Sekretariat Negara Republik Indonesia
Selamat Jalan Pak Harto Rabu, 26 Maret 2008
Dadan Wildan Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia
Pengantar Hari Minggu, tanggal 27 Januari 2008, Pukul 13.10 WIB di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta, Jenderal Besar TNI (Purn) Haji Muhammad Soeharto, Presiden RI ke-2, telah berpulang ke rahmatullah dengan tenang, akibat sakit yang dideritanya. Pemakaman Pak Harto—demikian kerap beliau dipanggil—diselenggarakan dalam upacara kenegaraan yang hidmat. Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, tampil sebagai inspektur upacara.
Dalam sambutan pemakaman Almarhum Pak Harto, Presiden RI, menyebut Pak Harto sebagai salah seorang putera terbaik bangsa, seorang pejuang setia, prajurit sejati, dan seorang negarawan terhormat. Benarkah?
Anak Desa yang Jadi Tentara Robert Edward Elson (2001:25) dalam bukunya Suharto; a Political Biography dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul; “Suharto; Sebuah Biografi Politik―, menyajikan gambaran masa kecil Pak Harto. Soeharto adalah seorang anak desa belaka, yang lahir dari keluarga petani miskin, tulisnya. Ibunya Sukirah, sebelumnya gadis berasal dari bagian utara dusun (Kemusuk Lor). Ayahnya bernama Kertosudiro, sudah memiliki dua anak dari perkawinan sebelumnya.
Kertosudiro, penduduk bagian Selatan dusun, yaitu Kemusuk Kidul, sehari-hari bekerja sebagai pekerja irigasi yang bertanggung jawab membagi air irigasi ke berbagai sawah desa dan memelihara saluran irigasi yang vital bagi pertanian desa. Sebagai imbalan atas tugas ini, Kertosudiro diberikan sepetak kecil lahan kira-kira satu hektar yang disebut lungguh, untuk menghidupi keluarganya. Dia tidak memiliki tanah lain atau binatang ternak. Dia dan keluarganya hidup di rumah kecil berdinding bambu dengan atap pelepah kelapa, tanpa air ledeng atau listrik. Ayah dan ibu Soeharto tidak pernah meninggalkan dusun Kemusuk.
Lebih rinci G. Dwipayana (1989:6) dalam buku; “Soeharto; Pikiran, Ucapan, dan Tindakan saya―, menguraikan dengan lugas masa kecil Suharto. Ingatan saya tentang perjalanan hidup ini, demikian kata pak Harto, bermula ketika saya berumur tiga tahun. Waktu itu, saya sudah bersama Mbah Kromodiryo, dukun yang biasa menolong orang yang melahirkan. Nama panggilannya adalah Mbah Kromo, adik kakek saya, Mbah Kertoiromo. Beliaulah yang menolong ibu saya, Ibu Sukirah, sewaktu melahirkan saya. Maka beliau pun bercerita bahwa saya dilahirkan pada tanggal 8 Juni tahun 1921, di rumah orang tua saya yang sederhana, di desa Kemusuk, dusun terpencil, di daerah Argomulyo, Godean, sebelah barat kota Yogyakarta.
Ayah saya, Kertosudiro, adalah ulu-ulu, petugas desa mengatur air, yang bertani di atas tanah lungguh, tanah jabatan selama beliau memikul tugasnya itu. Sebagai duda, beliau menikah lagi dengan ibu saya. Tetapi hubungan orang tua saya kurang serasi, hingga akhirnya setelah saya dilahirkan, mereka bercerai.
Beberapa tahun kemudian, Ibu Sukirah menikah lagi dengan Atmoprawiro. Pernikahannya ini melahirkan tujuh orang http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 28 February, 2017, 18:53
Sekretariat Negara Republik Indonesia
anak. Sementara itu, ayah saya pun menikah lagi dan mendapatkan empat anak lagi. Tak terkira sebelumnya, bahwa pada suatu waktu, di hari tua saya, saya mesti menjelaskan silsilah saya karena ada yang menulis yang bukan-bukan di bulan Oktober 1974 di sebuah majalah. Saya menyuruh Dipo (G. Dwipayana) membantah tulisan itu, dan memuatkan bantahan di dalam majalah dan surat kabar harian yang terbit di Jakarta. Tetapi, selang sehari, saya perintahkan supaya wartawan-wartawan berkumpul di Binagraha, di kamar kerja saya. Saya ingin, secara pribadi, menjelaskan silsilah saya itu.
Di depan para wartawan dalam dan luar negeri, saya beberkan silsilah saya. Saya tegaskan, bahwa saya bukan dari seorang keturunan ningrat. Saya hadapkan dalam pertemuan dengan para wartawan itu, beberapa orang tua, saksisaksi yang masih hidup yang mengetahui benar silsilah saya. Saya adalah keturunan Kertosudiro alias Kertorejo, ulu-ulu yang secara pribadi tidak memiliki sawah sejengkal pun. Saya berterus terang, di dalam menghadapi kehidupan sewaktu kecil, saya mengalami banyak penderitaan yang mungkin tidak dialami oleh orang lain.
Di masa kecilnya, tuntutan pendidikan Soeharto, berakibat perubahan tempat tinggal. Pada tahun 1931, tulis Elson (2001:33) untuk memasuki sekolah tinggi pertama (schakelschool) di Wonogiri, dia pindah bersama dengan putra kedua Prawiroharjo, Sulardi, ke Selogiri yang terletak beberapa kilometer di luar Wonogiri. Di sana dia tinggal bersama kerabat lain: kakak tertua Sulardi, Sudiarto, yang telah bermukim di sana. Di sekolah Hollandsch-Inlandsche (sekolah pribumi Belanda), di Wonogiri, Sulardi pada 1933 mendapat teman sekelas, seorang putri kepala distrik baru Wonogiri, R.M.Sumoharyomo, bernama Siti Hartinah. Siti Hartinah, dua tahun lebih muda dari Soeharto, menjadi teman bergaul Sulardi. Siti Hartinah kelak menjadi istri Soeharto. Menurut Abdul Gafur penulis biografi Siti Hartinah, keluarga Sumoharyomo membangun hubungan dekat dan kuat dengan keluarga Prawiroharjo ketika pindah ke Wuryantoro sekitar tahun 1937. Soeharto mungkin mengenal bakal istrinya pada tahun itu, meski dia baru saja tinggal dengan keluarga Prawiroharjo pada akhir 1930-an.
