Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
1
REFORMASI PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH
Prof. Dr. Drs. Mohammad Zainuddin, M.Pd
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sosial pada Fakultas Ilmu Pendidikan disampaikan pada Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Malang tanggal 26 Oktober 2015
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS NEGERI MALANG (UM) Oktober 2015 2
2 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
REFORMASI PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Yth. Ketua Senat Universitas Negeri Malang Yth. Rektor Universitas Negeri Malang Yth. Ketua dan Anggota Komisi Guru Besar Universitas Negeri Malang Yth. Para Anggota Senat, Pejabat Struktural, Dosen, Tenaga Adiministrasi, dan Mahasiswa Universitas Negeri Malang Yth. Keluarga Besar kami dari Blitar Jawa Timur, dan para Hadirin yang Mulia. Pertama-tama saya sampaikan puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala limpahan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya, sehingga pidato pengukuhan ini dapat dilaksanakan pada hari ini. Pidato pengukuhan ini merupakan suatu keharusan bagi Guru Besar (GB) di lingkungan Universitas Negeri Malang (UM) untuk menyampaikan pokok-pokok pikiran dalam perkembangan keilmuan yang ditekuni sesuai dengan konsentrasi bidang studinya. Tentu, saya menyadari bahwa pidato pengukuhan ini merupakan kegiatan ilmiah yang cukup penting, karena pidato pengukuhan ini merupakan puncak karier akademik sebagai seorang dosen. Hadirin yang Mulia, Pendidikan merupakan suatu aspek yang mendasar dalam usaha mempersiapkan sumber daya manusia dalam menghadapi proses dan dinamika kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara di 3 Pendidikan di Era Otonomi Daerah Reformasi
3
tengah-tengah pluralitas. Pendidikan merupakan suatu proses yang berkelanjutan, terus menerus dan berlangsung seumur hidup (long live education) dalam rangka mewujudkan manusia dewasa, mandiri dan bertanggung jawab serta beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa. Oleh karenanya kemajuan suatu bangsa dapat ditandai dan diukur dari kemajuan pendidikannya. Kemajuan beberapa negara di dunia ini tidak terlepas dari kemajuan yang dimulai dan dicapai dari pendidikannya (Maksum dan Ruhendi, 2004: 227). Dalam pelaksanaannya, pendidikan yang diharapkan adalah pendidikan yang bermutu atau berkualitas. Kualitas pendidikan meliputi: (1) produk pendidikan yang dihasilkan berupa prosentase peserta didik yang berhasil lulus dan lulusan tersebut dapat diserap oleh lapangan kerja yang tersedia atau membuka lapangan kerja sendiri, baik dengan cara meniru yang sudah ada atau menciptakan yang baru; (2) proses pendidikan, menyangkut pengelolaan kelas yang sesuai pada kondisi kelas yang relatif kecil, penggunaan metode pengajaran yang tepat serta lingkungan masyarakat yang kondusif; dan (3) adanya kontrol pada sumber-sumber pendidikan yang ada (Sihombing dan Indardjo, 2003: 7). Memasuki pelaksanaan otonomi daerah di era reformasi, kewenangan pemerintah pusat dalam mengurus dan mengatur tugas pemerintahan telah mengalami perubahan. Pemerintah pusat tidak lagi bersifat sentralistis, tidak sedikit urusan yang didelegasikan kepada pemerintah daerah. Urusan pemerintahan yang didelegasikan kepada pemerintah Kabupaten/Kota termasuk bidang pendidikan, yang sebelum diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah pusat sebagai perencana dan sekaligus pelaksana semua urusan dan kegiatan di seluruh wilayah negara (Soewartoyo, 2003: ix). Berbeda dengan sebelum diberlakukannya Undang-undang ini, dimana kewenangan pemerintah daerah (kota dan kabupaten) dalam bidang pendidikan sangat terbatas. 4
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, tampaknya peran dan fungsi pemerintah daerah menjadi semakin besar dalam berbagai hal termasuk pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan dalam kerangka sistem pemerintahan daerah yang baru, tentunya semakin mendapat perhatian secara serius dari berbagai pihak. Komponen-komponen yang ada di daerah, baik pengambil keputusan, para praktisi pendidikan, guru, orang tua dan masyarakat harus mempunyai landasan falsafah, visi, konsep yang sama dan matang serta dapat dipertanggungjawabkan (akuntabilitas) dalam rangka melaksanakan pendidikan yang integral dalam proses otonomi daerah. Menyimak isi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom serta Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah tersebut, dapat disimpulkan bahwa fokus pelaksanaan otonomi daerah adalah di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Untuk itu, sebagian besar sumber pembiayaan nasional akan dilimpahkan lebih banyak ke daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan perekonomian daerah yang berbeda-beda. Kewenangan pemerintah terbatas dengan dukungan sumber pembiayaan yang terbatas pula. Sementara itu peranan Daerah propinsi sebagai daerah otonom maupun sebagai wilayah administrasi lebih terbatas dengan perimbangan sumber keuangan yang lebih sedikit. Kewenangan pemerintah daerah, dalam hal ini adalah kota dan kabupaten, dalam bidang pendidikan sebenarnya sangat terbatas. Tujuan memberikan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. UU No. 22 Tahun 1999 tersebut memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah sehingga memberi peluang kepada daerah agar leluasa dalam mengatur dan melaksanakan kewenangannya Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
5
atas prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi daerah (Soewartoyo, 2003: 10). Kewenangan tersebut sebenarnya merupakan upaya untuk membatasi kewenangan pemerintah pusat dan propinsi. Pemerintah pusat dan propinsi hanya diperkenankan menyelenggarakan kegiatan otonomi sebatas yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Kewenangan pemerintah daerah dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan. Berlakunya otonomi daerah, maka dalam bidang pendidikan aspekaspek yang berkaitan dengan penyelenggaraan pembangunan di bidang ini juga mengalami perubahan. Perubahannya antara lain, berkurangnya peran pemerintah pusat. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa telah terjadi perubahan penyelenggaraan pendidikan dari sentralistis ke arah desentralistis. Konsep desentralisasi pendidikan itu sendiri adalah konsep yang relatif baru untuk di Indonesia. Sehingga pada saat ini, salah satu tantangan yang paling penting adalah tersusunnya kebijakan untuk mendelegasikan wewenang operasional pemerintah pusat ke daerah, khususnya bidang pendidikan. Desentralisasi pendidikan merupakan upaya memindahkan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan yang semula terpusat (sentralistik) menjadi pendidikan yang berbasis kepentingan daerah atau masyarakat. Titik berat pelaksanaan desentralisasi pendidikan adalah lebih mengutamakan pada peningkatan peran dan partisipasi daerah termasuk masyarakat dalam rangka terselenggaranya pendidikan seperti apa yang diinginkan untuk dilaksanakan di daerah. Sehingga desentralisasi pendidikan menghasilkan otonomi (Djohar, 2003: 88). Fakta menunjukkan sampai saat ini pendidikan yang diselenggarakan belum sepenuhnya memihak kepada masyarakat. Dengan kata lain, desentralisasi pendidikan yang tujuannya adalah pendemokratisasian masyarakat (daerah) untuk menyelenggarakan dan memutuskan yang menjadi urusan dan kepentingannya termasuk kebutuhan dan urusan pendidikan bagi masyarakat belum sepenuhnya 6
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
tercapai (Soewartoyo, 2003: 1). Hal ini dapat dibuktikan dengan semakin tingginya biaya pendidikan di semua jenjang, baik tingkat dasar, menengah maupun tingkat perguruan tinggi. Seperti sekarang ini, biaya pendidikan di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) besar hampir tidak ada bedanya, bahkan lebih mahal bila dibandingkan dengan biaya di perguruan tinggi swasta (PTS) yang berkualitas. Dalam kasus ini dapat dilihat dari tingginya biaya pendidikan SD, SMP, dan SMA sebagai sekolah yang banyak diminati walaupun dalam kenyataannya pemerintah telah memberikan biaya subsidi minimum tetapi biaya pendidikan masih tetap tinggi. Sehingga, sebagai sebuah konsekuensi, mahal atau tingginya biaya pendidikan ini mendapat sorotan dari banyak kalangan, baik dari dewan pendidikan, komite sekolah, LSM, maupun masyarakat pada umumnya. Hadirin yang Mulia, Desentralisasi sebagai Perubahan Sosial Menur ut Fantini and Gittell (1973), istilah desentralisasi (decentralization) merupakan istilah yang mendua (ambiguous), karena dapat diartikan berbeda oleh orang yang berbeda (Freeman, 1983: 17). Menurut Mowhood (1983) sebagaimana yang dikutip oleh Agrawal dan Ribot (2000: 3) desentralisasi diartikan “sebagai tindakan pemerintah pusat secara formal menyerahkan kekuasaan kepada aktor dan lembaga pada level yang lebih rendah dalam suatu administratifpolitis dan hirarki teritorial”. Menurut Victoria sebagaimana yang dikutip oleh Freeman (1983: 11) “Desentralisasi dalam konteks organisasi berkenaan dengan pemindahan kekuasaan jauh dari pusat organisasi ke bagian organisasi yang lain”. Sedangkan menurut Manor, ada tiga sektor atau elemen desentralisasi yang diperlukan untuk keberhasilan pelaksanaan desentralisasi yaitu democratic, fiscal, and administrative, atau menurut Biswanger political, fiscal and administrative yang ketiganya harus diimplementasikan secara serempak (Agrawal dan Ribot, 2000: 4-5). Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
7
Dengan menyitir pendapatnya Cooper at.al., Abdul Wahab mengatakan desentralisasi apapun bentuknya mengandung makna adanya upaya sistematis untuk semakin mendekatkan pelayanan publik pada rakyat, moving the governing function closer to the community (Abdul Wahab, Putra dan Arif, 2002: 8). Sejalan dengan Cooper, Anwar Shah (1999: 21) mengatakan bahwa desentralisasi dapat memperkuat partisipasi masyarakat dengan membawa pemerintah dekat dengan rakyatnya (decentralization strengthens citizen participation by bringing governments closer to the people they are intended to serve). Sedangkan Agrawal dan Ribut (2000: 5) sendiri mengemukakan bahwa ada tiga dimensi yang berbeda yang mendasari seluruh tindakan desentralisasi, yaitu: actors, powers, and accountability. Namun perlu diingat bahwa desentralisasi bukanlah semacam ‘obat mujarab’ yang dapat menyembuhkan banyak hal atau mengubah segalanya dengan cepat seperti lampu Aladin (Abdul Wahab, dkk., 2002). Kita perlu waspada karena ada beberapa ancaman desentralisasi (the danger of decentralization) sebagaimana yang dikemukakan oleh Prud’homme dan Tanzi yaitu “… macro mismanagement, corruption, red tape, and widening gulf between rich and poor persons regions under decentralized fiscal system …” (Anwar Shah, 2000: 20). Selanjutnya menurut Ryaas Rasyid sebagaimana yang dikutip oleh Nugroho (2000: 82-83) mengingatkan bahwa perubahan dalam sistem pemerintahan daerah ini —dari sistem yang sentralistik ke sistem yang desentralistik— akan mempengar uhi pola dan mekanisme pemerintahan dan pembangunan daerah. Pola yang pada awalnya topdown diganti dengan pola bottom-up. Pola dan mekanisme seperti ini akan mempengaruhi aktivitas manajemen dunia usaha. Apalagi penerapan konsep otonomi daerah ini masih diliputi beberapa masalah dalam implementasinya. Menurut Surbakti sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Wahab (2002: 69-72) mengemukakan bahwa terdapat kelemahan dalam pelaksanaan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 sebagai patologi, yaitu: pertama, adanya inkoordinasi, yaitu suatu kondisi di mana para bupati/ 8
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
walikota tidak mau dikoordinasi oleh gubernur. Kedua, adanya (sikap) DPRD yang sangat arogan dan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Ketiga, munculnya daerahisme; keempat, adanya pemisahan teritori yang berlebihan antara daerah satu dengan daerah lainnya. Kelima, disinyalir bahwa pemerintah daerah cenderung melakukan eksploitasi membabi-buta terhadap sumber daya alam yang ada di daerah. Hadirin yang Mulia, Pendidikan dalam Perspektif Sosiologi Para sosiolog sepakat bahwa (sosiologi) pendidikan adalah cabang dari ilmu sosiologi, dimana pusat perhatiannya terletak pada mempelajari struktur dan organisasi pendidikan serta proses sosial yang terjadi dalam institusi atau sistem pendidikan, dan antara sistem pendidikan dengan sistem-sistem kehidupan sosial lainnya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Durkheim, sebagaimana yang dikutip oleh Adiwikarta (1988: 11-13) bahwa pendidikan adalah suatu fakta sosial (social fact), dan karenanya menjadi objek studi sosiologi. Sosiologi pendidikan juga menganalisis pola interaksi antara sekolah dengan kelompok-kelompok sosial lain di masyarakat, antara lain: (1) analisis terhadap struktur kekuasaan di masyarakat beserta imbasnya terhadap persekolahan; (2) analisis terhadap hubungan antara sistem sekolah dengan sistem-sistem sosial lainnya di masyarakat, dan (3) struktur masyarakat beserta pengaruhnya terhadap organisasi sekolah. Aspek-aspek tersebut merupakan aspek penting yang sekarang telah diakui kepentingannya, seperti tercermin dalam konsep sekolah masyarakat (the community school), dimana diinginkan adanya integrasi yang baik antara sekolah dengan kehidupan masyarakat yang dilayaninya (Faisal dan Yazik, t.t: 63). Menurut Tilaar (2000: 40-42) dalam perkembangan pendidikan dewasa ini, terdapat lima aliran besar, yaitu: Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
9
a. Aliran fungsionalisme Fungsi pendidikan masa kini adalah transmisi kebudayaan dan mempertahankan tatanan sosial yang ada. Masa depannya dipersiapkan dengan mengajarkan fungsi-fungsi dalam masyarakat masa depan. Tokoh dalam aliran ini adalah Durkheim dan Parsons. b. Aliran kulturalisme Fungsi pendidikan masa kini sebagai upaya merekonstruksi masyarakat; pendidikan berfungsi menata masyarakat berdasarkan fungsi-fungsi budaya universal dengan berdasarkan budaya lokal yang berkembang ke arah kebudayaan nasional dan kebudayaan global. Tokoh dalam aliran ini adalah Brameld dan Ki Hadjar Dewantara. c. Aliran kritikal Ada dua kelompok aliran kritikal yaitu penganut teori konflik dan teori kritikal. Bagi penganut teori konflik, fungsi pendidikan dilihat sebagai reproduksi tatanan ekonomi yang sedang berjalan, untuk mengupayakan pemerataan ekonomi melalui perjuangan kelas. Tokohnya adalah Marx dan Bowels. Sedangkan bagi penganut teori kritikal, fungsi pendidikan adalah memberdayakan kaum tertindas dengan mengembangkan keaksaraan kritikal bagi rakyat banyak. Tokohnya adalah Freire, Gyroux dan Vygotzky. d. Aliran interpretatif Tugas pendidikan adalah mengajarkan berbagai peran dalam masyarakat melalui program-program dalam kurikulum. Untuk masa depan, pendidikan berfungsi menghilangkan berbagai bias budaya dan kelas-kelas sosial yang membedakan antara kelompok elite dan rakyat jelata yang miskin. Tokoh dalam aliran ini adalah Bernstein. e. Aliran pascamodern Pendidikan masa kini adalah transmisi ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan masyarakat masa depan perlu menghargai 10
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
kebhinekaan dan keragaman pendapat. Fungsi pendidikan adalah membina pribadi-pribadi yang bebas merumuskan pendapat dan menyatakan pendapatnya sendiri dalam berbagai perspektif. Tokoh dalam aliran ini adalah Derrida, Foucault dan Gramsei. Menurut Ackerman dan Alscott dalam bukunya “The Stakeholder Society”, sebagaimana yang dikutip oleh Tilaar (2002: 480-481) menjelaskan bahwa masyarakat dewasa ini merupakan masyarakat yang sadar akan apa yang ingin dicapainya. Di dalam masyarakat yang demikian yang disebut sebagai the stakeholders society adalah orang tua, masyarakat, pemerintah daerah, dan pemerintah nasional (pusat). Masyarakat merupakan pemegang hak, sehingga tujuan lembagalembaga pendidikan harus pula menampung apa yang diinginkan oleh masyarakat, dan bukan hanya menampung apa yang diinginkan oleh birokrasi. Dalam masyarakat yang demikian, proses pendidikan ditentukan oleh para stakeholders di dalam masyarakat, yaitu masyarakat, orang tua, peserta didik, negara dan pengelola profesional pendidikan. Dalam kaitan ini perlu ada lembaga atau struktur organisasi dalam lembaga pendidikan dimana masyarakat ikut berpartisipasi. Partisipasi masyarakat tidak hanya dalam menanamkan investasi yang berupa SPP, pajak dan sebagainya, tetapi juga ikut-serta dalam merencanakan kurikulum pendidikan, evaluasi pendidikan serta hal-hal yang menyangkut proses belajar. Semua ini dapat dilakukan melalui manajemen pendidikan berbasis sekolah dan manajemen pendidikan berbasis masyarakat, dan di dalamnya masyarakat harus ikut-serta dalam penyelenggaraan pendidikan pada semua aspek manajemennya (Tilaar, 2002: 482). Dengan demikian perubahan manajemen ini dilakukan dengan menggunakan paradigma baru. Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah Hakekat Reformasi Pendidikan
Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
11
