SISTEM TATANIAGA KOMODITI SALAK PONDOH DI KABUPATEN BANJARNEGARA, PROPINSI JAWA TENGAH
OLEH: ZAKY ‘ADNANY A14105719
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN ZAKY ADNANY. Sistem Tataniaga Komoditi Salak Pondoh di Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah. Dibawah bimbingan HARIANTO. Peran sektor pertanian terhadap perekonomian nasional dapat dilihat dari besarnya kontribusinya Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian terhadap nilai PDB nasional dan besarnya volume ekspor, serta impor dimana rata-rata nilai neraca ekspor-impor produk pertanian yang meningkat pada setiap tahunnya. Komoditas buah-buahan merupakan salah satu komoditi hortikultura yang memiliki kontribusi besar dalam pengembangan pertanian di Indonesia serta memiliki prospek yang cukup bagus untuk dikembangkan. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi PBD komoditas buah-buahan yang cukup besar terhadap PDB hortikultura, dan pada setiap tahunnya rata-rata volume produksinya menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dengan rata-rata peningkatan sebesar 14,9 persen per tahun. Komoditi salak merupakan salah satu jenis buah tropis asli Indonesia yang menjadi komoditas unggulan dan salah satu tanaman yang cocok untuk dikembangkan. Produksi salak nasional menunjukkan angka yang cukup besar, salak memberikan sumbangan produksi terbesar keempat terhadap total produksi buah nasional setelah pisang, jeruk siam/keprok dan mangga, yaitu sebesar 6,57 persen dan produksi terbesar berasal dari Jawa Tengah yaitu sebesar 17,6 persen dari total produksi salak nasional. Jawa Tengah merupakan salah satu daerah sentra produksi salak terbesar di Indonesia dan Kab. Banjarnegara merupakan salah satu daerah sentra salak di Jawa Tengah dimana pada tahun 2005, besarnya produksi salak di Kab. Banjarnegara mencapai mencapai 67 persen dari produksi salak untuk Jawa Tengah. Di Indonesia setidaknya terdapat 22 jenis dan varietas salak. Diantara berbagai jenis serta varietas salak tersebut, varietas salak pondoh mempunyai nilai komersial yang tinggi, sehingga varietas tersebut ditetapkan oleh pemerintah sebagai varietas unggul untuk dikembangkan. Salak pondoh memiliki keunggulan baik dari segi rasa maupun kandungan gizi dibandingkan jenis salak lainnya. Tujuan penelitian ini, antara lain: (1) mengidentifikasi lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dan fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga, serta mengidentifikasi pola saluran tataniaga pada sistem tataniaga komoditi salak pondoh; (2) menganalisis struktur pasar dan perilaku pasar pada komoditi salak pondoh; (3) menganalisis keragaan tataniaga salak pondoh, berdasarkan margin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya, dan keterpaduan pasar salak pondoh; serta (4) menganalisis efisiensi sistem tataniaga komoditi salak pondoh di Kabupaten Banjarnegara. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Januari sampai Maret 2008 dengan lokasi yang ditentukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa daerah atau lokasi yang terpilih merupakan salah satu sentra penghasil salak pondoh, yaitu Kabupaten Banjarnegara. Penentuan responden petani dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh dari Perangkat Kecamatan dan Penyuluh Pertanian pada setiap kecamatan sampel, dan pada setiap kecamatan hanya dipilih 9 – 10 petani. Sedangkan penarikan sample lembaga-lembaga tataniaga selanjutnya dilakukan dengan menggunakan metode snowbowling sampling. Berdasarkan hasil penelusan dari 45 petani sampel, diperoleh sebanyak 39 pedagang yang terdiri dari 15 pedagang pengumpul, 19 pedagang besar, satu pedagang luar daerah, dan empat pedagang pengecer lokal. Analisis yang dilakukan adalah analisis lembaga tataniaga; analisis fungsi-fungsi tataniaga; analisis saluran
tataniaga; analisis struktur pasar; analisis perilaku pasar; dan analisis keragaan pasar berdasarkan marjin tataniaga, bagian harga yang diterima petani (farmer’s share), rasio keuntungan dan biaya, serta analisis keterpaduan pasar dengan menggunakan model indeks keterpaduan pasar atau indeks of market connection (IMC) dengan pendekatan model Autoregressive Distribution Lag. Dalam kegiatan tataniaga salak pondoh, melibatkan beberapa lembaga tataniaga dalam penyampaian komoditi salak pondoh dari petani hingga konsumen akhir, diantaranya: pedagang pengumpul, pedagang besar atau pedagang pengirim, pedagang luar daerah, pedagang pengecer lokal, dan pedagang pengecer luar daerah. Setiap lembaga tataniaga umumnya melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga yang berbeda berdasarkan kepentingan dan tujuan pemasarannya. Fungsi-fungsi tataniaga yang dilaksanakan oleh lembaga tataniaga, antara lain: pembelian, penjualan, pengemasan, penyimpanan, pengangkutan, sortasi dan grading, pembiayaan, penanggungan resiko, dan informasi pasar. Berdasarkan penelusuran pola saluran tataniaga komoditi salak pondoh, terbentuk tujuh pola saluran tataniaga salak pondoh di Kabupaten Banjarnegara, yaitu: pola saluran 1, merupakan pola saluran tataniaga salak pondoh lokal, terdiri dari petani dan pedagang pengecer lokal; pola saluran 2, merupakan pola saluran tataniaga salak pondoh dalam Jawa Tengah, terdiri dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, dan pedagang luar daerah di kota-kota dalam Jawa Tengah; pola saluran 3, merupakan saluran tataniaga salak pondoh dalam pulau Jawa di luar Jawa Tengah, terdiri dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang luar daerah, dan pedagang pengecer luar daerah; pola saluran 4, merupakan merupakan saluran tataniaga salak pondoh di luar pulau Jawa, terdiri dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, dan pedagang luar daerah; pola saluran 5, merupakan pola saluran tataniaga salak pondoh dalam Jawa Tengah, terdiri dari petani, pedagang besar, dan pedagang luar daerah; pola saluran 6, merupakan saluran tataniaga salak pondoh dalam pulau Jawa di luar Jawa Tengah, yang terdiri dari petani, pedagang besar, pedagang luar daerah, dan pedagang pengecer luar daerah; dan pola saluran 7, merupakan merupakan saluran tataniaga salak pondoh di luar pulau Jawa, yang hanya terdiri dari petani, pedagang besar dan pedagang luar daerah. Volume penjualan pada setiap pola saluran berbeda, dimana volume pemasaran terbesar adalah pola saluran tataniaga salak pondoh dalam pulau Jawa di luar Jawa Tengah, kemudian diikuti pola saluran tataniaga salak pondoh ke luar Pulau Jawa, pola saluran tataniaga salak pondoh dalam Jawa Tengah, dan pola saluran tataniaga salak pondoh lokal. Struktur pasar yang terbentuk pada setiap tingkat lembaga tataniaga dalam tataniaga komoditi salak pondoh dapat berbeda. Struktur pasar yang dihadapi oleh petani salak pondoh cenderung mengarah kepada struktur pasar bersaing sempurna. Pada pedagang pengumpul, struktur pasar yang dihadapi cenderung mengarah kepada pasar oligopsoni murni. Pada pedagang besar/pedagang pengirim, struktur pasar yang terbentuk cenderung struktur pasar oligopoli terdeferensiasi. Adapun struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengecer baik pedagang pengecer lokal maupun pedagang pengecer luar daerah adalah struktur pasar oligopoli terdeferensiasi. Perilaku pasar dapat dilihat dari praktek penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga, sistem pembayaran, dan kerjasama diantara berbagai lembaga tataniaga. Praktek penjualan dan pembelian yang terjadi merupakan bentuk kerjasama yang terjalin cukup baik antar lembaga tataniaga sebagai cara untuk meciptakan stabilitas pasar. Sistem penentuan harga yang terjadi adalah melalui sistem
tawar-menawar serta sistem penentuan harga secara sepihak, dan pada penentuan harga penjualan kedudukan petani hanya sebagai penerima harga. Harga yang terbentuk merupakan harga yang dibentuk oleh mekanisme pasar. Sistem pembayaran harga salak pondoh yang dilakukan berupa sistem pembayaran tunai, sistem pembayaran uang muka dan sistem pembayaran kemudian. Sistem pembayaran yang berlangsung tergantung pada tingkat kepercayaan dan perjanjian antara kedua belah pihak. Kerjasama yang terbentuk antara petani dan lembaga tataniaga umumnya sudah berlangsung lama, sehingga terjalin hubungan yang baik dan rasa saling percaya. Keragaan pasar komoditi salak pondoh dianalisis dengan menggunakan analisis marjin tataniaga dan penyebarannya, bagian harga yang diterima petani (farmer’s share), rasio keuntungan biaya, serta keterpaduan pasar. Sebaran marjin di setiap lembaga tataniaga pada setiap pola saluran cukup berbeda. Perbedaan sebaran marjin pada setiap pola saluran dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat pada setiap pola salurannya; besarnya biaya tataniaga yang dikeluarkan dan besarnya keuntungan yang diperoleh setiap lembaga tataniaga pada suatu pola saluran; dan besarnya harga pembelian dan penjualan yang ditetapkan oleh suatu lembaga tataniaga. Besarnya bagian harga yang diterima petani berbeda pada setiap pola salurannya, perbedaan bagian harga yang diterima petani (farmer’s share) pada setiap pola saluran tataniaga dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: besar kecilnya marjin tataniaga yang terbentuk pada setiap pola saluran tataniaga, dan rendah dan tingginya harga di tingkat konsumen atau harga jual pada tingkat lembaga tataniaga tertinggi. Nilai rasio keuntungan biaya pada setiap lembaga tataniaga dalam saluran tataniaga menunjukkan nilai rasio keuntungan biaya yang berbeda. Berdasarkan keterpaduan pasar, antara Pasar Salak Banjarnegara dengan Pasar Peneleh Surabaya dan Pasar Induk Kramat Jati Jakarta terjadi keterpaduan pasar, artinya harga yang terjadi di Pasar Salak Banjarnegara pada minggu sebelumnya merupakan faktor utama yang mempengaruhi harga yang terjadi di tingkat Pasar Peneleh Surabaya dan Pasar Induk Kramat Jati Jakarta. Dalam mengukur efisiensi suatu sistem tataniaga digunakan berbagai indikator utama, yaitu dilihat dari kemerataan fungsi-fungsi tataniaga yang dilaksanakan oleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat; panjang dan pendek pola saluran yang terbentuk; volume penjualan pada setiap pola saluran; struktur dan perilaku pasar yang dihadapi tidak membuat pelaku-pelaku pasar melakukan suatu upaya rekayasa untuk mempengaruhi harga pasar; dan keragaan pasar yang di ukur dari sebaran marjin tataniaga, bagian harga yang diterima petani (farmer’s share), dan rasio keuntungan biaya yang merata, serta terjadinya keterpaduan harga antara satu tingkat lembaga tataniaga dengan tingkat lembaga tataniaga yang lain atau antara satu pasar dengan pasar lain. Pola saluran tataniaga salak pondoh yang dapat dikatakan paling efisien adalah pola saluran tataniaga salak pondoh dalam pulau Jawa di luar Jawa Tengah, khususnya pola saluran 6. Hal ini dapat dilihat bahwa pola saluran tataniaga salak pondoh dalam pulau Jawa di luar Jawa Tengah memiliki volume pemasaran yang paling besar dibandingkan dengan pola saluran tataniaga lain.
SISTEM TATANIAGA KOMODITI SALAK PONDOH DI KABUPATEN BANJARNEGARA, PROPINSI JAWA TENGAH
ZAKY ‘ADNANY A14105719
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul
:
Sistem
Tataniaga
Komoditi
Salak
Pondoh
Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah Nama
:
Zaky ’Adnany
Nrp
:
A14105719
Menyetujui: Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Harianto, MS NIP. 131 430 801
Mengetahui: Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus Ujian:
Di
Kabupaten
LEMBAR PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”SISTEM
TATANIAGA
KOMODITI
SALAK
PONDOH
DI
KABUPATEN
BANJARNEGARA, PROPINSI JAWA TENGAH” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, 1 April 2008
Zaky ’Adnany A 14105719
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banjarnegara, Jawa Tengah pada tanggal 07 Juli 1984, putera dari keluarga Bapak H. Tamam dan Ibu Hj. Latifah. Penulis merupakan putera pertama dari tiga bersaudara. Penulis memulai jenjang pendidikan di TK At-Thohiriyah Banjarnegara. Pada tahun 1990 penulis melanjutkan jenjang pendidikan ke SD Muhammadiyah I/IV Banjarnegara dan tamat pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis meneruskan pendidikannya ke MTs Assalaam, Pabelan Sukoharjo Surakarta dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun 1999 sampai tahun 2002, penulis meneruskan pendidikan di SMU Assalaam, Pabelan Sukoharjo Surakarta. Pada tahun 2002 penulis meneruskan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan diterima pada Program Studi Diploma III Konservasi Sumberdaya Hutan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan studi di Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan, penulis pernah mengikuti kegiatan praktek lapang Ekologi Hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Praktek Umum Pengenalan Ekosistem Hutan (PU) di Ranca Upas, BKPH Tambak Ruyung Timur, KPH Bandung Selatan pada tahun 2003; Praktek Pengelolaan Hidupan Liar di Taman Burung, Taman Mini Indonesia Indah pada tahun 2004; Praktek Kerja Lapang (PKL) Pengelolaan Kawasan Konservasi dan penelitian Tugas Akhir yang berjudul “Penyebaran dan Karakteristik
Habitat
Kakatua-kecil
jambul-kuning
(Cacatua
sulphurea
citrinocristata Fraser, 1844) di Taman Nasional Manupeu Tanadaru, Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur” di Taman Nasional Manupeu Tanadaru, Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur pada bulan Maret hingga Agustus 2005. Selama menempuh pendidikan di Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, penulis tercatat sebagai salah satu tenaga pengajar pada beberapa lembaga bimbingan belajar di Bogor. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian, penulis telah melaksanakan penulisan Skripsi yang berjudul ”Sistem Tataniaga Komoditi Salak Pondoh Di Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah”.
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya yang telah dicurahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Sistem Tataniaga Komoditi Salak Pondoh Di Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah” yang telah dilaksanakan sejak bulan Januari sampai dengan bulan Maret. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan studi pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor guna memperoleh gelar Sarjana Pertanian. Skripsi ini memuat serangkaian informasi dan analisis mengenai lembaga tataniaga yang terlibat dan fungsi-fungsi tataniaga yang dilaksanakannya, pola saluran tataniaga yang terbentuk, struktur pasar, perilaku pasar, dan keragaan pasar yang terbentuk pada sistem tataniaga komoditi salak pondoh di Kab. Banjarnegara. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan, terutama bagi petani, pedagang, Dinas Pertanian, dan Pemerintah Daerah sebagai referensi dalam program pengembangan produksi Salak Pondoh di Kabupaten Banjarnegara serta pemasarannya. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai rujukan serta informasi untuk dijadikan bahan referensi dalam melakukan studi lanjutan. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran sebagai masukan yang membangun dari berbagai pihak serta penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Bogor, Mei 2008
Zaky ’Adnany A 14105719
UCAPAN TERIMA KASIH Selama melakukan persiapan hingga terselesaikannya kegiatan penelitian dan penulisan laporan ini, penulis mendapatkan bantuan baik moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Dr. Ir. Harianto, MS., selaku dosen pembimbing yang secara tulus dan ikhlas telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga guna memberikan bimbingan, arahan sejak perencanaan penulisan proposal, kegiatan penelitian di lapangan, dan sampai selesainya penulisan skripsi ini.
2.
Tanti Novianti, SP., MS., yang telah bersedia menjadi dosen evaluator kolokium dengan segala kritik dan saran yang berharga untuk esensi tulisan ini.
3.
Dr. Ir. Ratna Winandi, MS., selaku dosen penguji utama atas kesediaannya dalam menguji dan memberikan masukan untuk perbaikan skripsi.
4.
Dra. Yusalina, M.Si., selaku dosen penguji komisi pendidikan atas saran dan masukannya kepada penulis.
5.
Bapak Tamam; ibu Latifah; dan adik tercinta Kholis Abror Maulani yang telah banyak memberikan bantuan, dukungan, dorongan, perhatian dan kasih sayang serta doa kepada penulis.
6.
Bapak Suwito; ibu Sri Hidayati; Nuryani Widagti, S.Hut., M.Si.; Nurrohman Tri Widagdo; dan Nur Amin Pramono yang telah banyak memberikan bantuan, dukungan, dorongan, perhatian dan kasih sayang serta doa kepada penulis.
7.
Nur Asih Solihah, S.Pd., atas segala cinta, kerinduan, pengertian, pengorbanan, dukungan dan doa.
8.
Pemerintah Daerah Kabupaten Banjarnegara; Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara; Camat dan Penyuluh Pertanian Kec. Sigaluh; Camat dan Penyuluh Pertanian Kec. Banjarnegara; Camat dan Penyuluh Pertanian Kec. Banjarmangu; Camat dan Penyuluh Pertanian Kec. Madukara; dan Camat dan Penyuluh Pertanian Kec. Pagentan atas segala bantuan, diskusi serta informasi-informasi yang diperlukan oleh penulis.
9.
Petani dan pedagang salak pondoh di Banjarnegara atas segala bantuan, diskusi serta informasi-informasi yang diperlukan oleh penulis.
10. Seluruh rekan-rekan: Akbar Zamani; Yudistira M.; Abdi Haris; Eko Hendrawanto; Wemvi Risyana; Northa Idaman; Tri Agung Junarto; Bayu Sumbara; Amatu As Saheda; Sri Widiyati; dan seluruh rekan-rekan di Wisma Paladium, atas segala dukungan, kritik, saran dan persahabatan yang telah dibangun selama ini. 11. Seluruh rekan-rekan di Program Ekstensi Manajemen Agribisnis atas segala bantuan, dukungan, ide, saran, kritik, persahabatan, dan kebersamaan selama menempuh pendidikan di IPB. 12. Semua pihak yang terlalu banyak untuk penulis sebutkan namanya satu persatu yang telah membantu penulis hingga mampu menyelesaikan skripsi ini hingga berjalan dengan lancar. Akhir kata, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran sebagai masukan yang membangun dari berbagai pihak, sehingga dimasa mendatang dapat lebih baik. Semoga semua yang telah dituangkan dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan dapat pula memperluas khasanah wawasan ilmu pengetahuan.
Bogor, Mei 2008
Zaky ’Adnany A 14105719
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................ DAFTAR TABEL ........................................................................................... DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
Hal. i iii v vi
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1.2. Perumusan Masalah ........................................................................ 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 1.4. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................
1 7 9 10
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Salak Pondoh .................................................................................. 2.1.1. Klasifikasi Salak ................................................................... 2.1.2. Sifat Botani ........................................................................... 2.1.3. Syarat Tumbuh .................................................................... 2.2. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 2.2.1. Komoditas Salak .................................................................. 2.2.2. Sistem Tataniaga ................................................................. 2.2.3. Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu ............................
11 11 11 14 15 15 18 22
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ........................................................... 3.1.1. Pasar .................................................................................... 3.1.2. Sistem Tataniaga ................................................................. 3.1.3. Fungsi-Fungsi Tataniaga ..................................................... 3.1.4. Lembaga dan Saluran Tataniaga ......................................... 3.1.4.1. Lembaga Tataniaga ................................................ 3.1.4.2. Saluran Tataniaga ................................................... 3.1.5. Struktur Pasar ...................................................................... 3.1.6. Perilaku Pasar ...................................................................... 3.1.7. Keragaan Pasar ................................................................... 3.1.7.1. Biaya dan Marjin Tataniaga ................................... 3.1.7.2. Bagian Harga yang Diterima Petani (Farmer’s Share) .................................................................... 3.1.7.3. Keterpaduan Pasar ................................................ 3.1.8. Efisiensi Pasar ..................................................................... 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional .................................................... IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi ............................................................................ 4.2. Jenis Data yang Dikumpulkan ......................................................... 4.3. Metode Pengambilan Data .............................................................. 4.4. Metode Analisis Data ....................................................................... 4.4.1. Analisis Lembaga, Fungsi-Fungsi dan Saluran Tataniaga ............................................................................. 4.4.2. Analisis Struktur Pasar ......................................................... 4.4.3. Analisis Perilaku Pasar ........................................................ 4.4.4. Keragaan Pasar ...................................................................
23 23 23 25 27 27 29 32 34 35 35 37 37 38 40 43 43 43 44 44 44 45 45
4.4.4.1. Analisis Marjin Tataniaga ....................................... 4.4.4.2. Analisis Bagian Harga yang Diterima Petani (Farmer’s Share) .................................................... 4.4.4.3. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya ................... 4.4.4.4. Analisis Indeks Keterpaduan Pasar ....................... 4.4.4.5. Pengujian Hipotesis ...............................................
46 46 47 48
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Karakteristik Wilayah ....................................................................... 5.2. Karakteristik Petani Responden ...................................................... 5.3. Karakteristik Pedagang Responden ................................................
50 53 56
VI. SISTEM TATANIAGA SALAK PONDOH 6.1. Lembaga, Fungsi-Fungsi dan Saluran Tataniaga ........................... 6.1.1. Lembaga Tataniaga ............................................................. 6.1.2. Fungsi-Fungsi Tataniaga ..................................................... 6.1.3. Saluran Tataniaga ................................................................ 6.2. Struktur Pasar .................................................................................. 6.3. Perilaku Pasar ................................................................................. 6.3.1. Praktek Penjualan dan Pembelian ....................................... 6.3.2. Sistem Penentuan Harga ..................................................... 6.3.3. Sistem Pembayaran ............................................................. 6.3.4. Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga ................................. 6.4. Keragaan Pasar ................................................................................ 6.4.1. Marjin Tataniaga .................................................................. 6.4.2. Bagian Harga yang Diterima Petani (Farmer’s Share) ........ 6.4.3. Rasio Keuntungan dan Biaya .............................................. 6.4.4. Keterpaduan Pasar .............................................................. 6.5. Efisiensi Sistem Tataniaga ..............................................................
58 58 64 68 72 74 75 76 77 79 79 80 85 86 87 90
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan ....................................................................................... 7.2. Saran ................................................................................................
92 94
DAFTAR PUSTAKA
45
DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Berdasarkan Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2004 – 2006 .................................. 1 2.
Neraca Ekspor dan Impor Produk Pertanian Tahun 2004 – 2006 .......
2
3.
Produksi Buah-Buahan Indonesia Sepanjang Tahun 2001 Sampai 2006 ................................................................................................
3
Perkiraan Permintaan Buah-Buahan Indonesia Sampai Tahun 2015 ................................................................................................
5
5.
Produksi Komoditas Buah Unggulan Kabupaten Banjarnegara ..........
6
6.
Produksi Salak pada Seluruh Kecamatan di Kabupaten Banjarnegara ........................................................................................
7
7.
Perubahan Harga Salak Pondoh di Kabupaten Banjarnegara .............
8
8.
Karakteristik Struktur Pasar Dipandang dari Sudut Pembeli dan Penjual ................................................................................................
34
9.
Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Banjarnegara ........................
50
10.
Kondisi Lingkungan di Kabupaten Banjarnegara Berdasarkan Kecamatan ...........................................................................................
51
11.
Pola Penggunaan Lahan di Kabupaten Banjarnegara .........................
52
12.
Jumlah dan Persentase Petani Responden Bersadarkan Umur ..........
53
13.
Jumlah dan Persentase Petani Responden Bersadarkan Jumlah Tanggungan .........................................................................................
53
Jumlah dan Persentase Petani Responden Bersadarkan Tingkat Pendidikan ...........................................................................................
54
Jumlah dan Persentase Petani Responden Bersadarkan Penguasaan atas Lahan Pertanian ......................................................
54
Jumlah dan Persentase Petani Responden Bersadarkan Tingkat Pengalaman Budidaya Salak Pondoh ..................................................
55
Jumlah dan Persentase Pedagang Responden Bersadarkan Umur ................................................................................................
56
Jumlah dan Persentase Pedagang Responden Bersadarkan Jumlah Tanggungan ............................................................................
56
4.
14. 15. 16. 17. 18.
19.
20. 21. 22. 23.
24. 25. 26. 27.
Jumlah dan Persentase Pedagang Responden Bersadarkan Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pengalaman Melakukan Usahatani Salak Pondoh ......................................................................
57
Fungsi-Fungsi Tataniaga yang Dilaksanakan oleh LembagaLembaga Tataniaga Salak Pondoh Di Kabupaten Banjarnegara ........
64
Sebaran Harga Rata-Rata Salak Pondoh dan Marjin Tataniaga Pada Pola Saluran Tataniaga Salak Pondoh Lokal .............................
80
Sebaran Harga Rata-Rata Salak Pondoh dan Marjin Tataniaga Pada Pola Saluran Tataniaga Salak Pondoh Dalam Jawa Tengah .....
81
Sebaran Harga Rata-Rata Salak Pondoh dan Marjin Tataniaga Pada Pola Saluran Tataniaga Salak Pondoh Dalam Pulau Jawa Di Luar Jawa Tengah ...............................................................................
82
Sebaran Harga Rata-Rata Salak Pondoh dan Marjin Tataniaga Pada Pola Saluran Tataniaga Salak Pondoh di Luar Pulau Jawa .......
84
Rasio Keuntungan Biaya Pada Setiap Pola Saluran Tataniaga Salak Pondoh .......................................................................................
87
Koefisien Regresi Keterpaduan Pasar Antara Pasar Salak Banjarnegara dengan Pasar Peneleh Surabaya ..................................
88
Koefisien Regresi Keterpaduan Pasar Antara Pasar Salak Banjarnegara dengan Pasar Induk Kramat Jati Jakarta ......................
89
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Jalur Distribusi Tataniaga Komoditas Pertanian .................................. 31 2. 3. 4.
Penggambaran Definisi Marjin Tataniaga, Nilai Marjin Tataniaga, dan Biaya Tataniaga ............................................................................
36
Bagan Kerangka Pemikiran Analisis Sistem Tataniaga Salak Pondoh Di Kabupaten Banjarnegara ...................................................
42
Pola Saluran Tataniaga Salak Pondoh di Kabupaten Banjarnegara ........................................................................................
69
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Berbagai Jenis Salak di Indonesia .......................................................
101
2.
Keterpaduan Pasar Antara Pasar Salak Banjarnegara dengan Pasar Peneleh Surabaya .....................................................................
103
Keterpaduan Pasar Antara Pasar Salak Banjarnegara dengan Pasar Induk Kramat Jati Jakarta ..........................................................
104
4.
Kuisioner Untuk Petani Salak Pondoh di Kabupaten Banjarnegara ....
105
5.
Kuisioner Untuk Pedagang Salak Pondoh di Kabupaten Banjarnegara ........................................................................................
108
3.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor non migas merupakan salah satu sumber pendapatan yang sangat dibutuhkan Indonesia dalam mendukung perekonomian nasional. Selama beberapa tahun terakhir, sektor non migas terutama yang berasal dari sektor pertanian
memberikan
kontribusi
yang
cukup
besar
bagi
pertumbuhan
perekonomian nasional. Beberapa peran penting sektor pertanian antara lain sebagai sumber devisa negara, penyedia lapangan kerja, penyedia bahan baku industri serta sebagai penyedia pangan, sandang dan papan bagi penduduk Indonesia. Peran sektor pertanian terhadap perekonomian nasional dapat dilihat dari kontribusinya terhadap nilai Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan besarnya volume ekspor serta impor. Besarnya kontribusi nilai PDB sektor pertanian terhadap PDB nasional cukup besar dibanding sektor-sektor lain. Nilai PDB untuk sektor pertanian selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan yang meningkat, dengan rata-rata peningkatan sepanjang tahun 2004 sampai 2006 sebesar 2,82 persen per tahun (Tabel 1). Tabel 1. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Berdasarkan Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2004 - 2006 Lapangan Usaha (Sektor) 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan
PDB Sektoral (miliar Rp.) 2004 247.163,60
2005 253.726,00
Pangsa terhadap PBD (%) 2006
261.296,80
2004 14,34
2005
2006
13,07
12,90
160.100,50
165.085,40
168.729,90
8,94
11,07
10,62
469.952,40
491.421,80
514.192,20
28,07
27,71
28,05 0,91
4. Listrik, Gas, Air bersih
10.897,60
11.584,10
12.263,60
1,03
0,96
5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-Jasa
96.334,40
103.483,70
112.762,20
6,59
7,03
7,46
271.142,20
293.877,20
311.903,50
16,05
15,45
14,87
96.896,70
109.467,10
124.399,00
6,20
6,50
6,92
151.123,30
161.384,30
170.495,60
8,47
8,28
8,13 10,14
152.906,10
160.626,50
170.612,10
10,32
9,94
Produk Domestik Bruto
1.656.516,80
1.750.656,10
1.846.654,90
100
100
100
PDB Non Migas
1.506.296,60
1.605.247,60
1.703.086,00
90,73
88,62
89,17
150.220,20
145.408,50
143.568,90
9,27
11,38
10,83
PDB Migas
Sumber
: Badan Pusat Statistik (2007) dan Bank Indonesia (2007)
Rata-rata volume dan nilai ekspor-impor produk pertanian Indonesia juga menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, dengan tingkat pertumbuhan volume ekspor pada tahun 2005 sebesar 17,91 persen dan tingkat pertumbuhan
volume impor pada tahun yang sama sebesar 0,78 persen (Tabel 2). Rata-rata nilai neraca ekspor-impor produk pertanian yang meningkat serta besarnya kontribusi terhadap PDB nasional menunjukkan bahwa sektor pertanian sangat potensial untuk dikembangkan dan dapat menjadi kekuatan perekonomian Indonesia. Tabel 2. Neraca Ekspor dan Impor Produk Pertanian Tahun 2004 - 2006 Subsektor
2004 Volume (Kg)
2005 Nilai (USD)
Volume (Kg)
2006 Nilai (USD)
Volume (Kg)
Nilai (USD)
T. Pangan Ekspor
1170247442
274497239
1123504033
286759477
861335403
264307559
Impor
9670604316
2423417775
8936435847
2115139808
12205261813
2646232725
Ekspor
296478733
177089540
384092283
227617442
451068406
236976726
Impor
798321898
344791048
856393158
367424554
970284706
534175246
Ekspor
15556889495
9107466305
18592702467
10702128795
21394135259
14001324695
Impor
1353601447
1323371273
2091654011
1532519642
1764117697
1908240859
Hortikultur
Perkebunan
Peternakan Ekspor
221663791
328536645
233481615
298562696
188822797
255570765
Impor
873619160
936174934
910930268
1121831745
904638897
1154299200
Ekspor
17245279461
9887589729
20333780398
11515068410
22895361865
14758179745
Impor
12696146821
5027755030
12795413284
5136915749
15844303113
6242948030
Pertanian
Keterangan : Nilai impor tahun 2006, data kumulatif sampai bulan September Sumber : Departemen Pertanian (Diolah)
Sektor pertanian terdiri dari subsektor tanaman pangan, subsektor hortikultura, subsektor kehutanan, subsektor perkebunan, subsektor peternakan, dan subsektor perikanan. Subsektor hortikultura terdiri dari komoditas buahbuahan, sayuran, tanaman hias, dan tanaman obat-obatan yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan nasional di masa depan. Komoditas buah-buahan merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki kontribusi besar dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, konstribusi PDB komoditas buah-buahan menempati urutan pertama di atas komoditi hortikultura lain dengan nilai rata-rata antara tahun 2003 sampai 2006 berdasarkan harga konstan sebesar Rp. 22,398 milyar atau sebesar 52,45 persen dari total PDB hortikultura1. Komoditas buah-buahan memiliki prospek yang cukup bagus untuk dikembangkan karena pada setiap tahun rata-rata volume produksinya menunjukkan peningkatan yang cukup 1
Nilai PDB Hortikultura Tahun 2003 - 2006. http://www.deptan.go.id. [12 April 2008].
signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan produksi buah-buahan Indonesia sepanjang tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 menunjukkan kecenderungan yang meningkat dengan rata-rata peningkatan sebesar 14,9 persen per tahun (Tabel 3). Tabel 3. Produksi Buah-Buahan Indonesia Sepanjang Tahun 2001 – 2006 No.
Komoditas
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Alpukat Belimbing Duku Durian Jambu Biji Jambu Air Jeruk Jeruk Siam Jeruk Besar Mangga Manggis Nangka Nenas Pepaya Pisang Rambutan Salak Sawo Markisa Sirsak Sukun Melon Semangka Blewah Total
Tahun
Growth (%)*
2001
2002
2003
2004
2005
2006
141.703 53.157 113.071 347.118 137.598 73.061 691.433 923.294 25.812 415.079 494.968 500.571 4.300.422 350.875 681.255 63.011 46.951 41.036 37.141 240.298 8275251
238.182 56.753 208.350 525.064 162.120 97.296 968.132 1.402.906 62.055 537.186 555.588 605.194 4.384.384 476.941 768.015 69.479 52.974 47.549 59.106 266.904 9677854
255.957 67.261 232.814 741.831 239.108 115.210 1.529.824 1.441.680 88.144 1.526.474 79.073 694.654 677.089 626.745 4.177.155 815.438 928.613 83.877 71.898 68.426 62.432 70.560 455.464 31.532 11544178
221.774 78.117 146.067 675.902 210.320 117.576 2.071.084 1.994.760 76.324 1.437.665 62.117 710.795 709.918 732.611 4.874.439 709.857 800.975 88.031 59.435 82.338 66.994 47.664 410.195 34.582 15081259
227.577 65.967 163.389 566.205 178.509 110.704 2.214.020 2.150.219 63.800 1.412.884 64.711 712.693 925.082 548.657 5.177.607 675.579 937.930 83.787 75.767 82.892 73.637 58.440 366.702 63.860 16419540
239.463 70.298 157.655 747.848 196.180 128.648 2.565.543 2.479.852 85.691 1.621.997 72.634 683.904 1.427.781 643.451 5.037.472 801.077 861.950 107.169 119.683 84.373 88.339 55.370 392.587 67.708 17000619
5,22 6,57 -3,51 32,08 9,90 16,21 15,88 15,33 34,31 14,80 12,24 -4,04 54,34 17,28 -2,71 18,58 -8,10 27,91 57,96 1,79 19,97 -5,25 7,06 6,03 10,21
Keterangan : * Pertumbuhan produksi tahun 2006 dibandingkan tahun 2005 - Data tidak tersedia Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura (2007)
Buah-buahan adalah salah satu jenis hortikultura yang mempunyai daya tarik tersendiri. Buah mempunyai rasa yang segar dan khas, yaitu perpaduan dari berbagai macam rasa dengan komposisi yang tepat, sehinggga banyak digunakan sebagai pemicu selera makan (appetizer) dan sebagai jus. Selain itu, buah juga memiliki aroma dan warna spesifik, yang menjadi ciri khas bagi setiap jenis.
