RINA WIDOWATI
Memori Biru Langit
DAFTAR ISI
Sisi Ruang 6 THR Yang Tak Pernah Habis 7 Dinding Kesombongan 20 Ruang Rasa 37 Ruang Asmara 38 Memori Biru Langit 59 Pancake Dan Sayur Asem 78 Saidah 88 Ruang Damai 101
Di dalam sebuah hati yang penuh ada sebuah ruang untuk segalanya, dan di dalam sebuah hati yang kosong, ada sebuah ruang tanpa segalanya. -Antonio Porchia
Sisi Ruang Setiap sisi membatasi pandangmu, tak mampu kau melihat keindahan di baliknya Atau, jangan-jangan hanya kepedihan di balik sisi Kau terjebak ruang Tapi kau terlindungi oleh atap, sengatan mentari tak melukai kepalamu Sayangnya, kau tak tahu rasanya digelitik hujan Kau menjebak ruang Ketika jendela tak bergeming, kau pun hanya menatap Seandainya satu daun jendela kau buka, aroma bunga mungkin menyapa Atau, angin meniupkan dedaunan kering ke dalam Sudahkah kau membuka jendela ruang? Yang kau takutkan, hanya berada tak di dalam Yang kau inginkan tak ada di dalam Apa kau akan keluar?
THR yang Tak Pernah Habis
Kaca jendela ruangan ini menjadi cermin hidupku seketika. Aku melihat diriku yang muda penuh semangat, tapi sedikit saja keberuntungan di wajahku. Sebentar lagi lebaran, tapi lagi-lagi tak mungkin aku mendapat THR seperti rata-rata karyawan di negeri ini. Ya... nasib, keluhku dalam hati. Ini yang selalu datang setiap hawa ramadhan mulai terasa. Kemudian bayangan seseorang yang aku kenal baik, menggantikan fokus pandangan beserta pikiranku. Sosok seorang tua yang sedang terbaring lemah tak jauh dariku. Aku sudah duduk di ujung ruangan, setidaknya dua jam setelah aku mendaratkan kakiku di negeri singa ini. Orang muda kayak saya memang mestinya tak pernah tidur. Aku ingat kata-kata itu. Sementara, saat ini aku sedang menatap jiwa muda dalam tubuh tua sedang berbaring lemah, bersama selang-selang kehidupan yang memaksa darah kotornya berjalan-jalan lambat melewati sebuah mesin ajaib, dan mengantarkan darah bersih pulang kembali ke raganya. Sehari sebelumnya aku memimpikannya. “Jarang sekali kau ingat mimpimu, berarti dia ada dalam bawah sadarmu,” kata istriku ketika aku menceritakan mimpiku padanya. Istriku benar sepertinya, aku terus memikirkan pria tua ini seharian. Aku mendadak merasa sedih tanpa sebab. Akhirnya aku mendapatkan tugas untuk menemuinya dengan segera. Penerbangan terakhir menuju negeri seberang mengantarkanku. Aku girang sekali mendapatkan tugas ini. Seperti seorang pria yang ingin buru-buru bertemu kekasihnya setelah sekian lama tak bertemu, atau seperti seorang anak rantau yang rindu kampung halamannya dan ingin segera memeluk ayahnya. Di sinilah aku, bersama pria yang aku rindukan. Aku dipertemukan dengannya oleh sebuah musibah nasional yang terjadi tujuh tahun lalu. Aku ingat betul, saat itu bulan puasa,
dan kondisi kesehatannya lebih prima daripada sekarang. Musibah itu yang membuat aku merasa dekat dengannya. Ya, dekat seperti saat ini. Jarak kami hanya beberapa langkah, tapi aku belum bisa mendengar suaranya. Aku melihatnya terbaring lemah, bersama mesin ajaib yang membantunya tetap bertahan. Padahal ingin sekali aku berbincang dengannya. Dia adalah seseorang yang punya pengaruh besar membentuk pribadiku yang baru. Aku hanya seorang karyawan kecil yang sebelumnya tak pernah terlibat dalam sebuah konflik nasional. Mengurus masalah yang tak jelas ujungnya, membuatku terpaksa mendobrak dinding kenyamanan. Dan pria tua di hadapanku ini adalah sebuah palu besar yang membantu menghancurkan dinding itu. Aku masih diam memandanginya terlelap, ketika tiba-tiba seorang perawat masuk ke ruangan mencek kinerja mesin. “Two more hours, Sir,” kata perawat itu kepadaku. “Oh, thank you,” kataku lalu melihat jam tangan. Aku tak mengalihkan pandangan dari jam tangan. Aku usap-usap jam tanganku. Usianya sudah enam tahun. Pria tua ini yang memberikannya sebagai hadiah. Entah dalam rangka apa, aku tak tahu. Aku merasa aneh diberi jam tangan mahal seperti ini. Aku mulai bosan menunggu alat itu selesai bekerja. Aku nyalakan televisi dengan suara amat lirih. Gambar bergerak tak mampu menandingi lamunanku tentang pria gagah berani yang berbaring di sampingku. Melihatnya seperti ini, aku tak berdaya. Tapi dia pasti marah jika mendengar aku mengasihani tubuhnya. “Kamu menghina Tuhan kalau kamu tak percaya kemampuan tubuhku,” katanya suatu hari kepada kolega yang menasehati agar tak usah berangkat ke sebuah pertemuan penting. Dia memang baru beberapa jam keluar dari rumah sakit karena kondisinya yang buruk. Tapi pekerjaan berat menyangkut urusan rakyat, tak bisa dia hindari. Aku terkejut mendengarnya berkata demikian. Jika orang mengganggapnya keras kepala, maka mereka benar. Namun jangan menghakimi, kalau tak kenal dia.
