EMISI KARBON DIOKSIDA (CO2), METANA (CH4) DAN DINITROGEN OKSIDA (N2O) DARI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT
TRI TIANA AHMADI PUTRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Emisi Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4) dan Dinitrogen Oksida (N2O) dari Perkebunan Kelapa Sawit pada Lahan Gambut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Pebruari 2016 Tri Tiana Ahmadi Putri NIM P052120011
RINGKASAN TRI TIANA AHMADI PUTRI. Emisi Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4) dan Dinitrogen Oksida (N2O) dari Perkebunan Kelapa Sawit pada Lahan Gambut. Dibimbing oleh LAILAN SYAUFINA dan GUSTI ZAKARIA ANSHARI. Pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit merupakan dampak dari meningkatnya kebutuhan perluasan areal kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut ini kemungkinan besar akan melepaskan GRK. Emisi GRK yang paling dominan di lahan gambut adalah emisi CO2, CH4 dan N2O. Emisi GRK terdiri atas respirasi autorof dan heterotrof. Respirasi autotrof diasumsikan tidak berpengaruh pada pemanasan global, dan sebaliknya respirasi heterotrof berdampak pada pemanasan global. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik fisik dan kimia tanah pada lahan gambut dangkal bagian rizosfer dan non rizosfer, mengevaluasi besaran emisi CO2, CH4 dan N2O di rizosfer (respirasi akar dan dekomposisi) dan non rizosfer (dekomposisi) lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit dan membandingkan metode pengkuran emisi CO2 dengan menggunakan Gas Kromatografi dengan EGM-4. Lokasi penelitian terletak di Rasau Jaya Umum, Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Umur tanaman kelapa sawit 6 sampai 7 tahun. Emisi CO2, CH4 dan N2O yang diukur dari dua belas sungkup tertutup dengan menggunakan alat Gas Kromatografi dan analisis gas inframerah (EGM-4). Pengukuran sampel dilakukan satu bulan sekali. Pengambilan sampel tanah untuk analisis sifat fisik dan kimia dilaksanakan bulan Juni dan September 2014. Pengukuran gas metode Gas Kromatografi dilakukan pada bulan Juni sampai September 2014, sedangkan metode EGM-4 dilakukan dari bulan Januari sampai Mei 2015. Hasil penelitian menunjukkan karakteristik fisik dan kimia gambut pada perkebunan kelapa sawit di lokasi penelitian tidak berbeda nyata (p > 0.05) antara rizosfer dengan non rizosfer. Emisi CO2 dengan metode Gas Kromatografi di rizosfer lebih kecil yaitu 0.12 g m-2 jam-1 dibandingkan non rizosfer sebesar 0.16 g m-2 jam-1, tetapi tidak berbeda nyata (p > 0.05). Emisi CH4 dan N2O di rizosfer masing-masing sebesar 0.00069 g m-2 jam-1 dan 0.00004 g m-2 jam-1, sedangkan di non rizosfer masing-masing sebesar 0.00136 g m-2 jam-1 dan 0.00007 g m-2 jam-1, berdasarkan uji t antara rizosfer dengan non rizosfer tidak berbeda nyata (p > 0.05). Emisi CO2 metode EGM-4 lebih tinggi di rizosfer dengan besaran 0.93 g m-2 jam-1 dan berbeda sangat nyata (p < 0.01) terhadap non rizosfer sebesar 0.44 g m-2 jam-1. Hal ini karena emisi CO2 yang dihasilkan dari respirasi akar dan juga berasal dari mikrooganisme dan perakaran tanaman. Akar tanaman selain menyumbangkan CO2 dari kegiatan respirasinya, juga mengeluarkan eksudat berupa ion, enzim-enzim, karbohidrat serta asam amino yang dapat meningkatkan aktivitas respirasi di rizosfer. Hasil pengukuran emisi CO2 menggunakan metode Gas Kromatografi berbeda sangat nyata (p < 0.01) dengan metode EGM-4, baik di rizosfer maupun non rizosfer. Rendahnya nilai emisi CO2 metode Gas Kromatografi karena terjadinya peningkatan suhu dan tekanan. Peningkatan suhu
dan tekanan udara di dalam sungkup akan menyebabkan kebocoran atau difusi gas di dalam tanah. Difusi gas di dalam tanah dapat menurunkan emisi CO2 di dalam sungkup. Selain dari terjadinya proses difusi gas, kelemahan dari metode Gas Kromatografi adalah terbentuknya uap air (H2O) di dalam sungkup akibat dari peningkatan suhu yang dalam sungkup. Adanya uap air akan menurunkan emisi CO2 di dalam sungkup. Penggunaan metode EGM-4 yang dilakukan secara langsung dilapangan lebih disarankan dalam analisis sampel gas, karena dapat mengurangi terjadinya kebocoran gas. Kata kunci : emisi gas rumah kaca, gambut, kelapa sawit, non rizosfer, rizosfer
SUMMARY TRI TIANA AHMADI PUTRI. Carbon Dioxide (CO2), Methane (CH4) and Nitrous Oxide (N2O) Emissions from Oil Palm Plantation on Peatlands. Supervised by LAILAN SYAUFINA and GUSTI ZAKARIA ANSHARI. The use of peat land for oil palm plantation is the impact of the increasing need of oil palm plantation area extension. Oil palm plantation in peat land would likely emit greenhouse gasses (GHGs). The most dominant GHGs emitted from peat land are CO2, CH4 and N2O. GHG emissions consists of autotrophic and heterotrophic respirations. An autotrophic emission is not considered as negative, and in contrast, a heterotrophic respiration has detrimental impact on global warming. The aim of this study is to: identify the physical and chemical characteristics of soil in the rhizosphere and non-rhizosphere of shallow peat; investigate rates of emissions from rhizosphere (root respiration and decomposition) and non-rhizosphere (decomposition), generated by oil palm (Elaeis guineensis) plantation on shallow peat, and; compare the Gas Chromatography and EGM-4 method in measuring CO2 emission. The research site was located in Rasau Jaya Umum, Kubu Raya District, West Kalimantan Province, Indonesia. The ages of palms are 6 to 7 years. A total of twelve closed chambers were placed in both rhizospheres and nonrhizospheres. CO2, CH4 and N2O emissions were measured once a month, with Gas Chromatography and an infrared gas analyzer (EGM-4). Soil sampling for the analysis of physical and chemical properties held in June and September 2014. Gas measurement using Gas Chromatography method were carried out from June to September 2014, while EGM-4 method conducted from January to May 2015. The results show that there was not any significant difference (p > 0.05) of physical and chemical characteristics between the rhizosphere and nonrhizosphere of peat at oil palm plantation. The rates of CO2 emission, measured using the Gas Chromatography method, from the rhizosphere (0.12 g m-2 hr-1) were lower than the emission from the non-rhizosphere (0.16 g m-2 hr-1), but were not significantly different (p > 0.05). CH4 and N2O emission from the rhizosphere each as much as 0.00069 g m-2 hr-1 and 0.00004 g m-2 hr-1, while from the nonrhizosphere as much as 0.00136 g m-2 hr-1 and 0.00007 g m-2 hr-1; and the t-test between rhizosphere and non-rhizosphere emission showed no significant difference (p > 0.05). EGM-4 method resulted in higher measure of CO2 emission from rhizosphere (0.93 g m-2 hr-1) than from non-rhizosphere (0.44 g m-2 hr-1), which showed significant difference (p < 0.01). CO2 emission from rhizosphere were resulted not only from root respiration, but also from microorganism and plant roots. Plant roots, aside from contributing CO2 from its respiration activity, it also release exudates in the form of ions, enzymes, carbohydrates, and amino acid, which could increase respiratory in the rhizosphere. Gas Chromatography method resulted in significantly different measurement of CO2 emission from EGM-4 method (p < 0.01), both in rhizosphere and non-rhizosphere. The low measurement of CO2 emission of Gas Chromatography method was due to the increase of temperature and pressure. The increase of air temperature and pressure in the chamber would lead to gas leakage or diffusion in the soil. Gas diffusion in
the soil would decrease the CO2 emission in the chamber. Besides the gas diffusion process, the weakness of Gas Chromatography method is the formation of water vapor (H2O) in the chamber as a result of temperature increase. Water vapor would reduce the CO2 emission in the chamber. EGM-4 method, carried out directly in the field, is recommended for the analysis of gas samples, since it would reduce gas leakage. Key words: GHG emission, non-rhizosphere, oil palm, peat, rhizosphere
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EMISI KARBON DIOKSIDA (CO2), METANA (CH4) DAN DINITROGEN OKSIDA (N2O) DARI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT
TRI TIANA AHMADI PUTRI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Surjono Hadi Sutjahjo, MS
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Emisi Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4) dan Dinitrogen Oksida (N2O) dari Perkebunan Kelapa Sawit pada Lahan Gambut. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Lailan Syaufina, MSc dan Prof Dr Ir Gusti Zakaria Anshari, MES selaku pembimbing yang telah banyak membantu, mengarahkan dan membimbing dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan tesis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Surjono Hadi Sutjahjo, MS selaku penguji luar komisi yang telah memberikan saran dan koreksi konstruktif. Terima kasih kepada seluruh Staf Dosen Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan lingkungan SPs IPB yang telah memberikan tambahan ilmu kepada penulis. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Partnerships for Enchanced Engagement in Research (PEER) Amerika Serikat, Grant No. NSF 1114161 yang telah membantu membiayai penelitian ini. Terima kasih penulis sampaikan pula kepada pemilik lahan dan para pekerja di perkebunan kelapa sawit di Desa Rasau Jaya Umum. Terima kasih kepada orang tua, adik kakak, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Kepada teman-teman seperjuangan angkatan 2012, terima kasih atas kebersamaannya selama ini, semoga silahturahmi diantara kita tetap terjaga. Terima kasih untuk semua pihak yang membantu hingga tesis ini berhasil diselesaikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Pebruari 2016 Tri Tiana Ahmadi Putri
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Gambut Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida, Metana dan Dinitrogen Oksida Tanah Gambut dan Emisi Gas Rumah Kaca Kelapa Sawit di Lahan Gambut dan Emisi GRK Peraturan Perundang-undangan terkait Lingkungan dan Perubahan Iklim 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penetapan Titik Pengamatan Penetapan Sampel Perhitungan Emisi CO2, CH4, dan N2O Pengukuran Parameter Pendukung Analisis Data 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lokasi Penelitian Karakteristik Fisik dan Kimia Tanah Gambut Emisi GRK di Rizosfer dan Non Rizosfer Perbandingan Emisi CO2 Metode Gas Kromatografi dengan EGM-4 Hubungan Parameter Pendukung dengan Emisi CO2 5 SIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI Simpulan Saran Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xiv xiv xv 1 1 2 4 4 4 5 5 5 6 8 8 12 12 12 14 15 16 17 18 18 21 25 27 31 36 36 36 36 37 44
xiv
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Konsentrasi gas rumah kaca utamaa Variabel sifat fisik dan kimia gambut yang diamati Sifat fisik tanah di sekitar rizosfer (R) dan non rizosfer (NR) Sifat kimia tanah di sekitar rizosfer (R) dan non rizosfer (NR) Hasil perhitungan emisi CO2, CH4 dan N2O di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode Gas Kromatografi Hasil perhitungan emisi CO2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode EGM-4 Perbandingan Emisi CO2 metode Gas Kromatografi dengan metode EGM-4 Emisi karbon dioksida dari tanaman kelapa sawit pada lahan gambut dari berbagai studi Kedalaman muka air tanah dan emisi CO2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer pada bulan Januari sampai Mei 2015
6 14 21 24 26 27 28 29 31
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Bagan alir kerangka pemikiran penelitian Peta lokasi penelitian Denah titik pengamatan Rizosfer dan Non Rizosfer Rata-rata curah hujan bulanan dari tahun 2006-2015 (BMKG Supadio Pontianak 2016) 5 Profil suhu tanah 6 Profil suhu permukaan tanah 7 Profil suhu udara 8 Profil kedalaman muka air tanah 9 Pola sifat fisik (a) kadar air, (b) bobot isi terhadap kedalaman tanah 10 Pola sifat fisik (a) bahan organik, (b) kadar abu terhadap kedalaman tanah 11 Regresi bobot isi terhadap kadar abu 12 Hubungan positif antara emisi CO2 dengan muka air tanah 13 Nilai rata-rata emisi CO2 menurut pengelompokan kedalaman muka air tanah. Tanda negatif menunjukkan air tanah berada di bawah permukaan tanah 14 Regresi suhu tanah gambut terhadap emisi CO2 15 Regresi suhu permukaan tanah gambut terhadap emisi CO2 16 Regresi suhu udara tanah gambut terhadap emisi CO2
3 12 13 19 19 20 20 21 22 23 24 32
33 34 34 35
xv
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Peta titik pengamatan Hasil pengukuran ketebalan gambut Hasil pengukuran kedalaman muka air tanah Uji t emisi CO2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode Gas Kromatografi 5 Uji t emisi CH4 pada bagian rizosfer dan non rizosfer 6 Uji t emisi N2O pada bagian rizosfer dan non rizosfer 7 Uji t emisi CO2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode EGM-4 8 Uji t emisi CO2 di sekitar rizosfer metode Gas Kromatografi dan EGM-4 9 Uji t emisi CO2 di sekitar non rizosfer metode Gas Kromatografi dan Enviromental EGM-4 10 Analisis ragam emisi CO2 EGM-4 di sekitar rizosfer di beberapa kedalaman muka air tanah gambut 11 Analisis ragam emisi CO2 EGM-4 di sekitar non rizosfer di beberapa kedalaman muka air tanah gambut 12 BNJ (Tukey) emisi CO2 EGM-4 di sekitar rizosfer di beberapa kedalaman muka air tanah gambut 13 Analisis sifat fisik gambut 14 Analisis sifat kimia gambut 15 Analisis sifat kimia gambut 16 Hasil pengukuran suhu tanah bulan Juni-September 2014 17 Hasil pengukuran suhu tanah bulan Januari-Mei 2015 18 Hasil pengukuran suhu permukaan tanah bulan Juni-September 2014 19 Hasil pengukuran suhu permukaan tanah bulan Januari-Mei 2015 20 Hasil pengukuran suhu udara bulan Juni-September 2014 21 Hasil pengukuran suhu udara bulan Januari-Mei 2015 22 Dokumentasi penelitian
45 45 46 46 46 47 47 47 47 48 48 48 49 50 51 52 52 53 53 54 54 55
