September 2014
Kontributor Tetap
……………………………………………………………….. Ryan Kiryanto Chief Economist BNI Telp: 0812-1079864 Ruddy N. Sasadara AVP Riset Bisnis & Ekonomi Telp: 0818-955033 Dedi Arianto AVP Investor Relations Telp: 0818-904400 Dr. Ir. Parulian Simanjuntak, MA Regional Chief Economist Wil. Medan Telp: 0811-604094 Prof. Dr. Bernadette Robiani, MSc Regional Chief Economist Wil. Palembang Telp: 0812-7121223 Prof. Dr. Rina Indiastuti, SE, MSIE Regional Chief Economist Wil. Bandung Telp: 0812-2379092 Dr. Alimuddin Rizal Riva’i Regional Chief Economist Wil. Semarang Telp: 0813-25359081 Dr. Rudi Purwono, SE, MSE Regional Chief Economist Wil. Surabaya Telp: 0815-9407311 Dr. Marsuki, SE, DEA Regional Chief Economist Wil. Makassar Telp: 0878-80999444 Prof. Dr. I Wayan Ramantha, MM, Ak,CPA Regional Chief Economist Wil. Denpasar Telp: 0812-3801880 Dr. Ahmad Alim Bachri, SE, MSi Regional Chief Economist Wil. Banjarmasin; Telp: 0813-55499568 Dr. Agus Tony Poputra, SE, Ak, MM, MA Regional Chief Economist Wil. Manado Telp: 0811-4301999 Dr. Sidik Budiono, ME Regional Chief Economist Wil. Papua Telp: 0812-25784968
Ekonomi Global Ruddy N. Sasadara Riset Bisnis & Ekonomi PEREKONOMIAN AMERIKA SERIKAT MAKIN MENGUAT, JEPANG DAN EROPA AKAN TEBAR STIMULUS BARU Di AS dan Inggris, output dan kesempatan kerja telah mampu melampaui kondisi puncak sebelum krisis 2008 dan nampak tumbuh semakin solid. Pada kuartal kedua ekonomi AS tumbuh 2,4 persen dibandingkan kuartal yang sama tahun lalu dan tumbuh sebesar 4,0 persen dibandingkan kuartal pertama tahun ini. Sedangkan perekonomian Inggris tumbuh masing-masing sebesar 3,2 persen (year on year) dan 0,8 persen (quarter on quarter). Namun, tidak demikian yang terjadi di Jepang dan kawasan Euro. Jepang mengalami penurunan pertumbuhan pada kuartal kedua sebesar 0,1 persen dibandingkan kuartal yang sama tahun lalu, serta juga turun 6,8 persen dibandingkan kuartal sebelumnya. Sementara itu, zona Euro masingmasing hanya tumbuh 0,7 persen (year on year) dan 0,0 persen (quarter on quarter). Penurunan kondisi ekonomi yang signifikan terjadi di Jepang, diakibatkan oleh konsumen yang memborong barang konsumsi rumah tangga pada kuartal pertama untuk menghindari harga akibat kenaikan pajak penjualan. Pada triwulan ketiga ini, perekonomian Jepang diharapkan akan membaik kembali. Di lain pihak, relatif stagnannya ekonomi Euro diyakini sebagai akibat kesulitan melakukan koordinasi
karena tidak meratanya kekuatan ekonomi antara wilayah utara Eropa dan selatan yang relatif lebih miskin dan terkena dampak krisis lebih berat. Pertumbuhan ekonomi zona Euro terhenti pada kuartal kedua, yang diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi Jerman dan Prancis yang stagnan, serta dampak sanksi Rusia kepada Ukraina. Kondisi tersebutlah yang diperkirakan menjadi alasan mengapa Euro enggan menerima saran sejumlah ahli untuk menerapkan kebijakan moneter yang modern seperti yang dilakukan oleh AS dan Inggris dengan quantitative easing (QE)-nya. Apalagi bank sentral Jerman (Bundesbank) yang paling berpengaruh juga menolak ide QE ini, karena mungkin yield obligasi Jerman yang rendah di bawah 1 persen akan semakin rendah jika QE ini diterapkan dan ini diperkirakan justru tidak akan mendorong ekspansi pinjaman. Pasar tenaga kerja AS yang masih belum benar-benar membaik untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, berdampak pada sulitnya menaikkan suku bunga acuan dalam waktu dekat. Gubernur The Fed, Janet Yellen berargumen bahwa kesehatan pasar tenaga kerja harus bergantung terhadap indikator tingkat pengangguran utama (hingga Juli mencapai 6,2 persen). Sebelumnya, Yellen menekankan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja masih rendah, pertumbuhan upah lemah, dan tingkat pengangguran jangka panjang masih tinggi. Meskipun sejumlah data menunjukkan kondisi perekonomian sudah lebih baik, namun secara umum seluruh data tersebut tidak kuat, terlebih karena tingkat inflasi belum naik.
September 2014
The Fed dan Bank of England akan mengetatkan kebijakan dalam waktu satu tahun mendatang sebagai tanda bahwa perekonomian menguat. Sebaliknya, Gubernur bank sentral Eropa (ECB), Mario Draghi, dan Gubernur bank sentral Jepang (BOJ), Haruhiko Kuroda mengakui terpaksa harus menyebarkan stimulus baru. Nampaknya, ECB akan menurunkan suku bunga ke rekor terendah dan menambah kredit murah bagi perbankan, dan Mario Draghi yakin paket stimulus yang diluncurkan akan berhasil. Ancaman deflasi masih terus membayangi zona Euro yang ditunjukkan oleh data resmi Eurostat, dimana tingkat inflasi zona Euro bulan Juli sebesar 0,4 persen (year on year) dan -0,7 persen (month on month). Tingkat inflasi zona Euro saat ini sangat rendah, sehingga memicu kekhawatiran terjadinya deflasi. Di sisi lain, Haruhiko Kuroda mengatakan bahwa Jepang akan mempertahankan kebijakannya sampai stabilitas harga tercapai. Dari Cina, data pada bulan Juli, menunjukkan perekonomian kembali melemah. Pelemahan tersebut terjadi meskipun telah ada beberapa stimulus dari pemerintah. Hal ini menandakan perlunya dukungan kebijakan lebih lanjut, untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di saat adanya penurunan pasar properti. Pertumbuhan yang lemah dalam investasi, penjualan ritel, dan pinjaman bank pada bulan Juli, menunjukkan kerentanan pertumbuhan di Cina. Pertumbuhan sektor industri besar di Cina melambat ke level terendah selama tiga bulan pada bulan Agustus ini. Hal ini semakin menambah kekhawatiran tentang makin melemahnya perekonomian. Sektor manufaktur masih dalam kondisi tumbuh, namun
level pertumbuhan masih rendah. Dengan kondisi ekonomi yang cukup rentan, beberapa analis memperkirakan stimulus tambahan mungkin diperlukan dalam beberapa bulan mendatang untuk mendorong pertumbuhan dan mengimbangi penurunan dari pasar properti di Cina. (*) “Perbaikan ekonomi yang terjadi di AS yang sudah mulai stabil, ternyata belum bisa diimbangi oleh kestabilan di Jepang apalagi di kawasan Euro, sehingga kemajuan yang terjadi pada ekonomi Cinapun kelihatannya berjalan lambat. Kondisi ini harus diwaspadai oleh Indonesia yang ekonominya juga sedang melambat agar tidak mengalami kesulitan untuk meningkatkan kembali pertumbuhan ekonominya”
Berita Domestik Ryan Kiryanto Chief Economist TIM TRANSISI UNTUK PEMERINTAHAN BARU Setelah Mahkamah Konstiusi (MK) mengumumkan keputusannya untuk menolak delik gugatan yang diajukan oleh pasangan capres dan cawapres Prabowo Subiato dan Hatta Rajasa kepada Komite Pemilihan Umum (KPU) pada 21 Agustus 2014, maka otomatis penetapan pasangan capres dan cawapres terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden Indoneia masa tugas 2014-2019 menjadi semakin kuat. Menindaklanjuti hal tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan presiden terpilih Joko Widodo
telah menggelar pertemuan tertutup empat mata. Dalam pertemuan itu, kedua pihak sepakat membentuk transisi pemerintahan. Dengan telah dibukanya pintu konsultasi, maka sekali lagi Tim Transisi Jokowi “sudah dapat berkomunikasi secara resmi dengan jajaran pemerintahan yang akan saya tugasi untuk jalin komunikasi itu," kata Presiden SBY dalam konferensi pers bersama Jokowi di Nusa Dua, Bali, Rabu (27/8). Kepala Negara menjelaskan, pertemuan empat mata yang dilakukan tertutup itu membahas persoalan kenegaraan. Kata Presiden SBY, bahwa mereka berdua telah bicara secara konstruktif hal-hal penting yang berkaitan dengan agenda kenegaraan dan pemerintahan, utamanya akhir 2014 dan awal 2015. Tak hanya itu, Presiden SBY juga memberi porsi dalam pembicaraan tentang APBNP 2014 dan RAPBN 2014. Karena itu, SBY menjanjikan akan ada pertemuan lanjutan untuk membahas proses transisi pemerintahan. SBY juga sudah membuka pintu komunikasi antara kementeriannya dan Tim Transisi Jokowi untuk menindaklanjuti hal-hal yang lebih teknis antara Tim Transisi dengan jajaran pemerintahan yang ada sekarang ini. SBY menegaskan bahwa dirinya dan jajaran pemerintahannya siap membuka diri untuk berkomunikasi dan berkonsultasi lebih lanjut demi keberhasilan transisi pemerintahan tersebut. Dia juga menyatakan segera menginstruksi jajarannya untuk membantu tim transisi Jokowi. SBY juga mengungkapkan, dirinya justru le bih bany a k m en den gar kan pemikiran dan pandangan yang disampaikan Jokowi terkait agenda
2
September 2014
pemerintahan dan negara yang tengah berlangsung sekarang. Presiden SBY pun menekankan bahwa transisi kepemimpinan tersebut cukup penting untuk keberhasilan pemerintahan yang akan datang. Presiden SBY tidak ingin Jokowi mengalami hal yang sama seperti dirinya, y akni a kse s t ransisi pemerintahan saat itu cukup sulit dan tertutup. SBY menyatakan bahwa pihaknya dan Jokowi sama-sama berniat untuk melakukan yang terbaik bagi negara. Karena itu, SBY berharap masyarakat memberi kesempatan kepada meraka berdua melakukan konsultasi dan komunikasi agar bisa merampungkan tugas hingga 20 Oktober. (*)
Pojok Regional Parulian Simanjuntak RCE Wilayah Medan DILEMA KINERJA EKSPOR DAN INDUSTRI KARET SUMATERA UTARA Permasalahan ekspor Karet Sumatera Utara (Sumut) hingga bulan Agustus 2014 masih belum dapat diatasi. Salah satu penyebabnya adalah Indonesia masih merupakan price taker, walaupun saat ini Indonesia merupakan salah satu produsen karet alam terbesar di dunia, Lemahnya permintaan negara-negara mitra dagang utama Sumut serta berlanjutnya penurunan harga menyebabkan kinerja ekspor karet Sumut terkoreksi menurun hingga 35,9%. Berdasarkan data Surat Keterangan Asal (SKA) Disperindag Sumut, selama Juli 2014, volume ekspor karet Sumut mencapai 120.271 ton dengan nilai US$243,80