Sebagai bahan
pangan,
buah
mempunyai keunggulan
tersendiri
dibandingkan dengan bahan pangan lainnya. Buah mempunyai kadar air, vitamin, mineral dan serat yang tinggi, tetapi mengandung energi, lemak, dan karbohidrat yang rendah, sehingga buah baik untuk kesehatan tubuh. Mengingat begitu pentingnya nilai buah-buahan bagi masyarakat, maka manusia perlu mengkonsumsi buah dalam jumlah tertentu. Akan tetapi, konsumsi
masyarakat
Indonesia
terhadap
komoditas
tersebut
masih
relatif
kecil
dibandingkan yang telah dianjurkan FAO (Food Agricultural Organization). FAO menetapkan standar konsumsi buah minimal 65,75 kg per orang per tahun, tetapi konsumsi rata-rata penduduk Indonesia terhadap buah-buahan baru mencapai 40 kg per orang per tahun (Dirjen Bina produksi Hortikultura, 2001). Komoditi salak merupakan salah satu jenis buah tropis asli Indonesia yang menjadi komoditas unggulan dan salah satu tanaman yang cocok untuk dikembangkan. Di Indonesia terdapat berbagai varietas salak diantaranya: salak pondoh, salak swaru, salak enrekang, salak gula pasir, salak bali, salak padang sidempuan, salak gading ayu, salak pangu, salak sibakua, salak sangata, salak condet, salak manonjaya, salak madura, salak ambarawa, salak kersikan, salak bongkok. Diantara berbagai jenis serta varietas salak tersebut, varietas salak pondoh, swaru, nglumut, enrekang, dan gula batu atau bali mempunyai nilai komersial yang tinggi, sehingga varietas tersebut ditetapkan oleh pemerintah sebagai varietas unggul untuk dikembangkan 2. Produksi salak nasional menunjukkan angka yang cukup besar, salak memberikan sumbangan produksi terbesar keempat terhadap total produksi buah nasional setelah pisang, jeruk siam/keprok dan mangga, yaitu sebesar 6,57 persen atau sebesar 937.930 ton dan produksi terbesar berasal dari Jawa Tengah yaitu sebesar 165.173 ton atau sekitar 17,6 persen dari total produksi salak nasional (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2006). Pada kurun waktu beberapa tahun terakhir ini menunjukkan fluktuasi produksi dan luas panen tetapi cenderung menunjukkan peningkatan. Terjadinya peningkatan produksi salak secara langsung akan mempengaruhi penawaran baik dipasar lokal maupun pasar nasional, sehingga peningkatan penawaran salak yang diikuti kegiatan pemasaran yang baik akan mempengaruhi juga permintaan terhadap salak. Dari segi penawaran, beberapa faktor yang mempengaruhi salak pondoh, diantaranya: (1) kecenderungan meningkatnya luas areal tanaman salak, (2) iklim, (3) harga sarana produksi, (4) perkembangan teknologi produksi salak, dan (5) bagi daerah-daerah pasar tertentu ketersediaan buah salak sangat dipengaruhi oleh cara pengemasan dan sarana transportasi yang dapat menjamin kesegaran dan mutu buah salak sampai di tangan konsumen. Sedangkan dari segi permintaan, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan diantaranya: (1) semakin meningkatnya jumlah penduduk yang 2
Salak (Salacca edulis). http://www.ristek.go.id. [21 Desember 2007].
berminat pada buah salak sebagai dampak keberhasilan program penyuluhan dan program peningkatan gizi masyarakat yang dilaksanakan oleh pemerintah, (2) tingkat harga salak di pasar eceran, (3) tingkat harga buah-buahan lainnya, dan (4) tingkat pendapatan konsumen buah salak atau kekuatan daya beli masyarakat pada umumnya. Daerah-daerah di Indonesia yang tercatat sebagai sentra produksi salak diantaranya: Padangsidempuan (Sumatra Barat), Serang (Banten), Sumedang, Tasikmalaya, Ciamis, Batujajar (Jawa Barat), Magelang, Ambarawa, Wonosobo, Banyumas, Purworejo, Purbalingga, Banjarnegara (Jawa Tengah), Sleman (Yogyakarta), Bangkalan, Pasuruan (Jawa Timur), Karang Asem (Bali), Enrekang (Sulawesi Selatan). Akan tetapi pada umumnya daerah-daerah sentra salak tersebut memproduksi buah salak yang khas. Jawa Tengah merupakan salah satu daerah sentra produksi salak terbesar di Indonesia dan Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu daerah sentra salak di Jawa Tengah. Pada tahun 2005, besarnya produksi salak di Kab. Banjarnegara mencapai 110.812.995 kg atau mencapai 67 persen dari produksi salak untuk Jawa Tengah (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2006 dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara, 2006). Besarnya produksi tersebut merupakan sebuah peluang dalam memenuhi permintaan pasar, hal ini dikarenakan permintaan buah-buahan secara umum maupun permintaan salak secara khusus yang akan terus meningkat pada waktu ke waktu (Tabel 4). Selain itu, perdagangan bebas juga memberikan peluang dan tantangan baru dalam pengembangan komoditas hortikultura dimasa yang akan datang. Tabel 4. Perkiraan Permintaan Buah-Buahan Indonesia Sampai Tahun 2015 Konsumsi Buah Populasi Tahun Penduduk (Juta) Konsumsi/Kapita (Kg) Total Konsumsi (Ribu ton) 1998 200.000 36,76 7.352.00 2000 213.000 36,76 7.829.88 2005 227.000 45,70 10.373.90 2010 240.000 57,92 13.900.80 2015 254.000 78,74 19.999.96 Keterangan : Data tahun 1998 – 2005 merupakan kondisi aktual; Sumber : Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (2000).
Pada tahun 1997 sampai 2002, Departemen Pertanian, Direktorat Bina Produksi Hortikultura dan Dinas Pertanian Kab. Banjarnegara dengan bantuan dari OECF (Overseas Economic Coorporation Fund) Jepang, mengembangkan kebun salak pondoh secara lengkap seluas 1.000 Ha di Kec. Banjarnegara dan Kec. Sigaluh, Kab. Banjarnegara dimana bantuan tersebut berupa bibit, pupuk,
jaringan irigasi, pelatihan untuk petani, bangunan pengumpul hasil sampai dengan alat pengolahan berupa vaccum fryer. Produksi buah salak di Kab. Banjarnegara lebih besar dibandingkan komoditas buah-buahan lain dengan volume produksi buah salak yang berfluktuatif (Tabel 5). Hal tersebut menunjukkan bahwa buah salak khususnya salak pondoh merupakan salah satu komoditi buah unggulan di Kab. Banjarnegara yang selalu dikembangkan dalam rangka
meningkatkan
pendapatan
asli
daerah
dan
meningkatkan
laju
pertumbuhan ekonomi serta dikembangkan sebagai salah satu identitas serta kebanggaan Kab. Banjarnegara. Tabel 5. Produksi Komoditas Buah Unggulan Kabupaten Banjarnegara Tahun 2002 2006 No.
Komoditas
Produksi (Kg) 2002
2003
2004
2005
2006
Growth (%)*
298934315
293982616
239729400
110812995
166866800
50,6
5640027
6454027
8833400
7322856
8528150
16,5
55043
93543
69,9
178600
297800
66,7
5463900
1509800
-72,4
261400
1242300
120600
-90,3
614600
591688
760550
28,5
1
Salak
2
Pisang
3
Nenas
267679
28431
60400
4
Jambu Biji
1720279
562235
780900
5
Rambutan
6726146
6726146
5040400
6
Duku
1198275
4847308
7
Pepaya
1269136
707236
8
Durian
2815500
2416935
410800
1494500
1005600
-32,7
9
Jeruk Siam
1138960
1357745
567500
722100
516100
-28,5
10
Mangga
3306180
497781
353800
429800
721500
67,9
Keterangan : * Pertumbuhan produksi tahun 2006 dibandingkan tahun 2005 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara (2007).
Pengembangan salak pondoh di Kab. Banjarnegara didasarkan bahwa salak pondoh merupakan salah satu varietas salak unggulan yang ditetapkan oleh pemerintah melalui SK Menteri Pertanian No. 272/Kpts/TP. 240/4/1988 dan SK Menteri Pertanian No. 462/Kpts/TP. 240/7/1993. Salak pondoh memiliki kandungan vitamin C yang lebih tinggi, kadar gula yang lebih tinggi serta kadar asam yang lebih rendah dibanding dengan jenis salak lain (Redaksi Agromedia, 2007). Salak pondoh juga mempunyai keunggulan dibanding dengan salak lain, dari segi rasa salak pondoh memiliki rasa yang manis dan tidak sepet saat masih muda, dan daya simpan yang lebih lama karena buah salak pondoh tergolong buah yang berpola respirasi non klimaterik yang memiliki umur penyimpanan yang relatif lebih lama dimana salak pondoh mulai membusuk setelah 13 hari penyimpanan pada suhu kamar (Santoso, 1990), serta salak pondoh merupakan salah satu buah lokal yang pemasarannya dapat memasuki supermarket.
Buah salak pondoh merupakan salah satu produk pertanian khususnya hortikultura yang memiliki sifat mudah rusak atau tidak tahan disimpan lama, memerlukan tempat atau ruangan yang luas, dan pada umumnya sentra produksi relatif jauh dari tempat konsumen yang tersebar dari pedesaan sampai perkotaan. Sehingga berdasarkan ciri-ciri tersebut, buah salak khususnya salak pondoh perlu mendapatkan penanganan yang intensif dalam penanganan pasca panen serta pemasaran, sehingga salak yang sampai ke konsumen masih dalam keadaan baik dan segar.
1.2. Perumusan Masalah Salak merupakan salah satu jenis buah tropis asli Indonesia yang menjadi komoditas unggulan nasional dan pangsa pasar salak tidak hanya mencakup pasar lokal maupun nasional tetapi sudah merambah ke pasar internasional. Di Indonesia produksi salak saat ini menunjukkan kecenderungan yang meningkat dan daerah penanamannya telah menyebar hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Tabel 6. Produksi Salak Pada Seluruh Kecamatan di Kabupaten Banjarnegara Tahun 2001 - 2006 No.
Kecamatan
1
Susukan
2
Pwj. Klampok
3
Mandiraja
2001
Produksi Salak (kg) 2003 2004
2002
2005
2006
152700
197220
114310
151200
66000
31100
16800
25000
8900
23100
132800 23100
0
0
138500
84500
157000
116200
4
Purwonegoro
157800
148100
225300
258800
84700
33000
5
Bawang
150000
81000
188510
352200
130900
100300
2764500
146400
2236275
13516600
166800
5451600
0
0
0
0
4147500
3773600
7571000
5527100
15180000
9442500
8945200
7169800
6
Banjarnegara
7
Pagedongan
8
Sigaluh
9
Madukara
10
Banjarmangu
55841000
56260200
132538861
76160300
67489000
76541200
171430400
25608899
128691200
126794800
4227400
11
55451400
Wanadadi
97050
8271
48300
96200
126000
77800
12
Rakit
20400
0
0
5800
23100
9300
13
Punggelan
2274200
577951
212560
454200
290100
275800
14
Karangkobar
2752000
746800
249150
513100
245400
323900
15
Pagentan
31000000
207200000
13480000
10850000
23600000
16280000
16
Pejawaran
9000
820
13200
13000
0
0
17
Batur
0
0
0
0
0
0
18
Wanayasa
547000
2079754
551450
792300
515795
717000
19
Kalibening
250000
335000
90000
235000
575000
390000
20
Pandanarum Jumlah
0 275048150
0 298934315
0 293982616
0 239729400
0 110812995
0 166866800
Sumber
: BPS Kabupaten Banjarnegara (2001 – 2006)
Jawa Tengah merupakan salah satu daerah sentra produksi salak terbesar di Indonesia dan Kab. Banjarnegara merupakan salah satu daerah sentra salak khususnya salak pondoh di Jawa Tengah. Produksi salak pondoh tersebar hampir diseluruh kecamatan-kecamatan di Kab. Banjarnegara, dengan lokasi sentra salak pondoh adalah Kec. Sigaluh, Mudakara, Banjarmangu, Pagentan, Pagedongan dan Banjarnegara. Hal ini dilihat bahwa produksi salak di beberapa kecamatan tersebut memiliki produksi yang besar dibanding kecamatan lain di Kabupaten Banjarnegara (Tabel 6). Buah salak pondoh produksi Kab. Banjarnegara selain dipasarkan di dalam pasar lokal, sebagian besar dipasarkan keluar daerah seperti: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Bali, Mataram, Medan dan beberapa kota baik di pulau Jawa maupun diluar pulau Jawa. Hal ini disebabkan oleh kemampuan pasar lokal menyerap produk sangat kecil dibandingkan kemampuan pasar-pasar diluar Kab. Banjarnegara. Sehingga sebagian besar salak pondoh Kab. Banjarnegara dipasarkan diluar daerah. Perbedaan harga di konsumen akhir di pasar lokal dengan harga di konsumen akhir di pasar-pasar luar daerah juga merupakan salah satu alasan bahwa sebagian besar salak pondoh dari Kab. Banjarnegara dipasarkan di luar daerah. Harga yang diterima konsumen akhir di pasar lokal hanya berkisar Rp. 3.500,- per kilogram, sedangkan harga yang diterima konsumen akhir di Jakarta misalnya dapat mencapai Rp. 7.000,- per kilogram. Jauhnya daerah pemasaran salak pondoh dengan sentra produksi serta relatif tersebar, hal ini menyebabkan sangat penting peran lembaga tataniaga dalam menyalurkan salak pondoh dari petani sampai kepada konsumen akhir. Karena apabila petani menjual langsung kepada konsumen akhir yang tersebar luas, petani akan menghadapi resiko berupa biaya transportasi dan keterbatasan informasi pasar yang umumnya hanya dimiliki oleh lembaga-lembaga tataniaga, misalnya informasi pasar potensial. Perubahan harga jual salak pondoh yang terjadi ditingkat petani cukup berfluktuatif. Pada musim panen raya yaitu pada bulan November sampai Desember, harga jual salak pondoh hanya sekitar Rp. 1.500 per kilogram sedangkan diluar musim panen harga jual salak pondoh di tingkat petani cukup tinggi yang dapat mencapai Rp. 5.000 per kilogram atau bahkan lebih (Tabel 7). Apabila perubahan harga yang terjadi di tingkat petani dapat mempengaruhi harga di tingkat lembaga-lembaga tataniaga maka dapat dikatakan bahwa pasar
tersebut terpadu. Dengan kata lain bahwa informasi pasar bersifat simetris sehingga perubahan harga dapat ditransmisikan secara sempurna pada setiap tingkat lembaga tataniaga. Tabel 7. Perubahan Harga Salak Pondoh di Kabupaten Banjarnegara Pada Juni 2007 sampai Maret 2008 No. Bulan Tahun Harga (Rp/Kg) 1 Juni 2007 4297,45 2 Juli 2007 4530,16 3 Agustus 2007 4580,52 4 September 2007 4786,12 5 Oktober 2007 4801,62 6 November 2007 2676,26 7 Desember 2007 1837,94 8 Januari 2008 2259,45 9 Februari 2008 3090,07 10 Maret 2008 3668,80 Sumber : Pedagang Salak Pondoh di Pasar Salak Banjarnegara (Diolah)
Salah satu bentuk pasar efisien adalah dengan sistem pemasaran yang terbentuk relatif pendek dengan fungsi-fungsi tataniaga yang merata. Selain itu, ciri pasar yang efisien adalah distribusi marjin tataniaga yang tersebar secara merata pada seluruh pelaku atau lembaga tataniaga dan bagian dari harga di tingkat pengecer yang diterima oleh petani. Selain pendeknya saluran tataniaga yang terbentuk dan meratanya margin tataniaga, ciri lain dari pasar yang efisien adalah ada atau tidaknya keterpaduan (integrasi) dan korelasi harga pada berbagai tingkat pasar. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1.
Berapa banyak lembaga tataniaga atau pelaku pasar yang terlibat, bagaimana pola saluran tataniaga yang terbentuk dan apa fungsi masingmasing lembaga tataniaga pada pasar komoditi salak pondoh yang terjadi di Kab. Banjarnegara?
2.
Bagaimana struktur pasar pada setiap lembaga tataniaga yang dihadapi komoditi salak pondoh di Kab. Banjarnegara dan bagaimana perilaku pasar pada masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat?
3.
Bagaimana keragaan pasar pada sistem tataniaga salak pondoh yang terjadi di Kab. Banjarnegara berdasarkan margin tataniaga, bagian harga yang diterima petani (farmer’s share), rasio keuntungan dan biaya, dan keterpaduan pasar yang terjadi?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini, antara lain: 1.
Mengidentifikasi lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dan fungsi-fungsi tataniaga
yang
dilakukan
oleh
setiap
lembaga
tataniaga,
serta
mengidentifikasi pola saluran tataniaga pada sistem tataniaga komoditi salak pondoh; 2.
Menganalisis struktur pasar dan perilaku pasar pada komoditi salak pondoh;
3.
Menganalisis keragaan tataniaga salak pondoh, berdasarkan margin tataniaga, bagian harga yang diterima petani (farmer’s share), rasio keuntungan dan biaya, dan keterpaduan pasar salak pondoh;
4.
Menganalisis efisiensi sistem tataniaga komoditi salak pondoh di Kabupaten Banjarnegara.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian Mengacu pada permasalahan dan tujuan penelitian serta mengingat adanya keterbatasan
sumberdaya
yang
tersedia
(terutama
waktu
dan
dana),
menimbulkan keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu penelitian dilakukan hanya di Kab. Banjarnegara dengan lokasi pengambilan data dan informasi baik informasi dari petani maupun lembaga tataniaga yang terlibat adalah di beberapa kecamatan yang telah ditentukan sebelumnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Salak Pondoh 2.1.1. Klasifikasi Salak Tanaman salak tidak hanya dikenal di beberapa daerah di Indonesia saja, melainkan juga di Burma, Thailand, Philippina dan di Malaya. Jenis salak yang umumnya di tanam di Burma berbeda dengan yang biasa ditanam di Malaya, demikian pula jenis yang umumnya dibudidayakan di Sumatra berbada dengan yang ada di Jawa (Sulastri, 1986). Salak yang merupakan tanaman asli Indonesia adalah Salacca edulis Reinw. (Sastrapradja, 1977 dalam Sulastri, 1986). Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, salak (Salacca edulis Reinw.) diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
:
Plantae
Divisi
:
Spermatophyta
Sub Divisi
:
Angiospermae
Kelas
:
Monocotyledonea
Bangsa
:
Palmales
Suku
:
Palmae
Marga
:
Salacca
Jenis
:
Salacca edulis Reinw.
Banyak jenis dan varietas salak yang dapat tumbuh baik di Indonesia, setidaknya terdapat 22 jenis dan varietas salak yang terdapat di Indonesia (Lampiran 1). Varietas unggul yang telah dilepas oleh pemerintah untuk dikembangkan diantaranya salak pondoh, swaru, nglumut, enrekang, dan gula batu atau bali (Sunarjono, 2005). Sebenarnya jenis salak yang ada di Indonesia ada tiga perbedaan yang mencolok, yakni: salak Jawa Salacca zalacca (Gaertner) Voss yang berbiji dua sampai tiga butir, salak Bali Salacca amboinensis (Becc) Mogea yang berbiji satu sampai dua butir, dan salak Padang Sidempuan Salacca sumatrana (Becc) yang berdaging merah3.
2.1.2. Sifat Botani Tanaman salak berakar serabut dan menyerupai pohon palem yang seolaholah tidak berbatang, rendah dan tegak dengan tinggi tanaman salak antara 1,5 – 7 meter, tergantung dari jenisnya. Batangnya hampir tidak kelihatan karena 3
Salak (Salacca edulis). http://www.ristek.go.id. [21 Desember 2007].
tertutup oleh pelepah daun yang tersusun rapat, pelepah dan tangkai daunnya berduri panjang (Steenis, 1975 dalam Sulastri, 1986; dan Harsoyo, 1999). Batang tanaman salak lemah dan mudah rebah, pada batangnya dapat tumbuh tunas yang berakar sendiri, yang bila dibiarkan tumbuh di batang, tunas-tunas tersebut dapat tumbuh menjadi rumpun tanaman salak yang besar. Batang salak pondoh termasuk pendek dan hampir tidak kelihatan secara jelas, karena selain ruas-ruasnya padat juga tertutup oleh pelepah daun yang tumbuh memanjang. Selain itu, sekalipun umur tanaman masih muda, sekitar satu sampai dua tahun, tanaman salak pondoh dapat bertunas (Santoso, 1990). Santoso (1990) menjelaskan bahwa daun salak pondoh tersusun roset, bersirip terputus-putus, dan panjang 2,5 – 7 meter. Bagian bawah dan tepi tangkai daun berduri tajam. Khusus jenis salak pondoh hitam, daunnya lebih lebar dibandingkan salak pondoh kuning, dan berwarna hijau tua. Sedangkan salak pondoh kuning, daunnya berwarna hijau muda dan agak sempit dibandingkan salak pondoh hitam. Tanaman salak berbunga banyak, tersusun dalam tandan rapat dan bersisik dengan tandan bunga jantan dan tandan bunga betina terletak pada pohon yang berlainan, sebagian tandan bunga terbungkus oleh seludang atau tongkol yang berbentuk seperti perahu yang terletak diketiak pelepah daun (Sulastri, 1986). Menurut Sunarjono (2005), bunga salak ada tiga macam, yaitu bunga betina, jantan, dan campuran (sempurna), dimana bunga jantan terbungkus oleh seludang
(spandex)
dengan
tangkai
panjang
sedangkan
bunga
betina
terbungkus oleh seludang dengan tangkai pendek. Tongkol bunga jantan memiliki panjang 50 – 100 cm, terdiri atas 4 – 12 bulir silindris yang masingmasing panjangnya antara 7 – 15 cm, dengan banyak bunga kemerahan terletak di ketiak sisik-sisik yang tersusun rapat, sedangkan tongkol bunga betina panjangnya antara 20 – 30 cm, bertangkai panjang, terdiri atas satu sampai tiga bulir yang panjangnya mencapai 10 cm 4. Menurut Sunarjono (2005), dikenal tiga macam tipe tanaman salak dalam satu varietas/kultivar, yaitu: (1) Salak sempurna campuran (tipe A), tanaman salak tipe ini mampunyai seludang bunga jantan dan seludang bunga sempurna (hermaprodit) yang seluruhnya fertil, sehingga terdapat kemungkinan besar tanaman menyerbuk sendiri; (2) Salak betina (tipe B), tanaman salak betina mampunyai seludang bunga jantan rudimenter (tumbuh kerdil), sementara bunga 4
Salak. http://id.wikipedia.org/wiki/salak. [21 Desember 2007].
jantan dari seludang bunga sempurna redimenter juga, sehingga yang tampak hanya bunga betina saja; dan (3) Salak jantan (tipe C), tanaman salak jantan hanya mempunyai seludang jantan yang fertil, sementara bunga betina pada bunga sempurna termasuk rudimenter, sehingga yang tampak hanya bunga jantan saja. Salak bali termasuk tipe salak A, sedangkan tipe salak B dan C diantaranya banyak terdapat pada salak swaru, condet dan pondoh. Santoso (1990) mengungkapkan bahwa tanaman salak pondoh mempunyai dua periode tumbuh, yaitu periode vegetatif dan periode reproduktif. Periode vegetatif adalah periode tumbuh dari mulai tanam sampai dengan terbentuk bunga pertama. Sedangkan periode reproduktif dinyatakan sejak waktu berbunga, hingga perkembangan buah dan saat matang. Ciri khas tanaman salak pondoh merupakan tanaman berumah dua, sehingga dapat ditemukan tanaman jantan dan tanaman betina. Bunga jantan tersusun seperti genteng, bertangkai dan berwarna coklat kemerah-merahan. Sedangkan bunga betina tersusun dari satu sampai tiga bulir, bertangkai panjang, dan mekar sekitar 1 – 3 hari. Tanaman jantan tidak dapat menghasilkan buah, tetapi tanaman jantan diperlukan sebagai sumber benang sari. Buah salak merupakan tipe buah batu berbentuk segitiga agak bulat atau bulat telur terbalik, runcing di pangkalnya dan membulat di ujungnya dengan panjang buah dapat mencapai 2,5 – 10 cm5. Buah salak tersusun dalam tandan dimana dalam setiap tandan terdiri dari 15 – 40 buah (Sulastri, 1986; dan Sunarjono, 2005). Buah salak terdiri atas kulit, daging buah dan biji. Kulit buah salak yang membungkus daging buah menyerupai sisik yang berbentuk segi tiga, berwarna kekuningan hingga coklat kehitaman atau kemerah-merahan yang tersusun seperti genting, dengan banyak duri kecil yang mudah putus di ujung masingmasing sisik. Daging buah tidak berserat berwarna putih kekuningan, kuning kecoklatan atau merah tergantung varietasnya, dan biasanya terdiri dari tiga septa dalam tiap buah. Biji salak yang masih muda berwarna pucat dan lunak, sedangkan setelah matang berwarna kuning hingga kehitaman dan keras, dan dalam setiap buah terdapat satu sampai tiga biji (Sulastri, 1986; Budagara, 1998; dan Sunarjono, 2005). Buah salak pondoh pada umumnya lebih kecil dibandingkan dengan jenis salak lainnya. Buah salak pondoh memiliki berbagai variasi mulai dari warna kulit 5
Salak. http://id.wikipedia.org/wiki/salak., Op. cit.
yang coklat kehitam-hitaman, coklat kemerah-merahan, coklat kekuningkuningan, dan merah gelap kehitam-hitaman, serta semua buah salak pondoh memiliki rasa manis (Santoso, 1990). Buah salak pondoh tergolong buah yang berpola respirasi non klimaterik yang memiliki umur penyimpanan yang relatif lebih lama dibanding buah klimaterik, dimana salak pondoh mulai membusuk setelah 13 hari penyimpanan pada suhu kamar. Tumbuhan salak dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun, tetapi secara umum masa panen tanaman salak ada empat musim, yaitu: (1) panen raya pada bulan Nopember, Desember dan Januari; (2) panen sedang pada bulan Mei, Juni dan Juli; (3) panen kecil pada bulan-bulan Pebruari, Maret dan April; dan 4) masa kosong atau masa istirahat pada bulan-bulan Agustus, September dan Oktober, dan apabila pada bulan-bulan ini ada buah salak maka dinamakan buah slandren6.
2.1.3. Syarat Tumbuh Salak tumbuh baik di dataran rendah hingga ketinggian 700 mdpl dengan tipe iklim basah, dan tipe tanah podsolik dan regosol atau latosol yang subur, gembur dan lembab disenangi oleh tanaman salak, serta lingkungan yang dikehendaki mempunyai pH antara 5 – 7 (Sunarjono, 2005). Tanaman salak pondoh tumbuh baik pada tanah yang berdrainase baik, karena tidak tahan terhadap genangan air, tetapi tanaman salak pondoh juga tidak tahan terhadap sinar matahari langsung yang dapat mengahibatkan daunnya menjadi kekuningkuningan dan pucuknya mengering. Tanaman ini membutuhkan intensitas cahaya matahari seitar 30 sampai 70 persen, karena itu diperlukan adanya tanaman peneduh (Santoso, 1990). Tanaman salak sesuai bila ditanam di daerah berzona iklim Aa bcd dengan jumlah bulan basah tinggi yaitu 11 – 12 bulan per tahun; Babc dengan jumlah bulan basah yaitu 8 – 10 bulan per tahun; dan Cbc dengan jumlah bulan basah yaitu 5 – 7 bulan per tahun, dengan curah hujan rata-rata per tahun 200 – 400 mm per bulan dimana curah hujan rata-rata bulanan lebih dari 100 mm sudah tergolong dalam bulan basah yang berarti salak membutuhkan tingkat kebasahan atau kelembaban yang tinggi7. Untuk pertumbuhan optimum, salak
6
Salak (Salacca edulis). http://www.ristek.go.id. 7 Salak (Salacca edulis). http://www.ristek.go.id, Op. cit.
pondoh membutuhkan curah hujan yang merata sekitar 200 – 400 mm per bulan (Santoso, 1990).
2.2. Penelitian Terdahulu 2.2.1. Komoditi Salak Beberapa penelitian yang telah dilakukan yang relevan dengan penelitian ini, yaitu penelitian mengenai komoditi salak secara umum dan komoditi salak pondoh secara khusus. Banyak penelitian yang mengulas komoditi salak secara umum, diantaranya Maya (2006) yang melakukan penelitian mengenai efisiensi penggunaan faktorfaktor produksi dan pendapatan usahatani salak bongkok di Sumedang. Dengan menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas dimana faktor-faktor produksi yang diduga seperti luas lahan, umur tanaman, jumlah tanaman, pengalaman, tenaga kerja, pupuk kandang, dan pupuk urea (dummy) menunjukkan signifikasi dan korelasi yang besar terhadap produksi salak. Skala ekonomi usaha dari penjumlahan elastisitas produksi menunjukkan nilai sebesar 0,594, hal ini menunjukkan bahwa setiap satu persen dari penggunaan faktor produksi secara bersamaan akan meningkatkan produksi salak sebesar 0,594 persen. Selain itu, dapat diketahui bahwa usahatani salak bongkok sudah menguntungkan untuk setiap golongan umur, khususnya golongan umur tanam 10 – 15 tahun, karena
produktivitas tanaman salak bongkok pada golongan
umur tersebut relatif lebih tinggi. Penelitian yang dilakukan Hadaka (2002) dijelaskan bahwa pendapatan petani dari usahatani khususnya salak manonjaya, baik itu pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total, relatif lebih besar yang dihasilkan oleh tanaman dengan golongan umur tanam 6 – 10 tahun dibanding dengan golongan umur tanam yang lain. Hal ini dikaitkan dengan produktivitas tanaman salak manonjaya pada golongan umur tersebut yang relatif lebih tinggi. Analisis dilakukan dengan analisis kuantitatif yang digunakan untuk mengetahui gambaran mengenai pelaksanaan dan pengembangan usahatani salak, dan analisis kualitatif untuk menganalisis tataniaga dan kelayakan usahatani salak, serta melakukan analisis sensivitas. Saluran pemasaran salak manonjaya yang terbentuk menunjukkan tiga pola saluran pemasaran yang berbeda yang menghasilkan marjin yang berbeda pula.
Analisis pendapatan usahatani dan pemasaran salak sidempuan di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara yang dilakukan oleh Nasution (2004), menunjukkan bahwa usahatani salak cukup layak untuk diusahakan karena R/C Ratio rata-rata setiap petani menunjukkan nilai sebesar 6,4 yang berarti bahwa setiap Rp. 1,00 yang dikeluarkan akan mendapat imbalan penerimaan sebesar Rp. 6,40. Sistem pemasaran salak sidempuan membentuk empat pola saluran pemasaran yang berbeda yang menghasilkan marjin pemasaran dan panjang saluran yang berbeda, dimana setiap lembaga pemasaran melakukan fungsi-fungsi tertentu. Di samping itu, struktur pasar yang terjadi cenderung mendekati pasar oligopsoni di tingkat petani dan pedagang pengumpul desa, sedangkan di tingkat pengecer, pasar yang dihadapi cenderung mendekati pasar persaingan sempurna. Penelitian-penelitian yang mengulas komoditi salak pondoh secara khusus, diantaranya penelitian yang dilakukan Bisri (1998), yang mengukur efisiensi produktifitas penerapan teknologi usahatani salak pondoh antara petani kelompok dan petani non kelompok serta perbedaan tingkat penerapan teknologinya di Kabupaten Sleman. Analisis data untuk mengetahui hubungan antar peubah menggunakan Uji Korelasi Peringkat Spearman dan untuk mengetahui perbedaan tingkat penerapan teknologi usahatani antar kelompok dan non kelompok menggunakan Uji “t” Studen. Hasil menunjukkan bahwa tingkat penerapan teknologi usahatani tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dan juga hubungan antara tingkat penerapan teknologi usahatani dengan produktivitas usahatani, baik anggota kelompok tani anjuran dinas, kelompok tani inisiatif sendiri dan petani non kelompok. Hasil analisis hubungan faktor internal dengan faktor eksternal, menunjukkan hubungan antara variabel yang nyata yaitu: pendidikan formal dengan luas areal tanaman dan harga; pengalaman dengan tingkat ketersediaan informasi, luas areal tanaman dan harga; persepsi terhadap kelompok dengan tingkat ketersediaan informasi, luas areal tanaman, dan harga; lama menjadi anggota kelompok dengan tingkat ketersediaan informasi, luas areal yang ditanam, dan harga. Pengkajian faktor-faktor penentu produktivitas salak pondoh di wilayah Sleman oleh Solihin (2001), dimana analisis data yang dilakukan mencakup: (1) uji beda rata-rata dengan menggunakan Duncan Analysis untuk mengetahui keragaman produktivitas, keragaman karakteristik fisik sumberdaya lahan dan keragaman karakterisitk manajemen usahatani antar wilayah penyebaran kebun
salak (WKS); (2) analisis kelayakan finansial usahatani dengan menggunakan variable NPV, IRR, BCR dan BEP untuk keragaman secara finansial masingmasing WKS; dan (3) analisis korelasi, Principal Factor Analysis (PFA) dan regresi linier berganda stepwise dari hasil PFA untuk menentukan faktor-faktor penentu
produktivitas.
Faktor-faktor
penentu
produktivitas
yang
perlu
dipertimbangkan dalam menilai keesuaian lahan salak pondoh pada tanah yang berasal dari bahan induk bahan vulkanik adalah elevasi lahan, kadar C-organik, pH, kadar N, kadar Mg, kadar Mg, kadar K dan kadar S tanah. Harsoyo
(1999),
melakukan
penelitian
tentang
efisiensi
produksi
berdasarkan kondisi kinerja produksi dan perbedaan efisiensi kinerja produksi berdasarkan perbedaan skala pengusahaan dan letak geografis, serta efisiensi pemasaran salak pondoh berdasarkan integrasi pasar dan distribusi marjin pemasaran salak pondoh di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Alat analisis yang digunakan untuk menganalisis efisiensi produksi menggunakan model biaya traslog dan model keuntungan translog, sedangkan untuk menganalisis efisiensi pasar menggunakan analisis elastisitas transmisi harga, analisis integrasi pasar, analisis marjin pemasaran dan farmer’s share. Analisis fungsi biaya translog menghasilkan kesimpulan yang konsisten dengan kesimpulan dari analisis fungsi keuntungan translog yaitu bahwa kondisi skala usaha dari produksi salak pondoh adalah increasing return to scale. Analisis pemasaran menghasilkan kesimpulan bahwa pemasaran komoditas salak pondoh sudah efisien. Kelayakan investasi usahatani berdasarkan aspek teknis dan produksi, dan aspek finansial; menganalisis sensivitas usahatani salak pondoh terhadap perubahan harga pupuk dan tenaga kerja, harga jual salak pondoh, dan tingkat suku bunga; mengkaji efisiensi pemasaran salak pondoh dengan kasus di Kecamatan Madukara, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah (Dewi, 2006). Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis aspek teknis dan produksi, fungsi-fungsi pemasaran, dan pola saluran pemasaran. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengkaji kelayaan usahatani salak pondoh dengan alat analisis NPV, IRR, dan Net B/C; serta mengkaji efisiensi pemasaran dengan alat analisis Marjin Pemasaran dan farmer’s share. Menunjukkan hasil bahwa usahatani ini layak di usahakan dan memperlihatkan bahwa usahatani salak pondoh tidak sensitif terhadap kenaikan harga pupuk dan tenaga kerja, serta tingkat suku bunga. Fungsi pemasaran yang dilakukan perorangan atau kelompok pada
dasarnya terbagi menjadi tiga fungsi utama, yaitu: fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Lembaga pemasar yang terlibat dalam rantai pemasaran buah salak pondoh antara lain: pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul besar dan pedagang pengecer. Analisis preferensi konsumen luar negeri terhadap atribut buah salak dan implikasinya terhadap strategi pengembangan pemasaran salak pondoh di kota Bangkok, Thailand yang dilakukan Arief (2003), menggunakan empat alat analisis, yaitu: (1) Analisis Deskriptif; (2) Analisis Multiatribut Angka Ideal; (3) Analisis Konjoin; dan (4) Analisis Bauran Pemasaran. Diperoleh hasil bahwa motivasi utama konsumen untuk mengkonsumsi buah salak adalah untuk mendapatkan rasanya yang spesifik, dengan atribut yang dianggap penting dan tingkat kegunaan atribut antara lain: higenitas, rasa, tingkat kematangan, keseragaman ukuran, warna kulit buah dan harga. Strategi produk salak pondoh yang dipasarkan sebaiknya memiliki rasa manis dari buah yang sudah matang dengan ukuran relatif seragam dengan warna kulit buah agak gelap dan bentuk buah yang agak bulat sebagai ciri khas untuk membedakan dengan salak thailand.
