B
II A
B
SEJARAH YAYASAN DAMANDIRI
10 TAHUN YAYASAN DAMANDIRI MENGABDI TANPA HENTI
1 5
1 6
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
CATATAN INDONESIAKU
P
ROKLAMASI kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 telah mengubah suasana penjajahan menjadi suasana nasional yang berkobar-kobar di seluruh Tanah Air Indonesia. Adalah menarik dan bijak kalau kemudian para pejuang pendiri negeri ini menuangkan citacita kemerdekaan bangsanya dalam Undang Undang Dasar 1945 yang bersemangatkan falsafah bangsa Pancasila. Untuk mensejahterakan rakyat ditulis tegas dalam naskah Pembukaan UUD 45 yang kemudian dirinci dalam pasal-pasal berikut penjelasannya. Karena itu sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, Pemerintah dan Rakyat Indonesia menaruh perhatian yang sangat tinggi terhadap masalah terkait upaya peningkatan kesejahteraan seluruh warga bangsa. Kesemuanya tidak terlepas dari persoalan
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
1 7
kependudukan di negeri ini. Ide dan cita gagasannya memang indah. Namun untuk mencapainya tidak semudah membalik telapak tangan. Bisa dipahami, pembangunan pada tahap awal tidaklah mudah. Wilayah Indonesia dari Sabang sampai Kepulauan Aru dan kemudian sampai Merauke memerlukan kegigihan para pejuang dibidangnya. Apalagi sumber daya manusia yang dimiliki masing-masing pulau terbatas. Meski relatif masih sangat minim, langkah peningkatan kesejahteraan rakyat utamanya pemberdayaan sumber daya manusia sudah dimulai. Dengan Indonesia yang merdeka kesempatan pendidikan mulai terbuka. Seiring dibangunnya sarana pendidikan sesuai kemampuan negara muda, kesadaran bersekolah setahap demi setahap ditumbuhkembangkan bagi semua anak Indonesia. Di bidang kesehatan, sumber daya manusia pembangun yang dimiliki bangsa keadaannya tidak jauh berbeda dengan kondisi bidang pendidikan di negeri ini. Bisa dipahami karena sarana kesehatan seperti rumah sakit di era penjajahan utamanya untuk memfasilitasi para penjajah. Untuk itu usaha-usaha yang dibangun di bidang kesehatan masyarakat diawal merdeka meliputi bidang higiene lingkungan termasuk pengadaan air minum, kesehatan ibu dan anak, kesehatan sekolah, kesehatan perusahaan, pendidikan tentang kesehatan pada rakyat dan perbaikan gizi. Kita ingat semboyan “empat sehat dan lima sempurna” yang bergema sampai ke desa sekarang ini adalah slogan buah pikir lembaga Makanan Rakyat yang saat itu dipimpin dr. Poerwosoedarmo. Langkah-langkah pemberdayaan manusia Indonesia dibidang
1 8
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
pendidikan dan kesehatan tersebut mendapat dukungan dari badan-badan internasional PBB maupun secara hubungan bilateral seperti WHO, UNICEF, UNESCO, USAID. Bantuan demikian memang sangat diperlukan bagi bangsa yang sedang berbenah seperti Indonesia saat itu. Sebagai gambaran pemberian susu oleh UNICEF pada awal tahun 1950-an telah mendorong tumbuhnya Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) secara dramatis. Catatan Departemen Kesehatan menunjukkan kalau tahun 1951 jumlah BKIA hanya 380 buah, pada tahun 1959 jumlah BKIA meningkat menjadi 2300 buah tersebar di seluruh Indonesia. Dalam sidang Dewan Perancang Nasional (DEPERNAS) pada tanggal 28 Agustus 1959, Presiden Republik Indonesia, Ir. Soekarno mengumumkan Rencana Pembangunan Semesta Berencana Delapan Tahun. (1959-1967).
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
1 9
Berbagai rencana memang dikerjakan meski lamban. Hingar bingar dan “mendhung” politik sangat berpengaruh bagi bangsa yang sedang menata diri. Pembangunan berencana lima tahun dimulai sejak tahun 1969 yang lebih dikenal dengan sebutan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) menghangatkan negeri. Pola ini menggantikan Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun (l959-l967) yang dicanangkan pemerintahan sebelumnya Gegap gempita Gerakan Pembangunan Terpadu di berbagai sektor terkait pemberdayaaan sumber daya manusia dan dukungannya, pada Pelita I yang dimulai tahun 1969/1970 – 1973/1974 membawa hasil cukup berarti. Pembangunan di bidang pendidikan dan kesehatan saat itu. Bidang pendidikan sebagai pilar utama peningkatan kualitas bangsa cukup diperhatikan. Paling tidak saat itu, pada tahun l974, dibangun 6.000 Sekolah Dasar (SD) INPRES, meningkatkan mutu 1000 Sekolah Menengah Pertama (SMP) dari 1.427 SMP yang ada saat itu, melengkapi 200 SMA dari 421 SMA yang ada saat itu. Sedang Perguruan Tinggi yang berjumlah 29 semakin dikembangkan. Pembangunan di bidang kesehatan dari Sejarah Kesehatan (Depkes1978) dapat di simak dalam Repelita I yang diawali tahun l969 dan berakhir tahun 1974 kiprah bangsa berjalan marak. Gerak bidang kesehatan diawali dengan Rapat Kerja Kesehatan (RAKERKESNAS) yang ke-1 pada tahun 1968. Dalam Rakerkesnas ini dimatangkan konsep Pusat Kesehatan Masarakat (Puskesmas), suatu usaha kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan mudah dicapai oleh masyarakat.
