Presentasi Kasus REHABILITASI MEDIK SEORANG WANITA USIA 45 TAHUN DENGAN PARAPLEGIA INFERIOR, ULKUS DEKUBITUS REGIO GLUTEA, ANEMIA SEDANG, CANDIDIASIS ORAL DAN STRABISMUS
Oleh : Rina Dwi Purnamasari G99142014 Pembimbing : dr. Trilastiti Widowati Sp.KFR, M.Kes
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR.MOEWARDI SURAKARTA 2015 1
STATUS PASIEN I. ANAMNESIS A. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Identitas Pasien Nama Usia Jenis Kelamin Agama Pekerjaan Alamat
7. Status Pernikahan 8. Tanggal Masuk 9. Tanggal Periksa 10. No. RM B.
: Ny. TBS : 45 tahun : Wanita : Islam : Swasta : Menangan, RT/RW 02/01, Joyosuran, Pasar Kliwon, Surakarta, Jawa Tengah. : Sudah menikah : 6 Mei 2015 : 18 Mei 2015 : 01029828
Keluhan Utama Lemas karena tidak bisa makan
C.
Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan lemas karena pasien merasa kesulitan makan. Keluhan kesulitan makan dirasakan ± 1 minggu yang sebelum pasien dibawa ke RS. Dr. Moewardi. Awalnya pasien merasa nyeri di tenggorokan sehingga pasien sulit menelan dan selalu memuntahkan makanannya. Setelah itu mulai timbul sariawan di seluruh mulut dan lidah berwarna putih, sakit tenggorokan disertai dengan demam. Pasien belum pernah berobat untuk mengurangi keluhannya. Satu minggu sebelum masuk rumah sakit pasien hanya makan 1 sampai 2 sendok setiap kali makan. Pada tahun 2011 pasien pernah jatuh terduduk dan telah memeriksakan diri ke RS. Orthopedi. Hasil pemeriksaan menyebutkan bahwa terdapat masalah pada bagian tulang belakang pasien dan pasien harus menjalani
2
operasi. Pasien menolak untuk dioperasi. Pada tahun 2013 pasien mulai kesulitan berjalan dan lumpuh di bagian bawah tubuh mulai dari panggul. D.
E.
F.
Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat penyakit jantung
: disangkal
Riwayat sakit gula
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
Riwayat alergi
: disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat sakit serupa
: disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat sakit gula
: disangkal
Riwayat penyakit jantung
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
Riwayat Kebiasaan dan Gizi Riwayat merokok
: disangkal
Riwayat minum alkohol
: disangkal
Riwayat olahraga
: disangkal
Sebelum masuk rumah sakit pasien hanya makan bubur sebanyak 1 sampai 2 sendok makan sehari.
G.
Riwayat Sosial Ekonomi Pasien adalah seorang wanita yang sudah menikah. Saat ini pasien mondok di RS Dr Moewardi dengan menggunakan fasilitas PKMS Gold.
3
II. PEMERIKSAAN FISIK A.
Status Generalis Keadaan umum sakit sedang, compos mentis E4V5M6, gizi kesan cukup.
B.
C.
Tanda Vital (20 Mei 2015) Tekanan Darah
: 110/80 mmHg
Nadi
: 86 x / menit, isi cukup, irama teratur, simetris
Respirasi
: 18x / menit, teratur
Suhu
: 35,7º C per aksiler Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (+), venectasi (-), spider naevi (-), striae (+), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-) D.
Kepala Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut hitam beruban, tidak mudah rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-), moonface (-)
E.
Mata
Strabismus (+/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-), mata kanan kiri minus>2 F.
Hidung Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
G.
Telinga Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
4
H.
Mulut Bibir kering (-), sianosis (-),lidah simetris, lidah tremor (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-), tampak mouth ulcer di seluruh bibir atas dan bawah, leukoplakia (+)
I.
Leher Simetris, JVP tidak meningkat, kelenjar getah bening tidak membesar
J.
Thorax a.
Retraksi -, simetris
b.
Jantung Inspeksi
: Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi
: Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi
: Konfigurasi Jantung kesan tidak melebar
Auskultasi
: Bunyi Jantung I dan II intensitas normal, reguler, bising (-)
c.
Paru Inspeksi
: Pengembangan dada kanan < kiri
Palpasi
: Fremitus raba kanan
Perkusi
: Sonor/Sonor
Auskultasi
: Suara dasar vesikuler (+/+) suara tambahan RBK (-/-), wheezing (-/-)
K.
Abdomen Inspeksi
: Dinding perut sejajar dinding dada
Palpasi
: Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi
: Tympani
Auskultasi
: Peristaltik (+) normal, bising (+)
5
L.
Ektremitas
Oedem
Akral dingin
-
-
-
-
-
-
-
-
- Pada ekstremitas bawah terdapat ulkus di bagian ingunalis dextra dan gluteus. M.
Status Psikiatri Deskripsi Umum 1.
Penampilan : Wanita, tampak sesuai umur, perawatan diri cukup
2.
Kesadaran : Compos mentis
3.
Perilaku dan Aktivitas Motorik
4.
Pembicaraan : Normal
5.
Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif, kontak mata cukup
: Normoaktif
Afek dan Mood Afek
: Appropiate
Mood
: Eutimik
Gangguan Persepsi Halusinasi
: (-)
Ilusi
: (-)
Proses Pikir Bentuk
: realistik
Isi
: waham (-)
Arus
: koheren
Sensorium dan Kognitif Daya konsentrasi
: baik
Orientasi
: Orang
: baik 6
Daya Ingat
Waktu
: baik
Tempat
: baik
: Jangka panjang
: baik
Jangka pendek
: baik
Daya Nilai
: Daya nilai realitas dan sosial baik
Insight
: Baik
N.
Status Neurologis Kesadaran
: GCS E4V5M6
Fungsi Luhur
: sullit dievaluasi
Fungsi Koordinasi: sulit dievaluasi Fungsi Vegetatif
: dipasang IV line dan NC
Fungsi Sensorik
: hipoestesi (dermatom Th 8-9)
Fungsi Otonom
: inkontinensia urin dan alvi, anhidrosis (dermatom Th8-9)
Nervus Cranialis
: N. III : reflek cahaya (+/+) ; pupil isokor N. VII : dalam batas normal N XII : dalam batas normal
Meningeal Sign
: (-)
Fungsi Sensorik -
Rasa Ekseteroseptik
Lengan
Suhu
(+/+)
Tungkai (-/-)
Lengan
-
Tungkai
Nyeri
(+/+)
(-/-)
Rabaan
(+/+)
(-/-)
Rasa Propioseptik
Lengan
Tungkai
Rasa Getar
(+/+)
(-/-)
Rasa Posisi
(+/+)
(-/-)
Rasa Nyeri Tekan
(+/+)
(-/-)
Rasa Nyeri Tusukan ( + / + )
(-/-)
7
Fungsi Motorik dan Reflek
O.
