Seni sebagai Ekspresi Eksistensi Tantangan Kebijakan Multikulturalisme Yasmine Z. Shahab (Universitas Indonesia)
Abstract This article illuminates the author’s concern that policies of multiculturalism which revarbated around the euphoria of the reformasi era appears to be in fact a response of the New Order government policy which emphasize on ‘mono-culture’ policy. The author sees that is not an impossible thing that policies of multiculturalism will be trapped on primordialism and certain ethnic domination. The author builds the argument from empirical data collected from art inventions of several ethnic groups in Indonesia that illustrate there is a tight relationship between art inventions and ethnic existence identity/solidarity. Arts invention brings toward identity reinforcement, existence, and finally authority from the ethnic group. This empirical data demonstrates that arts invention brings ethnic authority not only arts authority, but also authority in political life. Studying from the data raises the concern that multicultural policies which gives freedom to culture will bring to authority formation and concentration among ethnic groups with the strong potential in creating their arts. When this happens, Indonesia will return to certain ethnic domination. Is the government ready for the possible implication of such multicultural policies? Dalam sebuah seminar di LIPI pada Maret 2002, salah satu makalah yang disajikan mendukung pemikiran bahwa kebijakan kebudayaan pada masa Orde Baru telah menghapuskan warna kebhinekaan di Indonesia dan menggantinya dengan keekaan (Kleden dan Zoyim 2001). Pernyataan ini diwacanakan pada simposium Jurnal Antropologi di Makasar dan lebih tepatnya lagi muncul dalam tulisan Parsudi Suparlan (Suparlan 2002). Walaupun kepercayaan ini sering muncul di banyak wacana seperti seminar, diskusi, makalah, tetapi tampaknya indikator yang digunakan relatif sama, di antaranya yang paling dominan adalah pengenalan posisi lurah dalam struktur pemerintahan yang membuat impoten struktur
6
pimpinan lokal serta proses ‘Jawanisasi’ dalam beberapa aspek kehidupan bangsa Indonesia. Reformasi yang terjadi di penghujung abad ke-20 di Indonesia telah membawa perubahan yang amat besar dalam kehidupan bangsa Indonesia, termasuk kehidupan kebudayaan. Salah satu bagian yang amat penting dalam perubahan kehidupan kebudayaan adalah munculnya kepercayaan, cita-cita, keyakinan pada sekelompok orang, khususnya para ‘Pembicara Kebudayaan’ bahwa kehidupan budaya di negara ini harus diubah. Kehidupan kebudayaan pada masa Orde Baru merupakan kehidupan kebudayaan yang memaksakan keeka-an, sehingga harus diubah menuju kepada ‘Kehidupan Kebudayaan yang Bhinneka’.
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
Pernyataan ini muncul jelas dalam Simposium Antropologi Pertama di Makasar yang bertemakan ‘Bhineka Tunggal Ika’: Masih Mungkinkah?, yang dijawab dalam simposium tersebut ‘harus mungkin’. Demikianlah semangat yang dimunculkan dalam Simposium ke-3 adalah semangat multikulturalisme yang mengakui dan melindungi keragaman kebudayaan serta menyetarakan derajat dari kebudayaan yang berbeda-beda. Penekanan kebijakan harus terletak pada pemahaman dan upaya untuk hidup dalam konteks perbedaan sosial-budaya dan tidak terjebak pada primordialisme dan eksklusivitas kelompok atau etnisitas yang sempit. Dua pertanyaan pokok yang dapat dimunculkan di sini adalah penilaian terhadap kebijakan kebudayaan pada masa Orde Baru yang menyemangati Simposium Jurnal Antropologi Indonesia ke-1 di Ujung Pandang dan konsep multikulturalisme yang menyemangati Simposium Jurnal Antropologi Indonesia ke-3 di Bali. Pertanyaan yang dapat dimunculkan sekitar penilaian terhadap kebijakan kebudayaan pada masa pemerintahan Orde Baru antara lain: ‘memadaikah penilaian peng-ekaan pada masa Orde Baru dengan didasarkan pada pengenalan sistim lurah yang menggantikan pimpinan lokal serta “pemaksaan” beberapa unsur kebudayaan Jawa?’ Yang menjadi pertanyaan lanjutan adalah ‘seberapa besar proporsi “peng-eka-an” yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dibandingkan dengan “kebertahanan warna asli” kebudayaan lokal?’ Apakah pernah dibicarakan unsur-unsur kebudayaan yang dianggap ‘penting’ peran dan statusnya dalam konteks fungsi unsur tersebut dalam kebudayaan pendukungnya? Dalam kenyataannya masih seberapa besarkah peran kebudayaan lokal di samping proses peng-ekaan dan Jawanisasi oleh pemerintah Orde Baru? Lalu seberapa penting peran dari unsur-unsur pengganti yang telah dilakukan oleh pe-
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
merintah Orde Baru tersebut? Apakah cukup hanya dengan mengutip beberapa unsur tersebut kita menyimpulkan bahkan menuduh bahwa telah terjadi proses rekacipta ‘peng-ekaan’ oleh pemerintah Orde Baru? Kalaupun benar telah terjadi ‘peng-eka-an’ dan ‘Jawanisasi’ dalam simposium ini perlu dihidupkan semangat agar forum tidak terobsesi oleh semangat multikulturalisme tanpa kewaspadaan bahwa kebijakan ini mungkin akan menimbulkan masalah lain dalam kehidupan kebudayaan di negara kita yang pada gilirannya juga akan mempengaruhi aspek kehidupan lainnya dalam tingkat makro. Sebagaimana pepatah mengatakan: ’Lari Dari Mulut Singa Masuk ke Mulut Buaya’. Situasi ini harus diwaspadai sebagai pertanyaan terhadap semangat multikulturalisme yang menjiwai Simposium ke-3. Apakah pengakuan dan perlindungan terhadap keragaman kebudayaan tidak akan terjebak pada primordialisme, eksklusivitas kelompok dan bahkan membawa pada dominasi kelompok etnik tertentu? Kesan yang muncul dari semangat multikulturalisme adalah euforia reformasi sebagai kekecewaan masyarakat atas penekanan keeka-an serta dominasi etnis Jawa dalam kehidupan budaya di Indonesia pada prareformasi. Kekhawatiran ini membawa pada pemikiran-pemikiran serta usaha-usaha penekanan ke-bhinneka-an dan multikulturalisme. Hampir tidak terlihat, walaupun berupa celah, kekhawatiran dari penciptaan multikulturalisme. Apakah kebijakan multikultural lebih baik dari pada kebijakan pra-reformasi? Apakah kebijakan multikultural merupakan kebijakan yang tidak mengandung resiko? Apakah negara dan bangsa Indonesia telah siap menghadapi akibat-akibat dari multikulturalisme? Tulisan ini akan mengeksplorasi seni yang merupakan salah satu aspek kebudayaan, sebagai media ekspresi dalam konteks tantangan dalam penerapan kebijakan multikulturalisme. Dengan
7
melihat peran seni dalam konteks aspek kehidupan lainnya, khususnya dalam kehidupan politik, diharapkan kita dapat mengidentifikasikan celah-celah kewaspadaan dari penerapan kebijakan politik multikultural agar pemerintahan baru ini tidak terjebak lagi pada masalah-masalah ‘peng-eka-an’ kebudayaan.
