21
VARIASI TEMPORAL EMISI CO2 DI BAWAH PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT DI RIAU
TEMPORAL VARIATION OF CO2 EMISSION UNDER OIL PALM PLANTATION ON PEATLAND IN RIAU Hery Widyanto1, Nurhayati1, Ai Dariah2, Ali Jamil2 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau, Jl. Kaharudin Nasution No. 341, Padang Marpoyan, Pekanbaru 10210. 2
Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No.12, Cimanggu, Bogor 16114.
Abstrak Pembukaan areal lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit memiliki tantangan tersendiri dari segi lingkungan hidup, salah satunya adalah tingkat Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui variasi temporal emisi gas CO 2 diperkebunan kelapa sawit di lahan gambut.Penelitian dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei. Kijang, Kabupaten Pelalawan, Riau dari bulan Juli 2013 sampai Juni 2014. Pengukuran emisi dilakukan menggunakanIRGA (Infrared Gas Analyzer). Jumlah titik yang diukur sebanyak 16 titik yang terbagi menjadi 4 transek. Setiap titik pengukuran terletak diantara tanaman sela di pertanaman kelapa sawit. Emisi gas CO2 bervariasi untuk pengukuran pagi hari berkisar antara 29,7 - 138,8 ton/ha/th dan 36,9 – 115,3 ton/ha/th untuk siang hari. Rata-rata emisi gas CO2 siang hari lebih tinggi (63,1 ± 15,9 ton/ha/th) dibandingkan pagi hari (59,8 ± 24,7 ton/ha/th) dan tidak/berbeda nyata pada taraf 5%. Hal ini erat hubungannya dengan peningkatan suhu udara dan suhu tanah yang tinggi akan merangsang aktifitas mikroorganisme sehingga perombakan gambut lebih cepat. Korelasi tinggi muka air tanah dengan emisi gas CO2 pada pertanaman kelapa sawit tidak nyata pada taraf 5% korelasi Pearson dengan koefisien korelasi sebesar -0,06489. Emisi pada jarak terjauh dari saluran (108 m) sebesar 83,9 ton/ha/thn, kemudian secara berturut-turut nilai emisi pada jarak 36 , 63 dan 99 meter dari saluran sebesar 51,0 ; 56,6 dan 54,2 ton/ha/th. Hasil ini menunjukkan emisi gas CO2 siang hari lebih tinggi 5.67% dibandingkan pada pagi hari, tidak ada korelasi antara tinggi muka air tanah dengan emisi gas CO2 pada pertanaman kelapa sawit dan tidak ada konsistensi antara jarak dari saluran drainase dengan peningkatan emisi gas CO2. Kata kunci: Variasi emisi, lahan gambut, kelapa sawit Abstract The clearing of peatlands for oil palm plantations has its own challenges in terms of the environment, one of which is the level of greenhouse gas emissions (GHG). The purpose of this study was to determine the temporal variation of CO2 emissions in the oil palm plantations on peatland. The experiment was conducted in the village of
285
Hery Widyanto et al.
