DAMPAK PERDAGANGAN BEBAS ASEAN – CHINA TERHADAP KINERJA EKONOMI INDONESIA KHUSUSNYA SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN: ANALISIS SIMULASI JANGKA PANJANG
DISERTASI
PRABIANTO MUKTI WIBOWO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: “DAMPAK PERDAGANGAN BEBAS ASEAN – CHINA TERHADAP KINERJA EKONOMI INDONESIA, KHUSUSNYA SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN: ANALISIS SIMULASI JANGKA PANJANG” merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor,
Agustus 2009
Prabianto Mukti Wibowo A 5460141714
ABSTRACT
PRABIANTO MUKTI WIBOWO. Impact of the ASEAN – China Free Trade Agreement on the Indonesia‟s Economic Performance, focusing on Agriculture and Forestry Sectors: A Long-run Simulation Analysis (ANNY RATNAWATI as Chairperson, MANGARA TAMBUNAN and ERWIDODO as Members of the Advisory Committee). ASEAN – China economic linkages are moving into a closer partnership. In November 2002, ASEAN and China agreed to establish an ASEAN – China Free Trade Area (ACFTA) in ten years. The formation of ACFTA would have economic implications for its member countries. The objectives of this study are to analyse the potential impacts of the ACFTA on Indonesia‟s macroeconomic variables and sectoral performances, and to evaluate policy options to improve economy competitiveness and in the same time reducing the negative effects of such regional trade liberalization. Using a Computable General Equilibrium Model and database of GTAP version-6, long-run simulations under different policy scenarios were carried out to compute the impacts of ACFTA on Indonesia‟s economy performance, particularly on agriculture and forestry sector. The result of simulation shows that Indonesia is to gain from the Early Harvest Programme (EHP) – an initial step of the ACFTA where only agriculture sector are liberalised, with real GDP increases 0.16 percent and total trade value increases 0.24 percent relative to baseline scenario. These potential gains are even greater when the ACFTA is fully implemented involving agriculture, forestry and manufacturing sectors. Real GDP will increase by 1.29 percent and welfare (EV) rises by nearly US$ 2.00 billion. Value of Indonesia‟s export to China is expected to rise by US$ 5.87 billion or equivalent to almost 120.00 percent increase relative to baseline scenario. The simulation further indicates that the economic gains for Indonesia are even greater if this trade liberalisation is combined with other domestic policies through among others by lowering transaction costs in trade activities and increasing investments in agriculture and forestry sectors. These combined policies are expected to reduce negative impacts of the ACFTA as they can expand production, improve wages, and increase demands for labour.
Keywords: Regional Trade Arrangements, Trade Creation and Trade Diversion, Computable General Equilibrium Model.
ABSTRAK
PRABIANTO MUKTI WIBOWO. Dampak Perdagangan Bebas ASEAN – China terhadap Kinerja Ekonomi Indonesia, khususnya Sektor Pertanian dan Kehutanan: Analisis Simulasi Jangka Panjang (ANNY RATNAWATI sebagai Ketua, MANGARA TAMBUNAN dan ERWIDODO sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Hubungan ASEAN – China memasuki babak baru yang lebih erat dengan ditandatanganinya kerangka kerjasama ekonomi secara komprehensif antara kedua belah pihak pada bulan November 2002. Melalui kerjasama ekonomi tersebut, kedua belah pihak sepakat membentuk kawasan perdagangan bebas (FTA) ASEAN – China dalam waktu sepuluh tahun mendatang. Pembentukan FTA ASEAN – China tersebut diperkirakan akan berdampak terhadap perekonomian negara-negara anggota. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak potensial FTA ASEAN China terhadap perubahan variabel makroekonomi dan kinerja sektor pertanian dan kehutanan di Indonesia, dan mengevaluasi beberapa alternatif kebijakan nasional guna meningkatkan daya saing ekonomi serta sekaligus mengurangi dampak negatif atas diberlakukannya FTA ASEAN-China. Model Keseimbangan Umum dan database GTAP versi-6 digunakan dalam simulasi berbagai skenario kebijakan untuk menghitung dampak dari FTA ASEAN – China terhadap kinerja ekonomi Indonesia, khususnya di sektor pertanian dan kehutanan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada “program panen awal”, yaitu: tahap awal dari FTA ASEAN – China dimana hanya sektor pertanian dan kehutanan yang diliberalisasikan, diperkirakan akan meningkatkan GDP riil Indonesia sebesar 0.16 persen dan total nilai perdagangan (ekspor dan impor) sebesar 0.24 persen. Sedangkan pelaksanaan FTA ASEAN – China secara penuh dengan melibatkan sektor manufaktur akan memberi dampak positif yang lebih besar terhadap ekonomi Indonesia dimana GDP riil naik sebesar 1.29 persen dan tingkat kesejahteraan bertambah sebesar US$ 1.99 milyar. Nilai ekspor Indonesia ke China meningkat sebesar US$ 5.87 milyar atau 118.83 persen dihitung dari skenario dasar. Manfaat ekonomi yang diperoleh Indonesia dari FTA ASEAN – China akan bertambah besar apabila liberalisasi perdagangan tersebut dikombinasikan dengan kebijakan domestik melalui penurunan biaya transaksi perdagangan dan investasi di sektor pertanian dan kehutanan. Kedua kebijakan domestik tersebut diharapkan dapat mengurangi dampak negatif dari FTA ASEAN - China sebab dapat menambah output produksi, menaikkan tingkat upah dan permintaan tenaga kerja. Kata kunci: Kesepakatan Perdagangan Regional, Kreasi dan Diversi Perdagangan, Model KeseimbanganUmum.
RINGKASAN
Hubungan ekonomi ASEAN – China memasuki babak baru yang lebih erat dengan ditandatanganinya kerangka kerjasama ekonomi secara komprehensif pada bulan November 2002. Melalui kerjasama ekonomi tersebut, kedua belah pihak sepakat untuk membentuk kawasan perdagangan bebas (Free Trade Area / FTA) ASEAN – China dalam waktu sepuluh tahun mendatang. Pembentukan blok perdagangan regional ini diharapkan akan mempercepat integrasi ekonomi kawasan ASEAN mengingat potensi ekonomi China yang sedemikian besar, khususnya sejak negara tersebut bergabung di WTO pada akhir 2001. Namun demikian, banyak studi empiris membuktikan bahwa blok perdagangan regional selain dapat menciptakan perdagangan (trade creation) juga dapat menimbulkan kerugian dengan masuknya produk-produk yang kurang efisien dari negara-negara anggota FTA menggantikan produk yang lebih efisien dari negara di luar FTA (trade diversion). Mengingat perdagangan Indonesia, dan negara-negara ASEAN pada umumnya, selama ini masih mengandalkan pasar Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa, maka perlu dikaji seberapa besar manfaat dan kerugian ekonomi yang mungkin diperoleh Indonesia dari liberalisasi perdagangan ASEAN – China tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis dampak potensial liberalisasi perdagangan ASEAN - China terhadap perubahan variabel makroekonomi dan kinerja sektoral di Indonesia, dan (2) mengevaluasi beberapa alternatif kebijakan nasional guna meningkatkan daya saing ekonomi dan sekaligus mengurangi kemungkinan dampak negatif atas pemberlakuan kebijakan liberalisasi perdagangan regional tersebut. Simulasi berbagai skenario kebijakan dilakukan dengan menggunakan Model Keseimbangan Umum dan database GTAP versi-6 yang telah dimodifikasi menjadi model keseimbangan umum jangka panjang. Hasil simulasi menunjukkan bahwa keuntungan ekonomi yang akan diperoleh Indonesia dari FTA ASEAN - China relatif kecil. Keuntungan ekonomi terbesar diperoleh China, yaitu: GDP riil meningkat 9.59 persen dan kesejahteraan bertambah US$ 80,27 milyar. Pada tahap Early Harvest Programme (EHP), GDP riil dan kesejahteraan Indonesia masing-masing hanya bertambah sebesar 0.16 persen dan US$ 71.23 juta. Sementara nilai ekspor produk pertanian meningkat 0.14 persen dan impor 1.0 persen. Demikian pula pelaksanaan FTA ASEAN – China secara penuh hanya akan menambah GDP riil Indonesia sebesar 1.29 persen dan kesejahteraan sebesar US$ 1 994.42 juta. Sejalan dengan peningkatan GDP riil, total ekspor dan impor Indonesia bertambah sebesar 2.96 persen dan 3.56 persen, sedangkan nilai investasi meningkat 2.16 persen. Secara bilateral, ekspor Indonesia ke China meningkat sebesar US$ 5.87 milyar atau 118.83 persen dihitung dari skenario dasar. Dengan demikian FTA ASEAN – China akan meningkatkan perdagangan bilateral Indonesia dengan China. Pada tingkat sektoral, perubahan variabel sangat bervariasi menurut jenis komoditi di masing-masing negara. Bagi Indonesia, komoditi pertanian yang diperkirakan memiliki kinerja baik adalah minyak nabati, produk daging, dan peternakan. Sebaliknya, minyak nabati dan produk daging di China akan mengalami penurunan cukup signifikan. Dengan demikian terbuka peluang ekspor dari Indonesia untuk kedua jenis komoditi tersebut ke pasar China. Manfaat ekonomi yang diperoleh Indonesia dari FTA ASEAN – China akan bertambah besar apabila liberalisasi tersebut dikombinasikan dengan kebijakan domestik yang bertujuan untuk menigkatkan efisiensi ekonomi melalui penurunan
biaya transaksi perdagangan sebesar 30 persen. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kombinasi kebijakan tersebut akan meningkatkan GDP riil Indonesia sebesar 2.10 persen dan total volume ekspor sebesar 4.95 persen. Penurunan biaya transaksi di Indonesia juga mendorong investasi yang lebih besar, yaitu sebesar 3.55 persen. Sedangkan kombinasi FTA ASEAN – China dengan kebijakan peningkatan investasi sektor pertanian dan kehutanan di Indonesia sebesar 15 persen terbukti selain dapat menambah manfaat ekonomi juga sekaligus akan mengurangi kemungkinan dampak negatif dari liberalisasi perdagangan. Peningkatan investasi tersebut diperkirakan akan meningkatkan permintaan tenaga kerja terampil rata-rata sebesar 1.52 persen dan nonterampil sebesar 1.21 persen. Peningkatan permintaan tenaga kerja tersebut juga diikuti dengan kenaikan upah masing-masing sebesar 1.52 persen dan 1.94 persen. Kombinasi kebijakan FTA dengan peningkatan investasi sektor pertanian akan menambah nilai manfaat dari FTA sekaligus mengurangi dampak negatif di tingkat produsen (petani) dan konsumen. Peningkatan investasi tersebut akan menambah output produksi dan permintaan tenaga kerja sehingga dapat mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan. Berdasarkan hasil simulasi kebijakan liberalisasi perdagangan regional di atas, ada beberapa implikasi kebijakan yang perlu dipertimbangkan secara serius oleh pemerintah Indonesia. Pertama, mengingat kesepakatan FTA ASEAN – China akan dilaksanakan secara bertahap dan timbal-balik (reciprocal) maka komoditi yang belum efisien dan belum memiliki daya saing seperti: beras dan gula agar terlebih dahulu dibina dan dipersiapkan dengan baik sebelum dimasukkan ke dalam skema liberalisasi. Kedua, upaya untuk mengurangi aspek ekonomi biaya tinggi dan peningkatan infratruktur perdagangan seperti: perampingan prosedur perijinan, penghapusan pungutan tak resmi dan perbaikan fasilitas pelabuhan serta transportasi perlu terus ditingkatkan agar menambah manfaat ekonomi dari pemberlakukan liberalisasi perdagangan. Ketiga, dampak negatif liberalisasi perdagangan dapat dikurangi dengan meningkatkan investasi yang ditujukan kepada peningkatan produktivitas, terutama di sektor pertanian dan kehutanan.
v
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009. Hak Cipta dilindungi Undang-undang. 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
DAMPAK PERDAGANGAN BEBAS ASEAN – CHINA TERHADAP KINERJA EKONOMI INDONESIA, KHUSUSNYA SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN: ANALISIS SIMULASI JANGKA PANJANG
PRABIANTO MUKTI WIBOWO
DISERTASI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Penguji pada Ujian Tertutup
: Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec.
Penguji pada Ujian Terbuka
: Prof. Dr. Ir. Pantjar Simatupang, M.S. Dr. Ir. Slamet Riyadhi Gadas, M.FR.
Judul Disertasi
: Dampak Perdagangan Bebas ASEAN – China Terhadap Kinerja Ekonomi Indonesia, Khususnya Sektor Pertanian dan Kehutanan: Analisis Simulasi Jangka Panjang
Nama Mahasiswa
: Prabianto Mukti Wibowo
Nomor Pokok
: A 5460141714
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui: 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Anny Ratnawati, MS. Ketua
Dr. Ir. Erwidodo, MS. Anggota
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc. Anggota
Mengetahui: 2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian,
3. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 14 Nopember 2008
Tanggal Lulus: 04 September 2009
"Let China sleep, for when she wakes the world will shake” (Napoleon Bonaparte, 1769-1821)
Untuk istri tercinta Ir. Endang Prasetiowati Dwiningsih, dan ketiga anak tersayang Adhitya Aryo Pradana, Andry Aryo Dwiputra dan Aristanto Aryo Wibisono yang selama ini telah memberikan perhatian dan dukungan penuh kepada Ayahnya untuk menyelesaikan studi ini.
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik dan hidayahNya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan disertasi dengan judul: Dampak Perdagangan Bebas (FTA) ASEAN – China terhadap Kinerja Ekonomi Indonesia, khususnya Sektor Pertanian dan Kehutanan: Analisis Keseimbangan Umum Jangka Panjang. Pada bulan November 2002, negara-negara ASEAN dan China sepakat untuk membentuk kawasan perdagangan bebas (FTA) dalam waktu sepuluh tahun mendatang.
Pembentukan
blok
perdagangan
regional
ini
bertujuan
untuk
mempercepat integrasi ekonomi kawasan ASEAN mengingat potensi ekonomi China yang sedemikian besar, khususnya sejak negara tersebut bergabung di WTO pada akhir tahun 2001.
Namun demikian banyak pihak yang masih meragukan akan
manfaat ekonomi yang dapat diperoleh Indonesia dari liberalisasi perdagangan ASEAN – China tersebut.
Dengan menggunakan model keseimbangan umum,
penilitian ini ingin menjawab apakah FTA ASEAN – China akan memberikan keuntungan atau malah sebaliknya menimbulkan kerugian ekonomi bagi Indonesia, khususnya di sektor pertanian dan kehutanan. Pada kesempatan ini penulis secara tulus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pembimbing, yaitu: Dr. Ir. Anny Ratnawati, MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing;
Dr. Ir. Erwidodo, MSc dan Prof. Dr. Ir. Mangara
Tambunan, MSc. masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing penulis sejak penyusunan proposal penelitian hingga penyelesaian disertasi ini. Selanjutnya ucapan tarima kasih dan penghargaan juga ingin penulis sampaikan kepada:
1.
Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA., Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), yang telah banyak memberikan arahan dan dorongan semangat yang sangat berharga.
2.
Ibu Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS, Ir. Eka Puspitawati, MSi dan Ir. Sahara, MSi yang telah membantu dalam penyelesaian disertasi ini.
3.
Rekan-rekan mahasiswa Program Studi EPN angkatan 2002 atas dorongan moril dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan studi. Penulis menyadari bahwa dengan segala keterbatasan yang dimiliki penulis,
penelitian ini masih jauh dari sempurna. Walaupun demikian penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya.
Bogor,
Agustus 2009
Prabianto Mukti Wibowo
xii
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir pada tanggal 18 April 1960 di Kudus, Jawa Tengah, sebagai putera kesembilan dari sembilan putera-puteri keluarga Bapak M. Bachri (almarhum) dan Ibu Sri Amari (almarhumah). Penulis lulus SD Timuran II Yogyakarta tahun 1973, SMP Marsudi Luhur Yogyakarta tahun 1976, dan SMA Negeri Magetan, Jawa Timur, tahun 1980. Pada tahun 1980 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Proyek Perintis II dan lulus Sarjana Kehutanan IPB tahun 1984. Pada tahun 1985, penulis mulai bekerja sebagai Staf Bidang Perencanaan pada Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan di Bogor. Selama 1985 – 2004, penulis mengalami penugasan baik di Pusat maupun Daerah di lingkup Departemen Kehutanan. Pada tahun 2004 – Juli 2008, penulis diperbantukan di Sekretariat ASEAN sebagai Associate Senior Forestry Officer pada Natural Resources Unit. Selanjutnya mulai Agustus 2008 sampai sekarang penulis kembali bekerja di Departemen Kehutanan dengan jabatan sebagai Kepala Bidang Perumusan Standar pada Pusat Standardisasi dan Lingkungan. Pada tahun 1994, penulis memperoleh beasiswa Chevening Award dari Pemerintah Inggris untuk melanjutkan pendidikan program Master of Science (S2) di bidang Natural Resources Management pada Institute of Ecology and Resources Management, University of Edinburgh, Inggris. Lulus dan memperoleh gelar Master of Science (MSc) pada tahun 1995. Pada tahun 2002, atas biaya sendiri penulis melanjutkan pendidikan Program Doktor (S3) di bidang Ilmu Ekonomi Pertanian pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menikah dengan Ir. Endang Prasetiowati, dikaruniai tiga orang putera yaitu: Adhitya Aryo Pradana, Andry Aryo Dwiputra, dan Aristanto Aryo Wibisono.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL………………………………………………............... xvii DAFTAR GAMBAR……………………………………………..............
xx
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………….….. xxii I. PENDAHULUAN…………………………………………………..........
1
1.1. Latar Belakang.................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah.........................................................................
19
1.3. Tujuan Penelitian.............................................................................
21
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian...................................
22
1.5. Manfaat Penelitian...........................................................................
23
II. KAJIAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN BEBAS…………………….
24
Kebijakan Perdagangan Bebas…………………………………….
24
2.1.1. Sistim Perdagangan Bebas Multilateral………………
27
2.1.2. Sistim Perdagangan Bebas Regional…………………
35
Perdagangan Bebas ASEAN …………………………….………..
39
2.2.1. Skema Penurunan dan Penghapusan Tarif dan NonTarif...
40
2.2.2. Perkembangan Perdagangan ASEAN dalam Kerangka ASEAN Free Trade Area .....................................................
41
Perdagangan Bebas ASEAN – China……………………………..
43
2.3.1. Penurunan dan Penghapusan Tarif………………………...
43
2.3.2. Ketentuan Asal Barang……………………………………
49
Kebijakan Perdagangan dan Investasi Indonesia – China…..…….
50
2.4.1. Kebijakan Perdagangan Indonesia – China……………….
51
2.4.2. Investasi China di Indonesia ……………………………...
55
III. KERANGKA TEORITIS...........................................................................
58
3.1. Model Perdagangan Intra-Industri.………………………………..
58
3.1.1. Faktor Terjadinya Perdagangan Intra-Industri.....................
60
3.1.2. Perhitungan Indeks Perdagangan Intra-Industri ..................
62
3.1.3. Nilai Indeks Intra-Industry Trade ASEAN – China............
63
2.1.
2.2.
2.3.
2.4.
3.2. Analisis Dampak Hambatan Perdagangan Terhadap Kesejahteraan…………...................................................................
65
3.2.1. Pemberlakuan Tarif Impor…………………………….…..
65
3.2.2. Pemberlakuan Kuota Impor……………………………….
69
3.2.3. Pemberlakuan Subsidi Ekspor…………………………….
71
3.3. Teori Blok Perdagangan Bebas Regional........................................
73
3.3.1. Kreasi Perdagangan……………………………………….
76
3.3.2. Diversi Perdagangan………………………………………
77
3.4. Teori Keseimbangan Umum............................................................
80
3.4.1. Keseimbangan Walrasian……………………………….…
81
3.4.2. Efisien Pareto……………………………………………...
87
3.4.3. Aplikasi Model Keseimbangan Umum dalam Analisis Kebijakan………………………………………...
89
3.5. Kajian Penelitian Terdahulu............................................................
92
IV. STRUKTUR MODEL KESEIMBANGAN UMUM GTAP STANDAR.....................................................................................
96
4.1. Accounting Relationship…..………………………………………
97
4.1.1. Keseimbangan Pasar………………………………………
99
4.1.2. Distribusi Pendapatan…………………………………….. 101 4.1.3. Keterkaitan Harga………………………………………… 108 4.2. Perilaku Agen Ekonomi.………………………………………….. 111 4.2.1. Struktur Produksi...……………………………………….. 111 4.2.2. Struktur Konsumsi...……………………………………… 117 4.3. Pembentukan Kapital dan Alokasi Investasi…………………….... 121 4.4. Sektor Transportasi Internasional.................................................... 123 4.5. Penutup Makroekonomi................................................................... 124 4.6. Summary Indices.............................................................................. 125 V. KERANGKA MODEL DAN ANALISIS.................................................. 130 5.1. Agregasi Regional dan Sektoral…………………………………... 132 5.2. Modifikasi Model GTAP…………………………………………. 136 5.3. Modifikasi Data Dasar Jangka Panjang........................................... 139 5.4. Penutup Makroekonomi Jangka Panjang ................................…… 145 5.5. Simulasi Kebijakan……………………………………………….. 148
xv
VI. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN…………………………….. 156 6.1. Definisi Skenario Dasar…………………………………………... 156 6.2. Hasil Simulasi Skenario Dasar……………………………………. 166 6.3. Analisis Dampak dan Manfaat Free Trade Area ASEAN China… 174 6.3.1. Tahap Early Harvest Programme ……..…………………. 174 6.3.2. Tahap Free Trade Area ASEAN – China Secara Penuh…. 188 6.4. Kombinasi Free Trade Area ASEAN – China dengan Kebijakan Domestik di Indonesia…………………………………................. 202 6.4.1. Kombinasi Free Trade Area ASEAN – China dengan Penurunan Biaya Transaksi Perdagangan Sebesar 30 persen.............................................................................. 202 6.4.2. Kombinasi Free Trade Area ASEAN – China dengan Peningkatan Invesatsi Sektor Pertanian Sebesar 15 Persen………………...…………………....................... 206 6.4.3. Kombinasi Free Trade Area ASEAN – China dengan Penurunan Biaya Transaksi Perdagangan Sebesar 30 Persen dan Peningkatan Investasi Sektor Pertanian Sebesar 15 Persen………………………………………… 210 VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN……………………… 213 7.1. Kesimpulan……………………………………………………….. 213 7.2. Implikasi Kebijakan………………………………………………. 215 7.3. Saran Penelitian Lanjutan………………………………………… 217 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 218 LAMPIRAN……………………………………………………………… 225
xvi
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Total Gross Domestic Product dan Perdagangan ASEAN-5 dan China, Tahun 1990 – 2005…………………………..…………….
8
2. Struktur Komoditi Perdagangan China dengan ASEAN, Tahun 2003....
15
3. Arus Foreign Direct Investment ke ASEAN Tahun 1995 – 2004……...
17
4. Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian ASEAN dan China, Tahun 1989 – 2004……………………………………………...
19
5. Putaran Perundingan General Agreement on Tariffs and Trade ……….
32
6. Nilai Perdagangan Intra-kawasan dari 5 Blok Perdagangan Regional, Tahun 2005…………………………………………………..................
38
7. Daftar Produk dalam Early Harvest Programme..…...…………………
44
8. Jadwal Penurunan dan Penghapusan Tarif Early Harvest Programme…
45
(a)
Jadwal Penurunan dan Penghapusan Tarif Early Harvest Programme ASEAN-6 dan China
(b)
Jadwal Penurunan dan Penghapusan Tarif Early Harvest Programme Cambodia, Lao, Myanmar dan Vietnam
9. Daftar Produk Tambahan Indonesia dalam Early Harvest Programme...
47
10. Skema Penurunan Tarif Normal Track I ASEAN-6 dan China………..
48
11. Perdagangan Indonesia – China, Tahun 2001 – 2005………………..…
53
12. Rencana Penanaman Modal Asing yang Disetujui Pemerintah…………
56
13. Nilai Indeks Intra-Industry Trade ASEAN-China, Tahun 2003..............
64
14. Persamaan-Persamaan Summary Indices pada Model GTAP Standar....... 127 15. Agregasi Region……………………………………………………..…
134
16. Aggregasi Sektor …………..…………………………………………..… 135 17. Penutup Jangka Panjang………………………………..………………... 146 18. Data Dasar Nilai Gross Domestic Product dan Ekspor, Tahun 2001…..
158
19. Data Dasar Tingkat Tarif Rata-Rata, Tahun 2001...................................... 161 20. Data Dasar Pajak/Subsidi Ekspor Rata-Rata, Tahun 2001......................... 164 21. Data Dasar Pajak/Subsidi Output Rata-Rata, Tahun 2001......................
165
22. Perubahan Variabel Makroekonomi pada Simulasi Dasar…….....…….
168
23. Perubahan Output Sektoral pada Simulasi Dasar....................................
171
24. Perubahan Volume Ekspor Sektoral pada Simulasi Dasar......................... 172
25. Perubahan Volume Impor Sektoral pada Simulasi Dasar........................
173
26. Perubahan Variabel Makroekonomi pada Tahap Early Harvest Programme..............................................................................................
176
27. Perubahan Output Sektor Pertanian dan Kehutanan pada Tahap Early Harvest Programme........................................................................ 179 28. Perubahan Volume Ekspor Sektor Pertanian dan Kehutanan pada Tahap Early Harvest Programme............................................................. 182 29. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditi Pertanian Indonesia ke China....
183
30. Nilai Ekspor Komoditi Pertanian dalam Skema Early Harvest Programme, Tahun 2004 – 2005………………………………………
184
31. Perubahan Volume Impor Sektor Pertanian dan Kehutanan pada Tahap Early Harvest Programme...................................................
186
32. Laju Pertumbuhan Nilai dan Volume Impor Komoditi Pertanian Indonesia dari China Sebelum dan Setelah Tahap Early Harvest Programme…………………………………………………………….
187
33. Perubahan Variabel Makroekonomi pada Tahap Pelaksanaan FTA ASEAN-China Secara Penuh ……………..…………………………… 193 34. Indeks Revealed Comparative Advantage ASEAN dan China, Tahun 1995 – 2003 …………………………………………………….
194
35. Perubahan Output Sektoral pada Tahap Pelaksanaan FTA ASEANChina Secara Penuh ………………..…………………………………..
197
36. Perubahan Volume Ekspor Sektoral pada Tahap Pelaksanaan FTA ASEAN-China Secara Penuh ………………………………..………...
200
37. Perubahan Volume Impor Sektoral pada Tahap Pelaksanaan FTA ASEAN-China Secara Penuh ……………………...………..…………
201
38. Perubahan Variabel Makroekonomi Indonesia pada Kombinasi FTA ASEAN – China dengan Kebijakan Penurunan Biaya Transaksi Perdagangan Sebesar 30 persen................................................…….......
203
39. Perubahan Variabel Sektoral Indonesia pada Kombinasi FTA ASEAN – China dengan Kebijakan Penurunan Biaya Transaksi Perdagangan Sebesar 30 persen..............................................................
205
40. Perubahan Variabel Makroekonomi Indonesia pada Kombinasi FTA ASEAN – China dengan Kebijakan Peningkatan Investasi Sektor Pertanian Sebesar 15 Persen…………………………………....
207
41. Perubahan Variabel Sektoral Indonesia pada Kombinasi FTA ASEAN – China dengan Kebijakan Peningkatan Investasi Sektor Pertanian Sebesar 15 Persen....................................................................
209
42. Perubahan Variabel Makroekonomi Indonesia pada Kombinasi FTA ASEAN-China dengan Penurunan Biaya Transaksi Perdagangan Sebesar 30 Persen dan Peningkatan Investasi Sektor Pertanian Sebesar 15 Persen …...............................................................................
211
xviii
43. Perubahan Variabel Sektoral Indonesia pada Kombinasi FTA ASEAN-China dengan Penurunan Biaya Transaksi Perdagangan Sebesar 30 Persen dan Peningkatan Investasi Sektor Pertanian Sebesar 15 Persen....................................................................................
xix
212
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Pertumbuhan Ekonomi ASEAN-5 dan China, Tahun 1990-2007…… 2. (a)
4
Kontribusi Sektor Utama dalam Gross Domestic Product ASEAN…………………………………………………………
5
Kontribusi Sektor Utama dalam Gross Domestic Product China………………….............................................................…
5
3. (a)
Pertumbuhan Sektor Utama di ASEAN ...…….………………...
6
(b)
Pertumbuhan Sektor Utama di China............................................
6
4. Aliran Foreign Direct Investment ke negara-negara ASEAN dan China, Tahun 1994 –2004..……………………………………………
9
5. Nilai Perdagangan ASEAN ke China, Tahun 1995 – 2005……….......
10
6. Nilai Perdagangan China ke ASEAN, Tahun 1995 – 2005…………...
12
7. Perekembangan Ekspor dan GDP Dunia, Tahun 1950-2005………….
25
8. Perkembangan Jumlah Regional Trade Arrangements yang telah berjalan...................................................................................................
36
9. Dampak Tarif Impor Pada Kasus Negara Kecil….................................
65
10. Dampak Tarif Impor Pada Kasus Negara Besar…................................
69
11. Analisis Keseimbangan Parsial Dampak Kuota Impor……………….
71
12. Analisis Keseimbangan Parsial Dampak Subsidi Ekspor……………..
72
13. Kreasi Perdagangan dan Kesejahteraan Nasional……………………..
77
14. Diversi Perdagangan dan Kesejateraan Nasional……………………...
79
15. Diagram Arus Lingkar Ekonomi Terbuka..……………………….......
80
16. Keseimbangan Konsumsi……………………………………………...
83
17. Keseimbangan Produksi………………………………………………
84
18. Syarat Kecukupan Keseimbangan Umum…………………………….
85
19. Keseimbangan Kompetitif Walrasian…………………………………
86
20. Efisiensi Pareto Model Ekonomi 2-Komoditi, 2-Konsumen………….
87
21. Efisien Pareto dan Keseimbangan Umum…………………………….
89
22. Neraca Penerimaan dan Pengeluaran pada Sistim Ekonomi Terbuka...
97
23. Subsidi / Pajak Ekspor dalam Model GTAP………………………….
105
24. Subsidi / Pajak Impor dalam Model GTAP…………………………...
106
25. Fungsi Produksi Leontief………………………………………………
112
(b)
26. Struktur Produksi Model GTAP………………………………………
114
27. Pertumbuhan Kapital dalam Jangka Panjang........................................
131
28. Prosedur Penyusunan Database Steady State........................................
144
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Tarif Rata-rata berdasarkan Skema Common Effective Preferential Tariffs - AFTA, Tahun 1993 – 2003………………………………….
225
2. Jumlah Pos Tarif 0- 5 persen dalam Paket Common Effective Preferential Tariffs - AFTA, Tahun 2003………………………….…
226
3. Nilai Perdagangan ASEAN Tahun 1993 – 2003…..……………….…
227
4. Tambahan Persamaan pada File Tablo GTAP untuk Keseimbangan Jangka Panjang ………………………….............................................
