DAYASAING SEKTOR PERTANIAN MENGHADAPI KESEPAKATAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN PEDESAAN DI INDONESIA
MAHYUDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 i
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Dayasaing Sektor Pertanian Menghadapi Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-CHINA dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Pedesaan di Indonesia adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini Bogor, Agustus 2012
Mahyuddin NRP H162070031
iii
iv
ABSTRACT MAHYUDDIN. Competitiveness of the Agricultural Sector Faced with Free Trade Agreement ASEAN-CHINA and Its Impact on Rural Economy in Indonesia. Under direction of HERMANTO SIREGAR, DEDI BUDIMAN HAKIM and D.S PRIYARSONO.
This study aimed to: (1) measure the competitiveness of the agricultural sector in supply side, and measure the contribution of various resources to the agricultural output in each of the ASEAN-5 countries and China, such as capital, labor, natural resources and technology; (2) measure export competitiveness of agricultural commodities ASEAN-5 and China in global market (3) measure the transmission of international prices of agricultural commodities to the domestic market in each countries, (4) analyze the impact of trade liberalization under ACFTA agreement framework to the macroeconomic of each country of ASEAN5 and China as well as its impact on the rural economy in Indonesia and (5) analyze the impact of improved agricultural technologies, and transmission of international prices on the economy national and rural economy in Indonesia. Competitiveness of the supply side is analyzed based on the total factor productivity (TFP), while in the global market competitiveness based on revealed comparative adventage (RCA), index of market share, trade specialization index (ISP) and trade complementary index (IKP). Price transmission were analyzed by Revallion model, while the impact of ACFTA to each country's economy and the implications for rural economy in Indonesia were analyzed by static CGE models based on GTAP 8. The results showed that in all countries, except Singapore have the most of growth in agricultural output during 1961-2010 are from TFP, while Singapore comes from the capital. Agricultural TFP growth in China (1.97 percent) higher than the TFP ASEAN-5 (1.93 percent), but less than TFP Malaysia (3.40 percent) and Thailand (2.37 percent). Indonesia with agricultural TFP growth of 1.83 percent, indicating that Indonesia is less productive and less efficient in producing agricultural products than China, Malaysia and Thailand. China agricultural products also have larger market share in global market than ASEAN-5. Furthermore, the coefficient of transmission of international prices to domestic markets of each ASEAN-5 countries and China is small, but there are indications of short-term integration in most commodity crops in China and the long-term integration of plantation commodities in ASEAN-5. ACFTA generally have a positive impact on increasing the GDP in each ASEAN5 countries, but Indonesia will get the smallest increase in GDP. ACFTA also increase people's consumption and sectoral output, but potentially lower government consumption and investment in each country. Liberalization, it also causes the trade deficit for most agricultural commodities Indonesia. Furthermore, it was found that the liberalization that accompanied an increase in agricultural TFP and price transmission in Indonesia will provide a greater positive impact of increased exports, private consumption and GDP, but the decline in government consumption and investment spending will also increase. Even this scenario is likely to reduce employment in the agricultural sector primary. Such scenarios also increase the income of all households in Indonesia, but farm households and rural households under the class get the smallest increase in revenue Keywords : Liberalization, Total Factor Productivity, Price transmission, ASEAN-5 and China, Rural economy in Indonesia.
v
vi
RINGKASAN MAHYUDDIN. Dayasaing Sektor Pertanian Menghadapi Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-CHINA dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Pedesaan di Indonesia. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR, DEDI BUDIMAN HAKIM dan D.S PRIYARSONO.
Memasuki tahun 2010, sektor pertanian Indonesia menghadapi tantangan baru dalam persaingan pasar global dengan diberlakukannya liberalisasi pertanian berdasarkan kerangka kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA). Banyak ekonom berpandangan bahwa liberalisasi perdagangan pertanian menguntungkan penduduk perkotaan dan merugikan penduduk pedesaan, bila negara-negara berkembang menghapus tarif impor komoditi-komoditi pertanian. Alasannya bahwa dua pertiga dari negara-negara berkembang adalah net importers produk pangan, tetapi sebagian besar rumah tangga pedesaan di negara tersebut adalah produsen produk pangan. Akan tetapi ekonom lainnya berpandangan bahwa dampak liberalisasi perdagangan di masing-masing negara tidak dapat digeneralisir, bahkan akan bervariasi menurut wilayah dalam satu negara seperti wilayah pedesaan dan perkotaan. Selain disebabkan oleh perbedaan pengembalian dan produktivitas faktor, juga karena transmisi harga di masingmasing wilayah berbeda-beda. Keragaman karakteristik dan potensi pertanian serta limpahan faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara ASEAN-5 dan China menyebabkan poduktivitas faktor masing-masing negara juga berbeda-beda dalam menghasilkan produk pertanian. Adanya keragaman faktor produksi dan potensi pertanian masing-masing negara, memunculkan pertanyaan akademik “Apakah liberalisasi berdasarkan kerangka kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) akan menguntungkan atau merugikan perekonomian nasional dan perekonomian pedesaan di Indonesia?. Meski sudah cukup banyak kajian yang melihat dampak dan implikasi pemberlakuan kesepakatan ACFTA terhadap perekonomian di negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Namun belum ada yang mengkaji secara spesifik implikasi liberalisasi dalam kerangka ACFTA terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia dengan mempertimbangkan produktivitas faktor dan transmisi harga. Karena itu studi ini diharapkan berkontribusi untuk mengkaji dayasaing pertanian menghadapi kesepakatan perdagangan bebas ASEAN China serta dampaknya terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia dengan mempertimbangkan produktivitas faktor dan transmisi harga komoditi pertanian. Secara spesifik studi ini bertujuan : (1) Mengukur dayasaing sektor pertanian dari sisi supply, serta mengukur kontribusi berbagai limpahan sumberdaya yang dimiliki masing-masing negara ASEAN-5 dan China, seperti modal, tenaga kerja, sumberdaya alam dan teknologi terhadap output pertanian; (2) Mengukur dayasing ekspor komoditi pertanian negara-negara ASEAN-5 dan China di pasar global maupun dipasar domestik China (3) Mengukur transmisi harga internasional berbagai komoditi pertanian ke pasar domestik di masingmasing negara ASEAN-China; (4) Menganalisis dampak liberalisasi perdagangan pertanian dalam kerangka kesepakatan ACFTA terhadap ekspor, impor, GDP, investasi dan variabel makro ekonomi lainnya di masing-masing negara ASEANvii
China serta dampaknya terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia dan (5) Menganalisis dampak peningkatan teknologi pertanian, dan peningkatan transmisi harga internasional ke pasar domestik terhadap perekonomian nasional dan perekonomian pedesaan di Indonesia. Studi ini menggunakan data sekunder. Data utama yang digunakan adalah database General Trade Analysis Project (GTAP) versi 8 yang diperoleh dari Purdue University, Amerika Serikat. Database GTAP 8 mencakup data inputoutput, nilai tambah sektor produksi, nilai input primer dan input antara, perdagangan bilateral, transportasi, tingkat proteksi, pajak dan subsidi dari 129 negara dan 57 sektor. Data sekunder lainnya yang diperoleh dari berbagai instansi seperti FAO, World Bank, Dana Moneter Internasional (IMF), Badan Pusat Statistik (BPS), Sekretariat ASEAN dan berbagai instasi lainnya, digunakan sebagai pelengkap dalam melakukan analisis deskriptif. Komparasi dayasaing sektor pertanian dari sisi supply serta konribusi limpahan berbagai sumberdaya di masing-masing negara ASEAN-5 dan China dianalisis berdasarkan indikator total factor productivity (TFP), dayasaing komoditi pertanian di pasar global danpasar domestik China diukur berdasarkan indikator revealed comparative adventage (RCA), indeks pangsa pasar, indeks spesialisasi perdagangan (ISP) dan indeks komplementer perdagangan (IKP). Selanjutnya analisis transmisi harga internasional ke harga pasar domestik pada tingkat produsen untuk berbagai komoditi pertanian di ASEAN-5 dan China dianalisis dengan model Revallion. Sedangkan dampak ACFTA terhadap perkonomian negara negara ASEAN-5 dianalisis berdasarkan model CGE Global, semenara dampak ACFTA terhadap perekonomian pedesaan Indonesia dianalisis berdasarkan model CGE Indonesia yang dibangun dari SAM Indonesia versi GTAP 8. Hasil penelitian menemukan bahwa, selama empat dekade terakhir (19612010), sektor pertanian di negara-negara ASEAN-5 dan China telah mengalami kemajuan yang cukup pesat. Sektor pertanian China tumbuh sekitar 3,82 persen per tahun dan ASEAN-5 secara rata-rata tumbuh sekitar 3,44 persen per tahun. Pertumbuhan output pertanian China dan negara-negara di ASEAN-5, paling besar bersumber dari kemajuan teknis (TFP) dan pertumbuhan tenaga kerja, kecuali Singapore yang pertumbuhan output pertaniannya paling besar berasal dari pertumbuhan modal. Pertumbuhan TFP pertanian China selama periode 1961-2010 sebesar 1,97 persen, melampaui pertumbuhan TFP pertanian negaranegara ASEAN-5 secara rata-rata, yang hanya tumbuh sekitar 1,93 persen, akan tetapi masih kalah dari pertumbuhan TFP Malaysia (3,40 persen) dan Thailand (2,37 persen). Indonesia dengan pertumbuhan TFP pertanian sebesar 1,83 persen, mengisyaratkan bahwa Indonesia kurang produktif dan kurang efisien dalam menghasilkan produk-produk pertanian dibandingkan China, Malaysia dan Thailand. Bagi China sektor pertanian bukan unggulan dalam mengakses pasar global, tetapi bagi negara-negara ASEAN-5, khususnya Indonesia, Malaysia dan Thailand sektor pertanian merupakan unggulan. Akan tetapi pangsa pasar pertanian China di pasar global lebih besar dari pangsa pertanian negara-negara ASEAN-5 pada umumnya. Selain itu jumlah jenis komoditi pertanian China yang berorientasi ekspor lebih banyak dibandingngkan ASEAN-5. Indonesia hanya memiliki tiga komoditi pertanian berorientasi ekspor yakni komoditi perkebunan
viii
dan tanaman lainnya, komoditi pertanian non tanaman serta komoditi pertanian olahan. Selanjutnya dari hasil pendugaan transmisi harga ditemukan bahwa nilai koefisien transmisi harga internasional ke pasar produsen domestik masingmasing negara umumnya kecil. Hal ini berarti bahwa hanya sebagian kecil perubahan harga komoditi pertanian ditingkat internasional yang dapat ditransmisikan ke tingkat produsen di masing-masing negara. Meskipun demikian ada indikasi integrasi jangka pendek untuk sebagian besar komoditi tanaman pangan di China dan integrasi jangka panjang untuk sebagian besar komoditi perkebunan di ASEAN-5. Penghapuan tarif impor secara timbal balik antar negara-negara ASEAN-5 dan China memberikan dampak positif pada peningkatan GDP di masing masing negara ASEAN-5, tetapi menurunkan GDP China. Peningkatan GDP tertinggi ditempati oleh Singapore dan Malaysia, sementara Indonesia memperoleh peningkatan GDP paling kecil. Selain itu, skenario ini juga meningkatkan konsumsi masyarakat dan output sektoral, termasuk output pertanian, tetapi berpotensi menurunkan konsumsi pemerintah dan investasi di masing-masing negara. Liberalisasi ini juga menyebabkan neraca perdagangan sebagian besar komoditi pertanian Indonesia mengalami defisit, termasuk komiditi pertanian yang melibatkan banyak penduduk seperti padi. Liberalisasi yang dibarengi peningkatan TFP pertanian dan peningkatan transmisi harga di Indonesia akan memberikan dampak positif yang lebih besar terhadap peningkatan ekspor, termasuk memperbaiki neraca perdagangan komoditi pertanian. Akan tetapi investasi juga semakin menurun. Bahkan skenario ini cenderung menurunkan kesempatan kerja disektor pertanian primer. Selain itu, skenario ini juga berdampak pada peningkatan pendapatan yang lebih besar bagi seluruh rumah tangga di Indonesia. Namun peningkatan pendapatan paling besar diperoleh kelompok rumah tangga golongan atas perkotaan maupun golongan atas pedesaan, sementara rumah tangga pertanian dan rumah tangga golongan bawah pedesaan memperoleh peningkatan pendapatan paling kecil.
ix
x
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
xi
xii
DAYASAING SEKTOR PERTANIAN MENGHADAPI KESEPAKATAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN PEDESAAN DI INDONESIA
MAHYUDDIN
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
xiii
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr.Ir. Nunung Kusnadi, MS Prof. Dr.Ir. Bambang Juanda, MS Penguji pada Ujian Terbuka: Prof.Dr.Ir. Radi A. Gany Dr.Ir.Arief Daryanto, M.Ec
xiv
Judul Disertasi: Dayasaing Sektor Pertanian Menghadapi Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-CHINA dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Pedesaan di Indonesia Nama : Mahyuddin NRP : H162070031
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Ketua
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. Anggota
Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS. Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. Bambang Juanda, MS
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 30 Juli 2012
Tanggal Lulus: ......................
xv
xvi
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan ini adalah dayasaing sektor pertanian menghadapi kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-CHINA dan dampaknya terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof.Dr.Ir. Hermanto Siregar, M.Ec, Dr.Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec, dan Dr.Ir. D.S. Priyarsono, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan masukan selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih yang tak terkira pula, penulis haturkan kepada Dr.Ir.Nunung Kusnadi, MS, Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS, Prof.Dr.Ir. Radi A. Gany dan Dr.Ir. Arief Daryanto, M.Ec. yang telah banyak memberi wawasan kepada penulis dan sebagai penguji luar komisi sehingga tulisan ini dapat lebih disempurnakan. Penulis juga menghaturkan terima kasih dan penghargaan sebesarbesarnya kepada seluruh Dosen dan staf administasi Program studi PWD, serta teman-teman seperjuangan di program pascasarjana IPB angkatan 2007 PWD, terima kasih atas kebersamaannya serta dukungan morilnya selama ini. Ucapan terima kasih yang tulus penulis haturkan pula kepada ibunda Marellang dan ayahanda almarhum Riwu T. yang semasa hidupnya senangtiasa berdoa dan memberikan dukungan tak terkira kepada penulis. Demikian pula kepada ibu mertua A.Cahaya Hakim dan bapak mertua almarhum Drs. Abd. Hakim, serta seluruh sanak keluarga lainnya, terima kasih atas doa, dorongan dan dukungan yang diberikan selama ini. Secara khusus ucapan terima kasih kepada istriku tercinta A.Anugrahwaty, SP dan kepada buah hatiku Muh.Agung dan Nurul Izzah, yang senangtiasa berdoa dan memberi dukungan dengan penuh kesabaran dan ketulusan selama ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini sungguh masih sangat jauh dari kesempurnaan. Karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis sangat mengharapkan keritikan dan saran konstruktif dari pembaca demi penyempurnaan tulisan ini. Akhirnya semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan saat ini maupun di masa datang dan bermanfaat bagi pembangunan nasional dan kemajuan ummat manusia pada umumnya. Amin Bogor, Agustus 2012
Mahyuddin
xvii
xviii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Belawa, sebuah daerah disebelah barat Danau Tempe, Propinsi Sulawesi Selatan, pada tanggal 2 Juli 1968. Penulis adalah anak ke empat dari tujuh bersaudara dari pasangan suami istri Riwu T dan Marellang. Penulis menempuh pendidikan sarjana di Jurusan Sosial Ekonomi pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun 1991. Pendidikan jenjang Master (S2) ditempuh di Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan IPB, dan lulus tahun 2006. Setahun berikutnya (2007), dengan beasiswa BPPS dari Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan program doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan IPB. Sejak tahun 1993, penulis bekerja sebagai dosen pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin dengan bidang pengajaran pada matakuliah ilmu ekonomi pertanian.
xix
xx
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ............................................................................................
xxv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xxix
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xxxi
I. PENDAHULUAN .......................................................................................
1
1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. 1.6.
Latar Belakang................................................................................... Perumusan Masalah ........................................................................... Tujuan Penelitian ............................................................................... Kegunaan Penelitian .......................................................................... Kebaruan Penelitian (Novelty) ………………..…………………… Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ....................................
1 5 8 9 10 11
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
15
2.1. 2.2. 2.3.
Liberalisasi Perdagangan dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Sistem Perdagangan Bebas Multilateral Vs Regional ....................... Perdagangan Bebas ASEAN-CHINA................................................ 2.3.1. Sejarah ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) .............. 2.3.2. Framework Agreement ACFTA ............................................ 2.4. Liberalisasi Pertanian dan Perekonomian Pedesaan ……….............
15 18 25 25 26 31
III. KERANGKA TEORITIS DAN HIPOTESIS ............................................
39
3.1. Teori Dayasaing dan Perdagangan Antar Negara ............................. 3.1.1. Determinan Perdagangan Antar Negara ................................ 3.1.2. Konsep Keunggulan Komparatif (Comparative Adventage) 3.1.2.1. Teori Perdagangan Klasik Oleh David Ricardo ..... 3.1.2.2. Perdagangan Neoklasik Oleh Heckscler-Ohlin ...... 3.1.2.3. Teori Perdagangan Modern Oleh Paul R.Krugman.............................................................. 3.1.3. Konsep Keunggulan Kompetitif (Competitive Adventage) ... 3.1.4. Teknis Pengukuran Dayasaing .............................................. 3.2. Distorsi Perdagangan Antar Negara dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan .................................................................................... 3.3. Model Dasar Komputasi Keseimbangan Umum................................ 3.4. Tinjauan Studi Terdahulu …………………….................................. 3.5. Hipotesis Penelitian ...........................................................................
39 39 42 43 44
IV. METODE PENELITIAN ..........................................................................
71
4.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ......................................................... 4.2. Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 4.3. Metode Analisis ................................................................................. 4.3.1. Metode Analisa Dayasaing Pertanian ……........................... 4.3.2. Analisa Transmisi Harga Internasional ke Pasar Domestik...
71 73 73 74 77
xxi
45 46 47 49 55 64 69
4.3.3. Metode CGE untuk Menganalisis Dampak ACFTA ............. 4.3.3.1. Spesifikasi Umum CGE Global untuk ACFTA ....... 4.3.3.2. Deskripsi Model Statis CGE Global Untuk ACFTA..................................................................... 4.3.3.2.1. Sektor Produksi …………….................. 4.3.3.2.2. Pendapatan dan Tabungan Institusi .... 4.3.3.2.3. Permintaan Domestik …......................... 4.3.3.2.4. Penawaran Produsen dan Perdagangan Internasional …...................................... 4.3.3.2.5. Harga-Harga …..............…………….... 4.3.3.2.6. Kondisi Keseimbangan Umum …...… 4.3.3.2.7. Produk Domestik Bruto (GDP) ............. 4.3.3.3. Database dan Agregasi …………………………… 4.3.3.4. Simulasi Kebijakan ……………………………… V. HUBUNGAN PERDAGANGAN CHINA DAN ASEAN-5, KINERJA PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN PEDESAAN NEGARANEGARA ASEAN-5 DAN CHINA ......................................................... 5.1. Gambaran Umum Prekonomian dan Hubungan Perdagagan China Dengan ASEAN-5 ……………......................................................... 5.1.1. Indikator Makroekonomi China dan ASEAN-5 ……….… 5.1.2. Kinerja dan Hubungan Perdagangan China Dengan ASEAN-5............................................................................... 5.1.2.1. Kinerja Perdagangan Internasional ASEAN-5 dan China ………………………..…………………… 5.1.2.2. Hubungan Perdagangan Antara ASEAN-5 Dengan China ……………………………………...…… 5.2. Pembangunaan Pedesaan dan Kinerja Pertanian Negara-Negara ASEAN-5 dan China ……………………………………………. 5.2.1. Pembangunan Pedesaan Negara-Negara ASEAN-5 dan China...................................................................................... 5.2.2. Kinerja Produksi Pertanian ASEAN-5 dan China ……….… 5.2.2.1. Nilai Produksi, Pertumbuhan dan Share Pertanian ASEAN-5 dan China Terhadap Nilai Produksi Pertanian Dunia ………………………………….. 5.2.2.2. Komooditi Utama Tanaman Pertanian (crops) ASEAN-5 dan China …………………………..… 5.2.2.3. Kinerja Produksi dan Produktivitas Komooditi Utama Tanaman Pertanian ASEAN-5 dan China... VI.
DAYASAING DAN TRANSMISI HARGA BERBAGAI KOMODITI UTAMA TANAMAN PERTANIAN SERTA DAMPAK LIBERALISASI TERHADAP PEREKONOMIAN ASEAN-5 DAN CHINA .................................................................................................... 6.1. Komparasi Dayasaing Sektor Pertanian antar Negara-negara ASEAN-5 dan China.…................................................................
xxii
80 80 81 81 86 92 93 98 102 104 105 106
109
109 109 120 120 127 137 137 141
141 143 152
157 157
6.1.1. Total Factor Productivity (TFP) sebagai Indikator Dayasaing Komoditi Pertanian dari Sisi Supply Negaranegara ASEAN-5 dan China …………….................…… 6.1.2. Dayasaing Komoditi Pertanian ASEAN-5 dan China di Pasar Global ...................................................................... 6.2. Transmisi Harga Internasional Komoditi Utama Tanaman Pertanian ASEAN-5 China ke Pasar Domestik Masing-Masing Negara ……................................................................................... 6.2.1. Gambaran Umum Harga Internasional dan Harga Produsen Domestik Komoditi Utama Tanaman Pertanian ASEAN-5 China ............................................................... 6.2.2. Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Internasional ke Harga Produsen Domestik Komoditi Tanaman Pangan dan Hortikultura ASEAN-5 China .................................... 6.2.3. Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Internasional ke Harga Produsen Domestik Komoditi Tanaman Perkebunan ASEAN-5 China ........................................... 6.3. Dampak Liberalisasi serta Skenario Peningkatan Total Factor Productivity (TFP) Pertanian dan Transmisi Harga Terhadap Kinerja Makro Ekonomi dan Perekonomian Pedesaan di Indonesia........................................................................................ 6.3.1. Kondisi Awal Aliran Perdagangan dan Proteksi Perdagangan di ASEAN-5 dan China ............................... 6.3.2. Dampak ACFTA Terhadap Kinerja Makro Ekonomi ASEAN-5 dan China......................................................... 6.3.3. Dampak ACFTA Terhadap Kinrja Sektor Ekonomi Indonesia ........................................................................... 6.3.4. Dampak Simulasi Peningkatan TFP Pertanian dan Peningkatan Transmisi Harga terhadap Makro Ekonomi dan Kinerja Sektoral di Indonesia ..................................... 6.3.5. Dampak Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan Peningkatan Transmisi Harga Terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia ....................................................... 6.4. Implikasi Kebijakan...................................................................... VII.
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 7.1. Kesimpulan .................................................................................... 7.2. Rekomendasi ................................................................................. 7.3. Saran Untuk Penelitian Lanjutan .................................................. DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... LAMPIRAN-LAMPIRAN ...............................................................................
xxiii
157 181
188
189
195
197
199 199 206 212
216
228 233 241 241 242 244 247 255
xxiv
DAFTAR TABEL 1.
Indikator Kemudahan Perdagangan Lintas Negara di Masing-Masing Negara ASEAN-China .........................................................................
7
Cakupan Produk yang Masuk Early Harvest Program (EHP) ACFTA ….............................................................................................
27
Jadwal Penurunan dan Penghapusan Tarif Early Harvest Program (EHP) Untuk China dan ASEAN-6 dalam ACFTA …………………
28
Skema Penurunan Tarif Normal Track I Untuk China dan ASEAN-6 dalam ACFTA …………………………………………..……………
29
5.
Persamaan model CGE dalam ekonomi terbuka ………….….………
63
6.
Klasifikasi Region dan Agregasi Region dalam Database GTAP untuk ACFTA ……………………………………………...…………
105
Klasifikasi Sektor dan Agregasi sektor dalam Database GTAP untuk ACFTA ………………………………………….……………………
106
Struktur SAM Indonesia Versi GTAP 8 untuk Model CGE Indonesia...............................................................................................
107
Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan GDP Negara ASEAN-5 dan China Tahun 2010 ……………………………………………………
110
Perkembangan GDP Nominal dan GDP Perkapita Negara ASEAN-5 dan China Tahun 1990-2010 …………………………………………
111
Perkembangan GDP Nominal dan GDP Perkapita Negara ASEAN-5 dan China Tahun 1990-2010 ………………………………………
116
Nilai Ekspor dan Impor Serta Neraca Perdagangan Internasional Negara ASEAN dan China Tahun 2010 ……………………………
123
Nilai dan Pertumbuhan Perdagangan Internasioanl ASEAN-5 dan China Dirinci Menurut Sektor Utama Tahun 2000-2010 …………
125
Nilai dan Pertumbuhan Perdagangan Internasioanl Negara-Negara ASEAN-5 Menurut Sektor Utama Tahun 2000-2010 ………………
126
Tujuh Negara Partner Terbesar Perdagangan ASEAN-5 Tahun 19902010 …………………………………………………………………
129
Tujuh Negara Partner Terbesar Perdagangan China Tahun 19902010.......................................................................................................
130
2. 3. 4.
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
xxv
17.
18. 19. 20.
21.
22.
23.
24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Pertumbuhan Nilai perdagangan Antara ASEAN-5 Dengan China, Serta Proporsinya Terhadap Total Nilai Perdagangan Internasional Masing-Masing Negara ASEAN-5 dan China Tahun 1990-2010 …
132
Nilai Perdagangan Yang Dirinci Menurut Sektor Utama Negara Angota ASEAN-5 Dengan China, Tahun 2010 ……………………
136
Populasi, Penggunaan Lahan dan Pembangunan Pedesaan NegaraNegara ASEAN-5 dan China, Tahun 2010 ………………………….
139
Nilai Produksi Pertanian ASEAN-5 dan China Menurut Harga Konstan, Pertumbuhan dan Kontribusinya terhadap Dunia Tahun 2010 ………....................................................................................….
142
Urutan Komoditi Utama China berdasarkan Nilai Produksi Menurut Harga Berlaku Internasional, Serta Pertumbuhan Produksi dan Share terhadap Produksi Dunia Tahun 2010 ……….....……………………
144
Urutan Komoditi Tanaman Pertanian ASEAN berdasarkan Nilai Produksi Menurut Harga Berlaku Internasional, Serta Pertumbuhan Produksi dan Share terhadap Produksi Dunia Tahun 2010 …..………
146
Share Produksi Masing-Masing Negara Terhadap Produksi Komoditi Utama ASEAN-5, dan Komparasi Pertumbuhannya dengan Produksi China dan Dunia Periode 1991-2010 ……………………………......
150
Kinerja Pertumbuhan Produksi Komoditi Tanaman Pertanian Utama ASEAN-5 dan China Periode 1991-2010 …………………………
154
Produktivitas Komoditi Utama Tanaman Pertanian di MasingMasing Negara ASEAN-5 dan China Tahun 2010 …………………
155
Rata-rata Nilai Produksi dan Pertumbuhan Nilai Produksi Tanaman Pertanian (Crops) ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010 …………
160
Rata-rata Nilai dan Pertumbuhan Input Primer Tanaman Pertanian (Crops) ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010 ……………………
163
Intensitas Penggunaan Input Tanaman Pertanian (Crops) di ASEAN5 dan China Tahun 1961-2010 ………………………………………
166
Produktivitas Input Primer Tanaman Pertanian (Crops) ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010 ……...…………………………………
170
Proporsi Biaya (cost share) dan Produksi Marginal Input Primer Tanaman Pertanian (Crops) ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010..
173
Pertumbuhan TFP dan Kontribusi Pertumbuhan Input Primer Terhadap Pertumbuhan Output Tanaman Pertanian di ASEAN-5 dan China 1961-2010 ………………………….…………………………
178
xxvi
32.
33. 34. 35. 36.
37.
38.
39. 40. 41.
42. 43.
Nilai Revealed Comparatif Adventage (RCA) Komoditi Pertanian Negara-negara ASEAN-5 dan China di Pasar Global Tahun 2007.......................................................................................................
182
Pangsa Pasar Komoditi Pertanian dan Non Pertanian Negara-negara ASEAN-5 dan China di Pasar Global Tahun 2007 ..............................
183
Indeks Spesialisasi Perdagangan ASEAN-5 dan China di Pasar Global Tahun 2007................................................................................
184
Struktur Impor China dan Struktur Ekspor Indonesia serta Indeks Komplementer Perdagangan Indonesia dengan China, Tahun 2007. ..
186
Nilai Rata-rata, Pertumbuhan dan Standar Deviasi Pertumbuhan Harga Internasional dan Harga Produsen di Masing-Masing Negara di ASEAN-5 dan China Periode 1991-2009 ………………………
190
Hasil Estimasi Transmisi Harga Internasional ke Harga Produsen Domestik di Masing-Masing Negara ASEAN-5 dan China, Pada Kelompok Komoditi Tanaman Pangan dan Buah-Buahan …………
196
Hasil Estimasi Transmisi Harga Internasional ke Harga Produsen Domestik di Masing-Masing Negara ASEAN-5 dan China, Pada Kelompok Komoditi Tanaman Perkebunan …………………………
198
Kondisi Awal Aliran Perdagangan Antar Negara-Negara ASEAN-5 dan China, Tahun 2007 ($ US Milliar) ................................................
200
Tingkat Tarif Impor Antar Negara ASEAN-5 dan China serta dengan Mitra Dagang Lainnya, Tahun 2007 (Persen) ....................................
203
Tingkat Tarif Impor dan Pajak Ekspor Berbagai Komoditi di MasingMasing Negara ASEAN-5 dan China, Tahun 2007 dalam persentase (%).........................................................................................................
204
Dampak Liberalisasi ACFTA Terhadap Ekspor Negara-Negara ASEAN-5 dan China ............................................................................
208
Dampak Liberalisasi ACFTA Terhadap Impor Negara-Negara ASEAN-5 dan China ............................................................................
209
44.
Dampak Liberalisasi ACFTA Terhadap Harga Harga di Masingmasing Negara ASEAN-5 dan China......................................................... 210
45.
Dampak Liberalisasi ACFTA Terhadap Variabel Makro Ekonomi di Masing-masing Negara ASEAN-5 dan China ........................................... 212
46.
Dampak Liberalisasi ACFTA Terhadap Kinerja Sektor Ekonomi Indonesia .................................................................................................... 214
xxvii
47.
Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan Transmisi Harga di Indonsia Terhadap Makro Ekonomi dan Kinerja Sektor Ekonomi Indonesia.......................................................................... 219
48.
Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan Transmisi Harga di Indonsia Terhadap Ekspor Sektoral Indonesia ........... 221
49.
Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan Transmisi Harga di Indonsia Terhadap Impor Sektor Indonesia ................ 222
50.
Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan Transmisi Harga di Indonsia Terhadap Output dan Kesempatan Kerja Sektor Indonesia ......................................................................................... 223
51.
Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan Transmisi Harga di Indonsia terhadap Indikator Dayasaing Komoditi Pertanian dan Non Pertanian Indonesia di Pasar Global dan Pasar Domestik China. ................................................................................. ....... 225
52.
Indeks Spesialisasi Perdagangan Indonesia di Pasar Global Sebelum dan Setelah FTA. .................................................................................. ..... 226
53.
Indeks Komplementer Perdagangan Komoditi Pertanian Indonesia dengan China Sebelum dan Setelah FTA. .................................................. 227
54.
Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan Transmisi Harga di Indonsia Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Pedesaan dan Perkotaan di Indonesia ......................................................... 229
55.
Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan Transmisi Harga Terhadap Pendapatan Modal dan Tenaga Kerja Pedesaan dan Perkotaan di Indonesia ......................................................... 231
56.
Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan Transmisi Harga Terhadap Total Konsumsi Rumah Tangga Pedesaan dan Perkotaan di Indonesia ......................................................................... 232
57.
Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan Transmisi Harga Terhadap Konsumsi RT Pedesaan dan RT Perkotaan Menurut Jenis Komoditi di Indonesia ....................................... 233
xxviii
DAFTAR GAMBAR 1.
Biaya tenaga kerja dan Tingkat Suku Bunga Acuan di MasingMasing Negara ASEAN-China ............................................................
6
2.
Perkembangan Jumlah Regional Trade Agreements 1949-2009 ……
23
3.
Fenomena Perdagangan Antar Daerah : Analisis partial equilibriu ....
40
4.
Gains from trade (general equilibrium) …………….……………………
41
5.
Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara ...........................
52
6.
Dampak Tarif Pada Model Keseimbangan Umum Untuk Kasus Negara Kecil .........................................................................................
54
Kerangka Pemikiran Konseptual Analisis Dayasaing Komoditi Pertanian Menghadapi Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEANChina (ACFTA) dan Implikasinya Terhadap Perekonomian Pedesaan di Indonesia ..........................................................................................
72
8.
Struktur Produksi dalam CGE Global untuk ACFTA ……………..…
82
9.
Tingkat GDP (PPP) Per Kapita dan Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi (1990-2010) ASEAN-5 dan China …………………………………
112
Tingkat GDP (PPP) Per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi (19902010) ASEAN-5 dan China …………………………………………
113
Kontribusi Sektor Pertanian, Industri dan Sektor Jasa Terhadap GDP masing-masing Negara ASEAN-5 dan China Tahun 2010 …………
115
Perkembangan Nilai Investasi Asing di Masing-Masing Negara ASEAN-5 dan China Periode 1990-2010 ……………………………
118
Tingkat Suku Bunga Pinjaman, Suku Bunga Deposito dan Selsihnya di Masing-Masing Negara ASEAN-5 dan China Tahun 2010 ………
120
Perkembangan Nilai Transaksi Perdagangan Internasional China Periode 1990-2010 …………………………………………………
121
Perkembangan Nilai Transaksi Perdagangan Internasional NegaraNegara ASEAN-5 Periode 1990-2010 ………………………………
122
Perkembangan Nilai Perdagangan ASEAN-5 Dengan China Periode 1990-2010 ……………………………………………………………
127
Perkembangan Neraca Perdagangan Negara-Negara ASEAN-5 Terhadap China Periode 1990-2010 (US $ MIlliar) …………………
134
7.
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
xxix
18. 19. 20.
21.
Nilai Indeks Komplementer Perdagangan ASEAN-5 dengan China Tahun 2007 ...........................................................................................
187
Nilai Indeks Komplementer Perdagangan Komoditi Pertanian ASEAN-5 dengan China Tahun 2007. .................................................
188
Perkembangan Harga Internasional dan Harga Produsen Berbagai Komoditi Tanaman Pangan dan Buah-Buahan di ASEAN-5 dan China Periode 1991-2009 .....................................................................
192
Perkembangan Harga Internasional dan Harga Produsen Berbagai Komoditi Perkebunan di ASEAN-5 dan China Periode 1991-2009 ....
194
xxx
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5.
6.
7.
Nilai Produksi Tanaman Pertanian Negara-negara ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010........................................................................
253
Luas Lahan Pertanian Negara-negara ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010 ………................................................................................
254
Jumlah Tenaga Kerja Pertanian Negara-negara ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010 .................................................................................
256
Persediaan Modal Bersih Tanaman Pertanian Negara-negara ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010 ..............................................
257
Hasil Estimasi Transmisi Harga Internasional ke Harga Produsen Domestik di Masing-masing Negara ASEAN-5 dan China pada Kelompok Komoditi Tanaman Pangan dan Buah-buahan ...................
258
Hasil Estimasi Transmisi Harga Internasional ke Harga Produsen Domestik di Masing-masing Negara ASEAN-5 dan China pada Kelompok Komoditi Tanaman Perkebunan. ........................................
273
Social Accounting Matrix (SAM) Indonesia Versi GTAP8 Tahun 2007 ......................................................................................................
287
xxxi
xxxii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penduduk di berbagai negara-negara berkembang termasuk Indonesia saat ini masih dominan bermukim di wilayah pedesaan. Di Indonesia, sebagian besar penduduk pedesaan ini memiliki ketergantungan pendapatan dan pekerjaan yang sangat tinggi di sektor pertanian. BPS 2009 melaporkan bahwa lebih 60 persen penduduk pedesaan Indonesia bekerja di sektor pertanian. Karena itu, pertumbuhan sektor pertanian memiliki arti penting bagi perekonomi pedesaan di Indonesia. Memasuki tahun 2010, sektor pertanian Indonesia menghadapi tantangan baru dalam persaingan pasar global dengan diberlakukannya kesepakatan
perdagangan
bebas
ASEAN-China
(ACFTA).
Liberalisasi
perdagangan berdasarkan kerangka ACFTA ini tidak hanya mempengaruhi kinerja sektor pertanian dan kinerja makroekonomi negara-negara ASEAN-China, termasuk Indonesia, tetapi juga akan berpengaruh pada perekonomian pedesaan sebagai basis utama produsen pertanian di Indonesia. World Development Report, 2008 menyebutkan bahwa penurunan proteksi dan subsidi pertanian terutama di negara-negara maju dan peran pemerintah dalam memfasilitasi pengembangan akses terhadap asset pertanian, peningkatan produktivitas dan mengoreksi kegagalan pasar dan distorsi ke pasar domestik, akan membantu masyarakat pedesaan untuk mendapatkan harga produk pertanian yang lebih baik. Di sisi lain, banyak ekonom berpandangan bahwa liberalisasi perdagangan pertanian menguntungkan penduduk perkotaan dan merugikan penduduk pedesaan, bila negara-negara berkembang menghapus tarif impor komoditi-komoditi pertanian. Alasannya bahwa dua pertiga dari negara-negara berkembang adalah net importers produk pangan, tetapi sebagian besar rumah tangga pedesaan di negara tersebut adalah produsen produk pangan, sehingga dengan menghapus tarif impor produk pangan menyebabkan ekonomi pedesaan di negara berkembang rentan terhadap persaingan dari negara produsen pangan yang memiliki keunggulan komparatif. Hal ini berarti bahwa liberalisasi pertanian akan menekan harga dan upah sektor pertanian pedesaan sehingga mempengaruhi perekonomian pedesaan di negara berkembang (Tangermann, 2005, Wainio et al.
2
2005, dan Valdes dan McCalla, 2004). Uraian diatas mengisyaratkan bahwa liberalisasi pertanian hanya akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian pedesaan jika komoditi pertanian yang diproduksi oleh rumah tangga pedesaan memiliki dayasaing di pasar global serta tidak adanya faktor distorsi pasar yang dapat menghambat transmisi harga internasional ke pasar domestik. Menurut Nicita (2005) bahwa dampak liberalisasi perdagangan di masingmasing negara tidak dapat digeneralisir, bahkan akan bervariasi antargeografis dalam satu negara seperti wilayah pedesaan dan perkotaan. Selain disebabkan oleh perbedaan pengembalian dan produktivitas faktor, juga karena adanya perbedaan transmisi harga internasional ke pasar domestik. Selain itu Taylor et al., (2010) menyebutkan bahwa dalam teori mikroekonomi, dampak liberalisasi perdagangan pertanian terhadap kesejahteraan pedesaan (rural welfare) di negara kurang berkembang (LDC) adalah belum jelas, karena dengan liberalisasi rumah tangga pedesaan menghadapi harga internasional yang fluktuatif. Rumah tangga pedesaan akan merugi sebagai produsen, ketika harga jatuh, akan tetapi sebagai konsumen menguntungkan, sebaliknya terjadi jika harga meningkat. Apakah dampak negatif produksi atau dampak positif konsumsi yang akan mendominasi merupakan pertanyaan empiris yang perlu dibuktikan. Negara-negara ASEAN dan China memiliki limpahan sumberdaya yang beragam untuk menghasilkan berbagai komoditi pertanian. China selain dikenal sebuah negara yang memiliki ukuran perekonomian yang besar dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Negara ini juga memiliki limpahan tenaga kerja yang sangat besar dengan upah yang sangat murah. Selain itu, China juga memiliki potensi besar dalam menghasilkan berbagai komoditi pangan seperti beras, jagung, kedelei dan gula. Di pihak lain, kecuali Singapura, negara-negara ASEAN-5 termasuk Indonesia memiliki limpahan sumberdaya alam untuk menghasilkan
berbagai
komoditi
pertanian
tropis,
khususnya
komoditi
perkebunan seperti seperti kelapa sawit, kopra, karet, kakao, kopi dan lainnya. Singapura sebagai bagian dari ASEAN-5 memang tidak ditunjang oleh sumberdaya alam dan tenaga kerja yang besar, tetapi negara ini memiliki limpahan sumberaya modal yang kuat. IMF 2010 menempatkan negara ini
3
sebagai ranking ketiga dunia dalam GDP nominal perkapita yakni sebesar $ 56,522. Berbagai komoditi pertanian Indonesia yang memiliki dayasaing cukup tinggi dipasar internasional, seperti komoditi sawit, kakao, kopi dan lain sebagainya. Pada tahun 2007, Indonesia dan Malaysia menguasai pangsa ekspor sawit dunia sekitar 90 persen. Indonesia juga sebagai eksportir karet terbesar kedua dunia setelah Thailand. Selain itu, Indonesia adalah produsen dan eksportir kakao terbesar ketiga dunia dan sebagai ekportir kopi terbesar keempat dunia. Namun demikian Indonesia adalah importir utama di ASEAN untuk berbagai komoditi pangan seperti beras, jagung, kedelai, gandum, gula dan lainnya (Deptan, 2007). Posisi Indonesia sebagai net importer berbagai produk pangan, bisa di satu sisi, sementara di sisi lainya, proporsi penduduk pedesaan Indonesia yang masih sebagian besar sebagai produsen pangan, memunculkan pertanyaan akdemik yang patut dikaji “Bagaimana dampak liberalisasi pertanian berdasarkan kerangka kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia?”. Meski sudah cukup banyak kajian yang melihat dampak dan implikasi pemberlakuan kesepakatan ACFTA terhadap perekonomian di negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, namun belum ada yang mengkaji secara spesifik implikasi liberalisasi pertanian dalam kerangka ACFTA terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia. Studi sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Chirathivat 2002; ASEAN Joint Experts Group 2001; Ma dan Wang 2002; Lee et al 2004 dengan menggunakan GTAP mengukur dampak ACFTA terhadap kesejahteraan dan variabel makroekonomi menemukan bahwa China dan ASEAN akan memperoleh manfaat bersih perdagangan dari ACFTA sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara. Park, et al (2008) ekonom dan peneliti senior ADB, menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif berbasis CGE menemukan bahwa baik kerjasama perdagangan bebas antara ASEAN dan China berprospek memperkuat perekonomian masing-masing negara. Hasil yang berbeda ditemukan oleh
Scollay dan Gilbert (2002)
menggunakan metode GTAP menemukan bahwa dengan simulasi secara penuh China tidak memperoleh keuntungan dari liberalisasi perdagangan dengan
4
ASEAN. Namun jika sektor pertanian tidak diliberalisasi maka GDP riil China akan naik sebesar 0,1 persen. Tongzon (2005) mengunakan pendekatan dayasaing untuk melihat implikasi ACFTA, ditemukan bahwa kesepakatan ACFTA akan memberikan peluang bagi ASEAN untuk meningkatkan ekspor ke pasar China, terutama untuk komoditi pangan, pertanian dan kehutanan di mana dayasaing ASEAN lebih unggul dibandingkan China. Secara khusus studi mengenai implikasi ACFTA terhadap perekonomian Indonesia dikaji oleh Wibowo (2009), Tambunan (2009) dan Ibrahim, et al., (2010) menggunakan GTAP untuk melihat dampak pelaksanaan ACFTA terhadap perdagangan internasional Indonesia, menemukan bahwa pelaksanaan ACFTA akan memberikan dampak positif terhadap perdagangan dan output Indonesia dan negara ASEAN dan China. Octaviani et al (2010) menggunakan model GTAP menemukan bahwa penghapusan tarif perdagangan ASEAN-China akan memberikan dampak seperti peningkatan kesejahteraan, GDP riil, konsumsi (pemerintah dan swasta), investasi dan variabel makro lainnya, namun menyebabkan neraca perdagangan yang negatif. Selain itu ACFTA juga meningkatkan output dan kesempatan kerja komoditi tertentu. Hartono, et al., (2007) mengkaji integrasi ekonomi regional dengan beberapa area perdagangan bebas termasuk ACFTA dan dampaknya terhadap pertumbuhan, kemiskinan dan distribusi pendapatan di Indonesia. Dengan menggunakan CGE Global berdasarkan database GTAP 6.0. Secara umum ditemukan bahwa Indonesia memperoleh keuntungan dalam hal GDP riil, output, dan kesejahteraan, kecuali FTA dengan India. Berbagai FTA juga meningkatkan pendapatan kelompok rumahtangga pedesaan (rural group) yang lebih tinggi di bandingkan kelompok rumahtangga perkotaan (urban group). Meski Hartono, et al., (2007) dalam analisisnya mencakup implikasi ACFTA terhadap pendapatan rumah tangga pedesaan Indonesia, namun dalam model analisisnya hanya melihat implikasi ACFTA secara umum dan tidak spesifik pada liberalisasi pertanian, sehingga tidak dapat menjawab apakah dampak ACFTA terhadap perubahan pendapatan rumah tangga pedesaan disebabkan oleh liberalisasi pertanian atau non-pertanian.
5
Keseluruhan studi sebelumnya yang menganalisis implikasi ACFTA dengan menggunakan model CGE atau GTAP belum ada yang mempertimbangkan transmisi
harga
internasional
ke
pasar
domestik.
Valenzuela
(2007)
mengisyaratkan pentingnya mempertimbangkan faktor transmisi harga dalam menganalisis dampak liberalisasi berbasis CGE, mengingat asumsinya mengenai transmisi harga yang sempurna dalam model CGE maupun GTAP standar, sementara ketidaksempurnaan transmisi harga internasional ke pasar domestik selalu muncul dan bervariasi antarnegara dan antarregion dalam satu negara yang disebabkan oleh perbedaan infrastruktur dan kekakuan institusional domestik. Conforti (2004) menyebutkan bahwa ketidak sempurnaan transmisi harga juga selalu muncul karena faktor-faktor seperti biaya transaksi, struktur pasar, perubahan dalam nilai tukar (exchange rates) dan faktor lainnya. Bahkan Nicita (2005) menyebutkan bahwa perbedaan transmisi harga antarnegara dan antar region merupakan salah satu penyebab perbedaan dampak liberalisasi antarnegara dan antarregion. Karena itu, dengan menggunakan model static CGE Global dan CGE Indonesia yang mempertimbangkan transmisi harga. Studi ini diharapkan berkontribusi untuk mengkaji dampak liberalisasi berdasarkan kerangka kesepakatan ACFTA terhadap perekonomian masing-masing negara ASEAN-5 dan China serta terhadap perekonomian pedesaan Indonesia. Selain itu studi ini juga diharakan berkontribusi untuk mengkonvarasi dayasaing pertanian masingmasing negara ASEAN-5 dan China. 1.2.Perumusan Masalah Nilai perdagangan China dengan ASEAN meningkat lebih 10 kali lipat dalam 12 (duabelas) tahun terakhir. Dalam kurun waktu 1996-2008, impor ASEAN dari China meningkat 24.83 persen per tahun, sementara ekspor ASEAN ke China hanya tumbuh sekitar 23.39 persen pertahun. Hubungan perdagangan bilateral antara China dengan Indonesia juga menunjukkan trend serupa. Dalam kurun waktu 2003-2009, Impor Indonesia dari China tumbuh sekitar 36.62 persen pertahahun, sementara ekspor Indonesia ke China hanya tumbuh sekitar 20.78 persen per tahun, sehingga defisit perdagangan Indonesia terhadap China semakin
6
besar. Penghapusan tarif perdagangan komoditi pertanian berdasarkan kerangka ACFTA, tidak hanya meningkatkan intensitas perdagangan pertanian antarnegara ASEAN-China, tapi juga akan mempengaruhi perekonomian masing-masing negara, termasuk akan mempengaruhi perekonomian pedesaan di Indonesia. Pengaruh ACFTA terhadap perekonomian masing-masing negara sangat tergantung pada dayasaing komoditi pertaniannya serta tingkat transmisi harga komoditi pertanian dari pasar internasional ke pasar domestik. Dayasaing komoditi pertanian, tidak hanya ditentukan oleh limpahan berbagai faktor produksi seperti tenaga kerja, lahan dan modal, tetapi juga terkait teknologi sebagai ukuran kemajuan tehnis dalam memproduksi komoditi pertanian. China memiliki limpahan tenaga kerja yang sangat besar, penduduknya mencapai 1.3 Milliar, dengan tingkat upah yang sangat murah. Singapura memang memiliki kelangkaan tenaga kerja, namun memiliki modal yang kuat. Selain itu posisi Singapura juga strategis karena merupakan pelabuhan transit dalam perdagangan internasional. Berdasarkan tingkat suku bunga acuan Bank Sentral, Indonesia memiliki kelangkaan modal paling besar. Gambaran mengenai tingkat upah tenaga kerja serta tingkat suku bunga acuan Bank Sentral pada masingmasing negara ASEAN-5 dan China ditunjukkan pada gambar 1 berikut.
(a)
(b)
Sumber : Tonzon 2005 Sumber : Bloomber, IMF 2011 Keterangan : (a) Biaya tenaga kerja per $ US 1 Output (b) Suku Bunga Acuan Masing-Masing Negara ASEAN-5 dan China
Gambar 1
Biaya tenaga kerja dan Tingkat Suku Bunga Acuan di MasingMasing Negara ASEAN-China
Dari segi potensi pertanian, negara-negara ASEAN-5 memiliki limpahan sumberdaya alam untuk menghasilkan berbagai komoditi pertanian tropis, khususnya komoditi perkebunan. Saat ini Indonesia adalah produsen sawit
7
terbesar dunia, diikuti Malaysia, menguasai pangsa ekspor sawit dunia sekitar 90 persen. Thailand adalah produsen dan eksportir karet terbesar dunia dan menguasai pangsa pasar dunia sekitar 66 persen dan Indonesia sekitar 21 persen. Indonesia juga sebagai produsen dan eksportir kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana. Sementara Vietnam adalah produsen kopi terbesar kedua setelah Brasil dan Indonesia terbesar ke empat. Akan tetapi sebagian besar ASEAN-5 termasuk Indonesia adalah net importers untuk berbagai komoditi pangan seperti beras, jagung, kedelai, gandum, gula dan lainnya (Statistik dan Informasi Pertanian, 2007). Sementara China, meski sebagai net importers untuk berbagai komoditi perkebunan, namun negara ini memiliki potensi produksi pangan yang besar. China adalah produsen beras terbesar dunia dan sebagai produsen terbesar ke empat untuk komoditi kedelai dan gula. Selanjutnya, transmisi harga internasional ke pasar domestik tidak hanya terkait dengan infrastruktur, kekakuan institusional, struktur pasar, nilai tukar, tetapi juga mengenai biaya transaksi dan sejumlah hambata-hambatan perdagangan antarnegara. World Bank (2011), melaporkan ranking kemudahan perdagangan lintas negara (trading across borders) antarnegara di mana Indonesia berada pada ranking 47 dan China ranking 50 dunia. Akan tetapi diantara ASEAN-5 dan China, Indonesia memiliki biaya ekspor paling besar, dan biaya impor juga lebih tinggi dari biaya impor China, Malaysia dan Singapura. Tabel 1
Indikator Kemudahan Perdagangan Lintas Negara di Masing-Masing Negara ASEAN-China
Indikator Kemudahan perdagangan Dokumen ekspor (jumlah)
China
Indonesia
Malaysia
Philipina
Thailand
Singapura
7
5
7
8
4
4
21
20
18
15
14
5
500
700
450
675
625
456
5
6
7
8
3
4
Lama impor (hari)
24
27
14
14
13
4
Biaya impor ($US per container
545
660
450
730
795
439
Ranking
50
47
37
61
12
1
Lama ekspor (hari) Biaya ekspor ($US per container Dokumen impor (jumlah)
Sumber : Doing Business 2011, World Bank Berdasarkan gambaran akselerasi perdagangan China dengan negaranegara ASEAN, limpahan sumberdaya yang dimiliki masing-masing negara dan
8
potensi pertaniannya, maka secara umum permasalahan penelitian yang dirumuskan adalah bagaimana dayasaing komoditi pertanian masing-masing negara menghadapi kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China dan bagaimana implikasinya terhadap perekonomian pedeaan di Indonesia. secara spesifik rumusan masalah yang akan dikaji dalam studi ini adalah sebagai berikut: 1. Limpahan sumberdaya apa yang menjadi penentu dayasaing komoditi pertanian di masing-masing negara dan bagaimana peta dayasaing komoditi pertanian masing masing negara ASEAN-5 dan China baik di pasar global maupun di pasar domestik China 2. Seberapa besar perubahan harga berbagai komoditi pertanian di pasar internasional dapat ditransmisikan ke pasar domestik dimasing-masing negara ASEAN-China dan bagaimana implikasinya terhadap perekonomian nasional dan perekonomian pedesaan di Indonesia. 3. Bagaimana dampak kebijakan liberalisasi perdagangan ASEAN-China terhadap ekspor, impor, GDP dan berbagai variabel makroekonomi lainnya di masing-masing negara ASEAN-China serta bagaimana dampaknya terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia. 4. Apakah peningkatan dayasaing dan peningkatan tansmisi harga internasional di Indonesia dapat meningkatkan manfaat liberalisasi bagi perekonomian Indonesia 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis dayasaing komoditi
pertanian
di
masing-masing
negara
menghadapi
kesepakatan
perdagangan bebas ASEAN-China dan implikasinya terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia. Secara khusus penelitian ini diarahkan untuk menjawab beberapa tujuan sebagai berikut : 1. Mengukur dayasaing sektor pertanian dari sisi supply, serta mengukur kontribusi berbagai limpahan sumberdaya yang dimiliki masing-masing negara ASEAN-5 dan China, seperti modal, tenaga kerja, sumberdaya alam dan teknologi terhadap output pertanian.
9
2. Mengukur dayasing ekspor komoditi pertanian negara-negara ASEAN-5 dan China di pasar global maupun dipasar domestik China. 3. Mengukur transmisi harga internasional berbagai komoditi pertanian ke pasar domestik di masing-masing negara ASEAN-China. 4. Menganalisis dampak liberalisasi perdagangan pertanian dalam kerangka kesepakatan ACFTA terhadap ekspor, impor, GDP, investasi dan variabel makroekonomi lainnya di masing-masing negara ASEAN-China serta dampaknya terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia. 5. Menganalisis dampak peningkatan teknologi pertanian, serta peningkatan transmisi harga internasional ke pasar domestik terhadap perekonomian nasional dan perekonomian pedesaan di Indonesia. 1.4. Kegunaan Penelitian Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini terdiri dari tiga point utama yakni sebagai berikut : (1)
Dari segi pengembangan ilmu : studi ini diharapkan dapat memperkaya kajian-kajian mengenai liberalisasi perdagangan secara umum dan dampaknya terhadap variabel makroekonomi nasional serta dampaknya terhadap perekonomian pedesaan. Selain itu, studi ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi para peneliti berikutnya.
(2)
Dari segi informasi: dapat dijadikan bahan informasi yang dapat menjelaskan manfaat potensil dari kesepakatan ACFTA dan posisi dayasaing
berbagai
komoditi
pertanian
menghadapi
kesepakatan
perdagangan bebas antara ASEAN-China, serta dapat menjelaskan berbagai konsekuensi ekonomi dari leberalisasi pertanian terhadap perekonmian pedesaan. (3)
Dari segi terapan : studi ini diharapkan dapat memberi petunjuk dalam memilih opsi kebijakan yang dapat memperbaiki dayasaing produk-produk pertanian serta dalam rangka perbaikan kondisi perekonomian pedesaan di Indonesia. Selain itu, studi ini juga dapat menjadi rujukan bagi pengambil kebijakan dalam melakukan negosiasi dengan negara mitra dalam kerangka kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China.
10
1.5. Kebaruan Penelitian (Novelty) Studi ini, yang secara umum ditujukan untuk menganalisis dayasaing sektor pertanian
menghadapi
kesepakatan
ACFTA
dan
implikasinya
terhadap
perekonomian pedesaan di Indonesia, di mana berdasarkan objek dan pendekatannya memiliki tiga aspek yang merupakan ciri pembeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Ketiga aspek tersebut sekaligus merupakan aspek kebaruan (novelty) dalam studi ini yang secara terperinci diuraikan sebagai berikut 1.
Dari segi objek penelitian, analisis
dampak liberalisasi pertanian dalam
kerangka kesepakatan ACFTA terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia dengan mempertimbangkan produktivitas faktor dan transmisi harga internasional ke pasar domestik dipandang sebagai aspek kebaruan dari studi ini. Studi sebelumnya umumnya menganalisis implikasi ACFTA secara umum dan dampaknya terhadap variabel makroekonomi di masing-masing negara. Beberapa diantaranya secara spesifik menganalisis implikasi liberalisasi pertanian berdasarkan kerangka kesepakatan ACFTA terhadap perekonomian Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Wibowo, 2009 dan Tambunan, 2009, namun variebel ekonomi yang diukur hanya pada variable makroekonomi saja seperti dampak perdagangan, GD riil dan sebagainya. Disisi lain, Hartono, et al., (2007) dalam analisisnya mencakup implikasi ACFTA terhadap pendapatan rumah tangga pedesaan Indonesia, namun studi ini hanya melihat implikasi ACFTA secara umum dan tidak spesifik pada liberalisasi pertanian, studi ini juga tidak dapat mnjawab implikasi dari peningkatan teknologi pertanian serta perbaikan transmisi harga terhadap perubahan pendapatan rumah tangga pedesaan di Indonesia 2.
Dari segi metode análisis dayasaing, studi ini menganalisis dayasaing komoditi pertanian negara-negara ASEAN-5 dan China berdasarkan indikator dayasaing dari sisi supply yang dikombinasikan indikator daya saing kooditi dipasar global. Indikator dayasaing dari sisi supply ini didasarkan pada nilai total factor productivity (TFP). Sedangkan indikator daya saing di pasar global didasarkan pada indikator revealed comparativea dventage (RCA),
11
indikator pansa pasar (market shar), indeks spesialisasi perdagngan (ISP) dan indeks komplemener perdagangan (IKP). Selain itu studi ini juga melihat dampak peningkatan TFP pertanian terhadap dayasaing komoditi pertanian tersebut di pasar global. Dampak peningkatan TFP terhadap indikator dayasaing di pasar global juga dipandang sebagai salah satu kebaruan daristudi ini. Berbagai studi komparasi dayasaing antarnegara ASEAN dan China sebelumnya seperti Tongzon (2005), Hadi dan Mardianto (2004), Tambunan (2009) dan Ibrahim (2010), kesemuanya hanya menggunakan pendekatan indikator dayasaing dari sisi demand, yakni indikator seperti the world market shares index (XCI), Constant Market Share (CMS), revealed competitive advantage index (RCA), Index of Export Overlap (IEO). 3.
Dari segi metodologi, studi ini juga yang pertama mempertimbangkan produktivitas faktor pertanian dan transmisi harga internasional ke pasar domestik ke dalam persamaan CGE dalam menganalisis implikasi kesepakatan ACFTA terhadap perekonomian negara-negara ASEAN-5 dan China serta terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia.
Menurut
Valenzuela (2007) bahwa model CGE seperti halnya GTAP standar mengasumsikan adanya transmisi harga yang sempurna antara pasar global dengan pasar domestik, sementara Conforti (2004) menyebutkan bahwa ketidak sempurnaan transmisi harga selalu muncul yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti biaya transaksi, struktur pasar, perubahan dalam nilai tukar (exchange rates) dan faktor lainnya. Bahkan Nicita (2005) menyebutkan bahwa perbedaan transmisi harga antarnegara, maupun antarregion dalam satu negara merupakan salah satu sebab perbedaan dampak liberalisasi antarregion.
Karena itu, menganalisis ketidaksempurnaan
transmisi harga internasional ke pasar domestik, dan mempertimbangkannya ke dalam model CGE di pandang sebagai salah satu aspek kebaruan dalam studi ini. 1.6. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup analisis dalam penelitian ini adalah multinasional, khususnya pada enam negara yang menjadi fokus kajian yakni China dan lima
12
negara anggota ASEAN (ASEAN-5) yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand dan Singapura, sedangkan negara anggota ASEAN lainnya diagregasi kedalam rest of the ASEAN, dan negara-negara di luar ASEAN dan China digabungkan ke dalam Rest of the World. Alasan yang mendasari terhadap cakupan wilayah kajian yang fokus pada enam negara, karena dalam implementasi kerangka kesepakatan ACFTA, yang mulai diberlakukan pada tahun 2010 dibatasi hanya pada negara China dan enam anggota lama ASEAN yakni ASEAN-5 plus Brunei Darulsalam. Negara Brunei Darulsalam tidak dijadikan fokus kajian, selain karena berada di luar keanggotaan ASEAN-5, juga karena ciri perekonomiannya tidak berbasis pertanian. Selanjutnya dalam studi ini, sektor yang dikaji akan diagregasi menjadi duabelas sektor, sembilan diantranya merupakan kelompok pertanian primer ditambah sektor pertanian olahan dan sektor non pertanian. Selanjutnya, aspek yang dikaji difokuskan pada tiga poin yakni mengkomparasi dayasaing komoditi pertanian di masing-masing negara yang dikaji, menganalisis transmisi harga komoditi serta menganalisis dampak liberalisasi terhadap berbagai variabel makroekonomi dan mikroekonomi di Indonesia. Dampak makroekonomi yang dimaksud meliputi variabel GDP, ekspor, impor, dan neraca perdagangan. Sedangkan variabel mikro mencakup pendapatan rumah tangga perdesaan dan rumah tangga perkotaan. Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini terutama bersumber dari halhal seperti model analisis yang digunakan, jenis dan sumber data yang digunakan, variabel yang digunakan serta sistem pengklasifikasian data (agregasi dan disagregasi data). Sumber-sumber keterbatasan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut : 1.
Keterbatasan Pemodelan : Studi ini mengunakan tiga pemodelan utama yakni model analisis daysaing komoditi berdasarkan indikator Total Factor Productivity (TFP), model persamaan Autoregressive Distributed Lag, atau yang dikenal sebagai model Revallion untuk mengukur trasmisi harga dan model CGE untuk menganalisis dampak ACFTA terhadap perekonomian perdesaan. Keterbatasan dalam model analisis transmisi harga, karena idealnya transmisi harga internasional yang dianalisis hingga ke harga pedesaan, namun karena keterbatasan data dan kerumitan dalam
13
mengintegrasikan ke dalam model CGE, sehingga transmisi harga yang dianalisis hanya pada tingkat produsen di pasar domestik. Model CGE sendiri memiliki keterbatasan terutama mengenai asumsi Armington dan asumsi persaingan sempurna (perfect competition). Asumsi Armington yang mengatakan bahwa semua negara memiliki kekuatan pasar sehingga dapat mengatur arus perdagannya. Asumsi ini kurang realistis terutama bagi negara kecil, seperti beberapa negara ASEAN (Wibowo, 2009). Selanjutnya, asumsi CGE yang mengatakan bahwa semua pasar akan beroperasi secara sempurna, juga kurang realistis. Untuk sektor pertanian, beberapa negara masih memberlakukan subsidi bagi produsen, sehingga harga pasar tidak mencerminkan permintaan dan penawaran secara tepat. Selain itu, dalam pasar domestik, beberapa komoditi juga memiliki struktur pasar yang tidak kompetitif, seperti halnya adanya intervensi pemerintah dalam mengatur distribusi beras di pasar domestik di Indonesia, sehingga dapat mengganggu transmisi harga beras dari pasar dunia ke harga produsen beras di pedesaan Indonesia. 2.
Jenis dan Sumber Data : Keseluruhan jenis data yang di gunakan dalam penelitian adalah jenis data skunder, seperti database GTP 8, Social Accounting Matriks (SAM), dan beberapa publikasi resmi dari BPS, Sekertariat ASEAN, World Bank, IMF, FAO, dan institusi lainnya yang relavan. Kelemahan utama dari jenis data sekunder tersebut, karena banyaknya data yang bersifat agregasi, sehingga beberapa komoditi atau variabel tidak dapat dianalisis secara sepesifk.
3.
Sistem klasifikasi (agregasi dan disagregasi data) : Terkait dengan ketersediaan data yang akan digunakan serta untuk penyederhanaan analisis, maka studi akan melakukan sistem agregasi dan disgaregasi data. Pengelompokan jenis data komoditi yang akan dianalisis dalam studi ini akan disesuaikan dengan sistem agregasi data yang tersedia pada database GTAP 8. Klasifikasi rumahtangga yang dianalisis akan disesuaikan dengan klasifikasi rumah tangga dalam data Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Indonesia. Sedangkan dalam mengkomparasi dayasaing komoditi peranian masing-masing
negara
menghadapi
ACFTA,
maka
negara
akan
14
didisagregasi menjadi enam negara masing-masing China, Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand dan Singapura, selebihnya diagregasi menjadi ASEAN lainnya dan rest of the world, ini dilakukan untuk tujuan penyederhanaan. Konsekuensinya komparasi dayasaing komoditi Indonesia terhadap seluruh negara-negara ASEAN secara sendiri-sendiri dan terhadap negara pesaing lainnya di luar ASEAN tidak dapat dilakukan.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Liberalisasi Perdagangan dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Lima dekade terakhir menunjukkan perubahan besar dalam kebijakan ekonomi di banyak negara di dunia, terutama dalam hal strategi perdagangan. Pembentukan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947, yang sekarang perannya digantikan oleh World Trade Organisation (WTO), telah menjadi pendorong kuat bagi banyak negara menerapkan kebijakan liberalisasi perdagangan. Suatu negara sedang menjalankan kebijakan liberalisasi bila kebijakan yang diterapkan tersebut menyebabkan perekonomian semakin berorientasi ke luar (outward-oriented) dan juga lebih terbuka (openness). Maksud dari kebijakan liberalisasi adalah kebijakan perdagangan yang diambil suatu negara yang mencerminkan pergerakan ke arah yang lebih netral, liberal atau terbuka. Secara khusus, perubahan ke arah yang semakin netral diartikan sebagai perubahan yang lebih mendekati suatu sistem perdagangan yang bebas dari intervensi pemerintah. Karena itu suatu rezim kebijakan dianggap menjalankan kebijakan liberalisasi perdagangan bila tingkat intervensi secara keseluruhan pada perdagangan barang dan jasa semakin berkurang (Santos-Paulino, 2005; Shafaeddin, 2005). Senada yang diungkapkan oleh Lee, (2005); Bhasin, et al. (2007) bahwa
liberalisasi perdagangan (trade liberalization) adalah konsep
ekonomi yang mengacu pada suatu proses menuju perdagangan yang lebih bebas melalui pengurangan dan pada akhirnya penghapusan semua hambatan tarif (pajak dan subsidi) dan non-tarif (kuota, Peraturan lisensi dan penetapan standar yang sewenang-wenang) pada perdagangan barang dan jasa antarnegara. Banyak
ekonom
yang
berpendapat
bahwa
perdagangan
bebas
meningkatkan standar hidup melalui teori keuntungan komparatif dan ekonomi skala besar. Sebagian lain berpendapat bahwa perdagangan bebas memungkinkan negara maju untuk mengeksploitasi negara berkembang dan merusak industri lokal, yang kemudian menciptakan pengangguran dan kemiskinan.
16 Pandangan ekonom yang pro liberalisasi beranggapan bahwa perdagangan antarnegara sebaiknya dibiarkan berlansung secara bebas dengan seminimum mungkin pengenaan tarif dan hambatan perdagangan lainnya. Mereka berargumen bahwa perdagangan yang lebih bebas akan memberikan manfaat bagi kedua negara pelaku dan bagi dunia, serta meningkatkan kesejahteraan yang lebih besar dibandingkan tidak ada perdagangan (Kindleberger dan Lindert, 1978). Studi dua ekonom dari Bank Dunia yaitu David Dollar dan Aart Kraay pada tahun 2001, membuktikan
bahwa negara-negara yang lebih terbuka
(globaliser) mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi dari sekitar 2,9 persen di tahun 1970 menjadi 3,5 persen di tahun 1980-an dan menjadi 5,0 persen di tahun 1990-an. Sedangkan negara-negara yang menjalankan perekonomian lebih tertutup telah mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi yaitu dari 3,3 persen di tahun 1970-an menjadi 0,8 persen di tahun 1980an dan menjadi 1,4 persen di tahun 1990-an. Hal serupa juga di tunjukkan oleh ekonom James Gwartney dari Florida State University dan Robert Lawson dari Capital Univesity, yang mengukur indeks keterbukaan perdagangan di 123 negara, menunjukkan bahwa GDP perkapita negara-negara yang memiliki indeks keterbukaan paling rendah hanya US$ 1.883 di tahun 2002. Berbeda halnya dengan negara-negara yang memiliki indekx keterbukaan paling tinggi mencapai US$ 23.938 pada tahun yang sama. Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa negara-negara dengan kebijakan perdagangan yang lebih liberal tumbuh lebih cepat dibandingkan perekonomian yang lebih proteksionis (Gwartney et al., 2004). Tupy (2005) menyatakan bahwa terdapat
tiga
alasan
mengapa
perdagangan yang lebih bebas memberikan manfaat tidak hanya bagi negara bermitra, tapi juga untuk dunia secara keseluruhan. Pertama, perdagangan tanpa intervensi akan meningkatkan efisiensi global alokasi sumberdaya. Hal ini didasarkan bahwa dalam perdagangan bebas, harga merupakan refleksi yang benar dari permintaan dan penawaran, dan merupakan satu-satunya penentu alokasi sumberdaya ke arah yang lebih efisien. Kedua, para pedagang memungkinkan memperoleh keuntungan dari spesialisasi produksi barang dan jasa terbaik yang mereka hasilkan. Ekonom menyebutnya hukum keunggulan
17 komparatif, yakni ketika produsen dapat menghasilkan barang secara terampil dengan faktor endowment yang dimilikinya. Ketiga, perdagangan memungkinkan konsumen memperoleh manfaat dari metode-metode produksi yang lebih efisien. Keuntungan skala ekonomi dari perdagangan memungkinkan produsen dapat mengurangi biaya produksi sehingga konsumen dapat mengakses barang yang lebih murah. Selanjutnya Budiono (2001) menjelaskan lima keuntungan yang dapat diperoleh dari perdagangan bebas yaitu : (1) perdagangan bebas berarti peluang mengakses pasar yang lebih luas sehingga memungkinkan diperoleh efisiensi. (2) Perdagangan bebas dapat mendorong iklim usaha ke arah yang lebih kompetitif sehingga mendorong pengusaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya, kondisi iklim usaha kearah yang lebih kompetitif juga memungkinkan untuk mengurangi aktivitas usaha yang bersifat rent seeking. (3) perdagangan bebas dapat mendorong terjadinya alih teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. (4) Dalam perdagangan yang lebih bebas, harga dapat menjadi signal yang benar dalam mengalokasikan sumberdaya sehingga dapat meningkatkan efisiensi investasi; (5) Perdagangan bebas dapat meningkatkan
kesejahteraan
konsumen
maupun
produsen.
Kesejahteraan
konsumen meningkat karena tersedia beragam jenis barang dengan harga yang relatif murah sehingga daya beli meningkat. Sedangkan produsen (perusahaan) memperoleh keuntungan dari kemudahan akses untuk mendapatkan sumber bahan baku, komponen dan jasa yang lebih kompetitif. Selanjutnya kalangan
yang anti
liberalisasi,
beranggapan bahwa
perdagangan bebas akan akan mampu meningkatkan standar hidup melalui keuntungan komparatif dan ekonomi skala besar apabila pihak-pihak yang bersaing memiliki
dan
mendapat
kualitas
faktor-faktor
ekonomi
yang
selevel/berimbang. Apabila faktor-faktor biaya ekonomi mengalami ketimpangan yang tinggi, maka perdagangan bebas hanya hanya merusak industri lokal di negara yang tidak kompetitif. Joseph Stiglitz, peraih nobel ekonomi 2001, mengkritik konsep pasar bebas yang tidak adil dan berimbang. Menurutnya, perdagangan bebas yang tidak berimbang dan adil akan menghancurkan perekonomian suatu bangsa. Perekonomian masyarakat akan hancur apabila
18 produk-produk yang masuk (impor) adalah produk yang lebih murah, sementara produk yang serupa adalah produk yang dihasilkan oleh ratusan ribu masyarakat. Sebagian pekerja ini sangat mungkin mengalami PHK bila seandainya biaya produksi produk-produk tersebut masih jauh di bawah harga jual produk impor. 2.2.Sistem Perdagangan Bebas Multilateral Vs Regional Konsep perdagangan bebas pada awalnya digulirkan oleh negara-negara Eropa dan Amerika terutama setelah berakhirnya perang dunia ke II. Tepatnya pada tahun 1948, sebuah sistem perdagangan bebas dibentuk melalui perjanjian mengenai tarif dan perdagangan, atau yang lebih dikenal dengan istilah GATT (General Agreement on Tariffs and Trade). Menurut Krugman dan Obstfeld (2000), selama tiga dekade sejak pembentukannya GATT (1950-1980), sistem perdagangan multilateral telah mendominasi kebijakan perdagangan internasional. Akan tetapi, diakhir tahun 1980-an, kebijakan perdagangan multilateral mulai bergeser ke sistem perdagangan regional melalui pembentukan Regional Trade Agreement (RTAs), baik dalam bentuk kesepakatan pemberian konsensi tarif (Preferential Tariff Arrangements) perdagangan bebas regional (Regional Free Trade) maupun penyatuan sistem pabean (Custom Union). Kecenderungan
semakin
meluasnya
RTAs
menimbulkan
banyak
perdebatan diantara ahli-ahli ekonomi. Perdebatan tersebut terutama mengenai relevansi RTAs dan masa depan sistem multilateral berdasarkan kerangka GATT yang sekarang fungsinya diganti oleh WTO (World Trade Organization). Ahliahli ekonomi pendukung perdagangan bebas regional (Bergsten, 1997; Baldwin, 1997; Ethier, 1998; Lawrence, 1999) berpendapat bahwa RTAs merupakan langkah maju menuju perdagangan bebas multilateral dan akan memperkuat eksistemsi WTO serta sistem perdagangan internasional. Michalak et al. (1997) berpendapat bahwa regionalisasi perdagangan merupakan salah satu strategi awal bagi seluruh negara sebelum melibatkan diri dalam proses perdagangan multilateral. Sedangkan Desker (2004) berpendapat bahwa secara politis RTAs lebih mudah dikelola oleh sebuah pemerintahan dibandingkan dengan sistem multilateral yang kompleks.
19 Sebaliknya kalangan ekonom yang menentang perdagangan bebas regional (Bhagwati and Krueger, 1995; Panagariya, 1999) berpandangan bahwa RTAs akan menghambat proses liberalisasi perdagangan multilateral, sebab di satu sisi memberikan keleluasaan akses pasar bagi negara anggota, tetapi di lain pihak memproteksi pasar bagi negara-negara di luar anggota RTAs. Bhagwati (1995) menjelaskan lebih lanjut bahwa pembentukan Preferential Trade Area (PTA) akan menimbulkan efek “spaghetti bowl”, yakni sebuah efek yang akan merancukan atau menyulitkan dalam menentukan asal usul barang (rules of origin) yang berhak memperoleh konsesi tarif sesuai kesepakatan PTA. Selanjutnyan Bhagwati dan Panagariya (1996) berpendapat bahwa pembentukan Preferential Tariff Area antara sebuah ekonomi besar dengan ekonomi negaranegara berkembang (hegemonic-centered) seperti NAFTA (North America Free Trade Area) bertentangan dengan sistem perdagangan bebas multilateral sebab perbedaan tingkat ekonomi dan standar tenaga kerja diantara mereka akan menciptakan perdagangan yang tidak seimbang (unfair Trade). PTA akan lebih sesuai dengan sistem perdagangan global apabila dibentuk diantara sesama negara berkembang (non-hegemonic-centered) yang memiliki tingkat pembangunan ekonomi relatif seimbang dan sebelumnya telah memiliki hubungan perdagangan secara tradisional, seperti MERCUSOR, yaitu sebuah blok perdagangan regional yang dibentuk diantara negara-negara Amerika Selatan. 2.2.1. Sistem Perdagang Bebas Multilateral Sebelum adanya WTO, perdagangan diatur dengan General Agreement on Tariff and Trade (GATT). GATT dibentuk pada tahun 1947 di Bretton Woods, yang kelahirannya bersamaan dengan kelahiran Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF). GATT dibentuk untuk mendorong penurunan secara progresif hambatan perdagangan melalui negosiasi yang berlangsung reguler atau yang sering disebut sebagai “putaran” perundingan. Sejak berdirinya GATT melaksakan delapan kali putaran perundingan yang dilakukan antara tahun 1947 sampai 1994. Menurut Crowley (2003), sejak berdirinya GATT sebenarnya cukup berhasil dalam menurunkan tarif. Secara keseluruhan, kesuksesan dari putaran
20 negosiasi tersebut terlihat dari menurunya tarif untuk anggota GATT dari 35 persen pada tahun 1946 menjadi 6,4 persen pada tahun 1986. Dalam periode yang sama volume perdagangan antaranggota GATT meningkat dengan 25 kali lipat. Namun karena GATT hanyalah seperangkat perjanjian kesepakatan dan bukan merupakan suatu institusi, GATT memiliki kelemahan-kelemahan terutama dalam menangani konflik perdagangan diantara anggotanya, sehingga tidak memiliki suatu landasan hukum yang kuat dalam memecahkan perselisihan diantara anggotanya dan akibatnya mekanisme penyelesaian sengketa GATT tidak dapat berjalan efektif. Atas dasar berbagai kelemahan pada GATT, maka dalam putaran terakhir GATT pada tahun 1994, yang berlangsung di Punta del Este, Uruguay, atau yang dikenal dengan Putaran Uruguay, para peserta menyepakati pendirian WTO (World Trade Organization) dengan memasukkan berbagai persetujuan yang mampu
mencakup
berbagai
persoalan
yang
dihadapi
anggota.
Selain
pembentukan WTO, putaran Uruguay juga menyepakati beberapa keputusan penting diantaranya disepakatinya perjanjian perdagangan di sektor jasa (the General Agreement on Trade in Services/GATS), perjanjian mengenai hak properti intelektual terkait dengan perdagangan (Trade-related Intelectual Property Rights/TRIPS), perjanjian di sektor investasi (Trade-related Investement Measures /TRIMSs). WTO juga merangkum badan dunia lainnya dan memiliki tingkat legalitas yang kuat sehingga memiliki kekuatan hukum dalam melaksanakan keputusannya. Ratusan negara yang terdiri negara maju dan negara berkembang ikut meratifikasi pendirian organisasi perdagangan dunia ini, termasuk Indonesia (World Trade Organization, 2006). Sejak pendiriannya tahun 1995, WTO telah menyelenggarakan 6 (enam) kali Konferensi Tingkat Menteri (KTM). KTM adalah forum pengambilan kebijakan tertinggi dalam organisasi perdagangan dunia ini. Dari sejumlah KTM yang telah dilaksanakan KTM IV dianggap oleh banyak pihak sebagai KTM yang mulai menghasilkan keputusan-keputusan penting (Hendrahan dan Schnept, 2006 dalam Hariyadi, 2008). KTM IV yang berlangsung pada tanggal 9-14 November 2001 di Doha Qotar, menghasilkan dokumen utama berupa Deklarasi Menteri atau disebut Doha Development Agenda (DDA) yang menandai dimulainya
21 perundingan baru yang akan membahas : perdagangan produk pertanian, investasi, jasa isu lingkungan dan hak atas kekayaan intelektual (HAKI), penyelesaian sengketa dan peraturan-peraturan WTO lainnya. DDA
juga
dinilai
menghasilkan
langkah
maju
karena
berhasil
mengamatkan kepada WTO untuk memberi bantuan pembangunan kepada negara-negara
berkembang,
sehingga
mereka
dapat
mengintegrasikan
ekonominya ke dalam sistem perdagangan multilateral. Salah satu isu penting yang dihasilkan dalam DDA adalah disetujuinya negosiasi yang komprehensif dalam bidang pertanian dengan tiga pilar utama yakni (1) perluasan akses pasar melalui penurunan tarif, (2) penurunan subsidi ekspor dan kredit ekspor sehingga tercipta persaingan ekspor yang komprehensif, dan (3) penghapusan/penurunan subsidi domestik kepada petani di negara-negara maju untuk menghilangkan distorsi pasar. WTO sebagai satu-satunya lembaga internasional yang secara khusus mengatur perdagangan antarnegara, memiliki tiga prinsip utama adalah : (1) Prinsip Most Favored Nation (MFN): Artinya bahwa setiap perlakuan yang diberikan kepada satu anggota WTO harus sama dengan perlakuan ke negara anggota lainnya, dengan kata lain setiap negara tidak bisa mengistimewakan salah satu negara mitra dagangnya, kecuali jika negara tersebut bukan anggota WTO. Prinsip MFN dapat dikatakan sebagai penerapan standar dari kebijakan perdagangan global. (2) Prinsip National Treatment (NT) : Prinsip ini menekankan bahwa perlakuan terhadap produk-produk yang berasal dari negara anggota WTO tidak boleh berbeda dengan perlakuan terhadap produk hasil domestik. (3) Prinsip Transparancy : Prinsip ini menekankan bahwa setiap negara anggota diwajibkan untuk bersikap terbuka terhadap berbagai kebijakan perdagangannya sehingga memudahkan para pelaku usaha untuk melakukan kegiatan perdagangan. (World Trade Organization, 2005). Selanjutnya dalam negosiasi, WTO menerapkan asas resiprositas dan nondiskriminasi. Resiprositas berarti bahwa tawaran dari satu negara untuk menurunkan hambatan perdagangannya akan disertai dengan tawaran tawaran dari negara lain untuk menurunkan hambatan perdagangannya juga. Sedangkan nondiskriminasi berarti bahwa apa yang ditawarkan oleh satu negara ke negara lain
22 juga harus ditawarkan ke semua negara anggota lainnya. Dalam pengambilan keputusan, WTO juga menerapkan sistem konsensus yang diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan semua anggota, Haryadi (2008),. Pemerintah Indonesia meratifikasi pembentukan WTO pada tanggal 2 Nopember dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Indonesia juga telah mengadopsi prinsip-prinsi regim perdagangan bebas ini dan telah mengambil sejumlah langkah dalam mengurangi proteksi perdagangan, sesuai dengan skedul komitmen Indonesia dalam perjanjian dengan WTO. 2.2.2. Sistem Perdagang Bebas Regional Perjanjian Perdagangan Regional atau Regional Trade Agreements (RTAs) telah menjadi kecenderungan yang sangat menonjol. Gelombang pembentukan RTAs terus berlanjut sejak terbentuknya WTO tahun 1995. Menurut sekretariat WTO, bahwa pada tahun 1998 terdapat 102 RTAs yang didaftarkan di GATT/WTO, dimana 78 RTAs merupakan perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTAs), 11 RTAs merupakan perjanjian perdagangan dalam bidang jasa. Terdapat sebanyak 13 perdagangan bebas yang tidak aktif. Selanjutnya pada awal tahun 2010, WTO memperkirakan Jumlah RTAs sudah mencapai 462 RTAs yang didaftarkan ke GATT/WTO, di mana diantaranya terdapat sebanyak 345 RTAs merupakan perjanjian perdagangan bebas (FTAs), sisanya merupakan kesepakatan tarif (Preferential Tariff Arrangements) dan penyatuan sistem pabean (Custom Union) dan perjanjian di sektor jasa (Srvice Agreements). Perjanjian didirikannya organisasi perdagangan dunia WTO pada tahun 1995. Dari total RTAs yang terdapat di GATT/WTO pada periode yang sama hanya 271 RTAs yang masih aktif. Dari total RTAs yang terdapat di GATT/WTO, sebagian diantaranya melibatkan banyak negara anggota seperti misalnya Uni Eropa (25 negara), The Association of Southeast Asian Nation Free Trade Area (AFTA) beranggotakan 10 negara, ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) beranggotakan 11 yakni sepeuluh anggota ASEAN plus China. Beberapa RTAs tersebut merupakan perdagangan bebas secara bilateral, yakni sebuah perjanjian perdagangan bebas yang hanya melibatkan dua negara. Banyak negara di dunia selain bergabung
23 dalam blok peragangan regional, juga membentuk perdagangan bebas bilateral. Singgapore misalnya, selain aktif menjadi AFTA, ACFTA, juga membuat perjanjian bebas bilateral dengan negara lain seperti : Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Korea Selatan. Berdasarkan situs resmi WTO, perkembangan RTAs sejak terbntuknya GATT/WTO hingga awal tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
Sumber : WTO, 2010 Gambar 2 Perkembangan Jumlah Regional Trade Agreements 1949-2009. Hartono
at
al
(2007)
menyebutkan
bahwa
Indonesia
selain
keanggotaannya dalam WTO, terdapat tiga perjanjian regional yang dihadapi saat ini yakni AFTA, APEC dan ASEAN-China FTA. Pertama, AFTA atau ASEAN Free Trade Area adalah perjanjian diantara negara-negara ASEAN membentuk kawasan perdagangan bebas diantara anggota-anggotanya yang dibentuk pada tahun 1992. Sebelumnya AFTA hanya mencakup penurunan tarif untuk beberapa komoditi termasuk komoditi pertanian yang dianggap sensitif secara politis. Anggota-anggota ASEAN yang memiliki tarif di atas 20% harus turun menjadi 20% dan mengurangi lagi menjadi 0-5% dalam sepuluh tahun berikutnya. Sementara anggota ASEAN yang memiliki tarif di bawah 20% harus menurunkan menjadi 0-7% dalam tujuh tahun berikutnya. Setelah itu, komoditi pertanian
24 menjadi produk yang paling rumit dinegosiasikan karena hal itu sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia dan Philipina. Akhirnya, anggota ASEAN menyetujui bahwa liberalisasi produk pertanian akan dimulai tahun 2003 dan harus selesai pada tahun 2010. Kedua, Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) yang didirikan pada tahun 1989 dan beranggotakan 21 negara, bertujuan untuk mempererat kerjasama ekonomi antara negara-negara pasifik bagian barat dan bagian timur. Dalam jangka panjang, APEC memiliki agenda untuk membangun perdagangan bebas dan investasi di Asia Pasifik. Ada tiga pilar yang mendukung APEC, yaitu liberalisasi perdagangan dan investasi, memfasilitasi perdagangan dan investasi, dan kerjasama di bidang ekonomi dan teknologi. APEC mendorong anggotanya untuk membangun kerjasama secara sepihak ke negara-negara non-anggota APEC dibandingkan membangun kerja sama regional antara para anggotanya. Kawasan perdagangan bebas regional terbaru yang ditandatangani oleh Indonesia adalah ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). ACFTA didirikan pada tanggal 4 November 2002 dan akan efektif dalam periode sepuluh tahun ke depan. Tarif pengurangan harus dimulai pada 1 Januari 2005 sampai 2010 untuk ASEAN 6 (Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand) dan China. Sementara itu, bagi anggota baru ASEAN (Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam), penurunan tarif harus mulai pada tanggal 1 Januari 2005 sampai dengan 2015. Beberapa negara Asia dan ASEAN sebagai blok saat ini mengembangkan perjanjian dan kerangka kerjasama perdagangan dan ekonomi dengan negaranegara Non-ASEAN. Diantara inisiatif kerjasama yang melibatkan anggota ASEAN adalah (a) ASEAN-Japan Framework for Comprehensive Economic Parthenrship (CEP) yang ditandatangani pada 8 Oktober 2003. CEP diharapkan melaksanakan FTA pada tahun 2012; dalam CEP disetujui bahwa negosiasi konsesi liberalisasi dilaksanakan secara bilateral; (c) ASEAN-India yang perjanjian kerangka kerjasamanya ditandatangani pada 8 Oktober 2003 dan akan diberlakukan pada tahun 2011; (c) US enterprise for Asean initiative (diumumkan oleh AS pada Oktober 2002) bertujuan untuk menciptakan jaringan yang menghubungkan Asean FTA dengan Amerika Serikat secara bilateral; (d) Inisiasi
25 perdagangan Trans-regional ASEAN-Uni Eropa (Trans-regional EU-Asean trade initiative) di mana pada tanggal 4 April 2003, para menteri perdagangan Asean dan Uni Eropa setuju meningkatkan kemitraan ekonomi ASEAN-Uni Eropa. Selain itu, terdapat kemitraan ASEAN dengan Australia, Selandia Baru dan Korea Selatan. Sebagian besar kerangka tersebut di atas mencakup liberalisasi perdagangan barang, jasa dan investasi, kekayaan intelektual dan mekanisme penyelesaian sengketa (Khor, 2005). 2.3. Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) 2.3.1. Dasar dan Sejarah Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan bentuk kerjasama perdagangan bebas secara regional antara negara-negara ASEAN dengan Republik Rakyat China. Pembentukan kawasan perdagangan bebas ini didasari oleh keputusan yang dibuat oleh kepala negara/pemerintahan ASEAN atas usulan China mengenai “kerangka kerjasama ekonomi dan pendirian kawasan perdagangan bebas ASEAN-China” pada pertemuan puncak ASEAN dan Republik Rakyat China di Brunei pada 6 Nopember 2001. Ketika itu China mengusulkan akan membuka pasarnya dalam beberapa sektor andalan (key sectors) dengan negara-negara ASEAN selama lima tahun sebelum mereka saling terbuka (reciprocate). China juga akan memberlakukan preferential tariff untuk beberapa barang dari negara ASEAN yang kurang berkembang seperti Kamboja, Laos dan Myanmar (Lijun, 2003). ASEAN menerima usulan tersebut dan pada pertemuan puncak ASEANChina pada tanggal 4 Nopember 2002 di Phnom Penh Kamboja, dilakukan penandatanganan persetujuan fremework agreement mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara negara-negara Anggota ASEAN dan Republik Rakyat Cina, sebagai instrumen legal untuk mengatur kerjasama ASEAN-China ke depan. Seperti yang tertuliskan dalam fremework agreement ACFTA, bahwa tujuan kesepakatan ini adalah (a) memperkuat dan meningkatkan kerjasama perdagangan kedua pihak; (b) meliberalisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif; (c) mencari area baru dan
26 mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak; (d) memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani kesenjangan yang ada di kedua belah pihak. Dalam kesepakatannya, ACFTA akan dimulai diberlakukan tepat pada 1 Januari tahun 2010 untuk China dan enam negara lama ASEAN –Brunei, Indonesia, Malaysia, Phillipina, Singapore dan Thailan (ASEAN-6) dan pada tahun 2015 untuk negara anggota baru ASEAN –Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam (ASEAN-10). Di Indonesia, persetujuan kerangka kerjasama dalam ACFTA diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden (KEPRES) Nomor 48 Tahun 2004, dengan penetapan berlakunya kerangka kerja ACFTA pada tanggal 1 Januari 2010. 2.3.2. Kerangka Kesepakatan (framework Agreement) ACFTA Berdasarkan kerangka kesepakatan (framework agreement) ASEANChina Free Trade Area, yang telah di tandatangani pada tahun 2002 di Phnom Penh Kamboja, maka untuk mewujudkan perdagangan bebas ASEAN-China pada tahun 2010 bagi China dan ASEAN-6 dan pada tahun 2015 untuk ASEAN-10, masing-masing negara menyepakati bahwa liberalisasi perdagangan antara kedua belah pihak akan dilaksanakan secara bertahap menurut jadwal yang disepakati dan bersifat timbal balik (reciprocal). Terdapat dua hal penting dalam pelaksanaan ACFTA yakni penurunan dan penghapusan tarif dan pengaturan Surat Keterangan Asal Barang (SKA) atau Rules of Origin (ROO) yang bertujuan mendapatkan konsesi tarif ACFTA. Penurunan tarif untuk barang yang tercantum dalam Early Harvest Programme (EHP), secara efektif mulai diberlakukan pada tahun 2004. Sedangkan untuk barang-barang yang tidak masuk dalam daftar EHP, sebagaimana diputuskan dalam perjanjian perdaganan barang (Agreement on Trade in Goods atau TIG) yang ditandatangani pada bulan Nopember 2004 di Vientinane, Laos, maka pengurangan dan penghapusan tarif untuk barang diluar EHP, dikelompokkan dalam dua kategori (normal track dan sensitive track) dan akan diberlakukan mulai Januari 2005. Secara lebih detail kerangka kerjasama (framework agreement) ACFTA akan dijelaskan sebagai berikut.
