1
RESOLUTION OF THE JOINTLY OWNED PROPERTY IN THE CASE OF DIVORCE (AT THE STATE RELIGIOUS COURT CLASS IA MEDAN)
TESIS
Oleh
SUGIH AYU PRATITIS 077005133/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
2
PENYELESAIAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM HAL TERJADINYA PERCERAIAN (STUDI PENELITIAN DI PENGADILAN AGAMA MEDAN)
TESIS
Oleh
SUGIH AYU PRATITIS 077005133/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
3
PENYELESAIAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM HAL TERJADINYA PERCERAIAN (STUDI PENELITIAN DI PENGADILAN AGAMA MEDAN) TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
SUGIH AYU PRATITIS 077005133/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
4
Judul Tesis
: PENYELESAIAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM HAL TERJADINYA PERCERAIAN (STUDI PENELITIAN DI PENGADILAN AGAMA MEDAN) Nama Mahasiswa : Sugih Ayu Pratitis Nomor Pokok : 077005133 Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. H. Hasballah Thaib, MA) Ketua
(Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH)
(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B.,MSc)
Tanggal lulus : 24 Juli 2009
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
5
Telah diuji pada Tanggal 24 Juli 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
:
Prof. Dr. H. Hasballah Thaib, MA
Anggota
:
1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum 2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum 4. Dr. Utary Maharany Barus, SH, M.Hum
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
6
ABSTRAK Keluarga yang bahagia lahir bathin adalah dambaan setiap insan. Namun demikian tidaklah mudah untuk mewujudkan sebuah keluarga yang bahagia, langgeng, aman dan tenteram sepanjang hayatnya. Perkawinan yang sedemikian tidaklah mungkin terwujud apabila diantara para pihak yang mendukung terlaksananya perkawinan tidak saling menjaga dan berusama bersama-sama dalam membina rumah tangga yang kekal dan abadi. Apabila terjadi perceraian, sudah dapat dipastikan akan menimbulkan akibat-akibat terhadap orang-orang yang bekaitan dalam suatu rumah tangga, dimana dalam hal ini penyelesaian pembagian harta bersama yang akan dititik beratkan. Tesis ini membahas tentang penyelesaian pembagian harta bersama dalam hal terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Klas I A Medan. Dalam hal ini yang menjadi kajian dalam penelitian adalah putusan Pengadilan Agama Klas I A Medan tentang penyelesaian sengketa harta bersama. Yang menjadi pembahasan di dalamnya adalah bagaimana akibat hukum dari perceaian terhadap harta benda perkawinan, bagaimana penyelesaian perkara-perkara perceraian di Pengadilan Agama Klas I-A Medan serta bagaimana sikap Hakim Pengadilan Agama Klas I A Medan terhadap status hukum kedudukan isteri yang dicerai terhadap harta yang diperoleh selama perkawinan. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dan materi-materi penelitian diperoleh dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data primer merupakan hasil penelitian yang ditambah dengan informasi yang terkait dengan masalah yang diteliti diperoleh melalui nara sumber yang terdiri dari : Hakim, Panitera dan Pengacara/Penasehat Hukum. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Adapun hasil penelitian menunjukan bahwa : Akibat hukum dari perceraian terhadap harta perkawinan adalah apabila terjadi perceraian antara suami istri maka harta yang diperoleh dari hasil perkawinan dibagi dua, setengah untuk suami dan setengah untuk istri. Hal ini juga terjadi di dalam prakteknya di Pengadilan Agama Medan, tanpa melihat dari suku, dan masyarakat adat mana yang bercerai. Hal ini sudah adanya kesadaran yang tinggi dari semua pihak tentang adanya persamaan hak antara pria dan wanita. Bila sewaktu terjadi perkawinan sudah ada perjanjian antara suami istri tentang harta maka harta bersama pembagiannya dapat dilakukan sesuai dengan perjanjian antara pihak suami dan istri. Penyelesaian pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Medan yaitu apabila perceraian telah disetujui kedua belah pihak antara suami istri, maka dapat mengajukan permohonan pembagian harta bersama sesuai dengan hukum yang berlaku. Dan apabila suami istri yang bercerai tidak mau melaksanakan pembagian harta bersama, maka salah satu pihak dapat mengajukan eksekusi di Pengadilan Agama untuk memaksa pihak yang tidak mau melaksanakan putusan yang sesuai dengan apa yang diputus oleh Pengadilan Agama.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
7
Yang menjadi pertimbangan Hakim pengadilan Agama dalam membagi harta bersama kepada istri dan suami adalah merujuk pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam yang isinya”Harta perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri- sendiri atau bersama- sama selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”, dan juga ketentuan Undang- undang No.1 tahun 1974 Pasal 39 ayat (2)”Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri”. Maka dari itu saran penulis: Kepada praktisi hukum agar dapat meningkatkan penyuluhan hukum terhadap masyarakat di dalam mensosialisasikan pelaksanaan hukum penyelesaian sengketa harta bersama. Untuk mencegah terjadinya polemik sekitar harta bersama dalam suatu perkawinan, disarankan agar akta nikah disertai dengan ketentuan tentang harta bersama dalam perjanjian perkawinan. Disarankan kepada Majelis Hakim yang memeriksa kasus mengenai harta bersama, agar membuat pertimbangan hak- hak anak dari harta bersama selama perkawinan. Kata kunci : Pembagian harta bersama; Perceraian
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
8
ABSTRACT A family which is full of happiness spiritually and physically is a desire of anyone. In fact, however, it is not so easy to realize a happy, sustainable, safe and comfort for lifetime. Such a marriage will not be realized if the parties who support the marriage will not together keep and guide an eternal household. In the case of divorce, it can be certain that the divorce will lead to consequences to those who related to a household, in which in this case, on which resolution of division of he jointly owned property emphasized. The present thesis deals with resolution of the jointly owned property in the case of divorce at the State Religious Court Class IA Medan. In this case, what is reviewed included the decision of the State Religious Court Class IA Medan in resolving the dispute of the jointly owned property. What is discussed whitin it included how the legal consequence of divorce against the property under marriage, how the resolution of the attitude of the legal status of a wife divorced against the property collected during the marriage. The present study is a descriptive analysis of the materials using a normative juridical approach. The primary data were collected from the result of the study plus the information related to the problem being study gathered from the informant consisting of; Judges, Registrar and Advocacy/ Legal Advisors. The secondary data were collected by a library study. The results of the study showed that ; The legal consequences of the divorces against the property of marriage included in the case of the divorce between husband and wife, the property collected during the marriage would be divided into two and a half portion for the husband and the remaining a half for the wife. it also occurred in the practice of the State Religious Court Class IA Medan regardless of which of race, ethnicity, and community to be divorced. It is caused by the relatively higher consciousness of all the parties regarding the proportional similarity of man and woman. In Which when the marriage takes place, there is an agreement between the husband and wife regarding the division of the jointly owned property that should be done according to the agreement between both parties. Resolution of the division of the jointly owned property at the State Religius Court Class IA Medan in the case of divorce has been agreed by both parties, therefore, they can submit an application for division of the property according to the prevailing statutory rules. When they failed to enforce the decision made by the State Religious Court. What is consideration of the judges in dividing the jointly owned property is that the reconciliation of both husband and wife reffering to the article 19 letters f of the Government Rule No. 9 of 1975 related to the Article 116 letter f of the Islamic Law Compilation reading :the Property of Marriage and Syrkah include the one collected either by individually or collectively during the marriage take place and further, the jointly owned property regardless the registration on behalf of any name
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
9
and also the regulation of the Laws No. 1 of 1974 in the article 39 (verse 2) : To make a divorce, there should be a reason that both husband and wife will not live their life harmonically as husband and wife. Suggestion : For the advisors can rise the law counseling for the society in the socialization of law solution of jointly owned property controvers. To prevent the polemic around the jointly owned property in marriage and suggested that married acte with certainty about the jointly owned property in the marriage vows. To suggest for the judges that investigate the casus about the jointly owned property, so that to make a consideration the children right from the jointly owned property during the marriage. Key words : Division of the Jointly Owned Property; Divorce
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
10
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas karunianya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun tujuan dari penulisan tesis ini adalah untuk melengkapi salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Adapun judul tesis ini adalah Penyelesaian Pembagian Harta Bersama Dalam Hal Terjadinya Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Medan). Penulis menyadari bahwa tesis ini belumlah sempurna masih banyak kelemahan dan kekurangan. Untuk itu dengan hati dan tangan terbuka penulis mengharapkan dan menerima kritik dan sumbang saran yang sifatnya membangun dari seluruh pihak demi sempurnanya tugas akhir ini. Dalam penulisan tugas akhir ini penulis telah banyak memperoleh masukan dan menerima bantuan dari berbagai pihak. Atas saran, masukan dan bantuan baik moril maupun materil, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setulus- tulusnya dari lubuk hati yang paling dalam kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Hasballah Thaib, MA selaku pembimbing utama yang telah memberikan arahan dan membantu penulis dalam penyempurnaan tesis ini ; 2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku pembimbing II yang telah
banyak
membantu
dan
memberikan
saran-
sarannya
dalam
penyempurnaan tesis ini; Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
11
3. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum selaku pembimbing III yang telah banyak membantu memberikan saran- sarannya dalam penyempurnaan tesis ini ; 4. Ibu Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara tercinta ini ; 5. Kedua orang tua tercinta, H. Suwarjono dan H. Sumiani atas doa dan dukungan, serta materil yang telah diberikan kepada penulis yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini tepat pada waktunya ; 6. Kekasihku Briptu. Ahmad Albar, SH. Atas cinta, kasih dan kesetiaannya yang selalu mendukung penulis selama masa perkuliahan sampai penulisan tugas akhir sehingga sangat membantu kelancaran penyelesaian tugas akhir ini ; 7. Teman- teman Mahasiswa Pascasarjana USU SPs Ilmu Hukum yang telah banyak
membantu
melalui
diskusi,
sharing
ilmu
pengetahuan
dan
memberikan masukan- masukan berharga dalam menyelesaikan tesis ini ; 8. Teman- teman Sekretariat SPs Ilmu Hukum USU atas bantuan informasi yang diberikan dalam penyelesaian tesis ini. Penulis mengharapkan, kiranya hasil tugas akhir ini bermanfaat bagi kita semua, dan atas bantuan, saran, bimbingan dari semua pihak, penulis mengucapkan terima kasih. Medan, Penulis,
Juni 2009
(Sugih Ayu Pratitis) Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
12
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Sugih Ayu Pratitis
Tempat/Tanggal Lahir
: Medan/25 Agustus 1985
Jenis kelamin
: Perempuan
Status
: Belum Menikah
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Pelajar Timur No. 230 Medan
PENDIDIKAN FORMAL
1. SD. Muhammadiyah No. 17 Dari Tahun 1992 Sampai Tahun 1997 2. SLTP Negeri 3 Medan Dari Tahun 1997 Sampai Tahun 2000 3. SMU Negeri 14 Medan Dari Tahun 2000 Sampai Tahun 2003 4. Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatra Utara Dari Tahun 2003 Sampai Tahun 2007
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
13
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ......................................................................................................
i
ABSTRACT .....................................................................................................
iii
KATA PENGANTAR....................................................................................
v
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................
vii
DAFTAR ISI...................................................................................................
viii
BAB I
BAB II
: PENDAHULUAN .....................................................................
1
A. Latar Belakang ......................................................................
1
B. Perumusan Masalah ..............................................................
9
C. Tujuan Penelitian ..................................................................
9
D. Manfaat Penelitian ................................................................
10
E. Keaslian Penelitian................................................................
10
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi...............................
11
1. Kerangka Teori ..............................................................
11
2. Landasan Konsepsi ........................................................
20
G. Metode Penelitian ................................................................
25
: AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP KEDUDUKAN HARTA BENDA PERKAWINAN...............
30
A. Perceraian.............................................................................
30
1. Menurut UU No. 1 Tahun 1974.....................................
30
2. Menurut Hukum Adat....................................................
32
3. Menurut Kompilasi Hukum Islam .................................
33
B. Penyebab Terjadinya Perceraian..........................................
36
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008 viii
14
C. Harta Bersama Dalam Perkawinan ......................................
43
D. Akibat Perceraian Terhadap Harta Bersama ........................
58
BAB III : PELAKSANAAN PENYELESAIAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA ................
74
A. Wilayah Hukum dan Kewenangan Pengadilan Agama Klas I A Medan .......................................................................
74
B. Penyelesaian Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian ...
83
C. Masalah Yang Timbul..............................................................
89
BAB IV : PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN PUTUSAN TERHADAP PENYELESAIAN HARTA BERSAMA...................................................................................
95
A. Pertimbangan Putusan Hakim Dalam Menyelesaikan Sengketa Harta Bersama .........................................................
95
B. Putusan Hakim Terhadap Perkara Harta Bersama Di Pengadilan Agama Klas I A Medan.......................................
98
: KESIMPULAN DAN SARAN...................................................
110
A. Kesimpulan .............................................................................
110
B. Saran........................................................................................
111
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
112
BAB V
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang antara kedua belah pihak suami dan isteri, akan senantiasa diharapkan berjalan dengan baik, kekal dan abadi yang didasarkan kepada ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri berdasarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa : “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa”. 1 Keluarga yang baik, bahagia lahir bathin adalah dambaan setiap insan. Namun demikian tidaklah mudah untuk mewujudkan sebuah keluarga yang bahagia, langgeng, aman dan tenteram sepanjang hayatnya. Perkawinan
sedemikian itu
tidaklah mungkin terwujud apabila para pihak yang mendukung terlaksananya perkawinan tidak saling menjaga dan berusaha bersama-sama dalam membina rumah tangga yang kekal dan abadi. Di samping itu perkawinan juga ditujukan untuk waktu yang lama, dimana pada prinsipnya perkawinan itu akan dilaksanakan hanya satu kali dalam suatu kehidupan seseorang. Hukum perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap agama tersebut satu sama lain ada perbedaan, akan tetapi tidak saling bertentangan. Adapun di Indonesia telah ada 1
Pasal 1Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
1
2
hukum perkawinan yang secara otentik diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. “Sebagai salah satu masalah keagamaan, disetiap negara di dunia mempunyai peraturan tentang perkawinan, sehingga pada prinsipnya diatur dan harus tunduk pada ketentuan-ketentuan ajaran agama dalam melangsungkan perkawinan”. 2 Menurut ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”, kemudian dalam ayat (2) disebutkan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku”. 3 Jadi untuk sahnya suatu perkawinan selain perkawinan harus sah berdasarkan agama juga harus didaftarkan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan yang berwenang, sehingga perkawinan mempunyai kekuatan hukum dan dapat dibuktikan atau peristiwa perkawinan itu telah diakui oleh negara. Hal ini penting artinya demi kepentingan suami isteri itu sendiri, anak yang lahir dari perkawinan serta harta yang ada dalam perkawinan tersebut. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan ummat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami dan isteri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi. Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut keluarga. Keluarga merupakan unit 2
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : CV.Zahir Trading Co.1975)
3
Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
hal.6
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
3
terkecil dari suatu bangsa. Keluarga yang dicita-citakan dalam ikatan perkawinan yang sah adalah keluarga sejahtera dan bahagia yang selalu mendapat ridha dari Allah SWT. Menurut Hukum Islam perkawinan adalah aqad (perikatan) antara wali wanita calon isteri dengan pria calon suaminya. Akad nikah itu harus diucapkan oleh wali si wanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan diterima (kabul) oleh si calon suami yang dilaksanakan dihadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Jika tidak demikian, maka perkawinan tidak sah, karena bertentangan dengan hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Ahmad yang menyatakan “tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”. 4 Dalam konteks hukum perkawinan Islam, jelas bahwa perkawinan adalah hukum Allah yang berlaku di alam nyata. Karena itu Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan berkeluarga, bermula dari memilih jodoh hingga kepada tanggung jawab suami dan isteri di dalam rumah tangga. 5 Dengan demikian perkawinan yang dilaksanakan secara sah akan menimbulkan hak dan kewajiban dalam perkawinan, baik antara suami isteri maupun terhadap anak yang dilahirkan dalam perkawinan atau yang lahir akibat perkawinan tersebut dan juga masalah harta benda. Sesuai dengan Sunnatullah segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak ada yang abadi dan sudah pasti ada akhirnya, begitu juga yang terjadi terhadap ikatan perkawinan pada suatu waktu pasti berakhir atau putus. Putusnya perkawinan itu ada yang karena ketentuan (taqdir) dari Allah SWT dengan meninggalnya salah satu dari suami isteri dan ada juga karena kehendak salah satu dari suami atau isteri dengan 4
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung : Mandar Madju,1990),
hal.1. 5
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’I, Hanafi, Maliki, Hanbali,(Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1995), hal.1 Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
4
melalui Pengadilan baik cerai talak maupun putusan pengadilan karena terjadinya hal-hal yang tidak disenangi oleh salah satu pihak akibat dari sikap dan perbuatan pihak lain sesuai dengan alasan-lasan perceraian sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. Apabila perceraian ini terjadi, sudah dapat dipastikan akan menimbulkan akibat-akibat terhadap para pihak yang berkaitan dalam suatu rumah tangga. Akibat hukum dari perceraian ini tentunya menyangkut pula terhadap anak dan harta kekayaan selama perkawinan. Mengenai kedudukan harta benda perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37. Pembagian harta bersama ini jelas diatur dalam undang-undang, hanya saja sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari keinginan-keinginan untuk menguasai dan memiliki, kadang kala antara teori dan penerapan serta pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan itu sering kali tidak sejalan. “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami atau isteri serta harta benda yang diperoleh dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. 6 Menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 menentukan bahwa : 1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama 6
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal.43.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
5
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. 7 Dari ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat diketahui, bahwa menurut Undang-Undang Perkawinan, di dalam satu keluarga mungkin terdapat lebih dari satu kelompok harta. Bahkan pada asasnya di sini, di dalam satu keluarga terdapat lebih dari satu kelompok harta. 8 Ternyata menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta bersama suami isteri hanyalah meliputi harta-harta yang diperoleh suami isteri sepanjang perkawinan saja. 9 Artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu antara saat peresmian perkawinan sampai perkawinan tersebut putus, baik terputus karena kematian salah seorang diantara mereka (cerai mati) maupun karena perceraian (cerai hidup). Dengan demikian harta yang telah dipunyai pada saat (dibawa masuk ke dalam) perkawinan terletak di luar harta bersama. 10 Menurut Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami isteri.