228
5. Tambahan Persamaan pada File Shock Tablo untuk Database Steady State...........................................................................................
234
6. Tarif Impor Bilateral Indonesia Untuk Semua Negara Asal, Tahun 2001............................................................................................
236
7. Tarif Impor Bilateral Malaysia Untuk Semua Negara Asal, Tahun 2001............................................................................................
237
8. Tarif Impor Bilateral Philippines Untuk Semua Negara Asal, Tahun 2001……………………………………………………………
238
9. Tarif Impor Bilateral Singapore Untuk Semua Negara Asal, Tahun 2001……………………………………………………………
239
10. Tarif Impor Bilateral Thailand Untuk Semua Negara Asal, Tahun 2001……………………………………………………………
240
11. Tarif Impor Bilateral Viet Nam Untuk Semua Negara Asal, Tahun 2001............................................................................................
241
12. Tarif Impor Bilateral China Untuk Semua Negara Asal, Tahun 2001……………………………………………………………
242
13. Nilai Ekspor Bilateral pada Harga Dunia …….....................................
243
14. Pangsa Ekspor Bilateral ……………………………………………...
244
15. Nilai Ekspor Bilateral Pada Harga Dunia pada Tahap Pelaksanaan FTA ASEAN – China Secara Penuh …………………………………
245
16. Persentase Perubahan Output Sektoral Untuk Semua Negara pada Tahap Pelaksanaan FTA ASEAN – China Secara Penuh ……………
246
17. Persentase Perubahan Volume Ekspor Sektoral Untuk Semua Negara pada Tahap Pelaksanaan FTA ASEAN – China Secara Penuh……....
247
18. Presentase Perubahan Volume Impor Sektoral Untuk Semua Negara pada Tahap Pelaksanaan FTA ASEAN – China Secara Penuh ….…..
248
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Hubungan ASEAN – China memasuki babak baru yang lebih erat dengan
ditandatanganinya kerangka kerjasama ekonomi secara komprehensif (the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation) pada bulan November 2002. Melalui kerjasama ekonomi tersebut, kedua belah pihak sepakat untuk membentuk kawasan perdagangan bebas (FTA) ASEAN – China dalam waktu sepuluh tahun mendatang.
Dilihat dari sisi jumlah konsumen, FTA ASEAN – China apabila
terwujud akan tercatat sebagai blok perdagangan bebas regional terbesar di dunia karena melibatkan hampir 2 milyar penduduk dengan kombinasi Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari US$ 2 trilyun serta total perdagangan mencapai sekitar US $ 1.23 trilyun (ASEAN Secretariat, 2001). Keputusan negara-negara ASEAN memilih mengintegrasikan ekonomi mereka dengan China, bukannya dengan negara mitra ASEAN lain (seperti: Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa) atau melakukan integrasi ekonomi yang lebih luas melalui ASEAN Plus Three (Jepang, China, Korea), menarik untuk dicermati. Motivasi pembentukan FTA ASEAN - China bukan semata-mata didasarkan pada kepentingan ekonomi, tetapi juga pertimbangan politik dan keamanan regional serta kedekatan budaya.
Sebagaimana diketahui bahwa sebagian penduduk di negara-
negara ASEAN masih memiiliki ikatan budaya dengan China sehingga mereka lebih nyaman melakukan kerjasama dengan China. Dilihat dari perspektif politik dan keamanan regional, pembentukan FTA ASEAN – China merupakan strategi diplomasi ASEAN untuk membuat keseimbangan peta politik dan keamanan regional, sekaligus mengurangi dominasi
2
pengaruh Amerika Serikat dan Jepang di kawasan Asia Tenggara. Dalam konsep Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community)1 disebutkan salah satu prinsip dasar yang dianut adalah netralitas atau non-aligment. Lebih lanjut dalam Rencana Aksi Komunitas Keamanan ASEAN (the ASEAN Security Community Plan of Action) ditegaskan bahwa negara anggota ASEAN memiliki tanggungjawab bersama mewujudkan perdamaian, stabilitas dan keamanan regional yang bebas dari intervensi militer asing dalam bentuk atau manifestasi apapun: ”ASEAN Member Countries share the responsibility for strengthening peace, stability and security of the region free from foreign military interference in any form or manifestation”. Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini diantara negara-negara ASEAN ada yang mempunyai ketergantungan kuat, baik politik maupun keamanan, dengan Amerika Serikat, seperti: Singapore, Philippines, dan Thailand. Di sisi lain, beberapa negara ASEAN kurang sejalan dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat, misalnya: Myanmar, Vietnam, dan Malaysia. Kehadiran China di ASEAN melalui kerjasama ekonomi yang komprehensif diharapkan dapat menjadi kekuatan penyeimbang di kawasan ASEAN. Berkaitan dengan usulan integrasi ekonomi kawasan Asia Timur atau ASEAN Plus Three, diakui atau tidak, terjadi persaingan antara China dan Jepang untuk mengambil peran sebagai pemimpin (leader). Oleh sebab itu, untuk menjaga keharmonisan hubungan ASEAN dengan kedua negara tersebut, ASEAN lebih memilih untuk mengintensifkan integrasi ekonomi intra-ASEAN melalui kerangka ASEAN Economic Community, dan melakukan kerjasama ekonomi bilateral melalui 1
Dalam Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II) tahun 2003, ASEAN sepakat mewujudkan Komunitas ASEAN (ASEAN Community) pada tahaun 2020 yang berlandaskan pada tiga pilar, yaitu: Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community); Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community); dan Komunitas Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN SocioCultural Community).
3
mekanisme ASEAN Plus One, seperti FTA ASEAN – China. Dengan pendekatan secara bilateral, ASEAN berharap akan memiliki posisi tawar yang lebih kuat daripada harus melakukan negosiasi dengan Jepang, China, dan Korea Selatan secara bersamaan (ASEAN Plus Three). Di lihat dari kepentingan ekonomi, China merupakan salah satu raksasa ekonomi dunia dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan relatif stabil diharapkan dapat menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN. Menurut data Key Indicators (ADB, 2008), pertumbuhan ekonomi China selama hampir dua dekade terakhir (1990 – 2007) rata-rata mencapai 10.0 persen. Pada tahun 2007, perdagangan China menempati posisi terbesar ke-3 di dunia dengan total perdagangan mencapai lebih US$ 2.1 trilyun atau sekitar 8.0 persen dari total perdagangan dunia. Aliran Foreign Direct Investment (FDI) yang masuk ke China mencapai lebih dari US$ 78.0 milyar atau dua per tiga dari jumlah keseluruhan aliran FDI yang mengalir ke Asia. ASEAN dan China adalah negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang paling dinamis di kawasan Asia
Namun krisis ekonomi tahun 1997 telah
menyebabkan kemerosotan ekonomi sebagian besar negara-negara ASEAN. Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1, pertumbuhan ekonomi ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore, dan Thailand) pada tahun 1998 mengalami penurunan yang sangat tajam (negatif 9 persen), sementara ekonomi China relatif tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi tersebut. Melihat kemajuan dan kestabilan ekonomi China, ASEAN menaruh harapan besar dari pembentukan FTA ASEAN–China. Melalui FTA tersebut, negara-negara ASEAN berharap dapat meningkatkan nilai perdagangan mereka dengan China. Peningkatan nilai perdagangan
selanjutnya
akan
mendorong
pertumbuhan
mempercepat integrasi ekonomi di kawasan ASEAN.
ekonomi
sehingga
4
15 10
(%)
5 0 -5
199095
1996
1997
1998
1999
200005
2006
2007
-10 -15 ASEAN-5
CHINA
INDO
Sumber: Diolah dari data ADB (2008), dan ASEAN Secretariat (2006) Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi ASEAN-5 dan China, Tahun 1990-2007
1.1.1. Struktur Ekonomi ASEAN – China Sebagaimana umumnya di negara-negara berkembang, struktur ekonomi ASEAN dan China mengalami pergeseran dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa.
Pada Gambar 2.a dapat dilihat bahwa selama kurun waktu 1990 – 2005,
kontribusi sektor industri ASEAN meningkat lebih cepat menjadi sebesar 36.5 persen dan sebaliknya kontribusi sektor pertanian turun menjadi 20.1 persen. Sektor jasa merupakan penyumbang terbesar dalam pembentukan output nasional di negaranegara ASEAN. Berbeda dengan di ASEAN, kontribusi sektor pertanian China mengalami penurunan sangat signifikan selama kurun waktu 1990 – 2005. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.b, kontribusi sektor pertanian di China turun dari 27 persen (1990) menjadi kurang dari 12.5 persen pada tahun 2005. Sebaliknya peranan sektor industri dan jasa terus menunjukkan peningkatan. Namun demikian kontribusi sektor jasa di China masih relatif tertinggal dibandingkan dengan
5
di negara-negara ASEAN. Peran sektor industri selama ini masih mendominasi struktur ekonomi China. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sektor industri
60
60
50
50
40
40 (%)
(%)
merupakan penggerak utama pembangunan ekonomi China.
30
30
20
20
10
10 0
0 1990
Pertanian
2000
Industri
1990
2005
Jasa
(a) ASEAN
Pertanian
2000
Industri
2005
Jasa
(b) China
Sumber: Diolah dari data ADB (2006) Gambar 2. Kontribusi Sektor Utama dalam GDP ASEAN dan China
Dilihat dari laju pertumbuhan masing-masing sektor, perubahan struktural ekonomi China berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan di negara-negara ASEAN.
Pada Gambar 3a dapat dilihat bahwa setelah mengalami kemerosotan
ekonomi akibat krisis ekonomi Asia pada tahun 1997 – 1998, pertumbuhan sektor industri negara-negara ASEAN mengalami pasang surut. dan cenderung terus menurun. Setelah mencapai pertumbuhan sebesar hampir 10 persen pada tahun 2002, selanjutnya pertumbuhan sektor industri di ASEAN cenderung terus menurun. Hal ini antara lain disebabkan oleh berkurangnya arus investasi yang mengalir ke negaranegara ASEAN sehingga tidak ada pembangunan industri baru. Bahkan akibat dari krisis ekonomi, banyak terjadi relokasi industri ke negara-negara lain di luar ASEAN.
6
Di lain pihak, proses industrialisasi di negara China berlangsung lebih cepat dan relatif stabil dibandingkan di negara-negara ASEAN. Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3.b, pertumbuhan sektor industri China selama periode 1998 – 2005 meningkat rata-rata 9.9 persen per tahun. Pada periode yang sama, pertumbuhan sektor jasa rata-rata sebesar 8.6 persen per tahun.
14.0
14.0
12.0
12.0
10.0
10.0 8.0 (%)
(%)
8.0 6.0
6.0
4.0 4.0
2.0 2.0
0.0 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 -2.0
0.0 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Pertanian
Industri
Jasa
(a). ASEAN
Pertanian
Industri
Jasa
(b). China
Sumber: Diolah dari data ADB (2004 dan 2006) Gambar 3. Pertumbuhan Sektor Utama di ASEAN dan China
Strategi pembangunan ekonomi ASEAN dan China selama ini lebih berorientasi keluar (outward-looking), dimana perdagangan (ekspor) dan investasi merupakan mesin penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Kegiatan perdagangan tersebut sebagian besar dilakukan oleh perusahaan asing yang melakukan investasi melalui aliran FDI dan alih teknologi, khususnya di sektor manufaktur sebagai basis kegiatan ekspor. Investasi asing tersebut penting untuk meningkatkan belanja modal, menyerap tenaga kerja, transfer teknologi dan manajemen. Selain itu, aliran FDI ke suatu negara dapat menjadikan negara tersebut sebagai bagian dari rantai produksi
7
dunia yang akan memberikan nilai tambah bagi peningkatan daya saing ekonomi. Hal ini terutama terjadi apabila FDI tersebut dilakukan oleh perusahaan multi-nasional yang memiliki jaringan internasional. Mereka melakukan investasi kegiatan produksi di sebuah negara dan mengekspor produknya ke negara-negara lain melalui jaringan pemasaran dunia yang telah mereka kuasai. Menurut Krugman dan Obstfeld (2000), rasio ekspor terhadap GDP suatu negara menunjukkan tingkat daya saing ekonomi negara tersebut di pasar internasional. Selain itu, rasio total perdagangan terhadap GDP merupakan ukuran tingkat keterbukaan (openness) ekonomi suatu negara. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa negara-negara Malaysia, Philippines, Singapore dan Thailand memiliki daya saing dan keterbukaan ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan Indonesia. Nilai ekspor dan total perdagangan Indonesia meskipun menunjukan peningkatan selama kurun waktu 1990 – 2005, namun rasio nilai ekspor terhadap GDP dan total perdagangan terhadap GDP masih relatif kecil dibandingkan dengan negara-negara ASEAN tersebut di atas. Pada tahun 2005, rasio ekspor terhadap GDP Indonesia sebesar 27.55 persen dan rasio total perdagangan terhadap GDP sebesar 46.3 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa ekonomi Indonesia relatif kurang kompetitif dan terintegrasi di pasar global dibandingkan dengan ekonomi negara ASEAN-5 lainnya. Daya saing ekonomi yang rendah tersebut juga berkaitan dengan penurunan aliran FDI yang masuk ke Indonesia. Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa sejak krisis ekonomi tahun 1998 hingga tahun 2003, telah terjadi pengalihan modal asing keluar dari Indonesia (capital outflow), dengan puncaknya terjadi pada tahun 2000 sebesar US$ 4.55 milyar. Kondisi tersebut mengakibatkan daya saing Indonesia semakin rendah karena praktis tidak terjadi investasi untuk meningkatkan kapasitas dan memperbaiki teknologi yang
8
diperlukan guna meningkatkan pertumbuhan dan daya saing ekonomi. Keadaan sebaliknya terjadi di China, dimana aliran FDI yang masuk relatif tinggi meskipun terjadi krisis ekonomi. Selama sepuluh tahun terakhir (1995 – 2005) China merupakan negara penerima aliran FDI terbesar diantara negara-negara berkembang. Pada tahun 2005, aliran bersih FDI yang masuk ke China mencapai hampir US$ 68.0 milyar. Jumlah aliran FDI yang besar tersebut telah meningkatkan pembentukan modal domestik (gross domestic capital formation) dalam ekonomi China dan sekaligus meningkatkan Total Factor Productivity (TFP) yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi. Pada tahun yang sama, aliran FDI yang masuk ke ASEAN hanya sebesar US$ 25.0 milyar. Diantara negara-negara ASEAN, Thailand menempati urutan pertama dalam perolehan FDI yaitu sebesar US$ 7.5 milyar, diikuti oleh Singapore sebesar US$ 7.0 milyar. Tabel 1. Total GDP dan Perdagangan ASEAN-5 dan China, Tahun 1990 – 2005 GDP Negara
(Harga berlaku dalam US$ Milyar) 1990
2005
Nilai Ekspor Barang (US$ Milyar) 1990
2005
Rasio Nilai Ekspor thd GDP
Rasio Nilai Perdagangan thd GDP
(%)
(%)
1990
Indonesia
114.41
281.27
25.7
77.5
22.5
Malaysia
44.10
130.49
29.5 140.8
66.9
Philippines
44.31
97.65
Singapore
36.84
Thailand
85.33
China
8.2
27.6
1990
2005
41.5
46.3
107.9 133.4 195.7
41.3
18.5
116.77
52.5 229.8
142.5
176.60
23.0 110.3
27.0
62.5
65.7 129.4
16.0
34.3
32.5
387.77 2,224.97 62.1
Sumber: ADB (2006)
2005
762.0
42.3
47.7
92.9
196.8 307.6 368.2
63.9
9
80.0
70.0
China
60.0
US$ Milyar
50.0
40.0
30.0 ASEAN 20.0
10.0
Thailand Singapore Indonesia Malaysia
0.0
-10.0
1995
1996
Indonesia
1997
1998
1999
Malaysia
2000
Singapore
2001
2002
2003
Thailand
2004 ASEAN
2005 China
Sumber: Diolah dari ADB (2006) Gambar 4. Aliran Foreign Direct Investment ke negara-negara ASEAN dan China, Tahun 1995 – 2005 1.1.2. Perdagangan dan Investasi ASEAN – China Perdagangan ASEAN ke China terus menunjukkan peningkatan selama sepuluh tahun terakhir (1995 – 2005). Total nilai perdagangan ASEAN ke China melonjak dari sebesar US$ 13.33 milyar (1995) menjadi US$ 113.13 milyar (2005) atau meningkat rata-rata 25 persen per tahun. Dengan nilai perdagangan pada tahun 2005 tersebut telah menempatkan posisi China sebagai mitra dagang ASEAN terbesar ke-6 setelah Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang dan
Hong Kong. Melalui
pembentukan FTA ASEAN – China, kedua belah pihak sepakat untuk meningkatkan nilai perdagangan tersebut menjadi tiga kali lipat dari nilai perdagangan tahun 2005 dalam waktu lima tahun mendatang.
10
Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5, nilai perdagangan ASEAN ke China sedikit mengalami penurunan pada tahun 1998 (US$ 20.40 milyar) dan tahun 2001 (US$ 31.92 milyar). Hal ini disebabkan oleh krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia pertengahan 1997 dan resesi ekonomi global pada akhir tahun 2000. Ekspor ASEAN ke negara China selama tahun 1995 – 2005 meningkat rata-rata sebesar 24 persen per tahun, yaitu dari US $ 6.20 milyar (1995) menjadi US$ 52.30 milyar (2005). Pada periode yang sama, nilai impor ASEAN dari China meningkat dari US$ 7.13 milyar (1995) menjadi US$ 28.22 milyar (2005).
120.0 110.0 100.0 90.0
US $ Milyar
80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Export
Import
Total Trade
Sumber: Diolah dari ASEAN Statistical Yearbook (2006) dan IMF (2006) Gambar 5. Nilai Perdagangan ASEAN ke China, Tahun 1995 – 2005
Di lain pihak, nilai perdagangan China ke ASEAN selama periode 1995 – 2005 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 23.5 persen per tahun. Nilai ekspor China ke ASEAN meningkat dari US$ 10.47 milyar (1995) menjadi US$ 130.50
11
milyar (2005) atau tumbuh rata-rata sebesar 21.9 persen. Sedangkan impor China dari ASEAN naik dari US$ 9.90 milyar (1995) menjadi US$ 75.02 milyar (2005) atau meningkat rata-rata 25 persen per tahun. Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa sejak tahun 1998, China terus mengalami defisit perdagangan dengan ASEAN, yaitu dari sebesar US$ 1.03 milyar (1998) menjadi US$ 19.54 milyar (2005). Hal ini menunjukkan bahwa China telah berkembang menjadi pasar ekspor negara-negara ASEAN. Posisi perdagangan ASEAN di pasar China terus menguat, dimana pangsa (share) impor dari ASEAN dalam total impor China meningkat dari 7.49 persen (1995) menjadi 11.4 persen (2005). Pada tahun 2005, ASEAN merupakan mitra dagang terbesar ke-5 setelah Jepang, USA, Uni Eropa, dan Hong Kong.
140.0 130.0 120.0 110.0 100.0
US$ Milyar
90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 1995
1996
1997
Export
1998
1999
2000
Import
2001
2002
2003
Total Trade
Sumber: Diolah dari Wen dan Shaolian (2005) dan IMF (2006) Gambar 6. Nilai Perdagangan China ke ASEAN, Tahun 1995 - 2005
2004
2005
12
Struktur komoditi perdagangan antara China dengan ASEAN sebagian besar adalah produk manufaktur yang termasuk dalam kategori SITC2 nomor 5 sampai 8 dan 68 (disingkat dengan SITC 5 sampai 8-68). Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pada tahun 2003, pangsa ekspor produk manufaktur mencapai 82.14 persen dari total ekspor China ke ASEAN, dan impornya sebesar 74.70 persen. Di antara komoditi manufaktur, produk mesin dan peralatan transportasi (SITC 7) menduduki posisi pertama dalam perdagangan China – ASEAN dengan nilai sebesar US$ 40.25 milyar (51.44 persen), diikuti oleh produk peralatan listrik dan elektronik (SITC 75+76+77) dengan nilai sebesar US$ 34.46 milyar (44.04 persen). Dalam perdagangan produk manufaktur antara China dengan ASEAN tersebut terlihat adanya intra-industry trade yang cukup tinggi. Hasil studi Wen dan Shaolin (2005) mengungkapkan tingkat intra-industry trade yang diukur dengan menggunakan indeks Grubel-Lloyd (GLi) 3 untuk produk kendaraan bermotor adalah sebesar GLi=0.92, mesin dan peralatan mekanis: GLi= 0.91, dan peralatan listrik: GLi = 0.90. Untuk komoditi yang berbasis sumberdaya alam, pangsa ekspor China untuk bahan baku pertanian (SITC 2-22-27-28) hanya sebesar 0.71 persen, jauh lebih kecil dibanding pangsa impornya yang mencapai 6.32 persen. Selain itu, nilai impor China dari ASEAN untuk bahan bakar minyak (SITC 3) mencapai lebih dari dua kali lipat dibanding nilai ekspornya.
Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara ASEAN
merupakan pemasok (supplier) penting bagi China untuk memenuhi kebutuhan sumber bahan baku industri.
2
SITC (Standard International Trade Classification) adalah sistim klasifikasi barang ekspor dan impor dalam statistik perdagangan internasional. Dalam SITC barang ekspor/impor dibagi ke dalam seksi (satu digit), divisi (dua digit), dan kelompok (tiga digit). 3
Indeks Grubel-Lloyd (GLi) = 1 - | Xij – Mij | / (Xij + Mij), dimana Xij dan Mij masing-masing adalah ekspor dan impor komoditi j oleh negara i ke / dari negara lain. Nilai GLi berkisar 0 – 1, semakin mendekati nilai 1 maka semakin tinggi intra-industry trade dan sebaliknya semakin mendekati 0 berarti intra-industry trade semakin rendah.
13
Data pada Tabel 2 juga menunjukkan adanya aspek komplementaritas (saling melengkapi) dalam perdagangan antara China dan ASEAN. Dalam perdagangan produk manufaktur, China mengimpor peralatan listrik dan komponen elektronik sebesar US$ 23.52 milyar dan mengekspor komoditi yang sama ke ASEAN sebesar US$ 10.94 milyar. Di lain pihak, nilai ekspor China ke ASEAN untuk produk manufaktur ringan seperti: peralatan rumahtangga dan peralatan kantor, mencapai US$ 8.18 milyar, sedangkan nilai impornya hanya sebesar US$ 4.36 milyar. Negaranegara ASEAN, khususnya Singapore, Malaysia, Thailand dan Philippines memiliki keunggulan komparatif untuk produk elektronik. Sedangkan China memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi di industri perlengkapan rumahtangga dan peralatan perkantoran. Aspek komplementaritas juga terjadi dalam perdagangan komoditi yang berbasis sumberdaya alam. China mengimpor komoditi karet mentah, kayu, minyak dan lemak nabati/hewani, serta minyak bumi. Sedangkan ASEAN lebih banyak mengimpor biji gandum (cereals), sayuran dan buah-buahan segar.
Data
pada Tabel 2 tersebut konsisten dengan hasil studi Tambunan dan Bakce (2005) yang menyimpulkan bahwa selama kurun waktu 1993 – 2003 terdapat aspek komplementaritas dalam perdagangan ASEAN dengan China dan sebaliknya, baik untuk komoditi pertanian maupun produk manufaktur sehingga kedua belah pihak memperoleh keuntungan dari hubungan perdagangan tersebut. Berbeda dengan hasil penelitian Tambunan dan Bakce (2005), studi yang dilakukan oleh Wen dan Shaolin (2005) menunjukkan bahwa komoditi ekspor ASEAN dan China memiliki kesamaan struktur sehingga saling berkompetisi di pasar internasional. Untuk produk manufaktur, kompetesi tersebut cenderung terus meningkat dan pada umumnya produk manufaktur China memiliki daya saing yang lebih tinggi karena biaya produksi lebih rendah dibandingkan negara-negara ASEAN.
14
Wen dan Shaolin (2005) mengukur kesamaan struktur komoditi ekspor negara-negara ASEAN-5 dan China selama periode 1984 – 2001 dengan menggunakan indeks Finger – Kreinin4. Hasil studi mereka menunjukkan bahwa kesamaan struktur ekspor produk manufaktur antara China dan negara-negara ASEAN-5 terus meningkat, kecuali dengan Philippines yang cenderung menurun. Sedangkan struktur komoditi ekspor yang berbasis sumberdaya alam antara China dengan Indonesia dan Malaysia semakin berkurang, tetapi semakin meningkat kesaamaan strukturnya dengan Thailand dan Philippines. Sedangkan dengan Singapore kesamaan struktur komoditi berbasis sumber daya alam adalah tetap atau konstan. Oleh karena terdapat kesamaan struktur komoditi ekspor manufaktur yang cukup tinggi maka China dan ASEAN-5 saling berkompetisi di pasar internasional (seperti: Amerika Serikat), terutama untuk peralatan listrik dan produk elektronik serta produk tekstil dan pakaian. Di pasar Amerika Serikat, ekspor peralatan listrik dan produk elektronik China memiliki daya saing yang lebih baik dibanding dengan ASEAN-5. Sedangkan untuk produk tekstil dan pakaian, China menghadapi persaingan dari Indonesia, Thailand dan Philippines. Kompetisi yang dihadapi oleh negara-negara ASEAN akan semakin berat dengan bergabungnya China ke dalam orgarnisasi perdagangan multi-lateral WTO. Sebagai negara anggota WTO, China harus menurunkan tarif dan hambatan perdagangan lainnya. Hal ini akan meningkatkan daya saing produk China dan sekaligus menciptakan persaingan yang lebih berat bagi ekspor ASEAN untuk masuk ke pasar China.
4
Indeks Finger-Kreinin digunakan untuk mengukur tingkat kesamaan struktur komoditi ekspor dari
X ikl X ljk Minimum , x100, dimana Xik l X ik X jk l l dan Xjk masing-masing adalah ekspor negara i dan j ke pasar negara k, sedangkan X ik dan X jk beberapa negara dengan persamaan: S (i, k )
adalah ekspor komoditi l dari negara i dan j ke pasar negara k. Nilai indeks ini berkisar 0-100, semakin tinggi nilai indeks maka struktur komoditi ekspor semakin sama, dan sebaliknya.
15
Tabel 2. Struktur Komoditi Perdagangan China dengan ASEAN, Tahun 2003
Commodity
SITC
China‟s export
China‟s import
Value
Share
Value
Share
Value
Share
(US$ Milyar)
(%)
(US$ Milyar)
(%)
(US$ Milyar)
(%)
All products
0–9
30.93
100.00
Resource-based commodities
0 to 4+68
5.47
All food items
0+1+ 22+4
Agricultural raw material
Total trade
47.33 100.00
78.25
100.00
17.70
11.93
25.21
17.41
22.24
2.13
6.88
2.51
5.31
4.64
5.93
2-2227-28
0.22
0.71
2.99
6.32
3.11
4.10
3
2.56
8.29
5.62
11.87
8.18
10.46
Ores and metals
27+ 28+68
0.56
1.82
0.81
1.72
1.37
1.76
Manufactured goods
5 to 868
25.40
82.14
35.35
74.70
60.76
77.64
5
2.33
7.55
5.63
11.89
7.96
10.18
6+ 868
8.18
26.46
4.36
9.21
12.54
16.03
65+84
3.65
11.82
0.55
1.15
4.20
5.37
7
14.89
48.13
25.37
53.60
40.25
51.44
75+ 76+ 77
10.94
35.38
23.52
49.70
34.46
44.04
9
0.05
0.16
0.04
0.08
0.09
0.12
Fuels
Chemical products Light manufactured goods Textile and apparel Machinery and transport equipment Electrical and electronics products Unallocated goods
Sumber: Wen dan Shaolian (2005)
16
Di bidang investasi, ASEAN masih merupakan sumber aliran FDI penting bagi negara China. Investasi ASEAN ke China selama periode 1991 – 2001 terus meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 28 persen per tahun (Wei, 2004). Pada tahun 1991, nilai investasi ASEAN di negara China baru mencapai US $ 90 juta dan kemudian meningkat menjadi US $ 4.2 milyar pada tahun 1998. Nilai investasi ASEAN tersebut sedikit mengalami penurunan menjadi US $ 3.3 milyar (1999) dan US $ 2.8 milyar (2000). Namun satu tahun kemudian (2001) investasi ASEAN di China melonjak secara drastis menjadi US $ 26.2 milyar atau 6.6 persen dari total FDI China. Selanjutnya pada tahun 2004, nilai FDI ASEAN-5 yang mengalir ke China mencapai US$ 682.92 juta. Angka ini jauh lebih besar (hampir 7 kali lipat) dibandingkan dengan aliran FDI China yang masuk ke negara-negara ASEAN-5 yaitu: sebesar US$ 100.6 juta. Lebih lanjut apabila dilihat nilai investasi bilateral Indonesia dengan China selama periode 1995 – 2004, Indonesia mengalami defisit investasi (capital outflow) secara kumulatif sebesar US$ 37.3 juta. Sebagaimana data pada Tabel 3, aliran FDI China ke ASEAN selama ini masih relatif kecil dibandingkan dengan investasi dari negara-negara mitra ASEAN lainnya. Investasi China (tidak termasuk Hong Kong) pada tahun 1995 adalah sebesar US $ 136.7 juta atau 0.5 persen dari total aliran FDI yang masuk ke ASEAN. Pada tahun 2004, jumlah FDI China bertambah menjadi US $ 225.9 juta atau 0.9 persen. Investasi China tersebut paling banyak dilakukan di negara Singapore dengan nilai sebesar US$ 98.30 juta (43.51 persen), Viet Nam sebesar US$ 85.60 juta (37.89 persen), dan Cambodia sebesar US$ 33.00 juta (14.61 persen). Kondisi sebaliknya untuk Indonesia, dimana pada tahun 2004 tersebut investasi China malah minus sebesar US$ 0.5 juta atau telah terjadi aliran modal ke luar (capital outflow) dari Indonesia ke China. Berdasarkan data investasi di masing-masing sektor, investasi
17
China ke ASEAN pada tahun 2004 sebagian besar adalah untuk sektor properti yaitu sebesar 61.37 persen, disusul oleh sektor perdagangan (56.12 persen) dan sektor manufaktur (33.72 persen). Tabel 3. Arus FDI ke ASEAN Tahun 1995 dan 2004
Negara Asal
1995 Nilai FDI % Total FDI (US $ Juta) ASEAN
2004 Nilai FDI % Total FDI (US $ Juta) ASEAN
ASEAN
4 654.4
16.5
2 432.7
9.5
Hong Kong
1 271.1
4.5
344.9
1.3
Taiwan
914.0
3.2
1 186.6
4.6
Korea Selatan
660.2
2.3
896.5
3.5
5 649.3
20.0
2 538.2
9.9
136.7
0.5
225.9
0.9
Uni Eropa -15
5 049.6
17.9
5 420.5
21.1
USA
4 318.4
15.3
5 051.9
19.7
534.9
1.9
392.5
1.5
5 042.0
17.9
7 164.5
27.9
28 230.6
100.0
25 654.2
100.0
Jepang China
Australia Rest of World TOTAL
Sumber: ASEAN Secretariat (2005)
1.1.3. Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian ASEAN – China Sektor pertanian memiliki peranan penting dalam perekonomian di negaranegara ASEAN dan China. Meskipun selama ini kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian nasional cenderung menurun, tetapi sektor ini masih penting peranannya terutama di negara-negara Cambodia, Laos, Myanmar dan Viet Nam. Data Tabel 4 menunjukkan kontribusi sektor pertanian dalam GDP negara-negara ASEAN tahun 2004 rata-rata sekitar 19.44 persen, dengan persentase tertinggi di
18
Myanmar (50.6 persen) dan Laos (47.86 persen). Untuk Indonesia, Philippines, dan Thailand, peranan sektor pertanian dalam GDP masih cukup signifikan dengan kontribusi berkisar antara 15 – 21 persen. Kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan GDP China juga masih tinggi mecapai lebih dari 10 persen. Sektor pertanian juga memegang peranan penting dalam penyediaan lapangan kerja di hampir semua negara-negara ASEAN, kecuali Singapore dan Brunei Darussalam. Pada tahun 2004, sekitar 60 – 70 persen tenaga kerja di negara-negara CLMV bekerja di sektor pertanian, dan lebih dari 40 persen di Indonesia, Philippines, dan Thailand. Di Singapore sebagai negara ASEAN dengan ekonomi paling maju, sektor pertanian masih menyerap tenaga kerja sebanyak 1.67 persen. Pada tahun yang sama, jumlah tenaga kerja sektor pertanian di China mencapai lebih dari 60 persen. Dalam perdagangan internasional, sektor pertanian memberikan kontribusi cukup signifikan di beberapa negara ASEAN, seperti: Viet Nam, Myanmar, Thailand dan Indonesia. Kontribusi ekspor pertanian di masing-masing negara tersebut adalah berkisar 12 – 16 persen dari total nilai ekspor barang. Sedangkan ekspor komoditi pertanian China relatif lebih rendah, yaitu sebesar 2.02 persen dari total nilai ekspor. Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa Indonesia, Malaysia, Thailand dan Viet Nam adalah negara pengekspor (nett-exporters) komoditi pertanian. Sedangkan negara ASEAN lainnya dan China merupakan nett-importers. Pada tahun 2004, ekspor komoditi pertanian ASEAN mencapai lebih dari US$ 41.07 milyar atau 7.21 persen dari total ekspor, sedangkan impor sebesar US$ 25.22 milyar atau 5.02 persen. Komoditi ekspor pertanian ASEAN yang paling penting adalah: karet alam, minyak kelapa sawit, beras, ikan dan udang.
