PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT
www.rajaebookgratis.com JAKARTA-Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit yang tertuang dalam Permentan No. 14/Permentan/PL.110/2/2009 tanggal 16 Pebruari 2009 merupakan pedoman yang dijadikan dasar untuk melakukan usaha budidaya yang berada di kawasan lahan gambut demikian dikatakan oleh Dirjen Perkebunan Achmad Mangga Barani saat memimpin pertemuan Sosialisasi Permentan 14/Permentan/PL.110/2/200 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit dilaksanakan (23/2) di ruang rapat lantai I Gedung C Departemen Pertanian. Hadir sebagai nara sumber Kepala Badan Litbang Pertanian dan juga diikuti oleh Tim Kajian Lahan Gambut, LSM dalam dan luar Negeri diantaranya Green Peace, WWF Indonesia, Maksi, Sawit Watch dan NGO serta LSM Lainnya. sos-permentan-lahan-gambut-.jpgPeraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit merupakan tindak lanjut dari Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang antara lain menetapkan bahwa “Kriteria kawasan bergambut adalah tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat dibagian hulu sungai dan rawa”. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit. Pertimbangan diterbitkannya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit adalah : 1. Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sumber dalam penyediaan devisa dan peningkatan kesejahteraan masyarakat ; 2. Lahan gambut memiliki peran penting terhadap kelestarian lingkungan dalam kehidupan yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya kelapa sawit ; 3. Pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit dapat dilakukan dengan memperhatikan karakteristik lahan gambut sehingga tidak menimbulkan kerusakan fungsi lingkungan. Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit, lahan gambut yang dapat digunakan untuk budidaya kelapa sawit harus memenuhi kriteria: 1. Berada pada kawasan budidaya Kawasan budidaya dimaksud dapat berasal dari kawasan hutan yang telah dilepas dan/atau areal penggunaan lain (APL) untuk usaha budidaya kelapa sawit. 2. Ketebalan lapisan gambut kurang dari 3 (tiga) meter
Lahan gambut yang dapat digunakan untuk budidaya kelapa sawit: 2.1 dalam bentuk hamparan yang mempunyai ketebalan gambut kurang dari 3 (tiga) meter; dan 2.2 proporsi lahan dengan ketebalan gambutnya kurang dari 3 (tiga) meter minimal 70% (tujuh puluh prosen) dari luas areal yang diusahakan. 3. Lapisan tanah mineral di bawah gambut Substratum menentukan kemampuan lahan gambut sebagai media tumbuh tanaman. Lapisan tersebut tidak boleh terdiri atas pasir kuarsa dan tanah sulfat masam. 4. Tingkat kematangan gambut Areal gambut yang boleh digunakan adalah gambut matang (saprik) dan gambut setengah matang (hemik) sedangkan gambut mentah dilarang untuk pengembangan budidaya kelapa sawit. 5. Tingkat kesuburan tanah Tingkat kesuburan tanah dalam kategori eutropik, yaitu tingkat kesuburan gambut dengan kandungan unsur hara makro dan mikro yang cukup untuk budidaya kelapa sawit sebagai pengaruh luapan air sungai dan/atau pasang surut air laut. (hukmas dj bun). http://www.petaniindonesia.com/2009/04/13/pedoman-pemanfaatan-lahangambut-untuk-budidaya-kelapa-sawit/ Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V-2
Sifat fisik tanah: solum > 80 cm tanpa ada lapisan padas, tekstur lempung atau liat dengan komposisi pasir 20 – 60 %, debu 10 – 40 %, liat 20 – 50 %. Konsistensi gembur sampai agak teguh dengan permeabilitas sedang sampai baik. Permukaan air tanah berada di bawah 80 cm, makin dalam makin baik. Sifat kimia tanah: sifat kimia tanah dapat dilihat dari tingkat keasaman dan komposisi hara mineralnya. Sifat kimia tanah mempunyai arti penting dalam menentukan dosis pemupukan dan kelas kesuburan tanah. Tanaman kelapa sawit tidak memerlukan tanah dengan sifat kimia yang istimewa sebab kekurangan suatu unsur hara dapat diatasi dengan pemupukan. Tanah yang mengandung unsur hara dalam jumlah besar sangat baik untuk pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman, sedangkan keasaman tanah menentukan ketersediaan dan keseimbangan unsur - unsur hara dalam tanah. Kelapa sawit dapat tumbuh pada pH tanah antara 4,0 – 6,5
sedangkan pH optimum 5 – 5,5. Tanah yang memiliki pH rendah dapat dinaikkan dengan pengapuran tetapi membutuhkan biaya tinggi. Tanah yang memiliki pH rendah biasanya dijumpai pada daerah pasang surut terutama tanah gambut. Tanaman kelapa sawit tumbuh baik pada tanah yang memiliki kandungan unsur hara yang tinggi, dengan C/N mendekati 10 di mana C 1 % dan N 0,1 %. Daya tukar Mg dan K berada pada batas normal, yaitu Mg 0,4 – 10 me/100 gram, sedangkan K 0,15 – 1,20 me/100 gram. b. Iklim Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropika basah di sekitar 120 Lintang Utara – 120 Lintang Selatan. Secara alami, kelapa sawit tumbuh di tanah berawa di sepanjang bantaran sungai dan di tempat sangat basah. Tanaman ini tidak dapat tumbuh karena terlalu lembab dan tidak mendapat sinar matahari karena ternaungi kanopi tumbuhan yang lebih tinggi. Curah hujan: keadaan iklim baik (kelas 1) mensyaratkan curah hujan 2000-2500 mm/tahun dengan distribusi merata. Tapi masih ditoleransi sampai dengan 1500 mm/tahun. Lebih besar dari 2500 mm akan menstimulasi terjadinya erosi yang akan menurunkan kesuburan tanah, sedangkan bulan kering yang signifikan akan mengakibatkan terjadinya defisit air dan dapat menekan produksi. Klasifikasi defisit air tahunan pada budidaya kelapa sawit dapat dilihat berikut ini: Klasifikasi (mm) Keterangan 0 – 150 Optimum 150 – 250 Masih sesuai 250 – 350 Intermedier 350 – 400 Limit Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V-3
400 – 500 Kritis > 500 Tidak sesuai Temperatur: temperatur kelas 1 untuk sawit adalah 22 – 330 C Penyinaran matahari: sinar matahari diperlukan untuk memproduksi karbohidrat dan memacu pertumbuhan bunga dan buah. Untuk itu intensitas, kualitas dan lama penyinaran amat berpengaruh. Lama penyinaran optimum yang diperlukan tanaman kelapa sawit antara 5–7 jam per hari, rata-rata penyinaran 6 jam per hari, minimum 1600 jam per tahun dengan intensitas di atas 60 %. Kelembaban dan angin: kelembaban udara optimum bagi pertumbuhan kelapa sawit adalah 80 %. Tanaman kelapa sawit tidak mudah dirusak angin karena bentuk daun yang sedemikian rupa, kecepatan angin 5 - 6 km/jam sangat baik untuk membantu proses penyerbukan. 5.1.2. Sebaran Wilayah Agroekologis Kelapa Sawit Secara umum persyaratan tumbuh tanaman kelapa sawit, yaitu pada zona dataran rendah beriklim basah. Zona dataran rendah beriklim basah yang cocok untuk pengembangan tanaman kelapa sawit mencapai luasan 44,12 juta ha menyebar di Sumatra, Kalimantan, Papua, Maluku, Jawa, dan Sulawesi. Lahannya bervariasi mulai dari dataran pantai, gambut, volkan, dan karst. Topografinya
mulai dari datar, berombak, bergelombang sampai berbukit. Tanah terbentuk dari bahan alluvium, batuan sedimen masam, batuan volkan, dan batu gamping, sehingga tanahnya bervariasi. Di Sumatera zona dataran rendah beriklim basah mencapai luasan 15,65 juta ha menyebar dari Provinsi NAD (Aceh Timur, Aceh Barat dan Sebulussalam), Sumatera Utara (Labuhan batu, Asahan, Gunung Sitoli, Natal, Simalungun dan Langkat), Riau (Dumai, Bengkalis, Indragiri Hilir, Kampar dan Riau Kepulauan), Jambi (Muara Bulian, Bangko, Muarabungo, Bungotebo), Sumatera Barat (Lunang, Tiku, Pasaman, Sawahlunto Sijunjung dan Kepulauan Mentawai), Bengkulu (memanjang dari Bengkulu Utara sampai Bengkulu Selatan), Sumatera Selatan (OKI, Muba, Muara Enim, Lahat, dan Muara Dua) dan Lampung ( Sukadana, Kotabumi, dan Talang Padang) Zona dataran rendah beriklim basah di pulau Kalimantan seluas 14,34 juta ha meliputi Kalimantan Barat (Pontianak, Singkawang, Sanggau, Sambas, Mepawah dan Ketapang), Kalimantan Tengah (Sebanggou, Kahayan, Kotawaringin Barat, Kota Waringin Timur, Barito Utara dan Kapuas), Kalimantan Selatan (Kutai Barat, Kutai Timur, Pasir, Kutai Kartanegara, Bulungan, dan Berau). Di Sulawesi seluas 2,83 juta ha meliputi Sulawesi Selatan ( Bone, Bulukumba dan Barru), Sulawesi Tenggara (Kendari, dan Kolaka), dan Sulawesi Tengah (Poso memanjang dari Tomata hingga Kolonedale). Di Kepulauan Maluku seluas 2,12 juta ha terdapat di pulau Seram dan pulau Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V-4
