Sisir Tua Jangan salahkan waktu, Hujan tak kunjung berhenti dari pusarannya. Menitiknitik di setiap celah bumi yang tak beratap. Janji yang sudah dibungkus, rasanya tak bisa untuk diurai kembali. Dalam hitungan detik, suaranya semakin menjadi-jadi. Sungguh membuat perut ini bengkak, langkah-langkah kaki terhenti di pinggir jalan aspal yang tak berpenghuni. Seragam sekolah yang dipakai, terasa percuma untuk dilihat. Warnanya yang putih, telah berubah menjadi kusam dengan motif garis-garis kuning di setiap permukaannya. Perbedaan yang aku alami, sama sekali tidak membuat semangat ini gentar. Apalagi bertarung dengan mimpi, sayang rasanya jika aku kalah. Mengasah setiap topeng-topeng yang berkelana. Menusuk sadel kosong yang terpampang rapi di mobil Jazz tetangga sebelah. Semakin percaya diri. Tak ada halangan berarti untuk semua ini. Pagi itu, tepat 19 tahun usiaku. Jadul Permana Putra, lelaki malang yang telah lusuh dimakan waktu. Dengan tinggi diatas rata-rata, kulit putih, dan hidung mancung. Sekilas penggambaran kondisi tubuhku. Tapi, orang-orang sangat resah dengan cara berjalanku yang lemah, tak berirama. Idiot, mungkin itulah kata-kata yang tepat untukku. Tapi sayang sekali, semua itu hanya fitnah belaka bagi diriku pribadi. Aku merasa aku normal, karena tubuh ini masih berstatus sebagai siswa. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat untuk menuntut ilmu. Dari SD, SMP, dan hingga kini SMA. Bukankah itu bukti, kalau aku hidup normal seperti yang lainnya. Mungkin anggapan itu hadir, karena aku ini pendiam. Tak pernah berinteraksi dengan dunia luar. Tertutup dalam segala hal. Benar !! itu adalah aku. Jadul anak dari seorang sopir truck yang menghabiskan hari disepanjang jalan lintas provinsi. Tak bisa kupungkiri pendapat-pendapat tersebut hadir setiap hari ditelingaku.
Keseharian berdiam diri di rumah, sering kali mendapat celaan dari mulut-mulut tajam yang berada di sekitarku. Mereka tak pernah mengerti, jika aku sedang bergelut dengan ilmu. Buku menjadi teman dan tempat curhat. Karena hanya bukulah yang mengerti kondisi jiwaku. Entah mengapa aku begitu sulit untuk berinteraksi dengan dunia luar, apalagi berkumpul dengan remaja-remaja yang sesuiaku. Dari kecil hanya berdiam diri di rumah, tak pernah menginjakkan kaki di tempat tongkrongan. Oleh karena itu aku tidak punya banyak teman. Hanya dua orang sahabat yang mau melayaniku untuk mengobrol. Itu pun kalau mereka tidak ada kegiatan. Selebihnya hanya memanfaatkan aku untuk mengerjakan tugas. Aku sering dibentak-bentak dan diancam, jika tidak mau mengerjakan tugas mereka. Kecupuanku seakan-akan menjadi makanan empuk bagi mereka semua. Di era modern seperti saat sekarang, teknologi menjadi kebutuhan primer bagi setiap mereka yang mempunyai materi lebih. Apalagi urusan wanita, zaman telah membutakan mata-mata mereka yang terpicut oleh kerennya sebuah mobil dan sepeda motor. Kota metropolitan, yang hiruk pikuk oleh ngaungan harimau-harimau besi. Menjadikan pola kehidupan itu lebih instan. Segala cara dilakukan tanpa pemikiran yang jelas. Hanya mengikuti hawa dan nafsu masing-masing. Cupu bukan berarti kalah, tapi cupu adalah awal untuk menjadi sosok yang tegas dalam berfikir. Begitulah statman yang aku keluarkan. Asapasap yang telah menyeruak