Lubuk Ogong, Sub District Bandar Sei Kijang, District of Pelalawan, Riau from July 2013 to June 2014. Emission measurements performed using IRGA (Infrared Gas Analyzer). The number of points measured by 16 points which is divided into 4 transects, each measuring point located between intercrops in oil palm plantations. CO2 emissions were varied for morning measurements ranged from29.7 to 138.8tons/ha/yr and 36.9 to 115.3 tons/ha/yr for the day. Average CO2 emissions in the morning were slightly higher (63.1 ±15.9 tonnes/ha/yr) than the emission at the daytime (59.4 ±23.9 tonnes/ha/yr) and no significantly different at 5% level. It is closely related to the increase in air temperature and high soil temperatures that probably stimulated activity of microorganisms in decomposition process. The correlation between water table depth and CO2 emissions in the oil palm plantations was not significant at 5% level Pearson correlation with a correlation coefficient of-0.06489. Emissions at the farthest distance from the channel (108 m) of 83.9 tonnes/ha/yr, then successively emission values at a distance of 36, 63 and 99 meters from the channel at 51.0; 56.6 and 54.2 tons/ha/yr. These results show the CO2 emissions during the day 5.67% higher than in the morning, there was no correlation between soil water level of CO2 emissions in the oil palm plantations and there is no consistency between the distance from the drainage channel with an increase in CO2 emissions. Keywords: Variationof emissions, peat land, oil palm
PENDAHULUAN Saat ini, pengembangan areal perkebunan kelapa sawit sudah mulai banyak dilakukan pada lahan gambut. Lahan gambut merupakan lahan marjinal yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai areal perkebunan kelapa sawit karena sudah semakin terbatasnya areal yang ada saat ini. Luas lahan gambut di provinsi Riau merupakan yang terbesar di Indonesia, yaitu 4,04 juta ha atau sekitar 20 % dari total luas lahan gambut Indonesia (20,6 juta ha) (Wahyunto, dkk 2005). Pemanfaatan lahan gambut di Riau untuk perkebunan mencapai 817.593 ha (Dinas Perkebunan Provinsi Riau, 2009) sehingga masih sangat terbuka kesempatan untuk perkembangan kelapa sawit di provinsi Riau. Pembukaan areal lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit memiliki tantangan tersendiri, baik dari segi produktivitas lahan maupun dari segi lingkungan hidup. Potensi produktivitas lahan gambut selain ditentukan oleh faktor kesuburan alami gambut juga sangat ditentukan oleh tingkat manajemen usahatani yang akan diterapkan. Pada umumnya gambut merupakan lahan sesuai marjinal dengan beberapa faktor pembatas yang dominan, seperti kondisi lahan yang jenuh air, bereaksi masam dan mengandung asam organik yang beracun serta status unsur hara rendah. Manajemen usahatani yang baik juga harus memperhatikan faktor-faktor lingkungan, karena lahan gambut sangat rentan terdegradasi. Degradasi lahan gambut
286
Variasi Temporal Emisi CO2 di Bawah Perkebunan Kelapa Sawit
terjadi apabila pengelolaan lahan tidak dilakukan dengan baik, sehingga laju dekomposisi terlalu besar dan atau terjadi kebakaran lahan yang menyebabkan emisi gas rumah kaca (GRK) besar. Konsep pengelolaan lahan gambut berkelanjutan harus dilakukan dengan meningkatkan produktivitas secara maksimal dan menekan tingkat emisi yang ditimbulkan seminimal mungkin. Beberapa usaha yang dapat dilakukan dalam konsep pengelolaan lahan gambut berkelanjutan selain dalam hal pengelolaan air dan pembukaan lahan tanpa bakar adalah pemberian amelioran dan penanaman tanaman penutup tanah (cover crop). Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di lahan gambut terjadi karena pembakaran atau proses dekomposisi sebagai akibat perubahan kondisi anaerob (basah) menjadi aerob (kering). Konversi hutan dan pengelolaan lahan gambut, terutama yang berhubungan dengan drainase dan pembakaran, merubah fungsi lahan gambut dari penambat karbon menjadi sumber emisi GRK (Agus et al., 2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi temporal emisi gas CO2 di perkebunan kelapa sawit di lahan gambut sehingga dapat memberikan informasi-informasi mengenai besaran emisi CO2 pada tanaman kelapa sawit di lahan gambut.
BAHAN DAN METODE Deskripsi Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei. Kijang, Kabupaten Pelalawan, Riau dari bulan Juli 2013 sampai Juni 2014. Lokasi penelitian berada pada posisi geografis 00ᴼ20'59,3'' - 00ᴼ21'05,8'' LU dan 101ᴼ41'15,6'' 101ᴼ41'22,9'' BT. Penelitian dilakukan pada lahan petani seluas 5,0 ha yang ditanami kelapa sawit berumur 6 (enam) tahun dan sudah termasuk tanaman menghasilkan (TM) dengan periode panen dua minggu sekali. Di sela tanaman kelapa sawit ditanami tanaman nenas. Tanaman nenas mulai ditanam tanggal 23 September 2013 dengan jarak tanam 1,75 x 1,5 meter di jaluran pembuangan pelepah pada tanaman kelapa sawit, dengan tujuan agar tidak mengganggu kelancaran proses pemanenan tanaman kelapa sawit di jalur produksi. Perlakuan dan Pengukuran Emisi CO2 Perlakuan yang dicobakan adalah: 1) pengukuran emisi pada periode pagi dan siang hari dan 2) pengukuran emisi pada beberapa jarak yang berbeda dari saluran drainase. Jumlah titik yang diukur pada pengukuran emisi periode pagi dan siang hari sebanyak 16 titik yang terbagi menjadi empat transek dan masing-masing transek terdiri dari empat titik pengukuran. Titik pengukuran terletak diantara tanaman nenas yang
287
Hery Widyanto et al.
