Perspektif Vol. 12 No. 1/Juni 2013. Hlm 11-22 ISSN: 1412-8004
PROSPEK PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA Prospect of Peatland Utilization For Oil Palm Plantation In Indonesia WAHYUNTO1), AI DARIAH2), DJOKO PITONO3) dan MUHRIZAL SARWANI1) 1)
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jalan Tentara Pelajar No.12 Bogor 2)Balai Penelitian Tanah Indonesian Research Institute of Soil Jalan Tentara Pelajar No.12 Bogor 3)Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Indonesian Center for Estate Crops Research and Development Jalan Tentara Pelajar No 1. Bogor. Diterima: 10 Desember 2012; Disetujui: 27 Mei 2013
ABSTRAK Pengembangan perkebunan kelapa sawit (Elaeis guenensis L.), terbukti mampu meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah di sentra-sentra pengembangan kelapa sawit. Pemanfaatan lahan rawa gambut untuk perkebunan akan menyebabkan tingginya emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terutama emisi CO2. Reklamasi lahan rawa gambut untuk tanaman perkebunan kelapa sawit agar emisi GRK dapat dikurangi, memerlukan jaringan drainase makro yang dapat mengendalikan tata air di tingkat lahan. Sistem drainase yang tidak tepat akan mempercepat kerusakan lahan gambut. Dengan demikian prinsip pengelolaan lahan secara berkelanjutan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut sangat diperlukan, agar tidak berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan. Diperlukan strategi pengaturan tinggi muka air tanah agar tidak terlalu dangkal untuk mendukung pertumbuhan optimal tanaman kelapa sawit, dan juga tidak terlalu dalam agar permukaan tanah gambut tetap lembab, sehingga tidak mudah terjadi kebakaran dan penurunan tanah gambut secara cepat sehingga emisi Gas Rumah Kaca dapat dikurangi. Kata kunci: Perkebunan, Elaeis guenensis L., pengelolaan, tata air, lahan gambut, berkelanjutan
ABSTRACT Development of oil palm (Elaeis guenensis L.) plantations, has been proven to be able to increase
people's income, and has driven the region's of economic growth in the centers of oil palm development. Utilization of peatlands for plantations will lead to high emissions of Greenhouse Gases (GHG) emissions, especially CO2 emissions. Reclamation of peatlands for palm oil plantation in order to GHG emissions can be reduced, requiring macro level of drainage network that can control water flow at the landscape level. In appropriate drainage system will accelerate the destruction of peatlands. Thus the principle of sustainable land management of oil palm plantations on peatland is needed, to minimize the impact on environmental degradation. Strategy on ground water level arrangements is necessary ie: not too shallow ground water table to support optimal growth of oil palm plantations, and also not too deep ground water level in order to the ground surface remains moist peat soil, so fire and rapid subsident in peat soil can be prevented and greenhouse gas emissions can be reduced. Key words:
Estate plantation, Elaeis guenensis L., sustainable, management, peatland, water manage-ment
PENDAHULUAN Sejak tahun 2006, Indonesia telah tercatat sebagai negara produsen sawit terbesar di dunia. Total produksi sawit Indonesia menyumbang sekitar 45% dari produksi sawit dunia (Badrun, 2010). Meningkatnya permintaan minyak sawit
Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (WAHYUNTO et al.)
11
dunia mendorong peningkatan produksi terutama dalam bentuk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil-CPO). Indonesia saat ini memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 8,9 juta ha dan 1,25 juta ha berada di lahan gambut (Ditjen Perkebunan 2013 dan ICCTF, 2013). Saat ini, tanaman kelapa sawit 41,4% dimiliki oleh perkebunan rakyat (PR), 48,6% dimiliki oleh perkebunan besar swasta (PBS), dan 10% dimiliki oleh perkebunan besar milik Negara (PTPN). Kementerian Pertanian mencatat 19,3 juta ton CPO diekspor, yang menghasilkan devisa 17,4 miliar dolar AS. Pengembangan kelapa sawit melibatkan 3,2 juta kepala keluarga yang bekerja di sektor on farm (Herman et al., 2009). Disamping itu pengembangan kelapa sawit terbukti telah mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi kemiskinan serta telah mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah di sentra-sentra pengembangan kelapa sawit. Sebagai tanaman yang berbentuk pohon, kelapa sawit juga mampu memfiksasi CO2 menjadi O2 yang diperlukan makhluk hidup. Produk kelapa sawit dapat digunakan sebagai minyak makan, oleokimia dengan berbagai produknya dan sebagai sumber energi. Limbah kelapa sawit baik berupa limbah padat maupun limbah cair, juga dimanfaatkan untuk pakan ternak, pupuk maupun sumber energi. Disamping itu dengan pola tanam yang tepat, pengembangan kelapa sawit dapat diintegrasikan dengan pengembangan tanaman palawija (khususnya pada saat kanopi belum menutup), maupun diintegrasikan dengan ternak sapi (ICALRD, 2010). Kelapa sawit hanya dapat tumbuh di daerah tropis dan mampu menghasilkan minyak nabati 10 kali lipat lebih besar dibanding minyak kedelai, rape seed maupun bunga matahari (World Bank, 2009 dalam Bappenas, 2009). Pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan dan devisa negara, menyediakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing, memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku dalam negeri, mendorong pengembangan
12
wilayah serta mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Pengembangan kelapa sawit di Indonesia dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan perkebunan berkelanjutan sesuai dengan berbagai peraturan yang berlaku di antaranya Indonesian Sustainable Palm Oil-ISPO (Agus et al., 2010 dan Ditjen Perkebunan, 2013 ). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian lahan gambut yang dimanfaatkan untuk pertanian dan perkebunan, saat ini menjadi lahan terlantar tidak produktif, akan tetapi sebagian lainnya dengan pengelolaan yang baik ternyata mampu berproduksi dan telah berkontribusi meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya (Wahyunto et al., 2010). Gambaran ini memperlihatkan bahwa ada bagian dari lahan gambut yang memang perlu dikonservasi untuk dipertahankan sebagai kawasan lindung dan peresapan air di kawasannya, tetapi juga ada gambut potensial yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan pertanian secara bijaksana. Semakin terbatasnya lahan mineral dalam luasan yang ekonomis untuk perkebunan kelapa sawit, lahan gambut merupakan salah satu alternatif perluasan lahan, yang berpotensi memberikan tambahan devisa dan kesempatan kerja bagi masyarakat. Apalagi pada daerahdaerah yang lahannya didominasi oleh lahan gambut seperti Provinsi Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, pemanfaatan lahan gambut merupakan suatu keharusan karena tidak ada pilihan lain. Tulisan ini membahas dinamika perkebunan kelapa sawit dan alternatif pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan potensi lahan dan dampaknya terhadap penurunan kualitas ekosistem lahan gambut.