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem gambut mempunyai peranan yang sangat penting dalam skala global, baik dari aspek ekologis, sosial maupun perekonomian masyarakat karena menyediakan hasil hutan berupa kayu dan non kayu, menyimpan dan mensuplai air, menyimpan karbon, dan merupakan habitat bagi keanekaragaman hayati dengan berbagai jenis flora dan fauna langka yang hanya ada dijumpai pada ekosistem ini (Dinerstein et al. 2006). Luas lahan gambut dunia hanya sekitar 3% dari luas permukaan bumi yaitu sekitar 400 juta hektar (Global Peatlands Initiative 2002; Hooijer et al. 2006), namun menyimpan karbon yang sangat banyak yakni diperkirakan sebanyak 550 Giga ton, atau setara dengan 75% dari seluruh karbon di atmosfer (Alex dan Joosten 2008; Joosten 2009). Total luas lahan gambut yang ada di Indonesia seluas 14.9 juta ha yang tersebar di Sumatera seluas 6 436 649 ha, Kalimantan seluas 4 778 004 ha dan Papua seluas 3 690 921 ha (Ritung et al. 2011). Perubahan iklim yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) merupakan permasalahan seluruh dunia yang memerlukan penanganan secara serius dan menjadi isu hangat saat ini. Tanah gambut dapat bertindak sebagai sumber (source) dan penambat/rosot (sink) CO2 atmosfer. CO2 yang diikat oleh biomassa tanaman selama proses fotosintesis dapat disimpan dalam tanah sebagai karbon organik melalui perubahan residu tanaman menjadi bahan organik tanah setelah residu tersebut dikembalikan ke tanah. Apabila lahan gambut dibuka untuk perkebunan, maka praktek-praktek manajemen seperti drainase dan penambahan unsur hara dapat berakibat pada meningkatnya emisi GRK (Rinnan et al. 2003). Meningkatnya kebutuhan lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, menyebabkan semakin terbatasnya ketersediaan lahan yang memiliki daya dukung yang tinggi, baik dari faktor tanah maupun iklim untuk usaha budidaya kelapa sawit. Akibatnya, usaha perkebunan kelapa sawit saat ini mengarah pada lahanlahan yang memiliki faktor pembatas untuk budidaya kelapa sawit. Salah satu lahan yang dimanfaatkan untuk usaha perkebunan kelapa sawit adalah di lahan gambut yang memiliki faktor pembatas tanah secara fisik maupun kimia tidak mendukung untuk budidaya kelapa sawit, di mana saat ini perkebunan kelapa sawit di lahan gambut menjadi isu hangat perhatian dunia karena dianggap dapat menyumbangkan emisi CO2 yang besar. Pada tahun 2013 total luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai luas 9 074 621 Ha (DPDJP 2013) yang mana total luasan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut pada tahun 2010 menurut hasil penelitian Gunarso et al. (2013) seluas 1.709 juta ha yang tersebar di Sumatra seluas 1.4 juta ha, di Kalimantan seluas 307 515 ha dan di Papua seluas 1 727 ha. Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut Kalimantan Barat pada tahun 2013 mencapai 265 081 ha (Rehman et al. 2015). Pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan mengharuskan adanya saluran drainase untuk meningkatkan ketersediaan oksigen bagi akar yang bertujuan agar tanaman bisa tumbuh dan berkembang dengan baik (Hooijer et al. 2006). Pembuatan drainase menyebabkan penurunan muka air tanah, akibatnya terjadi
2 perubahan kondisi lingkungan dari anaerob menjadi aerob pada lapisan dekat permukaan gambut, sehingga meningkatkan kehilangan karbon melalui proses dekomposisi gambut (Chimner dan Cooper 2003). Kegiatan pemupukan diperlukan untuk meningkatkan kesuburan tanaman kelapa sawit di lahan gambut. Ketersediaan unsur N dalam tanah mempunyai peranan penting dalam mengendalikan reaksi-reaksi biologi dalam tanah, termasuk mengendalikan mikroorganisme dan akar tanaman yang memproduksi CO2, sehingga aplikasi pemupukan N mempunyai pengaruh nyata dalam meningkatkan respirasi (Lai et al. 2002; Zhang et al. 2007). Pemupukan urea akan meningkatkan emisi CO2 dengan cara memacu pertumbuhan akar, aktivitas mikrob, dan proses dekomposisi bahan organik. Menurut Silva et al. (2008), dampak dari meningkatnya respirasi dengan penambahan urea adalah peningkatan produksi dan emisi CO2. Proses yang terlibat dalam dinamika emisi CO2, CH4 dan N2O dari lahan gambut dikendalikan oleh beberapa faktor, seperti muka air tanah, suhu dan konsentrasi mineral nitrogen (Melling et al. 2007a). IPCC (2013a) menyatakan bahwa emisi gas rumah kaca yang paling dominan di lahan gambut adalah emisi CO2, CH4 dan N2O. Data emisi CO2 di lahan gambut Indonesia saat ini cukup banyak seperti hasil penelitan (Agus et al. 2010, 2013; Hooijer et al. 2006, 2010; Jauhiainen et al. 2012), tetapi masih sedikit sekali tersedianya data emisi CH4 dan N2O di lahan gambut Indonesia padahal gas-gas tersebut sangat besar potensinya terhadap pemanasan global dibandingkan dengan emisi CO2 (IPCC 2013b). Dengan semakin pesatnya perkembangan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut dan menjawab isu dunia, maka perlu kajian yang mendalam terhadap emisi CO2, CH4 dan N2O di lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit, baik dari segi karakteristik lahan, alat atau metode pengukuran emisi, dan daerah pengamatan (rizosfer dan non rizosfer). Penelitian ini akan menyediakan data dasar emisi CO2, CH4 dan N2O di lahan gambut Indonesia yang dipergunakan untuk perkebunan kelapa sawit, serta dapat membantu menyediakan data dalam merumuskan rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca, sesuai dengan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RANGRK) untuk memenuhi komitmen pemerintah RI dalam menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri atau mencapai 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2020. Hal ini juga mendukung dalam rencana aksi daerah penurunan emisi gas rumah kaca (RAD-GRK) Provinsi Kalimantan Barat yang berbasis lahan (BAPPENAS 2014), serta mewujudkan pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2014 tengan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Kerangka Pemikiran Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik dengan kadar karbon sekitar 50-60% dari berat keringnya (Anshari et al. 2010), sehingga lahan gambut mempunyai potensi besar dalam melepaskan emisi karbon, emisi CO2 terbentuk di kondisi aerob sedangkan emisi CH4 terbentuk di kondisi anaerob. Pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit yang paling penting adalah mengatur tinggi muka air tanah dan pemberian pupuk untuk perbaikan kesuburan lahan agar pertumbuhan kelapa sawit optimal. Pengelolaan perkebunan
3 kelapa sawit lahan gambut ini kemungkinan besar akan melepaskan GRK (CO2, CH4 dan N2O). Pemberian pupuk N di lahan gambut untuk pertumbuhan kelapa sawit optimal merupakan hal yang harus dilakukan, akan tetapi akan memicu emisi N2O. Sama halnya dengan penurunan muka air tanah merupakan hal yang wajib dilakukan akan tetapi menyebabkan kondisi gambut teroksidasi sehingga meningkatkan emisi CO2 dan menurunkan emisi CH4. Tetapi permasalahnnya gambut merupakan tanah yang mengandung kadar air tinggi sekitar 300-1500% atau 3-15 kali daripada berat keringnya (Anshari et al. 2010) sehingga ada kemungkinan CH4 terlepas ke udara akibat kondisi reduksi tanah gambut. Oleh karena itu dalam pengukuran emisi GRK (CO2, CH4 dan N2O) sangat penting juga mengetahui karakteristik sifat fisik (kadar air, bobot isi, bahan organik dan kadar abu) dan sifat kimia (pH tanah, potensial redoks, C-organik, N total, N tersedia, P tersedia, kapasitas tukar kation, dan kejenuhan basa) lahan gambut. Selain karakteristik lahan, daerah pengamatan emisi GRK dalam hal ini rizosfer dan non rizosfer harus dipisahkan karena dianggap non rizosfer berkontribusi terhadap peningkatan emisi GRK terutama CO2, sedangkan rizosfer tidak berkontribusi terhadap peningkatan GRK. Secara teknis besar kecilnya emisi GRK tergantung pada metode yang digunakan dalam mengukur emisi GRK, oleh karena itu penting dalam pemilihan metode yang digunakan. Kerangka pemikiran kajian emisi GRK di lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian
4 Perumusan Masalah Pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan mengharuskan pembuatan drainase dan pemupukan sehingga mengubah karakteristik fisik dan kimia gambut. Penelitian emisi CO2, CH4 dan N2O sebagian besar berdasarkan pada pengukuran total respirasi tanah tapi tidak dapat membedakan antara respirasi autotrof (akar tanaman) dengan respirasi heterotrof (organisme tanah) (Melling et al. 2007a). Oleh karena itu penelitian ini akan membandingkan data emisi GRK (CO2, CH4 dan N2O) di rizosfer dan non rizosfer yang mana di rizosfer merupakan total emisi dari respirasi akar dan dekomposisi (aktivitas mikroorganisme), sedangkan di non rizosfer merupakan emisi dari dekomposisi tanah gambut. Perumusan masalah dalam penelitian ini dapat diformulasikan sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik fisik (kadar air, bobot isi, bahan organik dan kadar abu) dan sifat kimia tanah (pH tanah, potensial redoks, C-organik, N total, N tersedia, P tersedia, kapasitas tukar kation, kejenuhan basa) pada lahan gambut dangkal di rizosfer dan non rizosfer? 2. Berapa besar emisi CO2, CH4 dan N2O di rizosfer (respirasi akar dan dekomposisi) dan non rizosfer (dekomposisi) lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit? 3. Apakah ada perbedaan emisi CO2 dengan menggunakan Gas Kromatografi dengan Enviromental Gas Monitor (EGM-4)? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: Mengidentifikasi karakteristik fisik (kadar air, bobot isi, bahan organik dan kadar abu) dan sifat kimia tanah (pH tanah, potensial redoks, Corganik, N total, N tersedia, P tersedia, kapasitas tukar kation, kejenuhan basa) pada lahan gambut dangkal di rizosfer dan non rizosfer. 2. Mengevaluasi besaran emisi CO2, CH4 dan N2O di rizosfer (respirasi akar dan dekomposisi) dan non rizosfer (dekomposisi) lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit. 3. Membandingkan metode pengukuran emisi CO2 menggunakan Gas Kromatografi dengan Enviromental Gas Monitor (EGM-4). 1.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan menghasilkan data dasar yang bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan mengenai emisi GRK di lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit, serta harapannya dapat membantu pemerintah Indonesia dalam menyediakan data untuk merumuskan rencana aksi nasional penurunan emisi GRK di tingkat Provinsi Kalimantan Barat yang berbasis lahan.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Gambut Istilah gambut merupakan istilah Indonesia untuk tanah-tanah yang sebagian besar bahan penyusunnya berupa bahan organik. Nama gambut berasal dari nama suatu kecamatan yaitu Kecamatan Gambut, dekat Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan, di kecamatan tersebut usaha pertanian pada lahan gambut dapat berhasil dengan baik untuk pertama kalinya, yaitu pada awal tahun 1930-an. Atas dasar itulah maka para ahli tanah di Indonesia sepakat untuk menggunakan istilah peat sebagai gambut (Sabiham 2006). Dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama untuk bidang ilmu tanah, gambut dikenal dengan sebutan Histosols. Berdasarkan Soil Survey Staff (1999, 2010, 2014), Histosols adalah tanah yang memiliki lapisan organik berserat setebal 60 cm, dan bobot isi lebih kecil dari 0.1 g cm-3, pada lapisan organik pelapukan awal (fibrik). Pada lapisan organik yang telah mengalami pelapukan tingkat pertengahan sampai lanjut (hemik-saprik), mempunyai ciri ketebalan lapisan organik minimum 40 cm, bobot isi lebih dari 0.1 g cm-3. Dengan kandungan Corganik lebih atau sama dengan 20% (berdasarkan berat) jika tidak pernah mengalami jenuh air lama (<1 bulan), sedangkan jika mengalami jenuh air lama (>1 bulan) maka bahan tanah tersebut harus mengandung C-organik (tidak termasuk akar hidup) berdasarkan berat: a. ≥18% jika kadar liat lebih atau sama dengan 60%. b. ≥12% jika kadar liat 0%. c. ≥(0.1 x persen liat + 12) jika kadar liat kurang dari 60%. Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida, Metana dan Dinitrogen Oksida Persoalan pemanasan global menjadi isu lingkungan hidup sejak tahun 1990-an dan merupakan ancaman serius bagi kelestarian ekosistem bumi. Gas rumah kaca (GRK) adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan untuk dapat menyerap radiasai matahari yang dipantulkan oleh bumi, sehingga menyebabkan suhu di permukaan bumi menjadi hangat. Jenis GRK yang keberadaanya di atmosfer berpotensi menyebabkan perubahan iklim global adalah CO2, CH4, N2O, HFCs, PFCs, SF6 dan tambahan gas-gas yaitu NF3, SF5, CF3, C4F9OC2H5, CHF2OCF2OC2F4OCHF2, CHF2OCF2OCHF2 dan senyawa senyawa halocarbon yang tidak termasuk Protokol Montreal, yaitu CF3I, CH2Br2, CHCl3, CH3Cl, CH2Cl2. Dari semua jenis gas tersebut, GRK utama ialah CO2, CH4, dan N2O (IPCC 2006a). Gas CO2, CH4 dan N2O di atmosfer memiliki sifat seperti kaca yakni meneruskan radiasi gelombang pendek dari cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas. Karakteristik gas CO2, CH4 dan N2O disajikan pada Tabel 1.
6 Tabel 1 Konsentrasi gas rumah kaca utamaa Tahun CO2 1750 (pra industri) 278 ppm 2005 379 ppm 2011 391 ppm Potensi pemanasan 1 global (CO2eq) a
CH4 722 ppb 1774 ppb 1803 ppb 34
N2O 270 ppb 319 ppb 324 ppb 298
Sumber: IPCC (2013b)
Keberadaan GRK di alam dalam jumlah yang wajar memang dibutuhkan untuk menjaga kehangatan suhu permukaan bumi dan kenyamanan bagi kehidupan. Namun apabila jumlah GRK tersebut berlebihan dan cenderung meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan global. Pemanasan global ini tidak terjadi secara seketika, tetapi berangsur-angsur. Pada Tabel 1 terlihat bahwa pada tahun 1750-an ketika revolusi industri baru dimulai, emisi CO2 di atmosfer baru 278 (276-280) ppm, pada tahun 2011 telah mencapai 390.5 (390.3-390.7) ppm. Emisi CH4 secara global telah meningkat dari 722 ppb pada tahun 1750 menjadi 1803 ppb pada tahun 2011. Emisi N2O meningkat dari 270 ppb pada tahun 1750 menjadi 324.2 ppb pada tahun 2011, terjadi peningkatan emisi N2O sebesar 5 ppb sejak tahun 2005. Metana di atmosfer bumi mempunyai potensi pemanasan global 34 kali lebih besar daripada CO2 dalam periode 100 tahun. Sedangkan N2O termasuk gas yang berbahaya karena memiliki 298 kali pengaruh yang lebih kuat per satuan berat daripada CO2 dalam rentang waktu 100 tahun. Tanah Gambut dan Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia diperkirakan memiliki cadangan karbon terbesar pada gambut tropis yaitu 57.4 Gt atau setara 65% dari total karbon gambut tropis (Page et al. 2011). Simpanan karbon dalam gambut dapat keluar ke atmosfer melalui dua cara yaitu: (1) pembakaran lahan gambut dan (2) oksidasi lahan gambut akibat turunnya muka air tanah gambut yang disebabkan pembuatan saluran drainase (Hooijer et al. 2006), selain karena faktor pembuatan saluran oksidasi gambut tergantung juga pada faktor lama musim kemarau-hujan, kuantitas dan kualitas bahan organik gambut, temperatur dan kelembaban tanah (Hirano et al. 2007). Hasil penelitian Agus et al. (2010) yang mengukur emisi CO2 di lahan gambut untuk penggunaan kelapa sawit menyatakan bahwa emisi CO2 di non rizosfer (dekomposisi) adalah sekitar 62% dari emisi CO2 yang berada di rizosfer (sekitar perakaran). Respirasi akar tidak berkontribusi dalam emisi CO2 yang seimbang dengan serapan CO2 selama proses fotosintesis. Data non rizosfer lebih dapat digunakan untuk menggambarkan dekomposisi gambut dalam penelitian gas rumah kaca (Agus et al. 2010). Metana merupakan salah satu komponen gas rumah kaca yang diemisikan oleh tanah akibat metabolisme bakteri metanogen. Metana terbentuk dari senyawa karbon organik atau gas karbon pada kondisi anaerob oleh bakteri metanogen (lapisan gambut anaerob). Pada lapisan atas (aerob) bakteri metanotropik mengoksidasi bagian dari CH4, menyebar ke atas sebagai CO2 (Schrier-Uijl et al. 2013). Tanah gambut merupakan salah satu sumber potensial emisi CH4 karena mengandung jumlah karbon tanah yang sangat besar (Murdiyarso et al. 2004).
