EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005
Rapat Umum Dibubarkan, Petani Ditembaki, 33 Orang Terluka
Berita Hal 5
PEMBARUAN TANI M
I
M
B
A
R
K
O
M
U
N
I
K
A
S
I
P
E
T
A
N
Kekerasan Terhadap Petani Di Tanak Awu, Lombok Petani Dunia Kecam Kekerasan Di Tanak Awu Berita Hal 5
Polda NTB Di Demo Petani Berita Hal 5
Komnas HAM Usut Kekerasan DiTanak Awu Berita Hal 6
Petani Datangi DPRD NTB Berita Hal 6
Peringatan Hari Tani Nasional Ke-45
SPSU: Hentikan Kekerasan Terhadap Petani
Berita Hal 13
Peringatan Hari Tani Nasional Ke-45:
Petani Sumatera Barat Kecam Kekerasan Di Tanak Awu Berita Hal 13
Opini
Periode Liberalisasi Perdagangan Beras Di Indonesia Berita Hal 9
I
salam
pembaruan tani
PEMBARUAN TANI
Kami Sudah Lelah Dengan Kekerasan... “Kami sudah lelah dengan kekerasan” tulisan itu terpampang dalam pamflet-pamflet bergambar wajah Munir, seorang pejuang Hak Asasi Manusia yang meninggal akibat keracunan zat arsenik. Diduga kematiannya karena dibunuh oleh pihak-pihak tertentu yang merasa “terganggu” oleh aksi-aksi Munir dalam mengungkap kebenaran. Dalam persidangan kasus tersebut sangat kentara keterlibatan “suatu operasi terstruktur” di dalamnya. Maka, terkuaklah orang-orang “aneh” yang mengaku punya hubungan dengan salah satu instansi intelejen di negeri ini. Walaupun susah membuktikannya, peristiwa tersebut sudah menunjukkan kepada kita bahwa permasalalahan di negeri ini kerap kali diselesaikan dengan cara-cara kekerasan. Itu yang di Jakarta, halaman muka republik tercinta ini. Bagaimana dengan halaman tengah atau belakang? Tentu tak terlepas dari aksi-aksi kekerasan semacam itu. Atau mungkin jauh lebih sadis, karena tak termonitor publik. Baru-baru ini, kekerasan terjadi di Nusa Tenggara Barat. Hanya beberapa jam dari pulau pariwisata, Bali. Kali ini yang menjadi korban adalah petani, kelompok masyarakat yang memang selalu terpinggirkan. Adalah Tanak Awu, sebuah desa di Lombok Tengah. Di atas tanah lapang ratusan petani sedang mempersiapkan rapat umum. Rapat tersebut rencananya akan dihadiri puluhan petani dari berbagai provinsi di Indonesia juga belasan petani manca negara. Rapat yang sudah disusun jauhjauh hari sebelumnya dan berbekal surat ijin dari Mabes Polri tiba-tiba dibubarkan secara paksa oleh kepolisian Lombok Tengah dan Polda Nusa Tenggara Barat. Kepolisian setempat beralasan ijin dari Mabes Polri telah dicabut. Tapi pencabutan terasa janggal dan tergesa-gesa. Bayangkan! ijin pencabutan diterima panitia hanya 12 jam menjelang pelaksanaan acara. Padahal undangan sudah disebar kemana-mana, bahkan sampai ke manca negara. Polisi tak mau tahu, masyarakat juga tak mau mengalah. Akhirnya, sepasukan brimob membubarkan rapat secara paksa. Tenda-tenda diobrak-abrik, panggung dirobohkan, lebih dari itu 33 orang terluka, 27 diantaranya terkena tembakan. Sungguh drama yang tidak enak dipandang. Sejumlah orang geram dengan tidakan aparat. Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR RI meminta Kapolri untuk mencopot Kapolres Lombok Tengah. Kalangan LSM dan organisasi tani mengecam tindak kekerasan yang tidak berperikemanusiaan itu. Padahal menurut Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), alasan polisi membubarkan rapat sangat tidak masuk akal. Acara semacam itu sebenarnya tak harus mendapat ijin dari polisi, cukup pemberitahuan saja. Itu sudah jelas diatur oleh UU No.9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Tapi kepolisian agaknya tidak mau mengalah. Mereka berbendapat, semua langkah yang diambilnya atas nama keamanan dan ketertiban umum. Polisi ingin menghindarkan masyarakat dari bentrokan horizontal. Karena tanah yang dijadikan tempat rapat umum petani merupakan tanah sengketa dimana pemerintah berniat membangun bandara bertaraf internasional di atasnya. Memang resolusi persengketaan belum selesai. Rakyat masih menuntut, karena proses pembebasan tanah yang dilakukan di masa orde baru dinilai warga tidak berpegang pada prinsip keadilan dan sangat menindas petani setempat. Centang perenang tersebut masih memerlukan waktu untuk diselesaikan. Tetapi bukan dengan kekerasan! Disini terlihat alasan aparat terkesan akal-akalan. Karena faktanya, bentrokan terjadi antara warga masyarakat dengan polisi yang seharusnya menjadi pengayom dan pelindung. Bukan menakut-nakuti rakyat. Di lapangan tak ditemukan adanya pihak-pihak lain yang akan menggagalkan rapat umum, yang terlihat jelas hanyalah barisan polisi huru-hara dilengkapi sebuah panser water canon. Apapun latar belakangnya, tampaknya kekuasaan belum bisa meninggalkan cara-cara kekerasan dalam “melayani” warganya. Senjata yang dibeli dari jerih payah rakyat, akhirnya digunakan untuk “memberi pelajaran” kepada rakyat juga. Kalau sudah begini rantai kekerasan di negeri ini semakin sulit diputuskan. Oi... andai saja dunia ini tanpa senjata, tentu tak akan ada perang yang makan biaya. Dan, biayanya lebih baik untuk membeli cangkul dan bajak. Lalu garaplah tanah-tanah kosong yang terhampar luas, tentu bangsa ini akan berkecukupan sandang pangan. Bila ada teriakan lapar dari rakyatnya tak harus dijawab dengan peluru lagi, tapi cukup dengan beras, singkong atau ubi saja.#
DITERBITKAN OLEH
FEDERASI SERIKAT PETANI INDONESIA (FSPI) DICETAK OLEH
PETANI PRESS PENANGGUNG JAWAB
HENRY SARAGIH PEMIMPIN UMUM
ZAINAL ARIFIN FUAD PEMIMPIN REDAKSI
ACHMAD YA’KUB SEKRETARIS REDAKSI
TITA RIANA ZEN SIDANG REDAKSI
INDRA SAKTI LUBIS TEJO PRAMONO AGUS RULI ARDIANSYAH IRMA YANNY ALI FAHMI WILDA TARIGAN CECEP RISNANDAR ARTISTIK DAN TATA LETAK
MUHAMMAD IKHWAN KEUANGAN
SRIWAHYUNI SIRKULASI
SUPRIYANTO ALAMAT REDAKSI
M
JL MAMPANG PRAPATAN XIV NO.5 I M B A R K O M U N I K A S I P JAKARTA 12790 TELP: +62 21 7991890 FAX: +62 21 7993426 EMAIL:
[email protected] www.fspi.or.id
E
T
A
N
I
Redaksi menerima sumbangan artikel, opini atau tulisan mengenai pertanian/agraria/perjuangan yang sesuai dengan visi dan misi tabloid PEMBARUAN TANI. Setiap tulisan yang dikirimkan ke redaksi diketik ±1000 (seribu) kata dan dikirimkan lewat pos, fax, maupun email. Apabila tulisan dimuat, anda akan menerima pemberitahuan dari redaksi. Wartawan PEMBARUAN TANI dilengkapi tanda pengenal dan tidak meminta/menerima apapun dari narasumber Pembaruan Tani
KABAR UTAMA: Kekerasan Terhadap Petani di Tanak Awu, Lombok Tengah ....................................................................................
INTERNASIONAL
4-9 3 5 9
Gerakan Tani Menentang WTO ....................................................................................
UTAMA
Petani Protes Polda NTB ....................................................................................
UTAMA
Rapat Umum Dibubarkan, Petani Ditembaki, 33 Orang Terluka ....................................................................................
PENDAPAT Periode Liberalisasi Perdagangan Beras Di Indonesia ....................................................................................
NASIONAL MENJUAL PRODUK PERTANIAN ORGANIK KOPERASI SEJATI Jl. SMA XIV No.15A Dewi Sartika, Jakarta Timur 13640 Telp/fax. (021) 80882492 Ket. Kontak person: Aat (081316650804) Pengadaan produk setiap hari Senin dan Kamis Pemesanan minimal sehari sebelumnya
10 12-13 14 15 16
Peringatan Hari Tani Nasional Ke-45 ....................................................................................
KABAR TANI
Album Perjuangan Tanpa Hak Cipta ....................................................................................
INFO PRAKTIS
Membuat Kacang Asin ....................................................................................
SERIKAT
Petani Mengecam Kekerasan Di Tanak Awu ....................................................................................
2
EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005
internasional
pembaruan tani
Gerakan Tani Menentang WTO Pembaruan Tani
Demonstrasi besar-besaran petani dunia terhadap WTO, di JenewaSwiss tepat di depan markas besar WTO Pemimpin, anggota dan jaringan La Via Campesina pada tanggal 19-20 Oktober lalu berkumpul di Jenewa, Swiss. Pertemuan tersebut untuk memperkuat gerakan perlawanan terhadap Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan kebijakan neoliberal yang telah membunuh jutaan petani kecil, masyarakat adat, produsen kecil dan nelayan. Juga melenyapkan sumber daya agraria dan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang tak dapat diperbarui. Maraknya protes dan kecaman terhadap WTO telah menggema di seluruh belahan dunia, ditandai dengan pergerakan petani-petani dan berbagai elemen masyarakat di bidangnya masing-masing. Demonstrasi di depan markas besar WTO di Jenewa pada tanggal 15 Oktober 2005 membuktikan bahwa solidaritas petani seluruh dunia untuk menolak WTO dari pertanian masih sangat kuat. Hal ini juga ditandai dengan aksi-aksi lain, terutama mereka yang berada di Hong Kong untuk
persiapan Ministerial Meeting bulan Desember nanti (buruh migran, NGOs, dll). Mereka semua inilah yang merasa terancam oleh perundingan liberalisasi perdagangan WTO, dan tak lupa pula, terutama masyarakat di Indonesia sendiri. Pada pertemuan Zurich beberapa minggu sebelumnya, WTO seakan mendapatkan momentum bagi perundingan liberalisasi perdagangan dengan dibukanya inisiasi dari usulan Amerika Serikat (AS). Namun petani di seluruh dunia menganggap perundingan tersebut hanya sebagai formalitas belaka, dan tetap tidak mewakili keinginan petani dari seluruh dunia. Hal ini juga terus menyudutkan WTO sebagai organisasi multilateral yang tidak demokratis. Kebijakan WTO juga diyakini tidak mengubah kesejahteraan petani, bahkan hingga kini setelah 10 tahun berdiri. “Bahkan dampak yang dihadapi petani adalah subsidi dan perlindungan
pemerintah semakin mengecil, sementara petani Indonesia yang subsisten sangat membutuhkan dukungan dari pemerintah”, kata Henry Saragih, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) dan International Coordinator of La Via Campesina. “Kebijakan neoliberal juga tercermin setelah masuknya WTO dengan adanya impor pangan yang dipaksakan, yang membuat pasar domestik dan harga hancur”, lanjutnya. Impor pangan sendiri merupakan masalah klasik di Indonesia setelah masuknya WTO tahun 1994, dan hingga kini petani Indonesia menderita karena hal tersebut. Menurut FSPI, impor pangan inilah yang dipaksakan oleh WTO sehingga perusahaanperusahaan transnasional raksasa bisa mengeruk keuntungan. Akibatnya, petani di pedesaan merana. Sedangkan sekitar 70% rakyat Indonesia tinggal di pedesaan, dan kebanyakan dari mereka adalah petani. Semenjak tahun ini 1996 pula Indonesia menjadi pengimpor produk pangan utama, seperti beras, gandum, gula, kedelai dan jagung. Faktanya, Indonesia mengimpor hampir 50% stok beras dunia. Pada dekade lahirnya WTO (1990-1999) Indonesia mengimpor ratarata 1,5 juta ton beras per tahun, dan fenomena ini berlangsung hingga tahun 2004. Untuk gula, jumlah yang diimpor sebesar 1,5 juta ton (kedua terbesar di dunia) atau 40% dari konsumsi nasional. Lalu Indonesia juga mengimpor kedelai sebesar 1,3 juta ton (terbesar di dunia) yang menutup 45% konsumsi kedelai nasional. Sedangkan volume impor untuk jagung berjumlah tidak kurang dari 1 juta ton. Sementara, jangan lupa bahwa Indonesia juga terus mengimpor buah-buahan, sayur dan macam-macam seperti apel, jeruk, pir, kentang, bawang, dan lain-lain. “Pemerintah seperti kurang akal untuk mengatasi masalah petani di Indonesia, padahal dengan tegas dalam UUPA 1960 kita harus menegakkan reforma agraria sejati (genuine agrarian reform) demi terwujudnya masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera”,
tambah Henry lagi. Dengan mewujudkan reforma agraria sejati, diharapkan dapat menangkal kebijakan neoliberalisme WTO dan juga sebagai prasyarat tegaknya kedaulatan pangan. Aspek ini harus diimplementasikan segera sebagai faktor utama dalam kebijakan pertanian. “Kedaulatan pangan adalah hak rakyat untuk memproduksi makanan sendiri dengan cara yang berkesinambungan dan harmonis dengan kebudayaan dan tradisi sendiri. Hal ini juga selaras dengan ketahanan sumber daya agraria dan kekayaankeanekaragaman hayati kita sendiri,” lanjutnya. Karena menurut petani di seluruh dunia, pertanian memang lebih seperti jalan hidup (way of life) ketimbang komoditas yang diperdagangkan seperti yang diatur dalam Agreement on Agriculture (AoA) WTO. Besarnya kepedulian terhadap sektor pertanian ini juga sangat beralasan dengan peringatan Hari Pangan Sedunia, karena komitmen dunia untuk mengurangi angka kemiskinan dan kelaparan di tahun 2015 nanti sangat bergantung pada sektor ini. Menurut FAO pada tahun 1996 terdapat 800 juta dari 5,67 milyar penduduk dunia yang menderita kemiskinan dan kelaparan. Namun hari ini menurut pidato Jacques Diouf, Dirjen FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia), lebih dari 850 juta jiwa masih menderita kemiskinan dan kelaparan. Fakta ini menunjukkan bahwa upaya WTO meliberalisasi perdagangan, terutama pertanian tidak cukup signifikan untuk menghapus kemiskinan dan kelaparan. Untuk itusekaligus juga memperingati Hari Pangan Sedunia pada tanggal 16 Oktober lalu, FSPI selaku suara petani di Indonesia menyerukan agar pemerintah menegakkan kedaulatan pangan, dan agar WTO keluar dari pertanian. “Hal ini juga berdasarkan logika yang sederhana, karena kondisi pertanian Indonesia praWTO ternyata jauh lebih baik daripada sekarang”, tukas Henry. Muhammad Ikhwan
Liberalisasi Perdagangan Rugikan Petani Liberalisasi Perdagangan versi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) merugikan petani. “Buktinya setelah 10 tahun Indonesia meratifikasi aturanaturan pertanian (AoA) WTO, impor pangan semakin menyakiti petani”, demikian kata Henry Saragih, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) menanggapi pertemuan 14 Menteri anggota WTO di Zurich, Swiss, 19-20 Oktober lalu. “Hal ini juga saya kemukakan agar tidak ada lagi impor pangan, terutama beras di Indonesia seperti yang direncanakan oleh Bulog dan Departemen Perdagangan. Impor pangan akan menghancurkan harga dan merusak pasar domestik, dan pada akhirnya membunuh petani”, lanjut dia.
