RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR
TAHUN
TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR …TAHUN… TENTANG NARKOTIKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 29 , Pasal 58 ayat (2), Pasal 62, Pasal 74 ayat (9), Pasal 78 ayat (2), Pasal 82 ayat (2), Pasal 83 ayat (5), dan Pasal 113 ayat (3) Undang-Undang Nomor ... Tahun ... tentang Narkotika perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Narkotika;
Mengingat :
1.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor…. Tahun… tentang Narkotika
(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun….. Nomor…., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…….);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN
PEMERINTAH
TENTANG
PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG NOMOR …TAHUN … TENTANG NARKOTIKA.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan :
www.djpp.depkumham.go.id
1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang tentang Narkotika atau yang kemudian ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan. 2.
Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan untuk mengimpor narkotika dan prekursor narkotika.
3.
Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan untuk mengekspor narkotika dan prekursor narkotika.
4. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan narkotika dari satu tempat ke tempat lain dengan cara, moda, atau sarana pengangkut apapun. 5. Pengangkut adalah orang yang bertanggungjawab atas pengoperasian sarana pengangkut yang nyata-nyata mengangkut narkotika. 6. Transito narkotika adalah pengangkutan narkotika dari suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat Kantor Pabean dengan atau tanpa berganti sarana pengangkut. 7. Perlindungan oleh Negara adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental kepada korban, saksi, ahli, pelapor, penyelidik, penyidik pembantu, penyidik, penuntut umum, hakim, dan keluarganya dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan. 8. Prekursor narkotika adalah bahan kimia pemula yang dapat digunakan untuk proses pembuatan narkotika. 9. Alat-alat yang potensial dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika adalah alat-alat yang digunakan untuk membuat atau memproduksi narkotika dan/atau alat lainnya yang dipergunakan untuk memasukkan narkotika ke dalam tubuh manusia. 10. Sarana Pengangkut adalah kendaraan/angkutan melalui laut, udara, dan darat yang dipakai untuk mengangkut orang dan/atau barang. 11. Saat kedatangan sarana pengangkut adalah : a. saat sarana pengangkut lego jangkar di perairan pelabuhan, untuk sarana pengangkut melalui laut; b. saat sarana pengangkut mendarat di landasan bandara udara, untuk sarana pengangkut
www.djpp.depkumham.go.id
melalui udara; c. saat sarana pengangkut tiba di kantor pabean tempat pemasukan, untuk sarana pengangkut melalui darat. 12. Harta kekayaan atau aset adalah uang dan semua benda bergerak atau benda tidak bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud juga dokumen - dokumen yang menunjukan hak atas harta kekayaan atau aset tersebut atau bunga atau keuntungan yang diperoleh dari harta kekayaan atau aset tersebut. 13. Notifikasi Pra Ekspor adalah pemberitahuan tertulis tentang eksportasi prekursor dari negara pengekspor kepada negara pengimpor. 14. Penggunan akhir adalah Badan Usaha yang menggunakan prekursor sesuai dengan peruntukannya dan dilarang memperjualbelikan atau memindahtangankan kepada siapa saja. 15. Otoritas nasional adalah lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan pengaturan narkotika, psikotropika, dan prekursor sebagaimana ditetapkan sesuai ketentian Pasal 12 konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988.
BAB II TRANSITO NARKOTIKA Bagian Kesatu Pemberitahuan dan Pengawasan
Pasal 2 (1) Negara pengekspor wajib memberitahukan transito narkotika kepada Pejabat Bea dan Cukai dan Pejabat Badan Pengawas Obat dan Makanan. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang: a. nama dan alamat pengangkut; b. nama dan alamat pengekspor dan pengimpor; c. nama sarana pengangkut dan nomor angkutan darat, penerbangan atau pelayaran; d. negara pengekspor dan pengimpor; e. lamanya transito narkotika; f. tempat penyimpanan sementara narkotika; dan g. nama, bentuk, jumlah, jenis, dan golongan narkotika.
www.djpp.depkumham.go.id
(3) Transito narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah dari pemerintah negara pengimpor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan negara pengimpor. (4) Dokumen persetujuan ekspor narkotika dan dokumen persetujuan impor narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang: a.
nama dan alamat pengekspor dan pengimpor narkotika;
b.
jenis, bentuk, dan jumlah narkotika; dan
c.
negara tujuan ekspor narkotika.
d.
negara asal impor narkotika.
Pasal 3 (1) Pengangkut yang melakukan transito narkotika di daerah pabean Indonesia wajib memberitahukan narkotika yang ada dalam penguasaannya kepada Kepala Kantor Pabean setempat. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 1 x 24
(satu
kali dua puluh empat) jam setelah tiba di pelabuhan darat, pelabuhan laut, atau pelabuhan udara.
Pasal 4 (1) Pejabat Bea dan Cukai wajib memeriksa pemberitahuan dan dokumen persetujuan ekspor narkotika serta dokumen persetujuan impor narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Penyimpanan narkotika dalam rangka transito narkotika hanya dapat dilakukan di tempat penimbunan sementara yang berada di dalam kawasan pabean di pelabuhan darat, pelabuhan laut, atau pelabuhan udara. (3) Penyimpanan narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan di ruang khusus dan terpisah dari barang lainnya yang dikunci oleh pengusaha tempat penimbunan sementara dan Pejabat Bea dan Cukai. (4) Pengawasan terhadap narkotika yang berada di tempat penimbunan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pemberitahuan, dokumen persetujuan ekspor
narkotika dan dokumen persetujuan impor narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 5 Terhadap narkotika yang ditimbun di tempat penimbunan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) berlaku ketentuan tentang barang tidak dikuasai, barang dikuasai negara, dan barang menjadi milik negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Bagian Kedua Pengemasan Kembali Pasal 6 (1) Pengemasan kembali narkotika pada transito narkotika, hanya dapat dilakukan terhadap kemasan asli narkotika yang mengalami kerusakan. (2) Pengemasan kembali narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan persetujuan pejabat Bea dan Cukai dan petugas Badan Pengawasan Obat dan Makanan. (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berdasarkan : a. permohonan Pengangkut; dan b. hasil pemeriksaan fisik oleh pejabat Bea dan Cukai yang disaksikan Pengangkut. (4) Pengemasan kembali narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disegel oleh pejabat Bea dan Cukai. (5) Narkotika yang berada di bawah pengawasan pejabat Bea dan Cukai wajib dilakukan pengujian laboratorium oleh laboratorium Bea dan Cukai dalam waktu paling lama 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam, dan bila perlu dapat dilakukan pengujian kembali sebagai perbandingan oleh laboratorium Badan Pengawasan Obat dan Makananan dalam waktu paling lama 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam. (5) Pengangkut wajib membuat berita acara pengemasan kembali narkotika disaksikan dan ditandatangani oleh pejabat Bea Cukai dan bila mana perlu oleh petugas Badan Pengawasan Obat dan Makanan. (6) Hasil pengujian laboratorium wajib dilampirkan pada berita acara yang dibuat oleh pengangkut.