juta. Jumlah ini turun sekitar 35,9% dibanding Juli 2013 yang mencatat volume 139.787 ton dan nilai berkisar US$380,82 juta. Permasalahan menurunnya harga karet bukan hanya berpengaruh pada ekspor Sumatera Utara melainkan dampak yang paling nyata adalah kepada petani karet yang ada di Sumatera Utara. Dengan kondisi seperti ini maka banyak petani karet yang berpikir untuk beralih profesi. Para petani karet diketahui mulai melirik tanaman sawit sebagai komoditas perkebunannya akibat harga karet terus merosot sehingga dikhawatirkan produksi karet Sumut semakin tertekan. Meskipun masih tetap menggantungkan hidupnya pada karet sebagai tanaman perkebunan utama, tetapi ke depan, para petani tak akan segan -segan untuk menebang pohon karetnya ketika tanaman sawit yang ditanam sudah membesar. Sementara itu, jumlah perkebunan karet yang ada di Sumut memang belum mampu memenuhi permintaan pasokan dari sejumlah pabrik pengolahan karet yang ada. Jumlah produksinya sebenarnya masih sangat terbatas. Soalnya sudah banyak petani karet yang telah mengkonversikan tanaman karetnya ke tanaman sawit. Saat ini saja kebutuhan karet belum dapat memenuhi kebutuhan pabrik karet di Sumatera Utara apalagi jika terjadi pengurangan produksi akibat alih fungsinya lahan karet menjadi peruntukan lainnya. Saat ini pabrik karet di Sumut defisit bahan baku hingga lebih dari 400.000 ton per tahun. Kebutuhan pabrik di Sumut mencapai angka 800.000 ton, sedangkan produksi hanya mencapai tidak lebih dari 400.000 ton. Kekurangan pasokan bahan baku akibat produksi karet yang turun itu
juga disebabkan sejak 2007 lalu, banyak lahan perkebunan karet yang dikonversi menjadi lahan sawit. Padahal, saat ini banyak pabrik karet yang malah bertumbuh atau menambah kapasitas produksi. Selain itu, sebagian besar lahan karet di Sumut telah berusia tua sehingga produktivitasnya turun. Keadaan seperti ini justru sangat mengancam pabrik yang ada sekarang bisa bangkrut atau berhenti beroperasi. Sedikitnya 30 pabrik karet di Sumatera Utara kolaps lantaran pasokan bahan baku terus mengalami penurunan. Akibatnya, semua pabrik karet itu mengalami gangguan produksi. Keadaan tersebut menyebabkan ekspor karet mengalami penurunan signifikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor karet Sumut pada Semester I tahun ini hanya mencapai US$814,54 juta atau menurun sekira 27,38% dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai angka US$1,12 miliar. Selain menderita karena harga yang menurun dan permintaan yang juga menurun, ekspor karet juga mengalami tekanan karena adanya PPN sebesar 10% yang mulai diberlakukan sejak tanggal 22 Juli 2014. Pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) karet sejak 22 Juli 2014 mengancam kebangkrutan atau kerugian besar pabrik serta menambah kesengsaraan petani komoditas itu. Pengenaan PPN 10% itu terjadi setelah MA mengabulkan permohonan uji materi dari pemohon, yakni Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin). Pemerintah penting mengambil langkah atas putusan MA itu karena pengenaan PPN 10% itu merugikan perusahaan karet, khususnya pabrikan
3
September 2014
kecil dan petani. Secara teori, PPN 10% itu memang tidak hilang karena ada kebijakan restitusi. Namun karena lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan restitusi tersebut yakni bisa mencapai 12 bulan, maka modal kerja yang digunakan untuk membayar PPN tertahan sehingga sangat berpotensi mengakibatkan pabrik berhenti beroperasi. (*)
Bernadette Robiani RCE Wilayah Palembang PERAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN /MANUFAKTUR DI WILAYAH SUMBAGSEL Industri Pengolahan (Manufaktur) di wilayah Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) merupakan sektor dominan setelah sektor Pertanian. Fluktuasi harga komoditi pertanian seringkali berpengaruh kepada kinerja sektor Industri Pengolahan. Di Provinsi Sumatera Selatan, sampai dengan Triwulan II 2014, Industri Pengolahan tumbuh sebesar 2,4 persen (qtq), setelah industri Pertanian yang tumbuh sebesar 8,2 persen (qtq), sementara sektor Pertambangan tumbuh sebesar 1,7 persen (qtq). Pada Triwulan II 2014, andil sektor Industri Pengolahan terhadap total pertumbuhan PDRB adalah sebesar 1,1 persen, sementara sektor Pertanian sebesar 0,9 persen dan sektor Pertambangan sebesar 0,3 persen. Pertumbuhan Industri Pengolahan Sumsel pada Triwulan II dipengaruhi oleh peningkatan kinerja dari Industri Pengolahan CPO, Makanan dan Minuman, serta Pupuk. Peningkatan kinerja industri CPO dipengaruhi oleh peningkatan ekspor dan diversifikasi pasar tujuan ekspor seiring dengan meningkatnya harga
dan permintaan CPO. Peningkatan kinerja industri Makanan dan Minuman dipengaruhi oleh peningkatan permintaan yang sifatnya musiman seperti menjelang perayaan Idul Fitri. Peningkatan kinerja industri Pupuk dipengaruhi oleh adanya peningkatan produksi pupuk urea dan pupuk amoniak yang sejalan dengan adanya peningkatan permintaan pupuk di berbagai wilayah Sumbagsel. Di provinsi Lampung, sektor Industri Pengolahan mengalami pertumbuhan sebesar 5,7 persen (yoy) dan memberikan andil sebesar 1,5 persen ke pertumbuhan PDRB Lampung, s e m e n t a r a s e k t o r Pe r t a n i a n memberikan andil sebesar 1,1 persen, dan sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) memberikan andil sebesar 0,9 persen. Pangsa sektor Industri Pengolahan terhadap PDRB adalah sebesar 13,3 persen. Faktor yang mempengaruhi peningkatan laju p e r t u m bu h a n se kt or I n du s t r i Pengolahan antara lain adanya building stock yang dilakukan menjelang hari raya Idul Fitri dan peningkatan permintaan antar daerah. Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan oleh KPw BI Provinsi Lampung mencatat bahwa ada peningkatan kapasitas utilisasi di subsektor Industri Pengolahan Makanan dan Minuman. Berdasarkan skala industri, Industri Besar dan Sedang (IBS) mengalami pertumbuhan sebesar 2,78 persen di triwulan II 2014 (yoy) yang di dominasi oleh industri Makanan dan Minuman. Industri Kecil dan Mikro tumbuh sebesar 1,17 persen (yoy) yang di dominasi oleh industri Makanan dan Minuman, industri Kayu, Bambu, Rotan dan Gabus (Non Furniture), industri Furniture dan industri Pakaian Jadi.
Di provinsi Bengkulu, sektor Industri Manufaktur tumbuh sebesar 3,29 persen (QoQ) pada Triwulan II 2014. Berdasarkan skala industri, Industri Kecil Manufaktur tumbuh sebesar 4,06 persen, sementara Industri Besar dan Sedang tumbuh sebesar 2,52 persen. Berdasar kan da ta tri wulanan, Industri Kecil Manufaktur pada Triwulan II tumbuh positif sebesar 14,92 persen (yoy), sedangkan pada triwulan sebelumnya hanya tumbuh sebesar 4,42 persen (yoy). Industri Besar dan Sedang mengalami pertumbuhan 10,56 persen (yoy), sedangkan pada Triwulan I hanya 9,75 persen (yoy). Pertumbuhan pada Industri Besar dan Sedang dipengaruhi oleh pertumbuhan dari kelompok Barang dari Karet dan Plastik sebesar 4,68 persen. Pertumbuhan pada Industri berskala kecil didominasi oleh pertumbuhan dari industri Meubel sebesar 9,57 persen (qoq), industri Barang Logam Bukan Mesin sebesar 13,35 persen (qoq), industri Makanan sebesar 8,55 persen (qoq) dan industri Minuman sebesar 4,12 persen (qoq). Di provinsi Bangka-Belitung (Babel), pe r t u m bu h a n se kt or I n d u s t r i Manufaktur meningkat dari 1,02 persen (yoy) di Triwulan I 2014 menjadi 1,46 persen (yoy) di Triwulan II 2014. Sehingga andilnya terhadap pertum buhan e konomi juga meningkat dari 0,20 persen di triwulan I 2014 menjadi 0,29 persen di T r i wu la n I I 2 0 1 4 . M u la i beroperasinya pabrik refineray CPO PTSWP sebagai pabrik dengan kapasitas terbesar pengolahan kernel dan inti sawit semakin memacu kinerja Industri Pengolahan di Kep. Babel terutama di Belitung Timur. Dengan adanya pabrik ini, ekspor CPO sudah tidak dalam bentuk CPO
4
September 2014
mentah namun sudah diolah menjadi produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Beroperasinya pabrik ini turut menyerap tenaga kerja sebanyak +/- 3.500 pekerja yang akan semakin berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Berdasarkan skala industri, pertumbuhan produksi industri berskala besar dan dipengaruhi oleh pertumbuhan industri Karet dan Barang dari Karet serta industri Plastik sebesar 6,09 persen, industri Logam Dasar sebesar 1,29 persen dan industri Makanan sebesar 0,78 persen. Pertumbuhan Industri Mikro dan Kecil dipengaruhi oleh pertumbuhan industri Pakaian Jadi sebesar 13,83 persen, industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik 9,73 persen, industri Makanan sebesar 8,97 persen dan industri Minuman sebesar 7,75 persen, sementara industri Barang Logam Bukan Mesin dan Peralatannya turun sebesar 8,84 persen. Meningkatnya pertumbuhan sektor Industri Pengolahan di provinsi Sumsel, Lampung, Bengkulu dan Babel selama dua triwulan tahun 2014, memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah masingmasing. Sebagai daerah-daerah yang masih didominasi oleh sektor Pertanian, meningkatnya pertumbuhan industri-industri yang berbasis pertanian, mengindikasikan bahwa ada proses hilirisasi yang berarti ada peningkatan nilai tambah bagi perekonomian. Jika dibandingkan dengan pertumbuhan industri nasional untuk skala Besar dan Sedang (IBS) yang sebesar 2,34 persen, pertumbuhan di wilayah Sumbagsel relatif lebih tinggi, ini berarti produktivitas IBS di daerah lebih tinggi yang berarti daerah mempunyai potensi sumberdaya atau
