Seminat nalional Paliwilala dan Kewilaulaha n "Revitalisasi
Industri Pariwisata dan Kewirausahaan Nasional untuk Peningkatan Daya Saing Bangsa"
Prosiding Seminar Nasional Pariwisata & Kewirausahaan Universitas Sahid laborta. 5 Maret 2013
/SBN 978-602-19230-5-4
MEMBUMlKAN PARADIGMA PEMBANGUNAN' BERKELANJUT AN DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN SEKTOR BISNIS KEPARIWISATAAN Wahyu Nugroho, Liza Marina Dosen Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta e-mail:
[email protected]@gmail.com
ABSTRAK Kebijaksanaan pembangunan kepariwisataan di Indonesia tercermin da/am UndangUndang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan banyak mengadopsi nilai-nilai yang sarat akan penibangunan yang berwawasan lingkungan dan penghargaan terhadap masyarakat hukum adat yang masih memanfaatkan kearifan-kearifan lokal da/am konteks kepariwisataan. Kegiatan kepariwisataan yang tidak memerhatikan daya dukung lingkungan akan menyebabkan penurunan terhadap kualitas wisatawan yang berkunjung pada setiap objek wisata. Setiap penye/enggara negara dan swasta yang mengembangkan kepariwisataan setidaknya memenuhi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang bertumpu pada aspek ekonomi, keadilan masyarakat dan ekologi. Maka penegakan hukum (law enforement) disini menjadi titik sentral sebagai parameter berhasil tidaknya nienerapkan prinsip-prinsip pembangunan berke/anjutan di sektor bisnis kepariwisataan. makalah ini penulis memfokuskan pada 2 (dua) permasalahan, yakni: (1) Bagaimana membumikan paradigma berkelanjutan dalam penegakan hukum lingkungan sektor bisnis kepariwisataan? (2) Apa peran kultur hukum da/am pembangunan bisnis kepariwisataan berbasis ekologi? Di dalam
Metode penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, yakni UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Teknik analisis data menggunakan analisis kualitatif me/a/ui penguraian terhadap data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil kajian ini terungkap bahwa (1) Untuk membumikan paradigma pembangunan berkelanjutan dalam penegakan hukum lingkungan sektor bisnis kepariwisataan sangat dipengaruhi o/eh berbagai faktor guna menjamin keberlanjutan pembangunan kepariwisataan, yakni faktor instrumen penaatan hukum lingkungan di bidang kepariwisataan, diantaranya perijinan-perijinan untuk membuka kawasan wisata yang harus memerhatikan daya dukung lingkungan, pemanfaatan kearifan-kearifan loka/ dalam menggunakan dan melestarikan potensi sumber daya yang ada di lingkungan pariwisata, internalisasi pembangunan pariwisata yang berkelanjutan berbasis ekologi ke dalam sejumlah peraturan pe/aksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 dan faktor budaya hukum berupa kesadaran anggota masyarakat tentang arti pentingnya lingkungan yang merupakan bagian dari hak asasi manusia menjadi bagian integral dari penegakan hukum lingkungan; (2) Peran kultur hukum da/am pembangunan bisnis kepariwisataan berbasis ekologi da/am bentuk pembuatan produk wisata 'ekotourism' yang ramah lingkungan o/eh masyarakat sekitar dan memanfaatkan potensi alam atau budaya-budaya /okal yang masih dijunjung tinggi.
Kata kunci: pembangunan kepariwisataan.
berkelanjutan, penegakan
hukum lingkungan,
Revitalisosilndustri Pariwisata dan Kewlrausohaan Nasional untu~ Pening~an
ekologi,
Daya Saing Bangsa
25
Presiding Seminar Nasienal Pariwisata & Kewirausahaan Universitas Sahid Jakarta,S Maret 2013
ISBN 978-602-19230-5-4
PENDAHULUAN Kegiatan bisnis pariwisata merupakan sektor ekonomi potensiil yang dikembangkan hampir di berbagai belahan dunia karena secara geografis memiliki daya tarik yang cukup kuat terhadap para wisatawan asing maupun domestik. Selain itu, faktor alam di suatu daerah sangat menentukan baik tidaknya untuk menyelenggarakan kegiatan bisnis pariwisata apakah dikelo1a secara utuh oleh swasta atau ada campur tangan dari pemerintah. Dalam konteks
bisnis kepariwisataan,
lingkungan
yang baik
akan
mempengaruhi keindahan dan daya laku objek wisata itu sendiri tanpa adanya pencemaran atau kerusakan terhadap lingkungan. Kegiatan kepariwisataan yang tidak memerhatikan daya dukung lingkungan akan menyebabkan penurunan terhadap kualitas wisatawan yang berkunjung pada setiap objek wisata. Salah satu pilar terpenting dalam setiap kegiatan bisnis dalam konteks bisnis kepariwisataan adalah pembangunan berkelanjutan. Setiap penyelenggara negara dan swasta yang mengembangkan pembangunan
kepariwisataan
berkelanjutan
setidaknya
memenuhi
prinsip-prinsip
yang bertumpu pada aspek ekonomi, keadilan
masyarakat dan ekologi. Sektor kepariwisataan memegang peranan yang penting sebagai devisa negara. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan dan pengelolaan kepariwisataan, terlebih pariwisata alam, dalam penegakan hukum lingkungan hendaknya memerhatikan prinsip-prinsip
yang tertuang dalam pembangunan
berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan sudah saatnya diimplementasikan ke dalam setiap penyelenggara kegiatan bisnis, industri, termasuk industri kepariwisataan dan berbagai macam pembangunan kepariwisataan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 menunjukkan adanya kesadaran bagi pelaku bisnis dan industri yang berkecimpung
di dalarnnya. Membumikan
paradigma pembangunan berkelanjutan yang terdiri dari pilar ekonomi, ekologi dan kesejahteraan sosial masyarakat menjadi bagian terpenting dalam penegakan hukum lingkungan sektor industri kepariwisataan, dalam rangka merevitalisasi industri kepariwisataan melalui prinsip-prinsip sustainable development. Arti penting penegakan hukum lingkungan sektor bisnis pariwisata di Indonesia
yang
menerapkan
prinsip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan
merupakan penertiban terhadap instrumen hukum atau peraturan-peraturan
di
bidang kepariwisataan. Kegiatan bisnis kepariwisataan diharapkan akan dapat menjadi penghasil devisa nomor satu. Industri pariwisata kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik buruknya lingkungan, yang sangat peka terhadap kerusakan lingkungan, misalnya pecemaran oleh limbah domestik yang berbau 26
RevitaUsasi Industri Pariwisata don Kewirausahaan Nasional untul? Peningl?atan Daya Saing Bangsa
Prosiding Seminar Nasional Pariwisota & Kewirausahaan Universitas Sahid Jakarta,S Maret 2013
ISBN 978-602-19230-5-4
dan nampak kotor, sampah yang bertumpuk dan kerusakan pemandangan oleh penebangan hutan, gulma air di danau, gedung yang letak dan arsitekturnya tidak sesuai, serta sikap penduduk yang tidak ramah. I Tanpa lingkungan yang baik, tidak mungkin pariwisata akan berkembang. Karena itu pengembangan pariwisata haruslah memperhatikan .terjaganya mutu lingkungan, sebab dalam industri pariwisata lingkungan itulah yang sebenamya dijual. Didalam pengembangan pariwisata, diantaranya asas kelestarian dan berkelanjutan merupakan kewajiban bagi setiap penyelenggara kegiatan industri pariwisata, baik pemerintah maupun swasta.