Pada tahun yang sama, nilai perdagangan
komoditi pertanian China adalah sebesar US$ 62.52 atau 5.4 persen dari total perdagangan. Ekspor pertanian China terutama biji gandum, kapas, buah dan sayuran.
19
Tabel 4. Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian ASEAN dan China, Tahun 1989 – 2004 (%) Negara
Kontribusi terhadap GDP 1989-91
2004
Kontribusi thd Penyerapan Tenaga Kerja 1989-91
2004
Kontribusi Kontribusi thd Total thd Total Ekspor Impor 2004
2004
ASEAN Brunei Darussalam
2.40a)
3.60b)
1.83
0.57
0.03
11.69
Cambodia
50.00
32.86
73.80
68.51
2.16
4.61
Indonesia
19.17
15.23
55.02
45.66
13.19
9.95
Lao PDR
60.06
47.86
78.15
75.79
5.57
23.70
Malaysia
16.13
8.29
27.46
15.91
8.63
5.55
Myanmar
57.30a)
50.60b)
73.24
68.95
14.99
18.90
Philippines
18.04
15.65
45.78
37.13
5.17
7.40
Singapore
0.35
0.10
0.39
0.09
1.67
2.66
Thailand
12.41
8.02
64.04
53.30
12.41
4.06
Viet Nam
33.58
20.90
71.18
65.69
16.42
7.80
21.33
10.77
71.82
64.35
2.02
4.15
CHINA Sumber: FAO (2006)
Catatan: a) data untuk tahun 1990 dan b) data tahun 2005 masing-masing bersumber dari ADB (2006)
1.2.
Perumusan Masalah Sebagaimana diuraikan di atas, China dengan GDP sebesar US$ 2.2 trilyun
dan jumlah penduduk lebih dari satu milyar merupakan pasar ekspor potensial bagi ASEAN. Berkaitan dengan hal ini banyak pihak berharap bahwa pembentukan FTA ASEAN - China akan mempercepat integrasi ekonomi negara-negara ASEAN. Namun di lain pihak, banyak pula yang meragukan akan keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh negara-negara ASEAN dari pelaksanaan FTA ASEAN – China
20
tersebut. Pertumbuhan ekonomi China yang tinggi dan perdagangan yang ekspansif dikhawatirkan
malah
“mengancam”
perekonomian
negara-negara
ASEAN.
Kekhawatiran tersebut cukup beralasan mengingat pertumbuhan ekonomi China yang sedemikian pesat sudah barang tentu akan membutuhkan sumber bahan baku dan pasar bagi produk industrinya. Meskipun terdapat potensi komplementaritas, namun dikhawatirkan ASEAN hanya akan menjadi pemasok utama kebutuhan bahan baku dan barang setengah jadi (intermediate goods), sehingga tidak memperoleh nilai tambah dari perdagangan antara kedua belah pihak. Menurut Wen dan Shaolian (2005), nilai impor China untuk komoditi berbasis sumberdaya alam dari ASEAN mencapai lebih dari 25 persen dari total impor negara tersebut. Sebagian besar impor China berupa produk minyak dan gas (11.87 persen). Sebaliknya, ekspor produk manufaktur China ke ASEAN mencapai lebih dari 82 persen. Dalam perdagangan bilateral antara Indonesia dengan China, pada tahun 2005 Indonesia memperoleh surplus perdagangan migas sebesar US$ 1.4 milyar, sedangkan untuk komoditi non-migas Indonesia mengalami defisit sebesar US$ 0.591 milyar (Departemen Perdagangan, 2006). Dengan demikian tidak mengherankan apabila saat ini banyak produk non-migas China membanjiri pasar Indonesia dengan harga yang relatif murah. Akibatnya sebagian besar industri dalam negeri harus menutup usahanya karena tidak mampu bersaing dengan produk impor dari China. Masalah lain yang dihadapi dalam perdagangan bilateral Indonesia – China adalah pola perdagangan yang lebih banyak bersifat inter-industri, yaitu pertukaran antara beberapa jenis produk yang dihasilkan dari industri yang berbeda. Sedangkan perdagangan intra-industri sektor manufaktur masih relatif kecil. Dengan struktur perdagangan tersebut, Indonesia diperkirakan tidak akan banyak memperoleh keuntungan ekonomi dari pelaksanaan FTA ASEAN – China (Tambunan, 2005).
21
Di samping itu, Indonesia juga akan menghadapi persaingan yang lebih berat dengan China di pasar ekspor negara ketiga, terutama untuk produk manufaktur. Hal ini disebabkan struktur ekspor manufaktur kedua negara hampir sama. Di pasar Amerika Serikat misalnya, produk peralatan listrik, elektronika, tekstil dan pakaian (apparel) dari China memiliki keunggulan komparatif yang lebih baik dibandingkan produk yang sama dari Indonesia. Berdasarkan latar belakang dan kekhawatiran banyak pihak seperti yang dikemukakan di atas, maka selanjutnya dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Apakah perdagangan bebas ASEAN – China memberikan keuntungan (gains) atau malah mengakibatkan kerugian (losses) bagi perekonomian Indonesia?
2.
Jika terdapat gains maka apakah perdagangan bebas ASEAN – China akan memperbaiki kinerja sektor pertanian dan kehutanan Indonesia, khususnya peningkatan produksi, ekspor dan impor, serta penyerapan tenaga kerja?
3.
Kebijakan nasional apakah yang diperlukan Indonesia untuk meningkatkan daya saing ekonomi, dan sekaligus untuk mengurangi dampak negatif liberalisasi perdagangan ASEAN - China?
1.3.
Tujuan Penelitian
Seperti yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk: (1)
Menganalisis dampak potensial FTA ASEAN - China terhadap perubahan variabel makroekonomi, kinerja sektor pertanian dan kehutanan di Indonesia.
(2)
Mengevaluasi beberapa alternatif kebijakan nasional guna meningkatkan daya saing ekonomi dan mengurangi dampak negatif atas diberlakukannya liberalisasi perdagangan regional.
22
1.4.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah analisis dampak kebijakan perdagangan bebas (FTA) ASEAN – China terhadap kinerja ekonomi Indonesia, khususnya di sektor pertanian dan kehutanan. Untuk mengetahui efektifitas dan sekaligus mengurangi dampak negatif FTA ASEAN – China terhadap ekonomi Indonesia maka analisis juga dilakukan terhadap beberapa kombinasi kebijakan domestik yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas. Analisis dampak kebijakan tersebut meliputi perubahan viariabel makroekonomi (GDP riil, ekpor dan impor, neraca perdagangan, investasi, dan kesejahteraan masyarakat) dan kinerja sektor pertanian dan kehutanan (perubahan output produksi dan ekspor). Keterbatasan penelitian lebih banyak disebabkan oleh kelemahan struktur model GTAP yang akan digunakan dalam penelitian ini. Urata dan Kiyota (2003) mengidentifikasi beberapa kekurangan dari model GTAP standar, yaitu: 1.
Model GTAP standar menggunakan asumsi Armington dimana setiap negara dianggap memiliki kekuatan pasar sehingga dapat mempengaruhi atau mengatur arus perdagangannya (terms of trade).
Penggunaan asumsi ini
kurang realistis terutama untuk negara kecil seperti: negara-negara ASEAN. 2.
Model GTAP standar mengasumsikan bahwa semua pasar beroperasi secara persaingan sempurna (perfect competition). Hal ini tidak selalu sesuai dengan kenyataan dimana terdapat beberapa sektor yang memiliki struktur pasar tidak bersaing sempurna (imperfect competitive structure).
3.
Model GTAP standar bersifat perbandingan statis (static comparative) sehingga seringkali menimbulkan kesulitan dalam menganalisis dampak sebuah kesepakatan perdagangan bebas secara dinamis atau akumulatif dari tahun ke tahun.
23
4.
Dalam model GTAP standar, arus investasi asing langsung (FDI) masih bersifat agregat di tingkat regional. Persamaan FDI sektoral masih belum tersedia di dalam model. Hal ini menyebabkan analisis dampak perdagangan bebas terhadap perubahan FDI di masing-masing sektor ekonomi belum dapat dilakukan.
5.
Database GTAP standar tidak memuat semua jenis hambatan non-tarif dan hambatan perdagangan di sektor jasa. Dengan keterbatasan ini maka penggunaan model GTAP standar belum sepenuhnya dapat mengungkapkan dampak perdagangan bebas.
1.5.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian dan saran-saran yang dikemukakan diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1.
Pemerintah dalam merumuskan kebijakan perdagangan nasional yang lebih terbuka dan adil sehubungan dengan diberlakukannya perdagangan bebas ASEAN – China.
2.
Para pelaku usaha dalam memperoleh gambaran mengenai peluang dan tantangan yang dihadapi dalam perdagangan bebas ASEAN – China, terutama dalam upaya meningkatkan daya saing industri nasional.
3.
Masyarakat umum dalam memahami perkembangan kerjasama ekonomi regional ASEAN – China dan menggunakan hasil penelitian ini sebagai referensi pembanding untuk penelitian selanjutnya.
II.
2.1.
KAJIAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN BEBAS
Kebijakan Perdagangan Bebas Perdagangan bebas (laissez-faire) atau liberalisasi perdagangan (trade
liberalization) adalah konsep ekonomi yang merujuk kepada sistim perdagangan barang dan jasa antar negara tanpa adanya intervensi pemerintah dalam bentuk tarif dan hambatan perdagangan lainnya, seperti: kuota, subsidi, dan pajak. (Krugman dan Obstfeld, 2000; Husted dan Melvin, 2004).
Menurut pendapat sebagian pakar
ekonomi, kebijakan perdagangan bebas dengan menghapuskan berbagai intervensi dan hambatan perdagangan diyakini dapat memperluas akses pasar yang diperlukan untuk mengembangkan ekspor. Peningkatan ekspor pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 7, selama kurun waktu lebih dari 50 tahun terakhir (1950 – 2005) perdagangan telah menjadi mesin penggerak utama pertumbuhan ekonomi dunia. Sistim pasar internasional yang semakin terbuka telah meningkatkan volume perdagangan barang (merchandise trade) dan total output dunia (GDP) masing-masing hampir sebesar 28 dan 8 kali lipat dibandingkan tahun 1950. Liberalisasi perdagangan juga telah mempercepat integrasi ekonomi dunia, dimana rasio ekspor terhadap total produksi dunia meningkat hampir 4 kali lipat. Budiono (2001) dalam Hardono et al (2004) menjelaskan ada lima keuntungan yang dapat diperoleh dari perdagangan bebas, yaitu: (1) membuka akses pasar lebih luas sehingga memungkinkan diperoleh efisiensi karena liberalisasi perdagangan cenderung menciptakan pusat-pusat produksi baru yang menjadi lokasi berbagai kegiatan industri yang saling terkait dan saling mununjang sehingga biaya produksi dapat diturunkan, (2) iklim usaha menjadi kompetitif sehingga mengurangi
25
kegiatan yang bersifat rent seeking dan mendorong pengusaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya, (3) arus perdagangan dan investasi yang lebih bebas mendorong terjadinya alih teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi, (4) perdagangan yang lebih bebas memberikan signal harga yang “benar” sehingga meningkatkan efisiensi investasi, dan (5) dalam perdagangan yang lebih bebas kesejahteraan konsumen, baik ditingkat individu maupun perusahaan akan meningkat. Kesejahteraan individu meningkat karena tersedia beragam jenis barang dengan harga relatif lebih murah sehingga daya beli (purchasing power) bertambah. Sedangkan perusahaan memperoleh keuntungan dari kemudahan akses untuk mendapatkan sumber bahan baku, komponen, dan jasa yang lebih kompetitif.
Indeks 1950 = 100 2900 2500 2100 1700 1300 900 500 100 1950 1955 1960 1965 1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 Exports
GDP
Sumber: Diolah dari data WTO (2007) Gambar 7. Perkembangan Ekspor dan GDP Dunia, Tahun 1950-2005
26
Kebijakan perdagangan bebas pada awalnya digulirkan oleh negara-negara Eropa dan Amerika terutama setelah berakhirnya Perang Dunia II. Pada tahun 1948 atau hanya berselang tiga tahun setelah Perang Dunia II berakhir, sistim perdagangan bebas multilateral berhasil dibentuk melalui perjanjian internasional mengenai tarif dan perdagangan atau sering disebut dengan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade). Selama tiga dekade sejak kesepakatan GATT (1950 – 1980), sistim multilateral telah mendominasi kebijakan perdagangan internasional (Krueger, 1999; Krugman dan Obstfeld, 2000). Namun sejak akhir 1980-an, kebijakan perdagangan bebas mulai bergeser dari sistim multilateral ke sistim regional melalui pembentukan Regional Trade Agreements (RTAs), baik dalam bentuk kesepakatan pemberian konsesi tarif (Preferential Tarrif Arrangements), perdagangan bebas regional (Regional Free Trade) maupun penyatuan sistim pabean (Customs Union). Kecenderungan semakin meluasnya RTAs menimbulkan banyak perdebatan diantara ahli ekonomi mengenai relevansi RTAs dan masa depan sistim multilateral di bawah kerangka GATT/WTO. Kelompok pendukung kebijakan perdagangan bebas regional (Bergsten, 1997; Baldwin, 1997; Ethier, 1998; Lawrence, 1999) berpendapat bahwa RTAs merupakan langkah maju menuju perdagangan bebas multilateral dan akan memperkuat eksistensi WTO serta sistim perdagangan internasional. Menurut Michalak dan Gibb (1997), regionalisasi perdagangan merupakan salah satu strategi awal bagi sebuah negara sebelum melibatkan diri dalam proses perdagangan multilateral. Sedangkan Desker (2004) berpendapat bahwa RTAs secara politis lebih mudah dikelola (manageable) oleh sebuah pemerintahan dibandingkan dengan sistim multilateral yang komplek dan berlarut-larut. Dengan RTAs diharapkan negaranegara di suatu kawasan dapat mengintegrasikan ekonomi mereka ke dalam sebuah sistem ekonomi yang lebih terbuka dengan melakukan perdagangan intra-kawasan.
27
Di sisi lain, kelompok penentang kebijakan perdagangan bebas regional (Bhagwati, 1995; Krueger, 1995; Panagariya, 1998) beragumentasi bahwa RTAs akan menghambat proses liberalisasi perdagangan multilateral sebab di satu sisi memberikan keleluasaan akses pasar bagi negara anggota, tetapi di lain pihak memproteksi pasar bagi negara-negara di luar anggota RTAs. Menurut Bhagwati (1995), pembentukan
Preferential Trade Area (PTA) akan menimbulkan efek
“spaghetti bowl”, yaitu kerancuan atau kesulitan dalam menentukan asal usul barang (rules of origin) yang berhak memperoleh konsesi tarif sesuai kesepakatan PTA. Selanjutnya, Bhagwati dan Panagariya (1996) berpendapat pembentukan Preferential Trade Area antara sebuah ekonomi besar dengan ekonomi negara-negara berkembang (hegemonic-centred) seperti: NAFTA, bertentangan dengan sistim perdagangan bebas multilateral sebab perbedaan tingkat ekonomi dan standar tenaga kerja diantara mereka akan menciptakan perdagangan yang tidak seimbangan (unfair trade). PTA akan lebih sesuai dengan sistim perdagangan global apabila dibentuk diantara sesama negara berkembang (non-hegemonic-centred) yang memiliki tingkat pembangunan ekonomi relatif seimbang dan sebelumnya telah memiliki hubungan perdagangan secara tradisional, seperti: MERCUSOR, yaitu sebuah blok perdagangan regional yang dibentuk di antara negara-negara Amerika Selatan.
2.1.1. Sistim Perdagangan Bebas Multilateral Liberalisasi perdagangan multilateral secara resmi dimulai sejak adanya kesepakatan GATT pada tahun 1948. Sejak tanggal 1 Januari 1995, GATT digantikan dengan lembaga perdagangan multilateral yang disebut WTO (World Trade Organization). Pemerintah Indonesia telah meratifikasi pembentukan WTO dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1994. Dengan ratifikasi tersebut Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi semua perjanjian yang disepakati dalam WTO.
28
Prinsip-prinsip perdagangan multilateral yang dianut dalam GATT/WTO adalah: 1.
Trade
without
discrimination,
artinya
perdagangan
dilakukan
tanpa
diskriminas. Semua negara anggota WTO berhak atas perlakuan yang sama atau Most-favoured Nation (MFN). 2.
Freer trade, artinya penghapusan dan penurunan hambatan perdagangan (tarif dan non-tarif) dilakukan secara bertahap melalui proses negosiasi.
3.
Predictability through binding and transparency, artinya satu negara tidak boleh memberlakukan hambatan perdagangan baik tarif maupun non-tarif secara sepihak. Tingkat tarif dan komitmen untuk membuka pasar domestik bersifat mengikat (binding) dan untuk diketahui oleh semua anggota WTO.
4.
Fair competition trade, artinya persaingan perdagangan harus dilakukan secara sehat. Sebagai contoh: satu negara tidak boleh melakukan dumping (ekspor dengan harga dibawah biaya produksi) atau subsidi dengan tujuan untuk meningkatkan ekspornya.
5.
Encouraging development and economic reform, artinya sistim perdagangan WTO harus memberikan fleksibilitas kepada kelompok negara berkembang untuk melaksanakan kesepakatan WTO. Selain itu, kelompok negara berkembang perlu diberi bantuan teknis dan konsesi perdagangan tertentu guna mendukung pembangunan ekonomi nasional mereka. Sejak adanya kesepakatan GATT, perundingan perdagangan multilateral telah
dilakukan sebanyak delapan (8) kali putaran, dimulai tahun 1947 di Geneva hingga putaran terakhir yang dikenal dengan Putaran Uruguay (1986 – 1994). Pada awalnya perundingan GATT hanya membahas penurunan tarif perdagangan barang dan pesertanya terbatas dari kelompok negara industri maju. Namun dalam perkembangan
29
selanjutnya topik perundingan GATT diperluas hingga mencakup hampir semua aspek perdagangan, seperti: tariff dan non-tarif, tekstil, produk pertanian, sumberdaya alam, perlindungan hak intelektual, investasi, jasa, dan lain-lain. Perkembangan perundingan dan ruang lingkup yang dibahas dalam GATT disajikan pada Tabel 5. Putaran Uruguay merupakan proses perundingan perdagangan terbesar dalam catatan sejarah GATT, memakan waktu lebih dari tujuh tahun (1986 – 1994) dan membahas hampir semua aspek liberalisasi perdagangan internasional untuk mencegah meningkatnya proteksionisme di negara-negara maju. Hasil yang paling menonjol dari Putaran Uruguay antara lain adalah disepakatinya perjanjian perdagangan di sektor jasa (the General Agreement on Trade in Services / GATS), perjanjian mengenai hak properti intelektual terkait dengan perdagangan (Trade-related Intelectual Property Rights / TRIPS), perjanjian di sektor investasi (Trade-related Investment Measures / TRIMSs) dan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Putaran Uruguay juga telah berhasil
menurunkan tingkat tarif produk manufaktur di negara-negara industri secara signifikan dari 6.3 persen menjadi 3.9 persen atau penurunan sekitar 40 persen. Sedangkan di negara-negara berkembang, tarif produk manufaktur diturunkan dari rata-rata 15.3 persen menjadi 12.3 persen atau penurunan sebesar 30 persen (OECD, 1998). Berdasarkan studi OECD (1998), liberalisasi perdagangan barang berdasarkan hasil Putaran Uruguay akan meningkatkan GDP dunia sebesar US$ 94 milyar setiap tahunnya (dihitung pada tahun 1992), dan apabila ditambah dengan hasil liberalisasi di sektor investasi maka kenaikan GDP dunia tersebut mencapai US$ 214 milyar per tahun atau sekitar 1 persen dari total output dunia pada 1992. Hasil studi OECD tersebut juga menunjukkan bahwa manfaat liberalisasi perdagangan hampir setengahnya dinikmati oleh negara-negara berkembang.
30
Meskipun Putaran Uruguay di satu sisi berhasil meliberalisasikan perdagangan barang (terutama produk manufaktur), namun di sisi lain kesepakatan tersebut belum menyelesaikan masalah penting dan sangat sensitif bagi negara-negara berkembang, seperti perdagangan produk tekstil dan pertanian. Dalam perdagangan produk tekstil, beberapa negara maju (terutama USA dan Uni Eropa) masih menerapkan ketentuan MFA (Multi-fiber Arrangements) yang bertentangan dengan prinsip GATT/WTO. MFA tersebut merupakan hambatan dalam bentuk kuota impor yang diberlakukan terhadap ekspor tekstil dari 22 negara berkembang. Menurut kesepakatan Putaran Uruguay, MFA akan dihapuskan dalam jangka waktu 10 tahun terhitung sejak tahun 1994.
Namun kenyataannya sampai saat ini USA masih memberlakukan MFA
tersebut terhadap ekspor dari beberapa negara berkembang. Di sektor pertanian, Uruguay Round Agreement on Agriculture (URAA) telah disepakati oleh negara-negara GATT/WTO. Berdasarkan URAA, hambatan non-tarif dalam perdagangan produk pertanian digantikan dengan tarif yang mengikat (bound tariffs), dan disepakati untuk memperluas akses pasar dengan mengurangi subsidi domestik dan subsidi ekspor. Menurut Malian (2004) terdapat 3 hal penting di sektor pertanian yang disepakati dalam Putaran Uruguay, yaitu: (1) pengurangan hambatan akses pasar berupa penurunan tarif rata-rata 36 persen dan minimum 15 persen untuk setiap jenis tarif di negara-negara maju selama 6 tahun. Sedangkan di negara-negara berkembang, penurunan tarif sebesar 24 persen selama 10 tahun, (2) pengurangan subsidi domestik di negara-negara maju sebesar 20 persen tanpa batas waktu, dan pengurangan subsidi domestik di negara-negara berkembang sebesar 13.3 persen selama 10 tahun. Subsidi domestik di bawah 5 persen di negara-negara maju dan 10 persen di negara-negara berkembang dari total nilai produk pertanian tidak dilarang. Selain itu, subsidi yang telah diberikan sejak tahun 1986 dihitung sebagai kredit, dan
31
(3) pengurangan subsidi ekspor di negara-negara maju sebesar 36 persen, dan mencakup 24 persen dari jumlah komoditi ekspor yang disubsidi. Untuk negaranegara berkembang pengurangan tersebut adalah sebesar 20 persen, dan mencakup 16 persen dari jumlah komoditi ekspor yang disubsidi selama 10 tahun. Namun dalam pelaksanaannya, banyak negara maju yang masih memproteksi sektor pertaniannya secara berlebihan. Duncan et al (1999) mencatat besarnya proteksi terhadap komoditi pertanian di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang berkisar antara 116 – 463 persen. Subsidi ekspor yang diberikan kepada produk pertanian di ketiga negara maju tersebut pada tahun 1998 masing-masing mencapai US$ 101.5 milyar (Amerika Serikat), US$ 142.2 milyar (Uni Eropa), dan US$ 56.8 milyar (Jepang). Menurut OECD (1998) biaya yang harus ditanggung untuk memproteksi pasar komoditi pertanian di negara-negara OECD rata-rata mencapai 35 persen dari nilai total produksi sektor pertanian. Tingginya proteksi sektor pertanian di negara-negara maju sangat merugikan produsen di negara berkembang karena tertutupnya akses pasar untuk ekspor dan penurunan harga komoditi pertanian. Menurut Malian (2004) terdapat banyak kelemahan dalam perjanjian sektor pertanian di WTO. Hal ini terlihat dari: (1) akses pasar ke negara maju relatif sulit karena sejak awal mereka telah memiliki “initial tariff rate” yang jauh lebih tinggi, (2) dengan kekuatan kapital yang dimiliki, negara-negara maju telah menyediakan subsidi ekspor dan subsidi domestik yang tinggi untuk menorong ekspor dari surplus produksi komoditi pertanian yang dimiliki, dan (3) dalam perjanjian WTO tidak terdapat fleksibilitas yang memedai bagi negara-negara berkembang untuk melakukan penyesuaian tarif yang sejalan dengan perkembangan permasalahan dan lingkungan strategis perdagangan komoditi pertanian di negara-negara tersebut. Dengan kondisi tersebut dikhawatirkan akan terjadi kebuntuan dalam perundingan tahap berikutnya.
32
Tabel 5. Putaran Perundingan GATT Tahun
Tempat / Nama Perundingan
Topik Negosiasi
Jumlah Negara Peserta
1947
Geneva
Tarif
23
1949
Annecy, Perancis
Tarif
13
1951
Torquay, Inggris
Tarif
38
1956
Geneva
Tarif
26
1960 – 1961
Geneva /
Tarif
26
Dillon Round 1964 – 1967
Geneva /Kennedy Tarif dan Anti dumping Round
62
1973 – 1979
Geneva /Tokyo Round
Tarif, non-tarif dan kerangka perjanjian
102
1986 – 1994
Geneva /Uruguay Round
Tarif, non-tarif, jasa, hak cipta intelektual, penyelesaian sengketa, tekstil, pertanian, pembentukan WTO, dll.
123
Sumber: Situs resmi WTO di http://www.wto.org
Sejak tahun 2001, GATT/WTO memulai babak perundingan baru yang disebut dengan Doha Development Agenda (DDA) sebagai hasil kesepakatan pertemuan tingkat menteri WTO di Doha, Qatar pada November 2001. Agenda yang akan dibahas dalam perundingan DDA antara lain meliputi: perdagangan produk pertanian, investasi, jasa, isu lingkungan, dan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), penyelesaian sengketa, dan peraturan WTO. Selain itu, DDA juga mengamanatkan WTO untuk memberikan bantuan pembangunan kepada negara-negara berkembang (the New Strategy for WTO Technical Cooperation for Capacity Building, Growth and Integration) sehingga mereka dapat mengintegrasikan ekonominya ke dalam sistim perdagangan multilateral. Terdapat tiga isu penting yang dibahas dalam
33
perundingan sektor pertanian, yaitu: (1) perluasan akses pasar melalui penurunan tarif, (2) penurunan subsidi ekspor dan kredit ekspor sehingga tercipta persaingan ekspor yang kompetitif, dan (3) penghapusan/penurunan subsidi domestik kepada petani di negara-negara maju untuk menghilangkan distorsi pasar. Berdasarkan program kerja Doha atau juga sering disebut dengan ”Paket Juli 2004”5, perundingan ketiga pilar sektor pertanian tersebut dilakukan atas dasar sebagai berikut: 1.
Subsidi domestik: negara-negara maju (Eropa dan Amerika Serikat) harus memotong 20 persen total subsidi domestiknya pada tahun pertama implementasi perjanjian di sektor pertanian, dan pemberian subsidi untuk kategori blue box dibatasi sebesar 5 persen dari total produksi pertanian.
2.
Subsidi ekspor: semua subsidi ekspor akan dihapuskan dan dilakukan secara paralel dengan penghapusan elemen subsidi program seperti: kredit ekspor, garansi kredit ekspor atau program asuransi.
3.
Akses pasar: penurunan tarif dilakukan dengan menggunakan formula bertingkat (tiered formula) terhadap tarif terikat (bound tariff). Dengan formula ini maka tarif terikat yang masih tinggi (seperti komoditi beras dan gula di Indonesia) akan bisa dipangkas lebih banyak lagi.
Paket Juli 2004 juga memberikan pengecualian perubahan pada beberapa jenis produk pertanian, yaitu: (1) produk khusus (special products) bagi negara berkembang, dan (2) produk peka (sensitive products) untuk negara maju. Negaranegara berkembang dapat menentukan jumlah produk khusus berdasarkan kriteria: ketahanan pangan (food security), ketahanan kehidupan masyarakat pedesaan 5
Setelah gagalnya KTM V WTO di Cancun, Meksiko tahun 2003, Sidang Dewan Umum WTO tanggal 1 Agustus 2004 berhasil menyepakati Keputusan Dewan Umum tentang Program Kerja Doha atau sering disebut dengan “Paket Juli 2004” yang merupakan kerangka perundingan DDA atas lima isu utama, yaitu: perundingan sektor pertanian, akses pasar produk non-pertanian, pembangunan dan implementasi, sektor jasa, fasilitasi perdagangan dan penanganan Singapore Issues.
