Bagian Pertama Hukum Tata Negara/Hukum Konstitusi
Buku Kesatu
SINKRONISASI DAN HARMONISASI PENGATURAN MENGENAI PERATURAN DAERAH, SERTA UJI MATERI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 16 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI BALI TAHUN 2009-2029 Novianto M. Hantoro, S.H., M.H.*
*
Peneliti Madya bidang Hukum Tata Negara pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, email:
[email protected]
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kajian mengenai peraturan perundang-undangan merupakan salah satu kajian dalam ilmu hukum. Istilah ilmu hukum dapat dikatakan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda Rechwetenschap, bahasa Jerman Recshtwissenschaft, atau bahasa Inggris Jurisprudence.1 Istilah Rechwetenschap atau Recshtwissenschaft menunjuk pada pengertian ilmu tentang hukum atau ilmu yang objek kajiannya adalah hukum. Sementara jurisprudence berasal dari bahasa Latin juris yang berarti hukum dan prudence yang berarti pengetahuan, sehingga jurisprudence adalah pengetahuan tentang hukum.2 Peraturan perundang-undangan seringkali diidentikkan dengan hukum atau orang sering mengartikan hukum adalah peraturan perundangundangan. Sebenarnya, peraturan perundang-undangan hanya merupakan bagian dari hukum, karena di luar peraturan perundang-undangan, masih banyak yang dipelajari terkait dengan hukum. Di dalam sistem hukum pun, peraturan perundang-undangan hanya merupakan salah satu bagian dari sub sistem substansi hukum atau legal substance. Sub sistem yang lain adalah legal structure, dan legal culture3. Peraturan perundang-undangan terdiri dari beberapa jenis, yang secara garis besar dapat dibagi menjadi peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan peraturan perundang-undangan di tingkat daerah. Salah satu bentuk peraturan perundang-undangan di tingkat daerah adalah peraturan daerah. Pengaturan mengenai pembentukan peraturan daerah secara formal setidaknya diatur di dalam 2 (dua) undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dua kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Abdurrahman, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Ilmu Perundang-undangan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995, hal. 15. 2 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu, Bandung; Remaja Rosdakarya, 1996, hal. 22 3 Lawrence M. Friedmann menyatakan ada tiga unsur yang terkait dalam sistem hukum, yaitu struktur (structure), substansi (substance), dan kultur hukum (legal culture). Lawrence M. Friedmann, The Legal System: A Sosial Science Perspektive. New York; Russel Soge Foundation, 1969, hal 16. 1
3
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pengaturan mengenai Peraturan Daerah
Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang kemudian telah digantikan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Selain itu, terdapat pula pengaturan dalam 2 (dua) undang-undang yang terkait dengan pembatalan peraturan daerah, yaitu sebagaimana UU Pemda dan Undang-Undang 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA). Sementara itu, terdapat pula pengaturan mengenai penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Secara vertikal ke bawah, pengaturan mengenai pembentukan peraturan daerah juga diatur dalam Permendagri No. 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Pengaturan mengenai peraturan daerah dalam beberapa undangundang dan peraturan perundang-undangan dapat mengakibatkan adanya perbedaan penafsiran atau interpretasi. Perbedaan penafsiran atau disharmoni peraturan perundang-undangan akan mengakibatkan munculnya permasalahan di dalam implementasinya. Ada 6 (enam) faktor yang menyebabkan disharmoni sebagai berikut:4 a. Pembentukan dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan sering dalam kurun waktu yang berbeda; b. Pejabat yang berwenang untuk membentuk peraturan perundangundangan berganti-ganti baik karena dibatasi oleh masa jabatan, alih tugas atau penggantian; c. Pendekatan sektoral dalam pembentukan peraturan perundangundangan lebih kuat dibanding pendekatan sistem; d. Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang melibatkan berbagai instansi dan disiplin hukum; e. Akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan masih terbatas; f. Belum mantapnya cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan. Disharmoni peraturan perundang-undangan mengakibatkan: terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya; timbulnya ketidakpastian hukum; peraturan perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan
4
AA. Oka Mahendra, Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, http://www.djpp. depkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html diakses tanggal 7 Desember 2012.
4
Novianto M. Hantoro, S.H., M.H.
efisien, dan disfungsi hukum, artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku kepada masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa dan sebagai sarana perubahan sosial secara tertib dan teratur. 5 Esensi dari otonomi daerah adalah memberikan kewenangan kepada daerah otonom untuk mengatur urusan yang menjadi kewenangannya berdasarkan karakteristik daerah masing-masing. Namun demikian, pengaturan tersebut tetap tidak diperkenankan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum. Berkenaan dengan hal tersebut, maka pengaturan dalam Perda dihadapkan pada persoalan bagaimana agar Perda dapat mengatur urusan kewenangan sesuai dengan karakteristik daerahnya, namun tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini menjadikan pemaknaan terhadap sinkronisasi dan harmonisasi peraturan menjadi sangat penting. Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki karakteristik akar budaya yang cukup kuat. Perda No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 merupakan salah satu contoh peraturan daerah yang menarik, karena materi muatannya mengandung karakteristik akar budaya daerah yang cukup menonjol dan kemudian telah dimohonkan untuk diuji di Mahkamah Agung karena dianggap bertentangan dengan undang-undang. Terkait dengan hal tersebut, analisis terhadap sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan mengenai Peraturan Daerah menarik untuk dilakukan. Selain melalui kajian normatif, sinkronisasi peraturan antara peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan yang lebih tinggi, juga dapat dilakukan melalui pengadilan dengan mekanisme uji materi Peraturan Daerah terhadap Undang-Undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka rumusan permasalahan dalam penulisan ini adalah: a. Bagaimanakan sinkronisasi dan harmonisasi secara horizontal pengaturan mengenai peraturan daerah? b. Bagaimanakan sinkronisasi dan harmonisasi secara vertikal pengaturan mengenai peraturan daerah? c. Bagaimanakah sinkronisasi Perda Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 terhadap undangundang yang tercermin dalam uji materi berdasarkan putusan MA?
5
Ibid.
5
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pengaturan mengenai Peraturan Daerah
C. Tujuan dan Kegunaan Analisis tentang sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan tentang peraturan daerah bertujuan untuk mengetahui kesinkronan dan keharmonisasian pengaturan mengenai peraturan daerah dalam beberapa undang-undang secara horizontal dan secara vertikal. Selain itu, analisis ini juga bertujuan untuk mengetahui sinkronisasi Perda Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 terhadap undang-undang yang tercermin dalam uji materi yang tertuang dalam putusan MA. Kegunaan secara akademis yang diharapkan adalah memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum, khususnya ilmu perundang-undangan. Sementara secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai peraturan daerah.
6
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN
A. Peraturan Perundang-undangan Secara normatif berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU No. 12 Tahun 2011, peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Bagir Manan mengindikasikan banyak kalangan yang menganggap hukum, peraturan perundang-undangan dan undang-undang adalah hal yang sama.6 Menurut Bagir Manan, undang-undang adalah bagian dari peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan terdiri dari undangundang dan berbagai peraturan perundang-undangan lain, sedangkan hukum bukan hanya undang-undang, melainkan termasuk juga beberapa kaidah hukum lain seperti Hukum Adat, Kebiasaan, dan Hukum Yurisprudensi.7 Sementara Solly Lubis menyebutkan adanya istilah lain lagi, yaitu perundangundangan. Perundang-undangan ialah proses pembuatan peraturan-peraturan negara. Dengan kata lain, tata cara mulai dari perencanaan (rancangan), pembahasan, pengesahan atau penetapan dan akhirnya pengundangan peraturan yang bersangkutan.8 Solly Lubis tidak sependapat dengan istilah “peraturan perundangan” atau “peraturan perundang-undangan”, yang menurutnya “peraturan perundangan” berarti peraturan mengenai tata cara pembuatan peraturan negara,
6
7 8
Kekeliruan tersebut bukan hanya milik mereka yang awam. Di kalangan para ahli hukum dikenal adanya teori hukum (jurisprudence) yang mengintrodusir ajaran legisme atau positivisme yang diajarkan oleh John Austin dan Hans Kelsen yang menyatakan bahwa hukum itu semata-mata kehendak dari penguasa (command of the souvereign) dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Tidak ada hukum di luar undang-undang atau peraturan perundang-undangan. Pengertian ini tidak hanya berlaku di kalangan ilmu pengetahuan, melainkan juga di lingkungan peradilan. Padahal Austin dan Kelsen tidak memberikan arti command of the souvereign begitu sempit hanya terbatas pada peraturan perundang-undangan, melainkan juga putusan pengadilan. Selanjutnya lihat Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-Undangan Indonesia, Cetakan Pertama,(Jakarta: Ind. Hill. Co, 1992, hal. 2-3 Ibid. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-Undangan, Bandung: Mandar Maju, 1989, hal. 1.
7
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pengaturan mengenai Peraturan Daerah
sedangkan jika yang dimaksud adalah “peraturan yang dilahirkan dari perundangundangan” cukup disebut dengan peraturan saja.9 Menurut Maria Farida Indrati, istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving, atau gesetzgebung) mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu:10 1. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. 2. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat Pusat maupun di Tingkat Daerah. Salah satu peraturan di tingkat daerah adalah Peraturan Daerah yang di dalam Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan berada dalam urutan sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. B. Sinkronisasi dan Harmonisasi Sinkronisasi adalah penyelarasan dan penyelerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundangundangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Proses sinkronisasi peraturan bertujuan untuk melihat adanya keselarasan antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya. Sinkronisasi dilakukan baik secara vertikal dengan peraturan di atasnya maupun secara horizontal dengan peraturan yang setara. 11 Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait, dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya.12 Ibid. Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, dasar-Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, 1998, hal. 3. 11 http://www.penataanruang.net/ta/Lapan04/P2/SinkronisasiUU/Bab4.pdf diakses pada tanggal 8 Desember 2012. 12 Ibid.
9
10
8
Novianto M. Hantoro, S.H., M.H.
Adapun tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efektif.13 Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:14 a. Sinkronisasi Vertikal Dilakukan dengan melihat apakah suatu peraturan perundangundangan yang berlaku dalam suatu bidang tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Di samping harus memperhatikan hierarki peraturan perundangundangan, sinkronisasi vertikal harus juga diperhatikan kronologis tahun dan nomor penetapan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. b. Sinkronisasi Horizontal Dilakukan dengan melihat pada berbagai peraturan perundangundangan yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi horizontal juga harus dilakukan secara kronologis, sesuai dengan urutan waktu ditetapkannya peraturan perundangan-undangan yang bersangkutan.
Secara umum, prosedur sinkronisasi diawali dengan inventarisasi, yaitu suatu kegiatan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang peraturan perundang-undangan terkait. Selanjutnya dilakukan analisa terhadap substansi. Harmonisasi idealnya dilakukan pada saat perancangan peraturan perundang-undangan. Pengharmonisasian rancangan undang-undang mencakup 2 (dua) aspek sebagai berikut: 15 1. Pengharmonisasian materi muatan rancangan undang-undang dengan: a. Pancasila; b. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945/ harmonisasi vertikal; c. Undang-undang/harmonisasi horizontal; d. Asas-asas peraturan perundang-undangan: 1) Asas pembentukan. 2) Asas materi muatan. 15 13 14
Ibid. Ibid. AA. Oka Mahendra, Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, http://www.djpp. depkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-undangan. html diakses tanggal 7 Desember 2012.
9
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pengaturan mengenai Peraturan Daerah
3) Asas-asas lain yang sesuai dengan bidang hukum rancangan undang-undang yang bersangkutan. 2. Pengharmonisasian rancangan undang-undang dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang meliputi: 1) Kerangka peraturan perundang-undangan; 2) Hal-hal khusus; 3) Ragam bahasa; 4) Bentuk rancangan peraturan perundang-undang. Pengharmonisasian dilakukan dengan cara sebagai berikut:16 1. Pastikan bahwa rancangan undang-undang mencantumkan nilai-nilai filosofis Pancasila dan pasal-pasal rancangan undang-undang yang bersangkutan tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. 2. Pastikan bahwa pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan pembentukannya telah dicantumkan dengan benar dan pastikan pula bahwa rancangan undangundang telah selaras dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara menurut Undang-Undang Dasar. 3. Gunakan istilah hukum atau pengertian hukum secara konsisten. 4. Teliti dengan seksama apakah materi muatan rancangan undangundang telah serasi/selaras dengan undang-undang lain terkait. 5. Pastikan bahwa asas-asas peraturan perundang-undangan baik asas pembentukan, asas materi muatan, maupun asas lain yang berkaitan dengan bidang hukum yang diatur dalam rancangan undang-undang, telah terakomodasikan dengan baik dalam rancangan undang-undang. 6. Pastikan bahwa pedoman teknik penyusunan peraturan perundangundangan telah dipatuhi secara konsisten. 7. Pastikan bahwa bahasa yang digunakan dalam merumuskan norma dalam rancangan undang-undang telah sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar serta mengunakan pilihan kata yang tepat, jelas dan pasti. Pengharmonisasian rancangan undang-undang yang dilaksanakan secara cermat dan profesional akan menghasilkan rancangan undangundang yang memenuhi syarat sebagai rancangan undang-undang yang baik. Ada 8 (delapan) kriteria hukum yang baik menurut Lon Fuller sebagai berikut:17 1. Hukum harus dituruti semua orang, termasuk oleh penguasa negara; 2. Hukum harus dipublikasikan; 3. Hukum harus berlaku ke depan, bukan berlaku surut;
16 17
Ibid. Ibid.
10
Novianto M. Hantoro, S.H., M.H.
4. Kaidah hukum harus ditulis secara jelas, sehingga dapat diketahui dan diterapkan secara benar; 5. Hukum harus menghindari diri dari kontradiksi-kontradiksi; 6. Hukum jangan mewajibkan sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi; 7. Hukum harus bersifat konstan sehingga ada kepastian hukum. Tetapi hukum harus juga diubah jika situasi politik dan sosial telah berubah; 8. Tindakan para aparat pemerintah dan penegak hukum haruslah konsisten dengan hukum yang berlaku.
C. Asas Peraturan Perundang-undangan Ketika terdapat dua atau lebih peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hal yang sama, akan berlaku asas atau prinsip peraturan perundang-undangan. Setidaknya terdapat empat asas hukum terkait dengan peraturan perundang-undangan: 1. Lex superior derogat legi inferiori. Peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh undangundang ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah. 2. Lex specialis derogat legi generalis Lex specialis is a Latin phrase which means “law governing a specific subject matter”. It comes from the legal maxim “lex specialis derogat legi generali”. This doctrine relates to the interpretation of laws. It can apply in both domestic and international law contexts.18 The doctrine states that a law governing a specific subject matter overrides a law that only governs general matters . Asas ini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas Lex specialis derogat legi generalis: a) Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut. b) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuanketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang). c) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.
18
http://definitions.uslegal.com/l/lex-specialis/ diakses pada tanggal 8 Desember 2012.
11
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pengaturan mengenai Peraturan Daerah
3. Asas lex posterior derogat legi priori. Aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Asas lex posterior derogat legi priori mewajibkan menggunakan hukum yang baru. Asas ini pun memuat prinsip-prinsip: a. Aturan hukum yang baru harus sederajat atau lebih tinggi dari aturan hukum yang lama; b. Aturan hukum baru dan lama mengatur aspek yang sama. Asas ini antara lain bermaksud mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Dengan adanya Asas Lex posterior derogat legi priori, ketentuan yang mengatur pencabutan suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak begitu penting. Secara hukum, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada saat aturan hukum baru mulai berlaku. 4. Asas Legalitas Peraturan perundang-undangan tidak dapat berlaku surut.
12
BAB III ANALISIS
A. Sinkronisasi dan Harmonisasi secara Horizontal Analisis sinkronisasi secara horizontal dilakukan antara UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dengan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP), UndangUndang Mahkamah Agung (UU MA) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sinkronisasi tersebut dikaitkan dengan beberapa aspek pengaturan yang serupa, yaitu: 1. Pengertian atau Definisi UU Pemda memberikan definisi Perda berdasarkan jenisnya, yaitu Perda provinsi dan Perda kabupaten/kota, sementara UU PPP mendefinisikan Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Ketentuan di dalam Pasal 7 ayat (2) UU PPP sebelum diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 terkait dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundangundangan menjelaskan bahwa Peraturan Daerah meliputi: 1) Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; 2) Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; 3) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Berdasarkan hal tersebut, terdapat ketidaksinkronan mengenai jenis Perda sebelum ada perubahan UU PPP. UU Pemda hanya membatasi pada Perda provinsi dan Perda kabupaten/kota, sementara UU PPP menyatakan Perda meliputi pula Peraturan Desa. Namun, setelah UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diganti dengan UU No. 12 tahun 2011, tidak ada lagi Peraturan Desa. 2. Asas Terdapat 2 (dua) pengaturan tentang asas, yaitu asas pembentukan dan asas yang terkandung dalam materi muatan. Pada dasarnya tidak ada 13
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pengaturan mengenai Peraturan Daerah
perbedaan mengenai asas dalam pembentukan Perda dan asas yang terkandung dalam materi muatan Perda, baik yang diatur dalam UU Pemda maupun UU PPP. a. Prosedur Pembentukan (ketentuan formal) Prosedur pembentukan diawali dari perencanaan, pengajuan, pembahasan, pengesahan, dan terakhir pengundangan. i. Perencanaan UU Pemda tidak mengatur ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Perda, sementara UU PPP menyatakan bahwa perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah. ii. Pengajuan UU Pemda: Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/Walikota. Rancangan Perda disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. Apabila dalam satu masa sidang, DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota menyampaikan rancangan Perda mengenai materi yang sama maka yang dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Perda yang disampaikan Gubernur atau Bupati/Walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. Tata cara mempersiapkan rancangan Perda yang berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota diatur dengan Peraturan Presiden. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan Perda oleh DPRD diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD. UU PPP: Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, atau gubernur, atau bupati/walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau kota. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan daerah yang berasal dari gubernur atau bupati/walikota diatur dengan Peraturan Presiden. Rancangan Perda dapat disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan daerah diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD. Apabila dalam satu masa sidang, gubernur atau bupati/walikota dan DPRD menyampaikan rancangan peraturan daerah, mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh dewan perwakilan rakyat daerah, sedangkan rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh gubernur atau bupati/walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. Sampai dengan ketentuan ini ada tidak perbedaan substansial, kecuali apabila Pasal 141 ayat (1) UU Pemda secara sadar meniadakan kata 14
Novianto M. Hantoro, S.H., M.H.
“dapat” dan tidak mengatur penyampaian Perda oleh kepala daerah, maka dapat diartikan titik berat pengajuan Perda ada di DPRD. Berbeda dengan Pasal 60 ayat (1) UU PPP yang mengatur penyampaian rancangan Perda semuanya menggunakan kata ‘dapat”. UU Pemda tidak mengatur ketentuan penyampaian rancangan Perda sebagaimana diatur dalam UU PPP sebagai berikut: Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh gubernur atau bupati/ walikota disampaikan dengan surat pengantar gubernur atau bupati/ walikota kepada DPRD oleh gubernur atau bupati/walikota. Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh DPRD disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada gubernur atau bupati/walikota. iii. Pembahasan UU Pemda tidak mengatur mengenai tahapan pembahasan Perda sebagaimana yang diatur dalam UU PPP sebagai berikut: Pembahasan rancangan Perda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama gubernur atau bupati/walikota melalui tingkat-tingkat pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan rancangan Perda diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPRD. iv. Penetapan dan Pengesahan Tidak ada perbedaan substansial, hanya terdapat perbedaan dalam kalimat pengesahan dimana UU Pemda menyingkat dengan “Perda”, sementara UU PPP menyebut secara lengkap dengan “Peraturan Daerah”. Meskipun sudah disingkat di dalam ketentuan umum UU Pemda, namun mengingat kalimat tersebut harus sama persis tercantum lembar pengesahan, maka seharusnya tidak disingkat. v. Pengundangan UU Pemda: Perda berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah. Perda diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah diundangkan dalam Berita Daerah. Pengundangan Perda dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah dalam Berita Daerah, dilakukan oleh Sekretaris Daerah. UU PPP: Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah adalah Peraturan Daerah. Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota, atau peraturan lain di bawahnya dimuat dalam Berita Daerah. Pengundangan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah dilaksanakan oleh sekretaris daerah. Tidak ada perbedaan substansial antara UU Pemda dan UU PPP. 15
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pengaturan mengenai Peraturan Daerah
b. Materi Muatan UU Pemda: Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masingmasing daerah. UU PPP: Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Perbedaannya, UU Pemda menyebutkan ‘dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah”, sementara UU PPP menyebutkan “menampung kondisi khusus daerah” c. Penyebarluasan i. Penyebarluasan Rancangan Perda UU Pemda: Penyebarluasan rancangan Perda yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh sekretariat DPRD. Penyebarluasan rancangan Perda yang berasal dari Gubernur, atau Bupati/Walikota dilaksanakan oleh sekretariat daerah. UU PPP: Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh alat kelengkapan DPRD. Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur atau Bupati/ Walikota dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah. Terdapat perbedaan substansial terhadap materi penyebarluasan rancangan perda yang berasal dari DPRD. Berdasarkan UU Pemda, penyebarluasan dilakukan oleh sekretariat DPRD, sementara berdasarkan UU PPP dilakukan oleh alat kelengkapan DPRD. ii. Penyebarluasan Perda UU Pemda: Pemerintah daerah wajib menyebarluaskan Perda yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang telah diundangkan dalam Berita Daerah. UU PPP: Penyebarluasan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota. Terdapat perbedaan substansial terkait dengan masalah penyebarluasan Perda yang telah diundangkan. Pada UU Pemda, penyebarluasan wajib dilakukan oleh Pemerintah Daerah, sementara di dalam UU PPP dilakukan bersama oleh DPRD dan pemerintah daerah. 16
Novianto M. Hantoro, S.H., M.H.
d. Partisipasi masyarakat UU Pemda: Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda. UU PPP: Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/ atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Masukan secara lisan dan/atau tertulis dapat dilakukan melalui: rapat dengar pendapat umum; kunjungan kerja; sosialisasi; dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. Masyarakat adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis, setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Dalam hal pengaturan mengenai partisipasi masyarakat, UU PPP mengatur dengan lebih rinci. e. Pembatalan UU Pemda: Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Keputusan pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda. Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda, Perda dimaksud dinyatakan berlaku. Apabila terdapat keputusan pembatalan Perda, paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud. Apabila provinsi/kabupaten/ kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Apabila keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. UU MA: Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang. Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundangundangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan dapat diambil 17
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pengaturan mengenai Peraturan Daerah
f.
19
baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung. Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pada intinya, terdapat perbedaan dalam hal pembatalan Perda. UU Pemda memungkinkan pembatalan oleh Pemerintah (Pusat), sementara UU MA mengatur mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sebagaimana kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Ibrahim R menyatakan bahwa seharusnya pembatalan Perda tidak dilakukan oleh Pemerintah (Menteri) melainkan melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Agung.19 Penegakan Perda UU Pemda: Untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja. Pembentukan dan susunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Anggota Satuan Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran atas ketentuan Perda dilakukan oleh pejabat penyidik dan penuntut umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan Perda dapat juga ditunjuk pejabat lain yang diberi tugas untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan Perda. KUHAP: Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Syarat kepangkatan pejabat penyidik akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Penyidik PPNS mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik pejabat Polri. Intinya, agar terjadi sinkronisasi dan harmonisasi maka ketentuan mengenai penyidik harus disamakan. Dalam arti pelaksanaan tugas Satpol PP harus juga sesuai dengan KUHAP. Apabila memang
Ibrahim R, Sinkronisasi dan Harmonisasi Hukum Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Studi terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Provinsi Bali, makalah disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) tanggal 3 Agustus 2010, hal. 13.
18
Novianto M. Hantoro, S.H., M.H.
dimungkinkan seperti yang dimaksud UU Pemda, maka KUHAP juga perlu disempurnakan dengan mengakomodasi dan mempertimbangkan Satpol PP sebagai penyidik. Mengingat selama ini pemahaman penyidik PPNS adalah yang terdapat di kementerian-kementerian.