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI LAHAN GAMBUT Kelapa sawit adalah unggulan utama komoditas perkebunan Indonesia. Saat ini Indonesia adalah pemilik terluas kebun kelapa
Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 11 - 22
Tabel 1. Luas areal perkebunan kelapa sawit dan produktivitasnya di Indonesia Provinsi/Pulau
N.A.Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kep. Riau Jambi Sumatera Selatan Keb Babel Bengkulu Lampung Sumatra Jawa barat Banten Kalimantan Sulawesi Papua &Papua Barat Indonesia
Perkebunan Kelapa Sawit (ha) di tanah mineral di tanah gambut Luas total perkebunan 252.496 831.387 290.755 1.105.098 8.130 397.491 643.938 182.116 226.072 142.336 4.079.819 9.837 14.894 1.796.730 209.379 59.887 6.170.546
29.836 217.305 48.920 788.491 88.645 64.118 245 963 10.882 1.249.405 0 0 288.136 0 2.038 1.539.579
282.332 1.048.692 339.675 1.893.589 8.130 486.136 708.056 182.361 227.035 153.218 5.329.224 9.837 14.894 2.084.866 209.379 61.925 7.710.125
Produktivitas rata-rata TBS (ton/ha) 2,6 3,7 2,6 4,1 0,8 3,4 3,8 3,8 4 3,1 2,6 - 4,0 1,9 2,8 2,4 - 3,7 1,8 - 3,9 2,5 - 2,8 1,9 - 4,1
Sumber: Dirjen Perkebunan, 2011 dan ICCTF, 2012
sawit dan penghasil Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia yang sebagian besar harus diekspor karena konsumsi dalam negeri jauh lebih rendah ketimbang produksi. Sumbangan Sub-sektor perkebunan bagi perekonomian Indonesia selama periode 2000-2004 sebesar 15,63% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Pertanian atau 2,46% dari PDB nasional. Selain itu subsektor ini juga sebagai salah satu sumber devisa non migas, sebagai sumber kesempatan kerja bagi jutaan penduduk, lapangan investasi bagi investor nasional maupun internasional, mendorong pertumbuhan berbagai sektor perekonomian lainnya (Wahyono et al., 2005). Berdasarkan asumsi bahwa setiap 2 ha kebun kelapa sawit memerlukan tenaga kerja sekitar 35 orang; 1 unit pabrik kelapa sawit (PKS) memerlukan 136 tenaga kerja, maka sampai dengan tahun 2005 penyerapan tenaga kerja oleh sub sektor perkebunan kelapa sawit sekitar 2,1 juta ha (Wahyono et al., 2005 dan Wiratmoko et al., 2008). Pada tahun 2006 sub sektor perkebunan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 3,3 juta
juta jiwa (Ditjen Perkebunan, 2007). Luas area perkebunan kelapa sawit di tanah mineral seluas 7, 7 juta ha dan 1,5 juta ha (20%) berada di lahan gambut (Tabel 1). Perkebunan kelapa sawit paling luas berada di Sumatera (69,1% dari luas kebun kelapa sawit di Indonesia) terutama di provinsi Riau, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Produktivitas tanaman kelapa sawit masih bervariasi antara 0,8 – 4,1 ton tandan buah segar (TBS) per ha. Produktivitas tertinggi dicapai di daerah Provinsi Riau (4,1 ton TBS/ha) dan produktivitas terendah berada di daerah provinsi Kepulauan Riau (0,8 ton TBS per ha). Sejak tahun 2006 Indonesia sudah menjadi penghasil CPO terbesar di dunia. Pada tahun 2009, dengan produksi CPO sebesar 20,4 ton dan volume ekspor sebesar 14,3 juta ton, Indonesia merupakan produsen dan ekportir minyak sawit terbesar di dunia. Perolehan devisa dari CPO pada tahun 2010 diperkirakan mencapai USD 14 millard (Kadin, 2009, dalam BPS, 2010). Menurut proyeksi Kadin (2009), penerimaan devisa tahun 2010-2014 dari komditas CPO mencapai USD 80,9
Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (WAHYUNTO et al.)
13
millard (80% dari keseluruhan komoditas pangan andalan ekspor), yaitu CPO, teh, kopi, kakao, tuna dan udang. Pengembangan industri hilir kelapa sawit memegang peranan penting dalam perekonomian nasional, khususnya penghasil devisa, penciptaan lapangan kerja, penyedia kebutuhan pokok masayarakat dan bahan baku industri, dan peningkatan ketahanan pangan dan energi nasional.