Aku ingat ketika aku tak kuasa lagi menahan beban tugasku. Dia menguatkan aku dengan candanya. “Gus, nanti malam temani aku nonton bola, ya,” katanya dengan tegas. Aku bingung. Ini ajakan atau perintah? Karena dia adalah atasan dari segala atasan, aku mengganggapnya sebagai perintah. “Gus, kalau tak ingin nonton bola, bilang saja. Jangan nonton bola karena saya,” katanya lagi sambil tak melihatku. “Berarti saya sahur di sini dong, Pak?” jawabku juga sambil membereskan berkasberkas di mejanya. “Kamu ini kurang ajar sama bos. Ngomong kok ndak liat orangnya,” katanya dengan bercanda. Akhirnya aku menghabiskan dua puluh dua jam bersamanya. Di tengah-tengah jeda iklan, dia berujar. “Memang sulit kerja seperti ini, Gus. Tak usah kau raba-raba sesuatu yang kamu cari. Pekerjaan ini adalah kehidupan yang sesungguhnya”. Mengingat semua itu, ada setetes air mata bertahan di mataku. Ingin aku peluk dia yang sedang terbaring lemah. Ayo, Pak. Cepat sehat, aku berkata dalam hatiku yang takut. Takut kehilangan pria ini. Dia adalah titipan Ilahi, yang sengaja diletakkan di negeri ini untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hidup orang banyak. Jarum pendek jam dinding mulai bergeser. Ku lihat pria tua ini masih terlelap nyaman. Aku membaca-baca berkas yang harus dia tandatangani, ketika perawat yang sama masuk lagi ke dalam ruangan, “Can I get you a cup of coffee, Sir?” tanyanya ramah.
Aku menggeleng. Perawat ini mungkin menganggapku tolol dan jahat. Tengah malam membawa berkas untuk seseorang yang sedang berbaring lemah. Tapi aku tak peduli, aku di sini karena menghormati hidupnya. Sama seperti dia yang tak peduli dengan karut marut pemberitaan tentangnya, “Tak usah, biar saja. Urusan kita cuma membahagiakan korban,” ucapnya suatu saat menanggapi rekan yang emosi karena pemberitaan media yang tidak sesuai fakta. Banyak hal yang aku pelajari selama bekerja dengannya. Dia orang yang tak banyak bicara. Aku tak perlu mendengar cerita tentang kehebatannya. Aku cukup merasakannya. Hebatnya, dia tak pernah menyerah pada penyakit yang melemahkan tubuhnya. Itu bukan alasan untuk tak bekerja. Bekerja baginya bukan hanya mencari uang. Tak perlu dia mencari uang dalam situasi yang tak nyaman seperti ini. Aku jadi merasa berdosa pernah berpikiran buruk padanya. Dia jelas tak mencari uang sepeserpun dari proyek musibah seperti ini. Aku rasa, inilah proyek hidupnya. Memberi kelayakan bagi orang banyak, tetapi celaan dan makian yang tertuju padanya. Aku bukan figur yang disorot saja, ikut merasa jengkel dengan celaan yang sering menyakitkan hati. AC di ruangan ini mulai terasa dingin. Aku mengambil jaket, lalu duduk di sofa panjang. Aku lihat di luar mulai turun hujan. Bagaimana aku bisa keluar untuk membeli makan sahur pertamaku? Tapi lagi-lagi aku tak terlalu memikirkannya. Aku hanya ingin pria di depanku ini segera bangun. Bukan karena aku ingin buru-buru meminta tandatangannya. Aku ingin menghabiskan waktu bersamanya. Sulit sekali menceritakan seseorang yang tak memiliki hubungan khusus, namun bisa membuatku rindu yang sangat seperti sekarang ini. Rasa ini bukan lagi rasa kagum padanya. Rasa ini lebih dari sekedar kagum. “Tiiit...tiiit…” Mesin itu berbunyi. Aku tak tahu artinya. Perawat yang sama mengecek mesin itu sebentar, kemudian tersenyum sambil meninggalkanku lagi. Kadang kala aku gemas dengan gaya hidup pria tua ini. Dia seperti api abadi bagiku. Tak mampu padam, tetapi tak juga pernah membuat panas yang membakar. Walaupun terkadang meledak, tetapi tak pernah membahayakan yang ada di dekatnya.