27 2.3.2.1. Pengurangan dan Penghapusan Tarif Barang Berdasarkan kesepakatan dalam dokumen perjanjian perdagangan barang (Agreement on Trade in Goods) dalam ACFTA, bahwa pengurangan atau penghapusan tariff dibagi dalam tiga kategori yaitu: (1) Early Harvest Programme (EHP), (2) Normal Track dan (3) Sensitive Track.. Early Harvest Programme (EHP) Early Harvest Programme (EHP) bertujuan untuk mempercepat penurunan tarif perdagangan barang sesuai kerangka kerjasama ASEAN-China FTA. Cakupan barang yang masuk kedalam EHP adalah produk yang terdaftar dalam Harmonized System (HS) Chapter 01 – 08, kecuali jika dimasukkan kedalam Exclusion List (EL) seperti yang disebut dalam Annex 1 Agreement on Trade in Goods (TIG) ACFTA. EHP juga mencakup produk lain yang disepakati secara bilateral antara negara-negara ASEAN dan China. Cakupan produk yang masuk dalam EHP ACFTA ditunjukkan dalam Tabel 2 berikut. Tabel 2 Cakupan Produk yang Masuk Early Harvest Program (EHP) ACFTA HS Chapter 01 02 03 04 05 06 07 08
Deskripsi Hewan hidup Daging dan produk daging dikonsumsi Ikan Produk susu Produk hewan lainnya Pohon hidup Sayuran dikonsumsi Buah-buahan dikonsumsi dan nuts
Sumber : ASEAN Secretariat, 2010
Semua produk yang masuk dalam skema EHP tersebut selanjutnya dibagi menjadi 3 (tiga) kategori berdasarkan tingkat tarif MFN yang berlaku saat ini dimasingmasing negara, yaitu : 1. Kategori 1, adalah produk dengan tingkat tarif MFN > 15 persen untuk China dan ASEAN-6 dan ≥ 30 persen untuk negara anggota baru ASEAN yakni Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam (CLMV). 2. Kategori 2, adalah produk dengan tingkat tarif MFN antar 5 - 15 persen untuk China dan ASEAN-6 dan 15 - 30 persen untuk negara–negara CLMV.
28 3. Kategori 3, adalah produk dengan tingkat tarif MFN < 5 persen untuk China dan ASEAN-6 dan < 15 persen untuk negara-negara CLMV. Penurunan tarif EHP sesuai skema EHP akan dilaksanakan secara bertahap dan secara efektif mulai
berlaku tidak lewat dari tanggal 1 Januari 2004.
Berdasarkan skema penurunan tarif, maka liberalisasi barang-barang yang terdaftar dalam EHP mulai diberlakukan pada tahun 2006 untuk China dan ASEAN-6 dan untuk untuk ke 10 negara ASEAN berlaku mulai tahun 2010. Skema penurunan dan penghapusan tarif untuk Early Harvest Programme (EHP) untuk China dan ASEAN-6 adalah sebagai berikut. Tabel 3
Jadwal Penurunan dan Penghapusan Tarif Early Harvest Program (EHP) Untuk China dan ASEAN-6 dalam ACFTA
Kategori Produk Tarif MFN di atas 15% Tarif MFN antara 5 – 15 % Tarif MFN di bawah 5%
Tidak lewat 1 January 2004 10%
Tidak lewat 1 January 2005 5%
Tidak lewat 1 January 2006 0%
5%
0%
0%
0%
0%
0%
Sumber : ASEAN Secretariat, 2010
Normal Track Berdasarkan perjanjian dalam Trade in Goods (TIG), bahwa tarif yang masuk dalam kategori Normal Track dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Normal Track I dan Normal Track II. Penurunan tarif pada Normal Track I menjadi 0 persen di negara-negara ASEAN-6 dan China akan dimulai Juli 2005 sampai dengan tahun 2010, sedangkan untuk negara ASEAN baru (CLMV) berlaku pada tahun 2015. Jadwal penurunan tarif Normal Track I untuk ASEAN-6 dan China terlihat pada Tabel 4 berikut.
29 Tabel 4
Skema Penurunan Tarif Normal Track I Untuk China dan ASEAN-6 dalam ACFTA
X= Applied MFN Tariff Rate X > 20% 15% < X < 20% 10% < X < 15% 5% < X < 10% X < 5%
ACFTA Preferential Tariff Rate (Not later than 1 January 05) 2005* 2007 2009 20 12 5 15 8 5 10 8 5 5 5 0 Standstill 0
2010 0 0 0 0 0
Sumber : ASEAN Secretariat, 2010
Untuk kelompok barang yang masuk dalam kelompok Normal Track II, penurunan tarifnya menjadi 0 persen akan diberi fleksibilitas hingga tahun 2012 untuk China dan ASEAN-6, sedangkan untuk negara-negara anggota baru ASEAN ditargetkan hingga tahun 2018 dan dibatasi untuk maksimum 250 jenis pos tarif. Dalam Agreement Trade in Goods juga disebutkan bahwa pada Normal Track apabila tingkat tarif MFN sudah 0%, maka tetap akan menjadi 0%. Apabila telah mengalami pengurangan menjadi 0% maka akan tetap 0%. Semua pihak tidak diperbolehkan menaikkan tariff rates pada tariff lines manapun, kecuali berdasarkan ketentuan dalam perjanjian yang disepakati. Sensitive Track Tingkat tarif MFN yang berlaku pada seluruh produk yang di daftar dalam Sensitive Track tidak harus dihapus (0 persen), tetapi diturunkan secara bertahap hingga tingkat tertentu (0 – 5 Persen) sesuai jadwal yang disepakati. Sensitive Track dibagi menjadi : Sensitive List dan Hight Sensitive List. Penurunan tarif untuk barang yang terdaftar dalam Sensitive Track diatur sebagai berikut: 1. Tingkat tarif MFN yang berlaku atas produk sensitif di ASEAN-6 dan China harus diturunkan menjadi 20 persen pada Januari 2012, dan selanjutnya menjadi 0 – 5 persen pada tahun 2018. 2. Tingkat tarif MFN yang berlaku atas produk sensitif di negara CLMV harus diturunkan menjadi 20 persen pada Januari 2015 dan selanjutnya menjadi 0 – 5 persen pada Januari 2020.
30 3. Untuk produk yang sangat sensitif (Hight Sensitive) tingkat tarif MFN yang berlaku harus diturunkan kurang 50 persen pada Januari 2015 untuk China dan ASEAN-6 dan Januari 2018 untuk CLMV. Jumlah tariff lines yang boleh dimasukan oleh masing-masing pihak dalam Sensitive Track harus didasarkan pada pembatasan maksimum ceiling ; untuk ASEAN 6 and China : 400 tariff lines pada level HS 6-digit dan 10 persen dari total nilai import, berdasarkan statistik perdagangan 2001. Selanjutnya, tariff lines yang ditempatkan oleh masing-masing pihak dalam Hight Sensitive List (HSL) harus berdasarkan pada ketentuan ceiling yaitu untuk ASEAN 6 and China: tidak lebih dari 40 persen dari jumlah total tariff lines dalam Sensitive Track atau 100 tariff lines pada level HS-6 digit. 2.3.2.2. Keterangan Asal Barang (SKA) atau Rules of Origin (ROO) Dalam menentukan keaslian produk yang memenuhi syarat untuk konsesi tarif preferensial sesuai dengan perjanjian dalam ASEAN-China FTA, maka diperlukan Pengaturan Surat Keterangan Asal Barang (SKA) atau Rules of Origin (ROO). Jenis barang yang akan diberikan konsesi tarif apabila memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Produk yang seluruh bagian-bagiannya diperoleh atau dihasilkan di negaranegara ASEAN dan China. Produk yang memenuhi kriteria ini adalah : tumbuhan dan hasil yang dipanen atau dikumpulkan dari tumbuhan, hewan yang dibudidayakan termasuk hasil tangkapan, sumberdaya alam termasuk mineral yang diekstraksi di ASEAN dan China. 2. Produk yang hanya sebagian diperoleh atau dihasilkan di negara ASEAN dan China. Dalam hal ini, kandungan mineral yang berasal dari ASEAN dan atau China sekurang-kurangnya harus 40 persen yang dihitung dengan rumus : Value of Non-ACFTA Materials
Value of + Non-ACFTA Materials
FOB Price
X 100% < 60%
31 Apabila satu jenis barang memiliki kandungan material yang berasal dari ASEAN dan atau China ≥ 40 persen, maka produk tersebut berhak untuk memperoleh konsesi tarif FTA ASEAN-China. 2.4. Liberalisasi Perdagangan Pertanian dan Perekonomian Pedesaan Secara umum kawasan pedesaan sering dicirikan sebagai sebuah wilayah yang memiliki tingat kepadatan penduduk rendah, dimana sebagian besar penduduknya mempunyai kegiatan utama pertanian serta dengan hubungan sosial masyarakatnya yang masih kuat. Dalam persfektif regional, kawasan pedesaan juga sering dikontraskan dengan kawasan perkotaan, yakni kawasan yang padat penduduk dengan aktivitas ekonomi didominasi oleh sektor non pertanian sepeti industri atau jasa-jasa. Meski ciri kedua kawasan tersebut sangat kontras, namun komunitas masyarakat pedesaan dan perkotaan memiliki hubungan fungsional yang cukup kuat. Kawasan pedesaan merupakan tempat memproduksi berbagai komoditi pertanian, termasuk komoditi pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok masyarakat perkotaan, serta memasok bahan baku untuk keperluan industri perkotaan. Sebaliknya kawasan perkotaan juga menyediakan berbagai hasil-hasil industri untuk memenuhi berbagai kebutuhan penduduk pedesaan, termasuk kebutuhan untuk mendukung aktivitas produksi pertanian mereka di pedesaan. Gambaran tersebut mengisyaratkan bahwa sesungguhnya pembangunan pedesaan tidak terlepas dari kemajuan pembangunan sektor pertanian itu sendiri serta kemajuan pembangunan perkotaan yang mampu memberikan spread effect terhadap pembangunan pedesaan. Di Indonesia pengertian desa scara formal didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005. Dalam undang-undang tersebut Desa disebutkan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya pada UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan perdesaan didefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian,
32 termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Selanjutnya dari perspektif sosial dan kegiatan ekonomi msyarakat pedesaan, Hayami dan Kikuchi (1987) mengartikan desa sebagai tempat orang hidup dalam
ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi. Menurutnya, desa terdiri dari rumah tangga petani dengan kegiatan produksi, konsumsi dan investasi hasil keputusan keluarga secara bersama. Pengertian ini lebih mengacu pada cara hidup masyarakat desa secara keseluruhan. Terkait dengan pembangunan desa, berbagai definisi telah dikemukakan oleh para ahli. Secara tradisional, Mosher (1974) mendefinisikan pembangunan perdesaan sebagai pembangunan usahatani atau pembangunan pertanian. Menurut Hansen (1981) pembangunan perdesaan merupakan upaya meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian dan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Senada dengan hal tersebut, Collier et al. (1996) mengartikan pembangunan perdesaan sebagai perubahan orientasi dari pertanian produksi ke bisnis seluas-luasnya. Hafsah (2006) menyatakan bahwa tujuan filosofi dari pembangunan perdesaan adalah meningkatkan motivasi masyarakat dalam membangun dan memobilisasi dirinya untuk bekerjasama dalam pencapaian tujuan bersama serta meningkatkan kapasitasnya dalam melaksanakan pembangunan, baik dalam aspek fisik, politik maupun ekonomi. Karena itu tujuan praktis dari pembangunan perdesaan ini adalah : a. Meningkatkan produktivitas ekonomi perdesaan seperti dengan inovasi teknologi (modernisasi pertanian) dan mengintroduksikan perubahanperubahan sosial dan kelembagaan yang berkaitan dengan pemilikan tanah, organisasi masyarakat (kelompok tani, asosiasi petani dan koperasi), perencanaan pemerintah dan administrasi pemerintah. b. Meningkatkan kesempatan kerja dan pendistribusian kesejahteraan yang lebih merata. c. Mengembangkan sistem pelayanan sosial dengan menyediakan sistem pelayanan terpadu yang ekonomis dan efektif serta komprehensif.
33 d. Meningkatkan kapasitas politik dan administrasi melalui peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengorganisir dirinya. Dalam konteks pendekatan pembangunan perdesaan ini, Misra dan Bhooshan (1981) mengidentifikasi beberapa pendekatan dan strategi yang telah dilaksanakan oleh berbagai negara sedang berkembang dalam mengatasi masalah keterbelakangan perdesaan. Pendekatan dan strategi tersebut adalah: 1) migrasi ke daerah baru; 2) pembangunan pertanian; 3) industrialisasi perdesaan; 4) pendekatan kebutuhan dasar; 5) pembangunan perdesaan terpadu; 6) strategi pusat pertumbuhan dan 7) pendekatan agropolitan. Terlepas dari berbagai pendekatan dan program tersebut, pembangunan perdesaan pada dasarnya merupakan pembangunan yang bersifat multi aspek. Karenanya perlu dianalisis secara lebih terarah serta keterkaitannya dengan berbagai sektor, dan aspek di luar perdesaan (fisik dan non fisik, ekonomi dan non ekonomi, sosbud dan non spasial). Menurut Esman dan Uphoff (1988), terdapat empat jenis pembangunan perdesaan, yakni: 1) yang berbasis pertanian; 2) yang berbasis multisektor; 3) yang berbasis sumber daya alam dan lingkungan; dan 4) yang berbasiskan pelayanan jasa-jasa sosial berupa kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Mosher (1974) mengemukakan agar desa dapat berkembang menjadi lebih pogresif, harus memiliki beberapa komponen akselerator, yaitu: 1) desa harus mempunyai kota-kota pasar (market town); 2) perlu dibangun jalan-jalan perdesaan untuk memperluas dan menekan biaya serta mempermudah penyaluran informasi dan jasa; 3) di desa harus ada percobaan-percobaan pengujian lokal (local verification trials) untuk memilih cara berusaha yang paling sesuai dengan keadaan setempat; 4) harus ada aparat penyuluhan di mana penduduk dapat belajar tentang teknologi baru dan bagaimana mempergunakan teknologi baru tersebut; dan 5) tersedia fasilitas-fasilitas kredit untuk membiayai produksi dan pemasaran hasil. Pemikiran Mosher tersebut dikembangkan oleh beberapa pakar di Indonesia dengan memasukkan aspek sosial dan kelembagaan. Soewandi (1976) mengemukakan bahwa untuk tercapainya proses modernisasi perdesaan ada dua hal utama yang perlu diperhatikan yaitu 1) mengembangkan kelembagaan-kelembagaan baru dalam masyarakat desa sebagai pendukung
34 terhadap sistem perekonomian dinamis, yang mampu melibatkan sebanyakbanyaknya warga desa dalam sistem perekonomiannya, 2) mendorong perkembangan sektor-sektor non-pertanian untuk menyerap kelebihan tenaga kerja di bidang pertanian. Selanjutnya Prabowo (1995) mengemukakan bahwa diperlukan adanya diversifikasi usaha perdesaan yang selain mampu mendorong produksi pertanian tradisional, juga mampu memacu pertumbuhan kegiatan ekonomi rakyat perdesaan
yang
dapat
menjadi
landasan
bagi
pertumbuhan
yang
berkesinambungan dan pemerataan. Murdoch (2000) juga mengemukakan bahwa dalam pembangunan masyarakat desa, selain perlu membangun keterkaitan vertikal juga perlu membangun keterkaitan horisontal dengan memperkuat produksi lokal yang bermanfaat bagi ekonomi perdesaan secara keseluruhan dengan mengintegrasikannya ke dalam perekonomian yang lebih luas. Dalam hal ini, pembangunan masyarakat desa bukan hanya sektor pertanian (produksi) tetapi juga sektor pertanian yang berkaitan dengan ekonomi daerah perkotaan. Peningkatan produktivitas ekonomi perdesaan terutama bidang pertanian memerlukan kelembagaan yang mengakar di tingkat masyarakat (Pranoto 2005). Saptana et al. (2004) menguraikan hubungan pembangunan pedesaan dengan pembangunan kelembagaan. Dijelaskan bahwa penyebab utama rapuhnya perekonomian rakyat di perdesaan, adalah rapuhnya kelembagaan yang mendukungnya. Beberapa persoalan utama yang dihadapi kelembagaan ekonomi tradisional di perdesaan adalah kemampuan yang lemah dalam menggalang jaringan kerja sama dengan kelembagaan modern, rendahnya kapasitas internal untuk dapat bersaing di bidang ekonomi, dan menghadapi tekanan dari luar (di bidang gaya hidup, ekonomi, politik, social dignity dan budaya kota dan manca negara). Tangermann (2005) menyebutkan bahwa pandangan dari para peneliti maupun dari pembuat kebijakan secara umum adalah sama bahwa dampak liberalisasi perdagangan pertanian menguntungkan penduduk perkotaan dan merugikan penduduk pedesaan, bila negara-negara berkembang menghapus tarif impor komoditi-komoditi pertanian. Keuntungan perkotaan berasal dari biaya konsumsi yang lebih rendah, sementara kerugian pedesaan adalah konsekuensi
35 dari meningkatnya kompetisi produk pertanian dengan barang-barang impor, sehingga menekan baik laba maupun upah di sektor yang merupakan lapangan pekerja
utama
kebanyakan
rumahtangga
di
negara-negara
berkembang.
Konsekuensi menarik dari argumen ini adalah bahwa liberalisasi pertanian akan mempengaruhi
kesejahteraan
rumah
tangga
pedesaan
di
negara-negara
berkembang dengan menekan harga dunia untuk barang-barang pertanian. Beberapa pandangan yang cenderung memperkuat argumen bahwa reformasi perdagangan pertanian berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan pedesaan di negara-negara berkembang. Pertama, dikemukakan oleh Valdes dan McCalla (2004) bahwa banyak rumah tangga pedesaan di negara-negara berkembang menghasilkan produk-produk pangan seperti gandum (grain), akan tetapi negara-negara yang berpenghasilan tinggi memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi bahan pangan tersebut. Dengan menghapus tarif impor produk pangan menyebabkan ekonomi pedesaan di negara berkembang rentan terhadap persaingan dari produsen pangan di negara maju. Kombinasi program pendukung bagi para petani pangan di negara-negara berpenghasilan tinggi dengan reformasi tarif di negara-negara berkembang, menimbulkan kerusakan pada perekonomian pedesaan di negara-negara berkembang. Lebih lanjut dijelaskan bahwa lebih dari dua pertiga dari negara-negara berkembang adalah net importers produk pangan. Kedua, efek dari reformasi pertanian di negara-negara berpenghasilan tinggi cenderung diredam karena dalam banyak kasus negara-negara berkembang sudah memiliki akses preferensial (preferential access) ke pasar negara maju untuk ekspor pertanian mereka. Negara-negara berkembang adalah net exporters produk pertanian tropis, dimana persaingan dengan negara maju umumnya tidak menjadi masalah. Akses prefrensial mencakup sebagian besar ekspor negara berkembang ke Uni Eropa dan Amerika Serikat, mencapai lebih dari 90 persen dari semua ekspor pertanian daerah ini untuk beberapa negara berkembang (Wainio et al. 2005). Berdasarkan argumen ini, negara-negara berkembang tetap mendapatakan keuntungan yang kecil (dalam hal peningkatan akses ke pasar Negara berpenghasilan tinggi) daripada kerugian mereka (dengan mengekspos produsen mereka untuk berkompetisi) dari liberalisasi perdagangan pertanian.
36 Bahkan, beberapa LDC mungkin kehilangan dari liberalisasi perdagangan sebagai akibat dari erosi preferensi1 (Tangermann 2005). Beberapa bukti dari model economic-wide menunjukkan bahwa dampak reformasi perdagangan pertanian di negara-negara berkembang (LDC) akan positif, namun, sebagian besar beralasan bahwa efek reformasi tersebut terletak pada sektor non-pertanian. Tangermann (2005) melaporkan temuan dari model GTAP bahwa liberalisasi penuh pertanian oleh negara-negara berpenghasilan tinggi akan meningkatkan term of trade non-pertanian bagi negara berkembang, sehingga memberikan keuntungan pendapatan. Namun, Anderson dan Valenzuela (2007), menggunakan model GTAP, menemukan efek negatif dari negara yang melakukan reformasi perdagangan pertanian terhadap nilai tambah pertanian di semua negara-negara berkembang yang dianalisis. FAO, (2003) dalam laporannya menjelaskan bahwa liberalisasi perdagangan dan globalisasi berperan penting dalam meningkatkan peran sektor pertanian sebagai mesin pertumbuhan di negara-negara berpenghasilan rendah. Penurunan proteksi dan subsidi pertanian, terutama di negara-negara maju dan peran pemerintah dalam memfasilitasi pengembangan akses terhadap asset pertanian dan mengoreksi kegagalan pasar dan distorsi ke pasar domestik, akan membantu banyak orang miskin pedesaan untuk mendapatkan harga produk pertanian yang lebih baik serta memperbaiki kehidupan dan mata pencaharian mereka. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, pertumbuhan pertanian berkelanjutan dan pembangunan pedesaan dapat dicapai dengan beberapa faktor kunci :
(1) akses atau hak
terhadap asset (tanah, air, hewan ternak, teknologi); (2) akses ke pasar yang adil dan kompetitif, baik pasar domestik maupun pasar internasional, untuk produk pertanian; (3) informasi yang diperlukan dan infrastruktur fisik untuk memudahkan mengakses pasar. Dijelaskan pula bahwa setidaknya terdapat tiga prioritas untuk mempercepat pertumbuhan pertanian dan pembangunan pedeaan di negara-negara berkembang yakni (1) mengembangkan potensi pertanian produktif; (2) diversifikasi kegiatan pertanian dan kegiatan non-pertanian produktif; dan (3) menjaga kesempatan kerja pedesaan yang tidak sehat dan fluktuasi yang berlebihan pada pasar domestic dan pasar internasional. 1 Erosi preferensi mengacu pada kerugian akses prefrensial pasar relatif terhadap keuntungan negara lainnya dari reformasi perdagangan
37 Menurut Taylor et al (2010) bahwa dalam teori mikroekonomi, dampak liberalisasi pasar pertanian terhadap kesejahteraan pedesaan (rural welfare) di negara kurang berkembang (LDC) adalah belum jelas, karena dengan liberalisasi, rumah tangga pedesaan akan menghadapi harga internasional yang fluktuatif. Rumah tangga pedesaan akan merugi sebagai produsen, ketika harga jatuh, akan tetapi sebagai konsumen menguntungkan. Sebaliknya ketika harga pertanian naik, maka rumah tangga non pertanian akan terbebani, dan rumah tangga pertanian akan diuntungkan. Apakah dampak negatif produksi atau dampak positif konsumsi yang akan mendominasi merupakan pertanyaan empiris yang perlu dibuktikan. Selain itu, dampak perubahan harga tersebut juga akan berbeda antara kelompok rumah tangga yang berbeda. Pada sisi produksi, penurunan harga misalnya pangan akan merugikan produsen komoditi pangan, sebaliknya akan menguntungkan rumah tangga yang mengusahakan tanaman lain (non pangan), sebagai konsekuensi dari perubahan harga relatif antara pangan dan non pangan. Selain itu Nicita (2005) menyatakan bahwa dampak liberalisasi perdagangan terhadap kesejahteraan social (social welfare) tidak dapat digeneralisir antarnegara, bahkan antargeografis dalam satu negara, seperti halnya wilayah pedesaan dan perkotaan akan dipengaruhi secara berbeda. Karena, selain disebabkan oleh perbedaan pengembalian dan produktivitas faktor, juga karena adanya perbedaan transmisi harga antarwilayah. Isolasi pasar lokal dari hargaharga internasional terutama berlaku di daerah pedesaan dimana infrastruktur pemasaran adalah kurang berkembang. Temuan Nicita (2005) menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan multilateral akan memberikan dampak negatif pada rumah tangga Meksiko, walaupun sangat kecil. Namun, ketika pelaksanaan agenda pembangunan Doha dilengkapi dengan kebijakan domestik yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan memperbaiki transmisi harga dalam negeri, efek secara keseluruhan menjadi positif. Hasil penelitian ini menunjukkan pentingnya transmisi harga domestik dalam menentukan varians dari efek di seluruh rumah tangga. Implikasi dari temuan ini mengisyaratkan bahwa dampak liberalisasi terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia bisa jadi tidak berpengaruh besar jika tidak berdampak negatif, mengingat penduduk pedesaan Indonesia saat ini masih tergantung pada produksi tanaman pangan, di mana
38 komoditi pangan tersebut sebagian besar di impor, selain itu kondisi infrastruktur pedesaan Indonesia yang masih kurang memadai turut memberi pengaruh terhadap minimnya dampak liberalisasi perdagangan terhadap perekonoian pedesan di Indonesia.
III.
KERANGKA TEORITIS
3.1. Konsep Dayasaing dan Perdagangan Antarnegara 3.1.1. Determinan Perdagangan Antarnegara Teori
ekonomi
pergerakan barang
klasik
menjelaskan
bahwa
pendorong
terjadinya
dari suatu negara (daerah) ke negara lain adalah adanya
perbedaan harga yang merupakan mekanisme dinamis pasar dalam mencapai terjadinya keseimbangan. Bekerjanya mekanisme pasar didorong oleh adanya perbedaan permintaan dan penawaran pada setiap wilayah (Sobri, 2001). Perbedaan kuantitas permintaan disebabkan oleh sejumlah faktor determinan seperti jumlah penduduk, pendapatan, kesukaan dan sebagainya. Perbedaan penawaran disebabkan oleh ketidaksamaan faktor-faktor produksi, kondisi geografis, dan budaya masyarakat. Perbedaan tingkat permintaan dan penawaran suatu komoditas yang menyebabkan terjadinyan perdagangan antarnegara berkisar pada tiga faktor utama yaitu : (1) perbedaan tingkat kelangkaan barang (scarcity), (2) perbedaan faktor produksi: perbedaan faktor-faktor produksi
yang
menyebabkan perbedaan tingkat produktivitas di tiap daerah dan (3) perbedaan harga komparatif barang (Sobri, 2001). Perbedaan ketiga faktor tersebut pada setiap wilayah, sekaligus mencerminkan
adanya
perbedaan
keunggulan
komparatif
(comparative
adventages) pada masing-masing wilayah dalam menghasilkan barang tertentu. Keunggulan komparatif ditentukan oleh adanya perbedaan limpahan faktor-faktor seperti sumberdaya alam, tenaga kerja, modal, dan atau teknologi sehingga setiap daerah masing-masing dapat menghasilkan barang tertentu secara lebih produktif dibandingankan daerah lainnya. Perbedaan kelangkaan faktor-faktor tersebut sekaligus mempengaruhi perbedaan harga faktor dan harga barang pada masingmasing daerah yang mendorong terjadinya perdagangan antar daerah secara menguntungkan (Meier, 1995). Menurut Kasliwal, (1995) bahwa teori perdagangan yang didasarkan pada doktrin keunggulan komparatif, memiliki implikasi bahwa selama terjadi perbedaan karakteristik permintaan dan penawaran yang tercermin dari perbedaan
40 harga sebelum autarchy sebelum perdagangan maka arus perdagangangan akan terus berlanjut hingga terjadi kesamaan harga untuk semua daerah (equilibrum) dari masing-masing daerah memperoleh keuntungan dari kegiatan perdagangan tersebut (gains from trade). Faktor determinan dari kegiatan perdagangan antardaerah ini diilustrasikan oleh Kasliwal, Kasliwal menggunakan analisis
keseimbangan
partial
(1995) dengan
(partial equilibrium),
seperti
pada Gambar 3 berikut. (a)
(b)
P
P S PB
PW
W
Ekspor
Z W
Impor
T
T PA Z
D
Q Q A B Gambar 3. Fenomena Perdagangan Antar Daerah : Analisis partial equilibrium Dalam konteks perdagangan suatu barang antarnegara, Gambar 3. menjelaskan bahwa perdagangan suatu barang antarnegara didorong oleh adanya perbedaan harga relatif dari barang tersebut antara dua daerah (A dan B). Barang akan mengalir dari daerah surplus (A) yang memiliki harga lebih rendah (PA) sebelum perdagangan autarchy
ke daerah defisit (B) yang memiliki harga
autarchy yang lebih tinggi (PB). Arus perdagangan ini akan terus berlanjut hingga terjadi kesamaan harga pada tingkat Pw. Posisi keseimbangan pada masing-masing daerah berubah dari keseimbangan autarchy di posisi Z ke posisi perdagangan di T, yang menghasilkan kesejahteraan sosial (social welfare) yang lebih tinggi, seperti yang ditunjukkan dalam triangulasi (ZTW), yaitu surplus produsen dan surplus konsumen meningkat dibandingkan dengan posisi original pada masingmasing harga autarchy PA dan PB. Berdasarkan uraian tersebut, maka dilihat dari sudut pandang teori ini, terjadinya perdagangan barang antara Indonesia dan China serta negara-negara
41 lainnya di ASEAN secara umum ditentukan oleh adanya perbedaan permintaan dan penawaran barang yang tercermin dari adanya perbedaan harga di pasar barang di masing-masing daerah. Perbedaan permintaan barang antara daerah tujuan dan daerah pengirim ditentukan oleh banyak faktor diantaranya besaran ekonomi, ukuran penduduk, nilai tukar, dan sebagainya. Selanjutnya, bila dilihat dari sudut penawaran ditentukan oleh dukungan penggunaan faktor produksi terutama lahan dan tenaga kerja, modal dan teknologi, ketersediaan infrastruktur perdagangan, dan kelembagaan pemasaran. Selain itu kebijakan pemerintah seperti bea ekspor dan impor, pajak dan kebijakan lainnya turut mempengaruhi perdagangan barang antarnegara. Dengan demikian kegiatan perdagangan antarnegara yang didasarkan pada keunggulan komparatif wilayah,
akan meningkatkan kesejahteraan (social
welfare) pada masing-masing daerah. Setiap daerah dapat mengkonsumsi barang lebih besar dari kemampuan originalnya dalam memproduksi barang tersebut, serta masing-masing daerah dapat mencapai skala produksi yang efisien sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya (Kasliwal, 1995; Krugmen dan Obstfeld, 2002). Dengan menggunakan analisis keseimbangan umum (general equilibrium), Kasliwal, (1995) menunjukkan keuntungan perdagangan (gains from trade) seperti pada Gambar 4 berikut. Barang Y
C IC2 A
IC1
Impor
TOT1 D
B Ekspor
TOT2
Barang X
Gambar 4. Gains from trade (general equilibrium)
42 Dalam konteks perdagangan barang antara Indonesia dengan China dan anggota ASEAN lainnya, dengan asumsi bahwa Indonesia dengan segala keragamannya dikaruniai potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang melimpah sehingga dapat menghasilkan barang X yang relatif lebih murah dibandingkan menghasilkan barang Y (padat modal). Sebelum kegiatan perdagangan (autarchy), maka harga relatif dalam menghasilkan kedua barang di Indonesia, ditunjukkan oleh term of trade (TOT 1), sehingga kombinasi optimal untuk kedua barang terjadi di titik A pada Kurva Kemungkinan Produksi (KKP). Tetapi dengan terbukanya pintu pedagangan barang antarnegara, maka harga barang yang lebih tinggi di anggota ACFTA ditransmisikan ke wilayah Indonesia sehingga term of trade berubah seperti (TOT2) yang berdampak meningkatnya skala usaha (economic of scale) untuk menghasilkan barang X di titik B dan keseimbangan konsumsi meningkat di titik C dengan social welfare yang lebih tinggi (IC2) dibanding keseimbangan autarchy di IC1. Dengan asumsi bahwa pasar bekerja secara sempurna, maka keseimbangan produksi dan konsumsi setelah perdagangan mengisyaratkan bahwa Indonesia akan mengekspor barang sebesar BD dan mengimpor barang Y sebesar CD. Berdasarkan analisis keseimbangan umum, maka manfaat perdagangan tersebut hanya dapat dicapai apabila memenuhi dua asumsi utama yakni : (1) Kegiatan perdagangan didasarkan pada keunggulan komparatif masing-masing daerah dan (2) pasar berkerja secara sempurna, sehingga harga dapat ditransmisikan secara sempurna pula. Kedua asumsi tersebut, sekaligus menjadi syarat suatu komoditas memiliki dayasaing (competitiveness) dalam kondisi pasar yang bersaing. 3.1.2.
Konsep Keunggulan Komparatif Keunggulan komparatif merupakan teori yang dikembangkan untuk
menunjukkan bahwa suatu negara dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan. Prinsip teori ini menyatakan bahwa apabila sumberdaya dapat berpindah antarnegara, maka penduduk pada suatu wilayah akan mengkhususkan diri pada komoditas-komoditas yang dapat mereka olah secara relatif lebih efisien. Efisiensi relatif ditentukan oleh opportunity cost, yaitu hilangnya sejumlah unit komoditas atau jasa karena berkonsentrasi pada komoditas tertentu. Setiap negara
43 tidak mungkin memiliki opportunity cost yang sama. Bila sebuah negara menghasilkan komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan kemudian memperdagangkannya dengan komoditas lain dari negara luar, maka spesialisasi dan perdagangan tersebut akan menguntungkan kedua belah pihak (Blair, 1991). Teori perdagangan yang didasarkan doktrin keunggulan komparatif ini berimplikasi bahwa perdagangan akan selalu menguntungkan bahkan ketika sebuah negara dapat memproduksi semua komoditas secara lebih murah dibandingkan semua negara lain (Kasliwal, 1995). Lebih lanjut diuraikan bahwa pada dasarnya teori perdagangan yang menjelaskan keunggulan komparatif suatu negara telah berkembang dalam tiga versi, yakni
: (1) Teori perdagangan
Ricardian; (2) Teori Perdagangan Neoklasik oleh Heckscher dan Ohlin (1930-an); dan (3) Teori perdagangan modern yang dikembangkan oleh Krugman. 3.1.2.1. Teori Perdagangan Ricardian (Paradigma Ekonomi Klasik) Teori Perdagangan Ricardian didasarkan pada teori nilai tenaga kerja (labor theory of value), David Ricardo mengasumsikan bahwa perbedaan limpahan sumberdaya alam sebagai sumber perbedaan keunggulan komparatif antarwilayah dan hanya tenaga kerja yang merupakan faktor utama dalam proses produksi. Produktivitas tenaga kerja dan sumberdaya alam (endowment) menentukan kombinasi maksimum dari barang yang dapat diproduksi suatu daerah (Kasliwal, 1995). David Ricardo berpendapat bahwa di dunia ini pada satu pihak terdapat negara yang faktor-faktor produksinya, seperti tenaga kerja dan alam lebih menguntungkan, dan di lain pihak ada negara yang faktor-faktor produksinya kurang menguntungkan dibandingkan negara pertama sehingga dalam menghasilkan beberapa barang negara pertama lebih unggul dan lebih produktif dibandingkan negara kedua, bahkan negara kedua itu tertinggal dalam menghasilkan beberapa barang tertentu.
Dengan demikian menurut konsep
perbedaan biaya mutlak (Adam Smith), kedua negara itu tidak dapat mengadakan pertukaran atau perdagangan. Akan tetapi menurut
David Ricardo sekalipun
suatu negara itu tertinggal dalam segala rupa, ia dapat juga ikut serta dalam perdagangan internasional asalkan setiap negara yang berdagang itu dapat mengkhususkan dirinya dalam memproduksi sejenis barang yang paling
44 menguntungkan (Sobri, 2001). Berdasarkan pandangan teori ini, maka dalam konteks perdagangan antarnegara, alasan kegiatan perdagangan antarnegara tidak hanya adanya tingkat keuntungan mutlak, melainkan dengan adanya perbedaan biaya komparatif (yang menimbulkan keuntungan komparatif), akan memberikan keuntungan pada masing-masing negara yang melakukan kegiatan perdagangan. Teori ini dikeritik dari asumsinya bahwa tenaga kerja merupakan satusatunya faktor produksi. Teori nilai tenaga kerja menjelaskan mengapa terdapat perbedaan dalam comparative advantage itu karena adanya perbedaan di dalam fungsi produksi antara dua negara. Jika fungsi produksinya sama, maka kebutuhan tenaga kerja juga akan sama dengan nilai produksinya sehingga tidak akan terjadi perdagangan internasional. Oleh karena, itu syarat timbulnya perdagangan antarnegara adalah perbedaan fungsi produksi di antara dua negara tersebut. Namun teori ini tidak dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan fungsi produksi antara dua negara. Tenaga kerja bukanlah satu-satunya faktor produksi dan tenaga kerja tidak digunakan dalam pangsa yang tetap dan sama untuk semua jenis barang (Nopirin, 1997). Walaupun demikian David Ricardo dikenal sebagai penemu teori perdagangan internasional modern (Helawani, 1993). 3.1.2.2. Teori Perdagangan Neoklasik oleh Heckscher dan Ohlin Teori Perdagangan Neoklasik yan dikembangkan oleh Heckscher dan Ohlin pada tahun 1930an, juga dikenal sebagai teori proporsi faktor yang menyoroti perbedaan kelangkaan (scarcity) relatif dari produtivitas faktor K (capital) dan L (labor) yang mempengaruhi perbedaan harga faktor PK/PL yang berlaku dan mempengaruhi biaya produksi, serta berpengaruh pada harga produk (Kasliwal, 1995).
Heckscher dan Ohlin beranggapan bahwa perdagangan
antardaerah itu sesungguhnya adalah masalah harga. Harga suatu barang itu terjadi karena ada permintaan dan penawaran. Perbedaan harga inilah yang menjadi dasar terjadinya perdagangan antardaerah yang disebabkan perbedaan komposisi dan proporsi faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh negara-negara di dunia ini (Sobri, 2001). Implikasi penting dari teori ini adalah bahwa setiap negara hendaknya melakukan spesialisasi dan mengekspor barang-barang sesuai dengan kelimpahan
45 karunia sumberdaya yang dimiliki. Negara yang memiliki kelimpahan faktor tenaga kerja hendaknya melakukan spesialisasi dan mengekspor barang-barang yang produksinya bersifat padat karya (labor intensive), sedangkan negara-negara yang memiliki kelimpahan faktor modal hendaknya memproduksi dan mengekspor barang-barang yang produksinya bersifat padat modal (capital intensive). Teori Heckscher-Ohlin juga memperkenalkan factor price equalization theorem, yang menyatakan bahwa perdagangan yang bebas antara dua negara cenderung akan menyamakan bukan hanya harga barang-barang yang diperdagangkan saja, melainkan juga harga faktor produksi yang homogen pada kedua negara tersebut. 3.1.2.3. Dinamic Comparatif Adventage oleh Paul R. Krugman Teori
Perdagangan
Modern
(Dynamic
Comparative
Adventage)
dikembangkan oleh Krugman pada tahun 1980an. Teori ini menyoroti arti penting teknologi di samping faktor produksi lainnya (modal dan tenaga kerja) dalam proses produksi sebagai sumber keunggulan komparatif.
Negara memiliki
keunggulan komparatif dalam industri sehingga perusahaan mendapatkan keuntungan yang pasti atas pengaruh teknologi (Meier, 1995; Kasliwal, 1995). Akan tetapi menurutnya, teknologi mengalami perubahan dan penyebaran yang cepat sehingga inovasi baru (produk) yang
didasarkan pada teknologi baru
yang pada awalnya mampu memiliki posisi monopoli dan kemudahan mengakses pasar luar, namun lambat laun gap teknologi akan semakin tipis antarperusahaan (daerah) sehingga produk cepat mencapai tahap kejenuhan (mature stage) dalam tahap siklus produk (product life cycle). Implikasi dari teori ini mengungkapkan bahwa keunggulan komparatif tidak statis, tetapi bersifat dinamis dan dapat diciptakan atau dikembangkan. Secara umum, perubahan keunggulan komparatif terjadi ketika faktor endowment yang dimiliki suatu daerah berubah. Jenjang perubahan keunggulan komparatif suatu daerah, diawali dari mengekspor komoditas yang dihasilkan dengan menggunakan faktor-faktor dasar (basic factors), seperti sumberdaya alam dan tenaga kerja yang kurang atau tidak terampil (unskilled or semiskilled labor) kemudian meningkat menjadi mengekspor komoditas yang dihasilkan dengan
46 menggunakan faktor-faktor spesial dan maju, seperti infrastruktur komunikasi data digital modern, tenaga kerja terampil dan berpendidikan tinggi, dan aktivitas riset dan pengembangan (R&D) (Meier, 1995). Lebih lanjut diuraikan bahwa keunggulan komparatif menurut tipe-Ricardian dan tipe-Ohlin merupakan jenjang dasar dari keunggulan komparatif yang didominasi oleh faktor-faktor dasar (basic factors) karena barang-barang yang dihasilkan berdasarkan pada “natural” comparative adventage. Adapun pada jenjang puncak, faktor-faktor yang lebih maju (advanced factors) mendominasi adalah faktor-faktor yang harus selalu di kembangkan atau diciptakan melalui investasi sumberdaya manusia dan modal fisik (investment in humand and physical capital) dalam rangka untuk keunggulan komparatif yang diciptakan (“created” comparative adventage) Dengan demikian konsep keunggulan komparatif pada prinsipnya menekankan pada produksi komoditas perdagangan tertentu yang didasarkan pada limpahan faktor-faktor endowment (Sumberdaya alam, tenaga kerja, modal, dan atau teknologi) yang dimiliki wilayah sehingga wilayah dapat lebih produktif atau lebih efisien dalam menggunakan sumberdayanya dibandingkan wilayah lain. Dengan kata lain keunggulan komparatif komoditas tertentu pada suatu wilayah memungkinkan komoditas tersebut dapat diproduksi relatif lebih murah dibandingkan jika diproduksi di wilayah lain, yang berarti pula komoditas tersebut memiliki prospek untuk dapat diperdagangan ke wilayah lain yang memiliki harga relatif lebih tinggi. Semakin tinggi tingkat keunggulan komparatif yang dimiliki oleh wilayah, maka semakin tinggi pula dayasaing (competitiveness) komoditas yang dihasilkannya dalam perdagangan antarnegara. 3.1.3.
Konsep Keunggulan Kompetitif Dayasaing atau keunggulan kompetitif (competitive advantage) adalah
bertujuan menganalisis kemampuan suatu daerah untuk memasarkan produknya di luar daerah atau di
pasar
global. Keunggulan kompetitif tidak lagi
membandingkan potensi komoditas yang sama pada suatu daerah dengan daerah lainnya (seperti pada keunggulan komparatif), tetapi membandingkan potensi komoditas dari suatu daerah mengakses pasar global dibandingkan potensi komoditas yang sama dari semua daerah pesaingnya dalam pasar global.
47 Kemampuan memasarkan barang di pasar global sangat terkait dengan tingkat harga yang berlaku karena harga tersebut selalu berfluktuasi, sedangkan keunggulan komparatif tidak dipengaruhi oleh fluktuasi harga pasar global tersebut. Walau demikian keunggulan komparatif dapat dijadikan pertanda awal bahwa komoditas itu punya prospek
juga memiliki keunggulan kompetitif
(Tarigan, 2004). Michael Porter, 1985 dalam Saragih (2001)
mengungkapkan bahwa
konsep keunggulan dayasaing adalah kemampuan suatu daerah/perusahaan untuk mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar secara menguntungkan dan berkelanjutan melalui pemanfaatan keunggulan komparatifnya. Bahkan Cook at.all (1991) memberikan pengertian yang lebih operasional dari keunggulan dayasaing yakni kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik di pasar domestik maupun di pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih baik dari pada yang dipasarkan pesaing dengan memperoleh keuntungan paling tidak sebesar biaya oportunitas, (opportunity cost) sumberdaya yang digunakan. 3.1.4.
Teknis Pengukuran Dayasaing Berdasarkan konsep dayasaing yang telah digambarakan pada bagian
sebelumnya, menunjukkan bahwa secara teoritis, konsep dayasaing dapat dilihat dari dua sisi, yakni dari sisi supply dan dari sisi demand. Dari sisi supply, konsep dayasaing ini merujuk pada tori keunggulan komparatif (comparative adventage). Konsep ini menekankan pentingnya berspesialisasi pada komoditi yang memiliki efisiensi paling tinggi. Dimana efisiensi ini dapat diukur dari tingkat poduktivitasnya. Menurut Nicholson (1994), produktivitas dinyatakan sebagai sebuah ukuran efisiensi, yakni konsep teknis yang mengacu pada perbandingan output terhadap input. Semakin besar nilai perbandingan tersebut menunjukkan semakin tingginya tingkat produktivitas, misalnya produktivitas tenaga kerja. Produktivitas mengacu pada kemampuan satu unit input untuk menghasilkan tingkat output tertentu pada periode waktu tertentu. Peningkatan produktivitas dapat ditempuh antara lain melalui perubahan teknologi (technological change). Perubahan teknologi mencakup seluruh
48 perubahan teknik produksi yang ada. Untuk melihat perubahan teknologi dapat digunakan nilai tertentu dari produktivitas faktor total (total factor productivity, TFP). Dengan kata lain, perubahan teknologi yang terjadi pada suatu sektor diukur dengan kenaikan produktivitas pada sektor tersebut. Nilai TFP dapat diperoleh dengan melakukan transformasi pada fungsi produksi Cobb-Douglas yang secara matematis dirumuskan sebagai berikut.
Y A L K H 1 …………………………………………………. (3-1) Di mana A menunjukkan parameter perubahan teknologi dari input yang digunakan. Dengan asumsi tingkat pengembalian konstan (constant return to scale) dan fungsi produksi homogen berderajat satu, maka pengalian input yang digunakan dengan konstanta A akan menghasilkan tambahan output sebesar A. Dengan demikian, maka pengukuran dayasaing suatu komoditi, dari sisi supply dapat didekati dari pengukuran TFP. Selanjutnya pengukuran dayasaing dari sisi demand, dimana konsep dayasaing ini merujuk pada konsep keunggulan komparatif (Competitive adventage). Berbagai metode telah dikembangkan untuk mengukur dayasaing komoditi berdasarkan pendekatan dari sisi permintaan. konsep pengukuran dayasaing dalam perdagangan global yang banyak digunakan oleh berbagai peneliti adalah model Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA). Indeks RCA adalah indikator yang bisa menunjukkan keunggulan komparatif atau dayasaing ekspor suatu negara di pasar global. Indeks RCA dihitung dengan formula sebagai berikut: Indeks RCA
Keterangan:
X ik X i …………………………………….. (3-2) Wk Wt
Xik = nilai ekspor komoditas k dari negara i Xi = nilai ekspor total (produk k dan lainnya) dari negara i Wk = nilai ekspor komoditas k di dunia Wt = nilai ekspor total dunia
Jika nilai indeks RCA suatu negara untuk komoditas tertentu adalah lebih besar dari satu (1), maka negara bersangkutan memiliki keunggulan komparatif di atas ratarata dunia untuk komoditas tersebut. Sebaliknya, bila lebih kecil dari satu (1), berarti keunggulan komparatif untuk komoditis tersebut tergolong rendah, di
49 bawah rata-rata dunia. Semakin besar nilai indeks, semakin tinggi pula tingkat keunggulan komparatifnya. Selain model RCA, para peneliti juga sering menggunakan model-model lain lain dalam menganalisis dayasaing komoditi suatu negara dalam persaingan global, diantaranya indeks pangsa pasar, indeks spesialisasi perdagangan (ISP), indeks komplementer perdagangan (IKP) dan lainnya. Indeks spesialisasi dimaksudkan untuk mengetahui apakah komoditi yang dimiliki suatu negara cenderung dieskpor atau cenderung diimpor. Sedangkan indeks komplementer perdagangan dimaksudkan untuk melihat kecocokan antara struktur permintaan impor suatu negara (pasar) dengan sruktur ekspor dari negara tertentu. indeks spesialisasi perdagangan dirumuskan sebagai berikut.
ISP X i M i / X i M i ............................................................... (3-3) Keterangan: Xi = nilai ekspor komoditi i Mi = nilai impor komoditi i Nilai ISP berkisar antara -1 hingga +1, Jika nilai ISP -1 berarti negara tersbut hanya sebagai pengimpor komoditi i. Sedangkan ISP = +1 berarti negara tersebut hanya sebagai pengekspor komoditi i. Dengan kata lain nilai ISP yang semakin mendekati nilai +1 berarti komodit i di negara tersebut cenderung diekspor. 3.2. Distorsi Perdagangan Kesejahteraan
Antarnegara
dan
Dampaknya
Terhadap
Sistem perdagangan dunia yang bebas dan terbuka mengisyaratkan perlunya menghilangkan segala bentuk intervensi pemerintah, baik dalam bentuk tarif maupun hambatan non-tarif lainnya, yang dapat mendistorsi pasar. Secara konsep, penghapusan berbagai hambatan perdagangan diyakini oleh banyak ekonom akan meningkatkan volume perdagangan (ekspor-impor) yang lebih besar. Dengan demikian akan meningkatkan nilai tambah sehingga dapat mendorong pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Akan tetapi perdagangan antarnegara tanpa hambatan belum seluruhnya bisa terwujud. Dengan alasan untuk kepentingan nasional, melindungi industri nasional yang strategis, melindungi produsen domestik kecil yang tidak berdayasaing, menyebabkan banyak negara masih menerapkan berbagai hambatan
50 perdagangan antarnegara seperti hambatan tarif, kuota maupun hambatan non tarif lainnya. Analisis perubahan kesejahteraan masyarakat akibat perdagangan atau penerapan
instrumen-instrumen
liberalisasi
perdagangan
seperti
halnya
penghapusan hambatan tarif dan non-tarif dalam perdagangan internasional, dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan: pertama, melalui pendekatan keseimbangan parsial (partial equilibrium), dan kedua, melalui pendekatan keseimbangan umum (general equilibrium). Dampak kesejahteraan dari perdagangan internasional berdasarkan pendekatan keseimbangan parsial hanya mempertimbangkan pada satu pasar tertentu saja tanpa secara eksplisit memperhitungkan
konsekuensi-konsekuaensi
terhadap
pasar-pasar
barang
lainnya. Sementara itu, analisis melalui pendekatan keseimbangan umum melihat pasar sebagai suatu sistem. Baik pendekatan keseimbangan parsial maupun pendekatan keseimbangan umum menganalisis kesejahteraan dengan konsep surplus konsumen (konsumen’s surplus) dan surplus produsen (produsen’s surplus) Pada pendekatan keseimbangan umum, perubahan dalam suatu pasar akan berakibat perubahan pula di pasar lainnya. Sebagai contoh, ketika pemerintah negara A memberlakukan kebijakan tarif pada produk X1, maka harga barang X1 relatif lebih mahal dibandingkan produk X2 di pasar domestik. Kenaikan harga relatif ini mendorong produsen domestik untuk meningkatkan skala produksi X1 Peningkatan harga relatif tersebut juga mempengaruhi permintaan faktor produksi. Faktor produksi seperti tenaga kerja yang semula digunakan untuk menghasilkan X2, berpindah ke industri yang menghasilkan X1, sehngga menyebabkan menurunnya produksi X2. Dalam keseimbangan parsial kejadian di industri lain tidak terlihat, padahal dengan mengasumsikan perekonomian berada dalam keadaan tenaga kerja penuh (full employment), maka produksi X2 akan menurun. Analisa keseimbangan umum tidak hanya melihat dampak perubahan suatu pasar ke pasar lainnya secara domestik, bahkan dapat melihat pengaruhnya terhadap pasar di negara lain. Sebagai contoh, ketika negara A mengenakan tarif impor, maka volume impor di negara tersebut juga menurun. Konsekuensinya,
51 negara lain yang menerima dampak penurunan impor negara A tersebut akan menurun penerimaannya sehingga kemampuan mengimpornya juga akan turun. Dampaknya adalah ekspor negara A akan mengalami penurunan juga. Tarif impor bisa menimbulkan berbagai dampak ekonomi. Mengacu pada pembahasan Haryadi (2008) mengenai illustrasi dampak distorsi perdagagan internasional dengan menggunakan pendekatan keseimbangan umum direpresentasikan seperti pada Gambar 4. Model ini merangkum seluruh informasi mengenai aktivitas produksi, konsumsi, dan perdagangan antar dua negara yakni negara 1 dan negara 2, sehingga kedua negara dalam kondisi keseimbangan (equilibrium) menjadi satu diagram yang utuh. Titik E* pada gambar tersebut merupakan titik pusat penggabungan blok-blok produksi dari negara 1 dan 2 , dimana titik tersebu juga merupakan titik perpotongan kurva tawar-menawar antara kedua negara. Untuk menyederhanakan analisis, ansumsi-asumsi yang dipergunakan dalam pembahasan ini adalah: (1) hanya ada dua negara di dunia, yaitu negara 1 dan negara 2 atau gabungan negara-negara lainnya (rest of world atau ROW), (2) hanya terdapat dua produk dalam perdagangan, (3) pasar berada dalam kondisi persaingan sempurna, dan (4) perekonomian berada dalam kondisi tenaga kerja penuh atau tidak ada yang menganggur (full employment). Setelah perdagangan berlangsung, negara 1 akan memproduksi 130X dan 20Y (titik E yang identik dengan titik E*). Negara tersebut akan mengkonsumsi 70X dan 80Y (juga ditunjukkan oleh titik E yang sama namun ditarik dari pusat sumbu atau 0), sedangkan 60X dan 60Y sisanya akan diperdagangkan dengan negara 2. Sementara itu negara 2 memproduksi 40X dan 120Y (titik E’ yang juga identik dengan titik E*). Negara 2 mengkonsumsi 100X dan 60Y (juga disimbolkan oleh titik E’ yang sama namun mengacu pada pusat sumbu atau 0), sementara sisanya akan diperdagangkan dengan negara 1. Perdagangan internasional akan berada dalam kondisi equilibrium bila kedua negara saling mempertukarkan 60X dan 60Y berdasarkan harga relatif Pb=1 yang ditunjukkan oleh titik perpotongan antara kurva tawar menawar negara 1 dan negara 2 atau titik E*. Harga relatif komoditi dalam kondisi keseimbangan tersebut adalah PB=1.
52 Y
120
Negara 1
100
PB= PB’=1
E
1
80
III
E*
2
60 40 20
X 60
40
20
20
40
60
80
X 100
120
140
20
Negara 2 40 60
E’
80
Y
III’
Sumber: Salvatore (2000) Gambar 5 Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara. Illustrasi pada gambar diatas menjelaskan bahwa keputusan-keputusan produsen dan konsumen di masing-masing negara serta transaksi perdagangan antara dua negara didasarkan harga relatif yang sama. Titik E yang terletak pada kurva indiferen III milik negara 1 itu mengukur tingkat konsumsinya dari pusat sumbu atau 0, sedangkan titik E yang sama pada blok produksi negara 1 mengukur besarya-kecilnya produksi dari titik E’. Secara teoritis, sebagaimana pemikiran kaum klasik maupun neo-klasik, sistem perdagangan bebas antarnegara akan dapat menciptakan manfaat yang maksimal. Namun demikian, mekanisme pasar seringkali menemui jalan buntu sehingga kondisi ideal tersebut tidak selalu berjalan secara sempurna. Dengan berbagai alasan, seperti halnya untuk melindungi produsen domestik, sehingga pemerintah di banyak negara seringkali melahirkan berbagai bentuk intevesi pasar
53 dalam bentuk kebijakan, sehingga berakibat pada munculnya distorsi pasar. Beberapa bentuk intervensi yang sering ditemukan antara lain adalah berupa pemberlakuan tarif impor, pemberian subsidi ekspor, dan berbagai bentuk domestik support lainnya. Semua bentuk intervensi ini berdampak pada munculnya distorsi pasar. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pemberlakuan intervensi yang mendistorsi pasar tersebut. 3.2.1. Pemberlakuan Tarif Impor Tarif impor merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah dalam bidang perdagangan internasional. Motivasi pengenaan tarif impor di masingmasing negara beragam seperti untuk tujuan mengurangi impor, melindungi produsen domestik, sebagai salah satu sumber pendapatan negara, atau motivasi lainnya. Haryadi (2008) menjelaskan bahwa tarif yang dikenakan terhadap produk yang diimpor disebut tarif impor, sedangkan tarif yang dikenakan terhadap produk ekspor disebut dengan tarif ekspor. Dampak pemberlakuan tarif bisa berbeda antara negara. Pada negara-negara kecil yang tidak mampu mempengaruhi harga dunia, penerapan tarif hanya akan merubah harga di negara tersebut, sementara harga dunia tidak mengalami perubahan. Sebaliknya, pada kasus negara besar, penerapan tarif akan mampu mempengaruhi harga dunia. Berikut ini akan dijelaskan mengenai dampak pemberlakuan tarif impor pada kasus negara kecil dan kasus negara besar. 3.2.1.1. Tarif Impor Pada Kasus Negara Kecil Kebijakan tarif perdagangan, seperti halnya tarif impor selama ini populer diberlakukan baik di negara besar maupun di negara kecil. Negara kecil yang dimaksud adalah negara yang tidak mampu mempengaruhi harga dunia, sedangkan negara besar adalah negara yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi harga dunia. Karena itu, sekalipun melakukan perubahan kebijakan perdagangan TOT dunia tidak berubah. Bagimana dampak penerapan tarif impor pada kasus negara kecil diilustrasikan seperti pada Gambar 6. Dengan mengasumsikan hanya ada dua komoditi misalkan makanan dan pakaian, negara A akan memaksimumkan kesejahteraannya dengan berproduksi pada titik dimana
54 rasio dari marginal cost (MC) domestiknya sama dengan rasio nilai tukar dunia. Negara tersebut akan melakukan perdagangan untuk mencapai kemungkinan kurva indiferen yang paling tinggi. Rasio harga dunia ditunjukkan oleh slop TT, produksi berada pada titik P1, dan konsumsi pada titik C1. TT bersinggungan dengan kurva indifferen i2, negara A mengekspor pakaian dan mengimpor makanan. T
Makanan
•
C1
E IC2 D
F
•
C IC1
C2
•
P2
E
P1 • D T 0
Pakaian
G
Sumber: Dunn Jr and Mutti. (2000) Gambar 6
Dampak Tarif Pada Model Keseimbangan Umum Untuk Kasus Negara Kecil.
Berdasarkan pada illustrasi Gambar 6, diatas maka jika negara A menetapkan tarif pada impor makanannya, maka dampak pertamanya adalah meningkatnya harga domestik makanan. Akibatnya rasio nilai tukar domestik menjadi sama dengan slop DD, lebih landai dari TT, yang menunjukkan suatu harga relatif yang lebih tinggi untuk makanan. Harga makanan yang lebih tinggi menyebabkan perusahaan terdorong untuk meningkatkan produksi makanan dan akan mengurangi produksi pakaiannya. Titik produksi berpindah ke P2, dimana garis harga domestik (DD) merupakan tangen terhadap kurva kemungkinan produksi.
55 Dengan asumsi bahwa rasio harga dunia tetap tidak berubah, perdagangan internasional terjadi sepanjang garis P2C2 (garis yang sejajar dengan garis TT). Keseimbangan baru pada konsumsi dicapai ketika dua kondisi terpenuhi: Pertama, garis harga domestik, EE, yang slopnya sama dengan tarif, bersinggungan dengan suatu kurva indiferen i1, Kedua, garis harga dunia, P2C2, memotong kurva indiferen komuniti pada titik tangennya dengan garis harga domestik, EE. Kedua kondisi ini terpenuhi pada titik C2 pada Gambar 6. Secara teknis, kondisi pertama menjamin bahwa MRS pada konsumsi adalah sama dengan rasio harga domestik yang dihadapi konsumen, sedangkan kondisi kedua memenuhi persyaratan bahwa rasio harga domestik berbeda dengan rasio harga dunia. Terpenuhinya kondisi keseimbangan baru pada titik C2 mengisyaratkan bahwa, negara A terus mengekspor pakaian dan mengimpor makanan tetapi dalam jumlah yang lebih kecil dari sebelumnya. Tarif telah mendorong produksi makanan dan mengurangi ketergantungan negara A terhadap makanan impor. Tarif juga telah mengurangi output domestik berupa ekspor pakaian dan mengurangi kesejahteraan sebagaimana diindikasikan oleh pergerakan kurva indifferent yang lebih rendah, dari i2 ke i1. Jadi, baik dengan menggunakan pendekatan keseimbangan umum maupun keseimbangan parsial, kebijakan tarif pada kasus negara kecil berdampak pada berkurangnya kesejahteraan nasional. 3.3. Model Dasar Analisa Komputasi Keseimbangan Umum Sejak awal tahun 1980an Model Komputasi Keseimbangan Umum (Computable General Equilibrium, CGE) telah semakin popular untuk menganalisis konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan makroekonomi dan alokasi sumberdaya di negara berkembangan dan juga di negara maju (Thissen, 1998). Thissen, (1998) juga mendefinisikan CGE sebagai fundamental keseimbangan umum makroekonomi yang menghubungkan antara pendapatan berbagai group, pola permintaan, neraca pembayaran dan struktur produksi multisektor. Dijelaskan pula bahwa model ini menggabungkan suatu set persamaan perilaku (behavioral equations) yang menggambarkan perilaku berbagai agen yang teridentifikasi dalam model dan kendala teknologi serta
56 institusi yang dihadapi agen tersebut. Model CGE berada dalam keseimbangan umum karena set harga dan kuantitas muncul, sehingga seluruh excess demand dari komoditi dan jasa, dalam nominal maupun dalam kuantitas, adalah nol (zero). Fondasi teoritis dari model ini adalah Hukum Walras, Hukum Walras mengatakan bila perekonomian terdapat n pasar, dan sebanyak n-1 pasar telah berada dalam keseimbangan, maka pasar ke-n niscaya telah mencapai keseimbangan. Dengan kata lain jika secara positive excess demand terjadi di salah satu pasar, maka negative excess demand akan terjadi di berbagai pasar lainnya. Dengan demikian Hukum Walras berimplikasi bahwa jumlah excess demand di seluruh pasar harus sama dengan nol. Menurut Hulu (1995) bahwa pada tahun 1950an, Arrow, Debreu, dan McKenzie berhasil membuktikan bahwa model keseimbangan umum (berdasarkan asumsi Walras) secara teoritis terbukti “ada”, memiliki solusi tunggal dan stabil. Aplikasi secara numerik dan empiris dari model keseimbangan umum ini kemudian disebut model Computable General Equilibrium (CGE). Dalam analisa impiris beberapa analis menggunakan nama yang berbeda untuk model keseimbangan umum seperti, Transaction Value Model, Applied General Equilibrium (AGE), Computable General Equilibrium (CGE) dan SAM-based general equilibrium (Thissen, 1998). Dalam disertasi ini model keseimbangan umum ini, selanjutnya akan disebut sebagai Computable General Equilibrium (CGE) atau komputasi keseimbangan umum. Penerapan model CGE dalam analisa empiris juga telah mengalami tahapan perkembangan yang pesat. Ahmed dan Donoghue (2007), Thssen, (1998) dan Hulu (1995) menguraikan tahapan perkembangan pemodelan CGE. Terdapat tiga main streams model CGE dalam literatur yang ada saat ini. Pertama, Model CGE yang diterapkan untuk negara maju (developed countries). Model ini mengikuti formulasi CGE yang dekembangkan oleh Johansen pada tahun 1960, yakni model CGE multisektor untuk perekonomian Norwegia. Model CGE ini disusun sebagai sebuah model linear simultan dan dari solusi model diperoleh harga dan kuantitas dari setiap barang yang diidentifikasi sebagai keseimbangan umum. Tipe ini kemudian dikembangkan dengan model ORANI/MONASH untuk perekonomian Australia serta dengan model dan data base Global Trade Analysis Project (GTAP). Model GTAP sekarang mencakup database dari
lebih 100
57 negara dan sekarang banyak digunakan oleh peneliti di seluruh dunia yang fokus pada analisis perdagangan global, dan issu terkait. Database ini dapat diakses oleh publik dan secara teratur diperbaharui sesuai dengan data perdagangan bilateral terkini dan juga terus diperbaiki terkait dengan jumlah komoditas dan wilayahnya. Main stream kedua juga fokus dalam menganalisis negara maju. Asal usul model ini berasal dari karya Harberger, Scarf, Shoven dan Whalley. Sekarang model ini disebut sebagai Applied General Equilibrium (AGE) model dan telah diterapkan pada perekonomian US dan negara-negara maju lainnya. Model ini merumuskan penyelesaian model keseimbangan umum dengan menggunakan “Fixed point theorem” Main stream ketiga yang induknya bersumber dari model Adelman dan Robinson yang dikembangkan untuk perekonomian Korea (Adelman dan Robinson, 1978). Spesifikasi model ini telah disesuaikan untuk kasus negaranegara berkembang (middle and low income economies). Model CGE ini dirumuskan sebagai sebuah model simultan nonlinear, dan dari hasil penyelesaian (nonlinier programming solution) diperoleh harga bayangan (shadow price) yang diinterpretasikan sebagai harga dalam kondisi keseimbangan umum. Lebih lanjut, dalam aliran ini terdapat dua sub-pendekatan. Pertama adalah berdasarkan metodologi neo-classical (Robinson, 1989), dan kedua menggunakan metodologi Structuralist (Taylor, 1990). Perbedaan antara kedua sub-pendekatan tersebut terletak dalam spesifikasi persamaan keseimbangan pasar dan persamaan perilaku. Model CGE yang menerapkan tradisi neo-classical-strukturalis diuraian secara detail dalam Dervis et al. (1982) dan Lofgren et al. (2002). Belakangan ini, sejalan dengan semakin meningkatnya integrasi ekonomi regional, baik di negara maju maupun di negara berkembangan, mendorong semakin banyaknya pemodelan CGE empiris yang menyajikan pengukuran dampak (implikasi) dari integrasi ekonomi (seperti halnya kerjasama perdagangan bebas regional). Penilaian tidak hanya mengenai dampak perdagangan agregat, produktivitas, dan dampak output dari integrasi ekonomi, tetapi juga mencakup dampak kesejahteraan (welfare), transfer, dan dampak mobilitas tenaga kerja, baik antar sektor maupun antarpekerja dengan skil berbeda. Demikian pula dalam menganalisis dampak liberalisasi terhadap perekonomian pedesaan.
58 Seperti yang dibahas sebelumnya bahwa beragam variasi pemodelan CGE yang telah dikembangkan oleh para peneliti, dalam mengukur implikasi dari perubahan kebijakan dan atau external-shock terhadap sistem perekonomian, Kemampuan dari model CGE dalam menganalisis kompleksitas ekonomi untuk mengatasi kelemahan keseimbangan parsial, menjadi alasan utama penerapan model CGE dalam berbagai aspek (perdagangan, lingkungan dan energy), termasuk penerapannya dalam menganalisis implikasi ekonomi dari kebijakan integrasi ekonomi. Dalam upaya untuk menganalisis implikasi kebijakan integrasi ekonomi ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) terhadap perekonomian negara-negara anggotanya, termasuk perekonomian Indonesia, disertasi ini, juga akan menggunakan pemodelan CGE sebagai alat analisis utama. Kerangka model CGE yang diterapkan menggunakan tradisi pemodelan yang dikembangkan oleh Robinson, (1989). Model ini adalah representatif dan telah digunakan secara luas untuk menganalisis issu-issu penyesuaian struktural (structural adjustment) di negara-negara berkembang. Berbagai sifat dari model ini dijelaskan secara detail dalam Dervis, et al (1982) Terkait dengan penerapan CGE dalam mengukur implikasi integrasi ekonomi, Hakim (2004) menyebutkan bahwa model CGE dibangun untuk menunjukkan interaksi ekonomi antarpelaku dan sektor dalam ekonomi. Dengan memasukkan perubahan pada instrumen kebijakan seperti reduksi tarif impor dalam modelnya, maka model ini akan bergerak ke suatu keseimbangan ekonomi baru. Dengan demikian, peneliti dapat mengestimasikan penyimpangan hasil yang dikaji, relatif terhadap nilai dalam benchmark
keseimbangan (benchmark
equilibrium). Dengan kata lain, model CGE bekerja dengan menstimulasi interaksi beragam pelaku ekonomi (konsumen, produsen, dan pemerintah) di seluruh pasar. Perilaku optimasi dari individu pelaku ekonomi adalah asumsi dasar dari model CGE. Perilaku ini ditunjukkan dalam persamaan yang menjelaskan berbagai kondisi order pertama untuk maksimisasi profit dan utilitas. Robinson (1989) menjelaskan bahwa kerangka CGE memerlukan sprsifikasi lengkap baik pada sisi penawaran (supply side) maupun pada sisi permintaan (demand side) pada seluruh pasar, mencakup seluruh besaran nominal dalam aliran lingkar (circular flow) perekonomian. Sistem aliran lingkar
59 pendapatan yang tergambar dalam Social Accounting Matrix (SAM) merupakan kerangka data pada model CGE. Lebih lanjut dijelaskan bahwa suatu model CGE didasari oleh empat komponen berikut. Pertama, menentukan aktor atau agen ekonomi yang dianalisis. Dalam model CGE sederhana, hanya terdapat dua aktor ekonomi, yaitu produsen dan rumah tangga. Tetapi, Umumnya model CGE menabahkan aktor ekonomi lainnya seperti pemerintah dan rest of the world (tambahan institusi dalam kerangka SAM). Kedua, kita harus menspesifikasikan secara jelas asumsi yang mendasari perilaku aktor-aktor ekonomi yang disebutkan di atas. Sebagai contoh produsen biasanya diasumsikan akan memaksimisasi profit berdasarkan kendala teknologis. Sedangkan rumah tangga umumnya diasumsikan memaksimisaiskan utilitasnya berdasarkan kendala pendapatan. Ketiga, para agen membuat keputusannya berdasarkan panduan signal harga yang mereka amati. Dalam model Walrasian, harga adalah satu-satunya signal yang memandu
agen
dalam
mengambil
keputusan.
Keempat,
kita
harus
menspesifikasikan "aturan main” mengenai bagaimana agen-agen tersebut berinteraksi (struktur institusional dalam perkonomian). Sebagai contoh, mengasumsikan kompetisi sempurna (perfect competition) berimplikasi bahwa setiap agen adalah price taker dan harga adalah fleksibel (pasar bekerja secara sempurna). Namun, dalam pasar monopoli, keputusan agen terhadap penawaran adalah didasarkan pada informasi mengenai fungsi permintaan dari konsumen (demenders). Robinson (1989) menambahkan bahwa dengan menspesifikasikan agen ekonomi, perilaku agen dan kendala institusi yang mendasari agen berinteraksi, suatu model keseimbangan umum belum lengkap. Pemodel juga harus menentukan “kondisi keseimbangan” yakni “sistem constraints” yang harus terpenuhi, tetapi kendala sistem ini tidak akan mempengaruhi berbagai agen dalam pengambilan keputusan. Issu penting lainnya terkait dengan membangun suatu model CGE yaitu numeraire dan hukum Walras. Dalam analisis CGE, level harga absolut tidak akan ditetapkan. Model ini hanya berhubungan dengan harga relatif. Ini mencerminkan fakta bahwa jika semua harga misalnya meningkat dalam proporsi yang sama tetapi harga relatif tidak berubah, maka hubungan riil dalam ekonomi tidak berubah. Sepsifikasi ini berhubungan dengan asumsi
60 homogenitas berderajat nol (homogeneity of degree zero) untuk fungsi penawaran dan fungsi permintaan. Numeraire adalah suatu barang atau barang agregat yang harganya ditetapkan sama dengan 1 dalam rangkan menentukan unit seluruh harga relative dalam sistem. Selanjutnya dalam model CGE, hukum Walras harus terpenuhi.
Seperti
yang dijelaskan sebelumnya bahwa Hukum
Walras
berimplikasi jumlah excess demand di seluruh pasar produk dan pasar faktor harus sama dengan nol. Tabel 5 menyajikan suatu set persamaan model CGE untuk suatu perekonomian terbuka (open economy). Untuk tujuan penyederhanaan, model yang dispesifikasi memiliki satu sektor yang memproduksi satu komoditas tunggal (X). Komoditas yang diproduksi ini terdiri dari barang ekspor (E) dan barang untuk pasar domestik (D). Komoditas ini diproduksi tidak hanya menggunakan faktor primer saja (modal dan tenaga kerja) tetapi juga input antara (input antara). Hubungan fungsional ini (fungsi produksi) direpresentasikan pada persamaan (1). Dalam kasus ini, fungsi permintaan faktor untuk modal dan tenaga kerja direpresentasikan pada persamaan (11) dan (12). Jumlah faktor yang diminta tergantung pada tingkat rental dari modal, upah tenaga kerja, harga output agregat dan harga barang komposit. Seperti
yang
disebutkan
sebelumnya,
sektor
produksi
domestik
menghadapi dua tipe pasar: pasar domestik dan ekspor. Oleh karenanya, komoditi X ditransformaiskan menjadi komoditi ekspor E dan komoditi yang dipasarkan domestik, D. Persamaan (2) merepresentasikan fungsi yang mentransformasikan output ke kombinasi maksimum yang dapat di capai E dan D. Lazimnya, fungsi CET (Constant Elasticity of Transformation function) digunakan untuk menstransformasikan komoditas ke pasar ekspor dan domestik. Dalam model multisektor (multi-sector) komoditi ekspor E dan komoditi domestik D yang dihasilkan oleh sektor yang sama memiliki kualitas yang berbeda. Fungsi CET menggambarkan kombinasi tersebut, dimana memungkinkan untuk merubah komposisi produksi sektoral antara penjualan domestik dan ekspor. Menurut Hakim (2004) dalam model CGE multiwilayah (multi-region), fungsi CET dua level sering digunakan. Level pertama dari fungsi CET mentransformasikan komoditi yang dipasarkan domestik dan komoditi ekspor. Pada level kedua,
61 Fungsi CET digunakan untuk mentransformasikan komoditi ekspor menjadi berbagai tujuan ekspor. Harga dari komoditi komposit yang ditransformasi untuk E dan D ditunjukkan oleh persamaan (26). Harga masing-masing komoditi komposit ini diturunkan dengan menggunakan fungsi-biaya ganda (cost-function dual) dengan kondisi orde pertama (first-order conditions, FOC) berdasarkan persamaan (2). Dari sisi permintaan, persamaan (3) menggambarkan suatu barang komposit (Q) yang dibutuhkan oleh konsumen domestik (rumah tangga, pemerintah dan sektor produksi). Barang komposit ini terdiri dari barang domestik yang dipasok oleh produsen domestik dan barang impor (M) yang dipasok oleh pasar luar negeri. Harga dari barang komposit ini ditunjukkan oleh persamaan (25). Harga masing-masing barang komposit ini diturunkan dengan menggunakan fungsi-biaya ganda (cost-function dual) dengan kondisi orde pertama (FOC) berdasarkan persamaan (3). Peneliti seringkali mengasumsikan bahwa barang domestik yang dijual di pasar domestik bersubstitusi tidak sempurna dengan barang impor, suatu asumsi yang sering disebut sebagai asumsi Arminton. Asumsi Armington seringkali diterapkan dengan menggunakan fungsi CES (Constant Elasticity of Substitution) untuk menunjukkan substitusi tidak sempurna ini. Fungsi CES sangat berguna dalam literatur empiris untuk mengestimasi fungsi permintaan impor (Dervis, et al 1982). Dalam model CGE multi-region fungsi CES dua level juga lazim digunakan. Hertel, et al (1997) telah membahas berbagai prosedur terkait dengan penggunaan fungsi Armington. Berdasarkan persamaan (2) dan (3) serta dengan asumi profit maksimisasi bagi produsen dan minimisasi biaya bagi konsumen (rumah tangga, pemerintah dan sektor produksi) akan menentukan level rasio ekspor dan impor terhadap barang domestik yang diperlukan. Untuk meminimisasi biaya konsumen domestik, maka level rasio impor yang diperlukan untuk permintaan domestik direpresentasikan pada persamaan (4) dan untuk memaksimisasi profit, level rasio ekspor yang diperlukan terhadap produksi domestik direpresentasikan pada persamaan (5). Kedua fungsi ini juga sekaligus merepresentasikan fungsi biaya relatif antara harga impor, harga ekspor dengan harga domestik. Seperti yang
62 dijelaskan sebelumnya bahwa harga-harga ini diturunkan menggunakan fungsi biaya ganda (cost-functions dual) dari persamaan (3) dan (2). Total
barang komposit
yang diminta oleh konsumen domestik
direpresentasikan pada persamaan (9), sedangkan permintaan turunan barang yang diproduksi secara domestik yang dibutuhkan oleh masing-masing agen ekonomi direpresentasikan pada persamaan (6), (7) dan (8). Sementara permintaan untuk faktor primer (tenaga kerja dan modal) direpresentasikan pada persamaan (11) dan (12). Dalam aliran nominal pendapatan tenaga kerja dan modal direpresentasikan pada persamaan (16) dan (17). Sedangkan pendapatan pemerintah merupakan penjumlahan pajak tak langsung yang ditarik dari pemilik tenaga kerja dan pemilik modal.
63 Tabel 5 Persamaan model CGE dalam ekonomi terbuka Aliran Riil (real flows) (1) (2) (3)
Produksi
D
Aliran Nominal (nominal flows)
D
~L
D
X (L ,V , K )
(16) Pendapatan TK, Y
Transfomasi Ekspor X ( E , D S ) D
(17)
D
Permintaan Agregat Q ( M , D )
(4)
Permintaan Impor, M ( P , P , D )
(19)
(5)
Penawaran Ekspor, E ( P e , P d , D S )
(20)
(7)
d
(18) D
(6)
m
D
q
Permintaan konsumsi, C ( P , C ) Permintaan Investasi, Z D
D
(21)
q
(P , Z )
(22)
q
x
(8)
Permintaan antara, V
(9)
Total Q D C D Z D V D G D
( R, W , P , P )
Persamaan Harga (price Equation) (24) Harga Impor, P m r.P $m (25) Harga Ekspor, P e r.P $e
(10) Penawaran TK, LS (W , P q ) D
W .LS .(1 T L )
~ Pendapatan Modal, K K R.K S .(1 T K ) ~G ~S L S K Pendapatan Pem.. Y T .W .L T .R.K ~ ~L ~K Fungsi Konsumsi, C (Y , Y ) ~P ~L ~K Tabungan Privat, S Y Y C ~ $m Impor Dollar, M P .M ~ $e Ekspor Dollar, E P .E
q
x
(11) Permintaan TK, L ( R, W , P , P )
(26) Harga Komposit, P q ( P m , P d )
(12) Permintaan Modal, K D ( R, W , P q , P x ) Kendala Sistem Nominal (Real sistem constraints)
(27) Harga Output, P x ( P e , P d ) Kendala Sistem Riil (Nominal sistem constraints)
(13) Pasar Barang, D D D S 0
(27) Tabungan-Investasi,
(14) Pasar TK, LD LS 0 (15) Pasar Modal, K D K S 0
(29) Neraca Perdagangan, M E B
~ ~ ~ S P S G r.B Z 0 ~G ~G G D (28) Neraca Pemerintah, Y P .G S 0 ~
~
(30) Numeraire, f 3 ( P d , P m , P e , W ) P Persamaan Identitas (Accounting Identities) (31) Nilai Output = Nilai penjualan, P X . X P e .E P d .D S (32) Nilai barang komposit = Absorpsi, P q .Q D P m .M P d .D D (33) Nilai Penjualan = Nilai input, P X . X W .LD R.K D P d .V D (34) Permintaan Konsumsi = Pengeluaran, P q .C D C (35) Permintaan Investasi = Pengeluaran, P q .Z D Z Variabel Endogen Variabel Endogen, Lanjutan... ~ X = Output agregat = Nilai impor dalam dollar M ~ S = Penawaran output domestik = Nilai ekspor D E
Pm
DD
= Permintaan output domestik
E
= Ekspor
M
= Impor
Pe Px
QD
= Permintaan barang komposit
Pd
D
q
= Impor dalam harga domestik = Ekspor dalam harga domestik = Harga output agregat = Harga penjualan domestik
= Permintaan antara (intermediate)
P
LS LD KD CD ZD ~ YL ~ YK
= Penawaran tenaga kerja
W
= Upah tenaga kerja
= Permintaan tenaga kerja
R
= Tingkat biaya modal
= Permintaan modal
r
= Nilai tukar (kurs)
B
= Neraca Perdagangan
V
= Konsumsi real = Investasi real = Pendapatan nominal = Pendapatan modal
~ YG
~ SP ~ SG ~ C
~ Z
= Harga barang komposit
= Pendapatan pemerintah = Tabungan swasta (private) = Tabungan pemerintah = Konsumsi nominal = Investasi nominal
Catatan : Variabel dengan tanda “ ” di atas hurup (tilde) menunjukkan besaran nominal; Variabel dengan bar adalah eksogen; Supercripts d, m, e, x dan q menunjukkan barang domestik, impor, ekspor, output dan barang komposit, masingmasing (D, M, E, X dan Q), Supercripts D dan S menunjukkan permintaan dan penawaran; Supercripts L dan K menunjukkan tenaga kerja dan modal; Supercripts P dan G adalah swasta dan pemerintah
Sumber : Robinson (1989).