Perubahan seni dan implikasinya Penolakan satu kesenian oleh satu kelompok sosial karena kesenian tersebut dianggap tidak sesuai dengan status sosial dari kelompok tersebut, merupakan gejala yang umum di muka bumi ini (Shahab 1994; Kleden, Shahab, dan Aribowo 2002). Demikianlah, mudah dimengerti bila kesenian merupakan indikator status sosial dan eksistensi dari suatu kelompok. Demikian pula bertahan atau punahnya satu kesenian merupakan cermin eksistensi dari pendukungnya. Langkanya seni Betawi pada tahun 1970-an misalnya telah menimbulkan mitos di Jakarta bahwa penduduk asli Jakarta ini sedang dalam proses menghilang. Sebaliknya dinamika sosial dari satu kelompok juga akan menyebabkan dinamika, perkembangan dan bahkan perubahan pada kesenian kelompok yang bersangkutan. Bukan saja dinamika satu kesenian merupakan hal yang tidak dihindarkan bila kelompoknya mengalami perubahan, tetapi kelompok sosial dapat dengan sengaja menggunakan seni untuk merubah statusnya. Demikianlah perubahan sosial dari satu kelompok dengan perubahan dalam kesenian dapat merupakan hubungan dialektik. Hubungan dialektik ini dapat terjadi tanpa direncanakan, tetapi dapat juga merupakan hubungan terencana, sebagai strategi untuk mencapai suatu tujuan. Bila dampak perubahan yang terjadi pada dunia seni, baik perubahan itu terjadi secara alamiah maupun terjadi karena direncanakan, hanya terbatas pada kehidupan seni, mungkin masalahnya tidak terlalu menarik dan penting. Akan tetapi, bila perubahan dalam seni me-
8
rupakan bagian terencana dalam perubahan kekuasaan, khususnya kekuasaan dalam kehidupan politik, maka kehadiran ‘rekacipta seni’ perlu mendapat perhatian. Hal ini merupakan tantangan bagi masyarakat plural yang menganut politik multikultural. Perlu adanya upaya menyikapi keadaan yang melihat seni sebagai jembatan dan lahan penciptaan, serta manipulasi kekuasaan. Seringkali orang melupakan atau bahkan tidak menyadari bahwa seni dapat mempunyai dampak yang jauh di luar dunia seni, misalnya saja dalam dunia politik. Ironinya dampak ini seringkali muncul sebagai akibat yang tidak direncanakan. Oleh karena itu, dapat dimengerti jika dampaknya baru terasa dalam waktu yang relatif lama dan mungkin tanpa disadari oleh orang awam bahwa ada hubungan antara seni dengan aspek kehidupan lainnya dalam masyarakat yang bersangkutan. Pengalaman yang menunjukkan bahwa strategi seni akan mempunyai dampak dalam kehidupan politik (Shahab 2002a), membawa tulisan ini untuk mengangkat kemungkinan ‘penghidupan seni’ dalam kehidupan politik. Terutama bila penghidupan seni tidak berjalan secara alamiah, tetapi telah direkacipta sehingga waktu yang dibutuhkan untuk melihat dampaknya dapat diperhitungkan bahkan dapat diakselerasi. ‘Perubahan seni’ di sini dapat dilihat dalam beberapa bentuk yaitu perubahan dalam penampilan seni; perubahan dalam fungsi seni; perubahan dalam pemilik seni dan perubahan pada konsumen seni (Anis 1990; Hellwig 1989; Shahab 1994; Maunati 2001; Kleden, Shahab, dan Aribowo 2002). Dalam prosesnya perubahan ini dapat dikategorikan atas dua kategori besar yaitu ‘perubahan yang alamiah’ serta ‘perubahan yang direkacipta’. Perekaciptaan dapat dilakukan oleh pihak luar ataupun oleh pendukung kebudayaan. Perubahan yang direkacipta juga dapat mengandung dua warna, yaitu perubahan yang hanya dimaksudkan
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
untuk merubah seni dan perubahan yang dilakukan untuk mencapai satu tujuan di luar seni. Sejauh ini data empirik menunjukkan yang lebih banyak terjadi adalah bentuk yang pertama, tetapi tanpa dapat dihindari akan mempunyai dampak pada kehidupan di luar seni, antara lain hubungan dialektik antara kehidupan seni dan kehidupan politik, yaitu politik dapat berdampak pada kehidupan seni, dan seni dapat berperan dalam kehidupan politik. Demikianlah perubahan dalam seni menciptakan otoritas dari pemiliknya, bukan saja otoritas dalam kehidupan seni tapi dalam aspek kehidupan lainnya (Shahab, 2001; 2002a; 2002b).