LAHAN GAMBUT DAN POTENSINYA UNTUK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Ekosistem Lahan Gambut Luas lahan gambut di dunia diperkirakan sekitar 400 juta ha. Indonesia merupakan negara ke empat dengan lahan rawa gambut terluas di dunia, yaitu sekitar 14,9 juta ha setelah Kanada seluas 170 juta ha, Uni Soviet seluas 150 juta ha, dan Amerika Serikat seluas 40 juta ha (Istomo, 2005 dan BBSDLP, 2011). Namun pada kenyataannya, Indonesia merupakan negara dengan kawasan gambut tropika terluas di dunia. Jika luas gambut di Indonesia seluas 14,9 juta ha, maka sekitar 40% gambut tropika dunia yang luasnya sekitar 40 juta ha berada di Indonesia. Gambut dinilai sebagai habitat lahan basah yang mampu menyerap (sequester) dan menyimpan (sink) karbon dalam jumlah besar sehingga dapat mencegah larinya Gas Rumah Kaca (GRK) terutama CO2 ke atmosfer bumi yang berdampak terhadap perubahan iklim. Ada tiga jenis ekosistem lahan gambut Indonesia terletak di daerah rawa dataran rendah, marin/pesisir dan sub-marin (Sabiham, 1988). Gambut yang diendapkan di tiga ekosistem rawa umumnya terakumulasi selama periode Holocene. Komposisi bahan gambut umumnya terdiri dari bahan yang sangat kaya akan kayu, mengandung lignin yang sangat tinggi yang bervariasi antara 65,0-80,0%, sedangkan kandungan bahan selulosa dan hemiselulosa umumnya kurang dari 10% (Polak, 1950 dan Sabiham, 1997).
14
Sifat fisik dan Kimia (Kesuburan) Gambut
Lahan
Tingkat kesuburan tanah gambut dikenal dengan istilah: Eutrofik, Oligotropik dan Mezotropik (Hardjowigeno, 1987 dan 1989), dengan mempertimbangan kandungan abu, dan unsur hara terutama phospor (P2O5), Kalsium (CaCO2), dan Potasium (K2O). Terkait dengan penggunaan pertanian, lahan gambut air tawar dikategorikan sebagai gambut ombrogen (Oligotrofik) dengan karakteristik sangat asam, miskin hara. Lahan gambut yang berkembang pada lingkungan air payau atau laut dapat diklasifikasikan ke dalam gambut Topogen (Eutrofik) dengan ketebalan gambut kurang dari 3,0 m, lebih subur bila dibanding dengan gambut ombrogen, cukup masam sampai masam, dan memiliki dukungan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibandingkan dengan gambut ombrogen (Sabiham, 2000). Kandungan unsur hara N, P, K, Na, Ca, Mg, dan Fe pada tanah gambut baik ombrogen dan topogen berturutturut adalah seperti berikut 0,4-0,9%, 0,1-0,8%, 0,01-0,05%, 0.04-0,01%, 0.01- 0,61%, 0,02-0,06% dan 0,03-0,6% (Saragih, 1996 dan Dohong, 1999). Tingginya unsur hara N dan P dengan diikuti dengan tingginya kandungan C (> 51%) berarti C/N dan C/P memiliki rasio yang tinggi, sehingga menyebabkan ketersediaan unsur N dan P rendah. Kandungan total unsur Cu, Zn dan Mn juga rendah (<0,01%). Sifat lain dari gambut yang penting adalah tingkat porositas yang tinggi dan berat jenis (BD) yang sangat rendah. Total volume porositas berkisar 88-90%, sedangkan BD gambut di lapisan permukaan berkisar 0,14-0,17 g/cc (Andriese, 1994). Andriesse (1974) dan Fahmuddin et al., (2009a dan 2009c) menyatakan bahwa secara umum, BD telah terkait erat dengan tingkat dekomposisi gambut. Gambut Fibric mempunyai BD sangat rendah (kebanyakan kurang dari 0,1 g/cc), sedangkan gambut saprik memiliki BD sekitar 0,2 g/cc dan gambut hemik di antara 0,1 sampai 0,2 g/cc. Ketika lahan gambut mengering, maka fungsi hidrologi akan terganggu karena menurunnya konsentrasi COOH dan fungsi OH gambut,
Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 11 - 22
Kelompok-kelompok fungsional bersifat polar dan hidrofilik, yang dapat membantu dalam proses menyerap air (Silvoa et al., 1985 dan Sabiham, 2000). Gambut Sebagai Penyimpan Karbon Pengaruhnya terhadap Emisi GRK
dan
Lahan gambut menyimpan karbon yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Di daerah tropis karbon yang disimpan tanah dan tanaman pada lahan gambut bisa 10 kali karbon yang disimpan oleh tanah dan tanaman pada tanah mineral (Agus dan Subiksa, 2008). Lahan gambut hanya meliputi 3% dari total luas daratan dunia, namun menyimpan 550 Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah, setara dengan seluruh C yang dikandung biomasa (masa total mahluk hidup) daratan dan setara dengan 2 kali simpanan C semua hutan di seluruh dunia (Joosten, 2007). Besarnya cadangan C pada lahan gambut sangat ditentukan oleh tingkat ketebalan gambut, vegetasi yang tumbuh di atasnya, dan tingkat kematangan gambut. Di Indonesia proporsi luas lahan gambut mencapai 10% dari luas permukaan, sebagian besar terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan, Papua dan Papua Barat (Wahyunto et al., 2005; Agus et al., 2009b). Lahan gambut di Indonesia tersebar di tiga pulau besar (Sumatera, Kalimantan dan Papua) seluas 14,9 juta ha (BBSDLP, 2011). Variabilitas besarnya cadangan karbon dalam lahan gambut ditunjukkan hasil penelitian Page et al. (2011) yang menyatakan rata-rata besarnya cadangan karbon sebesar 600 t C/m3, sedangkan hasil penelitian Wahyunto et al. di Sumatera dan Kalimantan (2003,2004) menunjukkan kandungan C dalam lahan gambut berkisar antara 2000-3000 t/ha. Penelitian terbaru dari Agus et al. (2011) menyatakan cadangan karbon pada gambut di Indonesia sekitar 27 Gt. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di lahan gambut khususnya CO2 di antaranya berasal dari pembakaran cadangan karbon atas permukaan tanah yang berupa pohon dan serasah tanaman. Emisi juga terjadi karena pembakaran atau terbakarnya lahan gambut dan proses