Pasal 7 (1) Hasil pengawasan pengemasan kembali narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dibuat dalam bentuk Berita Acara Pengawasan Pengemasan Kembali Narkotika dan sekurang-kurangnya memuat:
www.djpp.depkumham.go.id
a. nama dan jabatan pejabat Bea dan Cukai dan pejabat Badan Pengawasan Obat dan Makanan yang melakukan pemeriksaan; b. nama dan jabatan Pengangkut yang menyaksikan pemeriksaan; c. jumlah kemasan yang rusak; d. uraian kerusakan kemasan; dan e. tempat penimbunan sementara. (2) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf b dibuat dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan dan sekurang-kurangnya memuat: a. nama dan jabatan pejabat Bea dan Cukai dan pejabat Badan Pengawasan Obat dan Makanan yang melakukan pemeriksaan; b. nama dan jabatan Pengangkut yang menyaksikan pemeriksaan; c. jumlah kemasan yang rusak; d. uraian kerusakan kemasan; dan e. tempat penimbunan sementara.
Pasal 8 Perubahan isi, berat, bentuk, jumlah, dan golongan narkotika yang dikemas kembali menjadi tanggung jawab Pengangkut.
Pasal 9 Kemasan ulang hasil pengemasan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 wajib diberi label oleh Pengangkut yang sesuai dengan isi dokumen persetujuan ekspor dan dokumen persetujuan impor.
Bagian Ketiga Pergantian Sarana Pengangkut
Pasal 10 (1) Dalam hal terjadi pergantian sarana Pengangkut pada transito narkotika, pembongkaran narkotika dilakukan pada kesempatan pertama oleh Pengangkut dengan disaksikan oleh pejabat Bea dan Cukai. (2) Pengangkut harus mengajukan pemberitahuan pabean (Dokumen Pelindung Untuk Angkutan Lanjut) kepada pejabat Bea dan Cukai. (3) Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan pada kesempatan pertama
www.djpp.depkumham.go.id
di dalam peti besi (kluis) atau tempat lain di dalam sarana pengangkut dengan disegel oleh Pengangkut dan pemilik atau pemuatnya.
Bagian Keempat Perubahan Negara Tujuan
Pasal 11 (1) Pengangkut transito narkotika dilarang mengubah negara tujuan. (2) Perubahan negara tujuan wajib diberitahukan oleh pengangkut kepada pejabat Bea dan Cukai dan pejabat Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan melampirkan kopi surat persetujuan negara pengekspor dan surat persetujuan negara pengimpor baru, yang keabsahannya wajib dibuktikan dengan menujukkan asli surat persetujuan negara pengekspor dan surat persetujuan negara pengimpor baru.
Bagian Kelima Pelanggaran Kewajiban
Pasal 12 (1) Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu berwenang untuk menghentikan dan memeriksa sarana pengangkut narkotika dan barang di atasnya. (2) Atas permintaan pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu Pengangkut wajib membuka sarana pengangkut atau bagiannya untuk diperiksa. (3) Segala biaya yang timbul sebagai akibat pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tanggung jawab : a. Pengangkut, apabila dari hasil pemeriksaan ditemukan adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan; atau b. Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil, apabila dari hasil pemeriksaan tidak ditemukan adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. (4) Dalam hal terdapat pelanggaran, Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu segera melakukan penundaan pengangkutan narkotika dan memproses lebih lanjut sesuai dengan peratuan perundang-undangan.
www.djpp.depkumham.go.id
(5) Dalam hal tidak terdapat pelanggaran, Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu segera mengizinkan Pengangkut dan sarana pengangkut berikut barang yang ada di atasnya untuk meneruskan perjalanan.
BAB III PENGAWASAN
Pasal 13 Pemerintah melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan yang berhubungan dengan narkotika.
Pasal 14 Dalam rangka pelaksanaan pencegahan, penanggulangan, pemberantasan, penyalahgunaan, dan peredaran gelap narkotika, Badan Narkotika Nasional mengkoordinasikan pengawasan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh instansi pemerintah dan lembaga sosial kemasyarakatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yang berkaitan dengan: a. materi pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan; b. pemberantasan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika sesuai dengan peraturan perundang-undangan; c. penelitian dan pengembangan; d. terapi dan rehabilitasi; dan e. kerja sama bilateral, regional, dan internasional.
BAB IV SYARAT DAN TATA CARA PENYIMPANAN NARKOTIKA SITAAN
Bagian Kesatu Tempat Penyimpanan
Pasal 15 (1) Narkotika dan prekursor narkotika sitaan wajib disimpan di Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara.
www.djpp.depkumham.go.id
(2) Dalam hal di daerah yang belum ada Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara, penyimpanan narkotika dan prekursor narkotika sitaan dilaksanakan sebaik-baiknya oleh instansi sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan. (3) Tanggung jawab penyimpanan narkotika dan prekursor narkotika sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pejabat pada instansi sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan. (4) Pejabat Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara dan pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib melakukan penghitungan ( stock opname) secara periodik atau mingguan. (5) Penghitungan (stock opname) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaporkan kepada atasan pejabat masing-masing. Pasal 16 Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Jaksa Penuntut Umum, dan Hakim yang menangani narkotika sitaan dari awal penyitaan sampai persidangan pengadilan, adalah pejabat khusus yang diangkat atau ditunjuk atasannya berdasarkan keahlian atau pendidikan khusus.