Studi kasus hubungan dialektik seni dan otoritas Deskripsi dari beberapa kesenian lokal berikut ini bertujuan untuk memperhatikan hubungan dialektik antara kesenian dan otoritas. Beberapa kesenian Betawi dan Barongsai di Jakarta, kesenian Mamanda dan Damarwulan di Kalimantan Selatan serta kesenian Rudat dan Gendang Balek di Lombok dapat memberikan gambaran komprehensif dari beberapa kesenian di Indonesia. Barongsai, salah satu kesenian Cina di Indonesia memasuki ambang kematiannya pada sekitar tahun 1950-an ketika pemerintah Indonesia melarang kesenian ini dengan alasan nasionalisme (Danandjaja 1987). Larangan ini meningkat sekitar tahun 1970-an ketika hubungan antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Cina semakin buruk (Danandjaja 2002). Namun pada akhir tahun 2000-an situasi politik di Indonesia mengalami perubahan yang amat drastis. Banyak kebijakan lama dicabut dan kebijakan baru diperkenalkan. Di antara kebijakan tersebut adalah dicabutnya larangan terhadap unsur kesenian Cina khususnya Barongsai karena kesenian ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perayaan
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
tahun baru Imlek. Setelah terpasung selama hampir setengah abad, Barongsai secara tibatiba mencuat ke permukaan. Pada berbagai tempat dan waktu perayaan, baik ada hubungan dengan kehidupan mayarakat dan kebudayaan Cina ataupun tidak, hiburan Barongsai selalu muncul. Barongsai muncul bukan saja dalam arti kuantitas, tetapi juga dalam arti kualitas. Beberapa kali Barongsai didatangkan dari daratan Cina, Taiwan ataupun Malaysia. Bahkan pertandingan Barongsai telah diadakan di beberapa tempat di Indonesia. Cukup menarik, di Kalimantan Selatan misalnya, Barongsai lahir kembali dengan beberapa pembaharuan: pembaharuan dalam pemain, penampilan dan seterusnya (Kleden, Shahab, dan Aribowo 2002). Kematian Barongsai jelas bukan alamiah, tetapi merupakan fungsi dari situasi politik. Kelahirannyapun merupakan fungsi situasi politik dari periode reformasi pada pertengahan 1990-an. Kasus Mamanda dan Damarwulan, dua kesenian tradisional di Kalimantan Selatan, mengilustrasikan hubungan antara eksistensi seni dan otoritas sekitar tahun 1970-an. Baik Mamanda maupun Damarwulan merupakan kesenian Kalimantan Selatan yang sedang sekarat menghadapi kematiannya. Pada awal 1990-an ketika kebijakan pemerintah mulai memberikan perhatian terhadap kesenian tradisional, Mamanda tersentuh karena seni teater ini dapat berfungsi sebagai media informasi bagi Departemen Penerangan. Beberapa tahun kemudian secara kebetulan ada seorang peneliti peduli seni yang tertarik pada Mamanda sebagai obyek studi komparatif. Demikianlah atas usaha peneliti tersebut Mamanda terangkat bukan cuma di Kalimantan Selatan, tetapi hingga tingkat nasional, yaitu munculnya Mamanda di Jakarta baik sebagai pengisi acara maupun dalam mengikuti kompetisi kesenian daerah. Lain halnya dengan kesenian Damarwulan yang tidak pernah tersentuh. Damarwulan berasosiasi
9
dengan kelompok gusti yaitu keturunan bangsawan di Kalimantan Selatan. Proses modernisasi yang mengikis unsur-unsur tradisional juga telah mengikis posisi bangsawan di daerah ini. Dengan menghilangnya status dan peran bangsawan, kesenian mereka pun turut menghilang. Kelompok Gusti mengeluh karena menurut hemat mereka, kesenian Damarwulanlah yang lebih berhak mendapatkan tempat di Kalimantan Selatan ketimbang kesenian Mamanda. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa kelompok Gusti bukanlah kelompok yang mempunyai otoritas dalam kehidupan seni di Kalimantan Selatan dibandingkan dengan mereka yang peduli seni dan berkiprah di bidang pemerintahan. Kasus di Lombok memperlihatkan lahir dan matinya cabang kesenian Lombok yang berhubungan dengan perubahan suhu politik di daerah ini. Otonomi daerah pada akhir abad ke-20 telah memberikan kesempatan baru pada orang Sasak, penduduk asli Lombok, dan sebaliknya telah mempersempit kesempatan pada orang Jawa dan Bali, pendatang di pulau Seribu Mesjid ini. Sebelum otonomi daerah, kehidupan kesenian di Lombok didominasi oleh Jawa dan Bali. Dinas Kebudayaan, Taman Budaya, sanggar dan sebagainya praktis didominasi oleh pendatang dari Jawa dan Bali. Orang Sasak mempunyai peran yang jauh lebih kecil dibandingkan peran kedua etnik pendatang. Ketika otonomi daerah digalakkan, dominasi pindah ke tangan putera daerah. Nuansa Islam, salah satu karakter dari negeri dan penduduk ‘Seribu Masjid’ ini mulai mewarnai Lombok, termasuk kehidupan seni (Kleden, Maunati dan Shahab 2002). Kalau kasus Barongsai dan Lombok belum memberikan gambaran hubungan seni dan otoritas, kasus revitalisasi kesenian Betawi yang telah berjalan selama tiga puluh tahun menunjukkan bagaimana revitalisasi seni telah