34
(livelihood security), dan pembangunan masyarakat pedesaan (rural development). Namun demikian, produk khusus tersebut tetap harus mengikuti ketentuan Tariff Rate Quotas (TRQs), yaitu: persentase tarif tertentu atas produk pertanian untuk membuka akses pasar impor. Dengan kata lain, meskipun komoditi tertentu seperti: beras dan gula dapat dimasukkan sebagai produk khusus tetapi tetap terkena ketentuan untuk membuka pasar impor atas kedua komoditi tersebut melalui penerapan sistim kuota tarif. Di lain pihak, negara-negara maju masih memiliki peluang untuk memproteksi komoditi pertanian mereka dari ancaman masuknya komoditi pertanian yang sama dari negara-negara berkembang. Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkan produk pertanian tertentu ke dalam kategori produk peka. Menurut Achterbosch et al (2004), perundingan DDA diperkirakan memberikan dampak relatif kecil terhadap GDP Indonesia sebab saat ini sektor pertanian di Indonesia sudah cukup liberal. Tarif impor komoditas pertanian telah diturunkan menjadi 0 – 5 persen, kecuali komoditi beras dan gula pasir, dan subsidi input pertanian telah dicabut sejak tahun 1998. Oleh sebab itu kebijakan untuk melindungi sektor beras dan gula melalui pelarangan impor atau kuota terbatas malah akan mengakibatkan penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih besar dibandingkan dengan memasukkan kedua komoditi tersebut sebagai produk khusus dalam perundingan DDA. Kebijakan pembatasan impor yang akan menyebabkan kenaikan harga di pasar domestik harus dihindari, karena selain tidak efektif untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani juga akan menambah beban masyarakat miskin. Oleh sebab itu, pilihan terbaik bagi Indonesia adalah tetap melanjutkan upaya liberalisasi perdagangan, termasuk di sektor pertanian, dan mengikuti perundingan DDA untuk memperjuangkan agar segala bentuk subsidi pertanian di negara maju dapat dihapuskan (Erwidodo dan Ratnawati, 2004).
35
2.1.2. Sistim Perdagangan Bebas Regional Dalam satu dekade terakhir, terutama sejak berdirinya organisasi perdagangan multilateral WTO tahun 1995, kecenderungan untuk melakukan perjanjian perdagangan regional (Regional Trade Agreements / RTAs) terus meningkat. Sampai dengan Desember 2002 tercatat lebih dari 250 RTAs yang telah didaftarkan (notified) di GATT/WTO, dimana 130 diantaranya didaftarkan setelah Januari 1995 (sejak WTO berdiri). Menurut perkiraan WTO, jumlah RTAs tersebut akan terus bertambah hingga mencapai 300 RTAs pada akhir tahun 2005. Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 8, pada saat ini tercatat lebih dari 170 RTAs yang dinyatakan telah berjalan (in force), dimana sebagian besar (117 RTAs) merupakan perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreements / FTAs) dan sisanya dalam bentuk kesepakatan tarif (Preferential Tariff Arrangements), penyatuan sistim pabean (Customs Union), dan perjanjian di sektor jasa (Service Agreements). Sebagian dari RTAs tersebut melibatkan banyak negara anggota, seperti: Uni Eropa (25 negara), AFTA (10 negara), dan sebagian lagi bersifat bilateral. Selain bergabung dengan blok perdagangan regional, satu negara ada juga yang membentuk perdagangan bebas bilateral. Sebagai contoh: Singapore selain menjadi anggota AFTA, juga membuat perjanjian perdagangan bebas bilateral dengan negara lain seperti: Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Korea Selatan. Krueger (1999) menggambarkan situasi perdagangan di suatu kawasan sebagai sebuah “semangkok spaghetti (spaghetti bowl)”, dimana hubungan perdagangan antar negara sudah sedemikian rumitnya. Ada beberapa alasan yang mendorong negara-negara di suatu kawasan melakukan kesepakatan untuk membentuk perdagangan bebas regional. Pertama, perundingan perdagangan secara multilateral di bawah kerangka GATT/WTO tidak selamanya berjalan lancar sebagaimana yang diharapkan dan memakan waktu relatif
36
lama. Kedua, perdagangan bebas regional diharapkan dapat mempercepat proses integrasi ekonomi di kawasan melalui perdagangan yang lebih terbuka dengan mengurangi atau menghapuskan berbagai hambatan tarif dan non-tarif. Ketiga, perdagangan bebas regional dapat dijadikan sebagai batu loncatan (stepping stone) menuju liberalisasi perdagangan multilateral dalam kerangka WTO; Keempat, melihat kenyataan bahwa sejak tahun 1990-an liberalisasi perdagangan regional semakin berkembang pesat, terutama di Eropa (Uni Eropa) dan Amerika Utara (NAFTA); Kelima, pembentukan perdagangan bebas regional sebagai komitmen politik untuk meningkatkan kerjasama regional yang lebih luas.
200 180
Jumlah RTAs efektif
160 140 120 100 80
WTO berdiri 60 40 20 0 1948 1952 1956 1960 1964 1968 1972 1976 1980 1984 1988 1992 1996 2000 2004
Sumber: Situs resmi WTO di http://www.wto.org Gambar 8. Perkembangan Jumlah Regional Trade Agreements
Panagariya (1998) dan Kreuger (1999) mendefinisikan beberapa konsep dasar yang sering digunakan dalam membahas kesepakatan perdagangan regional sebagai berikut: 1.
Kawasan Preferensi Perdagangan (Preferential Trade Area / PTA) adalah sebuah persekutuan dari dua atau lebih negara dimana barang produksi negara-
37
negara anggota dikenakan hambatan perdagangan (tarif dan non-tarif) yang lebih rendah dibandingkan barang produksi dari negara di luar kawasan. 2.
Kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Area / FTA) adalah sebuah PTA diamana negara-negara anggotanya tidak mengenakan hambatan apapun terhadap barang yang diproduksi di dalam kawasan, tetapi memberikan hambatan terhadap perdagangan barang produksi dari luar kawasan.
3.
Penyatuan Pabean (Custom Union / CU) adalah sebuah FTA dimana negaranegara anggota memberlakukan tingkat tarif yang sama (common external tariffs) atas barang impor dari luar negara anggota.
4.
Pasar Bersama (Common Market) adalah sebuah CU dimana faktor produksi (tenaga kerja, kapital) bebas bergerak diantara negara anggota.
5.
Persatuan Ekonomi (Economic Union) adalah sebuah pasar bersama yang diperluas dengan perangkat undang-undang ekonomi (seperti: sistim fiskal, standard kualitas) yang berlaku di semua negara anggota. Pemberian preferensi terbatas hanya kepada negara-negara anggota suatu
kawasan perdagangan bebas sebenarnya bertentangan dengan prinsip nondiskriminasi yang dianut GATT/WTO (ketentuan Most-favored Nation dalam pasal I GATT). Namun demikian, artikel XXIV GATT 1947 mengenai perdagangan barang dan Enabling Clause 1979 membuka peluang bagi negara anggota GATT/WTO untuk mengadakan perjanjian preferensi perdagangan, dengan syarat preferensi tersebut bersifat menghapuskan dan tidak sekedar menurunkan hambatan perdagangan di kawasan tersebut. Selain itu, perjanjian tersebut tidak boleh menambah hambatan perdagangan barang bagi negara-negara di luar kawasan. Di sektor jasaa, pasal V GATT mengatur perjanjian preferensi perdagangan jasa dengan persyaratan yang sama seperti diatur dalam pasal XXIV.
38
Pada saat ini blok perdagangan regional yang menempati posisi lima terbesar di dunia adalah: European Union (EU), North American Free Trade Agreement (NAFTA), ASEAN Free Trade Area (AFTA), Southern Cone Common Market (MERCOSUR), dan the Andean Group. 6 Data pada Tabel 6 menunjukkan nilai perdagangan intra-kawasan dari kelima blok perdagangan bebas regional tersebut. Pada tahun 2005, perdagangan intra-kawasan dari kelima blok perdagangan bebas mencapai sebesar US$ 13 504 milyar atau 63.7 persen dari total perdagangan dunia. Di antara kelima blok perdagangan regional tersebut, EU-25 merupakan blok perdagangan regional dengan nilai perdagangan intra-kawasan tertinggi, yaitu sebesar US$ 5 346 milyar atau 65.7 persen dari total perdagangan negara-negara EU-25. Hal ini mencerminkan tingkat integrasi ekonomi EU yang sangat tinggi dibandingkan dengan blok perdagangan regional lainnya.
Tabel 6. Nilai Perdagangan Intra-Kawasan Blok Perdagangan Regional, Tahun 2005 Blok Perdagangan Regional
Indikator
Perdagangan Intrakawasan
Penduduk GDP Perdagangan (Juta) (US$ Milyar) (US$ Milyar)
Total (US$ Milyar)
Share (%)
EU (25)
493
13 500
8 137
5 346
65.7
NAFTA (3)
442
15 646
3 746
1 606
42.9
AFTA (10)
558
884
1 247
306
24.5
MERCUSOR (4)
266
2 237
277
43
15.5
ANDEAN (5)
120
745
97
9
9.3
1 879
33 012
13 504
7 310
-
Total
Sumber: International Trade Statistics 2006 di http://www.wto.org 6
EU (1957/1992): Austria, Belgium, Bulgaria, Cyprus, Czech Republic, Denmark, Estonia, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Ireland, Italy, Latvia, Lithuania, Luxembourg, Malta, Netherlands, Poland, Portugal, Romania, Slovakia, Slovenia, Spain, Sweden, United Kingdom. NAFTA (1994): Canada, Mexico, USA; AFTA (1992): Cambodia, Brunei, Indonesia, Lao, Malaysia, Myanmar, Philippines, Singapore, Thailand dan Viet Nam; MERCUSOR (1991): Argentina, Brazil, Paraguay dan Uruguay; ANDEAN Group (1969): Bolivia, Columbia, Ecuador, Peru, Venezuela.
39
Menurut Kreuger (1999), tingkat integrasi ekonomi suatu kawasan ditentukan oleh nilai perdagangan intra-kawasan, pendapatan (GDP) dan besarnya pasar atau jumlah penduduk di kawasan tersebut. Apabila di lihat dari indikator nilai perdagangan intra-kawasan, dapat dikatakan bahwa EU-25 adalah kawasan dengan tingkat integrasi ekonomi yang paling dalam dibandingkan dengan blok perdagangan regional lainnya. Dengan kata lain, perdagangan EU-25 lebih banyak berlangsung diantara negara-negara anggota EU-25 dibanding perdagangan dengan negara lain di luar EU-25. Kawasan regional lain dengan integrasi ekonomi relatif tinggi adalah NAFTA dan ASEAN. Sedangkan integrasi ekonomi MERCUSOR dan ANDEAN Group masih relatif rendah.
2.2.
Perdagangan Bebas ASEAN Para pemimpin pemerintahan negara-negara ASEAN pada Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) ASEAN ke- IV di Singapura tahun 1992 sepakat untuk membentuk kawasan perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area /AFTA) pada tahun 2008. Selanjutnya pada KTT ASEAN ke- VI di Hanoi tahun 1998 disepakati untuk mempercepat pelaksanaan AFTA secara penuh mulai Januari 2002 untuk negara ASEAN-6 (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore, dan Thailand). Sedangkan untuk Vietnam tahun 2006, Laos dan Myanmar tahun 2008, dan Cambodia tahun 2010.
Pembentukan AFTA bertujuan untuk mempercepat
integrasi ekonomi ke dalam basis produksi tunggal dan menciptakan pasar regional bagi lebih dari 500 juta penduduk ASEAN. Melalui penghapusan dan penurunan tarif maupun non-tarif, AFTA diharapkan akan meningkatkan efisiensi ekonomi, produktivitas dan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut.
40
2.2.1. Skema Penurunan dan Penghapusan Tarif dan Non-Tarif Kesepakatan perdagangan bebas ASEAN dilaksanakan melalui skema Common Effective Preferential Tariffs (CEPT – AFTA). Berdasarkan skema CEPT – AFTA, negara-negara ASEAN sepakat untuk menurunkan tingkat tarif perdagangan intra-ASEAN menjadi 0 – 5 persen, serta mengurangi dan menghapuskan pembatasan-pembatasan kuantitatif dan hambatan perdagangan lainnya. Produkproduk dalam skema CEPT – AFTA diklasifikasikan ke dalam 4 kategori, yaitu: Inclusion List (IL), Temporary Exclusion List (TEL), Sensitive List (SL), dan General Exception List (GEL). Produk-produk dalam IL harus segera diliberalisasi dengan menurunkan tarifnya menjadi 0 – 5 persen (mulai Januari 2002) dan menghapuskan hambatan non-tarif lainnya.
Produk dalam TEL untuk sementara waktu dapat
dikeluarkan dari skema CEPT, tetapi mulai Januari 1996 produk TEL tersebut harus dimasukkan ke dalam IL untuk secara bertahap diturunkan tarifnya menjadi 0 – 5 persen.
Semua produk sensitif, khususnya produk pertanian non-olahan seperti:
beras, gula, pada akhirnya harus diturunkan tarifnya antara 0 – 5 persen. Jadwal penurunan tarif produk SL adalah: ASEAN-6 mulai tahun 2003, Vietnam tahun 2013, Laos dan Myanmar tahun 2015, sedangkan Cambodia tahun 2017. Produk dalam GEL secara permanen dikecualikan dari skema CEPT – AFTA dengan pertimbangan untuk melindungi keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupan dan kesehatan manusia, dan nilai sejarah atau arkeologis. Data pada Lampiran 1 dan 2 menunjukkan bahwa pelaksanaan CEPT-AFTA selama 1993 – 2003 telah berhasil menurunkan tingkat tarif rata-rata ASEAN dari 7.03 persen (1993) menjadi 3.33 persen (2003) atau terjadi penurunan sebesar lebih dari 47 persen. Untuk negara-negara ASEAN-6, tingkat tarif rata-rata hanya tinggal sebesar 2.39 persen (2003). Sedangkan di kelompok negara CLMV (Cambodia, Laos,
41
Myanmar, dan Vietnam) tingkat tarif rata-rata masih sebesar 6.22 persen. Pada tahun 2003, ada sebanyak 49 017 pos tarif atau sekitar 99.60 persen dari total pos tarif di ASEAN-6 yang telah diturunkan menjadi 0 – 5 persen. Namun untuk negara-negara CLMV lebih dari 34 persen pos tarifnya masih di atas 5 persen.
2.2.2
Perkembangan Perdagangan ASEAN dalam Kerangka AFTA Implementasi skema CEPT-AFTA telah berhasil meningkatkan perdagangan
intra-ASEAN dari US $ 82.4 milyar (1993) menjadi US $ 174.5 milyar (2003) atau meningkat rata-rata 8.8 persen per tahun lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan perdagangan dengan negara-negara di luar kawasan ASEAN (6.5 persen). Pada tahun 2003, ekspor intra-ASEAN mencapai US $ 99.7 milyar, sedangkan impornya sebesar US $ 74. 8 milyar. Perkembangan nilai perdagangan ASEAN selama tahun 1993 2003 disajikan pada Lampiran 3. Setelah krisis ekonomi 1997-1998, perdagangan intra-ASEAN mengalami peningkatan cukup tajam dan mencapai puncaknya pada tahun 2000 dengan nilai sebesar US$ 166.1 milyar atau tumbuh 25.2 persen dari tahun sebelumnya. Angka perdagangan tersebut sedikit mengalami penurunan menjadi US$ 149.2 milyar (2001) dan US $ 158.7 milyar (2002), namun kembali meningkat menjadi US$ 174.5 milyar pada 2003. Meskipun telah menunjukan peningkatan, perdagangan intra-ASEAN selama ini masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan perdagangan yang dilakukan dengan negara-negara di luar kawasan ASEAN (extra-ASEAN trade). Persentase perdagangan intra-ASEAN terhadap total perdagangan ASEAN hanya berkisar antara 19 – 22 persen. Perdagangan ASEAN selama ini masih sangat mengandalkan mitra dagang negara-negara maju seperti USA, Jepang, dan Eropa. perdagangan dengan USA mencapai
Pada tahun 2003,
14.1 persen dari total nilai perdagangan
42
ASEAN, kemudian disusul berturut-turut dengan Jepang (13.7 persen), Uni Eropa (11.5 persen), dan China (7 persen). Hal ini mencerminkan tingkat integrasi ekonomi ASEAN masih relatif rendah dibandingkan misalnya dengan NAFTA atau EU. Impementasi AFTA selama ini masih menghadapi beberapa kendala. Kurang kuatnya komitmen negara-negara ASEAN untuk mencapai target liberalisasi perdagangan sebagaimana yang telah disepakati dalam CEPT merupakan hambatan utama yang dihadapi dalam pelaksanaan AFTA. Dengan alasan untuk melindungi industri dalam negeri yang dianggap masih belum siap memasuki era perdagangan bebas, beberapa negara anggota ASEAN sampai saat ini masih belum bersedia menurunkan tarif dan menghapuskan hambatan non-tarif atas produk-produk tertentu. Masalah lain adalah adanya perbedaan tingkat pembangunan ekonomi nasional dan keterbatasan kemampuan sumberdaya dari sebagian negara ASEAN dalam memasuki era liberalisasi perdagangan regional. Disamping itu, masih adanya keraguan dari sebagian negara anggota ASEAN terhadap kemampuan AFTA dalam meningkatkan perdagangan dan investasi (FDI) di kawasan ASEAN juga ikut menghambat pelaksanaan AFTA. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa negara ASEAN yang melakukan perdagangan bebas secara biletaral dengan negara-negara maju. Singapore, misalnya, menandatangani FTA dengan New Zealand (2000), Amerika Serikat (2001), Jepang (2002), dan Australia (2002). Demikian pula FTA Thailand dengan Australia (2005). Sedangkan Malaysia dan Indonesia sampai saat ini masih merundingkan FTA bilateral dengan Jepang. Ada beberapa alasan yang mendorong negara-negara ASEAN untuk mengadakan perjanjian FTA bilateral. Pertama, untuk memberi tekanan kepada negara-negara ASEAN yang selama ini masih enggan untuk meliberalisasi perdagangannya secara penuh. Kedua, krisis ekonomi dan keuangan tahun 1997-1998 yang melanda sebagian negara ASEAN telah menyebabkan
43
kemundurun ekonomi ASEAN, khususnya di sektor ekspor dan investasi. Ketiga, perkembangan ekonomi China yang pesat dikhawatirkan akan mengancam industri manufaktur dan daya saing ekspor negara-negara ASEAN (Aslam, 2003).
2.3.
Perdagangan Bebas ASEAN – China Dasar pelaksanaan FTA ASEAN – China adalah perjanjian perdagangan
barang (Agreement on Trade in Goods) yang ditandatangani pada KTT ASEAN ke-10 bulan November 2004 di Vientiane, Laos. Berdasarkan perjanjian tersebut, liberalisasi perdagangan antara kedua belah pihak akan dilaksanakan secara bertahap menurut jadwal yang disepakati dan bersifat timbal- balik (reciprocal). Ada dua hal penting dalam pelaksanaan FTA ASEAN – China, yaitu: penurunan dan penghapusan tarif dan asal-usul barang (rules of origin) yang berhak memperoleh konsesi tarif.
2.3.3. Penurunan dan Penghapusan Tarif Dalam kerangka FTA ASEAN – China, penurunan dan penghapusan tarif perdagangan barang akan dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu: (1) Early Harvest Programme (EHP), (2) Normal Track, dan (3) Sensitive and Highly Sensitive Track. Early Harvest Programme Early Harvest Programme (EHP) dimaksudkan sebagai upaya mempercepat pelaksanaan FTA ASEAN – China, khususnya dalam perdagangan barang. Jenis barang yang masuk dalam EHP adalah semua produk yang terdaftar dalam Harmonized System (HS) Chapter 01 - 08 sebagaimana pada Tabel 7, dan produk lain yang disepakati secara bilateral antara negara-negara ASEAN dan China. Produk dalam EHP terutama adalah komoditi pertanian yang meliputi lebih dari 600 pos tarif atau sekitar 10 persen dari total pos tarif berdasarkan klasifikasi tarif dalam HS.
44
Tabel 7. Daftar Produk Dalam Early Harvest Programme HS Chapter
Deskripsi
01
Live animals
02
Meat and Edible Meat Offal
03
Fish
04
Dairy Produce
05
Other Animal Products
06
Live Trees
07
Edible Vegetables
08
Edible Fruits and Nuts
Sumber: ASEAN Secretariat, http://www.aseansec.org
Semua produk yang masuk dalam skema EHP tersebut selanjutnya dibagi menjadi 3 (tiga) kategori berdasarkan tingkat tarif MFN yang berlaku saat ini (applied MFN tariff rates) di masing-masing kelompok negara, yaitu: 1.
Kategori 1, adalah produk dengan tingkat tarif MFN > 15 persen untuk China dan ASEAN-6, dan ≥ 30 persen untuk negara-negara CLMV.
2.
Kategori 2, adalah produk dengan tingkat tarif MFN antara 5 – 15 persen untuk China dan ASEAN-6, dan 15 – 30 persen untuk CLMV.
3.
Kategori 3, untuk produk dengan tingkat tarif MFN < 5 persen untuk China dan ASEAN-6, dan < 15 persen untuk CLMV. Penurunan dan penghapusan tarif dalam skema EHP dilaksanakan secara
bertahap mulai 1 Januari 2004 dengan jadwal waktu sebagaimana disajikan pada Tabel 8(a) dan (b). Berdasarkan jadwal waktu penurunan tarif tersebut, liberalisasi perdagangan barang antara China dengan ASEAN-6 diharapkan dapat terwujud pada 2006, dan mulai 2010 dengan sepuluh negara ASEAN.
45
Tabel 8. Jadwal Penurunan dan Penghapusan Tarif Early Harvest Programme (a). Jadwal Penurunan dan Penghapusan Tarif Early Harvest Programme ASEAN-6 dan China (%) Ketegori Produk
Tidak lewat dari 1 Januari 2004
Tidak lewat dari 1 Januari 2005
Tidak lewat dari 1 Januari 2006
1
10
5
0
2
5
0
0
3
0
0
0
Sumber: ASEAN Secretariat, http://www.aseansec.org (b). Jadwal Penurunan dan Penghapusan Tarif Early Harvest Programme Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam (%) Kategori / Negara
Awal Jan‟04
Awal Jan„05
Awal Jan„06
Awal Jan„07
Awal Jan„08
Awal Jan„09
Awal Jan„10
20
15
10
5
0
0
0
Laos dan Myanmar
20
14
8
0
0
Cambodia
20
15
10
5
0
5
5
0
0
0
Laos dan Myanmar
10
10
5
0
0
Cambodia
10
10
5
5
0
0-5
0-5
0
0
0
Laos dan Myanmar
5
5
0-5
0
0
Cambodia
5
5
0-5
0-5
0
Kategori 1 Vietnam
Kategori 2 Vietnam
10
10
Kategori 3 Vietnam
5
5
Sumber: ASEAN Secretariat, http://www.aseansec.org
46
Namun demikian, sampai saat ini masih ada beberapa negara ASEAN (Cambodia, Lao PDR, dan Vietnam) yang menyampaikan daftar produk untuk dikecualikan (Exclusion List) dari daftar EHP. Bahkan negara Philippines hingga kini masih menegosiasikan komoditi yang akan dimasukkan ke dalam daftar EHP. Indonesia telah meratifikasi perjanjian FTA ASEAN – China melalui keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 48/2004. Sedangkan landasan hukum untuk penurunan tarif impor dilakukan melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 355/KMK.01/2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Impor Barang Dalam Rangka Early Harvest Program (EHP) FTA ASEAN – China, dan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 356/KMK.01/2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Impor Barang Dalam Rangka EHP Bilateral Indonesia-China. Bagi Indonesia, skema EHP merupakan langkah penting yang perlu segera direalisasikan mengingat potensi ekspor komoditi pertanian Indonesia ke China cukup besar (Pangestu, 2006). Oleh sebab itu sejak tahun 2003 Indonesia telah menyatakan tidak memiliki Exclusion List dalam skema EHP, dan bahkan menawarkan untuk memasukkan produk-produk tertentu (specific products) di luar HS Chapter 01 – 08 ke dalam skema EHP. Daftar produk tambahan yang diusulkan Indonesia untuk dimasukan ke dalam skema EHP disajikan pada Tabel 9. Berkaitan dengan hal ini, Indonesia sangat berkepentingan untuk menambahkan komoditi pertanian ke dalam EHP terutama produk cokelat (cocoa) dan minyak kelapa sawit (palm oil) guna memperoleh perlakuan tarif yang sama dengan produk sejenis dari Malaysia. Selama ini, China mengenakan tarif yang lebih tinggi atas produk cokelat dan kelapa sawit dari Indonesia. Dengan perlakuan tarif yang sama maka diharapkan produk pertanian tersebut akan mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara ASEAN lainnya (terutama Malaysia) di pasar China.
47
Tabel 9. Daftar Produk Tambahan Indonesia dalam Early Harvest Programme No.
HS Code Product
Deskripsi
1.
090122000 Rosted, decaffeinated coffe
2.
151311000 Crude coconut oil and fractions there of
3.
151311900 Coconut copra oil (excl. crude) and fractions there of
4.
151321000 Crude palm kernel or babassu oil and fractions there of
5.
151329000 Palm kernel or babassu oil (excl. crude) and fractions there of
6.
151620000 Vegetables fats and oils and their fraction, hydrogena
7.
151790000 Edible prep of fats and oils, nes
8.
180610000 Cocoa powder with added sugar or other sweetening
9.
340119900 Soap and organic surface active product in bars, etc.
10.
34120000
Soap in other forms, nes
11.
401692000 Erasers of vulcanized rubber
12.
701120100 Anti halo glass, envelopes for cathode ray tubes
13.
940150000 Seat of cane, osier, bamboo, or similar materials. Seat of other rattan
14.
940380100 Furniture of cane, osier, bamboo, or similar materials
Sumber: ASEAN Secretariat, http://www.aseansec.org Normal Track Produk dalam Normal Track adalah semua produk yang tidak termasuk di dalam skema EHP. Normal Track dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: Normal Track I dan Normal Track II. Penurunan tarif Normal Track I menjadi 0 persen di negara-negara ASEAN-6 dan China dimulai Juli 2005 sampai dengan tahun 2010, sedangkan untuk negara-negara CLMV diharapkan tercapai pada tahun 2015. Jadwal penurunan tarif Normal Track I untuk ASEAN-6 dan China disajikan pada Tabel 10.
48
Tabel 10. Skema Penurunan Tarif Normal Track I untuk ASEAN-6 dan China (%) Year (ceiling tariffs – no tariff increase allowed)
Applied MFN Tariff Rate (= X)
2005
2006
2007
2008
2009
2010
X > 20
20
16
12
8
5
0
16 < X < 20
16
12
8
5
5
0
12 <X <16
12
8
5
5
5
0
8 < X < 12
8
8
5
5
5
0
5<X<8
5
5
5
5
0
0
X<5
5
5
5
5
0
0
Sumber: ASEAN Secretariat, http://www.aseansec.org
Untuk ASEAN-6 dan China, penurunan tarif menjadi 0 persen atas produkproduk dalam kelompok Normal Track II diberi fleksibilitas sampai tahun 2012, namun jumlahnya dibatasi maksimum 150 pos tarif. Sedangkan untuk Cambodia, Lao PDR dan Myanmar, penurunan tarif tersebut ditargetkan hingga tahun 2018 dan maksimum untuk 250 jenis pos tarif. Sensitive Track Tingkat tarif MFN yang berlaku atas seluruh produk dalam Sensitive Track tidak harus dihapuskan (0 persen) tetapi diturunkan secara bertahap hingga tingkat tertentu (0 – 5 persen) sesuai jadwal yang disepakati. Sensitive Track dibagi menjadi: Sensitive List dan Highly Sensitive List. Penurunan tarif produk-produk sensitif diatur sebagai berikut: 1.
Tingkat tarif MFN yang berlaku atas produk sensitif di ASEAN-6 dan China harus diturunkan menjadi 20 persen pada Januari 2012, dan selanjutnya menjadi 0 – 5 persen pada Januari 2018.
49
2.
Tingkat tarif MFN yang berlaku atas produk sensitif di negara-negara CLMV harus diturunkan menjadi 20 persen pada Januari 2015 dan selanjutnya menjadi 0 – 5 persen pada Januari 2020.
Sedangkan untuk produk-produk sangat sensitif, tingkat tarif MFN yang berlaku di ASEAN-6 dan China harus diturunkan menjadi kurang dari 50 persen pada Januari 2015, dan Januari 2018 untuk negara-negara CLMV.
2.3.4. Ketentuan Asal Barang Dalam FTA ASEAN – China, satu jenis barang dinyatakan memenuhi kandungan material lokal ASEAN – China dan dapat diberikan konsesi tarif apabila memenuhi salah satu kriteria berikut ini: 1.
Produk yang seluruh bagian-bagiannya diperoleh atau dihasilkan di negaranegara ASEAN dan China. Produk yang memenuhi kriteria ini adalah: tumbuhan dan hasil yang dipanen atau dikumpulkan dari tumbuhan, hewan yang dibudidayakan termasuk hasil tangkapan, sumber daya alam termasuk mineral yang diekstraksi di ASEAN dan China.
2.
Produk yang hanya sebagian diperoleh atau dihasilkan di negara ASEAN dan China. Dalam hal ini, kandungan material yang berasal dari ASEAN dan atau China sekurang-kurangnya harus 40 persen yang dihitung dengan rumus: Nilai material yang berasal bukan dari ASEAN-China
Nilai material yang + tidak diketahui asal- usulnya
x 100%
< 60%
Harga FoB
Apabila satu jenis barang/produk memiliki kandungan material yang berasal dari ASEAN dan atau China ≥ 40 persen, maka produk tersebut berhak untuk memperoleh konsesi tarif FTA ASEAN – China.
50
2.4.
Kebijakan Perdagangan dan Investasi Indonesia – China Kerjasama ekonomi antara Indonesia dengan China mengalami pasang surut
seiring dengan perkembangan hubungan politik kedua negara. Setelah dibekukan sejak tahun 1966, hubungan diplomatik kedua negara kembali dibuka pada pertengahan tahun 1990. Normalisasi hubungan Indonesia – China sebenarnya telah dimulai lima tahun sebelumnya yaitu dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman (MoU) mengenai perdagangan langsung antara kedua negara pada bulan Juli 1985. Proses normalisasi hubungan ekonomi Indonesia – China tersebut sangat dipengaruhi oleh upaya kedua negara dalam mengintegrasikan perekonomiannya ke dalam ekonomi global (Atje dan Galuh, 1999). Sejak awal 1980-an, baik Indonesia maupun China menjalankan reformasi ekonomi domestik dengan tujuan untuk meningkatkan investasi dan perdagangan luar negeri. Pada periode yang sama, berkembang pula keinginan untuk membentuk kerjasama ekonomi negara-negara di kawasan AsiaPacific (APEC). Perubahan kebijakan ekonomi di tingkat domestik dan pada tataran internasional tersebut telah mendorong proses normalisasi hubungan ekonomi Indonesia – China. Indonesia dan China masing-masing memiliki posisi strategis bagi hubungan ekonomi kedua negara. Dari sisi Indonesia, China merupakan negara dengan potensi ekonomi sangat besar yang diharapkan dapat memberikan dampak positif (spill over) bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi China melaju pesat sejak awal 1980-an dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 10 persen per tahun yang merupakan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Pada tahun 2005, GDP China telah mencapai US$ 2.23 trilyun dengan total ekspor sebesar US$ 762 milyar. Sebagai perbandingan, pada tahun yang sama GDP Indonesia sekitar US$ 281 milyar dan nilai total ekspor sebesar US$ 77.5 milyar. Sebaliknya bagi China, Indonesia
51
sebagai negara terbesar di kawasan ASEAN dengan kekayaan alam yang melimpah dan jumlah penduduk lebih dari 200 juta merupakan mitra penting karena memiliki komplementaritas yang lebih baik dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Secara politis, Indonesia juga memiliki peran strategis di ASEAN dan dapat memainkan peran sebagai penyeimbang untuk meredakan ketegangan dan persaingan yang terus berlanjut dalam hubungan China dengan Jepang (Pangestu, 2006).
