RENCANA PENATAAN KAWASAN WISATA BERKELANJUTAN DI DANAU TOBA SUMATERA UTARA (Kasus: Sub DAS Naborsahon)
SITI ZULFA YUZNI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Rencana Penataan Kawasan Wisata Berkelanjutan di Danau Toba Sumatera Utara (Kasus: Sub DAS Naborsahon) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, November 2008
Siti Zulfa Yuzni A 251060041
ABSTRACT SITI ZULFA YUZNI. Sustainable Spatial/Landscape Management Plan of Lake Toba Tourism Region at North Sumatra (Case: Sub River Basin of Naborsahon). Advisors: Siti Nurisjah and Lilik Budi Prasetyo Lake Toba is the biggest lake in South East Asia, in the middle of which Samosir Island occurs, is located at 906-1800 m above sea level with mountainous landscape providing natural freshness and lake visual potential. The natural beauty of Lake Toba makes this region one of potential tourism spots, locally and internationally. Nowadays, both physical and visual scenic qualities of this region have been declining which are affected by the increasing number of visitation and mushrooming of tourism infrastuctures. The research objectives were to identify and analyze the ecological suitability and tourism resources of Lake Toba, local people and government participation in supporting tourism development, and finally to design sustainable tourism landscape management plan of Lake Toba. Research was done at Naborsahon sub river basin situated in Lake Toba Water Catchment Area and nowadays are fulfill with tourism activities and accommodation. Observation was applied toward five purposively sampled villages that represented upstream, middle and downstream regions. The research used three type of analysis which are qualitative descriptive method to classified the tourism potential area; spatial method to classified sustainability tourism areas based on ecological sensitivity, social economy opportunity for the locals, and potential tourism area; and finally Analysis Hierarchy Process was used to set, spatially, developmental priorities for deciding which area could be developed or protected. The result shows that upstream and middle areas of Naborsahon sub river basin are classified as protection zone which can only be used for strongly green type of tourism with no construction area; and downstream area as non protective which can be planned and designed as tourism zone intensively as well as extensively. Suitable tourism resource planning and management should be carried out to each of tourism development regions to gain its sustainability. Keywords: lake tourism, landscape, area management, sustainability
RINGKASAN SITI ZULFA YUZNI. Rencana Penataan Kawasan Wisata yang Berkelanjutan di Danau Toba Sumatera Utara (Kasus: Sub DAS Naborsahon). Dibimbing oleh SITI NURISJAH dan LILIK BUDI PRASETYO. Danau Toba terletak di Propinsi Sumatera Utara, Indonesia dan tercatat sebagai danau air tawar terbesar di Asia Tenggara dan salah satu danau yang terdalam di dunia (lebih dari 500 m) yang ditengahnya terdapat Pulau Samosir dan pada saat ini diusulkan sebagai World Heritage. Kondisi topografi Danau Toba berada pada ketinggian 906 - 1800 m dpl didominasi oleh perbukitan dan pegunungan, dengan kenyamanan fisik berupa temperatur udara yang sejuk dan potensi visual danau. Sumberdaya danau dan pegunungan memberikan daya tarik bagi perkembangan wisata, yaitu berupa pemanfaatan kawasan danau dan pegunungan baik secara fisik maupun visual. Keindahan alam Danau Toba menjadikan kawasan ini menjadi daerah kunjungan wisata yang sangat potensial, dan telah berkembang menjadi kawasan wisata yang populer baik dalam skala nasional maupun internasional. Pada saat ini kawasan Danau Toba telah mengalami kerusakan fisik, visual dan ekologis sehingga terus cenderung menurun kualitasnya. Bila hal tersebut tidak dicegah, dapat menurunnya kualitas fisik danau dan kualitas sumberdaya wisata sehingga berdampak terhadap jumlah kunjungan wisata dan selanjutnya akan menurunkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini merencanakan penataan kawasan wisata yang berkelanjutan, yang bertujuan untuk (1) identifikasi dan analisis potensi ekologis danau dan potensi wisata, (2) identifikasi dan analisis keikutsertaan masyarakat lokal dan pemerintah dalam mendukung pengembangan kawasan wisata, dan (3) Merencanakan penataan kawasan wisata Danau Toba yang berkelanjutan (sustainable tourism). Penelitian dilakukan di sub DAS Naborsahon yang berada di dalam Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba dan pada saat ini penuh dengan aktivitas dan akomodasi wisata. Observasi dilakukan terhadap lima desa yang mewakili daerah hulu, tengah dan hilir, yaitu desa Sipangan Bolon, Girsang, Parapat, Tigaraja dan Pardamean Ajibata. Penelitian ini memakai tiga model analisis, yaitu metode deskriptif kualitatif untuk mengklasifikasi kawasan potensi wisata, metode spasial digunakan untuk kawasan wisata berkelanjutan berdasarkan kepekaan lingkungan, sosial ekonomi masyarakat dan potensi wisata, dan yang terakhir adalah metode Analisis Hierarki Proses (AHP) digunakan untuk menentukan skala prioritas dalam pengembangan kawasan wisata secara spasial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah tengah dan hulu di sub DAS Naborsahon diklasifikasikan sebagai zona perlindungan, dan hanya dapat digunakan sebagai kawasan lindung dengan tipe kegiatan wisata yang dapat dikembangkan adalah wisata alam yang bersifat edukasi. Sedangkan daerah hilir sebagai zona tidak lindung dan dapat direncanakan dan dirancang sebagai zona wisata secara intensif dan ekstensif. Masyarakat daerah hulu kurang antusias untuk pengembangan daerahnya sebagai kawasan wisata karena kehidupan mereka umumnya bertumpu pada bidang pertanian, sedangkan masyarakat hilir sangat menerima pengembangan dan penataan kawasan wisata karena sudah
berkembang sejak dahulu sebagai daerah wisata dan masyarakat sangat tergantung pada kegiatan tersebut untuk menambah pendapatan. Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya wisata yang sesuai sebaiknya dilakukan terhadap wilayah pengembangan wisata untuk mencapai wisata berkelanjutan. Arahan program pengembangan menggunakan pendekatan prinsip edukasi pada pengunjung dan masyarakat, program peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelestarian alam dan budaya setempat. Tahap selanjutnya berupa rencana pengembangan green infrastructure pendukung wisata untuk memenuhi tingkat kepuasan pengunjung di kawasan wisata tersebut. Rencana pengembangan green infrastructure berupa pembangunan fasilitas yang berwawasan lingkungan.
Kata kunci: wisata danau, lanskap, penataan kawasan, berkelanjutan
Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
RENCANA PENATAAN KAWASAN WISATA BERKELANJUTAN DI DANAU TOBA SUMATERA UTARA (Kasus: Sub DAS Naborsahon)
SITI ZULFA YUZNI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Arsitektur Lanskap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Afra DN. Makalew, M.Sc
Judul Tesis
Nama NIM
: Rencana Penataan Kawasan Wisata Berkelanjutan di Danau Toba Sumatera Utara (Kasus: Sub DAS Naborsahon) : Siti Zulfa Yuzni : A251060041
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA. Ketua
Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nizar Nasrullah, MAgr.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 3 November 2008
Tanggal Lulus :
PRAKATA Alhamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2008 ini adalah perencanaan wisata, dengan judul ’Rencana Penataan Kawasan Wisata Berkelanjutan di Danau Toba Sumatera Utara (Kasus: Sub DAS Naborsahon)’ Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA dan Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc selaku pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Afra DN. Makalew, MSc selaku penguji tesis yang telah banyak memberi saran, Bapak Dr. Ir. Nizar Nasrullah,M.Agr selaku ketua program studi Arsitektur Lanskap, staf dosen arsitektur lanskap atas ilmu, bimbingan dan arahannya, dan Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI) Departemen Pendidikan Nasional atas bantuan beasiswa program pascasarjana (BPPS) selama studi S2, serta Yayasan Dana Mandiri yang telah memberi dana bantuan penelitian. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu dari BPDAS AsahanBarumun, BAPEDALDA Propinsi Sumatera Utara, BAPPEDA Kab. Simalungun, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Daerah Sumatera Utara. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah dan Ibu, abang dan kakak, serta rekan-rekan yang telah membantu baik moril maupun materiil dari awal studi hingga terselesaikannya tesis ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, November 2008 Siti Zulfa Yuzni
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Gunung Bayu pada tanggal 3 Pebruari 1970 dari ayah alm M. Yuzad dan ibu almh Hj. Nuraini Nasution. Penulis merupakan putri ketujuh dari tujuh bersaudara. Tahun 1989 penulis menyelesaikan sekolah di SMA Negeri I Perdagangan dan melanjutkan studi ke Universitas Medan Area, Fakultas Teknik, Jurusan Arsitektur. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Strata-1 pada tahun 1995, dan pada tahun 2006 penulis memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikan Strata-2 di Sekolah Pascasarjana IPB dengan program studi Arsitektur Lanskap atas bantuan beasiswa program pascasarjana (BPPS) dari Dikti. Penulis bekerja sebagai pengajar pada Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Medan Area di Medan sejak tahun 1996. Disamping itu, penulis juga bekerja sebagai konsultan arsitektur sejak tahun 1997 sampai tahun 2005.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak potensi wisata yang unik, beragam dan tersebar di berbagai daerah. Potensi wisata tersebut banyak yang belum dimanfaatkan sedangkan obyek yang sudah dikembangkan juga belum optimal dan banyak yang rusak secara fisik, visual dan ekologisnya sehingga tidak berfungsi dengan baik. Inilah yang menjadi tantangan sekaligus peluang untuk meningkatkan nilai manfaat sumberdaya wisata bagi daerah yang berupaya memacu perkembangan pariwisata dan redistribusi bagi masyarakatnya, karena potensi daya tarik wisata merupakan salah satu yang terpenting di dalam industri pariwisata. Sektor pariwisata menunjukkan perkembangan dan kontribusi ekonomi yang cukup menarik sebagai sumber pendapatan negara. Pariwisata merupakan industri dengan pertumbuhan tercepat di dunia (WTO 2000), melibatkan 657 juta kunjungan wisata ditahun 1999 dengan penerimaan $455 milyar seluruh dunia. Tahun 2010 jumlah kunjungan antar negara ini diperkirakan akan meningkat mencapai 937 juta orang. Berdasarkan data pariwisata, perkembangan jumlah kunjungan wisatawan di Indonesia sejak lima tahun terakhir mengalami fluktuasi. Pada tahun 2001 jumlah wisatawan sebanyak 5.153.260 orang dan menurun sampai tahun 2003 menjadi 4.467.020 orang. Pada tahun 2004 meningkat menjadi 5.321.160 orang dan turun kembali menjadi 5.006.790 orang pada tahun 2005. Penurunan jumlah wisatawan karena adanya berbagai peristiwa yang berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan wisata, yaitu mulai dari peristiwa kecelakaan pesawat, bom Bali, kabut asap sampai peristiwa tsunami dan yang terakhir adanya isu akan terjadi letusan besar di Danau Toba. Salah satu sumberdaya wisata yang sangat potensial adalah wisata berbasis pada sumberdaya alam termasuk danau yang mempunyai kekayaan dan keragaman yang tinggi dalam berbagai bentukan alam serta adat dan budaya lokal yang menyertainya. Sumberdaya alam dan lingkungan sekitarnya dengan berbagai keragaman yang tinggi mempunyai nilai atraktif dan turistik yang berpotensi untuk dikelola dan dikembangkan bagi kesejahteraan manusia.
Wisata mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan relatif cepat dengan meningkatan pendapatan, meningkatkan standar hidup dan menstimulasi sektor-sektor produktivitas lainnya (Nurisyah et al. 2003). Kegiatan wisata juga mampu memberikan sumbangan pendapatan kepada pemerintah daerah melalui pajak dan retribusi. Selain itu, pariwisata dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan menjadi sumber pendapatan bagi penduduk lokal dan menarik investor dari luar daerah ini (Rosyidie 2000). Selain dampak positif, wisata juga dapat berdampak negatif bagi kawasan. Kurangnya perencanaan dalam mengelola kawasan wisata menyebabkan berbagai dampak yang sangat merugikan. Umumnya dampak tersebut mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan yang selanjutnya diikuti dengan berubahnya budaya masyarakat setempat (Inskeep 1991). Penurunan kualitas lingkungan dan budaya akan memacu berkurangnya permintaan pasar terhadap wisata di kawasan tersebut, selanjutnya memberikan kerugian ekonomi bagi kawasan tersebut. Kawasan Danau Toba di Provinsi Sumatera Utara telah berkembang menjadi kawasan wisata yang populer baik dalam skala nasional maupun internasional. Pada saat ini Danau Toba merupakan destinasi pariwisata unggulan (DPU) (istilah DTW kini diganti menjadi DPU) memiliki keindahan visual dan kegiatan rekreasi berbasis air, telah mengalami kerusakan fisik, visual dan ekologis sehingga terus cenderung menurun kualitasnya. Hal ini disebabkan karena banyaknya lahan gundul disekeliling danau, tidak teraturnya pembangunan fisik (seperti hotel, restauran, dan lain-lain) yang telah melalui batas tepi danau dan masuknya sampah dan limbah ke dalam danau yang mengakibatkan penurunan kualitas air. Sampah
dan
limbah
yang
masuk
ke
danau
berasal
dari
limbah
domestik/perhotelan, limbah pertanian, limbah budidaya perikanan (jaring apung) dan limbah minyak yang berasal dari aktivitas transportasi air. Kondisi ini mengakibatkan beban ekosistem Danau Toba akan semakin berat dan pada akhirnya akan merugikan semua pihak yang berkepentingan (Barus 2007). Kawasan Danau Toba berada di kawasan pegunungan dengan kenyamanan fisik berupa temperatur udara yang sejuk dan potensi visual merupakan daya tarik kawasan wisata tersebut. Daya tarik yang ada mengakibatkan berkembang dengan
pesat aktivitas wisata pada kawasan tersebut sejak dahulu, yaitu dengan pemanfaatan kawasan pegunungan baik secara fisik maupun visual. Kawasan wisata yang secara ekologis sebagian besar berada di bagian hilir sub DAS Naborsahon saat ini menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan fungsi pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam. Bila hal tersebut tidak dicegah maka kerusakan lebih lanjut dari sumberdaya danau ini adalah, dapat mengakibatkan menurunnya kualitas fisik danau dan kualitas sumberdaya wisata sehingga akan berdampak terhadap jumlah kunjungan wisata. Dampak selanjutnya akan menurunkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat yang saat ini sebagian besar hidup dari kegiatan wisata ini. Kondisi ekosistem Danau Toba (tanah, air, vegetasi dan manusia) tak lepas dari pengaruh kondisi 19 sungai yang mengalir masuk ke dalam Danau Toba (LTEMP 2004). Dari hasil pra-survei di lapangan diperoleh bahwa daerah aliran sungai (DAS) telah mengalami perubahan, yaitu banyak sungai yang tidak berfungsi lagi dengan baik dan kondisinya sangat kritis. Kegiatan pembangunan pada sektor pertanian, kehutanan, perikanan, pariwisata dan industri di daerah tangkapan air Danau Toba telah mengakibatkan perubahan penggunaan lahan yang selanjutnya juga menimbulkan dampak negatif terhadap fungsi ekologis, ekonomi, dan estetika kawasan Danau Toba. Pengembangan wisata yang berwawasan lingkungan di kawasan Danau Toba
merupakan
salah
bentuk
pendekatan
yang
dikembangkan
untuk
mewujudkan kawasan Danau Toba yang berkelanjutan. Pengembangan kawasan wisata harus selalu melindungi sumberdaya yang ada karena penting sekali bagi keberhasilan wisata yang harus memperlihatkan kualitas asli atau lokal dari suatu tempat.
Menurut
Gunn
(1994),
pengembangan
daerah
wisata
harus
memperhatikan semua sumber daya alam dan budaya serta lingkungan agar tidak terjadi degradasi. Melalui rencana penataan ini diharapkan kawasan Danau Toba yang memiliki potensi wisata yang tinggi akan dapat dilestarikan. 1.2. Perumusan Masalah Danau Toba saat ini menghadapi keseimbangan air yang kritis untuk menyokong ekosistemnya. Selama musim hujan, arus air ke Danau Toba meningkat, sementara dimusim kemarau arus tersebut menurun sampai dengan
batas awas. Masalah ini muncul terutama karena aktivitas sosial dan ekonomi yang dilakukan masyarakat tanpa memperhatikan prinsip-prinsip ramah lingkungan dan kelestarian, yang berarti dapat mengancam ekosistem dan keindahan visual danau dan berakibat buruk terhadap keberadaannya sebagai destinasi pariwisata unggulan (DPU) di Indonesia. Sampai dengan saat ini, dalam pengembangan potensi wisata tersebut terdapat beberapa permasalahan dasar: 1. Kawasan danau merupakan ekosistem yang rentan terhadap pembangunan, yang dapat menurunkan kualitas lingkungan dan kualitas visual danau. 2. Masyarakat dan Pemda secara berlebihan mengekploitasi sumber daya danau untuk tujuan bisnis dan ekonomi. 3. Pada saat ini penataan kawasan wisata belum berbasis pembangunan yang berkelanjutan. 1.3. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian untuk merencanakan penataan kawasan wisata berkelanjutan, yaitu suatu kawasan wisata yang sesuai dengan daya dukung, sumber daya alam dan lingkungan, kepuasan wisatawan dan memberikan dampak ekonomi dan sosial yang positif bagi masyarakat lokal. Tujuan khusus penelitian adalah: 1. Mengidentifikasi dan menganalisis potensi ekologis sumberdaya danau 2. Mengidentifikasi dan menganalisis potensi obyek dan atraksi wisata 3. Mengidentifikasi dan menganalisis keikutsertaan masyarakat lokal dan pemerintah dalam mendukung pengembangan kawasan wisata. 4. Merencanakan penataan kawasan wisata Danau Toba yang berkelanjutan (sustainable tourism). 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memiliki nilai manfaat sebagai berikut: 1. Menjadi masukan dan pertimbangan bagi Pemda Sumatera Utara untuk pengembangan dan penataan kawasan wisata Danau Toba berkelanjutan. 2. Menjadi bahan pertimbangan bagi Pemda Sumatera Utara dan instansi lainnya serta pihak pengelola kawasan wisata Danau Toba dalam menyusun perencanaan dan perancangan lanskap kawasan wisata.
3. Sebagai bahan pertimbangan dalam usaha melestarikan lingkungan danau dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
1.5. Kerangka Pikir Penelitian Danau Toba merupakan suatu unit lanskap alami yang telah menjadi kawasan wisata dan merupakan salah satu potensi wisata yang ada di Indonesia. Danau Toba pada saat ini sedang menghadapi permasalahan, yaitu terjadinya perubahan lingkungan, yang dapat menurunkan kualitas lingkungan dan kualitas visual danau, pencemaran, perubahan iklim (LTEMP 2004). Permasalahan ini menjadi dasar pemikiran pada penelitian, yaitu dengan mengkaji kesesuaian kawasan Danau Toba sebagai kawasan wisata yang berbasis pada sumberdaya alam dan sumberdaya air. Kajian ini dilatar belakangi oleh adanya kecenderungan pemanfaatan kawasan yang berlebihan dari masyarakat dan pemerintah daerah untuk tujuan bisnis, karena penataan kawasan wisata tidak berbasis pembangunan yang berkelanjutan sehingga terjadi perubahan pada kawasan wisata tersebut. Dalam menjawab permasalahan tersebut, kajian ini diawali dengan menganalisis aspek ekologis sub DAS yang diukur berdasarkan bahaya ekologis. Kajian ini dilanjutkan dengan menganalisis aspek sosial ekonomi masyarakat yang meliputi dukungan masyarakat terhadap kawasan wisata dan selanjutnya adalah analisis tentang aspek potensi wisata. Dari tiga aspek tersebut masingmasing diperoleh zona kesesuaian wisata terhadap daya dukung ekologis, peluang sosial ekonomi masyarakat dan potensi obyek atraksi wisata. Perpaduan ketiga zona
tersebut
menghasilkan suatu zona wisata
berkelanjutan yang dikelompokkan dalam tiga model zona, yaitu zona intensif, zona ekstensif, dan zona lindung. Berdasarkan hasil analisis, dilakukan sintesis untuk memperoleh alternatif pengembangan dan penataan, sehingga dihasilkan suatu rencana kawasan wisata berkelanjutan di Danau Toba (Gambar 1).
POTENSI WISATA DI INDONESIA KAWASAN WISATA DANAU TOBA
1. 2. 3.
PERMASALAHAN Kawasan danau merupakan ekosistem yang rentan terhadap pembangunan, yang dapat menurunkan kualitas lingkungan dan kualitas visual danau. Masyarakat dan Pemerintah Daerah secara berlebihan mengekploitasi sumber daya danau untuk tujuan bisnis dan ekonomi. Pada saat ini penataan kawasan wisata tidak berbasis pembangunan yang berkelanjutan.
Prioritas Pengelolaan
Wisata Berkelanjutan
Aspek Ekologis sub DAS
Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat
Bahaya Ekologis: Fisik sub DAS Kualitas air
Dukungan masyarakat: Akseptibilitas Peluang ekonomi
Zona Daya Dukung Ekologis
Zona peluang Sosial Ekonomi Masyarakat
Aspek Wisata
Potensi Wisata: Obyek dan Atraksi Aksesibilitas Zona Potensi Obyek & Atraksi Wisata
Kawasan Wisata Berkelanjutan
Zona Pengembangan Wisata Intensif
Zona Pengembangan Wisata Ekstensif
Zona Lindung
Rencana Kawasan Wisata Berkelanjutan di Danau Toba (Kasus: Sub DAS Naborsahon) Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Wisata Berkelanjutan Wisata menurut Gunn (1994) adalah suatu pergerakan temporal manusia menuju suatu tempat selain dari tempat biasa mereka tinggal dan bekerja, selama mereka tinggal ditujuan tersebut mereka melakukan kegiatan, dan diciptakan fasilitas untuk mengakomodasi kebutuhan mereka. Menurut Yoeti (1983) wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain dengan suatu maksud dan dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Fennell (1999) mengutarakan bahwa World Tourism Organisation WTO mendefinisikan kegiatan wisata sebagai kegiatan perjalanan seseorang untuk kesenangan (pleasure) minimal satu hari dan tidak lebih dari satu tahun untuk wisatawan mancanegara dan 6 bulan bagi wisatawan domestik. Suatu kawasan dikembangkan untuk tujuan wisata menurut Gunn (1994) karena terdapat atraksi yang merupakan komponen dan suplay. Atraksi merupakan alasan terkuat untuk perjalanan wisata, bentuknya dapat berupa ekosistem, tanaman langka, landmark, atau satwa. Kawasan wisata tergantung pada sumberdaya alam dan budaya, dimana distribusi dan kualitas dari sumberdaya ini dengan kuat mendorong pengembangan wisata. Bentuk-bentuk wisata menurut Gunn (1994) dikembangkan dan direncanakan berdasarkan hal berikut: 1. Kepemilikkan
(ownership)
atau
pengelola
areal
wisata,
yang
dapat
dikelompokkan kedalam tiga sektor yaitu pemerintah, organisasi nirlaba, dan perusahaan komersial. 2. Sumberdaya (resource), yaitu: alam (natural) atau budaya (cultural). 3. Perjalanan wisata/lama tinggal (touring/longstay) 4. Tempat kegiatan yaitu di dalam ruangan (indoor) atau di luar ruangan (outdoor). 5. Wisata utama/wisata penunjang (primary/secondary) 6. Daya dukung (carrying capacity) tapak dengan tingkat penggunaan pengunjung yaitu: intensif, semi intensif dan ekstensif. Sustainable (berkelanjutan) adalah suatu keseimbangan dan keabadian antar berbagai aspek alam, budaya, norma, kekuatan dan teknologi yang bertujuan
untuk menciptakan budaya dan tempat yang utuh untuk dipertahankan bagi generasi berikutnya (Van der Ryn 1996). Sedangkan sustainable tourism (wisata yang berkelanjutan) adalah suatu industri wisata yang mempertimbangkan aspekaspek penting dalam pengelolaan seluruh sumberdaya yang ada guna mendukung wisata tersebut baik secara ekonomi, sosial dan estetika yang dibutuhkan dalam memelihara keutuhan budaya, proses penting ekologis, keragaman biologi dan dukungan dalam sistem kehidupan (Inskeep 1991). Produk sustainable tourism merupakan produk yang dioperasikan dalam keharmonisan antara lingkungan lokal, masyarakat dan budaya sehingga mendatangkan keuntungan bagi mereka dan bukan menjadi korban pengembangan wisata (Wramner et al. 2005). Lebih lanjut dikatakan bahwa sustainable tourism juga sering dikatakan sebagai wisata yang bertanggung jawab (responsible tourism), soft tourism, wisata berdampak minimum (minimum impact tourism) dan wisata alternatif (alternative tourism). Tujuan sustainable tourism (Inskeep 1991) adalah 1. Untuk pengembangan yang lebih besar dari pengetahuan dan pemahaman tentang kontribusi yang signifikan dari wisata yang dapat mengubah lingkungan dan ekonomi. 2. Untuk kemajuan sewajarnya dalam pengembangan suatu industri wisata. 3. Untuk memperbaiki kualitas kehidupan dari komunitas kawasan. 4. Untuk memberikan suatu kualitas yang tinggi dari pengalaman pengunjung. 5. Untuk memelihara kualitas lingkungan sebagai obyek yang dapat diandalkan. Indikator bagi sustainable tourism ialah kualitas air, pendidikan lingkungan, preservasi alam, kapasitas di area danau untuk mencegah penuh dan berdesakannya pengunjung, dampak sosial, gambaran mengenai kawasan, musim, variasi atraksi, pengelolaan limbah padat, kepuasan konsumen, batas bersih untuk air, batas bersih untuk restoran, kriminal, harga, akses ke danau bagi masyarakat, proteksi sumber daya biologi, akomodasi pasar gelap, persediaan untuk proteksi dan sikap pengunjung di daerah tujuan wisata (Warmner et al. 2005). Pengembangan sustainable tourism adalah perubahan yang positif dari sosial ekonomi yang tidak merusak sistem ekologi dan sosial dimana masyarakat dan kehidupan sosialnya berada. Suatu keberhasilan implementasi membutuhkan
integrasi antara proses kebijakan, perencanaan dan sosial, kelangsungan hidup politik bergantung pada dukungan penuh masyarakat yang dipengaruhi oleh pemerintah, institusi sosial dan aktivitas pribadi mereka (Gunn 1994). Dalam penataan kawasan wisata danau, maka kawasan tersebut harus dilihat sebagai suatu sistem (pariwisata) yang mengkaitkan antara komponen penawaran dan permintaan. Komponen penawaran terdiri dari obyek dan daya tarik wisata atraksi, pelayanan, transportasi, informasi dan promosi (Gambar 2). Sedangkan komponen permintaan terdiri dari wisatawan (lokal, domestik, mancanegara) (Gunn 1994).