Henry juga melanjutkan bahwa rencana pemerintah Indonesia baru-baru ini untuk mengimpor beras sebanyak 250.000 ton juga ditengarai atas jebakan aturan AoA WTO tersebut. Hal ini terjadi karena perdagangan dan pasar harus dibuka dengan aturan liberalisasi perdagangan dalam AoA WTO tersebut. Padahal dari studi-studi yang dilakukan oleh FSPI juga organisasi petani internasional La Via Campesina, pembukaan pasar yang diusulkan oleh WTO dalam pengebirian tarif impor sangat tidak masuk akal. “Logikanya gampang, produk pangan impor yang murah akan membanjiri pasar negara, tidak ada perlindungan harga terhadap produk petani karena mekanisme
harga ditentukan oleh pasar, dan pasar pangan domestik akan hancur”, lanjut Henry Saragih. Pemotongan subsidi juga sangat tidak relevan dalam proses perlindungan petani. Subsidi adalah hak tiap negara untuk melindungi pertaniannya, jadi WTO sebagai rejim perdagangan tidak berhak untuk memaksa negara untuk memotong subsidi terhadap petaninya. “Tentu selama subsidi yang diberikan negara bukan subsidi yang mendistorsi pasar internasional, yang bisa mengakibatkan dumping”, sahut Henry. Dengan demikian, dari aturanaturan AoA WTO sebenarnya yang dibunuh bukan hanya petani dari negara miskin dan berkembang, tetapi bayangkan
apa yang terjadi bila subsidi dipotong dan akses pasar dibuka selebar-lebarnya? Henry menambahkan “Petani dari negara-negara maju seperti Uni Eropa (terutama dari Belanda, Swiss, Norwegia), Jepang, Korea, dan AS sendiri sekarang menderita dan jumlahnya terus berkurang, digantikan oleh korporasi transnasional pertanian raksasa yang menggurita di dunia.” Perundingan Zurich juga diyakini tidak berdampak banyak bagi kemajuan negosiasi di WTO, bahkan untuk menghadapi KTM VI WTO di Hong Kong bulan Desember nanti. “Masih ada gap antara kepentingan AS dan Uni Eropa, juga Jepang, diperkeruh dengan campur tangan G-20.”
Lanjutnya lagi, “Setidaknya bagi petani, tidak tercapainya kesepakatan lebih baik daripada ada kesepakatan, tapi malah lebih membunuh petani.” Pada dasarnya, perundingan WTO di bidang pertanian memang hanya menguntungkan pihak-pihak korporasi neoliberalisme raksasa di bidang pertanian. “Maka dari itu, 10 tahun WTO sudah cukup bagi petani, dan WTO harus keluar dari pertanian karena pertanian bukan komoditas,” tutup Henry. Memang di Indonesia dan di banyak negara lain, pertanian lebih seperti jalan hidup daripada komoditi yang diperdagangkan. Muhammad Ikhwan
EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005
3
utama
pembaruan tani
Kekerasan Terhadap Petani Di Tanak Awu, Lombok R
apat umum petani di Tanak Awu, Nusa Tenggara Barat, yang diadakan Minggu, 18 September, berubah menjadi tragedi berdarah. Petani dipaksa membubarkan rapat oleh aparat kepolisian. Para petani sempat menolak, karena alasan aparat dianggapnya terlalu mengada-ada dan tidak masuk akal. Namun aparat tetap memaksa, bahkan mereka menurunkan pasukan brimob dan memporakporandakan tempat berlansungnya acara. Tak cukup hanya disitu, polisi menembaki petani sehingga jatuh korban. Tenda-tenda dan sebuah panggung pertunjukan dirobohkan. Beberapa orang ditangkap untuk dimintai keterangan. Kejadian tersebut mendapat protes dari banyak pihak. Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) mengecam tindakan brutal aparat. Mereka meminta aparat menyelidiki tindak kekerasan yang dilakukan anggotanya di lapangan. Di Jakarta, puluhan Lembaga Swadaya Masyarakat menyesalkan tindakan kepolisian lombok. Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR RI menggelar konferensi pers dan meminta Kapolres Lombok Tengah di copot. Komnas Hak Azasi Manusia akan menyelidiki tindakan kekerasa itu. Dunia internasional mengecam aksi kekerasan terhadap petani di Lombok. Gerakan petani internasional, La Via
4
Campesina, menyatakan akan melaporkan kekerasan polisi ke komisi hak azasi manusia Perserikatan Bangsabangsa. Petani Amerika yang tergabung dalam Family Farmer Coalition mengatakan perbuatan aparat sebagai aksi yang tidak pantas dan menodai hak asasi. Dari Jerman, aktivis Land Research Action Network, Sofia Monsalve, mengutuk aksi kekerasan oleh kepolisian dan akan melakukan kampanye internasional. Aksi kekerasan berawal ketika polisi memaksa massa petani untuk membubarkan rapat umum. Alasannya, ijin terhadap penyelenggaraan rapat umum sudah dicabut. Namun panitia tidak bisa menerima alasan yang dianggapnya dibuat-buat. Karena sudah jauh-jauh hari, panitia sudah mengantongi ijin dari mabes Polri. Namun panitia mengakui, bahwa ijin tersebut dicabut. “Tapi pencabutannya hanya 12 jam menjelang acara berlangsung. Sedangkan kami sudah menyebar undangan. Tentu saja acara tidak bisa dibatalkan begitu saja” tutur Ahmad Yakub, Deputi kampanye FSPI. Terlebih lagi hukum di Indonesia tidak mengharuskan ijin dari kepolisian untuk acara-acara seperti rapat umum. “Masyarakat hanya wajib memberitahukan saja, bukan meminta ijin,” kata Gunawan dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI).
EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005
Masyarakat yang menjadi panitia pelaksana paling terpukul dengan pembatalan ijin tersebut. Karena sudah jauh-jauh hari mereka mempersiapkan “pesta petani” tersebut. Bahkan dua ekor lembu sudah disembelih untuk konsumsi rapat umum. Menjelang pelaksanaan acara yang sedianya akan berlangsung pukul 9 pagi, masyarakat sudah berkumpul di bawah taring (tenda-tenda dari daun kelapa). Mereka menunggu tamu-tamu undangan dari berbagi desa disekitar Tanak Awu dan delegasi dari FSPI yang sedang menuju ke lokasi dari Mataram. Bahkan bersama-sama dengan rombongan FSPI hadir juga puluhan petani dari manca negara. Disaat-saat seperti itu ratusan polisi dengan bersenjatakan lengkap mendatangi lokasi. Mereka memaksa petani membubarkan diri. Sempat terjadi negosiasi antara warga dan polisi. Namun tidak tercapai kesepakatan. Hingga akhirnya polisi mengambil langkah kekerasan untuk membubarkan rapat tersebut. “Yang ditunggu rombongan FSPI, tiba-tiba yang datang malah polisi dengan senjata lengkap mengusir kami”, ucap Jupri (15 thn). Pada saat kejadian saya mau menyelamatkan kakak saya yang jatuh, tapi tiba-tiba saya terkena peluru di sini sambil menunjuk bagian bawah lengannya”, ucapnya dengan polos.
Jupri merupakan salah satu dari enam orang korban yang di rawat di RSUD Mataram dan mengalami luka tembak di bagian bawah lengan kanannya. Ke enam korban terkena tembakan peluru karet dan menderita mengalami luka dibagian kaki, dada, paha dan betis. Mereka diselamatkan oleh panitia kegiatan dari RSUD Mataram karena beberapa orang korban lain yang dirawat di RS Praya dalam kedaan lukaluka langsung dibawa oleh pihak Polres Lombok Tengah untuk di interogasi. Rapat akbar dan pesta solidaritas petani yang dihadiri beberapa utusan petani dari Via Campesina seharusnya menjadi hajat besar bagi Serikat Petani Nusa Tenggara Barat sebagai tuan rumah, akan tetapi kegiatan itu berubah menjadi bencana kerasan. Kegiatan yang sudah disiapkan sekian lama dengan melibatkan banyak orang menjadi kacau balau dalam sekejap oleh desingan peluru aparat. Tindakan represif aparat, terhadap petani menjadi kado pahit peringatan hari tani ke 45 tahun ini. Tragedi berdarah ini telah menambah panjang catatan kekerasan aparat terhadap rakyat. Rezim terus berganti, akan tetapi tidak menjadikan kekerasan berkurang malah terus bertambah. Tita Zen | Cecep Risnandar
utama
pembaruan tani
Rapat Umum Dibubarkan, Petani Ditembaki, 33 Orang Terluka Grupuk, Penunjak, Rebile, Batujai, Sumbawa, dan Sembalun, tengah menunggu kedatangan tamu mereka. Namun ratusan polisi bersenjata lengkap memerintahkan pembubaran rapat. Warga menolak dan sempat terjadi negosiasi diantara mereka. Warga meminta kepada aparat agar mereka diperkenankan menunggu sampai tamu dari FSPI, La Via Campesina, Land Research Action Network (LRAN), FIAN (Lembaga Hak Atas Pangan dan Hak-Hak Asasi Manusia), LSM, Mahasiswa, dan Masyarakat Adat datang ke tempat itu. Aparat tidak mengijinkannya, dan langkah pembubaran paksa pun dilakukan dengan mengerahkan pasukan kepolisian dari Polres Lombok Tengah dan Polda NTB.
Pembaruan Tani
Rapat umum yang diadakan Serikat Tani NTB (Serta NTB) dan Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) di Tanak Awu dibubarkan aparat kepolisian dari Polda NTB dan Polres Lombok Tengah secara paksa, Minggu (18/9). Dalam peristiwa tersebut 33 orang terluka akibat kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian. Sebanyak 27 orang terkena luka tembak dan 6 orang luka pukul.