Reformasi berarti perubahan radikal untuk perbaikan dalam bidang sosial, politik atau agama dalam suatu masyarakat atau negara. Orangorang yang melakukan atau memikirkan reformasi itu disebut reformis yang tak lain adalah orang yang menganjurkan adanya usaha perbaikan tanpa kekerasan (Kamisa, 1997: 445). Istilah reformasi sering dipersamakan dengan revolusi. Dalam beberapa hal bisa sama seperti adanya perubahan secara besar-besaran. Namun, kunci pokok yang membedakan reformasi dengan revolusi adalah tidak adanya kekerasan dalam mengubah sistem dan tatanan yang sudah ada. Jadi, reformasi dijalankan secara lebih sistematis, terprogram, manusiawi dan gentle (Nurkolis, 2003: 32). Menurut Tilaar (1999: 16) reformasi berarti perubahan dengan melihat keperluan masa depan, menekankan kembali pada bentuk asal, berbuat lebih baik dengan menghentikan penyimpangan-penyimpangan dan praktek yang salah atau memperkenalkan prosedur yang lebih baik, suatu perombakan menyeluruh daru suatu sistem kehidupan dalam aspek politik, ekonomik, hukum, sosial, dan tentu saja bisa diterapkan dalam bidang pendidikan. Refor masi juga berarti memperbaiki, membetulkan, menyempurnakan dengan membuat sesuatu yang salah menjadi benar. Oleh karena itu, reformasi berimplikasi pada mengubah sesuatu untuk menghilangkan yang tidak sempurna menjadi lebih sempurna seperti melalui perubahan kebijakan institusional (Rich, 1988: 2). Bila Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai bentuk reformasi pendidikan, apakah artinya praktek pendidikan sebelum diterapkannya MBS tersebut kurang benar? Begitulah kenyataannya. Bila praktek pendidikan sebelumnya sudah benar dan baik berarti mutu pendidikan pun baik. Tetapi, fakta berbicara lain bahwa di banyak negara, mutu pendidikan tidak bisa diandalkan dibandingkan dengan tuntutan perkembangan lingkungan baik secara nasional, regional maupun global. Untuk itulah sektor pendidikan perlu direformasi, dan alternatif yang saat ini menggejala di seluruh dunia adalah melalui MBS (Nurkolis, 2003: 33). 12
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Dalam upaya reformasi pendidikan, menurut Nurkolis (2003: 3334) terdapat model yang ditawarkan, yaitu seperti MBS, sekolah kontrak (school charter), dan sistem voucer. Sekolah kontrak artinya penyelenggaraan persekolahan di suatu daerah atau tempat dilaksanakan berdasarkan kebutuhan masyarakat setempat pada waktu tertentu. Dalam hal ini guru dan sumber daya lainnya juga dijalankan secara kontrak. Model ini bisa dilaksanakan, misalnya, pada daerah terpencil, daerah konflik atau daerah pemukiman baru. Sekolah kontrak bisa dilanjutkan menjadi sekolah biasa, dengan sistem yang berlaku secara umum. Sementara itu, model voucer adalah penyelenggaraan persekolahan yang cara pendanaannya diberikan melalui sistem voucer. Model ini biasanya dilaksanakan bila tersedia dana bantuan dari lembaga donor bagi masyarakat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan. Namun, ada pula sistem voucer ini diberlakukan di negara maju seperti di Amerika dengan maksud agar sekolah berlomba-lomba untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat. Menurut Nurkolis (2003: 34), dana diberikan kepada sekolah namun dalam bentuk voucer yang disebarkan kepada masyarakat luas. Masyarakat yang memperoleh voucer kemudian menyerahkannya kepada sekolah sebagai bentuk biaya pendidikan anaknya, dan oleh sekolah voucer tersebut diuangkan kepada pemerintah. Model ini tergolong cukup baik untuk mengantisipasi kemungkinan penyelewengan anggaran pendidikan yang biasanya banyak terjadi kebocoran di negara-negara berkembang. Sistem ini perlu diuji coba di Indonesia yang kebocoran dana pendidikan mencapai 30%. Reformasi yang diterapkan dalam bidang pendidikan disebut reformasi pendidikan yang artinya upaya perbaikan pada bidang pendidikan. Reformasi pendidikan memiliki dua karakteristik dasar, yaitu terprogram dan sistemik. Reformasi pendidikan yang terprogram menunjuk pada kurikulum atau program suatu institusi pendidikan, dan yang termasuk ke dalam reformasi terprogram ini adalah inovasi. Inovasi adalah tindakan memperkenalkan ide baru, metode baru atau Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
13
sarana baru untuk meningkatkan beberapa aspek dalam proses pendidikan agar terjadi perubahan secara mencolok dari sebelumnya dengan maksud-maksud tertentu yang ditetapkan (Rich, 1988: 2). Reformasi terprogram ini diterapkan langsung pada lingkup institusi sekolah. Model ini sering kali dijalankan walaupun hasilnya kurang memuaskan seperti perubahan dan pengembangan kurikulum baru, penataran guru-guru, penggunaan metode pengajaran baru, penggunaan alat evaluasi baru, dan perbaikan sarana dan prasarana baru. Namun, reformasi terprogram ini masih berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya upaya koordinasi dan integrasi secara menyeluruh. Kadang-kadang inovasi yang satu dengan yang lain tidak ada keterkaitan secara langsung. Sementara itu, reformasi sistemik berkaitan dengan adanya hubungan kewenangan dan distribusi serta alokasi sumber daya yang mengontrol sistem pendidikan secara keseluruhan. Hal ini sering kali terjadi di luar sekolah dan berada pada kekuatan sosial dan politik. Karakteristik reformasi sistemik ini sulit sekali diwujudkan karena menyangkut struktur kekuasaan. Reformasi sistemik berada naik di dalam lingkup sekolah maupun di luar lingkup sekolah. Namun, yang sering kali terjadi kesulitan dalam pelaksanaan reformasi sistemik ini adalah yang berada di luar lingkup sekolah. Tidak jarang reformasi ini melibatkan kekuasaan dan politik, mencakup pelimpahan dan distribusi kewenangan dari birokrasi pada tingkat operasional yang paling rendah. Reformasi sistemik menyatukan inovasi-inovasi yang dilakukan di dalam sekolah dan di luar sekolah secara lebih luas (Nurkolis, 2003: 35). MBS sebagai bentuk reformasi pendidikan juga berhadapan dengan dua karakteristik ini, yaitu terprogram dan sistemik, yang tampaknya banyak menjadi kendala dalam reformasi model MBS ini adalah karakteristik sistemik. Oleh karena itu, akan dapat berjalan dengan baik apabila lingkungan birokrasi mendukung untuk dilakukan reformasi. Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa reformasi pendidikan 14
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
akan lebih mudah dijalankan bila didahulukan reformasi di bidang sosial, misalnya sistem pemerintahan. Suatu sistem pemerintahan yang masih otoriter amat sulit untuk melaksanakan reformasi dalam bidang pendidikan. Dengan kata lain, reformasi pendidikan akan dapat tumbuh dengan mudah dan subur apabila dalam situasi pemerintahan yang demokratis. Menurut Bacharach (1990: 1-5), reformasi pendidikan diibaratkan sebagai pohon yang terdiri dari empat bagian, yaitu akar, batang, cabang, dan daunnya. Akar reformasi merupakan landasan filosofis yang tak lain bersumber dari cara hidup (way of life) masyarakatnya. Oleh karena itu, untuk suksesnya reformasi pendidikan harus berakar pada cara dan kebiasaan hidup warganya. Tanpa mempedulikan cara dan kebiasaan hidup warganya maka reformasi pendidikan tidak akan mendapatkan sambutan apalagi dukungan dari segenap lapisan masyarakat. Sebagai batang reformasi adalah berupa mandat dari pemerintah, baik berupa standar, struktur, dan tujuannya. Cabang-cabang reformasi pendidikan adalah manajemen lokal, pemberdayaan gur u, dan perhatian pada daerah setempat.. Cabang reformasi ini bila dikaitkan dengan pendapat Rich adalah sebagai karakteristik terprogram yang berupa inovasi-inovasi pendidikan (Rich, 1988: 2). Daun-daun reformasi pendidikan adalah keterlibatan orang tua siswa dan keterlibatan masyarakat untuk menentukan misi sekolah yang dapat diterima dan bernilai bagi masyarakat setempat. Keempat bagian tersebut saling terkait dan tergantung, artinya apabila salah satu bagian tidak maksimal dalam perannya maka dapat mengganggu jalannya reformasi. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah siapakah yang harus menjadi pionir dalam upaya menggerakkan reformasi itu? Jawabannya relatif, bergantung pada kondisi dan kedewasaan masyarakatnya. Di masyarakat yang demokrasinya telah tumbuh, berkembang dan berjalan dengan baik maka inisiatif reformasi bisa muncul dari masyarakat atau dari bawah (grass root). Tetapi di masyarakat yang masih Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
15
otokratis, inisiatif reformasi tidak mungkin datang dari bawah yang artinya harus ada desakan dari atas atau dari luar sistem yang lebih luas. Menurut Nurkolis, (2003: 38), reformasi pendidikan model MBS akan berlangsung dengan baik apabila keempat bagian tersebut juga digerakkan untuk berubah secara sistematis. Keempat bagian tersebut saling membantu suksesnya implementasi MBS. Artinya, mulai dari pola pikir masyarakat luas, adanya mandat dari pemerintah untuk mendesentralisasikan kekuasaannya, adanya pemberdayaan manajemen lokal dan keterlibatan masyarakat luas dalam pengelolaan pendidikan harus diubah secara besar-besaran melalui paradigma baru pendidikan model MBS. Selain itu, juga terdapat tiga kondisi lain untuk terjadinya reformasi pendidikan, yaitu adanya perubahan struktur organisasi, adanya mekanisme monitoring dari hasil yang diharapkan secara mudah yang biasa disebut akuntabilitas dan terciptanya kekuatan untuk terjadinya reformasi (Bacharach, 1990: 8). Struktur organisasi yang harus diubah adalah struktur organisasi dari institusi yang mengurusi pendidikan itu sendiri, misalnya di Indonesia adalah Departemen Pendidikan Nasional. Struktur organisasi lembaga tersebut harus dirampingkan sehingga mempermudah terjadinya reformasi pendidikan. Perampingan di sini dalam makna harfiah, yaitu perampingan jabatan, dan dalam makna kiasan, yaitu perampingan pola pikir dan tingkah laku dari pejabatnya. Dalam reformasi model MBS ini misalnya, tidak diperlukan lagi birokrat yang sering mempersulit jalannya perubahan. Kondisi yang lain adalah akuntabilitas dalam memonitoring pelaksanaan reformasi dengan mekanisme monitoring yang jelas. Bila reformasi dijalankan secara diam-diam tanpa adanya lembaga yang mengawasi dan tanpa adanya keterbukaan dengan masyarakat luas, besar kemungkinan hanya merupakan ajang pertarungan bagi segelintir elite untuk menarik simpati masyarakat. Reformasi tidak bisa dijalankan dengan kondisi yang demikian, harus ada akuntabilitas dan transparansi. 16
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Akhirnya, reformasi pendidikan tersebut harus dijadikan sebagai kebijakan pendidikan. Artinya, reformasi pendidikan itu dijadikan patokan kebijakan jangka panjang dalam setiap langkah pengambilan keputusan praktek pendidikan. Reformasi harus berada dalam kerangka kerja jangka panjang dan menjadi inti dari setiap kebijakan dan operasional pendidikan. Kebijakan adalah suatu ucapan lisan atau tulisan yang memberikan petunjuk umum tentang penetapan ruang lingkup yang memberi batas dan arah umum kepada para manajer untuk bergerak. Kebijakan juga berarti suatu keputusan yang luas untuk menjadi patokan dasar bagi pelaksanaan manajemen. Kebijakan adalah keputusan yang dipikirkan secara matang dan hati-hati oleh pengambil keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan yang berulang dan rutin yang terprogram atau terkait dengan aturan-aturan keputusan (Pongtuluran, 1995: 5). Menurut Levin (2001: 14), apabila reformasi pendidikan akan dijadikan sebagai kebijakan maka harus memenuhi empat tahapan. Tahapan-tahapan itu satu sama lain saling terkait, yaitu asal usulnya, adopsinya, implementasi dan hasilnya. Pertama, asal usulnya, yaitu dari mana datangnya usulan reformasi pendidikan tersebut, bagaimana reformasi pendidikan menjadi bagian dari aspek pemerintahan secara umum, peran apa yang dimainkan oleh masing-masing pihak dalam mengembangkan program reformasi tersebut. Kedua, bagaimana mengadopsi kebijakan tersebut yang akhirnya menjadi peraturan atau perundang-undangan. Untuk itu juga perlu dipantau sejauh mana perbedaan antara yang diusulkan dengan yang diundangkan dan apa penyebab dari perbedaan tersebut. Ketiga, bagaimana implementasinya. Reformasi kebijakan memerlukan sebuah lembaga penelitian untuk memantau pelaksanaan reformasi. Model implementasi seperti apa yang digunakan pemerintah sehingga mampu menggerakkan hingga ke tingkat operasional? Kebijakan apa yang mendukung adanya reformasi dan bagaimana sistem pendidikan merespons gerakan reformasi tersebut? Keempat, bagaimana hasil-hasilnya. Bukti-bukti apa yang menunjukkan adanya perubahan sebagai akibat dari reformasi. Dalam Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
17
pendidikan bukti yang nyata biasanya adalah bagaimana reformasi berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar siswa. Hadirin yang Mulia, Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah Pendidikan selalu mempunyai hubungan yang erat dengan upaya peningkatan wawasan dan pandangan, yang berarti ada proses belajar yang dilaksanakan baik secara formal, non formal dan informal, dan terjadi secara sendiri maupun kelompok. Pendidikan, pengajaran dan pelatihan harus dipandang sebagai satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan, antara satu dengan lainnya saling terkait. Sedangkan upaya adalah segala macam cara yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan. Dalam dunia pendidikan, agar tujuan yang telah dirumuskan dan ditetapkan itu tercapai, maka perlu digunakan metode atau cara, baik dengan diskusi, penugasan, tanya jawab dan lain-lain. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa pendidikan adalah tindakan sadar dengan cara mendidik, mengajar dan melatih. Pada konteks yang lebih khusus mendidik, mengajar dan melatih dapat dilakukan secara langsung dengan tahapan tertentu dengan suatu struktur atau program tertentu yang biasa dikenal dengan pendidikan berbasis pemerintah, pendidikan formal, non formal yang seluruh aktifitasnya mengacu pada aturan formal, dan pendidikan berbasis masyarakat. Menurut Sihombing dan Indardjo (2003: 2), masyarakat adalah produk lingkungan, lingkungan akan membentuk karakter masyarakatnya. Karena pendidikan ada kaitannya dengan lingkungan tersebut, maka pendidikan selalu berkaitan dengan masyarakat sehingga sesungguhnya pendidikan berada di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian kebemaknaan pendidikan justru untuk masyarakat atau untuk semua. Pendidikan tersebut seyogyanya juga tidak mengenal konsep berhenti atau putus belajar, seharusnya pendidikan berjalan sepanjang hayat (long life education). 18
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Konsep pendidikan untuk semua dan pendidikan sepanjang hayat sesungguhnya merupakan konsep pendidikan yang terus diupayakan keberadaannya, dengan konsep pendidikan seperti ini, maka pemberdayaan masyarakat untuk menyongsong masa depan dapat dipertaruhkan. Kelalaian pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan hanya akan menyebabkan keterpurukan bangsa, dan hanya bangsa yang menguasai ilmu dan teknologi yang akan mampu bersaing dalam pembangunan. Pendidikan dimana pun selalu mengacu pada sistem pendidikan yang ada. Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah sistem pendidikan yang ada sudah menjamin berlangsungnya pendidikan dalam arti yang sesungguhnya atau belum? Kesalahan mengadopsi dan menerapkan sistem pendidikan akan menjadikan pembangunan pendidikan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Makna pembangunan secara umum adalah terjadinya perubahan yang tertuju. Perubahan yang tertuju hanya akan mengarah lewat pendidikan yang benar, dalam arti masyarakat akan menilai hasil pendidikan secara positif pada saat mereka merasakan pendidikan membawa makna yang mampu menjawab kebutuhannya. Sudah bukan waktunya lagi pendidikan hanya mengandalkan pemerintah saja, masyarakat harus diberi peluang untuk selanjutnya ikut serta membangun pendidikan, karena itulah dapat dikatakan bahwa masyarakat adalah palang pintu terlaksananya pendidikan dengan benar. Berbagai permasalahan pendidikan yang muncul serta belum terpecahkan dapat bersumber dari peran serta masyarakat dalam pendidikan yang masih kurang karena peranannya sering terabaikan oleh para perencana pendidikan. Menurut D.B. Hol Singer (1987), pendidikan merupakan barang konsumsi dan barang investasi. Pendidikan merupakan barang konsumsi (consumtion goods) menandakan bahwa pendidikan merupakan kebutuhan setiap insan dan karenanya masyarakat selalu membutuhkan, semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat akibat pembangunan semakin besar pula tingkat kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan. Dengan pendidikan kemungkinan mendapatkan Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
19