“Kamu gitu aja ngeluh. Bilang dari tadi kalau kamu butuh bantuan,” ledeknya padaku. Saat itu aku sangat membutuhkan suntikan untuk kantongku, tapi hanya bisa mengeluh kepada seorang teman. Tak dinyana, pria tua ini mendengarnya. Dia langsung saja memberikanku sebendel uang kontan dari tasnya. Aku tak berpikir ia royal. Dia tak selalu begitu kepada semua orang. Aku memaknainya sebagai bantuan yang tulus dari seorang sahabat. “Pak, ini kebanyakan. Bapak berlebihan, ah,” aku tak kuasa menerima, mengingat dia juga membutuhkan banyak biaya untuk pengobatannya. “Semua itu datang dari Allah. Aku cuma menyampaikannya, Gus,” katanya sungguhsungguh. Sejak saat itu aku tak pernah mengeluhkan kondisiku, terutama kondisi keuangan. Baru aku sadari setelah sekian lama berproses dengannya. Dia tak pernah sekalipun mengeluh. Padahal kondisi fisiknya sudah tak sepadan dengan pekerjaannya. Pantas saja dia menjadi jembatan tangan Allah. Ya Allah, kuatkan dia, batinku menjerit. Aku memejamkan mata sejenak, berharap kelopaknya sedikit adem. Bayangan wajahnya tetap saja ada. Kesetiaanku menantinya di ruangan ini, dia juga yang mengajarkan padaku. Dia adalah seorang yang setia, jika ada kata yang melebihi makna kata setia, aku akan menggunakannya. Mengurus dan mencari solusi dari konflik panjang ini, menurutku sudah membuktikan kesetiaannya. Banyak figur yang berpengaruh ikut campur dalam penyelesaian musibah nasional ini, namun hanya dia yang bertahan. Dia juga yang membuatku betah dalam tim ini. Aku meyakini, tak ada siapapun yang meletakkan beban kesetiaan di pundaknya, karena kesetiaan itu muncul dari hatinya. Aku kini adalah sosok yang gigih dan tak mudah lelah menghadapi hidup yang mungkin belum aku mulai. Aku berkaca lagi pada jendela ruangan, melihat bayangan wajahku yang masih jauh lebih muda dibanding pria tua yang bayangannya juga terpantul di kaca. Aku boleh jadi seorang pekerja keras, tapi aku belum bisa dibilang petarung seperti dia. Orang yang mengalahkan kenyamanannya demi nasib orang banyak.
Kulihat pria tua ini mulai menggerakan kakinya. “Agus…” katanya pelan sekali memanggilku. “Belum selesai, Pak. Nanti saja,” kataku padanya. Suaranya lemah sekali, tak seperti kemarin saat meneleponku. Kelegaanku melewati batas. Ingin rasanya mencium tangannya, bahkan memeluknya. Aku jadi lupa dengan THR yang aku inginkan, yang lagi-lagi tak mungkin aku dapatkan. Aku mendekatkan diri ke ranjang, melihat perawat melepaskan selang-selang penunjang kehidupan dari tubuh pria tua ini. “Rasanya seperti habis hibernasi, Gus,” kata pria tua itu sambil tersenyum. Wajahnya terlihat lebih segar. Mesin ajaib beserta selang-selang kehidupan itu jelas bukan yang membuatnya segar. Semangatnya sebagai seorang pejuang yang membuatnya mampu berdiri tegap, seketika seketika mesin ajaib itu berhenti bekerja. Aku sangat suka berada di sampingnya. Dia tak perlu tahu tentang perasaanku. Aku cukup membuktikan kesetiaanku sebagai seorang sahabat, sama seperti yang dia berikan kepadaku. Dia jelas tak merasa telah memberikan banyak hal kepadaku, tapi biarlah. “Ayo, Gus. Kita ngomong lagi soal lumpur di luar sambil cari sahur,” katanya sambil memakai sepatunya. Perasaanku campur aduk. Bara api sudah mulai terasa hangat dan sebentar lagi akan membara. Aku baru menyadari, THR sesungguhnya dari Allah adalah pengalamanku bersama dia. Larut dalam arus waktu bersamanya adalah salah satu tunjangan hari raya yang tak pernah habis. Ia membuka lebar mataku tentang semangat hidup yang sesungguhnya. Dia orang tua gila yang tak bisa dikalahkan oleh tubuh rentanya. “Jadikan diri sebagai petarung, tapi tampillah sebagai penyayang.” Itulah kata-kata tepat yang menggambarkan orang tua ini. Pertemuan dengannya adalah salah satu kejutan dari Allah.