Diantara korban tembak terdapat anak berusia 13 tahun. Korban luka-luka dilarikan ke Puskesmas dan rumah sakit terdekat. Kejadian berawal, ketika masyarakat Tanak Awu menghadiri Rapat Umum petani di lahan yang menjadi sengketa karena akan digusur untuk pembangunan Bandara Internasional. Di atas lahan tersebut warga sudah mendirikan
tenda-tenda peneduh dan panggung untuk pertunjukan seni rakyat. Namun pihak pemerintah Lombok Tengah melarang acara yang sebelumnya sudah mendapatkan ijin itu. Pemerintah mengerahkan pasukan kepolisian untuk mengusir warga. Tindak pengusiran secara paksa dilakukan ketika warga masyarakat yang terdiri dari para petani Tanak Awu, Mawun,
Alasan kepolisian membubarkan rapat tersebut karena pihak Mabes Polri yang sebelumnya memberikan ijin, menyatakan mencabut ijin secara sepihak. Warga menilai alasan tersebut mengada-ada, karena pencabutan ijin baru dilakukan beberapa jam sebelum acara dimulai, tepatnya pada pukul 21.00 WITA. Padahal panitia sudah mempersiapkan acara tersebut beberapa bulan sebelumnya. Terbukti dengan dikeluarkannya ijin resmi dari Mabes Polri tertanggal 12 September 2005. Pihak panitia menilai
pencabutan ijin tersebut penuh rekayasa dan tidak wajar. Bahkan landasan hukum dalam pencabutan surat ijin terkesan asal-asalan dan dibuat tergesagesa. Langkah pembubaran paksa tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi. Karena petani hanya mengadakan acara rapat umum yang damai tanpa arak-arakan. Rencananya rapat tersebut akan dihadiri oleh perwakilan petani dari provinsi lain dan petani internasional. Lebih jauh lagi, panitia meminta kepolisian bertanggungjawab terhadap kekerasan yang dilakukannya yang memakan korban warga sipil. Sekjen FSPI, Henry Saragih, menyatakan alasan pembubaran secara paksa rapat umum tersebut tidak masuk akal, apalagi disertai tindak kekerasan. “Tidak pada tempatnya pihak kepolisan membubarkan rapat secara paksa, apalagi menggunakan kekerasan sehingga para petani menjadi korban penembakan. Peristiwa ini harus diusut sampai tuntas,” ujarnya. Dipihal lain, polisi mengklaim 46 anggotanya luka-luka akibat bentrokan tersebut. Namun tidak didapatkan rincian nama-nama petugas yang terluka dan apa jenis luka yang dideritanya. Cecep Risnandar
Petani Dunia Kecam Kekerasan Terhadap Petani Di Tanak Awu Kekerasan yang disertai penembakan oleh aparat kepolisian terhadap petani yang sedang mengikuti rapat umum di Tanak Awu, Lombok Tengah, menuai banyak protes. Berbagai organisasi petani dari luar negeri ikut mengecam tindakan kekerasan tersebut. Dena Hoff dari Family Farmers Coalition Amerika Serikat yang menjadi salah satu peserta rapat umum mengecam tindakan aparat. Dia tak habis pikir dengan tingkah aparat kepolisian. Menurutnya para peserta rapat umum tersebut datang dari banyak negara untuk melakukan pertemuan dengan maksud baik. Tetapi aparat kepolisan membubarkannya secara paksa dan dengan caracara kekerasan. "Karena itu kami sangat marah mengingat aparat keamanan bertindak dengan alasan tidak masuk akal. Pada dasarnya peran polisi adalah untuk melindungi semua warga negara, namun kenyataannya telah melakukan tindakan kekerasan," ujarnya. Aktivis Food Research Action
Net Work (FIAN), Sofia Monsalve menilai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian merupakan pelanggaran HAM, dan ini berarti tidak ada kebebasan berkumpul di Indonesia. Aktivis dari Jerman ini mengatakan, tidak ada hak bagi siapapun untuk menggusur seseorang dari tanah mereka sendiri. Karena itu kami mendukung pemerintah termasuk Komnas HAM untuk menginvestigasi kasus kekerasan tersebut. Lebih jauh lagi, Sofia mengatakan akan melaporkan tindakan kekerasan di Tanak Awu ke badan-badan PBB. Hal ini akan ditempuhnya agar aparat penegak hukum di Indonesia memperhatikan hakhak sipil warganya, khususnya kaum tani. Kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan di Tanak Awu, merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Pada kesempatan lain, anggota La Via Campesina (gerakan petani internasioal) di Italia sudah melayangkan surat protes
kepada kedutaan Indonesia di Roma. Surat itu menyatakan keprihatinan mendalam terhadap tragedi di Tanak Awu dan meminta pemerintah Indonesia untuk mengusut secara tuntas kekerasa yang dilakukan aparatnya terhadap petani. Dari dalam negeri, protes keras datang dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat di Jakarta. Aliansi Gerakan Reforma Agraria mengutuk tindakan represif aparat. Pihaknya menuntut pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk menindak tegas aparat yang melakukan kekerasan terhadap petani. Dukungan lain datang dari Walhi, Institut for Global Justice, PBHI, dan berbagai organisasi masyarakat lainnya. Tak hanya itu, Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR RI menyatakan kutukan terhadap kasus tersebut. Mereka meminta Kapolri Jenderal Sutanto untuk mencopot Kapolres Lombok Tengah. Cecep Risnandar
Petani Protes Polda NTB Sebanyak 200 petani dari Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) dan 15 orang perwakilan petani dari 11 negara yang tergabung dalam La Via Campesina mendatangi Polda NTB, Minggu (18/9), untuk memprotes kekerasan yang dilakukan polisi di Tanak Awu, L o m b o k Te n g a h . M e r e k a memasuki halaman kantor Polda NTB dan menggelar aksi mengkritik tindakan polisi yang tidak menghormati hak asasi manusia dengan menembaki petani. Massa yang datang secara berombongan dengan menggunakan 3 truk dan 3 minibus seyogyanya akan
menghadiri rapat umum yang dibubarkan aparat di Tanak Awu. Namun ditengah perjalanan menuju lokasi, mereka dihadang kepolisian. Dengan alasan, untuk menghindari konflik horizontal antar waga masyarakat. Kemudian diketahui alasan tersebut hanya akal-akalan belaka, karena tidak ada konflik horizontal antar warga. Justru telah terjadi penembakan para petani di lokasi rapat umum oleh aparat kepolisian. Massa yang dihadang di daerah Praya, akhirnya bertandang ke Polda NTB dan melakukan aksi di sana.#
EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005
5
utama
pembaruan tani Pembaruan Tani
Akibat Insiden Tanak Awu Kapolres Lombok Tengah Dicopot
Komnas HAM Usut Kasus Tanak Awu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia usut peristiwa bentrokan berdarah antara petani dengan polisi di Tanak Awu, Lombok Tengah, Rabu (6/10). Komnas HAM mengirim dua tim ke lokasi yang terdiri dari Sub Komisi Hak Sipil dan Politik, dan Sub Komisi Ekonomi dan Sosial. Kedua tim tersebut bertandang ke Nusa Tenggara Barat pada tanggal 6 September lalu. Menurut Staf Fungsional Sub Komisi Sipil dan Politik Komnas HAM, Teguh P Nugroho, kedua tim tersebut akan meneliti dua hal yang berbeda. Tim Sipil dan Politik akan meneliti prosedur yang dilakukan aparat kepolisian dalam membubarkan rapat umum petani yang berakhir dengan tindak penembakan. Sedangkan tim Ekonomi dan Sosial akan menangani kasus pembebasan tanah milik petani
Tanak Awu yang menjadi bakal lokasi bandara internasional dimana bentrokan terjadi. Pembebasan tersebut dilakukan PT Angkasa Pura I pada tahun 1994-1996. Selain itu, Komnas HAM meminta Mabes Polri untuk menindak tegas aparatnya yang telah melakukan tindak kekerasan dalam insiden berdarah 18 September lalu. Menurut Teguh, pihaknya telah menyurati Mabes Polri, namun sampai saat ini belum mendapatkan jawabannya. Sedangkan pengacara dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia mengatakan insiden di Tanak Awu berpotensi untuk diajukan sebagai pelanggaran HAM berat. Pihaknya bersama Federasi Serikat Petani Indonesia akan mengajukan kasus tersebut ke komisi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa untuk di tindak lanjuti.
Dalam kasus tersebut, pemerintah dalam hal ini aparat kepolisian telah bertindak semena-mena dan brutal dalam membubarkan rapat umum. Padahal menurut Undang-undang yang berlaku, kegiatan seperti itu tidak memerlukan ijin dari pemerintah. “Cukup dengan pemberitahuan saja,” ujar Gunawan dari PBHI. Undang-undang di Indonesia menjamin kemerdekaan mengemukakan pendapat kepada seluruh penduduknya. Polisi hanya bertugas untuk mengamankan acara bukan malah membuat rusuh dengan membubarkannya secara paksa. Gunawan yakin polisi telah melakukan pelanggaran hukum, HAM dan telah mengebiri hak masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya di muka umum. Cecep Risnandar
Massa Petani Dialog Dengan DPRD NTB Sehari setelah kejadian berdarah Tanak Awuk, puluhan petani anggota Serikat Petani Busa Tenggara Barat menemui anggota DPRD NTB, Kamis (22/9). Mereka datang dengan menggunakan dua mobil bus. Massa petani diterima oleh Wakil Ketua Komisi A DPRD NTB, H. L. Moh Syamsir, S.H. dan Johan Rosihan dari Fraksi Keadilan Sejahtera. Selain anggota Serta NTB dari Tanak Awu, hadir juga dalam pertemuan tersebut para petani dari berbagai daerah yang tergabung dalam Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). Para petani dari berbagai provinsi yang seyogyanya menghadiri rapat umum yang berkhir dengan tragedi berdarah menyatakan solidaritasnya kepada petani Tanak Awu. Para petani meminta DPRD NTB segera mengambil sikap untuk menyelesaikan masalah Tanak Awu dan segera membentuk tim pencari fakta
6
dari Komnas HAM untuk mengusut kekerasan aparat keamanan terhadap petani anggota Serta NTB. Pada kesempatan itu, Sekjen Serta NTB Wahidjan mengatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap petani di Tanak Awuk merupakan bukti cara-cara lama, seperti intimidasi, kekerasan dan militerisme telah digunakan p e n g u a s a u n t u k menyelesaikan masalahmasalah yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cara-cara dialog dan musyawarah. “ Tidak ada alasan bagi k e p o l i s i a n u n t u k membubarkan rapat umum tersebut, karena semua perizinan sudah kita urus dari jauh hari, alasan keamanan yang tidak kondusif adalah alasan yang tidak masuk akal, karena keadaan dilokasi pada saat itu sangat kondusif dimana massa datang dengan tertib untuk menghadiri kegiatan rapat umum”, ujar
Wahidjan. Serta NTB mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan kepolisian terhadap petani. Serta NTB juga meminta Kapolda NTB dan Kapolres Loteng menjadi pihak paling bertanggungjawab dan dicopot dari jabatannya. Dalam kesempatan tersebut juga beberapa orang petani Desa Tanak Awu yang hadir meminta jaminan keamanan karena pasca tragedi berdarah di Tanak Awu teror maupun intimidasi terus berjalan. Intimidasi dan isu penangkapan terhadap para tokoh petani terus dihembuskan, yang menyebabkan warga ketakutan. Anggota DPRD sangat menyesalkan tindakan kekerasan tersebut dan berjanji segera menyikapi masalah tersebut dan membawanya kedalam rapat dewan dengan membentuk panitia khusus kasus Tanak Awu. Tita Zen
EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005
Kepala Polres Lombok Tengah Ajun Komisaris Besar I Dewa Putu Maningka Jaya dicopot. Pencopotan ini diduga berkaitan dengan insiden bentrok berdarah antara petani dan polisi di lahan bakal bandara internasional Tanak Awu, Lombok Tengah, 18 September silam. Surat pencopotan dikirim melalui telegram dari Kepala Polri ke Polda NTB pada Selasa (11/10). Telegram ini baru disebarkan kepada pers, Jumat (14/10). Isinya, antara lain penggantian Dewa Maningka Jaya oleh Ajun Komisaris Besar Ruslan. Serah terima jabatan akan dilakukan pada Senin (17/10) di Praya, Lombok Tengah, seperti ditulis Tempo Interaktif. Dugaan pencopotan Maningka yang dikaitkaitkan dengan kasus kekerasan oleh aparat kepolisan di Tanak Awu di sanggah Juru bicara Polda NTB Ajun Komisaris Besar Mohammad Basri. Menurutnya mutasi Kepala Polres Lombok Tengah itu sudah kebijakan Kepala Polri. Pergantian jabatan merupakan hal biasa dilingkungan kepolisian. Mengenai kaitannya dengan kasus Tanak Awu, ia hanya berkomentar, "Ya, biarkan saja dari mana orang menilainya." Sebelumnya banyak pihak yang meminta Kapolri untuk
mencopot Kapolres Lombok Tengah. Maningka dianggap berperan dalam aksi pembubaran paksa yang disertai kekerasan terhadap rapat umum petani di Tanak Awu. Senin (19/9), Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPR RI. FKB mendesak Kapolri Jenderal Sutanto menindak tegas aparat kepolisian yang terlibat peristiwa tersebut. Bahkan, FKB minta agar Kapolri segera mencopot Kapolres Lombok Tengah. "Karena itu, kami mendesak Kapolri mencopot Kapolres Lombok Tengah," ujar Ketua Kelompok Komisi IV FKB, Mufid Busyairi usai menerima perwakilan petani NTB di gedung DPR. Dalam konferensi Persnya, FKB yang diwakili Mufid Busyairi dan didampingi Arifin Junaidi, Ishartanto, Hasyim Karim, dan Ahmad Rawi menganggap tindakan polisi membubarkan rapat umum petani itu sangat berlebihan. Sebab, para petani menggelar kegiatan dengan damai dan tidak melanggar UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kegiatan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. "Kegiatan semacam itu cukup pemberitahuan saja, tidak perlu izin polisi," tandasnya. Cecep Rsinandar
Korban Tindak Kekerasan di Tanak Awu, Lombok Tengah Korban Terkena Tembakan 1. Jupri, 15 tahun dari Tanak Awu 2. Suratman, 19 tahun dari TanakAwu 3. Marzun, 32 tahun dari Mawun 4. Jamaludin, 35 tahun dari tanak Awu 5. Aq. Lisna, 35 tahun dari TanakAwu 6. L. Maliki, 24 tahun dari TanakAwu 7. Hasbullah, TanakAwu 8. Dasuh, TanakAwu 9. Abd. Wahab, 30 tahun dari TanakAwu 10. Aq. Bilin, 28 tahun dari TanakAwu 11. Jumarsah, 27 tahun dari TanakAwu 12. Muhammad Yakub, 22, dari Mawun 13. Sembalun A Reli, Tanak Awu 14. Tarmuzi, 23 tahun dari Batujai 15. H. Mursali, 40 tahun dari TanakAwu 16. L. Topan, 12 tahun dari TanakAwu 17. Nurman,TanakAwu 18. Kurniawan, 18 tahun dari TanakAwu 19. Mq. Novi, 27 tahun dari TanakAwu 20. Aq. Ida, 32 tahun dari TanakAwu 21. Hamdan, TanakAwu 22. A'an, 25 tahun TanakAwu 23. H. Hilmi, 40 tahun dari Penujak 24. Mq. Fitri, 40 tahun dari Rebile 25. Hasyim, TanakAwu 26. Hamdan, 27 tahun dari Rebile
27. Samsul Hadi, Mawun Korban terkena pukulan aparat 1. Amrullah, Rebile 2. Abd. Wahab, 20 Tahun dari Rebile 3. Fitrian, TanakAwu 4. Aq. Us, Selanglet Penujak 5. Abdul Kadir Jaelani, 19, dari Selanglet Penujak 6. Ahyar, 17 tahun dari TanakAwu Petani yang ditangkap saat kejadian 1. Sofiah (inaq Mulyadi ) 2. Bq. Saodah/Iq Nelly 45 Tahun 3. H. Lalu Iskandar 4. Azhar Daftar Barang yang dibawa OLRES Lombok Tengah: 1. Sepeda Motor 2. Sound System 3.Bendera, Umbul-umbul dan Atribut Organisasi Ket: Alat buktinya ditemukan 97 buti peluru berupa slongsong, proyektil dan peluru utuh)
