SIMULASI DISPERSI GAS KARBON MONOKSIDA (CO) DALAM GARDU TOL MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) Studi Kasus: Gerbang Tol Bogor
AFRILIA PASHA
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ABSTRAK AFRILIA PASHA. Simulasi Dispersi Gas Karbon Monoksida (CO) dalam Gardu Tol menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD). Di bawah bimbingan ANA TURYANTI dan FADILAH HASIM. Gerbang tol merupakan salah satu lokasi potensial yang dapat digunakan untuk melakukan pengukuran kadar polutan terutama karbon monoksida (CO). Keberadaan zat pencemar berupa CO ini akan meningkat seiring dengan peningkatan antrian jumlah kendaraan yang akan dan telah melewati gerbang tol. Pemantauan kualitas udara baik di sekitar maupun di dalam gardu tol perlu dilakukan dalam rangka pengendalian keberadaan zat pencemar, salah satunya adalah dengan cara melakukan simulasi dispersi polutan dengan menggunakan model atau software untuk mengetahui potensi keterpaparan polutan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan membandingkan pola aliran dan dispersi CO di dalam dua variasi gardu tol dengan nilai konsentrasi yang berbeda. Pendekatan yang digunakan dalam simulasi aliran gas dan udara dalam penelitian adalah komputasi dinamika fluida (CFD) dengan studi kasus Gerbang Tol Bogor. Sementara pemodelan turbulensi aliran dilakukan oleh perangkat lunak Fluent dengan menggunakan persamaan k-epsilon. Hasil pengukuran menunjukkan nilai kecepatan angin pada jam ke-1 (0,7 m/s) lebih besar daripada nilai kecepatan angin pada jam ke-4 (0,5 m/s). Di sisi lain, hasil konsentrasi CO yang terukur pada jam ke-1 (7,5 (ppm) jauh lebih kecil hingga sembilan kali lipat daripada hasil konsentrasi yang terukur pada jam ke-4 (68 (ppm). Sementara hasil simulasi Fluent menunjukkan bahwa distribusi kecepatan angin dan dispersi gas CO pada Geometri A jauh lebih baik daripada Geometri B. Hal ini disebabkan udara kotor lebih cenderung bertahan lama pada geometri yang memiliki volume lebih besar dan letak outflow yang jauh dari inlet.
ABSTRACT AFRILIA PASHA. Simulation of Karbon Monoxide (CO) Dispersion in Toll Booth using Computational Fluid Dynamics (CFD). Guided by ANA TURYANTI and FADILAH HASIM. Toll gate is one of potential location that can be used to measure the pollutant content, especially the carbon monoxide (CO). The existence of the contaminant in the form of CO will increase as the vehicle volume increase. The air quality observation either inside or outside the toll booth is needed to control the pollutant existence. One of the ways is by doing the pollutant dispersion simulation using model or software to identify the pollutant exposure potential. The objective of this study is to understand and compare the CO flow pattern and dispersion in four cases consisted of two different toll booth with two different CO concentration values. Measurement for concentration, temperature, and velocity was conducted at Bogor’s toll gate. Simulation of flow for gas and air inside the toll booth then was performed by CFD approach using computational code Fluent. The turbulence flow was computed using k-epsilon model. The measurement results show that the wind velocity at the hour-1 (0,7 m/s) is higher than the velocity at the hour-4 (0,5 m/s). On the other hand, the concentration of CO measured at hour-1 (7,5 (ppm) is nine time lower than the concentration measured at hour-4 (68 (ppm). The simulation results show that the distribution of wind velocity and dispersion of CO in Geometry A is much favourable than those in Geometry B. This is due to air with the pollutant are more likely to last longer on the geometry that has a larger volume and has a location of outflow far from the inlet.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Judul
Nama NRP
: Simulasi Dispersi Gas Karbon Monoksida (CO) dalam Gardu Tol menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD) Studi Kasus: Gerbang Tol Bogor : Afrilia Pasha : G24070038
Disetujui, Pembimbing 1
Pembimbing 2
Ana Turyanti, S. Si. MT NIP. 19710707 199803 2 002
Dr. Fadilah Hasim NIP. 19700723 198911 1 001
Diketahui, Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS NIP. 19600305 198703 2 002
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul “Simulasi dispersi gas CO pada gardu tol dengan menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD)”sebagai salah satu syarat kelulusan pada Program Studi Meteorologi Terapan. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, penulis haturkan kepada: 1. Keluargaku tercinta, ibu dan bapak serta kakak-kakakku terima kasih atas segala doa, kasih sayang dan motivasi serta fasilitas yang telah diberikan selama ini sehingga penulis terus memiliki semangat untuk menyelesaikan tugas akhir. 2. Ibu Ana Turyanti, S.Si, M.T dan Bapak Dr.Fadilah Hasim selaku pembimbing tugas akhir yang selalu memberikan arahan dan motivasi serta bantuannya dalam penyusunan tugas akhir. 3. Kepala Laboratorium Meteorologi dan Polusi Atmosfer, Prof. Ahmad Bey dan bapak Bregas Budianto sebagai pembimbing akademik yang selama ini selalu dapat meluangkan waktunya untuk berdiskusi dan juga memberikan saran-saran kepada penulis beserta seluruh dosen Departemen Geofisika dan Meteorologi baik atas masukan dan ilmu yang telah diberikan maupun atas pesan moral yang disampaikan demi kebaikan dan keberhasilan penulis. 4. PT. Jasa Marga yang telah bersedia memberikan kesempatan pada penullis untuk memperoleh data dan desain serta melakukan pengambilan sampel kualitas udara. 5. Ibu Elis, pak Fauzi, ibu Ibad, pak Edy, pak Edo, ibu Ika, ibu Yuyun, pak Alamsyah, pak Usman, pak Ade dan seluruh staf PT.Jasa Marga atas bantuannya dalam pengurusan administrasi selama di PT. Jasa Marga Cabang Jagorawi. 6. Pak Rudy dan Bemby yang telah membantu penulis dalam melakukan pengukuran lapang di gerbang tol Bogor. 7. Neday, Bemby, Sigit, Anis, Tetet, Iyut, Dimas, Eca, Nono, Andi, Piet, Rinchan, Oiz, Eka, Ii, Ike, Firda, Unduh, Naren, Syamsu, Wari, Nda, Rendra, Anto, kak Victor, kak Yuli, kak Daniel, kak Uji baik atas bantuannya secara langsung maupun atas waktunya untuk mendengarkan curahan hati penulis. 8. Seluruh teman-teman GFM angkatan 44 yang selama 3 tahun sudah menuntut ilmu bersamasama di departemen tercinta, terima kasih banyak atas pertemanannya, kebaikannya, keceriannya, keikhlasannya, semangatnya, persaudaraannya, semoga tetap “Solidarity Forever” 9. Staf perpustakaan, pak Pono atas pinjaman buku, skripsi, dll. Staf TU, mas Aziz, mas Nandang, pak Udin, pak Djun, teh Wanti, bu Enda, terima kasih atas bantuannya dalam mengurus segala administrasi yang dibutuhkan oleh penulis. 10. Penghuni 3 Regina, mba Resti, Laras, Linda, Ifa, Dhanis, Besta, Widya, mba Uwi, mba Apong, Via, Tita, Sisi dll.,atas kebersamaan, keceriaan dan persaudaraannya serta semangat untuk saling memberi motivasi dalam menyelesaikan tugas akhir. 11. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu-persatu dalam penyelesaian tugas akhir ini. Penulis sangat berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca sebagai alternatif dalam melakukan pemantauan kualitas udara khususnya dari emisi kendaraan bermotor. Penulis juga menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak kekurangan maupun kesalahan. Oleh karena itu, masukan dari para pembaca sangat diharapkan guna memperbaiki sehingga tulisan ini bisa menjadi lebih baik. Bogor, .Oktober 2011
Afrilia Pasha
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 April 1989 dan merupakan putri bungsu dari pasangan H. Sardjono dan Hj.Kasiem. Penulis menempuh pendidikan dasar sejak tahun 1995 di SDN Cipulir 03 Pagi hingga tahun 2001 dan menamatkan pendidikan menengah pertama di SLTPN 48 Jakarta Selatan pada tahun 2004 serta menyelesaikan pendidikan menengah akhir di SMUN 32 Jakarta Selatan pada tahun 2007. Kemudian pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswi IPB program Mayor-Minor melalui jalur USMI dengan memilih program Studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan pada tingkat 3 penulis berhasil menyelesaikan program minor Ekonomi Sumberdaya, Departemen Ekonomi Sumberdaya Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama masa perkuliahan penulis pernah aktif dalam beberapa organisasi seperti, Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (DPM FMIPA) pada tahun 2009, kemudian Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (HIMAGRETO) pada tahun 2010, Himpunan Mahasiswa Meteorologi Indonesia (HMMI) serta Indonesian Climate Student Forum (ICSF). Selain itu, penulis juga pernah mengikuti kegiatan magang di UPT Hujan Buatan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (UPTHB BPPT) pada tahun 2010.
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................................................ x DAFTAR GAMBAR. ..................................................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................................. xii I
PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ....................................................................................................................... 1 1.2Tujuan ..................................................................................................................................... 1
II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 2 2.1 Pencemaran Udara ................................................................................................................. 2 2.1.1 Jenis, Sumber dan Dampak Pencemar Udara ................................................................ 2 2.1.2 Pencemaran Udara Akibat Kendaraan Bermotor .......................................................... 4 2.1.3 Karakteristik Karbon Monoksida (CO) ......................................................................... 5 2.1.4 Baku Mutu Udara Ambien (BMUA) ............................................................................ 6 2.2 Peranan Atmosfer dalam Pencemaran Udara ........................................................................ 7 2.2.1 Proses Dispersi .............................................................................................................. 7 2.2.2 Proses Transformasi ...................................................................................................... 8 2.2.3 Proses Transport............................................................................................................ 8 2.2.4 Proses Dilusi ................................................................................................................. 8 2.3 Model Matematis Dispersi Polutan........................................................................................ 8 2.3.1 Fixed-Box Model .......................................................................................................... 9 2.3.2 Model Dispersi Gaussian .............................................................................................. 9 2.4 Computational Fluid Dynamics (CFD) ............................................................................... 10 2.5 GAMBIT (Geometry and Mesh Building Intelligent Toolkit) ............................................. 11 2.6 Fluent ................................................................................................................................... 11 2.7 Pendekatan dalam Aliran Fluida .......................................................................................... 11 2.7.1 Persamaan Kontinuitas ................................................................................................ 12 2.7.2 Persamaan Navier-Stokes ........................................................................................... 12 2.7.2 Persamaan Turbulensi ................................................................................................. 12 2.8 Kondisi Lingkungan Gerbang Tol Bogor ............................................................................ 13 III METODOLOGI ...................................................................................................................... 13 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................................................. 13 3.2 Alat dan Bahan .................................................................................................................... 13 3.3 Parameter Input ................................................................................................................... 14 3.3.1 Data Fisik Gardu Tol................................................................................................... 14 3.3.2 Data Konsentrasi Polutan ............................................................................................ 14 3.3.3 Data Meteorologi ........................................................................................................ 14 3.4 Data Volume Lalu Lintas..................................................................................................... 14 3.5 Analisis Kualitas Udara Ambien ......................................................................................... 14 3.5.1 Kurva Kalibrasi ........................................................................................................... 14 3.5.2 Pengujian Contoh Uji .................................................................................................. 15 3.6 Metode Penelitian (Simulasi CFD) ...................................................................................... 15 3.6.1 Langkah pada GAMBIT ............................................................................................. 15 3.6.2 Langlah pada Fluent .................................................................................................... 16 3.7 Asumsi yang digunakan pada Model ................................................................................... 18 IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................................ 18 4.1 Kondisi Kepadatan Lalu Lintas GerbangTol ....................................................................... 18 4.2 Simulasi Dispersi Gas CO dengan Menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD) ................................................................................................................................... 20 4.3 Pengaruh Kecepatan Angin terhadap Dispersi Polutan CO ................................................. 20 4.3.1 Distribusi Angin pada Geometri A ............................................................................. 20 4.3.2 Distribusi Angin pada Geometri B .............................................................................. 22 4.4 Konsentrasi Karbon Monoksida .......................................................................................... 24 4.5 Simulasi Dispersi Gas CO pada Setiap Model (Geometri A dan B) .................................... 25
ix
4.5.1 Simulasi Dispersi Gas CO pada Geometri A .............................................................. 25 4.5.2 Simulasi Dispersi Gas CO pada Geometri B .............................................................. 29 V SIMPULAN .............................................................................................................................. 32 VI SARAN ..................................................................................................................................... 32 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 32 LAMPIRAN ................................................................................................................................... 35
x
DAFTAR TABEL 1 Pencemaran udara dan dampak kesehatan ................................................................................... 4 2 Perkiraan persentase komponen pencemar udara dari sumber pencemar transportasi di Indonesia ..................................................................................................................................... 4 3 Faktor emisi CO untuk berbagai jenis kendaraan dan bahan bakar ............................................. 5 4 Komposisi gas buang dari kendaraan bermotor ........................................................................... 5 5 Baku Mutu Udara Ambien (BMUA) Nasional ............................................................................ 6 6 Nilai Ambang Batas (NAB) zat kimia di udara tempat kerja ...................................................... 7 7 Batas Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) dalam satuan SI.................................................. 7 8 Karakteristik fluida .................................................................................................................... 17
xi
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Sumber zat pencemar udara ......................................................................................................... 3 Simulasi konsentrasi polutan saat emisi didefinisikan dalam domain model ............................ 10 Geometri (gardu tol) variasi A ................................................................................................... 15 Geometri (gardu tol) variasi B ................................................................................................... 15 Mesh pada Geometri A .............................................................................................................. 15 Mesh pada Geometri B .............................................................................................................. 16 Jumlah kendaraan bermotor/tahun ............................................................................................. 18 Jumlah kendaran bermotor per Minggu (2011): (a) Januari; (b) Februari; (c) Maret; (d) April ..................................................................................................................................... 19 Profil kecepatan angin untuk Geometri A pada jam ke-1:(a) tampak isometrik; (b) tampak depan; (c) atas; (d) samping .......................................................................................... 21 Profil kecepatan angin untuk Geometri A pada jam ke-4:(a) tampak isometrik; (b) tampak depan; (c) atas; (d) samping .......................................................................................... 22 Profil kecepatan angin untuk Geometri B pada jam ke-1: (a) tampak isometrik; (b) tampak depan; (c) atas; (d) samping .......................................................................................... 23 Profil kecepatan angin untuk Geometri B pada jam ke-4: (a) tampak isometrik; (b) tampak depan; (c) atas; (d) samping .......................................................................................... 24 Output visual dispersi gas CO untuk Geometri A pada jam ke-1:(a) tampak isometrik/3D; (b) tampak depan; (c) atas; (d) samping ............................................................. 26 Plot nilai konsentrasi CO untuk Geometri A pada jam ke-1: (a) line x; (b) line y; (c) line z ..................................................................................................................................... 27 Output visual dispersi gas CO untuk Geometri A pada jam ke-4:(a) tampak isometrik/3D; (b) tampak depan; (c) atas; (d) samping ............................................................. 27 Plot nilai konsentrasi CO untuk Geometri A pada jam ke-4: (a) line x; (b) line y; (c) line z ..................................................................................................................................... 28 Output visual dispersi gas CO untuk Geometri B pada jam ke-4: (a) tampak isometrik/3D; (b) tampak depan; (c) atas; (d) samping ............................................................. 29 Plot nilai konsentrasi CO untuk Geometri B pada jam ke-1: (a) line x; (b) line y; (c) line z ..................................................................................................................................... 30 Output visual dispersi gas CO untuk Geometri B pada jam ke-4:(a) tampak isometrik/3D; (b) tampak depan; (c) atas; (d) samping ............................................................. 31 Plot nilai konsentrasi CO untuk Geometri B pada jam ke-2: (a) line x; (b) line y; (c) line z ..................................................................................................................................... 31
xii
DAFTAR LAMPIRAN 1 Lokasi pintu tol Bogor .............................................................................................................. 36 2 Lokasi penelitian: (a) Gardu tol Bogor; (b) Laboratorium Kimia Lingkungan (BDP); (c) Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer; (d) Laboratorium Aero Gasdinamika dan Getaran .......................................................................... 37 3 Gambar alat dan lokasi penempatan alat yang dilakukan selama pengukuran; (a) alat Air Impinger; (b) larutan/bahan kimia; (c) lokasi penempatan alat di dalam gardu .......................................................................................................................................... 38 4 Gambar alat dan bahan yang digunakan selama proses analisis kualitas udara ambien CO: (a)peralatan kimia; (b) spektrofotometer; (c) larutan induk CO; (d) larutan penjerap ......................................................................................................................... 39 5 Kondisi batas dan parameter pada kondisi batas Geometri A ................................................... 40 6 Kondisi batas dan parameter pada kondisi batas Geometri B .................................................... 41 7 Data pengukuran kualitas udara pada gardu tol Bogor (Minggu 15 Mei 2011) jam ke-1 dan 2 .................................................................................................................................. 42 8 Data pengukuran kualitas udara pada gardu tol Bogor (Minggu 15 Mei 2011) jam ke-3 dan 4 .................................................................................................................................. 43 9 Data volume lalu lintas harian cabang Tol Jagorawi bulan Januari-Februari 2011 ................... 44 10 Data volume lalu lintas harian cabang Tol Jagorawi bulan Maret-April 2011 .......................... 45 11 Data jumlah kendaraan gerbang tol Bogor dan Sentul Selatan .................................................. 46 12 Jumlah kendaraan bermotor tol Jagorawi 2005-2010: (a) per tahun; (b) per hari; (c) per jam ....................................................................................................................................... 47 13 Desain Geometri A: (a) tampak atas; (b) tampak samping; (c) tampak depan ......................... 48 14 Desain Geometri B: (a) tampak atas; (b) tampak samping; (c) tampak depan .......................... 49 15 Diagram alir penelian (CFD) ..................................................................................................... 50
1
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan salah satu faktor utama dalam proses berlangsungnya kehidupan. Akan tetapi, seiring dengan meningkatnya pembangunan fisik kota dan pusat-pusat industri, kualitas udara telah mengalami perubahan. Perubahan tersebut pada umumnya terjadi akibat pencemaran udara, yaitu masuknya zat pencemar ke dalam udara. Zat pencemar yang dimaksud dapat berupa gas-gas dan partikel kecil atau aerosol. Daerah perkotaan merupakan salah satu sumber polusi udara utama yang sangat besar peranannya dalam masalah pencemaran udara. Aktivitas perkotaan yang meliputi sektor pemukiman, transportasi, komersial, industri, dan sektor penunjang lainnya merupakan kegiatan yang potensial dalam mempengaruhi kualitas udara perkotaan. Pembangunan fisik kota dan berkembangnya daerah industri disertai melonjaknya produksi kendaraan bermotor, mengakibatkan peningkatan kepadatan lalu lintas dan hasil produksi sampingan berupa sisa pembakaran tidak sempurna. Pada umumnya sektor transportasi memegang peran yang sangat besar dalam mencemari udara bila dibandingkan dengan sektor lainnya. Karbon monoksida (CO) merupakan salah satu zat pencemar yang dapat dihasilkan dari sektor transportasi. Berdasarkan estimasi, jumlah CO dari sumber buatan di Indonesia diperkirakan mendekati 60 juta ton/tahun. Setengah dari jumlah ini berasal dari kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar bensin dan sepertiganya berasal dari sumber tidak bergerak. Di dalam laporan Organisasi Kesehatan Dunia, WHO diperkirakan bahwa sekurangnya satu jenis pencemaran udara di kota-kota besar telah melebihi ambang batas toleransi pencemaran udara (UNEP 1992). Sementara itu dinyatakan pula bahwa sebanyak 75% keberadaan karbon monoksida (CO) di udara berasal dari emisi kendaraan bermotor (Hil 1984). Salah satu sarana yang diberikan oleh pemerintah dari sektor transportasi adalah pembangunan jalan tol. Sarana tersebut biasa digunakan sebagai jalur alternatif baik dalam kota maupun antarkota. Bogor merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki sarana tol tersebut, hal ini tentu saja dapat mempermudah akses transportasi, mengingat aktivitas penduduk yang cukup
kompleks, termasuk mobilitas kendaraan bermotor yang masuk dan keluar kota melalui masing-masing gerbang tol. Pada kasus pencemaran udara, gerbang tol merupakan salah satu lokasi potensial yang dapat digunakan untuk melakukan pengukuran kadar polutan. Pada gerbang tol terdapat beberapa gardu tol yang berfungsi sebagai loket tiket maupun loket pembayaran dan juga merupakan tempat keluar masuk kendaran yang akan dan telah melewati tol sehingga memungkinkan terjadinya pencemaran gas karbon monoksida di sekitar gardu tol. Hal ini tentu saja dapat membahayakan kesehatan para petugas gerbang tol yang bekerja di pintu tol jika memang tingkat pencemaran udara berada di atas ambang batas. Namun demikian, keterbatasan alat dan biaya serta waktu pengamatan seringkali menjadi kendala dalam melakukan pemantauan kualitas udara. Sehingga dalam rangka pengendalian pencemaran udara perlu adanya alternatif lain dengan cara melakukan simulasi dispersi polutan dengan menggunakan model atau software untuk mengetahui potensi keterpaparan polutan Simulasi yang dapat dilakukan dalam menjelaskan fenomena aliran fluida seperti perpindahan panas, reaksi kimia, transpor massa hingga dispersi polutan yang terjadi di atmosfer adalah Computational Fluid Dynamics (CFD). CFD merupakan salah satu metode numerik dalam mekanika fluida yang pada dasarnya menggunakan filosofi diskritisasi sebagai pendekatan dalam menyelesaikan persamaan matematis yang terkait. Penggunaan CFD sangat bermanfaat dalam pembuatan virtual prototype dari sebuah sistem atau alat yang akan dianalisis dengan menerapkan kondisi nyata di lapangan. Hasil analisis CFD memang seringkali berupa prediksi kualitatif, namun hal tersebut tergantung dari permasalahan dan input data sehingga terkadang hasil analisis CFD juga dapat berupa prediksi kuantitatif. 1.2 Tujuan a. Melakukan simulasi pola aliran dan dispersi CO dalam gardu tol dengan menggunakan CFD, b. Membandingkan hasil simulasi pola aliran dan dispersi gas CO di dalam dua variasi gardu tol dengan nilai konsentrasi yang berbeda.
