BAB I PENDAHULUAN
1. Latar belakang Sabtu pagi pertengahan bulan Juni 2015 di kota kecil Lellystad bagian utara Belanda terlihat langit sangat cerah. Tampak biru dengan sedikit awan-awan kecil dengan latar belakang danau buatan yang menyejukkan mata. Sementara udara sangat sejuk dan tercium bau air yang terasa sangat segar membasahi hidung. Tidak jauh dari danau terdapat sebuah rumah besar dengan halaman belakang kurang lebih seluas empat puluh meter persegi. Ada sebuah pesta kemeriahan di rumah itu. Saya menghadiri pesta tersebut atas undangan Prastowo, seorang colega dari Nijmegen. “Monggo mas monggo mas, di penakke yo! tapi aku tulungi ngangkat dingklek iki” (Silahkan mas, silahkan mas tidak perlu sungkan, tapi saya dibantu untuk membawa kursi ini )Sambil bercanda pak Kobul-sang pemilik rumah berbicara kepada Prastowo. Saya pikir ini pesta ulang tahun “Wong Londo”, karena beberapa ornamen hiasan layaknya pesta orang Eropa yang sering saya lihat di televisi. Tampak tiga panggangan besar untuk barbeque, balon tiup warna warni, rumbairumbai, hingga dentuman musik Jawaiian (alunan musik Hawai dengan reggae) yang seolah-olah membuat saya ikut terhanyut berada dalam sebuah pesta pantai yang sangat meriah. “Aku ki djowo mas tapi dudu wong dJowo Aseli, aku yo lair soko Suriname uripku suwi nang Holland”(Saya itu Jawa tetapi bukan orang Jawa Asli, saya lahir di Suriname yang hidup di Belanda) diikuti raut wajah tersenyum lebar, keluar 1
cletukan ringan dari pak Kobul. Terlihat tamu pesta memang hampir semua didominasi oleh keturunan etnis Jawa-Suriname. Mereka tampak menikmati kemeriahan dan juga kehangatan berkumpul bersama. Saya tak kuasa menahan nafsu makan melihat menu seperti masakan Jawa, mulai dari sauto, jenang sumsum, gedang goreng, bakwan, sambel sampai ke minuman kolak dan es gosrok. Dari pengalaman saya menghadiri pesta ulang tahun pak Kobul seorang warga negara Belanda yang menjadi anggota dari komunitas “Setiga Jawa Ing Flevoland” Jawa-Suriname-nya, timbul dalam benak ”Ini merupakan diaspora dari perjalanan migrasi yang panjang”. Diaspora dan migrasi memang merupakan sebuah fenomena yang banyak dijumpai dalam perjalanan sejarah bangsa-bangsa di dunia1. Hal yang membuat saya tertarik adalah bagaimana mereka memaknai kebudayaan Jawa di tengah sebuah regenerasi budaya yang turun menurun. Apakah identitas merupakan sebuah pemaknaan budaya atau bahkan sebaliknya? Di tengah hiruk-pikuk Belanda, salah satu negara metropolis di Eropa yang notabene melekat erat dengan budaya global. Mengapa Belanda? Belanda menjadi salah satu negara tujuan para imigran. Data sejarah menyebutkan Belanda memang memiliki sejarah panjang mengenai
Lihat Singgih Tri Sulistiyono, “Diaspora dan Proses Formasi “Keindonesiaan‟: Sebuah Pengantar Diskusi” (Makalah dipresentasikan pada Konferensi Nasional Sejarah IX, Jakarta, 5 – 7 Juli 2011), hlm.8; lihat juga Jana Evans Braziel dan Anita Mannur, “Nation, Migration and Globalization: Point of Contention in Diaspora Studies”, dalam Jana Evans Braziel dan Anita Mannur (ed), Theorizing Diaspora (Germany: Blackwel Publishing, 2003), hlm.1; Thomas Faist, “Diaspora and Trans Nasionalism, What kind of dance partner?” dalam Rainer Baubock dan Thomas Faist (ed), Diaspora and Transnationalism, Concept, Theories and Methods (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010), hlm. 9-10; Bandingkan dengan Nicholas Mirzoef, “The Multiple View Point: Diasporic Visual Culture” dalam Nicholas Mirzoef, Diaspora and Visual Culture, Representing African and Jews (London: Routledge, 1999), hlm.8-10; Parsudi Suparlan. 1
2
imigrasi sejak abad pertengahan. Akan tetapi Belanda mulai menjadi pusat perhatian dunia luar ketika gelombang imigran besar-besaran yang terjadi di tahun 1975 sampai 1980-an2. Menurut Lucassen (2002) hal ini membawa perubahan besar. Negara ini semakin terbuka, khususnya dalam membangun interaksi dengan dunia luar dari berbagai aspek. Mulai dari ekonomi, politik dan budaya. Dari Tingkat Provinsi sampai sebuah gemeentee3, dan kota pemerintahan Belanda. Salah satu yang terbesar adalah migrasi orang Suriname ke Belanda. Beberapa Imigran dari Suriname terbagi dari beberapa etnis, yaitu : Hindustan, Creole, Jawa, Cina dan Maroon4. Akibat migrasi yang sangat besar ini pemerintah Belanda pada tahun 1981 akhirnya membentuk kebijakan dalam membentuk tiga konsentrasi tempat tinggal orang Suriname. Di bagian utara (Leeuwarden, Groningen, Hogezand-Sappermer, Delfzijl), di Provinsi Noord-Brabant (Den Bosch, Sint Michielsgestel, Tilburg) dan
2
Lonjakan migrasi bermula pada tahun 1975, saat sayap kiri di pemerintahan Den Uyl memutuskan untuk memberikan kemerdekaan pada jajahan Belanda Suriname. Berita keputusan ini yang menyebabkan lonjakan migrasi yang sangat besar. Ketika itu banyak para pekerja kontrak yang sudah tinggal puluhan tahun di Suriname mengalami kekawatiran. Mereka berasumsi pemerintah Suriname yang baru tidak bisa mempertahankan stabilitas ekonomi. Tidak ada lahan, kurangnya keterampilan, dan beberapa pekerja yang membawa keluarganya ke Suriname terpaksa untuk memilih kembali ke Indonesia atau mencari peruntungan ke Belanda. Pengenalanan visa wajib bagi Suriname yang ingin memasuki Belanda juga menyebabkan terjadinya puncak migrasi sekitar tahun 1980-an. Lucassen, J. and Penninx, R. (1997): Newcomers. Immigrants and Their Descendants in the Netherlands 1550-1995. Amsterdam. 3