B. Sinkronisasi dan Harmonisasi secara Vertikal Secara vertikal, analisis sinkronisasi pengaturan mengenai peraturan daerah akan dilakukan antara Undang-Undang Pemda dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Berdasarkan Permendagri tersebut diatur mengenai ketentuan formil pembentukan Perda secara rinci mulai dari perencanaan, penyusunan, dan pembahasan. Sementara Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah tidak mengatur tahapan pembentukan Perda secara rinci. Berdasarkan Permendagri, penyusunan Prolegda sebagai bagian dari tahapan perencanaan dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan DPRD. Pada intinya meknisme pelaksanaan penyusunan prolegda tersebut identik dengan penyusunan prolegnas. Pada tahapan penyusunan, Permendagri mengatur mekanisme persiapan penyusunan perda di Pemerintah Daerah dan Persiapan Penyusunan Perda di lingkungan DPRD. Jika diselaraskan dengan pengaturan di tingkat nasional, persiapan penyusunan di lingkungan eksekutif memang merupakan domain eksekutif, namun persiapan penyusunan peraturan perundang-undangan di legislatif merupakan domain legislatif dan diatur dalam peraturan lembaga legislatif (DPR). Permendagri juga mengatur mekanisme pembahasan Perda antara DPRD dan kepala daerah. Norma-norma yang terdapat di dalam Permendagri tersebut identik dengan bagaimana pembahasan RUU antara DPR dan Presiden, termasuk tingkat-tingkat pembahasannya. Salah satu permasalahan pokok dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah adalah tidak ada amanat dalam undang-undang agar penjabaran pengaturan mengenai Pembentukan Peraturan Daerah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri. Pasal 140 ayat (3) UU Pemda menyebutkan bahwa Tata cara mempersiapkan rancangan Perda yang berasal dari Gubernur atau Bupati/ Walikota diatur dengan Peraturan Presiden. Kemudian Pasal 141 ayat (2) UU Pemda menyebutkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan Perda diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD. Berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Peraturan Menteri Dalam Negeri ini menyalahi asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan, karena seharusnya substansi tersebut merupakan materi muatan Peraturan Presiden dan materi muatan Peraturan Tata Tertib DPRD 19
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pengaturan mengenai Peraturan Daerah
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Hal yang sama juga diamanatkan oleh UU PPP, yaitu dengan Peraturan Presiden dan Peraturan DPRD, bukan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
C. Sinkronisasi Perda Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 Dalam Uji Materi. Permohonan uji materi Perda Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 diajukan oleh I MADE DEG, beralamat di BR. Dinas Karang Bomo, Desa Pecatu, Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Permohonan diajukan tanggal 22 Juni 2010 dan diterima oleh panitera Mahkamah Agung tanggal 23 Juni 2010, serta diregister dengan Nomor: 30P/HUM/2010. Pemohon mengajukan permohonan uji materiil (Judicial Review) terhadap Perda tersebut, karena beberapa pasalnya dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Pasal-pasal yang dimohonkan untuk dinyatakan tidak berlaku di dalam Perda tersebut secara singkat dapat dijelaskan adalah pasal yang mengatur mengenai kawasan tempat suci dan sempadan jurang.20 Dengan pengaturan mengenai dua hal tersebut, menurut Pemohon, telah mengakibatkan hilangnya kesempatan Pemohon untuk mencari penghasilan bagi keluarga di atas tanah yang dimilikinya dan hilangnya atau berkurangnya nilai tanah yang telah diperoleh oleh Pemohon secara turun temurun dan dengan usaha dan pengorbanan yang tidak sedikit. Pemberlakuan Perda No. 16 Tahun 2009 oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali nyata-nyata telah merugikan hak dari Pemohon. Pemohon selaku pemilik tanah yang berada dalam kawasan tempat suci tidak dapat menggunakan tanah miliknya untuk melaksanakan kegiatan usaha, khususnya kegiatan usaha penyediaan prasarana pariwisata seperti villa, homestay, hotel, cafe, karaoke, dan usaha lain yang merupakan kegiatan usaha utama di wilayah Pemohon sebagai daerah pariwisata telah mengakibatkan Pemohon kehilangan haknya untuk memanfaatkan tanah miliknya dan mengakibatkan nilai tanah Pemohon menjadi hilang. Dengan dirampasnya hak para pemohon untuk menggunakan tanahnya bagi kegiatan usaha khususnya di bidang pariwisata maka kehidupan ekonomi Pemohon beserta keluarganya menjadi terancam. Peraturan perundang-undangan yang dijadikan “batu uji” terhadap Perda tersebut adalah Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; UndangUndang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang
20
Yang menjadi obyek permohonan uji materiil khususnya Pasal 44 ayat (1) huruf b dan huruf e, Pasal 44 ayat (9), ayat (10), ayat (11), ayat (12), dan ayat (15), Pasal 50 ayat (2), ayat (3), dan ayat (6), Pasal 106 ayat (3) huruf b dan e, serta Pasal 108 ayat (2) dan ayat (5).
20
Novianto M. Hantoro, S.H., M.H.
undangan; Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.21 Pertentangan yang dijadikan dalil oleh Pemohon antara lain: a. Asas Normatif Pemohon menganggap Perda ini tidak memenuhi asas kepastian hukum dan keadilan, serta kemanusiaan22 karena merugikan kepentingan pemohon. b. Ketiadaan amanat untuk mengatur lebih lanjut Pemohon mengajukan argumentasi bahwa Pemerintah Pusat tidak mengamanatkan kepada Pemerintah Daerah Provinsi untuk menetapkan kawasan tempat suci dan sempadan jurang. Menurut pemohon, penetapan kawasan tempat suci dan sempadan jurang oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali merupakan inisiatif Pemerintah Daerah Provinsi Bali yang mengakibatkan dilanggarnya hak-hak dari Pemohon dan para pemilik tanah di kawasan tempat suci dan sempadan jurang sebagaimana dimaksud dalam Perda. c. Materi muatan Perda melampaui kewenangan Menurut Pemohon, Perda Provinsi tersebut melampaui kewenangan, karena mengatur yang tidak bersifat lintas kabupaten. Kawasan suci pura yang diatur oleh Pemerintah daerah Provinsi dalam Perda 16 Tahun 2009 berada dalam wilayah kabupaten/kota. Dengan demikian, karena kawasan suci pura hanya berada dalam satu wilayah kabupaten/ kota kewenangan pengaturan mengenai kawasan suci pura bukan berada pada Pemerintah Daerah Provinsi cq. Gubernur. Perda Provinsi tersebut juga dinilai Pemohon melampaui kewenangan, karena mengatur urusan keagamaan (masalah kawasan tempat suci) yang seharusnya merupakan kewenangan Pemerintah Pusat; d. Perbedaan pengaturan Menurut Pemohon, Perda No. 16 Tahun 2009 telah mengatur jenis kawasan perlindungan setempat yang berbeda dengan apa yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008, dengan menambahkan jenis baru dalam kawasan perlindungan setempat, yaitu:
21
22
Pasal 2 huruf h, Pasal 22 ayat (2) huruf c dan huruf h, Pasal 23 ayat (1) huruf c UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang; Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) huruf f UU No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan; Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (3) huruf f UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; serta Pasal 3 huruf g, Pasal 51, Pasal 52 ayat (2), Pasal 56 Peraturan pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Tercermin dari Pasal undang-undang yang dijadikan acuan, yaitu Pasal 2 huruf (h) UU No.26/2007 tentang h. kepastian hukum dan keadilan; dan Pasal 6 ayat (1) huru f (b) UU No.10/2004 tentang b. kemanusiaan.
21
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pengaturan mengenai Peraturan Daerah
Kawasan tempat suci dan kawasan sempadan jurang. Penambahan jenis kawasan perlindungan setempat tersebut mengakibatkan terjadinya ketidakkonsistenan antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Hal mana telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat. Terhadap permohonan Pemohon tersebut, Termohon telah mengajukan jawaban tertanggal 9 Agustus 2010 dengan dalil-dalil antara lain sebagai berikut: a. Materi muatan Perda yang paling utama adalah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dapat menampung kondisi khusus atau ciri khusus daerah. Oleh karena itu patut dipahami bahwa peraturan perundang-undangan memerintahkan pelaksanaan otonomi dengan menampung kondisi khusus atau memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Artinya, materi muatan Perda tersebut adalah berwarna atau tidak harus sama antara satu daerah dengan daerah yang lainnya, namun demikian tetap harus dijaga bahwa dalam mengakomodasi kondisi khusus atau ciri khas daerah tersebut tidaklah boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan dan kepentingan umum. Dalam proporsi pengaturan rencana tata ruang daerah, UU No. 26 Tahun 2007 memberikan amanat kepada Pemda Provinsi untuk menetapkan materi muatan Perda sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23 ayat (1) khususnya huruf c dan huruf d.23 b. Alasan Pemohon terkait asas keadilan, dijawab oleh Termohon bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat, rasa keadilan masyarakat bukan rasa keadilan perseorangan. Dengan demikian tolok ukur rasa keadilan masyarakat tersebut tetap dalam arti komunal atau secara keseluruhan masyarakat, sehingga rasa keadilan dimaksud adalah rasa keadilan masyarakat Bali sebagai satu kesatuan umat yang menghormati warisan adiluhung yang ditinggalkan para leluhur (pendahulunya). c. Alasan Pemohon akan kehilangan haknya untuk memanfaatkan tanah miliknya dan mengakibatkan nilai tanah Para Pemohon menjadi hilang dan menyatakan dirampasnya hak Pemohon untuk menggunakan tanahnya bagi kegiatan usaha khususnya di bidang pariwisata maka kehidupan ekonomi Para Pemohon beserta keluarganya menjadi terancam, menurut Termohon adalah alasan yang sangat berlebihan dan tak berdasar karena usaha di bidang pertanian sangat terbuka di kawasan tersebut yang terbagi dalam zona-zona. Untuk lebih
23
huruf c menyatakan bahwa rencana tata ruang provinsi memuat rencana pola ruang wilayah provinsi yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis provinsi; huruf d tentang penetapan kawasan strategis provinsi.
22
Novianto M. Hantoro, S.H., M.H.
mengingatkan kita bahwa Pariwisata Bali adalah Pariwisata Budaya yang ditopang oleh sektor pertanian dalam arti luas menjadi prioritas utama pembangunan dari masa Orde Baru sampai dengan RPJP Bali Tahun 2025. Terhadap permohonan uji materi perda tersebut, Mahkamah Agung berpendapat muatan norma Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan pertimbangan: a. Termohon mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan penataan ruang berdasarkan Pasal 10 Undang- Undang No.26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang; Materi muatan Peraturan Daerah dapat memuat karakteristik daerah (vide Pasal 12 Undang-Undang No.10 Tahun 2004) in casu mengatur kawasan tempat suci sebagai salah satu kawasan lindung setempat, yang merupakan penghormatan terhadap kearifan lokal, yang secara konstitusional dilindungi Pasal 18B ayat (2) jo Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Dan hal tersebut parallel dengan jiwa/semangat Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 yang memberikan kewenangan yang semakin besar kepada Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan Penataan Ruang, demi keserasian dan keterpaduan antardaerah dan antara daerah dengan Pusat dan supaya tidak menimbulkan kesenjangan antardaerah (konsideran menimbang huruf c Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang). b. Bali dengan branding “Pariwisata Budaya” menyebabkan Peraturan Daerah yang melakukan penataan ruang dengan mendasarkan pada pelestarian budaya, sebagaimana semangat Peraturan Daerah Provinsi Bali No.16 Tahun 2009 yang menjadi obyek keberatan Hak Uji Materiil. Sehingga penetapan kawasan tempat suci yang diatur Peraturan Daerah tersebut, tidak secara otomatis menyebabkan masyarakat kehilangan kesempatan untuk berusaha di bidang Pariwisata, tapi Peraturan Daerah tersebut mengatur tentang kegiatan masyarakat yang dapat dilakukan dalam kawasan tempat suci, sesuai dengan penetapan zonazona dengan tujuan utama menjaga dan melestarikan budaya Bali. Berdasarkan hal tersebut, MA memutuskan bahwa Peraturan Daerah Provinsi Bali No.16 Tahun 2009 tidak terbukti bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan permohonan ditolak. Hal yang menarik untuk dianalisis dalam kasus ini adalah bahwa sinkron tidak harus sama atau mengulang kembali bunyi norma yang ada di peraturan perundang-undangan di atasnya. Terlebih dalam konteks otonomi daerah, undang-undang telah menjamin bahwa penyusunan Perda dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dapat menampung kondisi khusus, karakteristik ciri khusus daerah. Perda 23
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pengaturan mengenai Peraturan Daerah
tidak harus sama antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Batasan yang perlu diperhatikan adalah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum. Sama halnya dengan sinkron, tidak bertentangan juga tidak dapat diartikan rumusannya harus sama persis. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan memberikan ruang atau keleluasaan kepada Perda untuk mengatur lebih lanjut. Dapat dikatakan bertentangan apabila tujuan pengaturan dalam norma peraturan di bawahnya berbeda dengan tujuan pengaturan dalam peraturan perundang-undnagan yang lebih tinggi.
24
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Adanya pengaturan mengenai peraturan daerah dalam beberapa peraturan perundang-undangan akan menimbulkan beberapa permasalahan dalam implementasinya apabila pengaturan tersebut tidak sinkron dan disharmoni. Secara horizontal terdapat beberapa ketidaksinkronan, yaitu: 1. UU Pemda meniadakan kata “dapat” dan tidak mengatur penyampaian Perda oleh kepala daerah, maka dapat diartikan titik berat pengajuan Perda ada di DPRD. Berbeda dengan UU PPP yang mengatur penyampaian rancangan Perda yang menggunakan kata ‘dapat”. 2. Ketentuan terkait dengan sanksi pidana di dalam Perda bersifat ambigu. Di satu sisi dilakukan pembatasan, namun di sisi lain diperbolehkan keluar dari batasan tersebut. Hal ini menjadikan sistem pemidanaan dan konsep kodifikasi yang dianut KUHP menjadi kabur. 3. Dalam hal pembatalan Perda. UU Pemda memungkinkan pembatalan oleh Pemerintah Pusat, sementara UU MA mengatur mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sebagaimana kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. 4. Dalam hal penyebarluasan, baik penyebarluasan rancangan Perda maupun Perda yang telah diundangkan, yang berwenang menyebarluaskan berdasarkan UU Pemda adalah Pemerintah daerah, sementara berdasarkan UU PPP bukan hanya Pemerintah Daerah, melainkan juga DPRD. Sementara sinkronisasi secara vertikal, hal penting yang perlu dicermati adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Pembentukan Produk Hukum Daerah tidak diamanatkan oleh undangundang, sehingga menyalahi asas pembentukan peraturan perundangundangan, yaitu: kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Jenis peraturan yang diamanatkan oleh undang-undang adalah Peraturan Presiden dan Peraturan DPRD. Terhadap sinkronisasi yang dalam bentuk uji materiil Perda, dengan contoh Perda No. 16 Tahun 2006, dapat disimpulkan bahwa rumusan yang sinkron tidak harus sama atau mengulang kembali bunyi norma yang ada di peraturan perundang-undangan di atasnya. Dalam konteks otonomi daerah, 25
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pengaturan mengenai Peraturan Daerah
Perda diperbolehkan membuat pengaturan dengan menampung kondisi khusus, karakteristik atau ciri khas daerah yang bersangkutan. Dengan demikian, Perda di satu daerah tidak harus sama dengan Perda di Daerah lain. Perda di Bali yang memperhatikan kawasan tempat suci, meskipun tidak diamanatkan oleh undang-undang, namun hal tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang. B. Saran Pengaturan mengenai Perda di dalam UU Pemda sebaiknya tidak duplikasi atau mengulang kembali aturan yang sudah terdapat di dalam UU PPP. Ketentuan mengenai Perda masih perlu ada mengingat pembentukan perda memang diperlukan dalam konteks pembuatan kebijakan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/ kota. Namun demikian perlu dipisahkan, bahwa pengaturan yang terkait dengan ketentuan formil pembentukan perda termasuk asas, tidak perlu diatur lagi secara terperinci. Cukup dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 139 ayat (2) yang menyebutkan “Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda berpedoman kepada peraturan perundang-undangan”.
26
DAFTAR PUSTAKA
Buku Abdurrahman, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Ilmu Perundang-undangan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995.
Friedmann, Lawrence M. The Legal System: A Sosial Science Perspektive. New York; Russel Soge Foundation, 1969.
Lubis, Solly. Landasan dan Teknik Perundang-Undangan, Bandung: Mandar Maju, 1989. Manan, Bagir. Dasar-dasar Perundang-Undangan Indonesia, Cetakan Pertama. Jakarta: Ind. Hill. Co, 1992. Rasjidi, Lili. Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu, Bandung; Remaja Rosdakarya, 1996.
Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan, dasar-Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Makalah Ibrahim R, Sinkronisasi dan Harmonisasi Hukum Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Studi terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Provinsi Bali, makalah disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) tanggal 3 Agustus 2010. Website AA. Oka Mahendra, Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, http:// www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturanperundang-undangan.html diakses tanggal 7 Desember 2012.
http://www.penataanruang.net/ta/Lapan04/P2/SinkronisasiUU/Bab4.pdf diakses pada tanggal 8 Desember 2012. http://definitions.uslegal.com/l/lex-specialis/ diakses pada tanggal 8 Desember 2012. 27
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pengaturan mengenai Peraturan Daerah
Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958). Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844). Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Republik Indonesia, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2025. Putusan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 30 P/HUM/2010.
28
Buku Kedua
SINKRONISASI DAN HARMONISASI PEMBENTUKAN DAERAH OTONOMI KHUSUS: ANALISIS TERHADAP USULAN PEMBENTUKAN DAERAH OTONOMI KHUSUS PROVINSI BALI Dr. Inosentius Samsul, S.H, M.H.*
*
Penelitian Madya Bidang Hukum, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI., email:
[email protected].
BAB I PENDAHULUAN
Pembentukan daerah otonomi khusus merupakan bagian dari penataan daerah.1 Namun, persoalannya tidak berhenti pada penataan daerah saja, tetapi juga terkait dengan masalah kewenangan, karena sesungguhnya kewenangan itulah yang menggambarkan kekhususan suatu daerah.2 Penataan daerah mencakup pembentukan, penghapusan, penggabungan dan penyesuaian daerah.3 Penataan daerah ditujukan untuk: a. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah; b. mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat; c. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik; d. meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan; dan e. meningkatkan daya saing daerah.4 Penataan daerah telah menjadi perhatian para pemangku kepentingan karena ekses negatif dari pemekaran daerah yang sangat masif selama lima tahun terakhir, utamanya terkait dengan konflik sosial, penurunan kualitas pelayanan, dan fragmentasi spasial yang sangat tinggi dari pemerintahan daerah.5 Penataan daerah yang lebih memiliki dampak sosial politik dan hukum adalah pembentukan daerah otonomi khusus, seperti Daerah Otonomi Khusus Papua, Daerah Otonomi Khusus Aceh, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pembentukan daerah otonomi khusus didasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat
1
2
3
4
5
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Naskah Akademik RUU tentang Pemerintahan Daerah, 2011, hal. 54. Lihat BAB IV RUU tentang Pemerintahan Daerah. Dibandingkan dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terdapat perbedaan judul bab. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menggunakan judul Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus, sedangkan Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah berjudul Penataan Daerah. Contoh yang jelas rumusannya adalah mengenai kewenangan yang diberikan kepada Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dituangkan dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2012. Pasal 6 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Jo. Pasal 6 Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 6 ayat (2) Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Sementara Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, karena tidak menggunakan istilah penataan daerah, maka tidak ditemukan rumusan mengenai tujuan penataan daerah. Kementerian Dalam Negeri, op.cit. hal. 54.
31
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pembentukan Daerah Otonomi Khusus:
(8) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, yang menyatakan Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Namun, rumusan tersebut sesungguhnya bersumber dari Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Sedangkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang akan menggantikan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tidak ditemukan lagi rumusan pengakuan dan penghormatan negara terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus. Istilah otonomi khusus, muncul dalam Pasal 271 ayat (2) berkaitan dengan evaluasi pendanaan dalam penyelenggaraan pemerintahan otonomi khusus. Tidak diaturnya mengenai pengakuan dan penghormatan terhadap daerah yang bersifat khusus atau istimewa mengindikasikan keinginan untuk tidak melahirkan daerah otonomi khusus baru. Pembentukan daerah baru, termasuk yang berotonomi khusus, sering menimbulkan pro dan kontra berkaitan dengan motivasi serta manfaat dari pembentukannya. Oleh karena itu, ada upaya pemerintah untuk mengendalikan pembentukan daerah otonomi baru melalui Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 mengatur tentang prosedur dan persyaratan pembentukan daerah sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 mengatur tentang evaluasi kinerja daerah otonom dan implikasinya terhadap penggabungan daerah. Namun, peraturan pemerintah tersebut sering kurang efektif untuk digunakan mengendalikan pembentukan daerah karena perbedaan interpretasi tentang kewenangan pembentukan daerah berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pembentukan melalui undang-undang dapat ditafsirkan bahwa DPR memiliki kewenangan untuk melakukan inisiatif dalam pembentukan daerah otonom baru. Kontroversi tersebut dapat disebabkan karena ketidakpastian peraturan perundang-undangan yang mendasari pembentukan daerah otonom baru serta kemanfaatannya dari sisi pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang menguraikan beberapa materi, yaitu pertama harmonisasi dan sinkronisasi pengaturan mengenai daerah otonomi khusus. Kedua, penerapan pembentukan daerah otonomi khusus. Ketiga, analisis terhadap usulan pembentukan daerah otonomi khusus Provinsi Bali. 32
BAB II SINKRONISASI DAN HARMONISASI PENGATURAN DAERAH KHUSUS/ISTIMEWA
A. Pengaturan Daerah Khusus atau Daerah Istimewa Landasaan utama bagi lahirnya suatu daerah khusus atau istimewa dalam pemerintahan Republik Indonesia adalah ketentuan Pasal 18B UUD 1945. Namun persoalannya, konsep yang terkandung dalam Pasal 18B tersebut telah mengalami pergeseran makna. Bambang Kesowo6 misalnya, berpendapat subyek dari Pasal 18 dan Pasal 18B sudah mengalami perubahan. Sifat istimewa sesungguhnya memang tidak berkaitan dengan pemahaman dan penggunaan kata istimewa atau keistimewaan seperti yang sekarang banyak digunakan dalam pembentukan daerah otonomi khusus. Pasal 18: “Pembagian daerah Indonesia atas besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat Istimewa”. Penjelasan angka (Romawi) II pasal tersebut ditulis ”Dalam territoir Negara Indonesia terdapat +/-250 zelfbesturende Lanschappen dan volsgemeenshappen seperti Desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”. Terdapat tiga hal penting dalam rumusan tersebut, yaitu pertama, yang menjadi subyek sifat istimewa adalah Desa, Negeri (Nagari), Dusun, Marga yang sedari mula memiliki susunan asli sebagai zelfbersturende landschappen dan volksgemeenschappen. Kedua, dalam kosa kata semasa pembentukan UUD 1945, ”daerah-daerah” menjadi kata ganti untuk mengacu subyek-sub Desa, Negeri, Dusun, Marga. Ketiga, kata-kata ”hak –hak asal usul” tidak ditulis dengan kata penghubung ”dan” (bukan: hak-hak dan asal usul) sehingga tidak semestinya dipahami sebagai dua pengertian yang berdiri sendiri dengan makna sendiri-sendiri. Elemen ”asal usul” lah yang utama.
6
Bambang Kesowo, ”Keistimewaan Dalam UUD 1945”, Kompas, Selasa 21 Desember 2010.
33
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pembentukan Daerah Otonomi Khusus:
Dengan demikian, dalam konteks rumusan asli, hak-hak yang harus dihormati oleh negara berikut semua peraturannya adalah asal usul Desa, Negeri, Dusun, dan Marga (yang disebut sebagai daerah) yang karena memiliki susunan asli tadi maka bersifat istimewa. Dengan demikian, sifat istimewa sesungguhnya memang tidak berkaitan dengan pemahaman dan penggunaan kata istimewa atau keistimewaan seperti yang sekarang banyak digunakan. Istilah istimewa, tidak didesain untuk dikaitkan dengan soal asal mula daerah kerajaan, atau daerah dengan kekhasan karena nuansa keagamaan atau karakteristik lain seperti kekhasan etnik, atau kondisi sosial politik, atau problematikanya. Sedangkan setelah UUD 1945 diamandemen, menghasilkan penambahan Pasal 18 B yang terdiri dari 2 (dua) ayat. Dalam kaitannya dengan sifat istimewa, dalam ayat (1), tertulis: (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Jelas bahwa subyek Pasal 18 dan Pasal 18B berbeda karena Pasal 18 mengacu kepada desa, marga, dusun, sedangkan Pasal 18B pada susunan pemerintahan daerah.7 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 mengatur mengenai daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberi otonomi khusus dalam Pasal 225 sampai dengan Pasal 227 Bab XIV mengenai ketentuan lain-lain. Sedangkan dalam Bab II mengenai pembentukan daerah dan kawasan khusus tidak diatur mengenai otonomi khusus, artinya, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tidak memberikan kriteria mengenai kekhususan suatu daerah untuk menjadi daerah otonomi khusus. Ketidakjelasan kriteria dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 mengakibatkan tidak adanya kepastian dalam pembentukan daerah istimewa atau pemberian otonomi khusus. Perbandingan argumentasi kekhususan yang terdapat dalam beberapa undang-undang di bawah ini memperlihatkan kurang jelasnya kriteria tersebut. B. Penerapan Pembentukan Daerah Khusus 1. Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta: Peran dan Fungsi Khusus Ibu Kota serta Kota Proklamasi Kemerdekaan Penetapan Ibu Kota Jakarta sebagai Daerah Khusus didasarkan pada Undang-Undang No. 29 Tahun 2007. Terdapat dua kriteria utama penetapan Jakarta sebagai Daerah Khusus, yaitu pertama Ibu Kota NKRI memiliki fungsi dan peran yang penting dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan NKRI. Untuk itu diberikan kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggungjawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebelumnya, pada Tahun 1964 ditetapkan pula kekhususan Jakarta melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 1964
7
Ibid.
34
Dr. Inosentius Samsul, S.H, M.H
tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya yang merupakan kota pencetusan proklamasi kemerdekaan serta pusat penggerak segala aktivitas resolusi dan penyebar ideologi Pancasila ke seluruh penjuru dunia serta yang menjadi Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan nama Jakarta sejak Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Penetapan ini dilakukan karena pada saat itu ada keinginan untuk memindahkan Ibu Kota Negara Republik Indonesia ke tempat lain. Provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional.8 Kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia meliputi penetapan dan pelaksanaan kebijakan dalam bidang: a. tata ruang, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; b. pengendalian penduduk dan permukiman; c. transportasi; d. industri dan perdagangan; dan e. pariwisata.9
2. Daerah Istimewa Aceh: Keteguhan Perjuangan Melawan Pemerintahan Kolonial Berdasarkan Kekuatan Agama Provinsi Aceh mendapatkan status otonomi khusus melalui UndangUndang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Terdapat pokok pikiran yang menjadi argumentasi penetapan Aceh mendapatkan otonomi khusus, yaitu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi yang bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia10 Keistimewaan Pemerintahan Aceh diwujudkan dalam beberapa aspek, misalnya pembagian wilayah provinsi Aceh dibagi atas (1) kabupaten/kota; (2) kabupaten/kota dibagi atas kecamatan; (3) Kecamatan dibagi atas mukim; (4) Mukim dibagi atas kelurahan dan gampong.11 Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
8
9
10 11
Pasal 5 Undang-Undang No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 26 Undang-Undang No. 29 Tahun 2007. Ketentuan Menimbang Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 2 UU No, 11 Tahun 2006.