2.2.2. Sistem Tataniaga Beberapa penelitian yang telah dilakukan yang berkaitan dengan sistem tataniaga baik komoditi salak secara khusus maupun komoditas pertanian secara umum diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Irawan (2005), yang menganalisis pemasaran dan integrasi pasar komoditas buah-buahan dan sayuran di DKI Jakarta. Pola saluran pemasaran yang terbentuk menunjukkan dua pola pemasaran yang berbeda yaitu pola pemasaran pada pasar tradisional dan toko, tetapi kedua pola tersebut menunjukka pola saluran pemasaran yang hampir sama. Struktur pasar yang terbentuk di tingkat petani relatif berstruktur oligopsoni, pada tingkat pedagang daerah menunjukkan struktur persaingan monopolistik, sedangkan pada tingkat supplier menghadapi pasar berstruktur oligopsoni. Petani dalam penentuan harga memiliki posisi yang lemah dan petani merupakan penerima harga yang ditentukan oleh pedagang daerah, selain itu marjin pemasaran tidak tersebar secara merata antar lembaga pemasaran. Secara umum, pemasaran komoditas hortikultura di wilayah DKI Jakarta belum mengarah pada bentuk pasar yang efisien, mengingat pasar yang terbentuk belum mengarah pasar persaingan sempurna.
Gantina (2005) melakukan analisis pemasaran buah-buahan di Wilayah Kabupaten Karawang, dengan analisis kualitatif untuk menganalisis saluran pemasaran, struktur pasar dan perilaku pasar, sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk efisiensi pasar berdasarkan marjin pemasaran dan keterpaduan pasar menggunakan model autoregressive distributed lag. Sistem pemasaran buah-buahan di Karawang membentuk saluran pemasaran yang bertingkat dan membentuk beberapa pola saluran yang berbeda dalam mendistribusikan komoditas ke konsumen akhir, dan menghasilkan marjin yang berbeda pula. Struktur pasar yang terbentuk pada pemasaran komoditas buah-buahan yaitu struktur pasar oligopoli murni, persaingan monopolistik, dan mendekati persaingan sempurna, dengan perilaku pasar dalam penentuan harga buahbuahan dilakukan secara kaku tetapi dapat melalui kesepakatan sepihak dan melalui proses tawar menawar. Indeks keterpaduan pasar menunjukkan bahwa antar pasar acuan dengan pasar pengecer tidak terpadu dalam jangka panjang untuk semua komoditas buah-buahan yang diteliti. Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai sistem pemasaran beberapa komoditas buah-buahan, diantaranya: analisis efisiensi pemasaran komoditas alpukat di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor yang dilakukan oleh Parwitasari (2004); analisis sistem pemasaran manggis di dua tempat yang berbeda yaitu di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Bogor yang dilakukan oleh Pakpahan (2006); analisis pemasaran mangga gedong gincu (Mangifera indica spp.) di Kabupaten Majalengka oleh Rachmiyanti (2006); analisis tataniaga bengkuang (Pachyrrhizus erosus) di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah oleh Lestari (2006), dan di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut yang dilakukan oleh Taufan (2006); analisis tataniaga komoditas kelapa kopyor di Kabupaten Pati yang oleh Vinifera (2006); analisis sistem pemasaran buah stroberi di Kabupaten Bandung yang dilakukan oleh Kurniawati (2007); serta analisis sistem pemasaran pisang di Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung oleh Simamora (2007). Alat analisis yang digunakan dalam penelitian-penelitian tersebut umumnya hampir seragam yaitu analisis lembaga dan saluran tataniaga, analisis fungsifungsi tataniaga, analisis struktur dan perilaku pasar, analisis keragaan pasar yang meliputi analisis marjin tataniaga, analisis bagian harga yang diterima petani atau farmer’s share, analisis rasio keuntungan dan biaya, serta sebagian penelitian melakukan analisis keterpaduan pasar dengan menggunakan model
Indeks of Market Connetion (IMC) dengan pendekatan model Autoregression Distributed Lag. Dari penelitian tersebut, diperoleh bahwa sistem pemasaran komoditas pertanian umumnya melibatkan lembaga tataniaga yang beragam dan membentuk saluran pemasaran yang bertingkat serta membentuk beberapa pola saluran yang berbeda dalam mendistribusikan komoditas ke konsumen akhir. Setiap lembaga tataniaga dalam saluran tataniaga tersebut melakukan fungsifungsi tataniaga sesuai dengan kepentingan lembaga tataniaga tersebut, tetapi umumnya fungsi yang dilakukan berupa fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Dijelaskan juga bahwa fungsi tataniaga yang efisien dapat menekan besarnya biaya pemasaran. Struktur pasar yang terbentuk pada pemasaran komoditas tersebut berbeda pada setiap tingkat lembaga tataniaga. Struktur pasar yang dihadapi di tingkat petani cenderung mengarah kepada struktur pasar oligopsoni, dimana produk bersifat homogen dengan jumlah petani lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pengumpul desa serta pedagang besar. Perilaku pasar dalam pemasaran dapat diketahui dengan melihat sistem penentuan harga, sistem pembayaran serta kerjasama yang terjadi diantara lembaga tataniaga. Secara umum, penentuan harga yang terjadi dengan cara sistem tawar-menawar dan penentuan harga yang ditentukan oleh lembaga pemasar yang lebih tinggi tingkatannya dengan sistem pembayaran tunai, uang muka, atau pembayaran kemudian. Sistem tataniaga komoditas tersebut yang melibatkan lembaga pemasar yang beragam dan pola saluran tataniaga yang beragam pula, menghasilkan marjin yang berbeda dengan sebaran marjin yang kurang merata serta rasio biaya dan keuntungan yang tidak seimbang pada setiap lembaga tataniaga, walaupun pada beberapa komoditas sebaran marjin sudah merata. Hasil analisis keterpaduan pasar menunjukkan bahwa pasar komoditas pertanian tidak seluruhnya terpadu baik pada jangka pendek maupun pada jangka panjang. Secara umum pemasaran komoditas pertanian belum mengarah kepada bentuk pasar yang efisien secara keseluruhan, mengingat saluran tataniaga yang terbentuk menghasilkan marjin yang kurang merata, dan struktur pasar yang terbentuk belum mengarah pada pasar persaingan sempurna. Penentuan harga umumnya merugikan petani, dimana penentuan harga dilakukan oleh lembaga tataniaga di atasnya dan petani hanya bertindak sebagai penerima harga (price taker).
Penelitian yang dilakukan oleh Suriyana (2005) mengenai tataniaga beras di pasar tradisonal dan pasar modern di DKI Jakarta. Analisis yang dilakukan adalah analisis struktur pasar, analisis perilaku pasar, analisis keragaan pasar, analisis
marjin
tataniaga,
analisis
indeks
keterpaduan
pasar
dengan
menggunakan model Indeks of Market Connetion (IMC) dengan pendekatan model Autoregression Distributed lag. Struktur pemasaran beras di DKI Jakarta pada pasar tradisional cenderung bersaing monopolistik sedangkan pada pasar modern cenderung oligopoli. Marjin pemasaran diperoleh bahwa semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat maka semakin panjang rantai pemasaran yang terbentuk dan semakin tinggi marjin pemasaran dan semakin tidak efisien. Pada pasar tradisional maupun pasar modern di DKI Jakarta tidak terpadu dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Penelitian lain mengenai analisis marjin pemasaran melinjo di Daerah Istimewa Yogyakarta yang dilakukan oleh Manumono dan Soedjono (1994), menggunakan analisis deskriptif untuk menganalisis saluran pemasaran serta analisis marjin pemasaran dan regresi linear berganda untuk menganalisis marjin pemasaran. Di Yogyakarta terdapat dua rantai saluran pemasaran utama komoditas melinjo yaitu saluran pemasaran pasar tradisional dan saluran pemasaran non tradisional. Rantai pemasaran tersebut terdiri dari tiga tingkat yaitu pemasaran bahan mentah, pemasaran bahan setengah jadi dan pemasaran bahan jadi, dimana kedua rantai saluran pemasaran tersebut memiliki delapan kemungkinan pola saluran pemasaran yang berbeda dalam mendistribusikan
komoditi
dari
petani
ke
konsumen
akhir.
Banyaknya
kemungkinan saluran pemasaran tersebut sebagai akibat peran ganda yang dilakukan pelaku pasar yang menyebabkan terjadinya persaingan dan integrasi vertikal. Proporsi marjin yang tertinggi diterima oleh pemasok pasar non tradisional, sehingga besarnya marjin yang terbentuk pada saluran pemasaran pasar non tradisional lebih tinggi dibanding pasar tradisional yang menyebabkan pangsa pasar petani pasar tradisional lebih tinggi dibanding pasar non tradisional. Hasil analisis regresi linier berganda terhadap marjin pemasaran melinjo terutama sangat dipengaruhi oleh jumlah tahap pedagang dan jenis pasar pengecernya.
2.2.3. Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu Pada
dasarnya
penelitian
mengenai
sistem
tataniaga
atau
sistem
pemasaran masalah yang dikaji umumnya saluran tataniaga dan fungsi-fungsi masing-masing lembaga tataniaga dalam saluran tatanaiaga tersebut, struktur pasar yang terbentuk pada setiap tingkat lembaga tataniaga, perilaku para pelaku pasar, dan keragaan pasar yang diukur melalui marjin tataniaga, bagian harga yang diterima petani, rasio keuntungan-biaya, serta keterpaduan pasar. Penelitian tentang sistem tataniaga beberapa komoditas pertanian pada umumnya menghasilkan kesimpulan yang beragam tetapi banyak penelitian yang menghasilkan kesimpulan yang hampir sama. Penelitian sistem tataniaga komoditas pertanian secara umum memiliki tujuan untuk menganalisis efisiensi tataniaga komoditas yang diteliti. Persamaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan adalah persamaan dalam penggunaan alat analisis untuk menganalisis sistem tataniaga dan efisiensi tataniaga. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan adalah dari segi komoditas dan cakupan daerah yang dikaji. Terdapat beberapa penelitian mengenai tataniaga salak pondoh, diantaranya: analisis efisiensi produksi dan pemasaran komoditi salak pondoh salak pondoh di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang menganalisis pemasaran salak pondoh berdasarkan integrasi pasar dan distribusi marjin pemasaran dengan alat analisis yang digunakan adalah elastisitas transmisi harga, integrasi pasar, marjin pemasaran dan bagian harga yang diterima petani; penelitian lain adalah analisis kelayakan usahatani dan efisiensi pemasaran salak pondoh dengan lokasi penelitian hanya di Kec. Madukara, Kab. Banjarnegara dimana penelitian ini menganalisis efisiensi pemasaran salak pondoh hanya berdasarkan lembaga tataniaga dan fungsifungsi tataniaga, saluran tataniaga, marjin tataniaga dan bagian harga yang diterima petani (farmer’s share).
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Pasar Definisi yang tertua dan paling sederhana bahwa pasar adalah sebagai suatu lokasi secara fisik dimana terjadi jual beli atau suatu keadaan terbentuknya suatu harga dan terjadinya perpindahan hak milik produk tertentu (Limbong dan Sitorus, 1987). Kotler (2003) juga mendefinisikan secara tradisonal pasar adalah tempat fisik dimana para pembeli dan penjual berkumpul untuk mempertukarkan barang. Secara umum pasar merupakan sebuah himpunan semua pelanggan aktual dan potensial untuk mendapatkan produk (Kotler and Armstrong, 1991). Sedangkan Kohls and Uhl (1985) mendefinisikan pasar sebagai sebuah arena untuk mengatur dan menfasilitasi aktifitas bisnis serta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar ekonomi mengenai: produk apa yang dihasilkan, berapa banyak diproduksi, bagaimana cara memproduksi, dan bagaimana produk didistribusikan. Secara garis besar, pasar merupakan sejumlah lingkungan atau tempat, dimana (1) kekuatan permintaan dan penawaran saling bertemu, (2) terbentuk harga serta perubahan harga terjadi, (3) terjadinya perpindahan kepemilikan sejumlah barang dan jasa, dan (4) beberapa susunan fisik dan institusi di buktikan (Cochrane, 1957 dalam Dahl and Hammond, 1977). Pasar komoditas pertanian merupakan tempat dimana terjadi interaksi antara penawaran dan permintaan produk dan jasa pertanian, terjadi transaksi dan kesepakatan nilai, jumlah, spesifikasi produk, cara pengiriman, penerimaan, dan pembayaran, serta tempat terjadi pemindahan kepemilikan produk dan jasa komoditas pertanian (Sa’id dan Intan, 2004). Keberadaan pasar dapat dibedakan menjadi tempat pasar (marketplace) yang bersifat fisik dan ruang pasar (marketspace) yang bersifat digital (Kotler, 2003).
3.1.2. Sistem Tataniaga Istilah tataniaga diartikan sama dengan istilah pemasaran. Secara umum pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya melibatkan individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang akan dibutuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk dan jasa yang bernilai dengan pihak lain (Kotler, 2003).
Dahl and Hammond (1977) juga menerangkan bahwa pemasaran atau tataniaga merupakan serangkaian fungsi yang diperlukan untuk menggerakan produk mulai dari produsen utama hingga konsumen akhir. Menurut Kohls and Uhl (1985) tataniaga pertanian merupakan keragaan dari semua aktifitas bisnis dalam bentuk aliran barang atau jasa komoditas pertanian dari tingkat produksi (petani) sampai kepada konsumen akhir. Adiratma et al. (1971) dan Limbong dan Sitorus (1987) menambahkan bahwa tataniaga pertanian mencakup segala kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan barangbarang kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke tangan konsumen, termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari barang yang ditujukan untuk lebih mempermudah penyalurannya dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumennya. Purcell (1979); Kohls and Uhl (1985); dan Limbong dan Sitorus (1987), menjelaskan bahwa terdapat beberapa pendekatan dalam menganalisis dan mempelajari sistem tataniaga, yaitu: Pendekatan Fungsi (The Functional Approach); Pendekatan Kelembagaan (The Institutional Approach); Pendekatan Sistem Perilaku (The Behavioral System Approach); Pendekatan Komoditas (The Comodity Approach); dan Pendekatan Ekonomi (The Economic Approach) atau Pendekatan Sistem (The System Approach). Pendekatan fungsi (the functional approach) merupakan pendekatan tataniaga yang mempelajari masalah-masalah tataniaga dari segi kegiatan atau fungsi-fungsi yang dilakukan dalam proses penyaluran barang dan jasa tersebut mulai dari produsen hingga ke konsumen. Fungsi dari tataniaga didefinisikan sebagai
kegiatan
yang
mengkhususkan
kepada
pelaksanaan
dalam
menyelesaikan proses tataniaga. Adapun fungsi-fungsi tataniaga, antara lain: (1) fungsi pertukaran, meliputi: pembelian dan penjualan; (2) fungsi fisik, meliputi: penyimpanan, pengolahan, dan pengangkutan; dan (3) fungsi fasilitas, meliputi: standarisasi dan grading, pembiayaan, penanggungan resiko, dan informasi pasar. Pendekatan kelembagaan (the institutional approach) mempelajari masalahmasalah tataniaga melalui lembaga-lembaga tataniaga yang turur serta dalam proses penyaluran barang dan jasa mulai mulai dari produsen hingga ke konsumen. Pendekatan kelembagaan menganalisis fungsi masing-masing lembaga tataniaga dan mempelajari organisasi dari lembaga-lembaga yang
terlibat dalam kegiatan pemasaran atau tataniaga. Lembaga-lembaga tataniaga yang umumnya terlibat antara lain: (1) Pedagang Perantara (Merchant Middlemen), terdiri dari: Pedagang Eceran dan Pedagang Grosir; (2) Agen Perantara (Agent Middlemen), meliputi: Komesioner dan Broker; (3) Spekulator (Speculative
Middlemen);
(4)
Pengolah
dan
Pabrikan (Processors and
Manufacturers); dan (5) Organisasi Fasilitas (Facilitative Organizations). Pendekatan sistem perilaku (the behavioral system approach) mempelajari dan menganalisis aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses tataniaga seperti perubahan dan perilaku lembaga tataniaga. Terdapat empat pendekatan dalam pendekatan sistem perilaku, yaitu: input-output system, power system, communications system, dan system for adapting to internal and external change. Pendekatan komoditas (the comodity approach) merupakan pendekatan yang menekankan terhadap kegiatan atau tindakan-tindakan yang diperlakukan terhadap barang atau jasa selama proses penyampaian mulai dari produsen hingga ke konsumen. Dengan kata lain, pendekatan komoditas merupakan pendekatan yang melibatkan studi tentang bagaimana barang-barang tertentu berpindah dari produsen hingga ke konsumen. Pendekatan ekonomi (the economic approach) disebut juga dengan pendekatan
sistem
(the
system
approach)
dimana
pendekatan
ini
menitikberatkan kepada masalah-masalah penawaran, permintaan, harga, bentuk-bentuk pasar dan lain sebagainya. Dalam pendekatan ini ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, yaitu: proses ekonomi yang sedang berjalan dan kesinambungannya, mengidentifikasi pusat-pusat pengawasan dan aktivitasaktivitas yang sedang berjalan, serta mengidentifikasi suatu mekanisme yang mengintegrasikan aktivitas-aktivitas dalam suatu proses dan sistem yang sedang berjalan.
3.1.3. Fungsi-Fungsi Tataniaga Fungsi-fungsi tataniaga merupakan proses penyampaian barang atau jasa serta memperlancar kegiatan penyampaian barang atau jasa dari tingkat produsen ke tingkat konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987). Sarma (1985) menambahkan bahwa fungsi-fungsi tataniaga merupakan kegiatan yang mengusahakan agar konsumen memperoleh barang yang diinginkan pada tempat, waktu, bentuk dan harga yang tepat dengan cara: (1) meningkatkan
kegunaan tempat (place utility), yaitu mengusahakan barang dan jasa dari daerah produksi ke daerah konsumsi; (2) meningkatkan kegunaan waktu (time utility), yaitu mengusahakan barang dan jasa dari waktu yang belum diperlukan ke waktu yang diperlukan; dan (3) meningkatkan kegunaan bentuk (form utility), yaitu mengusahakan barang dan jasa dari bentuk semula ke bentuk yang lebih diinginkan.
Kohls
and
Uhl
(1985)
dan
Limbong
dan
Sitorus
(1987)
mengelompokkan fungsi-fungsi tataniaga ke dalam tiga fungsi utama, yaitu: (1) fungsi pertukaran; (2) fungsi fisik; dan (3) fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran merupakan kegiatan untuk memperlancar pemindahan hak milik atas barang dan jasa dari penjual kepada pembeli. Adapun fungsi pertukaran terdiri dari: (1) fungsi penjualan, kegiatan fungsi penjualan ini diperlukan untuk mencari tempat dan waktu yang tepat untuk melakukan penjualan barang dan jasa sesuai dengan yang diinginkan konsumen baik dilihat dari jumlah, bentuk dan mutunya; dan (2) fungsi pembelian, kegiatan fungsi pembelian diperlukan untuk menentukan jenis barang yang akan dibeli yang sesuai dengan kebutuhan baik untuk dikonsumsi langsung maupun untuk kebutuhan produksi dengan cara menentukan jenis, jumlah, kualitas, tempat pembelian serta cara pembelian barang atau jasa yang akan dibeli. Fungsi fisik merupakan seluruh kegiatan yang langsung berhubungan dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, kegunaan bentuk, dan kegunaan waktu. Fungsi-fungsi fisik dari tataniaga meliputi: (1) fungsi penyimpanan, merupakan kegiatan untuk membuat komoditas selalu tersedia pada saat dibutuhkan; (2) fungsi pengangkutan, bertujuan untuk menyediakan barang dan jasa di daerah konsumen sesuai dengan kebutuhan konsumen baik menurut waktu, jumlah dan mutunya; dan (3) fungsi pengolahan bertujuan untuk meningkatkan kualitas barang yang bersangkutan baik dalam rangka memperkuat daya tahan barang tersebut maupun dalam rangka peningkatan nilainya. Fungsi fasilitas adalah segala kegiatan yang memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas terdiri dari empat fungsi utama, yaitu: (1) fungsi standarisasi dan grading, dimana standarisasi merupakan suatu ukuran atau penentuan mutu suatu barang dengan menggunakan berbagai ukuran atau kriteria tertentu, sedangkan grading adalah
tindakan
mengklasifikasikan
hasil-hasil
pertanian
menurut
suatu
standarisasi yang diinginkan sehingga kelompok barang yang terkumpul sudah
menurut satu ukuran standar; (2) fungsi pembiayaan adalah penyediaan biaya untuk keperluan selama proses pemasaran dan juga kegiatan pengelolaan biaya tersebut; (3) fungsi penanggungan resiko, merupakan penanggungan resiko terhadap kemungkinan kehilangan selama proses tataniaga akibat resiko fisik maupun resiko ekonomi atau pasar; dan (4) fungsi informasi pasar, fungsi ini meliputi kegiatan pengumpulan informasi pasar serta menafsirkan data informasi pasar tersebut.
3.1.4. Lembaga dan Saluran Tataniaga 3.1.4.1. Lembaga Tataniaga Dalam tataniaga suatu barang atau jasa terlibat beberapa badan mulai dari produsen, lembaga-lembaga perantara dan konsumen, hal ini dikarenakan jarak antara produsen yang menghasilkan barang dan jasa seringkali berjauhan dengan konsumen, sehingga fungsi lembaga perantara sangat diharapkan untuk menggerakkan barang dan jasa tersebut dari produsen ke konsumen serta penghubung informasi mengenai suatu barang dan jasa (Limbong dan Sitorus, 1987). Menurut Kohls and Uhl (1985), lembaga-lembaga tataniaga yang umumnya terlibat, antara lain: (1) Pedagang Perantara (Merchant Middlemen) merupakan lembaga yang memiliki dan menguasai produk, meliputi: Pedagang Eceran (Retailers) yang membeli produk kemudian menjual kembali secara langsung kepada konsumen yang membutuhkan produk tersebut, dan Pedagang Grosir (Wholesaler) yang menjual kepada pengecer, pedagang besar lainnya, dan industri pengguna tetapi tidak menjual kepada konsumen akhir secara langsung; (2) Agen Perantara (Agent Middlemen), mewakili klien dalam penanganan
dan
hanya
menguasai
produk,
meliputi:
Pencari
Komisi
(Commission Men) dimana proses pekerjaannya mencari penjual, melakukan penanganan terhadap produk dan mencari pembeli, dan Broker (Brokers) dimana broker hanya mempertemukan antara penjual dan pembeli; (3) Spekulator (Speculative Middlemen), adalah pedagang perantara yang membeli-menjual produk untuk mencari keuntungan dengan memanfaatkan adanya pergerakan harga (minimal-maksimal); (4) Pengolah dan Pabrikan (Processors and Manufacturers), adalah kelompok bisnis yang aktifitasnya menangani produk dan merubah bentuk yaitu bahan baku menjadi bahan setengah jadi atau produk akhir; dan (5) Organisasi Fasilitas (Facilitative Organizations), merupakan lembaga yang membantu memperlancar aktifitas tataniaga.
Limbong dan Sitorus (1987) menggolongkan lembaga-lembaga tataniaga berdasarkan
fungsi
yang
dilakukannya;
penguasaan
terhadap
barang;
kedudukan dalam struktur pasar; dan bentuk usaha. 1)
Berdasarkan fungsi yang dilakukan, lembaga tataniaga dapat dibedakan atas: (a) Lembaga fisik tataniaga yaitu lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi
fisik
pemasaran,
meliputi:
lembaga
pengolahan,
lembaga
pengangkutan, pergudangan; (b) Lembaga perantara tataniaga yaitu suatu lembaga yang khusus mengadakan fungsi pertukaran, seperti: pedagang pengecer, grosir, dan lembaga perantara lainnya; dan (c) Lembaga fasilitas tataniaga yaitu lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi fasilitas seperti: Bank, Badan Perkreditan, dan KUD. 2)
Berdasarkan penguasaan suatu badan terhadap barang dan jasa, lembaga tataniaga terdiri dari: (a) Lembaga tataniaga yang tidak memiliki tetapi menguasai barang, meliputi: agen, perantara dan broker; (b) Lembaga tataniaga yang memiliki dan menguasai barang, seperti: pedagang pengumul, pedagang pengecer, pedagang besar, eksportir dan importir; (c) Lembaga tataniaga yang tidak memiliki dan tidak menguasai barang, seperti: badan transportasi, pergudangan dan asuransi.
3)
Penggolongan lembaga tataniaga menurut kedudukannya dalam struktur pasar dapat digolongkan atas: (a) Lembaga tataniaga yang bersaing sempurna, seperti: pedagang pengecer rokok, pengecer beras, dan lain-lain; (b) Lembaga tataniaga bersaing monopolistik, seperti: pedagang asinan, pedagang benih, pedagang bibit, dan lain-lain; (c) Lembaga tataniaga oligopolis; dan (d) Lembaga tataniaga monopolis.
4)
Penggolongan lembaga tataniaga berdasarkan bentuk usahanya, dapat digolongkan atas: (a) Berbadan hukum; dan (b) Tidak berbadan hukum. Limbong dan Sitorus (1987) juga mengungkapkan bahwa peranan lembaga
tataniaga sangat penting terutama untuk komoditas pertanian yang bersifat mudah rusak atau tidak tahan disimpan lama, volume produk besar dengan nilai yang kecil, dan harga pasar ditentukan oleh mutunya, serta pada umumnya sentra produksi relatif jauh dari tempat konsumen yang tersebar dari pedesaan sampai perkotaan. Oleh karena pentingnya peranan lembaga tataniaga tersebut, maka perlu ada koordinasi pelaksanaan fungsi-fungsi untuk mencapai efisiensi tataniaga yang tinggi serta efektif, dengan cara:
1)
Integrasi vertikal, yaitu lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi yang berbeda dihubungkan satu dengan yang lainnya menurut saluran barang tersebut. Integrasi vertikal akan menurunkan pengeluaran tataniaga sehingga barang dapat dijual dengan harga lebih murah, hal ini dikarenakan perbedaan harga antara tingkat produsen dengan tingkat konsumen tidak terlalu besar sehingga dapat menguntungkan konsumen.
2)
Integrasi
horisontal,
dimana
lembaga-lembaga
tataniaga
yang
menyelenggarakan fungsi yang sama disatukan di dalam suatu tindakan pemasaran suatu barang. Integrasi horisontal dapat merugikan konsumen, karena integrasi macam ini dimaksudkan untuk memperkuat posisi dan menghindari adanya persaingan dari perusahaan atau lembaga tataniaga yang sejenis sehingga lembaga tersebut dapat mengontrol harga barang.
3.1.4.2. Saluran Tataniaga Berdasarkan sifat komoditas pertanian yang telah disebutkan di atas, maka sistem distribusi atau saluran tataniaga yang efektif akan memberikan perlindungan dan keamanan bagi komoditas pertanian tersebut. Saluran tataniaga dapat didefinisikan sebagai himpunan perusahaan atau perorangan atau serangkaian lembaga-lembaga tataniaga yang mengambil alih hak, atau membantu dalam pengalihan hak atas barang dan jasa tertentu selama barang dan jasa tersebut berpindah dari produsen ke konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987). Dengan kata lain, saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang terlibat dalam proses menjadikan produk atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi (Kotler, 2003). Sebuah saluran tataniaga melaksanakan tugas memindahkan barang dari produsen ke konsumen, hal ini bertujuan untuk mengatasi kesenjangan waktu, tempat, dan kepemilikan yang memisahkan barang dan jasa dari orang-orang yang membutuhkan atau mengingikannya (Kotler, 2003). Jalur distribusi atau saluran tataniaga komoditas pertanian dalam menyampaikan komoditas dari produsen (petani) sampai konsumen akhir umumnya melewati serangkaian lembaga-lembaga tataniaga (Gambar 1). Limbong dan Sitorus (1987); Kotler and Armstrong (1991); dan Kotler (2003) mengungkapkan bahwa anggota saluran tataniaga atau lembaga-lembaga dalam saluran tataniaga melaksanakan sejumlah fungsi utama, yaitu:
1)
Informasi, yaitu mengumpulkan informasi mengenai pelanggan, pesaing, serta pelaku, dan kekuatan lain dalam lingkunagan pemasaran yang diperlukan dalam perencanaan dan penyesuaian perubahan;
2)
Promosi, yaitu mengembangkan dan menyebarkan komunikasi persuasif untuk merangsang pembelian;
3)
Hubungan, yaitu mencari dan berkomunikasi dengan calon pembeli;
4)
Pemadanan,
yaitu
pembentukan
dan
penyesuaian
tawaran
dengan
kebutuhan pembeli, termasuk didalamnya kegiatan seperti pengolahan, grading, perakitan dan pengemasan; 5)
Negoisasi, merupakan usaha untuk mencapai persetujuan akhir atas harga dan ketentuan lainnya mengenai tawaran agar peralihan kepemilikan dapat terjadi;
6)
Distribusi fisik, meliputi pengangkutan dan penyimpanan barang;
7)
Pembiayaan, merupakan perolehan dan penggunaan dana untuk menutupi biaya pekerjaan saluran tataniaga; dan
8)
Pengambilan resiko, yaitu menerima adanya resiko dalam hubungan pelaksanaan kegiatan saluran tataniaga. Saluran tataniaga dapat dicirikan dengan memperhatikan banyaknya tingkat
saluran, dimana masing-masing pedagang perantara yang melaksanakan pekerjaan tertentu dalam membawa produk dan haknya semakin mendekat pada konsumen akhir akan membentuk tingkat atau level saluran (Limbong dan Sitorus, 1987; dan Kotler and Armstrong, 1991). Kotler (2003) mengungkapkan bahwa panjangnya saluran tataniaga akan ditentukan oleh banyaknya tingkat perantara yang dilalui oleh suatu barang dan jasa. Terdapat beberapa tingkat saluran tataniaga, yaitu: (1) Saluran level-nol atau juga disebut saluran pemasaran langsung, adalah saluran produsen atau perusahaan manufaktur secara langsung menjual produknya kepada konsumen ekhir; (2) Saluran satulevel, adalah saluran berisi satu perantara penjual; (3) Saluran dua-level, merupakan saluran yang mencakup dua perantara; (4) Saluran tiga-level, merupakan saluran yang mencakup tiga perantara. Limbong dan Sitorus (1987) menjelaskan bahwa dalam menyalurkan produk yang dihasilkan, produsen tidak dapat melakukan penyaluran produknya ke setiap pasar maupun pada setiap waktu yang dikehendaki oleh produsen, tetapi produsen dan penjual harus mempertimbangkan beberapa faktor yang mempengaruhi
keberhasilan.
Beberapa
faktor
penting
yang
harus
dipertimbangkan dalam memilih pola saluran tataniaga yang akan digunakan, yaitu: (1) Pertimbangan pasar, meliputi: konsumen produk, jumlah pembeli potensial, konsentrasi pasar secara geografis, dan kebiasaan konsumen; (2) Pertimbangan barang, meliputi: nilai per unit dari produk, sifat produk, produk subtitusi, dan produk pesaing; (3) Pertimbangan dari segi perusahaan, meliputi: sumber permodalan, kemampuan dan pengalaman manajemen, pengawasan, dan pelayanan yang diberikan penjual; dan (4) Pertimbangan terhadap lembaga perantara, meliputi: pelayanan yang dapat diberikan lembaga perantara, kegunaan perantara, sikap perantara terhadap kebijaksanaan produsen, dan biaya. Petani
Petani langsung kepada konsumen
Konsumsi rumah tangga petani
Import Pengumpul, broker, dan lain-lain
Pengumpul
Pengolah dan pabrik hasil pertanian
Pemerintah, Industri
Eksport
Pedagang besar, broker, rantai pergudangan Militer
Pengecer
Pedagang makanan khusus
Pasar Institusi
Konsumen
Keterangan: Garis yang lebih tebal menunjukkan prioritas volume untuk lembaga tataniaga tersebut. Gambar 1. Gambaran Umum Pola Saluran Tataniaga Komoditas Pertanian (Sumber: Kohls and Uhl, 1985).
3.1.5. Struktur Pasar Struktur pasar merupakan karakteristik dari produk maupun institusi atau lembaga yang terlibat pada pasar tersebut yang mempengaruhi market conduct (perilaku pasar) dan market performance (keragaan pasar). Struktur pasar juga dapat diartikan sebagai tipe atau jenis-jenis pasar. Perilaku pasar (market conduct) merupakan perilaku partisipan (pembeli dan penjual), strategi atau reaksi yang dilakukan partisipan pasar secara individu atau kelompok dalam hubungan kompetitif atau negosiasi terhadap partisipan lainnya untuk mencapai tujuan pemasaran tertentu. Market performance merupakan keragaan pasar yang merupakan hasil atau pengaruh dari market structure dan market conduct yang dalam realita dapat terlihat dari produk atau output, harga dan biaya pada pasar-pasar tertentu. Struktur
pasar
merupakan
dimensi
yang
menjelaskan
pengambilan
keputusan oleh perusahaan maupun industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran, deskripsi komoditi dan diferensiasi komoditi, syarat pasar dan lainnya (Limbong dan Sitorus, 1987). Dahl and Hammond (1977) mengemukakan bahwa terdapat empat karakteristik yang merupakan faktor penentu struktur pasar, yaitu: (1) jumlah dan ukuran perusahaan; (2) kondisi atau keadaan produk; (3) kebebasan keluar dan masuk pasar; dan (4) tingkat pengetahuan atau informasi yang dimiliki oleh partisipan tentang mekanisme pembentukan harga, biaya, dan konsidi pasar yang sedang dihadapi. Berdasarkan karekteristik struktur pasar tersebut, Tomek and Robinson (1972); Dahl and Hammond (1977); Purcell (1979); Kohls and Uhl (1985); dan Limbong dan Sitorus (1987) mengelompokkan pasar ke dalam empat struktur pasar
yang
berbeda,
yaitu:
(1)
Pasar
Persaingan
Sempurna
(Perfect
Competition); (2) Pasar Monopoli atau Monopsoni (Monopoly/Monopsony); (3) Pasar
Oligopoli
atau
Oligopsoni
(Oligopoly/Oligopsony);
dan
(4)
Pasar
Persaingan Monopolistik (Monopolistic Competition). Struktur pasar persaingan sempurna adalah pasar dimana banyak pembeli dan penjual memperdagangkan komoditi yang bersifat homogen atau seragam dengan jumlah yang banyak, sehingga setiap pembeli dan penjual tidak dapat mempengaruhi harga di pasar, atau dengan kata lain bahwa pembeli dan penjual merupakan pihak yang mengikuti harga (price taker) bukan sebagai pihak yang menetapkan harga (price maker). Tidak terdapat hambatan untuk keluar atau masuk pasar, sehingga pembeli dan penjual dapat dengan mudah untuk keluar
dan masuk pasar. Pengetahuan atau informasi yang dimiliki oleh pembeli dan penjual mengenai kondisi pasar relatif sempurna, dan mobilitas sumber-sumber ekonomi juga relatif sempurna. Struktur pasar monopoli dicirikan dengan penjual tunggal dari sebuah komoditas yang bersifat unik dan sangat dideferensiasi dan penjual tersebut memiliki pengaruh atas penawaran produk tertentu sehingga pada struktur pasar monopoli penjual merupakan pihak yang menetapkan harga. Hambatan untuk masuk dan keluar yang besar seringkali merintangi pendatang potensial dan menawarkan kesempatan untuk memperoleh laba ekonomi. Dari segi pembeli disebut pasar monopsoni, yang terdiri hanya dari seorang pembeli suatu komoditi. Pasar oligopoli terdiri dari beberapa penjual yang sangat peka akan strategi pemasaran dan penetapan harga penjual lain dan menjual produk yang bersifat homogen serta standar. Sedikit jumlah penjual ini disebabkan tingginya hambatan untuk memasuki industri yang bersangkutan, hal ini dapat disebabkan beberapa hal, seperti: paten, kebutuhan modal yang besar, pengendalian bahan baku, pengetahuan yang sifatnya perorangan dan lokasi yang langka dan sebagainya. Sedangkan pasar yang terdiri dari beberapa pembeli disebut pasar oligopsoni. Pasar yang terdiri dari beberapa penjual yang menjual produk yang bersifat terdeferensiasi
atau
heterogen
disebut
pasar
oligopoli
terdeferensiasi.
