Seperti apa Widyaiswara yang Profesional ? Bahdarsyah
Widyaiswara mainly acts in knowledge transfer process which demands a high professionalism character in completing this duty. There are likely some inevitable troubles as the character gets to be maintained, such as: incompletion of standardized Widyaiswara-development system which includes occupation stratification, knowledge qualification and unclear competence-development system. In case of supporting the growth of character, there is a need for Widyaiswara to have a strong basic knwoldege, individual competence self-basis, a good selection and certificiation system, a selfawareness towards professionalism, a good ethics code as well as occupational organization. Training center which serves as the place of human resources filled with some rules is undeniably requring a good management nowadays. Our today managament of training center seems to be less credible due to itself-low management quality as well as the fact that performance of some supporting elements do not align with the integrated training essences in that training center itself. A good training center results from a good combination of several factors which is one of them is Widyaiswara. It is a need to manage training center on the basis of relatively professional kind of manager, diversity appreciation value as well as a well-qualified knowledge understanding that supports its main role.
•
Latar Belakang
Profesi widyaiswara telah dilahirkan selama beberapa dekade ke dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, akan tetapi masih tetap bergulir sebagai wacana untuk dibicarakan saja tanpa disertai tindakan perbaikan atas permasalahan mendasar yang membuat kualitas lembaga Diklat tidak optimal. Berawal dari pemikiran yang cerdas, bahwa dalam pengelolaan lembaga kepemerintahan diperlukan profesi spesifik dalam bentuk jabatan fungsional yang bertugas melakukan transfer knowlegde dalam lingkup lembaga pemerintahan dan merupakan alternatif pilihan karir. Lahirlah profesi widyaiswara. Disadari pula bahwa tidak semua aparatur ‘mau, tahu, dan mampu’ untuk mengabdi pada jalur struktural yang mungkin sebagian besar menjadi impian aparatur di kepemerintahan. Dalam perkembangannya, profesi ini tidak luput dari berbagai rumor seperti “bonek”, batuk saja dibayar, ‘to do nothing’, cap gome atau apa-apa mau, kitab tua, laskar tak berguna,
mesin mobil atau atlit
amatir, pasukan baret merah, membodohkan bangsa, jabatan strategis (karena awal karir setiap PNS diajarkan Prajabatan oleh Widyiswara)
dan masih banyak julukan yang enak untuk didiskusikan. Hal yang menarik, sampai dengan sekarang profesi ini belum pernah mencapai puncak prestasi. Mengapa? Karena dalam lembaga Diklat pemerintah, belum terbangun sistem yang dapat membedakan setiap tahapan perkembangan stratifikasi profesi secara benar (widyaiswara pertama, muda, madya, utama). Etikanya harus ada perbedaan yang nyata dalam hal kualifikasi keahlian dan reward (point dan coin). Pada prakteknya, widyaiswara fresh graduate (pengangkatan PNS) atau baru selesai mengikuti
TOT kewidyaiswaraan sudah mendapat
penghargaan yang sama dengan widyaiswara tingkat di atasnya, boleh jadi pemborong latihan dan pengajar materi apa saja dengan pertimbangan ‘angka kredit’.
Kondisi ini kontradiktif dengan fitrah manusia yang
diciptakan dengan beragam perbedaan termasuk kompetensi, sebaliknya iklim pembinaan widyaiswara seakan-akan dipaksakan agar semua mencapai jenjang utama dengan angka kredit yang kurang merepresentasi kapasitas keahlian. Wujud lainnya, pemberian kesempatan pendidikan lanjutan bagi widyaiswara non teknis kehutanan yang kadangkala sama sekali tidak bersentuhan dengan ilmu kehutanan sebagai kompetensi dasar pengelolaan sumberdaya hutan. Model pengelolaan seperti ini membuat posisi lembaga Diklat kurang
kredibel
sebagai
institusi
pemerintah
yang
bertugas
mengembangkan sumberdaya manusia kehutanan. Bahkan timbul anggapan bahwa lembaga Diklat identik dengan kegiatan penyelenggaraan seremonial ‘buka dan tutup’ tanpa makna dan manfaat apa-apa atau tempat kerja yang penuh dengan jargon kebersamaan palsu. Materi teknis kehutanan kadangkala tidak lagi diampu oleh sarjana kehutanan, widyaiswara dengan berbagai latar belakang pendidikan bisa mengajar materi teknis kehutanan untuk kepentingan angka kredit sehingga filosofi dari ilmu tersebut kadang tidak tersentuh karena landasan keilmuan yang tidak kuat. Sarjana kehutanan tidak lagi ditempatkan sebagai tuan rumah di habitatnya sendiri.