Kekuatan
Tonus
5
5
N
0
0
↓
R.Fisiologis
R.patologis
N
+3
+3
-
-
↓
+1
+1
+
+
Range of Motion NECK Fleksi Ekstensi Lateral bending kanan Lateral bending kiri Rotasi kanan Rotasi kiri Ektremitas Superior
Shoulder
Elbow
Wrist Finger
Trunk
Fleksi Ektensi Abduksi Adduksi Eksternal Rotasi Internal Rotasi Fleksi Ekstensi Pronasi Supinasi Fleksi Ekstensi Ulnar Deviasi Radius deviasi MCP I Fleksi MCP II-IV fleksi DIP II-V fleksi PIP II-V fleksi MCP I Ekstensi Fleksi
ROM Pasif 0 - 70º 0 - 40º 0 - 60º 0 - 60º 0 - 90º 0 - 90º ROM Pasif
ROM Aktif 0 - 70º 0 - 40º 0 - 60º 0 - 60º 0 - 90º 0 - 90º ROM Aktif
Dekstra
Sinistra
Dekstra
Sinistra
0-90º 0-50º 0-180º 0-75º 0-90º 0-90º 0-150º 0-150 º 0-90º 0-90º 0-90º 0-70º 0-30º 0-20º 0-50º 0-90º 0-90º 0-100º 0-30º 0-90º
0-90º 0-50º 0-180º 0-75º 0-90º 0-90º 0-150º 0-150 º 0-90º 0-90º 0-90º 0-70º 0-30º 0-20º 0-50º 0-90º 0-90º 0-100º 0-30º 0-90º
0-90º 0-50º 0-180º 0-75º 0-90º 0-90º 0-150º 0-150 º 0-90º 0-90º 0-90º 0-70º 0-30º 0-20º 0-50º 0-90º 0-90º 0-100º 0-30º 0-90º
0-90º 0-50º 0-180º 0-75º 0-90º 0-90º 0-150º 0-150 º 0-90º 0-90º 0-90º 0-70º 0-30º 0-20º 0-50º 0-90º 0-90º 0-100º 0-30º 0-90º
8
Ekstensi Right Bending Left Bending
Lateral
0-30º 0-35º
0-30º 0-35º
0-30º 0-35º
0-30º 0-35º
Lateral
0-35º
0-35º
0-35º
0-35º
Ektremitas Inferior Fleksi Ektensi Abduksi Adduksi Eksorotasi Endorotasi Fleksi Ekstensi Dorsofleksi Plantarfleksi Eversi Inversi
Hip
Knee Ankle
P.
ROM Pasif
ROM Aktif
Dekstra
Sinistra
Dekstra
Sinistra
0-120º 0-30º 0-45º 0-30º 0-30º 0-30º 0-120º 0º 0-30º 0-30º 0-50º 0-40º
0-120º 0-30º 0-45º 0-30º 0-30º 0-30º 0-120º 0º 0-30º 0-30º 0-50º 0-40º
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Manual Muscle Testing (MMT) NECK Fleksor M. Sternocleidomastoideum Ekstensor M. Sternocleidomastoideum
Fleksor Ektensor Rotator Pelvic Elevation Ektremitas Superior Shoulder Fleksor Ekstensor
5 5
TRUNK M. Rectus Abdominis Thoracic group Lumbal group M. Obliquus Eksternus Abdominis M. Quadratus Lumbaris
M. Deltoideus anterior M. Bisepss anterior M. Deltoideu M. Teres Mayor
5 5 5 5 5 Dekstra
Sinistra
5 5 5 5
5 5 5 5
9
Abduktor Adduktor Internal Rotasi Eksternal Rotasi Fleksor Elbow
Wrist Finger
Eksternsor Supinator Pronator Fleksor Ekstensor Abduktor Adduktor Fleksor Ekstensor
Ektremitas Inferior Hip Fleksor Ekstensor Abduktor Adduktor Knee Fleksor Ekstensor Ankle Fleksor Ekstensor
M. Deltoideus M. Biseps M. Latissimus dorsi M. Pectoralis mayor M. Latissimus dorsi M. Pectoralis mayor M. Teres mayor M. Infra supinatus M. Biseps M. Brachilais M. Triseps M. Supinatus M. Pronator teres M. Fleksor carpi radialis M. Ekstensor digitorum M. Ekstensor carpi radialis M. Ekstensor carpi ulnaris M. Fleksor digitorum M. Ekstensor digitorum
M. Psoas mayor M. Gluteus maksimus M. Gluteus medius M. Adduktor longus Hamstring muscle Quadriceps femoris M. Tibialis M. Soleus
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Dekstra
Sinistra
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG A. Laboratorium Darah 10
Tanggal: 11 Mei 2015 Pemeriksaan Hb Hct AL AT AE
Hasil 7.7 28 21.5 456 3.62
Satuan g/dL % .106/uL .103/uL .103/uL
Rujukan 12.0 – 15.6 33 – 45 4.5 – 11.0 150-450 4.10-5.10
Natrium Kalium Kalsium Ureum Kreatinin
145 3,6 1.05 79 0.7
mmol/L mmol/L mmol/L mg/dl mg/dl
136 – 145 3.3 – 5.1 1.17 – 1.29 <50 0.6 – 1.1
Hasil 6.3 121 118
Satuan % mg/dl mg/dl
Rujukan 4.8 – 5.9 70 – 100 80 – 140
Hasil 2.5
Satuan gr/dl
Rujukan 3.5 – 5.2
Tanggal: 13 Mei 2015 Pemeriksaan HBA1C Glukosa Darah Puasa Glukosa 2 jam PP
Tanggal: 14 Mei 2015 Pemeriksaan Albumin
B. Pemeriksaan Gambaran Darah Tepi (6 Mei 2015) Eritrosit
: hipokrom, mikrositik, sel target, ovalosit, sel pensil, eritroblas (-) Leukosit : jumlah meningkat, neutrofilia, hipergranulasi neutrofil sel blas (-) Trombosit : jumlah meningkat, trombosit besar, penyebaran merata Kesimpulan : Anemia hipokromik mikrositik dengan neutrofilia absolut dan trombositosis sekunder ec suspek Fe DD proses kronis disertai dengan proses infeksi.
11
C. Foto Rontgen Thorakal AP dan Lateral (12 Mei 2015)
Keterangan: Alignment baik, curve normal Trabekulasi tulang normal Superior dan inferior endplate tak tampak kelainan Corpus, pedicle, dan spatium intervertebralis tampak normal Tak tampak erosi/destruksi tulang Tak tampak paravertebral soft tissue mass/swelling Kesimpulan: Foto thorakal tak tampak kelainan D. Foto Pelvis AP (11 Mei 2015)
12
Keterangan: Alignment baik Sacroiiliac joint dan Hip joint kanan kiri normal Shenton’s line kanan kiri simetris Tak tampak erosi/destruksi tulang Tak tampak soft tissue mass/swelling Tampak bayangan radio opaque berdensitas logam berbentuk T terproyeksi di cavum pelvis mengesan kan IUD Kesimpulan: Foto pelvis tak tampak kelainan
E. Foto Thoraks PA (11 Mei 2015)
13
Keterangan: Cor: membesar dengan CTR 59% Pulmo: tak tampak infiltrat di kedua lapang paru, corakan bronkovesiculer normal Sinus costophrenicocostalis kanan kiri tajam Hemidiaphragma kanan kiri normal Thrakea di tengah Sistema tulang baik Kesimpulan: Cardiomegally Pulmo tak tampak kelainan
F. EKG
14
E. ASSESSMENT 1. Ulkus dekubitus regio glutea bilateral 15
2. Anemia sedang 3. Paraplegia inferior suspek fraktur kompresi thoracal 8-9 DD space occupying lesion 4. Candidiasis oral 5. Strabismus F. DAFTAR MASALAH
Masalah Medis : Ulkus dekubitus region glutea bilateral, paraplegia, anemia sedang, candidiasis oral, strabismus.