2 0
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
Perubahan yang cukup mendasar adalah usaha kesehatan tidak lagi dianggap sebagai bidang yang konsumtif saja. Dalam buku Repelita I Bab IX dinyatakan, bahwa perbaikan kesehatan rakyat secara langsung meningkatkan produktivitas kerja sehingga mempercepat laju pembangunan. Mulai saat itu bidang kesehatan mulai mendapat perhatian lebih besar daripada sebelumnya. Langkah strategis menarik di tingkat nasional, adalah dimulainya kerjasama kembali dengan Badan-badan Internasional, yang dihentikan pada tahun 1965. Patut diingat Indonesia secara resmi menjadi anggota PBB kembali pada tahun 1967. Dengan keputusan tersebut pembangunan di bidang kesehatan, terutama program yang mendapatkan bantuan dari WHO sebelum tahun 1967, berangsur-angsur berjalan seperti semula. Memasuki Pelita II terdapat suatu kebijakan baru yang lebih memberikan perhatian terhadap bidang kesehatan. Hal ini tampak dengan adanya Inpres Program Bantuan Sarana Kesehatan, yang dimulai pada tahun pertama Pelita II (1974/1975) dan dilanjutkan untuk tahun kedua Pelita II. Program ini meliputi pembangunan Puskesmas dengan sasaran setiap kecamatan di Indonesia paling sedikit mempunyai 1 (satu) Puskesmas dilengkapi dengan rumah dokter dan staf, peralatan non-medik, alat medik sederhana, tenaga dokter dan tenaga para-medik serta biaya operasional. Tujuan dari Program Inpres ini ialah untuk lebih meratakan pelayanan kesehatan kepada masarakat. Sebagai hasil dari program Inpres (Instruksi Presiden) yang bertujuan untuk lebih memeratakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, dapat disebutkan bahwa pada akhir Pelita I tercatat 2. 343 Puskesmas atau 59% jumlah kecamatan mempunyai Puskesmas, sedangkan pada permulaan Pelita
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
2 1
I hanya terdapat 1.058 Puskesmas. Pada tahun kedua Pelita II (1975/1976) 90% dari seluruh kecamatan di Indonesia telah memiliki Puskesmas, yang jumlahnya telah meningkat menjadi 3.431. Sebelum PELITA I dari 285 Kabupaten dan Kotamadya seluruh Indonesia masih terdapat 38 Kabupaten di luar Jawa yang belum mempunyai dokter seorang pun. Pada tahun 1974/1975 semua kabupaten telah mempunyai dokter, sedangkan 34% dari seluruh Puskesmas telah dipimpin oleh tenaga dokter dan pada tahun 1975 jumlah Puskesmas yang dipimpin oleh tenaga dokter meningkat menjadi 68%, khususnya di daerah pedesaan. Berdasarkan Inpres tersebut, di bidang higiene dan sanitasi dalam tahun pertama Pelita II (1974/1975) telah dibangun 96 buah penampungan
2 2
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
mata-air dengan perpipaan, 163 buah penampungan air hujan, 81 buah perlindungan mata-air, 33 buah sumur artetis, 10.127 buah sumur dengan pompa tangan dan 150.000 jamban keluarga. Dalam tahun kedua Pelita II pembuatan sarana air minum dan jamban keluarga tersebut ditingkatkan lagi dengan pembangunan 500 penampungan air dengan perpipaan, 330 buah penampungan air hujan (PAH), 150 buah perlindungan mata-air, 36 buah sumur artesis, 11.350 buah sumur pompa tangan dan 255.000 buah jamban keluarga. Pelayanan kesehatan untuk pegawai negeri dan ABRI serta pensiunan telah diatur oleh Pemerintah dengan Keputusan Presiden tentang pemeliharaan kesehatan dengan pembiayaan yang diperoleh dari potongan gaji atau pensiun. Sistem ini dikenal sebagai “Asuransi Kesehatan”. Pelayanan kesehatan untuk rakyat di desa diusahakan dengan pembangunan puskesmas-puskesmas yang dilengkapi dengan perumahan untuk dokter dan tenaga paramedik. Maksudnya, paling sedikit di tiap kecamatan ada satu puskesmas, yang melakukan tugas kesehatan kuratif dan preventif serta memberi pendidikan kesehatan kepada rakyat. Bersamaan dengan kegiatan INPRES bidang kesehatan maupun pendidikan, untuk memacu pertumbuhan pedesaan pemerintah meluncurkan program Bantuan Desa sebesar Rp 100.000, per desa. Kegiatan yang oleh masyarakat lebih dikenal dengan program padat karya, memperoleh sambutan menarik Memperhatikan antusiasme masyarakat, pemerintah meningkatkan program ini ketingkat kabupaten. Dalam Tahun Kedua PELITA I disediakan dana sebesar Rp 5,7 milyar.
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
2 3
Sedang jenis program garapan ditentukan oleh daerah masing-masing. Program ini praktis merupakan pembelajaran otonomi. Dengan kombinasi Program Bantuan Desa, Program Bantuan Kabupaten dan Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) arau IREDA (Iuran Rehabilitasi Daerah untuk wilayah DKI.Jakarta), diharapkan akan membuka lapangan kerja baru, disamping pengaruh tumbuhnya investasi modal nasional dan asing, kreditkredit investasi dan Anggaran Pembangunan Negara. Sejalan dengan berbagai program tersebut, pembangunan kesejahteraan keluarga melalui kegiatan Keluarga Berencana (KB) semakin ditumbuh kembangkan. Disadari pengaruh pertumbuhan penduduk baru dapat dirasakan dalam jangka panjang. Namun apabila tidak segera dilaksanakan persoalan kependudukan akan menjadi semakin rumit dan runyam bagi masa depan bangsa. Sebuah kengerian bisa dibayangkan, dalam kondisi penduduk di awal tahun tujuh puluhan yang sedemikian besar dengan kualitas rendah, apabila tidak dilakukan Keluarga Berencana (KB) maka dalam waktu seperempat abad kemudian akan berjumlah berlipat ganda. Patut diingat Indonesia mengalami peledakan bayi di awal tahun 1950. Akibatnya struktur umur penduduk pada awal tahun PELITA I adalah muda sehingga tingkat kelahiran akan terus meningkat. Disamping itu bayi-bayi yang dilahirkan awal tahun 50-an pasca pesta proklamasi kemerdekaan, pada awal Pelita berusia sekitar 20 tahun yang berarti mulai membanjiri lapangan kerja dan ruang pendidikan. Apabila pertumbuhan kesempatan kerja dan ruang sekolah tidak sebanding dengan kecepatan tumbuhnya penduduk usia kerja dan anak usia sekolah akan menimbulkan persoalan berat bagi bangsa.