di sepanjang jalan ibu kota sering kali menggangu pernafasanku yang tersendat-sendat. Faktor itu juga lah yang memaksaku untuk tetap berdiam diri di rumah. Semoga saja anggapan-anggapan itu akan cepat hilang dari mulut-mulut mereka. Setelah beberapa menit menunggu, hujan pun tak kunjung berhenti. Terpaksa aku masuk lagi ke kamar. Tidak mungkin rasanya jika hujan itu tetap ditempuh. Resiko besar yang harus diperhitungkan. Metromini yang sudah menjamur, bus way yang setiap menit lalu lalang, tidak membuatku gembira sama sekali. Aku justru menghargai jasa sepasang kaki 2
ini, karena ia tak pernah membuat polusi. Keringat yang selalu keluar, membuat tubuhku semakin sehat. Tak pernah aku merasa bosan dengan siklus tersebut. Justru aku lebih bahagia jika disetiap jalan ibu kota, dipenuhi oleh sepeda. Tapi, itu hal itu tak mungkin. Jika kemeriahan itu akan lenyap begitu saja. Tinggal di pinggiran kali, dengan aroma yang sangat luar biasa, tak pernah menjadikan hidup itu terasa suram. Justru keadaan itu membuat hidup terasa indah. Rezeki datang dengan izin yang Maha Kuasa. Untuk urusan cinta, aku memang sering ketinggalan. Di umur yang sudah mendekati kepala 2, aku sama sekali belum pernah merasakan cinta. Apalagi yang dinamakan pacaran. Karena itu tadi, cupu dan miskin membuatku tak berarti bagi wanita. Aku hanya dianggap sebagai sampah. Tak berarti apapun, hanya sebagai pesuruh. Mengerjakan setiap apa yang mereka perintahkan. Tapi aku tetap melakukan semua itu dengan sepenuh hati. Aku tak pernah membenci mereka, karena mereka adalah teman-temanku juga. Hanya doa yang selalu kusematkan untuk orang-orang yang selalu menyiksa dan menghinaku. Bukan mendoakan agar mereka celaka, tapi mendoakan mereka agar sadar dengan sikap dan prilakunya. Sungguh malang nasib ini, dari ratusan wanita yang berada di SMA. Tempat aku sekolah, tak satu pun yang melihat dan menyatakan suka kepadaku. Padahal aku sudah berusaha untuk menjadi pria sempurna. Lagi-lagi cupu menjadi masalah. Kaca mata yang sering aku pakai, seakan-akan menjadi pandangan buruk bagi setiap mereka yang melihat. Baju yang selalu masuk ke dalam celana, membuat suara-suara itu selalu berkumandang setiap saat. Ditambah lagi model rambut yang dibelah tepi, semakin membuat ejekan itu menjadijadi. Hidup di zaman modern, sering kali memaksaku untuk berubah. Tapi itu tak mungkin aku lakukan, karena aku ingin menjadi diri sendiri. Bukan berarti aku tak ingin berubah. Hanya menunggu waktu yang akan membawaku bergabung dengan 3
mereka. Keseharianku di rumah, membaca dan menulis setiap ide dan imajinasi yang muncul, setidaknya bisa membantu meringankan beban ilmuan yang meneliti sesuatu yang baru. Sttt hayalan tingkat tinggi mulai menghampiri pikiran ini. Tidak hanya itu, aku juga sering mencoba untuk melakukan penelitianpenelitian kecil. Baik itu berbentuk tulisan, maupun bidang keilmuan yang menyangkut dengan alam. Prestasi yang paling membanggakan bagi diriku, ketika mendapat juara satu dalam ajang penulisan cerpen tingkat JABODETABEK. Sehingga karyaku dimuat disebuah media masa yang terkenal di Jakarta. Berawal dari sana, semangat untuk menjadi seorang penulis semakin menjadi-jadi. Tiap minggu aku selalu mengirimkan cerpen ke media-media masa yang ada. Namun, lagi-lagi