2
Dampak persepsi dan citra di atas, muncul ‘entah terpaksa atau memang telah memahami tentang profesi ini’ disusunlah kegiatan dimana profesi widyaiswara diposisikan sebagai objek, bukan sebagai partner apalagi sebagai think tank-nya lembaga Diklat. Hasil kegiatan tersebut, sudah jelas belum mampu membuat eksistensi profesi widyaiswara dapat diandalkan, baik dalam mendukung pelaksanaan tugas pokok maupun penyelamatan sumberdaya hutan. Semakin ‘memprihatinkan’ manakala kita tahu begitu banyak dana negara yang digunakan untuk penyelenggaran Diklat,
apalagi
melaksanakan
sekarang Diklat
hampir
dengan
semua
berbagai
eselon alasan
I di
dan luar
jajarannya konsepsi
pengembangan sumberdaya manusia. Artinya, pelaksanaan kediklatan tidak harus dilakukan oleh fungsional widyaiswara, siapapun bisa melaksanakan (walaupun tanpa mengikuti kaidah ilmu pendidikan dan pengajaran). Iklim kerja seperti ini mengindikasikan profesi widyaiswara belum mendapatkan penghargaan yang semestinya atau profesi yang “tidak penting-penting amat “ walaupun tunjangan yang diberikan relatif besar. Dalam keseharian, bermunculan jargon dari para pimpinan lembaga, tapi sayang belum dibangun dan diintegrasikan ke dalam pengelolaan lembaga Diklat secara benar. Realitas sosial ini, dalam kesehariannya berdampak negatif bagi perkembangan jiwa widyaiswara terutama widyaiswara karir. Ekspresi perilaku yang muncul diantaranya menjadi pribadi “skeptisnegatif”, kurang bersahabat dan bentuk-bentuk ‘split personality’ lainnya. Terkait profesi widyaiswara, telah dilakukan penelitian kurang lebih sepuluh tahun lalu (Bahdarsyah, 2001), tapi hasilnya mungkin masih relevan dan berguna bagi pengelola lembaga Diklat atau yang bertanggung jawab terhadap pengembangan SDM Kehutanan. Hasil penelitian tersebut diantaranya: (1) widyaiswara belum menjalankan tugas pokok dan fungsinya (67%), (2) penghargaan terhadap kegiatan widyaiswara relatif kurang (47%), (3) dukungan fasilitas kerja kurang (47 %), (4) rendahnya penghargaan profesi widyaiswara (100%), (5) pelibatan widyaiswara cukup sekedar sebagai pengajar (80%), (6) penilaian terhadap profesi widyaiswara belum
3
benar (88%), (7) keakraban kurang (51%), (8) intensitas komunikasi rendah (75%), dan (9) kejadian kesalahpahaman relatif kurang (43%). •
Profesionalisme
Untuk menjadikan diri seorang profesional, diperlukan pemahaman yang benar tentang persepsi dan orientasi profesionalisme sebagai landasan berpijak. Lantas timbul pertanyaan apa itu professional? Keynote and basic assumption: Independent profesional (to create, to plan, to organize, to, implementation, and to control).