2 4
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
Problema lain adalah tidak meratanya jumlah penduduk dan masih rendahnya kualitas sumber daya manusia. Belum lagi masalah ruwet yang diakibatkan membanjirnya urbanisasi ke kota-kota besar. Sebenarnya jumlah penduduk perkotaan di Indonesia di awal tahun 1950-an relatif rendah bila dibandingkan dengan negara-negara di Asia lain apalagi bila dengan negaranegara Eropa Barat. Saat itu penduduk perkotaan di Indonesia hanya berjumlah 17% dari jumlah penduduk. Sedang di negara Asia yang lain sudah berjumlah 25% dari jumlah penduduk, dan di Eropa sekitar 80% penduduk tinggal di perkotan. Namun dalam perkembanganya jumlah penduduk berlipat. Sebagai gambaran, catatan bersumber Kantor Sensus dan Statistik DKI Jakarta, 1976 menunjukkan Jakarta sebagai ibukota R.I pada tahun 1945 berpenduduk 623.343 jiwa. Pada tahun 1950-an laju pertambahan penduduk Jakarta jauh lebih cepat dari sebelumnya. Tahun 1951 menjadi 1,6 juta dan tahun 1955 menjadi 1,8 jiwa. Tahun 1969 saat Keluarga Berencana dijadikan program pemerintah ditandai terbentuknya Lembaga Keluarga Berencana Nasional, jumlah penduduk Jakarta tercatat 4.273.863 jiwa. Untuk itu pemerintah mengambil langkah mengintensifkan program Keluarga Berencana. Tindakan nyata kesungguhan pemerintah ditandai ikut sertanya Pemerintah Indonesia menanda tangani Declaration on Population yang dilakukan oleh Bapak Soeharto pada tanggal 10 Desember 1966, bersama 29 negara anggauta PBB yang lain. Langkah strategis dalam percepatan upaya mewujudkan keluargakeluarga Indonesia sejahtera adalah mulai dimasukannya Program Keluarga
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
2 5
Berencana menjadi bahagian integral Pembangunan Lima Tahun yang dimulai tahun 1969. Melalui Instruksi Presiden RI. No.26 kepada Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat yang saat itu dijabat Dr. K.H Idham Chalid, Presiden RI. Bapak Soeharto memerintahkan dibentuknya lembaga untuk menangani masalah yang sangat penting tersebut. Setelah dilakukan persiapan-persiapan, dan mendengarkan pertimbangan organisasi kemasyarakat, instansi pemerintah maupun swasta yang bergerak dalam keluarga berencana, maka pada tanggal 18 Oktober 1968 dengan Surat Keputusan Menteri Kesejahteraan Rakyat No.37/38 terbentuklah Lembaga Keluarga Berencana Nasional disingkat LKBN. Setahun kemudian tepatnya tanggal 22 Januari 1970 keluarlah Keputusan Presiden No.8 tahun 1970 yang mempermaklumkan berdirinya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Gebrakan Rencana Pembangunan Lima Tahun memperoleh dukungan masyarakat luas tanpa kecuali media masa yang saat itu sedang tumbuh kekuatan “Pers Pembangunan.” Dalam seminar memberitakan masalah pembangunan yang diselenggarakan Yayasan Pembina Pers Indonesia (YPPI) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di Puncak, Jawa Barat 6-12 Desember 1970, para Pemimpin Redaksi, para tokoh media cetak dan elektronika dari seluruh Indonesia bersama para pakar dan elit pemerintahan mendiskusikan gerak langkah yang harus dipacu dalam pelaksanaan REPELITA, termasuk bidang Keluarga Berencana. Kegiatan serupa juga dilakukan dalam Seminar Informasi
2 6
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
Kependudukan dan Keluarga Berencana yang berlangsung di Cipayung, Bogor, 8 – 13 Januari 1973, diselenggarakan oleh Yayasan Pembina Pers Indonesia – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Persatuan Wartawan Indonesia (YPPI-LIPI-PWI). Dalam seminar ini dikaji cara tepat dalam memasyarakatkan Keluarga Berencana. Para pakar dan pelaksana program tampil dalam seminar ini antara lain Haryono Suyono Ph.D (kini Prof. Dr.) dengan topik “Cara-cara Melihat Kemungkinan Hambatan-hambatan Pada Penerimaan KELUARGA BERENCANA”, Dr. Mely G. Tan (LIPI) tentang “Status Wanita dan KB”, Kustiniyati Muchtar tentang “Tehnik Yang Baik Untuk Penggunaan Pers Dalam Program KB”, Sundoro tentang “Peranan Pers di Daerah dalam Program KB” . Tokoh pers pemrakarsa seminar ini antara lain Muchtar Lubis,
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
2 7
Sumono Mustoffa, Jacob Utama, Harmoko, Sugiarso Surojo, Sayuti Hasibuan dan Susilomurti. Empat bulan kemudian tepatnya 20 Mei 1973, Susilomurti bersama teman-teman membentuk Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) yang memberi makna tersendiri dalam perjalanan pembangunan keluarga sejahtera di Indonesia. Pembangunan terpadu di masa lalu telah berhasil mengantar perubahan kecepatan pertumbuhan, struktur dan ciri-ciri penduduk. Karena itu perlu disegarkan dan dilanjutkan dengan strategi baru yang lebih dinamis. Strategi itu adalah dengan prioritas pemberdayaan untuk meningkatkan mutu, kemampuan dan dinamika sumber daya manusia.
]
2 8
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
KIPRAH KELUARGA INDONESIA
U
PAYA mengisi kemerdekaan tidak cukup dengan otot, tetapi lebih banyak dengan otak, penemuan-penemuan dan kerja keras yang memberi nilai tambah. Karena itu diperlukan penduduk yang berkualitas, mempunyai tingkat kesehatan yang prima, tingkat pendidikan yang tinggi dan mampu bekerja keras sesuai bidang yang dipilihnya dalam mengisi kemerdekaan, meningkatkan kesejahteraan keluarga, masyarakat dan bangsanya. Karena itulah sejak awal tahun 1970 perhatian pemerintah terhadap masalah kependudukan berubah. Keluarga Indonesia mulai “kiprah” yaitu mengusahakan agar kekuatan penduduk yang besar itu tingkat kesehatan dan mutunya bertambah tinggi sehingga penduduk mampu memberi sumbangan yang berarti dalam mengisi kemerdekaan.