Usai menyelesaikan pendidikan di sekolah rendah, Soeharto bekerja di Bank Desa. Tetapi tidak lama. Setelah kehilangan pekerjaan di Bank Desa, Soeharto, tulis Elson (2001:37) awalnya berpikiran untuk mendaftar ke Angkatan Laut Belanda. Namun, akhirnya Soeharto berusaha memasuki program tiga tahun di KNIL (Angkatan Bersenjata Hindia Belanda). Kesempatan ini mungkin datang karena, dengan ancaman semakin dekatnya perang, Belanda melakukan rekruitmen besar-besaran bagi pasukan Kolonial mereka yang berjumlah sekitar 35.000 orang pada 1938. Soeharto bukanlah yang pertama ataupun yang terakhir, yang menjadikan KNIL sebagai pelabuhan terakhir ketika prospek pekerjaan lain terlihat suram. Dia mulai berdinas pada 1 Juni 1940.
Latihan militer dasar Soeharto dilakukan di sekolah KNIL di Gombong, sebelah barat Yogjakarta, “Kami berlatih dari pagi sampai malam―, kata Pak Harto. Setelah lulus kursus pelatihan itu, Soeharto ditugaskan ke Batalyon VIII di Rampal, dekat Malang, pada akhir 1940 atau awal 1941. Tugas singkat jaga malam di Gresik, membuat dia terkena malaria. Setelah kembali ke Malang, dia kembali terkena malaria sehingga harus dirawat di rumah sakit selama dua minggu. Sesudah itu, dia kembali ke Gombong dimana dia diterima di sekolah kader untuk dilatih sebagai seorang sersan.
Pada zaman Jepang, atas saran kepala polisi Jepang, Soeharto berusaha bergabung dengan Peta (Pembela Tanah Air), angkatan pertahanan yang dibentuk pada Oktober 1943 yang terdiri atas orang-orang Indonesia yang dilatih Jepang. Niat defensif Peta sebagai garis pertahanan melawan ancaman serangan dan infasi sekutu, tercermin dalam strukturnya yang terbatas dan lokal: Peta pada hakikatnya adalah kumpulan batalyon-batalyon setempat (daidan), tidak memiliki struktur organisasional yang lebih tinggi ataupun kontak horizontal dengan batalyon lokal lainnya. Mungkin, keinginan Soeharto bergabung dengan Peta, lebih bermotif oportunis ketimbang ideologis; kesadaran politisnya pada saat itu masih minim dan pilihannya didorong oleh kesempatan untuk melanjutkan karir militernya yang sempat terhambat, tulis Elson (2001:39).
Bulan Madu di Zaman Desing Peluru Tahun 1945-1949 adalah masa Revolusi Fisik. Masa perjuangan bersenjata melawan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Sebagai seorang prajurit, Soeharto, bergabung dengan tentara Republik. Di masa Revolusi Fisik inilah, di zaman perang kemerdekaan; Soeharto melangsungkan pernikahannya. http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 28 February, 2017, 18:53
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Pada akhir tahun 1947, seiring dengan berkembangnya masalah-masalah yang lebih besar, Soeharto, yang tinggal di Yogyakarta dengan saudara tirinya, Probosutejo, mulai memikirkan pernikahan karena saran ibu angkatnya, ibu Prawiroharjo. Menurut penuturan Soeharto sendiri, pernikahannya dengan Siti Hartinah, teman sekolah sepupunya di Wonogiri empat belas tahun sebelumnya, terjadi karena jasa baik ibu Prawiroharjo.
Pernikahan itu menurut Elson (2001:62) adalah pertemuan antara aristokrasi minor yang turun dan mobilitas sosial ke atas yang diberikan militer pada masa revolusi. Keduanya menikah pada 26 Desember 1947 dengan upacara tradisional di Solo, dimana Soeharto naik sedan De Soto tua. Dari tempat tugas saya di Yogya, kenang Soeharto, saya naik sebuah kendaraan dinas tua menuju Solo. Saya mengenakan pakaian penganten, serapi-rapinya untuk waktu yang tidak tenang itu. Sebilah keris terselip di punggung saya. Waktu akan naik kendaraan itu, terasa bukan main repotnya. Sulardi yang mengantar saya, mengganggu saya sepanjang jalan.
Perkawinan kami, tulis G. Dwipayana (1989:44), dilangsungkan pada tanggal 26 Desember 1947, sore hari, dengan disaksikan oleh keluarga dan teman-teman Hartinah. Pada waktu itu, saya berusia 26 tahun dan Hartinah, isteri saya, dua tahun lebih muda dari saya. Undangan banyak yang hadir, maklum keluarga Soemoharyomo cukup terpandang dan disegani di kota ini. Dari pihak saya hadir Sulardi dan kakaknya. Tetapi kejadian yang bagi saya amat penting ini, sayang tidak ada yang mengabadikannya dengan potret. Maklumlah, keadaan serba darurat.
Malam harinya diadakan selamatan, tetapi cuma bisa dengan memasang beberapa buah lilin, karena kota Solo waktu itu harus digelapkan, di waktu malam, mencegah terjadinya bahaya besar jika Belanda melakukan serangan udara lagi. Tiga hari sesudah perkawinan, saya boyong isteri saya ke Yogya, saya harus menjalankan tugas militer saya. Dan isteri saya mulai dengan tugasnya sebagai isteri komandan resimen. Dunia baru baginya, sekalipun sebelum ini ia giat dalam Palang merah, dekat dengan barisan-barisan pejuang.
Walau mereka tidak saling cinta ketika menikah, saling pengertian keduanya berkembang cepat setelah itu. Soeharto kelak mengemukakan fakta bahwa “saya telah mengembangkan prinsip yang akan memandu biduk kami di lautan luas―. Alhasil, perkawinan kami tidak didahului dengan cinta-cintaan seperti yang dialami oleh anak muda di tahun delapan puluhan sekarang ini. Kami berpegang pada pepatah “witing tresno jalaran saka kulina―, datangnya cinta karena bergaul dari dekat.
Pejuang Setia, Prajurit Sejati 1 Maret 1949, menjadi peristiwa yang paling heroik bagi Pak harto. Peristiwa inilah, salah satu peristiwa yang menempatkan Pak Harto sebagai pejuang setia dan prajurit sejati. Serangan Umum 1 Maret 1949 itu, tulis Elson (2001:80) dilakukan pada pukul enam pagi, ditandai sirene yang mengakhiri jam malam. Soeharto memimpin serangan dari Barat, bersama pasukan yang bergerak dari semua penjuru untuk menyokong kegiatan pasukan-pasukan yang sudah menyusup masuk—dengan lihai dan gagah berani—-ke dalam kota di bawah naungan kegelapan. Soeharto, dengan pistol Owen favoritnya, memimpin pasukannya—-yang kelak mengklaim bahwa mereka pikir dirinya kebal peluru-—masuk hingga pusat kota di perbatasan jalan Malioboro.