Hakekat persepsi adalah proses kognitif yang dialami setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penerimaan. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penapsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi (Thoha, 1983). Proses terjadinya persepsi dengan menggunakan kegiatan indera terhadap stimulus melalui tahapan sensasi, atensi, ekspektasi, dan motivasi. Persepsi tidak akan ada tanpa melalui proses sensasi, atensi, ekspektasi, dan motivasi. Proses yang muncul diolah otak secara cepat, maka kita sukar membedakan satu sama lain (Liliweri, 1997). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi antara lain stereotif, kepandaian menyaring, konsep diri, situasi, kebutuhan, dan emosi (Suwarto, 1999). Persepsi keprofesian akan turut mempengaruhi ciri-ciri yang melekat terhadap profesi apapun. Ciri-ciri dan syarat profesi (Menurut Richey; dalam Widyarti, 1997); a. Lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal dibandingkan dengan kepentingan pribadi b. Seorang pekerja profesional, secara relatif telah menghabiskan waktu yang panjang untuk mempelajari konsep-konsep serta prinsip-prinsip pengetahuan khusus yang mendukung keahliannya
4
c. Memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut serta mampu mengikuti perkembangan dalam pembentukan jabatan d. Memiliki kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap, dan cara kerja e. Membutuhkan suatu kegiatan intelektual yang tinggi f.
Adanya organisasi yang dapat meningkatkan standar pelayanan, disiplin diri dalam profesi serta kesejahteraan anggotanya
g. Memberikan kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi dan kemandirian h. Memandang profesi sebagai suatu karier hidup dan menjadi anggota yang permanen Uraian mengenai persepsi di atas merupakan unsur psikologis seseorang dalam memberi arti atau makna terhadap lingkungannya termasuk profesi yang disandang. Demikian halnya persepsi seorang widyaiswara terhadap profesi kewidyaiswaraan akan mempengaruhi cara pandang, sikap, dan perilaku dalam melaksanakan tugas keprofesian. Sementara itu kata profesional hampir setiap orang dewasa pernah mendengar dan punya keinginan untuk menjadi profesional. Salah satu arti penting profesionalisme dapat dimaknai: terpercaya, berwibawa, bermoral,
dan
beretika.
Oleh
karena
itu,
widyaiswara
dalam
menjalankan keprofesian tidak cukup hanya dengan keberanian melakukan tatap muka, tetapi mampu mewujudkan 4 kata tersebut dalam kehidupan sehari-hari (don’t try to be perfect, but do try to be better; artinya makna profesional bukan diukur dari ijazah, pangkat, umur, masa kerja di birokrasi, dan beragam sertifikat Diklat). Selain itu, ciri-ciri pekerjaan profesional diantaranya harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat, didasarkan atas kompetensi individu, memiliki sistem seleksi dan sertifikasi, ada kerjasama dan kompetisi yang sehat antar sejawat, adanya kesadaran profesional yang tinggi, memiliki prinsip-prinsip etik (kode etik), memilki sistem sanksi profesi, adanya
5
militan individual, dan memiliki organisasi profesi (Houle; dalam Suyanto, 2001). Uraian
ciri-ciri
pekerjaan
profesional
di
atas
sudah
jelas
menunjukkan bahwa pekerjaan disebut profesional, apabila mempunyai standar (kriteria dan indikator) secara jelas dan tentu saja ilmiah (data, fakta, objektif, sistematis dan logis). Begitu juga sikap dan perilaku perlu mempunyai standar termasuk memahami posisi, kolega, dan lingkungan (kerja, rumah, dan profesi lainnya). Widyaiswara dalam menjalankan profesi perlu diperkaya dengan pemahaman terhadap nilai-nilai moral pada kode etik dengan nama Panca Ubaya Widyaiswara (AD/ART IWI, 2000), sebagai berikut:
a. bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa b. dengan niat yang luhur dalam mengabdikan diri di bidang pendidikan, pengajaran, dan pelatihan serta mampu bekerjasama dengan semua pihak
c. bekerja secara profesional, disiplin, konsisten serta memiliki kepedulian terhadap perubahan lingkungan
d. menjunjung tinggi martabat dan kehormatan diri, keteladan serta kesetiakawanan korps
e. berusaha
menambah
pengetahuan
dan
keterampilan
guna
meningkatkan profesionalisme Kode etik di atas perlu didukung dengan bentuk kelembagaan, sistem manajemen, kualifikasi sumberdaya manusia, dan kualitas pola pikir yang lebih baik. Selain itu adanya perubahan paradigma sistem pemerintah yang bersifat kewirausahaan (reinventing government),
menuntut
sumberdaya manusia dengan inteligen relatif tinggi, strategi menaklukkan masalah, dan semangat penemuan (discovery), sehingga perlu didukung bekal pengetahuan, keterampilan, perilaku, kreativitas, dan inovatif. Sosok sumberdaya manusia dimaksud ditampilkan dalam profil sebagai berikut:
6
1) Sosok Profesionalisme a. Mempunyai watak, perilaku, tujuan dan kegiatan yang dilandasi dengan keahlian dan keterampilan tertentu b. Mempunyai standard keahlian dan keterampilan yang dinilai melalui sertifikasi tertentu c. Mempunyai etika kerja yang berdasarkan norma dan kaidah yang berlaku pada profesi tersebut d. Mempunyai kemampuan pelaksanaan tugas secara mandiri e. Mempunyai visi yang luas sehingga mampu berfikir secara menyeluruh dan sistemik f.