Gemeente adalah sebuah istilah dalam bahasa Belanda dan merupakan sebuah nama pembagian administratif. Lebih dikenal dalam bahasa Indonesia Kotamadya. “Omvang en spreiding van Surinaamse bevolkingsgroepen in Nederland” Ukuran dan penyebaran penduduk Suriname di Belanda. Oleh : Ko Oudhof, Carel, Harmsen, Suzanne Loozen, en Chan Choenn. September 2008.(Choenni, C.E.S. en C.N. Harmsen, 2007, Geboorteplaats en etnische samenstelling van Surinamers in Nederland. Bevolkingstrends. Hlm 74–78 ) 4
3
daerah Randstad (Rotterdam, Den Haag, Zoetermeer, Amsterdam, Utrecht, Almere) (Mingoen:2001). Dimulai pada tahun 1975 hampir sekitar 20.000-25.000 orang orang etnis Jawa meninggalkan Suriname dan berangkat ke Belanda yang. (Mingoen:2001). Tekanan ekonomi sangat mengerikan waktu itu. Saat pasca kemerdekaan Suriname. Asumsi kita Suriname bakal collapse seperti Indonesia di pasca transisi. Di Belanda mungkin mendapat pekerjaan dan tempat tinggal yang layak. Tetapi karena beberapa dari kita ada yang tidak mempunyai latar belakang kuat seperti pendidikan dan bahasa Belanda. Pada awalnya memang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Tetapi itu tidak bertahan lama. Semua mendapat pekerjaan, Orang Jawa-Suriname memanifestasikan semua daya pikiran dan tenaga untuk menjalani apapun pekerjaannya sampai sekarang. Berjalannya waktu migrasi orang Jawa-suriname terus berlanjut hingga dekade 1990-an. Walaupun dengan jumlah yang tidak begitu banyak (Wawancara dengan Nurman Pasaribu, 1 Juli 2015 di Den Boch)
Melihat data sejarah asumsi saya setidaknya diaspora Jawa-Suriname telah mengalami dua sampai tiga generasi di Belanda. Pergeseran orientasi identitas dan budaya nampaknya mungkin sangat bisa terjadi. Diiringi dengan pesatnya kemajuan teknologi dan era globalisasi. Menurut Wanda Lee (2007) perkembangan ini memunculkan kelompok sosial baru, strereotip, nilai sosial baru. Tetapi berbeda dengan masyarakat Jawa-Suriname di Belanda, tidak semua yang di kemukakan oleh Wanda Lee bisa di terapkan dalam masyarakat ini. Konstruksi budaya mereka mengacu pada representatif “home culture” yaitu “Tanah Djowo”5. Hampir tidak ada juga kelompok sosial baru, bahkan mereka masih komunal (dalam satu
5
Tanah Djowo banyak disebut oleh banyak keluarga Jawa-Suriname untuk menggambarkan strereotipe tentang center of culture. Budaya Ibu mereka dalam mempelajari identitas, budaya, dan nilai kehidupan. 4
lingkaran). Hal ini diperkuat juga oleh pendapat Pamella Allen (2013) dalam bukunya Asian Etnicity: That immigrant communities designate certain cultural practices as being worthy of preservation as an ‘inheritance’ for the future.
Dalam tesis ini saya ingin menampilkan gambaran sebuah Identitas yang dibangun kembali dari sebuah konstruksi, Identias lama dipermainkan dalam konteks diaspora. Saat itu saya merasa beruntung, bertemu dengan Purwanto seorang pekerja migran dari Indonesia. Dengan penuh antusias dan mata yang berbinar-binar Purwanto bercerita tentang perjalanan hidupnya di Indonesia hingga bermigrasi ke Belanda. Dengan tidak sengaja pula Purwanto bercerita tentang ketertarikannya akan kesenian Jawa, mulai dari seni tari, seni gamelan, dan Wayang Kulit. Lantas, saya kemudian menceritakan maksud kedatangan saya ke Belanda. Purwanto akhirnya mengajak saya ke sebuah pasar malam Tong-tong fair6 dan ke sebuah perkumpulan kesenian Jawa di Den Haag. Menariknya, perkumpulan kesenian tersebut merupakan gabungan antara komunitas seni Jawa-Suriname dan perkumpulan kesenian dari KBRI. Disitu saya berkenalan dengan Hermine pemilik yayasan Manggar Megar dan tokoh sekaligus ketua kesenian Jawa Suriname di Belanda, Hardjo Prayitna.
6
Acara festival kebudayaan Indonesia yang diselengarakan dari tahun 1976. Acara ini sebenarnya ditujukan sebagai ajang Nostalgia beberapa orang Belanda yang pernah tinggal di Indonesia dan beberapa orang Indonesia dan Suriname Jawa. 5
Terlepas dari sudut pandang teoritis, sebenarnya eksistensi masyarakat Jawa-Suriname mempertahankan kesenian (bagian dari kebudayaan Jawa) di era globalisasi sampai saat ini pun masih sangat kuat. Hal itu terlihat ketika saya diundang disebuah agenda kerjasama antara KBRI dan komunitas Kesenian Jawa Suriname untuk melakukan pementasan di Theater Vailant di Den Haag bulan Juni 2015. Dimulai dari proses latihan sampai pementasan. Tampak tidak hanya orang tua keturunan Jawa-Suriname saja yang ikut dalam latihan melaikan beberapa anak muda keturunan Jawa-Suriname yang ikut andil bagian dalam latihan dan pementasan tersebut. Dari pengalaman yang saya alami diatas, ada dua pemaknaan yang saya pahami tentang “Kabudayaan Djowo” yang berbeda, yaitu pemaknaan identitas dan kebudayaan. Mulai dari komunitas Setiga Jawa Ing Flevoland yang aktif mulai dari kegiatan Guyub Rukun, Slametan, Pemakaman ”Kuburan”, hingga kolektif keuangan untuk membangun masjid khusus orang Islam Jawa-Suriname dan panti jompo orang Jawa-Suriname. Akan tetapi berbeda dengan komunitas yang ada di den Haag. Manggar Megar dan Komunitas Kesenian Jawa-Suriname membangun identitas melalui kebudayaan seperti seni pertunjukan, seni musik dan pewayangan. Seperti halnya yang diungkapkan Marta Anico (2009) warisan budaya dan Identitas tmengeksplorasi cara-cara yang kompleks dimana warisan itu aktif memberikan kontribusi untuk pembangunan dan representasi identitas dalam masyarakat kontemporer, dari konsepsi beragam warisan dan identitas di seluruh benua dan budaya yang berbeda.