Sedangkan pasar oligopsoni terdeferensiasi merupakan pasar yang dicirikan dengan beberapa pembeli yang membeli produk yang terdeferensiasi. Pasar persaingan monopolistik merupakan karakteristik struktur pasar antara pasar persaingan sempurna dan pasar oligopoli. Pasar persaingan monopolistik dicirikan dengan terdapat banyak penjual dan pembeli yang melakukan transaksi pada berbagai macam harga dan bukan atas satu harga pasar, dimana munculnya beberapa macam harga ini disebabkan penjual dapat melakukan penawaran yang berbeda kepada pembeli. Produk fisik dapat dibedakan menurut kualitas, ciri atau gayanya, service dapat berbeda, sebagai akibat penglihatan pembeli yang berbeda atas barang yang ditawarkan dan kesediaan membayar harga yang berbeda. Pada pasar persaingan monopolistik, penjual mengajukan penawaran yang berbeda untuk segmen pembeli yang berbeda dan dengan bebas menggunakan
merek, periklanan dan personal selling, disamping harga untuk menonjolkan penawaran. Dari segi pembeli pasar ini disebut pasar persaingan monopsoni. Tabel 8. Karakteristik Struktur Pasar Dipandang Dari Sudut Pembeli dan Penjual Karakteristik Pasar Struktur Pasar No. Jumlah Penjual Sudut Penjual Sudut Pembeli Sifat Produk dan Pembeli 1 Persaingan Persaingan Banyak Homogen Sempurna Sempurna 2 Persaingan Persaingan Banyak Heterogen Monopolistik Monopsoni 3 Oligopoli Murni Oligopsoni Murni Beberapa Homogen 4 Oligopoli Oligopsoni Beberapa Heterogen Terdeferensiasi Terdeferensiasi 5 Monopoli Monopsoni Satu Unik Sumber : Dahl and Hammond (1977)
3.1.6. Perilaku Pasar Perilaku pasar menggambarkan perilaku partisipan (pembeli dan penjual), strategi atau reaksi yang dilakukan partisipan pasar tersebut baik secara individu maupun kelompok dalam hubungan kompetitif atau negosiasi terhadap partisipan lainnya untuk mencapai tujuan pemasaran tertentu. Menurut Dahl and Hammond (1977) perilaku pasar adalah pola tingkah laku dari lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga tersebut melakukan kegiatan pembelian dan penjualan, penentuan harga, dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Perilaku pasar dapat diketahui dengan mengamati praktek penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga, kemampuan pasar untuk menerima sejumlah komoditi yang dijual, stabilitas pasar, sistem pembayaran, dan kerjasama diantara berbagai lembaga tataniaga. Kohls and Uhl (1985) menjelaskan bahwa dalam menggambarkan perilaku pasar, terdapat empat hal yang harus diperhatikan, yaitu: (1) Input-output system,
sistem
input-output
ini
menerangkan
bagaimana
tingkah
laku
perusahaan dalam mengelola sejumlah input menjadi satu set output; (2) Power system, sistem kekuatan ini menjelaskan bagaiman suatu perusahaan dalam suatu sistem tataniaga, misalnya kedudukan perusahaan dalam suatu sistem tataniaga sebagai perusahaan yang memonopoli suatu produk sehingga perusahan tersebut dapat sebagai penentu harga; (3) Communications system, sistem komunikasi ini mempelajari tentang perilaku perusahaan mengenai mudah tidaknya mendapatkan informasi; dan (4) System for adapting to internal
and external change, sistem adaptif menerangkan bagaimana perilaku perusahaan dalam beradaptasi pada suatu sistem tataniaga agar dapat bertahan di pasar.
3.1.7. Keragaan Pasar Menurut Dahl and Hammond (1977) keragaan pasar adalah akibat dari keadaan struktur dan perilaku pasar dalam kenyataan sehari-hari yang ditunjukkan dengan variabel harga, biaya, dan volume produksi dari output yang pada akhirnya akan memberikan penilaian baik atau tidaknya suatu sistem tataniaga. Deskripsi dari keragaan pasar dapat dilihat dari indikator: (1) harga dan penyebarannya di tingkat produsen dan konsumen; dan (2) marjin dan penyebarannya pada setiap pelaku pemasaran.
3.1.7.1. Biaya dan Marjin Tataniaga Istilah biaya tataniaga dalam tataniaga komoditi pertanian mencakup jumlah pengeluaran yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan penjualan hasil produksi dan jumlah pengeluaran oleh lembaga tataniaga (badan perantara). Dengan kata lain, biaya tataniaga pertanian adalah semua biaya yang dikeluarkan dalam proses penyampaian komoditi pertanian mulai dari titik produsen hingga titik konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987). Margin tataniaga merupakan perbedaan harga atau selisih harga yang dibayar konsumen akhir dengan harga yang diterima petani produsen. Dapat dikatakan pula sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga sejak dari tingkat produsen hingga tingkat konsumen akhir. Kohls and Uhls (1985) mendefinisikan marjin tataniaga sebagai bagian dari harga konsumen yang tersebar pada setiap lembaga pemasaran yang terlibat. Tomek and Robinson (1972) menjelaskan marjin tataniaga sebagai berikut: 1.
Perbedaan harga antara harga yang dibayar konsumen dengan harga yang diterima oleh produsen;
2.
Kumpulan balas jasa yang diterima oleh jasa tataniaga sebagai akibat adanya permintaan dan penawaran. Menurut Dahl and Hammond (1977), marjin tatanaiaga adalah perbedaan
harga antara harga di tingkat petani (Pf) dengan harga di tingkat pengecer (Pr), dimana marjin tataniaga tersebut ditunjukkan oleh perbedaan atau jarak vertikal
antara kurva permintaan atau kurva penawaran (Gambar 3). Marjin tataniaga dapat juga merupakan perbedaan harga dari tingkat produsen dengan harga di tingkat lembaga pertama, atau perbedaan harga yang terjadi antara lembaga yang satu dengan lembaga tataniaga yang lainnya dalam saluran tataniaga komoditi yang sama (Limbong dan Sitorus, 1987). Marjin tataniaga hanya berhubungan dengan perbedaan harga dan tidak memuat pernyataan tentang jumlah produk. P Nilai marjin tataniaga (Pf – Pr) x Qr,f Sr Sf Pr Marjin tataniaga (Pf – Pr)
Dr
Pf Df
Biaya Tataniaga
Qr,f
Q
Keterangan: Pr: harga di tingkat pengecer; Pf: harga di tingkat petani; Sr: penawaran di tingkat pengecer; Sf: penawaran di tingkat petani; Dr: permintaan di tingkat pengecer; Df: permintaan di tingkat petani; Qrf: jumlah keseimbangan di tingkat petani dan pengecer. Gambar 2. Penggambaran Definisi Marjin Tataniaga, Nilai Marjin Tataniaga, dan Biaya Tataniaga (Sumber: Dahl and Hammond, 1977).
Nilai marjin tataniaga (value of marketing margin) merupakan perbedaan harga pada dua tingkat sistem tataniaga dikalikan dengan jumlah produk yang dipasarkan. Nilai tersebut terdiri dari marketing cost dan marketing charge. Berdasarkan kedua nilai tersebut, pendekatan terhadap marjin tataniaga dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui return to factor dan return to institution. Return to a factor adalah penerimaan terhadap faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses tataniaga seperti wages, interest, tents, dan profit. Return to an institution adalah pengembalian (return) terhadap jasa atau aktivitas-aktivitas yang dilakukan setiap lembaga dalam proses tataniaga (Dahl and Hammond, 1977). Tinggi rendahnya marjin tataniaga sering digunakan sebagai kriteria untuk penilaian apakah pasar tersebut sudah efisien atau belum, tetapi tinggi rendahnya marjin tataniaga tidak selamanya dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi kegiatan tataniaga. Marjin tataniaga yang rendah tidak otomatis dapat
digunakan sebagai ukuran efisien tidaknya pola pemasaran suatu komoditi. Tingginya marjin dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses kegiatan tataniaga antara lain, ketersediaan fasilitas fisik tataniaga meliputi, pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, resiko kerusakan, dan lainlain (Limbong dan Sitorus, 1987).
3.1.7.2. Bagian Harga yang Diterima Petani (Farmer’s Share) Bagian harga yang diterima petani adalah perbandingan antara harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir (Limbong dan Sitorus, 1987). Kohls and Uhls (1985) mendefinisikan farmer's share sebagai selisih antara harga retail dengan marjin pemasaran. Farmer's share merupakan bagian dari harga konsumen yang diterima oleh petani, dan dinyatakan dalam persentase harga konsumen. Hal ini berguna untuk mengetahui porsi harga yang berlaku di tingkat konsumen dinikmati oleh petani. Besar farmer's share biasanya dipengaruhi oleh: (1) tingkat pemrosesan; (2) biaya transportasi; (3) keawetan produk; dan (4) jumlah produk. Farmer's share sering digunakan sebagai indikator dalam mengukur kinerja suatu sistem tataniaga, tetapi farmer’s share yang tinggi tidak mutlak menunjukan bahwa pemasaran berjalan dengan efisien. Hal ini berkaitan dengan besar kecilnya manfaat yang ditambahkan pada produk (value added) yang dilakukan lembaga perantara atau pengolahan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Faktor yang penting diperhatikan adalah bukan besar kecilnya share, melainkan total penerimaan yang didapat oleh produsen dari hasil penjualan produk mereka.
3.1.7.3. Keterpaduan Pasar Keterpaduan pasar secara sederhana dapat diartikan seberapa jauh pembentukan harga suatu produk pada suatu pasar dipengaruhi oleh harga pada pasar lain (Mulyoko, 1984 dalam Suriyana, 2005). Keterpaduan pasar menunjukkan seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditi pada suatu tingkat lembaga tataniaga tertentu dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga lainnya. Pengaruh perubahan harga dapat diduga melalui pendekatan korelasi harga, elastisitas transmisi, dan model keterpaduan pasar yang dikembangkan oleh Ravalion dan Heytens (1986). Ravalion (1986) dalam Arifianto (2007)
menjelaskan bahwa model keterpaduan pasar dapat digunakan untuk mengukur bagaimana harga di pasar lokal dipengaruhi oleh harga dipasar referensi (acuan) dengan mempertimbangkan harga pada waktu tertentu (t) dan harga pada waktu sebelumnya (t-1). Aktivitas pasar-pasar tersebut dihubungkan oleh adanya arus komoditas, sehingga harga dan jumlah komoditas yang dipasarkan akan berubah bila terjadi perubahan harga di pasar lain. Heytens (1986) dalam Arifianto (2007) menambahkan bahwa dalam suatu sistem pasar yang terintegrasi secara efisien, akan selalu terdapat korelasi positif diantara harga di lokasi pasar berbeda. Dua pasar dikatakan terpadu apabila perubahan harga pada suatu pasar disalurkan ke pasar lain, dan semakin cepat laju penyaluran maka semakin terpadu kedua pasar tersebut. Keterpaduan pasar dapat terjadi jika terdapat informasi pasar yang memadai dan informasi ini disalurkan dengan cepat dari satu pasar ke pasar lainnya. Dengan demikian fluktuasi perubahan harga yang terjadi pada suatu pasar dapat segera tertangkap oleh pasar lain dengan ukuran perubahan yang proporsional.
3.1.8. Efisiensi Pasar Menurut Kohls and Uhls (1985), efisiensi merupakan patokan yang paling sering digunakan dalam menilai kinerja tataniaga. Kinerja tataniaga adalah bagaimana suatu sistem pemasaran dijalankan dan apa yang diharapkan oleh lembaga-lembaga atau pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Meningkatkan efisiensi adalah salah satu tujuan umum dari petani, lembaga pemasaran, dan konsumen. Efisiensi yang tinggi menggambarkan kinerja tataniaga yang baik sedangkan efisiensi yang rendah berarti sebaliknya. Efisiensi adalah rasio antar output dan input. Tataniaga pertanian dapat dilihat sebagai sebuah sistem input output. Input pemasaran merupakan sumber daya yang digunakan untuk menjalankan fungsi-fungsi pemasaran seperti tenaga kerja, mesin, energi, modal, dan sebagainya, sedangkan hasil dari proses pemasaran disebut sebagai output seperti kegunaan waktu, bentuk, tempat, dan kegunaan lain yang memberikan kepuasan kepada konsumen. Input merupakan biaya sedangkan kegunaan merupakan keuntungan dari pemasaran yang membentuk rasio efisiensi dan efisiensi pemasaran merupakan maksimisasi dari rasio input-output tersebut. Efisiensi tataniaga menjadi dua bagian, yaitu efisiensi operasional (operational efficiency) dan efisiensi harga (pricing efficiency). Efisiensi operasional diukur berdasarkan biaya dan marjin tataniaga sedangkan
efisiensi harga diukur melalui korelasi harga untuk komoditi yang sama pada berbagai tingkat pasar. Efisiensi pasar akan tercapai jika struktur pasar dapat menciptakan iklim yang mendorong terjadinya proses yang seimbang antara pelaku-pelaku yang terlibat di dalam pasar. Secara teoritis efisiensi pasar dapat dicapai jika pelakupelaku pasar tidak melakukan suatu upaya rekayasa untuk mempengaruhi harga pasar. Menurut Limbong dan Sitorus (1987), efisiensi tataniaga tercapai jika sistem tersebut dapat memberikan kepuasan bagi semua pihak yang terlibat, yaitu produsen, konsumen akhir, dan lembaga-lembaga tataniaga. Indikasi adanya efisiensi tataniaga adalah kondisi struktur pasar yang bersaing sempurna (pure competitions). Dalam kenyataanya, kondisi pasar tersebut tidak dapat terpenuhi. Petani pada umumnya menjual produknya pada pasar oligopsoni murni (buyer market), sebaliknya apabila membeli input ataupun kebutuhan konsumsi seharihari berhadapan dengan pasar yang bersifat oligopoli diferensial (seller market) (Dahl and Hammond, 1977). Kohls and Uhls (1985) menjelaskan bahwa efisiensi tataniaga merupakan suatu indikator dari kinerja pemasaran yang dapat diukur melalui beberapa metode. Metode yang paling dikenal adalah dengan melihat selisih harga di tingkat petani dengan harga di tingkat retail (market margin) serta berdasarkan persentase harga konsumen yang diterima oleh petani (farmer's share). Farmer's share memiliki hubungan negatif dengan marjin tataniaga atau dengan kata lain bahwa semakin tinggi marjin tataniaga akan menyebabkan persentase harga yang diterima petani (farmer's share) akan semakin kecil. Kohls and Uhls (1985), selanjutnya menjelaskan bahwa peningkatan efisiensi tataniaga dapat dilakukan dengan meningkatkan salah satu atau kedua jenis efisiensi tersebut. Peningkatan efisiensi operasional adalah suatu keadaan dimana biaya pemasaran dapat ditekan tanpa menimbulkan efek yang berarti pada output yang dihasilkan, misalnya dengan meningkatkan produktivitas. Peningkatan efisiensi harga adalah adalah keadaan dimana kegunaan dari output dapat ditingkatkan tanpa adanya peningkatan biaya. Kondisi ini dapat diciptakan dengan alokasi sumber daya yang efisien dan kordinasi yang baik antara lembaga-lembaga tataniaga dalam memenuhi kebutuhan konsumen.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Kab. Banjarnegara merupakan salah satu sentra salak khususnya salak pondoh di Propinsi Jawa Tengah selain Magelang, Ambarawa, Wonosobo, Banyumas, Purworejo, dan Purbalingga. Diantara beberapa daerah sentra salak pondoh, produksi salak pondoh Kab. Banjarnegara merupakan yang terbesar. Sehingga salak pondoh produksi Kab. Banjarnegara selain dipasarkan di pasar lokal, sebagian besar dipasarkan ke daerah lain baik ke kota-kota di pulau Jawa maupun ke kota-kota lain di luar pulau Jawa. Sebagian besar salak pondoh dipasarkan keluar daerah dikarenakan oleh kemampuan pasar lokal menyerap produk yang sangat kecil dibandingkan kemampuan pasar-pasar diluar Kab. Banjarnegara. Perbedaan harga di konsumen akhir di pasar lokal dengan harga di konsumen akhir di pasar-pasar luar daerah juga merupakan salah satu alasan bahwa sebagian besar salak pondoh dari Kab. Banjarnegara dipasarkan di luar daerah. Sehingga jauhnya serta relatif tersebar daerah pemasaran salak pondoh dengan sentar produksi, menyebabkan sangat penting peran lembaga tataniaga dalam menyalurkan salak pondoh dari petani sampai kepada konsumen akhir. Proses distribusi salak pondoh dari produsen ke konsumen selalu melibatkan beberapa lembaga tataniaga mulai dari produsen dalam hal ini petani salak pondoh, lembaga-lembaga perantara seperti pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang pengecer sampai ke konsumen akhir. Karena adanya jarak antara produsen dengan konsumen maka fungsi lembaga perantara sangat berperan dalam menyalurkan salak pondoh dari produsen ke konsumen akhir. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat antara petani dengan konsumen akan memperlihatkan semakin panjangnya rantai tataniaga, hal ini akan berdampak pada semakin tingginya marjin tataniaga dan semakin rendahnya
bagian
harga
yang
diterima
oleh
petani
serta
munculnya
ketidakintegrasian secara vertikal mengenai informasi pasar. Selain itu bahwa salak pondoh termasuk produk pertanian yang memiliki sifat mudah rusak, panjangnya rantai tataniaga yang terjadi menyebabkan buah rusak atau berkurang kualitasnya sebelum sampai konsumen akhir dan harga turun. Dalam melakukan analisis sistem tataniaga terdapat tiga bahasan utama yang menjadi dasar analisis yaitu struktur pasar, perilaku pasar dan keragaan pasar. Untuk mengetahui efisiensi tataniaga komoditi salak pondoh di Kab. Banjarnegara, langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan analisa pola
saluran tataniaga salak podoh dari produsen atau petani sampai di tangan konsumen akhir serta lembaga-lembaga tataniaga yang berperan di dalamnya dan fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga yang terlibat pada setiap pola saluran tataniaga. Struktur pasar komodoti salak pondoh di Kab. Banjarnegara dapat dilihat dari struktur pasar yang terbentuk pada setiap tingkat lembaga tataniaga dalam saluran tataniaga. Perilaku pasar dapat dianalisis dari pola tingkah laku dari lembaga tataniaga khususnya dalam praktek pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga, sistem pembayaran, dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Keragaan pasar dapat diukur dari sebaran biaya dan harga pada setiap tingkat lembaga tataniaga dalam setiap pola saluran tataniaga, dimana keragaan pasar ini sangat dipengaruhi oleh struktur dan perilaku pasar yang terbentuk. Analisis keragaan pasar merupakan salah satu analisis efisiensi sistem tataniaga secara kuantitatif, karena pendekatan analisis keragaan pasar dengan menggunakan marjin tataniaga, bagian harga yang diterima petani, rasio keuntungan biaya, dan keterpaduan pasar. Di tingkat petani salak pondoh, harga jual salak pondoh cukup berfluktuatif, dimana pada saat musim panen raya harga jual salak pondoh sangat rendah. Dengan menggunakan analisis keterpaduan pasar, apakah perubahan harga yang terjadi di tingkat petani dapat mempengaruhi harga di tingkat lembagalembaga tataniaga. Tataniaga komoditas salak pondoh dikatakan tepadu apabila informasi perubahan harga dari salah satu lembaga tataniaga disalurkan ke lembaga tataniaga lain secara vertikal dan terjadi secara dua arah. Semakin cepat laju penyaluran informasi, semakin terpadu sistem tataniaga komoditas salak pondoh. Tingkat keterpaduan pasar tersebut pada akhirnya dapat ditentukan dengan melihat apakah ada perubahan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
- Sebagian besar salak pondoh dijual ke luar daerah karena kemampuan pasar lokal menyerap produk sangat kecil dibanding pasar-pasar di luar Banjarnegara, dan harga jual kepada konsumen akhir di luar daerah lebih tinggi; - Fluktuasi harga.
Petani Salak Pondoh
1. 2. 3. 4.
Lembaga Tataniaga: Pedagang Pengumpul Pedagang Besar Pedagang Luar Daerah Pedagang Pengecer
Analisis Kualitatif: 1. Analisis Lembaga dan Saluran Tataniaga; 2. Analisis Fungsi-Fungsi Tataniaga; 3. Analisis Struktur Pasar; 4. Analisis Perilaku Pasar;
Konsumen
Analisis Kuantitatif: 1. Analisis Marjin Tataniaga 2. Analisis Bagian Harga yang Diterima Petani (Farmer’s Share); 3. Analisis Rasio Keuntungan Biaya; 4. Analisis Perpaduan Pasar
Efisiensi Tataniaga
Peningkatan Pendapatan Petani
Gambar 3. Bagan Kerangka Pemikiran Analisis Sistem Tataniaga Salak Pondoh di Kabupaten Banjarnegara.
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan pada lokasi yang ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa daerah atau lokasi yang terpilih merupakan salah satu sentra penghasil salak pondoh. Lokasi yang dipilih untuk pengambilan sampel adalah Kabupaten Banjarnegara, dengan lokasi sampel dikhususkan yaitu Kecamatan Sigaluh, Kecamatan Banjarnegara, Kecamatan Madukara, Kecamatan Pagentan dan Kecamatan Banjarmangu. Lokasi-lokasi tersebut merupakan sentra produksi utama salak pondoh di Kabupaten Banjarnegara. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai Maret 2008.
4.2. Jenis Data Yang Dikumpulkan Dalam analisis sistem tataniaga komoditas salak pondoh, data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pembagian daftar pertanyaan yang telah disiapkan dengan teknik wawancara langsung kepada petani serta lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat. Data ini kemudian diolah untuk kepentingan analisa lebih lanjut. Data sekunder merupakan data pendukung data primer, data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait, seperti: Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura, Badan Pusat Statistik, Dinas Pertanian Banjarnegara, Pasar Salak Banjarnegara, dan Instansi terkait lainnya. Data sekunder juga diperoleh melalui beberapa literatur berupa hasil-hasil penelitian terdahulu.
4.3. Metode Pengambilan Data Penentuan responden petani dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh dari Perangkat Kecamatan dan Penyuluh Pertanian pada setiap kecamatan sampel, dan pada setiap kecamatan hanya dipilih sembilan sampai sepuluh petani. Penarikan sample lembaga-lembaga pemasar selanjutnya dilakukan dengan menggunakan metode snowbowling sampling, yaitu dengan menelusuri saluran pemasaran salak pondoh yang dominan di daerah penelitian berdasarkan informasi yang didapat dari pelaku pasar sebelumnya. Penentuan responden diambil dari petani salak dan lembaga-lembaga pemasar meliputi pedagang pengumpul, pedagang besar, dan pedagang
pengecer yang berada di Kabupaten Banjarnegara, khususnya Kecamatan Kecamatan
Sigaluh,
Kecamatan
Kecamatan
Pagentan
dan
Banjarnegara,
Kecamatan
Kecamatan
Banjarmangu.
Madukara,
Berdasarkan
hasil
penelusan dari 45 petani responden, diperoleh sebanyak 39 pedagang yang terdiri dari 15 pedagang pengumpul, 19 pedagang besar, 1 pedagang luar daerah, dan 4 pedagang pengecer lokal.
4.4. Metode Analisis Data 4.4.1. Analisis Lembaga, Fungsi-Fungsi, dan Saluran Tataniaga Analisis lembaga tataniaga adalah melakukan identifikasi terhadap pelaku pasar yang terlibat dalam penyampaian komoditi salak pondoh dari petani sampai kepada konsumen. Identifikasi lembaga tataniaga adalah mengamati segala kegiatan dan fungsi tataniaga yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga. Fungsi-fungsi tataniaga dilihat dari masing-masing fungsi yang dilakukan oleh lembaga tataniaga dalam menyalurkan salak pondoh dari petani sampai ke konsumen akhir. Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga meliputi fungsi fisik, fungsi pertukaran, dan fungsi fasilitas. Analisis fungsi-fungsi tataniaga diperlukan antara lain untuk mengetahui fungsi-fungsi yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat, penghitungan kebutuhan biaya dan fasilitas yang diperlukan. Metode analisis saluran tataniaga diperlukan untuk menelusuri saluran tataniaga salak pondoh dari produsen yaitu petani sampai ke konsumen akhir. Dari saluran tataniaga yang terbentuk, dapat digambarkan secara keseluruhan pola saluran tataniaga.
4.4.2. Analisis Struktur Pasar Metode analisis ini diperlukan untuk mengetahui apakah struktur pasar yang terbentuk cenderung mendekati persaingan sempurna atau persaingan tidak sempurna dengan melihat komponen yang mengarahkan pasar ke suatu struktur pasar tertentu. Semakin banyak penjual dan pembeli dan semakin kecilnya jumlah yang diperjualbelikan oleh setiap lembaga pemasar, maka struktur pasar tersebut
semakin
mendekati
kesempurnaan
dalam
persaingan.
Adanya
kesepakatan antar sesama pelaku pemasar menimbulkan struktur pasar yang cenderung tidak bersaing sempurna.
Untuk mengetahui struktur pasar komoditas salak pondoh yang terjadi dapat dilihat berdasarkan jumlah lembaga pemasar yang terlibat, mudah tidaknya memasuki pasar, differensiasi produk, dan informasi pasar.
4.4.3. Analisis Perilaku Pasar Tingkah laku pasar dapat dianalisis dengan mengamati praktek penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh pelaku pasar melalui sistem penentuan dan penyebaran harga, dan kerjasama diantara lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat. Perilaku pasar diasumsikan bagaimana pelaku pasar yaitu petani, konsumen, dan lembaga pemasar menyesuaikan diri terhadap situasi penjualan dan pembelian yang terjadi.
4.4.4. Keragaan Pasar Keragaan pasar salak pondoh dianalisis dengan menggunakan analisis marjin tataniaga dan penyebarannya, bagian harga yang diterima petani (farmer’s share), rasio keuntungan biaya, serta model keterpaduan pasar.
4.4.4.1. Analisis Marjin Tataniaga Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga yang diterima oleh produsen dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen, dimana marjin tataniaga diperoleh dari pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian pada setiap tingkat lembaga tataniaga. Marjin tataniaga pada dasarnya merupakan penjumlahan dari biaya-biaya tataniaga dan keuntungan yang diperoleh oleh suatu lembaga pemasaran. Marjin tataniaga adalah perbedaan harga ditingkat produsen (Pf) dengan harga di tingkat konsumen (Pr). Marjin tataniaga terdiri dari biaya tataniaga dan keuntungan lembaga tataniaga. Secara matematis, marjin tataniaga diumuskan sebagai berikut: Mi = Psi – Pbi ………………………...(1) Mi = Ci + πi …………………………..(2) Dimana: Mi
= Marjin tataniaga di tingkat ke-i (Rp/Kg)
Psi = Harga penjualan di tingkat ke-i (Rp/Kg) Pbi = Harga pembelian di tingkat ke-i (Rp/Kg) Ci
= Biaya pemasaran tingkat ke-i (Rp/Kg)
πi
= Keuntungan lembaga tataniaga pasar tingkat ke-i
Dengan demikian total marjin tataniaga (M) adalah: M
∑
M …………………………….(3)
Biaya dan keuntungan pada masing-masing lembaga tataniga yang ada kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan suatu marjin tataniaga. Marjin tataniaga total merupakan penjumlahan dari biaya-biaya tataniaga dan keuntungan-keuntungan tataniaga pada masing-masing lembaga tataniaga. Dengan menjumlahkan persamaan (1) dan (2) maka diperoleh: Psi – Pbi = Ci + πi …………………….(4) Berdasarkan persamaan tersebut, maka keuntungan lembaga tataniaga pada tingkat ke-I adalah:
πi = Psi – Pbi – Ci …………………….(5) 4.4.4.2. Analisis Bagian Harga yang Diterima Petani (Farmer’s Share) Bagian
harga
yang
diterima
petani
(Farmer’s
Share)
merupakan
perbandingan harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen. Farmer’s share memiliki korelasi yang negatif dengan marjin tataniaga, artinya semakin tinggi marjin tataniaga maka bagian harga yang diterima petani semakin rendah. Farmer’s share dirumuskan sebagai berikut: 100% ………………….(6) Dimana : Fs = Farmer’s Share Pf
= Harga di tingkat petani (Rp/Kg)
Pr
= Harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir (Rp/Kg)
4.4.4.3. Rasio Keuntungan dan Biaya Penyebaran marjin tataniaga salak pondoh dapat pula dilihat berdasarkan persentase keuntungan terhadap biaya tataniaga pada masing-masing lembaga tataniaga. Analisis rasio keuntungan dan biaya digunakan untuk mengetahui penyebaran keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga tataniaga. Analisis rasio keuntungan dan biaya dirumuskan sebagai berikut: Rasio Keuntungan-Biaya = Dimana: πi Ci
100% …………………(7)
= Keuntungan tataniaga lembaga ke-i = Biaya tataniaga lembaga ke-i
4.4.4.4. Analisis Indeks Keterpaduan Pasar Keterpaduan pasar adalah sampai seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditas pada suatu tingkat lembaga tataniaga atau pasar dipengaruhi oleh tingkat lembaga tataniaga atau pasar lainnya. Untuk mengetahui tingkat keterpaduan pasar salak pondoh antara tingkat atau level lembaga tataniaga ke-i dengan
tingkat
lembaga
tataniaga
lainnya,
dianalisis
secara
statisik
menggunakan model Indeks of Market Connection (IMC) dengan pendekatan model Autoregressive Distribution Lag, yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Heyrens (1986). Analisis indeks keterpaduan pasar digunakan untuk melihat efisiensi harga tataniaga salak pondoh. Model ekonometrika Autoregressive Distribution Lag diduga dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square/OLS), sebagai berikut: Pit = b1 Pit-1 + b2 (Pjt – Pjt-1) + b3 Pjt-1 + et ………………(8) Dimana: Pit
= Harga salak pondoh di pasar tujuan minggu ke-t (Rp/kg)
Pit-1 = Lag harga salak di pasar tujuan pada minggu ke-t (Rp/kg) Pjt
= Harga salak di pasar acuan j pada minggu ke-t (Rp/kg)
Pjt-1 = Lag harga salak di pasar acuan j pada minggu ke-t (Rp/kg) b1
= Parameter estimasi (bi = 1,2,3)
et
= Random error
Koefisien b2 mengukur bagaimana perubahan harga di pasar acuan diteruskan terhadap harga di pasar tujuan. Jika b2 = 1, maka perubahan harga yang terjadi adalah netral dan proporsi jika dihitung dalam persentase. Jika b2 lebih besar dari 1, maka perubahan yang terjadi di pasar acuan akan berpengaruh terhadap harga di tingkat pasar tujuan. Jika di tingkat pasar acuan sama pada setiap bulannya (b2 = 0), maka koefisien b2 tidak berpengaruh dan dapat dikeluarkan dari persamaan. Dengan demikian harga di pasar tujuan hanya dipengaruhi harga di pasar acuan, dengan koefisien b1 dan b3. Jika kedua koefisien telah diketahui, maka dapat diperoleh indeks keterpaduan pasar (IMC) yang dihitung sebagai berikut: IMC =
………………………… (9)
Jika IMC < 1, maka terjadi keterpaduan pasar jangka panjang yang relatif tinggi antara harga di tingkat pasar tujuan dengan pasar acuan. Artinya harga yang terjadi di pasar acuan pada minggu sebelumnya merupakan faktor utama
yang mempengaruhi harga yang terjadi di tingkat pasar tujuan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua pasar terhubung dengan baik karena informasi permintaan dan penawaran di pasar acuan diteruskan ke pasar tujuan serta mempengaruhi harga yang terjadi di pasar tujuan. Hipotesis keterpaduan pasar jangka panjang yang kuat diterima, apabila nilai IMC = 0 dan b1 = 0, maka harga ditingkat pengecer atau pasar tujuan pada minggu sebelumnya tidak berpengaruh terhadap yang diterima di pasar tujuan sekarang. Jika IMC > 1 dan nyata, maka antara pasar tujuan dengan pasar acuan tidak terpadu dalam jangka panjang. Keterpaduan pasar jangka pendek secara sempurna akan terjadi apabila b2 = 1, artinya perubahan harga pasar acuan akan sepenuhnya diteruskan ke pasar tujuan. Dengan kata lain, semakin mendekati satu pada nilai koefisien korelasi (b2), maka derajat asosiasinya semakin tinggi. 4.4.5.5. Pengujian Hipotesis Untuk mengetahui apakah secara statistik peubah bebas (independent variable) yang dipilih berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah tak bebas (dependent variable), digunakan uji statistik t dan uji statistik F. Uji t digunakan untuk menguji koefisien regresi dari masing-masing peubah sehingga dapat diketahui apakah peubah ke-j berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebasnya. Sedangkan uji F digunakan untuk mengetahui koefesien regresi secara
serentak
apakah
peubah-peubah
bebas
secara
bersama-sama
menjelaskan variasi beubah tak bebasnya. Penguji hipotesis atas masing-masing koefisien regresi dilakukan dengan uji t-student dengan hipotesis sebagai berikut: 1). Keterpaduan Pasar Jangka Pendek Hipotesis: H0 : b2 = 1 H1 : b2 ≠ 1 Selanjutnya hipotesis ini (H0 : b2 = 1) digunakan untuk menganalisis keterpaduan pasar jangka pendek dengan uji statistik sebagai berikut:
Apabila t-hitung < t-tabel, maka hipotesis nol tidak dapat ditolak secara statistik. Artinya, kedua pasar terpadu dalam jangka pendek. Sebaliknya jika t-
hitung > t-tabel, maka hipotesis alternatif diterima secara statistik. Artinya kedua pasar tidak terpadu dalam jangka pendek. 2). Keterpaduan Pasar Jangka Panjang Hipotesis: H0 : b1/b3 = 0 H1 : b1/b3 ≠ 0 Nilai b1/b3 = 0 terjadi apabila b1 = 0, sehingga hipotesis di atas dapat dituliskan sebagai berikut: H0 : b1 = 0 H1 : b1 ≠ 0 Selanjutnya hipotesis ini (H0 : b1 = 0) digunakan untuk menganalisis keterpaduan pasar jangka panjang dengan uji statistik sebagai berikut:
Apabila t-hitung < t-tabel, maka hipotesis nol tidak dapat ditolak secara statistik. Artinya, kedua pasar terpadu dalam jangka panjang. Sebaliknya jika thitung > t-tabel, maka hipotesis alternatif diterima secara statistik. Artinya kedua pasar tidak terpadu dalam jangka panjang.