Mempunyai etos kerja yang berorientasi pada kinerja tugas, bukan sekedar angka kredit (red.)
2) Sosok Kualitas Mental a. Mempunyai solidaritas sosial yang tinggi, dan tanggap terhadap dinamika perubahan dalam masyarakat, serta mampu bekerja sama b. Kreatif, mempunyai daya cipta dan inovasi dalam menghadapi tantangan baru serta mampu mengantisipasi pengembangan c. Mempunyai keyakinan diri disertai keberanian bertanggungjawab, sebagai realisasi sikap mandiri yang didasari oleh rasa disiplin dan kejujuran d. Mempunyai jiwa kepeloporan dan kewibawaan dalam masyarakat e. Taat pada norma hukum yang berlaku dan berhati nurani yang jujur f.
Mempunyai kepedulian tinggi terhadap kemaslahatan masyarakat Untuk mewujudkan profesionalisme widyaiswara, dibutuhkan
pimpinan lembaga Diklat dan atau penanggung jawab pengembangan sumberdaya manusia kehutanan dengan kapasitas relatif profesional, menghargai keberagaman, memiliki pengetahuan dan keilmuan yang standar untuk mendukung tugas pokoknya. Tanpa didukung pimpinan lembaga Diklat yang berkualitas, profesionalisme widyaiswara tidak tercapai.
7
•
Manusia dan Kinerja
Manusia dan kerja adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam interaksi sosial. Terdapat berbagai karakteristik manusia dalam menyikapi pekerjaan. Widyaiswara selaku mahluk sosial dan mahluk pekerja juga memiliki karakteristik khusus. Berikut dipaparkan 12 karakteristik manusia terkait pekerjaan, dan dimanakah posisi kita?. Pertama, “Saya tidak harus memberitahu harapan saya kepada anda (Si Teka-teki)”, bercirikan jarang memberikan perintah yang jelas, jarang memberikan evaluasi kinerja dan kinerja tersebut tidak jelas, membuat sedikit standar, menetapkan tujuan dengan bahasa yang abstrak, sering memberikan isyarat-isyarat yang bertentangan, dan menahan informasi yang anda perlukan untuk melaksanakan pekerjaan anda. Kedua, “Kerjakan, kalau tidak mau cari saja pekerjaan lain (Si Penggertak)”, bercirikan lebih banyak memerintah daripada meminta, lebih banyak bicara daripada mendengarkan, memimpin melalui cara intimidasi dan suka memaksakan caranya sendiri, memperlakukan anda seperti anak kecil, jarang meminta gagasan atau saran anda, lebih memperhatikan peralatan dan material daripada memperhatikan anda, dan bisa memusuhi dan aggressive, menarik kancing baju anda serta menggunakan pemerasan emosional. Ketiga, “Batalkan rencana akhir pekan anda ( Si Turbo)”, bercirikan menetapkan harapan tinggi yang tidak masuk akal pada pekerjaan anda, kelihatannya tidak menganggap bahwa anda memiliki suatu kehidupan rumah tangga, suka memberikan tugas baru kepada anda di hari Jum’at sore (padahal Sabtu libur) dan mengharapkan tugas tersebut selesai pada hari Senin pagi, sewaktu-sewaktu memberi tugas tambahan kepada unit anda tanpa menghiraukan kemampuan anda untuk bisa memenuhi batas waktu yang telah ditetapkannya, suka meminta anda menghentikan apapun yang sedang anda kerjakan untuk kehendak dia, dan memaksa dirinya sendiri
8
