Sejatinya, semua manusia terlahir untuk dua hal, mendapatkan berita terbaik dan terburuk. Berita ini adalah sebuah misteri, ketika mereka terus menaungi hidup dan seperti melihat sebuah jurang terbesar. Terbesit sebelumnya apa yang akan mereka lakukan, meloncat setinggi mungkin atau rela jatuh sedalam mungkin. Berita baiknya, yang berjuang untuk meloncatlah yang akan bisa melanjutkan hidup. Dan berita buruknya, yang pasrah akan terjatuhlah yang akan “terseleksi” oleh kehidupan. Dan tidak selamanya yang kita anggap terbaik adalah yang paling baik, dan yang terburuk adalah yang paling buruk. Kadang, jika dicontohkan sebuah alat mematikan yang dianggap menghidupkan bernama Kemoterapi. Seekor lintah yang dianggap melukakan justru menyembuhkan. Sebuah barang yang menyenangkan tetapi ternyata diselimutkan oleh radiasi mematikan bernama handphone. Tidak ada yang tahu. Sama seperti pengalamanku satu ini. Baru sekitar 3 bulan ini, aku berhasil berada disebuah lingkup perusahaan yang sejatinya menjadi impian beribu-ribu pasang mata disana. Karena prestasiku selama ini lah, yang akhirnya membuahkan sebuah hadiah, berada disini. Aku merasa bangga, begitu pula keluarga dan rekan-rekanku. Dan lebih tepatnya aku kali ini benar-benar bangga karena bisa menjadi partner kerja dengan seorang pria bernama Tommy. Dia adalah teman semasa kuliahanku dulu. Dikatakan teman juga mungkin tidak pantas, karena (mungkin) dia sama sekali tidak pernah mengenalku. Kami berada disatu kampus yang sama, hanya jurusannya saja yang berbeda. Kembali ingatanku berputar. Setiap hari senin, aku rela berangkat ke kampus lebih awal 2 jam hanya untuk melihatnya yang mendapat jatah jam ngampus yang lebih awal dariku. Mengikuti kegiatan jogging pagi di hari minggu bersama dengan anak-anak asing agar bisa memperhatikannya karena ia suka nongkrong bareng teman-temannya disana. Menabung dan membeli beberapa jaket yang sama persis dengannya agar bisa dibilang orang ‘jodoh’, ‘kebetulan’, dan kata-kata bodoh lainnya. Dan sekarang jika dipikir-pikir lagi, benar-benar semua ini adalah
pembodohan diriku. Dan pertemuanku setelah lulus ini bukanlah sebuah kebetulan belakang. Beberapa bulan sebelum penawaran lamaran kerja besar-besaran, aku sempat mendengar pembicaraannya dengan teman-temannya kalau ia akan mencoba melamarkan diri ke perusahaan tempat kami bekerja sekarang. Setelah mendengar berita tersebut, aku segera mencari tahu tentang perusahaan itu dan tepatlah petunjuk jika aku bisa mendaftarkan diri (juga) kesana. Terus-terusan aku berdoa, bukan berdoa untuk diri sendiri saja, tetapi berdoa juga untuk diterimanya kami berdua. Anggaplah saja aku sudah terlalu tergila-gila. Betapa tidak senangnya, seperti sebuah janji Tuhan, kami disatu kantorkan dan malah dijadikan rekan kerja. Mulanya aku malu-malu tak menentu, mengingat sekitar 3 tahun perjuanganku terasa membuahkan hasil hari ini. Dan sekarang tak hanya dengan 17 detik memandang (walaupun dengan cara curi-curi), sekarang minimal pertemuan kami 9 jam sehari. Belum lagi jika ada jadwal lembur, mungkin pertemuan kami akan lebih lama dibanding sepasang muda-mudi yang duduk dibangku SMA. “Pulang sama siapa?” Tanya nya sambil merapikan kertas-kertasnya. Waktu sudah menunjukkan tepat pukul 8 malam. Dan kali ini kami lembur kerja. aku sedang mencoba mematikan sambungan wifi di laptop ketika tiba-tiba terasa jantung ini hampir lepas mendengar pertanyaannya barusan. “Palingan juga sendiri” Kataku sama sekali tidak memandang wajahnya, berusaha menutupi jika saat ini perasaanku sedang senangnya bukan main. “Yaudah sama saya aja, udah malem banget” Katanya masih dengan merapihkan kertas-kertas yang tadi sore sempat mengotori meja kerjanya.