dekomposisi sebagai akibat perubahan kondisi anaerob (tergenang-basah) menjadi aerob (kering). Penelitian Hooijer et al.., (2010) menunjukkan bahwa emisi CO2 lahan gambut berkisar antara 16,2–776,7 mg CO2/m2/jam tergantung pada kedalaman permukaan air tanah. Emisi paling kecil terjadi pada permukaan air tanah tertinggi (dangkal) dan emisi meningkat bila permukaan air tanah semakin dalam. Emisi CO2 hampir 2 kali lipat yaitu sekitar 231,3 mg/m2/jam pada permukaan air 0-5 cm di atas permukaan tanah menjadi 453,7 mg/m2/jam pada permukaan air tanah 1-5 cm dibawah permukaan tanah. Menurut Hooijer et al. (2006), kedalaman saluran drainase sangat mempengaruhi tingkat emisi CO2 pada lahan gambut. Pada kedalaman drainase 30-120 cm, emisi CO2 meningkat 9,10 t/ha/tahun setiap penambahan kedalaman drainase 10 cm. Agus et al., (2007) mengoreksi nilai tersebut dengan faktor 0,70 karena diperkirakan 30% dari emisi CO2 berasal dari respirasi akar yang dikompensasi oleh penyerapan CO2 dari atmosfer melalui fotosintesis. Dengan demikian, emisi dari respirsasi akar tersebut tidak berpengaruh terhadap pemanasan global. Jauhiainen et al. (2010) menemukan bahwa emisi tertinggi terjadi bila kedalaman muka air tanah sekitar 60 cm. Pada kedalaman muka air tanah lebih dangkal tanahnya terlalu jenuh dan pada kedalaman air tanah lebih dalam, tanahnya terlalu kering sehingga tidak ideal untuk aktivitas mikroba, artinya pada kondisi ini proses dekomposisi terhambat, hal ini berdampak pada penurunan emisi. Potensi Lahan Gambut Untuk Perkebunan Kelapa Sawit dan Kendala Pengembangannya Areal berpotensi untuk perluasan perkebunan kelapa sawit tidak saja lahan mineral, tetapi juga lahan gambut. Namun pemanfaatan hutan rawa gambut akan menyebabkan tingginya emisi gas rumah kaca (GRK) terutama CO2 (Ambak and Melling, 2000; Andriese, 1994 and Agus et al., 2010b). Emisi GRK dapat dikurangi dengan cara konservasi hutan.
Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (WAHYUNTO et al.)
15
Tidak seluruh lahan rawa gambut di Indonesia sesuai dan layak dimanfaatkan untuk pertanian dan perkebunan karena adanya berbagai kendala seperti ketebalan gambut, kesuburan rendah, kemasaman tinggi, adanya lapisan pirit, tanah di bawah gambut (substratum) berupa pasir kwarsa. Diperkirakan hanya 9 juta ha yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian, dan sampai tahun 2002 diperkirakan baru 5,39 juta ha yang telah dibuka untuk pertanian (Agus et al., 2010a). Dengan demikian bila dilihat dari segi kuantitas, pertanian di lahan gambut masih memiliki prospek untuk dikembangkan (Norr M, 2010). Namun pengembangannya harus dilakukan secara sangat hati-hati dan sesuai dengan peruntukannya mengingat kendalanya cukup banyak. Kesesuaian lahan gambut untuk perkebunan tergantung pada tanaman yang akan dibudidayakan. Pengaturan kedalaman drainase (kedalaman muka air tanah) sesuai dengan kebutuhan tanaman untuk mencapai pertumbuhan yang optimal, sangat penting bagi keberhasilan pemanfaatan lahan gambut. Ada tiga tingkat kesesuaian lahan yang dapat digunakan untuk pertanian, yaitu: Sesuai, sesuai bersyarat, dan tidak sesuai (Djaenuddin et al., 2007). Lahan gambut dangkal umumnya tergolong sesuai bersyarat untuk perkebunan kelapa sawit, dan memerlukan pengelolaan tata air yang khusus agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal. Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No.32 Tahun 1990, tidak semua lahan gambut dapat diarahkan untuk lahan pertanian dan perkebunan. Lahan gambut dengan ketebalan lebih dari 3 meter diarahkan untuk dikonservasi/ dilindungi demi menjaga kelestarian lingkungan (Pasal 10 Keppres No.10/1990). Artinya, dengan Keppres No. 32/1990 tersebut, lahan gambut yang dapat digunakan untuk perkebunan kelapa sawit hanya gambut dengan ketebalan kurang dari 3 m. Kementerian Pertanian kemudian mengembangkan kriteria, lahan gambut dengan ketebalan gambut 0,5 - 1 m diprioritaskan untuk tanaman pangan/semusim, sedangkan lahan gambut dengan ketebalan 1,0 - 3 m diarahkan untuk
16