tanpa kenal ampun, serta mengharapkan anda juga melakukan hal yang sama. Keempat, “Saya yang harus memimpin (Si Pencari Perhatian)”, bercirikan suka menjadi pusat perhatian dan menerima pujian, mengambil alih kesuksesan orang lain, mengambil langkah untuk memperoleh tongkat kepemimpinan bila dimungkinkan, membatasi kesempatan anda untuk tampil maju, dan menjauhkan diri dari proyek-proyek berisiko tinggi, kecuali apabila proyek tersebut mulai membuahkan hasil. Kelima, “Saya tidak bisa meminta mereka melakukan hal itu; mereka akan melakukan buat saya (Si Burung Unta)”, bercirikan selalu berusaha
menghindar
segala
jenis
konfrontasi,
mengabaikan
ketidaksepakatan yang terjadi, tidak suka mendengar berita buruk, suka dengan keadaan yang sedang-sedang saja, mengabaikan tanda-tanda kinerja buruk dilingkungannya , dan memiliki semboyan favorit ‘hidup dan biarkan hidup, dan apapun sesuatu tidak rusak, jangan diperbaiki’... Keenam, “Saya serahkan kepada anda semua panggilan saya minggu ini, sehingga saya bisa menyusun kembali berkas-berkas saya (Si Penambah beban)”, bercirikan terlalu banyak mendelegasikan tugas, tidak bekerja serajin pegawainya, kantor dan meja selalu dalam keadaan bersih, sibuk dengan pekerjaan ringan dan pekerjaan yang menyenangkan, memandang manajemen waktu sebagai pendelegasian problem yang rumit dan tugas-tugas menantang kepada setiap orang, dan biasanya tidak memiliki atasan yang banyak permintaanya. Ketujuh, “Mengapa saya tidak bisa berharap kepada anda sebagaimana saya berharap kepada bejo? (Si Pilih Kasih)”, bercirikan menganggap pegawai atau teman berdasarkan rasa senang semata; memberikan orang kesayangannya tugas-tugas yang terbaik meskipun mengorbankan yang lainnya; menyukai jenis orang yang suka merayu, tidak mengganggu keadaan, selalu membawa berita bagus, yang menyukai gagasan-gasan dia atau pegawai yang berasal dari jalur yang benar;
9
memperlakukan orang yang tidak disenanginya dengan cara yang kurang layak; sering mengangkat cara kerja orang yang disayang sebagai suatu contoh. Kedelapan, “Atasan saya tidak akan pernah tertarik pada hal itu (Si Penakut)”, bercirikan takut mendukung anda dan rekan sejawat anda, tidak
memiliki
pengaruh
yang
cukup
terhadap
atasannya
untuk
mendapatkan apa yang anda perlukan agar bisa mengerjakan tugas anda, membuat persyaratan pada setiap keputusan dan tampaknya sangat raguragu, nyaris takut-takut, menyensor gagasan-gagasan anda sebelum gagasan itu sampai kepada atasannya untuk menghindari serangan, tidak akan menunjukkan ketidaksesuaian dengan atasannya, diintimidasi oleh rekan sejawat, dan mencari cara lain untuk mengoreksi karyawan ... Kesembilan, “Anda tidak keberatan mengetik paper akhir pelajaran anak saya sore ini, bukan? (Si Munafik)”, bercirikan memintakan anda untuk melakukan sesuatu yang tidak mau ia lakukan sendiri, mengatakan sesuatu didepan anda tetapi melakukan hal yang berbeda di belakang anda, tetap mempertahankan dua perangkat peraturan, mengkritik anda karena anda memperlakukan orang sama dengan yang dia perlakukan, mengirim anda untuk belajar teknik kepemimpinan, tetapi tidak akan mendukung tatkala anda hendak mempraktekkannya, dan bertindak secara tidak konsisten. Kesepuluh, “Saat ini saya sangat sibuk, coba buat janji (Si Tak acuh)”,
