Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
PENGKAJIAN KARAKTERISTIK BATUBARA BATU LICIN TERHADAP KEMUNGKINAN TERJADINYA SPONTANEOUS COMBUSTION Oleh : M. Ulum A. Gany*)**) *) Pusat Penelitian Geoteknologi- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Cisitu-Sangkuriang, Bandung 40135, Ph : 022-2507771, Fax :022-2504593 E-Mail :
[email protected];
[email protected],
[email protected] **) Fakultas Teknik Geologi Program Doktoral Pasca Sarjana UNPAD Kampus UNPAD, Jl. Dipati Ukur Bandung
ABSTRACT Indonesia has a great potency for coal resources and wide spread out trough of Indonesian island. One of the problem in the utilization of coal is spontaneous combustion due to the characteristic of coal, expecially when the coal is put in the the stockpile for a long time. To anticipate this problem, the research had been carried out to the Batulicin coal located in South Sumatera Province, for identifying its characteristic and to evaluate the possibility the coal tendency for spontaneous combuston. Based on the result of analysis indicate that the Batulicin coal consist of low rank and high rank coal which is indetified as lignite and bituminous coal respectively. While according to its evaluation indicate that the low rank coal tend to occur of spontaneous combustion but in the other hand , the high rank cooal (bituminous) has a little possibility for occuring the spontaneous combustion. Key Words : coal, characteristic, spontaneous combustion, evaluation
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat 348
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
ABSTRAK Indonesia mempunyai potensi yang besar terhadap sumberdaya batubara dan tersebar hampir diseluruh krpulauan Indonesia. Salah satu masalah dalam pemanfaatan batubara adalah terjadinya swa bakar (spontaneous combustion) yang diakibatkan oleh karakteristik batubara, terutama apabila batubara tersebut ditumpuk dan dibiarkan kontak dengan udara dalam waktu yang lama. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka telah dilakukan penelitian terhadap batubara Batulicin untuk mengetahui karakteristik dan pengkajian karakteristiknya yang berkaitan kemungkinan terjadinya swa bakar. Karakterisasi dilakukan dengan analisis proksimat dan analisis sifat fisiknya, kemudian dilakukan pengkajian karakteristiknya yang dikaitkan kemungkinan terjadinya swa bakar (spontaneous combustion). Hasil analisis menunjukkan bahwa batubara Batulicin terdiri dari kualitas rendah (low rank) yang didentifikasikan sebagai batubara lignit dan batubara high rank yang diidentifikasikan sebagai batubara Biuminnous, sedangkan berdasarkan pengkajian karakteristiknya, maka batubara peringkat rendah cenderung mempunyai sifat bakar dan batubara peringkat tinggi cenderung tidak mempunyai sifat swa bakar, karena didukung oleh karakteristik batubara tersebut. Kata Kunci : batubara, karakteristik, swa bakar, pengkajian PENDAHULUAN Berdasarkan data dari SDM, Badan Survey Geologi (2008) bahwa Indonesia mempunyai potensi batubara yang cukup besar dan tersebar hampir diseluruh Indonesia dengan sumberdaya sebesar 104, 757 milyar ton (Tabel 1.). Distribusi penyebaran batubara di Indonesia paling besar terdapat berturut turut di Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Selatan dengan penyebaran masing-masing sebesar 38,45; 33,83, dan 15 % (Tabel 2). Berdasarkan data kualitas batubara di Indonesia (Tabel 3) menunjukkan bahwa sekitar 86 % mempunyai kualitas rendah (low rank) dan sekitar 14 % mempunyai kualitas yang tinggi (high rank). Kalitas batubara yang rendah ini dalam pemanfaatnnya
menimbulkan berbagai macam masalah. Salah satu masalah dalam pemanfaatan batubara tersebut adalah sering terjadinya swa bakar (spontaneous combustion) pada suatu tumpukan batubara (coal stockpile), khususnya apabila batubara low rank ini ditumpuk dan bereaksi dengan udara dalam waktu yang cukup lama (Tsai, S.C, 1982).
