Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
REFLEKSI HUKUM Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana ISSN 0853 – 7488
Penanggungjawab Dekan Ketua Dewan Redaksi Titon Slamet Kurnia, S.H., M.H. Anggota Dewan Redaksi Kustadi, S.H., M.Hum. Arie Siswanto, S.H., M.Hum., Dr. Tri Budiyono, S.H., M.Hum., Christiana Tri Budhayati, S.H., M.Hum. Yakub Adi Krisanto, S.H., M.H. Sekretaris Indirani Wauran, S.H. Mitra Bestari Theofransus Litaay, S.H., LL.M
Alamat Redaksi Fakultas Hukum UKSW Jl. Diponegoro 52 – 60 Salatiga 50711 Phone 0298 – 321212 ext. 245 Fax 0298 – 321433 E-mail:
[email protected] Redaksi menerima sumbangan karangan tentang hukum sebanyak maksimal 15 halaman kwarto spasi satu setengah. Redaksi dapat menyunting dan memadatkan karangan. Jika suatu karangan dimuat tidak berarti redaksi sependapat dengan penulisnya. Terbit setiap semester pada bulan April dan Oktober ii
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
DAFTAR ISI Editorial
iv
Artikel Mahkamah Konstitusi dan HAM: Masalah Pidana Mati A. Mukthie Fadjar
1
Pidana Mati dalam Perspektif Hukum Internasional Arie Siswanto
7
Implementasi Lisensi Wajib terhadap Produk Obat yang Dipatenkan Pasca Deklarasi Doha Tomi Suryo Utomo
21
Peran Ombudsman dalam Mewujudkan Perlindungan Hukum bagi Warga Masyarakat Kustadi
41
Hal-hal yang Mempengaruhi Terjadinya Kasus Korupsi Pengadaan Buku Ajar Tahun 2003 di Kota Salatiga dan Penanganannya M. Haryanto
57
Timbangan Buku Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara Titon Slamet Kurnia
iii
67
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
EDITORIAL Sama seperti bidang-bidang ilmu yang lain, ilmu hukum juga memiliki dinamika. Dari waktu ke waktu ilmu hukum mengalami banyak perkembangan. Perkembangan itu meliputi: (1) perubahan-perubahan yang terjadi di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum bagi praktik hukum; (2) interpretasi-interpretasi terbaru terhadap peraturan perundang-undangan yang ada yang dilakukan oleh kalangan praktisi hukum (terutama yang otoritatif adalah oleh hakim dalam bentuk putusan pengadilan); (3) maupun interpretasi-interpretasi yang dilakukan oleh para sarjana hukum (legal scholars). Perkembangan-perkembangan tersebut mau tidak mau harus menjadi perhatian baik di lingkungan akademis maupun praktis guna memperoleh pemahaman tentang kondisi aktual tentang apa hukum yang berlaku pada saat ini (lex posterior derogat lex priori) dan apakah interpretasi-interpretasi yang dibangun baik oleh praktisi maupun teoretisi tersebut sudah tepat ataukah belum. Perkembangan-perkembangan tersebut juga menjadi satu keniscayaan bagi penyelenggaraan proses belajar mengajar. Terkait dengan itu maka penerbitan Refleksi Hukum April 2009 mengambil tema “Perkembangan-perkembangan Mutakhir dalam Hukum Indonesia (Recent Developments in Indonesian Law).” Ada lima artikel utama dan satu timbangan buku dalam terbitan Refleksi Hukum kali ini. Pertama, Mahkamah Konstitusi dan HAM: Masalah Pidana Mati oleh Prof. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S. (Hakim Konstitusi & Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi). Kedua, Pidana Mati dalam Perspektif Hukum Internasional oleh Arie Siswanto, S.H., M.Hum (Staf Pengajar FHUKSW). Ketiga, Implementasi Lisensi Wajib Terhadap Produk Obat yang Dipatenkan Pasca Deklarasi Doha oleh Tomi Suryo Utomo, S.H., LL.M., Ph.D (Staf Pengajar FH Univ. Janabadra). Keempat, Peran Ombudsman dalam Mewujudkan Perlindungan Hukum bagi Warga Masyarakat (Staf Pengajar FH-UKSW). Kelima, Hal-hal yang Mempengaruhi Terjadinya Kasus Korupsi Pengadaan Buku Ajar Tahun 2003 di Kota Salatiga dan Penanganannya. Sementara timbangan buku adalah tentang Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara. iv
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Artikel pertama dan kedua merupakan tulisan yang semula disajikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh FH-UKSW pada tanggal 21 Februari 2009 dengan mengambil tema “Legalisasi Pidana Mati dan Tuntutan Membangun Masyarakat Humanis di Indonesia: Peranan MK.” Kedua tulisan ini membahas mengenai kontroversi pemberlakuan pidana mati di Indonesia yang sedang menghangat setelah Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian Undang-undang Narkotika. Artikel pertama membahas mengenai perspektif Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara pengujian konstitusionalitas pidana mati. Artikel kedua membahas aspekaspek hukum internasional yang berkaitan dengan pidana mati. Artikel ketiga membahas perkembangan mutakhir pengaturan internasional di bidang hak kekayaan intelektual (HKI) menyangkut kebijakan safeguard yang dapat dijalankan negara berkembang berkenaan dengan obat esensial melalui instrumen lisensi wajib (compulsory licenses). Penulis artikel ini menyimpulkan bahwa amandemen perjanjian TRIPS pada tahun 2005 merupakan lambang keberhasilan yang nyata dari usaha negara berkembang untuk mendapatkan status hukum yang kokoh terhadap keterkaitan antara perlindungan paten obat dengan akses masyarakat terhadap obat esensial. Perkembangan demikian tentu akan berpengaruh pula terhadap pengaturan hukum nasional Indonesia. Artikel keempat membahas mengenai peran Ombudsman dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat di Indonesia. Artikel ini membahas perkembangan mutakhir tentang legislasi yang menjadi dasar pembentukan dan bekerjanya Ombudsman Republik Indonesia yaitu UU No. 37 Tahun 2008. Penulis artikel ini berpendapat bahwa kehadiran Ombudsman di Indonesia sangat dibutuhkan oleh warga masyarakat dalam rangka melakukan pengawasan terhadap layanan publik yang dilaksanakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang dilakukan di lingkungan BUMN, BUMD dan BHMN. Artikel kelima membahas tentang perkembangan dalam penanganan kasus korupsi dalam proyek pengadaan buku ajar (kasus Buku Balai Pustaka) di Kota Salatiga pada tahun 2003. Artikel ini menyajikan analisis tentang kuatnya pengaruh politik dalam kasus pengadaan buku tersebut. Artikel ini melihat bahwa proses hukum yang tengah berjalan tidak mempertimbangkan faktor politik tersebut. Oleh karena itu penulis merekomendasikan supaya aktor intelektual dari kasus ini juga harus dipertanggungjawabkan. v
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Terkait dengan keterlambatan dalam memenuhi deadline penerbitan edisi April 2009, kami Dewan Redaksi meminta maaf yang sebesarbesarnya. Akhir kata, kami mengucapkan selamat membaca.
vi
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
MAHKAMAH KONSTITUSI DAN HAM: MASALAH PIDANA MATI1 A. Mukthie Fadjar2
Abstract Mahkamah Konstitusi (MK) has a fundamental role in addressing human rights issue in Indonesia. As the guardian of the constitution, MK should protect human rights provision under Chapter XA of the UUD 1945. In order to complete its function, MK has an authority to invalidate unconstitutional legislation by judicial review mechanism. A legislation can be declared unconstitutional if it violates human rights provision of the UUD 1945. The problematic of judicial review of human rights in Indonesia is the vague relationship between Art. 28I.1 and Art. 28J.2 of the UUD 1945. The author suggests that Art. 28J.2 the UUD 1945 can not be utilized as an ultimate tool to derogate Art. 28I.1 of the UUD 1945. But in the capital punishment constitutionality case the author thinks that it should be a matter of legal policy of the government as a legislator which can not be intervened by MK. Keywords: Mahkamah Capital Punishment
Konstitusi;
Human
Rights;
1. Kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) di berbagai negara pada umumnya, termasuk di Indonesia, adalah sebagai pengawal konstitusi, 1
Disampaikan dalam Seminar Nasional “Legalisasi Pidana Mati dan Tuntutan Membangun Masyarakat Humanis di Indonesia: Peranan MK”, diselenggarakan oleh FH Universitas Kristen Satya Wacana (FH-UKSW), bertempat di Gedung E-123 UKSW, pada tanggal 21 Februari 2009. 2 Prof. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S. adalah Hakim Konstitusi/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
1
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
pengontrol demokrasi, dan pelindung hak asasi manusia (HAM). Dalam posisinya yang demikian, maka MKRI misalnya berfungsi “menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi” (vide Penjelasan Umum UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, disingkat UU MK). Sesuai dengan posisi dan fungsinya tersebut, oleh Pasal 24C UUD 1945 MKRI diberi lima kewenangan konstitusional, yaitu: a. menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; b. memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga Negara; c. memutus pembubaran partai politik; d. memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan e. wajib memutus pendapat DPR atas dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar ketentuan UUD 1945. 2. Dari lima kewenangan konstitusional tersebut di atas, kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang paling banyak erat kaitannya dengan HAM, karena pemohon pengujian (perorangan WNI, atau kesatuan masyarakat hukum adat, atau badan hukum publik/privat, atau lembaga negara) terlebih dahulu harus mendalilkan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian [vide Pasal 51 ayat (1) UU MK]. Yang dimaksud dengan hak konstitusional (constitutional rights) menurut Penjelasan Pasal 51 ayat (1) U MK adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945, yang tidak lain adalah HAM yang sudah diadopsi dan dijamin oleh Konstitusi (UUD 1945). Oleh karena itu, semua undangundang yang pernah diuji oleh MKRI dalam kurun waktu usianya yang menginjak tahun keenam ini semuanya berkaitan dengan semua bidang HAM, yaitu hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya, serta hakhak yang terkait dengan hak-hak komunal dan pembangunan. Salah satu masalah HAM yang terkait dengan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah masalah hak untuk hidup yang dijamin oleh Pasal 28A UUD 1945 dengan masih berlakunya ketentuan tentang pidana mati dalam berbagai undang-undang di Indonesia, yang menjadi fokus diskusi ini. 3. Perlu diketahui, bahwa pengujian undang-undang terkait pidana mati yang pernah diuji oleh MKRI ada dua, yaitu a) ketentuan pidana mati yang tercatum dalam UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika (Perkara No. 23/PUU-V/2007) dan b) tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang tercantum dalam UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan 2
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (Perkara No. 21/PUU-VI/2008). Dalam putusannya, MKRI menyatakan menolak permohonan, baik yang terkait dengan ketentuan pidana mati yang tercantum dalam UU Narkotika maupun yang terkait dengan tata cara pelaksanaan pidana mati yang tercantum dalam UU No. 2/PNPS/1964. Terus terang, menurut pendapat saya, MKRI memang menghadapi dilema dalam memutus perkara-perkara a quo, yaitu: a. Terhadap ketentuan pidana mati yang tercantum dalam UU Narkotika, apabila permohonan dikabulkan justru akan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum yang sangat luas di masyarakat, mengingat bahwa ketentuan tentang pidana mati yang tersebar di berbagai undang-undang masih cukup banyak, sementara MKRI tidak dapat menguji undang-undang lainnya terkait pidana mati karena tidak dimintakan pengujian. Sebaliknya, apabila permohonan ditolak sebagaimana Putusan No. 2-3/PUU-V/2007, terkesan MKRI masih pro pidana mati dan menegasi hak untuk hidup yang tercantum dalam Pasal 28A juncto Pasal 28I ayat (1) UUD 1945; b. Terhadap permohonan pengujian undang-undang yang mengatur pelaksanaan pidana mati, dalam hal ini “cara ditembak sampai mati”, dilemanya adalah bahwa dengan cara apapun, apakah ditembak sampai mati, atau pun dipancung, atau disuntik sampai mati, sebagaimana ditawarkan oleh para Pemohon beserta ahli yang dihadirkan, kesan adanya rasa sakit dan unsur penyiksaan tetap saja ada. Bahkan kalau permohonan dikabulkan, pelaksanaan pidana mati akan kembali ke ketentuan Pasal 11 KUHP, yaitu harus digantung. 4. Terlepas, dari putusan-putusan MKRI mengenai pidana mati sebagaimana uraian di atas, masalah pro dan kontra pidana mati adalah persoalan lama dengan para pendukungnya masing-masing yang mungkin masih sama kuat, sehingga negara-negara juga terbelah dalam dua kutub pandangan tersebut. Perbedaan pandangan tersebut juga tercermin dari pendapat para ahli yang dihadirkan dipersidangan, baik yang diajukan oleh para Pemohon, oleh Pemerintah, maupun yang dihadirkan oleh MKRI. Bahkan menurut keterangan Komnas HAM yang diwakili oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara (Ketua Komnas HAM waktu itu), di kalangan komisioner Komnas HAM pun terdapat perbedaan pandangan tentang pidana mati. Dalam pandangan berbagai agama, pada umumnya juga mengenal ketentuan tentang pidana mati, meskipun hanya sebagai pengecualian atau alternatif.
3
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
5. Bahwa memang ada kecenderungan mayoritas negara-negara menghapuskan ketentuan pidana mati dalam perundang-undangannya, atau setidak-tidaknya cenderung melakukan pelunakan dalam penerapannya, misalnya: a. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 6 ayat (2) ICCPR masih memungkinkan suatu negara menerapkan ketentuan pidana mati, namun hanya untuk kejahatan yang paling serius (most serious crimes): “Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, …” (In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death may be imposed only for the most serious crimes in accordande with the law in force at the time of the commission of the crime …”). Tentang kejahatan apa saja yang tergolong serius, tentu sangat tergantung dari pandangan dan legal policy negara yang bersangkutan. Bagi Indonesia, barangkali kejahatan memproduksi dan memperdagangkan narkotika termasuk kejahatan yang sangat serius yang dapat membunuh satu generasi bangsa; b. Hukum Islam mengenal apa yang disebut: “uang darah” sebagai pengganti oleh pelaku kejahatan dan permaafan dari keluarga korban; c. Draft RUU KUHP tidak lagi menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok, namun hanya pidana yang bersifat khusus dan merupakan alternatif, serta pelaksanaannya pun dapat dengan masa percobaan 10 tahun yang apabila terpidana mati dalam masa percobaan tersebut berkelakuan baik, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup. 6. Dalam perspektif Konstitusi, Indonesia memang memiliki Pasal 28A UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” yang apabila dikaitkan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 diakui sebagai hak yang “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Akan tetapi, menjadi persoalan yang masih selalu menjadi perdebatan yang belum final, termasuk di MKRI, dengan adanya Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain 4
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”. Ketentuan yang bernuansa membatasi HAM yang sebenarnya juga sekedar mengadopsi Pasal 29 ayat (2) The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang berbunyi “Di dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya setiap orang harus tunduk hanya kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undangundang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak bagi hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dari kesusilaan, tata tertib umum dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokratis (In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solelyfor the purpose of securingduerecognition and respectfor the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society). Masih menjadi perdebatan apakah Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dapat menegasi Pasal 28I ayat (1) yang sering dipandang sebagai ketentuan mengenai HAM yang bersifat “non-derogable”. Akan tetapi, praktiknya, DPR, Pemerintah, dan sebagian para ahli (setidaktidaknya yang hadir memberi keterangan di persidangan MK), cenderung menjadikan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sebagai senjata “sapu jagat” atau senjata “pamungkas” untuk menghadapi berbagai tuntutan pemenuhan HAM, termasuk HAM yang “non-derogable” yang tercantum dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, ”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” 7. Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan tersebut di atas, menurut pendapat saya, apabila kita ingin menghapuskan ketentuan pidana mati di Indonesia, harus bersifat komprehensif, yakni menghapus dari semua peraturan perundang-undangan, dan hal itu harus menjadi “legal policy” pembentuk undang-undang, bukan oleh MKRI yang terbatas hanya dapat menguji undang-undang dimohonkan pengujian. Sebaliknya, apabila pidana mati masih belum dapat dihapuskan karena berbagai pertimbangan, maka harus dengan “pelunakan” dalam penerapannya, sebagaimana yang dimuat dalam draft RUU KUHP, termasuk dicarikan alternatif lain yang lebih manusiawi dalam tata cara pelaksanaan pidana mati. Selain itu, mungkin sudah tiba saatnya bagi MKRI sebagai “the sole interpreter of the 5
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
constitution” untuk melakukan penafsiran yang tepat dan dapat diterima oleh semua kalangan, atas Pasal 28I ayat (1) dan kaitannya dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, agar kecenderungan menggunakan pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sebagai semacam “sapu jagat” untuk membabat semua tuntutan atas pemenuhan HAM dalam Konstitusi dapat dihindari.
6
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
PIDANA MATI DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL1 Arie Siswanto
Abstract No other subjects in penology and criminal law could ignite such a prolonged debate as the subject of death penalty. While in practice this kind of punishment has been implied on criminals as long as the history of mankind, death penalty has divided people sharply into two different sides. Morality, human rights, religious norms are common reasons upon which the opponents of capital punishment rest their arguments. However, similar reasons, differently interpreted, are also central to the proponents of the death penalty. This paper focuses on how international law views this hot debated issue. Instead of providing a clear cut opposition to death penalty, the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), --as a consequence of its political character--, provides indistinct attitude toward the (il)legitimacy of the death penalty. On the other side, international law documents issued in more recent years, clearly reflect inauspicious position on capital punishment. The Rome Statute as well as the ICTY and ICTR statutes noticeably specify a term of life imprisonment as the most severe penalty, applicable for the perpetrator of even the most severe evil actions against humanity. Keywords: Death Penalty, Human Rights, International Law. 1
Disampaikan dalam Seminar Nasional “Legalisasi Pidana Mati dan Tuntutan Membangun Masyarakat Humanis di Indonesia: Peranan MK”, diselenggarakan oleh FH Universitas Kristen Satya Wacana (FH-UKSW), bertempat di Gedung E-123 UKSW, pada tanggal 21 Februari 2009.