Secara resmi Divisi Diponegoro, yang dikutip Elson (2001:80) menggambarkan serangan itu: Kota Yogya diserang dari empat penjuru. Pasukan dari SWK 102 masuk dari arah Selatan dipimpin oleh Mayor Sarjono. Pasukan SWK 103 masuk dari Barat dipimpin oleh Letkol Suhud. Pasukan SWK 104 dari Utara dipimpin oleh Mayor Sukasno, dan Pasukan SWK 105 dikhususkan menduduki Tanjungtirto, minimal mengisolir pasukan Belanda ini agar tidak dapat menggabungkan diri dengan pasukan lainnya.
Pasukan penyerang ini, bercirikan janur kuning yang dikenakan di bahu. Tepat pukul 06.00 pada tanggal 1 Maret 1949, tulis G. Dwipayana (1989:61), bersama dengan dibunyikan sirine akhir jam malam, yang telah saya tentukan sebagai tanda mulai serbuan, terdengarlah tembakan yang bergemuruh di seluruh kota. Dari pelbagai arah, kami menyerang http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 28 February, 2017, 18:53
Sekretariat Negara Republik Indonesia
kota. Memang mulai sore, kami telah menyusup ke kota, dan pagi hari sebelum sirine berbunyi kami sudah di depan pertahanan Belanda.
Belanda kaget, Kolonel Van Langen, yang baru bangun, rupanya dikejutkan oleh gemuruhnya serangan di pelbagai penjuru. Dalam waktu singkat, kami kuasai kota. Bendera Merah Putih dikibarkan di Jalan Malioboro dan beberapa tempat lainnya. Rakyat menyambut kami dengan pekik “Merdeka―. Kami tahu, Kolonel Van Langen meminta bantuan dari Semarang. Brigade Gajah Merah, dimintanya datang di bawah pimpinan Kolonel Van Zanten. Yogyakarta, kami kuasai hingga tengah hari. Memang sejak semula, kami tidak berniat untuk mendudukinya dan mempertahankanya terus. Enam jam saja kami duduki Yogya. Itu pun sudah cukup untuk mencapai tujuan kami. Kemudian sewaktu Belanda mendapat bala bantuan dari Semarang, saya perintahkan pasukan-pasukan untuk mundur. Tujuan serangan telah tercapai, dan kemudian saya perintahkan pasukan-pasukan untuk menyerang pos-pos Belanda yang ada di luar kota.
Serangan Umum 1 Maret pada siang hari itu, kemudian kita beritakan ke luar negeri melewati Sumatera. Dari Sumatera, berita itu lalu disiarkan ke Check-pointnya di Birma dan dari Birma diteruskan ke New Delhi, dan terus menyebar ke seluruh dunia serta menggetarkan yang ada dalam sidang-sidang PBB. Kita beruntung masih punya pemancar radio di Playen (Wonosari). Pemancar yang dipimpin Perwira AURI, Boediardjo, inilah yang memberitakan ke luar negeri. Belanda mengetahui pemancar ini. Karena marahnya, pada tanggal 9-10 Maret 1949 Belanda menyerang Wonosari secara besar-besaran. Dalam hati saya tertawa, karena dengan serangan itu Belanda masuk perangkap strategi saya. Mereka tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk pembersihan kota. Rakyat kita selamat dari pembalasan Belanda. Untuk lebih membingungkan Belanda, dua kompi yang telah saya siapkan ialah kompi Widodo dan kompi Darsono, saya pimpin sendiri bergerak ke barat menyerang Bantar, Sleman, Kaliurang, lalu menyerang Wonosari. Pada tanggal 5 April 1949 kami tiba kembali di Imogiri dan Segoroyoso. Tanggal 9 April 1949 barulah kami pindah ke Bibis, mendekati kota.
Dalam penilaian Elson (2001:80) serangan ini sebenarnya sekedar kombinasi sejumlah besar serangan berskala kecil yang berkoordinasi baik. Penduduk kota mendukung pasukan, misalnya menaruh makanan dan minuman di depan rumah mereka serta memberi perlindungan ketika pasukan bergerak menjalankan tugas mereka. Belanda, klaim Soeharto, “terkejut― dan, selanjutnya, pasukan republik mampu merebut seluruh kota dan mempertahankannya hingga pukul dua belas siang, ketika bala bantuan yang dipesan oleh Panglima Brigade T Kol.van Langen, akhirnya tiba dari Semarang yang dipimpin oleh Panglima van Zanten.
Pada saat ini, atau lebih larut sekitar pukul dua siang, Soeharto memberi tanda kepada pasukannya untuk mundur karena tujuan sudah tercapai. Sumber-sumber lain hampir sama memuji prestasi serangan itu. Siaran Radio Republik sangat antusias mewartakan kesuksesan ini. RRI Sumatera Utara mengumumkan bahwa Yogyakarta telah direbut dari Belanda dan bahwa pasukan sedang menembak dari pohon-pohon di dalam kota. Bendera Merah Putih berkibar lagi, dan pasukan kami melakukan operasi pembersihan melawan sisa-sisa pasukan Belanda di sekitar kota Yogyakarta. Komentar yang lebih rendah hati dari Radio Rimba Raya milik Republik di Sumatera, sekitar dua hari kemudian, mencatat bahwa serangan terhadap Yogyakarta dan pendudukan kota itu (adalah) prestasi militer yang luar biasa.
Menurut Roeder, yang dikutip Elson (2001:81) serangan ini menunjukkan “kemajuan bagus―, dengan pasukan mencapai pusat kota dan menduduki sebuah pabrik amunisi, tempat mereka mendapatkan “5 ton amunisi dan pesenjataan ringan―, dan sebuah tank kecil, semuanya dengan korban “ringan―. Sejarah resmi Divisi Diponegoro menuturkan, bahwa pasukan KNIL yang menjaga pabrik amunisi telah menyerahkan sejumlah besar amunisi dan persenjataan pada pasukan penyerang republik; “Hasil gerakan bawah tanah kita yang dapat mengadakan kontak dengan pasukan KNIL yang ada di situ―. Sejarah Seskoad mengenai serangan itu menyatakan bahwa; “Dalam waktu singkat, hampir setiap sudut kota di kuasai TNI. Jalan Malioboro hingga Tugu dipenuhi pasukan gerilya―. Salim Said menyatakan, bahwa “tentara republik hampir merebut Yogyakarta―.