Untuk mengantisipasi masalah ini maka telah dilakukan penelitian terhadap batubara Batulicin yang terletak di Provinsi Kalimantan Selatan yang bertujuan untuk mengatahui karakteristiknya dan pengkajian pemanfaatannya yang terkait kemungkinan terjadinya swa bakar pada batubara tersebut. Metode penelitian yang dilakukan terdiri dari pengamatan lapangan dan
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
349
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
penelitian laboratorium. Penelitian dilapangan mencakup pengamatan kondisi geologi dilapangan, singkapan batubara dan pengambilan contoh batubara. Sedangkan penelitian dilaboratorium adalah dengan melakukan analisis proksimat, nila kalori (caloric value) dan kandungan sulfur total. Dari hasil karakteristik yang diperoleh , kemuudian dilakukan pengkajian yang dikaitkan kemungkinan terjadinya swa bakar (spontaneous combustion). II.METODE PENELITIAN 2.1 Geologi 2.1.1 Morfologi Daerah Penelitian batubara terletak di Kecamatan Hampang, Kabupaten Batulicin, Provinsi Kalimantan Selatan (Gambar 1). Secara umum daerah penelitian terdiri dari daerah yang bergelombang dan berbukit-bukit yang mempunyai ketinggian sekitar 200 meter diatas permukaan air laut. Morfologi daerah penelitian mempunyai distribusi batuan sedimen yang mempunyai resistensi kecil terhadap cuaca dan erosi air, tetapi dibagian timur daerah penelitian ini dibatasi oleh batuan kapur yang mempunyai puncak yang tinggi dan biasanya mempunyai bentuk topografi berupa karst. Bentuk morfologi didaerah penelitian ini (Foto 1) dapat diklasifikasikan dalam tiga grup yakni : 1. Bentuk Perbukitan, terletak di bagian barat daerah peneliitian. 2. Bukit rendah, terletak di bagian tengah daerah penelitian.
3. Dataran rendah, dibagian timur penelitian
terletak daerah
2.1.2 Stratigrafi Secara regional lokasi penelitian termasuk kedalam Cekungan Barito (Gambar 2) dan berdasarkan Peta Geologi yang dikeluarkan oleh Pusat dan Pengembangan Geologi (P3G),maka daerah penelitian termasuk dalam lembar Sampanahan 18130, (Gambar 3) Formasi pembawa batubara adalah Formasi Tanjung (Tet) dan Formasi Pitat (Ksp), (Gambar3) Urut-urutan statigrafi didaerah penelitian dari yang muda ke tua adalah sebagai berikut : 1. Formasi Allufium (QA), terdiri dari kerikil, pasir dan lumpur terendapkan dalam lingkungan sungai , rawa, delta dan pantai. Material alluvium umumnya belum terrkompaksi , lepas-lepas banyak mengandung material organik yang belum terurai dan ketebalannnya diperkirakan 1 hingga 25 meter. 2. Formasi Tanjung (Tet), Formasi ini menindih secara tidak selaras Formasi Pitat dan tertindih secara selaras dengan Formasi Berai . Formasi ini terdiri dari perselingan batupasir, batulempung, , batulanau, batugamping (Gambar 4) . Lingkungan pengendapan darat-sampai laut dangkal,
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat 350
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
umurnya Eosen.
diduga
adalah
3. Formasi Pitat (Ksp), endapan flysch beruupa perselingan antara batupasir, batulempung, batulanau, serpih, rijang olistolit, batugamping dan lava basal. Formasi ini diduga berumur Kapur Awal dan diendapkan secara berjemari dengan Formasi Haruyuan.