Selain
itu,
terdapat
pula
prinsip-prinsip
kepariwisataan sebagaimana diatur dalam UU
dalam
penyelenggaraan
No. 10 tahun 2009 tentang
Kepariwisataan, pada Pasal 5 mengakomodasi aspek budaya, pemberdayaan masyarakat
setempat,
kearifan
lokal dan pelestarian
lingkungan.'
Dengan
demikian, diwajibkan bagi setiap pengambil kebijaksanaan baik di pusat maupun daerah
tentunya
kepariwisataan,
memerhatikan
prinsip-prinsip
khususnya pariwisata
setiap
penyelenggaraan
alam yang mencakup aspek budaya,
pemberdayaan masyarakat setempat, kearifan 10ka) dan pelestarian lingkungan. Faktor lingkungan yang diperlukan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan ialah: i) terpeliharanya proses ekologi yang esensial, ii) tersedianya sumber daya yang cukup, dan iii) lingkungan sosial-budaya dan ekonomi yang sesuai.' Ketiga faktor itu tidak saja mengalami dampak dari pembangunan, melainkan juga mempunyai dampak terhadap pembangunan, dalam konteks ini bisnis kepariwisataan sebagaimana tertuang di dalam Pasal 7 UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan industri
pariwisata,
destinasi
bahwa pembangunan pariwisata,
kepariwisataan
pemasaran
dan
meliputi
kelembagaan
kepariwisataan. Di dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-undang No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, disebutkan penetapan kawasan strategis pariwisata dilakukan dengan memperhatikan aspek: a. sumber daya pariwisata alam dan budaya yang potensial menjadi daya tarik pariwisata; b. potensi pasar; c. lokasi strategis yang berperan menjaga persatuan bangsa dan keutuhan wilayah; d. perlindungan terhadap lokasi tertentu yang mempunyai peran strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup; e. lokasi strategis yang mempunyai peran dalam usaha pelestarian dan pemanfaatan aset budaya; f. kesiapan dan dukungan masyarakat; dan g. kekhususan dari wilayah.
lOtto Soernarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Ed., Cet. 10, Jakarta: Djambatan: 2004, 309. Iihat: UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. ) Otto Soemarwoto, op.cit., hIm. 161. 2
RevltallsasllndlJStri Parlwlsata dan Kewlrausahaan Nasional untull Pening~an
Daya Salng 8angsa
27
Prosiding Seminar Nasional Pariwisata & Kewirausahaan Universitas Sahid Jakarta,S Maret 2013
ISBN 978-602-19230-5-4
Dalam konteks pengembangan pariwisata alam, arah kebijaksanaan dalam penetapan kawasan strategis nasional kaitannya dengan penjagaan terhadap lingkungan hendaknya dimuarakan kepada perlindungan terhadap lokasi tertentu yang mempunyai
peran strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung
lingkungan hidup. Perlindungan dan penjagaan terhadap lingkungan di sekitar wisata alam merupakan tanggung jawab pemerintah, apakah penetapan kawasan strategis pariwisata alam dalam skala nasional, kawasan strategis pariwisata provinsi atau kawasan strategis pariwisata kabupatenlkota. Pengembangan terhadap kawasan strategis nasional baik di tingkat lokal, regional
maupun
nasional
hendaknya
bertumpu
pada pilar pembangunan
berkelanjutan demi melaksanakan amanah konstitusi UUD 1945 amandemen keempat pasal 33 ayat (4), yakni perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan
lingkungan,
kemandirian,
serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional." PERMASALAHAN Kegiatan
pariwisata
tentunya
menimbulkan
multiplier
effect,
baik
berdampak positif maupun negatif. Penegakan hukum lingkungan sektor bisnis kepariwisataan sudah seharusnya direvitalisasi dengan menempatkan paradigma pembangunan berkelanjutan sebagai pilar bagi setiap penyelenggara kegiatan dan pembangunan kepariwisataan. Setiap penyelenggara kegiatan industri pariwisata dan
pembangunan
pariwisata
memiliki
tujuan
mengembangkan
potensi
lingkungan sekitar dan memanfaatkan perekonomian yang ada. Tujuan tersebut banyak faktor yang melingkupinya antara lain daya dukung lingkungan, kearifankearifan lokal sekitar industri pariwisata, ekonomi potensiil masyarakat sekitar, dan kesejahteraan
sosial masyarakat. Kompleksitas dalam penegakan hukum
lingkungan inilah penulis memfokuskan pada pennasalahan: 1) Bagaimana
membumikan
paradigma
berkelanjutan
dalam penegakan
hukum lingkungan sektor bisnis kepariwisataan? 2)
Apa peran kultur hukum dalam pembangunan
bisnis kepariwisataan
berbasis ekologi?
4 Tim Redaksi Pustaka Yustisia, UUD 1945 (Amandemen Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009, hIm. 26.
28
Lengkap) & Susunan Kabinet 2009-1014,
Revltall50S1Industri Parlwlsata don Kewlrausahaan Nasional untu~ Penlng~an
eel. I,
Daya Salng Bangsa
Presiding Seminar Nasional Pariwisata & Kewirausahaan Universitas Sahid Jakarta, 5 Maret 2013
ISBN 978-602-19230-5-4
KERANGKA TEOR! Untuk membedah problematika tersebut, penulis akan menganalisis dengan menggunakan dua teori, yakni pertama, teori sistem hukum Lawrence M. Friedman, ada tiga elemen atau aspek dari sistem hukum, yaitu legal structure, legal substance dan legal structure.' Struktur menyangkut lembaga-lembaga yang berwenang membuat dan melaksanakan undang-undang, substansi yaitu materi atau bentuk (isi) dari peraturan perundang-undangan, yang terbagi dalam hukum tertulis/kodifikasi (continental) dan common law system, dan aspek legal culture, yaitu sikap orang terhadap hukum dan sistem hukum, yaitu menyangkut kepercayaan akan nilai, pikiran atau ide dan harapan mereka (people's attitudes toward law and the legal system, their beliefs, values, ideas and expectations).