7
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 1991), hal.188. 9 Asro Sosroatmodjo, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), 8
hal.17 10
J. Satrio, Op.Cit, hal.189
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
6
Harta perkawinan ini merupakan modal kekayaan yang dapat dipergunakan oleh suami isteri untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari suami isteri dan anakanaknya di dalam keluarga. Asas harta bersama ini pokok utamanya ialah segala milik yang diperoleh selama perkawinan ialah harta pencaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama. Maka dalam arti yang umum, harta bersama itu ialah barangbarang yang diperoleh bersama selama perkawinan dimana suami isteri itu hidup berusaha untuk memenuhi kepentingan keluarganya. Dengan demikian pada prinsipnya harta bersama itu diatur bersama dan dipergunakan bersama dan dalam segala sesuatunya harus ada persetujuan bersama. Apabila perkawinan itu putus atau berakhir, maka dipandang dari segi kewajiban suami kepada isterinya yang diceraikan, maka akibat hukumnya ada empat yaitu : 1. Pemberian yang pantas kepada bekas isteri baik berupa benda atau uang. Surat Al Baqarah ayat 241, menyebutkan yang artinya : “kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah diberikan oleh suaminya mut’ah (pemberian) menurut yang ma’ruf sebagai kewajiban bagi orang yang taqwa. 2. Memberikan nafkah pakaian dan tempat tinggal selama isteri dalam masa iddah. 3. Memberikan nafkah kepada isteri yang cerai hamil dan menyusukan anakanaknya sesuai dengan kemampuan suami 4. Membayar atau melunaskan mas kawin apabila belum dilunaskan. 11
11
Abdul Manan., Aneka Masalah Hukum Materil DalamPraktek Peradilan Agama, (Jakarta : Pustaka Bangsa Press, 2003), hal.98 Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
7
Putusnya suatu perkawinan akan membawa akibat terhadap harta bersama dalam perkawinan. Kedudukan suami isteri terhadap harta perkawinan akan terjadi permasalahan, apabila suami isteri tidak melakukan pembagian atas harta perkawinan tersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Apabila terjadi sengketa tentang pembagian harta perkawinan, maka dalam hal ini diperlukan campur tangan Pengadilan Agama untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Pengadilan Agama Medan merupakan salah satu dari badan peradilan di Indonesia, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Kewenangan Peradilan agama yang diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, menyatakan “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : a. perkawinan, b. waris, c. wasiat, d. hibah, e. wakaf, f. zakat, g. infaq, h. shadaqah dan i. ekonomi syari'ah”. Pengadilan Agama Medan, sebagai pengadilan tingkat pertama ialah pengadilan yang bertindak menerima, memeriksa dan memutus setiap permohonan atau gugatan pada tahap paling awal dan paling bawah. Pengadilan Agama Medan bertindak sebagai peradilan sehari-hari menerima dan memutus atau mengadili segala perkara sesuai dengan kewenangannya yang diajukan masyarakat pencari keadilan. Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
8
Semua jenis perkara harus lebih dahulu melalui Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama. Terhadap semua jenis perkara yang diajukan, Pengadilan Agama dilarang menolak untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih apapun. Sesuai dengan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, yang menyatakan “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya”. Perkembangan kasus di Pengadilan Agama Medan dapat dilihat dari perkaraperkara yang masuk khususnnya perkara perceraian sebagaimana digambarkan dalam tabel 1 berikut ini : Tabel 1. Jumlah Perkara Yang Ditangani Pengadilan Agama Medan Tahun
Jlh. Perkara
Perceraian
2004
122
45
2005
126
48
2006
131
46
2007
125
43
2008
150
41
Sumber : Laporan Tahunan Pengadilan Agama Medan 2009 Akibat hukum dari perceraian suami isteri adalah menyangkut tentang harta bersama. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan belum mengatur tentang status harta bersama jika terjadi perceraian. Psal 37 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menentukan bahwa pengaturan Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
9
tentang pembagian harta bersama jika terjadi perceraian suami isteri diserahkan kepada kepada hukumnya masing-masing. Secara teoritikal bagi orang-orang yang beragama Islam tentunya berlaku hukum Islam yaitu Kompilasi Hukum Islam. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Tentu hal ini menimbulkan ketidak pastian dan hal ini menarik untuk dilakukan penelitian tentang “Penyelesaian Pembagian Harta Bersama Dalam Hal Terjadinya Perceraian (Studi Pada Pengadilan Agama Medan)”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang di atas, maka beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu : 1. Bagaimana akibat hukum perceraian terhadap harta benda perkawinan 2. Bagaimana penyelesaian perkara mengenai pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Medan. 3. Bagaimana pertimbangan Hakim pengadilan Agama Medan dalam membagi harta bersama kepada istri yang dicerai. C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
10
1. Untuk mengetahui akibat hukum dari perceraian terhadap harta benda perkawinan. 2. Untuk mengetahui penyelesaian perkara mengenai pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Medan. 3. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim Pengadilan dalam membagi harta bersama kepada istri yang dicerai.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 1. Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk penambahan khasanah kepustakaan di bidang keperdataan, khususnya tentang penyelesaian pembagian harta bersama dalam hal terjadinya perceraian. 2. Dari segi praktis, penelitian ini sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan bagi para pihak yang berkepentingan khususnya bagi masyarakat untuk mengetahui pentingnya mengetahui pembagian harta akibat dari perceraian tersebut. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara belum pernah ada penelitian yang menyangkut kedudukan isteri yang dicerai terhadap harta yang diperoleh selama
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
11
perkawinan. Karena itu penelitian ini baik dari segi objek permasalahan, subtansi adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara akademis dan ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi 1. Kerangka Teori Menurut Maria Sumardjono, teori adalah “Seperangkat proposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel tersebut. 12 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistimasikan penemuanpenemuan penelitian, membuat ramalan atau memprediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. 13
12
Maria Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, (Yogyakarta : Gramedia, 1989) hal.12. 13 M. Solly Lubis, Filsafat dan Ilmu Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994) hal. 17. Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
12
Tujuan utama dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama adalah penataan organisasi dan kerja Pengadilan Agama, sehingga menjadi pengadilan modern, sejalan dengan pengadilan-pengadilan lain yang berlaku di Indonesia. 14 Masalah perkawinan menjadi kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu seperti yang disebut dalam penjelasan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006. Perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami dengan isteri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain” atau dengan kata lain dapat disebutkan pula bahwa talak adalah “Pemutusan Perkawinan antara suami dan isteri, dengan menggunakan kata-kata talak atau yang sama maksudnya dengan itu”. 15 Perceraian merupakan akhir dari kehidupan bersama suami isteri meskipun setiap orang menghendaki agar perkawinan yang dilaksanakannya itu tetap utuh sepanjang masa kehidupannya, tetapi tidak sedikit di antara mereka yang perkawinan telah dibina dengan susah payah itu harus berakhir dengan suatu perceraian juga selalu perkawinan yang dilaksanakan itu tidak sesuai dengan cita-cita, walaupun sudah diusahakan semaksimal mungkin dengan membinanya secara baik tetapi pada
14
Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta : Penerbit Pustaka Al Husna, Cetakan Pertama, 1994). hal. 2 15 Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyati. Hukum Perdata Islam Kompilasi Peradilan Agama Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shadaqah, (Bandung : Mandar Maju, 2002), hal.31 Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
13
akhirnya terpaksa mereka harus berpisah dan memilih untuk membubarkan perkawinannya. Dalam agama Islam, perkawinan tidak diikat dalam ikatan yang mati, tetapi, tidak pula mempermudah terjadinya perceraian, boleh dilakukan tetapi harus dalam keadaan darurat atau terpaksa hal ini sesuai dengan pendapat Sayyid Sabiq, yang menyatakan bahwa : Melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya perkawinan dan ini dilarang kecuali karena alasan yang benar dan terjadi hal yang sangat darurat. Jika perceraian dilaksanakan tanpa ada alasan yang benar dan tidak dalam keadaan darurat, maka perceraian itu berarti kufur terhadap nikmat Allah dan berlaku jahat kepada isteri. Oleh karena itu dibenci dan dilarang.” 16 Perceraian yang dilakukan dengan keadaan darurat atau terpaksa ini dapat terjadi karena beberapa hal seperti yang
disebutkan pada Pasal 19 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksana UU No. 1 Tahun 1974 yaitu : 1. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, penjudi dan lain sebagainya yang sukar untuk disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. 3. Salah satu pihak yang mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
16
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah terjemahan, Moh. Thalib, (Bandung: PT- Al Ma’ Arif, 1994).
Hal.6. Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
14
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 17 Jika diperhatikan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Secara yuridis formal, ketentuan tentang harta bersama sudah diatur dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dimana dijelaskan bahwa harta bersama adalah “harta yang diperoleh suami isteri diikat dalam suatu perkawinan”. 18 Dalam praktek peradilan ketentuan tersebut tidaklah mudah dan sesederhana sebagaimana bunyi pasal tersebut, terdapat beberapa hal sejalan
dengan
perkembangan hukum dan kondisi sosial yang berubah dalam masyarakat sesuai dengan perkembangan kemajuan zaman. Perubahan dalam kehidupan masyarakat terjadi dalam berbagai bentuk, baik dalam bidang komunikasi, informasi dan hal-hal yang menyangkut ekonomi seperti asuransi, pertanggungan dan bentuk-bentuk santunan lainnya. Yang kesemuanya itu sangat mempengaruhi tentang perolehan harta bersama dan juga pembagian apabiula terjadi sengketa di pengadilan. Masalah-masalah hukum tentang harta bersama yang aktual dan sering timbul di pengadilan agama saat ini meliputi banyak hal, antara lain masalah uang 17
Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 18 Abdul Manan., Aneka Masalah Hukum Materil Dalam Praktek Peradilan Agama, (Jakarta : Pustaka Bangsa Press, 2003), hal.152. Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
15
pertanggungan asuransi seperti Taspen, Asuransi Jiwa, Asuransi Tenaga kerja dan Asuransi Kecelakaan Lalu Lintas, Asuransi Kecelakaan Penumpang, hasil harta bawaan, kredit yang belum lunas dan sistem pembagian harta bersama. 19 Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 3537 dikemukakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Masing-masing suami isteri terhadap harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. “Tentang harta bersama ini, suami atau isteri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas persetujuan kedua belah pihak”. 20 Dinyatakan pula bahwa suami atau isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukum masingmasing yaitu hukum yang berlaku bagi suami isteri. Menurut Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 87 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam bahwa isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta pribadi masing-masing. Mereka bebas menentukan terhadap harta tersebut tanpa ikut campur suami atau isteri untuk menjualnya, dihibahkan atau mengagunkan. Juga tidak diperlukan bantuan hukum dari suami untuk melakukan tindakan hukum atas harta pribadinya. Tidak ada perbedaan kemampuan hukum antara suami isteri dalam menguasai dan melakukan tindakan terhadap harta benda pribadi mereka. Undang-undang tidak membedakan 19 20
Ibid., hal.153 Ibid., hal.154
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
16
kemampuan melakukan tindakan hukum terhadap harta pribadi suami isteri masingmasing. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam, dimana ditegaskan bahwa “tidak ada percampuran antara harta pribadi suami isteri karena perkawinan dan harta isteri tetap mutlak jadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, begitu juga harta pribadi suami menjadi hak mutlak dan dikuasai penuh olehnya”. 21 Sebenarnya apa yang disebut dalam Pasal 35-37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sejalan dengan ketentuan tentang hukum adat yang berlaku di Indonesia. “Dalam konsepsi hukum adat tentang harta bersama yang ada di Nusantara ini banyak ditemukan prinsip bahwa masing-masing suami isteri berhak menguasai harta bendanya sendiri dan ini berlaku sebagaimana sebelum mereka menjadi suami isteri”. 22 Hanya saja apabila ditinjau dari pendekatan filosofis, dimana perkawinan tidak lain dari ikatan lahir bathin diantara suami isteri guna mewujudkan rumah tangga yang kekal dan penuh dalam suasana kerukunan, maka hukum adat yang mengharapkan adanya komunikasi yang terbuka dalam pengelolaan dan penguasaan harta pribadi tersebut, sangat perlu dikembangkan sikap saling menghormati, saling membantu, saling kerjasama dan saling bergantung. Dengan demikian, keabsahan menguasai harta pribadi masing-masing pihak itu jangan sampai merusak tatanan kedudukan suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga. Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat empat macam harta keluarga dalam perkawinan yaitu : 21 22
Ibid., hal.155. Ibid., hal.155.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
17
1. Harta yang diperoleh dari warisan sebelum mereka menjadi suami isteri maupun setelah melangsungkan perkawinan (harta ini di Jawa disebut barang gawaan/bawaan) 2. Harta yang diperoleh dengan keringan sendiri sebelum mereka menjadi suami isteri. 3. Harta yang dihasilkan bersama oleh suami isteri selama berlangsungnya perkawinan (dalam masyarakat Jawa disebut harta gono gini) 4. Harta yang didapat oleh pengantin pada waktu pernikahan dilaksanakan, harta ini menjadi miliki suami isteri selama perkawinan. 23 Pembakuan istilah harta bersama sebagai hukum yang berwawasan nasional baru dilaksanakan pada tahun 1974 dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Sebelum pembakuan istilah harta brsama itu terdapat harta bersama tersebut dalam berbagai macam istilah yang dipengaruhi oleh hukum adat dan hukum Islam sebagaimana disebut di atas. Meskipun dalam peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi telah disebutkan dengan jelas istilah harta bersama terhadap harta yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan, tetapi dalam praktek masih saja disebut secara beragam sebagaimana sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Harta bersama suami isteri itu adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan perolehannya itu tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”. 24 Ini berarti bahwa harta bersama itu adalah semua harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta kekayaan itu terdaftar. Harta bersama itu dapat berupa benda berwujud atau juga tidak berwujud. Yang berwujud dapat meliputi benda bergerak, benda tidak 23
Ibid., hal.155-156. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : Prenana Media, 2006), hal.64. 24
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
18
bergerak dan surat-surat berharga, sedangkan yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban. Dalam hukum Islam yaitu dalam kitab-kitab fiqih tradisional, harta bersama diartikan sebagai “harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami isteri selama mereka diikat tali perkawinan atau dengan perkataan lain disebutkan bahwa harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara suami isteri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat dibeda-bedakan” 25 Dasar hukumnya adalah Al-Quran surat An-Nisa’ ayat 32 dimana dikemukakan bahwa “bagi semua laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan semua wanita ada bagian dari apa yang merreka usahakan pula”. 26 Para pakar hukum Islam berbeda pendapat tentang dasar hukum harta bersama sebagaimana tersebut diatas. Sebagian mereka mengatakan bahwa agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama dalam Al-Quran, oleh karena itu terserah sepenuhnya kepada mereka yang mengaturnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Hazairin, Anwar Harjono). Sedangkan sebagian pakar hukum Islam yang lain mengatakan bahwa suatu hal yang tidak mungkin jika agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama ini, sedangkan hal-hal lain yang kecil-kecil saja diatur secara terperinci oleh agama Islam dan ditentukan kadar hukumnya. Tidak ada satupun yang tertinggal, semuanya termasuk dalam ruang lingkup pembahasan hukum Islam. Jika tidak disebutkan dalam Al-Quran, maka ketentuan ini pasti dalam Al-Hadist dan Al-Hadist ini merupakan sumber hukum Islam juga, pendapat ini dikemukakan oleh T. Jafizham. 27 Pendapat terakhir tersebut di atas adalah sejalan dengan pendapat sebagian ahli hukum Islam. Di dalam kitab-kitab Fiqih bab khusus tentang pembahasan syarikat yang sah dan yang tidak sah. 25
Abdul Manan, Op.Cit, hal.158 Ibid., hal.158. 27 Ibid., hal.158. 26
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
19
Di kalangan mazhab Syafi’i terdapat empat macam yang disebutkan harta syarikat yaitu : 1. Syarikat ‘inan, yaitu dua orang yang berkongsi di dalam harta tertentu, misalnya bersyarikat di dalam membeli suatu barang dan keuntungannya untuk mereka. 2. Syarikat abdan yaitu dua orang atau lebih bersyarikat masing-masing mengerhakan suatu pekerjaan dengan tenaga dan hasilnya (upahnya) untuk mereka bersama menurut perjanjian yang mereka buat, seperti tukang kayu, tukang batu, mencari ikan di laut, berburu dan kegiatan yang seperti menghasilkan lainnya. 3. Syarikat mufawadlah yaitu perserikatan dari dua orang atau lebih untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan tenaganya yang masing-masing diantara mereka mengeluarkan modal, menerima keuntungan dengan tenaga dan modalnya, masing-masing melakukan tindakan meskipun tidak diketahui oleh pihak lain 4. Syarikat wujuh yaitu syarikat atas tanpa pekerjaan ataupun harta yaitu permodalan dengan dasar kepercayaan pihak lain kepada mereka. 28 “Terhadap pembagian harta syarikat sebagaimana tersebut di atas, hanya syarikat ‘inan’ yang disepakati oleh semua pakar hukum Islam, sedangkan tiga syarikat lainnya masih diperselisihkan keabsahannya”. 29 Meskipun pembagian syarikat seperti yang telah dikemukakan dibagi empat macam dilaksanakan oleh para ahli hukum Islam dikalangan mazhab Syafi’i, tetapi dalam praktek peradilan mereka hanya mengakui hanya syarikat ‘inan saja. Para pakar hukum Islam dikalangan mazhab Hanafi dan Mailiki dapat menerima syarikat ini karena syarikat tersebut merupakan muamalah yang harus dilaksanakan oleh setiap orang dalam rangka mempertahankan hidupnya. Syarikat itu dapat dilaksanakan asalkan tidak dengan paksaan dan dilaksanakan dengan itikad yang 28 29
Ibid.,hal.159 Ibid.,hal.159.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
20
baik. Jika sudah satu pihak merasa tidak cocok lagi melaksanakan perkongsian yang disepakati, maka ia dapat membubarkan perkongsian itu secara baik dan terhadap hal ini tidak dapat diwariskan. 2. Landasan Konsepsional Dalam bahasa latin, Kata conceptio (di dalam bahasa belanda : Begrip) atau pengertian yang merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan “defenisi” yang didalam bahasa latin adalah defenitio. Defenisi tersebut berarti perumusan (di dalam bahasa Belanda : “omschrijving”) yang pada hakekatnya merupakan suatu bentuk ungkapan pengertian disamping aneka bentuk lain yang dikenal didalam epistemologi atau teori ilmu pengetahuan. 30 Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka penulis menguraikan pengertian-pengertian konsep yang dipergunakan sebagai berikut : a. Perceraian Sayyid Sabiq memberi definisi tentang perceraian yang artinya Thalaq diambil dari kata “ithlaq” artinya melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah syarat, thalaq adalah melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan. 31
30
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 6. 31 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Qahirah : Darul Turats, 2003), hal. 206 Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
21
Penyebab putusnya perkawinan sebagaimana disebutkan dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena : a. Kematian, b. Perceraian, c. Atas putusan Pengadilan”. Putusnya perkawinan karena perceraian menurut Undang-Undang dikenal ada 2 (dua) bentuk yaitu : 1. Perceraian karena permohonan cerai talak dari pihak suami. 2. Perceraian karena gugatan cerai. Perceraian karena permohonan cerai talak dari pihak suami, cerai talak adalah salah satu bentuk cara yang dibenarkan Hukum Islam untuk memutuskan akad nikah antara suami dan isteri. Kamus istilah agama menulis “talaq” berarti dengan mengucapkan secara sukarela ucapan talaq kepada isterinya, dengan kata-kata jelas sharih atau kata-kata sindiran kinayah. 32 Pengertian talaq di atas, seolah Hukum Islam memberi hak dan kewenangan yang tidak terbatas bagi suami untuk menceraikan isterinya melalui lembaga talaq, sedangkan apa yang menjadi alasan suami untuk mentalaq isteri, tergantung kepada penilaian subjektif suami, karena tidak ada satupun badan resmi yang menilai objektiFitas tersebut. Hal ini berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kemudian
32
. Fuad Said, Op.Cit. hal.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
22
dengan adanya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dari Kompilasi Hukum Islam penggunaan talaq di atas dan dibatasi talaq harus melalui campur tangan pengadilan. Gugat cerai merupakan salah satu bentuk atau cara yang dibenarkan oleh Hukum Islam untuk memutuskan akad nikah antara suami dan isteri tetapi yang mengajukan permohonan cerai adalah isteri. Pada dasarnya yang dapat dijadikan untuk memajukan gugatan cerai oleh pihak isteri berdasarkan Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam tidak jauh berbeda dengan alasan untuk mengajukan cerai talaq oleh pihak suami tetapi di dalam Kompilasi Hukum Islam ada penambahan khusus untuk pihak isteri yaitu bahwa yang dapat dijadikan isteri untuk mengajukan gugatan perceraian adalah pihak suami melanggar taklik talaq. 33 b. Pengertian Harta Bersama Secara etimologi, harta bersama adalah dua kosa kata yang terdiri dari kata harta dan kata bersama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada dua kata pengertian harta, pertama, harta adalah barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan. Kedua, harta adalah kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum dimiliki perusahaan. Harta bersama adalah harta yang diperoleh secara bersama di dalam perkawinan. 34
33
Ibid, hal.4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indoensia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1988), hal.299. 34
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
23
Menurut terminologi, harta bersama adalah harta yang diperoleh bersama suami isteri selama perkawinan. Di Jawa, harta bersama disebut dengan istilah gono gini, di Sunda disebut guna kaya, di Bugis disebut cakara atau bali reso, dan lainlain. 35 Pada tiap-tiap daerah masyarakat mengenal harta bersama dengan istilah yang berbeda, namun pada hakikatnya adalah sama. Kesamaan ini terletak pada harta benda suami isteri yang dinisbatkan menjadi harta bersama. Di samping ketentuan yang telah disebutkan dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka pengertian harta dalam perkawinan dapat dikembangkan menjadi 3 (tiga) macam harta dan dirinci sebagai berikut : 1. Harta bawaan yaitu harta yang diperoleh suami isteri pada saat atau sebelum melakukan perkawinan, dapat dikatakan bahwa harta tersebut sebagai pemilik asli dari suami atau isteri. Pemilikian terhadap harta bawaan (harta pribadi) dijamin keberadaannya secara yuridis oleh hukum perkawinan. 2. Harta pribadi yaitu harta yang diperoleh oleh suami atau isteri selama perkawinan berlangsung sebagai hadiah, hibah, wasiat atau warisan yang diperoleh secara pribadi terlepas dari soal perkawinan.