64 Agar hukum walrasian dalam model CGE terpenuhi, maka kendala sistem (sistem constrains) dan persamaan identitas dalam model harus terpenuhi. Kendala sistem seperti yang representasikan dalam persamaan (13) – (15), menggambarkan excess demand di seluruh pasar, baik pasar barang maupun pasar faktor adalah sama dengan nol. Dalam bentuk nominal, kendala sistem ini juga mencakup neraca perdagangan, neraca pemerintah, tabungan-investasi dan harga seperti yang direpresentasikan dalam persamaan (27) – (30). Selanjutnya persamaan identitas seperti direpresentasikan dalam persamaan (31) – (35). Robinson (1989) menjelaskan bahwa dengan asumsi homogenitas pada fungsi CET dan CES, maka peramaan identitas (31) dan (32) akan terpenuhi, sedangkan persamaan identitas lainnya menggambarkan kondisi kondisi profit nol dan menjamin nilai pembelian (permintaan) harus sama dengan pengeluaran dari output dan input. 3.4.Tinjauan Studi Terdahulu 3.4.1. Analisa Komparasi Dayasaing Komoditi ASEAN-China Tongzon
(2005)
menganalisis
implikasi
pelaksanaan
kebijakan
perdagangan bebas ASEAN-China berdasarkan pendekatan analisis dayasaing negara-negara ASEAN dan China di pasar internasional. Dayasaing tersebut diukur berdasarkan “indeks porsi di pasar dunia” atau the world market shares index (XCI). Formula indeks dayasaing ini merupakan rasio antara ekspor komoditi a dari negara i dengan total ekspor dunia untuk komoditi a. Analisis dayasaing ini menggambarkan kemampuan industri ASEAN dan China untuk melakukan penetrasi ke pasar dunia. Kenaikan nilai indeks dalam kurun waktu tertentu menunjukkan adanya perbaikan dayasaing internasional suatu komoditi tertentu dari sebuah negara, sebaliknya penurunan indeks tersebut mencerminkan dayasaing internasional komoditi melemah. Berdasakan analisis yang dilakukan, studi ini menyimpulkan bahwa FTA ASAN-China memberikan peluang bagi ASEAN untuk meningkatkan ekspor ke pasar China terutama untuk komoditi pertanian, dimana dayasaing ASEAN lebih unggul dibandingkan China Hadi dan Mardianto (2004) melakukan analisis komparasi antarnegara ASEAN menyangkut pertumbuhan ekspor produk-produk pertanian serta efek
65 komposisi produk, distribusi pasar dan dayasaing terhadap ekspor produk pertanian di kawasan ASEAN. Menggunakan metode analisis Constant Market Share (CMS), studi ini menyimpulkan bahwa (1) pertumbuhan ekspor Indonesia di kawasan ASEAN selama periode 1997-1999 adalah tertinggi di kawasan ASEAN, bahkan lebih tinggi daripada pertumbuhan ekspor dunia ke kawasan yang sama, tetapi selama periode 1999-2001 menurun dan lebih rendah dibandingkan Thailand, Filipina dan dunia; (2) komposisi produk ekspor Indonesia adalah yang terbaik diantara negara-negara ASEAN, walaupun melemah pada periode 1999-2001; (3) distribusi pangsa ekspor Indonesia pada periode 1997-1999 hanya kalah dari Singapura, tetapi pada periode 1999-2001 melemah dan kalah dari Singapura dan Vietnam; dan (4) dayasaing ekspor Indonesia pada periode 1997-1999 paling kuat diantara negara ASEAN, tetapi periode 1999-2001 melemah dan kalah dari Filipina dan Thailand. 3.4.2. Analisa Dampak Kebijakan Liberalisasi Perdagangan ASEAN-China Beberapa studi yang menganalisis dampak kebijakan perdagangan bebas ASEAN-China berdasarkan pendekatan CGE menghasilkan temuan-temuan yang bervariasi. Ma dan Wang (2002) menggunakan model CGE recursive dynamic dengan database GTAP versi 5 yang diagregasi menjadi 18 region dan 26 sektor. Simulasi dilakukan atas empat skenario kebijakan, yaitu: (1) pembentukan FTA China/Hongkong-ASEAN, (2) FTA Jepang-ASEAN, (3) FTA ASEAN-3 (Jepang, China dan Korea Selatan), (4) FTA ASEAN-3 dengan Amerika Serikat. Skenario dasar yang digunakan adalah keanggotaan China dan Taiwan di WTO selama waktu transisi (1998-2012). Dampak ekonomi yang dilihat berdasarkan akumulasi pertumbuhan PDRB riil, persentase perubahan kesejahteraan yang diukur dengan equivalen variation (EV), dan perubahan nilai ekspor. Hasil simulasi dengan skenario FTA ASEAN-China menunjukkan peningkatan GDP riil semua negara ASEAN dan China. Peningkatan GDP terbesar diperoleh Singapura (4 persen), diikuti Thailand dan Indonesia (0,7 persen). Ekspor China ke ASEAN meningkat 7 persen. Lee, et all (2004) melakukan penelitian mengenai implikasi perjanjian perdagangan bebas di Asia Timur dalam kaitannya dengan kemajuan ekonomi
66 China. Penelitian ini menggunakan model LINGKAGE, sebuah model CGE global dinamis yang dikembangkan oleh Mensbrugghe (2003). Database yang digunakan adalah GTAP versi 5,2 dengan agregasi 9 region dan 18 sektor. Penelitian ini melakukan simulasi dengan tujuh skenario kebijakan, yaitu: (1) Liberalisasi perdagangan China secara unilateral, (2) FTA ASEAN-China, (3) FTA ASEAN-Jepang; (4) FTA ASEAN+3, (5) FTA ASEAN-China-UE, (6) FTA China-Jepang-USA, dan (7) Liberalisasi perdagangan global. Hasil simulasi dengan skenario FTA ASEAN-China, yang didasarkan pada nilai Equivalent Variation (EV) menunjukkan bahwa pada tahun 2015 kesejahteraan negara-negara ASEAN-6 akan bertambah besar US$ 26,0 milyar (2,5 persen). Sedangkan kesejahteraan China dan Hong Kong bertambah sebesar US$ 34,8 milyar (1,4 persen) dari skenario dasar. Bagi negara-negara di luar ASEAN dan China, FTA tersebut menimbulkan dampak kesejahteraan yang relatif lebih kecil (0,2 persen). ASEAN-China Working Group on Cooperation (2001), melakukan studi mengenai dampak ekonomi FTA ASEAN-China dengan menggunakan model standar GTAP versi 4 dengan agregasi 10 region dan 10 sektor komoditi. Berdasarkan hasil studi ini, diperkirakan pasar bebas ASEAN-China akan memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Ekspor ASEAN ke China akan meningkat sebesar 48 persen, sebaliknya ekspor China ke ASEAN bertambah 55,1 persen. PDB riil ASEAN akan bertambah sebesar $ US 5,4 milyar (0,9 prsen), sedangkan PDB riil China akan naik $ US 2,2 milyar (0,3 persen). Kenaikan PDB riil terbesar akan diperoleh Vietnam (2,15 persen), sedangkan Indonesia (1,12 persen) sedikit lebih rendah dari Malaysia (1,17 persen). Chirathivat(2002) mengembangkan sebuah model CGE berdasarkan model standar GTAP yang disebut CAMGEM (Chulalongkom and Monash General Equilibrium Model) untuk meneliti implikasi FTA ASEAN-China. Penelitian ini menggunakan database GTAP versi 4 dengan agregasi 45 x 50 untuk mensimulasikan dua sknario kebijakan, yaitu : (1) penghapusan tarif perdagangan, dan (2) penghapusan hambatan non-tarif di negara-negara ASEAN dan China. Dampak ekonomi dihitung berdasarkan persentase perubahan PDB riil dan perubahan tingkat kesejahteraan yang diukur dengan menggunkan equivalent variation. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa liberalisasi tarif akan
67 meningkatkan PDB riil ASEAN-6 dan China sebesar 0,4 persen. ASEAN memperoleh kesejahteraan (EV) sebesar US$ 2.986,2 milyar, sedangkan China memperoleh US$ 1 787,1 milyar. Namun dengan penghapusan hambatan nontarif maka keuntungan yang diperoleh akan lebih besar baik bagi ASEAN maupun China. Kenaikan PDB riil ASEAN-6 bertambah menjadi 1,4 persen dan China naik sebesar 2,3 persen. Kesejahteraan ASEAN-6 meningkat sebesar $ US 11.639,5 milyar, sedangkan China memperoleh tambahan kesejahteraan sebesar $ US 11.858,2 milyar. Hal ini menunjukkan bahwa penghapusan non-tarif sangat penting artinya dalam liberalisasi perdagangan ASEAN-China. Secara khusus studi mengenai implikasi ACFTA terhadap perekonomian Indonesia dikaji oleh Wibowo (2009), Tambunan (2009) dan Ibrahim, et al., (2010), Octaviani et al (2010) dan Hartono, et al., (2007). Meski dengan penekanan yang berbeda-beda berbagai studi ini berdasarkan model analsis CGE Global menghasilkan kesimpulan yang serupa bahwa pelaksanaan ASEAN-China FTA akan menguntungkan perekonomian Indonesia dan negara ASEAN lainnya termasuk China. Wibowo (2009) dalam studinya yang berjudul dampak perdagangan bebas ASEAN-China terhadap kinerja ekonomi Indonesia khususnya sektor pertanian dan kehutanan. Studi ini menggunakan model dan database GTAP versi-6 yang telah
dimodifikasi
menjadi
model
keseimbangan
jangka
panjang
dan
menggunakan beberapa skenario kebijakan untuk memperkirakan dampak ACFTA terhadap kinerja ekonomi Indonesia, khususnya sektor pertanian dan kehutanan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa “program early harvest” di mana hanya sektor pertanian dan kehutanan yang diliberalisasi diperkirakan akan meningkatkan GDP riil Indonesia sebesar 0,16 persen dan total nilai perdagangan (ekspor dan impor) sebesar 0,24 persen. Sedangkan pelaksanaan ACFTA secara penuh akan berdampak posiif yang lebih besar terhadap perekonomian Indonesia yakni 1,29 persen. Ibrahim (2010) menganalisis dampak implementasi kerjasama perdagangan bebas
ASEAN-China
terhadap
perdagangan
ekspor
Indonesia,
dengan
menggunakan model GTAP. Studi ini menemukan bahwa implementasi ACFTA memberikan peluang bagi peningkatan ekspor Indonesia. Dari hasil model GTAP,
68 secara keseluruhan Indonesia mempunyai net trade creation sebesar 2% yang bersumber dari dampak trade creation dari anggota ACFTA 10,3% dan trade diversion dengan mitra dagang ROW sebesar -1,5%. Meskipun perjanjian kerjasama ACFTA berdampak negatif terhadap penurunan neraca perdagangan Indonesia secara keseluruhan sebesar 2,3%, hasil analisis lebih lanjut terhadap komoditas ekspor internasional (tradable) menunjukkan dampak positif sebesar 0,5%. Dari sisi ekspor, komoditas dari Indonesia berpeluang meningkat 2,1% terutama bersumber dari peningkatan ekspor ke Cina. Peluang perluasan pasar ke Cina didukung oleh karakteristik komoditas ekspor Indonesia dan negara ASEAN lainnya yang mempunyai derajat persaingan yang relatif rendah. Dengan demikian, barang-barang ekspor dari Indonesia dan ASEAN pada umumnya lebih mudah dapat melakukan ekspansi. Hasil analisis indikator IES dan IEO dalam dua periode pengamatan menghasilkan kesimpulan bahwa, derajat intensitas kompestisi barang ekspor Indonesia ke kawasan ACFTA secara bilateral dengan masing-masing negara ASEAN menurun. Kesimpulan tersebut di dukung juga dengan derajat homogenitas komoditas ekspor ke ACFTA yang lebih rendah dibandingkan ekspor keseluruhan ke pasar dunia. Dengan tingkat homogenitas barang ekspor yang lebih rendah, tingkat persaingan dengan sesama negara ASEAN ke pasar Cina relatif berkurang. Namun demikian, ekspor Indonesia menghadapi tantangan baru dengan masuknya barang-barang impor Cina dikawasan ASEAN. Mitra dagang Indonesia dari kawasan ASEAN yang selama ini terjalin berpotensi mengalami penurunan. Dari hasil model GTAP, diperoleh perkiraan ekspor negara ASEAN ke kawasan ASEAN mengalami penurunan 4,9%, termasuk penuruan ekspor indonesia sebesar 4,4%. Disisi lain ekspor Cina ke ASEAN mengalami peningkatan 50,5%. Hasil penelitian paper ini menunjukkan bahwa komoditas barang ekspor Cina dan negara ASEAN cenderung menunjukkan arah yang berkurang tingkat persamaan komoditasnya. Hal ini sejalan dengan perkembangan ekspor barang dari Cina yang bergerak ke arah ekspor barang industri. Dari hasil pengujian sprearman rank correlation atas indikator RCA secara umum menunjukkan hubungan yang lebih bersifat komplementer antara barang ekspor Cina dengan negara ASEAN.
69 Octaviani et al (2010) menganalisis dampak FTA ASEAN-China terhadap makroekonomi dan ekonomi sektoral Indonesia. Studi ini menggunakan model dan database GTAP7 dengan skenario menghapus tarif impor ASEAN dan China menjadi 0 persen untuk semua komoditi perdagangan ASEAN-China untuk melihat dampaknya terhadap berbagai variabel makroekonomi. Studi ini menemukan bahwa dengan penghapusan tarif perdagangan ASEAN-China akan memberikan dampak makro dan sektoral di Indonesia. ACFTA akan memberikan dampak terhadap berbagai variabel makroekonomi Indonesia seperti peningkatan kesejahteraan, GDP riil, GDP deflator, konsumsi (pemerintah danswasta), investasi, term of trade, volume dan harga investasi namun menyebabkan neraca perdagangaan yang negatif. Selain itu ACFTA juga akan berdampak secara sektoral di Indonesia. ACFTA akan meningkatkan output komoditas tertentu yang hal ini sejalan dengan peningkatan ekspor dan kesempatan kerja. Komoditas yang mengalami penurunan output, kecenderungannya ekspor maupun kesempatan kerja juga mengalami penurunan. Hartono, et al., (2007) mengkaji integrasi ekonomi regional dengan beberapa area perdagangan bebas termasuk ACFTA dan dampaknya terhadap pertumbuhan, kemiskinan dan distribusi pendapatan di Indonesia. Dengan menggunakan CGE Global berdasarkan database GTAP 6.0. Secara umum ditemukan bahwa Indonesia memperoleh keuntungan dalam hal GDP riil, output, dan kesejahteraan, kecuali FTA dengan India. Berbagai FTA juga meningkatkan pendapatan kelompok rumahtangga pedesaan (rural group) yang lebih tinggi dibandingkan kelompok rumahtangga perkotaan (urban group). 3.5. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka teoritis dan berbagai data penunjang serta berbagai temuan-temuan dari hasil studi terdahulu, maka sebagai jawaban sementara tujuan penelitian, hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut. 1.
Limpahan sumberdaya tenaga kerja dan teknologi diduga berkontribusi paling besar pada output pertanian di China, sementara limpahan sumberdaya di negara-negara ASEAN-5 lebih banyak bersumber dari sumberdaya alam dan tenaga kerja.
70 2.
Komoditi pertanian China lebih unggul mengakses pasar global dibandingkan produk-produk pertanian nengara-negara SEAN-5.
3.
Transmisi harga internasional berbagai komoditi pangan ke pasar domestik China lebih tinggi dibandingkan transmisi harga komoditi serupa di negara angota ASEAN-5, sebaliknya untuk komoditi perkebunan maka transmisi harga di ASEAN-5 lebih tinggi dari China.
4.
Implementasi
kerjasama
perdagangan
bebas
ASEAN-China
akan
memberikan dampak positif yang signifikan terhadap berbagai variabel makro negara-negara ASEAN-China, namun tidak banyak berpengaruh terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia. 5.
Peningkatan teknologi pertanian, dan peningkatan transmisi harga melalui perbaikan sistem pemasaran komoditi pertanian akan memberikan dampak signifikan terhadap makroekonomi nasional dan pendapatan rumah tanga pedesaan di Indonesia.
IV. 4.1.
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran Kerjasama perdagangan bebas regional di Kawasan ASEAN-China
(ACFTA) yang pada intinya menghapus tarif perdagangan diantara negara-negara anggotanya mulai diimplementasikan sejak awal tahun 2010 untuk enam anggota lama ASEAN plus China, dan pada tahun 2015 untuk anggota baru ASEAN. China dan negara-negara ASEAN masing-masing memiliki limpahan sumberdaya yang beragam. China dikenal memiliki limpahan tenaga kerja yang besar dengan upah yang murah serta ditunjang dengan pasar domestik yang besar sehingga memungkinkan produsen China mampu menghasilkan produk pada skala efisien dengan harga yang kompetitif. Di pihak lain negara negara ASEAN, khususnya ASEAN-5 memiliki limpahan sumberdaya alam yang besar untuk memproduksi berbagai hasil pertanian, khususnya tanaman tropis. Dengan beragamnya limpahan sumberdaya yang dimiliki masing-masing negara, maka penghapusan tarif perdagangan melalui kerangka kesepakatan ACFTA akan berdampak pada peningkatan intensitas perdagangan diantara mereka berdasarkan keunggulan yang dimilikinya, sehingga akan mempengaruhi perekonomian masing-masing negara, termasuk Indonesia. Bahkan, dengan meliberalisasi perdagangan komoditi pertanian, sebagai bagian dari kerangka ACFTA dapat mempengaruhi kondisi perekonomian pedesaan di Indonesia sebagai basis utama produsen pertanian. Namun dampak liberalisasi perdagangan ini tidak akan seragam di semua negara, hal ini terkait selain perbedaan dalam hal pengembalian dan produktivitas faktor juga terkait perbedaan transmisi harga internasional ke pasar domestik di masing-masing negara. Dengan transmisi harga yang rendah, maka potensi “gain of trade” dari liberalisasi pertanian tidak akan akan dinikmati secara signifikan oleh produsen-produsen pertanian yang umumnya bermukim di pedesaan sehingga dampak liberalisasi terhadap perekonomian nasional secara keseluruhan bisa jadi juga tidak signifikan.
72 72
Perdagangan Komoditi Regional ASEAN-China (ACFTA)
Perubahan Permintaan Internasional
Perubahan Harga Internasional
Barang Ekspor Barang Impor Barang Domestik
Dayasaing Komoditi Pertanian
Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA)
Limpahan Sumberdaya
Lahan
TK
Pendapatan RT Agregat ASEAN-5 dan China
Modal
Produk Pertanian
Teknologi
Pendapatan 5 Group. RT Pedesaan dan Perkotaan di Indonesia 5 Klp RT Pedesaan
Barang Antara
Harga Produsen
Determinan Transmisi Harga Internasional Tarif Perdagangan Biaya Transpor Struktur pasar domestik Kebijakan stabilisasi domestik (Nilai tukar) Lainnya
Harga Domestik
Harga Konsumen
Struktur Permintaan Barang konsumsi Domestik
Kinerja Makroekonomi dan Sektor Pertanian ASEAN-5 dan China dan Perekonomian Pedesaan Indonesia
Gambar 7.
Kerangka Pemikiran Konseptual Analisis Dayasaing Komoditi Pertanian Menghadapi Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) dan Implikasinya Terhadap Perekonomian Pedesaan di Indonesia
73
4.2.
Jenis dan Sumber Data Studi ini menggunakan data sekunder untuk menjawab berbagai tujuan
penelitian yang telah dirumuskan. Data utama yang digunakan adalah database General Trade Analysis Project (GTAP) versi 8 yang diperoleh dari Purdue University, Amerika Serikat. Berbagai jenis data yang tercakup dalam Database GTAP 8 diantaranya table input-output, nilai tambah sektor produksi, nilai input primer dan input antara, perdagangan bilateral, transportasi, tingkat proteksi, pajak dan subsidi dari 129 negara dan 57 sektor. Berbagai jenis data sekunder lainnya yang digunakan dalam studi ini diantaranya bersumber dari FAO, World Bank, Dana Moneter Internasional (IMF), Badan Pusat Statistik (BPS), Sekretariat ASEAN, Departemen Pertanian dan berbagai instasi lainnya yang relevan. Data dari berbagai instansi ini digunakan sebagai pelengkap dalam melakukan analisis deskriptif. 4.3.
Metode Analisis Untuk menjawab tujuan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya,
maka terdapat tiga model analisis yang digunakan, yakni masing-masing: (1) Analisis komparasi tingkat dayasaing komoditi pertanian, diantara negara-negara ASEAN dan China yang diukur dengan menggunakan indiktor dayasaing dari sisi Supply berdasarkan nilai total factor productivity (TFP); (2) Analisis transmisi harga internasional ke harga pasar domestik pada tingkat produsen. Transmisi harga internasional ke pasar domestik untuk berbagai komoditi pertanian yang dianalisis di ukur berdasarkan model persamaan Autoregressive Distributed Lag, atau yang dikenal sebagai model Revallion (3) Analisis implikasi ACFTA terhadap perkonomian Indonesia dan negara negara anggotanya dianalisis berdasarkan model CGE Global dengan menggunakan database GTAP 8, sedangkan implikasi ACFTA terhadap perekonomian pedesaan Indonesia dianalisis berdasarkan model CGE Indonesia yang dibangun dari SAM Indonesia versi GTAP 8. Uraian terperinci masing-masing model analisis tersebut dijelaskan sebagai berikut.
74
4.3.1. Metode Analisis Dayasaing Pertanian Analisis komparasi dayasaing komoditi, khususnya komoditi pertanian diantara negara-negara anggota ACFTA akan dianalisis berdasarkan konsep dayasaing dari sisi Supply. Konsep dayasaing dari sisi Supply dalam studi ini merujuk pada konsep keunggulan komparatif (comparative adventage) dalam teori-teori perdagangan internasional, yakni konsep yang menekankan pentingnya berspesialisasi pada komoditi yang memiliki efisiensi paling tinggi, di mana efisiensi ini dicerminkan dari ukuran produktivitas faktor. Nicholson (1994) menyebutkan bahwa produktivitas faktor adalah ukuran efisiensi karena secara teknis mengacu pada perbandingan output dan input. Wilayah yang memiliki limpahan faktor tertentu seperti tenaga kerja, modal, sumberdaya alam atau teknologi, akan memiliki produktivitas faktor yang relatif lebih tinggi dibandingkan wilayah lain dalam menghasilkan komoditi tertentu. Dengan demikian ukuran produktivitas faktor dapat dijadikan sebagai indikator dayasaing komoditi dari sisi Supply. Keragaman limpahan faktor seperti tenaga kerja, modal, sumberdaya alam dan teknologi diantara negara negara yang tergabung dalam ACFTA memungkinkan perbedaan produktivitas faktor dalam menghasilkan komoditi tertentu dan sekaligus berimplikasi pada keragaman dayasaing komoditi yang dihasilkan masing-masing negara. Ukuran produktivitas yang digunakan dalam studi ini yang sekaligus mencerminkan indikator dayasaing komoditi dari sisi supply di masing-masing negara anggota ACFTA adalah ukuran total factor productivity (TFP). Nilai TFP dapat diperoleh dengan melakukan transformasi pada fungsi produksi Cobb-Douglas yang secara matematis dirumuskan sebagai berikut.
Y
A L K H1
………………………………………………. (4A-1)
Dimana
Y
= Nilai produksi (Output) tanaman pertanian (Crops) menurut harga konstan 2004-2006 dalam US Int $ Ribu
L
= Tenaga Kerja Pertanian (labor) dalam ribu jiwa
75
K
= Indeks nilai Persediaan Modal Bersih dari mesin-mesin pertanian (Machinery and equipment) dan penanaman tanaman (plantation crops) (2005 =100)
H
= Lahan tanaman pertanian (Arable Land + Permanent Cropland) dalam Ribu Ha.
A
= Pergeseran fungsi produksi Untuk keperluan perhitungan TFP, maka dilakukan transformasi terhadap
fungsi produksi Cobb-Douglas, dan menghasilkan
GTFP
GY
GL
GK
(1
)GH ......................................... (4A-2)
Dimana G merepresentasikan pertumbuhan variabel dan
,
merepresentasikan
proporsi biaya (cost share) dari masing-masing faktor produksi L dan K. TFP adalah perubahan dalam output yang tidak dapat dijelaskan oleh perubahan dalam input dengan kata lain merupakan jumlah pertumbuhan yang tersisa (residu) setelah dikurangkan dengan kontribusi pertumbuhan masingmasing input (faktor produksi) yang terukur. TFP ini seringkali digunakan sebagai ukuran kemajuan teknologi atau peningkatan efisiensi tenaga kerja. Banyak hal yang dapat mempengaruhi TFP ini, misalnya meningkatnya pengetahuan tentang metode produksi yang lebih baik, peningkatan keterampilan pekerja, peningkatan modal fisik seperti mesin, infrastruktur dan lainnya yang dapat meningkatkan efisiensi produksi, pokoknya TFP mencakup apa pun yang dapat mengubah hubungan diantara input dan output (Mankiw,2003). Komparasi dayasaing komoditi pertanian antar negara-negara ASEAN-5 dan China, selain menggunakan pendekatan TFP, studi ini juga menganalisis dayasaing komoditi pertanian berdasarkan pendekatan dayasaing ekspor. Komparasi dayasaing komoditi masing-masing negara ASEAN-5 dan China pada pasar ekspor didasarkan pada beberapa indikator utama yakni (1) indikator pangsa pasar; (2) indikator indeks RCA (Revealed Comparatif Advetages), (3) Indikator indeks spesialisasi perdagangan dan indikator berdasarkan indeks komplementer perdagangan antara negara-negara ASEAN-5 dengan China. Indikator pangsa pasar dimaksudkan untuk mengukur porsi pangsa pasar dunia yang dikuasai oleh setiap komoditi ekspor masing-masing negara-negara
76
ASEAN-5 dan China. Komiditi ekspor dari negara trtentu yang memiliki pangsa pasar paling besar mengindikasikan bahwa komoditi di ngara tersebut memiliki dayasaing yang lebih tinggi dalam mengakses pasar global. Secara matematis indeks pangsa pasar komoditi ekspor dirumuskan sebagai berikut.
Indeks Pangsa Pasar
X ij Wi
x100 .........................................................(4A-3)
Selanjutnya, untuk mengetahui jenis komoditi apa di masing-masing negara yang memiliki dayasaing tinggi untuk mengakses pasar global, maka indikatornya didasarkan pada indeks revealed comparative adventage (RCA) . Semakin tinggi nilai RCA dari suatu komoditi yang berasal dari negara tertentu, maka semakin tinggi pula daya saing komoditi tersebut dalam persaingan di pasar global. Secara matematis indeks RCA dirumuskan sebagai berikut.
RCA Keterangan:
X ij X j Wi Wt ................................................................................ (4A-4) Xij = nilai ekspor komoditas i dari negara j Xj = nilai ekspor total dari negara j Wi = nilai ekspor komoditas i di pasar global/China Wt = nilai ekspor total ke pasar global/China
Untuk melengkapi analisa daya saing komoditi di pasar global antara negara-negara ASEA-5 dan China, maka selain indikator pangsa pasar dan indikator RCA, studi ini juga menggunakan dua indikator lain yakni masingmasing indeks spesialisasi perdagangan dan indeks komplementer perdagangan. Indeks spesialisasi dimaksudkan untuk mengetahui apakah komoditi pertanian yang dimiliki masing-masing negara ASEAN-5 dan China cenderung dieskpor atau cenderung diimpor. Mengacu pada pada model yang digunakan oleh Yoo dan Kim (2006) dan Safriansyah (2010), maka indeks spesialisasi perdagangan dalam studi ini dirumuskan sebagai berikut.
ISP Keterangan:
Xi
Mi / Xi
M i ............................................................... (4A-5)
Xi = nilai ekspor komoditi i Mi = nilai impor komoditi i
Nilai ISP berkisar antara -1 hingga +1, Jika nilai ISP -1 berarti negara tersbut hanya sebagai pengimpor komoditi i. Sedangkan ISP = +1 berarti negara tersebut
77
hanya sebagai pengekspor komoditi i. Dengan kata lain nilai ISP yang semakin mendekati nilai +1 berarti komodit i di negara tersebut cenderung diekspor. Selanjutnya indeks komplementer perdagangan dimaksudkan untuk melihat kecocokan antara struktur permintaan impor suatu negara (pasar) dengan sruktur ekspor dari negara tertentu. Dalam studi ini indeks komplementer yang dianalisis adalah indeks komplementer perdagangan antara negara-negara ASEAN-5 dengan China. Negara ASEAN-5 yang memiliki struktur ekspor yang paling cocok dengan struktur kebutuhan impor di pasar domestik China akan memiliki indeks komplementer paling tinggi. Mengacu pada formula indeks komplementer yang digunakan oleh Mikic dan Gilbert (2009), Andriamananjara, et., al (2010), dan Castro (2012), maka indeks komplemener perdagangan (IKP) antara negara-negara ASEAN-5 dengan China dirumuskan sebagai berikut.
IKP
miA
1
xiB / 2 x100 .................................................... (4A-6)
i
Keterangan:
miA = proporsi impor komoditi i dari total impor negara A
xiB = proporsi ekspor komoditi i dari total ekspor negara B
Nilai indeks komplementer perdagangan antara negara A dan negara B berkisar pada nilai 0 – 1. Nilai IKP yang mendekati nilai satu, berarti kedua nagara memiliki kecocokan dalam perdagangan. Nilai IKP yang mendekata nilai satu juga mengisyaratkan bahwa negara B memiliki peluang yang besar untuk meningkatkan nilai ekspornya kepasar domestik negara A. 4.3.2. Analisis Transmisi Harga Dunia ke Pasar Domestik Harga komoditi di pasar global adalah fluktuatif dan transmisi harga dari pasar dunia ke pasar domestik adalah berbeda antarnegara, bahkan dapat berbeda secara geografis dalam satu negara. Perbedaan transmisi harga ini selain terkait dengan perbedaan infrastruktur, juga terkait dengan perbedaan pengaturan kebijakan stabilisasi di masing-masing negara dalam merespon gejolak pasar global. Nicita (2005) menyebutkan bahwa selain perbedaan tingkat pengembalian dan produktivitas faktor, perbedaan transmisi harga dari pasar dunia ke pasar
78
domestik menyebabkan liberalisasi akan memberikan dampak yang berbeda di setiap negara, termasuk perbedaan dampak secara geografis dalam satu negara. Di sisi lain, Valenzuela, et. al., (2007) menyebutkan bahwa umumnya model CGE Global mengasumsikan adanya transmisi harga yang sempurna (perfect price transmission) antara pasar dunia dengan pasar domestik. Karena itu dalam rangka menangkap ketidaksempurnaan transmisi harga, studi ini mengestimasi transmisi harga pasar dunia ke pasar domestik dan kemudian dilakukan simulasi peningkatan transmisi harga untuk melihat dampaknya terhadap berbagai variabel ekonomi diantara negara-negara ASEAN-5 dan China. Studi ini mengestimasi transmisi harga internasional ke pasar domestik pada tingkat produsen berdasarkan persamaan Autoregressive Distributed Lag atau yang dikenal model Revallion. Model ini diduga dengan Metode Kuadrat Terkecil (OLS), sebagai berikut : Pit
b1 Pit
1
b2 ( Pjt
Pjt 1 ) b3 Pjt
1
et ....................................... (4B-1)
Dimana : Pit Pit
= Harga di tingkat pasar ke-i pada waktu t ($US /Ton) 1
= Harga di tingkat pasar acuan ke-j pada waktu t
Pjt Pjt
= Lag harga di pasar ke-i pada waktu t ($US/Ton)
1
= Lag harga di pasar acuan ke-j pada waktu t
Xt
= Variabel eksogen seperti dummy faktor musiman dan peubah lain yang relevan di pasar i pada waktu t
bi
= parmeter estimasi ( b i = 1,2,3, ....)
et
= Random error Menurut Hasan et. al., (2007) dan Timer (1986) bahwa untuk melihat
pengaruh harga masa lalu pasar domestik dan harga masa lalu pasar acuan (pasar internasional) terhadap pembentukkan harga produsen di pasar domestik pada waktu tertentu maka dapat digunakan indeks keterpaduan pasar (Index of Market Connection, atau IMC). IMC didefinisikan sebagai rasio koefisien pasar domestik dengan koefisien pasar acuan (pasar internasional), yaitu: IMC
b1 ........................................................................................ (4B-2) b3
79
IMC dengan nilai kurang dari satu mengindikasikan pengaruh harga masa lalu pasar acuan lebih dominan mempengaruhi pembentukan harga produsen di pasar domestik pada waktu tertentu dibandingkan pengaruh masa lalu harga di pasar domestik. Dominannya pengaruh harga masa lalu pasar acuan terhadap pembentukan harga produsen di pasar domestik sekaligus mengindikasikan terjadinya integrasi jangka pendek antara harga internasional dan harga produsen di pasar domestik. Secara umum, jika IMC semakin mendekati nilai 0, maka semakin tinggi derajat integrasinya. Adapun hipotesi integrasi jangka pendek yang dirumuskan dalam studi in adalah sebagai berikut: H0 : IMC = 1 H1 : IMC ≤ 1 Bila hipotesis nol ditolak artinya pasar terintegrasi dalam jangka pendek. Hipotesisi nol ditolak jika thitung
t .
Nilai thitung diperoleh dari t hitung
IMC 1 .............................................................................. (4B-3) SE ( IMC )
Dimana :
Var (IMC)
SE(IMC)
=
Var (IMC)
= Var (b1 ) Var (b3 ) Covar( b1 , b3 )
Selanjutnya, notasi b 2 pada persamaan (4B-1) merupakan ukuran derajat perubahan harga di pasar acuan (pasar internasional) yang ditransmisi ke harga produsen di pasar domestik. Parameter ini mengukur integrasi jangka panjang dan nilai yang diharapkan adalah sama atau dekat dengan 1. Jika nilai koefisien b 2 sama dengan satu ( b 2 = 1), maka kedua pasar dikatakan teritegrasi sempurna dalam jangka panjang atau dengan kata lain perubahan harga di pasar internasional adalah proporsional dengan perubahan harga produsen di pasar domestik.
80
4.3.3. Metode CGE untuk Menganalisis Dampak ACFTA 4.3.3.1. Spesifikasi Umum Model CGE Untuk ACFTA Untuk menangkap bagaimana implikasi pemberlakukan kesepakatan perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dengan China, terhadap perekonomian masing-masing negara dan implikasinya terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia, maka dalam studi ini kami mengembangkan dua model CGE, yakni model CGE global dan model CGE spesifik untuk Indonesia. Kedua model CGE tersebut menggunakan data GTAP 8 data base yang dipubikasikan oleh Purdue University (Maret 2012). Pada model Indonesia, CGE dibangun dari social Accounting Matrix (SAM) Indonesia versi GTAP8 yang memiliki sistem agregasi sektor yang sama pada model Global. Selain itu, tarif impor menurut negara asal barang dalam SAM Indonesia, juga memiliki klasifikasi region yang sama pada model global. Sedangkan untuk klasifikasi rumah tangga, dimana dalam model global hanya merupakan rumah tangga agregat untuk masingmasing negara, sedangkan dalam model Indonesia rumah tangga didisagregasi menjadi 5 kelompok rumah tangga, yang disesuaikan dari klasifikasi rumah tangga Indonesia pada SAM Indonesia versi BPS tahun 2008. Klasifikasi ke lima rumah tangga pada model CGE Indonesia dalam studi ini masing-masing adalah rumah tangga pertanian (HA), rumah tanggap bukan pertanian pedesaan golongan rendah (HRP), rumah tangga bukan pertanian pedesaan golongan atas (HRR), rumah tangga bukan pertanian perkotaan golongan rendah (HUP) dan rumah tangga bukan pertanian perkotaan golongan atas (HUR). Model CGE untuk ACFTA dalam studi ini merupakan model statik, yang diadaptasi dari model Partnership for Economi Policy (PEP), versi PEP-w-1 (2011). Model CGE Global ini dikonstruksi secara series dari model CGE singlecountry, di mana setiap model satu negara terhubung satu dengan lainnya melalui perdagangan internasional. Dalam model ini setiap negara memiliki lima faktor produksi (modal, tenaga kerja terdidik, tenaga kerja tidak terdidik, modal, lahan dan sumberdaya alam (natural resources). Permintaan faktor produksi ditentukan berdasarkan Fungsi CES (Constant Elasticity of Substitution). Sedangkan
81
permintaan komoditi oleh rumah tangga ditentukan berdasarkan fungsi LES (Linear Expenditure System) . 4.3.3.2. Deskripsi Model Statis CGE Global untuk ACFTA 4.3.3.2.1. Sektor Produksi Model dalam studi ini menganalisis dua belas klasifikasi sektor produksi. Dalam struktur produksi masing-masing sektor, terdapat dua tipe komoditi yang diproduksi oleh sektor (produsen), yakni komoditi yang diproduksi secara domestik untuk dijual di pasar domestik dan komoditi yang diproduksi secara domestik untuk ekspor. Produsen akan mengkombinasikan faktor primer (modal, tenaga kerja terdidik, tenaga kerja tidak terdidik, modal dan lahan) dengan komoditas antara (intermediate comodities) untuk memaksimisasi keuntungannya. Keuntungan aktivitas didefinisikan sebagai selisih antara penerimaan (revenue) dengan biaya dari input faktor primer dan input antara. Berbagai fitur dan asumsi dari sektor produksi yang mendasari pemodelan CGE dalam studi ini akan di uraikan sebagai berikut. A. Struktur Produksi Sebagaimana lazimnya dalam model komputasi keseimbangan umum (CGE), model yang dikembangkan dalam studi ini mengasumsikan bahwa aktivitas (produsen) menghadapi pasar persaingan sempurna (perfect competition) dan menggunakan teknologi produksi berdasarkan constant return to scale (CRTS) dalam rangka memaksimisasi profit (maximize profit).
Berdasarkan
asumsi maksimisasi profit ini, produsen akan menentukan jumlah produksi yang ditawarkan dan menentukan permintaan terhadap berbagai faktor produksi Sebagai bagian dari asumsi keuntungan maksimum (profit maximitation), produsen akan mengatur penggunaan berbagai faktor produksi yang digunakan hingga pada kondisi dimana penerimaan produksi marginal (marginal revenue product, MRP) dari setiap faktor produksi produksi (input) adalah sama dengan harga atau sewa (rent) dari faktor produksi tersebut. Dalam studi ini, faktor poduksi yang diperlukan produsen untuk menghasilkan output ke-j,di setiap region (XSj,z), terdiri dari input
primer (primary inputs) dan input antara
82
(intermediate inputs). Input primer yang digunakan produsen terdiri: Modal, Tenaga kerja terdidik, tenga kerja tidak terdidik, lahan dan sumberdaya alam. Tenaga kerja diasumsikan memiliki mobilitas antar sektor tetapi tidak secara internasional, sedangkan modal, lahan dan sumberdaya alam diasumsikan tidak mobile untuk keduanya. Seperti terlihat pada struktur produksi pada Gambar 8, bahwa keputusan produsen dalam mengkombinasikan berbagai input yang diperlukan dilakukan dalam beberapa tahap (struktur produksi multi level). Pada level pertama, produsen akan mengkombinasikan penggunaan input faktor primer komposit yang direpresentasikan sebagai nilai tambah (value added) dari berbagai input faktor primer yang digunakan dengan berbagai komoditi ke-j sebagai input antara (intermediate commodity). Komposisi pengunaan nilai tambah, Vaj,z dan input antara, CIj,z
didasarkan pada fungsi Leontif. Dengan demikian permintaan
aktivitas ke-i terhadap kedua jenis input komposit ini berdasarkan suatu proporsi yang tetap terhadap output pada tingkat aktivitas. Output Sektor
( XS j , z ) i
Leontief Nilai Tambah Input Primer
Input Antara
(VA j , z )
(CI j , z )
CES
Leontief
TK Komposit
Modal Komposit
( LDC j , z )
( KDC j , z )
TK 2 (LDC2,j,z )
Produksi Domestik,
( DI 2 , j , z )
CES
CES TK 1 (LDC2,j,z )
Produk 1 ( DI 1, j , z )
Modal 1 (KDC2,j,z )
Modal 2 (KDC2,j,z )
.......
Sumber : Diadaptasi dari Lemelin A, at. Al., (2011) Gambar 8. Struktur Produksi dalam CGE Global untuk ACFTA Pada tahap selanjutnya, fungsi produksi CES (Constant Elasticity of Substitution) dua level akan digunakan. Fungsi CES level pertama digunakan
83
untuk menderivasi fungsi nilai tambah, VAj,z dalam menentukan permintaaan berbagai input faktor primer yang akan digunakan produsen. Pada level ini, komoditi j yang akan dijadikan input antara oleh produsen diasumsikan menggunakan fungsi Leontif terdiri input antara impor dan input antara yang diproduksi secara domestik. Dengan demikian permintaan aktivitas ke-j terhadap berbagai input antar ini berdasarkan suatu proporsi yang tetap terhadap output pada tingkat aktivitas. B. Permintaan Input Primer dan Input Antara Dalam rangka memaksimumkan keuntungannya, produsen mengambil keputusan dalam beberapa tahap untuk menentukan kombinasi berbagai input yang diperlukan untuk menghasilkan output. Tahap pertama, produsen memutuskan untuk mengkombinasikan faktor primer komposit (value added), dengan input antara komposit. Dengan asumsi proporsi tetap (fixed Share) berdasarkan fungsi leontief (leontief function) produsen menentukan jumlah yang sesuai input antara dan nilai tambah (value added) per unit output. Nilai tambah komposit, VA adalah fungsi dari input primer yang akan disubstitusikan berdasarkan fungsi CES. Selanjutnya input antara komposit yang diguakan produsen juga diasumsikan menggunakan fungsi leontif. Level pertama pada struktur produksi yang mengkombinasikan faktor produksi primer dengan input antara berdasarkan fungsi leontif mengisyaratkan bahwa kedua input tersebut bersifat komplementer dalam menghasilkan output, dan permintaanya merupakan proporsi tetap terhadap output. Permintaan input primer komposit (VA) dan input antara komposit (CI) masig-masing direpresentasikan pada persamaan (4D1 dan 4D2) VA j , z
v j , z XS j , z ……………….........….......……………......
(4D.1)
CI j , z
io j , z XS j , z ……………….........….......……………......
(4D.2)
Di mana CI
j,z
= Total konsumsi input antara pada aktivitas-j di wilayah ke z
VA j , z = Nilai tambah input primer (value added) pada aktivitas-j di wilayah ke z
XS j , z = Total output pada aktivitas-j di wilayah ke z
84
io j , z
= koefisien leontief untuk input antara pada aktivitas-j di wilayah ke z
v j,z
= koefisien leontief untuk value added pada aktivitas-j di wilayah ke z Pada level kedua pada struktur produksi seperti yang diperlihatkan pada
Gambar 8, menunjukkan bahwa nilai tambah pada setiap industri ke J terdiri dari input primer tenaga kerja komposit dan modal komposit dimana permintaanya didasarkan pada fungsi constant elasticity of substitution (CES). Permintaan terhadap faktor produksi tenaga kerja komposit dan modal komposit didasarkan pada persamaan berikut. 1
BVA j,z
VAj , z
VA j,z
VA
LDC j , zj , z
VA j,z
(1
VA
) KDC j , zj , z
VA j,z
………...
(4D.3)
Di mana KDC j , z
= Permintaaan modal komposit menurut aktivitas-j di wilayah ke z
LDC
= Permintaaan TK komposit menurut aktivitas-j di wilayah ke z
j,z
B VA j,z
= Parameter skala (CES-nilai tambah)
VA j, z VA j, z
= Share parameter (CES-nilai tambah) VA j, z
= Elastisitas parameter (CES-nilai tambah), ( 1 Dengan
asumsi
keuntungan
maksimum
maka
)
perusahaan
akan
menggunakan tenaga kerja dan modal pada tingkat dimana nilai marginal produk dari setiap faktor produksi adalah sama dengan harganya faktor produksi tersebut. Dengan fungsi produksi CES tersebut, maka permintaan tenaga kerja relatif terhadap modal direpresentasikan pada persamaan berikut.
LDC j , z
(1
VA RC j , z j, z VA WC j, z j, z )
VA j, z
KDC j , z ……...................…...
(4D.4)
Di mana RC j , z = Tingkat biaya modal komposit pada aktivitas-j di wilayah ke z WC
j,z
VA j, z
= Tingkat upah tenaga kerja komposit pada aktivitas-j di wilayah ke z = Elastisitas substitusi (CES-nilai tambah), (0
Di mana
VA j, z
1
VA j, z VA j, z
VA j, z
)
85
Selanjutnya pada level bawah pada struktur produksi (Gambar 8) pada sisi nilai tambah, kategori tenaga kerja didefrensiasi menurut kategori tenaga kerja terdidik (skil labor) dan tenaga kerja tidak terdidik (unskil labor), Kombinasi kedua kategori tenaga kerja tersebut mengikuti fungsi CES, yang berarti kedua tenaga kerja tersebut bersubstitusi tidak sempurna. Kombinasi penggunaan faktor produksi tenaga kerja tersebut direpresentasikan pada persamaan (4D5), sedangkan permintaan masing-masing kategori tenaga kerja berdasarkan kendala teknologi CES direpresentasikan pada persamaan (4D6). Selanjutnya modal komposit dalam studi ini juga merupakan sebuah kombinasi CES, dimana kategori modal dibedakan menurut Kapital (Cap), lahan (Land) dan sumberdaya alam (Natres). Berbagai kategori modal komposit tersebut juga diasumsikan bersubtitusi tidak sempurna. Dimana permintaan masing-masing kategori modal berdasarkan kendala CES direpresentasikan pada persamaan 4D.5.
LDCl , j , z
1 LD j,z
LD j, z LD l , j , z LDl , j , z
B LDC j,z
…….....................…... (4D.5)
l
LD j , z
KDC j , z
LD j, z
LD l , j , z WC j , z
B LDC j, z
WTI l , j , z
KD j, z KD KD k , j, z k , j, z
B KD j, z
LD 1 j,z
1 KD j, z
LDC j , z ……................. (4D.6)
…….....................…...
(4D.7)
k
KDk , j , z
KD k , j , z RC j , z
RTIl , j , z
LD j, z
B KD j, z
KD 1 j, z
KDC j , z ……................ (4D.8)
Di mana KD k , j , z = Permintaan tipe-k modal menurut aktivitas j di region z.
LD l , j , z = Permintaan tipe-l tenaga kerja menurut aktivitas j di region z. WTI l , j , z = Tingkat upah menurut tipe–l TK pada aktivitas-j di wilayah ke z RTI l , j , z = Biaya modal menurut tipe–k modal pada aktivitas-j di wilayah ke z
B KD = Parameter skala (CES-modal komposit) j, z B LD j, z
= Parameter skala (CES-TK komposit)
86
KD k , j, z LD l , j, z KD j, z LD j, z KD j, z LD j, z
= Parameter Share (CES-modal komposit) = Parameter Share (CES-TK komposit) KD j, z
= Parameter Elastisitas (CES-modal komposit), ( 1 = Parameter Elastisitas (CES-TK komposit), ( 1
KD j, z
= Elastisitas substitusi (CES-TK komposit), (0
)
KD j, z
= Elastisitas substitusi (CES-modal komposit), (0 LD j, z
)
) )
Bagian terakhir pada level kedua pada struktur produksi diatas (Gambar 8) pada sisi konsumsi input antara, menunjukkan bahwa penggunaan input antara agregat pada aktivitas ke j terdiri dari berbagai barang dan jasa. Diasumsikan bahwa input antara tersebut adalah bersifat komplementer secara sempurna, dan kombinasinya mengikuti fungsi produksi leontief. Jumlah komiditi i yang digunakan sebagai input antara pada aktivitas kej di region z direpresentasikan pada persamaan berikut. DI i , j , z
aiji , j , z CI j , z ……………….........….......……………...... (4D.9)
Di mana DI i , j , z = Konsumsi input antara dari komoditi i pada aktivitas j di region z. aiji , j , z = input-output koefisen.
4.3.3.2.2. Pendapatan dan Tabungan A. Rumah Tangga (Household) Pada model global, rumah tangga pada setiap negara merupakan rumah tangga agregat. Pendapatan rumah tangga berasal dari pendapatan faktor produksi tenaga kerja dan kapital. Pendapatan rumah tangga tersebut kemudian dibelanjakan untuk pengeluaran rumah tangga. Persamaan pendapatan rumah adalah sebagai berikut.
YH z
YHL z
YHK z ……………….........….......…………....
Di mana
YH z
= Total pendapatan rumah tangga di region z.
YHK z = Pendapatan modal rumah tangga di region z.
(4D.10)
87
YHL z = Pendapatan tenaga kerja rumah tangga di region z. Pendapatan tenaga kerja rumah tangga adalah pejumlahan pendapatan yang diterima dari seluruh tipe tenaga kerja. Sedangkan pendapatan modal rumah tangga adalah penjumlahan pendapatan berbagai tipe modal dikurangi penyusutan. YHLz
Wl , z LDl , j , z ……………….........….......…………....
(4D.11)
DEPz ………....….......…………....
(4D.12)
l, j
YHK z
Rk , j , z KDk , j , z k, j
Di mana R k , j , z = Sewa modal setiap tipe modal pada aktivitas di region z. Wl , z
= Upah setiap tipe tenaga kerja di region z.
DEPz = Penyusutan modal di region z. Pengurangan menghasilkan
pajak
pendapatan
pendapatan yang
dari
pendapatan
rumah
tangga
dibelanjakan
(disposible
income),
yang
direpresentasikan pada persamaan (4D13), sedangkan anggaran rumah tangga untuk konsumsi merupakan sisa disposible income setalah dikurang tabungan rumah tangga. Anggaran rumah tangga untuk konsumsi direpresentasikan pada persamaan (4D14) dan tingkat tabuangan rumah tangga direpresentasikan pada persamaan (4D15).
YDH z
YH z
CTH z
YDH z
SH z
TDH z ………....…........................…………....
(4D.13)
SH z ………....…........................…………....
(4D.14)
PIXCONz sh0 z
sh1z YDHz ………....…...........…….... (4D.15)
Di mana
CTH z
= Anggaran konsumsi rumah tangga di region z.
PIXCON z
= Indeks harga konsumen di region z.
SH z
= Tabungan rumah tangga di region z.
TDH z
= Pajak pendapatan rumah tangga di region z.
YDH z
= Disposible income rumah tangga di region z.
sh0 z
= Intersep (tabungan rumah tangga)
88
sh1z
= slop (tabungan rumah tangga)
B. Pemerintah Agen pemerintah dalam model global, memperoleh penerimaan dari berbagai pajak. Secara umum penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak pendapatan rumah tangga, pajak produk dan impor dan pajak produksi.
YG z
TDH z
TPRODN
TPRODN TIWT z
z
z
TIKT z
TPRCTS z ………....…..........….... (4D.16) TIPT z ………....…...................
(4D.17)
TIWTl , j , z ………............................…...................
(4D.18)
TIKk , j , z ………................................…...................
(4D.19)
TIPj , z ………................................…...................
(4D.20)
TIWTz l, j
TIKTz k, j
TIPTz j
TPRCTS z
TICT z
TIMT z
TIXT z ………....…...................
TICi, z ………................................…...................
TICTz
(4D.21) (4D.22)
i
TIM m, zj , z ……….............................…...................
TIMTz
(4D.23)
m, zj
TIX x, z , zj ………................................…................... (4D.24)
TIXTz x, zj
Di mana TIC i , z
= Penerimaan pajak tidak langsung pemerintah dari komoditi ke i di region z.
TICT z
= Total penerimaan pajak tidak langsung pemerintah dari seluruh komoditi di region z.
TIK k , j , z
= Penerimaan pemerintah dari pajak menurut tipe modal yang digunakan aktivitas j di region z.
TIKT z
= Total penerimaan pemerintah dari pajak penggunaan modal di region z.
89
TIM m, zj , z
= Penerimaan pemerintah dari pajak impor komoditi m yang berasal dari region zj menurut region z, di mana m M komoditi yang diimpor.
TIMT z
= Total penerimaan pemerintah dari pajak impor di region z.
TIP j , z
= Penerimaan pemerintah dari pajak produksi aktivitas ke j di region z.
TIPT z
= Penerimaan pemerintah dari pajak produksi di region z.
TIW l , j , z
= Penerimaan pemerintah dari pajak gaji (payroll taxes) berdasarkan tipe TK di aktivitas ke j di region z
TIWT z
= Total penerimaan pemerintah dari pajak gaji di region z.
TIX
= Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk komoditi x yang di
x , z , zj
ekspor region z ke region zj , simana x
TIXT z
X komoditi ekspor
= Total penerimaan pemerintah dari pajak ekspor di region z.
TPRCTS z = Total penerimaan pemerintah dari pajak produk dan impor di region z.
TPRODN z = Total penerimaan pemerintah dari pajak produksi di region z.
YG z
= Total pendapatan pemerintah di region z. Sama halnya dengan tabungan rumah tangga, pajak pendapatan yang
dibayar oleh rumah tangga adalah merupakan fungsi linear dari total pendapatan rumah tangga, yang direpresentasikan pada persamaan (4D25).
TDH z
PIXCONz ttdh0 z
ttdh1z YH z ………....….......…….... (4D.25)
Di mana
ttdh0 z
= Intersep (pajak pendapatan rumah tangga).
ttdh1z
= Tingkat pajak pendapatan rumah tangga marginal Pajak setiap faktor produksi yang di terima pemerintah pada setiap
aktivitas ke j i diwilayah z direpresentasikan pada persamaan berikut TIW l , j , z
ttiwl , j , zWl , z LD l , j , z ………....….......……....
(4D.26)
TIK k , j , z
ttik k , j , z Rk , j , z KD k , j , z ………....….......……....
(4D.27)
90 ttiip j , z PP j , z XS j , z ………....….......……....
TIP j , z
(4D.28)
Di mana = Unit biaya aktivitas ke j di region z termasuk pajak penggunaan
PP j , z
modal dan tenaga kerja dalam produksi = Tingkat pajak menurut tipe modal yang digunakan di aktivitas ke j
ttik k , j , z
pada region z ttipk , j , z
= Tingkat pajak produksi di aktivitas ke j pada region z
ttiwl , j , z
= Tingkat pajak upah dan gaji menurut tipe TK ke l pada aktivitas ke j di region z Selanjutnya pada persamaan 4D29-4D30 menjelaskan pajak tidak
langsung yang diterima pemerintah dari penjualan barang impor dan barang yang tidak diimpor. Sedangkan pada persamaan berikutnya menjelaskan pajak impor yang dinilai pada tingkat harga dunia yang mencakup margin internasional (4D31) dan persamaan (4D32) menjelaskan pajak ekspor yang diterima pemerintah. tticnm, z PL nm, z DD nm, z ………....….......……......................
TIC nm, z
(4D.29)
PLm, z DDm, z TICm, z
(4D.30)
tticm, z
1 ttimm, zj , z PWM m, zj , z zj
TIM m, zj , z
PWMGijtmrgij , m, zj , z ez IM m, zj , z ij
ttimm, zj , z PWM m, zj , z
PWMGij tmrg ij ,m, zj , z e z IM m, zj , z ......... (4D.31) ij
TIX x, z , zj
ttix x, z , zj PE x, z , zj EX x, z , zj ………...................….......……....
(4D.32)
Di mana DD i , z
= Permintaan domestik komoditi i yang diproduksi secara lokal di region z
ez
= Nilai tukar,
EX x, z , zj
= Jumlah produk x yang diekspor dari region z ke region zj
IM m , zj , z
= Jumlah produk m yang diimpor dari region zj oleh region z
PE x , z , zj
= Harga yang diterima oleh region z untuk komoditi yang diekspor ke region zj (termasuk pajak ekspor)
91
= Harga produk lokal ke i di region z (tidak termasuk pajak untuk
PL i , z
produk) = Harga dunia untuk komoditi m yang di impor dari region zj oleh
PWM m, zj , z
region z PWMG i ,m, zj , z = Harga dunia untuk margin ke i tmrg i ,m, zj , z = Tingkat margin jasa tipe ke i yang di terapkan untuk mengimpor
komoditi m dari region zj oleh region z ttici , z
= Tingkat pajak untuk komoditi ke i di region z
ttimm, zj , z
= Tingkat pajak impor untuk komoditi ke m yan diimpor dari region zj oleh region z = Tingkat pajak ekspor untuk komoditi ke x yang diekspor ke region
ttix x , z , zj
zj oleh region z Perbedaan antara penerimaan dan pengeluaran pemerintah terhadap berbagai barang dan jasa merupakan tabungan pemerintah di region z.
SG z
YG z
G z ……….......................................….......…….... (4D.33)
Di mana
SG z
= Tabugan pemerintah di region z
Gz
= Pengeluaran pemerintah untuk berbagai barang dan jasa di region z
B. Rest of the World YROW z
ez
IM m, zj , z PWM m, zj , z m, zj
SROWz
PWMG i tmrg i ,m, zj , z i
YROW c z
PWX x, z , zj EX x, z , zj c z x, zj
SROW z
i
...........(4D.34)
PWMGi MRGNi, z ..... (4D.35)
CAB z .................................................................................... (4D.36)
Di mana
CAB z
= Neraca perdagangan region z
MRGN i , z
= Produksi domestik komoditi i di region z sebagai jasa margin perdagangan
92
PWX
x , z , zj
= Harga dunia dari komoditi x yang di ekspor oleh region z ke region zj
SROW z
= Tabungan rest of the world yang terkait region z
YROW z
= Pendapatan rest of the world yang berkenaan region z
4.3.3.2.3. Permintaan Domestik Total permintaan domestik terhadap barang dan jasa, baik yang diproduksi secara lokal maupun yang diimpor terdiri dari permintaan konsumsi rumah tangga, permintaan investasi, permintaan oleh administrasi publik dan permintaan input antara. Diasumsikan bahwa rumah tangga memiliki fungsi utilitas stoneGeary (derivasi dari sistem linear expenditure system). Permintaan rumah tangga di region z untuk setiap barang ditentukan dengan memaksimisasi utility dengan kendala anggaran.
CiMIN , z PCi , z
Ci, z PCi, z
LES i, z
CTH z ij
CijMIN , z PCij , z ........................ (4D.37)
Di mana C i, z
= Konsumsi komoditi i oleh rumah tangga di region z
CiMIN ,z
= Konsumsi minimum komoditi i oleh rumah tangga di region z = Harga pembeli komoditi komposit i (termasuk seluruh pajak dan
PC i , z
margin) di region z LES i, z
= Share margin komoditi i pada anggaran konsumsi rumah tangga di region z Permintaan barang dan jasa untuk investasi serta pengeluaran pemerintah
terhadap berbagai barang dan jasa direpresentasikan pada persamaan berikut
PCi, z INVi, z
INV i , z ITz ...........................................................................
(4D.38)
PCi, z CGi, z
GVT i, z G z .............................................................................
(4D.39)
Gz
G
REAL z PIXGVT z .......................................................................... (4D.40)
93
Di mana CG i , z
= Konsumsi publik komoditi i di region z
INV i , z
= Permintaan akhir komoditi i untuk investasi di rgion z
IT z
= Total pengeluaran investasi di region z
GVT i, z
= Share komoditi i pada total pengeluaran publik untuk barang dan jasa di region z
G
REAL z = Pengeluaran riil pemerintah di region z
PIXGVT z = indeks harga pengeluaran publik di region z Barang dan jasa selain diperlukan untuk permintaan akhir, juga di gunakan sebagai input di dalam proses produksi. Permintaan antara untuk setiap komoditi merupakan penjumlahan dari permintaan industri. DITi, z j
DI i, j , z .................................................................. (4D.41)
Di mana DIT i , z
= Total konsumsi input antara dari komoditi i di region z
4.3.3.2.4. Penawaran Produsen dan Perdagangan Internasional Dalam
model
CGE
ini,
berbagai
barang
atau
komoditi
yang
diperdagangkan secara internasional adalah barang diferensiasi (differentiation product). Dimana barang-barang yang diproduksi secara domestik dan barang luar negeri dalam industri yang sama adalah bersubtitusi tidak sempurna (imperfect substitutes). Barang yang terdefrensiasi berdasarkan negara asal ini sering disebut sebagai asumsi Armington. Dari sisi penawara (Supply side), output komoditi ke-i yang diproduksi secara domestik (XSi,z) akan ditawarkan ke pasar domestik (DSi,z) dan diekspor (EXTi,z). Penawaran output domestik ini akan ditentukan berdasarkan fungsi Constant Elasticity of Transformation) (CET). Selanjutnya, dari sisi permintaan (demand side), seluruh barang yang diminta oleh beragam intitusi domestik (Qi,z) akan dipasok oleh produksi domestik yang dijual di pasar domestik (DDi,z) dan dipasok oleh berbagai barang impor (IMTi,z). Penawaran
94
komoditi ekspor dan permintaan barang impor serta derajat substitusinya dengan barang domestik akan diuraikan lebih detail sebagai berikut. A. Penawaran Komoditi Ekspor Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian struktur produksi bahwa penawaran output agregat komoditi XSi,z, akan ditawarkan ke tiga outlet pasar yakni ke pasar domestik, pasar ekspor dan margin transportasi internasional. Jumlah output domestik yang dipasarkan ke pasar domestik dinotasikan sebagai DSi,z sedangkan jumlah yang diekspor dinotasikan sebagai EXTi,z. Penawaran output domestik ke penjualan domestik dan ekspor serta margin transportasi didasarkan pada asumsi bahwa supplier akan memaksimumkan penerimaan untuk tingkat output agregat tertentu berdasarkan fungsi CET (constant elasticity transformation). Fungsi CET ini adalah identik dengan fungsi CES, kecuali elastisitas substitusi negatif, Pada fungsi CET elastisitas transformasi antara pasar domestik dan ekspor adalah positif. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa isoquant sesuai dengan fungsi transformasi output adalah cekung terhadap titik asal (concave to origin). Secara matematis fungsi CET untuk penawaran output agregat domestik adalah.
XSi , z
BiX, z1
X1 EX X 1 i, z EXTi , z i, z
1
EX X 1 i, z
X1 D X1 i, z DS i , z i, z X1 D X1 i, z MRGN i, z i, z
1 X1 i, z
……….
(4D.42)
Di mana DS i , z
= penawaran komoditi i yang diproduksi secara lokal untuk pasar domestik di region z
EXTi , z
= penawaran komoditi komposit i oleh region z untuk tujuan ekspor
BiX, z1
= parameter skala (CET-penawaran komposit)
D X1 i, z
= parameter Share pasar domestik (CET-penawaran komposit)
EX X 1 i, z
= parameter Share ekspor (CET-penawaran komposit)
X1 i, z
= parameter elastisitas (CET-penawaran komposit) ; 1
X1 i, z
95
Fungsi penawaran relatif diturunkan dari persamaan (4D42) berdasarkan first-order-condition (FOC) untuk memaksimisasi penerimaan produsen untuk tingkat output agregat tertentu berdasarkan fungsi CET, menghasilkan persamaan sebagai berikut. D X1 i, z EX X 1 i, z
EXTi, z
MRGNi, z
1
PETi , z PLi, z
X1 i, z
DS i , z …........................…….
D X1 i, z D X1 EX X 1 i, z i, z
e z PWMGi PLi , z
(4D.43)
X1 i, z
DS i , z …..…. (4D.44)
= harga pada tingkat border komoditi i yang di ekspor oleh region z
PETi , z
ke seluruh region X1 i, z
= elastisitas transformasi (CET – penawaran komposit); 1
X1 i,z
Untuk produk yang tidak di ekspor, total output adalah sama dengan penawaran pada pasar domestik. XS n, zi
DS ni , z ....................................................................... (4D.45)
Selanjutnya, ekspor komoditas dari region z akan diarahkan ke berbagai daerah tujuan. Akan tetapi karena permintaan di setiap daerah tujuan serta berbagai jenis pajak yang berlaku di daerah tujuan berbeda, maka diasumsikan produksi yang diarahkan ke satu wilayah berbeda dari produksi diarahkan ke daerah lain. Produksi yang diarahkan ke berbagai daerah tujuan akan ditentukan berdasarkan fungsi CET (constant elasticity of transformation), sebagaimana yang direpresentasikan pada persamaan berikut. ................................................... (4D.46) Dimana ; : Skala parameter (CET – Penawaran ekspor komposit) : Share parameter pada wilayah zj pada komoditi ekspor x dari wilayah z (CET – Penawaran ekspor komposit) : parameter elastisitas (CET–Penawaran ekspor komposit);
96
Fungsi penawaran komoditi ekspor untuk masing-masing daerah tujuan diturunkan dari first-order condition (FOC) maksimisasi penerimaan berdasarkan kendala fungsi CET direpresentasikan pada persamaan berikut. .........................................
(4D.47)
Dimana ; : elatisitas transformasi (CET – composite export Supply) Secara aljabar fungsi transformasi CET, Untuk meringkas, perilaku penawaran produsen yang direpresentasikan oleh fungsi CET, pada tingkat atas (persamaan 4D.42), output agregat dialokasikan di antara tiga outlet pasar (ekspor, domestik, dan margin transportasi internasional), di tingkat yang lebih rendah, ekspor didistribusikan antara daerah tujuan. B. Permintaan Barang Impor Perilaku pembeli simetris dengan perilaku produsen, dalam hal ini diasumsikan bahwa produk lokal adalah bersubstitusi secara tidak sempurna dengan impor, dan impor dari satu daerah bersubstitusi tidak sempurna dengan impor dari daerah lain. Dengan kata lain, barang dianggap heterogen berdasarkan daerah asalnya. Jadi komoditas yang diminta di pasar domestik adalah barang komposit, kombinasi barang yang diproduksi secara lokal dan impor komposit, dan impor komposit adalah kombinasi impor dari berbagai daerah. Substitusi tidak sempurna direpresentasikan oleh fungsi constant elasticity of transformation (CES) seperti pada persamaan 4D.48 dan 4D.51. -
....................... (4D.48) Dimana ; :
Jumlah permintaan impor pada komoditas komposit m di wilayah z dari seluruh impor wilayah lain
: Jumlah permintaan komoditi komposit i di wilayah z
97 : Skala parameter (CES – barang komposit) : Share parameter (CES – barang komposit) : Parameter elastisitas (CES – barang komposit);
Tentu saja, untuk barang tidak diimpor, permintaan untuk komoditi komposit adalah permintaan barang yang diproduksi di dalam negeri. ............................................................................... (4D.49) Sama seperti penjual yang berusaha untuk memaksimalkan pendapatan, maka pembeli juga berusaha untuk meminimalkan biaya pembelian berdasarkan fungsi agregasi CES pada persamaan 4D.48. Kondisi optimum dari fungsi permintaan relatif barang impor di region z direpresentasikan sebagai berikut. ..........................................
(4D.50)
Dimana ; : Harga produk lokal i dijual di pasar domwesti wilayah z (termasuk pajak) : Harga komoditi komposit m di impor oleh wilayah z (sudah termasuk pajak dan margin) : Elastisitas subtitusi (CES – Barang komposit) Sesuai dengan aljabar fungsi agregasi CES, Impor komposit adalah agregat CES impor dari berbagai daerah yang direpresentasikan pada persamaan 4D.51. -
........................................ (4D.51) Dimana; : Parameter elastisitas (CES – Impor komposit); Permintaan fungsi impor dari masing-masing daerah diturunkan dari kondisi orde pertama (FOC) fungsi minimisasi pengeluaran berdasarkan kendala CES (persamaan 4D.51), menghasilkan
98
......................................... (4D.52) Dimana; :
Harga komoditi m diimpor dari wilayah zj oleh wilayah z (sudah termasuk pajak dan margin)
:
Elastisitas subtitusi (CES – impor komposit);
Secara aljabar fungsi agregasi CES, 4.3.3.2.5. Harga-Harga A. Harga Produksi Dalam model ini, unit biaya output industri (termasuk pajak langsung yang berhubungan dengan penggunaan modal dan tenaga kerja, tetapi tidak termasuk pajak lainnya atas produksi) adalah jumlah tertimbang dari harga nilai tambah dan konsumsi antara agregat dibagi dengan jumlah output, unit biaya output direpresentasikan pada persamaan 4D.53 berikut. .................................................
(4D.53)
Dimana; : Indeks harga dari konsumsi antara industri j di wilayah z : Harga nilai tambah industri j di wilayah z Harga konsumsi antara agregat adalah kombinasi dari harga komoditas dari input antara yang diminta oleh industri j (persamaan 4D.55), sedangkan harga nilai tambah adalah kombinasi dari harga tenaga kerja komposit dan modal komposit (persamaan 4D.56). Harga tenaga kerja komposit sebuah industri adalah jumlah tertimbang dari tingkat upah (termasuk pajak gaji) dari berbagai kategori tenaga kerja yang digunakan oleh industri yang (persamaan 4D.57). Selanjutnya, harga modal komposit sebuah industri adalah jumlah tertimbang dari tarif sewa berbagai jenis modal yang digunakan oleh industri j (persamaan 4D.59). Karena berbagai bentuk perpajakan yang muncul dalam model, maka perlu untuk menentukan hubungan antara harga sebelum pajak, dan harga yang mencakup pajak. Harga pokok produksi (yang didefinisikan sebagai “harga
99
dasar”, diperoleh dari unit biaya output dengan menambahkan pajak atas produksi (selain pajak pada tenaga kerja atau modal, yang sudah tercakup dalam unit biaya output). Harga pokok produksi atau harga dasar dihitung berdasarkan persamaan (4d.54). Selanjutnya, upah yang dibayarkan oleh industri berbeda dari upah yang diterima oleh pekerja, perbedaan tersebut disebabkan karena adanya pajak gaji. Upah yang dibayarkan oleh industri j berdasarkan tipe tenaga kerja direpresentasikan pada persamaan (4D.58). sedangkan sewa modal yang dibayarkan oleh industri direpresentaskan pada persamaan (4D.60). Prinsipprinsip agregasi harga dan akuntansi pajak menghasilkan persamaan harga berikut. .................................................................. (4D.54) ......................................................................... (4D.55) ........................................................ (4D.56) ...................................................................... (4D.57) .......................................................... (4D.58) ..................................................................... (4D.59) ........................................................ (4D.60) :
Dimana;
Harga dasar produksi industri j di wilayah z
Tingkat sewa modal yang diterima oleh pemilik modal,
,
ditentukan salah satu dari dua asumsi, tergantung pada asumsi mobilitas modal. Jika modal diasumsikan memiliki mobilitas sempurna antara industri di satu wilayah, dan penawaran agregat tipe k modal (
) adalah eksogen, dan tetap
pada nilai awal SAM, sehingga penggunaan modal oleh industri dibatasi oleh kondisi keseimbangan penawaran-permintaan modal (persamaan 4D.78). Dalam hal ini, alokasi modal antara industri adalah hasil dari proses arbitrase yang menyebabkan
tingkat sewa yang diterima oleh pemilik modal adalah sama
100
antarindustri, kondisi ini direpresentasikan pada persamaan (4D.61). Akan tetapi jika modal diasumsikan tidak mobile (industri-spesifik), maka persamaan (4D.61) adalah tidak berlaku, dalam hal ini permintaan modal (
) adalah eksogen, dan
tetap pada nilai awal SAM. jika capital mobile .............................................. (4D.61) Dimana
: Biaya modal pada tipe k modal dalam wilayah z (jika modal mobile)
B. Harga Internasional Industri pengekspor memiliki kemungkinan menjual output di pasar internasional atau pasar domestik. Karena itu, harga dasar yang diperoleh oleh industri j untuk produk ekspor x adalah jumlah tertimbang dari harga diperoleh pada setiap pasar, mengikuti prinsip agregasi harga. Bobot untuk setiap pasar sebanding dengan kuantitas penjualan di pasar itu (persamaan 4D.62); bobot bervariasi dalam menanggapi perubahan harga relatif, bertambah atau berkuranyan bobot tersebut, tergantung pada elastisitas transformasi dalam CET. Tentu saja, untuk produk tidak diekspor, maka harga dasar adalah sama dengan harga yang diperoleh pada pasar domestik (persamaan 4D.63). Harga yang diperoleh pada pasar ekspor adalah jumlah harga tertimbang yang diperoleh dari ekspor ke berbagai daerah tujuan (persamaan 4D.64). Harga dunia komoditi yang diekspor dari daerah z ke wilayah zj, dikonversi dalam mata uang wilayah z, adalah sama dengan harga yang diperoleh oleh produsen wilayah z untuk ekspor ke wilayah zj plus pajak ekspor (persamaan 4D.65). ................................... (4D.62) , dimana nx NX komoditi yang tidak di ekspor ...... (4D.63) ................................................................ (4D.64) ........................................... (4D.65) Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa komoditas yang dibeli di pasar domestik adalah komposit. Untuk barang berkompetisi dengan barang impor, harga komposit adalah jumlah harga tertimbang yang dibayarkan untuk
101
barang produksi dalam negeri dan diimpor (persamaan 4D.69). Harga yang dibayarkan untuk produk lokal (
) adalah jumlah dari harga yang diterima
produsen ditambah pajak tidak langsung (persamaan 4D.66). Demikian pula untuk impor yang merupakan gabungan dari komoditas yang diimpor dari berbagai daerah. Sehingga harga impor komposit adalah jumlah tertimbang harga impor dari asal yang berbeda (persamaan 4D.68). Harga yang dibayarkan di wilayah z untuk impor dari wilayah zj adalah harga dunia barang impor yang berasal dari wilayah zj yang dikonversi ke dalam mata uang wilayah z, ditambah pajak dan bea impor, margin, dan pajak tidak langsung domestik (persamaan 4D.67). Harga komoditas yang tidak bersaing dengan barang impor di wilayah z adalah harga yang dibayarkan untuk produk lokal (persamaan 4D.70). ................................................................ (4D.66)
.................... (4D.67) ............................................................ (4D.68) ...................................................... (4D.69) ............................................................................. (4D.70) C. Indeks Harga Dalam model ini, lima indeks harga yang telah ditetapkan: GDP deflator (persamaan 4D.71), GDP deflator dunia (persamaan 4D.72), indeks harga konsumen (persamaan 4D.73), indeks harga investasi (persamaan 4D.74), dan indeks harga pengeluaran publik (persamaan 4D.75). Yang pertama dan kedua adalah indeks Fisher, yang ketiga adalah indeks Laspeyres, dan indeks keempat dan kelima adalah indeks excat price, digandakan dengan fungsi Cobb-Douglas yang menggambarkan permintaan komoditas untuk tujuan investasi dan untuk konsumsi publik. Secara matematis persamaan ke lima indeks harga adalah sebagai berikut.
102
......................................... (4D.71)
............................... (4D.72)
.................................................................. (4D.73)
............................................................... (4D.74)
................................................................ (4D.75) Dimana; : GDP deflator untuk wilayah z : GDP deflator dunia : Indeks harga pengeluaran publik wilayah z : Indeks harga investasi wilayah z 4.3.3.2.6. Kondisi Keseimbangan Umum Pasar harus dalam kondisi kesimbangan, baik di dalam pasar barang dan jasa mupun dalam pasar faktor. Karena itu kesimbangan penawaran dan permintaan harus diverifikasi. Persamaan (4D.76) menentukan keseimbangan antara penawaran dan permintaan setiap komoditas di pasar domestik. ............................................... (4D.76) Persamaan (4D.77) dan (4D.78) memastikan keseimbangan antara total permintaan untuk setiap faktor dan total penawaran yang tersedia ............................................................................ (4D.77) ....................................................................... (4D.78) Dimana ; : Supply pada tipe k modal dalam wilayah z
103
: Supply pada tipe l tenaga kerja dalam wilayah z Demikian juga, total pengeluaran investasi harus sama dengan jumlah tabungan agen ditambah jumlah penyusutan yang direpresentasikan pada persamaan (4D.79). .............................................. (4D.79) Kondisi keseimbangan lain yang cukup penting diuraikan sebagai berikut. Jumlah penyusutan adalah jumlah potongan konsumsi modal untuk semua jenis modal di semua industri, dan potongan konsumsi modal adalah fraksi konstan dari sewa modal (persamaan 4D.80). Penawaran setiap komoditi oleh produsen lokal harus sama dengan permintaan domestik untuk komoditas yang diproduksi secara lokal (persamaan 4D.81). Dalam perdagangan internasional, jumlah masingmasing komoditas yang diekspor dari wilayah z ke wilayah zj harus sama dengan kuantitas yang diimpor dari wilayah zj ke wilayah z (persamaan 4D.82). Selain itu, harga pasar dunia yang sesuai harus sama (persamaan 4D.83). Adapun margin, penawaran dunia untuk jenis layanan margin i harus sama dengan jumlah permintaan margin yang terkait dengan semua arus perdagangan bilateral, zj, z dari semua komoditas ij (persamaan 4D.84). Kondisi ekuilibrium terakhir adalah bahwa jumlah seluruh tabungan asing dunia dinyatakan dalam mata uang internasional harus nol (persamaan 4D.85) .......................................................... (4D.80) ..................................................................................... (4D.81) .............................................................. (4D.82) ....................................................... (4D.83) ...................................... (4D.84) ..................................................................................... (4D.85) Dimana ; : penyusutan modal k pada industri j di negara z
104
4.3.3.2.7. Produk Domestik Bruto (GDP) GDP pada tingkat harga dasar adalah sama dengan pembayaran kepada faktor, ditambah pajak-pajak atas produksi selain pajak tenaga kerja atau modal yang sudah termasuk dalam biaya faktor (persamaan 4D.86). GDP dunia pada tingkat harga dasar adalah jumlah dari GDP regional yang dinyatakan dalam mata uang internasional (persamaan 4D.90). Di sisi lain, GDP dengan harga pasar dari perspektif permintaan akhir adalah jumlah pengeluaran akhir bersih: konsumsi rumah tangga, pengeluaran publik saat ini atas barang dan jasa, pengeluaran investasi, ditambah dengan nilai ekspor, termasuk ekspor jasa-jasa sebagai margin, dikurangi nilai impor, termasuk margin (persamaan 4D.89). Adapun GDP atas dasar harga pasar dari perspektif pendapatan (persamaan 4D.88) adalah sama dengan jumlah total penghasilan yang dibayar untuk tenaga kerja dan modal, plus pajak pada produk dan impor (TPRCTS - persamaan 4D.21), ditambah pajak lainnya atas produksi (TPRODN - persamaan 4D.17). Kelebihan GDP pada harga pasar dari GDP pada harga dasar merupakan jumlah pajak atas produk dan impor (TPRCTS) (persamaan 4D.87). ............................................................. (4D.86) ................................................................... (4D.87) ... (4D.88)
, , , .......................................................... (4D.89) .................................................................................. (4D.90) Dimana : : GDP harga dasar dalam wilayah z : GDP dunia berdasarkan harga dasar : GDP pada tingkat harga pembeli dari perspektif permintaan akhir : GDP pada tingkat harga pasar (income based) di wilayah z
105
: GDP pada tingkat harga pasar di wilayah z 4.3.3.3. Database dan Agregasi Studi ini menggunakan database GTAP versi 8 yang dikonstruksi tahun 2001,. Database GTAP ini memuat antara lain tabel I-O, nilai tambah sektor produksi, nilai input primer dan input antara, perdagangan bilateral, transportasi, tingkat proteksi, pajak dan subsidi dari 129 negara dan 57 sektor. Berdasarkan database tersebut, studi ini akan mengagregasi menjadi 12 (duabelas) negara. Keduabelas region tersebut meliputi 5 (lima) anggota negara ASEAN-5 masingmasing : Indonesia, Malaysia, Philippines Thailand dan Singapore, ditambah China dan ASEAN Lainnya, dan negara-negara lainnya dikelompokkan dalam rest of the world. Secara lengkap klasifikasi region disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Klasifikasi Region dan Agregasi Region dalam Database GTAP untuk ACFTA No. Negara/Region ASEAN-5-China 1 Indonesia 2 Malaysia 3 Thailand 4 Phillipines 5 Singapore 6 China 7 Rest of the ASEAN 8 Rest of East ASIA 9 USA 10 EU25 11 MEAST 12 Rest of the World
Agregasi Negara/Region Indonesia Malaysia Thailand Philipina Singapura China Cambodia, Laos, Myanmar, Vietnam dan ASEAN lainnya Japan, Korea, Taiwan, Hongkong dan Asia Timur lainnya USA EU25 Timur Tengah AUS NZL BGD IND PAK LKA XSA CAN USA MEX XNA ARG BOL BRA CHL COL ECU PRY PER URY VEN XSM CRI GTM NIC PAN XCA XCB AUT BEL CYP CZE DNK EST FIN FRA DEU GRC HUN IRL ITA LVA LTU LUX MLT NLD POL PRT SVK SVN ESP SWE GBR CHE NOR XEF ALB BGR BLR HRV ROU RUS UKR XEE XER KAZ KGZ XSU ARM AZE GEO IRN TUR XWS EGY MAR TUN XNF NGA SEN XWF XCF XAC ETH MDG MWI MUS MOZ TZA UGA ZMB ZWE XEC BWA ZAF XSC
Selanjutnya, dari 57 sektor dalam database GTAP8 akan diagregasi menjadi 12 sektor. Klasifikasi sektor yang dianalisis dikelompokkan berdasarkan
106
sub group pertanian dan non pertanian. Klasifikasi sektor seperti pada Tabel 7 berikut. Tabel 7
Klasifikasi Sektor dan Agregasi sektor dalam Database GTAP untuk ACFTA
Klasifikasi Sektor Pertanian Pdr Wht gro V_f Osd C_b Pfb ocr Oagri Food
Non- Pertanian Othind
Serv
Sektor Detail dalam GTAP Padi - beras Gandum Sereali lainnya Buah-buahan, sayur-sayuran dan kcang-kacangan Biji-biji berminyak (Oil seeds) Gula tebu dan gula beet Tanaman berserat (Plant-based fibers) Perkebunan dan tanaman lainnya Pertanian non tanaman (ternak dan hasil-hasilnya, perikanan dan kehutanan) Pertanian olahan dalam bentuk makanan (food) (Other oil seeds and vegetable oil and fats, Bovine meat products, Meat products nec, Dairy products, Processed rice, Sugar, Food products nec, Beverages and tobacco products) Hasil tambang dan industri pengolahan (Coal, Oil, Gas, Mineral nec, Petroleum, coal products, Mineral product, Textiles, Wearing apparel, Leather products, Wood products, Paper products, publishing, Chemical, rubber, plastic products, Mineral products nec, Ferrous metals, Metals nec, Metal products, Motor vehicles and parts, Transport equipment nec, Electronic equipment, Machinery and equipment nec, Manufactures nec) Jasa-jasa (electricity, gas manufacturing and distribution, water, construction, trade, Transport nec, Water transport, Air transport, Communication, Financial services nec, Insurance, Business services nec, Recreational and other services, Public Administration, Defense, Education, Health, dwellings)
4.3.3.4. Simulasi Kebijakan Simulasi kebijakan dimaksudkan untuk melihat dampak liberalisasi perdagangan komoditi pertanian dalam kerangka kerjasama perdagangan bebas ASEAN-China terhadap kesejahteraan rumah tangga pedesaan. Simulasi dalam studi ini dirancang dalam tiga skenario : (1) Liberalisasi perdagangan berdasarkan kerangka ACFTA; (2) Mengkombinasikan skenario 1 dengan kebijakan domestik yang bertujuan meningkatkan produktivitas pertanian (peningkatan total factor
107
productivity); (3) Mengkombinasikan skenario 2 dengan meningkatkan transmisi harga. Skenario 1 :Menghapus Tarif impor antar ASEAN-China (Simulasi 1) Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa berdasarkan kerangka kesepaktan perdagangan bebas antara ASEAN dan China, maka sejak tahun 2010 negara-negara anggota lama ASEAN dan China telah menghapus tarif impor seluruh komoditi yang masuk dalam daftra normal track. Dalam studi ini, untuk melihat dampak pemberlakuan kesepakatan liberalisasi perdagangan antara negara-negara ASEAN dan China, kami mensimulasi penghapusan tarif impor untuk seluruh komoditi secara timbal balik antarnegara-negara ASEAN-5 dan China. Brunai Darussalam yang merupakan anggota lama ASEAN tidak disimulasi tarif impornya dengan pertimbangan bahwa negara ini memiliki potensi petanian yang relatif kecil. Skenario 2 : Kombinasi Skenario 1 dengan Peningkatan produktivitas Pertanian Indonesia (Simulasi-2) Skenario mengasumsikan bahwa pemerintah Indonesia selain melakukan secara penuh liberalisasi perdagangan dalam kerangka ACFTA dan perbaikan iklim investasi di sektor pertanian, dalam skenario ini pemerintah juga diasumsikan melaksanakan kebijakan yang bertujuan meningkatkan produktivitas pertanian. Skenario ini dimaksudkan selain untuk melihat dampaknya terhadap varibel-variabel makro, seperti ekspor, impor dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga untuk melihat dampaknya terhadap perekonoman pedesaan yang merupakan wilayah basis utama sektor pertanian. Peningkatan produktivitas dapat ditempuh antara lain melalui perubahan teknologi (technological change) dan perubahan teknologi ini dapat tercermin dari nilai produktivitas faktor total (total factor productivity= TFP). Nilai TFP dapat diperoleh dari persamaan berikut: 1
VAj , z
B
VA j,z
VA j,z
VA j,z
LDC j , z
(1
VA j,z
VA j,z
) LDC j , z
VA j,z
108
Notasi BVA j , z pada persamaan diatas merepresentasikan TFP. Untuk melihat dampak peningkatan produktivitas pertanian terhadap berbagai variabel makro ekonomi dan kesejahteraan rumah tangga pedesaan di Indonesia, maka dalam simulasi peningkatan produktivitas ini, nilai TFP masing-masing komoditi yang diproleh dalam analisa CGE diasumsikan meningkat 25 persen. Skenario 3 : Kombinasi Skenario 2 dengan Peningkatan Transmisi Harga Domestik (Simulasi 3) Dalam skenario ini diasumsikan bahwa pemerintah telah melakukan sejumlah langkah untuk memperbaiki sistem pemasaran hasil pertanian yang efisien di Indonesia seperti perbaikan infrastruktur, minimisasi berbagai biayabiaya transaksi dalam pemasaran komoditi pertanian termasuk perbaikan struktur pasar domestik yang tidak kompetitif sehingga margin perdagangan komoditi menurun. Penurunan margin perdagangan tersebut akan berdampak pada peningkatan transmisi harga internasional ke pasar domestik. Dalam simulasi ini peningkatan transmisi harga didekati dengan menurunkan margin perdagangan sebesar 25 persen dari nilai awalnya.
V. HUBUNGAN PERDAGANGAN ASEAN-5 DAN CHINA, PEMBANGUNAN PEDESAAN DAN KINERJA PERTANIAN NEGARA-NEGARA ASEAN-5 DAN CHINA 5.1.
Gambaran Umum Prekonomian dan Hubungan Perdagangan China Dengan ASEAN-5
5.1.1. Indikator Makroekonomi China dan ASEAN-5 Perhimpunan bangsa-banga Asia Tenggara atau lebih popular disebut Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) merupakan sebuah organisasi geo-politik dan ekonomi dari Negara-negara di kawasan Asia Tenggara. ASEAN dididirikan pada tahun 1967 oleh lima negara pendiri yakni masing-masing Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura dan Thailand atau sering disebut sebagai ASEAN-5. Anggota negara-negara ASEAN selain sepakat membentuk kawasan perdagangan bebas antar negara-negara anggotanya, juga bersepakat mengembangkan kawasan perdagangan bebas antara ASEAN dengan negaranegara mitra, yang salah satunya adalah kesepakatan membentuk kawasan perdagangan bebas ASEAN-China atau yang dikenal dengan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Kesepakatan untuk meliberalisasi perdagangan dan jasa antara negara-negara ASEAN dengan China yang mulai diberlakukan sejak awal tahun 2010, telah melahirkan kawasan perdagangan bebas regional terbesar di dunia yang dilihat dari segi jumlah penduduk. Jumlah penduduk negara anggota ACFTA berjumlah sekitar 1,9 millir jiwa atau hampir sepertiga dari populasi dunia dengan jumlah GDP nominal mencapai US $ 7,7 trillium. Kesepakatan membentuk kawasan perdaganan bebas antara ASEANChina, tentu akan memberikan implikasi positif maupun negatif bagi negaranegara anggotanya, mengingat masing-masing negara memiliki perbedaan karakteristik wilayah, penduduk dan ekonomi. China adalah sebuah negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia dihuni oleh penduduk sebanyak 1,3 milliar penduduk dengan luas wilayah mencapai 9,6 juta Km2. Berdasarkan laporan Bank Dunia bahwa pada tahun 2010 GDP nominal China sebesar US $ 5,93 trillium dengan GDP nominal per kapita sebesar US $ 4.428,5. Karakteristik penduduk dan perekonomian China tersebut sekaligus menggambarkan peluang pasar
yang
sangat
besar
bagi
produk-produk
negara-negara
ASEAN.
110 Dibandingkan dengan China, jumlah penduduk negara-negara ASEAN-5 relatif kecil yakni hanya sebanyak 429,55 juta jiwa atau 1/3 dari penduduk China demikian pula luas wilayahnya. Pada tahun 2010, GDP nominal ASEAN-5 sebesar US $ 1,67 trillium atau sekitar 28,2 persen dari GDP China. Selain itu secara rata rata GDP nominal perkapita ASEAN-5 pada tahun 2010 juga lebih rendah dari China, yakni hanya sebesar US $ 3.840,8. Tabel 9
Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan GDP Negara ASEAN-5 dan China Tahun 2010 Negara
China ASEAN-5 a. Indonesia b. Malaysia c. Philippines d. Singapura e. Thailand ASEAN LAIN TOTAL ASEAN
Luas Wilayah (Km2) 9.596.960 3.004.442 1.860.360 330.252 300.000 710 513.120 1.431.389 4.435.830
Jumlah Penduduk (Juta Jiwa) 1.341,41 429,55 234,56 28,23 94,01 5,10 67,65 170,60 600,15
GDP Nominal ($ US Milliar) 5.926,6 1.671,2 706,6 237,8 199,6 208,8 318,5 106,4 1.777,7
GDP Nominal Per Kapita ($ US) 4.428,5 3.840,8 2.945,6 8.372,8 2.140,1 41.122,2 4.608,1 812,1 2.979,8
Sumber : World Bank, IMF, World Economic Outlook Database, 2010, ASEAN Statistik 2011.