Atraksi
Pelayanan
Promosi
Transportasi
Informasi
Gambar 2. Komponen fungsi dari sisi penawaran (Gunn 1994)
2.2. Rencana Penataan Kawasan Wisata Perencanaan merupakan suatu bentuk alat yang sistematis yang diarahkan untuk mendapatkan tujuan dan maksud tertentu melalui pengaturan, pengarahan atau pengendalian terhadap proses pengembangan dan penataan kawasan. Penataan dilakukan untuk memperbaikan suatu kawasan yang sudah mulai rusak yang didalamnya memuat rumusan dari berbagai tindakan yang dianggap perlu untuk mencapai hasil yang sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Penataan berorientasi pada kepentingan masa depan terutama untuk mendapatkan suatu bentuk social good, dan umumnya dikategorikan juga sebagai pengelolaan (Nurisyah 2003). Prosesnya secara umum dapat dibagi menjadi commision, riset, analisis, sintesis, konstruksi dan pelaksanaan (Simonds 2006). Konsep
perencanaan wisata dibagi menjadi tiga skala yaitu perencanaan tapak (site plan), perencanaan daerah tujuan (destination plan) dan perencanaan regional (regional plan) (Gunn 1994). Site plan ialah perencanaan tapak yang lebih difokuskan pada rancangan yang dapat dibuat dalam pengembangan wisata. Proses perencanaan tapak ialah analisis pasar, program statement, seleksi tapak-merevisi program, analisis tapak, sintesis, konsep rancangan, kemungkinan-kemungkinan, perencanaan akhir dan evaluasi (Gunn 1994). Destination plan merupakan suatu perencanaan dalam skala yang lebih kecil, termasuk di dalamnya komunitas dan lingkungan sekitar. Partisipasi lokal lebih kuat dibutuhkan pada perencanaan ini. Proses perencanaan destinasi terdiri atas 1) identifikasi prinsip-prinsip komunitas seperti dukungan-dukungan dan pimpinan, 2) menentukan tujuan guna mempertinggi kepuasan pengunjung, perlindungan sumber daya alam dan budaya, keuntungan ekonomi dan hubungan dalam kehidupan ekonomi pada seluruh kawasan destinasi, 3) meneliti potensi dan kendala, 4) rekomendasi untuk pengembangan, 5) identifikasi sasaran dan strategi, 6) memberikan prioritas dan tanggung jawab, 7) mendorong dan memberi petunjuk untuk perkembangan, 8) memonitor pengaruh umpan balik (Gunn 1994). Regional plan merupakan perencanaan dalam skala besar seperti skala nasional, propinsi atau kabupaten/kota. Proses perencanaan regional dapat dibagi dalam empat fase utama yaitu 1) penelitian tentang posisi geografi, kekayaan geografi dan bentukan lanskap; 2) evaluasi potensi termasuk permintaan dan sintesis; 3) konsep perencanaan; 4) implementasi dan rekomendasi yang mengandung empat aspek dalam pengembangan wisata yaitu pengembangan fisik, pengembangan program, kebijakan dan prioritas (Gunn 1994). Menurut Gunn (1994) perencanaan wisata yang baik dapat membuat kehidupan masyarakat lebih baik, meningkatkan ekonomi, melindungi dan senstitif terhadap lingkungan, dan dapat diintegrasikan dengan komuniti yang meminimalkan dampak negatifnya. Perencanaan yang baik menurut Simonds (2006), harus melindungi badan air dan menjaga air tanah, mengkonservasi hutan dan sumber mineral, menghindari erosi, menjaga kestabilan iklim, menyediakan tempat yang cukup untuk rekreasi dan suaka margasatwa, serta melindungi tapak yang memiliki nilai
keindahan dan ekologi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan perencanaan yang lebih baik dan terintegrasi pada semua aspek pengembangan wisata. Keberadaan suatu aset sumberdaya alam dan lingkungan merupakan peluang untuk dikembangkan sebagai daerah wisata. Kegiatan wisata dapat menimbulkan masalah ekologis padahal keindahan dan keaslian alam merupakan modal utama, oleh karena itu perencanaan dan penataan kawasan wisata hendaknya dilakukan secara menyeluruh, termasuk di antaranya inventarisasi dan penilaian sumberdaya yang cocok untuk wisata, perkiraan tentang dampak terhadap lingkungan, hubungan sebab dan akibat dari berbagai macam tata guna lahan disertai dengan perincian kegiatan untuk masingmasing tata guna, serta pilihan pemanfaatannya (Dahuri et al. 2001). Unsur pokok yang harus mendapat perhatian guna menunjang penataan kawasan wisata di daerah tujuan wisata yang menyangkut perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan pengembangannya meliputi 5 unsur, yaitu 1) obyek dan daya tarik wisata, 2) prasarana wisata, 3) sarana wisata, 4) tata laksana/infrastruktur, dan 5) masyarakat/lingkungan (Suwantoro 1997).
2.3. Partisipasi Masyarakat dalam Penataan Kawasan Wisata Masyarakat di sekitar lokasi wisata berperan penting tidak hanya dalam proses pelaksanaan wisata secara langsung tetapi juga dalam pengelolaan kawasan wisata tersebut nantinya. Peran masyarakat dibutuhkan dalam memberikan layanan yang berkualitas bagi wisatawan dan menjaga kelestarian lingkungan sekitar agar wisata dapat terus berjalan. Oleh karena itu, penting untuk menjadikan masyarakat sebagai masyarakat yang sadar wisata. Masyarakat sebagai salah satu unsur penting dibutuhkan keterlibatannya secara langsung dalam penatan kawasan wisata. Proses keterlibatan masyarakat tergantung dari potensi dan kemampuan yang ada, dimana pada masyarakat ini terdapat 7 potensi bagi keterlibatannya (Nurisyah et al. 2003), yaitu: 1)
Konsultasi atau pemikiran,
2)
Sumbangan (barang, uang)
3)
Sumbangan kerja dengan menggunakan tenaga setempat
4)
Waktu
5)
Aksi massa
6)
Pembangunan dalam kalangan keluarga atau masyarakat setempat
7)
Mendirikan proyek yang didanai dari luar lingkungan masyarakat itu sendiri. Masyarakat sadar wisata ialah masyarakat yang mengetahui dan menyadari
apa yang dikerjakan dan juga masalah-masalah yang dihadapi untuk membangun dunia pariwisata nasional. Dengan adanya kesadaran ini maka akan berkembang pemahaman dan pengertian yang proporsional di antara berbagai pihak, yang pada gilirannya akan mendorong mereka untuk mau berperan serta dalam pembangunan (Suwantoro 1997). Partisipasi masyarakat dapat ditumbuhkan dan digerakkan melalui usahausaha penerangan serta pengembangan usaha-usaha sosial yang sehat, yang dilakukan melalui dialog yang luas dan bersifat terbuka, terarah, jujur, bebas dan bertanggung jawab; baik antara pemerintah dan masyarakat maupun golongangolongan masyarakat itu sendiri. Dialog yang demikian akan melahirkan gagasan serta pandangan yang kuat agar pembangunan tetap memiliki gerak maju ke depan (Suwantoro 1997). Lebih lanjut Suwantoro (1997) mengungkapkan bahwa partisipasi masyarakat dapat berupa peran serta aktif maupun peran serta pasif. Peran serta aktif dilaksanakan secara langsung, secara sadar ikut membantu program pemerintah dengan inisiatif dan kreasi mau melibatkan diri dalam kegiatan pengusahaan pariwisata alam atau melalui pembinaan rasa ikut memiliki di kalangan masyarakat. Peran serta pasif adalah timbulnya kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu atau merusak lingkungan alam. Dalam peran serta pasif itu masyarakat cenderung sekedar melaksanakan perintah dan mendukung terpeliharanya konservasi sumberdaya alam. Upaya peningkatan peran serta pasif dapat dilakukan melalui penyuluhan maupun dialog dengan aparat pemerintah, penyebaran informasi mengenai pentingnya upaya pelestarian sumber daya alam di sekitar kawasan obyek wisata alam yang juga mempunyai dampak positif terhadap perekonomian. Partisipasi masyarakat dalam pariwisata memacu perkembangan pariwisata ke arah yang lebih baik. Partisipasi tersebut dapat berupa keikutsertaan secara sosial budaya dan ekonomi. Keikutsertaan secara sosial budaya tidak hanya
menjadi atraksi wisata, akan tetapi kesediaan masyarakat dalam menerima kegiatan wisata yang akan menyatu dalam kehidupannya. Keikutsertaan secara ekonomi ialah keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan perekonomian, baik yang terkait langsung dengan wisata maupun yang tidak terkait secara langsung dengan wisata. Kegiatan perekonomian wisata menopang perekonomian kawasan wisata dan memiliki posisi penting dalam wisata, sedangkan kegiatan perekonomian non wisata merupakan kegiatan pendukung perekonomian di kawasan wisata. Partisipasi masyarakat sekitar kawasan obyek wisata alam dapat berbentuk usaha dagang atau pelayanan jasa, baik di dalam maupun di luar kawasan obyek wisata (Suwantoro 1997), antara lain:
Jasa penginapan (homestay)
Penyediaan/usaha warung makan dan minuman
Penyediaan/toko souvenir/cindera mata dari daerah tersebut
Jasa pemandu/penunjuk jalan
Fotografi
Menjadi pegawai perusahaan/pengusahaan wisata alam, dan lain-lain Salah satu sebab terjadinya gangguan terhadap kawasan obyek wisata alam
adalah kurangnya kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan perekonomian masyarakat sekitar kawasan obyek wisata. Oleh karena itu, kegiatan usaha masyarakat diharapkan akan dapat menciptakan suasana rasa ikut memiliki tempat mata pencaharian/tempat usaha yang pada akhirnya akan mendorong masyarakat untuk ikut berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan (Suwantoro 1997). 2.4. Ekosistem Pembentuk Kawasan Wisata 2.4.1. Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) DAS adalah sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya ke sungai utama yang bermuara ke danau atau lautan. Pemisah topografis adalah punggung bukit dan pemisah bawah berupa batuan (Manan 1983). DAS dalam beberapa literatur menggunakan istilah yang berbeda dengan arti yang sama, di antaranya menggunakan istilah watershed, river basin, catchment, atau drainage basin. Istilah watershed digunakan karena hubungannya
dengan batas aliran, sedangkan istilah river basin, catchment, atau drainage basin digunakan karena hubungannya dengan daerah aliran (Wijayaratna 2000). DAS merupakan satuan hidrologi dan dapat dibagi menjadi sub-DAS, sub-sub-DAS, dan seterusnya sesuai dengan ordo sungai. Dalam sebuah DAS terdapat keterkaitan dan ketergantungan antara berbagai komponen ekosistem (vegetasi, tanah, dan air) dan antara berbagai bagian dan lokasi (hulu dan hilir) (Widianto et al. 2003). Menurut Asdak (2006), ekosistem DAS biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng lebih besar dari 15%, bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya tegakan hutan. Daerah hilir DAS merupakan daerah pemanfaatan, daerah dengan kemiringan lereng kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi hutan pinus dan perkebunan rakyat. DAS bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda tersebut di atas. DAS sebagai suatu ekosistem, tempat unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Ekosistem DAS, terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS, seperti fungsi tata air, sehingga perencanaan DAS bagian hulu sering kali menjadi fokus perhatian mengingat bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi (Pasaribu 1999). 2.4.2. Ekosistem Danau Danau secara ekologis merupakan badan air yang dikelilingi daratan dan dikelompokkan sebagai salah satu jenis lahan basah yang dicirikan sebagai lahan berair tetap. Lahan basah sebagai ekosistem merupakan komponen bentang alam (landscape) dan dengan demikian menjadi salah satu wajah alami (feature) suatu wilayah. Lahan basah tersebut dapat disebut sebagai danau yang merupakan salah
satu bentuk ekosistem yang menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi dibandingkan dengan habitat laut dan daratan. Ekosistem Danau Toba memiliki nilai ekologi, sosio-kultural dan ekonomi untuk kehidupan manusia dan tidak bisa dipisahkan secara ekologi dari area ekosistem sekitarnya. Ekosistem Danau Toba saat ini berada pada kondisi stres dan butuh perhatian khusus. Kondisi ekosistem danau tidak lepas dari pengaruh kondisi sungai-sungai yang mengalir masuk ke danau. Keberadaan ekosistem danau memberikan fungsi yang menguntungkan bagi kehidupan manusia (rumahtangga, industri, dan pertanian). Beberapa fungsi penting ekosistem ini, sebagai berikut: 1) sebagai sumber plasma nuftah yang berpotensi sebagai penyumbang bahan genetik; 2) sebagai tempat berlangsungnya siklus hidup jenis flora/fauna yang penting, 3) sebagai sumber air yang dapat digunakan langsung oleh masyarakat sekitarnya (rumahtangga, industri dan pertanian); 4) sebagai tempat penyimpanan kelebihan air yang berasal dari air hujan, aliran permukaan, sungai-sungai atau dari sumber-sumber air bawah tanah; 4) memelihara iklim mikro, di mana keberadaan ekosistem danau dapat mempengaruhi kelembaman dan tingkat curah hujan setempat; 5) sebagai sarana tranportasi untuk memindahkan hasil-hasil pertanian dari tempat satu ke tempat lainnya; 6) sebagai penghasil energi melalui PLTA; 7) sebagai sarana rekreasi dan objek pariwisata (Kurumur 2002). Manusia merupakan komponen ekosistem DAS yang berpengaruh besar dan dominan terhadap keseimbangan mekanisme kerja sistem ekologis yang berlangsung, termasuk mempengaruhi daur hidrologi. Dengan teknologi yang dikuasainya, ia mampu mengelola sumberdaya alam dan ekosistem di sekitarnya disesuaikan dengan keinginannya. Perubahan keseimbangan ekosistem yang tidak terkendali menjadi sumber utama munculnya degradasi sumberdaya alam yang serius, dan pada akhirnya menurunkan kualitas hidup. 2.4.3. Danau Toba Sebagai Kawasan Wisata Danau Toba terletak di Propinsi Sumatera Utara, Indonesia dan tercatat sebagai danau air tawar terbesar di Asia Tenggara. Secara administrasi, ekosistem Danau Toba terletak di 7 kabupaten yakni: 1) Kab. Tapanuli Utara, 2) Kab. Humbang Hasundutan, 3) Kab. Tobasa, 4) kab. Samosir, 5) Kab. Simalungun, 6)
Kab. Karo, dan 7) Kab. Dairi. Danau Toba sebagai kawasan wisata merupakan suatu unit lanskap alami yang memiliki bentuk lanskap dan topografi yang beragam dan luasan yang besar sehingga potensi tersebut dapat dikembangkan untuk menjadi suatu kawasan wisata dan sebagai sumberdaya alam nasional yang sangat menakjubkan dan memiliki banyak manfaat. Danau Toba sebagai obyek wisata alam merupakan danau vulkanotektonis akibat proses tanah terban (Subsidence) yang terjadi karena bagian dalamnya berupa magma naik ke permukaan melalui celah tektonik membentuk gunung api. Ruang yang ditinggalkan oleh magma membentuk rongga di dalam kerak bumi dan kemudian beban di permukaan mengalami terban yang terpotong menjadi beberapa bagian. Bagian yang cukup besar berada di bagian tengah dengan posisi miring kearah barat berupa pulau Samosir dan bagian lain yang posisinya lebih rendah selanjutnya tergenang air membentuk danau. Secara ekologis di Danau Toba, terdapat banyak jenis ikan, baik endemik maupun diintroduksi ke Danau. Ikan endemik yang hampir punah adalah ikan Batak, yang hanya ada 2 spesies, yaitu Lissochilus sumatranus dan Labeobarbus soro. Disamping itu, ada juga remis endemik yang disebut Remis Toba (Corbiculae tobae). Beberapa polutan sepertinya telah memberikan dampak negatif pada Danau Toba. Introduksi spesies non-pribumi ke danau seperti ikan dan alga, telah menciptakan isu lingkungan yang serius (misalnya gulma eceng gondok, kontaminasi ikan, dsb). Didalam ekosistem Danau Toba, banyak terdapat spesies yang dilindungi seperti Tapir (Tapirus indicus), Kambing Hutan, Deer (Cervus unicolor), Singa Sumatra (Panthera tiris sumtrensis), Gibbon (Hyobathes spp), Elang (Accipiter sp), Paku Ekor Kuda (Plathycerium sp) dan banyak juga terdapat jenis aggrek alam (Dendrobium spp) dan anggrek Kantung (Paphiopedilum curtesii). Habitat dari makhluk darat ini terletak di DTA Danau Toba dan di hutan lindung Dolok Surungan dan Kebun Rekreasi Alam Sijaba-Hutaginjang, serta di hutan lindung Siranggas (Dairi); Dolok Surungan (Toba Samosir); Dolok Saut (Tapanuli Utara). Didalam area yang terlindungi ada juga Kebun Hutan Bukit Barisan (Deli Serdang, Simalungun, Karo dan Langkat), Lau Debuk-Debuk (Karo), Deleng Lancuk (Karo), Si Cikeh-cikeh (Dairi), Sijaba Huta Ginjang (Tapanuli Utara) dan
Muara (Tapanuli Utara). Tanaman lainnya yang mendominasi adalah pinus, kayu manis, mahoni, dan tanaman lainnya yang dapat menyerap air. Komunitas yang hidup di daerah tersebut juga menanam tanaman produktif seperti durian dan mangga. Populasi Danau Toba adalah 656,872 dan tersebar di wilayah seluas 5,814.39 km2, yang meliputi 490 desa di 35 kawasan subregional. Masyarakat yang tinggal di 7 kabupaten yang terdiri dari kelompok sub etnis: Batak Simalungun yang bermukim di kabupaten Simalungun, batak Karo yang menetap di kabupaten Karo, Pakpak yang menetap di kabupaten Dairi dan Batak Toba yang menyebar di kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Samosir dan Humbang Hasundutan. Mayoritas mereka adalah petani. Berdasarkan potensi yang ada maka perlu kiranya dilakukan pengembangan kawasan dengan cara mendesentralisasikan perencanaan dan pengambilan keputusan tetap diserahkan kepada masyarakat, sedangkan konsep perencanaan pengembangannya selalu memperhatikan konsep daya dukung (carrying capacity) dengan cara menghubungkan nilai sumber dayanya (resource valuation) dan hasil yang diperoleh dapat dirasakan oleh semua pihak (equity of outputs). Dalam kaitannya dengan pemanfaatan danau sebagai obyek wisata menurut Nurisjah et al. 2003), kelestarian, keberadaan dan keindahan badan air perlu dipertahankan fungsinya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa fungsi-fungsi dari badan air adalah sebagai pengendali iklim mikro, kesejahteraan dan kenyamanan manusia, sumber energi, alat transportasi, elemen transportasi, elemen rekreasi, melembutkan
dan
meningkatkan
nilai
estetika
lanskap.
Usaha
untuk
memanfaatkan dan melestarikan badan air sebagai obyek wisata harus terlebih dahulu diketahui bentuk, karakter, potensi, kendala dan bahaya yang dapat ditimbulkan dari badan air. Kawasan sekitar danau adalah kawasan yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsinya, dimana berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, kawasan sekitar danau ditetapkan sebagai kawasan yang masuk dalam kawasan perlindungan setempat (Haeruman 1999). Kriteria kawasan lindung untuk kawasan sekitar danau telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Nasional, yaitu daratan sepanjang tepian danau yang lebarnya proposional dengan bentuk dan kondisi fisik danau antara 50-100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat dengan pengecualian tepian danau dengan kondisi fisik stabil, serta demi kepentingan umum, kepentingan pertahanan dan keamanan (Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997, Pasal 34 ayat 3). 2.5. Sistem Informasi Geografi (SIG) Geographic information system (GIS) atau sistem informasi geografis (SIG) menurut Star (1990) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang mereferensi pada koordinat geografi atau spasial dan juga nonspasial. SIG merupakan sistem basis data dengan kemampuan spesifik untuk data spasial dan non-spasial, dan juga dapat melakukan operasi data. Sistem informasi geografis (SIG) memberikan perlakuan dan manipulasi kualitas dari data spasial, sedangkan penginderaan jauh adalah teknologi untuk menghasilkan peta tutupan lahan (Lioubimsteva dan Defourny 1999), yang memberikan sekumpulan informasi mengenai karakteristik spektral dan struktur spasial. Citra satelit adalah sumber informasi pada penutupan lahan. Berkembangnya teknik sistem informasi geografis dan penginderaan jauh dalam teknologi informasi merupakan pendukung bagi pendalaman studi mengenai perubahan peruntukan dan penutupan lahan. Dalam proses perencanaan dan penataan kawasan wisata menurut Gunn (1994), bantuan dari teknologi komputer cukup dapat membantu, dengan program sistem informasi geografis (SIG) akan diperoleh peta yang memperlihatkan sumberdaya yang paling sesuai bagi kegiatan wisata dan yang paling sensitif. Selanjutnya menurut Gunn (1994), penerapan SIG mempunyai kemampuan luas dalam proses pemetaan dan analisis sehingga teknologi tersebut sering dipakai dalam proses perencanaan lanskap. Mehta (1998), mengutarakan bahwa SIG merupakan teknologi yang sangat berguna untuk membantu perencana dalam mengerjakan area yang secara geografis sangat luas. SIG dapat menyatukan data yang sangat banyak dan beragam,mulai dari vegetasi,geologi, tata guna lahan yang ada maupun yang masih berbentuk rencana. Kemampuan SIG lainnya adalah mampu menganalisis kesesuaian untuk mengaitkan pada rencana penggunaan tertentu, melakukan
analisis viewshed, identifikasi kawasan dan tapak, serta memantau data dari beragam sumber, seperti hasil foto udara, contoh lapang, dan laporan kegiatan, sehingga dapat melihat secara berkelanjutan dampak dari kegiatan wisata. 2.6. Analisis Hierarki Proses (AHP) Proses Hierarki Analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Proses (AHP) merupakan analisis yang digunakan untuk mengambil keputusan yang efektif atas permasalahan yang kompleks dengan jalan menyederhanakan dan mempercepat proses pengembilan keputusan yang dialami (Saaty 1993). Oleh karena itu, analisis ini dapat dikatakan sebagai suatu metode analisis untuk mengetahui seberapa jauh sebuah kebijakan diimplementasikan dalam pelaksanaan. Metode ini menyederhanakan masalah yang kompleks dan tidak terstruktur, strategi dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata peubah dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subyektif tentang arti pentingnya secara relatif dibandingkan variabel lain. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintetis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tertinggi dan berperan mempengaruhi hasil pada sistem tersebut. Langkah - langkah yang digunakan dalam proses hierarki analitis (PHA) adalah sebagai berikut: 1. Identifikasi sistem. Langkah ini dilakukan dengan cara mempelajari beberapa rujukan untuk memperkaya ide dalam upaya mendapatkan semua konsep yang relevan dengan permasalahan. 2. Penyusunan Hierarki. Dalam penyusunan hierarki atau struktur keputusan dilakukan dengan menggambarkan elemen sistem atau alternatif keputusan dalam abstraksi sistem hierarki keputusan. 3. Komparasi Berpasangan. Dilakukan untuk penentuan tingkat kepentingan pada setiap tingkat hierarki atau penelitian pendapat. Teknik ini dilakukan dengan wawancara langsung dengan responden. Responden bisa seorang ahli atau bukan, tetapi terlibat dan mengenal baik permasalahn yang diajukan.