Problem Rehabilitasi Medik 1. Fisioterapi :
Kelumpuhan pada anggota gerak
bagian bawah, imobilisasi lama. 2. Speech Terapi
:-
3. Ocupasi Terapi
:
Gangguan dalam melakukan
aktivitas fisik sehari-hari (Activity Daily Living (ADL)) 4. Sosiomedik : Memerlukan bantuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari 5. Ortesa-protesa
:
6. Psikologi
-
:
Keterbatasan mobilisasi
G. PLAN
Medikamentosa 1. Infus NACL 0,9% 2. Paracetamol 500 mg 2x2 tab (pc) 3. Infus aminofluid 4. Kandistatin 4 dd gtt II 5. Injeksi cefriaxon 2gr IV 6. Vitamin B complex 3x1 16
7. Injeksi vit B12 500mg/12 jam 8. Ranitidin 1x1 9. Infus albumin 25% 100cc 10. Meropenem 1gr/8jam 11. Metronidazol 500mg/8jam 12. Gentamycin 16mg/24jam 13. Transfusi Packed Red Cells 2 kolf 14. Asam folat 2x1 15. Injeksi metilprednisolon 20gr/8jam
Rehabilitasi Medik: 1. Fisioterapi
:
a.ROM exercise b.
Alih baring tiap 2 jam (log roll)
c.Proper positioning d.
Bladder dan bowel training 2. Terapi wicara : 3. Okupasi terapi :
melatih
keterampilan
dalam
melakukan aktivitas sehari-hari (ADL) 4. Sosiomedik
:
a.
Menilai situasi kehidupan pasien
b.
Mengembalikan peran sosial pasien dalam keluarga dan lingkungan
c.
Motivasi dan edukasi keluarga untuk membantu dan merawat penderita dengan selalu berusaha menjalankan program di RS. 5. Ortesa-Protesa : Alat bantu mobilisasi 6. Psikologi
:
-
Planning :
Planning diagnostik
: pemeriksaan MRI thoracal kontras, konsul bedah plastik
17
Planning terapi
: perbaikan keadaan umum, pasien mondok untuk penatalaksanaan bagian neurologi, interna, bedah plastik dan rehabilitasi medik
Planning monitoring
: evaluasi hasil medika mentosa dan rehabilitasi medik
TUJUAN Jangka Pendek 1. Perbaikan keadaan umum 2. Mencegah terjadinya komplikasi akibat tirah baring lama, pneumonia, atrofi otot, hipotensi ortostatik dan lain sebagainya. Jangka Panjang 1. Mengurangi impairment, disabilitas, dan handicap yang dialami pasien 2. Meningkatkan dan memelihara kekuatan otot 3. Meningkatkan dan memelihara ROM 4. Meningkatkan ADL 5. Mengatasi masalah psikososial yang timbul akibat penyakit yang diderita pasien
IMPAIRMENT, DISABILITY, DAN HANDICAP Impairment
: Ulkus dekubitus region glutea bilateral, paraplegia, anemia sedang, candidiasis oral, strabismus
Disability
: Penurunan dan gangguan fungsi anggota gerak bawah yang menghambat aktivitas sehari-hari (ADL).
Handicap
: Keterbatasan melakukan aktivitas sehari-hari, menjalankan pekerjaan dan kegiatan sosial.
18
PROGNOSIS Ad vitam
: dubia et malam
Ad sanam
: dubia et malam
Ad fungsionam : dubia et malam
19
TINJAUAN PUSTAKA 1.
SPACE
OCCUPYING
LESSION Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen yaitu otak, cairan cerebrospinal (CSS) dan darah intravaskuler. Kranium hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu foramen magnum, juga memiliki tentorium yang kaku yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Maka kompartemen yang berada di atas tentorium serebelli disebut suratentorial, sedangkan yang berada di bawahnya disebut infratentorial. Timbulnya massa yang baru di dalam kranium seperti neoplasma akan menyebabkan pertama-tama neoplasma itu akan menggeser isi intrakranial yang normal sebagai konsekuensi lesi desak ruang atau space occupying lesion (SOL) (Saarin, 2005). Lesi desak ruang (space occupying lesion/SOL) merupakan lesi yang meluas atau menempati ruang dalam otak termasuk tumor, hematoma dan abses. Karena cranium merupakan tempat yang kaku dengan volume yang terfiksasi maka lesi- lesi ini akan meingkatkan tekanan intracranial. Suatu lesi yang meluas akan diakomodasi dengan cara mengeluarkan cairan serebrospinal dari rongga cranium. Akhirnya vena mengalami kompresi, dan gangguan sirkulasi darah otak sehingga tekanan intracranial mulai naik. Kongesti venosa menimbulkan peningkatan produksi dan penurunan absorpsi cairan serebrospinal dan meningkatkan volume dan terjadi kembali hal-hal seperti diatas. Posisi tumor dalam otak dapat berpengaruh pada tanda-tanda dan gejala.
Misalnya suatu tumor dapat menyumbat aliran keluar dari cairan
serebrospinal atau yang langsung menekan pada vena- vena besar menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intracranial dengan cepat. Tanda-tanda dan gejala memungkinkan dokter untuk melokalisir lesi akan tergantung pada terjadinya gangguan dalam otak serta derajat kerusakan jaringan saraf yang d i t i m b u l k a n oleh lesi. Nye ri kepala heba t, kemungkinan akibat peregangan
20
durameter
d a n muntah-muntah
akibat
tekanan
pada
batang
otak
merupakan keluhan yang umum. Pungsi lumbal tidak boleh dilakukan pada pasien yang diduga tumor intracranial. Pengeluaran cairan serebropinal akan mengarah pada timbulnya pergeseran mendadak hemispherium cerebri (Saarin, 2005). 2.