2
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Udara Salah satu faktor penting dalam kehidupan adalah udara. Namun dengan peningkatan pembangunan fisik kota dan pusat-pusat industri, kualitas udara telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Perubahan lingkungan udara pada umunya disebabkan oleh pencemaran udara, yakni masuknya zat pencemar (berbentuk gas-gas dan partikel kecil atau aerosol) ke dalam udara. Pencemaran udara didefinisikan sebagai hadirnya substansi di udara dalam konsentrasi yang cukup untuk menyebabkan gangguan pada manusia, hewan, tanaman, maupun material. Substansi ini biasanya berupa gas, cair, maupun partikel padat. Definisi lain mengenai pencemaran udara adalah masuknya zat pencemar ke dalam udara atau atmosfer, baik secara alami maupun akibat dari aktivitas manusia yang melayang di udara dan bergerak sesuai dengan gerakan dan tingkah laku udara dalam jumlah yang melebihi ambang batas yang masih diperkenankan untuk kesehatan makhluk hidup maupun estetika (Soemarno 1996). Sementara itu, menurut UndangUndang No.23 Tahun 1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 1 ayat (12), pencemaran lingkungan hidup diartikan sebagai masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke udara dan atau berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. Pencemaran udara telah menjadi permasalahan yang serius terutama di kotakota besar di Indonesia. Dampaknya terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia serta pada ekosistem telah menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar sehingga perlu segera ditangani. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pencemaran udara adalah laju urbanisasi yang tinggi, penataan ruang yang kurang seimbang, pertumbuhan ekonomi yang mengubah gaya hidup sehingga menambah konsumsi energi dan meningkatkan motorisasi, ketergantungan pada minyak bumi yang tinggi, dan perhatian masyarakat dan pegawai pemerintah yang kurang (Suhadi 2006).
Tingkat pencemaran udara di Indonesia telah melebihi ambang batas standar toleransi dan hal tersebut berdampak pada timbulnya gangguan kesehatan pada masyarakat. Menurut hasil pemantauan yang dilakukan oleh stasiun-stasiun pemantau pencemaran udara Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Menado dan Medan menunjukkan bahwa tingkat ambang pencemaran debu, Pb, NO2, CO, SO2 terus naik sejak tahun 1980 dan telah melebihi ambang batas (Sutamihardja 1994). 2.1.1 Jenis, Sumber dan Dampak Pencemaran Udara Beberapa kota besar di Indonesia mengalami penurunan kualitas udara akibat tercemar oleh zat-zat pencemar yang dihasilkan dari berbagai macam sumber aktivitas pembangunan, sehingga hal tersebut juga akan berdampak pada kesehatan manusia. Berikut merupakan jenis, sumber, dan dampak pencemaran udara. Jenis Zat Pencemar Udara Pencemar udara dapat berbentuk gas, bau dan partikulat tersuspensi seperti debu, aerosol dan asap. Tergantung dari sumber pencemaran dan interaksi pencemar dengan komponen udara lainnya, komposisi kimiawi pencemar dan dampaknya terhadap kesehatan dapat berbeda-beda. Beberapa jenis zat-zat pencemar udara yang paling sering dijumpai di lingkungan perkotaan adalah SOx, NOx, CO, O3, SPM (Suspended Particulate Matter) dan Pb. SOx berperan dalam terjadinya hujan asam dan polusi partikel sulfat aerosol. NOx berperan terhadap polusi partikel dan deposit asam dan prekusor ozon yang merupakan unsur pokok dari kabut fotokimia. Selain itu, CO, asap dan debu juga termasuk polusi partikel. Sumber Pencemar Udara Pembangunan yang berkembang pesat dewasa ini, khususnya dalam industri dan teknologi serta meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak) menyebabkan udara yang terhirup menjadi tercemar oleh gas-gas buangan hasil pembakaran. Pada umumnya, sumber pencemaran udara ada dua macam, yakni disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Secara internal, pencemaran udara terjadi akibat debu yang berterbangan, abu atau
3
debu yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi berikut gas-gas vulkanik, dan proses pembusukan sampah organik. Sementara dari faktor eksternal, pencemaran udara disebabkan oleh hasil pembakaran bahan bakar fosil, debu dari kegiatan industri dan pemakaian zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara (Wardhana 2001). Menurut Soedomo (2001), penyumbang emisi terbesar dalam polusi udara di perkotaan adalah hasil pembakaran tidak sempurna dari kendaraan bermotor yang berupa CO, NOx dan SOx. Sementara itu hasil dari aktivitas industri menjadi penyumbang terbesar kedua, hal tersebut turut dipengaruhi oleh jenis industri dan proses yang berlangsung di dalamnya. Kemudian aktivitas lainnya yang dapat menghasilkan emisi adalah akibat dari pembakaran sampah dan kegiatan rumah tangga. Berdasarkan polanya sumber pencemar terbagi atas (Tjasjono 1999): 1. Sumber titik kontinyu, pada umumnya berasal dari aktivitas pabrik yang memancarkan zat pencemar ke dalam udara melalui cerobong pembuangan, 2. Sumber garis, merupakan sumber yang mengeluarkan pancaran zat pencemar berupa garis yang memanjang, misalnya jalan raya, daerah industri sepanjang tepi sungai/pantai dan lain-lain, 3. Sumber bidang, yaitu sumber pancaran kompleks yang dipancarkan dari suatu daerah seperti kawasan industri, perkotaan dan sebagainya.
Gambar 1 Sumber zat pencemar udara (Sumber: QGK 2007).
Sementara itu sumber pencemaran udara dapat dikategorikan atas sumber bergerak dan sumber tidak bergerak, yang meliputi
berbagai sektor termasuk transportasi, industri dan domestik. Pada umumnya proses pembakaran bahan bakar fosil, baik yang berada di dalam mesin (transportasi), proses pembakaran dan pengolahan industri, maupun pembakaran terbuka (domestik) mengeluarkan zat pencemar yang hampir sama, walaupun secara spesifik jumlah relatif masing-masing pencemar yang diemisikan masih tergantung pada karakteristik (properti) bahan bakar dan kondisi pembakaran. Secara visual sumber dan jenis zat pencemar dapat dilihat pada Gambar 1. Dampak Pencemar Udara Pencemaran udara dapat menyebabkan kerusakan terhadap manusia dan lingkungan. Pencemaran udara meningkatkan morbiditas dan mortalitas, mempengaruhi produktivitas pertanian, merusak bahan-bahan, berdampak negatif terhadap ekosistem, dan menyebabkan gangguan estetika. Dari seluruh dampak pencemaran di atas, dampak terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia adalah yang dominan dengan kontribusi ±90% dari total kerusakan akibat pencemaran udara (Suhadi 2006). Pengaruh pencemaran udara terhadap kesehatan dapat terlihat pada Tabel 1. Bila sesorang sepanjang hidupnya atau dalam jangka waktu yang lama terpapar secara kumulatif maka selanjutnya akan menimbulkan dampak gangguan pada kesehatan. Dampak kesehatan ini tidak tergantung apakah pemaparan kumulatif berasal dari pemaparan level singkat namun tinggi (akut) ataukah pada pemaparan pada level rendah tapi sepanjang waktu. Akibat yang ditimbulkan adalah terjadinya kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortilitas). Anak-anak, manusia lanjut usia, penderita penyakit paru dan jantung, perokok dan pekerja yang beraktivitas di dekat sumber pencemaran merupakan kelompok yang rentan terhadap pencemaran udara. Penelitian mengenai dampak pencemaran udara terhadap kesehatan sudah banyak dilakukan diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia yang bekerjasama dengan United States Asia Environmental Partnership (USAEP) di wilayah Jakarta dan sekitarnya yaitu PM2.5 dan CO pada populasi di Jakarta dan sekitarnya (Haryanto 2005). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa subjek reseptor yang melakukan
4
Tabel 1 Pencemaran udara dan dampak kesehatan
Pencemar Partikulat (timbal, nikel, arsen, karbon) terutama yang berukuran 10 mikrometer ke bawah
CO
SOx
Dampak Meningkatkan risiko gangguan dan penyakit sistem pernapasan dan kardiovaskular. Mengganggu konsentrasi dan refleksi tubuh, menyebabkan kantuk dan dapat memperparah penyakit kardiovaskular akibat defisiensi oksigen. CO mengikat hemoglobin sehingga jumlah oksigen dalam darah berkurang. Meningkatkan risiko penyakit paru-paru dan menimbulkan batuk pada pemajanan singkat dengan konsentrasi tinggi.
NOx
Meningkatkan total mortalitas, penyakit kardiovaskular, mortalitas pada bayi, serangan asma dan penyakit paru-paru kronis.
Ozon
Menimbulkan iritasi mata, meningkatkan gangguan pernapasan dan serangan asma, dan menurunkan daya tahan tubuh terhadap flu dan pneumonia
Senyawa organik yang mudah menguap
Menyebabkan iritasi mata, hidung dan tenggorkan; pada beberapa kasus menimbulkan pusing, mual dan kehilangan koordinasi; bersifat karsinogen terutama zat polycylic aromatic hydrocarbons (PAH), benzena dan 1,3 butadiena.
(Sumber : Colville, Hutchinson, Mindell, and Warren 2001)
aktivitas di dalam ruangan berdekatan dengan sumber pencemaran (di jalan) memiliki risiko kesehatan yang tinggi, baik yang menggunakan kendaraan berpendingin (AC) maupun tidak. Konsentrasi pencemar udara yang terhirup ketika subjek penelitian berada di jalan raya cukup tinggi. Konsentrasi pencemar udara PM2.5 dan CO tersebut jauh melebihi rata-rata harian ambang batas baku mutu udara ambien nasional. 2.1.2 Pencemaran Udara Akibat Kendaraan Bermotor Kendaraan bermotor merupakan salah satu sumber bergerak (transportasi) terhadap pencemaran udara. Penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor baik berupa bahan bakar bensin ataupun solar akan menghasilkan gas buang yang terdiri dari CO2, CO, SO2, NO2, dan HC. Sebanyak 75% keberadaan karbon monoksida (CO) di udara berasal dari emisi kendaraan bermotor (Hil 1984). Gas tersebut dihasilkan dari pembakaran yang tidak sempurna dari bahan bakar kendaraan bermotor dan dapat bertahan di udara hampir selama satu hingga tiga bulan. Beberapa perkiraan persentase zat pencemar lain yang
dihasilkan oleh kendaraan bermotor dapat terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 Perkiraan persentase komponen pencemar udara dari sumber pencemar transportasi di Indonesia
Komponen Pencemar
Persentase (%)
CO
71
NOx
9
SOx
1
HC
18
Partikel
1
Total
100
(Sumber: Wardhana 1999)
Gas pencemar udara yang kadarnya cukup tinggi di udara adalah SO2, NO2 dan CO. Pencemar udara tersebut merupakan pencemar atau polutan primer dari kendaraan bermotor. Selanjutnya, polutan primer yang telah diemisikan oleh suatu sumber emisi akan mengalami berbagai reaksi fisik dan kimia (Budiraharjo 1991). Perkiraan jumlah emisi zat pencemar yang dikeluarkan dari berbagai jenis kendaraan bermotor dapat terlihat pada Tabel 3.
5
Tabel 3 Faktor emisi CO untuk berbagai jenis kendaraan dan bahan bakar
Gasoline
CO (gr/km) 24
Diesel
5.2
Diesel
2.5
Gasoline
41
Diesel
5.3
2-tak
17
4-tak
20
Jenis Kendaraan Mobil Truk besar/bis Truk kecil/bis Motor (Sumber: US-EPA 2011)
Menurut Direktorat Lalu-lintas dan Angkutan Jalan Raya, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (DLLAJR 1998), jumlah gas buang yang diemisikan oleh kendaran ditentukan oleh kecepatan kendaraan, umur kendaraan dan perawatan kendaraan. Pemasangan anti pencemaran pada kendaraan bermotor dapat menurunkan emisi gas buang. Sementara emisi gas buang yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar dalam ruang bakar mesin sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan bakar, teknologi kendaraan, penggunaan teknologi pengontrolan emisi, dan perawatan kendaraan (Suhadi 2006). Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pencemaran Udara dan Gas Buang Kendaraan Bermotor, segala jenis kendaraan bermotor baik motor, mobil atau angkutan umum harus melakukan uji emisi. Pada kendaraan berbahan bakar bensin, yang diperiksa adalah HC (hidrokarbon) dan CO (karbon monoksida) sesuai dengan perakitan mobil yang dibuat sebelum 2007 dan sesudah 2007, emisi HC maksimum 700 ppm dan CO sebesar 3%. Sementara, mobil produksi setelah tahun 2007, HC maksimum 200 ppm dan CO sebesar 1.5% (Pramantyo 2009). Komposisi gas buang yang dikeluarkan dari pembakaran bahan bakar bensin dan solar dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi gas buang dari kendaraan bermotor
Jenis gas buang CO2
Bensin
Solar
(% volume)
(% volume)
9
9
CO
4
0,1
NOx
0,06
0,04
SO2
0,006
0,02
(Sumber: Hartogenesis dalam Santosa 2005)
Kendaraan bermotor biasanya menggunakan bahan bakar pencemar berupa bensin atau solar. Penggunaan solar sebagai bahan bakar mesin diesel menghasilkan gas buang dengan kandungan NOx, SOx, CO, hidrokarbon yang tidak terbakar (UHC) dan partikulat-partikulat serta asap hitam. Emisi partikulat yang dikeluarkan oleh mesin diesel sangat berbahaya dibandingkan dengan emisi yang dikeluarkan oleh masin berbahan bakar bensin. Namun jika dibandingkan dengan kendaraaan bensin, kendaraan diesel tidak banyak mengandung CO dan UHC. Di sisi lain, kadar NO2 sangat rendah bila dibandingkan dengan NO. Sehingga komponen utama gas buang motor Diesel yang membahayakan adalah NO dan asap hitam (Faiz, Weaver dan Walsh 1996). 2.1.3 Karakteristik Karbon Monoksida Sifat fisik gas karbon monoksida (CO) adalah gas yang tidak berbau, tidak berasa, dan pada suhu normal berbentuk gas yang tidak berwarna. Gas CO dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna yang berasal dari minyak tanah, bensin, solar, batu bara atau kayu. Pembakaran tidak sempurna memang sangat mungkin terjadi. Secara teoritis hal tersebut terjadi karena kekurangan gas oksigen (udara) untuk proses pembakarannya. Senyawa CO mempunyai potensi racun yang berbahaya karena mampu membentuk ikatan yang kuat dengan pigmen darah yaitu hemoglobin. Di lingkungan, karbon monoksida dapat terbentuk secara alamiah, namun sumber utama dari gas tersebut adalah dari kegiatan manusia. Karbon monoksida yang berasal dari alam yaitu akibat kebakaran hutan, oksidasi metal di atmosfer, lautan, serta badai listrik alam. Sementara sumber CO buatan antara lain berasal dari kendaraan bermotor, terutama yang menggunakan bahan bakar bensin. Berdasarkan estimasi, Departemen Kesehatan (2003) mencatat jumlah CO dari sumber buatan diperkirakan mendekati 60 juta ton/tahun. Konsentrasi CO yang tinggi seringkali diperoleh dari gas buang kendaraan bermotor dan polusi dalam ruangan yang buruk. Pada pembakaran bahan bakar bermotor, seluruh penggunaan bahan bakar tidak diubah seluruhnya menjadi CO2 dan H2O tetapi sebagian juga dilepaskan menjadi CO dan sebagian material partikulat karbon organic (Brimblecombe 1986). Senyawa karbon monoksida (CO) memiliki daya distribusi yang luas dan merupakan jenis senyawa
6
polutan yang jumlah emisinya terbesar di antara nilai emisi jenis senyawa polutan lainnya. Karbon dan oksigen dapat bergabung membentuk senyawa CO sebagai hasil pembakaran yang tidak sempurna, seperti terurai dalam reaksi berikut: 2C + O2 2 CO Kadar CO di daerah perkotaan cukup bervariasi dan dipengaruhi oleh kepadatan kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar bensin. Pada umumnya, kadar maksimum CO terjadi bersamaan dengan jam padat seperti pada pagi dan sore menjelang malam hari. Selain cuaca, variasi kadar CO juga tergantung pada topografi jalan dan bangunan sekitarnya. Paparan CO dari udara ambien dapat direfleksikan dalam bentuk kadar karboksihemoglobin (HbCO) dalam darah yang terbentuk dengan sangat perlahan karena membutuhkan waktu 4 hingga 12 jam untuk tercapainya keseimbangan antara kadar CO di udara dan HbCO dalam darah. Sehingga hal tersebut cenderung dinyatakan sebagai kadar paparan rata-rata dalam 8 jam (Shah 1997). Karakteristik biologis yang paling penting dari CO adalah kemampuannya dalam berikatan dengan hemoglobin, pigmen sel darah merah yang mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan karboksi-hemoglobin (HbCO) yang 200 kali lebih stabil bila dibandingkan dengan oksihemoglobin (HbO2). Penguraian HbCO yang relatif lebih lambat menyebabkan terhambatnya kerja molekul sel pigmen dalam membawa oksigen ke seluruh tubuh. Kondisi tersebut dapat berakibat fatal karena dapat menyebabkan keracunan. Selain itu, metabolisme otot dan fungsi enzim intra-seluler juga dapat terganggu dengan adanya ikatan CO yang stabil. Dampak keracunan CO sangat berbahaya bagi orang yang telah menderita gangguan pada otot jantung atau sirkulasi darah peripheral yang parah. Dampak dari CO bervariasi tergantung dari status kesehatan seseorang pada saat terpapar. Pada beberapa orang yang memiliki berat badan di atas normal dapat mentolerir paparan CO sampai kadar HbCO dalam darahnya mencapai 40% dalam waktu yang singkat. Tetapi seseorang yang menderita sakit jantung atau paru—paru akan menjadi lebih parah apabila kadar HbCO dalam darahnya sebesar 5-10% (Departemen Kesehatan 2003).