Pasal 17 (1) Dalam hal penyitaan dilakukan oleh Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, penyidik wajib memberitahukan penyitaan yang dilakukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat dalam waktu paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak dilakukan penyitaan. (2) Untuk daerah yang sulit terjangkau karena faktor geografis atau transportasi, batas penyerahan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 14 (empat belas) hari kerja. (3) Pemberitahuan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tembusannya disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dan pejabat yang terkait.
Pasal 18 (1) Dalam hal penyitaan dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan barang dan/atau narkotika dan prekursor narkotika sitaan tersebut kepada Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dalam waktu paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak dilakukan penyitaan.
www.djpp.depkumham.go.id
(2) Untuk daerah yang sulit terjangkau karena faktor geografis atau transportasi, batas waktu penyerahan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 14 (empat belas) hari kerja. (3) Tembusan Berita Acara tentang pemberitahuan dan penyerahan barang dan/atau narkotika dan prekursor narkotika sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat dan pejabat yang terkait.
Pasal 19 Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menerima penyerahan barang dan/atau narkotika dan prekursor narkotika sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat : a.
nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b.
keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun penyerahan narkotika sitaan oleh penyidik;
c.
keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika;
d.
identitas lengkap pejabat yang melakukan serah terima narkotika sitaan; dan
e.
hasil tes laboratorium (lapangan/ulang).
Pasal 20 (1)
Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik menyisihkan sebagian barang sitaan untuk diperiksa atau diteliti di Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia, laboratorium Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan laboratorium Badan Narkotika Nasional, dan dilaksanakan paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak dilakukan penyitaan.
(2)
Contoh atau sampel narkotika dan prekursor narkotika sitaan yang diserahkan kepada laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibuatkan berita acara contoh atau sampel barang sitaan yang kekurang-kurangnya memuat : a.
nama, jenis, sifat dan jumlah;
b.
keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun dilakukan penyerahan contoh atau sampel;
c.
keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika;
d.
tanda tangan dan identitas lengkap pejabat penyidik yang menyerahkan narkotika; dan
www.djpp.depkumham.go.id
e.
tanda tangan pejabat laboratorium yang ditunjuk untuk meneliti dan memeriksa contoh atau sampel narkotika sitaan.
(3)
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan contoh atau sampel serta pemeriksaan di laboratorium terhadap narkotika sitaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepolisian, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan Ketua Badan Narkotika Nasional. Pasal 21
Penyidik yang melakukan penyitaan narkotika atau yang diduga narkotika, dan/atau yang mengandung narkotika wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat : a.
nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b.
keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
c.
keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika; dan
d.
tanda tangan dan identitas lengkap pejabat penyidik yang melakukan penyitaan.
Bagian Kedua Syarat Penyimpanan Narkotika Sitaan Pasal 22 (1) Tempat penyimpanan narkotika harus memenuhi syarat : a. dinding tembok harus kuat dan mempunyai satu pintu dengan sistem pengamanan elektronik; b. langit-langit dan jendela dilengkapi jeruji dan lemari besi atau brankas untuk menyimpan narkotika; c. kunci elektronik tempat penyimpanan dan kode lemari besi dipegang oleh pegawai yang diberikan tugas dan tanggung jawab dan tidak boleh ada orang masuk selain petugas Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara; dan d. terpisah dari barang sitaan lainnya. (2) Tempat penyimpanan narkotika golongan I, narkoitka golongan II, dan narkotika golongan III dipisah sesuai dengan bentuk fisik (sediaan) dan tingkat bahayanya: a. narkotika sitaan dari golongan I yang berbentuk tanaman disimpan dalam wadah yang tidak mudah rusak dan disegel. b. narkotika golongan I, narkotika golongan II, dan narkotika golongan III yang berbentuk cairan maupun berbentuk serbuk disimpan dalam wadah yang memenuhi syarat farmakope dan disegel.
www.djpp.depkumham.go.id
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengamanan narkotika sitaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pasal 23 (1) Narkotika dan prekursor narkotika sitaan yang disimpan merupakan barang sitaan yang telah disita secara sah oleh Penyidik berdasarkan Pasal 74 (Rancangan) Undang-Undang tentang Narkotika. (2) Kecuali narkotika dan prekursor narkotika sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyimpanan dapat dilakukan terhadap barang sitaan narkotika dan prekursor narkotika yang berasal dari temuan Penyidik yang belum diketahui tentang keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang sitaan narkotika tersebut. (3) Narkotika dan prekursor narkotika sitaan yang akan disimpan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus disegel serta dibuat Berita Acara Penyitaan oleh Penyidik.
Pasal 24 (1) Narkotika dan prekursor narkotika sitaan yang disimpan harus segera ditentukan statusnya oleh penyidik paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam berdasarkan hasil penyidikan dan/atau hasil pemeriksaan laboratorium. (2) Dalam hal narkotika dan prekursor narkotika sitaan ditetapkan sebagai barang bukti untuk kepentingan peradilan, narkotika dan prekursor narkotika sitaan tetap disimpan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 74 (Rancangan) Undang-Undang tentang Narkotika. (3) Dalam hal barang sitaan yang diduga narkotika terbukti berdasarkan pengujian laboratorium bukan merupakan narkotika, maka barang sitaan tersebut : a. dikembalikan kepada pemilik atau penguasanya yang sah; b. disita oleh negara; atau c. dimusnahkan; sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus dibuat Berita Acara oleh penyidik. BAB V PENGGUNAAN DAN PENGAWASAN PREKURSOR DAN ALAT-ALAT POTENSIAL Bagian kesatu Pengertian
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 25 Prekursor dan alat-alat yang potensial dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika ditetapkan sebagai barang di bawah pengawasan Pemerintah.
Pasal 26 Pengawasan prekursor dan alat-alat potensial bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan prekursor dan alat-alat potensial dalam pembuatan narkotika atau narkotika secara ilegal.
Bagian Kedua Ruang Lingkup
Pasal 27 Ruang lingkup pengawasan prekursor dan alat-alat potensial dalam peraturan pemerintah ini adalah personalia dan sarana yang berhubungan dengan impor, ekspor, produksi, distribusi, dan penggunaan prekursor serta pemanfaatan alat-alat potensial.