Halmahera. Sedangkan di Papua seluas 5,57 juta ha meliputi Kimaam, dataran pantai Kasuari, Marauke, Arso, Senggi, Yapen Maropen, Nabire, Manowari, dan Sorong. Sedangkan di pulau jawa sendiri zona dataran rendah beriklim basah seluas 3,57 juta ha meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. 5.2 Metode Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk Komoditi Kelapa Sawit Potensi lahan untuk pengembangan perkebunan pada dasamya ditentukan oleh sifatsifat fisik dan lingkungan yang mencakup: tanah, topografi/bentuk wilayah, hidrologi dan iklim. Kecocokan antara sifat-sifat fisik dengan persyaratan penggunaan suatu komoditas yang dievaluasi akan memberikan gambaran atau informasi bahwa tahan tersebut potensial untuk pengembangan komoditas tersebut. Hal tersebut juga memiliki pengertian bahwa jika lahan digunakan untuk penggunaan tertentu dengan memberikan masukan (input) yang diperlukan maka akan memberikan hasil (ouput) sesuai dengan yang diharapkan. 5.2.1. Klasifikasi Kesesuaian Lahan Menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1993), penilaian klasifikasi kesesuaian lahan dibedakan menurut tingkatannya, yaitu sebagai berikut: Ordo : Pada tingkat ini kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergotong sesuai (S)
dan tidak sesuai (N). Kelas : Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong sesuai (S) dibedakan antara sangat sesuai (S1). cukup sesuai (S2) dan marginal sesuai (S3). Lahan kelas sangat sesuai (S1) adalah lahan yang relatif tidak memiliki faktor pembatas yang berarti/nyata terhadap penggunaannya secara berketanjutan. Lahan kelas cukup sesuai (S2) adalah tahan mempunyai faktor pembatas yang berpengaruh terhadap produktifitasnya, sehingga memerlukan tambahan (input) untuk meningkatkan produktifitas pada tingkat yang optimum. Lahan kelas sesuai marginal (S3) adalah lahan mempunyal faktor pembatas yang berat sehingga berpengaruh terhadap produktifitasnya dan memerlukan input lebih besar dari pada lahan kelas S2. Lahan kelas tidak sesuai (N) adalah lahan yang tidak sesuai karena memiliki faktor pembatas yang berat. Lahan ketas ini dibedakan menjadi lahan kelas tidak sesuai sementara (N1), dan lahan kelas tidak sesuai permanen (N2). Lahan kelas N1 mempunyai faktor pembatas yang sangat berat tapi sifatnya tidak permanen, sehingga dengan input pada tingkat tertentu masih dapat ditingkatkan produktifitasnya. Sedangkan tahan kelas N2 mempunyai faktor pembatas sangat berat dan sifatnya permanen sehingga tidak mungkin diperbaiki. Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V-5
Dalam evaluasi ini dikenal ’Kesesuatan Lahan Aktual’ dan ’Kesesuaian Lahan Potenslal'. Kesesuaian Lahan Aktual (atau kesesuatan saat ini/saat survai dilakukan) adalah kelas kesesuaian lahan yang dihasilkan berdasarkan data yang ada dan belum mempertimbangkan asumsi atau usaha perbaikan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala atau faktor-faktor pembatas yang ada. Sedangkan Kesesuaian Lahan Potensial adalah keadaan lahan yang dicapai setelah adanya usahausaha perbaikan (Improvement). Usaha perbaikan yang dilakukan haruslah sejalan dengan tingkat penilaian kesesuaian lahan yang akan dilakukan. 5.2.2. Kriteria Kesesuaian Lahan Kriteria kesesuaian lahan yang dimaksud adatah pedoman yang digunakan dalam menentukan/mengevaluasi lahan yang disurvai bagi keperluan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Dalam kegiatan ini digunakan pedoman/kriteria kesesuaian lahan menurut Pusat Penelitian Tanah, 1993. Berikut ini adalah uraian dari setiap faktor yang dapat mempengaruhi penilaian kesesuaian lahan di lokasi: Iklim, unsur iklim terpenting adalah curah hujan. Hidrologi, unsur yang penting adalah ketersediaan air pengairan dan dampak keberadaan air tanah terhadap kondisi drainase, serta bahaya banjir. Masalah hidrologi di sebagian lokasi lebih berupa teknis pengaturan tata air/drainase yang berdampak langsung terhadap proses pertumbuhan tanaman, khususnya di lahan-lahan yang
saat ini sering atau selalu tergenang. Kemiringan Lereng. Kemiringan lereng merupakan salah satu masalah serius di sebagian lokasi. terutama pada areal dengan kemiringan lereng lebih dari 40 %. Faktor kemiringan lereng lebih sebagai kendala dalam teknis pengelolaan kebun, seperti pengangkutan hasil atau panen, Tanah dengan kemiringan lereng lebih dari 40 % juga beresiko besar mengalami erosi permukaan cukup berat. Penanaman tanaman penutup tanah (cover crop) sebaiknya tidak terlambat dilaksanakan pada lahan-lahan dengan kemiringan lereng di atas 15 %. Tanah. Retensi hara pada sebagian besar jenis tanah yang ada memberikan indikasi bahwa pemupukan dengan dosis yang tepat merupakan kunci keberhasilan pertumbuhan dan produksi tanaman. Beberapa jenis tanah juga memiliki karakteristik sangat buruk, seperti tanah Regosol dan Podsol yang memiliki tekstur sangat kasar di seluruh lapisan. Standar penilaian kesesuaian lahan untuk komoditas kelapa sawit Tabel 5.1. Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V-6
Tabel 5.1. Standar Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Kelapa Sawit Kelas Kesesuaian Lahan Kualitas Karakteristik Lahan S1 S2 S3 N1 N2 Temperatur (t) Rata-rata tahunan (C0) 25 -28 >28-32 22< 25 Td 20<22 > 35 < 20 Ketersediaan Air: (w) Bulan Kering (>75mm Curah Hu|an (mn/th) LGP (hari) <2 2000-3000 300-330 2-3 1750-<2000 270-300 >3-4 1250-<1750 <270 Td Td Td <270<1 >3000 <1250 <270Kondisi perakaran (r) Kelas Drainase Tanah Tekstur Tanah Keadaan efektif (cm) Gambut Kematangan Kedalamam (cm) Sedang, Baik LS.L..SCL, SiL, Si, CL,SiCL. >100 -
agak terhambat LS,S, SiC, SC 75-100 Saprik <100 Cepat, agak , terhambat SiC. 51-75 Hemik 100-150 Sangat terhambat, cepat Td Hemik-fibrik >150-200 Sangat cepat, Kerikil, pasir <50 Fibrik >200 Retensi Hara: (f) KTK(me/100gr tanah PH (H20) C- organik >-Sedang 5,0-6,0 Rendah >6,0-7,0 4,5 – 5,0 Sgt rendah >7,0 - 8,5 4,0-<4,5 >8,5 <3,5 Ketersediaan Hara: (n) N-to1al (%) P205 tersedia K20 tersedia Sedang Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah Sgt rendah Sgt rendah Sgt rendah Toxicitas : x) Salinitas (mmhos/cm Kej. Alumunium (%) Kedalaman Sulfidik (cm) <2 >125 2-3 95-125 >3-4 80-95 4-6 70- <80 >6 <70 Medan (terain): Lereng (%) Batuan Permulaan (%) Singkapan Batuan (%) <8 >3 <2 8-15 3-15 2-10 >15-45 >15-40
>10-25 >25-45 Td 25-40 >45 >40 > 40 Bahaya Erosi SR R S B SB Banjir dan Genangan F1 F2 F3 F4 F5 Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklilmat, 1993 Dep. Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, 1993/1994 Keterangan Td = Tidak Berlaku S = Pasir L = Lempung Si = Debu Sir C = Liat berstruktur
5.3. Kesesuaian Agroekologis Tanaman Kelapa Sawit Berdasarkan hasil penelusuran pada peta Tata Ruang Pertanian yang diterbitkan Departemen Pertanian tahun 2001 dan hasil analisis kesesuaian lahan, sehingga dapat ditentukan kesesuaian lahan untuk tanaman kelapa sawit. Sehubungan data yang tersedia sangat terbatas dan peta yang ada mempunyai sekala yang tinggi, maka kesesuaian agroekologis hanya sampai tingkat Ordo. Pada Tabel 5.2. disajikan hasil evaluasi kesesuaian agroekologis tingkat ordo untuk tanaman kelapa sawit dan untuk masing-masing wilayah pengembangan. Walaupun demikian tidak semua Kecamatan bahkan Kabupaten yang diusulkan dapat diketahui zona agroekologisnya. Hal ini dikarenakan Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V-7
adanya daerah pemekaran hususnya untuk tingkat kabupaten, sedangkan untuk tingkat Kecamatan maupun Desa disebabkan peta skala 1 : 1.000.000 dianggap kurang detail. Dengan demikian beberapa Kecamatan bahkan Kabupaten yang diusulkan tidak dapat dideteksi zona agroekologisnya. Tabel 5.2. Hasil Evaluasi Agroekologis untuk Tanaman Kelapa Sawit PROVINSI /KABUPATEN/ KECAMATAN Luas Lahan Tersedia (ha) Zona Agroekologis Kelas Kesesuaian SUMATERA UTARA 1.TEBING TINGGI 2.380 1B1,1B3 S 2.NATAL 40.000 1B1 N 3.PADANG SIDEMPUAN 4.900 2B2 N 4.TANJUNG BALAI 3.100 1B1,1B3 S 5.TARUTUNG 11.200 2B2 N 6. SIMALUNGUN 4.386 1B3 S RIAU 1.KAMPAR 1B2,1B3 S a.Bangkinang 5.510 1B1, 1B3 N b. Bangkinang Barat 1.103 1B1, 1B3 S c.Koto Kampar 22.976 1B3 S d.Siak Hulu 22.381 1B3 S e.Tapung 28.093 1B3 S f.Kampar Kiri 90.037 1B3 S g.Tambang 1.923 1B3 S
h.Tapung Hulu 21.876 1B3 S i.Tapung Hilir 6.940 1B3 S j.Kampar Kiri 24.566 1B3 S k.Kampar Kiri Hulu 22.054 1B3 S 2.ROKAN HILIR 50.000 1B3 S a. Tanah Putih 1B3 S b. Kubu 1B3 S c. Sinembah 1B3 S d.Rimba Melintang 1B3 S e.Bangka 1B3 S SUMATERA BARAT 1. AGAM 18.722 1B1,1B3 S 2.PASAMAN 70.955 1B1,1B2, 1B3,2B3 S 3.50 KOTA 15.491 1B1,1B3. 2B3 S 4.TANAH DATAR 14.701 2B1 S 5.PADANG PARIAMAN 61.245 1B1,1B2, 1B3 S 6. SOLOK 36.036 1B1,1B3,2B1 S 7.PESISIR SELATAN 43.753 1B1,1B3, S 8.SAWAHLUNTO 29.382 1B1,1B3 S 9. DHARMAS RAYA 1.500 ND JAMBI 1.BATANGHARI NR - 2.MUARO JAMBI NR - 3.BUNGO NR - 4.TEBO NR - 5.MERANGIN 58.011 ND Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V-8