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
2 9
Dengan semangat demikian pada suatu hari nanti, apabila komitmen dan perhatian pemerintah serta seluruh rakyat benar-benar ditujukan pada pemberdayaan keluarga dan sumber daya manusia Indonesia, terutama yang miskin atau kurang mampu, dan berhasil, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai akan menjadi suatu negara besar, bermartabat dan terhormat. Rakyat akan makmur dalam keadilan, dan adil dalam kemakmuran, sehingga bisa merasakan hidup dalam kedamaian, persatuan dan kesatuan yang kokoh bersama keluarga dan masyarakatnya. Manusia Indonesia akan tampil sebagai bangsa yang maju, mempunyai kreativitas tinggi, mandiri dan berbudaya dilandasi iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk itu perbaikan kualitas keluarga-keluarga Indonesia/masyarakat sejak awal tahun 1970-an dimulai dengan Gerakan Pembangunan Terpadu, diantaranya dengan memperingan beban keluarga melalui program
3 0
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
pembangunan kependudukan, antara lain melalui program kesehatan, Keluarga Berencana, pendidikan dan pemberdayaan keluarga. Gerakan Keluarga Berencana Nasional selama kurun waktu seperempat abad pertama memberikan makna khusus bagi bangsa Indonesia. Dari Buku Ekonomi Keluarga Bangkit Kemiskinan Makin Sedikit yang disusun Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) bekerjasama dengan Universitas Islam ’45 (Unisma) dan Buku Senyum Untuk Semua yang ditulis Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) dapat disimak berbagai keberhasian dan pengalaman yang dirasakan selama waktu itu. Apa yang dicapai memberikan keyakinan kepada seluruh warga bangsa Indonesia bahwa hakekat gerakan itu sendiri - yaitu pelembagaan dan pembudayaan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) – merupakan mimpi indah yang dapat menjadi kenyataan. Oleh karena itu pada saat tanda-tanda bahwa jumlah anak rata-rata setiap keluarga semakin mengecil sebagai dampak dari kesertaan dalam KB, masyarakat mulai mempertanyakan kembali pengertian keadaan “bahagia dan sejahtera”. Keluarga-keluarga Indonesia dalam berbagai kesempatan bertemu dengan mereka yang selama ini dianggap telah “bertanggung jawab” karena mengajaknya untuk ber-KB, tidak segan-segan menanyakan perihal tersebut. Dr. Haryono Suyono sendiri, saat masih menjabat Deputi Bidang Keluarga Berencana, ketika berkunjung di Jawa Timur pada tahun 1980, tepatnya di satu desa di lereng gunung dekat bendungan Karangkates, pernah ditanya oleh seorang suami “kulo sampun nderek KB lan anak kulo namung kalih, ning kok urip kola tetep ngaten? “ (saya sudah ikut KB dan anak saya cuma dua, tetapi mengapa hidup saya tetap seperti ini). Pernyataan itu
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
3 1
memang sederhana, tetapi cukup menyentakkan karena mengandung makna yang mendalam dan sekaligus merupakan sebuah tantangan. Warga masyarakat, terutama di pedesaan, memang terlalu sederhana dalam mencerna pesan-pesan penyuluhan yang disampaikan oleh para petugas dan tokoh-tokoh masyarakat. Mereka terlanjur percaya bahwa setelah ikut KB, otomatis mereka akan menjadi bahagia dan sejahtera. Konsep bahagia dan sejahtera itu sendiri menurut mereka sangat sederhana. Menurut Prof. Soetandyo Wignyosubroto, dari Universitas Airlangga Surabaya, bahagia dan sejahtera bagi masyarakat desa adalah “wareg lan waras” (kenyang dan tidak sakit). Oleh sebab itu untuk mempertahankan kesertaan masyarakat dalam Keluarga Berencana para pemimpin Gerakan KB mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan mengembangkan berbagai kegiatan terpadu. Salah satu kegiatan terpadu yang dikembangkan secara luas sejak akhir tahun 1970 an adalah KB-UPGK (KB dan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga). Kegiatan ini selain dimaksudkan untuk menjaga agar keluargakeluarga yang telah menjadi peserta KB tetap menjadi peserta KB, juga dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan gizi keluarga. Sasarannya adalah anak usia bawah lima tahun (Balita), ibu hamil dan menyusui utamanya mereka yang mengalami kurang gizi berat. Program ini semula diprioritaskan pada daerah-daerah yang mengalami kasus kurang gizi tinggi. Satu pengalaman yang semula merupakan hasil kegiatan “tidak sengaja” dan ternyata menjadi awal dari upaya pemberdayaan ekonomi keluarga adalah pemanfaatan dana untuk pengadaan bibit tanaman dalam rangka usaha perbaikan gizi keluarga.
3 2
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
Dalam Program UPGK, terdapat dana yang diperuntukan untuk pengadaan bibit tanaman guna dibagikan kepada keluarga-keluarga. Tujuannya adalah agar kekurangan gizi keluarga dapat dicukupi oleh keluarga itu sendiri melalui pemanfaatan tanah-tanah kosong di sekitar rumah. Idenya menarik. Jika mereka mempunyai penghasilan yang lebih baik maka diharapkan mereka akan memanfaatkannya guna membeli makanan yang lebih bergizi. Meskipun dampak terhadap perbaikan gizi keluarga belum jelas, namun kegiatan ini ternyata telah berhasil menumbuhkan dinamika baru pada keluarga-keluarga peserta KB. Di awal tahun 1980-an, terdapat pula paket-paket program yang dimaksudkan untuk meningkatkan dukungan terhadap pelaksanaan Gerakan KB. Salah satu paket tersebut adalah apa yang disebut dengan Proyek Insentif Masyarakat (Community Incentive Project = CIP). Proyek ini memberikan bantuan dana dan bimbingan tehnis untuk pembangunan sarana fisik seperti air bersih, jalan desa, jembatan atau pasar, kepada desa-desa yang telah berprestasi dalam pelaksanaan KB. Konsep dibalik itu selain untuk merangsang peran serta masyarakat yang lebih tinggi juga adalah pemikiran teoritis bahwa jika struktur sosial ekonomi masyarakat yang semula bersifat pertanian tradisional dapat diubah atau jika faktor-faktor yang menyebabkan kematian bayi dapat dikurangi maka masyarakat diharapkan akan lebih mudah untuk diajak ber-KB. Di antara paket CIP yang juga dikenal sebagai Income Generating Project terdapat pula paket bantuan modal untuk dikelola secara bergulir oleh kelompok-kelompok atau paguyuban-paguyuban KB pada saat itu.