6
Ketika kita berbicara mengenai warisan, secara umum kita hanya perlu mengetahui sesuatu hal yang sederhana yaitu “eksis”, sesuatu bagian dari masyarakat. Kemudian kita dituntun untuk meningkatkan pengelolaan secara natural. Akan tetapi memang warisan bukan merupakan sebuah fenomena yang terjadi begitu saja ataupun datang dari alam semesta. Itu merupakan sebuah konstruksi kultural. Lahir saat atas peristiwa sejarah dan memiliki tujuan jelas. Untuk mengejar garis simbolik yang dapat dengan mudah dianalisis. (Llorenc:2009) Bentuk identitas yang terlihat memang selain dalam pengunaan bahasa Jawa “ngoko” dalam beberapa ruang lingkup masayarakat Jawa-Suriname juga eksistensi mereka pada pemanfaatan Internet dan media sosial. Bentuk visual culture mereka akan “Kabudayaan Djowo” tertuang dalam banyaknya website yang mereka buat. Paling menarik buat saya diantaranya adalah stichji.nl, javanesie.nl, rbu.javanen.nl, diasporajawa.net, javanenindiaspora.nl dan manggarmegar.nl. Beberapa dari website ini memang di antaranya terperinci dan terstruktur. Mulai dari data sejarah migrasi sampai arsip visual kegiatan beberapa komunitas Jawa-Suriname yang tersusun rapi. Bertukar informasi kegiatan yang diselenggarakan oleh beberapa komunitas Jawa-Suriname. Aktif dalam media sosial juga terlihat dalam facebook. Selain itu menjalin hubungan antar individu dan antar komunitas masyarakat JawaSuriname di Belanda, Facebook juga digunakan untuk berkomunikasi dengan beberapa saudara yang ada di Suriname dan di Indonesia. Penelitian ini dimaksudkan ingin menelusuri jejak dari orang-orang Jawa-suriname di Belanda dalam membangun identitasnya. 7
2. Permasalahan dan Tujuan Penelitian Uraian di atas berusaha mengungkapkan berbagai wujud kebudayaan diaspora masyarakat Jawa Suriname di Belanda. Melihat bagaimana sebuah identitas dan konstruksi kultural melebur menjadi satu membentuk “kabudayaan Djowo”. Tesis ini kemudian merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut dengan melihat fenomena yang terjadi di dalam masyarakat diaspora dan dampak sosial budayanya. 1. Bagaimana
masyarakat
diaspora
Jawa-Suriname
di
Belanda
mengkonstruksi identitasnya? 2. Bagaimana masyarakat diaspora Jawa-Suriname di Belanda merawat identitas kultural dalam konteks lokal, nasional, dan global? Dalam pemahaman mengenai identitas dan konstruksi kultural diaspora masyarakat Jawa-Suriname di Belanda bukanlah merupakan proses yang berjalan satu arah namun lebih kepada proses interaksi antara kekuatan global dan lokal. Kebudayaan dan identitas tidak lagi mencukupi jika dipahami dalam suatu tempat, tetapi akan lebih baik jika dikonseptualisasikan dalam suatu perjalanan. Dalam konsep ini tercakup budaya dan orang yang selalu dalam perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain. Globalisasi tidak hanya berarti sebuah modernitas masyarakat global-budaya global. Akan tetapi budaya global telah memodifikasi unsur-unsur lokal dalam identifikasi diri. Mereka membutuhkan lebih dari warisan fisik. Mereka mendesak untuk mendapatkan referensi yang mewakili jiwa kolektif mereka. Ini memerlukan keterlibatan dan pengunduran diri menuju masa lalu (Marta: 2009). Adapun tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor politik, sosial, 8
ekonomi, dan budaya dalam mempengaruhi pola konstruksi budaya dan gambaran mengenai identitas diaspora masyarakat Jawa-Suriname di Belanda. Secara teoritis-akademis, penelitian ini dapat menyumbang khasanah penelitian etnografi tentang masyarakat diaspora Jawa. Sehingga memberikan referensi kepada pihak yang ingin melakukan kajian dan riset dalam bidang ini, khususnya dalam masyarakat global.