input yang dapat dioptimalkan. Pertumbuhan sektor Industri Mikro dan Kecil (IMK) di wilayah Sumbagsel meskipun mengalami peningkatan, namun masih di bawah pertumbuhan nasional yang sebesar 6,17 persen di Triwulan II 2014, mengindikasikan bahwa produktivitas IMK masih perlu ditingkatkan. Mengingat peran IMK terhadap penyerapan tenaga kerja yang masih dominan, maka perlu pembenahan terhadap faktor – faktor yang mempengaruhi produktivitas seperti kualitas SDM, teknologi, akses ke pasar input, strategi produksi dan pem a sa ran ser t a akse s ke pembiayaan. Secara umum dapat disimpulkan bahwa peningkatan pertumbuhan Industri Pengolahan di wilayah Sumbagsel akan menjadi daya t a r i k i n v e st a si . B a g i se kt or Perbankan, peningkatan aktivitas di sektor Industri Pengolahan merupakan p e lu a n g u n t u k m e n i n g ka t ka n pengumpulan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan penyaluran kredit investasi atau kredit usaha. Perbankan mempunyai p e lu a n g u n t u k m e n i n g ka t ka n pelayanan dan melakukan differensiasi dan diversifikasi produk untuk merespon peningkatan kinerja Industri Pengolahan. Meningkatnya kinerja sektor Industri Pengolahan di wilayah Sumbagsel, menuntut keseriusan dan komitmen yang tingi dari pemerintah daerah masing-masing terutama dalam mengimplementasikan program hilirisasi. Keseriusan dan komitmen Pemerintah dalam penyediaan infrastruktur publik, lahan serta penyederhanaan birokrasi akan m e n a r i k i n v e st a si ba r u d a n meningkatkan perluasan investasi yang sudah ada. Perlu perencanaan yang komprehensif dan matang dari pemerintah daerah terkait industri-
industri yang mempunyai peluang untuk dikembangkan dan mempunyai keterkaitan tinggi dengan sektor – sektor lainnya. Perlu upaya yang kuat dari pemerintah daerah untuk dapat melakukan harmonisasi antar sektor/ lembaga agar dapat lebih fokus dalam mengembangkan Industri Pengolahan. Dengan semakin ketatnya persaingan di industri perbankan, sektor per ba nkan da pat m ere spon meningkatnya kinerja sektor Industri Pengolahan dengan meningkatkan penyaluran kredit baik untuk IBS terlebih untuk IMK dengan melalukan differensiasi dan diversifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar dengan tetap mempertahankan prinsip kehati-hatian. Perbankan da pa t be ker j a sam a den gan pemerintah daerah untuk : (1). membuat dan meningkatkan jumlah sentra-sentra usaha terutama yang terkait dengan IMK, (2). membuat peta usaha terkait dengan program hilirisasi, (3). Terlibat dalam kegiatan promosi produk industri khususnya di luar negeri. (*)
Rina Indiastuti RCE Wilayah Bandung PROSPEK PENYALURAN KREDIT EKSPOR DI WILAYAH BANDUNG Perkembangan kinerja ekspor Jawa Barat yang semakin membaik memerlukan kredit ekspor. Tabel 1 menjelaskan ekspor Jawa barat tumbuh positif namun ekspor non migas tumbuh negatif. Ada 5 (lima) komoditas ekspor utama yang mencatat pertumbuhan nilai ekspor positif, yaitu barang rajutan, kendaraan dan bagiannya, pakaian jadi bukan rajutan, alas kaki dan kertas karton. Kelima komoditas utama ekspor ini diproduksi di
5
September 2014
wilayah Bandung, dan di antaranya sebagai produk industri unggulan. Fakta bahwa kinerja ekspor yang tumbuh akan berpengaruh positif pada peningkatan pertumbuhan e k onom i sek aligu s me namb ah cadangan devisa, maka Bank Indonesia mendukungnya dengan memberikan insentif, yakni penggunaan kredit ekspor untuk menggantikan kredit usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang dipatok porsinya minimal 20 persen. Kredit ekspor terklasifikasi sebagai kredit produktif. Secara nasional, kinerja kredit pembiayaan perdagangan ekspor impor masih tergolong rendah namun tumbuh positif. Porsi kredit ekspor 1,8 persen, sedangkan kredit impor 1,4 persen. Perbankan diharapkan meningkatkan pembiayaan perdagangan luar negeri ini, tetapi harus memperhatikan resiko dan
menjaga tingkat kredit bermasalah (NPL). NPL kredit ekspor saat ini 3,4 persen, sedangkan NPL impor 1,5 persen. Dengan nilai ekspor yang relatif besar dan tumbuh, prospek penyaluran kredit ekspor terutama untuk komoditas ekspor yang berasal dari industri unggulan di wilayah Bandung sangat besar dan dapat tumbuh rata-rata 40%/tahun. Untuk meningkatkan akses pelaku ekspor impor terhadap skema kredit ekspor khususnya dalam penggunaan Letter of Credit (LC), pengusaha dan analis kredit perbankan dapat merujuk Standar Internasional Praktik Perbankan (ISBP) oleh Kamar Dagang Internasional (ICC). Yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian kredit ekspor melalui skema LC untuk perbankan di wilayah Bandung adalah:
▪ Kredit ekspor untuk ekspor barang rajutan,
pakaian
jadi
bukan
TABEL 1. NILAI FOB (JUTA US$) EKSPOR KOMODITAS UTAMA JAWA BARAT Uraian
Jan-Mei 2013
Mesin/Peralatan Mesin
2,332.65
Mesin/Pesawat mekanik
1,167.65
Jan-Mei 2014 2,089.14
% Perubahan -10.4%
953.99
-18.3%
Barang barang rajutan
787.36
818.91
4.0%
Kendaraan dan bagiannya
459.58
701.22
52.6%
Pakaian jadi bukan rajutan
647.84
660.28
1.9%
Karet dan barang dari karet
610.78
592.08
-3.1%
Serat stafle buatan
564.48
549.08
-2.7%
Alas kaki
355.86
419.80
18.0%
Kertas karton
415.52
416.46
0.2%
Filamen buatan
404.70
398.34
-1.6%
7,746.42
7,599.30
-1.9%
Total Ekspor non migas
10,742.36
10,676.51
-0.6%
Total Ekspor
10,917.53
11,163.56
2.3%
Jumlah 10 komoditas utama
rajutan, dan alas kaki mempunyai risiko kredit yang rendah, ▪ Potensi kredit ekspor komoditas tersebut termasuk besar mengingat nilai ekspor tahunan untuk barang rajutan (Rp. 9,4 triliun), pakaian jadi bukan rajutan (Rp. 7,5 triliun), dan alas kaki (Rp. 4,8 triliun), ▪ Dokumen LC memuat term of condition sebagai instrumen kredit ekspor yang sudah merujuk standar ISBP dan ICC, ▪ Kredit ekspor untuk komponen ken da ra an berm ot or sa ng at prospekt if termasu k p roduk komponen pesawat dari PT Dirgantara Indonesia di Bandung. Hal lain, peluang kredit ekspor juga terbuka untuk merespon pengadaan barang modal pemerintah seperti diilustrasikan dengan contoh berikut. Pengadaan pemerintah atas 9 pesawat angkut militer jenis CN 295 senilai US$325 juta pada tahun 2012 kepada Airbus Military pada tahun 2012 dipersyaratkan melibatkan pekerjaan yang dilakukan PT Dirgantara Indonesia termasuk memasok komponennya sebagai komponen CN 295. Pembayaran oleh pemerintah harus dilunasi pada tahun 2014. Peme rintah men cicil membayarnya melalui skema kredit ekspor. Sebagai penutup, 1. Kredit ekspor sebagai kredit pr odu k t i f di r e kom e n d a si k a n d i t i n g ka t ka n pe n y a lu r a n n y a terutama membidik komoditas utama ekspor yang sekaligus produk industri unggulan wilayah Bandung seperti barang rajutan, pakaian jadi bukan rajutan, dan alas kaki, 2. Penyaluran kredit ekspor sekaligus mensolusikan pembiayaan ekspor
Sumber: BPS Jawa Barat
6
September 2014
yang diharapkan mampu menjamin pertumbuhan dan kebelanjutan ekspor tersebut, 3. Skema kredit ekspor mempunyai peluang dikembangkan untuk kegiatan impor atau kombinasi ekspor-impor merespon pengadaan pemerintah dan BUMN atas komponen barang modal. (*)
Alimuddin Rizal Riva’i RCE Wilayah Semarang PEREKONOMIAN PROVINSI DIY TAHUN 2014 MASIH TETAP TUMBUH, MESKIPUN PADA TRIWULAN II TUMBUH NEGATIF Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terbagi menjadi 4 kabupaten dan satu kota sampai dengan Triwulan II tahun 2014 pertumbuhan ekonominya masih dibawah nasional. Berdasarkan Data dari BPS DIY, kinerja pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Triwulan II tahun 2014 yang diukur dari kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 mengalami kontraksi sebesar 2,98 persen terhadap Triwulan I 2014 (q-to-q). Pertumbuhan negatif ini terjadi karena produksi sektor Pertanian menurun, sedangkan sektor lainnya mengalami peningkatan. Sektor Pertanian mengalami kontraksi sebesar 37,10 persen karena produksi padi, jagung, dan ubi jalar menurun sangat signifikan akibat faktor musim masingmasing sebesar 57,33 persen, 87,58 persen, dan 14,22 persen. Pertumbuhan itu, dibarengi pula dengan inflasi di wilayah provinsi DIY pada bulan Juli 2014 mencapai angka 0,5 persen, lebih rendah dibanding inflasi tahun lalu pada periode yang sama mencapai 2,54 persen. Rendahnya inflasi pada bulan Juli 2014 ini, antara lain
disebabkan oleh konsumsi kebutuhan pokok masyarakat normal, sementara pasokan mencukupi. Sedangkan bila dilihat dari sisi penggunaan, PDRB DIY Memasuki Triwulan II tahun 2014, lima komponen menunjukkan pertumbuhan positif (qto-q), yaitu komponen Konsumsi Rumah Tangga, komponen konsumsi Lembaga Swasta Nirlaba, komponen Konsumsi Pemerintah, komponen Ekspor, dan komponen Impor. Sementara komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) masih tumbuh negatif meskipun relatif kecil dibanding pertumbuhan negatif yang terjadi di Triwulan I 2014. Pertumbuhan q-to-q sebesar minus 2,98 persen terutama ditarik oleh menurunnya komponen Perubahan Inventori/Stok, komponen PMTB, dan komponen Ekspor Neto. Ekspor tumbuh 0,77 persen tetapi impor sebagai faktor/komponen pengurang tumbuh pesat sebesar 8,81 persen. Perdagangan luar negeri DIY, baik ekspor maupun impor, masih tumbuh minus. Ekspor antar daerah tumbuh positif tapi jauh di bawah pertumbuhan positif impor antardaerah. Pertumbuhan pada Konsumsi Rumah Tangga terutama didorong oleh naiknya pertumbuhan konsumsi non makanan, yaitu 1,03 persen, meskipun konsumsi makanan juga tumbuh sebesar pertumbuhan triwulan sebelumnya (0,98 persen). Mulai lancarnya pencairan anggaran instansi pemerintah di Triwulan II 2014 telah membawa komponen Konsumsi Pemerintah tumbuh positif setelah mengalami kontraksi di triwulan sebelumnya. Pertumbuhan yang cukup tajam Konsumsi Lembaga Swasta Nirlaba di Triwulan I 2014 akibat dari kegiatan politik menje-