Pasal 28 (1) Berdasarkan tingkat risiko penyimpangannya, Prekursor dikelompokkan menjadi: a. Prekursor Tabel I yang teridiri atas : 1.Anhidrida asetat; 2. Kalium permanganat. b. Prekursor Tabel II yang terdiri atas : 1. Aseton; 2. Asam Klorida; 3. Asam sulfat; 4. Etil eter; 5. Etil metil keton; dan 6. Toluen. (2)
Perubahan penggolongan prekursor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan
www.djpp.depkumham.go.id
Bagian Ketiga Penanggung Jawab
Pasal 29 (1) Setiap sarana pengelola Prekursor Tabel I wajib memiliki seorang tenaga teknis sebagai penanggung jawab yang bekerja purna waktu (full time). (2) Penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi industri farmasi atau kimia adalah penanggung jawab produksi. (3) Penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi industri farmasi dan pedagang besar bahan baku farmasi adalah seorang apoteker. (4) Penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi industri kimia dan importir kimia adalah tenaga yang mempunyai keahlian di bidang kimia.
Bagian Keempat Rencana Kebutuhan Pasal 30 Importir dan pengguna akhir Prekursor Tabel I menyusun rencana kebutuhan tahunan dan menyampaikannya kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Bagian Kelima Produksi Prekursor Pasal 31 Prekursor Tabel I hanya dapat diproduksi oleh industri farmasi atau kimia yang memiliki ijin usaha industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang yang berlaku.
Pasal 32 Prekursor Tabel I yang termasuk bahan baku farmasi hanya dapat diproduksi oleh industri farmasi yang memiliki ijin usaha industri dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik.
Bagian Keenam Impor dan Ekspor Prekursor Paragraf 1 Umum
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 33 (1) Impor prekursor hanya dapat dilakukan oleh industri farmasi atau kimia, pedagang besar bahan baku farmasi, dan importir kimia yang memiliki ijin sebagai importir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Industri farmasi atau kimia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diperbolehkan mengimpor prekursor untuk keperluan sendiri. (3) Pedagang besar bahan baku farmasi dan importir kimia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengimpor prekursor atas pesanan tertulis dari pengguna akhir prekursor.
Paragraf 2 Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor
Pasal 34 (1) Importir Prekursor Tabel I wajib memiliki Surat Persetujuan Impor dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan setiap kali melakukan impor prekursor. (2) Untuk memperoleh Surat Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) importir wajib mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. (3) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan: a. Fotokopi Ijin Usaha Industri / Tanda Daftar Industri (TDI) bagi importir pengguna prekursor atau fotokopi Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) bagi importir terdaftar prekursor; b. Fotokopi Angka Pengenal Importir; c. Fotokopi Tanda Daftar Perusahaan; d. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak; e. Rencana penggunaan prekursor untuk produksi 1 tahun terakhir atau pesanan tertulis dari pengguna akhir prekursor yang ditandatangani penanggung jawab produksi; f. Realisasi impor dan penggunaan/penyaluran prekursor terakhir; dan g. Data lain yang diperlukan.
Pasal 35 (1) Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan memberikan keputusan terhadap permohonan Surat Persetujuan Impor dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah permohonan lengkap diterima.
www.djpp.depkumham.go.id
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa Surat Persetujuan Impor atau surat penolakan. (3) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari 7 (tujuh) rangkap, yang terdiri dari: a. rangkap pertama untuk importir; b. rangkap kedua untuk INCB; c. rangkap ketiga untuk otoritas nasional negara pengekspor; d. rangkap keempat untuk Departemen Luar Negeri; e. rangkap kelima untuk Balai Besar/ Balai POM setempat; f. rangkap keenam untuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; g. rangkap ketujuh untuk arsip. (4) Surat Persetujuan Impor berlaku untuk jangka waktu selama 3 (tiga) bulan setelah dikeluarkan.
Pasal 36 (1) Eksportir Prekursor Tabel I wajib memiliki Surat Persetujuan Ekspor dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan setiap kali melakukan ekspor prekursor. (2) Untuk memperoleh Surat Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) eksportir wajib mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan menggunakan format sesuai dengan Lampiran 5 ... (3) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan: a. Fotokopi Ijin Usaha Industri / Tanda Daftar Industri (TDI) bagi importir pengguna prekursor atau fotokopi Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) bagi importir terdaftar prekursor; b. Fotokopi Angka Pengenal Eksportir; c. Fotokopi Tanda Daftar Perusahaan; d. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak; e. Surat persetujuan impor dari otoritas nasional negara pengimpor; f. Data lain yang diperlukan.
Pasal 37 (1) Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan memberikan keputusan terhadap permohonan Surat Persetujuan Ekspor dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah permohonan lengkap diterima.
www.djpp.depkumham.go.id
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa Surat Persetujuan Ekspor atau surat penolakan. (3) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari 7 (tujuh) rangkap, yang terdiri dari: a. rangkap pertama untuk eksportir; b. rangkap kedua untuk INCB; c. rangkap ketiga untuk otoritas nasional negara pengimpor; d. rangkap keempat untuk Departemen Luar Negeri; e. rangkap kelima untuk Balai Besar/ Balai POM setempat; f. rangkap keenam untuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; g. rangkap ketujuh untuk arsip.
Pasal 38 Ketentuan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 juga berlaku untuk re-ekspor Prekursor Tabel I yang masuk ke wilayah Indonesia secara ilegal.
Paragraf 3 Notifikasi Impor dan Ekspor
Pasal 39 (1) Eksportir Prekursor Tabel II wajib memiliki Notifikasi Pra Ekspor dari Menteri Perdagangan setiap kali melakukan ekspor prekursor. (2) Untuk memperoleh Notifikasi Pra Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) eksportir wajib mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri Perdagangan.
Pasal 40 (1) Menteri Perdagangan menyampaikan Notifikasi Pra Ekspor kepada pemerintah negara pengimpor. (2) Ekspor prekursor hanya dapat dilaksanakan setelah Notifikasi Pra Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui oleh pemerintah negara pengimpor dengan menerbitkan Notifikasi Pra Impor. (3) Notifikasi Pra Ekspor dianggap telah disetujui oleh pemerintah negara pengimpor apabila dalam waktu 3 (tiga) hari tidak diterbitkan Notifikasi Pra Impor.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 41 (1) Importir Prekursor Tabel II wajib memiliki Notifikasi Pra Impor setiap kali melakukan impor prekursor. (2) Notifikasi Pra Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan berdasarkan Notifikasi Pra Ekspor yang dikirimkan oleh pemerintah negara pengekspor. (3) Menteri Perdagangan mengeluarkan Notifikasi Pra Impor dalam tenggang waktu tercantum dalam Notifikasi Pra Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Paragraf 4 Pengangkutan Pasal 42 Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengangkutan barang tetap berlaku bagi pengangkutan Prekursor, kecuali ditentukan lain dalam peraturan pemerintah ini.