2.1.3 Strruktur Berdasarkan hasil pengmaatan dan pengukuran strike dan dip dari batuan sedimen, maka struktur geologi yang berkembang didaerah ini adalah lipatan (fold), sesar (fault) dan rekahan (joint). Arah jurus perlapisan bagian selatan dari daerah penelitian ini umumnya berarah Baratdaya-Timurlaut dengan arah kemiringan berubah ubah , sehingga membentuk struktur lipatan berupa antiklin dan sinklin. Besar kemiringan sayap lipatan yang mengarah kearah timur adalah berkisar antara 3o sampai 12o . Kemiringan sayap liatan ini relatif lebih landai jika dibandingkan dengan krmiringan sayap lipatan yang mengarah ke barat dengan kemiringan berkisar antara 14o samppai 35o 2.1.3 Endapan Batubara Di daerah penelitian ini , batubara didapatkan diposisi bagian bawah sequence pengendapan Formasi Tanjung (Foto 2). Singkapan batubara pada umumnya tersingkap di anak-anak sungai dengan perselang selingan yang didominasi oleh batulempung dan batupasir.
Ketebalan dari pada batubara ini berkisar antara 0,2 meter sampai 2,4 meter dengan arah sebaran BaratdayaTimurlaut dengan kemiringan lapisan batubara berkisar antara 2o sampai 30o atau rata-rata sekitar 11o 2.3 Analisis Laboratorium Untuk mengetahui kualitas batubara, maka dilakukan analisis proksimat dan nillai alorii terhadap conntoh batubara yang telah diambil dilapangan dengan tahap-tahap sebagai berikut : 2.3.1 Preparasi Preparasi dilakukan dengan melakukan pengecilan ukuran butir dengan menggunakan alat Jaw Crusher, Pulverizer . Sedangkan utuk mendapatkan ukuran yang lebih halus lagi maka digunakkan alat Balll Mill. Untuk mendapakan ukuran yang seragam, maka dilakukan pengayakan (sizing) dengan menggunakan ayakan sampai didapatkan ukuran – 60 mesh. Dan selanjutnya dilakukan analisis proksimat, nilai kalori dan sulfur total. Analisi Proksimat terdiri dari : Kandungan Abu batubara (ash), Kandungan Karbon Tertambat (Fixed Carbon), Kandungan Air (Moisture Conntent), Kandunngan Zat Terbang (Volatile Matter). Sedangkan Nilai Kalori (Caloric Value) dianalisis nilai kalorinya dengan menggunakan Boom Calorimeter. Berdasarkan beberapa contoh yang dianalisis, maka didapatkan hasil analisis kualitas batubara peringkat rendah (low rank) dan hasil analisis kuallitas batubara peringkat tinggi (high rank). Hasil ratarata darri contoh batubara tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 dan 7 2. 2 Sampling.
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat 351
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Pengambilan contoh (sampling) dari batubara dilakukan dibeberapa tempat pada singkapan batubara (outcrop) (Foto 3 dan 4,.5) secara acak (random) dengan metode channel sampling yaitu dengan membuat paritan dari atas kebawah, kemudian dilakukan pengambilan contoh dari bawah sampai keatas. Singkapan batubara tersebut didiskripsi mengenai perlapisannya, ketebalan, strike, dip dan ciri-ciri fisik fisik dari batubara. Contoh dari batubara kemudian dimasukkan kedalam kantong sample , diberi kode sesuai dengan tempat pengambilan contoh batubara tersebut, kemudian contoh tersebut dikirim ke laboratorium untuk dianalisis . III. DISKUSI Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di didaerah penelitian didapatkan batuan sedimen yang terdiri dari lapisan interbedded batupasir, lanau, lempung karbonat , serpih batu lempung dan batubara. Berdasarkan sifat-sifat fisik dari batuan sedimen ini, maka terdapatnya batubara dan ciri-ciri dari batuan sedimen dapat diklasifikasikan sebagai Formasi Tanjung dan Formasi Tanjung ini berumur Eosen Endapan batubara terletak pada bagian bawah Formasi Tanjung. Batubara yang terdapat didaerah penelitian mempunyai nilai kalori yang bervariasi atau mempunyai peringkat rendah (low rank) sampai dengan peringkat tinggi (high rank). Kemungkinan besar hal ini dipengaruhi oleh adanya struktur geologi berupa lipatan (fold), kekar (joint) dan sesar (fault) yang berdasarkan hasil pengamatan dilapangan dan