keberuntungan menjadi alasan untuk bersabar. Ada yang diterima, dan ada juga yang ditolak. Memang tidak bisa dipungkiri, jika menjadi seorang penulis itu harus bersabar dan berusaha keras untuk menghasilkan sebuah karya yang bagus. Aku pun selalu bekerja keras untuk mencapai target, menjadi seorang penulis professional. Oleh karena itu tak banyak waktu bagiku untuk keluar dari rumah. Waktu hanya berjalan dan habis bersamaan imajinasi yang setiap kali mengisi ruang-ruang kertas yang kosong. Seperti itulah hari-hariku, tak pernah terlintas dibenakku untuk berubah dan mengubah. Keyakinan yang selalu hinggap di relung hati, memaksaku untuk selalu bertahan di posisi tersebut. Sebelum mimpi itu terwujud, aku tidak akan pernah menyerah dengan keadaan. Begitulah tekadku. Aku tak ingin kecewa dengan diriku sendiri. Logika telah membuatku bertahan dengan semua itu. Tanpa bantuan dan support dari orang tua , aku merasa bisa untuk berkibar sendiri. Biarkan kata idiot itu menyeruak di bumi ini. Aku tak akan memfonis kata itu, karena manusia itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Jadi untuk apa aku terganggu oleh perkataan mereka. Waktu begitu cepat berlalu, sehingga aku semakin ketinggalan dalam mempersiakan diri menujuju kesuksesan. Lambaian tangan-tangan yang menyeruak untuk minta tolong. 4
Seakan-akan memicu semangat juang yang telah lama aku tebar di tubuh ini. Melingkari lika-liku dunia, seakan-akan mengahadirkan sejuta cerita. Dalam perjalanan waktu, semua itu akan berangsur-angsur kutulis dalam sebuah sampul kehidupan. Tiga jam sudah, hujan itu mengguyur Ibu kota. Aku terpaksa bolos, karena tak bisa menempuh kerapian barisannya. Takut, penyakitku kambuh, apalagi jarak sekolah yang lumayan jauh dari tempat tinggal. Hidup sendiri, dalam tekanan yang begitu berat. Itulah yang selalu aku hadapi. Dengan tikar pandan yang terbaring lemah, aku menghambiskan kesedihan itu. Merapikan setiap tali yang sudah kusut, dan berusaha menggulung setiap tali yang sudah rapi. Hidup dalam bayangan, membuat tubuh ini harus kuat dalam segala hal. Bertahan pada suatu sisi, entah itu baik maupun buruk. Yang terpenting diantara sisi-sisi tersebut ada terselip sebuah harapan. Semua ejekan yang datang, akan kutempel disudut hatiku. Tak akan kubiarkan, semua itu terungkit lagi. Suatu saat ia akan mati dan lenyap bersama setetes air yang ku teguk. Jika itu yang mereka mau, aku akan menghargainya. Walaupun semua itu pahit bagiku. Perjalanan yang masih panjang, akan aku usahakan untuk belajar menghadapinya. Lagi-lagi waktu menenggelamkan hari-hariku. Ia pun mengantarkan tubuh ini kedalam bayangan gelap sang penguasa langit. Dalam senyuman bintang-bintang, aku tersentak untuk menyadarkan diri. Melihat keindahan jagat raya yang dititipkan Tuhan. Sedikit membuatku terhibur. Dari kegembiraan bendabenda langit tersebut, aku bisa mengambil pelajaran jika kebersamaan menjadi kunci keharmonisan. Sangat berbeda dengan keluargaku, semua menjadi berantakan karena kehadiranku sebagai anak yang tak berguna. Seperti kata Ayah, aku hanya pembawa sial. Anak pembawa sial. Sungguh aku tak menyangka, perkataan itu sangat menusuk palung hatiku. Kalau saja aku bisa menawar, tubuh ini tak akan aku biarkan lahir di keluarga ini, yang selalu menekanku.