2.1.4 Baku Mutu Udara Ambien Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan Baku Mutu Udara Ambien (BMUA) di dalam Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara (PP Nomor 41 tahun 1999). BMUA nasional ini hanya menyebutkan sembilan jenis polutan umum, yaitu SO2, CO, NO2, O3, HC, PM10, PM2.5, TSP, Pb, dustfall. Kesembilan polutan ini dianggap sebagai polutan-polutan yang memiliki pengaruh langsung dan signifikan pada kesehatan manusia. Sementara BMUA untuk enam parameter utama tercantum pada Tabel 5. Setiap paramater memiliki nilai maksimum yang berbeda. Nilai-nilai tersebut umumnya dinyatakan dalam satuan konsentrasi yaitu berat senyawa polutan dalam mikrogram per meter kubik (µg/m3) dalam kondisi normal (yaitu pada suhu 25°C dan tekanan 1 atmosfer). Kualitas udara ambien dikatakan baik apabila konsentrasi polutan masih berada di bawah nilai baku mutunya. Tabel 5 Baku Mutu Udara Ambien (BMUA) Nasional
Zat pencemar CO
SO2
NO2
Waktu Pengukuran 1 Jam
Konsentrasi µg/m3 26000
24 Jam
9000
1 Jam
900
24 Jam
260
1 Tahun
60
1 Jam
400
24 Jam
92.5
1 Tahun
60
1 Jam
200
1 Tahun
30
HC
3 Jam
160
PM10
24 Jam
150
O3
(Sumber: KLH 2002)
Selain BMUA, ditetapkan pula Standar Nasional Indonesia Nilai Ambang Batas atau NAB zat kimia (dalam hal ini termasuk polutan) di udara tempat kerja sebagai upaya pencegahan dan perlindungan terhadap keselamatan, kesehatan, dan kenyamanan tenaga kerja. Standar ini mengacu pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor: SE01/MEN/1997 tentang Nilai Ambang Batas faktor kimia di udara lingkungan kerja. Standar NAB didasarkan pada waktu rata-
7
rata zat kimia sehari-hari selama tidak lebih dari 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Pada Tabel 6 dapat terlihat NAB untuk beberapa polutan di udara tempat kerja. Tabel 6 Nilai Ambang Batas (NAB) zat kimia di udara tempat kerja
Nilai Ambang Batas
Zat pencemar
mg/m3
ppm
CO
29
25
SO2
5,2
2
NO2
5,6
3
(Sumber: BSN 2005)
Sementara itu terdapat penetapan batas indeks untuk beberapa zat pencemar. Salah satunya adalah zat pencemar berupa CO (dapat terlihat pada Tabel 7). Penetapan batas indeks standar pencemar udara sangat penting untuk menentukan sejauh mana tingkat bahaya keterpaparan dari zat pencemar di udara. Tabel 7 Batas Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) dalam Satuan SI
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) 50
CO 5
100
10
200
17
300
34
400
46
500
57,5
(Sumber: KABAPEDAL 1997)
Setiap parameter polutan memiliki nilai maksimal dan biasanya dinyatakan dalam satuan konsentrasi yaitu berat senyawa polutan dalam mikrogram (µg) per meter kubik udara dalam kondisi normal (umumnya pada suhu 25°C dan tekanan atmosfer). Kualitas udara ambien dikatakankan baik jika konsentrasi polutanpolutannya masih di bawah nilai baku mutunya. Nilai BMUA disediakan untuk beberapa waktu ukur rata-rata (averaging time). Misalnya, untuk waktu ukur rata-rata 1 jam, nilai baku CO adalah 26000 µg/Nm3. Nilai tersebut nantinya harus dibandingkan dengan nilai rata-rata pengukuran 1 jam NO2, hal ini dikarenakan baku mutu yang ditetapkan per satuan waktu berbeda-beda sehingga waktu pengukuran dapat disesuaikan dengan baku mutu waktu yang telah ditetapkan (QGK 2007).
2.2 Peranan Atmosfer dalam Pencemaran Udara Beberapa proses penting yang terjadi di atmosfer dalam permasalahan pencemaran udara diantarnya adalah proses dispersi, transformasi, transport serta dilusi. Seluruh proses tersebut dipengaruhi oleh faktor meteorologi seperti cuaca dan iklim Masingmasing proses tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 2.2.1 Proses Dispersi Karakteristik polutan sangat menentukan keberadaan dan perilaku polutan itu sendiri di atmosfer. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari kondisi fisis dan dinamis atmosfer. Menurut Stull (2000), proses dispersi polutan di atmosfer melibatkan tiga mekanisme utama, yaitu gerakan global, fluktuasi turbulensi dan difusi polutan terhadap lingkungan sekitar akibat perbedaan konsentrasi. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap proses dispersi polutan itu sendiri diantaranya adalah faktor atau aspek meteorologis, sifat fisis dan sifat kimia zat polutan, kondisi geografi serta topografi sumber polutan. Pencemaran udara pada suatu tingkat tertentu dapat merupakan campuran dari satu atau lebih bahan pencemar, baik berupa padatan, cairan, atau gas yang masuk kemudian terdispersi ke udara dan menyebar ke lingkungan sekitarnya. Selain itu, kondisi atmosfer sangat berpengaruh terhadap proses laju difusi atau penyebaran bahan pencemar baik secara vertikal maupun horizontal (Suharsono 1985). Pada skala yang lebih mikro, karakteristik permukaan dan kontur permukaan seperti pepohonan, bukit, pegunungan dan bangunan dapat menimbulkan turbulensi lebih besar. Sementara dengan angin yang lemah dan turbulensi lebih kecil dapat memperkecil terjadinya proses percampuran antara zat pencemar dengan zat-zat lainnya di lingkungan sekitar. Sehingga, pengenceran akan lebih sulit terjadi dan membuat konsentrasi zat pencemar tetap tinggi (Oke 1987). Selain faktor angin, suhu juga turut berpengaruh dalam proses dispersi polutan. Suhu merupakan energi kinetik rata-rata dari pergerakan molekul-molekul, sementara panas adalah salah satu bentuk energi yang dikandung oleh suatu benda (Handoko 1993). Pada lapisan troposfer, laju suhu udara akan menurun seiring bertambahnya
8
ketinggian atau lapse rate (dt/dz < 0). Namun hal tersebut tidak selalu berlaku di permukaan, karena pada waktu tertentu laju suhu akan meningkat terhadap ketinggian atau inversi (dt/dz > 0). Sehingga hal tersebut dapat berpengaruh terhadap efek stabilitas atmosfer yang berperan dalam pendistribusian polutan secara vertikal. Pada saat suhu udara parsel cenderung lebih tinggi dari lingkungan, maka massa udara polutan akan naik dan menyebar, kondisi inilah yang dinyatakan sebagai stabilitas atmosfer tidak stabil, sehingga tidak membahayakan makhluk hidup dalam jangka pendek. Sebaliknya, ketika suhu udara parsel cenderung lebih rendah dari lingkungan maka kondisi tersebut dinyatakan sebagai stabilitas atmosfer stabil. Pada kondisi ini massa udara polutan tidak dapat naik namun tetap berada di atmosfer dan terakumulasi, sehingga dapat meningkatkan konsentrasi polutan di udara. Kelembaban udara juga termasuk salah satu unsur cuaca yang mempengaruhi proses distribusi pencemar udara. Nilai RH yang rendah akan menyebabkan konsentrasi polutan di atmosfer meningkat. Hal ini dikarenakan RH menghalangi pemanasan surya terhadap permukaan. Pada siang hari, suhu udara relatif tinggi dibandingkan malam hari sehingga memiliki kandungan uap air jauh lebih rendah dibandingkan pada saat malam hari. Di sisi lain, konsentrasi partikel tersuspensi yang mengalami peningkatan di udara juga akan berakibat pada berkurangnya jarak pandang (Oke 1987). 2.2.2 Proses Transformasi Secara fisik dan dinamik, radiasi surya sebagai sumber energi perpindahan massa udara berpengaruh dalam pendistribusian zat pencemar di udara. Hal ini terjadi akibat perbedaan pemanasan di permukaan bumi maupun di perairan yang menimbulkan angin dan turbulensi sehingga secara tidak langsung berpengaruh terhadap kondisi stabilitas atmosfer dan percampuran polutan dengan lingkungan sekitar. Selain itu, radiasi juga berpengaruh terhadap proses kimia di atmosfer dengan interaksi antar molekul yang bertindak sebagai fotoreseptor. Selanjutnya selama berada di udara, zat pencemar pasti akan mengalami perubahan bentuk baik secara fisik maupun kimia yang dipengaruhi oleh proses difusi molekuler dan turbulensi, kehadiran uap air serta radiasi matahari. Difusi molekuler adalah proses
dimana perjalanan penyerapan zat ke dalam atmosfer melalui kontak molekul secara lambat. Sedangkan proses difusi turbulensi adalah proses penyerapan atau peresapan zat ke dalam atmosfer yang disebabkan oleh adanya proses turbulensi (Oke 1987). 2.2.3 Proses Transport Proses transport merupakan proses pengangkutan zat pencemar ke udara secara horizontal sesuai arah angin, dengan jarak jangkau sebagai fungsi dari kecepatan angin. Angin yang bergerak di suatu wilayah tidak selamanya bergerak secara teratur dan semua gerakan udara dapat dikatakan turbulen (Forsdyke 1970). Sehingga dalam hal ini, jika arah angin relatif konstan, wilayah yang dituju oleh arah angin akan terus-menerus terpapar polutan tingkat tinggi, sebaliknya jika arah angin berubah-ubah secara konstan, polutan akan bergerak ke wilayah yang lebih luas dan konsentrasi di wilayah yang terpapar akan lebih rendah (Godish 1991). Sementara kecepatan angin akan menentukan sejauh mana polutan akan bergerak ke suatu wilayah.. Sementara itu, bentuk pergerakan angin yang terjadi terdiri atas pergerakan laminer dan turbulen. Pergerakan angin laminer adalah pergerakan yang mulus sepanjang lapisan sejajar, sementara pergerakan angin turbulen merupakan pergerakan acak dan baur (Geiger 1995). 2.2.4 Proses Dilusi Presipitasi seperti hujan ataupun salju, lapisan kabut, turbulensi, serta karakteristik permukaan merupakan faktor utama dalam pembersihan atmosfer sehingga zat pencemar dapat terendapkan Proses pembersihan atau penghilangan zat pencemar ini terjadi melalui dua mekanisme, yaitu rain out dan wash out. Rain out terjadi pada saat proses kondensasi dengan partikel pencemar sebagai butir kondensasi. Sedangkan wash out terjadi pada saat air hujan dalam perjalananya menuju permukaan bereaksi dengan partikel-partikel pencemar (Liu dan Liptak 2000). 2.3 Model Matematis Dispersi Polutan Pemodelan atmosfer terbagi atas dua pendekatan utama, yaitu pendekatan secara fisik dan matematis. Pendekatan secara fisik pada akhirnya akan menghasilkan model fisik yang dapat digunakan dalam mensimulasikan proses dinamika atmosfer. Sementara pendekatan secara matematis
9
adalah pendekatan yang selanjutnya dapat menghasilkan pemodelan matematis terhadap proses dinamika atmosfer (Seinfeld dan Pandis 2006). Di bawah ini terdapat beberapa pendekatan yang digunakan untuk memprediksi konsentrasi dan sebarannya dari beberapa tipe model (Benarie 1980) antara lain: 1. Pendekatan fisik: Terowongan Angin (wind tunnel) Saluran Air (Liquid Flume) Tangki (Towing Tank) 2. Pendekatan Matematis a. Empirik-Deterministik: Kotak-Eularian Statistik-Rollback b. Semi-Empirik: Gaussian Plume-Kepulan Lintasan-Moving Cell c. Numerik-Reaktif: Box Jamak-Lagrangian Grid-Eularian-Finite Difference Partikel; partikel dalam sell d. Polusi global e. Jarak Pandang f. Dosage-Exposure Masing-masing pendekatan tersebut nantinya dapat di aplikasikan dalam semua pemodelan pendisperisian polutan. Modelmodel yang kerap digunakan dalam pendugaan dispersi polutan antara lain, fixed box model, dan Gaussian model. 2.3.1 Fixed-Box Model Model sederhana yang sering digunakan dalam menduga kualitas udara adalah fixedbox model. Parameter input yang digunakan dalam model ini adalah sumber emisi dekat lapisan permukaan, laju adveksi masuk dan keluar dari sisi kotak, input polutan dari bagian atas karena ketinggian campuran yang meningkat dan proses transformasi kimia. Apabila campuran polutan sempurna dan seragam dalam batasan wilayah kajian, model ini dapat menduga konsentrasi volume rata-rata sebagai fungsi waktu. Prinsip matematis dalam model ini dinyatakan sebagai laju perubahan massa dalam kotak khayal sebanding dengan jumlah laju massa ditambahkan semua sumber emisi dalam kotak, perubahan adveksi horizontal dan perubahan pemasukan dari lapisan atas dalam ketinggian campuran (Arya 1999): Lh
dc dh = LQ a + uh cb − c + L c −c dt dt b
.....(1)
Jika kondisi laju emisi konstan dan atmosfer tenang, persamaan di atas menjadi ce =
L Qa h u
.....(2) dengan: ce : Konsentrasi polutan (µg/m3) L : Panjang wilayah kajian (m) Qɑ : Laju emisi polutan wilayah kajian (gr/m2s) ū : Kecepatan angin rata-rata pada ketinggian H ( m/s) h : Ketinggian mixing height (m) Difusi dari sumber-sumber individu tidak disarankan dalam pemakaian fixed-box model, sehingga cocok dalam mengestimasi dari segala sumber polutan. Sesuai dengan perlakuan meteorologi sederhana dalam bentuk transpor efektif angin dan ketinggian campuran dapat digunakan dalam memprakirakan proses fotokimia (Arya 1999). 2.3.2 Model Dispersi Gaussian Salah satu faktor utama yang mempengaruhi dispersi polutan adalah kecenderungan polutan-polutan tersebut untuk berdifusi. Model Gauss menerangkan konsentrasi polutan searah dengan arah angin dari sumber. Beberapa penyelidikan empiris dilakukan untuk menguji validasi model Gauss dari satu titik sumber. Selanjutnya hasil pendugaan model dibandingkan dengan data pengukuran di lapang. (Liu dan Liptak 2000) Berbagai studi validasi model ini diterapkan untuk gas CO, SO2, dan partikulat menunjukkan pendugaan konsentrasi polutan yang hampir mendekati dengan nilai hasil pengukuran. Model dispersi Gauss secara umum dinyatakan dalam perasamaan: c x, y, z =
Q y2 z2 exp − 2 − 2 2πuσy σz 2σy 2σz
.....(3) dengan: c(x,y,z): Konsentrasi polutan pada suatu titik (µg/m3) Q : Laju emisi (g/s) ū : Kecepatan angin rata-rata pada ketinggian 10 meter y : Posisi arah y dalam koordinat kartesius (m) z : Posisi arah z dalam koordinat kartesius (m)
10
Ketepatan dari pendugaan model Gauss akan menurun dengan nyata jika terjadi penyimpangan dari kondisi yang digunakan dalam persamaan, seperti kecepatan angin yang konstan. Model Gauss tidak menghitung reaksi yang terjadi antara NOx dan HC, maka model ini tidak dapat digunakan untuk menduga fotokimia oksidan. Pengembangan lebih lanjut dari model Gauss ini adalah untuk menduga pengaruh pembuangan polutan (gas) dengan konstan dari sumber garis (line source), yaitu emisi dari kendaraan bermotor di jalan raya. Di sisi lain, model Gauss memiliki beberapa kelemahan, karena pada model ini diberlakukan beberapa asumsi seperti, kekuatan sumber emisi konstan atau hanya berlaku dalam kondisi Steady-state, arah dan kecepatan angin serta karakteristik difusi dari kepulan konstan, kemudian berlaku hukum konservasi massa, sehingga dianggap tidak ada transformasi kimia dan polutan yang sampai ke permukaan dipantulkan sempurna, serta kecepatan angin lebih dari 1 m/s. 2.4 Computational Fluid Dynamics (CFD) Computational Fluid Dynamics merupakan pemanfaatan program komputer untuk membuat suatu prediksi apa yang akan terjadi secara kuantitatif saat fluida mengalir. Penggunaan CFD prediksi aliran fluida di berbagai sistem dapat dilakukan dengan biaya yang relatif murah dan waktu yang singkat dibandingkan dengan metode eksperimen. Selain itu, CFD adalah ilmu yang mempelajari tentang cara memprediksi aliran fluida, perpindahan panas, reaksi kimia, dan fenomena lainnya dengan menyelesaikan persamaan matematika. Secara istilah CFD bisa berarti suatu teknologi komputasi yang memungkinkan untuk mempelajari dinamika dari bendabenda atau zat-zat yang mengalir (Tuakia 2008). Saat ini penggunaan CFD cukup berkembang pesat, mulai dalam perancangan gas turbin sampai pada dunia medis (modelling blood flow) serta termasuk dalam menganalisis permasalahan dispersi polutan pada udara ambien. Pada Gambar 2 dapat terlihat salah satu contoh output kualitatif dari hasil simulasi CFD mengenai sebaran polutan. Penelitian mengenai aliran udara terkait dispersi polutan dengan menggunakan CFD ini sudah cukup banyak dilakukan terutama di daerah perkotaan, hal
ini dilakukan untuk melihat potensi kualitas udara baik indoor maupun outdoor. Secara indoor, biasanya penelitian dilakukan di dalam ruangan seperti tempat parkir, garasi hingga terowongan bawah tanah. Sementara penelitian outdoor untuk kasus aliran udara biasanya dilakukan di pusat kota atau di sekitar gedung-gedung bertingkat. Berdasarkan hasil penelitian Yamada (2005) mengenai penggunaan CFD untuk aliran udara diantara gedung bertingkat dengan menyebutkan bahwa pemanasan dan pendinginan dinding serta atap oleh radiasi matahari secara signifikan mempengaruhi aliran udara di sekitar bangunan di lingkungan perkotaan.