ULKUS DEKUBITUS Dekubitus adalah kerusakan/ kematian kulit sampai jaringan di bawah kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area yang secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat. Area yang biasa terjadi dekubitus adalah tempat diatas tonjolan tulang dan tidak dilindungi cukup dengan lemak subkutan, misalnya daerah sacrum, trokanter mayor, dan spina ischiadica superior anterior, tumit dan siku (Pranarka, 2009). Umumnya ulkus dekubitus terjadi pada penderita dengan penyakit kronik yang berbaring lama. Ulkus dekubitus sering disebut sebagai ischemic ulcer; pressure ulcer, pressure sore, bed sore. Masalah ini menjadi problem yang cukup serius baik di negara maju maupun di negara berkembang, karena mengakibatkan meningkatnya biaya perawatan dan memperlambat program rehabilitasi bagi penderita. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya dekubitus meliputi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik tersebut yaitu penipisan sel kulit, elastisitas kulit yang berkurang, penurunan perfusi kulit secara progresif, sejumlah penyakit yang seperti DM yang menunjukkan insufisiensi kardiovaskuler perifer dan penurunan fungsi kardiovaskuler seperti pada sistem pernapasan sehingga tingkat oksigenisasi darah pada kulit menurun, status gizi underweight atau kebalikannya overweight, anemia, hipoalbuminemia, penyakit-penyakit neurologik, penyakit-penyakit yang merusak pembuluh darah, keadaan dehidrasi. Sedangkan faktor ekstrinsik yang menyebabkan dekubitus antara lain kebersihan tempat tidur yang kurang, posisi yang tidak tepat, perubahan posisi yang kurang, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau peralatan medik yang menyebabkan
21
penderita terfiksasi pada suatu sikap tertentu juga memudahkan terjadinya dekubitus. Menurut Potter & Perry (2005), ada berbagai faktor yang menjadi predisposisi terjadi luka dekubitus pada pasien yaitu:
Gangguan Input Sensorik
Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri dan tekanan beresiko tinggi menggalami gangguan integritas kulit dari pada pasien yang sensasinya normal. Pasien yang mempunyai persesi sensorik yang utuh terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya merasakan tekanan atau nyeri yang terlalu besar. Sehingga ketika pasien sadar dan berorientasi, mereka dapat mengubah atau meminta bantuan untuk mengubah posisi.
Gangguan Fungsi Motorik
Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko tinggi terhadap dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi, tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang terjadinya dekubitus. Pada pasien yang mengalami cedera medulla spinalis terdapat gangguan motorik dan sensorik. Angka kejadian dekubitus pada pasien yang mengalami cedera medula spinalis diperkirakan sebesar 85%, dan komplikasi luka ataupun berkaitan dengan luka merupakan penyebab kematian pada 8% populasi ini (Ruller & Cooney, 1981 dalam Potter & Perry, 2005).
Perubahan tingkat kesadaran
Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus. Pasien bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan itu. Pasien koma tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah ke posisi yang labih baik. Selain itu pada pasien yang mengalami perubahan tingkat kesadaran lebih mudah menjadi binggung. Beberapa contoh adalah pada pasien yang berada di ruang operasi dan untuk perawatan intensif dengan pemberian sedasi.
Gips, Traksi, Alat Ortotik dan Peralatan Lain 22
Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstermitasnya. Pasien yang menggunakan gips beresiko tinggi terjadi dekubitus karena adanya gaya friksi eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit. Gaya mekanik kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu ketat dikeringkan atau ekstremitasnya bengkak. Peralatan ortotik seperti penyangga leher digunakan pada pengobatan pasien yang mengalami fraktur spinal servikal bagian atas. Luka dekubitus marupakan potensi komplikasi dari alat penyangga leher ini. Sebuah studi yang dilakukan plaiser dkk, (1994) mengukur jumlah tekanan pada tulang tengkorak dan wajah yang diberikan oleh emapt jenis penyangga leher yang berbeda dengan subjek berada posisi terlentang dan upright (bagian atas lebih tinggi). Hasilnya menunjukkan bahwa pada beberapa penyangga leher, terdapat tekanan yang menutup kapiler. Perawat perlu waspada terhadap resiko kerusakan kulit pada klien yang menggunakan penyangga leher ini. Perawat harus mengkaji kulit yang berada di bawah penyangga leher, alat penopang (braces), atau alat ortotik lain untuk mengobservasi tanda-tanda kerusakan kulit (Potter & Perry, 2005). Gangguan integritas kulit yang terjadi pada dekubitus merupakan akibat tekanan. Tetapi, ada faktor-faktor tambahan yang dapat meningkatkan resiko terjadi luka dekubitus yang terjadi luka dekubitus yang lebih lanjut pada pasien. Menurut Potter & Perry (2005) ada 10 faktor yang mempengaruhi pembentukan luka dekubitus antara lain:
Gaya Gesek Gaya gesek merupakan tekanan yang dberikan pada kulit dengan arah pararel
terhadap permukaan tubuh (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry 2005). Gaya ini terjadi saat pasien bergerak atau memperbaiki posisi tubuhnya diatas saat tempat tidur dengan cara didorong atau di geser kebawah saat berada pada posisi fowler yang tinggi. Jika terdapat gaya gesek maka kulit dan lapisan subkutan menempel pada permukaan tempat tidur, dan lapisan otot serta tulang bergeser sesuai dengan arah gerakan tubuh. Tulang pasien bergeser kearah kulit dan memberi gaya pada
23
kulit (Maklebust & Sieggren, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Kapiler jaringan yang berada di bawahnya tertekan dan terbeban oleh tekanan tersebut. Akibatnya, tak lama setelah itu akan terjadi gangguan mikrosirkulasi lokal kemudian menyebabkan hipoksi, perdarahan dan nekrosis pada lapisan jaringan. Selain itu, terdapat penurunan aliran darah kapiler akibat tekanan eksternal pada kulit. Lemak subkutan lebih rentan terhadap gesek dan hasil tekanan dari struktur tulang yang berada di bawahnya.akhirnya pada kulit akan terbuka sebuah saluran sebagai drainase dari area nekrotik. Perlu di ingat bahwa cedera ini melibatkan lapisan jaringan bagian dalam dan paling sering dimulai dari kontrol, seperti berada di bawah jaringan rusak. Dengan mempertahankan tinggi bagian kepala tempat tidur dibawah 30 derajat dapat menghindarkan cedera yang diakibatkan gaya gesek (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry, 2005). Brayan dkk, 1992 dalam Potter & Perry, 2005 mengatakan juga bahwa gaya gesek tidak mungkin tanpa disertai friksi. Friksi Friksi merupakan gaya mekanika yang diberikan pada kulit saat digeser pada permukaan kasar seperti alat tenun tempat tidur (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry, 2005) . Tidak seperti cedera akibat gaya gesek, cedera akibat friksi mempengaruhi epedermis atau lapisan kulit bagian atas, yang terkelupas ketika pasien mengubah posisinya. Seringkali terlihat cedera abrasi pada siku atau tumit (Wysocki & Bryant, 1992 dalam Potter & Perry, 2005). Karena cara terjadi luka seperti ini, maka perawat sering menyebut luka bakar seprei ”sheet burns” (Bryant et el, 1992 dalam Potter & Perry, 2005). Cedera ini terjadi pada pasien gelisah, pasien yang gerakan nya tidak terkontrol, seperti kondisi kejang, dan pasien yang kulitnya diseret dari pada diangkat dari permukaan tempat tidur selama perubahan posisi (Maklebust & Siegreen, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Tindakan keperawatan bertujuan mencegah cedera friksi antara lain sebagai berikut: memindahkan klien secara tepat dengn mengunakan teknik mengangkat siku dan tumit yang benar, meletakkan benda-benda dibawah siku dan tumit seperti pelindung dari kulit domba, penutup kulit, dan membran transparan dan balutan
24
hidrokoloid untuk melindungi kulit, dan menggunakan pelembab untuk mempertahankan hidrasi epidermis (Potter & Perry, 2005) . Kelembaban Adanya kelembaban pada kulit dan durasinya meningkatkan terjadinya kerusakan integritas kulit. Akibat kelembaban terjadi peningkatan resiko pembentukan dekubitus sebanyak lima kali lipat (Reuler & Cooney, 1981 dalam Potter & Perry, 2005). Kelembaban menurunkan resistensi kulit terhadap faktor fisik lain seperti tekenan atau gaya gesek (Potter & Perry, 2005). Pasien imobilisasi yang tidak mampu memenuhi kebutuhan higienisnya sendiri, tergantung untuk menjaga kulit pasien tetap kering dan utuh. Untuk itu perawat harus memasukkan higienis dalam rencana perawatan. Kelembaban kulit dapat berasal dari drainase luka, keringat, kondensasi dari sistem yang mengalirkan oksigen yang dilembabkan, muntah, dan inkontensia. Beberapa cairan tubuh seperti urine, feses, dan inkontensia menyebabkan erosi kulit dan meningkatkan resiko terjadi luka akibat tekanan pada pasien (Potter & Perry, 2005).