Tabel 5.2. Hasil Evaluasi Agroekologis untuk Tanaman Kelapa Sawit (lanjutan) PROVINSI /KABUPATEN/ KECAMATAN Luas Lahan Tersedia (ha) Zona Agroekologis Kelas Kesesuaian 6.SOROLANGUN 50.977 1B3,2B2, 2B3 S 7.TJ.JABUNG B 110.284 1B3,2B2, 2B3 S 8.TJ.JABUNG T 40.000 1B3,2B2, 2B3 S SUMATERA SELATAN 1.LAHAT a. Kota Lahat 15.400 1B1,1B2,1B3 S b. Kikim Timur 21.530 1B1,1B2,1B3 S c. Kikim Selatan 3.500 1B1,1B2,1B3 S d. Merapi 10.000 1B1,1B2,1B3 S 2. MUARA ENIM a. Benakat 10.000 1B2,1B3 S b.Gelumbang 9.160 1B2,1B3 S c.Penukal Utara 27.371 1B2,1B3 S d.Sungai Rotan 9.400 1B3,H1 S e.Gunung Megang 13.615 1B2,1B3 S f.Tanjung Agung 25.605 1B3 S 3.MUSI BANYUASIN a. Sungai Lilin 443 1B1,1B2,1B3 S b.Bt.Harileko 51 1B1,1B2,1B3 S c.Babat Toman 111 1B2 d.Sekayu 5 1B1,1B3 S e.Sungai Keruh 33 1B1,1B2,1B3 S f.Keluang 206 1B1,1B2,1B3 S g. Bayung Lencir 494 1B1,1B2,1B3 S
KALIMANTAN SELATAN 1.TABALONG 4.570 1B2,1B3,H1 S 2.BALANGAN 7.854 1B1,1B3 S 3.TABALONG &TAPIN 75.000 1B1,1B3 S 4.BARITO KUALA 21.137 1B1,1B3 S 5.TAPIN 6.626 1B1,1B3 S 6.TANAH LAUT a.Kintap b.Jorong,Kintap 4.300 19.170 1B2,1B3 S 7.TANAH BUMBU & LAUT 11.063 1B1,1B3 S 8.TANAH BUMBU 1B1,1B3 S 9. KOTA BARU a.Pantai b.Pudi 4.300 7.000 1B1,1B3 S KALIMANTAN BARAT 1.BENGKAYANG a. Capkala 20.000 1B3 S 2.LANDAK a. Darit b. Kuala Behe 10.000 10.000 1B1, 1B2, 1B3 S 3. SAMBAS 6.395,7 1B1, 1B2, 1B3 S Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V-9
Tabel 5.2. Hasil Evaluasi Agroekologis untuk Tanaman Kelapa Sawit (lanjutan) PROVINSI /KABUPATEN/ KECAMATAN Luas Lahan Tersedia (ha) Zona Agroekologis Kelas Kesesuaian KALIMANTAN TENGAH Barito Selatan - 1B1, 1B3 S Barito Utara - 1B2, 1B3 S Barito Timur - 1B2, 1B3 S Kapuas - 1B3 S Murung raya - 1B2, 1B3 S KALIMANTAN TIMUR KUKAR 432.671 a. Tenggarong 1.199 1B2, 1B3 S b.Tenggarong Seberang 3.418 1B2,1B3 S c. Loa Kulu - 1B2,1B3 S d. Loa Janan 25.790 1B2,1B3 S e.Muara Jawa 299 1B2,1B3 S f. Samboja 18.830 1B2,1B3 S g. Sanga-sanga 4.833 1B2,1B3 S h.Anggana 2000 1B2,1B3 S i. Muara badak 9.000 1B2,1B3 S j. Marang Kayu 2.000 1B2,1B3 S k. Muara Kaman 115.864 1B2,1B3 S
p. Kenohan 54.818 1B2,1B3 S l. . Sebulu 140 1B2,1B3 S m. Muara Wis 17.778 1B2,1B3 S n. Kota Bangun 31.966 1B2,1B3 S o. Muara Muntai 3.021 1B2,1B3 S q. Kembang janggut 56.508 1B2,1B3 S r. Tabang 85.202 1B2,1B3 S SULAWESI SELATAN LUWU UTARA a. Masamba 27.818 ND b. Sabbang 16.280 ND c. Baebunta 10.000 ND d. Limbong 13.750 2B3 N e. Seko 13.587 ND f. Rampi 18.750 ND g. Malangke 3.534 ND h. Malangke Barat 420 ND i. Mappedeceng 7.000 ND j. Sukamaju 10.653 ND k.Bone-bone 8.550 ND SULAWESI TENGGARA 1 KONAWE a.Asera b.Wiwirano 86.000 1B1,1B3, H1 S 2. KONAWE SELATAN a.Angata 30.000 1B1,1B3, H1 S Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 10
Tabel 5.2. Hasil Evaluasi Agroekologis untuk Tanaman Kelapa Sawit (lanjutan) PROVINSI /KABUPATEN/ KECAMATAN Luas Lahan Tersedia (ha) Zona Agroekologis Kelas Kesesuaian 3.KOLAKA a.Mowewe b.Mowewe Selatan 8.163 1B1,1B3 S 4.BUTON a. Rarowatu b. Kabaena Timur c. Kabaena 3.500 500 500 1K2, N PAPUA 1.YAPEN,WAROPEN 49.600 1B2,1B3, H1 S 2.NABIRE,MANOKWARI 70.000 1B3, H2 S 3. SORONG, FAKFAK 40.000 1B3, H1 S 4. MERAUKE >10.000 1K1 N P. Komdum >10.000 1K1 N MALUKU KAB. HALMAHERA UTARA 1B1, 1B3 S a. Morotai Utara 10.160 1B1, 1B3 S b. Morotai Selatan 3.879 IB3 S c. Loloda Utara 11.800 1B1, 1B3 S d. Galela 15.178,5 IB3 S e.Tobelo 12.392 1B1, 1B3 S
f. Kao 4.400 1B1, 1B3 S g. Maliput 5.425 1B1, 1B3 S Keterangan : ND : nama tempat tidak ditemukan di peta NR. : Lahan Kehutanan Tidak direkomendasikan untuk alih fungsi S : Suitable (sesuai ) untuk pengembangan N : Tidak sesuai untuk pengembangan H : Peruntukan Hutan (-) : Tidak dapat diinformasikan 1B3 : Sesuai untuk pengembangan kelapa sawit (termasuk karet dan kakao) 1K2 : Sesuai untuk pengembangan tebu
Berdasarkan pada tabel tersebut dapat dinyatakan bahwa hampir semua lahan yang teridentifikasi masih belum digunakan potensial dan relatif sesuai untuk pengembangan kelapa sawit. Untuk pengembangan lebih lajut perlu dilakukan pengkajian lebih detail sampai kesesuaian lahan tingkat famili. Pada dasarnya zona lahan-lahan yang dapat dikelompokan sebagai lahan dataran rendah beriklim basah merupakan lahan-lahan yang sesuai dan dapat dikembangkan untuk tanaman kelapa sawit. Dalam pengembangan suatu komoditi perkebunan tidak hanya melihat kesesuaian lahan saja tetapi harus dilihat ketersediaan lahan. Sebagaimana diketahui dalam pengembangan suatu komoditi perkebunan agar menguntungkan harus memenuhi batas minimal luasan yang ekonomis. Untuk pengembangan kelapa sawit yang ekonomis adalah dengan luasan kebun 10.000 ha, yaitu setara dengan pabrik pengolahan kelapa sawit kapasitas 60 ton/jam, namun demikian lahan kebun dengan Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 11
luasan minimal 6000 ha atau setara dengan kapasitas pabrik pengolahan kelapa sawit 30 ton per jam masih memberikan keuntungan. 5.4. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Di Wilayah Indonesia Sarana dan prasarana merupakan faktor penting dalam peningkatan dan pengembangan komoditi kelapa sawit. Seperti misalnya prasarana transportasi jalan serta jaringan telekomunikasi. Di Indonesia, masih banyak Provinsi yang belum begitu memadai kondisi prasarana transportasi jalannya. Untuk peningkatan komoditi kelapa sawit terutama untuk skala menengah dan skala besar, keberadaan jalan dengan fungsi dan kelas tertentu sangat diperlukan seperti misalnya jalan nasional dengan fungsi arteri primer dan jalan Provinsi dengan fungsi kolektor primer. Pada Tabel 5.3. di bawah ini memperlihatkan panjang jalan nasional dan jalan Provinsi di sebagian wilayah di Indonesia. Tabel 5.3. Rekapitulasi Jalan Nasional & Jalan Provinsi di Beberapa Wilayah di Indonesia Tahun 2002 No. Provinsi Jalan Nasional (Km) Jalan Provinsi (Km) Total Jalan Nasional +
Jalan Provinsi (Km) Luas Wilayah (km2) Rasio Panjang Jalan Nasional + Provinsi per Luas Wilayah (Km/Km2) 1 NAD 2,511.26 2,024.19 4,535.45 51,937 0.09 2 Sumatera Utara 3,346.19 2,754.32 6,100.51 73,587 0.08 3 Sumatera Barat 1,428.81 1,472.94 2,901.75 42,899 0.07 4 Riau 1,709.54 1,607.35 3,316.89 94,560 0.04 5 Jambi 1,159.89 992.11 2,152.00 53,437 0.04 6 Bengkulu 1,366.63 921.61 2,288.24 19,789 0.12 7 Sumatera Selatan 2,661.71 2,716.38 5,378.09 93,083 0.06 8 Lampung 2,450.14 1,097.86 3,548.00 35,384 0.10 9 DKI -- 1,097.86 1,097.86 664 1.65 10 Jawa Barat 2,930.55 1,942.25 4,872.80 34,597 0.14 11 Jawa Tengah 2,589.61 2,580.06 5,169.67 32,549 0.16 12 DI Yogyakarta 624.45 638.54 1,262.99 3,186 0.40 13 Jawa Timur 3,731.80 2,000.83 5,732.63 47,922 0.12 14 Bali 846.89 674.83 1,521.72 5,633 0.27 15 Nusa Tenggara Barat 1,863.40 1,532.11 3,395.51 20,153 0.17 16 Nusa Tenggara Timur 3,151.75 3,254.42 6,406.17 47,351 0.14 17 Kallimantan Barat 2,036.92 1,885.24 3,922.16 146,807 0.03 18 Kalimantan Tengah 523.51 906.72 1,430.23 153,564 0.01 19 Kalimantan Timur 1,542.43 980.24 2,522.67 43,546 0.06 20 Kalimantan Selatan 954.23 745.96 1,700.19 230,277 0.01 21 Sulawesi Utara 938.09 916.66 1,854.75 15,273 0.12 22 Sulawesi Tengah 1,799.29 1,566.89 3,366.18 63,678 0.05 23 Sulawesi Selatan 1,884.84 1,559.55 3,444.39 62,365 0.06 24 Sulawesi Tenggara 1,489.07 1,178.58 2,667.65 38,140 0.07 25 Maluku 2,011.97 1,890.70 3,902.67 46,975 0.08 26 Maluku Utara 218.39 824.57 1,042.96 30,895 0.03 27 Irian Jaya 1,676.08 961.84 2,637.92 365,466 0.01 Sumber : Diolah dari Data Departemen Pekerjaan Umum dan BPS. Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 12
Dari Tabel 5.3., dapat dilihat beberapa Provinsi di Indonesia yang terlihat menonjol keberadaan jalan nasional dan jalan Provinsi dengan dibandingkan terhadap luasan wilayahnya. ProvinsiProvinsi tersebut di antaranya Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, seluruh Provinsi di Pulau Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. Untuk prasarana penunjang lainnya, yaitu telekomunikasi, pada umumnya di setiap wilayah Indonesia sudah terdapat prasarana telekomunikasi. Hanya saja mungkin belum menjangkau wilayah keseluruhan, terkecuali wilayah yang terdapat di Pulau Jawa yang hampir sudah terjangkau semua wilayahnya oleh prasarana telekomunikasi. Untuk lebih jelasnya, seberapa jauh keberadaan prasarana ini dapat dilihat pada Tabel 5.4. di bawah. Rasio sambungan telepon terhadap luas wilayah dapat menunjukkan kerapatan pelayanan prasarana telekomunikasi di wilayah, sedangkan rasio telepon terhadap penduduk menunjukkan tingkat pelayanan parasarana telekomunikasi