tambahan manfaat dan nilai relatif cukup besar karena melalui pendidikan ada tambahan pengetahuan dan ketrampilan yang dapat digunakan untuk menjawab tantangan yang ada. Sedangkan pendidikan merupakan barang investasi (invesment goods) yang berarti sejumlah pengeluaran untuk mendukung pendidikan yang dilakukan orang tua, masyarakat dan pemerintah dalam jangka pendek untuk mendapatkan manfaat dalam jangka panjang. Keluarga, masyarakat dan pemerintah rela melakukan pengorbanan untuk kepentingan pendidikan demi manfaat di masa mendatang. Pengelola pendidikan adalah pihak yang terkait langsung dengan proses pendidikan. Pendidikan tidak ubahnya dengan proses produksi yang bergerak untuk merubah serangkaian sumber-sumber menjadi output atau keluaran. Dengan demikian proses pendidikan adalah tindakan merubah sumber-sumber pendidikan menjadi keluaran pendidikan. Pendidikan berbasis pemerintah, dan pendidikan berbasis masyarakat serta keluarga merupakan pengelola pendidik yang sesungguhnya terjadi di negeri ini. Pengelola-pengelola inilah yang melakukan proses pendidikan. Dimana dalam melakukan pengelolaan terhadap proses pendidikan tidak bisa melepaskan diri dari berbagai persoalan yang dihadapinya. Persoalan-persoalan itu antara lain, seperti keluaran pendidikan yang bagaimana yang diharapkan, sumber-sumber pendidikan dan kombinasi yang bagaimana yang diperlukan. Dalam hal ini, biasanya pengelola pendidikan mempunyai tujuan yang tidak jauh berbeda dengan pengelolan bisnis pada umumnya. Berdasar pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom serta Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka dapat disimpulkan bahwa fokus pelaksanaan otonomi daerah adalah di daerah kabupaten dan di daerah kota. Untuk itu sebagian besar pembiayaan nasional akan dilimpahkan lebih banyak ke daerah sesuai 20
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
dengan potensi dan kemampuan perekonomian daerah masing-masing (Soewartoyo, 2003: 9-11). Dalam beberapa tahun mendatang, upaya menuju desentralisasi pendidikan difokuskan pada penataan kewenangan pusat dan daerah. Daerah perlu memiliki peluang untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah. Sementara itu, pusat mengur us hal-hal yang strategis pada tataran nasional, yaitu pengembangan kurikulum nasional, bantuan teknis, bantuan dana, monitoring, pendidikan bahasa Indonesia, pembakuan mutu, pendidikan moral dan karakter bangsa, dan pemberian kesempatan pendidikan pada kelompok masyarakat kurang beruntung (Jalal dan Supriadi, 2001: 99). Dalam pelaksanaannya, pemerintah dan propinsi hanya diperkenankan menyelenggarakan kegiatan otonomi sebatas yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Kewenangan pemerintah daerah dilaksanakan secara luas, utuh, dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan (Soewartoyo, 2003: 10). Hal tersebut juga mempunyai arti bahwa daerah kabupaten/kota sebagai daerah otonom telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan selanjutnya sebagian besar kewenangan pada bidang pendidikan pelaksanaannya dilakukan oleh daerah (Soepardi, 2003: 28). Kewenangan yang luas ini selain sebagai kesempatan, sekaligus merupakan suatu tantangan (Burhanuddin, Ali Imron dan Maisyaroh, 2002: 84). Pendidikan merupakan salah satu unsur penting dalam membangun martabat bangsa dan negara. Landasan dasar pendidikan Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 31 yang mewajibkan kepada setiap warga negara memperoleh pengajaran, bertujuan menciptakan sumber daya manusia berkualitas dan bermoral. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia selama ini bila diperhatikan dari fenomena yang tampak menonjol, maka akan diketemukan beberapa hal yang belum mengarah kepada fungsionalisasi pendidikan. Beberapa hal tersebut antara lain adalah pelaksanaan Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
21
pendidikan yang belum mampu membangun individu belajar, membelenggu, tidak mendewasakan peserta didik, tidak menumbuhkan pola berpikir, belum mampu menghasilkan kemandirian, dan belum mampu memberdayakan dan membudayakan peserta didik (Djohar, 2003: 3). Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di era otonomi ini merupakan wujud dari kesadaran pemilikan masyarakat akan keberadaan lembaga pendidikan yang kemudian mendorong menjadi rasa tanggung jawab untuk menciptakan sumber daya berkualitas. Tumbuhnya partisipasi aktif masyarakat untuk membangun pendidikan ber mutu dan mandiri mer upakan pengimplementasian otonomi pendidikan, sedangkan pemerintah hanya berfungsi sebagai fasilitator dan mitra kerja masyarakat. Salah satu wujud dari partisipasi tersebut adalah dengan dibentuknya komite sekolah. Dasar pembentukan organisasi orang tua tersebut adalah UndangUndang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional yang mengharuskan setiap sekolah memiliki wadah atau organisasi orang tua yang beranggotakan orang tua siswa, guru dan kepala sekolah sebagai pelaksana teknis. Pada awalnya organisasi tersebut dikenal dengan nama Badan Pembina Pembangunan Pelajar (BP3) atau sebagian sekolah lainnya menyebut BMOG (Badan Musyawarah Orang tua Murid dan Guru). Kemudian sejak bergulirnya era reformasi, organisasi tersebut mengalami perubahan tugas dan fungsinya sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Departemen Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 tentang pembentukan Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota dan Komite Sekolah di tingkat sekolah (Soewartoyo, 2003: 66). Sebagaimana dijelaskan Irjen Depdiknas, Muljani A. Nurhadi bahwa dengan pemberian kewenangan yang utuh kepada daerah melalui Dewan sekolah tersebut, terdapat tiga tujuan yang hendak dicapai, yaitu (1) untuk mendorong melakukan pemberdayaan masyarakat, (2) menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, dan (3) peningkatan peran serta 22
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
masyarakat serta mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Pemerintah kabupaten/kota juga telah menetapkan bahwa sekolah merupakan urusan masyarakat, maka ditetapkan sistem manajemen berbasis sekolah (MBS) dan manajemen berbasis masyarakat. Berdasarkan SK Menteri Departemen Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 tersebut, Dewan pendidikan didefinisikan sebagai sebagai badan yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan dan efisiensi pengelolaan pendidikan di kabupaten/kota, sedangkan komite sekolah memiliki tujuan yang sama dengan dewan pendidikan, namun berada di tingkat sekolah selaku penyelenggaraan langsung. Nama dari pada badan-badan tersebut diserahkan langsung kepada sekolah sesuai dengan keinginan bersama, sehingga BP3 atau Komite sekolah yang telah ada dapat merupakan perluasan fungsi dan peran dengan keanggotaan yang lebih luas yang mencakup seluruh komponen masyarakat (Balitbang, 2003: 43). Secara normatif, tujuan pendirian Komite sekolah adalah (1) sebagai wadah dan penyalur aspirasi dan prakarsa masyarakat untuk melahirkan kebijakan operasional dan program, (2) untuk meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, dan (3) untuk menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabilitas, dan demokrasi dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu (Soewartoyo, 2003: 66; Safrudin, et. al., 2004: 77). Berdasarkan tujuan-tujuan tersebut, maka Komite sekolah mempunyai peran dan fungsi (Balitbang, 2003: 43-44). Peran Komite sekolah sebagaimana lampiran SK Menteri Departemen Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 adalah (1) pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan; (2) pendukung (supporting agency) baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupaun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; (3) pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
23
pendidikan di satuan pendidikan; dan (4) mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan (Safrudin, et. al., 2004: 77). Sedangkan fungsi Komite sekolah adalah (1) mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; (2) melakukan kerjasama dengan masyarakat (perorangan/organisasi atau dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; (3) menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat; (4) memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai kebijakan dan program pendidikan, Rencana Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah (RAPBS), kriteria kinerja satuan pendidikan, kriteria tenaga kependidikan, kriteria fasilitas pendidikan, dan hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan; (5) mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan; (6) menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; dan (7) melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan (Safrudin, et. al., 2004: 77). Keanggotaan Komite sekolah terdiri dari unsur masyarakat yang dapat berasal dari orang tua/wali peserta didik, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, dunia usaha atau industri, organisasi profesi tenaga pendidikan, wakil alumni, dan wakil peserta didik; dan unsur dewan guru, yayasan/lembaga penyelenggara pendidikan, dan perwakilan dari Badan Pertimbangan Desa. Bervariasinya anggota Komite sekolah diharapkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan semakin besar dalam bentuk pemberi pertimbangan dan pendukung dalam penentu pelaksanaan kebijakan, pengontrol dalam rangka transparansi dan akuntabilitas, serta mediator antara pemerintah dengan masyarakat yang lebih luas. Jadi, desentralisasi pendidikan merupakan proses yang relatif 24
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
kompleks, karena berhadapan dengan perubahan dalam cara sistem persekolahan melakukan pembuatan kebijakan, menggali dan memperoleh penerimaan dan penggunaan dana, melatih guru, mengembangkan kurikulum dan mengelola sekolah di daerah. Desentralisasi pendidikan bukanlah tujuan akhir, melainkan suatu alat yang penting untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu pendidikan. Ada beberapa alasan yang dapat diidentifikasi dalam kaitannya dengan pendesentralisasian pendidikan, yaitu: karena keuangan pendidikan, peningkatan efektivitas dan efesiensi, redistribusi kekuasaan politik, peningkatan mutu pendidikan, dan peningkatan inovasi pendidikan. Sedangkan faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan desentralisasi pendidikan, antara lain informasi, kepentingan-kepentingan, desentralisasi yang kurang lengkap, kemampuan manajemen sekolah di daerah, kemampuan orang tua dan masyarakat di daerah, dan persaingan. Menurut McGinn dan Welsh (1999: 28-29) ada tiga motif yang melatarbelakangi desentralisasi pendidikan, yaitu motif politis, motif pembiayaan (pendanaan) dan motif efisiensi. Di sini nampak bahwa motif desentralisasi pendidikan belum mengarah kepada pemberdayaan sosial budaya masyarakat. Adapun tujuan desentralisasi pendidikan adalah (1) mengembangkan pendidikan itu sendiri secara langsung; (2) mengembangkan pelaksanaan sistem pendidikan; (3) mengubah sumber dan jumlah dana yang disediakan untuk pendidikan; (4) memberikan keuntungan pada pemerintah pusat; dan (5) memberikan keuntungan pada pemerintah daerah. Sedangkan menurut Behrman, dkk. (2002: 23), sejumlah besar desentralisasi pendidikan dilaksanakan di dunia ini didasarkan pada asumsi bahwa kualitas pendidikan (pembelajaran) akan berkembang dengan menjadikan pembuatan keputusan dan akuntabilitas lebih dekat dengan siswa, kelas dan sekolah. Pengalihan tanggung jawab dalam pembuatan keputusan kepada sekolah-sekolah di daerah berimplikasi pada redistribusi kekuasaan dari birokrat pusat kepada para kepala Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
25
sekolah, guru dan orang tua siswa, yang agaknya memiliki kepentingan yang besar tentang isi dan kualitas pendidikan. Para pendukung desentralisasi percaya bahwa memberikan kekuasaan dan otoritas kepada para stakeholders akan membuat sekolah manjadi lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat sekitarnya, dan akan lebih mengembangkan pengetahuan, kreativitas dan inisiatif pelaku pada tataran sekolah dan masyarakat. Selanjutnya Behrman, dkk. (2002: 24) menyatakan bahwa bentukbentuk desentralisasi pendidikan itu antara lain: (a) mengurangi administrasi pendidikan dari pusat; (b) melimpahkan kewenangan asministratif dan keuangan kepada pemerintah daerah (provinsi atau kabupaten/kota) atau ke sekolah; (c) manajemen berbasis sekolah; (d) pembiayaan pendidikan dari masyarakat; (e) perubahan kurikulum; dan (e) school voucher and demand-side financing. Menurut Alisjahbana (2000), desentralisasi pendidikan atau otonomi pendidikan di Indonesia dilaksanakan pada tiga tingkatan atau level, yaitu level distrik, sekolah dan level guru. Pertama, level distrik, yaitu desentralisasi pendidikan pada tingkat kabupaten atau kota, dimana pemerintah daerah diberi kewenangan yang lebih besar dalam menangani dan menyelenggarakan pendidikan di daerahnya. Kedua, level sekolah, yakni dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada sekolah untuk mengatur dan menyelenggarakan proses pendidikan di sekolah. Konsep manajemen yang digunakan oleh sekolah disebut manajemen berbasis sekolah, dimana seluruh warga sekolah (stakeholders) diberikan keleluasaan untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, bukan hanya dalam pembiayaan tetapi juga dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian program sekolah. Ketiga, level guru, dimana guru di dalam melaksanakan tugasnya di sekolah diberikan otonomi yang lebih besar, sehingga mereka dapat memiliki kebebasan untuk mengembangkan proses belajar mengajar, melakukan inovasi pembelajaran, dan melaksanakan penilaian. Salah satu kenyataan penyelenggaraan pendidikan pada masa Orde Baru adalah terpisahnya pendidikan dari masyarakat. Akibatnya 26
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
pendidikan diarahkan terpisah dari kebutuhan masyarakat, dari dunia industri dan dunia kerja. Hal ini diduga sebagai salah satu penyebab keengganan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan. Kondisi ini diperparah dengan pengelolaan pendidikan yang sangat sentralistik dan militeristik. Memang ada upaya-upaya pemerintah mendesentralisasikan pendidikan. Prakarsa desentralisasi pendidikan ini menampak pada beberapa peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru (Tilaar, 2000: 58). Namun prakarsa desentralisasi pendidikan tersebut ternyata cender ung mengarah kepada dekonsentrasi atau desentralisasi administratif, sehingga prakarsa-prakarsa tersebut tidak berjalan secara optimal. Karena masih terlihat tarik-menarik kepentingan dan ketidakpercayaan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, sebagaimana yang nampak pada otonomi di Kabupaten Dati II Percontohan. Sehingga pengelolaan pendidikan tetap bersifat sentralistik. Akibatnya, pendidikan telah terhempas dari masyarakat dan telah menjadi milik penguasa Orde Baru. Cara-cara otoriter dan sentralistik yang dilakukan pemerintah tidak memberikan ruang bagi kemungkinan adanya alternatif-alternatif lain, sehingga cara-cara pengelolaan pendidikan berjalan secara tradisional tanpa perubahan. Hal ini harus diubah atau dihilangkan dalam masyarakat demokratis, dimana peranan masyarakat yang aktif perlu dikembangkan atau diberdayakan, sehingga masyarakat sadar akan tanggung jawabnya mebangun kehidupannya sendiri. Menur ut Yoyon Suryono sebagaimana yang dikutip oleh Abdurrahmansyah (2001: 60), ada beberapa kesulitan untuk menjelaskan arah kebijakan otonomi di bidang pendidikan di Indonesia. Pertama, kesulitan yang muncul karena ada dua bingkai otonomi yang berbeda yakni frame otonomi daerah dan frame otonomi pendidikan. Kedua, kesulitan karena masih kurang jelasnya muatan otonomi pendidikan. Ketiga, kesulitan pada usaha menangkap kebijakan itu sendiri (kebijakan siapa dan pada level mana) sehingga sulit untuk ditentukan kemana arahnya. Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
27
Ketumpang-tindihan dalam menentukan kebijakan otonomi daerah dan otonomi pendidikan ini menarik untuk dicermati sebagai acuan dalam memformulasikan arah kebijakan di masing-masing wilayah otonom tersebut. Sebab tidak menutup kemungkinan, “ketidakjelasan” arah kebijakan ini justru menjadi batu sandungan bagi efektivitas penerapan otonomi pendidikan. Dalam pelaksanaannya, otonomi pendidikan dihadapkan pada suatu persoalan yang ada di daerah, yaitu kemampuan daerah dalam menyelenggarakan pendidikan, khususnya berkaitan dengan penyediaan dana yang diperlukan untuk penyelenggaraan pendidikan tersebut. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah diamandemen, pemerintah (pusat maupun daerah) diwajibkan menyediakan anggaran pendidikan sebesar 20% dari anggaran pendapatan dan belanjanya. Karena tidak semua daerah memiliki kekayaan alam dan sumber-sumber keuangan yang memadai. Terkait dengan hal ini, dalam kenyataannya tidak sedikit sekolah-sekolah yang masih tinggi tarip pendidikannya. Sehingga yang perlu diperhatikan adalah apakah kebijakan desentralisasi pendidikan itu dilakukan secara menyeluruh (untuk semua daerah, apapun kondisinya) atau tidak. Caroline Huges Parcell (1992) dalam bukunya Understanding Society, menjelaskan bahwa ada tiga komponen yang berhubungan dengan penyelenggaraan desentralisasi pendidikan, yaitu educational attaintment, social conditions, dan occupational and income. Sehingga jika kemampuan pemerintah (daerah) dalam pembiayaan pendidikan cukup besar, maka desentralisasi pendidikan layak untuk diterapkan, karena akan memperkuat terhadap penyelenggaraan pendidikan. Namun jika kemampuan daerah dalam pembiayaan pendidikan kurang memadai, masih diperlukan adanya intervensi dari pemerintah pusat agar pendidikan dapat berjalan dengan layak. Dengan demikian pada akhirnya desentralisasi pendidikan tidak sepenuhnya dilaksanakan. Namun jika daerah tidak mampu menyediakan sendiri biaya pendidikan, maka pemerintah pusat harus menangani pendidikan itu agar dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dengan demikian berarti desentralisasi pendidikan tidak dapat dilaksanakan. 28