Kedua, teori penegakan hukum Soerjono Soekanto tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum antara lain:6 (1) faktor hukumnya sendiri, yakni undang-undang atau peraturan tertulis lainnya; (2) faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; (3) faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum; (4) faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; (5) faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. MET ODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap azas-azas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum.i Prinsip atau asas hukum di dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan beserta peraturan di bawahnya sebagai pijakan normatif. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan. Dalam metode pendekatan perundang-undangan peneliti perlu memahami hierarki dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan.i Maka pendekatan ini merupakan
5 Lawrence M. Friedman, "Legal Culture and Welfare State", dalam Gunther Teubner (Ed), Dilemmas of Law in the Welfare State, Berlin New York: Walter de Gruyter, 1986, hIm. 13-27. G Soerjono Soekanto, Faktor-Fakior Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Ed. I, Cet, 8, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008, hIm. 8. 7 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet, 2, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1982, him. 51. B Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Ed. I, Cet, 3, Jakarta: Kencana, 2010, hIm. 96.. Pendekatan ini juga menguraikan pendekatan 'statuta' diawali dari suatu konstitusi dari segi aspek asas-asas hukum dan konsep-konsep hukum
RevitallsasllndU5tri Parlwlsata dan Kewlrausahaan Naslonal untu~ Pening~an
Daya 50ing Bangsa
29
Prosiding Seminar Nasional Pariwisata & Kewirausahaan Universitas Sahid Jakarta, 5 Moret 2013
ISBN 978-602-19230-5-4
pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi. Dalam konteks ini, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai general law environmental dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1009 tentang Kepariwisataan sebagai sectoral law environmental. Selain itu, juga peraturan di bawahnya seperti Peraturar, Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri hingga Peraturan Daerah.9 Pendekatan ini berpijak pada pendapat Arief Sidharta yang menguraikan bahwa lapisan ilmu hukum terkait dengan tipe penelitian normatif.i" Keterkaitan dengan penelitian ini berawal dari lapisan dogmatika hukum pada konsep teknis yuridis itechnischjuridish begrippen). II Teknik analisis data Penulis menggunakan analisis data kualitatifl2 setelah melakukan penguraian terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder terkait ketentuan dalam undang-undang lingkungan hidup dan kepariwisataan. Analisis kualitatif ini bersifat deskriptif dari hasil pembahasan berdasarkan fokus permasalahan implementasi konsep atau paradigma pembangunan berkelanjutan dalam penegakan hukum lingkungan sektor bisnis kepariwisataan. PEMBAHASAN DAN ANALISIS Gagasan Awal Paradigma
Pembangunan
Berkelanjutan
Menurut SOlll1YKeraf, sejak 1980-an agenda politik lingkungan hidup memang sudah mulai dipusatkan pada paradigma 13 pembangunan berkelanjutan dan undang-undang ikutannya atau peraturan organik. Lihat pula: Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Menulis Laparan Penelitian Hukum, Surabaya: Universitas Airlangga Press, 1999, him. 77.. 9 Lihat Undang-Undang No. 12 tabun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada Bab III Jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan perundang-undangan, IU Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur llmu Hukum, Bandung: CV Mandar Maju, 2000, him. 158. II Cara berhukum dan berpikir hukum secara dogmatik (rechtsdogmatiek) atau dikenal sebagai analitycal jurisprudence mendasarkan pada logika semata. Scholten memberikan istilah 'Iogische figuren' atau bahan hukum seperti pasal-pasal undang-undang, konsep, pengertian (begrip). asas dan fiksi. Lihat: Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan Da/am Studi Hukum, Ed. ~ Cet. I. Malang: Bayumedia Publishing, 2009, him. 96-97. I~ Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian kualitatif, Cet. 22, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006, him. 9-10. 13 Istilah paradigma dalam bahasa Inggris paradigm. berasal dari babasa Yunani Paradeigma yang terdiri atas dua suku kata para dan dekynai. Suku kata para berarti di samping, di sebelah. Sedangkan, dekynai artinya memperlihatkan, maksudnya model contoh, arketipe, ideal. H.R Otje Salman S. & Anthon F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Cet, 5, Bandung: PT Refika Aditama, 2004, him. 67. Kemudian i1muwan Fisika, Liek Wilardjo menyebut Ordering beliefframe work. ketika berbicara tentang paradigma, yaitu suatu kerangka keyakinan dan komitmen para intelektual. Lebih lanjut dikatakan bahwa paradigma berarti asumsi-asumsi dasar yang diyakini ilmuwan dan menentukan eara dia memandang gejala yang ditelaahnya. la dapat meliputi kode etik, maupun pandangan dunia yang mempengaruhi jalan pikir dan perilaku ilmuwan dalam berolah ilmu. Dalam bukunya: Liek Wilardjo, Realita Desiderata, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990, him. 134. Gagasan paradigma dikupas oleh Thomas S. Kuhn dalam karya intelektualnya "The Structure of Scientific Revolution" sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang memadu tindakan-tindakan kita baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiab. Pamdigma selalu dikaitkan dengan revolusi keilmuan, pertama kali para i1muwan mengembangkan paradigma dalam usaha menjelaskan perilaku yang relevan dengan dunia ini, lalu mcngalami kesulitan yang akhimya berlcembanglah krisis keilmuan (abnormal science). Krisis itu akan teratasi bila lahir paradigm a baru dengan diikuti aktivitas i1miah yang baru dan biasa sampai akhimya ia pun jatuh kc dalam kesukaran yang serius dan timbullah suatu krisis baru yang diikuti pula oleh rcvolusi barn. Selengkapnya, lihat: Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, Chicago: University of Chicago Press, 1963, him. 124. Kemudian Erlyn Indarti lebih cenderung mengadopsi pemikiran Guba dan Lincoln yang menawarkan empat paradigma
30
Revitallsasllnclustri
-------------------------
Parlw\sata clan Kewirausahaan Nasional untu~ Penlnghatan
-_.
Daya Solng Bangsa
Prosiding Seminar Nasional Pariwisata & Kewirausahaan Universitas Sahid Jakarta,s Maret 2013
ISBN 978-602-19230-5-4
KERANGKA TEORI Untuk membedah problematika tersebut, penulis akan menganalisis dengan menggunakan dua teori, yakni pertama, teori sistem hukum Lawrence M. Friedman, ada tiga elemen atau aspek dari sistem hukum, yaitu legal structure, legal substance dan legal structure? Struktur menyangkut lembaga-Iembaga yang berwenang membuat dan melaksanakan undang-undang, substansi yaitu materi atau bentuk (isi) dari peraturan perundang-undangan, yang terbagi dalam hukum tertulis/kodifikasi (continental) dan common law system, dan aspek legal culture, yaitu sikap orang terhadap hukum dan sistem hukum, yaitu menyangkut kepercayaan akan nilai, pikiran atau ide dan harapan mereka (people's attitudes toward law and the legal system, their beliefs, values, ideas and expectations). Kedua, teori penegakan hukum Soerjono Soekanto tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum antara lain:6 (1) faktor hukumnya sendiri, yakni undang-undang atau peraturan tertulis lainnya; (2) faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; (3) faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum; (4) faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; (5) faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap azas-azas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum.i Prinsip atau asas hukum di dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan beserta peraturan di bawahnya sebagai pijakan normatif. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan. Dalam metode pendekatan perundang-undangan peneliti perIu memahami hierarki dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan.i Maka pendekatan ini merupakan