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Karakteristik Wilayah Kabupaten Banjarnegara termasuk dalam wilayah Propinsi Jawa Tengah dengan luas wilayah seluas 106.971,01 Ha dengan pusat pemerintahan Kab. Banjarnegara berada di Kec. Banjarnegara. Secara geografis Kab. Banjarnegara terletak diantara 7012’ – 7031’ Lintang Selatan dan diantara 109020’10” – 109045’50” Bujur Timur. Secara administratif, Kab. Banjarnegara berbatasan dengan: Sebelah utara
: Kab. Pekalongan dan Kab. Batang
Sebelah timur
: Kab. Wonosobo
Sebelah selatan : Kab. Kebumen Sebelah barat
: Kab. Purbalingga dan Kab. Banyumas
Jumlah penduduk Kab. Banjarnegara sebanyak 885.216 jiwa yang terdiri dari 442.391 jiwa penduduk laki-laki dan 442.825 jiwa penduduk perempuan. Jumlah rumah tangga di Kab. Banjarnegara sebanyak 216.356 rumah tangga dengan kepadatan penduduk adalah 828 jiwa per kilometer persegi. Tabel 9. Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Banjarnegara Tahun 2006 No. Kecamatan Luas (Ha) Persentase 1 Susukan 5265,67 4,923 2 Purworejo Klampok 2186,67 2,044 3 Mandiraja 5261,58 4,919 4 Purwonegoro 7386,53 6,905 5 Bawang 5520,64 5,161 6 Banjarnegara 2624,20 2,453 7 Pagedongan 8055,24 7,530 8 Sigaluh 3955,95 3,698 9 Madukara 4820,15 4,506 10 Banjarmangu 4635,61 4,334 11 Wanadadi 2827,41 2,643 12 Rakit 3244,62 3,033 13 Punggelan 10284,01 9,614 14 Karangkobar 3906,94 3,652 15 Pagentan 4618,98 4,318 16 Pejawaran 5224,97 4,884 17 Batur 4717,10 4,410 18 Wanayasa 8201,13 7,667 19 Kalibening 8377,56 7,832 20 Pandanarum 5856,05 5,474 Jumlah 106971,01 100 Sumber : Badan Pusat Statistik Kab. Banjarnegara (2006).
Kab. Banjarnegara terdiri atas dua puluh kecamatan yang terdiri atas 278 desa dan kelurahan, dimana sebanyak 218 desa/kelurahan termasuk desa swadaya dan 60 desa/kelurahan termasuk desa swakarsa. Kecamatan yang memiliki wilayah paling luas adalah Kec. Punggelan yang berjarak sekitar 20 km dari ibukota kabupaten, sedangkan kecamatan yang luas wilayah paling kecil adalah Kec. Purworejo Klampok yang berjarak sekitar 30 km dari ibukota kabupaten (Tabel 9). Tabel 10. Kondisi Lingkungan di Kabupaten Banjarnegara Berdasarkan Kecamatan Pada Tahun 2006 Ketinggian Kemiringan No Kecamatan Suhu (ºC) Jenis tanah (m.dpl) (%) 1 Susukan 80 20 – 26 0 – 15 Latosol 2 Pwj. Klampok 44 20 – 26 0 – 15 Aluvial 3 Mandiraja 131 20 – 26 0 – 15 Grumosol 4 Purwonegoro 157 20 – 26 0 – 15 Latosol 5 Bawang 149 20 – 26 0 – 15 Latosol 6 Banjarnegara 289 20 – 26 15 – 40 Latosol/Grumosol 7 Pagedongan 639 20 – 26 15 – 40 Latosol/Grumosol 8 Sigaluh 600 20 – 26 15 – 40 Latosol 9 Madukara 320 20 – 26 15 – 40 Latosol 10 Banjarmangu 290 20 – 26 15 – 40 Latosol 11 Wanadadi 239 20 – 26 15 – 40 Aluvial 12 Rakit 180 20 – 26 0 – 15 Latosol 13 Punggelan 374 20 – 26 15 – 40 Litosol/Grumosol 14 Karangkobar 1.015 3 – 18 15 – 40 Aluvial 15 Pagentan 935 3 – 18 15 – 40 Latosol/Grumosol 16 Pejawaran 1.130 3 – 18 > 40 Andosol 17 Wanayasa 1.135 3 – 18 15 – 40 Latosol/Andosol 18 Batur 1.633 3 – 18 > 40 Andosol 19 Kalibening 1.049 3 – 18 15 – 40 Andosol 20 Pandanarum 1.245 3 – 18 15 – 40 Andosol Sumber : Badan Pusat Statistik Kab. Banjarnegara (2006).
Ketinggian wilayah Kab. Banjarnegara antara 44 m.dpl sampai 2.800 m.dpl dengan wilayah tertinggi adalah Kec. Batur yang terkenal dengan dataran tinggi Diengnya dengan ketinggian wilayah 1.633 m.dpl. Tingkat kemiringan di wilayah Kab. Banjarnegara mulai dari landai dengan tingkat kemiringan 0 – 15 persen sampai curam dengan tingkat kemiringan lebih besar dari 40 persen, dimana daerah topografi datar sampai agak curam umumnya terdapat di daerah dataran rendah sedangkan daerah topografi curam terdapat pada dataran tinggi (Tabel 10). Topografi berat terdapat di bagian selatan dan utara Kab. Banjarnegara yang membentang dari timur sampai barat yang merupakan rangkaian pegunungan dengan puncak-puncaknya antara lain: Gunung Perahu (2.562 m.dpl), Gunung Gajah Mungkur (2.101 m.dpl), Gunung Sipanda (2.146 m.dpl),
Gunung Penganun (2.173 m.dpl), Gunung Jimat (2.213 m.dpl), Gunung Petarangan (2.135 m.dpl), Gunung Punthuk (2.222 m.dpl), Gunung Pengonan (2.800 m.dpl), dan Gunung Ragajembangan (2.177 m.dpl). Jenis tanah yang mendominasi wilayah Kab. Banjarnegara adalah Latosal, Aluvial, Grumosol, Litosal, dan Andosol. Musim penghujan di Kab. Banjarnegara kurang lebih terjadi selama 7 bulan walaupun sepanjang tahun terjadi hujan, dengan curah hujan rata-rata antara tahun 2004 sampai 2006 sebesar 2.881,37 mm dengan hari hujan sebanyak 133 hari pertahun. Suhu harian di Kab. Banjarnegara cukup bervariasi, dimana suhu terendah terjadi di daerah dataran tinggi dapat mencapai 30 C, sedangkan suhu tinggi terjadi di daerah dataran rendah dengan suhu mencapai 260 C. Terdapat banyak sungai baik sungai kecil hingga besar yang mengalir di wilayah Kab. Banjarnegara, dengan sungai-sungai yang memiliki panjang lebih dari 10 km antara lain: Serayu, Piasa, Sapi, Monda, Pager, Merawu, Pekacangan, Gintung, Tulis, Bojong, Penaruban, Sibebek, Bombong, dan Brukoh. Pola penggunaan lahan di Kab. Banjarnegara sebagian besar adalah berupa tegalan atau kebun yang mencapai 44,56 persen dari luas Kab. Banjarnegara, kemudian diikuti oleh bangunan atau pekarangan dan halaman, hutan negara, dan lahan sawah baik sawah irigasi teknis, sawah irigasi setengah teknis, sawah irigasi sederhana, sawah irigasi desa, maupun sawah tadah hujan (Tabel 11). Tabel 11. Pola Penggunaan Lahan di Kabupaten Banjarnegara Pada Tahun 2006 Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%) 1. Lahan Sawah 14542 13,59 a. Lahan Irigasi Teknis 6177 5,77 b. Lahan Irigasi Setengah Teknis 629 0,59 c. Lahan Irigasi Sederhana 2541 2,38 d. Lahan Irigasi Desa 1529 1,43 e. Lahan Irigasi Tadah Hujan 3666 3,43 2. Lahan Bukan Sawah 92429 86,41 a. Bangunan/Pekarangan 16539 15,46 b. Tegal/Kebun 47669 44,56 c. Kolam/Tebat/Empang 520 0,49 d. Lahan Tidur 7 0,01 e. Hutan Rakyat 4098 3,83 f. Hutan Negara 16488 15,41 g. Perkebunan 2152 2,01 h. Lainnya 4956 4,63 Total 106971 100 Sumber : Badan Pusat Statistik Kab. Banjarnegara (2006).
5.2. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden diperoleh data dan informasi untuk menggambarkan karakteristik petani. Beberapa karekteristik yang dimiliki oleh petani responden antara lain: umur, jenis kelamin, status pernikahan, jumlah keluarga atau tanggungan petani, tingkat pendidikan, penguasaan atas lahan, pola penggunaan lahan pertanian, dan pengalaman usahatani salak pondoh. Berdasarkan karakteristik umur, sebagian besar petani berumur antara 36 – 45 tahun, kemudian diikuti petani dengan kisaran umur 46 – 55 tahun, petani dengan umur di atas 55 tahun, dan petani dengan umur dibawah 35 tahun (Tabel 12). Dapat dilihat bahwa tingginya persentase umur petani adalah pada umur yang relatif tua, dan persentase petani umur muda yaitu dibawah 35 tahun cukup rendah, hal ini disebabkan ketidaktertarikan pada kegiatan usahatani dan memilih pekerjaan lain daripada melakukan usahatani. Tabel 12. Jumlah dan Persentase Petani Responden Bersadarkan Umur No. Umur Petani (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 ≤ 35 7 15,56 2 36 – 45 15 33,33 3 46 – 55 12 26,67 4 ≥ 55 11 24,44 Jumlah 45 100,00
Faktor umur sangat mempengaruhi produktivitas kerja seorang petani. Petani yang berumur relatif lebih muda biasanya lebih dinamis, memiliki kemampuan fisik yang lebih kuat dan lebih berani dalam mengambil resiko. Petani yang lebih tua biasanya mempunyai pengalaman dalam usahatani dan biasanya lebih baik dalam melakukan analisis tentang adanya resiko. Tabel 13. Jumlah dan Persentase Petani Responden Bersadarkan Jumlah Tanggungan No. Jumlah Tanggungan Petani (Jiwa) Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 ≤2 6 13,33 2 3–5 34 75,56 3 6–8 5 11,11 4 >8 0 0,00 Jumlah 45 100,00
Seluruh petani responden berjenis kelamin laki-laki dengan sebaran responden petani salak pondoh menurut status pernihakannya dimana seluruh petani responden berstatus sudah menikah. Jumlah tanggungan keluarga petani
sebagian besar adalah 3 – 5 jiwa dalam satu keluarga dengan persentase adalah 75,56 persen (Tabel 13). Jumlah tanggungan keluarga akan mempengaruhi pengambilan keputusan seorang petani, misalnya dalam pembelian input karena dipengaruhi oleh pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Tabel 14, menunjukkan tingkat pendidikan petani responden, sebagian besar petani adalah lulusan sekolah dasar dengan persentase sebanyak 40 persen dari seluruh jumlah responden. Tingkat pendidikan petani responden cukup bervariasi, mulai dari petani yang tidak lulus sekolah dasar sampai petani yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi baik sebagai lulusan Diploma I dan bahkan terdapat tiga petani yang bergelar sarjana. Tingkat pendidikan yang baik merupakan salah satu faktor penting yang akan mempermudah petani khususnya dalam penerimaan informasi tentang teknologi pengembangan komoditi salak pondoh ini. Tabel 14. Jumlah dan Persentase Petani Responden Bersadarkan Tingkat Pendidikan No. Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 Tidak Tamat SD 1 2,22 2 Tamat SD 18 40,00 3 Tamat SLTP 10 22,22 4 Tamat SLTA 12 26,67 5 Tamat Perguruan Tinggi 4 8,89 Jumlah 45 100,00
Penguasaan petani responden atas lahan pertanian juga menunjukkan keberagaman, dari petani yang hanya menguasai lahan kurang dari setengah hektar sampai petani yang menguasai atau memiliki lahan di atas dua hektar. Sebesar 19 persen dari seluruh jumlah petani responden memiliki penguasaan atas lahan antara 0,5 sampai 1 hektar (Tabel 15). Sebagian lahan pertanian yang dikuasai oleh petani merupakan lahan hak milik, walaupun terdapat beberapa lahan merupakan lahan sewa dan lahan hak guna. Tabel 15. Jumlah dan Persentase Petani Responden Bersadarkan Penguasaan Atas Lahan Pertanian No. Luas Lahan (Ha) Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 ≤ 0,5 5 11,11 2 > 0,5 – 1 19 42,22 3 > 1 – 1,5 8 17,78 4 > 1,5 – 2 8 17,78 5 >2 5 11,11 Jumlah 45 100,00
Pola
penggunaan
lahan
pertanian,
para
petani
umumnya
tidak
menggunakan seluruh lahan untuk budidaya salak pondoh, sekitar 18 petani atau sekitar 40 persen dari seluruh petani responden mengalokasikan sebagian lahan pertanian selain diperuntukkan sebagai lahan budidaya salak pondoh sebagian lahan yang lain merupakan sawah maupun ladang. Sebagian besar petani melakukan tumpang sari tanaman salak pondoh dengan jenis tanaman lain seperti: Sengon, Mahoni, Kelapa (Cocos nucifera), Durian, Petai, Duku, Kapulaga, dan Nangka. Hal ini berkaitan bahwa tanaman salak pondoh merupakan salah satu tanaman yang tidak tahan terhadap sinar matahari penuh, karena itu diperlukan adanya tanaman peneduh, sehingga tanaman-tanaman tersebut
selain
sebagai
peneduh
tanaman
salak
pondoh
juga
dapat
menghasilkan tambahan pendapatan bagi petani. Tabel 16. Jumlah dan Persentase Petani Responden Bersadarkan Tingkat Pengalaman Budidaya Salak Pondoh No. Pengalaman (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 ≤5 2 4,44 2 6 – 10 9 20,00 3 11 – 15 28 62,22 4 ≥ 15 6 13,33 Jumlah 45 100,00
Berdasarkan pengalaman melakukan budidaya salak pondoh, sebagian besar petani responden yaitu sebesar 62,22 persen, telah membudidayakan salak pondoh antara 11 sampai 15 tahun. Terdapat beberapa petani yang telah mempunyai pengalaman melakukan usahatani salak pondoh lebih dari 15 tahun, tetapi terdapat juga beberapa petani yang melakukan usahatani salak pondoh kurang dari 5 tahun (Tabel 16). Pengalaman berusahatani ini ditinjau dari lamanya melakukan usahatani salak pondoh bukan dari usai petani. Pengalaman petani dalam usahatani mempengaruhi dalam teknik usahatani salak pondoh yang dilakukan. Selain sebagai petani salak pondoh dan usahatani salak pondoh sebagai mata pencaharian utama, beberapa petani responden juga menggantungkan hidupnya terhadap usahatani lain walaupun terdapat sekitar 22 petani responden atau 48,89 persen dari seluruh petani responden memiliki usaha dan pekerjaan lain diluar usahatani sebagai sumber mata pencaharian. Mata pencaharian diluar usahatani antara lain: pedagang, wiraswasta, dan pegawai baik pagawai negeri maupun pegawai swasta.
5.3. Karakteristik Pedagang Responden Berdasarkan hasil penelusuran terhadap pedagang, diperoleh sebanyak 39 pedagang yang terdiri dari 15 pedagang pengumpul, 19 pedagang besar atau pedagang pengirim, 1 pedagang luar daerah, dan 4 pedagang pengecer lokal. Beberapa karekteristik yang dimiliki oleh petani responden antara lain: umur, jenis kelamin, status pernikahan, jumlah keluarga atau tanggungan petani, tingkat pendidikan, pengalaman berdagang salak pondoh dan bentuk lembaga. Berdasarkan karakteristik umur, umur pedagang responden cukup bervariasi dengan jumlah umur terbanyak adalah pedagang berumur antara 46 – 55 tahun yaitu sebanyak 15 pedagang atau 39,47 persen (Tabel 17). Tabel 17. Jumlah dan Persentase Pedagang Responden Bersadarkan Umur No. Umur (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 ≤ 35 5 13,16 2 36 – 45 10 26,32 3 46 – 55 15 39,47 4 ≥ 55 8 21,05 Jumlah 38 100,00
Jumlah pedagang responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 31 pedagang atau sebesar 81,58 persen dari seluruh pedagang responden dan sebanyak 7 pedagang atau sebesar 18,42 persen merupakan pedagang berjenis kelamin perempuan dimana seluruh pedagang responden memiliki status sudah menikah. Jumlah tanggungan keluarga petani sebagian besar sebanyak 3 sampai 5 jiwa dalam satu keluarga dengan persentase adalah 78,95 persen (Tabel 18). Tabel 18. Jumlah dan Persentase Pedagang Responden Bersadarkan Jumlah Tanggungan No. Jumlah Tanggungan (Jiwa) Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 ≤2 5 13,16 2 3–5 30 78,95 3 6–8 3 7,89 4 >8 0 0,00 Jumlah 38 100,00
Tingkat pendidikan pedagang responden sebagian besar hanya tamat SD, yaitu sebanyak 22 pedagang atau sebesar 57,89 persen (Tabel 19). Sebaran tingkat pendidikan pada pedagang salak pondoh cukup beragam, dimana pendidikan pedagang secara umum adalah dari sekolah dasar sampai sekolah
lanjutan tingkat atas. Tidak dijumpai pedagang berpendidikan sampai perguruan tinggi dan dijumpai beberapa pedagang yang tidak lulus sekolah dasar. Tabel 19. Jumlah dan Persentase Pedagang Responden Bersadarkan Tingkat Pendidikan Dan Tingkat Pengalaman Melakukan Usahatani Salak Pondoh No. Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%) A Tingkat Pendidikan 1. Tidak Tamat SD 4 10,53 2. Tamat SD 22 57,89 3. Tamat SLTP 5 13,16 4. Tamat SLTA 7 18,42 5. Tamat Perguruan Tinggi 0 0,00 Jumlah 38 100,00 B Pengalaman 1. ≤ 5 4 10,53 2. 6 – 10 12 31,58 3. 6 – 10 12 31,58 4. ≥ 15 10 26,32 Jumlah 38 100,00
Berdasarkan tingkat pengalaman
berdagang khususnya pengalaman
berdagang salak pondoh yang digambarkan dengan lamanya berdagang, sebaran tingkat pengalaman pedagang responden cukup beragam dengan jumlah terbesar adalah tingkat pengalaman antara 6 – 15 tahun (Tabel 19). Pengalaman pedagang dalam berdagang khususnya salak pondoh akan berkaitan dengan jaringan perdagangan yang telah dibangun baik dengan petani maupun pedagang lain serta luas jaringan distribusi komoditi.
VI. SISTEM TATANIAGA SALAK PONDOH 6.1. Lembaga, Fungsi-Fungsi dan Saluran Tataniaga 6.1.1. Lembaga Tataniaga Dalam kegiatan tataniaga salak pondoh, melibatkan beberapa lembaga tataniaga dalam penyampaian komoditi dari petani hingga konsumen akhir, diantaranya: pedagang pengumpul, pedagang besar atau pedagang pengirim, pedagang luar daerah, pedagang pengecer lokal, dan pedagang pengecer luar daerah. Setiap lembaga tataniaga umumnya melakukan fungsi-fungsi tataniaga berdasarkan kepentingan dan tujuan pemasarannya.
6.1.1.1. Petani Pada umumnya petani-petani salak pondoh melakukan penjualan langsung kepada pedagang pengumpul, pedagang besar atau pedagang pengirim, serta pedagang pengecer lokal. Tidak dijumpai petani salak pondoh langsung melakukan penjualan kepada pedagang luar daerah. Rata-rata volume penjualan petani kepada lembaga tataniaga diatasnya cukup berfluktuatif, hal ini dipengaruhi oleh musim panen raya dan diluar musim panen raya, baik panen sedang, panen kecil, atau disebut dengan masa slandren. Pada saat musim panen raya untuk setiap satu hektarnya, volume rata-rata penjualan petani dapat mencapai 1.000 kg untuk setiap satu kali panen, sedangkan diluar musim panen raya, volume rata-rata penjualan petani hanya berkisar 150 kg untuk setiap satu kali panen. Pemanenan umumnya dilakukan sekitar 10 sampai 15 hari sekali, hal ini tergantung tingkat kematangan buah salak pondoh yang diinginkan oleh petani. Semakin lama jarak pemanen semakin matang buah salak pondoh tetapi berat rata-rata buah semakin ringan. Dalam melakukan penjualan baik kepada pedagang pengumpul, pedagang besar/pedagang pengirim, ataupun kepada pedagang pengecer lokal terdapat beberapa tahapan kegiatan yang dilakukan dalam menyampaikan komoditi kepada lembaga tataniaga yang menjadi tujuan penjualan. Setelah melakukan pemanen, petani langsung melakukan transaksi penjualan kepada lembaga tataniaga. Dalam transaksi terjadi penentuan dan kesepakatan harga, dan harga yang terjadi merupakan hasil tawar-menawar dengan pedagang, dimana dalam proses transaksi petani menawarkan harga yang berlaku di pasar tetapi pedagang lebih dominan dalam proses tawar-menawar tersebut. Tidak semua
petani melakukan tawar-menawar dengan pedagang, beberapa petani dalam penentuan harga menyerahkan harga sepenuhnya kepada pedagang apabila pedagang tersebut merupakan langganan dan sudah terjalin kepercayaan antara petani dengan pedagang. Setelah terjadi transaksi, pedagang tersebut mengambil salak pondoh di tempat petani, dan bahkan beberapa petani mengantarkan sendiri salak pondohnya kepada pedagang yang dituju apabila lokasi pedagang tersebut dekat dengan petani. Dalam menjual salak pondoh kepada lembaga tataniaga, petani sama sekali tidak melakukan sortasi atau grading.
6.1.1.2. Pedagang Pengumpul Pedagang pengumpul melakukan pembelian secara langsung kepada petani dan penjualan kepada pedagang besar/pedagang pengirim. Dengan kata lain bahwa pedagang pengumpul sebagian besar berperan sebagai perantara antara petani dan pedagang besar atau pedagang pengirim. Keberadaan pedagang pengumpul terkonsentrasi di setiap desa serta dekat dengan petani, dimana pada setiap desa di kecamatan-kecamatan sentra produksi salak pondoh terdapat 1 sampai 2 atau bahkan lebih pedagang pengumpul. Kebanyakan pedagang pengumpul sudah mengenal karakteristik serta kualitas buah salak dari setiap petani yang menjadi langganannya dan hal ini dapat dijadikan dasar oleh pedagang pengumpul dalam menentukan harga. Rata-rata volume pembelian dan penjualan pedagang pengumpul cukup berfluktuatif, pada saat panen raya dapat mencapai 5.000 kg perhari, sedangkan diluar musim panen raya volume pembelian dan penjualan rata-rata hanya mencapai 1.000 kg perhari atau bahkan kurang. Volume pembelian dan penjualan beberapa pedagang pengumpul pada saat panen raya bahkan dapat mencapai 10.000 kg perhari atau bahkan lebih. Besar kecilnya volume pembelian dan penjualan pedagang pengumpul tergantung pada ketersediaan modal yang dimiliki pedagang tersebut, kepercayaan petani untuk menjual salak pondohnya, dan pesanan dari pedagang besar/pedagang pengirim. Dalam melakukan pendistribusian salak pondoh dari petani kepada pedagang besar atau pedagang pengirim, terdapat beberapa tahapan kegiatan yang menggambarkan fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul. Setelah melakukan transaksi dan terjadi kesepakatan harga dengan petani kemudian pedagang pengepul tersebut menerima salak pondoh dari
petani, pedagang melakukan penimbangan dan pemotongan berat buah sebesar 10 persen dari berat keseluruhan. Pemotongan berat sebesar 10 persen merupakan salah satu upaya pedagang dalam melakukan penanggungan resiko, hal ini dikarenakan pada umumnya salak pondoh yang diterima pedagang dari petani masih bercampur kotoran yang dapat berupa tangkai dan serabut tandan buah, serta masih terdapat buah busuk dan pecah. Sistem pembayaran yang dilakukan pedagang pengumpul kepada petani dapat berupa pembayaran tunai, pembayaran uang muka dan pembayaran kemudian. Sebagian besar petani umumnya lebih menyukai pembayaran tunai, hal ini berkaitan dengan kebutuhan petani untuk sehari-hari karena tidak sedikit petani yang menggantungkan hidupnya dengan bertani salak pondoh. Setelah salak pondoh diterima dari petani kemudian di kemas ulang ke dalam dengan keranjang bambu besar berkapasitas rata-rata mencapai 150 kg, dengan tujuan memudahkan untuk melakukan pengangkutan. Sebagian besar pedagang
pengumpul
sebelum
melakukan
penjualan
kepada
pedagang
besar/pedagang pengirim tidak melakukan sortasi maupun grading, tetapi ada beberapa pedagang pengumpul yang melakukan sortasi dengan hanya membuang buah yang sudah busuk dan membuang tangkai buah. Fungsi pemasaran lain yang dilakukan oleh pedagang pengumpul adalah penyimpanan, dimana salak pondoh yang sudah diterima dari petani dan di kemas ulang, kemudian di simpan dan baru akan di jual dan antar kepada pedagang besar/pedagang pengirim pada esok harinya. Biaya pengangkutan ke tempat pedagang besar/pedagang pengirim dan biaya bongkar muat ditanggung sepenuhnya oleh pedagang pengumpul.
6.1.1.3. Pedagang Besar/Pedagang Pengirim Pedagang besar atau juga disebut dengan pedagang pengirim, melakukan pembelian baik dari petani langsung maupun dari pedagang pengumpul, dengan tujuan utama penjualan adalah pedagang luar daerah. Keberadaan pedagang besar/pedagang pengirim pada umumnya terkonsentrasi di Pasar Salak Banjarnegara dan tidak sedikit pula pedagang besar/pedagang pengirim berada di desa-desa atau kecamatan dan dekat dengan petani, akan tetapi keberadaan pedagang besar/pedagang pengirim tidak selalu terdapat pada setiap desa seperti pedagang pengumpul. Tidak jauh berbeda dengan pedagang pengumpul, pada umumnya pedagang besar/pedagang pengirim juga mengenal karakteristik
buah salak dari setiap petani dan pedagang pengumpul yang menjadi langganannya dan hal ini dapat dijadikan dasar oleh pedagang dalam menentukan harga. Rata-rata volume penjualan pedagang besar/pedagang pengirim juga berfluktuatif, dimana pada saat musim panen raya mencapai 15.000 kg perhari, sedangkan diluar panen raya volume penjualan rata-rata mencapai 5.000 kg perhari atau bahkan kurang. Volume penjualan beberapa pedagang besar pada saat panen raya bahkan dapat mencapai 25.000 kg atau bahkan lebih dalam satu hari. Besar kecilnya volume penjualan pedagang besar/pedagang pengirim tergantung pada kemampuan modal yang dimiliki pedagang tersebut dan luasnya jaringan dan daerah pemasaran luar daerah yang telah dimiliki. Dalam penyampaian produk dari petani kepada pedagang luar daerah, terdapat beberapa tahapan kegiatan dimana kegiatan dalam tahapan tersebut menggambarkan fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang besar tersebut. Tahap awal kegiatan tataniaga yang dilakukan oleh pedagang besar atau
pedagang
pengirim
adalah
transaksi
pembelian
dan
penentuan
kesepakatan harga dengan petani serta pedagang pengumpul. Kesepakatan harga yang terbentuk umumnya merupakan hasil tawar-menawar dengan petani maupun pedagang pengumpul walaupun kedudukan pedagang besar tetap lebih dominan dalam proses tawar-menawar tersebut. Sistem pembayaran yang dilakukan pedagang besar/pedagang pengirim baik kepada petani maupun pedagang pengumpul dapat berupa pembayaran tunai, pembayaran uang muka dan pembayaran kemudian. Pedagang besar/pedagang pengirim juga melakukan upaya penanggungan resiko berupa pemotongan atau pengurangan berat buah sebesar 10 persen baik buah yang diterima dari petani langsung maupun dari pedagang pengumpul. Setelah buah diterima oleh pedagang besar tersebut, buah kemudian di sortasi, grading, dan pengemasan berdasarkan permintaan pasar. Grade untuk pasar di kota-kota dalam Jawa Tengah umumnya dibagi dalam dua sampai tiga grade, untuk pasar Jakarta dan Surabaya dibagi dalam empat grade utama dan untuk pasar di kota-kota luar Jawa umumnya dibagi dalam dua sampai tiga grade. Jenis kemasan (packaging) yang digunakan untuk pengiriman keluar daerah cukup beragam, jenis-jenis kemasan yang umumnya digunakan antara lain kardus karton dan keranjang bambu yang memiliki kapasitas rata-rata 45 kg, serta peti kayu yang memiliki kapasitas rata-rata mencapai 50 kg. Pedagang
besar melakukan pengangkutan keluar daerah dimana biaya pengangkutan dan bongkar muat baik di pasar lokal maupun di pasar tujuan dibebankan oleh pedagang besar itu sendiri. Alat transportasi yang digunakan untuk pengiriman ke kota-kota dalam Jawa Tengah pada umumnya menggunakan angkutan bak terbuka (seperti Mitsubitshi Diesel L.300 dan Suzuki Carry) yang memiliki kapasitas sebesar 1.500 sampai 2.000 kg dan untuk tujuan pengiriman ke luar Jawa Tengah menggunakan truk yang memiliki kapasitas mencapai 7.000 kg. Pedagang
besar/pedagang
pengirim
melakukan
penjualan
kepada
pedagang luar daerah dalam bentuk salak pondoh yang telah digrade dan dikemas sedemikian rupa. Terdapat dua sistem penjualan yang dilakukan oleh pedagang besar/pedagang pengirim kepada pedagang luar daerah, yaitu: sistem komisi dan sistem oper nota. Pada sistem komisi, pedagang luar daerah hanya sebagai perantara untuk menjualkan salak pondoh dan setelah salak pondoh habis terjual pedagang luar daerah tersebut diberi insentif jasa atau sering disebut komisi dengan rata-rata sebesar 8 persen dari seluruh nilai penjualan. Pedagang luar daerah tersebut hanya menguasai barang tetapi tidak mempunyai hak kepemilikan atas barang tersebut. Pada sistem penjualan ini, resiko baik berupa resiko fisik yaitu kerusakan buah maupun resiko pasar yaitu perubahan harga sepenuhnya ditanggung oleh pedagang besar/pedagang pengirim. Sedangkan sistem oper nota merupakan sistem penjualan, dimana pedagang besar/pedagang pengirim menjual langsung salak pondoh kepada pedagang luar daerah. Pedagang luar daerah tersebut tidak hanya menguasai tetapi juga memiliki barang tersebut, sehingga resiko perubahan harga jual pedagang luar daerah sepenuhnya ditanggung oleh pedagang luar daerah itu sendiri, tetapi untuk resiko fisik, apabila terdapat kerusakan barang selama perjalanan
atau
pengiriman
ditanggung
oleh
pedagang
besar/pedagang
pengirim.
6.1.1.4. Pedagang Luar Daerah Pedagang luar daerah melakukan pembelian dari pedagang besar atau pedagang pengirim di Banjarnegara. Pedagang luar daerah ini melakukan penjualan buah salak pondoh kepada pedagang pengecer atau bahkan langsung kepada konsumen, baik menjual dalam bentuk grosiran maupun eceran. Pedagang luar daerah, umumnya tidak melakukan grading kembali, karena
pedagang tersebut sudah menerima buah salak pondoh berdasarkan grade dari pedagang pengirim/ pedagang besar tersebut. Pedagang luar daerah yang menjual dalam bentuk eceran, melakukan pengemasan kembali ke dalam jaring plastik dengan berat perkemasan hanya beberapa kilogram saja. Sistem pembayaran pedagang luar daerah kepada pedagang pengirim atau pedagang besar berupa sistem tunai dan sistem pembayaran kemudian. Pembayaran kemudian yang dilakukan pedagang luar daerah kepada pedagang besar/pedagang pengirim terjadi karena adanya sikap saling percaya antara kedua belah pihak dan telah lama terjalin hubungan kerjasama.
6.1.1.5. Pedagang Pengecer Pedagang pengecer dapat berupa pedagang pengecer lokal dan pedagang pengecer luar daerah. Pedagang pengecer lokal merupakan pedagang yang melakukan penjualan langsung kepada konsumen di daerah Banjarnegara, sedangkan pedagang pengecer luar daerah merupakan pedagang yang melakukan penjualan langsung kepada konsumen di luar daerah Banjarnegara. Pedagang pengecer lokal melakukan pembelian kepada petani langsung dan melakukan penjualan kepada konsumen langsung, baik konsumen lokal maupun konsumen luar daerah. Pedagang pengecer lokal menjajakan buah salak pondoh di kios-kios yang didirikan di tepi jalan raya Banjarnegara. Pedagang pengecer lokal ini membeli buah salak pondoh langsung dari petani, dimana pedagang pengecer lokal mengambil sendiri buah langsung dari petani. Pedagang pengecer lokal melakukan upaya penanggungan resiko berupa pengurangan berat buah sebesar 10 persen dari buah yang diterima dari petani. Pedagang pengecer lokal melakukan sortasi, grading dan pengemasan. Pada umumnya grading yang dilakukan adalah membagi buah salak pondoh kedalam tiga grade utama berdasarkan besar dan kecilnya buah. Kemasan yang digunakan adalah keranjang bambu dengan kapasitas rata-rata setiap keranjang adalah 5 kg dan kantong plastik. Pedagang pengecer luar daerah melakukan pembelian kepada pedagang luar daerah dan melakukan penjualan kepada konsumen langsung. Pedagang pengecer luar daerah ini menjajakan buah salak pondoh di kios-kios yang didirikan di tepi jalan raya, dan pada umumnya pedagang tersebut tidak hanya menjajakan buah salak pondoh saja, tetapi juga menjajakan jenis buah-buahan lainnya. Pedagang pengecer luar daerah juga melakukan sortasi untuk memilih
salak yang tidak busuk dan pengemasan, jenis kemasan yang digunakan dapat berupa jaring plastik maupun kantong plastik biasa.