Gambar 2 Simulasi konsentrasi polutan saat emisi didefinisikan dalam domain model (Sumber : Huber 2008).
CFD merupakan pendekatan dari persamaan yang asalnya memiliki jumlah sel tak hingga menjadi jumlah sel hingga. Perhitungan komputasi aljabar untuk memecahkan persamaan diferensial parsial ini ada beberapa metode, diantaranya: Metode beda hingga (finite difference method) Metode elemen hingga (finite element method) Metode volume hingga (finite volume method) Metode elemen batas (boundary element method) Metode skema resolusi tinggi (high resolution scheme method) Secara umum, proses perhitungan Computational Fluid Dynamic terdiri atas tiga bagian utama, yaitu: 1. Pre-processing, 2. Processing, 3. Post-processing. Pre-processing adalah tahap dimana data diinput mulai dari pendefinisian domain hingga pendefinisian kondisi batas atau boundary condition. Ditahap ini juga dilakukan pembentukan grid (meshing) pada
11
setiap domain dan pemilihan fenomena kimia-fisika yang diinginkan serta menentukan kondisi sifat-sifat fluida. Tahapan selanjutnya adalah processing atau solving, pada tahap ini dilakukan proses perhitungan antara data yang diinput dengan persamaan yang terlibat secara iteratif. Artinya perhitungan dilakukan hingga hasil menuju error terkecil atau hingga mencapai nilai yang konvergen. Perhitungan dilakukan secara menyeluruh terhadap volume kontrol dengan proses integrasi persamaan diskrit. Sementara tahap akhir yaitu post-processing adalah tahap dimana hasil perhitungan diinterpretasikan ke dalam gambar, grafik bahkan animasi dengan pola-pola warna tertentu. 2.5 GAMBIT (Geometry And Mesh Building Intelligent Toolkit) GAMBIT merupakan salah satu perangkat lunak (software) yang digunakan sebagai preprocessing dalam komputasi dinamika fluida (Computational Fluid Dynamics/CFD) yang menguasai 60% pangsa pasar dunia untuk perangkat lunak tersebut. GAMBIT adalah software yang di design untuk membantu membuat berbagai macam pemodelan dan melakukan pendiskritisasian (meshing) pada model dalam suatu analisis CFD. Pada saat penerimaan input, GAMBIT menggunakan graphical user interface (GUI) sehingga memudahkan pengguna dalam pembuatan model dan proses meshing. Berbagai macam aplikasi pemodelan juga dapat diakomodasikan oleh GAMBIT. Selain itu software ini juga dapat mengimpor dari berbagai format atau menggabungkan berbagai format dari software pemodelan lain, seperti ACIS, STEP, Parasolid, IGES dan lain-lain. GAMBIT memiliki beberapa kelebihan seperti membuat berbagai macam pemodelan dan melakukan proses meshing untuk berbagai macam bentuk, termasuk bentukbentuk yang rumit dan tidak beraturan. Hal ini disebabkan GAMBIT dapat melakukan meshing dengan berbagai macam bentuk mesh, yaitu mesh heksahedral, tetrahedral, piramid dan prisma. Di sisi lain, GAMBIT juga dapat melakukan pengecekan terhadap kualitas mesh sesuai dengan standar yang diinginkan oleh pengguna Proses akhir dari pemodelan GAMBIT adalah tahap penentuan jenis kondisi batas atau boundary condition (Tuakia 2008).
2.6 Fluent Fluent merupakan tujuan umum dari kajian komputasi dinamika fluida dalam memecahkan atau mengatur persamaan untuk konservasi massa, momentum, energi, dan skalar (Huber 2008). Selain itu, Fluent adalah salah satu jenis program (CFD) yang menggunakan finite volume method (metode volume hingga) serta mampu menyediakan fleksibilitas mesh yang lengkap, sehingga dapat memudahkan pengguna dalam menyelesaikan kasus aliran fluida dengan mesh (grid) yang tidak berstruktur sekalipun. Fluent juga memungkinkan pengguna dalam memperhalus atau memperbesar mesh yang sudah ada. Jenis mesh yang didukung oleh Fluent adalah tipe 2D triangularquadrilateral, 3D tetrahedral-hexahedralpyramid-wedge, dan mesh campuran (hybrid) (Tuakia 2008). Software Fluent dapat digunakan bersama dengan arsitektur klien/server, sehingga dapat dijalankan sebagai proses terpisah secara simultan dan perangkat lunak ini memiliki struktur data yang efisien dan lebih fleksibel karena ditulis dalam bahasa C. Beberapa kemampuan pemodelan yang dapat dilakukan oleh program Fluent adalah sebagai berikut: 2D, 2D axisymmetric, 2D axisymatric dengan swirl (rotationally symmetric) dan aliran 3D, Mesh quadrilaterlal, triangular, heksahedral, tetrahedral, wedge, piramid dan campuran dari semua jenis mesh tersebut, Aliran tunak (steady state) atau transien, Aliran inkompresibel dan kompresibel untuk semua daerah kecepatan, Aliran inviskos, laminar dan turbulen, Perpindahan kalor, meliputi perpindahan kalor konveksi paksa, konveksi bebas, campuran, konjugasi (padatan/fluida), dan perpindahan kalor radiasi, Model permukaan bebas dan multifasa untuk aliran gas-cair, gas-padat, dan cair padat, 2.7 Pendekatan Model dalam Aliran Fluida Beberapa persamaan yang biasa digunakan dalam menyelesaikan permasalahan komputasi dinamika fluida adalah persaman kontinuitas, Navier-Stokes dan persamaan turbulen. Persamaan tersebut dapat dijelaskan pada sub bab berikut:
12
𝜕 𝜕𝑝 𝜕 𝜕𝑢𝑖 𝜕𝑢𝑗 2 𝜕𝑢𝑖 𝜌𝑢𝑖 𝑢𝑗 = − + 𝜇 + − 𝜕 𝜕𝑥𝑗 𝜕𝑥𝑖 𝜕𝑥𝑗 𝜕𝑥𝑗 𝜕𝑥𝑖 3 𝑖𝑗 𝜕𝑥𝑖
+
𝜕 −𝜌𝑢′𝑖 𝑢′𝑗 𝜕𝑥𝑗 .....(5)
−𝜌𝑢′𝑖 𝑢′𝑗 = 𝑢𝑡
𝜕𝑢𝑖 𝜕𝑢𝑗 2 𝜕𝑢𝑘 + − 𝜌𝑘 + 𝜇𝑡 𝜕 𝜕𝑥𝑗 𝜕𝑥𝑖 3 𝜕𝑥𝑘 𝑖𝑗 .....(6)
keterangan: 𝑣 𝜇 𝜎𝑣 dan 𝐶𝑏2 𝜌 𝐺𝑣 𝑌𝑣 𝑆𝑣
: viskositas kinematik (m2 det-1) : viskositas dinamik (Pa det) : konstanta model : produksi dari viskositas turbulen (m2 det-1) : destruksi dari viskositas turbulen yang terjadi di sekitar dinding karena halangan dinding dan damping viskos (m2 det-1) : penambahan dari sumber lain (ditentukan oleh pengguna)
2.7.1 Persamaan Kontinuitas Persamaan kontinuitas adalah salah satu persamaan matematis yang menyatakan jumlah massa yang masuk ke dalam sistem sama jumlahnya dengan jumlah massa yang keluar sistem. Secara matematis persamaan kontinuitas dapat ditulisakan sebagai berikut: ∂ 𝜌𝑢 = 0 ∂xi .....(4) ρ adalah densitas fluida (km/m3) dan 𝑢 adalah kecepatan fluida ( m/s). 2.7.2 PersamaanNavier-Stokes Persamaan Navier-Stokes adalah serangkaian persamaan yang menjelaskan tentang pergerakan dari suatu fluida (cairan dan gas) dan didasarkan pada hukum kekekalan momentum pada suatu fluida yang menerapkan Hukum II Newton. Persamaan tersebut menyatakan bahwa perubahan dalam momentum (percepatan) partikelpartikel fluida bergantung hanya kepada gaya viskos internal dan gaya viskos tekanan eksternal yang bekerja pada fluida. Sehingga, persamaan Navier-Stokes dapat menjelaskan kesetimbangan gaya-gaya yang bekerja pada fluida. Persamaan NavierStoke memiliki bentuk persamaan diferensial yang menerangkan pergerakan dari suatu fluida. Persamaan seperti ini menggambarkan hubungan laju perubahan suatu variabel terhadap variabel lain. Solusi numerik untuk kasus aliran turbulen dari persamaan Navier-Stokes dengan menggunakan komputasi dinamika fluida cukup sulit karena mesh yang digunakan harus memiliki tingkat kehalusan yang tinggi agar hasil yang diperoleh dapat
stabil yakni sekitar 50.000 hingga 100.000 sel (Fletcher, Mayer and Eghlimi 2001). Pada Computational Fluid Dynamics (CFD) terdapat persamaan RANS atau ReynoldsAveraged Navier Stokes yang merupakan salah satu persamaan time-averaged. Persamaan RANS ditunjukkan oleh persamaan 5. Bentuk dari persamaan RANS ini sama dengan persamaan Navier-Stokes termasuk faktor kecepatan dan variabel lainnya yang terdapat pada nilai time-averaged. Pada persamaan RANS, muncul bentuk tambahan yang dikenal sebagai tegangan Reynolds (Reynolds stresses) yang dipengaruhi oleh efek turbulensi (Fluent 2006). 2.7.3 Persamaan Turbulen Pada dasarnya model turbulensi membutuhkan beberapa pendekatan dalam menyelesaikan tegangan Reynolds pada persamaan Reynolds-Averaged Navier Stokes (RANS), diantaranya dengan menggunakan hipotesis Boussinesq. Hipotesis Boussinesq menyatakan bahwa tegangan Reynolds atau tegangan turbulen berbanding lurus dengan gradien kecepatan, persamaan tersebut ditunjukkan oleh persamaan 6. Hipotesis Boussinesq ini pada umunya digunakan pada beberapa model turbulensi, salah satunya adalah k-epsilon (kε) dua persamaan. Model k-epsilon merupakan model turbulensi yang cukup lengkap dengan dua persamaan yang memungkinkan kecepatan turbulen dan skala panjang dan ditentukan secara independen. Kestabilan ekonomis (dari sisi komputasi) dan akurasi yang memadai untuk berbagai jenis aliran turbulen
13
𝜕 𝜕 𝜕 𝜕𝑘 𝜌𝑘 + 𝜌𝑘𝑢𝑖 = 𝛼𝑘 𝜇eff + 𝐺𝑘 + 𝐺𝑏 − 𝜌𝜀 − 𝑌𝑀 + 𝑆𝑘 𝜕𝑡 𝜕𝑥𝑖 𝜕𝑥𝑗 𝜕𝑥𝑗 .....(7) dan 𝜕 𝜕 𝜕 𝜌𝜀 + 𝜌𝜀𝑢𝑖 = 𝜕𝑡 𝜕𝑥𝑖 𝜕𝑥𝑗
𝜇+
𝜇𝑡 𝜕𝜀 𝜀 𝜖2 + 𝐶1𝑒 𝐺𝑘 + 𝐶3𝑒 𝐺𝑏 − 𝐶2𝑒 𝜌 + 𝑆𝑒 𝜎𝑒 𝜕𝑥𝑗 𝑘 𝑘 .....(8)
keterangan: 𝐺𝑘 𝐺𝑏 𝐶1 , 𝐶2 , 𝐶3
: gradien kecepatan dalam energi kinetik turbulensi (m2 det-1) : bouyansi dalam energi kinetik turbulensi (m2 det-1) : konstanta k-epsilon
membuat model k-epsilon sering digunakan pada simulasi aliran fluida dan perpindahan panas. Pendekatan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan dari model turbulensi tersebut adalah relatif membutuhkan daya komputasi yang kecil karena hanya menggunakan satu hingga dua persamaan. Sementara kekurangan dari model tersebut adalah bahwa viskositas turbulen diasumsikan sebagai besaran isotropic scalar (dimana hal tersebut tidak sepenuhnya benar) (Fluent 2006). Persamaan transport yang digunakan dalam model standar k-epsilon adalah turbulensi energi kinetik dan laju disipasi yang ditunjukkan oleh persamaan berikut: viskositas turbulen (𝜇𝑡 ) diperoleh dari persamaan: 𝑘2 𝜇𝑡 = 𝜌𝐶𝜇 𝜖 .....(9) dimana (𝐶𝜇 ) adalah konstanta: 𝐶1𝑒 = 1,44 𝐶2𝑒 = 1,92 𝐶𝜇 = 0,09 𝜎𝑘 = 1,0 𝜎𝑒 = 1,3 2.8 Kondisi Lingkungan Gerbang Tol Bogor Bogor merupakan salah satu kota yang sangat ramai dan memiliki jumlah penduduk yang cukup padat. Setiap akhir pekan Bogor menjadi salah satu alternatif terutama oleh penduduk Jakarta sebagai tempat untuk mengisi hari libur seperti untuk wisata kuliner, berkunjung ke outlet perbelanjaan maupun untuk bersilaturahmi dengan keluarga. Salah satu jalan memasuki kota Bogor adalah dengan melalui pintu tol bogor yang berlokasi di Baranangsiang. Sehingga lokasi tersebut bisa menjadi salah satu objek
kajian yang menarik dalam melakukan pendugaan kualitas udara. Gerbang tol Bogor ini terletak pada 6.5°LS dan 106.8°BT dan dengan ketinggian 249,6m. Gerbang tol Bogor memiliki sembilan gardu tol yang terdiri dari empat gardu sebagai loket tiket dan empat gardu sebagai loket pembayaran serta satu gardu cadangan yang dapat berfungsi sebagai loket tiket maupun loket pembayaran. Gerbang tol ini aktif selama 24 jam dengan pergantian shift masing-masing gardu selama 8 jam. Berdasarkan data rekapan lalu lintas PT. Jasa Marga, volume lalu lintas yang memasuki kota Bogor setiap tahunnya mencapai 9 hingga 11 juta unit. Selain itu PT. Jasa Marga juga turut mengklasifikasikan jenis kendaraan yang dari lima golongan. Golongan tersebut ditetapkan sesuai dengan KEPMEN PU.No:514 TH. 2009 dan NO:02 Th. 2011. III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengukuran dan pengambilan sampel dilakukan di pintu tol Bogor yang dikelola oleh pihak PT. Jasa Marga pada bulan Mei 2011. Selanjutnya analisis sampel parameter polutan dilakukan di Laboratorium Lingkungan Departemen BDP IPB pada bulan Mei-Juni 2011. Sementara penelitian dilakukan di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer IPB serta Laboratorium Aero Gasdinamika dan Getaran BPPT pada bulan Maret hingga Agustus 2011. Gambar lokasi penelitian terdapat pada Lampiran 1 dan 2. 3.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang dibutuhkan selama penelitian adalah sebagai berikut:
14
Alat/Perangkat Keras 1 Personal Computer berbasis Windows dan Linux 2 Air Impinger 3 Termometer 4 Anemometer 5 Windvane 6 Spektrofotometer 7 Peralatan laboratorium kimia
yang disimulasikan pada CFD hanya pada jam ke-1 dan jam ke-4. (data hasil pengukuran terdapat pada Lampiran 7 dan 8). Kemudian, karakteristik kimia dari masing-masing fluida yang dapat dijadikan sebagai parameter input adalah densitas, viskositas, koefisien difusitas, konduktivitas panas (data tercantum pada Tabel 8).
Bahan/Perangkat Lunak 1 Microsoft Office 2007 2 Software GAMBIT versi 2.4 3 Software Fluent versi 6.3 4 Larutan atau cairan kimia Gambar alat dan bahan yang digunakan selama penelitian dapat terlihat pada Lampiran 3 dan 4.
3.3.3 Data Meteorologi Simulasi dispersi CO yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan data meteorologi pada tanggal 15 Mei 2011 yang berlokasi di gardu 8 tol Bogor. Parameter yang digunakan antara lain suhu, arah dan kecepatan angin. Seluruh data meteorologi yang terukur dapat terlihat pada Lampiran 7 dan 8.