35
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pembentukan Daerah Otonomi Khusus:
dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah,12 serta urusan pemerintahan yang bersifat khusus.13
3. Daerah Istimewa Yogyakarta: Peran Historis Kesultanan dan Pakualaman Mengakui dan Mempertahankan NKRI Secara historis, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman telah mempunyai wilayah, pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya NKRI pada tanggal 17 Agustus 1945 Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman telah berperan dan memberikan sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan NKRI. Selanjutnya, untuk mempertegas sikap komitmen terhadap NKRI dikuatkan dan ditetapkan dalam Maklumat Sri Paduka Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII pada tanggal 5 September 1945, yang kemudian dikukuhkan dengan Piagam Kedudukan Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 6 September 1945, Sri Paduka Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menetapkan wilayah, penduduk, dan pemerintahannya menjadi bagian dari wilayah, penduduk, dan pemerintahan NKRI sebagai Daerah Istimewa. Oleh karena itu, keistimewaan bagi Yogyakarta terletak pada peran historis masa lalu yang berdiri teguh mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui pembahasan panjang, yaitu mulai DPR RI Periode 2004-2009, akhirnya Pemerintah dan DPR RI menyepakati penguatan pengakuan terhadap keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.14 Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang tersebut diuraikan bahwa pengaturan Keistimewaan DIY dalam peraturan perundang-undangan sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap konsisten dengan memberikan pengakuan keberadaan suatu daerah yang bersifat istimewa. Namun, konsistensi pengakuan atas status keistimewaan suatu daerah belum diikuti pengaturan yang komprehensif dan jelas mengenai keistimewaannya. Kewenangan yang diberikan kepada DIY melalui UndangUndang Nomor 3 Tahun 1950 semata-mata mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah yang memperlakukan sama semua daerah di Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sampai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Pasal 7 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006. Pasal 11 UU No. 11 Tahun 2006. 14 Undang-Undang No. 13 Tahun 2013 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5339. 12 13
36
Dr. Inosentius Samsul, S.H, M.H
tentang Pemerintahan Daerah. Hal di atas telah memunculkan interpretasi bahwa Keistimewaan DIY hanya pada kedudukan Gubernur dan Wakil Gubernur.15 Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 dirumuskan bahwa keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa.16 Kewenangan istimewa adalah wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah.17 Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 ini memberikan kewenangan DIY sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah DIY sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah dan urusan Keistimewaan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini, yang meliputi: a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; b. kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; c. kebudayaan; d. pertanahan; dan e. tata ruang.18 4. Otonomi Khusus Papua: Solusi Damai NKRI, Penghargaan Terhadap Suku Asli, Perlindungan HAM, Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Suku Asli Papua19 Otonomi khusus yang mencerminkan keistimewaan memiliki dimensi Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar. Penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri. Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan menampakkan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua. Pengelolaan
15
18 19 16 17
Lihat Penjelasan Umum, Paragraf Tujuh, Undang-Undang No. 13 Tahun 2013 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 13 Tahun 2012. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2012. Pasal 7 Undang-Undang No. 13 Tahun 2012. Ketentuan Menimbang Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
37
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pembentukan Daerah Otonomi Khusus:
dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua untuk digunakan secara optimal meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, ternyata telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta diwarnai dengan praktik pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua. Diperlukan kebijakan khusus mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan provinsi lain, serta meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua. Kebijakan khusus tersebut dilaksanakan dalam kerangka NKRI berdasarkan pada nilai-nilai dan yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, HAM, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga negara. Solusi damai terhadap kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua antara lain aspirasi masyarakat yang menghendaki pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua. Berdasarkan gambaran di atas, jelas bahwa tidak ada kriteria tunggal mengenai pembentukan daerah otonomi khusus. Penetapan sebagai daerah otonomi khusus benar-benar didasarkan pada sejarah dan pertimbangan politik.
38
BAB III USULAN PEMBENTUKAN OTONOMI KHUSUS BALI
A. Urgensi dan Kemanfaatan Otonomi Khusus Bali Inisiatif masyarakat Provinsi Bali untuk mengusulkan pembentukan daerah otonomi khusus Provinsi Bali telah berproses sampai pembentukan Panitia Khusus Pembentukan Otonomi Khusus DPRD Provinsi Bali. Panitia Khusus tersebut telah menghasilkan naskah akademik Rancangan UndangUndang tentang Pembentukan Otonomi Khusus Provinsi Bali. Dalam naskah akademik tersebut dirumukan argumentasi filosofis, sosiologis, dan juridis pembentukan otonomi khusus Provinsi Bali.20 Secara filosofis, otonomi khusus Provinsi Bali dirasakan penting, karena manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna pada hakikatnya mempunyai seperangkat hak asasi manusia (HAM) seperti hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Secara sosologis, Pemerintahan yang sentralistik dinilai tidak populer karena ketidakmampuannya memahami nilai-nilai daerah serta sentimen aspirasi masyarakat lokal. Sedangkan urgensi secara yuridis, otonomi khusus memerlukan bentuk hukum tersendiri yakni bentuk undang-undang sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 18B UUD Negara Republik Indonesia 1945. Berhubung undang-undang ini mengatur otonomi khusus maka ia memiliki sifat khusus yang lazim disebut undang-undang khusus (lex specialis). Istilah otonomi khusus bagi Provinsi Bali menyangkut keleluasaan dan kemandirian mengurus, mengatur, mengembangkan, dan memanfaatkan aset bangsa yang ada di Bali untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Bali dan daya saing daerah. Dengan kewenangan khusus tersebut, Bali berharap mendapat keleluasaan untuk menentukan strategi pembangunan daerahnya sesuai dengan kekhususan, keunikan, dan keunggulan talentanya yaitu kebudayaan Bali yang diilhami oleh ajaran agama Hindu di dalam mengelola sistem sosial, ekonomi dan ekosistemnya yang unik sebagai pendukung talenta pariwisata budaya. Upaya untuk itu merupakan bagian dari pengembangan dan penumbuhan hati jati diri orang Bali yang taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersahabat dengan sesama, menghargakan kebhinekaan, dan sumber
20
Panitia Khusus Pembentukan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali, DPRD Bali, 2017, hal.5-6.
39
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pembentukan Daerah Otonomi Khusus:
daya alam ciptaan Tuhan sebagai aktualisasi dari konsep kearifan budayanya, yaitu Tri Hita Karana.21 Berdasarkan pemikiran di atas, maka manfaat yang akan diperoleh masyarakat Bali melalui penetapan otonomi khusus adalah:22 1. Payung hukum perumusan kebijakan dan pengaturan (regulasi) pembangunan daerah dalam berbagai aspek sesuai dengan konsep Tri Hita Karana. Dengan demikian, efektivitas dan efisiensi pembangunan Bali dapat dilaksanakan secara intensif, terarah, dan terpadu dengan bidang-bidang lain. Demikian juga dengan upaya pengembangan, revitalisasi, pemeliharaan dan pelestarian budaya dan lembaga tradisional dapat dilaksanakan lebih intensif dan terarah. Selain itu, pelestarian, pengembangan dan pemberdayan Desa Pakraman, banjar adat dan lembaga keuangan adat dapat diupayakan pelaksanaannya dengan baik. 2. Kewenangan dalam otonomi daerah yang berada di kabupaten akan diarahkan ke Pemerintah Provinsi. Penetapan otonomi pada tingkat provinsi berarti kebijakan-kebijakan strategis hanya ada di provinsi. Dengan demikian, sinkronisasi kebijakan antar kabupaten dapat dipadukan sehingga efektivitas penyelenggaraan pemerintah dapat dijamin. Bila itu dapat diwujudkan maka implementasi kebijakan tata ruang, tata pemerintahan, dan tata aturan dapat diwujudkan secara sinkron. Untuk memperjelas rancangan operasional kebijakan tersebut perlu perumusan rancangan besar (grand design) tentang otonomi khusus yang dimaksudkan. Dengan demikian, alih pelimpahan kewenangan tersebut akan memperoleh dana perimbangan di luar dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan danadana bagi hasil sebagai akibat otonomi khusus seperti jasa pariwisata dan sumber lainnya. 3. Penetapan standar keamanan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah Bali sebagai daerah tujuan wisata dan kegiatan kenegaraan. Bali dapat melakukan pengamanan melalui sistem keamanannya sesuai standar dan budaya yang dibutuhkannya. Melalui wewenang khusus itu, pelaksanaan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi yang selama ini mandul dalam implementasi kebijakan strategis dan program serta pelaksanaannya dapat lebih dijamin di seluruh kabupaten/kota. Dengan demikian, pemerataan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat antar kabupaten/kota se-Bali terutama dalam
21
22
I Nyoman Budiana, “Pengaturan Mengenai Otonomi Khusus dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan Rencana Pembentukan Otonomi Khusus Daerah Bali”, Makalah Focus Group Discussion (FGD) Otonomi Khusus Bali. Kampus Universitas Mahendradatta, 3 Agustus 2010. Laporan hasil FGD Penelitian Harmonisasi dan Sinkronisasi Pengaturan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Universitas Mahendradatta, 3 Agustus 2010. Lihat I Nyoman Budiana, hal. 4.
40
Dr. Inosentius Samsul, S.H, M.H
bidang kebudayaan, adat, pariwisata dan pelayanan umum dapat lebih terjamin. Melalui otonomi khusus yang berada di provinsi, pengelolaan pembangunan daerah Bali dapat dilakukan lebih efektif, efisien dan optimal sesuai dengan asas akuntabilitas dan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance).
B. Potensi Kekhususan Provinsi Bali Usulan pembentukan daerah otonomi khusus Provinsi Bali didasarkan pada beberapa potensi kekhususan Provinsi Bali yang dapat dikembangkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat Bali dalam kerangka hukum otonomi khusus. Beberapa potensi yang dapat dikembangkan melalui penetapan otonomi khusus adalah keadaan alam, agama dan seni budaya, kelembagaan adat.23 1. Keadaan Alam Bali memiliki potensi kekayaan alam, karena beberapa danau yang ada di provinsi ini letaknya justru di daerah pegunungan. Danau Buyan, Danau Tamblingan, dan Danau Beratan berada di daerah pegunungan Bedugul, Kabupaten Tabanan. Danau Batur ada di kaki Gunung Batur di daerah pegunungan Kintamani, Kabupaten Bangli. Kekhususan letak danau ini berpengaruh terhadap tatanan konservasi hutan dan air di Bali yang tercermin dalam sistem Subak. 2. Agama dan Seni Budaya Di bidang keyakinan beragama Provinsi Bali juga memiliki kekhususan. Sebagian besar penduduk Provinsi Pulau ini termasuk etnik Bali, memeluk agama Hindu, berbahasa Indonesia dan Bali. Etnik Bali termasuk beruntung karena diantara sedikit etnik di Indonesia yang memiliki huruf daerah, salah satu diantaranya adalah etnik Bali. Provinsi Bali dikatakan memiliki kekhususan di bidang agama karena 3.126.467 jiwa (95%) diantara 3.375.292 jiwa penduduk Provinsi Bali beragama Hindu. Agama Hindu menjadi roh dari budaya Bali, sehingga melahirkan berbagai bentuk seni budaya Bali yang indah seperti seni tabuh, seni pertunjukan, seni lukis, seni ukir, seni bangunan, dan seni suara yang khas Bali dan dikagumi oleh dunia luar. Tempat suci atau pura (parhyangan) merupakan salah satu unsur penting komunitas Bali disamping unsur pawongan (warga yang beragama Hindu) dan palemahan (wilayah). Menurut Wiana (2004), berdasarkan warga yang bertanggungjawab, pura dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu (1) Pura Kawitan (keluarga tertentu), (2) Pura Kayangan Desa (pura yang ada pada masing-masing desa), (3) Pura Swagina (pura untuk profesi tertentu), (4) Pura Kahyangan Jagat (dipuja oleh seluruh umat Hindu).
23
Pansus Otsus Bali, DPRD Provinsi Bali, Naskah Akademik, hal. 6-7.
41
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pembentukan Daerah Otonomi Khusus:
Selain tempat suci (pura), umat Hindu di Bali juga mengenal kawasan suci dan tempat yang diyakini suci. Disebut kawasan suci antara lain gunung, danau, campuhan (pertemuan sungai), pantai, laut dan sebagainya diyakini memiliki nilai-nilai kesucian.24 Oleh karena itu tempat suci (pura dan tempattempat suci umumnya), didirikan di tempat tersebut. 3. Kelembagaan Adat Tatanan sosial masyarakat Bali memiliki kekhususan dibandingkan dengan di tempat lain di luar Provinsi Bali. Kalau di tempat lain dikenal hanya ada satu desa, sementara di Bali ada dua desa yaitu (1) ”desa pakraman” atau ”desa adat” dan (2) ”desa dinas”. Disamping itu juga ada organisasi tradisional di bidang pertanian (”subak”), organisasi tradisional yang dibentuk berdasarkan kegemaran yang sama (”sekaa”) dan organisasi tradisional berdasarkan keturunan (”dadya”). Desa Pakraman telah ada sejak zaman Bali Kuna (abad VIII – XIV), yang dikenal dengan sebutan kraman. Untuk menunjuk desa digunakan istilah banwa, wanua atau banua25 (Goris, 1954; Parimartha, 1997; Astra, 1997). Tatanan kehidupan bermasyarakat dan beragama di desa Pakraman, diatur berdasarkan aturan yang mereka buat sendiri. Oleh karena itu, desa Pakraman dikatakan memiliki otonomi asli. Sejak dikeluarkannya Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, sebutan “desa adat” diganti menjadi “desa pakraman”. “Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Sebuah desa Pakraman, terdiri dari tiga unsur, yaitu: (1) Unsur parahyangan (hal-hal yang berkaitan dengan Ketuhanan menurut agama Hindu). (2) Unsur pawongan (hal-hal yang berkaitan dengan warga desa menurut agama Hindu). (3) Unsur palemahan (hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan alam desa, menurut agama Hindu). Di samping desa Pakraman, keunikan struktur masyarakat Bali ditemukan pula dalam kelembagaan Subak. Pembangunan Daerah Provinsi Bali sesuai dengan pola umum pembangunan jangka panjang, menetapkan tiga sektor pembangunan sebagai prioritas, yaitu: sektor pertanian dalam arti luas; sektor pariwisata yang bermodal pada kebudayaan; dan sektor industri dan kerajinan terutama yang berkaitan dengan sektor pertanian dan sub sektor pariwisata.
24
25
Keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat No. 11.Kep.I/PHDI/1994 tanggal 25 Januari 1994 tentang Bhisama Kesucian Pura. Pansus Otsus Bali, Naskah Akademik, hal. 6-7.
42
Dr. Inosentius Samsul, S.H, M.H
Dalam pelaksanakan pembangunan pada sektor pertanian termasuk Subak, pemerintah secara berencana telah menerapkan teknologi modern di bidang pengairan dan pola tanam. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan inovasi di bidang irigasi sistem Subak meliputi pembangunan irigasi dan sistem pola tanam. Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Subak, dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1) Lemahnya daya tawar masyarakat Subak dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan inovasi di bidang irigasi teknis; 2) Lemahnya masyarakat Subak dalam inovasi pengaturan pola tanam; 3) Menyempitnya areal Subak karena pesatnya perkembangan pembangunan pada subsistem pariwisata, sehingga terjadi alih fungsi lahan Subak menjadi pembangunan perumahan atau fungsi lainnya; 4) Beralihnya mata pencaharian masyarakat petani menuju sektor pariwisata dan pertukangan; 5) Pura Subak kehilangan krama penyungsungnya; 6) Menipisnya solidaritas sosial dan budaya krama Subak; 7) Terancamnya kelestarian Subak dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun sosial budaya.26
26
Ibid., hal. 13.
43
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian kerangka hukum, pengalaman pembentukan daerah otonomi khsusus, serta konsepsi usulan pembentukan otonomi khusus Provinsi Bali, penulis sampai pada kesimpulan, sebagai berikut: Pertama, pengaturan mengenai pembentukan daerah otonomi khusus/ istimewa tidak tersistematis sehingga pembentukan daerah otonomi khusus memiliki pertimbangan dan argumentasi yang berbeda setiap daerah. Kedua, praktek pembentukan daerah otonomi khusus Papua, Aceh, Yogyakarta, dan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta jelas menggambarkan perbedaaan argumentasi penetapan sebagai daerah otonomi khusus. Sampai saat ini, faktor sosial politik dan keamanan serta aspek historis yang mempengaruhi pembentukan daerah otonomi khusus. Ketiga, politik hukum pemerintahan daerah yang tidak lagi mencantumkan pengakuan terhadap daerah-daerah yang bersiat khusus atau istimewa dalam RUU tentang Pemerintahan Daerah yang akan menggantikan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menggambarkan sikap pemerintah yang tidak menginginkan terbentuknya daerah otonomi khusus baru. Oleh karena itu, faktor potensi pada bidang adat istiadat, tradisi, dan budaya Provinsi Bali tidak cukup kuat untuk menetapkan otonomi khusus kepada Provinsi Bali.
B. Rekomendasi Penelitian ini sampai pada rekomendasi sebagai berikut: Pertama, perlu diperjelas alasan atau kebijakan hukum yang tidak mencantumkan pengakuan terhadap kekhususan dan keistimewaan daerah dalam RUU tentang Pemerintah Daerah. Apabila argumentasi penghapusan pengakuan daerah khusus atau istimewa kurang kuat, maka penulis menyarankan untuk tetap mencantumkannya dalam undang-undang sebagaimana halnya dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Kedua, Masyarakat Bali dapat melakukan modifikasi terhadap upaya penguatan potensi adat istiadat, tradisi, budaya, alam, agama melalui amandemen terhadap Undang-Undang No. 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Undang-Undang tersebut mengatur tentang tiga provinsi, sehingga perlu 45
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pembentukan Daerah Otonomi Khusus:
dibuat undang-undang tersendiri, sebab sudah ketinggalan zaman, perlu disesuaikan dengan kondisi dan tuntutan saat ini. Melalui revisi tersebut kepentingan masyarakat Bali untuk memperkuat potensi adat istiadat, tradisi dan budaya dapat dirumuskan dan berwenang mengurus potensi-potensi daerah tanpa harus dalam bentuk daerah otonomi khusus.
46
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Makalah Abdullah Rozali, H., 2005. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Ardana, I Gst. Gede, 2007. Pemberdayaan Kearifan Lokal Masyarakat Bali dalam Menghadapi Budaya Global. Penerbit Pustaka Tarukan Agung. Denpasar.
Budiana, I Nyoman. “Pengaturan Mengenai Otonomi Khusus Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Dan Rencana Pembentukan Otonomi Khusus Daerah Bali,” Makalah disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) Penelitian Tim Hukum P3DI Sekretariat Jenderal DPR RI tentang Sinkronisasi dan Harmonisasi Pengaturan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, bertempat di kampus Universitas Mahendradatta, Selasa, 3 Agustus 2010.
Pitana, I Gde dan Setiawan AP, I Gede (ed), 2005. Revitalitasi Subak Dalam Memasuki Era Globalisasi. Penerbit Andi Offset. Panitia Khusus Otonomi Khusus DPRD Provinsi Bali. Talenta Bali menuju Otonomi Khusus. Bali Media. Denpasar (2007).
-----------------, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali, 2007. Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Surat Kabar Kesowo, Bambang. “Keistimewaan Dalam UUD 1945”, Opini Kompas, Selasa 21 Desember 2010.
Peraturan Perundang-undangan Keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat No. 11.Kep.I/PHDI/1994 tanggal 25 Januari 1994 tentang Bhisama Kesucian Pura. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 47
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pembentukan Daerah Otonomi Khusus:
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pembentukan Provinsi DKI Jakarta. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
48
Bagian Kedua Hukum Ekonomi
SINKRONISASI DAN HARMONISASI HUKUM PENYELENGGARAAN SISTEM JAMINAN SOSIAL ANTARA PUSAT DAN DAERAH (Studi terhadap Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial di Provinsi Bali) Dian Cahyaningrum, S.H.,M.H.*
*
Peneliti Madya Bidang Hukum Ekonomi pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI, e-mail:
[email protected]
BAB I PENDAHULUAN
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) disebutkan “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”. Sebagai Negara kesatuan, Indonesia tidak mengenal adanya daerah di dalam lingkungannya yang bersifat “staat” (negara dalam negara). Namun untuk memudahkan pelayanan publik demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam beberapa daerah. Hal ini disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD Tahun 1945, yaitu “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiaptiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Lebih lanjut dalam Pasal 18 ayat (2) UUD Tahun 1945 disebutkan “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (5) UUD Tahun 1945 disebutkan “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan”. Sebagai penjabaran lebih lanjut dari Pasal 18 UUD Tahun 1945, dibentuklah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah dua kali mengalami perubahan yaitu dengan UU No. 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang dan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu substansi penting yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 ialah pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah. Dalam pembagian urusan pemerintahan tersebut, pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU No. 32 Tahun 2004 ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Berdasarkan Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004, urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah meliputi: politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama. Dengan demikian, bidang51
Sinkronisasi dan Harmonisasi Hukum Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial
bidang lain di luar 6 bidang tersebut menjadi urusan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi luas dan nyata. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah tersebut terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah. Terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan, salah satu kewajiban daerah dalam menyelenggarakan otonomi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 huruf h UU No. 32 Tahun 2004 adalah mengembangkan sistem jaminan sosial. Agar kewajiban tersebut dapat dilaksanakan dengan baik maka Pasal 167 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 mengamanatkan daerah memprioritaskan anggarannya, diantaranya untuk mengembangkan sistem jaminan sosial sebagai upaya untuk perlindungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Kewenangan dan kewajiban daerah untuk mengembangkan sistem jaminan sosial tersebut diperkuat dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan pemohon judicial review atas UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional terhadap UUD Tahun 1945. Pemohon beranggapan materi muatan Pasal 5 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 52 UU No. 40 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 18 dan Pasal 18 A UUD Tahun 1945, selain juga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28 I ayat (2) dan Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5) UUD Tahun 1945. Salah satu argumen yang diajukan adalah ketentuan Pasal 5 ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 52 UU No. 40 Tahun 2004 menutup peluang daerah untuk mengembangkan sistem jaminan sosial sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 32 Tahun 2004. Dalam pertimbangannya, MK berpendapat bahwa kewenangan untuk menyelenggarakan jaminan sosial tidak hanya merupakan kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana tercermin dalam Pasal 5 ayat (4) UU No. 40 Tahun 2004, dan juga bukan hanya kewenangan Pemerintah Daerah berdasarkan ajaran otonomi seluas-luasnya. Alasannya, terminologi “negara” dalam Pasal 34 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menjadi landasan yuridis UU No. 40 Tahun 2004, dalam hubungannya dengan paham negara kesejahteraan menunjuk pada pelaksanaan fungsi pelayanan sosial negara bagi rakyat atau warga negaranya. Menurut UUD Tahun 1945, kekuasaan pemerintahan negara dilaksanakan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sehingga pada Pemerintah Daerah melekat pula fungsi pelayanan sosial. Dengan demikian, UU No. 40 Tahun 2004 tidak boleh menutup peluang Pemerintah Daerah untuk mengembangkan sistem jaminan sosial. Berpijak pada pertimbangan tersebut, maka MK memutuskan sebagai berikut: 52
Dian Cahyaningrum, S.H., M.H.
a. Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2004 tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 selama yang dimaksud oleh ketentuan tersebut adalah pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat nasional yang berada di pusat. b. Pasal 5 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 karena materi muatannya telah tertampung dalam Pasal 52 UU No. 40 Tahun 2004, dan karenanya jika dipertahankan keberadaannya akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum. c. Pasal 5 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2004 meskipun tidak dimohonkan dalam petitum, namun ayat ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari ayat (3) sehingga jika dipertahankan akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum. d. Pasal 5 ayat (4) UU No. 40 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 karena dapat menutup peluang Pemerintah Daerah untuk membentuk dan mengembangkan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah. e. Pasal 52 UU No. 40 Tahun 2004 yang dimohonkan pemohon tidak cukup beralasan. Dari keputusan tersebut, MK telah mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; menyatakan Pasal 5 ayat (2); ayat (3); dan ayat (4) UU No. 40 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD Tahun 1945, dan karenanya ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan pada putusan MK atas pengujian UU No. 40 Tahun 2004, di tingkat pusat program jaminan sosial diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional (BPJS Nasional), yang dibentuk dengan UU dan berkedudukan di pusat. Sedangkan di daerah, pemerintah daerah dapat membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Daerah (BPJS Daerah) untuk menyelenggarakan jaminan sosial, yang dibentuk dengan Perda. BPJS Nasional menyelenggarakan jaminan sosial secara nasional. Ini berarti program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh BPJS Nasional mencakup semua daerah atau provinsi, termasuk Provinsi Bali. Sementara itu berdasarkan Pasal 22 huruf h UU No. 32 Tahun 2004 dan putusan MK yang mengabulkan sebagian atas judicial review UU No. 40 Tahun 2004, Pemerintah Provinsi Bali juga memiliki kewajiban dan kewenangan untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial untuk rakyatnya. Sehubungan dengan hal ini maka tulisan ini akan mengkaji penyelenggaraan sistem jaminan sosial di Provinsi Bali. Beberapa permasalahan yang akan dikaji adalah Bagaimanakah pelaksanaan kewajiban Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali dalam mengembangkan sistem jaminan sosial sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22 huruf h UU No. 32 Tahun 2004? Dan bagaimana mensinkronkan dan mengharmoniskan 53
Sinkronisasi dan Harmonisasi Hukum Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial
sistem jaminan sosial yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Bali dengan penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional? Untuk menganalisa permasalahan tersebut digunakan metode yuridis normatif yang dilakukan dengan menganalisa peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem jaminan sosial baik di pusat maupun di daerah. Lebih lanjut, tulisan ini diharapkan mempunyai beberapa kegunaan diantaranya menambah wawasan dan pengetahuan mengenai penyelenggaraan sistem jaminan sosial di daerah, khususnya di Provinsi Bali. Tulisan ini juga berguna sebagai masukan bagi Anggota Dewan dalam melaksanakan fungsinya baik di bidang legislasi maupun pengawasan khususnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem jaminan sosial. Selain itu tulisan ini juga berguna bagi Pemerintah Provinsi Bali dalam menyelenggarakan sistem jaminan sosial di daerahnya.