3. Tinjuan Pustaka Penelitian mengenai diaspora masyarakat Jawa-Suriname memang belum banyak dilakukan baik dari Indonesia maupun peneliti dari luar Indonesia. Dalam catatan saya baru beberapa peneliti yang terdahulu seperti Parsudi Suparlan (1976) dalam bukunya yang berjudul “The Javanese in Surinam;Ethnicity in an Ethnically Plural Society”. Saya merefleksikan penelitian yang saya lakukan berangkat dari buku ini, hanya saja konteksnya sudah berkembang berbeda. Ketika Parsudi Suparlan melihat diaspora Jawa di Suriname, saya melihat masyarakat diaspora Jawa yang pernah tinggal dan lahir di Suriname kemudian menetap Belanda. Menarik melihat kajian buku yang ditulis oleh Parsudi Suparlan ini dengan cermat mengabungkan kajian Amerika dan Asia dalam penelitianya. Parsudi Suparlan telah mematahkan argumen yang dikemukakan oleh De Waal Malefijt, yang dianggapnya kurang didasarkan atas pengetahuan yang kuat mengenai budaya dan nilai kehidupan orang Jawa. Karateristik orang Jawa pada asalnya memang merupakan masyarakat komunal yang suka berkumpul, tidak ada ikatan politik
9
dalam membangun komunitas-komunitas Jawa. Imgrasi besar-besaran orang Jawa tidak lain mereka adalah korban dari penculikan dan penipuan. Selanjutnya masih dengan isu yang sama Meel, Peter (1959) dengan bukunya De Javaanse diaspora in Suriname en de notie van een thuisland dan yang paling terbaru Djasmadi, Lisa; Hoefte, Rosemarijn 1959-; Mingoen, Hariëtte (2010) dalam “Migratie en cultureel erfgoed : verhalen van Javanen in Suriname, Indonesië en Nederland = Migrasi dan warisan budaya : cerita-cerita orang Jawa di Suriname, Indonesia dan di negeri Belanda = Migration and cultural heritage : stories of Javanese in Suriname, Indonesia and the Netherlands” buku ini membahas mengenai 12 cerita suka-duka pengalaman hidup orang-orang Jawa yang diangkut 120 th yang lalu oleh pemerintah Hindia Belanda untuk dijadikan 'kuli kontrak' di perkebunan tebu yang baru mereka buka di Suriname. Sampai bermigrasi ke Belanda. Buku ini sangat relevan ketika membantu dalam perolehan data sejarah. Melalui data sejarah kita juga bisa melihat pengalaman masa lalu dalam mempengaruhi karateristik kehidupan masyarakat Jawa-Suriname di Belanda. Kajian pustaka selanjutnya adalah “Race and Ethnicity, Culture, identity and Representation” karya Stepe Spencer (2014). Dibangun dalam satu pandangan representatif, buku ini meneliti identitas dan hubungan kelompok yang dibedakan melalui "etnisitas" dan "ras" dan mengambil contoh analisis contoh dari beberapa negara. I should stress that these samples are not drawn only from "exotic" ethnographies but largely reflect, as marcus suggest, ethnography that "begins at home". (Marcus ; 2012) Dikutip dari tulisan Spencer (2014) 10
Buku ini sangat luas dan komprehensif, menggunakan studi spasial kasus seperti Australia, Malaysia, Karibia, Meksiko, dan Inggris. Spencer mencoba membangun citra populer yang membantu untuk menjelaskan unsur-unsur yang lebih sulit dari teori. Berfokus pada isu-isu kehidupan sehari-hari seperti: konflik etnis, rasisme (kebijakan multikulturalisme), diaspora, dan ras campuran (Hibryd Identity), buku ini revelan dalam kaitnya melihat kasus masyarakat diaspora JawaSuriname yang tinggal di Belanda. Keungulan buku ini tajam meneliti makna pergeseran 'ras' dan etnis dan konsep collates. Dari pandangan Marxis pascakolonialisme, buku ini menyelidiki tentang perdebatan masalah dan analisis dalam konteks perubahan global. Buku ini juga terdapat kelemahan, buku ini hanya menyajikan Identias secara representatif. Kajian pustaka selanjutnya buku “Virtual Culture” The Internet and Social Landcape, Steve G. Jones (1997) . Buku ini memaparkan revolusi teknologi komunikasi. Seperti halnya film, radio Internet telah membuat ruang masyarakat baru. Walaupun buku ini jauh ditulis sebelum era “facebook”, tetapi buku ini menjelaskan secara focus dan isu dari sebuah komunitas cyber. Perubahan memang sudah terjadi pada dekade awal abad 21. Perubahan sosial mulai dari pertemanan, interaksi, dan public life. Landscape sendiri memiliki berbagai macam makna dan asosiasi. Hal tersebut terkait dengan konsep, termasuk tempat dan ruang, dalam dan luar, citra dan representasi sesuai dengan salah satu dari dua kutub gagasan tersebut: Menurut saya buku ini cocok dalam pembahasan saya tentang bagaimana peran budaya virtual mempertahankan warisan identias dan mempengaruhi dalam
11
mengkonstruksi budaya. Mengingat ‘eksis” merujuk pada sebuah eksistensi pengakuan identitas.
4. Kerangka Teori Saya mengunakan kerangka teori karena asumsi saya, kerangka teori sangat membantu dalam menentukan kerangka berpikir yang berisi penjelasan atau pengertian yang dibentuk secara ilmiah dari berbagai apek-aspek yang dibahas dalam penelitian ini. Keseharian manusia yang menyatu dengan kebudayaan, menegaskan perlunya melihat kebudayaan sebagai pengalaman nyata yang maknanya dibentuk dan dipertanyakan untuk sampai kepada suatu praktik yang sah (Abdullah: 2010). Pemahaman tentang kebudayaan yang dimaksud kemudian saya urai menjadi tiga kerangka konseptual dalam melihat kehidupan masyarakat diaspora Jawa-Suriname di Belanda, yaitu : 4.1 Konsep Diaspora Diaspora berasal kata benda dalam bahasa Yunani ‘diaspora’ yang kemudian menjadi ‘dispersion’ dalam bahasa Inggris yang bermakna leksikal pencar atau penyebarluasan. Istilah diaspora pada awalnya digunakan untuk penyebaran bangsa Yahudi di dunia. Dalam perkembangannya, istilah ini dipakai untuk menggambarkan diaspora Armenia dan Yunani. Pada saat ini para ilmuwan sosial menggunakan istilah “diaspora‟ untuk merujuk kepada para migran yang tinggal di daerah perantauan dan melahirkan generasi-generasi baru di perantauan yang semuanya tetap menjaga hubungan kekeluargaan satu sama lain dan melakukan kunjungan berkala ke daerah asal mereka (Singgih:2011). 12