Sumber: Serikat Petani NTB (Serta NTB) Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)
utama
pembaruan tani
Kronologis Pembubaran Rapat Umum Petani Oleh Aparat Kepolisian Dengan Cara-cara Kekerasan yang Mengakibatkan jatuh korban, di Tanak Awu, Lombok TengahNusa Tenggara Barat (Tragedi Kemanusiaan Tanak Awu, Minggu 18 September 2005) Latar Belakang Setiap tahunnya di bulan September, Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) beserta anggota-anggotanya yakni serikat-serikat tani di tiap wilayah propinsi selalu mengadakan peringatan hari tani 24 September, (SERTA NTB adalah salah satu anggota FSPI). Adapun kegiatan peringatan hari tani ini ada yang sifatnya berskala nasional maupun regional/wilayah. Rangkaian kegiatan hari tani yang berskala nasional selalu diputuskan dalam rapat organisasi FSPI di tingkat nasional (Rapat Pleno). Rangkaian kegiatan hari tani 24 September 2005 direkomendasikan oleh rapat pleno FSPI di Lampung pada bulan Maret 2005, kemudian dimatangkan pada rapat presidium FSPI di Jakarta pada bulan Agustus 2005 , dan memutuskan berlaku sebagai tuan rumah kegiatan hari tani nasional 2005 adalah Serikat Petani Nusa Tenggara Barat (SERTA - NTB) dengan tema kegiatan “ Mewujudkan Pertanian Berkelanjutan yang Berbasis Keluarga Melalui Pelaksanaan UUPA 1960” , waktu pelaksanaannya dimulai tanggal 13 sampai 21 September 2005. Secara umum tujuan dari peringatan hari tani ini adalah mendalami aspek pembaruan agraria dan tukar pengalaman dari berbagai petani di daerah lain ataupun petani yang berasal dari negara lain guna mewujudkan pertanian berkelanjutan di Indonesia menuju masyarakat petani yang adil dan sejahtera. Rangkaian kegiatan hari tani ke-45 ini meliputi : Workshop mengenai pertanian berkelanjutan, perdagangan dan pangan, Diskusi penelitian pedesaan dari LRAN, Rapat Umum Petani di Desa Tanak Awu dan Acara kunjungan lapangan di Sembalun, Lombok Timur dan Kute, serta Simposium Pengalaman dari Negara lain tentang Pembaruan Agraria Penentuan lokasi kegiatan ini didasarkan pada hasil rapat pleno FSPI di Lampung yang melihat bahwa perlu dilakukan secara bergiliran setiap tahunnya di tiap-tiap serikat. Dan di Nusa Tenggara Barat inilah dirasakan kondisinya tepat, karena NTB merupakan basis wilayah dominasi petanian dan dalam beberapa bulan kemarin terjadi “busung lapar”. Maka dari itu diharapkan dengan kegiatan berbagi pengalaman petani ini dapat menjadi pelajaran bagi petani-petani lokal di Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk berorganisasi dan soal-soal pertanian berkelanjutan serta kedaulatan pangan. Kemudian panitia lokal dari SERTA - NTB menentukan lokasi kegiatan hari tani di lapangan desa Tanak Awu Kabupaten Lombok Tengah, dengan pertimbangan letak geografis yang sangat strategis mudah dijangkau transportasi dan di desa tanak awu ini terdapat anggota SERTA -NTB yakni OTL Lauq Kawat yang secara organisasi dianggap cukup mampu untuk melaksanakan kegiatan besar berskala nasional dengan melibatkan undangan dari berbagai propinsi di Indonesia, juga undangan dari berbagai negara yang merupakan anggota La Via Campesina. Proses Pemberitahuan Kegiatan ke Mabes POLRI Karena Kegiatan ini berskala nasional dan terdapat undangan dari berbagai negara maka surat pemberitahuan diberikan ke Mabes POLRI. Sesuai agenda FSPI, pada Kamis sore tanggal 8 September 2005, diantarkan surat pemberitahuan kegiatan dari FSPI yang bernomor 043 /K/DKK/09/2005 tertanggal 8 September 2005 ditujukan kepada Kapolri Cq Badan Intelijen Keamanan. Surat ditanda tangani oleh Achmad Ya'kub sebagai ketua panitia nasional. Surat diantar oleh salah satu staff FSPI. Kemudian dinformasikan dari Mabes POLRI bahwa surat pengantar ada beberapa kekurangan mengenai jenis kegiatan, peserta, waktu dan tempat. Lalu diperbaiki oleh staff di FSPI yang kemudian di Fax ke Mabes POLRI. Perbaikan ini esok harinya Jum'at 9 September 2005, ketika di check langsung oleh Achmad Ya'kub ada beberapa kekeliruan, pertama KOP surat FSPI yang digunakan salah, kop surat tersebut merupakan kop surat yang lama. Kedua, daftar acara yang dituliskan kurang lengkap. Surat tersebut sudah terlanjur di FAX ke mabes POLRI. Kemudian dari 2 surat tersebut akhirnya diperbaiki langsung oleh Ketua Panitia Nasional dan kembali di FAX ke Mabes POLRI pada tanggal 9 september 2005 dengan sebelum dan sesudah kirim FAX menelepon terlebih dahulu untuk konfirmasi atas perbaikan tersebut, telepon diterima oleh asisten Ibu Nani, dikatakan beliau sedang sibuk. Nomer surat yang dikirimkan dari awal hingga perbaikan akhir adalah tetap sama yaitu No. 043 /K/DKK/09/2005. Hanya tanggalnya kemudian berubah menjadi tertanggal 9 September 2005. Kemudian setelah shollat Jum'at, Achmad Ya'kub sekitar jam 4 sore mengantarkan surat aslinya yang diterima oleh Ibu Nani (Staff di Mabes POLRI). Hari Senin 12 September 2005. FSPI menelepon ke Mabes POLRI apakah surat tersebut sudah jadi, dijawab sudah. Kemudian jam 10.00 WIB, Achmad Ya'kub sudah berada di Mabes POLRI untuk mengambil surat izin yang sudah disetujui. Namun setelah dibaca seksama ternyata surat izin tersebut tidak lengkap memberikan berbagai jenis kegiatan. Ya'kub Kemudian minta diperbaiki. Setelah itu dikatakan bahwa Bapak yang menanda tangani sudah istirahat dan kemungkinan akan datang sore hari, Ya'kub disarankan kembali esok hari. Hari Selasa 13 September 2005, Sdr. Syahroni dan sdri. Sri Wahyuni mendatangi Mabes POLRI mengambil surat izin tersebut sekitar jam 8.00-9.00 WIB. Surat tersebut kemudian diberikan langsung oleh Syahroni kepada A. Ya'kub dibandara Soekarno Hatta menjelang Ya'kub menuju ke Mataram. Kemudian surat yang ditujukan kepada Panitia dan Kapolda NTB dibawa langsung ke Mataram. Selasa, 13 Sept 2005 sore jam 15.00-an WITA sudah di Mataram. Ya'kub lalu berkoordinasi dengan panitia di NTB yaitu Sdr. Herman mengenai proses perizinan tersebut. Kemudian diputuskan segera membuat surat pengantar kepada instansi pemerintah dan kepolisian setempat. Rabu Pagi 14 september 2005, surat pengantar bahwa mengenai informasi kegiatan di tanda tangani oleh Herman selaku panitia Lokal dan Achmad Ya'kub yang mengetahui selaku panitia nasional. Surat-surat tersebut ditujukan kepada KAPOLDA NTB, KAPOLRES LOMBOK TENGAH, KAPOLSEK (Polsek Praya Barat dan Polsek Pujut), dan instansi pemerintah BUPATI, KECAMATAN (Camat Praya Barat dan Camat Pujut), KEPALA DESA (Kades Tanak Awu,Kades Penujak, dan Kades Ketare). Surat tersebut diantarkan oleh Sdr. Memed (Ahmad S.H) dan Zamaturrahili, S.E, dalam waktu antara tanggal 14 15 September 2005.
Surat surat tersebut semuanya dilampirkan surat izin dari Mabes POLRI yang bernomor, No. Pol. : SI/YANMIN/785/IX/2005/BAINTELKAM bertanggal 12 september 2005 yang ditanda tangani oleh A.n Kepala Badan Intelijen Keamanan Kabid Yanmin, Drs. J. A. Nardji, MBA. Berdasarkan keluarnya surat izin dari Mabes POLRI tersebut, panitia pun segera melakukan pematangan dan persiapan-persiapan teknis pelaksanaan kegiatan seperti: memastikan kesediaan para undangan yang hadir baik yang berasal dari propinsi lain maupun peserta internasional (Brazil, Republik Dominika, Amerika Serikat, Philipina, Nicaragua, Swedia, Mexico, Jerman, Thailand, Korea Selatan dll) Proses Pencabutan Surat Izin Pada sabtu 17 September 2005, pada jam 18.40 WITA Ketua Panitia Sdr. Achmad Ya'kub ditelepon dari Mabes POLRI yang mengaku bernama Bpk. Slamet. Memberitahukan bahwa surat izin kegiatan akan dicabut. Kemudian terjadi perdebatan. Sdr. Ya'kub kemudian memberikan telepon kepada penitia lokal (Sdr. Herman) agar Bpk. Slamet berbicara langsung ketidak mungkinan acara tersebut untuk dibatalkan mengingat banyak pertimbangan teknis dan lain sebagainya Pada jam 11.00 malam, Ya'kub menerima telepon dari penjaga Sekretariat FSPI di Jakarta yang mengatakan bahwa ada 2 orang dari Mabes POLRI pada Jam 20.00 WIB (artinya 21.00 WITA) malam mengirim surat yang ditujukan kepada Ya'kub. Surat tersebut ternyata surat pencabutan izin. Tidak hanya rapat umum, namun semua kegiatan seperti Simposium, dan Kunjungan ke Lapangan. Artinya semua kegiatan dilarang. No Surat pencabutan Nomor: B/425/IX/2005/Baintelkam, kalsifikasi: biasa. Ditanda tangani oleh A.n Kepala Badan Intelijen Keamanan Kabid Yanmin, Drs. J. A. Nardji, MBA. Pencabutan ini berlangsung hanya sekitar 12 jam, sebelum acara Rapat UMUM dimulai. Padahal berbagai persiapan telah selesai. Terutama undangan dari anggota FSPI dari berbagai propinsi di sumatera, jawa, NTT, sulawesi sudah tiba. Peserta Luar Negeri juga telah tiba. Malam panitia rapat untuk merespon hal ini. Maka atas kesadaran panitia pelaksana serta menghindari hal-hal yang tidak diinginkan beberapa wilayah yang dapat dihubungi via telepon disarankan agar membatalkan datang ke lokasi rapat umum. Tentunya tidak semua peserta dapat dihubungi. Kronologis Bentrokan antara Petani Peserta Rapat Umum dengan Aparat Kepolisian Minggu, 18 September 2005 pukul 09.00 WITA, massa petani dari Tanak Awu telah berkumpul di lokasi Rapat Umum di Desa Tanak Awu. Sekitar 1000 petani dari Tanak Awu, Mawun, Grupuk, Penunjak, Rebile, Batujaik, Sumbawa, dan Sembalun, bersiap-siap menyambut kedatangan utusan petani anggota FSPI dari berbagai propinsi, utusan Pengurus La Via Campesina (Gerakan Petani internasional), mahasiswa dari Mataram dan Jakarta, serta utusan masyarakat adat. Beberapa saat kemudian 3 kompi satuan kepolisian (Brimobda) mendatangi lokasi. Polisi meminta masyarakat membubarkan acara yang akan digelar. Alasannya, ijin yang sebelumnya diberikan MABES POLRI kepada FSPI telah dicabut beberapa jam sebelumnya (Sabtu, 17 September pukul 23.00). Massa menolak karena pencabutan ijin dilakukan secara sepihak dan terburu-buru (hanya beberapa jam sebelum acara), padahal para petani sudah mempersiapkan acara jauh-jauh hari. Pihak kepolisian tetap mendesak untuk membubarkan acara. Kapolres Lombok Tengah sempat bernegoisasi dengan Herman (salah seorang warga). Dalam negosiasi itu, Herman minta waktu kepada pihak kepolisian untuk menunggu rekan-rekan peserta lainnya yang telah berkumpul di Mataram. Kapolres memberikan waktu 20 menit terhadap permintaan warga. Setelah 20 menit berlalu, Kapolres menambah pasukannya dan memberikan abaaba kepada pasukannya untuk segera membubarkan diri. Sepuluh menit kemudian, datang pasukan lebih banyak lagi disertai satu buah Panser dan dua mobil pemadam kebakaran. Jumlah aparat polisi sekitar 700 orang, terdiri dari pasukan Brimob, Dalmas, dan Huru-hara. Setelah mendapatkan bantuan pasukan, aparat merangsek ke kerumunan massa dan melakukan beberapakali tembakan peringatan. Massa tetap bertahan di lokasi dan tidak mau membubarkan diri. Aparat kepolisian semakin agresif, tenda-tenda dan panggung yang didirikan warga dirobohkan. Tidak cukup dengan tembakan peringatan, polisi menembak ke arah kerumunan massa. Massa mengadakan perlawanan lagi, melempari polisi dengan tanah dan batu. Akibat dari bentrokan tersebut, dari pihak warga jatuh korban sebanyak 37 orang diantaranya 2 orang anak-anak berusia dibawah 17 tahun. Bahkan ada seorang ibu yang diseret paksa oleh dua orang polisi (ada di tayangan televisi). Korban dilarikan ke Puskesmas Sengkol, Puskesmas Penunjak, RSUD Praya dan RSU Mataram (namanama korban terlampir), anehnya kesemua korban yang terkena tembakan tidak diperbolehkan melihat peluru yang ada, selanjutnya massa mundur ke pemukiman, namun polisi masih tetap mengejar. Hal ini dapat diketahui dimana salah seorang korban bernama Maliki terkena tembakan di tangan kananya di perkampungan. Massa dari Mataram datang berombongan dengan menggunakan satu Toyota Kijang, 3 minibus, 4 truk dan puluhan sepeda motor. Di pertigaan Kamulah Kel. Panji Sari Kec. Praya (Lombok Tengah) masa dihentikan oleh aparat kepolisian dan massa dilarang ke lokasi Tanak Awu dengan alasan khawatir terjadi konflik horizontal sesama masyarakat sipil. Belakangan diketahui, tidak ada kelompok masyarakat sipil lainnya yang menghadang perjalanan rombongan. Di Praya terjadi negoisasi yang alot, akhirnya rombongan kembali dan menuju ke kantor POLDA NTB. Sesampai di POLDA pukul 11.45 WITA, massa memasuki halaman dalam gedung POLDA NTB menyampaikan tuntutan. Massa menuntut kepolisian mempertanggungjawabkan aksi kekerasan dan menarik mundur pasukannya dari Tanak Awu. Selain itu massa menuntut untuk dikawal ke Tanak Awu oleh POLDA NTB untuk mengunjungi petani yang menjadi korban tindak kekerasan.
Sumber: Federasi Serikat Petani Indonesia (2005)
EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005
7
utama
pembaruan tani
GALERI FOTO TANAK AWU << Panggung Rapat Umum di Tanak Awu. Seyogyanya panggung ini akan dijadikan tempat orasi dan pergelaran seni yang menjadi salah satu bagian acara rapat umum petani. Grup kesenian Sejati yang sengaja datang dari Jakarta akan menghibur peserta Rapat Umum dengan lagu-lagu yang diciptakan untuk petani.
Persiapan rombongan peserta rapat umum yang berangkat dari Komplek Balai Pelatihan Kesehatan Mataram dan iringi-iringan kendaraan menuju Tanak Awu
<< <<
8
EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005
<<
<<
Rombongan petani FSPI dan petani Internasional yang tergabung dalam La Via Campesina dihadang aparat kepolisian di Praya (jalan menuju Tanak Awu). Mereka beralasan bahwa ada pasukan sipil yang akan menghadang rombongan, namun kabar tersebut tidak benar, yang terjadi adalah pasukan brimob sudah membubarkan rapat umum di Tanak Awu secara paksa dan dengan menggunakan kekerasan.
>>
Para petani Tanak Awu dan petani dari desa sekitarnya tengah bersiap-siap menyambut rombongan petani FSPI yang masih dalam perjalanan dari Mataram.
utama
pembaruan tani
Aparat kepolisian dari Polres Lombok Tengah dan Polda NTB membubarkan rapat umum petani secara paksa. Terjadi tragedi penembakan yang menyebabkan 33 orang terluka
<<
Warga mencoba melakukan negoisasi, namun kepolisian bersikukuh untuk tetap membubarkan rapat umum.