lang pemilu legislatif tampaknya sudah agak reda gempita aktivitas ekonominya yang ditandai dengan pertumbuhan komponen ini di Triwulan II 2014 yang hanya tumbuh 3,46 persen, atau tidak lebih dari separuh pertumbuhan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan tersebut juga masih dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi kampanye menjelang pemilu presiden-wakil presiden di awal Juli 2014. Untuk kegiatan ekspor-impor provinsi DIY Tahun 2014 ini bahwa nilai nominal PDRB pada Triwulan II 2014 terbesar digunakan untuk membiayai impor, yaitu mencapai Rp10,50 triliun, atau 61,64 persen dari total PDRB DIY. Nilai ini melebihi nilai ekspor yang sebesar Rp8,01 triliun sehingga ekspor neto pada Triwulan II 2014 tercatat negatif atau defisit sebesar Rp2,49 triliun. Penggunaan PDRB terbesar berikutnya adalah untuk pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga yaitu sebesar Rp9,21 triliun, atau 54,08 persen dari total PDRB DIY. Selanjutnya porsi penggunaan yang juga relatif besar adalah untuk kegiatan investasi fisik (PMTB) sebesar Rp5,09 triliun atau 29,86 persen dari total PDRB. Masih tingginya porsi PDRB yang digunakan untuk keperluan konsumsi perlu lebih diarahkan untuk mendorong upaya penggunaan yang lebih besar untuk pembentukan investasi sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Selanjutnya untuk perdagangan luar negeri, kegiatan usaha eksporimpor di DIY ini pada Triwulan II 2014, Nilai ekspor barang asal D.I. Yogyakarta yang dikirim lewat beberapa pelabuhan di Indonesia ter-
7
September 2014
catat sebesar US$ 27.435.549. Nilai ekspor tersebut naik sebesar 13,72 persen dibanding bulan sebelumnya yang sebesar US$ 24.126.501. Dibanding setahun yang lalu nilai ekspor naik sebesar 20,03 persen. Negara tujuan utama ekspor barang D.I. Yogyakarta yaitu Amerika Serikat dengan total nilai ekspor mencapai US$ 10.319.915 (37,62 persen), kemudian Jerman dengan total nilai US$ 3.198.192 (11,66 persen), dan Jepang dengan total nilai US$ 2.202.610 (8,03 persen). Dari 10 besar negara tujuan ekspor, nilai ekspor terendah dikirim ke Perancis yakni senilai US$ 595.200 (2,17 persen). Komoditas utama p a d a bulan ini adalah produk pakaian jadi bukan rajutan yang mencapai 36,67 persen diikuti perabot, penerangan rumah sebesar 11,53 persen, dan Barang-barang dari kulit sebesar 9,38 persen. Nilai ekspor terendah sebesar 1,90 persen yakni komoditas Jerami/Bahan anyama. Perubahan nilai ekspor menurut komoditas bulan Juni 2014 dibandingkan sebulan yang lalu mengalami kenaikan sebesar 13,72 persen. Dari 10 komoditas utama, sembilan komoditas mengalami kenaikan bahkan empat diantaranya naik diatas 50 persen. Empat komoditas tersebut yaitu (1) Barang-barang rajutan sebesar 76,48 persen, Plastik dan barang dari plastik sebesar 56,32 persen, (3) Bahan kimia organik sebesar 64,04 persen, dan (4) Jerami/ Bahan anyaman sebesar 87,06 persen. Jika ekspor bulan Juni 2014 dibandingkan dengan kondisi setahun yang lalu, secara umum mengalami kenaikan yakni sebesar 20,03 persen. Tiga komoditas yang mengalami kenaikan terbesar adalah
Mesin/peralatan listrik naik sebesar 75,17 persen; Plastik dan barang dari plastik naik sebesar 46,87 persen; dan Bahan kimia organik mengalami kenaikan terbesar yaitu 150,38 persen. Sementara itu, nilai impor di DIY yang tercatat hanya angka yang bersumber dari Bandara Adi Sutjipto yaitu sebesar US$ 96.182 (Juni 2014) angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 186,45 persen dibandingkan bulan Mei 2014. Sementara dibanding setahun yang lalu, Juni 2013, justru mengalami penurunan sebesar 21,02 persen. Nilai Impor yang berasal dari Bandara lain, dan pelabuhan bongkar muat lainnya tidak dapat ditelusuri sehingga Nilai impor barang D.I. Yogyakarta relatif sulit mencerminkan kondisi sebenarnya, oleh karena itu tidak dapat digunakan sebagai bahan analisis lebih lanjut pada studi ini. Pemerintah Provinsi DIY selalu berupaya untuk menumbuhkembangkan perekonomiannya dengan menyiapkan infrastruktur pembangunan baik berupa sarana trasportasi darat, udara maupun berkaitan dengan konektivitas antar daerah di DIY. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional, pemerintah beserta pemangku kepentingan lainnya bekerja sama untuk menumbuhkembangkan provinsi ini. Selalu berupaya untuk mensejajarkan dengan provinsi lain di Jawa, meski saat ini level pertumbuhannya masih paling rendah dibanding provinsi lain di Jawa, namun potensi ekonomi khususnya Perdagangan, Hotel dan Restoran, Industri Pengolahan termasuk industri kreatif sangatlah subur dan menarik di provinsi DIY ini. (*)
Rudi Purwono RCE Wilayah Surabaya KINERJA INVESTASI SEMESTER I TAHUN 2014 DAN GELIAT INDUSTRI DI JAWA TIMUR Kinerja investasi di Jawa Timur pada Semester I tahun 2014 mengalami peningkatan yang cukup signifikan dengan total realisasi investasi mencapai Rp83,24 triliun. Nilai ini mengalami peningkatan sebesar 22,27 persen jika dibandingkan pada Semester I tahun 2013 yang sebesar Rp68,08 triliun. Peningkatan nilai investasi ini menunjukkan bahwa Jawa Timur masih menjadi provinsi yang favorit sebagai tujuan investasi. Jika melihat kilas balik kinerja investasi tahun 2013 yang dihadapkan pada pelemahan perekonomian global dan tekanan nilai tukar rupiah maka tahun 2014 ini diharapkan pemulihan perekonomian global dan adanya stabilitas nilai tukar rupiah mampu menjadi pendorong peningkatan investasi tahun 2014. Badan Penanaman Modal (BPM) Provinsi Jawa Timur menaruh optimisme mengenai target investasi yang hingga akhir tahun 2014 mencapai sebesar Rp160 triliun bahkan bisa terlampui. Realisasi investasi untuk PMA (Penanaman Modal Asing) dan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) ini menciptakan 203 proyek dengan nilai sebesar Rp36,70 triliun. Tenaga kerja yang mampu terserap dari proyek tersebut sebanyak 35.432 orang. Sementara untuk PMDN non fasilitas, menciptakan 89.619 unit usaha dengan nilai sebesar Rp46,54 triliun dan mampu menciptakan lapangan kerja hingga 252.904 orang. Tingginya nilai realisasi investasi PMDN ini menunjukkan bahwa investor khususnya dalam negeri sudah mulai melakukan re-
8
September 2014
alisasi investasinya. Realisasi investasi menurut bidang usaha untuk PMDN pada Semes-ter 1 tahun 2014 adalah industri Makanan dengan nilai investasi mencapai Rp7,56 triliun dan mampu menyerap tenaga kerja 9.421 orang. Kemudi-an Perumahan, Kawasan Industri dan Perkantoran dengan nilai investasi Rp7,06 triliun, untuk Kon-struksi dengan nilai investasi sebesar Rp5,55 triliun, Listrik, Gas dan Air dengan nilai investasi sebesar Rp4,50 triliun dan industri Mineral Non Logam dengan nilai in-vestasi sebesar Rp1,67 triliun. Selanjutnya, untuk investasi dari PMA, yang paling tinggi nilai investasinya adalah industri Logam, Mesin dan Elektronik yang mencapai Rp1,52 triliun, industri Makanan sebesar Rp1,41 triliun, industri Kimia dan Farmasi Rp950 miliar dan industri Mineral Non Logam Rp890 miliar. Sementara untuk minat lokasi PMDN yakni, Kabupaten Gresik, Kabupaten Pacitan, Kota Surabaya, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Mojoker-to. Sedangkan PMA tertinggi di Kabupaten Gresik, Kabupaten Tuban, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Jombang dan Kota Surabaya. Sedangkan jika dilihat dari realiasi investasi menurut negara asal PMA, tertinggi dari Jepang dengan nilai investasi Rp1,34 triliun, Singapura Rp1,19 triliun, Tiongkok Rp940 miliar, Amerika Serikat Rp710 miliar dan British Virgin Island dengan nilai investasi Rp610 miliar. Dari total realisasi investasi sebesar Rp83,24 triliun, PMDN (Penanaman Modal Dalam negeri) mendominasi hingga 90 persen. Dengan rincian PMDN non fasilitas 55 persen dan PMDN 35 persen. Bidang investasi PMDN non fasilitas yang paling diminati adalah Jasa Konstruksi dengan nilai investasi Rp13,31 triliun, IKM
(Industri Kecil dan Menengah) sebesar Rp11,87 triliun, Perdagangan Rp 11 triliun, Perkebunan Rp2,18 triliun dan Perhotelan Rp1,80 triliun (Sumber: www.bpm.jatimprov.go.id). Meningkatnya kinerja investasi ini diharapkan memberikan multiplier effect bagi perekonomian Jawa Timur. Selanjutnya, sektor industri di Jawa Timur menunjukkan “geliatnya”. Proyek pembangunan Pabrik Gula Terpadu Glenmore di Banyuwangi segera dilanjutkan setelah ada penandatanganan perjanjian fasilitas kredit. Pabrik Gula Glenmore akan menjadi fasilitas pengolahan tebu terintegrasi pertama di Indonesia. Fasilitasnya terdiri atas pabrik gula, pembangkit listrik berbahan bakar ampas, dan pabrik pupuk organik. Dalam jangka panjang juga akan mengembangkan pabrik biofuel dan pangan ternak. Pada tahap awal pabrik akan mempunyai kapasitas pengolahan yang mencapai 6 ribu ton tebu per hari. Selanjutnya kapasitas itu akan ditingkatkan menjadi 8 ribu ton tebu per hari untuk dua tahun kemudian. Dengan asumsi rendemen 9 persen produksi gula maka bisa mencapai 540-720 kilogram gula perhari. Sehingga diharapkan keberadaan Pabrik Gula Terpadu Glenmore bisa mendukung upaya pencapaian kemandirian gula nasional di masa mendatang. Perkembangan industri Otomotif yang terus melaju menjadi peluang bagi industri Komponen (spare part). Saat ini industri Komponen Jawa Timur ada 274 unit yang tersebar di Pasuruan, Sidoarjo, Surabaya dan Malang. Industri Komponen saat ini masih meningkatkan kualitas agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Saat ini pelaku industri Komponen lokal sangat membutuhkan kebijakan untuk pemenuhan bahan