5
Tapi semua itu hanya bersifat sementara, seminggu setelah aku mengeluarkan kata sesal. Aku ambil dan kuhapus lagi statman yang tak berguna tersebut. Pemikiran dan logika lagi-lagi mengajarkanku arti dari sebuah kehidupan. Tak mengenal kata menyerah, dengan semua itu aku akan berusaha untuk bertahan menjadi sosok yang lebih baik. Genggaman itu telah diikat dengan darah, sehingga semua itu menjadi taruhan bagiku. Jika kelak aku berhasil, aku akan mencium kedua telapak kaki orang tua yang telah melahirkan tubuh ini. Semoga saja beliau bangga dan mengambil kembali kata-kata pembawa sial tersebut. Aku tidak mau jika kedua orang tuaku menjadi manusia jahat. Dalam artian, aku tidak mau mereka berdosa karena kekurangan yang aku punya. Sehari telah terlewatkan dengan begitu saja. Tanpa hasil yang berwujud. Malam yang begitu tentram, datang menemani kesendirianku. Ibu yang berprofesi sebagai Guru, baru pulang dari rutinitasnya. Sedih rasanya, jika melihat beliau pulang dengan ekpresi wajah yang begitu lelah. Nasib yang berkata, jika kehidupan keluargaku berbeda dengan kehidupan guru-guru lainnya. Mungkin karena Ibu belum mendapat predikat Pegawai Negeri. Jelas saja, kehidupan kita masih seperti itu. Tinggal di gubuk kecil di pinggir kali. Dengan perabotan seadanya. Lemari tua dan TV hitam putih, mungkin itulah yang paling mewah menurutku. Isi rumah yang sangat berbeda dengan orang-orang lainnya. Jika menatap dinding, rumahku terlihat antik. Karena begitu banyak ukiran-ukiran halus yang melobangi dinding rumah. Sehingga cahaya mentari bebas keluar masuk dinding. Lantai yang begitu unik, menyatu dengan alam. Terkadang aku tertawa sendiri melihatnya, tanpa pergi ke pinggir kali. Aku sudah bisa menemukan cacing di dalam rumah. Karena lantai rumah sudah berteman dekat dengan alam. Tanpa sekat yang berat, aku mencoba mengubah pandangan tersebut. Agar semua itu bisa terlihat luar biasa. Begitulah harapanku sebagai seorang anak yang mengharapkan kebahagiaan.
6
Tanpa sova, ruang tamu terlihat lengang seperti stadion GBK yang tak berpenonton. Hanya tumpukan kain yang terlihat, disudut rumah unikku. Sungguh luar biasa perawakan rumah seorang guru. Kondisi itu tetap menjadi rumah idola di hati ini. Karena aku tak sanggup untuk mencela, hasil keringat kedua orang tuaku sendiri. Begitu indah perjuangan mereka demi keluarga. Tanpa mengenal lelah, semuanya itu berusaha untuk saling mengemban beban kehidupan yang sangat berat tersebut. Maghrib yang sudah menjelang, aku tutup dengan sholat. Setelah kewajiban itu aku laksanakan. Al-Qur’an pun sudah standby untuk dilafaskan. Aku berusaha menghiasi rumah dengan lantunan ayat-ayat suci Allah. Dengan tujuan rumah unikku akan terasa lebih nyaman dan indah dalam pandangan hati. Agar tak merugi dalam dua sisi, aku berusaha menambal kejelekan tersebut. Tak bisa dipungkiri, jika dalam penglihatan nyata rumah itu sangat jelek. Oleh karena itu, aku pribadi berusaha menepis semua itu. Agar keseimbangan itu terjadi. Meraba-raba dalam kegelapan, menuai setiap benih yang tumbuh dalam peradaban keluargaku. Hanyut dalam kesengsaraan sesaat, dengan ajudan seribu dahan. Hiasan kini mulai menjulang dari segala arah, tak menentu, menyerempet setiap topeng yang telah dipajang. Antara hidup dan sengsara. Keduanya berbanding tipis dalam hitungan kalkulator jiwaku. Menekan setiap angka yang telah bosan diam di pusat digital. Sorak-sorak gembira, terdengar dari setiap plat B yang masuk di gang elit sebelah. Begitu berbeda dengan gang, dimana aku tinggal. Hanya suara-suara kelaparan yang selalu terdengar di telinga ini. Arahan yang tak kunjung datang menghampiri setiap mata yang sudah begadang setiap malam. Membuat remajaramaja, putus asa untuk menggapai kesuksesannnya. Sehingga kenakalan-kenakalan itulah yang diupayakan oleh mereka, agar terjadi kesinambungan antara hawa dan nafsu. Sebuah pemikiran yang sesat, dalam era globalisasi seperti saat sekarang ini. Arah yang tak jelas, maut yang tak pasti, dan mimpi yang tak menentu. Memaksa mereka untuk berfoya-foya 7