<<
Pangung-pangung dirobohkan, tenda-tenda diobrak-abrik, beberapa petani ditangkapi untuk dimintai keterangan
<<
Beberapa butir peluru yang berhasil dikumpulkan dari lapangan sebagai barang bukti kekerasan aparat. Di antaranya terdapat selongsong gas air mata, peluru karet dan beberapa butir peluru tajam.
Korban-korban penembakan oleh aparat. Diantaranya anak berumur 13 tahun
EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005
9
pendapat
pembaruan tani
Periode Liberalisasi Perdagangan Beras Di Indonesia Oleh Muhammad Ikhwan Staf Kajian Kebijakan dan Kampanye FSPI
Berjuang dari Kelaparan Menuju Swasembada Beras Pada era Orde Baru, yaitu sekitar tahun 1960-an hingga awal 1990-an Indonesia termasuk salah satu negara yang berhasil mengantar sektor pertanianterutama berasdari jurang kekurangan menuju swasembada. Pemenuhan kebutuhan sendiri ini berlangsung pada era 1980-an. Bahkan pada tahun 1980 hingga tahun 1985 Indonesia adalah neteksportir beras. Hal ini terjadi karena model revolusi hijau yang digalakkan pemerintah Orde Baru mulai tahun 1970-an. Namun dampak dari revolusi hijau ternyata membuat ketergantungan pada input pertanian modern yang dianjurkannya. Kejadian ini persis terjadi hingga saat ini, pada proyeksi pertanian Indonesia yang cenderung monokultur (terutama bergantung pada beras), terdorong menggunakan teknologi; namun merugikan, yakni penggunaan pestisida dan pupuk kimia, dan lain sebagainya. Ketergantungan inilah yang mengakibatkan petani di Indonesia pada akhirnya tidak dapat lagi menemukan margin dari input yang diperlukan dan hasil yang diperoleh. Era ketergantungan ini akhirnya membuat beban petani menjadi semakin berat. Mahalnya biaya pupuk, pestisida, tidak seimbang dengan pendapatan yang diperoleh. Hal ini juga berlangsung hingga sekarang. Yang tidak berlangsung hingga hari ini adalah subsidi dan bantuan pemerintah yang diberikan kepada sektor pertanian. Tercatat pada era Orde Baru ini, 725 juta dollar AS (sekitar 7,25 trilyun rupiah) dialokasikan untuk membantu sektor pertanian. Kini setelah liberalisasi perdagangan diterapkan, sektor pertanian pun diserahkan oleh pemerintah kepada pasar, dan subsidi dihilangkan. Era Agreement on Agriculture (AoA) WTO Pada tahun 1995 Indonesia mulai mengurangi subsidi untuk input pertanian, walaupun subsidi untuk pestisida telah dilarang beberapa tahun sebelumnya (pada tahun 1989). Pengurangan subsidi ini sesuai dengan implementasi AoA WTO dan faktor lain yang mempengaruhi adalah kesulitan finansial pemerintah yang sedang mengalami krisis. Hal inilah yang membuat petani semakin merana. Setelah subsidi dikurangi, WTO terus menekan pemerintah Indonesia untuk meliberalisasi perdagangannya. Hal ini berakibat semakin terbukanya investasi dari luar dalam sektor pertanian. Pupuk, pestisida dan industri pertanian pada akhirnya bobol dan dikuasai oleh
10
EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005
pedagang-pedagang besar. Lihat saja kasus pada produksi dan distribusi pupuk dan pestisida, contohnya. Pasar dunia kini dikuasai oleh korporasi transnasional raksasa, seperti Monsanto dan Syngenta. Hal yang sama berlaku di Indonesia saat ini akibat AoA WTO. Pengurangan subsidi ini diatur dalam domestic support AoA. Pembukaan pasar domestik oleh WTO dengan gampang diwakili oleh kebijakan pemerintah membuka keran impor, terutama impor beras. Indonesia menjadi net importir beras semenjak tahun 1988, dan merupakan salah satu pengimpor beras terbesar di dunia. Faktanya, Indonesia mengimpor hampir 50% stok beras dunia. Pada dekade lahirnya WTO (1990-1999) Indonesia mengimpor rata-rata 1,5 juta ton beras per tahun, dan fenomena ini berlangsung hingga
tahun 2004. Untuk gula, jumlah yang diimpor sebesar 1,5 juta ton (kedua terbesar di dunia) atau 40% dari konsumsi nasional. Lalu Indonesia juga mengimpor kedelai sebesar 1,3 juta ton (terbesar di dunia) yang menutup 45% konsumsi kedelai nasional. Sedangkan volume impor untuk jagung berjumlah tidak kurang dari 1 juta ton. Sementara, jangan lupa bahwa Indonesia juga terus mengimpor buah-buahan, sayur dan macam-macam seperti apel, jeruk, pir, kentang, bawang, dan lain-lain. Era Liberalisasi Pasar Akhirnya perekonomian Indonesia jatuh pada tahun 1997 akibat krisis multidimensi, dan akibat dampak kebijakan neoliberalisme yang dipaksakan oleh IMF, World Bank dan WTO. Setelah itu, Indonesia tidak asing lagi bagi pemotongan dan penghilangan subsidi, pembukaan pasar, privatisasi badan usaha milik negara, dan
lain-lain. Dalam kasus pertanian umumnya beras, lembagalembaga internasional selalu menyalahkan pemerintah Indonesia atas harga-harga bahan pokok yang naik. Dengan demikian sesuai dengan pembukaan pasar domestik, maka kasus impor beras Indonesia adalah dengan alasan untuk mengurangi harga bahan pangan, yang akan diikuti oleh harga komoditi lain. Peran perlindungan negara juga ditiadakan dengan mengubah BULOG menjadi perusahaan, sehingga peran organisasi ini dalam melindungi pasar domestik dikebiri. Lalu dengan dibukanya keran impor beras, pemerintah Indonesia tidak memikirkan nasib petani dan perlindungan terhadap harga di pasar domestik. Tercatat harga domestik perlahan-lahan
hancur, dan pendapatan petani semakin berkurang. Akhirnya sektor pertanian di Indonesia menjadi sektor yang tidak menguntungkan, dan petani banyak yang menderita kerugian. Kebijakan WTO yang membunuh petani dan menyengsarakan rakyat Indonesia tersebut berlangsung hingga hari ini. Dari data di atas terlihat bahwa semenjak Indonesia meratifikasi aturan AoA WTO melalui UU No. 7/1994, impor beras rata-rata meningkat terus dari periode 1995-1997 yang hanya sekitar 1,5 juta ton per tahun menjadi sekitar 3,3 juta ton per tahun pada periode 1998-2002. Era liberalisasi perdagangan juga berdampak sangat buruk bagi petani beras. Dengan diberlakukannya AoA WTO dan impor beras, produksi beras di Indonesia terancam karena rendahnya harga di pasar domestik dan kurangnya subsidi dan perlindungan pemerintah terhadap harga tersebut.
Sementara para petani berjuang untuk bertahan dalam sektor ini, dan implementasi AoA membuat harga asli beras semakin berkurang, yang memaksa petani beras keluar dari sektor ini dan beralih ke sektor lain yang lebih menguntungkan (menjadi buruh, tenaga kerja migran, dsb). Walaupun terlihat menguntungkan bagi konsumen miskin, impor beras yang membuat harga beras murah ternyata memusnahkan subsidi bagi input pertanian dan perlindungan lain di sektor pertanian. Hal ini berarti biaya produksi bagi petani padi semakin membengkak, dan menyengsarakan mereka. Dengan membengkaknya biaya produksi, maka upaya untuk mempertahankan produksi padi juga semakin menurun, akibatnya jumlah padi yang dihasilkan juga semakin sedikit. Hal ini juga belum diikuti oleh komitmen-komitmen lain Indonesia dalam liberalisasi perdagangan, yang berdampak sangat besar bagi sektor pertanian, terutama beras. Komitmen Indonesia untuk Liberalisasi Perdagangan dalam Sektor Pertanian Di dalam WTO, Indonesia telah berkomitmen untuk membatasi tarif atas (ceiling tariff) sebesar 180 persen untuk beras impor. Tarif ini harus dikurangi hingga 160 persen hingga tahun 2004. dari tahun 1998 hingga 1999, Indonesia malah membuat tarif yang berlaku (applied tariff) bagi impor beras sebesar nol persen, artinya tidak ada bea masuk dan halangan bagi beras impor. Hal inilah yang menghancurkan pasar domestik beras di Indonesia. Kini, dalam WTO, Indonesia secara berani menggunakan tarif yang berlaku sebesar 40 persen bagi produk panganpadahal pemerintah masih bisa melindungi dengan tarif yang tinggi. Lebih jauh lagi, Indonesia telah menyetujui dan menjamin akses pasar bagi 70 ribu ton beras dari negara lain. ASEAN Free Trade Agreement (AFTA): Di bawah Common Effective Preferential Tariffs (CEPT) Indonesia telah menetapkan beras dan gula dalam kategori produk sensitif. Ini berarti pengurangan tarif impor beras dan gula harus segera dimulai dalam 2001 atau pada akhir 2003 lalu, dan harus final pada tahun 2010. Asia Pacific Economic Cooperation (APEC): Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan tarif (tarif 10-15% ke hanya sekitar 5%; tarif 40% dan selebihnya ke hanya sekitar 10%). Lebih jauh lagi, Indonesia telah berkomitmen untuk menyokong dan memajukan proses liberalisasi perdagangan, dari tahun 2020 ke tahun 2003.
pendapat
pembaruan tani
Ketidakaadilan Dalam Perdagangan Komoditi Pertanian Oleh Wahdat Kurdi Tak ada yang tak mungkin dalam bisnis. Ungkapan tersebut sudah menjadi jargon dunia bisnis pada umumnya. Termasuk dalam perdagangan komoditi pertanian. Para pedagang dan perusahaan besar seperti berlomba menguasai pasar dunia. Cara apapun dilakukan tak perduli ada sebagian manusia yang tetindas oleh ekspansi bisnis mereka. Food and Agricultural Organization (FAO) melihat berbagai ketimpangan di dunia peradagangan komoditas pertanian. Ketimpangan tersebut antara lain, pertama, rantai bisnis komoditas pertanian khususnya komoditas yang bernilai tinggi dan produk-produk hasil pengolahan semakin didominasi oleh perusahaanperusahaan trans-nasional. Hampir 40 persen rantai perdagangan kopi dunia hanya dikuasai oleh empat perusahaan, sedangkan 45 persen industri pengolahannya dikuasai hanya oleh tiga perusahaan. Pada tahun 1990, petani kopi menerima sepertiga dari dari total penjualan kopi dunia atau 10 milyar dolar AS dari total penjualan 30 milyar dolar AS. Tetapi saat ini, mereka hanya menerima 5 milyar dolar AS dari total penjualan kopi dunia sebesar 70 milyar dolar AS. Bahkan dalam komoditas pisang yang hampir tak membutuhkan proses
pengolahan, sedikit perusahaan perdagangan internasional, distributor, dan pengecer telah menguasai 88 persen pendapatan. Sedangkan kurang dari 12 persen di antaranya yang mengalir ke negara penghasil dan kurang dari 2 persen ke buruh tani. Fenomena dominasi perusahaan besar yang semakin kuat dapat dilihat dari tiga tingkatannegara berkembang pengekspor, pasar internasional, dan pasar eceran. Di negara-negara berkembang yang mengekspor komoditas pertanian, perusahaan-perusahaan besar yang mempunyai fasilitas pergudangan dan pengapalan sanggup memanfaatkan keuntungan finansial dan logistik mereka. Banyak di antara mereka yang saat ini membeli produk secara langsung dari petani, dengan harga dan persyaratan yang telah mereka tentukan sebelumnya. Di tingkat internasional, beberapa perusahaan besar yang telah terintegrasi secara vertikal juga memiliki kekuasaan semakin kuat dalam perdagangan komoditas pertanian. Jumlah trading house coklat di London menyusut dari 30 buah pada tahun 1980 menjadi sekitar sepuluh buah pada tahun 1999, tetapi di sisi lain, enam industri coklat terbesar menguasai 50 persen nilai total bisnis coklat dunia. Hanya tiga perusahaan yang menguasai 80 persen pasar kedelai di Eropa dan tiga perusahaan menguasai 70 persen pasar di AS.