bercirikan jarang meluangkan waktunya untuk mendengarkan
masalah-masalah yang dihadapi orang lain, kurang memperhatikan pandapat orang lain, sulit ditemui ataupun dengan mudahnya ditemui, percaya bahwa hanya rapat merupakan suatu forum yang tepat untuk menyampaikan gagasan-gagasan atasan, memotong gagasan anda ketika gagasan tersebut sedang diutarakan dengan suatu tanggapan bahwa gagasan anda tidak ada kaitannya, mengganggap sebagian besar keluhan tidak benar, sering mengatakan ‘kita pernah mencoba sebelumnya atau hal itu
10
tidak akan berhasil’, dan menuduh orang lain kurang perhatian ... emangnya gua pikiran. Kesebelas, “Jangan tanyakan sebabnya, kerjakan
saja (Si
Penyembunyi informasi)”, bercirikan tidak mau mendelegasikan wewenang, memimpin berdasarkan kepentingan pribadi, jarang memberi informasi yang cukup untuk melaksanakan usaha-usaha anda, suka menyaring informasi yang berhak anda peroleh, dan dalam memberikan tugas “apanya” memang sudah jelas, tetapi tidak diberitahukan alasannya. Keduabelas, “Semuanya tidak benar kalau saya belum menyetujui (Si Pendamba kesempurnaan)”, bercirikan mengharuskan anda untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan cara dia, tidak merasa cukup puas dengan suatu hasil, lebih memperhatikan kesalahan orang lain, memberikan sedikit pujian dengan diembel-embeli, terlalu mudah menanggapi kesalahan kecil, dan tidak memahami perbedaan antara penekanan terhadap kualitas dengan harapan kesempurnaan. Uraian ke 12 (duabelas) karakteristik manusia pekerja di atas, mungkin saja menimbulkan pertanyaan besar, termasuk type yang mana kita, pimpinan kita, dan teman kolega kita. Apapun yang dapat simpulkan dari karakter tersebut, sebaiknya kita mencoba melakukan kilas balik terhadap apa yang kita perbuat selama ini, apapun profesi kita. •
Kelembagaan
Mendiskusikan pengembangan sumberdaya manusia tentu tidak terlepas dari
pemahaman
tentang
kelembagaan.
Perspektif
kelembagaan
(Koentjaraningrat, 1997; dalam Sayuti, 2007) dapat bermakna pada sesuatu yang bersifat mantap (established), hidup (constitued), pemantapan perilaku (ways), stabil, dan berpola, berfungsi untuk tujuan tertentu, dan mengefisienkan kehidupan sosial. Pemaknaan di atas, dapat diartikan ketika bicara kelembagaan paling tidak ada 3 hal yang perlu diperhatikan yakni (1) sebagai media atau
11
wadah (baca lembaga diklat), (2) kumpulan sumberdaya manusia (Pegawai), dan (3) sebagai norma atau aturan main (PNS). Hasil penelitian tentang efektivitas lembaga Diklat dengan kasus Pusat Diklat Kehutanan beserta 2 UPT disimpulkan 2 hal penting (Bahdarsyah dan Sukamto, 2002) yaitu: pertama, rendahnya kualitas menejerial lembaga Diklat, dan kedua, belum adanya sistem pengembangan widyaiswara yang standar. Lembaga Diklat saat ini membutuhkan sosok widyaiswara yang mampu menunjukkan bukti nyata sebagai intelektual baik di kelas maupun di lapangan, tidak hanya mempunyai orientasi kerja sebatas tatap muka (Dikjartih), sehingga akan membantu meningkatkan nilai jual lembaga diklat dan eksistensi profesi widyaiswara. Demikian halnya tuntutan ini