ”kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban itu berlaku terus meski perkawinan kedua orang tua putus”, maka dengan ketentuan ini mempertegas dan memperjelas bahwa kewajiban dan kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya tidak boleh diputus dan dihalang-halangi meski pun kedua orang tuanya bercerai dan tidak tinggal satu rumah lagi, dan penguasaan anak kepada salah satu orang tuanya tidaklah berarti menghalanghalangi atau memutus hubungannya dengan orang tua yang lainnya dan atau menjadikan orang tua yang lainnya akan kesulitan untuk bertemu dengan anak, lagi pula untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan dalam sengketa hadhanah ini yang jika berlarut-larut akan menimbulkan kemudlaratan bagi perkembangan kehidupan mental dan psikologi anak ; Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, ternyata keinginan penggugat / terbanding untuk mendidik dan mencurahkan kasih sayangnya terhadap anak-anaknya yang sekarang ini dibatasi dan bahkan dihalang-halangi oleh tergugat / pembanding dengan alasan adanya Surat Pernyataan yang dibuat pada tanggal 21 Juni 2012 sebagai kesepakatan bersama tentang hak pemeliharaan anak antara penggugat / terbanding dengan tergugat / pembanding yang dibuat tanpa ada paksaan dari pihak siapa pun yang selama ini kesepakatan itu sudah dijalankan sebagai mana mestinya, meskipun ada aturan yang menyatakan bahwa anak yang belum mumayyiz berada dalam pemeliharaan ibunya, sedangkan penggugat / terbanding menilai kesepakatan tersebut hanyalah bersifat sementara kemudian harus mengacu pada aturan yang berlaku mengenai siapa yang berhak untuk melakukan hak hadhanah atas anak, hal mana oleh Pengadilan Agama dalam putusannya tidak dipertimbangkan lebih lanjut
Hlm. 7 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
mengenai kesepakatan dimaksud, maka Pengadilan Tinggi Agama akan memberikan pertimbangannya sebagai berikut ; Menimbang, bahwa dalam Pasal 1320 ayat (4) jo 1337 dan 1338 KUH Perdata mengandung “asas kebebasan berkontrak”, bahwa para pihak yang berjanji bebas membuat perjanjian selama tidak melanggar kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang, maka dapat disimpulkan bahwa “asas kebebasan berkontrak” tersebut meliputi : 1) kebebasan membuat perjanjian, memilih dan menentukan causa perjanjian, menentukan obyek perjanjian, menentukan bentuk suatu perjanjian; 2) kebebasan membuat perjanjian tidak bersifat mutlak atau tidak tak terbatas tetapi memiliki batasan-batasan yang menyangkut kesepakatan, kecakapan, i’tikad baik, obyek yang tidak dilarang oleh syara’, dan menegakkan keadilan dan menghindari kezhaliman; 3) asas keseimbangan para pihak yang membuat perjanjian sehingga tidak merugikan salah satu pihak dikarenakan salah satu pihak memiliki posisi yang kuat dan posisi yang lemah pada pihak lain; 4) klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjian harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik; Menimbang, bahwa sesuai Putusan Mahkamah Agung RI No. 169 PK/Pdt/2008 tanggal 5 Desember 2008 jo. Putusan No. 442 PK/Pdt/2008, tanggal 23 Desember 2008, kesepakatan kedua pihak yang bersengketa, sehingga tidak mungkin lagi diatur dengan cara lain, sepanjang kedua belah pihak tidak menentukan lain, atau kesepakatan itu tidak seimbang/memberatkan salah satu pihak, dan pada hakekatnya rasa keadilan tidak saja ditinjau dan dilihat dari segi formal legalistic yang bisa dimungkinkan melalui rekayasa, tetapi harus juga ditinjau dan dilihat dari segi keadilan substantif dengan mempertimbangkan segisegi kondisional yang mempengaruhinya; Menimbang, bahwa ditemukan fakta, pembuatan surat kesepakatan bersama berupa Surat Pernyataan yang dibuat tanggal 21 Juni 2012 sebagai kesepakatan bersama tentang hak pemeliharaan anak antara
penggugat /
terbanding dengan tergugat / pembanding ketika penggugat / terbanding melaporkan tergugat / pembanding ke pihak kepolisian, patut diduga sangat dipengaruhi oleh kondisi keretakan rumah tangga yang telah mencapai puncaknya dengan terjadinya perceraian antara keduanya, sehingga suasana batin penggugat / terbanding berada dalam posisi yang tertekan dan lemah serta tidak bebas
Hlm. 8 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