Usaha perdagangan, penyimpanan, pengolahan, dan penggilingan biji-bijian juga didominasi oleh sedikit perusahaan besar. Di AS, tiga perusahaan sanggup mengendalikan 60 persen fasilitas terminal penanganan biji-bijian, 61 persen penggilingan tepung, dan 49 persen produksi etanol. Di tingkat pengecer, supermarket telah meningkat amat pesat baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di Amerika Latin, misalnya, bagian yang dikuasai supermarket dalam bisnis eceran makanan meningkat dari 20 persen pada tahun 1990 menjadi 60 persen pada tahun 2000. Di seluruh dunia, 30 supermarket terkenal sekarang mengendalikan hampir sepertiga bisnis grosir. Sedangkan lima retail terbesar mengendailkan antara 30 hingga 96 persen bisnis eceran makanan di Uni Eropa dan AS. Kedua, selain menguasai pasar komoditas pertanian dunia, perusahaanperusahaan trans-nasional juga memiliki pengaruh dan kemampuan mengarahkan secara langsung apa yang akan diproduksi bahkan bagaimana cara produksinya. Perusahaan yang menguasai bisnis grosir misalnya, memiliki pengaruh signifikan atas produksi, distribusi dan perdagangan, termasuk melalui keterlibatan langsung dengan suplier dari negara berkembang. Untuk menyederhanakan operasi, sebagian besar supermarket lebih menyukai bekerja
dengan suplier terbatas yang mampu memenuhi segala persyaratan kualitas dan jadwal antar yang mereka tentukan. Jadi, masalah utama dunia pertanian adalah ketidakadilan. Siapa yang menguasai sumberdaya ekonomi maka dia mendapat bagian paling besar, meski nilai kerjanya tidak signifikan. Untuk memecahkannya kita memerlukan perubahan struktural. Perubahan yang dimaksud secara sederhana dapat dinyatakan sebagai integrasi usaha pertanian dari hulu hingga ke hilir dalam satu atap yang dimiliki oleh petani. Jadi dengan kelembagaan ini, petani selain memiliki aset dasar pertanian juga mengendalikan aktivitas produksi bibit, pengolahan komoditas primer menjadi produk siap konsumsi, hingga aktivitas pemasaran. Tanpa perubahan struktural ini, apapun yang dilakukan untuk memperbaiki nasib petani akan sia-sia. Peran utama mungkin terletak di tangan pemerintah melalui kebijakan perubahan struktural. Jika pemerintah tidak memiliki kemauan politik untuk melakukan ini, kita tinggal menunggu waktu rakyat sendiri yang melakukan hal tersebut. Tentu dengan ongkos dan risiko ekonomi-sosial yang jauh lebih besar. Penulis adalah pemerhati pertanian, alumnus Institut Pertanian Bogor
Pilkada dan Organisasi Rakyat Oleh Tejo Pramono Kemeriahan proses pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung saat ini mulai terasa di beberapa daerah. Dari sisi pelaksanaan nampaknya tidak ada persoalan yang perlu dirisaukan. Pengalaman pemilihan presiden secara langsung yang berjalan dengan sukses beberapa waktu yang lalu adalah preseden yang baik bahwa rakyat tidak akan mengalami kesulitan dalam pilkada bupati, waliktota, ataupun gubernur. Memang dengan munculnya kasus korupsi di tubuh KPU Pusat secara politis akan berpengaruh pada pilkada di daerah. Tetapi bila pemerintah bisa menangani ini dengan baik relatif tidak ada persoalan yang serius di daerah. Masalah yang justru serius muncul adalah adakah jaminan bahwa pilkada yang sudah dilaksanakan secara langsung ini bakal memberikan perbaikan bagi kesejahteraan rakyat? Tentu saja perdebatanya bukan memilih antara mengembalikan sistem otoriter militeristik Orda Baru atau meneruskan sistem demokrasi yang ada saat ini. Karena kita telah sepakat bahwa jalan demokrasi memang pilihan yang paling baik. Hanya saja bagaimana menjalankan demokrasi dengan baik agar kesejahteraan rakyat bisa mengalami perbaikan. Tanpa bisa kita pungkiri, pertanyaan yang menakar demokrasi dengan kesejahteraan rakyat itu kini kian mengemuka setelah dua kali pemilu secara demokratis terjadi tetapi kehidupan rakyat semakin sulit. Terlebih kini dengan mulainya pilkada, maka suhu politik di tingkat lokal akan menghangat dan pertanyaan muncul kembali. Di dalam alam demokrasi yang bercorak liberal di Indonesia saat ini memang secara hukum tidak ada pelarangan atau
pembatasan bagi sekelompok orang tertentu untuk berpolitik. Seorang pengusaha besar sebagai misal memiliki hak yang sama dengan rakyat untuk berpolitik, tidak saja untuk ikut mencoblos dalam pemilu, bahkan juga untuk ikut mendirikan partai politik. Demikian halnya dengan mantan pejabat Orba dan para mantan jenderal atau perwira tentara bisa saja aktif di partai politik ataupun mencalonkan diri untuk dipilih sebagai walikota, bupati ataupun gubernur. Di alam demokrasi liberal seperti itu, dimana kebebasan dijamin seluas-luasnya, tentu saja artikulasi politik dari seorang pengusaha, perwira tentara, atau mantan pejabat lebih kuat dan lebih besar dari pada artikulasi politik seorang tukang becak, buruh pabrik, petani kecil dan buruh tani. Di dalam partai politik di tingkat pusat, wilayah dan cabang sebagai misal entah sudah berapa banyak saat ini duduk orangorang yang memiliki pengaruh modal dan lobi politik tersebut sebagai pengurus, atau setidaknya menjadi pendukung di balik layar. Tetapi jangan harap dengan keberadaan perwakilan organisasi buruh atau perwakilan petani, tidak mungkin ada. Sementara parpol yang ada memang mengakomodasi mereka tersebut dengan tujuan untuk memobilisasi dana baik untuk operasional partai, biaya lobi-lobi politik, dan kampanye untuk memenangkan pemilu atau calonnya di pilkada. Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa untuk kampanye politik di tingkat daerah seorang calon harus merogoh koceknya beberapa milyar, untuk bisa merebut pengaruh tokoh masyarakat, ulama atau parpol tertentu agar pengikutnya memilihnya. Terjadinya kongsi antara pengusaha, mantan pejabat dan perwira dengan parpol ini tentu saja memiliki deal-deal lebih lanjut manakala perjuangan politiknya tercapai, entah itu perlindungan agar usahanya yang sedang bangkrut tetap bisa mendapatkan kredit, mendapat ijin pengadaan lahan untuk perkebunan, penunjukan untuk
proyek pembangunan tertentu di daerah, dan lain-lain. Di dunia politik praktek pemencundangan apirasi rakyat oleh kongsi pengusaha, elit dengan parpol semacam ini memang sudah lumrah terjadi. Untuk memenangkan pemilu di Amerika Serikat, konon mantan presiden Bill Clinton bahkan pernah sampai mendapatkan suntikan dana dari Mochtar Riyadi dari grup Lippo di Indonesia. Kemenangan George W. Bush misalnya adalah berkat dukungan kuat dari perusahaan minyak Haliburton, yang bahkan konsesi politiknya disebut oleh banyak analisis adalah langkah operasi penyerangan ke Iraq yang memang ladang minyak bumi. Besar kemungkinan praktek semacam itulah yang akan terjadi di dalam pilkada nanti. Dan kenyataan tersebutlah yang selama ini terjadi alam di demokrasi yang telah berumur lebih dari lima tahun tapi belum membawa tanda-tanda perbaikan kesejahteraan rakyat. Organisasi Rakyat Dalam ilmu politik baku memang diajarkan bahwa parpollah yang menjadi representasi aspirasi politik rakyat. Kekuatan politik ditentukan oleh perolehan suara sebuah parpol dalam pemilu. Tetapi masalahnya buat kita, ketika keberadaan parpol yang ada sebagian besar tidak lagi bisa menjamin kesejahteraan rakyat, tentu sebuah alternatif harus diperoleh. Untuk kepentingan menyelamatkan kepentingan sebagian rakyat itulah gerakan sosial yang dibangun dari organisasi rakyat menjadi sangat strategis dan penting untuk didorong tumbuh dan menguat sebagai jalan alternatif. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah daerah yang diformulasi oleh eksekutif di daerah dan DPRD yang terdiri dari unsurunsur parpol sejauh ini telah terbukti tidak pernah berhasil mengangkat harga gabah demi kesejahteraan petani. Agar terjadi perubahan kebijakan tidak mungkin untuk
menunggu munculnya pemimpin daerah yang baru lagi. Karena itu petani sendiri yang harus memperjuangkannya. Tentu saja tidak sendiri-sendiri tetapi bersamasama melalui organisasi ataupun serikat petani. Di dalam menghadapi pilkada yang sudah mulai berlangsung ini maka rakyat harus mulai belajar mengorganisir diri sesuai untuk menyuarakan kepentingannya. Dan dengan beberapa tuntutan tersebut terserah kepada prapol atau calon mana yang mau menyetujui untuk dilaksanakan ketika terpilih nanti. Bila perlu penting juga untuk dilakukan kesepakatan dengan mengundang banyak pihak sebagai saksi termasuk agar diliput oleh media massa. Melalui cara ini maka paling tidak telah terjadi sebuah kontrak sosial antara rakyat dengan calon pemimpinnya. Dan langkah alternatif ini sebagai terobosan untuk mendobrak kebuntuan dari peran parpol yang memang tidak menjalin komunikasi dengan rakyat pemilihnya setelah pemilu usai. Memang masih ada kemungkinan bahwa kepala daerah yang akan terpilih nanti akan mengkhianati kontraknya. Tetapi harus dicatat bahwa organisasi rakyat tersebut adalah independen/ otonomi, dengan tidak menerima satu senpun dana ataupun jabatan tertentu dari calon tertentu. Dengan posisi semacam ini maka ketika kontrak yang telah disepakati dikhianati, maka organisasi rakyat dapat melakukan tekanan politik. Secara formal prosedural memang anggota DPR/ DPRD dari partai politik yang menduduki kursi di parlemen, tetapi kekuatan politik yang riil sebenarnya tetap ada di organisasi rakyat. Sementara tekanan politik riil yang ada sesungguhnya lebih besar pengaruhnya dari pada kekuatan parlemen. Selamat ber-pilkada. Penulis adalah staf pada gerakan petani dan buruh tani internasional, La Via Campesina
EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005
11
nasional
pembaruan tani
Pemerintah Tetap Akan Membuka Impor Beras Rencana impor beras sebanyak 250.000 ton agaknya tetap akan dipaksakan oleh pemerintah. Seperti di kutip Bisnis Indonesia (26/9), Menteri Perdagangan Mari E Pangestu mengatakan tidak ada yang berubah dalam sikap pemerintah terhadap rencana impor beras walaupun ada resistensi publik yang cukup besar atas rencana impor beras tersebut. Mari selanjutnya mengatakan jika harga beras eceran kelas menengah melampaui Rp 3500 dan stok Bulog dibawah satu juta ton impor akan dilakukan. Syarat itu sendiri ditetapkan oleh rapat sejumlah menteri yang dipimpin oleh Wapres Jusuf Kalla. Dengan adanya kenaikan harga BBM 1 Oktober lalu yang memicu kenaikan ongkos transportasi dan sejumlah kebutuhan pokok lainnya, harga beras ditingkat eceran berpotensi naik. Selain itu, untuk mengantisipasi gejolak akibat kenaikan harga BBM, Bulog memajukan pelepasan raskin bulan November menjadi akhir Oktober. Kepala Humas Perum Bulog Rochyad Natajuda membenarkan bahwa raskin untuk November diajukan menjadi akhir Oktober (Kompas(13/10)). Pemerintah beralasan langkah impor beras tersebut sebagai antisipasi melinjaknya kebutuhan beras masyarakat, khususnya menjelang bulan puasa, lebaran, natal, hingga tahun baru 2006. Sekjen Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Henry Saragih menilai langkah-langkah yang diambil pemerintah tidak adil. Dalam hal ini pemerintah terkesan gali lobang tutup lobang, dengan kata lain pemerintah menimpakan
Pembaruan Tani
beban yang ditimbulkan akibat kebijakan menaikan harga BBM kepada petani. Pemerintah menggunakan alasan naiknya harga beras di tingkat pengecer dan “kritisnya” stok Bulog untuk melakukan impor beras. “Padahal situasi seperti itu sengaja diciptakan, contohnya dengan melepas stok Bulog bulan November di akhir Oktober agar terkesan stok Bulog menipis. Hal itu untuk menguatkan alasan mengimpor beras,” ujarnya. Henry berargumen dugaan pemerintah tidak berpihak kepada petani bukannya tanpa alasan, mengingat Menteri Pertanian Anton Apriyantono berulang kali menyatakan stok beras nasional mencukupi. Bahkan berdasarkan data dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) sampai awal Desember 2005 mendatang kelebihan stok masih sekitar 3,39 juta ton dengan asumsi bahwa sisa stok bulan sebelumnya sebesar 5,06 juta ton ditambah produksi 1,04 juta ton. Jadi ketersediaan stok beras bulan Desember mencapai 6,1 juta ton, sedangkan konsumsi sekitar 2,71 juta ton. Apabila pemerintah tetap memaksakan kebijakan impor beras, pihak yang paling dirugikan adalah petani dan buruh tani, khususnya petani beras. Harga gabah di tingkat petani akan terus terkoreksi semakin rendah. Ujung-ujungnya pendapatan petani akan tertekan. Padahal selama ini petani merupakan lapisan masyarakat yang paling rentan terhadap kemiskinan. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin malah akan terus bertambah. Hal ini
bertentangan dengan niat pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan itu sendiri. Menurut Achmad Ya'kub (deputi pengkajian kebijakan dan kampanye FSPI), berdasarkan fakta-fakta yang ada pemerintah tidak mempunyai alasan untuk untuk mengimpor beras. Pemerintah mengambil langkah tersebut semata-mata karena tekanan pihak luar. Ada kepentingan bisnis yang selalu berupaya agar negara kita bergantung terhadap beras impor. Hal ini tercermin dari perundingan-perundingan tentang pertanian di WTO. “Pemerintah tidak bisa lagi
menetapkan larangan impor beras akibat perjanjiannya dengan WTO, karena itu kebijakan melarang import beras ini harus didukung oleh setiap elemen masyarakat,” tegas Ya'kub. Sebaiknya pemerintah bercermin dari pengalamanpengalaman sebelumnya, sekali keran impor dibuka maka harga gabah di tingkat petani akan tertekan. Ditambah lagi dengan mentalitas birokrasi dan aparat yang korup, kemungkinan penyelundupan beras akibat dibukanya keran impor semakin terbuka lebar. Henry juga menilai, selama ini politik pangan pemerintah tidak berpihak
kepada petani. Pemerintah lebih mementingkan kepentingan segelintir importir. Langkah keliru ini masih saja tetap dipertahankan, padahal dengan mengangkat kesejahteraan petani, soal kemiskinan di Indonesia akan lebih terkurangi. Karena sebagian besar rakyat (terutama yang tinggal di pedesaan) masih bergantung kepada sektor ini, dan ironisnya petani dan buruh tani merupakan porsi terbesar dari masyarakat miskin di Indonesia. Cecep Risnandar
Kebijakan Impor Beras Diduga Atas Tekanan WTO Pada pertengahan September ini Mari Elka Pangestu, Menteri Perdagangan Republik Indonesia menyetujui untuk mengimpor beras sebanyak 250 ribu ton. Hal ini tentunya mengancam kehidupan petani yang baru saja menikmati iklim harga yang baik semenjak awal tahun 2005. Sejak 1994 hingga akhir 2004 petani telah terbunuh pelan-pelan karena pasar domestik dan harga tidak dilindungi pemerintah, juga akibat impor beras yang menghancurkan produksi lokal. Pertanian yang merupakan mata pencaharian rakyat terancam. Padahal, lebih dari 44% dari total angkatan kerja (sekitar 60 juta orang) merupakan petani. Mereka akan menerima akibat buruk apabila rencana impor beras sebanyak 250 ribu ton jadi direalisasikan. Sebelumnya, di akhir tahun 2004 Pemerintah Republik Indonesia menutup keran impor beras, dengan alasan produksi beras dapat memenuhi
12
kebutuhan dalam negeri. Hal ini dinyatakan berulang-ulang oleh Menteri Pertanian Anton Apriyantono, juga diamini Menteri Perdagangan. Semenjak impor ditutup, harga beras mulai stabil. Petani menikmati harga yang cukup tinggi dari konsumen, dan harga gabah juga naik. Namun hal ini saja belum cukup, karena dengan tingkat harga gabah sekarang yang mendekati sekitar Rp 1,500 per kg para petani sawah ternyata masih merugi. Hal ini disebabkan tingginya harga pupuk dan obatobatan yang merupakan representasi dari kekuatan korporasi. Juga tidak adanya dukungan pemerintah untuk melindungi atau memberi insentif keuntungan pada sektor pertanian Indonesia. Kebijakan Pro Liberalisasi Perdagangan dan Melanggar Komitmen Kebijakan impor beras ini merupakan imbas dari AoA
EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005
(Agreement on Agriculture) dalam negosiasi di WTO. Semenjak Indonesia menjadi anggota WTO dari tahun 1994, liberalisasi perdagangan menampar sektor pertanian. Barang impor memanjiri pasar domestik yang tak terlindungi. Komodifikasi ini membuat Indonesia menjadi importir beras hanya dua tahun setelah bergabung dengan WTO, dan proses ini terus berlanjut hingga sekarang. “Pemerintah mendapat tekanan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dimana petani juga tidak pernah dilibatkan atau diberi kesempatan bersuara untuk menentukan kebijakanyang sejatinya untuk petani sendiri,” tutur Henry Saragih, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). Selanjutnya menurut dia, Indonesia sangat tunduk pada liberalisasi perdagangan pertanian WTO daripada komitmen untuk memperbaiki sektor pertanian
nasional. “Hal ini sangat kontradiktif dengan program Revitalisasi Pertanian yang telah dicanangkan oleh pemerintah bulan Juni 2005 lalu", tandas dia. A h m a d Ya ' k u b , D e p u t i Pengkajian Kebijakan dan Kampanye FSPI juga menyatakan bahwa pemerintah, terutama departemen Perdagangan, sepertinya terkesan tidak berpihak pada petani. “Padahal pada pertemuan k a m i d e n g a n D e pa r t e m e n Perdagangan tanggal 16 Juni lalu, ada komitmen untuk melanjutkan kebijakan larangan impor beras. Hal ini karena akibatnya sangat positif bagi petani, harga stabil dan sektor pertanian domestik terlindungi, sehingga petani kita bisa bernapas kembali,” ujar dia. “Pemerintah melanggar komitmennya kepada petani, kebijakan ini dibuat secara sepihak dan petani tidak diberi kesempatan mengemukakan
pendapatnya,” lanjutnya. Kebijakan impor beras diyakini tidak akan menguntungkan sektor pertanian Indonesia dan s e b a l i k n y a m a l a h menguntungkan perusahaanperusahaan atau negara yang memperdagangkan produk pertanian tersebut. Kini pemerintah telah memberikan lampu hijau kepada Bulog untuk melakukan impor beras sebanyak 250 ribu ton. Padahal, surat Menteri Perdagangan tertanggal 24 Juni 2005 justru memperpanjang larangan impor beras hingga akhir 2005. Namun pertimbangan pemerintah mengatakan bila stok Bulog kurang dari 1 juta ton dan harga beras medium di pasar lebih dari Rp 3.500 mungkin impor beras akan dibuka. Saat ini, stok beras di Bulog masih 1,6 juta ton. Di samping itu, harga ratarata atas beras medium September masih sekitar Rp. 3.224. Muhammad Ikhwan
nasional
pembaruan tani
Peringatan Hari Tani Nasional Ke-45
SPSU: Hentikan Kekerasan Terhadap Petani
Aksi Serikat Petani Sumatera Utara di halaman kantor DPRD SumateraUtara Kamis (22/9) ribuan massa anggota SPSU bersama-sama dengan massa dari serikat buruh, miskin kota, organisasi nelayan, mahasiswa dan beberapa elemen organisasi lainnya di Sumatera Utara melakukan aksi dalam rangka memperingati hari tani nasional di depan Kantor DPRD Sumatera Utara. Dengan menggunakan berbagai
berbagai kendaraan, massa melakukan konvoi menuju Lapangan Merdeka Medan dan dilanjutkan iring-iringan berjalan kaki menuju kantor DPRD Sumatera Utara. Di sepanjang perjalanan, massa terus melakukan orasi, agu-lagu dan happening art yang membangkitkan semangat aksi. Dalam aksi tersebut, SPSU juga
SPSU
mengutuk kekerasan yang dialami petani Tanak Awuk dan menuntut pemerintah segera mengusut tuntas kasus tersebut. “Kekerasan yang terjadi di Lombok merupakan contoh-contoh nyata akibat pembangunan ekonomi pemerintah yang berwatak NEOLIBERALISME dan mengandalkan KEKERASAN”, Ujar Mantan Ketua SPSU, Yunus Nasution.