Nutrisi Buruk Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan subkutan yang
serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh karena itu efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut. Malnutrisi merupakan penyebab kedua hanya pada tekanan yang berlebihan dalam etiologi, patogenesis, dekubitus yang tidak sembuh (Hanan & scheele, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Pasien yang mengalami malnutrisi mengalami defisiensi protein dan keseimbangan nitrogen negatif dan tidak adekuat asupan vitamin C (Shekleton & Litwack, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Status nutrisi buruk dapat diabaikan jika pasien mempunyai berat badan sama dengan atau lebih dari berat badan ideal. Pasien dengan status nutrisi buruk biasa mengalami hipoalbuminunea (level albumin serum dibawah 3g/100 ml) dan anemia (Nalto, 1983 ; Steinberg 1990 dalam Potter & Perry, 2005).
25
Albumin adalah ukuran variable yang biasa digunakan untuk mengevaluasi status protein pasien. Pasien yang albumin serumnya dibawah 3g/100 ml beresiko tinggi. Selain itu, level albumin rendah dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka (Kaminski et el, 1989); Hanan & Scheele, 1991). Walaupun kadar albumin serum kurang tepat memperlihatkan perubahan protein viseral, tapi albumin merupakan prediktor malnutrisi yang terbaik untuk semua kelompok manusia (Hanan & Scheele, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Level total protein juga mempunyai korelasi dengan luka dekubitus, level total protein dibawah 5,4 g/100 ml menurunkan tekanan osmotik koloid, yang akan menyebabkan edema interstisial dan penurunan oksigen ke jaringan (Hanan & Scheele 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Edema akan menurunkan toleransi kulit dan jaringan yang berada di bawahnya terhadap tekanan, friksi, dan gaya gesek. Selain itu, penurunan level oksigen meningkatkan kecepatan iskemi yang menyebabkan cedera jaringan (Potter & Perry, 2005). Anemia Pasien anemia beresiko terjadi dekubitus. Penurunan level hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan oksigen serta mengurangi jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan. Anemia juga mengganggu metabolisme sel dan mengganggu penyembuhan luka (Potter & Perry, 2005). Kakeksia Kakeksia merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi umum, ditandai kelemahan dan kurus. Kakeksia biasa berhubungan dengan penyakit berat seperti kanker dan penyakit kardiopulmonal tahap akhir. Kondisi ini meningkatkan resiko luka dekubitus pada pasien. Pada dasarnya pasien kakesia mengalami kehilangan jaringan adipose yang berguna untuk melindungi tonjolan tulang dari tekanan ( Potter & Perry, 2005). Obesitas Obesitas dapat mengurangi dekubitus. Jaringan adipose pada jumlah kecil berguna sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga melindungi kulit dari tekanan. 26
Pada obesitas sedang ke berat, jaringan adipose memperoleh vaskularisasi yang buruk, sehingga jaringan adipose dan jaringan lain yang berada dibawahnya semakin rentan mengalami kerusakan akibat iskemi (Potter & Perry, 2005). Demam Infeksi disebabkan adanya patogen dalam tubuh. Pasien infeksi biasa mengalami demam. Infeksi dan demam menigkatkan kebutuhan metabolik tubuh, membuat jaringan yang telah hipoksia (penurunan oksigen) semakin rentan mengalami iskemi akibat (Skheleton & Litwalk, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Selain itu demam menyebabkan diaporesis (keringatan) dan meningkatkan kelembaban kulit, yang selanjutnya yang menjadi predisposisi kerusakan kulit pasien (Potter & Perry, 2005).
Gangguan Sirkulasi Perifer
Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia dan lebih rentan mengalami kerusakan iskemia. Gangguan sirkulasi pada pasien yang menderita penyakit vaskuler, pasien syok atau yang mendapatkan pengobatan sejenis vasopresor (Potter & Perry, 2005). Usia Studi yang dilakukan oleh kane et el (1989) mencatat adanya luka dekubitus yang terbasar pada penduduk berusia lebih dari 75 tahun. Lansia mempunyai potensi besar untuk mengalami dekubitus oleh karena berkaitan dengan perubahan kulit akibat bertambahnya usia, kecenderungan lansia yang lebih sering berbaring pada satu posisi oleh karena itu imobilisasi akan memperlancar resiko terjadinya dekubitus pada lansia. Imobilsasi berlangsung lama hampir pasti dapat menyebabkan dekubitus menurut pranaka (1999), ada tiga faktor penyebab dekubitus pada lansia yaitu: a. Faktor kondisi fisik lansia itu sendiri (perubahan kulit, status gizi, penyakitpenyakit neurogenik, pembuluh darah dan keadaan hidrasi atau cairan tubuh). b. Faktor perawatan yang diberikan oleh petugas kesehatan
27
c. Faktor kebersihan tempat tidur, alat tenun yang kusut dan kotor atau peralatan medik yang menyebabkan lansia terfiksasi pada suatu sikap tertentu.
Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium dan berikan tindakan medik sesuai dengan apa yang dihadapi. Berikut adalah stadium pada dekubitus beserta penatalaksanaanya (Pranarka, 2009) : 1. Dekubitus derajat I Merupakan dekubitus dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis. Kulit yang kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi lotion, kemudian dimassase 2 sampai 3 kali/hari.