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
3 3
Pemanfaatannya bermacam-macam. Di beberapa desa digunakan untuk kegiatan simpan pinjam. Didesa lain dirupakan dalam bentuk ternak yang dikelola secara bagi hasil atau ganti induk. Caranya, keluarga yang mendapatkan ternak harus mengembalikan ternak dengan jumlah dan umur yang sama pada kurun waktu tertentu untuk diberikan kepada keluarga lain. Pada tahun 1982 paket CIP dialokasikan ke 9 propinsi di 28 kabupaten, diantaranya Jawa Barat di 4 kabupaten; Jawa Tengah di 8 kabupaten; DI Yogyakarta di 2 kabupaten; Jawa Timur di 4 kabupaten; Bali di 2 kabupaten; Sumatera Utara di 4 kabupaten; Sulawesi Selatan di 4 kabupaten; NTB di 2 kabupaten; NTT di 2 kabupaten. Dari evaluasi yang dilakukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia bekerjasama dengan beberapa lembaga pendidikan lain dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), untuk mengetahui sejauh mana manfaat dari paket tersebut, kemudian pada bulan Juni dan Juli 1984 dapat disimak, secara kualitatif pelaksanaan dari paket tersebut sangat dirasakan manfaatnya. Di desa Sengkrang, Kecamatan Praya Timur, Lombok, Nusa Tenggara Barat dibangun sarana ibadah (masjid) seluas 16x16 m2 dengan biaya sebesar Rp 6.500.000. Manfaat yang dirasakan langsung oleh warga desa Sengkrang adalah, memudahkan warga desa untuk melalukan ibadah secara tertib dan bersih, kendatipun dalam keadaan sibuk di sawah dalam rangka panen ataupun waktu tanam. Demikian pula manfaat dari bantuan sarana air bersih dalam bentuk PAH (penampung air hujan) sangat besar manfaatnya karena desa tersebut merupakan daerah tadah hujan.
3 4
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
Pembangunan sarana fisik tersebut telah meningkatkan peran serta dan kegotong-royongan untuk semua warga masyarakat. Misalnya setiap warga laki-laki dewasa ikut membangun, dan ibu-ibunya secara sukarela dan bergilir menyediakan makanan untuk bapak-bapak yang bekerja. Menurut penuturan “Tuan Guru” atau tokoh agama setempat (di Jawa kyai), bahwa hal ini merupakan pengalaman baru. Karena kebiasaan seharihari warga desa tersebut mengurus sawah atau kebunnya masing-masing. Manfaat lain adalah bisa menghemat biaya untuk tukang bangunan dan meningkatkan jumlah bahan bangunan. Demikian pula untuk perawatan bangunan, baik gedung mesjid maupun penampungan air hujan, dilakukan secara gotong royong menyisihkan dari basil panen masing-masing untuk mengupah tukang rawat mesjid dan PAH. Proses seperti ini terjadi di seluruh daerah sasaran paket proyek insentif masyarakat tersebut, hanya berbeda wujud bangunannya, ada gedung serba guna, bangunan jalan, saluran air dan sebagainya. Paket lain seperti bantuan modal sebagaimana telah disebutkan sebelumnya menunjukkan bahwa keutamaan dari paket ini adalah meningkatkan peranserta masyarakat dan merupakan kegiatan rintisan/ pembelajaran untuk meningkatkan produktivitas ibu-ibu. Pada tahap awal memang belum banyak yang bisa diharapkan dari sisi produktivitas keluarga sasaran. Namun demikian upaya ini lebih merupakan benih dan harapan dimasa datang. Seperti yang dikisahkan oleh ibu-ibu di desa Tino dan desa Terowang, Kecamatan Batang, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Dikatakannya bahwa modal yang diberikan terlalu kecil, pemasaran dirasakan sulit, sehingga usaha yang dikembangkan
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
3 5
baru simpan pinjam saja, karena kontrolnya lebih mudah. Untuk usahausaha lain tidak berani, takut tidak bisa mengembalikan. Bila diwaktu mendatang ada latihan atau kursus tentang usaha produktif, baru berani usaha lainnya. Dari kasus tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa keinginan dari ibu-ibu warga desa untuk maju sudah ada, namun merasa belum ada kekuatan misalnya ketrampilan usaha dan pengelolaan belum siap. Dengan demikian pengalaman ini merupakan pelajaran yang sangat berharga, apabila dijadikan bahan masukan untuk pelaksanaan kegiatan serupa di masa sekarang dan yang akan datang. Pada saat yang tidak berbeda jauh, konsep KB-UPGK juga mengalami perubahan. Jika semula perbaikan gizi keluarga lebih mengarah kepada bantuan untuk mengatasi gizi kurang secara langsung maka diubah menjadi upaya yang lebih bersifat pemberdayaan keluarga untuk menanggulangi kekurangan gizi secara mandiri. UPGK lebih menekankan kepada “pendidikan gizi”. Seiring dengan hal tersebut kemampuan ekonomi keluarga juga ditingkatkan. Harapannya adalah jika keluarga telah menyadari pentingnya gizi dan ekonomi mereka juga membaik, maka otomatis kasus gizi kurang akan tertanggulangi. Untuk pertama kalinya pada saat itu diperkenalkan konsep Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K). Selanjutnya untuk memberikan nilai edukatif kepada masyarakat bahwa upaya tersebut tidak lepas dengan kegiatan KB maka nama kegiatan tersebut ditambah menjadi Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor (UPPKA). Dalam operasinya UPPKA berwujud sebagai Usaha Bersama
3 6
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