Pada kesempatan itu, Ketua Umum SPSU, Wagimin mengatakan bahwa pembaruan agraria sejati merupakan jawaban yang paling logis dan jalan terbaik yang mutlak dilaksanakan dalam upaya untuk mencapai keadilan dan kemakmuran bagi rakyat, khususnya bagi masyarakat miskin. “Pembaruan Agraria sejati berakar dari kekuatan rakyat, menuju tatanan baru dengan struktur yang bersendi kepada keadilan agraria. Keadilan agraria merupakan perwujudan kemerdekaan Bangsa Indonesia atas tanah airnya secara substansial”, Ujarnya Massa petani diterima oleh anggota DPRD yang diwakili oleh Komisi A DPRD SU dan melakukan dialog selama lebih kurang satu jam setengah. Komisi A berjanji akan memenuhi tuntutan yang diaspirasikan oleh SPSU dan menyatakan akan segera menyetujui segala permintaan SPSU yang dibuat secara tertulis dan akan ditandatangani oleh anggota Dewan. Dalam kesepakatan yang dibuat dengan anggota dewan tersebut, SPSU mendesak agar komisi A DPRD SU Konsisten membantu menyelesaikan upaya petani dalam mempertahankan hak atas tanahnya dan sesegera mungkin mengupayakan keputusan politis untuk menyelesaikan persoalan petani dengan pihak perkebunan swasta maupun perkebunan negara. Menjelang siang, massa aksi bertambah banyak dengan datangnya massa tambahan dari Kabupaten Langkat menggunakan tiga buah truk colt diesel. Aksi massa ini juga melibatkan beberapa organisasi lain di Sumatera Utara diantarnya adalah SPSU, SBM, SPPI, SNSU, ASTANUSA, Yayasan Rakyat Mandiri, JALA, SBSU, Lentera M, SINTESA, HMI FISIP USU dan BEM Fak Pertanian UMSU . Tita Zen
Petani Sumatera Barat Kecam Kekerasan Di Tanak Awu Ratusan massa anggota Serikat Petani Sumatera Barat (SPSB) melakukan aksi memperingati hari tani nasional dan aksi solidaritas terhadap petani korban penembakan aparat Desa Tanak Awuk Lombok di depan Kantor Bupati Pasaman Barat. Massa aksi mendesak agar pemerintah segera mengusut tuntas kasus kekerasan yang menimpa petani di Indonesia. Dalam orasinya, Ketua Umum SPSB, Indra Sago mengatakan dalam mempertahankan tanah petani sering berhadapan dengan penguasa, pemodal dan aparat militer. Hal ini tidak hanya terjadi di Pasaman, tapi baru-baru ini kejadian tersebut juga terjadi di Desa Tanak Awu, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, dimana ribuan petani yang akan mengadakan rapat umum dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian dengan tembakan senjata. Indra Sago mengatakan berbagai tindak
kekerasan negara dalam merespon tuntutan dan perjuangan tersebut seperti penculikan, penembakan, pembunuhan, penangkapan, teror dan lainnya, merupakan tindakan-tindakan yang biadab, melanggar Hak Asasi Kaum Tani dan tidak sejalan dengan cita-cita penegakan keadilan, kebenaran dan kesejahteraan. “Ini semua berakar dari neoliberalisme yang merasuk bangsa dan membuat ketimpangan serta memarjinalkan rakyat khususnya petani. Hal ini harus kita lawan dan akan terus kita kampanyekan sebagai bentuk perlawanan kaum tani untuk meraih Pembaruan Agraria demi perubahan nasib kaum tani yang dicitacitakan” serunya Dalam pernyataan sikapnya, SPSB meminta pemerintah untuk segera mengakhiri semua kekerasan yang terjadi kepada kaum tani yang selama ini memperjuangkan hak-haknya atas sumber
agraria dan mendesak segera menyelesaikan kasus-kasus konflik Agraria di Sumatera Barat khususnya dan di Indonesia pada umumnya. SPSB juga meminta POLRI untuk bertanggungjawab kasus penembakan petani di Desa Tanak Awu, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah-NTB dan segera membebaskan semua petani yang di tangkap. Selain itu, SPSB memandang bahwa melalui pembaruan agrarialah, jalan utama untuk menuju terwujudnya keadilan agraria, sehingga cita-cita untuk mencapai kehidupan yang adil dan makmur serta bermartabat dapat terpenuhi. Aksi diikuti oleh massa yang berasal dari enam OTL anggota SPSB di Pasaman Barat. Perwakilan massa aksi menyerahkan pernyataan sikap dan diterima oleh Sekretaris Daerah Pasaman Barat. Tita Zen
WTO OUT OF AGRI CULTURE RALLY ON 6TH WTO MINISTERIAL MEETING HONG KONG, DECEMBER 2005 LA VIA CAMPESINA
EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005
13
kabar tani
pembaruan tani
Album Perjuangan Tanpa Hak Cipta Pembaruan Tani
Seni lagu menjadi pelengkap dalam sebuah perjuangan dan menjadikan perjuangan tersebut lebih hidup. Melalui seni lagu pula api perjuangan akan terus bergeloran dan membangkitkan jiwa raga untuk terus berjuang. Sebagai kado Hari Ulang Tahun bagi petani Indonesia ke 45, pada tanggal 24 September 2005 Federasi Serikat Petani Indonesia mengeluarkan sebuah album perjuangan yang bertajuk “Bibit Benih Perjuangan”. Adalah seniman yang tergabung dalam Sejahtera Tani Indonesia (Sejati) yang menjadi aktor pembuatan album ini melalui sebuah proses yang panjang. Beranjak dari pemahaman tentang konsep perlawanan organisasi petani sejak tahun 1999. Baru pada tahun tahun 2002 beberapa lagu dalam album ini sudah dibuat dalam bentuk puisi. Lalu muncul ide untuk menuangkan puisi tersebut kedalam bentuk lagu. Setahun kemudian ada usaha untuk berkolaborasi dengan seniman musik. Setelah melalui proses panjang kita akhirnya bertemu dengan komunitas yang berbasis lagu-lagu rohani. Mereka diminta menggubah lagu-lagu tersebut. Sedangkan untuk proses membuatan syairnya para seniman ini
14
banyak berdiskusi dengan FSPI. Adapun para penggubah ini terdiri dari Sony, Wawan dan Lucky. Selain itu juga terlibat seniman dari bandung, antara lain Edo yang membuat arranger musik, Herri untuk bass, Alif untuk Lead Guitar, Dindim untuk keyboard. Dari sini mulai tercipta lagu-lagu perjuangan. Pertamakali, lagu-lagu tersebut ditampilkan dalam acara peringatan Konferensi Asia Afrika diadakan FSPI di Gedung Juang, 18 April 2005. Perjuangan kaum tani di berbagai daerah di Indonesia menjadi ide lahirnya album ini. Album ini juga merupakan jejak langkah perjuangan kaum tani Indonesia melawan penindasan dan penghisapan. Terlihat dari tema yang diangkat lebih bersifat nasionalis, dengan tema perjuangan dan penyadaran terhadap realita sosial yang ada. Misalnya lagu lagu pertama menceritakan bagaimana negara yang subur makmur dan tersedianya sumber-sumber agraria, lagu kedua tentang bagaimana pasar pertanian dikuasai dan menjadikan ketergantuan petani terhadap pasar tersebut, lagu ketiga bercerita tentang bagaimana kekuatan milter maupun politik dan teknologi mengancam dunia pertanian. Beberapa lagu
EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005
yang lain juga mengangkat tema tentang pemuda pemudi tani yang merupakan bibit perjuangan kaum tani, selanjutnya kita juga berbicara tentang kaum marginal lainnya yang juga kita angkat menjadi tema lagu. Album Bibit Benih Perjuangan terdiri dari sepuluh buah judul lagu. Diaintaranya terdapat empat lagu yang sangat cocok dibawakan dalam aksi-aksi demonstrasi petani. Album ini sepenuhnya diproduksi oleh Sejati walaupun dalam hal-hal yang sangat teknis menggunakan tenaga dari luar. “Pada tahap awal ini kita akan memproduksinya hanya dalam bentuk CD saja,” tutur Suwarno salah seorang pengurus Sejati. Hal ini mengingat karena kemampuansejati masih terbatas. Kedepannya, baru akan diproduksi dalam bentuk kaset dan kemudian juga akan buat semacam dokumenter yang berkaitan dengan lagulagu tersebut. Memang untuk tahap awal baru diproduksi sebanyak 2000 keping CD. “Mengingat biaya produksi yang tinggi. Kedepannya biaya produksi bisa terus ditekan,” ungkap Suwarno. Kegiatan produksi album ini
dikerjakan melalui agendaagenda kegiatan FSPI atau undangan dari organisasi lain jaringan FSPI. Selain itu juga dilakukan kampanye dan promosi kepada masyarakat melalui radio, iklan seperti semacam edaran, melalui kegiatan aksi atau seminar dari organisasi lain yang memungkinkan kita menjualnya. Bahkan untuk stasiun radio Sejati sudah menjalin kerja sama dengan beberapa radio di daerah. Sampai saat ini sudah ada beberapa radio diantaranya empat stasiun radio di Sumatera Barat, dua di Sumatera Utara dan tiga di Bandung yang bersedia mempromosikannya. Promosi di stasiun radio tersebut tidak dikenakan biaya. Untuk promosi di televisi sampai saat ini kita belum bisa, alasnnya biaya yang terlalu mahal. Memang ada rencana untuk membuat video klipnya, tapi untuk tahap sekarang belum. Sedangkan jalur distribusi masih ditempuh distribusi langsung. Semua dana pembuatan album tersebut berasal dari sumbangan FSPI yang membantu merealisasikan ide dalam bentuk kampanye melalui lagu-lagu perjuangan, karena album ini juga merupakan bagian dari bentuk
perjuangan kepada kaum tani. Tapi, Sejati juga berupaya mengembalikan dana tersebut ke FSPI dengan mengganti ongkos cetaknya. Royalti dan Hak Cipta Ada suatu yang unik mengenai royalti dan hak cipta dalam album bibit benih perjuangan. Tidak seperti di dunia industri musik pada umumnya yang selalu identik dengan materi atau uang. Dalam album tersebut, royalti disini lebih dipandang dalam bentuk proses penghargaan dan bukan dalam konsep materi. Yaitu dengan menghargai bagaimana mereka selalu mengeluarkan kreatifitaskreatifitas dan mencoba mencari lagi sebuah tema yang akan terus berkelanjutan. Proses yang kita bangun adalah proses menghargai orang bagaimana orang ini bisa terus berkelanjutan untuk terus berkarya. Sejati juga tidak khawatir dengan pembajakan atau penggandaan. Karena harganya lebih murah dibanding harga CD di pasaran. Malah kalau ada orang yang menggandakannya, justru harga produksi akan menjadi lebih mahal bagi orang tersebut. Tapi yang pasti Sejati tidak pernah menggunakan istilah hak cipta. Semua orang dipersilahkan menggandakannya jika itu untuk proses penyadaran dan pendidikan. Hal itu lah yang membuat album ini berbeda dengan album yang ada dipasaran lainnya. Selain itu dengan membeli album ini maka kita telah membantu perjuangan kaum tani Indonesia. Pada prinsipnya, Sejati mencoba mengimbangi kebebasan liberalisme dan kapitalisme yang terlalu mendorong pasar masuk keseluruh sisi kehidupan manusia. Melalui seni dan budaya Sejati mengambil sikap bukan hanya berbicara seni tapi juga berbicara proses penyadaran. Seniman itu bukan hanya menjadi tontonan bagi orang tapi juga seniman bisa mendidik orang untuk sadar terhadap kondisi yang ada sekarang. Sejati juga berharap agar semua lagu didalam album ini bisa diterima masyarakat luas dan semoga album ini bisa terus membarakan perjuangan kaum tani dan buruh tani dalam memperjuangkan pembaruan agraria sejati. Dan, yang terpenting untuk mendapatkan albumnya bisa menghubungi Koperasi Sejati atau FSPI. Tita Zen
info praktis
pembaruan tani
Membuat Kacang Asin K
acang-kacangan dan biji-bijian seperti kacang kedelai, kacang tanah, bijikecipir, koro, kelapa dan lain-lain merupakan bahan pangan sumber protein dan lemak nabati yang sangat penting peranannya dalam kehidupan. Asam amino yang terkandung dalam proteinnya tidak selengkap protein hewani, namun penambahan bahan lain seperti wijen, jagung atau menir sangat baik untuk menjaga keseimbangan asam aminonya. Kacang-kacangan dan umbi-umbian cepat sekali terkena jamur (aflatoksin) sehingga mudah menjadi layu dan busuk. Untuk mengatasi masalah ini, bahan tersebut perlu diawetkan. Hasil olahannya dapat berupa makanan seperti kacang asin, keripik, tahu dan tempe, serta minuman seperti bubuk dan susu kedelai. Kacang asin merupakan makanan ringan dengan bahan baku kacang tanah yang diawetkan dengan garam.