7 Diyakini bahwa emisi CH4 dari lahan gambut tropis hanya memberikan kontribusi kecil untuk emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan emisi CO2, tetapi karena metana mempunyai kemampuan menyerap sinar infra merah yang dipancarkan oleh permukaan bumi sebesar 34 kali lebih tinggi dibandingkan dengan CO2 (IPCC 2013b), dengan demikian maka CH4 dapat memainkan peranan dalam keseimbangan karbon. Emisi CH4 tergantung dari lapisan air tanah, seperti hasil penelitian Roulet et al. (1995) menyatakan bahawa emisi CH4 menurun dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah, hal ini diperkuat lagi dari hasil penelitian Couwenberg et al. (2009), emisi CH4 terjadi apabila permukaan air tanah lebih dangkal dari 20 cm, dan sebaliknya hampir tidak ada emisi apabila permukaan air tanah lebih dalam dari 20 cm. Melling et al. (2005) melaporkan emisi CH4 pada ekosistem hutan gambut berkisar dari -4.53 sampai 8.40 μg C m-2 jam-1, pada ekosistem kelapa sawit berkisar dari -32.78 sampai 4.17 μg C m-2 jam-1, dan pada ekosistem sagu berkisar dari -7.44 sampai 102.06 μg C m-2 jam-1. Dengan pendekatan analisis regresi diperoleh hasil bahwa fluks CH4 pada masing-masing ekosistem dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang berbeda yakni kelembaban udara untuk ekosistem hutan, muka air tanah untuk ekosistem kelapa sawit dan ekosistem sagu. Ekosistem hutan dan sagu merupakan sumber CH4 dengan emisi 18.34 mg C m-2 jam-1 untuk hutan dan 180 mg C m-2 jam-1 untuk sagu, sedangkan ekosistem kelapa sawit merupakan penyimpan CH4 sebesar -15.14 mg C m-2 jam-1. Kelembaban udara merupakan faktor penting yang mempengaruhi emisi CH4 dengan batas kritis 90.55%. Emisi CH4 tertinggi sebesar 9.23 μg C m-2 jam-1 terjadi pada kelembaban udara 90.55% dan muka air tanah lebih dari 49 cm. Pada ekosistem sagu meningkatnya suhu akan meningkatkan emisi CH4 akibat tingginya difusi gas, tetapi pada ekosistem kelapa sawit yang memiliki lapisan aerobik lebih tebal, meningkatnya suhu memungkinkan meningkatkan oksidasi CH4, sehingga CH4 semakin besar. Emisi dinitrogen oksida (N2O) merupakan produk sampingan dari nitrifikasi dan denitrifikasi di lahan pertanian maupun ekosistem alami. Dinitrogen oksida (N2O) diproduksi secara alami dalam tanah melalui proses nitrifikasi dan denitrifikasi. Proses nitrifikasi yaitu oksidasi amonia menjadi nitrat pada kondisi aerobik, dan denitrifikasi yaitu pengurangan mikroba nitrat menjadi gas nitrogen pada kondisi anaerobik. Salah satu faktor pengendali utama dalam reaksi ini adalah ketersediaan nitrogen dalam tanah. Emisi N2O disebabkan oleh penambahan unsur N pada tanah berupa pupuk anorganik maupun organik yang semuanya mengandung bentuk nitrogen (IPCC 2006b). Penggunaan pupuk nitrogen, merupakan faktor yang menentukan sebagian besar emisi N2O, yang tergantung pada penggunaan lahan seperti hasil penelitian Takakai et al. (2006) menyatakan bahwa lahan pertanian yang diberi pupuk sebanyak 65-1278 kg N ha-1 tahun-1, menghasilkan emisi N2O sekitar 21-259 kg N ha-1 tahun-1, nilai emisi N2O yang sangat besar signifikannya terhadap lahan hutan alami 0.62-4.4 kg N ha-1 tahun-1, hutan baru 0.40-4.0 kg N ha-1 tahun-1 dan hutan terbakar 0.97-1.5 kg N ha-1 tahun-1. Emisi N2O dapat dikurangi dengan mengurangi penggunaan pupuk nitrogen dengan menerapkan pemupukan yang efisien.
8 Kelapa Sawit di Lahan Gambut dan Emisi GRK Pengelolaan gambut mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseimbangan karbon pada ekosistem gambut. Pembuatan drainase pada lahan gambut digunakan untuk menurunkan muka air tanah agar pertumbuhan akar tanaman kelapa sawit baik. Sejak dimulainya drainase, wilayah gambut telah menjadi sumber CO2 sebagai akibat meningkatnya oksidasi gambut. Dilain pihak peningkatan muka air tanah dapat merubah area gambut menjadi sumber CH4 yang lebih efektif sebagai gas rumah kaca daripada CO2 (Hendriks et al. 2007). Ikkonen dan Kurets (2002) menyatakan bahwa drainase lahan gambut selama 10 tahun akan menurunkan muka air dari 10 menjadi 30 cm dan emisi CO2 dari tanah meningkat 1.5 kali. Sebelum drainase sekitar 70% produksi CO2 dari gambut sphagnum merupakan hasil dari mineralisasi bahan organik, namun setelah drainase respirasi akar menyumbangkan 40% dari total respirasi tanah. Intensitas maksimum dari emisi CO2 dihasilkan dari respirasi akar dan mikroorganisme pada kelembaban gambut 70-75%. Klemedtsson et al. (1997) melaporkan bahwa jika dibandingkan dengan gambut yang tidak didrainase, tindakan drainase pada tanah organik untuk lahan pertanian akan meningkatkan emisi GRK sekitar 1 t CO2 ha-1 tahun-1. Manajemen di perkebunan kelapa sawit lahan gambut menghasilkan emisi CO2 sekitar 55-73 ton ha-1 tahun-1 (Couwenberg dan Hooijer 2013). Emisi CO2 dari setiap 10 cm kedalaman drainase menghasilkan 9 ton ha-1 tahun-1 (Couwenberg et al. 2010). Kedalaman muka air tanah perkebunan kelapa sawit sekitar 50-80 cm (Mutert et al. 1999). Berbeda halnya dengan emisi CH4 karena dengan menurunnya kedalaman muka air tanah untuk perkebunan kelapa sawit berarti terjadi penurunan emisi CH4 karena hasil penelitian Furukawa et al. (2005) menyatakan bahwa dengan menurunnya kedalaman muka air tanah 20-30 cm menyebabkan emisi CH4 mengalami penurunan sebesar 25%. Menurut Mutert et al. (1999) di perkebunan kelapa sawit, aplikasi pupuk nitrogen di lahan gambut sebesar 0.6 kg N pohon-1 tahun-1 akan mempengaruhi besaran emisi N2O, seperti hasil penelitian Melling et al. (2007) adalah sebesar 1.2 kg N2O ha-1 tahun-1. Peraturan Perundang-undangan terkait Lingkungan dan Perubahan Iklim Salah satu fungsi negara hukum adalah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan. Menurut Attamimi (1993) wawasan negara yang berdasarkan atas hukum menempatkan perundang-undangan dalam kedudukan yang sentral. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai landasan konstitusional bagi penyelenggaraan pemerintah dalam Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dkuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal yang sama dipertegas lagi pada tahun 1982, di mana Indonesia untuk pertama kalinya mengundangkan suatu undang-undang yang sangat penting mengenai pengelolaan lingkungan hidup, yaitu Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, selanjutnya Undang-undang ini telah diganti dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan kemudian kembali diganti dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
9 Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat dengan UUPPLH. UUPPLH juga merupakan “payung” pengelolaan lingkungan hidup, maka undang-undang sektoral bidang lingkungan yang diantaranya kehutanan, perkebunan, ekosistem gambut dan lain-lain, harus memenuhi beberapa kondisi. Antara lain, pertama UU tersebut tersebut harus taat pada UUPPLH. Kedua, pelaksanaan UU sektoral bidang lingkungan hidup tidak boleh bertentangan dengan UUPPLH. Ketiga, segala penegakan hukum yang berkaitan dengan lingkungan hidup harus berpedoman kepada UUPPLH. Salah satu undang-undang sektoral bidang lingkungan mengenai lahan gambut adalah Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2014 tengan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Lahan Gambut. Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut ini mengatur mengenai perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, serta sanksi administratif. Perencanaan meliputi inventarisasi Ekosistem Gambut, penetapan Ekosistem Gambut, serta penyusunan dan penetapan rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Pemanfaatan Gambut ditentukan berdasarkan rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Pengendalian kerusakan Ekosistem Gambut dilakukan dengan penetapan kriteria baku kerusakan Ekosistem Gambut dan penerapan instrumen izin lingkungan bagi usaha dan/atau kegiatan yang memanfaatkan Ekosistem Gambut yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan dan upaya pengelolaan lingkungan, upaya pemantauan lingkungan. Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut disertai dengan pemeliharaan Gambut, penerapan sanksi administratif, dan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap Peraturan Pemerintah ini dan izin lingkungan. Perkembangan hukum lingkungan telah memperoleh dorongan yang kuat karena adanya Stockholm Declaration ini, baik pada taraf nasional, regional maupun internasional. Keuntungan yang tidak sedikit adalah mulai tumbuhnya kesatuan pengertian dan bahasa di antara para ahli hukum dengan menggunakan Stockholm Declaration sebagai referensi bersama (Hardjasoemantri 1999). Berbagai forum internasional terus digelar untuk membahas tindakan nyata mengatasi perubahan iklim yang antara lain diselenggarakan di Copenhagen, Denmark, tanggal 7-12 Desember 2009. Perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya dekade atau lebih) (IPCC 2001). Momentum keterlibatan aktif Indonesia didunia internasional dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim dimulai sejak ditandatanganinya Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development/UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1992. Konvensi Perubahan Iklim tersebut kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Conference on Environment and Development (Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim) yang menandakan telah dimulainya komitmen bersama untuk mengatasi dampak perubahan iklim tidak hanya terbatas oleh lembaga pemerintah, namun juga berbagai sektor-sektor
10 swasta dan pelaku bisnis serta seluruh masyarakat luas. Sejak tahun 1995, para pihak telah bertemu setiap tahun melalui Konferensi Para Pihak (Conference on Parties/COP) guna menerapkan dan mengimplementasikan kerangka kerja tersebut. Protokol Kyoto yang terbentuk pada saat Conference of Parties 3 pada tanggal 12 Desember 1997 merupakan amandemen terhadap UNFCCC. Protokol ini dirancang sebagai penguatan mekanisme pengurangan emisi GRK bagi para peserta penandatanganan Konvensi Perubahan Iklim, sehingga tidak menggangu sistem iklim bumi. Dalam berbagai laporan dijelaskan, guna mengakomodasi kepentingan antara blok negara-negara maju dan negara-negara berkembang, Protokol Kyoto dijadikan kesepakatan internasional untuk meletakan komitmen bersama dalam mengurangi emisi GRK dengan cara mengatur soal pengurangannya secara lebih tegas dan terikat hukum. Walaupun Protokol Kyoto mengatur ketentuan pengurangan emisi GRK hanya selama periode pertama dari tahun 2008 hingga 2012, namun target jangka panjangnya adalah adanya pengurangan rata-rata cuaca global antara 0.02°C dan 0.28°C pada tahun 2050. Beberapa peraturan yang berkaitan langsung dengan lingkungan dan perubahan iklim. 1. Undang-undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan UNFCCC 2. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 3. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota 4. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran hutan dan atau Lahan 5. Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2014 tengan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Lahan Gambut. Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut 6. Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim 7. Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca 8. Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional 9. Keputusan Presiden No. 19 Tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan ReDD+ 10. Keputusan Presiden No. 5 Tahun 2013 tentang perubahan atas keputusan Presiden No 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (ReDD+) 11. Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut 12. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 35 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Komite Nasional Perubahan Iklim dan Lingkungan 13. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 53 Tahun 2003 tentang Komisi Nasional dan Tim Teknis Perubahan Iklim
11 14. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 206 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih 15. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 03 Tahun 2006 tentang Program Menuju Indonesia Hijau 16. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 15 Tahun 2013 tentang Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim 17. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.14 Tahun 2004 tentang Tata Cara Aforestasi dan Reforestrasi Dalam Rangka Mekanisme Pembangunan Bersih 18. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.68 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan 19. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.36 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung 20. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (ReDD) 21. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.20 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan 22. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 11 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Tahun 2012-2020 Kementerian Pekerjaan Umum
12
3
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di perkebunan kelapa sawit milik perseorangan di Desa Rasau Jaya Umum, Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat, pada koordinat 00°12’40.7” LS 109°22’27.4” BT. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Peta lokasi penelitian Penelitian dilakukan dari bulan dari bulan Juni 2014 sampai bulan Mei 2015. Pengambilan sampel gas dengan metode Gas Kromatografi dilakukan dari bulan Juni sampai bulan September 2014. Pengukuran emisi CO2 dengan metode EGM-4 dilakukan dari bulan Januari sampai bulan Mei 2015. Penetapan Titik Pengamatan Penentuan titik pengamatan di lokasi penelitian dilakukan dengan penentuan transek terlebih dahulu. Transek dibuat berdasarkan pada jarak tanaman dengan saluran drainase utama. Titik pengamatan pertama pada pohon kedua yang jaraknya terdekat dari saluran drainase, kemudian titik kedua pada pohon keempat, dan titik ketiga pada pohon keenam yang semakin menjauhi saluran drainase utama. Jarak Titik pengamatan pertama dengan saluran drainase sekunder yaitu sekitar 500 m, jarak titik pengamatan pertama dengan saluran
13 drainase tersier sekitar 100 m dan jarak titik pengamatan pertama dengan saluran cacing sekitar 12 m (Lampiran 1). Pada setiap titik pengamatan dipasang dua buah sungkup untuk pengambilan sampel gas rizosfer (respirasi akar kelapa sawit dan dekomposisi gambut) dan non rizosfer (dekomposisi gambut). Transek yang dibuat pada penelitian ini terdapat dua transek yaitu: a) transek ke-1; tiga pasang titik pengamatan (rizosfer dan non rizosfer) dan b) transek ke-2; tiga pasang titik pengamatan (rizosfer dan non rizosfer). Setelah pembuatan transek, dilakukan pemasangan sungkup permanen rizosfer dan non rizosfer pada masing-masing titik pengamatan. Hasil penelitian Fauzi et al. (2006) mengatakan bahwa respirasi akar terjadi pada akar tersier dan kuarter yang banyak ditumbuhi bulu-bulu halus akar yang jarak penyebaran akar tersebut tergantung pada umur kelapa sawit. Sungkup untuk mengukur emisi rizosfer ditempatkan di atas “piringan” perakaran, dengan jarak 100 cm dari batang tanaman. Metode yang serupa telah dilakukan oleh Agus et al. (2010) yang memasang sungkup berada 1 meter dari batang tanaman untuk tanaman sawit yang berusia 5 tahun. Lebih lanjut dijelaskan oleh Marwanto et al. (2013), bahwa emisi CO2 terbesar adalah pada jarak 1 meter dari batang kelapa sawit, di mana pada jarak tersebut kerapatan akar tersier dan kuarter sangat tinggi, oleh karena itu jarak 1 meter merupakan jarak yang ideal untuk pengamatan emisi CO2 rizosfer. Sungkup untuk mengukur emisi non rizosfer ditempatkan di atas gambut yang telah dibersihkan dari akar-akar hidup tanaman. Sebelum sungkup dipasang, dilakukan pemotongan akar dan kemudian dipasang lapisan pembatas berupa terpal sedalam satu meter, dan lebar 0.5 meter. Tujuan pemasangan terpal supaya tidak terjadi penetrasi akar. Pemasangan terpal dilakukan 1 minggu sebelum pengukuran CO2. Jarak sungkup untuk pengukuran emisi non rizosfer sejauh 4.5 meter dari batang tanaman Hasil penelitian Marwanto et al. (2013) menunjukkan bahwa pada jarak 4.5 meter kerapatan akar tanaman kelapa sawit sangat jarang, dan tidak berpengaruh nyata karena kecilnya emisi autotrof pada radius 4.5 meter dari batang tanaman kelapa sawit. Penetapan titik pengamatan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Denah titik pengamatan