Diantara negara-negara ASEAN-5 Indonesia adalah negara yang palng besar baik dilihat dari segi luas wilayah maupun dari segi jumlah penduduk dan skala ekonominya. Pada tahun 2010 Indonesia memiliki populasi penduduk sebanyak 234,56 juta jiwa atau sekitar 54,60 persen dari total penduduk ASEAN5, dengan GDP nominal sebesar US $ 706,6 Milliar, namun GDP nominal perkapitanya berada di bawah rata-rata ASEAN-5 pada tahun yang sama. GDP perkapita Indonesia tahun 2010 hanya lebih tinggi dari GDP nominal perkapita Pilipina dan rata-rata Asean Lain. Mencermati perkembangan GDP nominal maupun GDP nominal perkapita di negara-negara ASEAN-5 dan China menunjukkan bahwa perkembangan perekonomian yang cukup berarti selama periode 1990-2010. GDP Nominal ASEAN-5 pada tahun 1990 yang sebesar US $ 324,2 Milliar meningkat menjadi US $ 1.671,2 Milliar pada tahun 2010, yang berarti meningkat 5,15 kali lipat dari periode tahun 1990. Tercatat bahwa Indonesia memiliki kelipatan peningkatan
111 GDP nominal paling tinggi selama periode 1990-2010, yakni meningkat 6,17 kali lipat, namun masih jauh di bawah China yang GDP nominalnya meningkat sebesar 16,60 kali lipat dari selama periode yang sama. GDP Nominal perkapita di negara-negara ASEAN-5 juga mengalami peningkatan yang tinggi, namun jika secara konsisten kelipatan pengingkatan GDP nominal selalu lebih tinggi kelipatan peningkatan GDP nominal per kapita di masing-masing negara, yang berarti selama periode tersebut pertumbuhan GDP selalu lebih tinggi dari pertumbuhan GDP perkapita. Selengkapnya dilihat pada Tabel 10 berikut.. Tabel 10
Perkembangan GDP Nominal dan GDP Perkapita Negara ASEAN-5 dan China Tahun 1990-2010 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Kelipatan Peningkatan (1990-2010)
Tahun Negara A
B
1990
1995
2000
GDP Nominal (Harga Berlaku, US Dollar : Milliar) China
356,9
728,0
1.198,5
2.256,9
2.713,0
3.494,1
4.521,8
4.991,3
5.926,6
16,60
ASEAN-5
324,2
613,9
558,5
826,7
989,2
1.183,5
1.357,0
1.352,6
1.671,2
5,15
Indonesia
114,4
202,1
165,0
285,9
364,6
432,2
510,2
539,4
706,6
6,17
Malaysia
44,0
88,8
93,8
138,0
156,6
186,8
222,7
192,9
237,8
5,40
Philippines
44,3
74,1
81,0
103,1
122,2
149,4
173,6
168,3
199,6
4,50
Singapura
36,1
80,8
95,9
123,5
138,7
168,2
177,8
188,5
208,8
5,78
Thailand
85,3
168,0
122,7
176,4
207,1
247,0
272,6
263,5
318,5
3,73
GDP Nominal Perkapita (Harga Berlaku, US Dollar) China
314
604
949
1.731
2.069
2.651
3.414
3.749
4.428
14,08
ASEAN-5
1.017
1.768
1.502
2.064
2.437
2.874
3.250
3.194
3.841
3,78
Indonesia
621
1.014
773
1.258
1.586
1.859
2.172
2.272
2.946
4,75
Malaysia
2.418
4.287
4.006
5.286
5.890
6.905
8.099
6.902
8.373
3,46
Philippines
719
1.070
1.048
1.205
1.403
1.685
1.925
1.836
2.140
2,98
Singapura
11.845
22.922
23.815
28.953
31.519
36.655
36.738
37.790
41.122
3,47
Thailand
1.495
2.817
1.943
2.644
3.078
3.643
3.993
3.835
4.608
3,08
Sumber : Diolah dari World Bank Data Base, 2012
Nilai GDP nominal perkapita seperti yang digambarkan pada Tabel 10 di atas, hanya mencerminkan rata-rata nilai GDP per penduduk dan tidak mencerminkan rata-rata pendapatan masyarakat dan juga tidak mencerminkan kemampuan daya beli rata-rata penduduk di suatu negara. Ukuran makroekonomi yang sering digunakan oleh para ekonom untuk menggambarkan rata-rata daya beli penduduk di suatu negara adalah berdasarkan Purchasing power Parity (PPP) GDP Per kapita.
Berdasarkan data IMF mengenai GDP (PPP) Per kapita,
menunjukkan bahwa secara rata-rata Purchasing power parity atau paritas daya
112 beli GDP Per kapita negara-negara ASEAN-5 lebih rendah dibandingkan dengan China. Pada tahun 2010 paritas daya beli GDP Per kapita ASEAN-5 secara ratarata sebesar US $ 6.208, sedangkan China sebesar US $ 7.518. Diantara negaranegara ASEAN-5 paritas daya beli GDP per kapita Indonesia lebih rendah dari nilai rata-rata ASEAN-5, dan hanya lebih tinggi dari Philipina, selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 9 berikut.
Sumber : Diolah dari World Bank, IMF, World Economic Outlook Database, 2010 .
Gambar 9
Tingkat GDP (PPP) Per Kapita dan Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi (1990-2010) ASEAN-5 dan China
Gambar 9 di atas juga sekaligus menunjukkan bahwa selain skala ekonomi China yang jauh lebih besar dibandingkan ASEAN-5, kinerja perekonomian China pun lebih baik dibandingkan negara-negara ASEAN 5, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi China selama periode 1990-2010 tumbuh rata-rata 10,15 persen per tahun sedangkan ASEAN-5 hanya tumbuh rata-rata 5,27 persen per tahun dalam periode yang sama. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode tersebut hanya rata-rata 5,02 persen per tahun yang berarti lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan ekonomi ASEAN-5, namun masih lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi Philipina dan Thailand.
113 Pertumbuhan ekonomi China yang tinggi sudah terjadi sejak awal tahun 1990 an, berbarengan dengan reformasi ekonomi di negara tersebut untuk menjadi negara yang lebih terbuka sejak akhir tahun 1970 an. Puncak pertumbuhan ekonomi China dicapai pada tahun 1992 dan tahun 2007 yang masing-masing mencapai sekitar 14,20 persen per tahun. Selain itu pertumbuhan ekonomi China juga jauh lebih stabil dibandingkan pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota ASEAN-5. Hal ini ditunjukkan dari standar deviasi pertumbuhan ekonomi selama kurun waktu 1990-2010 hanya sebesar 2,53 poin, sedangkan ASEAN-5 secara rata-rata memiliki standar deviasi pertumbuhan ekonomi mencapai sebesar 3,49 poin.
Sumber : Diolah dari World Bank Data Base, 2012
Gambar 10
Tingkat GDP (PPP) Per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi (19902010) ASEAN-5 dan China.
Pada saat krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia pada tahun 1998, perekonomian China juga masih menunjukkan kinerja baik dengan pertumbuhan sebesar 7,80 persen, demikian pula krisis keuangan yang awalnya melanda Amerika dan Eropa kemudian menjalar ke Asia pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi China meski sedikit mengalami perlambatan pada periode tersebut dibandingkan periode sebelumnya, namun kinerja pertumbuhannya masih sangat
114 memukau yakni tumbuh di atas 9 persen per tahun. Gambaran ini mengisyaratkan bahwa perekonomian China selain memiliki skala yang besar dan tumbuh dengan akseslerasi yang tinggi, perekonomian China juga kokoh dari guncagan krisis global. Berbeda halnya dengan negara-negara ASEAN-5, dimana selain memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari China, juga memiliki pertumbuhan ekonomi kurang stabil. Pada saat krisis ekonomi 1998 secara keseluruhan negara-negara ASEAN-5 mengalami pertumbuhan ekonomi secara negatif, terutama Indonesia yang pada saat itu memiliki pertumbuhan ekonomi secara negatif sebesar -13,13 persen, pada saat krisis finansial yang diawali tahun 2008 sebagian besar negara di ASEAN-5 juga mengalami penurunan laju pertumbuhan ekonomi.
Perbandingan stabilias pertumbuhan ekonomi antar
negara-negara ASEAN-5, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia kurang stabil dibandingkan ASEAN-5 secara rata-rata, kinerja kestabilan pertumbuhan ekonominya hanya sedikit lebih baik dari Thailand, yang ditunjukkan oleh standar deviasi pertumbuhan ekonomi sebesar 4,58 poin untuk Indonesia dan 4,84 poin untuk Thailand. Selanjutnya struktur perekonomian masing-masing negara, menunjukkan bahwa perekonomian China pada tahun 2010 lebih didominasi oleh sektor industri dengan kontribusi sekitar 46,75 persen dari total GDP, sedangkan sektor pertaniannya hanya berkontribusi sekitar 10,10 persen dari GDP China. Sementara untuk ASEAN-5 secara agregat, perekonomian kawasan ini lebih didominasi olah sektor jasa dengan kontribusi sekitar 50,47 persen terhadap total GDP ASEAN-5. Kontribusi yang besar dari sektor sektor jasa ini terutama terjadi di Singapura dan Philipina. Secara keseluruhan negaran-negara ASEAN-5 dan juga China saat ini tidak bisa lagi dikatakan sebagai negara agraris. Hal ini tercermin dari kecilnya porsi sektor pertanian terhadap GDP masing-masing negara sudah sangat kecil. Konvarasi porsi sektor pertanian terhadap GDP masing-masing negara ASEAN-5 menunjukkan bahwa porsi sektor pertanian Indonesia terhadap GDP adalah paling tinggi diantara negara-negara ASEAN-5, dengan kontribusi sekitar 15,34 persen, sementara porsi sektor pertanian di Singapura adalah paling kecil yakni hanya sekitar 0,04 persen dari GDP Singapura. Untuk lebih jelasnya kontribusi masing-
115 masing sektor utama di masing-masing negara dapat dilihat pada Gambar 11 berikut.
Sumber : Diolah dari World Bank Data Base, 2012
Gambar 11 Kontribusi Sektor Pertanian, Industri dan Sektor Jasa terhadap GDP Masing-masing Negara ASEAN-5 dan China Tahun 2010. Mencermati pergeseran struktur perekonomian masing-masing negara menunjukkan bahwa, negara-negara anggota ASEAN-5, pada awal tahun 1990 an, di mana perekonomiaannya telah mengalami transformasi dari sektor pertanian ke sektor modern. Berdasarkan klasifikasi UNIDO, yang menyebutkan bahwa negara yang kontribusi sektor industrinya di atas 30 persen terhadap GDP dikategorikan sebagai negara industry (Ruky, 2008). Berdasarkan pada kriteria tersebut, maka seluruh negara ASEAN-5 dan China pada awal tahun 1990-an, tidak lagi dikategorikan sebagai negara agraris, tetapi sudah dikategorikan sebagai negara industri. Berdasarkan data pergeseran struktur perekonomiamasing-masing negara menunjukkan bahwa, meskipun semua negara ASEAN-5 dan China mengalami kemerosotan kontribusi sektor pertaniannya, namun tampaknya kemerosotan kontribusi sektor pertanian China merosot lebih tajam dibandingkan kemerosotan sektor pertanian ASEAN-5. Pada tahun 1990 kontribusi sektor pertanian China masih menyumbang sebesar 27,12 persen terhadap GDP, menurun drastis hingga 10,10 persen pada tahun 2010. Sementara ASEAN-5 yang pada tahun 1990 sektor
116 pertaniannya menyumbang sebesar 13,12 persen terhadap GDP ASEAN-5 menurun menjadi 10,14 persen tahu 2010. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 11 berikut. Tabel 11
Negara
Perkembangan GDP Nominal dan GDP Perkapita Negara ASEAN-5 dan China Tahun 1990-2010. Sektor
Pertanian Industri Jasa Pertanian ASEAN-5 Industri Jasa Pertanian Indonesia Industri Jasa Pertanian Malaysia Industri Jasa Pertanian Philippines Industri Jasa Pertanian Singapura Industri Jasa Pertanian Thailand Industri Jasa China
Struktur Ekonomi China dan ASEAN-5 Menurut Sektor Utama Tahun 1990-2010 ( persen Terhadap GDP) 1990 2000 2005 2007 2008 2009 2010 27,12 15,06 12,12 10,77 10,73 10,33 10,10 41,34 45,92 47,37 47,34 47,45 46,24 46,75 31,54 39,02 40,51 41,89 41,82 43,43 43,14 13,87 9,46 8,90 9,41 9,90 9,88 10,14 36,98 41,05 41,13 40,20 39,92 38,98 39,39 49,15 49,49 49,97 50,39 50,18 51,14 50,47 19,41 15,60 13,13 13,72 14,48 15,30 15,34 39,12 45,93 46,54 46,80 48,06 47,68 47,05 41,47 38,47 40,33 39,48 37,46 37,02 37,62 15,22 8,60 8,39 10,12 10,18 9,52 10,63 42,20 48,32 49,71 47,50 47,93 43,81 44,41 42,59 43,08 41,89 42,39 41,89 46,67 44,97 21,90 13,97 12,66 12,50 13,24 13,08 12,31 34,47 34,46 33,83 33,05 32,88 31,71 32,57 43,62 51,58 53,50 54,45 53,88 55,21 55,12 0,34 0,10 0,05 0,04 0,04 0,04 0,04 31,89 34,55 31,60 28,94 26,67 28,33 28,27 67,78 65,35 68,34 71,02 73,29 71,62 71,70 12,50 9,02 10,27 10,68 11,56 11,46 12,39 37,22 41,99 43,96 44,74 44,05 43,34 44,65 50,28 48,99 45,77 44,59 44,39 45,20 42,96
Sumber : Diolah dari World Bank Data Base, 2012.
Salah satu indikator makroekonomi yang penting untuk menggambarkan perekonomian suatu negara adalah dilihat dari laju perkembangan investasinya, baik investasi yang bersumber dari dalam negeri maupun investasi asing. Mankiw (2000) menjelaskan bahwa laju investasi adalah sebanding dengan perubahan output perekonomian, bahkan menurutnya bahwa pertumbuhan ekonomi yang didorong pertumbuhan investasi akan meningkatkan kapasitas produksi serta mampu mendorong perluasan kesempatan kerja. Terkait arti pentingnya investasi bagi pembangunan ekonomi suatu negara, maka salah satu agenda dalam kerangka kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China adalah selain untuk mendorong perdagangan lintas negara diantara para anggotanya, juga bertujuan untuk meningkatkan kerjasama ekonomi, termasuk diantaranya adalah dalam rangka mendorong peningkatan investasi di masing-masing negara. Dengan kata
117 lain bahwa pemberlakuan ACFTA, diharapkan selain untuk mendorong kegiatan perdagangan juga diharapkan akan meningkatkan aliran investasi asing di masingmasing negara. Data perkembangan investasi asing (FDI) di masing-masing negara ASEAN-5 dan China selama tahun 1990-2010 menunjukkan bahwa laju perkembangan investasi asing di China meningkat lebih cepat dibandingkan perkembangan investasi asing dengan negara-negara ASEAN-5. Pada tahun 1990 jumlah investasi asing di China sebesar US $ 3,49 Milliar meningkat menjadi US $ 185,08 Milliar, atau secara rata-rata meningkat sekitar 29,44 persen setiap tahunnya. Sejak pertengahan tahun 1990an China sudah menominasi arus modal asing di kawasan Asia, bahkan pada tahun 2010 arus investasi modal asing di China adalah terbesar kedua setelah Amerika serikat. Sementara itu arus investasi asing di ASEAN-5 tidaklah sebesar dan secepat perkembangan arus investasi asing di China. Secara agregat investasi asing di ASEAN-5 pada tahun 1990 sebesar US $ 11,97 Milliar meningkat menjadi US $ 69,47 Milliar pada tahun 2010, atau sekitar sepertiga dari nilai investasi asing di China pada tahun yng sama. Selama kurun waktu 1990-2010 arus investasi asing di ASEAN-5 tumbuh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan incestasi asing di China yakni hanya rata-rata tumbuh sekitar 15,65 persen per tahun.
118
Sumber : Diolah dari World Bank Data Base, 2012
Gambar 12
Perkembangan Nilai Investasi Asing di Masing-masing Negara ASEAN-5 dan China Periode 1990-2010.
Ekonom aliran klasik mengatakan, investasi akan dilakukan apabila tingkat pengembalian dari investasi (return on investment) lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku.
Sementara aliran Keynes mengatakan, masalah
investasi baik ditinjau dari penentuan jumlahnya maupun kesempatan untuk mengadakan investasi itu sendiri, didasarkan pada konsep Marginal Efficiency of Capital (MEC). Investasi akan dilakukan oleh investor, bila MEC yang diharapkan lebih tinggi dari tingkat bunga yang berlaku. Di mana MEC sangat tergantung pada perkiraan-perkiraan dan pertimbangan investor terhadap perkembangan situasi perekonomian masa yang akan datang (Mankiw 2000). Urain ini tersebut sekaligus mengisyartkan bahwa terdapat sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi aliran investasi asing di suatu negara, seperti kondisi pertumbuhan ekonomi, tingkat suku bunga serta sejumlah faktor lain baik secara internal maupun faktor eksternal. Tingginya nilai investasi asing di China dibandingkan di negara-negara ASEAN-5, selain dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan ekonominya yang sangat
119 memukau, bisa jadi juga disebabkan oleh tingkat suku bunga investasi (bunga pinjaman) yang memang lebih rendah dari rata-rata suku bunga investasi di ASEAN-5. Pada tahun 2010 tingkat suku bunga pinjaman (Lending interest rate) di China sebesar 5,81 persen dan tingkat suku bunga deposito (Deposit interest rate) pada tahun yang sama adalah sebesar 2,75 persen. Tingkat suku buga pinjaman maupun suku bunga deposito di China tersebut lebih rendah dari ratarata tingkat suku pinjaman maupun suku bunga deposito di ASEAN-5 secara rata yakni sebesar 7,83 persen untuk suku bunga pinjaman dan 3,24 persen untuk suku bunga deposito. Laba bunga bank atau Interest rate spread yang dihitung dari selisih antara suku bunga pinjaman dengan suku bunga deposito lebih rendah di China dibandingkan dengan di ASEAN-5 secara rata-rata. Tingginya interset rate spread di ASEAN-5 tersebut sekaligus menjelaskan bahwa efisiensi operasional Bank di China lebih tinggi dibandingkan di ASEAN-5 secara rata-rata. Dengan mencermati tingkat suku bungan pinjaman maupun suku bunga deposito di masing-masing negara ASEAN-5, tampaknya Singapura dan Malaysia memiliki tingkat suku bungan pinjaman dan suku bunga deposito yang paling rendah, bahkan lebih rendah dari suku bunga serupa di China. Suku bunga pinjaman di Malaysia pada tahun 2010 hanya sebesar 5,02 persen dan di Singapura sebesar 5,38 persen. Sedangkan suku bunga deposito untuk kedua negara tersebut masing-masing 2,50 persen untuk Malaysia dan 0,21 persen untuk Singapura. Malaysia memiliki interset rate spread paling rendah di ASEAN-5, yang berarti operasional Bank di Malaysia paling efisien dibandingkan dengan di negara ASEAN-5 lainnya.
120
Sumber : Diolah dari World Bank Data Base, 2012
Gambar 13
Tingkat Suku Bunga Pinjaman, Suku Bunga Deposito dan Selisihnya di Masing-masing Negara ASEAN-5 dan China Tahun 2010
5.1.2. Kinerja dan Hubungan Perdagangan China Dengan ASEAN-5 5.1.2.1. Kinerja Perdagangan Internasional ASEAN-5 dan China Perdagangan internasional adalah sebuah mekanisme perdagangan lintas negara yang memungkinkan suatu negara dapat memenuhi kebutuhan akan barang barang internasional yang tidak bisa atau relatif mahal jika diproduksi secara domestik. Selain itu mekanisme ini juga memungkinkan suatu perekonomian dapat menyalurkan barang-barang kompetitifnya ke pasar internasional untuk mendapatkan nilai tambah dan menghasilkan devisa negara. Ekonomi kelasik menyebutkan bahwa nilai bersih dari ekspor-impor merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan. Nilai bersih dari neraca perdagangan internasional tersebut dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Mekanisme perdagangan internasional ini sesungguhnya tidak
121 hanya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga akan mempengaruhi berbagai indikator makroekonomi lainnya, seperti nilai tukar harga-harga dan lainnya, bahkan dapat mempengaruhi berbagai indikator mikro, seperti pendapatan rumah tangga dan lainnya. Berdasarkan data statistik perdagangan internasional yang dipublikasi oleh WTO, bahwa selama kurun waktu 1990-2010 nilai transaksi perdagangan internasional China terus mengalami perkembangan yang cepat. Pada tahun 1990 nilai transaksi ekspor China sebesar US $ 62,09 Milliar meningkat menjadi US $ 1.577,82 Milliar, sedangkan nilai transaksi impornya meningkat dari US $ 53,35 Milliar tahun 1990 menjadi US $ 1.395,10 Milliar tahun 2010. Perkembangan surplus perdagangan China juga terus mengalami perkembangan yang pesat dan mencapai puncaknya pada tahun 2008 dengan surplus perdangan pada tahun tersebut mencapai US $ 298,13 Milliar. Gambaran umum perkembangan nilai transaksi perdagangan internasional China periode 1990 hinga 2010 dapat dilihat pada Gambar 14 berikut.
Sumber : Diolah dari International Trade Statistics 2011, WTO
Gambar 14
Perkembangan Nilai Transaksi Perdagangan Internasional China Periode 1990-2010.
Selanjutnya perkembangan nilai transaksi perdagangan internasional negaran-negara ASEAN-5 juga mengalami tren peningkatan yang cukup
122 signifikan. Pada tahun 1990 nilai transaksi ekspor ASEAN- sebesar US $ 139,04 Milliar meningkat menjadi US $ 955,30 Milliar pada tahun 2010. Nilai transaksi impor negara-negara di ASEAN-5 juga mengalami peningkatan pesat yakni meningkat dari US $ 157,96 tahun 1990 mejadi US $ 847,89 Milliar. Meski nilai nilai transaksi perdagangan internasional negara-negara ASEAN selama 19902010 menunjukkan tren peningkatan, namun selama periode tersebut setidaknya terjadi dua kali gelombang surut nilai yakni pada sekitar tahun 1998 yang berbarengan dengan krisis ekonomi dunia dan pada tahun 2009 sebagai imbas dari krisis
finansial.
Gambaran
perkembangan
nilai
transaksi
perdagangan
internasional ASEAN-5 tahun 1990-2010 dapat dilihat pada Gambar 15 berikut.
Sumber : Diolah dari International Trade Statistics 2011, WTO.
Gambar 15
Perkembangan Nilai Transaksi Perdagangan Internasional Negaranegara ASEAN-5 Periode 1990-2010.
Perbandingan kinerja perdaganan internasional antara negara-negara ASEAN, khususnya ASEAN-5 dan China, menunjukkan bahwa pada tahun 2010 nilai transaksi perdagangan internasional China mencapai US $ 2.972,9 Milliar, dengan rincian nilai ekspor sebesar US $ 1.577,8 Milliar atau sekitar 10,36 persen dari total ekspor dunia dan nilai impornya yang sebesar US $1.395,1 Milliar atau sekitar 9,06 persen dari nilai total perdangan impor dunia. Pada tahun 2010,
123 melalui mekanisme perdagangan internasional ini China memperoleh surplus perdagangan internasional sebesar US $ 182,73 Milliar. Kinerja perdagangan internasional China memiliki akselerasi yang cukup tinggi, selama kurun waktu 1990-2010 ekspor China tumbuh sekitar 18,35 persen per tahun dan impornya tumbuh sekitar 18,50 persen dalam periode yang sama. Tabel 12
Nilai Ekspor dan Impor Serta Neraca Perdagangan Internasional Negara ASEAN dan China Tahun 2010. Ekspor
Impor
Neraca Perdagangan RataNilai * rata Per Tahun* 19902010 2010
Nilai *
Share (persen)
Pertumbuhan (persen)
Nilai *
Share (persen)
Pertumbuhan (persen)
2010
2010
1990-2010
2010
2010
1990-2010
Dunia
15.237,00
100,00
8,25
15.402,0
100,00
8,16
(165,0)
(215,62)
China
1.577,82
10,36
18,35
1.395,10
9,06
18,50
182,73
71,98
ASEAN-5
955,30
6,27
10,77
847,89
5,51
9,91
107,41
32,47
a. Indonesia
157,82
1,04
10,18
131,74
0,86
11,44
26,08
14,70
b. Malaysia
198,80
1,30
10,73
164,73
1,07
10,28
34,07
14,88
c. Philippines
51,50
0,34
10,58
58,23
0,38
8,65
(6,73)
(6,39)
d. Singapura
351,87
2,31
10,88
310,79
2,02
9,59
41,08
9,51
e. Thailand
195,32
1,28
11,87
182,40
1,18
10,46
12,92
(0,22)
91,76
0,60
16,16
94,66
0,61
17,70
(2,90)
(1,79)
1.047,06
6,87
11,06
942,55
6,12
10,29
104,51
30,68
Negara
ASEAN LAIN TOTAL ASEAN
Sumber : Diolah dari International Trade Statistics 2011, WTO
Secara agregat nilai transaksi perdagangan internasional ASEAN-5 jauh di bawah nilai perdagangan internasional China. Pada tahun 2010 total nilai transaksi perdagangan internasional ASEAN-5 sebesar US $ 1.803,2 Milliar. Total nilai ekspor ASEAN-5 pada tahun 2010 sebesar US $ 955,3 Milliar dengan kontribusi sekitar 6,27 persen terhadap nilai ekspor dunia, sedangkan nilai impornya sebesar US $ 847,9 Milliar atau sekitar 5,51 persen dari total nilai impor dunia. Dari transaksi perdagangan internasionalnya ASEAN-5 memperleh surplus perdagangan sebesar US $ 26,08 Milliar. Secara rata-rata pertumbuhan ekspor dan impor ASEAN-5 juga lebih rendah dibandingkan pertumbuhan perdagangan internasional China. Selama periode 1990-2010 nilai ekspor ASEAN-5 tumbuh sekitar 10,77 persen per tahun sedangkan impornya tumbuh sekitar 9,91 persen per tahun. Gambaran tersebut mengisyaratkan bahwa kinerja perdaganan China lebih baik dibandingkan kinerja perdagangan ASEAN-5 secara rata-rata.
124 Perbandingan data perdagangan internasional diantara negara-negara ASEAN-5 menunjukkan bahwa transaksi perdagangan internasional ASEAN-5 pada tahun 2010 lebih didominasi oleh Singapura. Nilai ekspor Singapura pada tahun 2010 mencapai sekitar US $ 351.87 Milliar atau skitar 36,83 persen dari total ekspor ASEAN-5, sedangkan nilai impornya mencapai sekitar US $ 310,79 Milliar atau sekitar 36,65 persen dari total impor ASEAN-5. Dari perdagangan internasional tersebut Singapura memperoleh surplus perdagangan sekitar US$ 41,08 Milliar atau sekitar 38,24 persen dari total surplus perdagangan ASEAN-5. Berdasarkan data perdagangan internasional seperti yang digambarkan di atas menunjukan bahwa, Indonesia, meskipun merupakan negara yang besar dilihat dari penduduk, luas wilayah dan skala ekonominya, namun kinerja perdagangan internasionalnya lebih rendah dari sebagian besar negara-negara ASEAN-5. Nilai transaksi ekspor Indonesia pada tahun 2010 yang sebesar US$ 157,82 Milliar lebih rendah dari nilai transaksi ekospor negara seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Bahkan pertumbuhan ekspor Indonesia selama kurun waktu 1990-2010 adalah paling rendah diantara negara-negara ASEAN-5 yakni hanya sekitar 10,18 persen. Disisi lain, Indonesia mencetak rekor dalam hal pertumbuhan nilai impor tertinggi yakni sekitar 11,44 persen per tahun. Gambaran nilai transaksi perdagangan internasional negara-negara ASEAN-5 dan China dan perkembangannya, mengisyaratkan bahwa kinerja perdagangan internasional Indonesia tidak lebih baik dari kinerja perdagangan internasional negara-negara ASEAN-5 lainnya. Dilihat dari struktur perdagangan internasional memperlihatkan bahwa jenis barang yang diperdagangkan secara internasional oleh China, sebagian besar merupakan barang-barang dari kelompok manufaktur. Dari total ekspor China pada tahun 2010 sekitar 93,60 persen barang manufaktur yang diekspor ke penjuru dunia, sedangkan ekspor pertanian China hanya sekitar 3,27 persen dari total ekspornya. Sebaliknya dari sisi impor, jenis barang impor China juga sebagian besar merupakan produk-produk manufaktur yakni sekitar 64,11 persen dari total impornya, dan komoditi pertanian yang di impor mencapai sekitar 7,76 persen dari total impornya.
125 Tabel 13. Nilai dan Pertumbuhan Perdagangan Internasioanl ASEAN-5 dan China Dirinci Menurut Sektor Utama Tahun 2000-2010 Dunia Sektor/Jenis Barang* Ekspor Pertanian a. Makanan b. Bahan Mentah Bahan Bakan dan Pertambangan Manufaktur Lainnya Impor Pertanian a. Makanan b. Bahan Mentah Bahan Bakan dan Pertambangan Manufaktur Lainnya
Nilai ($ US Milliar) 2010 15.237 1.361,9 1.118,7 243,2
China Nilai ($ US Milliar) 2010 1.578 51,6 44,2 7,5
ASEAN-5
2010 100,00 8,94 7,34 1,60
Pertumbuhan ( persen) 2000-2010 10,14 9,06 9,30 8,50
3.025,7
19,86
18,86
48,1
3,05
19,86
9.962,0 887,4 15.402,0 1.425,3 1.180,8 244,6
65,38 5,82 100,00 9,25 7,67 1,59
8,67 10,20 9,90 8,91 9,21 8,09
1.476,9 1,2 1.395,1 108,2 59,5 48,7
93,60 0,08 100,00 7,76 4,27 3,49
22,57 27,10 22,30 21,90 23,78 20,68
3.102,2
20,14
18,63
373,1
26,74
10.322,7 551,7
67,02 3,58
8,74 5,50
894,4 19,3
64,11 1,39
Share ( persen)
2010 100,00 3,27 2,80 0,47
Pertumbuhan ( persen) 2000-2010 21,91 12,74 13,04 11,44
Nilai ($ US Milliar) 2010 955,3 112,0 84,9 27,1
Share ( persen)
2010 100,00 11,72 8,89 2,84
Pertumbuhan ( persen) 2000-2010 10,57 12,56 11,94 16,58
173,8
18,19
18,74
631,1 38,4 847,9 61,4 49,1 12,3
66,07 4,02 100,00 7,24 5,79 1,45
8,85 14,93 11,38 10,52 10,89 9,84
35,58
195,4
23,05
21,50
19,63 50,80
567,4 23,7
66,92 2,80
9,35 16,86
Share ( persen)
Sumber : Diolah dari UN International Merchandise Trade Statistics, data base, SITC Rev.3, 2011 Keterangan : Klasifikasi Sektor Mengacu pada, International Trade Statistics 2011, WTO 1. Produk pertanian (SITC Section 0, 1, 2 dan 4 Minus Devisi 27 dan 28) a. Makanan (SITC Section 0, 1, 4, dan Devisi 22) b. Bahan Mentah (SITC Devisi 21, 23, 24, 25, 26, dan 29) 2. Bahan Bakar dan Pertambanan (SITC Section 3 dan Devisi 27, 28, dan 68) 3. Manufaktur (SITC Section 5, 6, 7, 8 Minus Devisi 68 dan Group 891) 4. Lainnya (SITC Section 9 dan Group 891)
Selanjutnya, struktur perdagangan internasional ASEAN-5 secara agregat menunjukkan bahwa dari total perdagangan internasionalnya pada tahun 2010, sekitar 66,07 persen yang diekspor merupakan kelompok barang manufaktur, dan hanya sekitar 11,72 persen merupakan komoditi pertanian. Jenis komoditi pertanian yang diekspor ASEAN-5 terutama berupa pertanian makanan. Selanjutnya dari sisi impor jenis barang yang paling besar di impor ASEAN-5 secara agregat adalah barang yang berasal dari kelompok manufaktur yakni sekitar 66,92 persen dari total impor. Nilai impor pertanian ASEAN-5 pada tahun 2010 sebesar US $ 61,4 Miliar atau skitar 7,24 persen dari total impor ASEAN-5. Komoditi pertanian impor ini sebagian besar merupakan pertanian makanan. Struktur perdagangan internasional masing-masing negara ASEAN-5 seperti yang disajikan pada Tabel 14 berikut menunjukkan bahwa jenis barang dominan yang diekspor oleh semua negara ASEAN-5 adalah barang dari kelompok manufaktur. Indonesia pada tahun 2010, dari US $ 157,8 Milliar ekspornya sebanyak US $ 58,4 Milliar atau sekitar 37,02 persen adalah ekspor
126 produk manufaktur. Bahkan Philipina dari nilai total nilai ekspornya sekitar 85,08 persen diantaranya merupakan produk manufaktur, dan Singapura mengekspor produk manufaktur sekitar 72,24 persen dari total ekspornya. Perbandingan nilai ekspor produk pertanian di masing-masing negara ASEAN-5 menunjukkan bahwa Indonesia adalah paling tinggi nilai ekspor pertaniannya yakni sekitar US$ 36,0 Milliar atau sekitar 22,78 persen dari total nilai ekspornya, kemudian diikuti oleh Thailand dengan nilai ekspor pertanian sekitar US $ 35,1 Milliar, nilai ini setara dengan 17,99 persen dari total nilai ekspornya. Tercatat bahwa Singapura memiliki nilai ekspor pertanian paling rendah yakni hanya US $ 7,9 Milliar. Hal ini wajar mengingat Singapura memiliki wilayah paling kecil, sehingga potensi pertaniannnya pun juga kecil. Dilihat dari pertumbuhan ekspor pertanian di masing-masing negara ASEAN-5, menunjukkan bahwa Indonesia memiliki pertumbuhan ekspor pertanian paling tinggi yakni ratarata 17,01 persen per tahun selama kurun waktu 2000-2010, kemudian diikuti oleh Malaysia dengan pertumbuhan ekspor pertanian sekitar 12,98 persen per tahun. Tabel 14.
Nilai dan Pertumbuhan Perdagangan Internasional Negara-negara ASEAN-5 Menurut Sektor Utama Tahun 2000-2010 Indonesia
Philipphines
Thailand
11,73 17,01 16,33 21,60
198,8 28,9 23,6 5,3
8,95 12,98 14,51 9,92
51,5 4,1 3,8 0,4
4,18 8,78 8,88 8,45
351,9 7,9 6,9 1,0
11,87 7,42 7,76 6,69
195,3 35,1 25,0 10,1
12,28 11,10 9,19 20,24
62,2
16,30
35,4
19,56
3,2
18,03
60,9
21,15
12,1
23,90
58,4 1,2 131,7 15,6 11,5 4,2
8,60 7,04 15,71 11,40 11,84 12,92
133,2 1,4 164,7 16,1 12,8 3,3
6,93 8,79 9,92 13,18 13,31 13,04
43,8 0,3 58,2 6,8 6,4 0,4
3,72 53,67 6,22 8,27 9,59 (2,40)
254,2 28,9 310,8 10,9 9,8 1,1
9,98 41,07 11,07 7,93 8,00 8,08
141,5 6,5 182,4 12,0 8,6 3,4
12,12 19,82 13,74 11,50 12,71 9,66
32,3
23,17
24,9
21,55
12,1
14,23
85,9
23,01
40,2
21,43
83,8 0,0
14,75 190,19
120,6 3,1
8,48 5,59
39,0 0,2
4,63 41,63
201,7 12,3
8,40 23,29
122,2 8,1
11,94 9,21
Ekspor Pertanian a. Makanan b. Bahan Mentah Bahan Bakan dan Pertambangan Manufaktur Lainnya Impor Pertanian a. Makanan b. Bahan Mentah Bahan Bakan dan Pertambangan Manufaktur Lainnya
157,8 36,0 25,6 10,3
Nilai ($ US Milliar)
Pert Thn 00-10 ( %)
Singapura
Nilai ($ US Milliar)
Nilai ($ US Milliar)
Sumber :
Malaysia Pert Thn 00-10 ( %)
Jenis Barang
Pert Thn 00-10 ( %)
Nilai ($ US Milliar)
Pert Thn 00-10 ( %)
Nilai ($ US Milliar)
Pert Thn 00-10 ( %)
Diolah dari UN International Merchandise Trade Statistics, data base, SITC Rev.3, 2011
127 5.1.2.2. Hubungan Perdagangan Antara ASEAN-5 Dengan China Hubungan perdagangan antara China dengan negara-negara ASEAN-5 telah berlangsung lama dan terus mengalami peningkatan secara signifikan dengan akselerasi pertumbuhan yang semakin meningkat. Pada tahun 1990 nilai ekspor ASEAN-5 ke China hanya sebesar US$ 2,52 Milliar meningkat tajam hingga mencapai US $ 104,30 Milliar pada tahun 2010. Ekspor ASEAN-5 ke China meningkat dengan akselerasi perumbuhan semakin besar, terutama pada paruh ke dua dalam dua dekade terkahir. Secara rata-rata selama kurun waktu 1990-2010 ekspor ASEAN-5 tumbuh sekitar 21,33 persen per tahun. Kinerja pertumbuhan ekspor ASEAN-5 ke China jauh melampaui kinerja pertumbuhan ekspor ASEAN-5 secara total yakni hanya tumbuh sekitar 10,77 persen per tahun (Tabel 17). Bahkan dalam paruh kedua dalam dua dekade terkahir (2000-2010) pertumbuhan ekspor ASEAN-5 ke China tumbuh sekitar 24,07 persen per tahun. Gambaran perkembangan nilai perdagangan ASEAN-5 terhadap China selama periode 1990-2010 dapat dilihat pada gambar berikut.
Sumber :
Diolah dari UN International Merchandise Trade Statistics, data base, SITC Rev.3, 2011
Gambar 16
Perkembangan Nilai Perdagangan ASEAN-5 Dengan China Periode 1990-2010.
128 Nilai ekspor ASEAN-5 ke China yang mengalami perkembangan yang cukup pesat, juga diikuti oleh perkembangan inpor yang tinggi. Selama kurun waktu 1990-2010, nilai impor ASEAN-5 yang berasal dari China tumbuh sekitar 18,23 persen per tahun. Nilai pertumbuhan impor ASAN-5 dari China ini lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan impor ASEAN-5 secara keseluruhan yang hanya tumbuh sekitar 9,91 persen selama kurung waktu yang sama (Tabel 17). Pada Gambar 16 juga terlihat bahwa, meskipun kinerja ekspor ASEAN-5 ke China cukup baik, yang ditunjukkan oleh pertubuhan ekspor melampaui pertumbuhan impornya, namun nilai transaksi impor dari China masih lebih tinggi dari nilai transaksi ekspor ASEAN-5 ke China, sehinga sepanjang periode 19902009 ASEAN-5 masih terus mengalami defisit perdagangan terhadap China, bahkan defisit perdagangan ASEAN-5 terhadap China terus mengalami pembengkakan, hingga mencapai puncaknya pada tahun 2008 dengan defisit perdagangan sebesar US $ 10,5 Milliar. Namun pada akhir periode (2010), pertama kalinya dalam dua dekade terakhir ASEAN-5 mengalami surplus perdagangan terhadap China sebesar US$ 0,3 Milliar. Akselerasi pertumbuhan perdagangan ASEAN-5 dengan China yang semakin meningkat, berimplikasi pada posisi China dalam daftar mitra perdagangan ASEAN-5 secara eksternal. Pada tahun 1990, China yang hanya mampu menyerap komoditi ekspor ASEAN-5 sekitar 1,81 persen dari total ekspor ASEAN-5, sehingga pada periode tersebut China hanya merupakan daerah tujuan ekspor terbesar ke enam. Pangsa pasar ekpor ASEAN-5 ke China pada tahun 1990 ini lebih rendah dibandingkan dengan pangsa pasar ekpor ASEAN-5 ke beberapa negara non ASEAN lainnya seperti Jepang yang menyerap komoditi ekspor ASEAN-5 sebesar 18,53 persen, Inggris dan Irlandia Utara (3,34 persen), Korea (3,25 persen), Belanda (2,95 persen) dan Australia (1,91 persen). Akan teapi pada tahun 2010 nilai ekspor ASEAN-5 secara agregat ke China melonjak tajam dan menduduki peringkat pertama sebagai daerah tujuan ekspor berbagai komoditi ASEAN-5 dengan pangsa pasar mencapai 10,92 persen dari total ekspor ASEAN5. Selanjutnya dari sisi impor. Pada tahun 1990, impor ASEAN-5 yang berasal dari China hanya sekitar 2,79 persen dari total impor ASEAN-5 dan hanya
129 menduduki peringkat ke enam setelah Jepang, Inggris, Korea, Arab Saudi dan Australia sebagai daerah asal impor, namun pada tahun 2010, posisi China meningkat menjadi terbesar kedua setelah Jepang. Nilai impor ASEAN-5 yang berasal dari China pada tahun 2010 mencapai US $ 103,96 Milliar atau sekitar sekitar 12,26
persen dari total impor ASEAN-5. Secara lengkap gambaran
mengenai posisi China dalam daftar tujuh negara utama mitra pedagangan internasional ASEAN-5 dapat dilihat pada Tabel 15 berikut. Tabel 15.
Tujuh Negara Mitra Terbesar Perdagangan ASEAN-5 Tahun 19902010 Tahun 1990
No
A
Negara
Nilai (US $ Milliar)
Tahun 2000 Share ( persen)
Negara
Nilai (US $ Milliar)
Tahun 2010 Share ( persen )
Negara
Nilai (US $ Milliar)
Share ( persen )
7 Negara Non ASEAN Daerah Tujuan Ekspor Utama ASEAN-5
1
Jepang
25,76
18,53
Jepang
53,33
13,00
China
104,30
10,92
2
Ingris & Ir U
4,64
3,34
China Hkg
22,20
5,41
Jepang
91,06
9,53
3
Korea
4,52
3,25
Netherland
15,27
3,72
Chna Hkg
70,86
7,42
4
Netherland
4,10
2,95
Korea
14,91
3,63
Korea
40,31
4,22
5
Australia
2,66
1,91
China
14,66
3,57
Australia
33,53
3,51
6
China
2,52
1,81
Ingris & Ir U
11,97
2,92
Netherland
22,25
2,33
7
Canada
1,25
0,90
Jerman
11,14
2,72
Jerman
20,49
2,14
Total
139,0
100,0
410,3
100,0
955,3
100,0
B
7 Negara Non ASEAN Daerah Asal Impor Utama ASEAN-5 1
Jepang
37,16
23,52
Jepang
68,04
18,95
Jepang
107,23
12,65
2
Ingris & Ir U
5,08
3,22
China
16,62
4,63
China
103,96
12,26
3
Korea
5,07
3,21
Korea
15,62
4,35
Korea
46,69
5,51
4
Saudi Arb.
4,75
3,00
Jerman
10,67
2,97
Saudia Arb,
25,70
3,03
5
Australia
4,42
2,91
Saudia Arb,
8,82
2,46
Jerman
24,36
2,87
6
China
4,41
2,79
China HKg
8,34
2,32
Uni Em, A
19,30
2,28
7
China HKg
3,69
2,33
Australia
7,63
2,12
Australia
17,53
2,07
158,0
100,0
359,1
100,0
847,9
100,0
Total
Sumber :
Diolah dari UN International Merchandise Trade Statistics, data base, SITC Rev.3, 2011
Dilihat dari sisi China, ASEAN-5 juga merupakan mitra perdagangan yang cukup signifikan, terutama sejak diberlakukannya kesepakatan perdagangan bebas antara kawasan ASEAN dengan China. Pada tahun 1990, nilai ekspor China berdasarkan nilai FOB China sebesar US $ 3,70 Milliar meningkat menjadi US $ 109,38 Milliar atau sekitar 6,93 persen dari total ekspor China pada tahun 2010. Saat ini, bagi China, ASEAN-5 adalah daerah tujuan ekspor terbesar ke tiga setelah China Hongkong dan Jepang yang masing-masing mampu menyerap ekspor China sekitar 13,84 persen utuk China Hongkong dan 7,67 persen untuk
130 Jepang. Selengkapnya pergeseran posisi ASEAN-5 dalam daftar tujuh mitra perdagangan utama China selama periode 1990-2010 dapat dilihat pada Tabel 16 berikut. Tabel 16.
Tujuh Negara Mitra Terbesar Perdagangan China Tahun 1990-2010 Tahun 1990
No A
Negara
Nilai (US $ Milliar)
Tahun 2000 Share ( persen )
Negara
Tahun 2010
Nilai (US $ Milliar)
Share ( persen )
Negara
Nilai (US $ Milliar)
Share ( persen)
7 Daerah Tujuan Ekspor Utama China
1
China Hkg
26,63
42,89
Romania
52,16
20,93
China Hkg
218,30
13,84
2 3
Jepang
9,01
14,51
China Hkg
44,52
17,86
Jepang
121,04
7,67
ASEAN-5
3,70
5,96
Jepang
41,65
16,72
ASEAN-5
109,38
4
6,93
1,26
2,03
ASEAN-5
15,10
6,06
Korea
68,77
4,36
5
Korea Netherlan d
0,91
1,46
Korea
11,29
4,53
68,05
4,31
6
Ingris
0,64
1,04
Jerman
9,28
3,72
Jerman Netherlan d
49,70
3,15
7
Australia
0,45
0,73
Netherland
6,69
2,68
Ingris
38,77
2,46
Total
62,1
100,0
Total
249,2
100,0
Total
1.577,8
100,0
B
7 Daerah Asal Impor Utama China
1
China Hkg
14,15
26,53
Jepang
41,51
18,44
Jepang
176,74
12,66
2 3
Jepang
7,59
14,22
Korea
23,21
10,31
ASEAN-5
145,37
10,41
ASEAN-5
2,94
5,52
ASEAN-5
21,00
9,33
Korea
138,34
9,91
4
Canada
1,46
2,73
Jerman
10,41
4,62
Jerman
74,25
5,32
5
Ingris
1,38
2,59
China Hkg
9,43
4,19
Australia
61,11
4,38
6
Australia
1,35
2,54
Fed.Rusia
5,77
2,56
Brasil
38,10
2,73
7
Korea
0,68
1,28
Australia
5,02
2,23
Saudi Arb
32,83
2,35
53,3
100,0
225,1
100,0
1.396,0
100,0
Total
Sumber :
Diolah dari UN International Merchandise Trade Statistics, data base, SITC Rev.3, 2011
Selanjutnya dilihat dari sisi impor China, ASEAN-5 merupakan daerah impor yang cukup signifikan sejak periode awal. Pada tahun 1990 nilai impor China dari negara-negaran ASEAN-5 secara agregat senilai US $ 2,92 Milliar setara dengan 5,52 persen dari total impor China, kemudian pada tahun 2010, impor China dari ASEAN-5 meningkat menjadi US$ 145,37 Milliar. Sejak tahun 2010 ASEAN-5 sudah menjadi daerah asal impor China terbesar kedua setelah Jepang yang berkontribusi sekitar 12,66 persen terhadap total impor China. Gambaran perubahan posisi China terhadap peta perdagangan internasional ASEAN-5 ataupun sebaliknya, mengisyaratkan bahwa, kesepakatan ASEANChina untuk mulai menurunkan secara berangsur tarif perdagangan sejak tahun 2004 dan hingga 0 persen pada tahun 2010, tampaknya telah membuahkan hasil
131 dalam mendorong semakin meningkatnya nilai perdagangan antara ASEAN-5 dengan China, secara timbal balik. Hubungan perdagangan antara ASEAN-5 secara agregat dengan China yang semakin kuat seperti yang telah diuraikan panjang lebar sebelumnya, tampaknya juga terjadi pada negara-negara anggota ASEAN-5 secara individual. Hal ini terlihat dari pertumbuhan nilai perdagangan masing-masing negara anggota ASEAN-5 terhadap China jauh melampaui pertumbuhan nilai perdagangan internasional secara total masing-masing negara. Dari sisi ekspor negara anggota ASEAN-5 yang memiliki akselerasi pertumbuhan ekspor ke China paling tinggi diduduki oleh Philipina yakni dengan pertumbuhan ekspor sekitar 27,65 persen selam kurun waktu 1990-2010. Proporsi nilai ekspor Philipina ke China pada tahun 2000 hanya sekitar 1,67 persen dari total ekspornya meningkat menjadi 11,12 persen pada tahun 2010. Selanjutnya negara ASEAN-5 yang memiliki pertumbuhan ekspor ke China paling rendah selama periode 1990-2010 ditempati oleh Indonesia dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 17,40 persen per tahun. Meskipun Indonesia adalah negara anggota ASEAN-5 yang memiliki pertumbuhan ekspor ke China paling rendah, namun pertumbuhan ekspor ke China tersebut masih jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekspor Indonesia secara total yang hanya tumbuh sekitar 10,18 persen per tahun dalam periode yang sama. Akselerasi pertumbuhan ekspor Indonesia ke China ini menyebabkan proporsi pangsa ekspor Indonesia di China dibandingkan pangsa ekspor Indonesia secara global meningkat dari 3,25 persen pada tahun 1990 menjadi 9,94 persen pada tahun 2010. Dilihat dari sisi impor negara-negara anggota ASEAN-5 menunjukkan bahwa negara ASEAN-5 yang memiliki pertumbuhan impor yang berasal dari China paling besar ditempati oleh Indonesia dengan pertumbuhan rata-rata mencapai 22,19 persen per tahun selama periode 1990-2010. Pertumbuhan impor Indonesia yang berasal dari China juga jauh lebih besar dibandingkan pertumbuhan impor Indonesia secara total yakni tumbuh sekitar 11,44 persen per tahun. Gambaran ini mengisyaratkan bahwa arus barang-barang dari China yang masuk ke Indonesia jauh lebih deras, dibandingkan arus barang-barang impor yang berasal dari negara daerah asal impor lainnya. Akselerasi pertumbuhan
132 impor Indonesia dari China, menyebabkan proporsi impor Indonesia yang berasal dari China yang pada tahun 1990 hanya sebesar 2,99 persen dari total impor Indonesia meningkat drastis menjadi 15,50 persen pada tahun 2010. Selanjutnya, negara ASEAN-5 yang memiliki pertumbuhan impor barangbarang China paling kecil ditempati oleh Singapura, dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 16,23 persen selama periode 1990-2010.
Meskipun
pertumbuhan impor barang dari China di Singapura paling rendah dibandingkan negara-negara ASEAN-5 lainnya, namun pertumbuhan tersebut masih lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan impor Singapura secara total yang tumbuh sekitar 9,59 persen per tahun dalam periode yang sama. Dengan demikian aliran barang impor dari China yang masuk ke Singapura masih lebih deras dibandingkan impor yang berasal dari negara lainnya. Tabel 17
Pertumbuhan Nilai perdagangan Antara ASEAN-5 dengan China, Serta Proporsinya terhadap Total Nilai Perdagangan Internasional Masing-masing Negara ASEAN-5 dan China Tahun 1990-2010.
Negara
Proporsi Perdagangan ASEAN-5 Dengan China Terhadap Total Peragangan ASEAN-5 1990
EKSPOR ASEAN-5 Indonesia Malaysia Philippines Singapura Thailand ASEAN LAIN TOTAL ASEAN IMPOR ASEAN-5 Indonesia Malaysia Philippines Singapura Thailand ASEAN LAIN TOTAL ASEAN
Sumber :
2000
2010
Pertumbuhan (%) 1991-2010
Proporsi Perdagangan China Dengan ASEAN-5 Terhadap Total Peragangan China 1990
2000
2010
Pertumbuhan (%) 19912010
1,81 3,25 2,10 1,52 1,16 1,75
3,57 4,23 3,08 1,67 3,90 4,08 7,66 3,77
10,92 9,94 12,60 11,12 10,33 10,99 0,07 9,97
21,33 17,40 21,55 27,65 22,77 26,54 53,11 21,27
5,96 0,61 0,55 0,34 3,18 1,28 0,33 6,29
6,06 1,23 1,03 0,59 2,31 0,90 0,90 6,96
6,93 1,39 1,51 0,73 2,05 1,25 1,82 8,76
19,6 25.6 25.3 25.2 16.0 20.4 30,5 20,6
2,79 2,99 1,92 3,44 3,35 2,72
4,63 4,64 3,96 2,36 5,29 5,44 7,70 4,79
12,26 15,50 12,55 8,51 10,83 13,29 1,25 11,16
18,23 22,19 21,18 20,46 16,23 18,44 34,72 18,25
5,52 1,51 1,58 0,16 1,58 0,70 0,22 5,74
9,33 1,96 2,43 0,75 2,25 1,95 0,52 9,85
10,41 1,49 3,61 1,16 1,77 2,38 0,67 11,08
19,6 19.3 24.1 34.6 21.0 26.8 28,4 22,8
Diolah dari UN International Merchandise Trade Statistics, data base, SITC Rev.3, 2011
Selanjutnya dilihat dari sisi China, hubungan perdagangan China dengan negara-negara ASEAN-5 secara individual menunjukkan bahwa pertumbuhan
133 ekspor China ke negara-negara ASEAN-5 secara individual yang dihitung berdasarkan FOB China, paling tinggi ke Indonesia yakni sekitar 25,6 persen per tahun selama periode 1990-2010. Namun proporsi ekspor China ke Indonesia dari total ekspor China pada tahun 2010 hanya sekitar 1,39 persen. Nilai proporsi tersebut masih lebih rendah dari proporsi ekspor China ke Singapura yakni sekitar 2,05 persen dari total ekspor China. Gambaran ini menunjukkan bahwa saat ini negara ASEAN-5 yang menjadi mitra utama China sebagai negara tujuan ekspor masih dipegang oleh Singapura. Sebaliknya dilihat dari sisi impor China. Tabel di atas menunjukkan bahwa, pertumbuhan impor China yang berasal dari negara ASEAN-5 paling besar di negara Philipina yakni tumbuh sekitar 34,6 persen per tahun selama periode 1990-2010. Namun proporsi impor China yang berasal dari negara ASEAN-5 pada tahun 2010 paling besar ditempati oleh Malaysia yakni sekitar 3,61 persen dari total impor China secara global, kemudian diikuti oleh oleh Thailand dengan proporsi sebesar 2,38 persen dari total impor China. Gambaran ini menjelaskan bahwa meskipun Philipina memiliki akselerasi paling tinggi sebagai daerah asal impor China, namun barang-barang yang berasal dari ASEAN-5 yang masuk ke China saat ini paling besar berasal dari Malaysia dan Thailand. Hal yang menarik lainnya yang tergambar pada Tabel adalah dimana Indonesia merupakan satu-satunya negara ASEAN-5 yang memiliki rata-rata pertumbuhan impor yang berasal dari China melampui rata-rata pertumbuhan ekspornya ke China. Seperti yang telah disebutkan bahwa pertumbuhan ekspor Indonesia ke China selama periode 1990-2010 tumbuh secara rata-rata sekitar 17,40 persen per tahun. Nilai pertumbuhan ekspor tersebut lebih rendah dari rata pertumbuhan impor Indonesia yang berasal dari China yakni tumbuh sekitar 22,19 persen per tahun. Kesenjangan antara kedua pertumbuhan nilai perdagangan tersebut, akan memberikan tekanan terhadap neraca perdagangan Indonesia dengan China. Neraca perdagangan Indonesia terhadap China, sejak tahun 1990 hingga tahun tahun 2007, Indonesia selalu mengalami surplus perdagangan dengan China, yang puncaknya dicapai pada tahun 2006 dengan surplus perdagangan sebesar US $ 1,71 Milliar. Namun ketika krisis finansial pada tahun 2008 yang
134 awalnya dari Amerika dan Eropa, kemudian menjalar ke Asia, dan pada saat itu barang-barang dari China yang masuk ke pasar Indonesia mengalami lompatan besar yakni meningkat hampir dua kali lipat dari periode sebelumnya, menyebabkan neraca perdagangan Indonesia pada tahun tersebut defisit perdagangan yang cukup besar yakni sekitar US $ 3,61 Milliar. Bahkan defisit perdagangan Indonesia terhadap China terus memburuk pada tahun 2010 dengan defisit perdagangan sebesar US $ 4,73 Milliar. Nilai defisit perdagangan Indonesia terhadap China pada tahun 2010 ini adalah defisit perdagangan terbesar yang pernah dicapai oleh negara-negara ASEAN-5 secara individual dalam periode dua dekade terakhir.
Sumber :
Diolah dari UN International Merchandise Trade Statistics, data base, SITC Rev.3, 2011
Gambar 17
Perkembangan Neraca Perdagangan Negara-negara ASEAN-5 terhadap China Periode 1990-2010 (US $ MIlliar).
Pada Gambar 17 di atas juga terlihat bahwa Malaysia, dalam periode 1990-2008 lebih sering mengalami defisit perdagangan dengan defisit perdagangan terbesar dicapai pada tahun 2006 sebesar US$ 4,25 Milliar, namun memasuki tahun 2009, Malaysia sudah mengalami surplus perdagangan yang cukup signifikan yakni sekitar US $ 1,85 Milliar dan terus mengalami
135 peningkatan drastis pada tahun 2010 dengan surplus perdagangan sebesar US$ 4,38 Milliar. Nilai surplus perdagangan Malaysia terhadap China pada tahun 2010 tersebut merupakan nilai surplus perdagangan terbesar yang pernah dicapai oleh negara-negara ASEAN-5 secara individual selama dua dekade terakhir. Secara agregat nilai ekspor ASEAN-5 ke China sekitar 66,50 persen diantaranya merupakan barang-barang dari kelompok manufaktur, sisanya adalah sekitar 18,17 persen dari kelompok barang lainnya (kelompok bahan bakar, hasil tambang dan kelompok barang yang tidak terdefinisikan dalam klasifikasi SITC Rev.3) dan sekitar 15,33 persen merupakan komoditi pertanian. Pada ahun 2010, sekitar 41,65 persen barang-barang manufakur ASEAN-5 yang diekspor ke China berasal dari Singapura, dengan nilai perdagangan sebesar US $ 28,88 Milliar, kemudian diikuti oleh Malaysia yang berkontribusi sekitar US $ 17,97 Milliar atau sekitar 25,91 persen total ekspor manufaktur ASEAN-5 ke China. Selanjutnya untuk ekspor pertanian. Pada tahun 2010, Indonesia adalah Negara ASEAN-5 yang memiliki nilai ekspor pertanian terbesar ke China yakni sekitar US $ 5,11 Milliar atau sekitar 31,97 persen dari total ekspor pertanian ASEAN-5 ke China. Nilai ekspor pertanian Indonesia ke China tersebut setara dengan 32,57 persen dari total ekspor Indonesia ke China pada tahun yang sama. Gambaran tersebut mengisyaratkan bahwa China merupakan darah tujuan ekspor yang cukup penting bagi komoditi-komoditi pertanian Indonesia. Selain Indonesia Malaysia dan Thailand juga merupakan negara ASEAN-5 yang memiliki nilai ekspor pertanian cukup besar ke China yakni masing-masing dengan nilai ekspor pertanian sebesar US $ 4,89 Milliar untuk Malaysia atau setara dengan 30,58 persen dari total ekspor pertanian ASEAN-5 ke China, kemudian Thailand mengekspor pertanian ke China senilai US $ 4,86 Milliar atau sekitar 30,38 persen dari total ekspor prtanian ASEAN-5 ke China. Selanjutnya dilihat dari sisi pertumbuhan ekspor komoditi-komoditi pertanian Negara ASEAN-5 ke China menunjukkan bahwa Philipina memiliki pertumbuhan ekspor pertanian ke China paling tinggi diantara negara negara ASEAN-5 yakni rata-rata tumbuh sekitar 27,35 persen per tahun. Kemudian diikuti oleh Thailand dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 23,79 persen per tahun. Untuk lebih jelasnya nilai perdagangan yang dirinci menurut tiga sektor utam negara-negara anggota
136 ASEAN-5 ke China pada tahun 2010, serta pertumbuhannya dapat dilihat pada Tabel 18 berikut. Tabel 18
Nilai Perdagangan Yang Dirinci Menurut Sektor Utama Negara Angota ASEAN-5 Dengan China, Tahun 2010.
Nilai Perdagangan ASEAN-5 Menurut Sektor Dengan China (US $ Milliar) Perta- ManuLainnya Total nian faktur EKSPOR Ke China
Share Tehadap Total Nilai Perdagangan ( persen) PertaManuLainnya nian faktur
Pertumbuhan Periode 2000-2010 ( persen) PertaManuLainnya nian faktur
ASEAN-5
Negara
15,99
69,36
18,95
104,30
15,33
66,50
18,17
22,36
24,41
27,46
Indonesia
5,11
2,79
7,79
15,69
32,57
17,79
49,64
23,17
13,08
31.62
Malaysia
4,89
17,97
2,20
25,06
19,51
71,71
8,78
22,84
29,04
63.85
Philippines
0,23
4,71
0,78
5,72
3,98
82,31
13,71
27,35
34,55
21.16
Singapura
0,90
28,88
6,56
36,35
2,48
79,46
18,06
21,63
23,74
29.67
Thailand
4,86
15,00
1,62
21,47
22,62
69,86
7,53
23,79
27,88
24.38
ASEAN LAIN 0,04 TOTAL ASEAN 16,03 IMPOR Dari China
0,02
0,00
0,07
66,23
33,21
0,56
15,15
27,97
11,06
69,38
18,95
104,36
15,36
66,48
18,16
20,57
24,25
24,68
ASEAN-5
4,62
91,19
8,15
103,96
4,44
87,71
7,84
11,03
23,48
22,84
Indonesia
1,41
17,78
1,23
20,42
6,92
87,07
6,01
14,04
41,78
26.17
Malaysia
1,29
18,53
0,86
20,68
6,23
89,61
4,16
12,11
27,31
33.24
Philippines
0,33
4,27
0,35
4,95
6,65
86,27
7,08
7,47
18,18
21.61
Singapura
0,70
28,38
4,58
33,67
2,09
84,30
13,61
6,89
19,21
26.95
Thailand
0,89
22,22
1,13
24,24
3,66
91,67
4,67
19,70
24,51
23.63
0,02
1,16
0,01
1,19
1,35
97,50
1,15
16,59
31,23
32,87
4,64
92,35
8,17
105,15
4,41
87,82
7,77
10,53
22,97
21,55
ASEAN LAIN TOTAL ASEAN
Sumber :
Diolah dari UN International Merchandise Trade Statistics, data base, SITC Rev.3, 2011
Selanjutnya pada Tabel 18 di atas juga terlihat bahwa impor negara-negara ASEAN-5 yang berasal dari China, didominasi oleh kelompok manufaktur. Dari total nilai impor ASEAN-5 yang berasal dari China sebesar S 103,36 Milliar sekitar 87,71 persen diantaranya merupakan barang-barang manufaktur, dan hanya senilai US $ 4,62 Milliar merupakan impor komoditi pertanian. Nilai impor pertanian tersebut setara dengan 4,44 persen dari total impor ASEAN-5 yang berasal dari China. Dari sisi pertumbuhan impor pertanian dari China, terlihat pula pada Tabel 18 di atas bahwa Thailand yang memiliki akselerasi pertumbuhan paling tinggi dalam mengimpor produk-produk pertanian China, dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 19,70 persen per tahun selama periode 2000-2010. Posisi berikutnya ditempati oleh Indonesia dengan pertumbuhan sebesar 14,04 persen per tahun dalam periode yang sama.
137 5.2.
Pembangunaan Pedesaan dan Kinerja Pertanian Negara-negara ASEAN-5 dan China
5.2.1. Pembangunan Pedesaan Negara-negara ASEAN-5 dan China Secara umum kawasan pedesaan sering dicirikan sebagai sebuah wilayah yang memiliki tingat kepadatan penduduk rendah, dimana sebagian besar penduduknya mempunyai kegiatan utama pertanian serta dengan hubungan sosial masyarakatnya yang masih kuat. Dalam persfektif regional, kawasan pedesaan juga sering dikontraskan dengan kawasan perkotaan, yakni kawasan yang padat penduduk dengan aktivitas ekonomi didominasi oleh sektor non pertanian sepeti industri atau jasa-jasa. Meski ciri kedua kawasan tersebut sangat kontras, namun komunitas masyarakat pedesaan dan perkotaan memiliki hubungan fungsional yang cukup kuat. Kawasan pedesaan merupakan tempat memproduksi berbagai komoditi pertanian, termasuk komoditi pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok masyarakat perkotaan, serta memasok bahan baku untuk keperluan industri perkotaan. Sebaliknya kawasan perkotaan juga menyediakan berbagai hasil-hasil industri untuk memenuhi berbagai kebutuhan penduduk pedesaan, termasuk kebutuhan untuk mendukung aktivitas produksi pertanian mereka di pedesaan. Gambaran tersebut mengisyaratkan bahwa sesungguhnya pembangunan pedesaan tidak terlepas dari kemajuan pembangunan sektor pertanian itu sendiri serta kemajuan pembangunan perkotaan yang mampu memberikan spread effect terhadap pembangunan pedesaan. Saat ini penduduk diberbagai negara, khususnya di negara-negara berkembangan, masih dominan bermukim di wilayah pedesaan. Di Indonesia pada tahun 2010, proporsi penduduk yang bermukim di wilayah pedesaan masih sangat besar yakni sekitar 126 juta jiwa atau sekitar 55,72 persen dari total pupulasi penduduk Indonesia. Secara agregat penduduk ASEAN yang bermukim di wilayah pedesaan mencapai sekitar 58,16 persen dari total penduduk ASEAN. Diantara negara-negara ASEAN-5, tercatat bahwa Thailand menempati peringkat teratas dalam proporsi penduduk pedesaan yakni mencapai sekitar 66,04 persen dari total penduduknya, sedangkan yang terendah adalah Singapura dan Malaysia. Singapura adalah negara yang secara keseluruhan penduduknya dikategorikan
138 sebagai penduduk perkotaan. Sedangkan di Malaysia, pada tahun 2010 proporsi penduduk pedesaannya masih sekitar 27,83 persen. Selanjutnya untuk China, secara proporsi, penduduk China yang bermukim di wilayah pedesaan sekitar 53,05 persen dari total penduduknya, yang berarti proporsinya lebih rendah dari proporsi penduduk pedesaan di ASEAN secara rata-rata. Akan tetapi dilihat dari segi jumlah, penduduk China
yang
bermukim di wilayah pedesaan jumlahnya sangat besar yakni mencapai 718,3 juta jiwa. Jumlah penduduk pedesaan China tersebut bahkan jauh melampaui total penduduk ASEAN secara keseluruhan. Jumlah penduduk pedesaan China yang sangat besar sangat berpengaruh pada aktivitas produksi pertanian di wilayah pedesaan China. Limpahan penduduk pedesaan China tersebut tidak hanya mempengaruhi skala produksi pertanian China yang besar, tetapi juga dapat berpengaruh pada tingkat upah pertanian yang murah, yang selanjutnya mempengaruhi profitabilitas usaha pertanian itu sendiri. Kawasan pedesaan China selain memiliki limpahan tenaga kerja yang besar juga memiliki limpahan sumberdaya alam (lahan) yang juga sangat besar. Pada tahun 2008, China memiliki lahan pertanian seluas 522,5 juta Ha atau sekiar 56,02 persen dati total wilayah China, lahan pertanian China ini adalah lebih luas dari total wilayah negara-negara ASEAN. Secara total ASEAN hanya memiliki lahan pertanian sekitar 117,6 juta Ha di mana sekitar 40,9 persen diantaranya merupakan lahan pertanian yang berada di Indonesia. Kualitas lahan tanaman pertanian di China juga lebih bagus dibandingkan ASEAN. Hal ini ditunjukkan oleh proporsi lahan beririgasi di China mencapai sekitar 52,34 persen dari lahan tanaman pertanian. Sementara di ASEAN proporsi lahan beririgasi ini hanya sekitar 22,34 persen.
139
Tabel 19
Populasi, Penggunaan Lahan dan Pembangunan Pedesaan Negara-negara ASEAN-5 dan China, Tahun 2010.
Penduduk Pedesaan
Negara
Penggunaan Lahan
Jumlah (Ribu Jiwa)
Proporsi dari total penduduk (%)
Pertumbuhan penduduk pedesaan (%)
Populasi pertanian (Ribu Jiwa)
2010
2010
2005-2010
2010
Pembangunan Pedesaan
Total Lahan (1,000 ha)
Proporsi Total Lahan Pertanian Terhadap Total Lahan (%)
Proporsi Lahan Tanaman (Cropland) Terhadap Total Lahan (%)
Proporsi lahan beririgasi terhadap Cropland (%)
Penduduk pedesaan yang menggunaka n fasilitas sumber air minum (%)
Penduduk pedesaan yang menggunaka n fasilitas sanitasi(%)
Penduduk pedesaan di bawah garis kemiskinan (%)
Penduduk Perkotaan di bawah garis kemiskinan (%)
2008
2008
2008
2008
2008
2008
2009
2009
a)
China
718.307
53,05
(0,98)
828.120
932.749
56,02
13,14
52,34
82,0
52,0
2,5
Indonesia
129.557
55,72
0,74
86.804
181.157
26,55
20,48
18,12
71,0
36,0
17,4
10,7
Malaysia
7.768
27,83
(1,33)
3.351
32.855
23,95
23,09
4,81
99,0
95,0
8,2
1,7
b)
Na
Philippines
47.836
51,10
1,50
31.420
29.817
39,57
34,54
14,76
87,0
69,0
Singapura
-
-
-
3
70
1,00
1,00
,,
,,
,,
,,
Na
Thailand
44.997
66,04
0,16
28.016
51.089
38,46
36,90
34,03
98,0
96,0
10,4
3,0
ASEAN
342.914
58,16
0,57
255.378
434.093
27,10
23,17
22,34
80,2
59,0
,,
,,
26,5
Na
Keterangan : a) Tahun 2005; b) Level nasional Sumber : Rural Population, Development and The Environment, United Nations, Department of Economic and Social Affairs, 2011
139
140 Selain gambaran mengenai populasi penduduk pedesaan serta potensi sumberdaya lahan pertanian yang mendukung aktivitas produksi pertanian penduduk pedesaan di negara-negara ASEAN dan China, Tabel 19 di atas juga menunjukkan beberapa indikator pembangunan pedesan di masing-masing negara. Terlihat bahwa, indikator aksesibilitas penduduk pedesaan terhadap sumbersumber air minum menunjukkan bahwa proporsi penduduk pedesaan China yang menggunakan fasilitas air bersih untuk keperluan air minum mencapai sekitar 82,0 persen, angka tersebut sedikit lebih tinggi dibandingkan proporsi penduduk ASEAN secara rata-rata dalam mengakses fasilitas air minum tersebut. Dibandingkan antara negara-negara ASEAN-5, menunjukkan bahwa Indonesia memiliki proporsi penduduk pedesaan yang paling rendah dalam mengakses fasilitas sumber air minum dan tertinggi ditempati oleh Malaysia dengan proporsi mencapai sekitar 99 persen dari total penduduk pedesaannya. Selanjutnya dilihat dari aksesibilitas penduduk desa terhadap fasilitas sanitasi menunjukkan bahwa secara relatif proporsi penduduk desa di China yang menggunakan fasilitas salinatsi hanya sekitar 52,0 persen dari total penduduk desa, di mana proporsi tersebut lebih rendah dari proporsi penduduk desa di ASEAN secara rata-rata yang menggunakan fasilitas serupa. Perbandingan proporsi penduduk desa yang menggunakan fasislitas salinitasi di negara-negara ASEAN-5 menunjukkan bahwa, Thailand menempati urutan pertama dengan proporsi mencapai 96,0 persen dan yang terendah adalah Indonesia dengan proporsi hanya sekitar 36,0 persen dari total penduduk desa. Berdasarkan proporsi penduduk yang menggunakan faslitas-fasilitas dasar, khususnya fasilitas air minum dan salinitasi (MCK) seperti yang digambarkan di atas memperlihatkan bahwa Indonesia adalah negara yang paling terbatas ketersediaan fasilitas dasar tersebut. Pada Tabel 19 di atas juga menunjukkan bahwa, secara umum tingkat kemiskinan pedesaan jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kemiskinan perkotaan di masing-masing negara. Pada tahun 2009 persentase penduduk pedesaan yang berada di bawah garis kemiskinan mencapai 17,4 persen dari total penduduk pedesaan Indonesia, sementara tingkat kemiskinan perkotaan Indonesia hanya sekitar 10,7 persen. Tingkat kemiskinan pedesaan di Thailand dan Malaysia
141 jauh lebih rendah, yakni masing-masing 10,4 persen untuk Thailand dan 8,2 persen untuk Malaysia. Meskipun data tentang tingkat kemiskinan pedesaan di Philipina tidak tersedia, namun berdasarkan pada tingkat kemiskinan nasionalnya pada tahun 2009 yang sebesar 26,5 persen, mengindikasikan bahwa tingkat kemiskinan pedesaan diantara negara-negara ASEAN-5 paling tinggi di Philipina. Selanjutnya tingkat kemiskinan pedesaan di China tampaknya lebih rendah yakni hanya sekitar 2,5 persen pada tahun 2005. Meskipun data tingkat kemiskinan pedesaan antara negara-negara ASEAN-5 dengan China memiliki perbedaan waktu, namun data tersebut dapat menjelaskan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk pedesaan di China secara relatif lebih baik dibandingkan kesejahteraan penduduk pedesaan di negara-negara ASEAN-5 secara rata-rata. 5.2.2.
Kinerja Produksi Pertanian ASEAN-5 dan China
5.2.2.1. Nilai Produksi, Pertumbuhan dan Kontribusi Pertanian ASEAN-5 dan China terhadap Nilai Produksi Pertanian Dunia Potensi sektor pertanian China sangat besar, karena selain didukung oleh jumlah tenaga kerja pertanian yang sangat besar juga didukung oleh sumberdaya lahan yang besar pula. Pada tahun 2010, nilai produksi pertanian China berdasarkan harga konstan 2004-2006 mencapai US $ 521,3 Miliar, dari nilai tersebut sekitar US $ 338,8 Milliar merupakan nilai produksi produksi tanaman pertanan (crops) atau setara dengan 64,99 persen dari total nilai pertanian China. Sementara ASEAN-5 secara agregat hanya sekitar US$ 124,4 Milliar, dimana sekitar US $ 103,5 Milliar diantaranya atau sekitar 83,19 persen disumbangkan oleh kelompok tanaman pertanian (crops) dan sisanya sekitar US $ 20,9 Milliar (16,81 persen) merupakan nilai hasil-hasil peternakan. Berdasarkan nilai produksi masing-masing negara, mka pada tahun 2010, nilai produksi tanaman pertanian China, berkontribusi sekitar 23,63 persen terhadap total produksi dunia, dan hasil peternakannya berkontribusi sebesar 21,65 persen terhadap produksi peternakan dunia. Sedangkan nilai produksi tanaman pertanian ASEAN-5 secara keseluruhan hanya berkontribusi sekitar 7,22 persen terhadap produksi dunia, bahkan hasil peternakannya hanya berkontribusi sekitar 2,4 persen terhadap nilai peternakan
142 dunia. Dengan demikian secara umum bahwa nilai pertanian ASEAN-5 kurang dari sepertiga nilai produksi pertanian China. Selain itu, dilihat dari sisi pertumbuhan nilai produksi pertanian, China memiliki pertumbuhan nilai produksi pertanian yang lebih tingi dibandingkan pertumbuhan nilai produksi pertanian ASEAN-5. Selama periode 191-2010, nilai produksi pertanian China secara total tumbuh sekitar 4,14 persen per tahun, sementara pertumbuhan nilai produksi pertanian ASEAN-5 hanya tumbuh sekitar 3,07 persen per tahun dalam periode yang sama. Selengkapnya nilai produksi pertanian ASEAN-5 dan China serta pertumbuhannya dapat dilihat pada Tabel 20 berikut. Tabel. 20
Nilai Produksi Pertanian ASEAN-5 dan China Menurut Harga Konstan, Pertumbuhan dan Kontribusinya terhadap Dunia Tahun 2010. Tanaman Petanian (Crops)
Ternak (Livestock)
Total Pertanian
Nilai Produksi (US $ Juta)
Share Terhadap Dunia
Pertumbuhan ( persen) Tahun 91-2010
China
338.753
23,63
3,56
182.508
21,65
5,51
521.262
22,89
4,14
ASEAN-5
103.481
7,22
3,01
20.910
2,48
3,43
124.391
5,46
3,07
Indonesia
52.894
3,69
3,50
6.641
0,79
3,44
59.534
2,61
3,47
Malaysia
11.041
0,77
3,06
3.126
0,37
4,46
14.166
0,62
3,28
Philipina
16.042
1,12
2,34
5.078
0,60
4,15
21.119
0,93
2,69
Singapura
4
0,00
6,80
22
0,00
(5,39)
27
0,00
(4,83)
Thailad
23.501
1,64
2,64
6.044
0,72
2,88
29.545
1,30
2,66
ASEANLAIN
42.586
2,97
5,05
10.975
1,30
6,81
53.561
2,35
5,36
ASEAN
146.067
10,19
3,52
31.885
3,78
4,33
177.952
7,82
3,65
Negara
Nilai Produksi (US $ Juta)
Share Terhadap Dunia
Pertumbuhan ( persen) Tahun 91-2010
Nilai Produksi (US $ Juta)
Share Terhadap Dunia
Pertumbuhan ( persen) Tahun 91-2010
Sumber : Diolah dari FAOSTAT, 2012
Perbandingan nilai produksi pertanian diantara negara-negara ASEAN-5 seperti yang ditujukkan pada tabel di atas memperlihatkan bahwa Indonesia menempati urutan teratas dalam nilai produki pertanian yakni sekitar US $ 59,5 Milliar pada tahun 2010, atau hampir separuh dari nilai pertanian ASEAN-5 seara keseluruhan. Dari nilai total pertanian Indonesia sekitar 88,85 persen di antaranya merupakan nilai produksi tanaman pertanian (crops) sisanya sekitar 11,15 persen berasal dari nilai produksi peternakan. Pada tahun 2010 nilai pertanian secara total berkontribusi sekitar 2,61 persen terhadap nilai pertanian dunia. Sedangkan
143 negara ASEAN-5 yang paling kecil nilai produksi pertaniannya ditempati oleh Singapura dengan nilai produksi hanya sekitar US $ 27 juta. Nilai produksi pertanian Singapura terutama berasal dari hasil-hasil ternak.Diantara negaranegara ASEAN-5, tercatat bahwa Indonesia juga memiliki pertumbuhan nilai produksi pertanian paling besar, kemudian diikuti oleh Malaysia dan paling rendah adalah Singapura. Pertumbuhan nilai produksi pertanian Indonesia selama kurun waktu 1991-2010 mencapai 3,47 persen per tahun dan Malaysia sekitar 3,28 persen per tahun, sedangkan Singapura mengalami pertumbuhan negatif sebesar -4,83 persen per tahun. 5.2.2.2. Komooditi Utama Tanaman Pertanian (crops) ASEAN-5 dan China Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa sekitar 64,99 persen dari total nilai pertanian China pada tahun 2010 berasal dari kelompok tanaman pertanian (crops). Dari keseluruhan komoditi dari kelompok tanaman pertanian China, urutan lima belas komoditi berikut adalah komoditi yang memiliki nilai produksi paling besar. Ke lima belas komoditi tersebut berkontribusi sekitar 62,23 persen dari total nilai produksi tanama pertanian China pada tahun 2010. Dari ke lima belas komoditi tanaman pertanian utama China, terdapat lima komoditi tanaman pangan yakni masing-masing padi, gandum, jagung, kacang tanah dan kedelai, dan satu yang dikelompokkan sebagai komoditi perkebunan yakni tebu (sugar cane) dan sisanya adalah dari kelompok hortikultura (sayuran dan buah). Pada tahun 2010, secara agregat nilai produksi dari lima tanaman pangan yang masuk dalam lima belas besar komoditi tanaman pertanian China (padi, gandum, jagung, kacang tanah dan kedelai), berkontribusi sekitar 37,44 persen terhadap total nilai tanaman pertanin China. Di mana komoditi padi (Rice, Paddy) menempati urutan teratas. Pada tahun 2010 nilai produksi padi China mencapai US $ 48.765,2 juta dengan produksi sebesar 197,2 juta ton. Pada tahun tersebut China tercatat sebagai negara penghasil padi paling besar di dunia dengan kontribusi sekitar 29,35 persen terhadap total produksi padi dunia. Produksi padi China selama periode 1991-2010 tumbuh sekitar 0,23 persen per tahun. Selain sebagai produsen terbesar, China juga pada tahun 2009 tercatat sebagai eksportir
144 terbesar kedua padi (beras) setelah Amerika Serikat. Komoditi pangan berikutnya adalah komoditi gandum, dengan nilai produksi sebesar US $ 16,3 Milliar. Pada Tahun 2010 China menempati urutan pertama dunia sebagai penghasil gandum, kemudian diikuti oleh India dan Amerika serikat. Pada tahun 2010 produksi gandum China mencapai 115,2 juta ton dengan kontribusi sekitar 17,70 persen terhadap produksi gandum dunia. Selama periode 1991-2010 poduksi gandum China tumbuh sekitar 1,02 persen per tahun. Selanjutnya komoditi utama China berdasarkan urutan nilai produksi dapat dilihat pada Tabel 21 berikut. Tabel. 21
No
Urutan Komoditi Utama China berdasarkan Nilai Produksi Menurut Harga Berlaku Internasional, serta Pertumbuhan Produksi dan Kontribusinya terhadap Produksi Dunia Tahun 2010
Commodity
Nilai Produksi HB (Int US $ 1000), 2010
Produksi (Ribu Ton) 1990
2000
2010
Pertumbuhan Produksi ( persen) 1991-2010
Share Terhadap Prod Dunia
1
Padi (Rice, paddy)
48.765.224
191.615
189.814
197.212
0,23
29,35
2
Gandum (Wheat)
16.335.217
98.232
99.636
115.180
1,02
17,70
3
Tomat (Tomatoes)
15.477.224
7.758
22.325
41.880
9,01
28,73
4
Apel (Apples)
14.068.313
4.332
20.437
33.265
11,40
47,82
5
Kentang (Potatoes)
10.710.203
32.031
66.318
74.799
5,02
23,07
6
Jagung (Maize)
10.189.191
97.214
106.178
177.541
3,58
21,03
7
Ketimun (Cucumbers) Jamur dan Cendawan (Mushrooms and truffles)
7.840.513
6.790
19.869
40.710
9,55
70,73
7.545.549
663
2.408
4.182
9,93
69,85
7.191.946
3.923
7.486
13.664
7,04
77,31
6.901.273
6.433
14.516
15.709
5,14
41,73
11
Bawang Putih (Garlic) Kacang Tanah (Groundnuts) Asparagus (Asparagus)
6.343.244
1.470
3.908
6.969
8,29
88,98
12
Pir (Pears)
6.227.256
2.484
8.526
15.232
9,63
67,26
13
Tebu (Sugar cane)
3.456.697
63.451
69.299
111.454
3,34
6,61
14
Kedelai (Soybeans)
3.250.694
11.008
15.411
15.083
2,48
5,77
15
Selada (Lettuce)
5.878.742
2.520
7.256
12.575
8,63
53,23
8 9 10
Sumber : Diolah dari FAOSTAT, 2012
Pada Tabel 21 di atas juga terlihat bahwa dari lima belas komoditi tanaman pertanian China sebagai kontributor terbesar terhadap nilai produksi tanaman pertanian, hanya satu komoditi yang masuk dalam kelompok tanaman perkebunan yakni tanaman tebu. Nilai produksi tebu berkontribusi sekitar 3,97 persen terhadap total nilai produksi tanaman pertanian China. Selain tebu
145 beberapa tanaman perkebunan China yang juga memiliki nilai produksi cukup besar yakni tanaman teh dan tembakau. Selanjutnya, pada Tabel 21 di atas terlihat bahwa dari 15 komoditi yang masuk daftar kontributor terbesar terhadap nilai produksi tanaman pertanian China, 9 diantaranya masuk dalam kelompok hortikultura (sayur dan buah), yakni masing-masing adalah tomat, apel, kentang, ketimun, jamur dan cendawan, bawang putih, asparagus, pir, dan selada. Pada tahun 2010, secara agregat nilai produksi dari komoditi hortikutura tersebut berkontribusi sekitar 20,81 persen dari total nilai produksi tanaman pertanian China. Berdasarkan uraian tersebut, maka secara umum menggambarkan bahwa potensi tanaman pertanian China terutama berasal dari kelompok tanaman pangan, khususnya padi, gandum dan jagung serta dari kelompok tanaman hortikutura. Selanjutnya untuk ASEAN, lima belas komoditi tanaman pertanian (crops) seperti yang disajikan pada Tabel 22 merupakan komoditi yang berkontribusi paling besar terhadap nilai produksi tanaman pertanian ASEAN secara agregat. Dari lima belas komooditi kontributor terbesar terhadap nilai produksi tanaman pertanian ASEAN, terdapat tiga komoditi diantaranya yang merupakan kelompok tanaman pangan yakni padi, singkong dan jagung. Pada tahun 2010, nilai produksi dari ketiga komoditi tanaman pangan tersebut berkontribusi sekitar 39,03 persen terhadap total nilai produksi tanaman pertanian ASEAN, dengan rincian padi berkontribusi sekitar 31,38 persen, singkong berkontribusi sekitar 5,56 persen dan jagung sekitar 2,09 persen terhadap total nilai produksi tanaman pertanian ASEAN. Lembih dari separuh (58,47 persen) produksi komoditi padi di ASEAN berasal dari negara-negara ASEAN-5, terutama dari Indonesia, Thailand dan Philipina. Produksi padi ASEAN-5 berkontribusi sekitar 17,31 persen terhadap total produksi padi dunia. Sedangkan singkong dan jagung yang diproduksi di ASEAN-5 berkontribusi masing-masing 21,12 persen untuk singkong dan 3,46 persen untuk jagung terhadap produksi dunia. Selanjutnya dari lima belas komoditi kontributor terbesar tehadap nilai produksi tanaman pertanian ASEAN, terdapat empat diantaranya merupakan tanaman hortikultura yakni pisang, mangga, nenas dan jeruk. Total nilai produksi
146 ke empat komoditi tersebut berkontribusi sekitar 11,62 persen terhadap total nilai produksi tanaman pertanian ASEAN. Ke empat komoditi hortikultura tersebut juga sebagian besar berasal dari ASEAN-5. Pada tahun 2010, produksi pisang ASEAN-5 berkontribusi sekitar 16,45 persen terhadap produksi dunia, mangga berkontribusi sekitar 12,0 persen, nenas sekitar, 30.39 persen dan jeruk sekitar 3,52 persen terhadap produksi dunia. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 22 berikut. Tabel. 22.
Urutan Komoditi Tanaman Pertanian ASEAN berdasarkan Nilai Produksi Menurut Harga Berlaku Internasional, serta Pertumbuhan Produksi dan Kontribusinya terhadap Produksi Dunia, Tahun 2010 Nilai Produksi (NP)( Int US$ Juta)
No.