10
memberikan otoritas pada pendukungnya. Revitalisasi kesenian Betawi dimulai oleh Pemda DKI Jakarta untuk kepentingan pariwisata, sehingga banyak terlihat di dalam kelompok keseniannya terdapat banyak orang non Betawi. Sebelum revitalisasi kesenian Betawi, kelompok menengah atas Betawi pada umumnya telah meninggalkan kesenian mereka. Hanya orang Betawi di daerah pinggiran kota Jakarta, yang umumnya kelompok bawah yang masih menyelenggarakan kesenian Betawi. Dengan diangkatnya kebudayaan Betawi oleh Pemda DKI Jakarta, perlahan-lahan kelompok menengah atas Betawi mulai memberikan perhatiannya kepada milik mereka yang sedang memudar. Bukan saja mereka bertindak sebagai penonton, tetapi mereka mulai aktif juga terlibat di dalamnya. Demikianlah revitalisasi kebudayaan Betawi oleh Pemda DKI Jakarta telah membangkitkan kesadaran dan kepedulian Putera Betawi terhadap milik mereka yang hampir hilang. Secara perlahan revitalisasi seni ini telah memberikan kembali identitas pada masyarakat Betawi yang pada gilirannya menunjukkan eksistensi mereka. Secara perlahan-lahan pula peran Pemda beralih kembali ke tangan Putera Betawi karena revitalisasi telah mengangkat serta meningkatkan eksistensi mereka. Demikianlah otoritas pada dunia seni telah berpindah dari tangan Pemda ke tangan Betawi. Identitas, eksistensi dan pengakuan telah membuat Betawi kembali menjadi kelompok yang eksis. Eksistensi orang Betawi semakin nyata dari waktu ke waktu. Seirama dengan meningkatnya status dan peran kesenian Betawi di Jakarta, peran dan suara Putera Daerah ini mengudara terutama bila mereka terlibat di dalamnya (Shahab 2002a). Demikianlah revitalisasi seni telah memberikan otoritas kembali pada pendukungnya bukan hanya pada kehidupan seni tapi eksistensi sebagai kelompok etnik (Shahab 2002b).
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
Kebijakan multikultural, kehidupan seni dan otoritas politik Kebijakan multikultural adalah kebijakan yang mengakui dan melindungi keragaman budaya serta menyetarakan derajat dari kebudayaan yang berbeda-beda. Penekanan terletak pada pemahaman dan upaya untuk hidup dalam konteks perbedaan sosial-budaya, dan tidak terjebak pada primordialisme dan eksklusivitas kelompok atau etnisitas yang sempit. Demikianlah ruh multikultural dalam konsep multikultural dalam simposium ini yang berjudul ‘Membangun Kembali Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika: Menuju Masyarakat Multikultural’. Dalam kebijakan multikultural yang mengakui dan melindungi keragaman budaya berarti memberi kebebasan pada setiap budaya untuk bertahan dan berkembang. Tidak boleh dilakukan pemasungan ataupun pencekalan budaya karena ini berarti melanggar prinsip-prinsip multikultural. Artinya semua budaya yang ada harus diberi kebebasan yang sama. Studi kasus kesenian Betawi, Barongsai, kesenian di Lombok, kesenian Mamanda dan Damarwulan telah membawa pada kesimpulan bahwa ada hubungan dialektik antara kehidupan seni, eksistensi kelompok etnik dan dunia kehidupan politik/otoritas. Kehidupan seni dapat membawa dampak di luar seni yang pada akhirnya membawa pada otoritas politik. Pada kasus Betawi amat nyata tergambarkan bahwa hubungan revitalisasi seni dan terbentuknya otoritas sama sekali tidak direncanakan karena tujuan utama revitalisasi dengan dampak yang terjadi amat berbeda. Dalam kasus Betawi tampak bahwa penghidupan seni dimaksudkan untuk menghidupkan tradisi yang menghilang serta untuk tujuan pariwisata. Di luar rencana proses ini telah membawa pada kebangkitan etnik yang pada gilirannya menghidupkan serta meng-
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