Ekonomi (Pra Koperasi). Meskipun sebagian besar atau barangkali hampir seluruhnya tidak berbadan hukum, namun mereka mengelola usahanya dengan menggunakan prinsip-prinsip koperasi. Mereka meminjamkan bantuan modal yang diterimanya, baik berupa pinjaman tanpa bunga atau pinjaman dengan modal ringan, kepada anggotanya dengan imbalan yang ringan. Imbalan ini dapat berupa bunga atau simpanan wajib dan pembayaran biaya pengelolaan yang harus dibayar oleh keluarga yang menggunakan modal tersebut. Simpanan wajib biasanya bisa diambil lagi setelah jangka waktu tertentu. Sedangkan biaya pengelolaan digunakan untuk pembinaan kelompok. Meskipun namanya adalah UPPKA, anggotanya tidak lagi hanya peserta KB, tetapi juga mantan peserta KB dan simpatisan KB. Dalam perkembangannya lebih lanjut ternyata kegiatan UPPKA menarik perhatian banyak pihak, sehingga banyak lembaga donor yang tertarik untuk membiayai selain juga dari pemerintah sendiri. Tercatat dalam dokumen BKKBN beberapa lembaga seperti USAID, UNFPA, Bank Dunia, Asean Population Comission, Bank Dagang Negara, Telkom, Angkasa Pura, dll, telah mengulurkan bantuannya untuk mengembangkan kegiatan UPPKA. Peran UPPKA tidak lagi terkait dengan usaha perbaikan gizi keluarga tetapi lebih kepada peningkatan kesejahteraan keluarga secara umum. Namun demikian sasaran prioritas tetap ibu-ibu. Premise yang dikembangkan adalah peningkatan kegiatan ekonomi produktif pada ibu-ibu merupakan sarana yang efektif untuk memecah lingkaran setan kemiskinan dan sekaligus juga perilaku fertilitas keluarga yang tinggi. Masih dalam upaya pemberdayaan keluarga-keluarga Indonesia, pada
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
3 7
bulan Juli 1984 BKKBN dan Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Pertanian Tanaman Keras (UPPTK), dan Direktorat Jenderal Pembangunan Desa mengadakan kerjasama pelaksanaan pengembangan “Kelapa Hibrida” untuk para peserta KB Lestari. Kerjasama ini dimaksudkan untuk merangsang masyarakat ikut memantapkan pembinaan program KB; mendidik dan menumbuhkan peserta KB lestari dalam rangka memperbaiki gizi serta meningkatkan kesejahteraan keluarga; meningkatkan keterpaduan dengan masyarakat; memperluas areal kelapa hibrida dengan memanfaatkan lahan pekarangan untuk menambah kecukupan kelapa sayur keluarga. Menteri Muda UPPTK berkata: “Bantuan kelapa hibrida untuk para peserta KB lestari adalah untuk meningkatkan kesejahteraan para
3 8
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
peserta KB yang juga para petani kecil misalnya untuk minyak goreng atau santan dalam memasak sayur, disamping juga menggali dan mengembangkan budaya Indonesia asli yang sering menggunakan kelapa sebagai simbul upacara perkawinan, anak lahir dan sebagainya. Ini perlu kita tumbuhkan.” Upaya ini diharapkan dapat memberikan manfaat ganda, yakni dapat meningkatkan produksi kelapa hibrida dan sekaligus dapat meningkatkan kesertaan masyarakat dalam program KB. Dr. Haryono Suyono, pada kesempatan kunjungan atau Safari KB ke desa-desa, waktu itu menjabat Kepala BKKBN sering mengingatkan kepada para peserta KB, bahwa setelah anak dua, stop kemudian meningkatkan produktivitas. Produktifitas keluarga harus ditingkatkan, lebih-lebih bagi mereka yang telah menerima bibit kelapa hibrida harus melipat gandakan produksi kelapa, bukan produksi kepala lagi. Pada tahap awal upaya ini dilakukan di 6 propinsi, yakni di Jawa Timur untuk 300.000 peserta KB, Jawa Tengah untuk 100.000 peserta KB, Jawa Barat untuk 100.000 peserta KB, DI Yogyakarta untuk 40.000 peserta KB, Lampung untuk 60.000 peserta KB dan Bengkulu diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Propinsi Bengkulu. Upaya ini merupakan kesungguhan pemerintah dalam rangka memecahkan masalah kependudukan. Dengan penghasilan yang meningkat maka kesejahteraan keluarga akan lebih baik. Pada gilirannya pemahaman hidup sehat akan semakin dihayati warga desa. Yang berarti upaya menurunkan tingkat kelahiran dan kematian ibu melahirkan di Indonesia tidak asing bagi mereka.
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
3 9
Cerminan komitmen pemerintah tersebut adalah dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) nomor : 002/DATRANS/ 1984 tentang pemberian paket bibit kelapa hibrida, sebanyak 2 juta butir, biaya pengangkutan kelapa hibrida dari lokasi kebun induk ke lokasi pembibitan serta pengadaan kantong plastik sebanyak 2 juta lembar. Untuk mendukung dan memperlancar pelaksanaan Keppres tersebut secara bahu membahu antara Kantor Menteri Urusan Peningkatan Pertanian Tanaman Keras-UPPTK, Ditjen Bangdes dan BKKBN melakukan langkahlangkah antara lain latihan petugas, dengan harapan setiap petugas dapat mengetahui benih yang betul-betul asli dan layak untuk ditanam oleh masyarakat dan terjamin mutunya. Selain itu juga mengetahui persis teknis, mulai dari proses persemaian sampai kepada perawatan sampai menghasilkan buah kelapa. Dalam rangka menjaga kesinambungan pengembangan kelapa hibrida tersebut berbagai upaya di daerah untuk menjaga kemungkinan dari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti di Jawa Timur membentuk Tim Pembina dan Tim Pelaksana di masing-masing tingkat wilayah daerah mulai dari tingkat propinsi sampai di tingkat desa. Dengan upaya-upaya tersebut maka pelaksanaan pengembangan kelapa hibrida yang dikaitkan dengan keluarga berencana di propinsi Jawa Timur berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari data pertumbuhan bibit yang mencapai 89,45 persen (lebih besar disbanding jumlah perkiraan sebesar 80 persen). jumlah bibit hibrida siap disalurkan sebesar 77,85 persen (lebih besar dibandingkan dari target 60 persen). Perkembangan tersebut merupakan buah yang wajar dari hasil kerja
4 0
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