menikmati kehidupan dunia. Kesenangan dalam artian pahit. Dunia luar yang semakin menjamur disetiap sudut kehidupan. Itulah faktor utama penyebab dari kekeliruan remaja-remaja ibu kota. Sekilas pemikiran-pemikiran sosial yang terlintas. Sebagai motifasi untuk diri sendiri. Melangkah sedikit, akan memberikan semangat baru untuk dikenang. Masih dihari itu, Aku berusaha untuk mengambil hati keluarga. Terutama Ibu, yang sekian lama tak pernah berbicara baik terhadap diri ini. “ Aku buatkan teh yaa Bu !!!” aku mencoba untuk merayu, walaupun itu sangat sulit. “Aku bisa membuatnya sendiri, tak usah kau berbasa basi idiot…” ucapannya yang sangat menusuk hati. “Baiklah Ibu, permisi…” ku cukupkan sampai disitu, karena tak tahan dengan ucapan tersebut. “Mau kemana kamu? Kamar? Kapan tubuhmu itu akan normal, kalau setiap hari hanya berdiam diri…” dengan nada yang sangat tinggi, kemarahan yang sudah biasa terlintas di telinga, mulai datang lagi. “Aku mau ke kamar. Benar, Ibu tidak salah, aku idiot, aku pembawa sial dan aku tak berguna…” sedikit pembelaan dan kesadaran yang aku banting, untuk menyehatkan kondisi hati yang semakin retak. “Pintar sekali kamu menjawab perkataanku!! belajar dari mana idiot? Baru kali ini aku mendengar kamu berbicara…” ucapannya yang penuh kekeliruan. “Aku terpaksa berkata seperti itu, karena batinku merasa hina. Maafkan aku Ibu, jika tubuh ini tak berguna…” aku lari meninggalkan suasana yang mencekam tersebut. Ibu yang menjadi obor bagi perasaan. Melontarkan kalimat yang sama terhadap kekuranganku sebagai seorang anak. Malam itu menjadi malam suram lagi bagi catatan harianku. Berawal dari celaan Ayah, tetangga, teman-teman, 8
saudara dan diakhiri oleh Ibu yang sangat aku sayang. Tak ada tempat mengadu, tak ada tempat untuk curhat. Hanya kepingkeping kesedihanlah yang selalu aku dapat. Sungguh tak berarti semua yang telah aku lakukan. Percuma dan percuma aku bertahan dalam kondisi yang rumit ini. Adik-adikku yang sudah mulai beranjak dewasa. Tak pernah menyapa dan menyebut namaku. Mungkin mereka malu dengan semua kekuranganku. Bertahun-tahun aku hidup bersama kedua orang adik, namun tak sekalipun mereka bergaul dengan tubuh yang hina ini. Air mata yang telah kering, membuat semuanya terhenti di suatu tempat. Dimana aku harus sabar dalam mengahadapi semua cobaan tersebut. Ayah yang menghabiskan hari-harinya di jalan, membuat kesempatan itu sangat sedikit untk berbicara. Belum lagi, cacian dan penyesalan yang selalu beliau lontarkan kehadapanku. Malang, sungguh malang nasibku sebagai seorang anak. Tak diakui, tak diperhatikan, dan tak pernah diajak kompromi. Di rumah, disekolah, maupun lingkungan masyarakat luas, mereka membenci kehadiranku. Aku tidak mengerti, sungguh tak mengerti dengan semua itu. Dalam kesedihan, aku teringat kepada anggota pengajian di Mesjid. Mungkin beliau-beliaulah yang bisa menyehatkan kembali hatiku. Terutama Pak Ustadz Ali, sosok yang penyayang dan memperhatikanku. Beliau Selalu memberikan masukan, dan mengajakku untuk selalu bersabar. Menerima segala bentuk prahara yang terjadi. Karena itu aku langsung meninggalkan rumah. Berjalan menuju mesjid, yang lumayan dekat dari tempat tinggalku. Mungkin dalam, beberapa menit lagi waktu sholat isya akan datang. Langkah-langkah kaki yang agak lambat, berusaha aku percepat. Disinilah terlihat kelemahanku, dalam berjalan, terpincang-pincang seperti anak idiot.
9