Pasal 43 (1) Setiap pengangkutan impor Prekursor Tabel I wajib dilengkapi dengan dokumen persetujuan ekspor Prekursor yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan Surat Persetujuan Impor Prekursor yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. (2) Setiap pengangkutan ekspor wajib dilengkapi dengan Surat Persetujuan Ekspor Prekursor Tabel I yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan dan dokumen persetujuan impor Prekursor yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 44 Pengangkutan Prekursor Tabel I wajib dilengkapi dengan dokumen yang lengkap dan sah.
Paragraf 5 Penandaan Pasal 45 Pada kemasan Prekursor wajib mencantumkan penandaan sekurang-kurangnya: a. Nama bahan kimia/prekursor; b. Nama dan alamat Perusahaan yang memproduksi prekursor; c. Nomor Chemical Abstracts Services (CS);
www.djpp.depkumham.go.id
d. Nomor Harmonized System (HS) e. Sifat fisika atau kimia; f.
Cara penyimpanan;
g. Peringatan pengamanan; h. Simbol/gambar tanda bahaya; i.
Informasi mengenai cara pengangkutan barang, label yang sah berisi informasi yang lengkap dengan tulisan jelas dan mudah dibaca, tidak mudah luntur, tidak mudah rusak karena air, gesekan, pengaruh udara atau sinar matahari.
Bagian Ketujuh Pencatatan dan Pelaporan Pasal 46 Setiap importir Prekursor Tabel I wajib menyampaikan laporan realisasi impor setiap kali mengimpor paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterimanya Prekursor kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan tembusan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan menggunakan format sesuai Lampiran.
Pasal 47 (1) Setiap industri farmasi atau kimia yang mengelola Prekursor Tabel I wajib membuat catatan dan menyampaikan laporan tentang penerimaan/pemasukan dan penggunaan prekursor kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan setiap bulan selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya. (2) Setiap Pedagang Bahan Baku Farmasi atau importir kimia yang mengelola Prekursor Tabel I wajib membuat catatan dan penyaluran prekursor dan menyampaikan laporan tentang penerimaan/pemasukan dan penyaluran prekursor kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan setiap bulan selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya. (3) Setiap pengguna akhir Prekursor Tabel I wajib membuat catatan dan menyampaikan laporan
tentang penerimaan/pemasukan dan penggunaan prekursor kepada Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan setiap bulan selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya. (4) Setiap produsen Prekursor Tabel I wajib membuat catatan dan menyampaikan laporan tentang produksi dan distribusi prekursor kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan
www.djpp.depkumham.go.id
Makanan selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya (5) Catatan dan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) wajib disimpan sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun.
Bagian Kedelapan Pemeriksaan Sarana
Pasal 48 (1) Dalam rangka pengawasan petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan atau Satuan Tugas Prekursor memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan sarana sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan. (2) Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewenangan untuk: a. memasuki setiap tempat yang digunakan atau diduga digunakan dalam kegiatan produksi, ekspor, impor, distribusi, penggunaan, penyimpanan, dan pengangkutan prekursor untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh dan segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan produksi, ekspor, impor, distribusi, penggunaan, penyimpanan, dan pengangkutan prekursor; b. menghentikan, memeriksa, dan mencegah setiap sarana angkutan yang diduga atau patut diduga digunakan dalam pengangkutan prekursor serta mengambil dan memeriksa contoh prekursor; c. melakukan pemeriksaan terhadap kemasan dan penandaan prekursor; d. melakukan pemeriksaan dokumen atau catatan lain yang memuat atau diduga memuat keterangan mengenai kegiatan produksi, ekspor, impor, distribusi, penggunaan, penyimpanan, dan pengangkutan prekursor, termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut; e. memerintahkan untuk memperlihatkan ijin usaha atau dokumen lain.
Pasal 49 (1) Pemeriksa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dilengkapi dengan surat tugas. (2) Surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya berisi: a. nama petugas; b. nama dan alamat tempat kegiatan yang akan dilakukan pemeriksaan; c. alasan dilakukan pemeriksaan; d. tanggal, bulan, dan tahun pelaksanaan pemeriksaan;
www.djpp.depkumham.go.id
e. keterangan lain yang dianggap perlu. (3) Surat tugas pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan ditandatangani oleh pejabat berwenang yang ditunjuk oleh Kepala Badan. (4) Surat tugas pemeriksaan yang dilakukan oleh Satuan Tugas Prekursor ditandatangani oleh Ketua Satuan Tugas Prekursor.
Pasal 50 Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya pemeriksaan oleh pemeriksa mempunyai hak untuk menolak pemeriksaan apabila pemeriksa yang bersangkutan tidak dilengkapi dengan surat tugas.
Bagian Kesembilan Penyidikan
Pasal 51 (1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang pengawasan prekursor diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang prekursor. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang prekursor; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang prekursor; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang prekursor; d. melakukan pemeriksaan atas surat dan atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang prekursor; e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang prekursor; f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
www.djpp.depkumham.go.id
bidang prekursor; g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang prekursor. (3) Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
BAB VI GANTI RUGI NARKOTIKA YANG TELAH DIMUSNAHKAN
Pasal 52 (1) Pemerintah memberikan ganti rugi kepada pemilik narkotika sitaan yang telah dimusnahkan. (2) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terbukti narkotika sitaan tersebut diperoleh atau dimiliki secara sah.
Pasal 53 (1) Pemilik narkotika sitaan yang telah dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) atau ahli warisnya atau pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan ganti rugi.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan sejak putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang menyatakan narkotika sitaan tersebut terbukti diperoleh atau dimiliki secara sah.