35
Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta : Ghalia, 1986), hal.232.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
24
3. Harta bersama yaitu harta yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam kaitannya dengan hukum perkawinan, baik diperoleh lewat perantaraan isteri maupun lewat perantaraan suami. Harta ini diperoleh sebagai hasil karya dari suami isteri dalam kaitan dengan perkawinan. Di dalam hukum Islam tidak mengenal harta bersama tetapi harta bersama tidak bertentangan secara diametral dengan hukum islam. Hukum adat yang tidak prinsipil bertentangan dengan hukum islam dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Hal ini sesuai dengan Teori Receptio A Contrario yang dicetuskan oleh Sayuti Thalib, yang menyatakan bahwa:” Hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam atau suatu ketentuan Hukum adat diperbaiki dan diubah sehingga tidak menyalahi ketentuan agama.” 36 Teori ini dilandasi oleh pokok- pokok fikiran yang terdapat dalam kaidahkaidah fiqih antara lain: 1. Pada prinsipnya kaitannya dengan perintah Tuhan dan Rasul maka kalau di formulasikan di dalam kalimat perintah berarti wajib. 2. Larangan pada dasarnya adalah ketidak bolehan untuk dikerjakan/haram 3. Adat kebiasaan (Urf)dapat dijadikan hukum selama tidak bertentangan dengan Islam atau Al’Aadah Muhakkamah. 37
36 37
Sayuti Thalib, Receptio A Contrario, (Jakarta : Bina Aksara, 1985), hal 117. Ichtijanto, Hukum Islam dan Hukum Nasional(Jakarta : IND-HILL Co., 1990), hal.46
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
25
G. Metode Penelitian Sebagai sebuah penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian dimulai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian ilmiah sebagai berikut : 1. Sifat dan Bentuk Penelitian Penelitian ini bersifat penelitian deskriptif analitis. Deskriptif artinya penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan secara sistematis, faktual dan aktual serta populasi yang telah ditentukan mengenai sifat-sifat, karakteristik atau faktor-faktor tertentu 38 yakni menggambarkan pelaksanaan penyelesaian sengketa harta bersama di Pengadilan Agama Kelas I A Medan. Sedangkan analitis adalah melakukan penelitian yang menganalisis data mengarah kepada populasi dan berdasarkan data dari sampel digeneralisasi menurut data populasi. 39 Hal ini untuk menjelaskan secara cermat dan menyeluruh setiap data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder yang diolah dan dianalisis sehingga diperoleh aspek hukum dalam penerapan ketentuan harta bersama dan sikap masyarakat/para pihak terhadap ketentuan tersebut. Materi penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif karena penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder dan kemudian meneliti hukum empiris dari data primer. 40
38
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal.35. 39 Ibid, hal.39 40 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1995), hal.13 Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
26
Pendekatan yuridis normatif maksudnya adalah penelitian yang dilaksanakan dengan cara meneliti lebih dahulu bahan-bahan yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti, serta dokumen-dokumen berkas kasus yang terdapat pada Pengadilan Agama Klas I A Medan. Sedangkan pendekatan yuridis sosiologi adalah melihat hukum yang nampak dalam kenyataan di masyarakat (law in society) dengan tujuan untuk mengetahui tanggapan masyarakat terhadap putusan Pengdilan Agama mengenai harta bersama dan penerapannya. 2. Sumber Data Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris, maka data penelitian diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder. a. Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama yakni perilaku warga masyarakat melalu penelitian 41 Adapun data primer dalam penelitian ini adalah putusan-putusan Pengadilan Agama Klas I A Medan tentang harta bersama ditambah dengan melakukan wawancara untuk mendapatkan informasi dari beberapa pihak yang terkait dalam penelitian ini sebagaimana narasumber terdiri dari : 1) Hakim Pengadilan Agama Klas I A Medan
: 3 orang
2) Panitera Pengadilan Agama Klas I A Medan
: 1 orang
3) Advokat/Penasehat Hukum
: 1 orang
4) Suami isteri yang bercerai
: 1 orang
41
Soerjono Soekanto dan Sri Memudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Dalam Penelitian Hukum , (Jakarta : Pusat Dokumentasi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979), hal.3. Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
27
b. Data sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya. 42 Adapun data sekunder dalam penelitian ini diperoleh : 1) Bahan hukum primer berupa perundang-undangan yang berkaitan dengan akibat hukum perceraian terhadap harta bersama di Pengadilan Agama Klas I A Medan. 2) Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer berupa putusan-putusan Pengadilan Agama, buku-buku yang berkaitan dengan objek yang diteliti. 3) Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum penunjang yang membuat petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, surat kabar, majalah dan internet juga menjadi tambahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan. 3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di Pengadilan Agama Klas I A Medan dengan alasan bahwa penduduknya mayoritas beragama Islam dan mudah dijangkau dalam melaksanakan penelitian
42
Soerjono Seokanto, Ibid, hal.3
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
28
4. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu sebagai berikut : a. Penelitian Kepustakaan (Library Rersearch) dilakukan untuk menghimpun data sekunder dengan membaca dan mempelajari literatur-literatur, hasil-hasil penelitian, peraturan perundang-undangan yang berlaku, teori-teori dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan materi penelitian. b. Penelitian Lapangan (Field Research), dilakukan untuk menghimpun data sekunder dengan mempergunakan alat pengumpulan data berupa : 1) Studi dokumen yaitu dengan mempelajari berbagai peraturan hukum, literatur, hasil penelitian dan putusan pengadilan yang terkait dengan masalah pembagian harta bersama. 2) Daftar pertanyaan (kuisioner) yaitu mengajukan sejumlah pertanyaan kepada responden sesuai dengan masalah yang diteliti dalam bentuk pertanyaan bersifat terbuka dan tertutup 3) Pedoman wawancara yaitu mengadakan serangkaian tanya jawab secara lisan, bebas dan terstruktur dengan bentuk pertanyaan yang telah dipersiapkan mengenai permasalahan yang akan diteliti. 5. Analisis Data Data yang dikumpulkan melalui pendekatan yang disesuaikan dengan jenis data yang diperlukan untuk bahan primer diperoleh melalui teknik wawancara secara langsung sedangkan data sekunder diperoleh melalui literatur/dokumen.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
29
Data yang diperoleh melalui studi lapangan maupun studi kepustakaan dikumpul dan diatur urutannya dan langkah selanjutnya melakukan pengolahan dan menganalisis data. 44) Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu data yang diperoleh dikumpulkan, dikualifikasi sesuai dengan kelompok pembahasan dan untuk selanjutnya dilakukan pembahasan secara yuridis. Data yang terkumpul akan dianalisis secara kualitatif. Data yang diperoleh setelah diolah, data yang diperoleh kemudian ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan pendekatan deduktif dan induktif, sehingga secara lengkap akan menjadi analisis kualitatif dengan menggunakan data secara induktif yang telah dianalisis. 45 Dari kegiatan analisis ini diperoleh kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang diteliti sesuai dengan tujuan penelitian tersebut.
44)
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2003),
45
Ibid, hal.5
hal.103.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
30
BAB II AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP KEDUDUKAN HARTA BENDA PERKAWINAN
A. Perceraian 1. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada perceraian tanpa adanya perkawinan lebih dahulu. Perkawinan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dengan seorang wanita yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam suatu negara, sedangkan perceraian merupakan akhir dari kehidupan bersama suami isteri tersebut. Setiap orang menghendaki agar perkawinan yang dilaksanakannya tetap utuh sepanjang masa kehidupannya, tetapi banyak terjadi perkawinan yang dibina berakhir dengan suatu perceraian. Salah satu prinsip dalam hukum perkawinan nasional yang sejalan dengan ajaran agama adalah mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup), karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sejahtera akibat perbuatan manusia. Lain halnya jika terjadinya putus perkawinan karena kematian yang merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dihindarkan oleh manusia.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court 30 Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
31
Abdul Manan menyebutkan bahwa perceraian adalah “putusnya perkawinan antara suami isteri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya isteri atau suami”. 46 Menurut Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Tentang hak mengajukan soal cerai ke Pengadilan adalah masing-masing suami isteri mempunyai kedudukan yang sama sebagaimana hal tersebut diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dengan adanya perceraian, maka yang paling menderita pada umumnya adalah keturunan mereka. Di sini perlu digaris bawahi tentang perkataan pada umumnya. Sebab dalam keadaan-keadaan tertentu perceraian dilakukan demi kepentingan pertumbuhan kejiwaan anak-anak lebih bagus cepat dilaksanakan perceraian. Sesuai dengan asas tujuan perkawinan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera sprituil dan materil jika tidak mungkin lagi terwujud adalah lebih baik memberi kebebasan pada masing-masing pihak untuk mencoba lagi dengan pasangan yang baru yang mungkin menjumpai kedamaian dan kebahagiaan. Kebebasan ikatan adalah lebih menyelamatkan mental dan fisik mereka dari keruntuhan, sebab itu Pengadilan sebagai instansi yang akan memberi legalisasi
46
Abdul Manan., Op.Cit, hal.125.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
32
hukum dalam perceraian sudah sepantasnya memikirkan keharusan perceraian itu dari segala segi menyangkut kemanusiaan itu sendiri. Perkawinan pada dasarnya bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masingmasing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spritual dan material. Karena itu Undang-Undang Perkawinan menganut asas atau prinsip mempersukar terjadinya perceraian.
2. Menurut Hukum Adat Perkawinan yang menjadi urusan keluarga dan kerabat dalam suatu hukum adat mempunyai fungsi untuk memungkinkan pertumbuhan secara tertib dari masyarakat kerabat ke arah angkatan baru yaitu anak-anak yang lahir dalam perkawinan itu guna meneruskan clan, suku, kerabat dan keluarga. Perkawinan juga bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dusun serta wilayah kesatuan dalam susunan masyarakat. Selain hal di atas menurut hukum adat yang merupakan urusan kerabat maupun kekerabatan yang terdapat pada berbagai lingkungan hukum juga “mempertahankan hubungan golongan-golongan sanak saudara satu sama lain dan meneruskan hubungan yang timbal balik dalam hubungan perkawinan yang bersegi satu (eenzijdige huwelijks betrekking). 47
47
K.Ng. Soebakti Posponoto, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1987), hal.183 Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
33
Dengan tujuan serta fungsi tersebut, maka dalam hukum adat juga akan ditemui adanya perceraian antara suami isteri, dimana perceraian itu selalu dikaitkan dengan kepentingan-kepentingan keluarga atau kerabat. Fungsi-fungsi sebagaimana disebutkan di atas berpengaruh sebagai alasan-alasan dan kemungkinan-kemungkinan terjadinya perceraian. Selain kepentingan kerabat dalam hukum adat tentunya persoalan-persoalan pribadi dan bersifat perorangan juga dianggap sebagai alasan perceraian. Adapun alasan secara umum mengapa dilakukan perceraian antara suami isteri dalam hukum adat adalah “karena zina yang dilakukan oleh pihak isteri, perbuatan itu dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat maupun perasaan si suami yang pada masing-masing lingkungan hukum berhak atas perlindungan tehadap isteri”. 48
3. Menurut Kompilasi Hukum Islam Perceraian dimungkingkan terjadi walaupun
pada dasarnya perceraian
merupakan hal yang dibenci Allah, perceraian dalam hukum Islam dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan yang makruh. Akan halnya perceraian itu adalah merupakan salah satu penyebab putusnya hubungan perkawinan di dalam hukum Islam. Sedangkan sebab-sebab putusnya hubungan perkawinan itu menurut hukum Islam adalah :
48
Hilman Hadikusum, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung : Mandar Madju, 1990),
hal.184 Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
34
a. Karena kematian b. Karena perceraian c. Karena putusan pengadilan. 49 Ad.a. Putusnya Hubungan Perkawinan Karena Kematian Mengenai putusnya hubungan perkawinan karena kematian hal ini tentunya jelas, sebab pasangan suami isteri sebagai manusia dan makhluk Allah SWT memang harus dan akan menemui ajalnya (mati), sebagaimana yang difirmankan Allah SWT di dalam Al-Quran bahwa : “…. Semua yang hidup pasti merasa mati….”. 50 Oleh sebab itu kematian bagi para pihak, salah satu atau keduanya dari suami atau isteri merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dan harus diyakini tibanya sebagai umat manusia yang percaya akan ajaan Islam. Dengan demikian salah sebab putusnya hubungan perkawinan
yang disebabkan oleh kematian.
Meninggalnya suami ataupun isteri sudah langsung memutuskan hubungan perkawinan antara suami isteri tersebut. Ad.b. Putusnya Hubungan Perkawinan Yang Disebabkan Oleh Perceraian Perceraian adalah sesuatu yang biasa dilakukan tetapi merupakan perbuatan yang tidak disukai Allah. Di dalam Al Qur’an dinyatakan bahwa “pergaulilah isteri kamu itu sebaik-baik (makruf), kemudian apabila ketidaksukaan kamu itu, Allah menjadikannya kebaikan yang banyak”. 51
49
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 113 Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 185 51 Departemen Agama RI, Terjemahan Al-Qur’an, (Jakarta : PT. Bumi Restu, 2004), hal.120. 50
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
35
Dari bunyi ayat tersebut sebenarnya secara sindiran dan tersirat Allah SWT menyatakan bila ada perasaan yang tidak enak dan tidak disenangi oleh pihak suami terhadap isterinya hendaklah ia tetap menggauli isterinya itu dengan baik dan jangan menceraikan isterinya. Demikian pula halnya bagi pihak isteri, di dalam Islam tidak boleh mengambil inisiatif untuk terjadinya suatu perceraian hanya karena tidak senang pada suaminya. Apabila isteri melakukan permintaan untuk bercerai pada suaminya, maka ia akan menerima kemarahan besar dari Allah SWT. Hal ini dapat pula dilihat dalam Hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tarmidzi, Abu Daud dan Ibny Madjah, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Perempuan manapun yang minta cerai dari suaminya tanpa sebab-sebab yang wajar yang menghalalkan maka haramlah bagi perempuan itu membaui atau merasakan kewangian surga nantinya”. 52 Ad.c. Putusnya Hubungan Perkawinan Yang Disebabkan Oleh Putusan Pengadilan Dalam hal ini adalah putusan-putusan Pengadilan Agama yang disebabkan adanya hal-hal diluar talak ataupun gugatan, misalnya adanya permohonan pihak ketiga terhadap suatu perkawinan yang telah dilangsungkan tersebut untuk dibatalkan yang dikarenakan terjadinya kesalahan, ataupun terdapatnya sebab lain. Dalam hal putuan pengadilan ini juga dapat disebabkan karena perginya salah satu pihak meninggalkan pihak lain dengan tidak memberitahukan kepergiannya itu untuk jangka waktu yang lama dan dalam hal ini hakim berhak menyatakan pihak
52
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UI Press, 1986), hal.100.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
36
yang pergi
meninggalkan pihak lain tersebut hilang. Dengan demikian maka
perkawinan dalam hal ini adalah putusan dengan putusan pengadilan.
B. Penyebab Terjadinya Perceraian Alasan terjadinya perceraian pada Pengadilan Agama Medan dapat dilihat dalam tabel 2 berikut ini : Tabel 2. Alasan Terjadinya Perceraian Di Pengadilan Agama Medan Sejak Tahun 2004 s/d 2008 Alasan Terjadinya Perceraian Tahun
Tdk Poligami
Cemburu
Ekonomi
Bertanggung Jawab
Pengani-
Cacat
Tdk
Pihak
ayaan
Badan
Harmonis
ketiga
6 8 2 2 4
3 5 1 1 5
2004 5 20 1 5 5 2005 1 5 25 4 3 2 2006 3 30 5 4 1 2007 3 4 17 7 5 4 2008 5 15 4 3 5 Sumber : Laporan Tahunan Pengadilan Agama Medan 2009
Jlh
45 48 46 43 41
Mengenai penyebab terjadinya perceraian menurut UU No. 1 Tahun 1974 seperti ditentukan dalam Pasal 39 ayat (2) bahwa untuk melakukan perceraian harus cukup alasan, bahwa antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Jadi jika berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tersebut alasan perceraian semata-mata didasarkan kepada ketidakmungkinan tercapainya kerukunan antara suami isteri dalam suatu kehidupan rumah tangga yang semestinya.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
37
Penyebab perceraian ini diperjelas lagi dalam penjelasan resmi Pasal 39 ayat (2) yang juga dipertegas lagi dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Dalam penjelasan tersebut ada beberapa hal-hal yang dapat dijadikan sebagai alasan. Apa yang disebut dalam penjelasan ayat (2) Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 serupa dengan alasan-alasan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Adapun alasan yang dimaksud adalah sebagai berikut : a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat dan lain-lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dari pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri. f. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 53 Hal-hal yang menghalalkan untuk terjadinya perceaian dalam hukum Islam yaitu : a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. 53
M. Yahya Harahap., Op.Cit, hal.164
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
38
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri. f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. g. Suami melanggar taklik-talak (cerai gugat) h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. 54 Selain hal di atas yang telah menjadi ketetapkan hukum formal di Negara Republik Indonesia, maka dalam Islam hal-hal yang menjadi sebab terjadinya perceraian itu menurut Sayuti Thalib adalah : 1. Terjadinya Nusyuz isteri, dimana sumber hukum tentang hal ini ditemukan dalam Al-Qur’an surat An Nisa ayat 34 2. Terjadinya Nusyuz suami, yang didasarkan pada Al-Qur’an surat An Nisa ayat 128 3. Terjadinya syiqaq antara suami isteri yang diatur dalam Al-Qur’an surat An Nisa ayat 35 4. Bila salah satu pihak melakukan fahisyah yang didasarkan pada AlQur’an surat An Nisa ayat 15. 55 Nusyuz dalam hal ini diartikan sebagai perbuatan salah satu pihak suami atau isteri untuk tidak melakukan kewajibanya, dimana nusyuz isteri adalah isteri tidak taat pada suaminya, sedangkan nusyuz
suami adalah
kemungkinan si suami
berpaling meninggalkan atau menyia-nyiakan isterinya. Sedangkan arti Syiqaq disini adalah keretakan yang telah terjadi sangat hebat antara suami isteri, sedangkan
fahisyah adalah perbuatan buruk, dimana
Hazairin mengartikannya sebagai “…perbuatan yang memberi malu keluarga”.56 54 55
Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam Sayuti Thalib, Op.Cit, hal.92
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
39
Keempat perceraian yang disebutkan dalam Al-Qur’an telah dijabarkan di dalam sumber hukum formal di Indonesia bagi umat Islam, yaitu di dalam Kompilasi Hukum Islam yang telah diundangkan dan diberlakukan dengan sah sejak tahun 1991. Selanjutnya T. Yafizham menyatakan bahwa pekawinan dapat putusan disebabkan : a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Kematian salah satu pihak Thlak Fasakh Khuluk Syiqaq Ila’ Zihar Li’an Riddah. 57
Thalak yaitu melepaskan ikatan nikah antara suami dan isteri dengan suatu kata-kata tertentu (Q.S. Al-Baqaah : 229) Fasakh yaitu diungkai atau dipecahkan perjanjian kawain itu (dirusakan atau dibatalkan), hal ini dikarenakan adanya cacat badan atau fisik dari salah satu pihak yang terasa mengganggu kelangsungkan perkawinan dimaksud. Khuluk (tidak tebus) yaitu suatu perceraian atau persetujuan kedua belah pihak dimana isteri membayar iwadh kepada suaminya (Q.S. An-Nisa ayat 4). Syiqaq yaitu terjadinya keretakan yang tidak mungkin didamaikan lagi dan terus menerus (Q.S. An-Nisa : 35) Ila’ yaitu suampah suami bahwa ia tidak akan mau coitus dengan isterinya selama 4 (empat) bulan atau lebih (Q.S. An-Nisa : 226-227) 56
Sayuti Thalib, Ibid¸hal.95 T. Yafizham, Persintuhan Hukum Di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam, (Medan : CV. Mustika, 1997), hal.10 57
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
40
Zihar, yaitu ucapan suami yang menyerupakan isterinya dengan salah satu muhrimnya tentang haramnya, sehingga haram baginya untuk mencampuri isterinya sebagaimana ia mencampuri muhrimnya itu (Q.S. Al Mujadallah : 2-4) Li’an yaitu kecurigaan suami terhadap isterinya sehubungan dengan sesuatu hal dimana isterinya hamil padahal ia tidak ada, dan bila menuduh orang lain berzina kemungkinan ia tidak benar, maka dalam hal ini ia dapat dikenakan hukuman (Q.S. An-Nur : 6-9) Riddah/Murtad yaitu jika salah satu pihak keluarga dari agama Islam baik ia pindah agama lain ataupun tidak beragama, maka terjadilah pembubaran perkawinan tersebut. Selanjutnya di dalam Kompilasi Hukum Islam putusnya hubungan perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam, dimana perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama (Pasal 65 UU No. 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan UU No. 3 Tahun 2006). Sebelum perceraian itu terjadi, Pengadilan Agama terlebih dahulu harus mendamaikan atau memberikan anjuran kepada kedua belah pihak untuk berdamai. Talak yang merupakan ikrar suami di depan sidang Pengadilan Agama yang juga menjadi salah satu sebab putusnya hubungan perkawinan yang dilakukan dengan tatacara yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
41
Talak di dalam Kompilasi Hukum Islam dapat dibagi menjadi : 58 a.
