ANALISIS FINANSIAL DAN KEUNTUNGAN YANG HILANG DARI PENGURANGAN EMISI KARBON DIOKSIDA PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Herman1, Fahmuddin Agus2, dan Irsal Las2 1 Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Jalan Salak No. 1A, Bogor 16151 Telp. (0251) 8333382, Faks. (0251) 8315985, E-mail:
[email protected] 2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123 Telp. (0251) 8323012, Faks. (0251) 8311256, E-mail:
[email protected]
Diajukan: 3 Agustus 2009; Diterima: 3 Oktober 2009
ABSTRAK Areal perkebunan kelapa sawit meningkat tajam dengan laju rata-rata 12,30%/tahun sejak 1980. Perluasan perkebunan kelapa sawit, terutama bila mengonversi hutan primer, berpotensi menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK). Emisi GRK akibat penggundulan hutan dapat dikurangi melalui kebijakan nasional dipadukan dengan mekanisme perdagangan karbon internasional, seperti Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD). Biaya investasi satu unit perkebunan sawit dengan luas efektif 6.000 ha dengan model PIR adalah sekitar Rp256,86 miliar pada tanah mineral dan Rp276,82 miliar pada lahan gambut. Untuk perkebunan besar, biaya investasinya Rp265,72 miliar pada tanah mineral dan Rp286,30 miliar pada lahan gambut. Bila harga minyak sawit mentah (CPO) Rp8.000/kg dan harga inti sawit Rp5.500/kg, pada suku bunga 15% perkebunan meraup keuntungan bersih Rp1.957.000/ha/tahun dengan model PIR dan Rp1.615.000/ha/tahun dengan model perkebunan besar pada lahan bertanah mineral. Apabila emisi dari perubahan penggunaan lahan hutan primer sampai satu siklus produksi perkebunan sawit pada lahan bertanah mineral adalah 41 t CO 2 /ha/tahun maka keuntungan yang hilang karena konservasi hutan untuk pengurangan emisi CO2 adalah US$5,19/t CO2 pada sistem PIR dan US$4,28/t CO2 pada perkebunan besar. Pada lahan gambut, keuntungan bersih menjadi Rp1.797.000/ha/ tahun dengan sistem PIR dan Rp1.468.000/ha/tahun pada perkebunan besar. Dengan perkiraan emisi pada lahan gambut rata-rata sebanyak 64 t CO2/ha/tahun maka keuntungan yang hilang berturut-turut adalah US$3,05 dan 2,49/t CO2 pada sistem PIR dan perkebunan besar. Hasil perkiraan keuntungan yang hilang dapat dijadikan acuan dasar perkiraan besaran kompensasi yang berhak diterima pemilik/penguasa hutan yang mengkonservasi hutannya. Kata kunci: Kelapa sawit, lahan mineral, lahan gambut, keuntungan yang hilang, gas rumah kaca
ABSTRACT Financial analysis and opportunity cost of carbon dioxide emission reduction in oil palm plantation The area of oil palm plantation rapidly increases at a rate of 12.30% annually since early 1980’s. Expansion of oil palm plantation, especially from forest conversion, entails a significant green house gas (GHG) emission. GHG emission from deforestation can be reduced through national policy in combination with the international carbon trading scheme such as Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD). A unit of oil palm plantation of 6,000 ha effective area under the Nucleus Estate Smallholder (NES) model requires an investment of about IDR256.86 billion on the mineral land and IDR276.82 billion on peatland. Under the large estate plantation, the total investment is IDR265.72 billion on the mineral land and IDR286.30 billion on the peatland. If the price of crude palm oil (CPO) is IDR8,000/kg and kernel palm oil price is IDR5,500/kg, at 15% interest rate, the estate company gained a Net Present Value (NPV) of IDR1,957,000/ha/year from the NES model and IDR1,615,000/ha/ year from large plantation on the mineral land. If the average emission from primary forest conversion to one cycle of oil palm is about 41 t CO 2/ha/year, then the opportunity cost from land conservation for emission reduction is US$5.19/t CO 2 under NES and US$4.28/t CO2 under the estate plantation. For peatland, the NPV becomes IDR1,797,000/ha/year under NES and IDR1,468,000/ha/year under the estate plantation. With the estimated average emission rate of about 64 t CO2/ha/year, the opportunity costs become US$3.05 and 2.49/t CO2 under the NES and estate, respectively. The estimated opportunity cost can be used as a basis for negotiating the amount of compensation that the land owners deserve for conserving the forest lands. Keywords: Oil palms, mineral lands, peatlands, opportunity costs, greenhouse gases
Jurnal Litbang Pertanian, 28(4), 2009
127
K
elapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional, terutama sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Pada tahun 2007, perkebunan kelapa sawit menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 3,30 juta kepala keluarga petani, serta memberikan sumbangan devisa sebanyak US$6,20 miliar. Kenaikan harga minyak di pasar dunia, kemajuan yang dicapai dalam perundingan liberalisasi perdagangan Doha Round, serta desakan reformasi kebijakan pertanian di negara maju seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat menyebabkan harga komoditas perkebunan meningkat tajam pada empat tahun terakhir (2004−2008). Walaupun pada kuartal ketiga tahun 2008 harga minyak sawit anjlok seiring dengan resesi global, dalam beberapa tahun mendatang diperkirakan harga akan membaik kembali. Sebagian besar lonjakan harga mencapai lebih dari 50%, bahkan untuk kelapa sawit dan karet, lonjakan harga lebih dari 100% dalam kurun waktu 2004−2008. Kondisi tersebut memicu pengembangan areal perkebunan yang pesat. Areal yang berpotensi untuk perluasan perkebunan kelapa sawit tidak saja lahan mineral, tetapi juga lahan gambut, lahan semak belukar, serta lahan alang-alang, dan lahan hutan primer. Namun, pemanfaatan hutan primer, terutama hutan gambut, akan menyebabkan tingginya emisi gas rumah kaca (GRK), terutama CO2 (Agus et al. 2009). Emisi GRK dari perubahan penggunaan lahan dapat dikurangi dengan cara konservasi hutan. Namun bagi pemilik lahan (termasuk dalam hal ini negara), konservasi lahan yang berpotensi untuk pengembangan pertanian dan perkebunan menyebabkan hilangnya peluang untuk mendapatkan keuntungan ekonomi (opportunity cost). Peluang untuk mendapatkan keuntungan tersebut perlu mendapat kompensasi bila dikehendaki agar pemilik lahan mempertahankan lahan hutannya tetap sebagai hutan. Mengingat adanya peluang bagi pemilik lahan untuk mendapatkan kompensasi bila mereka mengonservasi lahan, misalnya melalui berbagai skim perdagangan karbon (seperti Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD), perlu dikaji tingkat keuntungan yang hilang (opportunity 128
cost) karena usaha konservasi hutan tersebut. Hasil kajian tersebut bermanfaat sebagai dasar negosiasi antara penyedia jasa karbon (pemilik lahan dan pemerintah di negara berkembang) dan pembeli jasa karbon (negara industri). Dari analisis keuntungan yang hilang, pertanyaan yang dihadapkan kepada pemilik lahan atau investor perkebunan adalah mana yang lebih menguntungkan secara ekonomi antara mengonservasi hutan atau lahan gambut melalui skim perdagangan karbon dibandingkan dengan konversi lahan hutan tersebut menjadi areal perkebunan kelapa sawit.
PERKEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA Tanaman kelapa sawit berasal dari pesisir Afrika Barat, yang masuk ke Indonesia dan ditanam di Kebun Raya Bogor pada tahun 1848. Kelapa sawit diusahakan secara komersial mulai tahun 1911. Tanaman ini berkembang cukup pesat pada tahun 1939 yang diusahakan oleh 66 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan total areal 100 ribu ha. Namun sejak masuknya penjajah Jepang, perkebunan kelapa sawit menjadi tidak terawat dan kondisi tersebut berlanjut hingga tahun 1957 (Direktorat Jenderal Perkebunan 2007). Perkebunan kelapa sawit berkembang cukup pesat sejak awal tahun 1980-an, terutama melalui proyek Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-Bun). Perkebunan kelapa sawit pada awalnya hanya diusahakan oleh perkebunan besar dan terkonsentrasi di Sumatera Bagian Utara
dan sedikit di Sumatera Bagian Selatan, namun kemudian berkembang ke berbagai daerah. Pada tahun 1980, areal perkebunan kelapa sawit Indonesia tercatat 290 ribu ha dan meningkat menjadi 1,127 juta ha pada tahun 1990 serta menjadi 4,158 juta ha pada tahun 2000 (Direktorat Jenderal Perkebunan 2007). Pada tahun 2007, areal perkebunan kelapa sawit Indonesia tercatat 6,783 juta ha, terdiri atas 2,565 juta ha perkebunan rakyat, 688 ribu ha perkebunan besar negara, dan 3,53 juta ha perkebunan besar swasta (Tabel 1). Perkebunan kelapa sawit tersebar di 22 provinsi dengan sentra produksi Provinsi Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Secara nasional, areal perkebunan kelapa sawit tumbuh rata-rata 12,30%/ tahun selama 27 tahun terakhir. Pertumbuhan paling pesat terjadi pada perkebunan rakyat dengan laju 25,20%/ tahun, disusul perkebunan besar swasta dengan laju 14,60%/tahun dan perkebunan besar negara 4,70%/tahun. Menurut peta jalan (road map) kelapa sawit yang disusun oleh Direktorat Jenderal Perkebunan, areal perkebunan kelapa sawit ditargetkan menjadi 9 juta ha pada tahun 2015 (Direktorat Jenderal Perkebunan 2007). Selaras dengan perkembangan areal, produksi minyak sawit Indonesia juga meningkat tajam dari 721 ribu ton pada tahun 1980 menjadi 2,40 juta ton pada tahun 1990. Peningkatan produksi tersebut terus berlanjut hingga mencapai 7 juta ton pada tahun 2000 dan 17,40 juta ton pada tahun 2007. Secara nasional, produksi minyak sawit tumbuh rata-rata 12,50%/tahun selama 27 tahun terakhir. Pertumbuhan produksi paling pesat terjadi
Tabel 1. Perkembangan areal perkebunan kelapa sawit Indonesia, 1980− 2007. Luas areal (000 ha) Tahun 1980 1990 2000 2007 Pertumbuhan (%/tahun)
Perkebunan rakyat 6 292 1.167 2.565 25,20
Perkebunan besar nasional 200 372 588 688 4,70
Perkebunan besar swasta 84 463 2.403 3.530 14,60
Nasional 290 1.127 4.158 6.783 12,30
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2008).