7
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
A. Pendahuluan Beberapa waktu terakhir, isu pidana mati untuk kesekian kalinya kembali mencuat di tengah-tengah wacana hukum dan penegakan hukum di Indonesia. Terakhir, isu ini kembali menarik perhatian publik ketika Kejaksaan Agung menegaskan bahwa Gunawan Santosa, terpidana mati kasus pembunuhan Boediharto Angsana, seorang pengusaha, akan segera dieksekusi jika ia tidak mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Sebelumnya, menjelang eksekusi trio bomber Bali pada akhir tahun 2007 lalu, isu ini, -meskipun dalam dimensi yang agak berbeda, yakni menyangkut cara pelaksanaan pidana mati--, juga menjadi salah satu senjata yang dipergunakan oleh penasehat hukum para teroris tersebut untuk menunda pelaksanaan pidana mati. 2 Perkara hukum yang langsung mendiskusikan legitimasi pidana mati di dalam konteks hukum Indonesia tentu saja adalah landmark case yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada tahun 2007 melalui Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 yang membahas tentang konstitusionalitas ketentuan yang memuat ancaman pidana mati di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Narkotika. Dalam perkara tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dalam Perkara No 2/PUU-V/2007, permohonan dari Pemohon I dan Pemohon II ditolak untuk seluruhnya3, sedangkan permohonan Pemohon III dan IV dalam perkara tersebut dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Untuk Perkara No 3/PUU-V/2007, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa permohonan perkara dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). 4 Dalam kedua perkara tersebut, putusan niet onvantkelijk verklaard didasarkan pada pertimbangan bahwa para pemohon (Pemohon III dan IV dalam perkara No 2/PUU-V/2007, serta pemohon dalam Perkara No 3/PUU-V/2007) adalah warga negara asing yang tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing). 2
Dalam Perkara Nomor 21/PUU-V/2008 Terpidana mati kasus Bom Bali Amrozy, Ali Gufron dan Imam Samudera mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas UndangUndang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. 3 Dalam Perkara Nomor 2/PUU-V/2007 Pemohon I adalah Edith Yunita Sianturi dan Pemohon II adalah Rani Andriani (Melisa Aprilia), keduanya adalah WNI terpidana mati kasus Narkoba. Pemohon III dan Pemohon IV masing-masing adalah Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, keduanya warga negara Australia terpidana mati dalam kasus Narkoba. 4 Pemohon dalam Perkara Nomor 3/PUU-V/2007 adalah Scott Anthony Rush, warga negara Australia, terpidana mati dalam kasus Narkoba.
8
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Secara substantif dalam Perkara No 2/PUU-V/2007, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketujuh ketentuan yang memuat ancaman pidana mati di dalam Undang-undang No. 22 tahun 2007 tentang Narkotika sepanjang yang mengenai ancaman pidana mati tidak bertentangan dengan Pasal 28A dan 28I ayat (1) UUD 1945.5 Perbincangan tentang pro dan kontra pidana mati sesungguhnya adalah perbincangan yang tidak akan pernah mati. Dalam konteks Indonesia, hal tersebut bahkan secara amat tepat dicerminkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007, dalam mana Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, Hakim Konstitusi HM Laica Marzuki dan Hakim Konstitusi H.Achmad Rustandi mengemukakan dissenting opinion tentang pokok permohonan dan pada dasarnya berpendapat bahwa ketentuan tentang pidana mati di dalam Undang-undang No. 22 tahun 2007 tentang Narkotika adalah inkonstitusional. Ada banyak aspek yang bisa dijadikan sudut pandang di dalam mendiskusikan persoalan di sekitar pro dan kontra pidana mati. Moral-etik, HAM, norma religius, hingga efektivitas merupakan sudut pandang yang sering kali dipergunakan untuk menyusun argumen, baik bagi mereka yang pro maupun yang kontra pidana mati. Salah satu aspek yang sebenarnya juga bisa dipergunakan untuk menilai pidana mati adalah aspek hukum internasional. Tulisan ini dimaksudkan untuk melakukan eksplorasi terhadap bagaimana norma-norma hukum internasional mengatur tentang pidana mati. Agar sistematis, pembahasan di dalam tulisan ini hendak dibagi ke dalam beberapa bagian. Bagian pertama akan menggambarkan argumenargumen pro maupun kontra pidana mati. Bagian selanjutnya akan berisi tentang berbagai instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan pidana mati, sedangkan bagian terakhir akan berisi uraian tentang bagaimana negara Indonesia, dalam kondisi seperti sekarang ini sebaiknya memandang eksistensi pidana mati.
5
Ketentuan Undang-undang No. 22 tahun 2007 yang dipersoalkan konstitusionalitasnya karena memuat ancaman pidana mati adalah : (a) Pasal 80 ayat (1) huruf a; (b) Pasal 80 ayat (2) huruf a; (c) Pasal 80 ayat (3) huruf a; (d) Pasal 81 ayat (3) huruf a; (e) Pasal 82 ayat (1) huruf a; (f) Pasal 82 ayat (2) huruf a; dan (g) Pasal 82 ayat (3) huruf a. Lihat Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007, bagian Konklusi, angka 4.3.
9
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
B. Argumen Pro dan Kontra Pidana Mati Pidana mati (death penalty atau capital punishment) dipahami sebagai “the lawful infliction of death as a punishment.”6 Sebagai suatu bentuk hukuman, pidana mati merupakan bagian dari sistem hukum pidana (criminal law system) yang juga terkait dengan teori-teori tentang pemidanaan pada umumnya. Perbincangan tentang pidana mati pada dasarnya kemudian meruncing pada pertanyaan apakah pidana mati bersifat legitimate ataukah ilegitimate. Tentang ini, ada dua kubu pemikiran yang saling berhadapan. Kubu pertama adalah mereka yang kontra pidana mati, yang mendukung gagasan penghapusan pidana mati dari sistem hukum negara-negara (abolitionist). Sedangkan kubu yang kedua adalah mereka yang mendukung pidana mati sebagai instrumen hukum pidana untuk menindak kejahatan (retentionists). Di tengah-tengah kedua ekstrem ini ada pula pendapat dari mereka yang setuju terhadap pidana mati, sepanjang pidana mati itu secara limitatif hanya diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan tertentu serta dilaksanakan dengan syarat-syarat yang ketat. Ada berbagai argumen yang sering kali dikemukakan oleh mereka yang pro pidana mati. Beberapa argumen terkait dengan teori-teori pemidanaan, sementara beberapa lainnya menyangkut pula aspek-aspek moral, keagamaan dan bahkan ekonomi. Beberapa dalil utama yang sering kali diajukan oleh para proponen pidana mati adalah sebagai berikut: 1. Pidana mati secara permanen melenyapkan penjahat-penjahat yang paling buruk dari masyarakat beradab (incapacitation of the criminal). 2. Pidana mati mengandung efek retributif (retributive effect) yang dapat memuaskan rasa keadilan korban kejahatan dan keluarganya. 3. Pidana mati memiliki dampak preventif (detterent effect) bagi anggota-anggota masyarakat yang lain. 4. Pidana mati tidak dilarang oleh norma-norma agama utama.
6
Dalam praktik, ada berbagai metode yang dipergunakan untuk melaksanakan pidana mati, yaitu: (a) Penggantungan (hanging); (b) Suntikan (lethal injection); (c) Kamar gas (gas chamber); (d) Aliran listrik (electrocution); dan (e) Tembakan (shooting).
10
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Sementara itu, para penentang pidana mati juga mengemukakan dalildalil yang meyakinkan untuk mendukung posisi mereka. Beberapa argumen utama dari mereka yang tidak sependapat dengan pidana mati adalah sebagai berikut: 1. Pidana mati mengasumsikan bahwa manusia tidak dapat berubah serta menegasikan kemungkinan bahwa seorang pelaku kejahatan pada suatu saat bisa bertobat. 2. Pidana mati tidak dapat dikoreksi (undone), khususnya dalam hal pidana mati ternyata dikenakan terhadap orang yang secara keliru harus menjadi terpidana sebagai akibat tidak sempurnanya sistem peradilan pidana. Dengan menggunakan kalimat lain, berdasarkan dalil ini pidana mati berpeluang untuk dikenakan terhadap orang yang sebenarnya tidak melakukan kejahatan yang didakwakan. 3. Pidana mati membawa penderitaan yang tidak perlu bagi orang-orang lain, khususnya keluarga si terpidana mati pada waktu-waktu penantian dan pelaksanaan pidana mati. Di samping pokok-pokok di atas, para penentang pidana mati juga membahas argumen yang diajukan oleh mereka yang pro pidana mati, hanya saja mereka melihat argumen- argumen tersebut dari sisi yang amat berbeda. Tentang incapacitation of criminal, kubu abolisionis berpandangan bahwa pidana mati bukan merupakan satu-satunya cara untuk melenyapkan penjahat dari masyarakat. Menurut mereka ada cara yang lebih “beradab” dan “manusiawi”, yaitu pemenjaraan (imprisonment). Bagi para penentang pidana mati, pemenjaraan bukan saja lebih “beradab” dan “manusiawi”, melainkan juga bisa memberikan kesempatan kepada si terpidana untuk diperbaiki. Perihal efek retributif, pada dasarnya kubu abolisionis mengatakan bahwa gagasan keadilan yang semata-mata bersifat retributif, sebagaimana tercermin dari lex talionis, sudah tidak mendapat tempat di dalam masyarakat modern. Dampak preventif (deterrent effect) dari pidana mati merupakan salah satu titik panas dalam perdebatan tentang pro dan kontra pidana mati. Ketika kubu retensionis meyakini bahwa pidana mati bisa membawa dampak preventif, kubu abolisionis justru menyatakan sebaliknya. Bagi mereka, pidana mati tidak berpengaruh signifikan di dalam turunnya angka kejahatan. Sebaliknya, para pendukung pidana mati, seperti telah dikemukakan
11
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
sebelumnya, menekankan pada efek pencegahan yang diyakini ada pada pidana mati.7
C. Pengaturan Hukum Internasional terhadap Pidana Mati Terkait dengan norma-norma hukum internasional, kedua kubu juga mengemukakan hal yan sangat bertolak belakang. Pada satu sisi, kelompok penentang pidana mati berpendapat bahwa norma-norma hukum internasional secara tegas melarang pidana mati. Namun, pada sisi lain, kelompok pendukung pidana mati meyakini bahwa norma hukum inernasional pada dasarnya tidak memuat larangan tentang pidana mati. Berikut ini adalah uraian sekaligus analisis terhadap beberapa norma hukum internasional yang sedikit banyak bersentuhan dengan isu pidana mati. Ada dua jenis instrumen yang secara khusus hendak diamati, yaitu instrumen HAM internasional dan instrumen yang berupa statuta-statuta mahkamah kejahatan internasional. Untuk kategori yang pertama, ada dua instrumen yang hendak dibahas, yakni Deklarasi Universal HAM dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Kedua instrumen ini dipilih untuk dibahas karena keduanya seringkali dipergunakan sebagai argumen untuk mengatakan bahwa norma-norma hukum inernasional melarang penerapan pidana mati. Sedangkan untuk kategori yang kedua, instrumen hukum internasional yang hendak diamati adalah Agreement for the Prosecution and Punishment of the Major War Criminals of the European Axis, Statuta International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY), Statuta International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dan Statuta Roma 1998 yang menjadi dasar pembentukan International Criminal Court (ICC). 1. Instrumen HAM Internasional a. Deklarasi Universal HAM 1948 Meskipun Deklarasi Universal HAM tidak memiliki karakteristik yang cukup kuat untuk dianggap sebagai norma hukum internasional, ada 7
Lihat misalnya kesimpulan dalam Hashem Dezbakhsh & Joanna M.Shepperd, “The Detterent Effect of Capital Punishment: Evidence from a “Judicial Experiment”, Emory University Economics Working Paper, No. 03-14.
12
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
pendapat yang cukup luas diterima yang memandang bahwa melalui customary international law Deklarasi Universal HAM ini telah menjadi salah satu sumber hukum internasional. Bagian dari Deklarasi Universal HAM yang terkait dengan isu pidana mati adalah Artikel 3 yang menyatakan bahwa, “[e]veryone has the right to life, liberty and security of person.” Pasal ini seringkali dipergunaan sebagai salah satu senjata utama untuk mengatakan bahwa pidana mati tidak mendapat tempat di dalam hukum internasional, khususnya yang berkaitan dengan norma-norma HAM. Atas dasar gagasan bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup, para penentang pidana mati secara simplistik kemudian mengemukakan argumen bahwa pidana mati melanggar hak hidup orang, sehingga harus ditiadakan. Sayangnya, penafsiran seperti ini lebih sering tidak diikuti secara konsisten oleh mereka yang berada di barian abolisionis. Jika diikuti secara konsisten, semestinya mereka juga akan sangat menentang pidana penjara dan lembaga penjara, karena pidana penjara juga akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak kebebasan (“liberty”) seseorang, yang,--sama seperti hak hidup (“life”)--, secara tegas juga disebutkan di dalam Artikel 3 Deklarasi Universal HAM. Alih-alih menentang pidana penjara, banyak di antara para penentang pidana mati justru menjadikan pidana penjara seumur hidup (life sentence without parole) sebagai alternatif bagi pidana mati. Alternatif yang sekilas terkesan humanis ini sesungguhnya tidak lepas dari risiko munculnya ketidakadilan. Hal ini antara lain terlihat dari kasus Moore yang terjadi di negara bagian New York, AS, pada tahun 1962. Kasus ini bermula ketika seorang laki-laki yang bernama James Moore memperkosa, mencekik dan membunuh Pamela Moss, seorang remaja perempuan yang baru berusia 14 tahun. Meskipun anaknya menjadi korban pembunuhan sadis, orang tua Pamela Moss mendukung upaya agar Moore tidak dijatuhi pidana mati, melainkan diberi pidana alternatif berupa penjara seumur hidup (life sentence without parole). Setelah menjalani pidana penjara selama hampir 20 tahun, pada tahun 1982 terjadi perubahan dalam hukum kepenjaraan di New York. Berdasarkan hukum yang baru, secara teknis James Moore menjadi punya hak untuk mengajukan permohonan bebas bersyarat setiap dua tahun sekali. Sejak saat itu, secara rutin setiap 2 tahun sekali orang tua dan keluarga Pamela Moss harus merasa was-was memikirkan kemungkinan James Moore mendapatkan hak bebas bersyarat.
13
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Barangkali lebih tepat untuk memahami bahwa para perancang Deklarasi Universal HAM memiliki koherensi moral untuk membuat pembedaan antara kepentingan yang harus dilindungi (“life”, “liberty”, dan “security”) dengan pemidanaan. Dilihat secara demikian, pidana mati lebih merupakan tindakan untuk menghukum para pelanggar HAM, bukan pelanggaran HAM itu sendiri.
b. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Terkait dengan pidana mati, ketentuan di dalam ICCPR yang langsung berkaitan dengan pokok pembicaraan itu adalah Artikel 6 ICCPR yang secara lengkap berbunyi demikian: Article 6 1. Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life. 2. In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death may be imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present Covenant and to the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide. This penalty can only be carried out pursuant to a final judgement rendered by a competent court. 3. When deprivation of life constitutes the crime of genocide, it is understood that nothing in this article shall authorize any State Party to the present Covenant to derogate in any way from any obligation assumed under the provisions of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide. 4. Anyone sentenced to death shall have the right to seek pardon or commutation of the sentence. Amnesty, pardon or commutation of the sentence of death may be granted in all cases. 5. Sentence of death shall not be imposed for crimes committed by persons below eighteen years of age and shall not be carried out on pregnant women. 6. Nothing in this article shall be invoked to delay or to prevent the abolition of capital punishment by any State Party to the present Covenant. Artikel 6 dari ICCPR ini seringkali dirujuk oleh para penentang pidana mati. Paragraf 1 dari artikel ini, yang menegaskan bahwa setiap manusia memiliki 14
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
hak untuk hidup yang bersifat melekat (inheren). Oleh para penentang pidana mati, bagian pertama dari Paragraf tersebut dianggap sebagai ketentuan mutlak yang menutup ruang bagi keberadaan pidana mati. Namun, pembacaan yang cermat terhadap paragraf tersebut dan paragraf berikutnya semestinya tidak akan memunculkan kesimpulan yang demikian. Apabila diperhatikan secara seksama, kalimat terakhir di dalam Paragraf 1 mengemukakan kualifikasi tentang perampasan kehidupan secara sewenangwenang (arbitrary deprivation of life). Hal ini berarti bahwa secara implisit Paragraf ini mengakui adanya perampasan kehidupan yang tidak sewenangwenang (non-arbitrary deprivation of life). Apabila pemahaman ini yang diikuti, tidaklah berlebihan kalau kemudian dipahami pula bahwa pidana mati merupakan wujud dari nonarbitrary deprivation of life yang secara implisit diakui oleh ketentuan Artikel 6 Paragraf 1 ICCPR. Penafsiran yang demikian ini juga dipertegas oleh substansi Paragraf 2-5 dari Artikel 6. Paragraf 2, setidaknya secara implisit dan hati-hati masih mengakui keberadaan pidana mati di antara negara-negara. Tidak ada petunjuk bahwa ketentuan Paragraf ini menyatakan bahwa pidana mati adalah ilegal. Ketentuan yang ada hanya sekedar membatasi supaya pidana mati dilakukan secara terbatas dan seksama. Demikian pua halnya dengan Paragraf 3, 4 dan 5 yang memiliki karakteristik yang sama. Paragraf 6 memang secara samar mengindikasikan bahwa penghapusan pidana mati (abolition of capital punishment) merupakan sesuatu yang favorable. Namun, sama sekali tidak ada norma yang tegas melarang pidana mati. Hal ini sangat wajar mengingat bahwa hukum internasional, bahkan yang memiliki basis perjanjian (treaty-based international law) tetaplah merupakan bagian dari struktur koordinatif hukum internasional. Berbeda dari hukum nasional yang memiliki struktur subordinatif terhadap subjeknya, ada tuntutan yang lebih besar terhadap hukum internasional untuk mengakomodasi perbedaan-perbedaan ideologi, politik, tata-nilai, sistem ekonomi serta latar belakang budaya negara-negara yang menjadi subjeknya. Para penyusun ICCPR tampaknya sadar sepenuhnya bahwa supaya instrumen tersebut bisa diterima secara luas oleh negara-negara yang memiliki variasi ideologi, politik, tata-nilai, sistem ekonomi serta latar belakang budaya, ia harus menghindari pemuatan norma imperatif yang akan meletakkan garis tegas yang akan memisahkan negara-negara. Pendekatan yang realistik ini membuat kita lebih mudah untuk mengerti bahwa secara 15
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
substansial sebenarnya ICCPR tidak pernah secara tegas melarang pidana mati. Namun, penafsiran seperti ini ternyata tidak populer di antara masyarakat internasional. Masyarakat internasional cenderung menganggap bahwa pidana mati adalah pelanggaran terhadap hak hidup. Kecenderungan ini antara lain terlihat dari dibuatnya instrumen-instrumen hukum internasional yang memuat gagasan tersebut, yaitu: (a) Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights 1989; (b) Protocols No. 6 (1982) and No. 13 (2002) to the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (European Convention on Human Rights); dan (c) Protocol to the American Convention on Human Rights to Abolish the Death Penalty 1990. 2. Statuta Mahkamah-mahkamah Internasional Kecenderungan negara-negara untuk menolak pidana mati bisa terlihat jelas melalui statuta-statuta yang mendasari pembentukan beberapa mahkamah yang bersifat internasional, khususnya Nurnberg Tribunal, ICTY, ICTR dan ICC. a. Nurenberg Tribunal Mahkamah Nurenberg adalah peradilan militer yang diselenggarakan oleh negara-negara pemenang Perang Dunia II untuk mengadili personil militer Jerman yang dianggap melakukan kejahatan internasional selama Perang Dunia II. Persetujuan yang melandasi pelaksanaan Mahkamah Nurenberg, yakni Agreement for the Prosecution and Punishment of the Major War Criminals of the European Axis tanggal 8 Agustus 1945 tegastegas memuat ancaman pidana mati. 8 Ketentuan tersebut bahkan dilaksanakan secara konsisten dan pada akhir proses peradilan beberapa petinggi militer dan Partai Nazi dieksekusi mati. Ohlin mencatat bahwa sebelumnya, ketika pihak Sekutu menyatakan akan menerapkan pidana mati dalam peradilan Nurenberg, tidak banyak negara yang menentang keputusan tersebut dengan alasan pidana mati melanggar hukum internasional. Kalaupun ada, keberatan terhadap 8
Jens David Ohlin, “Applying Death Penalty to Crimes of Genocide”, The American Journal of International Law, Vol.9, 2005, p. 747.