3.3 Parameter Input Parameter input yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer yaitu data fisik gardu tol, data konsentrasi polutan (CO) dan data meteorologi, dengan studi kasus gardu tol Bogor. Pengukuran dilakukan selama empat kali ulangan dengan masingmasing waktu pengukuran satu jam. Namun parameter input yang digunakan dalam simulasi hanya pada jam ke-1 dan jam ke-4. 3.3.1 Data Fisik Gardu Tol Data ini meliputi volume gardu (panjang, lebar dan tinggi dalam satuan meter), jendela loket (panjang dan lebar dalam satuan meter), volume properti yang berada di dalam ruangan seperti kursi, meja, komputer, mesin, box, dan lain-lain. Kemudian pada penelitian ini digunakan dua tipe/variasi ukuran gardu tol yang terdiri atas Geometri A dan Geometri B. Perbedaan kedua geometri ini terletak pada besarnya volume gardu dan perbedaan letak outflow (data atau gambar kedua geometri ini terdapat pada Lampiran 5 dan 6). 3.3.2 Data Konsentrasi Polutan Data pengukuran lapang yang digunakan adalah data primer berupa hasil pengukuran kualitas udara emisi CO pada gardu tol Bogor. Hasil kadar emisi CO tersebut diperoleh dengan menggunakan tabung Impinger . Pengukuran konsentrasi CO hanya dilakukan pada satu gardu tol saja yaitu gardu tol dengan ukuran dimensi (x, y, z) 3,5 m, 2,4 m, dan 1,4 m. Sementara itu, pengukuran dilakukan selama empat kali ulangan, dengan masing-masing waktu pengukuran selama satu jam. Namun data
3.4 Data Volume Lalu Lintas Prosedur pengambilan sampling volume lalu lintas dapat diperoleh melalui pihak PT. Jasa Marga. Sehingga dapat diperoleh perhitungan volume kendaraan akurat. Waktu pengukuran volume lalu lintas dilakukan selama empat kali per satu jam. Sementara itu data volume lalu lintas yang digunakan untuk melihat trend kenaikan volume lalu lintas per minggu adalah data dari bulan Januari hingga April 2011 (data selengkapnya terdapat pada Lampiran 9 dan 10). Sedangkan data volume lalu lintas yang digunakan untuk melihat trend kenaikan volume lalu lintas dalam kurun waktu 6 tahun terakhir adalah data dari tahun 2005 hingga 2010 (data dan grafik selengkapnya terdapat pada Lampiran 11 dan 12). 3.5 Analsis Kualitas Udara Ambien Karbon Monoksida (CO) Metode yang digunakan dalam analisi kandungan karbon monoksida di udara adalah metode kurva kalibrasi dan pengujian contoh uji. Secara lengkap langkah-langkah yang digunakan dalam kedua metode tersebut diuraikan pada sub bab selanjutnya. 3.5.1 Kurva Kalibrasi 1 Mengoptimalkan alat spektrofotometer, 2 Memasukkan 25 mL larutan induk CO ke dalam labu labu 100 mL dan ditepatkan dengan aquades, 3 Menyiapkan tabung uji 10 mL, lalu pipet 0 mL, 0,2 mL, 0,4 mL, 0,6 mL, 0,9 mL larutan standar Iod,
15
4 Menambahkan larutan penyerap sampai pada volume 10 mL dan dihomogenkan, 5 Mengukur masing-masing larutan standar dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. 3.5.2 Pengujian contoh uji Memasukkan larutan contoh uji ke dalam kuvet pada alat spektrofotometer, lalu menguku nilai absorban pada panjang gelombang 420 nm.
Gambar desain geometri dari berbagai sudut pandang lainnya terdapat pada Lampiran 13. Geometri B Model geometri yang kedua berbentuk gardu berdimensi (x, y, z) dengan ukuran 3,5 m, 2,4 m, dan 1,4 m dan letak Outflow berada pada sumbu z. Bentuk Geometri B dapat terlihat pada Gambar 4.
3.6 Metode Penelitian (Simulasi CFD) Pada penelitian ini simulasi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak GAMBIT 2.4 dan FLUENT 6.3. Secara lengkap langkah penelitian yang dilakukan dalam kedua metode tersebut diuraikan pada sub bab selanjutnya. 3.6.1 Langkah pada GAMBIT Tahapan dalam pembuatan desain geometri adalah sebagai berikut: 1. Membuat Geometri Gardu Tol Geometri digambar dengan menggunakan GAMBIT sesuai dengan domain dan boundary condition yang diperlukan selama proses simulasi berlangsung. Penggambaran geometri yang dilakukan meliputi dinding, lantai, atap, saluran Inlet dan outlet, serta properti yang berada dalam ruangan. Pemodelan geometri ini terdiri dari dua variasi gardu tol yang berbeda ukuran. Berikut merupakan dua variasi ukuran geometri (gardu tol) yang digunakan dalam penelitian: Geometri A Model geometri yang pertama berbentuk gardu berdimensi (x, y, z) dengan ukuran 2,5 m, 2,4 m, dan 1,4 m dan letak Outflow berada pada sumbu x. Bentuk Geometri A dapat terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Geometri (gardu tol) variasi A.
Gambar 4 Geometri (gardu tol) variasi B.
Gambar desain geometri dari berbagai sudut pandang lainnya terdapat pada Lampiran 14. 2. Melakukan subtraksi Substraksi yang dilakukan adalah dengan mengurangi volume gardu keseluruhan dengan properti yang berada dalam ruangan. Sehingga properti tersebut tidak menghalangi aliran fluida yang terjadi. 3. Memeriksa mesh Setelah membuat geometri, langkah berikutnya adalah melakukan pembagian objek menjadi bagian-bagian kecil atau meshing. Ukuran mesh yang terdapat pada suatu objek akan mempengaruhi ketelitian analisis CFD yang akan dilakukan. Semakin kecil ukuran mesh maka hasil yang didapatkan akan semakin teliti, tetapi membutuhkan daya komputasi dan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan objek yang memiliki ukuran mesh lebih besar.
Gambar 5 Mesh pada Geometri A.
16
Gambar 6 Mesh pada Geometri B.
Pada penelitian ini ukuran mesh yang digunakan adalah sebesar 0,05 m. Mesh pada penelitian ini terdiri atas mesh face dan mesh volume. Gambar mesh yang terbentuk pada masing-masing geometri dapat terlihat pada Gambar 5 dan 6. 3.6.2 Langkah pada Fluent Pada Fluent, data yang akan dimasukkan ke dalam membutuhkan beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Memilih Solver Pada penelitian ini solver yang digunakan adalah solver 3D. Solver tersebut memiliki presisi tunggal atau presisi ganda. 2. Mengekspor dan Mengecek Grid Grid yang telah dibuat sebelumnya oleh GAMBIT harus diekspor ke dalam bentuk mesh file sehingga Fluent dapat melakukan pengecekan terhadap kesalahan grid atau sebaliknya. 3. Mendefinisikan domain Pada tahap ini ditentukan fluida yang akan digunakan, tipe aliran, kondisi batas, material penyusun gardu tol dan kondisi operasional yang akan diasumsikan. Berikut beberapa tahap yang dilakukan dalam pendefinisian: Memilih solver Pada penelitian ini formulasi solver yang digunakan adalah Pressure Based Solver. Keterangan: - Solver : pressure-based - Space : 3D - Velocity formulation : absolute - Time : stady - Gradient option : green gauss cell based - Porous formulation : superficial velocity Menentukan model dan persamaan dasar Model dan persamaan dasar yang terdapat pada Fluent harus ditentukan
sesuai dengan permasalahan yang akan dianalisis. Beberapa persamaan dan model yang digunakan dalam penelitian ini adalah viskositas (k-epsilon), transpor spesies dan perpindahan panas secara konveksi. Model k-epsilon merupakan model turbulensi yang cukup lengkap dengan dua persamaan yang memungkinkan kecepatan turbulen dan skala panjang dan ditentukan secara independen. Kestabilan ekonomis (dari sisi komputasi) dan akurasi yang memadai untuk berbagai jenis aliran turbulen membuat model k-epsilon sering digunakan pada simulasi aliran fluida dan perpindahan panas. Nilai karakteristik udara dan CO yang dimasukkan dapat terlihat pada Tabel 10. Sementara keterangan model dan persamaan dasar yang digunakan pada Fluent adalah sebagai berikut: Persamaan viskositas - Model : k-epsilon - k-epsilon : standard - Near-wall Treatment : standard wall function Persamaan energi Persamaan transpor spesies Jam ke-1 - Model : spesies transport - Mixture species : CO dan udara - Density : incompressible ideal gas - Cp : mixing law - Thermal conductivity : 0,0242 - Viscosity : 1,89x105 - Mass - Diffusivity : 3,42x105 Jam ke-4 - Model : spesies transport - Mixture species : CO dan udara - Density : incompressible ideal gas - Cp : mixing law - Thermal conductivity : 0,0241 - Viscosity : 1,90x105 - Mass - Diffusivity : 3,45x105 - Menentukan kondisi operasi Kondisi operasi yang ditentukan adalah tekanan STP sebesar 1 atm,
17
Tabel 8 Karakteristik fluida
Parameter
Jam ke-1
Jam ke-4
Suhu Kamar (K)
302.1
300.6
Density ρ (kg/m³)
1.1146557
1.1201564
Dynamic Viscosity µ (N.s/m²)
1.892E-05
1.901E-05
Thermal Conductivity W/mK
0.0241627
0.0241033
Specific Heat Capacity kJ/kg.K
1.0400827
1.0400233
Koeffisien Diffusitas m²/s
3.419E-05
3.448E-05
-
Menentukan material Fluida yang digunakan dalam penelitian ini adalah udara dan karbon monoksida atau CO pada kondisi STP dan dengan masingmasing karakteristik fisik yang berbeda (data selengkapnya terdapat pada Lampiran 7). Menentukan Kondisi Batas Penentuan kondisi batas didasarkan pada masing-masing variabel dalam domain Geometri Beberapa kondisi batas yang digunakan pada kasus ini adalah Velocity Inlet, Outflow dan Wall. Berikut merupakan nilai input Fluent yang tersaji pada Tabel 8. Velocity Inlet Merupakan kondisi batas yang digunakan untuk mendefinisikan kecepatan aliran dan besaran skalar lainnya pada sisi masuk aliran. Velocity yang dimaksud dalam kasus ini adalah jendela transaksi pada gardu tol. Keterangan yang dimasukkan dalam tipe ini adalah sebagai berikut: Jam ke-1 Momentum Velocity specification method : components Reference frame : absolute X-velocity ( m/s) : 0,5 Y-velocity ( m/s) : 0,0 Z-velocity ( m/s) : 0,5 Turbulence - Specification method : intensity and hydraulic diameter - Turbulance intensity (%) : 10 - Hydraulic diameter (m) : 0,667 Termal Suhu (K) : 302 Spesies Fraksi massa CO : 0,0000075
Jam ke-4 Momentum Velocity specification method Reference frame X-velocity ( m/s) Y-velocity ( m/s) Z-velocity ( m/s) Turbulence - Specification method
: components : absolute : 0,2 : 0,0 : 0,2
:
intensity and hydraulic diameter
- Turbulance intensity (%) : 10 - Hydraulic diameter (m) : 0,667 Termal Suhu (K) : 300.6 Spesies Fraksi massa CO : 0,000068 Outflow Merupakan kondisi batas yang digunakan sebagai sisi aliran keluar. Pada penelitian ini hanya terdapat satu Outflow yaitu Heat Ventilating Air Conditioning atau HV-AC sehingga nilai flow rate weighting adalah 1. Wall Merupakan kondisi batas yang digunakan sebagai dinding untuk aliran fluida dalam saluran dan juga sebagai pembatas antara daerah fluida (cair dan gas) dan padatan, seperti meja, mesin tiket, komputer, kursi, dan seluruh benda berbentuk padat lainnya. 4. Solusi kontrol Setelah melakukan proses pendefinisian perlu dilakukan penentuan terhadap kriteria solusi kontrol. Nilai yang dimasukkan ke dalam proses tersebut yaitu sebagai berikut: Jam ke-1 Pressure velocity coupling : SIMPLE Under Relactation Factor Pressure : 0,3 Density : 0,5
18
Body force : 0,5 Momentum : 0,4 Modified turbulent viscosity : 0,3 Turbulent viscosity : 0,3 Turbulent dissipation rate : 0,3 CO : 0,5 Energi : 0,5 Jam ke-4 Pressure velocity coupling : SIMPLE Under Relactation Factor Pressure : 0,2 Density : 0,2 Body force : 0,2 Momentum : 0,1 Modified turbulent viscosity : 0,09 Turbulent viscosity : 0,09 Turbulent dissipation rate : 0,09 CO : 0,3 Energi : 0,5 Diskretisasi pada jam ke-1 dan jam ke-4 Pressure :second order upwind Momentum :second order upwind Modified turbulent viscosity :second order upwind CO :second order upwind Energi : first order upwind 5. Inisialisasi medan aliran Inisialisasi adalah hipotesa awal pada kondisi batas saat memulai perhitungan. Sebelum memulai perhitungan atau menjalankan program, hal yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah dengan melakukan inisialisasi. Pada penelitian ini, kondisi batas yang diinisialisasi adalah jendela Inlet. 6. Melakukan iterasi Pada proses perhitungan harus ditentukan terlebih dahulu kriteria konvergensi kasus yang akan dihitung. Kriteria konvergensi adalah kesalahan atau perbedaan antara dugaan awal dan hasil akhir dari iterasi yang dilakukan berdasarkan persamaan yang digunakan. 7. Hasil tampilan simulasi Hasil akhir yang dapat ditampilkan dapat berupa kontur, vektor, pathline serta plot XY. Pada penelitian ini visualisasi output akan ditampilkan dalam bentuk kontur 3D.
3.7 Asumsi yang digunakan pada Model Penelitian ini memiliki berbagai keterbatasan sehingga perlu digunakan beberapa asumsi diantaranya ; Simulasi dilakukan pada kondisi steady state, Data kosentrasi polutan yang teukur pada Geometri B diasumsikan sama dengan Geometri A. IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Kepadatan Lalu Lintas Gerbang Tol Gerbang tol Bogor merupakan salah satu bagian gerbang tol Jagorawi yang dikelola oleh PT. Jasa Marga. Gerbang tol Bogor memiliki sembilan gardu tol yang terdiri dari empat gar-du sebagai loket tiket (Entrance) dan empat gardu sebagai loket pembayaran (Exit) serta satu gardu cadangan yang dapat berfungsi sebagai loket tiket maupun loket pembayaran (Entrance/ Exit). Berdasarkan data rekapan lalu lintas PT. Jasa Marga, total volume lalu lintas yang memasuki kota Bogor setiap tahunnya mencapai 9 hingga 11 juta unit dari gerbang tol Bogor (data dapat terlihat pada Lampiran 11). Sementara ratarata jumlah kendaraan yang melewati satu gardu tol per satu jam adalah sebanyak 270 unit. Pada Gambar 7 dapat terlihat bahwa terjadi fluktuasi jumlah kendaraan bermotor yang memasuki kota Bogor dari tahun 2005 hingga 2010. Pada tahun 2006 hingga 2009, trend jumlah kendaraan yang masuk ke kota Bogor melalui gerbang tol Bogor terus mengalami peningkatan, tetapi mengalami penurunan kembali pada tahun 2010. Pembukaan tol dalam kota untuk wilayah Sentul Barat merupakan salah satu penyebab jumlah kendaraan menurun pada gerbang tol Bogor tahun 2010. Hal ini dikarenakan gerbang tol tersebut digunakan sebagai jalan tol alternatif menuju kota Bogor.
Diagram alir penelitian pada Langkah GAMBIT dan Fluent dapat terlihat pada Lampiran 15.
Gambar 7 Jumlah kendaraan bermotor/tahun pada gerbang tol Bogor (2005-2010).
19
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 8 Jumlah kendaraan bermotor per Minggu (2011): (a) Januari; (b) Februari; (c) Maret; (d) April (Wi = minggu ke-i).
Selanjutnya pada Gambar 8, dapat terlihat bahwa jumlah kendaraan yang melewati gerbang tol (Bogor) pada hari kerja lebih sedikit bila dibandingkan dengan hari libur. Puncak kepadatan jumlah kendaraaanyang memasuki kota Bogor melalui kedua gerbang tol tersebut relatif terjadi pada akhir pekan yakni hari Sabtu serta pada hari-hari libur nasional. Hal ini dapat ditunjukkan pada Gambar 8 (a), (b), (c) dan (d), yang mana trend kenaikan jumlah kendaraan pada bulan Januari, Februari, Maret, April pada tahun 2011 memiliki pola yang sama. Secara konsisten dapat terlihat pada grafik bahwa jumlah kendaraan cenderung stabil pada saat hari kerja dan meningkat pada akhir pekan yakni Jumat dan Sabtu, dan kemudian mengalami penurunan kembali pada saat hari Minggu. Sementara itu, kepadatan antrian di gerbang tol ini juga dapat terjadi jika terdapat hari libur nasional. Pada akhir pekan, total rata-rata kendaraan yang tercatat melewati gardu tol Exit pada gerbang tol Bogor dapat mencapai 25.000 hingga 30.000 unit. Sementara pada hari kerja total rata-rata kendaraan hanya mencapai sekitar 20.000 hingga 25.000 unit. Pada umumnya, kepadatan lalu lintas yang terjadi pada hari libur disebabkan oleh aktivitas wisata keluarga dengan daerah
tujuan utama kota Bogor. Berbeda halnya dengan hari kerja dimana jumlah kendaraan relatif konstan karena hanya didominasi oleh aktivitas perkantoran yang melalui lintas antarkota yakni Jakarta-Bogor. Puncak kepadatan antrian pada gardu Exit selama hari kerja pada umumnya terjadi pada saat sore hari sekitar pukul 17.0019.00. Kondisi kepadatan antrian pada jam jam tersebut biasanya dipengaruhi oleh waktu keluar perkantoran. Sementara untuk hari libur pada umunya terjadi sekitar pukul 11.00-13.00. Di sisi lain, jenis kendaraan yang paling dominan melalui gardu tol adalah kendaraan pribadi. Setelah itu diikuti oleh truk kecil, bus kecil, bus besar dan truk besar. Pada penelitian ini jumlah unit kendaraan yang tercatat selama satu jam adalah sebanyak 285 unit. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat penelitian dilakukan, jumlah kendaraan berada dalam kondisi padat karena tercatat melebihi rata-rata/jam pada setiap gardu tol. Padatnya volume kendaraan yang terjadi di sekitar gardu tol sangat berpengaruh terhadap jumlah emisi gas buang yang dihasilkan dari suatu kendaraan bermotor.