Jurnal Litbang Pertanian, 28(4), 2009
pada perkebunan rakyat dengan laju 37,80%/tahun, diikuti oleh perkebunan besar swasta dan perkebunan besar negara dengan laju masing-masing 14,80% dan 5,80%/tahun. Pesatnya perkembangan areal dan produksi perkebunan kelapa sawit tidak terlepas dari potensi pengembangan, peluang pasar, harga minyak sawit, dan daya saing minyak sawit di pasar domestik maupun internasional (Direktorat Jenderal Perkebunan 2008). Pertumbuhan konsumsi minyak nabati dunia diperkirakan akan makin pesat dengan adanya kebijakan di berbagai negara untuk mensubstitusi sebagian konsumsi minyak bumi dengan minyak nabati, karena tingginya harga minyak bumi dan emisi yang ditimbulkannya. Untuk memenuhi peningkatan permintaan pasar, dari sisi potensi sumber daya lahan, Indonesia memiliki peluang yang besar untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Diperkirakan tersedia lahan sekitar 15,30 juta ha yang tersebar di seluruh Indonesia untuk perluasan lahan perkebunan (Mulyani dan Las 2008), dan sebagian di antaranya berpotensi untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit melalui program revitalisasi perkebunan. Lahan tersebut terdiri atas lahan mineral dan lahan gambut dengan tutupan lahan mulai dari hutan primer sampai semak belukar dan padang alang-alang. Ketersediaan lahan mineral yang makin terbatas dan sering bermasalah (dari sisi penguasaan lahan) menyebabkan sebagian investor mengajukan izin pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut yang diyakini kurang bermasalah. Namun, pengembangan perkebunan di lahan gambut dihadapkan pada biaya investasi yang lebih tinggi dan potensi emisi GRK yang lebih tinggi pula. Pertanaman kelapa sawit pada lahan gambut, menurut Yudoyono et al. dalam Barchia (2006), mampu menghasilkan tandan buah segar (TBS) 23,74 t/ha/tahun. Hasil yang hampir sama dikemukakan oleh Setiadi dalam Barchia (2006), bahwa kelapa sawit di lahan gambut mampu menghasilkan TBS 20,25 t/ha/tahun. Lebih spesifik lagi, menurut Wiratmoko et al. (2008), kelapa sawit yang ditanam pada lahan gambut topogen dapat menghasilkan TBS 19,64−25,53 t/ha/tahun. Sebagai pembanding, menurut Lubis (2008), pengusahaan kelapa sawit pada lahan mineral dapat menghasilkan TBS Jurnal Litbang Pertanian, 28(4), 2009
rata-rata 22,26 t/ha/tahun dengan puncak produksi sekitar 27,32 t/ha/tahun. Pemanfaatan lahan hutan primer dan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit akan meningkatkan emisi gas CO2 karena penurunan cadangan (stok) karbon tanaman antara hutan dan perkebunan kelapa sawit, pengaruh drainase, dan penggunaan pupuk, terutama pupuk nitrogen. Menurut Hooijer et al. (2006), kedalaman saluran drainase sangat mempengaruhi tingkat emisi CO2 pada lahan gambut. Pada kedalaman drainase 30−120 cm, emisi CO2 meningkat 9,10 t/ha/tahun setiap penambahan kedalaman drainase 10 cm. Agus et al. (2009) mengoreksi nilai tersebut dengan faktor 0,70 karena diperkirakan 30% dari emisi CO2 berasal dari respirasi akar yang dikompensasi oleh penyerapan CO2 dari atmosfir melalui fotosintesis. Dengan demikian, emisi dari respirasi akar tersebut tidak berpengaruh terhadap pemanasan global.
ANALISIS FINANSIAL PENGURANGAN EMISI KARBON Analisis finansial diperlukan untuk mengetahui kelayakan finansial pengembangan kelapa sawit pada tanah mineral dan gambut serta keuntungan yang hilang dari pengurangan emisi karbon. Analisis memanfaatkan berbagai data sekunder dan hasil studi yang bersumber dari Direktorat Jenderal Perkebunan, Badan Pusat Statistik, Oil World, Pusat Penelitian Kelapa Sawit, dan publikasi lainnya. Mengingat data yang tersedia cukup beragam, dilakukan penyesuaian berdasarkan tingkat inflasi dan nilai tukar rupiah serta digunakan beberapa asumsi, batasan, dan istilah sebagai berikut: 1) Setiap unit perkebunan kelapa sawit dibangun di atas lahan seluas 7.500 ha dengan areal efektif 6.000 ha. 2) Perkebunan kelapa sawit dibangun dengan dua pola, yaitu pola kemitraan dan pola perkebunan besar. Untuk pola kemitraan, areal perkebunan inti seluas 1.500 ha dan kebun plasma 4.500 ha serta pabrik pengolahan kelapa sawit berkapasitas 30 t TBS/jam. Untuk pola perkebunan besar, seluruh areal efektif 6.000 ha dikuasai oleh perusahaan perkebunan besar dengan satu pabrik pengolahan kelapa sawit berkapasitas 30 t TBS/jam.