(Rizosfer)
(Non Rizosfer)
14 Penetapan Sampel Sifat Fisik dan Kimia Gambut Pada setiap titik pengamatan di rizosfer dan non rizosfer, dilakukan pengambilan sampel tanah dengan menggunakan bor gambut pada kedalaman 515, 15-25 dan 25-35 cm untuk pengamatan sifat fisik gambut. Pengambilan sampel tanah untuk analisa sifat kimia gambut secara komposit pada kedalaman 030 cm dari setiap titik pengamatan. Analisis sifat fisik kimia gambut dilakukan pada Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB dan Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Beberapa sifat fisik dan kimia gambut yang dianalisis dan metode analisis yang digunakan terdapat pada Tabel 2. Tabel 2 Variabel sifat fisik dan kimia gambut yang diamati No
Variabel Pengamatan
Metode
1. Kadar air
Gravimetri
2. Bobot Isi
Gravimetri
3. Bahan organik
Loss On Ignition (5500C, 5 jam) Heiri et al. (2001)
4. Kadar Abu
Loss On Ignition (5500C, 5 jam) Heiri et al. (2001)
5. pH tanah (pH H2O dan CaCl2)
pH meter
6. Potensial redoks (Eh)
pH ORP
7. C-organik
CN Analyzer (LECO)
8. N total
CN Analyzer (LECO)
9. N tersedia
Destilasi (NO3-, NH4+)
10. P tersedia
Bray-I
11. Kapasitas tukar kation (KTK)
Ekstraksi NH4OAc pH 7
12. Kejenuhan Basa (KB)
Ekstraksi NH4OAc pH 7
Emisi CO2, CH4 dan N2O Pengukuran sampel emisi CO2, CH4, dan N2O menggunakan teknik sungkup tertutup (closed chamber) yang di adopsi dari IAEA (1993). Analisis sampel gas menggunakan dua metode yang berbeda yaitu dengan analisis Gas Kromatografi dan analisis gas infra merah EGM-4 (Environmental Gas Monitor). Sampel gas dianalisis dengan menggunakan alat Gas Kromatografi Shimadzu GC-14A. Gas kromatografi Shimadzu GC-14A series yang digunakan untuk pengukuran emisi CO2 dengan menggunakan Thermal Conductivity Detector (TCD), selain itu juga dilengkapi dengan Flame Ionization Detector (FID) untuk analisa CH4 dan
15 Electron Capture Detector (ECD) untuk analisis gas N2O. Sampel gas dengan metode Gas Kromatografi diambil pada sungkup berupa paralon silinder berdiameter 30 cm dan tinggi 30 cm dengan sebuah tutup sungkup yang telah dilengkapi dengan septum untuk tempat jarum syringe. Pengambilan sampel gas dilakukan 1 minggu setelah pemasangan sungkup (aklimatisasi sungkup). Sampel gas diambil dengan menggunakan syringe berukuran 40 ml dan dimasukan ke dalam botol kaca yang telah divakum, dengan interval waktu pengambilan sampel gas 0, 10, 20, 30 dan 40 menit setelah tutup sungkup dipasang. Pengambilan gas dilakukan secara bergantian pada pukul 08.00-12.00 WIB. Sampel gas yang diambil dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Analisis emisi CO2, CH4, dan N2O dikerjakan di Laboratorium Terpadu Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) yang berlokasi di Jakenan-Pati Jawa Tengah. Khusus emisi CO2 selain dianalisis di laboratorium menggunakan Gas Kromatografi, juga di analisis secara langsung di lapangan dengan menggunakan alat EGM-4 (Environmental Gas Monitor) yang bertujuan untuk membandingkan hasil pengukuran Gas Kromatografi dengan EGM-4. EGM-4 adalah infrared gas analyzer (IRGA) yang banyak tersedia. Alat ini terdiri atas sungkup atau soil respiration chamber (SRC-1) yang tingginya 15 cm dan diameter 10 cm terbuat dari material PVC dan stainless steel, termometer atau soil temperature probe (STP-1), dan IRGA. EGM-4 mudah dioperasikan karena ringan (berat 1.9 kg), dan menggunakan baterai kering dengan kapasitas 12V 2.0 Ah yang tahan sampai 4-5 jam dengan pemakaian terus menerus. Sungkup dilengkapi dengan kipas dengan kapasitas 12V DC untuk menghilangkan gas-gas yang terakumulasi dalam sungkup (PP System 2009). Hal pertama yang dilakukan adalah pemanasan dan penyetelan IRGA serta mengosongkan gas-gas yang tersisa dalam sungkup (auto zero). Permukaan tanah di mana sungkup diletakkan dikipas untuk mengurangi konsentrasi gas CO2. Kemudian, sungkup diletakan di atas permukaan tanah gambut sedalam 1-2 cm sampai tidak ada rongga udara yang akan menyebabkan gas keluar dari sungkup. Untuk mendapatkan nilai fluks yang linear, besaran emisi CO2 pada awal pengukuran diusahkan kurang dari 500 ppm. Apabila konsentrasi awal lebih dari 500 ppm, pengukuran diulang kembali, dan artinya pengipasan permukaan tanah belum baik karena konsentrasi gas masih tinggi, dan perlu dilakukan pengipasan lebih merata. Selama pengukuran, konsentrasi CO2 akan meningkat, dan apabila terjadi penurunan konsentrasi CO2, berarti terjadi kebocoran. Akibatnya, pengukuran harus diulangi. Pengukuran dilakukan selama 124 detik per titik pengamatan, dan setiap 4 detik data konsentrasi direkam dan disimpan dalam EGM-4. Data-data tersebut kemudian diunduh, dan dihitung fluksnya. Perhitungan Emisi CO2, CH4, dan N2O Perhitungan emisi CO2, CH4, dan N2O menurut Sano et al. (2010), dengan rumus:
16 Keterangan : F V A 22.4
= = = =
dc/dt = T =
Fluks CO2, CH4, atau N2O (µmol m-2 s-1) Volume sungkup/chamber (m3) Luas dasar sungkup/chamber (m2) Volume molar gas pada kondisi stp (standard temperature and Pressure) yaitu 22.4 liter mol-1 atau 0.0224 m3 mol-1 pada 0ᵒC (273 k) dan tekanan 1 atm Perubahan emisi CO2, CH4-C atau N2O antar waktu (ppm s-1) Rata-rata suhu dalam sungkup (ᵒ C)
Hasil perhitungan fluks dikonversi dalam satuan jam dan kemudian dikalikan dengan berat molekul untuk masing-masing senyawa gas (IAEA 1993). Data emisi yang telah didapat dalam satuan gram per meter persegi per jam dikonversi untuk memperkirakan emisi tahunan (365 hari). Emisi CO2 rizosfer merupakan hasil dari respirasi akar dan dekomposisi, sedangkan pada daearah non rizosfer merupakan hasil dari proses dekomposisi. Emisi CO2 rizosfer dikurangkan dengan emisi CO2 non rizosfer menghasilkan emisi CO2 yang berasal dari respirasi akar (autotrof), asumsi ini beranggapan bahwa emisi dari proses dekomposisi di rizosfer sama dengan pada non rizosfer. Pengukuran Parameter Pendukung Parameter lain yang diperlukan untuk mendukung penelitian ini adalah kematangan gambut, ketebalan gambut, kedalaman muka air tanah, curah hujan dan suhu. Identifikasi kematangan gambut di lapangan berdasarkan metode Von Post yaitu berupa data kualitatif (Andriese 1988). Pengukuran ketebalan gambut menggunakan eijkelkamp peat sampler. Kedalaman muka air tanah ditentukan dengan cara memasang peizometer terbuat dari PVC dengan panjang 2 meter. Peizometer dimasukkan ke dalam tanah yang telah dibor terlebih dahulu sampai kedalaman 1.7 meter dan sisanya 30 cm di atas permukaan tanah. Peizometer dipasang sebanyak 5 titik pada 1 transek saja, dengan posisi tegak lurus terhadap saluran drainase sekunder. Suhu yang diukur meliputi suhu udara, suhu tanah dan suhu di dalam sungkup menggunakan termometer digital. Suhu udara yang diukur adalah suhu udara pada ketinggian 1.5 meter di atas sungkup dan tidak terkena sinar matahari secara langsung. Suhu tanah diketahui dengan cara memasukkan termometer ke dalam tanah pada kedalaman 5-10 cm, sedangkan suhu di dalam sungkup dilakukan di dalam sungkup sebelum pemasangan tutup sungkup dan setelah pengambilan gas dilakukan. Pembacaan suhu dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali dengan interval waktu 1 menit. Seluruh pengukuran suhu tersebut dilakukan bersamaan dengan pengukuran emisi CO2, CH4, dan N2O. Pengukuran ketebalan gambut dan penetapan kematangan gambut dilakukan satu kali, sedangkan pengukuran kedalaman muka air tanah dan suhu dilakukan selama pengambilan sampel gas.
17 Analisis Data Perbandingan emisi CO2, CH4 dan N2O di rizosfer dan non rizosfer menggunakan analisis perbandingan rata-rata dengan uji t. Hubungan antara emisi CO2 dengan kedalaman muka air tanah dan suhu diuji dengan korelasi Pearson dan regresi linier sederhana. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan besaran emisi CO2 tiap kelompok kedalaman muka air tanah menggunakan analisis varian, jika taraf signifikannya < 0.05 maka dilanjutkan dengan uji BNJ (Tukey). Semua data yang diuji t, analisis varian, korelasi Pearson dan regresi linier sebelumnya dilakukan uji normalitas menggunakan metode deskriptif boxplot, uji Kolomogorof-Smirnov, dan Shapiro-Wilk agar memenuhi syarat statistik inferensia. Pengolahan data dilakukan dengan program SPSS 16.0 (Hartono 2008).
18
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lokasi Penelitian Pembukaan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit ini dimulai sejak tahun 2008-an sehingga umur kelapa sawit di lokasi penelitian sekitar 6 sampai 7 tahun. Pada perkebunan kelapa sawit terdapat saluran drainase yang mengelilingi blok. Saluran drainase sekunder mempunyai lebar 12 meter, lebar saluran tersier 4 meter dan saluran cacing 50 cm. Jarak antar saluran tersier 200 meter dan jarak antar saluran cacing 50 meter. Lokasi penelitian memiliki pola curah hujan ekuatorial (Aldrian dan Susanto 2003). Pola ekuatorial dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk bimodal, yaitu dua puncak hujan yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober saat matahari berada dekat ekuator. Wilayah Indonesia disepanjang garis khatulistiwa sebagian besar mempunyai pola hujan ekuatorial. Lokasi penelitian memiliki dua periode curah hujan yang rendah. Periode curah hujan yang rendah pertama terjadi pada bulan Pebruari dan dapat berlangsung hingga Maret. Periode kedua berlangsung lebih lama, biasanya dimulai dari bulan Juni sampai September. Curah hujan terendah biasanya terjadi pada bulan Agustus. Menurut data curah hujan dari tahun 2006-2015, curah hujan bulanan berkisar 180-380 mm (Gambar 4). Curah hujan tahunan antara 2 500 sampai 3 700 mm. Hasil pengukuran suhu yang dilakukan pada bulan Juni 2014 sampai bulan Mei 2015, untuk suhu tanah di lokasi penelitian berkisar antara 25 sampai 29 °C, suhu permukaan tanah 28-35 °C dan suhu udara berkisar antara 27-32 °C (Gambar 5, 6 dan 7). Suhu tanah yang nilai kisaran yang lebih rendah daripada suhu permukaan tanah dan suhu udara. Suhu tanah yang lebih rendah disebabkan oleh keadaan tanah yang lembih lembab dan pengukuran yang dilakukan pada pagi hingga siang hari. Menurut Lakitan (1992), suhu tanah akan dipengaruhi oleh jumlah serapan radiasi matahari oleh permukaan bumi. Pada siang hari suhu permukaan tanah akan lebih tinggi dibandingkan suhu pada lapisan tanah yang lebih dalam. Hal ini juga disebabkan karena permukaan tanah yang akan menyerap radiasi matahari secara langsung pada siang hari tersebut, baru kemudian panas dirambatkan ke lapisan tanah yang lebih dalam secara konduksi. Suhu tanah sangat dipengaruhi oleh interaksi sejumlah faktor dengan sumber panas, yaitu sinar matahari dan langit, serta konduksi interior tanah. Faktor eksternal yang menyebabkan perubahan suhu tanah diantaranya adalah radiasi solar (jumlah panas yang mencapai permukaan bumi), radiasi dari atmosfer, kondensasi, evaporasi, curah hujan, tanaman penutup tanah, mulsa, dan kondisi awan. Sedangkan faktor internal meliputi kapasitas panas tanah, konduktivitas dan difusivitas termal, aktivitas biologis, struktur tanah, tekstur dan kelembaban tanah serta garam-garam terlarut (Hanafiah 2004). Suhu udara dipermukaan bumi memiliki nilai yang relatif, tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti lamanya penyinaran matahari. Hal itu dapat berdampak langsung akan adanya perubahan suhu di udara. Suhu udara bervariasi menurut tempat dan dari waktu ke waktu di permukaan bumi. Menurut tempat suhu udara bervariasi secara vertikal dan horizontal dan menurut waktu dari jam ke jam dalam sehari, dan menurut bulanan dalam setahun (Wisnubroto 1982).
19
Gambar 4 Rata-rata curah hujan bulanan dari tahun 2006-2015 (BMKG Supadio Pontianak 2016)
Gambar 5 Profil suhu tanah
20
Gambar 6 Profil suhu permukaan tanah
Gambar 7 Profil suhu udara Hasil wawancara dengan petani, pemupukan di perkebunan kelapa sawit dilakukan setiap 2 kali dalam setahun. Pupuk yang digunakana adalah Urea, SP36 dan KCl. Pengapuran dilakukan pada saat awal penanaman dengan menggunakan dolomit dan juga pemberian pupuk kandang. Bahan organik di lokasi penelitian memiliki tebal antara 50 sampai 90 cm (Lampiran 2). Menurut Wahyunto et al. (2004) ketebalan bahan organik 50-100 cm dikategorikan sebagai gambut
21 dangkal. Kematangan gambut di lokasi penelitian beragam secara vertikal yaitu saprik dan hemik, tetapi secara horizontal gambut bagian permukaan memiliki kematangan saprik. Kedalaman muka air yang diamati dari bulan Juni 2014 hingga Mei 2015 berkisar 24-101 cm di bawah permukaan tanah. Kedalaman muka air tanah yang paling dalam terjadi pada bulan Agustus (Gambar 8 dan Lampiran 3).
Gambar 8 Profil kedalaman muka air tanah
Karakteristik Fisik dan Kimia Tanah Gambut Secara statistik deskriptif bobot isi di rizosfer relatif sama dengan non rizosfer, sedangkan kadar air dan bahan organik di rizosfer relatif besar dibandingkan non rizosfer, tetapi kadar abu di rizosfer lebih kecil. Pada Tabel 3 menunjukkan secara statistik deskriptif berbeda, tetapi secara statistik inferensia sifat fisik tanah gambut di rizosfer dan non rizosfer tidak berbeda nyata (p > 0.05). Tabel 3 Sifat fisik tanah di sekitar rizosfer (R) dan non rizosfer (NR) Perlakuan
R NR a
Kadar Air Bobot Isi Bahan Organik Kadar Abu (%) (g cm-3) (%) (%) RataRataRataRataSD SD SD SD rataa rataa rataa rataa 281.19a 67.32 0.27a 0.06 60.72a 12.35 39.28a 12.35 256.58a 64.58 0.28a 0.06 55.57a 11.86 44.43a 11.86
Angka-angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji t 5%
Pola kadar air, bobot isi, bahan organik dan kadar abu dari kedalaman 15-35 cm dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10. Semakin dalam lapisan pengamatan menunjukkan kadar air relatif meningkat, karena mendekati lapisan anaerob, di
22 mana kisaran kedalaman muka air pada saat pengamatan sifat fisik dan kimia sekitar 32-50 cm. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan (Syaufina et al. 2004) yang menyatakan bahwa semakin dalam lapisan tanah, kadar air semakin tinggi. Disamping itu, bobot isi semakin meningkat dengan meningkatnya kedalaman tanah. Hal ini disebabkan oleh faktor semakin meningkatnya kadar abu atau mineral dengan semakin dalamnya tanah gambut di lokasi penelitian yang mendekati lapisan mineral (substratum) sehingga bahan organik pun menjadi berkurang, dengan ketebalan gambut berkisar 50-90 cm. Bobot isi memiliki hubungan positif yang sangat nyata terhadap kadar abu dengan koefisien determinan (R2) sebesar 0.611 (Gambar 11).