Gambar 1. Ulkus dekubitus derajat I 2. Dekubitus derajat II Pada dekubitus ini sudah terjadi ulkus yang dangkal. Perawatan luka harus memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik. Daerah bersangkutan digesek dengan es dan dihembus dengan udara hangat bergantian untuk meransang sirkulasi. Dapat diberikan salep topikal, mungkin juga untuk meransang tumbuhnya jaringan muda/granulasi. Penggantian balut dan salep ini jangan terlalu sering karena malahan dapat merusakkan pertumbuhan jaringan yang diharapkan.
28
Gambar 2. Ulkus dekubitus derajat 2
3. Dekubitus derajat III Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus otot dan sering sudah ada infeksi. Usahakan luka selalu bersih dan eksudat disusahakan dapat mengalir keluar. Balut jangan terlalu tebal dan sebaliknya transparan sehingga permeabel untuk masukknya udara/oksigen dan penguapan. Kelembaban luka dijaga tetap basah, karena akan mempermudah regenarasi selsel kulit. Jika luka kotor dapat dicuci dengan larutan NaCl fisiologis. Antibiotik sistemik mungkin diperlukan.
29
Gambar 3. Ulkus Dekubitus derajat 3 4. Dekubitus derajat IV Ada perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering disertai jaringan nekrotik. Semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik yang
ada
harus
dibersihkan,
sebab
akan
menghalangi
pertumbuhan
jaringan/epitelisasi. Beberapa preparat enzim coba diberikan untuk usaha ini, dengan tujuan mengurangi perdarahan, dibanding tindakan bedah yang juga merupakan alternatif lain. Setelah jaringan nekrotik dibuang dan luka bersih, penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan. Usaha untuk mempercepat penyembuhan luka antara lain dengan memberikan oksigenisasi pada daerah luka, tindakan dengan ultrasono untuk membuka sumbatan-sumbatan pembuluh darah dan sampai pada transplantasi kulit setempat. Angka mortalitas dekubitus derajat IV ini dapat mencapai 40%.
30
Gambar 4. Ulkus Dekubitus derajat 4 Bagian tubuh yang sering mengalami ulkus dekubitus adalah bagian dimana terdapat penonjolan tulang, yaitu sikut, tumit, pinggul, pergelangan kaki, bahu, punggung dan kepala bagian belakang. Ulkus dekubitus terjadi jika tekanan yang terjadi pada bagian tubuh melebihi kapasitas tekanan pengisian kapiler dan tidak ada usaha untuk mengurangi atau memperbaikinya sehingga terjadi kerusakan jaringan yang menetap. Bila tekanan yang terjadi kurang dari 32 mmHg atau ada usaha untuk memperbaiki aliran darah ke daerah tersebut maka ulkus dekubitus dapat dicegah. Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari suatu ulkus dekubitus dan perbedaan temperatur dari ulkus dengan kulit sekitarnya, dekubitus dapat dibagi menjadi tiga (Pranarka, 2009): 1. Tipe Normal Mempunyai beda temperatur ≤ 2,5oC dibandingkan kulit sekitarnya dan akan sembuh dalam perawatan sekitar 6 minggu. Terjadi karena iskemia jaringan setempat akibat tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluh-pembuluh darah sebenarnya baik. 2. Tipe Arteriosklerosis Mempunyai beda temperatur kurang dari 1oC antara daerah ulkus dengan kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan aliran darah akibat penyakit pada pembuluh darah (arterosklerotik) ikut perperan untuk terjadinya dekubitus disamping faktor tekanan. Dengan perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu. 3. Tipe Terminal Terjadi pada pasien dengan tingkat keparahan tinggi, sulit untuk sembuh. Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun dapat terjadi pada luka yang superfisial. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain: a. Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik aerobik maupun anaerobik. 31
b. Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteotitis, osteomielitis, dan arthritis septik. c. Septikimia d. Animea e. Hipoalbuminea f. Kematian.
Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan untuk mencegah terjadinya dekubitus dengan mengenal penderita risiko tinggi terjadinya dekubitus, misalnya pada penderita yang immobil dan konfusio. Usaha untuk meremalkan terjadinya dekubitus ini antara lain dengan memakai sistem skor Norton. Skor dibawah 14 menunjukkan adanya risiko tinggi untuk terjadinya dekubitus, skor 12-13 memiliki risiko sedang, skor < 12 berkaitan dengan peningkatan risiko 50 kali lebih besar untuk mendapatkan ulkus dekubitus, sedangkan skor > 14 memiliki risiko yang sangat kecil. Skor tersebut meliputi (Pranarka, 2009) :
Item
Skor
Kondisi fisik
Baik
4
Sedang
3
Buruk
2
Sangat Buruk
1
32
Kesadaran
Komposmentis
4
Apatis
3
Konfus/soporus
2
Stupor/koma
1
Aktivitas
Ambulan
4
Ambulan dengan bantuan
3
Hanya bisa duduk
2
Tiduran
1
Mobilitas
Bergerak bebas
4
Sedikit terbatas
3
Sangat terbatas
2
Tak bisa bergerak
1
Inkontinensia
Tidak
4
Kadang-kadang
3
Sering inkontinensia urin
2
Inkontinensia alvi dan urin
1
33
Tindakan berikutnya adalan menjaga kebersihan penderita khususnya kulit, dengan memandikan setiap hari. Sesudah keringkan dengan baik lalu digosok dengan lotion, terutama dibagian kulit yang ada pada tonjolan-tonjolan tulang. Sebaiknya diberikan massase untuk melancarkan sirkulasi darah, semua ekskret/sekret harus dibersihkan dengan hati-hati agari tidak menyebabkan lecet pada kulit penderita. Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan maupun setelah terjadinya dekubitus meliputi: 1.
Meningkatkan status kesehatan penderita, misalnya mengatasi anemia, mengoreksi hipoalbuminemia, nutirisi dan hidrasi yang cukup, pemberian vitamin (vitamin C) dan mineral (Zn), serta mencoba mengatasi/mengoabati penyakit-penyakit yang ada pada penderita, misalnya DM.
2.
Mengurangi/memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah, melalui: a.
Alih posisi/alih baring/tidur selang seling, paling lama tiap dua jam.
b.
Kasur khusus untuk lebih membagi rata tekan yang terjadi pada tubuh penderita, misalnya; kasur dengan gelembung tekan udara yang naik turun, kasur air yang temperatur airnya dapat diatur (kasur dekubitus).
c.
Mengurangi regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan sirkulasi darah setempat terganggu.
34
Pencegahan ulkus dekubitus adalah hal yang utama karena pengobatan ulkus dekubitus membutuhkan waktu dan biaya yang besar. Tindakan pencegahan dapat dibagi atas a) Umum :
Pendidikan kesehatan tentang ulkus dekubitus bagi staf medis, penderita dan keluarganya.
Pemeliharaan keadaan umum dan higiene penderita.
b) Khusus :
Mengurangi/menghindari tekanan luar yang berlebihan pada daerah tubuh tertentu dengan cara : perubahan posisi tiap 2 jam di tempat tidur sepanjang 24 jam. melakukan push up secara teratur pada waktu duduk di kursi roda. pemakaian berbagai jenis tempat tidur, matras, bantal anti dekubitus seperti circolectric bed, tilt bed, air-matras; gel flotation pads, sheepskin dan lain-lain.