Jacob Riis menyimpulkan bahwa diaspora baru diselidiki pada akhir abad ke-20. Penyelidikan diaspora ini dilatarbelakangi adanya krisis sehingga terjadi pengungsian etnis besar-besaran, kemudian karena peperangan dan bangkitnya nasionalisme, fasisme, komunisme dan rasisme, serta bencana alam dan krisis ekonomi. Dalam tulisanya “Diaspora Politics, At Home Abroad” Gabriel Sheffer (2003), diaspora adalah suatu kelompok etnis atau bangsa yang meninggalkan tanah airnya karena adanya kekerasan atau hal lainnya, dan tetap memelihara identitas kolektif mereka (bahasa, agama, budaya) dalam organisasi masyarakat di daerah tujuan migrasi. Ada beberapa bentuk diaspora. Ada yang menggolongkan diaspora berdasarkan motivasi atau faktor pendorongnya, baik berupa faktor ekonomi maupun faktor lain yang menyebabkan. Sheffer menggolongkan diaspora atas dua kategori yakni diaspora lama atau traditional historical dan diaspora baru atau new diaspora. (Mansyur: 2013) Diaspora lama adalah diaspora yang terjadi sebelum abad ke 21, sedangkan diaspora baru terjadi setelah abad-21. Kendati demikian penelitian mengenai masyarakat diaspora Jawa-Suriname masuk ke dalam kategori diaspora baru. Dikarenakan penelitian ini menggambarkan masyarakat diapora Jawa-Suriname di Belanda setelah abad 21 ditunjang dengan perkembangan teknologi dan visual culture. Menurut Safran (2015) daerah tujuan diaspora disebut juga “negara tuan rumah”, dimana ikatan antar penduduk yakni penduduk “pendatang” dan penduduk “asli” memainkan peran penting. Hal ini negara tuan rumah yang dimaksud adalah Belanda yang kemudian masyarakat diaspora Jawa-Suriname berdiaspora dengan memelihara hubungan antara daerah asalnya dengan daerah tujuan Belanda. Akan 13
hal itu terjadi “tarik-menarik” melalui memori, dan akhirnya tercipta sistem hubungan dalam suatu jaringan diaspora. Pembatasan istilah “diaspora” menurut Safran sangat diperlukan karena istilah “diaspora” -oleh beberapa ahli- sering dianggap hanya sebagai metafora dibandingkan perannya secara instrumental. (Mansyur: 2013) Dalam pandangan Vertovec, diaspora juga menyangkut tiga hal, yaitu proses penyebaran, masyarakat yang tinggal di daerah asing, serta tempat atau ruang geografis di mana mereka tinggal atau berdiaspora. Secara Sosiologis dan Antropologis masyarakat diasporik mengalami pola perubahan akibat interaksi dan adaptasi dengan masyarakat lokal. Pola perubahan ini berhubungan dengan migrasi dan status minoritas yang meliputi etnis dan pluralisme agama, identitas serta perubahan lainnya. Secara lebih luas, Vertovec menjelaskan diaspora dalam tiga bentuk yakni bentuk sosial, jenis kesadaran, dan model produksi budaya.(Mansyur: 2013). Sedangkan masyarakat diaspora Jawa-Suriname di Belanda jika di analisa menurut pandangan Vertovec terbentuk melalui karakteristik hubungan sosial yang dieratkan oleh ikatan memori masa lalu, sehingga secara umum diaspora dilihat sebagai akibat dari migrasi atas keinginan sendiri maupun paksaan dari suatu wilayah atau negara, yakni Jawa dan Suriname. Selain itu masyarakat diaspora Jawa-Suriname memiliki kesadaran mempertahankan tradisi budaya Jawa dan membentuk komunitas-komunitas komunal dalam membangun identitasnya. 4.2 Konsep Identitas Secara dramatis asumsi mengenai kajian tentang Identitas mulai banyak mengalami perubahan mendasar dalam paradigmanya. Tidak hanya dilihat secara 14
etnis, bangsa, kelas ataupun agama (Weber, Marx, Durkheim dan Malinowski). Akan tetapi, identitas juga bisa dilihat dari memori kolektif yang berkembang di suatu masyarakat tersebut. Misalnya, dalam masyarakat diaspora Jawa-Suriname terdapat sebuah pengalaman bersama dalam sejarah migrasi mualai dari Jawa Suriname – Belanda. Di dalam peristiwa tersebut terjalin ikatan-ikatan kultural seperti perasaan menjadi sedulur Jaji7, perasaan sedarah, menjadi korban bersama. Kemudian dalam komunikasi-komunikasi tersebut menandai suatu proses manusia dalam mendeskripsikan diri dan identitasnya. Identitas juga merupakan konstruksi diskursif yang dibangun melalui representasi yang dipahami bersama. (Barker : 2000). Melalui pendekatan sejarah kita bisa melihat dan mengurai pola perubahan Identitas bagi mereka. Sementara data sejarah saya gunakan dalam penelitian ini sebagai judgment mental untuk mempertanyakan identitas kolektif mereka mengenai pengalaman masa lalu. Menurut saya hal ini merupakan perspektif menarik dalam melihat konstruksi Identitas. Memperlihatkan masa lalu melalui data sejarah kemudian mempertanyakannya. Hal itu saya coba kembangkan dari pandanganya Stuart Hall mengenai Identitas. Bagaimana identitas harus dilihat secara spesifik dalam ruang historisnya. “about questions of using the resources of history , language, and culture in the process of becoming rather than being : not ‘ who we are’ or ‘where we came from’ so much as what w might become, how we have been represented and how that hears on how we might represent ourselves” (Hall: 1995)
7
Jaji sebutan untuk pertemanan dalam satu kapal dalam perjalanan menuju Suriname. Pertemanan ini mereka maknai sebagai saudara seperjuangan dengan sebutan Sedulur Jaji. 15