54
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN
A. Konsepsi Dasar Jaminan Sosial Asuransi sosial atau jaminan sosial (social assurance) diperlukan untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat (khususnya rakyat miskin). Hal ini disebabkan pembangunan ekonomi yang memberi peluang untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tidak dapat dimanfaatkan secara merata oleh seluruh rakyat. Ditengarai, salah satu faktor penyebabnya adalah kapabilitas rakyat khususnya kesehatan dan pendidikan cukup variatif. Penduduk yang memiliki kapabilitas rendah (penduduk miskin) sulit berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan ekonomi. Hal itu termanifestasi dari produktivitas yang rendah. Ketidakmerataan kesempatan penduduk terhadap pembangunan menyebabkan kesenjangan pendapatan penduduk kian melebar. Untuk itu pemerintah perlu menyediakan jaminan sosial bagi mereka yang memiliki kapabilitas rendah.1 Jaminan sosial dapat dimaknai sebagai investasi sosial yang dapat berfungsi sebagai penggerak ekonomi pada masa mendatang. Produktivitas penduduk akan semakin optimal manakala pendidikan dan kesehatan penduduk kian meningkat. Menyadari pentingnya jaminan sosial, pemerintah di negara-negara maju secara rutin menyiapkan anggaran untuk jaminan sosial. Di negara-negara Eropa, misalnya, anggaran yang disediakan untuk jaminan sosial sekitar 25% dari produk domestik bruto. Untuk negara berkembang, sebagai upaya untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, UNDP menyarankan kepada pemerintah di negara-negara berkembang untuk menyediakan paling tidak 20%-25% anggaran untuk jaminan sosial. Tercukupinya anggaran untuk jaminan sosial ini penting karena sebagaimana diungkapkan oleh Barr bahwa upaya peningkatan ekonomi untuk membangun masyarakat yang maju tidak akan tercapai jika pemerintah gagal dalam menyediakan jaminan sosial yang memadai.2 Sehubungan dengan perlu tercukupinya anggaran untuk jaminan sosial maka perlindungan jaminan sosial mengenal beberapa pendekatan yang
1
2
Pertumbuhan Ekonomi dan Jaminan Sosial, 22 Oktober 2009, http://www.mediaindonesia. com/read/2009/10/22/101535/68/11/Pertumbuhan-Ekonomi-dan-Jaminan-Sosial, diakses tanggal 6 Nopember 2009. Ibid.
55
Sinkronisasi dan Harmonisasi Hukum Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial
saling melengkapi yang direncanakan dalam jangka panjang dapat mencakup seluruh rakyat secara bertahap sesuai dengan perkembangan kemampuan ekonomi masyarakat. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah:3 a. pendekatan asuransi sosial atau compulsory social insurance, yang dibiayai dari kontribusi/premi yang dibayarkan oleh setiap tenaga kerja dan atau pemberi kerja. Kontribusi/premi dimaksud selalu harus dikaitkan dengan tingkat pendapatan/upah yang dibayarkan oleh pemberi kerja. b. Pendekatan kedua berupa bantuan sosial (social assistance) baik dalam bentuk pemberian bantuan uang tunai maupun pelayanan dengan sumber pembiayan dari negara dan masyarakat lainnya. Mengingat jaminan sosial dalam bentuk bantuan sosial membutuhkan anggaran yang cukup besar maka negara yang menganut welfare state yang selama ini memberikan jaminan sosial dalam bentuk bantuan sosial mulai menerapkan asuransi sosial. Begitu pentingnya jaminan sosial, Pasal 22 dan Pasal 25 Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) mengakui dan menyatakan jaminan sosial sebagai hak asasi manusia yang harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan oleh semua negara dengan sebaikbaiknya. Dalam Konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945/UUD Tahun 1945), hak atas jaminan sosial diakui dan dilindungi dalam Pasal 28 H ayat (3) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan ”Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Sebagai pelaksanaan dari ketentuan tersebut maka Pasal 34 ayat (2) UUD Tahun 1945 mengamanatkan negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Sebagai implementasi dari ketentuan tersebut dan untuk mengatur jaminan sosial lebih lanjut maka dibentuk UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Di dalam UU No. 40 Tahun 2004, yang dimaksud dengan jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Sedangkan yang dimaksud dengan sistem jaminan sosial nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial. Badan penyelenggara jaminan sosial atau yang sering disingkat dengan BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.
3
Yaumil Ch. Agoes Achir, Jaminan Sosial Nasional Indonesia, http://www.ekonomirakyat. org/edisi_7/artikel_5.htm, diakses 6 November 2009.
56
Dian Cahyaningrum, S.H., M.H.
B. Pembagian Kewenangan Pusat-Daerah Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) menegaskan bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Sebagai negara kesatuan, Indonesia tidak mengenal adanya negara dalam negara. Negara kesatuan adalah negara yang kedaulatannya sepenuhnya diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Semua organisasi pemerintahan mulai dari pusat sampai daerah di bawah kendali pemerintah pusat. Indonesia tidak memiliki negara bagian yang memiliki kedaulatan sendiri sebagaimana negara-negara yang menganut sistem federal.4 Meskipun tidak ada negara dalam negara, dalam Pasal 18 ayat (1) UUD Tahun 1945 disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pemerintah daerah dalam negara kesatuan tidak memiliki kedaulatan. Pemerintah daerah dalam negara kesatuan hanyalah subdivisi pemerintahan nasional. Hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota adalah subordinat dan dependent. Sedangkan pada negara dengan sistem federal, hubungan antara negara bagian dengan pemerintah federal adalah coordinate dan independent.5 Adanya pemerintah pusat dan pemerintah daerah melahirkan sistem pembagian urusan atau kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Secara prinsip, terdapat perbedaan pembagian kekuasaan atau kewenangan antara negara kesatuan dan negara federal. Pada negara federal, kekuasaan atau kewenangan berasal dari bawah atau dari daerah/negara bagian yang bersepakat untuk menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah federal, yang biasanya secara eksplisit tercantum dalam konstitusi negara federal. Dengan demikian kewenangan pemerintah pusat akan menjadi terbatas (limitatif) dan daerah memiliki kewenangan luas (general competence). Sedangkan pada negara kesatuan, kewenangan pada dasarnya berada atau dimiliki oleh pemerintah pusat yang kemudian diserahkan atau dilimpahkan kepada daerah. Dengan demikian, daerah memiliki kewenangan terbatas (limitatif). Penyerahan atau pelimpahan kewenangan di negara kesatuan biasanya dibuat secara eksplisit (ultravires).6
4
5 6
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo), 2005, hal. 60. Ibid. Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, cetakan pertama, Bogor: Ghalia Indonesia, Agustus 2007, hal. 71.
57
Sinkronisasi dan Harmonisasi Hukum Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial
Adapun prinsip pembagian kekuasaan atau kewenangan pada negara kesatuan adalah: pertama, kekuasaan atau kewenangan pada dasarnya adalah milik pemerintah pusat. Dalam hal ini daerah diberi hak dan kewajiban mengelola dan menyelenggarakan sebagian kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan atau diserahkan kepadanya. Jadi terjadi proses penyerahan atau pelimpahan kewenangan. Kedua, Pemerintah pusat dan pemerintah daerah tetap memiliki garis komando dan hubungan hirarkhis. Pemerintah sebagai subordinasi pemerintah pusat, namun hubungan yang dilakukan tidak untuk mengintervensi dan mendikte pemerintah daerah dalam berbagai hal. Ketiga, kewenangan atau kekuasaan yang dialihkan atau diserahkan kepada daerah dalam kondisi tertentu, dimana daerah tidak mampu menjalankan dengan baik, maka kewenangan yang dilimpahkan dan diserahkan tersebut dapat ditarik kembali ke pemerintah pusat sebagai pemilik kekuasaan atau kewenangan tersebut.7 Dengan demikian, berdasarkan konsepsi negara kesatuan, keberadaan peran pemerintah pusat tetap dibutuhkan untuk mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan pemerintahan secara menyeluruh.8 Dengan adanya pembagian urusan atau kewenangan, penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan berdasarkan pada asas-asas sebagai berikut: a. Asas Desentralisasi adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat atau dari pemerintah daerah tingkat yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah tingkat yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah tersebut. Dengan demikian, prakarsa, wewenang, dan tanggung jawab mengenai urusan-urusan yang diserahkan tadi sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah tersebut, baik mengenai politik kebijaksanaan, perencanaan, dan pelaksanaannya maupun mengenai segi-segi pembiayaannya. Perangkat pelaksanaannya adalah perangkat daerah sendiri.9 b. Asas Dekonsentrasi adalah asas yang menyatakan pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat yang lebih tinggi kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Tanggung jawab tetap ada pada Pemerintah Pusat. Baik perencanaan dan pelaksanaannya maupun pembiayaannya tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Unsur pelaksanaannya dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukannya selaku wakil Pemerintah Pusat. Latar
7
8 9
Shahid Javed Burki, Guilermo E. Perry, William R. Dilinger, “Beyond the Centre: Decentralizing The State” dalam Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Ibid. Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Ibid, hal. 72 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia Hukum Administrasi Daerah 1903-2001, cetakan pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hal. 3.
58
Dian Cahyaningrum, S.H., M.H.
belakang diadakannya sistem dekonsentrasi adalah tidak semua urusan Pemerintah Pusat dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah menurut asas desentralisasi.10 c. Asas Tugas Pembantuan (medebewind). Medebewind di Belanda diartikan sebagai pembantu penyelenggaraan kepentingan-kepentingan dari pusat atau daerah-daerah yang tingkatannya lebih atas oleh perangkat daerah yang lebih bawah. Menurut Bagir Manan, tugas pembantuan diberikan oleh pemerintah pusat atau pemerintah yang lebih atas kepada pemerintah daerah di bawahnya berdasarkan undang-undang. Oleh karena itu, medebewind sering disebut serta tantra/tugas pembantuan.11 Koesoemahatmadja mengartikan medebewind atau zelfbestuur sebagai pemberian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau pemerintah daerah kepada pemerintah daerah yang tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan rumah tangga daerah yang tingkatannya lebih atas. Daerah-daerah tersebut diberi tugas pembantuan oleh pemerintah pusat yang disebut medebewind atau zelfbestuur (menjalankan peraturan-peraturan yang dibuat oleh dewan yang lebih tinggi). Dalam menjalankan medebewind tersebut urusan-urusan yang diselenggarakan pemerintah daerah masih tetap merupakan urusan pusat/daerah yang lebih atas, tidak beralih menjadi urusan rumah tangga daerah yang dimintai bantuan. Hanya saja cara daerah otonom menyelenggarakan bantuan tersebut diserahkan sepenuhnya pada daerah itu sendiri. Daerah otonom ini tidak berada di bawah perintah, juga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban oleh pemerintah pusat/daerah yang lebih tinggi yang memberi tugas. Karena hakekatnya urusan yang diperbantukan pada daerah otonom tersebut adalah urusan pusat maka dalam sistem medebewind anggarannya berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Anggaran pusat ini kemudian ditransfer langsung ke kas daerah. Anggaran ini masuk ke rekening khusus yang pertanggungjawabannya terpisah dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).12 Menurut Koesoemahatmadja dalam sistem medebewind, pemerintah pusat atau daerah otonom yang lebih tinggi menyerahkan urusan yang menurut peraturan perundangan merupakan kewenangannya, kepada daerah otonom di bawahnya. Daerah otonom yang diserahi selanjutnya melaksanakannnya melalui perangkatnya (dinas-dinas). Dalam
10 11
12
Ibid, hal. 4. Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945 dalam Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, op.cit, hal. 16. Koesoemahatmadja, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah dalam Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Ibid.
59
melaksanakan tugas tersebut, aparat pelaksana (dinas-dinas tadi) tidak bertanggung jawab kepada pemerintah pusat/daerah yang lebih tinggi yang memberi tugas, melainkan kepada kepala daerah (zelfuitvoering).13 Berdasarkan pada asas-asas penyelenggaraan pemerintahan tersebut, maka dikenal adanya daerah otonom dan wilayah administrasi. Daerah otonom atau daerah swatantra adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu, yang berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan NKRI, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Daerah otonom dibentuk berdasarkan asas desentralisasi. Sedangkan yang disebut dengan wilayah administrasi atau wilayah adalah lingkungan kerja perangkat pemerintah yang menyelenggarakan tugas pemerintahan umum di daerah. Wilayah ini dibentuk berdasarkan asas dekonsentrasi.14
13 14
Ibid, hal. 17 C.S.T Kansil dan Christine Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia Hukum Administrasi Daerah 1903-2001, op.cit., hal. 4
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penyelenggaraan Jaminan Sosial oleh Pemprov Bali Tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) Alinia Keempat adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut khususnya memajukan kesejahteraan umum maka negara melakukan pembangunan di segala bidang kehidupan, terutama pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara ternyata belum dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat secara merata karena tidak semua rakyat memiliki kapabilitas yang sama untuk berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan ekonomi. Hal ini tercermin dari adanya kemiskinan di masyarakat, termasuk di Bali. Sebagaimana dikemukakan oleh pegawai Dinas Sosial, Gusti Semedi, jumlah penduduk miskin di Bali ada sebanyak 134.804 kepala keluarga (KK).15 Gambaran kemiskinan lebih rinci dapat dilihat dalam “Data Bali Membangun 2008” yang bersumber dari Dinas Sosial Provinsi Bali. Berdasarkan ”Data Bali Membangun 2008”, pada tahun 2004 jumlah fakir miskin atau keluarga miskin di Provinsi Bali sebanyak 82.796 KK. Jumlah ini meningkat pada tahun 2005, yaitu sebanyak 88.349 KK dan terus meningkat pada tahun 2006 menjadi 147.044 KK. Pada tahun 2007, jumlah fakir miskin/ keluarga miskin di Bali menurun menjadi 97.681 KK. Namun pada tahun 2008 meningkat tajam menjadi 147.044 KK, dengan rincian: di Kabupaten/ Kota Jembrana sebanyak 6.998 KK; Tabanan 11.672 KK; Badung 5.201 KK; Denpasar 4.159 KK; Gianyar 7.629 KK; Klungkung 8.460 KK; Bangli 13.191 KK; Karangasem 41.826 KK; dan Buleleng sebanyak 47.908 KK.16
15
16
Gusti Semedi (Pegawai Dinas Sosial Provinsi Bali), wawancara dilakukan di Dinas Sosial Provinsi Bali pada tanggal 4 Agustus 2010. “Data Bali Membangun 2008”, Denpasar: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Provinsi Bali, Juni 2009, hal. VI-48.
61
Sinkronisasi dan Harmonisasi Hukum Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial
Kemiskinan menyebabkan penduduk miskin memiliki akses yang rendah terhadap kesehatan, pendidikan, dan layanan dasar lainnya. Dalam kondisi seperti ini maka perlu ada campur tangan negara untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak melalui jaminan sosial. Untuk itu Pasal 34 ayat (2) UUD Tahun 1945 mengamanatkan negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Hak setiap orang atas jaminan sosial juga telah diakui dan dilindungi dalam Pasal 28H ayat (3) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan “setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Sebagaimana penjelasan MK dalam putusannya atas pengajuan judicial review UU No. 40 Tahun 2004, terminologi “negara” dalam Pasal 34 ayat (2) UUD Tahun 1945 dalam hubungannya dengan paham negara kesejahteraan menunjuk pada pelaksanaan fungsi pelayanan sosial negara bagi rakyat atau warga negaranya. Menurut UUD Tahun 1945, kekuasaan pemerintahan negara dilaksanakan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Dengan demikian pada Pemerintah Daerah melekat pula fungsi pelayanan sosial. Berpijak pada penjelasan MK tersebut, maka Pemprov Bali juga memiliki kewajiban dan kewenangan untuk menyelenggarakan jaminan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, sebagaimana kewajiban ini juga diamanatkan dalam Pasal 22 huruf h UU No. 32 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban diantaranya mengembangkan sistem jaminan sosial. Sebagai pelaksanaan dari amanat Pasal 22 huruf h UU No. 32 Tahun 2004, Pemprov Bali mengembangkan sistem jaminan sosial, diantaranya dengan menyelenggarakan jaminan kesehatan yang diberi nama Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM). Sebagaimana dikemukakan oleh Made Sunendra, sistem JKBM meniru jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat yaitu dengan menggunakan lembaga rumah sakit. Dana JKBM merupakan sharing antara Pemprov Bali dengan kabupaten/kota di Bali, kecuali Kabupaten Jembrana. Ini disebabkan Kabupaten Jembrana sudah dapat melaksanakan jaminan kesehatan sendiri, yaitu Jaminan Kesehatan Jembrana. Untuk tahun 2010, dana yang dialokasikan untuk JKBM sekitar Rp180 miliar dari total belanja daerah sebesar Rp320 miliar.17 JKBM diatur dalam Peraturan Gubernur Bali No. 6 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Bali Mandara. Menurut A.A. Gde Putra Arjawa, Erikson Sihotang, dan Mohammad S. Gawi, pengaturan JKBM dalam peraturan gubernur dan bukan dengan Perda disebabkan JKBM
17
Made Sunendra (Asisten Pemerintahan), wawancara dilakukan di Pemprov Bali pada tanggal 2 Agustus 2010.
62
Dian Cahyaningrum, S.H., M.H.
merupakan program dari Pemprov Bali. Selain itu, Peraturan Gubernur No. 6 Tahun 2010 juga merupakan aturan yang bersifat teknis karena hanya mengatur teknis penyelenggaraan JKBM yang menjadi pedoman bagi aparat terkait dalam melaksanakan JKBM.18 Jika dianalisa, pendapat A.A. Gde Putra Arjawa, Erikson Sihotang, dan Mohammad S. Gawi bahwa pengaturan JKBM dalam Peraturan Gubernur No. 6 Tahun 2010 dan bukan dengan Perda dapat dibenarkan. Pengaturan JKBM dalam Peraturan Gubernur No. 6 Tahun 2010 tidak bertentangan dengan petunjuk MK dalam putusannya atas judicial review UU No. 40 Tahun 2004 yaitu bahwa pembentukan BPJS Daerah untuk menyelenggarakan jaminan sosial dilakukan dengan perda. Ini disebabkan tidak ada BPJS Daerah (Bali) yang dibentuk untuk menyelenggarakan JKBM. JKBM hanya merupakan program Pemprov Bali untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Gubernur No. 6 Tahun 2010, persyaratan yang harus dipenuhi oleh peserta JKBM adalah penduduk Bali yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Bali atau Kartu Keluarga (KK) bagi anggota keluarganya; dan surat keterangan belum memiliki jaminan kesehatan yang berasal dari Kepala Desa. Lebih lanjut Pasal 8 Peraturan Gubernur No. 6 Tahun 2010 mengatur peserta yang tidak memenuhi persyaratan tersebut dapat mengakibatkan pelayanan JKBM dibatalkan. Berpijak pada ketentuan tersebut, sebagaimana juga dikemukakan oleh Made Sunendra dan Gusti Semedi, JKBM khusus diperuntukkan bagi semua penduduk Bali yang belum memiliki jaminan kesehatan, tidak terkecuali yang kaya. Namun dalam tataran empiris, mereka yang kaya enggan untuk menggunakan JKBM karena fasilitas yang diberikan JKBM adalah fasilitas kelas 3.19 Selain JKBM, sebagaimana diungkapkan oleh A.A. Gde Putra Arjawa, Erikson Sihotang, dan Mohammad S. Gawi, Pemprov Bali juga menyelenggarakan jaminan sosial di bidang pendidikan yang berupa: 1. Sekolah gratis, dimana uang pangkal, uang masuk setiap siswa baru SD, SMP, SMA dan SMK sekolah-sekolah negeri tidak dipungut biaya karena disubsidi oleh Pemprov Bali. 2. Beasiswa yang diberikan kepada siswa dari keluarga miskin mulai dari SD/MTs, bantuan biaya pendidikan bagi SMA/MA dan bagi mahasiswa dari keluarga miskin di perguruan tinggi negeri dan swasta.
18
19
A.A. gde Putra Arjawa, Erikson Sihotang, dan Mohammad S. Gawi, ”Sinkronisasi dan Harmonisasi Hukum Penyelenggaraan Jaminan Sosial oleh Pemerintah Pusat dan Daerah”, makalah disampaikan dalam acara Focus Group Discussion (FGD) di Aula Shri Wedastera Suyasa, Universitas Mahendradatta, Bali, pada tanggal 3 Agustus 2010. Made Sunendra (Asisten Pemerintahan), wawancara dilakukan di Pemprov Bali pada tanggal 2 Agustus 2010 dan Gusti Semedi (Pegawai Dinas Sosial Provinsi Bali), wawancara dilakukan di Dinas Sosial Provinsi Bali pada tanggal 4 Agustus 2010.
63
Sinkronisasi dan Harmonisasi Hukum Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial
Sementara itu, di bidang sosial juga ada program orang tua angkat bagi keluarga miskin yang melibatkan satuan kerja pemerintah daerah (SKPD), BUMN, yayasan, dan pelaku usaha mikro/makro.20 Dalam program tersebut, pejabat/orang kaya yang ada di SKPD, BUMN, yayasan dan pelaku usaha mikro/makro diharapkan bersedia menjadi orang tua angkat setidaknya untuk satu anak miskin. Selain jaminan sosial yang diselenggarakan oleh Pemprov Bali, sebagaimana diungkapkan oleh Dewa Mahendra dan I Ketut Budiawan, di Bali juga ada 3 program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh Kementerian Sosial dengan Dinas Sosial Pemprov Bali sebagai tenaga pendampingnya, yaitu Asuransi Kesejahteraan Sosial (ASKESOS), Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU), dan Jaminan Sosial untuk Penyandang Cacat Berat (PACAB). Dana untuk ketiga program jaminan sosial tersebut berasal dari pusat dan tidak ada dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).21 Terkait dengan ASKESOS, I Ketut Budiawan menjelaskan bahwa ASKESOS merupakan jaminan sosial untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja informal, seperti tukang becak dan buruh tani yang belum mendapat perlindungan asuransi. Landasan yuridis dari ASKESOS adalah UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Adapun perlindungan yang diberikan ASKESOS meliputi sakit, kecelakaan, dan meninggal dunia. Sasaran kepesertaan ditentukan sebanyak 200 orang. Peserta harus memenuhi syarat yaitu berpenghasilan rendah (Rp300.000 per bulan), tidak mampu, dan bekerja di sektor informal. Peserta diusulkan oleh organisasi sosial di desa kepada dinas sosial kabupaten/kota. Dinas sosial kabupaten/kota kemudian melakukan pengecekan keberadaan penerima yang diusulkan dan selanjutnya menyampaikannya ke dinas sosial provinsi. Di dinas sosial provinsi, penerima ASKESOS yang diusulkan dicek kembali keberadaannya.22 Menurut Dewa Mahendra, ASKESOS sudah dilaksanakan sejak tahun 2007 hingga sekarang dan diharapkan ada kesinambungan penyelenggaraannya di tahun 2011 karena ASKESOS sangat dibutuhkan oleh tenaga kerja informal.23
A.A. gde Putra Arjawa, Erikson Sihotang, dan Mohammad S. Gawi, ”Sinkronisasi dan Harmonisasi Hukum Penyelenggaraan Jaminan Sosial oleh Pemerintah Pusat dan Daerah”, makalah disampaikan dalam acara Focus Group Discussion (FGD) di Aula Shri Wedastera Suyasa, Universitas Mahendradatta, Bali, pada tanggal 3 Agustus 2010. 21 Dewa Mahendra (Pegawai Dinas Sosial), wawancara dilakukan di kantor Pemprov Bali pada tanggal 2 Agustus 2010 dan I Ketut Budiawan (Kepala Bidang Banjamsos), wawancara dilakukan di kantor Dinas Sosial Provinsi Bali pada tanggal 4 Agustus 2010. 22 I Ketut Budiawan (Kepala Bidang Banjamsos), wawancara dilakukan di kantor Dinas Sosial Provinsi Bali pada tanggal 4 Agustus 2010. 23 Dewa Mahendra (Pegawai Dinas Sosial), wawancara dilakukan di kantor Pemprov Bali pada tanggal 2 Agustus 2010. 20
64
Dian Cahyaningrum, S.H., M.H.