Keberhasilan menggunakan metode AHP bergantung pada bagaimana mengatur penggunaan hierarki yang tepat dan problem yang tidak teratur untuk sampai pada pengembilan keputusan karena AHP mampu mengkonversi faktorfaktor yang tidak dapat diukur ke dalam aturan yang biasa sehingga bisa dibandingkan. Untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen lain maka digunakan pembobotan berdasarkan skala proses AHP yang disarankan oleh Saaty (1993), yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Matriks Perbandingan/Komparasi Berpasangan (Saaty, 1993) Tingkat Kepentingan
Definisi
1
Kedua elemen sama pentingnya
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya
5
Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lainnya
7
Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen lainnya
9
Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen lainnya
2,4,6,8
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
Penjelasan Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan. Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen yang lainnya. Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya. Satu elemen dengan kuat didukung dan dominasi terlihat dalam praktek Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan. Nilai diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan.
III. KONDISI UMUM KAWASAN WISATA DANAU TOBA 3.1. Kondisi Geografi dan Administrasi Lokasi penelitian terletak pada sebuah sub DAS yaitu sub DAS Naborsahon yang berada di dalam daerah tangkapan air (DTA) Danau Toba. Secara geografis Sub DAS Naborsahon berada pada 2o32’-2o 40” sampai 2o69’00” LU dan 98o56’99o04” sampai 98o92’-99o04” BT. Luas wilayah sub DAS Naborsahon 10330.7 ha mengalir sungai Naborsahon, Simarata, Sihora-hora, Sera-sera, Sigilang dan beberapa alur/parit yang bermuara ke Danau Toba. Panjang sungai utama sepanjang 17.150 m atau 17.15 Km. Secara administrasi sub DAS Naborsahon berbatasan dengan Kecamatan Pematang Sidamanik di sebelah utara, Kecamatan Hatonduhan di sebelah timur, Desa Sionggang Selatan Kecamatan lumban Julu di sebelah selatan, dan Danau Toba disebelah barat. Desa dan kelurahan yang terdapat di dalam sub DAS Naborsahon ada 12 desa, yaitu: 1. Di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, yaitu Desa Sibaganding, Desa Sipangan Bolon, Desa Girsang, Kelurahan Parapat dan Kelurahan Tigaraja. 2. Di Kecamatan Ajibata, yaitu Desa Motung, Desa Pardamean Ajibata, Desa Pardamean Sibisa, Desa Pardamuan Ajibata, Desa Parsaoran Ajibata, Desa Horsik dan Desa Sigapiton. Dari 12 desa yang ada, maka yang terpilih sebagai lokasi lokasi penelitian adalah Desa Sipangan Bolon, Desa Girsang, Kelurahan Parapat, Kelurahan Tigaraja dan Pardamean Ajibata. 3.2. Kondisi Ekologis Danau Toba terletak di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia dan tercatat sebagai danau air tawar terbesar di Asia Tenggara dan salah satu danau yang terdalam di dunia (lebih dari 500 m). Kawasan Danau Toba terletak di sisi utara Bukit Barisan, Sumatera Utara. Danau ini memanjang dari utara sampai keselatan, dengan panjang 100 km dan lebar tidak lebih dari 30 km dan di tengahnya terdapat pulau Samosir. Permukaan air Danau Toba berada 904 m dpl dengan total area sekitar 110,260 ha, dikelilingi oleh Gunung Piso-piso (di sebelah utara) dan
Gunung Pusuk Buhit (disebelah barat). Wilayah Danau Toba sering mengalami gempa karena terletak disepanjang patahan Sumatera (Sumatra Plate). DTA Danau Toba dikelilingi oleh wilayah perbukitan dengan luas 43% dan wilayah pegunungan seluas 30%. Selang suhu minimum berkisar 16.5 dan suhu maksimum 29° C dan kelembaban relatif 85%. Kondisi topografi yang berada pada ketinggian 906 - 1800 m dpl didominasi oleh perbukitan dan pegunungan, dengan kelerengan lapangan dari datar (kemiringan lahan 0 - 8%), landai (kemiringan lahan 8 – 15%), agak curam (kemiringan lahan 15 - 25%), curam (kemiringan lahan 25 - 45%), sangat curam sampai dengan terjal (kemiringan lahan > 45%). Daerah yang datar meliputi lebih kurang 27,2 % dari total DTA, daerah yang landai 30,6 %, daerah yang agak curam 24,0 %, daerah curam 16,5 % dan daerah yang sangat curam sampai terjal lebih kurang 1,7 % dari total DTA (LTEMP 2004). Berdasarkan data suhu dan iklim dari stasiun Geofisika Parapat Kabupaten Simalungun diketahui bahwa rata-rata curah hujan tahunan dari tahun 1997–2006 di kawasan ini berkisar antara 1.839 sampai dengan 2.569 mm/tahun. Puncak musim hujan terjadi pada bulan September-Desember dengan curah hujan antara 197 – 276 mm/bulan. Sedangkan puncak musim kemarau terjadi selama bulan Mei-Juli dengan curah hujan berkisar antara 120 – 143 mm/bulan. Curah hujan yang tergolong tinggi dapat menimbulkan bahaya longsor/erosi, terutama di daerah yang terbuka, tepian danau yang labil dan daerah dengan kemiringan lereng > 45%. Data iklim di kawasan Danau Toba selama 10 tahun dapat dilihat pada Tabel 2. Dilihat dari struktur dan komposisi tegakannya, hutan alam yang ada merupakan hutan alam tropis basah dataran tinggi dengan jenis-jenis pohon diantaranya puspa (Schima walichii), kemenyan (Strirax sp), rasamala (Altingia excelsa), tusam (Pinus merkussi) dan lainnya. Jenis satwa yang ada diantaranya beruk (M. nemestrina), siamang (Hylobates syndactylus), tupai (Tariscus sp), kancil (Tragulus javanicus), landak (Alterap macroraurus), harimau sumatera (Phantera tigris), beruang madu (Helarcos malayanus), rusa (Cervus sp), kijang (Muntiacu muntjak), babi hutan (Sus barbatus), dan sebagainya. Beberapa jenis dari flora dan fauna ini merupakan jenis-jenis yang dilindungi (LTEMP 2004).
Tabel 2. Data Iklim di Kawasan Danau Toba (1997 – 2006) Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rata-rata
Curah Hujan (mm) 2116 1839 2569 2236 1960 2166 2510 2446 2149 2232 2222
Penguapan (mm) 4.3 4.1 3.9 3.9 3.8 3.6 3.7 3.8 4.2 4.1 3.9
Suhu Rata-rata (°C) 18.5 16.3 21.5 21.5 21.8 21.6 21.3 21.2 21.0 20.6 20.5
Lama Penyinaran Matahari (%) 42.8 45.0 47.2 49.3 48.7 52.5 47.3 47.4 53.0 47.7 48.1
Kelembaban relatif (%) 80.3 83.5 90.4 88.9 81.7 81.7 81.0 79.5 79.8 80.1 82.7
Kec. Angin (m/det) 2.6 2.8 2.6 2.7 3.3 3.5 2.5 1.9 2.1 3.2 2.7
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), stasiun Geofisika Parapat Kab. Simalungun
Kebun campuran merupakan sebidang lahan yang terletak di luar pekarangan, ditumbuhi berbagai macam tanaman secara tercampur. Keberadaan berbagai jenis tanaman sulit untuk menilai mana yang lebih penting bagi pengusahanya, sehingga pengolahannya kurang intensif. Jenis tanaman kebun campuran yang terdapat di Sub DAS Naborsahon meliputi; kopi (Albelmoschus esculenthus), pisang (Musa paradisiaca L), ubi kayu (Manihot esculenta), ubi jalar (Discorea elata L), jahe (Zingeberceae), dan cabai (Capsicum annum L) (LTEMP 2004). Berdasarkan pada Klasifikasi Tanah menurut Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) Wilayah I, Medan 1987, DTA Danau Toba di bagian timur merupakan jenis tanah Entisol dan Entisol/Inceptisol yang sangat peka terhadap erosi, bagian tenggara jenis Ultisol (peka erosi). Di bagian barat DTA ini jenis tanah Ultisol (peka erosi), sedangkan di Pulau Samosir jenis tanahnya sebagian besar merupakan jenis tanah Inceptisol (agak peka erosi). Jenis-jenis tanah yang terdapat di DTA Danau Toba ini disajikan pada Tabel 3. Perairan Danau Toba merupakan danau oligotropik (tidak mengandung unsur hara dengan kondisi air jernih dan dalam) dengan bagian yang subur terdapat di sekitar cekungan Pangururan, Porsea, dan Parapat. Perairan danau terletak di atas tanah andosol dan laterit yang kekurangan mineral terlarut,
memiliki kandungan besi yang tinggi, sedangkan unsur N, P dan Ca sangat rendah. Danau ini memiliki kandungan air seluas 1.146 km2 atau sekitar 2.860.000 ton air yang berasal dari mata air dan 19 sungai pada DAS tersebut. Satu-satunya sungai yang bersumber dari danau ini adalah sungai Asahan yang mengalir di wilayah Kabupaten Asahan dan dipergunakan sebagai pembangkit tenaga listrik (PLTA) Asahan. Di dalam perairan danau terdapat berbagai jenis ikan, baik ikan endemik maupun ikan yang diintroduksi yang merupakan hasil budidaya (penebaran, keramba maupun jaring apung). Jenis ikan yang merupakan jenis ikan endemik yang keberadaannya saat ini hampir punah adalah Ikan Batak terdiri dari dua spesies yaitu : Lissochilus sumatranus dan Labeobarbus soro. Di perairan danau ini juga terdapat remis yang endemik yang dikenal namanya sebagai Remis Toba (Corbicula tobae) (LTEMP 2004). Sedangkan berbagai jenis ikan lain yang alami maupun hasil budidaya yang bukan endemik adalah : ikan Mas, Mujahir, Nila, Tawes, Lele, Gabus dan sebagainya. Di perairan Danau Toba juga terdapat berbagai jenis tumbuhan air seperti berbagai jenis ganggang dan eceng gondok. Keberadaan tumbuhan eceng gondok ini pada saat ini sangat mengkhawatirkan dilihat dari kecepatan perkembangan pertumbuhan dan penyebarannya yang menyebabkan proses pengkayaan unsur hara (eutrofikasi).
Tabel 3. Jenis Tanah di DTA Danau Toba No.
Jenis Tanah
1 Entisol 2 Ultisol, Spodosol, Aquic Sub ordo 3 4 5 6 7
Entisol / Ultisol / Entisol/Inceptisol Inceptisol, Entisol/Inceptisol Entisol, Inceptisol, Histosol Inceptisol Ultisol, Inceptisol
% dari Variasi Bentuk Lahan Kepekaan Luas Terhadap Erosi DTA 36,4 Daerah Curam Sangat Peka 13,8 Datar dan Berombak Peka – sangat peka 3,5 18,7 3,2 2,7 21,6
Daerah Curam Bergelombang, Curam Datar Datar dan bergelombang Datar dan bergelombang
Peka – sangat peka Peka – sangat peka Tidak peka Peka Peka
Sumber: DitJen RRL Departemen Kehutanan – LP IPB 1990, dipadankan dengan klasifikasi tanah USDA (Hardjowigeno 2003)
3.3. Kondisi Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat Penduduk di sub DAS Naborsahon mayoritas suku Batak Toba dan Simalungun serta suku lainnya yaitu, suku Jawa, Minang, Aceh, Karo dan Nias. Bahasa yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa Toba dan bahasa Indonesia. Jumlah penduduk di wilayah sub DAS Naborsahon yang tercatat adalah 19.512 jiwa dengan jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 4.155 KK. Jumlah penduduk tersebut terdiri dari 9.587 jiwa laki-laki dan 9.925 jiwa perempuan. Tabel 4 menunjukkan jumlah penduduk di sub DAS Naborsahon menurut kelas umur. Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Kelas Umur di Sub DAS Naborsahon Sub-Sub DAS/ DTA / Kab. / Kec / Desa Kabupaten Simalungun Kec. Girsang Sipangan Bolon - Desa Sibaganding - Desa Sipangan Bolon - Desa Girsang - Desa Parapat - Desa Tiga Raja Kabupaten Toba Samosir Kec. Ajibata - Desa Motung - Desa Pardamean Ajibata - Desa Pardamean Sibisa - Desa Parsaoran Ajibata - Desa Pardomuan Ajibata - Desa Horsik - Desa Sigapiton Jumlah
Kelas Umur Penduduk (Jiwa) 0 - 15
15 - 55
> 55
Jumlah ( Jiwa )
699 742 794 2099 630
1109 1046 1008 3187 1066
62 276 195 545 203
1870 2064 1997 5831 1899
212 375 245 275 178 94 199 6542
710 628 450 664 305 189 227 10589
198 250 76 314 152 35 75 2381
1120 1253 771 1253 635 318 501 19512
Sumber : - Kecamatan Ajibata Dalam Angka Tahun 2005 - Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Dalam Angka Tahun 2005
Masyarakat di kawasan ini terdiri dari beragam marga dan tradisi yang tetap dipegang teguh hingga kini. Kearifan lokal tersebut banyak mewarnai seluk beluk masyarakat sehingga tidak dapat diabaikan dalam menyusun perencanaan pembangunan setempat. Kegiatan perekonomian sebagian besar masyarakat di Kawasan Danau Toba masih mengandalkan pada sektor pertanian, termasuk kegiatan peternakan dan
perikanan. Ditinjau dari karakteristik budidaya pertanian yang dilakukan, umumnya dilakukan pada lahan kering untuk budidaya tanaman pangan, tanaman perkebunan dan kehutanan. Sementara pengusahaan kegiatan pertanian pada lahan basah hanya dilakukan untuk tanaman pangan. Tanaman kopi merupakan komoditi andalan bagi masyarakat di Kawasan Danau Toba. Tanaman kopi menjadi tanaman yang diminati oleh masyarakat terutama sejak dikembangkannya tanaman kopi jenis baru yang secara lokal dikenal sebagai tanaman si pembayar utang, karena dalam waktu satu tahun telah berproduksi, sehingga hasil penjualannya dapat segera dimanfaatkan untuk pengembalian kredit pertanian. Lahan pertanian yang dimiliki satu keluarga petani, rata-rata tiga rante atau setara dengan 0,12 ha. Sempitnya lahan pertanian berpengaruh terhadap keputusan petani dalam memilih tanaman pertanian. Para petani cenderung menanam tanaman yang berdaur pendek, walaupun praktek bercocok tanam yang dilakukan tidak sesuai dengan kemampuan lahan sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan fisik lahan. Selain kopi, tanaman yang banyak dijumpai adalah padi varietas lokal, kacang-kacangan, jahe dan jagung (Diniyati 2001). Kegiatan ekonomi masyarakat di Kawasan Danau Toba di sektor perikanan meliputi kegiatan penangkapan ikan dan budidaya ikan di keramba jaring apung, dan pembenihan. Kegiatan perikanan dilakukan penduduk yang berbatasan langsung dengan danau. Kegiatan ini selain dilakukan oleh penduduk, juga diusahakan oleh perusahaan swasta, meliputi kegiatan penangkapan ikan dan kegiatan budidaya ikan dengan keramba jaring apung. Penangkapan ikan di Danau Toba tidak dipengaruhi oleh musim. Lokasi penangkapan ikan adalah di perairan yang relatif dangkal di sekitar tepi danau. Jenis ikan yang dibudidayakan antara lain ikan nila merah yang dibudidayakan oleh pihak swasta, sedang penduduk cenderung membudidayakan jenis ikan mas. Pendapatan penduduk dari sektor ini rendah, sehingga nelayan bukan merupakan profesi penuh bagi penduduk di sekitar Danau, melainkan memiliki sumber penghasilan tambahan dari sektor lainnya, yaitu pertanian.
3.4. Kondisi Kepariwisataan Sektor pariwisata dengan daerah tujuan wisata Danau Toba berkembang di Parapat, Tomok dan Tuktuk yang terletak di bagian Selatan dan Timur kawasan Danau Toba. Sesuai Perda Tk.I Propinsi Sumatera Utara Nomor 1 Tahun 1990 tentang Penataan Kawasan Danau Toba, sektor ini diarahkan sebagai kegiatan utama bagi pengembangan Danau Toba, sedangkan kegiatan lainnya diarahkan untuk mendorong kegiatan utama tersebut. Pariwisata telah menumbuhkan efek ganda kegiatan ekonomi lainnya, seperti kegiatan perdagangan dan jasa pelayanan yang terkait dengan pariwisata. Sektor ini mencatat 12 unit obyek wisata alam, 16 unit obyek wisata budaya dan sejarah, 3 unit wisata agama dan 1 obyek wisata hutan atau perkebunan. Di samping itu, terdapat 101 hotel, 188 rumah makan, 200 toko souvenir, 5 money changers, 10 agen perjalanan, 8 diskotik dan 6 karaoke, (LTEMP 2004). Kota Parapat dikenal sebagai daerah tujuan wisata dengan Danau Toba sebagai andalan obyek wisata. Kota ini terletak di tepian Danau Toba yang merupakan kota wisata dan merupakan salah satu wisata terbesar di Sumatera Utara. Daerah ini terletak kira-kira 176 km dari kota Medan di bagian utara pantai Danau Toba dan dapat dicapai dengan perjalanan tiga sampai empat jam dari Medan dengan bus. Obyek dan atraksi wisata yang ada di Danau Toba sangat beragam. Menurut data Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Simalungun (2006), jumlah wisatawan yang berkunjung ke lokasi obyek wisata Parapat selama kurun waktu 20 tahun terakhir ini mengalami fluktuasi (Tabel 5). Puncak jumlah kunjungan wisatawan ke lokasi obyek wisata Parapat yang terbanyak terjadi pada tahun 1997 yang mencapai 1.1145.278 orang. Namun sejak tahun 2004 dan 2005 wisatawan yang berkunjung ke Parapat mengalami penurunan yang drastis. Penurunan jumlah wisatawan ke lokasi obyek wisata Parapat disebabkan karena adanya berbagai peristiwa yang berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan wisata, yaitu mulai dari peristiwa kecelakaan pesawat, bom Bali, kabut asap sampai peristiwa tsunami dan yang terakhir adanya isu akan terjadi letusan besar di Danau Toba.
Selain karena faktor kenyamanan juga karena adanya penurunan kualitas lingkungan di kawasan Danau Toba. Hal ini ditandai dengan turunnya permukaan air danau, banyaknya tumbuhan air eceng gondok yang mengganggu kualitas air, banyaknya keramba ikan dan meningkatnya luas lahan yang gundul. Jumlah penduduk yang semakin meningkat menyebabkan pertumbuhan areal permukiman baru disekitar danau dan tidak tertata dengan baik Tidak terpolanya bangunan dan pemukiman ini dapat dilihat di beberapa tempat banyak bangunan-bangunan dan fasilitas umum yang mengambil sebagian areal badan danau, seperti hotel, restauran, tempat parkir, dll. Tabel 5. Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Parapat dari Tahun 1986 s.d 2005 No
Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Wisatawan (orang) Nusantara Mancanegara 425.560 135.290 480.720 202.145 520.750 235.250 625.500 322.582 610.870 305.170 585.125 275.075 650.500 280.750 675.820 305.250 710.385 325.450 700.287 262.350 800.576 325.120 800.676 344.602 680.575 199.411 578.988 169.499 607.412 177.973 631.210 190.200 725.891 172.730 641.393 77.504 184.400 17.728 150.000 8.000
Jumlah orang 560.850 682.865 756.000 948.082 916.040 860.200 931.250 981.070 1.035.835 962.637 1.125.696 1.145.278 879.986 748.487 785.385 821.410 898.621 718.897 202.128 158.000
Sumber: Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Simalungun Tahun 2005
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian Kawasan Wisata Danau Toba yang berkelanjutan dilakukan di sub DAS Naborsahon yang berada di dalam daerah tangkapan air (DTA) Danau Toba (Gambar 3). Sub DAS ini dideliniasi berdasarkan ketinggian kontur dari digital elevation model (DEM) yang terbentuk dari peta rupa bumi. Secara geografis kawasan ini terletak pada 2.32°-2.69° Lintang Utara dan 98.56°98.92° Bujur Timur. Luas kawasan penelitian adalah 10330.9 ha. Waktu pengamatan dan survei untuk pengumpulan data di lapang selama dua bulan dimulai dari Maret sampai April 2008. 4.2. Alat dan Bahan Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan alat dan bahan berupa perangkat keras dan perangkat lunak, peta Rupa Rupa Bumi Sumatera Utara (Bakosurtanal 2005) dan kuisioner. Perangkat keras (hard ware) dan perangkat lunak (soft ware) yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Perangkat Keras, Perangkat Lunak dan Kegunaannya Perangkat Keras Perangkat Komputer
Perangkat Lunak (Software) Arcview ver 3.2 ERDAS ver 9.1 Excel 2003 Criterium Decision Plus (CDP)
Peta GPS Kamera Digital
Tape Recorder
Fungsi Analisis spasial Analisis spasial Analisis tabular Analythical Hierarchy Process (AHP) Menentukan lokasi pengamatan Pencatatan titik lokasi pengamatan Dokumentasi kondisi lapangan Dokumentasi hasil wawancara
4.3. Metode Penelitian Kegiatan penelitian dilakukan dalam tiga tahapan yaitu (1) tahap pengumpulan dan klasifikasi data, (2) tahap analisis dan sintesis, serta (3) tahap perencanaan kawasan (Gambar 4). Penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan melakukan pembobotan, skoring dan penentuan peringkat pada tiap faktor dan kategori yang dinilai. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan ekologis dan pendekatan
sosial ekonomi untuk mendukung wisata sehingga didapatkan suatu kawasan wisata yang berkelanjutan.
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
Deliniasi Survei Lapangan
Identifikasi Kondisi obyek & atraksi wisata
Identifikasi Kondisi fisik sub DAS Naborsahon
Identifikasi Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Aspek Wisata
Aspek Sosial Ekonomi masyarakat
Pembobotan & Skorsing
Pembobotan & Skorsing
Pembobotan & Skorsing
Analisis Spatial
Analisis Spatial
Analisis Spatial
Zona Ekologis sub DAS
Zona Potensi Wisata
Zona Sosial Ekonomi masyarakat
Tahap 2 Analisis dan Sintetis
Aspek Ekologis sub DAS
Tahap 1 Pengumpulan dan Klasifikasi Data
Peta Digital
Analisis Kebijakan (AHP) Pembobotan Zona Wisata Berkelanjutan di Kawasan Wisata Danau Toba
Konsep Pengembangan dan Penataan Kawasan Wisata Berkelanjutan
Rencana Kawasan Wisata Danau Toba yang berkelanjutan
Tahap 3 Konsep dan Perencanaan
Program Rencana Pengembangan Kawasan Wisata Berkelanjutan
(Kasus: sub DAS Naborsahon)
Gambar 4. Tahapan Penelitian
4.3.1. Pengumpulan dan Klasifikasi Data Data yang dikumpulkan berbentuk data primer dan data sekunder (Tabel 7). Data primer adalah data yang diambil langsung dari sumbernya ataupun hasil observasi di lokasi pengamatan yang diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yang terstruktur pada responden yang terkait langsung dengan tujuan penelitian.
Tabel 7. Sumber dan Cara Pengambilan Data Data & Informasi Peta dan Citra Peta rupa bumi Peta administrasi Peta land use Peta RTRW Peta Land cover Peta Topografi Peta Geologi Citra Landsat
Sumber Data Bakosutanal Bakosurtanal Bapeda Kab. Simalungun Bapeda Kab. Simalungun Balai Pengelolaan DAS Balai Pengelolaan DAS Balai Pengelolaan DAS Biotrop
Jenis Data Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder
Kondisi biofisik Data iklim Sub DAS Kualitas ekologis Naborsahon Kualitas air Bahaya erosi Keragaman hayati Kondisi ekosistem
BMG Bapedalda Prop. Sumatera Utara Bapedalda Prop. Sumatera Utara BPDAS, masyarakat Bapedalda Prop. Sumatera Utara BPDAS, Bapedalda Prop. Sumut
Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder
Demografi Persepsi dan preferensi masyarakat Dukungan dan partisipasi masyarakat
BPS Prop. Sumatera Utara Masyarakat
Sekunder Primer
Masyarakat
Primer
Obyek dan atraksi wisata Aksessibilitas Fasilitas wisata
Dinas Pariwisata Prop. Sumut Lapangan Lapangan
Primer, sekunder Primer, sekunder Primer, sekunder
Kondisi sosial ekonomi masyarakat
Kondisi obyek & atraksi wisata
Responden terdiri masyarakat setempat (n = 150) dan institusi (n = 6 dari 6 institusi) yang terkait dengan tujuan penelitian (Tabel 8). Pengumpulan data primer dilakukan dengan membagi ekologis sub DAS Naborsahon menjadi tiga bagian, yaitu hulu, tengah dan hilir (Asdak 2006). Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive sampling) yang mewakili kondisi sub DAS Naborsahon. Tabel 8. Daftar Stakeholder yang Terkait di Kawasan Danau Toba Stakeholder 1
Masyarakat setempat
2
Institusi
Jumlah (orang) 150
6
1. 2.