20
4.2 Simulasi Dispersi Gas CO menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD) Kepadatan antrian kendaraan bermotor merupakan sumber utama dalam permasalahan pencemaran udara di sekitar gardu tol. Hal ini dikarenakan penggunaan bahan bakar untuk kendaraan bermotor dapat mengemisikan zat-zat pencemar ke udara, seperti CO, NOx, SOx, HC, TSP serta Pb. Sehingga potensi udara yang tercemar oleh polutan baik yang berada di sekitar gardu maupun di dalam gardu cukup besar dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Proses pencemaran tersebut juga tidak terlepas dari beberapa faktor seperti, faktor meteorologi, jumlah kendaraan bermotor dan desain bangunan gardu. Sementara zat pencemar yang menjadi fokus objek penelitian ini adalah karbon monoksida atau CO. Pada peneilitian ini, penggunaan CFD dapat dilakukan untuk melihat sebaran polutan CO di dalam gardu tol yang dipengaruhi oleh berbagai faktor di atas serta untuk mengetahui potensi keterpaparan reseptor terhadap polutan CO tersebut. 4.3 Pengaruh Kecepatan Angin terhadap Dispersi Polutan CO Kecepatan dan arah angin (aliran) sangat berperan dalam persebaran polutan di udara terutama udara di dalam gardu tol. Besarnya nilai kecepatan angin akan berpengaruh terhadap besarnya turbulensi. Menurut Oke (1987), semakin kuat pergerakan turbulensi yang terjadi di dalam gardu tol maka semakin besar kemungkinan polutan dapat bercampur dengan udara di sekelilingnya sehingga konsentrasi zat pencemar di dalam gardu tersebut akan berkurang. Begitu pula sebaliknya, pengenceran akan lebih sulit terjadi dan membuat konsentrasi zat pencemar tetap tinggi apabila kecepatan angin atau pergerakan turbulensinya sangat kecil. Pada penelitian ini, parameter input yang disimulasikan pada Fluent hanya parameter input yang terukur pada jam ke-1 dan jam ke-4 (yaitu pada pukul 11.00-12.00 dan 14.50-15.50), seperti parameter angin yang terukur pada jam ke-1 sebesar 0,7 m/s dan 0.5 m/s pada jam ke-4. Selanjutnya, pengaruh angin pada kedua geometri cukup berbeda, hal ini dikarenakan adanya perbedaan letak Outflow dan besarnya volume geometri. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya pada metodologi bahwa volume Geometri A lebih kecil daripada volume Geometri B. Sementara Velocity Inlet adalah kondisi batas dalam Fluent yang dipilih sebagai daerah input untuk data profil angin, suhu dan konsentrasi polutan. Sedangkan Outflow adalah kondisi batas dalam Fluent yang dipilih sebagai aliran keluar. Pada penelitian ini hanya terdapat satu Outflow yaitu HV-AC. Pada dasarnya pemilihan HV-AC sebagai Outflow adalah karena prinsip kerja HV-AC yakni menghisap udara yang berada di dalam ruangan melalui kipas sentrifugal yang terdapat pada mesin HV-AC. Sehingga suhu udara dalam ruang menjadi lebih dingin dibandingkan suhu udara di luar ruangan. Hal ini terkait dengan perpindahan panas yang menyebabkan suhu udara dalam ruangan relatif dingin dari daripada di luar ruangan. Selain itu besarnya angin dan masuknya udara kering yang dihasilkan atau dikeluarkan oleh HV-AC melalui kisi-kisi relatif konstan atau seragam sehingga tidak diperhitungkan dalam kasus ini. Pada penelitian ini akan dibandingkan pengaruh faktor angin terhadap dua geometri yang berbeda dengan masing-masing nilai kecepatan yang berbeda pula. Analisis lebih lanjut mengenai distribusi angin yang terjadi pada kedua Geometri akan diuraikan pada sub bab selanjutnya. 4.3.1 Distribusi Angin pada Geometri A Pada simulasi Fluent, visualisasi output profil kecepatan angin difokuskan pada satu titik yaitu pada keberadaan reseptor atau petugas tol ketika sedang bekerja. Sehingga, pada penelitian ini dibuat beberapa plane, masing-masing pada bidang x (tampak atas), y (tampak samping) z (tampak depan) dan xyz (tampak isometrik/3D) yang dapat mewakili profil kecepatan angin di sekitar petugas tol serta agar distribusi angin di sekitar area tersebut dapat terlihat jelas. Masing-masing plane tersebut dapat diinterpretasikan sesuai dengan gradasi warna dan skala kecepatan angin. Selain itu, nilai kecepatan kontur dari hasil simulasi Fluent ditunjukkan pada bagian kontur sebelah kiri yang dapat dibedakan melalui gradasi warna. Pada gambar terlihat bahwa semakin merah warna kontur maka semakin besar nilai kecepatan anginnya dan semakin biru warna kontur maka semakin kecil nilai kecepatan angin.
21
Distribusi Angin pada Geometri A pada jam ke-1 Hasil simulasi Fluent untuk profil kecepatan angin yang terjadi di dalam gardu tol (Geometri A) pada jam ke-1tersaji pada Gambar 9. Nilai kecepatan angin yang terukur pada jam ke-1 adalah 0,7 m/s. Sementara skala distribusi kecepatan angin dalam geometri ini berkisar antara 0,01 hingga 1 m/s. Pada Gambar 9 (a), dapat terlihat bahwa pergerakan angin yang masuk melalui Inlet cukup terdistribusi secara merata ke seluruh bagian ruangan. Namun pada Gambar 9 (b); (c); dan (d), dapat terlihat bahwa pada saat angin masuk ke dalam gardu melalui inlet tidak langsung terjadi proses turbulensi, hal ini ditunjukkan oleh gradasi warna hijau dan kuning (disekitar area Inlet). Sementara bagian lain di dalam gardu cukup didominasi oleh gradasi biru, yang berarti bahwa setelah angin terdistribusi ke seluruh ruangan maka terjadi proses turbulensi, yang kemudian akan berpengaruh terhadap proses pendispersian polutan.
Distribusi angin di dalam gardu ini sangat dipengaruhi oleh kecepatan angin dan banyaknya properti di dalam ruangan. Semakin banyak properti yang berada di dalam ruangan maka akan semakin besar gesekan yang terjadi sehingga aliran yang terjadi semakin turbulen atau acak. Besarnya luasan Inlet dan Outflow pada gardu tol juga turut mempengaruhi seberapa besar udara yang masuk dan keluar dari ruangan. Secara teknis, terjadi beberapa proses ketika angin masuk ke dalam ruangan melalui Inlet, diantaranya distribusi angin akan menyebar mengikuti arah dan kecepatan angin, kemudian akan mengalami gesekan dengan properti (yang telah didefinisikan sebagai Wall) yang berada di dalam ruangan sehingga menyebabkan terjadinya proses turbulensi. Hal inilah yang menyebabkan sebagian angin tidak langsung membawa baik udara maupun polutan untuk segera keluar melalui Outflow. Di sisi lain besarnya volume gardu juga turut mempengaruhi seberapa lama udara kotor berada dalam ruangan.
Gambar 9 Profil kecepatan angin untuk Geometri A pada jam ke-1: (a) tampak isometrik/3D; (b) tampak depan; (c) tampak atas; (d) tampak samping.
22
Gambar 10
Profil kecepatan angin untuk Geometri A pada jam ke-4: (a) tampak isometrik/3D; (b) tampak depan; (c) tampak atas; (d) tampak samping.
Distribusi Angin pada Geometri A pada jam ke-4 Pada Geometri A, hasil simulasi Fluent untuk profil kecepatan angin pada jam ke-4 tersaji pada Gambar 10. Seperti pada jam ke1, skala distribusi angin pada jam ke-4 juga berkisar antara 0,01 hingga 1 m/s. Namun, nilai kecepatan angin yang terukur pada jam ke-4 adalah 0,5 m/s, lebih kecil daripada kecepatan angin pada jam ke-1. Besar kecilnya nilai kecepatan angin yang masuk ke dalam gardu akan berpengaruh terhadap seberapa cepat angin akan terdistribusi ke seluruh bagian ruangan. Pada Gambar 10 dapat terlihat bahwa ketika angin masuk ke dalam ruangan, maka banyak aliran turbulen yang terbentuk. Namun pada beberapa bagian tepi Wall dari hasil simulasi terlihat gradasi warna merah, hal ini menunjukkan adanya residu yang dihasilkan dari proses perhitungan dan tidak terlalu berpengaruh sehingga dapat diabaikan. Bila dibandingkan dengan Gambar 9, aliran turbulen yang terlihat pada Gambar 10 sedikit lebih banyak dan lebih acak, padahal perbedaan nilai kecepatan angin antara jam ke-1 dan ke-4 hanya 0,2 m/s. Penentuan kriteria solusi kontrol yang digunakan dalam simulasi Fluent pada jam jam ke-4 memang jauh lebih kecil dan membutuhkan waktu komputasi yang lebih lama.
4.3.2 Distribusi Angin pada Geometri B Pada Geometri B visualisasi output profil kecepatan angin juga difokuskan pada satu titik yaitu pada keberadaan reseptor atau petugas tol ketika sedang bekerja. Sehingga, pada simulasi ini juga dibuat beberapa plane, masing-masing pada bidang x, y, z dan xyz (3D). Selanjutnya, nilai kecepatan kontur dari hasil simulasi Fluent ditunjukkan pada bagian kontur sebelah kiri yang dapat dibedakan melalui gradasi warna. Pada gambar terlihat bahwa semakin merah warna kontur maka semakin besar nilai kecepatan anginnya dan semakin biru warna kontur maka semakin kecil nilai kecepatan anginnya. Distribusi Angin pada Geometri B pada jam ke-1 Profil kecepatan angin yang terjadi di dalam gardu tol (Geometri B) pada jam ke-1 tersaji pada Gambar 11. Nilai kecepatan angin yang terukur pada jam ke-1 untuk Geometri ini adalah 0,7 m/s, seperti yang telah dijelaskan pada asumsi sebelumnya bahwa parameter input yang digunakan untuk kedua Geometri Adalah sama . Sementara skala distribusi angin dalam geometri ini juga sama yaitu skala 0,01 hingga 1 m/s Pada prinsipnya, faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi angin pada gardu ini (Geometri B) sama dengan faktorfaktor yang mempengaruhi distribusi angin pada Geometri A. Hanya saja terdapat
23
Gambar 11
Profil kecepatan angin untuk Geometri B pada jam ke-1: (a) tampak isometrik/3D; (b) tampak depan; (c) tampak atas; (d) tampak samping.
perbedaan pada letak Outflow dan volume geometri. Pada gardu ini, letak Outflow berada agak jauh dengan Inlet dan volume pada Geometri B lebih besar daripada volume Geometri A. Pada Gambar 11 (a) dapat terlihat bahwa pengaruh jarak antara Outflow dan Inlet serta volume yang lebih besar menunjukkan distribusi angin pada masing-masing plane masih cukup tinggi. Hal ini berarti bahwa semakin kecil dan sedikit proses turbulensi yang terjadi. Selanjutnya pada Gambar 11 (b) (c), (d), juga dapat terlihat bahwa turbulensi di sekitar area reseptor atau petugas di dalam gardu ini (Geometri B) cukup kecil bila dibandingkan turbulensi yang terjadi pada Geometri A untuk jam ke1. Sehingga dengan proses turbulensi yang kecil akibat letak Outflow yang cukup jauh dari Inlet serta volume gardu yang lebih besar makabaik udara maupun polutan akan cenderung dapat bertahan lebih lama di dalam ruangan. Distribusi Angin pada Geometri B pada jam ke-4 Profil kecepatan angin yang terjadi di dalam gardu tol (Geometri B) berdasarkan hasil simulasi Fluent pada jam ke-4 tersaji pada Gambar 12. Seperti jam ke-1, skala distribusi angin pada jam ke-4 juga berkisar antara 0,01 hingga 0,5 m/s. Namun, nilai kecepatan angin yang terukur pada jam ke-4 adalah 0,5 m/s, lebih kecil daripada kecepatan angin pada jam ke-1. Besar
kecilnya nilai kecepatan angin yang masuk ke dalam gardu akan berpengaruh terhadap seberapa cepat angin akan terdistribusi ke seluruh bagian ruangan. Pada Gambar 12 (a), dapat terlihat bahwa pergerakan angin yang masuk melalui Inlet cukup terdistribusi secara merata ke seluruh bagian ruangan, kecuali pada bagian dekat inlet. Di sisi lain pada Gambar 12 (b), (c), dan (d); dapat terlihat bahwa pada saat angin masuk ke dalam gardu melalui inlet tidak langsung terjadi proses turbulensi, hal ini ditunjukkan oleh gradasi warna hijau dan kuning (di sekitar area Inlet). Sementara bagian lain di dalam gardu cukup didominasi oleh gradasi biru, yang berarti bahwa setelah angin terdistribusi ke seluruh ruangan maka terjadi proses turbulensi, yang kemudian akan berpengaruh terhadap proses pendispersian polutan. Pola aliran turbulen yang terjadi dalam Geometri B pada jam ke-4 ini ternyata tidak jauh berbeda dengan pola aliran yang terjadi dalam Geometri A pada jam ke-1. Padahal kedua geometri memiliki besar volume gardu dan letak Outflow yang berbeda, serta nilai kecepatan angin yang terukur juga bukan pada jam yang sama. Selisih antara nilai kecepatan angin pada jam ke-1 dan jam ke-4 adalah sebesar 0.2 m/s. Hal ini berarti bahwa distribusi angin dengan pola aliran turbulen yang hampir sama dapat terjadi pada geometri yang berbeda.
24
Gambar 12
Profil kecepatan angin untuk Geometri B pada jam ke-4: (a) tampak isometrik/3D; (b) tampak depan; (c) tampak atas; (d) tampak samping.
4.4 Konsentrasi Karbon Monoksida (CO) Sumber polutan CO dalam penelitian ini didominasi oleh kendaraan bermotor jenis mobil pribadi. Hal ini disebabkan pengukuran dilakukan bukan pada gardu tol khusus kendaraan dengan muatan besar (truk atau bus) sehingga kendaraan yang melewati gardu tol tersebut didominasi oleh jenis kendaraan biasa dan diasumsikan sebagai mobil pribadi yang sebagian besar mengkonsumsi bahan bakar bensin seperti premium atau pertamax. Hasil pengukuran yang terdapat pada Lampiran 7 dan 8 menunjukkan bahwa konsentrasi karbon monoksida (CO) yang terukur pada tanggal 15 Mei 2011 pukul 11.00-15.50 selama empat kali pengukuran cukup bervariasi. Pada jam ke-1 hingga jam ke-3 nilai konsentrasi CO yang terukur berada pada kisaran 1 hingga 7 ppm, sedangkan pada jam ke-4 hasil konsentrasi CO yang diperoleh mencapai hingga 68 ppm. Berdasarkan Baku Mutu Udara Ambien (BMUA), nilai konsentrasi karbon monoksida (dalam waktu satu jam) yang terukur pada jam ke-4 berada jauh di atas ambang batas yang telah ditetapkan, sedangkan hasil konsentrasi CO yang terukur selama tiga jam pertama masih berada di bawah ambang batas yang telah ditetapkan menurut KLH (2002) yakni sebesar 10 ppm. Sementara berdasarkan Standar Nasional Indonesia Nilai Ambang Batas (SNI NAB) untuk zat CO adalah sebesar 25 ppm. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap tingkat keberadaan polutan di udara
dalam gardu tol adalah bentuk gardu dan faktor meteorologi seperti, arah dan kecepatan angin yang turut berperan dalam pengurangan konsentrasi di dekat daerah sumber atau inlet. Sementara tingkat konsentrasi polutan dari kendaraan bermotor dipengaruhi oleh jumlah kendaraan yang melewati gardu tol per satuan waktu termasuk bahan bakar yang digunakan, usia kendaraan, dan tipe kendaraan. Berdasarkan faktor meteorologi, kecepatan angin rata-rata tertinggi terukur pada jam ke-1 dan jumlah kendaraan terbanyak terjadi pada jam ke-4. Selisih nilai kecepatan angin antara jam ke-1 dan jam ke4 adalah 0,4 m/s, sementara selisih jumlah kendaraan pada kedua jam tersebut adalah 19 unit. Namun perbedaan nilai konsentrasi CO yang terukur pada jam ke-4 jauh lebih besar hingga sembilan kali lipat dari jam ke1. Selain karena jumlah kendaraan jam ke-4 (304 unit) lebih padat dari jam ke-1 (285 unit), tingginya konsentrasi CO bisa terjadi akibat bahan bakar yang digunakan, usia kendaraan, dan tipe kendaraan yang melewati gardu tol pada masing-masing jam pengukuran. Sesuai dengan pengaruh faktor angin yang telah dibahas selanjutnya, pada penelitian ini akan dibandingkan simulasi dispersi gas CO pada setiap model yaitu untuk Geometri A dan B dengan masingmasing nilai konsentrasi CO yang berbeda pula. Analisis lebih lanjut mengenai dispersi gas CO yang terjadi pada kedua Geometri akan diuraikan pada sub bab selanjutnya.