Talak Raj’i yaitu talak kesatu atau kedua (Pasal 118) Dalam hal ini suami yang mentalak isterinya masih mempunyai hak (boleh) untuk rujuk kembali pada isterinya selama si isteri masih dalam masa iddah atau masa tunggu (Pasal 119)
b.
Talak Ba’in Sughro yaitu talak yang tidak boleh rujuk, tetapi boleh kembali kepada bekas isteri dengan melakukan akad nikah baru, walaupun masih dalam masa iddah. Talak Ba’in Sughro ini terbagi lagi atas : 1) Talak Ba’in Sughro qobla al dukhul 2) Talak Ba’in Sughro dengan tebusan atau khuluk 3) Talak Ba’in Sughro yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama
c.
Talak Ba’in Kubro yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya, dalam hal ini suami tidak dapat merujuk isterinya dan juga tidak dapat menikah kembali sebagaimana Talak Ba’in Sughro. Perkawinan dalam hal ini hanya dimungkinkan bila si isteri telah melakukan pernikahan dengan laki-laki lain lalu berceai dengan ba’da dukhul terhadap suami barunya tersebut, dan juga telah habis masa iddahnya. Dalam hal beginilah baru si suami dapat dinikahkan kembali dengan bekas isterinya tersebut.
d.
Talak Sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhada isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
58
Ibid, hal.12-13
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
e.
42
Talak Bid’i yaitu talak yang dilarang, dimana talak tersebut dijatuhkan pada saat isteri berada dalam keadaan haidh atau si isteri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada saat suci tersebut. Dalam hal pengertian obla al dukhul di dalam Undang-Undang ini adalah
bahwa talak yaitu ba’in sugrho tersebut sementara suami belum melakukan kewajibannya sebagai suami dalam arti si suami belum mencampuri atau menggauli si isteri sebagaimana layaknya seorang suami terhadap isterinya. 59 Sedangkan talak ba’in sughro dengan tebusan atau khuluk yaitu dimana pihak suami mengucapkan talak atas kesepakatan bersama dengan isterinya dimana isteri membeerikan bayaran pada suaminya (iwadh) dengan jatuhnya talak dimaksud. 60 Selain cara-cara di atas dalam Kompilasi Hukum Islam diatur pula sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya yaitu li’an yang menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya 61 Hal ini terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isterinya menilak tuduhan dan atau mengingkari itu, sebagaimana yang difirmankan Allah di Al-Qur’an yang artinya sebagai berikut : Orang-orang yang menuduh isterinya (berzina) tetapi mereka tiada mempunyai saksi-saksi kecuali dirinya sendiri, maka kesaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya di adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan sumpah kelima bahwa laknat Allah atasnya, jika ia termasuk orang-orang yang berdusta dan isterinya itu dapat terhindar dari 59
HD. Ali Alhamidy, Islam dan Perkawinan, Alma;arif, Bandung, 1992, hal.29 Ibid, hal.30 61 Ibid, hal.31 60
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
43
hukuman, jika sumpah suami yang empat kali dengan nama Allah itu adalah dusta…Dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat (kemurkaan) Allah atasnya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar. 62 Ketentuan berdasarkan Firman Allah SWT di atas dijabarkan pula di dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 125 – 126. Dalam hal ini li’an akan dianggap sah apabila dilakukan dan diucapkan oleh suami dihadapan sidang Pengadilan Agama. Hal ini berarti bahwa pengungkapan li’an tidak boleh begitu saja dilakukan, misalnya hanya dilakukan oleh si suami dihadapan isterinya saja atau juga keluarganya. Tetapi haruslah dihadapan Pengadilan Agama yang berwenang dengan tata caa atau prosedur tertentu, agar li’an ini mempunyai kekuatan hukum dan dapat membubarkan atau memutuskan hubungan perkawinan. Perceraian yang dilakukan dengan cara-cara tesebut di atas, pada dasarnya mulai belaku sejak diputuskan oleh Pengadilan Agama. Namun di dalam kenyataan dapat dilihat walaupun perceraian belum diputuskan oleh Pengadilan Agama dalam arti belum memperoleh kekuatan hukum, suami isteri yang hendak bercerai itu telah memisahkan diri, ataupun telah hidup sendiri-sendiri, masing-masing dengan jalan dan kehidupannya yang diinginkan tentunya.
C. Harta Bersama Dalam Perkawinan Setiap perkawinan tidak terlepas dari adanya harta benda baik yang ada sebelum perkawinan maupun yang ada setelah perkawinan. Harta benda tersebut di 62
Mahmud Yunus, Surat An-Nur ayat 6-9, Terjemahan Al-Quran Karim,(Bandung : Al Maarif, 2001), hal.316. Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
44
atur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. ada 2 (dua) macam harta benda dalam perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu : 1. Harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Ada darimana harta itu diperoleh tidak dipersoalkan. Apakah harta itu didapat dari isteri atau dari suami, semuanya merupakan harta milik bersama suami isteri. 2. Harta bawaan yaitu harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri ke dalam perkawinannya, harta benda yang diperoleh masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan. Sesuai dengan definisi Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang disebut harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan antara suami isteri. Asas harta bersama ini adalah segala milik yang diperoleh selama perkawinan adalah harta pencaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang biasa disebut harta syarikat. Mengenai wujud dari harta pribadi sejalan dengan yang dijelaskan dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Ketentuan itu sepanjang suami isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan sebelum akad nikah d ilaksanakan. Adapun harta yang menjadi milik pribadi suami isteri adalah : 1. Harta bawaan yaitu harta yang sudah ada sebelum perkawinan mereka laksanakan.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
45
2. Harta yang diperoleh masing-masing selama perkawinan tetapi terbatas pada perolehan yang berbentuk hadiah, hibah dan warisan. 63 Semua harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama, baik harta tersebut diperoleh secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga dengan harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama, tidak menjadi soal apakah isteri atau suami yang membeli, tidak menjadi masalah apakah isteri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu atau juga tidak menjadi masalah atas nama siapa harta itu didaftarkan. Dalam Bab XII Kompilasi Hukum Islam dikemukakan bahwa “harta bersama suami isteri itu adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan perolehannya itu tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”. 64 Ini berarti bahwa harta bersama itu adalah semua harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta kekayaan itu terdaftar. Harta bersama itu dapat berupa benda berwujud atau juga tidak berwujud. Menurut Pasal 91 Kompilasi Hukum Islam bahwa harta bersama tersebut dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban. Harta bersama tersebut dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas 63 64
Abdul Manan. Op.Cit, hal.157. Ibid., hal.157.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
46
persetujuan pihak lainnya. Dengan demikian suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak dapat atau tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama (Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam) Menurut Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Selanjutnya dalam Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam disebutkan sebagai berikut : (1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. (2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Pasal 87 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa : (1) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masingmasing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin. (2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melaksanakan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya. Sebenarnya Yurisprudensi hampir di seluruh Indonesia telah menerima lembaga harta bersama itu sebagai suatu kenyataan kesadaran hukum yang hidup dalam suatu kenyataan kesadaran hukum yang hidup dalam stelsel kekeluargaan masyarakat Indonesia. memang istilahnya diantara satu daerah dengan daerah lain Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
47
berbeda. Ada yang menyebut harta raja kaya, ada juga yang menyebutnya harga gono gini. Tetapi dengan adanya penyebutan istilah yang dipergunakan dalam Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974, sudah dengan sendirinya pemakaian istilah itu dalam praktek hukum akan menuju persamaan istilah yaitu “harta bersama”. 65 Dari defenisi harta bersama itu sesuai dengan bunyi Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974, yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan sesuai dengan defenisi di atas, untuk terwujudnya harta kekayaan bersama itu hanya diperlukan satu syarat saja, yaitu harta itu diperoleh selama perkawinan. Tidak ada syarat-syarat lain, selain dari pada syarat yang satu itu. Tidak diperlukan harus isteri ikut aktif mengumpulkan dan memperolehnya, karena itu hanya teorinya saja. Tentu bagaimanapun dalam praktek isteri harus ikut sekurang-kurangnya memberikan bantuan moral. Hanya saja, hal itu tidak dijadikan syarat ketentuan hukum. Sehubungan dengan pokok persoalan di atas yang akan ditinjau sampai dimana batas-batas dan defenisi sudah jelas. Tetapi dalam praktek bisa timbul beberapa argumentasi yang memerlukan pemecahan dan untuk mudah memecahkan persoalannya dengan kenyataan-kenyataan peristiwa yang timbul di tengah masyarakat dengan mempedomani keputusan-keputusan pengadilan yang ada. Adapun untuk mengetahui batas-batas harta bersama dan luasnya ini di samping penting untuk kedua belah pihak suami isteri, maka hal ini relevan untuk pihak ketiga sesuai dengan adanya ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka luasnya harta bersama : 65
M. Yahya Harahap., Op.Cit, hal.128
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
48
1. Semua harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama dalam perkawinan sekalipun barang dan harta terdaftar di atas namakan salah seorang suami atau isteri, maka harta yang atas nama suami atau isteri dianggap sebagai harta bersama. Apa yang dikemukakan di atas ini sesuai dengan keputusan Pengadilan Tinggi Tebing Tinggi tanggal 20 Nopember 1975 No.393/1973 dengan pertimbangan; Pelawan tidak dapat membuktikan bahwa rumah/tanah terperkara diperoleh sebelum perkawinannya dengan suaminya. Juga terbukti bahwa sesuai dengan tanggal izin bangunan, rumah tersebut dibangun di masa perkawinannya dengan suaminya, dengan demikian dapat disimpulkan tanah/rumah terperkara adalah harta bersama antara suami dan isteri sekalipun tanah dan rumah itu terdaftar atas nama isteri (M.A. 30 Juli 1974 No.808K/Sip/1974). 66 2. Kalau harta itu dipelihara/diusahai dan telah dialihkan ke atas nama adik suami, jika harta yang demikian dapat dibuktikan hasil yang diperoleh selama masa perkawinan, maka harta tersebut harus dianggap harta bersama suami isteri. Pengadilan Tinggi Tebing Tinggi tanggal 30 Desember 1971 No.389/1971 telah memutuskan bahwa sekalipun toko dan barang –barang yang ada di dalamnya telah diusahai dan telah dialihnamakan atas nama adik suami, akan tetapi terbukti bahwa toko tersebut dibeli sewaktu perkawinan dengan isteri, maka harta tersebut sekalipun sudah dipindahkan pada orang lain harus dinyatakan harta bersama
66
Ibid, hal.129
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
49
yang dapat diperhitungkan pembagiannya diantara suami isteri dengan adanya perceraian diantara mereka (M.A.tgl.23 Mei 1973 No.1031-K/Sip/1972). 67 3. Juga dalam putusan yang sama telah dirumuskan suatu kaedah, bahwa adanya harta bersama suami isteri tidak memerlukan pembuktian, bahwa isteri harus ikut aktif membantu terwujudnya harta bersama tersebut. Yang menjadi prinsip asal harta itu terbukti diperoleh selama dalam perkawinan. Menurut M. Yahya Harahap, rumusan itu belum memenuhi suatu keseimbangan yang adil berdasarkan keputusan, bahwa rumusan itu pada pada salah satu pihak telah benar dan memberi keadaan yang lebih menguntungkan isteri. 68 Maka supaya rumusan pertimbangan tersebut tidak pincang, menurut penulis harus dilengkapi dengan “kecuali si suami dapat membuktikan bahwa isterinya benar-benar tidak dapat melaksanakan kewajiban yang semestinya sebagai ibu rumah tangga dan selalu pergi meninggalkan rumah tempat kediaman tanpa alasan yang sah dan wajar. Juga harta atau rumah yang dibangun atau dibeli sesudah terjadi perceraian dianggap harta bersama suami isteri jika biaya pembangunan atau biaya pembelian sesuatu barang tersebut diperoleh dari hasil usaha bersama selama perkawinan. Dalam hal ini yang pokok adalah bahwa uang pembelian atau pembangunan sesuatu benar-benar dibiayai dari uang yang diperoleh selama perkawinan, harta atau rumah yang dibangun adalah harta bersama sekalipun barang atau bangunan tersebut dibeli dan dibangun sesudah perceraian 67
Ibid, hal.130 Ibid, hal.131
68
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
50
4. Harta yang dibeli baik oleh suami atau isteri di tempat yang jauh dari tempat tinggal mereka adalah harta bersama suami isteri jika pembelian itu dilaksanakan selama perkawinan. 5. Barang termasuk harta bersama suami isteri adalah sebagai berikut : a.
Segala penghasilan harta benda yang diperoleh selama perkawinan, termasuk penghasilan yang berasal dari barang asal bawaan maupun barang yang dihasilkan oleh harta bersama itu sendiri.
b.
Demikian juga segala penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai (M.A. tgl.11 Maret 1971 No.4554 K/Sip/1970). 69 Tentang putusan di atas, sepanjang yang mengenai penghasilan yang berasal dari keuntungan milik pribadi, maka tidak sendirinya menurut hukum menjadi dan termasuk pada boedel harta bersama. Tentang hal ini tergantung pada persetujuan bersama. Apalagi UU Nomor 1 Tahun 1974 itu sendiri ada mengatur perjanjian perkawinan seperti yang diatur dalam Pasal 29. Sebab itu untuk suatu kepastian hukum di masa yang akan datang, maka sepanjang yang mengenai hasil keuntungan yang timbul dari milik pribadi tidak dengan sendirinya menurut hukum termasuk boedel harta bersama. Kecuali hal itu
69
Ibid,hal.133
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
51
telah diperjanjikan dengan tegas. Sebab kalau begitu halnya tentu tidak perlu lagi diatur dengan tegas tentang hak milik pribadi seperti yang terapat pada ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974. Adapun mengenai harta bersama apabila si suami kawin poligami, maka ketentuan harta bersama dapat diambil batas garis pemisah, yaitu : 70 1. Segala harta yang telah ada antara suami dengan isteri sebelum perkawinannya dengan isteri kedua, maka isteri kedua tidak mempunyai hak apa-apa atas harta tersebut. 2. Oleh sebab itu harta bersama yang ada antara suami dengan isteri kedua, ialah harta yang diperoleh kemudian. Jadi harta yang telah ada diantara isteri pertama dengan suami adalah harta bersama yang menjadi hak mutlak antara isteri pertama dengan suami, dimana isteri kedua terpisah dan tidak mempunyai hak menikmati dan memiliki atasnya. Isteri kedua baru ikut dalam lembaga harta bersama dalam kehidupan keluarga tersebut ialah harta kekayaan yang diperoleh terhitung sejak isteri kedua itu resmi sebagai suami isteri. 3. Atau jika kehidupan mereka terpisah dalam arti pertama, suaminya hidup dalam suatu rumah kediaman yang berdiri sendiri, demikian juga isteri kedua terpisah hidup dalam rumah tangga sendiri dengan suami, apa yang menjadi harta isteri pertama dengan suami dalam kehidupan rumah tangga menjadi harta bersama antara isteri pertama dengan suami dan demikian juga apa yang menjadi harta 70
Ibid, hal.145
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
52
kekayaan dalam rumah tangga isteri kedua dengan suami menjadi harta bersama antara isteri kedua dengan suami. Apa yang diterangkan mengenai harta bersama dalam keadaan suami beristeri lebih dari satu seperti yang dijelaskan di atas oleh UU Nomor 1 Tahun 1974 telah diatur pada Pasal 65 (1) huruf b dan c. Ayat (1) huruf b menentukan bahwa isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua. Atau berikutnya. Dalam huruf b berbunyi ; semua isteri mempunyai hak atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing. Pasal 65 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 memberikan kemungkinan menyamping dari ketentuanketentuan di atas, jika suami isteri membuat ketentuan-ketentuan lain sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undangini, seperti membuat perjanjian yang diatur dalam Pasal 29 UU No.1 Tahun 1974 (Perjanjian Perkawinan). Lain pula halnya jika seorang suami meninggal dunia dan sebelum meninggal dunia mereka telah mempunyai harta bersama. Kemudian isteri kawin lagi dengan laki-laki lain, maka dalam keadaan seperti ini pun tetap terpisah harta antara suami yang telah meninggal dengan isteri tadi yang akan diwarisi oleh keturunan-keturunan mereka, dan tidak ada hak anak/keturunan yang lahir dari perkawinan isteri tadi dengan suami yang kedua itu. Tetapi anak-anak dari perkawinan yang pertama mempunyai hak sebagai ahli waris dari harta bersama perkawinan kedua. Demikian pula sebaliknya jika isteri yang meninggal, maka harta bersama yang mereka peroleh terpisah dari harta yang diperoleh kemudian setelah perkawinannya dengan iteri kedua tersebut. Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
53
Demikianlah kira-kira luas dan batas-batas yang disebut lembaga harta bersama dalam suatu perkawinan baik ditinjau secara teoritis maupun kenyataankenyataan praktek hukum. Tentu hal ini bukan dimaksudkan sudah demikian limitatifnya sama sekali tidak. Sebab perhubungan dari kejadian konkreto akan memungkinkan kwantitas yang tidak dapat kita batasi secara limitatif. Karena setiap mobilitas sosial juga akan mempengaruhi elastisiet ukuran-ukuran rules of luzing dalam masyarakat, sehingga perhubungan masyarakat pada saat tetentumemaksa ukuran-ukuran dan pengertian mengalami dan menyesuaikan diri dengan elastisitas keadaan tersebut. 71 Dalam Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan, bahwa : Mengenai harta bersama, suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.” Dari bunyi ketentuan di atas maka jelas bahwa : 1. Suami dapat bertindak atas harta bersama setelah ada persetujuan isteri. 2. Isteri dapat bertindak atas harta bersama setelah mendapat persetujuan suami. Dengan demikian, pada prinsipnya harta bersama itu diatur bersama dan dipergunakan bersama dan dalam segala sesuatunya harus ada persetujuan bersama. Berlainan halnya dengan prinsip yang diatur dalam hukum perdata (KUH Perdata). Menurut Pasal 124 ayat (1) KUH Perdata ditentukan bahwa harta bersama berada dibawah urusan suami. Malah dalam Pasal 124 ayat (2) KUH Perdata terebut dinyatakan bahwa si suami dapat menguasai, mengasingkan menggunakan barang 71
J. Satrio, Op.Cit, hal.29
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
54
harta bersama tanpa persetujuan dan campur tangan isteri, kecuali sebelumnya ada perjanjian kawin (Huwelijke voorwaarden) sesuai dengan paal 140 ayat (3) KUH Perdata. Dari bunyi Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diuraikan di atas, maka dapatdilihat fungsi dan kegunaan harta bersama. Harta bersama itu dapat dipergunakan untuk kepentingan keluarga. Tetapi dalam penggunaannya boleh dilakukan oleh salah satu pihak dengan syarat adanya persetujuan dari pihak lain, yaitu dalam hal : 1. Baik dipergunakan untuk kepentingan kebutuhan dan perbelanjaan rumah tangga. Tentu inilah pertama kegunaan dari harta bersama. Akan tetapi dalam hal ini menurut pendapat penulis, maksud Pasal tersebut tidaklah begitu kaku penafsirannya,
artinya
tidaklah
persetujuan
kedua
belah
pihak
dalam
menggunakan harta berama, merupakan kewajiban mutlak dalam segala hal. 72 Sebab kalau setiap penggunaan harta bersama ini mesti diartikan selamanya harus ada persetujuan bersama, hal ini jelas akan membawa malapetaka bagi kehidupan rumah tangga, dan mekanisme kehidupan rumah tangga akan macet dengan sendirinya. Oleh sebab itu dalam perbelanjaan yang menyangkut penggunaan sehari-hari adalah isteri patut bertindak tanpa persetujuan suami atau sebaliknya jika hendak belanja rokok, suami tidak perlu mendapat persetujuan isteri, sehingga ukuran obyektif dalam hal ini, jika tindakan itu sepanjang yang menyangkut keperluan sehari-hari yang sifatnya rutin, masing-masing pihak 72
Ibid, hal.30
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
55
bebas tanpa persetujuan salah satu pihak. Menurut penulis dapat diperluas sekedar menyangkut kepentingan rumah tangga yang berifat rutin serta kepentingannya suami isteri dengan kondisi-kondisi kebudayaan masyarakat sekarang dalam batas-batas status sosial ekonomi keluarga yang dimungkinkan oleh besarnya harta bersama tersebut, tidaklah merupakan kewajiban adanya persetujuan yang mutlak dari masing-masing pihak. Sebab itu hubungan ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 ini pada pihak ketiga tidak membawa akibat hukum sekalipun tidak ada persetujuan pihak suami atau isteri, jika penggunaan harta bersama itu merupakan perbelanjaan yang lazim dalam kehidupan sehari-hari (beli baju, sepatu, dan lain-lain). Kecuali misalnya membeli barang-barang kemewahan yang cukup tinggi harganya dan sudah di luar kepentingan yang masih tergolong paa keperluan sehari-hari barulah ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 itu harus dipenuhi, artinya harus ada persetujuan darikedua belah pihak. Jadi ketentuan tentang persetujuan itu harus difahamkan sedemikian rupa sepanjang tindakan-tindakan yang menyangkut kepentingan-kepentingan sehari-hari yang tidak melampaui batas-batas kemampuan sosial ekonomi keluarga itu sendiri sehingga mekanisme rumah tangga tidak terhambat kelancarannya sebagaimana suatu kehidupan rumah tangga normal. 2. Harta bersama dapat diperuntukkan untuk membayar hutang suami atau iteri, jika hutang itu sebab yang lahir untuk kepentingan keluarga. Akan tetapi kalau hutang-hutang
pribadi yang timbul sebelum perkawinan sudah jelas harta
bersama tidak dapat bertanggung jawab membayar hutang tersebut, harus Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
56
pembayarannya diambil dari harta pribadi yang berhutang itu sendiri. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974. Jadi hutang pribadi sebelum perkawinan adalah hutang yang terlepas dari hutang harta bersama yang pemenuhan pembayarannya diambil dari harta pribadi, kecuali pihak lain (suami /isteri) setuju pembayarannya dari harta bersama. Jika harta pribadi suami tidak cukup membayar hutangnya, maka untuk kepastian yang memberi jaminan hukum pada kehidupan keluarga agar jangan setiap kebocoran dan kecerobohan salah satu pihak harus dilimpahkan pada harta bersama yang akan membawa kesengsaraan pada kehidupan keluarga dan sebaliknya memberi peringatan kepada pihak ketiga supaya jangan dengan mudah saja tanpa memikirkan resiko begitu bebas memberi hutang pinjaman tanpa batas kepada seseorang tanpa perhitungan yang cermat sampai dimana batas kemampuan kekayaan pribadi yang bersangkutan. Adanya hak suami dan isteri untuk mempergunakan atau memakai harta bersama ini dengan persetujuan kedua belah pihak (secara timbal balik) adalah sudah sewajarnya mengingat bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam lingkungan kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dimana masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana hal ini ditegaskan dengan jelas dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
57
Dengan demikian jelaslah, bahwa suami dan isteri sama-sama berhak untuk mempergunakan atau memakai harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik. Syarat persetujuan kedua belah pihak, hendaknya dipahami sedemikian rupa dengan luwes, dimana tidaklah dalam segala hal mengenai pnggunaan atau pemakaian hartabersama ini diperlukan adanya persetujuan kedua belah pihak secara formil atau secara tegas. 73 Dalam beberapa hal tertentu persetujuan kedua belah pihak ini harus dianggap ada, sebagai persetujuan yang diam-diam. Misalnya dalam hal ini mempergunakan atau memakai harta bersama untuk keperluan hidup seharihari sebagaimana diuraikan di atas, ini adalah untuk menghindari kekakuan suami isteri dalam pergaulan hidup bersama di tengah-tengah masyarakat. Persoalannya adalah, dalam hal apa dan apakah penggunaan atau pemakaian harta bersama itu diharuskan adanya persetujuan kedua belah pihak atau sebaliknya, dalam hal apa dan bagaimana penggunaan atau pemakaian harta bersama itu dianggap telah ada persetujuan kedua belah pihak,sebagaimana persetujuan diamdiam. Persoalan tersebut adalah persoalan yang harus dilihat secara kasuitis, yakni dengan melihat pada keadaan sosial ekonomi serta tata hidup dan kehidupan suami iteri yang bersangkutan dan tata hidup dan kehidupan masyarakat dimana suami isteri itu berada (bertempat kediaman).