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Hadirin yang Mulia, Manajemen Berbasis Sekolah Sebagai Bentuk Reformasi Pendidikan Sejak digulirkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku 1 Januari 2001, wacana desentralisasi pemerintahan ramai dikaji. Pendidikan termasuk bidang yang didesentralisasikan ke pemerintah kota/kabupaten. Melalui desentralisasi pendidikan diharapkan permasalahan pokok pendidikan, yaitu masalah mutu, pemerataan, relevansi, efisiensi dan manajemen dapat terpecahkan. Muncul pertanyaan mendasar, yaitu cukupkah desentralisasi pendidikan pada tingkat pemerintah kota/kabupaten? Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa desentralisasi pendidikan tidak cukup hanya pada tingkat kota/kabupaten. Banyak negara yang menyerahkan pengelolaan pendidikan hingga ke pemerintah daerah, tetapi tidak berhasil meningkatkan mutu pendidikan secara signifikan. Desentralisasi pendidikan untuk mencapai otonomi pendidikan yang sesungguhnya harus sampai pada tingkat sekolah secara individual. Mengapa perlu desentralisasi pendidikan? Berbagai studi tentang desentralisasi menunjukkan bahwa pekerjaan yang bersifat kompleks, dikerjakan dalam tim, mengandung unsur ketidakpastian, dan berada pada lingkungan yang cepat berubah tidak bisa dikelola secara sentralistik. Pendidikan dan secara khusus lagi sekolah yang selama ini dikelola secara sentralistik justru menimbulkan banyak masalah. Oleh karena itu, sekolah yang memiliki karakteristik seperti itu harus didesentralisasikan. Salah satu model desentralisasi pendidikan adalah MBS. Menurut Tilaar (1998: xii), krisis pendidikan yang dihadapi Indonesia dewasa ini berkisar pada krisis manajemen. Menurutnya, manajemen pendidikan dirumuskan secara sederhana sebagai mobilisasi segala sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Karena itu dengan diterapkannya MBS ini menjadi harapan Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
29
banyak pihak agar krisis pendidikan akan bisa diselesaikan atau setidaknya bisa diminimalisasi. Banyak pakar dan pemerhati pendidikan menyumbangkan pikirannya untuk mengkaji model MBS yang sesuai dengan negeri ini. Pada dasarnya, tidak ada satu model MBS yang baku untuk semua kondisi yang berbeda-beda. Bukan hanya perbedaan negara, wilayah atau provinsi dan kabupaten, perbedaan antar kondisi sekolah pun menuntut adanya penerapan MBS yang berbeda. Walaupun kelihatannya berbeda-beda, namun pada hakikatnya ada persamaan yang mendasar sebagaimana akan dikemukakan dalam uraian ini. Sejauh ini banyak pakar pendidikan dan para pemerhati pendidikan yang telah menjelaskan tentang MBS yang masih berkisar pada hal-hal yang bersifat sekunder atau bahkan tersier dan belum menyangkut isi atau hakikat yang sebenarnya. Masih jarang yang menyinggung masalah isi yang tak lain mer upakan hakikat desentralisasi. Hakikat desentralisasi pendidikan adalah “apa dan kepada siapa” (what and to whom) dan bukan aturan-aturannya (regulation) (Nurkolis, 2003: 42). Reformasi pendidikan di banyak negara dimulai pada dekade 1970an hingga 1980-an. Banyak sekolah di Amerika Serikat, Kanada dan Australia yang berhasil menerapkan desentralisasi pendidikan dengan model MBS. Melalui MBS sekolah memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan yang terkait langsung dengan kebutuhankebutuhan sekolah. Dengan MBS unsur pokok sekolah memegang kontrol yang lebih besar pada setiap kejadian di sekolah. Unsur pokok sekolah inilah yang kemudian menjadi lembaga non-struktural yang disebut dewan sekolah yang anggotanya terdiri dari guru, kepala sekolah, administrator, orang tua, anggota masyarakat dan siswa (Nurkolis, 2003: 42). Menurut Wohlstetter dan Mohrman, et. al (1994: 56-71) ada empat sumber daya yang harus didesentralisasikan, dimana kesemuanya pada hakikatnya merupakan inti dan isi dari MBS. Yaitu power/authority, knowledge, information, dan reward. Keempatnya merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dan menuntut kehadirannya, adalah sebagai berikut: 30
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Pertama, kekuasaan/kewenangan (power/authority) har us didesentralisasikan ke sekolah-sekolah secara langsung, yaitu melalui dewan sekolah. Setidaknya terdapat tiga bidang penting yaitu budget, personel, dan curriculum. Termasuk dalam kewenangan ini adalah menyangkut pengangkatan dan pemberhentian kepala sekolah, guru, dan staf sekolah. Di sini jelas sekali bahwa sekolah memiliki kewenangan yang besar dalam pembiayaan dengan cara menggali sumber-sumber pendanaan di lingkungan sekolah. Selain itu, dalam bidang ketenagakerjaan sekolah juga bisa memiliki kewenangan untuk memilih tenaga-tenaga kependidikan yang profesional dan sesuai dengan kebutuhan serta kemampuan sekolah. Apalagi dalam kewenangan sekolah terhadap kurikulum, sepenuhnya sekolah memiliki kewenangan untuk memilih isi dan materi pelajaran mana yang paling sesuai dengan kondisi lingkungan. Meskipun demikian, karena MBS di Indoensia masih dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia, maka materi yang bersifat nasional juga harus diikuti. Kedua, pengetahuan (knowledge) juga harus didesentralisasikan sehingga sumber daya manusia di sekolah mampu memberikan kontribusi yang berarti untuk kemajuan kinerja sekolah. Pengetahuan yang perlu didesentralisasikan meliputi ketrampilan yang terkait dengan pekerjaan secara langsung, ketrampilan kelompok, dan pengetahuan keorganisasian. Ketrampilan kelompok di antaranya adalah pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan ketrampilan berkomunikasi. Termasuk dalam pengetahuan keorganisasian adalah pemahaman lingkungan dan strategi merespons perubahan. Maksudnya, personel sekolah harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan seluas mungkin. Oleh karena itu, harus ada perencanaan dan pengalokasian agar personel sekolah selalu mendapatkan penataran dan peningkatan pengetahuannya. Dalam konteks ini sekolah tidak harus menunggu adanya penugasan dari pemerintah, tetapi juga bisa aktif mengajak kalangan swasta terutama kalangan pebisnis untuk memberikan pengetahuan kepada para personel sekolah. Personel sekolah harus membuka diri untuk menyerap pengetahuan dan ketrampilan dari Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
31
masyarakat terutama dari kalangan dunia usaha yang selanjutnya diterapkan dalam pelaksanaan tugasnya di sekolah. Ketiga, hakikat lain yang harus didesentralisasikan adalah informasi (information). Pada model sentralistik informasi hanya dimiliki para pimpinan puncak, maka pada model MBS harus didistribusikan kepada seluruh konstituen sekolah bahkan kepada seluruh stakeholder. Informasi yang perlu disebarluaskan antara lain berupa visi, misi, strategi, sasaran dan tujuan sekolah, keuangan dan struktur biaya, isuisu sekitar sekolah, kinerja sekolah dan para pelanggannya. Penyebaran informasi ini bisa secara vertikal dan horizontal, baik dengan cara tatap muka maupun tulisan. Segala informasi tentang sekolah yang harus disebarluaskan ke segala penjuru, baik terhadap para guru, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, penjaga sekolah, orang tua siswa, dewan sekolah, siswa sendiri dan masyarakat luas. Inilah pentingnya manajemen informasi, karena tidak semua informasi bisa disampaikan kepada semua pihak. Penyebaran informasi harus proporsional dan melihat kepentingan berbagai pihak. Keempat, penghargaan (reward) adalah hal penting lainnya yang harus didesentralisasikan. Pengharagaan ini bisa dalam bentuk fisik maupun nonfisik, yang semuanya didasarkan atas prestasi kerja. Penghargaan fisik bisa berupa pemberian hadiah seperti uang. Penghargaan nonfisik berupa kenaikan pangkat, melanjutkan pendidikan, mengikuri seminar atau konferensi dan penataran. Penghargaan pun harus diberikan kepada setiap pihak yang berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Sementara itu, phak yang tidak dapat menjalankan tugas dengan baik atau bahkan gagal menjalankan tugas juga perlu mendapat punishment secara wajar. Punishment tidak selalu yang berkonotasi menyeramkan, tetapi lebih diupayakan yang bersifat pembinaan bagi yang bersangkutan. Tanpa adanya punishment kepada yang gagal maka makna reward akan kurang berarti. Prinsip keseimbangan dan keadilan harus selalu diperhatikan dalam memberikan reward dan punishment. Sementara itu, menurut Depdiknas (2001: 21-24) fungsi-fungsi yang dapat didesentralisasikan ke sekolah adalah sebagai berikut: 32
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
a. Perencanaan dan evaluasi program sekolah Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya, misalnya kebutuhan untuk meningkatkan mutu sekolah. Sekolah juga diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi internal atau evaluasi diri. Termasuk dalam perencanaan adalah rencana pengembangan sekolah yang setidaknya meliputi beberapa hal sebagai berikut: (1) visi dan misi sekolah, (2) identifikasi timbulnya permasalahan, (3) prioritas permasalahan yang dihadapi sekolah untuk segera diselesaikan, (4) alternatif cara pemecahan masalah, (5) prioritas pemecahan masalah, (6) tujuan program sekolah, (7) rencana induk pengembangan sekolah dalam jangka waktu 3-5 tahun, (8) sumber dana untuk membiayai program, (9) proposal penunjang block-grant yang terdiri dari jenis program dan prakiraan anggaran, dan (10) membuat rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah yang memuat semua jenis program dan sumber dana dalam jangka waktu satu tahun (Subakir dan Sapari, 2001: 9-10). b. Pengelolaan kurikulum Sekolah dapat mengembangkan, namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional yang dikembangkan oleh Pemerintah Pusat. Sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal. Dengan mendesentralisasikan berbagai bidang tersebut diharapkan tujuan utama MBS akan tercapai. Tujuan utama MBS tak lain adalah meningkatkan kinerja sekolah dan terutama meningkatkan kinerja belajar siswa menjadi lebih baik. Sejalan dengan berlakunya otonomi daerah, dikembangkannya manajemen berbasis sekolah (MBS) atau school-based management (SBM) menuntut terjadinya perubahan dalam manajemen sekolah (Jalal dan Supriadi, 2001). Dalam berbagai literatur tentang manajemen sekolah, MBS disebut juga otonomi sekolah (school autonomy) atau site-based management (Beck & Murphy, 1996). Ditjen Dikdasmen Depdiknas Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
33
memilih nama resmi Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) atau school-based quality improvement untuk memberikan tekanan pada peningkatan mutu, lebih dari sekedar adanya kewenangan sekolah untuk pengambilan keputusan. Apapun namanya, pada prinsipnya MBS bertujuan untuk memberdayakan sekolah dalam menetapkan berbagai kebijakan internal sekolah yang mengarah pada peningkatan mutu dan kinerja sekolah secara keseluruhan (Widiastono, 2004: 363-364). MBS adalah suatu alternatif dari pola pengelolaan sekolah dengan kewenangan yang besar diletakkan pada tingkat lokal/ sekolah (Nurkolis, 2003: 42). Supriadi (2004: 18) mengutip pendapatnya Heynderickx Kubick mendefinisikan bahwa SBM sebagai “a system of administration in which the school is the primary unit of educational decision-making”. Melalui Manajemen Berbasis Sekolah ini, sekolah tidak hanya sekadar melaksanakan kebijakan unit pengelola pendidikan di atasnya (Dinas Pendidikan, Depdiknas), melainkan sekolah lebih diberdayakan untuk menentukan sendiri kebijakan yang dipandang sesuai dengan kondisikondisi internal dan lokalnya. Karena berbagai keputusan penting berada di tingkat sekolah, maka tanggung jawab atas hasil atau dampak yang ditimbulkannya pun lebih banyak berada di tingkat sekolah. Dalam Manajemen Berbasis Sekolah, tanggung jawab dalam pengambilan keputusan tertentu seperti anggaran, personil dan kurikulum lebih banyak diletakkan pada tingkat sekolah daripada di tingkat pusat, provinsi, atau bahkan juga kabupaten/kota. Sistem ini memberikan kewenangan yang lebih besar kepada kepala sekolah, siswa, dan orang tua dalam mengendalikan proses pendidikan di tingkat sekolah. Melalui Manajemen Berbasis Sekolah, mereka memiliki kewenangan yang luas untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi sekolahnya dalam memecahkan masalah dan menjawab tantangan yang dihadapinya serta memenuhi kebutuhan dan mewujudkan cita-citanya, dalam kerangka upaya peningkatan mutu. Perubahan yang secara terarah dan bersengaja (deliberate) tersebut tidak datang dari luar, melainkan dari dalam sekolah, sehingga lebih bersifat latent dan berkelanjutan (Suryadi, 2003: 3). 34
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Kalau dicermati secara lebih jauh dan mendalam, sebenarnya ada perbedaan antara MBS dan MPMBS dalam cakupan dan nuansanya. MBS adalah suatu konsep yang lebih luas daripada MPMBS. MBS adalah merupakan prinsip umum yang bisa diterapkan pada sekolah manapun dan dengan tingkat perkembangan atau kematangan apapun, karena esensinya adalah adanya kewenangan dan kemandirian sekolah untuk mengelola dan mengambil keputusan yang (dianggap) terbaik bagi kepentingan sekolah dan peserta didik, dan untuk itu sekolah harus dapat mempertanggung-jawabkannya kepada masyarakat. Segi yang diutamakan dalam MBS adalah kemandirian dalam pengambilan keputusan. Pada tataran yang paling rendah, sasarannya bisa pada tingkatan sekadar untuk mempertahakan survival sekolah itu agar tetap bertahan; pada tingkat sedang, bisa untuk mempertahankan mutu yang telah dicapai agar tidak turun; dan tataran yang tinggi, agar mutu sekolah dapat bersaing dengan sekolah-sekolah terbaik lainnya (Supriadi, 2004: 19). Sedangkan MPMBS pada dasarnya adalah MBS yang telah secara khusus diarahkan pada upaya peningkatan mutu pendidikan (qualityimprovement oriented SBM). Jadi, sasaran MPMBS tidak berhenti hanya pada upaya mempertahankan keberadaan sekolah, melainkan sudah mengarah pada mutu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa “Semua sekolah pada dasarnya dapat melaksanakan MBS, tetapi tidak semua sekolah bisa mengimplementasikan prinsip-prinsip MPMBS bila prasyarat dasarnya belum terpenuhi”. Karena itu pula, sekolah-sekolah yang menjadi sasaran penerapan MPMBS lebih selektif daripada yang menjadi sasaran MBS. Sekolah yang terancam gulung tikar karena kekurangan siswa, tidak memiliki gedung, kekurangan guru, dan tidak cukup memiliki dana operasional, sulit untuk bisa bergerak ke arah MPMBS, tetapi sekolah yang seperti ini bisa mulai melaksanakan MBS (dalam pengertian kemandirian dalam pengelolaan). Tujuan dari penerapan MPMBS ini adalah agar manajemen sekolah lebih terfokus pada peningkatan mutu yang merupakan agena utama dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Bahwa dalam kenyataan Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
35
kedua istilah tersebut sering digunakan secara bergantian untuk pengertian yang kurang lebih sama, hal ini tidak menjadi masalah, sejauh aspek mutu tetap ditonjolkan. Alasan lain ialah mutu itu sendiri dapat diartikan secara luas, bukan hanya mutu hasil dalam bentuk prestasi belajar; melainkan juga mutu pelayanan, mutu masukan dan lain-lain. Selanjutnya akan diuraikan MBS dalam pengertian umum yang meliputi juga MPMBS (Supriadi, 2004: 20). Peningkatan mutu sebagai fokus MBS adalah tepat, karena tanpa diorientasikan pada mutu, maka MBS tidak akan banyak artinya bagi sekolah. Fokus pada mutu tentu saja menuntut perubahan pada aspek yang lain. Dalam hal ini Beck dan Murphy, mengemukakan empat kondisi yang harus terpenuhi untuk peningkatan mutu sekolah, yaitu: (1) fokus yang kuat dan konsisten pada mutu; (2) kepemimpinan yang kuat dan fasilitatif; (3) komitmen untuk memelihara kekompakan internal dan eksternal; dan (4) sumberdaya yang diarahkan untuk meningkatkan kemampuan semua orang dalam komunitas sekolah (Supriadi, 2004: 20). Dalam merumuskan visi, menjabarkannya ke dalam misi, memilih arah perubahan dan strategi pencapaiannya serta menghimpun sumber daya yang diperlukan dan cara pengelolaannya, kepala sekolah tidak dapat bekerja sendirian, melainkan perlu melibatkan pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap sekolah. Pihak-pihak yang terlibat itu bukan hanya berasal dari dalam sekolah saja (guru, pembimbing, siswa, orang tua siswa), bukan pula hanya terbatas dari kalangan yang selama ini berstatus pegawai negeri, melainkan bisa juga dari luar pemerintah atau sekolah yang selama ini berada “di luar sekolah”, seperti para intelektual, aktivis LSM dan lain-lain. Pada prinsipnya, semakin luas dan beragam latar belakang pihak-pihak lain yang terlibat itu, maka semakin baik, karena akan lebih banyak suara dan aspirasi yang terwakili yang kemudian menjadi masukan dalam pengambilan keputusan (Supriadi, 2004: 21). Oleh karena itu, agar terkoordinasi dengan baik, maka perlu dibuat suatu wadah atau forum untuk menampung aspirasi tersebut secara 36
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