Masyarakat pada lokasi pengamatan (n = 145) Tokoh Masyarakat (n = 5)
1.
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) Propinsi Sumatera Utara (n = 1) Akademisi (Universitas Sumatera Utara) (n = 1) Dinas Pariwisata Propinsi Sumatera Utara (n = 1) Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Propinsi Sumatera Utara (n = 1) Pemerintahan Kabupaten Simalungun (n = 1) Pemerintahan kecamatan Girsang Sipanganbolon (n = 1)
2. 3. 4. 5. 6.
4.3.2. Analisis dan Sintetis Analisis dilakukan untuk melihat kondisi fisik sub DAS Naborsahon, kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan kondisi wisata Danau Toba. Kegiatan ini dilakukan dalam beberapa tahapan, (1) analisis spasial dengan cara tumpang susun peta-peta tematik sehingga didapat zona wisata berkelanjutan, yaitu zona kesesuaian wisata berdasarkan standar penilaian untuk dilakukan pengembangan dan penataan kawasan wisata yang berkelanjutan, (2) analisis kebijakan-kebijakan yang telah dan akan dilaksanakan didalam penataan kawasan wisata. kedua analisis ini akan menghasilkan suatu konsep rencana penataan kawasan wisata berkelanjutan di kawasan wisata Danau Toba dengan kasus sub DAS Naborsahon.
a. Analisis Ekologis di Sub DAS Naborsahon Penilaian ekologis DAS dilakukan untuk melihat kesesuaian kawasan sebagai lokasi, dan obyek dan atraksi wisata pada lima desa di lokasi penelitian. Metode yang digunakan berupa analisis deskriptif kualitatif dan dengan pendekatan analisis spasial Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan software ArcView versi 3.2. Analisis deskriptif kualitatif berupa penilaian dengan skoring dan pembobotan untuk mendapatkan klasifikasi zona ekologis di sub DAS Naborsahon. Pengklasifikasian dilakukan dengan rentang nilai batas minimum dan maksimum dari penilaian kualitas ekologis DAS, yaitu:
Klasifikasi kelas kesesuaian wisata =
Σ skor maksimal - Σ skor minimal -------------------------------------------Σ klasifikasi kesesuaian wisata
Penilaian ekologis sub DAS dinilai berdasarkan pada skor peubahpeubahnya yang terdiri atas penilaian kualitas fisik sub DAS (Tabel 9) dan penilaian kualitas air (Tabel 10). Penilaian dilakukan dengan menggunakan skoring nilai kesesuaian yang hasilnya dapat di klasifikasikan berdasarkan klasifikasi zona ekologis pada sub DAS tersebut. Parameter kualitas fisik sub DAS adalah kemiringan lereng, kepekaan tanah, ketinggian tempat, penutupan lahan dan intensitas curah hujan. Parameter kualitas air berdasarkan pada kualitas fisik air dan kualitas kimia air, yaitu kandungan sedimen tersuspensi dan bahan kimia yang terlarut didalam air (Arsyad 2006)
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/kpts/um/11/1980 dalam Soerianegara I. 1996, klasifikasi kemiringan lereng terdiri dari: datar landai (0 - 15%), Agak curam (15 - 25%), Curam (25 - 40%), Sangat curam (> 40%). Klasifikasi kepekaan tanah terhadap erosi terdiri dari: tidak peka (aluvial, glei, planosol, hidromorf), agak peka (latosol, brown forest, non-calcic brown, mediteran), peka (andosol, laterit, grumusol, podsol, podsolik) dan sangat peka (regosol, litosol, organosol, renzina). Klasifikasi intensitas curah hujan tahunan terdiri dari: Rendah (<13,6 - 20,7 mm), Sedang (20,7 - 27,7 mm), Tinggi (27,7 34,8 mm), dan Sangat tinggi (>34,8 mm). Klasifikasi ketinggian tempat berdasarkan pada zona vegetasi (Whitmore 1991), yaitu daerah dataran rendah (900-1200 m dpl), daerah perbukitan (1200-1500 m dpl), daerah pegunungan bawah (1500-1800 m dpl), dan daerah pegunungan atas (>1800 m dpl). Tabel 9. Penilaian Kualitas Fisik Sub DAS Naborsahon Peubah
Bobot
Sub Peubah
0 - 8% (landai 8 - 15% (agak curam) 15 - 45% (curam) > 45% (sangat curam) Kepekaan tanah 10 Tidak peka Agak peka Peka Sangat peka Penutupan lahan 15 Bervegetasi rapat Bervegetasi tidak rapat Lahan pertanian Pemukiman Ketinggian tempat 10 900 – 1200 mdpl 1200 – 1500 mdpl 1500 – 1800 mdpl > 1800 mdpl Intensitas curah hujan 10 Rendah (<13,6 - 20,7 mm) Sedang (20,7 - 27,7 mm) Tinggi (27,7 - 34,8 mm) Sangat tinggi (>34,8 mm) Sumber : DEPTAN (1980), Whitmore (1991), hasil diskusi bimbingan (2008). Kemiringan lereng
15
Nilai 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1
Perhitungan kualitas fisik sub DAS = (Σ Fkl x 15) + (Σ Fkt x 10) + (Σ Fpl x 15) + (Σ Fktp x 10) + (Σ Fich x 10) Keterangan: Fkl = faktor kemiringan lereng
Fkt
= faktor kepekaan tanah
Fpl
= faktor penutupan lahan (land cover)
Fktp = faktor ketinggian tempat Fich = faktor intensitas curah hujan Σ
= lokasi ke 1 sampai 5 Parameter yang telah diskoring selanjutnya dilakukan pembobotan dan
kemudian dikategorikan dalam kelas kesesuaian, yaitu: T = Tinggi, nilai 180 – 240 S = Sedang, nilai 120 – 179 R = Rendah, nilai 60 - 119 Tabel 10. Penilaian Kualitas Air Peubah
Bobot
Warna Air
5
Kecepatan Arus (m/detik)
5
Sedimentasi (TDS, TSS)
10
Kualitas BOD
10
Kualitas COD
5
Kualitas DO
5
Sub peubah
Jernih Coklat jernih Coklat pekat Hitam 0 < nilai ≤ 0,17 0,17 < nilai ≤ 0,34 0,34 < nilai ≤ 0,51 nilai > 0,51 Baku mutu kelas I Baku mutu kelas II Baku mutu kelas II Baku mutu kelas IV Baku mutu kelas I Baku mutu kelas II Baku mutu kelas II Baku mutu kelas IV Baku mutu kelas I Baku mutu kelas II Baku mutu kelas II Baku mutu kelas IV Baku mutu kelas I Baku mutu kelas II Baku mutu kelas II Baku mutu kelas IV
Nilai 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1
Sumber : USDA (1968)
Perhitungan kondisi badan air: (Σ Fwa x 5) + (Σ Fka x 5) + (Σ Fs x 10) + (Σ Fb x 10) + (Σ Fc x 5) + (Σ Fd x 5)
Keterangan: Fwa = faktor warna air Fka = faktor kecepatan arus Fs
= faktor sedimentasi
Fb
= faktor kualitas BOD
Fc
= faktor kualitas COD
Fd
= faktor kualitas DO
Σ
= lokasi ke 1 sampai 5 Parameter yang telah diskoring selanjutnya dilakukan pembobotan dan
kemudian dikategorikan dalam kesesuaian wisata, yaitu: T
= tinggi, nilai 120 – 160
S
= sedang, nilai 80 – 119
R
= rendah, nilai 40 - 79 Hasil penilaian kualitas biofisik sub DAS dan penilaian kualitas air
digabungkan untuk mendapatkan tingkatan aspek ekologis dari setiap lokasi pengamatan yang selanjutnya dapat dilakukan penataan kawasan menjadi kawasan wisata yang berkelanjutan. Klasifikasi berdasarkan aspek ekologis sebagai berikut: Klasifikasi S1 : nilai minimum + 3 selang nilai, dengan nilai 300 – 400.
Kualitas lingkungan pada lokasi ini sangat potensial untuk dilakukan penataan dan pengembangan kawasan wisata. Perlakuan yang dilakukan adalah menjaga kualitas lingkungan agar tetap baik. Klasifikasi S2 : nilai minimum + 2 selang nilai, dengan nilai 200-299
Kualitas lingkungan pada lokasi ini potensial dan pada tingkat sedang diperlukan perbaikan dan penataan ulang untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Klasifikasi S3 : nilai minimum + selang nilai, dengan nilai 100-199
Kualitas lingkungan pada lokasi ini sangat rendah, sehingga diperlukan perlakuan khusus penataan dan perbaikan kualitas lingkungan yang cukup serius.
b. Analisis Obyek dan Atraksi Wisata Penilaian obyek dan atraksi untuk pengembangan dan penataan kawasan wisata dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, penilaian potensi obyek dan atraksi wisata yang tersedia. Penilaian dilakukan untuk melihat tingkat potensi obyek dan atraksi wisata yang tersedia. Penilaian ini diklasifikasikan berdasarkan kriteria dari Inskeep (1991), (Tabel 11). Penilaian dilakukan oleh 11 narasumber yang terdiri dari kepala desa (n=5, dari lima lokasi penelitian), Dinas Pariwisata Propinsi Sumatera Utara (n=1), Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) Propinsi Sumatera Utara (n=1), Akademisi (n=1), Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Propinsi Sumatera Utara (n=1), Pemerintahan Kabupaten Simalungun (n = 1), dan Pemerintahan kecamatan Girsang Sipanganbolon (n=1). Perhitungan nilai diklasifikasikan dalam tingkatan tinggi (T), sedang (S), dan rendah (R). Penentuan klasifikasi tingkat potensi obyek dan atraksi wisata sebagai berikut:
Klasifikasi tingkat potensi =
Σ skor maksimal - Σ skor minimal ----------------------------------------------Σ tingkat klasifikasi
Tahap kedua, yaitu menilai kelayakan obyek dan atraksi wisata disetiap lokasi pengamatan. Penilaian dilakukan berdasarkan obyek dan atraksi, estetika dan keaslian, fasilitas pendukung, ketersediaan air, transportasi dan aksebilitas, dan dukungan dan partisipasi masyarakat (Tabel 12). Tabel 11. Penilaian Potensi Obyek dan Atraksi Wisata Peubah Kerajinan
Upacara agama
Upacara adat
Sub Peubah
Ada (>3), dikembangkan dengan baik Ada (3-5), tapi kurang dikembangkan Ada (<3), dikembangkan dengan baik Tidak ada Ada upacara keagamaan, secara periodik Ada upacara keagamaan, jarang dilakukan Ada upacara keagamaan, tapi tidak dilakukan Tidak ada upacara keagamaan Ada upacara adat, dilakukan secara periodik Ada upacara adat, jarang dilakukan Ada upacara adat, tapi tidak dilakukan Tidak ada upacara adat
Nilai 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1
Tabel 11. Lanjutan Kesenian
Arsitektur
Bahasa
Permainan rakyat
Ada (>3), dikembangkan dengan baik Ada (3-5), tapi kurang dikembangkan Ada (<3), tapi dikembangkan Tidak ada Ada (>3), menarik dengan kondisi baik Ada (3-5), menarik dengan kondisi baik Ada (<3), menarik dengan kondisi tidak baik Tidak ada Dominan menggunakan bahasa asli Bahasa asli agak terasimilasi Ada bahasa asli cukup terasimilasi bahasa asing Tidak ada bahasa asli Banyak dan menarik Ada beberapa, menarik Ada beberapa, tidak menarik Tidak ada
4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1
Sumber : Inskeep (1991)
Tabel 12. Penilaian Kelayakan Obyek dan Daya Tarik Wisata Peubah
Bobot
Obyek dan atraksi
30
Estetika dan Keaslian
25
Fasilitas Pendukung
10
Ketersediaan Air
10
Transportasi dan Aksesibilitas
15
Dukungan dan Partisipasi Masyarakat
10
Sumber : Inskeep (1991)
Sub Peubah
Nilai
Hanya terdapat di Tapak Terdapat <3 lokasi di tempat lain Terdapat 3-5 lokasi di tempat lain Terdapat > 5 lokasi di tempat lain Asli Asimilasi, dominan bentuk asli Asimilasi, dominan bentuk baru Sudah berubah sama sekali Tersedia dalam kondisi sangat baik Tersedia dalam kondisi baik Tersedia dalam kondisi kurang baik Prasarana dan sarana tidak tersedia < 2 km 2 km 2,5 km Jarak >2,5 km Jalan aspal Jalan aspal berbatu Jalan berbatu Jalan tanah
4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1
Sangat Mendukung Mendukung Kurang mendukung Tidak mendukung
4 3 2 1
Perhitungan kelayakan obyek dan daya tarik wisata = (Σ Foa x 30) + (Σ Fek x 25) + (Σ Ffp x 10) + (Σ Fka x 10) + (Σ Fta x 15) + (Σ Fdp x 10) Keterangan: Foa = faktor obyek dan atraksi Fek = faktor estetika dan keaslian Ffp = faktor fasilitas pendukung Fka = faktor ketersediaan air Fta
= faktor transportasi dan aksesibilitas
Fdp = faktor dukungan dan partisipasi masyarakat Σ
= lokasi ke 1 sampai 5 Hasil penilaian kelayakan obyek dan atraksi wisata diklasifikasikan dalam
tingkatan sebagai berikut: SP
: Sangat Potensial, dengan nilai 300 - 400 Obyek dan atraksi wisata sangat potensial untuk dilakukan pengembangan dan penataan kawasan wisata. Perlakukan yang dilakukan hanya untuk menjaga kualitas obyek dan atraksi agar tetap terjaga.
P
: Potensial, dengan nilai 200 - 299 Obyek dan atraksi wisata cukup potensial untuk dilakukan pengembangan dan penataan kawasan wisata. Perlu perlakuan untuk meningkatkan kualitas menjadi sangat potensial.
TP
: Tidak Potensial, dengan nilai 100 – 199 Obyek dan atraksi wisata yang tersedia tidak potensial untuk dilakukan pengembangan dan penataan kawasan wisata. Perlu perlakuan yang khusus dan mahal untuk meningkatkan kualitas menjadi sangat potensial.
c. Analisis Sosial Ekonomi Masyarakat Penilaian aspek sosial ekonomi masyarakat dilakukan untuk mengetahui keikutsertaan masyarakat dalam pengembangan dan penataan kawasan wisata di Danau Toba. Penilaian dilakukan secara acak terhadap penduduk di lokasi pengamatan, yang diharapkan mampu mewakili penilaian seluruh penduduk kawasan Danau Toba yang relatif homogen. Penilaian dibagi dalam dua tahap,
pertama menilai akseptabilitas masyarakat terhadap rencana pengembangan dan penataan kawasan wisata di Danau Toba dan tahap kedua menilai preferensi masyarakat terhadap jenis peluang ekonomi yang dipilih. Tahap pertama, yaitu penilaian akseptabilitas masyarakat terhadap rencana pengembangan dan penataan kawasan wisata yang berkelanjutan Danau Toba (Tabel 13). Setelah dilakukan penilaian, selanjutnya dilakukan pernilaian akseptabilitas masyarakat setiap desa berdasarkan pada perhitungan sebagai berikut: Σ Fdtw + Σ Fpk + Σ Fpa + Σ Fkw + Σ Fku Keterangan: Fdtw = faktor penataan kawasan sebagai daerah tujuan wisata. Fpk = faktor Pengelolaan kawasan wisata oleh masyarakat Fpa = faktor Peran aktif masyarakat dalam pariwisata Fkw = faktor Keberadaan wisatawan Fku = faktor Keuntungan kegiatan wisata Σ
= lokasi ke 1 sampai 5
Tabel 13. Penilaian Akseptibilitas Masyarakat Danau Toba Terhadap wisata Peubah
Nilai
Penataan kawasan sebagai daerah tujuan wisata
4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1
Pengelolaan kawasan wisata oleh masyarakat
Peran aktif masyarakat dalam pariwisata
Keberadaan wisatawan
Keuntungan kegiatan wisata
Sumber : Yusiana (2007)
Keterangan
Setuju Kurang setuju Tidak setuju Tidak tahu Setuju Kurang setuju Tidak setuju Tidak tahu ya Kurang Tidak Tidak tahu Setuju Kurang setuju Tidak setuju Tidak tahu ya Kurang Tidak Tidak tahu
Hasil penghitungan nilai skor dijumlahkan untuk mendapatkan tingkat akseptabilitas masyarakat yang terbagi dalam tiga kategori sebagai berikut: T
: Tinggi, dengan nilai 451 – 600 Tingkat akseptabilitas masyarakat tinggi tidak ada hambatan untuk rencana pengembangan dan penataan kawasan wisata.
S
: Sedang, dengan nilai 301 - 450 Tingkat akseptabilitas masyarakat sedang, terdapat hambatan untuk rencana pengembangan dan penataan kawasan wisata. Perlu perlakuan untuk meningkatkan akseptabilitas masyarakat.
R
: Rendah, dengan nilai 150 - 300 Tingkat akseptabilitas masyarakat rendah, terdapat banyak hambatan untuk rencana pengembangan dan penataan kawasan wisata.
Perlu
perlakuan yang cukup khusus untuk meningkatkan akseptabilitas masyarakat. Tahap kedua, yaitu penilaian preferensi masyarakat terhadap peluang ekonomi
yang
berfungsi
menilai
tingkat
keinginan
masyarakat
untuk
berpartisipasi dalam aktifitas kepariwisataan di kawasannya. Penilaian didasarkan peluang ekonomi yang terkait langsung wisata, dan peluang ekonomi sebagai penunjang wisata. Cara penilaian adalah dengan melihat jenis peluang ekonomi terbanyak yang dipilih masyarakat (Tabel 14). Penilaian preferensi masyarakat di setiap desa berdasarkan pada perhitungan sebagai berikut: Fx desa ke p = (4 x n) + (3 x n) + (2 x n) + (1 x n) Keterangan: Fx = faktor tertentu p
= desa tertentu
n
= jumlah orang yang memiliki Berdasarkan hasil penilaian preferensi ditentukan tiga peringkat peluang
ekonomi teratas. Dari peringkat tersebut dilakukan penilaian peringkat. Kategori jenis kegiatan ekonomi menentukan bobot dari masing-masing peringkat. Penilaian faktor peluang kegiatan ekonomi dilakukan dengan mengalikan seluruh
nilai dengan bobot masing-masing untuk memperoleh skor. Selanjutnya Skor dijumlahkan berdasarkan skor di setiap desa dan dikategorikan menjadi: S1 = tinggi (skor 91 – 120) S2 = sedang (skor 61 - 90) S3 = rendah (skor 30 – 60) Tabel 14. Jenis Peluang Ekonomi Masyarakat Peluang Ekonomi Terkait Wisata A. Mengembangkan obyek dan atraksi wisata B. Membuka toko/restaurant/penginapan C. Pembuatan dan penjualan souvenir D. Pagelaran seni dan budaya E. Pemandu wisata/guide F. Bertani/berternak
Peluang Ekonomi Penunjang Wisata a. Penyedia produk pertanian b. Penyedia produk perikanan
Sumber: Yusiana (2007), Rosmalia (2008).
Hasil penggabungan antara akseptibilitas masyarakat dan peluang ekonomi masyarakat dibagi dalam zona sangat aktif (S1) dengan kategori tinggi, zona kurang aktif (S2) dengan kategori sedang, dan zona tidak aktif (S3) dengan kategori rendah.
d. Analisis Prioritas Penataan Kawasan Wisata Penilaian ini menggunakan metode penilaian Proses Hierarki Analitik (PHA) oleh Saaty, 1993. Penilaian ini menjadi dasar dan prioritas bagi perencanaan dan penataan kawasan wisata Danau Toba guna mewujudkan wisata yang berkelanjutan. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka perlu disusun struktur yang dibangun atas tiga tingkatan (Gambar 5), yaitu: 1. Tujuan, yaitu penentuan sasaran yang akan dicapai. Target yang akan dicapai ialah penataan kawasan wisata Danau Toba yang berkelanjutan. Tujuan di buat
sebagai
landasan
guna
membantu
penilaian
expert
dalam
membandingkan masing-masing elemen terhadap elemen lainnnya. 2. Kriteria, yaitu merupakan elemen yang dibangun untuk mencapai tujuan. Elemen yang dibangun sebagai parameter penilaian untuk mencapai tujuan. Kriteria yang digunakan adalah perbaikan kualitas lingkungan, peran aktif masyarakat, pengembangan potensi wisata, dan perlindungan kawasan Danau Toba.
3. Skenario, merupakan alternatif model penataan kawasan wisata di Danau Toba. Skenario ditentukan berdasarkan aspek ekologis, aspek sosial ekonomi, dan aspek wisata. Penilaian dilakukan untuk menentukan aspek yang menjadi prioritas utama dalam penataan KWDT yang berkelanjutan. Prinsip penilaian PHA pada penataan kawasan
wisata
di
Danau
Toba
yang
berkelanjutan
adalah
dengan
membandingkan tingkat prioritas antara satu elemen dengan elemen lainnya yang berada pada tingkatan atau level yang sama berdasarkan pertimbanganpertimbangan tertentu.
Penataan KawasanWisata Di Danau Toba
Perbaikan kualitas lingkungan
Aspek Ekologis
Peran aktif masyarakat
Pengembangan potensi Wisata
Aspek Sosial Ekonomi
Perlindungan kawasan Danau Toba
Aspek Wisata
Gambar 5. Skema Hierarki Penataan Kawasan Wisata Danau Toba Berkelanjutan
4.3.3. Zona Pengembangan dan Penataan Kawasan Wisata Tahap ini merupakan lanjutan dari tahap analisis, dimana peta-peta komposit hasil analisis aspek ekologis, aspek wisata, dan aspek sosial ekonomi masyarakat diintegrasikan dengan menggunakan metode sistem informasi geografi (SIG). Setelah peta-peta tematik tersebut digabungkan dengan cara tumpang susun (overlay), hasilnya berupa zona potensial kawasan untuk pengembangan dan penataan wisata. Proses sintesis ditunjukan pada Gambar 6. Proses tumpang susun (overlay) peta komposit zona kondisi ekologis sub DAS, zona potensi obyek dan atraksi wisata, dan zona kondisi sosial ekonomi
masyarakat menghasilkan tiga zona potensial kawasan untuk pengembangan dan penataan kawasan wisata, yaitu: 1. Zona pengembangan wisata intensif, sangat sesuai untuk pengembangan dan penataan kawasan wisata. Seluruh aspek bernilai sangat potensial (SP) atau paling tidak minimal terdapat satu aspek yang termasuk dalam klasifikasi potensial (P), tidak terdapat aspek yang termasuk tidak potensial (TP). 2. Zona pengembangan wisata ekstensif, merupakan zona kurang potensial untuk pengembangan dan penataan kawasan wisata. Minimal terdapat satu aspek yang termasuk dalam kategori tidak potensial (TP). 3. Zona lindung, merupakan zona tidak potensial untuk pengembangan dan penataan kawasan wisata. Seluruh aspek termasuk dalam klasifikasi tidak potensial (TP).
Peta Tematik Potensi Obyek & Atraksi
fisik sub DAS
Kelayakan Obyek & Atraksi
Kualitas air
Zona Ekologis
Zona Wisata
Akseptibilitas Masyarakat Peluang Ekonomi Masyarakat
Zona Sosek
Peta Komposit Zonasi Potensial Rencana Penataan Kawasan Wisata
Gambar 6. Teknik Tumpang Susun Peta-peta Tematik
4.4. Rencana Pengembangan dan Penataan Kawasan Wisata Berkelanjutan di Sub DAS Naborsahon Rencana pengembangan dan penataan kawasan wisata berdasarkan zona potensial kawasan untuk kemudian dilakukan pengembangan dan penataan kawasan wisata. Rencana pengembangan dan penataan kawasan wisata berkelanjutan dalam bentuk:
a. Konsep pengembangan dan penataan yang akan dilaksanakan adalah “kawasan
wisata
berkelanjutan
(sustainable
tourism)”.
Konsep
ini
diilustrasikan dalam bentuk model pengembangan dan penataan ruang wisata yang mempertimbangkan karakter lanskap dan potensi obyek dan atraksi wisata yang ada. b. Program pengembangan dan penataan kawasan wisata berupa rencana perbaikan dan penataan kawasan sesuai konsep pengembangan kawasan. Perencanaan program ini dilakukan berdasarkan nilai-nilai potensi wisata kawasan, hasilnya berupa arahan pengembangan kawasan yang diilustrasikan secara grafis sebagai panduan penataan kawasan wisata berkelanjutan di Danau Toba. c. Rencana pengembangan dan penataan infrastruktur pendukung wisata yang dibuat berdasarkan kebutuhan pada setiap kawasan yang dikembangkan. Hal ini untuk memberikan kepuasan yang memberi rasa nyaman dan aman kepada pengunjungnya (tourist satisfactory). Konsep perencanaan infrastruktur adalah green infrastructure yang berdasarkan pertimbangan ekologis.