baku lokal (Sumber: Jawa Pos, 28/8/2014). Sehingga diharapkan perkembangan industri Otomotif juga mendorong perkembangan industri Komponen (spare part). Gubernur Jawa Timur Soekarwo menyiapkan sejumlah stimulus yang diyakini menjadi poin penting dalam mempermudah masuknya investasi ke Jawa Timur. Stimulus yang diberikan adalah government guarantee di mana diharapkan bisa mempermudah investor jika ingin menanamkan modalnya ke Jawa Timur. Government guarantee terdiri dari empat stimulus yaitu, Pertama, ketersediaan lahan, stimulus ini merupakan jaminan Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk dapat terus berkoordinasi dengan pemerintah kota/kabupaten terkait lahan yang dirasa potensial bagi investor guna mengembangkan industri. Kedua, jaminan kemudahan perizinan yang diberikan kepada investor. Ketiga, ketersediaan power plant (pembangkit listrik) yang mumpuni di mana Jawa Timur mampu menyediakan energi karena surplus energi hingga lebih dari 2.000 megawatt. Keempat, banyaknya jumlah tenaga kerja terampil yang tersedia di Jawa Timur, bahkan Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah membentuk SMK mini yang merupakan balai pelatihan kerja yang membekali setiap pesertanya dengan berbagai keterampilan (Sumber : Jawa Pos, 21/8/2014). Kombinasi stimulus dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan stabilitas makro ekonomi, diharapkan mendongkrak investasi di Jawa Timur pada tahun 2014 dan masa mendatang. (*)
9
September 2014
Marsuki RCE Wilayah Makassar INVESTOR PERKEBUNAN MALAYSIA SEGERA MEMBUKA PERKEBUNAN PISANG CAVENDISH UTAMA DI SULSEL Dalam beberapa waktu terakhir ini tercatat di BKPMD Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) semakin banyak investor asing tertarik untuk menanamkan modalnya di Sulsel. Hal ini dimungkinkan karena beberapa kebijakan untuk menarik investasi yang intensif digencarkan pemerintah daerah, termasuk ketersediaan lahan yang cukup dan tersebar di beberapa daerah, dan dukungan masyarakat serta dukungan politik pemerintah Sulsel yang sangat baik dan kondusif. Salah satunya adalah Perusahaan AgroFresh Holdings Berhad (AFHB) yang berbasis di Malaysia dan bergerak dalam bidang perkebunan Pisang Cavendish. Executive Chairman Perusahaan AFHB menjelaskan dalam waktu dekat ini akan membuka kebun pisang seluas 2.000 ha di Kab. Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan. Luasan sebesar 2000 ha tersebut sementara ini hanya merupakan tahap awal dari rencana total pembukaan kebun yang mencapai 30.000 ha. Untuk setiap luasan 1.000 ha, perkebunan akan menyerap 1.200 pekerja. Kabupaten Jeneponto dipilih sebagai lokasi pembukaan kebun karena berdasarkan survey yang dilakukan oleh AFHB, wilayah ini cocok untuk penanaman Pisang Cavendish. Jika rencana ini terealisasi, maka Kab. Jeneponto berarti akan menjadi kebun utama AFHB. Target perusahaan nantinya dapat memproduksi 4000 ton pisang per minggu, dengan tujuan pasar ekspor ke Cina dan Irak Sehubungan dengan hal tersebut,
Gubernur Sulsel atas nama Pemerintah Provinsi Sulsel menyatakan gembira dan siap memberikan dukungan yang dibutuhkan untuk merealisasikan rencana pembukaan kebun tersebut. Gubernur berharap agar rencana tersebut dapat segera terealisasi dan pencanangan dapat dilakukan pada saat Hari Jadi Sulsel, Oktober mendatang. Kebun tersebut rencananya akan dibuka di wilayah Kec. Bangkala, Kab. Jeneponto, Sulsel. Ditegaskan Gubernur Sulsel bahwa pemerintah daerah, dalam hal ini Bupati Jeneponto dan para kepala dinas terkait akan siap membantu sehingga pencanangan penanaman dan pencanangan pabrik bisa segera dilakukan. Executive Chairman AFHB berharap pembukaan kebun sudah dapat terealisasi pada akhir tahun ini, sehingga setelah itu sudah dapat melaksanakan proyek yang direncanakan dengan menjadikan Jeneponto di Sulsel sebagai basis perkebunan Pisang Cavendish bagi investor Malaysia. Khusus bagi masyarakat di Kabupaten Jeneponto, hal tersebut akan memberi dampak positf, baik sebagai terbukanya peluang kerja, juga akan dapat meningkatnya keterampilan mereka di bidang perkebunan pisang, serta akan dapat meningkatkan taraf hidup mereka, dengan akan meningkatnya pendapatan mereka. Sehingga nantinya akan dapat membantu program pengentasan kemiskinan pemerintah Provinsi dan daerah, yang dikenal selama ini bahwa Kab. Jeneponto sebagai salah satu daerah termiskin dari 24 Kabupaten di Sulsel. (*)
I Wayan Ramantha RCE Wilayah Denpasar AGROWISATA: HARAPAN BARU KEMBANGKAN SEKTOR PERTANIAN Sebagai daerah tujuan wisata utama Dunia, Bali dengan sembilan Kabupaten/Kota terus mengupayakan mempromosikan pariwisata, baik di dalam maupun di luar negeri. Berbagai atraksi pariwisata diadakan di berbagai tempat seperti Pesta tahunan Kesenian Bali yang dilaksanakan oleh pemerintah Provinsi, Festival Nusa Dua yang dilaksanakan oleh pengelola Kawasan Nusa Dua (Indonesia Tourism Development Corporation/ITDC), Sanur Festival yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Denpasar, Singaraja Festival yang dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Buleleng dan lain-lain. Sebagai kabupaten dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terbesar yang jumlahnya setiap tahun melebihi APBD provinsi, kabupaten Badung yang juga mewilayahi Nusa Dua, menyelenggarakan Festival Budaya Pertanian yang ke 3 bulan Agustus 2014 yang dipusatkan di Desa Plaga Kecamatan Petang. Parade budaya berlangsung semarak, duta masing masing kecamatan menampilkan berbagai macam atraksi budaya pertanian dan juga dipamerkan hasil pertaniannya masing-masing lengkap dengan berbagai produk turunannya yang bisa dipergunakan sebagai produk penunjang pariwisata. Pelaksanaan Festival Budaya Pertanian ini memiliki makna yang sangat strategis dalam rangka memadukan antara sektor pariwisata dengan sektor pertanian. Sebagai mana disadari, bahwa antara sektor pariwisata (PHR) dan sektor pertanian di Bali bila dili-
10
September 2014
hat dari sumbangannya terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), terjadi ketimpangan yang sangat signifikan, sementara kalau dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja, khususnya tenaga kerja lokal terdapat jumlah yang cukup seimbang. Kondisi eksisting seperti itu yang kemudian menunjukkan bahwa walaupun pendapatan perkapita Bali nampak cukup tinggi, namun dari segi pemerataan pendapatan antar masyarakat sebetulnya masih sangat timpang. Kondisi itu juga yang kemudian menyebabkan dari tahun ke tahun terjadi penyusutan jumlah rumah tangga usaha pertanian di daerah ini. Badan Pusat Statistik Bali mencatat pada tahun 2013 lalu terdapat 408.233 rumah tangga pertanian di Bali yang menurun 17,09 persen jika dibandingkan dengan tahun 2003 yang tercatat 492.394 rumah tangga. Alih fungsi lahan pertanian juga dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan yang disebabkan oleh semakin tidak seimbangnya hasil pertanian untuk menunjang kehidupan patani. Festival Budaya Pertanian ditujukan untuk membangun pertanian Bali di samping sebagai penghasil pangan, juga diharapkan sebagai salah satu obyek pariwisata berupa agrowisata yang saat ini mulai diminati oleh banyak wisatawan mancanegara. Dengan cara itu pendapatan petani diharapkan semakin meningkat seiring dengan profesi ganda yang mereka miliki, di satu sisi sebagai petani dan di lain sisi juga sebagai pelaku pariwisata. Bagi dunia perbankan, adanya upaya revitalisasi peran petani seperti itu, tentu sangat menguntungkan karena sektor pertanian merupakan sektor ekonomi kedua yang berkontribusi terhadap perekonomian Bali. (*)
Ahmad Alim Bachri RCE Wilayah Banjarmasin PROSPEK INDUSTRI HILIR CPO KALIMANTAN TIMUR Dimulainya era Kelapa Sawit yang merupakan bahan baku CPO di Kalimantan Timur (Kaltim) adalah bentuk komitmen pemerintah daerah untuk mengurangi ketergantungan ekonomi terhadap sektor--sektor ekstraktif. Pasca penurunan kinerja migas, Kalimantan Timur kembali bergantung pada sektor ekstraktif lainnya, yakni batubara. Namun demikian, menurunnya harga batubara dalam periode panjang yang terjadi dari 2011 sampai dengan saat ini memberikan dampak perlambatan ekonomi Kalimantan Timur. Oleh karena itu, ekspansi perkebunan yang dilakukan swasta dengan dukungan pemerintah sejak tahun 2007 diproyeksi menjadi sumber pertumbuhan baru di Kalimantan Timur, tidak hanya di sektor perkebunan, tetapi juga di industri pengolahan yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Kalimantan Timur sebagai provinsi produsen CPO terbesar ke-8 di Indonesia mempunyai share produksi CPO pada tahun 2013 sebesar 4,5% dengan total produksi 1,25 juta ton. Angka produksi ini jauh meningkat dibandingkan 4 tahun sebelumnya yang hanya 553 ribu ton. Angka ratarata pertumbuhan produksi CPO Kalimantan Timur selama 4 tahun terakhir sangat tinggi, yakni 23,74% (yoy), jauh di atas nasional yang tercatat sebesar 9,53% (yoy). Share komoditas sawit dan CPO pada tahun 2013 mencapai 4,96% terhadap PDRB Tanpa Migas & Batubara dengan nominal PDRB Rp8,01 triliun. Dari 15 Kabupaten/Kota yang ada di
Kalimantan Timur, hampir 90% hasil produksi TBS yang merupakan bahan baku CPO disumbang oleh 5 daerah secara berurutan dari yang terbesar yaitu Kutai Timur, Kutai Kartanegara, Paser, Berau, dan Nunukan. Sejalan dengan pertumbuhan produksi yang tinggi, ekspor CPO juga cukup dominan di mana pada tahun 2013 share ekspor CPO mencapai 14,38% dari total ekspor komoditas industri pengolahan Kalimantan Timur dengan tujuan utama ekspor ke India, Spanyol, Malaysia dan Italia. Bersama kayu, pupuk, dan bahan kimia nonorganik, CPO mampu menjadi komoditas ekspor utama bagi Kalimantan Timur di luar migas dan batubara. Namun di sisi lain, isu strategis dalam skala regional yang perlu menjadi perhatian pemerintah adalah peningkatan produksi CPO selama 5 tahun terakhir tidak diikuti oleh peningkatan ekspor luar negeri CPO, sehingga terindikasi bahwa hasil minyak sawit dari provinsi Kalimantan Timur lebih banyak diekspor melalui daerah lain. Masih banyaknya tanaman yang belum menghasilkan juga merupakan indikasi bahwa produksi sawit Kaltim masih akan terus tumbuh positif. Pada tahun 2013 potensi kelapa sawit Kalimantan Timur dinilai sangat besar jika dilihat dari total luas Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) yang mencapai 659.270 Ha atau 59% dari total luas lahan. Hal ini juga didukung oleh potensi lahan untuk perluasan tanaman sawit yang dimiliki Kalimantan Timur merupakan yang terbesar kedua setelah Papua. Realisasi investasi sektor perkebunan selama tahun 2009-2013 pada PMA telah mencapai US$2.446,3 juta sedangkan pada PMDN sebesar Rp7,8 triliun. Seiring dengan munculnya