Dalam karyanya yang lain ”Cultural Identity and Diaspora”, Hall juga menjelaskan bahwa identitas budaya dilihat dari dua cara pandang sebagai wujud (identity is being) dan identitas budaya sebagai proses (Identity as becoming) (Hall: 1990). Kemudian merujuk pada asumsi, menurut saya Identias merupakan sebuah upaya refleksi untuk mendapatkan peran, dimana artikulasi masa lalu ditempatkan kepada sebuah praktik-praktik(wujud). Dalam pandangan Bowman (2007) Sejarah dipakai oleh Hall untuk mempertahankan determinasi (Laksmi;2014). Dalam pandangan barker Identitas juga sepenuhnya merupakan konstruksi, tidak mungkin “eksis” di luar representasi budaya dan akulturasi. Hal ini sangat terlihat dalam masyarakat diaspora Jawa-Suriname di Belanda, bagaimana mereka memerankan identitas secara strategis. Saat dimana mereka menjadi orang Belanda, saat menjadi orang Jawa, saat menjadi orang Suriname dan lainnya. Seperti Foucault dan Benedict Anderson yang sangat mendasar menyebutkan bahwa Identitas sebagai konstruksi sosial cognitive yang menekan kepada faktor sosial dan budaya. Dimana praktik-praktik budaya tradisi diangkat kembali untuk menunjukan eksistensinya di ruang lingkungan baru. Pengelompokan baru, definisi sejarah kehidupan yang baru, dan pemberian makna identitas merupakan di dalam mengubah berbagai ekspresi kultural dan tindakan-tindakan sosial para pendatang. (Abdullah: 2010) Identitas juga dapat dipahami sebagai proses konstruksi pemaknaan atas dasar atribut budaya. Tetapi warisan identitas merupakan eksplorasi dari identitas yang begitu kompleks di mana aktif memberikan kontribusi untuk membangun dan mempresentasikan identitas dalam masyarakat kontemporer, menyediakan ruang yang komprehensif 16
tentang bagaimana konsep beragam warisan dan identitas di seluruh benua dan budaya yang berbeda (Marta:2009). Asumsi saya terdapat pemaknaan “warisan” yang diperoleh dari value of social history8dalam membangun identitas mereka. Melalui proses reproduksi kebudayaan menegaskan keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengahruskan adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda (Abdullah: 2010). Proses ini terlihat dalam penelitian ini, identitas Jawa seolah dipermainkan secara strategis oleh beberapa tokoh masyarakat diaspora Jawa-Suriname di Belanda guna memperoleh power relationship9. Bukan merupakan proses pemaknaan identitas yang muncul secara natural maupun alami. Terdapat sebuah proses resistensi di dalam mereproduksi identitas kultural masayarakat diaspora Jawa-Suriname di Belanda di dalam konteks sosial budaya. Pemahaman tentang proses reproduksi identitas kultural yang menyangkut kebudayaan asal yaitu kebudayaan Jawa direpresentasikan dalam lingkungan baru di Belanda. Hal itu kemudian dianggap sebagai bentuk dari 8
Bisa baca mengenai Charles Tilly (1996) Citizen, Identity and Social History. Publish Cambridge University Press 9
Baca juga Michel Foucault (Madness and Civilization, The Birth of the Clinic, Discipline and Punish) dan kemudian karyanya pada seksualitas dan kepemerintahan. Dalam karya awal, Foucault kadang-kadang memberikan rasa kekuatan yang melekat pada lembaga daripada di individu yang membuat fungsi lembaga-lembaga Foucault mengeksplorasi di buku-buku tentang bagaimana penciptaan disiplin modern. Dengan prinsip mereka ketertiban dan kontrol, cenderung "disindividualize" kekuasaan, membuatnya tampak seolah-olah kekuasaan melekat pada penjara, sekolah, pabrik, dan lain-lain. Sergiu Băllan (2009) dalam “Foucault’s View on Power Relations” Akibatnya, Foucault mempelajari - dalam apa yang dia sebut sebagai "analisis kekuasaan "- bagaimana berbagai institusi mengerahkan kekuatan mereka pada kelompok dan individu, dan bagaimana yang terakhir menegaskan identitas dan ketahanan mereka sendiri terhadap efek kekuasaan. Baca juga Gordon, Collin (1980). Forward. In Power/Knowledge, Foucault, Michel, Pantheon Books, New York, 1980 17
eksistensi dalam mempertahankan identitas Jawa. Misalnya pengalaman saya mengikuti beberapa kegiatan kesenian, “Wis podo plek karo asline to karo sing neng Solo, aku iki melu khursus neng Solo”10 kata bu Ingge seorang pelatih tari di Belanda. Konteks kesenian Jawa dibangun guna mendapatkan power relationships kepada para aktor yang berkecimpung dalam komunitas tersebut. Jadi, pemaknaan identitas lahir dari sebuah proses resistensi guna mereproduksi Identitas. Selain penguatan identitas melalui proses reproduksi, warisan identitas menjadi aspek dasar dalam membangun identias Jawa bagi masyarakat diaspora Jawa-Suriname di Belanda. Hal itu disampaikan juga oleh Rhiannon Mason dan Zelda Baveystock (2007) ketika melihat pola yang sama dengan masyarakat diaspora, di dalam buku Heritage and Identity: Engagement and Demission in the Contemporary World tentang warisan bukan lagi sebuah artefak atau situs sejarah, warisan merupakan sebuah proses. 4.3 Konsep Konstruksi Kultural Dalam membaca pola tradisi masyarakat Jawa-Suriname memang tidak lepas dengan istilah konstruksi kultural. Konstruksi sendiri diartikan sebagai “membangun” kembali dan ketika berbicara kultural memang tidak jauh dengan apa itu sebuah simbol. Menurut LeCron Foster, M, Symbolism: The Foundation of Culture simbol adalah artefak, sebuah ‘benda’ yang ada di luar di suatu tempat dalam ruang dan waktu. Simbol terlibat dalam budaya sedemikian rupa sehingga dapat digunakan dalam keragaman konteks untuk menyampaikan makna, bukan
“Sudah seperti aslinya dengan yang di Solo, saya ikut khursus di Solo” dalam bahasa Indonesia. Ditemui saat seusai pertunjukan tari jawa di Theater Vailant, Den Haag. 28 Juni 2015. Event “ Javaanse Dansvoorstelling” 10
18