4.5. Batasan Istilah Atraksi Wisata adalah daya tarik di daerah tujuan wisata berupa kejadian-kejadian tradisional seni-budaya, hiburan, jasa, dan kejadian-kejadian tidak tetap (Karyono 1997). Interpretasi citra adalah perbuatan mengkaji citra atau foto udara dengan maksud mengidentifikasi karakteristik obyek dan menilai arti penting obyek tersebut (Sutanto 1992). Obyek wisata adalah perwujudan dari ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya serta sejarah bangsa dan tempat atau keadaan alam yang mempunyai daya tarik untuk dikunjungi wisatawan (Nurisjah et al. 2003; Karyono 1997). Pariwisata adalah keseluruhan kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk mengatur, mengurus, dan melayani kebutuhan wisata (Karyono 1997). Pemberdayaan
masyarakat
adalah
pelibatan
masyarakat
dalam
proses
pengambilan kebijakan dan proses perencanaan, dimana masyarakat ikut ambil bagian dan menentukan dalam mengembangkan, mengurus dan mengontrol rencana secara komprehensif (Buchsbaum 2004). Sustainable tourism adalah suatu bentuk kepariwisataan yang berkelanjutan yaitu suatu kegiatan wisata yang memperhatikan keseimbangan antar aspek-aspek pendukungnya yaitu aspek ekologis, sosial budaya dan sosial ekonomi menuju kelestarian (Avenzora 2003). Wisata alam (nature tourism) adalah wisata dengan kekayaan alam sebagai obyek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan dan pengalaman yang didasarkan pada fitur-fitur lingkungan alam dan karakteristik lingkungan alam (Inskeep 1991)
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penilaian Kawasan Wisata Pengembangan dan penataan kawasan wisata alam di Danau Toba Sumatera Utara dengan obyek kawasan wisata Parapat diteliti berdasarkan penilaian terhadap aspek ekologis, aspek wisata, dan aspek sosial ekonomi masyarakat. 5.1.1. Aspek Ekologis Dalam pengembangan dan penataan kawasan wisata Parapat sebagai wisata alam perlu dilakukan penilaian terhadap kualitas ekologisnya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kerusakan pada setiap elemen ekologisnya. Parameter penilaian dibagi berdasarkan kualitas fisik sub DAS dan kualitas air. Penilaian kualitas air terbagi menjadi dua yaitu kualitas fisik air dan kualitas kimia air. a. Penilaian Kualitas Fisik Sub DAS Naborsahon Pengembangan dan penataan kawasan wisata yang berkelanjutan harus memperhatikan kualitas fisik sub DAS. Fisik sub DAS berfungsi sebagai wadah untuk aktivitas wisata di kawasan tersebut. Suatu kawasan yang direncanakan untuk wisata alam sebaiknya mempunyai kualitas fisik yang baik. Untuk itu maka perlu dilakukan penilaian terhadap kualitas fisik sub DAS, sehingga dapat diketahui tingkat kerusakan pada setiap elemen fisiknya dan dapat dilakukan tindakan perbaikan pada sub DAS tersebut. Hal ini penting untuk mengembalikan kualitas fisik sub DAS, agar kegiatan wisata alam dapat dilakukan di kawasan tersebut dan terus berkelanjutan. Hasil penilaian menunjukkan bahwa secara umum kualitas fisik sub DAS Naborsahon dapat dikembangkan menjadi kawasan wisata alam (Tabel 15). Program yang harus dilakukan untuk meningkatkan nilai kesesuaian wisata menjadi tinggi adalah dengan perbaikan dan penataan secara fisik dan non fisik yaitu kesadaran masyarakatnya, dan pembangunan fasilitas dan aktivitas yang mendukung peningkatan kualitas fisik sub DAS. Hal ini dilakukan agar kegiatan wisata alam yang ditampung di kawasan tersebut, aman dan nyaman bagi wisatawan yang berkunjung.
Tabel 15. Hasil Penilaian Kualitas Fisik Sub DAS Naborsahon Daerah Hu T Hi Hi Hi
Desa/Kelurahan
Kemiringan lereng
Kepekaan tanah
Penutupan lahan
Ketinggian tempat
1. Simp. Bolon 2. Girsang 3. Parapat 4. Tigaraja 5. P. Ajibata
N 15 30 45 45 45
N 10 10 10 20 20
N 45 45 30 15 30
N 20 20 30 40 30
S TS KS S S S
S TS TS TS KS KS
S S S KS TS KS
S KS KS S SS S
Curah hujan N 30 20 20 20 20
Kesesuaian wisata
S S KS KS KS KS
N 120 125 135 140 145
K S S S S S
Sumber : Olahan data lapang, (2008) Keterangan : N= nilai, S = Skor (SS=sangat sesuai, S=sesuai, KS=kurang sesuai, TS=tidak sesuai), K = kategori (T=tinggi, S=sedang, R=rendah). Hu = hulu, T = tengah, Hi = hilir
Berdasarkan penilaian kualitas fisik menunjukkan bahwa secara umum fisik sub DAS Naborsahon memiliki kesesuian wisata sedang. Hasil penilaian menunjukkan daerah hilir memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan daerah hulu dan tengah. Hal ini disebabkan karena kemiringan lereng dan ketinggian tempat pada daerah tersebut relatif datar dan bergelombang dan sesuai sebagai kawasan wisata. Sedangkan pada daerah hulu dan tengah penutupan lahan memiliki nilai yang tinggi karena pada daerah tersebut merupakan daerah yang harus di konservasi dan juga merupakan kawasan lindung sehingga potensi yang ada dapat dikembangkan untuk atraksi hiking dan berkemah yang bersifat edukasi. Kemiringan lereng di lokasi penelitian adalah datar sampai curam, yaitu 045% dan ketinggian lereng 903–1.981 m dpl, dengan kondisi topografi didominasi oleh perbukitan dan pegunungan (LTEMP 2004). Kawasan yang memiliki ketinggian di atas 1000 m dpl berpotensi untuk dijadikan atraksi wisata seperti pegunungan. Kegiatan wisata di daerah pegunungan sangat beragam, yaitu kegiatan mendaki gunung, menikmati pemandangan pada saat matahari terbit dan terbenam, hingga kegiatan yang lebih kearah pendidikan dan ilmiah seperti pengamatan bentukan alam yang terjadi dan sebagainya. Sedangkan topografi curam berbahaya untuk wisata tetapi sangat bermanfaat untuk menikmati pemandangan danau, sehingga lokasi ini dapat dimanfaatkan dan dikembangkan menjadi kawasan wisata dengan fasilitas climbing dan out bond tetapi penataannya
disesuaikan
dengan
daya
dukung
lahannya.
Gambar
7
memperlihatkan bentukan alam yang terjadi akibat perbedaan ketinggian yang terdapat di lokasi penelitian.
Gambar 7. Potensi Wisata yang Terjadi Akibat Perbedaan Kemiringan Lereng Sifat dan karakteristik tanah dan curah hujan dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian wisata. Berdasarkan pada klasifikasi Tanah menurut Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) Wilayah I Medan 1987, wilayah sub DAS Naborsahon memiliki jenis tanah podsolik, litosol dan regosol dengan klasifikasi kepekaan tanah terhadap erosi, peka sampai sangat peka, sedangkan curah hujan tahunan yang terjadi pada lokasi ini adalah sedang dan tinggi berkisar antara 2.200 sampai dengan 3.000 mm/tahun (LTEMP 2004). Berdasarkan hal tersebut dan ditambah dengan topografi berbukit dan cukup curam menunjukkan bahwa pada kawasan sub DAS Naborsahon berpotensi cukup tinggi bahaya erosinya. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman, serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air (Purnama 2005). Kemiringan lereng merupakan penentu utama kesesuaian penggunaan lahan dan terjadinya erosi. Lereng yang landai maka erosi yang terjadi sangat rendah, sedangkan lereng yang miring dan curam maka erosi sangat tinggi (Arsyad 2006). Kegiatan manusia juga memberi pengaruh yang cukup besar pada perubahan laju erosi. Indikasi tingginya laju erosi lainnya ditandai dengan banyaknya lahan yang mempunyai lapisan tanah yang sangat tipis terutama pada daerah perbukitan dengan lereng yang curam, bahkan di beberapa lokasi yang muncul di permukaan hanya berupa batuan pembentuk tanah tanpa adanya lapisan tanah sedikitpun, karena telah mengalami proses erosi yang cukup tinggi secara terus-menerus. Keberadaan semak belukar dan alang-alang/padang rumput yang cukup luas, juga merupakan indikasi tingginya laju erosi sehingga lahan yang telah terbuka sulit
untuk dapat membentuk formasi hutan alam kembali karena lapisan tanahnya relatif tipis (LTEMP 2004), (Gambar 8). Untuk mencegah bahaya erosi/longsor dan kecelakaan pada penduduk setempat dan wisatawan, dilakukan tindakan konservasi pada daerah-daerah terbuka terutama pada daerah tebing yang peka dan sangat peka erosi, menerapkan sistem pertanian yang konservatif (JICA 2003), penanaman terassering pada lahan berbukit yang berfungsi untuk memperkuat daya tahan tanah terhadap erosi, serta menghindari pembangunan struktur berat pada daerah kemiringan lereng yang >15%. Tindakan konservasi dapat dilakukan dengan penanaman vegetasi yang memiliki kemampuan mengikat air dan sistem perakaran yang dalam sehingga air tanah dapat dikendalikan dengan baik. Menurut John dan Kathy (1990), vegetasi yang sesuai dengan daerah tropis adalah vegetasi yang memiliki kemampuan evapotranspirasi rendah dan meranggas di musim kemarau. Hal ini untuk mengurangi terjadinya kehilangan air melalui penguapan vegetasi. Jenis-jenis vegetasi ini umumnya memiliki karakter tanaman dengan daun yang memiliki lapisan lilin, berbulu, dan memiliki permukaan daun yang tidak lebar/berjarum seperti cemara, pinus dan bambu (John dan Kathy (1990).
Gambar 8. Kondisi Areal yang Terkikis Akibat Erosi Keberadaan vegetasi hutan dengan kondisi topografi curam sangat penting untuk meningkatkan kemampuan resapan, menekan aliran permukaan, menekan laju erosi yang tinggi dan mencegah terjadinya longsoran. Aliran permukaan menjadi energi dapat menggerus partikel tanah di permukaan dan mengangkutnya ke tempat lain sebagai bagian dari proses erosi (Noordwijk 2004). Perakaran hutan mampu meningkatkan resapan lapisan tanah terhadap air hujan.
Menurut Sukmana (2007), penutupan lahan di sub DAS Naborsahon terdiri dari hutan tanaman industri, hutan lahan kering sekunder, semak belukar, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak, lahan terbuka, dan permukiman/hotel. Pada gambar 9 menunjukkan penutupan lahan berdasarkan klasifikasi citra landsat tahun 2006 dan Tabel 16 menunjukan luasan dari masingmasing klasifikasi penutupan lahan tersebut.
Gambar 9. Peta Penutupan Lahan di Sub DAS Naborsahon. Berdasarkan penilaian penutupan lahan menunjukkan bahwa di Desa Sipangan Bolon memiliki penutupan lahan yang tinggi dan daerah lainnya cukup beragam. Namun pada saat ini telah banyak mengalami perubahan, yaitu dengan
semakin sedikitnya kawasan yang masih berhutan asli, sisanya terdiri dari perladangan dan lahan kritis yang perlu upaya rehabilitasi, (Aswandi dan Sunandar 2007). Ciri-ciri utama lahan kritis adalah gundul, terkesan gersang dengan produktivitas yang rendah, dan bahkan muncul bebatuan di permukaan tanah. Umumnya lahan kritis tersebut ditandai dengan vegetasi alang-alang yang mendominasi (Aswandi et al. 2005). Tabel 16. Luas Penutupan Lahan di Sub DAS Naborsahon Klasifikasi tutupan lahan 1. Hutan lahan kering sekunder 2. Hutan tanaman industri 3. Lahan terbuka 4. Permukiman 5. Pertanian lahan kering 6. Pertanian lahan kering campur semak 7. Semak belukar Total
Luas Ha % 2034.54 19.69 1941.88 18.79 100.96 0.97 257.36 2.49 2449.46 23.71 2375.95 22.99 1170.70 11.33 10330.9 100
Sumber: Data hasil olahan, 2008.
Hasil klasifikasi penutupan lahan terlihat bahwa konversi hutan alam banyak berubah menjadi lahan pertanian. Hal ini terjadi akibat perilaku masyarakat yang membuka lahan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tanpa memperhatikan kemampuan lahan. Masyarakat membuka lahan dengan membakar yang selanjutnya akan dibiarkan jika lahan tersebut tidak produktif dan lahan berubah menjadi terbuka dan tandus yang ditumbuhi alang-alang dan semak belukar. Sedang konversi lainnya adalah semakin luasnya hutan tanaman industri dengan vegetasi Eucalyptus. Perilaku masyarakat dengan membuka lahan untuk pertanian sangat mengancam kelangsungan keberadaan hutan alam. Keragaman hayati yang mampu mendukung kehidupan berbagai jenis flora dan fauna adalah hutan alam. Hutan alam yang ada sebagian besar berada dalam Kawasan Lindung yang telah ditata batas dan dikukuhkan, serta sebagian lagi berada dalam areal Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas. Keberadaan hutan alam ini telah terancam karena adanya pengkonversian hutan alam untuk dimanfaatkan sebagai perladangan, perkebunan, hutan tanaman bahkan pada tahun-tahun terakhir terdapat indikasi adanya penebangan liar oleh pihak swasta maupun penduduk lokal, yang berakibat pada turunnya aktifitas water surface run
off, (LTEMP 2004). Hal ini terjadi karena alasan ekonomi yaitu membuka lapangan pekerjaan dan lahan pertanian yang semakin sempit, sehingga bukan hanya menurunkan kualitas dan kuantitas habitat tetapi juga dapat menekan pertumbuhan berbagai jenis flora dan fauna yang ada terutama berbagai jenis/species endemik dilindungi yang harus dijaga kelestariannya. Penutupan lahan yang bervegetasi rapat dapat dimanfaatkan sebagai obyek dan atraksi wisata. Bentuk kegiatan wisata yang dapat dikembangkan adalah kegiatan wisata alam, karena kegiatan wisata alam merupakan suatu perjalanan menuju ke daerah-daerah yang lingkungan alamnya masih asli atau masih sedikit terusik ataupun tercemar. Aktivitas wisata alam yang dapat dilakukan adalah hiking, menjelajah gunung dan hutan, berkemah, dan menikmati pemandangan yang bersifat edukasi berupa pengamatan flora dan fauna karena tata hijau dan keragaman vegetasi hutan dan segala isinya memberikan potensi visual yang menarik untuk dinikmati dan dipelajari, tetapi penataannya disesuaikan dengan daya dukung lahannya. Jumlah penduduk yang semakin meningkat menyebabkan pertumbuhan areal permukiman baru yang tidak terpola dan tertata. Permukiman dan bangunan yang ada di pinggir danau mengambil sebagian areal badan danau. Adapun upaya perbaikan yang dapat dilakukan adalah penataan kembali pemukiman dan perhotelan yang ada dengan merelokasi kawasan tersebut untuk mengembalikan fungsi garis sempadan danau sebagai kawasan hijau sehingga dapat meningkatkan kualitas fisik DAS dan menjadi obyek dan atraksi wisata. Dari hasil penilaian kualitas fisik DAS luas kawasan yang memiliki kelas kesesuaian tinggi adalah 4126.34 ha atau 39.9%, sedang 6124.8 ha atau 59.3%, dan rendah 76.79 ha atau 0.8% (Gambar 10). Berdasarkan penilaian tersebut maka sebagai kawasan wisata dibutuhkan penataan dan pengembangan wisata. Usaha yang harus dilakukan adalah perbaikan secara ekologis pada fisik DAS, sebaiknya dilakukan secara alami yaitu dengan penanaman lahan gundul, mempertahankan penutupan vegetasi, meminimumkan bangunan permanen pada tapak yang peka, dan membatasi intensitas penggunaan pengunjung pada daerah yang rawan erosi. Tetapi tidak menutup kemungkinan untuk perbaikan secara struktural selama perbaikan tersebut tidak memberi dampak buruk bagi lingkungan, serta
mendukung aktifitas wisata. Selain itu perbaikan dapat dilakukan secara non fisik yaitu membuat peraturan yang jelas tentang kelestarian lingkungan dengan melakukan pendidikan dan pengarahan kepada masyarakat untuk berperan aktif didalam menjaga lingkungannya. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan suatu karakter lanskap yang unik, karena karakter lanskap yang unik pada suatu kawasan dapat menjadi unsur pendukung pengembangan kawasan wisata alam (Simonds 2006). Perbaikan dapat dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat lokal. Perbaikan tersebut diperlukan agar wisatawan yang beraktivitas di kawasan ini merasa aman dan nyaman.
Gambar 10. Peta Kesesuaian Wisata Berdasarkan Kondisi Fisik di Sub DAS Naborsahon.
b. Penilaian Kualitas Air Penilaian kualitas air dilakukan berdasarkan kualitas fisik air dan kualitas kimia air. Parameter kualitas fisik air adalah warna air, kecepatan arus, sedimentasi dan parameter kualitas kimia air adalah biochemical oxygen demand (BOD), chemical oxygen demand (COD) dan dissolved oxygen (DO). Penilaian kualitas air dilakukan pada sungai Naborsahon dan Danau Toba sebagai muara sungai tersebut. Tabel 17 dan Gambar 11 memperlihatkan hasil penilaian pada lima desa sebagai lokasi penelitian. Hasil penilaian tersebut menunjukkan, empat lokasi yang termasuk dalam kategori sedang (S), dan satu lokasi termasuk dalam kategori rendah (R).
Tabel 17. Hasil Penilaian Kualitas Air Kualitas fisik Daerah Desa/Kelurahan
Kualitas kimia
Kecepatan Warna air Sedimentasi arus N
BOD
COD
Kesesuaian wisata
DO
S
N
S
N
S
N
S
N
S
N
N
K
Hu T
1. Sipangan Bolon 20 2. Girsang 20
SS SS
5 5
TS TS
10 10
TS TS
20 20
KS KS
15 15
S S
20 SS 20 SS
S
90 90
S S
Hi Hi
3. Parapat 4. Tigaraja
20 15
SS S
20 20
SS SS
20 10
KS TS
20 20
KS KS
15 15
S S
15 S 10 KS
110 90
S S
Hi
5. P. Ajibata
10
KS
15
KS
10
TS
10
TS
10
KS
10 KS
65
R
Sumber : Olahan data lapangan, 2008 Keterangan : N= nilai, S = Skor (SS=sangat sesuai, S=sesuai, KS=kurang sesuai, TS=tidak sesuai), K = kategori (T=tinggi, S=sedang, R=rendah). Hu = hulu, T = tengah, Hi = hilir
Kualitas air, fluktuasi permukaan air dan pengelolaan daerah tepian air merupakan prinsip utama yang harus diperhatikan didalam merencanakan suatu badan air (Harris dan Dines 1988). Air danau merupakan salah satu modal utama dalam pengembangan wisata danau, dimana pantulan cahaya matahari yang mengenai air akan menimbulkan perasaan yang menyenangkan dan efek spirit terhadap pemandangan (Simonds 2006). Berdasarkan hal tersebut maka dalam pengembangan dan penataan kawasan wisata danau harus memperhatikan dan menjaga kualitas air. Secara umum hasil pengamatan visual yang dilakukan di lokasi penelitian memperlihatkan bahwa kondisi perairan sungai dan danau adalah jernih. Perairan Ajibata dengan situasi lingkungan pemukiman, perhotelan, pelabuhan kapal dan
merupakan muara dan hilir sub DAS Naborsahon memiliki warna air yang keruh. Perairan Tigaraja dengan situasi lingkungan pelabuhan kapal, pemukiman dan pasar memiliki warna air yang agak keruh, dan perairan Parapat dengan situasi lingkungan kawasan rekreasi, pemukiman dan hotel memiliki warna air yang jernih. Perairan Parapat yang memiliki warna air yang jernih dapat mendukung kegiatan aktivitas wisata air dan menjadi indikator bahwa kawasan tersebut dapat mendukung aktivitas wisata air. Bentuk kegiatan wisata yang dapat dilakukan adalah berenang, memancing, dayung dan sampan.
Gambar 11. Peta Kesesuaian Wisata Berdasarkan Kualitas air di Sub DAS Naborsahon.
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan danau sebagai obyek wisata menurut Nurisjah (2003), kelestarian, keberadaan dan keindahan badan air perlu dipertahankan fungsinya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa fungsi-fungsi dari badan air adalah sebagai pengendali iklim mikro, kesejahteraan dan kenyamanan manusia, sumber energi, alat transportasi, elemen rekreasi, melembutkan dan meningkatkan nilai estetika lanskap. Usaha untuk memanfaatkan dan melestarikan badan air sebagai obyek wisata harus terlebih dahulu diketahui bentuk, karakter, potensi, kendala dan bahaya yang dapat ditimbulkan dari badan air. Sifat fisik, kimia, dan biologis air merupakan penentu dasar dari rencana pemanfaatannya. Kualitas warna air pada umumnya dipengaruhi oleh sedimentasi. Hal ini disebabkan adanya kandungan tanah dan sedimentasi yang berasal dari erosi di bagian hulu sub DAS Naborsahon. Sedimentasi terjadi karena erosi akibat adanya pembabatan hutan yang tidak terkendali, penurunan luas hutan di daerah hulu, perluasan lahan pertanian dan peningkatan pemukiman di sekitar sub DAS Naborsahon, sehingga membawa partikel-pertikel lumpur kearah hilir (LTEMP 2004). Untuk mengurangi kekeruhan dan meningkatkan kualitas warna air dilakukan dengan pencegahan erosi dan sedimentasi di daerah hulu dengan cara sistem pertanian yang konservatif dan pola tanam yang baik (JICA 2003) serta menghentikan pembabatan hutan. Menurut (Barus 2007), lokasi yang terletak di tengah danau (sekitar 500 m dari pinggir danau) kecerahan air mencapai kedalaman 11-14 m dengan kandungan nutrisi dalam air masih rendah dan kadar oksigen masih terdeteksi sampai ke dasar danau pada kedalaman 200-500 m. Kecepatan arus adalah salah satu kondisi perairan yang sangat berkaitan dengan keamanan dan keselamatan para wisatawan yang melakukan kegiatan wisata air. Nilai kecepatan arus yang baik untuk aktivitas wisata air adalah < 0,51 m/det. Keberadaan perairan Danau Toba yang relatif tenang memberikan dampak positif bagi pengembangan wisata karena kecepatan arus yang rendah mendukung pengembangan kawasan wisata. Rendahnya kecepatan arus dapat menunjang aktivitas wisata air seperti, berenang, bersepeda air, memancing, olah raga air, bersepeda air dan berperahu menikmati alam serta melihat-lihat (sighseeing) budaya masyarakat di tepi danau dan fenomena alam yang ada (Gunn 1994).
Perairan Danau Toba tergolong perairan oligotrofik, yaitu perairan yang miskin zat hara dengan kandungan nutrisi dalam air yang rendah (Barus 2007). Arus di perairan relatif tenang, maka pencemaran air cenderung terjadi di tepi danau pada kedalaman hingga 10 meter (BAPEDALDASU 2003). Lokasi yang berdekatan dengan permukiman, perhotelan dan budidaya ikan dalam jaring apung terdeteksi kadar nutrisi yang tinggi serta ditandai dengan pertumbuhan eceng gondok (Eichornia crassipes) yang cukup subur (Barus 2007). Eceng gondok (Eichornia crassipes) yang tumbuh secara liar dan tidak terkendali dapat menurunkan kualitas air dan menjadi kendala bagi aktivitas wisata yang akan ditata dan direncanakan di permukaan danau. Kondisi ini banyak terdapat di perairan Parapat, Tigaraja dan Ajibata (Gambar 12), Untuk mengatasi pertumbuhan eceng gondok yang begitu pesat maka hal dapat dilakukan adalah pemberantasan, pembersihan badan danau dari eceng gondok, sampah dan limbah, serta memanfaatkan tanaman eceng gondok tersebut sebagai bahan baku kertas seni dan bahan dasar kerajinan (Pasaribu dan Sahwalita 2006).