2.4.1. Kebijakan Perdagangan Indonesia – China Setelah normalisasi hubungan diplomasi Indonesia – China, perdagangan kedua negara menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2005, China telah menjadi tujuan ekspor terbesar ke-4 dan sumber impor terbesar ke-3 bagi Indonesia. Data pada Tabel 11 menunjukkan nilai total perdagangan Indonesia ke China selama periode
2001 – 2005 meningkat tiga kali lipat, yaitu dari US$ 4.043
milyar menjadi US$ 12.505 milyar atau tumbuh rata-rata 31.64 persen per tahun. Selama periode tersebut, neraca perdagangan kedua negara selalu memberikan surplus bagi Indonesia dengan kecenderungan yang terus meningkat. Namun apabila diperhatikan lebih rinci, nilai surplus perdagangan tersebut lebih banyak diperoleh dari perdagangan komoditi migas. Pada tahun 2005, nilai surplus perdagangan migas mencapai US$ 1.411 milyar atau meningkat 38 persen dari tahun sebelumnya. Peningkatan surplus perdagangan migas tersebut lebih dipengaruhi oleh kenaikan harga minyak di pasar dunia. Sebaliknya perdagangan non-migas mengalami defisit sebesar US$ 0.592. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kondisi neraca perdagangan bilateral Indonesia – China tersebut menjawab pertanyaaan mengapa komoditi non-migas dari China banyak membanjiri pasar domestik Indonesia. Komoditi ekspor non-migas Indonesia ke China terutama adalah: minyak/lemak
52
nabati (kelapa sawit), bubur kayu (pulp wood), karet alam, kayu lapis dan panel kayu lainnya. Sedangkan komoditi impor utama dari China adalah: besi dan baja, barang elektronik, mesin pengolah data, komponen kendaraan bermotor, dan buah-buahan segar atau yang dikeringkan. Dalam hal impor dari China, belakangan ini muncul kekhawatiran mengenai meningkatnya impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) yang masuk ke pasar Indonesia baik secara resmi maupun illegal. Data BPS (2006) 7 menunjukkan nilai impor TPT (HS 50 – 63) dari China pada tahun 2005 meningkat sebesar 35 persen dari tahun sebelumnya, yaitu dari US$ 164.64 juta menjadi US$ 222.90 juta.
Untuk jenis produk TPT tertentu, seperti kategori HS 61 dan 62
kenaikannya masing-masing mencapai lebih dari 300 dan 700 persen. Sementara itu menurut KOMPAS, 2005, impor TPT illegal dari China diperkirakan mencapai Rp. 9.2 trilyun, sehingga penerimaan negara yang hilang sekitar Rp. 4.3 trilyun. Peningkatan ekspor produk tekstil China ke Indonesia tersebut antara lain disebabkan ekspor produk tekstil China ke pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa banyak mengalami hambatan. Meskipun kebijakan kuota impor untuk produk tekstil dan pakaian (berdasarkan Agreement on Textiles and Clothing /ATC)8 telah berakhir pada awal tahun 2005, namun Amerika Serikat, Kanada dan Uni Eropa nampaknya masih akan terus membatasi impor produk tekstil dari China. Kebijakan ini akan dilakukan dengan mengenakan tarif impor yang tinggi atau menerapkan tindakan safeguards lainnya (WTO, 2006). Oleh karena hambatan ekpor tersebut, maka terjadi kelebihan pasokan produk tekstil dan pakaian jadi di negara China yang kemudian dialihkan ke pasar Indonesia (Pangestu, 2006).
7
Data online BPS yang diakses dari http://www.bps.go.id
8
Agreement on Textiles and Clothing (ATC) merupakan kebijakan perdagangan produk tekstil dan pakaian dalam kerangka WTO dan mulai berlaku pada tahun 1995. ATC menggantikan the Multifiber Arrangements (MFA) dengan tujuan untuk menghapus sistim kuota dan menggantikannya dengan sistim tarif dalam jangka waktu 10 tahun sejak ATC ditandatangani.
53
Tabel 11. Perdagangan Indonesia – China, Tahun 2001 – 2005
URAIAN
2001
2002
2003
2004
2005
(US$ Millar)
(US$ Millar)
(US$ Millar)
(US$ Millar)
(US$ Millar)
Trend 2001-2005 (%)
Total Perdagangan
4.043
5.330
6.760
8.706
12.505
31.64
- Migas
0.927
1.040
1.606
1.910
3.994
42.34
- Non Migas
3.117
4.291
5.154
6.796
8.511
28.01
Ekspor
2.201
2.903
3.803
4.605
6.662
30.69
- Migas
0.611
0.711
0.986
1.167
2.703
41.49
- Non Migas
1.590
2.192
2.817
3.437
3.960
25.54
Impor
1.843
2.427
2.957
4.101
5.843
32.74
- Migas
0.316
0.329
0.620
0.743
1.292
43.79
- Non Migas
1.527
2.099
2.337
3.358
4.551
30.40
Neraca Perdagangan
0.358
0.476
0.845
0.503
0.819
18.69
- Migas
0.295
0.382
0.366
0.424
1.411
38.20
- Non Migas
0.063
0.093
0.479
0.079
-0.592
0.00
Sumber: Departemen Perdagangan RI di http://www.depdag.go.id
Selama ini masih banyak kendala yang dihadapi dalam mengembangkan perdagangan bilateral Indonesia – China.
Menurut Aziz (2003), permasalahan
tersebut antara lain disebabkan: (1) pengusaha Indonesia cenderung masih tertarik dengan pasar Amerika dan Jepang, (2) Indonesia belum menganggap China sebagai pasar yang prospektif sebab umumnya produk-produk Indonesia masih berorientasi primary sector, dan (3) pasar China relatif baru bagi Indonesia sehingga untuk melakukan penetrasi pasar memerlukan upaya dan biaya yang lebih besar dibanding dengan pasar ekspor utama yang telah terbangun selama ini. Indonesia masih kurang
54
agresif dalam melakukan penetrasi pasar China jika dibandingkan dengan negaranegara ASEAN lain (Sudradjat, 2006). Sampai saat ini Indonesia belum memiliki perwakilan perdagangan di China, padahal Malaysia telah memiliki kantor pemasaran untuk minyak kelapa sawit, sedangkan Singapore telah mendirikan Kamar Dagang di Beijing. Strategi utama yang diperlukan guna menembus pasar China adalah upaya bersama dari pemerintah dan pengusaha Indonesia untuk secara agresif melakukan promosi pemasaran. Dalam upaya meningkatkan total perdagangan antara Indonsia - China, pemimpin kedua negara telah menandatangani Deklarasi Kemitraan Strategis Indonesia – China pada 25 April 2005. Dalam deklarasi tersebut kedua pihak antara lain sepakat untuk mempercepat pelaksanaan ASEAN – China Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between ASEAN and People’s Republic of China sebagai langkah untuk meliberalisasi dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan iklim investasi yang transparan, liberal, dan saling memberi kemudahan. Selain itu, disepakati pula untuk meningkatkan nilai perdagangan bilateral Indonesai – China menjadi sebesar US$ 20 milyar pada tahun 2008 dan sebesar US$ 30 milyar pada tahun 2010. Untuk mewujudkan target total perdagangan tersebut, pada saat ini sedang disusun “peta rencana” (road plan) yang antara lain memuat rencana kerja yang diperlukan guna meningkatkan kegiatan promosi dan tukar menukar informasi, serta fasilitasi perdagangan (trade facilitation). Dalam hal fasilitasi perdagangan, kedua pihak sepakat membentuk Kelompok Kerja Bersama (KKB) dengan melibatkan sektor swasta dari kedua negara dalam menyelesaikan permasalahan perdagangan bilateral, seperti masuknya impor illegal dan transhipment ke Indonesia atas produk-produk China yang menghadapi hambatan di pasar negara ketiga. Melalui KKB tersebut, kedua belah pihak diharapkan dapat
55
menyelesaikan permasalahan dengan baik dan saling menguntungkan sehingga dapat dihindari
adanya
tindakan
pengamanan
(safeguards)
atau
pembalasan
(countervailing)9 oleh satu pihak atas perlakuan yang tidak adil oleh pihak lain.
2.4.2. Investasi China di Indonesia Dalam beberapa tahun terakhir, investasi China di Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, meskipun nilainya masih relatif kecil dibandingkan dengan investasi dari negara-negara Asia lainnya seperti: Jepang, Singapura, dan Malaysia. Data Tabel 12 menunjukkan investasi China yang disetujui pemerintah Indonesia pada tahun 2005 mencapai sebesar US$ 205 juta untuk sebanyak 84 proyek, atau meningkat lebih dari 600 persen dari tahun sebelumnya. Dengan nilai investasi tersebut menjadikan China sebagai investor terbesar ke-9 di Indonesia.
Proyek investasi China di Indonesia sebagian besar adalah di sektor
infrastruktur dan pertambangan, sedangkan investasi di sektor manufaktur dan jasa masih sangat kecil. Menurut Pangestu (2006), investasi China tersebut kebanyakan masih dilandasi motivasi untuk menjamin ketersediaan sumberdaya alam (resource security) dan perdagangan, terutama untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri di China. Sampai saat ini investor China masih beranggapan bahwa akan jauh lebih menguntungkan untuk langsung mengekspor produk manufaktur ke Indonesia daripada memproduksinya di Indonesia. Kedepan investasi China tersebut diharapkan dapat ditingkatkan menjadi investasi yang lebih strategis dengan memperhatikan aspek komplementaritas kedua negara. Berkaitan dengan hal ini, China diharapkan mau melakukan investasi di sektor manufaktur yang berorientasi ekspor untuk pasar
9
Tindakan darurat dalam perdagangan internasional, termasuk safeguards, surveillance dan countervailing duties dapat dilakukan sesuai Perjanjian GATT 1994 Article VI, XVI, XXIX, dan XXIII, untuk melindungi industri/pasar domestik dari peningkatan impor secara berlebihan akibat adanya subsidi atau faktor lain seperti penyelundupan.
56
negara ketiga, seperti Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Hal ini dapat memberikan keuntungan bagi industri tekstil China karena dapat menghindari pembatasan ekspor TPT yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Eropa. Selain itu, China dapat melakukan investasi produk manufaktur yang dapat diimpor kembali oleh China (misal: produk agro-industri dan kayu), atau untuk pemenuhan pasar domestik Indonesia (misal: produk elektronik).
Tabel 12. Rencana Penanaman Modal Asing yang Disetujui Pemerintah
Jumlah Proyek
2004 Nilai Investasi (US$ Juta)
Share (%)
Jumlah Proyek
160
619.7
4.6
203
3 933.2
29.0
Inggris
83
1 318.5
9.7
104
1 529.0
11.3
Jepang
76
1 689.1
12.4
76
1 176.4
8.7
116
483.1
3.6
173
587.3
4.3
4
1.4
0.01
9
534.8
3.9
Australia
38
481.2
3.5
68
513.6
3.8
Belanda
36
258.7
1.9
54
472.3
3.5
Korea
212
420.4
3.1
309
417.3
3.1
China
35
26.5
0.2
84
205.0
1.5
Taiwan
41
68.9
0.5
43
133.4
1.0
Asal Negara Singapura
Malaysia Kanada
2005 Nilai Investasi (US$ Juta)
Share (%)
Sumber: BKPM (2006) di http://www.bkpm.go.id Data pada Tabel di atas merupakan rencana investasi yang disetujui oleh Pemerintah Indonesia. Menurut data BKPM realisasi investasi China pada tahun 2005 (di luar investasi sektor migas, pertambangan dan energi) hanya sebesar US$ 45.1 juta untuk sebanyak 11 proyek, atau sekitar 0.51 persen dari total investasi asing yang masuk ke Indonesia. Realisasi investasi China tersebut relatif kecil dibandingkan investasi dari
57
negara-negara ASEAN. Pada tahun yang sama, realisasi investasi Singapore di Indonesia adalah sebesar US$ 2 163.4 juta (24.28 persen) dan Malaysia sebesar US$ 92.6 juta (1.04 persen). Dengan telah ditandatanganinya Deklarasi Kemitraan Strategis antara Indonesia dengan China pada 25 April 2005 diharapkan investasi China akan terus meningkat sehingga dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebagaimana telah disebutkan, peluang investasi di luar sektor migas, pertambangan dan energi, masih sangat terbuka seperti: sektor agribisnis, perikanan, industri, infrastruktur, dan perdagangan. Namun menurut Soesastro (2005) realisasi investasi tersebut membutuhkan upaya perbaikan iklim invesatsi di dalam negeri, khususnya masalah kepastian hukum dan ketersediaan infrastruktur yang memadai. Bila Jepang yang telah berpengalaman berinvestasi di Indonesia kini banyak mengeluh, investor China yang sama sekali belum mngenal medan akan sangat kesulitan untuk memulainya.
III.
3.1.
KERANGKA TEORITIS
Model Perdagangan Intra-Industri Sebelum tahun 1980an, analisis perdagangan internasional lebih banyak
berlandaskan pada teori keunggulan komparatif (the theory of comparative advantage) yang untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh David Ricardo (1817). Model Ricardian mengatakan bahwa suatu negara memiliki keunggulan komparatif untuk menghasilkan sebuah barang apabila biaya kesempatan (opportunity cost) untuk menghasilkan barang tersebut lebih rendah dibandingkan di negara-negara lain. Model Ricardian selanjutnya dikembangkan oleh Eli Heckscher dan Bertil Ohlin (1919-1924) dengan The Theory of Factor Proportions. Menurut model H-O suatu negara memiliki keunggulan komparatif atas sebuah barang apabila barang tersebut dihasilkan dengan menggunakan faktor produksi yang relatif berlimpah (factor endowments) yang dimiliki di negara tersebut (Krugman dan Obstfeld, 2000; Dunn dan Mutti, 2000; Husted dan Melvin, 2004). Kedua model di atas menggunakan asumsi ekonomi pengembalian konstan (constant returns to scale) dan bersaing sempurna (perfect competition). Setiap negara akan berspesialisasi menghasilkan suatu produk berdasarkan keunggulan komparatif yang dimiliki untuk ditukarkan dengan produk yang berbeda dari negara lain. Dengan spesialisasi tersebut maka perdagangan barang dari jenis industri yang berbeda akan meningkat. Pola perdagangan seperti ini disebut dengan Inter-Industry Trade, atau perdagangan satu arah. Sebagai contoh: Indonesia dengan tenaga kerja melimpah akan menjadi eksportir (net-exporter) produk berbasis tenaga kerja (misal: produk pertanian, tekstil) dan menjadi importir (net-importer) produk-produk berbasis padat modal (misal: produk automotif, telekomunikasi).
59 Namun memasuki tahun 1980an sebagian besar perdagangan dunia, termasuk di negara-negara Asia Timur (Jepang, Korea, China) dan beberapa negara ASEAN, lebih didominasi perdagangan (ekspor dan impor) barang-barang dari industri sejenis. Pola perdagangan seperti ini disebut dengan perdagangan intra-industri (IintraIndustry Trade atau disingkat IIT), yaitu perdagangan barang manufaktur yang berbeda tetapi dari industri yang sama. Sebagai contoh: Indonesia mengekspor mobil merek Toyota ke Malaysia, dan mengimpor mobil merek Proton dari Malaysia. Perdagangan intra-industri telah menjadi elemen penting dalam menjelaskan pola perdagangan di negara-negara ASEAN dan China.
Studi Yumiko (2005) dalam
Tambunan (2006) mengungkapkan bahwa perdagangan produk manufaktur beberapa negara ASEAN (Malaysia, Singapore, dan Thailand) dengan China memiliki Indeks perdagangan Intra-Industri (indeks IIT) yang tinggi. Sedangkan untuk Indonesia dan Philippines angka indeks tersebut masih rendah. Lebih lanjut dikatakan bahwa negara dengan indeks IIT tinggi akan berpeluang memperoleh keuntungan ekonomi yang lebih besar dari pelaksanaan perdagangan bebas ASEAN – China. Menurut Krugman dan Obstfeld (2000) keuntungan yang diperoleh dari intraindustri dalam perdagangan internasional akan lebih besar dibandingkan dengan interindustri karena pasar bertambah besar. Dengan intra-industri sebuah negara dapat berspesialisasi menghasilkan jenis produk tertentu. Dengan spesialisasi maka negara tersebut dapat memproduksi dalam skala besar sehingga produktivitas meningkat dan biaya produksi lebih rendah. Selain itu, konsumen juga diuntungkan karena memiliki banyak pilihan.yang diinginkan. Lebih lanjut dikatakan bahwa keuntungan tersebut akan lebih besar apabila skala ekonomi benar-benar telah tercapai dan produk sangat terdiferensiasi. Kondisi seperti ini lebih banyak terjadi pada industri padat teknologi dan bukan industri pengolah bahan baku atau padat tenaga kerja seperti industri tekstil.
60 3.1.1. Faktor Terjadinya Perdagangan Intra-Industri Perdagangan intra-industri tidak hanya disebabkan oleh adanya perbedaan teknologi dan kepemilikan faktor produksi (keunggulan komparatif) tetapi juga karena industri telah mencapai skala ekonomis (economy of scale) dan berperilaku monopolistik (Krugman 1987; Krugman and Obstfeld 2000). Industri mencapai skala ekonomis apabila peningkatan output melebihi proporsi penggunaan input. Pada kondisi tersebut sebuah industri menjadi lebih efisien karena biaya produksi rata-rata menjadi lebih rendah. Sedangkan industri monopolistik (monopolistically competitive industry) adalah apabila sejumlah perusahaan dalam industri sejenis mampu melakukan diferensiasi produk untuk menigkatkan daya saing. Dengan demikian, perdagangan intra-industri akan memperbesar pasar karena menambah tersedianya beragam jenis barang dengan harga lebih murah. Austria (2004) menjelaskan berbagai alasan mengapa sebuah negara lebih banyak melakukan perdagangan intra-industri daripada inter-industri. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perdagangan intra-industri tersebut antara lain adalah: 1.
Biaya Transportasi. Perdagangan intra-industri biasanya terjadi untuk barangbarang yang dihasilkan oleh industri sejenis yang berlokasi di dekat perbatasan dua negara. Untuk meminimalkan biaya transportasi, kedua negara akan saling mengekspor barang tersebut sehingga perdagangan intra-indutri meningkat.
2.
Produk Musiman. Perbedaan musim di dua negara (misal: negara A dan B) dapat mendorong negara A memproduksi barang X di musim tertentu untuk diekspor ke negara B. Sebaliknya negara A akan mengimpor barang X dari negara B ketika musim di negara A tersebut sudah berakhir. Dengan demikian akan terjadi perdagangan intra-industri antara kedua negara tersebut untuk jenis barang X.
61 3.
Biaya Produksi. Perdagangan intra-industri dapat disebabkan oleh praktek perusahaan besar multinasional (MNCs) untuk menempatkan sebagian proses produksinya di negara berkembang yang upah buruhnya rendah. Sebagai contoh: perdagangan industri elektronik. Komponen elektronik dikirim (ekspor) dari negara asal MNCs ke negara berkembang untuk dirakit. Selanjutnya hasil rakitan atau produk akhir diekspor kembali ke negara asal MNCs.
Oleh karena komponen dan produk akhir tersebut masih dari jenis
industri yang sama maka struktur perdagangannya adalah intra-industri. 4.
Perdagangan Transit (entrepot). Perdagangan transit adalah apabila sebuah negara mengimpor barang tertentu bukan untuk konsumsi domestik tetapi hanya untuk sedikit disempurnakan, misal: ditambah label dan pengepakan. Barang tersebut selanjutnya diekspor ke negara tujuan akhir. Hong Kong dan Singapore adalah dua negara yang sering melakukan perdagangan seperti ini. Lebih lanjut menurut Grimwade (2000) dalam Austria (2004), ada beberapa
faktor penyebab terjadinya perbedaan tingkat intra-industri suatu negara, yaitu: 1.
Besarnya pendapatan per kapita suatu negara. Semakin besar pendapatan per kapita suatu negara maka permintaan atas barang yang diproduksi oleh industri sejenis semakin beragam. Hal ini akan mendorong industri untuk melakukan
diferensiasi
produk
sehingga
perdagangan
intra-industri
meningkat. 2.
Perbedaan tingkat pendapatan per kapita. Apabila pendapatan per kapita mendekati sama, maka perdagangan antara kedua negara tersebut akan semakin besar. Oleh karena tingkat pendapatan per kapita akan menentukan pola permintaan, maka negara-negara dengan tingkat pendapatan per kapita yang sama kemungkinan juga memiliki pola permintaan yang sama, sehingga perdagangan intra-industri akan meningkat.
62 3.
Tahap pembangunan ekonomi suatu negara. Perdagangan intra-industri di sektor manufaktur lebih besar dibandingkan sektor pertanian. Hal ini disebabkan industri manufaktur memungkinkan untuk terus berkembang mencapai skala ekonomis. Oleh sebab itu perdagangan intra-industri akan lebih besar di negara-negara dengan tahap pembangunan ekonomi yang sudah maju dibandingkan di negara-negara berkembang.
4.
Perbedaan tingkat pembangunan ekonomi. Perdagangan antara negara-negara yang tingkat pembangunan ekonominya berbeda akan lebih banyak bersifat inter-industri dari pada intra-industri. Hal ini disebabkan perbedaan kepemilikan faktor-faktor produksi. Dengan demikian intra-industri akan banyak terjadi dalam perdagangan antara negara-negara maju dibandingkan antara negara berkembang.
3.1.2. Perhitungan Indeks Perdagangan Intra-Industri Ada beberapa cara untuk mengukur indeks perdagangan intra-industri suatu negara, diantaranya yang paling umum digunakan adalah indeks Grubel-Lloyd dengan menggunakan rumus (Husted dan Melvin, 2004): n Xj Mj j 1 ……………………………...................(III-1) IIT 100 * 1 n ( X j M j ) j 1
dimana: Xj dan Mj adalah nilai ekspor dan impor produk industri j, dan terdapat sejumlah n industri. Nilai indeks IIT berkisar antara 0 sampai 100. Indeks IIT = 0, artinya seluruh perdagangan bersifat inter-industry atau satu arah. Sedangkan indeks IIT = 100, artinya seluruh perdagangan adalah bersifat intra-industry atau dua arah (misal: nilai ekpor komputer sama dengan nilai impor komputer).
63 Penggunaan rumus indeks IIT seperti di atas banyak mendapat kritik karena tingkat IIT dihitung sebagai persentase dari total nilai perdagangan satu negara dengan semua negara (multilateral). Untuk mengetahui pola perdagangan bilateral indeks IIT perlu dimodifikasi dengan rumus (Austria, 2004):
X ijk M ijk X ijk M ijk IIT 100 * X ijk M ijk k ij
........................................(III-2)
dimana: i adalah negara yang dihitung IIT-nya (yang melaporkan), j adalah negara mitra dagang, dan k adalah jenis produk dari industri tertentu.
3.1.3. Nilai Indeks Intra-Industry Trade ASEAN dengan China Nilai indeks IIT negara-negara ASEAN sangat bervariasi dari satu ke negara yang lain. Perbedaan nilai indeks IIT ini akan menyebabkan keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh dari perdagangan bebas ASEAN – China juga berbeda-beda (Yumiko, 2005 dalam Tambunan, 2006). Nilai indeks perdagangan intra-industri beberapa negara ASEAN dengan China pada tahun 2003 disajikan pada Tabel 13. Data pada tabel tersebut menunjukkan bahwa indeks IIT produk manufaktur (SITC 5 – 8) lebih besar dari produk non-manufaktur (SITC 0 – 4). Oleh sebab itu keuntungan ekonomi dari FTA ASEAN – China akan lebih besar diperoleh dengan melakukan perdagangan produk manufaktur dari pada produk pertanian. Secara umum, negara-negara ASEAN memiliki indeks IIT yang lebih besar dibandingkan China. Malaysia, Singapore dan Thailand memiliki indeks IIT lebih tinggi dibanding Indonesia dan Philippines, terutama untuk produk kategori SITC 6 – 8. Dengan demikian ketiga negara ASEAN tersenut (Malaysia, Singapore, Thailand) diperkirakan akan memperoleh keuntungan yang lebih besar melalui perdagangan intra-industri di sektor manufaktur. Sedangkan
64 Indonesia diperkirakan tidak banyak memperoleh keuntungan sebab indeks IIT sektor manufaktur dalam perdagangan bilateral dengan China relatif kecil. Keuntungan lebih besar dapat diperoleh Indonesia dengan meningkatkan perdagangan inter-industri dengan mengekspor produk non-manufaktur dan mengimpor produk manufaktur (Tambunan, 2006). Tabel 13. Nilai Indeks Intra-Industry Trade ASEAN – China, Tahun 2003 Kategori
Indonesia
Malaysia
SITC
Philippines
Singapore
Thailand
China
0
4.1
11.0
4.2
9.3
18.9
1
0.3
28.6
0.6
8.4
33.6
2
5.1
3.1
6.9
7.4
2.7
3
46.7
24.0
43.2
0.7
0.5
4
0.1
0.2
0.8
15.4
20.8
5
23.6
19.0
22.2
21.5
26.7
6
20.9
32.9
5.5
40.7
27.1
7
36.9
55.2
39.6
57.2
74.7
8
25.4
43.7
14.2
24.3
33.7
Notes: SITC 0: Food and live animals; SITC 1: Beverages and tobacco; SITC 2: Crude materials inedible; SITC 3: Mineral fuels; SITC 4: Animal and vegetable oils and fats; SITC 5: Chemicals; SITC 6: Basic manufacturers; SITC 7: Machinery; SITC 8: Miscellaneous manufactured goods; Sumber: Yumiko (2005) dalam Tambunan (2006).
3.2.
Analisis Dampak Hambatan Perdagangan Terhadap Kesejahteraan Secara konsep, penghapusan berbagai bentuk intervensi dan hambatan
perdagangan akan menambah besar volume perdagangan, dan pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, sistim perdagangan dunia yang benar-benar bebas dan terbuka sampai saat ini belum sepenuhnya terwujud.
65 Banyak negara masih menerapkan berbagai hambatan perdagangan dengan dalih membela
kepentingan
nasional.
Analisis
terhadap
perubahan
kesejahteraan
masyarakat akibat penerapan hambatan perdagangan dapat dilakukan dengan menggunakan konsep surplus konsumen (consumers’ surplus) dan surplus produsen (producers’ surplus).
Berikut ini diuraikan dampak penerapan hambatan
perdagangan, khususnya tarif, kuota impor, dan subsidi ekspor terhadap kesejahteraan masyarakat.
3.2.1. Pemberlakuan Tarif Impor Tarif impor merupakan alat kebijakan perdagangan tradisional yang pada awalnya digunakan sebagai sumber pendapatan pemerintah. Dalam perkembangan selanjutnya, kebijakan tarif impor seringkali diberlakukan dengan tujuan untuk: (1) mengurangi jumlah impor dengan cara membuat harga barang impor relatif lebih mahal dibandingkan harga barang substitusinya di dalam negeri, (2) sebagai balasan atas praktek dumping dengan cara meningkatkan harga barang impor yang didumping ke tingkat harga pasar, dan (3) untuk melindungi industri dalam negeri yang nilai sangat penting, seperti: sektor pertanian.
Pada umumnya ada dua cara
pengenaan tarif impor, yaitu: tarif ad valorem yang dihitung berdasarkan presentase nilai barang yang diimpor, dan tarif spesifik yang ditetapkan dengan jumlah uang tertentu untuk setiap unit barang yang diimpor. Kebijakan tarif selama ini diberlakukan baik oleh negara kecil maupun negara besar. Negara kecil diartikan sebagai negara pengimpor dimana perubahan impornya tidak mempengaruhi harga di pasar dunia. Sebaliknya negara besar adalah negara pengimpor yang mampu mempengaruhi harga di pasar dunia.
Perbedaan ini
menyebabkan dampak terhadap perubahan tingkat kesejahteraan yang ditimbulkan oleh kebijakan tarif juga berbeda. Pada kasus negara kecil, kebijakan tarif akan
66 menurunkan tingkat kesejahteraan nasional di negara pengimpor sedangkan kesejahteraan negara-negara lain (Rest of World / RoW) tidak terpengaruh. Pada kasus negara besar, kebijakan tarif kemungkinan dapat meningkatkan kesejahteraan negara pengimpor tetapi merugikan kesejahteraan negara-negara lain.
3.2.1.1. Tarif Impor Pada Kasus Negara Kecil Sebagaimana telah disebutkan di atas, negara kecil diartikan sebagai negara pengimpor dimana perubahan jumlah impornya tidak mempengaruhi harga di pasar dunia.
Tarif impor hanya menyebabkan distorsi pasar domestik sehingga harga
barang naik dan konsumsi berkurang. Analisis keseimbangan umum dampak kebijakan tarif pada kasus negara kecil diilustrasikan dengan Gambar 9. Pada gambar tersebut diasumsikan negara A memproduksi dua jenis komoditi: tekstil dan beras, dengan kurva produksi FG. Dalam kondisi perdagangan bebas, negara A diasumsikan mengekspor produk tekstil dan mengimpor komoditi beras. Rasio harga dunia adalah sudut kemiringan (slope) garis TT, produksi di titik P1, dan konsumsi di titik C1, dimana garis TT bersinggungan dengan kurva kesamaan (indifferent curve) I2. Selanjutnya ketika negara A memberlakukan tarif impor beras, maka harga beras di pasar domestik naik sehingga rasio harga domestik dan rasio harga dunia berubah. Rasio harga domestik yang baru adalah slope garis DD yang terlihat lebih landai dibanding garis TT, artinya harga relatif beras menjadi lebih mahal. Kenaikan harga beras menyebabkan produksi beras domestik meningkat sehingga produksi bergeser dari titik P1 menjadi titik P2, dimana garis harga domestik bersinggungan dengan kurva produksi FG.