16
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
keputusan Sekutu tersebut lebih banyak diwarnai oleh argumentasi rasa kemanusiaan dan moralitas, bukan argumentasi hukum. 9 Hal itu menunjukkan bahwa pada saat itu pidana mati tidak dianggap bertentangan dengan hukum internasional. b. ICTY dan ICTR ICTY (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia) dan ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda) adalah dua mahkamah kejahatan internasional ad hoc yang dibentuk pada tahun 1990an, sekitar empat dekade setelah Mahkamah Nurnberg. Meskipun hanya dipisahkan oleh waktu sepanjang kurang lebih empat dekade, ada perubahan mendasar yang terjadi di antara Mahkamah Nurenberg dengan ICTY dan ICTR, khususnya menyangkut pidana mati. Meskipun tidak secara eksplisit, ada gagasan yang kuat di dalam Statuta ICTY dan Statuta ICTR untuk menolak penerapan pidana mati. Artikel 24 Statuta ICTY dan Artikel 23 Statuta ICTR menegaskan bahwa, “[t]he penalty imposed by the Trial Chamber shall be limited to imprisonment.” Ini berarti bahwa di dalam sistem peradilan ICTY dan ICTR, pidana mati tidak akan pernah diterapkan. Ini juga sekaligus berarti bahwa para pelaku genosida, pelaku kejahatan perang dan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk yang terwujud dalam tindakan-tindakan penyiksaan, eksperimen biologis dalam perang, penyanderaan penduduk sipil, pengeboman desa-desa yang bukan merupakan objek militer dalam perang, perbudakan, pembunuhan, penyiksaan, dan perkosaan sampai kapanpun tidak akan pernah dipidana mati di bawah sistem ICTY dan ICTR. c. International Criminal Court Apa yang sudah dimulai oleh ICTY dan ICTR terkait dengan pidana mati ternyata kemudian dipertegas oleh Statuta Roma 1998 yang menjadi dasar penyelenggaraan ICC (International Criminal Court). Artikel 77 Statuta Roma 1998 secara tegas menyatakan bahwa pidana pokok yang bisa dijatuhkan terhadap pelaku genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan agresi (the crime of agression) adalah:
9
Loc.cit.
17
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
(a) Imprisonment for a specified number of years, which may not exceed a maximum of 30 years; or (b) A term of life imprisonment when justified by the extereme gravity of the crime and the individual circumstances of the convicted person. Sedangkan pidana tambahan yang bisa dijatuhkan adalah: (a) A fine under the criteria provided for in the Rules of Procedure and Evidence; (b) A forfeiture of proceeds, property and assets derived directly or indirectly from that crime, without prejudice to the rights of bona fide third parties. Sama seperti Statuta ICTY dan ICTR, pemidanaan di dalam sistem ICC yang hanya dibatasi pada pidana penjara (imprisonment) akan membuat pelaku kejahatan internasional yang diatur dalam Artikel 5 Statuta Roma (genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan agresi) tidak akan pernah tersentuh oleh pidana mati, betapapun misalnya pelaku kejahatan ini luar biasa kejam dan tindakannya menyebabkan matinya ribuan orang, termasuk perempuan dan anak-anak. Pada titik inilah situasi paradoksal bisa muncul. Kalau penghapusan pidana mati seperti yang terefleksikan secara kuat di dalam Statuta ICTY, ICTR dan ICC dianggap sebagai sebuah perlindungan “the right to life” dari pelaku kejahatan internasional, maka perlindungan itu justru telah memberikan privilege kepada orang yang salah, yang justru secara kasar dan eksesif barangkali telah menginjak-injak “the right to life” sekian ribu orang yang menjadi korban perbuatan si pelaku. Pada titik ini pula, rasa keadilan bisa menjadi sangat terusik.
D. Arah Sikap Negara-negara terhadap Pidana Mati: Quo vadis Indonesia? Sampai di sini terlihat adanya kecenderungan yang cukup kuat bahwa di dalam hukum internasional, pidana mati menjadi sesuatu yang semakin tidak dikehendaki. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: bagaimana seharusnya Indonesia menyikapi pidana mati? Apakah Indonesia sebaiknya tetap mempertahankan pidana mati yang memang sudah ada di dalam sistem hukum Indonesia, ataukah sebaiknya Indonesia mengikuti tren internasional yang mengarah pada abolisi pidana mati?
18
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Sementara ini tampaknya Indonesia masih berdiri di barisan negaranegara retensionis. Ini terindikasikan dari sikap Indonesia di dalam pengambilan suara atas Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 62/149 tahun 2007 tentang pembekuan (moratorium) pelaksanaan pidana mati.10 Beberapa pokok pemikiran berikut ini barangkali layak untuk didiskusikan lebih lanjut secara serius, untuk melihat bagaimana seharusnya Indonesia menyikapi eksistensi pidana mati: Ancaman pidana mati bagaimanapun juga memiliki efek deteren / prevensi. Ancaman pidana mati bisa membuat seseorang berpikir berulang kali sebelum melakukan tindakan yang diancam pidana mati. Oleh karena itu, dari sisi ini secara umum eksistensi pidana mati akan membawa dampak positif bagi ketertiban masyarakat. Meski demikian, harus diakui pula bahwa pidana mati adalah bentuk pidana yang ekstrem, sehingga semestinya hanya diancamkan secara limitatif terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang dianggap sangat berat. Pidana mati adalah pidana yang tidak dapat dikoreksi apabila terjadi error in persona dalam proses peradilan. Besar atau kecil, eksekusi mati terhadap orang yang sebenarnya tidak bersalah merupakan kemungkinan yang bisa terjadi. Peluang terjadinya error in persona dalam pemidanaan mati akan menjadi semakin besar dalam kondisi sistem peradilan pidana yang buruk. Oleh karena itu, mempertahankan pidana mati harus diikuti oleh upaya yang sungguh-sungguh untuk memperbaiki sistem peradilan pidana. Harus disadari bahwa langkah “humanis” meniadakan pidana mati akan terpapar pada kemungkinan untuk berbenturan dengan rasa keadilan, khususnya dari sudut pandang korban.
10
Sebanyak 104 negara menyatakan setuju terhadap Resolusi Nomor 62/149 tahun 2007 ini, dan ada 54 negara yang menentang, yaitu: Afghanistan, Antigua and Barbuda, Bahamas, Bahrain, Bangladesh, Barbados, Belize, Botswana, Brunei Darussalam, Chad, China, Comoros, Democratic People’s Republic of Korea, Dominica, Egypt, Ethiopia, Grenada, Guyana, India, Indonesia, Iran, Iraq, Jamaica, Japan, Jordan, Kuwait, Libya, Malaysia, Maldives, Mauritania, Mongolia, Myanmar, Nigeria, Oman, Pakistan, Papua New Guinea, Qatar, Saint Kitts and Nevis, Saint Lucia, Saint Vincent and the Grenadines, Saudi Arabia, Singapore, Solomon Islands, Somalia, Sudan, Suriname, Syria, Thailand, Tonga, Trinidad and Tobago, Uganda, United States, Yemen, Zimbabwe.
19
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Daftar Pustaka Jens David Ohlin, “Applying Death Penalty to Crimes of Genocide”, The American Journal of International Law, Vol.9, 2005. Hashem Dezbakhsh & Joanna M.Shepperd, “The Detterent Effect of Capital Punishment: Evidence fron a “Judicial Experiment”, Emory University Economics Working Paper, No. 03-14. Jeffrey L. Kirchmeier, “Dead Innocent: The Death Penalty Abolitionist Search for a Wrongful Execution,” Tulsa Law Review, Vol.42/2006. Agreement for the Prosecution and Punishment of the Major War Criminals of the European Axis, 1945. Universal declaration of Human Rights, 1948. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), 1966. Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, 1989. Statute of the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia. Statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda. Rome Statute for the Establishment of International Criminal Tribunal, 1998. UNGA Resolution No. 62/149, 2007. Protocols No. 6 (1982) and No. 13 (2002) to the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (European Convention on Human Rights). Protocol to the American Convention on Human Rights to Abolish the Death Penalty, 1990.
20
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
IMPLEMENTASI LISENSI WAJIB TERHADAP PRODUK OBAT YANG DIPATENKAN PASCA DEKLARASI DOHA Tomi Suryo Utomo1
Abstract The existence of the Doha Declaration provides developing and least developed countries with potential strategies (safeguards) to reduce the impact of pharmaceutical protection on public health. This declaration offers several policies that are derived from the TRIPS Agreement. One of these is compulsory license. A key question for implementing compulsory licensing after the Doha Declaration is how to implement it in developing and least developed countries which have no or insufficient domestic capacity to produce pharmaceutical products. This becomes a serious problem because according to Article 31 (f) of the TRIPS Agreement, the adoption of compulsory licenses in the WTO members is for the domestic market only. As a consequence, countries with little or no domestic capacity to produce pharmaceuticals cannot import pharmaceuticals products produced under compulsory licenses from other countries. Keywords: Doha Declaration; Safeguard; Pharmaceuticals Products; Compulsory Licenses
1
SH (UGM, 1993), LL.M (University of Melbourne, Australia, 1998), Ph.D (University of Washington, USA, 2006). Associate di Asian Law Group, Pty.,Ltd, Melbourne Australia, Dosen Luar Biasa S1 dan Magister Hukum Bisnis FH UGM, Dosen Magister Manajemen Rumah Sakit FK UGM, Dosen S1 dan S2 FH Universitas Janabadra, Yogyakarta dan Wakil Ketua Program S2 Ilmu Hukum FH UJB Yogyakarta.
21
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
A. Latar Belakang Perlindungan paten obat dan terbatasnya akses masyarakat terhadap obat esensial merupakan topik yang sangat menarik untuk dikaji, terutama di negara-negara berkembang. Sebelum dan sesudah perjanjian TRIPS (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) para ahli dan pengamat Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disingkat HKI) secara intensif melakukan kajian dan penelitian tentang keterkaitan antara paten obat dan akses masyarakat terhadap obat esensial. Kesimpulan yang diperoleh dari berbagai penelitian itu adalah perlindungan paten obat berdampak negatif terhadap harga obat dan penggunaan obat generik. Pada tahun 1990 Nogues berpendapat bahwa perlindungan paten obat hanya memberikan keuntungan yang besar kepada industri farmasi. Dia juga menyimpulkan bahwa paten di bidang farmasi terbukti meningkatkan harga obat di negara-negara berkembang. Meskipun demikian, kompetisi yang sehat antara produsen obat bermerek dengan produsen obat generik dapat menurunkan harga obat terutama jika obat generik dipromosikan dan dipergunakan oleh konsumen secara efektif. 2 Pada tahun 1993, Nogues kembali mengadakan penelitian tentang keterkaitan paten dengan harga obat. Penelitiannya menyimpulkan bahwa pemberian perlindungan paten terhadap produk farmasi akan mengakibatkan kehilangan kesejahteraan yang signifikan dari para pembeli. Sebaliknya, pemilik paten akan memperoleh keuntungan dari perlindungan tersebut.3 Kesimpulan yang sama juga dikemukakan oleh Challu berdasarkan penelitiannya di Argentina pada tahun 1991. Sesudah melakukan analisa terhadap pasar obat di Argentina, Challu menyatakan bahwa perlindungan paten mengakibatkan kenaikan harga obat sebesar 273 % dan mengakibatkan penurunan permintaan terhadap obat sebesar 45.4 %.4 Tahun 1994, Kim dan
2
Julio Nogues, Patents and Pharmaceutical Drugs: Understanding the Pressures on Developing Countries, 24 (6) J.WORLD TRADE, 81-104 (1990). 3 Julio Nogues, Social Costs and Benefits of Introducing Patent Protection for Pharmaceutical Drugs in Developing Countries, 31 (1) DEV. ECON., 24-53 (1993); lihat United Nations Conference On Trade And Development, 1996, The Trips Agreement And Developing Countries, Geneva, United Nations Publication, hal. 62. 4 Pablo Challu, The Consequences of Pharmaceutical Product Patenting, 15 (2) World Competition, 110 (1991). Studi ini dikritik oleh Rozek yang berpendapat bahwa penelitian tersebut “fatally flawed in its conceptual and empirical analyses.” [see Richard P. Rozek,
22
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
kawan-kawan menemukan bahwa perubahan kebijakan di bidang HKI telah berpengaruh terhadap pasar perusahaan obat di Korea Selatan. Perusahaan farmasi dengan kapabilitas dan kemampuan besar di bidang teknologi akan memperoleh keuntungan yang signifikan. Sedangkan perusahaan dengan kemampuan relatif lebih kecil akan kehilangan pasar akibat perubahan kebijakan tersebut.5 Sesudah perjanjian TRIPS diluncurkan, beberapa ahli kembali mengadakan penelitian tentang dampak paten obat terhadap perekonomian sebuah negara. Subramanian, misalnya melakukan penelitian tentang dampak paten obat di beberapa negara besar dan kecil pada tahun 1995. Dia menyimpulkan bahwa pasar yang bersifat kompetitif atau pasar yang bersifat duopolistik akan berubah menjadi sebuah pasar yang monopolistik dikarenakan pengaruh hukum paten.6 Pada tahun yang sama, Subramanian menerapkan penelitian tersebut di lima negara: India, Indonesia, Pakistan, Filipina dan Thailand. Dia menemukan bahwa pengaruh harga tahunan, kesejahteraan dan keuntungan di lima negara tersebut bersifat negatif atau terpengaruh oleh hukum paten. 7 Dengan kata lain, harga dan keuntungan obat meningkat, tetapi hanya sedikit konsumen yang mampu membeli obat-obatan tersebut. Tahun 1995, Chambouleyron menyimpulkan bahwa ada kenaikan harga obat yang signifikan dan menurunnya konsumsi terhadap obat-obatan yang disebabkan oleh monopoli. 8 Watal pada tahun 1996 melaporkan hasil penelitian serupa di India dimana paten obat terbukti meningkatkan kenaikan harga obat-obatan sebesar 52 % dan hilangnya kesejahteraan masyarakat
The Consequences of Pharmaceutical Product Patenting: A Critique, 16 (3) WORLD COMPETITION L. & ECON REV., 91 (1993)]; UNCTAD, Id. 5 Kim, Sang-Gon, Kong-Kyun Ro and Pyung-Il Yu, Intellectual Property Protection Policy and Technology Capability, 21 (2) SCI. & PUB. POL’Y, 121-130 (1994); UNCTAD, Id. 6 A. Subramanian, Trade-Related Intellectual Property Rights and Asian Developing Countries: An Analytical View, Paper presented at the Conference on Emerging Global Trading Environment and Developing Asia, Manila, Philippines, 29-30 May; UNCTAD, Id. 7 A. Subramanian, Putting Some Numbers on the TRIPS Pharmaceutical Debate, 10 (2-3) INT’L. J. TECH. MGMT., 252-268 (1995); UNCTAD, Id, hal. 62. 8 Andres Chambouleyron, La Nueva Ley de Patentes Y Su Efecto Sobre Los Precios de Los Medicamentos. Analisis Y Propuestas (The New Law of Patents and Their Effects on the Prices of Medicines. Analysis and Answer), 18 (75) Estudios, 156-168 (1995); UNCTAD, Id, hal. 62.
23
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
sebesar US$ 33 juta.9 Pada pertengahan tahun 1999, K. Balla dan Kiran Sagoo melaporkan hasil survei yang dilakukan oleh Consumers International and Health Action International (CI/HAI). Survei ini menyimpulkan bahwa paten berpengaruh terhadap harga eceran 16 jenis obat di 36 negara (10 negara maju, 25 negara berkembang, termasuk Indonesia dan 1 negara yang tergabung dalam perkumpulan negara persemakmuran/Commonwealth of Independent States/CIS). Survei ini menyimpulkan bahwa ada dampak yang signifikan dari perlindungan paten obat terhadap harga eceran obat di sejumlah negara dan penggunaan obat generik dapat menurunkan harga obat paten.10 Sejak negosiasi di putaran Uruguay banyak pihak yang mengkhawatirkan dampak negatif perlindungan paten obat di negara-negara berkembang. Oleh karena itu, sebagian besar negara-negara berkembang bernegosiasi agar perjanjian TRIPS menyediakan pasal-pasal yang bisa mengurangi dampak negatif paten obat tersebut. Pada saat perjanjian TRIPS diluncurkan, semua negara sepakat untuk menyisipkan pasal-pasal pelindung (the TRIPS Safeguards) di dalam perjanjian TRIPS yang terdiri dari impor paralel, bolar provision, lisensi wajib dan penggunaan paten oleh pemerintah. Pasca perjanjian TRIPS, implementasi dari pasal pelindung tersebut sering menimbulkan konflik diantara negara maju dengan negara berkembang, terutama terkait dengan pelaksanaan lisensi wajib. Timbulnya konflik tersebut bermuara pada perbedaan penafsiran tentang bagaimana melaksanakan pasal pelindung tersebut. Dalam praktek, penafsiran pasal tersebut lebih sering menggunakan perspektif negara maju. Akibatnya, pelaksanaan pasal pelindung di negara berkembang dalam upaya mengurangi dampak perlindungan paten obat, menjadi tidak optimal. Atas desakan dari berbagai organisasi dan lembaga swadaya masyarakat, penafsiran terhadap pasal-pasal pelindung TRIPS akhirnya berhasil direalisasikan dengan diluncurkannya Deklarasi Doha pada tahun 2001. Melalui Deklarasi Doha, negara-negara berkembang mencapai tujuan
9
Jayashree Watal, Introducing Product Patents in the Indian Pharmaceutical SectorImplications for Prices and Welfare, 20 (2) WORLD COMPETITION L. & ECON. REV., 19-20 (1996); UNCTAD, 1996. Id. 10 K. Bala and Kiran Sagoo, Patents and Prices, http://www.haiweb.org/pubs/hainews/ patents % 20and %20Prices .html (April/May 2000), hal. 1-4.