11
September 2014
kebijakan pemerintah untuk mewajibkan penggunaan bahan bakar nabati (CPO) sebesar 10% untuk biodisel dan juga kebijakan pemerintah provinsi Kalimantan Timur untuk melakukan perluasan perkebunan kelapa sawit menjadi 2,5 juta Ha dalam RPJMD 2014-2018, maka akan berdampak langsung terhadap pertumbuhan investasi pada industri CPO. Bertumbuhnya konsumsi CPO dunia juga menjadi peluang bagi Kalimantan Timur sebagai produsen untuk mengoptimalkan penerimaan melalui pengembangan di sektor hulu sampai dengan hilir. Apabila dilihat dari kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja, dari 1.624.272 penduduk bekerja di Kalimantan Timur per akhir tahun 2013, 21,83% di antaranya merupakan Tenaga Kerja Perkebunan (TKP) yang memperoleh pendapatan dari usaha perkebunan dengan jumlah mencapai 354.605 orang. Melihat hal ini, sektor perkebunan sawit dan industri CPO serta turunannya mampu menciptakan pemerataan ekonomi melalui penciptaan lapangan pekerjaan yang cukup besar. Pada akhir 2013 Kaltim memiliki pabrik CPO sebanyak 29 dengan total kapasitas produksi 1.545 ton/jam. Jumlah pabrik ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan daerah produsen lainnya. Ke depannya, dibutuhkan lebih banyak pabrik CPO di Kalimantan Timur untuk mengakomodir pertumbuhan produksi yang masih akan berlangsung. Lebih lanjut, dari 338 Perkebunan Besar Swasta (PBS) yang telah memperoleh ijin, tiga di antaranya sedang dalam proses pembuatan 5 pabrik baru di tahun 2014. Saat ini, terdapat sekitar 150 produk turunan CPO sudah
diproduksi secara komersial di berbagai negara. Namun demikian, sampai dengan saat ini Indonesia baru dapat menghasilkan 47 produk turunan CPO di dalam negeri, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Malaysia yang mampu menghasilkan sekitar 100 produk turunan CPO seperti minyak goreng, fatpowder, biodiesel, dan surfaktan. Dalam menginventarisir potensi ekonomi dari produk turunan CPO, pada tahun 2010 Pemerintah Kalimantan Timur menginisiasi pembangunan Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI) Maloy yang berlokasi di Kutai Timur dengan tujuan memberikan solusi bagi kendala-kendala pada sektor perkebunanan sawit, khususnya pada hilirisasi industri CPO. Sebagai bagian dari proyek MP3EI, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Maloy akan didukung oleh tersedianya pelabuhan ekspor dengan kapastias 100.000 DWT, area industri kimiawi, infrastruktur kereta api, dan industri oleochemical sehingga akan membawa dampak positif terhadap perekonomian Kalimantan Timur secara keseluruhan. (*)
Agus Tony Poputra RCE Wilayah Manado DAMPAK PERTAMBANGAN TERHADAP EKONOMI DAERAH Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 menetapkan aturan main dalam Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). UU Minerba tersebut mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) melakukan peningkatan nilai tambah mineral dan batubara melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
Penerapan UU tersebut pada pertengahan Januari 2014 telah mengakibatkan banyak perusahaan tambang menghentikan operasinya karena belum memiliki smelter untuk melakukan pemurnian bahan tambang mentah. Bila dilihat dari usia UU tersebut sejak diterbitkan hingga diterapkan yaitu lebih dari empat tahun, maka kondisi ini sangat disayangkan. Salah satu alasan perusahaan tambang adalah tidak tersedianya listrik. Apabila dikaji dengan pendapatan perusahaan tambang besar maka alasan ini kurang dapat diterima sebab mereka mampu menyediakan listrik mandiri. Kegiatan pertambangan umumnya banyak terdapat di Kawasan Timur Indonesia. Pada daerah kerja BNI 46 Wilayah Manado, terdapat dua provinsi yang memiliki kegiatan pertambangan mineral yang cukup signifikan, yaitu Provinsi Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Kedua provinsi tersebut memiliki sumber daya tambang yang berlimpah terutama Nikel dan Emas. Dengan diberlakukannya UU Minerba, kedua provinsi tersebut mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi yang drastik. Pada Triwulan I -2014, pertumbuhan ekonomi year on year (y.o.y) Sulawesi Tengah hanya sebesar 2,98 persen yang disebabkan oleh kontraksi pada Sektor Pertambangan dan Penggalian sebesar 44,62 persen. Kondisi ini berlanjut pada Triwulan II-2014 dimana perekonomian provinsi ini hanya tumbuh 2,35 persen dengan kontraksi pada Sektor Pertambangan dan Penggalian sebesar 49,64 persen. Kedua kondisi menyebabkan selama Semester I-2014, perekonomian Sulawesi Tengah hanya tumbuh 2,65 persen. Angka pertumbuhan ini sangat rendah bila dibandingkan dengan yang umum terjadi
12
September 2014
dimana rata-rata pertumbuhan ekonominya di atas 9 persen. Situasi yang serupa dialami oleh Provinsi Maluku Utara walaupun sedikit ringan. Pada Triwulan I-2014, pertumbuhan ekonomi y.o.y provinsi ini sebesar 6,28 persen dengan kontraksi pada Sektor Pertambangan dan Penggalian sebesar 15,75 persen. Pada Triwulan II-2014, pertumbuhan ekonomi melemah menjadi 5,96 persen dengan kontraksi Sektor Pertambangan dan Penggalian sebesar 18,47 persen. Bila mengkaji lebih jauh pertumbuhan ekonomi sektoral di dua provinsi tersebut, diperoleh fenomena yang menarik. Sektor di luar Pertambangan dan Penggalian serta Sektor Pertanian, rata-rata mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi (di atas 7 persen), bahkan Perdagangan, Hotel, dan Restoran tumbuh di atas 9 persen. Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Sektor Pertambangan dan Penggalian hampir tidak memberi dampak terhadap sektor-sektor ekonomi lain di dua daerah tersebut. Ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, kebanyakan pemegang IUP adalah pihak asing sehingga hasil ekspor selama ini sebagian besar ditahan di luar negeri. Kedua, sebagian besar pekerja tambang adalah pendatang dari daerah lain dan pada tingkatan yang lebih tinggi adalah tenaga asing sehingga masyarakat lokal kurang mendapat lapangan kerja di sektor ini. Ketiga, bahanbahan kebutuhan pokok untuk kepentingan pekerja dan perusahaan didatangkan dari daerah lain. Keempat, banyak pemegang IUP tidak terdata dengan baik di Kementerian ESDM maupun Dirjen Pajak sehingga pembayaran pajak kurang jelas serta pengawasan juga kurang baik. Akibatnya, Bagi Hasil Sumber Daya Alam
yang diterima daerah tidak besar dan bencana lingkungan menanti. Untuk pemerintahan nasional yang baru, diharapkan kondisi ini dibenahi agar daerah dan Indonesia secara keseluruhan tidak semakin dirugikan dari segi ekonomi serta potensipotensi bencana yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan dapat diminimalisir. Hal pertama yang harus dilakukan adalah pembenahan kembali pemberian izin pertambangan. Dengan otonomi daerah, pemberian izin tersebut dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Hal ini menyebabkan pendataan dari pemerintah pusat untuk kepentingan pajak dan pengawasan menjadi lemah. Sebaiknya ke depan daerah hanya diberikan kewenangan untuk rekomendasi dan pemerintah pusat mengeluarkan izin. Selain itu, pemerintah diharapkan tidak tunduk terhadap tekanan untuk menunda kembali pemberlakuan UU Minerba sebab bahan tambang adalah sumber daya alam yang tidak terbaharukan, sehingga penundaan akan membuat eksploitasi akan dilakukan secara masif dan pada akhirnya pemberlakuan UU Minerba tidak berguna lagi sebab deposit tambang hampir tidak tersisa lagi. Hal penting juga adalah bagaimana melibatkan masyarakat lokal dalam perusahaan tambang dengan membangun pusat-pusat pelatihan maupun sekolah yang mengasah ketrampilan dalam bidang pertambangan. Dengan serangkaian kegiatan ini diharapkan daerah dapat memperoleh manfaat lebih besar dari kegiatan pertambangan. (*)
Sidik Budiono RCE Wilayah Papua KAJIAN MIKROEKONOMI PADA SUKU BUNGA DEPOSITO DI PAPUA & PAPUA BARAT Analisis suku bunga deposito perbankan dapat dilakukan dari sisi makroekonomi atau mikroekonomi. Analisis makroekonomi akan melibatkan peran Bank Indonesia dalam manajemen makro Indonesia dan variabel makro lain. Kebijakan suku bunga Bank Indonesia (BI rate) akan berpatokan pada sejauh mana inflasi berfluktuasi dan perkiraan suku bunga jangka panjang. Selanjutnya suku bunga jangka panjang ditentukan oleh seberapa jauh dinamika perubahan pada fundamental ekonomi. Berbeda dari analisis makroekonomi, dalam analisis mikroekonomi pada prinsipnya bank komersial harus mengikuti persyaratan yang ditentukan oleh Bank Indonesia dan bank harus menentukan strategi bersaing di pasar. Bank akan menerapkan bentuk strategi bersaing tergantung dari bentuk pasar yang terjadi. Apabila pasar merupakan pasar oligopoly maka respon bank adalah bersaing dengan diferensiasi produk atau kolusi antar bank. Penulis melakukan kajian mikroekeonomi berdasarkan diskusi secara komprehensif antara penulis sebagai Regional Chief Economist (RCE) BNI wilayah Papua dengan Chief Executive Officer (CEO) BNI Wilayah Papua selama bulan Juli-Agustus 2014. Pada awalnya, kami memperoleh beberapa gejala-gejala pergerakan suku bunga di Papua & Papua Barat yang cepat. Selanjutnya munculah pertanyaan “apa penyebabnya?”, apakah penyebabnya didominasi fenomena makro saja ataukah mikroekonomi?, apa solusinya?.