73
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal.38
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
58
D. Akibat Perceraian Terhadap Harta Bersama Persoalan harta bersama setelah terjadinya pemutusan hubungan perkawinan adalah merupakan masalah yang sangat penting untuk dijamin sebab menyangkut kehidupan khususnya bagi pihak iteri setelah berpisah dari suami sebelum ataupun tidak sama sekali isteri untuk melakukan perkawinan selanjutnya. Hal ini dapat dilihat dari Yuisprudensi Mahkamah Agung tanggal 9 Oktober 1968 No. 89 K/Sip/1969 yang menyebutkan bahwa selama seorang janda tidak kawin lagi dan selama hidupnya harta bersama yang dipegang olehnya tidak dapat dibagikan guna menjamin penghidupannya. Hal yang menjadi pertimbangan adalah bahwa masyarakat Indnesia yang menjunjung tinggi adanya persamaan hak atau yang lebih dikenal dengan emansipasi wanita adalah telah sesuai. Mengenai pembagian harta bersama sebagai akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya maing-masing. Menurut penjelasan resmi Pasal itu dapat diketahui bahwa yang dimakud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya. Memperhatikan Pasal 37 dan penjelaan resmi atas Pasal terebut tidak memberikan keseragaman hukum positif tentang bagaimana harta bersama apabila terjadi perceraian. Tentang yang dimaksud pasal ini dengan kata “diatur”, tiada lain dari pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian. Maka sesuai dengan cara pembagian, undang-undang menyerahkannya kepada “hukum yang hidup” dalam Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
59
lingkungan masyarakat dimana perceraian dan rumah tangga berada. Kalau kita kembali kepada Penjelaan Pasal 37 tersebut, maka Undang-Undang memberi jalan pembagian : 1.
Dilakukan berdasar hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian.
2.
Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat jika hukum tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan atau :
3.
Hukum lain-lainnya Jika pada Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 pembuat undang-
undang telah berani dengan tegas meletakkan dasar hukum lembaga harta bersama dalam perkawinan, sebagaimana lembaga hukum yang seragam untuk semua ikatan perkawinan di negara Republik Indonesia., tetapi yang menyangkut pemecahan pembagian atas lembaga itu pembuat undang-undang tidak meletakkan cara pengaturan hukum yang seragam dalam pemecahannya apabila terjadi perceraian. Barangkali dalam pemecahannya apabila terjadi perceraian sekurang-kurangnya pembuat undang-undang masih ragu-ragu tentang hukum apa yang benar-benar hidup dalam soal perceraian dan pembagian harta kekayaan. Sebenarnya kalau tejadi keraguan dalam soal ini kita rasa keraguan dalam cara pemecahannya tentu juga dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam meletakkan lembaga harta bersama itu pun pembuat undang-undang kalau begitu masih ragu-ragu.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
60
Keraguan dalam menetapkan ketentuan hukum dalam harta bersama apabila terjadi perceraian akan banyak membawa kesulitan di dalam menyelesaikan perselisihan dan dari segi kejiwaan. Hal ini akan membawa efek yang kurang baik ditinjau dari segi sosial psiklogi baik bagi pihak-pihak yang berperkara maupun bagi lingkungan masyarakat sekitarnya. Ambil misalnya contoh antara suami isteri terjadi perceraian. Keduanya beragama Islam hingga perceraiannya pun dilakukan di Pengadilan Agama. Tiba persoalan mengenai harta perkawinan, suami bilang yang berlaku adalah hukum Islam, sebab itu harus diputuskan oleh Pengadilan Agama. Si isteri lain pula pendiriannya dan memajukan gugatan pembagian tersebut kepada Pengadilan Negeri. Memang benar bahwa mengenai pembagian harta bersama yang diperoleh selama perkawinan tidak ada disebut dalam PP Nomor 45 Tahun 1975, sehingga yang berwenang untuk mengadili perselisihan dan pembagian perkara yang menyangkut harta bersama adalah pengadilan umum. Tetapi dengan penjelasan Pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut yang dinyatakan harta bersama dan hukum lain-lainnya. Dari penjelasan ini bukankah misalnya bagi mereka yang beragama Islam berhak membawa persoalan itu kepada Pengadilan Agama, sekalipun PP Nomor 9 Tahun 1975 tidak menyebut hukum agama in casu Agama Islam. Dengan demikian seseorang tidak melanggar kompetensi absolut jika seseorang meminta pembagian harta bersama dalam perkawinan dibawa ke Pengadilan Agama. Sebab dengan menyatakan hukum agama yang mengatur persengketaan sesuatu tentu lebih kompetenlah Pengadilan Agama yang akan menyelesaikannya, sehingga tidak berlaanan dengan PP Nomor 45 Tahun 1975. Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
61
Dengan demikian jika dalam persoalan ini pembuat Undang-Undang telah berani melembagakan harta perkawinan dengan ketentuan hukum positif, maka secara logikanya pun harus juga ditentukan hukum positif yang seragam atau spesifik secara diferensiasi. 74 Misalnya ditentukan dengan perceraian harta bersama dibagi dua antara suami isteri. Penegasan semacam ini akan menghilangkan perbedaan penafsiran yang menjauhkan tujuan hukum ini demi keseragaman. Ataupun jelas ditentukan secara diferensiasi, misalnya bagi yang beragama Islam pembagian harta bersama karena perceraian diatur menurut hukum Islam. Akan tetapi barangkali dalam pikiran pembuat Undang-Undang mengenai hal ini merasa dan berpendapat lebih baik tidak ditentukan satu aturan pemecahan positif dengan maksud diserahkan saja kepada kehendak dan kesadaran masyarakat, dan hakimlah nanti yang akan mencari dan menemukan kesadaran hukum masyarakat untuk dituangkan sebagai hukum obyektif. Atau pembuat undang-undang berpikir tidak usaha ditentukan one way traffic sebagai satu saluran secara positif, sebab berdasar kenyataan kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat, tentang hal ini masih menuju perkembangan bentuk yang lebih serasi sebagai akibat meluasnya interaksi antara segala unsur kesadaran yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia. 75 Namun terlepas dari masalah di atas jika melihat pada keputusan-keputusan Pengadilan tentang 74
Ibid, hal.77 Ibid, hal.78
75
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
62
pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian, pada dasarnya sudah menuju trend yang terarah ke satu jurusan kaidah yang dipergunakan sebagai hukum obyektif yang berbunyi : dengan tejadinya perceraian antara suami isteri, harta bersama yang diperoleh selama pekawinan harus dibagi dua bersama antara suami isteri. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa putusan Pengadilan dalam prakteknya, seperti pertimbangan pengadilan Tinggi Tebing Tinggi tanggal 30 Desember 1971 No.389/1971 sesuai dengan kesadaran perkembangan hukum Indonesia dipandang adil, bahwa harta bersama (harta bersama), yang harus dibagi dua diantara suami dan isteri apabila terjadi perceraian (dibenarkan oleh Mahkamah Agung tanggal 23–5-1973, No.31 K/Sip/1972). Demikian juga putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi tanggal 2 Juli 1973 No.129/1972 yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Tebing Tinggi tanggal 2 Juli 1973 No.385/1973 dengan tegas menyatakan bahwa dengan adanya perceraian harta bersama harus dibagi dua diantara suami dan isteri. Demikian juga putusan Pengadilan Negeri Tasik Malaya tanggal 27 Maret 1968 No.44/1967, Pengadilan Tinggi Bandung tanggal 3 Desember 1970 No.198/1969 memutuskan bahwa barang campuran kaya antara suami isteriharus dibagi dua karena bercerai. Begitupun keputuan Pengadilan Negeri Tegal tanggal 16 Maret 1972 No.27/1971 dan putusan Pengadilan Negeri Waingapu, memutuskan : barang guna kaya dibagi dua antara suami dan isteri apabila terjadi perceraian.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
63
Dari keputusan-keputusan di atas jelas dapat dilihat arah yang ditempuh oleh Pengadilan sebagai salah satu lembaga pencipta hukum dalam kehidupan sesuatu bangsa, yaitu menuju pembagian yang sama (bagi dua) antara suami dan isteri tentang harta bersama apabila terjadi perceraian. Akan tetapi jika bertanya, apakah kaidah yang diambil peradilan-peradilan itu benar-benar merupakan hukum obyektif yang hidup dalam seluruh kalangan masyarakat bangsa, mungkin masih merupakan image yang belum diuji kebenarannya dengan kesadaran masyarakat sebab pada satu segi, yurisprudensi tersebut lebih banyak berorientasi pada literatur yang ditulis oleh sarjana-sarjana Belanda berdasar pendapat dan penyelidikan yang dilakukan pada abad ke-19 yang lewat, dan belum ada penyelidikan yang seksama secara ilmiah dilakukan pada maa akhir-akhir ini. Mungkin tidak seluruhnya rumusan kaedah itu benar-benar merupakan hukum obyektif yang hidup dalam penghayatan kesadaran hukum masyarakat bangsa secara utuh. Ketidak tegasan aturan tentang peraturan pembagian harta bersama maka khususnya bagi umat Islam telah dikeluarkan ketentuan hukum yang disebut dengan Kompilasi Hukum Islam. 76 Dalam konsideran Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret No. 07/KMA/1985 No. 25 Tahun 1985 tentang Penunjukkan Pelaksanaan Proyek Pembagian Hukum Islam
76
Abdul Manan, Op.Cit, hal.82
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
64
melalui Yurisprudensi atau yang lebih dikenal dengan proyek KHI, dikemukakan ada 2 (dua) pertimbangan yaitu : 1. Bahwa sesuai dengan fungsi peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia terhadap jalannya pengadilan di semua lingkungan peradilan di Indonesia, khususnya di lingkungan Peradilan Agama, perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam yang selama ini menjadikan hukum positif di Pengadilan Agama 2. Bahwa guna mencapai maksud tersebut, demi meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas, sinkronisasi dan tertib administrasi dalam proyek pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi, dipandang perlu membentuk suatu tim proyek yang susunannya terdiri dari para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama Republik Indonesia. Keterangan di atas memberikan penjelasan bahwa langkah awal dari usaha untuk mewujudkan dari Kompilasi Hukum Islam ditandai dengan adanya kerjasama antara Badan Peradilan lewat Mahkamah Agung dengan Lembaga Eksekutif melalui Departemen Agama. Abdur Rahman: menyatakan Kompilasi Hukum Islamini sebagai keberhasilan umat Islam Indonesia pada pemerintahan orde baru ini. Sebab dengan demikian, nantinya umat Islam di Indonesia akan mempunyai pedoman fiqh yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam. Dengan ini diharapkan tidak akan terjadi kesimpang siuran keputusan dalam lembagalembaga Peradilan Agama dan sebab-sebab khilaf yang disebabkan oleh masalah fiqh akan dapat diakhiri. 77
77
Abdur Rahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta : Akademika Presindo, 1992), hal.20. Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
65
Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang harga bersama sebagaimana tertuang dalam Bab XIII, Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 yaitu sebagai berikut : Pasal 85 : Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Pasal 86 : (3) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. (4) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Pasal 87 : (3) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin. (4) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melaksanakan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya. Pasal-pasal yang disebutkan di atas merupakan pokok-pokok hukum harta bersama. Masing-masing pasal berkaitan satu sama lain. Berikut ini, penulis akan mendeskripsikan tafsir pasal-pasal dimaksud dalam kerangka penjelasan makna aturan hukum harta bersama. Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam
pada dasarnya mempertegas bahwa
eksistensi harta bersama bukan berarti menafikan eksistensi harta pribadi (harta bersama) suami dan isteri. Hal ini menyebabkan adanya percampuran harta bawaan suami dan isteri. Masing-masing pihak, suami atau isteri berhak untuk menguasai harta bawaan mereka masing-masing secara penuh. 78 Selanjutnya Pasal 87 Kompilasi Hukum Islam lebih memperjelas bahwa harta bawaan dimaksud dapat 78
Ibid, hal.22
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
66
bersumber dari warisan atau hibah. Keberadaannya di bawah pengawasan masingmasing, kecuali ada perjanjian tertentu antara suami dan isteri. Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam mempertegas proses penyelesaian perselisihan harta bersama apabila terjadi perselisihan. Proses awal yang dilakukan adalah mengajukan permasalahan yang ada ke Pengadilan Agama. Penyelesaian sengketa harta bersama di Pengadilan Agama ditempuh dengan mengajukan gugatan. Gugatan harta bersama selain diajukan secara terpisah, juga dapat digabung dengan gugatan perceraian (kumulasi objektif). Secara praktis dan rasional dapat diselesaikan bersamaan dengan cara mendudukan gugat pembagian harta bersama sebagai gugat assessor terhadap gugatan perceraian. 79 Jika gugat perceraian ditolak, otomatis gugat pembagian harta bersama dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvantkeliek verhlaard). Namun jika gugat cerai dikabulkan, terbuka kemungkinan pula mengabulkan pembagian harta bersama sepanjang barng-barang yang diajukan dalam gugatan dapat dibuktikan sebagai harta bersama. Hal ini diatur dalam Pasal 86 ayat (1) dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 1989 sebagaimana
79
M. Yahya Harahap, Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, 1993/1994), hal.293 Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
67
diubah dengan UU No. 3 Tahun2006. Sistem penggabungan adalah demi terciptanya prinsip bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. 80 Pasal 89 Kompilasi Hukum Islam : suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri. Pasal 90 Kompilasi Hukum Islam : isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya. Pasal 89 Kompilasi Hukum Islam bertujuan memberikan penegasan tehadap kewajiban suami untuk bertanggung jawab terhadap harta bersama, demikian juga halnya terhadap harta isteri maupun hartanya sendiri. Di samping itu, isteri juga mendapatkan amanah untuk membantu suami dalam mempertanggung jawabkan harta bersama, maupun harta suaminya sendiri. Hal ini merupakan makna eksplisit dari Pasal 90 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 91 Kompilasi Hukum Islam : 1. Harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud dan tidak berwujud. 2. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. 3. Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban 4. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya. Pasal 91 Kompilasi Hukum Islam merupakan klasifikasi harta bersama kepada dua bentuk, yakni harta berwujud (benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga) dan benda tidak berwujud (hak dan kewajiban). Pada pasal ini ditegaskan pula bahwa harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan 80
Ibid, hal.294
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
68
terhadap berbagai perjanjian yang dilakukan. Baik suami maupun isteri harus samasama mengetahui dan menyetujui keberadaan harta bersama apabila dalam status sebagai jaminan. Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam : Suami isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Jika dikaitkan dengan proses perpindahan tangan harta bersama ditegaskan dalam Pasal 92 harus sepengetahuan dan seizin kedua belah pihak. Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam 1. Pertanggung jawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing. 2. Pertanggung jawaban hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan pada harta bersama 3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan pada harta suami 4. Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri. Kemudian, satu hal logis berkaitan dengan hutang piutang keluarga dijelaskan pada Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam. Pada pasal ini dinyatakan bahwa baik suami maupun isteri bertanggung jawab atas hutang masing-masing. Selanjutnya apabila hutang dimaksud untuk kepentingan keluarga, maka penyelesaian dibebankan kepada harta bersama. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan pada harta suami. Bila harta suai tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri. Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam 1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang , masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
69
2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1) dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat. Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa bentuk harta bersama dalam perkawinan poligami, masing-masing terpisah dan tersendiri. Aturan ini sejalan dengan ketentuan Pasl 65 ayat (1) huruf b dan c Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Asas dalam perkawinan poligami adalah terbentuknya beberapa harta bersama sebanyak isteri yang dikawini suami. Terbentuknya masing-masing harta bersama setiap isteri dihitung sejak tanggal berlangsungnya perkawinan dan masingmasing harta bersama terpisah dan tersendiri. Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam : 1. Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2), suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk melakukan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama, seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya. 2. Selama sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama. Jika Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam mengatur perihal harta bersama dan kaitannya dengan perkawinan poligami, Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang sita jaminan terhadap harta bersama tanpa permohonan gugatan cerai yang dapat dilakukan bila suami atau isteri melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keberadaan harta bersama seperti mabuk,
boros dan lain
sebagainya. Di samping itu pula bahwa selama sita jaminan berlaku, penjualan terhadap harta bersama dapat dilakukan bila untuk kepentingan keluarga yang
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
70
bersangkutan dengan catatan harta berdasarkan izin Pengadilan Agama yang bersangkutan terlebih dahulu. Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa : (1) Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. (2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya mempunyai hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam : Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan kedudukan harta bersama apabila salah satu pihak, baik suami maupun isteri meninggal dunia, demikian juga halnya jika terjadi cerai hidup. Pada Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bila salah seorang diantara suami isteri meninggal dunia, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan posisi harta bersama bila salah seorang pasangan suami isteri hilang. Jika ini terjadi, maka harta harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya secara hakiki atau secara hukum berdasarkan putusan Pengadilan Agama. Sementara itu Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam lebih khusus menjelaskan posisi harta bersama bila suami atau isteri cerai hidup. Pada pasal ini ditegaskan bahwa masing-masing pihak berhak mendapat seperdua dari harta bersama, kecuali diatur lain dalam perjanjian perkawinan. Inilah ketentuan-ketentuan yang menurut M. Yahya Harahap dapat diringkas sebagai berikut : Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
71
1.