menyatakan kehendaknya mengenai isi dan substansi dari perjanjian tersebut, dan perjanjian yang dibuat dibawah tekanan dan dalam keadaan terpaksa adalah merupakan “misbruik van omstandigheiden”, yang mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan, karena tidak lagi memenuhi unsur-unsur Pasal 1320 KUH.Perdata, yaitu tidak adanya kehendak yang bebas dari salah satu pihak ( vide Putusan Mahkamah Agung RI. No. 2356 K/Pdt/2008, Tanggal 18 Februari 2009) ; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, ditemukan fakta bahwa causa atau klausul perjanjian yang terdapat dalam Surat Pernyataan a quo, bertentangan undang-undang dan hukum yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 149 huruf d, pasal 156 huruf (d) dan (f) Kompilasi Hukum Islam, serta melanggar asas kebebasan berkontrak sebagaimana ketentuan Pasal 1320 ayat (4) jo 1337 dan 1338 KUH Perdata, dan pula merupakan penyalahgunaan kesempatan atau penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) oleh tergugat / pembanding yang menempatkan posisi dan kedudukan penggugat / terbanding sebagai pihak yang lemah dalam perjanjian tersebut ; Menimbang, bahwa atas dasar pertimbangan di atas, maka majelis hakim menilai bahwa Surat Pernyatan a quo adalah tidak sah menurut hukum sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi penggugat / terbanding dengan tergugat / pembanding, oleh karena itu dalil-dalil bantahan tergugat / pembanding
aquo
dikesampingkan,
tidak dan
beralasan
selanjutnya
menurut Pengadilan
hukum
sehingga
harus
Agama
akan
Tinggi
mempertimbangkan ada tidaknya alasan atau halangan menurut hukum bagi penggugat / terbanding dalam penguasaan kedua anak tersebut ; Menimbang, bahwa pada saat perkara ini diputus, ternyata kedua anak tersebut berada dalam pemeliharaan tergugat / pembanding dan pula tergugat / pembanding telah membatasi
dan bahkan melarang anaknya tersebut untuk
tinggal bersama atau pun bertemu dengan penggugat / terbanding, maka dengan sikap tergugat / pembanding tersebut telah mengabaikan dan menghalangi hakhak penggugat / terbanding sebagai ibu kandungnya untuk memelihara dan memberikan kasih sayang sepenuhnya kepada kedua anak tersebut; Menimbang, bahwa sesuai Pasal 3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa Perlindungan anak bertujuan untuk
Hlm. 9 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera, kemudian dalam Pasal 1 ayat (1) huruf (a) dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, bahwa kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial, dan anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna ; Menimbang, bahwa sesuai ketentuan Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa apabila terjadi perceraian, maka pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, karena sesuai kodratnya seorang ibu yang telah mengandung dan melahirkan mempunyai kelebihan dalam memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya, demikian juga sebaliknya bagi anak-anak yang belum dewasa terlebih lagi anak perempuan yang masih balita sangat memerlukan kedekatan psikologis, emosional dan kedekatan fisik dengan ibu kandungnya, hal mana sejalan dengan pendapat pakar Hukum Islam dalam Kitab Al Bajuri juz II hal 195 yang selanjutnya diambil alih sebagai pendapat Pengadilan Tinggi Agama, sebagai berikut :
Artinya : “Apabila seorang laki-laki bercerai dengan isterinya, dan dia mempunyai anak dari perkawinannya dengan isterinya itu, maka isterinya lebih berhak untuk memeliharanya” ; Menimbang, bahwa berdasarkan fakta di persidangan, penggugat / terbanding sebagai ibu kandung kedua anak tersebut tidak/belum menikah dengan seorang lelaki lain (belum bersuami) dan pula telah menetap tempat tinggalnya bersama dengan ibu kandung penggugat / terbanding di Jalan Landak Baru No.94 I, RT.006, RW.003, Kelurahan Banta-bantaeng, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar, sehingga penggugat / terbanding sebagai ibu kandung kedua anak tersebut telah memenuhi syarat untuk menjadi pengasuh dan pemelihara anaknya, dalam hal ini Pengadilan Tinggi Agama sependapat dengan Hadits Nabi Riwayat
Hlm. 10 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