6.1.2. Fungsi-Fungsi Tataniaga Dalam tataniaga terdapat kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan penyampaian produk dari petani (produsen) ke konsumen, termasuk juga kegiatan menghasilkan perubahan bentuk dari produk tersebut, yang ditujukan untuk mempermudah penyaluran dan memberikan kepuasan kepada konsumen dengan mengusahakan agar konsumen memperoleh barang yang diinginkan pada tempat, waktu, bentuk dan harga yang tepat. Kegiatan-kegiatan tersebut disebut dengan fungsi-fungsi tataniaga. Setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam penyaluran salak pondoh dari petani ke konsumen akhir, melakukan berbagai fungsi tataniaga yang secara umum dikelompokkan dalam tiga fungsi utama, yaitu: fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Tabel 20. Fungsi-Fungsi Tataniaga Yang Dilaksanakan Oleh Lembaga-Lembaga Tataniaga Salak Pondoh Di Kab. Banjarnegara Lembaga Tataniaga Fungsi Tataniaga PTN PP PP/PB PLD PPL PPLD Pertukaran - Pembelian + + + + + - Penjualan + + + + + + Fisik - Pengemasan + + + # + + - Penyimpanan + + + + + - Pengangkutan # + + + + - Pengolahan Fasilitas - Sortasi # + # + # - Grading + + - Pembiayaan # + + + + + - Penanggungan Resiko + + + + + + - Informasi Pasar + + + + + + Keterangan : PTN (Petani), PP (Pedagang Pengumpul), PB/PP (Pedagang Pengirim atau Pedagang Besar), PLD (Pedagang Luar Daerah), PPL (Pedagang Pengecer Lokal), PPLD (Pedagang Pengecer Luar Daerah) - : Kegiatan tidak dilakukan # : Kegiatan kadang-kadang dilakukan + : Kegiatan dilakukan
Tabel 20, menjelaskan keseluruhan fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga yang terlibat penyampaian komoditi salak pondoh dari petani hingga konsumen, dan umumnya setiap lembaga tataniaga melakukan fungsi-fungsi yang berbeda. Fungsi-fungsi tataniaga apabila dilaksanakan dengan baik dan efisien dapat menekan biaya tataniaga.
Fungsi pertukaran menjelaskan terjadinya pemindahan hak kepemilikan atas barang dari penjual kepada pembeli dalam proses jual beli melalui transaksi. Tahap awal tataniaga salak pondoh adalah penjualan salak pondoh oleh petani baik kepada pedagang pengumpul, pedagang besar/pedagang pengirim, maupun kepada pedagang pengecer lokal. Pada umumnya petani menjual salak pondoh kepada pedagang tujuan dengan cara borongan, yaitu petani menjual langsung hasil panennya tanpa melakukan sortasi maupun grading. Hal sama dilakukan oleh pedagang pengumpul, dimana pedagang pengumpul menjual kepada pedagang besar/pedagang pengirim juga jarang melakukan sortasi serta grading terlebih dahulu, walaupun terdapat beberapa pedagang pengumpul melakukan yang sortasi terlebih dahulu tetapi jumlahnya sangat sedikit. Pedagang
besar
melakukan
pembelian
dari
petani
dan
pedagang
penggumpul dan kemudian pedagang besar melakukan penjualan kepada pedagang luar daerah. Pedagang luar daerah melakukan penjualan kepada pedagang pengecer atau bahkan kepada konsumen langsung, karena pedagang luar daerah tersebut dapat berupa pedagang grosir atau bahkan pedagang pengecer. Sedangkan pedagang pengecer lokal melakukan pembelian langsung kepada petani dan melakukan penjualan langsung kepada konsumen. Fungsi
fisik
merupakan
fungsi
tataniaga
yang
dimaksudkan
untuk
memberikan kepuasan kepada konsumen sesuai bentuk, waktu dan tempat yang diinginkan konsumen melalui pengemasan, penyimpanan, pengangkutan serta pengolahan.
Pengemasan
umumnya
dilakukan
oleh
petani,
pedagang
pengumpul, pedagang besar/pedagang pengirim, dan pedagang pengecer. Pengemasan yang dilakukan oleh petani dan pedagang pengumpul adalah untuk memudahkan penimbangan dan pengangkutan saat penjualan. Jenis kemasan yang digunakan berupa keranjang bambu berukuran besar yang mampu menampung salak pondoh sampai 150 kg atau lebih untuk setiap keranjangnya dan keranjang ini dapat dipakai berkali-kali. Terdapat tiga jenis kemasan yang umumnya digunakan oleh pedagang besar/pedagang pengirim yaitu kardus karton dan keranjang bambu yang berkapasitas rata-rata 45 kg, serta peti kayu yang memiliki kapasitas rata-rata mencapai
50
kg.
Pengemasan
yang
dilakukan
memiliki
tujuan
untuk
memudahkan pengangkutan dan bongkar muat, penimbangan, memisahkan salak pondoh berdasarkan grade, dan membantu dalam perlindungan fisik khususnya dalam perjalanan saat pengiriman salak pondoh ke luar daerah.
Pengemasan
yang
dilakukan
oleh
pedagang
pengecer
lokal
adalah
menggunakan keranjang bambu yang hanya memiliki kapasitas rata-rata 5 kg. Telah dijelaskan di atas bahwa terdapat tiga jenis kemasan yang digunakan oleh pedagang besar untuk pengiriman keluar daerah, yaitu kardus karton, keranjang bambu dan peti kayu. Kegiatan pengemasan yang dilakukan oleh pedagang besar umumnya tidak disertai pemberian label, hal ini dapat dilihat bahwa kardus karton yang digunakan merupakan kardus karton besar bekas packaging buah lain maupun rokok. Fungsi penyimpanan jarang sekali dilakukan oleh lembaga tataniaga. Penyimpanan yang dilakukan oleh pedagang pengumpul hanya penyimpanan semalam, karena biasanya petani melakukan penjualan kepada pedagang pada sore hari atau setelah selesai melakukan pemanenan dan baru pada pagi hari berikutnya salak tersebut oleh pedagang pengumpul dijual kepada pedagang besar. Pedagang besar melakukan penyimpanan juga dilakukan hanya satu malam, karena salak pondoh tersebut dibeli dari petani dan pada esok hari salak pondoh tersebut di grade dan kemudian dikirim ke luar daerah. Sedangkan pedagang pengecer lokal harus melakukan penyimpanan apabila salak pondoh tersebut tidak habis terjual. Pengangkutan dilakukan oleh seluruh lembaga tataniaga, mulai dari pengangkutan salak pondoh dari petani hingga pengangkutan keluar daerah. Pengangkutan yang dilakukan oleh pedagang adalah pengangkutan dari petani sampai pengangkutan kepada pedagang besar. Pengangkutan yang dilakukan oleh pedagang besar adalah pengangkutan dari petani dan pengangkutan keluar daerah. Pengangkutan yang dilakukan oleh pedagang pengecer lokal adalah pengangkutan dari tempat petani. Untuk pengangkutan salak pondoh keluar daerah telah ada sebuah lembaga yang mengatur pengangkutan salak pondoh dari Banjarnegara ke kota-kota di luar Banjarnegara yaitu Paguyuban Transportasi dan Angkutan Barang dibawah naungan organisasi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Sehingga pedagang besar/pedagang pengirim yang akan melakukan pengiriman keluar daerah hanya cukup menghubungi paguyuban dan paguyuban akan mengutus seorang pengatur angkutan atau sering disebut dengan calo angkutan yang akan mengatur seluruh kegiatan pengangkutan barang, mulai melakukan pendataan volume salak pondoh yang akan diangkut, mengatur alat transportasi yang akan digunakan, mengatur tata letak barang, dan memastikan barang akan aman
sampai tujuan. Paguyuban ini juga bertanggung jawab atas keamanan barang selama perjalanan, apabila ada keterlambatan pengiriman, kerusakan barang karena ketelodoran supir angkutan, dan kehilangan barang selama perjalanan. Fungsi fasilitas disebut juga fungsi pelancar merupakan kegiatan-kegiatan yang dapat memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi dan arus komoditi antara produsen dengan konsumen. Fungsi fasilitas tersebut, meliputi sortasi, grading dan standarisasi, pembiayaan, penanggungan resiko, dan informasi pasar. Sortasi adalah tindakan memilih komoditi salak pondoh berdasarkan tingkat kerusakan dan tingkat kematangan, sedangkan grading adalah tindakan mengklasifikasikan hasil-hasil pertanian menurut suatu standarisasi yang diinginkan sehingga kelompok barang yang terkumpul sudah menurut satu ukuran standar. Sortasi dan grading secara pasti dilakukan oleh pedagang besar/pedagang pengirim dan pedagang pengecer lokal, dimana standarisasi grade didasarkan pada besar dan kecilnya salak pondoh. Secara umum terdapat empat kelas grade, yang digunakan oleh pedagang besar/pedagang pengirim, yaitu: 1) grade A, kelas mutu salak pondoh berukuran sangat besar dengan jumlah 9 – 12 buah per kilogram; 2) grade B, kelas mutu salak pondoh berukuran besar dengan jumlah 14 – 17 buah per kilogram; 3) grade C, kelas mutu salak pondoh berukuran sedang dengan jumlah 19 – 22 buah per kilogram; dan 4) grade D, kelas mutu salak pondoh berukuran kecil dengan jumlah lebih dari 25 buah per kilogram. Terdapat beberapa pedagang besar membagi atas tiga kelas grade, dimana grade pertama merupakan grade A, grade kedua adalah grade B, dan grade ketiga adalah grade C dan D, serta terdapat juga pedagang besar yang membagi ke dalam dua grade, dimana grade pertama adalah grade A dan B, dan grade ke dua adalah grade C dan D. Setiap grade dari salak pondoh memiliki perbedaan tingkat harga jual yang mendasar, dimana harga jual dari grade A lebih mahal dari grade B, dan seterusnya. Resiko yang di tanggung oleh lembaga tataniaga dapat berupa resiko fisik yaitu kerusakan, busuk dan penyusutan, serta resiko pasar yaitu fluktuasi atau perubahan harga. Untuk mengatasi resiko fisik, pedagang pengumpul, pedagang besar/pedagang pengirim, dan pedagang pengecer lokal melakukan pemotongan berat buah sebesar 10 persen dari berat keseluruhan buah pada saat pembelian. Perubahan harga penjualan yang terjadi pada hari ini akan menjadi dasar perubahan harga pembelian suatu lembaga tataniaga pada esok harinya.
Informasi pasar diperlukan oleh petani dan semua pihak yang terlibat dalam tataniaga salak pondoh mengenai kondisi pasar, lokasi, jenis mutu, waktu dan harga pasar. Informasi pasar tersebut diperlukan baik oleh petani maupun oleh lembaga tataniaga dalam mengambil keputusan kapan, dimana dan bagaimana salak pondoh seharusnya dijual. Suatu lembaga tataniaga biasanya memperoleh informasi harga dari lembaga tataniaga diatasnya. Petani mencari informasi harga kepada petani yang lain, pedagang tujuan yang telah menjadi langganan atau mencari sendiri informasi harga tersebut ke pasar salak. Informasi harga tersebut dibutuhkan khususnya berkaitan dalam pengambilan keputusan waktu pemanenan.
6.1.3. Saluran Pemasaran Saluran tataniaga merupakan serangkaian lembaga-lembaga tataniaga yang mengambil alih hak, atau membantu dalam pengalihan hak atas komoditi selama komoditi tersebut berpindah dari petani ke konsumen. Sebuah saluran tataniaga melaksanakan tugas memindahkan komoditi dari tangan petani ke tangan konsumen, hal ini bertujuan untuk mengatasi kesenjangan waktu, tempat, dan kepemilikan yang memisahkan komoditi dari orang-orang yang membutuhkan atau mengingikannya. Komoditi salak pondoh dari Kab. Banjarnegara sebagian besar dipasarkan ke kota-kota lain seperti Purwokerto, Cilacap, Bumiayu, Brebes, Tegal, Pekalongan,
Jepara,
Semarang,
Solo,
Bandung,
Tanggerang,
Jakarta,
Surabaya, Medan, Riau, Jambi, Lampung, Bali dan Mataram. Sebagian kecil dipasarkan di dalam Kab. Banjarnegara sendiri. Sehingga luasnya pemasaran salak pondoh tersebut, melibatkan lembaga tataniaga yang relatif banyak untuk menyampaikan salak pondoh dari petani kepada konsumen yang membutuhkan dan menginginkan. Berdasarkan penelusuran pola saluran tataniaga komoditi salak pondoh, dimulai dari titik petani produsen sampai kepada pedagang pengecer yang berhubungan langsung dengan para konsumen akhir, terbentuk tujuh pola saluran tataniaga salak pondoh di Kabupaten Banjarnegara, yaitu: Pola 1 :
Petani → Pedagang Pengecer Lokal → Konsumen
Pola 2:
Petani → Pedagang Pengumpul → Pedagang Besar → Pedagang Luar Daerah I
Pola 3 :
Petani → Pedagang Pengumpul → Pedagang Besar → Pedagang Luar Daerah II → Pedagang Pengecer Luar Daerah
Pola 4 :
Petani → Pedagang Pengumpul → Pedagang Besar → Pedagang Luar Daerah III
Pola 5 :
Petani → Pedagang Besar → Pedagang Luar Daerah I
Pola 6 :
Petani → Pedagang Besar → Pedagang Luar Daerah II → Pedagang Pengecer Luar Daerah
Pola 7 :
Petani → Pedagang Besar → Pedagang Luar Daerah III
Pedagang Pengecer Lokal
Konsumen
Pedagang Pengumpul
Pedagang Luar Daerah I
6,67 %
Petani
44,44 %
Pedagang Luar Daerah II
48,89 %
Pedagang Besar
Pengecer Luar Daerah
Pedagang Luar Daerah III
Gambar 4. Pola Saluran Tataniaga Salak Pondoh di Kabupaten Banjarnegara
Pola saluran salak pondoh di Kab. Banjarnegara sangat bervariasi, hal ini tidak lepas dari daerah pemasaran yang cukup luas, dan sebesar 93,33 persen dari seluruh saluran tataniaga salak pondoh di Kab. Banjarnegara merupakan saluran pemasaran ke luar daerah. Pemilihan saluran tataniaga didasarkan kepada beberapa hal, yaitu: harga jual, jarak tempuh transportasi, sumber pembelian, dan tujuan penjualan. Walaupun terbentuk beberapa pola saluran tataniaga berbeda tetapi tetap merupakan suatu satu kesatuan sistem tataniaga komoditi salak pondoh yang secara fisik terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan dan bekerjasama dalam sistem yang terorganisir dan terintegrasi. Pola saluran 1 merupakan pola saluran tataniaga salak pondoh secara lokal. Saluran ini terdiri dari petani dan pedagang pengecer lokal yang langsung berhubungan dengan konsumen akhir, dimana petani melakukan penjualan langsung kepada pedagang pengecer lokal, dan pedagang pengecer lokal melakukan penjualan langsung kepada konsumen. Saluran ini digunakan oleh
sebagian kecil petani yaitu sebesar 6,67 persen dari seluruh jumlah petani responden karena jumlah pedagang pengecer lokal yang tidak terlalu banyak dan pedagang pengecer lokal hanya membeli dengan jumlah yang tidak cukup besar. Pola saluran 2 adalah pola saluran tataniaga salak pondoh dalam Jawa Tengah. Pada saluran 2, petani melakukan penjualan kepada pedagang pengumpul, kemudian pedagang pengumpul melakukan penjualan kepada pedagang besar/pedagang pengirim, dan kemudian pedagang besar melakukan penjualan kepada pedagang luar daerah baik pedagang grosir maupun pedagang pengecer di kota-kota dalam Jawa Tengah, seperti: Purwokerto, Banyumas, Cilacap, Bumiayu, Brebes, Tegal, Pekalongan, Kendal, Jepara, Semarang, dan Solo. Pola saluran 2, menyerupai pola saluran 5, perbedaannya pada saluran 5, petani melakukan penjualan langsung kepada pedagang besar/pedagang pengirim dan kemudian pedagang besar melakukan penjualan kepada pedagang luar daerah di Jawa Tengah. Pola saluran 3 merupakan saluran tataniaga salak pondoh dalam pulau Jawa. Pada saluran 3, petani melakukan penjualan kepada pedagang pengumpul, kemudian pedagang pengumpul melakukan penjualan kepada pedagang besar/pedagang pengirim, kemudian pedagang besar/pedagang pengirim melakukan penjualan kepada pedagang luar daerah di kota-kota dalam pulau Jawa kecuali kota-kota di Jawa Tengah, seperti: Jakarta, Tanggerang, Bandung, dan Surabaya, dan kemudian pedagang luar daerah tersebut melakukan penjualan kepada pedagang pengecer luar daerah. Pola saluran 3 menyerupai pola saluran 6, perbedaan pola saluran 3 dengan pola saluran 6, adalah pada saluran 6, petani melakukan penjualan langsung kepada kepada pedagang besar/pedagang pengirim, pedagang besar kemudian melakukan penjualan kepada pedagang luar daerah di kota-kota dalam pulau Jawa kecuali kota-kota di Jawa Tengah, dan kemudian pedagang luar daerah melakukan penjualan kepada pedagang pengecer luar daerah. Pola saluran 4 merupakan saluran tataniaga salak pondoh ke luar pulau Jawa. Pada saluran 4, petani melakukan penjualan kepada pedagang pengumpul, kemudian pedagang pengumpul melakukan penjualan kepada pedagang besar/pedagang pengirim, dan pedagang besar/pedagang pengirim melakukan penjualan kepada pedagang luar daerah di kota-kota di luar pulau Jawa, seperti: Medan, Riau, Jambi, Padang, Palembang, Lampung, Bali dan
Mataram. Pola saluran 4 juga menyerupai pola saluran 7, dimana perbedaan antara pola saluran 4 dengan pola saluran 7 adalah pada saluran 7, petani melakukan penjualan langsung kepada kepada pedagang besar/pedagang pengirim dan kemudian pedagang besar tersebut melakukan penjualan kepada pedagang luar daerah di kota-kota di luar pulau Jawa. Berdasarkan hasil penelusuran saluran tataniaga, dapat diperoleh volume penjualan salah pondoh pada masing-masing pola saluran tataniaga. Pada pola saluran tataniaga salak pondoh lokal atau pola saluran 1, memiliki presentase yang paling kecil yaitu sebesar 6,67 persen atau sebanyak tiga petani dari 45 petani responden melakukan penjualan langsung kepada empat responden pedagang pengecer lokal. Volume total penjualan empat pedagang pengecer lokal pada pola saluran ini adalah sebesar 3.500 kg per hari. Pola saluran tataniaga salak pondoh terbesar adalah pola saluran tataniaga salak pondoh keluar daerah Kab. Banjarnegara, dengan persentase sebesar 93,33 persen atau sebanyak 42 petani dari 45 petani responden melakukan penjualan kepada pedagang-pedagang pada pola saluran tataniaga salak pondoh keluar daerah, dimana sebanyak 20 petani responden melakukan penjualan kepada pedagang pengumpul terlebih dahulu dan 22 petani responden melakukan penjualan langsung kepada pedagang besar/pedagang pengirim. Kegiatan tataniaga salak pondoh keluar daerah Kab. Banjarnegara terpusat pada pedagang besar/pedagang pengirim, dimana pedagang besar yang melakukan penjualan kepada langsung kepada pedagang luar daerah dengan tujuan kotakota di dalam Jawa Tengah, kota-kota di Pulau Jawa diluar Jawa Tengah, dan kota-kota di luar Pulau Jawa khususnya kota-kota di Pulau Sumatra, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Dari 19 pedagang besar responden terdapat beberapa pedagang besar yang memiliki lebih dari satu kota tujuan penjualan. Terbentuk enam pola saluran tataniaga salak pondoh keluar daerah Kab. Banjarnegara yang berbeda, dimana presentase dan volume penjualan pada setiap pola saluran juga berbeda. Pada pola saluran tataniaga salak pondoh dalam Jawa Tengah atau pola saluran 2 dan pola saluran 5, terdapat delapan pedagang besar/pedagang pengirim dari 19 pedagang besar responden yang melakukan penjualan kepada pedagang luar daerah di kota-kota dalam Jawa Tengah. Volume penjualan total pola saluran tataniaga salak pondoh dalam Jawa Tengah adalah sebesar 19.500 kg per hari.
Pada pola saluran tataniaga salak pondoh dalam pulau Jawa di luar Jawa Tengah atau pola saluran 3 dan pola saluran 6, terdapat 12 pedagang besar dari 19 pedagang besar yang melakukan penjualan kepada pedagang luar daerah di kota-kota di dalam pulau Jawa di luar Jawa Tengah. Volume penjualan total pola saluran tataniaga salak pondoh ini adalah sebesar 64.500 kg per hari. Sedangkan pada pola saluran tataniaga salak pondoh ke luar pulau Jawa, terdapat lima pedagang besar dari 19 pedagang besar yang melakukan penjualan kepada pedagang luar daerah di kota-kota di luar pulau Jawa, dengan volume penjualan total pola saluran tataniaga salak pondoh ke luar pulau Jawa adalah sebesar 35.500 kg per hari.
6.2. Struktur Pasar Analisis struktur pasar komoditas salak pondoh di Kab. Banjarnegara dilakukan melalui pengamatan terhadap jumlah lembaga pemasaran yang terlibat, jenis dan keadaan atau sifat salak pondoh yang diperjualbelikan, kondisi keluar masuk pasar, dan tingkat pengetahuan informasi pasar pada saluran tataniaga yang ada. Struktur pasar yang terbentuk pada setiap tingkat lembaga tataniaga dapat berbeda. Struktur pasar dapat menentukan tingkat efisiensi suatu sistem tataniaga komoditi.
6.2.1. Petani Struktur pasar yang dihadapi oleh petani salak pondoh di Kab. Banjarnegara cenderung mengarah kepada struktur pasar bersaing sempurna, karena dilihat dari jumlah petani yang jauh lebih banyak dari jumlah pedagang. Sifat produk yang dimiliki oleh seorang petani umumnya seragam atau homogen. Dalam penentuan harga kedudukan petani cenderung sebagai penerima harga (price taker) dan tidak memiliki posisi tawar yang kuat walaupun petani memiliki informasi harga yang diperoleh dari sesama petani dan pedagang. Petani tidak dapat mempengaruhi harga yang berlaku dipasaran.
6.2.2. Pedagang Pengumpul Pada pedagang pengumpul, struktur pasar yang dihadapi cenderung mengarah kepada pasar oligopsoni murni, hal ini dilihat dari jumlah pedagang pengumpul yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah petani, dimana pedagang pengumpul umumnya terdapat di setiap desa di kecamatan-
kecamatan sentra produksi salak dan jumlahnya lebih dari satu pada setiap desanya. Produk yang diterima oleh pedagang pengumpul dari petani bersifat homogen, walaupun kondisi buah yang diterima pedagang pengumpul dari petani kualitasnya beragam, karena perlakuan petani dalam mengolah usahatani salak pondoh berbeda sehingga kualitas buah salak pondoh dari setiap petani dapat berbeda. Perbedaan kualitas salak pondoh yang diterima oleh pedagang pengumpul diberikan tingkat harga yang berbeda. Kondisi keluar masuk pasar cukup sulit karena pedagang pengumpul yang ada sudah memiliki kepercayaan dari petani, pengetahuan kualitas buah dari setiap petani yang menjadi langganan, dan jaringan kerjasama dengan pedagang
besar/pedagang
pengirim
yang
menjadi
tujuan
penjualan.
Kepercayaan petani kepada pedagang pengumpul muncul karena adanya hubungan jual beli yang berlangsung lama dan ketepatan serta kesesuain pembayaran yang dilakukan. Pedagang pengumpul tidak dapat mempengaruhi harga yang berlaku dipasaran, walaupun dalam penentuan harga beli kedudukan pedagang pengumpul lebih dominan dari petani dan dalam penentuan harga jual kedudukan pedagang cenderung sebagai penerima harga (price taker) atau dengan kata lain posisi tawar pedagang pengumpul lebih lemah dibandingkan dengan pedagang besar/pedagang pengirim.
6.2.3. Pedagang Besar/Pedagang Pengirim Pada pedagang besar/pedagang pengirim, struktur pasar yang terbentuk cenderung struktur pasar oligopoli terdeferensiasi. Hal ini dilihat dari jumlah pedagang besar yang tidak terlalu banyak bila dibandingkan dengan jumlah pedagang pengumpul. Sifat produk yang diterima pedagang besar/pedagang pengirim baik dari petani maupun dari pedagang pengumpul mempunyai kualitas yang sangat beragam. Diferensiasi atau keberagaman salak pondoh lebih disebabkan kondisi fisik dan ukurannya yang berpengaruh terhadap tingkat harga. Penjualan yang dilakukan pedagang pengirim juga menggambarkan kondisi produk yang beragam berdasarkan kualitas produk, karena sebelum melakukan penjualan pedagang
besar/pedagang
pengirim
melakukan
grading
terlebih
dahulu
berdasarkan ukuran dan kondisi fisik, dan setiap kelas kualitas mempengaruhi tingkat harga jual salak pondoh tersebut.
Kondisi keluar masuk pasar terdapat hambatan yang cukup tinggi yang disebabkan oleh beberapa hal diantaranya tingkat kepercayaan petani dan pedagang pengumpul, modal yang besar dan jaringan pemasaran di luar daerah. Pedagang pengirim yang ada umumnya telah menjalin hubungan yang baik dengan petani, pedagang pengumpul dan pedagang luar daerah. Dalam penentuan harga beli kedudukan pedagang besar/pedagang pengirim lebih dominan atau lebih memiliki posisi tawar dibanding petani dan pedagang pengumpul. Sedangkan dalam penentuan harga jual didasarkan oleh kekuatan pasar baik pasar lokal maupun pasar tujuan. Informasi harga selalu diperoleh pedagang besar/pedagang pengirim dari pedagang luar daerah.
6.2.4. Pedagang Pengecer Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengecer baik pedagang pengecer lokal maupun pedagang pengecer luar daerah adalah struktur pasar oligopoli terdeferensiasi, karena jumlah pedagang pengecer jumlahnya tidak terlalu banyak dan sifat produk yang dijual sangat beragam. Pedagang pengecer tidak hanya menjual buah salak pondoh tetapi pedagang pengecer juga menjual jenis buah-buahan lainnya. Pedagang pengecer tidak dapat mempengaruhi harga yang berlaku dipasaran, walaupun dalam penentuan harga beli kedudukan pedagang pengecer lokal lebih dominan dari petani dan dalam penentuan harga jual kedudukan pedagang pengecer lokal sebagai pembuat harga (price maker). Dalam pembelian kepada pedagang pengecer luar daerah, kedudukan pedagang luar daerah lebih dominan dibanding pedagang pengecer luar daerah. Informasi harga jarang sekali dimiliki oleh konsumen akhir, sehingga tawar-menawar antara pedagang pengecer dengan konsumen, kedudukan pedagang lebih dominan dibanding konsumen.
6.3. Perilaku Pasar Perilaku pasar merupakan tingkah laku lembaga tataniaga dalam struktur pasar tertentu, sehingga struktur pasar yang terbentuk sangat mempengaruhi perilaku setiap lembaga tataniaga yang terlibat. Analisis perilaku pasar dapat diketahui dengan mengamati praktek penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga, sistem pembayaran, dan kerjasama diantara berbagai lembaga tataniaga.
6.3.1. Praktek Penjualan dan Pembelian Para petani melakukan penjualan salak pondoh baik kepada pedagang pengumpul, pedagang besar/pedagang pengirim, maupun pedagang pengecer lokal dalam bentuk borongan tanpa melakukan sortasi dan grading terlebih dahulu. Penjualan pedagang pengumpul kepada pedagang besar/pedagang pengirim juga dalam bentuk borongan, jarang dijumpai pedagang pengumpul melakukan sortasi dan grading terlebih dahulu sebelum melakukan penjualan kepada pedagang besar/pedagang pengirim. Alasan utama mengapa petani dan pedagang pengumpul enggan melakukan sortasi adalah karena adanya pemotongan berat buah sebesar 10 persen dari berat keseluruhan saat melakukan penjualan. Pemotongan berat buah sebesar 10 persen tersebut telah menjadi standar saat petani melakukan penjualan kepada pedagang pengumpul, pedagang besar/pedagang pengirim, maupun pedagang pengecer lokal, serta penjualan yang dilakukan oleh pedagang pengumpul kepada pedagang pengirim atau pedagang besar di seluruh Kab. Banjarnegara. Penjualan yang dilakukan petani kepada pedagang tujuan dan penjualan pedagang pengumpul kepada pedagang besar/pedagang pengirim umumnya merupakan jual beli bebas karena jarang atau bahkan tidak dijumpai petani melakukan kontrak jual beli salak pondoh dengan pedagang serta pedagang pengumpul melakukan kontrak jual beli dengan pedagang besar. Secara umum sistem jual beli yang berlaku bebas dan langganan. Petani bebas menjual salak pondoh kepada pedagang tujuannya, apabila kesepakatan harga di rasa petani kurang menguntungkan, petani dapat menjual salak pondohnya kepada pedagang lain. Pedagang pengumpul melakukan penjualan kepada pedagang besar/ pedagang pengirim juga merupakan jual beli secara bebas, tanpa ada ikatan kontrak dalam sistem jual beli yang dilakukan. Apabila kesepakatan harga yang terjadi di rasa oleh pedagang pengumpul kurang menguntungkan, pedagang pengumpul menjual kepada pedagang besar lain. Beberapa pedagang pengumpul memiliki langganan pedagang besar/pedagang pengirim, sehingga secara tetap pedagang pengumpul melakukan penjualan secara tetap kepada pedagang besar tersebut. Pedagang
besar/pedagang
pengirim
melakukan
penjualan
kepada
pedagang luar daerah dalam bentuk salak pondoh yang sudah di sortasi dan grading terlebih dahulu. Salak pondoh yang telah di grading berdasarkan grade
yang telah ditentukan tersebut, kemudian salak pondoh tersebut dikemas. Penjualan salak pondoh oleh pedagang besar/pedagang pengirim kepada pedagang luar daerah dilakukan tanpa ada ikatan kontrak jual beli antara kedua belah pihak tersebut, dan umumnya jual beli yang dilaksanakan merupakan sistem jual beli bebas dan sistem jual beli berlangganan.
6.3.2. Sistem Penentuan Harga Sistem penentuan harga jual beli yang terbentuk dalam tataniaga komoditi salak pondoh antara petani, pedagang pengumpul, pedagang besar/pedagang pengirim, pedagang luar daerah dan pedagang pengecer lokal, melalui: (1) Sistem tawar-menawar, harga yang terbentuk merupakan hasil kesepakatan kedua belah pihak. Harga yang telah disepakati tergantung daripada kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar. (2) Sistem penentuan harga secara sepihak, pada sistem ini harga yang terbentuk merupakan harga yang telah
ditentukan
oleh
pedagang
pengumpul,
pedagang
besar/pedagang
pengirim, pedagang luar daerah, dan pedagang pengecer lokal. Penentuan harga penjualan antara petani petani dengan pedagang pengumpul, pedagang besar/pedagang pengirim dan pedagang pengecer lokal terjadi melalui tawar-menawar serta penentuan secara sepihak. Tawar-menawar antara petani dengan pedagang yang terjadi, posisi pedagang lebih dominan dalam proses tawar-menawar tersebut, dengan artian bahwa kesepakatan harga yang terbentuk merupakan harga yang ditawarkan oleh pedagang. Rendahnya posisi tawar petani merupakan akibat keengganan petani dalam melakukan sortasi dan grading, sehingga kondisi produk yang dijual petani masih bercampur antara salak pondoh yang bagus dengan yang kurang bagus. Kondisi ini menyebabkan pedagang menentukan harga berdasarkan kondisi salak pondoh yang hanya dilihat secara sekilas. Penentuan harga penjualan antara pedagang pengumpul dengan pedagang besar/pedagang pengirim yang terjadi melalui tawar-menawar serta penentuan secara sepihak. Kondisi tawar-menawar antara pedagang pengumpul dengan pedagang besar/pedagang pengirim posisi tawar pedagang besar lebih dominan dibandingkan dengan pedagang pengumpul, sehingga kesepakatan harga yang terbentuk merupakan harga yang ditawarkan oleh pedagang besar/pedagang pengirim. Penentuan harga beli oleh pedagang besar kepada petani dan pedagang pengumpul didasarkan atas kekuatan harga di pasar tujuan.
Harga yang diterima pedagang besar/pedagang pengirim dari pedagang luar daerah merupakan harga yang terbentuk oleh kekuatan pasar lokal dengan pasar tujuan. Harga pasar lokal dipengaruhi oleh penawaran harga yang dilakukan petani yang selalu memperoleh informasi perubahan harga yang terjadi. Sedangkan harga pasar tujuan dipengaruhi oleh keberadaan dan kondisi buah subtitusi di pasar tujuan, hal ini berkaitan bahwa salak pondoh merupakan buah inferior sehingga buah salak pondoh bukan sebagai buah alternatif utama. Perubahan
harga
jual
pedagang
besar/pedagang
pengirim
kepada
pedagang luar daerah, akan mempengaruhi harga pembelian pedagang besar/pedagang pengirim kepada pedagang pengumpul dan petani keesokan harinya. Perubahan yang terjadi pada harga jual pedagang pengumpul kepada pedagang besar/pedagang pengirim, secara langsung akan mempengaruhi harga pembelian pedagang pengumpul kepada petani. Beberapa petani memperoleh informasi perubahan harga yang terjadi baik dari petani lain, pedagang, maupun melakukan cross check di pasar dengan melihat aktivitas jual beli yang berlangsung. Informasi tersebut dapat dijadikan dasar oleh petani dalam kegiatan transaksi jual beli serta kesepakatan harga dengan
pedagang.
Informasi
tersebut
dapat
membantu
petani
dalam
pengambilan keputusan waktu pemanenan dan penjualan yang tepat.