(a)
(b) Gambar 9 Pola sifat fisik (a) kadar air, (b) bobot isi terhadap kedalaman tanah
23
(a)
(b) Gambar 10 Pola sifat fisik (a) bahan organik, (b) kadar abu terhadap kedalaman tanah
24
Gambar 11 Regresi bobot isi terhadap kadar abu Secara deskriptif sebagian besar sifat kimia di rizosfer memiliki konsentrasi yang lebih besar dibandingkan dengan non rizosfer (Tabel 4), tetapi secara statistik inferensia tidak berbeda nyata (p > 0.05). Tabel 4 Sifat kimia tanah di sekitar rizosfer (R) dan non rizosfer (NR) Variabel pH H2O pH CaCl2 Eh (mv) C (%) N (%) C/N (%) NO3- (ppm) NH4+ (ppm) P Bray I (ppm) KTK (me 100 g-1) KB (%) a
Rizosfer Non Rizosfer a Rata-rata SD Rata-rataa SD 3.99 a 0.16 3.80a 0.22 3.32a 0.14 3.23a 0.14 447.47a 16.66 453.57a 13.96 30.52a 8.57 27.83a 4.73 1.07a 0.20 1.01a 0.06 28.14a 2.91 27.42a 3.65 1 763.67a 808.63 1 196.93a 752.21 78.39a 49.74 72.70a 40.83 31.56a 8.66 38.50a 13.03 95.84a 11.41 83.07a 16.08 14.40a 4.22 11.66a 2.65
Angka-angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji t 5%
Pada lahan basah, nilai Eh dapat berkisar dari +750 mv sampai -200 mv (Niedermeier dan Robinson 2007). Nilai Eh di lokasi penelitian berkisar antara 428.50 sampai 475.00 mv. Nilai Eh > +300 mv menunjukan lahan dalam kondisi oksidatif (Reddy dan DeLaune 2008). Nilai KB hasil penelitian ini > 10%, berbeda dengan kebanyakan nilai KB pada lahan gambut pada umumnya kurang dari 10% (Tan 1991). Nilai C/N di lokasi penelitian lebih rendah dibandingkan
25 hasil penelitian Anshari et al. (2010) pada lapisan aerobik (acrotelm) dari tutupan lahan hutan, sawit, HTI dan pertanian di Kalimantan Barat yaitu sebesar 30. Tanah gambut di lokasi penelitian telah mengalami mineralisasi yang intensif, dan ditandai dengan penurunan fraksi bahan organik atau peningkatan kadar abu, dengan bahan organik > 55% atau kadar abu sebesar > 45% (Tabel 3). Menurut Andriesse (1988), fraksi bahan organik pada gambut tropis lebih dari 65%, namun fraksi bahan organik pada gambut lokasi penelitian lebih rendah dari 65%. Hal ini tidak menyebabkan perubahan ordo Histosols menjadi tanah mineral bergambut karena kadar elemen C lebih tinggi dari 18% (Tabel 4) karena menurut Soil Survey Staff (1999, 2010, 2014), kadar elemen C minimum pada Ordo Histosols sebesar 12% apabila banyak mengandung liat atau telah terjadi mineralisasi yang intensif. Hardjowigeno (2010) juga menyampaikan bahwa tanah gambut adalah tanah yang mengandung bahan organik > 20% (untuk tanah pasir) atau > 30% (untuk tanah liat) dengan tebal > 40 cm. Berdasarkan hasil ini menunjukan bahwa semua sifat fisik dan kimia yang diamati pada rizosfer tidak berbeda nyata (p > 0.05) terhadap sifat fisik dan kimia pada non rizosfer, jadi sifat fisik dan kimia tanah tidak menyebababkan perbedaan besaran emisi CO2 antara rizosfer dan non rizosfer. Emisi GRK di Rizosfer dan Non Rizosfer Metode Gas Kromatografi Emisi CO2 pada rizosfer lebih kecil dibandingkan non rizosfer, di mana rizosfer rata-rata sebesar 0.12 g m-2 jam-1 sedangkan pada non rizosfer sebesar 0.16 g m-2 jam-1, tetapi tidak berbeda nyata (Tabel 5 dan Lampiran 4). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang memperoleh emisi CO2 pada rizosfer lebih besar dibandingkan non rizosfer (Agus et al. 2010; Dariah et al. 2014). Emisi dari rizosfer merupakan akumulasi dari proses respirasi akar dan dekomposisi sedangkan non rizosfer hanya dari dekomposisi. Emisi CH4 bagian rizosfer lebih kecil dibandingkan non rizosfer, dengan rata-rata pada rizosfer sebesar 0.00069 g m-2 jam-1, sedangkan pada non rizosfer rata-rata sebesar 0.00136 g m-2 jam-1. Berdasarkan analisis uji t menunjukkan bahwa emisi CH4 pada bagian rizosfer tidak berbeda nyata (p > 0.05) terhadap non rizosfer (Tabel 5 dan Lampiran 5). Emisi CH4 jauh lebih kecil dibandingkan emisi CO2 meskipun dikalikan nilai potensi pemansan global CH4 sebesar 34 kali CO2, hal ini disebabkan karena emisi CH4 dapat terjadi secara optimal dalam kondisi anaerob sedangkan tanah gambut lokasi penelitian memiliki redoks > 400 mv yang berarti tanah gambut dalam kondisi aerob. Emisi N2O pada bagian rizosfer rata-rata sebesar 0.00004 g m-2 jam-1, sedangkan di non rizosfer rata-rata sebesar 0.00007 g m-2 jam-1. Hasil ini menunjukkan bahwa emisi N2O pada bagian rizosfer lebih kecil dibandingkan non rizosfer, tetapi tidak berbeda nyata (p > 0.05) (Tabel 5 dan Lampiran 6). Emisi N2O sangat kecil dibandingkan emisi CO2 dan CH4 meskipun dikalikan nilai potensi pemanasan global N2O, karena emisi N2O umumnya terjadi pada lahan gambut yang telah dipupuk nitrogen secara intensif.
26 Tabel 5 Hasil perhitungan emisi CO2, CH4 dan N2O di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode Gas Kromatografi Waktu Pengukuran Rizosfer 3 Jun 2014 (n = 6) 3 Jul 2014 (n = 6) 3 Agu 2014 (n = 6) 3 Sep 2014 (n = 6) Maks Min Rata-rata SD Non Rizosfer 3 Jun 2014 (n = 6) 3 Jul 2014 (n = 6) 3 Agu 2014 (n = 6) 3 Sep 2014 (n = 6) Maks Min Rata-rata SD a
CO2 (g m-2 jam-1)
CH4 (g m-2 jam-1)
N2O (g m-2 jam-1)
0.12111 0.14071 0.13407 0.09743 0.14071 0.09743 0.12333a 0.01909
0.00142 0.00064 0.00025 0.00046 0.00142 0.00025 0.00069a 0.00051
0.00004 0.00004 0.00001 0.00006 0.00006 0.00001 0.00004a 0.00002
0.20688 0.17443 0.20764 0.07143 0.20764 0.07143 0.16510a 0.06433
0.00436 0.00064 0.00012 0.00031 0.00436 0.00012 0.00136a 0.00201
0.00014 0.00008 0.00001 0.00006 0.00014 0.00001 0.00007a 0.00005
Angka-angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji t 5%
Emisi CH4 selama setahun di rizosfer sebesar 0.0608 ton m-2 tahun-1, sedangkan pada non rizosfer rata-rata sebesar 0.1188 ton m-2 tahun-1, hasil penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Jauhiainen et al. (2005) di hutan gambut Kalimantan Tengah dengan emisi CH4 sebesar 0.0136 ton m-2 tahun-1. Emisi N2O pada bagian rizosfer rata-rata sebesar 0.0034 ton ha-1 tahun-1, sedangkan di non rizosfer rata-rata sebesar 0.0065 ton ha-1 tahun-1. Hasil ini lebih kecil dari hasil penelitian Jauhiainen et al. (2012) mengenai besarnya emisi N2O di lahan gambut Kalimantan Tengah sangat bervariasi di berbagai tipe penggunaan lahan. Di hutan berdrainase 0.112 mg m-2 jam-1 (0.0098 ton m-2 tahun1 ) > pertanian lahan gambut 0.012 mg m-2 jam-1 (0.0011 ton m-2 tahun-1)> lahan gambut terbakar berdrainase 0.011 mg m-2 jam-1 (0.0010 ton m-2 tahun-1)> hutan tak berdrainase 0.0025 mg m-2 jam-1 (0.0002 ton m-2 tahun-1) (Jauhiainen et al. 2012). Metode EGM-4 Emisi CO2 di sekitar rizosfer rata-rata sebesar 0.93 g m-2 jam-1 dan emisi CO2 di sekitar non rizosfer rata-rata sebesar 0.44 g m-2 jam-1, jadi emisi CO2 yang berasal respirasi akar rata-rata sebesar 0.48±0.29 g m-2 jam-1, sedangkan dari proses dekomposisi gambut sebesar 0.44±0.15 g m-2 jam-1 (Tabel 6 dan Lampiran 7).
27 Tabel 6 Hasil perhitungan emisi CO2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode EGM-4 CO2 (g m-2 jam-1) Waktu Pengukuran Non Respirasi Rizosfera Dekomposisi Rizosfera Akar 27 Jan 2015 (n = 6) 1.27 0.34 0.93 0.34 28 Peb 2015 (n = 6) 0.68 0.53 0.15 0.53 29 Mar 2015 (n = 6) 0.81 0.25 0.56 0.25 28 Apr 2015 (n = 6) 1.07 0.64 0.43 0.64 28 Mei 2015 (n = 6) 0.81 0.46 0.35 0.46 Maks 1.27 0.64 0.93 0.64 Min 0.68 0.25 0.15 0.25 Rata-rata 0.93a 0.44b 0.48 0.44 SD 0.24 0.16 0.29 0.16 a
Angka-angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji t 5%
Hasil penelitian menunjukkan bahwa emisi CO2 pada rizosfer lebih besar dan berbeda sangat nyata (p < 0.01) dibandingkan non rizosfer berdasarkan uji t. Hal ini karena emisi CO2 yang dihasilkan dari respirasi akar dan juga berasal dari mikrooganisme (Paterson 2003). Menurut Hanson (2000) total respirasi tanah sebagian besar dipengaruhi oleh perakaran tanaman, bervariasi dari 10% hingga 90%. Akar tanaman selain menyumbangkan CO2 dari kegiatan respirasinya, juga mengeluarkan eksudat berupa ion, enzim-enzim, karbohidrat serta asam amino (Kuzyakov et al. 2000; Subke et al. 2004; Hamer dan Marschner 2005; Bais et al. 2006) yang dapat meningkatkan aktivitas respirasi di rizosfer. Dengan meningkatnya jumlah populasi dan aktivitas mikroorganisme di rizosfer menyebabkan respirasi mikroorganisme meningkat dan produksi CO2 di rizosfer lebih besar daripada di non rizosfer. Emisi CO2 di non rizosfer (heterotrof) sebesar 47% dibandingkan di rizosfer (autotrof dan heterotrof), hasil ini lebih kecil dibandingkan hasil penelitian sebelumnya seperti Agus et al. (2010) yang memperoleh hasil 62% dan hasil penelitian Dariah et al. (2014) sebesar 86%. Emisi dari respirasi akar (autotrof) berkontribusi sekitar 35-45% dari total emisi CO2 pada lahan gambut boreal (Nykänen et al. 1995; Silvola et al. 1996). Penelitian Jauhiainen et al. (2012) menujukkan bahwa lahan gambut yang ditanami akasia memiliki rata-rata respirasi autotrof 21% dari total emisi CO2. Kontribusi respirasi autotrof pada penelitian ini 53% dari total emisi CO2 mempunyai emisi yang lebih tinggi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut, yang berkisar 46% (Melling et al. 2007b), 36% (Murdiyarso et al. 2010) dan 29% (Hergoualc'h dan Verchot 2011). Perbandingan Emisi CO2 Metode Gas Kromatografi dengan EGM-4 Emisi CO2 di sekitar rizosfer dengan pengukuran secara Gas Kromatografi rata-rata sebesar 0.12 g m-2 jam-1 sedangkan dengan metode EGM-4 rata-rata sebesar 0.93 g m-2 jam-1 (Tabel 7), hasil ini menunjukkan bahwa emisi CO2
28 menggunakan EGM-4 lebih besar dan berbeda sangat nyata (p < 0.01) dibandingkan dengan pengukuran secara Gas Kromatografi (Lampiran 8). Tabel 7 Perbandingan Emisi CO2 metode Gas Kromatografi dengan metode EGM-4 Waktu Pengukuran Gas Kromatografi 3 Jun 2014 (n = 6) 3 Jul 2014 (n = 6) 3 Agu 2014 (n = 6) 3 Sep 2014 (n = 6) Rata-rata EGM-4 27 Jan 2015 (n = 6) 28 Peb 2015 (n = 6) 29 Mar 2015 (n = 6) 28 Apr 2015 (n = 6) 28 Mei 2015 (n = 6) Rata-rata a
Rizosfera (g m-2 jam-1)
Non Rizosfera (g m-2 jam-1)
0.12111 0.14071 0.13407 0.09743 0.12333a
0.20688 0.17443 0.20764 0.07143 0.16510a
1.26936 0.67841 0.81424 1.06650 0.80970 0.92764b
0.33923 0.53203 0.24635 0.64031 0.46122 0.44383b
Angka-angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji t 5%
Emisi CO2 di sekitar non rizosfer berdasarkan metode Gas Kromatografi menunjukkan hasil rata-rata sebesar 0.16 g m-2 jam-1. sedangkan metode EGM-4 memiliki hasil rata-rata sebesar 0.44 g m-2 jam-1 (Tabel 7) yang lebih besar dan berbeda sangat nyata (p < 0.01) dibandingkan metode Gas Kromatografi (Lampiran 9). Pengkuran metode Gas Kromatografi dilakukan lebih lama daripada metode EGM-4, yaitu selama 40 menit sehingga terjadinya peningkatan suhu dan tekanan. Peningkatan tekanan udara di dalam sungkup akan menyebabkan difusi gas di dalam tanah. Difusi gas di dalam tanah dapat menurunkan emisi CO2 di dalam sungkup (Freijer dan Bouten 1991; Healy et al. 1996). Menurut Walezak et al. (2002), pergerakan gas dalam tanah secara langsung tergantung pada koefisien difusi, bobot isi, porositas, dan distribusi pori tanah dan jumlah air tanah. Selain dari terjadinya proses difusi gas, kelemahan dari metode Gas Kromatografi adalah terbentuknya uap air (H2O) di dalam sungkup akibat dari peningkatan suhu yang dalam sungkup. Adanya uap air akan menurunkan emisi CO2 di dalam sungkup. Secara teori pengukuran gas dengan metode sungkup tertutup, konsentrasi gas akan meningkat secara linear dengan waktu pengukuruan. Permasalahan pada metode ini adalah konsentrasi gas dalam sungkup tidak selalu meningkat secara linear dengan waktu. Hal ini terjadi pada metode pengukuran dengan menggunakan Gas Kromatografi. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Hutchinson dan Mosier (1981) dan Hutchinson dan Livingston (1993). Proses yang mempengaruhi akumulasi gas dalam sungkup antara lain tingkat emisi, sifat tanah, dan ukuran sungkup (Healey et al. 1996). Ada dua faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan non-linear konsentrasi gas di dalam sungkup
29 dengan waktu. Pertama, adanya kebocoran gas yang keluar melalui bagian tepi sungkup. Besarnya efek ini dapat terjadi karena difusi gas di dalam tanah, ukuran sungkup (diameter, tinggi), porositas dan kedalaman sungkup yang dimasukkan di dalam tanah. Kedua, adanya perubahan suhu tanah dan tingkat produksi gas dalam tanah yang tidak konstan (Li et al. 2000). Kejadian ini karena pengukuran emisi yang lebih lama pada metode Gas Kromatografi yaitu selama 40 menit, sedangkan metode EGM-4 pengukuran dilakukan selama 2 menit. Lebih lanjut dijelaskan oleh Davidson et al. (2002), pengukuran gas yang lebih cepat akan meminimalkan efek non-linear konsentrasi gas di dalam sungkup. Hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, emisi CO2 di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut mempunyai kisaran emisi CO2 11146 ton ha-1 -tahun-1 (Melling et al. 2005; Rieley et al. 2008; Reijnders dan Huijbregts 2008; Fargione et al. 2008; Germer dan Sauerborn 2008; Murdiyarso et a. 2010; Hooijer et al. 2012; Hergoualc'h dan Verchot 2011; Husnain et al. 2014; IPCC 2014; MoEF 2015) (Tabel 8). Tabel 8 Emisi karbon dioksida dari tanaman kelapa sawit pada lahan gambut dari berbagai studi Referensi
Faktor Emisi Karbon Dioksida (t CO2 ha1 th1)
Kelapa Sawit di Lahan Gambut
Melling et al. (2005)
60.5±46
Pengolahan kelapa sawit pada lahan gambut komersil yang sudah berdiri sejak 1997 Pengolahan kelapa sawit pada lahan gambut tropis pada 25 tahun pertama
Rieley et al. (2008)
146.4
Reijnders dan Huijbregts (2008)
46±9.2
Pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut
Fargione et al. (2008)
55±15
Lahan kelapa sawit pada lahan gambut yang telah didrainase selama 50 tahun
Germer dan Sauerborn (2008)
52±25