24
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
utama mereka untuk mencari penjelasan terhadap penafsiran pasal-pasal pelindung TRIPS tersebut. Paper ini membahas tentang pelaksanaan salah satu pasal pelindung TRIPS, yaitu lisensi wajib di negara-negara berkembang dan dampaknya terhadap penyediaan obat esensial kepada masyarakat. Permasalahan terkait pelaksanaan lisensi wajib difokuskan pada dua perjanjian internasional: perjanjian TRIPS dan deklarasi Doha. Beberapa pertemuan yang diadakan untuk memperjelas tentang penafsiran dan pelaksanaan lisensi wajib seperti amandemen perjanjian TRIPS tahun 2005 juga dibahas di dalam paper ini.
B. Akses Terhadap Obat Esensial: Perjanjian TRIPS versus Deklarasi Doha Perjanjian TRIPS Banyak negara mengkhawatirkan dampak perlindungan paten obat terhadap akses obat esensial yang murah dan terjangkau sebelum perjanjian TRIPS diluncurkan pada tahun 1994. Kebanyakan negara tidak menyediakan perlindungan yang memadai terhadap paten obat karena perlindungan tersebut akan berakibat negatif terhadap kebutuhan masyarakat akan obat murah.11 Untuk mengakomodasi kekhawatiran tersebut, kebanyakan negara yang melakukan negosiasi pada putaran awal Uruguay sepakat untuk memasukkan beberapa pasal pelindung di bidang kesehatan masyarakat sebagai bentuk antisipasi terhadap dampak negatif perjanjian tersebut. Salah satu pasal penting yang merupakan hasil dari negosiasi tersebut adalah Pasal 8 perjanjian TRIPS. Pasal tersebut memberikan mandat kepada anggota WTO untuk “mengadopsi tindakan-tindakan yang perlu guna melindungi kesehatan masyarakat.”12
11
Lihat Kirsten Peterson, Recent Intellectual Property Trends in Developing Countries, 33 Harvard International Law Journal, 277, 1 (1992); DGDFC and WHO, 2000, The TRIPS Agreement and Pharmaceuticals, Report of an ASEAN Workshop on the TRIPS Agreement and its Impact on Pharmaceuticals, Jakarta 2-4 May 2000, hal. 11; Nabila Ansari, International Patent Rights in a Post – Doha World, 11 INT’L TRADE L. J. 57, 3 (2002). 12 Pasal 8 Perjanjian TRIPS.
25
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Perjanjian TRIPS berisi 12 pasal yang memiliki kaitan erat dengan perlindungan paten obat13 dan tiga pasal tentang kebijakan untuk menangani dampak paten obat yang lebih dikenal sebagai pasal pelindung TRIPS (the TRIPS safeguards).14 Berkaitan dengan pengadopsian pasal-pasal tersebut, anggota WTO disarankan untuk tetap konsisten dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam perjanjian TRIPS. Permasalahan yang sering timbul adalah berkaitan dengan sifat dari TRIPS itu sendiri yang tidak menyediakan standar hukum internasional atau persyaratan hukum yang seragam bagi anggota WTO.15 Akibatnya, pelaksanaan pasal-pasal pelindung tersebut, termasuk bagaimana menterjemahkan pasal-pasal tersebut berbeda-beda diantara negara anggota WTO, khususnya antara negara berkembang dengan negara maju.16 Perjanjian Doha Pasca diluncurkannya perjanjian TRIPS, negara-negara berkembang dan terbelakang semakin percaya bahwa perjanjian tersebut lebih banyak memberikan keuntungan kepada negara-negara maju. Terhambatnya akses masyarakat miskin di negara-negara berkembang dan terbelakang terhadap obat-obatan esensial merupakan bukti yang memperkuat keyakinan tersebut.17
13
Keduabelas pasal di dalam perjanjian TRIPS adalah sebagai berikut : Pasal 3 dan 4 (prinsip non- diskriminasi), Pasal 7 (tujuan TRIPS), Pasal 8 (perlindungan kesehatan masyarakat), Pasal 27 (Paten produk dan proses; dan pengecualian paten), Pasal 33 (perlindungan paten minimum selama 20 tahun), Pasal 34 (pembuktian terbalik untuk paten proses), Pasal 39 (Perlindungan data), Pasal 65 dan 66 (Pengaturan ketentuan transisi untuk negara-negara berkembang yang menjadi anggota WTO), Pasal 66 dan 67 (alih teknologi dan kerjasama teknis), Pasal 70/8 (mailbox filings) dan Pasal 71/1 (review) (WHO Essential Drugs and Medicines Policy, Network For Monitoring The Impact Of Globalization And Trips On Access To Medicines , Report of a meeting February 2001, Bangkok, Thailand, Health Economics and Drugs, EDM Series No.11, WHO/EDM/PAR/2002.1.WHO.2002, hal 17. 14 Pasal 6 (import paralel), Pasal 30 (Bolar Provision) dan Pasal 31 (lisensi wajib dan government use) (Id., at 17). 15 Carlos Correa, 2000, Intregrating Public Health Concerns Into Patent Legislation in Developing Countries, Geneve, South Center, hal. 3. 16 Id., hal. 4. 17 Lihat Bryan C. Mercurio, TRIPS, Patents, and Access to Life Saving Drugs in the Developing World, 8 MARQ. INTELL. PROP. L. REV. 211, 1 (2004); Mariama Williams, The TRIPS and Public Health Debate: An Overview, International Gender and Trade Network, at http://www. genderandtrade.net/wto/TRIPS_PublicHealth.Pdf (August 2001);
26
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Penurunan harga obat akan terjadi jika negara-negara tersebut mampu menerapkan dan memaksimalkan pasal-pasal pelindung (seperti impor paralel dan lisensi wajib) secara konsisten. Ironisnya, usaha untuk menyisipkan pasal-pasal pelindung tersebut ke dalam sistim hukum nasional negara-negara berkembang dan terbelakang sering berujung pada tuntutan hukum negara-negara maju. Sebagai contoh adalah konflik antara AS dengan Brazil. Konflik tersebut bermuara pada ketentuan UU Paten Brazil yang mencantumkan lisensi wajib secara ketat. Pencantuman ketentuan tersebut dianggap pemerintah AS sangat berlebihan dan berpotensi merugikan hak-hak pemegang paten obat di AS.18 Perselisihan antara perusahaan farmasi multinasional dengan pemerintah Afrika Selatan adalah contoh lain yang membuktikan bahwa rencana pengadopsian pasal-pasal pelindung (impor paralel dan lisensi wajib) - yang sebenarnya dibolehkan dan dijinkan dalam perjanjian TRIPS sering menimbulkan konflik dengan negara-negara maju. 19 Perselisihan hukum tersebut menunjukkan bahwa pasal-pasal pelindung TRIPS adalah pasal-pasal yang lemah dan tidak berarti karena penafsiran pasal tersebut lebih sering menggunakan perspektif dan kepentingan negara maju selaku produsen HaKI. Sejak akses terhadap obat esensial yang murah menjadi sebuah masalah serius di berbagai negara, lembaga swadaya masyarakat dan negara-negara berkembang mendesak Dewan WTO (the WTO council) untuk memasukkan topik kesehatan masyarakat di dalam agenda pertemuan tingkat menteri WTO (the WTO Ministerial meeting) di Seattle pada tahun 1999. Sayangnya, pada saat itu tidak banyak pihak yang menaruh perhatian terhadap masalah tersebut sampai diadakannya pertemuan tingkat menteri yang keempat di Doha pada tahun 2001.20 lihat Peter Drahos and John Braithwaite, Intellectual Property, Corporate Strategy, Globalization: TRIPS in Context, 20 WIS. INT’L L. J. 451, (1-15) 2002. 18 Srividhya Ragavan, Can’t We All Get Along? The Case For A Workable Patent Model, 35 Arizona State Law Journal 117, 21-22 (2003) 19 Divya Murthy, The Future of Compulsory Licensing: Deciphering the Doha Declaration on the TRIPS Agreement and Public Health, 17 American University International Law Review 1299, 5 (2002); Srividhya Ragavan (1), Id. hal. 21; Richard Gerster, People Before Patents-The Success Story of the Indian Pharmaceutical Industry, http://www.gersterconsulting.ch/docs/India%20_Pharma_Success_ Story.pdf. 20 Bryan C. Mercurio, Mercurio, Bryan C., TRIPS, Patents, and Access to Life Saving Drugs in the Developing World, 8 MARQ. INTELL. PROP. L. REV. 211, 1 (2004)
27
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Melalui pertemuan di Doha, Qatar (9 – 14 November, 2001), anggota WTO mengadopsi sebuah resolusi yang mempertegas keterkaitan antara TRIPS dan kesehatan masyarakat yang disebut dengan Deklarasi Doha (the Doha Declaration). Kesuksesan tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran kelompok Afrika yang telah mengajukan usulan pada awal tahun 2001 dan selanjutnya memohon kepada Dewan TRIPS untuk menyetujui hubungan antara perjanjian TRIPS dengan kesehatan masyarakat. 21 Pada pertemuan Doha tersebut, seluruh anggota WTO mendeklarasikan 7 kesepakatan penting tentang hubungan perjanjian TRIPS dengan Kesehatan Masyarakat. Harus diakui, Deklarasi Doha telah menjadi tonggak yang bersejarah bagi negara berkembang dan terbelakang yang sangat mengharapkan adanya perhatian yang cukup terhadap permasalahan tersebut.22 21
Carlos M. Correa (2), The Implications of the Doha Declaration on the TRIPS Agreement and Public Health, Health Economics and Drugs EDM Series No.12, June 2002, hal. 2 (dalam DGDFC and WHO, Informal Technical Discussion on the TRIPS Agreement and Public Health, Jakarta, May 31 – June 1, 2004). Pada saat itu, Zimbabwe yang mewakili kelompok negara Afrika menyuarakan tentang kebutuhan akan akses terhadap obat selama persiapan deklarasi tersebut. Pada bulan Juni tahun 2001, Dewan TRIPS mendiskusikan permasalahan HaKI dari perspektif kesehatan masyarakat untuk pertama kalinya (Ellen t’ Hoen, Public Health and International Law: TRIPS, Pharmaceutical Patents, And Access to Essential Medicines: A Long Way From Seattle To Doha, 3 CHI. J. INT’L L. 27, 6 (2002); Carlos M. Correa (2), Id., hal. 2-3). Disamping draft yang diusulkan oleh kelompok negara Afrika dan negara-negara berkembang lainnya, pada saat pertemuan tersebut beberapa negara, seperti AS Jepang, Swiss, Australia Apart from the draft dan Kanada telah mempersiapkan rancangan alternative lainnya yang memfokuskan pada peran HaKI dalam mendorong perkembangan R&D. Negara-negara tersebut berpendapat bahwa HaKI telah menyumbangkan banyak hal terhadap tujuan-tujuan kesehatan masyarakat secara global (Ellen t’Hoen, Id., hal. 7). Kelompok lainnya, Masyarakat Eropa menyiapkan rancangan yang memfokuskan pada penyelesaian masalah lisensi wajib di negara yang tidak memiliki kemampuan produksi obat yang memadai atau sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk itu dengan mengijinkan negara-negara yang termasuk di dalam kategori tersebut untuk melaksanakan lisensi wajib sepanjang pelaksanaannya tidak bertentangang dengan Pasal 30 perjanjian TRIPS. Mayoritas negara anggota memilih draft yang diusulkan oleh negara-negara Afrika. Mereka juga menyatakan komitmen mereka untuk tunduk dengan perjanjian TRIPS (Ellen t’Hoen, Id., hal. 7). 22 Deklarasi Doha adalah bentuk kemenangan negara-negara berkembang (lihat Ruth Mayne, The Global Campaign on Patents and Access to Medicines: An Oxfam Perspective, dalam Peter Drahos dan Ruth Mayne, 2002, Global Intellectual Property Rights Knowledge, Access And Development, hal. 245 ; Stephanie A. Barbosa, Implementation of the Doha Declaration: Its Impact on American Pharmaceuticals, 36 RUTGERS L. J. 205, 4 (2004).
28
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Pandangan ini sangat kontras dengan pendapat negara-negara maju yang menganggap bahwa perjanjian TRIPS tidak ada kaitannya dengan kesehatan masyarakat.23 Sebelum tercapainya deklarasi Doha, perusahaanperusahaan farmasi di negara maju berdalih bahwa masalah kesehatan masyarakat yang ada di negara berkembang dan terbelakang lebih disebabkan oleh kurangnya kemauan politik dari pemerintah serta lemahnya kebijakan sektor kesehatan, bukan karena perlindungan HaKI di bawah rezim TRIPS.24 Negara-negara berkembang dan terbelakang pada dasarnya setuju dengan pendapat ini. Namun bukan berarti tidak ada hubungan sama sekali antara perjanjian TRIPS dengan kesehatan masyarakat. Akses terhadap obat esensial yang murah dan terjangkau tidak hanya disebabkan oleh kemauan politik dan kebijakan kesehatan. Perlindungan paten juga terbukti merupakan faktor penghalang yang sangat berpengaruh terhadap akses tersebut.25 Keseluruhan faktor inilah yang kemudian membatasi akses masyarakat miskin terhadap obat murah yang pada gilirannya berimbas pada terbatasnya ketersediaan dan keterjangkauan obat esensial bagi penduduk miskin di negara-negara berkembang dan terbelakang.
C. Permasalahan Terhadap Implementasi Lisensi Wajib Pasca Perjanjian Doha Deklarasi Doha ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan masyarakat negara-negara berkembang dan terbelakang akibat pelaksanaan dari perlindungan paten obat. Pasal 4 Deklarasi Doha, sebagai 23
Lihat Harvey E. Bale, Jr., Patents and Public Health: a Good and Bad Mix? http://www.Cnehealth .org/pubs/bale_patents_and_public_health.htm; Owen Lippert, Poverty, Not Patents, is the Problem in Africa, http;//www.cnehealth.org/pubs/lippert_poverty_not_ patents.htm. 24 Amir Attaran, How Do Patents and Economic Policies Affect Access to Essential Medicines in Developing Countries? Health Affairs, Volume 23, number 3, hal. 155, http://content.health affairs. org/cgi/reprint/23/3/155 (03/21/06); Harvey E. Bale, Jr., Id.; Owen Lippert, Id.. 25 Beberapa peneliti telah melaksanakan riset tentang dampak paten obat terhadap harga obat. Sebagai contoh adalah Nogues (1990, 1993), Challu (1991), Chambouleyron (1995), Watal (1996, tidak dipublikasikan) (lihat United Nations Conference On Trade And Development, supra note 2, hal. 62) dan K.Bala and Kiran Sagoo (1999) (dalam K, Bala and Kiran Sagoo, supra note 9); lihat Carlos M. Correa (2), supra note 20, hal. 12 : lihat juga Carlos Correa (1), supra note 14, hal. 2.
29
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
contoh, menyediakan sebuah alasan yang sah terhadap pelaksanaan pasalpasal pelindung untuk tujuan melindungi kesehatan masyarakat dan meningkatkan akses terhadap obat-obatan esensial. 26 Disamping itu, deklarasi Doha juga membantu negara-negara berkembang dan terbelakang untuk menafsirkan pasal-pasal pelindung TRIPS, seperti lisensi wajib dan impor paralel. 27 Permasalahan utama terhadap Paragraf 6 Deklarasi Doha adalah berkaitan dengan pelaksanaannya di negara-negara berkembang dan terbelakang yang tidak memiliki kemampuan untuk memproduksi produkproduk farmasi. 28 Hal ini menjadi sebuah masalah yang serius karena berdasarkan Pasal 31 (f) Perjanjian TRIPS, pelaksanaan lisensi wajib di negara-negara WTO adalah untuk pasar domestik saja. Produksi obat-obatan farmasi berdasarkan lisensi wajib tidak boleh diimpor atau diekspor ke negara lain. Akibatnya, negara-negara dengan kemampuan yang tidak mencukupi atau negara yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan di dalam memproduksi obat-obatan mengalami hambatan di dalam memanfaatkan lisensi wajib. Larangan ini bertentangan dengan tujuan Pasal 31 TRIPS yang mengijinkan penggunaan lisensi wajib untuk mengatasi dampak negatif dari perlindungan paten obat.