Terkait dengan PACAB, Gusti Semedi menjelaskan bahwa PACAB merupakan jaminan sosial untuk penyandang cacat berat, baik cacat yang disebabkan bawaan sejak lahir maupun kecelakaan. Syarat atau kriteria orang cacat yang menerima jaminan sosial PACAB adalah selama hidupnya yang bersangkutan bergantung kepada orang lain karena tidak bisa melakukan apa pun dan usianya minimal 2 tahun. Asumsi syarat usia 2 tahun adalah cacat bawaan lahir umumnya baru dapat diketahui setelah berusia 2 tahun, karena untuk orang normal pada umumnya sudah dapat berjalan pada usia 1,5 tahun. Jumlah orang cacat berat yang menerima PACAB sebanyak 980 orang, dengan populasi pertumbuhan sebesar 11,23%. Peserta PACAB menerima uang sebesar Rp300.000 per bulan yang disalurkan melalui kantor pos dan petugas cukup melakukan pengawasan dan mengontrol pelaksanaannya di lapangan.24 Adapun JSLU menurut Gusti Semedi adalah jaminan sosial untuk orang yang sudah lanjut usia dan tidak produktif lagi. Sedangkan untuk orang lanjut usia yang masih produktif, Dinas Sosial Pemprov Bali memberika bantuan melalui program usaha ekonomi produktif dan sosial, dimana dananya berasal dari pusat (APBN). Selain itu juga ada karang lansia yang melakukan pembinaan buat orang lanjut usia. Pada saat penelitian ini dilakukan (tahun 2010), penerima JSLU ada sebanyak 370 orang. Sama halnya dengan PACAB, peserta JSLU juga menerima uang sebesar Rp300.000 per bulan yang disalurkan melalui kantor pos sehingga petugas tinggal mengontrol pelaksanaannya di lapangan.25 Berdasarkan paparan, nampak bahwa Pemprov Bali tidak hanya mengembangkan dan menyelenggarakan jaminan sosial sendiri untuk rakyatnya berupa JKBM dan beasiswa pendidikan, melainkan juga melakukan tugas perbantuan terhadap Pemerintah Pusat (Kementerian Sosial) dalam menyelenggarakan jaminan sosial yang berupa ASKESOS, PACAB, dan JSLU. Sementara itu, salah satu kabupaten di Bali yaitu Kabupaten Jembrana juga menyelenggarakan jaminan sosial yang berupa jaminan kesehatan Jembrana. Berdasarkan UU SJSN dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Pemerintah Pusat juga mengembangkan dan menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional. Agar jaminan sosial yang diselenggarakan di Bali oleh Pemerintah Pusat, Pemprov Bali, dan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Jembrana tidak tumpang tindih maka penyelenggaraan sistem jaminan sosial tersebut perlu disinkronkan dan diharmoniskan.
24
25
Gusti Semedi (Pegawai Dinas Sosial Pemprov Bali), wawancara dilakukan di kantor Dinas Sosial Provinsi Bali pada tanggal 4 Agustus 2010. Ibid.
65
Sinkronisasi dan Harmonisasi Hukum Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial
B. Sinkronisasi dan Harmonisasi Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial di Bali dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional Indonesia merupakan negara kesatuan, oleh karenanya ada pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Konsekuensinya, ada pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Berdasarkan Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 beserta aturan pelaksananya yaitu Pasal 2 ayat (2) PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi: politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama. Sedangkan semua urusan pemerintahan diluar urusan Pemerintah Pusat tersebut dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan (Pasal 2 ayat (3) PP No. 38 Tahun 2007). Berpijak pada Pasal 2 ayat (3) PP No. 38 Tahun 2007, urusan pengembangan dan penyelenggaraan sistem jaminan sosial pada dasarnya juga dibagi bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Pembagian urusan tersebut dapat dilihat dalam Lampiran PP No. 38 Tahun 2007, misalnya untuk Bidang Sosial, Sub Bidang Jaminan Sosial Bagi Penyandang Cacat Fisik dan Mental, dan Lanjut Usia Tidak Potensial Terlantar, yang Berasal dari Masyarakat Rentan dan Tidak Mampu, pembagian urusannya antara lain sebagai berikut: 1. Pemerintah (Pusat): pelaksanaan pemberian jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar, yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala nasional. 2. Pemerintah Daerah Provinsi: pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala provinsi. 3. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota: pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala kabupaten/kota. Begitu pula untuk Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian, Sub Bidang Ketenagakerjaan, Sub-Sub Bidang Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, pembagian urusannya antara lain sebagai berikut: 1. Pemerintah (Pusat): Koordinasi pembinaan penyelenggaraan jaminan sosial, fasilitas, dan kesejahteraan tenaga kerja/buruh skala nasional. 2. Pemerintah Daerah Provinsi: Koordinasi pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja skala provinsi. 66
Dian Cahyaningrum, S.H., M.H.
3. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota: Pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja di wilayah kabupaten/kota. Mengacu pada pembagian urusan pemerintahan dalam PP No. 38 Tahun 2007 dan penjelasan MK atas putusan judicial review atas UU No. 40 Tahun 2004, akan nampak jelas bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) sama-sama memiliki hak dan kewenangan untuk mengembangkan dan menyelenggarakan sistem jaminan sosial. Namun masing-masing tingkatan pemerintahan tersebut memiliki lingkup/ skala sendiri-sendiri dalam mengembangkan dan menyelenggarakan sistem jaminan sosial yaitu pemerintah pusat berskala nasional, pemprov berskala provinsi, dan pemda kabupaten/kota berskala kabupaten/kota. Dengan demikian dapat dipahami jika JKBM hanya diperuntukkan penduduk Bali dan jaminan kesehatan Jembrana untuk penduduk Kabupaten Jembrana. Sementara itu, terkait dengan penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat harus mengacu pada UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Dalam UU SJSN disebutkan bahwa SJSN bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. SJSN diselenggarakan berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, amanat, dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Adapun program jaminan sosial yang diselenggarakan ada 5, yaitu jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Berdasarkan Pasal 6 UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), program jaminan kesehatan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, sedangkan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Penyelenggaraan kelima program jaminan sosial tersebut berdasarkan pada prinsip asuransi sosial. Dalam Pasal 1 angka 3 UU SJSN disebutkan bahwa asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Berpijak pada pendekatan tersebut, peserta jaminan sosial adalah setiap orang yang telah membayar iuran. Untuk pekerja, iuran tersebut dibayar oleh pekerja dan/atau pemberi kerja. Sedangkan untuk fakir miskin dan orang yang tidak mampu, iuran dibayar oleh Pemerintah dimana untuk tahap pertama, iuran tersebut dibayar oleh Pemerintah untuk program jaminan kesehatan. Dalam UU SJSN tidak disebutkan pengertian dari Pemerintah, namun dapat 67
Sinkronisasi dan Harmonisasi Hukum Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial
dipastikan bahwa yang dimaksud dengan Pemerintah adalah Pemerintah Pusat karena lingkup penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional adalah skala nasional. Agar penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional berjalan dengan baik dan menjangkau seluruh wilayah di tanah air termasuk Provinsi Bali maka BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang berkantor pusat di Ibukota Negara RI dapat memiliki kantor perwakilan di provinsi dan kantor cabang di kabupaten/ kota. Selain itu, UU SJSN juga memberlakukan sistem single identity (yang di negara lain dikenal dengan nama Social Security Number) untuk tertib administrasi dalam penyelenggaraan jaminan sosial. Single identity ini diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU SJSN yang menyebutkan ”BPJS wajib memberikan nomor identitas tunggal kepada setiap peserta dan anggota keluarganya”. Dengan berlakunya single identity, peserta dimungkinkan untuk mendapatkan jaminan sosial dimana pun ia berada meskipun pindah tempat tinggal ke provinsi lain. Ini berbeda dengan jaminan sosial yang diselenggarakan oleh pemda, seperti jaminan kesehatan Jembarana yang lingkupnya hanya untuk penduduk Kabupaten Jembrana dan JKBM untuk penduduk Bali. JKBM mengakibatkan penduduk Bali yang pindah tempat tinggal ke provinsi lain tidak akan mendapatkan JKBM karena salah satu syarat peserta JKBM adalah penduduk Bali yang ditunjukkan dengan KTP dengan alamat di Provinsi Bali. Sehubungan dengan diselenggarakannya sistem jaminan sosial nasional oleh pemerintah pusat maka jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana (jaminan kesehatan Jembarana), Pemprov Bali (JKBM), dan pemerintah pusat melalui tugas perbantuan (ASKESOS) nantinya menjadi tidak efektif dan efisien karena penduduk Bali sudah dijamin dalam jaminan sosial nasional. Oleh karena itu dapat dipahami jika Pasal 60 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2011 mengatur bahwa sejak beroperasinya BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan tidak lagi menyelenggarakan program jaminan kesehatan masyarakat. Ini berarti sejak beroperasinya BPJS Kesehatan sudah tidak ada lagi tugas perbantuan untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (Pemprov Bali). Hal yang sama berlaku juga untuk jaminan sosial lainnya yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Berdasarkan paparan tersebut, sebelum penduduk Bali benar-benar dijamin dalam jaminan sosial nasional, sebaiknya Pemprov Bali masih tetap menyelenggarakan jaminan sosial (misalnya JKBM) untuk penduduknya. Ini penting karena tanggal beroperasi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan masih lama. Berdasarkan Pasal 60 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2011, BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan Pasal 64 UU No. 24 Tahun 2011 68
Dian Cahyaningrum, S.H., M.H.
mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan hari tua, program jaminan pensiun, dan program jaminan kematian paling lambat tanggal 1 Juli 2015. Pertimbangan lain Pemprov Bali masih perlu melanjutkan penyelenggaraan jaminan sosial adalah kemampuan pemerintah pusat dalam membayar iuran program jaminan sosial untuk fakir miskin dan orang tidak mampu sangat terbatas. Akibatnya pendaftaran penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada BPJS dilakukan secara bertahap (Pasal 14 ayat (1) UU SJSN) dan pada tahap pertama iuran dibayar oleh Pemerintah untuk program jaminan kesehatan (Pasal 17 ayat (5) UU SJSN). Berpijak pada pertimbangan ini, mengingat pentingnya jaminan sosial bagi rakyat maka Pemprov Bali sebaiknya masih menyelenggarakan jaminan sosial sebelum semua penduduknya benar-benar dijamin dalam jaminan sosial nasional. Setelah semua penduduk Bali dijamin dalam jaminan sosial nasional, Pemprov Bali baru dapat menghentikan penyelenggaraan jaminan sosial dan mengalihkan dananya untuk menyelenggarakan jaminan sosial lainnya yang belum ter-cover/belum ada dalam jaminan sosial nasional atau kegiatankegiatan lainnya yang berguna bagi kesejahteraan rakyat Bali.
69
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Jaminan sosial sangat dibutuhkan oleh rakyat untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Berdasarkan UUD Tahun 1945, UU No. 32 Tahun 2004, dan putusan MK atas pengajuan judicial review UU SJSN, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (provinsi dan/ atau kabupaten/kota) memiliki hak dan kewajiban untuk mengembangkan dan menyelenggarakan sistem jaminan sosial, dimana pemerintah pusat menyelenggarakan jaminan sosial dalam skala nasional sedangkan pemda dalam skala daerah. Hak dan kewajiban untuk menyelenggarakan jaminan sosial tersebut telah dilaksanakan dengan cukup baik oleh Pemda Bali. Hal ini dapat dilihat dari adanya jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh Kabupaten Jembrana dan JKBM yang diselenggarakan oleh Pemprov Bali. Selain JKBM, Pemprov Bali juga menyelenggarakan jaminan sosial di bidang pendidikan dan melaksanakan tenaga perbantuan untuk menyelenggarakan jaminan sosial dari pemerintah pusat yang berupa ASKESOS, PACAB, dan JSLU. Penyelenggaraan jaminan sosial yang dilakukan oleh Pemda (termasuk Bali) harus disinkronkan dan diharmoniskan dengan penyelenggaraan jaminan sosial nasional yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Berdasar UU SJSN dan UU No. 24 Tahun 2011, ada 5 program jaminan sosial nasional yaitu jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Program lainnya jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Penyelenggaraan jaminan sosial nasional tersebut berskala nasional sehingga mencakup semua penduduk dan peserta tetap mendapatkan jaminan sosial meskipun pindah tempat tinggal ke provinsi lain. Dengan demikian, jaminan sosial yang diselenggarakan oleh Pemda sebaiknya jaminan sosial lainnya yang belum ter-cover atau belum ada dalam jaminan sosial nasional, misalnya jaminan sosial di bidang pendidikan. B. Rekomendasi Jaminan sosial nasional nantinya akan meng-cover semua penduduk Indonesia, termasuk penduduk Bali. Namun sebelum penduduk Bali 71
Sinkronisasi dan Harmonisasi Hukum Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial
benar-benar dijamin dalam jaminan sosial nasional, sebaiknya Pemprov Bali masih tetap menyelenggarakan jaminan sosial. Ini penting karena tanggal beroperasi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan masih lama, yaitu untuk BPJS Kesehatan tanggal beroperasinya tanggal 1 Januari 2014 sedangkan BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tanggal 1 Juli 2015. Pertimbangan lainnya, kemampuan pemerintah pusat untuk membayar iuran program jaminan sosial untuk fakir miskin dan orang tidak mampu sangat terbatas sehingga pendaftaran penerima bantuan iuran dilakukan secara bertahap dan pada tahap pertama iuran dibayar oleh Pemerintah Pusat untuk program jaminan kesehatan. Setelah semua penduduk Bali dijamin dalam jaminan sosial nasional, Pemprov Bali sebaiknya mengalihkan dananya untuk menyelenggarakan jaminan sosial lainnya yang belum ter-cover dalam jaminan sosial nasional atau untuk kegiatan-kegiatan lainnya yang berguna bagi kesejahteraan rakyat Bali.
72
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Makalah A.A. Gde Putra Arjawa, Erikson Sihotang, dan Mohammad S. Gawi, Sinkronisasi dan Harmonisasi Hukum Penyelenggaraan Jaminan Sosial oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. Makalah disampaikan dalam acara Focus Group Discussion (FGD) di Aula Shri Wedastera Suyasa, Universitas Mahendradatta, Bali, pada tanggal 3 Agustus 2010.
Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum. Cetakan pertama. Bogor: Ghalia Indonesia, Agustus 2007.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Provinsi Bali. Data Bali Membangun 2008. Denpasar: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Provinsi Bali, Juni 2009. C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia Hukum Administrasi Daerah 1903-2001. Cetakan pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo), 2005. Internet Pertumbuhan Ekonomi dan Jaminan Sosial, 22 Oktober 2009, http://www. mediaindonesia.com/read/2009/10/22/101535/68/11/PertumbuhanEkonomi-dan-Jaminan-Sosial, diakses tanggal 6 November 2009.
Yaumil Ch. Agoes Achir, Jaminan Sosial Nasional Indonesia, http://www. ekonomirakyat.org/edisi_7/artikel_5.htm, diakses tanggal 6 November 2009. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437. 73
Sinkronisasi dan Harmonisasi Hukum Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737. Peraturan Gubernur Bali Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Bali Mandara.
74
Bagian Ketiga Hukum Pidana
RELEVANSI HUKUM PIDANA ADAT BALI DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL DI ERA OTONOMI DAERAH Puteri Hikmawati, S.H., M.H*
*
Peneliti Madya bidang Hukum Pidana di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, email:
[email protected]
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Selanjutnya, dalam Pasal 18 UUD 1945 dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undangundang. Undang-undang (UU) yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah mengalami dua kali perubahan yaitu dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang dan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya UU No. 32 Tahun 2004). Pasal 2 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan sebagaimana dimaksud meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya yang dilaksanakan secara adil dan selaras.1 Selanjutnya, UU No. 32 Tahun 2004 membagi urusan atas urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah dan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah meliputi urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Sedangkan kewenangan yang
1
Pasal 2 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
77
Relevansi Hukum Pidana Adat Bali dengan Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
diberikan kepada daerah dalam UUD 1945 antara lain berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (6)). Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya memiliki keragaman suku, ras, agama, dan adat kebiasaan yang tersebar di daerah. Aturan hukum yang berlaku ada yang tertulis dan tidak tertulis, berlaku secara nasional maupun kedaerahan. Salah satu aturan hukum yang bersifat nasional dan terkodifikasi berkaitan dengan hukum pidana adalah KUHP (Kitab Undangundang Hukum Pidana) dan peraturan-peraturan pidana di luar KUHP serta KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Namun, di daerah yang masyarakatnya masih dipengaruhi oleh adat dan sifat kedaerahan yang kental, sumber hukum yang diakui selain KUHP dan peraturan-peraturan pidana di luar KUHP adalah hukum pidana adat. Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (living law) dan akan terus hidup selama ada manusia budaya, ia tidak akan dapat dihapus dengan perundangundangan. Andaikata diadakan juga undang-undang yang menghapuskannya, akan percuma juga. Bahkan, hukum pidana perundang-undangan akan kehilangan sumber kekayaannya oleh karena hukum pidana adat itu lebih erat hubungannya dengan antropologi dan sosiologi daripada perundangundangan.2 Adapun dasar hukum berlakunya hukum pidana adat di Indonesia, antara lain Undang-Undang Darurat (UU Drt.) No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakantindakan Sementara untuk Menyelesaikan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil dan Undang-Undang (UU) No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Rumusan Pasal 5 ayat (3) huruf b UU Drt. No. 1 Tahun 1951 menentukan bahwa:
2
”suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam KUHP Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukum pengganti, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum bahwa bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau yang dimaksud di atas, atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan zaman mesti diganti seperti di atas dan bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam KUHP yang sama dengan hukuman bandingannya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.” Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 34.
78
Puteri Hikmawati, S.H., M.H.
UU tersebut memberikan pemahaman, bahwa tindak pidana diukur menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. UU Drt. No. 1 Tahun 1951 memberikan pemahaman, bahwa bila terjadi tindak pidana, maka pidana adatlah sebagai sanksinya. Sementara itu, Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 menyebutkan, bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Selanjutnya Pasal 10 ayat (1) menentukan bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Selain itu, Pasal 50 ayat (1) mengatakan, bahwa “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.” Dengan demikian, hakim mempunyai dasar hukum untuk menerapkan hukum pidana adat. Sebagai konsekuensinya, hakim juga diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi adat, walaupun bentuknya hanya merupakan pidana tambahan, yang berupa pemenuhan kewajiban adat. Oleh karena itu, apabila pidana berupa pemenuhan kewajiban adat didayagunakan sebaikbaiknya, maka akan dapat terpenuhi tujuan pemidanaan khususnya yang berupa penyelesaian konflik, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Salah satu daerah yang masih dipengaruhi oleh hukum adat adalah Bali. Di Bali terdapat beberapa sumber hukum pidana adat tertulis, yang dinamakan awig-awig. Keberadaan hukum pidana adat pada masyarakat merupakan cerminan kehidupan masyarakat tersebut dan berbeda-beda pada masingmasing daerah, sesuai dengan adat istiadat yang ada di daerah tersebut. Sebagian besar konflik yang terjadi di Bali, diakhiri dengan pengenaan sanksi adat, seperti kasepekang (dikucilkan dari lingkungan desa pakraman), yang dibuat sesuai dengan asas desa mawacara (situasi dan kondisi desa pakraman setempat).3 B. Permasalahan Pengenaan sanksi adat berupa kasepekang kadang diikuti dengan sanksi denda yang jumlahnya cukup besar sebagai persyaratan bagi warga yang ingin kembali ke desanya setelah menjalani sanksi kasepekang. Salah satu contoh seperti yang terjadi di Desa Pakraman Tengkulak Kaja, Gianyar, warganya
3
Wayan P. Windia, Dari Bali Mawacara Menuju Bali Santi, Udayana University Press, Denpasar, 2010, hal. 3.
79
Relevansi Hukum Pidana Adat Bali dengan Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
dikenakan denda Rp50.000.000, untuk dapat kembali menjadi warga desa pakraman, setelah sanksi adat kasepekang dijatuhkan.4 Dalam hukum pidana nasional (KUHP), pidana denda merupakan pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana relevansi hukum pidana adat di Bali dengan pembaharuan hukum pidana nasional di era otonomi daerah?. Tujuan dari penulisan kajian ini adalah untuk mengetahui bagaimana relevansi hukum pidana adat, khususnya hukum pidana Adat Bali dengan hukum pidana nasional di era otonomi daerah. Adapun kegunaan dari tulisan ini, diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi Anggota DPR RI dalam membahas RUU tentang KUHP.
4
Ibid., hal. 4.
80
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN
A. Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil Salah satu norma yang mengatur segala macam hubungan antar individu dalam masyarakat adalah norma hukum. Norma hukum bersifat memaksa. Walaupun norma hukum (tertulis) bersifat memaksa, namun belum ada jaminan bahwa norma hukum tersebut ditaati oleh masyarakat. Agar normanorma tersebut ditaati diadakan ancaman hukuman untuk norma-norma hukum yang bersangkutan. Pelaku (subyek) dan tingkah laku yang dirumuskan (norma) serta ancaman hukuman (sanksi) disebut sebagai hukum pidana materiil. Hukum pidana materiil adalah hukum yang menentukan perbuatan apa yang dapat dipidana, siapa-siapa yang dapat dipidana, dan pidana apa yang dapat dijatuhkan.5 Hukum pidana materiil yang berlaku secara nasional diatur dalam UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP) dan peraturan-peraturan pidana di luar KUHP, yang merupakan peraturan-peraturan pidana yang tersebar dalam undangundang, seperti UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 dan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 103 KUHP memang membuka peluang bagi berlakunya ketentuan pidana ketentuan pidana yang diatur dalam perundang-undangan lain di luar KUHP. KUHP merupakan peraturan hukum pidana tertulis yang berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia. KUHP memuat ketentuan umum, kejahatan dan pelanggaran, serta ketentuan khusus. Perumusan kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP langsung diikuti dengan ancaman sanksi pidana terhadap pelakunya. Sanksi pidana terdiri atas pidana pokok (pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana tutupan) dan pidana tambahan (pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim).6 Untuk dapat melaksanakan ancaman hukuman, diadakan ketentuan yang mengatur kekuasaan badan-badan peradilan dan acara penyelesaian
5
6
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2001, hal. 2. Pasal 10 KUHP.
81
Relevansi Hukum Pidana Adat Bali dengan Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
pelanggaran hukum pidana materiil yang disebut sebagai hukum pidana formil. Hukum pidana formil merupakan ketentuan perundang-undangan yang mengatur prosedur agar pelaku pelanggaran dan kejahatan dapat dihadapkan ke muka sidang pengadilan. Dalam hukum nasional hal itu diatur dalam ketentuan hukum acara pidana yang tertuang dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP mengatur pelaksanaan tugas badan-badan peradilan yang dilakukan oleh hakim, jaksa/penuntut umum dan penyidik/polisi. Hakim memeriksa dan mengadili perkara pidana maupun perdata yang diajukan kepadanya. Jaksa/penuntut umum melakukan penyidikan dan penuntutan yang pelaksanaannya hanya dalam bidang hukum pidana. Sedangkan penyidik melakukan penyidikan hanya dalam bidang hukum pidana. Walaupun KUHP dan KUHAP dinyatakan berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia, namun, banyak daerah yang memberlakukan hukum adat, di samping hukum nasional. B. Pembaharuan Hukum Pidana Pembangunan nasional yang dilaksanakan di Indonesia adalah pembangunan negara dan bangsa di segala bidang kehidupan yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Oleh karena sasaran pembangunan adalah manusia Indonesia, maka perubahan yang diinginkan selain tertuju pada kebutuhan manusia, juga akan merubah sikap dan tingkah laku manusia itu sendiri. Dalam hal ini, sasaran perubahan yang dimaksud tidaklah terlepas dari masalah-masalah yang menyangkut nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, yang pada hakekatnya menuntut pula adanya keteraturan. Oleh karena itu, pelaksanaan pembangunan perlu ditunjang oleh hukum. Sejalan dengan hal itu, dalam masa pembangunan ini hukum sebenarnya tidak hanya diharapkan dapat berfungsi sebagai sarana penunjang, tetapi sekaligus dapat berfungsi pula sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, hukum perlu dibangun secara terrencana, agar hukum sebagai penunjang dan sarana pembaharuan masyarakat dapat berjalan secara seimbang mempersiapkan masyarakat agar dapat melaksanakan pembangunan nasional. Dalam Penjelasan UUD 1945 dikatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat). Sebagai negara hukum sudah tentu Indonesia mempunyai kondisi sosial, budaya, dan struktural yang berbeda dengan konsep negara hukum yang dianut oleh negara-negara lain di dunia ini. Kondisi sosial, budaya, dan struktural masyarakat ini mewarisi pula kehidupan hukum yang berlaku, serta lembaga-lembaga yang mendukung pelaksanaan hukum itu. 82
Puteri Hikmawati, S.H., M.H.
Pembangunan dalam bidang hukum, khususnya pembangunan hukum pidana, tidak hanya mencakup pembangunan yang bersifat struktural yakni lembaga-lembaga hukum yang bergerak di dalam suatu mekanisme, tetapi juga harus mencakup pembangunan substansial berupa produk-produk yang merupakan hasil suatu sistem hukum dalam bentuk peraturan hukum pidana. Usaha pembaharuan hukum pidana sampai saat ini terus dilakukan dengan tujuan utama menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana nasional untuk menggantikan kodifikasi hukum pidana yang merupakan warisan kolonial yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie 1915 yang merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht negeri Belanda tahun 1886.7 Pembaharuan hukum pidana tersebut akan mencakup persoalan-persoalan utama yang berkaitan dengan tiga permasalahan pokok di dalam hukum pidana, yakni tentang perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang, dan ancaman pidana. Dalam hal pertama, hukum pidana adat akan mendapat tempat tersendiri dalam sistem hukum pidana nasional yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Pembaharuan hukum pidana di Indonesia dimulai sejak masa permulaan berdirinya Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Diadakannya aturan peralihan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya kekosongan hukum yang berarti bahwa peraturan-peraturan yang ada pada zaman penjajahan Belanda masih tetap berlaku dimana hal ini disesuaikan dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka. Pada tanggal 26 Februari 1946 Pemerintah mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Sejak saat itulah dapat dikatakan pembaharuan hukum pidana di Indonesia dimulai. UU No. 1 Tahun 1946 melalui Pasal V dan Pasal VIII telah berusaha untuk menyesuaikan peraturanperaturan hukum pidana suasana kemerdekaan, tetapi pada dasarnya asasasas hukum pidana kolonial masih tetap mempengaruhi praktek pelaksanaan hukum pidana di Indonesia. Pasal V UU No. 1 Tahun 1946 menyebutkan bahwa “Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku.” Selanjutnya, disadari bahwa UU No. 1 Tahun 1946 adalah hukum peralihan yang hanya berlaku untuk sementara waktu dan sifatnya sebagai hukum peralihan, mewajibkan supaya asas-asas dan dasar-dasar yang lama Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985, hal. 4.