Metode Pengukuran fluks CO2 dari tanah menuju atmosfer sebagai emisi dari repirasi tanah menggunakan closedchamber method Perhitungan dari beberapa studi literatur berdasarkan karbon yang masuk dan keluar dari dekomposisi gambut dan pembakaran Perhitungan dari beberapa studi literatur berdasarkan karbon yang masuk dan keluar dari respirasi heterotrof
Perhitungan dari beberapa studi literatur berdasarkan karbon yang masuk dan keluar dari dekomposisi gambut Konversi hutan menjadi Perhitungan dari beberapa tanaman kelapa sawit studi literatur berdasarkan pada 25 tahun pertama karbon yang masuk dan keluar dari dekomposisi gambut, fiksasi biomassa, dan pembakaran
30
Referensi
Faktor Emisi Karbon Dioksida (t CO2 ha1 th1)
Kelapa Sawit di Lahan Gambut
Murdiyarso et al. (2010)
59.4±10.2
Konversi hutan rawa gambut menjadi tanaman kelapa sawit, pada 25 tahun pertama setelah perubahan penggunaan lahan
Hergoualc'h dan Verchot (2011)
62.7±13.2
Konversi hutan rawa gambut menjadi tanaman kelapa sawit
Hooijer et al. (2012)
100±9
Husnain et al. (2014)
66±25 34±16 45±25
Pengolahan kelapa sawit dengan pengukuran yang dilakukan pada kelapa sawit dewasa Pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut di Riau dan Jambi
IPCC (2014)
11
Dekomposisi gambut tropis yang didrainase
MoEF (2015)
40
Dekomposisi gambut tropis yang didrainase
Hasil Penelitian ini (2016)
11±2 14±6
Pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut di Kalimantan Barat
Metode Perhitungan dari beberapa studi literatur berdasarkan karbon yang masuk dan keluar dari pembakaran, perubahan karbon stok biomassa, karbon tanah gambut, respirasi heterotrof dan respirasi autotrof Perhitungan dari beberapa studi literatur berdasarkan karbon yang masuk dan keluar dari karbon tanah gambut, dan perubahan stok biomassa, respirasi heterotrof dan respirasi autotrof Karbon yang hilang dihitung dari ketebalan gambut yang hilang dari proses oksidasi dan ketinggian muka air Pengukuran fluks CO2 menggunakan closed chamber dengan analisis gas inframerah (IRGA, LI-COR 820) Faktor emisi yang spesifik untuk keadaan negara tertentu. Faktor emisi dan data aktivitas yang dibangun berdasarkan penelitian di berbagai lokasi di Indonesia mempunyai tingkat ketelitian Tier 2 untuk Indonesia Berdasarkan data IPCC (2013) yang menyediakan angka acuan untuk beberapa kelas tutupan lahan yang dominan saja. Dalam REDD+ Indonesia menggunakan 23 kelas penutupan lahan. Untuk mengisi faktor emisi penutupan lahan lainnya maka digunakan beberapa asumsi Pengukuran fluks CO2 menggunakan closed chamber dengan analisis gas kromatografi
31
Referensi Hasil Penelitian ini (2016)
Faktor Emisi Karbon Dioksida (t CO2 ha1 th1)
Kelapa Sawit di Lahan Gambut
Pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut di Kalimantan Barat Keterangan : Nilai (rata-rata±SD)
39±14 81±21
Metode Pengukuran fluks CO2 menggunakan closed chamber dengan analisis gas inframerah (EGM-4)
Berdasarkan metode Gas Kromatografi diperkirakan emisi CO2 selama setahun di sekitar rizosfer sebesar 11±2 ton ha-1 tahun-1 dan di non rizosfer sebesar 14±6 ton ha-1 tahun-1, prakiraan emisi CO2 dengan metode ini berbeda dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Data rata-rata emisi CO2 dengan metode EGM4 di rizosfer sebesar 81±21 ton ha-1 tahun-1, sedangkan di sekitar non rizosfer sebesar 39±14 ton ha-1 tahun-1. Hasil ini lebih besar dibandingkan hasil penelitian Agus et al. (2010), di mana pada rizosfer berkisar 29-39 ton ha-1 tahun-1 sedangkan pada non rizosfer berkisar 18-24 ton ha-1 tahun-1. Hasil penelitian Dariah et al. (2014) pada lahan gambut yang ditanam kelapa sawit usia 6 tahun menghasilkan emisi CO2 sebesar 44.7±11.2 ton ha-1 tahun-1 di rizosfer lebih kecil dibandingkan hasil penelitian ini, sedangkan di non rizosfer sebesar 38.2±9.5 ton ha-1 tahun-1 relatif sama dengan penelitian ini. Penelitian Hooijer et al. (2006) di sekitar non rizosfer memperoleh emisi CO2 sebesar 54 ton ha-1 tahun-1. Hubungan Parameter Pendukung dengan Emisi CO2 Kedalaman Muka Air Tanah Data kedalaman muka air tanah dan emisi CO2 dari bulan Januari sampai Mei 2015 dapat dilihat pada Tabel 9. Data kedalaman muka air tanah ini dihubungkan dengan emisi CO2 metode EGM-4 yang diukur pada rizosfer dan non rizosfer. Tabel 9 Kedalaman muka air tanah dan emisi CO2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer pada bulan Januari sampai Mei 2015 Bulan Januari Pebruari Maret April Mei
Kedalaman Air Tanah (cm) Titik 1 Titik 2 Titik 3 -29 -27 -33 -19 -24 -30 -23 -26 -32 -29 -28 -34 -31 -38 -39
CO2 (g m-2 jam-1) Rizosfer Titik 1 Titik 2 Titik 3 1.01 1.05 0.70 0.42 0.65 0.45 0.44 0.51 0.88 0.50 1.37 0.93 0.36 0.72 1.14
CO2 (g m-2 jam-1) Non Rizosfer Titik 1 Titik 2 Titik 3 0.34 0.11 0.19 0.15 0.15 1.77 0.18 0.10 0.20 0.53 0.77 0.42 0.20 0.69 0.31
Hubungan kedalaman air tanah gambut terhadap emisi CO2 metode EGM4 memiliki hubungan positif yang nyata pada rizosfer, non rizosfer dan respirasi tanah total (Gambar 12). Pada rizosfer dengan r sebesar 0.600 (R2 = 0.37), pada non rizosfer sebesar 0.570 (R2 = 0.31). Hasil hubungan ini setelah meng-outlier data emisi CO2 bulan Pebruari Titik 3 pada non rizosfer, di mana CO2 tersebut
32 tidak normal atau ekstrim dibandingkan data CO2 lainnya. Semakin dalam kedalaman air tanah maka nilai emisi CO2 semakin besar tetapi dengan R2 yang rendah. Hubungan yang nyata antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2 telah dilaporkan oleh Hooijer et al. (2009 dan 2012), sama seperti hasil ini yang diamati pada sekitar rizosfer dan non rizosfer. Sejalan pula dengan temuan Hirano et al. (2014) bahwa terdapat hubungan yang nyata antara muka air tanah dengan emisi CO2 tanah. Setiap penurunan kedalaman muka air tanah 0.1 meter akan meningkatkan emisi CO2 sebesar 89 gC m-2 tahun-1 pada lahan gambut tropika di Palangkaraya-Kalimantan Tengah. Menurunnya muka air tanah tidak selalu berbanding lurus dengan meningkatnya emisi CO2 seperti yang terlihat di rizosfer (Gambar 13), karena pada suatu waktu akan terjadi kondisi yang stagnan sehingga tidak lagi terjadi emisi CO2 atau bahkan terjadi penurunan emisi CO2 dengan menurunnya muka air tanah (semakin jauh dari permukaan gambut). Hal ini dapat disebabkan permukaan gambut mengering dan sulit menjadi basah atau bersifat kering tak balik (irreversible drying). Kondisi ini dikarenakan berkurangnya gugus fungsional karboksilat (COOH) dan/atau OH fenolat (Masganti et al. 2001; Sabiham 2000; Stevenson 1994). Selain itu, sifat kering tak balik pada gambut terjadi karena penyelimutan koloid-koloid gambut oleh senyawa hidrokarbon aromatik. Keadaan ini menyebabkan berkurangnya daya tarik antara partikelpartikel koloid gambut dengan molekul-molekul air (Valat et al. 1991). Proses kehilangan air yang besar menyebabkan terjadinya perubahan struktur molekul koloid-koloid gambut, sehingga koloid-koloid saling berinteraksi membentuk struktur yang lebih stabil. Perubahan ini bersifat tidak dapat balik dan menyebabkan gambut menjadi hidrofobik. Gugus-gugus fungsional –COOH, – C=O, –C-OH, dan fenol-OH merupakan bahan aktif koloid organik yang berperan dalam menentukan sifat inheren gambut. Pengaturan muka air tanah sedangkal mungkin sesuai dengan kedalaman akar kelapa sawit menjadi salah satu cara untuk menurunkan emisi CO2 tanpa menurunkan hasil tanaman.
Gambar 12 Hubungan positif antara emisi CO2 dengan muka air tanah
33 Data kedalaman muka air tanah dan emisi CO2 dikelompokkan berdasarkan empat tingkat kedalaman muka air tanah, yaitu: 1. Kelompok -40 cm: Merupakan data kedalaman air tanah -35 sampai -39 cm dan emisi CO2 pada kedalaman tersebut. 2. Kelompok -35 cm: Merupakan data kedalaman air tanah -30 sampai -34 cm dan emisi CO2 pada kedalaman tersebut. 3. Kelompok -30 cm: Merupakan data kedalaman air tanah -25 sampai -29 cm dan emisi CO2 pada kedalaman tersebut. 4. Kelompok -25 cm: Merupakan data kedalaman air tanah -19 sampai -24 cm dan emisi CO2 pada kedalaman tersebut. Emisi CO2 sekitar rizosfer dan non rizosfer pada beberapa kedalaman muka air tanah gambut dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Nilai rata-rata emisi CO2 menurut pengelompokan kedalaman muka air tanah. Tanda negatif menunjukkan air tanah berada di bawah permukaan tanah Pada Gambar 13 tampak bahwa emisi CO2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer menunjukkan bahwa emisi CO2 terendah pada kedalaman muka air tanah -25 cm di mana pada rizosfer memiliki emisi CO2 yang berbeda nyata (p < 0.05) terhadap kelompok kedalaman muka air tanah gambut (Lampiran 10) tetapi tidak berbeda nyata (p > 0.05) pada sekitar non rizosfer (Lampiran 11). Emisi CO2 di sekitar rizosfer berdasarkan uji lanjut BNJ terhadap kelompok kedalaman muka air tanah gambut -40 cm memiliki perbedaan yang nyata terhadap emisi CO2 di kelompok kedalaman muka air tanah -35 dan -25 cm (Lampiran 12). Suhu Tanah, Suhu Permukaan Tanah dan Suhu Udara Hubungan suhu tanah, suhu permukaan tanah dan suhu udara dengan emisi CO2 tidak memiliki hubungan yang nyata pada rizosfer maupun non rizosfer.
34 Hubungan suhu tanah dengan emisi CO2 dengan nilai R2 = 0.01 dan di non rizosfer nilai R2 = 0.02 (Gambar 14). Hubungan suhu permukaan tanah terhadap emisi CO2 rizosfer dengan R2 = 0.11 dan pada non rizosfer dengan R2 = 0.03 (Gambar 15). Hubungan suhu udara dengan emisi CO2 pada rizosfer R2 = 0.18 dan non rizosfer R2 = 0.17 (Gambar 16).
Gambar 14 Regresi suhu tanah gambut terhadap emisi CO2
Gambar 15 Regresi suhu permukaan tanah gambut terhadap emisi CO2
35
Gambar 16 Regresi suhu udara tanah gambut terhadap emisi CO2
36
5 SIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI Simpulan Sesuai dengan tujuan penelitian maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Karakteristik fisik dan kimia gambut pada perkebunan kelapa sawit di lokasi penelitian tidak berbeda nyata antara rizosfer dengan non rizosfer, sehingga karakteristik lahan tidak mempengaruhi emisi CO2 rizosfer dan non rizosfer. 2. Emisi CO2, CH4 dan metode Gas Kromatografi di sekitar rizosfer tidak berbeda nyata dibandingkan dengan di sekitar non rizosfer (p > 0.05). Emisi CO2 di rizosfer lebih kecil yaitu 0.12 g m-2 jam-1 dibandingkan non rizosfer sebesar 0.16 g m-2 jam-1. Emisi CH4 di rizosfer lebih kecil dibandingkan non rizosfer, dengan emisi di rizosfer sebesar 0.00069 g m-2 jam-1, sedangkan di non rizosfer sebesar 0.00136 g m-2 jam-1. Emisi N2O di rizosfer sebesar 0.00004 g m-2 jam-1, sedangkan di non rizosfer sebesar 0.00007 g m-2 jam-1. 3. Emisi CO2 dengan metode EGM-4 lebih besar rizosfer dengan emisi sebesar 0.93 g m-2 jam-1 dan berbeda sangat nyata (p < 0.01) dibandingkan non rizosfer sebesar 0.44 g m-2 jam-1. 4. Hasil pengukuran emisi CO2 menggunakan metode Gas Kromatografi berbeda sangat nyata (p < 0.01) dengan hasil metode EGM-4, baik di rizosfer maupun non rizosfer. Saran 1. 2. 3.
Frekuensi pengukuran emisi gas rumah kaca dapat dilakukan 2 kali dalam setiap bulannya. Selain dari pengkuran sifat fisik dan kimia, juga dilakukan pengukuran sifat biologi di lahan gambut. Untuk mengurangi adanya kebocoran dalam pengukuran sampel gas, sebaiknya menggunakan analisis gas inframerah yang dilakukan secara langsung dilapangan dengan metode EGM-4. Rekomendasi
Sebagai bahan masukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lahan Gambut yang berkelanjutan.
37
DAFTAR PUSTAKA Agus F, Handayani E, Noordwijk MV, Idris K, Sabiham S. 2010. Root respiration interferes with peat CO2 emission measurement. 19th World Congress of Soil Science, Soil Solutions for a Changing World. Brisbane, Australia. Agus F, Gunarso P, Sahardjo BH, Harris N, Noordwijk MV, Killeen TJ. 2013. Historical CO2 Emissions From Land Use And Land Use Change From The Oil Palm Industry In Indonesia, Malaysia And Papua New Guinea. Reports From The Technical Panels of The 2nd Greenhouse Gas Working Group Of The Roundtable On Sustainable Palm Oil (RSPO). Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Int J Climatol. 23: 1435–1452. Alex K, Joosten H. 2008. Global peatland assesment. Factbook for UNFCCC policies on peat carbon emission. Andriesse JP. 1988. Nature and Management of tropical peat soils, FAO Soils Bulletin No. 59, Soil Resources, Management and Conservation Service. FAO Land and Water Development Division, Rome. Anshari G, Afifudin M, Nuriman M, Gusmayanti E, Arianie L, Susana R, Nusantara RW, Rahajoe JS, Rafiastanto A. 2010. Drainage and land use impacts on changes in selected peat properties and peat degradation in West Kalimantan Province, Indonesia. Biogeosciences. 7: 3403–419. Anshari G, Afifudin M, Gusmayanti E. 2013. Assessing Degradation of Tropical Peat Domes and Disssolved Organic Carbon (DOC) Export from the Belait, Mempawah and Lower Kapuas Kecil Rivers in Borneo. Pontianak (ID): PEER Science Project. Attamimi AH. 1993. Hukum tentang Peraturan Perundangan-undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan). Jakarta (ID): Fakultas Hukum UI. [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2014. Potret Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). Jakarta (ID): BAPPENAS. [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Supadio Pontianak. 2016. Data Curah Hujan Bulanan Priode Tahun 2006-2015. Pontianak (ID): BMKG. Chimner RA, Cooper DJ. 2003. Influence of water table position on CO2 emissions in a Colorado subalpine fen: An in situ microcosm study. Soil Biology and Biogeochemistry. 35: 345–351. Couwenberg J, Dommain R, Joosten H. 2009. Greenhouse gas fluxes from tropical peat swamps in Southeast Asia. Global Change Biology. doi: 10.1111/j.1365-2486.2009.02016.x. Couwenberg J, Dommain R, Joosten H. 2010. Greenhouse gas fluxes from tropical peatlands in south-east Asia. Global Change Biology. 16: 17151732. Couwenberg J, Hooijer A. 2013. Towards robust subsidence-based soil emission factors for peat soils in Southeast Asia, with special reference to oil palm plantations. Mires & Peat. 12: 1–13.