semestinya berlaku bagi seluruh komponen yang bekerja di lembaga Diklat. Pegembangan kelembagaan dapat dijalankan dengan persyaratan: 1) Setiap widyaiswara seharusnya memahami secara benar tugas pokok dan fungsi dalam mengajar/mendidik/melatih 2) Diperlukan pengembangan kapasitas bagi widyaiswara dengan latar pendidikan sarjana non kehutanan, atau widyaiswara fresh graduate, atau widyaiswara dengan profil miskin pengalaman lapangan, belum banyak tahu arah kebijakan pembangunan kehutanan, dan kedalaman substansi keilmuan (keahlian) kehutanan 3) Administratur atau Pengelola Lembaga Diklat harus mengerti betul peran lembaga Diklat dalam pengembangan SDM dan mampu mengimplementasikan manajemen Diklat secara benar (program kerja, prosedur kerja, standar kerja, dan sistem evaluasi). Termasuk kompensasi setiap kegiatan, sehingga tatap muka bukan sesuatu yang menjadi target widyaiswara untuk mendapat angka kredit dan materi. 4) Lembaga Diklat harus dapat mengintegrasikan antara program Diklat dan non Diklat secara benar dan tepat. Hal terpenting kedua program ini harus disusun berdasarkan: arah kebijakan pembangunan kehutanan,
12
dasar keilmuan, dan target/sasaran yang benar (fase taklid, fase seleksi, dan fase inovasi !). Penerapan alternatif pengembangan kelembagaan diharapkan dapat memberikan hasil sebagaimana gambar 1 berikut. 1) Memahami betul fungsi lembaga Diklat dalam kerangka pengembangan sumberdaya manusia, sehingga lembaga Diklat tidak hanya tempat penampungan ”sampah dan menghabiskan dana sia-sia, garbage in garbage out (gigo)” 2) Widyaiswara memahami betul manfaat materi/substansi yang diampu, dikarenakan sudah didukung oleh arah kebijakan pembangunan kehutanan, pendalaman substansi kelimuan, dan pengalaman lapangan.
3) Tenaga kediklatan (pimpinan, widyaiswara, dan pelaksana) dapat merubah ”quality mindset’, sehingga dalam pelaksanaan tugas tidak sekedar seperti supir angkot ‘kejar target setoran”, akan tetapi dapat memberi manfaat untuk penyelamatan sumberdaya hutan.
Penelit
Aprenticeshi
Semina
p/ Widyaiswara PROSES PEMBELAJARAN: 1. IKD/AKD 2. Modul 3. Pengembangan Kursil 4. Rancangan Diklat 5. Gbpp/Sap 6. Karya Tulis Ilmiah 7. Evaluasi Diklat 8. Penanggungjawab Program 9. Konsultansi Kediklatan 10. Kolaborasi
1. 2. 3. 4. 5. 6.
PERAN Fasilitator Motivator Moderator Inspirator Inovator Dinamisator
P B
SDM Kehutanan Profesional
ADMINISTRATUR (PUSDIK/BDK)
Siklus Diklat
Standard Ukuran Kinerja
Gambar 1. Pengembangan Kelembagaan Diklat
13
Alternatif pengembangan kelembagaan di atas, perlu dukungan IQ, EQ, dan SQ yang diterapkan secara tepat dengan indikator ’tahu, mau, dan mampu’. Dalam tataran administrasi 3 tupoksi profesi widyaiswara tidak bisa disatukan, namun untuk mendukung pengembangan konsepsi dan implementasi keilmuan, harus dijalankan dalam satu jalur substansi keilmuan
dan
dilaksanakan
dalam
satu
kelompok
pembidangan
widyaiswara. Dengan demikian hasil yang diperoleh berguna dalam: penyempurnaan kurikulum, silabus, dan bahan ajar; peningkatan kapasitas widyiswara; efisiensi biaya pelaksanaan kegiatan dan rekomendasi program Diklat
ke
depan.