Harta bersama terpisah dari harta pribadi masing-masing a. Harta pribadi tetap menjadi milik pribadi dan dikuasai sepenuhnya oleh pemiliknya (suami atau isteri) b. Harta bersama menjadi harta bersama suami isteri terpisah sepenuhnya dari harta pribadi. 2. Harta bersama terwujud sejak tanggal perkawinan dilangsungkan : a. Sejak itu dengan sendirinya terbentuk harta bersama b. Tanpa mempersoalkan siapa yang mencari c. Juga tanpa mempersoalkan atas nama siapa terdaftar 3. Tanpa persetujuan bersama : suami atau isteri mengasingkan atau memindahkan a. Hutang untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama b. Dalam perkawinan serial atau poligami, wujud harta bersama terpisah antara suami dengan masing-masing isteri. 4. Apabila perkawinan pecah (mati atau cerai) : a. Harta bersama dibagi dua b. Masing-masing mendapat setengah bagian c. Apabila terjadi cerai mati bagiannya menjadi tirkah d. Sita marital atas harta bersama di luar gugat cerai Ketentuan ini perluasan dari Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1975. Suami isteri meminta sita marital kepada Pengadilan Agama apabila salah satu pihak boros atau penjudi. 81 Di dalam Al-Qur’an dijelaskan tentang pembagian harta bersama yaitu surat An Nisa ayat (32) dijelaskan : “Bagi laki-laki mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi wanita mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan”. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa dalam penyelesaian terhadap harta bersama berdasarkan nash Al Qur’an, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam penjelasan di atas dapat diketahui Kompilasi Hukum Islam dijadikan sebagai hukum positif Pengadilan Agama. Untuk melihat bagaimana eksistensi dari penerapan Kompilasi Hukum Islam di dalam menyelesaikan sengketa harta bersama maka penulis melakukan wawancara dengan Muh. Arief Musi, Ketua Pengadilan 81
Ibid, hal.183-184
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
72
Agama Klas I A Medan yang menyebutkan bahwa disamping Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Yurisprudensi Mahkamah Agung juga diterapkan Kompilasi Hukum Islam dalam penyelesaian harta bersama. Kompilasi Hukum Islam merupakan hukuman terapan yang lebih tepat diberlakukan di Indonesia dalam kasus harta bersama, tidak ada alternatif lain. Pada dasarnya hukum adat sama dengan aturan yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam. Menurut beliau, harta bersama dalam fiqh Islam termasuk dalam kajian syirkah, meskipun tidak dalam konteks munakahat. Materi hukum harta bersama dalam Kompilasi Hukum Islam sudah dapat dikatakan memenuhi rasa keadilan. Nusyuz tidak menghilangkan hak atas harta bersama. Masing-masing pihak baik suami ataupun isteri berhak memperoleh bagian separuh. 82 Sependapat dengan Irsan Mukhtar adalah pendapat Hilman Lubis (Panitera Pengadilan Agama Klas I A Medan). Berdasarkan wawancara yang dilakukan menambahkan bahwa hak wanita atas harta bersama berdasarkan Kompilasi Hukum Islam sudah tepat dan adil untuk saat ini. Berkaitan dengan pandangan fiqih Islam mengenai harta bersama beliau memiliki pandangan yang sama dengan pandangan Muh. Arief Musi. Selanjutnya wawancara dengan H. Mohd. Hidayat Nasseri, Hakim Pengadilan Agama Klas I A Medan mempunyai pandangan yang sama yaitu bahwa di samping nash Al-Qur’an, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Yurisprudensi Mahkamah Agung, beliau menambahkan bahwa Kompilasi Hukum Islam sebagai 82
Wawancara, Irsan Mukhtar, Hakim Pengadilan Agama Klas I A Medan Pada Tanggal 2
April 2009 Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
73
hukum terapan dalam kasus harta bersama sudah tepat untuk saat ini dan menambahkan nusyuz tidak menghilangkan harta bersama, sementara suami yang pengangguran sejak awal sampai akhir pernikahan dalam konteks harta bersama ini harus ada pertimbangan hukum bagi untuk memutuskannya. 83 Wawancara dengan Wildan Areza selaku Pengacara dan Penasehat Hukum, mempunyai pandangan yang sama dengan pendapat Ketua Pengadilan Agama Klas I A Medan, Panitera, Hakim di atas dan selanjutnya menambahkan bahwa hak wanita atas harta bersama berdasarkan Kompilasi Hukum Islam sudah tepat dan adil, karena wanita dan isteri memikul beban tanggung jawab yang cukup berat dan tidak ternilai, hanya saja bagi isteri yang nusyuz tidak menghalangi harta bersama. 84
83
Wawancara, H. Mohd. Hidayat Masseri, Hakim Pengadilan Agama Klas I A Medan Pada Tanggal 2 April 2009 84 Wawancara, Wildan Areza, Pengacara dan Penasehat Hukum di Medan Pada Tanggal 5 April 2009 Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
74
BAB III PELAKSANAAN PENYELESAIAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA A. Wilayah Hukum dan Kewenangan Pengadilan Agama Kelas I A Medan Sebelum agama Islam datang ke Indonesia, di Indonesia telah ada dua macam peradilan yakni Peradilan Perdata dan Peradilan Pandu. “Peradilan Perdata mengurusi perkara-perkara yang menjadi urusan raja dan Peradilan Pandu mengurusi perkara – perkara yang bukan menjadi urusan raja”. 85 Dengan masuknya Agama Islam ke Indonesia yang pertama kali pada abad pertama Hijriah atau bertepatan pada abad ketujuh Masehi yang dibawa langsung dari Arab oleh saudagar-saudagar dari Mekah dan Madinah yang sekaligus sebagai muballigh, maka dalam praktek sehari-hari masyarakat mulai melaksanakan ajaran dan aturan-aturan agama Islam yang bersumber kitab-kitab fight. “Di dalam kitab-kitab fight termuat aturan dan tata cara ibadah seperti thaharah, shalat, puasa, zakat dan haji serta sistem peradilan yang disebut Qadha”. 86 Karena lembaga qadha seperti yang disebut dalam kitab figh itu belum dapat dilaksanakan sepenuhnya, maka penyelesaian perkara-perkara antar penduduk yang beragama Islam dilakukan melalui tahkim, yakni para pihak yang berperkara secara sukarela menyerahkan perkara mereka kepada seorang ahli agama baik fiqh, ulama atau muballigh untuk menyelesaikan dengan ketentuan bahwa kedua pihak yang bersengketa akan mematuhi putusan yang diberikan oleh ahli agama itu. Menurut 85
Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad (Jakarta : NV. Versuis, 1978), hal. 6 Zaini Ahmad Nuh, Sejarah Peradilan Agama, Laporan Hasil Simposium, (Jakarta : Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan, 1983), hal. 26. 86
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 74 USU Repository © 2008
75
biasanya perkara yang diputus oleh lembaga tahkim ini adalah perkara non pidana. Pada beberapa tempat tahkim ini melembaga sebagai peradilan syara’. “Periode tahkim ini dapat diduga sebagai awal perkembangan peradilan agama di Indonesia”. 87 Secara yuridis formal, Peradilan Agama sebagai suatu Badan Peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura) pada tanggal 1 Agustus 1882. Kelahiran ini berdasarkan suatu Keputusan Raja Belanda (konninklijk Besluit) yakni Raja Willem III tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24 yang dimuat dalam Staatblad 1882 No. 153. “Badan Peradilan ini bernama Presterraden yang kemudian lazim disebut dengan Rapat Agama atau Raad Agama dan terakir dengan Peradilan Agama”. 88 Pengadilan Agama Klas I A Medan yang terletak di Jalan Sisingamangaraja Km 8,7 No. 18 Medan yang secara geografis terletak antara 980 Bujur Timur dan 340 Lintang Utara, didirikan pada tahun 1957 berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 58 Tahun 1957 dengan sebutan pada waktu itu Mahkamah Syariah. 89 Pada tahun 1980 kemudian terbit Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 6 Tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980 tentang Penyeragaman nama menjadi Pengadilan Agama. 90 Wilayah hukum Pengadilan Agama Klas I A Medan 87
Ibid. hal.27 Ibid, hal.28 89 Samsuhari Irsyad, dkk, Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya (Jakarta : Ditbinbaperais Departemen Agama RI, 1999), ha.27 90 Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), hal.77 88
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
76
adalah kota Medan yang terdiri dari 21 Kecamatan, 151 Kelurahan dan rata-rata perkara pertahun kurang lebih 750. Kantor balai sidang Pengadilan Agama Klas I A Medan diresmikan penggunaannya pada tanggal 10 Juli 1978 oleh Direktur Pembinaan Badan Pengadilan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia yang dibangun berdasarkan DIP Departemen Agama Republik Indonesia pada tanggal 26 Pebruari 1977 No. 62/XXV/2/77. 91 Kewenangan Pengadilan Agama Klas I A Medan, tidak terlepas dari sejarah panjang pembentukan dan perkembangan Peradilan Agama di Indonesia. Lembaga Peradilan Agama sebagai lembaga hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat dalam masyarakat. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri telah melaksanakan hukum Islam dan melembagakan sistem peradilannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh sistem pemerintahan di wilayah kekuasaannya. Dari kenyataan inilai di kalangan orang Belanda yang dipelopori oleh L.W.C Van den Berg berkembang pendapat bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka yakni Hukum Islam. Teori ini dikenal dengan teori reception in complexu, kemudian dikukuhkan oleh peraturan perundang-undangan Hindia Belanda melalui Pasal 75,78 dan 109 Rechreglement (RR) 1854, Staatblad 1855 Nomor 2. Dengan lahirnya Staatblad 1937 Nomor 116, maka kewenangan (kompetensi) Peradilan Agama menjadi terbatas dan lebih sempit, 91
Tim Penyusun, Yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama, (Jakarta :Ditbinbaperais, 1984), hal.45. Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
77
wewenang
Peradilan Agama hanya berkenaan dengan bidang perkawinan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 2a ayat (1) sebagai berikut “Pengadilan Agama hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus perselisihan hukum antara seorang suami istri yang beragama Islam, tentang perkara-perkara lain tentang nikah, talak dan rujuk serta soal-soal perceraian lain yang harus diputus oleh Hakim Agama, menyatakan perceraian dan menetapkan bahwa syarat-syarat taklik talak sudah berlaku, dengan pengertian bahwa dalam perkara-perkara tersebut hal-hal mengenai tuntutan pembayaran atau penyerahan harta benda adalah menjadi wewenang pengadilan biasa, kecuali dalam perkara mahar (mas kawin) dan pembayaran nafkah wajib bagi suami kepada istri yang sepenuhnya menjadi wewenang Pengadilan Agama”. Berdasarkan pasal tersebut wewenang Peradilan Agama adalah : (1) Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam, (2) Perkara-Perkara tentang nikah, talak, rujuk dan perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan perantaraan Hakim Agama (Islam), (3) Memberikan putusan perceraian, (4) Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (taklik talak) sudah ada, (5) Perkara mahar (mas kawin) dan termasuk mut’ah, (6) Perkara tentang keperluan kehidupan suami istri yang wajib diadakan oleh suami. Setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, yang mengatur kewenangan Pengadilan Agama diluar Jawa Madura dan Kalimantan Selatan, maka peraturan ini menghapus peraturan yang beragam yang menjadi dasar hukum Pengadilan Agama di luar Jawa Madura, sehingga yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama diluar Jawa Madura dan Kalimantan Selatan adalah : nikah, Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
78
thalaq, ruju’ fasakh, nafaqah, mas kawin (mahar), tempat kediaman (maskan), mut’ah, hadhanah, perkara waris-malwaris, wakaf, hibah, shadaqah dan baitulmal. Kemudian diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Terakhir diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah dirubah dengan UU No. 3 Tahun 2006. Secara tegas kewenangan Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 49 UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 : Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orangorang yang beragama Islam di bidang : 1. Perkawinan 2. Waris 3. Wasiat 4. Hibah 5. Wakaf 6. Zakat 7. Infaq 8. Shadaqah 9. Ekonomi syari'ah.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
79
Apabila dirinci dari ketentuan pasal-pasal peraturan perundang-undangan tersebut, wewenang Pengadilan Agama meliputi : 1. Bidang Perkawinan Bidang perkawinan telah dirinci dalam penjelasan Pasal 49 huruf a UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006, yang menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan bidang perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari'ah, antara lain: a. Izin beristri lebih dari seorang b. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21(dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat c. Dispensasi kawin d. Pencegahan perkawinan e. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah f. Pembatalan perkawinan g. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri h. Perceraian karena talak i. Gugatan perceraian j. Penyelesaian harta bersama k. Penguasaan anak-anak
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
80
l. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya m. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri n. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak o. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua p. Pencabutan kekuasaan wali q. Penunjukan orang lain sebagai wall oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wall dicabut r. Penunjukan seorang wall dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya s. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya t. Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam u. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran v. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
81
2. Bidang Kewarisan Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masingmasing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalap tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris Kewarisan adalah hukum yang mengatur perpindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing. Bidang ini diatur secara rinci di dalam Kompilasi Hukum Islam, Buku II, dari Pasal 171 sampai dengan Pasal 193. 3. Wasiat Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia Bidang Perwakafan. 92 4. Hibah Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pembegan suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki. 93 5. Wakaf Yang dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harts benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai 92 93
Abdur Rahman, Op.Cit, hal.73 Ibid, hal.73
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
82
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah. 94 6. Zakat Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. 95 7. Infaq Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata'ala. 96 8. Shadaqah Yang dimaksud dengan "shadagah" adalah perbuatar; seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata. 97 9. Ekonomi Syariah Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi: 94
Ibid, hal.74 Ibid, hal.74 96 Ibid, hal.75 97 Ibid, hal.75 95
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
83
a. Bank syari'ah b. Lembaga keuangan mikro syari'ah c. Asuransi syari'ah d. Reasuransi syari'ah e. Reksa dana syari'ah f. Obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah g. Sekuritas syari'ah h. Pembiayaan syari'ah i. Pegadaian syari'ah j. Dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan k. Bisnis syari'ah. 98
B. Penyelesaian Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian Putusnya perkawinan melalui cerai talak, cerai gugat dan kematian salah satu pihak, maka salah satu akibat dari putusnya perkawinan itu adalah harta bersama suami isteri. Kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan harta bersama dijelaskan dalam Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa “apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada pengadilan”. Ada 2 (dua) alternatif penyelesaian harta bersama yang diajukan oleh pihak suami atau isteri. Pertama. Masalah atau sengketa bersama diselesaikan setelah 98
Ibid,hal.77
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
84
terjadi perceraian antara pasangan suami isteri. Alternatif
kedua, tatkala proses
penyelesaian perceraian berjalan di Pengadilan Agama sekaligus diselesaikan masalah harta bersama. 99 Alternatif pertama merupakan penyelesaian tersendiri atau terpisah, khusus penyelesaian terhadap harta bersama. Alternatif kedua disebut gabungan atau kumulasi. Penyelesaian harta bersama dapat dilaksanakan bersamaan dengan proses perceraian baik cerai talak atau cerai gugat dan dapat juga dilaksanakan bersamaan gugatan masalah hadhanah, waris dan hal-hal lain. Yang dimaksud kumulasi adalah gabungan beberapa gugatan hak (kumulasi objektif atau gabungan beberapa pihak (kumulasi subjektif) yang mempunyai akibat hukum yang sama, dalam suatu proses perkara. 100 Berdasarkan hasil wawancara dengan H. Mohd. Hidayat Nasseri disebutkan bahwa pelaksanaan penyelesaian harta bersama dilakukan dengan dua cara tersebut di atas yaitu secara terpisah dan secara kumulasi. Aparat Pengadilan Agama Medan menganjurkan kepada para pihak untuk melakukan gugatan terpisah, karena lebih efisien dari segi waktu proses persidangan. Namun demikian tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan secara kumulasi berdasarkan kepentingan para pihak. 101
99
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Peerdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hal.43 100 Ibid, hal.44 101 Wawancara, H. Mohd. Hidayat Masseri, Hakim Pengadilan Agama Klas I A Medan Pada Tanggal 2 April 2009 Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
85
Sementara hasil wawancara dengan
Advokat/Pengacara Wildan Areza
mengenai cara pelaksanaan penyelesaian harta bersama berpendapat bahwa bila ditinjau dari keefisien waktu persidangan maka lebih tepat dilaksanakan setelah terjadinya perceraian dan apabila ditinjau dari segi dana atau biaya yang dipergunakan maka pada umumnya masyarakat lebih cenderung melakukan bersamaan dengan proses perceraian. Namun demikian cara yang dilakukan harus memperhatikan kepentingan dan kondisi para pihak yakni suami dan isteri. 102 Menurut hukum Acara Perdata, kumulasi objektif diperkenankan asal berkaitan langsung yang erat merupakan satu rangkaian kesatuan (biasanya kausaliteit). Mereka yang mengerti beracara selalu akan mempergunakan dimana mungkin kumulasi objektif itu, hal mana menghemat waktu, biaya dan sekaligus tuntas semua. 103 Dari segi yuridis, kedua alternatif tersebut dapat ditempuh sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 66 ayat (5) dan Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 : Pasal 66 ayat (5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menyebutkan bahwa permohonan soal pengasuhan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama
102
Wawancara, Wildan Areza, Pengacara dan Penasehat Hukum di Medan Pada Tanggal 5
April 2009 103
Raihan A Rassyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal.66 Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
86
dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupuh sesudah ikrar talak diucapkan. Paal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 menyebutkan
gugatan soal pengasuhan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Adapun praktek alternatif pertama adalah jika suami isteri telah bercerai melalui prosedur cerai talak, maupun cerai gugat maka salah satu pihak bekas isteri ataupun bekas suami mengajukan gugatan harta bersama secara terpisah. Pada alternatif kedua dalam prakteknya, ketika proses permohonan cerai talak diajukan oleh suami sekaligus diajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) menuntut pembagian harta bersama. Demikian juga halnya ketika proses gugatan cerai diajukan oleh isteri, sekaligus menuntut pembagian harta bersama yang diperoleh selama dalam perkawinan atau pihak suami selaku tergugat mengajukan gugatan balik (gugat rekonvensi) menuntut pembagian harta besama. Praktek alternatif kedua tersebut lazim disebut gugat kumulasi (gugat gabungan). 104 Dari segi filosofisnya, adalah persengketaan harta besama tatkala kondisi rumah tangga terjadi perselisihan atau percekcokan yang mengarah kepada terjadinya perceraian. Apabila suami berkehendak untuk mencceraikan isterinya melalui prosedur cerai talak, maka cenderung seorang isteri mengajukan gugatan rekonvensi 104