6.3.3. Sistem Pembayaran Sistem pembayaran harga salak pondoh yang dilakukan lembaga tataniaga dapat berupa sistem pembayaran tunai, sistem pembayaran uang muka dan sistem pembayaran kemudian. Sistem pembayaran yang berlangsung tergantung pada tingkat kepercayaan dan perjanjian antara kedua belah pihak. Sistem pembayaran tunai dilakukan setelah ada serah terima hak kepemilikan dan pembayaran dilakukan pada saat itu, serta pembayaran sesuai dengan harga yang telah disepakati. Pembayaran tunai dilakukan oleh beberapa pedagang luar daerah kepada pedagang besar/pedagang pengirim, pedagang besar/pedagang pengirim kepada pedagang pengumpul dan petani, pedagang pengumpul kepada petani, pedagang pengecer lokal kepada petani, dan pedagang pengecer luar daerah kepada pedagang luar daerah. Sistem pembayaran tunai diharapkan oleh beberapa petani dari para pedagang, hal ini berkaitan dengan kebutuhan petani itu sendiri, sedangkan pembayaran tunai yang diharapkan oleh beberapa pedagang pengumpul berkaitan dengan
pembayaran yang dilakukan kepada petani dan perputaran modal yang dilakukan pedagang pengumpul berupa pembelian kembali salak pondoh kepada petani. Sistem pembayaran uang muka atau dikenal dengan sistem panjer, merupakan sistem pembayaran dengan membayar sebagian dari jumlah harga yang telah disepakati terlebih setelah terjadi penyerahan hak milik dan sebagian dari sisa harga dibayarkan kemudian sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Sistem pembayaran ini juga dilakukan oleh beberapa pedagang besar/pedagang pengirim kepada pedagang pengumpul dan petani, pedagang pengumpul kepada petani, pedagang pengecer lokal kepada petani, dan pedagang pengecer luar daerah kepada pedagang luar daerah. Sistem pembayaran kemudian merupakan sistem pembayaran dengan membayar seluruh harga salak pondoh yang telah disepakati dikemudian hari setelah terlebih dahulu terjadi serah terima kepemilikan salak pondoh sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Sistem pembayaran kemudian ini dilakukan oleh sebagian besar pedagang luar daerah kepada pedagang besar/pedagang
pengirim,
pedagang
besar/pedagang
pengirim
kepada
pedagang pengumpul dan petani, pedagang pengumpul kepada petani, dan pedagang pengecer lokal kepada petani. Pembayaran kemudian ini terjadi karena adanya kepercayaan diantara kedua belah pihak dan belum ada kesanggupan dari salah satu pihak untuk membayar karena belum tersedianya sejumlah uang tunai untuk membayarkan. Pembayaran kemudian yang dilakukan oleh pedagang luar daerah kepada pedagang besar/pedagang pengirim, merupakan pembayaran yang dilakukan pedagang luar daerah kepada pedagang besar/pedagang pengirim, dimana pedagang besar/pedagang pengirim menunggu setelah salak pondoh yang berada di tangan pedagang luar daerah terjual terlebih dahulu dan baru kemudian dibayarkan kepada pedagang besar/pedagang pengirim secara tempo biasanya tiga hari sekali dan melalui transfer bank. Pembayaran kemudian yang dilakukan
oleh
pedagang
besar/pedagang
pengirim
kepada
pedagang
pengumpul dan petani, karena pedagang besar/pedagang pengirim menunggu pembayaran dari pedagang luar daerah. Sedangkan pembayaran kemudian yang dilakukan oleh pedagang pengumpul kepada petani, menunggu setelah salak pondoh di tangan pedagang pengumpul dibeli dan dibayar oleh pedagang besar/pedagang pengirim.
6.3.4. Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga Kerjasama antar lembaga tataniaga didasarkan pada lamanya terjalin hubungan dagang dan rasa saling percaya yang terbentuk. Hubungan kerjasama antara petani dengan pedagang pengumpul, pedagang besar/pedagang pengirim dan pedagang pengecer lokal; pedagang pengumpul dengan pedagang pengirim atau pedagang besar; dan pedagang pedagang besar/pedagang pengirim dengan dan pedagang luar daerah umumnya umumnya sudah berlangsung lama, sehingga terjalin hubungan yang baik dan bahkan hingga muncul rasa saling percaya. Bentuk kerjasama yang terjadi antara petani dengan lembaga tataniaga, dan lembaga tataniaga dengan lembaga tataniaga yang lain merupakan kerjasama dalam bentuk perdagangan komoditi salak pondoh. Beberapa petani dalam melakukan transaksi dengan pedagang hanya melakukan hubungan komunikasi lewat telepon. Selain itu dalam mencari informasi harga dan kondisi pasar, beberapa petani umumnya hanya melakukan hubungan komunikasi lewat telepon kepada petani lain atau bahkan kepada pedagang salak pondoh. Apabila pedagang besar/pedagang pengirim membutuhkan salak pondoh dalam jumlah tertentu, umumnya pedagang besar/pedagang pengirim tersebut melakukan hubungan komunikasi telepon dengan pedagang pengumpul atau petani untuk menanyakan keberadaan salak pondoh yang diinginkan. Untuk mengetahui perubahan harga salak pondoh dan kondisi pasar di pasar-pasar luar daerah, para pedagang besar/pedagang pengirim juga hanya melakukan hubungan komunikasi lewat telepon dengan pedagang luar daerah tersebut.
6.4. Keragaan Pasar Keragaan pasar merupakan akibat dari struktur dan perilaku pasar yan terbentuk dalam kegiatan tataniaga yang ditunjukkan dengan harga, biaya, dan volume produksi. Deskripsi dari keragaan pasar dapat dilihat dari indikator: (1) harga dan penyebarannya di tingkat produsen dan konsumen; dan (2) marjin dan penyebarannya pada setiap pelaku pemasaran. Keragaan pasar salak pondoh dianalisis dengan menggunakan analisis marjin tataniaga dan penyebarannya, bagian harga yang diterima petani (farmer’s share), rasio keuntungan biaya, serta keterpaduan pasar.
6.4.1. Marjin Tataniaga Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga atau selisih harga yang dibayar konsumen akhir dengan harga yang diterima petani. Marjin tataniaga juga disebut dengan perbedaan harga dari tingkat produsen dengan harga di tingkat lembaga pertama, atau perbedaan harga yang terjadi antara lembaga yang satu dengan lembaga tataniaga yang lainnya dalam saluran tataniaga komoditi yang sama. Marjin meliputi biaya dan keuntungan tataniaga dari suatu lembaga tataniaga dalam suatu saluran tataniaga. Biaya tataniaga adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk mengalirkan komoditi dari petani ke konsumen akhir di luar keuntungan lembaga tataniaga. Analisis marjin tataniaga digunakan untuk mengetahui unsur pembentukan marjin tataniaga yang terbesar sebagai pengukur efisiensi tataniaga komoditi salak pondoh di Kab. Banjarnegara. Sebaran marjin di setiap lembaga tataniaga pada setiap pola saluran cukup berbeda. Tabel 21. Sebaran Harga Rata-Rata Salak Pondoh Dan Marjin Tataniaga Pada Pola Saluran Tataniaga Salak Pondoh Lokal Saluran 1 Unsur Marjin Pemasaran Nilai (Rp/Kg) Persentase (%) A Petani Harga Jual 2200 73,33 B Pedagang Pengecer Lokal Harga Pembelian 2200 73,33 Biaya Tataniaga 430 14,33 Keuntungan 370 12,33 Harga Penjualan 3000 100,00 Marjin 800 26,67 C Konsumen Harga Pembelian 3000 100,00 Total Biaya Tataniaga 430 14,33 Total Keuntungan 370 12,33 Total Marjin Tataniaga 800 26,67
Pada pola saluran tataniaga salak pondoh lokal, yaitu pola saluran yang terdiri dari petani dan pedagang pengecer lokal yang berhubungan langsung dengan konsumen, total marjin pada pola saluran ini sebesar Rp. 800 per kilogram dengan total biaya sebesar Rp. 430 per kilogram (Tabel 21). Komponen biaya ini meliputi biaya tenaga kerja sebesar Rp. 250 per kilogram, biaya kemasan sebesar Rp. 140 per kilogram, biaya sewa pick up dan bongkar muat sebesar Rp. 30 per kilogram, dan biaya kios sebesar Rp. 10 per kilogram.
Tabel 22. Sebaran Harga Rata-Rata Salak Pondoh Dan Marjin Tataniaga Pada Pola Saluran Tataniaga Salak Pondoh Dalam Jawa Tengah Saluran 2 Saluran 5 Unsur Marjin Nilai Persentase Nilai Persentase (Rp/Kg) (%) (Rp/Kg) (%) A Petani Harga Jual 2200 62,86 2400 68,57 B Pedagang Pengumpul Harga Beli 2200 62,86 Biaya Tataniaga 190 5,43 Keuntungan 110 3,14 Harga Jual 2500 71,43 Marjin 300 8,57 C Pedagang Besar Harga Beli 2500 71,43 2400 68,57 Biaya Tataniaga 495 14,14 495 14,14 Keuntungan 505 14,43 605 17,29 Harga Jual 3500 100,00 3500 100,00 Marjin 1000 28,57 1100 31,43 D Pedagang Luar Daerah Harga Beli 3500 100,00 3500 100,00 Total Biaya Tataniaga 685 19,57 495 14,14 Total Keuntungan 615 17,57 605 17,29 Total Marjin Tataniaga 1300 37,14 1100 31,43
Pola saluran 2 dan pola saluran 5 adalah pola saluran tataniaga salak pondoh dalam Jawa Tengah. Pada pola saluran 2 terdiri dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar/pedagang pengirim, dan pedagang luar daerah di kota-kota dalam Jawa Tengah, total marjin sebesar Rp. 1.300 per kilogram dengan total biaya yang ditanggung sebesar Rp. 685 per kilogram. Komponen biaya yang ditanggung oleh pedagang pengumpul adalah biaya tenaga kerja sebesar Rp. 40 per kilogram, biaya transportasi barang sebesar Rp. 60 per kilogram, biaya bongkar muat sebesar Rp. 50 per kilogram, dan biaya akomodasi yang meliputi biaya konsumsi tenaga kerja, biaya timbang, biaya curah barang dan biaya pajak pasar sebesar Rp. 40 per kilogram. Komponen biaya yang ditanggung oleh pedagang besar/pedagang pengirim antara lain biaya sortasi dan grading sebesar Rp. 40 per kilogram, biaya pengemasan sebesar Rp. 40 per kilogram, biaya kemasan sebesar Rp. 100 per kilogram, biaya transportasi barang dari Banjarnegara ke tujuan dalam Jawa Tengah sebesar Rp. 220 per kilogram, biaya bongkar muat sebesar Rp. 50 per kilogram, dan biaya akomodasi yang meliputi biaya konsumsi tenaga kerja, biaya pajak pasar dan biaya penyusutan sebesar Rp. 45 per kilogram. Pada pola saluran 5 yang terdiri dari petani, pedagang besar/pedagang pengirim, dan pedagang luar daerah di kota-kota dalam Jawa Tengah, total
marjin sebesar Rp. 1.100 per kilogram dengan total biaya yang ditanggung sebesar Rp. 495 per kilogram. Komponen biaya yang ditanggung oleh pedagang besar/pedagang pengirim antara lain biaya sortasi dan grading sebesar Rp. 40 per kilogram, biaya pengemasan sebesar Rp. 40 per kilogram, biaya kemasan sebesar Rp. 100 per kilogram, biaya transportasi barang dari Banjarnegara ke tujuan dalam Jawa Tengah sebesar Rp. 220 per kilogram, biaya bongkar muat sebesar Rp. 50 per kilogram, dan biaya akomodasi yang meliputi biaya konsumsi tenaga kerja, biaya pajak pasar dan biaya penyusutan sebesar Rp. 45 per kilogram. Tabel 23. Sebaran Harga Rata-Rata Salak Pondoh Dan Marjin Tataniaga Pada Pola Saluran Tataniaga Salak Pondoh Dalam Pulau Jawa Di Luar Jawa Tengah Saluran 3 Saluran 6 Unsur Marjin Nilai Persentase Nilai Persentase (Rp/Kg) (%) (Rp/Kg) (%) A Petani Harga Jual 2200 48,89 2400 53,33 B Pedagang Pengumpul Harga Beli 2200 48,89 Biaya Tataniaga 190 4,22 Keuntungan 120 2,67 Harga Jual 2500 55,56 Marjin 300 6,67 C Pedagang Besar Harga Beli 2500 55,56 2400 53,33 Biaya Tataniaga 660 14,67 660 14,67 Keuntungan 840 18,67 940 20,89 Harga Jual 4000 88,89 4000 88,89 Marjin 1500 33,33 1600 35,56 D Pedagang Luar Daerah Harga Beli 4000 88,89 4000 88,89 Biaya Tataniaga 140 3,11 140 3,11 Keuntungan 360 8,00 360 8,00 Harga Jual 4500 100,00 4500 100,00 Marjin 500 11,11 500 11,11 E Pengecer Luar Daerah Harga Beli 4500 100,00 4500 100,00 Total Biaya Tataniaga 990 22,00 800 17,78 Total Keuntungan 1320 29,33 1300 28,89 Total Marjin Tataniaga 2300 51,11 2100 46,67
Pola saluran 3 dan pola saluran 6 merupakan saluran tataniaga salak pondoh dalam pulau Jawa di luar Jawa Tengah dengan kota-kota tujuan utama adalah Jakarta, Tanggerang, Bandung, dan Surabaya. Pada pola saluran 3 yang terdiri dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar/pedagang pengirim, pedagang luar daerah, dan pedagang pengecer luar daerah, total marjin sebesar
Rp. 2.300 per kilogram dengan total biaya yang ditanggung sebesar Rp. 990 per kilogram. Komponen biaya yang ditanggung oleh pedagang pengumpul pada pola saluran 3 antara lain biaya tenaga kerja sebesar Rp. 40 per kilogram, biaya transportasi barang sebesar Rp. 60 per kilogram, biaya bongkar muat sebesar Rp. 50 per kilogram, dan biaya akomodasi yang meliputi biaya konsumsi tenaga kerja, biaya timbang, biaya curah barang dan biaya pajak pasar sebesar Rp. 40 per kilogram. Komponen biaya yang ditanggung oleh pedagang besar atau pedagang pengirim antara lain biaya sortasi dan grading sebesar Rp. 50 per kilogram, biaya pengemasan sebesar Rp. 50 per kilogram, biaya kemasan sebesar Rp. 110 per kilogram, biaya transportasi barang dari Banjarnegara ke kota tujuan di dalam pulau Jawa sebesar Rp. 350 per kilogram, biaya bongkar muat sebesar Rp. 50 per kilogram, dan biaya akomodasi yang meliputi biaya konsumsi tenaga kerja, biaya pajak pasar dan biaya penyusutan sebesar Rp. 50 per kilogram. Komponen biaya yang dikeluarkan oleh pedagang luar daerah antara lain biaya tenaga kerja sebesar Rp. 50 per kilogram, biaya bongkar muat sebesar Rp. 40 per kilogram dan biaya akomodasi yang meliputi biaya sewa kios, biaya pajak pasar, dan biaya penyusutan sebesar Rp. 50 per kilogram. Pada pola saluran 6 yang terdiri dari petani, pedagang besar/pedagang pengirim, pedagang luar daerah, dan pedagang pengecer luar daerah, total marjin yang terbentuk sebesar Rp. 2.100 per kilogram dengan total biaya yang ditanggung adalah sebesar Rp. 495 per kilogram. Komponen biaya yang ditanggung oleh pedagang besar/pedagang pengirim dan pedagang luar pada pola saluran 6, besarannya sama dengan komponen biaya yang ditanggung oleh pedagang besar/pedagang pengirim dan pedagang luar pada pola saluran 3. Pola saluran 4 dan pola saluran 7 merupakan saluran tataniaga salak pondoh di luar pulau Jawa dengan kota-kota tujuan utama adalah Medan, Riau, Jambi, Padang, Palembang, Lampung, Bali dan Mataram. Pada pola saluran 4 yang terdiri dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar/pedagang pengirim, dan pedagang luar daerah, total marjin yang terbentuk sebesar Rp. 3.600 per kilogram dengan total biaya yang dikeluarkan oleh seluruh lembaga tataniaga yang terlibat adalah sebesar Rp. 2.020 per kilogram. Komponen biaya yang ditanggung oleh pedagang pengumpul pada pola saluran 4 antara lain biaya tenaga kerja sebesar Rp. 40 per kilogram, biaya transportasi barang sebesar Rp. 60 per kilogram, biaya bongkar muat sebesar
Rp. 50 per kilogram, dan biaya akomodasi yang meliputi biaya konsumsi tenaga kerja, biaya timbang, biaya curah barang dan biaya pajak pasar sebesar Rp. 40 per kilogram. Komponen biaya yang ditanggung oleh pedagang besar atau pedagang pengirim antara lain biaya sortasi dan grading sebesar Rp. 50 per kilogram, biaya pengemasan sebesar Rp. 50 per kilogram, biaya kemasan sebesar Rp. 120 per kilogram, biaya transportasi barang dari Banjarnegara ke kota tujuan di luar pulau Jawa sebesar Rp. 1.500 per kilogram, biaya bongkar muat sebesar Rp. 50 per kilogram, dan biaya akomodasi yang meliputi biaya konsumsi tenaga kerja, biaya pajak pasar dan biaya penyusutan sebesar Rp. 60 per kilogram. Tabel 24. Sebaran Harga Rata-Rata Salak Pondoh Dan Marjin Tataniaga Pada Pola Saluran Tataniaga Salak Pondoh Di Luar Pulau Jawa Saluran 4 Saluran 7 Unsur Marjin Nilai Persentase Nilai Persentase (Rp/Kg) (%) (Rp/Kg) (%) A Petani Harga Jual 2400 40,00 2600 43.33 B Pedagang Pengumpul Harga Beli 2400 40,00 Biaya Tataniaga 190 3,17 Keuntungan 160 2,67 Harga Jual 2750 45,83 Marjin 350 5,83 C Pedagang Besar Harga Beli 2750 45,83 2600 43,33 Biaya Tataniaga 1830 30,50 1830 30,50 Keuntungan 1420 23,67 1570 26,17 Harga Jual 6000 100,00 6000 100,00 Marjin 3250 54,17 3400 56,67 D Pedagang Luar Daerah Harga Beli 6000 100,00 6000 100,00 Total Biaya Tataniaga 2020 33,67 1830 30,50 Total Keuntungan 1580 26,33 1570 26,17 Total Marjin Tataniaga 3600 60,00 3400 56,67
Pada pola saluran 7 yang terdiri dari petani, pedagang besar/pedagang pengirim, dan pedagang luar daerah, total marjin yang terbentuk sebesar Rp. 3.400 per kilogram dengan total biaya yang dikeluarkan oleh seluruh lembaga tataniaga yang terlibat adalah sebesar Rp. 1.830 per kilogram. Biaya tataniaga yang ditanggung oleh pedagang besar/pedagang pengirim pada pola saluran 7, jumlahnya sama dengan jumlah biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pedagang besar/pedagang pengirim pada pola saluran 4.
Berdasarkan tabel-tabel sebaran marjin tataniaga di atas dapat dilihat bahwa sebaran marjin pada setiap pola saluran tataniaga komoditi salak pondoh di Kab. Banjarnegara berbeda. Perbedaan sebaran marjin pada setiap pola saluran dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: a) banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat pada setiap pola salurannya; b) besarnya biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh setiap lembaga tataniaga pada suatu pola saluran; c) besarnya keuntungan yang diperoleh setiap lembaga tataniaga pada suatu pola saluran, dan d) besarnya harga pembelian dan penjualan yang ditetapkan oleh suatu lembaga tataniaga. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat dalam suatu pola saluran tataniaga maka semakin besar total margin tataniaga, semakin besar biaya yang dikeluarkan dan semakin besar keuntungan yang diperoleh suatu lembaga tataniaga maka besar margin tataniaga yang terbentuk, dan semakin kecil harga pembelian serta penetapan harga penjualan yang semakin besar maka semakin besar margin tataniaga yang terbentuk. Sebaran marjin pada setiap tingkat lembaga tataniaga juga menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Marjin tataniaga terbesar umumnya terjadi pada tingkat pedagang pengirim atau pedagang besar dengan marjin tertinggi terjadi pada pedagang besar/pedagang pengirim yang melakukan penjualan salak pondoh ke luar pulau Jawa. Besarnya marjin yang terbentuk pada tingkat pedagang
besar/pedagang
pengirim
dikarenakan
besarnya
biaya
yang
dikeluarkan oleh pedagang tersebut dalam menyampaikan salak pondoh dari Kab. Banjarnegara ke kota-kota lain di luar Kab. Banjarnegara. Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh suatu lembaga tataniaga berkaitan dengan fungsi-fungsi tataniaga yang dilaksanakan oleh suatu lembaga tataniaga tersebut, dimana semakin banyak fungsi-fungsi tataniaga yang dilaksanakan maka semakin besar biaya yang ditanggung oleh lembaga tataniaga tersebut.
6.4.2. Bagian Harga yang Diterima Petani (Farmer’s Share) Bagian harga yang diterima oleh petani atau farmer’s share merupakan perbandingan antara harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen atau harga penjualan pada suatu tingkat lembaga tataniaga tertinggi, dan umumnya dinyatakan dalam persentase. Bagian harga yang diterima oleh petani merupakan sebagai konsep balas jasa atas kegiatan yang dilakukan petani dalam usahatani salak pondoh. Besarnya farmer’s share dapat dilihat pada setiap pola saluran tataniaga.
Pada tataniaga komoditi salak pondoh, besarnya bagian harga yang diterima petani berbeda pada setiap pola salurannya. Pada pola saluran 1, bagian harga yang diterima oleh petani adalah sebesar 73,33 persen; pada pola saluran 2, bagian harga yang diterima oleh petani sebesar 62,86 persen; pada pola saluran 3, bagian harga yang diterima oleh petani sebesar 48,89 persen; pada pola saluran 4, bagian harga yang diterima oleh petani sebesar 40 persen; pada pola saluran 5, bagian harga yang diterima oleh petani sebesar 68,57 persen; pada pola saluran 6, bagian harga yang diterima oleh petani adalah sebesar 53,33 persen; dan pada pola saluran 7, besarnya bagian harga yang diterima oleh petani adalah 43,33 persen. Berdasarkan uraian sebaran bagian harga yang diterima petani (farmer’s share) pada setiap pola saluran di atas, dapat diketahui bahwa bagian harga yang diterima petani terbesar terdapat pada pola saluran 1, hal ini berkaitan dengan pendeknya saluran tataniaga, rendahnya harga jual di tingkat konsumen, dan rendahnya marjin tataniaga yang terbentuk. Bagian harga yang diterima petani terkecil terdapat pada saluran 4, hal ini dikarenakan tingginya harga jual pada tingkat lembaga tataniaga tertinggi dan besarnya marjin tataniaga yang terbentuk. Besarnya bagian harga yang diterima petani yang terbentuk tidak selamanya menunjukkan tingginya harga jual salak pondoh pada tingkat petani. Perbedaan bagian harga yang diterima petani (farmer’s share) pada setiap pola saluran tataniaga dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: a) besar kecilnya marjin tataniaga yang terbentuk pada setiap pola saluran tataniaga, dan b) rendah dan tingginya harga di tingkat konsumen atau harga jual pada tingkat lembaga tataniaga tertinggi. Semakin besarnya marjin tataniaga serta semakin rendah harga di tingkat konsumen menyebabkan semakin besar bagian harga yang diterima petani (farmer’s share).
6.4.3. Rasio Keuntungan dan Biaya Rasio
keuntungan
biaya
digunakan
untuk
mengetahui
penyebaran
keuntungan dan biaya pada setiap lembaga tataniaga yang terlibat pada masingmasing saluran tataniaga. Rasio ini menunjukkan besarnya keuntungan yang diperoleh suatu lembaga tataniaga terhadap biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga pada suatu pola saluran tataniaga. Semakin tinggi nilai rasio yang diperoleh dapat menunjukkan semakin besar keuntungan yang diperoleh.
Tabel 25. Rasio Keuntungan Biaya Pada Setiap Pola Saluran Tataniaga Salak Pondoh Keuntungan Biaya Rasio Keuntungan Lembaga Tataniaga (Rp/Kg) (Rp/Kg) Biaya Pola Saluran 1 Pedagang Pengecer Lokal 370 430 0,86 Pola Saluran 2 Pedagang Pengumpul 110 190 0,58 Pedagang Besar 505 495 1,02 Pola Saluran 3 Pedagang Pengumpul 110 190 0,58 Pedagang Besar 840 660 1,27 Pedagang Luar Daerah 360 140 2,57 Pola Saluran 4 Pedagang Pengumpul 160 190 0,84 Pedagang Besar 1420 1830 0,78 Pola Saluran 5 Pedagang Besar 605 495 1,22 Pola Saluran 6 Pedagang Besar 940 660 1,42 Pedagang Luar Daerah 360 140 2,57 Pola Saluran 7 Pedagang Besar 1570 1830 0,86
Berdasarkan Tabel 25, dapat diketahui bahwa nilai rasio keuntungan biaya pada setiap lembaga tataniaga dalam saluran tataniaga menunjukkan nilai rasio keuntungan biaya yang berbeda. Nilai rasio keuntungan biaya terbesar terdapat pada tingkat pedagang luar daerah dalam pola saluran 6, yaitu sebesar 2, 57. Nilai rasio keuntungan sebesar 2,57 berarti, bahwa dari setiap Rp. 1 per kilogram biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pedagang luar daerah tersebut akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 2,57 per kilogram. Nilai rasio keuntungan biaya terkecil terdapat pada tingkat pedagang pengumpul di pola saluran 2 dan pola saluran 3, yaitu sebesar 0,58. Nilai rasio keuntungan sebesar 0,58 berarti, dari setiap Rp. 1 per kilogram biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul tersebut akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 0,58 per kilogram.
6.4.4. Keterpaduan Pasar Keterpaduan pasar menunjukkan seberapa besar pembentukan harga pada suatu pasar atau tingkat lembaga tataniaga tertentu mempengaruhi harga pada suatu pasar lain atau tingkat lembaga tataniaga lain, serta melihat seberapa efisien sistem pasar bekerja sehingga membentuk pasar yang terintegrasi atau terpadu secara sempurna. Kekuatan pembentukan harga secara ekonomi akan
berbeda antara satu tingkat pasar dengan tingkat pasar lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap pasar memiliki kurva penawaran dan permintaan yang berbeda. Analisis
keterpaduan pasar
komoditi
salak
pondoh adalah
melihat
keterpaduan pasar antara Pasar Salak Banjarnegara dengan Pasar Peneleh Surabaya dan Pasar Induk Kramat Jati Jakarta. Pasar Salak Banjarnegara merupakan pasar acuan, karena dari Pasar Salak Banjarnegara salak pondoh berasal, dan Pasar Peneleh Surabaya serta Pasar Induk Kramat Jati Jakarta merupakan pasar tujuan atau pasar lokal karena pasar tersebut merupakan tujuan penjualan dari Pasar Salak Banjarnegara dan salak pondoh dari Kab. Banjarnegara dipasarkan. Berdasarkan analisis indeks keterpaduan pasar antara Pasar Salak Banjarnegara dengan Pasar Peneleh Surabaya, diantara kedua pasar tersebut terjadi keterpaduan pasar. Artinya harga yang terjadi di pasar acuan yaitu Pasar Salak Banjarnegara pada minggu sebelumnya merupakan faktor utama yang mempengaruhi harga yang terjadi di tingkat pasar tujuan yaitu Pasar Peneleh Surabaya. Hal ini menunjukkan bahwa kedua pasar terhubung dengan baik karena informasi permintaan dan penawaran di pasar acuan diteruskan ke pasar tujuan serta mempengaruhi harga yang terjadi di pasar tujuan. Tabel 26. Koefisien Regresi Keterpaduan Pasar Antara Pasar Salak Banjarnegara Dengan Pasar Peneleh Surabaya Variabel Koefisien Dugaan St Error Koefisien t-hitung Konstanta 473,7 101,4 4,67 Pit-1 0,3317 0,1160 2,86 Pjt – Pjt-1 0,73131 0,04625 15,81 Pjt-1 0,6626 0,1159 5,72 R-Sq 99,5% R-Sq (adj) 99,5% F-hitung 1303,15
Keterpaduan pasar diperoleh dari nilai IMC (Indeks of Market Connection) yaitu nilai yang diperoleh dari hasil pembagian antara nilai koefisien variabel Pit-1 atau variabel lag harga di pasar tujuan dengan nilai koefisien variabel Pjt-1 atau variabel lag harga di pasar acuan. Diperoleh dari hasil analisis keterpaduan pasar antara Pasar Salak Banjarnegara dengan Pasar Peneleh Surabaya, bahwa nilai IMC sebesar 0,51, yaitu nilai IMC yang kurang dari satu, maka dapat diartikan bahwa terjadi keterpaduan pasar antara pasar tujuan dengan pasar acuan. Berdasarkan Tabel 26, dapat diketahui bahwa setiap peningkatan harga
salak pondoh di Pasar Banjarnegara sebesar Rp. 1 maka akan mempengaruhi peningkatan harga salak pondoh di Pasar Peneleh Surabaya sebesar Rp. 0,33. Tabel 27. Koefisien Regresi Keterpaduan Pasar Antara Pasar Salak Banjarnegara Dengan Pasar Induk Kramat Jati Jakarta Variabel Koefisien Dugaan St Error Koefisien t-hitung Konstanta 888,0 496,9 1,79 Pit-1 0,2630 0,4606 0,57 Pjt – Pjt-1 1,0051 0,1414 7,11 Pjt-1 0,6329 0,4498 1,41 R-Sq 95,3% R-Sq (adj) 92,9% F-hitung 40,54
Berdasarkan nilai IMC untuk mengetahui keterpaduan pasar antara Pasar Salak Banjarnegara dengan Pasar Induk Kramat Jati Jakarta, diperoleh nilai IMC sebesar 0,42 atau nilai IMC yang kurang dari satu, sehingga dapat dikatakan bahwa antara kedua pasar tersebut terjadi keterpaduan. Artinya harga yang terjadi di pasar acuan yaitu Pasar Salak Banjarnegara pada minggu sebelumnya merupakan faktor utama yang mempengaruhi harga yang terjadi di tingkat Pasar Induk Kramat Jati Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa kedua pasar tersebut terhubung dengan baik karena informasi permintaan dan penawaran di pasar acuan diteruskan ke pasar tujuan serta mempengaruhi harga yang terjadi di pasar tujuan. Berdasarkan Tabel 27, dapat diketahui bahwa setiap peningkatan harga salak pondoh di Pasar Banjarnegara sebesar Rp. 1 maka akan mempengaruhi peningkatan harga salak pondoh di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta sebesar Rp. 0,26. Terjadinya keterpaduan pasar antara pasar acuan yaitu Pasar Salak Banjarnegara dengan pasar tujuan yaitu Pasar Peneleh Surabaya dan Pasar Induk Kramat Jati Jakarta, menggambarkan bahwa informasi pasar bersifat simetris. Informasi yang bersifat simetris dapat menggambarkan perubahan harga pada suatu pasar atau suatu tingkat lembaga tataniaga dapat ditransmisikan dengan cepat ke pasar lain atau tingkat lembaga tataniaga lain. Informasi yang bersifat simetris memiliki hubungan yang erat dengan sistem hubungan kerjasama serta sistem komunikasi yang dibangun antara pedagang besar/pedagang pengirim di Pasar Salak Banjarnegara dengan pedagang luar daerah di Pasar Peneleh Surabaya dan Pasar Induk Kramat Jati Jakarta. Keterpaduan pasar yang terjadi antara pasar acuan yaitu Pasar Salak Banjarnegara dengan pasar tujuan yaitu Pasar Peneleh Surabaya dan Pasar
Induk Kramat Jati Jakarta, dapat menggambarkan pula keterpaduan harga yang terjadi pada tiap tingkat lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem tataniaga salak pondoh di Kab. Banjarnegara. Sehingga dapat diartikan bahwa, perubahan harga yang terjadi di tingkat petani akan mempengaruhi harga yang terjadi pada tingkat lembaga tataniaga diatasnya.
6.5. Efisiensi Sistem Tataniaga Suatu sistem tataniaga dapat dikatakan efisien apabila sistem tataniaga tersebut dapat memberikan kepuasan bagi semua pihak yang terlibat, yaitu produsen atau petani, konsumen akhir, dan lembaga-lembaga tataniaga. Indikator yang digunakan untuk mengukur efisiensi tataniaga dapat dilihat dari kemerataan fungsi-fungsi tataniaga yang dilaksanakan oleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat; panjang dan pendek pola saluran yang terbentuk; volume penjualan pada setiap pola saluran; struktur dan perilaku pasar yang dihadapi tidak membuat pelaku-pelaku pasar melakukan suatu upaya rekayasa untuk mempengaruhi harga pasar; dan keragaan pasar yang di ukur dari sebaran marjin tataniaga, bagian harga yang diterima petani (farmer’s share), dan rasio keuntungan biaya yang merata, serta terjadinya keterpaduan harga antara satu tingkat lembaga tataniaga dengan tingkat lembaga tataniaga yang lain atau antara satu pasar dengan pasar lain. Berdasarkan fungsi-fungsi tataniaga yang dilaksanakan oleh setiap lembaga tataniaga dapat dilihat bahwa fungsi-fungsi tataniaga yang dilaksanakan tidak merata pada setiap tingkat lembaga tataniaga, dengan kegiatan tataniaga yang terpusat pada pedagang besar/pedagang pengumpul. Hal ini dapat dilihat dari pembentukan biaya tataniaga, dimana biaya tataniaga terbesar umumnya ditanggung oleh pedagang-pedagang besar. Biaya tataniaga yang besar dapat mencerminkan beragamnya fungsi-fungsi tataniaga, karena semakin banyak fungsi-fungsi tataniaga yang dilaksanakan oleh sebuah lembaga tataniaga maka biaya yang dikeluarkan juga akan semakin besar. Berdasarkan pola saluran tataniaga, pola saluran terpendek yang terbentuk adalah pola saluran 1 atau pola saluran tataniaga salak pondoh lokal, tetapi berdasarkan persentase dan volume penjualan, pola saluran ini memiliki persentase dan volume yang terkecil sehingga pola saluran ini tidak dapat dikatakan sebagai pola saluran yang paling efisien. Apabila dilihat dari volume penjualan pada setiap pola saluran tataniaga, volume pemasaran terbesar
terbentuk pada pola saluran tataniaga salak pondoh dalam pulau Jawa di luar Jawa Tengah, kemudian diikuti pola saluran tataniaga salak pondoh ke luar Pulau Jawa, pola saluran tataniaga salak pondoh dalam Jawa Tengah, dan pola saluran tataniaga salak pondoh lokal. Struktur pasar pada setiap tingkat lembaga tataniaga terlihat cukup beragam dan secara umum struktur pasar yang terbentuk pada sistem tataniaga salak pondoh di Kab. Banjarnegara cenderung mengarah pada struktur pasar oligopoli. Perilaku pasar yang terjadi di tiap tingkat lembaga tataniaga pada setiap pola saluran juga cukup beragam. Pada umumnya perilaku lembaga tataniaga terjadi cukup kondusif sehingga kegiatan tataniaga salak pondoh di Kab. Banjarnegara berjalan cukup baik. Keragaan pasar yang di ukur dari sebaran marjin tataniaga, bagian harga yang diterima petani (farmer’s share), dan rasio keuntungan biaya, dapat dilihat bahwa sebaran marjin, farmer’s share, dan rasio keuntungan biaya di tiap lembaga tataniaga pada setiap pola saluran tataniaga tidak merata. Marjin tataniaga terbesar umumnya terjadi pada tingkat pedagang pengirim atau pedagang besar dengan marjin tataniaga terbesar terbentuk pada pedagang besar di pola saluran 7, sedangkan marjin tataniaga terkecil terbentuk di tingkat pedagang pengumpul pada pola saluran 2 dan pola saluran 3. Bagian harga yang diterima petani (farmer’s share) terbesar terbentuk di pola saluran 1 dan di pola-pola saluran tataniaga dimana petani langsung melakukan penjualan langsung kepada pedagang besar/pedagang pengirim. Pola saluran tataniaga salak pondoh yang dapat dikatakan paling efisien adalah pola saluran tataniaga salak pondoh dalam pulau Jawa di luar Jawa Tengah, khususnya pola saluran 6. Hal ini dapat dilihat bahwa pola saluran tataniaga salak pondoh dalam pulau Jawa di luar Jawa Tengah memiliki volume pemasaran yang paling besar dibandingkan dengan pola saluran tataniaga lain, dan pada pola saluran ini juga terjadi keterpaduan harga antara pasar lokal dengan pasar tujuan, yaitu antara Pasar Salak Banjarnegara dengan pasarpasar di kota tujuan seperti Pasar Peneleh Surabaya dan Pasar Induk Kramat Jati Jakarta.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN VII.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis yang dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1.