25
4.5 Simulasi Dispersi Gas CO pada Setiap Model (Geometri A dan B) Hasil simulasi dispersi konsentrasi karbon monoksida (CO) pada Fluent untuk kedua geometri gardu tol cukup berbeda. Meskipun input data yang digunakan pada kedua Geometri adalah sama. Hal ini telah didasarkan pada asumsi yang telah dibuat sebelumnya yaitu kedua geometri hanya memiliki perbedaan pada volume gardu, yang mana Geometri B memiliki volume lebih besar daripada Geometri A. Sementara semua properti yang berada di dalam gardu serta tata letaknya tidak memiliki perbedaan kecuali pada letak AC atau Outflow. Pada penelitian ini akan dibandingkan pola pendispersian gas CO terhadap dua geometri yang berbeda dengan masingmasing nilai konsentrasi yang berbeda pula. Analisis lebih lanjut mengenai dispersi gas CO yang terjadi pada kedua Geometri Akan diuraikan pada sub bab selanjutnya. 4.5.1 Simulasi Dispersi Gas CO pada Geometri A Pada penelitian ini, visualisasi output simulasi dispersi Gas CO difokuskan pada satu titik yaitu pada keberadaan petugas tol ketika sedang bekerja sama halnya profil kecepatan angin. Sehingga, pada penelitian ini dibuat beberapa plane, masing-masing pada bidang x (tampak atas), y (tampak samping) z (tampak depan) dan xyz (tampak isometrik/3D) yang dapat mewakili profil kecepatan angin di sekitar petugas tol serta agar distribusi angin di sekitar area tersebut dapat terlihat jelas. Masing-masing plane tersebut dapat diinterpretasikan sesuai dengan gradasi warna dan skala konsentrasi CO. Selanjutnya nilai konsentrasi CO juga dapat terlihat pada plot di sepanjang garis (line) pada masing-masing sumbu x, y dan z dengan titik pusat reseptor (1,5, 1,2, 0,3m). Selain itu, nilai konsentrasi CO dari hasil simulasi Fluent ditunjukkan pada bagian kontur sebelah kiri yang dapat dibedakan melalui gradasi warna. Pada gambar akan terlihat bahwa semakin merah warna kontur maka semakin besar nilai konsentrasi CO dan semakin biru warna kontur maka semakin kecil nilai konsentrasi CO. Simulasi Dispersi Gas CO pada Geometri A pada jam ke-1 Simulasi dispersi gas CO berdasarkan hasil Fluent untuk Geometri A pada jam ke-1 tersaji pada Gambar 13. Skala dispersi
konsentrasi polutan dalam geometri ini berada pada kisaran 2 hingga 7,5 ppm. Pada kasus ini, polutan atau zat pencemar yang diemisikan dari setiap kendaraan bermotor (sumber bergerak) pasti akan tersebar di dalam gardu melalui suatu proses dispersi, difusi, transformasi, dan transport. Di sisi lain, akibat adanya pergerakan dan dinamika atmosfer itu sendiri, polutan yang masuk ke dalam atmosfer dan telah mengalami prosesproses tadi akan dapat berpindah dari sumber menuju ke arah lain. Sehingga dalam permasalahan ini, daerah sumber yang dimaksud adalah daerah luar di sekitar gardu tol, sedangkan daerah yang menerima pancaran setelah polutan yang diemisikan dari sumbernya adalah ruangan di dalam gardu. Pada gambar 13 (a), terlihat bahwa dalam gardu ini konsentrasi dapat terdispersi hingga 2 ppm dari hasil konsentrasi CO yang terukur sebesar 7,5 ppm. Pada kasus ini, peran turbulensi cukup besar dalam mengurangi konsentrasi pencemar di dalam ruangan. Gradasi warna merah di sekitar bagian inlet menunjukkan bahwa konsentrasi CO masih cukup tinggi sesuai dengan hasil pengukuran CO yang terukur. Namun, secara keseluruhan, konsentrasi CO di dalam gardu tersebar merata yang ditunjukkan oleh gradasi warna merah dan oranye, terutama tampak dengan cukup jelas pada Gambar 13 (d). Kemudian pada Gambar 13 (b) dan (c), terlihat bahwa konsentrasi terendah terdapat pada area di sekitar Outflow yang ditunjukkan oleh gradasi warna biru, hijau dan kuning. Selanjutnya, ketika polutan masuk ke dalam ruangan, faktor angin sangat berperan terutama dalam proses transport atau pengangkutan zat pencemar ke udara secara horizontal sesuai arah angin, dalam hal ini nilai kecepatan angin yang dimasukkan hanya pada sumbu x dan z (sumbu y merupakan arah vertikal sehingga proses yang terjadi adalah konveksi). Simulasi dispersi gas CO pada gardu tol ini juga dapat disesuaikan dengan Gambar 9. Pada kedua gambar (Gambar 9 dan 13) terdapat korelasi yang menunjukkan bahwa faktor kecepatan angin akan berpengaruh terhadap besar kecilnya turbulensi, dan proses turbulensi akan berperan dalam mengurangi keberadaan zat pencemar di udara. Selama proses dispersi, atmosfer berperan dalam menentukan arah transport, jarak jangkau, bentuk persebaran dan
26
Gambar 13
Output visual dispersi gas CO untuk Geometri A pada jam ke-1: (a) tampak isometrik/3D; (b) tampak depan; (c) tampak atas; (d) tampak samping.
kecepatan difusi setelah zat pencemar diemisikan ke dalam udara. Seluruh proses tersebut tidak terlepas dari kondisi fisis dan dinamis atmosfer yang ditunjukkan oleh nilai input (karakteristik udara dan CO) yang digunakan pada Fluent. Di samping itu, polutan yang berada di udara juga akan mengalami transformasi kimia yang dipengaruhi oleh banyaknya uap air, dan proses difusi baik secara molekuler maupun turbulensi. Pada kasus ini, karbon monoksida akan teroksidasi menjadi CO2, proses transformasi tersebut dapat berlangsung secara cepat ataupun lambat. Sementara itu plot untuk melihat nilai konsentrasi di sepanjang garis (line) pada masing-masing sumbu x, y dan z, dapat ditunjukkan pada Gambar 14. Pada Gambar 14 (a) dapat terlihat bahwa terjadi fluktuasi nilai konsentrasi CO terhadap sumbu y dan z atau dengan kata lain line pada sumbu x. Gambar atau plot tersebut menunjukkan bahwa nilai konsentrasi CO terus berkurang hingga posisi sekitar 1 hingga 1,25 m kemudian mengalami peningkatan kembali hingga pada akhirnya konstan pada posisi sekitar 1,6m dengan nilai sebesar 7,5 ppm.
Sedangkan konsentrasi terendah sepanjang garis pada line x tersebut adalah sebesar 7 ppm Selanjutnya Gambar 14 (b) menunjukkan bahwa nilai konsentrasi CO terus meningkat sampai pada ketinggian sekitar 1.5m dengan nilai konsentrasi sebesar 7,45 ppm kemudian berkurang hingga konsentrasi terendah sebesar 6,8 ppm pada ketinggian sekitar 2m dan cenderung mengalami peningkatan kembali. Sementara itu pada Gambar 14 (c) dapat terlihat bahwa nilai konsentrasi CO terus seiring dengan garis yang semakin jauh dari inlet. Konsentrasi CO di dekat sumber (inlet) pada line z ini mencapai 7,5 ppm dan berkurang hingga 5 ppm. Pada kondisi tersebut, maka nilai konsentrasi CO yang berada pada titik pusat reseptor yang ditunjukkan oleh ketiga plot line sama dengan hasil konsentrasi CO yang terukur. Hal ini dikarenakan titik pusat reseptor berada dekat dengan inlet, sehingga secara tidak langsung reseptor cenderung akan menerima udara yang lebih kotor dibandingkan dengan bagian ruangan lainnya.
27
(a)
(b)
(c) Gambar 14 Plot nilai konsentrasi CO untuk Geometri A pada jam ke-1: (a) line x; (b) line y; (c) line z.
Simulasi Dispersi Gas CO pada Geometri A pada jam ke-4 Hasil simulasi dispersi gas CO pada Fluent untuk Geometri A pada jam ke-4 tersaji pada Gambar 15. Skala dispersi konsentrasi polutan dalam geometri ini berada pada kisaran 68 hingga 33 ppm. Konsentrasi yang terukur jauh lebih besar hingga sembilan kali lipat. Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya bahwa hasil
Gambar 15
konsentrasi yang terukur pada jam ke-4, selain karena jumlah kendaraan yang jauh lebih padat, tingginya konsentrasi CO bisa terjadi akibat bahan bakar yang digunakan, usia kendaraan, dan tipe kendaraan yang melewati gardu tol pada masing-masing jam pengukuran. Pada Gambar 15 terlihat bahwa di sekitar area inlet, konsentrasi CO yang ditunjukkan oleh warna merah masih lebih tinggi
Output visual dispersi gas CO untuk Geometri A pada jam ke-4: (a) tampak isometrik/3D; (b) tampak depan; (c) tampak atas; (d) tampak samping.
28
dibandingkan dengan area lain di dalam gardu. Hal ini disebabkan, CO membutuhkan suatu proses turbulensi agar udara dapat bercampur dengan polutan (dalam hal ini adalah CO) sehingga konsentrasi CO dapat berkurang karena akan teroksidasi menjadi CO2. Namun, ketika udara yang membawa polutan masuk ke dalam gardu tol melalui inlet, pengaruh faktor angin belum terlalu besar dalam proses terjadinya turbulensi. Tingkat konsentrasi yang tinggi di dalam gardu dapat menyebabkan keterpaparan bagi para reseptor, terlebih konsentrasi yang terukur pada jam ke-4 jauh diambang batas yang telah ditetapkan oleh KLH (2002). Hal ini berbeda dengan hasil pengukuran konsentrasi CO tiga jam sebelumnya, yang masih berada di bawah ambang batas. Selain itu, proses turbulensi yang terjadi dalam gardu ini juga tidak menyebabkan konsentrasi berkurang hingga mencapai nilai ambang batas. Sehingga tingkat kualitas udara dalam gardu tol pada jam ke-4 dapat dikatakan berbahaya, dan dapat merugikan kesehatan yang serius bagi para petugas gerbang tol. Selanjutnya plot untuk melihat nilai konsentrasi di sepanjang garis (line) pada masing-masing sumbu x, y dan z, juga dapat
ditunjukkan pada Gambar 16. Pada Gambar 16 (a) dan (b) dapat terlihat bahwa terjadi fluktuasi nilai konsentrasi CO terhadap line pada sumbu x dan y. Gambar atau plot pada line x menunjukkan bahwa nilai konsentrasi CO sedikit berkurang hingga posisi sekitar 1,25m kemudian meningkat hingga mencapai konsentrasi CO tertinggi sebesar 68 ppm pada posisi sekitar 2,25m dan pada akhirnya relatif turun sampai pada konsentrasi CO terendah dengan nilai sebesar 30 ppm. Sementara line y menunjukkan bahwa nilai konsentrasi CO menurun hingga mencapai konsentrasi terendah pada ketinggian sekitar 0,75m dengan nilai konsentrasi sebesar 1,5 ppm kemudian meningkat secara signifikan hingga mencapai konsentrasi tertinggi sebesar 68 ppm pada ketinggian sekitar 1,25m dan cenderung mengalami penurunan kembali. Sementara itu pada Gambar 14 (c) dapat terlihat bahwa nilai konsentrasi CO terus mengalami penurunan seiring dengan posisi yang semakin jauh dari inlet. Konsentrasi CO di dekat sumber (inlet) pada line z ini mencapai 68 ppm dan berkurang hingga 32,5 ppm.
(a)
(b)
(c) Gambar 16 Plot nilai konsentrasi CO untuk Geometri A pada jam ke-4: (a) line x; (b) line y; (c) line z.
29
4.5.2Simulasi Dispersi Gas CO pada Geometri B Seperti halnya simulasi Fluent pada Geometri A, nilai konsentrasi CO dari hasil simulasi Fluent ditunjukkan pada bagian kontur sebelah kiri yang dapat dibedakan melalui gradasi warna. Pada gambar terlihat bahwa semakin merah warna kontur maka semakin besar nilai kecepatan anginnya dan semakin biru warna kontur maka semakin kecil nilai kecepatan anginnya. Selain itu, nilai konsentrasi CO juga dapat terlihat pada plot di sepanjang garis (line) pada masingmasing sumbu x, y dan z dengan titik pusat reseptor (1,5, 1,2, 0,3m). Kemudian parameter input yang digunakan untuk simulasi Fluent pada Geometri B sama dengan parameter input yang digunakan untuk simulasi Fluent pada Geometri A, sehingga pada simulasi ini akan dibahas mengenai seberapa besar pengaruh perbedaan volume geometri dan letak Outflow pada kedua geometri ketika memiliki parameter input yang sama. Simulasi Dispersi Gas CO pada Geometri B pada jam ke-1 Simulasi Fluent untuk profil sebaran polutan yang terjadi di dalam gardu tol (Geometri B) tersaji pada Gambar 17. Pada gardu ini, konsentrasi CO hanya dapat terdispersi hingga 6 ppm saja, (dari hasil konsentrasi CO yang terukur sebesar 7,5 ppm). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, nilai konsentrasi dan
Gambar 17
karakteristik yang digunakan untuk kedua geometri pada jam ke-1 adalah sama. Sehingga, pada gambar 15 (a) dapat terlihat bahwa sebaran polutan di dalam gardu ini hampir sama dengan gardu atau Geometri A, yang mana konsentrasi CO di dalam gardu cukup tersebar merata yang ditunjukkan oleh gradasi warna merah, terutama tampak dengan cukup jelas pada Gambar 17 (d). Namun, pada Gambar 17 (b) dan (c), terlihat bahwa konsentrasi terendah terdapat pada area di sekitar Outflow yang ditunjukkan oleh gradasi warna biru, hijau dan kuning. Pada prinsipnya, konsep dari proses sebaran CO di dalam gardu ini (Geometri B) sama dengan konsep sebaran yang terjadi pada Geometri A, yang mana polutan atauzat pencemar yang diemisikan dari setiap kendaraan bermotor pasti akan tersebar di dalam gardu melalui suatu proses dispersi, difusi, transformasi, dan transport. Hanya saja jika dibandingkan dengan Geometri A,pengaruh turbulensi pada Geometri B tidak terlalu besar, karena konsentrasi polutan tidak berkurang secara signifikan. Meskipun konsentrasi yang terukur pada gardu ini masih berada di bawah ambang batas, namun potensi keberadaan udara kotor pada gardu ini cenderung dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan Geometri A. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah letak Outflow yang agak jauh dari Inlet serta volume gardu yang lebih besar.
Output visual dispersi gas CO untuk Geometri B pada jam ke-1: (a) tampak isometrik/3D; (b) tampak depan; (c) tampak atas; (d) tampak samping.
30
(a)
(b)
(c) Gambar 18 Plot nilai konsentrasi CO untuk Geometri B pada jam ke-1: (a) line x; (b) line y; (c) line z.
Seperti halnya Geometri A, pada Geometri B plot untuk melihat nilai konsentrasi di sepanjang garis (line) pada masing-masing sumbu x, y dan z, dapat ditunjukkan pada Gambar 18. Pada Gambar 18 (a) dapat terlihat bahwa terjadi fluktuasi nilai konsentrasi CO line x. Gambar atau plot tersebut menunjukkan bahwa nilai konsentrasi CO relatif konstan dengan nilai sebesar 7,5 ppm hingga posisi sekitar 1,75m dan kemudian berkurang secara signifikan hingga mencapai konsentrasi terendah sebesar 5,7 ppm. Hal ini berkebalikan dengan plot line x pada Geometri A jam ke1, nilai konsentrasi CO justru relatif konstan setelah pada posisi sekitar 1,6m. Sementara Gambar 18 (b) menunjukkan bahwa nilai konsentrasi CO terus meningkat sampai pada ketinggian sekitar 1,25m tepat pada titik reseptor dengan nilai konsentrasi sebesar 7,48 ppm kemudian berkurang hingga konsentrasi terendah sebesar 7,3 ppm pada ketinggian sekitar 2m. Kemudian pada Gambar 18 (c) dapat terlihat bahwa nilai konsentrasi CO terus berkurang dari inlet menuju outflow. Konsentrasi CO di dekat sumber (inlet) pada line z ini mencapai 7,5 ppm dan berkurang hingga 7,34 ppm. Tidak jauh berbeda dengan Geometri A jam ke-1, pada Geometri B jam ke-1 nilai konsentrasi CO yang berada pada titik pusat reseptor yang terlihat oleh ketiga plot line
juga hampir mendekati hasil konsentrasi CO yang terukur. Akan tetapi, pada kasus ini nilai konsentrasi CO tidak berkurang secara signifikan, sehingga meskipun memiliki pola fluktuasi yang sama tetapi nilai konsentrasi CO terendah pada geometri ini relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan Geometri B. Simulasi Dispersi Gas CO pada Geometri B pada jam ke-4 Hasil simulasi dispersi gas CO pada Fluent untuk Geometri B pada jam ke-4 tersaji pada Gambar 19. Skala dispersi konsentrasi polutan dalam Geometri B sama dengan skala pada Geometri A yakni berada pada kisaran 68 hingga 33 ppm. Sehingga dengan skala yang sama, dapat dibandingkan secara jelas bentuk pendispersian CO yang terjadi di dalam kedua gardu. Pada Gambar 19 terlihat bahwa di sekitar area inlet, konsentrasi CO yang ditunjukkan oleh warna merah masih lebih tinggi dibandingkan dengan area lain di dalam gardu. Namun berbeda dengan Geometri A, sebaran CO pada gardu ini di dominasi oleh gradasi warna oranye dan hijau. Hal ini berarti bahwa pengaruh proses turbulensi yang terjadi pada geometri ini tidak terlalu besar seperti halnya pada Gometri A, sehingga dapat dikatakan tingkat kualitas udara dalam Geometri B pada jam ke-4 lebih berbahaya dan dapat merugikan kesehatan
31
Gambar 19
Output visual dispersi gas CO untuk Geometri B pada jam ke -4: (a) tampak isometrik/3D; (b) tampak depan; (c) tampak atas; (d) tampak samping.
bagi para reseptor (petugas gerbang tol) karena potensi keberadaan udara kotor pada gardu ini cenderung dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan Geometri A. Plot untuk melihat nilai konsentrasi di sepanjang garis (line) pada masing-masing sumbu x, y dan z, tersaji pada Gambar 20. Pada seluruh gambar tersebut dapat terlihat bahwa terjadi fluktuasi nilai konsentrasi CO
terhadap line x, y dan z. Gambar atau plot pada line x yang tersaji pada Gambar 20 (a) menunjukkan bahwa nilai konsentrasi CO mengalami peningkatan hingga posisi sekitar 1,5m (titik reseptor) kemudian relatif konstan dengan nilai konsentrasi sebesar 68 ppm dan berkurang setelah berada pada posisi 2,5m.
(a)
(b)
(c) Gambar 20 Plot nilai konsentrasi CO untuk Geometri B pada jam ke-4: (a) line x; (b) line y; (c) line z.