52.487 17.362 9.071 6.387 4.953 4.929 4.360
30.691 17.362 8.115 5.002 4.474 4.081 4.182
58,47 100,00 89,45 78,32 90,32 82,79 95,90
74.142 8.778 4.046 38.794 8.069 88.323 25.704
92.272 18.330 4.779 37.321 11.246 104.043 30.765
116.328 39.907 7.094 48.480 16.795 129.336 38.021
Pertumbuhan Produksi (%) 91-2010 2,31 7,96 2,94 1,45 3,88 2,23 2,06
3.208 2.471 2.441 2.297 1.837 866 632 487
2.811 2.471 2.351 1.037 1.682 866 473 241
87,61 100,00 96,32 45,13 91,55 99,99 74,79 49,45
1.777 2.564 15.345 626 3.624 400 574 169
3.367 4.955 18.726 783 4.456 499 991 201
4.715 9.571 29.232 965 5.900 834 2.446 226
5,59 7,01 3,49 2,34 2,76 4,29 9,52 1,71
Komoditi ASEAN
1 2 3 4 5 6 7
8 9 10 11 12 13 14 15
Rice, paddy Palm oil Natural rubber Cassava Bananas Sugar cane Coconuts Mangoes, mangosteens, guavas Palm kernels Maize Coffee, green Pineapples Cocoa beans Oranges Tea
Share NP ASEAN-5 Terhadap ASEAN-5 ASEAN
Produksi ASEAN-5 (Ribu Ton) 1990
2000
2010
Share Terhadap Produksi Dunia (%) 2010 17,31 88,49 67,33 21,12 16,45 7,67 60,88
12,20 79,08 3,46 11,55 30,39 19,72 3,52 5,01
Sumber : Diolah dari FAOSTAT, 2012 Selanjutnya, komoditi pertanian dari kelompok tanaman perkebunan yang masuk dalam lima belas komoditi terbesar nilai produksinya di kawasan ASEAN terdiri dari komoditi minyak sawit dan biji sawit, karet alam, tebu, kelapa, kopi kakao dan teh. Pada tahun 2010, secara agregat nilai produksi dari tanaman perkebunan tersebut berkontribusi sekitar 34,93 persen dari total nilai produksi tanaman pertanian di kawasan ASEAN. Sebagian besar produksi dari komoditi perkebunan ASEAN ini diproduksi oleh negara-negara ASEAN-5, bahkan untuk komoditi minyak sawit dan atau biji sawit, seluruhnya berasal dari ASEAN-5, khususnya Indoneia dan Malaysia. Produksi minyak sawit ASEAN-5 yang pada tahun 2010 berjumlah sebesar 39,91 juta ton berkontribusi sekitar 88,49 persen
147 dari total produksi minyak sawit dunia, demikian pula biji sawit berkontribusi sekitar 79,08 persen dari total produksi dunia. Selain komoditi minyak sawit, tanaman perkebunan lainnya yang juga memiliki kontribusi cukup besar terhadap produksi dunia adalah komoditi karet alam dan komoditi Kelapa. Pada tahun 2010 komoditi karet ASEAN-5 berkontribusi sekitar 67,33 persen terhadap produksi dunia dan komoditi kelapa berkontribusi sekitar 60,88 persen. Selanjutnya produksi kakao dan kopi berkontribusi masing-masing sekitar 19,72 persen dan 11,55 persen, sedangkan teh hanya berkontribusi sekitar 5,01 persen terhadap produksi dunia. Berdasarkan gambaran mengenai berbagai komoditi utama di ASEAN, khususnya di ASEAN-5, terlihat bahwa potensi tanaman pertanian ASEAN-5 terutama berasal dari kelompok tanaman perkebunan dan tanaman pangan, khususnya komoditi padi dan singkong. Selanjutnya, berdasarkan share masing-masing negara terhadap berbagai produksi komoditi utama ASEAN-5 menunjukkan bahwa sebagian besar dari komoditi tersebut, sentra produksinya berada di Indonesia, baik komoditi yang berasal dari kelompok tanaman pangan, hortikultura maupun dari kelompok perkebunan. Dari lima belas komoditi utama ASEAN-5 hanya empat komoditi dimana Indonesia bukan sebagai produsen terbesar di ASEAN-5 yakni komoditi pisang dan nenas yang produsen utamanya dipegang oleh Philipina, kemudian karet alam dan tebu di mana Thailand sebagai produsen terbesar di ASEAN-5. Untuk kelompok tanaman pangan, dari total produksi padi ASEAN-5 yang berjumlah 116,33 juta ton, lebih dari separuh (57,09 persen) dari total produksi padi tersebut diproduksi di Indonesia, sisanya diproduksi di Thailand sekitar sekitar 27,18 persen dan Philipina berkontribusi sekitar 13,58 persen dari total produksi padi ASEAN-5. Dari berbagai negara penghasil padi di dunia, Indonesia diposisikan sebagai produsen terbesar ke tiga dunia setelah China dan India, sementara Thailand dan Philipina berada pada posisi ke tujuh dan delapan. Meskipun Indonesia sebagai produsen terbesar padi di ASEAN-5, namun pada tahun 2009 Indonesia sebagai pengimpor padi (beras) terbesar di ASEAN, bahkan berada dalam posisi dua belas besar pengimpor beras terbesar dunia, sementara Thailand adalah pengekspor terbesar pertama dunia dalam bentuk beras patah (rice broken) dan beras giling (rice milled).
148 Selanjutnya untuk komoditi jagung, Indonesia juga sebagai produsen utama di ASEAN-5 dengan kontribusi sekitar 62,82 persen dari total produksi jagung ASEAN-5. Bahkan dalam produksi jagung dunia Indonesia di posisikan sebagai produsen terbesar ke lima dunia, setelah Amerika, China, Brasil dan Argentina. Akan tetapi selama dua dekade terkhir, Indonesia masih menyandang predikat sebagai net importir jagung. Sama halnya dengan komoditi Kedelai (soybeans), dengan produksi sekitar 908 ribu ton pada tahun 2010, Indonesia berkontribusi sekitar 83,62 persen dari total produksi kedelai ASEAN-5, dan Indonesia berada pada peringkat 10 dunia sebagai produsen kedelai. Akan tetapi selama dua dua dekade terakhir Indonesia adalah net importir kedelai yang cukup besar, bahkan pada tahun 2009, Indonesia berada pada urutan ke 10 dunia sebagai importir kedelai terbesar dunia. Dalam kurun waktu 2005-2009, Indonesia mengimpor kedelai rata-rata sebesar 1,39 juta ton per tahun, yang berarti jumlah impor kedelai Indonesia jauh di atas kemampuan produksinya. Kondisi serupa juga terjadi untuk komoditi kacang tanah (groundnuts) di mana dari total produksi kiacang tanah ASEAN-5 Indonesia berkontribusi sekitar 91,18 persen. Pada tahun 2010, Indonesia adalah produsen kacang tanah terbesar ke tujuh dunia, namun pada tahun 2009 Indonesia juga sebagai importir terbesar kedua setelah Uni Eropa. Rata-rata impor kacang tanah Indonesia selama kurun waktu 2005-2009 sebesar 67,18 ribu ton per tahun (sekitar 8,6 persen dari produksi nasional). Lebih lanjut, untuk komoditi gandum, satu-satunya negara di ASEAN-5 yang memproduksi gandum hanyalah Thailand, dengan produksi sekitar 1.100 ton pada tahun 2010. Sedangkan negara-negara ASEAN-5 lainnya, sebagai importir gandum. Selanjutnya, untuk komoditi-komoditi perkebunan, data yang disajikan pada tabel 23 menunjukkan bahwa sebagian besar komoditi perkebunan yang masuk daftar komoditi utama ASEAN-5, sentra produksinya terkonsentrasi di Indonesia, kecuali tanaman karet alam (natural rubber) dan tebu (sugar cane) dimana Thailand adalah produsen utamanya di ASEAN-5. Gambaran tersebut menjelaskan bahwa potensi komoditi perkebunan di ASEAN-5 terutama berasal dari Indonesia. Komoditi perkebunan yang memiliki nilai produksi tertinggi di ASEAN-5 ditempati oleh komoditi minyak sawit yang merupakan hasil ekstraksi
149 dari buah sawit (oil palm fruit). Dari ekstraksi tersebut selain menghasilkan minyak sawit juga menghasilkan komoditi biji sawit (palm kernel) dimana biji sawit ini juga merupakan salah satu komoditi yang masuk dalam daftar lima belas komoditi utama ASEAN-5. Pada tahun 2010 total produksi buah sawit di ASEAN-5 berjumlah 179,6 juta ton dan berkontribusi sekitar 85,14 persen terhadap total produksi buah sawit dunia. Dari total produksi buah sawit ASEAN-5, Indonesia berkontribui sekitar 47,89 persen, Malaysia sekitar 47,24 persen dan Thailand berkontribusi 4,58 persen. Dalam peta produksi buah sawit dunia, ketiga produsen buah Sawit di ASEAN-5 tersebut secara berturut-turut menempati posisi teratas sebagai produsen buah sawit terbesar dunia. Selain itu, pada tahun 2009, Indonesia dan Malaysia juga menempati posisi teratas sebagai eksportir terbesar minyak sawit dunia, sedangkan Thailand hanya menempati posisi ke enam belas besar sebagai eksportir minyak sawit dunia. Selain ketiga produsen buah sawit terbesar ASEAN-5 yang sudah disebutkan, dalam peta perdagangan minyak sawit dunia Singapura, juga diposisikan sebagai eksportir terbesar ke enam dunia dalam mengekspor minyak sawit, padahal negara ini tidak memproduksi bahan bakunya (buah sawit). Gambaran ini menunjukkan bahwa, bisa jadi Singapura memanfaatkan posisi strategisnya karena berdekatan dengan produsen buah sawit terbesar dunia, untuk mengembangkan industri pengolahan minyak sawit atau berperan sebagai perantara (re-ekspor) dalam perdagangan minyak sawit dunia.
150
150 Tabel 23
No.
A
Kontribusi Produksi Masing-masing Negara terhadap Produksi Komoditi Utama ASEAN-5, dan Komparasi Pertumbuhannya dengan Produksi China dan Dunia Periode 1991-2010 Komodit
Produksi komoditi utama masing-masing negara ASEAN-5 tahun 2010 (Ribu Ton) Indonesia
Malaysia
Philippines
Singapura
2.548
15.772
-
Share produksi masing-masing negara terhadap produksi komoditi utama ASEAN-5 tahun 2010 Indonesia Malaysia Philippines Singapura Thailand ASEAN-5
Thailand
ASEAN-5
31.597
116.328
57,09
2,19
13,56
-
27,16
100,00
Tanaman Pangan 1
Rice, paddy
66.412
2
Maize
18.364
36
6.377
-
4.454
29.232
62,82
0,12
21,81
-
15,24
100,00
3
Cassava
23.909
465
2.101
-
22.006
48.480
49,32
0,96
4,33
-
45,39
100,00
4
Groundnuts
780
0
30
-
45
855
91,18
0,05
3,46
-
5,30
100,00
5
Soybeans
908
-
0,81
-
177
1.086
83,62
-
0,07
-
16,30
100,00
6
Wheat
-
-
-
-
1,10
1,10
-
-
-
-
100,00
100,00
B
Hortikultura 1
Tomatoes
892
83
204
0,01
176
1.355
65,81
6,15
15,08
0,00
12,97
100,00
2
Potatoes
1.061
-
125
-
133
1.318
80,46
-
9,46
-
10,08
100,00
3
Garlic
12
-
10
-
68
90
13,71
-
10,62
-
75,67
100,00
4
Bananas
5.815
295
9 101
-
1 585
16.795
34,62
1,75
54,19
-
9,44
100,00
5
Oranges
2.033
36
4,34
-
373
2.446
83,10
1,48
0,18
-
15,24
100,00
6
Pineapples
1.390
416
2.169
-
1 925
5.900
23,56
7,05
36,76
-
32,62
100,00
179.581
47,89
47,24
0,29
-
4,58
100,00
C
Tanaman Perkebunan 1
Oil palm fruit
2
Natural rubber
3
Coconuts
4 5 6
Sugar cane
7 8
86.000
84.842
516
-
-
8.223
-
3.052
7.094
39,30
12,11
5,57
-
43,02
100,00
0,17
1.298
38.021
54,33
1,39
40,87
0,00
3,41
100,00
2.788
859
395
20.655
528
15.540
Coffee, green
801
21
95
-
49
965
83,00
2,13
9,80
-
5,07
100,00
Cocoa beans
810
18
5
-
0,76
834
97,11
2,19
0,60
-
0,09
100,00
26.500
28
34.000
-
68.808
129.336
20,49
0,02
26,29
-
53,20
100,00
Tea
150
9
-
-
67
226
66,27
4,03
-
-
29,71
100,00
Tobacco
195
15
41
-
59
310
62,98
4,91
13,09
-
19,03
100,00
Sumber : Diolah dari FAOSTAT, 2012
151 Selanjutnya komoditi perkebunan lainnya yang juga merupakan komoditi utama ASEAN-5 adalah karet alam (natural rubber). Secara agregat produksi karet alam ASEAN-5 pada tahun 2010 berjumlah 7,1 juta ton dan berkontribusi sekitar 67,33 persen terhadap produksi dunia. Dari total produksi karet alam ASEAN-5 tersebut sekitar 43,02 persen diproduksi di Thailand dan sekitar 39,30 persen diproduksi di Indonesia, sisanya 12,11 persen di Malaysia dan 5,57 persen di Philipina. Dengan produksi tersebut secara berturut-turut Thailand, Indonesia dan Malaysia menempati urutan teratas sebagai produsen karet alam terbesar dunia, akan tetapi sebagai eksportir, Thailand dan Malysia menempati urutan satu dan dua terbesar dunia dan Indonesia hanya berada pada posisi ke dua belas terbesar dunia. Sedangkan untuk komoditi perkebunan kelapa (cocnuts), kopi (coffee, green) dan kakao (cacao), Indonesia selain sebagai sentra produksi utama di ASEAN-5, Indonesia juga masuk tiga besar sebagai produsen terbesar dunia. Indonesia adalah produsen terbesar pertama dunia untuk kelapa, sebagai produsen terbesar kedua kakao setelah pantai ganding dan sebagai produsen kopi terbesar ketiga setelah Brasil dan Vietnam. Demikian pula posisinya dalam perdagangan komoditi perkebunan dunia, di mana Indonesia adalah eksportir kelapa terbesar dunia, sebagai eksportir kakao terbesar ke tiga dunia dan sebagai eksportir kopi terbesar ke lima dunia. Gambaran tentang potensi masing-masing negara dalam memproduksi berbagai komoditi utama di ASEAN-5 dan China, serta posisi masing-masing negara dalam peta perdagangan dunia, menjelaskan bahwa meski negara-negara ASEAN-5, juga ikut berkontribusi cukup besar terhadap produksi berbagai komoditi pangan, khususnya padi (beras), jagung, kedelai, dan kacang tanah namun tingkat produksinya belum mampu memenuhi kebutuhan domestiknya sehingga sebagian besar negara di ASEAN-5, khususnya Indonesia merupakan net importir dari berbagai komoditi pangan tersebut. Sementara untuk komoditi perkebunan selain sebagai produsen penting dunia, negara-negara ASEAN-5, termasuk Indonesia juga merupakan negara pengekspor utama berbagai komoditi perkebunan, seperti komoditi minyak sawit, kelapa, karet, kakao dan kopi.
152 Gambaran tersebut sekaligus mangisyaratkan bahwa komoditi tanaman pertanian yang dapat dijadikan komoditi unggulan negara-negara di ASEAN-5 adalah komoditi dari kelompok tanaman perkebunan. Sebaliknya untuk China, meski beberapa komoditi perkebunan potensi produksinya cukup besar di China seperti komoditi kelapa, teh, tebu, termasuk buah sawit, namun sebagian besar dari komoditi perkebunan tersebut di mana China sebagai net importir. Bahkan China sebagai importir terbesar dunia untuk minyak sawit, dan importir terbesar kedua untuk komoditi kelapa. Sebaliknya China selain sebagai produsen padi (beras) terbesar dunia, China adalah eksportir beras terbesar kedua setelah Amerika Serikat, sedangkan untuk komoditi pangan lainnya seperti gandum, dan kedelai, meski produksi China cukup besar, namun China juga sebagai net importir. Berbeda halnya dengan komoditi hortikultura yang diproduksi China, seperti bawang putih, tomat, kentang, apel, pear, jeruk dan lain-lain, dimana posisi China, selain sebagai produsen utama dunia juga selalu masuk dalam daftar 20 terbesar negara pengekspor dunia, bahkan untuk bawang merah China adalah eksportir terbesar dunia, apel sebagai eksportir terbesar kedua, dan terbesar ke lima untuk pear. Gambaran ini mengisyaratkan bahwa potensi pertanian China terutama pada komoditi pangan, khususnya komoditi hortikuultura. 5.2.2.3. Kinerja Produksi dan Produktivitas Komooditi Utama Tanaman Pertanian ASEAN-5 dan China Pada bagian ini akan diuraikan gambaran mengenai komparasi kinerja pertumbuhan produksi dan produktivitas berbagai komoditi utama di ASEAN-5 dan China. Pada tahun 2010 China adalah produsen terbesar penghasil beras dunia, namun dari segi keneja pertumbuhan, produksi padi di China tumbuh lebih lamban dibandingkan kinerja pertumbuhan produsen padi lainnya secara global, bahkan pertumbuhannya lebih lamban dari kinerja pertumbuhan tanaman padi di negara-negara ASEAN-5. Pertumbuhan padi di China selama kurun waktu 19912010 hanya tumbuh sekitar 0,23 prsen lebih rendah dari pertumbuhan produksi padi dunia yang tumbuh sekitar 1,33 persen per tahun. Sementara ASEAN-5 secara rata-rata tumbuh cukup tinggi yakni sekitar 2,31 persen per tahun. Pertumbuhan padi paling tinggi di ASEAN-5 ditempati oleh Thailan dengan pertumbuhan sekitar 3,22 persen per tahun kemudian diikuti oleh
153 Philipina dan Indonesia dengan pertumbuhan masing-masing sekitar 2,89 persen untuk Philipina dan 2,0 persen untuk Indonesia. Dengan demikian untuk komoditi padi pertumbuhan produksi padi ASEAN-5 lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan produksi padi di China. Akan
tetapi
untuk
komoditi-komoditi
pangan
lainnya,
kinerja
pertumbuhan produksi tanaman pangan di China lebih tinggi dibandingkan kinerja pertumbuhan produksi tanaman pangan non padi di ASEAN-5. Produksi Jagung China selama kurung waktu 1991-2010, tumbuh sekitar 3,58 persen per tahun, lebih tinggi dari pertumbuhan produksi jagung di ASEAN-5 dan Dunia dalam periode yang sama. Kondisi serupa juga terjadi untuk tanaman singkong, kacang tanah dan kedelai, dimana pertumbuhan produksi China selalu melampaui kinerja pertumbuhan produksi ASEAN-5, Kecuali tanaman gandum dimana pertumbuhan produksi gandum Thailand melebihi pertumbuhan produksi gandum China, namun skala produksi gandum Thailand sangat kecil dibandingkan produksi gandum China. Selanjutnya untuk komoditi hortikultura, kinerja pertumbuhan produksi berbagai tanaman hortikultura di China memiliki tingkat pertumbuhan yang cukup mengesankan selama kurun waktu dua dekade terkahir, yakni rata-rata di atas 5 persen per tahun, kecuali tanaman nenas hanya tumbuh sekitar 4,21 persen per tahun. Produksi komoditi pisang dan tomat bahkan tumbuh di atas 9 persen per tahun, sedangkan produksi bawan merah dan jeruk tumbuh di atas 7 persen per tahun. Satu-satunya komoditi hortikultura utama yang dimiliki ASEAN-5 yang pertumbuhan produksinya melampaui China adalah jeruk dengan pertumbuhan sekitar 9,52 persen per tahun. Bahkan di Indonesia, pertumbuhan produksi komoditi ini mencapai rata-rata 16,88 persen per tahun dalam periode 1991-2010.
154 Tabel. 24
Kinerja Pertumbuhan Produksi Komoditi Tanaman Pertanian Utama ASEAN-5 dan China Periode 1991-2010. Pertumbuhan Produksi Komoditi Utama Pertanian ASEAN-5 China Tahun 1991-2010 ( persen)
No.
Komodit
ASEAN-5 Dunia
China
Indonesia
Malaysia
Philippines
Singapura
Thailand
Ratarata
Tanaman Pangan
A 1
Rice, paddy
1,33
0,23
2,00
1,60
2,89
-
3,22
2,31
2
Maize
3,09
3,58
5,81
1,95
1,75
-
1,27
3,49
3
Cassava
2,10
1,94
2,26
0,79
0,74
(29,22)
1,38
1,45
4
Groundnuts,
2,72
5,14
(0,93)
(9,18)
(0,49)
-
(5,56)
(1,44)
5
Soybeans
4,71
2,48
(1,30)
-
(5,56)
-
(5,00)
(2,33)
6
Wheat
0,61
1,02
-
-
-
-
5,14
5,14 6,63
B
Hortikultura 1
Tomatoes
3,39
9,01
10,12
16,99
0,85
(11,87)
9,79
2
Potatoes
1,14
5,02
3,63
-
4,69
-
11,96
3,87
3
Garlic
5,57
7,04
(8,92)
-
(1,34)
-
(1,47)
(4,14)
4
Bananas
4,03
9,79
4,96
(2,39)
4,95
-
1,42
3,88
5
Oranges
1,78
8,41
16,68
7,47
(3,57)
-
1,89
9,52
6
Pineapples
2,69
4,21
9,94
3,70
3,32
-
1,08
2,76
C
Tanaman Perkebunan 1
Oil palm fruit
6,52
1,20
10,97
5,40
6,25
-
11,38
7,52
2
Natural rubber
3,62
5,17
4,14
(1,50)
15,95
-
3,99
2,94
3
Coconuts
1,97
9,37
2,84
(3,12)
2,09
(6,03)
(0,13)
2,06
4
Coffee, green
1,80
10,66
3,60
6,72
(1,30)
-
1,02
2,34
5
Cocoa beans
2,88
-
10,05
(11,49)
(3,08)
-
7,29
4,29
6
Sugar cane
2,49
3,34
(0,00)
(9,85)
1,71
-
4,99
2,23
7
Tea
3,00
4,99
0,12
5,61
-
-
12,71
1,71
8
Tobacco,
0,60
2,60
1,81
4,34
(2,13)
(33,21)
0,69
0,36
Sumber : Diolah dari FAOSTAT, 2012
Lebih lanjut untuk komoditi pertanian dari kelompok perkebunan, yang merupakan kelompok komoditi andalan ASEAN-5, namun dilihat kinerja pertumbuhannya, tampaknya hanya komoditi kelapa sawit yang memiliki pertumbuhan produksi di atas pertumbuhan produksi China, sedangkan untuk komoditi perkebunan lainnya secara relatif tumbuh lebih lamban dibandingkan pertumbuhan produksi dari komoditi serupa di China. Tiga komoditi perkebunan China yang saat ini mengelami laju pertumbuhan produksi cukup tinggi yakni komoditi kopi dengan pertumbuhan sekitar 10,66 persen per tahun, sementara di ASAN-5 komoditi ini hanya memiliki pertumbuhan produksi sekitar 2,34 persen per tahun. Selain itu produksi kelapa di China juga dalam dua dekade terakhir juga mengalami loncatan pertumbuhan yang cukup tinggi yakni dengan
155 pertumbuhan produksi sekitar 9,37 pesen per tahun dan keret alam dengan pertumbuhan produksi sekitar 5,17 persen per tahun. Selanjutnya dilihat dari produktivitas berbagai komoditi utama di ASEAN-5 dan China, menunjukkan bahwa secara keseluruhan produktivitas lahan usahatani berbagai komoditi tanaman pangan di China lebih tinggi dibandingkan produktivitas usahatani serupa di ASEAN-5. Di China usahatani padi dapat menghasilkan produksi sekitar 65,5 Kw
per hektar sementara di
ASEAN-5 hana rata-rata menghasilkan 38,23 Kw per hektar. Pada tahun 2010, produktivitas usahatani padi di ASEAN-5 tertinggi di Indonesia dengan produktivitas sekitar 50,14 Kw per Ha. Tanaman singkong di China dapat di hasilkan sekitar 16,8 ron per hektar, sementara di ASEAN-5 secara rata hanya sekitar 14,8 ton per hektar, sebagai catatan bahwa Indonesia dan Thailand memiliki produktivitas di atas produktivitas singkong China. Tabel. 25.
No. A 1 2 3 4 5 6 B 1 2 3 4 5 6 C 1 2 3 4 5 6 7 8
Produktivitas Komoditi Utama Tanaman Pertanian di Masingmasing Negara ASEAN-5 dan China Tahun 2010 Produktiviyas Komoditi Utama Pertanian ASEAN-5 China Tahun 2010 (Kw/Ha)
Komodit Tanaman Pangan Rice, paddy Maize Cassava Groundnuts Soybeans Wheat Hortikultura Tomatoes Potatoes Garlic Bananas Oranges Pineapples Tan. Perkebunan Oil palm fruit Natural rubber Coconuts Coffee, green Cocoa beans Sugar cane Tea Tobacco
Dunia
China
ASEAN-5 Indonesia
Malaysia
Philippines
Singapura
Thailand
43,74 52,15 124,36 15,64 25,55 30,00
65,48 54,60 168,22 34,54 17,71 47,49
38,23 41,64 148,17 16,77 14,91 10,00
50,14 44,32 202,17 12,56 13,72 -
37,82 57,00 105,88 27,65 -
36,22 25,52 96,29 10,92 14,35 -
-
28,75 39,71 188,33 15,96 16,66 10,00
335,92 174,33 147,30 213,99 170,94 214,20
480,69 147,32 205,74 237,98 133,14 264,98
169,12 151,52 51,03 261,38 185,24 380,86
151,12 159,47 58,77 593,32 350,46 695,19
320,39 131,07 190,53 251,48
115,65 153,37 31,47 202,43 26,61 370,50
120,00 -
138,44 141,73 62,85 118,70 173,35 206,26
140,64 11,40 53,31 8,21 4,74 707,72 14,46 17,87
134,00 10,09 106,41 16,74 657,46 10,34 22,34
163,30 15,05 65,88 6,75 11,57 622,12 32,16 12,58
172,00 9,10 67,05 6,87 7,90 630,95 13,92 7,76
212,00 6,66 47,97 3,91 8,55 216,87 48,00 9,68
124,53 28,64 44,85 7,71 5,30 937,07 13,64
113,33 -
144,68 15,82 56,21 8,51 24,53 703,59 34,56 19,23
Sumber : Diolah dari FAOSTAT, 2012
Untuk kelompok hortikultura, keseluruhan komoditi dari kelompok ini di ASEAN-5 secara agregat memiliki kinerja produktivitas yang lebih rendah
156 dibandingkan kinerja produktivitas yang dicapai oleh tanaman hortikultura China., namun beberapa komoditi tertentu dimana beberapa negara di ASEAN-5 dapat mengungguli kinerja produktivitas tanaman hortikultura China, seperti komoditi pisang di mana produktivitas Pisang Indonesia lebih tinggi dibanding China, demikian pula untuk komoditi tomat, oranges dan nenas dimana produktivitas usaha tani tersebut di China lebih rendah dibandingkan produktivitas tanaman serupa di Indonesia. Selanjutnya untuk komoditi dari kelompok perkebunan, tampaknya sebagian besar komoditi perkebunan utama di ASEAN-5 memiliki produktivitas usahatani yang lebih tinggi dibandingkan produktivitas komoditi serupa di China, terutama untuk komoditi seperti buah sawit, karet alam, kakao, dan teh. Tetapi untuk komoditi seperti kelapa, kopi, tebu dan tembakau tampaknya produktivitas usahatani di China lebih tinggi dibandingkan produktivitas komoditi serupa di ASEAN-5. Hal tersebut menjelaskan bahwa secara umum kinerja produksi maupun produktivitas untuk berbagai komoditi tanaman pangan di China relatif lebih baik dibandingkan kinerja komoditi serupa diberbagai negara ASEAN-5, sebaliknya untuk kelompok tanaman perkebunan, umumnya produktivitas di ASEAN-5 lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas komoditi serupa di China. Gambaran tersebut sekaligus menjelaskan bahwa potensi pertanian di ASEAN-5 dan China berbeda, China tampaknya produktif dalam menghasilkan komoditi pangan dan hortikultura, sedangkan ASEAN-5 lebih produktif mnghasilkan komoditi perkebunan. Perbedaan potensi pertanian ASEAN-5 dan China tentunya akan memberi konsekuensi terhadap perbedaan dampak liberalisasi pertanian pada kinerja sektor pertanian di masing-masing negara ASEAN-5 dan China. Keragaman potensi produksi pertanian antaran China dan negara-negara ASEAN-5 memungkinkan setiap negara dapat memperoleh manfaat dari perdagangan internasional, sepanjang masing-masing negara dapat terkonsentrasi pada keunggulan masing-masing negara.
VI. DAYASAING DAN TRANSMISI HARGA BERBAGAI KOMODITI UTAMA TANAMAN PERTANIAN SERTA DAMPAK LIBERALISASI TERHADAP PEREKONOMIAN ASEAN-5 DAN CHINA 6.1.
Komparasi Dayasaing Sektor Pertanian antar Negara-negara ASEAN-5 dan China Komparasi dayasaing komoditi pertanian dalam studi ini menganalisis dari
dua sisi, yakni dari sisi supply dan dari sisi demand. Dayasaing dari sisi supply mengacu pada konsep keunggulan komparatif (comparative adventage), dimana indikatornya didasarkan pada Total Factor Productivity (TFP). Sedangkan dari sisi demand, dayasaing komoditi pertanian masing-masing negara-negara didasarkan pada indikator Revealed Comparatif Adventages (RCA) serta indikator pangsa pasar. Pembahasan terperinci mengenai hasil analisis dayasaing pertanian negara-negara ASEAN-5 dan China diuraikan sebagai brikut. 6.1.1. Total Factor Productivity (TFP) sebagai Indikator Dayasaing Komoditi Pertanian dari Sisi Supply Negara-negara ASEAN-5 dan China Konsep dayasaing dari sisi supply dalam studi ini merujuk pada konsep keunggulan komparatif (comparative adventage) dalam teori-teori perdagangan internasional, yakni konsep yang menekankan pentingnya berspesialisasi pada komoditi yang memiliki efisiensi paling tinggi, dimana efisiensi ini dicerminkan dari ukuran produktivitas faktor. Nicholson (1994) menyebutkan bahwa produktivitas faktor adalah ukuran efisiensi karena secara teknis mengacu pada perbandingan output dan input. Wilayah yang memiliki limpahan faktor tertentu seperti tenaga kerja, modal, sumberdaya alam atau teknologi, akan memiliki produktivitas faktor yang relatif lebih tinggi dibandingkan wilayah lain dalam menghasilkan komoditi tertentu. Dengan demikian ukuran produktivitas faktor dapat dijadikan sebagai indikator dayasaing komoditi dari sisi supply. Keragaman limpahan faktor seperti tenaga kerja, modal, sumberdaya alam dan teknologi diantara negara negara yang tergabung dalam ACFTA memungkinkan perbedaan produktivitas faktor dalam menghasilkan komoditi tertentu dan sekaligus berimplikasi pada keragaman dayasaing komoditi yang dihasilkan masing-masing negara. Ukuran produktivitas yang digunakan dalam
158 studi ini yang sekaligus mencerminkan indikator dayasaing komoditi dari sisi supply di masing-masing negara anggota ACFTA adalah ukuran total factor productivity (TFP). Nilai TFP dalam studi ini diturunkan dari fungsi produksi Cobb-Douglas yang secara matematis dirumuskan sebagai berikut. Y A L K H 1
Dimana
Y
= Nilai produksi (Output) tanaman pertanian (Crops) menurut harga konstan 2004-2006 dalam US Int $ Ribu
L
= Tenaga Kerja Pertanian (labor) dalam ribu jiwa
K
= Indeks nilai Persediaan Modal Bersih dari mesin-mesin pertanian (Machinery and equipment) dan penanaman tanaman (plantation crops) (2005 =100)
H
= Lahan tanaman pertanian (Arable Land + Permanent Cropland) dalam Ribu Ha.
A
= Pergeseran fungsi produksi Untuk keperluan perhitungan TFP, maka dilakukan transformasi terhadap
fungsi produksi Cobb-Douglas, dan menghasilkan
GTFP GY GL GK (1 )GH Dimana G merepresentasikan pertumbuhan variabel dan , merepresentasikan proporsi biaya (cost share) dari masing-masing faktor produksi L dan K. TFP adalah perubahan dalam output yang tidak dapat dijelaskan oleh perubahan dalam input dengan kata lain merupakan jumlah pertumbuhan yang tersisa (residu) setelah dikurangkan dengan kontribusi pertumbuhan masingmasing input (faktor produksi) yang terukur. TFP ini seringkali digunakan sebagai ukuran kemajuan teknologi atau peningkatan efisiensi tenaga kerja. Banyak hal yang dapat mempengaruhi TFP ini, misalnya meningkatnya pengetahuan tentang metode produksi yang lebih baik, peningkatan keterampilan pekerja, peningkatan modal fisik seperti mesin, infrastruktur dan lainnya yang dapat meningkatkan efisiensi produksi, pokoknya TFP mencakup apa pun yang dapat mengubah hubungan diantara input dan output (Mankiw,2003).
159 6.1.1.1.
Output dan Input Primer Untuk Pengukuran TFP Tanaman Pertanian (crops) ASEAN-5 dan China Untuk mengukur TFP tanaman pertanian di masing-masing negara
ASEAN-5 dan China, kami menggunakan data tahunan FAO untuk data output dan data input-input primer (Tenaga Kerja, Modal dan Lahan) selama kurun waktu 1961-2010 dan dalam beberapa kasus data-data input primer di update dengan metode rata-rata bergerak tiga tahun (moving-average), atau data statistik dari sumber lain. Untuk output, kami menggunakan data publikasi FAO mengenai data agregat nilai produksi tanaman pertanian (crops) menurut harga konstant 2004-2006 dalam US Int $ tahun 1961-2010 Input dalam studi ini terdiri dari tiga input primer yakni masing-masing input tenaga kerja, input modal dan input lahan. Data tenaga kerja yang digunakan adalah data mengenai jumlah populasi yang bekerja di sektor pertanian (total economically active population in Agriculture) yang dipublikasi oleh FAO dari tahun 1980-2010. Selanjutnya data faktor primer modal yang digunakan adalah persediaan modal bersih pertanian yang dijumlahkan dari persediaan modal bersih mesin-mesin pertanian (Mavhnery and equipment) dan persediaan modal bersih tanaman pertanian (plantation crops), publikasi FAO dari tahun 1975-2007. Nilai persediaan modal bersih tersebut kemudian ditransformasi menjadi nilai indeks dengan harga konstan 2005 =100. Sedangkan data lahan adalah mencakup lahan subur dan lahan tanaman permanen (Arable land and Permanent Crop) yang juga di publikasi oleh FAO selama kurun waktu 1961-2009. Adapun nilai rata-rata dari data output dan input yang digunakan untuk mengestimasi TFP pertanian untuk ASEAN-5 dan China disajikan pada Tabel 26 berikut.
160 Tabel 26.
Negara
Rata-rata Nilai Produksi dan Pertumbuhan Nilai Produksi Tanaman Pertanian (Crops) ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010 Rata-rata Nilai Produksi Tanaman Pertanian (Crops), HK 2004-2006, US Int $ Juta 01-10 61-10 61-85 86-00
Rata-rata Pertumbuhan Nilai Produksi Tanaman Pertanian ( %)
61-85
86-00
01-10
61-10
China
105.554
212.316
299.251
166.555
3,81
4,15
3,07
3,71
ASEAN-5
35.964
66.285
89.948
53.153
3,74
2,53
3,50
3,44
Indonesia
15.662
31.247
43.299
24.496
3,81
2,39
4,61
3,68
Malaysia
3.669
6.915
10.057
5.635
4,58
2,92
3,20
3,96
Philippines
7.068
10.895
14.199
9.308
3,18
1,49
3,20
2,84
Singapura
13,9
1,1
2,7
9,1
(5,12)
(5,18)
18,77
(0,25)
Thailand
9.551
17.228
22.390
13.704
4,06
3,51
1,77
3,48
ASEAN
46.933
87.524
125.187
71.193
3,42
3,23
3,81
3,46
Sumber : Diolah dari FAOSTAT, 2012
Secara umum gambaran rata-rata nilai produksi tanaman pertanian (crops) setiap periode pada negara-negara ASEAN-5 secara agregat hanya kira-kira seper tiga dari rata-rata nilai tanaman pertanian China, selama periode 1961-1985, bahkan semakin kurang untuk periode berikutnya. Hal tersebut disebabkan karena nilai agregat dari tanaman pertanian China memiliki laju pertumbuhan nilai produksi yang lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhnan nilai produksi tanaman pertanian ASEAN-5 secara agregat. Secara rata-rata pertumbuhan tanaman pertanian China selama periode 1961-2010 tumbuh sekitar 3,71 persen dan pucak pertumbuhan nilai produksi tanaman pertanian China terjadi pada periode 1986-2000 dengan pertumbuhan sekitar 4,15 persen pertahun. Sementara ASEAN-5 secara agregat dalam periode 1961-2010 hanya tumbuh sekitar 3,44 persen per tahun, bahkan ketika pertumbuhan China mencapai puncaknya pertumbuhan tanaman pertanian ASEAN-5 justru berada pada titik terendah. Puncak pertumbuhan nilai produksi tanaman pertanian ASEAN-5 secara agregat dicapai pada periode 1961-1985. Selanjutnya perbandingan nilai
produksi
tanaman pertanian dan
pertumbuhannya diantara negara-negara ASEA-5 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki rata-rata nilai produksi tertinggi, kemudian diikuti oleh Thailand, sedangkan rata-rata nilai produksi terendah ditempati oleh Singapura dan Malaysia. Selama periode 1961-2010 rata-rat nilai produksi tanaman pertanian Indonesia mencapai sekitar US $ 24.496 juta atau kira-kira hampir separuh (46,1
161 persen) dari rata-rata nilai produksi tanaman pertanian ASEAN-5 secara agregat dalam periode yang sama. Rata-rata pertumbuhan nilai produksi tanaman pertanian Indonesia selama periode 1961-2010 tidak mengecewakan, yakni tumbuh rata-rata sekitar 3,68 persen per tahun. Rata-rata pertumbuhan nilai produksi tanaman pertanian Indonesia tersebut lebih tinggi dari rata-rata nilai pertumbuhan tanaman pertanian ASEAN-5 secara agregat, serta lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan tanaman pertanian ASEAN secara agregat, namun sedikit lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan tanaman pertanian China dan Malaysia dalam periode yang sama. Puncak pertumbuhan tanaman pertanian Indonesia terjadi pada periode 2001-2010 dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 4,61 persen, sedangkan titik terendah pertumbuhan tanaman pertanian Indonesia terjadi pada periode 1986-2000. Pada Tabel 26 diatas juga terlihat bahwa titik terendah pertumbuhan tanaman pertanian di sebagian besar negara-negara ASEAN-5, kecuali Thailand, terjadi pada periode 1991-2010. Tekanan pertumbuhan tanaman pertanian yang dialami oleh negara-negara ASEAN-5 pada periode ini, diduga terkait gangguan iklim yang tidak bersahabat, ketika hempasan badai kering El Nino tahun 19971998 yang melanda sebagian wilayah ASEAN yang bersamaan waktunya dengan bencana krisis moneter di akhir tahun 1997 di kawasan ini. Bencana alam ini sudah barang tentu menurunkan produksi dan produktivitas pertanian sehingga pertumbuhan nilai produksinya juga terhempas ke titik terendah. Thailand adalah negara ASEAN-5 yang memiliki kinerja pertumbuhan tanaman pertanian yang sedikit berbeda dengan negara-negara ASEAN-5 lainnya. Terlihat bahwa titk terendah dari prtumbuhan tanaman pertanian Thailand justru terjadi pada periode akhir (2001-2010). Selanjutnya
rata-rata
nilai
input
primer
yang digunakan
untuk
mengestimasi nilai TFP tanaman pertanian di masing-masing negara ASEAN-5 dan China, menunjukkan bahwa, China memang mendapat karunia limpahan sumberdaya yang melimpah untuk mendukung sektor pertanian, khususnya limpahan sumberdaya tenaga kerja dan sumberdaya alam (lahan). Secara rata-rata selama selama satu dekade terkahir (1961-2010) jumlah penduduk China yang bekerja di sektor pertanian sebanyak 384,8 juta jiwa, jumlah tersebut jauh
162 melampaui jumlah tenaga kerja pertanian di ASEAN-5 secara agregat pada periode yang sama. Penduduk bekerja di sektor pertanian secara agregat di ASEAN-5 pada periode tersebut hanya sebanyak 64,1 juta jiwa atau hanya sekitar 1/6 dari jumlah penduduk China yang berkerja di sektor yang sama. Selain limpahan tenaga kerja, China juga memiliki limpahan sumberdaya lahan yang sangat luas. Secara rata-rata luas lahan untuk tanaman pertanian di China selama periode 1961-2010 mencapai 117,1 juta Ha, sementara di ASEAN-5 secara agregat hanya sekitar 62,84 juta Ha atau sekitar separuh
dari lahan
pertanian China pada periode yang sama. Dari segi sumberdaya modal, sektor pertanian China juga didukung oleh modal yang cukup besar, dibandingkan di ASEAN-5 secara agregat. Selama periode 1961-2010, rata-rata nilai persediaan modal bersih tanaman pertanian China (modal bersih dari mesin-mesin pertanian dan tanaman pertanian) selama periode 1961-2010 senilai US $ 39,2 juta, sementara ASEAN-5 secara agregat hanya sekitar US $ 19,3 juta. Selanjutnya perbandingan rata-rata nilai input primer untuk tanaman pertanian diantara negara-negara ASEAN-5 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki limpahan tenaga kerja dan sumberdaya lahan paling besar diantara negara-negara ASEAN-5, kemudian diikuti oleh Thailand. Rata-rata jumlah tenaga kerja pertanian di Indonesia selama periode 1961-2010 sekitar 54,83 persen dari total tenaga kerja ASEAN-5, sedangkan sumberdaya lahannya sekitar 48,14 persen dari lahan pertanian ASEAN-5 secara agregat.
163
Tabel. 27
Rata-rata Nilai dan Pertumbuhan Input Primer Tanaman Pertanian (Crops) ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010
Negara
No. A 1 2 a b c d e 3 B 1 2 a b c d e 3
Input Tenaga Kerja Pert (Ribu Jiwa)*
61-85
86-00
Persediaan Modal Bersih, HK 2005, (US $ , a) Juta)** 01-10 61-10 61-85 86-00
01-10
61-10
504.682 83.733 49.031 1.741 13.019 2,5 19.941 136.549
384.762 64.071 35.135 2.002 9.520 15,9 17.398 101.635
29.457 14.699 1.820 227 2.034 32,6 10.605 41.066
41.029 24.593 8.736 569 2.482 64,5 13.115 87.858
66.414 27.757 9.746 598 3.584 64,9 13.793 101.785
(0,05) 0,13 0,22 (1,36) 0,78 (1,50) (0,40) 0,59
3,11 2,40 3,30 (0,79) 2,58 (4,54) 1,38 2,45
2,29 1,37 4,98 2,88 0,34 17,31 0,82 2,23
2,02 2,91 6,92 3,28 1,54 0,45 1,06 3,93
6,10 0,71 (0,07) (0,02) 4,69 0,02 0,44 0,91
Input Lahan Tan. Pert (Ribu Ha)***
61-85
86-00
01-10
61-10
39.157 19.315 4.725 367 2.429 45,5 11.726 62.165
108.589 56.663 26.953 4.909 8.511 9,0 16.367 76.549
131.998 68.522 31.164 7.543 9.845 1,5 19.968 90.705
128.279 75.241 38.809 7.595 9.957 1,1 18.888 100.919
117.131 62.839 30.253 5.973 9.072 5,9 17.589 84.384
2,83 1,61 4,70 2,47 1,45 10,34 0,78 2,29
0,81 1,26 0,73 1,95 1,26 (5,23) 2,07 1,00
0,06 0,21 0,81 0,92 (0,19) 3,38 (0,79) 0,41
(0,62) 0,99 1,86 (0,01) 0,62 (2,67) (0,06) 1,09
0,35 0,99 0,98 1,34 0,83 (2,95) 1,06 0,90
Rata Rata Nilai Input Primer China ASEAN-5 Indonesia Malaysia Philippines a) Singapura
306.986 498.184 52.296 79.638 26.977 45.654 2.135 1.877 7.562 11.835 24,0 4,8 Thailand 15.598 20.268 ASEAN 81.760 125.892 Pertumbuhan Input Primer (%) China 5,12 0,45 ASEAN-5 3,75 0,73 Indonesia 5,09 1,22 Malaysia (0,71) (0,44) Philippines 3,62 1,36 Singapura (6,34) (2,36) Thailand 2,66 (0,56) ASEAN 3,58 1,04
Sumber : Diolah dari FAOSTAT, 2012 Keterangan : * = Penduduk bekerja di sektor pertanian ** = Nilai bersih persediaan modal untuk mesin-mesin pertanian (Machinery & Equipment) dan tanaman pertanian (Plantation Crops) *** = Lahan tanaman pertanian (Arable land and permanent crops) a) = Variabel Modal untuk Singapura menggunakan Jumlah Unit mesin-mesin pertanian (Tractors Agric and Harvesters-Threshers)
163
164 Pada Tabel 27 diatas juga terlihat bahwa pertumbuhan input tenaga kerja dan persediaan modal untuk tanaman pertanian di China secara rata-rata tumbuh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan input serupa di ASEAN-5 secara agregat. Selama periode 1961-2010. Selama periode tersebut tenaga kerja pertanian di China tumbuh sekitar 3,11 persen, sementara pertumbuhan tenaga kerja ASEAN5 dalam periode yang sama hanya sekitar 2,40 persen per tahun. Puncak pertumbuhan tenaga kerja pertanian China terutama terjadi pada periode 19611985, sedangkan dalam periode 2001-2010 tenaga kerja pertanian China tumbuh secara negatif. Mirip dengan pola pertumbuhan tenaga kerja China, pertumbuhan tenaga kerja pertanian ASEAN-5 secara agregat juga paling tinggi pada periode awal dan terendah pada periode akhir (2001-2010). Selanjutnya untuk input primer modal, tampaknya pertumbuhan modal pertanian di China mengalami perkembangan paling pesat pada periode 20012010, sementara pertumbuhan tertinggi modal pertanian di ASEAN-5 terjadi pada periode 1986-2000. Sedangkan untuk input lahan, pertumbuhan lahan tanaman pertanian di China mencapai puncaknya pada periode awal (1961-1985) demikian pula puncak pertumbuhan lahan ASEAN-5 secara agregat, akan tetapi lahan tanaman pertanian China pada periode 2000-2010 mengalami kemerosotan pertumbuhan, yakni secara rata tumbuh secara negatif sebesar -0,62 persen, sementara lahan tanaman pertanian ASEAN-5 sepanjang periode tumbuh secara positif yakni tumbuh sekitar 0,99 persen selama periode 1961-2010, sementara China dalam periode yang sama hanya tumbuh sekitar 0,35 persen per tahun. Lebih lanjut, perbandingan pertumbuhan berbagai input primer diantara negara-negara ASEAN-5 memperlihatkan bahwa pertumbuhan tenaga kerja dan pertumbuhan modal tanaman pertanian Indonesia selama periode 1961-2010 memiliki pertumbuhan paling tinggi diantara negara-negara ASEAN-5. Puncak pertumbuhan tenaga kerja Indonesia terjadi pada periode 1961-1985 dengan pertumbuhan sekitar 5,09 persen per tahun, sedangkan untuk modal sepanjang periode pertumbuhan modal tanaman pertanian Indonnesia tumbuh diatas 4 persen per tahun, kecuali pada periode 2001-2010 tumbuh secara negatif. Sedangkan untuk sumberdaya lahan, tampaknya pertumbuhan lahan tanaman pertanian tertinggi diraih oleh Malaysia dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 1,34 persen
165 per tahun sementara Indonesia dalam periode yang sama hanya tumbuh sekitar 0,98 persen per tahun. Limpahan tenaga kerja pertanian yang sangat besar di China, menyebabkan tingginya intensitas penggunaan tenaga kerja pada usaha pertanian di China. Tingkat intensitas penggunaan tenaga kerja pertanian di China selama periode 1961-2010, secara rata-rata mencapai 3-4 orang lebih per hektar lahan, sementara untuk ASEAN-5 secara agregat intensitas penggunaan tenaga kerja pertanian hanya 1 orang per hektar. Di ASEAN-5 tercatat Singapura memiliki intensitas penggunaan tenaga kerja tertinggi yakni sekitar 2-3 orang per hektar. Tingginya intensitas penggunaan tenaga kerja pertanian Singapura, karena memang negara ini memiliki lahan pertanian yang sangat terbatas, kira-kira 1/5000 dari lahan pertanian Indonesia. Selain itu intesitas penggunaan tenaga kerja pertanian di Singapura juga terus mengalami penurunan dalam dua dekade terakhir. Pada periode 1991-200 intensitas penggunaan tenaga kerja di Singapura sebanyak 3,21 orang per hektar menurun pada periode berikutnya menjadi 2,36 orang per hektar. Setelah Singapura, Indonesia menempati urutan kedua dalam intensitas penggunaan tenaga kerja, yakni rata-rata 1,14 orang per hektar selama periode 1961-2010. China, selain memiliki sumberdaya lahan yang sangat besar, kualitas lahan tanaman pertanian juga jauh lebih baik dibandingkan kondisi lahan pertanian di negara-negara ASEAN-5. Hal ini dibuktikan dengan tingginya proporsi lahan beririgasi di China. Sejak awal periode, proporsi lahan beririgasi dari total lahan tanaman pertanian di China mencapai diatas 40 persen, bahkan pada tahun 2009 lebih dari separuh lahan tanaman pertanian di China sudah dilengkapi sarana irigasi. Sementara di ASEAN-5 secara agregat, secara rata-rata pada periode akhir hanya sekitar 19,10 persen dari total lahan tanaman pertanian yang dilengkapi sarana irigasi. Untuk negara-negara ASEAN-5, tercatat bahwa Thailand memiliki proporsi lahan beririgasi paling tinggi yakni sekitar 32,70 persen pada periode 2000-2010. Sementara proporsi lahan beririgasi di Indonesia hanya sekitar 16,53 persen dari total lahan tanaman pertanian.
166 166
Tabel. 28. Negara
Intensitas Penggunaan Input Tanaman Pertanian (Crops) di ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010 Proporsi Lahan Irigasi Terhadap Total Lahan Tanaman Pertanian (%)
Jumlah TK Per Ha
Jumlah Traktor /1000 Ha
Penggunaan Pupuk (Kg/Ha)
61-85
86-00
01-10
61-10
61-85
86-00
01-10
61-10
61-85
86-00
01-10
61-10
61-85
86-00
01-10
61-10
China
44,19
39,77
48,43
44,12
2,79
3,78
3,95
3,22
4,20
6,68
10,92
5,91
91,89
249,74
368,03
178,19
ASEAN-5
14,15
16,90
19,10
15,67
0,91
1,16
1,11
1,00
1,51
9,59
10,17
4,77
30,16
84,96
100,23
54,84
Indonesia
14,93
15,10
16,53
15,28
0,99
1,47
1,25
1,14
1,40
11,82
10,82
5,27
32,82
80,29
88,01
53,36
Malaysia
6,00
4,77
4,81
5,51
0,45
0,25
0,23
0,36
1,47
5,33
5,70
3,06
67,56
154,49
192,31
109,42
Philippines
12,38
14,92
14,42
13,31
0,87
1,21
1,31
1,03
0,97
1,21
1,21
1,06
30,00
66,86
75,42
46,02
Thailand
16,03
25,41
32,70
21,15
0,95
1,02
1,06
0,98
1,97
11,93
15,37
6,51
15,53
75,13
101,39
44,05
ASEAN
13,97
18,41
21,24
16,28
1,05
1,39
1,35
1,18
1,42
10,36
11,81
5,17
27,17
81,86
97,21
51,74
Sumber : Diolah dari FAOSTAT, 2012
167 Pada Tabel 28 diatas juga terlihat bahwa, usaha-usaha pertanian di China selain labor intensive juga memiliki intensitas penggunaan alat-alat pertanian serta penggunaan sarana pupuk rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan ASEAN-5 secara agregat. Secara rata-rata usaha pertanian di China menggunakan traktor dan Harvester-Thresher sebanyak 5,91 unit per 1000 Ha selama periode 1961-2010, sementara di ASEAN-5 hanya sekitar 4,77 unit per 1000 Ha. Demikian pula dilihat dari penggunaan pupuk. Secara rata-rata penggunaan pupuk di China selama periode 1961-2010 mencapai 178,19 Kg per Hektar, sementara di ASEAN-5 hanya rata-rata 54,84 Kg per Hektar dalam periode yang sama. Gambaran tersebut mengisyaratkan bahwa, usaha pertanian di China selain lebih padat tenaga kerja, juga lebih padat modal dibandingkan usaha pertanian di ASEAN-5. Intensitas penggunaan alat-alat pertanian dan penggunaan pupuk di China, hanya kalah intensif dari Singgapore, dimana penggunaan alat pertanian di Singapura mencapai 25,57 unit per 1000 Ha dan penggunaan pupuknya rata-rata sekitar 2,4 ton per Ha. Produktivitas dan Proporsi Biaya (cost share) Input Primer
6.1.1.2.
6.1.1.2.1. Produktivitas Input Primer Produktivitas faktor primer yang dimaksudkan untuk mengukur besaran nilai output yang dicapai dari setiap penggunaan input perimer sebesar satu satuan. Semakin besar nilai produktivitas ini mencerinkan semakin efisien penggunaa input tersebut dengan asumsi bahwa faktor lain dianggap tetap. Produktivitas input primer diukur dari rasio antara nilai produksi kotor tanaman pertanian (crops) dalam US $ dengan jumlah unit input primer (tenaga terja, modal dan lahan) di masing-masing negara secara agregat. Seperti yang sudah jelaskan sebelumnya bahwa input primer yang digunakan untuk mengestimasi total fator productivity (TFP) tanaman pertanian di masing-masing negara ASEAN-5 dan China, terdiri dari tiga input primer yakni masing-masing tenaga kerja (labor), Persediaan modal bersih (net capital stock) dan lahan tanaman pertanian (land crops). Perbandingan produktivitas masingmasing negara ASEAN-5 dan China dari setiap input primer disajikan pada Tabel 29. Terlihat bahwa, produktivitas tenaga kerja di ASEAN-5 secara agregat lebih
168 tinggi dibandingkan produktivitas tenaga kerja di China. Selama periode 20002010, produktivitas tenaga kerja tanaman pertanian di ASEAN-5 mencapai US$ 1.092,35 per tenaga kerja. Dengan kata lain setiap 1 orang tenaga kerja pertanian di ASEAN-5 secara rata-rata selama periode tersebut dapat menghasilkan nilai produksi sebesar US$ 1,09 ribu. Sementara di China produktivitas tenaga kerjanya hanya sebesar US$ 602,14 per tenaga kerja dalam periode yang sama. Lebih rendahnya produktivitas tenaga kerja pertanian China dibandingkan ASEAN-5, disebabkan karena usaha tanaman pertanian di China jauh lebih padat tenaga kerja (lebor intensive) dibandingkan ASEAN-5. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa intensitas penggunaan tenaga kerja pada usaha tanaman pertanian di China rata-rata 3-4 orang per hektar sementara di ASEAN-5 rata-rata hanya 1 orang per hektar. Bisa jadi tingginya intensitas penggunaan tenaga kerja pada usaha pertanian di China karena biaya tenaga kerja di China relatif lebih murah dibandingkan biaya faktor produksi lainnya. Selanjutnya perbandingan produktivitas tenaga kerja diantara negaranegara ASEAN-5 menunjukkan bahwa Malaysia menempati urutan teratas dalam produktivitas tenaga kerjanya. Setiap 1 orang tenaga kerja di Malaysia rata-rata menghasilkan output sebesar US$ 6 ribu selama periode 2000-2010. Sementara dalam periode tersebut Indonesia memiliki produktivitas tenaga kerja paling rendah. Tingginya produktivitas tenaga kerja di Malaysia disebabkan karena Malaysia adalah negara ASEAN-5 yang paling hemat menggunakan tenaga kerja pada usaha-usaha pertanian. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa intensitas penggunaan tenaga kerja di Malaysia adalah paling rendah yakni rata-rata 0,23 orang per Ha selama periode 2000-2010 (Tabel 28). Dengan kata lain setiap tenaga kerja di Malaysia selama periode tersebut dapat mengerjakan lahan 4-5 Ha per orang, sementara Indonesia pada periode yang sama menggunakan tenaga kerja yang lebih intensif yakni sebanyak 1,25 orang per Ha, atau setiap tenaga kerja hanya mengerjakan lahan sekitar 0,8 Ha per tenaga kerja. Tingginya penghematan tenaga kerja di Malaysia selain disebabkan oleh upah tenaga kerja pertanian yang lebih tinggi, juga karena sebagian besar usaha tanaman pertanian di Malaysia dalam bentuk usaha perkebunan besar. Pada tahun
169 2010, sekitar 75,63 persen dari total nilai produksi tanaman pertanian Malaysia bersumber dari dua komoditi utama yakni komoditi kelapa sawit dan komoditi karet, dimana kedua usaha pertanian tersebut umunya di kelola dalam bentuk usaha perkebunan swasta, dengan demikian manajemen penggunaan tenaga kerja dapat dikelola secara profesional. Selanjutnya perbandingan produktivitas modal pada usaha tanaman pertanian China dan ASEAN-5, yang diukur dari rasio antara nilai produksi (US $) dengan jumlah unit modal (US $) yang digunakan, juga sekaligus menjelelaskan tentang perbandingan tingkat pengembaalian modal (return on investment, ROI) dari setiap unit US $ yang dinvestasikan diantara negara-negara ASEAN-5 dan China. Tingkat produktivitas modal, atau return on investment (ROI) pada usaha tanaman pertanian China lebih tinggi dibandingkan produktivitas modal di ASEAN-5 secara agregat. Secara rata-rata produktivitas modal di China selama periode 2000-2010 sebesar 4,70, sementara di ASEAN-5 sebesar 3,28 pada periode yang sama. Dengan kata lain setiap US $ 1 yang diinvetasikan pada usaha tanaman pertanian di China dapat menghasilkan output sebesar US $ 4,7, sementara di ASEAN-5 hanya sebesar US $ 3,28. Selanjutnya perbandingan tingkat produktivitas modal diantara negara-negara ASEAN-5 menunjukkan bahwa Malaysia menempati urutan teratas dengan rata-rata produktivitas modal sebesar 17,14 selama periode 2000-2010 dan terendah adalah Thailand dengan produktivitas modal sebesar 1,62 dalam periode yang sama.
170
Produktivitas Input Primer Tanaman Pertanian (Crops) ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010. Negara
No. 1 2 a b c d e 3
170
Tabel 29
Produktivitas Tenaga Kerja* (US$/TK)
Produktivitas Modal Bersih** (Nilai Output per 1 US$ Modal) 01-10 61-10 61-85 86-00
61-85
86-00
01-10
61-10
China
359,89
433,78
602,14
421,49
3,60
5,29
4,70
ASEAN-5
683,58
839,75
1.092,35
794,94
2,39
2,69
Indonesia
600,47
690,34
900,60
677,20
9,29
3,66
Malaysia
1.769,44
3.745,26
5.959,70
2.991,34
15,95
Philippines
941,74
922,73
1.103,13
969,77
Singapura
588,88
238,56
1.268,60
Thailand
595,67
863,97
ASEAN
573,00
702,19
Produktivitas Lahan*** (US$/Ha)
61-85
86-00
01-10
61-10
4,13
960,35
1.642,14
2.383,89
1.374,63
3,28
2,63
620,18
977,88
1.207,47
806,96
4,55
7,24
573,85
1.012,86
1.123,22
769,48
12,35
17,14
15,49
724,73
923,42
1.349,83
888,03
3,47
4,44
4,05
3,78
814,53
1.118,56
1.444,05
998,94
654,97
Na
Na
Na
Na
1.539,87
718,75
3.041,87
1.682,42
1.137,42
755,07
0,88
1,33
1,64
1,12
566,51
878,73
1.199,57
752,88
930,27
668,68
1,13
1,02
1,25
1,13
602,25
977,75
1.253,33
804,79
Sumber : Diolah dari FAOSTAT, 2012. Keterangan : * = Penduduk bekerja di sektor pertanian ** = Nilai bersih persediaan modal untuk mesin-mesin pertanian (Machinery & Equipment) dan tanaman pertanian (Plantation Crops) *** = Lahan tanaman pertanian (Arable land and permanent crops)
171 Selanjutnya pada Tabel 29 diatas juga terlihat komparasi produktivitas input primer lahan. Secara rata-rata produktivitas lahan di China selama periode 2000-2010 sebesar US $ 2.383,89 Per Ha atau kira-kira dua kali lipat dari produktivitas lahan di ASEAN-5 secara agregat yang nilai produktivitas lahannya hanya sebesar US$ 1.207,47 per Ha pada periode yang sama. Tingginya produktivitas lahan di China disebabkan karena infrastruktur lahan di China, jauh lebih bagus dibandingkan infrastruktur lahan di ASEAN-5 secara agregat. Hal tersebut tercermin dari proporsi lahan yang dilengkapi sarana irigasi di China jauh lebih tinggi dibandingkan di ASEAN-5 secara agregat. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa pada tahun 2009 lebih dari separuh (51,89 persen) lahan tanaman pertanian di China sudah dilengkapi sarana irigasi. Sementara lahan yang beririgasi di ASEAN-5 secara agregat hanya sekitar 18,89 persen dari total lahan tanaman pertanian pada tahun yang sama. Selain infrastruktur lahan yang bagus, tingginya produktivitas lahan di China juga diduga terkait penerapan teknologi produksi yang lebih maju dibandingkan di ASEAN-5 secara rata-rata. Hal ini tercermin dari intensitas penggunaan mekanisasi pertanian yang lebih tinggi serta penggunaan input produksi pupuk yang juga lebih tinggi dibandingkan ASEAN-5 secara agregat. Seperti yang ditunjukkan pada tabel sebelumnya (Tabel 28), memperlihatkan bahwa rata-rata penggunaan traktor di China selama periode 1961-2010 sebesar 5,91 unit per 1000 Ha sementara di ASEAN-5 hanya sebesar 4,77 unit per 1000 Ha. Demikinan pula intensitas penggunaan pupuknya jauh melampaui penggunaan pupuk di ASEAN-5. Rata-rata penggunaan pupuk di China selama periode 1961-2010 mencapai 178,19 Kg per Ha, sementara di ASEAN-5 hanya sekitar 54,84 per Ha dalam periode yang sama. 6.1.1.2.2. Proporsi Biaya (cost Share) Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya total factor productifity (TFP) tidak lain adalah nilai residual dari pertumbuhan output setelah dikurangi kontribusi masing-masing faktor (input) tehadap pertumbuhan output. Kontribusi tersebut diukur dari hasil perkalian antara pertumbuhan input dengan proporsi biaya (cost share) masing-masing input. Proporsi biaya dihitung dari rasio antara
172 biaya input tertentu (harga dikali jumlah input tertentu yang digunakan) dengan total biaya dari keseluruhan input yang digunakan dalam fungsi produksi. Harga yang dimaksud bukanlah harga nominal dari masing-masing input, melainkan harga bayangan (shadow price), atau harga yang mencerminkan kelangkaan dari masing-masing input. Shadow price adalah produksi marginal dari masing-masing input primer, yang diestimasi dari fungsi produksi dengan metode OLS (ordinary least square). Simpelnya, cost share dihitung dari
dimana
adalah produksi marginal faktor primer tertentu dan Xi adalah jumlah input Xi yang digunakan. Berdasarkan hasil perhitungan nilai proporsi biaya masin-masing input primer terhadap usaha tanaman pertanian di ASEAN-5 dan China menunjukkan bahwa proporsi biaya masing-masing input primer di China sedikit kontras dengan proporsi biaya input serupa di ASEAN-5 secara agregat. Secara rata-rata selama periode 1961-2010, input primer tenaga kerja di China yang memiliki proporsi biaya paling besar yakni sekitar 52,34 persen, kemudian lahan sebesar 45,67 persen dan modal hanya sekitar 2,0 persen. Sementara ASEAN-5 dalam periode yang sama, input primer lahan justru yang memiliki proporsi biaya paling besar yakni 60,79 persen sedangkan tenaga kerja rata-rata hanya sekitar 35,34 persen. Tingginya proporsi biaya untuk tenaga kerja dibandingkan biaya untuk input primer lainnya di China, selain disebabkan produksi marginal tenaga kerja China yang relatif lebih tinggi dibandingkan produksi marginal input lainnya, juga karena intensitas penggunaan tenaga kerja di China relatif tinggi. Sementara di ASEAN-5 tampaknya pengaruh peningkatan lahan terhadap peningkatan produksi masih paling besar dibandingkan pengaruh input lainnya. Akan tetapi ada kesamaan pola perubahan proporsi biaya dari masingmasing input antara China dan ASEAN-5 secara agregat, dimana kecenderungan peningkatan proporsi biaya dari tenaga kerja cenderung meningkat, sementara proporsi biaya dari lahan dan modal cenderung menurun. Hal ini disebabkan karena selain peningkatan produksi marginal tenaga kerja yang meningkat lebih cepat dibandingkan peningkatan produksi marginal tenaga kerja, juga karena terjadi peningkatann intensitas penggunaan tenaga kerja di China maupun di ASEAN-5 dari periode sebelumnya.
173 Tabel 30
Proporsi Biaya (cost share) dan Produksi Marginal Input Primer Tanaman Pertanian (Crops) ASEAN-5 dan China Tahun. 1961-2010 Input Tenaga Kerja Pert.
No. A 1 2 a b c d e 3
B 1 2 a b c d e 3
Negara
Input Modal Bersih Tan. Pert Rata-2 61-85 86-00 01-10 61-10
86-00
01-10
Rata-2 61-10
Proporsi Biaya (cost share) Inpout Primer (%) China 33,69 58,50 ASEAN-5 18,62 48,27 Indonesia 15,05 41,46 Malaysia 57,35 50,37 Philippines 24,56 16,21 Singapura 66,43 24,97 Thailand 25,69 32,40 ASEAN 23,36 22,69
64,82 39,15 34,99 24,76 16,52 7,81 29,67 34,12
52,34 35,34 30,50 44,16 19,10 33,07 29,25 26,73
2,43 6,80 3,24 6,70 14,72 17,47 14,34 7,14
2,81 3,17 2,41 8,21 12,09 33,47 1,33 12,54
0,74 1,64 7,53 26,88 13,18 92,10 26,12 13,68
Produksi Marginal Input Primer China ASEAN-5 Indonesia Malaysia Philippines Singapura Thailand ASEAN
1,7304 2,0072 1,1509 2,3612 0,3154 7,6109 1,3365 1,3532
2,5647 1,1677 0,8222 2,6364 0,4541 2,9524 1,1909 0,6962
0,0656 0,4334 0,4542 0,7511 0,9905 0,2822 0,5697 0,3942
0,8644 0,1796 0,1118 0,7340 0,8220 0,1509 0,1597 0,4830
0,0565 0,2072 0,5796 4,1505 0,4841 19,1260 2,5312 1,3947
61-85
0,2686 0,4325 0,5600 2,9401 0,4330 0,9793 0,4593 0,4136
5,6952 1,0634 0,7557 2,6079 0,6139 0,2671 1,7768 0,3218
Input Lahan Tan. Pert 61-85
86-00
01-10
Rata-2 61-10
2,00 3,87 4,39 13,93 13,33 47,68 13,93 11,12
63,88 74,59 81,71 35,96 60,72 16,10 59,98 69,50
38,69 48,56 56,13 41,42 71,70 41,56 66,27 64,77
34,44 59,21 57,48 48,36 70,29 0,10 44,21 52,21
45,67 60,79 65,11 41,91 67,57 19,25 56,82 62,16
0,3288 0,2734 0,3819 1,8786 0,7656 6,5197 1,0869 0,7573
0,5489 1,7067 2,9963 1,6797 1,1416 0,3358 1,0650 1,2282
4,1859 1,0826 1,0579 1,8243 1,5423 1,2410 3,6392 0,9430
1,0268 3,0638 1,9312 3,8474 1,4359 2,0999 2,0025 2,1244
1,9206 1,9510 1,9951 2,4505 1,3733 1,2256 2,2356 1,4319
Sumber : Diolah dari FAOSTAT, 2012.
173
174 Perbandingan proporsi biaya input primer diantara negara-negara ASEAN-5, seperti yang terlihat pada Tabel 30 diatas menunjukkan bahwa untuk Indonesia, Philipina dan Thaland, proporsi biaya dari lahan lebih tinggi dibandingkan proporsi biaya input primer lainnya, sementara Malaysia justru proporsi biaya dari tenaga kerja relatif lebih tinggi dibandingkan proporsi biaya input primer lainnya, pada hal Malaysia adalah negara yang paling hemat menggunakan tenaga kerja pertanian. Dengan kata lain bahwa tingginya proporsi biaya tenaga kerja di Malaysia bukanlah dari intensitas penggunaan tenaga kerja yang tinggi, melainkan dari upah tenaga kerja yang tinggi, ini tercerimin dari shadow price atau produksi marginal tenaga kerja yang secara rata-rata dua kali lebih besar dari shadow price tenaga kerja di ASEAN-5 secara rata-rata. Selanjutnya Singapura adalah satu-satunya negara di ASEAN-5 yang memiliki proporsi biaya dari input modal lebih tinggi dibandingkan proporsi biaya input primer lainnya. Secara rata-rata selama periode 1961-2010, proporsi biaya modal di Singapura sekitar 47,68 persen sementara proporsi biaya tenaga kerjanya sekitar 33,07 persen dan lahan sekitar 19,25 persen. Tingginya proporsi biaya modal di Singapura mengisyaratkan bahwa peningkatan produksi pertanian Singapura lebih bertumpu pada peningkatan modal. Hal ini juga tercermin dari nilai produksi marginal modal yang paling tinggi, selain itu, juga karena negara ini memiliki intensitas penggunaan mekanisasi pertanian yang sangat tinggi. Seperti terlihat pada Tabel Tabel 28, bahwa intensitas penggunaan alat-alat pertanian di Singapura kira-kira enam kali lipat dari penggunaan alat pertanian serupa dibandingkan China dan ASEAN-5 secara rata-rata, demikian pula penggunaan sarana produksi seperti pupuk jauh lebih intensif dibandingkan negara-negara lainnya. 6.1.1.3.
Total Factor Productivity (TFP) dan Kontribusi Input Primer terhadap Pertumbuhan Output Produktivitas fakor secara total atau total factor productivity (TFP),
merupakan salah satu sumber pertumbuhan dari sisi supply. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa TFP adalah perubahan dalam output yang tidak dapat dijelaskan oleh perubahan dalam input yakni jumlah pertumbuhan yang
175 tersisa (residu) setelah dikurangkan dengan kontribusi pertumbuhan masingmasing input (faktor produksi) yang terukur. Kontribusi masing-masing faktor terhadap pertumbuhan output diukur dari hasil perkalian antara proporsi biaya (cost share) dengan pertumbuhan input tersebut. TFP ini seringkali digunakan sebagai ukuran kemajuan teknologi atau kemajuan teknis. Untuk sektor pertanian, banyak hal yang dapat mempengaruhi TFP pertanian, misalnya meningkatnya pengetahuan petani tentang metode produksi yang lebih baik, peningkatan keterampilan pekerja pertanian, penemuan bibit ungul, penggunaan sarana produksi yang tepat, peningkatan modal fisik seperti mesin, infrastruktur lahan (irigasi) dan lainnya yang dapat meningkatkan efisiensi produksi, pokoknya TFP mencakup apa pun yang dapat mengubah hubungan diantara input dan output (Mankiw,2003). Ukuran TFP pertanian dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai ukuran dayasaing masing-masing negara dalam menghasilkan berbagai komoditi tanaman pertanian secara agregat, dimana konsep dayasaing yang dimaksud mengacu pada konsep keunggulan komparatif (comparative advanteges) yakni konsep yang menekankan pentingnya berspesialisasi pada produksi yang paling efisien berdasarkan limpahan sumberdaya dimiliki, dimana efisiensi ini tercermin dari tingkat
produktivitasnya.
Keunggulan
kompartif
suatu
negara
dalam
menghasilkan suatu produk, dapat bersumber dari limpahan sumberdaya tenaga kerja, modal, lahan, atau dari kemajuan teknologi. Laporan Bank Dunia (2005) banyak negara di dunia yang mengalami peningkatan pendapatan dramatis dan percepatan
pertumbuhan
ekonomi
tinggi
disebabkan
karena
kemajuan
teknologinya. Dengan demikian TFP pertanian sebagai ukuran kemajuan teknis dapat dijadikan salah satu tolok ukur tingkat dayasaing komoditi pertanian di suatu negara. Berdasarkan hasil
perhitungan pertumbuhan TFP tanaman pertanian
secara agregat di masing masing negara ASEAN-5 dan China, menunjukkan bahwa, secara rata-rata selama periode 1961-2010, kontribusi pertumbuhan TFP tanaman pertanian China terhadap pertumbuhan outputnya sedikit lebih tinggi dibandingkan kontribusi pertumbuhan TFP tanaman pertanian ASEAN-5 terhadap pertumbuhan output. Pertumbuhan TFP tanaman pertanian China selama periode
176 tersebut berkontribusi rata-rata sekitar 1,97 persen per tahun, sementara di ASEAN-5 sekitar 1,93 persen per tahun. Pada periode ini, Baik di China maupun di ASEAN-5, dimana lebih dari separuh pertumbuhan output tanaman pertaniannya bersumber dari kemajuan teknologi (TFP). Secara rata-rata loncatan pertumbuhan nilai produksi tanaman pertanian China terjadi pada periode 1986-2000. Pada periode ini pertumbuhan output China mencapai sekitar 4,28 persen. Tingginya pertumbuhan tanaman pertanian di China pada periode ini terutama bersumber dari pertumbuhan TFP. Pertumbuhan TFP tanaman pertanian China yang tinggi pada periode ini, sesungguhnya merupakan buntut dari reformasi ekonomi yang sudah mulai didengungkan sejak tahun 1978 di awal kepemimpinan Presiden Deng Xiophing. Beberapa langkah penting yang dirumuskan oleh Deng Xiophing dalam melancarkan reformasi ekonominya diantaranya : Penghapusan komune rakyat; penghapusan monopoli negara; Liberalisasi usaha dan majemen, pembukaan diri terhadap modal asing dan integrasi dalam ekonomi internasional (Nainggolan, 1995). Kebijakan penghapusan komune rakyat (Renmin Gongshe), penghapusan monopoli negara, termasuk reformasi tenaga kerja di awal tahun 1980-an, dinilai sebagai batu pijakan bagi loncatan pembangunan pertanian China pada periodeperiode berikutnya. Komune rakyat yang dulunya menghimpun semua fungsi pemerintahan termasuk mengurus rencana produksi nasional. Setelah komune rakyat dihapus pada september 1980,
pemerintah memperkenalkan usaha
pertanian baru yang dipropagandakan kepada khalayak luas sebagai sistem tanggung jawab (zerenzhi). Dalam mekanisme tanggungjawab tiap keluarga petani secara bersama dalam satu komune melakukan perjanjian dengan pemerintah setempat, untuk mengerjakan sebidang tanah dan mendapatkan keuntungan langsung. Areal pertanian dipercayakan kepada keluarga petani secara pribadi. Sistem baru ini membolehkan setiap tahun keluarga petani mengolah sendiri tanahnya, sehingga dengan sendirinya menghapus kebijakan kolektif pedesaan di China. Aturan baru tersebut kemudian disusul beberapa regulasi pada 1983-1984, dimana para pemilik lahan kontrak diharuskan untuk menggunakan buruh upahan (wage workers) untuk produksi dan atau menyewakan lahannya kepada petani.
177 Sistem upahan ini menggantikan sistem upah kolektif yang diterapkan sebelumnya.
Reformasi
ketenaga
kerjaan
juga
mencakup
penghapusan
pembatasan jumlah tenaga kerja, yang sebelumnya jumlah tenaga kerja keluarga yang dipekerjakan dibatasi hanya 7 orang. Selanjutnya pada tahun 1985 pemerintah juga mengelurkan kebijakan untuk menghapus sistem monopoli negara, termasuk monopoli dalam pembelian hasil panen oleh pemerintah. Urain panjang diatas mengisyaratkan bahwa bisa jadi pertumbuhan TFP yang tinggi selama periode 1986-2000 adalah imbas dari adanya ketegasan proporty right atas lahan bagi keluarga petani, sejak di gantikannya sistem pertanian berbasis kolektif (Komune Rakyat) menjadi sistem pertanian berbasis tanggung jawab keluarga yang dikuasai secara pribadi, dan beberapa rentetan kebijakan yang bersifat insetif bagi usaha pertanian pada awal hingga pertengahan 1980-an. Dengan adanya ketegasan property right ini mendorong kreativitas keluarga petani untuk mengembangkan usahataninya. Semangat keluarga petani untuk meningkatkan produktivitas usahataninya pada periode ini juga tercermin dari loncatan penggunaan alat-alat pertanian dan penggunaan pupuk yang cukup tinggi pada periode ini dibandingkan periode sebelumnya. Pada periode 19611985 penggunaan alat-alat pertanian di China hanya sekitar 4 unit per 100 Ha meningkat menjadi sekitar 7 unit per 1000 Ha pada periode 1986-2000. Demikian pula pada intensitas penggunaan pupuk meningkat drastis dari rata-rata 92 Kg per Ha periode 1961-1985 menjadi 250 Kg per Ha pada periode 1986-2000 (Tabel 28). Selanjutnya pada periode 2001-2010, meski laju pertumbuhan output tanaman pertanian China sedikit menurun dibandingkan periode sebelumnya, yang disebabkan oleh penurunan pertumbuhan tenaga kerja dan pertumbuhan lahan, namun kemajuan teknis (TFP) pertanian tanaman pertanian pada periode ini masih cukup tinggi yakni sekitar 3,27 persen per tahun. Masih tingginya TFP pertanian China pada periode diduga terkait semakin baiknya infrastruktur lahanlahan usahatani di China. Hal ini tercermin dari proporsi lahan beririgasi di China mencapai puncaknkya pada periode ini, yakni sekitar 48,43 persen dari total lahan pertaniannya, bahkan sejak tahun 2007, lebih dari separuh lahan pertanian di China sudah dilengkapi sarana irigasi. Selain perbaikan infrastruktur lahan, TFP
178 yang tinggi pada periode ini juga diduga terkait dengan semakin intensfnya penggunaan mekanisasi pertanian dan sarana produksi pertanian lainnya terutama pupuk, mencapai puncak penggunaan paling tinggi pada periode ini. Tabel 31
No.
Pertumbuhan TFP dan Kontribusi Pertumbuhan Input Primer Terhadap Pertumbuhan Output Tanaman Pertanian di ASEAN-5 dan China 1961-2010.
Negara/Periode
Pertumbuhan Nilai Produksi Pertanian (Crops) (%)
China 1961-1985 3,88 1986-2000 4,28 2000-2010 3,07 Rata-rata (1961-2010) 3,82 2 ASEAN-5 1961-1985 3,88 1986-2000 2,69 2000-2010 3,57 Rata-rata (1961-2010) 3,44 3 Indonesia 1961-1985 3,70 1986-2000 3,04 2000-2010 4,61 Rata-rata (1961-2010) 3,68 4 Malaysia 1961-1985 4,70 1986-2000 3,28 2000-2010 3,38 Rata-rata (1961-2010) 3,96 5 Philipina 1961-1985 3,26 1986-2000 1,93 2000-2010 3,20 Rata-rata (1961-2010) 2,84 6 Singapura 1961-1985 (2,08) 1986-2000 (10,02) 2000-2010 17,79 Rata-rata (1961-2010) (0,25) 7 Thailand 1961-1985 4,72 1986-2000 2,63 2000-2010 2,24 Rata-rata (1961-2010) 3,48 8 ASEAN 1961-1985 3,56 1986-2000 3,07 2000-2010 3,90 Rata-rata (1961-2010) 3,46 Sumber : Diolah dari FAOSTAT, 2012
Kontribusi Pertumbuhan Input Primer terhadap Pertumbuhan Output (% ) Tenaga Modal Lahan Kerja
Pertumbuhan TFP (%)
1
1,93 0,60 (0,04) 1,63
0,07 0,04 0,05 0,06
0,51 0,13 (0,21) 0,16
1,38 3,51 3,27 1,97
0,74 0,67 0,06 0,85
0,07 0,10 0,01 0,06
0,84 0,38 0,62 0,60
2,23 1,55 2,89 1,93
0,81 0,83 0,08 1,01
0,12 0,22 (0,01) 0,21
0,24 0,83 1,07 0,64
2,52 1,16 3,47 1,83
(0,44) (0,21) (0,29) (0,35)
0,10 0,46 0,00 0,34
0,54 0,81 (0,01) 0,56
4,50 2,21 3,68 3,40
0,84 0,38 0,11 0,53
0,00 0,24 0,51 0,24
0,83 (0,02) 0,15 0,53
1,59 1,33 2,44 1,55
(3,32) (1,46) (0,39) (0,87)
3,56 0,37 0,01 4,93
(0,60) (0,77) (0,00) (0,57)
(1,37) (8,16) 18,17 (3,74)
0,72 0,09 (0,09) 0,40
0,13 0,01 (0,04) 0,11
1,41 (0,18) (0,06) 0,60
2,46 2,72 2,43 2,37
0,89 0,35 0,20 0,66
0,10 0,58 0,11 0,25
0,58 0,57 0,61 0,56
2,00 1,57 2,99 1,99
179 Selanjutnya, pada Tabel 31 diatas juga menunjukkan bahwa diantara negara-negara ASEAN-5, Malaysia selain memiliki rata-rata pertumbuhan tanaman pertanian paling tinggi negara ini juga memiliki rata-rata kemajuan teknis (TFP) pertanian paling tinggi selama periode 1961-2010. Rata-rata pertumbuhan nilai produksi tanaman pertanian di Malaysia selama periode tersebut mencapai sekitar 3,96 persen dengan rata-rata pertumbuhan TFP sekitar 3,40 persen per tahun. Pertumbuhan nilai produksi tanaman pertanian, demikian pula pertumbuhan TFP pertanian Malaysia paling tinggi pada periode 1961-1985, yakni sekitar 4,70 persen pertahun untuk pertumbuhan output dan sekitar 4,50 persen untuk pertumbuhan TFP. Tingginya pertumbuhan TFP Malaysia dibandingkan negara-negara ASEAN-5 lainnya, diduga terkait struktur pertanian Malaysia yang memang sejak awal cenderung mengembangkan subsektor pertanian modern (perkebunan), terutama tanaman kelapa sawit, dimana sebagian besar usaha tanaman sawit di Malaysia dikelola dalam bentuk perkebunan swasta, sehingga memungkinkan menerapkan teknologi-teknologi produksi yang lebih baik.
Sinaga
dan
Siregar
(2006)
menyebutkan
bahwa
dalam
bidang
perkelapasawitan, Indonesia hanya unggul dari luas areal dan biaya produksi terhadap Malaysia, sedangkan untuk produksi dan produktivitas tandan buah segar (TBS) dan minyak sawit serta rendemen minyak sawit Malaysia lebih bagus. Lebih lanjut dijelaskan bahwa produktivitas TBS Indonesia hanya sekitar 14-16 ton per ha, sedangkanMalaysia mencapai sekitar 18-21 ton per ha. Produktivitas minyak sawit Indonesia yang pada tahun 2005 sebesar 3,54 ton per ha juga lebih rendah dibandingkan Malaysia yakni sekitar 4,20 ton per ha. Pengembangan komoditi kelapa sawit di Malaysia terutama terjadi pada periode 1961-1985. Hal ini ditunjukkan bahwa pada tahun 1961 kontribusi nilai produksi komoditi sawit Malaysia hanya sekitar 2,49 persen terhadap total nilai produksi tanaman pertaniannya, meningkat tajam menjadi 37,68 persen pada tahun 1985. Pada tahun 2010 komoditi sawit Malaysia berkontribusi sekitar 60,01 persen terhadap total nilai tanaman pertanian Malaysia. Berbeda halnya dengan negara-negara ASEAN-5 lainnya, terutama Indonesia, Philipina dan Thailand, dimana sejak periode awal hingga saat ini kontribusi tanaman padi masih mendominasi total nilai produksi tanaman pertaniannya. Pada tahun 2010,
180 kontribusi nilai komoditi padi terhadap total nilai produksi tanaman pertanian Indonesia sekitar 31,08 persen, di Philipina sekitar 20,81 persen dan di Thailand sekitar 29,80 persen. Selanjutnya pada Tabel 31 terlihat pula bahwa secara rata-rata selama periode 1961-2010, pertumbuhan TFP tanaman pertanian Indonesia lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan TFP pertanian ASEAN-5, namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan Philipina dan Singapura. Ketertinggalan kemajuan teknis (TFP) pertanian Indonesia terutama terjadi pada periode 1986-2000. Pada periode tersebut, Indonesia memiliki nilai TFP paling rendah dibandinkan negara-negara ASEAN-5 lainnya di luar Singapura. Pada periode ini, tanaman pertanian Indonesia juga memiliki pertumbuhan nilai produksi paling rendah yakni hanya sekitar 3,04 persen per tahun. Kemerosotan pembangunan pertanian Indonesia pada periode tersebut diduga terkait beberapa faktor. (1) Adanya gangguan iklim yang tidak bersahabat, ketika empasan badai kering El Nino tahun 1997-1998 yang bersamaan waktunya dengan bencana krisis moneter di akhir tahun 1997. Bencana alam ini sudah barang tentu mempengaruhi produksi dan produktivitas pertanian sehingga pertumbuhan TFP mengalami pertumbuhan kecil pada periode ini. (2) TFP pertanian yang relatif kecil pada periode ini, juga terkait menurunnya perhatian pemerintah
terhadap
pembangunan
pertanian
setelah
mencapai
prestasi
gemilangnya mencapai “swasembada beras” pada tahun 1984. Hal ini terlihat dari berkurangnya subsidi pupuk, awal tahun1990an sehingga harga pupuk melambung tinggi pada fase ini. Dampaknya adalah terjadinya pengurangan penggunaan pupuk di tingkat petani pada tahun 1991-1994 dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. terutama terutama jenis pupuk TSP dan KCl untuk subsektor tanaman pangan. Pada hal sarana produksi pupuk ini merupakan salah satu kunci sukses gerakan “revolusi hijau” yang dimulai pada akhir tahun 1960an. Setelah mengalami fase stagnan pada periode 1986-2000, pembangunan pertanian Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan pada periode 2000-2010. Pada periode ini pertumbuhan nilai produksi tanaman pertanian Indonesia mencapai prestasi tertingginya dengan pertumbuhan sekitar
181 4,61 persen per tahun. Kemajuan sektor pertanian Indonesia pada periode ini terutama bersumber dari kemajuan teknologi (TFP), yakni rata-rata mencapai 3,68 persen. Tingginya pertumbuhan TFP pada periode ini, diduga terkait beberapa hal diantaranya, (1) Semakin baiknya kualitas sumberdaya masusia pada sektor pertanian. Hal ini tercermin dari tingginya produktivitas tenaga kerja yang dicapai pada periode ini, jauh melampaui produktivitas tenaga kerja pada periode sebelumnya (Tabel 29). (2) pada periode sejumlah kebijakan insentif bagi pembangunan pertanian, turut memacu pertumbuhan produksi dan pertumbuhan TFP pertanian, seperti peluncuran program kredit usaha tani, program Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) untuk sektor pertanian, seperti program pengembangan ketahanan pangan (PKP), program pemberdayaan kelembagaan pangan (PPKP) dan program pemberdayaan petani agribisinis, (PPA). Programprogram terebut secara umum untuk memperkuat permodalan petani terutama untuk pembelian sarana produksi pupuk. Hasilnya memang terlihat bahwa penggunaan pupuk per ha di Indonesia tertinggi dicapai pada periode ini (Tabel 28). (3) Selain itu, tingginya TFP pertanian Indonesia pada periode ini juga diduga terkait dengan, transformasi internal sektor pertanian dari subsektor pertanian yang masih dikelola secara “trandisional”, terutama komoditi padi ke subsektor yang pengelolaannya lebih “modern” berbasis perkebunan, khususnya kelapa sawit yang mengalami lonjakan cukup tinggi pada periode ini. Hal ini tercermin dari kontribusi nilai produksi tanaman pertanian sawit terhadap total nilai pertanian Indonesia yang pada periode 1986-2000 hanya berkontribusi sekitar 5,1 persen meningkat tajam menjadi sekitar 13,9 persen pada periode 2001-2010. Sementara komoditi padi mengalami penurunan kontribusi dari 40,3 persen pada periode 1986-2000 turun menjadi 32,4 persen periode 2001-2010. 6.1.2.