hanya tentang dirinya, tapi tentang proses budaya dan hubungan. Beberapa simbol dari masyarakat diaspora Jawa-Suriname di Belanda yag dimaksud tidak lain yang dianggap mempresentasikan sebagai Jawa antara lain: segi pakaian, makanan, hobi, bahasa interaksi, dan gaya hidup. Setiap simbol berpartisipasi dalam jaringan signifikansi yang kita sebut budaya. Budaya tidak sendiri terbentuk dari simbol, tapi makna yang terletak dan menyatukan simbol. Makna ini hanya ada dalam pikiran (mind) pelaku budaya tetapi bertindak keluar melalui manipulasi simbol, yang merealisasikan makna. (Tijana:2013). Asumsinya konstruksi masyarakat Jawa-Suriname didefinisikan secara kultural dan dipengaruhi oleh ikatan ras atau etnis, yang mengklasifikasikan atau menggambarkan seorang individu berdasarkan karakteristik fisik (seperti warna kulit), keturunan dan sejarah budaya (seperti ras), dan juga dapat secara sosial orang kelompok dalam kategori berdasarkan norma-norma bersama, nilainilai, keyakinan, dan perilaku (seperti etnis). Pada dasarnya sesuatu yang kultural dapat bervariasi dari budaya ke budaya. Jadi, bagaimana kita mendefinisikan "ras" atau "suku" atau bahkan "gender". Hal ini juga sangat terlihat dalam kehidupan masayarakat Jawa-Suriname, jelas terasa mereka merupakan masyarakat dengan etnis Jawa. Struktur masyarakatnya Comunalism11. Berbagai wujud-wujud simbolis tradisi Jawa dihidupakan kembali ke dalam masayarakat ini. Simbol-simnbol itu berperan di dalam masyarakat diaspora Jawa-
11
Berbeda dengan Communalism dalam arti harafiyah tentang paham atau ideologi yg mementingkan kelompok atau kebersamaan di dalam kelompok. Communalism dalam masyarakat Jawa-Suriname di Belanda lebih merupakan sekolompok etnis yang memang secara komunitas mereka komunal. Sistem komunal digunakan untuk menjalankan tradisi budaya Jawa. Seperti Slametan, Bakdah Kupat, Bodo, sampai isu isu kontemporer.dan visual culture. 19
Suriname dalam mengkontruksi budaya Jawa secara kultural. Tidak dengan budaya setempat, dikarenakan terdapat ekslusi sosial antar satu etnis dengan etnis yang lain dalam suatu sistem sosial dan historis (Abdullah: 2010). Ekspresi etnisitas bagi suatu etnis merupakan keberlanjutan masa lalu yang merupakan bentuk politik emansipatoris dan penegasan autensitas etnis (Appadurai: 1995). Perjumpaan tersebut memang telah menantang konflik dan integrasi partikularitas, lokalisme, dan perbedaan sebagai penegasan identitas masyarakat diaspora Jawa-Suriname kepada masyarakat Belanda. Pertemuan ini menciptakan proses interaksi dan penyesuain kondisi yang sangat kompleks. Menurut Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam bukunya “The Social Construction of Reality” menyebutkan adanya realitas dalam berbagai fenomena yang mempunyai level keberadaan yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia. Dalam konteks ini, masyarakat diaspora dilihat sebagai proses dimana terdapat fenomena-fenomena yang memiliki karakteristik yang spesifik. Dalam pemikiranya Berger dan Luckman, juga memahami dunia kehidupan selalu dalam proses dialektis, antara the self (individu) dan dunia sosio kultural. Proses dialektis itu mencakup tiga momen simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosio kultural sebagai produk manusia), objektivasi (interaksi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi), dan internalisasi dimana individu-individu mengidentifikasi melalui lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat ia berada. Proses ini berlangsung dalam momen dialektis ditambah adanya legitimasi, maka kenyataan sosial telah menjadi suatu konstruksi kultural dalam menciptaan masyarakat itu sendiri. 20
Sementara hubungan yang terkait antara ruang dan Identitas sosial mempunyai jangkauan sendiri, meski bersifat kultural. Manusia dan lingkungan memperoleh makna dari keterkaitanya dengan konstruksi-konstruksi simbolik (Cavallaro : 2004). Diandaikan bahwa elemen-elemen fisik , psikologis, politis, ideologis, seksual, dan rasial memainkan peran kunci dalam konstruksi kultural .
5
Metode Penelitian Clifford Geertz (1926-2006) mungkin merupakan salah antropolog yang
paling berpengaruh hingga saat ini. Tetapi memang pengaruhnya diperpanjang jauh melampaui bidangnya untuk mencakup semua aspek kehidupan kontemporer. Geertz dengan luar biasa menempatkan kemajuan tentang kekhawatiran terbesar masa depan ilmu sosial budaya. Tertulis dalam karyanya Life Among the Anthors (2012) ilmu sosial memerlukan makna-infleksi dan spesifik lokal untuk pemahaman. Bebagai jenis dari imajinasi etnografis membawa kita ke depan. Kita perlu "pengetahuan lokal" untuk menavigasi masa depan global. Karya Geertz ini menjadi salah satu kajian dasar dalam melakukan metode penelitian ini. Dalam bukunya yang lain Interpretation of Culture (1973) Geertz juga menggunakan thick description sebagai istilah utama dan menyatakan bahwa tugas antropologi adalah menjelaskan budaya melalui thick description yang menentukan banyak rincian, struktur konseptual dan makna. Thick description adalah kebalikan dari thin description yang merupakan rekenin faktual tanpa interpretasi apapun, Geertz menegaskan bahwa budaya pada dasarnya adalah semiotik dan analisis budaya harus menjadi praktik interpretatif yang menelusuri cara di mana makna 21
berasal. Menurut dia, “culture is public because meaning is” dan sistem makna adalah apa yang menghasilkan budaya, mereka adalah milik kolektif suatu bangsa tertentu. Budaya memberi mata rantai antara kemampuan manusia untuk menjadi apa dan kenyataannya sebagai apa. Manusia menjadi individu yang berada di bawah pengarahan pola – pola kebudayaan, yaitu sistem – sistem makna yang tercipta secara historis. Dengan itu manusia sendiri memberi bentuk dan arah untuk kehidupannya. (Tijana:2013). Sebelum melakukan penelitian saya melakukan studi pustaka agar penelitian saya benar benar dipastikan belum pernah ditulis. Pengunaan data sejarah juga banyak saya lakukan sebelum masuk dalam pengambilan data etnografi, mulai dari arsip-arsip sejarah, foto-foto masa lalu, statistik dan surat-surat berharga. Melalui kajian sejarah kita bisa memetakan kerangka penelitian kita agar bisa kronologis. Selain itu kita bisa melakukan eksplanasi yang diperoleh melalui analisis. Penelitian ini dilakukan dari sebuah pengalaman etnografi melalui keikut sertaan saya secara langsung dalam kehidupan beberapa keluarga masyarakat JawaSuriname dan berbagai kegiatan kesenian yang diselengarakan oleh komunitas Jawa Suriname di Belanda. Berbagai macam karateristik keluarga saya pilah sebelum terjun ke lapangan. Melalui kajian kualitatif peneliti melalukan wawancara dengan subjek penelitian, mengamati aktifitas, mendeskripsikan krakteristik fisik situasi sosial dan merasakan menjadi bagian utuh dari masyarakat Jawa Suriname di Belanda. Penelitian ini juga melibatkan penggunaan paradigma fenomenologis,