S Lawrence M. Friedman, "Legal Culture and Welfare State", dalam Gunther Teubner (Ed), Dilemmas of Law in the Welfare Stale, Berlin New York: Walter de Gruyter, 1986, him. 13-27. 6 Soerjono Soek.anto, Fakior-Faktor Yang Mempengarulti Penegakan Hukum, Ed. I, Cet. 8, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2008, hIm. 8. 7 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 2, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1982, him. 51. I Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Ed. I, Cet. 3, Jakarta: Kencana, 20 I 0, him. 96.. Pendekatan ini juga menguraikan pendekatan 'statuta' diawali dari suatu konstitusi dari segi aspek asas-asas hukum dan konsep-konsep hukum
Revitallsasllndustri Parlwlsata dan Kewlrausahaan Noslonal untu~ Pening~an
Daya Saing 8angsa
29
Presiding Seminar Nasional PariwisOta & Kewirausahaan Universitas Sahid Jakarta,S Maret 2013
ISBN 978-602-19230-5-4
sebagaimana yang berkembang di dunia Barat. Dengan kata lain, Sonny Keraf memahami paradigma pembangunan berkelanjutan sebagai sebuah komitmen moral tentang bagaimana seharusnya pembangunan itu diorganisir dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan.!" Menurut Otto Soemarwoto, pengertian pembangunan berkelanjutan itu sendiri adalah perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial dimana masyarakat bergantung kepadanya. Keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan, perencanaan dan proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilitas politiknya tergantung pada dukungan penuh masyarakat melalui pemerintahannya, kelembagaan sosialnya, dan kegiatan dunia usahanya." Konsep pembangunan berkelanjutan memberikan implikasi adanya batas yang ditentukan oleh tingkat masyarakat dan organisasi sosial mengenai sumber daya alam, serta kemampuan biosfer dalam menyerap berbagai pengaruh aktivitas manusia. Proses pembangunan berlangsung secara berlanjut dan didukung sumber alam yang ada dengan kualitas lingkungan dan manusia yang semakin berkembang dalam batas daya dukung lingkupannya. Pembangunan akan memungkinkan generasi sekarang meningkatkan kesejahteraannya, tanpa mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkan . h teraannya. 16 1ceseja Dalam pengertian yang lebih sederhana, pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dapat dirumuskan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan, termasuk sumber dayanya, ke dalam proses pembangunan yang menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa sekarang dan generasi yang akan datang. Istilah 'pembangunan berkelanjutan' secara resmi baru dipakai di Indonesia pada 1997, yaitu dengan dicantumkan dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang sekarang diamandemen oleh UU No. 32 tabun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Istilah resmi yang dipakai oleh undang-undang yang terakhir ini adalah "Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan". Adapun dalam ketetapan MPR Nomor IVIMPRll999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), istilah ini dipersingkat menjadi "pembangunan berkelanjutan" saja. Istilah lain yang juga biasa digunakan berkaitan dengan ide pembangunan berkelanjutan ini adalah
utama, yaitu positivism; post-positivism; critical theory et all; dan constructivism [d/h naturalistic inquiry 1, yang dibedakan melalui respon terhadap pertanyaan 'ontologis', 'epistemologis' dan 'rnetodologis'. Erlyn Indarti, Makalah Pidato Pengukuhan Guru Besar "Diskresi dan Paradigma; Sebuah Telaah Filsafat Hukum ", Disampaikan Pada Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 4 November 2010, hlm. 19. •< Sonny Keraf, Etika Lingkungan, eel. 3, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2006, him. 167. IS Otto Soemarwoto, Pembangunan Berkelanjutan: Antara Konsep dan Realitas, Bandung: Departemen Pendidikan Nasional Universitas Padjajaran Bandung, 2006, him. 3. 16 Ibid., him. 22.
Revitalisa5llndustri
1::
Parlwisata clan Kewirausahaan Nasional untu~ Pening~an
Daya Saing 8angsa
31
Prosiding Seminar Nasional Pariwisata & Kewirausahaan Universitas Sahid Jakarta,S Maret 2013
ISBN 978-602-19230-5-4
"pembangunan
yang berwawasan
Istilah
terakhir
yang
development"!"
mi
pada
dalam
United
Stockholm
dipakai
yang sudah lebih dulu populer.
sebagai
terjemahan
sejak
mulai
pertama
istilah
sustainable
development
1962 dalam buku Silent Spring karya Rachel Carson, Nations
Conference
On Human
tahun 1972, World Conservation
Environment
dan seterusnya.
(UNCHE)
di
Society tahun 1981,
Istilah tersebut makin menjadi populer melalui laporan Bruntland,
Our Common
Future
Tinggi
pembangunan
kemudian
of Nature tahun 1980, lalu dipakai
oleh Lester R. Brown dalam bukunya Building A Sustainable
Tingkat
"eco-
perkataan
yang dikenal di berbagai negara Barat.
Perkembangan muncul
lingkungan"
(KTT)
di tahun
1987. Puncaknya,
pada 1992 ketika Konferensi
bumi di Rio de Jeneiro,
berkelanjutan
ini sebagai
sebuah
Brazil
menerima
agenda
politik
paradigma
pembangunan
untuk semua negara di dunia. Membumikan paradigma pembangunan berkelanjutan hukum lingkungan sektor bisnis kepariwisataan Makna pembangunan
berkelanjutan
berbagai kalangan sebagai pembangunan segala potensi lingkungan
lingkungan
di sektor
muatan kekuasaan,
di sekitar
merupakan
musuh
kepariwisataan
pariwisata.
utama
pencemar
industri
pariwisata, 18
yang besar pula.
antara lain bungkus
kertas,
Penegakan
dipengaruhi
Otto Soemarwoto
hukum
oleh muatan-
plastik,
Pencemaran
ironinya
pariwisata di suatu
yang paling nampak
makin banyak pula sampah yang
sisa makanan dan bungkus
tongkol
lokal
pencemaran
Makin sukses kepariwisataan
makanan,
daun pisang,
mengatakan
akan tetapi
adalah sampak padat. Makin banyak wisatawan, berupa
pariwisata.
sangat
daerah, makin besar pula bahaya pencemaran. diproduksi,
sudah lama diartikan oleh
untuk semua generasi dalam mengakses
yang ada di kawasan
bisnis
penegakan
ekonomi, daya dukung lingkungan dan kearifan-kearifan
masyarakat merupakan
sebenamya
dalam
film yang
dan daun buah jagung
dan kulit
19
buah.
Hukum lingkungan sebagaimana sekumpulan
ketentuan-ketentuan
untuk tujuan perlindungan
didefinisikan
dan prinsip-prinsip
dan pengelolaan
oleh Daud Silalahi,20 adalah hukum yang diberlakukan
lingkungan
hidup.
Dalam
konteks
17 Berkaitan dengan penyebab munculnya persoalan Iingkungan dan sosial, ada tiga pandangan atau paradigma pembangunan yang terjadi selama ini dan perlu dicermati lebih lanjut, yaitu pandangan oleh beberapa pihak bahwa lingkungan adalah untuk pembangunan ekonomi (eco-developmentalisme), lingkungan untuk manusia (eco-humanism), dan lingkungan untuk lingkungan (eco-environmentalism), Apa yang terjadi selama tiga dekade terakhir ini adalah pemanfaatan SDA untuk pembangunan atau ekonomi dengan menguras SDA tanpa memerhatikan keberlanjutannya serta kurang
memerhatikan aspek sosial. Lihat: Jonny Purba, Penge/o/aan Lingkungan Sosial, Diterbitkan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup tahun 2002,him. 17. 18 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Ed., Cet, 10,Jakarta: Djambatan, 2004, him.
324. 324.
19
Ibid., him.
20
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan da/am Sistem Penegakan Hukum Lingkungan, Bandung: Alumni,
1992,him.