tanaman tahunan (perkebunan dan hortikultura). Namun demikian, kriteria tersebut perlu dipertimbangkan kembali karena tidak hanya ketebalan gambut yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, tetapi juga faktor lain seperti: (i) tingkat kematangan gambut, (ii) bahan mineral di bawah lapisan gambut/ substratum, dan (iii) status kesuburan lahan gambut. Berdasarkan peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.14/2009, lahan gambut yang termasuk dalam kawasan hutan lindung, taman nasional, cagar alam dan hutan konservasi tidak direkomendasikan untuk pengembangan pertanian termasuk perkebunan. Demikian juga, lahan gambut fibrik (masih mentah/belum terdekomposisi), dan atau lahan gambut yang bahan mineral di bawah gambut berupa pasir kuarsa harus dilestarikan sebagai hutan rawa gambut. Secara umum, dapat dikatakan bahwa gambut saprik memiliki potensi pertanian yang relatif lebih baik bila dibanding dengan gambut yang terdiri dari bahan hemik dan fibrik. Keberadaan bahan mineral di antara lapisan gambut membantu meningkatkan kesuburan tanah gambut. Bagian pinggiran kubah sebagian besar merupakan gambut mesotropik, dan eutrofik dapat dijumpai pada lahan gambut dengan ketebalan <3 m, memiliki kesuburan lebih baik daripada gambut dalam (>3 m) atau merupakan bagian tengah kubah gambut. Yang perlu diperhatikan dalam mengelola lahan gambut. Jika di bawah gambut terdapat lapisan pasir apalagi pasir kwarsa, sebaiknya tidak usah digunakan untuk pertanian/ perkebunan, karena disamping tidak subur, kalau gambutnya habis akan menjadi padang pasir. Apabila di bawah gambut terdapat lapisan pirit, pengelolaan harus hati-hati dan tanahnya harus dijaga agar selalu dalam keadaan berair (agar piritnya tidak teroksidasi) atau dibuat sistem drainase yang memungkinkan tercucinya bahan berpirit. Dari sifat fisik tanah, kendala tanah gambut untuk budidaya tanaman, antara lain: (i) tanah tidak cukup kuat untuk mendukung tegak dan tumbuhnya tanaman, sehingga tanaman tidak
Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 11 - 22
dapat berdiri tegak menjadi condong, (ii) daya dukung yang rendah, menciptakan kesulitan dalam pengolahan tanah bila menggunakan mesin/alat mekanisasi pertanian seperti traktor atau hewan kerja.
PENGALAMAN DAN KEBERHASILAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT Indonesia sebagai negara agraris harus mengedepankan kelestarian lingkungan dalam mengeskploitasi sumberdaya alam. Eksploitasi yang berlebihan pasti mengganggu kelestarian lingkungan. Pengalaman menunjukkan bahwa tidak semua pengembangan pertanian di lahan gambut bisa sukses, namun tidak semuanya juga mengalami kegagalan. Sebetulnya, sudah sejak lama lahan gambut digunakan untuk budidaya pertanian. Di Indonesia budidaya pertanian di lahan gambut secara tradisional sudah dimulai sejak ratusan tahun lalu oleh suku Dayak, Bugis, Banjar dan Melayu dalam skala kecil. Mereka memilih lokasi dengan cara cermat, memilih komoditas yang teruji, dan dalam skala yang masih dapat terjangkau oleh daya dukung/ layanan alam. Indonesia telah mempunyai pengalaman membuka dan mengelola lahan rawa pasang surut termasuk lahan gambut sejak puluhan tahun lalu, yaitu untuk perluasan lahan pertanian berupa lahan sawah pasang Surut (di Sumatera Selatan, Jambi, dan Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah) dengan luas persawahan pasang surut sekitar 954.000 ha (Driessen and Suhardjo, 1975) terdiri lahan gambut sekitar 20-40%, dan diperkirakan lebih dari 1 juta ha lahan gambut telah dimanfaatkan untuk areal perkebunan, terutama kelapa sawit yang sangat produktif. Pertanaman kelapa sawit pada lahan gambut mampu menghasilkan tandan buah segar (TBS) 20,25 23,74 t/ha/tahun (Barchia, 2006). Lebih spesifik lagi, menurut Wiratmoko et al. (2008), kelapa sawit yang ditanam di lahan gambut topogen dapat menghasilkan Tandan buah segar (TBS) 19,64-25,53 t/ha/tahun. Sebagai pembanding, menurut Lubis dan Wahyono (2008), pengusahaan kelapa sawit pada lahan mineral dapat
menghasilkan TBS rata-rata 22,26 t/ha/tahun dengan puncak produksi sekitar 27,32 t/ha/tahun. Keberhasilan usaha pertanian di lahan gambut dapat dilihat di beberapa daerah terutama di kawasan permukiman transmigrasi di Kalimantan Barat (Rasau Jaya, Pinang luar, Jangkang) Kalimantan Tengah (Kalampangan, Berengbengkel), Riau, Sumatera Selatan, Jambi untuk pengembangan sayuran, tanaman buahbuahan hortikultura dan tanaman perkebunan (kopi, coklat, kelapa, dan kelapa sawit). Saat ini budidaya keberhasilan tanaman di tanah gambut dapat ditemukan dalam situs lokal dan transmigrasi di Kalimantan. Akhir-akhir ini pemanfaatan lahan gambut telah menimbulkan perdebatan hangat, karena di satu sisi merupakan suatu kebutuhan dan mampu memberikan keuntungan ekonomi, tetapi di sisi lain telah menimbulkan kerusakan lingkungan berupa penyusutan keaneka ragaman hayati, kerusakan tata air, dan peningkatan emisi CO2 yang ikut berperan menimbulkan pemanasan global. Agar tidak mengulang kegagalan yang sama dan meminimalkan dampak negatif, maka dalam upaya pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan perkebunan, selain mempertimbangkan aspek teknis, aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan juga perlu perlu mendapat perhatian, agar usaha tani yang dikembangkan dapat berkelanjutan dan ramah lingkungan. Keberhasilan dan keberlanjutan pemanfaatan lahan gambut sangat dipengaruhi oleh banyak aspek terutama aspek teknis kesesuaian lahan, ketersediaan pasar, dukungan infrastruktur yang memadai terutama jalan dan saluran air di lokasi pertanian, teknologi dan kearifan lokal, kelembagaan tani, dan ketersediaan dana kredit untuk modal usaha tani.