Dari
rekomendasi
tersebut,
pihak
manajemen
merencanakan masing-masing program Diklat bagi bidang widyaiswara pada tahun berikutnya. Cara tersebut sekaligus dapat meminimalkan spekulasi widyaiswara dalam mengampu mata diklat yang terkadang sekedar bagi rata angka kredit. •
Refleksi Diri
Memadukan reliatas sosial dan beragam type manusia di atas, perlu resep khusus sehingga menghasilkan makanan yang lezat dan energi yang kuat untuk mengefektifkan kinerja lembaga. Untuk meningkatkan kualitas diri sebagai yang terbaik, tidak ada salahnya digunakan resep berikut ini; 1) Berharaplah mendapatkan yang terbaik 2) Dengarkan sebelum bicara, pikirkan sebelum bertindak 3) Berbicara langsung pada pokok persoalannya 4) Ubahlah tindakan mereka, bukan orangnya 5) Berilah teladan perilaku yang anda kehendaki 6) Sesuaikan ancangan anda dengan orang yang dihadapi 7) Jagalah martabat dan harga diri 8) Menjadikan kepentingan pribadi sebagai daya tarik 9) Bergembiralah terhadap suatu keberhasilan 10) Bersabarlah
14
Selamat mencoba resep di atas, mudah-mudahan anda termasuk yang terbaik dimata Allah SWT, pimpinan dan kolega. Seandainya anda belum berhasil meramu resep di atas secara baik jangan putus asa, berdo’alah: “Beri kami ketenangan untuk menerima apa yang tidak bisa diubah, beri kami keteguhan hati untuk mengubah apa yang seharusnya diubah, serta beri kami kearifan untuk membedakan satu dari yang lainnya ... amin 3x (El Sulthani, M.L. 2005)”.
•
Penutup
Widyaiswara profesional sangat diperlukan dalam mendukung kinerja organisasi lembaga Diklat. Oleh sebab itu dalam kondisi dan tuntutan aktual kelembagaan dan semakin kompleksnya masalah, tantangan dan tuntutan masyarakat lokal, nasional maupun global yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya, memunculkan harapan yang kuat agar widyaiswara berkiprah lebih profesional untuk memberikan kontribusi yang lebih signifikan dengan tidak meninggalkan norma-norma kediklatan yang selama ini dijalankan. Kapasitas widyaiswara mengalami perubahan seiring perkembangan keilmuan dan dinamika kelembagaan. Terbangunnya
profesionalisme
merupakan
hasil
sinergi
dari
berbagai elemen yang mendukung lembaga diklat. Dukungan dari lembaga sangat diperlukan karena keprofesionalan perlu kesungguhan, dimaknai sebagai proses dan terintegrasi kedalam sistem pengelolaan lembaga diklat. Semoga ke depan perlu pembenahan dari semua komponen kediklatan dan komitmen manajemen yang mendorong terjadinya perubahan secara signifikan.
15
Sumber Bacaan Anonimous. 2009. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor. 14 Tahun 2009 Tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara Dan Angka Kreditnya. Jakarta. Lembaga Adminitrasi Negara. Bahdarsyah dan Sukamto. 2002. Efektivitas Internal Lembaga Pendidikan dan Pelatihan. Yogyakarta. PPs UNY. Jurnal Penelitian dan evaluasi, nomor. 5 Tahun IV, 2002. p.48. Deep S. dan Lyle S. 1996. Mengefektifkan kinerja. Arif Suyoko (Penterjemah). Jakarta: PPM. El Sulthani, M.L. 2005. Zikir dan do’a dengan al asma al husna, do’a para wali Allah. Jakarta. Al Mawardi Prima. Liliweri, A. 1997. Sosiologi organisasi. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. Notoatmodjo, s. 1998. Pengembangan Sumberdaya Manusia. Edisi Revisi. Jakarta. Rineka Cipta. Suwarto, F.X. 1999. Perilaku keorganisasian, buku panduan mahasiswa. Yogyakarta. Penerbit Universitas Atmajaya Yogyakarta. Thoha, M. 1994. Perilaku organisasi, konsep dasar dan aplikasinya. Jakarta. Rajawali Press. Usman, H. 2000. Iklim organisasi jurusan pendidikan teknik bangunan. Jurnal Ilmu Pendidikan, Februari 2000, jilid 7, nomor 1. 77-86. Widyarti. Januari 1997. Kita mendambakan widyaiswara yang handal. Suara Widya. hal. 6.
16