pengukuran jurus (strike) dan kemiringan (dip) dari batuan sedimen. Berdasarkan pengamatan dan hasil analisis dari contoh batubara yang diambil dilapangan, maka contoh batubara XI E (Foto 4) diklasifikasikan sebagai batubara bituminous (peringkat tinggi) berdasarkan standar ASTM dengan kandungan karbon tertambat nilai kalori yang besar dan nilai kandungan zat terbang, kandungan air, kandungan abu yang lebih kecil (Tabel 7). Disamping itu juga ditunjang datadata hasil diskripsi singkapan dilapangan dengan batubara yang hitam mengkilap (vitrous), belahan (cleat) jarang dan partingnya tipis (Tabel 4) Batubara peringkat tinggi mempunyai kecenderungan kandungan oksigennya lebih kecil (Lowry H.H, 1963), sehingga kecenderungan terjadinya swa bakar (spontaneous combustion) juga kecil. Sedangkan contoh batubara II C diklasifikasikan sebagai batubara lignit (peringkat rendah) yang berdasarkan standar ASTM dengan kandungan karbon tertambat, nilai kalori yang leih kecil dan nilai kandungan abu, kandungan air, zat terbang dan sulfur yang lebih besar (Tabel 6,7) dan juga ditunjang oleh diskripsi singkapan batu bara dengan warna aagak keabu abuan, tidak mengkilap, banyak rekahan dan lapisan pparting yang lebih besar. Batubara peringkat tinggi (high rank) cenderung mempunyai nilai kandungan oksigen yang lebih besar, sehingga mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk terjadinya swa bakar (spontaneous combusttion). Berdasarkan karakteristik contoh batubara XI E dan II C (Tabel 5 dan Tabel 6), maka terlihat bahwa contoh
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat 352
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
batubra II C (Foto 5) mempunyai kecenderungan terjadinya swa bakar, karena contoh batubara tersebut adalah batubara peringkat rendah dengan kandungan zat terbang yang tinggi yaitu sebesar 40,25 % (Tabel 6). Kandungan zat terbang dalam batubara adalah merupakan hal yang penting untuk penyalaan dalam proses pembakaran batubara (Leonard, J.W, 1988). Jadi semakin tinggi kandungan zat terbangnya, maka kemungkinan besar batubara akan lebih mudah untuk terbakar, sehingga batubara contoh II C mempunyai kecenderungan yang tinggi terjadinya swa bakar (spontaneous combstion), disamping itu juga didukung oleh kandungan oksigen dan vitrinit yang ada dalam baubara. Semakin tinggi kandungan zat terbang, maka kemungkinan besar kandungan vitrinit dan oksigennya juga akan lebih besar (Tsai, SC, 1982). Kandungan oksigen yang ada dalam batubara akan memicu terjadinya pembakaran, semakin tinggi oksigen yang ada dalam batubara, maka akan semakin besar pemicu terjadinya pembakaran, sedangkan kandungan vitrinit adalah merupakan kelompok maseral yang reaktif (Nandi, B.N, Brown, 1977). Semakin tinggi kandungan maseral reaktif dalam batubara, maka semakin tinggi kemungkinan batubara terjadinya swa bakar Sebaliknya contoh batubara XI E (Foto 4) mempunyai kandungan zat terbang yang relatif kecil (Tabel 7) dan kandungan vitrinit dan oksigennyapun kecil, sehingga berdasarkan karakteristik tersebut, maka contoh batubara XI E mempunyai kecenderungan yang kecil terjadinya swa bakar.