3) Produktivitas lahan mengikuti pola produksi lahan kelas III (rata-rata 20,33 t TBS/ha/tahun), upah tenaga kerja Rp25.000/HK (hari orang kerja), dan upah mandor Rp30.000/HK. 4) Biaya operasional pada lahan mineral masing-masing adalah Rp4,75 juta/ha/ tahun untuk tanaman menghasilkan tahun 1−2 dan Rp5,95 juta/ha/tahun untuk tanaman menghasilkan tahun ke-3 ke atas. Pada lahan gambut, biaya operasional masing-masing sebesar Rp5,23 juta/ha/tahun untuk tanaman menghasilkan tahun 1−2 dan Rp6,55 juta/ha/tahun untuk tanaman menghasilkan tahun ke-3 ke atas. 5) Harga CPO dan harga inti sawit berfluktuasi. Harga bulanan CPO pada periode 2004−2008 rata-rata US$635,7/t, berfluktuasi dari US$398−US$1.249/t. Oleh karena itu, analisis mengacu pada perkembangan harga tersebut dengan tiga skenario harga, yaitu: skenario I, harga CPO Rp6.000/kg dan harga inti sawit Rp4.500/kg; skenario II, harga CPO Rp8.000/kg dan inti sawit Rp5.500/kg; skenario III, harga CPO Rp10.000/kg dan inti sawit Rp6.500/kg. 6) Analisis finansial menggunakan tingkat diskonto 15%/tahun. Analisis terdiri atas dua tahap, yaitu: 1) analisis finansial pengembangan perkebunan kelapa sawit, baik dengan pola kemitraan yang meliputi perusahaan inti dan petani plasma maupun perusahaan perkebunan besar, dan 2) analisis keuntungan yang hilang karena lahan bervegetasi hutan dipertahankan sebagai hutan untuk mengurangi emisi CO2. Analisis finansial bertujuan untuk mengetahui kelayakan usaha perkebunan kelapa sawit, sedangkan analisis keuntungan yang hilang dari pengurangan emisi CO2 bertujuan untuk mengetahui tingkat kelayakan pasar karbon bagi pengurangan emisi CO2 melalui konservasi hutan di lahan mineral dan di lahan gambut. Keuntungan yang hilang dapat dianggap sebagai biaya dari hilangnya kesempatan untuk mendapatkan keuntungan finansial dari perkebunan kelapa sawit, apabila hutan dipertahankan tetap sebagai hutan. Analisis kelayakan finansial dilakukan dengan menggunakan kriteria tingkat keuntungan internal (Internal Rate of Return, IRR), nilai bersih terkini (Net Present Value, NPV), dan rasio antara keuntungan dan biaya (B/C ratio). Suatu bisnis dinyatakan layak secara finansial 129
bila nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga pinjaman bank. Kegiatan usaha dikatakan layak apabila B/C > 1. Analisis keuntungan yang hilang dari pengurangan emisi CO2 pada perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan membandingkan penerimaan bersih nilai kini dari pengusahaan kelapa sawit dalam satu satuan luas lahan dan satu satuan waktu dengan emisi CO2 rata-rata untuk satuan luas dan waktu yang sama apabila lahan hutan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
BIAYA INVESTASI DAN KELAYAKAN USAHA Pengembangan satu unit usaha perkebunan kelapa sawit pada lahan mineral dan lahan gambut dengan luas efektif kebun 6.000 ha dan satu unit pabrik pengolahan kelapa sawit membutuhkan biaya investasi masing-masing Rp256,86 miliar dan Rp276,82 miliar untuk pola kemitraan serta Rp265,72 miliar dan Rp286,30 miliar untuk pola perkebunan besar (Tabel 2). Biaya investasi pada lahan gambut sedikit lebih tinggi dibandingkan pada lahan mineral, dan biaya investasi untuk pola perkebunan besar sedikit lebih tinggi daripada pola kemitraan. Hal ini terjadi karena pengelolaan lahan gambut membutuhkan saluran drainase, pemadatan jalan, serta pembuatan jembatan/ gorong-gorong yang lebih intensif daripada lahan mineral. Biaya investasi pada perkebunan besar lebih tinggi daripada pola kemitraan karena beban biaya overhead dan biaya untuk perumahan pada pola perkebunan besar lebih tinggi daripada pola kemitraan. Berdasarkan asumsi, batasan, serta biaya investasi dan biaya operasional seperti diuraikan terdahulu, dihasilkan NPV, IRR, dan B/C rasio seperti pada Tabel 3. Ketiga parameter kelayakan usaha tersebut menunjukkan bahwa pengusahaan kelapa sawit pada lahan mineral maupun gambut, baik dengan pola kemitraan maupun perkebunan besar, cukup layak untuk dilaksanakan. Namun, tingkat kelayakan usaha tersebut relatif rendah, sehingga dapat menjadi tidak layak bila terjadi penurunan harga CPO maupun inti sawit. Pada pola kemitraan, tingkat kelayakan usaha petani maupun perusahaan inti bervariasi, bergantung pada harga jual CPO, harga inti sawit, dan harga TBS. Pada 130
Tabel 2. Biaya investasi pembangunan perkebunan kelapa sawit, 2008. Biaya investasi pola kemitraan (Rp juta)