13
September 2014
Diskusi perbankan ini mencakup tidak hanya teori yang mendasari tetapi juga kondisi riil di lapangan. Pada awalnya, bank harus memenuhi Loan to Deposit Ratio (LDR) 90-92%. Namun beberapa bank memiliki LDR melampaui dari yang ditetapkan Bank Indonesia, bahkan melebihi 100% untuk di Papua dan Papua Barat. Bankbank tersebut lebih mengedepankan ekspansi untuk mengejar pertumbuhan, oleh karenanya bank membutuhkan dana DPK untuk memenuhi aturan rasio LDR tersebut. Sehingga dengan demikian dalam artikel ini, permasalahan difokuskan pada masalah dana DPK dan harga dana DPK (suku bunga). Untuk menjelaskan hal ini, kita mengacu pada mekanisme pasar dana DPK. Permasalahan kebutuhan Dana DPK diselesaikan melalui mekanisme antara permintaan dana DPK (demand for deposit) dengan penawaran dana DPK (supply of deposit). Pertemuan antara permintaan dana DPK (demand for deposit) den-
gan penawaran dana DPK (supply of deposit) menghasilkan keseimbangan (e) tertentu. Mekanisme Pasar dana DPK ini dapat dijelaskan melalui ilustrasi Gambar 1. Mula-mula masyarakat menyimpan dana sebesar d0 pada bank dengan tingkat bunga yang ditentukan oleh pasar sebesar r0 (Demand for deposit 0 sama dengan supply of deposit). Karena Bank melakukan ekspansi kredit sehingga LDR meningkat melebihi ambang batas yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya bank harus menurunkan rasio LDR ke daerah yang feasible, maka bank akan membutuhkan dana DPK sehingga permintaan meningkat menjadi permintaan deposit 1 (demand for deposit 1). Oleh sebab, penawaran dana deposit (supply of deposit) tidak bertambah maka permintaan DPK meningkat menjadi permintaan deposit 1 (demand for deposit 1) sehinga keseimbangan baru terbentuk di e1. Jadi kenaikan DPK
GAMBAR 1. ILUSTRASI KONDISI PASAR DPK DI PAPUA DAN PAPUA BARAT Supply of Deposit
r
r2
E2 Demand for Deposit 2
r1
E1 Demand for Deposit 1
r0
E0 Demand for Deposit 0 deposit
d0
d1
d2
pada perbankan (d0 menjadi d1) diikuti secara otomatis dengan kenaikan suku bunga (r0 mejadi r1). Oleh karena rasio LDR belum bisa dipenuhi oleh beberapa bank maka permintaan dana deposito meningkat lagi menjadi demand for deposit 2. Keseimbangan baru tercapai di e2 sehingga DPK meningkat dari d1 menjadi d2 dan penigkatan suku bunga deposito dari r1 menjadi r2. Kejadian ini bisa berlangsung terus-menerus sehingga mendorong suku bunga di pasar menjadi lebih tinggi lagi. Peningkatan suku bunga deposito tersebut bisa terjadi terus menerus sesuai dengan mekanisme pasar. Karena DPK diperebutkan oleh beberapa bank sedangkan ada sejumlah bank yang kelebihan DPK (LDR rendah) maka DPK juga dapat diperoleh antar bank. Dampak dari pinjammeminjam dana DPK antar bank adalah sebagai: bank yang rela untuk meminjamkan dana DPK ke bank lain sama dengan menyerahkan nasabahnya ke bank peminjam DPK (dampak negatif bagi bank yang memberi pinjaman DPK). Bank yang memberikan pinjaman DPK merupakan tindakan pertolongan bagi performance bank pesaing. Jadi tindakan ini merupakan kolusi yang berdampak positif bagi bank penerima DPK. Selanjutnya, Penulis melakukan survey lapangan untuk memperoleh sejauh mana persaingan terjadi pada 4 bank dominan yang beroperasi di Papua dan Papua Barat pada bulan Agustus 2014. Penulis ingin memperoleh informasi sejauh mana masing-masing bank akan memberikan suku bunga deposito khusus pada kisaran dana nasabah sebesar Rp5.000.000.000,- (5 miliar rupiah). Bank yang kami observasi adalah Bank A, Bank B, Bank C, dan
14
September 2014
Bank D (red.: initial). Tehnik yang kami lakukan berbeda dari sebelumnya yaitu seolah-olah kami sudah menjadi nasabah di suatu Bank Z dengan deposito sebesar Rp5 Miliar. Pertama, kunjungan pada Bank A (bank umum) kami menanyakan tingkat bunga deposito (jatuh tempo 3 bulan) untuk dana Rp5 miliar. Sementara dana masih berada di Bank Z dengan suku bunga khusus 9%, kami berencana menaruh Rp5 miliar pada Bank A. Kami menanyakan bahwa berapa suku bunga khusus (special rate) yang akan diberikan oleh Bank A?, Pimpinan Bank A menjawab bahwa Bank A akan memberikan suku bunga khusus sebesar 9,5%. Selanjutnya, Bank A tidak menjatuhkan penalty apabila dana ditarik oleh nasabah sebelum jatuh tempo. Suku bunga khusus (3 bulan) ini diputuskan oleh pimpinan wilayah/area Bank A. Kedua, kunjungan terhadap Bank B (bank umum) dengan pertanyaan yang sama mengenai suku bunga deposito jatuh tempo 3 bulan. Kami menawarkan dana Rp5 miliar dan kami menanyakan bahwa berapa suku bunga khusus (special rate) yang akan diberikan oleh Bank B sementara Bank A menawarkan suku bunga khusus 9,5%?, Pimpinan Bank B menjawab bahwa Bank B akan memberikan suku bunga khusus sebesar 10%. Bank B juga memberikan fasilitas khusus kepada nasabah berupa tidak perlu mengantri setiap transakasi di Bank B, dan fasilitas gratis untuk ruang tunggu khusus (executive) di bandara. Bank memberikan penalty sebesar 0,5% dari nominal jika dana ditarik sebelum jatuh tempo. Penerapan suku bunga khusus pada nasabah dilakukan oleh pimpinan wilayah/area bank B.
Ketiga, kunjungan terhadap Bank C (bank umum) dengan pertanyaan yang sama mengenai suku bunga deposito yang jatuh tempo 3 bulan untuk dana Rp5 miliar. Kami menawarkan dana Rp5 miliar dan kami menanyakan bahwa berapa suku bunga khusus (special rate) yang akan diberikan oleh Bank C sementara Bank B menawarkan suku bunga khusus 10%?, Pimpinan Bank C menjawab bahwa Bank C akan memberikan suku bunga khusus sebesar 10,5%. Selain itu, Bank C menerapkan penalty sebesar 25% dari pendapatan bunga berjalan, tidak ada fasilitas khusus. Bank C juga masih membuka peluang tawarmenawar besaran suku bunga khusus tersebut. Keempat, kunjungan ke Bank D (bank umum) dengan pertanyaan yang sama mengenai suku bunga deposito yang jatuh tempo 3 bulan untuk dana Rp5 miliar. Bank D selaku bank yang memiliki kantor pusat di daerah Kami menawarkan dana Rp5 miliar dan kami menanyakan bahwa berapa suku bunga khusus (special rate) yang akan diberikan oleh Bank D sementara Bank C telah menawarkan suku bunga khusus 10,5%? Pimpinan Bank D menjawab bahwa Bank D akan memberikan suku bunga khusus sebesar Bank C tawarkan tertinggi.
interest margin) untuk turun di Papua dan Papua Barat. Kesimpulan dan implikasi dari persaingan suku bunga perbankan di Papua dan Papua Barat antara lain: 1. Persaingan suku bunga menjadi sangat ketat karena masing-masing bank sadar bahwa mereka berada dalam mainstream pasar oligopoly di Papua & Papua Barat. Pasar oligopoly perbankan mengharuskan bank untuk bersaing dengan diferensiasinya sendiri atau bank melakukan kolusi. 2. Pinjam-meminjam dana DPK antar bank memang bisa dimungkinkan dan diperbolehkan oleh Bank Indonesia. Namun secara agregat kurang baik karena bank menjadi tidak efisien karena bank berfungsi sebagai intermediasi melalui jalur yang lebih panjang. Jika dilakukan hampir semua bank maka industri perbankan menjadi tidak efisien secara agregat. 3. Suku bunga (BI rate) masih dipertahankan tinggi oleh Bank Indonesia, namun suku bunga yang terbentuk dari mekanisme pasar menjadi lebih tinggi lagi. Jadi pengaruh dari sisi mikroekonomi (persaingan pasar) sangat signifikan. (*)
Dari semua bank yang telah disurvey ini masih menawarkan (negosiasi) suku bunga khusus tertentuu. Bagaimanapun, nampaknya keputusan dipandang perlu oleh kebanyakan bank yang telah di-survey karena adanya persaingan kebutuhan DPK antar bank itu sendiri. Dari studi lapangan ini, jelas bahwa persaingan suku bunga deposito sangat ketat dan masingmasing bank bisa jadi mengorbankan pendapatan bunga margin bersih (net
15
September 2014
Analisis Pasar Saham & Kinerja BUMN 1 Agustus – 29 Agustus 2014
INDEKS SAHAM GLOBAL
Indeks saham baik kawasan global maupun regional didominasi dengan pola pergerakan uptrend. Namun demikian beberapa indeks saham baik kawasan global maupun regional mengalami koreksi atau membentuk pola downtrend. Seperti yang terjadi pada indeks saham Nikkei dan Singapura Stock Exchange.
Indeks saham di Amerika Serikat baik Dow Jones dan S&P merangkak menuju titik tertinggi menjelang hari terakhir perdagangan di bulan Agustus. Demikian juga dengan pergerakan indeks saham di Eropa,menjelang penutupan bulan FTSE menutup bulan Agustus pada titik tertingginya. Kenaikan indeks saham di dua benua ini terutama didukung oleh data ekonomi yang dirilis pada minggu
terakhir bulan Agustus. Amerika mengumumkan pesanan barang-barang tahan lama pada Juli naik 22,7%. Kenaikan ini merupakan kenaikan yang sangat tinggi mengingat pertumbuhan pemesanan pada bulan sebelumnya hanya mencapai 0,7% saja. Selain itu, penjualan perumahan di Amerika juga turut membaik. Penjualan rumah baik rumah baru maupun rumah bekas meningkat menjadi 412.000 dan 5,15 juta dari 406.000 dan 5,04 juta. Dengan data tersebut, maka tidak
Dow Jones
FTSE
S&P
Nikkei
16
September 2014
mengherankan jika indeks kepercayaan konsumer di Amerika pun membaik menjadi 92,4 dari 90,9. Membaiknya data ekonomi Amerika mendorong indeks saham Eropa bergerak naik. Tidak demikian halnya pada indeks saham Nikkei Jepang. Pergerakan Nikkei stabil dan cenderung turun yang mana memulai dari titik 15.523 dan menutupnya pada titik 15.425 atau melemah -0,6% Pergerakan downtrend Nikkei dipengaruhi oleh data ekonomi Cina yang menjelang berakhirnya bulan Agustus menunjukkan kelesuan. Data
tersebut diantaranya data penanaman modal asing di Cina, pertumbuhan keuntungan industri di Cina dan data industri manufaktur Cina. Penanaman modal asing langsung ke Cina turun 17,0% pada bulan Juli dari sebelumnya 0,2%. Sementara pertumbuhan keuntungan perusahaan di Cina hanya sebesar 13,5% dari bulan sebelumnya 17,9%. Indeks perindustrian Cina juga turun menjadi 50,3 dari 51,7.
INDEKS SAHAM DI REGIONAL
Kondisi tersebut memicu mata uang Yen Jepang dipertukarkan pada nilai yang stabil dan membuat pergerakan indeks Nikkei menjadi stabil dan melemah.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak cukup lincah ke atas sebelum hari terakhir perdagangan di bulan Agustus. IHSG memulai pergerakannya dari titik 5.119 dan menutup-
Mayoritas indeks saham kawasan regional bergerak menguat terpengaruh oleh sentimen positif dari Amerika dan Amerika. Pola pergerakan yang sedikit anomaly terjadi pada pergerakan indeks saham Singapura yang cenderung melemah. Pola pergerakan indeks saham Singapura ini lebih mengikuti pola pergerakan dari Nikkei.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Thailand
Strait Times
Hang Seng
17
September 2014
man keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Pemilihan Presiden. MK menolak gugatan pasangan calon presiden Prabowo dan Hatta Rajasa sehingga menguatkan Presiden Terpilih Indonesia 2015-2020 pada pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
nya pada titik 5.137. Meski mengakhiri pada titik yang lebih tinggi, namun titik tersebut bukanlah titik tertinggi yang dicapai IHSG. Titik tertinggi IHSG terjadi pada tanggal 21 Agustus yang ditutup pada titik 5.206 yang bertepatan pada hari pengumu-
Terpilihan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla ini sesuai dengan ekspektasi pelaku pasar modal. Dengan ditutup pada indeks 5.178 maka IHSG secara bulanan meningkat terbatas atau hanya sebesar 0,35%.