teratur, berkelanjutan dan mengarah kepada tujuan. Forum itu lazim disebut Badan Sekolah (School-Board), Dewan Sekolah (School Council), atau Komite Sekolah (School Committee). Untuk tingkat sekolah, Indonesia memilih nama Komite Sekolah, sedangkan untuk tingkat kabupaten/kota menggunakan nama Dewan Pendidikan. Dalam praktiknya, Komite Sekolah bisa berada di setiap sekolah atau pada suatu kelompok/gugus sekolah; yang penting dalam forum itu ada dan berfungsi efektif sebagai sarana komunikasi dan pengambilan keputusan bersama. Karena tidak hanya melibatkan sekolah, apalagi hanya kepala sekolah, maka asas-asas keterbukaan, demokratisasi, kerjasama, saling menghargai pendapat, dan keterwakilan menjadi sangat penting dalam Komite Sekolah. Begitulah, sekali komitmen ditetapkan untuk melaksanakan MBS, maka segalanya secara serempak harus megikuti arah perubahan itu (Supriadi, 2004: 21). Pada sisi lain, tentu saja banyaknya pihak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan tersebut akan membuat tidak mudahnya mengelola perbedaan pendapat yang mungkin terjadi dalam Komite Sekolah. Perbedaan pendapat itu harus dipahami sebagai refleksi dari adanya perspektif dan harapan yang berbeda-beda dari para anggota Komite Sekolah terhadap pendidikan, bahkan juga mencerminkan tingkat pemahaman mereka tentang pendidikan. Sehingga pengambilan keputusan harus secara partisipatoris (participatory decision-making), walaupun dalam kenyataannya kadang-kadang bisa menciptakan frustasi dan seringkali prosesnya lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara otokratik. Para anggota Komite Sekolah harus mampu bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas-tugas yang dihadapi. Tidak sedikit orang yang hanya berbekal semangat untuk ikut berbicara tentang pendidikan, tanpa dibekali pemahaman yang cukup dalam bidang ini. Ada juga yang banyak mengetahui tentang pendidikan dan ikut berbicara tentang perbaikan pendidikan, tetapi tidak disertai komitmen yang penuh untuk turut mewujudkannya. Hal seperti ini bisa terjadi pada siapa saja, termasuk para anggota Komite Sekolah, aparat pendidikan dan bahkan intelektual pendidikan. Yang terbaik Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
37
adalah orang yang tahu banyak tentang pendidikan, memiliki kepedulian yang tinggi, dan sekaligus menunjukkan komitmen yang kuat untuk mewujudkan kehendaknya itu dalam kenyataan. Keuntungan dari pengambilan keputusan partisipatoris dalam MBS adalah keputusan merupakan hasil bersama, dan upaya mewujudkannya pun harus bersama-sama disertai rasa ikut terlibat dan ikut memiliki. Orang tua misalnya, tidak bisa lagi hanya mempercayakan sepenuhnya pendidikan anaknya kepada sekolah, melainkan harus ikut memantau dan mendorong anak serta menciptakan lingkungan yang kondusif bagi belajar anak dalam keluarganya. Bila orang tua mempunyai harapan yang tinggi terhadap pendidikan anaknya di sekolah, maka mereka pun harus mendukung dan siap menanggungnya. Menurut Slamet PH berdasarkan temuan di lapangan, terdapat tiga alasan normatif atas penerapan MBS ini: 1) Manajemen berbasis pusat yang selama ini telah dipraktekkan memiliki banyak kelemahan, di antaranya keputusan pusat sering kurang sesuai dengan kebutuhan sekolah, atau menumpulkan daya kreativitas sekolah, juga mengikis habis rasa kepemilikan warga sekolah terhadap sekolahnya; 2) yang paling memahami permasalahan-permasalahan di sekolah adalah sekolah itu sendiri. Karenanya, sekolah merupakan unit utama yang harus memecahkan permasalahannya melaluli sejumlah keputusan yang dibuat sedekat mungkin dengan kebutuhan sekolah. Untuk itu sekolah harus memiliki kewenangan (otonomi), tidak saja dalam pengambilan keputusan, akan tetapi juga dalam mengatur dan mengurus kepentingan sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan payung kebijakan makro pendidikan nasional. 3) Perubahan di sekolah akan terjadi jika semua warga sekolah ada rasa memiliki. Rasa memiliki berasal dari kesempatan berpartisipasi dalam merumuskan perubahan dan keluwesan untuk mengadaptasikannya terhadap kebutuhan individu sekolah. Rasa memiliki ini pada gilirannya akan meningkatkan pula rasa tanggung jawab. Jadi, makin besar tingkat partisipasi warga sekolah dalam pengambilan keputusan, makin besar pula rasa tanggung jawabnya (Ade Irawan, et. al., 2004: 35-36). 38
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Pelaksanaan otonomi daerah dalam pengelolaan pendidikan yang dilakukan seiring dengan manajemen pendidikan berbasis sekolah dan pendidikan berbasis masyarakat har us mencegah terjadinya perkembangan yang mengarah pada egoisme sempit di kalangan pengelola dan pelaku pendidikan. Otonomi daerah juga harus mampu mencegah terjadinya “sentralisasi baru” pengelolaan pendidikan di daerah yang mengembangkan peran serta masyarakat dan pemberdayaan sekolah dalam mengambil keputusan (Jalal dan Supriadi, 2001: 100). Walaupun sebenarnya pengelolaan pendidikan di daerah masih mengalami beberapa masalah tentang rendahnya efektivitas dalam pencapaian program dan rendahnya efisiensi dalam pemanfaatan dana pendidikan. Hal ini menurut Mahdiansyah disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pertama, penyusunan rencana program pendidikan pada umumnya tidak didasarkan pada data yang akurat sehingga rencana yang disusun tidak mencerminkan kebutuhan lokal. Kedua, penggunaan dana cenderung lebih banyak digunakan untuk kepentingan birokrasi daripada langsung dialokasikan kepada kegiatan belajar di sekolah. Ketiga, pengambil kebijakan di bidang pendidikan kurang mempunyai perhatian dan pengetahuan yang memadai tentang substansi pendidikan; keempat, masih banyak calon peserta didik yang terisolasi baik secara sosial maupun geografis, terutama untuk propinsi di luarjawa dan daerah kepulauan. Dan kelima, daerah masih merasakan kekurangan dana untuk membiayai sektor publik (Mahdiansyah, et. al., 2003: 6-7). Manajemen berbasis sekolah atau manajeman peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah, dan ini merupakan salah satu model dari desentralisasi pendidikan (Nurkolis, 2003: 41). Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut: (1) lingkungan sekolah yang aman dan tertib; (2) sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai; (3) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat; (4) adanya harapan yang tinggi dari personel Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
39
sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi; (5) adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK; (6) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/perbaikan mutu; dan (7) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/ masyarakat (Umaedi, 1999: 7). Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah dan masyarakat dalam mengelola per ubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keselur uhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendekatan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah; kepala sekolah, guru dan tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan sekolah yang bersangkutan dengan didukung oleh pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua ini ditujukan kepada keberhasilan sekolah untuk menyiapkan pendidikan yang berkualitas/bermutu bagi masyarakat. Dalam pengimplementasian konsep ini, sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personal sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama-sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total dengan 40
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain. Menurut Umaedi (1999: 8-9) ada empat hal yang terkait dengan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total, yaitu; (1) perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus menerus mengumandangkan peningkatan mutu, (2) kualitas/mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah, (3) prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan, (4) sekolah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arif bijaksana, karakter, dan memiliki kematangan emosional. Sistem kompetisi tersebut akan mendorong sekolah untuk terus meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapat memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah, khususnya siswa. Jadi sekolah harus mengontrol semua sumber daya termasuk sumber daya manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu khususnya. Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan-tujuan yang bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup nasional. Hadirin yang Mulia, Biaya dan Pembiayaan Pendidikan di Indonesia Menurut Supriadi (2004: 3), biaya pendidikan merupakan salah satu komponen masukan instrumental (instrumental input) yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan (di sekolah). Dalam setiap upaya pencapaian tujuan pendidikan —baik tujuan-tujuan yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif— biaya pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan. Hampir tidak ada upaya pendidikan yang dapat mengabaikan peranan biaya, sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa biaya, proses pendidikan (di sekolah) tidak akan berjalan. Biaya dalam pengertian ini memiliki cakupan yang luas, yakni semua jenis Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
41
pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan, baik dalam bentuk uang maupun barang dan tenaga (yang dapat dihargakan dengan uang). Dalam pengertian ini, misalnya iuran siswa adalah jelas merupakan biaya, tetapi sarana fisik, buku sekolah dan guru juga adalah biaya. Bagaimana biaya-biaya itu direncanakan, diperoleh, dialokasikan, dan dikelola merupakan persoalan pembiayaan atau pendanaan pendidikan (educational finance). Dalam teori dan praktek pembiayaan pendidikan, baik pada tataran makro maupun mikro, dikenal beberapa kategori biaya pendidikan (Anwar, 1991; Gaffar, 1991; Thomas, 1972). Pertama, biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Biaya langsung adalah segala pengeluaran yang secara langsung menunjang penyelenggaraan pendidikan. Biaya tidak langsung adalah pengeluaran yang tidak secara langsung menunjang proses pendidikan tetapi memungkinkan proses pendidikan tersebut terjadi di sekolah, misalnya biaya hidup siswa, biaya transportasi ke sekolah, biaya jajan, biaya kesehatan, dan harga kesempatan (opportunity cost). Kedua, biaya pribadi (private cost) dan biaya sosial (social cost). Biaya pribadi adalah pengeluaran keluarga untuk pendidikan atau dikenal juga pengeluaran rumah tangga (household expenditure). Biaya sosial adalah biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk pendidikan, baik melalui sekolah maupun melalui pajak yang dihimpun oleh pemerintah kemudian digunakan untuk membiayai pendidikan. Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah pada dasarnya termasuk biaya sosial. Ketiga, biaya dalam bentuk uang (monetary cost) dan bukan uang (non-monetary cost). Lebih lanjut, dalam kenyataannya, ketiga kategori biaya pendidikan tersebut dapat “bertumpang tindih”, misalnya ada biaya pribadi dan sosial yang bersifat langsung dan tidak langsung serta berupa uang dan bukan uang, dan ada juga biaya langsung dan tidak langsung serta biaya pribadi dan sosial yang dalam bentuk uang maupun bukan uang. Di samping itu, dikenal juga anggaran belanja pendidikan (education budget) yang terdiri atas dua komponen, yaitu (1) pendapatan, pemasukan atau penerimaan di satu pihak dan (2) pengeluaran atau belanja. Bila 42
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
dibedakan berdasarkan sifatnya, maka dikenal biaya rutin (routine/ recurret budget) dan biaya investasi atau pembangunan (investment/ development budget). Dalam sistem anggaran di Indonesia, alokasi biaya rutin kepada lembaga-lembaga atau satuan-satuan penyelenggaran pendidikan dituangkan dalam DIK (Daftar Isian Kegiatan), sedangkan biaya pembangunan dialokasikan dalam DIP (Daftar Isian Proyek). Di samping itu dikenal pula DIKS (Daftar Isian Kegiatan Suplemen), yaitu alokasi anggaran yang sumber dananya berasal dari masyarakat. Penyaluran subsidi pemerintah ke satuan-satuan pendidikan (sekolah) dapat berupa uang yang telah jelas peruntukannya (earmarket allocation), dana tambahan berbentuk hibah (block grant), atau berupa tenaga dan barang (inkind allocation) seperti guru/tenaga kependidikan, buku-buku pelajaran, dan perlengkapan sekolah (Caldwell, Levacic dan Ross, 1999). Dilihat dari sumber-sumbernya, biaya pendidikan pada tingkat makro (nasional) berasal dari: (1) pendapatan negara dari sektor pajak (yang beragam jenisnya), (2) pendapatan dari sektor non-pajak, misalnya dari pemanfaatan sumber daya alam dan produksi nasional lainnya yang lazim dikategorikan ke dalam “gas” dan “non-migas”, (3) keuntungan dari ekspor barang dan jasa, (4) usaha-usaha negara lainnya, termasuk dari divestasi saham pada perusahaan negara (BUMN), serta (5) bantuan dalam bentuk hibah (grant) dan pinjaman luar negeri (loan) baik dari lembaga-lembaga keuangan internasional (seperti bank Dunia, ADB, IMF, IDB, JICA) maupun pemerintah, baik melalui kerjasama multilateral maupun bilateral. Alokasi dana untuk setiap sektor pembangunan, termasuk pendidikan, dituangkan dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) setiap tahun (Supriadi, 2004: 5). Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, anggaran untuk sektor pendidikan sebagian besar berasal dari dana yang diturunkan dari pemerintah pusat ditambah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dituangkan dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Pada era sentralisasi di masa lalu, sebagian besar Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
43
(bahkan hampir semua) dana pendidikan yang ada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota berasal dari pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah hanya mengelola dan menyalurkannya sesuai dengan peruntukannya yang telah direncanakan sebelumnya. Hanya sebagian kecil (kurang dari 1%) dana pendidikan di daerah yang berasal dari anggaran daerah (Ditjen PUOD, 1993). Pada era otonomi daerah sekarang, keadaan tersebut sesungguhnya masih belum banyak mengalami perubahan. Sebagian besar dana dalam RAPBD provinsi dan kebupaten/kota diperoleh dari pusat yang disalurkan dalam bentuk paket yang disebut Dana Alokasi Umum (DAU) dan untuk sebagian ditambah lagi dengan Dana Alokasi Khusus (DAK). Perbedaannya hanya terletak pada tanggung jawab pengalokasiannya yang diserahkan sepenuhnya kepada daerah, namun terdapat pengecualian. Daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam yang dikuasai oleh negera (misalnya berupa hasil tambang atau industri berskala nasional) mendapatkan bagian dalam proporsi tertentu dari keuntungan yang diperoleh dengan mengacu kepada UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam (misalnya Riau, Aceh, Kalimantan Timur, Irian Jaya) tidak hanya mengandalkan pendapatannya pada PADS dan DAU, melainkan juga dari bagi hasil tersebut. Pendapatan dari bagi hasil diturunkan oleh pemerintah pusat ke pemerintah provinsi, kemudian sebagian didistribusikan lagi ke tingkat kabupaten/kota dengan menggunakan formula tertentu. Hal ini memungkinkan mereka untuk dapat mengalokasikan dana yang lebih besar untuk sektor pendidikan (Supriadi, 2004: 6). Pada tingkat sekolah (satuan pendidikan), biaya pendidikan diperoleh dari subsidi pemerintah pusat, pemerintah daerah, iuran siswa, dan sumbangan masyarakat. Sejauh tercatat dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS), sebagian besar biaya pendidikan di tingkat sekolah berasal dari pemerintah pusat, sedangkan pada sekolah swasta berasal dari para siswa atau yayasan. Pada tahun 1991/1992, sebanyak 92,39% penerimaan biaya pendidikan di SD 44
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
berasal dari pemerintah pusat, hanya 0,23% dari pemerintah daerah, 6,98% dari iuran siswa yang ditampung melalui BP3 (Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan) yang sebelumnya bernama POMG (Persatuan Orang Tua Murid dan Guru), 0,20% dari masyarakat dan 0,20% dari sumber-sumber lain (Ditjen PUOD, 1993). Keadaan ini belum banyak berubah hingga tahun 1995/1996; sebanyak 93-96% penerimaan SD Negeri, 78-91% penerimaan SLTP Negeri, dan 80% pada SLTA Negeri berasal dari pemerintah (Clark et. al., 1998; Triaswati et. al., 2001). Dengan hanya memperhitungkan dua sumber penerimaan, yaitu pemerintah dan (keluarga) siswa, pada tahun 2000/2001 subsidi pemerintah untuk SD Negeri meliputi 81,5% sedangkan 19,5% lainnya dari iuran siswa (Supriadi, 2004: 7). Besar kecilnya biaya pendidikan, terutama pada tingkat satuan pendidikan, berhubungan dengan berbagai indikator mutu pendidikan, seperti angka partisipasi, angka putus sekolah dan tinggal kelas, dan prestasi belajar siswa (Ditjen PUOD, 1993; Triaswati et. al., 2001; Supriadi, 2002). Oleh sebab itu, dalam konteks perencanaan pembiayaan pendidikan, pemahaman terhadap berbagai aspek pembiayaan pendidikan sangatlah penting. Pemahaman dimaksud merentang dari hal-hal yang sifatnya mikro (satuan pendidikan) hingga yang makro (nasional), antara lain meliputi sumber-sumber pembiayaan pendidikan, sistem dan mekanisme pengalokasiannya, efektivitas dan efesiensi dalam penggunaannya, dan akuntabilitas hasilnya yang diukur dari perubahan-perubahan kuantitatif dan kualitatif yang terjadi pada semua tataran, khususnya di tingkat sekolah. Uraian di atas menunjukkan kompleksnya masalah pembiayaan pendidikan. Di Indonesia, hal tersebut semakin kompleks lagi karena sistem anggarannya yang rumit, birokratis, kaku, dan fragmentaris yakni melibatkan banyak instansi, tentu saja dengan egoismenya masingmasing. Pada era otonomi daerah sekarang —yang salah satu tujuannya adalah menyederhanakan dan memangkas jalur birokrasi dalam sistem penganggaran pendidikan (juga untuk sektor-sektor lain)— belum banyak perubahan terjadi. Alokasi anggaran pendidikan tetap sangat Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