Jenis lahan/biaya
Biaya investasi pola perkebunan besar (Rp juta)
Lahan mineral Investasi kebun inti1 Investasi pabrik, kantor, perumahan dll.2,3 Biaya overhead2,3 Investasi kebun plasma1 Total investasi
40.762 76.015 11.678 128.402 256.857
163.050 78.515 24.156 − 265.721
Lahan gambut Investasi kebun inti1 Investasi pabrik, kantor, perumahan dll.2,3 Biaya overhead2,3 Investasi kebun plasma1 Total investasi
44.839 78.415 12.325 141.242 276.821
179.355 80.915 26.027 − 286.297
Keputusan Direktur Jenderal Perkebunan No 24/Kpts/RC.ll0/02/2008 dan No 60/Kpts/ RC.110/4/08; 2Pahan (2006); 3Wahyono et al. (2004). Sumber: Hasil penyesuaian karena inflasi dan pengolahan data dari berbagai sumber. 1
Tabel 3. Analisis finansial pengusahaan kelapa sawit pola kemitraan dengan berbagai tingkat harga TBS dengan skenario I1. Jenis lahan/ pengelola Lahan mineral Petani (luas 1 ha) Perusahaan (1.500 ha) Petani (luas 1 ha) Perusahaan (1.500 ha) Petani (luas 1 ha) Perusahaan (1.500 ha) Lahan gambut Petani (luas 1 ha) Perusahaan (1.500 ha) Petani (luas 1 ha) Perusahaan (1.500 ha) Petani (luas 1 ha) Perusahaan (1.500 ha)
Harga TBS (Rp/kg)
900 945 1.000
900 975 1.050
NPV df 15% (Rp juta)
NPV df 15% (Rp000/ha/tahun)
IRR (%)
B/C
13 80.354 16 68.489 20 53.986
540 1.913 660 1.631 807 1.285
20,94 23,54 22,06 22,47 23,37 21,09
1,29 1,20 1,35 1,16 1,43 1,13
9 72.570 14 52.794 19 33.018
373 1.728 574 1.257 774 786
18,92 22,45 20,76 20,66 22,46 18,72
1,18 1,18 1,28 1,12 1,38 1,07
Harga CPO Rp6.000/kg, inti sawit Rp4.500/kg dengan tiga tingkat harga TBS yang diterima petani. TBS = tandan buah segar; NPV = net present value; IRR = internal rate of return; B/C = benefit/cost. Sumber: Hasil pengolahan data Tabel 2.
1
kondisi harga CPO dan inti sawit tetap masing-masing Rp6.000 dan Rp4.500/kg, peningkatan harga TBS akan menyebabkan kelayakan usaha petani meningkat dan kelayakan usaha perusahaan inti menurun, dan berlaku sebaliknya. Tingkat kelayakan usaha perkebunan kelapa sawit, baik pada lahan mineral maupun gambut, diberikan dengan tiga skenario harga CPO, harga inti sawit, dan harga TBS.
Pada tingkat harga CPO Rp6.000/kg dan inti sawit Rp4.500/kg, dengan tiga variasi harga TBS, tingkat pengembalian modal internal (IRR) yang berimbang antara petani dan perusahaan inti di lahan mineral terjadi pada saat harga TBS Rp945/kg. Pada tingkat harga tersebut, IRR petani sebesar 22,06% dan IRR perusahaan inti 22,47%. Tingkat pendapatan bersih kini rata-rata Rp903 ribu/ha/tahun. Pada lahan gambut, tingkat IRR yang Jurnal Litbang Pertanian, 28(4), 2009
berimbang antara petani dan perusahaan inti terjadi pada saat harga TBS Rp975/kg. Pada tingkat harga tersebut, IRR petani sebesar 20,76% dan IRR perusahaan inti 26,66%. Tingkat pendapatan bersih kini rata-rata Rp744.000/ha/tahun. Tingkat kelayakan usaha pengembangan perkebunan kelapa sawit akan meningkat jika harga CPO dan inti sawit meningkat.
Hasil analisis finansial berdasarkan harga CPO Rp8.000/kg dan inti sawit Rp5.500/kg dengan tiga variasi harga TBS dapat dilihat pada Tabel 4. Data pada tabel tersebut menunjukkan bahwa IRR yang berimbang antara petani dan perusahaan inti di lahan mineral terjadi pada saat harga TBS Rp1.250/kg. Pada tingkat harga tersebut, IRR petani sebesar
Tabel 4. Analisis finansial pengusahaan kelapa sawit pola kemitraan dengan berbagai tingkat harga TBS dengan skenario II1. Jenis lahan/ pengelola Lahan mineral Petani (luas 1 ha) Perusahaan (1.500 ha) Petani (luas 1 ha) Perusahaan (1.500 ha) Petani (luas 1 ha) Perusahaan (1.500 ha) Lahan gambut Petani (luas 1 ha) Perusahaan (1.500 ha) Petani (luas 1 ha) Perusahaan (1.500 ha) Petani (luas 1 ha) Perusahaan (1.500 ha)
Harga TBS (Rp/kg)
1.200 1.250 1.300
1.200 1.275 1.350
NPV df 15% (Rp juta)
NPV df 15% (Rp000/ha/tahun)
IRR (%)
B/C
33.575 155.942 36.922 142.758 40.270 129.574
1.343 3.713 1.477 3.399 1.611 3.085
27,59 29,50 28,55 28,55 29,47 27,57
1,72 1,32 1,86 1,28 1,86 1,25
29 148.158 34 128.382 39 108.606
1.176 3.528 1.376 3.057 1.578 2.586
25,52 28,30 26,92 26,89 28,25 25,41
1,58 1,30 1,67 1,25 1,77 1,20
Harga CPO Rp8.000/kg, inti sawit Rp5.500/kg dengan tiga tingkat harga TBS yang diterima petani. TBS = tandan buah segar; NPV = net present value; IRR = internal rate of return; B/C = benefit/cost. Sumber: Hasil pengolahan data Tabel 2.