7
83
Relevansi Hukum Pidana Adat Bali dengan Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
diuji untuk membangun tata hukum pidana dan hukum pidana Indonesia yang baru. Tetapi sejarah perkembangan sejak berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 hingga kini menunjukkan dengan jelas, bahwa pengujian masih tetap dilandaskan pada ilmu hukum pidana itu berjalan sangat lambat dan sama sekali tidak memuaskan, disebabkan si penguji belum mempunyai dasar untuk menguji. Hal ini mengakibatkan asas-asas dan dasar-dasar tata hukum pidana dan hukum pidana kolonial masih tetap bertahan dengan wadah Indonesia yang telah merdeka tanggal 17 Agustus 1945 yang mempunyai kepribadian sendiri.8 Dalam rangka pembaharuan hukum pidana itu, bangsa Indonesia sudah melaksanakannya dengan dua cara, yaitu: 1. Pembuatan konsep Rancangan KUHP Usaha yang pertama untuk menyusun KUHP Nasional yang baru dimulai dengan didirikannya LPHN (Lembaga Pembinaan Hukum Nasional), yang dibentuk dengan Keputusan Presiden Tahun 1958. Menurut Sudarto, sedikitnya ada tiga alasan mengapa kita perlu mempunyai atau memperbaharui KUHP, yaitu alasan politik, sosiologis, dan praktis (kebutuhan dalam praktek).9 Apabila dipandang dari sudut politik, Negara RI yang merdeka adalah wajar mempunyai KUHPnya yang diciptakannya sendiri. Sedangkan dipandang dari sudut sosiologis, bahwa pengaturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan dari ideologi politik sesuatu bangsa dimana hukum itu berkembang. Ini berarti bahwa nilai-nilai sosial dan kebudayaan dari bangsa itu mendapat tempat dalam pengaturan di hukum pidana. Dipandang dari sudut praktek sehari-hari, sehubungan dengan kenyataan bahwa teks resmi KUHP itu masih bahasa Belanda, maka KUHP yang sekarang harus diganti dengan KUHP Nasional.10 Berdasarkan hal tersebut, maka pembaharuan dalam bidang hukum pidana memang sudah sewajarnya dan juga sudah waktunya untuk dilaksanakan. Saat ini, Kementerian Hukum dan HAM (sebelumnya bernama Departemen Hukum dan HAM, Departemen Kehakiman) telah menyiapkan konsep Rancangan KUHP Nasional dan telah mengalami beberapa kali perubahan. Dalam Draf RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU tentang KUHP) Tahun 2012 dimuat pasal yang menyangkut hukum adat (hukum pidana adat). Hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut harus memenuhi persyaratan apabila hendak diberlakukan, yaitu sesuai dengan Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, PT Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal. 14-15. 9 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983, hal. 66-68. 10 Ibid. 8
84
Puteri Hikmawati, S.H., M.H.
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsipprinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.11 Dalam Konsep RUU tentang KUHP, Bab I tentang Ruang Lingkup Berlakunya Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Pidana, Pasal 1 menyebutkan: 1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan. 2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi. Selanjutnya, Pasal 2 RUU menyebutkan: 1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. 2) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Dengan dimuatnya hukum adat dalam RUU tentang KUHP, maka terlihat bahwa para perancang mempunyai pandangan yang sama mengenai keberadaan hukum pidana adat, sehingga hukum pidana adat mendapat tempat dalam konsep Rancangan KUHP Nasional. 2. Pembentukan perundang-undangan pidana yang maksudnya untuk melengkapi atau merubah KUHP yang ada sekarang Beberapa perundang-undangan pidana yang telah dikeluarkan oleh lembaga pembentuk UU, untuk melengkapi atau merubah dan menambah KUHP yang ada, sehingga sesuai dengan perkembangan masyarakat, yaitu: a. UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. b. UU No. 20 Tahun 1946 yang menambah jenis tindak pidana pokok yang terdapat dalam Pasal 10 a KUHP dan Pasal 6 a KUHP Tentara, dengan satu pidana pokok baru, ialah hukuman tutupan. c. UU No. 7 Drt. Tahun 1955 mengatur tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. d. UU No. 73 Tahun 1958 yang menetapkan bahwa UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah RI. e. UU No. 10 Tahun 1960 yang merubah ancaman pidana yang diancamkan pada tiga delik culpa ialah delik dalam Pasal 188, Pasal 359, dan Pasal 360 KUHP.
11
Pasal 2 ayat (2) Draf RUU tentang KUHP Tahun 2012.
85
BAB III PEMBAHASAN
UU No. 32 Tahun 2004 mengakui keberadaan desa adat sesuai dengan asal usul dan adat istiadat setempat. Pasal 1 angka 12 berbunyi: Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. UU No. 32 Tahun 2004 mengandung makna dihidupkannya kembali nilainilai warisan budaya bangsa yang tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia sejak berabad-abad lamanya dan telah membentuk kepribadian bangsa Indonesia. Bagi beberapa daerah di Indonesia era berlakunya otonomi daerah berarti kembali menata pemerintahan desa sesuai dengan kepribadian bangsa yang selama ini telah terkubur oleh UU No. 5 Tahun 1979. Terkait dengan otonomi daerah, dalam penyelenggaraan pemerintahan di Bali, dikenal ada dua desa, yaitu “desa” (“desa dinas” atau “desa administratif” termasuk kelurahan) dan “desa adat” atau “desa pakraman”. Desa dinas mengacu kepada UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sedangkan desa adat pada mulanya mengacu pada Perda Tingkat I Bali Nomor 06 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Batasan desa adat menurut Perda tersebut adalah “Desa adat sebagai desa dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satua kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kayangan Tiga atau Kayangan Desa, yang mempunyai wilayah tertentu serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri (Pasal 1 huruf a).12 Desa adat mengorganisasikan masyarakat secara bulat. Eksistensi desa adat betul-betul kuat dan sangat dominan, bahkan hampir menjangkau seluruh aspek kehidupan. Desa adat berpegangan kepada suatu sarana yang
12
Wayan P. Windia, Bali Mawacara Kesatuan Awig-awig, Hukum dan Pemerintahan di Bali, Cetakan Pertama, Udayana University Press, Denpasar, 2010, hal. 1-2.
87
Relevansi Hukum Pidana Adat Bali dengan Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
menyebabkan ia semakin bulat yang disebut Pura Kahyangan Tiga. Pura Kahyangan Tiga ini meliputi Pura Dalem, Pura Puseh dan Pura Desa.13 Pada ketiga sarana keagamaan ini masyarakat adat “terbungkus” sedemikian bulatnya, sehingga dari sana bersumber pula begitu banyak kewajiban dan hakhak. Hubungan antarwarga desa ini, meliputi aturan-aturan nyata yang dibuat oleh masyarakat yang dituangkan dalam bentuk awig-awig.14 Desa adat atau desa pakraman dipimpin oleh prajuru desa. Struktur prajuru desa pada umumnya terdiri dari Bendesa selaku ketua, Penyarikan selaku sekretaris, Patengen selaku bendahara dan Kasinoman selaku pembantu umum atau juru arah.15 Bagi daerah Bali dengan berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 berarti desa pakraman berada pada pemantapan pelaksanaan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yang sesuai dengan kepribadian bangsa.16 Ketentuan tentang desa (adat) Pakraman di Bali diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang disahkan pada tanggal 21 Maret 2001 dan diundangkan tanggal 8 Mei 2001 menggantikan Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 06 Tahun 1986. Perda ini pada prinsipnya tetap berpegang pada Falsafah Tri Hita Karana yang meliputi unsur parhyangan, pawongan, dan palemahan. Namun, ada pula hal-hal baru yang dimaksudkan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat di era otonomi daerah. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Desa Pakraman dapat membuat aturan-aturan sendiri yang disebut awig-awig yang dibuat dan disahkan oleh krama desa melalui paruman, kemudian dicatatkan di Kantor Bupati. Awigawig desa berbeda-beda antara desa yang satu dengan desa lainnya, yang menunjukkan ciri khas dari desa pakraman masing-masing. Namun, setiap awig-awig desa mengandung prinsip-prinsip Tri Hita Karana. Selain itu, setiap awig-awig desa tidak boleh bertentangan dengan agama, Pancasila, UUD 1945, dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, dalam menyusun awigawig berdasarkan sumber acuan yang pasti, antara lain nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan peraturan perundang-undangan.17
13
14 15
16
17
I Ketut Artadi, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya, Cetakan Kelima, Pustaka Bali Post, Denpasar, Februari 2009, hal. 4. Ibid. I Nyoman Budiana, ”Pengaturan Mengenai Otonomi Khusus Dalam UU Nomor. 32 Tahun 2004 dan Rencana Pembentukan Otonomi Khusus Daerah Bali”, Makalah yang disampaikan dalam Forum Focus Group Discussion Peneliti Bidang Hukum P3DI Setjen DPR RI dengan dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana dan Universitas Mahendradatta, pada tanggal 3 Agustus 2010. I Nyoman Sirtha, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat Bali, Udayana University Press, Denpasar, 2008, hal. 11. I Nyoman Budiana, ”Pengaturan Mengenai Otonomi Khusus Dalam UU Nomor. 32 Tahun 2004 dan Rencana Pembentukan Otonomi Khusus Daerah Bali”, op.cit.
88
Puteri Hikmawati, S.H., M.H.
Awig-awig memuat larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh warga masyarakat atau kewajiban-kewajiban yang harus diikuti oleh masyarakat. Pelanggaran terhadap hukum adat termasuk awig-awig dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap mengganggu keseimbangan kosmis masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengembalikan keseimbangan magis yang terganggu tersebut maka si pelanggar wajib menjalankan sanksi adat.18 Sebagai contoh jika terjadi pencurian di pura, pelakunya selain dijatuhkan sanksi pidana berdasarkan KUHP juga diwajibkan untuk menjalankan sanksi adat yaitu mengadakan upacara keagamaan di tempat tersebut sehingga alam kosmos yang terganggu menjadi pulih kembali. Penerapan KUHP dianggap untuk mengembalikan keseimbangan sekale sedangkan penerapan sanksi adat bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan niskale. Mengembalikan keseimbangan niskale yaitu dengan mengadakan upacara tertentu untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu oleh suatu perbuatan tercela.19 Penyelesaian dengan mengembalikan keseimbangan sekale dan niskale menurut pandangan masyarakat Adat Bali erat sekali hubungannya dengan konsepsi Agama Hindu itu sendiri yakni berupa Tri Hita Karana atau tiga hal yang menyebabkan kebahagiaan. Tri Hita Karana mempunyai dimensi berupa Parhyangan (keselarasan hubungan Pencipta dengan manusia sebagai mahluk ciptaannya), Pawongan (keselarasan hubungan manusia yang satu dengan yang lain), dan Pelemahan (keselarasan hubungan antara manusia dengan alam sekelilingnya). Latar belakang inilah yang melandasi mengapa penyelesaian pelanggaran hukum (hukum positif sekaligus hukum adat, misalnya delik adat Lokika Sanggraha) selain diselesaikan melalui proses peradilan umum juga melalui upacara atau pemenuhan kewajiban adat.20 Pengakuan terhadap eksistensi hukum pidana adat di daerah Bali ditunjukkan dengan adanya beberapa sumber hukum bagi masyarakat Bali yaitu21: 1. Kitab suci Manawa Darma Sastra. 2. Awig-awig: ketentuan hukum tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat adat Bali. 3. Dereste: ketentuan hukum tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat adat Bali. 4. Kitab catur agama. Keempat sumber hukum tersebut ditaati secara turun temurun oleh masyarakat Bali.
18
21 19 20
Wawancara dengan Wayan P. Windia – Profesor Ilmu Hukum dan Konsultan Hukum Adat Bali, pada tanggal 31 Juli 2010. Ibid. Ibid. Ibid.
89
Relevansi Hukum Pidana Adat Bali dengan Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
Dipandang dari sudut adat, desa di Bali merupakan lembaga adat, dan bila dipandang dari sudut agama merupakan lembaga agama, yang keduanya memberi tatanan, isi dan jiwa dari kehidupan desa. Melalui lembaga adat, sengketa adat yang nonkriminal dan sengketa adat yang kriminal dapat diselesaikan. Delik adat nonkriminal meliputi delik adat yang menyangkut kesusilaan seperti salah krama22 serta delik adat karena kelalaian/tidak menjalankan kewajiban adat. Sedangkan delik adat kriminal meliputi delik adat yang menyangkut kesusilaan seperti delik adat lokika sanggraha23, gamia gemana24, drati krama25, dan delik adat yang menyangkut harta benda seperti pencurian benda-benda suci seperti pratima26 dan tapakan27 serta pengrusakan benda dan tempat suci (Pura).28 Berdasarkan tempat terjadinya, tindak pidana adat dibagi menjadi dua, yaitu tindak pidana adat yang dilakukan di tempat suci (pura) dan tindak pidana adat di luar tempat suci. Proses penyelesaian tindak pidana adat di Bali ada yang diselesaikan melalui saluran formal yaitu melalui pengadilan (khususnya pengadilan negeri) dan saluran informal (diselesaikan melalui lembaga adat).29 Penyelesaian sengketa adat nonkriminal tidak melalui pengadilan formal tetapi melalui paruman prajuru desa adat/lembaga adat. Sedangkan penyelesaian sengketa adat kriminal, selain melalui paruman prajuru desa adat/lembaga adat, juga diserahkan kepada pengadilan formal (negeri). Sedangkan penyelesaian suatu kasus pidana yang menyangkut masyarakat hukum adat dengan masyarakat lainnya yang tidak termasuk masyarakat adat, maka kasus pidana tersebut diselesaikan sesuai dengan hukum nasional.30
22
23
24
25
26
27
28 29
30
Salah krama yaitu hubungan seks yang dilakukan antara seorang pria atau wanita dengan binatang/hewan. Lokika sanggraha yaitu hubungan seks yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan yang sama-sama bujang/tidak terikat dalam suatu perkawinan yang sah, sama-sama beragama Hindu kemudian terjadi kehamilan dan pihak laki-laki mengingkari janjinya untuk menikahi pihak wanita tersebut. Gamia gemana yaitu hubungan seks yang dilakukan antara orang yang masih terikat dalam hubungan keluarga (incest). Drati Krama yaitu hubungan seks yang dilakukan antara seorang laki-laki atau perempuan dengan orang bukan susmi atau istrinya yang masih terikat dalam perkawinan yang sah/ berzina. Pratima yaitu benda yang dibuat khusus untuk melambangkan Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk pewayangan sesuai dengan manifestasinya. Tapakan yaitu sejenis barong, rangda, topeng yang dibuat sebagai perlambang dengan tujuan agar tidak mengganggu keseimbangan alam semesta. Wawancara dengan AKBP Putu Janawati, Polda Bali, 1 Agustus 2010. Topo Santoso, “Pluralisme dalam Hukum Pidana di Indonesia”, makalah, http://74.125.153.132/ search?q=cache:ysfaGz_hoMgJ:www.bphn.go.id/puslitbang/index.php%3Faction%3Ddown load%26file%3Dpak_topo.ppt+hukum+pidana+adat&cd=2&hl=en&ct=clnk&gl=id, diakses tanggal 31 Maret 2010. Wawancara dengan AKBP Putu Janawati, Polda Bali, 1 Agustus 2010.
90
Puteri Hikmawati, S.H., M.H.
Pelaksanaan hukuman pidana adat tidak membawa implikasi dalam penanganan perkara pidana oleh pihak kepolisian karena sanksi adat bukan hukuman tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP. Jenisjenis sanksi adat Bali tersebut yaitu: dedosan31, kerampang32, kesepekang33, kataban34, maprayascitta35, matirta gemana36, mengaksana37 dan melarung38. Selanjutnya terkait dengan otonomi daerah, hal-hal baru yang dipandang penting berkaitan dengan kelembagaan, yaitu adanya Majelis Desa Pakraman (MDP) yang terdiri atas: (1) Majelis Utama di ibukota Provinsi, (2) Majelis Madya di Kabupaten/Kota, dan (3) Majelis Alitan di Kecamatan. MDP mempunyai tugas mengayomi adat istiadat dan melaksanakan penyuluhan adat istiadat. Sedangkan wewenang MDP adalah memusyawarahkan berbagai masalah adat dan agama, dan sebagai penengah dalam menyelesaikan kasuskasus yang terjadi dalam masyarakat. Selain lembaga-lembaga tersebut, sebagai polisi adat terdapat adanya pecalang yang mempunyai tugas menjaga keamanan dan ketertiban desa, dalam hubungannya dengan pelaksanaan agama dan adat. Pecalang dalam melaksanakan tugas menggunakan atribut yang lengkap, sehingga tampak dengan jelas ciri-cirinya, antara lain warna pakaian, yang terdiri dari tiga warna atau tridatu yaitu merah (simbol Brahma yang berfungsi pencipta), hitam (simbol Wisnu berfungsi sebagai pemelihara) dan putih (simbol Siwa berfungsi sebagai pelebur kembali) yang melambangkan tiga kekuatan maha dahsyat.39 Persyaratan menjadi pecalang, tugas dan kewajibannya serta tanggungjawabnya secara tegas dipahami oleh pecalang, sehingga setiap pecalang mempunyai tanggungjawab dan disiplin dalam melaksanakan tugasnya dalam menjaga keamanan desa. Desa pakraman dengan hak
31
32
33
34
35
38 39 36 37
Dedosan atau denda adalah sejumlah uang tertentu yang dikenakan kepada pelanggar/ krama desa yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya. Kerampang adalah hutang anggota krama desa kepada desa, yang tak terbayar hingga lama maka harta anggota krama tersebut dapat diambil oleh desa untuk membayar hutangnya. Kesepekang adalah tidak diajak bicara oleh krama desa karena sudah terlalu sering melakukan pelanggaran peraturan di Banjar/desa. Kataban adalah menahan binatang yang berkeliaran di kebun milik krama desa berdasarkan kesepakatan yang telah dituangkan dalam awig-awig. Maprayascitta adalah melakukan upacara agama untuk membersihkan desa akibat suatu perbuatan yang dianggap mengganggu keseimbangan magis dalam kehidupan masyarakat. Matirta gemana adalah hukuman bagi seorang pendeta yang melakukan kesalahan. Mengaksana adalah minta maaf. Melarung adalah ditenggelamkan ke laut (untuk delik adat salah krama). I Nyoman Budiana, ”Pengaturan Mengenai Otonomi Khusus Dalam UU Nomor. 32 Tahun 2004 dan Rencana Pembentukan Otonomi Khusus Daerah Bali”, op.cit.
91
Relevansi Hukum Pidana Adat Bali dengan Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
otonominya, diharapkan mampu menjaga keamanan desanya dan pecalang dapat berperan dalam mewujudkan keamanan, ketertiban, dan ketentraman masyarakat desa.40 Berkaitan dengan pembaharuan hukum pidana nasional, dalam draf RUU tentang KUHP Tahun 2012, terdapat pemikiran bahwa hukum adat, termasuk hukum adat Bali, diadopsi dalam RUU tentang KUHP. Penyelesaian secara adat dengan jenis sanksi adat Bali tersebut, yang selama ini telah diterapkan secara turun temurun dapat menjadi alternatif penyelesaian perkara pidana, di tengah banyaknya perkara pidana yang ditangani oleh aparat penegak hukum. Pasal 54 ayat (1) huruf c RUU tentang KUHP menentukan bahwa pemidanaan bertujuan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Ketentuan ini dipertegas dengan adanya eksistensi pidana tambahan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 67 ayat (1) huruf e berupa, “pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat”. Penjatuhan pidana tambahan ini dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain. Adopsi hukum adat ke dalam KUHP Nasional dirasakan penting, karena adanya pandangan yang menyatakan bahwa penerapan hukum pidana adat tidak diakui sebagai sumber hukum positif. Menurut Barda Nawawi Arief, dengan adanya perumusan asas legalitas yang formal di dalam KUHP, hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup di dalam masyarakat sama sekali tidak mempunyai tempat sebagai sumber hukum yang positif.41 KUHP menegaskan bahwa “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.”42 Lebih lanjut, Barda Nawawi Arief mengatakan, asas legalitas seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1 KUHP memang merupakan salah satu asas fundamental yang harus tetap dipertahankan, namun penggunaannya harus bijaksana dan hati-hati, karena kalau kurang bijaksana dan kurang hati-hati justru dapat menjadi “bumerang”. Sungguh sangat tragis dan menyayat hati apabila dengan dalih melaksanakan Pasal 1 KUHP, nilai-nilai hukum yang ada dan hidup dalam masyarakat tidak dapat tersalur dengan baik atau bahkan ditolak sama sekali. Dikatakan tragis dan menyayat hati karena berarti nilai-nilai hukum adat/hukum yang hidup di dalam masyarakat telah
40 41
42
Ibid. Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), sebagaimana dikutip oleh Nyoman Serikat Putra Jaya dalam Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 51. Pasal 1 ayat (1) KUHP.
92
Puteri Hikmawati, S.H., M.H.
dibunuh/dimatikan oleh bangsanya sendiri lewat senjata/peluru/pisau yang diperolehnya dari bekas penjajah (yaitu lewat Pasal 1 KUHP/Wetboek van Strafrecht).43 Saat ini RUU tentang KUHP Tahun 2012 di samping tetap mempergunakan Pasal 1 KUHP yang mensyaratkan bahwa sumber hukum pidana adalah undang-undang, ditegaskan pula dalam Pasal 2 ayat (1) RUU, bahwa hal ini “tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.” Adapun maksud para penyusun RUU ini untuk menegaskan kembali apa yang telah terdapat di luar KUHP, yaitu dalam UU No.1 Drt Tahun 1951. Pengadopsian berlakunya hukum pidana adat dalam RUU tentang KUHP merupakan salah satu masalah yang ramai diperdebatkan, karena dianggap merupakan penyimpangan dari asas legalitas. Perdebatan antar ahli hukum pidana muncul sehubungan dengan larangan menggunakan analogi sebagaimana disebut dalam Pasal 1 ayat (2) RUU KUHP: “Dalam menetapkan adanya tindak pidana, dilarang menggunakan analogi”. Larangan menggunakan analogi selama ini dianut oleh KUHP (Wetboek van Strafrecht) yang sekarang berlaku. Schaffmeister, ahli hukum pidana Belanda mengkritik masuknya klausul living law (Pasal 2 ayat (1) RUU tentang KUHP), yang disampaikan secara tertulis kepada seorang ahli hukum pidana Universitas Padjadjaran Bandung. Dalam kritiknya, Schaffmeister menganggap Pasal 2 ayat (1) RUU tentang KUHP sebagai pasal akrobatik.44 Namun, Anggota Tim Perancang KUHP, Chairul Huda berpendapat Pasal 2 ayat (1) RUU bukan merupakan penyimpangan atau perluasan dari asas legalitas yang dianut Pasal 1 ayat (1), melainkan bersumber dari pikiran-pikiran atau ajaran tentang living law. Menurut Huda, diangkatnya tindak pidana adat dalam RUU KUHP merupakan hasil pemikiran panjang para perancang terdahulu, bahwa “hukum adat sangat diperlukan dalam memaknai aturan-aturan hukum dalam praktek kelak”.45 Anggota tim perumus RUU tentang KUHP lainnya, Andi Hamzah, pernah mengusulkan jalan tengah terhadap perdebatan masuknya hukum adat dalam RUU tentang KUHP. Andi Hamzah mengatakan “KUHP perlu mengadopsi ketentuan Pasal 80 KUHP China, yang menyebutkan bahwa dalam situasi
43
44
45
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), sebagaimana dikutip oleh Nyoman Serikat Putra Jaya dalam Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 52. “Larangan Menggunakan Analogi dalam RUU KUHP Terus Diperdebatkan”, hukum online, diakses tanggal 19 Juni 2007. Ibid.
93
di daerah otonomi tidak dapat menerapkan secara sempurna KUHP, maka daerah otonom tersebut dapat menetapkan ketentuan sendiri berdasarkan politik ekonomi yang berbeda. Tetapi aturan daerah otonom tersebut harus mendapat persetujuan DPR (Pusat)”.46 Jika melihat jenis tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui lembaga adat di Bali dan mempertimbangkan kondisi daerah di Indonesia yang kadang jauh di pelosok sehingga sulit untuk mencapai lokasi pengadilan, maka pendapat Andi Hamzah bahwa daerah otonom dapat menerapkan ketentuan sendiri di samping hukum nasional lebih mendekati harapan masyarakat hukum adat. Oleh karena itu, penerapan hukum adat hendaknya diakomodasi dalam hukum pidana nasional (KUHP dan KUHAP).