38 Dariah A, Marwanto S, Agus F. 2014. Root and peat-based CO2 emissions from oil palm plantations. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change. 19: 831-843. Davidson EA, Savage K, Verchot LV, Navarro R. 2002. Minimizing artifacts and biases in chamber-based measurements of soil respiration. Agricultural and Forest Meteorology. 113: 21-37. Dinerstein E, Loucks C, Heydlauff A, Wikramanayake E, Bryja G, Forrest J, Ginsberg J, Klenzendorf S, Leimgruber P, O’Brien T et.al. 2006. Setting Priorities for the conservation recovery Wild Tiger: 2005-2015, Washington DC, WCS, WWF, Smithsonian, and NFWF-STF. [DPDJP] Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013. Statistik Perkebunan 2013. Jakarta (ID): DPDJP. Fargione J, Hill JK, Tilman D, Polasky S, Hawthorne P. 2008. Land Clearing and the Biofuel Carbon Debt. Science in China Series C-Life Sciences. 319. Fauzi Y, Widyastuti YE, Satyawibawa I, Hartono R. 2006. Kelapa Sawit: Budidaya, Pemanfaatan Hasil dan Limbah, Analisis Usaha dan Pemasaran. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Freijer JI, Bouten W. 1991. A comparison of field methods for measuring soil carbon dioxide evolution: Experiments and simulation. Plant and Soil. 135: 133-142. Furukawa Y, Inubushi K, Ali M. 2005. Effect of changing groundwater levels caused by land-use changes on greenhouse gas fluxes from tropical peat lands. Nutrient Cycling in Agroecosystems. 71: 81-91. Germer J, Sauerborn J. 2008. Estimation of the impact of oil palm plantation establishment on greenhouse gas balance. Environmental Development & Sustainability.10: 697-716. Global Peatland Initiative. 2002. World Peatland Map. Gunarso P, Hartoyo ME, Agus F, Killeen TJ. 2013. Oil Palm And Land Use Change In Indonesia, Malaysia And Papua New Guinea. Reports From The Technical Panels Of The 2nd Greenhouse Gas Working Group Of The Roundtable On Sustainable Palm Oil (RSPO). Hadjowigeno. 2010. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pressindo. Hamer U, Marschner B. 2005. Priming effects in soils after combined and repeated substrate additions. Geoderma. 128: 38–51. Hanafiah KA. 2005. Dasar-Dasar Ilmu tanah. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Hanson PJ, Edwards NT, Garten CT, Andrews JA. 2000. Separating root and soil microbial contributions to soil respiration: A review of methods and observations. Biogeochemistry. 48: 115–146. Hardjasoemantri K. 1999. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Hartono. 2008. SPSS 16.0 Analisis Data Statistika dan Penelitian. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. Healy RW, Striegl RG, Russell TF, Hutchinson GL, Livingston GP. 1996. Numerical evaluation of static-chamber measurements of soil-atmosphere gas exchange: Identification of physical processes. Soil Science Society of America Journal. 60: 740-747.
39 Heiri O, Andre FL, Gerry L. 2001. Loss on ignition as a method for estimating organic and carbonate content in sediments: reproducibility and comparability of results. Journal of Paleolimnology. 25. Netherlands. Hendriks DMD, Schrier AP, Kroon PS. 2007. The effects of vegetation and soil on methane emissions in a natural fen meadow in the Netherlands. In Proceedings of the first International Symposium on Carbon in Peatlands. 15-18 April 2007, Wageningen, The Netherlands. 141 pp. Hergoualc’h K, Verchot LV. 2011. Stocks and fluxes of carbon associated with land use change in Southeast Asian tropical peatlands: A review. Global Biogeochem. Cy. 25: GB2001. doi:10.1029/2009GB003718. Hirano T, Segah H, Harada T, Limin S, June T, Hirata R, Osaki M. 2007. Carbon dioxide balance of a tropical peat swamp forest in Kalimantan, Indonesia. Global Change Biology. 13: 412-425. Hirano T, Kusin K, Suwido S, Osaki M. 2014. Carbon dioxide emissions through oxidative peat decomposition on a burnt tropical peatland. Global Change Biology. 20: 555-565. doi:10.1111/gcb.12296. Hooijer A, Silvius M, Wosten, H. Page S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Wageningen: Delft Hydraulics report Q3943. Hooijer A, Page S, Canadell JG, Silvius M, Kwadijk J, Wösten H, Jauhiainen J. 2009. Current and future CO2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia. Biogeosciences. 6:7207-7230. Hooijer A, Page S, Canadell JG, Silvius M, Kwadijk J, Wosten H, Jauhiainen J. 2010. Current and Future CO2 emissions from drained peat soils in Southeast Asia. Biogeosciences. 7: 1505–1514. Hooijer A, Page S, Jauhiainen J, Lee WA, Lu XX, Idris A, Anshari G. 2012. Subsidence and carbon loss in drained tropical peatlands: reducing uncertainty and implications for CO2 emission reduction options. Biogeosciences. 9: 1053-1071. Hutchinson GL, Mosier AR. 1981. Improved soil cover method for field measurement of nitrous oxide fluxes. Soil Sci. Soc. Am. J. 45:311-316. Hutchinson GL, Livingston GP. 1993. Use of chamber systems to measure trace gas fluxes. p. 63-78. In L.A. Harper et al. (eds). Agricultural ecosystem effects on trace gases and global climate change. ASA Spec. Pbl. No. 55. ASA-CSSA-SSSA, Madison, WI. Husnain H, Wigena IGP, Dariah A, Marwanto S, Setyanto P, Agus F. 2014. CO2 emissions from tropical drained peat in Sumatra, Indonesia. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change. 19: 845-862. [IAEA] International Atomic Energy Agency. 1993. Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emissions from Agriculture. Vienna (AT): IAEA. Ikkonen E, Kurets V. 2002. The effect of drainage on CO2 production in peat soils of boreal zone. 17th WCSS, 14-21 August 2002, Thailand. Symposium no 45 paper no 143. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001: Impact, Adaptation and Vulnerability. Report of Working Group II to the Intergovernmental Panel on Climate Change Third Assessment Report. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2006a. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories: Volume 1, Prepared by the National
40 Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston HS, Buendia L, Miwa K, Ngara T and Tanabe K. (eds). Japan (JP): IGES. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2006b. N2O Emissions from Managed Soils, and CO2 Emissions from Lime and Urea Application. Volume 4, Chapter 11. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2013a. Adoption and Acceptance of The “2013 Supplement To The 2006 Guidelines: Wetlands”. Thirty-Seventh Session of The IPCC Batumi. Georgia (GE): IPCC. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2013b. Climate Change 2013: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Stocker TF, D. Qin, G.-K. Plattner, M. Tignor, S.K. Allen, J. Boschung, A. Nauels, Y. Xia, V. Bex and P.M. Midgley (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA, 1535 pp. [IPCC] International Panel on Climate Change. 2014. 2013 Supplement to the 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories: Wetlands. In Hiraishi T, Krug T, Tanabe K, Srivastava N, Baasansuren J, Fukuda M and Troxler TG, eds. Switzerland (CH): IPCC. Jauhiainen J, Takahashi H, Heikkinen JEP, Martikainen PJ, Vasander H. 2005. Carbon fluxes from a tropical peat swamp forest floor. Global Change Biology. 11: 1788-1797. Jauhiainen J, Silvennoinen H, Hamalainen R, Kusin K, Limin S, Raison RJ, Vasander H. 2012. Nitrous oxide fluxes from tropical peat with different disturbance history and management. Biogeosciences. 9: 1337–1350. Joosten H. 2009. Peatland status and drainage related emissions in all countries of the world. The Global Peatland CO2 Picture. Wetlands International. Klemedtsson AK, Klemedtsson L, Berglund K, Martikainen P, Silvola J, Oenema O. 1997. Greenhouse gas emissions from farmed organic soils: a review. Soil Use and Management. 13: 245-250. Kuzyakov Y, Friedel JK, Stahr K. 2000. Review of mechanisms and quantification of priming effects. Soil Biology and Biochemistry. 32: 1485– 1498. Lai CT, Katul G, Butnor J, Siqueira M, Ellsworth D, Maier C, Johnsen K, Mckeand S, Oren R. 2002. Modelling the limits on the response of net carbon exchange to fertilization in a south-eastern pine forest. Plant Cell Environ. 25: 1095–1119. Lakitan B. 1992. Dasar-dasar Klimatologi. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Li X, Feng Y, Archambault D, Bertram H, Flesch T. 2000. Evaluation of Methods for Determining NH3 and N2O Emissions from Soil Applied Manure. ISBN 0-7785-3171-6. Report prepared by Alberta Research Council for Air Research Users Group, Alberta Environment, Edmonton, Alberta. Marwanto S, Sabiham S, Sudadi U, Agus F. 2013. Pengaruh kerapatan akar, pupuk, dan kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO2 dari tanah gambut pada perkebunan kelapa sawit. Jurnal Tanah dan Iklim. 37 (1). Masganti, Notohadikusumo T, Maas A, Radjagukguk B. 2001. Hydrophobicity and its impact on chemical properties of peat. Dalam Rieley JO, Page SE (Eds.). Jakarta Symposium Proceeding on Peatlands for People: Natural Resources Functions and Sustainable Management. 109-113 p.
41 Melling L, Hatano R, Goh KJ. 2005. Methane fluxes from three ecosystems in tropical peatland of Sarawak, Malaysia. Soil Biol. Biochem. 37: 1445-1453. Melling L, Hatano R, Goh KJ. 2007a. Nitrous oxide emissions from three ecosystems in tropical peatland of Sarawak, Malaysia. In: Soil Science and Plant Nutrition. 53: 729-805. Melling L, Goh GJ, Beauvais C, Hatano R. 2007b. Carbon flow and budget in a young mature oil palm agroecosystem on deep tropical peat, in: Carbonclimate-human interaction on tropical peatland. Proceedings of The International Symposium and Workshop on Tropical Peatland, Yogyakarta, 27–29 August 2007, edited by: Rieley JO, Banks CJ, .Radjagukguk B, EU CARBOPEAT and RESTORPEAT Partnership. 2007. Gadjah Mada University, Indonesia and University of Leicester. United Kingdom. 153157. [MoEF] National Forest Reference Emission Level for Deforestation and Forest Degradation. 2015. In the Context of Decision 1/CP.16 para 70 UNFCCC (Encourages developing country Parties to contribute to mitigation actions in the forest sector). Indonesia (ID): DG-PPI. Murdiyarso D, Suryadiputra IN, Wayunto. 2004. Tropical peatlands management and climate change: A case study in Sumatra, Indonesia. Presented in The International Peat Congress. Tampere, Finland. Murdiyarso D, Hergoualc’h K, Verchot LV. 2010. Opportunities for reducing greenhouse gas emissions in tropical peatlands. PNAS. 107: 19655–19660. Mutert E, Fairhurst TH, Uexküll HRV. 1999. Agronomic management of oil palms on deep peat. Better Crops International. 13: 22-27. Niedermeier A, Robinson JS, 2007. Hydrological controls on soil redox dynamics in a peat-based. restored wetland. Geoderma. 137 : 318–326. Nykänen H, Alm J, Lang K, Silvola J, Martikainen PJ. 1995. Emissions of CH4, N2O and CO2 from virgin fen and afen drained for grassland in Finland. J. Biogeogr. 22: 351–357. Page SE, Rieley JO, Banks CJ. 2011. Global and regional importance of the tropical peatland carbon pool. J. Global Change Biology Bioenergy. 17: 798-818. Paterson E. 2003. Importance of rhizodeposition in the coupling of plant and microbial productivity. European Journal of Soil Science. 54: 741–750. PP Systems. 2011. SRC-1/CPY-2/CPY-4: Closed System Chambers For Use With All EGM-4’s (1/2/3/4) and CIRAS-1 Operator’s Manual Version 3.33. Amesbury (US) : PP Systems. Reddy KR, DeLaune RD. 2008. The Biogeochemisty of Wetlands; Science and Applications. CRC Press. New York. USA. 779p. Rehman SAR, Sudadi U, Anwar S, Sabiham S. 2015. Land use changes and above-ground biomass estimation in peatlands of Riau and West Kalimantan, Indonesia. J.ISSAAS. 21 (1): 123-136. Reijnders L, Huijbregts MAJ. 2008. Palm oil and the emission of carbon-based greenhouse gases. Journal of Cleaner Production. 16: 477-482. Rieley JO, Wust RAJ, Jauhiainen J, Page SE, Wosten H, Hooijer A, Siegert F, Limin SH, Vasander H, Stahlhut M. 2008. Tropical peatlands: carbon stores, carbon gas Emissions and contribution to climate change Processes. pp.
42 148-182 InM. Strack (Ed.) Peatlands and Climate Change. International Peat Society, Vapaudenkatu 12, 40100 Jyväskylä, Finland. Rinnan R, Silvola J, Martikainen PJ. 2003. Carbon dioxide and methane fluxes in boreal peatland microcosms with different vegetation cover-effects of ozone or ultraviolet-B exposure. Occologia. 137: 475-483. Ritung S, Wahyunto, Nugroho K, Sukarman, Hikmatullah, Suparto, Tafakresnanto C. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Roulet NT, Moore TR. 1995. The effect of forestry drainage practices on the emission of methane from nothern peatland. Can. J. For.Res. 25: 491-499. Sabiham S. 2000. Kadar air kritis gambut Kalimantan Tengah dalam kaitannya dengan kejadian kering tidak-balik. J. Tanah Trop. 11: 21-30. Sabiham S. 2006. Pengelolaan Lahan Gambut Indonesia Berbasis Keunikan Ekosistem. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Pengelolaan Tanah. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 124 p. Sano T, Hirano T, Liang R, Fujinuma Y. 2010. Carbon dioxide exchange of a larch forest after a typhoon disturbance. Citation Forest Ecology and Management. 260 (12). Schrier-Uijl AP, Silvius M, Parish F, Lim KH, Rosediana S, Anshari G. 2013. Environmental And Social Impacts Of Oil Palm Cultivation On Tropical Peat A Scientific Review. Reports From The Technical Panels Of The 2nd Greenhouse Gas Working Group Of The Roundtable On Sustainable Palm Oil (RSPO). Silva CC, Guido ML, Cebbalos JM, Marsch R, Dendooven L. 2008. Production of carbon dioxide and nitrous oxide in alkaline saline soil of Texcoco at different water content amanded with urea: A laboratory study. Soil Biol & Biochem. 40: 1813-1822. Silvola J, Alm J, Ahlholm U, Nykänen H, Martikainen PJ. 1996. CO2 fluxes from peat in boreal mires under varying temperature and moisture conditions. J. Ecol. 84: 219–228. Soil Survey Staff. 1999. Kunci Taksonomi Tanah. Edisi Kedua Bahasa Indonesia. Diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Kunci Taksonomi Tanah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Soil Survey Staff. 2010. Key to soil taxonomy. 11th United States Departement of Agriculture Natural Resources Conservation Service. Soil Survey Staff. 2014. Keys to Soil Taxonomy. Twelfth Edition. Washington (US): USDA, NRCS. Stevenson FJ. 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition and Reaction. Sec. Edition. John Willey & Sons Inc. New York. 496 hal. Subke JA, Hahn V, Battipaglia G, Linder S, Buchmann N, Cotrufo MF. 2004. Feedback interactions between needle litter decomposition and rhizosphere activity. Oecologia. 139: 551–559. Syaufina L, Nuruddin AA, Basharudin J, See LF, Yusof MRM. 2004. The effects of climatic variations on peat swamp forest and peat combustibility. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 10 (1): 1-14.
43 Takakai F, Morishita T, Hashidoko Y, Darung U, Kuramochi K, Dohong S, Limin Sh, Hatano R. 2006. Effects of agricultural landuse change and forest fire on N2O emission from tropical peatlands, Central Kalimantan, Indonesia. Soil Science and Plant Nutrition. 52(5): 662 - 674. Tan KH. 1991. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Valat B, Jouany C, Riviere LM. 1991. Characterization of the wetting properties of air-dried peats and composts. Soil Sci. 152 (2): 100 - 107. Wahyunto, Ritung S, Subagjo H. 2004. Peta Sebaran Lahan Gambut. Luasdan Kandungan Karbon di Kalimantan / Map of Peatland Distribution Area and Carbon Content in Kalimantan. 2000–2002. Wetlands International Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC). Walezak BW, Bieganowski A, Rovdan E. 2002. Water-air properties in peat, sand and their mixtures. Int. Agrophysic. 16: 313–318. Wisnubroto SSSL, Aminah, Nitisapto M. 1982. Asas-asas Meteorologi Pertanian. Yogyakarta (ID): Departemen Ilmu-ilmu Tanah, Fakultas Pertanian. UGM. Zhang L, Song C, Zheng X, Wang D, Wang Y. 2007. Effects of nitrogen on the ecosystem respiration, CH4 and N2O emissions to the atmosphere from the freshwater marshes in Northeast China. Environ Geol. 52: 529-539.