akselerasikan kehidupan politik dari kelompok pemilik seni. Pada kasus Barongsai, kematian dan kehidupan kembali Barongsai merupakan proses yang direncanakan. Pada kasus Lombok dan Kalimantan Selatan terjadi kombinasi dari kedua proses tersebut, yaitu yang muncul kembali karena tidak direncanakan dan ada bagian-bagian dari kesenian Lombok yang kemunculannya direncanakan. Demikianlah hubungan dialektik antara seni dan otoritas bisa terjadi secara alamiah ataupun direkacipta. Tahap pertama dalam rekacipta seni amat ditentukan oleh kekuatan sosial dan ekonomi dari perekacipta tersebut. Otoritas ada di tangan perekacipta, baik bila ia merupakan anggota dari pemilik seni maupun bila ia merupakan orang dari luar kelompok. Karena seni merupakan salah satu simbol identitas, secara perlahanlahan penghidupan seni akan memberikan identitas pada kelompok pemilik, yang pada gilirannya akan memperkuat eksistensi kelompok tersebut. Semakin kuat identitas, akan semakin nyata eksistensi kelompok yang bersangkutan. Pada gilirannya eksistensi akan mengundang pengakuan dari kelompok lain. Dengan diberikannya pengakuan berarti ada pemberian otoritas pada kelompok tersebut. Semakin kuat identitas dan eksistensi suatu kelompok, akan semakin meningkat otoritas dari kelompok tersebut. Otoritas ini tidak hanya terbatas pada kehidupan seni, tapi merebak luas dalam aspek kehidupan lainnya. Apabila pengembangan kesenian amat ditentukan oleh derajat kemampuan pendukung kelompok pemiliknya, dapat diproyeksikan bahwa kelompok-kelompok yang kuat akan melaju dengan cepat dalam merekacipta, menghidupkan dan mengembangkan kesenian jauh meninggalkan kawan-kawan yang kurang mampu di belakang. Demikianlah konsep menyetarakan derajat dari konsep multikultural yang diajukan dalam simposium ini perlu
11
dipertanyakan. Penyetaraan derajat apa yang dimaksud karena tampaknya mereka yang kuatlah yang akan menguasai kehidupan seni. Apabila rekacipta serta pengembangan seni memperkuat identitas dan eksistensi kelompok pendukungnya, kelompok-kelompok sosial ekonomi yang kuat akan melesat identitas dan eksistensinya meninggalkan kelompokkelompok lainnya yang status sosial ekonominya tergolong lemah. Apabila identitas dan eksistensi membawa pada penciptaan dan akselerasi otoritas dalam aspek-aspek kehidupan di luar seni, kelompok sosial ekonomi kuat yang telah berhasil mengembangkan dan merekacipta seninya akan memiliki otoritas meninggalkan teman-teman lainnya di belakang. Muncullah kelompok sosial ekonomi kuat dengan identitas, eksistensi dan otoritas. Kalau dalam aneka ragam budaya kita hanya terdapat satu, dua atau tiga kelompok sosial ekonomi kuat, maka cita-cita kebhinnekaan, multikulturalisme hanya akan tinggal sebagai wacana. Indonesia kembali akan diwarnai oleh dominasi kelompok sosial ekonomi kuat pemilik otoritas dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dengan demikian, konsep multikultural yang dimaksudkan menghidupkan kebhinnekaan justru membawa pada keekaan. Kebijakan multikultural yang ditargetkan untuk menghapuskan primordialisme dan eksklusifitas malah menimbulkan primordialisme dan eksklusifitas. Siapkah pemerintah Indonesia untuk menghadapi kemungkinan ini? Bila tidak, maka prinsip multikultural patut ditinjau kembali atau diterapkan secara amat hati-hati. Tampaknya the founding fathers di Negara Kesatuan Republik Indonesia amat menyadari situasi negara ini, satu wilayah yang luas yang terdiri dari pulau-pulau dengan aneka warna masyarakat dan kebudayaannya. Situasi ini menuntut satu perekat bukan saja untuk kesatuan di dalam negeri, tetapi juga untuk
12
menghadapi generasi penggantinya. Dengan penekanan yang berbeda-beda, mereka mengaplikasikan bentuk keseragaman. Bagaimanakah dengan kebijaksaan multikultural, siapkah kebijakan multikultural menghadapi situasi geopolitis di Indonesia? Bukan suatu kemustahilan bahwa tergoncangnya pemikiran para the founding fathers merupakan salah satu kontributor terhadap goncangan-goncangan sosial yang terjadi di Indonesia sejak penghujung akhir abad ke-20, seperti dikatakan Watson (2000:18): ‘Multiculturalism and nationalism may not be intrinsically related, but it is certainly the case that in the twentieth century at last they have been awkwardly and dangerously entangled.’