Dayasaing Komoditi Pertanian ASEAN-5 dan China di Pasar Global Pengukuran dayasaing di pasar global, dianalisis berdasarkan indeks
pangsa pasar, Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA), indeks spesialisasi dan indeks komplemeter. Data yang digunakan dalam menganalisis dayasaing dari sisi demand ini didasarkan pada database GTAP8. Berdasarkan hasil analisis dayasaing komoditi pertanian dari sisi demand menunjukkan bahwa nilai RCA
182 komoditi pertanian China di pasar global sebesar 0,48 sedangkan sektor lainnya sebesar 1,04, yang berarti unggulan China di pasar global bukan pada pertanian, tetapi sektor non pertanian, khususnya sektor industri lain. Berbeda halnya dengan negara-negara ASEAN-5, khuusnya Indonesia, Malaysia dan Thailand, dimana komoditas unggulannya di pasar global bertumpu pada pertanian. Hal ini terlihat dari nilai RCA komoditi pertanian sebesar 1,88, Malaysia sebesar 1,15 dan Thailand sebesar 1,68. Terdapat tiga jenis komoditi pertanian Indonesia yang memiliki dayasaing di pasar global yakni masing-masing komoditi perkebunan dan tanaman pertanian lainnya (ocr), komoditi pertanian non tanaman (oagri) dan komoditi hasil olahan dalam bentuk makanan (food). Selengkapnya dapat terlihat pada Tabel 32. Tabel 32
Nilai Revealed Comparatif Adventage (RCA) Komoditi Pertanian Negara-negara ASEAN-5 dan China di Pasar Global Tahun 2007. Nilai RCA Menurut Komoditi di Pasar Global
Komoditi China
Indonesia
Malaysia
Philipina
Singapura
Thailand
ROW
Pertanian pdr
0.4775 0.8310
1.8796 0.1011
1.1511 0.0038
0.7051 0.0001
0.1759 0.0001
1.6776
1.0426 1.0032
wht
0.2067
0.0176
0.0031
0.0000
0.0000
5.2404 0.0030
gro
0.4401
0.0898
0.0052
0.0127
0.0002
0.4355
1.1055
v_f
0.5936
0.5225
0.1486
0.2036
0.0201
0.0005
1.2825 0.0524
1.0629
0.2670
1.7971 0.0094
0.0087
osd c_b
0.0281
0.0205
0.8087
0.0167
0.0009
0.0010
1.1378
pfb
0.0125
0.0550
0.0320
0.2710
0.0022
0.0088
1.1492
ocr
0.4048
4.0982
0.2559
0.1961
0.0942
0.5898
1.0599
oagri
0.5515
1.3021
1.4798
0.3804
0.1052
0.5364
1.0553
food
0.4924
2.2501
1.5241
0.7422
0.2445
2.2045
1.0232
Non Pert othind
1.0361 1.1960
0.9393 1.0855
0.9896 1.0766
1.0204 1.1139
1.0569 0.9467
0.9532 1.0035
0.9971 0.9801
serv
0.3825
0.3419
0.6341
0.6382
1.5070
0.7477
1.0664
1.0000
1.0000
1.0000
1.0000
1.0000
Total 1.0000 1.0000 Sumber : Diolah dari Database GTAP8
1.1338
1.1254
Meskipun komoditi petanian China bukan merupakan unggulan China untuk mengakses pasar global, namun dilihat dari pangsa pasar yang dikuasai oleh komoditi pertanian China di pasar global, mengindikasikan bahwa, komoditi pertanian China tidak kalah bersaing dengan komoditi pertanian ASEAN-5 di
183 pasar global. Hal ini ditunjukkan oleh pangsa pasar komoditi pertanian China di pasar global lebih besar dibandingkan negara-negara ASEAN-5. Tabel 33
Komoditi
Pangsa Pasar Komoditi Pertanian dan Non Pertanian Negara-negara ASEAN-5 dan China di Pasar Global Tahun 2007. Pangsa Pasar Komoditi Pertanian Negara ASEAN5 dan China di Pasar Global China
Indonesia
Malaysia
Philipina
Singapura
Thailand
ROW
Pertanian pdr
3.81 6.63
1.64 0.09
1.53 0.01
0.35 0.00
0.25 0.00
2.01 6.27
90.41 87.00
wht
1.65
0.02
0.00
0.00
0.00
0.00
98.33
gro
3.51
0.08
0.01
0.01
0.00
0.52
95.88
v_f
4.74
0.46
0.20
0.89
0.01
1.53
92.17
osd
2.13
0.18
0.03
0.00
0.00
0.06
97.60
c_b
0.22
0.02
1.08
0.01
0.00
0.00
98.67
pfb
0.10
0.05
0.04
0.13
0.00
0.01
99.66
ocr
3.23
3.58
0.34
0.10
0.13
0.71
91.92
oagri
4.40
1.14
1.97
0.19
0.15
0.64
91.52
food
3.93
1.96
2.03
0.37
0.34
2.64
88.73
Non Pert othind
8.27 9.54
0.82 0.95
1.32 1.43
0.50 0.55
1.48 1.33
1.14 1.20
86.47 85.00
serv
3.05
0.30
0.84
0.32
2.12
0.89
92.48
1.33
0.49
1.40
1.20
86.72
Total 7.98 0.87 Sumber : Diolah dari Database GTAP8
Seperti yang terlihat pada tabel di atas bahwa produk-produk pertanian China menguasai pangsa pasar dunia sekitar 3,81 persen, pangsa pasar produk pertanian China tersebut lebih tinggi dari pangsa pasar produk-produk pertanian Indonesia dan negara-negara ASEAN-5 lainnya. Produk-produk pertanian Indonesia hanya menguasai pasar global sekitar 1,64 persen. Pangsa pasar pertanian China terutama di negara-negara Asia Timur lainnya seperti Jepang, Korea, Taiwan dan lainnya. Ekspor pertanian China ke negara-negara Asia Timur lainnya mencapai sekitar 40,50 persen dari total ekspor pertanian China. Sedangkan ke ASEAN hanya sekitar 11,01 persen. Berbeda halya pangsa pasar produk pertanian Indonesia, dimana pangsa pasarnya memiliki penyebaran yang luas. Ekspor pertanian Indonesia ke negara-negara Asia Timur mencakup 21,21 persen dari total ekspor pertanian Indonesia, dimana separuh diantaranya (10,85 persen) di serap oleh pasar pertanian China. Ekspor pertanian Indonesia ke negara-negara ASEAN juga relatif kecil yakni hanya sekitar 16,99 persen dan sisanya ke kenegara-negara di luar ASEAN dan Asia Timur sebesar 61,80 persen.
184 Selanjutnya berdasarkan hasil estimasi indeks spesialisasi perdagangan berbagai komoditi di ASEAN-5 dan China, menunjukkan bahwa secara agregat, China cenderung mengimpor produk-produk pertanian. Hal ini ditunjukkan oleh nilai indeks spesialisasi pertanian agregat China yang berada di bawah 0 (-0,09). Sementara negara-negara ASEAN-5, kecuali Singapura dan Philipina cenderung sebagai eksportir komoditi pertanian dengan nilai indeks spesialisasi pertanian agregat, masing-masing 0,25 untuk Indonesia, 0,29 untuk Malaysia dan 0,49 untuk Thailand. Meskipun secara agregat China cenderung sebagai importir pertanian, namun dengan mencermati nilai indeks spesialisasi perdagangan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 34, menunjukkan bahwa komoditi pertanian yang cenderung diimpor oleh China hanya empat komoditi yakni komoditi biji-biji berminyak (osd), gula tebu dan gula beet (c_b), komoditi tanaman berserat (pfb), dan komoditi pertanian non tanaman (oagri). Sedangkan komoditi pertanian yang cenderung di ekspor oleh China terdiri dari komoditi padi (pdr), gandum (wht), serealia lainnya (gro), sayuran-buah dan kacang kacangan (v_f), komiditi perkebunan dan tanaman lainnya (ocr) dan komoditi pertanian olahan (food). Selengkapnya indeks spesialisasi perdagangan berbagai komoditi di ASEAN-5 dan China terlihat pada tabel berikut. Tabel 34
Indeks Spesialisasi Perdagangan ASEAN-5 dan China di Pasar Global Tahun 2007.
Indeks Spesialisasi Perdagangan ASEAN-5 dan China di Pasar Global CHN IDN MYS PHL SGP THA ROW -0.09 0.29 -0.22 -0.38 0.49 -0.01 Pertanian 0.25 pdr 0.95 -0.48 -0.95 -1.00 -1.00 0.99 -0.07 wht 0.90 -0.99 -0.99 -1.00 -1.00 -0.99 0.03 gro 0.58 -0.72 -0.99 -0.93 -0.98 0.71 0.00 v_f 0.50 -0.18 -0.59 0.59 -0.96 0.68 -0.02 osd -0.88 -0.82 -0.93 -0.98 -0.97 -0.93 0.22 c_b -0.74 -0.86 0.57 -0.82 -1.00 -0.99 0.01 pfb -0.99 -0.99 -0.81 -0.12 -0.87 -1.00 0.24 ocr 0.36 -0.66 -0.67 -0.62 0.50 -0.01 0.61 oagri -0.48 0.71 0.26 -0.69 -0.03 0.04 0.40 food 0.17 0.42 -0.27 -0.27 0.59 -0.03 0.41 0.12 0.15 0.09 0.08 0.07 -0.02 Non Pertanian 0.10 othind 0.14 0.15 0.07 0.09 0.08 -0.02 0.16 serv -0.10 -0.35 0.09 0.32 0.06 0.04 0.00 Total 0.11 0.11 0.16 0.07 0.07 0.10 -0.01 Sumber : Diolah dari Database GTAP8 Komoditi
185 Pada Tabel 34 juga terlihat bahwa meski pertanian agregat Indonesia memiliki nilai indeks spesialisasi yang positif (cenderung diekspor), namun dengan merinci nilai indeks spesialisasi menurut komoditi, menunjukkan bahwa komoditi pertanian Indonesia yang cenderung diekspor hanya pada tiga komoditi saja yakni masing masing komoditi perkebunan dan tanaman lainnya (ocr), komoditi pertanian non tanaman (oagri) dan komoditi pertanian olahan (food). Sedangkan komoditi pertanian lainnya cendrung diimpor. Kondisi serupa juga terjadi untuk Malaysia, dimana komoditi pertanian yang cenderung diekspor di Malaysia hanya pada tiga komoditi saja yaitu komoditi gula tebu-gula beet (c_b), tanaman non pertanian (oagri) dan komoditi pertanian olahan (food). Di antara negara-negara anggota ASEAN-5, hanya Thailand yang memiliki komoditi pertanian paling banyak yang cenderung diekspor. Untuk Thaiand, dari sepuluh kelompok komoditi pertanian yang dianalisis, separuh diantaranya memiliki nilai indeks sesialisasi bernilai positif, yakni padi-beras, (pdr), serealia lainnya (gro), sayuran-buah dan kacang-kacangan (v_f), komoditi perkebunan dan tanaman lainnya (ocr) dan komoditi pertanian olahan (food). Gambaran diatas menunjukkan bahwa meski secara umum China cenderung mengimpor pertanian, namun negara ini juga memiliki beberapa komoditi pertanian yang memiliki dayasaing cukup tinggi di pasar global, terutama untuk kelompok pertanian tanaman pangan seperti padi-beras, gandum, serealia lainnya, sayuran-buah dan kacang- kacangan. Sedangkan Indonesia, meski secara agregat komoditi pertaniannya cenderung diekspor, namun hanya terbatas pada komoditi perkebunan, pertanian non tanaman dan pertanian olahan. Bahkan nilai indeks spesiaisasi komoditi tersebut hanya berkisar antara 0,6 – 0,4 yang berarti selain mengekspor, Indonesia juga mengimpor komoditi tersebut. Selanjutnya, studi ini juga menganalisis indeks komplementer antara China dengan negara-negara ASEAN-5. Analisis ini dimaksudkan untuk melihat prospek ekspor ASEAN-5 dengan kebutuhan impor China. Model ini mengisyaratkan bahwa jika struktur impor China sama persis dengan struktur ekspor
Indonesia
atau
negara-negara
ASEAN-5
lainnya,
maka
indeks
komplementer kedua negara akan bernilai satu, sehingga kedua negara dikatakan memiliki kecocokan dalam perdagangan atau bersipat komplementer. Dengan
186 kata lain jika indeks komplementer Indonesia dengan China mendekati nilai satu maka dikatakan Indonesia memiliki prospek yang baik untuk mengakses pasar domestik China. Berdasarkan hasil analisis prospek perdagangan antara Indonesia dengan China menunjukkan adanya kecocokan antara komoditi ekspor Indonesia dengan kebutuhan impor China. Hal ini ditunjukkan oleh nilai indeks komplementer yang menghampiri nilai satu (0,9068). Kondisi ini mengisyaratkan bahwa pengurangan hambatan perdagangan antar kedua negara akan memberikan prospek peningkatan ekspor Indonesia ke China. Hanya saja dengan memperhatikan struktur impor di China dan struktur ekspor Indonesia, mengisyaratkan bahwa komoditi non pertanian Indonesia yang memiliki prospek paling besar untuk mengakses pasar China. Hal tersebut disebabkan karena kebutuhan impor China paling besar merupakan barang-barang non pertanian, khususnya barang-barang industri manufaktur dan hasil tambang. Kebutuhan impor China teradap barang manufaktrur dan hasil tambang mencakup sekitar 84,64 persen dari total impornya, sementara impor pertaniannya hanya sekitar 4,59 persen dari total impornya. Selengkapnya nilai indeks komplementer dan struktur impor China dan struktur ekspor Indonesia terlihat pada tabel berikut. Tabel 35
Komoditi
Struktur Impor China dan Struktur Ekspor Indonesia serta Indeks Komplementer Perdagangan Indonesia dengan China, Tahun 2007. Impor China ($ US Juta)
Ekspor Indonesia ($ US Juta)
Porsi Impor China (mj/∑mj)
Porsi Ekspor Indonesia (xi/∑xi)
( mj) ( xi) Pertanian 42,962.49 15,493.79 0.0459 0.1214 pdr 2.53 1.38 0.0000 0.0000 wht 25.97 4.58 0.0000 0.0000 gro 271.31 22.89 0.0003 0.0002 v_f 1,421.57 406.99 0.0015 0.0032 osd 10,609.58 57.00 0.0113 0.0004 c_b 1.94 0.02 0.0000 0.0000 pfb 3,309.77 5.87 0.0035 0.0000 ocr 809.17 1,907.59 0.0009 0.0149 oagri 9,096.12 820.75 0.0097 0.0064 food 17,414.53 12,266.73 0.0186 0.0961 Non Pertanian 892,788.79 112,179.75 0.9541 0.8786 othind 792,018.42 104,151.17 0.8464 0.8158 serv 100,770.37 8,028.59 0.1077 0.0629 Total 935,751.27 127,673.54 1.0000 1.0000 Indeks Komplementer Perdagangan Indonesia dengan China [(1-∑|(mj/∑mj)-(xi/∑xi)|/2] Sumber : Diolah dari Database GTAP8
Nilai Absolut Perbedaan (|(mj/∑mj)-(xi/∑xi)|/2)
0.0377 0.0000 0.0000 0.0001 0.0008 0.0054 0.0000 0.0017 0.0070 0.0016 0.0387 0.0377 0.0153 0.0224 0.0932 0.9068
187 Perbandingan nilai indeks komplementer perdagangan antar negara-negara ASEAN-5 terhadap China seperti yang diperlihatkan Gambar 18 menunjukkan bahwa diantara negara-negara ASEAN-5, Philipina dan Malaysia memiliki prospek untuk meningkatkan volume ekspornya mengakse pasar domestik China, karena struktur impor China memiliki kecocokan dengan struktur ekspornya. Hal ini ditunjukkan oleh nilai indeks komplementer Philipina dengan China sebesar 0,9678 dan Malaysia sebesar 0,9445. Sedangkan Singapura dan Thailand memiliki indeks komplementer paling rendah. Meskipun indeks komplementer Indonesia lebih rendah dari Philipina dan Malaysia, namun indeks komplementer perdagangan Indonesia dengan China masih diatas rata-rata. Halini berarti bahwa kerjasama perdagangan Indonesia dengan China memiliki prospek yang bagus untuk meningkatkan volume prdagangan Indonesia ke pasar domestik China. 1.0000 0.9678 0.9445
0.9500
Nilai indeks komplementer rata-rata =0.9016
0.9068 0.9000
0.8859 0.8742
0.8500
0.8305
0.8000
0.7500 Indonesia
Malaysia
Philipina
Singapura
Thailand
ROW
Sumber : Diolah dari Database GTAP8
Gambar 18
Nilai Indeks Komplementer Perdagangan ASEAN-5 dengan China Tahun 2007
Nilai indeks komplementer antara negara-negara ASEAN-5 dengan China seperti yang diperlihatkan pada Gambar 18, merupakan nilai indeks dari keseluruhan komoditi di masing-masing negara. Dengan menghususkan pada perdagangan komoditi pertanian, maka nilai indeks komplementer masing-masing
188 negara ASEAN-5 dengan China, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 19 menunjukkan bahwa diatara negara-negara ASEAN-5, Malaysia memiliki struktur ekspor pertanian yang paling cocok dengan struktur impor pertanian China dengan indeks komplementer sebesar 0,5296, kemudian diikuti oleh Indonesia dengan nilai indeks komplementer sebesar 0,5093. 0.5926
0.6000 Nilai indeks komplementer rata-rata komoditi pertanian =0.5162
0.5500 0.5296 0.5014
0.5093 0.5000
0.4893
0.4749
0.4500
0.4000 Indonesia
Malaysia
Philipina
Singapura
Thailand
ROW
Sumber : Diolah dari Database GTAP8
Gambar 19
6.2.
Nilai Indeks Komplementer Perdagangan Komoditi Pertanian ASEAN-5 dengan China Tahun 2007
Transmisi Harga Internasional Komoditi Utama Tanaman Pertanian ASEAN-5 China ke Pasar Domestik Masing-masing Negara Merujuk pada pada Nicita (2005), Valuenzuela (2007) yang menyebutkan
bahwa dampak liberalisasi perdagangan di masing-masing negara tidak dapat digeneralisir, selain disebabkan oleh perbedaan pengembalian dan produktivitas faktor, juga karena adanya perbedaan transmisi harga internasional ke pasar domestik. Perbedaan transmisi harga antar region selain disebabkan perbedaan infrastruktur, juga karena adanya perbedaan kebijakan antar negara dalam rangka menstabilkan harga domestik. Selain itu, Conforti (2004) menyebutkan bahwa ketidaksempurnaan transmisi harga juga dapat muncul karena faktor-faktor seperti biaya transaksi, struktur pasar (market power), homogenitas produk, dan
189 perubahan dalam nilai tukar (exchange rates). Dalam studi ini, pengukuran transmisi harga internasional ke pasar domestik dimasing-masing negara untuk berbagai komoditi pertanian, didasarkan pada data harga rata-rata tahunan di pasar internasional dan harga rata-rata tahunan pada tingkat produsen di masing-masing negara yang bersumber dari data publikasi World Bank dan FAO selama kurun waktu 1991-2009. 6.2.1.
Gambaran Umum Harga Internasional dan Harga Produsen Domestik Komoditi Utama Tanaman Pertanian ASEAN-5 China Gambaran umum mengenai ratan tahunan harga internasional dan harga
produsen lima belas komoditi utama ASEAN-5 dan China diperlihatkan pada Tabel 34. Terlihat bahwa untuk kelompok tanaman pangan dan buah-buahan, pertumbuhan harga internasional berada pada kisaran 3,9 hingga 4,9 persen, dimana pertumbuhan tertinggi ditempati oleh komoditi beras-padi dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 4,9 persen per tahun, kemudian diikuti oleh Gandum, dan jeruk dengan pertumbuhan sekitar 4,8 persen per tahun dan paling kecil ditempati oleh komoditi pisang dan jagung. Selanjutnya, harga produsen untuk kelompok tanaman pangan dan buah-buahan di China tumbuh pada kisaran 6,0 hingga 12,1 persen per tahun. Sedangkan untuk ASEAN-5 pertumbuhan harga produsen secara berada pada kisaran 2,8 persen hingga 8,1 prsen. Selanjutnya, untuk kelompok tanaman perkebunan, pertumbuhan harga internasional untuk kelompok ini berada pada kisaran 1,5 persen hingga 7,5 persen, dimana pertumbuhan terendah ditempati oleh komoditi tembakau dan pertumbuhan harga tertinggi ditempati oleh komoditi karet alam. Tabel 34 juga menunjukkan bahwa harga berbagai komoditi perkebunan di China (kecuali komoditi karet) memiliki pertumbuhan harga yang relatif tinggi dibandingkan pertumbuhan harga komoditi serupa pada tingkat internasional maupun pada harga produsen di negara-negara ASEAN-5. Selangkapnya dapat di lihat pada Tabel 36 berikut.
190
190 Tabel 36
Nilai Rata-rata, Pertumbuhan dan Standar Deviasi Harga Internasional dan Harga Produsen di Masing-Masing Negara di ASEAN-5 dan China Periode 1991-2009. Harga Internasional (1991-2009)
No .
1
2
3
Komoditi
Tan Pangan Beras, Padi Jagung Kedele Gandum Buah buahan Pisang Jeruk Perkebunan Kopra*/Kelapa** Minyak Sawit Buah Sawit Karet Alam Kakao Kopi Gula*/Gula Tebu** Tea Tembakau
Harga Pertum Rata2 buhan (US$/ (%) Ton)
Harga Produsen Tahun (1991-2009) China
Stdev Pert.
Harga Rata2 (US$/ Ton)
Stdev Pert.
Harga Rata2 (US$/ Ton)
Malaysia
Pertumbuhan (%)
Stdev Pert.
Harga Rata2 (US$/ Ton)
Pertum -buhan (%)
Philipina Stdev Pert.
Harga Rata2 (US$/ Ton)
Thailand
Pertumbuhan (%)
Stdev Pert.
Harga Rata2 (US$/ Ton)
Pertum -buhan (%)
Stdev Pert.
264 120 282 176
4.9 4.1 4.7 4.8
86.5 34.9 83.5 56.9
229 175 357 163
9.1 9.8 9.1 6.0
79.0 56.1 118.6 42.8
179 158 430 Na
4.3 6.4 3.7 Na
50.7 45.8 112.9 Na
175 125 Na Na
3.3 1.2 Na Na
26.6 17.6 Na Na
219 178 387 Na
4.2 4.9 3.7 Na
52.9 43.7 108.5 Na
176 127 300 Na
5.6 4.0 2.8 Na
63.8 34.8 71.4 Na
542 629
3.9 4.8
137.4 222.6
394 222
7.9 12.1
114.9 94.9
310 520
8.1 3.0
96.7 177.8
185 486
4.6 7.1
39.3 100.9
123 576
4.2 20.2
27.7 184.9
1,466 448
5.9 3.5
632.9 115.0
413 509 Na 1,247 1,565 1,926 227 1,809 3,100
6.9 7.0 Na 7.5 7.0 7.1 6.7 3.2 1.5
136.7 170.3 Na 597.9 500.1 701.9 66.7 331.4 426.8
270 Na Na 1,241 Na Na 73 1,583 924
30.3 Na Na 6.2 Na Na 18.9 8.8 7.8
193.0 Na Na 455.8 Na Na 69.1 783.2 386.5
100 335 71 328 961 1,051 26 530 1,246
7.6 5.1 4.5 13.6 6.5 6.3 3.2 2.9 5.7
36.0 114.6 18.5 218.9 260.5 387.6 7.1 166.0 565.5
150 396 4 947 996 Na 39 1,134 4,541
5.5 2.2 3.2 9.1 6.7 Na 3.2 1.4 1.2
26.0 97.9 1.0 528.4 416.4 Na 16.2 192.6 794.6
72 Na 81 402 971 1,103 37 Na 1,239
5.4 Na 1.9 8.9 2.9 6.0 2.3 Na 5.1
20.5 Na 51.8 226.3 205.4 425.2 7.3 Na 348.5
98 Na 79 1,031 Na 1,134 14 Na 167
9.3 Na 9.6 8.4 Na 10.7 3.0 Na 10.7
36.1 Na 35.1 541.6 Na 494.3 3.4 Na 87.0
Sumber : Diolah dari World Bank dan FAOSTAT, 2012 Keterangan :
Indonesia
Pertumbuhan (%)
* = Harga Internasional (US $) ** = Harga Produsen (US $)
191 Perbandingan harga produsen untuk berbagai komoditi pangan diantara negara-negara ASEAN-5 dan China menunjukkan bahwa, harga produsen padi dan jagung di China lebih tinggi dibandingkan di ASEAN-5, sedangkan untuk komoditi kedelai, pisang dan jeruk harga di China lebih rendah dibandingkan di ASEAN-5. Selain itu, fluktuasi harga komoditi pangan di China juga lebih tinggi, dibandingkan fluktuasi harga internasional dan harga produsen di ASEAN-5, hal ini ditunjukkan oleh nilai standar deviasi harga di China yang secara umum lebih tinggi dibandingkan standar devasi harga Internasional dan harga produsen di ASEAN-5. Gambaran mengenai tingkat dan fluktuasi harga berbagai komoditi pangan utama di ASEAN-5 dan China, diuraikan sebagai berikut. 6.2.1.1. Perkembangan Harga Komoditi Tanaman Pangan dan Buah-Buahan Harga gandum dunia pada tahun 1991 seharga $ US 133 per ton meningkat menjadi $ US 351 per ton tahun 2008 dan kemudian menurun pada tahun 2009 menjadi $ 237 per ton. Selama periode 1991-2009, harga gandum dunia tumbuh sekitar 4,8 persen per tahun. China yang merupakan salah satu produsen gandum utama di dunia memiliki pertumbuhan harga produsen yang sedikit lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan harga dunia, yakni tumbuh sekitar 6,40 persen per tahun. Meskipun harga produsen gandum di China tumbuh lebih tinggi dibandingkan harga gandum dunia, namun fluktuasi harga gandum China relatif lebih stabil dibandingkan fluktuasi harga gandum dunia yang ditunjukkan oleh nilai standa deviasi harga yang lebih kecil (Tabel 36). Selanjutnya untuk komoditi beras-padi, Gambar berikut menunjukkan bahwa harga produsen padi di China lebih tinggi dibandingkan harga produsen padi di ASEAN-5. Selama periode 1991-2009, harga padi di tingkat produsen China rata-rata mencapai $US 229 per ton, sementara di negara-negara ASEAN-5 berada pada kisaran $ US 175-219 per ton (Tabel 36). Selain itu pertumbuhan harga produsen padi China juga lebih tinggi serta memiliki gejolak harga yang lebih fluktuatif dibandingkan di ASEAN-5. Di ASEAN-5 Philipina memiliki harga produsen paling tinggi, dan Thailand paling rendah, akan tetapi Thailand memiliki pertumbuhan harga produsen paling tinggi serta fluktuasi arga yang paling tinggi pula yang ditunjukkan oleh nilai standar deviasi harga yang lebih besar dibandingkan negara ASEAN-5 lainnya.
192 a)
b)
400
600
350 500
400
250 $ US Per Ton
$ US Per Ton
300
200 150
300
200 100 100
50 0
0
Gandum_W
Gandum_CHN
Beras_W
Padi_CHN
Padi_IDN
Padi_MYS
Padi_PHL
Padi_THA
c)
d)
300
800 700
250
600 $ US Per Ton
$ US Per Ton
200 150 100
500 400 300 200
50
100
0
0
Jagung_W Jagung_MYS
Jagung_CHN Jagung_PHL
Jagung_IDN Jagung_THA
Kedelai_W
Kedelai_CHN
Kedelai_PHL
Kedelai_THA
e)
Kedelai_IDN
f)
900
1200
800 1000 700 800
500
$ US Per Ton
$ US Per Ton
600
400 300
600
400
200 200 100 0
0
Pisang_W
Pisang_CHN
PisangMYS
Pisang_PHL
Pisang_INA
Jeruk_W
Jeruk_CHN
Jeruk_IDN
Jeruk_MYS
Jeruk_PHL
Jeruk_THA
Sumber : Diolah dari World Bank, FAOSTAT, 2012 Keterangan : a) Komoditi Gandum; b) Beras-Padi; c) Jagung; d) Kedelai; e) Pisang; dan f) Jeruk
Gambar 20
Perkembangan Harga Internasional dan Harga Produsen Berbagai Komoditi Tanaman Pangan dan Buah-Buahan di ASEAN-5 dan China Periode 1991-2009.
193 Pertumbuhan harga produsen komoditi jagung dan kedelai di China lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan harga komoditi serupa berbagai negara ASEAN-5. Harga produsen komoditi jagung China tumbuh sekitar 9,8 persen pertahun dan kedelai tumbuh sekitar 9,1 persen per tahun, sementara pertumbuhan harga produsen untuk komoditi tersebut di ASEAN-5 berkisar antara 2,8 persen – 6,4 persen per tahun. Harga produsen Jagung di Philipina paling tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN-5 dan China, sedangkan untuk komoditi kedele harga produsen paling tinggi ditempati oleh Indonesia. Perkembangan harga komoditi buah-buahan yang diwakili oleh komoditi pisang dan jeruk di masing-masing negara ASEAN-5 dan China menunjukkan bahwa harga produsen pisang di China relatif tinggi dibandingkan di Indonesia, Malaysia dan Philipina, tetapi lebih rendah dibandingkan harga produsen pisang di Thailand. Selanjutnya untuk komoditi jeruk, tampaknya harga produsen jeruk di China jauh lebih rendah dibandingkan harga produsen komoditi serupa di ASEAN-5. Akan tetapi fluktuasi harga jeruk di China lebih tinggi dibandingkan di ASEAN-5. 6.2.1.2.
Perkembangan Harga Komoditi Perkebunan Selanjutnya perkembangan harga internasional
berbagai komoditi
perkebunan, menunjukkan bahwa harga-harga komoditi perkebunan pada tingkat dunia telah meningkat cukup nyata dalam dua dekade terakhir. Tercatat bahwa selama periode 1991-2009, komoditi karet alam memiliki pertumbuhan harga paling tinggi yakni tumbuh sekitar 7,5 persen per tahun, sedangkan paling rendah ditempati oleh komoditi tembakau yang hanya tumbuh sekitar 1,5 persen per tahun. Selanjutnya perkembangan harga produsen di berbagai negara ASEAN-5 dan China memperlihatkan umumnya harga-harga produsen berbagai komoditi perkebunan di China lebih tinggi dibandingkan harga produsen diberbagai negara ASEAN-5. Selain itu fluktuasi harga produsen di China juga relatif tinggi dibandingkan di ASEAN-5.
194 a)
b)
3000
3500
2500
3000 2500
2000
2000 $ US Per Ton
$ US Per Ton
1500
1000
500
1500 1000 500
0
0
Kakao_W Kakao_MYS
Kopi_W Kopi_PHL
Kakao_IDN Kakao_PHL
c)
Kopi_IDN Kopi_THA
d)
3000
900 800
2500
700 600 500 1500
$ US Per Ton
$ US Per Ton
2000
1000
400 300 200
500 100 0
0
Karet_W Karet_MYS
Karet_CHN Karet_PHL
Karet_IDN Karet_THA
Copra_W
Kelapa_CHN
Kelapa_IDN
Kelapa_MYS
Kelapa_PHL
Kelapa_THA
e)
f)
1000
4500
900
4000
800
3500 3000
600
$ US Per Ton
$ US Per Ton
700
500 400 300
2500 2000 1500 1000
200
500
100
0
0
Minyak Sawit_W Minyak Sawit_MYS
Minyak Sawit_IDN
Teh_W Teh_IDN
Teh_CHN Teh_MYS
Sumber : Diolah dari World Bank, FAOSTAT, 2012 Keterangan : a) Komoditi Kakao; b) Kopi; c) Karet; d) Kopra dan Kelapa; e) Minyak Sawit; dan f) Teh
Gambar 21
Perkembangan Harga Internasional dan Harga Produsen Berbagai Komoditi Perkebunan di ASEAN-5 dan China Periode 1991-2009.
195 6.2.2.
Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Internasional ke Harga Produsen Domestik Komoditi Tanaman Pangan dan Hortikultura ASEAN-5 China Berdasarkan hasil
estimasi
integrasi
pasar
dan
transmisi
harga
internasional ke pasar produsen domestik di negara-negara ASEAN-5 dan China berdasarkan pendekatan Autoregressive Distributed Lag atau yang dikenal model Revallion menunjukkan bahwa umumnya harga produsen berbagai komoditi tanaman pangan dan buah-buahan, di negara-negara ASEAN-5 dan China tidak terintegrasi dengan pasar internasional dalam jangka pendek. Hal ini ditunjukkan oleh indeks keterpaduan pasar (index of market connection, IMC) yang secara umum memiliki nilai diatas satu. Akan tetapi dengan mencermati nilai IMC masing-masing komoditi di setiap negara, terlihat bahwa harga produsen gandum, jagung, kedelai dan jeruk di China, terintegrasi dengan pasar internasional dalam jangka pendek, sedangkan untuk negara-negara ASEAN-5 minus Malaysia integrasi jangka pendek pasar domestik dengan pasar internasional hanya terjadi pada komoditi jeruk. Gambaran tersebut mengisyaratkan bahwa pembentukan harga produsen berbagai komoditi pangan, terutama gandum, jagung, kedelai dan jeruk di pasar domestik China, dalam jangka pendek dominan dipengaruhi oleh pasar internasional dibandingkan pasar domestiknya, sebaliknya di ASEAN-5, pembentukan harga produsen untuk berbagai komoditi pangan dan buah-buahan, kecuali jagung dominan ditentukan oleh pasar domestiknya. Selanjutnya integrasi pasar domestik dengan pasar internasioal dalam jangka panjang, juga memperlihatkan indikator keterpaduan yang lemah. Hal ini ditunjukkan oleh pengaruh perubahan harga internasional (PWt-PWt-1) terhadap harga produsen domestik (PDt) umumnya tidak signifikan pada tingkat
,
kecuali untuk komoditi kedelai dimana semua negara menunjukkan adanya integrasi jangka panjang antara pasar domestik dengan pasar internasional untuk komoditi ini, demikian pula untuk beberapa komoditi tertentu di negara tertentu, seperti gandum di China, beras di Malaysia dan Philipina, dan jagung di Indonesia dan Philipina.
196 Tabel 37
Hasil Estimasi Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Internasional ke Harga Produsen Domestik di Masing-Masing Negara ASEAN-5 dan China, Pada Kelompok Komoditi Tanaman Pangan dan BuahBuahan. Koefisien Regresi
No
Komoditi/Negara C
1 2
3
4
5
6
Gandum (Wheat) China 17.10 Beras (Rice-Paddy) China 62.15 Indonesia 70.73 Malaysia 56.11 Philipina 27.54 Thailand -22.00 Jagung (Maize) China 33.69 Indonesia 65.77 Malaysia 38.83 Philipina 33.04 Thailand -9.76 Kedele (Soybeans) China 20.65 Indonesia 19.72 Philipina 42.85 Thailand 64.51 Pisang (Banana) China 53.71 Indonesia 104.27 Malaysia 19.01 Philipina -0.84 Thailand 111.69 Jeruk (Oranges) China -43.40 Indonesia -273.98 Thailand -311.65
PDt-1
(PWt-PWt-1)
PWt-1
Rsquared
DW stat
IMC
0.3172
0.2322*
0.5664***
0.8615
2.0161
0.5601***
0.4743* 0.5519* 0.4620* 0.5771*** 0.7699**
0.2803 0.3356 0.1711** 0.4048*** 0.3101
0.2462 0.0306 0.1558* 0.2608* 0.2460**
0.4073 0.6280 0.6787 0.8480 0.5887
1.9261 2.1853 1.4814 1.3716 2.1909
1.9263 18.0187 2.9652 2.2124 3.1297
0.4962** 0.3021 0.6012** 0.4052 0.5463**
0.5472 0.7919* 0.1511 0.7858*** 0.4461
0.5062 0.3205 0.0937 0.6293* 0.5764***
0.4791 0.5569 0.5641 0.7142 0.7884
2.2082 2.2701 1.9768 1.5642 2.1741
0.9802* 0.9424* 6.4129 0.6439*** 0.9478**
0.3333 0.5761** 0.6115** 0.5165*
0.7967** 0.9038*** 1.1885*** 0.7524***
0.8093** 0.5734** 0.3659 0.2758
0.7048 0.7618 0.8686 0.8495
2.1301 2.1755 1.4053 1.8808
0.4119*** 1.0048 1.6713 1.8731
0.5537** 0.4795* 0.3456* 0.6732** 0.6771***
0.2898 0.0845 0.1338 0.0120 0.2697
0.2482 0.1166 0.1982* 0.0837* 0.5308
0.5257 0.2236 0.7671 0.6004 0.6520
1.6792 1.9436 1.9180 2.2156 1.5943
2.2308 4.1115 1.7433 8.0391 1.2756
0.1916 0.3611* 0.5413**
0.0321 0.0137 0.0550
0.3642*** 0.1457 0.0935
0.7969 0.2144 0.5609
2.7034 2.4464 1.8361
0.5262*** 2.4782 5.7872
Sumber : Diolah dari World Bank dan FAOSTAT, 2012
Selanjutnya, Tabel 37 diatas juga menunjukkan bahwa nilai koefisien regresi dari perubahan internasional, umumnya kecil (kurang 0,5) di semua negara, kecuali untuk komoditi jagung dan kedelai memiliki nilai relatif tinggi. Hal tersebut menjelaskan bahwa hanya sebagian kecil perubahan harga internasional yang dapat ditransmisikan ke tingkat produsen masing-masing negara. Gambaran tersebut sekaligus menjelaskan bahwa disemua negara masih terdapat faktor distorsi yang mamu mereduksi nilai transmisi harga internasional ke harga produsen.
197 6.2.3. Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Internasional ke Harga Produsen Domestik Komoditi Tanaman Perkebunan ASEAN-5 China Hasil estimasi intengrasi pasar domestik dengan pasar internasional untuk kelompok komoditi perkebunan di masing-masing negara ASEAN-5 dan China menunjukkan bahwa, dalam jangka pendek, pasar domestik di tingkat produsen tidak terintegrasi dengan pasar internasional untuk sebagian besar komoditi perkebunan baik di negara-negara ASEAN-5 maupun di China, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks keterpaduan pasar (IMC) yang umumnya berada diatas nilai satu. Nilai indeks keterpaduan pasar yang lebih besar dari satu sekaligus menjelaskan behwa pembentukan harga domestik pada sekarang dominan dipengaruhi oleh harga domestik pada periode sebelumnya dibandingkan pengaruh harga internasional. Meskipun demikian secara kasuistik beberapa komoditi di negara tertentu yang pasar domestiknya memiliki integrasi jangka pendek dengan pasar internasional ditunjukkan pada tabel berikut. Tabel 36 menunjukkan bahwa, integrasi jangka pendek untuk komoditi perkebunan hanya terjadi pada komoditi kelapa di Thailand; karet di Malaysia; kakao di Indonesia, kopi di Philipina dan Thailand. Komoditi teh di China meski memiliki nilai IMC dibawah satu, namun nilai tersebut tidak signifikan pada tingkat
.
Meskipun dalam jangka pendek, sebagian besar komoditi perkebunan tidak berintegrasi dengan pasar internasional, namun dalam jangka panjang pasar domestik komoditi-komoditi perkebunan di ASEAN-5 umumnya berintegrasi dengan pasar internasional. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi dari variabel perubahan harga internasional untuk berbagai komoditi perkebunan signifikan pada tingkat
. Tabel 38 juga menunjukkan bahwa di China
integrasi jangka panjang komoditi perkebunan hanya terjadi pada komoditi teh. Selanjutnya nilai koefisien dari perubahan harga internasional untuk berbagai komoditi perkebunan di ASEAN-5 umumnya memiliki nilai di bawah 0,5, kecuali untuk beberapa komoditi tertentu di negara tertentu seperti Karet di Malaysia dan Thailand, tembakau di Indonesia dan Malaysia, dimana nilai koefisien regresinya lebih besar dari 0,5. Gambaran tersebut menjelaskan bahwa secara umum perubahan harga internasional yang dapat ditransmisikan ke harga produsen domestik di masing-masing negara ASEAN-5 adalah kecil. Kondisi
198 serupa juga terjadi di China, dimana koefisien regresi dari perubahan hrga internasional untuk komoditi perkebunan China juga d bawah 0,5, kecuali untuk komoditi teh yang koefisien regresinya relatif tinggi yakni sebesar 1,4577. Tabel 38
No 1
2
3
4
5
6
7
8
Hasil Estimasi Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Internasional ke Harga Produsen Domestik di Masing-Masing Negara ASEAN-5 dan China, pada Kelompok Komoditi Tanaman Perkebunan.
Komoditi/Negara
C
Kelapa (Coconuts) China -455.78 Indonesia -3.73 Malaysia -17.74 Philipina -8.40 Thailand -0.92 Buah Sawit (Oil Palm Fruit) Indonesia 22.20 Malaysia 133.26 Philipina 4.94 Thailand -28.49 Karet (Natural Rubber) China 16.65 Indonesia -72.70 Malaysia -219.58 Philipina -50.88 Thailand -9.65 Kakao (Cocoa) Indonesia 22.87 Malaysia -355.99 Philipina 257.34 Kopi (Coffee) Indonesia 75.36 Philipina -33.50 Thailand -110.85 Gula Tebu (Sugar Cane) China -16.74 Indonesia -1.77 Malaysia 11.39 Philipina 6.57 Thailand 1.53 Tembakau (Tobaco) China -196.51 Indonesia -818.53 Malaysia -768.41 Philipina -877.96 Thailand -66.18 Teh (Tea) China -1017.75 Indonesia 140.30 Malaysia 151.53
Koefisien Regresi PDt-1 (PWt-PWt-1)
PWt-1
R-squared
DW stat
IMC
0.6443* 0.4293* 0.6756** 0.2359 0.1249
0.2948 0.1114** 0.1096* 0.1065*** 0.1418*
0.5210 0.1512** 0.1693** 0.1590** 0.2075**
0.2758 0.7025 0.4258 0.6756 0.4359
1.4735 1.6117 2.4587 1.7356 2.0910
1.2367 2.8394 3.9908 1.4841 0.6021***
0.5953* 0.6418*** 0.6815*** 0.8743***
0.0183 0.2928* 0.0442 0.1228***
0.0147 0.0060 0.0285 0.0819*
0.4287 0.4488 0.5888 0.8892
1.7083 1.6424 1.8001 1.7315
40.4219 106.5691 23.9132 10.6746
0.5972** 0.3892 0.2024 0.2977 0.7802**
0.0028 0.3207*** 0.6419*** 0.3576*** 0.8213***
0.4271*** 0.2160 0.8111** 0.2683** 0.1962
0.7141 0.9021 0.9667 0.9937 0.9945
2.2820 1.8079 1.6984 1.8553 2.6778
1.3982 1.8019 0.2496*** 1.1097 3.9758
0.3782* 0.5976*** 0.5405**
0.1206* 0.3410*** 0.2153**
0.3943*** 0.4828*** 0.1175
0.7211 0.9385 0.6133
2.0146 1.1787 1.4777
0.9589*** 1.2378 4.5987
0.3707 0.2284 0.0838
0.3219*** 0.3714*** 0.1430
0.3034** 0.4662*** 0.5784***
0.6589 0.8207 0.7483
1.6233 1.3301 1.9618
1.2217 0.4898*** 0.1450***
0.8390*** 0.4417** 0.6592** 0.3569* 0.1640
0.1032 0.0331 -0.0524 0.0057 0.0306***
0.0822 0.0729** 0.0134 0.0788*** 0.0468***
0.9447 0.6497 0.4821 0.6565 0.7903
2.0570 1.9474 1.6339 2.0772 1.5031
10.2100 6.0608 49.3233 4.5262 3.5019
0.7577*** 0.7713*** 0.7933*** 0.5498*** 0.5901***
0.2054** 0.7702* 0.9929** 0.4656* 0.0566
0.1019 0.3686 0.5607 0.4626*** 0.0407
0.9167 0.6634 0.7579 0.7678 0.6871
1.9720 2.0651 1.2273 1.8656 1.7360
7.4334 2.0924 1.4148 1.1884 14.4985
0.6665** 0.6736*** 0.7008**
1.4577** 0.0299 0.0693
0.8899 0.0123 0.1065
0.7890 0.4923 0.6226
1.9404 1.7921 1.3715
0.7490 54.7909 6.5787
Sumber : Diolah dari World Bank dan FAOSTAT, 2012
199 6.3.
Dampak Liberalisasi serta Skenario peningkatan Total Factor Productivity (TFP) Pertanian dan Transmisi Harga Terhadap Makroekonomi dan Perekonomian Pedesaan di Indonesia
6.3.1. Kondisi Awal Aliran Perdagangan dan Proteksi Perdagangan ASEAN-5 dan China Sebagai
langkah
awal
dalam
menganalisis
dampak
liberalisasi
perdagangan berdasarkan kerangka kesepakatan perdagangan bebas ASEANChina (ACFTA), maka terlebih dahulu dijelaskan posisi (kondisi) awal mengenai aliran perdagangan serta tarif perdagangan yang berlaku antar negara-negara ASEAN-5 dan China, termasuk aliran perdagangan dan tarif perdagangan dengan mitra dagangang lainnya. Kondisi awal perdagangan ini, dimaksudkan sebagai dasar dalam melakukan evaluasi dampak. Keseluruhan nilai aliran perdagangan dan tarif perdagangan tersebutnya bersumber dari database GTAP Versi 8. 6.3.1.1.
Kondisi Awal Aliran Perdagangan ASEAN-5 dan China Gambaran mengenai kondisi awal aliran perdagangan antar negara-negara
AEAN-5 dan China, dimaksudkan unuk memberi gambaran tentang bagaimana kinerja awal perdagangan ekspor dan impor diantara negara negara ASEAN-5 dan China, termasuk kinerja perdagangannya dengan negara mitra dagangnya masingmasing. Kondisi awal tersebut juga nantinya menjadi landasan untuk menilai dampak liberalisasi perdagangan terhadap kinerja perdagangan masing-masing negara serta terhadap kinerja perekonomian secara keseluruhan. Tabel 39, menunjukkan aliran perdagangan antar negara-negara ASEAN-5 dan China serta mitra dagangang lainnya. Terlihat pada tabel berikut bahwa ekspor China ke negara-negara ASEAN-5 sekitar $ US 65,73 Milliar atau sekitar 5,63 persen dari total ekspor China ke seluruh dunia. Sementara China yang berasal dari ASEAN-5 berjumlah sekitar $US 105,29 Milliar atau sekitar 11,25 persen dari total impor China . Gambaran tersebut mengisyaratkan ASEAN-5 bukanlah daerah mitra dagang utama China. Negara yang menjadi tujuan utama ekspor China masih terkonsentrasi pada negara-negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan negara-negara di kawasan Asia Timur seperti Jepang, Korea, Taiwan dan Asia Timur lainnya.
200 200
Tabel 39 Negara Pengekspor
Kondisi Awal Aliran Perdagangan Antar Negara-negara ASEAN-5 dan China, Tahun 2007 ($ US Milliar). Negara Pengimpor CHN
IDN
MYS
PHL
SGP
THA
ASEAN-5
a)
ROSEA
ROE
b)
USA
EU25
c)
MEAST
d)
ROW
e)
Jumlah
CHN
0,00
13,05
17,16
6,84
15,15
13,53
65,73
14,14
236,11
281,15
274,49
41,37
254,20
1.167,18
IDN
11,08
0,00
5,42
1,96
5,11
3,69
16,19
1,87
38,93
15,08
19,25
3,81
21,46
127,67
MYS
28,38
4,22
0,00
2,09
14,27
8,65
29,22
3,06
29,30
36,05
31,00
5,66
31,91
194,57
PHL
22,71
0,61
3,26
0,00
2,19
1,61
7,67
0,50
15,42
11,11
9,95
0,79
4,11
72,26
SGP
20,63
15,94
21,31
3,32
0,00
7,52
48,09
4,87
36,21
19,83
36,58
4,35
34,79
205,35
THA
22,49
4,97
8,14
2,63
4,00
0,00
19,74
7,84
29,83
24,74
32,01
6,39
32,01
175,06
105,29
25,74
38,14
10,00
25,56
21,47
120,91
18,13
149,70
106,81
128,79
21,00
124,29
774,91
3,92
2,34
1,66
0,84
2,30
3,87
11,01
1,11
13,64
14,49
15,58
0,83
11,96
72,54
ASEAN-5 ROSEA
382,59
17,64
30,39
19,07
32,36
36,29
135,75
20,08
226,39
271,84
257,46
52,82
242,79
1.589,71
USA
78,55
6,46
11,96
7,94
25,80
10,32
62,49
3,28
187,25
0,00
345,23
59,92
626,65
1.363,37
EU25
132,11
15,41
24,64
6,89
29,40
20,76
97,11
9,17
180,72
452,04
3.493,31
154,12
1.080,47
5.599,04
ROEA
50,63
5,73
3,44
5,45
25,23
17,19
57,04
0,72
197,41
81,18
116,59
32,59
130,70
666,86
ROW
182,68
14,98
14,60
5,37
22,13
18,61
75,68
8,03
218,04
903,82
1.089,54
110,05
805,56
3.393,39
Jumlah
935,75
101,35
141,98
62,42
177,94
142,04
625,73
74,67
1.409,26
2.111,32
5.720,98
472,69
3.276,61
14.627,00
MEAST
Sumber : Diolah dari GTAP Data base Versi 8, 2012 Keterangan : a) ROSEA = ASEAN Lain (Rest of Southeast Asia) b) ROE = Asia Timu lain (Rest of East Asia) c) EU25 = Uni Eropa 25 d) MEAST = Negara-negara Timur Tengah (Middle East) e) ROSEA = Negara lainnya (Rest of World)
201 Selanjutnya dilihat dari sisi ASEAN-5, China dengan jumlah penduduk yang sangat besar, merupakan pasar yang sangat potensial bagi produk-produk ASEAN-5. Berdasarkan data GTAP8 nilai ekspor ASEAN-5, menunjukkan bahwa sekitar 13,59 persen dari total ekspor ASEAN-5 dialirkan ke negara China, sedangkan impor ASEAN-5 yang berasal dari China mencakup sekitar 10,5 persen dari total impor ASEAN-5. Pada tabel diatas juga terlihat bahwa nilai ekspor negara-negara ASEAN-5 ke China paling besar berasal dari Malaysia, kemudian disusul oleh Philipina dan Thailand dan Indonesia adalah terendah. Berdasarkan data GTAP8 bahwa nilai ekspor Malaysia ke China pada tahun 2007 senilai $ US 28,38 milliar, sementara nilai ekspor Indonesia ke China hanya sebesar $US 11,08 Milliar. Sedangkan dari sisi impor, terlihat bahwa Malaysia adalah negara di ASEAN-5 yang menyerap produk-produk China paling besar dan terendah ditempati oleh Philipina. Impor Malaysia dari berbagai produk-produk China sebesar $US 17,16 Milliar, sedangkan nilai impor Indonesia yang berasal dari China sekitar $ US 11,08 Milliar. Berdasarkan nilai transaksi perdagangan ekspor dan impor antara negara-negara ASEAN-5 dan China memperlihatkan bahwa, Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan China sementara negara-negara ASAN-5 lainnya mengalami surplus perdagangan dengan China. 6.3.1.2.
Sistem Proteksi Perdagangan ASEAN-5 dan China Kesepakatan perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan China
pada dasarnya merupakan kesepakatan untuk mengurangi atau menghapus tarif perdagangan
antara
negara-negara
anggotanya.
Berdasarkan
kerangka
kesepakatan ACFTA, maka sejak tahun 2010, penghapusan tarif impor untuk kategori barang dan jasa
yang masuk dalam daftar normal track, telah
diberlakukan untuk enam anggota lama ASEAN yakni ASEAN-5 plus Brunai Darussalam. Pemberlakuan kesepakatan ACFTA ini, memungkinkan masingmasing negara dapat intensitas perdagangannya diantara anggota-anggotanya. Sebelum menganalisis lebih jauh mengenai dampak liberalisasi perdagangan antara negara-negara ASEAN dan China, maka terlebih dahulu digambarkan kondisi awal tarif perdagangan yang diberlakukan masing-masing negara.
202 Tabel 40, memperlihatkan tingkat tarif impor yang diberlakukan masingmasing negara berdasarkan negara mitra dagangnya. Terlihat bahwa tarif impor yang diberlakukan China untuk barang-barang yang berasal dari negara-negara ASEAN-5 secara rata-rata adalah sekitar 10,52 persen. Tarif impor China tersebut lebih tinggi dibandingkan tarif impor yang diberlakukan negara-negara ASEAN-5 secara rata-rata, terhadap barang impor yang berasal dari China, yakni sebesar 5,97 persen. Untuk mitra dagangnya di ASEAN-5, China memberlakukan tarif impor paling besar untuk Singapura (15,80 persen) dan tarif impor paling kecil diberlakukan untuk barang-barang yang berasal dari Malaysia (5,05 persen). Sebaliknya negara-negara yang ada di ASEAN-5, yang mengenakan tarif impor paling besar untuk barang China adalah Thailand (10,93 persen dan sedangkan negara-negara ASEAN-5 yang mengenakan tarif impor paling kecil untuk barangbarang China adalah Singapor (0,0 persen) dan Indonesia sebesar 3,38 persen. Diantara negara-negara ASEAN-5 tarif impor yang diberlakukan untuk barang yang berasal dari negara-negara ASEAN-5 lainnya, kecuali Singapura, juga masih relatif tinggi. Secara rata-rata Malaysia memberlakukan tarif impor paling tinggi untuk barang-barang yang berasal dari negara ASEAN-5 lainnya yakni secara rata-rata sebesar 16,59 persen, kemudian diikuti oleh Thailand dengan tarif impor rata-rata sekitar 14,49 persen. Indonesia adalah negara setelah Singapura yang memberlakukan tarif impor paling kecil untuk barang-barang yang berasal dari ASEAN-5 lainnya, yakni secara rata-rata hanya sekitar 3,05 persen. Gambaran mengenai tingkat taif impor yang diberlakukan oleh masingmasing negara ASEAN-5 dan China dalam perdagangan diantara mereka, mengisyaratkan bahwa batasan perdagangan yang diberlakukan Indonesia untuk barang yang berasal dari ASEAN-5 dan China lebih longgar dibandingkan batasan perdagangan yang diberlakukan oleh negara mitranya di ASEAN-5 dan China. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat tarif impor yang diberlakukan Indonesia untuk barang yang berasal dari negara-negara ASEAN-5 dan China lebih rendah dibandingkan tarif impor yang diberlakukan oleh negara-negara tersebut untuk barang yang berasal dari Indonesia.
203 Tabel 40 Negara Mitra
Tingkat Tarif Impor Antar Negara ASEAN-5 dan China serta dengan Mitra Dagang Lainnya, Tahun 2007 (Persen). Tarif Impor (%) CHN
IDN
MYS
PHL
0.00 3.38 8.42 7.10 CHN 11.19 0.00 10.26 3.99 IDN 5.05 2.85 0.00 2.89 MYS 6.57 1.54 38.74 0.00 PHL 15.80 5.71 12.20 6.91 SGP 13.97 5.13 21.75 7.88 THA ASEAN-5 10.52 3.05 16.59 4.33 29.21 1.13 8.29 8.42 ROSEA 9.33 5.97 3.06 6.85 ROEA 28.50 5.17 31.60 6.22 USA 12.65 4.57 17.77 6.89 EU25 9.51 3.97 2.79 3.38 MEAST 11.33 4.91 9.18 8.46 ROW 15.08 4.14 14.24 6.45 Rata-rata Sumber : Diolah dari GTAP Data base Versi 8, 2012
SGP
THA
ASEAN-5
ROSEA
ROEA
USA
EU25
MEAST
ROW
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.79 0.00 0.60 0.01 0.33 0.34
10.93 19.95 20.19 19.10 15.48 0.00 14.94 16.31 12.99 17.25 13.97 13.77 10.13 15.22
5.97 6.84 5.18 11.87 8.06 6.95 7.78 6.83 5.93 12.05 8.76 4.78 6.60 8.08
8.36 2.64 2.52 5.85 9.02 4.10 4.83 5.16 13.52 13.76 8.63 11.37 10.37 8.13
55.73 31.01 1.53 6.85 2.11 9.21 10.14 13.24 25.38 30.70 10.83 4.92 41.37 23.20
1.85 6.41 1.25 10.44 4.56 5.63 5.66 1.50 2.60 0.00 2.17 1.09 1.61 3.15
11.87 3.69 4.65 4.29 0.00 7.10 3.95 3.40 12.21 7.03 0.02 2.48 4.77 5.58
8.92 6.22 4.73 10.42 8.14 9.92 7.89 6.27 8.65 5.38 7.39 5.39 5.21 7.08
6.44 12.82 6.61 4.65 6.30 8.60 7.80 8.66 5.52 4.93 11.36 4.66 6.52 7.30
Ratrata 13.50 10.85 5.72 9.69 8.62 8.87 8.75 9.76 9.73 14.77 8.50 5.93 10.66 9.89
203 4
204
204 Tabel 41
Tingkat Tarif Impor dan Pajak Ekspor Berbagai Komoditi di Masing-Masing Negara ASEAN-5 dan China, Tahun 2007 dalam persentase (%). China (%)
Komoditi PDR a) WHT b) GRO c) V_F d) OSD e) C_B f) PFB g) OCR h) OAGR i)I FOOD j) OTHIND k) SERV l)
Trif Pajak Impor Ekspor 28.15 0.00 51.44 0.00 2.70 0.00 3.47 0.00 2.51 0.00 1.38 0.00 39.24 0.00 8.01 0.00 8.59 0.00 11.10 0.00 9.45 5.04 0.00 0.00
ASEAN-5 (%) Indonesia Malaysia Philipina Singapura Thailand Trif Pajak Trif Pajak Trif Pajak Trif Pajak Trif Pajak Impor Ekspor Impor Ekspor Impor Ekspor Impor Ekspor Impor Ekspor 6.42 0.00 36.78 0.00 19.79 0.00 0.00 0.00 4.75 0.00 2.47 0.00 0.00 0.00 3.90 0.00 0.00 0.00 0.74 0.00 3.41 0.00 0.00 0.00 15.44 0.00 0.00 0.00 20.26 0.00 1.34 0.00 1.06 0.00 7.88 0.00 0.00 0.00 15.09 0.00 4.89 0.00 0.22 0.00 6.55 0.00 0.00 0.00 20.87 0.00 0.00 0.00 0.36 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.21 0.00 0.00 0.00 1.52 0.00 0.00 0.00 0.13 0.00 4.12 0.00 24.44 0.00 5.87 0.00 0.00 0.00 25.81 0.00 2.76 0.00 0.21 0.00 4.02 0.00 0.00 0.00 5.10 0.00 9.03 0.00 10.81 0.00 12.89 0.00 0.27 0.00 13.96 0.00 3.68 1.00 3.64 0.60 2.96 1.09 0.00 0.00 5.91 1.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Sumber : Diolah dari GTAP 8, 2012 Keterangan : a) PDR = Padi-Beras (Paddy Rice) b) WHT = Gandum (Wheat) c) GRO = Serealia lainnya (cereal grain nec) d) V_F = Sayuran, buah-buahan dan kacang kacangan (Vegetable furit nuts) e) OSD = Biji berminyak (Oil seeds) f) C_B = Gula tebu dan Gula beet (sugar cane and sugar beet) g) PFB = Tanaman berserat (Plant-based fibers) h) OCR = Tanaman perkebunan dan tanaman lainnya (Crops nec) i) OAGRI = Pertanian lainnya (non tanaman) j) FOOD = Hasil pertanian olahan dalam bentuk makanan (Food) k) OTHIND = Industri manufaktur dan pertambangan (Manufacturing and Mininng) l) SERV = Sektor jasa-jasa dan lainnya
205 Secara terperinci tingkat tarif impor dan pajak ekspor menurut jenis komoditi yang diterapkan oleh masing-masing negara di ASEAN-5 dan China ditunjukkan pada Tabel 41. Terlihat bahwa, baik di China maupun di negaranegara ASEAN-5 pajak ekspor untuk komoditi pertanian primer maupun produk pertanian olahan (food) sudah diminimalkan oleh masing-masing negara. Akan tetapi dari sisi tarif impor, masing-masing negara menerapkan tingkat tarif yang beragam. Kesenjangan tingkat tarif impor dan pajak ekspor yang diberlakukan oleh masing-masing negara mengisyaratkan bahwa masing-masing negara di ASEAN-5 dan China cenderung mendorong ekspor produk pertaniannya, dan disisi lain juga berusaha untuk melindungi produk pertanian domestiknya dari produk pertanian kompetitornya. Berdasarkan Data GTAP8, menunjukkan bahwa secara umum tingkat tarif impor untuk komoditi-komoditi pertanian China relatif lebih tinggi dibandingkan tingkat tarif impor pertanian di negara-negara ASEAN-5. Jenis komoditi pertanian yang memiliki tarif impor tertinggi di China adalah komoditi gandum (wheat) dengan tarif impor sekitar 51,44 persen, tanaman berserat (plant-based fibers) dengan taif impor sebesar 39,24 persen dan padi-beras (paddy-rice) sekitar 28,15 persen. Sementara di Indonesia komoditi pertanian yang memiliki tarif impor paling tinggi adalah komoditi pertanian olahan dalam bentuk makanan (food) dengan tingkat tarif impor sekitar 9,03 persen, kemudian disusul oleh komoditi beras dengan tarif impor sekitar 6,42 persen. Meskipun tarif impor komoditi padi-beras di Indonesia termasuk tinggi dibandingkan tarif impor pertanian lainnya di Indonesia, namun jika dibandingkan tarif impor padi-beras di China maupun di negara-negara ASEAN-5 lainnya, maka tarif impor padi-beras di Indonesia termasuk rendah. Malaysia adalah negara di ASEAN-5 yang memiliki tarif impor padi-beras yang paling tinggi, yakni sekitar 36,78 persen dan terendah, selain Singapura adalah Thailand dengan tarif impor padi-beras sebesar 4,75 persen.
206 6.3.2. Dampak ACFTA terhadap Kinerja Makroekonomi Masing-masing Negara ASEAN-5 dan China Pada dasarnya pembentukan kawasan perdagangan bebas regional, seperti halnya ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), tidak lain merupakan bentuk pendeskriminasian akses perdagangan antara negara-negara anggota dengan negara mitra dagang lainnya. Penurunan atau penghapusan berbagai hambatan perdagangan (tarif dan non tarif) diantara negara-negara anggota FTA akan meningkatkan interaksi ekonomi diantara mereka, baik dari sisi ekspor maupun impor, serta berdampak pada berbagai variabel makroekonomi lainnya. Dengan liberalisasi, maka komoditi yang dapat diproduksi secara efisien pada setiap negara dapat meningkat volume ekspornya serta memperoleh harga yang lebih tinggi dari negara mitranya, sebaliknya setiap negara juga akan memperoleh harga yang lebih murah dari barang-barang impor yang tidak dapat diproduksi secara efisien secara domestik. Selain itu, liberalisasi perdagangan ini juga akan berdampak pada berbagai variabel makroekonomi lainnya, seperti perubahan konsumsi masyarakat, pengeluran pemerintah, investasi, dan berbagai variabel makroekonomi lainnya. Pada bagian ini akan di uraikan dampak penghapusan tarif impor secara timbal balik antara negara-negara ASEAN-5 dan China terhadap berbagai variabel makroekonomi masing-masing. Hasil simulasi penghapusan tarif impor tersebut terhadap berbagai variabel makroekonomi di masing-masing negara disajikan pada Tabel 42-Tabel 45. Tabel 42 menunjukkan dampak penghapusan tarif impor secara timbal balik antara ASEAN-5 dan China terhadap kinerja ekspor masing-masing negara. Pada tabel tersebut terlihat bahwa, meskipun secara absolut peningkatan volume ekspor total China lebih tinggi dibandingkan ekspor total negara-negara ASEAN5, namun secara relatif, persentase peningkatan voleme ekspor negara ASEAN-5 lebih tinggi dari China. Dengan skema penghapusan tarif impor tersebut, volume ekspor China meningkat sekitar 0,35 persen dari nilai basenya, sementara persentase peningkatan volume ekspor negara-negara ASEAN-5 berkisar antara 0,69 – 1,22 persen dari nilai basenya. Terlihat bahwa, dalam skema ini Indonesia menempati urutan teratas dalam persentase peningkatan volume ekspor yakni
207 sekitar 1,22 persen, kemudian diikuti oleh Thailand dengan peningkatan ekspor sekitar 1,12 persen. Tabel 42, juga menunjukkan bahwa penghapusan tarif impor secara timbal balik antara negara-negara ASEAN-5 dan China akan berdampak pada perubahan nilai ekspor masing-masing negara mitra China untuk mengakses pasar domestik China. Skenario ini menyebabkan peningkatan nilai ekspor negara-negara ASEAN-5 ke pasar domestik China yang cukup signifikan, sementara ekspor mitra dagang China lainnya ke pasar domestik China mengalami penurunan. Diantara negara-negara ASEAN-5, Indonesia menempati urutan teratas dalam persentase peningkatan ekspor ke pasar domestik China, yakni meningkat sekitar 12,57 persen, kemudian diikuti oleh Thailand dengan persentase peningkatan sekitar 9,82 persen. Sedangkan persentase peningkatan ekspor ke pasar domestik China paling rendah ditempati oleh Philipina dan Singapura. Dengan liberalisasi ini, ekspor Philipina ke China hanya meningkat sekitar 1,86 persen dan Singapura sekitar 3,84 persen. Perubahan
ekspor
masing-masing
negara
ASEAN-5
ke
China
menyebabkan adanya perubahan pangsa pasar ekspor di pasar domestik China. Pada kondisi awal (sebelum FTA), ekspor masing-masing negara ASEAN-5 ke China, urutan teratas ditempati oleh Malaysia kemudian diikuti oleh Philipina dan Thailand. Namun setelah FTA, posisi Philipina digeser oleh Thailand diurutan ke dua, sedangkan Indonesia, meskipun persentase peningkatan ekspornya ke pasar domestik China paling tinggi, namun kondisi tersebut belum menggeser posisi Indonesia sebagai juru kunci diantara negara-negara ASEAN-5 dalam nilai ekspor ke pasar domestik China. Selanjutnya, pada tabel 42 juga terlihat bahwa skenario penghapusan tarif impor secara timbal balik antara ASEAN-5 dan China, menyebabkan menurunnya ekspor negara-negara mitra dagang China lainnya ke pasar domestik China. Gambaran tersebut mengisyaratkan bahwa skenario penghapusan tarif impor ini, menyebabkan dayasaing komoditi negara-negara ASEAN-5 di pasar domestik China mengalami peningkatan, sehingga pangsa pasar ekspor negara-negara ASEAN-5 di pasar domestik China mengalami peningkatan, dan menurunkan pangsa pasar ekspor mitra dagang China lainnya
208 Tabel 42
Dampak Liberalisasi ACFTA Terhadap Ekspor Negara-Negara ASEAN-5 dan China.
Nilai Ekspor Sebelum FTA ($US Juta) 1 Ekspor Total CHN 1,167,182 IDN 127,674 MYS 194,569 PHL 72,258 SGP 205,352 THA 175,057 ROSEA 72,543 ROEA 1,589,710 USA 1,363,366 EU25 5,599,035 MEAST 666,863 ROW 3,393,389 2 Ekspor Ke China CHN 0 IDN 11,082 MYS 28,375 PHL 22,709 SGP 20,634 THA 22,489 ROSEA 3,919 ROEA 382,586 USA 78,548 EU25 132,108 MEAST 50,625 ROW 182,675
No
Negara
Nilai Ekspor Setelah FTA ($US Juta)
Perubahan Nilai ($ US Persentase (%) Juta)
1,171,272 129,229 195,875 72,755 206,874 177,012 72,506 1,588,665 1,363,123 5,598,185 666,783 3,392,807
4,090.5 1,555.8 1,306.3 497.4 1,522.2 1,955.2 -37.3 -1,045.5 -243.8 -849.9 -79.9 -581.8
0.3505 1.2186 0.6714 0.6883 0.7413 1.1169 -0.0514 -0.0658 -0.0179 -0.0152 -0.0120 -0.0171
0 12,475 29,962 23,131 21,427 24,696 3,910 381,600 78,283 131,661 50,472 181,962
0 1,393.3 1,587.1 421.7 792.8 2,207.6 -9.7 -986.2 -265.1 -447.2 -152.6 -712.9
0 12.5729 5.5934 1.8571 3.8421 9.8165 -0.2481 -0.2578 -0.3375 -0.3385 -0.3014 -0.3902
Sumber : GTAP 8, 2012, Diolah.
Selanjutnya dari sisi impor, penghapusan tarif impor antar negara-negara ASEAN-5 dan China juga meningkat impor di masing-masing negara. Dengan skenario ini, total impor China meningkat $ US 935,8 Millair menjadi $ US 939,6 Milliar atau meningkat sekitar 0,41 persen dari nilai basenya. Sedangkan negaranegara ASEAN-5 memiliki persentase peningkatan impor berkisar antara 0,94 persen hingga 1,57 persen. Tercatat bahwa Thailand menempati urutan teratas dalam peningkatan nilai impor, yakni sekitar 1,57 persen, sedangkan peningkatan terendah ditempati oleh Phililipina yakni sekiar 0,94 persen. Perbandingan nilai absolut peningkatan ekspor dan impor di masing-masing negara ASEAN-5 dan China, menunjukkan bahwa hanya China dan Indonesia yang memiliki peningkatan nilai ekspor total yang lebih besar dari impor totalnya, sedangkan negara-negara ASEAN-5 lainnya terjadi sebaliknya. Gambaran tersebut
209 menjelaskan bahwa skenario penghapusan tarif impor ini akan memperbaiki posisi neraca perdagangan China dan Indonesia, tetapi memperburuk neraca perdagangan negara-negara ASEAN-5 lainnya. Tabel 43
No
Negara
Dampak Liberalisasi ACFTA terhadap Impor Negara-Negara ASEAN-5 dan China. Nilai Impor Sebelum FTA ($US Juta)
1 Impor Total CHN 935,751 IDN 101,353 MYS 141,982 PHL 62,416 SGP 177,939 THA 142,041 ROSEA 74,667 ROEA 1,409,256 USA 2,111,315 EU25 5,720,981 MEAST 472,686 ROW 3,276,610 2 Impor Dari China CHN 0 IDN 13,049 MYS 17,158 PHL 6,840 SGP 15,153 THA 13,533 ROSEA 14,137 ROEA 236,112 USA 281,152 EU25 274,488 MEAST 41,365 ROW 254,195
Nilai Impor Setelah FTA ($US Juta)
Perubahan Nilai ($ US Persentase (%) Juta)
939,580 102,898 143,577 63,000 180,345 144,265 74,536 1,407,680 2,110,826 5,720,340 472,457 3,275,583
3,828.9 1,545.3 1,595.4 584.2 2,405.6 2,224.3 -131.5 -1,576.5 -489.5 -640.9 -228.8 -1,027.3
0.4092 1.5247 1.1237 0.9360 1.3519 1.5659 -0.1762 -0.1119 -0.0232 -0.0112 -0.0484 -0.0314
0 13,998 18,301 7,326 15,372 14,918 14,143 235,992 281,169 274,512 41,354 254,187
0 948.8 1,143.6 486.3 218.2 1,385.0 6.3 -120.1 17.9 23.7 -10.6 -8.5
0 7.2712 6.6652 7.1098 1.4400 10.2346 0.0445 -0.0509 0.0063 0.0086 -0.0257 -0.0034
Sumber : GTAP 8, 2012, Diolah.
Tabel 43 juga menunjukkan pengaruh skenario penghapusan tarif impor antar ASEAN-5 dan China terhadap impor masing-masing negara atas produkproduk yang berasal dari China. Terlihat bahwa Thailand merupakan negara di ASEAN-5 mengalami peningkatan impor produk China paling besar yakni meningkat sekitar 10,23 persen, sedangkan yang terendah adalah Singapura dengan peningkatan impor produk China sekitar 1,44 persen. Selanjutnya dengan mencermati perbandingan antara ekspor negara-negara ASEAN-5 ke China dengan impor negara tersebut atas produk China, menunjukkan bahwa, kecuali
210 Philipina, negara-negara ASEAN-5 lainnya memiliki peningkatan nilai ekspor ke China yang lebih besar dibandingkan nilai impor negara tersebut atas produk China. Dengan kata lain bahwa skenario penghapusan tarif impor secara timbal balik antara ASEAN-5 dan China, menyebabkan neraca perdagangan negaranegara ASEAN-5, kecuali Philipina, semakin membaik. Peningkatan nilai impor di masing-masing negara membawa pengaruh pada perubahan harga penjualan barang komposit di masing-masing negara, demikian pula terhadap peningkatan harga upah tenaga kerja dan sewa modal . Perbandingan peningkatan harga penjualan barang komposit diantara negaranegara ASEAN-5 dan China, menunjukkan bahwa peningkatan harga penjualan barang komposit tertinggi di
Singapura dan Thailand, yakni masing-masing
meningkat sekitar 0,95 persen dan 0,73 persen, sedangkan peningkatan harga penjualan barang komposit paling rendah terjadi di China. Selain itu skenario penghapusan tarif impor antar ASEAN-5 dan China juga berdampak pada peningkatan upah tenaga kerja dan sewa modal di masing-masing negara. Terlihat pada Tabel 44 bahwa peningkatan upah tenaga kerja paling besar terjadi di Singapura yakni meningkat sekitar 1,36 persen, sedangkan peningkatan upah terkecil di China dan Indonesia, yakni masing-masing hanya meningkat sebesar 0,08 persen untuk China dan 0,307 persen untuk Indonesia. Sementara peningkatan sewa modal tertinggi terjadi di Malaysia dan terendah di China dan Philipina. Tabel 44
Dampak Liberalisasi ACFTA terhadap Harga-harga di Masingmasing Negara ASEAN-5 dan China.
Dampak ACFTA Terhadap Harga-Harga Harga Penjualan Barang Upah TK Sewa Modal Komposit (%) Komposit (%) Komposit (%) CHN 0.005 0.082 0.170 IDN 0.319 0.307 0.450 MYS 0.333 1.242 10.512 PHL 0.259 0.850 0.405 SGP 0.950 1.363 5.719 THA 0.731 1.328 1.914 ROSEA 0.011 -0.170 0.022 ROEA 0.014 -0.062 0.047 USA 0.015 0.000 0.021 EU25 0.035 0.007 0.038 MEAST 0.006 -0.020 0.017 ROW 0.002 -0.004 0.000 Sumber : GTAP 8, 2012, Diolah. Negara
IHK (%) -0.041 -0.017 0.130 0.258 0.920 0.184 -0.021 -0.041 0.003 0.010 -0.008 0.001
211 Peningkatan upah tenaga kerja serta tingkat sewa modal berimplikasi tidak hanya pada perubahan pendapatan rumah tangga di masing-masing negara tetapi juga akan mempengaruhi tingkat permintaan terhadap barang dan jasa di masingmasing negara, termasuk pengaruhnya terhadap kegiatan investasi. Berdasarkan hasil simulasi penghapusan tarif impor antar negara-negara ASEAN-5 dan China menunjukkan bahwa meskipun harga jual barang komposit meningkat, konsumsi masyarakat akan barang dan jasa di masing-masing negara juga meningkat. Peningkatan konsumsi masyarakat ini terutama didorong oleh peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan rumah tangga tersebut, juga diiringi peningkatan aggaran konsumsi rumah tangga sehingga konsumsi rumah tangga atas berbagai barang meningkat di masing-masing negara. Terlihat pada Tabel 41, bahwa konsumsi masyarakat setelah FTA mengalami peningkatan, dimana peningkatan tertinggi terjadi di Malaysia, sedangkan peningkatan terendah terjadi di China dan Indonesia. Akan tetapi dari sisi pengeluaran pemerintah, tampaknya hanya China yang mengalami peningkatan, sementara pengeluaran pemerintah di ASEAN-5 mengalami penurunan. Turunnya permintaan pemerintah terhadap berbagai barang dan dan jasa, selain disebabkan oleh berkurangnya penerimaan pemerintah sebagai dampak dari penghapusan pajak impor, juga disebabkan oleh meningkatnya
harga
penjualan
barang komposit.
Terbatasnya
anggaran
pemerintah yang dibarengi dengan peningkatan harga memberi konsekuensi terhadap berkurangnya konsumsi pemerintah terhadap berbagai barang dan jasa. Selanjutnya, dampak penghapusan tarif impor antar negara-negara ASEAN-5 dan China juga memberikan pengaruh buruk terhadap investasi di masing-masing negara. Terlihat pada Tabel 45, bahwa dengan skenario ini investasi di masing-masing negara ASEAN-5 dan China mengalami penurunan, hanya Singapura yang mengalami peningkatan investasi. Penurunan investasi di negara-negara ASEAN-5 dan China, disebabkan oleh dua hal utama, yakni selain terkait dengan berkurangnya tabungan pemerintah sebagai konsekuensi dari menurunnya penerimaan pemerintah dari pajak impor, juga disebabkan dari meningkatnya resiko investasi seiring dengan meningkatnya biaya modal. Terlihat pada tabel 45, bahwa penurunan investasi paling besar terjadi di Malaysia, yakni
212 turun sekitar 2,67 persen, sedangkan penurunan investasi paling kecil ditempati oleh China dan Indonesia, yakni masing-masing turun sekitar -0,29 persen untuk China dan sekitar -1,13 persen untuk Indonesia. Tabel 45
Negara
Dampak Liberalisasi ACFTA terhadap Variabel Makroekonomi di Masing-masing Negara ASEAN-5 dan China. Dampak ACFTA Terhadap Makroekonomi Masing-Masing Negara Pengel GDP GDP Penerimaan Konsumsi Investasi Pendapatan Pemerintah (FD) Deflator Pemerintah RT (%) (%) RT (%) (%) (%) (%) (%) 0.254 0.009 -0.292 -0.039 0.086688 0.086 -0.993 0.491 -0.043 -1.132 0.018 0.390148 0.385 -2.927 2.108 -0.647 -2.670 0.410 1.385332 1.372 -5.788 0.646 -0.500 -1.771 0.375 0.877784 0.875 -3.555 1.165 -1.000 3.016 1.510 1.559548 1.528 1.110 1.725 -0.515 -2.517 0.344 1.489243 1.472 -6.487 -0.130 0.087 -0.133 -0.142 -0.156511 -0.158 -0.099 -0.020 0.053 -0.107 -0.060 -0.060857 -0.061 -0.058 -0.002 -0.001 -0.001 0.000 0.000000 0.000 0.000 -0.002 -0.009 0.011 0.007 0.007629 0.008 0.006
CHN IDN MYS PHL SGP THA ROSEA ROEA USA EU25 MEAS T -0.030 0.014 ROW -0.007 0.002 Sumber : GTAP 8, 2012, Diolah.
-0.042 -0.010
-0.027 -0.006
-0.026024 -0.005645
-0.026 -0.006
-0.029 -0.006
Tabel 45 juga memperlihatkan pengaruh penghapusan tarif impor terhadap GDP masing-masing negara. Tampak bahwa GDP dari perspektif final demand masing-masing negara ASEAN-5 meningkat, sedangkan GDP China mengalami penurunan. Dengan skenario ini GDP China menurun sekitar -0,039 persen. Untuk ASEAN-5, peningkatan GDP tertinggi ditempati oleh Singapura yakni sekitar 1,51 persen, sedangkan posisi terendah ditempati oleh Indonesia dengan peningkatan sekitar 0,18 persen. Gambaran tersebut mengisyaratkan bahwa, meskipun secara umum liberalisasi perdagangan antara ASEAN-5 dan China dapat meningkatkan GDP masig-masing negara ASEAN-5, namun peningkatan tersebut berbasiskan pada peningkatan konsumsi masyarakat dan tidak berbasis pada peningkatan investasi yang dapat meningkatkan kapasitas produksi dan perluasan kesempatan kerja. 6.3.3. Dampak ACFTA terhadap Kinerja Sektor Ekonomi di Indonesia Pada bagian ini, diuraikan mengenai dampak penghapusan tarif impor antar negara-negara ASEAN-5 dan China secara timbal balik terhadap kinerja sektor ekonomi di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara agregat,
213 komoditi pertanian memiliki persentase peningkatan ekspor yang lebih tinggi dibandingkan
peningkatan
ekspor
kelompok
komoditi
non
pertanian.
Berdasakarkan skenario penghapusan tarif impor ini, maka ekspor total pertanian Indonesia meningkat dari $US 15,49 Milliar menjadi $US 15,78 Milliar atau meningkat sekitar 1,82 persen, sementara ekspor total sektor non pertanian meningkat dari $US 112,18 Milliar menjadi $US 113,45 Milliar atau meningkat sekitar 1,14 persen. Ekspor komoditi-komoditi pertanian Indoneia ke China juga memiliki peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan ekspor non pertanian. Ekspor pertanian Indonesia ke China meningkat sekitar 19,34 persen sementara komoditi non pertanian hanya meningkat sekitar 11,36 persen. Secara total ekspor pertanian Indonesia meningkat, namun terdapat beberapa komoditi yang memiliki peningkatan negatif, yakni komoditi padi (pdr), gandum (wht) dan gula tebu-gula beet (c_b). Menurunya ekspor Indonesia ke China pada ketiga komoditi tersebut mengisyaratkan bahwa Indonesia kalah bersaing dari China dalam memproduksi ketiga komoditi tersebut. Pada Tabel 46 terlihat bahwa komoditi pertanian Indonesia yang memiliki persentase peningkatan ekspor paling besar untuk menembus pasar domestik China ditempati oleh kelompok komoditi tanaman berserat (pfb) dengan persentase peningkatan ekspor mencapai 55,21 persen, kemudian diikuti oleh komoditi dari kelompok tanaman biji-biji berminyak (osd) dengan persentase peningkatan ekspornya sekitar 20,60 persen. Akan tetapi jika dilihat dari volume perdagangannya, maka komoditi Indonesia yang memiliki nilai perdagangan paling besar untuk menembus pasar domestik China ditempati oleh komoditi dari kelompok pertanian olahan (food), dengan nilai ekspor ke China sebesar $US 1,54 Milliar, kemudian diikuti oleh kelompok pertanian non tanaman (oagri) dengan nilai ekspor $US 59,5 juta dan dari kelompok tanaman pertanian lainnya (ocr) dengan nilai ekspor $ US 50 juta. Selanjutnya dilihat dari kinerja impor berbagai komoditi Indonesia, menunjukkan bahwa, penghapusan tarif impor antar negara-negara ASEAN-5 dan China juga meningkatkan impor berbagai komoditi pertanian di Indonesia. Secara total, impor pertanian Indonesia meningkat sekitar 3,11 persen, sedangkan komoditi non pertanian meningkat sekitar 1,36 persen. Dengan skenario
214 penghapusan tarif impor ini, impor berbagai komoditi pertanian Indonesia yang berasal dari China mengalami peningkatan, bahkan peningkatannya lebih tinggi dari peningkatan impor total Indonesia. Impor pertanian Indonesia yang berasal dari China meningkat 4,87 persen sedangkan non pertanian meningkat 7,45 persen. Jenis komoditi pertanian China yang memiliki peningkatan tertiggi yang diimpor Indonesia adalah komoditi komoditi padi (pdr) dengan peningkatan sekitar 13,58 persen, kemudian diikuti oleh komoditi biji-biji berminyak (osd) dan pertanian olahan (food). Tetapi dari segi nilai, maka komoditi pertanian China yang paling banyak diimpor Indonesia adalah komoditi dari kelompok sayursayuran, buah-buahan dan kacang-kacangan (v_f) dengan nilai base impor sekitar $US 384,13 juta, kemudian diikuti oleh kelompok komoditi pertanian olahan (food) dan gandum (wht). Nilai persentase perubahan impor Indonesia setelah simulasi penghapusan tarif impor antar negara-negara ASEAN-5 dan China disajikan pada Tabel 46 berikut. Tabel 46
Dampak Liberalisasi ACFTA Terhadap Kinerja Sektor Ekonomi Indonesia. Ekspor
Sektor
Ekspor Total (%)
Pertanian pdr wht gro v_f osd c_b pfb ocr oagri food Non Pert othind serv Total
1.82 10.45 -0.24 2.17 1.40 2.34 -0.52 5.68 0.58 1.07 2.07 1.14 1.23 -0.08 1.22
Ekspor Ke China (%)
19.34 -11.23 -0.50 5.92 19.86 20.60 -1.45 55.21 16.26 19.11 19.42 11.36 11.63 -0.13 12.57
Dampak Liberalisasi Terhadap Kinerja Sektoral Perub. Perub. Harga Neraca Neraca di Impor Dengan Ouput Total Pasar Dari China (%) ($US Lokal China ($US Juta) (%) (%) Juta)
Impor Impor Total (%)
3.11 11.14 0.16 2.05 0.52 0.85 1.22 0.12 2.57 0.70 5.10 1.36 1.68 -0.05 1.52
4.87 13.58 4.77 6.83 0.56 10.80 1.08 0.61 9.36 1.73 9.74 7.45 7.84 0.00 7.27
-6.46 -0.29 -1.75 -2.37 2.61 -3.42 0.00 -0.78 -0.94 6.29 -5.80 16.92 15.67 1.25 10.46
280.99 -0.43 -5.78 -3.61 4.35 -0.20 0.00 0.47 -2.27 11.16 277.30 163.50 163.81 -0.31 444.49
0.12 0.14 -0.34 0.05 0.07 0.08 0.15 0.08 0.08 0.07 0.15 -0.01 0.08 -0.09 0.01
1.01 -0.01 0.54 0.61 0.59 0.86 0.33 0.50 0.56 0.18 -0.28 0.04
Permintaan TK TK Terdidi k (%)
TK Tidak Terdidi k (%)
0.36 0.36 -0.80 0.14 0.17 0.20 0.38 0.20 0.20 0.21 0.36 -0.02 0.32 -0.14 0.00
0.24 0.34 -0.81 0.13 0.16 0.19 0.36 0.18 0.18 0.19 0.29 -0.08 0.25 -0.22 0.00
TK Total (%)
0.24 0.34 -0.81 0.13 0.16 0.19 0.36 0.18 0.18 0.19 0.30 -0.06 0.27 -0.20 0.00
Sumber : GTAP 8, 2012, Diolah.
Persentase peningkatan ekspor Indonesia ke China yang lebih besar dibandingkan persentase impor Indonesia dari China menyebabkan adanya perbaikan terhadap neraca perdagangan Indonesia dengan China, termasuk neraca perdagangan pertanian. Namun secara total, arus impor pertanian Indonesia lebih
215 tinggi dibandingkan ekspor pertaniannya, menyebabkan neraca perdagangan komoditi pertanian Indonesia memburuk dengan adanya liberalisasi ini. Selain kinerja perdagangan ekspor dan impor, pada tabel diatas juga terlihat bahwa penghapusan tarif impor antar negara-negara ASEAN-5 dan China juga mempengaruhi output masing-masing sektor produksi di Indonesia. Terlihat bahwa, kecuali komoditi gandum, output seluruh komoditi pertanian Indonesia mengalami peningkatan setelah liberalisasi. Secara total output pertanian Indonesia mengalami peningkatan sekitar 0,12 persen, sementara komoditi non pertanian menurun sekitar 0,01 persen. Komoditi pertanian yang memiliki peningkatan output paling besar adalah komoditi pertanian olahan (food), Gula tebu-Gula beet (c_b) dan padi (pdr). Selain peningkatan output, liberalisasi perdagangan antar negara-negara ASEAN-5 dan China juga berdampak pada meningkatnya harga penjualan komoditi domestik di pasar domestik (PD). Terlihat pada Tabel 46 bahwa dengan liberalisasi ini, hanya komoditi gandum Indonesia yang mengalami penurunan harga, sedangkan komoditi pertanian lainnya mengalami peningkatan. Terlihat bahwa komoditi pertanian padi yang memiliki peningkatan harga penjualan paling tinggi di pasar domestik, yakni meningkat sekitar 1,01persen, kemudian diikuti oleh komoditi gula tebu-gula beet (c_b) dengan peningkatan harga jual sekitar 0,86 persen. Peningkatan harga jual berbagai barang di pasar domestik, biasanya dilihat secara berbeda antara konsumen dan produsen. Bagi konsumen, peningkatan harga tersebut akan membebani konsumsinya, tetapi dari sisi produsen, peningkatan harga tersebut merupakan sinyaal positif dan dapat merangsang produsen untuk meningkatkan skala produksinya, sehingga pada gilirannya dapat berdampak pada meningkatnya permintaan input produksi termasuk permintaan tenaga kerja. Tabel 46 yang disajikan diatas menunjukkan bahwa sejalan dengan meningkatnya harga-harga komoditi pertanian Indonesia sebagai dampak dari liberalisasi, permintaan tenaga kerja di sektor ini juga mengalami peningkatan. Secara total permintaan tenaga kerja di sektor pertanian meningkat sekitar 0,24 persen. Permintaan tenaga kerja berdasarkan tipe tenaga kerja pertanian menunjukkan bahwa permintaan tenaga kerja terdidik lebih tinggi (0,36 persen) dibandingkan permintaan tenaga kerja tidak terdidik. Selain permintaan tenaga
216 kerja pertanian, tabel 44 juga menunjukkan bahwa dengan skenario liberalisasi ini permintaan tenaga kerja di sektor industri manufaktur dan pertambangan (othind) juga mengalami peningkatan sekitar 0,27 persen, sementara sektor jasa-jasa mengalami penurunan sekitar -0,20 persen.