22
menurut Ahimsa (2007: 43-4) fokus terhadap perilaku dan kebudayaan untuk kajian dasar. Metode penelitian sangat terkait dengan permasalahan atau perspektif penelitian (Simatupang, 2013:23). Metode ini dilakukan dengan segala macam penelitian dan berhadapan dengan kenyataan kemudian kita intepretasikan. Kenyataan berbentuk gejala, yaitu sesuatu yang nampak sebagai tanda adanya peristiwa (Bakker dan Zubair, 1994:41-54). Seluruh hasil penelitian harus diuraikan dengan bahasa. Ada kesatuan mutlak antara bahasa dan pikiran. Hanya dengan dieksplisitasikan, suatu pengalaman yang tidak sadar dapat mulai berfungsi dalam pemahaman. Mengucapkan suatu pengertian biasa melahirkan pemahaman baru. (Artyandari:2014) Selain mengunakan metode kualitatif, saya juga mengunakan etnografi visual sebagai metode penelitian saya. Setiap penelitian saya di lapangan saya coba merekam dengan kamera video. Selain menjadi tulisan akhir tesis, saya juga membuat video dokumenter untuk memperkuat hasil tulisan saya. Permasalahan disusun berdasarkan tinjauan lapangan dari narasumber masyarakat Jawa-Suriname di Belanda. Serta keterlibatannya beberapa colega pembimbing tesis yang ada di Universitas Leiden dan Universits Gadjah Mada. Serta rekan seperti Harriate Mingoen (KITLV) dan Fuji Riang (Universitas Nijmegen). Penelitian ini saya kira mampu masuk ke dalam wilayah perspektif pandangan masyarakat yang diteliti sebagai subjek pelaku budaya. Sehingga
23
pengertian gaya hidup dan identitas yang dikembangkan oleh tineliti dalam kehidupannya sehari-hari dapat dipahami (Endraswara, 2006:44). Dari beberapa paparan di atas penelitian ini mengunakan metode Multi-sited fieldwork. Tidak lagi seperti Boas dan Malinowski : jangka panjang, tatap muka, etnografi holistic ke dalam sebuah komunitas kecil di suatu daerah terpencil. Penelitian ini lebih focus dalam studi translocal culture12. Walaupun seseorang tetap berada di wilayahnya, namun melalui proses globalisasi, symbol budaya luar akan menghampiri melalui perantara media seperti televisi maupun internet serta khususnya facebook yang dapat menghubungi seseorang dengan bantuan akun yang dimiliki. Hal ini diakui oleh Pieterse (1995:62), berpendapat bahwa dalam proses globalisasi kita akan dapat melihat budaya asli atau introvert culture yang telah terbentuk begitu lama dan membayangi budaya luar atau translocal culture atau translokal identity yang merupakan proses terbentuknya formasi translokal yang bersifat dinamis.(Gushevinalti:2013). George Marcus (1995: 105) dengan metode Multi-sited fieldwork saya gunakan sebagai metode dasar dalam penelitian ini. Multi-sited fieldwork berbeda dengan fieldwork at multifield sites. “multi-sites research as designed around chains, paths, threads, conjunctions, or juxtapositions of location in which the ethnographer establishes some form of literal, physical presence, with an explicit, posited logic of association or connections among sites that in fact defines the argument of ethnography .
12
Translokal culture atau translokal identity bagi generasi muda yang sering berhubungan dengan dunia luar atau diluar wilayahnya secara sadar atau tidak sadar terpengaruh oleh unsur-unsur budaya luar. Ada kemungkinan unsur dan nilai budaya luar ini secara tidak langsung diasimilasikan dalam nilai dan tindakan mereka sehingga membentuk negosiasi translokal yang terlihat pada sikap dan perilaku sehari-harinya. Proses asimilasi itu berlaku ditunjukkan dari perilaku generasi muda dengan erubahan ciriciri budaya translocal dari segi makanan, pakaian, aspirasi, nilai dan sebagainya. 24
Kedua, penelitian ini juga mengunakan metode visual. Menitik beratkan pada perhatian kajian visual dan visual culture sebagai salah satu aplikasi penelitian. Morphy dan Banks (1999), menerangkan bahwa sebenarnya terdapat dua fokus perhatian dari antropologi visual, antara lain: pertama, visual antropologi menyangkut penggunaan materi visual dalam penelitian antropologi, kedua, visual antropologi merupakan studi mengenai sistem visual dan budaya yang terlihat (kasat mata) serta memproduksi dan menggunakan hasil dari visual antropologi (Morphy and Banks, 1999:14). Selain itu dalam karyanya yang lain Spencer (2009) “A Guide to Visual Research in the Social Sciences” buku ini membahas menganai bagaiamana kajian visual digunakan untuk metode praktek penelitian. Penelitian ini akan mengeksplorasi batas-batas metode visual untuk penelitian kualitatif, sementara pada saat yang sama memeriksa daerah yang signifikan. Muali dari budaya popular dan penggambaran etnis. Ketiga, tidak lain masih menempatkan peneliti ke dalam model sudut pandang si peneliti, atau dikenal dalam dunia antropologi dengan etik, diambil dari disiplin ilmu linguistik dari kata “phonetics”. Dari sinilah saya meneliti mengenai gaya hidup dalam melihat identias dan budaya yang berkembang dalam masyarakat dari sisi emik, yaitu dari “the native point of views” dan berasal dari “phonemic” (Ahimsa, 2003:16-18) Penelitian mengenai identitas dan konstruksi kultural Diaspora JawaSuriname juga belum banyak dilakukan, baik oleh pihak akademisi, masyarakat umum, maupun swasta. Sehingga timbul dalam benak ketertarikan saya untuk melakukan penelitian ini, mengapa hal ini bisa terjadi? 25