Wawancara, H. Mohd. Hidayat Masseri, Hakim Pengadilan Agama Klas I A Medan Pada Tanggal 2 April 2009 Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
87
(gugat balik) menuntut pembagian harta bersama bahkan hak-hak lainnya sesuai dengan hukum. 105 Begitu juga sebaliknya isteri yang sudah bertekad untuk bercerai dari suaminya, mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama sekaligus mengajukan gugat harta bersama menuntut pembagian harta bersama yang diperoleh selama ikatan perkawinan yang telah dikuasai oleh pihak suami atau sebaliknya suami yang mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) harta bersama yang dikuasai isteri. Oleh karena itu pada umumnya dalam suatu proses perceraian timbul ketegangan-ketegangan sebagai ekses dari konflik rumah tangga yang melatar belakangi gugat cerai, maka keinginan sekaligus tuntas disamping cerainya juga tentang pembagian harta bersama. Dari aspek psikologis, jika hanya perceraian saja yang diselesaikan, maka akan timbul kesulitan yang berkepanjangan karena pihak yang menguasai harta bersama akan memanfaatkan peluang menurut keinginannya, mengesampingkan sifat adil dan jujur. Melalui proses yang demikian lebih singkat prosedur yang ditempuh dan lebih efektif serta efisien, dari pada diselesaikan dikemudian hari setelah terjadinya perceraian. 106 Adapun munculnya gugatan harta bersama setelah salah satu pihak suami isteri meninggal dunia. Ketika dipersengketakan masalah harta warisan yang berasal
105 106
Raihan A Rassyid, Op.Cit, hal.77 Ibid, hal.78
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
88
ijbari maka didalamnya dipersoalkan tentang harta peninggalan almarhum/ almarhumah pewaris. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 berbunyi : Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini. Sehubungan dengan hukum acara yang dipergunakan pada Pengadilan Agama ini, maka tahapan-tahapan perkara dalam pemeriksaan sebagaimana hukum acara perdata yaitu : 1. Tahap sidang pertama yang terdiri dari : pembukaan sidang pertama, yakni hakim membuka sidang, menanya identitas para pihak, pembaca surat gugatan atau permohonan serta anjuran damai. 2. Tahap jawab menjawab yaitu replik dan duplik dari masing-masing pihak 3. Tahap pembuktian, dimana dalam hal pembuktian ini semua alat bukti diperlihatkan atau diajukan serta disampaikan kepada ketua Majelis Hakim. 4. Tahap penyusunan konklusi yaitu kesimpulan-kesimpulan dari sidangsidang yang telah berlangsung menurut para pihak dan bersifat membantu hakim dalam menentukan keputusannya. 5. Musyawarah majelis hakim, hal ini dilakukan secara rahasia, tertutup untuk umum dan hasil musyawarah ini ditandatangi oleh hakim tanpa panitera sidang dan dilampirkan dalam berita acara sidang. 6. Pengucapan keputusan, pengucapan ini dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum, walaupun sebelumnya mungkin sidang-sidang dilaksanakan tertutup. 107 Dengan adanya tahapan-tahapan di atas, apabila suatu persoalan masuk dan diajukan pada Pengadilan Agama, maka yang pertama dilakukan di persidangan setelah dibacakannya gugatan atau permohonan dari pihak yang bersangkutan adalah 107
Ibid, hal.134-139
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
89
anjuran untuk melakukan perdamaian. Bila para pihak tetap pada pendirinya untuk melanjutkan perkara ini maka Pengadilan Agama pun meneruskan jalannya persidangan dengan tahap-tahap sebagaimana tersebut di atas. Dalam hal ini Roihan A Rassyid mengatakan “kalau terjadi perdamaian maka buatkanlah akta perdamaian di muka pengadilan dan kekuatannya sama dengan putusan, terhadap perkara yang sudah terjadi perdamaian tidak boleh lagi diajukan perkara kecuali tentang hal-hal baru di luar itu. Akta perdamaian tidak berlaku banding sebab akta perdamaian bukan keputusan Pengadilan. Bila tidak terjadi perdamaian, hal itu harus dicantumkan dalam Berita Acara Sidang, sidang akan dilanjutkan”. 108
C. Masalah Yang Timbul Sengketa pembagian harta bersama sebagai akibat dari perceraian suami isteri tidak terjadi di setiap negara Islam. Sengketa seperti ini hanya terjadi dalam masyarakat yang mengenal adanya harta bersama. Adanya apa yang disebut harta bersama dalam suatu rumah tangga, pada awalnya didasarkan atas adat istiadat dalam suatu wilayah yang tidak memisahkan adanya hak milik, yaitu hak milik dari masingmasing pasangan. Dalam masyarakat Islam yang adat istiadatnya memisahkan antara harta suami dan harta isteri tidak mengenal adanya harta bersama. Dalam masyarakat Islam seperti ini harta pencarian suami selama dalam masa perkawinan tetap dianggap sebagai harta suami, bukan dianggap sebagai harta bersama isteri. Isteri 108
Ibid, hal.100
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
90
berkewajiban menjaga serta memelihara harta suami yang berada dalam rumah. Bila isteri mempunyai penghasilan sendiri maka hasil usahanya tidak dicampur baurkan dengan harta suami. Jika suatu saat suami mendapat kesulitan dalam pembiayaan, maka jika suami menggunakan harta isteri, berarti suami telah berhutang kepada isteri yang wajib dibayar kemudian hari. Bila salah seorang meninggal dunia, maka tidak ada masalah tentang pembagian harta bersama karena harta masing-masing telah terpisah sejak semula. Kelemahannya jika isteri tidak mempunyai penghasilan sendiri maka isteri tidak mempunyai harta, dan jika suami meninggal dunia, isteri hanya mendapat pembagian harta warisan dari harta peninggalan suami. Demikian juga jika terjadi perceraian, masalah yang berhubungan dengan harta yang menjadi masalah adalah apakah isteri berhak menerima nafkah selama dalam masa iddah. Berbeda dengan masyarakat Islam yang adatnya tidak mengenal pemisahan harta suami dengan harta isteri dalam rumah tangga. Dalam masyarakat yang adatnya seperti ini, setelah terjadi perkawinan otomatis harta yang dihasilkan baik dari suami ataupun dari isteri menjadi satu dan biasa dikenal dengan nama harta bersama. Dalam rumah tangga seperti ini, rasa kebersamaan lebih terasa dan menganggap akad nikah mengandung persetujuan kongsi dalam membina kehidupan rumah tangga. 109 Dalam kehidupan rumah tangga seperti ini, tanpa mengecilkan arti suami sebagai
seorang
kepala
rumah
tangga,
masalah
perbelanjaan
juga
tidak
dipermasalahkan siapa yang harus mengeluarkan dana untuk memenuhi kebutuhan. 109
Ibid, hal.128
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
91
Jika salah satu meninggal dunia, maka masalah pertama yang harus diselesaikan dalam harta warisan adalah penyelesaian pembagian harta bersama. Setelah itu baru yang lain seperti wasiat, utang dan ongkos pemakamannya. Demikian pula jika terjadi perceraian, maka muncullah persoalan pembagian harta bersama. Seperti yang terjadi di negara Indonesia dan telah dituangkan dalam Pasal 35 ayat 1 UUP No. 1 Tahun 1974. Dalam masyarakat Islam Indonesia, sengketa pembagian harta bersama biasa terjadi seperti kasus yang sedang dibahas. Penulis akan menganalisa kasus ini dengan kacamata Fiqh dan Perundang-undangan di Indonesia. Kasus Putusan Nomor: 654/Pdt. G/2004/PA.Mdn. bahwa persoalan yang disengketakan antara pihak Penggugat dan pihak Tergugat adalah tentang pembagian harta bersama yang belum dibagi serta adanya harta bawaan yang masih dikuasai oleh Tergugat. Dalam putusan ini, masingmasing Penggugat dan Tergugat telah mengemukakan alasannya di depan Majelis Hakim. Dari pihak Penggugat untuk memperkuat gugatannya tentang harta bersama dan harta bawaan yang masih dikuasai oleh Tergugat telah mengajukan bukti-bukti, diantaranya kesaksian dari saksi-saksi baik Penggugat maupun Tergugat dan telah memberikan kesaksiannya di bawah sumpah. Dalam kasus No: 548/Pdt. G/2005/PA. Mdn, masing-masimg dari Penggugat dan Tergugat telah mengemukakan alasannya di muka Majelis Hakim. Dari pihak Penggugat untuk memperkuat gugatannya tentang harta bersama yang belum dibagi serta harta bawaan dari Penggugat yang masih dihaki oleh Tergugat. Penggugat telah Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
92
mengajukan bukti-bukti, diantaranya kesaksian satu orang saksi yang tidak bersumpah yaitu ayah dari Penggugat, serta tiga orang saksi yang memberikan kesaksian di bawah sumpah yaitu saksi 2, 3 dan 4. Dari keterangan saksi 1 dan 2 menerangkan adanya barang-barang bawaan dari Penggugat. Hal ini meneguhkan dalil-dalil dari Penggugat. Tampilnya orang tua Penggugat sebagai saksi meskipun tanpa bersumpah yang menguntungkan Penggugat menunjukkan adanya pengakuan Majelis Hakim terhadap kesaksian saksi tersebut. Hal seperti ini mendapat perhatian serius dalam kajian hukum acara peradilan Agama, karena objektivitas keputusan hakim dalam sebuah perkara banyak bergantung kepada keakuratan keterangan saksi. Dari dua kasus di Pengadilan Agama Medan tersebut, sesuai dengan kewenangannya, perkara perceraian yang diikuti dengan sengketa pembagian harta bersama, sebagian besar diterima dan dikabulkan oleh Majlis Hakim yang menerima, memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Seperti dalam putusan No: 654/Pdt. G/2004/PA.Mdn, bahwa yang menjadi sengketa dalam perkara ini adalah pembagian harta bersama suami isteri sebagaimana ditentukan dalam Pasal 88 KHI, maka Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa eksepsi Tergugat termasuk dalam wilayah pembuktian dan masih menjadi wewenang PA. Medan, sehingga eksepsi Tergugat tidak beralasan dan harus dinyatakan ditolak. Dalil bantahan seperti itu, termasuk dalam ruang lingkup “upaya pembuktian”. Penyelesaiannya sepenuhnya tetap menjadi kewenangan Pengadilan Agama, dan penyelesaian pemeriksaannya terbuka pada saat pemeriksaan tahap Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
93
pembuktian. Apabila Penggugat dapat membuktikan bahwa benar harta yang digugat adalah harta bersama, gugatan dapat dikabulkan. Sebaliknya, apabila Tergugat dapat membuktikan bahwa harta yang digugat seluruhnya atau sebagian adalah benar-benar milik pihak ketiga atau milik pribadi Tergugat sendiri, terhadap barang tersebut gugatan dinyatakan ditolak. Dalam kasus di atas harta atau barang-barang bawaan dari Penggugat yang masih dikuasai oleh Tergugat sebagian telah dijual oleh Tergugat. Untuk membuktikan kebenarannya Hakim melakukan pemeriksaan di tempat (descente) yaitu pemeriksaan mengenai perkara, oleh Hakim karena jabatannya, yang di lakukan di luar gedung atau tempat kedudukan Pengadilan, agar Hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa. Dalam kaitannya dengan harta bersama yang disengketakan dalam kasuskasus di depan, kecermatan dalam memahami dan membedakan antara harta bersama dan harta bawaan sangat diperlukan. Maka sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Dari bunyi pasal tersebut, menurut pendapat Penulis dalam menetapkan suatu keputusan terutama mengenai sengketa harta bersama akibat terjadinya perceraian, sudah sepantasnya hakim memberikan pertimbangan hukum, baik hukum agama, hukum adat, ataupun hukum lainnya yang sesuai dengan kondisi masyarakat yang sedang menghadapi masalah. Dalam hal ini sesuai dengan awal dikenalnya harta Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
94
bersama itu disebabkan adanya adat atau kebiasaan atau dalam istilah Ushul Fiqh biasa di kenal dengan urf. Dari analisis tersebut putusan Pengadilan Agama tentang penyelesaian harta bersama, perlunya pemahaman dari para pencari keadilan apa-apa yang harus diajukan dan dicantumkan dalam suatu surat gugat yang berkaitan dengan penyelesaian harta bersama, supaya gugatannya tidak menjadi hampa (ilusior) karena haknya yang telah ditetapkan dalam putusan tidak bisa diperolehnya. Pejabat kepaniteraan Pengadilan dapat memberikan petunjuk tentang hal tersebut sehingga penyelesaian perkara tidak terhalang sesuai dengan ketentuan Pasal 119 HIR dan Pasal 143 RBg. Begitu juga hakim perlu memberikan pertimbangan dan amar putusan yang lengkap sehingga putusan itu betul-betul untuk menyelesaikan suatu perkara/sengketa.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
95
BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN PUTUSAN TERHADAP PENYELESAIAN HARTA BERSAMA A. Pertimbangan Putusan Hakim Dalam Menyelesaikan Sengketa Harta Bersama Setiap putusan hakim memiliki kekuatan hukum yang harus ditaati oleh semua pihak karena selain putusan itu memenuhi aspek formal yang disebut prosedural justice juga didasarkan pada prinsip utama yaitu aturan-aturan atau norma-norma yang ada dan benar-benar mengikuti prinsip hukum yang dikenal sebagai lewgal justice(putusan hgakim harus merupakan putusan yang memenuhi ketentuan formalitas dan mempunyai persyaratan legitimasi. 110 Pedoman bagi seorang hakim dalam mengambil sebuah keputusan pada sebuah perkara pidana maupun perdata ternyata berdasarkan pada
legal justice
dengan menempatkan hukum sebagai hukum (law is law). Prinsip filosofis ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) yang menggariskan , “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Masyarakat dibingungkan dengan adanya putusan hakim yang saling berbeda dengan putusan hakim di tingkat pertama dengan putusan hakim di tingkat banding dan kasasi untuk suatu perkara yang sama dan yang sama-sama didasarkan pada legal justice dengan prosedural justice yang 110
Gayus Lumbun, Menerobos Goa Hantu Peradilan Indonesia (Jakarta : Business Informatin Service, 2004), hal.132 Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 95 USU Repository © 2008
96
mempunyai aspek legitimasi. Melihat kepada putusan-putusan yang sangat berbeda padahal didasarkan pada pertimbangan hukum atas peristiwa yang sama melalui prosedural justice yang sama pula menimbulkan penilaian bahwa aspek moralitas yang menggambarkan nilai-nilai keadilan dengan didasarkan pada kebijaksanaan dan kearifan hakim dalam mengambil putusan sebagai aparat negara dalam melaksanakan tugasnya masih tidak sama. Dalam konteks penegakan hukum dan keadilan, peran hakim perlu mendapat perhatian yang lebih luas untuk mendapatkan kualitas putusan yang menggambarkan nilai-nilai moral yang tinggi di samping putusan-putusannya berdasarkan ketentuan norma dan prinsip hukum yang dapat menimbulkan rasa keadilan masyarakat dengan mengingat hukum adalah nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. 111 Dengan demikian maka moralitas dalam sebuah putusan hakim merupakan dasar yang penting untuk menempatkan putusan itu sebagai sebuah kowibawaan hukum di tengah-tengah masyarakat, sehingga peran dan kedudukan hakim dapat berada di tempat yang layak, karena hukum adalah apa yang dilakukan hakim di pengadilan yang dapat dilihat dari putusan hakim tersebut. Hukum berfunsi sebagai perlindungan kepentingan manusia agar kepentingan manusia itu terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat juga terjadi karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadi kenyataan. 111
Ibid, hal.133.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
97
Dalam menegakan hukum harus ada tiga unsur yang selalu diperhatikan, yaitu kepastian hukum (rechtsicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechttigkeit). Hukum harus dilaksanakan dan ditegakan setiap orang mengharapkan dapat ditetapkan dalam hal terjadinya peristiwa konkrit dengan harapan untuk mendapatkan kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. 112 Dapat dikatakan pertimbangan hukum merupakan jiwa intisari putusan. Pertimbangan berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari hakim yang memeriksa perkara. Dalam pertimbangan dikemukakan analisis yang jelas berdasarkan Undang-Undang pembuktian : 1. Apakah alat bukti yang diajukan penggugat dan tergugat memenuhi syarat formil dan materil. 2. Alat bukti pihak mana yang mencapai batas minimal pembuktian 3. Dalil gugatan apa saja dan dalil bantahan apa saja yang terbukti 4. Sejauhmana nilai kekuatan pembuktian yang dimiliki para pihak. 113 Selanjutnya diikuti analisis, hukum apa yang diterapkan menyelesaikan perkara tersebut. Bertitik tolak dari analisis itu pertimbangan melakukan argumentasi yang objektif dan rasional, pihak mana yang mampu membuktikan dalil gugat atau dalil bantahan sesuai dengan ketentuan hukum yang diterapkan. 112
Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 1993), hal.2. 113 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta : PT. Sinar Grafika, 2005), hal.809. Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
98
Dari hasil argumentasi itulah hakim menjelaskan pendapatnya apa saja yang terbukti dan yang tidak terbukti, dirumuskan menjadi kesimpulan hukum sebagai dasar landasan penyelesaian perkara yang akan dituangkan dalam diktum putusan. B. Putusan Hakim Terhadap Perkara Harta Bersama Di Pengadilan Agama Klas I A Medan Sebagaimana diuraikan sebelumnya penerapan hukum terhadap harta bersama berdasarkan nash-nash Al-Qur’an, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI serta Kompilasi Hukum Islam. Dengan pelaksanaan pasal-pasal khusus mengatur harta bersama di atas penyelesaian kasus harta bersama dapat diselesaikan. Untuk melihat penyelesaian perkara harta bersama yang ada jika terjadi pemutusan hubungan perkawinan karena perceraian, penelitian dilakukan terhadap beberapa putusan Pengadilan Agama Klas I A Medan yang dijadikan sampel penelitian. Di samping itu dilakukan pula wawancara dengan sejumlah informan di Pengadilan Agama Klas I A Medan yaitu hakim. Bedasarkan wawancara penulis dengan salah seorang hakim M. Kholil Pulungan mengatakan bahwa dalam menyelesaikan kasus harta bersama para hakim di Pengadilan Agama ini merujuk pada nash-nash Al-Qur’an, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI serta Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum terapan dan hukum positif di Pengadilan Agama. 114 114
Wawancara, M. Kholil Pulungan, Hakim Pengadilan Agama Klas I A Medan Pada Tanggal 2 April 2009 Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
99
Untuk melihat lebih lanjut tentang penyelesaian perkara harta bersama, maka berikut ini ada contoh putusan Pengadilan Agama Klas I A Medan sebagai berikut : 1. Putusan Nomor 654/Pdt.G/2004/PA.Mdn dan diputus pada tanggal 29 Agustus 2000 antara H. Lahuddin Siregar Bin Parmuhunan Siregar melawan Nurmaliati Hutasuhut Binti Bgd. Oloan Hutasuhut Duduk perkaranya adalah bahwa antara pemohon (H. Lahuddin Siregar Bin Parmuhunan Siregar) tinggal di Jalan Gurila No. 12 Kelurahan Sei Kera Hilir I Kecamatan Medan Perjuangan, Kota Medan mengajukan gugatan cerai serta gugatan harta bersama ke Pengadilan Agama Klas I A Medan terhadap kepada Termohoin (Nurmaliati Hutasuhut Binti Bgd. Oloan Hutasuhut). Dalam posita gugatannya, antara pemohon dengan termohon adalah suamio isteri yang sah sesuai dengan kutipan akta tanggal 28 Juni 2004 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan. Selama masa perkawinan antara Pemohon dan Termohon telah dikaruniai anak tiga orang. Setelah menikah Pemohon dan Termohon hidup rukun damai dalam rumah, akan tetapi sejak tahun 1999 antara Pemohon dan Termohon mulai terjadi perselisihan dan pertengkaran. Puncak pertengkaran terjadi sekitar biulan Februari 2004 dimana saat itu terjadi pertengkaran antara Pemohon dan Termohon sehingga saat itu Pemohon menjatuhkantalak terhadap Termohon dengan disaksikan oleh pihak keluarga Termohon dan sejak saat itu antara Pemohon dan Termohon telah pisah ranjang dan tidak pernah bersatu lagi.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
100