46
Ibid.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengakui keberadaan desa adat. Terkait dengan otonomi daerah, dalam penyelenggaraan pemerintahan di Bali, dikenal ada dua desa, yaitu “desa” (“desa dinas” atau “desa administratif” termasuk kelurahan) dan “desa adat” atau “desa pakraman”. Desa adat di Bali mengorganisasikan masyarakat secara bulat. Eksistensinya betul-betul kuat dan sangat dominan, bahkan hampir menjangkau seluruh aspek kehidupan. Desa adat berpegangan kepada suatu sarana yang disebut Pura Kahyangan Tiga. Pura Kahyangan Tiga ini meliputi Pura Dalem, Pura Puseh, dan Pura Desa. Bagi daerah Bali dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 berarti desa pakraman berada pada pemantapan pelaksanaan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Ketentuan tentang desa adat di Bali diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Desa Pakraman dapat membuat aturan-aturan sendiri yang disebut awig-awig yang dibuat dan disahkan oleh krama desa melalui paruman, kemudian dicatatkan di Kantor Bupati. Awigawig desa berbeda-beda antara desa yang satu dengan desa lainnya, yang menunjukkan ciri khas dari desa pakraman masing-masing. Namun, setiap awig-awig desa mengandung prinsip-prinsip Tri Hita Karana. Selain itu, setiap awig-awig desa tidak boleh bertentangan dengan agama, Pancasila, UUD 1945, dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, di daerah yang masyarakatnya masih dipengaruhi oleh adat, sumber hukum yang diakui selain KUHP dan KUHAP, yang berlaku secara nasional, adalah hukum pidana adat. Awig-awig memuat larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh warga masyarakat atau kewajiban-kewajiban yang harus diikuti oleh masyarakat. Pelanggaran terhadap hukum adat termasuk awig-awig dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap mengganggu keseimbangan kosmis masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengembalikan keseimbangan magis yang terganggu tersebut maka si pelanggar wajib menjalankan sanksi adat. Penerapan KUHP dianggap untuk mengembalikan keseimbangan sekale sedangkan penerapan sanksi adat bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan 95
Relevansi Hukum Pidana Adat Bali dengan Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
niskale. Mengembalikan keseimbangan niskale yaitu dengan mengadakan upacara tertentu untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu oleh suatu perbuatan tercela. Pelaksanaan hukuman pidana adat tidak membawa implikasi dalam penanganan perkara pidana oleh pihak kepolisian karena sanksi adat bukan hukuman tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP. Namun, berkaitan dengan pembaharuan hukum pidana nasional, dalam draf RUU tentang KUHP Tahun 2012, terdapat pemikiran bahwa hukum adat, termasuk hukum adat Bali, diadopsi dalam RUU tentang KUHP. B. Rekomendasi Penyelesaian secara adat yang selama ini telah diterapkan secara turun temurun dapat menjadi alternatif penyelesaian perkara pidana, di tengah banyaknya perkara pidana yang ditangani oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu, penerapan hukum adat hendaknya diakomodasi dalam hukum pidana nasional (KUHP dan KUHAP).
96
DAFTAR PUSTAKA
Buku I Ketut Artadi, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya, Cetakan Kelima, Pustaka Bali Post, Denpasar, Februari 2009.
I Nyoman Sirtha, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat Bali, Udayana University Press, Denpasar, 2008.
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2001. Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, PT Bina Aksara, Jakarta, 1985. Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985.
Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983.
Wayan P. Windia, Dari Bali Mawacara Menuju Bali Santi, Udayana University Press, Denpasar, 2010. ----------, Bali Mawacara, Kesatuan Awig-awig, Hukum dan Pemerintahan di Bali, Udayana University Press, Denpasar, 2010.
Internet Topo Santoso, “Pluralisme dalam Hukum Pidana di Indonesia”, makalah, http://74.125.153.132/search?q=cache:ysfaGz_hoMgJ:www.bphn.go.id/ puslitbang/index.php%3Faction%3Ddownload%26file%3Dpak_topo.pp t+hukum+pidana+adat&cd=2&hl=en&ct=clnk&gl=id, diakses tanggal 31 Maret 2010. “Larangan Menggunakan Analogi dalam RUU KUHP Terus Diperdebatkan”, hukum online, diakses tanggal 19 Juni 2007.
97
Relevansi Hukum Pidana Adat Bali dengan Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
Lain-lain Draf Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012, Kementerian Hukum dan HAM.
I Nyoman Budiana, ”Pengaturan Mengenai Otonomi Khusus Dalam UU Nomor. 32 Tahun 2004 dan Rencana Pembentukan Otonomi Khusus Daerah Bali”, Makalah yang disampaikan dalam Forum Focus Group Discussion Peneliti Bidang Hukum P3DI Setjen DPR RI dengan dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana dan Universitas Mahendradatta, pada tanggal 3 Agustus 2010.
Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP). Republik Indonesia, Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelesaikan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437, sebagaimana telah mengalami dua kali perubahan yaitu dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548), dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844). Narasumber ―― Wayan P. Windia – Profesor Ilmu Hukum dan Konsultan Hukum Adat Bali, wawancara pada tanggal 31 Juli 2010.
―― AKBP Putu Janawati, Polda Bali, wawancara pada tanggal 1 Agustus 2010. 98
Bagian Keempat Hukum Internasional
ANALISIS TERHADAP PEMBUATAN PERJANJIAN KERJASAMA INTERNASIONAL (Studi di Provinsi Bali) Novianti, S.H., M.H.*
*
Peneliti Madya bidang Hukum Internasional pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Setjen DPR RI, email:
[email protected]
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perjanjian kerjasama internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan hubungan antar negara. Melalui perjanjian kerjasama internasional, tiap negara menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Dalam melakukan perjanjian kerjasama internasional tersebut, tiap negara termasuk Indonesia selalu berusaha melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Indonesia juga membuat perjanjian kerjasama internasional dengan negara-negara lain maupun dengan organisasi-organisasi internasional lainnya. Perjanjian kerjasama tersebut bukan hanya dalam bentuk bilateral, namun juga dalam bentuk regional1. Sejalan dengan perkembangan atau kemajuan teknologi para pelaku hubungan internasional atau kerjasama internasional juga meluas. Kerjasama internasional atau perjanjian internasional yang berkembang sebagai akibat kemajuan teknologi menyebabkan para pelaku hubungan internasional juga meluas, tidak hanya mencakup negara saja, akan tetapi telah meluas pada pelaku-pelaku selain negara, seperti organisasi internasional, lembaga swadaya masyarakat, perusahaan-perusahaan multinasional, dan pemerintah daerah. Bermacam-macam pelaku yang terlibat dalam kerjasama internasional atau perjanjian internasional di samping membuat proses pengambilan keputusan semakin kompleks, tetapi juga membuka peluang bagi pemantapan diplomasi di Indonesia. Terkait dengan perjanjian kerjasama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, kebijakan otonomi daerah menuntut pemerintah daerah untuk lebih mandiri, tidak selalu tergantung pada pemerintah pusat. Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya, baik yang berupa potensi alam maupun sumber daya manusia, untuk memaksimalkan pendapatan asli daerah agar dapat melaksanakan pembangunan demi meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan perjanjian kerjasama internasional.
1
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2005, hal. 82.
101
Analisis terhadap Pembuatan Perjanjian Kerjasama Internasional
Dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama internasional, telah dibentuk Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Kedua Undang-Undang tersebut memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan kerjasama internasional, pelaksanaan politik luar negeri dan pembuatan perjanjian internasional. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional memungkinkan pemerintah daerah membuat perjanjian kerjasama internasional, namun, Pasal 5 ayat (1) mensyaratkan bahwa daerah harus terlebih dulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri. Selain itu, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengisyaratkan perlu dilakukannya penyesuaian kewenangan pelaksanaan hubungan dan kerjasama luar negeri. Pada prinsipnya pelaksanaan politik luar negeri merupakan kewenangan pemerintah pusat. Namun, dengan berlakunya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tersebut, kebijakan hubungan luar negeri dan diplomasi oleh pemerintah pusat antara lain juga diarahkan untuk memberdayakan dan mempromosikan potensi daerah, dalam kerangka negara kesatuan. Terkait dengan pembuatan perjanjian kerjasama luar negeri oleh daerah, Kementerian Luar Negeri telah mengeluarkan Peraturan Menteri Luar Negeri (Permenlu) No. 09/A/KP/XII/2006/01 yang pada intinya mengatur tentang panduan tata cara hubungan dan kerjasama luar negeri oleh pemerintah daerah. Ketentuan tersebut memberikan pedoman kepada pemerintah daerah dalam melakukan perjanjian internasional.2 Kementerian Dalam Negeri juga mengeluarkan ketentuan tentang pelaksanaan kerjasama luar negeri oleh pemerintah daerah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 3 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri. Kedua peraturan yang tertuang dalam Permenlu dan Permendagri, yang dikeluarkan oleh departemen terkait ini, menonjolkan peran yang besar pada peraturan masingmasing, seperti dalam Permenlu sangat dominan peran Departemen Luar Negeri, sebaliknya dalam Permendagri sangat dominan peran Departemen Dalam Negeri. Terkait dengan pelaksanaan perjanjian kerjasama internasional, Provinsi Bali telah melakukan beberapa perjanjian kerjasama di antaranya dengan Pemerintah Provinsi Jeju – Korea Selatan. Perjanjian kerjasama tersebut dilakukan dalam bentuk MoU yang telah dilakukan penandatanganan pada tanggal 15 Oktober 2001. Pulau Jeju merupakan pulau yang terkenal dari
2
Lihat Peraturan Menteri Luar Negeri Luar Negeri No. 09/A/KP/XII/2006/01 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah.
102
Novianti, S.H., M.H.
3000 pulau yang ada di Korea, atau dikenal dengan Pulau Bali yang berada di Korea. Lokasi ini terkenal, karena keindahan lingkungan alamnya yang bersih. Sejak masa lampau, Pulau Jeju terpilih sebagai tempat parawisata terunggul. Adapun bidang-bidang yang tertuang dalam MoU adalah bidang parawisata, kebudayaan, perdagangan dan industri serta ilmu pengetahuan dan teknologi.3
B. Permasalahan Adanya dua Peraturan Menteri yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri dan Peraturan Menteri Luar Negeri No. 09/A/XII/2006/01 pada Bab III tentang Mekanisme Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Daerah dimana masing-masing peraturan tersebut sama-sama mengatur tentang mekanisme pembuatan perjanjian kerjasama internasional oleh daerah. Kedua peraturan yang tertuang dalam Permenlu dan Permendagri, yang dikeluarkan oleh departemen terkait menonjolkan peran yang besar pada peraturan masing-masing sehingga tidak ada sinkronisasi dan harmonisasi peraturan tentang pembuatan perjanjian kerjasama internasional. Oleh karena itu, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan pembuatan perjanjian kerjasama internasional dalam hukum nasional? 2. Bagaimana pelaksanaan pembuatan perjanjian kerjasama internasional di Provinsi Bali?
3
Pulau Jeju, Pulau Bali Kedua Yang Terletak di Korea Selatan, http://www.terbaca. com/2010/07/pulau-jeju-pulau-bali-ke-dua-yang.html, diakses tanggal 6 April 2012.
103
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN
A. Harmonisasi dan Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan Salah satu yang dapat dijadikan tolak ukur baik atau tidaknya kualitas peraturan perundang-undangan adalah harmonisasi dan sinkronisasi pembentukan peraturan perundang-undangan. Menurut Moh. Hasan Wargakusumah, yang dimaksud dengan harmonisasi hukum adalah:4 kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian hukum tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis maupun yuridis. Dalam pelaksanaannya, kegiatan harmonisasi adalah pengkajian yang komprehensif terhadap suatu rancangan peraturan perundang-undangan, dengan tujuan untuk mengetahui apakah rancangan peraturan tersebut, dalam berbagai aspek, telah mencerminkan keselarasan atau kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan nasional lain, dengan hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, atau dengan konvensi-konvensi dan perjanjianperjanjian internasional. baik bilateral maupun multilateral, yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Rl.
Harmonisasi memiliki fungsi untuk mencegah dan mengatasi terjadinya disharmonisasi hukum. Harmonisasi juga dapat menjamin proses pembentukan rancangan undang-undang yang taat asas demi kepastian hukum. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan adalah proses penyerasian dan penyelarasan antar peraturan perundangundangan sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dari sistem hukum guna mencapai tujuan hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diatur mengenai sistem peraturan perundangundangan yang tersusun secara hierarkis, yakni Pasal 7 ayat (1), yang berbunyi:
4
Moh. Hasan Wargakusumah, Perumusan Harmonisasi Hukum tentang Metodologi Harmonisasi Hukum, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1996/1997, hal. 37.
105
Analisis terhadap Pembuatan Perjanjian Kerjasama Internasional
Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. Dengan ketentuan ini maka jelas diatur kekuatan hukum dan kekuatan mengikat dari masing-masing peraturan perundang-undangan. Materi peraturan perundang-undangan tidak boleh mengandung substansi yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Materi peraturan perundang-undangan hanya dapat membuat aturan yang bersifat merinci dan melaksanakan peraturan perundang-undangan di atasnya. Sedangkan terkait dengan sinkronisasi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, dituliskan bahwa kata “sinkron” diartikan sebagai a. sesuatu yang terjadi atau berlaku pada waktu yang sama atau serentak; b. sejalan, sejajar, sesuai, atau selaras (dengan). Kata “sinkronisasi” diartikan sebagai perihal menyinkronkan, menyerentakkan, atau penyesuaian. Sinkronisasi dan harmonisasi dalam pembentukan perundang-undangan harus pula memperhatikan pada latar belakang dan konsep berfikir, serta sistem yang mempengaruhi pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.5 B. Pengertian Perjanjian Internasional Perjanjian internasional dalam arti umum dan luas meliputi persetujuan, traktat atau konvensi. Perjanjian yang dimaksud adalah:
“Kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional mengenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional”.6
Definisi perjanjian internasional menurut Konvensi Wina 1969, dalam Pasal 2 ayat (1) butir a dijelaskan: “Treaty means an international agreement concluded between States in written from and governed by international law, whether embodied in a single instruments or in two or more related instruments and whatever its particular description”.
Adapun yang dimaksud dengan perjanjian internasional adalah suatu persetujuan/kesepakatan yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk
5
6
Komentar Atas Artikel Maria Farida Indrati, 2007, Meningkatkan Kualitas PerundangUndangan Di Indonesia, dalam www.google.com, diakses 27 Desember 2012. Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, Bandung, Penerbit CV Mandar Maju, 2002, hal 1.
106
Novianti, S.H., M.H.
yang tertulis dan diatur oleh hukum internasional, baik yang berupa satu instrumen tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya. Sedangkan berdasarkan UndangUndang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional disebutkan:
“Perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”.7
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Bab I Pasal 1 ayat (3) menyatakan:
“Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan diatur secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.”
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa perjanjian internasional merupakan suatu persetujuan yang dapat berbentuk tertulis maupun tidak tertulis, dilakukan oleh negara atau subyek hukum internasional lain, yang diatur dengan menggunakan instrumen tunggal maupun lebih, serta tunduk pada hukum internasional.
C. Teori Bentuk Negara Menurut CF Strong8, negara kesatuan adalah bentuk negara dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislasi nasional/ pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintah pusat bukan pada pemerintah daerah. Hakikatnya kekuasaan tidak terbagi. Jadi hanya ada satu pemerintahan pusat. C.F. Strong mencoba memecahkan persoalan bentuk negara berdasarkan pada 5 (lima) kriteria. Pertama, dengan cara melihat bagaimana bangunan negaranya, hal ini bisa dilihat dari ciri-ciri (i) negara kesatuan yang tidak terdiri dari negara-negara bagian dan (ii) negara serikat yang terdiri dari negara-negara bagian. Pembedaan negara kesatuan dan negara serikat mempengaruhi organisasinya. Pada negara serikat, masih ada pembedaan dalam menentukan pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah negara bagian. Namun, ada 2 (dua) cara penentuannya, yaitu (i) merumuskan dengan tegas wewenang negara bagian, selebihnya wewenang pemerintah pusat atau (ii) merumuskan dengan tegas wewenang pemerintah pusat, selebihnya wewenang pemerintah negara bagian.
7 8
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Pasal 1 ayat (1). C.F Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah & Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Bandung: Nuansa, 2004, hal. 81.
107
Analisis terhadap Pembuatan Perjanjian Kerjasama Internasional
Pada cara yang pertama, menurut Strong, negara serikat masih mendekati negara kesatuan, negara federal yang kurang murni, yaitu negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, di mana wewenang daerah swatantra sudah dirumuskan dengan tegas dan selebihnya termasuk wewenang pemerintah pusat. Kedua, dengan cara melihat bagaimana konstitusinya, apakah konstitusi itu diletakkan dalam suatu naskah tertentu atau tidak (tertulis atau tidak). Ada beberapa keuntungan konstitusi tertulis, yaitu (i) organisasi negara itu dapat terjamin, dalam arti tidak berubah sewaktu-waktu jadi tidak tunduk pada kehendak orang tertentu dan (ii) adanya pedoman tertentu untuk perkembangan lebih lanjut, misalnya pada suatu pasal atau bab, sehingga perkembangannya bisa dikembalikan pada norma tertentu. Namun ada pula beberapa kelemahan tidak adanya naskah (konstitusi tidak tertulis), misalnya dalam menentukan siapa yang berwenang menentukan bahwa kebiasaan yang baru dalam masyarakat yang merupakan hukum yang baru. Karena tidak adanya naskah tertentu, bagaimana kita dapat mengetahui adanya keadaan baru yang bertentangan dengan naskah itu. Di Inggris, hal ini dipecahkan dengan memberi wewenang kepada parlemen yang disebut omnipotence, yaitu wewenang tertinggi di segala hal pada parlemen. Ketiga, mengenai badan perwakilannya, bagaimana disusunnya, siapa yang berhak memegang kekuasaan itu. Keempat, mengenai badan eksekutif, apakah ia bertanggung jawab kepada parlemen atau tidak atau disebutkan badan eksekutif yang sudah pasti jangka waktu kekuasaannya. Kelima, bagaimana hukum yang berlaku. Dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama internasional negara merupakan entitas abstrak. Negara terbagi dalam berbagai kekuasaan yang memiliki tugas dan tanggung jawab yang kesemuanya diatur dalam konstitusi. Tidak bisa semua institusi negara melakukan hubungan dengan subyek hukum internasional lainnya. Dalam kebiasaan yang diakui oleh masyarakat internasional, dalam suatu negara ditentukan dalam konstitusi lembaga mana yang dapat melakukan hubungan luar negeri atas nama negara tersebut. Ini penting agar hanya ada satu pintu (one door policy) dan kebijakan bila pihak lain ingin berhubungan dengan negara tersebut. Berdasarkan konsep yang dikenal dalam hukum internasional, pemerintah pusat merupakan pemegang kedaulatan suatu negara. Subyek hukum internasional lainnya akan berhubungan dengan pemerintah pusat bila hendak melakukan hubungan luar negeri. Hukum internasional tidak mengatur lembaga mana yang dianggap sebagai pemerintah pusat. Ini diserahkan kepada masing-masing konstitusi dan peraturan perundang-undangan suatu negara.9
9
Hikmahanto Juwana, UU Hubungan Luar Negeri: Konteks, Konsep pemikiran dan pelaksanaannya selama ini, artikel Hukum pada Institut for legal and zonstitutional goverment, 1 Maret 2010.
108
Novianti, S.H., M.H.
Dalam konstitusi Indonesia yakni Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 dikatakan, “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Hal tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dalam Pasal 4 ayat (1), bahwa ”Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik”. Lebih lanjut terkait dengan peran pemerintah daerah, Pasal 5 ayat (1) UU tentang Perjanjian Internasional menyebutkan: ”Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri”
D. Teori Delegasi Menurut teori delegasi, aturan-aturan konstitusional Hukum Internasional mendelegasikan kepada masing-masing konstitusi negara, hak untuk menentukan kapan ketentuan Perjanjian Internasional berlaku dalam hukum nasional dan cara bagaimana ketentuan Perjanjian Internasional dijadikan hukum nasional. Indonesia cenderung menggunakan teori delegasi. Pengesahan yang dilakukan menurut hukum nasional Indonesia, merupakan bagian prosedur ratifikasi dalam ranah hukum nasional untuk memperoleh instrumen ratifikasi, yang diperlukan prosedur ratifikasi dalam ranah Hukum Internasional. Ratifikasi merupakan bagian prosedur pembentukan Hukum Internasional yang dituangkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Keterikatan Indonesia pada Perjanjian Internasional yang bersangkutan, dilandaskan pada penyampaian instrumen ratifikasi dalam ranah Hukum Internasional. Apabila Indonesia sudah menjadi negara pihak, Indonesia wajib melaksanakannya dengan itikad baik dan melakukan penyesuaian perundang-undangannya dengan Perjanjian Internasional yang sudah berlaku secara definitif.10 Hal tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Pasal 5 ayat (1), yang menyebutkan: ”Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri”.11
10
11
Mochtar Kusumaatmadja, “Pengantar Hukum Internasional: Buku I- Bagian Umum”, Bina Cipta, Bandung, 1990, hal. 65. Lihat Pasal 4 dan Pasal 5 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
109
Hal tersebut ditegaskan juga dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yakni dalam Pasal 10 ayat (3) huruf a, bahwa urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat adalah a. bidang politik luar negeri. Sedangkan bidang-bidang lain yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi diatur dalam Pasal 13, dan Pasal 14 mengatur kewenangan kabupaten/kota. Bidang-bidang hubungan dan kerjasama luar negeri oleh Daerah memerlukan konsultasi dan koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri.
BAB III PEMBAHASAN
A. Pengaturan Pembuatan Perjanjian Kerjasama Internasional dalam Hukum Nasional Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional merupakan dasar hukum dalam pelaksanaan kerjasama internasional dan telah mengakui Pemerintah Daerah sebagai salah satu pelaku dalam pelaksanaan kerjasama internasional. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 menyebutkan bahwa ”Hubungan luar negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional ynag dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia. Hal tersebut ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, Pasal 5 ayat (1), bahwa ”Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri”12. Dengan demikian dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut, disimpulkan bahwa daerah yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan menteri. Konsultasi dan koordinasi yang dilakukan dengan menteri mencakup 4 (empat) hal yakni13: 1. Secara politis, perjanjian kerjasama internasional tersebut tidak bertentangan dengan politik luar negeri dan kebijakan hubungan luar negeri pemerintah pusat pada umumnya. 2. Perjanjian kerjasama luar negeri tidak digunakan atau disalahgunakan sebagai akses bagi kegiatan asing yang dapat mengganggu dan mengancam stabilitas keamanan dalam negeri. 3. Secara yuridis terdapat jaminan kepastian hukum yang secara maksimal dapat menutup celah-celah yang merugikan bagi pencapaian tujuan kerjasama.
12 13
Lihat Pasal 4 dan Pasal 5 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Lihat Lampiran Peraturan Menteri Luar Negeri, op.cit.
111
Analisis terhadap Pembuatan Perjanjian Kerjasama Internasional
4. Secara teknis tidak bertentangan dengan kebijakan yang ditetapkan oleh departemen teknis yang terkait. Selanjutnya, dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yakni dalam Pasal 10 ayat (3) huruf a ditetapkan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat adalah bidang politik luar negeri. Sedangkan bidang-bidang lain yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi diatur dalam Pasal 13, sedangkan Pasal 14 mengatur kewenangan kabupaten/kota. Bidang-bidang hubungan dan kerjasama luar negeri oleh Daerah memerlukan konsultasi dan koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri. Dengan demikian dalam pembuatan perjanjian kerjasama internasional, Daerah terlebih dahulu harus melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri yakni Kementerian Luar Negeri. Selain itu, dalam Keputusan Menteri Luar Negeri No. SK 03/A/OT/X/2003/01 dalam konsiderans menimbang butir b, terkait dengan penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri ditegaskan, bahwa dalam melakukan kerjasama dengan pihak luar negeri perlu dilakukan secara koordinasi, terpadu, terfokus, efektif, efisien, serta sejalan dengan upaya pelaksanaan politik luar negeri satu pintu (one-door foreign policy). Adapun pelaksanaan dari Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri mengeluarkan Peraturan Menteri Luar Negeri No. 09/A/KP/XII/2006/01 tentang Mekanisme Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Daerah, pada Bab III Lampiran Peraturan Menteri Luar Negeri tersebut mengatur tentang Mekanisme Umum Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Daerah yang berbunyi sebagai berikut14: a. Pemerintah daerah sebagai instansi pemrakarsa melakukan koordinasi dengan Departemen Luar Negeri serta instansi terkait dan mengajukan usulan program kerjasama yang berisi latar belakang kerjasama, tujuan, sasaran, pertimbangan, potensi daerah, keunggulan komparatif, dan profil pihak asing yang akan menjadi mitra kerjasama; b. Pemerintah daerah sebagai instansi pemrakarsa dapat mengadakan rapat interdep dengan mengundang Departemen Luar Negeri dan instansi terkait untuk membicarakan usulan program tersebut; c. Koordinasi dapat juga dilakukan melalui komunikasi resmi surat menyurat; d. Departemen Luar Negeri selanjutnya memberikan pertimbangan politis/ yuridis hubungan dan kerjasama luar negeri sesuai dengan kebijakan politik luar negeri Indonesia; e. Departemen Luar Negeri berdasarkan masukan dari Perwakilan RI menyediakan informasi yang diperlukan dalam rangka menjalin kerjasama dengan pihak asing;
14
Ibid.
112
Novianti, S.H., M.H.
f.
Departemen Luar Negeri mengkomunikasikan rencana kerjasama dengan Perwakilan Diplomatik dan Konsuler pihak asing di Indonesia dan Perwakilan RI di luar negeri.