menjadi tanaman sela di pertanaman kelapa sawit demplot ICCTF Fase 2. Untuk pengukuran emisi dari saluran drainase dilakukan pada titik yang sama dengan pengukuran pagi dan siang hari dengan memperhitungkan jarak titik pengukuran dari saluran drainase, yaitu : 36 meter dari saluran tersier selatan, 99 meter dari saluran tersier selatan, 63 meter dari saluran tersier utara dan 108 meter dari saluran tersier utara. Tata letak titik-titik pengukuran pada setiap transek diperlihatkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Tata letak titik pengukuran emisi Gas CO2 Keterangan : 36 S = Titik pengukuran berjarak 36 meter dari saluran Tersier Selatan 99 S = Titik pengukuran berjarak 99 meter dari saluran Tersier Selatan 108 N = Titik pengukuran berjarak 108 meter dari saluran Tersier Utara 63 N = Titik pengukuran berjarak 63 meter dari saluran Tersier Utara
Pengukuran emisi gas CO2 dilakukan menggunakan Infrared Gas Analyzer (IRGA) model LI-820, LICOR Inc. USA dengan sungkup tertutup. Sungkup yang digunakan terbuat dari pipa PVC dengan diameter 25 cm dan tinggi 25 cm. Posisi sungkup dalam pengukuran emisi gas CO2 dapat dilihat pada gambar 2. Pengukuran emisi dilakukan setiap dua minggu sekali pada pagi dan siang hari. Lamanya waktu pengukuran untuk setiap titik dilakukan ± 150 detik (2,5 menit), namun data yang akan diambil untuk menentukan perubahan konsentrasi CO2 per satuan waktu hanya 120 detik. Selain
288
Variasi Temporal Emisi CO2 di Bawah Perkebunan Kelapa Sawit
pengukuran emisi CO2, dilakukan juga pengukuran tinggi sungkup, suhu di dalam sungkup, suhu tanah, suhu udara, dan kedalaman muka air tanah.
Tanaman Kelapa Sawit
Posisi Sungkup Tanaman Sela/Nenas
Gambar 2. Posisi sungkup dalam setiap titik pengukuran emisi gas CO 2 Penghitungan fluks CO2 ditentukan berdasarkan persamaan di bawah ini:
fc
Ph RT
x
dC dt
Keterangan: fc = fluks CO2 (μmol/m2/ det) P = tekanan atmosfer dari rata-rata cell pressure pembacaan IRGA (Pa) h = tinggi sungkup (m) R = konstanta gas =8,314 Pa m3 / ͦ K / mol dc dt
= perubahan konsentrasi CO2 persatuan waktu (μmol/det)
289
Hery Widyanto et al.