Pemeriksaan dan perawatan kulit dilakukan dua kali sehari (pagi dan sore), tetapi dapat lebih sering pada daerah yang potensial terjadi ulkus dekubitus. Pemeriksaan kulit dapat dilakukan sendiri, dengan bantuan penderita lain ataupun keluarganya.Perawatan kulit termasuk pembersihan dengan sabun lunak dan menjaga kulit tetap bersih dari keringat, urin dan feces. Bila perlu dapat diberikan bedak, losio yang mengandung alkohol dan emolien. Pengobatan ulkus dekubitus dengan pemberian bahan topikal, sistemik
ataupun dengan tindakan bedah dilakukan sedini mungkin agar reaksi penyembuhan terjadi lebih cepat. Pada pengobatan ulkus dekubitus ada beberapa hal yang perlu diperhatkan antara lain: a) Mengurangi tekanan lebih lanjut pada daerah ulkus.
35
Secara umum sama dengan tindakan pencegahan yang sudah dibicarakan di tas. Pengurangan tekanan sangat penting karena ulkus tidak akan sembuh selama masih ada tekanan yang berlebihan dan terus menerus. b) Mempertahankan keadaan bersih pada ulkus dan sekitarnya. Keadaan tersebut akan menyebabkan proses penyembuhan luka lebih cepat dan baik. Untuk hal tersebut dapat dilakukan kompres, pencucian, pembilasan, pengeringan dan pemberian bahan-bahan topikal seperti larutan NaC10,9%,larutan H202 3% dan NaC10,9%,larutan plasma dan larutan Burowi serta larutan antiseptik lainnya. c) Mengangkat jaringan nekrotik. Adanya jaringan nekrotik pada ulkus akan menghambat aliran bebas dari bahan yang terinfeksi dan karenanya juga menghambat pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi. Oleh karena itu pengangkatan jaringan nekrotik akan mempercepat proses penyembuhan ulkus. Terdapat 3 metode yang dapat dilakukan antara lain :
Sharp debridement (dengan pisau, gunting dan lain-lain).
Enzymatic debridement (dengan enzim proteolitik, kolagenolitik, dan fibrinolitik).
Mechanical debridement (dengan tehnik pencucian, pembilas-an, kompres dan hidroterapi)
d) Menurunkan dan mengatasi infeksi. Perlu pemeriksaan kultur dan tes resistensi. Antibiotika sistemik dapat diberikan bila penderita mengalami sepsis, selulitis. Ulkus yang terinfeksi hams dibersihkan beberapa kali sehari dengan larutan antiseptik seperti larutan H202 3%, povidon iodin 1%, seng sulfat 0,5%. Radiasi ultraviolet (terutama UVB) mempunyai efek bakterisidal. e) Merangsang dan membantu pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi. Hal ini dapat dicapai dengan pemberian antara lain :
36
Bahan-bahan topikal misalnya : salep asam salisilat 2%, preparat seng (Zn 0, Zn SO4).
Oksigen hiperbarik; selain mempunyai efek bakteriostatik terhadap sejumlah bakteri, juga mempunyai efek proliferatif epitel, menambah jaringan granulasi dan memperbaiki keadaan vaskular.
Radiasi infra merah, short wave diathermy, dan pengurutan dapat membantu penyembuhan ulkus karena adanya efek peningkatan vaskularisasi.
Terapi ultrasonik; sampai saat ini masih terus diselidiki manfaatnya terhadap terapi ulkus dekubitus.
f) Tindakan bedah tindakan ini selain untuk pembersihan ulkus juga diperlukan untuk mempercepat penyembuhan dan penutupan ulkus, terutama ulkus dekubitus stadium III & IV dan karenanya sering dilakukan tandur kulit ataupun myocutaneous flap 3. ANEMIA Anemia adalah penyakit kurang darah yang ditandai dengan kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit) lebih rendah dibandingkan normal. Anemia adalah keadaan menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah sel darah merah dibawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan (Arisman, 2007). Kategori Anemia: Berikut ini kategori tingkat keparahan pada anemia: a. Kadar Hb 10 gr - 8 gr disebut anemia ringan b. Kadar Hb 8 gr – 5 gr disebut anemia sedang c. Kadar Hb kurang dari 5 gr disebut anemia berat Seseorang yang menderita anemia biasanya memiliki tanda dan gejala sebagai berikut : Lelah, lesu, lemah, letih, lalai, bibir tampak pucat, nafas pendek, lidah licin,
37
denyut jantung meningkat, susah buang air besar, nafsu makan berkurang, kadangkadang pusing, mudah mengantuk (Almatsier, 2001). Klasifikasi anemia Menurut (Mansjoer, 2001) anemia di kelompokan menjadi: a. Anemia mikrositik hipokrom 1)
Anemia defisiensi besi Anemia Karena Kekurangan Zat Besi adalah suatu keadaan dimana jumlah sel darah merah atau hemoglobin (protein pengangkut oksigen) dalam sel darah berada dibawah normal, yang disebabkan karena kekurangan zatbesi. Manifestasi klinis selain gejala-gejala umum anemia, defisiensi besi yang berat akan mengakibatkan perubahan kulit dan mukosa yang progresif, seperti lidah yang halus, keilosis.
2)
Anemia penyakit kronik Anemia jenis ini banyak dihubungkan dengan berbagai penyakit infeksi, seperti infeksi ginjal, paru, inflamasi kronik, dan Neoplasma. Manifestasi Klinis Berat ringannya anemia berbanding lurus dengan aktifitas penyakit. Hematokrit biasanya berkisar antara 2-30%, biasanya normasitik atau normokrosom. Apabila disertai dengan penurunan kadar besi dalam serum, anemia akan berbentuk hipokrom mikrositik.
b. Anemia makrositik 1)
Defisiensi vitamin B12 Anemia pernisiosa (anemia karena kekurangan vitamin B12) adalah suatu keadaan dimana vitamin B12 tidak dapat diserap oleh karena lambung tidak dapat menghasilkan faktor intrinsik, yang akan bergabung dengan vitamin B12 dan mengangkutnya kedalam aliran darah. Anemia ini kadang-kadang terjadi karena suatu sistem kekebalan yang berlebihan menyerang sel-sel lambung yang menghasilkan faktor intrinsik (reaksi autoimun). Manifestasi Klinisdidapatkan karena adanya anoreksi, diare, dispepsia, lidah yang licin, pucat, dan agak ikterik. Terjadi gangguan neurologis, biasanya dimulai dengan parestesia, lalu gangguan
38
keseimbangan, dan pada kasusyang berat terjadi perubahan cerebral, demensia, dan perubahan neuropsikiatrik lainnya. 2)
Defisiensi asam folat Asam folat terutama terdapat pada daging, susu dan pada daun-daun yang hijau. Penurunan absorpsi asam folat jarang terjadi karena absorpsi asam folat terjadi saluran pencernaan. Manifestasi Klinis didapatkan karena adanya anoreksi, diare, dispepsia, lidah yang licin, pucat, dan agak ikterik. Terjadi gangguan neurologis, biasanya dimulai dengan parestesia, lalu gangguan keseimbangan, dan pada kasusyang berat terjadi perubahan cerebral, demensia, dan perubahan neuropsikiatrik lainnya.
c. Anemia karena perdarahan Anemia karena perdarahan terbagi atas: 1)
Perdarahan Akut Mungkin timbul renjatan bila pengeluaran darah cukup banyak, sedangkan penurunan kadar Hb baru terjadi beberapa hari kemudian.