45
kompleks dan fragmentaris dengan akibat terjadi kerawanan (inefisiensi, kebocoran, atau penghamburan) dalam pengelolaan dana di sana sini. Dana dialokasikan melalui DAU, tetapi ada pula yang diturunkan melalui DAK serta proyek-proyek berskala nasional, regional dan lokal. Sebenarnya, dilihat dari perspektif pembiayaan pendidikan, pelaksanaan otonomi daerah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sistem alokasi dan manajemen pembiayaan pendidikan. Di antaranya adalah semakin besarnya peranan daerah di satu pihak dan semakin berkurangnya peranan pusat dalam menentukan berbagai kebijakan yang berkenaan dengan penggunaan anggaran pendidikan. Kewenangan pemerintah pusat terbatas pada penetapan kebijakan yang bersifat makro dalam bentuk pengalokasian anggaran untuk sekolahsekolah dengan mengikuti standar rata-rata, sedangkan kebijakankebijakan yang bersifat mikro seperti alokasi dan distribusi anggaran pendidikan ke sekolah menjadi kewenangan daerah (dalam hal ini pemerintah kabupaten/kota). Di banyak negara, per ubahan dari sistem sentralisasi ke desentralisasi menuntun perubahan pula dalam sistem alokasi pembiayaan pendidikan, antara lain dengan menerapkan formula pembiayaan pendidikan yang didasarkan atas kebutuhan riil sekolah (needs-based funding formula). Formula pembiayaan yang dimaksud di sini adalah “an agreed set of criteria for allocating resources to schools which are impartially applied to each school” (Caldwell, Levacic dan Ross, 1999: 9). Lebih lanjut, formula dimaksud diperlukan untuk menjawab pertanyaan seperti, “berapakah jumlah dana yang perlu dialokasikan untuk sekolahsekolah” dan “faktor-faktor apakah yang harus diperhitungkan dalam menentukan alokasi dana untuk sekolah tertentu?” Jawaban yang jelas terhadap kedua pertanyaan tersebut akan mampu mencegah, atau paling tidak mengurangi, terjadinya bias atau penyimpangan lainnya dalam menentukan alokasi dana karena alasan politik atau kepentingan lainnya (di tingkat lokal). Di samping itu, perlunya formula pembiayaan yang berbasis 46
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
kebutuhan sekolah berkaitan dengan terjadinya pergeseran dalam filosofi dan kebijakan pendidikan di banyak negara. Pada tahun 1960an dan 1970-an, isu-isu pemerataan kesempatan (equality of opportunity) melalui perluasan kesempatan belajar sangat dominan. Pada tahun 1980-an, isu-isu tentang keadilan (equity) dalam memperoleh (sumber daya) pendidikan (dari pemerintah) menjadi tema sentral dengan fokus utama pada kelompok siswa yang kurang beruntung, dengan resiko berkurangnya perhatian pada kelompok yang beruntung (Ross dan Hallak, 1999). Mulai tahun 1990-an hingga sekarang, filosofi pendidikan di banyak negara mengakomodasi sekaligus ide-ide tentang pemerataan dan keadilan dengan jangkauan semua siswa yang berasal dari berbagai latar belakang sosial-ekonomi (jadi, lebih bersifat inklusif). Dalam hal pendanaan pendidikan, persoalan-persoalan bukan lagi “siapakah yang harus dan tidak harus mendapatkan prioritas dalam pembiayaan pendidikan” (isu tahun 1980-an), melainkan “dalam jumlah berapa kelompok siswa/sekolah tertentu mendapatkan alokasi dana dan dalam jumlah berapa pula untuk kelompok siswa yang lain dan apa kriterianya?” Dalam sejarah pembiayaan pendidikan yang menggunakan formula, maka “needs-based funding formula” mewakili “generasi keempat” (Caldwell, Levacic dan Ross, 1999: 20-23). Mengingat kondisi sekolah-sekolah di Indonesia sangat beragam dan untuk memastikan tidak terjadinya keragaman yang terlalu luas dalam penetapan kebijakan pembiayaan untuk satuan pendidikan oleh pemerintah kabupaten/kota, maka semakin besarnya peran pemerintah daerah justru menuntut adanya rambu-rambu yang berlaku secara nasional yang menjadi pedoman bagi daerah dalam menentukan alokasi anggaran untuk satuan pendidikan, mulai tingkat SD hingga SLTA. Oleh sebab itu, diperlukan studi untuk menetapkan standar-standar biaya pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Hadirin yang Mulia, Pertimbangan Penyusunan Pembiayaan Pendidikan Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
47
Pada dasarnya pembiayaan pendidikan dilakukan untuk mengetahui dengan pasti bagaimana alokasi sumber-sumber yang dimiliki pemerintah, lembaga-lembaga pendidikan maupun masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan. Atau dengan pertanyaan lain, bagaimana sumber-sumber yang dimiliki itu dialokasikan untuk mendukung pencapaian tujuan pendidikan. Alokasi sumber-sumber pendidikan banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kebijakan yang dianut, tujuan yang ingin dicapai, lokasi kegiatan, tingkat hidup masyarakat, kebutuhan masyarakat, partisipasi masyarakat, penilaian masyarakat pada hasil pendidikan dan strategi yang dianut. Kedelapan faktor tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh Sihombing dan Indardjo (2003: 17-28), sebagai berikut: a. Kebijakan yang dianut Di Indonesia, pemerintah menggariskan kebijakan bahwa pendidikan diarahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari statemen tersebut sebenarnya dapat dibaca bahwa ada keinginan dari pemerintah untuk membuat seluruh warga negara memiliki kehidupan yang cerdas. Artinya, bijak dalam menggunakan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang diperoleh dari bangku pendidikan dalam usaha meningkatkan taraf dan mutu kehidupannya dalam berbangsa dan bernegara. Apabila kebijakan ini yang diinginkan, maka sebagai konsekuensi yang ditimbulkannya adalah, pemerintah perlu memikirkan biaya pendukung yang memadai. Sehingga alokasi dari sumber-sumber yang dimiliki benar-benar mampu mendukung kebijakan tersebut. Misalnya, untuk mewujudkan kebijakan mencerdaskan kehidupan bangsa diperlukan: (1) peserta didik yang sehat dan memiliki semangat juang untuk berhasil, (2) guru yang cukup dan berkualitas, (3) gedung dan peralatan yang pantas, (4) orang tua yang sadar akan pentingnya pendidikan dan merasa bahwa pendidikan adalah kebutuhan dasar dalam kehidupannya, (5) penghasilan masyarakat cukup untuk membiayai kebutuhan pendidikan anak-anaknya, (6) pengelolaan 48
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
sekolah yang berorientasi pada mutu, serta (7) menghindari pemborosan berupa pengorbanan yang tidak perlu, dan lain-lain. Kebijakan yang sudah ditentukan, sudah sewajarnya kalau diusahakan untuk dimanifestasikan, tentang bagaimana untuk memanifestasikan, diserahkan pada para pengelola pendidikan. Pemerintah dalam hal ini cukup mengadakan kontrol pelaksanaan, namun tidak terkesan mencampuri para pengelola pendidikan, kecuali apabila pendidikan itu dikelola oleh pemerintah. Semakin banyak campur tangan pemerintah semakin besar kemungkinan timbulnya penolakan semu dari para pengelola pendidikan dan semakin besar pula kemungkinan penyimpangan dalam pengelolaan. Sedangkan kontrol dalam hal ini hanya dilakukan untuk mengukur tingkat keberhasilan yang dicapai oleh setiap lembaga. b. Tujuan yang ingin dicapai oleh lembaga pendidikan Kebijakan yang sudah digariskan perlu dijabarkan dalam tujuan. Tujuan tidak perlu sama dengan apa yang ditulis oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah sebagai penjabaran dari kebijakan dasarnya. Tiap lembaga dapat merumuskan tujuannya sendiri sepanjang tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Dengan demikian tujuan ini dapat berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain, atau dari satu lembaga dengan lembaga yang lain. Pemerintah pusat dapat menentukan misi konstitusionalnya, namun bagaimana daerah atau lembaga-lembaga tertentu untuk mencapainya, dapat merumuskan tujuan dan strategi sendiri-sendiri. Untuk mencapai apa yang sudah dirumuskan tersebut diperlukan alokasi anggaran atau biaya, dan dalam mengalokasikan anggaran perlu diketahui alokasi sumber-sumber yang ada. Tujuan sering didasari oleh latar belakang pemikiran yang menyebabkan suatu lembaga didirikan. Misalnya, satu lembaga didirikan karena melihat banyak anak atau anggota masyarakat yang tidak memperoleh pendidikan. Maka tujuan dari lembaga ini adalah memperluas kesempatan belajar bagi seluruh anggota masyarakat. Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
49
Sedang lembaga yang didirikan karena tidak puas dengan mutu pendidikan di sekitarnya, maka akan digariskan tujuannya adalah meningkatkan mutu keluaran pendidikan. Sedang lembaga yang melihat ada kesenjangan antara dunia pendidikan dengan apa yang dibutuhkan lingkungannya, maka perlu digariskan tujuan untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan dunia kerja dan lain-lain. Setelah tujuan digariskan, baru kemudian dialokasikan sumber-sumber yang diperlukan dan dihitung kebutuhan biaya yang diperlukan. c. Lokasi pendidikan Tidak semua kegiatan pendidikan ada di satu lokasi. Ada yang di kota, di pedesaan, di pegunungan, dan ada juga yang di pantai. Mengingat tingkat kesulitan daerah berbeda satu dengan yang lain, dengan mudah dapat diperkirakan bahwa untuk memperoleh keperluan baik untuk pengelola pendidikan, peserta didik maupun orang tua memiliki tingkat kesulitan yang berbeda, akibatnya harga keperluan tersebut juga berbeda. Oleh karena itu pembiayaan untuk mendukung pendidikan yang akan dilakukan juga akan berbeda. Alokasi sumber-sumber yang diperlukan untuk melakukan pendidikan juga banyak dipengaruhi oleh lokasi yang dipilih. Oleh karena itu, tempat kedudukan atau lokasi dimana pendidikan akan dilakukan turut mempengaruhi pembiayaan pendukungnya. d. Tingkat kehidupan masyarakat Sebagaimana penyebaran lokasi sekolah, penyebaran tingkat kesejahteraan penduduk juga tidaklah sama, sehingga tingkat kemampuan untuk membiayai pendidikan juga tidak sama. Apabila hal ini tidak disadari, tidak tertutup kemungkinan bahwa pelaksanaan pendidikan akan mengalami kesulitan, kecuali semua kebutuhan pendidikan dibebankan pada pemerintah, padahal ini tidak mungkin, karena input yang diperlukan pada pendidikan banyak yang di luar perkiraan dan har us dipenuhi. Misalnya, untuk daerah yang
50
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
masyarakatnya miskin, adalah suatu yang menyulitkan untuk membeli sepatu, pakaian, buku, dan lain-lain. Apabila ini harus dipikul oleh masyarakat miskin maka dapat diperkirakan jumlah orang yang tidak mengikuti pendidikan akan semakin banyak. Faktor tersebut sangat besar pengaruhnya dalam pendidikan dan bukan karena masyarakat tidak ingin belajar, namun karena keadaan ekonomi yang sangat memprihatinkan. Oleh karena itu, untuk daerah seperti ini diperlukan perhatian yang lebih dari pemerintah, apabila mencerdaskan kehidupan bangsa akan dirasakan oleh semua warga negara. Bagi penyelenggara pendidikan bukan pemerintah, melakukan pendidikan untuk situasi seperti ini, mungkin akan tetap dilakukan tetapi dengan pengorbanan yang cukup besar dan hasil keluaran yang mungkin tidak seperti yang diharapkan dalam kebijakan pemerintah. e. Kebutuhan belajar masyarakat Perencanan pendidikan sering berperilaku seperti mengetahui secara tepat apa yang dibutuhkan masyarakat yang akan mengikuti pendidikan. Masyarakat tidak ikut, atau memilih suatu program pendidikan hanya sekedar ikut tetapi mereka mengharapkan setelah ikut program akan mendapatkan peningkatan dalam kehidupannya. Apabila hal ini tidak terjadi dapat dapat menyebabkan anggota masyarakat akan merasa “untuk apa mengirim anak sekolah/belajar” atau untuk apa mengikuti pendidikan seperti itu kalau ternyata kehidupannya tidak lebih baik dari apa yang mereka alami sebelumnya. Ada kalanya para perencana beranggapan bahwa yang penting ada pendidikan, dan masyarakat akan ikut dengan sendirinya. Hal ini dapat terjadi pada lokasi dimana masyarakat telah merasakan bahwa pendidikan itu merupakan suatu kebutuhan untuk dapat memperbaiki tingkat dan mutu kehidupannya. Mengingat kebutuhan belajar ini beraneka ragam adalah sangat tidak bijaksana dengan mengembangkan satu model pendidikan dengan metode dan isi yang sama untuk semua lapisan masyarakat. Keanekaragaman ini menjadi faktor yang banyak berpengaruh pada Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
51
alokasi sumber-sumber yang dimiliki, karena kebutuhan berbeda maka alokasi juga pasti berbeda. Misalnya, masyarakat yang membutuhkan ketrampilan menjahit akan membutuhkan alokasi sumber-sumber yang berbeda dengan masyarakat yang menginginkan ketrampilan tukang kayu. f. Partisipasi masyarakat Partisipasi sering diartikan sebagai keterlibatan dalam satu program, hanya saja pengertian ini ada kalanya dibatasi pada keikutsertaan, jarang melihat persoalan kenapa tidak mau terlibat atau ambil bagian, kenapa keterlibatan yang ada hanya separuh hati atau terlibat tetapi dengan perasaan terpaksa, hanya karena diinginkan pemerintah atau ada keuntungan yang akan diperoleh. Atau kemungkinan lain masyarakat tidak berdaya untuk ambil bagian secara aktif, karena persoalan ekonomi yang dihadapinya. Semua persoalan tersebut perlu diungkap sebelum mengajak masyarakat untuk ikut serta dalam suatu kegiatan. Keterlibatan masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk dukungan dana, prasarana melalui pembayaran pajak yang tepat waktu atau halhal yang bersifat material, namun partisipasi ini dapat juga dalam bentuk sesuatu yang tidak biasa dapat diukur dengan uang. Seperti memberi sumbangan pemikiran, memberikan dorongan, membangun situasi yang memungkinkan warga masyarakat tertarik untuk ambil bagian baik sebagai peserta, pengamat, maupun dukungan moral lainnya, namun apabila dihitung dengan uang nilainya jauh lebih besar, dan bahkan mungkin tidak dapat dihitung. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sumbangan masyarakat pada dunia pendidikan sangat besar, malah mungkin lebih besar dari apa yang disumbangkan pemerintah. Ada beberapa faktor yang perlu diamati dan diselesaikan agar masyarakat tanpa diminta mau ikut ambil bagian dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Antara lain dengan menciptakan situasi yang bersih dalam pengelolaan seluruh aspek pendidikan sehingga tercipta situasi saling percaya antara masyarakat dengan pengelola pendidikan. Di sisi lain perlu dihasilkan 52
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
keluaran pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat sebenarnya cukup sederhana yaitu ingin agar setiap keluaran pendidikan tidak menjadi tenaga penganggur, karena hal ini berarti pendidikan harus dikelola dengan prinsip link and match yang diartikan luluh dan bersenyawa dengan tuntutan dunia kerja. Untuk mewujudkan partisipasi masyarakat dalam membangun pendidikan, masyarakat itu sendiri harus berdaya, bagaimana mungkin ikut berpartisipasi kalau kehidupan masyarakat masih dalam himpitan kemiskinan. Sehingga masyarakat dalam hal ini harus diberdayakan. Pemberdayaan ini akan menjadi kenyataan apabila pada diri setiap insan yang memiliki daya, ada keinginan yang tulus dan sungguhsungguh untuk memajukan mutu hidup dan kehidupan masyarakat. Konsekuensi dari ketulusan itu adalah kesediaan berkorban, mendengar, bertukar pikiran dan berbeda pendapat. Hal ini sangat penting mengingat manusia diciptakan oleh Tuhan dengan keanekaragaman, baik dalam kebutuhan, pandangan hidup, kemampuan dan lain-lain. Keberagaman ini memerlukan pola pendekatan usaha pemberdayaan harus berbeda pula, oleh karena itu strategi pemberdayaan tidak mungkin terstandarisasi antara berbagai lingkungan yang berbeda. Dalam hal ini ada empat komponen penting dalam usaha pemberdayaan masyarakat, yaitu: (1) keterbukaan; dalam mengelola segala aspek yang berhubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan kehidupan masyarakat, diperlukan adanya kesediaan dari para penguasa, pengelola untuk terbuka tantang apa dan bagaimana kegiatan yang dirancang untuk mereka; (2) mendengar; kesediaan mendengar apa yang diinginkan masyarakat agar mereka dapat keluar dari berbagai kesulitan yang mereka hadapi; (3) menghargai; baik pemerintah, tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan maupun anggota masyarakat perlu berani dalam kesanggupan untuk melihat kedudukannya masing-masing dengan tidak mengabaikan fungsi dan peran orang lain, sehingga diharapkan akan tumbuh rasa saling menghargai; dan (4) keswadayaan; membangun dengan mendayaReformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
53
gunakan apa yang dimiliki, merupakan ciri kebudayaan. Oleh karena itu prinsip ini harus menjadi salah satu ciri yang perlu dimiliki (Sihombing dan Indardjo, 2003: 25-27). g. Penilaian masyarakat terhadap hasil pendidikan Tidak ada orang tua yang memasukkan anaknya pada satu lembaga pendidikan, tanpa suatu harapan atau keinginan baik yang dinyatakan maupun tidak. Harapan-harapan ini sering kurang diperhatikan oleh para pengelola pendidikan, karena mereka berasumsi apapun yang diberikan selama proses pendidikan masyarakat akan menerima saja, masyarakat tahu apa tentang pendidikan. Asumsi yang salah ini seharusnya dihilangkan dari pemikiran para perencanan pendidikan. Masyarakat tahu apa yang diinginkannya, hanya ada kalanya kurang mampu mengkomunikasikannya. Harapan masyarakat ini kemudian akan mereka perbandingkan dengan apa yang mereka lihat, dengar dan alami. Apabila apa yang mereka lihat, dengar, alami tidak sesuai dengan harapan mereka, maka kekecewaan pada sektor pendidikan semakin berkurang. h. Strategi yang dianut Dalam mengembangkan strategi membutuhkan analisis lingkungan yang baik agar strategi yang dipilih tepat dapat digunakan untuk mewujudkan tujuan yang sudah digariskan. Tidaklah mungkin mengembangkan hanya satu strategi untuk kondisi dan tujuan yang beraneka ragam. Keanekaragaman lokasi, kebutuhan mendorong para pengelola pendidikan menggunakan strategi yang beraneka ragam juga. Walaupun dikatakan bahwa metode pembelajaran dimana saja sama yaitu tatap muka, penugasan, praktek, diskusi dan lain-lain, namun dalam penerapannya harus berbeda. Strategi pembelajaran, pendekatan, pengelolaan pendidikan pasti berbeda-beda juga. Berdasarkan pemikiran ini maka sudah dapat diperkirakan bahwa alokasi sumber-sumber yang akan mendukung juga akan terpengar uh, dan akibatnya sudah jelas akan jatuh pada 54