Hasil pengukuran emisi gas CO2 kemudian dikonversi kedalam satuan ton/ha/tahun dan dibandingkan variasinya dari waktu pengukuran, jenis perlakuan amelioran dan jarak dari saluran drainase. Data hasil pengamatan dianalisis ragam menggunakan analisis ragam menurut rancangan acak kelompok.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengukuran emisi gas CO2 sampai dengan bulan Juni 2014 telah dilakukan sebanyak 25 kali . Hasil pengukuran emisi gas CO2 diperlihatkan pada Gambar 3. Waktu pengukuran emisi dibedakan menjadi dua, yaitu pada pagi hari dimulai pukul 09.00 WIB dan siang hari dimulai pukul 14.00 WIB. Tingkat emisi CO2 sangat bervariasi baik pada pengukuran pagi hari maupun siang hari. Emisi pengukuran pagi hari berkisar antara 29,7 - 138,8 ton/ha/th, sedangkan pada pengukuran di siang hari berkisar antara 36,9 – 115,3 ton/ha/th. Rata-rata emisi gas CO2 pada pengukuran pagi hari sebesar 59,8 ± 24,7 ton/ha/th sedangkan pada pengukuran siang hari emisi CO2 sebesar 63,1±15,9 ton/ha/th dan tidak berbeda nyata berdasar uji t pada taraf 5 %.
Gambar 3. Grafik Emisi gas CO2 pada Pertanaman Kelapa Sawit di Riau Emisi gas CO2 pada pengukuran siang hari lebih tinggi 5,67 % dibandingkan pengukuran emisi pada pagi hari. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Husnain, et.al (2014) bahwa ada kecenderungan yang konsisten fluks CO2 pada pagi hari adalah yang terendah dan pada siang hari adalah yang tertinggi. Marwanto,et.al (2013) mengatakan bahwa fluks CO2 pada siang hari memiliki nilai tertinggi karena suhu tanah dan udara pada waktu tersebut tinggi. Sedangkan pengukuran pada pagi hari, dimana suhu
290
Variasi Temporal Emisi CO2 di Bawah Perkebunan Kelapa Sawit
udara dan tanah yang minimum juga menunjukkan fluks CO2 yang terendah. Pada suhu tinggi, gas CO2 dan CH4 merupakan bentuk gas yang segera terbentuk dan besar jumlahnya. Suhu dan kelembaban baik udara maupun tanah gambut di kawasan tropik sangat dipengaruhi oleh jenis dan kerapatan vegetasi yang menutupinya. Suhu yang tinggi pada keadaan terbuka akan merangsang aktifitas mikroorganisme sehingga perombakan gambut lebih cepat (Noor, 2001 dalam Yuniastuti, 2011). Perbedaan suhu udara dan suhu tanah pada pengukuran pagi dan siang hari tidak terlalu besar sehingga perbedaan emisi CO2 tidak signifikan (Tabel 1). Tabel 1. Emisi gas CO2, suhu tanah dan suhu udara dari pertanaman kelapa sawit di lokasi ICCTF Riau Perlakuan Pagi Hari Siang Hari Rata-rata
Emisi GRK (t CO2-e/ha/th) Mean
+
59.4 63.1 61
+ + +
Suhu Tanah (ᴼC) SD 23.9 16 20
Suhu Udara (ᴼC)
Mean
+
SD
Mean
+
SD
28.3 31.2 29.7
+ + +
2.1 2.6 2.3
31.4 33.0 32.2
+ + +
2.7 2.5 2.6
Keterangan: SD = Standar deviasi
Korelasi tinggi muka air tanah dengan emisi gas CO2 pada pertanaman kelapa sawit tidak nyata pada taraf 5% korelasi Pearson dengan koefisien korelasi sebesar 0,06489 dan standar deviasi tinggi muka air tanah 29.76 serta standar deviasi emisi gas CO2 sebesar 38,92. Hal ini menunjukkan kedalaman muka air tanah tidak berpengaruh terhadap fluks CO2. Hasil penelitian Sarmah et al., (komunikasi pribadi) menunjukkan bahwa pada lahan semak belukar dan kelapa sawit tidak menunjukkan adanya korelasi antara fluks CO2 dan kedalaman muka air tanah. Juhiainen et al., (2012) menyatakan bahwa pengaruh perbedaan kedalaman muka air tanah terhadap emisi rendah.
Gambar 4. Persamaan regresi antara Tinggi Muka Air Tanah dengan emisi gas CO2 Pertanaman Kelapa Sawit di Lokasi ICCTF Riau
291
Hery Widyanto et al.