44
LAMPIRAN
45 Lampiran 1 Peta titik pengamatan
Lampiran 2 Hasil pengukuran ketebalan gambut Titik 1.1 1.2 1.3 2.1 2.2 2.3
Kedalaman gambut (cm) 89 60 70 50 89 71
46 Lampiran 3 Hasil pengukuran kedalaman muka air tanah Bulan 03 Jun'14 03 Jul'14 03 Agu'14 04 Sep'14 26 Nop'14 10 Des'14 27 Jan'15 28 Peb'15 29 Mar'15 28 Apr'15 28 Mei'15
Jarak dari saluran drainase sekunder 500 m 527 m 554 m 581 m 608 m (cm) -32 -34 -38 -24 -35 -65 -74 -77 -65 -72 -90 -100 -101 -85 -96 -42 -49 -51 -40 -52 -30 -32 -37 -22 -32 -40 -44 -49 -38 -50 -19 -24 -30 -13 -29 -29 -27 -33 -20 -30 -23 -26 -32 -15 -32 -31 -38 -39 -30 -42 -29 -28 -34 -21 -36
Lampiran 4 Uji t emisi CO2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode Gas Kromatografi
Emisi CO2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode Gas Kromatografi
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Uji Levene F Sig. 0.001 0.975
t -1.419
Uji t df 31
Sig. 0.166
-1.411
29.466
0.169
Lampiran 5 Uji t emisi CH4 pada bagian rizosfer dan non rizosfer
Emisi CH4 pada bagian rizosfer dan non rizosfer
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Uji Levene F Sig. 13.550 0.001
Uji t df 35
Sig. 0.108
-1.473 17.317
0.159
t -1.651
47 Lampiran 6 Uji t emisi N2O pada bagian rizosfer dan non rizosfer
Emisi N2O pada bagian rizosfer dan non rizosfer
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Uji Levene F Sig. 0.502 0.483
Uji t df 34
Sig. 0.467
0.753 33.971
0.457
t 0.736
Lampiran 7 Uji t emisi CO2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode EGM-4
Emisi CO2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode EGM-4
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Uji Levene F Sig. 1.505 0.225
t 4.557
Uji t df 58
Sig. 0.000
4.557
54.142
0.000
Lampiran 8 Uji t emisi CO2 di sekitar rizosfer metode Gas Kromatografi dan EGM-4
Emisi CO2 di sekitar rizosfer metode Gas Kromatografi dan EGM-4
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Uji Levene F Sig. 11.532 0.001
t -7.076
Uji t df 45
Sig. 0.000
-9.273
32.133
0.000
Lampiran 9 Uji t emisi CO2 di sekitar non rizosfer metode Gas Kromatografi dan Enviromental EGM-4
Emisi CO2 di sekitar non rizosfer metode Gas Kromatografi dan EGM-4
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Uji Levene F Sig. 7.104 0.011
Uji t df 44
Sig. 0.004
-3.639 36.436
0.000
t -3.070
48 Lampiran 10 Analisis ragam emisi CO2 EGM-4 di sekitar rizosfer di beberapa kedalaman muka air tanah gambut Kelompok Galat Total
Jumlah Kuadrat 0.785 0.538 1.323
df
Rata-Rata Kuadrat 3 0.262 11 0.049 14
F 5.346
Sig. 0.016
Lampiran 11 Analisis ragam emisi CO2 EGM-4 di sekitar non rizosfer di beberapa kedalaman muka air tanah gambut Kelompok Galat Total
Jumlah Kuadrat 0.192 0.416 0.608
df
Rata-Rata Kuadrat 3 0.64 10 0.042 13
F 1.542
Sig. 0.264
Lampiran 12 BNJ (Tukey) emisi CO2 EGM-4 di sekitar rizosfer di beberapa kedalaman muka air tanah gambut Perbandingan (vs) -40
-35* -30 -25* -35 -40* -30 -25 *Nyata pada taraf 0.05
Sig. 0.047 0.133 0.013 0.047 0.832 0.730
Perbandingan (vs) -30 -40 -35 -25 -25 -40* -35 -30
Sig. 0.133 0.832 0.296 0.013 0.730 0.296
49 Lampiran 13 Analisis sifat fisik gambut Rizosfer Kode
Kadar Air (%)
Non Rizosfer
Bobot Isi (g cm-3)
Bahan Organik (%)
Kadar Abu (%)
Kadar Air (%)
1.1 (5-15) 1.1 (15-25) 1.1 (25-35) 1.2 (5-15) 1.2 (15-25) 1.2 (25-35) 1.3 (5-15) 1.3 (15-25) 1.3 (25-35) 2.1 (5-15) 2.1 (15-25) 2.1 (25-35) 2.2 (5-15) 2.2 (15-25) 2.2 (25-35) 2.3 (5-15) 2.3 (15-25) 2.3 (25-35)
374.83 323.52 385.19 257.20 263.48 349.05 210.61 276.49 315.02 263.49 350.96 362.29 302.3 231.52 237.80 194.60 174.35 188.65
0.21 0.28 0.32 0.19 0.28 0.25 0.20 0.27 0.30 0.21 0.22 0.26 0.22 0.34 0.40 0.25 0.35 0.39
76.65 56.18 56.55 81.22 57.97 65.73 64.10 61.85 52.93 78.85 69.92 64.49 76.34 44.93 42.64 48.89 48.14 45.66
23.35 43.82 43.45 18.78 42.03 34.27 35.90 38.15 47.07 21.15 30.08 35.51 23.66 55.07 57.36 51.11 51.86 54.34
Rata-rata Maks Min SD
281.17
0.27
60.72
39.28
335.63 292.53 360.67 240.10 351.45 261.74 192.38 224.07 262.10 317.01 338.50 260.28 151.67 192.75 257.12 212.57 190.32 177.60 256.58
385.19 174.35 67.32
0.40 0.19 0.06
81.22 42.64 12.35
57.36 18.78 12.35
360.67 151.67 64.58
Bobot Isi (g cm-3)
Bahan Organik (%)
Kadar Abu (%)
0.17 0.26 0.25 0.26 0.25 0.37 0.24 0.30 0.29 0.23 0.22 0.32 0.31 0.28 0.29 0.20 0.33 0.44 0.28
85.31 65.97 53.18 62.54 68.02 55.61 55.61 47.94 45.81 66.72 63.48 42.99 50.96 43.95 41.42 63.13 45.01 42.64 55.57
14.69 34.03 46.82 37.46 31.98 44.39 44.39 52.06 54.19 33.28 36.52 57.01 49.04 56.05 58.58 36.87 54.99 57.36 44.43
0.44 0.17 0.06
85.31 41.42 11.86
58.58 14.69 11.86
50 Lampiran 14 Analisis sifat kimia gambut Kode R1.1 R1.2 R1.3 R2.1 R2.2 R2.3 Rata-rata Maks Min SD NR1.1 NR1.2 NR1.3 NR2.1 NR2.2 NR2.3 Rata-rata Maks Min SD
pH H2O 4.07 3.90 4.09 3.94 3.74 4.18
3.40 3.28 3.41 3.18 3.15 3.52
4.18 3.74 0.16 3.68 3.42 4.04 3.89 3.79 3.97
3.52 3.15 0.14 2.96 3.26 3.35 3.21 3.32 3.28
Potensial Redoks (mv) 428.50 453.00 475.00 442.10 452.40 433.80 447.47 475.00 428.50 16.66 451.50 439.70 439.80 449.80 472.90 467.70
3.35 2.96 0.16
453.57 472.90 439.70 13.96
4.04 3.42 0.23
pH CaCl2
C organik
N total
(%) 24.08 40.55 20.55 40.65 31.51 25.78 30.52 40.65 20.55 8.57 23.32 32.03 30.95 33.30 23.43 23.95
(%) 0.98 1.29 0.80 1.29 1.11 0.96 1.07 1.29 0.80 0.20 0.92 1.00 1.08 1.07 1.01 0.99
27.83 33.30 23.32 4.73
1.01 1.08 0.92 0.06
51 Lampiran 15 Analisis sifat kimia gambut Kode
R1.1 R1.2 R1.3 R2.1 R2.2 R2.3 Rata-rata Maks Min SD NR1.1 NR1.2 NR1.3 NR2.1 NR2.2 NR2.3 Rata-rata Maks Min SD
CN Rasio
NO3-
NH4+
P Bray I
(%)
(ppm)
(ppm)
(ppm)
1654.52 2468.36 980.90 2336.62 636.58 2505.03 1763.67 2505.03 636.58 808.63 1665.26 2505.07 748.68 1007.33 545.75 709.46 1196.93 2505.07 545.75 752.21
36.95 81.91 35.60 38.77 138.60 138.52 78.39 138.60 35.60 49.74 120.86 41.55 108.67 97.50 26.41 41.20 72.70 120.86 26.41 40.83
24.66 31.54 25.74 31.54 28.38 26.96 28.14 31.54 24.66 2.91 25.45 31.96 28.60 31.05 23.27 24.18 27.42 31.96 23.27 3.65
31.76 42.82 35.85 35.81 24.01 19.11 31.56 42.82 19.11 8.66 28.17 35.71 32.54 54.10 25.24 55.23 38.50 55.23 25.24 13.03
KTK (me 100g1 ) 101.69 91.81 84.36 109.15 105.96 82.07 95.84 109.15 82.07 11.41 94.96 87.33 82.15 90.65 51.48 91.86 83.07 94.96 51.48 16.08
KB (%) 13.45 15.68 17.51 20.14 10.71 8.88 14.40 20.14 8.88 4.22 12.25 11.93 12.64 10.18 7.50 15.45 11.66 15.45 7.50 2.65
52 Lampiran 16 Hasil pengukuran suhu tanah bulan Juni-September 2014
Titik R1.1 R1.2 R1.3 R2.1 R2.2 R2.3 Rata-rata NR1.1 NR1.2 NR1.3 NR2.1 NR2.2 NR2.3 Rata-rata
Juni 27.05 28.90 30.57 27.40 28.18 27.50 28.27 26.57 28.67 27.18 27.25 27.20 27.70 27.43
Suhu Tanah (ᵒ C) Bulan Juli Agustus 26.33 27.22 27.88 28.08 31.22 30.83 27.18 27.47 28.28 28.52 27.53 27.53 28.07 28.28 25.82 27.05 26.00 28.02 27.70 27.82 26.82 27.20 26.60 27.05 27.37 27.73 26.72
September 26.73 26.95 28.33 26.13 27.12 26.67 26.99 26.17 26.80 27.23 26.25 26.32 26.77
27.48
26.59
Lampiran 17 Hasil pengukuran suhu tanah bulan Januari-Mei 2015
Titik R1.1 R1.2 R1.3 R2.1 R2.2 R2.3 Rata-rata NR1.1 NR1.2 NR1.3 NR2.1 NR2.2 NR2.3 Rata-rata
Januari 25.50 26.25 26.13 26.80 26.12 26.19 26.17 25.43 25.29 25.49 25.40 25.03 25.50 25.36
Suhu Tanah (ᵒ C) Bulan Pebruari Maret 25.80 26.77 25.96 27.42 26.34 29.13 26.58 27.71 26.47 28.50 26.10 28.18 26.21 27.95 25.34 27.77 25.80 27.83 26.68 29.47 26.10 27.67 26.18 28.28 25.90 27.32 26.00 28.06
April 28.01 27.58 28.14 28.46 28.42 27.76 28.06 26.83 27.07 27.22 27.67 27.08 27.48 27.23
Mei 26.90 28.17 28.57 28.05 29.07 27.40 28.03 26.90 28.25 27.70 27.52 27.26 27.42 27.51
53 Lampiran 18 Hasil pengukuran suhu permukaan tanah bulan Juni-September 2014 Titik R1.1 R1.2 R1.3 R2.1 R2.2 R2.3 Rata-rata NR1.1 NR1.2 NR1.3 NR2.1 NR2.2 NR2.3 Rata-rata
Juni 30.37 32.27 33.52 29.92 33.05 31.43
Suhu Permukaan Tanah (ᵒ C) Bulan Juli Agustus 30.40 31.20 33.02 33.93 34.80 35.12 30.22 31.05 34.15 34.67 31.77 33.30
September 30.52 31.53 33.17 29.55 34.18 31.72
31.76 30.58 35.95 32.07 29.88 32.70 32.43
32.39 28.32 31.63 32.82 29.55 32.02 30.87
33.21 30.53 37.48 34.12 31.88 33.02 33.62
31.78 29.30 32.47 32.37 29.22 32.55 31.83
32.27
30.87
33.44
31.29
Lampiran 19 Hasil pengukuran suhu permukaan tanah bulan Januari-Mei 2015
Titik R1.1 R1.2 R1.3 R2.1 R2.2 R2.3 Rata-rata NR1.1 NR1.2 NR1.3 NR2.1 NR2.2 NR2.3 Rata-rata
Januari 31.20 31.20 32.50 32.10 32.15 31.15 31.72 31.70 32.60 33.45 33.20 32.35 31.65 32.49
Suhu Permukaan Tanah (ᵒ C) Bulan Pebruari Maret April 26.90 28.35 29.40 27.80 28.40 30.50 28.40 29.25 33.05 29.60 29.00 30.75 30.25 28.85 31.05 29.35 29.00 30.05 28.72 28.81 30.80 27.05 28.00 29.85 27.95 28.45 31.10 28.95 28.95 30.50 29.60 28.90 32.15 29.85 28.40 30.90 29.10 28.00 30.50 28.75 28.45 30.83
Mei 31.80 31.20 31.00 29.00 30.50 30.10 30.60 31.60 30.00 32.80 29.80 29.90 31.20 30.88
54 Lampiran 20 Hasil pengukuran suhu udara bulan Juni-September 2014
Titik R1.1 R1.2 R1.3 R2.1 R2.2 R2.3 Rata-rata NR1.1 NR1.2 NR1.3 NR2.1 NR2.2 NR2.3 Rata-rata
Juni 29.27 31.10 31.23 29.10 32.07 30.63 30.57 28.60 34.50 30.37 28.67 31.77 30.97 30.81
Suhu Udara (ᵒ C) Bulan Juli Agustus 29.73 29.27 30.83 31.80 31.17 33.23 29.87 30.50 31.33 32.23 30.77 31.50 30.62 31.42 28.63 29.17 30.60 31.70 31.03 31.93 28.20 30.03 31.57 32.33 31.20 31.40 30.21
September 29.53 31.30 31.60 29.20 30.70 31.30 30.61 28.23 30.57 33.00 27.70 29.37 31.87
31.09
30.12
Lampiran 21 Hasil pengukuran suhu udara bulan Januari-Mei 2015 Titik 1.1 1.2 1.3 Rata-rata 2.1 2.2 2.3 Rata-rata
Januari 30.80 30.80 31.40 31.00 31.60 31.30 31.20 31.37
Suhu Udara (ᵒ C) Bulan Pebruari Maret 26.30 27.50 27.00 27.80 27.90 27.90 27.07 27.73 28.90 27.70 28.70 27.80 27.90 28.10 28.50 27.87
April 29.70 30.70 30.60 30.33 31.80 31.30 30.00 31.03
Mei 31.00 31.10 31.00 31.03 29.50 30.00 30.70 30.07
55 Lampiran 22 Dokumentasi penelitian
Tanaman kelapa sawit 6 tahun
Persiapan pemasangan sungkup/chamber
Pengukuran kedalaman gambut
Pengambilan sampel sifat fisik gambut
Botol sampel gas
Pengukuran gas metode Gas Kromatografi
56
Pengukuran metode EGM-4 non rizosfer
Pengukuran metode EGM-4 rizosfer
Pengukuran suhu
Pengukuran kedalaman air tanah
Saluran cacing musim hujan
Saluran cacing musim kemarau
57
Saluran tersier musim hujan
Saluran tersier musim kemarau
Saluran sekunder musim hujan
Saluran sekunder musim kemarau
Pengkuran sifat fisik gambut
Pengkuran sifat kimia gambut
58
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 08 Agustus 1989 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan John Ahmadi dan Erlisna. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 3 Singkawang pada tahun 2007. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura (UNTAN), lulus pada tahun 2012. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) pada Program Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 2016. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Dikti melalui program Beasiswa Unggulan (BU). Sebuah artikel yang merupakan bagian dari isi karya ilmiah diterbitkan pada Jurnal Tanah dan Iklim. Artikel berjudul Emisi Karbon Dioksida (CO2) Rizosfer dan Non Rizosfer dari Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis) pada Lahan Gambut Dangkal.