Faktor lain yang menunjang terjadinya swa bakar adalah kandungan pirit yang ada dalam batubara (Lowry HH, 1977)Semakin tinggi pirit yang ada dalam batubara, maka semakin tinggi kemungkinan terjadinya swa bakar, karena apabila pirit kontak dengan udara terbuka, maka pirit akan bereaksi dengan ooksigen dan akan menghasilkan panas yang akan menyebabkan terjadinya swa bakar (Tsai, S.C, 1982). Contoh batubara II C mempunyai kandungan pirit yang lebih besar ditunjukkan oleh adanya kandungan sulfur yang lebih besar yaitu sebesar 1,47 (Tabel 6), sedangkan contoh batubara XI E mempunyai kandungan pirit yang lebih kecil yang ditunjukkan oleh nilai kandungan sulfur yang lebih kecill yaitu sebesar 0,26 % (Tabel 7). Kandungan pirit yang ada dalam batubara merupakan salah satu sumber abu batubara dan sumber sulfur yang terbesar dalam batubara (Lowry H.H, 19630. Berdasarkan kandungan piritnya, maka contoh batubara II C mempunyai kecenderungan yang tinggi terjadinya swa bakar karena kandungan piritnya lebih besar, sedangkan contoh batubara XI E mempunyai kecenderungan yang lebih kecil terjadinya swa bakar karena kandungan piritnya lebih kecil. Disamping itu juga kandungan air yang ada dalam batubara juga akan memicu terjadinya swa baakar, semakin tinggi kandungan air yang ada dalam batubara, maka akan semakin tinggi kecenderungan terjadinya swa bakar, karena air merupakan media untuk mempercepat terjadinya reaksi antara pirit dan udara, sehingga dengan demikian contoh batubara II C mempunyai
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat 353
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
kecenderungan leebih besar terjadinya swa bakar dibanding dengan contoh batubara XI E, karena mengandung kadar air yang lebih besar dibandingkan dengan contoh batubara XI E (Tabel 6 dan 7). Selain dari karakteristik contoh batubara yang diatas, maka yang mendukung atau mempercepat terjadinya swa bakar atau spontaneoous combustion adalah halhal yang berkaitann dengan tempat penampungan batubara (stockpile) batubara antara lain adalah : 1. Ukuran partikel batubara pada tumpukan batubara, semakin kecil ukuran batubara, aka semakin besar kemungkinan terjadinya swa bakar, karena semakin halus ukuran batubara, maka luuas permukaannya semakin luas, sehingga kontak dengan udara semakin besar, sehingga mempercepat terjadinya reaksi antara batubara dan udara yang menyebabkan terjadinya swa bakar. 2. Kondisi ventilasi pada tumpukan batubara, karena semakin buruk ventilasinya, maka semakin bannyak udara yang terkepung dalam tumpukan sehingga akan mempercepat terjadinya reaksi antara udara dengan batubara yang menghasilkan panas. 3. Waktu penumpukan yang lama, semakin lama tumpukan batubara, maka semakin lama batubara tersebut kontak udara,
sehingga kontak antara udara dan batubara dapat terjadi. 4. Sudut dan tinggi tumpukan, semakin terjal dan semakin tinggi tumpukan, maka semakin cepat kontak antara udara dengan batubara, sehingga akan menyebabkan terjadinya reaksi yang menghasilkan panas. 5. Penirisan air pada tumpukan, semakin jelek penirisannya , maka semakin besar kemungkinan terjadinya swa bakar, karena air yang tergenang akan memicu reaksi antara batubara dengan udara. IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil bahasan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pada daerah peneliitian didapatkan batuan sedimen yang terdiri dari lapisan interbedded batupasir, lanau, lempung karbonat , serpih batu lempung dan batubara. Berdasarkan sifat-sifat fisik dari batuan sedimen ini, maka terdapatnya batubara dan ciriciri dari batuan sedimen dapat diklasifikasikan sebagai Formasi Tanjung yang berumur Eosen. 2. Endapan batubara terletak pada bagian bawah Formasi Tanjung dengan nilai kalori yang bervariasi dengan peringkat rendah (low rank) sampai dengan peringkat tinggi (high rank yang dipengruhi oleh adanya struktur geologi berupa
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat 354
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
lipatan (fold), kekar (joint) dan sesar (fault). 3. Berdasarkan pengamatan dilapangan dan hasil analisis dari contoh batubara yang diambil dilapangan, maka contoh batubara XI E C diklasifikasikan sebagai batubara bituminouus (peringkat tinggi) dan contoh batubara II C Ediklasifikasikan sebagai batubara lignit (peringkat rendah) yang berdasarkan standar ASTM. 4. Batubara peringkat rendah (contoh batubara II C) mempunyai kecenderungan terjadinya swa bakar, karena didukung oleh kandungan volatile matter, vitrinit, kadar air, pirit yanng lebih besar yang dapat mengakibatkan erjadinya swa bakar (spontaneous combustion). Sedangkan batubara peringkat rendah (high rank) mempunyai kecenderungan yang lebih kecil terjadinya swa bakkar karena kandungan volatile matter, pirit, kadar air dan vitrinit lebih kecil. 5. Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya swa bakar adalah kondisi tumpukan (stockpile) batubara antara lain adalah : ventilasi , besar butir, tinggi dan kemiringan, penirisan tumpukan batubara serta lamanya waktu penumpukan batubara.