32
Sementara plot line y yang tersaji pada Gambar 20 (b) menunjukkan bahwa nilai konsentrasi CO mengalami peningkatan dan penurunan yang cukup signifikan sehingga dapat dikatakan sangat berfluktuasi. Plot line y untuk titik reseptor berada pada ketinggian 1,2m, dan pada titik tersebut nilai konsentrasi CO adalah sebesar 66 ppm. Sedangkan pada Gambar 20 (c) dapat terlihat bahwa nilai konsentrasi CO terus mengalami penurunan seiring dengan posisi yang semakin jauh dari inlet, meskipun cenderung mengalami peningkatan kembali. Konsentrasi CO di dekat sumber (inlet) pada line z ini mencapai 61 ppm dan berkurang hingga 32,5 ppm. Sedikit berbeda dengan kondisi pada jam ke-1, nilai konsentrasi CO pada jam ke-4 secara keseluruhan lebih fluktuatif. Hal ini dapat terlihat dari perbedaan pola nilai konsentrasi yang terlihat oleh ketiga plot line x, y dan z. Hal ini disebabkan pada tingginya konsentrasi CO yang terukur pada Geometri ini serta proses pendispersian berbeda karena sangat dipengaruhi oleh besarnya volume gardu dan letak outflow yang lebih jauh dari inlet. V SIMPULAN Sebaran polutan CO yang terlihat dari hasil simulasi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan distribusi angin dan dispersi polutan pada jam ke-1 dan jam ke-4 baik pada Geometri A maupun pada Geometri B. Berdasarkan hasil pengukuran, nilai kecepatan angin pada jam ke-1 lebih besar daripada nilai kecepatan angin pada jam ke4. Sebaliknya, hasil konsentrasi CO yang terukur pada jam ke-4 jauh lebih besar hingga sembilan kali lipat daripada hasil konsentrasi yang terukur pada jam ke-1. Hasil simulasi Fluent pada jam ke-1 menunjukkan bahwa distribusi kecepatan angin dan dispersi gas CO pada Geometri A jauh lebih baik daripada Geometri B. Jika dibandingkan dengan Geometri A, pengaruh turbulensi pada Geometri B tidak terlalu besar, karena konsentrasi polutan tidak berkurang secara signifikan. Meskipun nilai konsentrasi CO yang terukur pada jam ke-1 masih berada di bawah ambang batas, namun potensi keberadaan udara kotor pada Geometri B dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan Geometri A. Sementara hasil simulasi Fluent pada jam ke-4, menunjukkan bahwa proses distribusi angin dengan nilai kecepatan angin yang
lebih rendah dan proses dispersi gas CO dengan tingkat konsentrasi CO yang jauh lebih tinggi melebihi ambang batas baik pada Geometri A maupun pada Geometri B tidak jauh berbeda, yang mana pengaruh turbulensi di dalam kedua gardu ini juga tidak menyebabkan konsentrasi CO berkurang hingga mencapai nilai ambang batas. Selain itu, tingkat kualitas udara dalam gardu tol pada jam ke-4 untuk kedua Geometri cenderung lebih berbahaya, dan dapat merugikan kesehatan yang serius bagi para petugas gerbang tol terutama dalam jangka panjang. VI SARAN Pada penelitian ini disarankan perlu adanya sedikit upaya perbaikan atau penambahan properti yang dapat dilakukan agar dapat meminimalisir dampak yang dapat ditimbulkan seperti penambahan Exhaust fan atau kipas angin dan penambahan ventilasi pada sisi atas gardu tol. Upaya penambahan tersebut bertujuan untuk mempercepat proses distribusi udara beserta proses zat pencemar yang berada di dalam ruangan, sehingga konsentrasi polutan dapat segera terencerkan. Di sisi lain perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk membuat modifikasi lokasi inlet dan outflow agar udara yang membawa polutan dapat terdispersi secara ideal di dalam gardu tol. DAFTAR PUSTAKA Arya S P. 1999. Air Pollution Meteorology and Dispersion. New York: Oxford University Press. Benarie MM. 1980. The Simple Box Model Simplified. [J. of Atm Pollution]. New-York: Elsevier Scientific Publishing Company. Budiraharjo E. 1991. Pencemaran Udara. Widyapura No.5 Tahun VII Januari 1995. Brimblecombe P. 1986. Air Compotition and Chemistry. Geat Britain: Cambridge University Press. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2005. Nilai Ambang Batas (NAB) Zat Kimia di Udara Tempat Kerja. Standar Nasional Indonesia: SNI 19-0232-2005.
33
Colville RN, Hutchinson EJ, Mindell JS and Warren RF. 2001. The Transport Sector as a Source of Air Pollution. [J of Atmospheric Environment 35, 1537-1565]. [Departemen Kesehatan]. 2003. Parameter Pencemar Udara dan Dampaknya terhadap Kesehatan. [terhubung berkala]. http://www. depkes.go.id [13 Juni 2011]. [DLLAJR] Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat.1998. Emisi Kendaran Bermotor. Widyapura No.6 Tahun V Oktober 1998. Faiz A, Weaver CS and Walsh M. 1996. Air Pollution from Motor Vehicle. Washington DC: The World Bank. Fletcher CAJ, Mayer LF and Eghlimi. 2001. CFD as a Building Services Engineering Tool. [J. of Architectural Science, Volume 2, Number 3, p67-82].
dan United States Environmental Partnership.
Hill JW. 1984. Chemistry for Changing Time. Ed ke-4. Minnesota: Burgess Publishing Company. Huber A. 2008. CFD Developments for Simulating Transport and Dispersion in Urban Environments and Other Wind Engineering Applications. 1st American Association of Wind Engineering Workshop, August, pp. 20-22. [Jasa Marga] 2011. Data Rekapan Volume Lalu Lintas Tol Jagorawi. Jakarta : PT.Jasa Marga Cabang Jagorawi. [KABAPEDAL] Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. 1997. Pedoman Teknis Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara. KEP-107/KABAPEDAL/11/1997. [KLH]
[Fluent]. 2006. User’s Guide. Lebanon: Fluent Inc. Forsdyke. 1970. Meteorological Factors in Air Pollution. Technical note No. 114. WMO. Geneva. Switzerland. 3-5 pp. Geiger. 1995. The Climate Near Yhe Ground. Braunschweig: Friedr Vieweg Sohn Verlagsgessllscahft mbH. Godish T. 1991. Air Quality 2nd Ed. Chelsea: Lewis Publishers. [Googlemaps] 2011. Peta Kota Bogor [terhubung berkala]. http://www. google.com. [13 Juni 2011]. Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Jakarta: Balai Pustaka.
Kementrian Lingkungan Hidup. 2002. Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Lingkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup.
Liu DHF and Liptak BG. 2000. Air Pollution. Boca Raton: Lewis Publisher. Oke TR. 1987. Boundary Layer Climates. London: Routhledge. [Pemerintah RI] Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999. Pengendalian Pencemaran Udara. Pemerintah RI: Jakarta. Pramantyo A. 2009. Uji Emisi. [terhubung berkala]. http://andipramantyo. wordpress.com. [25 Juli 2011). [QGK]
Haryanto B. 2005. Risiko Kesehatan PM2,5 dan CO pada Populasi di Jakarta dan Sekitarnya (pemantauan dengan menggunakan personal exposive monitoring). Universitas Indonesia
Asia
Qipra Galang Kualita. 2007. Memperkirakan Dampak Lingkungan: Kualitas Udara. Jakarta: Kementrian Negara Lingkungan Hidup
34
Santosa
I. 2005. Model Penyebaran Pencemar Udara dari Kendaraan Bermotor Menggunakan Metode Volume Terhingga: Studi Kasus di Kota Bogor. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Seinfeld
JH, and Pandis SN. 2006. Atmospheric Chemistry and Phsyics: From Air Pollution to Climate Change. Ed ke-2. United States: Jhon Wiley and Sons.
Shah JJ, Nagpal T, Brandon CJ. 1997. Urban Air Quality Management Strategy in Asia. Washington DC : The World Bank. Soedomo M. 2001. Pencemaran Udara. Bandung: ITB. Soemarno SH. 1999. Meteorologi Pencemaran Udara. Bandung: ITB. Stull R and Ainslie B. 2000. A Simple Model for Pollution Dispersion in a Convective Boundary Layer. [J. of Appl. Climate and Meteor. 45. 1727-1743]. Suhadi DR. 2006. Strategi dan Rencana Aksi Lokal Peningkatan Kualitas Udara Kota Bandung. Bandung : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Suharsono H. 1985. Pengaruh Cuaca dan iklim terhadap Polusi Udara. Paper. Bogor: Pasca Sarjana-IPB. Sutamihardja RTM. 1994. Air Quality Management. [Makalah] Jakarta: Urban Air in Jakarta, 26-27 Mei. Tjasjono
B. 1999. Klmatologi Bandung: ITB.
Umum.
Tuakia
F. 2008. Dasar-Dasar CFD Menggunakan FLUENT. Bandung: Informatika.
[UNEP]
United Nations Environment Programme, [WHO] World Health Organization. 1992. Urban Air Pollution in Megacities of the World. Oxford: Blackwell.
[US EPA] United States Environmental Protection Agency US. 2011. What is CO? Where does CO Came from?. [terhubung berkala]. http://www.epa.gov/airtrends/index. html. [13 Juni 2011]. Wardhana WA. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi. Yamada T. 2005. Diurnal Variation of Temperatures in the Buildings Walls and Their Effects on Air Flows Around Buildings. [J. of Atmospheric Science and Air Quality Conferences].
35
LAMPIRAN
36
Lampiran 1
Lokasi gerbang tol Bogor
(Sumber: Google maps 2011)
37
Lampiran 2
Lokasi penelitian (a) Gardu tol Bogor; (b) Laboratorium Kimia Lingkungan (BDP); (c) Laboratorium Meterorologi dan Pencemaran Atmosfer; (d) Laboratorium Aero Gasdinamika dan Getaran
(a)
(b)
(c)
(d)
38
Lampiran 3
Gambar alat dan lokasi penempatan alat yang dilakukan selama pengukuran: (a) alat Impinger; (b) larutan/bahan kimia (c) lokasi penempatan alat di dalam gardu tol
(a)
(b)
(c)
39
Lampiran 4
Gambar alat dan bahan yang digunakan selama proses analisis kualitas udara ambien CO: (a) perlatan kimia; (b) spektrofotometer; (c) larutan induk CO; (d) larutan penjerap
(a)
(b)
(c)
(d)
40
Lampiran 5
Kondisi batas dan parameter pada kondisi batas Geometri A
a) Bidang X dan Y
b) Bidang X dan Z
41
Lampiran 6
Kondisi batas dan parameter pada kondisi batas Geometri B
a) Bidang X dan Y
b) Bidang Y dan Z
42
Lampiran 7
Data pengukuran kualitas udara pada gardu tol Bogor (Minggu 15 Mei 2011) jam ke-1 dan 2
11.00-11.10
Suhu Lingkungan (°C) 35
11.10-11.20
35,5
29,4
0,8
Timur Laut
33,5
28,3
0,9
Timur Laut
35,5
28,1
0,2
Timur Laut
11.40-11.50
33,0
27
0,7
Timur Laut
11.50-12.00
34,0
29,9
1,0
Utara
34.4
29,1
0,7
Timur Laut
12.16-12.26
33,2
28,1
0,5
Timur Laut
12.26-12.36
35,0
28,0
0,3
Timur Laut
34,0
29,1
0,1
Timur Laut
33,9
29,2
0,4
Timur Laut
12.56-13.06
34,0
31,4
0,0
Tenggara
13.06-13.16
35,0
30,7
0,4
Timur Laut
Data/jam 34,2 29,4 Keterangan: Konversi µg/m³menjadi mg/m³ : 1 µg/m³ = 10-3 mg/m³ Konversi CO mg/m³menjadi ppm : 1 ppm = 1.17 mg/m³ udara
0,3
Timur Laut
Waktu Pengukuran
Data Kendaraan Bermotor
11.20-11.30 Jam 1
11.30-11.40
285
Data/jam
12.36-12.46 Jam 2
12.46-12.56
271
Suhu Kamar (°C)
Kecepatan Angin ( m/s)
Arah Angin Dominan
31,7
0,4
Tenggara
CO Impinger (µg/m³)
CO Impinger ( (mg/m³)
CO Impinger ( (ppm)
8.708
8,708
7,5
1.250
1,250
1,1
43
Lampiran 8
Data pengukuran kualitas udara pada gardu tol Bogor (Minggu 15 Mei 2011) jam ke-3 dan 4
13.29-13.39
33,5
Suhu Kamar (°C) 27,4
13.39-13.49
35,0
29,0
0,2
Timur Laut
33,0
26,0
0,2
Timur Laut
32,5
27,2
0.1
Timur Laut
14.09-14.19
31,5
29,0
0,0
Timur Laut
14.19-14.29
32,1
28,4
0,4
Timur
32,9
27,8
0,2
Timur Laut
14.50-15.00
33,0
27,7
0,0
Tenggara
15.00-15.10
33,5
28,9
0,1
Tenggara
32,0
28,5
0,4
Tenggara
32,5
28,9
0,2
Tenggara
15.30-15.40
28,0
24,5
0,5
Timur
15.40-15.50
28,0
27,0
0,4
Timur
27,6
0,3
Tenggara
Waktu Pengukuran
Data Kendaraan Bermotor
13.49-13-59 Jam 3
13.59-14.09
259
Data/jam
15.10-15.20 Jam 4
15.20-15.30
304
Suhu Lingkungan(°C)
Data/jam 31,2 Keterangan: Konversi µg/m³menjadi mg/m³ : 1 µg/m³ = 10-3 mg/m³ Konversi CO mg/m³menjadi ppm : 1 ppm = 1.17 mg/m³ udara
Kecepatan Angin ( m/s)
Arah Angin Dominan
0,3
Timur Laut
CO Impinger (µg/m³)
CO Impinger ( mg/m³)
CO Impinger ( (ppm)
7.845
7,845
5,6
78.600
78,600
68,0
44
Lampiran 9
Data volume lalu lintas harian cabang Tol Jagorawi bulan Januari-Februari 2011
BULAN JANUARI 2011 Tanggal Hari Bogor 1 Sabtu 27.262 2 Minggu 23.460 3 Senin 24.585 4 Selasa 24.775 5 Rabu 25.216 6 Kamis 25.781 7 Jumat 26.749 8 Sabtu 29.484 9 Minggu 24.115 10 Senin 24.336 11 Selasa 24.330 12 Rabu 24.807 13 Kamis 25.447 14 Jumat 26.561 15 Sabtu 28.263 16 Minggu 22.661 17 Senin 24.892 18 Selasa 24.337 19 Rabu 24.812 20 Kamis 24.851 21 Jumat 26.187 22 Sabtu 28.043 23 Minggu 22.708 24 Senin 24.132 25 Selasa 24.774 26 Rabu 24.722 27 Kamis 25.602 28 Jumat 26995 29 Sabtu 29.127 30 Minggu 23.616 31 Senin 24.940 Total 787.570 Rata-rata/Hari 25.405 Total Hari Libur 258.739 Rata-rata/Hari Libur 25.874 Total Hari Kerja 528.831 Rata-rata/Hari Kerja 25.182 Lalu Lintas Tertinggi 29.484 (Sumber: Jasa Marga)
BULAN FEBRUARI 2011 Tanggal Hari Bogor 1 Selasa 24.703 2 Rabu 27.976 3 Kamis 26.463 4 Jumat 26.497 5 Sabtu 28.401 6 Minggu 23.720 7 Senin 24.752 8 Selasa 24.613 9 Rabu 25.353 10 Kamis 25.611 11 Jumat 27.318 12 Sabtu 29.472 13 Minggu 23.876 14 Senin 27.078 15 Selasa 25.599 16 Rabu 24.888 17 Kamis 25.064 18 Jumat 26.808 19 Sabtu 27.384 20 Minggu 23.998 21 Senin 25.362 22 Selasa 25.084 23 Rabu 25.073 24 Kamis 25.637 25 Jumat 27.244 26 Sabtu 29.424 27 Minggu 23.683 28 Senin 24.801 29 30 31 Total 725.882 Rata-rata/Hari 25.924 Total Hari Libur 262.020 Rata-rata/Hari Libur 26.202 Total Hari Kerja 463.862 Rata-rata/Hari Kerja 25.770 Lalu Lintas Tertinggi 29.472
45
Lampiran 10 Data volume lalu lintas harian cabang Tol Jagorawi bulan Maret-April 2011 BULAN MARET 2011 Tanggal Hari 1 Selasa 2 Rabu 3 Kamis 4 Jumat 5 Sabtu 6 Minggu 7 Senin 8 Selasa 9 Rabu 10 Kamis 11 Jumat 12 Sabtu 13 Minggu 14 Senin 15 Selasa 16 Rabu 17 Kamis 18 Jumat 19 Sabtu 20 Minggu 21 Senin 22 Selasa 23 Rabu 24 Kamis 25 Jumat 26 Sabtu 27 Minggu 28 Senin 29 Selasa 30 Rabu 31 Kamis Total Rata-rata/Hari Total Hari Libur Rata-rata/Hari Libur Total Hari Kerja Rata-rata/Hari Kerja Lalu Lintas Tertinggi (Sumber: Jasa Marga)
Bogor 25.819 25.896 25.617 28.647 31.061 24.659 24.942 24.525 24.659 25.765 26.967 28.395 23.341 24.792 24.629 25.057 25.637 27.040 28.292 23.430 23.640 24.961 25.252 25.181 27.805 30.221 26.621 25.052 25.228 25.830 25.526 804.487 25.951 216.020 27.003 588.467 25.586 31.061
BULAN APRIL 2011 Tanggal Hari 1 Jumat 2 Sabtu 3 Minggu 4 Senin 5 Selasa 6 Rabu 7 Kamis 8 Jumat 9 Sabtu 10 Minggu 11 Senin 12 Selasa 13 Rabu 14 Kamis 15 Jumat 16 Sabtu 17 Minggu 18 Senin 19 Selasa 20 Rabu 21 Kamis 22 Jumat 23 Sabtu 24 Minggu 25 Senin 26 Selasa 27 Rabu 28 Kamis 29 Jumat 30 Sabtu 31 Total Rata-rata/Hari TTLHLB RT2/HLB TTL HR KRJ RT2/HR KRJ LL TERTINGGI
Bogor 28.406 30.179 26.456 25.026 25.365 25.355 25.785 27.229 28.662 22.512 24.712 24.694 25.324 25.277 27.240 27.654 23.453 25.439 25.786 25.452 27.711 25.160 27.537 21.540 24.549 24.498 25.215 25.644 26.843 28.246 776.949 25.898 261.399 26.140 515.550 25.778 30.179
46
Lampiran 11 Data jumlah kendaraan gerbang tol Bogor Gerbang Bogor Total Ratarata/Hari Total Ratarata/Jam
Tahun 2005
2006
2007
2008
2009
2010
9.874.507
9.315.475
9.707.182
10.368.277
10.670.303
9.372.070
27.053
25.522
26.595
28.406
29.234
25.677
1.127
1.063
1.108
1.184
1.218
1.070
(Sumber: Jasa Marga 2011)
47
Lampiran 12 Jumlah kendaraan bermotor tol Jagorawi 2005-2010: (a) per tahun; (b) per hari; (c) per jam
(a)
(b)
(c)
48
Lampiran 13 Desain Geometri A: (a) tampak atas; (b) tampak samping; (c) tampak depan
(a)
(b)
(c)
49
Lampiran 14 Desain Geometri B: (a) tampak atas; (b) tampak samping; (c) tampak depan
(a)
(b)
(c)
50
Lampiran 15 Diagram alir penelitian Computational Fluid Dynamics(CFD) Karakteristik Udara dan CO
Data fisik gardu tol (tata letak /desain dalam gardu tol) Data Meteorologi (arah dan kecepatan angin, suhu)
GAMBIT (Setup geometri dan pembuatan mesh 3D) Terdiri dari Geometri A dan B
FLUENT - Memilih solver yang tepat 3D - Mengimpor mesh model (grid) - Melakukan pemeriksaan pada mesh model - Memilih formulasi solver - Memilih persamaan dasar yang akan dipakai dalam analisis - Menentukan sifat material - Menentukan kondisi batas - Mengatur parameter kontrol solusi - Inisialisasi medan aliran - Melakukan perhitungan/iterasi - Output
Visualisasi output simulasi dispersi gas CO dari kedua geometri
Analisis dan Pembahasan