sama yang padu antara dinas perkebunan, pemerintah daerah kabupaten sampai ke tingkat desa, ABRI dan masyarakat. Kesiapan dan partisipasi masyarakat Jawa Timur yang digerakkan oleh LKMD dan PKK merupakan faktor penunjang keberhasilan pengembangan kelapa hibrida di Jawa Timur. Kemajuan ini juga dialami oleh daerah-daerah lain yang telah menerima bantuan kelapa hibrida tersebut. Hanya saja keseluruhan upaya yang dilakukan tersebut masih dirasakan beberapa kelemahan, antara lain lambatnya penyediaan pupuk untuk pembibitan dan pemupukan tanaman, penentuan jumlah brosur penyuluhan yang kadang kurang memadai, serta hal lain yang cukup mempengaruhi jalannya kegiatan. Apabila kelemahankelemahan tersebut dapat diperkecil tidak mustahil akan dihasilkan produksi kelapa yang lebih besar lagi. Namun demikian sebagai upaya awal usahausaha tersebut merupakan benih-benih keberhasilan yang lebih besar di masa yang akan datang. Apa yang diberikan oleh UPPKA kepada keluarga? Jika dilihat dari jumlah uang yang dikelola dan skala kegiatan ekonomi yang dikembangkan barangkali sulit dipercaya jika usaha ini akan membantu keluarga-keluarga tersebut keluar dari belenggu kemiskinan. Namun jika disimak secara jernih terdapat nilai-nilai ekonomi yang ditanamkan dan hal ini akan merupakan benih pembelajaran bagi pembangunan ekonomi bangsa yang berangkat dari pemberdayaan ekonomi keluarga. Pertama, kegiatan, ini menanamkan wawasan ekonomi pada usahausaha yang semula lebih bersifat sebagai kegiatan sosial. Pada awalnya usaha simpan pinjam semacam ini tidak murni bermotifkan ekonomi. Sebagian besar lebih bermotifkan kegiatan sosial untuk memupuk keguyuban, yaitu membantu anggotanya jika memerlukan uang. Penggunaan uang tidak terlalu
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
4 1
diperhatikan. Meskipun namanya simpan pinjam mereka lebih banyak pinjam daripada menyimpan. Aspek keuntungan usaha tidak terlalu dipentingkan. Pada saat UPPKA mulai dikembangkan masyarakat mulai diajak untuk berpikir secara ekonomi. Mereka boleh pinjam jika untuk usaha bukan untuk konsumtif. Aspek untung rugi menjadi sangat penting. Sebab jika tidak untung mereka tidak akan dapat mengembalikan pinjamannya. Sebagian besar kelompok UPPKA bahkan membuat semacam “neraca” untuk memantau besarnya keuntungan dan kerugian yang diperoleh. Kedua, kegiatan ini mengajarkan cara-cara berusaha yang lebih menguntungkan. Anggota UPPKA tidak semuanya sudah mempunyai kemampuan untuk berusaha dalam bidang ekonomi. Tidak jarang mereka
4 2
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
tidak memiliki apa-apa untuk memulai suatu usaha. Kelompok UPPKA telah memungkinkan mereka belajar satu sama lain menimba pengalaman dalam bidang usaha ekonomi. Bahkan menghadapi situasi pasar yarig penuh persaingan, kelompok UPPKA sering menjadi penyangga bagi anggotanya yang masih lemah. Selain itu melalui usaha-usaha kolektif/ kelompok yang dikembangkan atau aspek permodalan yang dikelola secara bersama memungkinkan mereka mengembangkan usaha yang mempunyai kekuatan pasar. Ketiga, mempersiapkan keluarga-keluarga agar dapat memasuki jangkauan dukungan pembangunan ekonomi yang lebih tinggi. Sebagian besar keluarga-keluarga yang tergabung dalam UPPKA adalah keluargakeluarga yang belum layak untuk mendapatkan dukungan ekonomi lain selain hibah. Mereka tidak memiliki sesuatu yang dapat dipakai sebagai agunan kredit. Mereka juga tidak memiliki pengalaman dan kemampuan yang memungkinkan memasuki peluang kerja yang ditawarkan oleh pasar kerja. Mereka juga tidak mempunyai kemampuan untuk bergabung dalam kelompok pelaku ekonomi yang memiliki akses terhadap dukungan pemerintah dalam pembangunan ekonomi. Melalui UPPKA sebagian besar masalah tersebut dapat diatasi. Banyak kelompok UPPKA yang semula hanya menerima batuan secara hibah atau pinjaman tanpa bunga sekarang ini telah berani dan mampu pinjam modal dengan bunga ringan atau dengan bunga komersil. Beberapa kelompok bahkan telah mendapatkan kesempatan untuk bermitra usaha dengan pelaku ekonomi lain yang lebih mampu.
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
4 3
Keempat, menumbuhkan harapan baru kepada keluarga tentang masa depan mereka. Harapan tentang kehidupan keluarga yang lebih bahagia dan sejahtera setelah mereka berjuang keras mengendalikan keinginan dan perilaku fertilitas mereka. Kegiatan UPPKA telah memberikan keyakinan baru bahwa ada suatu proses lanjutan yang tengah mereka ikuti setelah menjadi peserta-peserta KB yang mantap. Semua berharap bahwa keajaiban yang dialami dalam periode pertama, yaitu keberhasilan menurunkan fertilitas dalam kondisi sosial ekonomi yang menurut alam pikir umum pada waktu itu tidak mungkin, akan terulang kembali dalam upaya mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera dalam wadah bangsa Indonesia. Komitmen pemberdayaan keluarga-keluara Indonesia yang berpihak merupakan pilihan satu-satunya untuk saat ini dan masa depan. Dengan pemberdayaan yang komprehensif dan sungguh-sungguh, keluarga dan penduduk Indonesia yang melimpah akan tampil beda. Mereka akan menjadi kekuatan maha dahsyat yang apabila didukung dan didorong dengan arahan dan motivasi yang kuat, tepat dan benar, akan mampu mendobrak apa saja yang menjadi penghalang kemajuannya.
]
4 4
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
POTRET KUALITAS KELUARGA INDONESIA
G
UNA mengetahui jumlah, karakteristik dan lokasi penyebaran penduduk, termasuk jumlah Keluarga Pra-sejahtera dan Keluarga Sejahtera I beserta permasalahannya, Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN bersama jajaran terkait, melakukan Pendataan Keluarga. Pendataan yang diluncurkan tahun 1994, dilaksanakan selama 3 bulan (Januari-Maret) dan diperbaharui setiap tahun. Dalam pendataan ini, keluarga dibagi ke dalam beberapa tahapan. Untuk keluarga miskin sosial-ekonomi, masuk dalam tahapan Pra-sejahtera dan Sejahtera I (karena alasan ekonomi maupun non ekonomi). Untuk keluarga mampu, masuk dalam tahapan sejahtera II, sejahtera III dan sejahtera Ill-Plus. Kriterianya terhimpun dalam lebih dari 23 item.