D. Solusi Terhadap Permasalahan Implementasi Lisensi Wajib Pencarian solusi terhadap permasalahan implementasi lisensi wajib menjadi tanggung jawab dari Dewan TRIPS. Berdasarkan ketentuan Paragraf 26
Nabila Ansari, supra note 10, hal 9. Id. 28 Ada 61 negara yang dikategorikan sebagai negara yang tidak mempunyai industri farmasi dan kebanyakan dari negara-negara tersebut adalah dari Afrika: Andorra, Antigua and Barbuda, Aruba, Bahrain, Bermuda, Bhutan, Bostwana, British Virgin Islands, Burkina Vaso, Burundi, Central African Republic, Chad, Comoros, Congo, Cook Islands, Djibouti, Dominica, Equatorial Guinea, Faeroe Islands, French Guyana, French Polynesia, Gabon, Greenland, Grenada, Guadeloupe, Guam, Guinea, Guinea-Bissau, Iceland, Laos, Libyan Arab Jamah., Liechtenstein, Luxembourg, Maldives, Martinique, Mauritania, Mayotte, Micronesia, Nauru, Netherlands Antilles, New Caledonia, Niue, Oman, Qatar, Reunion, Rwanda, St. Kitts and Nevis, St. Lucia, St. Vincent-Grenadines, Samoa, San Marino, Sao Tome and Principe, Senegal, Suriname, Swaziland, Togo, Tuvalu, US Virgin Island, Vanuatu, Western Samoa(Annex 2 Levels of development of pharmaceutical industry, by country (Carlos Correa (2), supra note 20, hal. 55-56). 27
30
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
6, dewan TRIPS (the TRIPS Council) harus menyelesaikan masalah ini pada akhir tahun 2002. Tetapi, penyelesaian akhir belum bisa dicapai pada tahun 2002.29 Pada tahun 2003, Dewan TRIPS telah mencapai sebuah konsensus tentang keberadaan Paragraf 6 Deklarasi Doha dengan mengeluarkan Keputusan Dewan Umum terhadap Paragraf 6 Deklarasi Doha. Pada tahun 2005, General Council memutuskan untuk mengamandemen perjanjian TRIPS. Paparan sub bab berikut ini akan menjelaskan secara rinci beberapa keputusan tersebut yang dianggap sebagai solusi terbaik terhadap permasalahan yang timbul berkaitan dengan pelaksanaan lisensi wajib pasca dekalarasi Doha. 1. Keputusan Dewan Umum TRIPS terhadap Paragraf 6 Deklarasi Doha tahun 2003 (Implementation of Paragraph 6 of the Doha Declaration on the TRIPS Agreement and Public Health-General Council Decision of 30 August 2003) Keputusan dewan umum dianggap memiliki peran penting karena beberapa ketentuan di dalam keputusan tersebut berhasil mneyelesaikan permasalahan pelaksanaan lisensi wajib di negara-negara yang tidak memiliki kapasitas untuk memproduksi obat. Keputusan itu sendiri lebih sering disebut sebagai: Sistem Paragraf 6 atau Paragraph 6 System. a) Isi Keputusan Dewan Umum TRIPS tahun 2003 Secara umum, Keputusan Dewan Umum TRIPS tahun 2003 berisikan beberapa penghapusan ketentuan yang termuat di dalam pasal 31 perjanjian TRIPS, khususnya Pasal 31 (f) dan (h) ketentuan tersebut memperluas ruang lingkup lisensi wajib yang hanya terbatas pada pasar domestik negara anggota berdasarkan Pasal 31 (f) TRIPS ke ruang lingkup yang yang lebih fleksibel yaitu mengijinkan sebuah pengeksporan produk obat tertentu berdasarkan lisensi wajib ke negara-negara pengimpor yang memenuhi syarat.30 b) Pihak yang memenuhi syarat untuk mengajukan sistim Paragraf 6:
29
Jennifer May Rogers, The TRIPS Council’s Solution To the Paragraf 6 Problem: Toward Compulsory Licensing Viability for Developing Countries, 13 MINN. J. LOBAL TRADE 443, 4 (2004). 30 Id., hal. 6.
31
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Ada dua pihak yang terkait langsung dengan pelaksanaan sistim paragraf 6, yaitu negara pengekspor dan negara pengimpor. Kedua pihak tersebut harus memenuhi persyaratan tertentu agar dapat melaksanakan sistem paragraph 6. 1) Negara pengekspor adalah sebuah negara anggota yang menggunakan sistim paragraf 6 yang memproduksi dan mengekspor produk obatobatan ke negara pengimpor yang memenuhi syarat.31 Adapun syarat untuk menjadi negara pengekspor adalah sebagai berikut: i) Negara pengekspor memastikan bahwa jumlah obat yang diproduksi sesuai dengan permintaan negara pengimpor dan hanya ditujukan kepada negara pengimpor yang membutuhkan. ii) Negara pengekspor memberi tanda terhadap produk obat yang diproduksi melalui lisensi berdasarkan ketentuan sistim paragraf 6. Tanda tersebut harus diidentifikasi melalui kemasan, label, warna dan atau bentuk yang khusus dan mudah dikenali. Pemberian tanda tersebut seharusnya tidak berdampak terhadap harga. iii) Sebelum pengiriman barang, menjelaskan informasi tentang jumlah barang, tujuan dan ciri-ciri khusus barang yang dikirim di dalam sebuah website. 32 2) Negara Pengimpor: setiap negara terbelakang dan negara lainnya yang telah memberitahukan kepada Dewan TRIPS tentang keputusan negaranegara tersebut untuk menggunakan sistim paragraph 6 sebagai sebuah negara pengimpor obat melalui lisensi wajib baik dengan cara yang penuh maupun terbatas. Alasan-alasan yang dapat diajukan untuk menggunakan paragraph 6 adalah keadaan darurat atau kondisi yang sangat mendesak dan bukan untuk keperluan komersial. 33 Persyaratan untuk menjadi negara pengimpor adalah sebagai berikut: i) Memberitahukan kepada Dewan TRIPS nama dan jumlah produk yang dibutuhkan; ii) Memberitahukan kepada Dewan TRIPS keadaannya sebagai sebuah negara yang terbelakang dan tidak memiliki kemampuan atau kurang memiliki kemampuan untuk memproduksi obat;
31
The Implementation Paragraph 6 of the Doha Declaration on the TRIPS Agreement and Public Health, hal.2. 32 Id., hal.2-3 33 Id., hal.2.
32
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
iii) Jika produk obat yang diperlukan masih dalam perlindungan paten di wilayahnya, negara pengimpor memastikan bahwa penggunaan lisensi wajib sesuai dengan Pasal 31 perjanjian TRIPS dan ketentuan sistim paragraph 6. 34 c) Prosedur Pelaksanaan untuk menentukan apakah negara-negara pengimpor tersebut dianggap memenuhi persyaratan berdasarkan sistim ini, dilakukan dengan cara memberitahukan Dewan TRIPS bahwa negara-negara WTO ingin mengimpor obat-obatan yang diproduksi berdasarkan lisensi wajib dari negara-negara lain. Ketentuan ini bersifat sementara dan akan berakhir jika Dewan TRIPS sudah mengubah ketentuan Perjanjian TRIPS yang berkenaan dengan implementasi Pasal 6 deklarasi Doha. 35 d) Dampak Keputusan tahun 2003 terhadap pelaksanaan lisensi wajib di berbagai negara Keputusan dewan yang mengijinkan pengimporan telah menyebabkan banyak negara-negara berkembang dan maju memaksimalkan penggunaan lisensi wajib berdasarkan ketentuan Pasal 31 (f) TRIPS. Pemerintah Brazil, sebagai contoh memulai produksi obat-obatan HIV/AIDS berdasarkan lisensi wajib untuk mengekspor obat-obatan tersebut ke negaranegara yang membutuhkannya. Negara-negara lain seperti Kanada, Norwegia dan Swiss sedang mengamandemen UU Paten mereka agar dapat dipergunakan untuk mengekspor obat-obatan tertentu yang diperoduksi berdasarkan lisensi wajib ke negara-negara lain yang membutuhkannya. Pada tahun 2003, pemerintah Kanada telah memutuskan mengamandemen UU Patennya untuk memberikan dasar hukum bagi pengeksporan obat-obatan tertentu yang diproduksi berdasarkan lisensi wajib ke negara-negara lain yang tidak memiliki kapasitas untuk memproduksi obat-obatan tersebut.36 Keputusan Dewan TRIPS untuk mengijinkan pengimporan obatobatan yang bersifat sementara tersebut, tampaknya sebuah langkah awal yang sangat berpihak kepada kepentingan negara-negara berkembang dan terbelakang. Namun, penyelesaian utama terhadap permasalahan 34
Id. Jennifer May Rogers, supra note 28, hal. 6. 36 Id. hal. 11. 35
33
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
pelaksanaan Pasal 6 TRIPS tersebut akan menjadi kenyataan pada saat Dewan TRIPS mengamandemen Pasal 31 (f) perjanjian TRIPS. 2. Amandemen perjanjian TRIPS tahun 2005 Pasal 31 (f) perjanjian TRIPS yang lama hanya mengijinkan produksi obat berdasarkan lisensi wajib untuk keperluan pasar domestik. Peraturan ini dianggap menyulitkan posisi negara-negara yang tidak atau kurang memiliki kemampuan untuk memproduksi obat sendiri. Akibatnya, keluarlah keputusan dari Dewan Umum TRIPS untuk mengijinkan negara-negara yang mampu memproduksi obat untuk mengekspor obat tersebut ke negara-negara yang tidak memiliki kemampuan memproduksi obat pada tahun 2003. Kesepakatan yang dibuat berdasarkan keputusan Dewan umum TRIPS tanggal 30 Agustus 2003 tersebut merupakan dasar hukum yang kuat untuk melaksanakan lisensi wajib di negara-negara terbelakang yang tidak mempunyai atau kurang mempunyai kemampuan dalam memproduksi obat atau disebut keputusan tentang pelaksanaan Paragraf 6 Dekalarasi Doha. Pada tahun 2005, anggota WTO sepakat untuk memperkuat keputusan tahun 2003 dengan mengamandemen perjanjian TRIPS. Ada dua pasal yang ditambahkan di dalam perjanjian TRIPS berdasarkan keputusan negara-negara WTO, yaitu: a) Penambahan pasal 31 bis sesudah pasal 31 di perjanjian TRIPS yang lama. 37 Pasal ini berisikan ketentuan secara umum mengenai cara melaksanakan lisensi wajib baik bagi negara pengimpor maupun bagi negara pengekspor. Ketentuannya tidak jauh berbeda dengan Keputusan Dewan Umum TRIPS tahun 2003 yang telah dibahas di dalam sub bab sebelumnya. Salah satu ketentuan yang sangat penting dari pasal 31 bis adalah terkait dengan remuneration atau pembayaran royalti kepada pemegang paten yang patennya digunakan untuk memproduksi obat berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam sistim paragraf 6.38 b) Penambahan annex sesudah pasal 73 perjanjian TRIPS yang lama. 39 Sampai dengan dikeluarkannya amandemen perjanjian TRIPS, tercatat sudah ada 3 negara yang menyatakan bahwa hokum nasional mereka 37
Lihat Attachment Protocol Amending The TRIPS Agreement (point 1) Lihat Annex To The Protocol Amending The TRIPS Agreement, Article 31 bis angka 2. 39 Lihat Attachment Protocol Amending The TRIPS Agreement (point 1). 38
34
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
telah siap melaksanakan ketentuan dalam sistim paragraf 6, yaitu Norwegia, Kanada dan India. 40 Sedangkan negara-negara lainnya seperti Korea dan Uni Eropa sedang menunggu pemberlakuan uu nasional yang akan mendukung pelaksanaan lisensi wajib untuk keperluan pasar non-domestik. Sekelompok negara maju mengumumkan bahwa mereka tidak akan menggunakan sistim paragraph 6 untuk mengimpor obat.41 Sedangkan kelompok negara lainnya seperti, Hong Kong China, Israel, Korea, Kuwait, Macao China, Meksiko, Qatar, Singapura, China Taipei, Turki dan Uni Emirat Arab mengumumkan bahwa mereka menggunakan sistim paragraph 6 hanya untuk keadaan darurat dan sangat sangat mendesak di sektor kesehatan masyarakat.42
E. Kesimpulan Deklarasi Doha merupakan salah satu agenda penting di dalam membicarakan keterkaitan antara perlindungan paten obat dan akses masyarakat terhadap obat esensial. Melalui Deklarasi Doha, negara-negara berkembang mencapai tujuan utama mereka untuk mencari penjelasan terhadap penafsiran the TRIPS Safeguards. Keputusan Dewan Umum TRIPS tahun 2003 memegang peranan yang sangat penting untuk memberikan landasan yang fleksibel terhadap pelaksanaan lisensi wajib seperti diamanatkan oleh Deklarasi Doha. Terlepas dari dua peristiwa penting tersebut, Amandemen perjanjian TRIPS tahun 2005 merupakan lambang keberhasilan yang nyata dari usaha negara berkembang untuk mendapatkan status hukum yang kokoh terhadap keterkaitan antara perlindungan paten obat dengan akses masyarakat terhadap obat esensial. Melalui amandemen tersebut, topik hubungan HKI dengan kesehatan masyarakat, yang sebelumnya selalu multitafsir, mencapai bentuknya yang permanen. Di masa yang akan datang, keberhasilan pelaksanaan lisensi wajib dalam mengatasi masalah keterbatasan akses masyarakat terhadap obat 40
WTO website, Members OK Amendement To Make Health Flexibility Permanent (2005 Press Release), http: http://www.wto.org/english/news_e/pres05_e/pr426_e.htm (terakhir kali diakses tanggal 5 November 2008) 41 Id. 42 Id.
35
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
esensial akan sangat tergantung dengan keadaan ekonomi dan kehendak politik dari anggota WTO itu sendiri. Jika pelaksanaan lisensi wajib tidak didukung oleh kebijakan yang komprehensif di bidang kesehatan masyarakat, keberadaan pasal 31 bis hasil amandemen perjanjian TRIPS tahun 2005 menjadi tidak berarti.
36
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
DAFTAR PUSTAKA Ansari, Nabila, International Patent Rights in a Post – Doha World, 11 International Trade Law Journal 57, 9 (2002). Attaran, Amir, How Do Patents and Economic Policies Affect Access to Essential Medicines in Developing Countries? Health Affairs, Volume 23, number 3, http://content.health affairs. org/cgi/reprint/23/3/155 (03/21/06). Bala, K. and Kiran Sagoo, Patents and Prices, at 1-4, http://www.haiweb.org /pubs/ hainews/ patents % 20and %20Prices .html (April/May 2000). Bale, Jr, Harvey E., Patents and Public Health: a Good and Bad Mix? http://www.Cnehealth .org/pubs/bale_patents_and_public_health.htm. Barbosa, Stephanie A., Implementation of the Doha Declaration: Its Impact on American Pharmaceuticals, 36 Rutgers Law Journal 205, 4 (2004). Challu, Pablo, The Consequences of Pharmaceutical Product Patenting, 15 (2) World Competition (1991). Chambouleyron, Andres, La Nueva Ley de Patentes Y Su Efecto Sobre Los Precios de Los Medicamentos. Analisis Y Propuestas (The New Law of Patents and Their Effects on the Prices of Medicines. Analysis and Answer), 18 (75) Estudios (1995). Correa, Carlos M, 2000, Intregrating Public Health Concerns Into Patent Legislation in Developing Countries, Geneve, South Center. -------------------, The Implications of the Doha Declaration on the TRIPS Agreement and Public Health, Health Economics and Drugs EDM Series No.12, June 2002, hal. 2 (dalam DGDFC and WHO, Informal Technical Discussion on the TRIPS Agreement and Public Health, Jakarta, May 31 – June 1, 2004).
37
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
DGDFC and WHO, 2000, The Trips Agreement And Pharmaceuticals, Report of an ASEAN Workshop on the TRIPS Agreement and its Impact on Pharmaceuticals, Jakarta 2-4 May 2000. Drahos, Peter and John Braithwaite, Intellectual Property, Corporate Strategy, Globalization: TRIPS in Context, 20 Wisconsin International Law Journal 451, (1-15) 2002. Gerster, Richard, People Before Patents-The Success Story of the Indian Pharmaceutical Industry, http://www.gersterconsulting.ch/docs/India%20_Pharma_ Success_ Story.pdf. Hoen,
Ellen t’, Public Health and International Law: TRIPS, Pharmaceutical Patents, And Access to Essential Medicines: A Long Way From Seattle To Doha, 3 Chicago Journal of International Law 27, 6 (2002).
Kim, Sang-Gon, Kong-Kyun Ro and Pyung-Il Yu, Intellectual Property Protection Policy and Technology Capability, 21 (2) Science and Public Policy (1994). Lippert, Owen, Poverty, Not Patents, is the Problem in Africa, http;//www. cnehealth.org/pubs/lippert_poverty_not_ patents.htm. Mayne, Ruth, The Global Campaign on Patents and Access to Medicines: An Oxfam Perspective, dalam Peter Drahos dan Ruth Mayne, 2002, Global Intellectual Property Rights Knowledge, Access And Development, New York, Palgrav Macmillan Oxfam. Mercurio, Bryan C., TRIPS, Patents, and Access to Life Saving Drugs in the Developing World, 8 Marquette Intellectual Property Law Review 211, 1 (2004). Murthy, Divya, The Future of Compulsory Licensing: Deciphering the Doha Declaration on the TRIPS Agreement and Public Health, 17 American University International Law Review 1299, 5 (2002).
38
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Nogues, Julio, Patents and Pharmaceutical Drugs: Understanding the Pressures on Developing Countries, 24 (6) Journal of World Trade (1990). ------------------, Social Costs and Benefits of Introducing Patent Protection for Pharmaceutical Drugs in Developing Countries, 31 (1) Developing Economies (1993). Peterson Kirsten, Recent Intellectual Property Trends in Developing Countries, 33 Harvard International Law Journal, 277, 1 (1992). Ragavan, Srividhya, Can’t We All Get Along? The Case For A Workable Patent Model, 35 Arizona State Law Journal 117, 21-22 (2003). Rogers, Jennifer May, The TRIPS Council’s Solution To the Paragraf 6 Problem: Toward Compulsory Licensing Viability for Developing Countries, 13 Minnesota Journal of Global Trade 443, 4 (2004). Rozek, Richard P., The Consequences of Pharmaceutical Product Patenting: A Critique, 16 (3) World Competition Law & Economic Review (1993). Subramanian, A., Trade-Related Intellectual Property Rights and Asian Developing Countries: An Analytical View, Paper presented at the Conference on Emerging Global Trading Environment and Developing Asia, Manila, Philippines, 29-30 May. ----------------------, Putting Some Numbers on the TRIPS Pharmaceutical Debate, 10 (2-3) International Journal of Technology Management (1995). United Nations Conference On Trade And Development (UNCTAD), 1996, The TRIPS Agreement And Developing Countries, Geneva, United Nations Publication. Watal, Jayashree, Introducing Product Patents in the Indian Pharmaceutical Sector-Implications for Prices and Welfare, 20 (2) World Competition Law and Economic Review (1996).
39
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
WHO Essential Drug and Medicines Policy, 2001, Network For Monitoring The Impact Of Globalization And Trips On Access To Medicines Report of a meeting February 2001, Bangkok, Thailand, Health Economics and Drugs, EDM Series No.11, WHO/EDM/PAR/2002.1.WHO.2002. Williams, Mariama, The TRIPS and Public Health Debate: An Overview, International Gender and Trade Network, at http://www.genderandtrade.net/wto/TRIPS _PublicHealth.Pdf (August 2001). WTO Website, Members OK Amendement To Make Health Flexibility Permanent (2005 Press Release), http: http://www.wto.org/english/news_e/pres05_e/pr426_ e.htm (terakhir kali diakses tanggal 5 November 2008).