Pasal 54 Besarnya biaya ganti rugi paling sedikit Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang ditentukan hakim dalam isi putusan.
Pasal 55 Menteri Keuangan melaksanakan pemberian ganti rugi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya penetapan pengadilan.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 56 (1) Pelaksanaan pemberian ganti rugi diberitahukan oleh Menteri Keuangan kepada Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Tinggi dan/atau Ketua Mahkamah Agung yang memutus perkara disertai tanda bukti pelaksanaan pemberian ganti rugi tersebut. (2) Salinan tanda bukti pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Jaksa, pemilik, atau pihak lain yang berkepentingan dari narkotika sitaan yang dimusnahkan. (3) Setelah menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri mengumumkan pelaksanaan pemberian ganti rugi pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 57 (1) Dalam hal pelaksanaan pemberian ganti rugi kepada pemilik, ahli waris sah atau pihak lain yang berkepentingan atas narkotika sitaan yang dimusnahkan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, pemilik atau keluarga atau ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Tinggi, dan/atau Ketua Mahkamah Agung. (2) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) segera mengeluarkan penetapan untuk memerintahkan Menteri Keuangan untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak penetapan tersebut diterima.
BAB VII PERAN SERTA MASYARAKAT, JAMINAN KEAMANAN DAN PERLINDUNGAN, SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN PENGHARGAAN
Bagian Kesatu Bentuk Peran Serta Masyarakat Pasal 58 Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperanserta dalam membantu upaya pencegahan, penanggulangan, dan penegakan hukum terhadap tindakan penyalahgunaan narkotika.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 59 Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dilakukan dalam bidang : a. pencegahan; b. penegakan hukum; c. rehabilitasi medis; d. rehabilitasi sosial; dan e. terapi tradisional dan keagamaan.
Pasal 60 (1) Anggota masyarakat dan/atau korporasi wajib melaporkan kepada kesatuan kepolisian terdekat atau
Badan Narkotika Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota dalam rangka
pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan, dan peredaran gelap narkotika. apabila mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. (2) Dalam hal tindak pidana narkotika berkaitan dengan kepabeanan maka informasi, laporan, dan petunjuk dapat dilaporkan kepada pejabat Bea dan Cukai terdekat. (3) Penyampain informasi, laporan dan petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan secara tertulis, lisan, atau melalui sarana komunikasi lainnya. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib ditindaklanjuti oleh instansi yang menerima laporan.
Pasal 61 Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua Jaminan Keamanan dan Perlindungan
Pasal 62 Saksi, ahli, pelapor, penyelidik, penyidik pembantu, penyidik, jaksa/penuntut umum, hakim, dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya, yang berkaitan dengan perkara tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika wajib diberi perlindungan oleh Negara dalam hal adanya ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 63 (1) Jaminan keamanan dan perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dilakukan dalam bentuk : a. penjagaan; b. pengawalan; c. pengawasan; d. perahasiaan identitas saksi, pelapor, dan petugas dalam penyamaran; e. perahasiaan alamat rumah; atau f. bentuk lain. (2) Jaminan keamanan dan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 64 (1) Perlindungan terhadap saksi, ahli, pelapor dan keluarganya dilakukan berdasarkan : a.
inisiatif aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau
b.
permohonan dari saksi, ahli, atau pelapor.
(2) Perlindungan terhadap penyelidik, penyidik pembantu, penyidik, jaksa/penuntut umum, hakim, petugas pemasyarakatan dan keluarganya dilakukan berdasarkan : a.
inisiatif dari aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau
b.
laporan kepada atasannya masing-masing.
(3) Permohonan atau laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b disampaikan kepada aparat
Kepolisian
Negara Republik
Indonesia untuk
ditindaklanjuti.
Pasal 65 Setelah menerima permohonan atau laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan : a. klarifikasi atas kebenaran permohonan atau laporan; dan b. identifikasi bentuk perlindungan yang diperlukan.
Pasal 66 Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dihentikan apabila : a. ada permohonan dari yang bersangkutan yang disetujui oleh aparat Kepolisian Negara
www.djpp.depkumham.go.id
Republik Indonesia; b. yang dilindungi meninggal dunia; atau c. berdasarkan pertimbangan aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa perlindungan tidak diperlukan lagi.
Pasal 67 (1) Saksi, ahli, pelapor, penyelidik, penyidik pembantu, penyidik, jaksa/penuntut umum, hakim, dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya tidak dikenakan biaya atas perlindungan yang diberikan kepadanya. (2) Biaya yang berkaitan dengan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagian Ketiga Pemberian Penghargaan Pasal 68 Setiap orang yang berjasa dalam pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan, dan peredaran gelap narkotika dapat diberikan penghargaan.
Pasal 69 (1) Penghargaan diberikan dalam bentuk: a. piagam; b. premi; dan/atau c. penghargaan lainnya. (2) Penghargaan dalam bentuk premi diberikan berupa uang dari anggaran Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Propinsi, atau Badan Narkotika Kabupaten/Kota. (3) Penghargaan dalam bentuk lainnya dapat diberikan oleh pihak yang berwenang dan/atau pihak lain yang ingin berpartisipasi.
Pasal 70 (1) Penilaian terhadap jasa anggota masyarakat untuk menentukan penghargaan dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Propinsi, atau Badan Narkotika Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan : a.
besarnya pengaruh atau dampak dari jasa yang diberikan baik kuantitas maupun kualitas terhadap upaya pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan, dan peredaran
www.djpp.depkumham.go.id
gelap narkotika dalam masyarakat; b.
besarnya pengorbanan yang diberikan dan respons masyarakat dalam melaksanakan kegiatan dalam rangka pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan, dan peredaran gelap narkotika;
c.
tindakan yang dilakukan memiliki nilai strategis dan daya dorong yang besar dalam upaya pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan, dan peredaran gelap narkotika dimasa yang akan datang.
(2) Ketentuan mengenai besarnya premi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Ketua Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Propinsi, atau Badan Narkotika Kabupaten/Kota.
Pasal 71 Tata cara pemberian penghargaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Ketua Badan Narkotika Nasional.