2)
Perdarahan kronik Pengeluaran darah sedikit-sedikit,sehingga tidak diketahui pasien. Penyebab yang sering terjadi ulkus peptiku, perdarahan saluran cerna dan epitaksis Manifestasi Klinis: Tanda hemolisis antara lain ikterus dan splenomegali
d. Anemia hemolitik Anemia yang disebabkan oleh penghancuran atau pemacahan sel darah merah yang lebih cepat dari pembuatannya). Tanda-tandanya adalah Ikterus dan Splenomegali. Penatalaksanaannya disesuaikan dengan penyebabnya, bila reaksi toksin-imunologik yang didapat diberikan adalah kortikosteroid (prednison, prednisolon). Jika perlu dilakukan splenektomi apabila keduanya tidak berhasil maka diberikan obat-obatan sitostatik, seperti klorambasil dan siklofosfamid. e. Anemia aplastik Manifestasi Klinis Anemia yang disebabkan oleh hipofungsi sumsum tulang pembentuk sel darah baru, untuk memastikan dilakukan pemeriksaan : Darah tepi
39
lengkap, pemeriksaan fungsi sternal, pemeriksaan Retikulosit. Biasanya memiliki tanda seperti pucat, lemah, demam, purpura, dan perdarahan. Untuk itu diperlukan penatalaksanaan sebagai berikut : diberikan preparat Fe, tranfusi darah segar, diberi antibiotik untuk mencegah timbulnya
infeksi, kurtiko steroid, androgen, imuno
surpresif, dan transplantasi sumsum tulang. Untuk terapinya adalah jika mengancam nyawa diberikan transfusi darah, pemberian Fe, dan pemberian eritropoeltin. Kriteria Anemia Menurut WHO 2003, kriteria Anemia pada Wanita Hb 12 gr %
: Normal
Hb 10 – 11,9 gr %
: Anemia Ringan
Hb 7 – 9,9 gr %
: Anemia Sedang
Hb < 7 gr %
: Anemia Berat
Dampak Anemia Anemia gizi besi dapat mengakibatkan gangguan kesehatan dari tingkat ringan sampai berat. Anemia sedang dan ringan dapat menimbulkan gejala lesu, lelah, pusing, pucat, dan penglihatan sering berkunang-kunang. Bila terjadi pada anak sekolah, anemia gizi akan mengurangi kemampuan belajar. Sedangkan pada orang dewasa akan menurunkan produktivitas kerja. Selain itu, penderita anemia lebih mudah terserang infeksi Penanggulangan Anemia Tindakan penting yang dilakukan untuk mencegah kekurangan besi antara lain : Konseling untuk membantu memilih bahan makanan dengan kadar besi yang cukup secara rutin pada usia remaja. Meningkatkan konsumsi besi dari sumber hewani seperti daging, ikan, unggas, makanan laut disertai minum sari buah yang mengandung vitamin C (asam askorbat) untuk
40
meningkatkan absorbsi besi dan menghindari atau mengurangi minum kopi, teh, teh es, minuman ringan yang mengandung karbonat dan minum susu pada saat makan atau setelah mengkonsumsi tablet besi. Suplementasi besi. Merupakan cara untuk menanggulangi ADB di daerah dengan prevalensi tinggi. Pemberian suplementasi besi pada remaja dosis 1 mg/KgBB/hari. Untuk meningkatkan absorbsi besi, sebaiknya suplementasi besi tidak diberi bersama susu, kopi, teh, minuman ringan yang mengandung karbonat, multivitamin yang mengandung phosphate dan kalsium. Skrining anemia. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit masih merupakan pilihan untuk skrining anemia defisiensi besi
4. CANDIDIASIS ORAL Kandidiasis oral merupakan infeksi oportunistik di rongga mulut yang disebabkan oleh pertumbuhan abnormal dari jamur Kandida albikan.6 Kandida albikan ini sebenarnya merupakan flora normal rongga mulut, namun berbagai faktor seperti penurunan sistem kekebalan tubuh maupun pengobatan kanker dengan kemoterapi, dapat menyebabkan flora normal tersebut menjadi pathogen (De Carvalho, et al., 2009) . Kandidiasis oral merupakan salah satu penyakit pada rongga mulut berupa lesi merah dan lesi putih yang disebabkan oleh jamur jenis Kandida sp, dimana Kandida albikan merupakan jenis jamur yang menjadi penyebab utama. Pada pasien yang kesehatan tubuhnya normal, seperti perokok dan pemakai gigi tiruan, perawatan kandidiasis oral relatif mudah dan efektif, namun pasien yang mengkonsumsi antibiotik jangka panjang, dan pasien dengan sistem imun tubuh rendah yang mendapat perawatan kemoterapi dimana infeksi jamur mau tidak mau akan timbul, maka perawatan kandidiasisnya lebih spesifik. Adapun perawatan kandidiasis oral yaitu dengan menjaga kebersihan rongga mulut, memberi obat- obatan antifungal baik lokal maupun sistemik, dan berusaha menanggulangi faktor predisposisi, sehingga infeksi jamur dapat dikurangi (Ohio State University, 2005) 5. STRABISMUS 41
Strabismus merupakan keadaan mata juling atau deviasi mata yang tidak dapat diatasi oleh penderita; sumbu pandang mengambil posisi relatif satu terhadap yang lainnya yang berbeda dari yang diperlukan untuk keadaan fisiologis (Doorland, 2010).
DAFTAR PUSTAKA Arisman. 2007. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC De Carvalho Parahym AM, De Melo Luciana RB, De Morais Vera LL, Neves RP. 2009. Candidiasis in pediatric patients with cancer interned in a university hospital. Brazilian J Microbiology; 40(2). Dorland, W.A Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Ed.31. Jakarta : EGC Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius. Potter & Perry. 2005. Buku ajar fundamental keperawatan. Edisi Keempat. Vol.2. Jakarta: EGC. Pranarka, K. Dekubitus. 2009. Dalam : Martono, H.H. dan Pranarka, K. (eds). Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi ke-4. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 272-83 Saanin S. 2005. Peningkatan tekanan intracranial. In Neurosurgery (topic ilmu) M. Djamil hospital. FK UNAD Padang. http:/www.angelfire.com/nc/neurosurgery (diakses 18 Maret 2015) 42
Soebroto, Ikhsan. 2009. Cara Mudah Menghadapi Problem Anemia. Yogyakarta: Bangkit!. The Ohio State University, Temple University. 2005. Oral candidiasis: current concepts in the diagnosis and management in the institutionalized elderly patient a review. Dental Forum; 2(33) : 65-70.
43