DAFTAR PUSTAKA ASTM, 1982, Sampling and Analysis of Coal and Cokes, D271-D248 Badan Survey Geologi, SDM, 2008, Potensi Sumberdaya Batubara Indonesia, Departeemen Sumberdaya Mineral dan Energi Darman H, Sidi F.H, 2000, An Outline The Geology of Indonesia, Indonesian Assoociation of Geologist, Ikatan Ahli Geologi Indonesia, IAGI Lowry, H.H,, 1963, Chemestry of Coal Utilization, Jhon Wiley and Sons, New York, London
Leonard, J.W, 1983, Coal Preparation, The American Institute of Mining Metallurgicall and Petrolium Engineers, Inc, New York. Nandi B. N Brown, TD Lee GL, 1977Inert Coal Maceral in Combustion, Fuel 56, pp 125-130 Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, 2000, Lembar Sampanahan Tsai SC, 1982, Fundamental of Coal Benificiation and Utilization Elsevier, Scientific, Publishing Company, Amsterdam, Oxford
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat 355
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Tabel 1. Potensi Batubara di Indonesia (Badan Survey Geologi 2008)
No.
1 2 3 4
Klasifikasi Sumberdaya Batubara Terukur Terunjuk Tereka Hipotetis Total
Potensi (Jutaan Ton) 22.151,57 15.738,08 32.146,79 34.620,40 104.756,84
Tabel 2. Distribusi Penyebaran Batubara Indonesia) Badan Survey Geologi 2008)
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Daerah
Distribusi Potensi
Sumatera Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Riau Jambi Kalimantan Tengah Sumatera Barat Kalimantan Barat Bengkulu Daerah Lain
38,45 % 33,83 % 15,00 % 3,56 % 2,75 % 2,42 % 1,24 % 0,91 % 0,34 % 1,50 %
Tabel 3 Diskripsi Singkapan Batubara XI E
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
356
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Tabel 4 Diskripsi Singkapan Batubara (II C)
Tabel 5 Hasil Analisis Proksimat Contoh Batubara II C, Nilai Kaori, Kandungan Sulfur dan Relative Density
Tabel 6 Hasil Analisis Proksimat Contoh Batubara XI E , Nilai Kaori, Kandungan Sulfur dan Relative Density
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
357
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Gambar 1 Lokasi Darah Penelitian
Gambar 2 Tatanan Tektonik Cekungan Barito ( Darman,, H, Sidi FH,, 2000)
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
358
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Gambar 3 Peta Geologi Darah Penelitian (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, 2000)
Gambar 4 Stratigrafi Cekungan Barito,Kutei dan Tarakan (Darman, H, Sidi FH, 2000)
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
359
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Foto 1 Morfologi Daerah Penelitian
Foto2 Singkapan Batubara Interbeded dengan Batupasir, Batulanau dan Batulempung
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
360
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Foto 3 Singkapan Batubara ,Lapisan Batubara Terdapat Pada Bagian Bawah Dibawah Batupasir, Batu Lanau Dan Batulempung
Foto 4 Singkapan Batubara (XI E)
Foto 5 Singkapan Batubara II C
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
361