Rasa Kesatu Marshmallow
Angin Oktober berhembus lembut senja itu. Menerbangkan setiap helai rambut pendek Vello yang tengah duduk ditepi pantai itu. Menatap lautan lepas didepannya yang dinaungi langit berwarna orange. Matahari mulai mendekati batas cakrawala, sebentar lagi hari akan gelap. Tapi itu semua tak membuat Vello lantas meninggalkan tempat itu. Padahal sudah dua jam ia duduk disana, hanya duduk tanpa melakukan apapun. Dan itu selalu ia lakukan setiap hari. Duduk sendiri ditepi pantai tanpa melakukan apapun. Membuang waktu. “Mau sampe kapan loe duduk disini terus?” tanya seseorang yang berdiri dibelakang Vello. Vello menghembuskan napasnya perlahan. “Sampe...” “Sampe Bayu dateng kesini dan nemuin loe?” tandasnya. “Loe yakin Bayu bakal dateng buat nemuin loe?” tanyanya sinis.
Vello benci pertanyaan Aris, abangnya. Kenapa semua orang seakan mematikan harapan yang ia tanam dihatinya. Harapan bahwa Bayu pasti akan kembali padanya. Harapan bahwa semuanya akan kembali seperti dulu. Seperti saat Bayu ada disebelahnya. Menjadi penopangnya. Menjadi pelipur laranya. “Ris,” desah Vello pelan. “Bukannya setiap yang pergi itu untuk kembali lagi?” Vello menatap lurus ke depan, memperhatikan matahari yang mendekati batas cakrawala. “Loe pernah bilang gitu ke gue, kan?” Vello mengukir senyum tipis. “Vell,” Aris mendekati adiknya itu lalu duduk disebelahnya. Vello menoleh dan mendapati mata ceria Aris menatapnya. “Nggak semua yang pergi itu untuk kembali,” Aris menatap lekat gadis yang berusia dua tahun lebih muda darinya itu. “Gue pernah bilang gitu kan sama loe?” Aris membenahi posisi duduknya kemudian memandangi deburan ombak yang
tengah menghantam karang itu. “Berhenti nunggu Bayu, Vell. Udah cukup loe nunggu dia,” ujar Aris pelan.
Vello menelan ludah pahit. Aris bicara apa? Kenapa Aris tak sependapat dengannya kali ini. Biasanya, apapun yang ia lakukan, Aris pasti mendukung. Tapi kenapa Aris malah memintanya berhenti menunggu Bayu. Lelaki yang selalu ia tunggu setiap hari dipantai ini bersama asa yang membumbung tinggi. Kenapa? “Bayu pasti balik,” gumam Vello pelan. Tapi cukup terdengar oleh Aris. “Dia pasti nemuin gue disini,” timpal Vello kemudian. Aris menatap gadis mungil disebelahnya itu. “Pasti!” Vello menarik sudut bibirnya membentuk senyum. “Kapan?” tanya Aris datar. Vello menoleh menatap Aris yang menatapnya. “Kalau rambut loe udah putih semua, dan kulit loe udah keriput semua?” Aris tersenyum sinis. Vello mengerutkan dahinya. “Baru dia nemuin loe, Vell?” tanya Aris. “Asalkan dia nemuin gue,” Vello menyibak rambutnya yang tertiup angin. “Meskipun rambut gue udah putih semua, ataupun kulit gue udah keriput semua, gue nggak peduli, Ris. Asalkan Bayu nemuin gue,” ujar Vello tenang. “Kapanpun dia nemuin gue, gue terima!” Vello menatap lurus kedepan.