Dalam kegiatan tataniaga salak pondoh, melibatkan beberapa lembaga tataniaga dalam penyampaian komoditi salak pondoh dari petani hingga konsumen akhir, diantaranya: pedagang pengumpul, pedagang pengirim atau pedagang besar, pedagang luar daerah, pedagang pengecer lokal, dan pedagang pengecer luar daerah. Setiap lembaga tataniaga umumnya melaksanakan
fungsi-fungsi
tataniaga
yang
berbeda
berdasarkan
kepentingan dan tujuan pemasarannya. Fungsi-fungsi tataniaga yang dilaksanakan oleh lembaga tataniaga dikelompokkan dalam tiga fungsi utama, yaitu: fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. 2.
Berdasarkan penelusuran pola saluran tataniaga komoditi salak pondoh, terbentuk tujuh buah pola saluran tataniaga salak pondoh di Kabupaten Banjarnegara, yaitu: pola saluran 1, merupakan pola saluran tataniaga salak pondoh lokal, terdiri dari petani dan pedagang pengecer lokal; pola saluran 2, merupakan pola saluran tataniaga salak pondoh dalam Jawa Tengah, terdiri dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar/pedagang pengirim, dan pedagang luar daerah di kota-kota dalam Jawa Tengah; pola saluran 3, merupakan saluran tataniaga salak pondoh dalam pulau Jawa di luar Jawa Tengah, terdiri dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar/pedagang pengirim, pedagang luar daerah, dan pedagang pengecer luar daerah; pola saluran 4, merupakan merupakan saluran tataniaga salak pondoh di luar pulau Jawa, terdiri dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar/pedagang pengirim, dan pedagang luar daerah; pola saluran 5, merupakan pola saluran tataniaga salak pondoh dalam Jawa Tengah, terdiri dari petani, pedagang besar/pedagang pengirim, dan pedagang luar daerah; pola saluran 6, merupakan saluran tataniaga salak pondoh dalam pulau Jawa di luar Jawa Tengah, yang terdiri dari petani, pedagang besar/pedagang pengirim, pedagang luar daerah, dan pedagang pengecer luar daerah; dan pola saluran 7, merupakan merupakan saluran tataniaga salak pondoh di luar pulau Jawa, yang hanya terdiri dari petani, pedagang besar/pedagang pengirim dan pedagang luar daerah.
3.
Struktur pasar yang terbentuk pada setiap tingkat lembaga tataniaga dalam tataniaga komoditi salak pondoh dapat berbeda. Struktur pasar yang dihadapi oleh petani salak pondoh cenderung mengarah kepada struktur pasar bersaing sempurna. Pada pedagang pengumpul, struktur pasar yang dihadapi cenderung mengarah kepada pasar oligopsoni murni. Pada pedagang
besar/pedagang
pengirim,
struktur
pasar
yang
terbentuk
cenderung struktur pasar oligopoli terdeferensiasi. Sedangkan struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengecer baik pedagang pengecer lokal maupun pedagang pengecer luar daerah adalah struktur pasar oligopoli terdeferensiasi. 4.
Perilaku pasar dapat dilihat dari praktek penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga, sistem pembayaran, dan kerjasama diantara berbagai lembaga tataniaga. Praktek penjualan dan pembelian yang terjadi merupakan bentuk kerjasama yang terjalin cukup baik antar lembaga tataniaga sebagai cara untuk meciptakan stabilitas pasar. Sistem penentuan harga yang terjadi adalah melalui sistem tawar-menawar serta sistem penentuan harga secara sepihak, dan pada penentuan harga penjualan kedudukan petani hanya sebagai penerima harga. Harga yang terbentuk merupakan harga yang dibentuk oleh mekanisme pasar. Sistem pembayaran harga salak pondoh yang dilakukan berupa sistem pembayaran tunai, sistem pembayaran uang muka dan sistem pembayaran kemudian. Sistem pembayaran yang berlangsung tergantung pada tingkat kepercayaan dan perjanjian antara kedua belah pihak. Kerjasama yang terbentuk antara petani dan lembaga tataniaga umumnya sudah berlangsung lama, sehingga terjalin hubungan yang baik dan rasa saling percaya.
5.
Keragaan pasar komoditi salak pondoh dianalisis dengan menggunakan analisis marjin tataniaga dan penyebarannya, bagian harga yang diterima petani (farmer’s share), rasio keuntungan biaya, serta keterpaduan pasar. Sebaran marjin di setiap lembaga tataniaga pada setiap pola saluran cukup berbeda. Perbedaan sebaran marjin pada setiap pola saluran dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat pada setiap pola salurannya; besarnya biaya tataniaga yang dikeluarkan dan besarnya keuntungan yang diperoleh setiap lembaga tataniaga pada suatu pola saluran; dan besarnya harga pembelian dan
penjualan yang ditetapkan oleh suatu lembaga tataniaga. Besarnya bagian harga yang diterima petani berbeda pada setiap pola salurannya, perbedaan bagian harga yang diterima petani (farmer’s share) pada setiap pola saluran tataniaga dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: besar kecilnya marjin tataniaga yang terbentuk pada setiap pola saluran tataniaga, dan rendah dan tingginya harga di tingkat konsumen atau harga jual pada tingkat lembaga tataniaga tertinggi. Nilai rasio keuntungan biaya pada setiap lembaga tataniaga dalam saluran tataniaga menunjukkan nilai rasio keuntungan biaya yang berbeda. Berdasarkan keterpaduan pasar, antara Pasar Salak Banjarnegara dengan Pasar Peneleh Surabaya dan Pasar Induk Kramat Jati Jakarta terjadi keterpaduan pasar, artinya harga yang terjadi di Pasar Salak Banjarnegara pada minggu sebelumnya merupakan faktor utama yang mempengaruhi harga yang terjadi di tingkat Pasar Peneleh Surabaya dan Pasar Induk Kramat Jati Jakarta. 6.
Dilihat dari efisiensi sistem tataniaga, pola saluran tataniaga salak pondoh yang dapat dikatakan paling efisien adalah pola saluran tataniaga salak pondoh dalam pulau Jawa di luar Jawa Tengah, khususnya pola saluran 6. Salah satu indikator bahwa pola saluran tataniaga tersebut dapat dikatakn efisien bahwa pola saluran tataniaga salak pondoh dalam pulau Jawa di luar Jawa Tengah memiliki volume pemasaran yang paling besar dibandingkan dengan pola saluran tataniaga lain.
VII.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh beberapa saran yang diperuntukan kepada berbagai pihak yang berkepentingan terhadap pengembangan komoditi salak pondoh di Kab. Banjarnegara: 1.
Dalam pengembangan komoditi salak pondoh di Kab. Banjarnegara diharapkan dapat dibangun sistem pemasaran yang efisien dan tidak merugikan petani. Untuk itu perlu adanya sistem koordinasi antar petani, dengan saling bekerja sama dalam kelompok diharapkan para petani selalu dapat memperoleh informasi kondisi pasar serta perubahan harga sehingga petani tidak lagi sebagai penerima harga. Dengan informasi kondisi pasar yang diperoleh petani, dalam melakukan penjualan sebaiknya petani melakukan sortasi dan grading terlebih dahulu, sehingga salak pondoh dapat dihargai lebih tinggi.
2.
Dengan adanya fluktuasi harga yang dialami oleh petani khususnya khususnya pada saat musim panen raya yang diakibatkan melimpahnya volume salak pondoh dipasaran, sehingga perlu adanya sebuah industri pengolahan salak pondoh lebih lanjut yang nantinya diharapkan dapat menstabilkan harga salak pondoh.
3.
Dalam kegiatan pemasaran salak pondoh keluar daerah Kab. Banjarnegara, para pedagang memberikan label merk salak pondoh asal Banjarnegara, karena sampai saat ini salak pondoh asal Banjarnegara kurang terkenal dibandingkan salak pondoh asal Yogyakarta, sehingga salak pondoh yang berada dipasaran selalu dikenal dengan salak pondoh Yogyakarta. Dengan ada pemberian label tersebut diharapkan salak pondoh asal Banjarnegara dapat lebih terkenal dan memperoleh pasar yang lebih luas.
4.
Pemerintah memberikan bantuan fasilitas kepada para pedagang khususnya pada
kegiatan
pengemasan
dan
pelabelan
produk
sehingga
ada
keseragaman label. Selain itu pemerintah diharapkan dapat memberikan dukungan fasilitas terhadap perkembangan agroindustri pengolahan salak pondoh di Kab. Banjarnegara.
DAFTAR PUSTAKA Adiratma, R., R. Sudjanadi, dan H. Southworth. 1971. Tataniaga Pertanian. Biro Penataran Institut Pertanian Bogor. Bogor. Arief, P.W. 2003. Analisis Preferensi Konsumen Luar Negeri Terhadap Atribut Buah Salak dan Implikasinya Terhadap Strategi Pengembangan Pemasaran Salak Pondoh (Studi Kasus di Kota Bangkok, Thailand). Skripsi. Program Studi Agribisnis Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Arifianto, W.Y. 2007. Analisis Marjin Tataniaga dan Keterpaduan Pasar Daging Domba Di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat (Kasus Pasar Ternak Regional Pakowon Bojong Cideres, Pasar Kadipaten, dan Pasar Cigasong). Skripsi. Program Studi Ekstensi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara. 2001. Kabupaten Banjarnegara dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara. Banjarnegara. ____________. 2002. Kabupaten Banjarnegara dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara. Banjarnegara. ____________. 2003. Kabupaten Banjarnegara dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara. Banjarnegara. ____________. 2004. Kabupaten Banjarnegara dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara. Banjarnegara. ____________. 2005. Kabupaten Banjarnegara dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara. Banjarnegara. ____________. 2006. Kabupaten Banjarnegara dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara. Banjarnegara. Bisri, H. 1998. Penerapan Teknologi Usahatani Salak Pondoh (Kasus Pada Petani Kelompok dan Petani Non Kelompok di Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta). Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Budagara, I.K. 1998. Pengkajian Respirasi Buah Mangga dan Salak Terolah Minimal Selama Penyimpanan. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dahl, D.C. and J.W. Hammond. 1977. Market and Price Analysis The Agricultural Industries. McGraw-Hill Book Company. New York.
Dewi, U. 2006. Analisis Kelayakan Usahatani dan Efisiensi Pemasaran Salak Pondoh (Kasus Kecamatan Madukara, Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah). Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara. 2007. Laporan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Padi, Palawija, Sayuran, Buah, dan ObatObatan Kabupaten Banjarnegara Tahun 2006. Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara. Banjarnegara. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2001. Informasi Hortikultura dan Aneka Tanaman. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Jakarta. Direktorat Jenderal Hortikultura. 2006. Statistik Hortikultura Tahun 2005 (Angka Tetap). Direktorat Jenderal Hortikultura Departemen Pertanian. Jakarta. Gantina, I. 2005. Analisis Pemasaran Buah-Buahan di Wilayah Kabupaten Karawang. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hadaka, B. 2002. Analisis Usahatani dan Prospek Pengembangan Salak Manonjaya (Kasus di Desa Pasirbatang, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat). Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hadi, P.U. 1990. Analysis of Marketing Marjin Behaviour Using Econometric Model: The Case of Groundnut in East Java. Jurnal Agro Ekonomi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Vol. 9/No. 1. Mei/1990. Harsoyo, Y. 1999. Analisis Efisiensi Produksi dan Pemasaran Komoditi Salak Pondoh Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Irawan, B. 2005. Analisis Pemasaran dan Integrasi Pasar Komoditas BuahBuahan dan Sayuran di DKI Jakarta. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kohls, R.L. and J.N. Uhl. 1985. Marketing Of Agricultural Products. MacMillian Publishing Company. New York. Kotler, P. and G. Armstrong. 1991. Principles of Marketing. Fifth Edition. Prentice-Hall Inc. New Jersey. Kotler, P. 2003. Marketing Management. Eleventh Edition. Prentice-Hall Inc. New Jersey. Kurniawati, S.R. 2007. Analisis Sistem Pemasaran Buah Stroberi (Kasus di Desa Alamendah, Kecamatan Rancabali, Kapubaten Bandung, Propinsi Jawa Barat). Skripsi. Program Studi Ekstensi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lestari, M. 2006. Analisis Tataniaga Bengkuang (Pachyrrhizus erosus) (Kasus Kecamatan Prembun Kabupaten Kebumen Propinsi Jawa Tengah). Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Limbong, W.H. 1992. Sistem Pemasaran Komoditas Tanaman Pangan di Beberapa Propinsi Indonesia. Jurnal Ekonomi. Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Indonesia. Vol. 3/No. 12. September/1992. Limbong, W.H. dan P. Sitorus. 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Manumono, D. dan M.M. Soedjono. 1994. Analisis Marjin Pemasaran Melinjo di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Agro Ekonomi. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Vol. : IV/No. 1. Des/1994. Maya, D. 2006. Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi dan Pendapatan Usahatani Salak Bongkok (Kasus di Desa Jambu, Kecamatan Conggeang, Sumedang). Skripsi. Program Studi Ekstensi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nasution, Y.H. 2004. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Salak Sidimpuan Di Desa Parsalakan Kecamatan Padangsidimpuan Barat Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Selatan. Skripsi. Departemen IlmuIlmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pakpahan, M.L. 2006. Analisis Sistem Pemasaran Manggis (Kasus di Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, dan di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat). Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Parwitasari, U. 2004. Analisis Efisiensi Pemasaran Komoditas Alpukat (Studi Kasus di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Purcell, W.D. 1979. Agricultural Marketing: System, Coordination, Cash, and Future Prices. Reston Publishing Company, Inc. A Prentice-Hall Company. Virginia. Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2006. Statistik Pertanian 2006. Pusat Data dan Informasi Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta. Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. 2000. Laporan Utama Riset Unggulan strategi Nasional Pengembangan Buah-buahan Unggulan Indonesia Tahun 2000. Kerjasama Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia dengan Pusat Kajian Buah-buahan Tropika Lembaga Penelitian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Redaksi Agromedia. 2007. Budidaya Salak. Agromedia Pustaka. Jakarta. Rachmiyanti, M. 2006. Analisis Pemasaran Mangga Gedong Gincu (Mangifera indica spp.) di Kecamatan Panyingkiran, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat). Skripsi. Program Studi Ekstensi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sa’id, E.G dan A.H. Intan. 2004. Manajemen Agribisnis. PT. Ghalia Indonesia dan MMA-IPB. Jakarta. Santoso, H.B. 1990. Salak Pondoh. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Sari, Y.N. 2006. Analisis Sistem Pemasaran Wortel dan Bawang Daun (Studi Kasus Desa Sukatani, Kecamatan Pacet, Kebupaten Cianjur, Jawa Barat). Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Satuhu, S. 2004. Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya. Jakarta. Simamora, S.R. 2007. Analisis Sistem Tataniaga Pisang (Kasus Desa Suka Baru Buring, Kecamatan Penengahan, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung). Skripsi. Program Studi Ekstensi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sunarjono, H. 2005. Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah. Penebar Swadaya. Jakarta. Sulastri, S. 1986. Studi Morfologi Kromosom Buah Salak. Laporan Penelitian. Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Suriyana, N. 2005. Analisis Tataniaga Beras di Pasar Tradisional dan Modern di DKI Jakarta. Skripsi. Program Studi Ekstensi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Solihin. 2001. Kajian Faktor-Faktor Penentu Produktivitas Salak Pondoh di Wilayah Sleman. Tesis. Program Studi Ilmu Tanah Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Taufan, R.M. 2006. Analisis Efisiensi Pemasaran Alpukat (Kasus di Desa Ciburial, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat). Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tomek, W.G and K.L. Robinson. 1972. Agricultural Product Price. Cornell Universty Press. London. Vinifera, N. 2006. Analisis Tataniaga Komoditas Kelapa Kopyor (Studi Kasus: di Desa Ngagel, Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati, Jawa Tengah). Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN - LAMPIRAN
Lampiran 1. Berbagai Jenis Salak Di Indonesia No. 1
Nama Bali
Daerah Asal Ds. Sibetan, Bali
2
Banjarnegara
Ds. Blitar, Banjarnegara
3
Condet
Kel. Condet, Jakarta
4
Doren
5
Gading
Bangkalan, Madura Kab. Sleman
6
Kebo
7
Kembang Arum
8
Manalagi
Bangkalan, Madura
9
Manggis
Bangkalan, Madura
10
Manonjaya
Ds. Pasirbatang dan Cilangkap, Tasikmalaya
11
Nangka
Ds. Bejalen, Ambarawa
12
Nasek (Nasi)
Bangkalan, Madura
Agak manis
13
Padang Sidempuan
Ds. Sibakua dan Hutalambang, Tapanuli Selatan
Manis ada asamnya, berair
14
Penjalin
15
Petruk
Bangkalan, Madura Ds. Bejalen, Ambarawa
Manis, renyah dan masir Manis sampai manis agak sepet, masir
16
Pondoh Hitam Pondoh kuning Pondoh merah
Ds. Soka, Sleman Ds. Soka, Sleman
Sangat manis, tidak masir Manis, tidak masir
Ds. Soka, Sleman
Manis, tidak masir
17 18
Bangkalan, Madura Ds. Kembang Arum, Sleman
Rasa Manis, kering, tidak masir, daging buah tebal Manis, manis agak sepet sampai sepet, masih berair Bervariasi dari manis sampai manis agak sepet, masir dan tidak berair Manis, masir, berair banyak Manis sampai manis agak sepet, masir Manis agak masam, masir Manis sampai manis agak sepet, masir Manis, masir, sedikit berair Manis, sedikit asam, masir, berair sedang Bervariasi dari manis sampai manis agak sepat, berair, tidak masir Manis agak sepet, berair banyak
Ukuran/Warna Kulit Kecil sampai sedang, coklat muda, sisik kecil-kecil Besar, coklat kekuningan sampai kehitaman Bervariasi dari kecil, sedang sampai besar, coklat sampai kehitaman Besar, kuning Sedang, kuning gading, mengkilap Besar, coklat kehitaman Kecil, sedang sampai besar, coklat Sedang sampai besar, agak kehitaman Sedang sampai besar, kehitaman Bervariasi dari kecil, sedang sampai besar, coklat sampai kehitaman Sedang, coklat kekuningan sampai kehitaman Sedang, coklat kekuningan sampai kehitaman Bervariasi dari kecil, sedang sampai besar, coklat sampai kehitaman Kecil, coklat kekuningan Sedang, bentuk agak memanjang, coklat sampai coklat kehitaman Kecil, coklat kehitaman Kecil, coklat kekuningan Kecil, coklat kemerahan
19
Pondoh merahkuning Pondoh merah-hitam
Ds. Soka, Sleman
Manis, sedikit asam
Kecil, kuning kemerah-merahan
Ds. Soka, Sleman
Manis, tidak masir
21
Super
Manis, masir
22
Suwaru
Ds. Blitar, Banjarnegara Ds. Suwaru, Malang
Kecil sampai agak besar, merah gelap kehitam-hitaman Besar, coklat muda
Manis sampai manis agak sepet, masir
Kecil, sedang sampai besar, coklat sampai coklat kehitaman
20
Sumber: Santoso (1990)
Lampiran 2. Keterpaduan pasar antara Pasar Salak Banjarnegara dengan Pasar Peneleh Surabaya Regression Analysis: Pit versus Pit-1, Pjt - Pjt-1, Pjt-1 The regression equation is Pit = 474 + 0.332 Pit-1 + 0.731 Pjt - Pjt-1 + 0.663 Pjt-1
Predictor Constant Pit-1 Pjt - Pjt-1 Pjt-1
Coef 473.7 0.3317 0.73131 0.6626
S = 80.0888
SE Coef 101.4 0.1160 0.04625 0.1159
R-Sq = 99.5%
T 4.67 2.86 15.81 5.72
P 0.000 0.010 0.000 0.000
R-Sq(adj) = 99.5%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source Pit-1 Pjt - Pjt-1 Pjt-1
DF 1 1 1
DF 3 18 21
SS 25076138 115456 25191594
MS 8358713 6414
F 1303.15
P 0.000
Seq SS 22821831 2044479 209827
Unusual Observations Obs 3
Pit-1 5587
Pit 5844.0
Fit 5650.0
SE Fit 43.7
Residual 194.0
St Resid 2.89R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Lampiran 3. Keterpaduan pasar antara Pasar Salak Banjarnegara dengan Pasar Induk Kramat Jati Jakarta Regression Analysis: Pit versus Pit-1, Pjt - Pjt-1, Pjt-1 The regression equation is Pit = 888 + 0.263 Pit-1 + 1.01 Pjt - Pjt-1 + 0.633 Pjt-1
Predictor Constant Pit-1 Pjt - Pjt-1 Pjt-1
Coef 888.0 0.2630 1.0051 0.6329
S = 330.262
SE Coef 496.9 0.4606 0.1414 0.4498
R-Sq = 95.3%
T 1.79 0.57 7.11 1.41
P 0.124 0.589 0.000 0.209
R-Sq(adj) = 92.9%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source Pit-1 Pjt - Pjt-1 Pjt-1
DF 1 1 1
DF 3 6 9
SS 13266672 654437 13921109
MS 4422224 109073
F 40.54
P 0.000
Seq SS 6524839 6525865 215968
Unusual Observations Obs 6
Pit-1 5834
Pit 2936
Fit 3091
SE Fit 322
Residual -155
St Resid -2.07R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Lampiran 4. Kuisioner Untuk Petani Salak Pondoh di Kabupaten Banjarnegara PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan Hormat, Saya mahasiswa Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor sedang melakukan penelitian yang berjudul “Sistem Tataniaga Komoditas Salak Pondoh di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah”. Oleh Zaky Adnany/A.14105719. Semua informasi dari hasil kuisioner ini bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan akademik. Atas kerjasama anda, saya ucapkan terima kasih. KUISIONER UNTUK PETANI SALAK PONDOH DI KABUPATEN BANJARNEGARA Karakteristik Petani 1. Nama : …………………………… 2. Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan 3. Umur : ……………..Tahun 4. Alamat : ……………………………… 5. Status : a. Menikah b. Tidak Menikah 6. Status dalam Keluarga : ..................................................... 7. Jumlah anggota Keluarga : …………….. Orang 8. Pendidikan Terakhir: a. Tidak Sekolah e. Diploma (D1/D2/D3) b. SD f. Sarjana (S1/S2/S3) c. SLTP g. Lainnya, sebutkan…… d. Sekolah Menengah/Kejuruan
Kegiatan Usahatani 9. Sudah berapa lama anda melakuan kegiatan usahatani salak pondoh ………….. 10. Apa alasan anda melakukan kegiatan usahatani salak pondoh: a. Harga bagus b. Pemasaran terjamin c. Ketersediaan kredit d. Keturunan/Tradisi e. Lainnya, sebutkan ……… 11. Apakah usahatani salak pondoh merupakan mata pencaharian utama? (Ya/Tidak) 12. Selain bertani salak pondoh. Apakah anda mengusahakan jenis usaha pertanian lain? (Ya/Tidak) 13. Jika Ya, jenis usaha pertanian apa yang anda usahakan, sebutkan ………… 14. Berapa luas lahan pertanian yang anda miliki/usahakan ………………… 15. Berapa luas lahan dari keseluruhan lahan yang anda miliki/usahakan untuk budidaya salak pondoh …………. 16. Status lahan: a. Hak milik c. Bagi hasil b. Sewa d. Lainnya, sebutkan …… 17. Apakah tanaman salak pondoh selalu berbuah sepanjang tahun? (Ya/Tidak) 18. Jika Ya, bagaimana pola panen buah salak pondoh yang anda terapkan …… harian/ mingguan/bulanan; dan berapa besar hasil panen pada setiap kali melakukan panen ………… 19. Jika Tidak, pada bulan-bulan musim tanaman salak pondok berbuah, bagaimana pola panen buah salak pondoh yang anda terapkan …… harian/mingguan/bulanan; dan berapa besar hasil panen pada setiap kali melakukan panen …………
20. Sedangkan pada bulan-bulan tanaman salak pondok tidak berbuah/berbuah sedikit, bagaimana pola panen buah salak pondoh yang anda terapkan …… harian/ mingguan/bulanan; dan berapa besar hasil panen pada setiap kali melakukan panen ………… 21. Apakah anda tergabung dalam kelompok tani salak pondoh? (Ya/Tidak) 22. Jika tergabung dalam kelompok tani, apa alasan anda bergabung dalam kelompok tani tersebut: …………………………………………………… 23. Pekerjaan tetap, selain petani : a. Pegawai Negeri d. Guru/Dosen b. Pegawai Swasta e. Lainnya, sebutkan …… c. BUMN 24. Kesulitan apa yang anda alami dalam usahatani salak pondoh sampai saat ini? ………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………. Sistem Tataniaga 25. Penjualan hasil panen ditujukan kepada siapa (dalam satu minggu terakhir)? Apakah lembaga tataniaga/pihak pembeli menerapkan suatu standar mutu, dan apakah ada sistem kontrak tertentu? 26. Apabila diterapkan suatu standar mutu dan melakukan penyortiran, apakah ada perbedaan harga berdasarkan mutu ……… No. Tujuan Penjualan Kelas Mutu Volume (kg) Harga (Rp/Kg) Ket. * 1. 2. Keterangan : * B (penjualan secara bebas); K (penjualan dengan kontrak) 27. Apabila tidak diterapkan suatu standar mutu dan melakukan penyortiran, penjualan hasil panen ditujukan kepada siapa ………(dalam satu minggu terakhir) No. Tujuan Penjualan Volume (kg) Harga (Rp/Kg) Ket. *
Keterangan : * B (penjualan secara bebas); K (penjualan dengan kontrak) 28. Jika diterapkan standar mutu dan melakukan kegitan penyortiran terhadap salak pondoh, bagaimana kelas mutu yang diterapkan ……… Ketuaan Tingkat Kelas Mutu Ukuran Bentuk Fisik Kotoran (%) Ketuaan
29. Apa alasan anda untuk menjual salak pondoh kepada pihak tersebut: ……………. 30. Apakah harga yang anda terima dari pihak-pihak yang disebutkan di atas sudah sesuai? 31. Apakah anda mengetahui harga jual salak pondoh dipasaran? (Ya/Tidak) 32. Jika Ya, maka dari mana anda mengetahui informasi harga salak pondoh tersebut? a. Petani lain e. Lainnya, sebutkan …… b. Kelompok tani c. Lembaga tataniaga d. Media massa
33. Bagaiman sistem penentuan harga yang terjadi ……… a. Ditentukan oleh pembeli/lembaga tataniaga b. Ditentukan oleh pemerintah c. Tawar-menawar d. Lainnya, sebutkan ………. 34. Dan bagaimana sistem pembayaran yang terjadi ……… a. Tunai b. Dibayar dimuka c. Dibayar sebagian d. Lainnya, sebutkan ……… 35. Bagaimana cara penyerahan barang ……… a. Ditempat pembeli b. Ditempat penjual 36. Jika harga salak pondoh mengalami penurunan, apakah anda tetap melakukan kegiatan pemanenan dan pemasaran hasil panen? (Ya/Tidak) 37. Jika Ya, apa alasan anda ……………………………………………. 38. Apakah anda pernah menerima bantuan kredit/modal? (Ya/Tidak) 39. Jika pernah, sebutkan: a. Dari siapa: ………… b. Jenis kredit/bantuan yang di dapat: ……… c. Jumlah kredit/bantuan yang di dapat: ……… d. Tingkat bunga kredit/pinjaman: ……… e. Jangka waktu pengembalian: ……… f. Besar angsuran kredit perbulan: ……… 40. Apakah kredit/bantuan tersebut meningkatkan usahatani anda? (Ya/Tidak) 41. Apakah ada perjanjian/ketentuan dengan pemberi kredit/bantuan mengenai cara/aturan dalam penjualan hasil panen produk pertanian khususnya salak? (Ya/Tidak) 42. Jika Ya, bisa anda jelaskan ……… 43. Hambatan dan masalah apa yang anda alami dalam kegiatan pemasaran salak pondoh? ………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………. 44. Harapan anda mengenai usahatani dan pemasaran salak pondoh: ………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………….
Lampiran 5. Kuisioner Untuk Banjarnegara
Pedagang
Salak
Pondoh
di
Kabupaten
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan Hormat, Saya mahasiswa Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor sedang melakukan penelitian yang berjudul “Sistem Tataniaga Komoditas Salak Pondoh di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah”. Oleh Zaky Adnany/A.14105719. Semua informasi dari hasil kuisioner ini bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan akademik. Atas kerjasama anda, saya ucapkan terima kasih. KUISIONER UNTUK PEDAGANG SALAK PONDOH DI KABUPATEN BANJARNEGARA Karakteristik Pedagang 1. Nama : …………………………… 2. Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan 3. Umur : …………….. Tahun 4. Alamat : ……………………………… 5. Status : a. Menikah b. Tidak Menikah 6. Status dalam Keluarga : ..................................................... 7. Jumlah anggota Keluarga : …………….. Orang 8. Pendidikan Terakhir: a. Tidak Sekolah e. Diploma (D1/D2/D3) b. SD f. Sarjana (S1/S2/S3) c. SLTP g. Lainnya, sebutkan…… d. Sekolah Menengah/Kejuruan 9.
Klasifikasi pedagang
: a. Pengumpul desa d. Pengecer b. Pengumpul kecamatan e. Lainnya, sebutkan …… c. Pedagang besar 10. Nama lembaga : ……………………………… 11. Bentuk lembaga : a. Perorangan c. Firma/CV b. Koperasi d. Lainnya, Sebutkan …… 12. Tahun mulai beroperasi : ……………………………… 13. Komoditas pertanian yang diperdagangkan (berdasarkan pembelian) Bulan** Komoditas %* 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Salak pondoh
Keterangan: * persentase terhadap seluruh komoditas yang diperdagangkan; ** kelimpahan komoditas (B/banyak; C/Cukup; S/Sedikit). 14. Jumlah pegawai tetap: Jenis Pekerjaan Jumlah (orang) Status pekerja* Upah/Bulan (Rp)
Keterangan: * anggota keluarga atau dari luar keluarga. 15. Apakah ada suatu perkumpulan usaha sejenis? (Ya/Tidak) 16. Jika Ya, apakah anda menjadi anggota perkumpulan usaha sejenis? (Ya/Tidak) 17. Jika Ya, sebutkan: ..................................................
a. Nama perkumpulan: ………………………………. b. Status/Jabatan: ……………………………………. c. Keanggotaan sejak: ……………………………….. 18. Jika Tidak, mengapa: 19. Apakah anda melakukan kemitraan dengan usaha lain: (Ya/Tidak) 20. Jika Ya, sebutkan: ………………………………………. No. Nama Mitra Jenis Kemitraan
Keterangan: Jenis kemitraan (inti plasma, dagang umum, agen, sub kontak, dan sebagainya) Sistem Pembelian 21. Jenis komoditas apa yang anda beli: No. Komoditas
Volume
22. Apakah anda menerapkan suatu standar mutu, dan apakah ada sistem kontrak tertentu dalam pembelian salak pondoh? 23. Apabila diterapkan suatu standar mutu dan melakukan penyortiran, apakah ada perbedaan harga berdasarkan mutu ……… 24. Jika diterapkan standar mutu dan melakukan kegitan penyortiran terhadap salak pondoh, bagaimana kelas mutu yang diterapkan ……… Ketuaan Tingkat Kelas Mutu Ukuran Bentuk Fisik Kotoran (%) Ketuaan
25. Tata cara pembelian: ……………………… (dalam satu minggu terakhir) Kegiatan Pembelian Uraian 1 2 3 1. Sumber pembelian 2. Volume (kg) a. Kelas mutu ……… b. Kelas mutu ……… c. Kelas mutu ……… 3. Harga (Rp/kg) a. Kelas mutu ……… b. Kelas mutu ……… c. Kelas mutu ……… 4. Lokasi 5. Alasan membeli pada sumber 6. Cara pembelian a. Bebas/tanpa kontrak b. Sistem kontrak c. Lainnya, sebutkan 7. Cara pembayaran a. Tunai b. Dibayar dimuka c. Dibayar sebagian d. Lainnya, sebutkan
4
8. Cara penentuan harga a. Ditentukan petani b. Ditentukan pedagang c. Tawar-menawar d. Lainnya, sebutkan 9. Cara penyerahan barang a. Ditempat penjual b. Ditempat pembeli 10. Cara memperoleh informasi harga 26. Apakah ada hambatan dan permasalahan yang terjadi dalam proses pembelian, sebutkan dan jelaskan! ………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………. Sistem Penjualan 27. Jenis komoditas apa yang anda jual: No. Komoditas
Volume
28. Apakah anda menerapkan suatu standar mutu, dan apakah ada sistem kontrak tertentu dalam penjualan salak pondoh? 29. Apabila diterapkan suatu standar mutu dan melakukan penyortiran, apakah ada perbedaan harga berdasarkan mutu ……… 30. Jika diterapkan standar mutu dan melakukan kegitan penyortiran terhadap salak pondoh, bagaimana kelas mutu yang diterapkan ……… Ketuaan Tingkat Kelas Mutu Ukuran Bentuk Fisik Kotoran (%) Ketuaan
31. Tata cara penjualan: ……………………… (dalam satu minggu terakhir) Kegiatan Pembelian Uraian 1 2 3 1. Tujuan penjualan 2. Volume (kg) a. Kelas mutu ……… b. Kelas mutu ……… c. Kelas mutu ……… 3. Harga (Rp/kg) a. Kelas mutu ……… b. Kelas mutu ……… c. Kelas mutu ……… 4. Lokasi 5. Alasan penjualan 6. Cara penjualan a. Bebas/tanpa kontrak b. Sistem kontrak c. Lainnya, sebutkan 7. Cara pembayaran
4
a. Tunai b. Dibayar dimuka c. Dibayar sebagian d. Lainnya, sebutkan 8. Cara penentuan harga a. Ditentukan petani b. Ditentukan pedagang c. Tawar-menawar d. Lainnya, sebutkan 9. Cara penyerahan barang a. Ditempat penjual b. Ditempat pembeli 10. Cara memperoleh informasi harga 32. Perkembangan volume penjualan dan harga beberapa minggu terakhir: Bulan Minggu Volume (kg) Harga (Rp/kg)
33. Biaya dari kegiatan tataniaga yang ditanggung, baik dari proses pembelian dan proses penjualan: No. Jenis Kegiatan Biaya (Rp) 1 Pengangkutan 2 Pengemasan 3 Retribusi 4 Penyusutan 5 6 7 Aspek Pembiayan Usaha 34. Apakah anda pernah menerima bantuan kredit/modal? (Ya/Tidak) 35. Jika pernah, sebutkan: a. Dari siapa: ………… b. Jenis kredit/bantuan yang di dapat: ……… c. Jumlah kredit/bantuan yang di dapat: ……… d. Tingkat bunga kredit/pinjaman: ……… e. Jangka waktu pengembalian: ……… f. Besar angsuran kredit perbulan: ……… 36. Apakah kredit/bantuan tersebut meningkatkan usaha anda? (Ya/Tidak) 37. Apakah ada perjanjian/ketentuan dengan pemberi kredit/bantuan mengenai cara/aturan dalam pembelian maupun penjualan komoditas salak pondoh? (Ya/Tidak) 38. Jika Ya, bisa anda jelaskan ……… 39. Hambatan dan masalah apa yang anda alami dalam kegiatan pemasaran salak pondoh? ………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………. 40. Harapan anda mengenai pemasaran salak pondoh: ………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………….