Gambar 12. Keberadaan Eceng Gondok di Perairan Danau Toba
Penilaian kualitas kimia air sangat diperlukan untuk mengetahui tingkat pencemaran air untuk mendukung aktivitas wisata yang terkait langsung dengan air. Penilaian kualitas kimia air berdasarkan pada parameter biochemical oxygen demand (BOD), chemical oxygen demand (COD) dan dissolved oxygen (DO). Secara umum sub DAS Naborsahon mempunyai kualitas kimia air sedang, kadar BOD meningkat karena adanya kegiatan domestik di hilir. Kegiatan domestik menghasilkan limbah yang dapat mempengaruhi kualitas air danau terutama
peningkatan kadar zat organik dalam perairan yang selanjutnya akan meningkatkan kadar BOD dan COD. Selain itu tingginya kadar BOD di dalam danau kemungkinan berasal dari sisa pakan yang tidak habis oleh ikan budidaya. Hal ini terjadi karena semakin banyaknya budidaya ikan di dalam danau (Barus 2007). Peningkatan BOD mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut (DO) pada badan air, sehingga dapat mempengaruhi kehidupan biota dalam badan air. Kegiatan domestik yang dapat menghasilkan limbah adalah kegiatan pemukiman dan pariwisata (hotel dan restauran), yang mengakibatkan pencemaran air danau sehingga akan mengurangi kinerjanya dalam memenuhi kebutuhan air bersih penduduk (BAPEDALDASU 2003) dan menghambat pengembangan kegiatan pariwisata. Sistem pengolahan limbah yang baik dan memasang penyaringan air di sungai dan saluran air yang masuk kedalam danau merupakan solusi untuk menjaga kualitas air danau tetap baik. Beroperasinya perahu bermotor sebagai sarana transportasi ke pulau Samosir dan sekitarnya di perairan Danau Toba ikut memberikan andil dalam mencemari air danau dengan minyak dan lemak. Oleh karena itu pengoperasian perahu bermotor saat ini perlu diperhatikan jumlah dan intensitas pemakaiannya, sehingga cairan minyak di danau dapat dikurangi jumlahnya. Luas areal yang dinilai terdiri dari lima desa/kelurahan yang mewakili sub DAS Naborsahon adalah 5404.9 ha atau 52.3% dari seluruh seluruh luas sub DAS tersebut, dan hasilnya menunjukan secara umum tidak ada yang termasuk dalam kategori tinggi (T), 48.9% termasuk dalam kategori sedang dan 3.4% termasuk dalam kategori rendah. Untuk meningkatkan kualitas air dalam mewujudkan rencana penataan dan pengembangan kawasan wisata, maka pemerintah harus tegas dalam penerapan peraturan pengolahan limbah bagi pengusaha dan penduduk, karena fasilitas pengolahan limbah sudah tersedia tetapi tidak dimanfaatkan secara maksimal. Penerapan peraturan tersebut seperti, pemberian denda bagi yang melanggar, dan memberi penghargaan bagi yang menjaga dan ikut berperan aktif dalam perbaikan lingkungan. Danau Toba dengan potensi dan bentang alamnya menjadi aset wisata yang memerlukan pengelolaan dan penataan untuk pengembangan wisata sehingga tercapai wisata yang berkelanjutan.
c. Kondisi Ekologis Dari hasil penilaian kualitas fisik DAS dan penilaian kualitas air menghasilkan klasifikasi kesesuaian wisata berdasarkan kondisi ekologis. Berdasarkan hasil analisis pada kelima desa yang diteliti, secara ekologis dapat disimpulkan bahwa kelima desa tersebut yang berada di dalam sub DAS Naborsahon memiliki kesesuaian wisata potensial (Tabel 18 dan Gambar 13). Luas areal yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata hanya 9.56 ha atau 0.1% dari luas sub DAS Naborsahon dan 5435.9 atau 52.6% yang berpotensi, dan 4885.3 atau 47.3% tidak termasuk dalam penilaian. Untuk itu harus dilakukan penataan dan pengembangan kawasan wisata dengan beberapa program perbaikan dan penataan ulang dengan tujuan meningkatkan kualitas lingkungan sehingga tercapai kawasan wisata yang berkelanjutan. Pengembangan dan penataan kawasan wisata Danau Toba dengan konsep wisata alam menitik beratkan pada pengurangan dampak negatif dan menekankan pada pembangunan yang berdampak rendah terhadap lingkungan sehingga kualitas lingkungan tetap terjaga. Penurunan kualitas ekologis mengakibatkan berkurangnya daya tarik dan atraksi wisata yang akan berdampak bagi kepuasan wisatawan dalam memperoleh pengalaman berwisata.
Tabel 18. Klasifikasi Kesesuaian Wisata Berdasarkan Kondisi Ekologis di Sub DAS Naborsahon Daerah
Desa/Kelurahan
Kualitas fisik Sub DAS
Kualitas air
Kesesuaian Wisata
N S N S N K 1. Sipangan Bolon 120 S 90 S 210 S2 2. Girsang 125 S 90 S 215 S2 3. Parapat 135 S 110 S 245 S2 4. Tigaraja 140 S 90 S 230 S2 5. Pardamean Ajibata 130 S 65 R 195 S2 Sumber : Olahan data lapangan, 2008 Keterangan : N = nilai, S = Skor (T=tinggi, S=sedang, R=rendah), K = kategori (S1=sangat potensial, S2=potensial, S3=tidak potensial). Hu = hulu, T = tengah, Hi = hilir Hu T Hi Hi Hi
Gambar 13. Peta Kesesuaian wisata Berdasarkan Kondisi Ekologis di Sub DAS Naborsahon.
5.1.2. Aspek Wisata Kondisi wilayah di sub DAS Naborsahon dengan luas dan beragamnya topografi, kemiringan, iklim, keindahan alam, dan kondisi sosial budaya masyarakat, sehingga kawasan ini memiliki banyak potensi wisata dan berpotensi pula untuk menampung kegiatan wisata. Bentuk perwujudan sebagai kawasan wisata dapat dilakukan dengan penilaian terhadap aspek wisata yang berdasarkan pada penilaian potensi obyek dan atraksi wisata dan penilaian kelayakan obyek dan daya tarik wisata.
a. Penilaian Potensi Obyek dan Atraksi Wisata Penilaian tahap pertama adalah penilaian potensi obyek dan atraksi wisata yang berdasarkan pada tujuh parameter penilaian, yaitu kerajinan, upacara agama, upacara adat, kesenian, bangunan, bahasa, dan permainan rakyat. Obyek dan atraksi wisata yang tersedia di sepanjang lokasi penelitian cukup beragam. Jika dilihat dari sebarannya, di setiap lokasi minimal terdapat satu obyek wisata, dengan satu atau lebih atraksi wisata. Hasil penilaian yang ditunjukkan pada Tabel 19, memperlihatkan kelurahan Parapat yang memiliki tujuh obyek dan 12 atraksi wisata memiliki potensi wisata tinggi (T), kelurahan Tigaraja dengan tiga obyek dan tujuh atraksi wisata, memiliki potensi wisata sedang (S), dan tiga desa lainnya memiliki potensi wisata rendah (R). Dengan potensi yang ada perlu dilakukan penataan dan pengembangan kawasan, sehingga potensi yang ada berkelanjutan. Obyek dan atraksi wisata yang ada dapat dilihat pada tabel 20. Tabel 19. Penilaian Potensi Obyek dan Atraksi Wisata di Sub DAS Naborsahon Daerah Hu T Hi Hi Hi
Desa/Kelurahan 1. Sipangan Bolon 2. Girsang 3. Parapat 4. Tigaraja 5. Pardamean Ajibata
I 10 13 28 28 10
II 14 16 22 19 17
Parameter III IV V 28 14 10 30 18 16 40 29 25 34 22 25 26 18 12
VI 36 36 30 30 36
VII 18 22 32 24 18
N
P
130 151 206 182 137
R R T S R
Sumber : Olahan data lapangan, 2008, (n=11) Keterangan : Parameter (I = kerajinan, II = upacara agama, III = upacara adat, IV = kesenian, V = bangunan, VI = bahasa, VII = permainan rakyat). N = nilai, P = potensi (T = tinggi, S = sedang, R = rendah)
Hu = hulu, T = tengah, Hi = hilir
Danau Toba memiliki bentang alam yang sangat luas, sehingga obyek dan atraksi wisata yang ada dapat mewakili berbagai karakteristik berdasarkan lingkungan fisik daratan (terestrial) dan lingkungan perairannya (akuatik), ketinggian (pantai hingga gunung), dan sumber daya alam (sumber daya alam dan sumber daya sosial ekonomi) (Gambar 14). Atraksi merupakan syarat utama adanya suatu kegiatan wisata, merupakan elemen dasar yang berkaitan dengan pengalaman (experience) wisatawan. Atraksi selain karena keunikan dari suatu tapak juga karena keberadaannya dalam suatu ruang spasial (Fennell 1999).
Tabel 20. Potensi Obyek dan Atraksi Wisata di Sub DAS Naborsahon Daerah
Desa
Obyek wisata
1. Sipangan Bolon
Hutan wisata alam Pertanian
T
2. Girsang
Hi
3. Parapat
Pemukiman Hutan wisata alam Pesta adat
Hu
Pemukiman Hutan wisata alam Air terjun halambingan Pertanian
Pemukiman Batu gantung Bangunan Bumi perkemahan Wisata air
Hi
4. Tigaraja
Pemukiman Wisata air
Hi
5. Pardamean Ajibata
Pasar tradisional Pemukiman Wisata air
Atraksi wisata
Pemandangan alam Lahan pertanian kopi Sawah Tradisi Masyarakat Pemandangan hutan Wisata air Lahan pertanian kopi Sawah Tradisi Masyarakat Pemandangan hutan pinus Festival budaya Atraksi kesenian Tradisi Masyarakat Wisata legenda Istana presiden Berkemah Pemandangan danau Memancing Berenang Bersampan Bersepeda air Tradisi Masyarakat Pemandangan danau Memancing Berenang Bersampan Bersepeda air Tradisi Masyarakat Tradisi Masyarakat Pemandangan danau Memancing Berenang Bersampan Bersepeda air
Kondisi alam yang masih relatif alami, yaitu berupa pemandangan gunung, hutan, dan danau yang cukup luas dengan pulau Samosir berada di tengahnya, riak air dan pantulan bayangan pepohonan pada perairan danau mampu memberikan kesan dinamis pada kawasan. Deretan pegunungan yang masih relatif hijau memperkuat karakter lanskap dan merangsang keinginan wisatawan untuk berkunjung. Menurut Gunn (1994), suatu kawasan yang dikembangkan untuk tujuan wisata karena terdapat atraksi yang merupakan komponen dan suplay. Atraksi merupakan alasan terkuat untuk perjalanan wisata, bentuknya dapat berupa ekosistem, tanaman langka, landmark, atau satwa. Keindahan alam danau toba dan sekitarnya
dapat dinikmati dari tepian danau, perbukitan atau melalui perairan yang dapat ditempuh dengan transportasi air ataupun melalui jalan darat.
b. Istana presiden
a. Atraksi kesenian
d. Semenanjung Parapat
c. Wisata legenda, batu gantung
d. Pemandangan hutan pinus e. Rumah tradisional
h. Pemandangan danau Sumber: yuzni (2008); http://www.simalungunkab.co.id, http://www.tonggio.files.wordpress.com, http://i50.photobucket.com
Gambar 14. Obyek dan Atraksi Wisata di Sub DAS Naborsahon
Permukiman dan fasilitas wisata dengan arsitektur batak moderen yang ada di lokasi wisata kondisinya cukup baik. Pada umumnya bangunan tertata dengan baik, namun beberapa bangunan tampak dibangun secara permanen di daerah sempadan danau yang memiliki kemiringan lahan yang tinggi sehingga membahayakan lingkungan dan menjadi bad view bagi kawasan. Tindakan penataan perlu dilakukan dengan menghindari pembangunan pada daerah-daerah yang labil. Upaya untuk memisahkan pemandangan-pemandangan yang buruk dari kegiatan wisata dapat dilakukan dengan menambahkan vegetasi sebagai pembatas pandangan. b. Penilaian Kelayakan Obyek dan Daya Tarik Wisata Penilaian tahap kedua, adalah melihat tingkat kelayakan obyek dan atraksi wisata yang tersedia untuk dilakukan penataan dan pengembangan kawasan wisata. Penilaian berdasarkan pada lima parameter hasil modifikasi Inskeep (1991), Umar (2005), dan Yusiana (2007). Tabel 21. Penilaian Kelayakan Obyek dan Atraksi Wisata di Sub DAS Naborsahon Daerah
Desa
Potensi wisata
Parameter II III IV 75 10 10 50 10 10
V 15 30
VI 20 30
N
K
190 160
TP TP
Hu
1. S. Bolon
1. Hutan alam 2. Lahan pertanian kopi
I 60 30
T
2. Girsang
1. Hutan alam 2. Air terjun Halambingan 3. Lahan pertanian kopi
60 90 30
50 100 50
10 20 10
10 30 10
15 45 30
30 40 30
175 325 160
TP SP TP
Hi
3. Parapat
1. Wisata air 2. Hutan wisata alam
90 60
50 50
20 10
40 20
60 30
40 40
300 210
SP P
3. Festival budaya
120
75
40
30
60
40
365
SP
4. Batu gantung
120
100
30
20
60
40
370
SP
5. Istana presiden 6. Bumi perkemahan
120 120
100 75
30 20
20 30
60 45
40 40
370 330
SP SP
Hi
4. Tigaraja
1. Wisata air 2. Pasar tradisional
90 90
50 75
20 20
30 20
60 45
40 40
290 290
P P
Hi
5. P. Ajibata
1. Wisata air
90
50
20
20
45
40
265
P
Sumber : Olahan data lapangan, 2008, (n=150) Keterangan : Parameter (I=Obyek dan atraksi, II=Estetika dan Keaslian, III=Fasilitas Pendukung, IV=Ketersediaan Air, V=Transportasi dan Aksesibilitas, VI=Dukungan dan Partisipasi Masyarakat). N = nilai, K = klasifikasi (SP=sangat potensial, P=potensial, TP=tidak potensial). Hu = hulu, T = tengah, Hi = hilir
Hasil penilaian yang ditunjukkan pada Tabel 21 memperlihatkan enam obyek wisata yang sangat potensial (SP) sebagai sumberdaya wisata, 3 obyek cukup berpotensi (P), tetapi perlu beberapa perbaikan dan penataaan serta penambahan untuk meningkatkan kualitasnya, dan lima obyek wisata tidak potensial (TP), untuk obyek wisata ini perlu perlakuan sangat khusus dan serius untuk meningkatkan potensi sebagai obyek wisata. Berdasarkan kondisi wisata yang ada maka obyek dan atraksi di sub DAS Naborsahon berpotensi untuk dikembangkan sebagai obyek dan atraksi wisata. kondisi potensi wisata yang ada dapat lihat pada Lampiran 1. Hal yang harus dilakukan adalah penataan dan perbaikan kembali kawasan wisata untuk meningkatkan kualitas lingkungan wisatanya. c. Kondisi Wisata Dari hasil penilaian dua tahap sebelumnya dan dapat dilihat pada Gambar 15 menunjukkan bahwa desa yang sangat potensial (SP) adalah Kelurahan Parapat, Kelurahan Tigaraja dengan kondisi wisata yang potensial (P), dan desa Sipangan Bolon, Girsang dan Pardamean Ajibata dengan kondisi wisata yang tidak potensial (TP). Secara umum seluruh obyek dan atraksi yang tersedia perlu perbaikan, terutama pada aspek ekologis, dan kelengkapan fasilitas wisata. Dalam upaya perbaikan obyek dan atraksi wisata agar lebih ekologis, dapat dilakukan upaya seperti, penataan ulang orientasi obyek wisata dan penambahan vegetasi di sekitar lingkungan obyek dan atraksi wisata tersebut. Sedangkan fasilitas yang akan di tambahkan pada setiap obyek dan atraksi wisata, disesuaikan dengan kebutuhan kawasan dan bersifat ekologis. Potensi obyek dan atraksi yang berada di dalam sub DAS Naborsahon didominasi oleh obyek dan atraksi wisata alam dan kurang pada obyek dan atraksi wisata budaya. Menurut Gunn (1994), wisata alam adalah kegiatan wisata dengan atraksi utamanya adalah sumber daya alam yang terdiri dari lima bentukan dasar alam yaitu: air, perubahan topografi, flora, fauna, dan iklim. Bentuk sumberdaya alam yang sangat umum untuk dikembangkan adalah danau, sungai, air terjun dan sebagainya. Dengan demikian, tema wisata yang dapat dikembangkan di kawasan ini adalah wisata alam sebagai wisata utama dengan obyek utamanya Danau Toba dan budaya yang ada sebagai penunjangnya.
Keterangan 1. Hutan alam 2. Lahan pertanian kopi 3. Hutan alam 4. Air terjun Halambingan 5. Lahan pertanian kopi 6. Wisata air 7. Hutan wisata alam 8. Festival budaya 9. Batu gantung 10. Istana presiden 11. Bumi perkemahan 12. Wisata air 13. Pasar tradisional 14. Wisata air
Gambar 15. Peta Kesesuaian Wisata Berdasarkan Obyek dan Atraksi Wisata di Sub DAS Naborsahon.
5.1.3. Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Aspek sosial ekonomi adalah salah satu aspek dalam melihat kondisi masyarakat dan kegiatannya dalam pemenuhan kebutuhan hidup serta peranan dan tingkat akseptibilitas dalam pengembangan suatu kawasan (Umar 2006). Dalam penelitian ini untuk mengetahui kondisi masyarakat, dilakukan dua tahap penilaian. Pertama, menilai akseptabilitas atau dukungan masyarakat terhadap penataan dan pengembangan kawasan wisata di lingkungannya, dan kedua,
melihat preferensi masyarakat terhadap jenis partisipasi di kawasan wisata tersebut. a. Akseptabilitas Masyarakat terhadap Rencana Penataan Kawasan Wisata Danau Toba dan kawasan di sekitarnya merupakan suatu ekosistem yang mempunyal nilai tinggi, baik nilai ekologi, sosial budaya, maupun ekonomi bagi kehidupan manusia. Bagi masyarakat yang bermukim di sekitar Danau Toba, potensi sumberdaya alam yang merupakan dataran tinggi dan sebagian besar merupakan lahan kering namun dikaruniai oleh pemandangan alam dan danau yang indah, mengakibatkan masyarakat mulai memanfaatkan keindahan alam yang dipadukan dengan budaya tradisional Batak sebagai atraksi budaya, yang pada akhirnya menjadi sumber mata pencaharian sekaligus fenomena sosial ekonomi yang dominan di kawasan tersebut. Sehingga terjalin hubungan yang saling membutuhkan antara manusia dengan danau. Berdasarkan hal tersebut, sangat perlu untuk mengetahui tingkat penerimaan masyarakat terhadap rencana penataan dan pengembangan kawasan wisata, karena masyarakat merupakan bagian dari lingkungan yang merasakan dampak dan manfaat dari perubahan di lingkungan tersebut (Rosmalia 2008). Dampak negatif pada kawasan yang dikembangkan sebagai kawasan wisata dapat dikurangi dengan keikutsertaan masyarakat dalam aktifitas kepariwisataan di kawasan tersebut (Place1998 diacu dalam Buchsbaum 2004). Keikutsertaan masyarakat dalam menerima wisata dan menjadi bagian dari sistem wisata akan mempermudah dalam proses penataan dan pengembangan. Keterlibatan masyarakat dapat mengurangi kemungkinan konflik yang akan terjadi dimasa mendatang dan mengurangi terjadinya kesalahan informasi (Suwantoro 1997). Untuk mengetahui keikutsertaan masyarakat, dilakukan penilaian untuk melihat tingkat akseptibilitas atau dukungan masyarakat. Penilaian tingkat akseptabilitas atau dukungan masyarakat dilakukan melalui wawancara dengan 150 orang responden, yang dipilih secara acak di setiap lokasi penelitian. Berdasarkan hasil penilaian yang ditunjukkan Tabel 22, terlihat tingkat akseptabilitas masyarakat di seluruh lokasi penelitian mempunyai
skor tinggi (T). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sangat mendukung rencana penataan dan pengembangan kawasan wisata di sub DAS Naborsahon. Tabel 22. Tingkat Akseptabilitas Masyarakat terhadap Rencana Penataan kawasan Kawasan Wisata di Sub DAS Naborsahon Zona Hu T Hi Hi Hi Sumber
Desa/Kelurahan 1. Sipangan Bolon 2. Girsang 3. Parapat 4. Tigaraja 5. Pardamean Ajibata
I 105 104 120 120 108
II 104 99 106 106 101
III 105 105 107 105 105
IV V T 103 91 508 113 96 517 120 106 559 115 101 547 109 97 520
S T T T T T
: Olahan data lapangan, 2008, (n=150).
Keterangan: I = Penataan kawasan sebagai daerah tujuan wisata. II = Pengelolaan kawasan wisata oleh masyarakat. III = Peran aktif masyarakat dalam pariwisata. IV = Keberadaan wisatawan. V = Keuntungan kegiatan wisata S = Skor (T=tinggi, S=sedang, R=rendah) Total = Total nilai (maksimal 600, minimal 150) Hu = hulu, T = tengah, Hi = hilir
Masyarakat di sub DAS Naborsahon memberikan tanggapan yang positif dalam penataan dan pengembangan kawasan wisata. Sebagian besar masyarakat menerima apabila dilakukan penataan dan pengembangan kawasan wisata dan masyarakat akan berperan aktif didalamnya. Masyarakat juga lebih memilih untuk mengelola sendiri kawasan wisata tersebut karena dapat memperkirakan berbagai keuntungan dari adanya kegiatan wisata di daerahnya. Berkembangnya sektor pariwisata di kawasan ini akan berakibat ganda terhadap sektor lainnya seperti, pertanian, peternakan, kerajinan rakyat, permodalan, industri, dan lainnya, dimana produk dari sektor-sektor tersebut diperlukan untuk menunjang perkembangan pariwisata. b. Preferensi Masyarakat terhadap Peluang Kegiatan Ekonomi Penilaian preferensi masyarakat terhadap peluang kegiatan ekonomi diperlukan untuk melihat tingkat keinginan masyarakat untuk terlibat langsung di kawasan wisata. Penyelenggaraan wisata dapat terus berlanjut apabila masyarakat ikut terlibat didalamnya dan masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraannya dari kegiatan wisata tersebut. Jika ini berjalan dengan baik maka dapat menunjang kelangsungan penyelenggaraan wisata di kawasan tersebut. Horwich et al. (1995)
mengatakan partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan penataan kawasan wisata merupakan usaha bersama antara masyarakat dan pengunjung untuk melindungi lingkungan budaya dan ekologis, melalui dukungan terhadap pembangunan masyarakat setempat, dalam mengontrol dan mengelola sumber daya agar tetap lestari dan mampu memenuhi kebutuhan secara sosial, budaya dan ekonomi. Penilaian preferensi masyarakat terhadap peluang kegiatan ekonomi di sub DAS Naborsahon dilakukan pada 150 orang responden. Masyarakat lokal dapat menerima kegiatan wisata apabila mereka percaya bahwa wisata dapat memberikan dampak positif dalam kehidupan mereka dengan memperbaiki usaha perdagangan lokal, menggunakan tenaga kerja lokal, dan meningkatkan pendapatan rumah tangga (Buchsbaum 2004). Peluang ekonomi bagi masyarakat lokal di sub DAS Naborsahon dapat diwujudkan dengan memberi kesempatan bagi masyarakat lokal untuk melakukan usaha yang terkait langsung dengan wisata maupun yang hanya bersifat menunjang ekonomi wisata. Hasil penilaian yang ditunjukkan Tabel 23, memperlihatkan masyarakat di bagian hulu dan tengah (Desa Sipangan Bolon dan Girsang) lebih memilih peluang ekonomi yang dekat dengan kehidupan keseharian mereka, yaitu sebagai petani, maka berdasarkan penilaian daerah hulu dan tengah tidak potensial sebagai zona wisata. Sedangkan peluang ekonomi di bagian hilir sangat potensial (Parapat dan Tigaraja) dan potensial (Pardamean Ajibata) sebagai zona wisata, karena keberadaan kegiatan wisata di ketiga desa ini telah berlangsung lama, mengakibatkan masyarakat lebih memilih peluang ekonomi yang terkait langsung dengan wisata. Masyarakat di setiap desa memiliki preferensi yang tinggi terhadap kegiatan pembuatan souvenir yang memerlukan keahlian khusus agar produk yang dihasilkan layak untuk diperdagangkan kepada wisatawan. Untuk memenuhi permintaan wisatawan tersebut disarankan untuk melakukan pelatihan bagi masyarakat lokal dan menggunakan bahan-bahan lokal yang ada dilokasi, seperti pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan dasar kerajinan. Jika hal ini berjalan dengan baik, akan terjadi keseimbangan antara lingkungan dengan manusia yang menghasilkan produk wisata yang berkelanjutan. Produk sustainable tourism
merupakan produk yang dioperasikan dalam keharmonisan antara lingkungan lokal, masyarakat dan budaya sehingga mendatangkan keuntungan bagi mereka dan bukan menjadi korban pengembangan wisata (Wramner et al. 2005). Tabel 23. Preferensi Masyarakat Terhadap Peluang Kegiatan Ekonomi Daerah Hu
T
Hi
Hi
Hi
Sumber
Desa/kelurahan
Peluang Kegiatan Ekonomi
1. Sp. Bolon
2. Girsang
3. Parapat
4. Tigaraja
5. Pardamean Ajibata
Kategori
1. Pembuatan dan penjualan souvenir 2. Bertani/berternak 3. Penyedia produk pertanian
S3
1. Pembuatan dan penjualan souvenir 2. Bertani/berternak 3. Penyedia produk pertanian
S3
1. Mengembangkan obyek dan atraksi wisata 2. Membuka toko/restaurant/penginapan 3. Pagelaran seni dan budaya
S1
1. Mengembangkan obyek dan atraksi wisata 2. Membuka toko/restaurant/penginapan 3. Pembuatan dan penjualan souvenir
S1
1. Pembuatan dan penjualan souvenir 2. Membuka toko/restaurant/penginapan 3. Bertani/berternak
S2
: Olahan data lapangan, 2008, (n=150).