Pergerakan Beberapa Harga Saham Perbankan Bank Closing Price
IHSG / JCI BNI
BRI
BCA
Niaga
Danamon
BTN
4-Aug-2014
5,125
10,275
10,975
11,725
995
3,925
1,050
5,119
5-Aug-2014
5,150
10,400
10,825
11,750
995
3,890
1,090
5,109
6-Aug-2014
4,995
10,275
10,625
11,750
990
3,815
1,125
5,058
7-Aug-2014
5,075
10,200
10,800
11,600
985
3,800
1,135
5,067
8-Aug-2014
5,075
10,200
10,750
11,625
990
3,785
1,105
5,054
11-Aug-2014
5,100
10,475
10,925
11,700
1,010
3,850
1,155
5,113
12-Aug-2014
5,125
10,500
10,900
11,700
1,005
3,865
1,180
5,132
13-Aug-2014
5,150
10,500
10,925
11,750
1,000
3,910
1,180
5,168
14-Aug-2014
5,175
10,475
10,825
11,750
995
3,895
1,175
5,156
15-Aug-2014
5,175
10,450
10,750
11,800
995
3,870
1,180
5,149
18-Aug-2014
5,250
10,475
10,800
11,775
1,005
3,875
1,175
5,157
19-Aug-2014
5,300
10,525
10,850
11,675
995
3,855
1,170
5,165
20-Aug-2014
5,300
10,550
11,025
11,775
1,020
3,900
1,205
5,190
21-Aug-2014
5,400
10,550
11,200
11,800
1,005
3,870
1,195
5,206
22-Aug-2014
5,350
10,525
11,275
11,800
995
3,855
1,175
5,199
25-Aug-2014
5,425
10,575
11,300
11,775
1,005
3,790
1,170
5,185
26-Aug-2014
5,325
10,475
11,075
11,800
1,000
3,740
1,135
5,147
27-Aug-2014
5,350
10,550
11,125
11,850
995
3,760
1,150
5,165
28-Aug-2014
5,450
10,525
11,100
11,850
995
3,805
1,125
5,184
29-Aug-2014
5,350
10,375
11,050
11,200
990
3,750
1,115
5,137
Growth
4.4%
>> Volume [Thousand] Average Transaction >> Value [Rp Million] Valuation Ratio
Mandiri
1.0%
0.7%
-4.5%
-0.5%
-4.5%
6.2%
0.3%
25,064
46,215
39,504
16,702
887.650
3,561
84,554
54,425
131,149
476,882
444,769
191,693
897.698
14,422
95,555
217,144
>> PER
10.1
12.6
11.6
11.5
6.4
12.1
10.9
20.1
>> PBV
1.9
2.6
3.2
3.9
0.9
1.1
1.0
2.6
18
September 2014
Perbankan Saham sektor ini secara mayoritas ditutup variatif. Koreksi saham perbanakn terjadi pada saham Bank Danamon (BDMN), Bank Central Asia (BBCA) dan Bank CIMB Niaga (BNGA). BDMN dan BBCA menutup bulan Agustus dengan penurunan harga saham sebesar -4,5% sementara BNGA terkoreksi -0,5%. Harga saham BDMN dan BNGA terlihat terus berlanjut turun sejak perusahaan mengumumkan laporan keuangan periode Semester I 2014. BDMN dan BNGA melaporkan laba bersih yang turun sebesar -11,7% dan -8,5% dari laba bersih periode yang sama di tahun sebelumnya dari 7 bank terbesar yang terdaftar di bursa. Penurunan harga saham BBCA terjadi pada menit-menit terakhir hari terakhir perdagangan di bulan Agustus. Investor terlihat mulai meninggalkan saham BBCA mengingat valuasi saham BBCA sudah tinggi, bahkan tertinggi di sektor perbankan. Investor kemungkinan beralih pada saham lain seperti Bank Tabungan Negara (BBTN) dan Bank Negara Indonesia (BBNI). Saham BBTN dan BBNI terlihat menarik karena secara valuasi masih murah dan pada bulan ini ditutup naik 6,2% dan 4,4%. Saham perbankan lainnya menutup bulan Juli ini dengan harga yang lebih tinggi daripada harga awal bulan juga dialami Bank Mandiri (BMRI) dan Bank Rakyat Indonesia (BBRI) dengan kenaikan sebesar 1,0% dan 0,7%. Infrastruktur Saham sektor infrastruktur kompak menutup bulan ini dalam zona merah terkena imbas aksi ambil untung para investor. Belum adanya berita korpo-
rasi yang dapat memberikan dampak positif pada laporan keuangan dan valuasi perusahaan menjadi dasar bagi investor untuk melepaskan saham infrastruktur bidang telekomunikasi. Secara teknikal harga saham sektor ini memulai pergerakannya dari harga batas atas sehingga tidak mengherankan apabila investor merealisasikan keuntungan. Saham PT Perusahaan Gas Negara (PGAS) mengalami penurunan terdalam atau sebesar -4,9% diikuti oleh PT Indosat (ISAT) dan PT Telekomunikasi Indonesia (TLKM) dengan melemah -3,6% dan - 0,9%
konstruksi menjadi sasaran tujuan investasi investor.
Konstruksi Saham-saham konstruksi kompak menutup bulan Agustus pada zona hijau. Saham konstruksi yang naik terbesar dialami oleh PT Waskita Karya (WSKT) yang secara bulanan ditutup menguat sebesar 13,1%. Saham
Sedikit berlainan dengan saham PT Bukit Asam (PTBA) yang berbasis batu bara yang ditutup lebih tinggi 6,8% dari harga awal bulan. Kenaikan ini didasari dengan keyakinan bahwa pemerintah akan mendorong pengunaan sumber energi alternatif mengingat besarnya biaya impor minyak bumi. Diyakini konsumsi batubara dalam negeri akan meningkat dan PTBA sebagai penambang batubara akan diuntungkan dengan kenaikan permintaan karena akan menaikan volume penjualan dan harga jual barubara milik PTBA.
PT Wijaya Karya (WIKA, PT Perumahan Pembangunan (PTPP) dan PT Adhi Karya (ADHI) mengikuti setelah WSKT dengan kenaikan sebesar 9,8%, 7,9% dan 0,3%. Trend positif di sektor konstruksi didukung oleh pernyataan Calon Presiden Joko Widodo bahwa pembangunan infrastruktur Indonesia akan diutamakan apabila terpilih nanti. Di sisi lain, pembangunan konstruksi infrastruktur bagi Presiden Indonesia yang baru akan diuntungkan oleh Undang-undang penyediaan lahan yang akan efektif berlaku di tahun 2015. Undang-undang inidiyakini dapat membantu pelaksanaan pembebasan lahan yang selama ini menjadi ganjalan bagi pembangunan infrastruktur Indonesia. Oleh karena itu, saham
Pertambangan Harga saham sektor pertambangan ditutup variatif. Saham komoditas berbasis metal seperti PT Aneka Tambang (ANTM) melemah -2,0% sementara PT Timah (TINS)menguat 2,1%. Namun jika diperhatikan lebih dalam rentang pergerakan relatif terbatas atau hanya dalam kisaran Rp 1.4001.460 untuk TINS dan Rp 1.190-1.265 untuk saham ANTM. Sehingga dengan demikian saham untuk kedua saham ini kenaikan dan penurunan lebih didasari oleh analisa teknikal.
Industri Dasar Semen Saham sektor industri dasar semen turut menutup bulan Juli dengan mixed. Harga saham PT Wika Beton (WTON) menutup bulan Agustus ini dengan kenaikan 17,0% dari harga awal bulan dan PT Semen Baturaja (SMBR) ditutup naik 1,7%. Sementara untuk PT Semen Indonesia (SMGR) ditutup melemah atau lebih rendah daripada harga awal bulan -3,0.
19
September 2014
cana ekspansi WTON pada perusahan beton di Batam. Apabila ekspansi WTON terwujud, maka akan membantu kenaikan volume penjualan WTON di masa yang akan datang setidaknya 5%. (*)
Harga saham SMGR dan SMBR bergerak mengikuti pergerakan teknikal dimana harga saham SMGR yang telah menyentuh batas atas menjadi target realisasi keuntungan oleh para investor. Sebaliknya untuk saham SMBR yang masih belum menyentuh batas atas masih terus dibeli oleh investor sehingga ditutup menguat. Saham WTON menguat cukup berarti dalam bulan ini. Kenaikan harga saham WTON dikaitkan dengan ren-
Pergerakan Beberapa Harga Saham BUMN Berbagai Sektor INFRASTRUCTURE
CONSTRUCTION
MINING
CEMENT
Closing Price TLKM
PGAS
WIKA
ADHI
PTPP
WSKT
PTBA
TINS
ANTM
SMGR
SMBR
WTON
2,690
3,975
6,100
2,615
3,060
2,285
800
12,500
1,400
1,220
16,725
402
880
5-Aug-2014
2,710
3,975
6,000
2,690
3,140
2,325
835
12,700
1,430
1,230
16,500
404
895
6-Aug-2014
2,655
3,905
5,775
2,645
3,090
2,290
825
12,500
1,430
1,225
16,400
397
880
7-Aug-2014
2,690
3,905
5,725
2,650
3,080
2,280
825
12,875
1,450
1,265
16,350
397
885
8-Aug-2014
2,700
3,905
5,725
2,610
3,060
2,290
820
12,950
1,455
1,245
16,250
394
890
11-Aug-2014
2,750
3,900
5,850
2,665
3,130
2,350
845
12,600
1,445
1,240
16,575
400
935
12-Aug-2014
2,780
3,905
5,925
2,765
3,195
2,365
875
12,400
1,460
1,250
16,650
406
950
13-Aug-2014
2,785
3,885
5,950
2,790
3,185
2,435
875
12,700
1,460
1,245
16,725
405
950
14-Aug-2014
2,755
3,900
5,850
2,770
3,145
2,460
880
12,900
1,450
1,235
16,450
406
945
15-Aug-2014
2,710
3,890
5,875
2,790
3,155
2,450
885
12,775
1,460
1,235
16,475
411
955
18-Aug-2014
2,725
3,855
5,850
2,840
3,165
2,445
910
13,775
1,450
1,230
16,650
423
995
19-Aug-2014
2,700
3,840
5,850
2,885
3,165
2,435
925
13,600
1,460
1,230
16,675
425
1,010
20-Aug-2014
2,725
3,845
5,900
2,895
3,145
2,460
915
13,650
1,455
1,235
16,600
422
1,005
21-Aug-2014
2,715
3,840
5,950
2,940
3,165
2,470
930
13,400
1,460
1,240
16,650
421
1,030
22-Aug-2014
2,685
3,805
5,975
2,925
3,150
2,430
925
13,625
1,450
1,230
16,800
420
1,030
25-Aug-2014
2,685
3,810
5,975
2,915
3,120
2,460
925
13,275
1,455
1,225
16,775
418
1,055
26-Aug-2014
2,705
3,810
5,950
2,800
3,025
2,425
885
13,275
1,440
1,190
16,450
410
1,020
27-Aug-2014
2,735
3,845
5,950
2,830
3,045
2,425
880
13,575
1,430
1,190
16,250
409
1,020
28-Aug-2014
2,720
3,825
5,950
2,840
3,050
2,425
885
13,600
1,445
1,205
16,400
412
1,005
29-Aug-2014
2,665
3,830
5,800
2,870
3,070
2,465
905
13,350
1,430
1,195
16,225
409
1,030
Growth
-0.9%
>> Volume [Thousand] Average Transaction >> Value [Rp Million] Valuation Ratio
ISAT
4-Aug-2014
-3.6%
-4.9%
9.8%
0.3%
7.9%
13%
6.8%
2.1%
-2.0%
-3.0%
1.7%
17.0%
92,739
1,264
20,918
31,565
37,495
24,411
62,411
3,967
11,989
15,518
5,832
12,996
18,106
19,216
96,363
5,371
17,707
17.04
15.73
26.52
4.5
1.6
4.5
251,324
4,795
120,711
80,610
118,657
52,688
54,946
51,945
17,407
>> PER
17.5
6.5
12.3
31.2
46.2
40.7
72
12.5
26.5
(10.4)
>> PBV
4.3
1.3
5.4
4.4
3.7
6.0
3.7
3.8
2.2
0.9
20