Abu Daud yang diambil alih sebagai pendapat Pengadilan Tinggi Agama, sebagai berikut :
Artinya : “Dari Abdullah bin Amru: Ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasul, anakku ini dulu keluar dari perutku, susuku sebagai siraman baginya, dan kuda betina ini baginya sebagai barang milik. Ayahnya sekarang telah menthalak serta ingin meminta anak ini dariku." Rasulullah kemudian bersabda kepada sang wanita, "Kamu lebih berhak atas anakmu selama kamu belum menikah "; Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi Agama mempertimbangkan pula bahwa ternyata pada diri penggugat / terbanding tidak terbukti adanya ketidak cakapan untuk menerima hak sebagai pemegang hak hadlanah terhadap anaknya tersebut, atau dengan kata lain penggugat / terbanding dipandang layak dan memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai pemegang hak hadlanah sebagaimana dimaksud dalam kitab Kifayatul Ahyar juz II halaman 94 sebagai berikut :
Artinya : “Syarat-syarat hadlanah itu ada tujuh, berakal, merdeka, beragama Islam, menjaga kehormatan, amanah (dapat dipercaya) tinggal di tempat yang dipilih dan belum menikah dengan laki-laki lain. Jika tidak terpenuhi salah satu diantara syarat –syarat tersebut maka gugurlah hak si ibu untuk memelihara anaknya”. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, telah nyata dalil-dalil gugatan penggugat / terbanding terbukti dan dalam pemeriksaan perkara ini tidak ternyata terdapat alasan dan atau halangan menurut hukum bagi penggugat / terbanding sebagai pemegang hak hadhanah terhadap kedua orang anaknya yang belum mumayyiz tersebut, dan dengan memperhatikan kepentingan anak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sesuai Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, maka gugatan penggugat / terbanding tersebut patut dikabulkan, oleh karenanya pertimbangan Pengadilan
Hlm. 11 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
Agama dalam putusannya dan amar putusan dalam pokok perkara dapat dipertahankan ; Menimbang, bahwa penetapan hak hadhanah (pemeliharaan anak) terhadap dua orang anak tersebut kepada penggugat / terbanding, tidak mengurangi hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan tergugat / pembanding selaku orang tuanya sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, demikian juga tidak menghapus kewajiban Tergugat selaku ayah dalam menanggung biaya pemeliharaan dan pendidikan kedua orang anaknya tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 41 huruf b Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 105 huruf c Kompilasi Hukum Islam; Menimbang, bahwa oleh karena kedua anak penggugat / terbanding dengan tergugat / pembanding tersebut berada dalam penguasaan tergugat / pembanding, dan agar jaminan penyelesaian perkara a quo dapat dijalankan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, maka Pengadilan Tinggi Agama secara ex officio dalam putusan perkara a quo perlu mencamtumkan diktum amar menghukum tergugat / pembanding untuk menyerahkan kedua anak tersebut kepada penggugat / terbanding, meski pun tidak diminta dalam petitum primair, akan tetapi sesuai dengan petitum subsidair yang meminta putusan seadil-adilnya, berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 499 K/Sip/1970 tanggal 4 Februari 1970 yang menyatakan “bahwa pengadilan boleh memberi putusan yang melebihi apa yang diminta dalam hal adanya hubungan yang erat satu sama lainnya”, dalam hal ini Pasal 189 ayat (3) Rbg. tidak berlaku secara mutlak, sebab Hakim dalam menjalankan tugas harus bertindak aktif dan selalu berusaha agar memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara ; Menimbang, bahwa sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 791 K/Sip/1972, tanggal 26 Februari 1973 dan No. 307 K/Sip/1976, tanggal 7 Desember 1976 yang mengandung abstrak hukum, bahwa “uang paksa (dwangsom) tidak berlaku terhadap tindakan untuk membayar uang dan harus ditolak dalam hal putusan dapat dilaksanakan dengan eksekusi riil bila keputusan yang bersangkutan mempunyai kekuatan yang pasti “, maka Pengadilan Tinggi Agama berpendapat bahwa mengenai tuntutan penggugat / terbanding agar menghukum tergugat / pembanding membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap hari apabila tergugat / pembanding lalai melaksanakan isi putusan, adalah hal yang dapat dibenarkan dan beralasan