BAB VIII TATA CARA PENGGUNAAN HARTA KEKAYAAN ATAU ASET YANG DIRAMPAS UNTUK NEGARA
Pasal 72 Seluruh harta kekayaan atau aset yang merupakan hasil tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dirampas untuk negara dan digunakan unutk kepentingan pelaksanaan pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, upaya rehabilitasi medis dan sosial, serta pemberian penghargaan kepada yang telah berjasa mengungkap adanya tindak pidana narkotika, tindak pidana prekursor narkotika dan tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika.
Pasal 73 Seluruh harta kekayaan atau aset yang diramapas untuk Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72, diserahkan kepada Badan Narkotika Nasional atau Badan Narkotika Propinsi atau Badan Narkotika Kabupaten / Kota, sesuai locus delicti atau tingkat
www.djpp.depkumham.go.id
penanganan perkara. Pasal 74 Harta kekayaan atau aset yang dirampas berupa uang digunakan untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan, pemberatasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika upaya rehabilitasi medis dan sosial serta pemberian penghargaan, dengan rincian : a. Sejumlah 20 (dua puluh) % digunakan unutk kegiatan pencegahan dan 20 (dua puluh) % untuk kegiatan rehabilitasi medis dan soisial. b. Sejumlah 45 (empat puluh lima ) % unutk penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penggeledahan, pensitaan dan pemeriksaan tersangka dan barang bukti, yang dilakukan oleh Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Indonesia dan penyidik pejabat Pegawai Negeri Sipil. c. Sejumlah 5 (lima) % untuk kegiatan bidang penuntutan yang dilakukan oleh Kejaksaan, dan 5 (lima) % untuk kegiatan bidang peradilan, yang dilakukan Pengadilan. d. Sejumlah 5 (lima) % untuk pemberian penghargaan kepada mereka yang berjasa dalam mengungkap adanya tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika, serta tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika.
Pasal 75 (1) Harta kekayaan atau aset berbentuk benda tidak bergerak atau benda bergerak, berwujud melalui penjualan lelang dikonversi dalam bentuk uang. (2) Penjualan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas dilakukan oleh Panitia yang ditunjuk oleh Ketua Badan Narkotika Nasional atau Ketua Badan Narkotika Propinsi atau Ketua Badan Narkotika Kabupaten / Kota. (3) Hasil penjualan lelang tersebut pada ayat (2) diatas diserahkan kepada Badan Narkotika Nasional atau Badan Narkotika Propinsi atau Badan Narkotika Propinsi atau Badan Narkotika Kabupaten / Kota, untuk dipergunakan sesuai Pasal 74.
Pasal 76 (1) Badan Narkotika Nasional atau Badan Narkotika Propinsi atau Badan Narkotika Kabupaten / Kota membuat pertanggung jawaban keuangan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
www.djpp.depkumham.go.id
(2)
Badan - badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengadakan pengawasan terhadap instansi yang menerima dana tersebut dalam Pasal 75, tentang realisasi pemanfaatannya, dan pertanggung jawaban keuangannya.
BAB IX TINDAKAN ADMINISTRASI
Pasal 77 (1) Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan berwenang melakukan tindakan administratif terhadap pelanggaran ketentuan peraturan pemerintah ini dalam kegiatan produksi, ekspor, impor, distribusi, penggunaan, penyimpanan, dan pengangkutan prekursor Tabel I. (2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. peringatan secara tertulis; b. perintah re-ekspor ke negara asal; c. penghentian sementara kegiatan produksi dan/atau distribusi; atau d. pencabutan atau rekomendasi pencabutan ijin. (3) Apabila diketemukan cukup bukti bahwa telah terjadi tindak pidana di bidang prekursor maka segera ditindaklanjuti dengan penyidikan.
BAB X KETENTUAN LAIN
Pasal 78 Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah ini, Prekursor Tabel I yang termasuk bahan baku farmasi juga tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 79
www.djpp.depkumham.go.id
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatanya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal…… PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal …… MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …
www.djpp.depkumham.go.id
RANCANGAN PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR
TAHUN
TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN TENTANG NARKOTIKA
I.
UMUM Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama. Undang-Undang Nomor … Tahun … tentang Narkotika mengamanatkan ketentuan mengenai kegiatan transito narkotika, pengawasan terhadap seluruh kegiatan yang berhubungan dengan narkotika, peran serta masyarakat, jaminan keamanan dan perlindungan, syarat dan tata cara pemberian penghargaan, syarat dan tata cara penyimpanan narkotika yang disita, pelaksanaan pemberian ganti rugi, dan tata cara penggunaan dan pengawasan prekursor dan alat-alat potensial yang dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika diatur dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan amanat tersebut, Peraturan Pemerintah ini mempunyai lingkup pengaturan mengenai ketentuan-ketentuan tersebut.
Transito narkotika adalah kegiatan pengangkutan narkotika dari suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat Kantor Pabean dengan atau tanpa berganti sarana pengangkut. Dalam rangka pengawasan kegiatan transito narkotika Peraturan Pemerintah ini menentukan, antara lain : 1. setiap negara pengekspor dan negara pengimpor narkotika wajib memberitahukan transito narkotika kepada Pejabat Bea dan Cukai dan Pejabat Badan Pengawas Obat dan Makanan; 2. pengemasan kembali narkotika pada transito narkotika hanya dapat dilakukan terhadap kemasan asli narkotika yang mengalami kerusakan dan harus dilakukan dengan persetujuan dan pengawasan Pejabat Bea dan Cukai dan Pejabat Badan
www.djpp.depkumham.go.id
Pengawas Obat dan Makanan; 3. apabila terjadi pergantian sarana pengangkut, pembongkaran narkotika dilakukan pada kesempatan pertama oleh nakhoda dengan disaksikan oleh Pejabat Bea dan Cukai dan Pejabat Badan Pengawas Obat dan Makanan; 4. terhadap pelanggaran kewajiban dalam transito narkotika, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu berwenang menghentikan dan memeriksa sarana pengangkut narkotika dan barang di atasnya.
Pengawasan terhadap seluruh kegiatan yang berhubungan dengan narkotika dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka pencegahan, penanggulangan, pemberantasan, penyalahgunaan, dan peredaran gelap narkotika di bawah koordinasi Badan Narkotika Nasional.
Dalam rangka penyimpanan narkotika sitaan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, Peraturan Pemerintah ini memberdayakan Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara (RUPBASAN) sebagai tempat penyimpanan narkotika sitaan. Hingga saat ini terdapat 30 RUPBASAN yang berada di setiap provinsi di seluruh Indonesia.