Penyusun biografi Siti Hartinah, Abdul Gafur, mengatakan bahwa “warna bendera kebangsaan Merah Putih, berkibar dari semua penjuru kota sementara orang-orang berteriak “merdeka, merdeka―. Pengarang sejarah TNI menulis bahwa; “bisa dikatakan kami dapat dengan mudah mengambil alih hampir seluruh kota dan juga mencapai tujuan-tujuan penting―. Seorang penyusun hagiografis dengan agak emosional mengklaim bahwa peristiwa itu “mengguncang dunia― dan bahwa selama peristiwa itu Soeharto “melumpuhkan militer Belanda setelah ia menduduki Yogyakarta selama 6 jam―. http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 28 February, 2017, 18:53
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Sumber-sumber yang bersimpati terhadap kaum republik cenderung menerima pandangan resmi republik. Jadi, Kahin, jelas dipengaruhi data republik, menulis bahwa “tentara republik hampir merebut Yogyakarta―, sementara Reid menyatakan bahwa Soeharto “menduduki sebagian besar kota selama 6 jam, sebelum bala bantuan untuk Belanda datang―.
Di luar aksi heroiknya, masa tiga tahun ketika Soeharto mengepalai Divisi Diponegoro, tulis Elson (2001:151), adalah tahap kreatif penting dalam hidupnya. Untuk pertama kali, ia berada dalam posisi yang memiliki kekuatan mandiri dan tanggung jawab serius, dan dia tidak buang-buang waktu dalam menerapkan otoritasnya. Ide-idenya atau tepatnya renungan atas pengalamannya dalam konteks pandangannya yang sempit terhadap dunia, namun yang lambat laun berkembang, mulai diterapkan. Ia hanya bisa puas jika sudah berhasil menerapkan ide-idenya, bahkan ketika ia marah karena kekuasaan yang tengah dinikmatinya tiba-tiba direnggut dengan dipindahnya ia ke Bandung.
Masa-masa Semarang ini jelas merupakan masa kebahagiaan dan kepuasan dalam kehidupan Soeharto. Keluarganya, berkembang dengan lahirnya anak ke empat, atau puteri keduanya, Siti Hediati Haryadi pada 14 April 1959. Posisinya sebagai komandan divisi, juga membuahkan hasil. Misalnya, ia mengawasi upacara pemakaman tokoh guru dan pemimpin nasionalis terkemuka, Ki Hajar Dewantoro, di Yogya pada April 1959. Dia juga gembira dengan ditunjuknya dia pada 1 September 1957 sebagai salah satu anggota dewan perwalian Akademi Militer Nasional di Magelang. Selama masa ini, tampaknya Soeharto juga mendapat beberapa kesempatan pendidikan. Ia menyebut “pengetahuan militer― yang didapat di Akademi dan juga di kursus pertama dan kedua untuk perwira senior.
Dalam karir militernya, Pak Harto pernah menjabat Panglima Diponegoro. Soeharto, ketika itu, bertindak layaknya seorang bapak terhadap anak buahnya. Dalam sebuah pidato pada perayaan ulang tahun Divisi pada tahun 1958, ia menegaskan bahwa “kekuasaan seorang pemimpin tidaklah absolut―. Kekuasaan berakar pada kepercayaan yang diberikan kepada pemimpin oleh orang-orang yang dia pimpin. Tanpa kepercayaan ini, mustahil ada kepemimpinan sejati. Soeharto telah mendapat reputasi sebagai seorang “pemimpin tangguh namun tidak memihak―, yang mendapat kepercayaan pasukannya karena dia menghargai pengabdian mereka dan mau bersusah payah menjamin kesejahteraan fisik mereka serta kesejahteraan keluarga mereka, baik sebelum maupun sesudah pensiun.
Soeharto juga dipercaya sebagai panglima Komando Mandala dari markas Caduad (Cadangan Umum Angkatan Darat) hingga memindahkan markas besarnya ke kota Makasar pada 12 Maret 1962. Konsep Komando Mandala melibatkan gagasan satu wilayah perang, dimana unsur darat, udara, dan laut bisa digabung untuk tujuan operasional. Komandonya yang meliputi unit darat di Kodam XIII/Merdeka (Sulawesi Tengah); XIV/Hasanuddin (Sulawesi Tenggara dan Selatan); XV/Pattimura (Nusa tenggara dan Selatan); XVI/Udayana (Maluku); Kodamar V; Kodamar VI; Korud II dan Korud IV, dengan total 42.000 anggota pasukan yang otoritasnya meliputi daerah seluas sekitar lima juta kilometer persegi. Dengan kata lain, Komando Mandala Soeharto meliputi seluruh wilayah timur Indonesia. Soeharto langsung didampingi dua deputi panglima, yaitu Kol. Subono dari Angkatan Laut dan Kol. Leo Watimena dari Angkatan Udara, dan Staf Mandala gabungan. Kepala Stafnya adalah mantan teman belajarnya di SSK-AD, Kol. Ach. Tahir yang ditunjuk pula seorang kepala informasi untuk membantu Soeharto “mengkoordinir dan mengorganisir segala media penerangan.―
Amir Machmud mengomandani staf operasional (G-2) di dalam staf gabungan, sementara Munadi mengomandani staf wilayah gabungan dan pertahanan umum (G-5). Kol. Sudomo, ditunjuk sebagai panglima Angkatan Laut Mandala. Soeharto juga diberi pangkat Gubernur Mandala, dimana pangkat tersebut memberinya kekuasaan hukum darurat efektif atas wilayah Mandala; tanggung jawabnya termasuk meningkatkan produksi pangan dan menyiapkan pemerintahan sipil Irian Barat untuk tugas-tugas pasca pembebasan.
Menurut Soeharto, “ditetapkan bahwa selambat lambatnya 17 Agustus 1962, (bendera) merah putih akan berkibar di Irian Barat. Ini berarti bahwa saya hanya diberi waktu hanya tujuh bulan―. Lagi pula, Soeharto mulai dari nol. Pangkalan tidak ada. Kesatuan tidak ada, karena tugasnya ditentukan dalam waktu pendek. “Memang, tidak lama setelah penunjukannya, Angkatan Laut Belanda menyerang tiga kapal terpedo Indonesia dan menewaskan Deputi Kepala Staf Angkatan Laut Yos Sudarso. Dalam situasi genting ini, pada 2 Maret, di tengah harapan Indonesia bahwa masalah Irian Barat masih bisa diselesaikan secara damai, Soeharto melaporkan hal tersebut kepada staf operasional. Tak lama setelah itu, http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 28 February, 2017, 18:53
Sekretariat Negara Republik Indonesia
sukarelawan dilaporkan tiba di lini depan dan menjalani pelatihan.