6.3.4. Dampak Simulasi Peningkatan Total Factor Productivity (TFP) Pertanian dan Peningkatan Transmisi Harga terhadap Makroekonomi dan Kinerja Sektoral di Indonesia Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya bahwa, liberalisasi akan memberikan dampak yang berbeda-beda pada masing-masing wilayah, karena selain disebabkan oleh prebedaan produktivitas faktor, juga karena adanya perbedaan transmisi harga. Perbedaan produktivitas terjadi karena adanya perbedaan limpahan faktor produksi yang dimiliki masing-masing wilayah, seperti limpahan tenaga kerja, modal dan teknologi. Sedangkan perbedaan transmisi harga terkait perbedaan infrastruktur, struktur pasar, perbedaan kebijakan domestik, serta berbagai hambatan-hambatan dalam pemasaran komoditi. Rendahnya transmisi harga internasional ke pasar domestik, sekaligus menjadi sinyal sistem pemasaran tidak efisien. Oleh karena itu, untuk meningkatkan transmisi harga internasional, maka salah satu yang bisa dilakukan adalah meningkatkan efisiensi sistem pemasaran. Penngkatan efisiensi pemasaran ini dapat dilakukan melalui berbagai cara diantaranya perbaikan infrastruktur, penghapusan hambatan perdagangan baik dalam bentuk tarif maupun non tarif dan ain sebagainya Total factor productivity (TFP) merupakan salah satu ukuran produktivitas penggunaan input dalam menghasilkan output tertentu. Wilayah yang memiliki TFP yang lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya dalam menghasilkan komoditi tertentu, mengisyaratkan bahwa wilayah tersebut mampu menghasilkan komoditi secara lebih efisien dan lebih produktif dibandingkan wiilayah lainnya. Karena itu, dengan meningkatkan TFP pertanian Indonesia, maka produk-produk pertanian Indonesia diharapkan memiliki dayasaing yang lebih tinggi menghadapi persaingan dalam perdagangan bebas ASEAN-China. Untuk menganalisis dampak peningkatan TFP pertanian terhadap perekonomian, maka simulasi yang
217 dilakukan dalam model CGE ACFTA yang dibangun dalam studi ini, dikaitkan pada persamaan nilai tambah (4D.3), yang direpresentasikan ulang sebagai berikut
VAj , z B
VA j,z
VA j,z
VA j,z
1
VA VA j,z j,z
LDC j , z (1 ) LDC j , z VA j,z
Dimana BVA j , z merepresentasikan total factor productivity (TFP) komodit ke j di wilayah z. Simulasi peningkatan TFP pertanian dalam studi ini di fokuskan pada sembilan (9) komoditi primer pertanian, dalam hal ini komoditi pertanian olahan (food) tidak disimulasi. Selain itu, simulasi TFP pertanian yang selanjutnya disebut “Simulasi 2” merupakan simulasi ganda dengan “Simulasi 1”
yakni simulasi penghapusan tarif impor secara timbal balik antar negara-
negara
ASEAN-5 dan China. Singkatnya, “Simulasi 2” adalah simulasi
peningkatan TFP pertanian plus “Simulasi 1”. Selanjutnya, dari sisi transmisi harga, seperti yang telah disebutkan bahwa ketidak sempurnaan transmisi harga internasional merupakan pertanda terjadinya distorsi dalam pemasaran. Kondisi tersebut dapat terjadi karena adanya berbagai faktor, diantaranya adanya hambatan tarif atau non tarif, biaya transportasi yang tinggi, adanya mekanisme non pasar yang mempengaruhi harga domestik, serta faktor lainnya. Karena itu dalam rangka meningkatkan transmisi harga maka salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan meminimalkan biaya-biaya dalam rantai pemasaran komoditi, seperti biaya transportasi dan biaya-biaya lainnya. Dalam studi ini simulasi peningkatan transmisi harga internasional ke pasar domestik dilakukan dengan cara meminimalkan biaya transportasi dalam perdagangan internasional. Dalam model CGE ACFTA yang dibangun, simulasi peningkatan transmisi harga dikaitkan dengan variabel “tmrg” yang merupakan variabel tingkat margin komoditi yang diperdagangankan secara internasional, variabel „tmrg‟ dalam persamaan harga dapat dilihat pada persamaan 4D67 yang direpresentasi ulang sebagai berikut.
PM m, zj , z (1 tticm, z )(1 ttimm, zj , z )e z PWM m, zj , z PWMGi tmrg i ,m, zj , z i Untuk barang-barang ekspor, variabel yang merepresentasikan margin perdagangan untuk barang ekspor dinotasikan sebagai “MRGN”, Dalam kondisi keseimbangan dimana permintaan ekspor sama dengan permintaan impor, maka
218 nilai margin ekspor sama dengan nilai margin impor atau dalam bentuk persamaan direpresentasikan sebagai berikut.
MRGN
i,z
z
tmrg
i ,ij , zj , z
IM ij , zj , z
z , zj ,ij
Kedua persamaan tersebut mengisyaratkan bahwa pengurangan tingkat margin barang impor (tmrg) akan meningkatkan transmisi harga internasional ke pasar domestik, baik untuk barang impor maupun barang-barang ekspor. Karena itu dalam studi ini, simulasi peningkatan transmisi harga internasional ke pasar domestik di lakukan dengan memberikan shok pada variabel “tmrg”. Simulasi peningkatan transmisi harga ini direpresentasikan pada “Simulasi 3”, yang merupakan kombinasi “Simulasi 2” dengan penurunan “tmrg” Dampak dari ke tiga simulasi terhadap makroekonomi Indonesia diperlihatkan pada Tabel 47, terlihat bahwa dengan mengkombinasikan liberalisasi perdagangan (Simulasi 1) dengan peningkatan TFP
pertanian
Indonesia sebesar (25 persen), maka akan memberikan dampak yang lebih besar terhadap volume ekspor maupun impor. Dengan kondisi seperti pada Simulasi 2, maka ekspor total Indonesia akan meningkat sebesar 3,07 persen, bahkan ekspor Indonesia ke China akan meningkat sekitar 15,20 persen. Namun disisi lain, dampak dari simulasi ini juga akan meningkat volume impor yang lebih besar lagi. Volume impor total Indonesia akan meningkat sekitar 2,54 persen dan impor Indonesia dari China akan meningkat sekitar 8,21 persen. Peningkatan nilai ekspor
yang
lebih
tinggi
dibandingkan
peningkatan
impor
Indonesia
mengisyaratkan semakin membaiknya neraca perdagangan Indonesia. Skenario penghapusan tarif impor antar negara-negara ASEAN-5 dan China secara timbal balik yang dibarengi peningkatan TFP pertanian di Indonesia juga memberikan peningkatan yang lebih besar terhadap variabel konsumsi masyarakat, pendapatan rumah tangga dan GDP Indonesia. Bahkan skenario ini juga berdampak penurunan indeks harga konsumen yang lebih besar dibandingkan kondisi Simulasi 1. Namun skenario pada Simulasi 2 juga memberikan dampak buruk yang lebih besar terhadap konsumsi pemerintah dan iklim investasi. Terlihat pada Tabel 47, bahwa dengan skenario pada Simulasi 2, maka konsumsi masyrakat meningkat cukup tinggi yakni sekitar 6,05 persen, sementara kondisi pada Simulasi 1 peningkatan konsumsi masyarakat hanya
219 meningkat sekitar 0,49 persen. Skenario ini juga memberikan dampak positif yang signifikan terhadap peningkata GDP dari persfektif final Demand yakni meningkat sekitar 0,84 persen, dan indeks harga konsumen menurun sekitar 2,97 persen. Namun skenario pada simulasi 2 ini juga berpengaruh terhadap menurunnya investasi di Indonesia sekitar -2,65 persen. Untuk lebih jelasnya pengaruh peningkatan TFP pertanian Indonesia yang dikombinasikan dengan penghapusan tarif impor antar negara-negara ASEAN-5 dan China terhadap berbagai variabel makroekonomi Indonesia dapat terlihat pada tabel berikut. Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan Transmisi Harga di Indonsia terhadap Makroekonomi dan Kinerja Sektor Ekonomi Indonesia.
Tabel 47
No
1
Negara
Ekspor a. Ekspor Total b. Ekspor Ke China
2
BASE ($ US Juta)
Dampak Simulasi TFP dan Transmisi Harga Terhadap Makroekonomi Indonesia Nilai Setelah Simulasi ($US Persentase Perubahan (%) Juta) Simulasi Simulasi Simulasi Simulasi Simulasi Simulasi 1 2 3 1 2 3
127,674
129,229
131,590
132,047
1.22
3.07
3.43
11,082
12,475
12,766
12,812
12.57
15.20
15.61
101,353
102,898
103,925
105,122
1.52
2.54
3.72
13,049
13,998
14,121
14,337
7.27
8.21
9.87
261,733
263,018
277,579
278,387
0.49
6.05
6.36
Impor a. Impor total b. Impor dari China
3
Konsumsi Masyarakat
4
Konsumsi Pemerintah
35,389
35,374
34,616
34,628
-0.04
-2.18
-2.15
5
Investasi
105,773
104,575
102,971
102,886
-1.13
-2.65
-2.73
6
GDP Final Demand
432,103
432,183
435,739
435,932
0.02
0.84
0.89
7
Pendapatan RT
374,143
375,582
379,429
379,618
0.38
1.41
1.46
8
Penerimaan Pem.
48,521
47,101
47,502
47,516
-2.93
-2.10
-2.07
9
1.0
1.000
0.970
0.968
-0.02
-2.97
-3.16
10
IHK Harga penj Kom.Komp
1.0
1.034
0.844
0.839
0.32
-18.11
-18.58
11
Upah TK
1.0
1.020
1.057
1.058
0.31
3.95
4.05
12
Sewa Modal
1.0
1.008
1.039
1.034
0.45
3.55
3.04
Sumber : GTAP 8, 2012, Diolah. Keterangan : Simulasi 1 = Penghapusan tarif impor antar negara-negara ASEAN-5 dan China Simulasi 2 = Simulasi 1 + Peningkatan TFP Pertanian Indonesia 25% Simulasi 3 = Simulasi 2 + Penurunan tingkat margin perdagangan Indonesia 25%
Pada tabel 47 juga terlihat dampak skenario penurunan transmisi harga yang dikombinasikan dengan skenario penghapusan tarif impor dan peningkatan TFP pertanian Indonesia, yang direpresentasikan pada hasil Simulasi 3. Terlihat bahwa, dengan Simulasi 3, maka seluruh variabel makroekonomi Indonesia secara konsisten mengalami peningkatan yang lebih besar dibandingkan kondisi pada
220 Simulasi 2, kecuali pada variabel konsumsi pemerintah, dimana tingkat penurunan konsumsi pemerintah pada Simulasi 3 lebih rendah dibandingkan kondisi pada Simulasi 2. Gambaran di atas mengisyaratkan bahwa skenario penghapusan tarif impor antar negara-negara ASEAN-5 dan China aka memberikan dampak positif terhadap berbagai variabel makroekonomi Indonesia, seperti pada peningkatan volume ekspor yang lebih tinggi dibandingkan volume impor, peningkatan konsumsi masyarakat dan pendapatan rumah tangga serta berdampak positif terhadap GDP Indonesia. Hasil simulasi 2 dan Simulasi 3, juga menunjukkan bahwa dampak positif liberalisasi terhadap variabel makroekonomi Indonesia akan semakin besar jika dibarengi dengan peningkatan TFP dan peningkatan transmisi harga. Selanjutnya dampak simulasi peningkatan TFP pertanian dan peningkatan transmisi harga terhadap kinerja sektoral Indonesia di perlihatkan Tabel 48 -Tabel 50. Dampak dari skenario peningkatan TFP (Simulasi 2) dan peningkatan transmisi harga (Simulasi 3) seperti yang diperlihatkan pada Tabel 48, menunjukkan bahwa meski secara total ekspor Indonesia maupun ekspor Indonesia ke China mengalami peningkatan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil Simulasi 1, namun peningkatan TFP pertanian maupun pada peningkatan transmisi harga memberi dampak pada penurunan ekspor total sektor non pertanian, meski ekspor sektor tersebut ke China tetap mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Sementara ekspor komoditi pertanian secara keseluruhan mengalami peningkatan yang cukup tinggi, termasuk untuk komoditi-komoditi pertanian utama Indonesia yang selama ini memberi devisa bagi negara yang cukup besar seperti komoditi pertanian olahan (food), komoditi perkebunan dan tanaman lainnya (ocr), dan pertanian non tanaman (oagri). Dengan Simulasi 2 ekspor total komoditi pertanian olahan akan meningkat sekitar 24,11 persen dan pada Simulasi 3 ekspor komoditi tersebut akan meningkat sekitar 24,35 persen. Peningkatan ekspor komoditi Indonesia ini ke China memiliki peningkatan yang lebih besar lagi yakni diatas 45 persen baik untuk Simulasi 2 maupun pada Simulasi 3. Secara terperinci dampak penghapusan tarif impor yang dibarengi dengan peningkatan TFP pertanian Indonesia (Simulasi 2), maupun kombinasi
221 Simulasi 2 dengan peningkatan transmisi harga (Simulasi 3) disajikan pada tabel berikut. Tabel 48
Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan Transmisi Harga di Indonsia Terhadap Ekspor Sektoral Indonesia.
Sektor
Pertanian Pdr Wht Gro v_f osd c_b pfb ocr oagri food Non Pert othind serv Total
Nilai Base ($US Juta) 15,493.8 1.4 4.6 22.9 407.0 57.0 0.0 5.9 1,907.6 820.8 12,266.7 112,180 104,151 8,029 127,674
Dampak Simulasi TFP dan Transmisi Harga Terhadap Ekspor Sektoral Indonesia Ekspor Total Ekspor Ke China Simulasi 2 Simulasi 3 Nilai Base Simulasi 2 Simulasi 3 (%) (%) ($US Juta) (%) (%) 32.25 32.49 1,680.5 49.46 49.74 202.72 203.11 5.1E-07 154.42 154.58 37.41 38.31 2.8E-07 38.16 39.04 69.38 69.55 0.13 82.81 82.95 65.20 65.38 32.8 88.21 88.51 83.66 85.25 0.8 126.07 128.02 108.70 109.05 0.0003 110.38 110.69 43.96 46.35 0.9 112.09 115.61 57.62 57.85 50.0 83.80 84.12 73.58 73.64 59.5 111.48 111.55 24.11 24.35 1,536.4 45.03 45.32 -0.96 -0.59 9,401 9.07 9.51 -0.82 -0.43 9,187 9.35 9.79 -2.78 -2.68 215 -2.81 -2.71 3.07 3.43 11,082 15.20 15.61
Sumber : GTAP 8, 2012, Diolah
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa skenario penghapusan tarif impor antar negara-negara ASEAN-5 dan China secara timbal balik (Simulasi 1) akan meningkatkan impor berbagai komoditi pertanian Indonesia, termasuk impor pertanian yang berasal dari China. Namun jika Simulasi 1 dikombinasikan dengan peningkatan TFP pertanian Indonesia (Simulasi 2), maupun pada sumulasi kombinasi antara Simulasi 2 dengan peningkatan transmisi harga (Simulasi 3) memberi pengaruh pada menurunnya impor pertanian Indonesia, termasuk impor pertanian yang berasal dari China, kecuali komoditi gandum dimana impor Indonesia masih tetap mengalami peningkatan baik pada Simulasi 2 maupun pada Simulasi 3. Secara agregat peningkatan TFP pertanian Indonesia yang dikombinasikan penghapusan tarif impor mampu menurunkan impor pertanian Indonesia sekitar -7,07 persen, sedangkan pada Simulasi 3 penurunan impor pertanian Indonesia sekitar -4,70 persen. Bahkan impor pertanian Indonesia dari China akan menurun sekitar -11,01 persen untuk Simulasi 2 dan sekitar -8,15 persen untuk Simulasi 3. Hasil tersebut menjelaskan bahwa dengan peningkatan TFP maupun perbaikan tansmisi harga akan meningkatkan dayasaing produk-produk pertanian tidak hanya di pasar global dan
222 pasar China, tetapi juga di pasar domestik. Dengan kata lain bahwa peningkatan TFP pertanian Indonesia dan perbaikan transmisi harga menyebabkan produkproduk pertanian Indonesia dapat mensubstitusi sebagian produk-produk pertanian yang selama ini diimpor Indonesia dari berbagai negara, termasuk impor pertanian yang berasal dari China. Tabel 49
Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan Transmisi Harga di Indonsia Terhadap Impor Sektor Indonesia.
Sektor Nilai Base ($US Juta)
Dampak Simulasi TFP dan Transmisi Harga Terhadap Impor Sektoral Indonesia Impor Total Impor Dari China Simulasi 2 Simulasi 3 Nilai Base Simulasi 2 Simulasi 3 (%) (%) ($US Juta) (%) (%)
Pertanian 9.254,0 pdr 3,9 wht 1.115,3 gro 139,8 v_f 590,4 osd 562,2 c_b 0,3 pfb 924,9 ocr 468,7 oagri 352,6 food 5.095,8 Non Pertanian 92.099 othind 75.478 serv 16.621 Total 101.353 Sumber : GTAP 8, 2012, Diolah
-7,07 -62,64 11,73 -19,83 -21,34 -34,80 -44,25 -2,13 -27,67 -31,75 -3,36
-4,70 -60,36 11,70 -18,02 -16,86 -31,06 -44,35 -2,21 -26,03 -29,73 -0,32
904,41 3,13 121,30 52,98 384,13 3,41 1,7E-05 0,08 111,14 11,85 216,40
-11,01 -61,96 16,24 -16,63 -21,15 -27,53 -44,42 -2,07 -21,67 -30,42 0,63
-8,15 -59,56 16,12 -14,69 -17,08 -26,05 -44,52 6,66 -20,08 -30,01 4,02
3,50 3,67 2,76 2,54
4,57 4,96 2,76 3,72
12144,74 11.537 608 13.049
9,64 10,00 2,81 8,21
11,21 11,65 2,80 9,87
Selanjutnya, dampak berbagai simulasi terhadap output dan kesempatan kerja sektoral di Indonesia menunjukkan bahwa skenario peningkatan TFP pertanian Indonesia maupun memberikan peningkatan output berbagai sektor pertanian Indonesia secara signifikant, sebaliknya output komoditi non pertanian mengalami penurunan. Terlihat bahwa dengan Simulasi 2, output pertanian agregat Indonesia meningkat sekitar 14,99 persen, sementara output non pertanian menurun sekitar -0,27 persen. Sedangkan simulasi peningkatan transmisi harga tampaknya tidak berpengaruh banyak terhadap output sektoral Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Simulasi 3 dimana peningkatan outpur pertanian sedikit lebih kecil dibandingkan hasil Simulasi 2. Terlihat bahwa dengan Simulasi 3, output pertanian Indonesia secara agregat meningkat sekitar 14,95 persen,
223 peningkatan tersebut sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan peningkatan output pertanian Indonesia pada kondisi Simulasi 2. Lebih lanjut, terlihat pada tabel 50, bahwa meskipun simulasi peningkatan TFP pertanian dapat mendorong peningkatan output pertanian secara signifikan. Namun skenarion ini tampaknya berpengaruh pada penyempitan kesempatan kerja pertanian. Hal ini terlihat dari hasil Simulasi 2 dimana sebagian besar sektorsektor pertanian mengalami penurunan kesempatan kerja. Simulasi peningkatan TFP pertanian ini juga mereduksi kesempatan kerja disektor non pertanian, khususnya sektor industri manufaktur dan pertambangan, tetapi meningkatkan kesempatan kerja pada sektor pertanian olahan (food) dan sektor jasa, termasuk pada sektor-sektor pertanian primer yang bukan unggulan Indonesia seperti sektor gandum dan tanaman berserat. Tabel 50
Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan Transmisi Harga di Indonsia Terhadap Output dan Kesempatan Kerja Sektor Indonesia.
Dampak Simulasi TFP dan Transmisi Harga Terhadap Output dan Kesempatan Kerja Sektoral Sektor Output Sektoral Kesempatan Kerja Total Nilai Base Simulasi 2 Simulasi 3 Nilai Base Simulasi 2 Simulasi 3 ($US Juta) (%) (%) (Ribu TK) (%) (%) Pertanian 146.800 14,99 14,95 33.432 2,04 1,96 pdr 10.969,7 12,08 12,04 3.789 -19,57 -19,61 wht 6,2 38,60 38,51 0,37 39,92 39,46 gro 3.565,0 18,62 18,57 1.253 -10,73 -10,79 v_f 12.136,4 22,02 21,98 4.586 -5,33 -5,40 osd 8.471,9 17,96 17,66 2.720 -11,69 -12,12 c_b 955,2 11,90 11,87 297 -19,79 -19,83 pfb 63,1 26,78 26,47 23 3,54 2,90 ocr 8.926,6 23,35 23,31 2.851 -3,04 -3,10 oagri 24.593,4 18,44 18,47 5.480 -12,53 -12,48 food 77.112,4 11,76 11,73 12.431 23,73 23,66 Non Pertanian 694.136 -0,27 -0,27 132.969 -0,51 -0,49 othind 315.410 -0,74 -0,83 39.345 -2,36 -2,67 serv 378.726 0,12 0,19 93.623 0,27 0,42 Total 840.936 2,40 2,38 166.400 0,00 0,00 Sumber : GTAP 8, 2012, Diolah.
Gambaran tentang hasil simulasi yang mengkombinasikan penghapusan tarif impor dan peningkatan TFP pertanian, serta peningkatan transmisi harga, menjelaskan bahwa peningkatan TFP pertanian memang memberi pengaruh yang cukup besar dalam mendorong ekspor dan peningkatan output pertanian, serta
224 meningkatkan kemampuan sektor pertanian Indonesia untuk mensubstitusi komoditi pertanian impor di pasar domestik, sehingga mampu menekan impor pertanian. Namun skenario tersebut sekaligus dapat berdampak pada menurunnya kesempatan kerja di sektor pertanian primer. Efisiensi tenaga kerja yang menyertai peningkatan TFP ini mendesak terjadinya pergeseran tenaga kerja ke sektor pertanian olahan dan sektor-sektor jasa. Berdasarkan hasil perhitungan nilai RCA dan pangsa pasar ekpor komoditi pertanian dan non peranian Indonesia, baik di pasar global maupun di pasar domestic China, menunjukkan bahwa dengan menghapus tarif impor secara timbal balik antarnegara-negara ASEAN-5 dan China menyebabkan nilai RCA komoditi pertanian agregat di pasar global meningkat, sedangkan komoditi non pertanian sedikit terkoreksi. Posisi dayasaing komoditi unggulan Indonesia di pasar global juga terkoreksi dengan adanya liberalisasi tersebut. Seperti yang dijelaskn sebelumnya bahwa di pasar global, terdapat tiga komoditi pertanian Indonesia yang memiliki dayasaing tinggi sebelum FTA, yakni masing-masing komoditi perkebunan dan pertanian lainnya (ocr) dan pertanian non tanaman (oagri), dan pertanian olahan (food). Posisi dayasaing ketiga komoditi unggulan tersebut setelah penghapusan tarif impor dimana nilai RCA komoditi perkebunan dan pertanian lainnya (ocr) dan pertanian non tanaman (oagri) sedikit menurun, sedangkan komoditi pertanian olahan (food) meningkat tipis. Meskipun demikian pangsa pasar ekspor ketiga komoditias unggulan tersebut tetap mengalami peningkatan setelah FTA. Pada Tabel 51 memperlihatkan bahwa jika liberalisasi dibarengi dengan peningkatan TFP pertanian di Indonesia, menyebabkan nilai RCA seluruh komoditi pertanian Indonesia di pasar global mengalami peningkatan, termasuk ketiga komoditi petanian unggulan Indonesia sepertiyang tela disebutkan. Kondisi serupa juga terjadi jika liberalisasi dibarengi dengan perbaikan transmisi harga. Gambaran tersebut menjelaskan bahwa perbaikan teknologi pertanian serta perbaikan efisiensi pemasaran di Indonesia akan mendorong peningkatan dayasaing komoditi pertanian Indonesia di pasar global. Selengkapnya perubahan nilai RCA dan pangsa pasar ekspor komoditi pertanian dan non pertanian Indonesia di pasar global dan pasar domestik China sebelum dan setelah FTA diperlihatkan pada Tabel 51.
225 Tabel 51
Komoditi
Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan Transmisi Harga di Indonsia terhadap Indikator Dayasaing Komoditi Pertanian dan Non Pertanian Indonesia di Pasar Global dan Pasar Domestik China. RCA Komoditi Pertanian dan Non Pertanian Indonesia Sebelum Sim-1 Sim-2 Sim-3 FTA
Pangsa Pasar Ekspor Sebelum FTA
Sim-1
Sim-2
Sim-3
Pasar Global Pertanian pdr wht gro v_f osd c_b pfb ocr oagri food Non Pert othind serv Total
1,8796 0,1011 0,0176 0,0898 0,5225 0,2036 0,0205 0,0550 4,0982 1,3021 2,2501 0,9393 1,0855 0,3419 1,0000
1,8888 0,1104 0,0173 0,0907 0,5235 0,2059 0,0202 0,0575 4,0711 1,3006 2,2652 0,9386 1,0856 0,3377 1,0000
2,4038 0,2974 0,0234 0,1479 0,8373 0,3644 0,0416 0,0770 6,1938 2,1851 2,6991 0,9028 1,0446 0,3227 1,0000
2,3994 0,2968 0,0234 0,1475 0,8352 0,3661 0,0416 0,0780 6,1809 2,1783 2,6946 0,9031 1,0452 0,3220 1,0000
1,6407 0,0882 0,0153 0,0784 0,4561 0,1777 0,0179 0,0480 3,5771 1,1365 1,9640 0,8199 0,9475 0,2984 0,8729
1,6678 0,0975 0,0153 0,0801 0,4623 0,1818 0,0178 0,0507 3,5948 1,1485 2,0002 0,8288 0,9586 0,2982 0,8830
2,1609 0,2674 0,0210 0,1329 0,7527 0,3276 0,0374 0,0692 5,5679 1,9643 2,4264 0,8115 0,9391 0,2901 0,8990
2,1641 0,2677 0,0211 0,1330 0,7533 0,3302 0,0375 0,0703 5,5748 1,9647 2,4304 0,8145 0,9427 0,2904 0,9019
3,4518 0,0000 0,0000 0,0397 2,0822 0,0069 0,0108 0,0303 5,3537 0,5859 7,5942 0,8802 0,9714 0,1605 1,0000
4,1849 0,0000 0,0000 0,0670 3,1534 0,0127 0,0225 0,0404 8,1782 1,0099 8,8591 0,8429 0,9303 0,1527 1,0000
4,1780 0,0000 0,0000 0,0668 3,1480 0,0128 0,0224 0,0410 8,1617 1,0067 8,8443 0,8432 0,9307 0,1523 1,0000
3,9115 0,0000 0,0000 0,0498 2,3079 0,0076 0,0145 0,0259 6,1835 0,6538 8,8224 1,0530 1,1599 0,2133 1,1843
4,5830 0,0000 0,0000 0,0527 2,7646 0,0092 0,0143 0,0402 7,1083 0,7779 10,0831 1,1687 1,2897 0,2131 1,3277
5,6843 0,0000 0,0000 0,0910 4,2832 0,0172 0,0306 0,0549 11,1083 1,3717 12,0331 1,1449 1,2636 0,2074 1,3583
5,6943 0,0000 0,0000 0,0910 4,2905 0,0174 0,0306 0,0558 11,1237 1,3720 12,0541 1,1493 1,2685 0,2076 1,3629
Pasar Domestik China Pertanian pdr wht gro v_f osd c_b pfb ocr oagri food Non Perta othind serv Total
3,3029 0,0000 0,0000 0,0420 1,9488 0,0064 0,0122 0,0219 5,2214 0,5520 7,4496 0,8892 0,9794 0,1801 1,0000
Sumber : GTAP 8, 2012, Diolah.
Selanjutnya pada Tabel 51 juga terlihat bahwa, sebelum FTA komoditi pertanian Indonesia yang memiliki dayasaing untuk mengakses pasar pertanian China terdiri dari komoditi buah-buahan, sayur-sayuran dan kacang-kacangan (v_f), komoditi perkebunan dan tanaman lainnya (ocr) dan serta komoditi pertanian olahan (food). Semakin terbukanya akses ke pasar domestik China, setelah liberalisasi menyebabkan posisi dayasaing komoditi pertanian Indonesia di pasar domestik China semakin kuat. Hal ini diindikasikan oleh semakin meningkatnya nilai RCA sebagian besar komoditi pertanian Indonesia di pasar China. Bahkan jika liberaliasi dibarengi dengan peningkatan TFP pertanian dan
226 perbaikan transmisi harga menyebabkan komoditi non tanaman (oagri) juga dapat menjadi unggulan Indonesia dalam mengakses pasar domestik China yang besar. Selanjutnyaberdasakan hasil perhitungan indeks spesialisasi perdagangan komoditi Indonesia di pasar global, menunjukkan bahwa penghapusan tarif impor perdagangan secar timbal balik antar negara ASEAN-5 dan China (simulasi 1) memberikan dampak panuruna indeks spesialisasi secara keluruhankomoditi di Indonesia. Penurunan indeks spesialisasi tersebut disebabkan karena peningkatan impor lebih besar dibadingkan peningkatan ekspor Indonesia baik untuk komoditi pertanian maupun komoditi non pertanian. Pada Tabel 52 terlihat bahwa indeks spesialisasi pertanian sebelum FTA sebesar 0,2521 menurun menjadi 0,2462, demikian pula untuk komoditi non pertanian yang sebelum FTA bernilai 0,0983 menurun menjadi 0,0972. Tabel 52
Komoditi
Indeks Spesialisasi Perdagangan Indonesia di Pasar Global Sebelum dan Setelah FTA. Indeks Spesialisasi Perdagangan Indonesia di pasar Global Sebelum FTA Simulasi 1 Simulasi 2 Simulasi 3
Pertanian 0,2521 pdr -0,4791 wht -0,9918 gro -0,7186 v_f -0,1839 osd -0,8159 c_b -0,8638 pfb -0,9874 ocr 0,6055 oagri 0,3989 food 0,4130 Non Pertanian 0,0983 othind 0,1596 serv -0,3486 Total 0,1149 Sumber : GTAP 8, 2012, Diolah.
0,2462 -0,4815 -0,9919 -0,7184 -0,1797 -0,8134 -0,8660 -0,9867 0,5993 0,4005 0,4008 0,0972 0,1575 -0,3487 0,1134
0,4087 0,4809 -0,9900 -0,4860 0,1829 -0,5557 -0,5704 -0,9815 0,7973 0,7110 0,5112 0,0764 0,1380 -0,3727 0,1175
0,3990 0,4583 -0,9899 -0,4941 0,1565 -0,5717 -0,5692 -0,9812 0,7935 0,7038 0,5004 0,0732 0,1338 -0,3723 0,1135
Selanjutnya pada Tabel 52 diatas juga menunjukkan bahwa simulasi penghapusan tarif impor yang dibarengi dengan peningkatan TFP pertanian maupun dengan peningkatan transmisi harga komoditi pertanian berdampak pada peningkatan nilai indeks spesialisasi komoditi-komoditi pertanian, tetapi menurunkan indeks spesialisasi komoditi non pertanian. Peningkatan TFP menyebabkan nilai indeks spesialisasi pertanian meningkat dari 0,2521 sebelum
227 FTA menjadi 0,4087 setelah FTA (simulasi 2). Sedangkan pada kondisi simulasi 3 nilai indeks spesialisasi pertanian sebesar 0,3990. Gambaran tersebut mengisyaratkan bahwa peningkatan TFP dan perbaikan transmisi harga semakin meningkatkan kecenderungan ekspor komoditi pertanian Indonesia. Bahkan dengansimulasi ini, komoditi padi-beras (pdr) dan komidi sayur-buah dan kacangkacangan (v_f) yang sebelum FTA cenderung diimpor berubah menjadi komoditi yang cenderung diekspor. Selain itu, liberalisasi antar negara-negara ASEAN-5 dan China juga berdampak pada semakin meningkatnya komplementaritas perdagangan komoditi pertanian antara Indonesia dengan China. Hal ini ditunjukkan oleh nilai indeks komplemeter komoditi pertanian Indonesia dengan China meningkat dari 0,5093 sebelum FTA mejadi 0,5192 setelah penghapusan tarif impor (simulasi 1). Bahkan jika skenario penghapusan tarif impor tersebut dibarengi dengan peningkatan TFP pertanian dan peningkatan transmisi harga akan meningkatkan nilai indeks komplementer komoditi pertanian yang lebih tinggi yakni sebesar 0,5478. Hal ini menunjukkan bahwa liberalisasi yang dibarengi dengan peningkatan TFP dan perbaikan transmisi harga menyebabkan struktur kebutuhan impor pertanian China semakin cocok dengan struktur ekspor pertanian Indonesia. Dengan demikian prospek pertanian Indonesia untuk mengakses pasar pertanian China semakin baik jika liberalisasi dibarengi dengan dengan peningkatan TFP pertanian dan perbaikan transmisi harga. Tabel 53
Indeks Komplementer Perdagangan Komoditi Pertanian Indonesia dengan China Sebelum dan Setelah FTA.
Indeks Komplementer Perdagangan Indonesia dengan China Sebelum FTA Simulasi 1 Simulasi 2 Simulasi 3 pdr 0,0000 0,0000 0,0001 0,0001 wht 0,0002 0,0002 0,0001 0,0001 gro 0,0024 0,0024 0,0021 0,0021 v_f 0,0034 0,0032 0,0001 0,0001 osd 0,1216 0,1193 0,1176 0,1175 c_b 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 pfb 0,0383 0,0376 0,0373 0,0373 ocr 0,0521 0,0515 0,0640 0,0640 oagri 0,0794 0,0777 0,0690 0,0690 food 0,1932 0,1889 0,1620 0,1620 Total 0,4907 0,4808 0,4522 0,4522 Indeks Komplementer 0,5093 0,5192 0,5478 0,5478 Sumber : GTAP 8, 2012, Diolah. Komoditi
228 6.3.5. Dampak Liberalisasi, Peningkatan Total Factor Productivity (TFP) Pertanian dan Peningkatan Transmisi Harga Terhadap Perekonomian Pedesaan di Indonesia Pada bagian ini, analisa dampak liberalisasi serta peningkatan
TFP
pertanian dan transmisi harga dianalisis berdasarkan Model CGE Indonesia. Model ini dibangun dari SAM Indonesia versi GTAP 8, dengan mengagregasi kelompok rumah tangga menjadi lima kelompok yakni masing-masing : rumah tangga pertanian (HA); rumah tangga bukan pertanian golongan bawah pedesaan (HRP); rumah tangga bukan pertanian golongan atas pedesaan (HRR); rumah tangga bukan pertanian golongan bawah perkotaan (HUP) dan rumah tangga bukan pertanian golongan atas perkotaan (HUR). Komposisi pendapatan berdasarkan kelompok rumah tangga dalam SAM Indonesia versi GTAP8 ini disesuaikan dari komposisi pendapatan rumah tangga dari SAM Indonesia 2008 versi BPS. Sistem agregasi sektor dalam CGE model Indonesia ini adalah identik dengan sistem agregasi sektor pada model CGE global untuk ACFTA, demikian pula tarif impor menurut negara mitra mengikuti klasifikasi negara pada model CGE Global. Karena model CGE Indonesia ini hanya model satu negara, maka penghapusan tarif impor secara timbal balik antar negara-negara ASEAN-5 dan China tidak bisa dilakukan. Karena itu dalam simulasi liberalisasi (Simulasi 1) Indonesia diasumsikan menghapus tarif impor dengan mitra dagangnya dari ASEAN-5 dan China, selain itu Indonesia juga diasumsikan menghapus tarif ekspornya ke masing-masing negara mitra. Sedangkan untuk Simulasi 2 dan Simulasi 3 asumsi yang digunakan adalah sama dengan asumsi pada simulasi serupa pada model CGE global, yaitu Simulasi 2 merupakan kombinasi penghapusan tarif impor dengan peningkatan TFP pertanian Indonesia dan untuk Simulasi 3 merupakan kombinasi Simulasi 2 dengan peningkatan transmisi harga. Hasil analisis menunjukkan bahwa, jika Indonesia menghapus tarif impor dari mitra dagangnya dari negara-negara ASEAN-5 dan China serta menghapus tarif pajak ekspornya, memberikan pengaruh berbeda menurut kelompok rumah tangga di pedesaan maupun di perkotaan Indonesia. Terlihat pada Tabel 50, bahwa dengan skenario pada simulasi 1, seluruh rumah tangga di Indonesia akan meningkat pendapatannya. Dengan liberalisasi maka kelompok rumah tangga
229 bukan pertanian golongan atas pedesaan (HRR) yang mengalami peningkatan pendapatan paling besar, kemudian diikuti oleh kelompok rumah tangga bukan pertanian golongan atas perkotaan (HUR) sedangkan peningkatan pendapatan paling rendah dialami oleh rumah tangga bukan pertanian golongan bawah pedesaan (HRP). Selanjutnya dengan mengkombinasikan Simulasi 1 dengan peningkatan TFP pertanian (Simulasi 2), maupun kombinasi Simulasi 2 dengan peningkatan transmisi harga melalui penurunan margin barang impor dan margin barang ekspor, maka kelompok rumah tangga golongan atas di perkotaan dan golongan atas di pedesaan yang mengalami peningkatan pendapatan paling besar, sedangkan peningatan pendapatan paling kecil dialami oleh kelompok rumah tangga pertanian (HA) dan kelompok rumah tangga bukan pertanian golongan rendah pedesaan (HRP). Tabel. 54
Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan Transmisi Harga di Indonsia Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Pedesaan dan Perkotaan di Indonesia Dampak Simulasi Terhadap Pendapatan Rumah Tangga di Indonesia
Rumah Tangga
BASE ($ US Juta)
Nilai Setelah Simulasi ($US Juta) Simulasi 1
Simulasi 2
Simulasi 3
Persentase Perubahan (%) Simulasi 1
Simulasi 2
Simulasi 3
HA 73,586 73,947 74,303 74,404 0.4905 0.9737 1.1108 HRP 54,081 54,345 54,608 54,682 0.4882 0.9745 1.1106 HRR 37,964 38,152 38,508 38,558 0.4953 1.4330 1.5668 HUP 77,349 77,727 78,173 78,277 0.4888 1.0655 1.2007 HUR 67,111 67,441 67,958 68,047 0.4927 1.2627 1.3948 Sumber : GTAP 8, 2012, Diolah Keterangan : Simulasi 1 = Indonesia menghapus tarif impor denga mitra dagang dari negaranegara ASEAN-5 dan China, serta menghapus pajak ekspor Simulasi 2 = Simulasi 1 + Peningkatan TFP Pertanian Indonesia 25% Simulasi 3 = Simulasi 2 + Penurunan tingkat margin perdagangan Indonesia 25%
Gambaran pada Tabel 54, menunjukkan bahwa meskipun peningkatan TFP pertanian dan peningkatan transmisi harga mampu memberikan peingkatan pendapatan yang cukup signifikan terhadap rumah tangga pertanian yang umumnya bermukim di pedesaan, namun peningkatan pendapatannya lebih rendah dari peningkatan pendapatan golongan berpendapatan atas di perkotaan dan golongan atas pedesaan. Tingginya peningkatan pendapatan golongan elit perkotaan dan pedesaan dari peningkatan TFP pertanian terkait dengan meningkatnya sewa modal dimana modal memang lebih banyak dikuasai oleh
230 golongan berpendapatan atas di perkotaan maupun di pedesaan, sementara pendapatan modal kelompok rumah tangga pertanian maupun rumah tangga golongan rendah pedesaan dan perkotaan cenderung menurun. Dampak berbagai skenario terhadap sumber-sumber pendapatan rumah tangga di Indonesia disajikan terperinci pada Tabel 55. Terlihat bahwa pada Simulasi 1, peningkatan pendapatan modal rumah tangga golongan atas pedesaan dan perkotaan mengalami peningkatan lebih tinggi dibandingkan peningkatan pendapatan modal rumah tangga lainnya, dan rumah tangga pertanian mengalami peningkatan pendapatan modal paling rendah. Pada Simulasi 2 dan Simulasi 3, secara konsisten peningkatan pendapatan modal pada rumah tangga golongan atas pedesaan dan perkotaan mengalami peningkatan sementara pendapatan modal golongan rendah pedesaan dan perkotaan serta rumah tangga pertanian mengami penurunan. Hasil tersebut menjelaskan bahwa dengan keterbatasan modal dimiliki kelompok rumah tangga pertanian maupun kelompok rumah tangga golongan rendah pedesaan dan perkotaan pedesaan, berimplikasi terhadap permintaan modal yang dimiliki oleh kelompok rumah tangga elit di pedesaan dan di perkotaan, sehingga pendapatan mereka dari faktor prouksi modal mereka juga ikut meningkat. Meskipun pendapatan modal dari kelompok rumah tangga pertanian dan rumah tangga golongan bawah di pedesaan dan di perkotaan cenderung mnurun dengan peningkatan TFP, namun pendapatan tenaga kerjanya mengalami peningkatan yang cukup signifikan, sehingga sehingga secara total pendapatan rumah tangga tersebut tetap mengalami peningkatan. Selengkapnya perubahan pendapatan menurut sumber pendapatan rumah tangga di Indonesia disajikan pada tabel berikut.
231 Tabel 55
Rumah Tangga
Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan Transmisi Harga Terhadap Pendapatan Modal dan Tenaga Kerja Pedesaan dan Perkotaan di Indonesia BASE ($ US Juta)
Pendapatan Modal HA 31,187.11 HRP 19,804.90 HRR 20,922.30 HUP 29,427.13 HUR 31,324.84 Pendapatan TK HA 42,399.26 HRP 34,276.14 HRR 17,041.31 HUP 47,921.43 HUR 35,785.83
Dampak Simulasi Terhadap Sumber Pendapatan Rumah Tangga di Indonesia Nilai Setelah Simulasi ($US Juta) Persentase Perubahan (%) Simulasi 1 Simulasi 2 Simulasi 3 Simulasi 1 Simulasi 2 Simulasi 3 31,343.86 19,904.49 21,028.33 29,575.46 31,482.93
31,002.33 19,707.64 21,114.16 29,407.24 31,375.20
31,066.33 19,747.81 21,149.75 29,464.03 31,433.99
0.5026 0.5029 0.5068 0.5041 0.5047
-0.5925 -0.4911 0.9170 -0.0676 0.1608
-0.3873 -0.2882 1.0871 0.1254 0.3484
42,603.44 34,440.57 17,123.31 48,151.15 35,958.37
43,300.56 34,900.41 17,393.48 48,765.46 36,582.85
43,337.44 34,933.87 17,408.66 48,813.24 36,612.72
0.4816 0.4797 0.4812 0.4794 0.4822
2.1257 1.8213 2.0666 1.7613 2.2272
2.2127 1.9189 2.1556 1.8610 2.3107
Sumber : GTAP 8, 2012, Diolah
Selain berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga pedesaan dan perkotaan, penghapusan tarif impor dari barang-barang yang berasal dari negaranegara ASEAN-5 dan China di Indonesia serta peningkatan TFP pertanian dan peningkatan transmisi harga juga memberi pengaruh yang cukup signifikan pada konsumsi rumah tangga pedesaan dan perkotaan. Dampak dari berbagai skenario terhadap konsumsi berbagai kelompok rumah tangga di Indonesia disajikan pada Tabel 52 dan Tabel 53. Pada Tabel 56 terlihat bahwa dengan penghapusan tarif impor yang berasal dari ASEAN-5 dan China akan meningkatkan konsumsi seluruh kelompok rumah tangga, dimana kelompok rumah tangga golongan atas pedesaan (HRR) memiliki peningkatan konsumsi paling besar yakni meningkat sekitar 0,1506 persen sedangkan peningkatan paling rendah ditempati oleh rumah tangga pertanian (HA). Akan tetapi dengan mengkombinasikan Simulasi 1 dengan peningkatan TFP pertanian, maka lonjakan konsumsi rumah tangga pertanian (HA) menempati urutan teratas yakni meningkat sekitar 4,63 persen kemudian disusul oleh kelompok rumah tangga golongan rendah pedesaan (HRP) dengan peningkatan konsumsi sekitar 3,76 persen. Selengkapnya dampak berbagai skenario terhadap total konsumsi rumah tangga di Indonesia disajikan pada tabel berikut.
232 Tabel 56
Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan Transmisi Harga Terhadap Total Konsumsi Rumah Tangga Pedesaan dan Perkotaan di Indonesia. Dampak Simulasi Terhadap Konsumsi Rumah Tangga di Indonesia
Rumah Tangga
BASE ($ US Juta)
Nilai Setelah Simulasi ($US Juta) Simulasi 1
HA 56,882 56,958 HRP 44,990 45,051 HRR 29,093 29,137 HUP 64,613 64,702 HUR 52,747 52,824 Sumber : GTAP 8, 2012, Diolah
Persentase Perubahan (%)
Simulasi 2
Simulasi 3
Simulasi 1
Simulasi 2
Simulasi 3
59,518 46,680 30,085 66,681 54,160
59,710 46,831 30,184 66,897 54,337
0.1337 0.1363 0.1506 0.1374 0.1473
4.6333 3.7567 3.4102 3.2012 2.6800
4.9712 4.0915 3.7507 3.5347 3.0154
Dampak liberalisasi, peningkatan TFP pertanian dan peningkatan transmisi harga terhadap konsumsi rumah tanggga pedesaan dan perkotaan menurut jenis barang yang dikonsumsi disajikan pada Tabel 57. Terlihat pada tabel tersebut bahwa skenario penghapusan tarif impor dari negara-negara ASEAN-5 dan China (Simulasi 1) memberi dampak konsumsi komoditi non pertanian yang sedikit lebih tinggi dibandingkan konsumsi rumah tangga terhadap komoditi pertanian. Kecenderungan tersebut terjadi tidak hanya di rumah tangga pedesaan tetapi juga pada rumah tangga perkotaan. Akan tetapi dengan skenario peningkatan TFP pertanian dan peningkatan transmisi harga, memberi dampak yang kontras dengan kondisi pada Simulasi 1. Hasil Simulasi 2 dan Simulasi 3 menunjukkan bahwa peningkatan konsusmsi rumah tangga terhadap komoditi pertanian memiliki peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan konsumsi rumah tangga terhadap komoditi non pertanian. Peningkatan permintaan barang-barang non pertanian untuk konsumsi rumah tangga yang lebih tinggi pada kondisi Simulasi 1 disebabkan karena harga-harga pertanian pada kondisi tersebut relatif lebih mahal dibandingkan barang-barang non pertanian. Sementara pada Simulasi 2 dan Simulasi 3, justru sebaliknya yang terjadi dimana harga-harga barang pertanian pada umumnya mengalami penurunan sebagai dampak peningkatan supply barang pertanian sebagai imbas dari peningkatan teknologi. Penurunan harga tersebut kemudian berdampak pada meningkatnya permintaan barangbarang pertanian yang lebih tinggi dibandingkan barang non pertanian. Selengkapnya dampak dari berbagai simulasi terhdap permintaan konsumsi rumah tangga yang dirinci menurut komoditi dapat dilihat pada Tabel 57.
233 Tabel. 57
Sektor Pertanian PDR WHT GRO V_F OSD C_B PFB OCR OAGRI FOOD Non Pertanian OTHIND SERV Total
Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan Transmisi Harga terhadap Konsumsi RT Pedesaan dan RT Perkotaan Menurut Jenis Komoditi di Indonesia Base ($ US Juta) 40,005.30 0.01 0.33 661.03 6,702.07 759.69 1.19 0.03 1,020.75 6,167.15 24,693.05 90,959.91 25,699.60 65,260.31 130,965.21
RT Pedesaan Dampak Simulasi (%) Sim01 Sim02 Sim03 0.095 10.061 10.382 0.066 18.079 18.093 0.243 1.641 2.817 0.071 15.303 15.439 0.053 14.394 14.643 0.089 13.572 13.890 0.076 14.639 14.712 0.241 2.059 2.990 0.078 13.751 13.922 0.064 14.109 14.258 0.116 7.473 7.868 0.157 1.421 1.766 0.271 1.949 2.468 0.112 1.213 1.490 0.138 4.060 4.398
Base ($ US Juta) 28,081.96 0.01 0.18 354.49 3,594.25 508.50 0.80 0.02 683.25 4,405.15 18,535.32 89,277.69 24,396.66 64,881.03 117,359.65
RT Perkotaan Dampak Simulasi (%) sim01 Sim02 Sim03 0.098 9.220 9.543 0.066 17.480 17.495 0.241 1.330 2.486 0.071 14.754 14.889 0.054 13.862 14.107 0.089 13.084 13.397 0.076 14.132 14.205 0.240 1.761 2.677 0.079 13.259 13.428 0.064 13.612 13.760 0.117 6.915 7.305 0.156 1.000 1.338 0.270 1.507 2.018 0.113 0.810 1.082 0.142 2.967 3.301
Sumber : GTAP 8, 2012, Diolah Keterangan : * RT Pedesaan = HA + HRP + HRR (RT pertanian, RT golongan bawah dan RT Golongan atas pedesaan) ** RT Perkotaan = HUP + HUR (RT golongan bawah dan RT Golongan atas Perkotaan)
6.4.
Implikasi Kebijakan : Sebuah Sintesa Dalam teori-teori perdagangan internasional diisyaratkan bahwa setiap
negara hendaknya berspesialisasi pada komoditi-komoditi yang sesuai dengan limpahan sumberdaya yang dimilikinya. Negara yang mampu mengoptimalkan limpahan sumberdayanya dalam meghasilkan ouput memungkinkan negara tersebut dapat lebih efisien dan lebih produktif dibandingkan negara lainnya. Berdasarkan dari hasil analisis dalam studi ini ditemukan bahwa keragaman sumberdaya dan potensi pertanian yang dimiliki masing-masing negara ASEAN-5 dan China berdampak pada keragaman produktivitas faktor yang dimiliki masingmasing negara serta keragaman pertumbuhan output pertaniannya. Selama empat dekade terakhir (1961-2010), sektor pertanian China tumbuh sekitar 3,82 persen per tahun dan ASEAN-5 secara rata-rata tumbuh sekitar 3,44 persen per tahun. Pertumbuhan output pertanian China dan negara-negara di ASEAN-5, paling besar bersumber dari kemajuan tehnis (TFP) dan pertumbuhan tenaga kerja, kecuali Singapura yang pertumbuhan pertaniannya paling besar berasal dari pertumbuhan modal. Pertumbuhan TFP pertanian China selama periode (19612010) sebesar 1,97 persen, lebih tinggi dari pertumbuhan TFP pertanian Indonesia
234 (1,83 persen), akan tetapi lebih rendah dari pertumbuhan TFP Malaysia (3,40 persen) dan Thailand (2,37 persen). Rendahnya kemajuan tehnis sektor pertanian Indonesia dibandingkan China, Malaysia dan Thailand, selain terkait kesenjangan penguasaan teknologi produksi, dan manajemen produksi, juga terkait lemahnya dukungan prasarana penunjang terutama prasarana irigasi. Hal tersebut ditunjukkan oleh fakta bahwa penggunaan berbagai input modern di Indonesia, seperti pupuk, mekanisasi pertanian lebih rendah dibandingkan ketiga negara tersebut, demikian pula infrastruktur irigasinya masih terbatas. Selama periode 2001-2010, porsi lahan pertanian beririgasi di China mencapai 48,43 persen, ASEAN-5 secara rata-rata sekitar 19,190 persen, sementara Indonesia hanya sekitar 16,53 persen. Implikasi dari temuan tersebut mengisyarakan bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha-usaha pertaniannya maka Indonesia perlu memacu kemajuan tehnis pertaniannya. Berbagai upaya yang perlu diupayakan untuk meningkatkan kemajuan tehnis pertanian Indonesia diantaranya : a. Pemerintah hendaknya memfasilitasi petani untuk meningkatkan akses terhadap berbagai sarana produksi yang diperlukan. Peningkatan aksesibilitas tersebut tidak hanya terkait ketersediaanya, tetapi juga menyangkut harga yang mampu dijangkau oleh petani. Sarana produksi yang dimaksud terutama mengenai sarana produksi pupuk, bibit unggul dan saprodi lainnya yang mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas usahatani. Bahkan jika memungkinkan kebijakan subsidi pupuk dapat menjadi alternatif kebijakan yang perlu dipetimbangkan. b. Selain itu, untuk meningkatkan produksi dan produktivitas usahatani, pemerintah juga perlu terus mengembangan dan memperbaiki sarana dan prasarana pengairan pertanian. c. Pemerintah perlu meningkatkan informasi teknologi pertanian ke tingkat petani, disamping bimbingan teknis mengenai manajemen usahatani yang baik. d. Riset-riset pengembangan teknologi pertanian perlu terus dikembangkan dengan melibatkan institusi yang kompeten, seperti perguruan tinggi dan institusi lainnya.
235 Nilai RCA komoditi pertanian total Indonesia di pasar global sebesar 1,8796, yang berarti sektor pertanian merupakan tumpuan utama Indonesia dalam meningkatkan devisa negara dari ekspor komoditi.
Terdapat tiga komoditi
pertanian Indonesia yang memiliki kemampuan kompetitif cukup tinggi di pasar global, masing-masing komoditi perkebunan dan tanaman lainnya (ocr), komoditi pertanian non tanaman (oagri) dan komoditi olahan (food). Sedangkan di pasar domestik China, selain komoditi perkebunan (ocr) dan komoditi olahan (food), komoditi
buah dan sayuran (v_f) juga memiliki kemampuan cukup baik
mengakses pasar domestik China. Secara relatif sekitar 10,85 persen dari total ekspor pertanian Indonesia disalurkan ke pasar domestik
China. Dengan
liberalisasi ekspor pertanian Indonesia ke China meningkat sekitar 19,34 persen, tetapi menyebabkan menurunnya ekspor pertanian Indonesia ke mitra dagang utama lainnya seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan negara Asia Timur lainnya (terutama Jepang dan Korea). Implikasi kebijakan yang dapat dipetik dari temuan ini, bahwa dalam rangka mendorong dayasaing komoditi pertanian mengakses pasar domestik China, maka sebaiknya Indonesia fokus pada tiga komoditi yang telah disebutkan (ocr, food dan v_f) yang memang telah memiliki dayasaing mengakses pasar domestik China. Demikian juga untuk mitra dagang lainnya, dimana Indonesia harus selektif
membangun dayasaing komoditi sesuai
karakteristik permintaan daerah tujuan. Indeks komplementer perdagangan antara Indonesia dengan China yang relatif tinggi (0,9068) mengiyaratkan bahwa Indonesia berprospek untuk meningkatkan nilai perdagangannya di pasar domestik China, baik komoditi pertanian maupun komoditi non pertanian. Tiga komoditi pertanian Indonesia yang memiliki prospek paling besar mengakses pasar domestik China yakni komoditi perkebunan (ocr), komoditi pertanian tanaman (oagri) dan komoditi pertanian olahan, terutama dalam bentuk minyak sawit (food). Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai indeks spesialisasi perdagangan yang bernilai positif, sementara komoditi-komoditi pertanian lainnya bernilai negatif. Indonesia sesungguhnya memiliki prospek yang cerah untuk berperan banyak pada perdagangan ekspor untuk komoditi perkebunan dan pertanian non tanaman, terutama perikanan, karena Indonesia dengan wilayah yang luas, sesuai untuk
236 pengembangan perkebunan tropis dan sebagai daerah meritim Indonesia belum banyak menggali potensi perikanan dan lautnya. Pengembangan potensi produksi tanaman perkebunan dan pertanian non tanaman, khususnya perikanan dan peternakan di Indonesia, memang menghadapi tantangan yang sangat besar, terutama karena sentra produksi dari komoditi tersebut umumnya berada di luar Jawa yang infrastrukturnya masih sangat terbatas. Karena itu, guna meningkatkan manfaat liberalsasi, maka hambatan perdagangan seperti pajak ekspor, dan hambatan lainnya terhadap ketiga komoditi tersebut harus semakin dikurangi. Selain itu, mengingat sentra produksi ketiga komoditi tersebut umumnya berada di luar Jawa yang umumnya kurang didukung oleh infrastruktur yang memadai, maka
pemerintah
hendaknya
memberikan
prioritas
terhadap
perbaikan
infrastruktur disentra-sentra produksi ketiga komoditi tersebut. Dalam teori-teori perdagangan internaional disebutkan bahwa liberalisasi perdagangan akan meningkatkan perolehan manfaat bagi seluruh pelaku perdagangan, namun pada kenyataannya implementasi liberalisasi juga dapat membawa dampak buruk terhadap pasar domestik dan kepentingan domestik lainnya. Studi ini menemukan bahwa penghapusan tarif impor antar negara-negara ASEAN-5 dan China secara timbal balik mendorong semakin intesifnya arus perdagangan lintas negara antar negara negara ASEAN-5 dan China. Dengan liberalisasi ekspor total Indonesia meningkat lebih tinggi dibadingkan peningkatan impornya. Akan tetapi, untuk komoditi pertanian, arus impor lebih besar dibandingkan arus ekspornya, kecuali untuk komoditi pertanian seperti komoditi sayuran-buah dan kacang-kacangan (v_f), pertanian non tanaman (oagri) dan komoditi olahan (food) yang mengalami surplus. Kondisi ini, mengisyaratkan bahwa liberalisasi, tidak hanya meningkatkan ketergantungan Indonesia terhadap berbagai produk-produk pertanian impor, tetapi juga liberalisasi ini dapat menjadi ancaman bagi eksistensi pertanian domestik, khususnya pada komoditi-komoditi yang melibatkan banyak penduduk seperti halnya komoditi padi (pdr), dan komoditi lainnya. Selanjutnya, sudi ini juga menemukan bahwa peningkatan kemajuan teknis pertanian dan perbaikan transmisi harga memberikan dampak positif yang lebih besar terhadap peningkatan GDP Indonesia, termasuk dampaknya terhadap
237 perbaikan neraca perdagangan komoditi pertanian Indonesia. Hanya saja opsi ini selain berdampak pada penurunan investasi yang semakin besar, juga berdampak pada penurunan kesempatan kerja di sektor pertanian primer. Gambaran ini menunjukkan bahwa guna meningkatkan manfaat liberalisasi, serta mengurangi ketergantungan terhadap produk-produk impor pertanian, maka Indonesia perlu terus meningkatkan kemajuan tehnis pertaniannya, hanya saja peningkatan teknologi pertanian ini perlu dilakukan secara hati-hati dan selektif karena dapat berdampak pada penyempitan kesempatan kerja di sektor pertanian. Karena itu, teknologi pertanian yang dikembangkan hendaknya bukanlah teknologi yang hemat tenaga kerja. Kebijakan ini juga perlu didukung dengan kebijakan lain seperti kebijakan yang dapat mendorong investasi, seperti halnya pemberian subsidi bunga terhadap kredit-kredit pertanian. Bisa jadi kebijakan tersebut akan lebih optimal jika dibarengi upaya untuk mendorong industrialisasi pertanian yang padat karya. Peningkatan upah, terutama upah tenaga kerja terdidik serta sewa modal yang menyertai liberalisasi di Indonesia dan peningkatan TFP dan perbaikan transmisi harga di Indonesia, menyebabkan peningkatan pendapatan seluruh rumah tangga di Indonesia, namun peningkatan pendapatan paling besar diperoleh kelompok rumah tangga golongan atas perkotaan maupun golongan atas pedesaan,
sementara
rumah
tangga
pertanian
memperoleh
peningkatan
pendapatan paling kecil. Terbatasnya ketersediaan tenaga kerja terdidik dan persediaan modal pada rumah tangga pertanian dan rumah tangga golongan bawah pedesaan di Indonesia menyebabkan peningkatan pendapatan kelompok rumah tangga ini lebih kecil dibandingkan peningkatan pendapatan rumah tangga lainnya. Uraian tersebut mengisyaratkan bahwa dalam rangka meningkatakan pendapatan masyarakat secara keseluruhan di Indonesia, terutama kelompok rumah tangga pertanian dan rumah tangga golongan bawah pedesaan, maka pemerintah hendaknya melakukan langkah-langkah kebijakan sebagai berikut. a.
Guna menghindari terjadinya ketimpangan pendapatan upah di pedesaan, maka hendanya peraturan pemerintah mengenai upah minim juga perlu diimplementasikan bagi tenaa keja pertanian dan di sektor-sektor produktif lainnya di wilayah pedesaan.
238 b.
Pemerintah diharapkan dapat memfasilitasi rumah tangga pertanian untuk mngembangan diversifikasi pendapatan diluar sektor pertanian (off farm).
c.
Kelembagaan pedesaan, terutama kelembagaan pertanian pedesaan harus terus diperkuat. Penguatan kelembagaan pertanian ini tidak hanya terbatas pada peningkatan kerjasama dalam kegiatan produksi dan pemasaran hasilhasil pertaniannya, tetapi juga dapat menjadi wadah pmbelajaran diantara mereka, wadah saling tukar informasi, serta wadah penyaluran aspirasi untuk dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka secara politis.
d.
Guna memperkuat permodalan rumah tangga pertanian, maka pemerintah hendaknya terus mendorong lembaga perbankan untuk penyaluran kredit pertanian dengan bunga yang ringan, bahkan jika memungkinkan pemerintah dapat menjadi lembaga penjamin atau memberi subsidi bunga terhadap investasi pertanian skala kecil (berbasis rumah tangga).
VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1. Kesimpulan 1.
Pertumbuhan output pertanian China dan negara-negara di ASEAN-5 paling besar bersumber dari kemajuan tehnis (TFP) dan pertumbuhan tenaga kerja. Hanya Singapura yang pertumbuhan pertaniannya dominan berasal dari pertumbuhan modal. Pertumbuhan TFP pertanian China (1,97 persen) lebih tinggi dari TFP pertanian ASEAN-5 (1,93 persen) akan tetapi masih kalah Malaysia (3,40 persen) dan Thailand (2,37 persen). Indonesia dengan pertumbuhan TFP pertanian sebesar 1,83 persen mengisyaratkan bahwa Indonesia kurang produktif dan kurang efisien dalam menghasilkan produkproduk pertanian dibandingkan China, Malaysia dan Thailand.
2.
Bagi China sektor pertanian bukan unggulan dalam mengakses pasar global, sementara negara-negara ASEAN-5, khususnya Indonesia, Malaysia dan Thailand dimana sektor pertanian adalah unggulan. Akan tetapi pangsa pasar pertanian China di pasar global lebih besar dari pangsa pertanian negaranegara ASEAN-5 pada umumnya. Selain itu jumlah jensi komoditi pertanian China yang cenderung diekspor lebih banyak dibandingngkan ASEAN-5. Indonesia hanya memiliki tiga komoditi yang cenderung diekspor masingmasing komoditi perkebunan dan tanaman lainnya, komoditi pertanian non tanaman dan komoditi pertanian olahan.
Ketiga komoditi tersebut juga
memiliki dayasaing tinggi mengakses pasar domestik China dan pasar global. 3.
Nilai koefisien transmisi harga internasional ke pasar produsen domestik masing-masing negara umumnya kecil, yang berarti bahwa hanya sebagian kecil perubahan harga komoditi pertanian ditingkat internasional yang dapat ditransmisikan ke tingkat produsen di masing-masing negara. Meskipun demikian ada indikasi integrasi jangka pendek untuk sebagian besar komoditi tanaman pangan di China dan integrasi jangka panjang untuk sebagian besar komoditi perkebunan di ASEAN-5.
4.
Penghapuan tarif impor secara timbal balik antar negara-negara ASEAN-5 dan China memberikan dampak positif pada peningkatan GDP di masing
240 masing negara ASEAN-5, tetapi menurunkan GDP China. Peningkatan GDP tertinggi ditempati oleh Singapore dan Malaysia, sementara Indonesia memperoleh peningkatan GDP paling kecil. Selain itu, skenario ini juga meningkatkan konsumsi masyarakat dan output sektoral, termasuk output pertanian, tetapi berpotensi menurunkan konsumsi pemerintah dan investasi di masing-masing negara. Liberalisasi ini juga menyebabkan neraca perdagangan sebagian besar komoditi pertanian Indonesia mengalami defisit, termasuk komiditi pertanian yang melibatkan banyak penduduk seperti padi. 5.
Liberalisasi yang dibarengi peningkatan TFP pertanian dan peningkatan transmisi harga di Indonesia akan memberikan dampak positif yang lebih besar terhadap peningkatan ekspor, termasuk memperbaiki neraca perdagangan komoditi pertanian. Akan tetapi investasi juga semakin menurun. Bahkan skenario ini cenderung menurunkan kesempatan kerja disektor pertanian primer. Selain itu, skenario ini juga berdampak pada peningkatan pendapatan yang lebih besar bagi seluruh rumah tangga di Indonesia. Namun peningkatan pendapatan paling besar diperoleh kelompok rumah tangga golongan atas perkotaan maupun golongan atas pedesaan, sementara rumah tangga pertanian dan rumah tangga golongan bawah pedesaan memperoleh peningkatan pendapatan paling kecil.
7.2. Rekomendasi 1.
Terjadinya defisit perdagangan pada sebagian besar komoditi pertanian Indonesia sebagai dampak dari liberalisasi, mengancam eksistensi pertanian Indonesia menghadapi persaingan global. Peningkatan teknologi pertanian di Indonesia dan perbaikan transmisi harga dipadang starategi kebijakan yang dapat mengurangi tekanan pasar pertanian domestik dari gempuran pertanian impor. Akan tetapi strategi peningkatan teknologi pertanian ini perlu dilakukan secara hati-hati, karena opsi ini juga dapat berdampak buruk terhadap kesempatan kerja pertanian. Untuk meningkatkan manfaat liberalisasi serta menangkal gempuran pertanian impor dan menghindari penyempitan kesempatan kerja di perdesaan, maka beberapa saran kebijakan
241 yang terkait peningkatan teknologi adalah sebagai berikut : (1) pemerntah perlu terus memfasilitasi pengembangan teknologi pertanian, baik menyangkut teknologi budidaya, pengolahan hasil maupun teknologi pemasaran hasil-hasil pertanian, serta pengembangan sistem imformasi teknologi pertanian yang mudah diakses petani (2) pemerintah perlu memfasilitasi peningkatan aksesibilitas petani terhadap sarana produksi utama peranian seperti bibit unggul dan pupuk. (3)
pengembangan
infrastruktur pertanian terutama irigasi dan reformasi agraria juga dipandang penting guna meningkatkan aplikasi teknologi pertanian. (4) pemerintah perlu
mendorong
lembaga-lembaga
keuangan
untuk
meningkatkan
penyaluran kredit usahatani dengan bunga yang ringan untuk meningkatkan investasi pertanian rakyat. (5) peningkatan teknologi pertanian, hendaknya dibarengi dengan pengembangan industri pedesaan berbasis pertanian yang padat karya. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya penyempitan kesempatan kerja pertanian sebagai dampak dari pengembangan teknologi pertanian 2.
Indonesia hendaknya lebih fokus untuk meningkatkan dayasaing ekspor pada tiga komoditi yang memang memiliki dayasaing ekspor yang tinggi yakni komoditi perkebunan (ocr), pertanian non tanaman (oagri), dan pertanian olahan (food). Guna meningkatkan dayasaing ketiga komoditi tersebut, maka hendaknya pemerintah meminimalkan berbagai hambatan perdaganganna, baik hambatan tarif (misalnya pajak eksor) maupun dalam bentuk hambatan non tarif. Selain itu, pemerintah juga diharapkan dapat memberikan prioritas terhadap pengembangan infrastruktur, di sentra-sentra produksi ketiga komoditi tersebut.
3.
Guna menghindari ketimpangan pendapatan antar rumah tanggadi Indonesia sebagai dampak liberalisasi, maka kebijaan yang lebih berpihak pada kelompok rumah tangga pertanian dan rumah tangga golongan bawah pedesaan, perlu mendapat perhatian dari pemerntah. Berbagai saran kebijakan yang terkait hal tersebut adalah sebagai berikut.
242 a. Peraturan pemerintah mengenai upah minim juga hendaknya diimplementasikan bagi tenaga keja pertanian dan di sektor-sektor produktif lainnya di wilayah pedesaan. b. Pemerintah diharapkan memfasilitasi rumah tangga pertanian untuk mengembangan diversifikasi pendapatannya diluar sektor pertanian (off farm). c. Kelembagaan pedesaan, terutama kelembagaan pertanian pedesaan harus terus diperkuat. Penguatan kelembagaan pertanian ini tidak hanya terbatas pada peningkatan kerjasama dalam kegiatan produksi, pengolahan dan pemasaran hasil-hasil pertaniannya, tetapi juga dapat menjadi wadah pmbelajaran diantara mereka, wadah saling tukar informasi,
serta
wadah
penyaluran
aspirasi
untuk
dapat
memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka secara politis. d. Guna memperkuat permodalan rumah tangga pertanian, maka pemerintah hendaknya terus mendorong lembaga perbankan untuk penyaluran kredit pertanian dengan bunga yang ringan, bahkan jika memungkinkan pemerintah dapat menjadi lembaga penjamin atau memberi subsidi bunga terhadap investasi pertanian skala kecil (berbasis rumah tangga).
7.3.
Saran Untuk Penelitian Lanjutan
1.
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa untuk meningkatkan manfaat liberalisasi bagi perekonomian Inonesia termasuk dampaknya pada sektor pertanian dan perekonomian pedeasan Indonesia, maka diperlukan kebijakan pemerintah untuk memacu peningkatan teknologi pertanian serta berbagai upaya untuk meningkatkan efisiensi pemasarannya, namun alternatif kebijakan ini berpotensi mereduksi kesempatan kerja pertanian, karena itu diperlukan studi lanjutan untuk mecari formula kebijakan yang lebih optimal yakni kebijakan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan sekaligus memacu perluasan kesempatan kerja disemua sektor termasuk di sektor pertanian.
243 2.
Mengingat kebijakan peningkatan teknologi pertanian dan perbaikan transmisi harga menyenyebabkan kelompok rumah tangga pertanian dan rumah tangga miskin pedesaan menjadi menerima manfaat paling kecil, mengisyaratkan pentingnya studi lanjutan untuk menemukan strategi peningkatan teknologi pertanian yang lebih berpihak pada pada kedua kelompok rumah tangga tersebut.
3.
Studi ini, idealnya, hasil estimasi transmisi harga berbagai komoditi pertanian di masing-masing negara-negara ASEAN-5 dan China di integrasikan ke dalam persamaan CGE global, namun karena dalam model CGE yang digunakan dalam studi ini tidak memiliki persamaan yang mampu menangkap kergaman transmisi harga berbagai komoditi tersebut, karena itu, diharapkan pada penelitian-penelitian selanjutnya dapat mempformulasikan persamaan CGE yang mampu menangkap keragaman transmisi harga berbagai komoditi tersebut.
245
DAFTAR PUSTAKA Ahmed V, Donoghue, C O’, 2007, CGE-Microsimulation Modelling : A Survey. Anderson, K, Valenzuela E, 2007. Do Global Trade Distortions Still Harm Developing Country Farmers? Review of World Economics 143(1). Andriamananjara S, Cadot O, Grether JM, 2010, Tools for applied trade-policy analysis : An introduction Armington, P.S. (1969). A Theory of Demand for Products Distinguished by Place of Production. IMF Staff Papers 16. [AJEG] ASEAN Joint Experts Group, 2001. Forging closer ASEAN–China economic relations in the 21st century, Report submitted by the ASEAN–China Expert Group on Economic Cooperation. Baldwin, R.E. (1997), The Causes of Regionalism, The World Economy, 20, 7, 865-888. Bergsten, CF, 1996, Competitive Liberalization and Global Free Trade: A Vision for the Early 21st Century, Asia Pacific Working Paper Series No. 96-15. Washington: Institute for International Economics.
Bhagwati, J. (1992), Regionalism versus Multilateralism, The World Economy, 15, 5,535-555. Bhagwati, J. & Panagariya, A.(1996): The Economics of Preferential Trade Agreements, Washington, D.C. AEI Press.
Bhasin, V.K, Obeng, C.K., 2007, Trade Liberalization, Foreign AID, Poverty and Income Distribution of Households in Ghana, Departement of Economics, Iniversity of Cape Coast, Cape Coast, Ghana. Blair, John P., 1991, Urban and Regional Economics, Wright State Univercity, Boston Budiono, 2001, Ekonomi Internasional, Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Castro TD, 2010, Trade Cooperation Indicators: Development of BRIC Bilateral Trade Flows, International Review of Business Research Papers Vol. 8. No. 1. January 2012. Pp. 211 - 223 Chirathivat S, 2002, ASEAN–China Free Trade Area: background, implications and future development, Journal of Asian Economics Volume 13, Issue 5, Pages 671-686
246 Collier WL, Santoso K, Soentoro, Wibowo R. 1996. Pendekatan Baru dalam Pembangunan Perdesaan di Jawa: Kajian Perdesaan Selama Dua Puluh Lima Tahun. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Conforti P, 2004, Price transmission in selected agricultural Markets, Basic Foodstuffs Service (ESCB), Commodities and Trade Division of the Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). Crawford, J-A, Laird S, 2000, Regional Trade Agreements and the WTO, Centre for Research in Economic Development and International Trade (CREDIT), School of Economics, University of Nottingham,University Park, Nottingham, NG7 2RD, UNITED KINGDOM Crowly,M.A, 2003, An Introduction to the WTO and GATT, Economic Perspective Fourth Quarter. Federal Reserve Bank of Chicago, Chicago. Decaluwé B, Lemelin A, Maisonnave H, Robichaud V, 2009, The PEP Standard Computable General Equilibrium Model, Single‐Country, Static Version. PEP‐1‐1, Second Revised Edition, Poverty and Economic Policy (PEP) Research Network, October 2009 Dervis K., De Melo J, Robinson S. (1982). General Equilibrium Models for Development Policy. A World Bank Research Publication. Cambridge University Press. New York. Desker, B. 2004, In Defence of FTAs: from Purity to Pragmatism in East Asia. Pacific Review, Vol. 17, No. 1, pp. 3-26. Dollar D, Kraay A, 2001, Trade, Growth, and Poverty, The World Bank Policy Research Working Paper No. 2615. Esman MJ, Uphoff NT. 1988. Local Organizations: Intermediaries in Rural Development, Itacha dan London: Cornell University Press Ethier, W. (1998), "The New Regionalism", The Economic Journal, 108, 11491161. Gwartney J, Lawson R., 2004, Economic Freedom of the World, 2004 Annual Report, ISBN 0–88975–209–5, Fraser Institute (Vancouver, B.C.) Hadi P, Mardianto S, 2004, Analisis Komparasi Daya Saing Produk Ekspor Pertanian Antar Negara ASEAN dalam Era Perdagangan Bebas AFTA, Jurnal Agro Ekonomi, Volume 22 No.1, Mei 2004 : 46 -73 Hafsah MJ. 2006. Pembangunan Perdesaan. Di dalam: Rustiadi E, Hadi S, Ahmad WM, editor. Kawasan Agropolitan, Konsep Pembangunan Desa-Kota Berimbang. Bogor: Crestpent Press. hlm. 68-72.
247 Hakim, D.B, 2004, The Implications of the ASEAN Free Trade Area (AFTA) on Agricultural Trade (A Recursive Dynamic General Equilibrium Analysis), Dissertation, Institut für Agrarökonomie Georg-AugustUniversität Göttingen Germany. Halwani. H, Tjiptoherijanto, H.P, 1993. Perdagangan Internasional Pendekatan Ekonomi Mikro dan Makro. Ghalia Indonesia. Jakarta Hansen GE. 1981. Agricultural and Rural Development in Indonesia. Colorado: Wetview Press. Hardono, G.S., H.P.S. Rachman, dan S.H Suhartini, 2004, Liberalisasi Perdagangan: Sisi Teori, Dampak Empiris dan Perspektif Ketahanan Pangan, Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 22 No. 2, Desember 2004 : 75-88 Hartono, D, Priyarsono DS, Nguyen TD, Ezaki M, 2007, Regional Economic Integration and its Impact on Growth, Poverty and Income Distribution : The Case of Indonesia. Workin Paper in Economic and Development Studies, No. 2000702, Departement of Economics Padjajaran University. Haryadi,
2008, Dampak Liberlisasi Perdagangan Pertanian Terhadap Perekonomian Negara Maju dan Berkembang, Disertasi, Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
Hasan, F dan Kun R.Y, Hariwibowo P, 2007, Analisis Keterpaduan Pasar Gula Pasir Domestik dan Internasional, Embriyo Vol. 4 No. 2 Desember 2007, ISSN 0216-0188 Hertel, T.W., Ianchovichina E, McDonald B.J, (1997). Multi-Region General Equilibrium Modeling. In Applied Methods for Trade Policy Analysis. A Handbook edited by Francois, J. F., and K.A. Reinert (1997). Cambridge University Press. Hulu, E, 1996, Topologi Model Komputasi Keseimbangan Umum, Ekonomi dan Keuangan Indonesia Volume XLIII Nomor 1. Ibrahim M, Permata I, Wibowo W.A., 2010, Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Kasliwal, P, 1995, Development Economics. South-Western (ITP Company) Publishing, Cincinatti, Ohio. Khor M, 2008, Bilateral/Regional Free Trade Agreements: An Outline of Elements, Nature and Development Implications, Third World Network.
248 Kindleberger, C.P. and Lindert P.H, 1978, International Economics, Six Edition, Richard D.Irwin. Inc Homewood. Illinois 60430. Krueger, A. 1995, Free Trade Agreements versus Customs Unions, NBER Working Paper No.5084, Cambridge, Mass. Krugman, P.R, Obstfeld M, 2003, International Economics: Theory and Policy, Sixth Edition, ISBN: 0-321-11639-9, World Student Series, USA. Lawrence, R.Z, 1999, Regionalism, Multilateralism and Deeper Integration: Changing Paradigms for Developing Countries in Trade Rules in the Making (Eds. M. Rodríguez Mendoza, B. Kotschwar and P. Low), Brookings Institution and Organization of American States, Washington D.C.
Lee, E, 2005, Trade Liberalization and Employment, DESA Working Paper No. 5, ST/ESA/2005/DWP/5 Lee, H., Roland-Holst D, Mensbrugghe V.der, 2004, China’s Emergence and the Implication of Prosfective Free Trade Agreement in East Asia. Lemelin A, Robichaud V, Decaluwé B, Maisonnave H, 2011, The PEP Standard Computable General Equilibrium Model (Multi‐Region, Single‐Period World Model PEP‐W‐1), Poverty and Economic Policy (PEP) Research Network. Lijun S, 2003, China-ASEAN Free Trade Area: Origins, Developments and Strategic Motivations, ISEAS Working Paper: International Politics & Security Issues Series No. 1(2003), Institute of Southeast Asian Studies, ISSN 0218-8953. Liu, Y, Luo H, 2004, Impact of Globalization on International Trade between ASEAN-5 and China: Opportunities and Challenges, Global Economy Journal, Volume 4, Issue 1, Article 6 Lofgren, H., Harris R.L. dan Robinson S, 2002, A Standard Computale General Equilibrium (CGE) Model in Gams, Internaional Food Policy Research Institute. Ma J, Wang Z, 2002, Options and Implications of Free Trade Arrangements in East Asia, Paper prepared for presentation at the 5th Annual Conference on Global Economic Analysis, Taipei, June 5-7, 2002 McDonald S, Robinson S, Thierfelder K, 2005, A SAM Based Global CGE Model Using GTAP Data, Sheffield Economic Research Paper Series, SERP Number : 2005001. McDonald S, Robinson S, Thierfelder K, 2008, Asian Growth and Trade Poles: India, China, and East and Southeast Asia, World Development. Vol. 36, No. 2.
249 Meier, GM. 1995, Leading Issues in Economic Development, Sixth Edition, Oxford Univercity Press, New York. Michalak W, Gibb, R, 1997, Trading Blocs and Multilateralism in the World Economy, Annals of the Association of American Geographers, Vol. 87, No. 2, pp. 264-79. Mikic M, Gilbert J, 2009, Trade Statistics in Policymaking, A Handbook of Commodity used Trade Indicies and Indicators, Economic and Social Commission Asia and the Pacific (ESCAP), United Nation Misra RP, Bhoosan BS. 1981. Rural Development: National Policies and Experiences. Nagoya: UNCRD Morley S, Nakasone E, Piñeiro V, 2007, The impact of CAFTA on employment, production and poverty in Honduras, International Food Policy Research Institute, IFPRI Discussion Paper 00743 Mosher AT. 1974. Creating A Progressive Rural Structure. New York: Agriculture Development Council Inc. Murdoch J. 2000. Network–a new paradigm of rural development. Journal of Rural Studies 16: 407-419. Nainggolan, PP, 1995, Reformasi Ekonomi RRC era Deng Xiao Ping, pasar bebas dan kapitalisme dihidupkan lagi, Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Nicita, A, 2005, Multilateral Trade Liberalization and Mexican Household: The Effect of the Doha Development Agenda. Chapter 4 in Poverty and the WTO: Impact of the Doha Development Agenda by T. W. Hartel and L.A.Winters, World Bank, Washington, D.C. Nicholson, W. 1994. Teori Ekonomi Mikro: Prinsip dan Pengembangannya. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Nopirin. 1997. Ekonomi Internasional. BPFE-Yogyakarta. Oktaviani, R., Widyastutik, Amaliah, Syarifah, 2010, Dampak FTA ASEAN-China Terhadap Ekonomi Makro Dan Ekonomi Sektoral Indonesia, Institute Pertanian Bogor (IPB) Ong, H-B and Habibullah M.S, 2007, The ASEAN-5 Economic Alliance: A Time Varying Convergence Analysis, International Research Journal of Finance and Economics, ISSN 1450-2887 Issue 8 Panagariya, A, 1999, The Regionalism Debate: An Overview, the World Economy, 22 (4) : 477-511
250 Park, D, Park I, Estrada GEB, 2008, Prospects of an ASEAN–People’s Republic of China Free Trade Area: A Qualitative and Quantitative Analysis. ADB Economics Working Paper Series No. 130 Prabowo D. 1995. Diversifikasi Perdesaan. Jakarta: UI-Press. Pranoto S. 2005. Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan Melalui Model Pengembangan Agropolitan [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. [RI] Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Sekretariat Negara. [RI] Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Jakarta: Sekretariat Negara. [RI] Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta: Sekretariat Negara. Ruky IMS, 2008, Industrialisasi di Indonesia : Dalam Jebakan Mekanisme Pasar dan Desentralisasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Ekonomi pada Fakultas Universitas Indonesia, Jakarta 15 November 2008. Jakarta, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Robinson, S, 1989, Multisectoral Models, Handbook of Development Economics, Volume II, Edited by H.Chenery and T.N. Srinivasan, Elsevier Publisher, B.V., 1989 Safriansyah, 2010, Laju Pertumbuhan dan Analisa Daya Saing Ekspor Unggluan di Propinsi Kalimantan Selatan, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol 8 No. 2 Salvatore, D., 1990, Theory and Problem of International Economic, Third Edition, Schaum’s Outline Series, McGrow-Hill, Inc Santos-Paulino, A.U., 2005. Trade Liberalisation and Economic Performance: Theory and Evidence for Developing Countries, The World Economy, Blackwell Publishing, vol. 28(6), pages 783-821, 06 Saptana, PT, Syahyuti, Elizabeth R. 2004. Transformasi Kelembagaan Guna Memperkuat Ekonomi Rakyat di Perdesaan: Kasus di Kabupaten Tabanan, Bali. SOCA 4 (1): 10 -26 Saragih. B, 2001. Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Yayasan Mulia Persada Indonesia dan PT. Suveyor Indonesia Bekerjasama dengan PSP-IPB dan USESE Fondation, Bogor. Scollay R, Gilbert J, 2002, Impact of East Asian Regional or Subregional FTAs. Report for Asian Analytical Unit of Australian Departement of Foreign Affairs and Trade, Canberra.
251 Shafaeddin, S.M., 2005, Trade Liberalization and Economic Reform in Developing Countries: Structural Change or De-Industrialization?. United Nations Conference on Trade and Development, Discussion Pappers No. 179. Sobri, 2001. Ekonomi Internasional (Teori, Masalah dan Kebijakan). BPUII. Yoyakarta. Soewardi H. 2001. Etos Kerja Orang Sunda. Makalah pada Konferensi Internasional Budaya Sunda I. Bandung: 22 – 25 Agustus. Sinaga, RH, Siregar, H, 2006, Cukup Berdaya-Saingkah Minyak Sawit Indonesia di China?, AGRIMEDIA- Volume 11 No.2, ISSN : 0853-8468 Tambunan T, Suparyati A, 2009, ASEAN-CHINA Trade Lieralisation Effect on Indonesia Agricultural Production and Trade, Policy Discussion Paper Series, Center For Industry, SME and Business Competition Studies Trisakti University. Tangermann, S. 2005. Organisation for Economic Co-operation and Development Area Agricultural Policies and the Interests of Developing Countries. American Journal of Agricultural Economics 87:1128–1144. Tarigan, Robinso, 2004, Ekonomi Regional : Teori dan Aplikasi, PT. Bumi Aksara, Jakarta. Taylor, J E, Naude A.Y, Jesurun-Clements N, 2010, Does Agricultural Trade Liberalization Reduce Rural Welfare in Less Developed Countries? The Case of CAFTA. Submitted 2007, Applied Economic Perspectives and Policy (2010) volume 32, number 1, pp. 95–116. Tongzon, JL., 2005, ASEAN-China Free Trade Area: A Bane or Boon for ASEAN Countries?, World Economy, Volume 28 Issue 2, Pages 191 – 210, Blackwell Publishing Ltd 2005, 9600 Garsington Road, Oxford, OX4 2DQ, UK and 350 Main Street, Malden, MA 02148, USA Thissen, M, 1998. A Classification of Empirical CGE Modelling, SOM Research Report 99C01, University of Groningen. Timmer, P.C. 1986. Getting Prices Right – The Scope and Limits of Agricultural Price Policy. Ithaca, NY: Cornell University Press. Tupy, M.L., 2005, Trade Liberalization and Poverty Reduction in Sub-Saharan Africa, Coto Policy Analysis, No. 557. Valdes A, McCalla A,. 2004. Where the Interests of Developing Countries Converge and Diverge. In M. Ingco and L.A. Winters, eds. Agriculture and the New Trade Agenda—Creating a Global Trading Environment for Development. Cambridge: Cambridge University Press, pp. 136148.
252 Valenzuela E. Hertel, TW, Keeney R, Reimer JJ, 2007, Assesing Global Computable General Equilibrium Model Validity Using Agricultural Price Volatility, American Agricultural Economics Association, 89(2) (May 2007): 383–397. Vargas E, Schreiner D, Tembo G, Marcouiller D, 1999, Computable General Equilibrium for Regional Analysis, The Web Book of Regional Scinece, Regional Research Institute, West Virginia University. Wainio, J, Shapouri S, Trueblood M, Gibson P. 2005. Agricultural Trade Preferences and the Developing Countries. USDA Economic Research Report No. 6. Washington, D.C.: USDA. [WB] World Bank. 2003. Global Economic Prospects 2004: Realizing the Development Promise of the Doha Agenda. Washington, DC: The World Bank. [WB] World Bank. 2010. Doing Bussiness 2011, Making a Difference for Enterpreneurs, The World Bank and the International Finance Corporation, ISSN: 1729-2638 Wibowo, PM, 2009, Dampak Perdagangan Bebas ASEAN-China Terhadap Kinerja Ekonomi Indonesia Khususnya Sektor Pertanian dan Kehutanan: Analisa Simulasi Jangka Panjang, Disertasi, Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor Wong J, Chan S, 2003, China-Asean Free Trade Agreement, Asian Survey 43, 3; Research Library Core Yoo, CI, Kim K, 2006, Comparative advantage of the service and manufacturing industries of a Korea, China and Japan an implication of its FTA policy, Korea Institute for International Economic Policy.