Oleh karena harga dunia diasumsikan tidak berubah maka
perdagangan dunia berlangsung sepanjang garis P2C2 sejajar dengan garis TT. Keseimbangan konsumsi bergeser ke titik C2 pada saat garis harga domestik EE bersinggungan dengan kurva kesamaan, dan garis harga dunia P2C2 memotong titik
67 singgung tersebut. Pada titik keseimbangan baru, negara A tetap mengekspor produk tekstil dan mengimpor beras tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit. Tarif impor meningkatkan produksi beras domestik atau mengurangi ketergantungan atas beras impor, tetapi di sisi lain akan menurunkan tingkat produksi dan ekspor tekstil. Secara keseluruhan dampak pemberlakuan tarif impor akan menurunkan kesejahteraan nasional. Hal ini ditunjukkan dengan bergesernya kurva kesamaan I2 ke kurva kesamaan I1 yang lebih rendah.
T Beras
C1 I2
E D
C2
I1
F P2 E P1
D T
0
Tekstil
G
Sumber: Dunn dan Mutti (2000) Gambar 9. Dampak Tarif Impor Pada Kasus Negara Kecil
68 3.2.1.2. Tarif Impor Pada Kasus Negara Besar Pada kasus negara besar, pemberlakuan tarif impor akan menyebabkan harga di pasar dunia (RoW) turun karena jumlah impor berkurang. Penurunan harga tersebut akan diikuti penurunan produksi, sehingga kesejahteraan RoW berkurang. Di sisi lain, berkurangnya jumlah impor akan menyebabkan produksi domestik di negara pengimpor meningkat.
Keuntungan produsen domestik ditambah penerimaan
pemerintah dari tarif lebih besar dari kerugian konsumen, sehingga secara keseluruhan tarif impor memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan negara importir. Analisis keseimbangan umum tarif impor pada kasus negara besar dapat dijelaskan dengan Gambar 10. Dengan menggunakan contoh seperti pada kasus negara kecil di atas, tetapi dengan asumsi negara A adalah negara besar sehingga pemberlakuan tarif impor beras akan menyebabkan harga beras di pasar dunia menjadi turun. Pemberlakuan tarif impor beras menyebabkan rasio harga dunia berubah dari slope garis TT menjadi slope garis P3C3 dan produksi bergeser ke titik P3.
Perdagangan dunia sekarang berlangsung sepanjang garis P3C3, dan
keseimbangan konsumsi terjadi di titik C3 dimana garis harga domestik bersinggungan dengan kurva kesamaan, dan garis harga dunia memotong titik singgung tersebut. Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa negara A mencapai kurva kesamaan yang lebih tinggi dari sebelumnya (I2 ke I3) sebagai dampak pemberlakukan tarif impor tersebut. Dengan kata lain, kebijakan tarif impor akan meningkatkan kesejahteraan negara A, tetapi sebaliknya akan menurunkan kesejahteraan RoW. Pada contoh kasus di atas, peningkatan kesejahteraan negara A akan bergantung kepada seberapa besar perubahan harga dunia dapat memperbaiki terms of trade negara A. Yang dimaksud dengan terms of trade adalah rasio antara harga barang ekspor dengan harga barang impor. Semakin besar terms of trade berarti
69 semakin tinggi tingkat kesejateraan yang diperoleh dari kegiatan perdagangan (Dunn dan Mutti, 2000). Kesejahteraan negara pengimpor dapat meningkat apabila perbaikan terms of trade dapat menutup seluruh kerugian yang disebabkan oleh inefisiensi produksi dan konsumsi.
T
I3
Makanan
I2 I1
C1
C3 Rasio harga dunia setelah tarif
F Rasio harga domestik setelah tarif
P3
P1 Rasio harga dunia sebelum tarif
T 0
Pakaian
G
Sumber: Dunn dan Mutti, 2000 Gambar 10. Dampak Tarif Impor Pada Kasus Negara Besar
3.2.2. Pemberlakuan Kuota Impor Kuota impor adalah pembatasan jumlah barang yang dapat diimpor. Kebijakan perdagangan ini bertujuan untuk mempertahankan harga barang di pasar domestik di atas harga pasar dunia sehingga produsen di dalam negeri memperoleh keuntungan lebih tinggi dibandingkan dengan cara perdagangan bebas. Pembatasan impor biasanya dilakukan dengan pemberian ijin atau lisensi impor kepada kelompok orang atau perusahaan tertentu. Berbeda dengan sistim tarif, kebijakan kuota impor tidak
70 memberikan penghasilan kepada pemerintah sebab bagian keuntungan pemerintah tersebut diambil alih sebagai keuntungan (quota rents) oleh pemegang ijin impor (Krugman dan Obstfeld, 2000; Dunn dan Mutti, 2000). Analisis dampak kuota impor yang dilakukan oleh negara kecil, diilustrasikan pada Gambar 11. Pada harga keseimbangan PFT, permintaan dan penawaran domestik di negara pengimpor masingmasing adalah DFT dan SFT, dengan jumlah impor sebesar DFT – SFT. Apabila impor dibatasi hingga di bawah jumlah impor pada saat perdagangan bebas (DQ – SQ), maka tingkat penawaran di pasar domestik akan berkurang sehingga harga di pasar domestik akan naik menjadi PQ. Pada keseimbangan yang baru, harga di pasar domestik akan naik ke tingkat dimana permintaan impor sama dengan jumlah kuota. Dengan asumsi pengimpor adalah negara kecil maka harga dunia tidak terpengaruh dan tetap pada PFT. Kenaikan harga domestik tersebut hanya memberikan keuntungan bagi produsen di negara importir dan para pemegang ijin impor.
Pembatasan impor menyebabkan harga
barang impor dan subtitusinya di pasar domestik importir meningkat sehingga menyebabkan kerugian bagi konsumen (consumer loss) sebesar (A + B + C + D). Di lain pihak, penerapan kuota impor memberikan keuntungan kepada produsen (producer surplus) yaitu sebesar (A) dan pemegang lisensi impor (quota rents) sebesar (C). Secara keseluruhan, kesejahteraan nasional mengalami penurunan akibat hilangnya efisiensi produksi dan konsumsi atau deadwight losses sebesar (- B - D). Dengan kata lain, kebijakan kuota impor oleh negara kecil pasti akan mengurangi tingkat kesejahteraan nasional. Jika pembatasan impor tersebut semakin ketat atau restriktif, maka semakin besar pula kerugian sosial yang akan ditanggung oleh masyarakat.
71
Negara Pengimpor P
S
PQ PFT
A
B
C
D
D SFT SQ
DQ
DFT
Q
Sumber: Suranovic (2004) Gambar 11. Analisis Keseimbangan Parsial Dampak Kuota Impor
3.2.3. Pemberlakuan Subsidi Ekspor Kebijakan subsidi ekspor biasanya dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan untuk memberikan insentif kepada produsen domestik guna meningkatkan ekspor. Subsidi merupakan transfer pembayaran dari pemerintah kepada produsen yang dananya berasal dari seluruh masyarakat. Dengan demikian, kebijakan subsidi hanya akan menguntungkan satu kelompok tetapi mengakibatkan kerugian bagi kelompok masyarakat lainnya. Gambar 12 memberi illustrasi mengenai dampak subsidi ekspor yang dilakukan oleh satu negara eksporti besar di pasar persaingan sempurna. Pada kondisi perdagangan bebas dengan harga PFT, negara pengekspor mengalami kelebihan penawaran (excess supply) yang besarnya sama dengan kelebihan permintaan (excess demand) di negara pengimpor. Kelebihan penawaran dan permintaan tersebut adalah sama dengan jumlah ekspor dan impor yang besarnya masing-masing adalah:
(SEX – DEX) dan (DIM – SIM).
Apabila suatu negara besar
72 menerapkan kebijakan subsidi ekspor, harga domestik di negara pengekspor akan naik menjadi PSEX dan tingkat konsumsi turun dari DEX ke DSEX. Di lain pihak, produksi meningkat dari SEX menjadi SSEX dan jumlah ekspor bertambah sebesar (SSEX – DSEX) sehingga harga di pasar dunia turun ke PSIM. Dengan asumsi subsidi ekspor tersebut adalah subsidi spesifik (berupa uang tunai yang diberikan kepada produsen per unit ekspor) maka besarnya subsidi adalah: S = PSEX – PSIM. Di negara pengimpor, jumlah konsumsi akan meningkat (SSIM – DSIM) karena harga barang impor dan barang substitusi produksi dalam negeri turun menjadi PSIM. Pada tingkat harga ini, produksi menjadi berkurang (SIM – SSIM) sehingga untuk memenuhi kelebihan permintaan tersebut jumlah impor meningkat (DSIM – SSIM).
P
D
D
D
S
P D
EX
PS PFT
PSIM
S
EX
A
B
E
F
IM
SS
C G
SIM
PS PFT
D H
DIM
PSIM
IM
DS
a. Importir
Q
a
b
c
e
f
g
EX
DS
DEX
d
h
SEX SSEX
Q
b. Eksportir
Sumber: Suranovic (2004) Gambar 12. Analisis Keseimbangan Partial Dampak Subsidi Ekspor
Berdasarkan gambar di atas, kebijakan subsidi ekspor akan menurunkan tingkat kesejahteraan konsumen di negara eksportir sebesar (a+b). Kerugian konsumen ini disebabkan harga di pasar domestik naik sehingga tingkat konsumsi turun. Di lain pihak, kenaikan harga tersebut meningkatkan kesejahteraan produsen sebesar (a+b+c). Bagi pemerintah di negara eksportir, kebijakan subsidi ekspor
73 menimbulkan biaya yang harus ditanggung sebesar (b+c+d+f+g+h). Secara keseluruhan, kesejahteraan nasional negara pengekspor menjadi turun akibat kebijakan subsidi ekspor. Penurunan kesejahteraan tersebut disebabkan oleh adanya efek negatif dari distorsi konsumsi (b), distorsi produksi (d), dan terms of trade sebesar (f + g + h). Sedangkan bagi
negara pengimpor, kebijakan subsidi
ekspor akan
meningkatkan kesejahteraan konsumen sebesar (F), tetapi sebaliknya merugikan produsen sebesar (H). Namur secara keseluruhan, kesejahteraan negara importir meningkat sebesar (G). Hal ini disebabkan efek positif terms of trade (F + G + H) lebih besar dibandingkan dengan efek negatif dari distorsi konsumsi (F) dan distorsi produksi (H). Untuk tingkat dunia, perubahan kesejahteraan dunia merupakan penjumlahan dari perubahan kesejahteraan di negara pengekspor dan pengimpor yang hasilnya menunjukkan perubahan negatif sebesar (F + H + b + d). Dengan demikian, kebijakan subsidi ekspor yang dilakukan oleh negara besar akan menurunkan efisiensi konsumsi dan produksi global.
3.3.
Teori Blok Perdagangan Bebas Regional Integrasi ekonomi kawasan melalui pembentukan blok perdagangan bebas
regional, seperti FTA ASEAN – China, mempunyai implikasi terhadap kesejahteraan negara-negara anggota, yaitu: efek positif berupa kreasi perdagangan (trade creation) dan efek negatif karena diversi perdagangan (trade diversion). Peubahan tingkat kesejateraan tersebut ditentukan oleh seberapa besar terjadinya kreasi dan diversi perdagangan. Apabila kreasi lebih besar dari diversi perdagangan, maka kesejahteraan meningkat dan sebaliknya (Krugman dan Obstfeld, 2000; Dunn dan Mutti, 2000;
74 Husted dan Melvin, 2004).
Selanjutnya, besar kecilnya kreasi perdagangan
ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: 1.
Besaran atau ukuran ekonomi suatu kawasan. Meskipun tidak ada kriteria ukuran ekonomi yang optimal, tetapi semakin besar ukuran ekonomi sebuah kawasan akan semakin besar pasar yang tersedia, sehingga semakin besar pula kemungkinan terciptanya kreasi perdagangan.
2.
Struktur tarif awal (intial tariffs) yang berlaku di kawasan. Semakin tinggi tingkat tarif yang berlaku sebelum integrasi, semakin besar kemungkinan terciptanya kreasi perdagangan.
3.
Perdagangan intra-kawasan sebelum adanya blok perdagangan. Kreasi perdagangan akan semakin besar apabila Semakin tinggi perdagangan diantara negara-negara di dalam kawasan (perdagangan intra-kawasan), semikin besar kreasi perdagangan yang dapat diperoleh dari pembentukan blok perdagangan.
4.
Tingkat substitusi produk. Semakin tinggi tingkat substitusi antara produkproduk yang dihasilkan di dalam kawasan dengan produk dari luar kawasan maka semikin besar kemungkinan terciptanya kreasi perdagangan.
5.
Tingkat pembangunan ekonomi sebelum adanya blok perdagangan. Apabila tingkat pembangunan dan pendapatan nasional negara-negara di dalam kawasan hampir sama, maka keuntungan ekonomi dari sebuah blok perdagangan regional akan semakin besar. Selain itu, proses integrasi ekonomi kawasan semakin mudah dilakukan.
6.
Kedekatan geografis dan sarana transportasi. Integrasi ekonomi akan mudah dilakukan apabila negara-negara di sebuah kawasan secara geografis saling berdekatan karena biaya transportasi akan lebih murah. Biaya transporstasi tersebut bisa lebih rendah apabila tersedia infrastruktur transportasi yang baik.
75 7.
Struktur ekonomi komplemen atau kompetisi. Keberhasilan integrasi ekonomi kawasan juga ditentukan oleh struktur ekonomi negara-negara anggota. Kreasi perdagangan akan semakin besar apabila struktur ekonomi sebelum integrasi adalah berkompetisi, tetapi selanjutnya berkomplementer setelah integrasi dilakukan. Hal ini dapat diartikan bahwa sebelum integrasi, negaranegara di dalam kawasan menghasilkan produk yang mirip disebabkan tingkat tarif dan hambatan non-tarif yang masih tinggi. Setelah integrasi, semua jenis hambatan perdagangan dihapuskan, maka industri yang lebih efisien akan menggantikan yang kurang efisien dan produk yang dihasilkan lebih beragam. Industri akan berspesialisasi dan mencapai skala besar sehingga memberikan kesejahteraan yang lebih besar.
8.
Selain faktor-faktor ekonomi di atas, keberhasilan integrasi ekonomi kawasan juga ditentukan oleh variabel non-ekonomi, seperti kesadaran negara-nagara dalam kawasan untuk mencari solusi bersama guna memecahkan persoalan yang dihadapi, keinginan untuk mengakhiri konflik atau perselisihan diantara negara anggota dalam satu kawasan, dan keinginan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan. Di samping itu, komitmen politik merupakan faktor penentu keberhasilan sebuah kerjasama ekonomi regional. Keberhasilan blok perdagangan regional memerlukan komitmen yang tinggi dari para pemimpin politik sehingga dapat dilaksanakan sesuai tujuan. Analisis terhadap kesejahteraan masyarakat akibat perdagangan regional dapat
dilakukan dengan menggunakan konsep perubahan surplus konsumen dan surplus produsen atas kemungkinan terjadinya kreasi dan atau diversi perdagangan. Berikut ini diuraikan analisis dampak kreasi dan diversi perdagangan terhadap perubahan kesejahteraan masyarakat.
76
3.3.1. Kreasi Perdagangan Kreasi perdagangan adalah keadaan dimana sebuah FTA dapat menciptakan perdagangan diantara anggota yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan adanya kreasi perdagangan, sebuah negara anggota FTA akan memperoleh barang-barang yang diproduksi secara lebih efisien dari negara anggota FTA lainnya. Oleh sebab itu, kreasi perdagangan dianggap sebagai dampak positif dari sebuah FTA. Gambar 13 memberikan ilustrasi terjadinya kreasi perdagangan bagi negara A yang membentuk FTA dengan negara B.
Negara C adalah bukan anggota FTA dan diasumsikan
mampu menjual produk yang sama dengan harga lebih rendah dibanding negara B. Sebelum ada FTA, tarif impor atas produk dari B dan C yang dikenakan oleh A diasumsikan sebesar: tB = tC = t* atau t* = PTB – PB = PTC – PC. Dengan tarif tersebut harga dipasar domestik A akan naik menjadi PTB dan PTC.
Pada tingkat harga
domestik PA yang lebih rendah dari PTB maupun PTC, negara A tidak melakukan impor (S1 = D1) atau tidak ada perdagangan (autarky). Selanjutnya apabila A dan B membentuk FTA dengan menghapus tarif impor dari B, maka tB = 0 sedangkan tC tetap sebesar t*. Harga domestik atas barang impor dari B dan C sekarang menjadi PB dan PTC. Oleh karena PB < PA maka A mengimpor dari B setelah terbentuknya PTA. Pada harga PB, impor akan naik sebesar D2 – S2. Dengan demikian FTA menciptakan perdagangan antara A dan B yang tidak terjadi sebelumnya. Dengan terciptanya perdagangan mengakibatkan harga di pasar domestik A turun sehingga tingkat konsumsi naik dan kesejahteraan konsumen (consumer surplus) bertambah sebesar (a+b+c).
Sebaliknya penurunan harga menyebabkan
kesejateraan produsen (producer surplus) domestik berkurang sebesar (a). Dampak secara keseluruhan, kesejahteraan nasional meningkat sebesar (b+c) sebab efek postif konsumsi melampaui efek negatif distorsi produksi.
77
P
Negara A D
S
PT B PT C PA
PB
a
b
c
PC
S2
S1=D1
D2
Q
Sumber: Suranovic (2004) Gambar 13. Kreasi Perdagangan dan Kesejahteraan Nasional
3.3.2. Diversi Perdagangan Diversi perdagangan (trade diversion) dapat diartikan sebagai masuknya produk-produk yang tidak efisien dari negara-negara anggota FTA, dan mencegah produk yang lebih efisien dari negara di luar FTA. Hal ini terjadi karena negaranegara non-FTA dikenakan tarif lebih tinggi dibandingkan dengan negara anggota FTA. Perbedaan perlakukan tarif impor menyebabkan perdagangan beralih dari negara-negara non-FTA ke negara anggota FTA. Diversi perdagangan memberikan dampak negatif terhadap kesejahteraan karena menyebabkan pengalihan sumbersumber pasokan yang efisien. Berkaitan dengan hal ini, diversi perdagangan dapat dilihat sebagai akibat dari proteksionisme. Sebagai contoh, dalam hal FTA ASEAN – China, China akan merugi (worse off) karena impor daging beralih dari New Zealand (yang diasumsikan lebih efisien atau murah) ke Indonesia. Gambar 14 memberikan
78 ilustrasi dampak negatif dari diversi perdagangan pada negara A yang membentuk FTA dengan negara B. Negara C adalah bukan anggota FTA yang diasumsikan mampu memproduksi barang yang sama dan menjualnya dengan harga yang lebih rendah dibandingkan negara B. Sebelum ada FTA, tarif impor atas produk dari B dan C yang dikenakan oleh A adalah: tB = tC = t* . Pada Gambar 14 ditunjukkan besarnya tarif adalah: t* = PTB – PB = PTC – PC. Dengan tarif tersebut, A akan mengimpor barang dari C karena harganya lebih murah dibanding impor dari B (PTC < PTB). Jumlah impor tersebut adalah sebesar D1 – S1 dan penerimaan pemerintah A dari tarif impor adalah sebesar c + e. Dengan pembentukan FTA antara negara A dan B, negara A selanjutnya menghapus tarif impor atas barang dari B sehingga tB = 0, sedangkan besar tC masih tetap sebesar t*. Akibat penghapusan terif tersebut maka harga impor dari B dan C di pasar domestik A berubah menjadi PB dan PTC. Oleh karena PB < PTC maka setelah adanya FTA negara A akan mengimpor barang seluruhnya dari negara B karena harga yang lebih murah. Pada harga PB tersebut, jumlah yang diimpor bertambah menjadi D2 – S2. Hal ini berarti perdagangan negara A dengan C (dengan produk yang lebih efisien) mengalami diversi ke B. Mengingat PB > PC, negara A mengalami trade diversion yaitu memperoleh barang-barang yang diproduksi secara tidak efisien di negara B dibanding dengan produk negara C yang lebih efisien. Meskipun menambah kesejahteraan konsumen sebesar (a+b+c+d), diversi perdagangan telah menurunkan kesejateraan produsen (producer surplus) sebesar (a) dan kerugian pemerintah dari penerimaan tarif impor sebesar (c+e). Dampak secara keseluruhan dari diversi perdagangan tersebut adalah kesejahteraan nasional berkurang sebesar ((b+d)-e) sebab efek positif konsumsi lebih kecil dibandingkan dengan efek negatif distorsi produksi dan hilangnya penerimaan pemerintah dari tarif.
79
P
S
D
Negara A
PT B PT C PB
a
b
c
d
e
PC
S2 S1
D1
D2
Q
Sumber: Suranovic (2004) Gambar 14. Diversi Perdagangan dan Kesejahteraan Nasional
Berkaitan dengan dampak kreasi dan diversi perdagangan yang kemungkinan terjadi akibat dari perlaksanaan FTA ASEAN – China, hasil studi Tambunan (2006) berkesimpulan bahwa akan terjadi kreasi perdagangan antara ASEAN dan China tetapi dengan mengorbankan (diversi) perdagangan diantara negara-negara ASEAN sendiri (intra-ASEAN trade). Apabila dampak diversi perdagangan tersebut lebih besar maka akan menghambat tercapainya integrasi ekonomi ASEAN dan semakin sulit untuk mewujudkan pembentukan ASEAN Economic Community pada tahun 2015. Lebih lanjut dikatakan bahwa Indonesia akan memperoleh efek positif kreasi perdagangan dengan China, tanpa mengurangi perdagangannya dengan negara-negara ASEAN lainnya. Sedangkan Chirathivat (2002) berpendapat bahwa efek kreasi perdagangan akan lebih besar daripada efek diversinya, sehingga FTA ASEAN – China akan saling menguntungkan bagi perdagangan antara kedua belah pihak.
80 3.4.
Teori Keseimbangan Umum Dalam sebuah perekonomian berlangsung berbagai macam kegiatan ekonomi,
seperti produksi, konsumsi, dan pertukaran atau perdagangan. Kegiatan ekonomi tersebut menciptakan berbagai macam pasar yang saling terkait dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh: pasar barang akan dipengaruhi oleh pasar faktor produksi dan pasar internasional (ekspor dan impor). Pasar faktor produksi sangat terkait dengan pasar tenaga kerja, sedangkan kegiatan ekspor/impor dipengaruhi kebijakan pemerintah seperti: pajak dan subsidi. Hubungan antar pasar tersebut disajikan dalam diagram arus lingkaran ekonomi pada Gambar 15.
Ekspor
LUAR NEGERI Pajak Impor Impor
Permintaan Faktor Produksi
Penawaran Faktor Produksi Pasar Faktor
Impor
Pembayaran Faktor RUMAH TANGGA
PERUSAHAAN
PEMERINTAH Pajak
Pembayaran Barang/Jasa
Pasar Barang
Permintaan Barang/Jasa
Barang Antara
Limbah
Proses Produksi dan Penawaran Barang/Jasa Produksi
Daur Ulang Input
Material/Energy
Limbah
Sumber: Ratnawati (1996) Gambar 15. Diagram Arus Lingkar Ekonomi Terbuka
81 Gambar 15 menunjukkan bahwa pada setiap pasar akan terjadi interaksi permintaan dan penawaran antara konsumen dengan produsen yang selanjutnya akan mengarah kepada keseimbangan harga dan kuantitas. Keseimbangan umum akan tercapai apabila permintaan dan penawaran pada masing-masing pasar berada dalam keseimbangan secara simultan.
3.4.1. Keseimbangan Walrasian Teori keseimbangan umum pertama kali dikembangkan oleh Leon Walras pada abad ke-19. Walras menyusun model keseimbangan pasar kompetitif pada sebuah sistim ekonomi pertukaran (exchange economy), dimana tidak terdapat kegiatan produksi. Dengan demikian, semua agen ekonomi adalah para konsumen sehingga agregat penawaran sama dengan agregrat endowment yang dimiliki konsumen. Diasumsikan terdapat sejumlah L komoditi dan sejumlah H konsumen, dengan harga komiditi p dan harga endowment adalah w. Masing-masing konsumen menghadapi masalah optimasi untuk menentukan rencana konsumsi optimal
(xˆ) dengan kendala pendapatan dan preferensi tertentu: h x x, x B ( p, wh ) ……………..………………………………………(III-3) h dimana adalah preferensi agen h dan B( p, w h ) adalah kendala pendapatan.
Keseimbangan Walrasian (keseimbangan kompetitif) dapat didefinisikan sebagai satu alokasi x ( x 1 , x 2 ,..., x H ) dan vektor harga p sedemikian rupa sehingga:
1.
setiap agen ekonomi memilih rencana konsumsi optimal:
x h h ( p, w h ),
h. 2.
agregat permintaan sama dengan agregat penawaran untuk setiap komoditi: H x w, dimana w h 1 w h
82 Harga p adalah harga keseimbangan yang ditentukan secara endogen di pasar kompetitif.
Menurut hukum Walras, keseimbangan kompetitif terjadi apabila
kelebihan permintaan (excess demand) sama dengan nol. Secara sederhana teori keseimbangan umum dapat dijelaskan dengan menggunakan model “ekonomi dua pasar”. Dengan model ini dimisalkan di satu tempat A terdapat banyak konsumen yang memiliki preferensi identik atas barang konsumsi x dan waktu luang (leisure) t. Sementara di tempat lain B, terdapat banyak perusahaan identik memproduksi barang x menggunakan teknologi yang sama dengan fungsi produksi F (L) , dimana L adalah tenaga kerja yang disuplai dari tempat A. Untuk keperluan pertukaran antara pasar A dengan pasar B maka perusahaan menjual produknya dengan harga p, sedangkan pekerja menjual tenaganya dengan harga w. Dengan asumsi pasar bersaing sempurna, setiap konsumen menghadapi masalah maksimasi utilitas dengan kendala pendapatan tertentu: MaxU( x, t ) dengan _
_
kendala: w(T t ) px , dimana T adalah waktu luang awal yang dimiliki konsumen (initial endowment of Time) dan merupakan bagian keuntungan konsumen (jika ada) yang diberikan oleh seluruh perusahaan. Dengan menggunakan fungsi Lagrangian, maksimasi fungsi utilitas dapat diselesaikan sebagai berikut: U ( x, t ) w(T t ) px
MU x p 0 x MU x p.......... .......... .......... .......... .....
MU x p
MU t w 0 t MU t w.......... .......... .......... .......... ......
MU t w
83
w(T t ) px 0 MU x w …………………………………………………….……..…..(III-4) MU t p
U f ( x, t ) U U x t 0 x t MU x x MU t t 0
dU
MU x t MRS xt …………………………………………..………….(III-5) MU t x
Dari persamaan (III-14) dan (III-15) diperoleh: Marginal Rate of Substitution waktu luang t dengan konsumsi barang x ( MRS xt )
w . p
Pada kondisi ini konsumen
mencapai tingkat kepuasan maksimum dan terjadi keseimbangan di sektor konsumsi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 16. x
MUt = MRStx = w MUx p
-w p t Sumber: Manna, M. (2001) Gambar 16. Keseimbangan Konsumsi
84 Sedangkan permasalahan yang dihadapi oleh setiap perusahaan adalah bagaimana memaksimumkan keuntungan:
Max pF(L) wL .
Syarat pertama (first order
condition) keuntungan maksimum adalah:
F ( L) pF ( L) w 0 ……………………………………..………...(III-6) L Persamaan
(III-16)
mengandung
arti
bahwa
keuntungan
marginal
untuk
mempekerjakan L harus sama dengan biaya marginal L. Persamaan tersebut dapat ditulis menjadi:
F ( L)
w ……………………………………………………………….(III-7) p
dimana: F (L) adalah Marginal Rate of Technical Substitution antara tenaga kerja dengan output ( MRTS LX ) . Setiap perusahaan akan mencapai keuntungan maksimum atau keseimbangan produksi tercapai pada saat MRTS LX
w . p
Secara grafis
keseimbangan produksi tersebut ditunjukkan pada Gambar 17.
t
X
MRTStx = w / p
-w/p
t
t Sumber: Manna (2001) Gambar 17. Keseimbangan Produksi
85 Berdasarkan keseimbangan konsumsi dan produksi di atas, maka diperoleh syarat pertama (first order condition) untuk keseimbangan umum, yaitu: F ( L)
w MU t atau MRTS MRS …………………….…………...(III-8) p MU x
Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 18, kondisi MRTS MRS belum memenuhi syarat kecukupan (sufficient condition) untuk keseimbangan umum. Meskipun syarat MRTS MRS terpenuhi, namun kedua pasar (pasar barang dan tenaga kerja) tidak dalam kondisi keseimbangan sebab: 1.
pada saat
w0 terjadi kelebihan penawaran tenaga kerja sebesar ES(L), p0
sehingga agar tercapai keseimbangan pasar maka upah harus diturunkan; pada saat yang bersamaan ketika
w0 , pasar barang mengalami kelebihan p0
permintaan sebesar ED(x) sehingga harga barang X harus dinaikkan. x
ED(x)
2.
w0 p0
t ES(L) Sumber: Manna (2001) Gambar 18. Syarat Kecukupan Keseimbangan Umum
86 Syarat kecukupan untuk tercapainya keseimbangan umum adalah adanya harga relatif antara kedua barang yang menyebabkan jumlah penawaran sama dengan permintaan.
Menurut hukum Walras keseimbangan umum terjadi apabila tidak
terdapat kelebihan permintaan atau ED(x) = 0, dan pada harga relatif tertentu apabila pasar n-1 mengalami keseimbangan maka pasar yang ke-N juga dalam keseimbangan. Dengan demikian, jika pada pasar tenaga kerja dapat diperoleh harga relatif keseimbangan
w* p*
maka pasar barang juga akan mengalami keseimbangan.
Keseimbangan kedua pasar terjadi di titik E* pada harga relatif
w* p*
seperti
ditunjukkan pada Gambar 19.
ED(x)
X
E*
t ES(L) Sumber: Manna (2001) Gambar 19. Keseimbangan Kompetitif Walrasian
w* p*
87 3.4.2. Efisiensi Pareto Keseimbangan kompetitif sangat erat kaitannya dengan efisiensi ekonomi. Suatu alokasi sumberdaya dikatakan efisien Pareto (Pareto efficiency), yaitu apabila tidak ada pihak manapun yang dapat meningkatkan kesejahteraannya tanpa mengakibatkan kerugian bagi pihak lain. Keterkaitan antara keseimbangan kompetitif dengan efisien Pareto dinyatakan dalam 2 (dua) teorema yang fundamental dalam Ekonomi Kesejahteraan. Teorema I Ekonomi Kesejahteraan Teorema pertama Ekonomi Kesejahteraan menyatakan jika pada harga ( p1* , p2* ,..., p *N 1 ) suatu alokasi sumberdaya ( xi* , x2* ,..., x *N 1 ) dalam keseimbangan umum yang kompetitif maka alokasi tersebut adalah efisien Pareto. Kondisi tersebut dapat dijelaskan dengan Edgeworth Box untuk model ekonomi dua barang-dua konsumen seperti ditunjukkan pada Gambar 20. B
U A ( F1A , F2A )
F2
E* U B ( F1B , F2B )
F1 A Sumber: Manna (2001) Gambar 20. Efisiensi Pareto Model Ekonomi 2-Komoditi, 2-Konsumen
88 Pada Gambar 20 dapat dilihat bahwa titik keseimbangan E* telah memenuhi syarat perlu (necessary condition) untuk keseimbangan umum kompetitif, sebab pada titik E* tersebut MRS kedua konsumen adalah sama dengan harga relatif. Tidak ada alokasi selain pada titik E* yang dapat memberikan keuntungan bagi satu konsumen tanpa menyebabkan kerugian konsumen lain (Efisien Pareto).
Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa jika perdagangan dilakukan di pasar kompetitif maka hasilnya akan saling menguntungkan, dan alokasi sumberdaya menjadi efisien. Teorema II Ekonomi Kesejahteraan Teorema kedua Ekonomi Kesejahteraan menyatakan bahwa apabila suatu alokasi ( xi* , x2* ,..., x *N 1 ) adalah Pareto optimal maka terdapat harga ( p1* , p2* ,..., p *N 1 ) dan terjadi redistribusi endowment awal sedemikian rupa sehingga alokasi ( xi* , x2* ,..., x *N 1 ) adalah sebuah keseimbangan umum kompetitif. Teorema kedua ini merupakan
kebalikan
membuktikannya.
dari teorema
yang pertama
dan
agak
sulit
untuk
Dengan menggunakan model ekonomi “dua komoditi – dua
konsumen”, dapat dijelaskan argumen yang dibangun dalam teorema kedua Ekonomi Kesejahteraan. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 21, bermula dari endowment awal di titik E0.
Selanjutnya endowment awal tersebut dapat dibagi-bagi (redistribusi)
sehingga mencapai titik keseimbangan E1. Dengan menentukan rasio harga yang tepat maka dapat dicapai keseimbangan akhir di titik E* yang merupakan titik keseimbangan umum kompetitif dan sekaligus Pareto optimal. Dengan demikian keseimbangan kompetitif akan selalu menghasilkan alokasi sumberdaya yang efisien (Pareto optimal) meskipun alokasi tersebut belum tentu merata diterima oleh semua masyarakat. Berdasarkan teorema kedua tersebut dapat disimpukan bahwa redistribusi tidak perlu menimbulkan konflik (bertentangan) dengan efisiensi ekonomi. Dengan
89 kata lain, alokasi sumberdaya yang efisien tidak harus merata dan menjadi tugas pemerintah untuk melakukan redistribusi pendapatan atau barang kepada masyarakat sehingga terjadi pemerataan.
B U A ( F1A , F2A )
F2
E* B
B 1
B 2
U (F , F )
E
0
E1
F1 A Sumber: Manna (2001) Gambar 21. Efisien Pareto dan Keseimbangan Umum
3.4.3. Aplikasi Model Keseimbangan Umum Dalam Analisis Kebijakan Sejak pertama kali dikembangkan oleh Johansen (1960) model keseimbangan umum terapan atau sering disebut Computable General Equilibrium (CGE) telah diaplikasikan secara luas untuk melakukan analisis dampak berbagai kebijakan makroekonomi, perdagangan dan lingkungan hidup, terutama di negara-negara berkembang (Devarajan, 2002; Klepper et al, 2003). Aplikasi model CGE untuk analisis dampak kebijakan makroekonomi (penyesuaian struktural, distribusi pendapatan, kemiskinan, dan lain-lain) telah banyak dilakukan di negara-negara berkembang, antara lain: Amerika Latin (Harris, 2001; Coady, 2001; Ianchovichina et al, 2001; Bussolo, 2003; Jemio dan Wiebelt, 2003), Afrika (Bautista et al, 1998;
90 Devarajan and Mensbrugghe, 2000; Lofgren, 2001), dan Asia ( Bautista and Thomas, 1997; Devarajan et al, 1997; Diao et al, 1999;
Storm, 1999; Cockburn, 2001).
Di bidang perdagangan, model CGE banyak diaplikasikan untuk menganilisis dampak liberalisasi perdagangan multilateral dan regional: WTO (Francois, 1995; Harrison, Rutherford and Tarr, 1995; Shrama et al, 1996; Blake, Rayner and Reed, 1999), APEC (Adams, 1998; Walmsley, 1998; Ballard and Cheong, 1997; Benjamin and Diao, 2000; Oktaviani, 2000; Scollay and Gilbert, 2000), NAFTA (Brown et al, 1992; Francois and Shiells, 1994; Brown, Deardorff and Stern, 1995; Krueger, 2000; Rutherford and Martinez, 2000), dan AFTA (Adams and Park, 1995; Innwon, 1995; Mung-Heng, 1996; Ma and Wang, 2002; Chirathivat, 2002; Urata and Kiyota, 2003; Le et al, 2004). Selain itu, model CGE juga digunakan untuk mengevaluasi dampak perjanjian di bidang lingkungan (Kyoto Protocol) seperti: Harrison et al, (1989); Springer, (2000); Hill, (2001); dan Klepper et al, (2003). Perkembangan model CGE sangat didukung oleh kemajuan teknologi komputer sehingga memudahkan bagi penyusun
model untuk melakukan modifikasi
dan penyempurnaan model
sebelumnya. Pada saat ini banyak lembaga penelitian mengembangkan model CGE baik yang bersifat multi-country, seperti: model GTAP (Universitas Purdue, Amerika Serikat), maupun single-country, seperti: ORANI (Universitas Monash, Australia), INDORANI dan WAYANG (Indonesia). Model CGE merupakan model ekonomi multi-sektor yang memuat semua transaksi antar pelaku ekonomi di pasar faktor produksi dan pasar komoditi, sehingga dampak dari suatu kebijakan dapat dianalisis secara kuantitatif baik di tingkat makroekonomi maupun sektoral. Dibandingkan dengan model ekonomi multi-sektor lainnya, seperti: Input-Output (I – O), model CGE memiliki beberapa kelebihan, antara lain:
91 1.
Model CGE memiliki landasan mikroekonomi yang kuat yang dapat membantu dalam mengintepretasikan hasil simulasi atau analisis faktual. Hal ini dimungkinkan karena model CGE memuat spesifikasi lengkap mengenai penawaran dan permintaan di semua pasar serta perilaku dari semua pelaku ekonomi (Robinson, 1989 dalam Hakim 2004).
2.
Model CGE dapat melakukan analisis dampak kebijakan terhadap semua sektor ekonomi secara simultan. Sedangkan, model Input – Output hanya dapat menganalisis dampak kebijakan di tingkat industri. Berbeda dengan model Input – Output, model CGE memasukkan harga sebagai variabel endogen sehingga substitusi antar faktor produksi dapat dilakukan di dalam model (Horison, 1997 dalam Taufikurahman, 2004).
3.
Model CGE dapat melakukan analisis berdasarkan data tahun tertentu (particular benchmark years), sedangkan model ekonometrika sangat mengandalkan data deret waktu (time series).
Di sisi lain, model CGE juga memiliki beberapa kekurangan antara lain: 1.
Model CGE tidak dapat melakukan estimasi parameter untuk digunakan di dalam model. Sebagian besar parameter (seperti: elastisitas) yang digunakan dalam model CGE diambil dari hasil beberapa studi terdahulu sehingga perlu kehati-hatian dalam menggunakan nilai elastisitas tersebut sebab seringkali jumlah dan jenis sektor maupun tahun penerbitan hasil studi berbeda dengan sektor yang akan dianalisis (Hakim, 2004).
2.
Model CGE dinilai terlalu kompleks karena terdiri dari banyak sektor, institusi dan region sehingga seringkali sulit untuk mengintepretasikan hasil simulasi.
3.
Solusi model CGE sangat sensitif terhadap spesifikasi penutup makroekonomi (closure) sehingga diperlukan kehati-hatian dalam menetapkannya.
92 3.5. Kajian Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai dampak ekonomi FTA di kawasan Asia Timur (Jepang, Korea Selatan, China, dan negara-negara ASEAN) dilakukan Scollay dan Gilbert (2002) dengan menggunakan model CGE static dan database GTAP yang diagregasi menjadi 26 region dan 20 sektor. Simulasi kebijakan dilakukan dengan 5 skenario, yaitu: (1) FTA China-Korea Selatan-Jepang, (2) FTA ASEAN+3, (3) FTA ASEAN+3+CER (New Zealand, Australia), (4) FTA ASEAN – China, dan (5) FTA ASEAN – Jepang. Masing-masing skenario disimulasikan dengan meliberalisasikan perdagangan secara penuh (semua sektor) dan liberalisasi terbatas pada sektor nonpertanian saja. Sebagai skenario dasar (baseline) adalah penghapusan tarif impor di antara negara-negara peserta FTA. Hasil simulasi dengan skenario FTA ASEAN – China secara penuh menunjukkan bahwa China tidak memperoleh keuntungan dari liberalisasi perdagangan dengan ASEAN. Salah satu negara ASEAN yang paling besar memperoleh keuntungan adalah Singapore dengan penambahan GDP riil sebesar 3.4 persen. Namun jika sektor pertanian tidak diliberasisasi maka GDP riil China akan naik sebesar 0.1 persen. Ma and Wang (2002) menggunakan model CGE recursive dynamic dengan database GTAP versi 5 yang diagregat menjadi 18 region dan 26 sektor. Simulasi dilakukan atas 4 skenario kebijakan, yaitu: (1) pembentukan FTA China/Hong Kong – ASEAN, (2) FTA Jepang – ASEAN, (3) FTA ASEAN+3 (Jepang, China, Korea Selatan), dan (4) FTA ASEAN+3 dengan Amerika Serikat. Skenario dasar (baseline) yang digunakan adalah keanggotaan China dan Taiwan di WTO selama waktu transisi (1998 – 2012). Dampak ekonomi dilihat berdasarkan akumulasi pertumbuhan PDB riil, presentase perubahan kesejahteraan yang diukur dengan Equivalent Variation (EV), dan perubahan nilai ekspor. Hasil simulasi dengan skenario FTA China – ASEAN menunjukkan peningkatan GDP rill semua negara ASEAN dan China.
93 Peningkatan GDP terbesar diperoleh Singapore (4 persen), diikuti Thailand dan Indonesia (0.7 persen). Ekspor China ke ASEAN meningkat 7 persen. Lee et al (2004) melakukan penelitian mengenai implikasi perjanjian perdagangan bebas di Asia Timur dalam kaitannya dengan kemajuan ekonomi China. Penelitian ini menggunakan model LINKAGE, sebuah model CGE global dinamis yang dikembangkan oleh Mensbrugghe (2003). Database yang digunakan adalah GTAP versi 5.2 dengan agregasi 9 region dan 18 sektor. Penelitian ini melakukan simulasi dengan 7 skenario kebijakan, yaitu: (1) Liberalisasi perdagangan China secara unilateral, (2) FTA ASEAN – China, (3) FTA ASEAN – Jepang; (4) FTA ASEAN+3, (5) FTA ASEAN – China – EU, (6) FTA China – Jepang – USA, dan (7) Liberalisasi perdagangan global. Hasil simulasi dengan skenario FTA ASEAN – China menunjukkan bahwa pada tahun 2015 kesejahteraan negara-negara ASEAN-6 (yang diukur berdasarkan nilai Equivalent Variation/EV) akan bertambah sebesar US$ 26.0 milyar (2.5 persen). Sedangkan kesejahteraan China dan Hong Kong bertambah sebesar US$ 34.8 milyar (1.4 persen) dari skenario dasar. Bagi negaranegara di luar ASEAN dan China, FTA tersebut menimbulkan dampak kesejahteraan yang relatif lebih kecil (0.2 persen). ASEAN - China Working Group on Economic Cooperation (2001), melakukan studi mengenai dampak ekonomi FTA ASEAN – China dengan menggunakan model standar GTAP versi 4 dengan agregasi 10 region dan 10 sektor komoditi. Berdasarkan hasil studi ini diperkirakan pasar bebas ASEAN-China akan memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak.
Ekspor ASEAN ke China akan meningkat
sebesar 48 persen, dan sebaliknya ekspor China ke ASEAN bertambah 55.1 persen. PDB riil ASEAN akan bertambah sebesar US $ 5.4 milyar (0.9 persen), sedangkan PDB riil China akan naik US $ 2.2 milyar (0.3 persen). Kenaikan PDB riil terbesar
94 akan diperoleh Vietnam (2.15 persen), sedangkan Indonesia (1.12 persen) sedikit lebih rendah dari Malaysia (1.17 persen). Chirathivat (2002) mengembangkan sebuah model CGE berdasarkan model standar GTAP yang disebut: CAMGEM (Chulalongkom and Monash General Equilibrium Model) untuk meneliti implikasi FTA ASEAN – China. Penelitian ini menggunakan database GTAP versi 4 dengan agregasi 45 x 50 untuk mensimulasikan 2 skenario kebijakan, yaitu: (1) penghapusan tarif perdagangan, dan (2) penghapusan hambatan non-tarif di negara-negara ASEAN dan China. Dampak ekonomi dihitung berdasarkan persentase perubahan PDB riil dan perubahan tingkat kesejahteraan yang diukur dengan menggunakan equivalent variation. Hasil penilitian menunjukkan bahwa liberalisasi tarif akan meningkatkan PDB rill ASEAN-6 dan China sebesar 0.4 persen. ASEAN memperoleh kesejahteraan (EV) sebesar US$ 2 986.2 milyar, sedangkan China memperoleh US$ 1 787.1 milyar. Namun dengan penghapusan hambatan non-tarif maka keuntungan yang diperoleh akan lebih besar baik bagi ASEAN maupun China. Kenaikan PDB riil ASEAN-6 bertambah menjadi 1.4 persen dan China naik sebesar 2.3 persen. Kesejahteraan ASEAN-6 meningkat sebesar US$ 11 639.5 milyar, sedangkan China memperoleh tambahan kesejahteraan sebesar US$ 11 858.2 milyar. Hal ini menunjukkan bahwa penghapusan hambatan non-tarif sangat penting artinya dalam liberalisasi perdagangan ASEAN – China. Dengan menggunakan model yang berbeda, yaitu: dengan pendekatan daya saing negara-negara ASEAN dan China di pasar internasional, Tongzon (2005) menganalisis implikasi ekonomi dari FTA ASEAN – China. Daya saing teresebut diukur berdasarkan “indeks porsi di pasar dunia” (the world market shares index), i yang dirumuskan: XCI a X aw , dimana X ai adalah ekspor komoditi a dari negara i,
Xa
95 sedangkan X aw adalah ekspor dunia untuk komoditi a.
Rumus daya saing ini
menggambarkan kemampuan industri ASEAN dan China untuk melakukan penetrasi ke pasar dunia atau untuk meningkatkan porsi ekspor mereka di pasar dunia. Kenaikan nilai indeks dalam kurun waktu tertentu menunjukkan adanya perbaikan daya saing internasional satu komoditi ekspor dari sebuah negara, dan sebaliknya apabila indeks tersebut turun maka daya saing internasional komoditi tersebut melemah.
Berdasarkan hasil analisis terhadap daya saing produk-produk ekspor
negara-negara ASEAN dan China disimpulkan bahwa FTA ASEAN – China memberikan peluang bagi ASEAN untuk meningkatkan ekspor ke pasar China terutama untuk komoditi pangan,
pertanian,
dan kehutanan dimana daya saing
ASEAN lebih unggul dibandingkan China. Berbeda dengan kebayakan studi yang telah dilakukan sebelumnya, penelitian ini akan menggunakan model GTAP steady state yang sebelumnya dikembangkan oleh Walmsley (1998) dan Oktaviani (2000). Model GTAP standar yang digunakan adalah GTAP versi 6 yang diluncurkan pada tahun 2003 dimana databasenya berdasarkan kondisi ekonomi tahun 2001. Oleh karena titik berat penelitian adalah analisis perubahan kinerja ekonomi Indonesia sebagai akibat diberlakukannya kebijakan perdagangan bebas maka pada penelitian ini akan disimulasikan beberapa kebijakan domestik seperti: penurunan biaya transaksi perdagangan dan peningkatan produktivitas sektor pertanian yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi ekonomi sekaligus mengurangi dampak negatif perdagangan bebas.
IV.
STRUKTUR MODEL KESEIMBANGAN UMUM GTAP STANDAR
Model GTAP (Global Trade Analysis Project) dikembangkan oleh Pusat Analisis Perdagangan Global (the Centre for Global Trade Analysis), Departemen Ekonomi Pertanian, Universitas Purdue, Indiana. Model GTAP merupakan Model Keseimbangan Umum (CGE) ekonomi global yang bersifat statis komparatif, multiregion dan multi-sektor. Dibanding dengan model single-country, model multi-region memiliki kelebihan untuk menjelaskan interaksi antar ekonomi yang berbeda. Pengaruh pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktural yang terjadi di negaranegara lain terhadap perekonomian nasional dapat dinyatakan secara eksplisit dengan model multi-region (Strutt and Anderson, 1999; Oktaviani, 2000). Model GTAP terdiri dari struktur model, database perdagangan bilateral, dan parameter perilaku yang meliputi elastisitas substitusi, elastisitas permintaan, dan elastisitas transformasi untuk menentukan tingkat mobilitas faktor-faktor primer. Struktur model GTAP terdiri dari persamaan-persamaan simultan yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: (1) persamaan yang menggambarkan hubungan antara penerimaan dan pengeluaran oleh setiap agen ekonomi di satu region (accounting relationship), dan (2) persamaan yang menjelaskan perilaku agen ekonomi (behavioral equations). Semua set, sub-set, parameter dan variabel bentuk nominal (value / levels form) dinotasikan dengan huruf kapital. Sedangkan variabel dalam bentuk persentase perubahan (percentage change) atau bentuk linier dinotasikan dengan huruf kecil. Sebagai contoh: PM(i,r) adalah variabel bentuk level untuk harga pasar komoditi i di region r, dan pm(i,r) = [d PM(i,r) / PM(i,r)]*100% adalah bentuk linier dari variabel harga pasar tersebut. Berikut ini diuraikan secara ringkas struktur model GTAP standar yang bersumber dari Hertel (1997).
97
4.1.
Accounting Relationships Dalam model GTAP, keseimbangan ekonomi di satu region dinyatakan dalam
persaaman accounting relationships yang menggambarkan hubungan antara penerimaan dan pengeluaran yang dilakukan oleh masing-masing sektor di satu region dan transaksi perdagangan (ekspor dan impor) dari satu region ke region lainnya. Hubungan penerimaan dan pengeluaran dalam sebuah sistim ekonomi terbuka (multi region open economy) dengan intervensi pemerintah berupa pengenaan pajak dan pemberian subsidi ditunjukkan pada Gambar 22.
Regional Household
TAXES
TAXES SAVE
PRIVEXP
GOVEXP VOA (Endw)
TAXES XTAX
MTAX Global Bank Private Household
Government NETINV
VDPA
VDGA
Producer
VIPA VIFA
VDFA
VIGA VXMD
Restof ofWorld the Rest World
Sumber: Brockmeier (2001) Gambar 22. Neraca Penerimaan dan Pengeluaran Sistim Ekonomi Terbuka
98
Pada Gambar 22, ekonomi sebuah region direpresentasikan oleh satu rumahtangga regional (regional household) yang memperoleh income dari hasil penjualan endowmwent, VOA (Value of Output at Agent’s Prices), dan penerimaan pajak. Penerimaan pajak diperoleh dari rumahtangga swasta, pemerintah, dan industri (TAXES). Selain itu, pajak juga diterima dari region lain (Rest of the World) berupa pajak ekspor (XTAX) dan pajak impor (MTAX). Penghasilan rumahtangga regional tersebut selanjutnya di alokasikan sebagai pengeluaran (expenditures) sektor rumah tangga swasta (PRIVEXP), rumah tangga pemerintah (GOVEXP), dan sebagai tabungan ke global bank (SAVE). Konsumsi rumahtangga swasta, VDPA (value of domestic purchases by private households at agent’s prices) diasumsikan mengikuti fungsi pengeluaran CDE (Constant Difference of Elasticity).
Konsumsi rumahtangga pemerintah, VDGA
(Value of Domestic Purchases by Government Households at Agent’s Prices) direpresentasikan dengan fungsi utilitas Cobb Douglas sehingga porsi pengeluaran untuk seluruh komoditi adalah konstan. Dalam model GTAP diasumsikan bahwa tabungan seluruhnya digunakan sebagai investasi (NETINV) melalui bank global. Di sisi produsen, pendapatan diperoleh dari hasil penjualan barang konsumsi ke rumahtangga swasta (VDPA) dan pemerintah (VDGA), penjualan barang input antara ke industri lain (VDFA), serta penjualan barang investasi ke sektor tabungan (NETINV). Di samping hasil penjualan di pasar domestik, produsen juga memperoleh pendapatan dari hasil ekspor barang ke region lain. Nilai ekspor dinyatakan sebagai Value of Exports at Market Prices by Destination (VXMD). Oleh karena setiap industri diasumsikan beroperasi pada kondisi zero profit maka pendapatan produsen seluruhnya dibelanjakan untuk pembelian faktor primer (VOA), input antara yang diproduksi di dalam negeri (VDFA) dan input antara yang berasal dari impor (VIFA).
99
Sifat multi-region dari model GTAP selain ditunjukkan dengan bank global juga oleh adanya sektor perdagangan internasional (ekspor dan impor) dari satu region ke region lain (Rest of the World). Region lain tersebut memperoleh penerimaan impor dari rumahtangga swasta (VIPA), rumahtangga pemerintah (VIGA), dan industri (VIFA). Penerimaan tersebut selanjutnya dibelanjakan untuk barang impor (VXMD), pembayaran pajak ekspor (XTAX) dan pajak impor (MTAX) kepada rumahtangga regional.
4.1.1. Keseimbangan Pasar Kondisi keseimbangan pasar domestik region r untuk komoditi i yang diperdagangkan (tradeable market clearing condition) dinyatakan dengan persamaan: VOM (i, r ) * qo(i, r ) VDM (i, r ) * qds(i, r ) VST (i, r ) * qst(i, r )
VXMD (i, r , s) * qxs(i, r , s)
r REG
VOM (i, r ) * tradslack(i, r ) ………..……………….….(1)
dimana VOM(i,r) adalah nilai output komoditi i pada harga pasar di region r. Nilai tersebut adalah jumlah dari nilai penjualan domestik komoditi i di region r, VDM(i,r), nilai ekpsor komoditi i dari region r ke region s, VXMD(i,r,s), dan nilai penjualan ke sektor transportasi internasional, VST(i,r) yang diperlukan untuk menunjukkan adanya margin biaya transportasi. Dalam model GTAP sektor transportasi digunakan untuk menunjukkan sifat multi-region dari model. Komoditi i yang diperdagangkan di region r terdiri dari produksi dalam negeri dan yang berasal dari impor. Pada keseimbangan pasar domestik tersebut, jumlah komoditi i yang diimpor oleh region r adalah:
100
VIFM (i, j, r ) * qfm(i, j, r )
VIM (i, r ) * qim(i, r )
jPROD
VIPM (i, r ) * qpm(i, r )
VIGM (i, r ) * qgm(i, r ) ..................................................(2)
dimana VIM(i,r) adalah nilai impor komoditi i oleh region r. Nilai impor tersebut merupakan jumlah impor oleh industri j di region r, VIFM(i,j,r), impor oleh rumahtangga swasta, VIPM(i,r), dan impor oleh rumahtangga pemerintah, VIGM(i,r). Sedangkan jumlah komoditi i yang diproduksi di dalam negeri adalah:
VDM (i, r ) * qds(i, r )
VDFM (i, j, r ) * qfd (i, j, r )
jPROD
VDPM (i, r ) * qpd (i, r )
VDGM (i, r ) * qgd(i, r ) ...............................................(3) dimana VDM(i,r) adalah nilai penjualan domestik atas komoditi i pada harga pasar di region r. Penjualan domestik terdiri dari penjualan ke industri j, VDFM(i,j,r), ke rumahtangga swasta, VDPM(i,r), dan ke sektor pemerintah, VDGM(i,r). Keseimbangan pasar untuk komoditi yang tidak diperdagangkan (nontradeable market clearing condition) dinyatakan dengan persamaan:
VOM (i, r ) * qo(i, r )
VFM (i, j, r ) * qfe(i, j, r )
jPROD
VOM (i, r ) * endwslack(i, r ) ..........................................(4) qoes(i, j, r ) qfe(i, j, r ) ..................................................................................(5) persamaan (5) menunjukkan kondisi keseimbangan pasar, dimana jumlah penawaran endowments i, qoes(i,j,r) sama dengan jumlah permintaan endowments i oleh sektor j di region r, qfe(i,j,r).
101
Dalam model GTAP diasumsikan bahwa industri beroperasi dalam pasar bersaing sempurna sehingga setiap industri memperoleh keuntungan ekonomi nol (zero pure profit). Kondisi keuntungan ekonomi nol tersebut dinyatakan dengan persamaan:
VOA( j , r ) * ps( j , r )
VFA(i, j, r ) * pfe(i, j, r )
iENDW
VFA(i, j, r ) * pf (i, j, r )
iTRAD
VOA( j, r ) * profitslack ( j, r ) …………………..….….(6) dimana VOA(j,r) adalah nilai output pada harga di tingkat agen atau produsen j di region r, sama dengan jumlah nilai penggunaan input endowments i oleh sektor j,
VFA(i, j, r ) * pfe(i, j, r ) ,
ditambah dengan jumlah penggunaan faktor primer
iENDW
lainnya pada harga agen di region r,
VFA(i, j, r ) * pf (i, j, r ).
iTRAD
Sedangkan kondisi zero pure profit untuk sektor transportasi internasional adalah: VT * pt
VST (i, r ) * pm(i, r ) ……………………………..…(7)
ieTRAD _ COMM reREG
dimana total nilai jasa transportasi internasional, VT, sama dengan total nilai penjualan i dari region r ke sektor transportasi internasional , VST(i,r).
4.1.2. Distribusi Pendapatan Dalam model GTAP, ekonomi sebuah region direpresentasikan oleh satu rumahtangga regional (regional household). Pendapatan (income) rumahtangga regional di alokasikan untuk pengeluaran (expenditures) sektor rumahtangga swasta (PRIVEXP), rumahtangga pemerintah (GOVEXP), dan tabungan (SAVE). Distribusi
102
pendapatan (income) regional ke sektor pengeluaran rumahtangga swasta, pemerintah, dan tabungan dinyatakan dengan persamaan:
PRIVEXP (r ) * yp(r ) INCOME (r ) * y(r ) SAVE (r ) * psave qsave(r )
VGA(i, r ) * pg(i, r ) qg(i, r ) ………………….(8) ieTRAD
berdasarkan persamaan (8) di atas, pendapatan regional INCOME(r) adalah sama dengan jumlah pengeluaran rumahtangga swasta, PRIVEXP(r), pengeluaran rumahtangga pemerintah, VGA(i,r), dan pengeluaran tabungan, SAVE(r). Sumber pendapatan regional diperoleh dari hasil penjualan faktor-faktor primer (endowments) yaitu: kapital, tenaga kerja, lahan dan sumberdaya alam, serta penerimaan berbagai jenis pajak seperti: pajak ekspor, pajak penghasilan, pajak impor, pajak penjualan atas faktor primer dan lain-lain. Pendapatan regional tersebut dinyatakan dalam persamaan: INCOME (r ) * y (r )
VOA(i, r ) ps(i, r ) qo(i, r ) VDEP(r ) * pcgds(r ) kb(r ) ieENDW
VOM (i, r ) * pm(i, r ) qo(i, r ) VOA(i, r ) * ps(i, r ) qo(i, r ) ieNSAV
VFA(i, j, r ) pfe(i, j, r ) qfe(i, j, r ) VFM (i, j, r ) * pm(i, r ) qfe(i, j, r ) ieENDW jePRO
VFA(i, j, r ) pfe(i, j, r ) qfe(i, j, r ) VFM (i, j, r ) * pmes (i, j, r ) qfe(i, j, r ) jeENDW iePROD
VIFA(i, j, r ) pfm(i, j, r ) qfm(i, j, r ) VIFM (i, j, r ) * pim(i, r ) qfm(i, j, r ) jePROD ieTRAD
VDFA(i, j, r ) pfd(i, j, r ) qfd(i, j, r ) VDFM (i, j, r ) * pm(i, r ) qfd(i, j, r ) jePROD ieTRAD
VIPA(i, r ) ppm(i, r ) qpm(i, r ) VIPM (i, r ) * pim(i, r ) qpm(i, r ) ieTRAD
VDPA(i, r ) ppd (i, r ) qpd (i, r ) VDPM (i, r ) * pm(i, r ) qpd (i, r ) ieTRAD
VIGA(i, r ) pgm(i, r ) qgm(i, r ) VIGM (i, r ) * pim(i, r ) qgm(i, r ) ieTRAD
103
VDGA(i, r ) pgd (i, r ) qgd (i, r ) VDGM (i, r ) * pm(i, r ) qgd (i, r ) ieTRAD
VXWD(i, r, s) pfob(i, r, s) qxs(i, r, s) VXMD(i, r, s) * pm(i, r ) qxs(i, r, s) ieTRAD seREG
VIMS(i, s, r ) pms(i, s, r ) qxs(i, s, r ) VIWS (i, s, r ) * pcif (i, s, r ) qxs(i, s, r ) ieTRAD seREG
INCOME (r ) * incomeslack (r ) .........................................................................(9)
Pada persamaan (9), pajak merupakan selisih antara nilai penjualan yang dihitung berdasarkan harga agen dengan nilai pada harga pasar domestik, atau selisih antara nilai pada harga pasar domestik dengan nilai pada harga pasar dunia. Dalam database GTAP, besar pajak / subsidi tidak dinyatakan dalam angka nominal (misal: 10 persen) tetapi dengan “kekuatan pajak ad valorem” (power of advalorem tax), yaitu: TO(i,r) = 1 – t(i,r), dimana t(i,r) adalah besar pajak ad valorem untuk komoditi i di region r. Sebagai contoh apabila harga endowment rumahtangga sebesar PS(i,r) dan harga pasar untuk komoditi tersebut adalah PM(i,r) maka: PS(i,r) = [1 - t(i,r)] * PM(i,r) sehinnga TO(i,r) = PS(i,r) / PM(i,r). Dengan kata lain, “kekuatan pajak” adalah rasio antara harga di tingkat agen dengan pasar domestik dan atau perbandingan harga pasar domestik dengan harga pasar dunia. Berdasarkan perbandingan ke dua harga tersebut, diketahui apabila TO > 1 maka terjadi pemberian subsidi atas harga komoditi dan sebaliknya jika TO < 1 maka berlaku pajak atas harga komoditi tersebut. Intervensi perdagangan antar region (border interventions) berupa kebijakan subsidi/pajak ekspor dan impor masing-masing diilustrasikan pada Gambar 23 dan 24.