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT BERKELANJUTAN UNTUK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Gambut merupakan ekosistem yang marginal dan rapuh sehingga mudah rusak. Kondisi semacam ini menuntut kesadaran semua pihak untuk bersikap bijak dan harus melihat
Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (WAHYUNTO et al.)
17
gambut dari berbagai sudut pandang. Kesadaran terhadap pentingnya keseimbangan antar berbagai fungsi gambut, akan lebih menjamin keberlanjutan pemenuhan fungsi sosial, ekonomi dan kelestarian lingkungan. Konsep pertanian berkelanjutan pada lahan gambut sebenarnya bukan merupakan istilah tepat, karena lahan gambut bersifat labil terutama karena adanya penurunan permukaan tanah (subsident) yang disebabkan oleh pemadatan (consolidation) dan emisi CO2 selama digunakan untuk usaha pertanian dan perkebunan. Subsiden tersebut bisa dikurangi dengan cara mengadopsi beberapa strategi pengelolaan lahan yang benar mengenai air, tanah, dan tanaman. Namun pada akhirnya lahan gambut terutama lahan gambut tipis akan berubah menjadi lahan mineral setelah gambutnya habis terdekomposisi, dan pertanian di atas lahan tersebut menjadi terbengkalai. Menurut Munasinghe (1993), dalam Herman et al. (2009), pembangunan pertanian akan berkelanjutan apabila layak secara ekonomi, tidak menimbulkan kesenjangan sosial budaya (layak secara sosial budaya), dan tidak menyebabkan penurunan kualitas lingkungan (layak secara ekologi). Berkaitan dengan pertanian di lahan gambut (Maas, 2002) menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan diartikan sebagai suatu pertanian yang produktif dan menguntungkan, tetap melaksanakan konservasi terhadap sumber daya alam, mengupayakan seminimal mungkin dampak negatifnya terhadap lingkungan hidup. Pengembangan lahan rawa (gambut) secara lestari dan berwawasan lingkungan dapat terwujud apabila pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana dan dikelola serasi dengan karakteristik, dan sifat lahan rawa (gambut) didukung oleh pembangunan prasarana fisik (terutama tata air), sarana, pembinaan sumberdaya manusia dan penerapan teknologi spesifik lokasi (Mario, 2002). Gambut tipis <1m diarahkan untuk tanaman pangan/semusim, gambut sedang (1-3 m) untuk tanaman tahunan (hortikultura dan perkebunan) dan gambut tebal (>3 meter) harus dijadikan kawasan konservasi
18
untuk menjaga kestabilan ekosistem Daerah Aliran Sungai. Selain dari pertimbangan teknis, pertimbangan dalam pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan sub-optimal, terutama untuk perkebunan besar, adalah: lahan gambut tersedia dalam hamparan yang luas dan relatif jarang penduduknya, sehingga secara ekonomi sangat layak dan konflik tata guna lahan relatif kecil. Dalam kondisi alami, lahan gambut selalu dalam keadaan jenuh air (anaerob), sementara itu sebagian besar tanaman memerlukan kondisi yang aerob. Oleh karenanya, langkah pertama dalam reklamasi lahan gambut untuk pertanian/ perkebunan adalah pembuatan saluran drainase untuk menurunkan permukaan air tanah, menciptakan kondisi aerob di zona perakaran tanaman, dan mengurangi konsentrasi asamasam organik. Namun demikian, gambut tidak boleh terlalu kering, karena gambut akan mengalami kerusakan dan menimbulkan emisi GRK yang tinggi. Berbeda dengan tanah mineral, bagian aktif gambut adalah fase cairnya, sehingga apabila gambut kering akan kehilangan fungsinya sebagai tanah dan menjadi bersifat hidrofobik. Pengembangan kawasan lahan gambut dalam skala luas memerlukan jaringan saluran drainase yang dilengkapi dengan pintu air untuk mengendalikan muka air tanah di seluruh kawasan. Dimensi saluran primer, sekunder, dan tersier disesuaikan dengan luas kawasan dan jenis komoditas yang dikembangkan. Tanaman kelapa sawit dan kelapa memerlukan saluran drainase sehingga kedalaman air tanah menjadi sekitar 50-70 cm dan tanaman karet sedalam 2040 cm. (Agus et al., 2010a). Pembuatan saluran drainase di lahan gambut akan diikuti oleh peristiwa penurunan permukaan lahan (subsiden). Proses ini terjadi karena pemadatan, dekomposisi, dan erosi gambut di permukaan yang kering. Semakin dalam saluran drainase, maka penurunan permukaan lahan semakin besar dan semakin cepat. Penurunan permukaan gambut dengan mudah dapat diamati dengan munculnya akar tanaman tahunan di permukaan tanah. Untuk mengurangi dampak penurunan tanah terhadap
Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 11 - 22
perkembangan tanaman, sebaiknya penanaman tanaman tahunan ditunda sampai satu tahun setelah pembukaan saluran. Hal ini dilakukan untuk menghindari tanaman roboh karena daya sangga gambut yang rendah.
KESIMPULAN DAN SARAN Pengelolaan perkebunan di lahan gambut harus dilakukan secara lebih bijaksana (wise used) dan direncanakan secara matang, baik dari aspek teknis maupun aspek sosial ekonomi dan lingkungan. Pengaturan tata air, pemberian bahan amelioran dan pemupukan yang berimbang merupakan kunci utama dalam pengelolaan lahan berkelanjutan untuk mencapai produksi yang optimal dan kontinyu. Pengaturan tinggi muka air tanah diusahakan supaya tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam, sehingga kelestarian gambut dapat terjaga. Pengaturan tinggi muka air tanah berkisar 60-70 cm diperlukan untuk mendukung pertumbuhan optimal tanaman kelapa sawit, dalam kondisi demikian permukaan tanah tetap lembab, sehingga tidak mudah terjadi kebakaran dan penurunan tanah gambut secara cepat sehingga emisi Gas Rumah Kaca terutama emisi Karbon dapat dikurangi. Perencanaan dan pelaksanaan pemanfaatan lahan gambut seyogianya dilakukan melalui pendekatan partisipatif dengan melibatkan semua pihak terkait, sehingga dapat terjalin kerjasama dan rasa kebersamaan untuk mencapai tujuan yang sama. Sehingga dalam suatu area pengembangan perkebunan diharapkan upaya pembinaan, pengawasan kegiatan dan pengendalian dampak negatif relatif lebih mudah ditangani, sehingga pengembangan usaha tani lahan gambut secara berkelanjutan dan ramah lingkungan dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA Agus.