40
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
PERAN OMBUDSMAN DALAM MEWUJUDKAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI WARGA MASYARAKAT Kustadi
Abstract The existence of Ombudsman in Indonesia is a necessity. The Ombudsman’s roles are to enhance legal protection to citizens from malaadministration committed by public officials or public bodies, and to enhance the accountability of public officials or public bodies as well. Ombudsman is a complement to other legal remedies either judicial or non-judicial in protecting citizens from administrative wrongful acts. Keywords: Ombudsman; Malaadministration
Legal
Protection
of
Citizens;
A. Pengantar Kehadiran Ombudsman dalam kehidupan masyarakat Indonesia merupakan dambaan bagi setiap warga masyarakat, hal ini dikarenakan lembaga ini merupakan salah satu lembaga kontrol terhadap tindakantindakan pejabat Pemerintah. Di Indonesia sebetulnya telah dikenal adanya beberapa lembaga kontrol terhadap tindakan-tindakan Pejabat Pemerintah, misalnya kontrol yudisial (judicial control) yang dilakukan oleh Peradilan Umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), kontrol politik (political control) yang dilakukan oleh DPR, kontrol sosial (social control) yang dilakukan pers, kontrol yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap tindakan-tindakan Pejabat dalam pembuatan peraturan perundangundangan (Regeling) yang dianggap merugikan warga masyarakat, gugatan ini dikenal dengan gugatan judicial review. Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan juga ada semacam kontrol yang dapat digunakan oleh warga masyarakat yang merasakan 41
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
dirugikan kepentingannya yaitu melalui upaya keberatan maupun banding administratif (Administratief Beroep). Yang dimaksud dengan keberatan adalah upaya administratif yang dilakukan oleh warga masyarakat bila merasa kepentingannya dirugikan akibat tindakan pejabat Pemerintah dengan cara melakukan keberatan yaitu mendatangi dan menanyakan langsung kepada pejabat yang melakukan tindakan tadi, sedangkan yang dimaksud dengan banding administratif adalah jika seseorang yang merasa dirugikan kepentingannya maka ia dapat mendatangi atau mempertanyakan kepentingannya kepada atasan pejabat yang melakukan tindakan tadi. Kehadiran berbagai lembaga di atas adalah bertujuan agar pejabat Pemerintah tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan warga masyarakat atau dengan kata lain kehadiran berbagai lembaga tersebut adalah untuk memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dari tindakan-tindakan Pejabat Pemerintah yang dianggap merugikan warga masyarakat. Meskipun sudah ada lembaga-lembaga kontrol tersebut di atas, namun kehadiran lembaga Ombudsman masih diharapkan karena masyarakat menghendaki adanya suatu lembaga kontrol yang benar-benar dapat memberikan perlindungan hukum dengan secara mudah dan dapat dipercaya. Kehadiran Ombudsman memang sangat diharapkan mengingat lembagalembaga yang lain sudah dianggap tidak lagi dapat memberikan perlindungan hukum. Meskipun kehadiran Lembaga Ombudsman hampir berusia 9 tahun, namun demikian perannya belum begitu dikenal secara luas dalam masyarakat. Oleh karena itu perlu dilakukan sosialisasi sehingga masyarakat luas mengenalnya dengan baik. Semula keberadaan lembaga Ombudsman diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000, tentang Komisi Ombudsman Nasional, namun mengingat kedudukan Keppres dalam sistem Peraturan PerundangUndangan adalah tidak jelas maka telah diusahakan agar pengaturan lembaga ini diatur dalam Undang-Undang Dasar. Usaha perjuangan untuk pengaturan lembaga Ombudsman ke dalam konstitusi ternyata belum berhasil. Selanjutnya untuk memperkokoh kedudukan lembaga ini maka pada tanggal 7 Oktober 2008 Presdien RI telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Pasal 1 angka 1 UU Nomor 37 Tahun 2008 menyebutkan bahwa Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi 42
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
B. Ombudsman Terlebih dahulu akan dikemukakan apakah lembaga Ombudsman itu? Lembaga Ombudsman berasal dari negara Swedia. Secara harafiah istilah Ombudsman dimaksudkan sebagai wakil atau kuasa yang diserahi kepercayaan, dalam hal ini ialah wakil atau kuasa dari parlemen yang diserahi kepercayaan melakukan kontrol terhadap Pemerintah. 43 Kontrol yang dilakukan oleh Ombudsman ini dengan cara menerima keluhan yang disampaikan oleh warga masyarakat sebagai akibat tindakan pejabat Pemerintah yang dirasakan merugikan kepentingannya. Prosedur penyampaian keluhan oleh warga masyarakat adalah sangat sederhana karena tidak dibutuhkan prosedur yang kaku tetapi mudah bagi warga masyarakat untuk menyampaikan keluhannya, misalnya cukup dilakukan secara tertulis atau lisan tanpa formalitas yang berliku-liku cukup dikirim melalui pos atau disampaikan secara langsung pada kantor Ombudsman. Selanjutnya Ombudsman menindak lanjuti keluhan tadi dengan cara melakukan inspeksi terhadap instansi pemerintah. Atas tindakan yang dilakukan oleh Ombudsman tadi maka instansi pemerintah tidak dibolehkan menghalang-halangi Ombudsman untuk meneliti segala berkas dengan dalih bahwa hal itu merupakan rahasia negara. Hasil dari pemeriksaan ini kemudian Ombudsman menyampaikan rekomendasi kepada Pejabat Pemerintah yang dikeluhkan warga masyarakat tadi serta membuat laporan kepada Parlemen dan mempublikasikan hasil pekerjaannya agar dapat diketahui masyarakat secara luas. Sistem Ombudman yang demikian sederhana ini sudah menjadi bagian dari sejarah kehidupan kenegaraan Swedia karena lembaga Ombudsman telah dikenal 43
PAULUS EFFENDIE LOTULUNG, BEBERAPA SISTEM TENTANG KONTROL SEGI HUKUM TERHADAP PEMERINTAH 76 (1986).
43
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
sejak tahun 1713. Pada tahun 1713 raja Charles XII mengumumkan bentuk “Supreme Representative of the King”, lembaga ini memiliki tugas untuk melakukan kontrol terhadap pejabat-pejabat Pemerintah. Oleh karena itu badan ini merupakan bagian dari eksekutif, sehingga dirasakan kurang efektif dalam menangani perlindungan hukum bagi warga masyarakat. Oleh karena itu melalui perubahan konstitusi maka pada pada tahun 1809, dibentuk lembaga baru yang disebut “Justitie Ombudsman” yang merupakan tangan kanan parlemen Swedia (Riksdag).44 Keberhasilan sistem Ombudsman ini telah mendorong untuk ditiru oleh berbagai negara seperti Inggris, Selandia Baru, Canada, Jerman, Perancis, Veneszuela, Belanda, Philipina, Norwegia. 45
C. Pendirian Lembaga Ombudsman Di Indonesia Wacana mengenai pendirian lembaga Ombudsman di Indonesia telah cukup lama tumbuh di antara para tokoh pemikir di Indonesia, hal ini dimulai dari pemikiran P.K Ojong yang ditulis dalam rubrik “Kompasiana” pada Harian Umum Kompas, edisi tanggal 10 Pebruari 1967, yang mengemukakan perlunya pendirian lembaga Ombudsman di Indonesia. Selanjutnya Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, seorang pakar sosiologi hukum, juga mengemukakannya dalam harian Kompas tanggal 16 Januari 1976 yang inti tulisannya memandang penting dibentuknya Lembaga Ombudsman di Indonesia sebagai alat kontrol masyarakat terhadap Pemerintah. 46 Dorongan untuk pembentukan Lembaga Ombudsman di Indonesia semakin meningkat sejak berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto. Pada saat pemerintahan Presiden B.J Habibie telah melakukan rintisan untuk memikirkan berdirinya Lembaga Ombudsman di Indonesia. Kehadiran lembaga ini merupakan desakan dari masyarakat yang menuntut agar dibentuk suatu lembaga yang dapat memberikan perlindungan hukum dari tindakan-tindakan pejabat yang dirasakan merugikan dirinya, sementara itu
44
PHILIPUS M. HADJON, PERLINDUNGAN HUKUM BAGI RAKYAT DI INDONESIA 8 (1987). 45 Id., 78-79. 46 GALANG ASMARA, OMBUDSMAN NASIONAL DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, 10-11 (2005).
44
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
kepercayaan masyarakat terhadap berbagai kontrol terhadap sikap tindak pejabat dirasakan kurang berperan dengan baik. Rintisan yang dilakukan oleh Presiden B.J Habibie dengan menugaskan kepada Prof. Dr. Sunaryati Hartono, SH untuk melakukan studi banding mengenai Ombudsman di beberapa negara Eropa pada bulan Januari 1999. Usaha ini dilanjutkan dengan seminar tentang “Fungsi Ombudsman Dalam Negara Demokrasi” yang berlangsung di Jakarta tanggal 23-24 Agustus 1999, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) departemen Kehakiman Republik Indonesia bekerjasama dengan The Internasional Center for Legal Cooperation of The Netherlands. Setelah Presiden B.J Habibie tidak lagi berkuasa maka keinginan untuk mendirikan lembaga Ombudsman dilanjutkan oleh Presiden K.H Abdurrachman Wahid (Gus Dur) dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman, tim ini diketuai oleh Antonius Sujata. Dalam konsideran Keppres tersebut menyebutkan bahwa perlunya dibentuk lembaga Ombudsman adalah untuk lebih meningkatkan pemberian perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat dari perilaku penyelenggara negara yang tidak sesuai dengan kewajiban hukumnya, dengan memberikan kesempatan kepada anggota masyarakat yang dirugikan untuk mengadu kepada suatu lembaga independen yang dikenal dengan nama Ombudsman. Tugas utama yang dibebankan kepada tim adalah menyususn Rancangan Undang-Undang tentang Ombudsman dan melakukan langkahlangkah persiapan serta penyebarluasan pemahaman mengenai lembaga Ombudsman. Waktu yang diberikan untuk menyelesaikan tugas tersebut adalah 3 (tiga) bulan sejak Keppres tadi ditetapkan pada tanggal 8 Desember 1999, namun pada bulan Maret 2000 Presiden Gus Dur telah menerbitkan Keppres Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, dan mengangkat anggota Ombudsman sebanyak 8 orang yang diketuai oleh Antonius Sujata. Dengan demikian maka sejak ditetapkannya Keppres Nomor 44 Tahun 2000 pada tanggal 10 Maret 2000 telah berdiri Komisi Ombudsman Nasional. Sebagaimana penulis kemukakan di muka bahwa pembentukan Lembaga Ombudsman ini dilatar belakangi adanya tuntutan agar terwujud adanya perlindungan hukum bagi warga masyarakat dari tindakan-tindakan pejabat Pemerintah. Hal ini nampak pada konsideran Keppres 44 Tahun 2000 45
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
menyebutkan bahwa latar belakang pembentukan lembaga Ombudsman ini didasarkan atas tiga pemikiran dasar: a. bahwa, pemberdayaan masyarakat melalui peranserta mereka melakukan pengawasan akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme; b. bahwa, pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan negara merupakan implementasi demokrasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi; c. bahwa, dalam penyelenggaraan negara khususnya penyelenggaraan pemerintahan memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Mengingat dasar hukum dalam pembentukan Lembaga Ombudsman di atas sangat lemah karena hanya diatur dalam Keputusan Presiden, terlebih lagi dengan terbitnya UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sudah tidak dikenal lagi Keputusan Presiden yang materi muatannya adalah peraturan (regeling). Sehubungan itu ada usulan-usalan agar kedudukan lembaga tersebut diatur dalam UndangUndang Dasar. Berangkat dari pemikiran tersebut maka Ketua Komisi Ombudsman Nasional telah menyusun draft untuk dituangkan dalam UUD pada saat MPR melakukan Amandemen UUD 1945. Draft tersebut berbunyi : Pasal xxx (1) Demi terselenggaranya pemerintahan yang baik, dan pelayanan kepada masyarakat yang lancar, tepat waktu, adil dan santun sesuai dengan hak-hak masyarakat dan hukum yang berlaku, diadakan lembaga Ombudsman Nasional, yang independen dan tidak memihak, guna mengawasi pelaksanaan administrasi pemerintahan oleh aparatur negara, penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat oleh lembaga-lembaga yang termasuk dalam sistem peradilan serta pemberian pelayanan kepada masyarakat banyak oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan dan/ atau lembaga ekonomi. (2) Tugas, kewenangan, kedudukan, pemilihan dan pengangkatan Ombudsman Nasional diatur lebih lanjut dengan UndangUndang. 46
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Draft ketentuan tersebut sudah diajukan kepada Ketua Panitia Ad Hoc I (PAH I) MPR sebelum sidang Tahunan 2001, namun ternyata perjuangan untuk menuangkan ketentuan Ombudsman kedalam UUD 1945 belum berhasil. Meskipun perjuangan untuk mengatur lembaga Ombudsman ke dalam UUD 1945 belum berhasil, namun Komisi Ombudsman Nasional telah berhasil membuat RUU tentang Ombudsman Nasional. Draft tersebut telah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 15 Mei 2001. Perjuangan untuk pengaturan Lembaga Ombudsman telah menuai hasil karena pada tanggal 7 Oktober 2008, Presiden Republik Indonesia telah mengesahkan Menjadi UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. UU ini telah memberikan kedudukan hukum lembaga Ombudsman semakin kokoh. Konsideran UU nomor 37 Tahun 2008 menyebutkan: a. bahwa, pelayanan kepada masyarakat dan penegakan hukum yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien guna meningkatkan kesejahteraan serta menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa, pengawasan pelayanan yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan merupakan unsur penting dalam upaya menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien serta sekaligus merupakan implementasi prinsip demokrasi yang perlu ditumbuhkembangkan dan diaplikasikan guna mencegah dan menghapuskan penyalahgunaan wewenang oleh aparatur penyelenggaran negara dan pemerintahan; c. bahwa, dengan memperhatikan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat agar terwujud aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, bersih, terbuka serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, perlu dibentuk lembaga Ombudsman Republik Indonesia.
D. Peran Ombudsman Sebagaimana penulis kemukakan di muka bahwa Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Ombudsman adalah lembaga 47
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah. Dari rumusan di atas dapat dijelaskan bahwa Ombudsman adalah: a. Sebagai lembaga negara dengan demikian lembaga ini memiliki kedudukan yang setingkat dengan lembaga negara yang lainnya, oleh karena itu lembaga Ombudsman bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen artinya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut atau digugat di muka pengadilan (Pasal 10). Namun demikian Ombudsman dalam melaksanakan wewenangnya dilarang untuk mencapuri kebebasan hakim dalam memberikan putusan (Pasal 9). b. Ombudsman memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Kewenangan yang dimiliki oleh lembaga Ombudsman dalam melakukan pengawasan dapat dikategorikan sebagai wewenang atributif yang artinya kewenangan yang diciptakan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 25 Tahun 2009 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundangundangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. c. Cakupan yang menjadi obyek pengawasan yang dilakukan oleh lembaga Ombudsman adalah sangat luas karena Ombudsman memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintah termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, dan BHMN serta badan swasta atau perseorangan (yang sebagain atau seluruh danyanya bersumber dari APBN dan/atau APBD) yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik.
48
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Sehubungan dengan tugas pengawasan yang dilakukan oleh Ombudsman di atas maka dalam menjalankan tugas dan wewenangnya berasaskan: a. kepatutan; b. keadilan; c. non-diskrimantif; d. tidak memihak; e. akuntabilitas; f. keseimbangan; g. keterbukaan; dan h. kerahasiaan.
a. b.
c.
d.
e.
Ombudsman bertujuan : mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera; mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme; meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin bik; membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk memberantas dan pencegahan praktik-praktik Maladministrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi serta nepotisme; meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.
Ombudsman memiliki tugas, sebagai berikut : a. menerima laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Yang dimaksud dengan maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan Pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang peseorangan. b. melakukan pemeriksaan substansi atasLaporan; c. menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman; d. melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; 49
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
e. melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembagapemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan; f. membangun jaringan kerja; g. melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelnggaraan pelayanan publik; dan h. melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.
a.
b. c.
d. e. f.
g.
Wewenang Ombudsman meliputi: meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman; memeriksa keputuan, surat-surat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu laporan; meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi manapun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor; melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan laporan; menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak; membuat rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk rekomendasi untuk membayar anti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan; demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan rekomendasi.
Selain wewenang tersebut, Ombudsman berwenang untuk: a. menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atauprosedur pelayanan publik; b. menyampaikan saran kepada dewan Perwakilan Rakyat dan/atau dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap undangundang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah Maladministrasi. E. Tata Cara Pemeriksaan dan Penyelesaian Laporan Setiap warga negara Indonesia atau penduduk berhak menyampaikan laporan kepada Ombudsman jika merasa dirugikan akibat adanya 50
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Maladministrasi yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintah ataupun pejabat dilingkungan BUMN, BUMD maupun BHMN. Laporan yang disampaikan tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memuat nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, status perkawinan, pekerjaan, dan alamat lengkap Pelapor; b. memuat uraian peristiwa, tindakan, atau keputusan yang dilaporkan secara rinci; c. sudah menyampaikan Laporan secara langsung kepada pihak terlapor atau atasanya, tetapi laporan tersebut tidak mendapat penyelesaian sebagaimana mestinya. Yang dimaksud dengan “sebagaimana mestinya” adalah pihak Terlapor memperlambat penyelesaian , tidak dilakukan penyelesaian menurut prosedur internal di instansi Terlapor, tanggapan atau tindak lanjut belum menyelesaikan Maladministrasi yang terjadi atau sama sekali tidak memperoleh tanggapan. Sehubungan dengan keadaan tertentu maka nama dan identitas pelapor dapat dirahasiakan, demikian pula dalam keadaan tertentu , penyampaian Laporan dapat dikuasakan kepada pihak lain. Dalam hal ini yang dikuasakan kepada pihak lain dimana penerima kuasa tidak harus advokat atau orang mempunyai kualifikasi tertentu sebagaimana dipersyaratkan dalam beracara di pengadilan. Untuk pelaporan yang dilakukan oleh warga masyarakat atau penduduk adalah peristiwa, tindakan atau keputusan yang dikeluhkan atau dilaporkan tersebut belum lewat 2 (dua) tahun sejak peristiwa, tindakan atau keputusan yang bersangkutan terjadi. Berdasarkan laporan yang diterima oleh Ombudsman maka Ombudsman akan melakukan pemeriksaan. Jika dalam laporan yang disampaikan kepada Ombudsman terdapat kekurangannya maka Ombudsman akan memberitahukan secara tertulis kepada Pelapor untuk melengkapinya. Untuk melengkapinya ditetapkan waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Pelapor menerima pemberitahuan dari Ombudsman harus melengkapi berkas Laporan. Jika melewati waktu 30 (tiga puluh) hari maka pelapor dianggap mencabut laporannya. Selanjutnya jika seluruh berkas sudah lengkap maka Ombudsman segera melakukan pemeriksaan substantif, dan berdasarkan pemeriksaan substantif tersebut Ombudsman dapat menetapkan bahwa Ombudsman : (a) tidak berwenang melanjutkan pemeriksaan; atau (b) berwenang melanjutkan pemeriksaan. 51
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Dalam hal Ombudsman tidak berwenang melanjutkan pemeriksaan maka Ombudsman memberitahukan secara tertulis kepada Pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal hasil pemeriksaan ditanda tangani oleh Ketua ombudsman, disamping itu Ombudsman dapat memberikan saran kepada Pelapor untuk menyampaikan Laporannya kepada instansi lain yang berwenang. Dalam hal Ombudsman berwenang melanjutkan pemeriksaan maka Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan dapat: a. memanggil secara tertulis Terlapor, saksi, ahli, dan/atau penerjemah untuk dimintai keterangan; b. meminta penjelasan secara tertulis kepada Terlapor; dan/atau c. melakukan pemeriksaan lapangan. Dalam rangka memeriksa laporan, Ombudsman wajib berpedoman pada prinsip independen, nondiskriminasi, tidak memihak, dan tidak memungut biaya, disamping itu Ombudsman juga wajib mendengarkan dan memperimbangkan pendapat para pihak serta mempermudah Pelapor dalam menyampaikan penjelasan. Untuk itu Ombudsman wajib menjaga kerahasiaan, kecuali demi kepentingan umum. Kewajiban untuk menjaga kerahasiaan tersebut tidak gugur setelah Ombudsman berhenti atau diberhentikan dari jabatannya. Jika dalam pemeriksaan tersebut terlapor dan saksi telah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, maka Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian Negara RI untuk menghadirkan yang bersangkutan. Dalam hal melaksanakan pemeriksaan lapangan maka Ombudsman dapat melakukan pemeriksaan ke obyek pelayanan publik tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pejabat atau instansi yang dilaporkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, ketertiban, dan kesusilaan. Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Ombudsman dapat berupa: a. menolak Laporan; atau b. menerima Laporan dan memberikan Rekomendasi.