Dua minggu kemudian, Soeharto kembali ke Jakarta untuk memberi laporan lain tentang perkembangan mulus persiapannya, dan kembali ke posnya tanggal 18 Maret. Tampaknya, kunjungan-kunjungan ke Jakarta adalah kesempatan Soeharto untuk mengimbau rakyat agar tetap waspada dan siap melaksanakan perintah. Tak lama kemudian, Soeharto mengantar Nasution berkeliling ke berbagai daerah Indonesia Timur dalam perjalanan inspeksi sepuluh hari.
Jalan Menuju Puncak Kekuasaan Peristiwa 1 Oktober 1965 adalah peristiwa paling penting dalam kehidupan Soeharto. Reaksi Soeharto terhadap peristiwa itu, menunjukkan ketenangan pikiran dan kapasitas taktis luar biasa yang sebelumnya tidak pernah ditunjukannya dengan begitu nyata. Peristiwa ini juga, yang memberi jalan promosi politiknya. Tanpa adanya peristiwa menguncangkan yang dipicu oleh Gerakan 30 September, tulis Elson (2001:231) Soeharto mungkin akan menghabiskan hari-harinya dalam ketidak jelasan. Bagaimana pun kini, hal-hal yang awalnya sebatas kemungkinan telah didobrak, dan aktor-aktor dalam drama politik yang memanas itu, mulai menyeburkan diri untuk bertempur memperjuangkan berbagai versi masa depan yang membentang. Hanya dalam beberapa hari, bentang politik bangsa telah berubah. Dominasi kharismatis Soekarno dalam kancah politik telah tergerus secara serius, mungkin fatal. PKI telah tercemar karena melakukan Gerakan 30 September. Kepemimpinan dalam angkatan bersenjata telah melemah, dan struktur kesatuan yang rapuh telah tercerai berai.
Hanya satu tokoh utama—Soeharto—-yang muncul dari pergolakan ini, dengan reputasi yang semakin meningkat. Kemunculannya semakin nampak hebat berkat kemenangan nya pada masa-masa sebelumnya. Soeharto bukan lagi tokoh buram dan tidak menonjol, seperti di masa lalu. Soeharto kini berada pada poros politik, tetapi tidak ada tokoh dalam kancah politik yang tahu banyak tentangnya, apalagi tahu bagaimana dia bisa sejalan dengan legitimasi yang baru dimenangkannya dan kesempatan luas yang membentang di hadapannya.
Pada awal 1968, langkah akhir dalam drama panjang yang melesatkan Soeharto kepuncak kekuasaan, mulai diayunkan. Pada Februari dan Maret, ia berusaha mengukuhkan legitimasi kekuasaannya dalam situasi politik cair dengan cara mereorganisasi parlemen dan MPRS, mengganti anggota-anggota yang diduga terkait dengan Gerakan 30 September, dan membagikan kembali kursi kosong kepada anggota partai, memberi kursi pada front aksi, dan meningkatkan perwakilan pihak militer dan “kelompok fungsional―.
Terlepas dari kerendahan hatinya dulu, sehubungan dengan masalah itu, penobatan Soeharto sebagai presiden penuh hanyalah sekadar formalitas. Soeharto telah berupaya keras mengatasi; “persoalan kekompakan ABRI itulah (yang) senantiasa mempengaruhi pikiran saya― dan memperkuat kendalinya. Tidak ada pesaing politik yang serius yang muncul. Sebenarnya, terlepas dari sejumlah pihak antipemerintah yang terinspirasi oleh komunis yang muncul di Surabaya pada Januari, dan demonstrasi front aksi mahasiswa menentang tingginya harga beras, hanya ada sedikit oposisi terhadap pemerintahannya. Kemudian, pada sidang MPRS V pada Maret 1968 – yang diajukan DPR baru atas permintaan Soeharto, dan aman berkat langkah efisien panglima Jakarta Amir Machmud dalam meredam aksi protes sipil—-Soeharto terpilih sebagai presiden untuk jangka waktu lima tahun, dan dimandatkan untuk melanjutkan upayanya menstabilkan politik bangsa dan meningkatkan kinerja ekonomi melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun.
Ia sangat berhati-hati dalam bertindak demi meningkatkan bobotnya dalam politik. Kesabaran, kekeraskepalaan dan perhitungan, adalah konsep andalan Soeharto-mendesak maju ketika melihat celah, bertahan ketika kesempatan tertutup, membuat rancangan untuk menyingkirkan pengacau atau penghambat yang potensial. Terkadang sikapnya ini mendatangkan kritik baginya, bahwa dia terlalu diam, rendah hati, atau tidak tegas. Seperti yang dikemukakan oleh seorang teknokrat, ada satu hal telah saya pelajari selama bekerjasama dengan presiden: Memegang teguh tujuan utama, seraya melakukan berbagai manuver untuk menyelesaikan masalah. Dalam melakukan itu, Soeharto berhasil menorehkan reputasi sebagai seorang yang sukses, seseorang yang pada akhirnya mampu memberi hasil yang diharapkan.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 28 February, 2017, 18:53
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Meski ada masalah yang secara bertahap kian menumpuk seputar dirinya, Soeharto tampaknya sekarang kebal serangan, dibentengi, di satu sisi oleh kekuasaan militer dan, di sisi lain, oleh penerimaan tanpa protes kalangan sipil terhadap rezimnya secara umum, “sesudah semua pergolakan yang melelahkan itu,― seorang pengamat mengomentari, “pemerintahan yang kuat dan memiliki tujuan adalah apa yang jelas dimaksudkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia, yang mungkin jelas sangat berbeda dengan apa yang dimaksudkan oleh beberapa intelektual―. Kabinet pembangunan keduanya, yang diumumkan pada malam 27 Maret 1973, adalah masalah penghalusan saja.
Negarawan Terhormat Maka Sidang MPRS pun dilangsungkan. G. Dwipayana (1989:226) menuliskan peristiwa itu: Saya memasuki ruangan sidang MPRS itu dengan mengenakan pakaian sipil, memakai peci. Ketua MPRS, Abdul Haris Nasution, membuka sidang itu, lalu saya menyampaikan laporan, dalam nada seperti tahun yang lalu. Dan seperti di depan Sidang DPR-GR saya mengajukan fakta-fakta dan data-data, serta menekankan pentingnya pembangunan ekonomi. Sidang MPRS itu tentunya ramai berdebat. Malahan sebagian dari mereka sempat berunding di rumah saya, sampai larut malam, sampai subuh. Akhirnya kesepakatan didapat. Saya diangkat sebagai Presiden penuh, sebagai Presiden kedua, dengan tugastugas berikutnya.