Pemohon berpendapat kerukunan di dalam rumah tangga antara Pemohon dan Termohon sudah tidak dapat dibina dengan baik, apalagi untuk mencapai rumah tangga yang bahagia, sakinah, mawaddah dan rahmah sudah tidak dapat diwujudkan lagi, oleh karenanya sesuai dengan ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, Pemohon mengajukan permohonan agar kepada Pemohon dapat diberi izin untuk mengucapkan talak satu raj’i atas diri Termohon di depan sidang Pengadilan Agama Medan. Selama perkawinan antara Pemohon dan Termohon telahdiperoleh harta yang berupa : 1. Sebidang tanah berukuran 13,5 x 28 me dan berikut bangunan di atasnya yaitu sebuah rumah yang setempat dikenal dengan di Jalan Gurila No. 12 Kelurahan Sei Kera Hilir I Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan. 2. Sebidang tanah berukuran 9 x 17,5 m dan berikut bangungan di atasnya yaitu sebuah rumah yang setempat dikenal dengan di Jalan Gurila Gg. Sipirok No. 3 Kelurahan Sei Kera Hilir I Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan. 3. Sebidang tanah berukuran 8 x 11 m dan berikut bangungan di atasnya yaitu sebuah rumah yang setempat dikenal dengan di Jalan Gurila Gg. Karto No. 2A Kelurahan Sei Kera Hilir I Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan. 4. 1 unit mobil mini bus merek Toyota Kijang tahun 1992 warna biru dengan Nomor Polisi BK 517 EN 5. 1 buah sepeda motor merek Suzuki Shogun tahun 1998 warna hitam dengan Nomor Polisi BK 3267 FC Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
101
2. Perhiasan emas london yang terdiri dari berbagai bentuk seberat 700 gram 3. 1 set kursi tamu terbuat dari kayu dengan ukiran Jepara berwarna merah muda 4. 1 set kursi tamu terbuat dari kayu dengan ukiran Jepara berwarna merah tua 5. 1 set sofa terbuat dari kain berwarna hijau 6. 1 buah TV warna ukuran 21 merek Toshiba 7. 1 buah stelling untuk jualan emas lengkap dengan timbangan emas dan perkakas emas. 8. 1 unit kulkas 1 pintu. Seluruh harta tersebut di dapat selama masa perkawinan antara Pemohon dan Termohon dan terhadap harta yang ada Pemohon pernah meminta untuk dibagi 2 (dua) karena Pemohon menganggap rumah tangga Pemohon dan Termohon tidak mungkinlagi dipertahankan akan tetapi Termohon tidak bersedia. Seluruh harta yang Pemohon sebutkan di atas saat ini seluruhnya ada dalam penguasaan Termohon. Untuk menghindari adanya upaya pemindahan hak dan pengalihan terhadap harta-harta bersama antarra Pemohon dan Termohon dan untuk menghindari terjadinya gugatan hampa maka Pemohon memohon agar diletakan sita jaminan terhadap harta dimaksud. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, Pemohon memohon kepada Ketua Pengadilan Agama Medan cq Majelis Hakim bekenan menentukan hari persidangan perkara ini seterusnya memanggil Pemohon dan Termohon untuk diperiksa dan diadili kemudian menjatuhkan putusan dan menetapkan harta menjadi
objek
sengketa ditetapkan sebagai harta bersama antara Pemohon dan Termohon dan Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
102
menentukan pembagiannya seperdua untuk bagian Pemohon dan seperdua lagi untuk Termohon. Pengadilan Agama Medan setelah melakukan pemeriksaan dan persidangan melalui tahap-tahap pemeriksaan sesuai dengan ketentuan hukum acara, maka pada tahap akihir menjatuhkan putusan yaitu mengabulkan permohonan Pemohon dan memberi izin kepada pemohon (H. Lahuddin Siregar Bin Permuhunan Siregar) untuk mengucapkan talak satu raj’i atas diri Termohon (Nurmaliati Hutasuhut Binti BGD. Oloan Hutasuhut) serta menghukum Pemohon untuk membayar semua biaya pekara yang hingga saat ini dihitung sebesar Rp. 192.000. Dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Medan adalah permohonan pemohon dipandang telah cukup beralasan dan telah memenuhi ketentuan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu menunjuk kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (2), permohonan Pemohon sudah sepatutnya dikabulkan dengan memberi izin kepada Pemohon untuk mengucapkan talak satu raj’i atas diri Termohon dihadapan sidang Pengadilan Agama Medan. Oleh karena gugatan tentang harta bersama dan permohonan sita jaminan telah dicabut oleh Pemohon, maka gugatan a quo tidak perlu dipertimbangkan lagi. 2. Putusan Pengadilan Agama Medan dengan Register No.548/Pdt.G/2005/PA.Mdn antara Atika Sartika Binti S. Suhendi (Penggugat) dengan Mahdan Rambe Bin P. Rambe (Tergugat) Duduk perkaranya adalah bahwa Penggugat dan Tergugat merupakan suami isteri yang sah dan telah menikah di Luragung Jawa Barat hal ini sesuai dengan buku Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
103
nikah yang dikeluarkanoleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Luragung Kabupaten Kuningan Jawa Barat tanggal 18 Juni 1970 Nomor 178/1970. Pada mulanya perkawinan dan kehidupan antara Penggugat dan Tergugat berjalan dengan rukun dan damai, layaknya kehidupan rumah tangga yang sakinah, akan tetapi setelah beberapa tahun menjalani kehidupan rumah tangga tersebut, mulai terjadi riak-riak dalam rumah tangga dan mengarah kepada pertengkaran sehingga kehidupan rumah tangga menjadi tidak harmonis. Untuk menyelamatkan kehidupan rumah tangga tersebut, maka Penggugat mencari penyelesaian melalui musyawarah keluarga kedua belah pihak, dan pihak keluarga telah berupaya untuk mendamaikan kehidupan rumah tangga Penggugat dan Tergugat, akan tetapi tidak membawa hasil sama sekali, dimana antara Penggugat dan Tergugat tetap terjadi perselisihan dan pertengkaran. Berdasarkan posita gugatannya, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun1975 maupun ketentuan Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, maka Penggugat mengajukan gugatan perceraian kepada Tergugat dengan jatuhnya talak satu ba’in sughra Tergugat atas diri Penggugat. Selama menjalani kehidupan rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat ada memiliki/mendapati harta pencaharian bersama berupa sebidang tanah seluas 10.935 M2 beserta bangunan. Terhadap harta bersama (gono-gini) tersebut di atas berdasarkan ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka harta tersebut di atas adalah Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
104
merupakan harta pencaharian
bersama dan secara hukum Islam Penggugat
mempunyai hak ½ (setengah) bagian dan ½ (setengah) bagian lagi menjadi hak/kepunyaan Tergugat. Terhadap harta tersebut Penggugat memohon kepada Pengadilan Agama Klas I A Medan untuk menyatakan harta tersebut adalah harta bersama Penggugat dan Tergugat dan apabila perkara ini telah berkekuatan hukum tetap, maka dihukum kepada Tergugat untuk segera membagi dan sekaligus menyerahkan sebahagian dari harta-harta tersebut kepada Penggugat. Berdasarkan gugatan yang diajukan Penggugat, maka Majelis Hakim Pengadilan Agama Klas I A Medan menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut : 1. Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya 2. Menjatuhkan talak satu ba’in suugrho Tergugat terhadap Penggugat 3. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Medan untuk mengirimkan salinan putusan ini yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Luragung Kabupaten Kuningan dan Kantor Urusan Agama Kecamatan Medan Johor, Kota Medan untuk dicatatkan perceraian Penggugat dan Tergugat. 4. Menetapkan harta bersama Penggugat dan Tergugat berupa sebidang tanah seluas 10.935 M2 beserta bangunan yang terletak di atasnya.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
105
5. Menetapkan bahagian masing-masing Penggugat dan Tergugat ½ (seperdua) dari harta bersama seperti tersebut dalam diktum angka 4 di atas. 6. Menghukum Penggugat dan Tergugat untuk membagi dua harta bersama seperti tersebut dalam diktum angka 4 di atas, apabila tidak dapat dilaksanakan secara natura, maka dilakukan melalui lelang. 7. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan (conservatoir beslag) yang diletakan terhadap harta bersama Penggugat dan Tergugat sesuai dengan berita acara sita jaminan (conservatoir beslag) No. 548/Pdt.G/PA. Mdn tanggal2 Agustus 2005. 8. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara hingga saat ini sebesar Rp.2.692.000,Dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Klas I A Medan menilai bahwa dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat telah terjadi rumah tangga yang pecah (marriage Break Don) yang sulit untuk dirukunkan lagi oleh sebab itu alasan Penggugat untuk bercerai dengan Tergugat telah sesuai dengan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 jo. Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam. Pertimbangan hakim Pengadilan Agama Klas I A Medan lainnya bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, bahwa apabila perkawinan putus karena perceaian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, sedangkan janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama, dengan demikian ½
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
106
(seperdua) dari harta bersama tersebut menjadi milik Penggugat, dan ½ (seperdua) lagi menjadi milik Tergugat. 3. Putusan Pengadilan Agama Medan dengan Register No. 60/Pdt.G/2006/PA.Mdn antara Hj. Ischairinia Lubis Binti H. Ismail Lubis dengan Ir. Amir Hud Lubis Bin Syahmenan Yusuf Lubis Duduk perkara dalam kasus ini adalah Penggugat dan Tergugat berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Medan No. 819/Pdt.G/2004/PA.Mdn tanggal 17 Januari 2005 yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap telah terjadi perceraian antara Penggugat dan Tergugat. Selama perkawinan antara Penggugat dan Tergugat telah memperoleh harta bersama berupa sebidang tanah dan bangunan di atasnya. Oleh karena tanah dan bangunan di atas adalah sebagai harta bersama Penggugat dan Tergugat, maka sepatutnya menurut hukum bila terjadi perceraian, harta bersama tersebut di atas dibagi dua yaitu ½ (seperdua) bagian untuk Penggugat dan ½ (seperdua) bagian untuk tergugat. Bahwa tedapat tanda-tanda itikad dari Tergugat yang berindikasi akan menguasai tanah dan bangunan tersebut dengan berbagai cara seperti ingin melakukan transaksi hukum kepada pihak ketiga, seperti tindakan ingin menyewakan objek gugatan tersebut kepada pihak ketiga sehingga akan merugikan penggugat sehingga berdasarkan indikasi di atas cukup beralasan Pengadilan Agama Medan bekenan meletakan sita jaminan atas objek gugatan di atas. Berdasarkan gugatan yang diajukan penggugat, maka hakim Pengadilan Agama Klas I A Medan mengadili yang amar putusnnya sebagai berikut : Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
107
1. Mengabulkan gugatan penggugat 2. Menetapkan harta bersama Penggugat dan Tergugat berupa sebidang tanah dan bangunan di atas. 3. Menetapkan ½ bahagian dari harta bersama sebagaimana diktum angka 2 untuk Penggugat dan ½ lagi untuk Tergugat, apabila harta bersama tersebut tidak bisa dibagi sebagai ril maka akan dijual/lelang melalui Kantor Lelang Negara dan hasil penjualannya diserahkan ½ untuk Penggugat dan ½ lagi untuk Tegugat. 4. Menghukum Penggugat untuk membayar semua biaya yang timbul dalam perkara ini yang hingga saat ini dihitung sebesar Rp. 532.000,Pertimbangan hakim Pengadilan Agama Klas I A Medan adalah bahwa gugatan Penggugat agar harta bersama tersebut di atas dibagi antara Penggugat dan Tergugat dipandang cukup beralasan sesuai dengan ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam dan lagi pula selama perkawinan Penggugat dan Tergugat tidak ada perjanjian tentang hal tersebut, sehingga Majelis Hakim berkesimpulan patut menghukum Penggugat dan Tergugat untuk membagi dua harta bersama tersebut, dengan ketentuan ½ (seperdua) bagian untuk Penggugat dan ½ (seperdua) lagi untuk Tergugat. 4. Putusan Pengadilan Agama Medan dengan Register No. 606/Pdt.G/2007/PA.Mdn antara Trismurnita Binti Moralam Harahap dengan Erwin MBA Bin Nurdin Nolly Duduk perkaranya adalah Penggugat dan Tergugat telah membina rumah tangga tetapi tidak dapat rukun dan damai sehingga perkawinan tersebut sudah tidak dapat dipertahankan lagi sehingga penggugat mengajukan permohonan kepada Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
108
Majelis Hakim Pengadilan Agama Medan untuk menjatuhkan talak 1 (satu) nBa’in Sughra Tergugat atas diri Penggugat. Penggugat dan Tergugat selama hidup bersama dalam pernikahan, baik yang disebabkan rujuk dari perceraian selama lebih kurang 5 (lima) bulan, Penggugat dan Tergugat telah memperoleh harta bersama berupa harta benda tidak bergerak dan harta benda bergerak yaitu : 1. Sebidang tanah pertapakan beserta bangunan rumah di atasnya seluas 240 M2 2. Sebidang tanah pertapakan beserta bangunan rumah di atasnya seluas 192 M2 3. 1 (satu) unit kendaraan bermotor Mobil Merek Hyundai BK 856 ER Tahun 2005 warna hitam atas nama pemilik Tris Murnita (Penggugat) dikuasai oleh Tergugat. 4. Uang yang disimpan Tergugat yang diperoleh Tergugat dari Hak Pensiunan dipercepat sebesar Rp.1.010.487.112 (satu milyar sepuluh juta empat ratus delapan puluh tujuh ribu seratus dua belas rupiah) Pengadilan Agama Klas I A Medan setelah melakukan pemeriksaan dalam persidangan, maka mengambil putusan yang amarnya berbunyi : 1. Mengabulkan gugatan Penggugat 2. Menjatuhkan talak satu ba’in sughro Tergugat atas diri Penggugat 3. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar semua biaya perkara yang hingga saat ini dihitung sebesar Rp.146.000,Dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Klas I A Medan bahwa di depan persidangan Penggugat telah mengajukan permohonan pencabutan gugatan harta bersama dan sita jaminan sebelum gugatan penggugat dibacakan, maka Majelis Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
109
Hakim berpendapat berdasarkan ketentuan Pasal 272 Rv, permohonan pencabutan gugatan Penggugat dapat dikabulkan, sehingga sepanjang mengenai harta bersama gugatan Penggugat tidak perlu dipertimbangkan lagi
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
110
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas dapat ditarik kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diteliti dengan tujuan penelitian yaitu : 1.
Akibat hukum dari perceraian terhadap harta perkawinan adalah: Apabila terjadi perceraian antara suami istri maka harta yang diperoleh selama perkawinan dibagi dua, setengah untuk suami dan setengah untuk istri. Hal ini juga terjadi dalam prakteknya di Pengadilan Agama Medan, tanpa melihat dari suku/ masyarakat adat mana yang akan bercerai. Hal ini dikarenakan sudah adanya kesadaran yang tinggi dari semua pihak tentang adanya persamaan hak antara pria dan wanita. Bila sewaktu terjadi perkawinan sudah ada perjanjian antara suami istri tentang harta maka harta bersama pembagiannya dapat dilakukan sesuai dengan perjanjian antara pihak suami dan pihak istri.
2. Cara penyelesaian perkara pembagian Harta bersama di Pengadilan Agama Medan adalah: Apabila perceraian sudah disetujui hakim,maka antara suami istri dapat mengajukan permohonan pembagian harta bersama sesuai dengan hukum yang berlaku. Dan apabila suami istri yang bercerai tidak mau melaksanakan pembagian harta bersama, maka salah satu pihak dapat mengajukan permohonan eksekusi di Pengadilan Agama untuk memaksa pihak yang tidak mau
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 110 USU Repository © 2008
111
melaksanakan putusan yang sesuai dengan apa yang diputus oleh Pengadilan Agama. 3. Yang menjadi pertimbangan Hakim Pengadilan Agama dalam membagi harta bersama kepada istri dan suami adalah merujuk kepada Pasal 19 hurus f Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam yang isinya” Harta perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendirisendiri atau bersama- sama selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”, dan juga ketentuan Undang- undang No.1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (2) ”Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri”.
B. Saran 1. Kepada praktisi hukum agar dapat meningkatkan penyuluhan hukum terhadap masyarakat di dalam mensosialisasikan pelaksanaan hukum penyelesaian sengketa harta bersama. 2. Untuk mencegah terjadinya polemik sekitar harta bersama dalam suatu perkawinan, disarankan agar akta nikah disertai dengan ketentuan tentang harta bersama dalam perjanjian perkawinan. 3. Disarankan kepada Majelis Hakim yang memeriksa kasus mengenai harta bersama, agar membuat pertimbangan hak- hak anak dari harta bersama selama perkawinan.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
112
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Alhamidy, H.D. Ali, Islam Dan Perkawinan, Bandung: Alma; arif, 1992. Buchari, Imam, Terjemahan Zainuddin Hamidi et.al. Jilid II, Jakarta: Wijaya, 1957. Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, 1992. Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang- undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Jakarta: Tinta Mas, 1975. Hamid, Zahary, Pokok- Pokok Perkawinan Islam Di Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1987. Harahap, M. Yahya, Hukum Perkawinan Nasional, Medan: CV. Zahir Trading Co.Medan , 1975. Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia, 1986. Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Madju, 1990. ---------------, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: Alumni. 1992. Ichtijanto, Hukum Islam dan Hukum Nasional, Jakarta: IND- Hill. CO, 1990. Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Material dalam Praktek Peradilan Agama, Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2003. Moleong, J. Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003. Nasution, Johan Bahder dan Sri Warjiati, Hukum Perdata Islam Kompilasi Peradilan Agama Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shadaqah, Bandung: Mandar Maju, 2002. Prodjodikuro, R. Wirjono, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Sumur, 1984. Prodjohamidjojo, Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Karya gemilang, 2001.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court 112 Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
113
Posponoto, Soerbakti K., Asas- asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: PT. Pradya Paramita, 2003. Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung: PT. Sinar Baru, 1990. Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih, Munakahat dan Undang- undang Perkawinan, Jakarta: Prenana Media, 2006. Sosroatmodjo, Asro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Said, A. Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Penerbit Pustaka Al Husna, Cetakan Pertama, 1994. Satrio, J., Hukum Harta Perkawinan, Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 1991. Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah Terjemahan Drs. Moh. Thalib, Bandung: PT-Al Ma’Arif, 1994. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2005. Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Subekti, R, Hukum Acara Perdata, Bandung: Bina Cipta, 1980. Susilo, budi, Prosedur Gugatan Cerai, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007. Sumardjono, Maria, Pedoman pembuatan Usulan Penelitian, Yogyakarta: Gramedia, 1989. Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Shidiegy, Ash Hasbi TN., Hukum- Hukum Fiqih Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1989. Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’I, Hanafi, Maliki, Hanbali, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1995. Yafizham, T., Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Cet. 1, Medan: CV. Mustika, 1977.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008
114
B. Peraturan Perundang- undangan Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang- Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 2006 Tentang Kewenangan Pengadilan Agama Undang- Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Tentang Izan Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991, Tentang Kompilasi Hukum Islam
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan), 2009 USU Repository © 2008