F., Suyanto, Wahyunto, and M.van Noordwijk. 2007. Reducing Emission from Peatland Deforestration and
Degradation: carbon emission and opportunity coast. Paper presented in International Sysmposium and Workshop on tropical peatland: Carbon Climate-Human Interaction-Carbon Polls, Fire, Mitigation, restoration, and Wise use. Yogyakarta, Indonesia, 27-29 August 2007. Agus, F. dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Agus, F. 2009a. Cadangan karbon, emisi gas rumah kaca dan konservasi lahan gambut. Prosiding Seminar Dies Natalis Universitas Brawidjaya ke 46, 31 Januari 2009. Malang. Agus, F., E. Runtunuwu, T. June, E. Susanti, H. Komara. H. Syahbudin, I. Las, and M. Van Noordwijk. 2009b. Carbon budget in land use transitions to plantation. J. Penel. Pengemb. Pert. 29(4):119-126. Agus, F. Wahyunto, E. Runtunuwu, A. Dariah, E. Susanti, dan E. Surmaini. 2009c. Identifikasi iptek terhadap dampak perubahan iklim di sektor pertanian (mitigasi perubahan iklim pada berbagai sistem pertanian di lahan gambut Kabupaten Kubu Raya dan Pontianak, Kalimantan Barat). 2009. Laporan Kerjasama BBSDLP dengan Kementerian Riset dan Teknologi. Agus, F., A. Dariah, E. Susanti, dan Jubaedah. 2010a. Penggunaan lahan gambut: Trade offs antara emisi CO2 dan keuntungan ekonomi. Kerjasama antara Asisten Deputy Iptek Pemerintahan dengan Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Agus, F., Wahyunto, A. Dariah, P. Setyanto, I.G.M. Subiksa, E. Runtunuwu, E. Susanti, and W. Supriatna. 2010b. Carbon budget and management strategies for conserving carbon in peat land: Case study in Kubu Raya and Pontianak Districts, West Kalimantan, Indonesia. pp. 217-233. In, Chen, Z.S. and F. Agus (eds.), Proceedings
Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (WAHYUNTO et al.)
19
of Int’l Workshop on Evaluation and Sustainable Management of Soil Carbon Sequestration on Asian Countries. Agus, F., Gunarso, P., Sahardjo, B.H., Joseph, K.T., Rashid, A., Hamzah, K., Harris, N., and van Noordwijk, M. 2011. Strategies for CO2 emission reduction from land use changes to oil palm plantations in Indonesia, Malaysia and Papua New Guinea. RSPO, Kuala Lumpur. Presented at the Rountable 9 of the Roundtable on Sustainabe Palm Oil, Kota Kinabalu, Malaysia. Ambak, K. and Melling, L. 2000. Management practices for sustainable cultivation of crop plantation on tropical peatlands. Proc. of The Internatonal Symposium on Tropical Peatlands, 22-23 Nopember 1999. Bogor, Indonesia, p. 119. Andriesse, J.P. 1974. Tropical Lowland peats in South East Asia. Comm. No. 63. Royal Tropical Istitute. Amsterdam. Andriesse, J.P. 1994. Constraints and opportunities for alternatives uses options of tropical peatland. In B.Y Aminiddin (Ed.). Tropical Peat: Proceedings of Intern Symp. On Trop. Peatland, 6-10 may 1991, Kucing Sarawak, Malaysia. Badrun, M. 2010. Lintasan 30 tahun pengembangan kelapa sawit. Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (The 30 year oil palm development. Directorate General of Plantations, Ministry of Agriculture, Indonesia and the Indonesian Company Society for Oil Palm Plantation). BBSDLP (Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian). 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia. Bogor. BAPPENAS, Indonesian National Development Planning Agency. 2009. Reducing carbon emissions from Indonesia’s peatlands. Interim report of multi-disciplinary study. BAPPENAS, the Republic Indonesia.