28,55% dan IRR perusahaan inti 28,55%. Nilai pendapatan kini bersih rata-rata sebesar Rp1,96 juta/ha/tahun. Tingkat IRR yang berimbang antara petani dan perusahaan inti di lahan gambut terjadi pada saat harga TBS Rp1.275/kg. Pada tingkat harga tersebut, IRR petani sebesar 26,92% dan IRR perusahaan inti 26,89%. Tingkat pendapatan bersih kini rata-rata Rp1,80 juta/ha/tahun. Jika harga CPO diasumsikan Rp10.000/ kg dan harga inti sawit Rp6.500/kg, maka dengan tiga variasi harga TBS diperoleh IRR yang berimbang antara petani dan perusahaan inti di lahan mineral pada saat harga TBS Rp1.550/kg. Pada tingkat harga tersebut, IRR petani sebesar 33,67% dan IRR perusahaan inti 33,62%. Nilai pendapatan bersih kini rata-rata Rp3,01 juta/ ha/tahun (Tabel 5). Tingkat IRR yang berimbang antara petani dan perusahaan inti di lahan gambut terjadi pada saat harga TBS Rp1.575/kg. Pada tingkat harga tersebut, IRR petani sebesar 31,87% dan IRR perusahaan inti sawit 31,92%. Nilai pendapatan bersih kini rata-rata Rp2,85 juta/ha/tahun. Keadaan yang hampir sama terjadi pada pola perkebunan besar. Kelayakan usaha akan meningkat sejalan dengan peningkatan harga jual CPO dan harga inti sawit (Tabel 6 dan 7).
1
Tabel 5. Analisis finansial pengusahaan kelapa sawit pola kemitraan dengan berbagai tingkat harga TBS dengan skenario III1. Jenis lahan/ pengelola Lahan mineral Petani (luas 1 ha) Perusahaan (1.500 ha) Petani (luas 1 ha) Perusahaan (1.500 ha) Petani (luas 1 ha) Perusahaan (1.500 ha) Lahan gambut Petani (luas 1 ha) Perusahaan (1.500 ha) Petani (luas 1 ha) Perusahaan (1.500 ha) Petani (luas 1 ha) Perusahaan (1.500 ha)
Harga TBS (Rp/kg)
1.500 1.550 1.600
1.500 1.575 1.650
NPV df 15% (Rp juta)
NPV df 15% (Rp000/ha/tahun)
IRR (%)
B/C
54 231.530 57 218.347 60 205.163
2.146 5.513 2.280 5.199 2.414 4.885
32,88 34,42 33,67 33,62 34,44 32,79
2,15 1,41 2,22 1,38 2,29 1,35
49 223.746 55 203.970 60 184.195
1.979 5.327 2.180 4.856 2.381 4.385
30,72 33,10 31,87 31,92 32,99 30,69
1,97 1,39 2,07 1,35 2,17 1,30
Harga CPO Rp10.000/kg, inti sawit Rp6.500/kg dengan tiga tingkat harga TBS yang diterima petani. TBS = tandan buah segar; NPV = net present value; IRR = internal rate of return; B/C = benefit/cost. Sumber: Hasil pengolahan data Tabel 2.
1
Jurnal Litbang Pertanian, 28(4), 2009
KEUNTUNGAN YANG HILANG DARI PENGURANGAN EMISI CO2 Pengembangan perkebunan kelapa sawit yang didahului dengan pembukaan hutan berpotensi menimbulkan peningkatan emisi gas rumah kaca akibat pembakaran dan dekomposisi bahan organik, baik dari tanaman maupun tanah. Dari pembukaan hutan primer di lahan mineral sampai satu siklus pertanaman kelapa sawit selama 25 tahun, diperkirakan akan menghasilkan net emisi CO2 rata-rata 41 t/ha/tahun. Pada lahan gambut, emisi rata-rata mulai dari pembukaan hutan primer sampai satu siklus kelapa sawit diperkirakan sebesar 64 t/ha/tahun (Agus et al. 2009). Pengembangan perkebunan kelapa sawit pada lahan mineral melalui pola kemitraan diperkirakan dapat memberikan NPV bervariasi dari Rp0,90 juta sampai Rp3,01 juta/ha/tahun, bergantung pada harga CPO dan harga inti sawit. Pada pola perkebunan besar, NPV bervariasi dari Rp0,70−Rp2,53 juta/ha/tahun. Dengan asumsi nilai tukar rupiah Rp9.200/ 131
US$, maka keuntungan rata-rata yang hilang dari pengurangan emisi CO2 pada lahan mineral berkisar antara US$2,39−7,98/ t CO2 pada pola kemitraan dan US$1,85− 6,72/t CO2 pada perkebunan besar (Tabel 8). Pada lahan gambut, pengembangan kelapa sawit dengan pola kemitraan ber-
potensi memberikan NPV rata-rata antara Rp0,74−2,85 juta/ha/tahun. Pada pola perkebunan besar, NPV bervariasi antara Rp0,55−Rp2,39 juta/ha/tahun. Keuntungan yang hilang dari pengurangan emisi CO2 pada lahan gambut berkisar antara US$1,26−4,84/t CO2 pada pola
Tabel 6. Analisis finansial pengusahaan kelapa sawit pola perkebunan besar pada lahan mineral pada berbagai tingkat harga CPO dan inti sawit. Harga CPO (Rp/kg) 6.000 8.000 10.000
Harga inti sawit (Rp/kg)
NPV df 15% (Rp juta)
4.500 5.500 6.500
112.718 261.568 410.418
NPV df 15% (Rp000/ha/tahun) 696 1.615 2.533
IRR (%) 21,05 27,12 32,01
B/C 1,32 1,74 2,16
NPV = net present value; IRR = internal rate of return; B/C = benefit/cost. Sumber: Hasil pengolahan dan analisis data Tabel 2.