Tinjauan kebijakan multikultural Apabila analisis di atas dapat diterima bahwa revitalisasi seni akan memberikan atau meningkatkan identitas serta menghidupkan eksistensi kelompok yang bersangkutan, dan pada gilirannya menciptakan serta meningkatkan otoritas politik dari kelompok tersebut, perlu kebijakan yang mengontrol dominasi cabang seni yang berafiliasi dengan kelompok etnis tertentu. Dalam menyusun kebijakan multikultural, perhatian yang besar patut diberikan pada pengawasan dan pembatasan, sehingga tidak perlu kita mengalami ‘kebablasan’, seperti yang kini populer bahwa dalam era reformasi segalanya menjadi disfungsi, disharmoni, dan disintegrasi sebagai akibat kebablasan. Jika kelompok-kelompok etnis semakin kuat eksistensi dan otoritasnya, bagaimana dengan perekat dari multi-etnik di Indonesia? Fasilitasi satu perekat yang kuat kelihatannya merupakan tantangan bagi kebijakan multikultural.
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
Referensi Anis M.D.N. 1990 The Zapin Melayu Dance of Johore: From Village to a National Performance Tradition. Disertasi PhD. Tidak dipublikasikan. Ann Arbor, Michigan: University of Michigan. Danandjaja, J. 1987 ‘Perayaan Imlek dan Pesta Cap Go Me’, Jali-Jali I/Juli :31–41 2002 ‘Keberadaan Sukubangsa Cina Betawi Mulai Diingat Kembali’, Jurnal Betawi 1(1):45– 55 Hellwig, J. 1989 Jaipongan. The Making of New Tradition. Makalah yang dipresentasikan pada Symposium on Performing Arts. University of London, School of Oriental and African Studies. Kleden, N., dan I.E. Zoyim 2001 Pendefinisian Kembali Tradisi dan Identitas Etnik. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kleden, N., Y. Maunati dan Y. Shahab 2002 Kesenian di Lombok. Representasi Dominasi Etnik. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kleden, N., Y. Shahab, dan S. Aribowo 2002 Pemahaman Pluralisme Budaya Melalui Seni Pertunjukan. Jakarta: Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia. Maunati, Y. 2001 Kodifikasi Budaya Dayak dalam Konteks Industri di Kalimantan Timur. Makalah dalam Simposium Internasional ke-2 Jurnal Antropologi Indonesia ‘Globalisasi dan Kebijakan Lokal: Suatu Dialektika Menuju Indonesia Baru’. Universitas Andalas, Padang,18–21 Juli. Purwo 2001
Ratih 2001
Faktor Penyebab Rendahnya Penggunaan Peralatan Seni Budaya pada Dinas Kebudayaan DKI. Skripsi Sarjana. Tidak dipublikasikan. Jakarta: Universitas Islam Azzahra. Pembinaan Kesenian di SD oleh Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Skripsi Sarjana. Tidak dipublikasikan. Jakarta: Universitas Islam Azzahra.
Shahab, Y.Z. 1994 The Creation of Ethnic Tradition. Betawi of Jakarta. Tesis Ph.D. Doctor of Philosophy. Tidak dipublikasikan. School of Oriental and African Studies. University of London. 1999 ‘Alih Fungsi Seni dalam Masyarakat Kompleks: Kasus Liang Liong dan Barongsai’, Antropologi Indonesia Indonesian 24(61):37–46.
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
13
2000
‘Rekacipta Tradisi Betawi. Sisi Otoritas dalam Nasionalisasi Tradisi Lokal’, Antropologi Indonesia Indonesian 25(66):46–57. 2001 ‘Fashioning a National Cultural Heritage: The Revival of Lenong’, Contemporary Theatre Review an International Journal Vol. 11 Part 2:13–25. 2002a ‘Kesenian Klenteng sebagai Wahana Pluralisme Budaya’, Pemahaman Pluralisme Budaya Melalui Seni Pertunjukan. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, PMB - LIPI Jakarta. 2002b ‘Barongsai Sasingaan: Kesenian Tradisi dan Kesenian Rekacipta’, Pemahaman Pluralisme Budaya Melalui Seni Pertunjukan. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, PMB - LIPI Jakarta. Suparlan, P. 2002 ‘Antropologi Indonesia dalam Memasuki Abad ke-21’, Antropologi Indonesia 26(69):98–105. Watson, C.W. 2000 Multiculturalism. Buckingham, Philadelphia: Open University Press.
14
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004