Hasil rata-rata emisi CO2 pada pertanaman kelapa sawit berdasarkan pengaruh jarak dari saluran drainase, besaran emisi yang tertinggi didapatkan pada jarak yang terjauh dari saluran, 108 meter dari saluran yaitu sebesar 83,9 ton/ha/thn, kemudian secara berturut-turut besaran emisi pada jarak 36, 63 dan 99 meter dari saluran yaitu sebesar 51,0 ; 56,6 dan 54,2 ton/ha/thn (Gambar 5).
Gambar 5. Rata-rata Fluks CO2 dan Tinggi Muka Air Berdasarkan Jarak dari Saluran di Pertanaman Kelapa Sawit di Lokasi ICCTF Riau Dari data diatas menunjukkan emisi CO2 pada titik pengamatan dengan jarak terjauh dari saluran drainase (108 meter) memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan titik yang lebih dekat dengan saluran drainase. Kedalaman muka air tanah pada titik tersebut juga memiliki nilai paling tinggi (80.4 cm) dibanding dengan yang lain meskipun nilainya tidak berbeda nyata. Drainase pada lahan gambut bertujuan untuk menurunkan permukaan air tanah. Chimner dan Cooper (2003) dalam Maswar (2011) mengatakan pada keadaan muka air tanah yang dangkal akan menyebabkan lingkungan tanah pada kondisi anaerobik sehingga mengurangi terjadinya proses dekomposisi, sebaliknya jika permukaan air tanah dalam (jauh) akan meningkatkan kondisi aerobik dan juga meningkatkan proses dekomposisi bahan gambut sehingga akan meningkatkan emisi CO2. Meskipun demikian, terlihat adanya inkonsistensi antara nilai emisi CO2 dengan jarak dari saluran drainase, yaitu adanya penurunan nilai emisi pada jarak 99 meter dari saluran drainase. Hasil penelitian Husnain et. al (2014) mengatakan bahwa jarak dari saluran drainase tidak secara signifikan mempengaruhi emisi CO2.
292
Variasi Temporal Emisi CO2 di Bawah Perkebunan Kelapa Sawit
KESIMPULAN 1. Emisi gas CO2 pada pertanaman kelapa sawit di lokasi ICCTF Riau, pada pengamatan siang hari lebih tinggi sekitar 5,67 % jika dibandingkan dengan pengukuran pada pagi hari. 2. Tidak ada korelasi antara ketinggian muka air tanah dengan besaran emisi gas CO2. 3. Jarak yang terjauh dari saluran (108 meter) memiliki nilai emisi yang paling besar dibandingkan dengan jarak yang lainnya, tetapi tidak ada hubungan yang konsisten atau signifikan antara jauhnya jarak dari saluran dengan tingkat kenaikan emisi gas CO2.
DAFTAR PUSTAKA Agus, F. dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut : Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor: Balai Penelitian Tanah. 36p. Dinas Perkebunan Provinsi Riau. 2009. Statistik Perkebunan Riau. Pekanbaru. Husnain, H., I.G.P. Wigena, A. Dariah et al., 2014. CO2 emissions from tropical drained peat in Sumatra, Indonesia. Mitig Adapt Strateg Glob Change. doi:10.1007/s11027-014-9550-y Jauhiainen, A., A. Hooijer and S.E. Page. 2012. Carbon dioxide emissions from an Acacia plantation on peatland in Sumatra, Indonesia. Biogeosciences, 9: 617–630 Marwanto, S. and F. Agus. 2013. Is CO2 flux from oil palm plantations on peatland controlled by soil moisture and/or soil and air temperatures?. Mitig Adapt Strateg Glob Change. doi:10.1007/s11027-013-9518-3 Maswar, M., O. Haridjaja, S. Sabiham et al., 2011. Kehilangan Karbon pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan Gambut Tropika yang Didrainase. Jurnal Tanah dan Iklim No. 34/2011. Yuniastuti, P. 2011. Pengaruh Waktu dan Titik Pengukuran Terhadap Emisi Karbon Dioksida dan Metan di Lahan Gambut Kebun Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara IV, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Skripsi. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB. Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo. 2005. Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan Karbon di Pulau Sumatera, 1990 – 2002. Wetlands International Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC).
293