Aris menghela napas panjang. Ia memang tak pernah berhasil menghancurkan pendirian Vello. Ia tak pernah bisa membuat Vello melupakan Bayu. Entah apa yang membuat Vello begitu mencintai Bayu dan begitu yakin bahwa Bayu pasti akan kembali padanya. Aris tak pernah paham kenapa Bayu seakan-akan telah mengikat hati Vello, adiknya. Aris akui, Bayu memang sosok yang amat memikat, ia sosok yang hangat, cerewet dan ceria. Jauh berbeda dengan Vello yang merupakan gadis cuek, teledor dan sedikit minder. Dan Aris tahu, Vello berubah saat ia mengenal Bayu. “Loe tu bego tahu nggak, Vell?” Aris berdiri dari duduknya. Vello mendongakkan kepalanya, memandangi Aris yang berkacak pinggang disebelahnya. “Ngapain si loe nunggu
orang yang belum tentu dateng nemuin loe, heh?” celoteh Aris jengkel. “Buang-buang waktu tahu?” Aris menghela napas. Vello kembali menatap lautan lepas didepannya, matahari tinggal separuh diujung sana. “Banyak hal yang bisa loe lakuin diluar sana, Vell. Nulis misalnya,” tambah Aris. “Coba pikir, udah berapa abad loe ninggalin hobby nulis loe?” Aris menatap Vello yang diam saja. “Loe tinggalin mimpi loe, loe tinggalin imajinasi-imjanasi loe, loe tinggalin semuanya, Vell. Loe sadar nggak?” tanya Aris. “Ris,” suara Vello bergetar. “Please, gue...” air mata mengalir bebas dipipinya. “Itu semua karena Bayu, karena dia loe tinggalin semuanya!” timpal Aris. “Semenjak dia pergi, gue nggak pernah liat loe duduk dimeja belajar loe buat nulis imajinasi-imajinasi loe,” kata Aris. “Ris!” suara Vello meninggi. Terdengar Aris menghela napas panjang. “Berhenti nyalahin Bayu,” Vello berdiri dari duduknya, menatap Aris tajam. “Dengerin gue, Vell.” Aris meremas bahu Vello. “Gue nggak mau hidup loe abis buat nunggu Bayu, gue pengen liat loe kayak dulu, gue pengen loe bahagia,” Aris mengukir senyum.
Vello menurunkan tangan Aris dari bahunya. Kemudian menghapus air matanya dengan kasar. “Bahagia tanpa Bayu?” Vello menatap nanar mata Aris. “Gue nggak bisa, Ris. Nggak bisa!” Vello berjalan menjauhi Aris. “Nggak segampang itu ngelupain semuanya,” ujar Vello.
Aris memandangi punggung Vello yang semakin menjauhinya. Dengan langkah pelan, ia mengikuti Vello dari belakang. “Jangan minta gue buat ngelupain Bayu,” Vello menghapus air matanya lagi sambil terus berjalan. “Sampe kapanpun gue nggak akan pernah bisa, Ris.” Vello terisak. “Kalau loe pengen gue bahagia,” Vello menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. “Biarin gue nunggu Bayu sampe kapanpun,” tambahnya.
“Waktu loe bakal habis percuma, Vell. Percuma!” tandas Aris.
Vello berhenti tanpa membalikkan tubuhnya, Aris ikut berhenti. Ia pandangi punggung gadis rapuh didepannya. Vello menunduk, merasakan dadanya yang sesak. Rasa kehilangan itu hadir lagi dihatinya. Menyayat hatinya sekali lagi. Sakit bukan main. Kenapa Bayu pergi meninggalkannya begitu saja? Kenapa Bayu membiarkannya menunggu sampai enam bulan lamanya? Kenapa ia seakan ingin membunuh hatinya. Mematikan hatinya agar tak bisa berfungsi lagi. Kenapa? Vello jatuh bersimpuh diatas pasir lembut itu. Kenapa ia selalu seperti ini jika mengingat Bayu? “Vell,” Aris menghampiri Vello yang duduk lemas ditempatnya. “Vello,” Aris mengguncang bahu Vello yang tetap bergeming. “Ris,” Vello memeluk Aris erat. Menumpahkan lara hatinya dibahu abangnya itu. “Gue kangen Bayu, Ris. Kangen banget,” bisiknya.