23. 32
Revltahsasllndustri
Pariwisata don Kewirausahaan Nasional untuR PeningRatan Daya Saing Bangsa
Presiding Seminar Nasional Pariwisata & Kewirausahaan Universitas Sahid Jakarta, 5 Maret 2013
ISBN 978-602-19230-5-4
bisnis kepariwisataan, segal a instrumen terpenting guna menertibkan aspek perijinan dan pengelolaan lingkungan menjadi bagian darinya. Dengan demikian, prinsip-prinsip hukum ini mengutamakan perlindungan lingkungan dalam pembangunan sektor kepariwisataan. Dalam rangka pembangunan berkelanjutan, hukum (lingkungan) difungsikan untuk menjamin tetap terpeliharanya kelestarian kemampuan lingkungan hidup, sehingga generasi mendatang tetap mempunyai sumber dan penunjang bagi kesejahteraan dan mutu hidupnya." Oleh karena itu, setiap penyelenggara bisnis kepariwisataan, baik pariwisata alam maupun buatan oleh swasta, instrumen berupa peraturan mengenai lingkungan hidup di bidang kepariwisataan melihat ekologi dan kearifan-kearifan lokal yang tumbuh di dalamnya diakomodasi dalam penegakan hukum lingkungan, baik perijinanperijinan, dokumen amdal, ijin lingkungan, maupun pengelolaan terhadap kekayaan alam yang dimiliki setiap objek wisata. Faktor budaya hukum perspektif Friedman berupa kesadaran anggota masyarakat tentang arti pentingnya lingkungan yang merupakan bagian dari hak asasi manusia menjadi bagian integral dari penegakan hukum lingkungan. Satjipto Rahardjo melihat dari dimensi perkembangan peradaban umat manusia, gagasan hukum lingkungan sebenamya bersifat korektif terhadap berbagai kesalahan yang telah dilakukan umat manusia semasa perkembangan industrialisasi dan kapitalisme.v' Kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah dalam bentuk pengawasan dalam setiap kegiatan atau bisnis kepariwisataan oleh swasta. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pada Pasal 23 ayat (1) huruf d bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka mencegah dan menaggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas. Dalam penegakan hukum lingkungan, pengaturan UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan dikatakan undang-undang sektoral di bidang lingkungan hidup (sectoral environmental law), sebab kepariwisataan merupakan salah satu usaha di bidang wisata dan perjalanan yang membutuhkan instrumen perijinanperijinan lingkungan hidup, dokumen AMDAL dan kewajiban bagi penyelenggara kegiatan pariwisata untuk melindungi dan mengelola lingkungan sekitar wisata. Pengaturan tersebut dimuarakan kepada Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Regulasi tersebut dikatakan sebagai general environmental law. Ketentuan umum Pasal 1 UU No. 32 tahun 2009 mencanturnkan pengertian apa yang dimaksud dengan kearifan lokal, rnasyarakat hukum adat, instrumen ekonomi, izin lingkungan dan pengertian pemerintah serta pemerintah 21 Arief Hidayat & FX. Adji Sarnekto, Kajian Kritis Penegakan Hukum Lingkungan di Era Otonomi Daerah, Cet. T, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007, hIm. 48. 22 Satjipto Rahardjo, "Tinjauan Sosiologis Hukum Lingkungan di Indonesia", Jurnal Hukum Lingkungan Vol. I,
Jakarta: ICEL, 1994, him. 46.
Revitalisasllndustri
Pariwisata clan Kewirausahoan Nasional untuR Peningbatan
Daya Saing 80ngsa
33
ISBN 978-602-19230-5-4
Presiding Seminar Nasional Pariwisata & Kewirausahaan Unioenitas Sahid Jakarta, 5 Maret 2013
daerah. Hal-hal tersebut tidak ada dalam ketentuan umum pada undang-undang lingkungan hidup sebelumnya (UU No. 23 tahun 1997). Pembangunan kepariwisataan di segala jenis wisata secara tidak langsung tunduk kepada pengaturan lingkungan hidup karena asas-asas, tujuan, prinsip dan penetapan kawasan strategis sebagaimana diatur dalam UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan erat kaitannya dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, kearifan-kearifan lokal dan pelestarian lingkungan hidup. Hasil penelusuran yang dilakukan oleh Marhaeni Ria Siombo terhadap perangkat hukum di bidang lingkungan hidup menunjukkan bahwa pada dasamya perangkat hukum itu cukup memadai untuk menjadi acuan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Ketidaksempumaan akan selalu ditemukan, akan tetapi tidak akan menjadi masalah sepanjang sudah memenuhi syarat adanya kepastian hukum, maka lebih penting untuk diusahakan adalah kesungguhan untuk menyusun peraturan pelaksanaan dan kesungguhan melaksanakannya.r' Dalam konteks 1111, pemerintah menyadari betul bahwa prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan optimis dapat diimplementasikan dalam penegakan hukum lingkungan di sektor kepariwisataan atau jasa pariwisata yang sangat memerhatikan kearifan lokal dan lingkungan hidup. Dalam pelaksanaan suatu kegiatan, ada tahapan barn yang wajib dilakukan dan merupakan syarat untuk memperoleh izin usaha/izin kegiatan, yaitu izin lingkungan, yang pada undang-undang sebelumnya (UU 23/1997) tahapan ini tidak ada. Pada undang-undang sebelurnnya, untuk mendapatkan 1Z1l1 usahalkegiatan hams memiliki dokumen amdal terlebih dahulu, untuk usaha/kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan (Pasal 18 ayat 1 UU 23/1997). Hal yang berbeda terdapat pada Pasal 1 butir 35 UU No. 32 tahun 2009 menyatakan bahwa izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan.i" Kewajiban pemerintah baik pusat maupun daerah sebagaimana tertuang di dalam regulasi mengenai Kepariwisataan merupakan bentuk dari penegakan hukum lingkungan di sektor kepariwisataan dalam rangka membumikan pembangunan berkelanjutan yang bertumpu pada aspek ekonomi, keadilan sosial dan ekologi. Dalam perspektif Soerjono Soekanto, kompleksitas faktor yang 23 Marhaeni Ria Siombo, Hukum Lingkungan & Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia Dilengkapi UU No. 32 tahun 2009 ten tang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta: PT Grarnedia Pustaka Utama, 2012, hIm. 78. 24 Ibid., hIm. 80.
34
Revitallsasi Industri Pariwisata don Kewlrausahaan Nasional untuR PeningRatan Doya Saing Bangsa
rt~' ,',
Prosiding Seminar Nasional Pariwisata & Kewirausahaan Universitas Sahid Jakarta, 5Maret 2013
-:1:.
ISBN 978-602-19230-5-4
mempengaruhi penegakan hukum lingkungan sektor bisnis kepariwisataan antara lain pertama, aparat pemerintahan sebagai penegak hukum administratif senantiasa melakukan koordinasi atau yang bersifat koordinatif dengan berbagai sektor yakni kementerian lingkungan hidup, kementerian lingkungan hidup, kementerian kehutanan dan kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif Selain hubungan kerja yang bersifat koordinatif, penguatan kapasitas sumber daya juga dilakukan melalui berbagai pelatihan-pelatihan teknis di bidangnya dan pemenuhan target berbagai program kerja yang akan dijalankan di lapangan; kedua, secara substansi banyak sedikitnya berbagai peraturan perundangundangan di bidang kepariwisataan dan lingkungan yang berorientasi kepada perekonomian rakyat dan terpenuhinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dalam mengakses kekayaan sumber daya alam yang ada; ketiga, sarana dan prasarana yang mendukung bekerjanya hukum di lapangan dalam mengimplementasikan berbagai norma hukum sektor kepariwisataan. Keterbatasan sarana atau fasilitas dalam penegakan hukum lingkungan akan mempengaruhi efektivitas pencapaian prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada ekologi. Kebijaksanaan kepariwisataan melalui peraturan perundang-undangan tidak akan berjalan secara optimal apabila tidak seimbang dengan pemanfaatan teknologi infonnatika dan instrumen pendukung lainnya untuk menertibkan pembangunan bisnis kepariwisataan pada semua jenis usaha pariwisata sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, antara lain: usaha pariwisata meliputi (a) daya tarik wisata; (b) kawasan pariwisata; (c) jasa transportasi wisata; (d) jasa perjalanan wisata; (e) jasa makanan dan minuman; (f) penyediaan akomodasi; (g) penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi; (h) penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran; (i) jasa infonnasi pariwisata; (j) jasa konsultasi pariwisata; (k) jasa pramuwisata; (I) wisata tirba; dan (m) spa. Kesemua jenis usaha pariwisata tersebut merupakan sarana atau fasilitas sebagai penunjang optimalisasi penegakan hukum lingkungan di sektor kepariwisataan. Wisatawan akan merasa nyaman dan terhibur apabila sarana dan fasilitas memadai dan dikelola secara profesional; keempat, faktor masyarakat berupa daya dukung lingkungan masyarakat di kawasan pariwisata dimana tinggal. Pemberdayaan masyarakat melalui optimalisasi seni kerajinan tangan, program kreativitas wirausaha mandiri dengan memanfaatkan potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada guna mendukung kebijaksanaan pemerintah di bidang kepariwisataan dan penegakan hukum lingkungan sektor bisnis kepariwisataan; kelima, budaya masyarakat melalui kesadaran untuk melindungi dan mengelola kekayaan pariwisata jenis apapun yang dapat menghasilkan perekonomian rakyat. Pembangunan berkelanjutan tidak akan berjalan dengan baik jika tidak diikuti oleh budaya masyarakat yang
Revitalisasi Industri Pariwisata don Kewirausahaan Nasional untu~ Pening~an
Daya Saing Bangsa
35
--yk
1r:~"
~~~;~.;' ..