Hlm. 12 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
mengingat eksekusi anak berbeda dengan eksekusi riil dan eksekusi pembayaran sejumlah uang yang di lapangan kadang mendapatkan kendala, sehingga diperlukan cara khusus untuk memudahkan pelaksanaan eksekusi, diantaranya melalui uang paksa (dwangsom), oleh karena itu tuntutan penggugat / terbanding a quo dapat dikabulkan ; Menimbang, bahwa segala hal yang telah dipertimbangkan oleh Pengadilan Agama dalam pertimbangannya dan tidak dipertimbangkan lagi oleh Pengadilan Tinggi Agama atau tidak bertentangan dengan pertimbangan Pengadilan Tinggi Agama, oleh Pengadilan Tinggi Agama dapat disetujui dan diambil alih sebagai pertimbangan sendiri; Menimbang, bahwa dengan tambahan dan perbaikan pertimbangan tersebut
di
atas,
maka
putusan
1138/Pdt.G/2012/PA Mks. tanggal
Pengadilan
Agama
Makassar
Nomor
28 November 2012 M., bertepatan tanggal
14 Muharam 1434 H., dapat dikuatkan dengan perbaikan dan penambahan amar putusan yang bunyi lengkapnya akan dituangkan dalam diktum putusan ini; Menimbang, bahwa oleh karena perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, maka berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka biaya perkara ini dalam tingkat pertama dibebankan kepada Penggugat, dan dalam tingkat banding dibebankan kepada Pembanding; Mengingat segala ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku dan hukum syara, yang berkaitan dengan perkara ini ;
MENGA DILI
-
Menyatakan permohonan banding pembanding dapat diterima;
DALAM EKSEPSI -
Menyatakan tuntutan provisi dari penggugat / terbanding tidak dapat diterima ;
DALAM PROVISI -
Menolak eksepsi tergugat / pembanding ;
DALAM POKOK PERKARA -
Menguatkan
putusan
Pengadilan
Agama
Makassar
Nomor
1138/Pdt.G/2012/PA Mks., tanggal 28 November 2012 M., bertepatan tanggal
Hlm. 13 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
14 Muharam 1434 H., yang dimohonkan banding, dengan perbaikan dan penambahan amar sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut : 1. Mengabulkan gugatan penggugat / terbanding ; 2. Menetapkan anak yang bernama Ahmad Farel bin Wawan, umur 5 tahun 7 bulan dan Hilwa Nuratifah binti Wawan, umur 4 tahun 6 bulan, berada di bawah hadhanah penggugat / terbanding, Sri Derajat Tenriola binti A. Abd. Kadir sampai dengan anak tersebut berumur 12 tahun (mumayyiz); 3. Menghukum tergugat / pembanding untuk menyerahkan kedua orang anak tersebut pada petitum angka 2 di atas kepada penggugat / terbanding ; 4. Menghukum tergugat / pembanding untuk membayar uang paksa (dwangsom) kepada penggugat / terbanding, sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap hari apabila ia lalai melaksanakan isi putusan tersebut terhitung sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap ; 5. Menghukum penggugat / terbanding untuk membayar biaya perkara di tingkat pertama sebesar Rp 211.000,00 (dua ratus sebelas ribu rupiah) ; 6. Menghukum tergugat / pembanding untuk membayar biaya perkara di tingkat banding sebesar Rp. 150.000.- (seratus lima puluh ribu rupiah). Demikian diputuskan dalam sidang musyawarah majelis hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar pada hari Senin tanggal 4 Februari 2013 M., bertepatan tanggal 23 Rabiulawal 1434 H. yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Drs. Bahrussam Yunus, S.H., M.H., sebagai Ketua Majelis,
Drs. H. Wakhidun A.R., S.H., M.H., dan Drs. Masrur, S.H.,
M.H., masing-masing sebagai Hakim Anggota, dibantu oleh Drs. H. Zainudin Zain, S.H., Panitera Pengganti, tanpa dihadiri oleh para pihak yang berperkara; Hakim Anggota, ttd Drs. H. Wakhidun A.R., S.H., M.H
Ketua Majelis ttd Drs. Bahrussam Yunus, S.H., M.H.
ttd Drs. Masrur, S.H., M.H.
Panitera Pengganti, ttd Drs. H. Zainudin Zain, S.H.
Hlm. 14 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
Perincian biaya : Rp. 6.000,00
1. Materai
:
2. Redaksi
: Rp.
3. Proses penyelesaian perkara
: Rp.139.000,00
Jumlah
5.000,00
: Rp.150.000,00
Untuk Salinan, Panitera Pengadilan Tinggi Agama Makassar
Drs.H.Agus Zainal Mutaqien,S.H.
Hlm. 15 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.