Prekursor narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam proses pembuatan narkotika. Dalam Peraturan Pemerintah ini, prekursor yang diatur dibatasi pada prekursor Tabel 1 sebagaimana ditentukan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1988. Sedangkan alat-alat potensial yang dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika, seperti alat-alat untuk membuat atau memproduksi narkotika, alat madat, alat suntik, dan alat lainnya yang dipergunakan untuk memasukkan narkotika ke dalam tubuh manusia. Dalam rangka pengawasan, kegiatan mengimpor, mengekspor, dan memproduksi prekursor dan alat-alat potensial lainnya dilakukan oleh pemerintah yang dalam Peraturan Pemerintah ini dilakukan oleh : 1. Menteri Kesehatan; 2. Menteri Perindustrian; 3. Menteri Perdagangan; dan 4. Kepala Badan POM.
www.djpp.depkumham.go.id
Narkotika atau barang sitaan yang telah dimusnahkan berdasarkan penetapan Kepala Kejaksaan Negeri atau tanaman narkotika yang dimusnahkan oleh Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, apabila dikemudian hari terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diketahui diperoleh atau dimiliki secara sah, kepada pemilik barang, atau ahli warisnya, atau pihak lain yang berkepentingan diberikan ganti rugi oleh Pemerintah. Besarnya ganti rugi ditetapkan paling sedikit Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang ditentukan hakim dalam isi putusannya.
Dalam rangka membantu upaya pencegahan, penegakan hukum, dan penanggulangan terhadap tindakan penyalahgunaan narkotika, masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta. Peran serta tersebut dapat dilakukan dalam bidang : 1. pencegahan; 2.
penegakan hukum;
3. terapi; dan 4. rehabilitasi. Dalam rangka menciptakan keamanan, terhadap saksi, ahli, pelapor, penyelidik, penyidik,
pembantu,
penyidik,
jaksa/penuntut
umum,
hakim,
dan
petugas
pemasyarakatan beserta keluarganya yang menangani perkara tindak pidana narkotika diberikan perlindungan oleh negara. Jaminan keamanan dan perlindungan tersebut berupa : 1. penjagaan; 2. pengawalan; 3. pengawasan; 4. perahasiaan identitas saksi, pelapor, dan petugas dalam penyamaran; 5. perahasiaan alamat rumah; atau 6. bentuk lain. Kepada setiap orang yang berjasa dalam pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan, dan peredaran gelap narkotika dapat diberikan penghargaan, dalam bentuk : 1. piagam; 2. premi; dan/atau 3. penghargaan lainnya.
www.djpp.depkumham.go.id
II.
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas.
Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengangkutan Narkotika pada Transito Narkotika dari Kawasan Pabean dengan tujuan untuk diangkut lanjut dilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean (Dokumen Pelindung Untuk Angkut Lanjut) yang diajukan oleh Pengangkut kepada Pejabat Bea dan Cukai (di Kantor Pabean) yang mengawasi Kawasan Pabean tempat transit.
Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Pengawasan dilakukan dalam rangka upaya pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika. Pengawasan dilakukan terhadap seluruh kegiatan baik yang dilakukan oleh lembaga/instansi pemerintah maupun masyarakat. Yang dimaksud dengan “lembaga/instansi Pemerintah” dalam Pasal ini adalah lembaga/instansi Pemerintah yang terkait dengan kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika, antara lain, Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Agama, Departemen Pendidikan Nasional, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Departemen Pertahanan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Badan Narkotika Nasional. Yang dimaksud dengan “masyarakat” dalam Pasal ini adalah perorangan, kelompok, atau Lembaga Sosial Kemasyarakatan.
Pasal 14 Dalam
melakukan
pencegahan,
penanggulangan,
pemberantasan,
penyalahgunaan, dan peredaran gelap narkotika, instansi pemerintah melaksanakan pengawasan sesuai dengan tugas, fungsi, dan wewenangnya.
Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas.
Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ketentuan ini harus tetap mengacu pada peraturan yang dikeluarkan oleh International Narcotics Control Board (INCB).
Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas.
Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 50 Cukup jelas. .Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Huruf a Peran serta masyarakat dalam bidang pencegahan berupa pemberian penerangan, penyuluhan, membina keluarga sejahtera, menjalankan pola hidup sehat, membina lingkungan bersih narkotika, pendidikan keterampilan hidup, pendidikan keagamaan, pendidikan olah raga, dan lain-lain. Huruf b Peran serta masyarakat dalam bidang penegakan hukum berupa memberikan informasi kepada Badan POM atau Kesatuan Kepolisian terdekat tentang adanya penyelewengan narkotika dari sumber resmi ke pasaran
gelap,
melaporkan
adanya
tindak
pidana
narkotika,
menyerahkan tersangka pelaku tindak pidana narkotika yang tertangkap tangan kepada Kesatuan Kepolisian terdekat, ikut serta mengamankan lingkungan (RT, RW, sekolah, perguruan tinggi, pemukiman, perkantoran dan lain-lain) yang terkait dengan tindak pidana narkotika.
www.djpp.depkumham.go.id
Huruf c Peran serta masyarakat dalam bidang terapi berupa : 1. membantu
terbentuknya
tempat
pelayanan
terapi
berbasis
masyarakat dalam bentuk : a. rumah dampingan (out reach centre); b. unit–unit pelayanan terapi dalam komunitas (community base unit), yaitu : - pendidikan disekolah, perguruan tinggi dan pesantren; - keagamaan : di mesjid, di gereja, vihara dll. - tempat kerja. 2. Membentuk tempat terapi non medis dengan metode tradisional dan metode yang berhubungan dengan agama dan spiritual. 3. Membentuk tempat pelayanan terapi medis swasta di praktek dokter, klinik, dan rumah sakit. Huruf d Peran serta masyarakat dalam bidang rehabilitasi berupa : pembentukan tempat rehabilitasi sosial, membentuk kelompok-kelompok relawan untuk purna rawat (after care), memberi kesempatan untuk magang di tempat kerja, membangun rumah dampingan, membentuk kelompok keluarga penunjang (family support group). Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas Pasal 79 Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ….
www.djpp.depkumham.go.id