Prosiding Seminar Nasional Pariwisata & Kewirausahaan Univenitas Sahid Jakarta,S Maret 2013
Penjabaran kepariwisataan pijakan
pembangunan
berkelanjutan
itu
dalam
kegiatan
di daerah Bali dijiwai oleh falsafah "Tri Hita Karana".z6 Dengan
filosofi
Peraturan
prinsip
ISBN 978-602-19230-5-4
tersebut,
Daerah
pengembangan yang dalam
maka
Propinsi
pariwisata
pemerintah
Bali
No.
3
Bali, pariwisata
perkembangan
daerah tahun
propinsi 1991
budaya
bali
menetapkan
yakni jenis
dan pengembangannya
atas
konsep
kepariwisataan
menggunakan
kebudayaan
daerah bali yang dijiwai oleh agama Hindhu, sebagai bagian kebudayaan dan di dalarnnya
mencerminkan
hubungan
dasar
nasional
timbal balik yang serasi, selaras dan
seimbang antara pariwisata dan kebudayaan. Pembangunan nilai-nilai
kepariwisataan
yang tercermin
oleh pihak berwenang. yang menjelaskan hukum
Hal ini diperkuat lebih
sikap-sikap
berhubungan
di dalam penegakan
disebabkan
dan nilai-nilai
argumentasi oleh yang
kultur
jajaran di bawahnya
sebagai government
administratif
oleh
dan ekonomi kreatif beserta
Progresivitas
memiliki
mancanegara
kedua,
Indonesia;
meningkatkan
kunjungan
citra
wisatawan
kunjungan
belanja negara dan anggaran pendapatan
sesuai dengan ketentuan
Badan Promosi
wisatawan
keempat, menggalang pendanaan dari sumber selain
nusantara dan pembelanjaan;
peraturan
riset dalam rangka pengembangan Hubungannya
meningkatkan
devisa; ketiga, meningkatkan
dan penerimaan
anggaran pendapatan
pertama,
menegakkan
UU No. 10tahun
Pariwisata
kepariwisataan
yang
baik yang bersifat positif
pada Pasal 36 telah membentuk tugas
hukum
masyarakat
2009 ten tang Kepariwisataan yang
Kultur
yang memiliki kewenangan
di bidang kepariwisataan.
Indonesia
M. Friedman
dalam kehidupan
hukum.
dimiliki
kepariwisataan
administratif
Lawrence
perbedaan
dengan hukum, dan lembaga-Iembaganya,
maupun negatif. Institusi kementerian hukum
hukum lingkungan
bahwa faktor nilai menimbulkan
di masyarakat
merupakan
dalam konteks budaya hukum sarat dengan
dan belanja daerah
dan kelima, melakukan
perundang-undangan;
usaha dan bisnis pariwisata.
dengan arti penting budaya hukum, Friedman
dikutip oleh Gayus T. Lumbuun, mengemukakan
sebagaimana
4 (empat) fungsi sistem hukum.
Pertama, sebagai bagian dari sistem kontrol sosial (social control) yang mengatur perilaku manusia. Kedua, sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa (dispute settlement). Ketiga, sistem hukum memiliki fungsi sebagai social engineering function. Keempat, hukum sebagai social maintenance, yaitu fungsi yang menekankan menginginkan
26
peranan
hukum
perubahan.v'
sebagai
pemeliharaan
Dengan demikian,
'status
penegakan
quo'
yang
tidak
hukum lingkungan
Secara etimologis, Tri Hila Karana diartikan sebagai "Tiga Penyebab Kesejahteraan atau Kebahagiaan",
di
yakni
terciptanya hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (Parhyangan), antara sesama manusia (pawongan), dan antara manusia dengan lingkungan bidup sckitarnya (palemaban). Libat: Ida Bagus Wyasa Putra, dkk., Hukum Bisnis Pariwisata, Bandung: PT Refika Aditama, 2003, him. 152. 27 T. Gayus Lumbuun, Confucianisme dan Lingkungan Hidup Budaya Hukum Masyarakat Pasiran, eel. I, Jakarta: Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, him. 33.
Revitolisasllndustrt Poriwisata don Kewirousohoon Nasionol untu~ Pening~on
Doya 50ing Bongsa
37
ISBN 978-602-19230-5-4
Prosiding Seminar Nasional Pariwisata & Kewirausahaan Universitas Sahid Jakarta,S Maret 2013
sektor kepariwisataan selalu berorientasi kepada fungsi sistem hukum dan budaya hukum masyarakat setempat. Kultur hukum di bidang usaha objek dan daya tarik wisata bersifat fisik, yakni meliputi kegiatan pembangunan dan pengelolaan obyek maupun daya tarik wisata barn atau yang telah ada beserta prasarana dan sarana yang diperlukannya. Dalam kaitan itu, mendasarkan kepada obyeknya maka usaha obyek dan daya tarik wisata secara lebih khusus dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) bidang usa ha yakn·1:-78 a.
Bidang usaha obyek dan daya tarik wisata alam, mernpakan usaha pemanfaatan sumber daya alam dan tata lingkungannya untuk dijadikan obyek wisata. Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam meliputi empat hal, antara lain: pertama, pembangunan sarana dan prasarana pelengkap beserta fasilitas pelayanan lain bagi wisatawan; kedua, pengelolaan obyek dan daya tarik wisata alarn, termasuk prasarana dan sarana yang ada; ketiga, penyediaan sarana dan fasilitas bagi masyarakat di sekitamya untuk berperan serta dalam kegiatan pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam bersangkutan; dan keempat, penyelenggaraan pertunjukan seni budaya yang dapat memberi nilai tambah terhadap objek dan daya tarik wisata alam bersangkutan. Bidang usaha obyek dan daya tarik wisata budaya. Bidang usaha ini berkaitan dengan usaha pemanfaatan seni budaya bangsa untuk dijadikan obyek wisata. Pada umumnya usaha ini berkaitan dengan benda eagar budaya atau peninggalan sejarah dan tidak tertutup kemungkinan pembangunan barn obyek dan daya tarik wisata budaya. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan objek dan daya tarik wisata budaya adalah: pertama, pembangunan objek dan daya tarik wisata budaya, termasuk penyediaan prasarana, sarana dan fasilitas pelayanan bagi wisatawan; kedua, pengelolaan obyek dan daya tarik wisata budaya, termasuk saraana dan prasarana yang ada; dan ketiga, penyelenggaraan pertunjukan seni budaya yang dapat memberi nilai tambah terhadap obyek dan daya tarik wisata alam beserta masyarakat sekitar. Bidang usaha obyek dan daya tarik wisata minat khusus, mernpakan usaha pemanfaatan sumber daya alam dan potensi seni budaya bangsa untuk dijadikan sasaran wisatawan yang mempunyai minat khusus. Mengenai bidang kegiatan yang dapat dilakukan dalam perigusahaan obyek dan daya tarik wisata minat husus meliputi 2 hal, yaitu: pertama, pembangunan dan pengelolaan prasarana, sarana dan fasilitas pelayanan bagi wisatawan di lokasi obyek dan daya tarik wisata; dan kedua, penyediaan informasi mengenai obyek dan daya tarik wisata secara lengkap, akurat dan mutakhir.
b.
c.