Dalam Peraturan Menteri Luar Negeri tersebut juga diatur syarat-syarat pembuatan kerjasama internasional atau hubungan luar negeri adalah sebagai berikut: a. Dengan negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia dan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); b. Sesuai dengan bidang kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional Republik Indonesia; c. Mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD); d. Tidak mengganggu stabilitas politik dan keamanan dalam negeri; e. Tidak mengarah pada campur tangan urusan dalam negeri masingmasing negara; f. Berdasarkan asas persamaan hak dan tidak saling memaksakan kehendak; g. Memperhatikan prinsip persamaan kedudukan, memberikan manfaat dan saling menguntungkan bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat. Mekanisme pembuatan perjanjian kerjasama luar negeri oleh pemerintah daerah tersebut, selain diatur dalam Peraturan Menteri Luar Negeri No. 09/A/ KP/XII/2006/01, namun juga diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri. Adapun tata cara pembuatan perjanjian kerjasama luar negeri oleh pemerintah daerah adalah sebagai berikut15: a. Prakarsa kerjasama pemerintah daerah dengan pihak luar negeri dapat berasal dari: pemerintah daerah; pihak luar negeri kepada pemerintah daerah; dan pihak luar negeri melalui Menteri Dalam Negeri kepada pemerintah daerah. Prakarsa kerjasama tersebut dilaporkan dan dikonsultasikan oleh pemerintah daerah kepada Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pertimbangan dan pertimbangan Menteri Dalam Negeri tersebut disampaikan kepada Gubernur untuk dijadikan dasar dalam menyusun rencana kerjasama. Selanjutnya Menteri Dalam Negeri menyampaikan prakarsa kerjasama dari pihak luar negeri kepada Gubernur beserta pertimbangan dimana pertimbangan tersebut akan dijadikan dasar dalam menyusun rencana kerjasama oleh pemerintah daerah. Rencana kerjasama memuat: subyek kerjasama; latar belakang; maksud, tujuan dan sasaran; obyek/ruang lingkup kerjasama; hasil kerjasama; sumber pembiayaan; dan jangka waktu pelaksanaan.
15
Lihat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri.
113
Analisis terhadap Pembuatan Perjanjian Kerjasama Internasional
b. Rencana kerjasama disampaikan oleh Kepala Daerah kepada DPRD untuk mendapat persetujuan dan persetujuan DPRD diberikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya Rencana Kerjasama. Persetujuan DPRD ditetapkan dengan Keputusan DPRD dan apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja rencana kerjasama tidak mendapat tanggapan dari DPRD, rencana kerjasama dianggap disetujui. Selanjutnya Kepala Daerah menyusun Rancangan Memorandum Saling Pengertian setelah rencana kerjasama mendapatkan persetujuan DPRD. Kepala Daerah menyusun Rancangan Memorandum Saling Pengertian paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah Rencana Kerjasama mendapatkan persetujuan DPRD yang selanjutnya Gubernur menyampaikan rencana kerjasama dan Rancangan Memorandum Saling Pengertian kepada Menteri Dalam Negeri. c. Rencana kerjasama dan Rancangan Memorandum Saling Pengertian yang disampaikan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri dilakukan pembahasan oleh Menteri Dalam Negeri dengan melibatkan Departemen/ Lembaga Pemerintah Non-Departemen terkait, untuk memperoleh pertimbangan. Rencana kerjasama dan Rancangan Memorandum Saling Pengertian hasil pembahasan tersebut, disampaikan Menteri Dalam Negeri kepada Menteri Sekretaris Negara untuk mendapatkan Persetujuan Pemerintah. Berdasarkan Persetujuan Pemerintah, Menteri Dalam Negeri menyampaikan kepada Menteri Luar Negeri untuk mendapatkan surat kuasa (full powers) setelah mendapatkan tanda persetujuan dari Pihak Luar Negeri. Surat kuasa (full powers) dijadikan dasar untuk menandatangani Memorandum Saling Pengertian oleh pemerintah daerah dan pihak luar negeri. Dengan demikian dalam tata cara pembuatan perjanjian kerjasama internasional atau kerjasama luar negeri oleh Daerah terdapat 2 (dua) pengaturan yakni Peraturan Menteri Luar Negeri No. 09/A/KP/XII/2006/01 tentang Mekanisme Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Daerah, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri. Kedua peraturan tersebut menonjolkan peran yang besar pada peraturan masingmasing instansi terkait dan tidak terdapat sinkronisasi dan harmonisasi dalam kedua peraturan tersebut, yakni: 1. Dalam Peraturan Menteri Luar Negeri No. 09/A/KP/XII/2006/01, lebih banyak mengatur kewenangan dari Kementerian Luar Negeri dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama internasional. Sementara kewenangan dan bagaimana bentuk koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri tidak diatur dalam Peraturan Menteri Luar Negeri tersebut dan hanya 114
Novianti, S.H., M.H.
menyebutkan peran pemerintah daerah sebagai lembaga pemrakarsa dalam pengajuan kerjasama luar negeri. 2. Sebaliknya, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008, lebih banyak mengatur kewenangan pemerintah daerah dan Menteri Dalam Negeri dalam pembuatan kerjasama dengan pihak luar negeri. Sementara kewenangan Kementerian Luar Negeri hanya disebutkan dalam pemberian full powers, padahal seharusnya sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2000, koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri sudah dilakukan pada tahap perencanaan. Dengan demikian kedua Peraturan Menteri tersebut menggambarkan tiadanya persamaan persepsi terhadap kebijakan pembuatan perjanjian kerjasama internasional sebagai suatu sistem, sehingga materi yang diatur dalam Peraturan Menteri tersebut tidak bersifat menyeluruh, tetapi bersifat fragmentasi menurut kepentingan masing-masing instansi. Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tidak ada satu pasalpun yang khusus mengatur tentang mekanisme pembuatan perjanjian kerjasama internasional oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu, dalam rangka perubahan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang merupakan usul inisiatif dari DPR RI, dan sedang dilakukan pembahasan di Komisi I, sebaiknya dimasukkan materi tentang mekanisme pembuatan perjanjian kerjasama internasional oleh pemerintah daerah. Bahkan sebaiknya secara teknis ketentuan tentang mekanisme pembuatan perjanjian kerjasama internasional oleh daerah sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang tersebut, sebaiknya juga diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, karena secara hirarkhi peraturan perundangundangan, Peraturan Menteri Luar Negeri dan Peraturan Menteri Dalam Negeri mempunyai kedudukan yang sama atau sejajar sehingga untuk mengatasinya diperlukan peraturan yang lebih tinggi yakni Peraturan Pemerintah.
B. Pelaksanaan Pembuatan Perjanjian Kerjasama Internasional di Provinsi Bali Dalam pembuatan perjanjian kerjasama internasional oleh daerah, kedudukan pemerintah daerah dalam perjanjian kerjasama internasional ditinjau dari perspektif hukum internasional, berdasarkan Konvensi Montevideo yang mengatur hak dan kewajiban negara, jika negara berbentuk negara kesatuan maka yang memiliki kewenangan/kemampuan untuk melakukan hubungan keluar adalah pemerintah pusat Oleh karena itu, jika daerah hendak membuat Perjanjian Internasional, maka harus melibatkan pemerintah pusat. Berbeda halnya dengan negara yang berbentuk federal, dimana negara bagian ada yang diberi wewenang untuk membuat perjanjian 115
Analisis terhadap Pembuatan Perjanjian Kerjasama Internasional
internasionaI. Hal tersebut ditegaskan dalam pendapat CF Strong16, yang menyatakan Negara kesatuan merupakan bentuk negara dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislasi nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintah pusat bukan pada pemerintah daerah. Hakikatnya kekuasaan tidak terbagi. Jadi hanya ada satu pemerintahan pusat Dalam pembuatan perjanjian internasional, negara merupakan subyek hukum internasional yang terpenting dibanding dengan subyek-subyek hukum internasional lainnya. Negara sebagai subyek hukum internasional, terdapat satu standar seperti yang tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo (Pan American) The Convention on Right and Duties of State of 1933, yang menentukan: “Negara sebagai subyek dalam hukum internasional harus memiliki (a) penduduk tetap, (b). wilayah tertentu, (c). Pemerintahan, dan (d). kapasitas untuk berhubungan dengan negara lain”.
Dari aspek hukum internasional syarat (d) yakni kapasitas untuk berhubungan dengan negara lain merupakan syarat yang paling penting. Suatu negara harus memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan hubungan-hubungan ekstern dengan negara-negara lain.17 Hal inilah yang membedakan negara dalam arti sesungguhnya dengan unit-unit lain atau negara-negara protektorat, negara federal dan sebagainya. Dalam pelaksanaan pembuatan perjanjian kerjasama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali, dari hasil wawancara dan berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Bagian Kerjasama Internasional Pemda Bali, terdapat beberapa MoU yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali, di antaranya sebagai berikut18: a. Jeju – Korea Selatan Pemerintah Provinsi Bali dengan Pemerintah Provinsi Jeju – Korea Selatan mengadakan kerjasama Sister Province sejak penandatanganan MoU pada tanggal 15 Oktober 2001. Adapun bidang-bidang yang tertuang dalam MoU adalah bidang parawisata, kebudayaan, perdagangan dan industri serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun selama ini dari keempat bidang yang dikerjasamakan tersebut, hanya bidang parawisata dan bidang kebudayaan yang aktif berjalan hingga saat ini. Adapun
CF Strong, op.cit Lihat Advisory Opinion dari ICJ dalam Reparation Case di mana ICJ secara penuh menyatakan bahwa PBB dapat mengajukan klaim atas pertanggungjawaban internasional terhadap pemerintah yang secara de facto atau de jure telah melakukan tindakan-tindakan yang merugikannya. 18 Hasil wawancara dengan Kepala Bagian Kerjasama Luar Negeri Pemda Provinsi Bali, tanggal 18 Juni 2010. 16 17
116
Novianti, S.H., M.H.
kegiatan yang dilakukan yakni melalui kegiatan promosi bersama melalui kegiatan pertukaran tim kesenian secara bergantian. Kerjasama di bidang parawisata dan kebudayaan tersebut memberikan dampak positif terhadap kedua belah pihak, khususnya di bidang kebudayaan karena dapat menambah wawasan para senimannya. b. Northern Territory Australia (NTA) Kerjasama Pemerintah Provinsi Bali dengan Pemerintah Nothern Territory Australia telah dilaksanakan sejak penandatanganan MoU pada tanggal 9 Juni 2001. Adapun bidang-bidang yang dikerjasamakan yang tertuang dalam MoU adalah bidang pendidikan, kebudayaan, parawisata, kesehatan, industri dan perdagangan, perikanan, lingkungan hidup dan perhubungan. Dari kedelapan bidang yang dikerjasamakan hanya bidang pendidikan saja yang aktif berjalan. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam bidang pendidikan yakni pertukaran guru dan siswa teladan. Namun sejak terjadinya Bom Bali I tahun 2002 sampai saat ini kegiatan tersebut tidak aktif lagi karena pihak Australia tidak lagi mengirim peserta program pertukaran ke Bali terkait masalah keamanan. Disamping beberapa MoU yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali, juga terdapat beberapa kerjasama yang berupa tawaran yang masih dalam pengkajian oleh Pemda Bali yakni diantaranya kerjasama dengan Phuket-Thailand, kerjasama dengan Quang Ninh-Vietnam, dan kerjasama dengan Provinsi North West Afrika Selatan. Selain itu, Pemerintah Provinsi Bali juga mengadakan kerjasama dengan beberapa negara yakni Kerjasama dengan Luxor City-Mesir, Kota Rojkot-India, Kota Zhuhai – RRC, dan Hongaria. Dari beberapa kerjasama yang dilakukan dengan beberapa negara (kota) tersebut pada umumnya kerjasama yang dilakukan meliputi beberapa bidang, yakni bidang ekonomi, perdagangan, pendidikan, parawisata dan budaya. Adapun instrumen hukum yang digunakan untuk model kerjasama tersebut adalah MoU. Fungsi dari MoU tersebut lebih merupakan instrumen payung bagi kerjasama-kerjasama teknis lainnya antara Pemerintah Daerah Bali dengan Pemerintah Daerah Asing (Luar Negeri). Karena itu, bagi instansi terkait masing-masing pihak memerlukan kesepakatan teknis tersendiri sesuai dengan jenis dan objek kerjasama yang disepakati. Selain itu model hubungan kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah daerah Provinsi Bali dengan pemerintah asing di luar negeri (Pemerintah Provinsi Bali dengan Pemerintah Provinsi Jeju – Korea Selatan, Pemerintah Provinsi Bali dengan Pemerintah Nothern Territory Australia, dan kerjasama Sister City dengan beberapa negara, yakni Kerjasama dengan Luxor CityMesir, Kota Rojkot-India, Kota Zhuhai – RRC, dan Hongaria), berupa perjanjian kerjasama bersifat goverment to goverment dimana selain kedua 117
Analisis terhadap Pembuatan Perjanjian Kerjasama Internasional
provinsi dipandang memiliki kesamaan latar belakang geografis, sosial budaya dan juga kecenderungan perkembangan kota, sehingga memudahkan adanya hubungan kerjasama dalam berbagai aspek kehidupan yang saling menguntungkan dan berkelanjutan. Dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama antara pemerintah daerah dengan pihak luar negeri secara umum terdapat beberapa kendala yakni sebagai berikut19: Pertama, penyusunan program terlalu umum bahkan tidak jelas mengenai target pencapaiannya. Kedua, belum tersedianya pembiayaan yang disediakan oleh pemerintah provinsi termasuk juga Pemerintah Indonesia. Ketiga, kurangnya informasi dan data yang memadai bagi kedua negara. Terkait dengan masalah instrumen hukum kerjasama, pemerintah daerah dalam melakukan perjanjian kerjasama tersebut dilakukan dalam bentuk Memory of Understanding (MoU). MoU dalam hukum perjanjian internasional dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk instrumen hukum (traktat) yang memiliki kekuatan mengikat secara hukum. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Validitas kekuatan mengikat dari MoU ini tidak bisa dilepaskan dari Pasal 24 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 yang secara eksplisit menyatakan daerah sebagai salah satu lembaga pemrakarsa pembuatan perjanjian internasional. Terkait dengan instrumen hukum MoU sebagai bentuk perjanjian tertulis yang digunakan oleh Pemda, maka status hukum MoU dalam konteks kerjasama tersebut dapat dijelaskan dengan menggunakan teori hukum perjanjian. Dengan demikian terdapat beberapa persoalan terkait dengan pelaksanaan perjanjian kerjasama internasional yakni sebagai berikut: Pertama, daerah ketika melakukan perjanjian di tingkat internasional tidak bisa dipandang sebagai representasi atas dirinya, walaupun daerah bertindak untuk kepentingan daerah tersebut, bukan kepentingan nasional. Sebagai konsekuensinya, hal tersebut berimplikasi pada persoalan tanggung jawab, artinya pertanggungjawaban berada di pundak pemerintah pusat (nasional). Meskipun para kontraktor adalah pemerintah daerah. Hal tersebut dikarenakan dalam hukum internasional hanya dikenal negara dan bukan pemerintah daerah. Kedua, persoalan yang terkait dengan kewenangan daerah untuk mengadakan hubungan luar negeri bersifat lintas hukum. Hal mana melibatkan, setidaknya, hukum internasional publik, hukum tata negara, dan hukum administrasi negara. Dari ketersinggungan antar ketiganya telah mengakibatkan kesimpangsiuran pengaturannya. Ini tercermin jelas dalam praktik di Indonesia, seperti dalam hukum administrasi negara yakni tidak jelasnya masalah koordinasi antara pemerintah daerah atau Kementerian
19
Ibid.
118
Novianti, S.H., M.H.
Dalam Negeri dengan Kementerian Luar Negeri sebagaimana diatur dalam kedua Peraturan Menteri tersebut yakni Peraturan Menteri Luar Negeri No. 09/A/KP/XII/2006/01 tentang Mekanisme Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Daerah, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa sebuah perjanjian internasional tidaklah mewajibkan untuk menggunakan istilah tertentu. Dengan kata lain, tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan istilah MoU sebagaimana yang digunakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam menamai instrumen hukum yang dijadikan dasar bagi dilaksanakannya kerjasama luar negeri. Singkatnya faktor yang menentukan untuk menjadikan sebuah dokumen sebagai sebuah perjanjian internasional adalah konteks yang menyetujui proses pembentukannya.
119
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pengaturan perjanjian kerjasama internasional dalam hukum nasional terkait dengan pembuatan perjanjian kerjasama internasional dilakukan berdasarkan pada Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional serta Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ketiga peraturan tersebut, merupakan dasar hukum dalam pembuatan perjanjian kerjasama internasional dan telah mengakui Pemerintah Daerah sebagai salah satu pelaku dalam pelaksanaan kerjasama internasional. Terkait dengan mekanisme pembuatan perjanjian kerjasama internasional terdapat dua pengaturan lebih lanjut, yakni Peraturan Menteri Luar Negeri No. 09/A/KP/XII/2006/01 tentang Mekanisme Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Daerah, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri. Dalam kedua peraturan tersebut menonjolkan peran masing-masing kementerian sehingga tidak terdapat sinkronisasi dan harmonisasi terkait dengan pembuatan perjanjian kerjasama internasional. Oleh karena itu, dalam perubahan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional sebaiknya dimasukkan materi tentang mekanisme pembuatan perjanjian kerjasama internasional oleh pemerintah daerah sehingga daerah mempunyai pedoman yang jelas terkait dengan pembuatan perjanjian kerjasama internasional. 2. Pelaksanaan pembuatan perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi, dalam tata cara pembuatan perjanjian kerjasama internasional, Kedudukan Pemerintah Daerah meskipun dapat melaksanakan kerjasama internasional, tidak bisa dipandang sebagaimana layaknya subyek hukum internasional, Tetapi lebih merupakan perpanjangan tangan kekuasaan pemerintah pusat. Dalam konteks hukum internasional, beban pertanggungjawaban perjanjian internasional berada pada Pemerintah Pusat. Dengan demikian dalam kerangka negara kesatuan sebagaimana yang dikemukakan oleh Strong, maka yang memiliki kewenangan/kemampuan untuk melakukan 121
Analisis terhadap Pembuatan Perjanjian Kerjasama Internasional
hubungan keluar adalah pemerintah pusat. Adapun pelaksanaan pembuatan perjanjian kerjasama yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali dengan pemerintah asing di luar negeri (Pemerintah Provinsi Bali dengan Pemerintah Provinsi Jeju – Korea Selatan, Pemerintah Provinsi Bali dengan Pemerintah Nothern Territory Australia, dan kerjasama Sister City dengan beberapa negara, yakni kerjasama dengan Luxor City-Mesir, Kota Rojkot-India, Kota Zhuhai – RRC, dan Hongaria), berupa perjanjian kerjasama bersifat goverment to goverment yang dilakukan dalam bentuk Memory of Understanding (MoU) dimana dalam hukum perjanjian internasional MoU dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk instrumen hukum (traktat) yang memiliki kekuatan mengikat secara hukum. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000.
B. Saran Adanya perubahan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional agar substansi terkait dengan mekanisme pembuatan perjanjian kerjasama internasional oleh Pemerintah Daerah perlu diatur tersendiri, sehingga tidak terdapat dualime pengaturan dalam pembuatan perjanjian kerjasama internasional. Dengan demikian diharapkan dengan adanya perubahan UndangUndang tersebut, pemerintah daerah mempunyai pedoman yang jelas terkait dengan pembuatan perjanjian kerjasama internasional.
122
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Artikel C.F Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk Bentuk Konstitusi Dunia, Bandung: Nuansa, 2004.
Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional: Buku I- Bagian Umum, Bandung: Bina Cipta, 1990. Kusumaatmadja, Mochtar dan Agoes Etty, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni, 2003.
Juwana, Hikmahanto, UU Hubungan Luar Negeri: Konteks, Konsep pemikiran dan pelaksanaannya selama ini, artikel Hukum pada Institut for legal and constitutional goverment, 1 Maret 2010. Mauna, Boer, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung: PT Alumni, 2005.
Parthiana, Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, Bandung: CV Mandar Maju, 2002. Hasan Wargakusumah, Moch, Perumusan Harmonisasi Hukum tentang Metodologi Harmonisasi Hukum, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1996/1997. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Lembaran Negara No. 185, Tambahan Lembaran Negara No. 4012.
------------, Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Lembaran Negara No. 56, Tambahan Lembaran Negara No. 3882. -----------, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara No. 125, Tambahan Lembaran Negara No. 4437. -----------, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 123
Analisis terhadap Pembuatan Perjanjian Kerjasama Internasional
Peraturan Menteri Luar Negeri No. 09/A/KP/XII/2006/01 tentang Pedoman Mekanisme Perjanjian atau Kerjasama Luar Negeri oleh Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri. Internet “Pulau Jeju, Pulau Bali Kedua Yang Terletak di Korea Selatan”, http://www. terbaca.com/2010/07/. html, diakses tanggal 6 April 2012.
124
PROFIL SINGKAT PENULIS
Novianto Murti Hantoro, S.H., M.H., lahir di Semarang 11 November 1971. Pendidikan S1 ilmu hukum diselesaikan di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro pada tahun 1995. Magister ilmu hukum diselesaikan di Universitas Indonesia tahun 2002 dengan program kekhususan hukum dan kehidupan kenegaraan. Bekerja di Sekretariat Jenderal DPR RI mulai tahun 1996 sebagai peneliti bidang hukum konstitusi pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). Jabatan saat ini adalah Peneliti Madya dengan pangkat dan golongan Pembina golongan IV/a. Dr. Inosentius Samsul, S.H, M.H., lahir di Manggarai, NTT, 10 Juli 1965. Lulus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada tahun 1989, Magister Hukum dari Program Pascasarajana Universitas Tarumanagara (1997) dan Lulus Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2003. Pada saat ini sebagai Peneliti Madya Bidang Hukum Ekonomi pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI. Di samping sebagai peneliti, adalah sebagai staf Pengajar Porgram Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Dian Cahyaningrum, S.H., M.H., Pendidikan S1 Ilmu Hukum diselesaikan di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 1996. Magister ilmu hukum diselesaikan di Universitas Indonesia Jakarta Tahun 2004 dengan program kekhususan Hukum ekonomi. Bekerja di Sekretariat Jenderal DPR RI mulai tahun 1999 sebagai peneliti bidang hukum ekonomi pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). Jabatan saat ini adalah Peneliti Madya dengan pangkat/golongan Pembina (Golongan IVa). Ditugaskan sebagai Tim Penyusun, Tim Asistensi dan/atau Tim Pendamping pembahasan beberapa Rancangan Undang-Undang di DPR, terakhir ditugaskan sebagai Tim Penyusun naskah akademik dan draft RUU Perjanjian Internasional dan RUU tentang Perubahan UU Perbankan. Selain itu juga ditugaskan sebagai Tim Pendamping Tim Pemantau DPR RI tentang Pelaksanaan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Tim Pendamping Tim Khusus DPR RI terhadap Penanganan TKI di Arab Saudi, dan Tim Pendamping Tim Pengawasan DPR RI terhadap Pelaksanan Tindak Lanjut Rekomendasi DPR RI tentang Pengusutan 125
Kasus Bank Century. Beberapa penelitian yang telah dilakukan diantaranya privatisasi sumber daya air, membangun good corporate governance (GCG) pada BUMN, pengelolaan investasi di wilayah perbatasan, penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, dan pemanfaatan tanah adat untuk penanaman modal di bidang perkebunan.
Puteri Hikmawati, S.H., M.H., Pendidikan S1 diselesaikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1989. Magister Ilmu Hukum diselesaikan di Universitas Indonesia Jakarta Tahun 2000 dengan program kekhususan Hukum Pidana. Bekerja di Sekretariat Jenderal DPR RI mulai tahun 1990, jabatan saat ini adalah Peneliti Madya bidang Hukum Pidana. Ditugaskan juga dalam Tim Penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang, Tim Asistensi dan/atau Tim Pendamping pembahasan beberapa Rancangan Undang-Undang di DPR, terakhir ditugaskan sebagai Tim Pendamping Pembahasan RUU tentang Perubahan UU Peradilan Militer dan RUU tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, juga ditugaskan sebagai Tim Pendamping Tim Peningkatan Kinerja DPR RI dan Tim Pemantau DPR RI tentang Pelaksanaan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Beberapa penelitian yang telah dilakukan di antaranya adalah Kriminalisasi Tindakan Magis, Perluasan Pelaku Perzinaan, Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan oleh Sektor Swasta, Pelaksanaan UU tentang ITE, Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Efektivitas Pengadilan HAM, dan Kedudukan Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan Pidana (Analisis terhadap RUU tentang Hukum Acara Pidana). Novianti, S.H., M.H., lahir di Solok, Sumatera Barat tahun 1965. Pendidikan SI di Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, Padang, lulus tahun 1990. Pendidikan S2 di Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara lulus tahun 2000. Diangkat menjadi PNS pada tahun 1996 dan diangkat menjadi Peneliti bidang Hukum dengan Kepakaran Hukum Internasional pada tahun 1997 dan jenjang fungsional saat ini adalah Peneliti Madya (Golongan IV/a). Saat ini juga menjadi Staf Pengajar Tidak Tetap di Fakultas Hukum Universitas Syech Yusuf Islam, Tangerang, sejak tahun 1992 dengan mata kuliah Pengantar Hukum Internasional. Ditugaskan sebagai Tim Pendamping pembahasan beberapa Rancangan Undang-Undang di DPR, terakhir pada RUU tentang Perjanjian Internasional dan RUU tentang Kepalangmerahan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan diantaranya: Peran Badan Narkotika dalam Kerjasama Internasional di Bidang Penanggulangan Narkotika, Penelitian tentang Cyber Crime dan Kedudukan Perjanjian Sister City ditinjau dari Perspektif Hukum Internasional. 126