52
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Penolakan tersebut dilakukan oleh Ombudsman dalam hal: a. Pelapor belum pernah menyampaikan keberatan tersebut baik secara lisan maupun secara tertulis kepada pihak yang dilaporkan; b. Substansi laporan sedang dan telah menjadi obyek pemeriksaan pengadilan, kecuali Laporan tersebut menyangkut tindakan Maladministrasi dalam proses pemeriksaan di pengadilan; c. Laporan tersebut sedang dalam proses penyelesaian oleh instansi yang dilaporkan dan menurut Ombudsman proses penyelesaian masih dalam tenggang waktu yang patut; d. Pelapor telah memperoleh penyeleaian dari instansi yang dilaporkan; e. Substansi yang dilaporkan ternyata bukan wewenang Ombudsman; f. Substansi yang dilaporkan telah diselesaikan dengan cara mediasi dan konsiliasi oleh Ombudsman berdasarkan kesepakatan para pihak; dan g. Tidak ditemukan terjadinya Maladministrasi. Jika Ombudsman menerima laporan dan memberikan rekomendasi maka rekomendasi tersebut memuat sekurang-kurangnya : a. uraian tentang laporan yang disampaikan kepada Ombudsman; b. uraian tentang hasil pemeriksaan; c. bentuk Maladministrasi yang telah terjadi; dan d. kesimpulan dan pendapat Ombudsman mengenai hal-hal yang perlu dilaksanakan Terlapor dan atasan Terlapor. Penyampaian rekomendasi tersebut dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal Rekomendasi ditandatangani oleh Ketua Ombudsman. Untuk itu Terlapor dan atasan Terlapor wajib melaksanakan rekomendasi Ombudsman. Atasan terlapor wajib menyampaikan laporan kepada Ombudsman tentang pelaksanaan rekomendasi yang telah dilakukannya disertai hasil pemeriksaannya dalam waktu paling lambat 60 (enampuluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya rekomendasi. Ombudsman dapat meminta keterangan Terlapor dan/atau atasannya dan melakukan pemeriksaan lapangan untuk memastikan pelaksanaan rekomendasi. Jika ternyata terlapor dan atasan terlapor tidak melaksanakan rekomendasi atau hanya melaksanakan sebagian rekomendasi dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh Ombudsman maka Ombudsman dapat mempublikasikan atasan terlapor yang tidak melaksanakan rekomendasi dan menyampaikan laporan kepada DPR dan Presiden. Atas pelanggaran ketentuan tersebut maka terlapor dan atasan terlapor dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 53
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Ombudsman menyampaikan laporan berkala dan laporan tahunan kepada DPR dan Presiden, untuk laporan berkala disampaikan setiap 3 (tiga) bulan sekali dan laporan tahunan disampaikan pada bulan pertama tahun berikutnya. Disamping itu Ombudsman juga dapat menyampaikan laporan khusus kepada DPR dan Presiden. Untuk laporan tahunan dipublikasikan setelah disampaikan kepada DPR dan Presiden.
F. Penutup 1. Kehadiran Ombudsman di Indonesia adalah sangat dibutuhkan oleh warga masyarakat dalam rangka melakukan pengawasan terhadap layanan publik yang dilaksanakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang dilakukan di lingkungan BUMN, BUMD dan BHMN. 2. Ombudsman sebagai lembaga negara memiliki kedudukan dan wewenang yang yang sangat kuat sehingga diharapkan Ombudsman dapat memberikan perlindungan bagi kehidupan warga masyarakat. 3. Jika hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Ombudsman adalah menerima laporan dan memberikan rekomendasi maka rekomendasi tersebut wajib dilaksanakan oleh terlapor maupun atasan terlapor, untuk itu Ombudsman akan memantau pelaksanaannya dan jika terlapor maupun atasan terlapor tidak melaksanakan maka diancam dengan sanksi administrasi. 4. Ombudsman memberikan laporan berkala maupun tahunan kepada DPR dan Presiden, dan setelah itu laporan tahunan tersebut dipulikasikan.
54
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
DAFTAR PUSTAKA Galang Asmara, Ombudsman Nasional Dalam sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2005. Hadjon, Philipus M, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987. ________________ (editor), Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press,Yogyakarta, 1994. Lotulung, Paulus Efendie, Beberapa sistem Kontrol Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Buana Pancakarsa, Jakarta, 1986. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
55
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
56
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
HAL-HAL YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA KASUS KORUPSI PENGADAAN BUKU AJAR TAHUN 2003 DI KOTA SALATIGA DAN PENANGANANNYA M. Haryanto
Abstract There are several factors affecting corruption practice committed in textbooks procurement project 2003-2004 (notoriusly known as Kasus Buku BP) in Salatiga. This case is highly political matters. It involves many political and governmental leaders in Salatiga. Legal process of this case was fail to consider this situation. The author suggests that the legal process should also proof the involvement of the intellectual actors of this case. Keywords: Politics; Corruption; Buku BP
A. Dominasi Kekuasaan Politik Legislatif Periode 1999-2004 dalam Pemerintahan Kota Salatiga Berangkat dari adagium yang menyatakan hukum merupakan produk politik, maka bekerjanya hukum tidak dapat dilepaskan dari pengaruhpengaruh politik yang membentuknya. Demikian halnya mengenai segala hal terkait dengan bekerja serta berfungsinya kekuasaan/kewenangan yang merupakan jelmaan kehendak politik, maka berjalan serta bergeraknya fungsi-fungsi pemerintahan daerah tidak terkecualikan pula dari jamahan campur tangan politik. Singkatnya tiada sedikit ruangpun tersisa dalam nafas pemerintahan suatu daerah tanpa campur tangan dan pengaruh kepentingan-kepentingan politik. Meskipun demikian, dapat saja pengaruh dan campur tangan politik yang pada hakekatnya merupakan representasi dari kehendak mulia amanah 57
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
masyarakat, seringkali menjadi faktor negatif yang kontra produktif dengan misi mulia yang diembannya. Mendasarkan pada paparan dimaksud, disadari maupun tidak apabila dikaitkan dengan Proyek Pengadaan Buku Teks Wajib untuk SD/MI, SLTP/MTs, SMU/MA/SMK (untuk selanjutnya disebut Pengadaan Buku Ajar) yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kota Salatiga Tahun 2003, sebenarnya dan sudah semestinya diduga paralel, erat bersinggungan dengan konstelasi politik yang ada pada saat itu. Tentu hal ini tidak hanya merupakan sekedar dugaan, mengingat proyek Pengadaan Buku Ajar merupakan proyek yang bernilai sangat besar bahkan terbesar yang pernah dilaksanakan di Kota Salatiga. Kiranya perlu disampaikan pandangan untuk menjelaskan mengenai kaitan konstelasi kekuatan dan kekuasaan politik Kota Salatiga pada saat dilaksanakannya proyek Pengadaan Buku Ajar Tahun 2003, sehingga mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi. Era reformasi pada Tahun 1999 membawa dampak pergeseran dari prinsip pembagian ke pemisahan kekuasaan yang dianut dalam UUD 1945 telah membawa implikasi pada pergeseran kedudukan dan hubungan tata kerja antar Lembaga Negara dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara maupun pemerintahan Daerah, baik dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Wujud lebih lanjut dari pergeseran tersebut, tampak pula dengan adanya proses rekruitmen anggota DPR atau DPRD dalam pemilu. Sebagai lembaga yang memegang kekuasaan legislatif dengan fungsifungsinya berupa pembentuk undang-undang, budgeting dan pengawasan, proses rekruitmen yang dilakukan adalah melalui Pemilu langsung pada hakekatnya dimaksudkan untuk mewujudkan asas kedaulatan rakyat. Sehingga dengan demikian diharapkan demokrasi semakin berkembang dan legitimasi DPR atau DPRD makin kuat. Konsekuensinya adalah tidak ada lagi anggota DPR atau DPRD yang diangkat. Hal itu sesuai dengan paham demokrasi perwakilan yang mendasarkan keberadaannya pada prinsip perwakilan atas dasar pemilihan (representation by election). Ketika berbicara fokus hanya mengenai konteks Pemerintah Daerah saja, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik dalam tingkat Provinsi ataupun Kota/Kabupaten, memiliki fungsi legislasi, yaitu membahas RAPERDA bersama–sama dengan Pemerintah Daerah (Eksekutif). Fungsi 58
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
anggaran juga dimiliki oleh DPRD untuk bersama–sama dengan Pemerintah Daerah membahas dan juga merubah Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Berkaitan dengan fungsi pengawasan, DPRD dapat mengawasi terhadap kebijaksanaan dan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan oleh Pemerintah Kota. Kondisi ini menunjukkan betapa pada awal Tahun 1999 sampai dengan 2004, DPRD menunjukkan eksistensinya yang sangat berpengaruh di segala kebijaksanaan yang akan diambil oleh Pemerintah Daerah. Kondisi ini hampir terjadi di seluruh daerah di Indonesia, tidak terkecuali di Kota Salatiga, yang muncul termanifestasikan dalam perkara Pengadaan Buku Ajar oleh Dinas Pendidikan Kota Salatiga. Hal ini terlihat dengan fakta-fakta yang terungkap dalam proses persidangan yang menunjukkan adanya desakan kepentingan dan tekanan kekuatan legislatif terhadap eksekutif dalam kebijaksanaan serta pelaksanaan proyek.
B. Proyek Pengadaan Buku yang Sarat Kepentingan 1. Kronologi Gagasan Proyek Pengadaan Buku Proyek Pengadaan Buku Ajar di Kota Salatiga berawal dari kegiatan PT.Balai pustaka yang pada saat itu sedang gencar–gencarnya memasarkan buku–buku pendidikan di seluruh daerah di Indonesia. Melalui alat-alat pemasarannya yang terbagi dalam beberapa wilayah tertentu, PT.Balai Pustaka mencoba menjajaki kemungkinan melakukan kerjasama penjualan buku-buku yang diproduksinya melaui jalur Pemerintah Daerah. Khusus untuk wilayah pemasaran Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada saat itu menjadi tanggung jawab Sdr. Murod Irawan, sebagai salah satu Kepala Perwakilan Pemasaran PT. Balai Pustaka. Sebagai seorang Kepala Perwakilan Pemasaran PT.Balai Pustaka yang bertugas untuk mengembangkan pasar, mencari pasar, mencari pembeli dan melakukan analisa kemampuan pembeli, Sdr. Murod Irawan kemudian menjajagi pula kemungkinan kerjasama penjualan buku-buku PT.Balai Pustaka, dengan melakukan pendekatan kepada Walikota Salatiga pada saat itu.
59
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Pendekatan dimaksud kemudian mendapatkan sambutan berupa signal positip dimana Walikota Salatiga pada saat itu sebagai Pejabat Eksekutif yang pada prinsipnya merupakan penentu kebijaksanaan tidak keberatan Pengadaan Buku Ajar yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kota Salatiga Tahun 2003 dikerjasamakan dengan PT. Balai Pustaka. Namun demikian oleh karena Pengadaan Buku Ajar bukan merupakan skala prioritas dalam APBD 2003, maka Walikota Salatiga pada saat itu memandang perlu adanya Perubahan terhadap APBD untuk kemudian memasukkan Pengadaan Buku di dalam program anggaran APBD–Perubahan sebagai jalan keluar bagi terselenggara-nya proyek dimaksud. Dengan sinyal positif yang diberikan kepada PT. Balai Pustaka tersebut, Sdr. Murod Irawan kemudian melakukan lobi berupa pendekatan kepada pejabat-pejabat tertentu yang bertujuan agar dapat membantu meloloskan rencana Pengadaan Buku Ajar. Atas dasar hal tersebut 13 (tiga belas) orang anggota DPRD Salatiga, diperintahkan oleh Sdri. Sri Utami Djatmiko sebagai Ketua DPRD kota Salatiga saat itu, untuk menghadiri seminar buku yang diadakan oleh PT. Balai Pustaka di Bali. Seluruh transportasi dan akomodasi untuk menghadiri seminar tersebut ditanggung oleh PT. Balai Pustaka. Sedangkan dari lembaga Eksekutif, oleh Walikota Salatiga saat itu menugaskan Kepala Dinas Pendidikan Kota dan seorang pejabat dari Dinas Pendidikan Kota Salatiga untuk menghadiri seminar buku yang diadakan oleh Balai Pusaka pada 2 Agustus sampai dengan 5 Agustus 2003 di Bali juga atas biaya yang ditanggung oleh pihak PT. Balai Pustaka. Sepulang dari Bali, pada tanggal 6 Agustus 2003 Kepala Dinas Pendidikan Kota Salatiga, menulis surat kepada Walikota Salatiga, yang berisi laporan tentang telah dilaksanakannya perintah dari Walikota Salatiga untuk menghadiri seminar buku yang diadakan oleh Balai Pustaka pada tanggal 2 Agustus sampai dengan 5 Agustus 2003 di Bali. Hasil kunjungan menghadiri seminar buku di Bali ditindak lanjuti dalam rapat Rancangan Anggaran Belanja Daerah Perubahan 2003 (RAPBD–P 2003) pada tanggal 1 September sampai dengan 5 September 60
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
2003, antara lembaga Eksekutif dengan Legislatif di Hotel Amanda Bandungan, tetapi mengalami deadlock. Dikarenakan terjadi deadlock, kemudian Panitia Anggaran meminta tim anggaran untuk menghadirkan Walikota dan Wakil Walikota Salatiga guna turut membantu menyelesaikan masalah dimaksud, dimana setelah Walikota dan Wakil Walikota Salatiga datang dan berbicara dengan perwakilan Panitia Anggaran diruangan terpisah, pada akhirnya rapat Rancangan Anggaran Belanja Daerah Perubahan 2003 (RAPBD–P 2003) menyetujui Pengadaan Buku dengan besar anggaran Rp 17.6 milyar dan dilaksanakan dalam dua Tahun anggaran, yaitu anggaran APBD–P 2003 dan anggaran APBD 2004. Mendasarkan pada hasil keputusan Rapat RAPBD–P 2003 yang dilaksanakan tanggal 1 September sampai dengan 5 September 2003 di Hotel Amanda Bandungan tersebut, khususnya mengenai rencana proyek Pengadaan Buku Ajar selanjutnya segera ditindaklanjuti dengan menetapkan personil Ketua Panitia Pengadaan Barang (pimpinan proyek), dan sebagai pengguna anggaran adalah Dinas Pendidikan Kota Salatiga. Bahwa setelah terbentuk Kepanitiaan Pengadaan Buku Ajar oleh Dinas Pendidikan Kota Salatiga Tahun 2003, sesuai dengan arahan Sekretaris Daerah kepada para saksi yang terlibat dalam kepanitiaan Pengadaan Buku Ajar, pada tanggal 20 s/d 21 Oktober 2003, di Hotel Sari Pan Pasific Jakarta membuat seluruh dokumen yang terkait dengan proses pengadaaan buku berupa kontrak kerjasama antara Pemerintah Daerah Kota Salatiga dengan PT. Balai Pustaka untuk kegiatan Pengadaan Buku 2003 di Salatiga. Setelah ditanda tangani kontrak, selanjutnya dalam rapat-rapat yang diadakan di ruang Sekda, Panitia mengusulkan adanya denda apabila ada keterlambatan oleh PT. Balai Pustaka, tetapi justru dalam rapat-rapat yang diadakan di dalam ruang Sekda dan kemudian dilanjutkan di ruang BAPEDDA, yang dihadiri oleh Tim Pengkaji dan beberapa Pejabat penting di lingkungan Pemkot, diputuskan bahwa kepada PT. Balai Pustaka tidak dilakukan denda sebagaimana mestinya dan justru setelah ada keterlambatan dilakukan Addendum memperpanjang masa kontrak dari 50 hari menjadi 180 hari.