253 Lampiran 1 Nilai Produksi Tanaman Pertanian Negara-negara ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010 Tahun 1961 1962 1963 1964 1965 1966 1967 1968 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata 1961-1990 1991-2000 2001-2010 1961-2010
Nilai Produksi Kotor Tanaman Pertanian ASEAN-5 dan China (constant 2004-2006 dalam I$ Juta ) China
Indonesia
Malaysia
Philippines
Singapura
Thailand
ASEAN-5
58,515 61,210 63,632 67,904 73,330 78,663 79,462 79,112 79,579 85,101 87,889 85,272 95,365 96,012 97,750 96,835 98,712 108,540 111,480 110,403 116,101 127,277 136,987 148,441 143,231 145,800 153,188 154,129 157,379 169,311 171,814 177,428 188,529 192,864 206,528 222,781 229,605 236,105 243,732 253,776 259,615 271,116 270,034 290,216 297,561 305,061 320,057 339,737 345,835 338,753
9,295 9,879 9,407 9,960 9,994 10,283 9,909 11,387 11,593 12,271 12,567 12,535 13,598 14,148 13,854 13,742 14,337 15,301 16,047 17,347 18,588 18,261 19,606 21,265 21,713 22,796 23,117 24,450 25,759 26,837 27,134 29,595 29,862 30,112 32,778 32,789 31,498 32,124 32,798 33,774 34,455 36,625 39,110 41,544 43,296 45,045 46,748 49,887 52,906 52,894
1,722 1,740 1,824 1,846 1,981 2,038 2,082 2,346 2,635 2,751 2,907 2,981 3,316 3,481 3,514 3,780 3,841 3,820 4,207 4,326 4,417 4,763 4,578 4,868 5,096 5,424 5,465 5,919 6,237 6,178 6,123 6,179 6,645 6,552 6,803 7,081 7,237 6,698 7,714 8,115 8,562 8,653 9,400 9,905 10,351 10,937 10,791 11,597 11,274 11,041
4,247 4,511 4,675 4,714 4,726 4,851 4,923 4,904 5,166 5,499 5,705 5,609 5,788 6,207 7,123 7,780 7,949 8,179 8,392 8,670 8,899 9,298 8,474 8,673 8,999 9,605 9,342 9,264 9,566 10,293 9,924 10,155 10,515 10,728 10,755 11,780 11,584 10,384 11,376 11,747 12,197 12,591 12,974 14,013 14,366 14,539 15,547 16,148 16,030 16,042
14.8 14.6 14.9 14.7 17.2 17.9 17.6 20.2 20.9 20.6 25.0 25.2 21.3 16.0 15.4 16.7 15.1 13.9 12.5 12.1 12.2 11.8 10.1 9.2 7.8 6.3 5.4 3.4 2.2 2.4 1.2 1.3 1.1 1.1 1.2 1.2 0.9 0.9 1.0 1.1 1.2 1.3 1.9 2.0 1.8 4.1 3.8 3.8 4.2 4.1
4,835 5,186 5,611 5,434 5,666 6,682 5,869 6,349 6,840 7,073 7,188 6,870 8,248 8,115 8,994 9,719 9,778 11,345 10,671 11,791 11,985 11,954 12,744 13,114 13,779 12,933 13,110 14,899 15,586 14,169 15,431 15,974 15,914 16,575 16,951 17,576 18,008 17,381 18,582 19,889 20,712 20,639 22,267 22,046 21,464 22,423 24,345 24,415 24,589 23,501
20,113 21,331 21,532 21,970 22,383 23,872 22,800 25,005 26,255 27,613 28,391 28,020 30,971 31,967 33,501 35,037 35,920 38,659 39,330 42,146 43,901 44,289 45,412 47,930 49,595 50,764 51,040 54,535 57,150 57,480 58,613 61,903 62,936 63,968 67,288 69,227 68,328 66,588 70,471 73,526 75,928 78,509 83,753 87,511 89,479 92,949 97,435 102,052 104,803 103,481
27,981 29,688 30,187 30,964 31,105 31,823 31,358 33,711 34,861 37,035 37,658 36,941 40,071 40,984 42,574 44,841 45,695 48,727 49,944 54,205 56,571 57,941 59,314 62,209 64,268 65,815 65,642 69,576 72,844 73,464 74,634 79,299 81,631 83,544 88,035 90,963 90,722 89,748 96,006 100,662 104,166 108,179 115,221 120,726 124,734 130,647 136,765 143,504 146,382 146,067
105,554 212,316 299,251 166,555
15,662 31,247 43,299 24,496
3,669 6,915 10,057 5,635
7,068 10,895 14,199 9,308
13.9 1.1 2.7 9.1
9,551 17,228 22,390 13,704
35,964 66,285 89,948 53,153
46,933 87,524 125,187 71,193
Sumber : FAOSTAT, 2012
ASEAN
254 Lampiran 2 Luas Lahan Pertanian Negara-negara ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010
Tahun
1961 1962 1963 1964 1965 1966 1967 1968 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010* Rata-rata 1961-1990 1991-2000 2001-2010 1961-2010
Perkembangan Luas Lahan Pertanian ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010 China Indonesia Malaysia Philippines Luas Luas Luas Luas Lahan Lahan Lahan Lahan Lahan Lahan Lahan Lahan Beririgasi Beririgasi Beririgasi Beririgasi Pert. Pert. Pert. Pert. (%) (%) (%) (%) (1000 Ha) (1000 Ha) (1000 Ha) (1000 Ha) 42.95 15.00 5.73 10.00 105,248 26,000 3,980 6,901 43.20 14.97 5.68 10.03 105,001 26,000 4,030 6,980 43.28 14.97 5.74 10.06 104,854 26,000 4,080 7,060 43.50 14.97 5.69 9.81 104,706 26,000 4,130 7,340 43.73 14.97 5.65 9.97 104,509 26,000 4,180 7,320 44.05 14.97 5.63 10.14 104,112 26,000 4,230 7,300 44.38 14.96 5.72 10.19 103,715 26,000 4,280 7,460 44.71 14.97 5.01 10.50 103,313 26,000 4,330 7,430 44.95 14.98 5.27 10.81 102,928 26,000 4,380 7,400 45.29 14.97 5.91 11.06 102,518 26,000 4,430 7,470 45.61 14.95 6.23 11.61 102,165 26,000 4,480 7,444 45.93 15.02 6.49 11.97 101,781 26,000 4,530 7,600 46.21 14.92 6.48 12.26 101,388 26,000 4,580 7,750 46.09 14.92 6.52 12.38 102,029 26,000 4,630 8,000 46.94 14.94 6.58 12.46 100,637 26,000 4,678 8,350 47.24 14.91 6.60 12.30 100,590 26,000 4,730 8,700 47.57 15.37 6.64 12.20 100,532 26,000 4,760 9,100 48.01 15.51 6.66 12.28 100,316 26,000 4,760 9,150 48.31 15.28 6.65 12.41 100,423 26,000 4,765 9,400 48.74 15.64 6.67 12.66 100,219 26,000 4,800 9,628 48.74 15.69 6.79 13.19 100,908 26,000 4,860 9,620 48.94 15.45 6.50 13.50 101,199 26,000 5,065 9,640 43.00 15.80 6.30 14.35 114,902 26,000 5,270 9,660 42.63 15.84 6.12 14.55 115,900 25,934 5,470 9,680 39.25 14.76 5.86 14.77 125,896 27,829 5,695 9,750 39.03 14.13 5.73 14.90 126,996 29,070 5,915 9,800 38.60 13.40 5.62 14.48 128,794 30,644 6,120 9,820 38.44 13.69 5.33 15.35 129,703 31,418 6,450 9,840 38.17 14.09 5.13 15.62 131,002 31,142 6,700 9,860 38.17 13.79 4.92 15.69 131,397 31,973 6,948 9,880 38.11 14.80 4.78 15.68 131,891 29,797 7,197 9,887 38.09 14.92 4.73 15.76 132,383 29,551 7,395 9,835 38.79 14.61 4.69 15.84 130,837 30,216 7,604 9,785 38.89 14.63 4.77 15.92 131,274 30,171 7,604 9,735 38.71 14.55 4.77 15.49 132,715 30,387 7,604 9,685 40.33 14.29 4.77 15.41 132,239 30,986 7,604 9,735 40.76 15.13 4.80 14.67 131,353 31,545 7,605 9,885 40.49 15.80 4.80 13.81 132,820 31,745 7,605 10,135 40.83 16.06 4.80 13.28 132,266 32,746 7,605 10,085 41.00 15.94 4.80 14.06 132,202 34,500 7,605 9,684 42.65 16.32 4.81 14.26 131,265 35,200 7,585 9,634 44.32 16.77 4.80 14.40 130,363 35,781 7,585 9,635 47.81 16.27 4.81 14.46 128,500 38,406 7,585 9,670 46.04 15.94 4.81 14.23 134,416 40,766 7,585 9,850 47.58 17.58 4.81 14.35 130,878 38,246 7,585 9,850 48.09 17.15 4.81 14.28 130,874 39,200 7,585 10,000 51.89 16.81 4.81 14.14 122,566 40,000 7,585 10,150 52.06 16.40 4.81 14.76 122,543 41,000 7,585 10,300 51.89 15.78 4.81 14.74 124,320 42,600 7,585 10,450 51.95 16.32 4.81 14.55 123,143 41,200 7,585 10,300 108,589 131,998 128,279 117,131
44.19 39.60 47.75 44.12
26,867 31,164 38,809 30,201
14.93 15.07 16.48 15.28
4,909 7,543 7,587 5,971
6.00 4.77 4.81 5.51
Sumber : FAOSTAT, 2012 Keterangan : * Hasil ekstrapolasi berdasarkan rata-rata bergergerk tiga tahun
8,511 9,845 9,957 9,072
12.38 14.99 14.38 13.31
255 Lampiran 2 Lanjutan. Perkembangan Luas Lahan Pertanian ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010 Singapura Tahun
1961 1962 1963 1964 1965 1966 1967 1968 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010* Rata-rata 1961-1990 1991-2000 2001-2010 1961-2010
Luas Lahan Pert. (1000 Ha) 14.0 14.0 13.0 13.0 13.0 13.0 13.0 12.0 12.0 12.0 10.0 11.0 11.0 9.0 8.0 8.0 8.0 8.0 8.0 8.0 7.0 6.0 6.0 6.0 5.0 4.0 3.0 3.0 2.0 2.0 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.7 0.7 0.7 8.7 1.2 0.9 5.7
Thailand
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Luas Lahan Pert. (1000 Ha) 11,393 11,700 12,160 12,370 12,600 12,850 13,080 13,300 13,500 13,808 13,939 14,750 15,580 16,363 16,680 16,988 17,385 17,776 18,082 18,298 18,681 19,099 19,198 19,331 19,847 20,036 20,490 20,568 20,567 20,603 20,726 20,574 20,445 20,320 20,410 20,063 19,642 19,252 19,217 19,034 19,028 18,889 18,754 18,755 18,800 18,800 18,850 18,933 18,995 18,926
-
16,367 19,968 18,888 17,589
Lahan Beririgasi (%)
ASEAN-5
14.23 14.79 14.51 14.26 14.03 13.76 13.69 13.50 13.56 14.19 15.11 14.89 14.76 14.53 14.50 14.41 14.82 14.63 15.68 16.48 16.97 17.38 18.09 18.93 19.26 19.52 19.50 20.04 20.22 20.57 20.98 21.55 22.19 22.59 24.52 25.52 26.68 27.83 28.49 29.37 30.01 30.86 31.73 32.36 32.91 33.54 34.03 33.88 33.77 33.90
Luas Lahan Pert. (1000 Ha) 48,288 48,724 49,313 49,853 50,113 50,393 50,833 51,072 51,292 51,720 51,873 52,891 53,921 55,002 55,716 56,426 57,253 57,694 58,255 58,734 59,168 59,810 60,134 60,421 63,126 64,825 67,077 68,279 68,271 69,406 67,608 67,356 68,051 67,831 68,087 68,389 68,678 68,738 69,654 70,824 71,448 71,891 74,416 76,957 74,482 75,586 76,586 77,819 79,631 78,012
16.03 24.97 32.40 21.15
56,663 68,522 75,241 62,839
Lahan Beririgasi (%)
ASEAN
13.33 13.46 13.40 13.28 13.24 13.19 13.17 13.10 13.18 13.43 13.78 13.80 13.81 13.76 13.76 13.70 14.02 13.98 14.32 14.75 15.00 15.14 15.46 15.74 15.37 15.15 14.71 15.05 15.28 15.19 15.76 15.95 15.96 16.10 16.58 16.69 17.22 17.66 17.86 18.10 18.47 18.89 18.76 18.63 19.72 19.61 19.50 19.30 18.89 19.23
Luas Lahan Pert. (1000 Ha) 68,111 68,587 69,220 69,919 70,179 70,628 71,098 71,327 71,475 71,922 71,116 72,195 72,805 73,995 74,746 75,745 76,668 77,212 77,801 78,339 78,825 79,528 79,874 80,158 82,988 84,978 87,620 89,230 89,484 90,698 88,948 88,957 89,784 89,625 89,864 90,459 90,993 91,269 92,698 94,451 95,934 96,415 99,114 102,054 100,078 101,691 103,040 105,087 107,152 105,093
14.15 16.79 19.01 15.67
76,549 90,705 100,919 84,384
Lahan Beririgasi (%)
Sumber : FAOSTAT, 2012 Keterangan : * Hasil ekstrapolasi berdasarkan rata-rata bergergerk tiga tahun
Lahan Beririgasi (%) 11.82 11.96 12.20 12.14 12.11 12.08 12.23 12.23 12.29 12.64 13.14 13.17 13.40 13.47 13.61 13.55 13.74 13.78 14.33 14.81 15.21 15.53 15.86 16.41 16.34 16.24 15.95 16.05 16.32 16.41 16.82 16.94 17.16 17.52 18.13 18.32 18.74 19.25 19.62 20.06 20.40 20.79 20.82 20.84 22.02 21.92 21.76 21.42 21.04 21.40 13.97 18.26 21.13 16.28
256 Lampiran 3 Jumlah Tenaga Kerja Pertanian Negara-negara ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010 Tahun 1961* 1962* 1963* 1964* 1965* 1966* 1967* 1968* 1969* 1970* 1971* 1972* 1973* 1974* 1975* 1976* 1977* 1978* 1979* 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata 1961-1990 1991-2000 2001-2010 1961-2010
China 114,501 127,817 141,134 154,451 167,767 181,084 194,401 207,717 221,034 234,351 247,667 260,984 274,301 287,617 300,934 314,251 327,567 340,884 354,201 380,386 390,100 400,046 411,187 422,325 433,267 444,009 454,524 464,599 473,978 482,507 487,550 491,155 494,013 496,470 498,541 500,405 501,859 502,998 504,001 504,849 505,541 506,034 506,200 506,031 505,637 504,823 504,786 503,928 502,691 500,977 306,986 498,184 504,682 384,762
Populasi yang aktif secara ekonomi di sektor Pertanian (1000 Jiwa) Indonesia Malaysia Philippines Singapura Thailand ASEAN-5 10,285 2,375 3,877 42 9,959 26,537 11,453 2,358 4,132 40 10,348 28,331 12,620 2,341 4,387 39 10,736 30,124 13,787 2,325 4,642 38 11,125 31,918 14,955 2,308 4,898 37 11,514 33,711 16,122 2,291 5,153 36 11,903 35,505 17,290 2,275 5,408 34 12,292 37,298 18,457 2,258 5,663 33 12,681 39,092 19,624 2,241 5,918 32 13,070 40,885 20,792 2,225 6,173 31 13,458 42,679 21,959 2,208 6,428 30 13,847 44,472 23,127 2,191 6,683 28 14,236 46,266 24,294 2,175 6,938 27 14,625 48,059 25,461 2,158 7,193 26 15,014 49,853 26,629 2,141 7,449 25 15,403 51,646 27,796 2,125 7,704 24 15,792 53,440 28,964 2,108 7,959 22 16,181 55,233 30,131 2,092 8,214 21 16,569 57,027 31,298 2,075 8,469 20 16,958 58,820 32,796 2,048 9,012 17 16,883 60,756 33,504 2,036 9,187 17 17,440 62,184 34,306 2,019 9,357 16 18,011 63,709 34,928 2,000 9,546 15 18,447 64,936 35,550 1,980 9,707 14 18,871 66,122 36,169 1,970 9,863 12 19,349 67,363 39,510 1,960 10,207 11 19,811 71,499 40,627 1,949 10,519 10 20,257 73,362 41,754 1,933 10,642 9 20,707 75,045 42,209 1,938 10,680 7 21,194 76,028 42,925 1,933 10,844 6 21,272 76,980 43,280 1,926 11,021 5 21,046 77,278 43,603 1,915 11,243 5 20,716 77,482 44,068 1,901 11,344 5 20,314 77,632 44,463 1,889 11,503 5 19,882 77,742 45,379 1,877 11,834 4 20,045 79,139 46,226 1,868 11,994 4 20,212 80,304 46,516 1,859 12,133 4 20,290 80,802 46,268 1,850 12,398 3 20,157 80,676 48,295 1,837 12,478 3 19,927 82,540 48,438 1,849 12,405 3 20,089 82,784 48,509 1,835 12,776 3 20,196 83,319 48,522 1,817 12,883 3 20,199 83,424 48,824 1,796 13,021 3 20,184 83,828 49,085 1,772 13,072 2 20,203 84,134 49,307 1,746 12,913 2 20,191 84,159 48,706 1,718 12,927 2 19,987 83,340 49,434 1,694 13,199 2 19,832 84,161 49,489 1,667 13,269 2 19,673 84,100 49,513 1,640 13,336 2 19,494 83,985 49,513 1,612 13,404 2 19,302 83,833 26,977 45,654 49,031 35,135
2,135 1,877 1,741 2,002
7,562 11,835 13,019 9,520
24 4 2 16
15,598 20,268 19,941 17,398
Sumber : FAOSTAT, 2012 Keterangan : * Hasil ekstrapolasi berdasarkan rata-rata bergergerk tiga tahun
52,296 79,638 83,733 64,071
ASEAN 42,982 45,694 48,405 51,117 53,828 56,539 59,251 61,962 64,674 67,385 70,097 72,808 75,520 78,231 80,943 83,654 86,366 89,077 91,789 94,224 96,338 98,673 100,756 102,846 105,067 110,112 112,858 115,401 117,186 119,013 120,119 121,138 122,098 123,002 125,198 127,161 128,082 128,725 131,408 131,986 133,722 134,401 135,455 136,261 136,937 136,720 138,275 138,897 139,451 139,939 81,760 125,892 136,549 101,635
257 Lampiran 4 Persediaan Modal Bersih Tanaman Pertanian Negara-negara ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010 Tahun 1961* 1962* 1963* 1964* 1965* 1966* 1967* 1968* 1969* 1970* 1971* 1972* 1973* 1974* 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008* 2009* 2010* Rata-rata 1961-1990 1991-2000 2001-2010 1961-2010
Persediaan Modal Bersih (mesin pertanian dan tanaman) Menurut harga Konstan 2005 (US $ Juta) ASEANIndonesia Malaysia Philippines Singapura Thailand ASEAN 5 22,180 1,283 188 2,030 9,663 13,155 35,268 22,182 1,283 188 2,030 9,664 13,155 35,269 22,181 1,283 188 2,030 9,664 13,155 35,268 22,178 1,283 188 2,030 9,663 13,154 35,268 22,187 1,283 188 2,030 9,665 13,156 35,270 22,177 1,283 188 2,029 9,663 13,154 35,266 22,171 1,283 188 2,030 9,660 13,152 35,268 22,212 1,284 188 2,029 9,673 13,164 35,277 22,150 1,283 187 2,029 9,655 13,145 35,251 22,150 1,283 187 2,031 9,653 13,146 35,276 22,337 1,285 189 2,027 9,710 13,201 35,306 21,962 1,281 186 2,030 9,602 13,089 35,172 22,151 1,283 188 2,036 9,648 13,147 35,350 22,899 1,291 192 2,013 9,879 13,366 35,395 20,836 1,269 177 2,042 9,277 12,754 34,771 22,717 1,289 196 2,054 9,789 13,321 35,882 25,146 1,314 203 1,944 10,573 14,024 35,533 28,231 1,341 213 1,967 10,620 14,137 36,314 31,939 1,363 215 1,979 11,135 14,695 37,900 35,654 1,470 217 1,993 11,693 15,376 39,141 37,549 1,507 222 2,003 11,739 15,484 39,812 38,544 1,550 221 2,021 11,858 15,672 40,796 39,848 1,583 231 2,028 11,878 15,750 41,593 40,628 1,637 247 2,034 11,902 15,863 42,876 40,986 2,729 265 2,035 11,917 16,999 48,898 41,737 3,227 289 2,043 11,975 17,595 53,226 42,593 3,678 320 2,072 12,014 18,147 59,041 42,589 3,824 350 2,003 12,058 18,323 62,073 42,174 4,388 384 2,162 12,107 19,133 64,528 41,426 4,470 416 2,225 12,149 19,363 65,678 40,753 5,556 451 2,242 12,186 20,542 67,730 40,184 7,389 475 2,269 12,261 22,506 71,486 39,194 7,131 500 2,281 12,346 22,375 78,343 38,473 7,852 555 2,393 12,446 23,370 83,043 38,056 8,571 600 2,492 12,581 24,382 88,665 38,630 9,184 597 2,576 12,986 25,495 90,610 39,729 9,477 596 2,580 13,628 26,434 93,012 41,345 9,543 599 2,588 14,226 27,110 94,580 43,604 9,693 597 2,590 14,215 27,258 95,524 50,043 9,784 598 2,568 13,347 26,463 95,464 45,965 9,643 599 2,725 13,350 26,481 96,027 49,225 9,711 598 3,089 13,474 27,036 97,447 52,115 9,717 598 3,314 13,649 27,442 99,451 56,427 10,514 600 3,443 13,849 28,566 101,796 65,458 9,648 599 3,555 13,849 27,811 102,243 74,450 9,636 597 3,740 13,968 28,105 103,157 86,275 9,654 597 4,214 13,963 28,601 105,537 75,394 9,646 598 3,836 13,927 28,172 103,646 78,706 9,645 597 3,930 13,952 28,293 104,113 80,125 9,649 597 3,993 13,947 28,355 104,432 China
29,457 41,001 64,926 39,157
1,820 8,418 9,750 4,725
227 557 598 367
2,034 2,458 3,491 2,429
-
10,605 13,022 13,752 11,726
Sumber : FAOSTAT, 2012 Keterangan : * Hasil ekstrapolasi berdasarkan rata-rata bergergerk tiga tahun
14,699 24,593 27,757 19,315
41,066 85,846 101,210 62,165
258 Lampiran 5
Hasil Estimasi Transmisi Harga Internasional ke Harga Produsen Domestik di Masing-masing Negara ASEAN-5 dan China pada Kelompok Komoditi Tanaman Pangan dan Buah-buahan.
A. Komoditi Gandum A1. Komoditi Gandum China Dependent Variable: GANDUM_CHN Method: Least Squares Date: 06/07/12 Time: 23:15 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable C GANDUM_CHN(-1) D(GANDUM_W,1) GANDUM_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
17.10415 0.317239 0.232161 0.566426
20.79286 0.220717 0.104502 0.140291
0.822597 1.437315 2.221591 4.037517
0.4245 0.1726 0.0433 0.0012
0.861477 0.831794 17.38392 4230.810 -74.67889 2.016132
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
165.8389 42.38643 8.742099 8.939959 29.02216 0.000003
Matriks Koefisien Covariance C
GANDUM_CHN(-1)
D(GANDUM_W,1)
GANDUM_W(-1)
C
432.3431
-3.271736
-0.515311
0.590869
GANDUM_CHN(-1)
-3.271736
0.048716
-0.000943
-0.025444
D(GANDUM_W,1)
-0.515311
-0.000943
0.010921
0.003487
GANDUM_W(-1)
0.590869
-0.025444
0.003487
0.019681
259 Lampiran 5 Lanjutan B. Komoditi Beras-Padi B1. Komoditi Beras-Padi China Dependent Variable: PADDY_RICE_CHN Method: Least Squares Date: 06/08/12 Time: 14:39 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PADDY_RICE_CHN(-1) D(PADDY_RICE_W,1) PADDY_RICE_W(-1)
62.14970 0.474318 0.280284 0.246230
61.73914 0.214864 0.268634 0.225238
1.006650 2.207528 1.043370 1.093201
0.3312 0.0445 0.3145 0.2928
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat Matriks Koefisien Covariance
0.407254 0.280237 65.27279 59647.53 -98.49342 1.926112
PADDY_ RICE_CHN(-1) -5.753970 0.046167 0.002169 -0.018479
C C PADDY_RICE_CHN(-1) D(PADDY_RICE_W,1) PADDY_RICE_W(-1)
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
3811.722 -5.753970 -3.553366 -8.810592
234.7611 76.93740 11.38816 11.58602 3.206298 0.055924
D(PADDY_ RICE_W,1) -3.553366 0.002169 0.072164 0.009077
PADDY_ RICE_W(-1) -8.810592 -0.018479 0.009077 0.050732
B2. Komoditi Beras-Padi Indonesia Dependent Variable: PADDY_RICE_IDN Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 17:50 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable C PADDY_RICE_IDN(-1) D(PADDY_RICE_W,1) PADDY_RICE_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat Matriks Koefisien Covariance
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
70.73151 0.551931 0.335572 0.030631
31.76717 0.370556 0.212658 0.236483
2.226560 1.489467 1.577992 0.129526
0.0429 0.1585 0.1369 0.8988
0.627984 0.548266 34.94737 17098.46 -87.24824 2.185345
C C PADDY_RICE_IDN(-1) D(PADDY_RICE_W,1) PADDY_RICE_W(-1)
1009.153 -4.094061 0.790556 -0.881455
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
PADDY_ RICE_IDN(-1) -4.094061 0.137312 -0.058079 -0.077287
D(PADDY_ RICE_W,1) 0.790556 -0.058079 0.045223 0.035541
179.8667 51.99636 10.13869 10.33655 7.877581 0.002544 PADDY_ RICE_W(-1) -0.881455 -0.077287 0.035541 0.055924
260 Lampiran 5 Lanjutan B3. Komoditi Beras-Padi Malaysia Dependent Variable: PADDY_RICE_MYS Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 17:48 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
56.11458 0.462031 0.171137 0.155817
33.68421 0.251667 0.070106 0.072178
1.665902 1.835887 2.441112 2.158781
0.1179 0.0877 0.0285 0.0487
C PADDY_RICE_MYS(-1) D(PADDY_RICE_W,1) PADDY_RICE_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.678676 0.609820 16.59438 3855.228 -73.84222 1.481394
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
176.8222 26.56616 8.649135 8.846996 9.856557 0.000942
Matriks Koefisien Covariance C C PADDY_RICE_MYS(-1) D(PADDY_RICE_W,1) PADDY_RICE_W(-1)
1134.626 -7.693809 0.278160 0.782111
PADDY_ RICE_MYS(-1) -7.693809 0.063336 -0.004037 -0.012352
D(PADDY_ RICE_W,1) 0.278160 -0.004037 0.004915 0.001430
PADDY_ RICE_W(-1) 0.782111 -0.012352 0.001430 0.005210
B4. Komoditi Beras-Padi Philipina Dependent Variable: PADDY_RICE_PHL Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 17:50 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
27.54400 0.577097 0.404750 0.260848
24.81345 0.187169 0.093987 0.121556
1.110043 3.083289 4.306425 2.145901
0.2857 0.0081 0.0007 0.0499
C PADDY_RICE_PHL(-1) D(PADDY_RICE_W,1) PADDY_RICE_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.848022 0.815456 22.84675 7307.637 -79.59763 1.371606
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
221.7722 53.18313 9.288625 9.486485 26.03957 0.000005
Matriks Koefisien Covariance C C PADDY_RICE_PHL(-1) D(PADDY_RICE_W,1) PADDY_RICE_W(-1)
615.7074 -2.878878 -0.367670 0.134965
PADDY_ RICE_PHL(-1) -2.878878 0.035032 -0.000420 -0.018211
D(PADDY_ RICE_W,1) -0.367670 -0.000420 0.008834 0.001437
PADDY_ RICE_W(-1) 0.134965 -0.018211 0.001437 0.014776
261 Lampiran 5 Lanjutan B5. Komoditi Beras-Padi Thailand Dependent Variable: PADDY_RICE_THA Method: Least Squares Date: 06/10/12 Time: 18:09 Sample(adjusted): 1992 2007 Included observations: 16 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PADDY_RICE_THA(-1) D(PADDY_RICE_W,1) PADDY_RICE_W(2)
-22.00277 0.769942 0.310130 0.246009
52.95586 0.331539 0.349950 0.125605
-0.415493 2.322327 0.886214 1.958597
0.6851 0.0386 0.3929 0.0738
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.588734 0.485917 38.60781 17886.76 -78.85683 2.190870
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
162.1813 53.84665 10.35710 10.55025 5.726061 0.011410
Matriks Koefisien Covariance C C PADDY_RICE_THA (-1) D(PADDY_RICE_W,1) PADDY_RICE_W(2)
2804.323 -13.60912 3.116925 -2.431494
PADDY_ RICE_THA(-1) -13.60912 0.109918 0.014043 -0.011566
D(PADDY_ RICE_W,1) 3.116925 0.014043 0.122465 -0.020919
PADDY_ RICE_W(2) -2.431494 -0.011566 -0.020919 0.015777
262 Lampiran 5 Lanjutan C. Komoditi Jagun C1. Komoditi Jagung China Dependent Variable: JAGUNG_CHN Method: Least Squares Date: 06/11/12 Time: 06:19 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C JAGUNG_CHN(-1) D(JAGUNG_W,1) JAGUNG_W(-1)
33.69026 0.496196 0.547154 0.506215
43.84059 0.203852 0.379270 0.347633
0.768472 2.434100 1.442648 1.456177
0.4550 0.0289 0.1711 0.1674
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat Matriks Koefisien Covariance
0.479083 0.367458 41.95538 24643.55 -90.53798 2.208181
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
C
C JAGUNG_CHN(-1) D(JAGUNG_W,1) JAGUNG_W(-1)
179.9444 52.75249 10.50422 10.70208 4.291895 0.024094
JAGUNG_CHN(-1) D(JAGUNG_W,1) JAGUNG_W(-1)
1921.997 -3.877734 -5.977894 -9.688584
-3.877734 0.041556 0.003274 -0.027452
-5.977894 0.003274 0.143846 0.042027
-9.688584 -0.027452 0.042027 0.120849
C2. Komoditi Jagung Indonesia Dependent Variable: JAGUNG_IDN Method: Least Squares Date: 06/10/12 Time: 18:01 Sample(adjusted): 1993 2008 Included observations: 16 after adjusting endpoints Variable C JAGUNG_IDN(-2) D(JAGUNG_W,1) JAGUNG_W(1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
65.77415 0.302074 0.791925 0.320536
49.29786 0.280993 0.407429 0.279212
1.334219 1.075024 1.943713 1.148004
0.2069 0.3035 0.0758 0.2733
0.556893 0.446117 30.06103 10843.99 -74.85324 2.270109
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
154.3125 40.39194 9.856655 10.04980 5.027172 0.017465
Matriks Koefisien Covariance C
C JAGUNG_IDN(-2) D(JAGUNG_W,1) JAGUNG_W(1)
2430.279 -10.25208 4.941426 -7.678717
JAGUNG_IDN(-2) D(JAGUNG_W,1) JAGUNG_W(1)
-10.25208 0.078957 0.022533 -0.009611
4.941426 0.022533 0.165998 -0.076134
-7.678717 -0.009611 -0.076134 0.077959
263 Lampiran 5 Lanjutan C3. Komoditi Jagung Malaysia Dependent Variable: JAGUNG_MYS Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 18:02 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
38.82523 0.601158 0.151083 0.093742
23.60610 0.258563 0.135873 0.141693
1.644711 2.324993 1.111945 0.661586
0.1223 0.0356 0.2849 0.5190
C JAGUNG_MYS(-1) D(JAGUNG_W,1) JAGUNG_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.564104 0.470698 13.15774 2423.764 -69.66524 1.976820
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
124.9500 18.08546 8.185027 8.382887 6.039262 0.007384
Matriks Koefisien Covariance C
C JAGUNG_MYS(-1) D(JAGUNG_W,1) JAGUNG_W(-1)
JAGUNG_MYS(-1) D(JAGUNG_W,1) JAGUNG_W(-1)
557.2481 -5.195787 0.765799 0.802107
-5.195787 0.066855 -0.017032 -0.025824
0.765799 -0.017032 0.018461 0.010925
0.802107 -0.025824 0.010925 0.020077
C4. Komoditi Jagung Philipina Dependent Variable: JAGUNG_PHL Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 18:03 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable C JAGUNG_PHL(-1) D(JAGUNG_W,1) JAGUNG_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
33.03627 0.405222 0.785793 0.629278
27.19725 0.232224 0.235676 0.309273
1.214692 1.744963 3.334204 2.034701
0.2446 0.1029 0.0049 0.0613
0.714231 0.652995 25.69999 9246.855 -81.71590 1.564159
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
180.8111 43.62796 9.523989 9.721849 11.66353 0.000423
Matriks Koefisien Covariance C JAGUNG_PHL(-1) D(JAGUNG_W,1) JAGUNG_W(-1)
C 739.6904
-2.884489 -1.621495 -1.628250
JAGUNG_PHL(-1) D(JAGUNG_W,1) JAGUNG_W(-1) -2.884489 -1.621495 -1.628250
0.053928 -0.009477 -0.055496
-0.009477 0.055543 0.026334
-0.055496 0.026334 0.095650
264 Lampiran 5 Lanjutan C5. Komoditi Jagung Thailand Dependent Variable: JAGUNG_THA Method: Least Squares Date: 06/10/12 Time: 18:02 Sample(adjusted): 1993 2008 Included observations: 16 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C JAGUNG_THA(-2) D(JAGUNG_W,1) JAGUNG_W(1)
-9.760744 0.546295 0.446092 0.576379
32.03892 0.236362 0.254098 0.175449
-0.304653 2.311259 1.755592 3.285168
0.7658 0.0394 0.1046 0.0065
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.788354 0.735442 18.80909 4245.383 -67.35101 2.174143
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
127.9437 36.56853 8.918876 9.112023 14.89946 0.000238
Matriks Koefisien Covariance C
C JAGUNG_THA(-2) D(JAGUNG_W,1) JAGUNG_W(1)
1026.493 -5.771285 1.962233 -2.839799
JAGUNG_THA(-2) D(JAGUNG_W,1)
-5.771285 0.055867 0.010820 -0.006340
1.962233 0.010820 0.064566 -0.029960
JAGUNG_W(1)
-2.839799 -0.006340 -0.029960 0.030782
265 Lampiran 5 Lanjutan D. Komoditi Kedelai D1. Komoditi Kedelai China Dependent Variable: KEDELAI_CHN Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 18:06 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C KEDELAI_CHN(-1) D(KEDELAI_W,1) KEDELAI_W(-1)
20.65171 0.333332 0.796707 0.809252
64.63530 0.241093 0.323241 0.346666
0.319511 1.382589 2.464745 2.334386
0.7541 0.1884 0.0273 0.0350
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat Matriks Koefisien Covariance
0.704820 0.641567 69.28331 67202.48 -99.56674 2.130101 C
C KEDELAI_CHN(-1) D(KEDELAI_W,1) KEDELAI_W(-1)
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
365.7778 115.7244 11.50742 11.70528 11.14291 0.000528
KEDELAI_CHN(-1) D(KEDELAI_W,1) KEDELAI_W(-1)
4177.722 -2.296694 -3.990757 -11.23622
-2.296694 0.058126 -0.019747 -0.063986
-3.990757 -0.019747 0.104485 0.035251
-11.23622 -0.063986 0.035251 0.120177
D2. Komoditi Kedelai Indonesia Dependent Variable: KEDELAI_IDN Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 18:08 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
19.71984 0.576118 0.903797 0.573369
65.54048 0.205896 0.280838 0.282192
0.300880 2.798098 3.218218 2.031843
0.7679 0.0142 0.0062 0.0616
C KEDELAI_IDN(-1) D(KEDELAI_W,1) KEDELAI_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.761810 0.710770 62.19394 54153.20 -97.62370 2.175477
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
427.7722 115.6448 11.29152 11.48938 14.92555 0.000122
Matriks Koefisien Covariance C
C KEDELAI_IDN(-1) D(KEDELAI_W,1) KEDELAI_W(-1)
4295.555 -6.518111 -3.561915 -4.795932
KEDELAI_IDN( D(KEDELAI_W, KEDELAI_W(-1) 1) 1)
-6.518111 0.042393 -0.001838 -0.040947
-3.561915 -0.001838 0.078870 0.012665
-4.795932 -0.040947 0.012665 0.079632
266 Lampiran 5 Lanjutan D3. Komoditi Kedelai Philipina Dependent Variable: KEDELAI_PHL Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 18:09 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
42.84634 0.611496 1.188525 0.365878
41.63505 0.235251 0.201270 0.333510
1.029093 2.599332 5.905122 1.097053
0.3209 0.0210 0.0000 0.2911
C KEDELAI_PHL(-1) D(KEDELAI_W,1) KEDELAI_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.868624 0.840472 44.48908 27709.89 -91.59345 1.405344
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
388.8111 111.3871 10.62149 10.81935 30.85481 0.000002
Matriks Koefisien Covariance C
C KEDELAI_PHL(-1) D(KEDELAI_W,1) KEDELAI_W(-1)
KEDELAI_PHL(-1) D(KEDELAI_W,1) KEDELAI_W(-1)
1733.477 -1.634576 -1.870667 -3.582787
-1.634576 0.055343 -0.003270 -0.070857
-1.870667 -0.003270 0.040510 0.009759
-3.582787 -0.070857 0.009759 0.111229
D4. Komoditi Kedelai Thailand Dependent Variable: KEDELAI_THA Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 18:39 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
64.51404 0.516534 0.752415 0.275760
33.58911 0.250578 0.162445 0.227790
1.920683 2.061369 4.631822 1.210589
0.0754 0.0583 0.0004 0.2461
C KEDELAI_THA(-1) D(KEDELAI_W,1) KEDELAI_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.849497 0.817246 31.40809 13810.56 -85.32625 1.880791
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
300.2333 73.46972 9.925138 10.12300 26.34044 0.000005
Matriks Koefisien Covariance C
C KEDELAI_THA(-1) D(KEDELAI_W,1) KEDELAI_W(-1)
1128.229 -4.254874 0.366713 0.637378
KEDELAI_THA(-1) D(KEDELAI_W,1) KEDELAI_W(-1)
-4.254874 0.062789 -0.019881 -0.051149
0.366713 -0.019881 0.026388 0.018972
0.637378 -0.051149 0.018972 0.051888
267 Lampiran 5 Lanjutan E. Komoditi Pisang E1. Komoditi Pisang China Dependent Variable: PISANG_CHN Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 22:27 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
53.70839 0.553677 0.289832 0.248192
103.7734 0.223262 0.243906 0.197409
0.517555 2.479947 1.188295 1.257247
0.6128 0.0265 0.2545 0.2292
C PISANG_CHN(-1) D(PISANG_W,1) PISANG_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.525721 0.424089 86.87983 105673.5 -103.6405 1.679191
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
400.3056 114.4831 11.96006 12.15792 5.172821 0.012961
Matriks Koefisien Covariance C
C PISANG_CHN(-1) D(PISANG_W,1) PISANG_W(-1)
PISANG_CHN(-1) D(PISANG_W,1)
10768.92 -8.791591 -0.767509 -13.29259
-8.791591 0.049846 -0.014212 -0.019136
PISANG_W(-1)
-0.767509 -0.014212 0.059490 0.010007
-13.29259 -0.019136 0.010007 0.038970
E2. Komoditi Pisang Indonesia Dependent Variable: PISANG_IDN Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 22:28 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
104.2712 0.479525 0.084492 0.116630
133.9321 0.247960 0.260634 0.197229
0.778537 1.933879 0.324180 0.591346
0.4492 0.0736 0.7506 0.5637
C PISANG_IDN(-1) D(PISANG_W,1) PISANG_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.223632 0.057268 96.17046 129482.6 -105.4693 1.943576
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
311.9611 99.04840 12.16325 12.36111 1.344230 0.300098
Matriks Koefisien Covariance C
C PISANG_IDN(-1) D(PISANG_W,1) PISANG_W(-1)
17937.81 -20.20923 -4.121740 -21.42198
PISANG_IDN(-1) D(PISANG_W,1)
-20.20923 0.061484 0.000334 0.003039
-4.121740 0.000334 0.067930 0.005593
PISANG_W(-1)
-21.42198 0.003039 0.005593 0.038899
268 Lampiran 5 Lanjutan E3. Komoditi Pisang Malaysia Dependent Variable: PISANG_MYS Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 22:29 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
19.01359 0.345551 0.133810 0.198217
36.79169 0.384416 0.082688 0.085887
0.516790 0.898898 1.618246 2.307877
0.6134 0.3839 0.1279 0.0368
C PISANG_MYS(-1) D(PISANG_W,1) PISANG_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.767069 0.717155 20.94179 6139.817 -78.03050 1.918008
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
186.8500 39.37672 9.114500 9.312360 15.36787 0.000104
Matriks Koefisien Covariance C PISANG_MYS(-1) D(PISANG_W,1) PISANG_W(-1)
C
PISANG_MYS(-1)
D(PISANG_W,1)
PISANG_W(-1)
1353.629 -10.99477 1.529712 1.160244
-10.99477 0.147776 -0.023117 -0.028611
1.529712 -0.023117 0.006837 0.004740
1.160244 -0.028611 0.004740 0.007377
E4. Komoditi Pisang Philipina Dependent Variable: PISANG_PHL Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 22:29 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PISANG_PHL(-1) D(PISANG_W,1) PISANG_W(-1)
-0.844899 0.673171 0.012000 0.083737
27.88356 0.212905 0.054831 0.043044
-0.030301 3.161834 0.218855 1.945376
0.9763 0.0069 0.8299 0.0721
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.600417 0.514792 19.68948 5427.458 -76.92058 2.215560
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
124.1444 28.26638 8.991176 9.189036 7.012174 0.004119
Matriks Koefisien Covariance C
C PISANG_PHL(-1) D(PISANG_W,1) PISANG_W(-1)
777.4930 -3.712345 0.051802 -0.592438
PISANG_PHL(-1) D(PISANG_W,1)
-3.712345 0.045329 -0.002686 -0.003219
0.051802 -0.002686 0.003006 0.000424
PISANG_W(-1)
-0.592438 -0.003219 0.000424 0.001853
269 Lampiran 5 Lanjutan E5. Komoditi Pisang Thailand Dependent Variable: PISANG_THA Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 22:33 Sample(adjusted): 1993 2009 Included observations: 17 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
111.6918 0.677125 0.269726 0.530822
427.8327 0.146357 0.729463 0.791170
0.261064 4.626535 0.369760 0.670933
0.7981 0.0005 0.7175 0.5140
C PISANG_THA(-1) D(PISANG_W,2) PISANG_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.652018 0.571714 318.4439 1318285. -119.8203 1.594307
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
1322.588 486.5932 14.56709 14.76314 8.119403 0.002659
Matriks Koefisien Covariance C
C PISANG_THA(-1) D(PISANG_W,2) PISANG_W(-1)
183040.8 -16.30166 -153.1336 -294.2930
PISANG_THA(-1) D(PISANG_W,2)
-16.30166 0.021420 -0.010644 -0.025110
-153.1336 -0.010644 0.532117 0.315634
PISANG_W(-1)
-294.2930 -0.025110 0.315634 0.625949
270 Lampiran 5 Lanjutan F. Komoditi Jeruk F1. Komoditi Jeruk China Dependent Variable: JERUK_CHN Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 22:36 Sample(adjusted): 1993 2009 Included observations: 17 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C JERUK_CHN(-2) D(JERUK_W,1) JERUK_W(-1)
-43.39530 0.191615 0.032103 0.364160
41.79441 0.225347 0.115411 0.072187
-1.038304 0.850314 0.278161 5.044640
0.3181 0.4105 0.7853 0.0002
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.796890 0.750018 50.29913 32890.03 -88.44750 2.703407
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
221.0118 100.6019 10.87618 11.07223 17.00154 0.000087
Matriks Koefisien Covariance C JERUK_CHN(-2) D(JERUK_W,1) JERUK_W(-1)
C
JERUK_CHN(-2)
D(JERUK_W,1)
JERUK_W(-1)
1746.773 -3.921826 -0.939202 -1.282248
-3.921826 0.050781 -0.001391 -0.009941
-0.939202 -0.001391 0.013320 0.001433
-1.282248 -0.009941 0.001433 0.005211
F2. Komoditi Jeruk Indonesia Dependent Variable: D(JERUK_IDN,1) Method: Least Squares Date: 06/10/12 Time: 17:28 Sample(adjusted): 1992 2008 Included observations: 17 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C JERUK_IDN(1) D(JERUK_W,1) JERUK_W(-1)
-273.9835 0.361088 0.013734 0.145705
170.5115 0.199623 0.393314 0.204236
-1.606833 1.808852 0.034919 0.713415
0.1321 0.0936 0.9727 0.4882
0.214448 0.033167 148.3660 286162.2 -106.8363 2.446364
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.494118 150.8894 13.03957 13.23562 1.182958 0.354332
Matriks Koefisien Covariance C JERUK_IDN(1) D(JERUK_W,1) JERUK_W(-1)
C
JERUK_IDN(1)
D(JERUK_W,1)
JERUK_W(-1)
29074.17 -23.67597 -1.970805 -26.22275
-23.67597 0.039849 0.008166 0.004373
-1.970805 0.008166 0.154696 -0.013059
-26.22275 0.004373 -0.013059 0.041712
271 Lampiran 5 Lanjutan F3. Komoditi Jeruk Malaysia Dependent Variable: JERUK_MYS Method: Least Squares Date: 06/10/12 Time: 17:40 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
335.2677 0.084554 0.012659 0.184639
158.7481 0.320730 0.277879 0.119249
2.111948 0.263629 0.045557 1.548354
0.0531 0.7959 0.9643 0.1438
C JERUK_MYS(-1) D(JERUK_W,1) JERUK_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.174566 -0.002313 102.9273 148316.5 -106.6915 1.931654
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
489.2222 102.8085 12.29905 12.49691 0.986924 0.427220
Matriks Koefisien Covariance C JERUK_MYS(-1) D(JERUK_W,1) JERUK_W(-1)
C
JERUK_MYS(-1)
D(JERUK_W,1)
JERUK_W(-1)
25200.96 -44.68204 -24.85131 -4.467224
-44.68204 0.102867 0.048355 -0.008928
-24.85131 0.048355 0.077217 0.000159
-4.467224 -0.008928 0.000159 0.014220
F4. Komoditi Jeruk Philipina Dependent Variable: D(JERUK_PHL,1) Method: Least Squares Date: 06/10/12 Time: 17:36 Sample(adjusted): 1992 2008 Included observations: 17 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C JERUK_PHL(-1) D(JERUK_W,1) JERUK_W(1)
598.8365 -1.240828 0.006954 0.191345
210.6986 0.273504 0.605069 0.236512
2.842147 -4.536782 0.011493 0.809028
0.0139 0.0006 0.9910 0.4331
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.641935 0.559304 195.5426 497079.6 -111.5299 1.936340
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
19.71176 294.5587 13.59176 13.78781 7.768743 0.003182
Matriks Koefisien Covariance C JERUK_PHL(-1) D(JERUK_W,1) JERUK_W(1)
C
JERUK_PHL(-1)
D(JERUK_W,1)
JERUK_W(1)
44393.91 -39.87779 58.08930 -33.50226
-39.87779 0.074804 -0.056943 -0.000796
58.08930 -0.056943 0.366108 -0.059761
-33.50226 -0.000796 -0.059761 0.055938
272 Lampiran 5 Lanjutan F5. Komoditi Jeruk Thailand Dependent Variable: D(JERUK_THA,1) Method: Least Squares Date: 06/10/12 Time: 17:23 Sample(adjusted): 1993 2007 Included observations: 15 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C JERUK_THA(2) D(JERUK_W,2) JERUK_W(2)
-311.6535 0.541330 0.054991 0.093539
101.2094 0.147097 0.104000 0.074090
-3.079293 3.680100 0.528755 1.262507
0.0105 0.0036 0.6075 0.2329
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.560925 0.441177 56.77027 35451.50 -79.54311 1.836090
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-1.586667 75.94230 11.13908 11.32789 4.684214 0.024168
Matriks Koefisien Covariance C JERUK_THA(2) D(JERUK_W,2) JERUK_W(2)
C
JERUK_THA(2)
D(JERUK_W,2)
JERUK_W(2)
10243.35 -13.19511 -0.513135 -5.961748
-13.19511 0.021637 9.23E-05 0.004962
-0.513135 9.23E-05 0.010816 0.000529
-5.961748 0.004962 0.000529 0.005489
273 Lampiran 6
Hasil Estimasi Transmisi Harga Internasional ke Harga Produsen Domestik di Masing-masing Negara ASEAN-5 dan China pada Kelompok Komoditi Tanaman Perkebunan. A. Komoditi Kelapa A1. Komoditi Kelapa China Dependent Variable: D(KELAPA_CHN,1) Method: Least Squares Date: 06/10/12 Time: 18:49 Sample(adjusted): 1994 2007 Included observations: 14 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C KELAPA_CHN(-3) D(COPRA_W,1) COPRA_W(2)
-455.7802 0.644283 0.294828 0.520956
281.1962 0.333338 0.597507 0.470826
-1.620862 1.932825 0.493430 1.106472
0.1361 0.0820 0.6324 0.2944
0.275804 0.058546 205.6272 422825.3 -92.07474 1.473510
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
-28.22857 211.9243 13.72496 13.90755 1.269475 0.336990
Matriks Koefisien Covariance C KELAPA_CHN(-3) D(COPRA_W,1) COPRA_W(2)
C 79071.33 -74.30830 -7.924694 -123.4410
KELAPA_CHN(-3) D(COPRA_W,1) COPRA_W(2) -74.30830 -7.924694 -123.4410 0.111114 0.023269 0.092595 0.023269 0.357014 -0.016500 0.092595 -0.016500 0.221677
A2. Komoditi Kelapa Indonesia Dependent Variable: KELAPA_IDN Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 18:24 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C KELAPA_IDN(-1) D(COPRA_W,1) COPRA_W(-1)
-3.729709 0.429292 0.111429 0.151192
19.22846 0.241828 0.048396 0.067165
-0.193968 1.775195 2.302446 2.251072
0.8490 0.0976 0.0372 0.0410
0.702511 0.638763 22.07932 6824.948 -78.98261 1.611699
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
101.0389 36.73582 9.220290 9.418150 11.02018 0.000557
Matriks Koefisien Covariance C KELAPA_IDN(-1) D(COPRA_W,1) COPRA_W(-1)
C
KELAPA_IDN(-1)
D(COPRA_W,1)
COPRA_W(-1)
369.7338 -0.617124 -0.403164 -0.679666
-0.617124 0.058481 -0.003352 -0.012244
-0.403164 -0.003352 0.002342 0.001716
-0.679666 -0.012244 0.001716 0.004511
274 Lampiran 6 Lanjutan A3. Komoditi Kelapa Philipina Dependent Variable: KELAPA_PHL Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 22:08 Sample(adjusted): 1993 2009 Included observations: 17 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C KELAPA_PHL(-1) D(COPRA_W,2) COPRA_W(-1)
-8.397861 0.235948 0.106529 0.158983
16.61118 0.326415 0.027626 0.052892
-0.505555 0.722845 3.856172 3.005797
0.6216 0.4826 0.0020 0.0101
0.675574 0.600706 13.67651 2431.611 -66.30827 1.735643
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
72.07059 21.64358 8.271561 8.467611 9.023588 0.001711
Matriks Koefisien Covariance C KELAPA_PHL(-1) D(COPRA_W,2) COPRA_W(-1)
C 275.9314 -2.337559 -0.319319 -0.253952
KELAPA_PHL(-1) D(COPRA_W,2) COPRA_W(-1) -2.337559 -0.319319 -0.253952 0.106547 0.001495 -0.012570 0.001495 0.000763 0.000556 -0.012570 0.000556 0.002798
A5. Komoditi Kelapa Thailand Dependent Variable: KELAPA_THA Method: Least Squares Date: 06/10/12 Time: 18:40 Sample(adjusted): 1994 2009 Included observations: 16 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C KELAPA_THA(-3) D(COPRA_W,1) COPRA_W(-1)
-0.918632 0.124924 0.141848 0.207472
41.03024 0.242729 0.073620 0.068833
-0.022389 0.514667 1.926761 3.014130
0.9825 0.6161 0.0780 0.0108
0.435911 0.294889 32.91076 12997.42 -76.30236 2.090976
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
99.37500 39.19305 10.03779 10.23094 3.091078 0.067756
Matriks Koefisien Covariance C KELAPA_THA(-3) D(COPRA_W,1) COPRA_W(-1)
C
KELAPA_THA(-3)
D(COPRA_W,1)
COPRA_W(-1)
1683.481 -6.801953 -1.591458 -2.294457
-6.801953 0.058917 0.004543 0.002971
-1.591458 0.004543 0.005420 0.002635
-2.294457 0.002971 0.002635 0.004738
275 Lampiran 6 Lanjutan B. Komoditi Buah Sawit B1. Komoditi Buah Sawit Indonesia Dependent Variable: OIL_PALM_FRUIT_IDN Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 20:26 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable C OIL_PALM_FRUIT_IDN(-1) D(PALM_OIL_W,1) PALM_OIL_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
22.19930 0.595253 0.018314 0.014726
16.71991 0.214627 0.029800 0.026219
1.327716 2.773433 0.614577 0.561655
0.2055 0.0149 0.5487 0.5832
0.428741 0.306328 15.63881 3424.014 -72.77467 1.708323
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
72.06667 18.77702 8.530519 8.728379 3.502420 0.044035
Matriks Koefisien Covariance C C OIL_PALM_FRUIT_IDN(-1) D(PALM_OIL_W,1) PALM_OIL_W(-1)
279.5554 -2.254183 -0.128677 -0.208073
OIL_PALM_ D(PALM_OIL_W,1) PALM_OIL_W(-1) FRUIT_IDN(-1) -2.254183 -0.128677 -0.208073 0.046065 -0.000761 -0.001994 -0.000761 0.000888 0.000332 -0.001994 0.000332 0.000687
B2. Komoditi Buah Sawit Malaysia Dependent Variable: PALM_OIL_MYS Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 18:44 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable C PALM_OIL_MYS(-1) D(PALM_OIL_W,1) PALM_OIL_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
133.2571 0.641759 0.292836 0.006022
95.84192 0.214757 0.155892 0.133637
1.390385 2.988303 1.878460 0.045061
0.1861 0.0098 0.0813 0.9647
0.448824 0.330714 81.83608 93760.03 -102.5640 1.642364
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
398.1667 100.0320 11.84044 12.03830 3.800073 0.034882
Matriks Koefisien Covariance C C PALM_OIL_MYS(-1) D(PALM_OIL_W,1) PALM_OIL_W(-1)
9185.674 -14.48803 -5.769191 -5.846626
PALM_ OIL_MYS(-1) -14.48803 0.046121 0.003901 -0.008030
D(PALM_ OIL_W,1) -5.769191 0.003901 0.024302 0.007510
PALM_ OIL_W(-1) -5.846626 -0.008030 0.007510 0.017859
276 Lampiran 6 Lanjutan B3. Komoditi Buah Sawit Philipina Dependent Variable: OIL_PALM_FRUIT_PHL Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 18:47 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable C OIL_PALM_FRUIT_PHL(1) D(PALM_OIL_W,1) PALM_OIL_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
4.942299 0.681525
30.98783 0.153519
0.159492 4.439340
0.8756 0.0006
0.044211 0.028500
0.063743 0.052812
0.693583 0.539648
0.4993 0.5979
0.588814 0.500703 33.67274 15873.95 -86.57946 1.800070
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
75.36111 47.65394 10.06438 10.26224 6.682614 0.004993
Matriks Koefisien Covariance C OIL_PALM_FRUIT_PHL(-1) D(PALM_OIL_W,1) PALM_OIL_W(-1)
C
OIL_PALM_ FRUIT_PHL(-1)
D(PALM_ OIL_W,1)
PALM_ OIL_W(-1)
960.2458 -2.034393 -0.797732 -1.436634
-2.034393 0.023568 0.000329 0.000228
-0.797732 0.000329 0.004063 0.001390
-1.436634 0.000228 0.001390 0.002789
B4. Komoditi Buah Sawit Thailand Dependent Variable: OIL_PALM_FRUIT_THA Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 18:46 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C OIL_PALM_FRUIT_THA(-1) D(PALM_OIL_W,1) PALM_OIL_W(-1)
-28.49141 0.874259 0.122786 0.081901
11.04814 0.248688 0.025096 0.041282
-2.578842 3.515488 4.892721 1.983955
0.0219 0.0034 0.0002 0.0672
0.889206 0.865465 13.25836 2460.977 -69.80237 1.731524
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
79.49444 36.14693 8.200264 8.398124 37.45358 0.000001
Matriks Koefisien Covariance C OIL_PALM_FRUIT_THA(-1) D(PALM_OIL_W,1) PALM_OIL_W(-1)
C
OIL_PALM_ FRUIT_THA(-1)
D(PALM_ OIL_W,1)
PALM_ OIL_W(-1)
122.0614 -0.160587 -0.119756 -0.196640
-0.160587 0.061846 0.000189 -0.008870
-0.119756 0.000189 0.000630 0.000188
-0.196640 -0.008870 0.000188 0.001704
277 Lampiran 6 Lanjutan C. Komoditi Karet C1. Komoditi Karet China Dependent Variable: KARET_CHN Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 20:28 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable C KARET_CHN(-1) D(KARET_W,1) KARET_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
16.64690 0.597187 0.002804 0.427119
293.1555 0.258628 0.264339 0.127452
0.056785 2.309060 0.010607 3.351216
0.9555 0.0367 0.9917 0.0048
0.714063 0.652791 275.6106 1063457. -124.4209 2.282010
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
1232.911 467.7354 14.26899 14.46685 11.65394 0.000425
Matriks Koefisien Covariance C
C KARET_CHN(-1) D(KARET_W,1) KARET_W(-1)
KARET_CHN(-1) D(KARET_W,1) KARET_W(-1)
85940.17 -63.95144 -46.15570 -3.313848
-63.95144 0.066888 0.038240 -0.013822
-46.15570 0.038240 0.069875 -0.002384
-3.313848 -0.013822 -0.002384 0.016244
C2. Komoditi Karet Indonesia Dependent Variable: KARET_IDN Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 20:29 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C KARET_IDN(-1) D(KARET_W,1) KARET_W(-1)
-72.70354 0.389155 0.320737 0.215969
50.92641 0.236079 0.062497 0.087938
-1.427619 1.648414 5.132006 2.455918
0.1753 0.1215 0.0002 0.0277
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.902148 0.881180 77.53279 84158.66 -101.5917 1.807903
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
330.5389 224.9262 11.73241 11.93027 43.02441 0.000000
Matriks Koefisien Covariance C KARET_IDN(-1) D(KARET_W,1) KARET_W(-1)
C
KARET_IDN(-1)
D(KARET_W,1)
KARET_W(-1)
2593.500 5.931035 -1.018292 -3.360423
5.931035 0.055733 -0.002434 -0.019286
-1.018292 -0.002434 0.003906 0.001279
-3.360423 -0.019286 0.001279 0.007733
278 Lampiran 6 Lanjutan C3. Komoditi Karet Malaysia Dependent Variable: KARET_MYS Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 20:36 Sample(adjusted): 1993 2009 Included observations: 17 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C KARET_MYS(-2) D(KARET_W,1) KARET_W(-1)
-219.5770 0.202426 0.641902 0.811068
82.79567 0.222764 0.116721 0.119266
-2.652035 0.908702 5.499432 6.800485
0.0199 0.3800 0.0001 0.0000
0.966749 0.959076 110.7895 159566.0 -101.8715 0.698444
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
984.2059 547.6577 12.45546 12.65152 125.9894 0.000000
Matriks Koefisien Covariance C KARET_MYS(-2) D(KARET_W,1) KARET_W(-1)
C
KARET_MYS(-2)
D(KARET_W,1)
KARET_W(-1)
6855.123 -11.30941 -5.513319 2.757484
-11.30941 0.049624 0.017024 -0.024399
-5.513319 0.017024 0.013624 -0.007438
2.757484 -0.024399 -0.007438 0.014224
C4. Komoditi Karet Philipina Dependent Variable: KARET_PHL Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 20:37 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C KARET_PHL(-1) D(KARET_W,1) KARET_W(-1)
-50.88167 0.297712 0.357614 0.268271
20.71389 0.248358 0.016213 0.094059
-2.456404 1.198724 22.05687 2.852155
0.0277 0.2505 0.0000 0.0128
0.993689 0.992337 20.10969 5661.596 -77.30070 1.855342
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
410.7278 229.7199 9.033411 9.231271 734.7923 0.000000
Matriks Koefisien Covariance C KARET_PHL(-1) D(KARET_W,1) KARET_W(-1)
C
KARET_PHL(-1)
D(KARET_W,1)
KARET_W(-1)
429.0651 4.280502 -0.097512 -1.702583
4.280502 0.061681 -0.000669 -0.023266
-0.097512 -0.000669 0.000263 0.000282
-1.702583 -0.023266 0.000282 0.008847
279
Lampiran 6 Lanjutan C5. Komoditi Karet Thailand Dependent Variable: KARET_THA Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 20:38 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C KARET_THA(-1) D(KARET_W,1) KARET_W(-1)
-9.651252 0.780199 0.821297 0.196236
41.03787 0.300604 0.045756 0.272759
-0.235179 2.595437 17.94953 0.719448
0.8175 0.0212 0.0000 0.4837
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.994517 0.993342 44.77572 28068.11 -91.70905 2.677782
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
1053.172 548.7276 10.63434 10.83220 846.3854 0.000000
Matriks Koefisien Covariance C
C KARET_THA(-1) D(KARET_W,1) KARET_W(-1)
KARET_THA(-1) D(KARET_W,1) KARET_W(-1)
1684.107 9.645798 -1.175660 -9.167733
9.645798 0.090363 -0.008641 -0.081797
-1.175660 -0.008641 0.002094 0.007968
-9.167733 -0.081797 0.007968 0.074397
D. Komoditi Kakao D1. Komoditi Kakao Indonesia Dependent Variable: KAKAO_IDN Method: Least Squares Date: 06/10/12 Time: 16:24 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable C KAKAO_IDN(-1) D(KAKAO_W,1) KAKAO_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
22.86968 0.378152 0.120586 0.394346
172.6453 0.227544 0.129619 0.121265
0.132466 1.661884 0.930309 3.251930
0.8965 0.1188 0.3680 0.0058
0.721070 0.661299 153.2214 328675.2 -113.8530 2.014579
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
972.2111 263.2760 13.09478 13.29264 12.06392 0.000359
Matriks Koefisien Covariance C
C KAKAO_IDN(-1) D(KAKAO_W,1) KAKAO_W(-1)
29806.42 -21.33533 2.512107 -6.029847
KAKAO_IDN(-1) D(KAKAO_W,1) KAKAO_W(-1)
-21.33533 0.051776 -0.007428 -0.017364
2.512107 -0.007428 0.016801 0.001866
-6.029847 -0.017364 0.001866 0.014705
280 Lampiran 6 Lanjutan D2. Komoditi Kakao Malaysia Dependent Variable: KAKAO_MYS Method: Least Squares Date: 06/10/12 Time: 16:26 Sample(adjusted): 1992 2008 Included observations: 17 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C KAKAO_MYS(1) D(KAKAO_W,1) KAKAO_W(-1)
-355.9935 0.597632 0.341033 0.482811
138.0078 0.086467 0.111797 0.113383
-2.579518 6.911706 3.050477 4.258210
0.0229 0.0000 0.0093 0.0009
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.938508 0.924318 110.7558 159469.0 -101.8663 1.178682
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
972.1471 402.5967 12.45486 12.65091 66.13701 0.000000
Matriks Koefisien Covariance C
C KAKAO_MYS(1) D(KAKAO_W,1) KAKAO_W(-1)
KAKAO_MYS(1) D(KAKAO_W,1) KAKAO_W(-1)
19046.15 0.608068 -2.402346 -13.13910
0.608068 0.007476 -0.005418 -0.005477
-2.402346 -0.005418 0.012499 0.004855
-13.13910 -0.005477 0.004855 0.012856
D3. Komoditi Kakao Philipina Dependent Variable: KAKAO_PHL Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 20:44 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable C KAKAO_PHL(-1) D(KAKAO_W,1) KAKAO_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
257.3448 0.540462 0.215302 0.117526
167.4801 0.250818 0.118486 0.131695
1.536569 2.154796 1.817116 0.892409
0.1467 0.0491 0.0907 0.3873
0.613284 0.530417 144.7250 293234.5 -112.8261 1.477670
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
972.5667 211.1967 12.98068 13.17854 7.400768 0.003304
Matriks Koefisien Covariance C
C KAKAO_PHL(-1) D(KAKAO_W,1) KAKAO_W(-1)
28049.58 -24.18903 -0.439255 -2.403382
KAKAO_PHL(-1) D(KAKAO_W,1) KAKAO_W(-1)
-24.18903 0.062910 -0.000131 -0.024342
-0.439255 -0.000131 0.014039 -0.000507
-2.403382 -0.024342 -0.000507 0.017344
281 Lampiran 6 Lanjutan E. Komoditi Kopi E1. Komoditi Kopi Indonesia Dependent Variable: KOPI_IDN Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 20:53 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable C KOPI_IDN(-1) D(KOPI_W,1) KOPI_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
75.35823 0.370704 0.321904 0.303442
199.9449 0.239598 0.120506 0.139879
0.376895 1.547195 2.671271 2.169313
0.7119 0.1441 0.0183 0.0478
0.658929 0.585842 256.6640 922269.9 -123.1389 1.623328
Matriks Koefisien Covariance C C 39977.98 KOPI_IDN(-1) -12.52591 D(KOPI_W,1) -8.541071 KOPI_W(-1) -12.07469
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
KOPI_IDN(-1) D(KOPI_W,1) -12.52591 -8.541071 0.057407 -0.003468 -0.003468 0.014522 -0.024561 0.005989
1051.428 398.8246 14.12654 14.32440 9.015710 0.001413
KOPI_W(-1) -12.07469 -0.024561 0.005989 0.019566
E2. Komoditi Kopi Philipina Dependent Variable: KOPI_PHL Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 20:48 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C KOPI_PHL(-1) D(KOPI_W,1) KOPI_W(-1)
-33.50065 0.228383 0.371440 0.466236
152.3896 0.224091 0.093527 0.138913
-0.219835 1.019154 3.971472 3.356314
0.8292 0.3254 0.0014 0.0047
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.820664 0.782234 200.1950 561092.7 -118.6663 1.330094
Matriks Koefisien Covariance C C 23222.60 KOPI_PHL(-1) -5.319344 D(KOPI_W,1) -5.806750 KOPI_W(-1) -7.819255
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
1122.122 429.0014 13.62959 13.82745 21.35520 0.000017
KOPI_PHL(-1) D(KOPI_W,1) KOPI_W(-1) -5.319344 -5.806750 -7.819255 0.050217 0.001417 -0.026311 0.001417 0.008747 0.001998 -0.026311 0.001998 0.019297
282 Lampiran 6 Lanjutan E3. Komoditi Kopi Thailand Dependent Variable: KOPI_THA Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 20:51 Sample(adjusted): 1992 2007 Included observations: 16 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C KOPI_THA(2) D(KOPI_W,1) KOPI_W(-1)
-110.8455 0.083844 0.143005 0.578366
238.5537 0.139446 0.135760 0.101044
-0.464656 0.601263 1.053368 5.723920
0.6505 0.5589 0.3129 0.0001
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.748258 0.685323 254.1002 774802.8 -109.0052 1.961795
Matriks Koefisien Covariance C C 56907.89 KOPI_THA(2) -19.01457 D(KOPI_W,1) -1.544281 KOPI_W(-1) -16.65913
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
KOPI_THA(2) -19.01457 0.019445 -0.008420 -0.001909
1049.662 452.9730 14.12565 14.31880 11.88930 0.000661
D(KOPI_W,1) -1.544281 -0.008420 0.018431 0.005764
KOPI_W(-1) -16.65913 -0.001909 0.005764 0.010210
F. Komoditi Gula Tebu F1. Komoditi Gula Tebu China Dependent Variable: GULA_TEBU_CHN Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 21:06 Sample(adjusted): 1992 2008 Included observations: 17 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C GULA_TEBU_CHN(1) D(GULA_W,1) GULA_W(-1)
-16.74060 0.838958 0.103178 0.082170
19.32648 0.059022 0.090191 0.088344
-0.866200 14.21440 1.143999 0.930117
0.4021 0.0000 0.2733 0.3693
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.944688 0.931924 16.36667 3482.285 -69.36091 2.057042
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
67.01765 62.72822 8.630696 8.826746 74.01030 0.000000
Matriks Koefisien Covariance C
C GULA_TEBU_CHN(1) D(GULA_W,1) GULA_W(-1)
373.5128 -0.097172 -0.744917 -1.622546
GULA_TEBU_ D(GULA_W,1) CHN(1)
-0.097172 0.003484 -0.001128 -0.000796
-0.744917 -0.001128 0.008134 0.003713
GULA_W(-1)
-1.622546 -0.000796 0.003713 0.007805
283 Lampiran 6 Lanjutan F2. Komoditi Gula Tebu Indonesia Dependent Variable: GULA_TEBU_IDN Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 21:09 Sample(adjusted): 1992 2008 Included observations: 17 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C GULA_TEBU_IDN(1) D(GULA_W,1) GULA_W(-1)
-1.766992 0.441710 0.033073 0.072880
5.802474 0.208565 0.031044 0.031702
-0.304524 2.117853 1.065358 2.298884
0.7655 0.0540 0.3061 0.0387
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.649681 0.568838 4.821776 302.2438 -48.58513 1.947351
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
25.09882 7.343224 6.186486 6.382536 8.036341 0.002773
Matriks Koefisien Covariance GULA_TEBU_ D(GULA_W,1) IDN(1)
C
C GULA_TEBU_IDN(1) D(GULA_W,1) GULA_W(-1)
33.66871 -0.254163 -0.046655 -0.120173
-0.254163 0.043499 -0.003548 -0.003865
GULA_W(-1)
-0.046655 -0.003548 0.000964 0.000615
-0.120173 -0.003865 0.000615 0.001005
F3. Komoditi Gula Tebu Malaysia Dependent Variable: GULA_TEBU_MYS Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 21:14 Sample(adjusted): 1993 2009 Included observations: 17 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C GULA_TEBU_MYS(-1) D(GULA_W,1) GULA_W(-2)
11.39493 0.659156 -0.052392 0.013364
19.73813 0.222501 0.059451 0.067010
0.577305 2.962488 -0.881264 0.199429
0.5736 0.0110 0.3942 0.8450
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.482089 0.362571 13.06991 2220.693 -65.53702 1.633867
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
40.92353 16.37031 8.180826 8.376877 4.033617 0.031292
Matriks Koefisien Covariance C GULA_TEBU_MYS(-1) D(GULA_W,1) GULA_W(-2)
C
GULA_TEBU_ MYS(-1)
D(GULA_W,1)
GULA_W(-2)
389.5936 -3.061038 -0.438899 -1.159745
-3.061038 0.049507 0.003729 0.004530
-0.438899 0.003729 0.003534 0.001137
-1.159745 0.004530 0.001137 0.004490
284
Lampiran 6 Lanjutan F4. Komoditi Gula Tebu Philipina Dependent Variable: GULA_TEBU_PHL Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 21:15 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable C GULA_TEBU_PHL(-1) D(GULA_W,1) GULA_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
6.566814 0.356881 0.005742 0.078847
6.301748 0.185185 0.020967 0.026230
1.042062 1.927164 0.273874 3.005987
0.3150 0.0745 0.7882 0.0094
0.656501 0.582894 4.783209 320.3073 -51.45107 2.077165
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
36.75556 7.406215 6.161231 6.359091 8.919019 0.001482
Matriks Koefisien Covariance C
C GULA_TEBU_PHL(-1) D(GULA_W,1) GULA_W(-1)
GULA_TEBU_ D(GULA_W,1) PHL(-1)
39.71203 -0.698271 -0.032220 -0.058277
-0.698271 0.034293 0.000155 -0.002538
GULA_W(-1)
-0.032220 0.000155 0.000440 9.95E-05
-0.058277 -0.002538 9.95E-05 0.000688
F5. Komoditi Gula Tebu Thailand Dependent Variable: GULA_TEBU_THA Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 22:07 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable C GULA_TEBU_THA(-1) D(GULA_W,1) GULA_W(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
1.525036 0.164030 0.030553 0.046840
1.997410 0.229073 0.008070 0.013922
0.763506 0.716060 3.786189 3.364552
0.4578 0.4857 0.0020 0.0046
0.790284 0.745345 1.751710 42.95881 -33.36972 1.503085
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
14.36111 3.471250 4.152192 4.350052 17.58565 0.000051
Matriks Koefisien Covariance C
C GULA_TEBU_THA(-1) D(GULA_W,1) GULA_W(-1)
3.989648 -0.173015 -0.002009 -0.006244
GULA_TEBU_ D(GULA_W,1) THA(-1)
-0.173015 0.052475 -0.000573 -0.002579
-0.002009 -0.000573 6.51E-05 4.30E-05
GULA_W(-1)
-0.006244 -0.002579 4.30E-05 0.000194
285 Lampiran 6 Lanjutan G. Komoditi Teh G1. Komoditi Teh China Dependent Variable: TEA_CHN Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 22:13 Sample(adjusted): 1992 2009 Included observations: 18 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C TEA_CHN(-1) D(TEA_W,1) TEA_W(-1)
-1017.747 0.666505 1.457673 0.889875
761.1280 0.280222 0.602903 0.561402
-1.337157 2.378491 2.417756 1.585094
0.2025 0.0322 0.0298 0.1353
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.788988 0.743771 405.8003 2305435. -131.3846 1.940378
Matriks Koefisien Covariance C C 579315.8 TEA_CHN(-1) 88.50657 D(TEA_W,1) -61.03758 TEA_W(-1) -395.6608
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
TEA_CHN(-1) 88.50657 0.078524 -0.086230 -0.112524
D(TEA_W,1) -61.03758 -0.086230 0.363492 0.094076
1601.589 801.6748 15.04273 15.24059 17.44896 0.000053
TEA_W(-1) -395.6608 -0.112524 0.094076 0.315172
G2. Komoditi Teh Indonesia Dependent Variable: TEA_IDN Method: Least Squares Date: 06/10/12 Time: 16:17 Sample(adjusted): 1992 2008 Included observations: 17 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C TEA_IDN(-1) D(TEA_W,1) TEA_W(1)
140.3016 0.673599 0.029931 0.012294
295.9935 0.210459 0.277849 0.142604
0.474002 3.200625 0.107724 0.086212
0.6434 0.0070 0.9159 0.9326
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.492341 0.375189 136.2839 241452.8 -105.3923 1.792117
Matriks Koefisien Covariance C C 87612.18 TEA_IDN(-1) -33.42173 D(TEA_W,1) 60.25266 TEA_W(1) -39.10572
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
TEA_IDN(-1) -33.42173 0.044293 -0.021908 0.006003
D(TEA_W,1) 60.25266 -0.021908 0.077200 -0.028475
520.0647 172.4131 12.86968 13.06573 4.202585 0.027701
TEA_W(1) -39.10572 0.006003 -0.028475 0.020336
286 Lampiran 6 Lanjutan G3. Komoditi Teh Malaysia Dependent Variable: TEA_MYS Method: Least Squares Date: 06/10/12 Time: 16:21 Sample(adjusted): 1992 2008 Included observations: 17 after adjusting endpoints Variable C TEA_MYS(-1) D(TEA_W,1) TEA_W(1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
151.5294 0.700804 0.069302 0.106527
324.4804 0.239591 0.274064 0.141797
0.466991 2.924998 0.252867 0.751268
0.6482 0.0118 0.8043 0.4659
0.622566 0.535466 135.5484 238853.7 -105.3003 1.371490
Matriks Koefisien Covariance C C 105287.5 TEA_MYS(-1) -50.00849 D(TEA_W,1) 63.55358 TEA_W(1) -28.32179
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
TEA_MYS(-1) -50.00849 0.057404 -0.023305 -0.006752
D(TEA_W,1) 63.55358 -0.023305 0.075111 -0.022490
1123.078 198.8774 12.85886 13.05491 7.147704 0.004426
TEA_W(1) -28.32179 -0.006752 -0.022490 0.020106
287 Lampiran 7
Social Accounting Matrix (SAM) Indonesia Versi GTAP8 Tahun 2007a).
Faktor Produksi
Kasifikasi Sektor Tenaga Kerja
Tenaga Kerja tidak Terdidik Tenaga Kerja Terdidik
Perusahaan Pemerintah Pajak Pendapatan (rumah tangga dan Perusahaan) Tarif Impor barang dari China Tarif Impor barang dari Malaysia
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Tarif Impor barang dari Philipina Tarif Impor barang dari Singapura Tarif Impor barang dari Thailand Tarif Impor barang dari Negara-negara AASEAN Lain Tarif Impor barang dari Negara-negara Asia Timur Lain Tarif Impor barang dari USA Tarif Impor barang dari EU25 Tarif Impor barang dari Negara-negara Timur Tengah Tarif Impor barang dari Negara lainnya Pajak tidak langsung komoditi i Tenaga Kerja tidak Terdidik Tenaga Kerja Tenaga Kerja Terdidik
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Modal Lahan Luar Negeri
27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Rumah Tangga
RT Pert (Buruh dan Pengusaha Pert) RT Bukan Pert Gol Rendah Desa RT Bukan Pert Gol Atas Desa RT Bukan Pert Gol Rendah Kota RT Bukan Pert Gol Atas Kota
Sektor Produksi
Pajak Faktor Produksi
Tarif Impor Menurut Negara Asal Barang
Institusi
Modal Lahan
Nomor Sektor 1 2
Padi - beras Gandum Sereali lainnya Buah-buahan, sayur-sayuran dan kcang-kacangan Pertanian Biji-biji berminyak Primer Gula tebu dan gula beet Tanaman berserat Perkebunan dan tanaman lainnya Pertanian non tanaman (Peternakan , perikanan dan kehutanan) Pertanian olahan dalam bentuk makanan (food) Hasil tambang dan industri pengolahan Jasa-Jasa
38 39 40 41
Sumber : Diolah dari GTAP 8 Maret 2012 Keterangan : a) Struktur Pendapatan dan Konsumsi Rumah Tangga di sesuaikan dengan SAM Indonesia Versi BPS Tahun 2008.
288 Lampiran 7
Lanjutan
Komoditi Impor dan Domestik
Kasifikasi Sektor Padi - beras Gandum Sereali lainnya Buah-buahan, sayur-sayuran dan kcang-kacangan Pertanian Primer
Nomor Sektor 42 43 44 45 46
Total
68
Ekspor
Biji-biji berminyak Gula tebu dan gula beet Tanaman berserat Perkebunan dan tanaman lainnya Pertanian non tanaman (ternak dan hasil-hasilnya, perikanan dan kehutanan) Pertanian olahan dalam bentuk makanan (food) Hasil tambang dan industri pengolahan Jasa-Jasa Padi - beras Gandum Sereali lainnya Buah-buahan, sayur-sayuran dan kcang-kacangan Pertanian Biji-biji berminyak Primer Gula tebu dan gula beet Tanaman berserat Perkebunan dan tanaman lainnya Pertanian non tanaman (ternak dan hasil-hasilnya, perikanan dan kehutanan) Pertanian olahan dalam bentuk makanan (food) Hasil tambang dan industri pengolahan Jasa-Jasa Tabungan-Investasi Perubahan Persediaan Komoditi i
47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67
289 Lampiran 7 Nomor Sektor
Lanjutan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
2
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
3
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
4
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
5
9239.43
30500.56
18972.17
10758.39
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
6
5445.12
26724.24
12239.46
6634.55
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
7
2818.02
13158.62
15738.32
4113.62
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
8
7054.88
37932.91
19373.87
8633.33
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
9
9202.62
24323.76
21305.13
8487.10
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
10
0.00
0.00
118302.70
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
202823.64
11
0.00
0.00
0.00
0.00
2505.86
1885.79
1224.94
2723.53
2200.67
3704.11
12
0.00
0.00
0.00
0.00
7631.85
2276.52
4298.80
2883.61
6142.04
4143.57
13
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
14
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
15
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
16
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
17
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
18
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
19
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
20
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
21
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
22
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
23
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
24
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
25
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
26
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
27
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
28
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
29
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
30
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
31
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
32
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
33
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
34
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
35
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
36
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
37
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
38
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
39
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
40
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
41
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
290 Lampiran 7 Nomor Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53
Lanjutan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0.00 0.00 0.00 0.00 9239.43 5445.12 2818.02 7054.88 9202.62 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 30500.56 26724.24 13158.62 37932.91 24323.76 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 18972.17 12239.46 15738.32 19373.87 21305.13 118302.70 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 10758.39 6634.55 4113.62 8633.33 8487.10 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2505.86 7631.85 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.20 370.43 3790.12 341.44 0.53 0.01 455.27 2752.48 13347.15 10427.73 27847.49
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1885.79 2276.52 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.11 205.84 2106.10 302.76 0.47 0.01 403.69 2243.87 8240.06 9059.66 24318.49
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1224.94 4298.80 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.05 92.82 949.74 126.88 0.20 0.00 169.18 1234.35 4897.41 6776.89 16057.31
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2723.53 2883.61 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.12 232.07 2374.49 311.00 0.48 0.01 414.68 2649.84 11608.34 12999.27 36797.53
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2200.67 6142.04 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.07 126.87 1298.14 205.31 0.32 0.01 273.75 1802.04 8281.33 11949.04 31039.03
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 202823.64 3704.11 4143.57 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
291 Lampiran 7 Nomor Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53
Lanjutan 11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 27748.97 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.14 0.01 0.11 35016.43
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 27376.39 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 549.90 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 103.87 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 10.16 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 622.60 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 232.41 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 49.15 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 997.97 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 176.59 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 363.93 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
292 Lampiran 7
Nomor Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53
Lanjutan
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 36.85 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 434.10 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 13698.68 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2181.62 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 555.28 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1184.49 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 222.18 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
3.79 3785.41 638.25 4650.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 62.26 0.06 3.67 26.75 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 852.04 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 343.52 61.27 0.12 417.82 124.56
0.00 0.37 0.06 0.45 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 5.13 0.08 0.00 0.01 0.01
1.25 1252.15 211.12 1538.17 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 20.59 0.02 1.21 8.85 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 190.52 0.00 0.00 0.00 0.00 23.97 83.18 0.04 114.87 119.05
293 Lampiran 7 Nomor Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53
Lanjutan
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
4.59 4581.34 772.45 5627.85 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 75.35 0.08 4.44 32.37 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.01 207.89 18.17 0.09 0.01 8.09 237.27 0.18 172.74 393.47
2.72 2717.29 458.16 3338.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 44.69 0.04 2.64 19.20 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 9.03 336.05 0.00 0.00 421.12 31.06 0.72 537.27 553.93
0.30 296.54 50.00 364.28 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4.88 0.00 0.29 2.10 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 45.60 0.00 2.87 0.79 0.01 114.22 73.36
0.02 23.47 3.96 28.83 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.39 0.00 0.02 0.17 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.20 1.28 0.38 0.02 2.52 1.86
2.85 2848.43 480.27 3499.09 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 46.85 0.05 2.76 20.13 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 189.87 0.17 31.87 1.44 3.86 0.00 0.01 104.90 364.30 54.46 788.40 486.88
5.48 5474.70 4717.46 5551.41 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 90.05 0.09 27.13 31.93 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 326.44 3.17 115.34 28.22 63.39 12.61 0.03 764.12 664.37 3782.23 1212.91 1722.34
1429.55 11001.34 11627.52 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.07 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 180.95 23.51 66.88 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 9449.25 1236.43 2246.12 323.51 6706.50 893.54 0.47 1507.01 4928.07 11833.76 2188.14 11469.82
8529.65 30815.83 74836.27 14028.80 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -450.82 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 506.85 140.29 430.45 80.69 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 80.50 0.17 14.08 448.13 233.05 0.39 1042.65 2207.60 3221.91 1525.31 138025.71 39692.37
23779.86 69843.22 112136.13 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -871.63 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1148.76 391.13 644.99 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 78.04 0.64 76.89 919.08 475.19 1.58 1.74 438.04 3597.97 7437.54 79412.70 79214.02
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.18 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.03 0.01 0.00 0.00 0.05 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.91 10968.29 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.38
294 Lampiran 7 Nomor Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53
Lanjutan 43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.29 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6.19 0.00 0.00 20.43 0.05 0.00 0.00 0.00 0.00 1115.33 0.00 1.58 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 94.19
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.93 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.96 0.00 0.00 1.37 32.49 0.00 0.00 0.00 0.00 139.81 0.00 0.00 3542.12 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 14.59
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.04 0.00 0.00 0.12 2.70 0.33 0.15 6.21 118.86 0.00 0.00 0.00 0.00 590.27 0.00 0.00 0.00 11729.55 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 123.57
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.19 0.00 0.00 0.01 0.00 0.01 0.00 21.89 0.00 0.01 10.78 20.66 0.00 0.00 0.00 0.00 562.16 0.00 0.00 0.00 0.00 8414.96 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 110.31
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.39 0.00 0.00 0.00 0.00 0.32 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 955.22 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.00 2.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 924.90 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 57.25 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 60.12
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5.84 0.00 0.01 0.38 0.33 0.21 0.25 1.75 2.55 0.00 9.16 33.10 0.00 0.00 0.00 0.00 468.71 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7019.66 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 27.97
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.07 0.00 0.01 0.09 0.00 0.00 0.26 1.05 0.29 0.01 8.77 181.54 0.00 0.00 0.00 0.00 352.65 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 23772.95 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 30.35
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 14.45 54.62 2.15 23.41 118.83 42.82 18.16 26.85 44.68 2.33 158.43 3824.48 0.00 0.00 0.00 0.00 5079.78 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 64849.91 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 534.10
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 522.94 49.25 8.00 598.68 113.24 6.11 979.15 115.19 316.06 34.35 216.89 3573.92 0.00 0.00 0.00 0.00 76309.04 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 211294.81 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4083.74
295 Lampiran 7 Nomor Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53
Lanjutan 53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5913.17 0.00 0.00 0.00 0.00 16621.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 370700.04 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.38 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4.57 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 22.88 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 406.85 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.14
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 56.98 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5.86 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1906.93 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.65
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 820.47 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.28
296 Lampiran 7 Nomor Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53
Lanjutan
63
64
65
66
67
68
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12262.52 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4.21
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1046.96 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 104115.07 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 36.08
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 8025.84 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.75
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.03 309.81 0.05 20748.80 87269.02
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -3.31 -0.12 31.38 115.90 17.40 0.14 -0.85 25.68 164.85 3786.27 3272.56 -4086.23
33760.07 132640.09 205931.65 38626.99 69470.56 51043.37 35828.58 72994.98 63318.61 348875.31 62765.66 27376.39 549.90 103.87 10.16 622.60 232.41 49.15 997.97 176.59 363.93 36.85 434.10 13698.68 2181.62 555.28 1184.49 222.18 102167.89 10969.67 6.15 3565.00 12136.40 8471.95 955.25 63.11 8926.59 24593.42 77112.43 315409.88 378725.88 10972.87 1241.05 3734.28 12571.80 9140.99 955.94 1044.31 7569.93 24348.04 74795.00 298221.37 393234.21
297 Lampiran 7 Nomor Sektor 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68
Lanjutan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
138204.01
69470.6
51043.4
35828.6
72995.0
63318.6
348875.3
0.00
0.00
0.00
0.00
33760.1
132640.1
205931.6
38627.0
0.00
Lanjutan Nomor Sektor 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 62765.7
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 27376.4
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 549.9
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 103.9
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 10.2
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 622.6
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 232.4
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 49.2
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 998.0
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 176.6
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 363.9
298 Lampiran 7 Nomor Sektor 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68
Lanjutan
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 36.8
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 434.1
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 13698.7
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2181.6
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 555.3
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1184.5
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 222.2
1.38 4.58 22.89 406.99 57.00 0.02 5.87 1907.58 820.75 12266.73 105198.11 8028.59 -26552.60 0.00 102167.9
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 10969.7
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6.2
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3565.0
Lanjutan Nomor Sektor 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12136.4
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 8471.9
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 955.2
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 63.1
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 8926.6
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 24593.4
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 77112.4
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 315409.9
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 378725.9
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 10972.9
299 Lampiran 7 Nomor Sektor 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68
Lanjutan 43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1241.1
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3734.3
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12571.8
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 9141.0
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 955.9
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1044.3
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7569.9
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 24348.0
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 74795.0
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 298221
Lanjutan Nomor Sektor 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 393234.2
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.4
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4.6
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 22.9
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 407.0
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 57.0
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5.9
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1907.6
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 820.8
Lanjutan Nomor Sektor 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68
63
64
65
66
67
68
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12266.7
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 105198.1
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 8028.6
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -2554.51 105773.2
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -5878.18 0.00 -2554.5
1.38 4.58 22.89 406.99 57.00 0.02 5.87 1907.58 820.75 12266.73 105198.11 8028.59 105773.24 -2554.51