Dalam Pidato setelah saya terpilih menjadi Presiden penuh, saya sampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas kepercayaan dan kehormatan yang untuk kesekian kalinya dilimpahkan oleh Majelis kepada saya. Saya nyatakan bahwa tidak semua persoalan telah terpecahkan, akan tetapi ini tidak berarti bahwa demokrasi telah gagal di Indonesia. “Kami hanya ingin mengulangi janji kami, bahwa kami tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan Majelis dan kami berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan janji itu―, kata saya. “Kami akan tetap berpegang pada prinsip-prinsip Orde Baru yang telah kita letakan bersama. Prinsip yang selalu akan kami pegang teguh dalam melaksanakan tugas MPRS yang dipikulkan kepada kami adalah menegakkan hukum, menegakkan Konstitusi, dan menegakkan demokrasi―.
Mulai dengan Repelita I, Kabinet Pembangunan I yang merupakan kombinasi antara tenaga-tenaga ahli dari lingkungan universitas dan ABRI, mengawali era baru kehidupan bangsa Indonesia. Tugas pokok Kabinet ini saya tetapkan dengan sebutan Panca Krida Kabinet Pembangunan: stabilitas politik termasuk pelaksanaan politik luar negeri; pemilihan umum; pengembalian ketertiban dan keamanan; penyempurnaan dan pembersihan aparatur negara, dan stabilitas ekonomi serta pembangunan lima tahun yang pertama. Dengan pegangan itu, berlayarlah bangsa Indonesia menempuh gelombang dan tantangan yang dihadapi, menuju cita-cita yang sudah ditetapkan bersama.
Sementara itu, karena sidang MPRS 1968 tidak menyodorkan GBHN melainkan menyerahkannya kepada saya untuk menyusunnya, maka saya menugasi Bappenas yang diketuai oleh Prof. Widjojo Nitisastro untuk menyusun rencana pembangunan nasional jangka panjang. Pada tanggal 1 April 1969, saya melakukan pencangkulan pertama sebagai tanda dimulainya Repelita I. Pada prinsipnya kita melaksanakan pembangunan ini dengan kekuatan sendiri. Akan tetapi kita menyadari pula kemampuan kita itu, serba terbatas. Maka untuk mempercepat pembangunan itu, kita memanfaatkan prinsip kerjasama dengan bangsa-bangsa lain secara saling menguntungkan. Tetapi bantuan dari luar itu tetap kita tempatkan sebagai pelengkap. Kita sudah berjaga-jaga jangan sampai bantuan itu nanti membuat kita sengsara. Jangan sampai hal itu mengurangi kemampuan kita sendiri. Karena itu kita sendiri menentukan persyaratan mengenai bantuan asing tadi. Bukan mereka yang menentukan. Kita yang menentukan. Benar bantuan itu kita butuhkan, tetapi untuk memperkuat kemampuan kita sendiri.
Masa jabatan kepresidenan pertama Soeharto ditandai oleh masa-masa kreativitas politik yang profetis sekaligus menakutkan, tulis Elson (2001:383). Berkebalikan dengan tuduhan-tuduhan yang dinisbahkan kepadanya, bahwa ia adalah seorang pemimpin yang kelewat pragmatis reaktif dan kaku. Ia secara bertahap, mengembangkan dengan sistematis dan terarah sistim politik yang sama sekali baru dan mewujudkan serta menerapkan pemahaman uniknya, baik tentang struktur yang tepat bagi Indonesia maupun keinginan sejati rakyatnya. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang ia pimpin, termasuk “kisah sukses Repelita 1―, menghasilkan laju pertumbuhan yang mengesankan, sangat didukung oleh aliran modal asing, perluasan ekspor yang sangat besar-—sebagian besar kayu dan minyak-—serta boom dalam produksi beras, yang menjanjikan swasembada menjelang pertengahan dasawarsa tersebut.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 28 February, 2017, 18:53
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Orde Baru Soeharto, sudah tentu, adalah bangunan yang awet namun, seperti yang kita lihat, dibangun di atas serangkaian kontradiksi, baik dalam struktur dan dampak yang akan, pada akhirnya, membuatnya tumbang. Sinyal pertama atas permasalahan-permasalahan inherennya mulai muncul menjelang akhir tahun 1960-an. Namun, Soeharto tidak melakukan hal positif untuk melindungi dirinya dari mendung kecaman dan serangan semakin menebal. Memang, ia dan kelompoknya yang berkuasa, sekarang terikat erat dan semakin terasing dari masyarakat yang mereka perintah, mencoba meremehkan atau mengabaikan maupun menepis begitu saja kecaman-kecaman terhadap gaya dan substansinya pemerintahannya, serta menindas mereka yang menganut gagasan-gagasan itu. Meski kepemimpinan serta kelanggengan pemerintahannya tidak bisa dimungkiri, ia menghadapi dasawarsa panjang yang penuh perjuangan dan pergolakan dalam mempertahankan posisi serta keutuhan visinya tentang Indonesia.
Soeharto mencatat beberapa kemajuan penting dalam pembangunan rezimnya selama zaman Orde Baru. Pada sisi infrastruktur, ia memimpin negara yang memiliki modal alat dan manusia serta kemampuan di berbagai sektor, baik dalam lingkup pemerintahan maupun swasta, yang hanya bisa diimpikan saja oleh pendahulunya-—yang dengan cepat mengubah wajah masyarakatnya. Ekonomi tumbuh baik, stabilitas terjaga, dan swasembada pangan pernah dicapai.
Di bidang ideologis, ia telah mengkomposisikan bahan-bahan bangunan pokok untuk korporatisasi Indonesia. Menjelang peralihan ke tahun 1980-an, lonjakan harga minyak yang menguat lagi, serta serangkaian panen padi yang istimewa, ikut membantunya dalam memantapkan kembalinya legitimasinya yang sempat dikatakan oleh beberapa kalangan sedang surut. Dan memang, pada 1981, Soeharto mengungkapkan tekad bulatnya untuk tidak melakukan hal lain di sisa hidupnya kecuali “untuk mengabdi bagi kepentingan rakyat―. Perkembangan sosial dan ekonomi, pada gilirannya meletakkan landasan bagi Indonesia baru-dimana kekuasaan militer tidak begitu diperlukan dan juga tidak cocok lagi. Jika menoleh kebelakang, sangatlah tepat bahwa tahun-tahun awal 1980-an memperlihatkan kebangkitan birokrasi dan keahlian hukum—sebagai kekuasaan—sebagai kekuatan yang berdiri sendiri.