terhadap penduduk wilayah. Untuk kepentingan investasi rasio yang lebih dilihat adalah rasio terhadap luas wilayah, tetapi paling tidak rasio terhadap jumlah penduduk juga dapat memberi gambaran seberapa besar pelayanan eksisting dan tingkat kemajuan rata-rata wilayah. Tabel 5.4. Prasarana Telekomunikasi Telepon di Beberapa Wilayah Indonesia Tahun 2001/2002 No. Provinsi Telepon (Satuan Sambungan Telepon) Populasi (ribu) Luas Wilayah (km2) Rasio Sambungan Telepon terhadap Jumlah Penduduk Rasio Sambungan Telepon terhadap Luas Wilayah 1 NAD 88,740 4,240,000 51,937 0.02 1.71 2 Sumatera Utara 400,452 11,642,000 73,587 0.03 5.44 3 Sumatera Barat 142,255 4,249,000 42,899 0.03 3.32 4 Riau 204,794 5,596,000 94,560 0.04 2.17 5 Jambi 54,053 2,407,000 53,437 0.02 1.01 6 Bengkulu 28,800 1,525,000 19,789 0.02 1.46 7 Sumatera Selatan 124,940 6,522,000 93,083 0.02 1.34 8 Lampung 115,632 6,963,000 35,384 0.02 3.27 9 DKI 3,478,896 8,640,000 664 0.40 5,239.30 10 Jawa Barat 879,004 38,138,000 34,597 0.02 25.41 11 Jawa Tengah 770,234 32,175,000 32,549 0.02 23.66 12 DI Yogyakarta 127,957 3,211,000 3,186 0.04 40.16 13 Jawa Timur 1,829,803 36,270,000 47,922 0.05 38.18 14 Bali 218,664 3,363,000 5,633 0.07 38.82 15 Nusa Tenggara Barat 53,666 4,025,000 20,153 0.01 2.66 16 Nusa Tenggara Timur 24,832 4,094,000 47,351 0.01 0.52 17 Kallimantan Barat 99,298 3,969,000 146,807 0.03 0.68 18 Kalimantan Tengah 36,105 1,838,000 153,564 0.02 0.24 19 Kalimantan Timur 288,386 2,720,000 43,546 0.11 6.62 Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 13
Tabel 5.4. Prasarana Telekomunikasi Telepon di Beberapa Wilayah Indonesia Tahun 2001/2002 (lanjutan) No. Provinsi Telepon (Satuan Sambungan Telepon) Populasi (ribu) Luas Wilayah (km2) Rasio Sambungan Telepon
terhadap Jumlah Penduduk Rasio Sambungan Telepon terhadap Luas Wilayah 20 Kalimantan Selatan 103,198 3,188,000 230,277 0.03 0.45 21 Sulawesi Utara 64,017 2,136,000 15,273 0.03 4.19 22 Sulawesi Tengah 74,759 2,221,000 63,678 0.03 1.17 23 Sulawesi Selatan 244,515 8,253,000 62,365 0.03 3.92 24 Sulawesi Tenggara 33,370 1,887,000 38,140 0.02 0.87 25 Maluku 43,390 1,224,000 46,975 0.04 0.92 26 Maluku Utara 14,685 858,000 30,895 0.02 0.48 27 Irian Jaya 38,104 2,366,000 365,466 0.02 0.10 Sumber : Badan Pusat Statistik.
Dari Tabel 5.4., terlihat bahwa wilayah-wilayah yang menonjol keberadaan prasarana telekomunikasinya terhadap luas wilayah selain wilayah-wilayah yang terdapat di Pulau Jawa adalah Sumatera Utara, Bali, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Namun apabila dihubungkan antara jumlah satuan sambungan telepon dengan jumlah penduduk, terlihat bahwa ketersediaan prasarana telekomunikasi hampir merata di tiap Provinsi. Dilihat dari ketersediaan sumber daya manusia, Tabel 5.4. juga menunjukkan bahwa ketersediaan yang sangat signifikan terdapat di wilayah yang berada di Pulau Jawa, Sumatera Utara, Bali dan Sulawesi Selatan. Namun masalah sumber daya manusia pada wilayah lainnya dapat diatasi dengan mendatangkan dari wilayah yang berlebih sumber dayanya, seperti misalnya dari wilayah di Pulau Jawa. Selain prasarana telekomunikasi dan prasarana jalan, faktor ketersediaan juga energi listrik juga menjadi pertimbangan dalam usaha investasi pengembangan komoditi kelapa sawit. Berdasarkan Statistik Indonesia tahun 2003, energi listrik yang didistribusikan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) dapat dilihat pada Tabel 5.5. di bawah ini. Tabel 5.5. Listrik yang Didistribusikan oleh PT PLN di masing-masing Wilayah di Indonesia Wilayah PLN Wilayah Provinsi Distribusi Listrik (MWH) I Nanggroe Aceh Darussalam 479 II Sumatera Utara 3876 III Sumatera Barat, Riau 2671 IV Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Lampung 3209 Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 14
Tabel 5.5. Listrik yang Didistribusikan oleh PT PLN di masing-masing Wilayah di Indonesia (lanjutan) Wilayah PLN Wilayah Provinsi Distribusi Listrik (MWH)
V Kalimantan Barat 738 VI Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur 2178 VII Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah 854 VIII Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara 1904 IX Maluku, Maluku Utara 219 X Papua 352 XI Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur 2220 Distribusi Jawa Timur 14640 Distribusi Jawa Tengah 10987 Distribusi Jawa Barat, Banten 25713 Distribusi Jakarta, Tangerang 19178 Distribusi Batam 661 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2003.
Dari Tabel 5.5. menunjukkan bahwa distribusi listrik yang signifikan terdapat di Pulau Jawa. Sedangkan untuk wilayah di luar Pulau Jawa, distribusi yang cukup besar adalah wilayah II (Sumatera Utara), III (Sumatera Barat dan Riau), IV (Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Lampung), VI (Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur), VIII (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara) , dan XI (Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur). Sedangkan untuk wilayah Kalimantan Barat juga mengkonsumsi listrik yang cukup signifikan. Dari berbagai kekurangan dan kelebihan pada wilayah-wilayah seperti yang telah dijabarkan di atas, maka pada sub bab berikut akan disajikan analisis investasi berkaitan dengan komoditi kelapa sawit untuk mengetahui wilayah mana yang memiliki nilai potensi investasi yang besar dengan memberikan suatu penilaian komparatif pada tiap Provinsi di Indonesia. 5.5. Keunggulan Komperatif Komoditi Kelapa Sawit di Wilayah Pengembangan Untuk melihat keunggulan komperatif di suatu wilayah digunakan analisis perbandingan keunggulan masing-masing komoditas. Parameter yang digunakan adalah kesesuaian agroekologis wilayah pengembangan tersebut, ketersediaan lahan untuk pengembangan, ketersediaan SDM di lokasi pengembangan, dan ketersediaan infrastruktur di lokasi pengembangan. Masing-masing parameter tersebut terdiri dari 5 tingkatan yaitu : (a) sangat rendah nilai 1, (b) rendah dengan nilai 2, (c) sedang dengan nilai (3), (d) tinggi dengan nilai 4, dan (e) sangat tinggi dengan nilai 5. Penilaian parameter untuk kesesuaian lahan bagi kelapa sawit berdasarkan kriteria seperti yang tertera pada Tabel. 5.6. Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 15
Tabel 5.6. Kriteria Penilaian Kesesuaian lahan: Nilai Kriteria 1 Lahan tidak sesuai untuk pengembangan komoditas, menurut RTRWK merupakan kawasan hutan 2 Lahan sesuai untuk pengembangan komoditas, menurut RTRWK merupakan kawasan hutan 3 Lahan kurang sesuai untuk pengembangan komoditas, menurut RTRWK bukan merupakan kawasan hutan 4 Lahan sesuai untuk pengembangan komoditas, menurut RTRWK bukan merupakan kawasan hutan 5 Lahan sangat sesuai, menurut RTRWK bukan merupakan kawasan hutan
Penilaian ketersediaan lahan di wilayah pengembangan ditentukan oleh lahan yang tersedia untuk
pengembangan suatu komoditas. Kriteria penilaian ketersediaan lahan untuk masingmasing komoditas bisa disimak pada Tabel 5.7. Tabel 5.7. Penilaian Ketersediaan Lahan Nilai Luas Lahan yang Tersedia untuk Pengembangan (ha) 1 < 3000 2 3001 – 5000 3 5001 – 8000 4 8001 -10000 5 >10000
Penilaian sarana prasarana didasari oleh tersedia tidaknya sarana jalan, sarana telekomunikasi dan sarana listrik. Lebih rinci kriteria penilaian ketersediaan saran dan parasarana dapat dilihat pada Tabel 5.8., sedangkan kriteria ketersediaan SDM dapat disimak pada Tabel 5.9. Tabel 5.8. Kriteria Penilaian Sarana dan Prasarana Nilai Kriteria 1 Tidak ada sarana transportasi, tidak ada sarana telekomunikasi, tidak ada sumber listrik 2 Hanya terdapat sarana transportasi air, tidak ada sarana telekomunikasi, tidak ada ada sumber listrik 3 Hanya terdapat sarana transportasi darat, tidak terdapat sarana telekomunikasi, dan sumber listrik 4 Terdapat sarana tranportasi air dan darat, tidak terdapat sarana telekomunikasi, dan sumber listrik 5 Terdapat sarana transportasi air dan darat. Terdapat sarana telekomunikasi anumber listrik
Tabel 5.9. Kriteria Penilaian Ketersediaan SDM Nilai Kriteria 1 SDM kurang dan jauh 2 SDM dapat terpenuhi dari kawasan sekitar (dekat lokasi) 3 SDM cukup tersedia di lokasi 4 SDM tersedia (non educative) 5 SDM tersedia (educative dan non educative) Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 16
Sehubungan ketersediaan lahan merupakan parameter yang paling penting dalam pengembangan suatu komoditi, maka parameter ini dibri bobot 40 %. Adapun bobot untuk parameter kesesuaian lahan adalah 30 % dan parameter ketersediaan sarana prasarana serta ketersediaan SDM diberi bobot masing-masing 15 %. Nilai rata-rata tertinggi mempunyai makna mempunyai keunggulan komperatif paling tinggi. Secara logis nilai rata-rata > 2.5 dapat diartikan bahwa komoditi tersebut dapat dikembangkan dan mempunyai nilai komperatif. Analisis komperatif untuk komoditi kelapa sawit dapat dilihat pada Lampiran 2. Secara umum, pada ketersedian lahan lebih dari 5.000 ha tanaman kelapa sawit mempunyai nilai komparatif yang tinggi untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan. Untuk lahan yang kurang dari 5.000 ha, lebih baik ditanami tanaman perkebunan lainnya. Kondisi demikian dapat difahami karena dalam pembobotan ketersediaan lahan mempunyai nilai paling tinnggi yaitu 40 % dan untuk pengembangan komoditas kelapa sawit memerlukan lahan yang ralatif luas (sebaiknya lebih dari 10.000 ha). Pengembangan kelapa sawit mempunyai nilai kompreratif yang tinggi di kabupaten Natal dan
Tarutung Provinsi Sumatera Utara. Hampir semua wilayah yang diusulkan di daerah kabupaten Kampar dan Kabupaten Rokan Hilir di Provinsi Riau merupakan daerah yang mempunyai nilai komperatif tinggi untuk pengembangan tanaman kelapa sawit. Kondisi demikian terjadi juga di kabupaten-kabupaten pada Provinsi Sumatera Barat, Jambi, dan Sumatera Selatan. Seperti halnya di pulau Sumatera, di Kalimantan pun pada umumnya mempunyai nilai kompreratif yang tinggi untuk tanaman kelapa sawit. Selain itu, pengembangan perkebunan kelapa sawit di kawasan Timur Indonesia yang mempunyai nilai komparatif tinggi, dapat dikembangkan di Sulawesi (Kabupaten Luwu Utara, Konawe, Kolaka), Maluku (Kabupaten Halmahera Utara) dan Papua (Yapen, Waropen, Nabire, Manokwari, Sorong, Fak-Fak). Berdasarkan hasil analisis pada Lampiran, diperoleh nilai rata-rata untuk masing-masing Provinsi yang dapat dilihat pada Tabel 5.10. Tabel 5.10. Rata-rata Nilai Komparatif Komoditi Kelapa Sawit di masing-masing Provinsi Provinsi/Kabupaten/Kecamatan Kesesuaian Lahan 30 % Ketersediaan Lahan 40 % Ketersediaan SDM 15 % Ketersediaan Infrastruktur 15 % Nilai Komperatif Sumatera Barat 4,56 4,56 3,22 2,56 4,06 Riau 5,00 4,08 3,08 2,08 3,91 Kalimantan Barat 5,00 4,00 2,25 2,25 3,78 Maluku 5,00 3,86 2,43 2,14 3,73 Kalimantan Selatan 4,80 3,60 3,00 2,50 3,71 Sumatera Utara 4,67 3,00 3,83 2,83 3,60 Kalimantan Timur 5,00 3,29 2,67 2,56 3,60 Jambi 2,88 5,00 2,65 2,13 3,58 Papua 3,20 5,00 1,40 1,80 3,44 Sumatera Selatan 4,82 2,94 2,59 2,00 3,31 Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 17
Tabel 5.10. Rata-rata Nilai Komparatif Komoditi Kelapa Sawit di masing-masing Provinsi Provinsi/Kabupaten/Kecamatan Kesesuaian Lahan 30 % Ketersediaan Lahan 40 % Ketersediaan SDM 15 % Ketersediaan Infrastruktur 15 % Nilai Komperatif Sulawesi Selatan 2,91 3,91 2,00 2,09 3,05 Sulawesi Tenggara 2,83 3,00 2,83 2,17 2,80 Kalimantan Tengah 5,00 0,00 2,80 2,80 2,34
Menurut nilai komperatif kesesuaian lahan, tiga Provinsi teratas yaitu Provinsi Riau, Kalimantan
Barat, dan Kalimantan Tengah. Menurut nilai komperatif ketersediaan lahan, tiga Provinsi teratas yaitu Provinsi Jambi, Papua, dan Sumatera Barat. Menurut nilai komperatif ketersediaan SDM, lima Provinsi teratas yaitu Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Riau. Menurut nilai komperatif ketersediaan infrastruktur, tiga Provinsi teratas yaitu Sumatera Utara, Kalimantan Tengah dan Sumatera Barat. Dilihat dari nilai rata-rata komperatif setiap Provinsi, maka Provinsi Sumatera Barat menempati urutan teratas diikuti oleh Provinsi Riau, Kalimantan Barat, Maluku, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Jambi, Papua, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Tengah. Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor Primer dan Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia
Komoditi Kelapa Sawit
V - 18
5.1 Agroekologis Komoditi Kelapa Sawit 1 5.1.1. Persyaratan Tumbuh Komoditi Kelapa Sawit 1 5.1.2. Sebaran Wilayah Agroekologis Kelapa Sawit 3 5.2 Metode Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk Komoditi Kelapa Sawit 4 5.2.1. Klasifikasi Kesesuaian Lahan 4 5.2.2. Kriteria Kesesuaian Lahan 5 Kelas Kesesuaian Lahan 6 5.3. Kesesuaian Agroekologis Tanaman Kelapa Sawit 6 5.4. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Di Wilayah Indonesia 11 5.5. Keunggulan Komperatif Komoditi Kelapa Sawit di Wilayah Pengembangan 14 Tabel 5.1. Standar Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Kelapa Sawit .................... 6 Tabel 5.2. Hasil Evaluasi Agroekologis untuk Tanaman Kelapa Sawit .................... 7 Tabel 5.3. Rekapitulasi Jalan Nasional & Jalan Provinsi di Beberapa Wilayah di Indonesia Tahun 2002................................................................................................11 Tabel 5.4. Prasarana Telekomunikasi Telepon di Beberapa Wilayah Indonesia Tahun 2001/2002........................................................................................................12 Tabel 5.5. Listrik yang Didistribusikan oleh PT PLN di masing-masing Wilayah di Indonesia....................................................................................................................13 Tabel 5.6. Kriteria Penilaian Kesesuaian lahan: ........................................................15 Tabel 5.7. Penilaian Ketersediaan Lahan ..................................................................15 Tabel 5.8. Kriteria Penilaian Sarana dan Prasarana ..................................................15 Tabel 5.9. Kriteria Penilaian Ketersediaan SDM.......................................................15 Tabel 5.10. Rata-rata Nilai Komparatif Komoditi Kelapa Sawit di masing-masing Provinsi.......................................................................................................................16
Mekanisme Pemesanan Kelapa Sawit 1. Perusahaan/Koperasi/Kelompok Tani membuat Surat Permohonan Permintaan Penyediaan Benih Kelapa Sawit (SP3B-KS) ditujukan kepada : Direktorat Jenderal Perkebunan, untuk keperluan benih/kecambah kelapa sawit sebanyak > 1.000 Ha. Dinas Perkebunan Propinsi, untuk keperluan benih/ kecambah kelapa sawit sebanyak 200 - 1.000 Ha. Dinas Perkebunan Kabupaten, untuk keperluan benih/kecambah kelapa
sawit sebanyak < 200 Ha. 2. Direktorat Jenderal Perkebunan atau Dinas Perkebunan Propinsi atau Kabupaten setelah mengadakan penilaian terhadap Surat Permohonan Permintaan Penyaluran Benih Kelapa Sawit (SP3B-KS) dan faktor-faktor yang lain, maka diterbitkan Surat Persetujuan Penyaluran Benih Kelapa Sawit (SP2B-KS). 3. Berdasarkan Surat Persetujuan Penyaluran Benih Kelapa Sawit (SP2B-KS) tersebut, si pemohon mengajukan pesanan benih kelapa sawit kepada sumber benih kelapa swit yang telah ditunjuk oleh Pemerintah. 4. Setiap peredaran benih kelapa sawit harus dilindungi dengan dokumendokumen penyaluran benih resmi yaitu: Surat Persetujuan Penyaluran Benih Kelapa Sawit (SP2B-KS) dari Direktorat Jenderal Perkebunan atau Dinas Perkebunan Propinsi/Kabupaten. Surat Penyaluran Kecambah (SPK) atau DO dari sumber benih. Sertifikasi benih dari sumber benih. 5. Apabila benih/kecambah telah datang maka si penerima segera melaporkan kepada Dinas Perkebunan atau Instalasi Pengawasan dan Pengujian Mutu Benih Perkebunan (IP2MB) agar melakukan pengecekan sebagai berikut : Sertifikasi ulang benih/kecambah kelapa sawit. Pemeriksaan label dan sertifikasi ke sumber benih. STANDAR KECAMBAH KELAPA SAWIT No. 1.
2. 3.
TOLOK UKUR
KEBUN BENIH
Mutu Genetis • Asal bahan tanaman • Varietas • Kemurnian
Kebun Benih yang telah ditetapkan oleh Menteri. Benih Bina 98%
Mutu Fisiologis Kesehatan
Bebas OPT
Mutu Fisik a. Berat biji b. Radikula dan plumula • Panjang • Warna • Arah tumbuh • Kenampakan
Minimal 0,8 gram Maksimal 2 cm Putih kekuningan Berlawanan arah Dapat dibedakan dengan jelas
lahan Gambut Potensial Bagi Budidaya Kelapa Sawit Perkebunan Oleh redaksi Riau post, Minggu, 30-Mei-2004, Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Propinsi Riau sangat mengagumkan, dimana pada tahun 1998 luas areal perkebunan kelapa sawit hanya 796.250 hektare,
tetapi lima tahun kemudian (2003) telah meningkat menjadi 1,765 juta hektare (45 persen).
Menurut Kepala Pembibitan Tanaman Perkebunan dan Industri Program Agribisnis Universitas Riau (PAU Unri), Ir Gulat ME Manurung MSi, hal ini menjadi fenomena penting yang harus diperhatikan bersama, khususnya dalam pemanfaatan lahan-lahan marginal (lahan yang memiliki kendala). Sebelum melakukan budidaya kelapa sawit di suatu areal, menurut Gulat Manurung, sebaiknya diketahui terlebih dahulu jenis tanah yang akan dijadikan areal penanaman, seperti misalnya jika areal tersebut tergolong jenis Gambut. Masalah utama yang dihadapi dalam budidaya kelapa sawit pada lahan gambut yang mempunyai kendala agronomis antara lain drainase buruk, daya dukung tanah yang lemah, resiko kebakaran, keasaman tanah yang tinggi dan salinitas tinggi. ''Salinitas dan keasaman tanah memang dua hal yang berbeda, tetapi dengan sifat khas gambut Riau yang sangat dipengaruhi pasang surutnya air laut, mengakibatkan salinitas juga merupakan suatu problema,'' ucap Gulat Manurung tentang budidaya kelapa sawit di lahan gambut, ketika ditemui Riau Pos di Kebun PAU Unri. Dijelaskannya, ketebalan gambut juga menetukan keberhasilan budidaya kelapa sawit. Penelitian menunjukkan bahwa tinggi tanaman dan lingkar batang sawit pada umur 10 tahun yang ditanam pada kedalaman gambut 50 Cm tumbuh berkisar 26-28 persen lebih baik dan 19 persen produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan pada gambut dengan kedalaman 100 Cm. Lebih jauh Gulat mengungkapkan, permasalahan dan solusi untuk melakukan budidaya kelapa sawit dilahan gambut pada dasarnya dapat dilakukan, asal memperhatikan beberapa hal diantaranya, pertaman. Drainase merupakan hal yang sangat penting dalam pemanfaatan lahan gambut, lahan gambut selalu identik dengan perendaman tanah, sehingga pembuatan saluran drainase merupakan kata kunci. Pertumbuhan kelapa sawit akan
sangat terganggu dengan adanya genangan air di lahan gambut. Strategi dalam mengurangi air tersebut adalah dengan teknologi tata air. ''Sebenarnya tata air sangat sederhana dalam aplikasinya, yaitu saluran air, pintu air dan benteng air untuk areal yang dekat dengan tepi pantai. Saluran air terdiri dari field drain, collection drain, dan main drain. Satu field drain cukup untuk 8 baris tanaman kelapa sawit. Untuk kerapatan tanam 160 phn/ha, jarak antara dua saluran akan mencapai 59 M sedangkan collection berjarak 400-600 M antara saluran sedangkan jumlah main drain dan jaraknya tergantung kepada ukuran areal dan ketebalan gambut,'' ungkap Gulat. Ditambahkannya, untuk permukaan air yang terlalu dalam, akan dapat menyebabkan penurunan gambut secara cepat dan pengeringan gambut yang ekstrim dipermukaan. Hal ini sangat berbahaya karena akan terjadi penurunan permukaan gambut yang berakibat buruk pada perakaran dan bonggol sawit akan menonjok keluar. Oleh karena, ujarnya, tujuan tata air bukan untuk menguras air, tetapi menjaga air agar tidak terjadi over drain yang menyebabkan penurunan gambut secara cepat dan saluran drainase yang terlampau dalam (lebih dari 2 M), justru dapat membangkitkan pirit teroksidasi (penyebab kemasaman). Oleh karena itu, Gulat menyarankan permukaan air harus dipertahankan pada kedalaman 60-75 Cm dari permukaan tanah. Kedua, adalah masalah pemadatan gambut. Disebukan Gulat yang juga dosen Faperta Unri ini, daya dukung fisik yang tidak memadai sebagai media cengkraman akar yang kuat mengakibatkan tanaman akan miring atau roboh. Untuk menghindari hal tersebut maka perlu dilakukan pemadatan gambut sebelum tanam perlu dilakukan, yaitu dengan cara pemadatan jalur tanaman denga alat berat (escavator/buldoser) tepat di atas jalur tanaman. Cara ini disebutkannya dapat sekaligus dilakukan pada saat pembersihan lahan, dan dengan cara ini, dapat terjadi adanya penurunan gambut sampai 60 Cm yang merupakan hal yang diharapkan. ''Dari pengamatan, satu buldoser yang berjalan 2 kali pada tempat yang sama telah menghasilkan pemadatan yang memadai. Dan penanaman dengan lubang ganda
dengan menggunakan cetakan khusus yang dipasangkan pada excavator. Cetakan berukuran 60x60x60 Cm pada bagian bawah dan bagian atasnya berukuran 1x1x1 M,'' uraimya. Ketiga yakni masalah pemupukan. Aplikasi pupuk yang cukup dan berimbang sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan kelapa sawit. Sering terjadi bahwa pemupukan dilakukan tanpa mengikuti rekomendasi, akibatnya mubazir. Ketersediaan N yang rendah bukan berarti harus dilakukan pemupukan dengan N yang tinggi, karena pemupukan N yang tinggi justru akan meningkatkan keasaman tanah, demikian juga dengan P, bahwa dilahan gambut rata-rata hanya 60 persen pupuk P yang di berikan dapat dimanfaatkan tanaman. ''Oleh karena itu, pemupukan N,P,K dan Mg harus disesuaikan dengan kondisi areal gambut tersebut. Jenis Pupuk yang baik digunakan adalah rock phospate, dolomit, kaptan dan lain-lain, namun jenis pupuk ini agak sulit didapatkan. Dan sebelum pemupukan dilahan gambut yang merupakan lahan dengan kadar PH Asam, disarankan dilakukan terlebih dahulu pemberian kapur dengan dosis 5 ton/ha, namun jika kedalaman gambut kurang dari 1 M dan pH antara 3-4 atau dengan MnO2, jerami padi, atau juga garam dapur (NaCl) juga dapat dilakukan,'' ucap Gulat. Pemberian pupuk mikro seperti Borate, CuSO4, ZnSO4 pada lahan gambut merupakan salah satu antisipasi kekurangan hara mikro bagi kelapa sawit. Beberapa teknik aplikasi unsure mikro telah dikembangkan seperti aplikasi unsure mikro dengan menggunakan mudball (bola lumpur), aplikasi langsung ke daun, aplikasi dengan carrier dalam bentuk khelat. Kempat, adalah bibit. Jenis bibit juga harus disesuaikan dengan kondisi lahan, untuk lahan gambut disarankan menggunakan bibit yang toleran terhadap asam dan mempunyai sistem perakaran yang lebih dalam dan pertumbuhan tinggi yang lambat (Gol C dan D) seperti misalnya Dumpi, Yangambi, dan La Me. Umur bibit siap tanam sebaiknya di atas 1,2 tahun dengan tujuan agar bibit
memiliki kesiapan tanaman menghadapi kondisi ekstrim. ''Pada beberapa pengamatan menggambarkan bahwa tanaman kelapa sawit yang ditanam pada tanah sulfat asam memiliki masa TBM yang lebih panjang yakni antara 31-40 bulan dibandingkan pada yang ditanam di tanah non-sulfat asam yang hanya 26-30 bulan. Dan bibit yang digunakan adalah harus bibit yang berkualitas yang dihasilkan oleh penangkar yang telah mendapatkan izin dan dikui pemerintah,'' ucap Gulat sembari menunjukkan contoh kelengkapan surat-surat bibit yang asli. Oleh sebab itu, menurut Gulat dirinya dapat menyimpulkan bahwa budidaya kelapa sawit di lahan gambut merupakan potensi jika mineral pirit terletak pada kedalaman kurang dari 2 M dan diusahakan dengan 4 tepat, yakni tepat persiapan dan pengolahan lahan, tepat bibit, tepat pemupukan, dan tepat system tata air. (m erizal) http://groups.yahoo.com/group/infosawit/message/1109 [Non-text portions of this message have been removed]
Budidaya Kelapa Sawit / Palm Oil (Elaeis guineensis Jacq.) Ditulis pada April 21, 2008 oleh poltekcwe Ekologi Kelapa Sawit Daerah pengembangan tanaman kelapa sawit yang sesuai berada pada 15 °LU-15 °LS. Ketinggian pertanaman kelapa sawit yang ideal berkisar antara 0500 m dpl. Kelapa sawit menghendaki curah hujan sebesar 2.000-2.500 mm/tahun. Suhu optimum untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah 29-30 °C. Intensitas penyinaran matahari sekitar 5-7 jam/hari. Kelembaban optimum yang ideal sekitar 80-90 %. Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah Podzolik, Latosol, Hidromorfik Kelabu, Alluvial atau Regosol. Nilai pH yang optimum adalah 5,0–5,5. Kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase baik dan memiliki lapisan solum yang dalam tanpa lapisan padas. Kondisi topografi pertanaman kelapa sawit sebaiknya tidak lebih dari 15o.
Perbanyakan Perbanyakan kelapa sawit dilakukan dengan cara generatif dan saat ini sudah dilakukan kultur jaringan untuk memperbanyak kelapa sawit. Pada pembiakan dengan kultur jaringan digunakan bahan pembiakan berupa sel akar (metode Inggris) dan sel daun (metode Perancis). Metode ini mampu memperbanyak bibit tanaman secara besar-besaran dengan tingkat produksi tinggi dan pertumbuhan tanaman seragam. Persyaratan Benih Benih untuk bibit kelapa sawit disediakan oleh Marihat Research Station dan Balai Penelitian Perkebunan Medan. Benih dengan kualitas sangat baik ini berasal dari induk Delidura dan bapak Pisifera. Pengecambahan Benih (Cara Balai Penelitian Perkebunan Medan) a) Tangkai tandan buah dilepaskan dari spikeletnya. b) Tandan buah diperam selama tiga hari dan sekali-kali disiram air. Pisahkan buah dari tandannya dan peram lagi selama 3 hari. c) Masukkan buah ke mesin pengaduk untuk memisahkan daging buah dari biji. Cuci biji dengan air dan masukkan ke dalam larutan Dithane M-45 0,2% selama 3 menit. Keringanginkan dan seleksi untuk memberoleh biji yang berukuran seragam. d)Semua benih disimpan di dalam ruangan bersuhu 22 derajat C dan kelembaban 60-70% sebelum dikecambahkan. Pengecambahan Benih a) Rendam biji dalam air selama 6-7 hari dan ganti air tiap hari, lalu rendam dalam Dithane M-45 0,2% selama 2 menit. Biji dikeringanginkan. b) Masukkan biji ke dalam kaleng pengecambahan dan tempatkan dalam ruangan dengan temperatur 39 derajat C dan kelembaban 60-70% selama 60 hari. Setiap 7 hari benih dikeringanginkan selama 3 menit. c) Setelah 60 hari rendam benih dalam air sampai kadar air 20-30% dan keringanginkan lagi. Masukkan biji ke larutan Dithane M-45 0,2% 1-2 menit. Simpan benih di ruangan 27 derajat C. Setelah 10 hari benih berkecambah. Biji yang berkecambah pada hari ke 30 tidak digunakan lagi. Pembibitan Terdapat dua teknik pembibitan yaitu: (a) cara langsung tanpa dederan dan (b) cara tak langsung dengan 2 tahap (double stages system), yaitu melalui dederan/pembibitan awal (prenursery) selama 3 bulan dan pembibitan utama(nursery)selama 9 bulan. Lahan pembibitan dibersihkan, diratakan dan dilengkapi dengan instalasi penyiraman. Jarak tanam biji di pembibitan adalah 50×50, 55×55, 60×60,
65×65, 70×70, 75×75, 80×80, 85×85, 90×90 atau 100×100 dalam bentuk segitiga sama sisi. Jadi, kebutuhan bibit per hektar antara 25.000-12.500. a) Cara langsung Kecambah langsung ditanam di dalam polibag ukuran besar seperti pada cara pembibitan. Cara ini menghemat tenaga dan biaya. b) Cara tak langsung 1. Dederan Tujuan pembibitan awal adalah untuk memperoleh bibit kelapa sawit yang merata pertumbuhannya sebelum dipindahkan ke pembibitan utama. Umumnya pembibitan awal dilakukan dengan cara pembibitan kantong plastik. Kegiatan pemeliharaan di pembibitan awal meliputi pemeliharaan jalan dan saluran air, penyiraman, penyiangan, pemupukan, penjarangan naungan, pengendalian hama dan penyakit serta seleksi bibit. Kecambah dimasukkan ke dalam polibag 12×23 atau 15×23 cm berisi 1,5-2,0 kg tanah lapisan atas yang telah diayak. Kecambah ditanam sedalam 2 cm. Tanah di polibag harus selalu lembab. Simpan polibag di bedengan dengan diameter 120 cm. Setelah berumur 3-4 bulan dan berdaun 4-5 helai bibit dipindahtanamkan ke pembibitan. 2. Pembibitan Bibit dari dederan dipindahkan ke dalam polibag 40 x 50 atau 45 x 60 cm setebal 0,11 mm yang berisi 15-30 kg tanah lapisan atas yang diayak. Sebelum bibit ditanam, siram tanah di dalam polibag sampai lembab. Polibag disusun di atas lahan yang telah diratakan dan diatur dalam posisi segitiga sama sisi dengan jarak seperti disebutkan di atas. Kegiatan pemeliharaan bibit di pembibitan utama meliputi: 1. Penyiraman Kegiatan penyiraman di pembibitan utama dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu pada pagi dan sore hari. Jumlah air yang diperlukan sekitar 9–18 liter per minggu untuk setiap bibit. 2. Pemupukan Pupuk yang digunakan dapat berupa pupuk tunggal atau pupuk majemuk (N,P,K dan Mg) dengan komposisi 15:15:6:4 atau 12:12:7:2.
3. Seleksi bibit Seleksi dilakukan sebanyak tiga kali. Seleksi pertama dilakukan pada waktu pemindahan bibit ke pembibitan utama. Seleksi kedua dilakukan setelah bibit berumur empat bulan di pembibitan utama. Seleksi terakhir dilakukan
sebelum bibit dipindahkan ke lapangan. Bibit dapat dipindahkan ke lapangan setelah berumur 12-14 bulan. Tanaman yang bentuknya abnormal dibuang, dengan ciri-ciri: a) b) c) d) e)
bibit tumbuh meninggi dan kaku bibit terkulai anak daun tidak membelah sempurna terkena penyakit anak daun tidak sempurna.
Penanaman Pembukaan lahan dilakukan cara mekanis (membajak dan menggaru) dan cara kimia yaitu dengan herbisida. Lubang tanam dibuat 2-3 bulan sebelum penanaman bibit di lapangan. Bibit ditanam dengan jarak tanam 9 m x 9m. Jarak tanam yang digunakan pada tanah bergelombang adalah 8,7 m x 8,7 m. Lubang tanam diberi pupuk dasar berupa Rock Phosphate (RP) dengan dosis 500 g per lubang. Areal yang masih belum ditanami dan terbuka perlu ditanami tanaman penutup tanah (Legume Cover Crop). Contoh tanaman ini adalah Peuraria javanica, Calopogonium mucunoides dan Centrosema pubescens. Pemeliharaan Tanaman Pemupukan Tujuan dari pemupukan pada tanaman belum menghasilkan (TBM) adalah untuk meningkatkan pertumbuhan vegetatif. Sedangkan pemupukan pada tanaman menghasilkan (TM) diarahkan untuk produksi buah. Pemberian pupuk dilakukan dua kali setahun, yaitu pada awal musim hujan dan akhir musim hujan. Pemupukan dilakukan dengan menyebarkan pupuk secara merata di dalam piringan. Jenis pupuk yang digunakan pada TBM berupa pupuk tunggal ataupun pupuk majemuk, seperti CF 12.12.5.12 ( 12 % N, 12 % P2O5, 5 % K2O, 12 % MgO), Urea (45 % N), RP (60 % P2O5), Murriate of Potash (60 % K2O), Kieserite ( 26 % MgO) dan Borate (46 % B2O5). Pemupukan pada TM berdasarkan hasil analisa daun yang dilakukan pada tahun sebelumnya. Dosis pupuk yang diaplikasikan pada TBM dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Dosis pemupukan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM). ———————————————————————————— Umur tanaman(bulan) Jenis dan dosis pupuk (kg/pohon) SA TSP KCI Kieserite Garam Borium ———————————————————————————— 0 - 0.50 - - 1 0.10 - - - 3 0.25 - 0.15 0.15 5 0.25 - 0.15 0.15 8 0.25 0.50 0.25 0.15 0.02 12 0.25 - 0.25 0.15 16 0.50 0.50 0.50 0.25 0.03 20 0.50 - 0.50 0.25 24 0.50 - 0.50 0.25 0.05
28 0.75 1.00 0.75 0.25 32 0.75 - 0.75 0.25 ———————————————————————————— Total 4.10 2.50 3.80 1.85 0.01 ———————————————————————————— Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 1987 Kastrasi Kastrasi adalah kegiatan pembuangan bunga dan buah pasir untuk merangsang pertumbuhan vegetatif serta untuk mencegah infeksi hama dan penyakit. Kastrasi dilakukan ketika tanaman mulai berbunga untuk pertama kalinya sampai tanaman berumur 33 bulan (6 bulan sebelum panen). Kastrasi dilakukan dengan interval satu bulan sekali. Penyerbukan Buatan Bunga jantan dan betina pada tanaman kelapa sawit letaknya terpisah dan masaknya tidak bersamaan sehingga penyerbukan alami kurang intensif. Faktor lain yang menyebabkan perlunya penyerbukan buatan adalah karena jumlah bunga jantan kurang, kelembaban yang tinggi atau musim hujan yang panjang. Untuk mengoptimalkan jumlah tandan yang berbuah, dilakukan penyerbukan buatan oleh manusia atau oleh serangga. Penyerbukan buatan dilakukan setelah kegiatan kastrasi dihentikan. a) Penyerbukan oleh Manusia Dilakukan saat tanaman berumur 2-7 minggu pada bunga betina yang sedang represif (bunga betina siap untuk diserbuki oleh serbuk sari jantan). Ciri bunga represif adalah kepala putik terbuka, warna kepala putik kemerahmerahan dan berlendir. Cara penyerbukan: 1. Bak seludang bunga. 2. Campurkan serbuk sari dengan talk murni (1:2). Serbuk sari diambil dari pohon yang baik dan biasanya sudah dipersiapkan di laboratorium. 3. Semprotkan serbuk sari pada kepala putik dengan menggunakan baby duster/puffer. b) Penyerbukan oleh Serangga Penyerbuk Kelapa Sawit (SPKS). Serangga penyerbuk Elaeidobius camerunicus yang tertarik pada bau bunga jantan. Serangga dilepas pada saat bunga betina sedang represif. Keunggulan cara ini adalah tandan buah lebih besar, bentuk buah lebih sempurna, produksi minyak lebih besar 15% dan produksi inti meningkat sampai 30%. Kekurangan cara ini buah sulit rontok, tandan buah harus dibelah dua dalam pemrosesan. Pengendalian Gulma Pengendalian gulma bertujuan menghindarkan tanaman kelapa sawit dari persaingan dengan gulma dalam hal pemanfaatan unsur hara, air dan cahaya. Kegiatan pengendalian gulma juga bertujuan untuk mempermudah kegiatan panen. Contoh gulma yang dominan di areal pertanaman kelapa sawit adalah Imperata cylindrica, Mikania micrantha, Cyperus rotundus, Otochloa nodosa, Melostoma malabatricum, Lantana camara, Gleichenia
linearis dan sebagainya. Pengendalian gulma terdiri dari penyiangan di piringan (circle weeding), penyiangan gulma yang tumbuh diantara tanaman LCC, membabat atau membongkar gulma berkayu dan kegiatan buru lalang (wiping). Penunasan atau Pemangkasan Daun Penunasan merupakan kegiatan pemotongan pelepah daun tua atau tidak produktif. Penunasan bertujuan untuk mempermudah kegiatan panen, pengamatan buah matang, penyerbukan alami, pemasukan cahaya dan sirkulasi angin, mencegah brondolan buah tersangkut di pelepah, sanitasi dan menyalurkan zat hara ke bagian lain yang lebih produktif. Terdapat tiga jenis pemangkasan daun, yaitu: a) Pemangkasan pasir Membuat daun kering, buah pertama atau buah busuk waktu tanaman berumur 16-20 bulan. b) Pemangkasan produksi Memotong daun-daun yang tumbuhnya saling menumpuk (songgo dua) sebagai persiapan panen pada waktu tanaman berumur 20-28 bulan. c) Pemangkasan pemeliharaan Membuang daun-daun songgo dua secara rutin sehingga pada pokok tanaman hanya terdapat sejumlah 28-54 helai. Sistem yang umum digunakan adalah sistem songgo dua, dimana jumlah pelepah daun yang disisakan hanya dua pelepah dari tandan buah yang paling bawah. Rotasi penunasan pada TM adalah sembilan bulan sekali. DIarsipkan di bawah: Kelapa Sawit, Pendidikan http://politeknikcitrawidyaedukasi.wordpress.com/2008/04/21/budidayakelapa-sawit-palm-oil-elaeis-guineensis-jacq/
Pengendalian hama dan penyakit tanaman A. Penyakit 1. Penyakit Akar (Blast disease) Gejala serangan : - Tanaman tumbuh abnormal dan lemah - Daun tanaman berubah menjadi berwarna kuning Penyebab : Jamur (Rhizoctonia lamellifera dan Phytium sp.) Cara pengendalian :
- Melakukan kegiatan persemaian dengan baik - Mengatur pengairan agar tidak terjadi kekeringan di pertanaman 2. Penyakit Busuk Pangkal Batang (Basal stem rot/Ganoderma) Gejala serangan: -
Daun berwarna hijau pucat Jamur yang terbentuk sedikit Daun tua menjadi layu dan patah Dari tempat yang terinfeksi keluar getah
Penyebab : Jamur Ganoderma applanatum, Ganoderma lucidum, dan Ganoderma pseudofferum. Cara pengendalian dan pencegahan : - Membongkar tanaman yang terserang dan selanjutnya dibakar - Melakukan pembumbunan tanaman 3. Penyakit Busuk Batang Atas (Upper stem rot) Gejala serangan: - Warna daun yang terbawah berubah dan selanjutnya mati - Batang yang berada sekitar 2 m di atas tanah membusuk - Bagian yang busuk berwarna cokelat keabuan Penyebab : Jamur Fomex noxius. Cara pengendalian : - Melakukan pembongkaran tanaman yang terserang dan membuang bagian tanaman yang terserang - Bekas luka selanjutnya ditutupi dengan obat penutup luka 4. Penyakit Busuk Kering Pangkal Batang (Dry basal rot) Gejala serangan : Tandan buah membusuk dan pelepah daun bagian bawah patah. Penyebab : Jamur Ceratocytis paradoxa. Cara pengendalian :
Membongkar tanaman yang terserang hebat dan selanjutnya dibakar.
5. Penyakit Busuk Kuncup (Spear rot) Gejala serangan: Jaringan pada kuncup (spear) membusuk dan berwarna kecokelatan. Penyebab : Belum diketahui dengan pasti. Cara pengendalian : Memotong bagian kuncup yang terserang 6.Penyakit Busuk Titk Tumbuh (Bud rot) Gejala serangan : - Kuncup tanaman membusuk sehingga mudah dicabut - Aroma kuncup yang terserang berbau busuk Penyebab : Bakteri Erwinia. Cara pengendalian : Belum ada cara efektif untuk memberantas penyakit ini. 7. Penyakit Garis Kuning (Patch yellow) Gejala serangan: Terdapat bercak daun berbentuk lonjong berwarna kuning dan di bagian tengahnya berwarna cokelat. Penyebab : Jamur Fusarium oxysporum Cara pengendalian : Melakukan inokulasi penyakit pada bibit dan tanaman muda. Hal ini bertujuan agar serangan penyakit di persemaian dan pada tanaman muda dapat berkurang. 8. Penyakit Antraknosa (Anthracnose) Gejala serangan : - Terdapat bercak-bercak cokelat tua di ujung dan tepi daun - Bercak-bercak dikelilingi warna kuning
- Bercak ini merupakan batas antara bagian daun yang sehat dan yang terserang Penyebab : Jamur Melanconium sp., Glomerella cingulata, dan Botryodiplodia palmarum. Cara pengendalian : - Melakukan pengaturan jarak tanam, penyiraman secara teratur dan pemupukan berimbang - Tanah yang menggumpal di akar harus disertakan pada waktu pemindahan bibit dari persemaian ke pembibitan utama. Pengaplikasian Captan 0,2% atau Cuman 0,1%. 9. Penyakit Tajuk (Crown disease) Gejala serangan : Helai daun bagian tengah pelepah berukuran kecil-kecil dan sobek. Penyebab: Sifat genetik yang diturunkan dari tanaman induk. Cara pengendalian : Melakukan seleksi terhadap tanaman induk yang bersifat karier penyakit ini. 10. Penyakit Busuk Tandan (Bunch rot) Gejala serangan: Terdapat miselium berwarna putih di antara buah masak atau pangkal pelepah daun. Penyebab : Jamur Marasmius palmivorus. Cara pengendalian : Melakukan kastrasi, penyerbukan buatan dan menjaga sanitasi kebun, terutama pada musim hujan. Pengaplikasian difolatan 0,2 %. B. Hama 1. Nematoda (Rhadinaphelenchus cocophilus) Gejala serangan :
- Daun terserang menggulung dan tumbuh tegak - Warna daun berubah menjadi kuning dan selanjutnya mengering. Cara pengendalian: - Pohon yang terserang dibongkar dan selanjutnya dibakar - Tanaman dimatikan dengan racun natrium arsenit 2. Tungau (Oligonychus sp.) Gejala serangan : Daun yang terserang berubah warnanya menjadi berwarna perunggu mengkilat (bronz). Cara pengendalian : Pengaplikasian akasirida yang mengandung bahan aktif tetradifon 75,2 g/l. 3. Pimelephila ghesquierei Gejala serangan : Serangan menyebabkan lubang pada daun muda sehingga daun banyak yang patah. Cara pengendalian : - Serangan ringan dapat diatasi dengan memotong bagian yang terserang - Pada serangan berat dilakukan penyemprotan parathion 0,02%. 4. Ulat api (Setora nitens, Darna trima dan Ploneta diducta) Gejala serangan : Daun yang terserang berlubang-lubang. Selanjutnya daun hanya tersisa tulang daunnya saja. Cara pengendalian : Pengaplikasian insektisida berbahan aktif triazofos 242 g/l, karbaril 85 % dan klorpirifos 200 g/l. 5. Ulat kantong (Metisa plana, Mahasena corbetti dan Crematosphisa pendula) Gejala serangan: - Daun yang terserang menjadi rusak, berlubang dan tidak utuh lagi - Selanjutnya daun menjadi kering dan berwarna abu-abu. Cara pengendalian :
Pengaplikasian timah arsetat dengan dosis 2,5 kg/ha atau dengan insektisida berbahan aktif triklorfon 707 g/l, dengan dosis 1,5-2 kg/ha. 6. Belalang Valanga nigricornis dan Gastrimargus marmoratus Gejala serangan: Terdapat bekas gigitan pada bagian tepi daun yang terserang. Cara pengendalian : Pengendalian dapat dilakukan dengan mendatangkan burung pemangsanya. 7. Kumbang Oryctes rhinoceros Gejala serangan : Daun muda yang belum membuka dan pada pangkal daun berlubang-lubang. Cara pengendalian : Menggunakan parasit kumbang, seperti jamur Metharrizium anisopliae dan virus Baculovirus oryctes. Melepaskan predator kumbang, seperti tokek, ular dan burung. 8. Ngengat Tirathaba mundella (penggerek tandan buah) Gejala serangan: Terdapat lubang-lubang pada buah muda dan buah tua. Cara pengendalian : Pengaplikasian insektisida yang mengandung bahan aktif triklorfon 707 g/l atau andosulfan 350 g/l. 9. Tikus (Rattus tiomanicus dan Rattus sp.) Gejala serangan: - Pertumbuhan bibit dan tanaman muda tidak normal - Buah yang terserang menunjukkan bekas gigitan. Cara pengendalian : Melakukan pengemposan pada sarangnya atau mendatangkan predator tikus, seperti kucing, ular dan burung hantu. Standar Produksi Standar produksi ini meliputi: klasifikasi dan standar mutu, cara pengujian, pengambilan contoh dan cara pengemasan.
Standar Mutu Standar mutu inti kelapa sawit di Indonesia tercantum di dalam Standar Produksi SP 10-1975. Klasifikasi Inti kelapa sawit digolongkan dalam satu jenis mutu dengan nama “Sumatra Palm Kernel”. Adapun syarat mutu inti kelapa sawait adalah sebagai berikut: a) b) c) d)
Kadar minyak minimum (%): 48; cara pengujian SP-SMP-13-1975 Kadar air maksimum (%):8,5 ; cara pengujian SP-SMP-7-1975 Kontaminasi maksimum (%):4,0; cara pengujian SP-SMP-31-19975 Kadar inti pecah maksimum (%):15; cara pengujian SP-SMP-31-1975
Produksi minyak kelapa sawit sebagai bahan makanan mempunyai dua aspek kualitas. Aspek pertama berhubungan dengan kadar dan kualitas asam lemak, kelembaban dan kadar kotoran. Aspek kedua berhubungan dengan rasa, aroma dan kejernihan serta kemurnian produk. Kelapa sawit dengan mutu prima (SQ, Special Quality) seperti yang dihasilkan Malaysia mengandung asam lemak (FFA, Free Fatty Acid) tidak lebih dari 2% pada saat pengapalan. Kualitas standard minyak kelapa sawit mengandung tidak lebih dari 5% FFA. Setelah pengolahan, kelapa sawit bermutu akan menghasilkan rendeman minyak 22,1-22,2% (tertinggi) dan kadar asam lemak bebas 1.7-2.1% (terendah). Pengambilan Contoh Contoh diambil secara acak sebanyak akar pangkat dua dari jumlah karung dengan maksimum 30 karung tiap partai barang, kemudian tiap karung diambil contoh maksimum 1 kg. Contoh-contoh tersebut diaduk/dicampur dan dari campuran tersebut diambil 1 kg untuk dianalisa. Petugas pengambil contoh harus memenuhi syarat, yaitu orang yang telah berpengalaman atau dilatih labih dahulu dan mempunyai ikatan dengan suatu badan hukum. Pengemasan a) Cara pengemasan: inti kelapa sawit dikemas dalam karung goni kuat, bersih, kering dan kuat dengan berat bersih tiap karung adalah 50 kg sampai 80 kg dan dijahit menyilang pada ujung karungnya atau dikapalkan secara “bulk”. b) Pemberian merek: nama barang, jenis mutu, identitas penjual, produce of Indonesia, berat bersih, nomor karung, identitas pembeli, pelabuhan/negara tujuan.