Intemalisasi budaya loka1 dapat dilihat dari wisata alam da1am bentuk rekreasi dengan memanfaatkan potensi sumber daya a1am dan ekosistemnya, baik dalam bentuk asli maupun setelah adanya perpaduan dengan daya cipta manusia.
28
38
Ida Bagus Wyasa Putra, op.cit., hIm. 156-158.
Revltalisasi Industrl Parlwlsata don Kewirausahaon
Nasional untUR Peninghatan
Doya Soing Bangsa
Prosiding Seminar Nasional Pariwisata & Kewirausahaan Unioersltos Sahid Jakarta,S Maret 2013
ISBN 978-602-19230-5-4
Idealnya, pemerintah bekerjasama dengan kementerian kehutanan, kementerian pariwisata, kementerian lingkungan hidup dan pemerintah daerah serta pelaku bisnis pariwisata (biro perjalanan wisata) untuk mengembangkan daerah wisata berbasis "ekotourism't.i" Wisata jenis ini memerlukan sumber daya alam yang benar-benar alami dengan sedikit perpaduan daya cipta manusia. Perpaduan daya cipta manusia tidak diinginkan secara besar-besaran, tetai hanya sebatas dapat mempermudah akses ke lokasi dan mempermudah fasilitas lainnya, guna menunjang wisata tersebut. Produk wisata ekotourism menjadi salah satu alternatif pilihan pemerintah indonesia untuk meningkatkan pariwisata. Dengan membuat produk wisata "ekotourism" ini, secara otomatis kita sebagai masyarakat maupun pelaku bisnis pariwisata akan berusaha untuk selalu menjaga kelestarian daerah wisata tersebut. Apabila kelestarian tersebut tidak benar-benar dijaga dan dijual, karena tujuan semula yaitu dapat menikmati produk yang tidak dapat benar-benar masih murni menjadi hilang. Selain itu, masyarakat sekitar daerah menjual hasil karya adat masyarakatnya sendiri dan dapat menjual produk melalui karakteristiikkarakteristik alam dan budaya masyarakatnya, serta secara langsung mereka hams menjaga keasrian dai keindahan alam sekitarnya agar manfaat lingkungan hidup sekitarnya dapat juga mereka nikmati. Pemerintah diharapkan dapat menjalankan fungsinya melakukan penataan, pengembangan, pemeliharaan dan pemulihan lingkungan hidup melalui pihakpihak lain, yaitu pelaku bisnis wisata dan masyarakat. Sedangkan pengawasan dan pengendalian terhadap lingkungan hidup dilaksanakan langsung oleh pemerintah melalui berbagai peraturan perundang-undangan. Untuk merealisasikan berbagai program dari pemerintah terkait, dibutuhkan sinergi dengan masyarakat sekitar atau wisatawan melalui banyak cara, misalnya gerakan bersih lingkungan, gerakan penanaman seribu pohon, go green, pemberian penghargaan kepada wisatawan yang berkontribusi melestarikan wisata berbasis ekologi dan lain sebagainya. Sebagai benang merah dari pengkajian ini, penulis menggunakan optik secara komprehensif dan holistik di semua sektor bisnis kepariwisataan dan jenis wisata apapun sebagaimana diatur dalam UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan bagaimana membumikan paradigma, prinsip atau konsep dari pembangunan berkelanjutan menjadi sesuatu yang konkret dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, wisatawan atau pengunjung di suatu objek wisata. Penegakan hukum lingkungan berbasis pembangunan berkelanjutan semestinya lebih ke arah administratif, responsif dan tidak represif dalam rangka pengelolaan, perlindungan dan pelestarian alam berbasis ekologi di sektor kepariwisataan jenis wisata apapun. Di tingkat pemerintahan, fungsi koordinasi antar kementerian ~9 Lestari Ningrum, Usaha Perja/anan Wisata da/am Perspektif Hukum Bisnis, Cet. I, Bandung: Bakti, 2004, him. 267.
PT Citra
Revitalisasi Industri Pariwlsata clan Kewirausahaan Nasional untuI:? Peningl:?atan Daya Salng Bangsa
Aditya
39
ISBN 978-602-19230-5-4
Prosiding Seminar Nasional Pariwisata & Kewirausahaan Universitas Sahid Jakarta,S Maret 2013
menjadi prioritas dan tidak terjadinya ego sektoral dalam memberikan hak-hak konstitusional kepada warga masyarakat. Pemerintah dan pengelola wisata semestinya mengajak para pengunjung atau wisatawan untuk sadar akan lingkungan dan menjaga keindahan suatu objek wisata. Oleh karena itu, dibutuhkan political will pemerintah di berbagai kementerian, yakni kementerian kepariwisataan dan ekonomi kreatif, kementerian kehutanan dan kementerian lingkungan hidup guna melindungi kawasan wisata dengan menginternalisasi budaya lokal yang masih menjadi nilai-nilai luhur masyarakat sekitar, kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup sektor pariwisata, kearifan-kearifan lokal (local wisdom) dan ekotourism yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan agar dapat dinikrnati oleh generasi selanjutnya yang tidak merusak ekologi sektor kepariwisataan. Apabila tidak dilakukan, pembangunan berkelanjutan akan menjadi dokumen hitam putih di perpustakaan, rak-rak atau almari buku belaka yang justru padakenyataannya (empirical evidents/das sein) terjadi pembangunan yang tidak berkelanjutan.