Menjelang akhir era 1980-an, kekuasaan yang dibangun Soeharto menjelang pertengahan dasawarsa itu, mulai menunjukkan tanda-tanda kerawanan. Ia memerintah masyarakat yang berubah dengan cepat sebagai akibat dari perubahan-perubahan revolusioner di bidang sosial dan ekonomi yang muncul di masa kepemimpinannya. Masyarakat madani mulai muncul dan menuntut partisipasi politik yang lebih langsung dan transparan, serta dibentuknya jenis-jenis lembaga yang lebih baru, guna mengakomodasi aspirasi-aspirasi mereka.
Satu hal yang menarik, ketika publik ramai-ramai menuding Soeharto sebagai biang KKN, tetapi Pak Harto punya pandangannya sendiri tentang korupsi. Tak Ada yang Membenarkan Korupsi, katanya sebagaimana ditulis G. Dwipayana (1989:250). Orang pernah ramai bicara mengenai korupsi. Sekitar tahun 1970 para mahasiswa pernah mengadakan demontrasi dan menempel-nempelkan poster di jalan-jalan Jakarta, di mobil-mobil, dan di bus-bus, menuntut pemberantasan korupsi. Surat-surat kabar tertentu gencar pula menghantam korupsi. Lalu para mahasiswa itu membentuk “Komite Anti Korupsi (KAK)―. Saya mengadakan dialog langsung dengan mahasiswa itu, baik di rumah di Jalan Cendana, maupun di Istana Negara. Sekian tahun setelah itu seorang tokoh KAK itu mengakui bahwa reaksi pemerintah, termasuk reaksi saya, terhadap pernyataan pernyataan KAK itu positif.
Memang, kita pernah berusaha keras dalam hal ini, beberapa macam aparat untuk memberantas korupsi sempat kita bentuk. Sebelumnya kita sudah punya Badan Pengawas Keuangan, aparat kita untuk menyelidiki kesalahan-kesalahan dalam pemakaian uang negara. Lalu saya bentuk pada permulaan 1966 Pengatur Keuangan Negara (Pakuneg) yang fungsinya mengumpulkan bahan-bahan tentang kesalahan-kesalahan yang dituduhkan atas anggota-anggota pemerintah lama-waktu itu—seperti Yusuf Muda Dalam dan Chaerul Saleh. Kita berhasil mendapatkan dana-dana tidak tetap yang disimpan oleh orang-orang yang bersalah, baik yang disimpan di Indonesia maupun di luar negeri. Setelah sebentar berhenti, lalu Pakuneg itu diaktifkan kembali di bulan April 1967, waktu masyarakat gelisah mengenai beberapa pejabat tinggi yang dituduh melakukan korupsi. Ada beberapa pegawai tinggi dan jenderal yang diajukan ke Pengadilan waktu itu dan dijatuhi hukuman. Saya pernah mengangkat tim pemberantasan korupsi di bulan Desember 1967, di bawah pimpinan Jaksa Agung Sugiharto dan beranggotakan beberapa wartawan dan wakil-wakil dari kesatuankeastuan aksi. Pemeriksaan dilakukan, dan ada yang diadili serta dikenakan hukuman di tahun 1968.
Pada bulan Januari 1970 terjadi demonstrasi mahasiswa. Saya menanggapi langsung tuntutan mahasiswa itu dengan http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 28 February, 2017, 18:53
Sekretariat Negara Republik Indonesia
membentuk “Komisi Empat― pada akhir Januari 1970, diketuai oleh Tokoh Politik dari PNI Wilopo dan anggota-anggotanya terdiri atas pemimpin Partai Katolik I. J. Kasimo, bekas Rektor Gajah Mada Johannes, dan tokoh Politik dari PSII Anwar Cokroaminoto. Bekas Wakil Presiden Moh. Hatta duduk menjadi penasehatnya. Mayor Jenderal Sutopo Yuwono jadi Sekretarisnya. Semua itu tokoh-tokoh yang dipercayai kebersihannya.
Meredupnya Pamor Pak Harto Tatkala Soeharto jatuh dari kekuasaan dalam situasi krisis pada Mei 1998, Indonesia menghadapi masa depan yang suram dan kacau. Karena begitu lama dia berkuasa dan otoritasnya sangat menghujam pada masa kejayaannya, sulit membayangkan Indonesia dalam format lain selain Orde Baru. Selain itu, saat dia lengser, Indonesia tampak bertekuk lutut, lumpuh bukan hanya akibat badai krisis keuangan Asia tahun 1997-1998, melainkan jelas-jelas lebih diakibatkan warisan kelembagaan dan politik Soeharto sendiri.
Mungkin awalnya sulit diyakini, tulis Elson (2001) bahwa era Soeharto akan bertahan lama ketika ia muncul pada usia 44 tahun—usia yang relatif muda untuk jadi seorang presiden—di masa penuh kekacauan yang dipicu oleh peristiwa 1 Oktober 1965. Meski pun ia menduduki posisi perwira tinggi (pangkatnya adalah Mayor Jenderal, dan ia menjabat sebagai wakil dari panglima Angkatan Darat yang kala itu dijabat oleh Achmad Yani, Soeharto dianggap pria yang tenang, introspektif, dan tidak terlalu menonjol. Berlatar belakang Jawa rendahan dan pendidikan terbatas. Soeharto memiliki reputasi sebagai perwira lapangan dan pemimpin pasukan yang tangguh dan sukses. Kendati demikian, Soeharto tidak memiliki kharisma dan bakat politik atau sosial. Soeharto itu keras, bisa diandalkan, tidak banyak mengeluh. Soeharto adalah yang jika diserahi instruksi dan amanat secara benar, dengan tuntas melaksanakan tugas yang diberikan.
Terbukti bahwa Soeharto mampu membangun kepercayaan, menunjukkan keahlian terpendam dalam membujuk, bahkan menunjukkan ketegasan serta keahlian strategis dan taktis pimpinan tertinggi. Keahlian ini mengantarkan Soeharto ke puncak kekuasaan dan bertahan selama lebih dari tiga dasawarsa. Soeharto menjadi salah satu pemimpin politik termasyhur dan sukses di dunia. Dia bisa tenang dan percaya diri berhadapan dengan para pemimpin dunia maupun dengan rakyatnya sendiri. Dia tampil sebagai negarawan terhormat selama lebih dari 30 tahun; dihormati di dalam negeri, dan disegani di luar negeri.