Aris mengusap-usap punggung adiknya itu, mencoba menenangkan hatinya. Mencoba melipur lara hatinya. Dan mencoba membawa Vello keluar dari keterpurukkannya. Ia menyayangi Vello melebihi apapun didunia, baginya kebahagiaan Vello adalah prioritas utamanya. Air mata Vello membuat dadanya sakit. Vello memang bukan gadis yang memiliki hati setegar karang dilaut itu. Maka dari itu ia benci melihat Vello menangis. “Gue kangen Bayu, Ris. Gue kangen sama dia,” suara Vello agak serak. “Gue ngerti,” gumam Aris. Menatap matahari yang baru saja menghilang dibatas cakrawala itu. Hari telah gelap, angin pun mulai berhasil menembus kulit. “Tuhan juga tahu gimana perasaan loe sekarang,” Aris menghela napas pendek. “Kalau Tuhan tahu, kenapa dia nggak bilang sama Bayu buat dateng nemuin gue disini?” tanya Vello.
Aris memejamkan matanya sebentar, pertanyaan Vello tak bisa ia jawab. Pertanyaan itu hanya Tuhan yang tahu pasti jawabannya. “Bayu boleh benci gue,” gumam Vello terisak. “Tapi gue nggak suka kalau dia pergi gitu aja,” Vello menghapus air matanya dengan kasar.
Tidak. Bayu tidak boleh membenci Vello. Vello tidak salah sedikitpun. Vello hanya gadis yang mencintai lelaki yang salah. Lelaki yang notabenenya adalah kekasih gadis lain. Disitulah letak kesalahannya. Tapi bukan salah Vello. Bukankah cinta hadir tanpa memandang tempat yang sesuai. Ia tak memandang tempat dimana ia seharusnya berlabuh. Kepada siapa dan dimana. Tapi Bayu sama sekali tak menghindari Vello. Lelaki itu senang berteman dengan Vello. Dan Vello tak pernah berhasil menghindari pesona yang Bayu tebarkan padanya. Itulah yang akhirnya membuat Vello menjadi seperti sekarang. Bayu seakan membawa separuh jiwanya pergi ikut bersamanya. “Vell,” bisik Aris. “Kenapa loe sebegitunya sih sama Bayu?” tanya Aris pelan. “Nggak tahu,” jawab Vello.
Jawaban yang sama, pikir Aris. Vello selalu memberi jawaban seperti itu jika dirinya menanyakan hal seperti itu. Aris benar-benar tak habis pikir. Kenapa Bayu memiliki peranan penting seperti ini bagi Vello? Entahlah. “Balik yuk, Vell.” ajak Aris kemudian. Hari semakin gelap, angin juga semakin menusuk kulit. Vello hanya mengenakan sweater rajutnya yang tak begitu mampu menghangatkan tubuhnya.
Vello melepaskan pelukannya dari Aris, kemudian menghapus air matanya dan berusaha mengukir senyum. “Gue cengeng banget ya, Ris?” Vello memanyunkan bibirnya manja. “Dih baru sadar kalo dirimu itu cengeng?” Aris menyeringai.
“Jahat loe,” Vello meninju lengan Aris pelan. Aris terkekeh. “Yuk balik,” Vello berdiri dari duduknya diikuti Aris kemudian. Vello berjalan meninggalkan Aris. “Gue pikir loe lupa kalo loe punya rumah,” ejek Aris.
Vello menghentikan langkahnya kemudian membalikkan tubuhnya menatap Aris yang tertawa geli didepannya. “Ariiiiis!” Vello gemas pada kakak laki-lakinya itu. Aris terkekeh. “Ayo pulang!” Vello berjalan cepat meninggalkan Aris dengan jengkel. “Vell,” Aris mengejar Vello yang sudah jauh itu. Vello mengibaskan tangan tak peduli. “Besok ikut gue, yuk!” Aris berhasil menghampiri Vello dan merangkul bahunya.