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
perhitungan, pengelolaan dan distribusi biaya. Oleh karena itu, pemikiran tentang pembiayaan pendidikan tidak linear, tetapi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sudah disebut di atas, dan tidak tertutup kemungkinan masih ada faktor lain. Hadirin yang Mulia, Kurikulum 2013 sebagai Bagian Reformasi Pendidikan Sebagaimana diketahui bahwa aplikasi Kurikulum 2013 sudah diatur Permendikbud nomor 103 tahun 2014 dengan Pendekatan Pembelajaran Saintifik atau pendekatan berbasis proses keilmuan. a. Kriteria Pembelajaran Saintifik (1). Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata. (2). Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis. (3). Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran. Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran. (4). Mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran. (5). Berbasis pada konse p, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan. (6). Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya. b. Strategi Pembelajaran Saintifik Pendekatan saintifik dapat menggunakan beberapa strategi seperti Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
55
pembelajaran kontekstual. Model pembelajaran merupakan suatu bentuk pembelajaran yang memiliki nama, ciri, sintak, pengaturan, dan budaya misalnya discovery learning, project-based learning, problem-based learning, inquiry learning. Kurikulum 2013 menggunakan modus pembelajaran langsung (direct instructional) dan tidak langsung (indirect instructional). Pembelajaran langsung adalah pembelajaran yang mengembangkan pengetahuan, kemampuan berpikir dan keterampilan menggunakan pengetahuan peserta didik melalui interaksi langsung dengan sumber belajar yang dirancang dalam silabus dan RPP. Dalam pembelajaran langsung peserta didik melakukan kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan infor masi, menalar, dan mengomunikasikan. Pembelajaran langsung menghasilkan pengetahuan dan keterampilan langsung, yang disebut dengan dampak pembelajaran (instructional effect). Pembelajaran tidak langsung adalah pembelajaran yang terjadi selama proses pembelajaran langsung yang dikondisikan menghasilkan dampak pengiring (nurturant effect). Pembelajaran tidak langsung berkenaan dengan pengembangan nilai dan sikap yang terkandung dalam KI-1 dan KI-2. Hal ini berbeda dengan pengetahuan tentang nilai dan sikap yang dilakukan dalam proses pembelajaran langsung oleh mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Pengembangan nilai dan sikap sebagai proses pengembangan moral dan perilaku, dilakukan oleh seluruh mata pelajaran dan dalam setiap kegiatan yang terjadi di kelas, sekolah, dan masyarakat. Karakter Pembelajaran saintifik meliputi: interaktif dan inspiratif; menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif; kontekstual dan kolaboratif; memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian peserta didik; dan sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah. 56
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/mencoba, mengasosiasi/menalar/mengolah informasi, serta menyajikan atau mengkomunikasikan. Kurikulum 2013 menyarankan penerapan model-model pembelajaran seperti project based learning, problem based learning, dan discovery learning dan model model pembelajarn lain yang relevan. Kegiatan belajar yang dilakukan dalam proses mengamati adalah membaca, mendengar, menyimak, melihat (tanpa atau dengan alat). Kompetensi yang dikembangkan adalah melatih kesungguhan, ketelitian, mencari informasi. Metode mengamati mengutamakan keber maknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Metode ini memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media objek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Kegiatan menanya dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik). Kompetensi yang dikembangkan adalah mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau autentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan, terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Peserta didik pun harus memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Kegiatan belajar yang dilakukan dalam proses mengasosiasi/ mengolah informasi adalah sebagai berikut: mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/ Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
57
eksperimen mau pun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi. Pengolahan informasi yang dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan. Kegiatan belajar mengkomunikasikan adalah menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya. Kompetesi yang dikembangkan dalam tahapan mengkomunikasikan adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar Kegiatan menyimpulkan merupakan kelanjutan dari kegiatan mengolah, bisa dilakukan bersama-sama dalam satu kesatuan kelompok, atau bisa juga dengan dikerjakan sendiri setelah mendengarkan hasil kegiatan mengolah informasi. Hasil tugas yang dikerjakan bersama dalam satu kelompok kemudian dipresentasikan atau dilaporkan kepada guru dan teman sekelas. Kegiatan ini sekaligus merupakan kesempatan bagi guru untuk melakukan konfirmasi terhadap apa yang telah disimpulkan oleh siswa. Aplikasi Pembelajaran Dalam proses ini perlu mendapatkan kesamaan pemahaman, dimana dalam pelaksanaannya dimulai dari KI3 yaitu aspek pengetahuan, selanjutnya dimasukkan KI4 yaitu aspek ketrampilan, sehingga aspek ketrampilan harus bertumpu pada aspek pengetahuan. Jika aspek ketrampilannya sudah bisa diaplikasikan baru dimasukkan KI1 yaitu aspek sikap spiritual dan dilanjutkan aspek KI2 yaitu sikap sosial. Sebagai contoh mengajarkan perkalian pecahan,maka KI3 aspek pengatahuan sebagai pilihan utama, baru aspek KI2 di sini siswa dilatih terampil menggunakan rumus-rumus yang dibuktikannya, untuk KI1 58
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
aspek spiritualnya siswa cukup diajak berdoa agar mendapatkan kemudahan dari Tuhannya dan diakhiri dengan berdoa pula, kemudian KI2 aspek sosialnya bisa dilakukan saat proses pembelajaran dengan mengisi Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) atau kerja kelompok. Buku siswa dan buku Guru sebagai pedoman, Guru juga boleh membuat sendiri sesuaikan dengan kondisi yang ada dilingkungan siswa. Berdasarkan kegiatan yang dilakukan guru dan berpedoman pada KI3 aspek pengetahuan, dilanjutkan dengan KI3, KI1, dan KI2, maka Kurikulum 2013 akan bisa membentuk karakter anak secara utuh dan terpadu. Hadirin yang Mulia, Kesimpulan 1. Reformasi pendidikan di era otonomi daerah masih semu, karena peran Komite Sekolah sekedar memenuhi mekanisme prosedural dan kurang dilibatkan dalam kerangka substansial. 2. Apabila transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan di era otonomi daerah belum membuka ruang untuk publik, maka masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya secara sukarela belum bisa terpenuhi secara optimal (menyampaikan pendapat, kritik, dan menyatakan kehendak). 3. Jika implementasi manajemen berbasis sekolah (MBS) tidak sesuai dengan ide-ide dasarnya, maka peningkatan mutu pendidikan tidak bisa sesuai dengan harapan. 4. Dalam kaitannya dengan reformasi pendidikan, Kurikulum 2013 sebenarnya merupakan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang dirintis pada tahun 2004 dan KTSP 2006 yang mencakup sikap, pengetahuan, dan ketrampilan secara terpadu, sehingga Kurikulum 2013 bisa disebut Kurikulum PLUS artinya Kurikulum KBK ditambah lagi Kurikulum KTSP. Jika hal ini bisa dilaksanakan dengan baik sesuai kondisi lingkungan Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
59
dan tuntutan masyarakat, maka dapat membentuk karakter anak bangsa secara utuh. 5. Reformasi merupakan sunnatullah:
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS. ar-Ra’du: 11)
Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah (QS. al-Ahzab: 62). “Sekian terima kasih. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh”.
60
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahab, Solichin, Fadillah Putra dan Saiful Arif, 2002. Masa Depan Otonomi Daerah, Kajian Sosial, Ekonomi dan Politik untuk Menciptakan Sinergi dalam Pembangunan Daerah, Surabaya: Penerbit SIC. Abdurrahmansyah, 2001. Desentralisasi: Harapan dan Tantangan bagi Dunia Pendidikan, dalam Millah, Jurnal Studi Agama, vol. 1 No. 1 Agustus 2001, Yogyakarta: Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia. Adiwikarta, Sudardja, 1988. Sosiologi Pendidikan, Isyu dan Hipotesis tentang Hubungan Pendidikan dengan Masyarakat, Jakarta: Depdikbud, Ditjen Dikti, Proyek Pengembangan LPTK. ————, 1994. “Kurikulum yang Berorientasi pada Kekinian, Kedisinian, dan Kemasadepanan”, dalam Kurikulum untuk Abad ke-21, Jakarta: Grasindo. Agrawal, Arun and Jesse Ribot, 2000. Accountability in Decentralization, A Framework with South Asian and West African Cases, Yale University: Departemen of Political Science. Alisjahbana, Armida S., 2000. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan, Bandung, 4 April 2000, E-mail:
[email protected] Anonim, 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Buku I Konsep dan Pelaksanaan, Jakarta: Direktorat SLP Dirjen Dikdasmen Depdiknas. Bacharach, Samuel B (editor), 1990. Education Reform: Making Sense of It All, Massachusetts: Allyn dan bacon. Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Indonesia, 2002. Selintas Pendidikan Indonesia Awal 2003: Tujuh Isu Pendidikan, Jakarta: Pusat Data dan Informasi. Burhanuddin, dkk., (ed.), 2002. Manajemen Pendidikan, Malang: Universitas Negeri Malang. Caldwell, B.J., Levacic, R. & Ross, K.N. 1999. “The Role of Formula Funding of Schools in Different Educational Policy Contexts”, Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
61
dalam Ross, K.N. & Levacic, R., eds., Needs-Based Resource Allocation in Education via Formula Funding of Schools, Paris: International Institute for Educational Planning, UNESCO. Depdikbud, 1996. Petunjuk Umum Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal, Jakarta. Depdiknas, 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku Panduan, Jakarta: Direktorat SLTP Ditjen Dikdasmen, Depdiknas. Djohar, 2003. Pendidikan Strategik Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: LESFI. Freeman, Andrew R., 1983. The Network Nation —The Relevance of This For Possible Education and General Administrative Structure and Strategies in the 1980s— And 90s, Master of Education Minor Thesis, University of Melboure (updated 28 August 1996),
[email protected]. Freire, Paulo, 2000. Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta: LP3ES. Gunawan, Ary H., t.t. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta. Hamalik, Oemar, 2001. Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara. Heryanto, A. 2000. “Industrialisasi Pendidikan: Berkah, Tantangan atau Bencana bagi Indonesia?”, dalam Sindhunata (ed.), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Yogyakarta: Kanisius. Idi, Abdullah, 2007. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Irawan, Ade, 2004. Mendagangkan Sekolah Studi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di DKI Jakarta, Jakarta: ICW. Jalal, Fasli & Dedi Supriadi, 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Jhingan, M.L., 2003. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Kamisa, 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Kartika. Lauer, Robert H., 1993. Perspektif tentang Perubahan Sosial, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Levin, Benjamin, 2001. Conceptualizing the Process of Education Reform 62
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
from an International Perspective. Education Policy Analysis Archieves: Volume 9 Number 14, April. http://www.olam.ed.asu.edu/epaa/ vol9.html. Mahdiansyah, dkk. (ed.), 2003. Hasil Reviu Sektor Pendidikan di Kabupaten/Kota, Jakarta: Balitbang Depdiknas. Maksum, Ali dan Luluk Yunan Ruhendi, 2004. Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern: Mencari “Visi Baru” atas ‘Realitas Baru” Pendidikan Kita, Yogyakarta: IRCiSoD. Marsh, C. dan Stafford, K., 1988. Curriculum Practices and Issues, Sydney: McGraw-Hill Book Company. Maryanto, A., 1994. Kurikulum Lintas Bidang Studi, Jakarta: Grasindo. McAnany, Emile G. (ed.), 1980. Communications in The Rular Third World: The Role of Information in Development, New York: Praeger Publishers. McMahon, Walter W., dkk., 2001, Memperbaiki Keuangan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan, DEPDIKNAS, UNICEF dan UNESCO. Mohrman, Susan Albers et. al., 1994. School-Based Management: Organizing for High performance, San Francisco: Josey Bass. Muhadi, 2002. “Kurikulum Berbasis Kompetensi”, makalah disampaikan pada tanggal 10 Agustus. Mulyasa, E., 2002. Manajemen Berbasis Sekolah Konsep Strategi dan Implikasi, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. ————, 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan Implementasi, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Nurkolis, 2003. Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: PT. Grasindo. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah Otonomi. Pongtuluran, Aris, 1995. Kebijakan Organisasi dan Pengambilan Keputusan Manajerial, Jakarta: Buletin LPMP No. 9. Rich, John Martin (compiler), 1988. Innovation in Education Reformers and Their Critics, Massachusetts: Allyn dan Bacon, Inc. Ritzer, George, 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Penyadur: Alimandan, Jakarta: Penerbit CV. Rajawali Pers. Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
63
Rogers, Everett & F. Floyd Shoemaker, 1987. Communication of Innovation, terj. Abdillah Hanafi, Surabaya: Usaha Nasional. Schultz, Theodore W., 1965. The Economic Value of Education, New York & London: Columbia University Press. Shah, Anwar, 1999. Balances, Accountability and Responsiveness: Lessons about Decentralization, Washington D.C., USA: World Bank. Sihombing, Umberto, 2004. Isu-isu Pendidikan di Indonesia: Enam Isu Pendidikan di Triwulan III, Jakarta: Balitbang. ———— & Indardjo, 2003. Pembiayaan Pendidikan, t.t.: t.p. Slamet, PH, 2001. “Manajemen Berbasis Sekolah”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 27. http://www.pdk.go.id/jurnal/27/ manajemen-berbasis-sekolah.htm. Soekanto, Soerjono, 1986. Seri Pengenalan Sosiologi 4, Talcott Parsons, Fungsionalisme Imperatif, Jakarta: Rajawali Press. ————, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press. Soelaiman, M. Munandar, 1998. Dinamika Masyarakat Transisi, Mencari Alternatif Teori Sosiologi dan Arah Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soemardjan, Selo dan Soelaeman Soemardi, 1964. Setangkai Bunga Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit FE Universitas Indonesia. Soetopo, H.S dan Soemanto, W., 1993. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum: Sebagai Substansi Problem Administrasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara. Soewartoyo, et. al., 2003. Persepsi Masyarakat Terhadap Desentralisasi Pendidikan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Subakir, Supriono dan Achmad Sapari, 2001. Manajemen Berbasis Sekolah, Surabaya: Penerbt SIC. Subandijah, 1993. Pengambangan dan Inovasi Kurikulum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sudjana, Nana, 1991. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Bandung: Sinar Baru. Supriadi, Dedi, 2004. Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 64
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Thomas, J. Alan, 1972. The Productive School, New York: John Wiley & Sons, Inc. Tilaar, H.A.R., 1998. Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa depan, Bandung: Remaja Rosdakarya. ————, 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, Magelang: Indonesia Tera. ————, 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta. ————, 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Widyasarana Indonesia. Umaedi, 1999. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Sebuah Pendekatan Baru dalam Pengelolaan Sekolah untuk Peningkatan Mutu, Jakarta: Depdikbud. ————, 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Sebuah Pendekatan Baru dalam Pengelolaan Sekolah untuk Peningkatan Mutu, Jakarta: Depdikbud. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Widiastono, Tonang D. (ed.). Pendidikan Manusia Indenesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004. Zaltman, Gerald, Kotler Philip, dan Kaufman, Ira (ed.), 1972. Creating Social Change, New York: Holt, Reinhart & Winston, Inc.
Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
65
DAFTAR RIWAYAT HIDUP A. IDENTITAS DIRI Nama Lengkap NIP/NIK Tempat, tanggal lahir Jenis Kelamin Agama Golongan/Pangkat Jabatan Akademik Perguruan Tinggi Alamat Kantor Alamat Rumah Telp./Faks. Keluarga 1. Istri 2. Anak
: Prof. Dr. Drs. Mohammad Zainuddin, M.Pd : 19570626 198403 1 002 : Blitar, 26 Juni 1957 : Laki-laki : Islam : IV/d, Pembina Utama Madya : Dosen/ Lektor Kepala : Universitas Negeri Malang : Jl. Surabaya Malang : Jl. Wisanggeni Blok G 87 Kota Blitar : (0342) 803326. No. HP. 08563632166 : Dra. Hj. Khuzaimah, M.Pd. : Sofwan Hadi Moris Saiful Amin Zainur Rofiq M. Haninul Fuad Mukhtar Fauzi Hilmi Ahmad Falahi Badi’ Rahmawati Anis Marzuki Nizar Zakaria Rahmatur Rabi’ah Nadira Rahmasari Maftuh Ahnan Ahmada Ilyas Ar-Rasyidi Yahya Muhaimin Khuddin Ni’mah Menantu Pundi Raras Purbosari Indasari Umi Kholifah
66
66 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
B. RIWAYAT PENDIDIKAN Tahun Lulus
Tingkat Pendidikan
1970 1973 1976 1982
SDN SMPN 1 SMAN 1 S-1
1998
S-2
2006
S-3
Nama dan Tempat Jurusan/ Sekolah/Perguruan Program Tinggi Studi Blitar Blitar Blitar Universitas Negeri Malang Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang Pendidikan matematika SD Universitas Merdeka Ilmu Sosial Malang
C. PELATIHAN PROFESIONAL Tahun 2001
2002 2002
2003 2007 2007 2011 2011 2011 2010 2011
Jenis Pelatihan (dalam/luar negeri) Implementasi UU No.22 tentang otonomi Pendidikan Depdagri Jakarta Penerapan Good Governance Depdagri di Bali Implementasi UU No.23 tentang dana perimbangan untuk daerah dekonsentralisasi Depdagri di Surabaya Managemen Strategis Managemen Berbasis Sekolah (MBS) Direktorat Pendidikan dasar di Surabaya Penulisan naskah Video Penulisan bahan ajar Implementasi Model Base Learning Assesmen dalam pembelajaran Seleksi Tim Penilai Angka Kredit jabatan fungsional Prop.Jatim Penyusunan handout
Depdagri
Jangka waktu 7 hari
Depdagri
3 hari
Depdagri
3 hari
Depdagri Direktorat Pendidikan Dasar
15 hari 7 hari
Diknas Jakarta FIP UM Solusi
4 hari 3 hari 1 hari
Penyelenggara
Solusi 1 hari Dinas Pendidikan 7 hari Provinsi Jawa Timur KSDP UM 2 hari
Daftar Riwayat Hidup
67
D. PENGALAMAN MENGAJAR Mata Kuliah Pendidikan Matematika Manajemen Pendidikan SD Sosiologi Antropologi SD Perspektif Global
Program Pendidikan KSDP KSDP KSDP KSDP
Pembimbing PPL
KSDP
Pembimbing TA
KSDP
Pembimbing Skripsi Mengembangkan Bahan Ajar Sosiologi SD
KSDP KSDP
Institusi/Jurusan/ Program Studi Universitas Negeri Malang/KSDP Universitas Negeri Malang/KSDP Universitas Negeri Malang/ KSDP Universitas Negeri Malang/KSDP Universitas Negeri Malang/ KSDP Universitas Negeri Malang/KSDP Universitas Negeri Malang/ KSDP Universitas Negeri Malang/KSDP
Sem/tahun Akademik 2002 – sekarang 2006 – sekarang 2006 – sekarang 2007 – sekarang 2003 – sekarang 2004 – sekarang 2007 – sekarang 2008
E. PRODUK BAHAN AJAR Mata Kuliah Pengajaran Bangun-bangun Datar dengan Pendekatan Kontekstual di Sekolah Dasar Peran Media Massa dalam Perpektif Pendidikan di SD Mak na Kebijakan Biaya Pendidik an di Era Otonomi Daerah Manajemen Pendidik an Dasar di Era Otonomi Daerah Sosio-Antropologi Pendidikan SD (ISBN:978.907.078..3) Teori Sosilal Pendidik an (ISBN:978.907.079.1) Perubahan social Budaya (ISBN:979.952.379.6) Prilaku menyi mpang (ISBN:979.952.380.x) 68
KSDP
Jenis Bahan Ajar (Cetak dan non Cetak) Cetak
KSDP
Cetak
2008
KSDP
Cetak
2008
KSDP
Cetak
2008
KSDP
Cetak
2006
KSDP
Cetak
2007
KSDP
Cetak
2008
KSDP
Cetak
2009
Program Pendidikan
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Tahun Akadem ik 2007
Dinamika Sosial (ISBN:979.495.942.1) Membentuk karakter Anak (ISBN:979.495.944.8) Interaksi Sosial Anak (ISBN:979.495.943.x) Dampak Sosial Budaya terhadap perkembangan Pendidikan di Indonesia Membangun Soft skill dalam diri siswa Membangun karakter Anak Internet dan perkembangan sosial anak Pembelajaran bagi anak yang berprilaku menyimpang
KSDP
Cetak
2009
KSDP
Cetak
2010
KSDP
Cetak
2011
KSDP
Cetak
2010
KSDP
Cetak
2010
KSDP KSDP
Cetak Cetak
2010 2011
KSDP
Cetak
2011
F. PENGALAMAN PENELITIAN Tahun 2006 2006
2007
2008
2012
Judul Penelitian Persepsi Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Ujian Nasional di Kota Blitar Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah “Kajian Makna Atas Kebijakan Biaya Pendidikan di SMU 1 Blitar” Pembinaan karakter mahasiswa melalui Pembelajaran CTL dengan Mata kuliah sosiologi di PGSD PP3 Semester 4” Pengaruh penggunaan metode Exspositori dalam peningkatan pemahaman mata kuliah sosiologi di PGSD FIP UM” Implementasi Pembetukan Karakter Peduli Lingkungan Melalui Model Pembelajaran Inquiri Mapel IPS Pada Siswa Kelas VI Kardinamassa Kota Blitar
Ketua/ Anggota Tim Ketua
APBD
Ketua
APBD
Ketua
Hibah Pengembangan PGSD
Ketua
Swadana
Ketua
Swadana
Sumber dana
Daftar Riwayat Hidup
69
2012
Implementasi Pendidikan Karakter Mandiri Bersahabat Melalui Model Group Investigation Mapel IPS Pada Siswa Kelas V SDN Jingglong 01 Kabupaten Blitar Pengembangan Model Piranti Olah Ketua Pikir-Emosi (Model POP-E) Untuk Menumbuhkembangkan Karakter Cinta Budaya Bangsa Pada Siswa Kelas Rendah Sekolah Dasar di Indonesia Strategi Pengembangan Karakter Anak Indonesia Tahap I Pengembangan Model Piranti Olah Ketua Pikir-Emosi (Model POP-E) Untuk Menumbuhkembangkan Karakter Cinta Budaya Bangsa Pada Siswa Kelas Rendah Sekolah Dasar di Indonesia Strategi Pengembangan Karakter Anak Indonesia
2013
2014
DIPA FIP UM
DIPA UM
DIPA UM
G. KARYA ILMIAH (Buku/Bab Buku/Jurnal) Tahun 2001 2006 2006 2007 2007 2007 2007
70
Judul
Penerbit/Jurnal
Menghayati Otonomi Pendidikan Makna Kebijakan Biaya Pendidikan di Era Otonomi Daerah Implementasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah Manajemen Sumber Daya Manusia di Sekolah Dasar Desentralisasi di Era Otonomi Daerah Pengajaran Bangun-bangun Datar dengan Pendekatan Kontekstual di Sekolah Dasar Reformasi Pendidikan “Kritik Kurikulum dan Manajemen Berbasis Sekolah”
Wahana Sekolah Dasar Wahana Sekolah Dasar
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Widya wacana Wahana Sekolah Dasar Widya Wacana Wahana Sekolah Dasar Jurnal Wahana Sekolah Dasar
2007 2007 2008 2008 2008
2008 2008 2008 2011 2012 2012 2012 2012
2012 2012 2012 2013 2013
Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Pendidikan Menuju Pendidikan Demokratis Perubahan Sosial dalam Perspektif Sosiologi Pendidikan Pendidikan Sebagai Barang Publik “Telaah Pendidikan dalam Berbagai Persepsi Teori Sosial Pendidikan” Persepsi Masyarakat Tentang Pelaksanaan Ujian Nasional di Kota Blitar Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah: Kajian Makna Atas Kebijakan Biaya Pendidikan di SMUN I Blitar Peran Media Massa dalam Perpektif Pendidikan di SD Makna Kebijakan Biaya Pendidikan di Era Otonomi Daerah Manajemen Pendidikan Dasar di Era Otonomi Daerah Pendidikan Multikultural di Sekolah Dasar Peran Tri Pusat Pendidikan dalam perkembangan anak Perubahan Sosial Masyarakat terhadap inovasi Pendidikan di SD Inovasi Pendidikan SD melalui Proses Perubahan Sosial di Masyarakat Dampak Media Massa Dalam Perubahan Sosial
Pemimpin Kelompok Sosial Membudayakan Tatakrama Berbahasa yang baik bagi siswa dilingkungan sosial Membentuk Karakter Anak Bangsa Membangun Budaya sekolah berbasis Karakter terpuji Pemanfaatan Kedisiplinan
Widya Wacana Jurnal Pembelajaran Jurnal Ilmu kependidikan Jurnal IPS Jember JIP UM
Jurnal Pembelajaran UM Sosio Religion Widya wacana Jurnal Pendidikan Islam Jurnal Wahana Sekolah Dasar Jurnal Riset Pendidikan dan Pembelajaran Jurnal Pendidikan Islam Pemakalah Prosding
Pemakalah Prosding Jurnal Pendidikan Islam Buku Refrerensi Universitas Wisnu Wardana Press Jurnal Inovasi Pendidikan SD Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pembelajaran Daftar Riwayat Hidup
71
2013
Perilaku Sosial
2013
Perilaku Menyimpang dan Karakter Kreatif SOSIOLOGI-ANTROPOLGI PENDIDIKAN (Suatu Kajian dalam Perspektif Sosial Pendidikan)
2014
Buku Referensi Universitas Negeri Malang Press Buku Monograf C.V Bayumedia Fakultas Ilmu Pendidikan UM Malang
Makalah/ Poster
Tahun 2010
Judul
Penyelenggara
Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Karya Tulis Ilmiah dan karya Inovatif
2011
Dinas Pendidikan Provinsi Dinas Pendidikan Provinsi
Penyunting/Editor/Reviewer/Resensi
Tahun 2006-sekarang 2006-sekarang 2006-sekarang
Judul Widya wacana dinas pendidikan kota blitar Wahana Sekolah Dasar Jurnal Riset Pendidikan Dan Pembelajaran (JRPP)
Penerbit/Jurnal Dinas pendidikan kota Blitar PP 3 FIP UM Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur
H. KONFERENSI/SEMINAR/LOKAKARYA/SIMPOSIUM
Tahun 2001 2002
72
Judul Kegiatan Lokakarya Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivistik-Realistik (Realistics Mathematics Education) Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan Menuju Ekonomi Daerah. Sebagai Pembicara.
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Penyelenggara Stiken Blitar PGTKIT Qurrota’ayun Blitar
Panitia/ Peserta/ Pembicara Peserta Pembicara
2002 2007 2007 2007 2007
2007
2007 2008
2008 2008 2008
2008
Kualitas Pendidikan dalam Pembentukan Pribadi Anak. Sebagai Pemateri/Pembicara. Sarasehan Pakar dan Lokakarya Pengembangan Model Pembelajaran MKK I. Sebagai Peserta Penyusunan Silabus dan SAP Program Studi S1 PGSD. Pelaksanaan Program Hibah Pengajaran Kegiatan PHK S 1 PGSD. Sebagai Ketua Tim Kegiatan Mahasiswa S 1 Berasrama di Bidang Peningkatan Keimanan dan Kajian Multi Kultural. Sebagai Ketua Tim Pembina Workshop Pembimbingan Tugas Akhir mahasiswa D II PGSD FIP UM. Sebagai Peserta Pengurus Pimpinan Cabang Jami’atul Qurro’ wal Hufadh Kota Blitar. Sebagai Penasehat Lokakarya Penyusunan Proposal Penelitian Hibah Bersaing dan Penelitian Fundamental Perguruan Tinggi. Sebagai Peserta Workshop Pembimbingan Skripsi Mahasiswa S 1 PGSD Jurusan KSDP FIP UM. Sebagai Peserta Membentuk Pribadi Anak menjadi Insan Berkualitas dan Berakhlak Mulia. Sebagai Pembicara. Sekolah Berstandar Internasional antara Teori dan Implementasi di Indonesia. Sebagai Pembicara. Seminar Nasional” Reformasi Pendidikan di Era Millenium II. Sebagai Ketua Panitia
PGTKIT bina Insan Jombang
Pembicara
FIP UM
Peserta
FIP UM
Peserta
FIP UM
Ketua
Asrama UPP 3 UM
Ketua
FIP UM
Peserta
PCNU Kota Blitar
Penasehat
UM
Peserta
FIP UM
Peseta
PGTKIT Insan Mulia Jombang
Pembicara
Dinas Pembicara Pendidikan Kota Blitar Lembaga Solusi Ketua panitia
Daftar Riwayat Hidup
73
2008 2009 2009 2009 2009
2009
2009 2009 2009
2009
2010
2011 2011
74
Local Governance Forum, Lokal Implementation of Sustainable Development.Sebagai Peserta PDS Task Force 2009 PHK-A S 1 PGSD. Sebagai Peserta Workshop Review Kurikulum, Penyusunan SAP, Silabus Prodi S 1 PG-PAUD. Sebagai Peserta Pelatihan Tindakan Kelas Se Kota/ kabupaten Blitar. Sebagai Narasumber Diklat Nasional Assesment dalam pembelajaran Untuk memenuhi Profesionalitas Guru di Bojonegoro. Sebagai Narasumber Lokakarya Pendidikan Se Kota/ Kabupaten Blitar. Sebagai Narasumber Diklat Nasional 2009 Implementasi Model Base Learning Dalam Pembelajaran di sekolah Work Shop Nasional PMRI untuk Dosen S 1 Matematika PGSD di Bandung.Sebagai Peserta Diklat Bimbingan dan Pelatihan Tingkat Regional “ Pelatihan Tindakan Kelas”. Sebagai narasumber Diklat Bimbingan dan Pelatihan Tingkat Regional “ Pelatihan Matematika Realistik Indonesia”. Sebagai narasumber Diklat Nasional Assesment dalam pembelajaran Untuk memenuhi Profesionalitas Guru di Blitar. Sebagai Narasumber Diklat Kompetensi pengawas TKSD tentang KTI dan Karya Inovatif Diklat Kompetensi Publikasi Ilmiah bagi guru-guru SMP
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Pemda Kota Blitar
Peserta
UM
Peserta
FIP UM
Peserta
LPP SDM Lentera
Pembicara
Solusi
Pembicara
LPP SDM Lentera
Pembicara
Solusi
Pembicara
Depdiknas
Peserta
LPP SDM Lentera
Pembicara
LPP SDM Lentera
Pembicara
Solusi
Pembicara
Dinas Pendidikan Prop.Jatim Dinas Pendidikan Prop.Jatim
Pembicara Pembicara
I. KEGIATAN PROFESIONAL/ PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT Tahun
Jenis/Nama Kegiatan
2006
Pelatihan Pembelajaran IPS dan Matematik Bagi Guru-guru MI Nurul Huda Kelurahan Ngadirejo Blitar Pelatihan Bimbingan Penulisan Karya Ilmiah Bagi Guru-guru MI Nurul Huda Kelurahan Ngadirejo Blitar Pelatihan Pembelajaran IPA dan Matematika Bagi Guru-guru Ma’arif Blitar Pelatihan Model-model Pembelajaran IPA dan Matematika Bagi Guru-guru SMP Bustanul Muta’alimin Blitar Pengabdian pada masyarakat, menduduki jabatan sebagai Wakil Walikota Blitar Peningkatan Profesionalisme bagi mahasiswa berasrama melalui penulisan karya tulis ilmiah
2006
2007 2008 2000-2005
2011
Tempat MI Nurul Huda MI Nurul Huda
MAKNU Blitar SMP Bustanul Muta’alimin Pemda Kota Blitar
UPP III PGSD UM
J. JABATAN DALAM PENGELOLAAN INSTITUSI Peran/Jabatan Anggota Ketua Ketua Wakil Ketua Wakil Ketua Dosen Guru Wakil walikota Direktur utama Penilai angka Kredit Guru Ketua Lajnah LPTNU KPP 3 Nara Sumber Nasional K13 untuk SD
Institusi (Universitas,Fakultas, Jurusan, lab, studio, manajemen system informasi akademik, dll Bidang Penalaran Senat Fakultas MIPA IKIP Malang Remas Masjid Agung Malang UPP III PGSD Universitas Negeri Malang di Blitar PCNU Kota Blitar PCNU Kota Blitar Dosen Tetap KSDP UM Malang SPG Negeri Blitar Pemerintah Kota Blitar PDAM Kota Blitar Dinas Prop.Jatim PCNU Blitar Universitas negeri Malang Kemendikbud
Tahun 1980-1982 1981-1999 1998-2001 2001-2006 2006-2011 1992-sekarang 1984-1992 2000-2005 2003-2004 2010-sekarang 2014-sekarang 2015 - sekarang 2015-sekarang
Daftar Riwayat Hidup
75
K. PERAN DALAM KEGIATAN MAHASISWA Tahun
Jenis/Nama Kegiatan
2009-2011
Satgas seminar untuk mahasiswa PGSD Satgas seminar untuk mahasiswa PAUD Pembina Asrama bidang kerohanian
2010-2012 2010-2011
Peran
Tempat
Satgas
PGSD UM
Satgas
PGSD UM
Pembina
Asrama UPP III
L. ORGANISASI PROFESI/ ILMIAH Tahun 2011
Jenis/Nama Organisasi Persatuan Guru Nahdlatul Ulama Kota Blitar
Jabatan/ Jenjang Keanggotaan Ketua
Malang, 26 Oktober 2015 Yang Membuat,
Prof. Dr. Drs. Mohammad Zainuddin, M.Pd NIP: 19570626 198403 1 002
76
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR