PROPOSAL OPERASIONAL PENELITIAN TA 2013
PROSPEK KESEPAKATAN INDONESIA-INDIA FTA TERHADAP SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA
Reni Kustiari Hermanto Helena Juliani Purba Roosganda Elizabeth Soeprapto Djojopoespito
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013
1
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Perdagangan
merupakan
salah
satu
sumber
pertumbuhan
ekonomi
Indonesia. Keterbukaan sistem ekonomi ini menyebabkan Indonesia tergantung kepada ekonomi negara lain yang mengindikasikan pembangunan ekonomi Indonesia amat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global. Kontribusi sektor perdagangan terhadap PDB Indonesia pada 2000 sebesar Rp. 184,97 Triliun (13,31% dari total PDB) naik menjadi Rp. 364,45 Triliun (14,80% dari total PDB) pada 2011, atau meningkat dengan laju pertumbuhan sekitar 6,25% per tahun selama 2000-2011. Pada 2000 nilai ekspor Indonesia sebesar US$ 63,55 Milyar meningkat menjadi US$ 200,79 Milyar pada 2011 atau meningkat dengan laju sekitar 11,4% per tahun. Sejalan dengan ekspor, nilai impor menunjukkan peningkatan dari sekitar US$ 43,59 milyar pada 2000 menjadi US$ 166,00 milyar pada 2011 atau naik dengan laju pertumbuhan sekitar 13,18% per tahun (SEKI, 2012). Indonesia selalu berupaya meningkatkan kinerja perdagangan dengan melakukan serangkaian perjanjian perdagangan bebas baik bilateral, regional, maupun multilateral (WTO). Perundingan Doha Development Agenda-WTO bidang pertanian yang terakhir dilakukan pada Juli 2008 mengalami kegagalan karena penolakan negara G-7, terutama terhadap isu Special Safeguard Mechanism. Kegagalan ini memberikan signal negatif kepada dunia. Sulitnya mencapai konsensus dalam liberalisasi perdagangan di forum multilateral dan regional, akibat banyaknya negara yang terlibat dengan berbagai kepentingan dan kebutuhan yang tidak dapat terukur dan tidak optimal, telah menyebabkan
banyak
negara
membuat
integrasi
perdagangan.
Perjanjian
Perdagangan Bebas (Free Trade Agreements/FTA) merupakan salah satu mekanisme untuk membuka pasar luar negeri bagi ekspor Indonesia dan perkembangannya diharapkan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini terjadi karena kesepakatan/persetujuan bilateral relatif lebih mudah, fleksibel dan cepat dilakukan. FTA dilaksanakan dengan tujuan untuk melonggarkan syarat persaingan perdagangan dan merendahkan harga barang, serta dapat mewujudkan keseragaman peraturan dalam kerjasama perdagangan dua negara, sehingga dapat 2
meningkatkan manfaat dan keuntungan bagi negara-negara anggota yang terlibat. Kinerja perdagangan Indonesia akan lebih baik seandainya kesepakatan multilateral dan regional berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Indonesia secara aktif melakukan FTA untuk membantu para eksportir di Indonesia menikmati kemudahan dalam kegiatan perdagangan. Kemudahan yang dapat diperoleh melalui FTA adalah pengurangan biaya karena penghapusan (pensederhanaan) prosedur dan peraturan di negara mitra. Kesepakatan bilateral dapat menjadi penambahan dari kesepakatan yang telah ada (WTO atau ASEAN). Kesepakatan bilateral dapat lebih mengakomodir kebutuhan kedua negara dan juga mengidentifikasi ketidakseimbangan dalam hal kekuatan ekonomi dan industry di kedua negara. Untuk mengamankan kinerja perdagangan dan memastikan akses pasar, sehingga mampu bersaing di era globalisasi, Indonesia perlu membentuk kerjasama ekonomi komprehensif secara bilateral dengan negara-negara yang memiliki potensi besar dan strategis. Salah satu FTA yang dilakukan oleh Indonesia adalah kerjasama perdagangan Indonesia-India. Hal ini dilakukan mengingat India menempati urutan ke-11 sebagai negara tujuan ekspor produk nonmigas Indonesia dengan nilai US$ 1,05 milyar pada 2000 dan menjadi urutan ke-4 dengan nilai US$ 13,42 milyar pada 2011, atau meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 22,17% per tahun. Pada tahun 2000, India merupakan negara asal impor produk non migas Indonesia peringkat ke-14 dengan nilai hanya US$ 440,30 juta naik menjadi peringkat ke-10 pada 2011, dengan nilai sebesar US$ 4,02 milyar, atau meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 18,5% per tahun selama 2000-2011 (SEKI, 2012). India dengan penduduk terbesar kedua di dunia ini merupakan pasar yang potensial untuk dikembangkan, karena selain potensi konsumsinya yang besar, juga standar kualitas yang diterapkan tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Oleh karena itu, pasar India relatif lebih mudah ditembus dibandingkan dengan negara-negara maju yang cenderung memiliki hambatan non tarif yang lebih banyak dan beragam. Selain itu, India adalah salah satu negara di Asia yang masih mencatat pertumbuhan ekonomi positif pada level relatif tinggi di saat negara-negara lain mengalami pertumbuhan negatif, atau mengalami pertumbuhan yang rendah setelah terpengaruh oleh krisis finansial global tahun 2008 (Bary, 2010). 3
Pertumbuhan ekonomi India masuk ke dalam empat negara dengan pertumbuhan ekonomi pesat bersama dengan Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC). India memiliki jumlah penduduk sebesar 1,2 miliar dengan GDP (purchasing power parity) pada tahun 2009 mencapai US$ 3,57 triliun. India sebagai negara industri baru sedang giat melakukan transformasi ekonomi dan pada 2010 cadangan devisa India mencapai sekitar US$ 200 miliar. Kemajuan dan gencarnya para korporasi India juga ditopang oleh kemajuan mendasar di bidang teknologi dan sumber daya manusia yang dimiliki. Pertumbuhan ekonomi India juga ditopang oleh tingginya tingkat tabungan masyarakat sebesar rata-rata 32% terhadap Gross Domestic Product (GDP) serta meningkatnya kelompok penduduk usia kerja yang disertai dengan kebijakan peningkatan sumber daya manusia (Dharma, 2011). Indonesia dan India memiliki keinginan yang sama untuk saling meningkatkan dan memperkuat hubungan perdagangan dan investasi. Perundingan perdagangan bebas Indonesia dengan India diharapkan akan memberi dampak positif terhadap perdagangan serta persatuan Indonesia dan India. Namun demikian, Indonesia harus juga mewaspadai dampak negatif dari Indonesia-India FTA, tarif yang rendah akan menjadikan produk impor dari India menjadi lebih murah, sehingga pada akhirnya dapat memberikan dampak negatif pada ekonomi Indonesia. Perdagangan bebas berdampak pada persaingan produk impor dan produk lokal dan kemungkinan produk local akan kehilangan pasar sehingga menghadapi kesulitan untuk berkembang. Oleh karena itu, dampak FTA tersebut sangat bergantung kepada keahlian untuk memanfaatkan peluang dari perdagangan yang dilakukan. Mengingat pentingnya kontribusi sektor perdagangan terhadap perekonomian Indonesia, maka dampak Indonesia-India FTA terhadap perekonomian Indonesia perlu dikaji agar dapat dilakukan penyesuaian yang diharapkan akan menghasilkan pertumbuhan bagi ekonomi Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis prospek kesepakatan kerjasama perdagangan antar Indonesia dan India. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan kepada pembuat kebijakan perdagangan dan menjadi dasar dalam membuat perencanaan yang sistematik dan berguna untuk mencapai keuntungan dari perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dan India.
4
1.2.
Dasar Pertimbangan Dengan diberlakukannya perdagangan bebas antara Indonesia dan India
maka dari sisi Indonesia, hal ini akan mengakibatkan tidak hanya peningkatan potensi pasar ekspor bagi komoditas-komoditas pertanian Indonesia ke India, tetapi juga pada waktu yang bersamaan, ancaman dari komoditi pertanian India terhadap komoditi pertanian Indonesia akan menurun. Namun
demikian,
perdagangan
antara
Indonesia
dan
India
sangat
menjanjikan mengingat keduanya mempunyai penduduk yang besar, pertumbuhan ekonomi tinggi, dan potensi kenaikan pendapatan per kapita yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan konsumsi dari dua negara tersebut akan memberikan kesinambungan bagi pertumbuhan ekonomi masing-masing. Pada 2011, Indonesia mengalami surplus perdagangan terhadap India sebesar US$ 9,4 miliar dari perdagangan nonmigas. Sebagai negara tujuan ekspor produk nonmigas, India menempati urutan ke-4 dan peringkat ke-10 sebagai untuk negara asal impor produk nonmigas Indonesia. Sepuluh produk ekspor utama Indonesia ke India adalah: (1) Crude Palm Oil (CPO); (2) Other coal; (3) Copper
Ores and concentrates; (4) Olein, refined, bleached & deodorised (rbd); (5) Bituminous coal; (6) coking coal; (7) Tsnr, oth standard indonesian rubber; (8) Crude
oil
of
palm
kernel
or
babassu;
(9)
Chemical
wood
pulp; (10)
Forging/diestamping machines. Sepuluh impor utama Indonesia dari India yaitu: (1) Telephones for cellular
networks; (2) Motor spirit, premium unleaded; (3) P-xylene; (4) Naphtha, reformate; (5) Damper designed for off highway; (6) Cotton, not carded/combed; (7) Ground
nuts, shelled; (8) Other motor spirit, unleaded; (9) Flat-roll prod of stainless steel,hot rolled; dan (10) Oil-cake & other solid residues, from the extract of soyabean oil. Kerjasama perdagangan dan investasi Indonesia ke India masih terkendala beberapa hambatan, diantaranya adalah kurangnya transparansi India dalam
Domestic Regulation yang berkaitan dengan perdagangan dan investasi. Meskipun India sudah mengurangi hambatan impor, namun gap antara applied tariff dan
bound tariff masih tinggi, dan cenderung meningkat. Untuk produk impor, India mengharuskan pemberian label Retail Maximum Price (MRP) dari negara asalnya 5
sebelum masuk ke custom clearance. Hal ini sulit dilakukan karena penghitungan berdasarkan beberapa factor, diantaranya ongkos kapal, asuransi, dan internal taxes di mana biaya tersebut tidak sama untuk masing-masing Negara bagian. Kebijakan tarif India juga masih sangat kompleks dan selalu berubah setiap tahun dengan pengecualian beberapa komoditi yang jumlahnya bertambah, sehingga menciptakan ketidakpastian untuk para pelaku perdagangan. Tarif produk pertanian di India masih tinggi dan rumit dengan adanya perbedaan antara masingmasing Negara bagian ditambah additional duties dan ketidakpastian dalam hal tariff kuota (Dharma, 2011). Dilihat dari produk-produk yang impor oleh India dari dunia, sektor yang menjadi minat utama Indonesia untuk dikerjasamakan dengan India diantaranya adalah: (1) produk mineral dan bahan bakar; (2) CPO dan Palm Oil; (3) kertas dan pulp; (4) tekstil dan produk tekstil; (5) besi dan baja serta sector manufaktur lainnya; (6) farmasi; (7) iptek dan kesehatan; (8) agrobased industry; (9) otomotif; (10) machineries; (11) handicraft; dan (12) gems and jewelry (Soesastro, 2009). Permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana dampak kebijakan perdagangan dan kebijakan pertanian India terhadap pelaku usaha di Indonesia; (2) Bagaimana prospek Indonesia-India FTA terhadap perdagangan komoditas pertanian Indonesia; (3) Apakah hambatan ekspor Indonesia ke India; dan (4) Bagaimana potensi dampak Indonesia-India FTA terhadap sektor pertanian dan perekonomian Indonesia. Hasil kajian ini, berupa informasi prospek FTA Indonesia-India, diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembuat kebijakan perdagangan dan menjadi dasar dalam membuat perencanaan yang sistematik dan berguna untuk mencapai keuntungan dari perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dan India. 1.3.
Tujuan Secara umum tujuan penelitian ini adalah menghasilkan rekomendasi
kebijakan perdagangan yang dapat mendorong peningkatan ekspor ke India melalui kesepakatan Indonesia-India FTA. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
6
1. Mengidentifikasi kebijakan perdagangan, kebijakan pertanian dan potensial komoditi terkait dengan Indonesia-India FTA. 2. Menganalisis prospek Indonesia-India FTA terhadap perdagangan komoditas utama Indonesia. 3. Mengidentifikasi faktor-faktor penghambat peningkatan ekspor Indonesia ke India. 4. Menganalisis potensi dampak Indonesia-India FTA terhadap sektor pertanian dan perekonomian Indonesia. 1.4.
Keluaran yang Diharapkan Keluaran umum dari penelitian ini adalah rekomendasi kebijakan yang akan
mendorong peningkatan ekspor pertanian melalui kesepakatan Indonesia-India FTA. Secara rinci keluaran penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hasil identifikasi kebijakan perdagangan, kebijakan pertanian dan potensial komoditi terkait dengan Indonesia-India FTA. 2. Informasi prospek Indonesia-India FTA terhadap perdagangan komoditas pertanian Indonesia. 3. Informasi faktor-faktor penghambat peningkatan ekspor Indonesia ke India. 4. Informasi potensi dampak Indonesia-India FTA terhadap sektor pertanian dan perekonomian Indonesia. 1.5.
Perkiraan Manfaat dan Dampak Penelitian
ini
diharapkan
dapat
menjadi
kegiatan
yang
mendukung
tercapainya perjanjian perdagangan bebas, sehingga pertumbuhan pertanian dapat dilakukan dengan lebih cepat. Hal itu disebabkan melalui perbaikan perdagangan yang mendukung perkembangan sektor pertanian atau perekonomian Indonesia, secara umum. Selain itu, jika dibutuhkan dapat diciptakan kesepakatan baru, merevisi
kesepakatan
kesepakatan
yang
yang
kurang
menghambat
menguntungkan,
tercapainya
atau
perkembangan
menghapuskan perekonomian
Indonesia. Manfaat dari penelitian ini antara lain adalah: (1) Meningkatnya pengertian dan pemahaman tentang kebijakan perdagangan, kebijakan pertanian dan potensial 7
komoditi terkait dengan Indonesia-India FTA; (2) Mengetahui prospek IndonesiaIndia FTA terhadap perdagangan komoditas utama ekspor Indonesia; (3) Mengetahui faktor-faktor penghambat peningkatan ekspor Indonesia ke India; dan (4) Mengetahui potensi dampak Indonesia-India FTA terhadap perekonomian Indonesia. Perkiraan dampak dari penelitian ini antara lain adalah: (1) Peningkatan pengertian dan pemahaman tentang kebijakan perdagangan, kebijakan pertanian dan potensial komoditi terkait dengan Indonesia-India FTA, serta dampaknya terhadap pelaku usaha; (2) Peningkatan pengetahuan mengenai prospek FTA Indonesia-India
terhadap
perdagangan
komoditas
pertanian
Indonesia;
(3)
Peningkatan pengetahuan mengenai faktor-faktor dan kebijakan India yang menghambat peningkatan ekspor Indonesia ke India; dan (4) Peningkatan pengetahuan tentang potensi dampak FTA Indonesia-India terhadap sektor pertanian dan perekonomian Indonesia.
8
II. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Kerangka Teoritis
2.1.1. Integrasi Ekonomi Regional Kegiatan ekonomi internasional memiliki kecenderungan untuk membentuk organisasi perdagangan multinasional. Organisasi ini dibentuk dari kumpulan negara berdekatan yang mempunyai kebijakan perdagangan bersama untuk menghadapi negara lain dalam bidang tarif dan akses pasar. Alasan umum pembentukan grup ini adalah menjamin pertumbuhan ekonomi dan manfaat bagi Negara anggota. Pengaruh keberadaan dan pertumbuhan organisasi multinasional ini secara tidak langsung bagi negara peserta adalah untuk menjaga persaingan secara global. Secara luas, pengelompokan regional dibentuk sebagai usaha pemerintah untuk meningkatkan integrasi ekonomi global. Organisasi ini terdiri dari berbagai bentuk, tergantung tingkat kerjasamanya yang mengarah ke tingkat integrasi yang berbeda antara Negara peserta. Ada lima tingkat kerja sama formal antar negara anggota kelompok regional, yaitu Free Trade Area (FTA), Custom Union, Common Market,
Monetary Union, dan Political Union (Kotabe dan Helsen, 2001). Free Trade Area (FTA) adalah kerjasama formal antara dua atau lebih negara untuk mengurangi hambatan tarif dan non tarif diantara negara anggota. Akan tetapi masing-masing negara anggota bebas menentukan tingkat tariff individu dengan negara yang bukan anggota. FTA adalah salah satu bentuk reaksi adanya globalisasi dan liberalisasi yang berimplikasi pada pengurangan dan penghapusan berbagai hambatan dalam kegiatan perdagangan baik hambatan tarif (tariff-barrier) maupun hambatan non tarif (non-tariff barier=NTB). Negara-negara yang terlibat FTA memperdagangkan produk-produk orisinal dari negara-negara terkait dan tidak dipungut bea masuk atau bebas bea masuk. Dengan kata lain, “internal tariff” antara negara anggota menjadi 0 persen, sedangkan masing-masing negara memiliki “external tariff”. Dampak dibukanya perdagangan bebas tidak hanya akan dirasakan oleh ekonomi negara-negara yang bermitra, namun juga akan dirasakan oleh perekonomian dunia secara keseluruhan. Secara global, FTA mengakibatkan kesejahteraan dunia menurun, karena FTA akan mengintervensi dan mendistorsi pasar dunia.
9
Custom Union (CU) atau serikat kustom: negara-negara yang membentuk CU akan menetapkan tarif eksternal umum di antara negara-negara anggota, menyiratkan bahwa tarif yang sama diterapkan untuk negara-negara ketiga. Serikat kustom sangat berguna untuk tingkat daya saing dan mengatasi masalah re-ekspor (menggunakan tarif preferensial di satu negara untuk memasuki negara lain).
Common Market atau pasar umum: Di negara-negara yang membentuk CM, faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja dan modal, bebas untuk bergerak dalam negara-negara anggota, memperluas skala ekonomi dan keunggulan komparatif. Dengan demikian, seorang pekerja di sebuah negara anggota dapat berpindah dan bekerja di negara anggota lain.
Monetary Union atau serikat ekonomi. Negara-negara yang membentuk MU akan membuat kebijakan moneter dan fiskal yang harmonis, yang menunjukkan tingkat integrasi politik. Sebuah langkah lebih lanjut menyangkut serikat moneter di mana mata uang yang umum digunakan, seperti Uni Eropa (Euro).
Politcal Union atau serikat politik merupakan bentuk integrasi yang paling maju dengan pemerintah umum dan kedaulatan negara anggota berpotensi berkurang secara signifikan. Hanya ditemukan dalam negara bangsa, seperti federasi dimana pemerintah pusat dan daerah memiliki tingkat otonomi. Berdasarkan teori perdagangan internasional, perdagangan seharusnya akan meningkatkan kesejahteraan negara-negara yang melakukan perdagangan bebas, karena melalui perdagangan bebas akan terjadi peningkatan efisiensi penggunaan sumberdaya domestik dan akses pasar ke negara lain (Salvatore, 1997). Secara umum terdapat beberapa variabel ekonomi dunia yang meningkat seperti investasi global barang-barang kapital, volume perdagangan dunia, dan indeks harga perdagangan dunia. Peningkatan arus perdagangan sebagai akibat dibukanya tarif seluas-luasnya mengakibatkan peningkatan aliran barang-barang kapital untuk investasi volume perdagangan dunia. Peningkatan investasi global ternyata diikuti dengan tingkat pengembalian kapital yang negatif, sehingga secara keseluruhan akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan dunia. Pertimbangan statik dari integrasi ekonomi regional adalah dampak positif dan negatif terhadap perdagangan barang dan jasa di negara-negara anggota FTA. Dampak positif dan negatif dari integrasi ekonomi, masing-masing adalah 10
penciptaan perdagangan (trade creation) dan pengalihan perdagangan (trade
diversion) (Susanto et al, 2007). Sedangkan pertimbangan dinamik adalah skala ekonomi, peningkatan investasi dan peningkatan daya saing. Keputusan terakhir untuk bergabung pada kesepakatan regional tidak hanya tergantung pada pertimbangan ekonomi tetapi juga pertimbangan politik.
Trade creation adalah kondisi dimana produk domestik suatu negara yang melakukan integrasi ekonomi regional melalui pembentukan FTA dengan produk impor yang lebih murah dari anggota lain. Jika seluruh sumber daya digunakan secara full employment dan dengan melakukan spesialisasi berdasarkan comparative
advantage, masing-masing negara akan memperoleh dampak positif berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat karena memperoleh barang dengan harga yang relatif lebih murah. Efek positif dari trade creation ini bukan hanya berlaku untuk negara anggota, tetapi juga untuk negara lain yang bukan anggota karena adanya peningkatan spesialisasi produksi yang mendorong peningkatan impor dari negara lain (rest of
the world). Terjadinya penciptaan dan pengalihan perdagangan dapat diilustrasikan pada Gambar 2.1. (Salvatore, 1997). D1 dan S1 masing-masing merupakan kurva permintaan dan penawaran domestik untuk barang X dari negara 1, sedangkan kurva S2 merupakan kurva penawaran yang elastis sempurna dalam keadaan free
trade untuk barang X dari negara 2 (Rp 8). Dengan mengenakan tarif bea masuk 50%, negara 1 mengimpor 60 unit barang X atau AB dari negara 2, sehingga harga impornya menjadi Rp 12 atau kurva S2 + t. Produksi domestik negara 1 sebanyak 30 unit barang X atau OJ, sedangkan total konsumsi dalam negara 1 sebanyak 90 unit barang X atau OL. Kemudian negara 1 dan negara 3 membentuk integrasi ekonomi regional dalam bentuk FTA. Setelah membentuk FTA, Negara 1 mengimpor 80 unit barang X atau IL dari negara 3 tanpa bea masuk pada harga Rp 10 (kurva S1). Produk domestik negara 1 turun menjadi 20 unit barang X atau OI dan total konsumsi naik menjadi 110 unit barang X atau OL. Dengan pembentukan FTA, maka penerimaan bea masuk untuk negara 1 akan hilang, konsumen domestik akan memperoleh transfer dari produsen domestik sebesar area BEF yang merupakan kenaikan konsumen surplus. Penciptaan perdagangan dari FTA akan menyebabkan penurunan inefisiensi produksi (ACD) dan penurunan inefisiensi konsumsi (BEF). 11
Sedangkan dampak negatifnya adalah pengalihan perdagangan menyebabkan adanya tambahan biaya (DEHG) yang harus ditanggung karena tidak membeli barang dari negara yang menjual dengan harga yang paling murah. Pertimbangan pengaruh statis ini dipengaruhi oleh elastisitas penawaran dan permintaan serta tariff awal yang digunakan.
P S1
+t S3A +t 15 A C
j
B
12 D
S +t SA2 +t F
E
S3
10 H
G
I
J
K
20
30
8
O
90
S2 L
110
D1 Q
Gambar 2.1. Ilustrasi Pengalihan dan Penyimpangan Perdagangan 2.1.2. Hambatan Perdagangan Internasional Dalam kegiatan perdagangan internasional(antar-negara) sering kali suatu negara menghadapi berbagai hambatan berupa regulasi atau peraturan pemerintah yang membatasi perdagangan bebas. Hambatan perdagangan mengurangi efisiensi ekonomi. Pihak yang diuntungkan dari adanya hambatan perdangan internasional adalah produsen dan pemerintah. Produsen mendapatkan proteksi dari hambatan perdagangan, sementara pemerintah mendapatkan penghasilan dari bea – bea. Hambatan-hambatan perdagangan beragam bentuknya, dari pengenaan tariff sampai sampai hambatan non-tariff. Kedua bentuk hambatan perdagangan tersebut diberlakukan oleh negara-negara pengimpor maupun pengekspor dengan berbagai macam maksud dan tujuan.
Pengenaan tariff, peraturan teknis untuk alasan
keamanan dan pemberlakuan standar teknis merupakan bentuk-bentuk hambatan teknis perdagangan yang paling umum diberlakukan dalam melakukan impor. 12
Bentuk hambatan perdagangan yang paling umum diberlakukan adalah pengenaan pajak impor/ekspor dengan maksud untuk memperoleh pemasukan bagi pemerintah. Bentuk hambatan perdagangan berupa tariff yang muncul akibat adanya kebijakan ekspor-impor, antara lain: (1) Tariff Import: Tarif adalah pembebanan pajak (custom duties) terhadap barang-barang yang melewati batas kenegaraan. Tarif dapat digolongkan menjadi beberapa bagian, antara lain : (a) Bea ekspor, yaitu pajak atau bea yang dikenakan terhadap produk yang diangkut menuju negara lain; (b) Bea transit, yaitu pajak yang dikenakan terhadap produk yang melalui wilayah negara lain dengan ketentuan bahwa negara tersebut bukan merupakan tujuan akhir dari pengiriman; (c) Bea impor, yaitu pajak yang dikenakan terhadap produk yang masuk dalam suatu negara dengan ketentuan negara tersebut adalah merupakan tujuan akhir dari pengiriman produk; dan (d) Uang jaminan impor, yaitu persyaratan bagi importir suatu produk untuk membayar kepada pemerintah sejumlah uang tertentu pada saat kedatangan produk di pasar domestik sebelum penjualan dilakukan. Konsep proteksi produk dalam negeri melalui pengenaan pajak import untuk melemahkan daya saing produk-produk import di pasar domestic; dan (2) Tariff atau Pajak Ekspor: Pajak atau tariff ekspor pada umumnya juga dipungut atas produk yang diekspor dari hampir semua negara berkembang dengan maksud untuk memperoleh pemasukan bagi negara-negara tersebut, walaupun hal tersebut seringkali terbukti ‘kontra-produktif’ mengingat mengakibatkan penurunan tingkat keuntungan dan perdagangan produk, dan mendorong terjadinya penyelundupan. Selain hambatan berupa tariff terdapat juga hambatan non-tariff. Bentuk hambatan perdagangan non-tariff yang biasa diberlakukan sebagai berikut: (1) Kuota Impor yaitu kebijakan untuk membatasi banyaknya unit yang dapat diimpor. Tujuannya adalah untuk membatasi jumlah barang tersebut di pasar dan menaikkan harga produknya; (2) Subsidi yaitu bantuan pemerintah untuk produsen lokal. Subsidi dihasilkan dari pajak yang dipungut pemerintah dari rakyat; (3) Kontrol devisa: Negara – negara yang menggunakan kontrol devisa adalah negara dengan kinerja ekonomi yang lemah. Kontrol ini memungkinkan negara – negara yang ekonominya lebih stabil membatasi jumlah volatilitas nilai tukar mata uang yang masuk/keluar; 13
(4) State Trading Operation adalah pemerintah dalam perdagangan melakukan kegiatan ekspor; (5) Peraturan
untuk
alasan
kesehatan
dan
keamanan (health
and safety
regulations): Pemerintah biasanya mensyaratkan agar produk pertanian yang diimpor harus diperiksa sebelum diijinkan untuk memasuki negara-negara tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kontaminasi mikro-organisme yang dapat menghancurkan pertanian di negara tersebut.
Kepada negara
pengekspor biasanya dipersyaratkan untuk dapat memenuhi sertifikat phitosanitary atas produk yang dieksport. Walaupun penyimpangan perdagangan internasional pada umumnya disebabkan oleh pemberlakuan kebijakan ini, hal tersebut masih dapat diterima mengingat bahwa penetapannya didasarkan atas alasan untuk perlindungan kesehatan dan keamanan warga negara. Untuk itu pihak eksportir harus memenuhi persyaratan yang diminta negara pengimpor; (6) Pengendalian untuk perlindungan species (species protection controls) melalui penerapan The Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) mengatur perdagangan tanaman dan hewan. CITES menetapkan tiga daftar atau kategori yang dituangkan dalam tiga ‘Appendices’.
Appendix I
mencantumkan daftar spesies, sub spesies dan populasi yang dilarang untuk diekspor. Appendix II memuat daftar dari tanaman dan hewan yang perdagangannya diatur dengan mensyaratkan ijin ekspor yang diterbitkan oleh pemerintah yang berkompeten dan mempunyai kewenangan.
Ijin eksport
hanya diberikan apabila specimen yang akan diekspor tidak melanggar hukum (legal)
dan
ekspor
komoditi
tersebut
tidak
akan
membahayakan
keberlangsungan eksistensi spesies tanaman atau hewan tersebut. Appendix III berisi spesies yang menjadi subyek pengaturan di negara tertentu; (7) Pemberlakuan standar mutu dan standar teknis (Quality and technical
standards): Pemenuhan standar mutu dan standar teknis yang ditetapkan oleh negara tujuan merupakan salah satu faktor terpenting yang harus diperhatikan dalam mengekspor produk pertanian. Perlu diperhatikan bahwa untuk satu komoditi yang sama, standar atau kriteria mutu dan standar teknis seringkali berbeda dari satu negara ke negara yang lain. Khusus untuk produk-produk makanan, kebersihan, aroma, warna dan cara pengemasan seringkali juga 14
menjadi hambatan yang menyulitkan dalam perdagangan, apabila hal tersebut tidak diperhatikan. Negara-negara tertentu seringkali juga mensyaratkan pemenuhan terhadap ketetapan batas ambang kandungan zat-zat berbahaya seperti pestisida, herbisida, dan sebagainya.
Pada kasus seperti ini,
kesepakatan pembelian biasanya didasarkan pada analisa terhadap sample produk yang dikirimkan ke negara pembeli. Pengujian biasanya dilaksanakan oleh di laboratorium yang ditunjuk oleh pihak pembeli; (8) Kebijakan dan Kendali oleh Pemerintah. Kontrol suatu pemerintah atas pengumpulan, pemrosesan, penetapan harga dan mekanisme perdagangannya umum terjadi di negara-negara berkembang, dan cenderung untuk menyebabkan penyimpangan (distortion) dan mempengaruhi perdagangan internasional. Untuk itu perlu upaya meminimalkan terjadinya ‘campur tangan’ sepanjang hal tersebut dimungkinkan, karena perdagangan sesuai mekanisme pasar yang berlaku (market driven) oleh pihak swasta merupakan mekanisme perdagangan yang lebih efektif; (9) Larangan Import dan Boikot: Perdagangan dapat mengalami larangan import dan boikot, sebagaimana yang terjadi terhadap perdagangan kayu, mengingat bahwa hampir semua pihak, termasuk para pemerhati lingkungan, menilai bahwa dari sisi pandang secara ekonomi dan lingkungan, perdagangan hasil hutan bukan kayu akan mengurangi tekanan terhadap hutan, sehingga mendukung program pembangunan berkelanjutan. Hal ini justru dinilai sebagai salah satu solusi untuk menanggulangi permasalahan kerusakan hutan.
Pada gilirannya
upaya-upaya pelestarian hutan berdampak baik kepada kesempatan dan prospek untuk peningkatan perdagangan internasional (FAO, 1995). 2.1.3. Model Computable General Equilibrium Dampak positif dan negatif dari integrasi ekonomi dengan pendekatan keseimbangan
umum
(general
equilibrium)
memiliki
peran
penting
untuk
mengevaluasi dampak suatu kebijakan terhadap alokasi sumberdaya antar sektor ekonomi, sehingga kebijakan yang disusun untuk memberdayakan sektor-sektor ekonomi andalan dapat dilakukan secara efektif guna memperoleh hasil yang optimal. Kemampuan model CGE untuk mengkaitkan kinerja ekonomi makro dan 15
mikro dari suatu dampak kebijakan membuat model CGE dapat digunakan sebagai informasi dalam pengambilan kebijakan secara komprehensif (Dixon et al, 1992). CGE adalah sebuah model ekonomi yang biasa digunakan untuk mengestimasi berbagai scenario simulasi kebijakan. Seperti namanya, Computable berarti model ini ingin membangun sebuah kerangka analisis empiris dan evaluasi dari kebijakan ekonomi. General Equilibrium berarti simulasi ini mencoba menemukan equlibrium setelah adanya kebijakan atau shock bukan hanya di satu pasar, melainkan seluruh perekonomian. Model komputasi keseimbangan umum atau Computable General Equilibrium (CGE) merupakan sebuah pendekatan komprehensif yang merangkum model multimarket dan menggunakan keseimbangan pasar sebagai elemen dasar analisisnya. Sebuah model CGE menggambarkan agen-agen pelaku ekonomi dan prilakunya, sehingga membawa pasar-pasar yang berbeda ke dalam suatu keseimbangan. Pada formulasi model CGE, terdapat keterkaitan antar pelaku ekonomi, yaitu perusahaan atau industri, rumah tangga, investor, pemerintah, importir, eksportir dan antar pasar komoditi individual yang berbeda-beda. Seluruh pasar berada dalam keadaan ekuilibrium dan pasar tersebut mempunyai struktur yang spesifik untuk mencapai keseimbangan apabila terdapat guncangan pada salah satu pasar tertentu. Secara umum model CGE memuat persamaan-persamaan, variabel-variabel eksogen dan parameter, variabel-variabel endogen, dan bentuk-bentuk fungsi dari persamaan. Sistem persamaan dibentuk oleh subsistem-subsistem persamaan yang secara umum meliputi produksi, pasar input, faktor renumerasi, pendapatan disposable kelembagaan (rumah tangga dan pemerintah), tabungan dan investasi, permintaan produk, pasar eksternal, dan keseimbangan pasar produk (Sadoulet dan de Janvry, 1995). Persamaan-persamaan yang membentuk model CGE biasanya dikelompokkan menjadi blok-blok persamaan seperti blok produksi, blok konsumsi, blok ekspor-impor, blok investasi, dan blok kliring pasar. Dengan keunggulan
sitem
untuk
persamaan digunakan
yang
dalam
komprehensif, penelitian
ini.
model
Pertama,
CGE
memiliki
CGE
dapat
mensimulasikan fungsi dari pasar-pasar yang berada dalam perekonomian, termasuk pasar tenaga kerja, pasar modal, dan pasar komoditas, serta menyediakan 16
perspektif yang sangat bermanfaat mengenai perubahan yang terjadi dalam kondisi ekonomi melalui harga dan pasar. Kedua, sifat struktural dari model CGE dapat mengakomodir berbagai fenomena baru. Ketiga, model CGE mempertimbangkan seluruh kendala perekonomian secara luas. Keempat, karena model CGE terdiri dari sektor yang sangat detil, oleh karena itu model ini dapat digunakan sebagai "simulation laboratory" untuk menguji secara kuantitatif dampak dari kebijakan yang berbeda mempengaruhi kinerja dan struktur ekonomi. Kelima, model CGE secara teoritis dapat memberikan framework untuk menganalisis dampak Indonesia-India FTA terhadap sektor pertanian dan perekonomian Indonesia. Keenam, dalam model CGE, keputusan ekonomi merupakan hasil optimalisasi dari produsen dan konsumen dengan kerangka perekonomian secara luas dan koheren. Dengan demikian berbagai mekanisme substitusi ditetapkan, termasuk substitusi antar tenaga kerja, antara modal dan tenaga kerja, antara barang domestik dan barang impor, serta antara penjualan domestik dan ekspor. Semua itu terjadi sebagai respon terhadap variasi harga relatif (Sadoulet dan de Janvry, 1995). Selain memiliki beberapa keunggulan yang telah disebutkan sebelumnya, penggunaan model CGE ini memiliki beberapa kelemahan. Pendekatan ekonomi secara luas tidak cocok untuk menganalisis semua masalah. Dalam pengembangan gambaran komprehensif dari seluruh perekonomian, beberapa detail permasalahan seringkali dihilangkan. Jika detail yang sangat relevan dengan analisis itu dihilangkan, pendekatan jelas kurang cocok. Selain itu, asumsi-asumsi yang digunakan dalam pemodelan dapat berbeda dengan kondisi nyata, sehingga hasil yang diperoleh dari analisis model ini akan sepenuhnya berlaku jika kondisinya sesuai dengan asumsi yang diterapkan. Meskipun model CGE mengandung beberapa kelemahan, namun secara umum, model tersebut merupakan suatu alat analisis yang sering digunakan dan bermanfaat dalam menentukan sebuah pilihan kebijakan. Bahkan penerapan model CGE terutama di negara-negara maju semakin populer sejak pertengahan tahun 1980-an. Meningkatnya penggunaan model ini disebabkan keunggulannya dalam menganalisis dampak suatu guncangan atau kebijakan dan kemampuannya untuk mengatasi masalah agregasi sektoral dan regional dalam analisis perekonomian pada tingkat nasional. 17
Penerapan
model
ini
juga
telah
berkembang
dengan
pesat
pada
perekonomian negara berkembang bahkan pada tingkat perekonomian wilayah. Perkembangan ini didukung oleh konstruksi tabel IO dan SAM baik pada tingkat perekonomian
nasional
maupun
wilayah.
Selain
itu
didukung
pula
oleh
perkembangan yang sangat pesat dalam perangkat lunak paket program komputer untuk kepentingan konstruksi data base dan penyelesaian masalah keseimbangan umum. Selain program GAMS, dewasa ini telah berkembang paket program GEMPACK yang telah digunakan secara sangat luas dikalangan peneliti dalam penyelesaian model keseimbangan umum. Dewasa ini telah berkembang berbagai tipe dan aplikasi Model CGE. Banyak aplikasi model CGE yang muncul selama tiga dekade belakangan ini yang dapat dikategorikan dalam kaitannya dengan ruang lingkup dan daya tarik isu, diantaranya: single versus multicountry/regional CGE Models; single-period versus
dynamic CGE models; nonfinancial (real economy) versus financial CGE models; national versus village CGE models. Khusus untuk model multiregional CGE, yang paling terkenal adalah CGE model yang merepresentasikan perekonomian dunia, yaitu Global Trade Analysis Project (GTAP) Model. 2.1.4. Global Trade Analysis Project (GTAP) Model Model GTAP merupakan aplikasi CGE model untuk kasus multi region dan
multi commodities yang dibangun dengan dasar teori-teori mikroekonomi, dimana perilaku-perilaku di masing-masing agen ekonomi (behavioral parameters) dijelaskan secara detail (Varian, 1992). Parameter dan data base (I-O) yang digunakan dalam GTAP selalu diupdate, sehingga hasil analisis model GTAP dapat terpertahankan kekiniannya. Pada model GTAP secara eksplisit dilakukan permodelan pada margin transport internasional. Suatu lembaga keuangan global juga dibentuk dalam model sebagai intermediasi dari investasi dan tabungan. Sistem permintaan konsumen diduga dengan menggunakan Constant Difference of elasticities (CDE) untuk menganalisis kepekaan terhadap perbedaan harga dan pendapatan antar negara (Hertel, et al, 2001). Selain itu, aliran barang dalam perdagangan internasional mengikuti model Armington (Armington, 1969) dimana setiap produk dibedakan berdasarkan asal negara. Setiap barang diasumsikan sebagai substitusi yang tidak 18
sempurna satu dengan lainnya, untuk komoditas yang diproduksi di dalam negeri. Dengan asumsi ini, model dapat menghitung aliran perdagangan antar dua negara (Baldwin dan Venables, 1995). Secara umum, struktur dasar model GTAP dapat dilihat pada Gambar 2.2. Pada bagian atas dari diagram terdapat rumah tangga regional yang menyediakan faktor produksi endowment dalam bentuk faktor-faktor produksi utama, seperti lahan, tenaga kerja dan modal. Faktor produksi tersebut akan dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menghasilkan barang dan jasa. Arus “penjualan” faktor produksi rumah tangga swasta ke produsen menjadi sumber pendapatan bagi rumah tangga regional. Dengan demikian sumber pendapatan rumah tangga regional diasumsikan hanya dari “penjualan” faktor endowment (tenaga kerja, lahan, modal) kepada perusahaan. Sementara, pengeluaran rumah tangga regional berdasarkan pada agregat fungsi utilitas (kepuasan), dimana pengeluaran dialokasikan pada tiga kategori yaitu rumah tangga swasta (private), pemerintah dan tabungan, dan arus pengeluaran rumah tangga swasta.
Sumber: Brockmeier (1996) Gambar 2.2. Aliran Nilai Barang di dalam model ekonomi terbuka tanpa intervenssi pemerintah 19
Rumah tangga regional membelanjakan pendapatannya untuk barang-barang domestik dan impor. Demikian pula pemerintah membelanjakan pendapatannya untuk menghasilkan barang dan jasa.
perusahaan. Dalam pengertian ekonomi,
produsen merupakan pengguna input intermediate dan faktor endowment yang menghasilkan output barang dan jasa Perusahaan yang berperilaku sebagai produsen akan menggunakan input intermediate dan faktor endowment untuk menghasilkan output barang dan jasa. Perusahaan juga menggunakan impor produk antara dan ekspor komoditas ke Rest of the World (ROW). Struktur ekonomi ROW diasumsikan identik dengan ekonomi domestik. Dengan dibukanya hubungan perdagangan dengan luar, maka terdapat sumber impor yang masuk ke domestik dan juga merupakan tujuan ekspor. Selain itu, di dalam model GTAP, terdapat sektor transportasi global dalam kegiatan perdagangan internasional. Aktivitas ini menimbulkan adanya perbedaan nilai, untuk eskpor terlihat pada nilai FOB, dan untuk impor pada CIF. Produsen, melakukan
disamping
investasi
yang
memproduksi dikumpulkan
barang oleh
untuk
bank
permintaan
global
dan
akhir,
kemudian
didistribusikan kepada rumah tangga regional dalam bentuk saham atau portofolio global. Oleh karena itu, di dalam model GTAP, juga diasumsikan penjualan dari barang Investasi dibiayai dari tabungan rumah tangga regional sehingga terdapat arus pendapatan produsen dari tabungan. Selanjutnya model GTAP tersebut akan dihubungkan dengan model CGE
inter-regional atau model IndoTerm melalui beberapa variabel exsogenous. Umumnya sistem persamaan yang digunakan dalam model CGE inter-regional adalah non linear. Namun, solusi model dilakukan dengan melinierisasi setiap persamaan dengan cara menyatakan semua variabel dalam bentuk pertumbuhan (perubahan persentase). Persamaan yang dilinearkan terdiri dari koefiesien yang equivalen dengan persamaan non linear. Pada dasarnya, persamaan-persamaan tersebut menggambarkan perilaku mikro ekonomi dengan asumsi-asumsi, antara lain: (1) semua pelaku ekonomi melakukan optimisasi dalam menentukan berbagai keputusan ekonomi; (2) terjadi equilibrium (market clearing) baik di pasar barang maupun pasar tenaga kerja, dan pasar-pasar tersebut adalah pasar kompetitif. 20
Model inter-regional CGE ini juga memiliki closure, yaitu penentuan variablevariabel yang sifatnya endogen dan eksogen. Ini diperlukan agar jumlah variabel endogen sama dengan jumlah persamaannya. Dalam model ini, variabel eksogen meliputi: (1) variabel perubahan teknis (technical change variables), (2) variabel tingkat pajak (tax rate variables), (3) rumah tangga pemasok input faktor/household
supplies of factors (tenaga kerja, tanah dan modal) dan jumlah rumah tangga, (4) harga luar negeri; (5) nilai tukar (the exchange rate) yang merupakan numeraire, yaitu harga relatif sehingga bukan harga absolut; dan (6) pengeluaran subsisten rumah tangga.
2.2.
Hasil-hasil Penelitian Terkait
2.2.1. Kebijakan Perdagangan dan Pertanian India Pada tahun 2013, Pemerintah India mengambil langkah proteksi yang bisa menghambat ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) asal Indonesia ke negara tersebut. India menetapkan harga dasar baru untuk impor CPO sebesar US$ 802 per ton.
Kebijakan tersebut membuat harga impor CPO menjadi lebih
mahal. Pemerintah India berusaha untuk melindungi petani minyak biji domestik dari murahnya impor CPO dari Asia Tenggara (www.infosawit.com). Pemerintah India selama ini telah menetapkan harga patokan dasar CPO sebesar US$ 447 per ton yang tidak berubah sejak 2006. India kemudian mencabut pembekuan kebijakan yang sudah bertahan selama enam tahun tersebut pada Januari 2013. Hal ini sebagai upaya menekan laju impor minyak nabati, termasuk CPO, dari Indonesia dan Malaysia. Kebijakan Pemerintah India ini merugikan pengusaha sawit Indonesia yang tergabung dalam GAPKI, sehingga meminta pemerintah Indonesia supaya lebih terbuka dan fleksibel dengan perubahan kebijakan perdagangan pada komoditas CPO. Indonesia dihadapkan pada dua kebijakan baru dari Malaysia yang kembali menetapkan bea ekspor CPO sebesar 0% sejak Februari 2013, serta India yang akan mengenakan bea impor CPO sebesar 2,5%. Bila kedua kebijakan tersebut diterapkan akan mempengaruhi ekspor CPO nasional. Hal ini dapat terjadi karena Malaysia, sebagai negara pesaing Indonesia, dapat menjual CPO dengan harga yang lebih
21
rendah dibandingkan dengan harga sebelum Februari 2013. Selain itu, penerapan bea impor oleh India akan menurunkan permintaan impor yang dapat berarti juga mengurangi ekspor CPO Indonesia. Dengan demikian, CPO menghadapi persaingan harga yang lebih rendah dengan Malaysia (eksportir pesaing) dan harga tinggi di pasar India karena terkena tariff biaya masuk. Dengan sikap yang lebih fleksibel dan antisipatif akan membantu ekspor CPO Indonesia tetap tumbuh karena selama ini CPO menjadi andalan ekspor komoditas nasional dan India menjadi pasar utama ekspor CPO Indonesia. Pada saat ini, konsumsi minyak nabati di India mencapai sekitar 19 juta ton/tahun. Tahun 2012, India mengimpor sekitar 7,7 juta ton CPO, dimana sebanyak 6,1 juta berupa CPO dan sisanya adalah palm olein. Sekitar 2,6 juta ton dari total impor CPO India berasal dari Malaysia dan sisanya diimpor dari Indonesia (www.infosawit.com). 2.2.2. Prospek Kesepakatan Kerjasama Perdagangan Kesepakatan perjanjian perdagangan bebas bilateral antara India dan Indonesia merupakan pengembangan dari kesepakatan perdagangan antara ASEAN dengan India (ASEAN-India Free Trade Agreement/AIFTA). Kerjasama perdagangan bebas bilateral India dan Indonesia diawali dengan penandatanganan MoU pada November 2005 dalam kerangka CECA (Comprehensive Economic Cooperation
Agreement). Hasil kajian bersama (Joint Study Group/JSG) pada tahun 2009 menyatakan bahwa CECA berpotensi meningkatkan ekspor non migas kedua negara. Hasil simulasi dengan menggunakan model keseimbangan umum (Computable
General Equilibrium/ CGE) menunjukkan bahwa pada tahun 2020 ekspor Indonesia ke India diprediksi akan mencapai 9,7 miliar dolar AS sedangkan ekspor India ke Indonesia diperkirakan mencapai 7,8 miliar dolar AS. India adalah emerging market yang besar bagi Indonesia. India menduduki peringkat keempat sebagai negara tujuan ekspor non migas yaitu sebesar US$ 9,8 miliar pada 2010 dan tujuh bulan pertama pada 2011 mencapai US$ 136 miliar. Salah satu komoditi ekspor andalan Indonesia ke India adalah minyak kelapa sawit, sedangkan India ingin melakukan ekspor daging sapi ke Indonesia. Lebih lanjut JSG merekomendasikan pemerintahan masing-masing untuk meneruskan perundingan 22
CECA melalui pembentukan Trade Negotiating Committee (TNC). Bahkan Pemerintah Indonesia dan India menyepakati pencapaian target volume perdagangan antara kedua negara sebesar US$ 25 miliar atau sekitar Rp 223,21 triliun hingga 2015. Kerjasama ini juga dikembangkan dengan membentuk dua working group yaitu
working group on trade investment dan working group on trade facilitation and resolution yang bertujuan untuk lebih meningkatkan laju perdagangan bilateral. Jumlah penduduk India yang besar dan penguasaan teknologi informasi dapat menjadi potensi pasar ekspor komoditas pertanian Indonesia di masa yang akan datang. Sepanjang semester pertama 2011, ekspor Indonesia ke India tercatat 8,9 milliar dollar AS atau naik 55,03 persen dibandingkan dengan 2010. Ekspor ke India hingga Agustus 2011 mencapai seperempat dari total ekspor Indonesia ke 10 negara utama. Komoditas ekspor Indonesia ke India selama ini didominasi oleh hasil industri dan pertambangan. Saat ini India telah menjadi pusat pertumbuhan di benua Asia selain China. India masuk dalam kelompok lima negara BRICS-Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan yang pertumbuhan ekonominya tercatat cukup tinggi, sekitar 8 persen di tahun 2009 dan 2010, lebih tinggi dari Indonesia yang tumbuh di kisaran 6 persen (Soesastro, 2009). Untuk mengetahui prospek kesepakatan kerjasama perdagangan penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya (Luz et al, 2011; Noelia dan Martín, 2008; Carlos P. B. dan N. Peypoch, 2007; Nuno dan Fontoura, 2010; Rudy dan Ichihashi, 2012) menggunakan dekomposisi perubahan volume ekspor dengan model Constant Market Share (CMS). 2.2.3. Hambatam Peningkatan Ekspor Indonesia Berdasarkan laporan Kementerian Perdagangan pada 2011 Indonesia yang menghadapi 219 kasus yang terdiri dari 175 tuduhan dumping, 14 tuduhan subsidi dan 29 tuduhan safeguard. Tuduhan hambatan itu berasal dari negara-negara Uni Eropa sebanyak 27 kasus, India 27 kasus, Amerika Serikat 23 kasus, Australia 21kasus, Turki 17 kasus, Afrika Selatan 14 kasus, Filipina 10 kasus dan sisanya dibawah 10 kasus dari beberapa negara lain seperti Selandia Baru, Malaysia, China, Brazil, Thailand dan Meksiko. Tuduhan ini menunjukan penggunaan instrumen 23
pengamanan perdagangan internasional berupa tuduhan dumping, subsidi dan safeguard sudah banyak dilakukan negara maju dan berkembang. Kementerian Perdagangan telah memroses 20 kasus dumping, 95 kasus dikenakan bea masuk anti dumping dan 103 kasus dihentikan penyelidikannya. Studi Hutabarat (2007) menunjukkan bahwa dampak pengurangan hambatan ekspor berupa pemotongan tarif oleh China terhadap produk ekspor Indonesia menunjukkan hasil yang positif terhadap ekspor bersih, PDB dan kesejahteraan Indonesia.
Dampak
kesepakatan
perdagangan
Indonesia-China
terhadap
peningkatan produksi pertanian Indonesia mencapai 2,12 persen, pertumbuhan produksi dari kerjasama ASEAN mencapai 6,22 persen, peningkatan ekspor pertanian mencapai 82,85 persen, Sedangkan pada kesepakatan perdagangan bebas
ASEAN maka ekspor pertanian akan meningkat sebesar 3,32 persen. Dampak kesepakatan perdagangan Indonesia-China meningkatkan impor Indonesia sebesar 21,19 persen. 2.2.4. Potensi Dampak Perekonomian
Perjanjian
Perdagangan
Bebas
Terhadap
Kesepakatan Indonesia-India FTA akan memberi dampak positif dan negatif bagi kinerja pertanianian di kedua negara. Indonesia akan menikmati penghapusan bea masuk atas 70,14% pos tarif India (3.666 tariff lines) pada tahun 2013 dan meningkat menjadi 79,35% pos tarif (4.145 tariff lines) pada tahun 2016. Sebanyak 94,75% dari ekspor Indonesia ke India (US$ 2.6 milyar) akan menikmati peningkatan akses pasar dalam 10 tahun ke depan, termasuk CPO dan RPO (refined
palm oil) yang merupakan komoditas utama Indonesia ke pasar India (Kementerian Perdagangan, 2010). India secara bertahap akan menurunkan bea masuk atas CPO dan RPO masing-masing dari 80% dan 90% menjadi 37,5% dan 45% selama periode 20092018 (Kementerian Perdagangan, 2010). Hal ini merupakan keuntungan bagi Indonesia mengingat kedua produk andalan Indonesia tersebut akan memperoleh
actual market access sampai dengan tahun 2018. Beberapa produk ekspor pertanian Indonesia yang akan menikmati tarif 0% di India adalah binatang hidup, daging hewan, kacang mede, produk perikanan, 24
susu, mentega, telur, produk hewani, pohon hidup dan bunga potong, sayuran, buah-buahan, kopi, teh, rempah, biji-bijian, getah-getahan,karet, lemak dan minyak nabati, produk daging dan ikan, gula dan kembang gula, dan coklat. Terdapat beberapa cara untuk mengukur potensi dampak perjanjian perdagangan bebas terhadap perekonomian secara keseluruhan ataupun sektoral, yaitu: Pertama menggunakan pendekatan ekonometrik model gravity dengan menggunakan data, antara lain, PDB, jarak, nilai tukar dan volume perdagangan seperti kajian yang telah dilakukan oleh Bary (2010); Slootmaekers (2004); Insel dan Mahmut (2010); Krueger (1999) dan Plummer et al. (2010). Kedua dengan menggunakan Computable General Equilibrium Model (CGE) dengan memanfaatkan data input-output dari Global Trade Analysis Project (GTAP), seperti kajian yang telah dilakukan oleh Hutabarat et al, (2007); Jafari dan Othman (2010) dan Othman dan Jafari (2010). Ketiga menggunakan Model Faktor Proporsi atau Factor
Proportion Model, (FPM) seperti kajian yang telah dilakukan oleh Toledo (2007) dan Toledo (2010). Kajian tentang perdagangan dan pertumbuhan ekonomi makro maupun sektoral dalam perspektif perjanjian perdagangan bebas telah dilakukan oleh Baldwin (2006); Tumbarello (2007); dan Bhagwati (2008). Pada umumnya kajian ini menyimpulkan bahwa perjanjian FTA memberikan dampak positif, sekurangkurangnya terhadap jumlah perdagangan dan aktivitas ekonomi kedua Negara yang melakukan kesepakatan FTA.
25
III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Perdagangan bebas adalah salah satu instrumen penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara yang pada gilirannya akan menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Agar semua negara dapat merasakan manfaat yang sebesar-besarnya dari perdagangan bebas, system perdagangan diatur sedemikian rupa sehingga sifatnya transparan, predictable, equitable, dan bebas. Pada dasarnya, Indonesia dan India memproduksi jenis komoditi pertanian yang hampir sama karena mempunyai kondisi iklim yang hampir sama. Oleh karena itu, perlu identifikasi produk pertanian yang potensial (Gambar 3.1). Manfaat integrasi perdagangan sangat tergantung pada daya saing komoditi pertanian Indonesia, keterkaitan perdagangan antar negara dan produk ekspor dinamis. Produk Ekspor Dinamis (Export Product Dynamic) adalah produk yang kompetitif dan dinamis (pertumbuhannya cepat) dalam ekspor suatu negara. Metode yang paling sering digunakan untuk mengidentifikasi produk-produk dinamis adalah dengan memilih produk-produk berdasarkan tingkat pertumbuhannya selama periode yang ditetapkan (Karina, 2009).
Untuk komoditi yang merupakan komoditi pangan utama masyarakat Indonesia yang selama ini diimpor dalam jumlah sangat besar, mempunyai dimensi ketahanan (atau kerawanan) pangan nasional dan kesempatan kerja, serta melibatkan jutaan petani miskin, pemerintah tidak membiarkan komoditi itu terancam sustainabilitasnya. Oleh karena itu, perlu diketahui komoditi yang prospektif untuk ditingkatkan nilai dan volume ekspornya. Implementasi kesepakatan perdagangan bebas diperkirakan akan berdampak pada makro ekonomi (GDP, konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan ekspor bersih) dan sektoral ekonomi (ekspor, impor, output, harga dan kesempatan kerja), serta mikro ekonomi (harga domestik, jumlah produksi, dan pendapatan petani). Bagi komoditi ekspor, makin terbukanya pasar internasional akan mendorong ekspor Indonesia ke negara tersebut, yang selanjutnya dapat mendorong produksi dalam negeri dan meningkatkan pendapatan petani. Pada saat yang sama, Indonesia juga harus membuka pasarnya bagi komoditi pertanian yang berasal dari negara mitra. Oleh karena itu, petani domestik harus dapat berkompetisi dengan 26
produk impor yang harganya lebih rendah. Jika produk domestik tidak dihasilkan dengan yang efisien dan efektif maka ada kemungkinan besar produk yang dihasilkan oleh petani tidak dapat bersaing dengan produk impor.
Kinerja Perdagangan Indonesia
Potensial Produk Ekspor dan Imporr
Daya saing produk Indonesia di India
Analisis Kendala dan Hambatan Ekspor
Perdagangan Antara Indonesia –India
Simulasi Dampak Indonesia-India FTA
Dampak Ekonomi Bagi Indonesia
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian 3.2. Ruang Lingkup Kegiatan Kegiatan
penelitian
difokuskan
pada
hasil
kesepakatan
kerjasama
perdagangan Indonesia-India yang diharapkan akan mendorong peningkatan ekspor Indonesia. Oleh karena itu, komoditas yang akan dianalisis adalah komoditas utama ekspor dan impor Indonesia ke dan dari India, yaitu bawang merah, kelapa sawit, karet, lada dan kopi. Berdasarkan komoditas yang akan dianalisis maka dipilih lima provinsi lokasi penelitian. Kelima lokasi penelitian tersebut adalah: (1) Jawa Tengah, sebagai daerah sentra produksi bawang merah; (2) Sumatera Utara, sebagai daerah sentra produksi kelapa sawit; (3) Bangka Belitung, sebagai daerah sentra produksi 27
rempah (lada), (4) Kalimantan Timur, sebagai daerah sentra produksi karet dan (5) Bali, sebagai daerah sentra produksi kopi. Tujuan penelitian akan dicapai melalui empat kegiatan pokok, yaitu: (1) Mengidentifikasi kebijakan perdagangan, kebijakan pertanian dan potential komoditi terkait dengan Indonesia-India FTA. Tujuan ini dilakukan melalui kegiatan sebagai berikut: (a) mereview kebijakan perdagangan dan pertanian negara India, terkait dengan komoditas kelapa sawit, kopi, karet, lada dan bawang merah; dan (b) melakukan survey di tingkat instansi/stakeholders dan pelaku usaha (mulai dari petani sampai eksportir) untuk mengetahui persepsi dan dampak kesepakatan Indonesia-India FTA terhadap pelaku usaha; (2) Menganalisis prospek kesepakatan Indonesia-India FTA terhadap perdagangan komoditas utama Indonesia ke India. Tujuan ini dilakukan melalui analisis daya saing ekspor Indonesia dibandingkan dengan negara pengekspor pesaing lain di pasar India. Ini dilakukan dengan menggunakan analisis pangsa pasar konstan; (3) Mengidentifikasi faktor-faktor penghambat peningkatan ekspor Indonesia ke India. Tujuan ini dilakukan melalui kegiatan sebagai berikut: (a) melakukan survey di tingkat instansi/stakeholders dan pelaku usaha, mulai dari kelompok tani sampai eksportir; dan (b) mengidentifikasi jenis hambatan perdagangan antara Indonesia dengan India; dan (4) Menganalisis potensi
dampak
kesepakatan
Indonesia-India
FTA
terhadap
perekonomian
Indonesia. Tujuan ini dilakukan melalui kegiatan sebagai berikut: (a) mengestimasi dampak kesepakatan Indonesia-India FTA terhadap kinerja perdagangan dengan menggunakan model gravity; (b) mengidentifikasi kesepakatan perdagangan antara Indonesia dengan India; dan (c) simulasi kesepakatan perdagangan antara Indonesia dengan India dengan menggunakan model keseimbangan umum (CGE GTAP). 3.3. Lokasi Penelitian dan Responden 3.3.1. Dasar Pertimbangan Lokasi penelitian adalah desa dimana petaninya menanam komoditas yang dominan diperdagangkan dengan India. Komoditas yang dipilih adalah kelapa sawit, karet, bawang merah , kopi dan lada. Provinsi yang akan dipilih sebagai lokasi penelitian dapat mewakili sentra produksi dan perdagangan. Untuk penghimpunan 28
dokumen dan data awal dilakukan pada tingkat pusat. Lokasi penelitian tersebut adalah Propinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Bangka Belitung, Kalimantan Timur dan Bali. Dari masing-masing provinsi akan dipilih Kabupaten sebagai sentra produk komoditas terpilih. Responden pada penelitian ini adalah Instansi yang terkait dengan bidang kajian dari pusat-daerah (Pusat, Provinsi, Kabupaten), kelompok produsen kelapa sawit, kelompok produsen karet, kelompok produsen bawang merah, kelompok produsen kopi dan kelompok produsen lada, pedagang, eksportir dan informan kunci di desa, kabupaten dan provinsi serta pihak-pihak lain yang terkait. 3.3.2. Lokasi dan Responden Berdasarkan justifikasi pemilihan lokasi maka dipilih lima provinsi lokasi penelitian. Kelima lokasi penelitian tersebut adalah: (1) Jawa Tengah, sebagai daerah sentra produksi bawang merah; (2) Sumatera Utara, sebagai daerah sentra produksi kelapa sawit, (3) Kalimantan Timur, sebagai daerah sentra produksi karet; (4) Bangka Belitung, sebagai daerah sentra produksi rempah (lada), dan (4) Bali, sebagai daerah sentra produksi kopi. Rincian jenis dan jumlah responden pada penelitian ini disajikan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1.
Responden Penelitian
Propinsi Jawa Tengah Sumatera Utara Bangka Belitung Kalimantan Timur Bali Total
Komoditi Bawang Kelapa sawit Lada Karet Kopi
Jumlah sampel Instansi Kelompok Eksportir/ Pedagang terkait tani importir 2 5 5 4 2 5 5 4 2 5 5 4 2 5 5 4 2 5 5 4 10 25 25 20
Total 16 16 16 16 16 80
Data dan informasi yang digunakan dalam penelitian ini mencakup data dan informasi sekunder dan primer. Data sekunder, antara lain, berupa berupa data perdagangan (ekspor-impor), harga, nilai tukar, jarak antar Negara dan GDP dikumpulkan dari berbagai sumber yaitu organisasi internasional, instansi pusat dan 29
daerah, serta sumber lainnya yang relevan. Data primer mencakup data dan informasi tentang perdagangan dan usahatani diperoleh dari pedagang, asosiasi ekportir/importir dan kelompok petani. 3.4. Data dan Metode Analisis 3.4.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder mencakup data, antara lain, tentang jarak antar negara produksi, luas negara, impor, ekspor, nilai tukar, dan PDB serta dokumen berupa kesepakatan perdagangan dan pedoman terkait dengan Indonesia-India FTA dari berbagai instansi terkait. Jenis dan sumber data berdasarkan tujuan penelitian, disajikan pada Tabel 3.2. Tabel 3.2. Jenis dan Sumber Data Tujuan Penelitian 1. Identifikasi kebijakan perdagangan, kebijakan pertanian dan potensial komoditi yang terkait dengan Indonesia-India FTA 2. Kajian prospek IndonesiaIndia FTA terhadap perdagangan komoditas utama Indonesia.
Jenis Data 1. Dokumen regulasi perdagangan 2. Dokumen regulasi pertanian 3. Harga, impor, ekspor, dan tarif 4. Usahatani 1. Volume Ekspor 2. Nilai Ekspor
Sumber Data 1. Perwakilan Perdagangan Indonesia di India 2. Eksportir 3. Pedagang 4. Kelompok Petani 5. Instansi terkait 1. World Bank 2. UN Comtrade 3. Bank Indonesia 4. BPS
3. Identifikasi faktor-faktor hambatan ekspor
1. Data Primer
4. Analisis potensi dampak Indonesia-India FTA terhadap perekonomian Indonesia
1. Input-Output 2. SAM 3. Elastisitas permintaan 4. Elastisitas penawaran 5. Ekspor 6. Nilai Tukar 7. Populasi 8. Luas negara 9. PDB 10. Jarak antar negara Hasil Penelitian
1. 2. 3. 4. 1. 2.
5. Rekomendasi kebijakan perdagangan
Kelompok Tani Eksportir Pedagang Instansi terkait BPS Statistik Keuangan Internasional 3. Organisasi Internasional Terkait (UNCOMTRADE)
Hasil Peneliitian
Pengumpulan data sekunder dilakukan pada instansi dengan substansi, khususnya pada bidang yang menangani perdagangan. Data Sekunder diperoleh 30
melalui pendekatan Desk Studi (review dokumen) dan penelusuran melalui internet. Untuk mengumpulkan informasi mengenai dampak Indonesia-India FTA terhadap kegiatan produksi dan perdagangan diperlukan data primer melalui wawancara dengan sejumlah responden di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan desa yang mencakup pejabat dan pelaku usaha. Data primer tersebut diperoleh melalui pendekatan survei dan penggalian data dari informan kunci, pedagang, eksportir, instansi terkait dan kelompok tani. 3.4.2. Metode Analisis Berdasarkan tujuan umum penelitian ini, yaitu untuk membuat rekomendasi rekomendasi kebijakan yang akan mendukung pembangunan sektor pertanian melalui kesepakatan Indonesia-India FTA, maka analisis data yang akan dilakukan dijelaskan sebagai berikut. Tujuan 1: Mengidentifikasi kebijakan perdagangan, kebijakan pertanian dan potensial komoditi terkait dengan Indonesia-India FTA Melakukan identifikasi kebijakan perdagangan dan kebijakan pertanian yang akan mempengaruhi kinerja perdagangan dan usahatani komoditi yang terkait dengan FTA Indonesia-India, yaitu kelapa sawit, kopi, karet, lada dan bawang merah. Hal ini akan dilakukan dengan analisis deskriptif untuk data primer dan sekunder tentang kesepakatan Indonesia-India FTA. Tujuan 2: Menganalisis prospek Indonesia-India FTA terhadap perdagangan komoditas utama Indonesia. Analisis tentang prospek Indonesia-India FTA akan dilakukan dengan analisis dayasaing komoditi ekspor Indonesia di pasar India dengan pendekatan pangsa pasar konstan (CMSA) yang dilakukan melalui dekomposisi perubahan volume ekspor. Dekomposisi perubahan volume ekspor dengan model CMS seperti yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya (Luz et al, 2011; Noelia dan Martín, 2008; Carlos dan Peypoch, 2007; Nuno dan Fontoura, 2010; Rudy dan Ichihashi, 2012). Model pangsa pasar konstan mendekomposisi perubahan ekspor menjadi beberapa komponen, yaitu: (1) peningkatan ekspor dunia, (2) komposisi komoditas, 31
(3) Komposisi pasar, dan (4) residual yang menunjukkan selisih antara perubahan ekspor aktual suatu negara dan perubahan yang dihipotesiskan oleh CMS. Analisis perubahan ekspor pada periode sebelum dan sesudah dilakukan kesepakatan Indonesia-India FTA. Oleh karena itu, periode analisis adalah tahun 2000-2011 yang kemudian dibagi menjadi 2 sub periode, yaitu pada periode 2000-2005 dan periode 2006-2011, agar dapat diketahui daya saing produk ekspor Indonesia di pasar India dibandingkan dengan negara pesaing eksportir lainnya. Model CMS dapat ditulis sebagai berikut (Fleming and Tsiang, 1956): ∆Q = ∑I∑J S0IJ∆QIJ + ∑I∑J Q0IJ∆SIJ + ∆SIJ∆QIJ (1) (2) (3) dimana: S ∆Q I j
(1)
= pangsa pasar ekspor negara produsen utama dengan jumlah ekspor q dan total ekspor dunia Q; = perubahan volume; = komoditas I; = pasar tujuan j.
Komponen (1) adalah efek struktural, (2) efek kompetitif, dan (3) efek ordokedua. Persamaan (1) dapat didekomposisi lebih lanjut (tahap kedua) menjadi: ∆Q = S0∆Q + (∑I∑JS0IJ∆QIJ - ∑IS0I∆QI) + (∑I∑JS0IJ∆QIJ - ∑JS0J∆QJ) (1A) (1B) (1C) + [(∑IS0I∆QI - S0∆Q) - (∑I∑JS0IJ∆QIJ + ∑JS0J∆QJ)] (1D) + ∆SQ0+ (∑I∑J∆SIJQ0IJ - ∆SQ0) + (Q1/Q0 -1)∑I∑J∆SIJQ0IJ (2A) (2B) (3A) + [∑I∑J∆SIJ∆QIJ - (Q1/Q0-1) ∑I∑J∆SIJQ0IJ] (3B) Indek 0 untuk tahun dasar dan 1 untuk tahun terminal. Persamaan
(2) (2)
menunjukkan dekomposisi efek struktural dibagi menjadi (1A) efek pertumbuhan, (1B) efek Komposisi pasar, (1C) efek komposisi komoditas, dan (1D) efek interaksi struktural. Sedangkan efek kompetitif dipisah menjadi (2A) efek kompetitif umum, dan (2B) efek kompetitif spesifik. Serta efek ordo kedua dibagi menjadi (3A) efek ordo kedua murni, dan (3B) efek struktural residual dinamis.
32
Kontribusi negatif efek kompetitif merefleksikan kegagalan mempertahankan pangsa pasar. Jika permintaan ekspor dapat digambarkan dengan persamaan (1), maka komponen residual ini terkait dengan peningkatan harga relatif (p1/p2). Namun persamaan
(1)
mengabaikan
pengaruh lainnya yang
dapat
mempengaruhi
kemampuan mengekspor suatu negara, yaitu: (i) perbedaan laju inflasi harga ekspor, (ii) perbedaan laju perbaikan kualitas dan pengembangan ekspor, (iii) perbedaan laju perbaikan pemasaran, dan (iv) perbedaan kemampuan memenuhi ekspor (Fleming and Tsiang, 1956). Analisis CMS mempunyai beberapa keterbatasan, yaitu: (i) persamaan yang digunakan sebagai dasar untuk mendekomposisi pertumbuhan ekspor adalah suatu persamaan identitas sehingga penjelasan dari perubahan daya saing ekspor tidak dapat hanya dievaluasi dengan menggunakan analisis CMS saja, (ii) analisis hanya membandingkan daya saing ekspor antara dua titik waktu sehingga tidak dapat menjelaskan perubahan daya saing selama periode dua titik waktu tersebut, oleh karena itu perlu dilakukan analisis sub-periode, dan (iii) metode CMS sensitif terhadap penentuan tahun dasar. Tingkat analisis dan disagregasi yang sesuai berdasarkan komoditas dan wilayah tergantung pada pasar dimana hubungan elastisitas substitusi kemungkinan besar dapat terpenuhi. Kompetisi kemungkinan akan lebih kecil antar berbagai negara dan wilayah, serta pilihan yang sesuai untuk negara-negara pengekspor pesaing relatif terbatas. Namun demikian, pendekatan CMS terbukti cukup berguna untuk menunjukkan arah daya saing ekspor relatif suatu negara (Fleming and Tsiang, 1956; Mohammad dan Habibah, 1993).
Tujuan 3: Mengidentifikasi faktor-faktor penghambat peningkatan ekspor Indonesia ke India Identifikasi hambatan ekspor mulai dari tingkat petani sampai eksportir, terutama hambatan yang dihadapi oleh eksportir Indonesia pada saat melakukan ekspor ke India, terkait dengan hambatan tariff dan non-tarif, akan dilakukan dengan analisis secara deskriptif kualitatif. Tujuan 4: Menganalisis potensi dampak Indonesia-India FTA terhadap sektor pertanian dan perekonomian Indonesia 33
Analisis potensi dampak FTA Indonesia-India terhadap perekonomian Indonesia akan dilakukan dengan cara mengestimasi model gravity dan analisis keseimbangan umum (general equilibrium) atas penerapan kebijakan perdagangan India untuk komoditas Indonesia. Model CGE mengkaitkan kinerja ekonomi makro dan mikro sehingga model CGE dapat digunakan untuk mengestimasi dampak suatu kebijakan atau gunjangan perdagangan terhadap ekonomi suatu negara secara komprehensif. Pendekatan ini penting dilakukan karena penelitian ini ingin mengetahui potensi dampak Indonesia-India FTA terhadap semua sektor dalam perekonomian Indonesia.
Model Graviti Kajian ini menganalisis data perdagangan komoditas terkait antara Indonesia dengan India, ASEAN (Brunei Darussalam, Cambodia, Laos, Philippines, Singapore, Thailand, Burma, Malaysia and Viet Nam), China, Jepang, Amerika, dan Inggris dari tahun 1980 - 2011. Peubah yang digunakan dalam kajian ini terdiri dari data PDB, jumlah impor, jumlah ekspor, populasi, jarak antara negara, dan luas negara dalam kilometer persegi. Hal ini dilakukan karena menurut Frankel (1997), persamaan graviti perlu diberi penekanan kepada faktor lain yang terdiri dari faktor geografi seperti jarak antara Negara dan jumlah populasi yang juga memainkan peranan sebagai penentu perdagangan dua negara. Secara umum, model graviti ditulis seperti berikut (Insel dan Mahmut, 2010): ln Tij = αi + β1 lnYit + β2 lnYjt + β3 ln Pijt + β4 Dij + μijt
(3)
Di mana; Tij = Jumlah perdagangan dua negara (impor dan ekspor) antara negara i dan j Yit = GDP Indonesia Yjt = GDP negara mitra Pijt = Jumlah Populasi penduduk antara negara i dan j Dij = Jarak antara negara i dan j μijt = galat Dalam kajian ini, untuk melihat dampak perdagangan antara Indonesia dengan India, model graviti umum ditambahkan beberapa peubah dummy, yaitu Negara yang mempunyai FTA dengan Indonesia (NFTA). Peubah dummy yang kedua adalah negara selain India (NIND). Model graviti dalam kajian ini diguna 34
untuk mengestimasi persamaan volume perdagangan dua Negara (T), jumlah ekspor (X) dan jumlah import (M). ln Tij = αi + β1 lnYit + β2 lnYjt + β3 ln Pijt + β4 Dij + β5 Aij + β6 ln ERij +
β7 NFTA +β8 NIND
(4)
β7 NFTA + β8 NIND
(5)
β7 NFTA + β8 NIND
(6)
ln Xij = αi + β1 lnYit + β2 lnYjt + β3 ln Pijt + β4 Dij + β5 Aij + β6 ln ERij + ln Mij = αi + β1 lnYit + β2 lnYjt + β3 ln Pijt + β4 Dij + β5 Aij + β6 ln ERij +
Di mana; Tij = Jumlah perdagangan dua negara (impor dan ekspor) antara negara i dan j Xij = Jumlah impor antara negara i dan j Xij = Jumlah ekspor antara negara i dan j Yit = GDP Indonesia Yjt = GDP negara mitra Pijt = Jumlah Populasi penduduk antara negara i dan j Dij = Jarak antara negara i dan j Aij = Luas negara i dan j ERij = Nilai Tukar negara i dan j NFTA = peubah dummy FTA (1= untuk negara-negara yang mempunyai FTA dengan Indonesia; 0=selainnya) NIND = peubah dummy India (1= untuk India; 0=selainnya)
Analisis General Equilibrium Selain model gravity, juga dilakukan analisis general equilibirum dengan menggunakan model GTAP. Pada analisis ini simulasi dari beberapa skenario kebijakan perdagangan Indonesia-India dalam kerangka kesepakatan FTA akan dilakukan dengan beberapa policy shock, seperti penurunan tarif impor, pajak ekspor dan subsidi untuk beberapa komoditas pertanian yang terpilih. Dari simulasi tersebut kemudian akan dilihat dampaknya secara makro ekonomi dan sektoral, khusus pada sektor pertanian. Model GTAP terdiri dari persamaan-persamaan simultan yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: (1) Persamaan yang menggambarkan hubungan antara penerimaan dan pengeluaran oleh setiap agen ekonomi di suatu region (accounting relationship), dan (2) persamaan yang menjelaskan suatu perilaku agen ekonomi (behavioral equations). Di dalam model GTAP, penawaran dan permintaan pada setiap komoditi, termasuk faktor-faktor produksi, harus sama di dalam model keseimbangan umum. 35
Demikian pula dengan nilai penawaran harus sama dengan nilai permintaan. Untuk komoditi yang diperdagangkan, nilai output dihubungkan dengan nilai penjualan. Kuantitas output pada gilirannya akan berhubungan dengan penggunaan input melalui fungsi produksi. Hubungan terakhir yang digambarkan juga dalam nilai. Untuk melengkapi keseimbangan umum, penawaran faktor harus sama dengan permintaan untuk faktor; atau ekuivalen, nilai harus sama. Berikut ini diuraikan secara ringkas struktur produksi, konsumsi, impor, kesejahteraan dan makroekonomi didalam model GTAP standar yang bersumber dari Hertel (1997). Struktur Produksi Struktur produksi dari sebuah industri pada satu region diasumsikan mengikuti fungsi produksi secara berjenjang (nested), constant returns to scale (CRS) dan dalam pasar persaingan sempurna. Untuk menghasilkan sebuah output,
qo(j,s), produsen/industri akan mengkombinasikan penggunaan nilai tambah faktor primer, qva(j,s), dengan input antara, qf(i,j,s), berdasarkan fungsi produksi
Leontief. Faktor produksi primer terdiri dari: land, skilled and un-skilled labor, capital,
dan natural resources. Jumlah faktor produksi primer yang digunakan adalah sebesar qfe(i,j,s), dimana setiap faktor dapat saling bersubstitusi melalui fungsi
constant elasticity of substitution (CES). Input antara (intermediate inputs) dibedakan menjadi yang berasal dari produksi dalam negeri qfd(i,j,s) dan barang impor, qfm(i,j,s) berdasarkan asumsi Armington. Barang impor tersebut merupakan gabungan impor dari beberapa region lain yang ada di dalam model yang diasumsikan dengan fungsi CES. Konsumsi Rumah tangga regional akan mengalokasikan pendapatannya untuk konsumsi rumah tangga swasta, rumah tangga pemerintah, dan investasi. Konsumsi rumah tangga swasta dispesifikasikan dalam fungsi constant difference of elasticity (CDE). Fungsi CDE digunakan karena preferensi rumah tangga tidak bersifat homothetic. Fungsi CDE yang non-homothetic secara konsisten dapat menjelaskan perubahan konsumsi akibat perubahan tingkat pendapatan rumah tangga. Konsumsi rumah 36
tangga pemerintah dispesifikasikan mengikuti fungsi preferensi Cobb-Douglas dan bersifat eksogen (McDaugall, 2001). Permintaan investasi juga bersifat eksogen. Kapital dihasilkan dengan cara yang sama dengan komoditi yang diperdagangkan tetapi tidak menggunakan input faktor primer. Dalam model GTAP permintaan antarindustri dispesifikasikan berdasarkan matrik Input- Output. Impor Di dalam model GTAP, terdapat tiga sumber permintaan input antara, yaitu: sektor industri (produsen), sektor pemerintah, dan sektor rumah tangga. Selanjutnya diasumsikan bahwa bagian impor dari ketiga sektor tersebut memiliki komposisi regional yang sama, meskipun secara agregat bagian impor tersebut dapat berasal dari sumber yang berbeda. Impor dibedakan menurut negara asal, sehingga menimbulkan biaya transportasi yang nilainya proporsional terhadap nilai perdagangan. Harga domestik dari barang impor yang masuk ke region r
dari
region s adalah sama dengan jumlah harga fob ekspor dari region s, pajak ekspor di region s, biaya transportasi, dan tarif impor yang berlaku di region r. Kesejahteraan Perubahan kesejahteraan di sebuah region dalam model GTAP dinyatakan dalam equivalent variation, EV(r), yang dihitung dengan persamaan sebagai berikut: (Hanslow, 2000; Huff dan Hertel, 2000):
EV(r) = u(r) * INC(r)/100,
(7)
dimana u(r) adalah persentase perubahan kesejahteraan per kapita dan INC(r) adalah pendapatan (income) sebuah region. Dalam database GTAP, nilai EV(r) dihitung berdasarkan nilai US$ tahun versi GTAP terbaru dalam satuan juta (million). Selanjutnya, kesejahteraan dunia (WEV) dihitung dengan menjumlahkan seluruh kesejahteraan region. Makroekonomi
37
Untuk persamaan makroekonomi, model GTAP menggunakan persamaan identitas, sebagai berikut:
S–I=X+R–M
(8)
Persamaan tersebut menyatakan bahwa tabungan (S) dikurangi investasi (I) adalah sama dengan surplus neraca transaksi berjalan, dimana R adalah penerimaan transfer luar negeri. Oleh karena nilai R tidak terdapat dalam data base GTAP maka dalam simulasi model nilai R tersebut dianggap nol. Tingkat tabungan, investasi dan neraca transaksi berjalan ditetapkan secara eksogen. Dalam konteks kajian ini model GTAP akan dihubungkan dengan model Model CGE inter-regional atau disebut sebagai model IndoTerm (Indonesia The Enormous
Regional Model), yaitu model Computable General Equilibrium (CGE) antar-regional (inter-regional) yang memodelkan secara spesifik provinsi-provinsi di Indonesia berdasarkan koridor MP3E. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran secara komprehensif tentang dampak FTA Indonesia -India sampai pada tingkat regional. Model CGE inter-regional merupakan pengembangan dari Model Orani-G (single country), yang strukturnya terdiri atas sistem persamaan yang menggambarkan permintaan tenaga kerja, permintaan faktor produksi, permintaan input antara, permintaan kombinasi faktor produksi dan input antara, permintaan kombinasi dari output, permintaan barang investasi, permintaan rumah tangga, permintaan ekspor dan permintaan akhir lainnya, permintaan margin, harga penjualan, keseimbangan pasar, pajak tak langsung, PDB pada sisi penerimaan dan pengeluaran, neraca perdagangan, tingkat pengembalian modal, dan akumulasi investasi dan modal (Horridge, 2003). Pendekatan dalam Model IndoTerm bersifat bottom-up dimana optimasi diselesaikan pada tingkat spesifik provinsi kemudian diaggregasikan ke tingkat nasional, dengan menggunakan agregat fungsi Constant elasticity of substitution (CES) dan fungsi Leontief. Pendekatan bottom-up ini memungkinkan harga serta kuantitas bervariasi secara independen antar region. Ini berarti bahwa variasi harga serta kuantitas di tiap wilayah dapat diamati dengan menggunakan model ini.
38
IV.
ANALISIS RISIKO
Penelitian ini membutuhkan berbagai dokumen kesepakatan kerjasama perdagangan dan melibatkan berbagai pihak sebagai responden. Kesediaan responden dalam memberikan data yang diperlukan akan menentukan data dan informasi yang dapat dikumpulkan. Tabel 4.1 dan Tabel 4.2 menyajikan kemungkinan risiko yang dihadapi dan penanganan risiko yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Tabel 4.1. Daftar Risiko No 1
2
3
Risiko Kesulitan dokumen tentang FTA
Penyebab mendapatkan Pergeseran jabatan dan informasi sehingga dokumen & Indonesia-India informasi terkait dengan Indonesia-India FTA tidak tersedia Kesulitan responden dalam Periode waktu yang menjawab pertanyaan relative lama tentang dampak IndonesiaIndia FTA Kesulitan memperoleh data Data tidak tersimpan dan sekunder yang lengkap dan data belum terbit terkini
Dampak Mengurangi kelengkapan data dan informasi.
Mengurangi keakuratan data dan informasi. Data yang dibutuhkan tidak lengkap
Tabel 4.2. Daftar Penanganan Risiko No 1
2
3
Risiko Kesulitan mendapatkan dokumen dan informasi tentang Indonesia-India FTA yang terkini
Penyebab Pergeseran jabatan sehingga dokumen & informasi terkait dengan Indonesia-India FTA tidak tersedia Kesulitan responden dalam Periode waktu yang relative menjawab pertanyaan lama tentang dampak IndonesiaIndia FTA Kesulitan memperoleh data Data tidak tersimpan dan sekunder yang lengkap dan data belum terbit terkini
Penanganan Risiko Mencari sumber lain yang mungkin memiliki data dan informasi Expert Judgement
Melakukan interpolasi/estimasi data yang dibutuhkan
39
V. TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANAAN 5.1.
Susunan Tim Pelaksana Susunan tim pelakasana penelitian menurut golongan dan kepangkatan,
jabatan fungsional dan bidang keahlian dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Daftar Tim Pelaksana Jabatan Instansi/ Gol/ Fungsional//bidang Unit kerja No N a m a Pangkat keahlian Peneliti Muda/ 1 Dr. Reni Kustiari IV/a Perdagangan PSE-KP Internasional Peneliti Muda/ 2 Dr. Hermanto III/d Perdagangan PSE-KP Internasional Peneliti Muda/ Helena J. Purba, SP, 3 III/c Perdagangan PSE-KP MSi Internasional Peneliti Ir. Roosganda 4 IV/a Madya/Kelembagaan PSE-KP Elizabeth,MSi Pertanian Soeprapto Pengolahan 5 III/b PSE-KP Djojopoespito data/Programmer 5.2.
Kedudukan dalam tim Ketua Anggota Anggota Anggota Anggota
Jadual Pelaksanaan Penelitian ini akan dilakukan dalam tahun anggaran 2013. Secara rinci jadual
Pelaksanaan kegiatan penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.2. Tabel 5.2. Jadual Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan Persiapan : Pembuatan dan Perbaikan Proposal Survey I Survey II Survey III Pengol data Lap draft Seminar Lap final
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
40
5.3.
Rencana Anggaran
No
Kode Akun
Jenis Belanja
1 2 3 4 5
521211 521213 521219 522114 524119 Total
Belanja Bahan Honor yang terkait dengan output kegiatan Belanja Barang Non operasional lainnya Belanja sewa Belanja perjalanan lainnya (DN)
Jumlah (Rp 000) 23 700 37 360 35 400 30 375 144 500 271 335
41
Daftar Pustaka Armington, P.A. 1969. A Theory of Demand for Products Distinguished by Place of Production. IMF Staff Paper No: 16 Baldwin, R. 2006. Multilateralizing Regionalism: Spaghetti Bowls as Building Blocks on the Path to Global Free Trade. World Economy. 29(11): 1451–1518. Baldwin, R.E. and A.J. Venables. 1995. Regional Economic Integration. in Grosmann, G.M. and K. Rogoff (eds), Handbook of International Economics, Vol 3, North Holland, Amsterdam. Bary. 2010. Prospek Perdagangan Indonesia, China dan India: Analisis Gravity Model. Buletin Ilmiah. Penelitian dan Pengembangan Perdagangan. Kementerian Perdagangan. Bhagwati, J. N. 2008. Termites in the Trading System: How Preferential Agreements Undermine Free Trade. Oxford: Oxford University Press. Brockmeier, M. 1996. A Graphical Exposition of the GTAP Model, GTAP Technical Paper, Center for Global Trade Analysis, Purdue University, West Lafayette, IN. Carlos, P.B. and N. Peypoch. 2007. A Comparative Analysis of Productivity Change in Italian and Portuguese Airports. Dharma, R. A. 2011. Mewujudkan Kerja Sama Ekonomi Indonesia Dan India Yang Berimbang Dalam Kerangka Comprehensive Economic Cooperation Agreement. Bulletin Kerja Sama Perdagangan Internasional. Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional. Kementerian Perdagangan. Dixon, P. B., B. R. Parmenter, and A. A. Powell. 1992. Note and Problem in Applied General Equilibrium Economics. North-Holland. FAO. 1995. Trade Restrictions affecting international trade in non-wood forest products. Non-Wood Forest Products 8. FAO. Roma. Fleming, J. and S.C. Tsiang. 1956. Changes in Competitive Strength and Export Shares of Major Industrial Countries. IMF Staff Papers. 5(1956): 218-248. Frankel, J. 1997. Regional Trading Blocs in the World Economic System. Institute for International Economics, Washington, D.C. Hanslow K. J. 2000. A general welfare decomposition for CGE models. GTAP Technical paper no.19.
42
Hertel, T.W., P.V Preckel, J.J. Reimer. 2001. Trade Policy, staple food price variability, and the vulnerability of low income households. Paper Presented at the Fourth Annual Conference on Global Economic Analysis, 27–29 June 2001, Purdue. Hertel, T.W. 1997. Global Trade Analysis: Modeling and Application, Cambridge University, USA. Horridge, M. 2003. ORANI-G: A Generic Single-Country Computable General Equilibrium Model. Centre of Policy Studies and Impact Project, Monash
University, Australia.
Huff, K.M. and T.W. Hertel. 2000. Decomposing Welfare Changes in the GTAP Model, GTAP Technical Paper No.5. Hutabarat, B., M. H. Sawit, H. J. Purba, S. Nuryanti, A. Setiyanto, dan J. Hestina. 2005. Analisis Perubahan dan Dampak Kesepakatan Perdagangan Bebas Regional dan Penetapan Modalitas Perjanjian Multilateral. Laporan Akhir Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Insel, A and T. Mahmut. 2010. Econometric analysis of the bilateral trade flows in the Gulf Cooperation Council countries. Munich Personal RePEc Archive Jafari, Y and J. Othman. 2010. Potential Economic Impacts of The Malaysia-US Free Trade Agreement. Prosiding Persidangan Kebangsaan Ekonomi Malaysia Ke V 010: 291-299. Karina. F.T. 2009. Analisis Daya saing Produk Indonesia Yang Sensitif Terhadap Lingkungan dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor.
Kementerian Perdagangan. 2010. ASEAN-India Free Trade Area. Direktorat Kerjasama Regional. Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional. Kementerian Perdagangan Kotabe, M and K. Helsen. 2001. Global Marketing Management, 5th Edition Krueger, A. O. 1999. Trade Creation and Trade Diversion Under NAFTA. Working Paper 7429. National Bureau Of Economic Reasearch. Cambridge. Luz, E. P., A.L. Bernal, E.R. Herrera, Rivas, and O.P. Veyna. 2011. Competitiveness, Efficiency and Environmental Impact Of Protected Agriculture In Zacatecas, Mexico. International Food & Agribusiness Management Association. Frankfurt, Germany.
43
Mohammad, H.A. and S. Habibah. 1993. The Constant Market Share Analysis: An Application to NR Export of Major Producing Countries. Journal National Rubber Reasearch. 8(1): 68-81. Noelia, J. and E. Martín. 2008. A Constant Market Share Analysis Of The Euro Area In The Period 1994-2007.The Directorate General Economics, Statistics and Research. A country’s export. Nuno, C. and M.P. Fontoura. 2010. What determines the export Performance? A comparative analysis at the world level. School of Economics and Management. Technical University Of Lisbon. Othman, J and Y. Jafari. 2010. Does ASEAN Trade Liberazation Benefit Malaysia. Journal of Munich Personal RePEc Archive. http://mpra.ub.unimuenchen.de/20368/ Plummer, M.G., D. Cheong and S. Hamanaka. 2010. Methodology for Impact Assessment of Free Trade Agreements. Asian Development Bank. Rudy, R. and M. Ichihashi. 2012. The Changing Pattern of Export Structure and Competitiveness in Indonesia’s Manufacturing Sectors: an Overview and Assessment. 2nd International Conference on Economics, Trade and Development IPEDR 36. IACSIT Press, Singapore. Sadoulet, E. and A.D. Janvry. 1995. Agricultural trade liberalization and low income countries: A General Equilibrium-Multimarket Approach. American Journal of Agricultural Economics Vol 74 (2): 268-80. Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Jakarta, Erlangga. SEKI. 2012. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Bank Indonesia. Slootmaekers. 2004. Trade Effects of the EU-Mexico FTA, ASP Working Paper no.416, Kiel Institute for World Economics. Soesastro, M. H. 2009. Report of the Joint Study Group on the Feasibility of IndiaIndonesia Comprehensive Economic Cooperation Agreement (CECA). Centre Study of International Strategy (CSIS). Jakarta. Susanto D, C. P. Rosson, F. J. Adcock. 2007. Trade Creation and Trade Diversion in the North American Free Trade Agreement: The Case of the Agricultural Sector. Journal of Agricultural and Applied Economics, 39.1 (April):121-134. Toledo, H. 2007. Coca cubstitution and free trade in Bolivia: The pending crisis. Review of Development Economics. 11(1): 63-77. 44
Toledo, H. 2010. EU-GCC free trade agreement: Adjustment in a factors proportion model for the UAE, International Review of Economics and Finance 2010. Tumbarello, P. 2007. Are Regional Trade Agreements in Asia Stumbling Blocks or Building Blocks? Implications for Mekong-3 Countries. IMF Working Paper WP/07/53 (March). Washington, DC: International Monetary Fund. Varian, H. R. 1992. Microeconomic Analysis, W.W. Norton & Company, New York. www.infosawit.com. Diakses pada 13 Februari 2013.
45