Tabel 7. Analisis finansial pengusahaan kelapa sawit pola perkebunan besar di lahan gambut pada berbagai tingkat harga CPO dan inti sawit. Harga CPO (Rp/kg) 6.000 8.000 10.000
Harga inti sawit (Rp/kg)
NPV df 15% (Rp juta)
4.500 5.500 6.500
88.931 237.781 386.631
NPV df 15% (Rp000/ha/tahun) 549 1.468 2.387
IRR (%)
B/C
19,60 25,60 30,40
1,24 1,63 2,02
NPV = net present value; IRR = internal rate of return; B/C = benefit/cost. Sumber: Hasil pengolahan dan analisis data Tabel 2.
Tabel 8. Keuntungan yang hilang dari pengurangan emisi CO2 perkebunan kelapa sawit pada lahan mineral dengan asumsi tingkat emisi 41 ton CO2 /ha/tahun. Pola usaha
Pendapatan bersih (NPV df 15%) (Rp000/ha/tahun)
Keuntungan yang hilang1 (US$/t CO2) (US$/ha/tahun)
Kemitraan skenario I 2 Petani Perusahaan inti Rata-rata Perkebunan besar
660 1.631 903 696
71,74 177,28 98,15 75,65
1,75 4,32 2,39 1,85
Kemitraan skenario II3 Petani Perusahaan inti Rata-rata Perkebunan besar
1.477 3.399 1.957 1.615
160,54 369,46 212,72 175,54
3,92 9,01 5,19 4,28
Kemitraan skenario III 4 Petani Perusahaan inti Rata-rata Perkebunan besar
2.280 5.199 3.010 2.533
247,83 565,11 327,17 275,33
6,04 13,78 7,98 6,72
Keuntungan yang hilang = NPV/emisi tahunan; 2Harga CPO Rp6.000/kg dan harga inti sawit Rp4.500/kg; 3 Harga CPO Rp8.000/kg dan inti sawit Rp5.500/kg; 4 Harga CPO Rp10.000/kg dan inti sawit Rp6.500/kg. Sumber: Hasil pengolahan dan analisis Tabel 3, 4, 5, dan 6.
1
132
kemitraan dan US$0,93−4,05/t CO2 pada perkebunan besar (Tabel 9). Skenario II yaitu harga CPO sekitar Rp8.000/kg dan harga inti sawit sekitar Rp5.500/kg paling mendekati harga yang berlaku dewasa ini. Dengan tingkat harga tersebut, diperkirakan keuntungan yang hilang pada lahan mineral berturut-turut mencapai US$5,19 dan 4,28/kg CO2 pada pola kemitraan dan perkebunan besar. Pada lahan gambut, keuntungan yang hilang berturut-turut menjadi US$2,86 dan 2,65/t CO2 pada pola kemitraan dan perkebunan besar. Dengan harga kredit karbon menurut Smith et al. (2000) sekitar US$5−23/t CO2, keuntungan yang hilang dari konservasi hutan lahan mineral dan hutan gambut pada umumnya berada dalam kisaran atau lebih rendah dari harga kredit karbon yang berlaku. Dengan demikian, emisi GRK berpotensi dapat dikurangi melalui mekanisme pasar karbon. Dalam artikel ini analisis hanya terfokus pada aspek finansial. Berbagai elemen lain yang menentukan biaya dan keuntungan seperti harga kayu dari pemanenan hutan serta berbagai jasa lingkungan hutan (seperti nilai keanekaragaman hayati dan kemampuan hutan mengatur tata air) belum diperhitungkan. Sebaliknya, fungsi perkebunan kelapa sawit dalam menyediakan lapangan kerja dan membantu pertumbuhan ekonomi juga belum masuk dalam perhitungan ini. Berbagai biaya transaksi (transaction costs) yang berhubungan dengan pasar karbon juga berada di luar bahasan artikel ini. Menurut Boer (2003), biaya transaksi dalam proyek karbon bisa cukup besar. Termasuk dalam biaya transaksi antara lain adalah biaya pemantauan dan verifikasi karbon, biaya negosiasi, biaya pengurusan persetujuan proyek, asuransi, keamanan proyek, dan kompensasi untuk mencari dana pelaksanaan proyek. Bila semua biaya transaksi diperhitungkan, adakalanya jumlah total biaya transaksi lebih besar dari keuntungan yang hilang. Artinya, dana perdagangan karbon bisa lebih banyak diterima berbagai pihak yang memfasilitasi perdagangan karbon dibandingkan dengan dana yang diterima pemilik lahan. Kajian yang lebih komprehensif diperlukan dalam suatu skim pengurangan emisi melalui berbagai mekanisme, termasuk mekanisme perdagangan karbon REDD. Jurnal Litbang Pertanian, 28(4), 2009
Tabel 9. Keuntungan yang hilang dari pengurangan emisi CO2 perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dengan asumsi tingkat emisi 64 ton CO2 /ha/tahun. Pendapatan bersih (NPV df 15%)
Pola usaha
(Rp000/ha/tahun)
Keuntungan yang hilang1 (US$/t CO2) (US$/ha/tahun)
Kemitraan skenario I 2 Petani Perusahaan inti Rata-rata Perkebunan besar
574 1.257 744 549
62,39 136,63 80,87 59,67
0,97 2,13 1,26 0,93
Kemitraan skenario II 3 Petani Perusahaan inti Rata-rata Perkebunan besar
1.376 3.057 1.797 1.468
149,57 332,28 195,33 159,57
2,34 5,19 3,05 2,49