DIAGRAM ALIR PEMBUATAN
Sumber:Tri Margono, Detty Suryati, Sri Hartinah, Buku Panduan TeknologiPangan, Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-LIPI, 1993.
BAHAN 1)Kacang tanah10 kg 2)Garam dapur 2 kg 3)Air bersihsecukupnya3. ALAT 1) Panci 2) Tampah (nyiru) 3) Penggorengan (wajan) 4) Kompor5)Sendok pengaduk 6) Saringan 7) Kantong plastik CARA PEMBUATAN 1)Pilih kacang tanah yang baik. Cuci lalu rebus dalam air sampai semuakacang terendam kemudian beri garam dapur; 2)Setelah masak, tiriskan dengan saringan sampai airnya tidak menetes lagi; 3)Jemur kacang dibawah sinar matahari sampai kering (± 2 jam); 4)Setelah kering, kacang disangrai. Hentikan ketika terdengar bunyi tik-tik darikacang; 5)Setelah dingin, bungkus dalam kantong plastik dan tutup rapat.
Catatan : Pengeringan harus benar-benar sempurna, bila tidak dapat menimbulkan pertumbuhan jamur atau kapang.
esai
BBM
Oleh Cecep Risnandar
Entah mengapa sebuah buku yang didedikasikan untuk Munir diberi judul “Sebuah Kitab Melawan Lupa”. Mungkin si editor terinspirasi kutipan dalam buku Milan Kundera, The Book of Laughter and Forgetting, bunyinya “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa”. Dan, kalimat itu di nisbatkan sebagai karakter sang pejuang hak asasi manusia, Munir. Jaleswari Pramodhawardani, salah satu editornya memandang Munir sebagai sosok yang terus berjuang melawan upaya untuk melupakan praktik ketidakadilan. Munir selalu mengingatkan bahwa ingatan kita pendek. “Saya melihat sosok Munir yang selalu tegar menjadi orang yang mengajak untuk melawan lupa,” ujarnya. Memang, lupa seakan-akan telah menjadi bagian dari diri kita. Mungkin kita pernah mempunyai banyak cita-cita ketika reformasi 98 digulirkan. Namun sekarang kita sudah melupakan semuanya. Bahkan kita terjerumus kembali dalam kesalahan yang sama. Persis seperti keledai yang terantuk pada batu yang sama. Sungguh memori kita pendek, para elitnya dan juga seluruh masyakarakatnya. Kita lupa jika para pejabat orde baru yang dulu kita cerca sekarang sedang ongkang-ongkang kaki di kursi empuk kekuasaaan dengan wajah baru yang sok reformis.
Partai yang dulu dibenci setengah mati sekarang kembali menjadi pemenang pemilu. Juga fasisme militer yang selalu menjamah ruang-ruang pribadi rakyat, sekarang sudah kembali diterima sebagai suatu kewajaran. Bahkan, kita bersama-sama memilihnya kembali menjadi pemimpinpemimpin kita. Memang tak terasa delapan tahun berlalu sejak reformasi. Kebebasan pernah kita kecap walau hanya selintas lalu. Namun sekarang, untuk sebuah aksi saja kita harus pontang-panting mengurus “ijin” ke kepolisian. Ya, sebenarnya hanya pemberitahuan tapi sekarang sudah dianggap ijin, karena kita memang pelupa. Buktinya kalau “ijin” itu tak keluar siap-siap polisi huru-hara mengevakuasi demonstran. Katanya, demi “stabilitas keamanan” yang lagilagi sebuah frasa yang sudah kita lupakan pula. Ditambah dengan merebaknya isu terorisme, intelintel gaya orba mulai bergentayangan memanfaatkan situasi. Satu lagi bukti, Panglima TNI, Jenderal Endiartono Sutarto sudah tak segan-segan lagi mencetuskan niat akan mengaktifkan kembali koter. Mendapat banyak tentangan memang. Tapi anjing menggonggong kafilah berlalu. Kritikan-kritikan lewat begitu saja. Para Babinsa sudah mulai
melakukan kerja lamanya. Seminar, aksi, rapat umum, atau apapun namanya, terutama yang diadakan organisasi rakyat kembali ramai dihadiri orangorang tak dikenal, atau yang mengaku aparat keamanan. Tidak percaya? cobalah bikin KTP. Mungkin anda akan mendengar alasan seperti ini, “Sekarang musim teroris, aparat memperketat persyaratan membuat KTP,” dengan tambahan, “tapi kalau ditambah 50 ribu sih mungkin masih bisa.” Maaf tidak nyambung, tapi itu bener lho! Sialnya, orang-orang tak dikenal itu perlu makan dan minta diberi makan. Biasanya secara sadar mereka meminta “jatah” kepada pihak yang "diamankan". Bila "jatah" tak keluar mereka akan menyanyikan lagu lama yang mengesalkan: neo-komunisme, neo-PKI, atau lagu yang benarbenar baru seperti ekstrimisme bahkan terorisme. Terus apa hubungannya dengan BBM? Saya juga jadi lupa kalau judul tulisan ini BBM. Tapi yang jelas sekarang harga BBM melambung tinggi. Rakyat menjadi susah, sudah pasti. Lha... minyak buat masak saja mahal, pergi belanja jadi mahal, juga barang-barang belanjaan ikutikutan mahal. Kenapa begitu? Saya tidak tahu, tanyakan saja pada pakar ekonomi.
Anehnya, pemerintah punya anggapan lain. Katanya kenaikan BBM bertujuan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin. Dari mana logika aneh itu muncul, saya juga tidak tahu. Barangkali hasil itung-itungan para pakar ekonomi yang pinter-pinter itu. Maksudnya pinter cari duit sendiri. Kembali pada soal lupa, agaknya kenaikan BBM juga akibat faktor lupa. Kelupaan kita saat pemilu lalu. Tidak mustahil juga kelupaan itu muncul kembali saat pemilu yang akan datang. Bukankah setiap akan ada pemilu wabah lupa itu menjadi pendemi, seperti flu burung? Lantas kalau sudah begini ngapain? Ya, mau ngapain aja boleh emangnya gue pikirin! Mau diam, bagus. Mau demo juga boleh, tapi jangan lupa ya.. urus “ijin”. Bagi yang tak kuat beli BBM mungkin bisa meniru Si Tua Sais Pedati dalam lagunya Iwan Fals yang kemana-mana selalu membawa cemeti dan ditemani lembu yang menarik gerobak. Karena itu, “Dia tak pernah ketakutan, Apa kata orang tentang gawatnya krisis energi”. Ups! hampir saja saya lupa, kalau sekarang banyak penulis yang mendekam di penjara garagara tulisannya. Karena itu saya akhiri tulisan ini.
EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005
15
serikat
pembaruan tani
SERIKAT
HARI TANI
Petani Mengecam Kekerasan di Tanak Awu Sabtu (24/9), ratusan massa yang terdiri dari organisasi tani, mahasiswa dan pemuda menggelar aksi untuk mengecam kekerasan Tanak Awu di depan istana kepresidenan. Selain itu massa aksi menuntut pemerintah untuk tidak mengimpor beras dan mengecam pemerintah yang akan menaikan harga bahan bakar minyak. Massa mengawali aksinya di bundaran Hotel Indonesia dengan menggelar Happening Art. Para demonstran yang mengenakan caping memerankan diri sebagai petani yang ditindas oleh pejabat dan pengusaha.
Aksi tersebut mendapat perhatian dari pengendara mobil yang lewat sehingga sempat terjadi kemacetan kecil. Aksi berlanjut dengan menggunakan kendaraan ke arah istana merdeka. Di tempat itu sudah berkumpul organisasi pemuda yang menyuarakan tuntutan yang kurang lebih sama. Dalam Orasinya, Agus Rully, Deputi Ekonomi Federasi Serikat Petani Indonesia, mengatakan para petani menolak dengan tegas pangan impor. Ia juga meminta pemerintah untuk memperhatikan kaum tani dan
Pembaruan Tani
menghentikan segala tindak kekerasan terhadap petani seperti yang baru-baru ini terjadi di Tanak Awu, Lombok Tengah. “Petani menolak pangan impor, dan pemerintah harus mengusut pelaku kekerasan terhadap petani di Tanak Awu,” serunya. Selain itu, Agus Rully mengatakan rencana pemerintah untuk menaikan BBM merupakan kekeliruan besar. Kenaikan tersebut sangat memberatkan petani yang selama ini selalu dirugikan oleh kebijakan pemerintah. “Petani yang hidupnya susah akan semakin susah,” tambahnya. Ia yakin petani yang tinggal di pedesaan akan mengalami dampak terburuk apabila pemerintah tetap menaikan harga BBM. Walaupun ada dana kompensasi bagi keluarga miskin, hal itu tidak akan menolong banyak. Secara keseluruhan aksi berjalan tertib dan simpatik. Walaupun sempat terjadi dorong-dorongan antara aparat kepolisian dengan peserta aksi yang ingin lebih mendekat ke Istana. Polisi sengaja mengerahkan Polisi Wanita untuk menjaga aksi tersebut. Bahkan sebagian personel kepolisian membawa sepanduk yang bertuliskan seruan agar peserta aksi tertib dalam melakukan aksinya. Aksi tersebut diikuti oleh puluhan oraganisasi rakyat antara lain, FSPI, LSADI, Serikat Tani Nasional, BEM Agribisnis UIN, Rakyat Kuasa, RBS, dan oragnisasi kepemudan lainnya.
Aksi hari tani di depan Istana Merdeka
Cecep Risnandar
Pembaruan Agraria Prasyarat Bagi Kedaulatan Pangan Serikat Petani Sumatera Selatan (SPSS) mendesak Pemerintahan Provinsi Sumatera Selatan untuk segera melaksanakan pembaruan agraria dengan prinsip dari, oleh, dan untuk Rakyat sebagai prasyarat terciptanya kedaulatan pangan. Pertanyaan itu tercetus dalam aksi sekitar 1000 petani di depan kantor Pemprov sumatera Selatan, Sabtu (24/9). Pada kesempatan itu, Sekjen SPSS Iqbal Tanjung mengatakan bahwa Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan hendaknya merubah orientasi kebijakan pembangunan yang semula hanya mengejar pertumbuhan ekonomi menjadi berorientasi kepada rakyat berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan, kemandirian, keadilan dan keberlanjutan. “Harapannya agar Provinsi Sumatera Selatan sebagai lumbung pangan nasional akan benarbenar mampu membawa rakyat kepada kesejahteraan dan kemakmuran yang nyata di tengah-tengah kondisi sumber daya alam Sumatera Selatan yang memang secara objektif kaya raya ini,” paparnya. Menurut Iqbal, dengan jalan menata ulang struktur pengelolaan atas sumber-sumber agraria diharapkan dapat merombak dan membangun kembali struktur sosial masyarakat yang selama ini timpang. Pemerintah juga harus menjamin kepastian pemilikan tanah bagi rakyat sebagai sumber kehidupan. Sehingga pada akhirnya bisa menciptakan kesejahteraan ekonomi dan sosial bagi rakyat pedesaan, serta optimalisasi penggunaan sumber-sumber agraria untuk kemakmuran rakyat. Aksi yang dilakukan untuk memperingati hari tani nasional ini hendaknya dijadikan momentum untuk melaksanakan pembaruan agraria. Pemerintah juga harus menjalankan kebijakannya dengan menghormati hak-hak demokratis kaum tani di desa, dan hak-hak rakyat Sumatera Selatan. “Tidak ada Demokrasi tanpa Pembaruan Agraria,” tegas Iqbal. spss
Telah Terbit! Album “Bibit Benih Perjuangan” Lagu-lagu perjuangan petani Produksi: Sejati (Sejahtera Tani Indonesia)
DAFTAR LAGU: 1. Tolak Impor Pangan 2. Maju Pantang Mundur 3. Benih Bibit Perjuangan 4. Bersatulah Petani Dunia 5. Majulah Pemuda Pemudi Petani
6. Bersatu Padu 7. Sorga Di Khatulistiwa 8. Tanah Untuk Petani 9. Burung Nazar Di Pasar Bebas 10. Organisasi Massa Perjuangan Petani
SEJATI PRODUCTION 2005 Jl. SMA XIV No.15A Dewi Sartika Jakarta Timur 13640, Jakarta-Indonesia Phone/Fax: +62 21 80882492 Email:
[email protected] www.fspi.or.id
16
EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005
Membeli CD ini, Anda telah turut membantu perjuangan petani