SIMPULAN Berdasarkan hasil pemaparan, uraian dan analisis penulis dalam kajian penegakan hukum lingkungan sektor bisnis kepariwisataan bermuara kepada pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development),
maka penulis dapat
menyimpulkan: 1. Untuk membumikan paradigma pembangunan berkelanjutan dalam penegakan hukum lingkungan sektor bisnis kepariwisataan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor guna menjamin keberlanjutan pembangunan kepariwisataan, yakni faktor instrumen penaatan hukum lingkungan di bidang kepariwisataan, diantaranya perijinan-perijinan untuk membuka kawasan wisata yang harus memerhatikan daya dukung lingkungan, pemanfaatan kearifan-kearifan lokal dalam menggunakan dan melestarikan potensi sumber daya yang ada di lingkungan pariwisata, intemalisasi pembangunan pariwisata yang berkelanjutan berbasis ekologi ke dalam sejumlah peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 dan faktor budaya hukum berupa kesadaran anggota masyarakat tentang arti pentingnya lingkungan yang merupakan bagian dari hak asasi manusia menjadi bagian integral dari penegakan hukum lingkungan. 2. Peran kultur hukum dalam pembangunan bisnis kepariwisataan berbasis ekologi dalam bentuk pembuatan produk wisata ekotourism yang ramah lingkungan oleh masyarakat sekitar dan memanfaatkan potensi alam atau budaya-budaya lokal yang masih dijunjung tinggi. Selain itu, masyarakat sekitar wisata dapat menjual hasil karya adat masyarakatnya sendiri dan dapat .menjual produk melalui karakteristik-karakteristik alam dan budaya masyarakatnya, serta secara langsung mereka harus menjaga keasrian dari
40
Revitalisasi Industri Pariwisata clan Kewirausahaan
Nasional untu~ Pening~an
Daya Saing Bangsa
Prosiding Seminar Nasional Pariwisata & Kewirausahaan Universitas Sahid Jakarta, 5 Maret 2013
ISBN 978-602-19230-5-4
keindahan alam sekitarnya agar manfaat lingkungan hidup sekitarnya dapat juga mereka nikmati. SARAN Kajian yang dihadapkan kepada para pembaca ini tidak akan menjadi mutiara di tengah lautan, oase di padang pasir atau berlian di tengah lumpur apabila penulis tidak memberikan secercah harapan, saran dan masukan-masukan kepada para stakeholder
demi mewujudkan pembangunan kepariwisataan yang
bernuansa ekologis berbasis pembangunan berkelanjutan dan memberikan rasa kenyamanan kepada para wisatawan antara lain: 1.
2.
3.
4.
Sinergi antar kementerian, yakni kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif, kementerian kehutanan, kementerian lingkungan hidup dan kementerian perdagangan guna meningkatkan potensi wisata, memberikan nilai tambah perekonomian, meningkatkan pangsa pasar pada level internasional, menyosialisasikan dan memberikan perlindungan terhadap pariwisata nasional atau lokal di Indonesia; Badan Promosi Pariwisata Indonesia yang berkedudukan di Ibukota negara sebagaimana amanah di dalam UU No. 10 tahun 2009 lebih memperlihatkan peranannya di tengah-tengah masyarakat yang plural dan majemuk, memaksimalkan fungsinya serta eksistensinya dapat go international; Pengelola wisata, peran swasta dan juga pemerintah sendiri memerhatikan perijinan-perijinan, dokumen amdal, UKL-UPL, ijin lingkungan atau instrumen lingkungan lainnya dalam membuka kawasan wisata serta meningkatkan dalam menjaga, mengelola, melindungi dan melestarikan lingkungan sekitar objek wisata; Wisatawan yang berkunjung hendaknya merespon lingkungan sekitar, menjaga kenyamanan, keamanan dan kebersihan objek wisata dalam rangka perlindungan dan pengelolaan kawasan wisata berbasis ekologi.
DAFTAR PUSTAKA Aca Sugandhy dan Rustam Hakim, Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Cet. I, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007.
Berkelanjutan
Arief Hidayat & FX. Adji Samekto, Kajian Kritis Penegakan Hukum Lingkungan di Era Otonomi Daerah, Cet. I, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007. Friedman, Lawrence M., "Legal Culture and Welfare State", dalam Gunther Teubner (Ed), Dilemmas of Law in the Welfare State, Berlin New York: Walter de Gruyter, 1986. Hamzah, Andi, Penegakan Hukum Lingkungan, Cet. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. H.R. Otje Salman S. & Anthon F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan Membuka Kembali, Cet. 5, Bandung: PT Refika Aditama, 2004.
dan
Indarti, Erlyn, Makalah Pidato Pengukuhan Guru Besar "Diskresi dan Paradigma; Sebuah Telaah
Filsafat Hukum ", Disampaikan Pada Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Filsafat Hukum pad a Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 4 November 2010. -
Revitalisasi Industri Pariwisata clan Kewirausahaan Nasional untu~ Pening~an
Daya Soing Bangsa
41
Presiding Seminar Nasienal Pariwisata & Kewirausahaan Universitas Sahid Jakarta, 5 Maret 2013
ISBN 978-602-19230-5-4
Keraf, Sonny, Etika Lingkungan, Cet, 3, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, Kuhn, Thomas 1963.
S., The Structure of Scientific Revolution, Chicago:
Marzuki, Moleong,
University
of Chicago
Fungsi dan Perkembangan Hukum da/am Pembangunan,
Kusumaatmadja, Mochtar, Binacipta, 1977. Lurnbuun,
2006. Press,
Bandung:
T. Gayus, Confucianisme dan Lingkungan Hidup Budaya Hukum Masyarakat Pasiran , Cet. I, Jakarta: Program Pascasarjana, FakuItas Hukum Universitas Indonesia, 2002.
Pene/itian Hukum, Ed. I, Cet. 3, Jakarta: Kencana, 2010.
Peter Mahmud,
Lexy 1., Metodologi Pene/itian kualitatif, Cet. 22, Bandung:
Remaja Rosda Karya, 2006.
Ningrum,
Lestari, Usaha Perja/anan Wisata da/am Perspektif Hukum Bisnis, Cet. I, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.
Philipus
M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Universitas Airlangga Press, 1999.
Purba,
Jenny, Penge/o/aan Lingkungan Lingkungan Hidup tahun 2002.
Menu/is Laporan Pene/itian Hukum, Surabaya:
Sosial,
Diterbitkan
oleh
Putra, Ida Bagus Wyasa, dkk., Hukum Bisnis Pariwisata, Bandung: Rahardjo,
__
Sidharta,
Satjipto, Publishing,
Lapisan-Lapisan
Kantor
Menteri
PT Refika Aditarna,
Negara
2003.
Da/am Studi Hukum, Ed. I, Cet. I, Malang:
Bayumedia
2009.
, "Tinjauan Sosiologis Hukum Lingkungan I, Jakarta: IeEL, 1994. Arief
PT
Jurnal Hukum Lingkungan Vol.
di Indonesia",
Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: CV Mandar Maju, 2000.
Silalahi,
Daud, Hukum Lingkungan Alumni, 1992.
Siornbo,
Marhaeni Ria, Hukum Lingkungan & Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia Dilengkapi UU No. 32 tahun 2009 tentang Per/indungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta: PT Gramedia Pus taka Utarna, 2012.
Soekanto,
Soerjono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.
___
Bkologi,
Lingkungan
Indonesia
Hidup dan Pembangunan,
2004.
, Pembangunan Pendidikan
Wilardjo,
Penegakan Hukum, Ed. 1, Cet. 8,
, Pengantar Penelitian Hukum, Cet, 2, Jakarta: Universitas
Soemarwoto, Otto, Djambatan:
___
dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan, Bandung:
Press, 1982.
Ed.,
Cet.
10, Jakarta:
-
Berkelanjutan:
Nasional
Universitas
Antara Konsep dan Realitos, Bandung: Padjajaran
Liek, Realita Desiderata, Yogyakarta:
Bandung,
Departemen
2006.
Duta Wacana University
Press, 1990.
Peraturan Perundang-Undangan Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Undang-Undang Kabinet 2009-1014, Cet. I, Yogyakarta:
Dasar 1945 (Amandemen Pustaka Yustisia, 2009.
Undang-Undang
No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan
Undang-Undang
Nomor
42
Peraturan
Lengkap)
& Susunan
Perundang-Undangan.
dan Pengelolaan
Lingkungan
Hidup.
10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Revitalisasi Industrl Pariwisata don Kewirausahaan Nasional untu~ Penlng~an
Daya Saing Bangsa
•