20
Barchia. M.F. 2006. Gambut. Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Gadjahmada University Press. Yogyakarta. BPS (Badan Pusat Statistik). 2010. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Djaenudin, D., H. Marwan, H. Subagjo, dan A. Hidayat. 2000. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Ditjen Perkebunan. 2011. Kebijakan Pengembangan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Seminar Implementasi RSPO di Indonesia. Jakarta, 10 Februari 2011 Ditjenbun (Direktorat Jenderal Perkebunan). 2007. Road Map Kelapa sawit. Ditjenbun. Jakarta. Dohong S. 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah gambut yang disawahkan dengan pemberian bahan Alemlioran Tanah Mineral berkadar Besi Tinggi. Disertasi Program Pasca Sarjana. Institute Pertanian Bogor. Driessen, P.M. and H. Suhardjo. 1975. Reclamation and Use of Indonesian Lowland peats and Their effects on soil conditions. 3rd Asean Soil Conference, Kuala Lumpur. Hardjowigeno, S. 1987. Suitability of Peat Soil of Sumatra for Agricuture Development. International Peat Society Sysposium on Tropical Peat and Peatland for Development. Yogyakarta 9-14 Febreuari 1987. Hardjowigeno S. 1989. Sifat-sifat dan Potensi Tanah Gambut Sumatra untuk Pengembangan Pertanian. Prosiding Seminar Tanah Gambut untuk perluasan Pertanian. Medan 27 Nopember 1989, halaman 43-79. Fakultas pertanian Universitas Islam Sumatera Utara, Medan Herman, Fahmuddin Agus dan Irsal las. 2009. Analisis finansial dan keuntungan yang hilang dari pengurangan Emisi Karbon Dioksida pada Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal Litbang Pertanian, Volume 28 No.4 tahun 2009 halaman: 127-133. Badan
Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 11 - 22
Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943 (2006). Hooijer, A., S. Page, J.G. Canadell, M. Silvius, J. Kwadijk, H. Wösten, and J. Jauhiainen. 2010. Current and future CO2 emission from drained peat lands in Southest Asia. Biogeosci. 7:1505-1514. ICALRD Team. 2010. Policy brief: Kajian pemanfaatan lahan gambut untuk pengembangan perkebunan ICALRD, Ministry of Agriculture, Indonesia. Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF). 2012. Sustainable Management of Degraded Peatland to mitigate GHG Emissionand Optimzed Crop production. Laporan kerjasama Penelitian ICCTF Bapennas – BBSDLP. Bogor. Istomo.2005. Keseimbangan Hara dan Karbon dalam Pemanfaatan Lahan Gambut Berkelanjutan.halaman: 133-147. Prosiding lokaraya Pemanfaatan Lahan gambut secara Bijaksana untuk manfaat Berkelanjutan. Pekanbarau, 31 Mei – 1 Juni 2005. Wetland International Indonesia Program. Bogor Jauhiainen, J, J. Heikkinen, P.J. Martikainen, and H. Vasander. 2010. CO2 fluxes in pristine peat swamp forest and peat land converted to agriculture in Central Kalimantan, Indonesia. Int. Peat J. 11: 43-49. Joosten, H.2007. Peatland and carbon. Pp99-117 in Parish, F. Siri, A., Chapman, Joosten and Silvius M. (Eds.) Assessment on Peatland, Biodiversity and Climate Change. Global environmental Centre, Kuala Lumpur and Wetland International, Wageningen. Maas, A. 2002. Lahan rawa sebagai lahan pertanian masa kini dan masa depan. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Lahan kering dan Lahan rawa. Balai
Pertanian Lahan rawa Banjar baru, 18-19 Desember 2002. Mario, M.D. 2002. Peningkatan Produktivitas dan Stabilitas Tanah Gambut dengan Pemberian Tanah Mineral yang diperkaya bahan berkadar besi tinggi . Disertasi Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Noor M. 2010. Lahan Gambut: Pengembangan, konservasi dan perubahan iklim. Gadjahmada University Press. Yogyakarta. Page, S., Morrison, E., R., Malins, C., Hooijer, A., Rieley, J.O. and Jauhiainen, J. 2011. Review of peat surface greenhouse gas emissions from oil palm plantations in Southeast Asia. International Council on Clean Transportation, Washington, DC. Polak, B. 1950. Occurance and Fertility of Tropical peatsoils in Indonesia. 4th Int. Conggres of Soil Science, Vol2, 183-185, Amsterdam. The Netherlands. Sabiham, S. 1988. Studies on peat in the coastal plains of Sumatra and Borneo. PhD Dissertation. Kyoto University, Kyoto, Japan. Sabiham S., T.B. Prasetyo and S. Dohong.1997. Phenolic acid in Indonesian Peat. In Reiley and page (Eds). Pp.289-292. Biodeversity and Sustainability of Tropical Peat and Peatland. Samara Publishing Ltd. Cardigan, U.K. Sabiham, S. 2000. Kadar air kritis gambut Kalimnantan Tengah dalam kaitannya dengan kejadian kering tidak balik (Critical water content of the Central Kalimantan peats in relation to the process of irreversible drying). J. Tanah Trop. 11:21-30 Saragih, E.S. 1996. Pengendalian Asam-asam Organik meracun dengan Penambatan Fe (III) pada Tanah gambut Jambi, Sumatra. Tesis S2. Program pasca sarjana, Institute Pertanian. Bogor. Silvola, J., Valijoki, J. And Aaltonen, H. 1985. Effect of draining and fertilization on soil respiration at three ameliorated peatland site. Acta For. Fem. 191:1-32.
Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (WAHYUNTO et al.)
21
Lubis dan Wahyono, T. 2008. Keragaan Konflik pengusahaan lahan pada perkebunan kelapa sawit di Sumatra. Jurnal Penelitian Kelapa sawit 16(1): 47-59 Wahyono, T., L. Buana, Dja’far dan D. Siahaan. 2004. Ekonomi investasi pabrik kelapa sawit. Dalam Tinjauan Ekonomi Industri Kelapa sawit. Pusat Penelitian Kelapa sawit. Medan. Wahyunto, S. Ritung, Suparto, and H. Subagjo. 2005. Peatland distribution and its C content in Sumatra and Kalimantan. Wetland Int’l – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada. Bogor, Indonesia.
22
Wahyunto, Wahyu Supriatna, and Fahmuddin Agus. 2010. Landuse change and Recommendation for Sustainable development of Peat for agriculture: Case study at Kubu raya and pontianak Districts, West Kalimantan. Indonesian Journal of Agricultiural Science. Vol.11, No.1, April 2010. Page. 32-40. Wiratmoko, D., Winarno, S., Rahutomo, dan H.Santoso. 2008. Karakteristik gambut topogen dan ombrogen di Kabupaten Labuhan batu Sumatera Utara untuk Budidaya tanaman kelapa sawit. Jurnal Penelitian Kelapa sawit 16 (3):119-126.
Volume 12 Nomor 1, Juni 2013 : 11 - 22