Kemitraan skenario III 4 Petani Perusahaan inti Rata-rata Perkebunan besar
2.180 4.856 2.849 2.387
236,96 527,83 309,67 259,46
3,70 8,25 4,84 4,05
Keuntungan yang hilang = NPV/emisi tahunan; 2Harga CPO Rp6.000/kg dan harga inti sawit Rp4.500/kg; 3Harga CPO Rp8.000/kg dan inti sawit Rp5.500/kg; 4 Harga CPO Rp10.000/kg dan inti sawit Rp6.500/kg. Sumber: Hasil pengolahan dan analisis Tabel 3, 4, 5, dan 7. 1
lahan gambut, nilai tersebut bervariasi antara Rp0,74 dan Rp2,85 juta/ha/tahun pada pola kemitraan dan Rp0,55−2,39 juta/ ha/tahun pada pola perkebunan besar. Bila lahan hutan primer dikonversi dan dijadikan perkebunan kelapa sawit, diperkirakan akan terjadi emisi CO2 (selama konversi dan selama 25 tahun siklus produksi kelapa sawit) rata-rata 41 t CO2/ ha/tahun, sementara di lahan gambut 64 t CO2/ha/tahun. Keuntungan yang hilang dari pengurangan emisi CO2 pada lahan mineral dengan pola kemitraan berkisar antara US$1,85−7,98/t CO 2 dan pada lahan gambut US$0,93−4,84/t CO2. Nilai ini menunjukkan bahwa dari sisi ekonomi, peluang pengurangan emisi CO2 melalui perdagangan karbon lebih besar pada lahan gambut dibandingkan pada lahan mineral. Dengan kata lain, biaya penurunan emisi melalui konservasi hutan primer lebih murah pada lahan gambut dibandingkan pada lahan mineral.
UCAPAN TERIMA KASIH KESIMPULAN DAN SARAN Pengembangan perkebunan kelapa sawit layak secara ekonomi, baik pada lahan mineral maupun gambut. Perkebunan
kelapa sawit pada lahan mineral mampu menghasilkan pendapatan bersih kini (NPV) Rp0,90−3,01 juta/ha/tahun pada pola kemitraan, dan Rp0,70−2,53 juta/ha/ tahun pada pola perkebunan besar. Pada
Tulisan ini merupakan salah satu hasil studi pada Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim (KP3I) pada Sektor Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, tahun anggaran 2008.
DAFTAR PUSTAKA Agus, F., E. Runtunuwu, T. June, E. Susanti, H. Komara, I. Las, and M. van Noordwijk. 2009. Carbon budget in land use transitions to plantation. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 29(4): 119−126. Barchia, M.F. 2006. Gambut, Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Boer, R. 2003. Penambatan karbon pada berbagai bentuk sistem usaha tani sebagai salah satu bentuk multifungsi. hlm. 85−97. Dalam U. Kurnia, F. Agus, D. Setyorini, dan A. Setiyanto (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian, Bogor, 2 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Road Map Kelapa Sawit (Elaeis guineensis). Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2008. Kebijakan pengembangan kelapa sawit berkelanjutan. Jurnal Litbang Pertanian, 28(4), 2009
Makalah disampaikan pada Seminar Implementasi RSPO di Indonesia, Bogor, 10 Juni 2008. Hooijer, A., M. Silvius, H. Worsten, and S. Page. 2006. Peat CO2, Assessment of CO2 emission from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics Report Q3943 (2006). Lubis, A.U. 2008. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia. Edisi 2. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. Mulyani, A. dan I. Las. 2008. Potensi sumber daya lahan dan optimalisasi pengembangan komoditas penghasil bioenergi di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 27(1): 31−41. Pahan, I. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit; Manajemen agribisnis dari hulu hingga hilir. Penebar Swadaya, Jakarta.
Smith, J., K. Mulongoy, R. Persson, and J. Sayer. 2000. Harnessing carbon markets for tropical forest conservation: Towards a more realistic assessment. Environ. Conserv. 27(3): 300−311. Wahyono, T. 2003. Keragaan konflik pengusahaan lahan pada perkebunan kelapa sawit di Sumatera. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 11(1): 47−59. Wahyono, T., L. Buana, Dja’far, dan D. Siahaan. 2004. Ekonomi investasi pabrik kelapa sawit. Dalam Tinjauan Ekonomi lndustri Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. Wiratmoko, D., Winarna, S. Rahutomo, dan H Santoso. 2008. Karakteristik gambut topogen dan ombrogen di Kabupaten Labuhan Batu Sumatera Utara untuk budi daya tanaman kelapa sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 16(3): 119−126.
Pearce, D.W. 2001. The economic value of forest ecosystems. Ecosystems Health 7(4): 284− 296.
133