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
4 5
Secara rinci keberadaan Keluarga Sejahtera digolongkan ke dalam lima tingkatan sebagai berikut (1) Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS), yaitu keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs) secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan, sandang papan dan kesehatan. (2) Keluarga Sejahtera I (KS I), yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya (socio psychological needs), seperti kebutuhan pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal, dan transportasi. (3) Keluarga Sejahtera II (KS II), yaitu keluarga-keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kebutuhan sosial-psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya (developmental needs) seperti kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi. (4) Keluarga Sejahtera III (KS III),
4 6
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
yaitu kelurga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosialpsikologis dan pengembangan keluarganya, tetapi belum dapat memberikan sumbangan yang teratur bagi masyarakat, seperti sumbangan materi, dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. (5) Keluarga Sejahtera III Plus (KS III Plus), yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar, sosial psikologis dan pengembangan serta telah dapat memberikan sumbangan yang teratur dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Pendataan dan pemetaan Keluarga Sejahtera yang pertama kali dilakukan serentak di seluruh Indonesia tanggal 10-28 Februari 1994. Hasilnya menunjukkan dari seluruh keluarga di Indonesia yang berjumlah lebih kurang 40 juta, ada sekitar 11,5 juta keluarga dalam tahapan Prasejahtera dan Sejahtera I. Selanjutnya, Pendataan Keluarga 1995 memperlihatkan, keluarga Prasejahtera tercatat sebesar 27,53 persen, Keluarga Sejahtera I 28,26 persen, Keluarga Sejahtera II 23,41 persen, Keluarga Sejahtera III 16,63 persen dan Keluarga Sejahtera III-Plus 4,17 persen. Sementara, menurut hasil Pendataan Keluarga 1996, menunjukkan Keluarga Pra-sejahtera 23,38 persen, Keluarga Sejahtera I 24,78 persen, Keluarga Sejahtera II 27,33 persen, Keluarga Sejahtera III 19,82 persen dan Keluarga Sejahtera Ill-plus 4,70 persen. Sampai dengan tahun 1995/1996 telah dilakukan Pendataan Keluarga Sejahtera sebanyak tiga kali, yaitu tahun 1993/1994, 1994/1995, dan 1995/ 1996. Data tahun 1993/1994, menunjukkan bahwa secara nasional jumlah keluarga sebesar 38,397 juta kepala keluarga (KK), jumlah ini berubah
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
4 7
menjadi 39,399 juta KK di tahun 1995/1996. Pada tahun 1995/1996 jumlah KK yang berada di desa Proyek IDT (Inpres Desa Tertinggal) sebanyak 7,305 juta KK dan 32,094 juta KK berada di luar desa IDT. Tahun 1995/1996 dari jumlah keluarga yang tergolong ke dalam kategori keluarga Pra Sejahtera sebanyak 10,85 juta KK (27,54%), sebanyak 3,26 juta KK (30,0%) berada di desa Program IDT dan 7,59 KK (70,0%) di luar desa Program IDT. Permasalahan yang sering ditemui mengapa banyak keluarga termasuk dalam kategori Pra Sejahtera adalah karena sebagian besar lantai rumahnya masih dari tanah, mereka pergi berobat bukan ke sarana pengobatan, sedangkan karena faktor yang lain relatif kecil. Sebagai gambaran, di Propinsi Jawa Timur, sekitar 87,8% dari seluruh keluarga Pra Sejahtera disebabkan lantai rumahnya masih berupa tanah. Kekurang mampuan memplester lantai rumahnya atau pergi berobat ke sarana kesehatan ini bisa disebabkan oleh karena memang tidak mempunyai uang (faktor ekonomi), faktor kebiasaan atau pola hidup (faktor budaya/ non ekonomi). Data nasional menunjukkan jumlah keluarga Pra Sejahtera karena faktor ekonomi berjumlah 7,191 juta KK (66,3%), non ekonomi berjumlah 3,66 juta KK (33,7%). Secara nasional jumlah keluarga yang masuk ke dalam kategori Keluarga Sejahtera I sebanyak 11,13 juta KK (28,25%). Sebanyak 2,18 juta KK (19,6%) berada di desa Program IDT dan 8,95 juta KK (80,4%) di luar desa Program IDT. Faktor utama penyebab Keluarga Sejahtera I ini tidak bisa digolongkan ke dalam Keluarga Sejahtera II adalah ukuran rumah yang tidak mencapai 8 meter persegi untuk tiap jiwa.
4 8
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
Sebagai contoh di Jawa Timur 49,4% jumlah keluarga masih tetap pada tahap keluarga Sejahtera I karena faktor lantai tanah kurang dari 8 M persegi untuk setiap jiwa. Jumlah keluarga yang masuk kategori Keluarga Sejahtera I karena alasan ekonomi sebanyak 5,04 juta KK (12,80%), dan alasan non ekonomi sebanyak 6,09 juta KK (15,46%). Dari kajian di lapangan, di daerah pertanian padat penduduk seperti Indramayu, Cirebon atau daerah yang lain, menunjukkan bahwa penduduknya sebagian besar adalah buruh tani yang tidak memiliki sawah. Hanya sebagai penggarap, pendapatan mereka sangat terbatas, sehingga mereka tidak mampu memperbaiki rumahnya apalagi meningkatkan kondisi rumahnya dengan ubin (plester) atau tegel, sehingga tergolong keluarga Pra Sejahtera karena faktor ekonomi. Golongan penduduk lain bisa memiliki sawah, atau mempunyai pendapatan lain yang cukup, tetapi mereka mempunyai kebiasaan hidup yang boros. Selepas panen penghasilannya sering dipakai untuk membeli barang konsumsi, atau mengadakan hajatan yang menelan biaya besar. Sering ditemui penduduk yang rumahnya berupa tanah tetapi “sanggup” mengadakan hajatan besar, atau sementara lantai rumahnya masih berlantai tanah tetapi perabotan rumah tangganya cukup mewah. Mereka ini tergolong keluarga Pra Sejahtera karena faktor budaya (non ekonomi). Salah satu penyebab keluarga berada pada tahapan pra-sejahtera, lantaran lantai rumah masih beralaskan tanah. Program “lantainisasi” pun dimasyarakatkan. Maka, dalam waktu sekejap, jumlah lantai rumah beralaskan tanah kian menciut. Beberapa Pemda Tingkat II memproklamirkan daerahnya sudah bebas keluarga pra-sejahtera, seperti
10 TAHUN MENGABDI TANPA HENTI
4 9