“Hm, boleh deh. Karena kepaksa ya” Kataku mencoba menetralkan jantung dan otak. Saat ini hanya lelucon segaring itu yang bisa aku ucapkan. Dan dia ternyata membalas dengan kekehan yang membuat jantung ini semakin tidak karuan. Beberapa saat kemudian, aku duduk disebelah kursi mobilnya. Mobilnya yang sejak kuliah digunakannya, dan sampai sekarang masih digunakan. “Mau makan malem dulu gak?” Tanyanya memecahkan keheningan. Aku melirik sejenak kearahnya dan buruburu
mengalihkan
pandangan
saat
tertangkap
basah
oleh
sedang
memperhatikannya. “Boleh, laper banget nih” Dan lelucon kedua ini berhasil membuatnya tertawa walaupun hanya kekehan. Dia memilih sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari kantor. Kami memesan sebuah sirloin steak dan tanpa sepengetahuanku ia memesankan dua gelas grape squash. “Grape squash?” Tanyaku saat melihat seorang pelayan memberikan dua gelas minuman yang sudah kukenali sebelumnya, minuman favoritenya dari sejak jaman kuliah. Ia menganggukkan kepala. “Daripada minum wine, mending grape kan. Sama-sama anggur” Candanya sambil meneguk segelas anggur. Kali jamuan pertama darinya, setelah 3 tahun menunggu. Rasa soda anggur ini sangat manis, semanis rasa nostalgia kuliah. Kurang lebih 22 detik aku berhasil memandanginya (tanpa sepengetahuannya). Dan menjadi sebuah rekor untukku dari jaman kuliah. “Kenapa kamu suka grape?”
Tanyaku mencoba membuyarkan situasi. “Soda anggur itu minuman paling menyejukkan tenggorokan menurutku. Dan walaupun banyak orang bilang jika meminum soda dengan jumlah berlebihan malah bisa membuat penyakit serius, tetapi menurutku soda malah kaya betadine, penyembuh luka” “Luka apa?” “Ya semua luka. Luka luar, maupun luka dalam. Coba kamu sekali teguk ini” Ia menyerahkan minuman grape squash itu padaku. Aku segera meminumnya. “Gimana rasanya?” “Bikin sakit hidung sih, tapi kalo sekali minum langsung bisa ngeluarin sendawa” “Nah itu dia definisi soda. Sama kaya definisi betadine. Mulanya bikin sakit, tapi makin lama malah bisa nyembuhin, kalo soda bisa nyembuhin perut kembung” Katanya panjang lebar. Mulanya aku tidak paham dengan kalimatnya tadi, tetapi setelah dicerna secara perlahan, menurutku kata-katanya barusan benar. “Oh iya, kita dulu satu kuliah ya?” Aku hampir tersedak soda mendengar kalimatnya barusan. Ternyata dia mengenaliku. Mungkin saja wajahku saat ini berubah menjadi merah. “Iya. Tapi kita gak saling kenal ya.” Dia mengangguk. Kali ini sambil tersenyum, manis sekali. “Lucu ya, dulu kalo ketemu gak pernah nyapa, dan sekarang kita bisa duduk hadap-hadapan gini” Kataku mencoba menetralkan hati, sekali lagi. “Tapi saya kenal kamu kok” “Kenal dimana?” Tanyaku sedikit kaget.
“Siapa sih yang gak kenal anak akselerasi yang berhasil lulus dengan nilai terbaik” Kali ini aku tertawa terbahak-bahak. Aku merasa bangga dengan diriku sendiri (saat ini). “Kenapa ketawa?” Tanyanya melihat tingkahku yang aneh itu. “Saya kira kamu orang paling gak peduli loh, ternyata ngenalin anak se-anti sosial saya” “Jadi kamu juga dulu kenal sama saya? Hahaha bener-bener lucu ya kalo inget kita ternyata dulu sama-sama kenal” Kali ini dia yang tertawa paling keras. Dan aku hanya membalas dengan senyuman, senyuman penuh rasa bangga.