Namun, pada akhirnya, kekuasaan yang dibangun lebih dari tiga dasawarsa, akhirnya runtuh juga. Demonstrasi mahasiswa di seluruh negeri, tak bisa dibendung. Jargon Korupsi, Kolusi, dan Nepotismo menjadi senjata ampuh untuk melumpuhkan Sang Jenderal Besar. Bukan desingan peluru atau dentuman mesiu. Akhirnya, Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden, pada tanggal 21 Mei 1998. Kalau Ajal Saya Sampai! Jauh sebelum Pak Harto meninggal dunia, pada tahun 1974 Pak Harto sudah bicara mengenai kematian. Kalau saatnya tiba saya dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, tulis G. Dwipayana (1989:561) maka mengenai diri saya selanjutnya sudah saya tetapkan: saya serahkan kepada isteri saya. Sebetulnya isteri saya telah menerima pula “Bintang Gerilya― dan “Bintang RI.― Jadi, dia juga bisa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Tapi sudahlah. Ia dengan Yayasan Mangadeg Surakarta, sudah merencanakan lain. Ia sudah membangun makam keluarga di Mangadeg, tepat di Astana Giribangun. Dan masa’kan saya akan pisah dari isteri saya! Dengan sendirinya saya akan minta dimakamkan di Astana Giribangun bersama keluarga. Kami tidak mau menyusahkan anak cucu kami, jika mereka nanti ingin berziarah.
Memang saya pun mendengar orang bicara bahwa belum juga saya mati, saya sudah membuat kuburan. Padahal yang sebenarnya, kuburan itu kami buat untuk yang sudah meninggal, antaranya untuk ayah kami (mertua saya). Selain itu, pikiran saya menyebutkan; “apa salahnya, sebab toh akhirnya kita akan meninggal juga.― Kalau mulai sekarang kita sudah memikirkannya, itu berarti kita tidak akan menyulitkan orang lain. Asalkan tidak menggunakan yang macam-macam, apa jeleknya ? Omongan orang bahwa Astana Giribangun itu dihias dengan emas segala, omong kosong. Tidak benar! Dilebih-lebihkan. Lihat sajalah sendiri. Yang benar, bangunan itu berlantaikan batu pualam dari Tulung Agung. Tentu saja kayu-kayunya pilihan, supaya kuat. Pintu-pintu di sana, yang dibuat dari besi, adalah karya pematung kita yang terkenal G. Sidharta. Alhasil segalanya buatan bangsa sendiri.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 28 February, 2017, 18:53
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Ibu mertua saya, melakukan cangkulan pertama di Gunung Bangun yang tingginya 666 M di atas permukaan laut, pada hari Rabu Kliwon, 13 Dulkangidah Jimakhir 1906 atau 27 Nopember 1974. Saya bersama isteri saya, sebagai pengurus Yayasan Mangadeg Surakarta, meresmikan Astana Giribangun itu pada hari Jumat wage tanggal 26 Rejeb ehe 1908 atau 23 Juli 1976. Kebiasaan di Jawa mempergunakan candrasangkala. Maka kami terangkan di sana sinengkalan; Rasa Suwung Wengening Bumi (rasa iklas membuka bumi) waktu ibu melakukan cangkulan pertama itu, dan Ngesti Suwung Wengening Bumi (Suasana Hening Membuka Bumi) waktu kami meresmikan makam keluarga Yayasan Mangadeg Surakarta itu.
Saya pun tahu, saya tidak luput dari kesalahan. Maka seperti pernah berulang kali saya katakan, di sini pun saya ulangi lagi, hendaknya orang lain mengikuti contoh-contoh yang baik yang telah saya berikan kepada nusa dan bangsa, menjauhi hal-hal yang buruk yang mungkin telah saya lakukan selama saya memikul tugas saya. Berkenaan dengan pemindahan kekuasaan, sudah saya tunjukkan jalannya, yakni dengan cara damai dan menurut konstitusi, yang hendaknya terus berlaku untuk masa yang sekarang mau pun masa yang akan datang.
Kalau ditanya, apa wasiat saya kalau saya nanti pada waktunya dipanggil oleh Yang Maha Kuasa? Wasiat saya, sebenarnya bukan wasiat saya sendiri, melainkan wasiat atau pesan kita bersama. Yakni agar mereka yang sesudah kita benar-benar dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini. Saya pikir, yang penting adalah suatu pengelolaan negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 sedemikian rupa, sehingga cita-cita perjuangan bangsa kita benar-benar terlaksana dan tercapai dengan sebaik baiknya.
Selama bangsa Indonesia tetap berpegang kepada Pancasila sebagai landasan idiilnya, dan UUD’45 sebagai landasan konstitusinya—dan tetap setia kepada cita-cita perjuangannya, ialah mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila—dengan sendirinya persatuan dan kesatuan bangsa itu akan bisa terwujud. Berpegang kepada kedua hal itu, cita-cita perjuangan sebagai bangsa yang tetap ingin merdeka, berdaulat, bisa hidup dalam kemakmuran dan keadilan, niscaya akan tercapai. Insya Allah !
Penutup Pak Harto, tidak diragukan lagi, adalah salah satu tokoh yang penting di Asia abad ke-20, meski warisan kelembagaannya melemah seiring berlalunya waktu. Soeharto telah membangun Indonesia yang sepenuhnya baru, yaitu Indonesia yang memiliki kesadaran akan identitas dan tujuan kokoh dengan perekonomian yang tumbuh pada tingkat (meski ada sedikit gejolak) stabil yang mengejutkan dunia, dan yang membawa rakyatnya menuju ke tingkat kemakmuran baru.
Dengan kesadaran yang penuh akan tujuannya itu, Soeharto menunjukkan tekad baja dan kehendak kuat dalam melaksanakan tugas, yang hampir musykil untuk mengubah negaranya yang semula miskin, terpuruk, terpecah-pecah secara kultural dan politik, menjadi kisah sukses dan teladan memukau bagi negara berkembang lainnya.
Sepanjang hayatnya, Pak harto telah mendarma-baktikan dirinya bagi Indonesia, baik sejak zaman perang kemerdekaan hingga zaman pembangunan yang dirintisnya. Tidak salah, jika Presiden RI, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono menyebutnya sebagai salah seorang putera terbaik bangsa, pejuang setia, prajurit sejati, dan negarawan terhormat.
Selamat Jalan Bapak Pembangunan!
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 28 February, 2017, 18:53