61
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
2. Pengaruh Murod Irawan dalam Pengadaan Buku di Kota Salatiga Apabila dicermati keterangan para saksi dalam kasus Pengadaan Buku di Salatiga maka dapat dilihat dengan mudah bahwa proyek Pengadaan Buku Ajar yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kota Salatiga Tahun 2003, adalah tidak lepas dari pengaruh Murod Irawan terhadap Pejabat Eksekutif dan Pimpinan Lembaga Legislatif Pemerintah Kota Salatiga. Indikasi pengaruh Sdr. Murod Irawan kepada Pejabat Eksekutif dan Pimpinan Lembaga Legislatif terlihat dari begitu banyak kejanggalankejanggalan yang berupa pelanggaran terhadap proses penganggaran, perencanaan, dan pelaksanaan proyek, bahkan persiapan-persiapan dalam proses Pengadaan Buku Ajar di Salatiga, baik yang diselenggarakan di Salatiga maupun di luar Salatiga yang dibiayai oleh Sdr. Murod Irawan. Dari fakta yang dilakukan oleh Sdr. Murod Irawan tersebut, meskipun di Salatiga tidak pernah disusun RASK mengenai proyek Pengadaan Buku Ajar, oleh pengguna anggaran, akan tetapi Proyek Pengadaan Buku Ajar tetap dapat dilaksanakan. Hal ini tidak mungkin bisa dilaksanakan oleh pengguna anggaran tanpa ada peran dari pihak-pihak lain yang lebih berkompeten atas pengaruh Sdr. Murod Irawan. Bahwa proses Pengadaan Buku Ajar di Kota Salatiga dengan nilai kontrak sebesar Rp.17.616.665.300,- dengan masa kontrak 50 hari kerja dan pihak penyedia barang harus menyediakan total 575.962 eksemplar adalah hal yang sulit untuk dilaksanakan tepat waktu. Kondisi ini menunjukkan bahwa proyek Pengadaan Buku Ajar adalah program yang memang dipaksakan untuk ada pada saat itu juga. Hal ini terkait dengan kesepakatan yang terjadi pada waktu semiloka di Bali pada tanggal 2 Agustus sampai dengan 5 Agustus 2003, dimana dihadiri oleh pihak Balai Pustaka (Sdr. Murod Irawan), Pejabat Eksekutif dan Legislatif Kota Salatiga. Memandang fakta yang berupa sempitnya waktu pelaksanaan proyek Pengadaan Buku dimaksud, dan kehendak yang begitu besar dari keputusan Pejabat Eksekutif dan Legislatif Kota Salatiga, dapat disimpulkan bahwa kondisi sebagaimana tersebut di atas tidak bisa dipungkiri merupakan bagian dari keberhasilan Sdr. Murod Irawan sebagai Kepala Perwakilan Pemasaran PT. Balai Pustaka untuk wilayah pemasaran Jawa Tengah dan DIY dalam melakukan pendekatan untuk mempengaruhi Pejabat Eksekutif dan Pimpinan Lembaga Legislatif. 62
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Keberhasilan Sdr. Murod Irawan mempengaruhi pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam memutuskan disetujuinya Proyek Pengadaan Buku Ajar ini terbukti dengan diterimanya tawaran buku–buku terbitan PT. Balai Pustaka yang masih mengacu pada kurikulum 1994, walaupun bukubuku dengan kualifikasi kurikulum 1994 dimaksud sebenarnya di Tahun 2004 tidak akan bisa dipakai lagi. Dengan demikian dapat dipastikan buku– buku PT. Balai Pustaka hanya akan dipakai paling lama 1 (satu) Tahun ajaran. Fakta lain menunjukkan bahwa Tim Pengkaji sebagai tim yang paling awal bekerja untuk menentukan apakah suatu proyek patut untuk dijalankan atau tidak, yang seharusnya mengetahui dengan pasti tentang kondisi bukubuku yang ditawarkan Sdr. Murod Irawan, ternyata tetap menyetujui bukubuku terbitan Balai Pustaka tahun 1994 yang notabene pada tahun 2004 sudah tidak dapat dipakai lagi. Hal ini menunjukkan bahwa Tim Pengkaji dibentuk hanya sebagai sebuah formalitas yang harus melaksanakan apa maunya atasan yang telah terkontaminasi oleh pengaruhnya Sdr. Murod Irawan.
C. Tidak Dilaksanakannya Tupoksi Panitia Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya mengenai tidak berfungsinya tim dan panitia proyek Pengadaan Buku Ajar, penunjukkan Terdakwa Drs. Bakri, M.Ed dan Kadarisman, S.Pd beserta seluruh panitia proyek Pengadaan Buku Ajar Kota Salatiga Tahun 2003, baik itu Panitia Pengadaan maupun Panitia Pemeriksa adalah sekedar formalitas saja. Bahwa segala persiapan mengenai Proyek Pengadaan Buku Ajar telah tersusun sebelum Panitia Proyek Pengadaan Buku Ajar terbentuk. Hal ini terlihat dari kesaksian Drs.Bakri, M.Ed di depan persidangan bahwa pada tanggal 10 September 2003 ada arahan dari SEKDA yang pada saat itu, dijabat oleh Drs. Sutedjo, untuk mengadakan proyek Perngadaan Buku Ajar di Kota Salatiga pada Tahun 2003. Secara formil, fakta ini terbukti dari surat undangan rapat pada tanggal 10 September 2003 berkaitan dengan Rapat Sosialisasi Pengadaan Buku Ajar, atas nama Walikota Salatiga dengan tanda tangan Drs. Sutedjo, yang ditujukan kepada Drs. Bakri, M.Ed. Dengan demikian hal ini menunjukkan bahwa proyek Pengadaan Buku Ajar adalah bukan inisiatif dari 63
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
Terdakwa Drs. Bakri, M.Ed maupun Kadarisman, S.Pd melainkan dari atasan para Terdakwa. Bahwa proyek Pengadaan Buku Ajar telah direncanakan oleh pihakpihak tertentu, maka segala persiapannya juga dilaksanakan oleh mereka. Berdasarkan kesaksian Mubargo dan Wahyudi Sumanto bahwa mereka dengan didampingi oleh Drs. Petrus Resi, yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala AP3 sekaligus sebagai Tim Pengkaji, melengkapi dokumen– dokumen untuk melancarkan proyek Pengadaan Buku Ajar itu dilakukan di Hotel Sari Pan Pasific JAKARTA pada tanggal 20 Oktober 2003. Dokumen– dokumen yang dibawa ke Jakarta itu sendiri telah dipersiapkan jauh–jauh hari oleh bagian AP3. Hal ini membuat semua panitia di dalam Proyek Pengadaan Buku Ajar ini, baik itu panitia Pengadaan maupun Panitia Pemeriksa tidak melaksanakan tupoksi yang menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya. Melalui kesaksian para panitia juga diketahui bahwa semua panitia hanya sekedar menandatangani dokumen-dokumen yang sudah dipersiapkan. Kondisi ini menunjukkan bahwa sudah ada design yang ditentukan oleh para Pejabat Pemerintah Kota Salatiga di dalam proyek Pengadaan Buku ini. Keterlibatan Terdakwa Drs. Bakri M.Ed dan Kadarisman, S.Pd di dalam Proyek Pengadaan Buku Ajar tersebut hanya sebagai formalitas belaka, sehingga tupoksi tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, dan sebagai akibatnya terjadi tindak pidana korupsi Pengadaan Buku Ajar Tahun 2003 di Kota Salatiga yang menimbulkan kerugian negara yang tidak sedikit. Dalam terjadinya tindak pidana korupsi Proyek Pengadaan Buku Ajar tahun 2003, meskipun terdakwa Drs. Bakri, M.Ed dan Kadarisman, S.Pd telah diajukan ke sidang Pengadilan, dan dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam Pengadaan Buku Ajar Kota Salatiga Tahun 2003, sebenarnya mereka ”dikorbankan” sebagai yang harus mempertanggung jawabkan adanya kerugian negara yang timbul dari Proyek Pengadaan Buku Ajar Tahun 2003 tersebut, karena mereka berdua menurut saya hanya sebagai materiil dader-nya (pelaksana), sehingga dalam kasus ini seharusnya penegak hukum Kota Salatiga masih mempunyai tugas berat untuk mengungkap siapa sebenarnya intelektual dader-nya (otaknya). Kecuali penegak hukum Kota Salatiga telah puas dengan kinerjanya selama ini.
64
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
D. Kerugian Negara Akibat Kontrak Pengadaan Buku Acuan untuk menentukan adanya kerugian negara selama ini dalam tindak pidana orupsi adalah didasarkan laporan Hasil Audit Investigatif BPKP. Terkait dengan tindak pidana korupsi yang terjadi dalam Proyek Pengadaan Buku Ajar Kota Salatiga Tahun 2003, audit dilakukan oleh Auditor Investigatif BPKP Perwakilan Provinsi Jawa Tengah yang juga dijadikan rujukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam menyatakan bahwa pelaksanaan Proyek Pengadaan Buku Ajar telah menimbulkan ”kerugian keuangan Negara”. ”Pertanyaannya lebih lanjut adalah, apakah benar terjadi kerugian keuangan Negara pada pelaksanaan proyek buku dimaksud?” Apabila diperhatikan dengan seksama, bahwa hasil Audit Investigatif BPKP Perwakilan Provinsi Jawa Tengah atas Pengadaan Buku Ajar pada Dinas Pendidikan Kota Salatiga Tahun anggaran 2003 dan 2004 telah menyatakan bahwa harga Pengadaan Buku Ajar sesuai perjanjian pemborongan pekerjaan Pengadaan Buku Ajar Dinas Pendidikan Kota Salatiga Nomor 425.2/07/2003 tanggal 27 Oktober 2003 sejumlah Rp.17.616.655.300,-. Apabila diperbandingkan dengan harga wajar buku teks wajib berdasarkan standar perhitungan harga komponen cetak yang diterbitkan oleh pusat perbukuan (PUSBUK), Departemen Pendidikan Nasional, setelah diperhitungkan biaya distribusi dan packing, telah terjadi kemahalan harga sejumlah Rp.9.121.771.105,83,- sehingga dengan demikian terdapat kemahalan harga sejumlah Rp.8.494.884.194,17,-. Dari sejumlah kemahalan pembayaran pekerjaan Pengadaan Buku Ajar dimaksud setelah dikurangkan dengan biaya distribusi dan packing beserta realisasi harga wajar, bantuan alat peraga yang diberikan kepada Pemerintah Kota Salatiga maka didapati kerugian Negara sejumlah Rp.7.447.757.394,17,. Kerugian inilah yang seharusnya tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada Drs. Bakrie, M.Ed dan Kadarisman, S.Pd, tetapi juga kepada intelektual dader-nya (otak pelakunya) serta siapapun yang menerima aliran dana yang menyebabkan kerugian keuangan negara tersebut.
65
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
66
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
TIMBANGAN BUKU Titon Slamet Kurnia
Judul Buku Penulis Penerbit Tahun Terbit ISBN Tebal Format
: Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara : Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Ahmad Syahrizal, S.H., M.H. : Konstitusi Press, Jakarta : 2006 : 979-99981-1-5 : xviii; 341 halaman (+ 18 halaman i) : 15 x 22 cm
Dewasa ini berkembang kecenderungan amat kuat di kalangan constitutional lawyers untuk menjadikan isu-isu konstitusional dari isu yang berkarakter nasional menjadi isu yang berkarakter universal. Setidaknya fenomena ini nampak mulai bersemai di kalangan constitutional lawyers Amerika. Dalam Workshop on Globalizing the Law School Curriculum di Pacific McGeorge Center for Global Business and Development dibedakan antara international law dengan foreign constitutional law sebagai source bagi pengadilan AS. Workshop memberi satu kontribusi yang signifikan dengan konklusinya mengenai kedudukan foreign constitutional law sebagai persuasive authority bagi pengadilan AS. 1 Konklusi ini penting untuk dijadikan pegangan dalam rangka mendeteksi ke arah mana studi constitutional law ke depan akan diemban: ‘bahwa foreign constitutional law semakin penting untuk menjadi rujukan dalam studi constitutional law maupun dalam praktik hukum berkenaan dengan isu-isu konstitusional’. Dengan sendirinya fenomena ini memerlukan suatu tool yang reliable supaya dapat menjawab kebutuhan tersebut. Tool dimaksud adalah pendekatan perbandingan (comparative approach) dalam isu-isu konstitusional (comparative constitutional law). Bilamana tool ini efektif sangat bergantung secara fungsional dengan karakter isu konstitusional yang dihadapi. Semakin universal isu yang dihadapi maka tool ini akan semakin adequate. Karena itu similarity of issues merupakan konsep kunci dalam
1
Franklin A. Gevurtz, et.al., Report Regarding the Pacific McGeorge Workshop on Globalizing the Law School Curriculum, 19 GLOBAL BUS. & DEV. L.J. 1, 21-26 (2005).
67
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
rangka memberdayakan pendekatan perbandingan dalam menjawab isu-isu konstitusional. 2 Salah satu contoh isu konstitusional yang telah memperoleh karakter universal adalah perlindungan terhadap hak-hak individual (human rights). Chief Justice Marshall, Supreme Judicial Court of Massachusetts, memberikan penilaian: “the key factor giving rise to global interest in individual rights is the growing recognition that every person—every person—is endowed with fundamental rights that no government can extinguish. Coupled with this understanding is a development I consider to be one of the most striking and profound in world politics over the last several decades: the emerging consensus in the world’s democracies that a written charter of rights, enforced by an independent judiciary, is central to the protection of personal liberty.”3 Isu peradilan konstitusional baik pada aspek struktural maupun fungsional juga merupakan isu universal. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari arti penting keberadaannya terkait dengan fungsi fundamental konstitusi dalam sebuah negara yang pada umumnya dipersepsikan sama oleh semua negara: sebagai sumber hak utama dan pertama suatu pemerintahan (Governments) maupun warga negara. Peradilan konstitusi sangat penting supaya konstitusi dipatuhi sebagai supreme law of the land. Fungsi yang khas dari peradilan tergambar dalam pendapat Israel’s Chief Justice Aharon Barak: “the task of saying it is forbidden must be entrusted to an independent institution, not subject to the mercies of the majority or minority ... It must be the courts.”4 ***
Rupanya fenomena demikian ditangkap oleh Prof. Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal dalam menulis buku ‘Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara’. Di bagian Pengantar kedua penulis menyatakan: “Karakter hukum tata negara sebagai kajian hukum, memang cenderung mendorong orang untuk bersikap nasionalistik karena doktrin supremasi konstitusi di internal negara masing-masing. Karena itu objek kajian hukum tata negara lebih 2
Mark C. Rahdert, Comparative Constitutional Advocacy, 56 AM. U. L. REV. 553, 564-568 (2007). 3 The Honorable Margaret H. Marshall, “Wise Parents Do Not Hesitate to Learn from Their Children”: Interpreting State Constitutions in an Age of Global Jurisprudence, 79 N.Y.U. L. REV. 1633, 1639 (2004). 4 Id., 1641.
68
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
cenderung dilihat dalam konteks disiplin hukum positif yang tengah berlaku, daripada sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat universal … Padahal, perkembangan di berbagai negara di dunia sangat pesat, yang menyebabkan berbagai teori dan praktek ketatanegaraan di dunia tumbuh cepat sekali. Lebih-lebih di era globalisasi dewasa ini, keharusan suatu negara mempelajari dan mengikuti perkembangan-perkembangan yang terjadi di luar dirinya sendiri merupakan sesuatu yang mutlak. Karena itu, tidak dapat tidak, disiplin ilmu hukum tata negara umum yang bersifat universal sangat penting untuk dikembangkan sebagai objek kajian di kalangan para ahli maupun di lingkungan pendidikan tinggi hukum di tanah air.” (h. vii-viii) Buku ini berisi pembahasan tentang peradilan konstitusi di Austria, Jerman, Italia, Taiwan, Perancis, Hongaria, Rusia, Korea Selatan, Afrika Selatan dan Thailand. Kesepuluh negara yang dikaji merepresentasikan tiga benua, yaitu Eropa, Asia dan Afrika. Sementara tidak satu negara pun di benua Amerika belum terwakili dalam buku ini. Padahal peradilan konstitusi di negara-negara Amerika Latin juga cukup penting untuk disimak selain semata karena faktor keterwakilan wilayah. Schor mengatakan, “No region of the world provides empirically richer material for the study of constitutional success and failure than Latin America. The history of the region, from independence until the 1980s, is littered with attempts to make republican government work that resulted in oligarchy and dictatorship. The last few decades of the twentieth century, however, were clearly a period of democratic renewal in Latin America as electoral democracy became the norm. The late twentieth century was also a period of intense constitutional experimentation, with the discussion of major reforms aimed at curbing the power of presidents, decentralizing power, and empowering courts to vigorously construe constitutions.”5 Buku ini sangat memadai sebagai referensi dalam mata kuliah Hukum Tata Negara karena sangat kaya akan informasi. Kelebihan buku ini yaitu tidak membatasi diri hanya dalam lingkup isu judicial review on the constitutionality of law, tetapi juga menyinggung isu constitutional complaint. Selain itu buku ini juga membahas isu pengujian secara ex-ante yang dikenal dengan konsep preview (praktik Dewan Konstitusi Perancis). Sebagaimana nampak dalam buku ini, peradilan konstitusi masing-masing
5
Miguel Schor, An Essay on the Emergence of Constitutional Courts: The Cases of Mexico and Colombia, 16 IND. J. GLOBAL LEG. STUD. 173, 174-175 (2009).
69
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi April 2009
negara memiliki karakteristik yang khas walaupun disatukan oleh satu isu universal yaitu the constitutionality of law and governmental actions. ***
Kekurangan dari buku ini adalah pengorganisasiannya yang terlampau informatoris tetapi kurang analitis. Hal ini nampak dari tidak adanya penjelasan penulis mengenai bagaimana bukunya akan diorganisasikan, termasuk penjelasan tentang konsep-konsep kunci dari buku ini. Kelemahan kedua yang saya kritisi adalah, karena konsekuensi dari pilihan para penulis, pendekatan struktural ketimbang fungsional. Buku ini sebatas mengenalkan institusi peradilan konstitusi di sepuluh negara, bagaimana pengaturannya, dan apa kewenangan-kewenangannya. Pendekatan demikian kurang menyentuh urgensi adanya peradilan konstitusi itu sendiri dan saya cenderung meragukan pilihan pendekatan dari buku ini seperti diharapkan oleh penulisnya yaitu: “memberikan gambaran mengenai prinsip-prinsip yang berlaku umum mengenai teori dan praktek peradilan konstitusi” dan bukan “sekadar membahas pasal-pasal yang sedang berlaku”. (h. ix) Meskipun secara kebutuhan ada similarity of issues terhadap peradilan konstitusi namun similarity of issues akan lebih tepat mengena jika difokuskan pada pendekatan fungsional mengenai bagaimana institusi tersebut berfungsi (in action) dalam memberi penafsiran terhadap normanorma konstitusi terkait dengan isu-isu konstitusional tertentu yang sulit seperti hak-hak asasi manusia (personal autonomy, free speech, physical integrity, dan sebagainya).6 Namun demikian buku ini sangat berharga karena mengenalkan kepada pembacanya norma-norma konstitusional positif dalam mengkaidahi peradilan konstitusi di sepuluh yurisdiksi negara berbeda.
6
Bandingkan misalnya dengan: - DAVID M. BEATTY, ed., HUMAN RIGHTS AND JUDICIAL REVIEW: A COMPARATIVE PERSPECTIVE (1994); - THEODORE S. ORLIN, et.al., eds., THE JURISPRUDENCE OF HUMAN RIGHTS LAW: A COMPARATIVE INTERPRETIVE APPROACH (2000); - NIHAL JAYAWICKRAMA, THE JUDICIAL APPLICATION OF HUMAN RIGHTS LAW: NATIONAL, REGIONAL AND INTERNATIONAL JURISPRUDENCE (2002).
70