Keterangan: S1 = sangat potensial, S2 = potensial, S3 = tidak potensial Hu = hulu, T = tengah, Hi = hilir
c. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Gabungan
antara
akseptibilitas
dan
peluang
ekonomi
masyarakat
diwujudkan dalam zona akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat yang terdiri dari zona sangat aktif (S1), zona aktif (S2), dan zona tidak aktif (S3). Zona sangat aktif adalah zona dengan tingkat akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat yang sangat tinggi, yang termasuk didalam zona ini adalah desa Parapat dan Tigraja. Zona aktif adalah zona dengan tingkat akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat yang tinggi, yang termasuk didalam zona ini adalah desa Pardamean Ajibata. Zona tidak aktif adalah zona dengan tingkat akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat yang rendah, yang termasuk didalam zona ini adalah desa Sipangan Bolon dan Girsang. Distribusi zona peringkat akseptibilitas dan peluang ekonomi dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Peta Kesesuaian Wisata Berdasarkan Potensi Masyarakat di Sub DAS Naborsahon.
5.2. Analisis Prioritas Penataan Kawasan Wisata Berkelanjutan Kawasan Wisata Danau Toba (KWDT) dengan segala potensi yang dimiliki membutuhkan penataan dan pengelolaan agar kawasan wisata yang ada dapat berkelanjutan, untuk itu perlu dilakukan upaya pelestarian kawasan. Penataan berorientasi pada kepentingan masa depan terutama untuk mendapatkan suatu bentuk social good (Nurisyah 2003). Hal ini dilakukan untuk memperkecil dampak lingkungan fisik dikemudian hari dengan melindungi lingkungan danau.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah melalui penentuan prioritas penataan KWDT berkelanjutan agar tercapai suatu arahan kebijakan pengolahan dalam pengelolahan dan penataannya, sehingga kondisi lingkungan wisata dapat berkelanjutan. Penentuan prioritas yang dapat diterapkan di KWDT dilakukan melalui analisis Proses Hierarki Analitik (PHA). Penataan dan pengelolaan kawasan yang dilakukan didasarkan pada prioritas utama dari tiga alternatif. Prioritas utama ditentukan berdasarkan pendapat responden ahli (n=4) yang mengetahui permasalahan di lokasi sehingga tujuan yang terpilih dapat dikembangkan. 5.2.1. Penilaian Kriteria untuk Mencapai Tujuan Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai Consistency Ratio (CR) sebesar 0.03. Nilai ini menunjukkan bahwa informasi yang diperoleh berada pada tingkat kepercayaan yang cukup tinggi, cukup baik dan dapat diterima. Responden konsisten dalam pemberian nilai bobot dengan tingkat penyimpangan yang kecil. Penilaian terhadap kriteria untuk mencapai tujuan berdasarkan pada perbaikan kualitas lingkungan, peran aktif masyarakat, pengembangan potensi wisata, dan perlindungan kawasan Danau Toba (Tabel 24). Tabel 24. Penilaian Bobot dan Prioritas Pada Level Kriteria Kriteria Bobot Prioritas Perbaikan kualitas lingkungan 0.41 1 Peran aktif masyarakat 0.18 3 Pengembangan Potensi Wisata 0.08 4 Perlindungan kawasan Danau Toba 0.33 2 Consistency Ratio (CR) 0.03 Sumber: Data olahan, 2008.
Menurut responden perbaikan kualitas lingkungan adalah prioritas utama yang harus dilakukan, karena secara ekologis lingkungan di KWDT sudah mulai rusak akibat dari perilaku masyarakat dan para pengusaha, serta bencana alam di kawasan tersebut (Darwo 2006). Untuk mengatasi permasalahan tersebut dibutuhkan peran aktif masyarakat dalam bentuk keterlibatan langsung dalam penataan, pengelolaan dan pengembangan wisata. Proses keterlibatan masyarakat tergantung pada potensi sumber daya manusia dan kemampuan yang ada (Nurisjah et al. 2003). Keterlibatan masyarakat diharapkan dapat berperan aktif
didalam perbaikan lingkungan dan selanjutnya diharapkan masyarakat juga berperan aktif melakukan perlindungan terhadap kawasan danau Toba sehingga kualitas lingkungan yang diinginkan dapat dicapai. Kriteria yang ada diharapkan berdampak positif terhadap pengembangan potensi wisata. Obyek dan atraksi wisata yang ada merupakan potensi wisata yang membutuhkan pengembangan dan penataan yang intensif, karena obyek dan atraksi merupakan elemen dasar yang biasanya merupakan hasil dari pengembangan dan pengelolaan (Gunn 1994). Potensi wisata yang tertata dengan baik akan membuka peluang ekonomi masyarakat yang lebih besar. Pencegahan perubahan lingkungan dapat dilakukan apabila mendapat perhatian secara holistik dari semua pihak, baik pemerintah, LSM, masyarakat dan swasta. 5.2.2. Penilaian Alternatif Berdasarkan Kriteria untuk Mencapai Tujuan Kondisi ekologis di KWDT pada saat ini sudah mulai menunjukkan tanda kerusakan lingkungan sehingga perlu adanya perbaikan kualitas lingkungan. Kerusakan ini disebabkan karena adanya penggundulan hutan mengakibatkan bahaya erosi dan kebakaran hutan (Aswandi dan Sunandar 2007), budidaya ikan menghasilkan limbah organik yang tinggi (Barus 2007), dan semakin berkembangnya
eceng
gondok
(BAPEDALDASU
2003).
Tabel
25
memperlihatkan bahwa aspek ekologis merupakan prioritas utama berdasarkan kriteria yang ada. Tabel 25. Penilaian Bobot dan Prioritas Pada Level Alternatif Kriteria Perbaikan kualitas lingkungan Peran aktif masyarakat Pengembangan Potensi Wisata Perlindungan kawasan danau Toba
Aspek Ekologis 0.62 0.46 0.58 0.71
Alternatif Aspek Sosek 0.29 0.32 0.18 0.14
Aspek Wisata 0.09 0.22 0.24 0.15
Sumber: Data olahan, 2008.
Perbaikan kualitas lingkungan dilakukan dengan mengajak dan memberi penerangan kepada masyarakat tentang cara pengolahan lahan pertanian yang baik sehingga dapat dikembangkan menjadi salah satu obyek wisata yaitu wisata agro. Selain itu hal yang harus dilakukan adalah melarang dengan tegas dan memberlakukan sanksi penebangan hutan oleh masyarakat ataupun penebang liar
lainnya, dan membatasi penggunaan perairan danau seperti budidaya ikan. Jika secara ekologis perbaikan kualitas lingkungan dapat tercapai maka perbaikan kualitas lingkungan berdasarkan aspek wisata akan mengikutinya dan secara otomatis akan terjadi peningkatan pada lingkungan sosial ekonomi masyarakat. Perbaikan lingkungan bertujuan untuk penataan, pengembangan dan perlindungan kawasan wisata yang akhirnya dapat meminimalisasi dampak lingkungan yang akan terjadi dimasa depan. Penilaian berdasarkan kriteria peran aktif masyarakat menunjukkan bahwa aspek ekologis menduduki prioritas utama. Responden beranggapan bahwa semakin baik ekologis jika masyarakat dilibatkan langsung dalam pengembangan dan penataan kawasan, sehingga mereka akan berperan aktif memperbaiki dan menjaga lingkungannya. Aspek ekologis dinilai penting karena sebagai suatu sistem, aspek ini sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan wisata. Penataan dan pengelolaan yang baik juga akan menarik jumlah pengunjung yang berarti dapat meningkatkan nilai pendapatan bagi masyarakat lokal dan pemerintah daerah. Jika nilai ekologis semakin baik maka nilai wisata yang terkandung dalam suatu kawasan wisata akan semakin baik. Semua ini akan berdampak positif terhadap sosial ekonomi masyarakat dan peningkatan pendapatan masyarakat. Menurut Gunn (1994), perencanaan, penataan dan pengelolaan wisata yang baik dapat membuat kehidupan masyarakat lebih baik, meningkatkan ekonomi, dan melindungi lingkungan. Hasil penilaian responden berdasarkan kriteria pengembangan potensi wisata adalah aspek ekologis. Responden beranggapan obyek dan atraksi akan semakin baik jika aspek ekologis menjadi prioritas utama bagi pengembangan potensi wisata. Obyek dan atraksi dapat berupa keunikan suatu tapak atau suatu ruang spasial (Gunn 1994). Hal ini sangat sesuai dengan
jenis wisata yang
terdapat di KWDT yaitu wisata alam. Pengembangan potensi wisata dapat dilakukan dengan menjaga, melindungi dan melestarikan obyek dan atraksi yang ada sebagai daya tarik wisata, sehingga keberadaan kawasan wisata akan keberlanjutan. Salah satu potensi wisata tersebut adalah potensi budaya masyarakat. Nilai-nilai budaya yang ada harus tetap dipertahankan untuk menjaga keseimbangan antara masyarakat dan lingkungan ekologis. Untuk itu, perlu
dilakukan penataan konsep wisata yang lebih menonjolkan kehidupan asli masyarakat lokal. Prioritas utama penilaian berdasarkan kriteria perlindungan kawasan Danau Toba adalah aspek ekologis. Responden beranggapan bahwa Danau Toba merupakan salah satu aset yang harus dijaga dan dilestarikan sehingga masyarakat harus melakukan perlindungan terhadap kawasan tersebut. Jika hal ini berjalan dengan baik maka keberlanjutan sebagai kawasan wisata dapat berjalan dengan baik. Wisata dianggap dapat memperbaiki kualitas lingkungan dan kualitas ekonomi bagi masyarakat setempat jika wisata tersebut dikembangkan dengan dukungan masyarakat (Alderson dan Low 1996). Penataan kawasan di KWDT seharusnya lebih ditekankan pada peningkatan kestabilan ekologis sub DAS dan danau agar kelestarian lingkungan danau tetap terjaga. Selanjutnya dalam perlindungan kawasan Danau Toba aspek sosial ekonomi merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan, karena KWDT merupakan kawasan wisata yang diharapkan dapat menyokong dan menambah pendapatan masyarakat. Dengan alasan penyelamatan kawasan danau yang telah mengalami penurunan kualitas dan daya dukung, maka diharapkan peran aktif masyarakat untuk menjaga, memelihara, dan melindungi kestabilan kawasan danau agar tetap terjaga dengan baik. 5.2.3. Sintesa Alternatif Menurut Kriteria Alternatif prioritas penataan KWDT yang akan dikembangkan di kawasan wisata Danau Toba dapat diketahui berdasarkan hasil analisis gabungan pendapat responden. Hasil analisis menunjukkan bahwa aspek ekologis merupakan prioritas pertama, aspek sosial ekonomi prioritas kedua dan aspek wisata prioritas ketiga (Tabel 26). Tabel 26. Hasil Penilaian Alternatif untuk Mencapai Tujuan Alternatif Bobot Prioritas Aspek ekologis 0.61 1 Aspek sosek 0.24 2 Aspek wisata 0.15 3
Aspek ekologis merupakan salah satu alternatif untuk mempertahankan kelestarian, karena ekologi merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk menekan masalah yang timbul sebagai akibat dari perubahan global yang disebabkan manusia (Forman & Gordon 1996). Usaha yang harus dilakukan adalah dengan penanaman kembali hutan yang telah gundul, dan pemerintah menindak tegas terhadap penebangan liar. Hal lain yang harus dilakukan adalah meninjau kembali keberadaan kerambah ikan yang semakin banyak untuk mencegah pencemaran air danau (Barus 2007) dan membuat program danau bersih dari eceng gondok yang semakin banyak menutupi keindahan visual danau. Jika hal ini terlaksana dengan baik maka akan berdampak positif terhadap sistem perairan danau, karena lingkungan KWDT merupakan daerah ekoton yang peka terhadap perubahan namun memiliki keragaman ekologis yang tinggi (BAPEDALDASU 2003). Prioritas kedua adalah Aspek sosial ekonomi masyarakat yang lebih memfokuskan pada dampak dari sistem sosial ekonomi masyarakat. Tujuan utama dari kegiatan wisata adalah memberi keuntungan pada masyarakat setempat sehingga dapat menjamin perkembangan wisata yang sesuai dengan tujuan sosial, ekologis, dan perekonomian setempat (Brandon 1993). Masyarakat dipandang sebagai suatu bagian dari ekosistem, dimana perubahan yang terjadi akan mempengaruhi ekologis secara keseluruhan, maka perlu diketahui sejauh mana masyarakat menilai suatu kebijakan yang telah memberikan manfaat atau kerugian bagi masyarakat. Kondisi di KWDT yang sudah semakin rusak dan ketergantungan masyarakat terhadap tapak yang sangat besar mengakibatkan semakin berkurangnya pendapatan masyarakat, maka diharapkan masyarakat ikut berperan aktif dalam menjaga lingkungannya. Prioritas ketiga adalah aspek wisata. KWDT merupakan kawasan wisata yang memiliki banyak potensi wisata yang harus dijaga dan dilestarikan, agar tidak terjadi kerusakan lingkungan wisata yang parah. Aspek wisata merupakan akibat atau dampak positif dari daya tarik lingkungan, sehingga kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik buruknya lingkungan dimana tujuan wisatanya
adalah
untuk
mendapatkan
rekreasi
(Soemarwoto
1996).
Pengembangan wisata secara berlebihan akan berdampak negatif terhadap keberlangsungan
wisata,
maka
diperlukan
suatu
konsep
penataan
dan
pengembangan wisata dengan memberdayakan masyarakat lokal sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (Kodhyat 1998). 5.2.4. Zona Pengembangan dan Penataan Kawasan Wisata di Sub DAS Naborsahon Zona pengembangan dan penataan kawasan wisata di sub DAS Naborsahon diperoleh dari hasil tumpang susun dari peta kondisi ekologis, peta kondisi obyek dan atraksi wisata, dan peta kondisi sosial ekonomi masyarakat (gambar 17). Masing-masing peta mempunyai bobot yang berbeda, yaitu untuk kondisi ekologis mempunyai bobot 61%, kondisi sosial ekonomi masyarakat 24%, dan kondisi obyek dan atraksi wisata 15%,. Pertimbangan ini berdasarkan pada hasil penilaian yang dilakukan kepada para responden ahli dengan menggunakan metode penilaian proses hierarki analitik (PHA). Selanjutnya hasil tumpang susun diklasifikasikan menjadi zona pengembangan wisata intensif, zona pengembangan wisata ekstensif, dan zona lindung. Tujuan klasifikasi zona untuk menentukan pengembangan dan penataan kawasan wisata di sub DAS Naborsahon, yang selanjutnya disesuaikan dengan karakter lanskapnya. Luas areal yang dinilai terdiri dari lima desa/kelurahan yang mewakili sub DAS Naborsahon adalah 5404.9 ha atau 52.3% dari luas sub DAS tersebut. Hasil klasifikasi menunjukkan luas area yang berpotensi tinggi sebagai zona pengembangan wisata intensif adalah 777.673 ha atau 7.5%, pengembangan wisata ekstensif 422.3 ha atau 4.1% dan 4204.34 ha atau 40.7% yang merupakan zona lindung. Zona pengembangan wisata intensif dan zona pengembangan wisata ekstensif berada di hilir dan zona lindung berada di tengah dan hulu sub DAS Naborsahon. Zona pengembangan wisata intensif merupakan zona pemanfaatan untuk pengembangan wisata dan dapat ditetapkan menjadi pusat pengembangan dan penataan kawasan wisata di sub DAS Naborsahon. Zona pengembangan wisata ekstensif merupakan zona pengembangan wisata yang berkarakter lanskap alami dan bersifat konservasi yang berfungsi untuk melindungan badan-badan air. Zona lindung merupakan zona rawan bencana yang berfungsi untuk melindungi badan-
badan air dan resapan air agar fungsi hidrologis DTA Danau Toba tidak terganggu dan ditetapkan sebagai kawasan wisata alami.
Gambar 17. Peta Rencana Penataan Kawasan Wisata di Sub DAS Naborsahon.
5.3. Rencana Pengembangan dan Penataan Kawasan Wisata Berkelanjutan di Sub DAS Naborsahon Rencana pengembangan dan penataan kawasan wisata meliputi perencanaan yang mengakomodasikan seluruh aktivitas yang direncanakan dalam suatu kawasan wisata. 5.3.1. Konsep Pengembangan dan Penataan Kawasan Wisata Konsep utama pengembangan dan penataan yang dikembangkan pada sub DAS Naborsahon adalah kawasan wisata yang berkelanjutan. Konsep utamanya adalah menciptakan suatu kawasan wisata yang terstruktur dan terkelola dengan baik yang memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan bertujuan untuk menjaga kelestarian danau dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Konsep utama yang dikembangkan berdasarkan hasil analisis aspek ekologis, aspek wisata, dan aspek sosial ekonomi masyarakat. Penerapan konsep pada lanskap berupa model rencana pengembangan yang disesuaikan dengan karakter lanskap dan potensi wisata di kawasan tersebut. Konsep pengembangan dan penataan kawasan wisata yang berkelanjutan merupakan perlindungan terhadap lingkungan yang menjadi wadah wisata untuk generasi mendatang (Yusiana 2007), dengan meminimalkan dampak wisata bagi lingkungan darat dan lingkungan perairan danau sebagai satu kesatuan yang utuh. Konsep ini diterapkan melalui penerapan batas sempadan danau dalam pengembangan dan penataaan kawasan wisata, pengelolaan wilayah danau secara terpadu dan peningkatan kesadaran kepada masyarakat lokal dan wisatawan akan nilai lingkungan bagi keberhasilan hidup manusia. Perwujudan konsep pengembangan dan penataan kawasan wisata yang berkelanjutan dapat di wujudkan melalui penataan zona pengembangan kawasan wisata. Konsep ini diterapkan melalui pengkajian potensi sumberdaya yang dimiliki untuk dilakukan penataan dan pengembangan kawasan wisata sebagai obyek dan atraksi wisata alam yang akan selalu memberi daya tarik bagi wisatawan. Dari hasil analisis, kawasan wisata yang akan dilakukan pengembangan dan penataan adalah Kelurahan Parapat, Kelurahan Tigaraja dan desa Pardamean Ajibata. Ke-tiga kawasan ini sebagai pusat pengembangan kawasan wisata dengan
tiga zona rencana pengembangan dan penataan (Gambar 18). Zona rencana pengembangan dan penataan tersebut, adalah: 1. Zona pengembangan wisata intensif yaitu, zona pengembangan dan penataan kawasan wisata yang bersifat umum atau public service area. Dalam zona terdiri dari zona penerimaan dan pelayanan dan zona wisata. Zona penerimaan dan pelayanan adalah area untuk menerima dan memberikan pelayanan kepada pengunjung. Zona wisata adalah area yang digunakan pengunjung dalam aktivitas wisata dan rekreasi dengan karakteristik kawasan yang aman untuk dimanfaatkan secara optimal. Zona pengembangan wisata intensif dapat ditetapkan menjadi pusat pengembangan dan penataan kawasan wisata di sub DAS Naborsahon, tepatnya di kawasan wisata Parapat. 2. Zona pengembangan wisata ekstensif, merupakan zona penyanggah yang berfungsi menyanggah kawasan khususnya badan air dari pengaruh aktivitas fisik di sekitarnya. Zona penyanggah merupakan zona peralihan dari zona intensif kepada zona ekstensif yang memiliki tingkat kesesuaian wisata sedang. Aktivitas wisata yang dapat dilakukan adalah memancing, berperahu, dan atraksi seni. 3. Zona lindung, merupakan zona yang sangat peka untuk kegiatan wisata karena memiliki tingkat kesesuaian wisata yang rendah. Karakter kawasan ini mengarah pada aktivitas-aktivitas yang bersifat khusus yang berfungsi melindungi kondisi alamnya serta habitat biota yang relatif peka terhadap gangguan. Kondisi ini hanya dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata visual dengan aktivitas wisata yang sangat terbatas seperti pengamatan biota, hiking, dan aktivitas ilmiah. Hal ini dilakukan sebagai usaha pelestarian alam khususnya untuk menjaga tata air. 5.3.2. Konsep Ruang dan Sirkulasi Kawasan Wisata Konsep sirkulasi berupa jaringan sirkulasi yang disesuaikan dengan konsep ruang dan menghubungkan semua elemen lokal sehingga memberi peluang yang tinggi bagi pengunjung untuk dapat melihat banyak atraksi dan informasi serta meningkatkan waktu dan pengeluaran pengunjung agar dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat lokal. Menurut Gunn (1994), koridor yang
menghubungkan pusat kawasan dengan kelompok–kelompok atraksi merupakan elemen penting yang dapat meningkatkan potensi kawasan.
Zona ekstensif Zona intensif
Zona lindung
Danau Toba
Tidak skala
Gambar 18. Rencana Pengembangan dan Penataan Kawasan Wisata di Sub DAS Naborsahon. Sistem sirkulasi dalam kawasan terbagi menjadi tiga, yaitu sirkulasi primer, sekunder dan tersier. Sirkulasi primer adalah jalur sirkulasi utama yang
menghubungkan antar obyek wisata dan antar zona, sirkulasi sekunder adalah jalur sirkulasi yang terdapat pada obyek wisata yang menghubungkan antar obyek dalam suatu zona, sirkulasi tersier adalah jalur alami di dalam obyek atau atraksi wisata. Sirkulasi tersier berupa boardwalk dan tracking primitif. Jalan regional yang melintasi daerah tepian danau merupakan sirkulasi primer yang dilengkapi dengan area perkir untuk tempat melepaskan lelah (stop area). Kawasan wisata Danau toba dapat dikunjungi melalui dua arah, yaitu melalui Selatan (dari arah Sibolga) dan dari arah Utara (dari arah Medan), berada di zona intensif yang berfungsi sebagai public service area pusat pengembangan wisata yaitu di Parapat. Pemilihan pintu masuk ke dalam kawasan wisata, berdasarkan potensi kawasan sebagai kawasan wisata yang ditunjang dengan banyaknya obyek dan atraksi wisata potensial yang terdapat di lokasi ini. Gambar 19 memperlihatkan perletakan ruang-ruang pada pusat pengembangan kawasan wisata, dimana terdapat ruang utama dan ruang penunjang yang dihubungkan dengan jalur sirkulasi. Dari Medan
Dari Sibolga
Keterangan:
Ruang utama, zona potensial
Pintu masuk Ruang utama, zona kurang potensial Jalur sirkulasi primer Ruang utama zona tidak potensial Jalur sirkulasi sekunder Ruang penunjang Jalur sirkulasi tersier
Gambar 19. Konsep Ruang dan Sirkulasi di Sub DAS Naborsahon
Konsep penataan ruang wisata disesuaikan dengan kondisi existing lingkungan. Ruang wisata dibagi menjadi dua, yaitu ruang utama dan ruang penunjang. Ruang utama merupakan ruang yang mengakomodasi seluruh aktifitas wisata, dan untuk masuk ke dalam ruang utama tersebut harus melalui ruang penunjang. Ruang penunjang meliputi ruang penerima (welcome area) dan ruang transisi (Transition area). Ruang ini menghubung antara ruang luar kawasan pengembangan dengan ruang wisata utama, serta sebagai penghubung antara wilayah perairan danau yang merupakan jalur primer wisata dengan ruang wisata utama yang berada di daratan. Pada tiap ruang wisata terdapat obyek dan atraksi wisata yang mendukung tema dan tujuan ruang wisata tersebut. 5.3.3. Program Pengembangan dan Penataan Kawasan Wisata Program pengembangan dan penataan kawasan wisata bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan danau dan kelestarian lingkungan sebagai obyek dan atraksi wisata, dan untuk menjadikan kawasan wisata Danau Toba sebagai kawasan yang berkelanjutan dan menjadi pariwisata utama di Provinsi Sumatera Utara. Dari program ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, sehingga kelestarian lingkungan dan budayanya dapat terjaga. Hal ini sejalan dengan konsep yang diungkapkan Fandeli (2000), bahwa kegiatan wisata tidak mengekploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik, dan psikologis wisatawan. Program pengembangan kawasan wisata berupa panduan untuk rencana pengembangan kawasan yang diilustrasikan dalam bentuk arah pengembangan kawasan. Program pengembangan kawasan wisata di sub DAS Naborsahon mencakup perbaikan fisik, pengembangan aktifitas dan fasilitas wisata, dan pengelolaannya, dimana tepian danau dan perairan danau menjadi wadah untuk mengakomodasi kegiatan wisata di kawasan tersebut. Gambar 20 memperlihatkan ilustrasi model rencana penataan lanskap di sub DAS Naborsahon dengan pusat pengembangan di kawasan wisata Parapat.
A5
A6
A4
A3
A2
A1
A C
Legenda A. Zona PW Intensif 10. Observation deck 11. Menara pandang 12. Dermaga 13. Hotel, restaurat, toilet, musholla 14. Lokasi berenang 15. Lokasi viewing B. Zona PW Ekstensif 1. Lokasi viewing 2. Wisata sungai 3. Dermaga
B
C. Zona Lindung 1. Berkemah 2. Hutan alam/trecking
B3
B2
Rencana Penataan Lanskap di Sub DAS Nabrsahon
B1
C1
C2
Gambar 20. Model Rencana Penataan Lanskap di Sub DAS Naborsahon
Utara Tidak skala
Perbaikan fisik berupa menata ulang kawasan, bertujuan membuat semua elemen lanskap di lingkungan tepian danau menjadi satu kesatuan dengan danau sebagai orientasi utamanya, karena danau dan bantaran danau menjadi wadah untuk mengakomodasi kegiatan wisata di kawasan tersebut. Untuk pengembangan aktifitas dan fasilitas wisata, mempunyai sifat rekreatif yang edukatif. Pengembangan dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya lokal, dan yang berasal dari aktifitas pengelolaan fisik (perbaikan dan penataan ulang kawasan). Sedangkan untuk pengelolaan kawasan yang melibatkan masyarakat, bertujuan mengembangkan masyarakat, tujuannya menimbulkan kesadaran pada masyarakat mengenai potensi danau, sehingga masyarakat menjadi peduli dan ikut mengelola serta menjaga kondisi lingkungan danau. Secara garis besar program yang ditawarkan dapat secara ekologis dan sosial. Secara ekologis, yaitu dengan penanaman ulang vegetasi pada area yang gundul sebagai pelindung dan penghijauan terutama di daerah yang memiliki topografi yang curam sampai sangat curam. Selain itu hal yang harus dilakukan adalah memberlakukan dengan tepat peraturan tentang garis sempadan sungai dan danau yang berjarak 100 meter dari tepi danau dan sungai dan membebaskan sempadan sungai dan danau dari bangunan. Sedangkan secara sosial dengan pelatihan dan penyuluhan akan pentingnya peningkatan kualitas lingkungan danau demi kelestarian alam dan keberlanjutan. Adapun penerapan program pengembangan kawasan wisata di Danau Toba yang berdasarkan sub DAS Naborsahon, diperlihatkan Tabel 27, dan 28.
Tabel 27. Program Pengembangan Kawasan Wisata di Zona Pengembangan Wisata Intensif Absolut Value Meningkatkan dan mempertahankan kualitas sumber daya alam eksisting Orientasi kawasan wisata ke arah danau dengan obyek pemandangan danau Kawasan bernuansa alami dengan dominasi vegetasi endemik
Program Pengembangan
Fisik Retainning wall kombinasi struktur dan vegetasi pada area yang rawan longsor di tepian danau Membuat dam yang berfungsi sebagai penyaring air yang masuk ke perairan danau Penataan kawasan lebih alami dengan menampilkan keunikan vegetasi endemik, seperti Pinus merkusii dan tanaman kebun seperti kopi Wisata Memanfaatkan sumber daya lokal sebagai obyek dan atraksi wisata yang berunsur ekologis dan memberi edukasi, seperti out bond, memancing, foto hunting, bersampan, berenang, dan sebagainya. Menata kawasan dengan membuat area penerimaan yang berfungsi sebagai pintu masuk utama ke kawasan Danau Toba. Pemandangan ke danau dibuka sebagai daya tarik wisata Penyediaan infrastruktur yang ekologis untuk mendukung aktifitas wisata. Melibatkan masyarakat setempat dalam menciptakan obyek dan atraksi wisata, serta mengelola kegiatan wisata tersebut Menjadikan kawasan hutan sebagai kawasan hutan alami yang menampilkan keunikan dan keaslian dengan tetap mempertahankan ekosisitem dan formasi vegetasi yang membentuk hutan
Kondisi Eksisting
Arah Pengembangan
Tabel 28. Program Pengembangan Kawasan Wisata di Zona Pengembangan Wisata Ekstensif
Absolut Value Meningkatkan dan mempertahankan kualitas sumber daya alam eksisting
Program Pengembangan Fisik Meningkatkan kualitas sungai dan danau dengan program 'air bersih' oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam kurun waktu tertentu secara rutin
Kehidupan dan tradisi masyarakat Danau sebagai elemen utama dalam kehidupan dan penghidupan
Sebagai sumber mata pencaharian
Membuat dam yang berfungsi sebagai penyaring air yang masuk ke perairan danau Penataan bangunan sepanjang sungai dan di tepian danau agar lebih berorientasi pada sungai ataupun danau sehingga dapat meningkatkan kecintaan terhadap danau dan sungai Penataan wilayah garis sempadan danau (GSD), mengembalikan kawasan menjadi hijau dengan merelokasi pemukiman yang berada pada wilayah GSD.
Kondisi Eksisting
Arah Pengembangan
Tabel 27. Lanjutan Absolut Value
Program Pengembangan Wisata: Perbaikan aksesibilitas dari sungai dan jalan utama ke kawasan, dengan membuat pintu masuk (entrance) dan menyediakan ruang penerimaan, alat transportasi yang baik Melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan kawasan wisata. Membuat atraksi wisata yang berunsur edukasi
Kondisi Eksisting
Arah Pengembangan
Tabel 29. Program Pengembangan Kawasan Wisata di Zona Lindung Absolut Value Meningkatkan dan mempertahankan kualitas sumber daya alam eksisting/hutan lindung
Program Pengembangan Fisik:
Menjadikan kawasan hutan menjadi kawasan hutan lindung yang menampilkan keunikan dan keaslian dengan tetap mempertahankan formasi vegetasi yang membentuk hutan lindung
Menjadi kawasan hutan lindung sebagai sebagai daerah resapan air dan melindungi badan-badan air, sehingga fungsi hidrologi dapat terjaga
Wisata: Mengakomodasi kebutuhan pengunjung terhadap informasi mengetahui hutan lindung dan pembuatan boardwalk dan observation deck agar aktivitas pengunjung tidak menyebabkan penurunan kualitas lingkungan
Penataan fasilitas wisata dengan menggunakan elemenelemen alami yang dapat mengakomodasi kebutuhan pengunjung dan melindungi ekosistem hutan lndung.
Menjadikan kawasan hutan lindung sebagai kawasan hutan alami dengan tetap menjaga kelestarian biota agar tetap dapat menampilkan keunikan dan keaslian hutan lindung
Arah Pengembangan
5.3.4. Rencana Infrastruktur Pendukung Wisata Pelayanan adalah faktor yang utama dalam pengembangan kawasan wisata. Salah satu faktor yang menentukan dalam pelayanan adalah kesiapan infrastruktur wisata. Pengembangan infrastruktur di kawasan wisata dibutuhkan untuk memberi kenyamanan dan keamanan kepada wisatawan saat berkunjung ke daerah kunjungan wisata. Menurut Karyono (1997), infrastruktur atau prasarana wisata meliputi tempat penginapan, tempat dan kantor informasi, serta fasilitas rekreasi. Pengembangan infrastruktur di kawasan wisata Parapat, disesuaikan dengan konsep ruang dan sirkulasi wisata, serta rencana pengembangan dan penataan kawasan. Tabel 29 menunjukan rencana pengembangan infrastruktur di sub DAS Naborsahon. Tabel 29. Rencana Pengembangan Infrastruktur di Sub DAS Naborsahon Ruang dan Jalur Sirkulasi 1. Ruang wisata utama
2. Ruang penunjang a. Ruang penerima b. Ruang transisi
3. Jalur sirkulasi primer
4. Jalur sirkulasi sekunder
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2.
Infrastruktur Menara pandang Papan interpretasi Penginapan Tempat beristirahat dan berkumpul Panggung festival Outdoor classroom Shelter Warung Pusat informasi Restoran Toko souvenir Tempat parkir Toilet Musholla Wartel Dermaga Jalan lebar 3-6 m Pedestrian Perahu dayung Boat Kapal penumpang Jalan setapak (trecking) Sepeda
Gambar 21 memperlihatkan rencana pengembangan infrastruktur pada site plan di di sub DAS Naborsahon.
Rencana Penataan Lanskap di Sub DAS Naborsahon
2
3 2 g. Pe ma nd an ga n hu tan pi nu s
5 g. Pe ma nd an ga n hu tan pi nu s
g. Pe ma3 ndg. anPe gama n nd huan tanga pi n nuhu s tan pi nu s
1e 7
ma nd an4 ga g. n Pe huma tannd pi an nuga s n hu tan pi nu s
g. Pe ma nd an ga n hu tan pi nu s
8
1e ma nd an ga n hu tan pi nu s
g. Pe ma nd 9 an g. ga Pe n ma hu nd 5 tan 6 an pi g. g. ga nu Pe Pe n s ma ma hu nd nd tan an an pi ga ga 6 nu n n 5 4 8 g. s hu hu g. g. g. Pe tan Pe Pe tan Pe ma 21. Rencana ma Pengembangan Infrastruktur pi maGambar pi ma di Sub DAS Naborsahon nd nu nu nd nd nd an s s an an an ga ga ga ga n n n n hu hu hu hu tan tan tan tan
Judul Gambar: Renc. pengembangan Infrastruktur
Legenda: 1. Ruang penerima 2. Observation deck 3. Boardwalk 4. Menara pandang 5. Dermaga 6. Outdoor Classroom 7. Hotel, restaurat, toilet, musholla 8. Area berkemah 9. Hutan lindung
Utara Tidak skala
VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan 1. Berdasarkan aspek ekologis, potensi obyek dan atraksi wisata serta sosial ekonomi masyarakat, sub DAS Naborsahon yang berada di kawasan wisata Danau Toba cukup berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata. Walaupun demikian, masyarakat di daerah hulu dibandingkan daerah hilir, cenderung kurang antusias untuk pengembangan daerahnya sebagai kawasan wisata karena kehidupan mereka umumnya bertumpu pada bidang pertanian. 2. Dari lima desa dalam kawasan penelitian, Kelurahan Parapat berpeluang tinggi untuk dikembangkan sebagai zona intensif, sedangkan Kelurahan Tigaraja dan Desa Pardamean Ajibata sebagai zona ekstensif. Tiga desa ini berada di daerah hilir yang pada saat ini telah berkembang menjadi daerah wisata. Dua desa lain di daerah tengah dan hulu, yaitu Desa Girsang dan Desa Sipangan Bolon ditetapkan sebagai zona lindung dengan memberdayakan potensi hutan lindung sebagai kawasan wisata alam yang juga berfungsi ekologis, yaitu sebagai zona perlindungan terhadap sumberdaya hutan dan sumberdaya air. 3. Berdasarkan hasil penilaian terhadap pengendalian dan peningkatan kualitas lingkungan kawasan, pusat dari pengembangan dan penataan kawasan wisata di Danau Toba dipusatkan di Kelurahan Parapat. Program pengendaliaan dan peningkatan kualitas lingkungan kawasan dialokasikan pada zona lindung di daerah hulu, dan program penambahan kelengkapan green infrastructure sebagai penunjang wisata dilakukan di zona pengembangan kawasan wisata intensif yaitu zona yang direncanakan akan dikembangkan sebagai pusat pengembangan dan pelayanan wisata.
6.2. Saran 1. Keutuhan
kawasan
hutan
lindung
harus
tetap
dipertahankan
dan
mengembalikan fungsi hutan lindung yang sudah rusak di beberapa tempat, serta perlu adanya perlindungan terhadap sumberdaya hutan dan sumberdaya air, agar fungsi hidrologis di daerah tangkapan air (DTA) Danau Toba tidak terganggu.
2. Masyarakat harus dilibatkan dalam pengembangan dan penataan kawasan wisata, karena masyarakat diharapkan dapat berfungsi sebagai pengawas dan pengontrol lingkungan, sehingga kelangsungan kawasan wisata di Danau Toba dapat berkelanjutan dan terus terjaga. 3. Perlu adanya kebijakan yang mendukung pengembangan dan penataan kawasan wisata di Danau Toba. Dalam merencanakan kebijakan sebaiknya melibatkan masyarakat setempat. 4. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk menggali potensi pengelolaan kawasan yang melibatkan masyarakat setempat, agar keberlanjutan kawasan wisata di Danau Toba tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA Alderson WT, Low SP. 1996. Interpretation of Historic Sites. Second Edition, Revised. California: Altamira Press. Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. Asdak C. 2006. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Aswandi dan Sunandar D.A. 2007. Peningkatan Kapasitas Rehabilitasi Lahan Iritis pada Daerah Tangkapan Air Danau Toba. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian, Medan 12 November 2007. Hal 7 – 18. Aswandi, T. Amperawati, R.M.S. Harahap. 2005. Teknik Silvikltur Rehabilitasi Lahan Kritis Alang-alang: Tinjauan Ekologi dan Silvikultur. Ekspose Hasilhasil Penelitian. Optimalisasi Program Gerhan dan Hasil-hasil Penelitian dalam Upaya Mendukung Kelestarian Hutan dan Lahan. Parapat, 6 Desember 2005. Avenzora R. 2003. Ecotourism. Evaluasi tentang konsep. Makalah Seminar Pengembangan Program Studi Ekowisata pada Fakultas Biologi Universitas Andalas. Padang. 4 – 5 September 2003. 14p. Badan Koordinasi Pelestarian Ekosistem Kawasan Danau Toba. 2002. Konsep Kebijakan Umum dan Konsep Program Pelestarian Ekosistem Kawasan Danau Toba. Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) Wilayah I. 1987. Rencana Tehnik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Buku 1. Medan. Bappeda Sumut. 2000. Survei dan Pemetaan Sumberdaya Air DTA Danau Toba dan DAS Asahan. Medan. Bapedaldasu. 2003. Pengendalian Pencemaran Air Danau Toba. Medan Barus TA. 2007. Keanekaragaman Hayati Ekosistem Danau Toba dan Upaya Pelestariannya. Pidato pengukuhan Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Limnologi, FMIPA, USU. BPS. 2005. Kecamatan Ajibata Dalam Angka Tahun. Pemerintah Kabupaten Simalungun. Pematang Siantar. BPS. 2005. Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Dalam Angka Tahun. Kabupaten Simalungun. Pematang Siantar. Brandon K. 1993. Ekoturisme sebagai suatu gejala yang menyebar ke seluruh dunia. Di dalam: Lindberg K, Hawkins DE, editor. Ed ke-1. Ekoturisme: petunjuk untuk perencana dan pengelola. Jakarta: The Ecotourism Society. hlm 155-175. Buchsbaum BD. 2004. Ecotourism and Sustainable Development in Costa Rica. http://scholar.lib.vt.edu/these/available/etd-05052004-171907. [28 Maret 2007]
Dahuri R, Rais J, Ginting SP, dan Sitepu MJ. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Darwo. 2006. Strategi Peningkakatan Program Gerhan (Studi Kasus Gerhan di Sekitar Daerah Tangkapan Air Danau Toba). Di dalam: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian; Padang, 20 September 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan dan Konservasi Alam; Bogor, 2006. hlm 249-258. Diniyati D. 2001. Aspek Sosial yang Mempengaruhi Penggunaan Lahan di DTA Danau Toba (Studi Kasus di sub DAS Naborsahon). Konifera. No.: 1/Thn XVI/Desamber 2001. Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Simalungun. 2006. Pariwisata Danau Toba, Pemerintahan Kabupaten Simalungun. Pematang Siantar. Fandeli C. 2000. Perencanaan nasional pengembangan ekowisata. Di dalam: Fandeli C, Mukhlison, editor. Pengusahaan Ekowisata. Ed ke-1. Yogyakarta: Kerjasama Fahutan UGM, Unit Konservasi SDA DI Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Hlm 95-113. Fennell DA, Dowling RK. 1999. Ecotourism Policy and Planning. United London: CABI Publising. Forman RTT, Gordon. 1996. Landscape Ecology. New York:Willey and Sons. Gunn CA. 1994. Tourism Planning Basics, Concepts, Cases. Washington DC: Taylor & Francis. Haeruman H. 1999. Kebijakan Pengelolaan Danau dan Waduk Ditinjau dari Aspek Tata Ruang. Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk. PPLH-LP IPB. 9 hal. Hardjowigeno S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta: Akademika Pressindo. Harris CW, and NT. Dinnes. 1988. Time Saver Standards for Landscape Architecture. Design and Construction Data. New York: McGraw-Hill, Inc. Horwich RH, Murray D, Saqui E, Lyon J, Godfrey D. 1995. Ekoturisme, Petunjuk untuk perencana dan pengelola: Ekoturisme dan Pembangunan Masyarakat Pengalaman di Belize. The Ecoturism Society. 176-194. Inskeep E. 1991. Tourism Planning: An Integrated and Sustainable Development Approach. VNR Tourism and Commercial Recreation Series. New York: Van Nostrad Reinhold. Jhon, M, dan Kathy. 1990. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropis (Terjemahan). Yokyakarta: Gajah Mada Press. Japan International Cooperation Agency (JICA). 2003. The Study on Integrated Regional Development and Environtmental Conservation Management in The Area of Lake Toba with Participatory Approach. PT Indokei International. Jakarta. Karyono AH. 1997. Kepariwisataan. Jakarta: PT Grasindo.
Kodyat. 1998. Sejarah lahirnya Ekowisata di Indonesia, beda antara konsep ekowisata dan pariwisata. Didalam: Workshop dan Pelatihan Ekowisata. Bali, 25 Jun-2 Jul. 1998. Yayasan Kehati. 5 hlm. (tidak dipublikasikan). Kurumur V. 2002 Aspek strategis pengelolaan Danau Tondano secara terpadu. Ekoton Vol. 2 (1) : 73 – 80. Lake Toba Ecosystem Management Plan (LTEMP). 2004. Deklarasi dan Penandatangan Kesepakatan Pedoman Pengelolaan Ekosistem Kawasan Danau Toba. Parapat. Lioubimsteva E, Defourny P. 1999. GIS Based Landscape Classification and Mapping of European Russia. Landscape & Urban Planning 44:63-75. Manan S. 1983. Pengaruh Hutan dan Manajemen Daerah Aliran Sungai. Proyek Pengembangan/Peningkatan Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mehta, H. 1998. Site Planning and Landscaping in Ecotourism Fasilities. (Unpublished paper). Noordwijk , Meine., et.al. 2004. Peranan agroforestri dalam mempertahankan fungsi hidrologi DAS. Agrivita 26 (1): 1-8. Nurisyah S, Sunatmo, Sasmintohadi, Bahar A. 2003. Pedoman Pengembangan Wisata Bahari Berbasis Masyarakat di Kawasan Konservasi Laut. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 44p. Nurisyah S, Pramukanto Q dan Wibowo S. 2003. Daya Dukung dalam Perencanaan Tapak. Bogor: PS Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pasaribu, HS. 1999. DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Kaitannya dengan Pengembangan Wilayah dan Pengembangan Sektoral Berbasiskan Konservasi Tanah dan Air. Seminar Sehari PERSAKI ”DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumber Daya Air”; Jakarta, 21 Desember 1999. Pasaribu G, dan Sahwalita. 2006. Pengolahan Enceng Gondok sebagai Bahan Baku Kertas Seni. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian; Padang, 20 September 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan dan Konservasi Alam; Bogor, 2006. hlm 111-118 Pemerintah Republik Indonesia. 1997. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 47 tahun 1997 tentang Pembentukan Otorita Pengembangan Serta Badan Pembina Pusat Listrik Tenaga Air dan Peleburan Aluminium Asahan, Jakarta, 1976. Purnama SIS. 2005. Penyusunan Zonasi Taman Nasional Manupeu Tanadaru Sumba Berdasarkan Kerentanan Kawasan dan Aktivitas Masyarakat (Tesis). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rosmalia D. 2008. Rencana Pengembangan Koridor sungai ciliwung di jakarta sebagai kawasan ekowisata perkotaan [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rosyidie A. 2000. Retrospek dan Prospek Pengembangan Pariwisata pada Pulaupulau Kecil. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Ekosistem Pantai dan Pulau-pulau Kecil dalam Konteks Negara Kepulauan. Yogyakarta, 2 September 2000. Badan Penerbit Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Hlm 389-393. Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Setiono L, penerjemah; Peniwati K, editor. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Terjemahan dari: Decision Making for Leaders. 270p. Simond JO. 2006. Landscape Architecture. New York: McGraw Hill Book Co. Soemarwoto O. 1996. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Djambatan. Soerianegara I. 1996. Ekologi, Ekologisme dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Suwantoro G. 1997. Dasar-dasar Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit Andi. Sukmana A. 2007. Implementasi Rehabilitasi Lahan dan Hutan dalam Pelestarian Danau Toba. Di dalam: Peran Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dalam Mendukung Rehabilitasi dan Konservasi Kawasan Hutan di Sumbagut. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian; Medan, 12 November 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan dan Konservasi Alam; Bogor, 2006. hlm 249-258. Sutanto. 1992. Penginderaan Jarak Jauh. Jilid I. Yokyakarta: Gajah Mada University Press. Star J and J. Estes.1990. Geographic Information System an Introduction. New Jersey: Prentice Hall. 330p Umar F. 2005. Rencana Pengembangan Koridor Sungai Kapuas sebagai Kawasan Interpretasi Wisata Budaya Kota Pontianak [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. USDA. 1968. Soil Interpretation for Recreation: Soil memorandum 69. Washington: SCS-USDA Van der Ryn. 1996. Ecological Design. Island Press. California. 201p. Whitmore TC. 1991. Hutan Hujan Tropika di Timur Jauh. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur. Widianto, Hairiah K, Suharjito D, dan Sardjono MA. 2003. Fungsi dan Peran Agroforestri. Bahan Ajaran Agroforestri 3. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF). Wijayaratna CM. 2000. Integrated Watershed Management – A Learning Process, Soil Conservation and Watershed Management in Asia and the Pasific. Tokyo: Asian Productivity Organization. 36-66.
Wramner P et al. 2005. Sustainable Coastal Tourism Module. http://www.netcoast.nl/coastlern/website/tourism/con_coastaltourism.html. [24 Januari 2007]. World Tourism Organisation. 2000. WTO News 2000. Issue 2. Madrid. Yoeti, A. O. 1983. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa Offset. Yusiana LS. 2007. Perencanaan Lanskap Wisata Pesisir berkelanjutan di Teluk Konga, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Kemiringan Lereng di Sub DAS Naborsahon
Lampiran 2. Peta Ketinggian Lahan di Sub DAS Naborsahon
Lampiran 3. Peta Curah Hujan di Sub DAS Naborsahon
Lampiran 4. Peta Kepekaa tanah di Sub DAS Naborsahon
Lampiran 5. Kondisi Potensi Wisata di sub DAS Naborsahon Parameter 1. Kerajinan
Bentuk Menenun ulos
Lokasi Sebagaian kecil berada di kelurahan Parapat dan Tigaraja
Memahat
Waktu Sesuai pesanan
Keterangan Sebagai kain tradisional adat batak dan di kembangkan sebagai, baju, tas, dan hiasan dinding
Sesuai pesanan
Sebagai hiasan dan souvenir
2. Upacara agama
Kegiatan di gereja
Tersebar di berbagai lokasi
Setiap hari Minggu
Mayoritas penduduk beragama Kristen
3. Upacara adat
Upacara perkawinan dan upacara kematian
Tersebar di berbagai lokasi
Dilaksanakan jika ada acara
Dilakukan oleh masyarakat dan ketua adat
3. Kesenian
Menyanyi dan Tortor
Tersebar di berbagai lokasi
Dilaksanakan jika ada acara
Dilakukan pada saat upacara perkawinan dan upacara kematian
4. Bangunan
Rumah adat
Desa Girsang
Istana Presiden
Kel. Tigaraja
5. Bahasa
Alat komunikasi
Tersebar di seluruh lokasi
Setiap hari
Dipergunakan sebagai bahasa pengantar sehari-hari dengan masyarakat yang homogen
6. Permainan rakyat
Marjalengka
Tersebar di seluruh lokasi
Pesta adat dan pesta Danau Toba
Dilakukan pada saat pesta Danau Toba yang berfungsi sebagai permainan rakyat
Bangunan dengan ciri khas adat Simalungun Tempat peristirahatan. Sekarang digunakan sebagai mess Pemda Sumatera Utara.