Pada Gambar 23(a), harga komodit i di pasar domestik r lebih tinggi
dibandingkan harga di pasar dunia, PM(i,r) > PFOB(i,r,s). Hal ini menunjukkan adanya pemberian subsidi ekpor dari r ke s untuk komoditi tersebut, sehingga XTAX(i,r,s) = VXWD(i,r,s) – VXMD(i,r,s) < 0, dimana XTAX(i,r,s) adalah besarnya
104
subsidi yang dikeluarkan oleh region r yang memberikan efek negatif terhadap income region r.
Kekuatan subsidi ekspor adalah: TXS(i,r,s) = VXMD(i,r,s) /
VXWD(i,r,s) > 1, dimana VXMD(i,r,s) adalah nilai ekspor komoditi i dari r ke s berdasarkan harga pasar domestik
r, dan VXWD(i,r,s) merupakan nilai ekspor
komoditi i dari region r ke s berdasarkan harga fob (free on board). Besaran TXS(i,r,s) > 1 menunjukkan adanya pengeluaran subsidi oleh region r. Pada Gambar 23(b), pajak ekspor akan menyebabkan harga domestik PM(i,r) menjadi lebih rendah dibandingkan dengan harga di pasar dunia, PFOB(i,r,s), sehingga kekuatan pajak ekspor kurang dari satu, TXS(i,r,s) < 1. Jumlah penerimaan pajak ekspor adalah sebesar: XTAX(i,r,s) = VXWD(i,r,s) – VXMD(i,r,s) > 0. Besaran angka XTAX(i,r,s) > 0 menunjukkan dampak positif pajak ekspor tersebut terhadap income regional. Pada Gambar 24(a), pemberian subsidi impor menyebabkan harga i di pasar s menjadi lebih rendah dari harga di pasar dunia, PMS(i,r,s) < PCIF(i,r,s), sehingga MTAX(i,r,s) < 0. Sedangkan Gambar 24(b) menunjukkan pengenaan tarif impor menyebabkan harga pasar melebihi harga dunia, PMS(i,r,s) > PCIF(i,r,s), sehingga MTAX(i,r,s) > 0. Besarnya pengeluaran subsidi / penerimaan tarif impor adalah: MTAX(i,r,s) = VIMS(i,r,s) – VIWS(i,r,s). Subsidi impor menyebabkan MTAX(i,r,s) negatif, sebaliknya tarif impor akan memberikan MTAX(i,r,s) positif. Pemberian subsidi / tarif impor tersebut akan merubah nilai kekuatan tarif impor: TMS(i,r,s) = VIMS(i,r,s) / VIWS(i,r,s). Apabila TMS(i,r,s) > 1 maka berlaku subsidi impor, sedangkan TMS(i,r,s) < 1 menunjukkan adanya pajak/tarif impor.
105
S0 D PM(i,r) S1 -XTAX(i,r,s) PFOB(i,r,s) VXWD(i,r,s)
QXS(i,r,s) VXWD(i,r,s) = VXMD(i,r,s) - XTAX(i,r,s)
(a) Subsidi Ekspor S1 D S0 PFOB(i,r,s) XTAX(i,r,s) PM(i,r) VXWD(i,r,s)
QXS(i,r,s) VXWD(i,r,s) = VXMD(i,r,s) + XTAX(i,r,s)
(b) Pajak Ekspor Sumber: Hertel (1997) Gambar 23. Subsidi / Pajak Ekspor di Region r untuk Tujuan ke s Keterangan: PM : harga domestik komoditi i di region s yang berasal/diimpor dari r PFOB : harga fob komoditi i yang diekspor region r ke region s QXS : jumlah ekspor komoditi i dari region r ke s VXMD : nilai ekspor komoditi i dari r ke s berdasarkan harga pasar domestik di r VXWD : nilai ekspor komoditi i dari region r ke s berdasarkan harga fob XTAX : penerimaan pajak (bila positif) / pengeluaran subsidi (bila negatif) D : permintaan impor di region s S0 : penawaran sebelum pajak atas komoditi i di region s S1 : penawaran setelah pajak atas komoditi i di region s QXS (i, r , k ) VST (i, r ) penawaran komoditi i dari region r. dimana QXS (i, r , s) QO(i, r )
k s
106
D1
S
D0
PCIF(i,r,s) -MTAX(i,r,s) PMS(i,r,s) VIMS(i,r,s)
QXS(i,r,s) VIMS(i,r,s) = VIWS(i,r,s) - MTAX(i,r,s)
(a) Subsidi Impor
D0
D1
S
PMS(i,r,s) MTAX(i,r,s) PCIF(i,r,s)
VIWS(i,r,s)
QXS(i,r,s) VIMS(i,r,s) = VIWS(i,r,s) + MTAX(i,r,s)
(b) Pajak/ Tarif Impor Sumber: Hertel (1997) Gambar 24. Subsidi / Pajak Impor di Region s Untuk Impor Dari r Keterangan: PMS : harga domestik komoditi i di region s yang berasal/diimpor dari r PCIF : harga cif komoditi i yang diekspor region r ke region s QXS : jumlah ekspor komoditi i dari region r ke s VIMS : nilai impor komoditi i dari r ke s berdasarkan harga pasar domestik di s VIWS : nilai impor komoditi i dari region r ke s berdasarkan harga cif MTAX : penerimaan pajak (bila positif) / pengeluaran subsidi (bila negatif) D0 : permintaan impor di region s sebelum pajak D1 : penawaran atas komoditi i di region s setelah pajak S : penawaran komoditi i di region s QXS (i, r , k ) VST (i, r ) penawaran komoditi i dari region r. dimana QXS (i, r , s) QO(i, r )
k s
107
Oleh karena model GTAP standar bersifat statis komparatif, maka investasi saat ini tidak terakumulasi dengan investasi sebelumya sehingga tidak mempengaruhi produktivitas kapital. Stok kapital pada akhir periode di region r, ke(r) adalah:
ke(r ) INVKERATIO (r ) * qcgds(r ) 1 INVKERATIO (r )* kb(r ) ……...................................................(10) dimana koefisien INVKERATIO(r) merupakan rasio antara investasi bruto (REGINV) dengan stok kapital di akhir periode. Persamaan (10) di atas menyatakan bahwa stok kapital pada periode akhir di region r sama dengan stok kapital awal ditambah dengan investasi netto region r.
Selanjutnya investasi bruto regional diagregasi menjadi
investasi netto global:
globalcgds
REGINV (r ) / GLOBINV * qcgds(r )
VDEP (r ) / GLOBINV (r )* kb(r )......... .......... .......(11)
rREG
Persamaan (12) – (14) berkaitan dengan keseimbangan Walras untuk pasarpasar di region lain yang tidak dituliskan di dalam model. Perubahan penawaran di pasar lain (walras_sup) adalah sama dengan penawaran global untuk komposit barang modal (globalcdgs):
walras _ sup globalcgds ……………………………………….….…….(12) Sedangkan permintaan di pasar lain (walras_dem) adalah sama dengan permintaan global atas tabungan: GLOBINV * walras _ dem
SAVE (r ) * qsave(r ) …………………..…(13) reREG
Untuk melakukan verifikasi hukum Walras pada kondisi keseimbangan umum digunakan persamaan:
walras _ sup walras _ dem walraslack ……………………………..…(14)
108
Persamaan (14) menunjukkan bahwa tingkat permintaan adalah sama dengan penawaran dimana koefisien walraslack ditentukan secara endogen dan nilainya adalah nol.
4.1.3. Keterkaitan Harga Persamaan keterkaitan harga menggambarkan secara eksplisit adanya pajak/subsidi pada setiap transaksi di berbagai pasar yang berbeda. Di dalam model GTAP terdapat 6 jenis pajak yaitu: pajak impor, pajak output komoditi, pajak ekspor, pajak penghasilan, pajak atas penggunaan faktor primer oleh industri, dan pajak pembelian komoditi oleh rumah tangga dan industri. Keterkaitan antara harga output komoditi i sebelum dan sesudah pajak dinyatakan dengan persamaan:
ps(i, r ) to(i, r ) pm(i, r ) ……………………………………………..…(15) dimana ps(i,r) adalah harga output komoditi i di tingkat produsen/agen di region r, dan pm(i,r) adalah harga pasar untuk komoditi tersebut. Kekuatan pajak ad-valorem adalah to(i,r) = VOA(i,r) / VOM(i,r). Apabila to(i,r) < 1 maka berlaku pajak dan sebaliknya subsidi untuk to(i,r) > 1. Keterkaitan harga pasar dengan harga yang harus dibayar oleh industri j di region r untuk komoditi endowment i yang bergerak (mobile) adalah:
pfe(i, j, r ) tf (i, j, r ) pm(i, r ) ………………………………………..…(16) dimana pfe(i,j,r) adalah harga yang harus dibayar oleh industri j di region r untuk komoditi endowment i. Persamaan (16) menunjukkan adanya pengenaan pajak atas penggunaan faktor produksi oleh industri di region r.
Jika tf(i,j,r) > 0 maka
penerimaan pajak akan bertambah sebab industri j di region r harus membayar harga yang lebih mahal dibandingkan dengan harga pasar atau pfe(i,j,r) > pm(i,r). Untuk
109
endowment yang tidak bergerak (sluggish endowment), keterkaitan harga di atas dinyatakan:
pfe(i, j, r ) tf (i, j, r ) pmes(i, j, r ) ………………………………...……(17) dimana pmes(i,j,r) harga pasar untuk komoditi endowment tak bergerak i yang digunakan sektor j di region r. Untuk komoditi i produksi domestik, keterkaitan harga pasar domestik r dengan harga di tingkat konsumen rumah tangga swasta, pemerintah, dan industri masing-masing dinyatakan dengan persamaan (18) – (20):
ppd(i, r ) tpd(i, r ) pm(i, r ) ……………………………………..….……(18) pgd(i, r ) tgd(i, r ) pm(i, r ) …………………………………….....…....(19) pfd(i, j, r ) qfd(i, j, r) pm(i, r ) …………………………………...……(20) Sedangkan untuk komoditi i impor, keterkaitan harga di pasar domestik r dengan harga di tingkat konsumen rumah tangga swasta, pemerintah, dan industri masingmasing adalah:
ppm(i, r ) tpm(i, r ) pim(i, r ) ..................................................................(21) pgm(i, r ) tgm(i, r ) pim(i, r ) ..................................................................(22) pfm(i, j, r ) tfm(i, j, r ) pim(i, r ) .............................................................(23) Persentase perubahan harga komoditi i di pasar domestik s, pms(i,r,s) ditentukan oleh perubahan harga internasional pcif(i,r,s) dan perubahan tarif impor tm(i,s) dan tms(i,r,s):
pms(i, r, s) tm(i, s) tms(i, r, s) pcif (i, r, s) ..........................................(24) Pada persamaan (24) di atas terdapat dua jenis tarif impor, yaitu tarif impor bilateral yang dikenakan region s untuk impor dari r, tms(i,r,s), dan tarif untuk impor dari sumber-sumber lainnya (source-generic import levy), tm(i,s).
110
Berkaitan dengan variabel tarif impor, model GTAP menetapkan target harga domestik pr(i,s) secara endogen. Target harga domestik tersebut adalah rasio antara harga komoditi i di pasar domestik dengan harga rata-rata komposit impor. Hal ini dimaksudkan agar konsumen domestik tidak memiliki insentif untuk mensubstitusi barang domestik dengan produk impor yang sejenis. Target harga domestik dinyatakan dalam persamaan:
pr(i, s) pm(i, s) pim(i, s) ………………………………………….….(25) Keterkaitan antara harga cif(i,r,s) dengan harga fob(i,r,s) dinyatakan dengan persamaan:
pcif FOBSHR(i, r, s) * pfob(i, r, s) TRNSHR(i, r, s) * pt …………..….(26) Persamaan (26) dibuat berdasarkan asumsi bahwa pendapatan dari jasa transportasi harus menutupi biaya transportasi ke satu rute tertentu untuk semua jenis komoditi. Dengan demikian perubahan harga cif adalah merupakan kombinasi perubahan harga fob dan perubahan indeks biaya transport (pt) berdasarkan pangsa (shares) biaya fob [FOBSHR(i,r,s)] dan pangsa biaya transport [TRNSHR(i,r,s)] di dalam biaya cif. Implikasi dari persamaan (26) adalah semakin besar [TRNSHR(i,r,s)] maka keterkaitan antara harga komoditi i di pasar r dengan harga di pasar ekspor s akan semakin lemah. Persamaan (27) melengkapi siklus dari keterkaitan harga dengan cara menghubungkan pfob(i,r,s) dengan harga di pasar domestic, pm(i,r). Dalam persamaan tersebut terdapat 2 jenis pajak ekspor, yaitu: pajak ekspor berdasarkan tujuan tertentu (destination-specific), txs(i,r,s) dan pajak ekspor berdasarkan tujuan umum (destination-generic), tx(i,r).
pfob(i, r, s) pm(i, r ) tx(i, r ) txs(i, r, s) ……………………….………(27)
111
4.2.
Perilaku Agen Ekonomi
4.2.1. Struktur Produksi Sebagaimana umumnya pada model CGE, fungsi produksi yang digunakan dalam model GTAP adalah fungsi Leontief dan Constant Elasticity of Substitution (CES). Penggunaan kedua fungsi produksi tersebut adalah untuk menyederhanakan dan mengurangi jumlah parameter substitusi yang harus digunakan di dalam persamaan (Hakim, 2004). Fungsi produksi Leontief mengasumsikan bahwa setiap penambahan output akan diikuti dengan peningkatan permintaan input produksi dalam proporsi tetap (fixed proportions). Dengan kata lain, tidak ada substitusi diantara masing-masing input produksi (faktor primer dan input antara). Seperti diilustrasikan pada Gambar 25, untuk menghasilkan sebuah output diperlukan sebanyak v unit kapital (K) dan u unit tenaga kerja (L) sehingga untuk output sebesar Y unit akan diperlukan K = vY dan L = uY. Pada kondisi tersebut diasumsikan bahwa L/K = u/v adalah merupakan satu-satunya teknologi produksi yang tersedia. Hal ini berarti untuk menghasilkan sebuah output diperlukan kapital dan tenaga kerja dalam proporsi yang tetap. Penambahan salah satu input produksi tanpa menambah input lainnya secara proporsional tidak akan dapat menghasilkan tambahan output. Fungsi produksi Leontief atau disebut juga dengan ”fungsi produksi tanpa substitusi” dapat dinyatakan dalam persamaan: Y = min(K/v, L/u). Pada Gambar 25, jika K
berada pada titik K* dan L di titik L’ , maka K*/v < L’ /u sehingga
Y = K*/v. Pada kondisi tersebut jumlah tenaga kerja yang paling efisien adalah pada titik-titik dimana K*/v = L/u atau L = (u/v)K*, yaitu di titik L*. Dengan demikian di sepanjang garis ”fungsi produksi sama” (isoquants) akan selalu berlaku persamaan: Y/L = (1/v)K/L.
112
L
L‟ L* u/v
K‟
K*
K
Sumber: Varian (1992) Gambar 25. Fungsi Produksi Leontief
Berbeda dengan model Leontief, fungsi produksi CES memungkinkan adanya substitusi diantara faktor-faktor primer. Fungsi CES secara umum dinyatakan dengan
persamaan: Y K 1 L
r /
, dimana r adalah tingkat homogenitas dari
fungsi produksi; > 0 adalah parameter yang menunjukkan “ukuran” dari fungsi produksi; adalah parameter shares masing-masing faktor produksi yang besarnya: 0 1; sedangkan adalah parameter substitusi. Dengan fungsi produksi CES tersebut, tingkat permintaan faktor primer akan dipengaruhi oleh harga relatif, nilai elastisitas substitusi, share masing-masing faktor dalam biaya produksi, dan tingkat output yang dihasilkan. Dengan kata lain, elastisitas substitusi memungkinkan bagi sebuah industri atau sektor untuk merespon terhadap perubahan harga relatif dan atau ketersediaan faktor primer. Dalam model GTAP, struktur produksi sebuah industri di satu region diasumsikan mengikuti fungsi produksi secara berjenjang (nested), dengan menggunakan teknologi Constant Returns to Scale (CRS) dan dalam pasar bersaing
113
sempurna. Struktur produksi dalam model GTAP dapat dijelaskan dengan “pohon teknologi” seperti pada Gambar 26. Pohon teknologi menggambarkan komposisi penggunaan faktor-faktor primer (primary factors) dan beberapa input antara (intermediate inputs) untuk menghasilkan sebuah output. Proses produksi tersebut dilakukan secara berjenjang (nested) pada setiap cabang. Untuk menghasilkan output
tertentu, qo(j,s), sebuah industri akan
mengkombinasikan penggunaan nilai tambah (value-added) dari faktor primer, qva(j,s), dengan input antara, qf(i,j,s) dalam proporsi yang tetap (fixed proportion) berdasarkan fungsi Leontief. Faktor-faktor primer yang digunakan terdiri dari: land, skilled and un-skilled labor, capital, and natural resources. Jumlah faktor primer yang digunakan untuk menghasilkan sebuah output adalah sebesar qfe(i,j,s). Masingmasing faktor primer dapat saling bersubstitusi melalui fungsi Constant Elasticity of Substitution (CES). Dalam model GTAP diasumsikan bahwa tenaga kerja dapat berpindah-pindah (mobile) diantara sektor/industri, tetapi tidak dapat berpindah dari satu region ke region lain. Selanjutnya input antara dapat dibedakan menjadi input antar yang berasal dari produksi dalam negeri qfd(i,j,s) dan input antara yang berasal dari impor, qfm(i,j,s). Komposisi penggunaan kedua jenis input antara tersebut diasumsikan mengikuti fungsi CES sehingga memungkinan adanya substitusi diantara input dalam negeri dan input yang berasal dari diimpor. Input antara yang berasal dari impor merupakan gabungan impor dari beberapa negara, qxs(i,r,s), dengan menggunakan asumsi Armington dan fungsi CES. Penggunaan asumsi Armington tersebut diperlukan untuk membedakan barang impor berdasarkan negara asal, dimana masing-masing impor diasumsikan tidak bersubstitusi sempurna.
114
OUTPUT qo(j,s) [ao(j,s)]
0 Leontief Value-added qva(j,s) [ava(j,s)
Intermediate Inputs qf(i,j,s) [af(i,j,s)]
σVA
σp
CES
CES
Land Labor Capital qfe (i,j,s) [afe(i,j,s)]
Domestic qfd(i,j,s)
Imported qfm(i,j,s)
σM CES qxs(i,r,s) Source of Import
Source of Import
Sumber: Hertel (1997) Gambar 26. Struktur Produksi Model GTAP
Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 26, pada setiap jenjang (cabang) dari “pohon teknologi” terdapat dua jenis persamaan. Persamaan pertama menunjukkan substitusi diantara input dalam cabang yang bersangkutan berdasarkan asumsi CES. Jenis persamaan kedua merupakan persamaan harga komposit dari komoditi yang diproduksi oleh setiap jenjang. Harga komposit selanjutnya masuk ke dalam jenjang yang lebih tinggi dan menentukan tingkat permintaan atas komoditi komposit tersebut.
115
Jenjang Impor Jenjang paling bawah dari Gambar 26 menunjukkan permintaan impor komposit atas input antara i oleh region s yang berasal dari region r. Dengan kata lain, impor komposit tersebut merupakan jumlah ekspor komoditi i dari region r ke region s, qxs(i,r,s). Perubahan harga komposit impor, pim(i,s), dinyatakan dengan persamaan:
pim(i, s) MSHRS (i, k , s) * pms(i, k , s) ….............................................(28) dimana MSHRS(i,k,s) merupakan share impor i dari region k dalam impor komposit i di region s. Sedangkan pms(i,k,s) adalah harga komoditi i di pasar domestik k yang diimpor oleh s. Setelah diketahui harga impor komposit, maka jumlah impor s dari r atau jumlah ekspor i dari r ke s dapat dihitung dengan persamaan:
qxs(i, r , s) qim(i, s) M (i) * pms(i, r , s) pim(is) …………..………...(29) dimana qim(i,s) adalah jumlah impor agregat i oleh s, dan σM(i) elastisitas substitusi impor komoditi i. Jenjang Input Antara Harga input antara komposit i yang harus dibayar industri j di region r adalah:
pf (i, j, r ) FMSHR(i, j, r ) * pfm(i, j, r )
1 FMSHR(i, j, r )* pfd (i, j, r )
…………………….……….(30)
dimana FMSHR(i,j,r) merupakan share atas impor komposit i pada industri j di region r, pfm(i,j,r) adalah harga komoditi i impor dan pfd (i,j,r) adalah harga komoditi i domestik. Permintaan atas input antara yang berasal dari impor adalah:
qfm(i, j, s) qf (i, j, s) D (i) * pfm(i, j, s) pf (i, j, s) ……………….…(31)
116
dimana qf(i,j,s) adalah jumlah komoditi komposit i yang diminta sektor/industri j, dan σD(i) elastisitas subsitusi komoditi i domestik. Sedangkan permintaan input antara yang diproduksi di dalam negeri adalah:
qfd (i, j, s) qf (i, j, s) D (i) * pfd (i, j, s) pf (i, j, s) .............................(32) Jenjang Input Primer Perubahan harga nilai tambah faktor primer komposit di setiap sektor/industri di masing-masing region pva(i,j,r) adalah: pva( j, r )
SVA(k , j, r ) * pfe(k , j, r ) afe(k , j, r ) ..............................(33) iaENDW
dimana koefisien SVA(i,j,r) menunjukkan share endowment i dalam total biaya dari nilai tambah sektor j di region r, sedangkan pfe(i,j,r): variabel harga dan afe(i,j,r): variabel yang menentukan tingkat perubahan teknologi atas input primer. Apabila afe(i,j,r) > 0 maka harga faktor primer i menjadi turun. Selanjutnya jumlah permintaan atas barang endowment (qfe) di setiap sektor atau industri dinyatakan dengan persamaan: qfe(i, j, r ) afe(i, j, r) qva( j, r ) VA ( j) *
pfe(i, j, r) afe(i, j, r) pva( j, r) ...…………..……(34) dimana qva(j,r) adalah indeks kuantitas nilai tambah input primer di sektor j region r, σVA(j) elastisitas substitusi nilai tambah, dan pva(j,r): harga dari nilai tambah di sektor j region r. Jenjang Output Jenjang paling atas dari “pohon teknologi” pada Gambar 26 adalah jenjang output yang menggambarkan permintaan faktor primer dan input antara oleh industri untuk menghasilkan sebuah output. Permintaan industri j atas input primer adalah:
117
qva( j, r ) ava( j, r ) qo( j, r ) ao( j, r ) ……………………………..…..(35) dimana ava(j,r) adalah koefisien perubahan teknologi yang mempengaruhi nilai tambah di sektor j region r, qo(j,r): jumlah output sektor j, dan ao(j,r): variabel perubahan teknologi (Hicks-neutral technical change) yang mempengaruhi nilai output. Sedangkan permintaan industri j atas input antara adalah:
qf (i, j, r ) af (i, j, r ) qo( j, r ) ao( j, r ) ……………………………..….(36) dimana af(i,j,r) adalah variabel perubahan teknologi yang mempengaruhi nilai input antara. Kondisi zero profit Oleh karena output dipengaruhi oleh faktor perubahan teknologi maka kondisi zero profit pada persamaan (6) di atas diubah menjadi persamaan (6‟) untuk menunjukkan pengaruh perubahan teknologi tersebut.
VOA( j, r ) * ps( j, r ) ao( j, r )
VFA(i, j, r ) * pfe(i, j, r ) afe(i, j, r ) ava( j, r ) + iaENDW _ COMM
VFA(i, j, r ) * pf (i, j, r ) af (i, j, r ) VOA( j, r ) *
iaTRAD _ COMM
profitslack ( j, r ) ………..………………………..…(6‟) Kondisi zero profit pada persamaan (6‟) dimaksudkan untuk dapat menentukan harga output dari sektor/industri bersangkutan.
4.2.2. Struktur Konsumsi Sebagaimana
diuraikan
sebelumnya,
income
rumahtangga
regional
dialokasikan untuk pengeluaran konsumsi rumahtangga swasta, rumah tangga pemerintah, dan tabungan. Tingkat pengeluaran konsumsi regional tersebut mengikuti fungsi utilitas agregat Cobb-Douglas per kapita sebagai berikut:
118
INCOME (r ) * u(r ) PRIVEXP (r ) * up(r ) GOVEXP (r ) *
ug(r ) pop(r ) SAVE (r ) * qsave(r ) pop(r )
………..……....(37)
Pada persamaaan (37) di atas, up(r) adalah utilitas pengeluaran rumahtangga swasta dalam hitungan per kapita. Tabungan Regional Jumlah permintaan tabungan di region r merupakan fungsi dari income regional y(r) dan harga psave:
qsave(r ) y(r ) psave saveslack(r ) …………………………………..(38) Konsumsi Rumahtangga Pemerintah Konsumsi rumah tangga pemerintah dispesifikasikan mengikuti fungsi preferensi Cobb-Douglas. Konsumsi rumahtangga pemerintah ditentukan oleh fungsi utilitas sebagai berikut:
ug(r ) y(r ) pgov(r ) govslack(r ) .........................................................(39) dimana pgov(r) adalah indeks harga untuk konsumsi agregat sektor rumahtangga pemerintah. Indeks harga tersebut dihitung dengan persamaan:
pgov(r ) VGA(i, r ) / GOVEXP (r ) * pg (i, r ) .........................................(40) Berdasarkan indeks harga di atas, selanjutnya permintaan rumahtangga pemerintah atas komoditi komposit adalah:
qg(i, r ) ug(r ) pg(i, r ) pgov(r ) ..........................................................(41) dimana pg(i,r) adalah harga komoditi i untuk rumahtangga pemerintah di region r. Sadangkan harga komoditi komposit yang dibayar oleh rumahtangga pemerintah adalah:
pg(i, s) GMSHR(i, s) * pgm(i, s) 1 GMSHR(i, s) * pgd(i, s) …........(42)
119
dimana GMSHR(i,s) adalah share dari agregat impor oleh rumahtangga pemerintah, pgm(i,s): harga komoditi i impor, dan pgd(i,s): harga komoditi i domestik. Konsumsi rumah tangga pemerintah terdiri dari komoditi impor dan komoditi produksi dalam negeri. Permintaan rumahtangga pemerintah untuk komoditi impor agregat adalah:
qgm(i, s) qg(i, s) D (i) * pg(i, s) pgm(i, s) ………………….......…(43) Sedangkan permintaan rumahtangga atas komoditi domestik adalah:
qgd(i, s) qg(i, s) D (i) * pg(i, s) pgd(i, s) ……………………..…..(44) Konsumsi Rumahtangga Swasta Konsumsi rumahtangga swasta dispesifikasikan dalam fungsi Constant Difference of Elasticity (CDE). Fungsi CDE digunakan karena memiliki karakteristik seperti yang diharapkan, dimana preferensi rumahtangga tidak bersifat homothetic. Fungsi CDE yang non-homothetic secara konsisten dapat menjelaskan perubahan konsumsi akibat perubahan tingkat pendapatan rumahtangga. Berdasarkan fungsi CDE tersebut dapat ditentukan hubungan antara pengeluaran minimum, utilitas per kapita rumahtangga swasta, dan harga melalui persamaan: yp(r )
CONSHR (i, r ) * pp(i, r ) ieTRAD
CONSHR (i, r ) * INCPAR (i, r )* up(r ) pop(r ) ………………(45) ieTRAD
dimana yp(r) adalah presentase perubahan pengeluaran, CONSHR(i,r): porsi pengeluaran (budget share) untuk komoditi i, pp(i,r): harga komoditi i yang dibayar oleh rumahtangga swasta, INCPAR(i,r): parameter income untuk komoditi i dalam fungsi CDE di region r, up(r): utilitas per kapita, dan pop(r) jumlah populasi region r. Permintaan per kapita atas komoditi komposit oleh rumahtangga swasta, qp(i,r) dinyatakan dengan rumus:
120
qp(i, r )
EP(i, k , r ) * pp(k , r ) EY (i, r ) * ieTRAD
yp(r) pop(r) pop(r) ..............................................................(46) dimana EP(i,k,r) adalah elastisitas silang harga komoditi i,
EY(i,r): elastisitas
elastisitas pendapatan, dan [yp(r) - pop(r)] adalah persentase perubahan pendapatan per kapita. Harga komposit yang harus dibayar oleh rumahtangga swasta pp(i,s) adalah:
pp(i, s) PMSHR(i, s) * ppm(i, s) 1 PMSHR(i, s)* ppd(i, s) ...............(47) dimana PMSHR(i,s) adalah
share agregat impor terhadap komoditi komposit
domestik, ppm(i,s): harga komoditi i impor oleh rumahtangga swasta di s,
dan
ppd(i,s): harga komoditi i domestik di s. Berdasarkan indeks harga komposit di atas, selanjutnya dapat ditentukan tingkat permintaan agregat komoditi i yang berasal dari impor yaitu:
qpd(i, s) qp(i, s) D (i) * pp(i, s) ppd(i, s) .........................................(48) Sedangkan permintaan atas komoditi i yang diproduksi di dalam negeri adalah:
qpm(i, s) qp(i, s) D (i) * pp(i, s) ppm(i, s) ........................................(49) Untuk menentukan harga komposit dan tingkat penawaran dari faktor produksi tak bergerak (sluggish endowmwnts) seperti: lahan dan sumberdaya alam, digunakan persamaan (50) dan (51). Harga komposit komoditi sluggish endowments i adalah: pm(i, r )
REVSHR (i, k , r ) * pmes(i, k , r ) ..........................................(50) iePROD _ COMM
dimana REVSHR(i,k,r) adalah share endowments i yang digunakan oleh sektor j di r, dan pmes(i,k,r) adalah harga pasar komoditi endowments i. Sedangkan jumlah penawaran komoditi endowments i untuk semua sektor, qoes(i,j,r) adalah:
121
qoes(i, j , r ) qo(i, r ) endowslack (i, r ) r (i) * pm(i, r ) pmes(i, j, r ) ……..…………………(51)
dimana qo(i,r) adalah jumlah output komoditi i yang diproduksi oleh semua industri di region r, dan σt adalah koefisien elastisitas transformasi untuk komoditi sluggish endowments.
4.3.
Pembentukan Kapital dan Alokasi Investasi Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, model GTAP standar adalah
model statis bukan model inter-temporal ataupun dinamik (a series of temporary equilibria). Oleh karena itu, investasi saat ini tidak terakumulasi dengan invesatsi sebelumnya sehingga tidak mempengaruhi produktivitas kapital. Namun demikian alokasi investasi ke semua region akan mempengaruhi produksi dan perdagangan melalui permintaan akhir. Beberapa variabel yang terkait dengan pembentukan kapital (investasi) dinyatakan dengan persamaan (52) – (56). Jumlah jasa kapital (capital services) di region r adalah:
ksvces(r )
VOA(h, r ) / VOA(k , r ) * qo(h, r ) ………..……….(52) heENDWC heENDWC
Tingkat sewa kapital (rental rate of capital):
rental(r )
VOA(h, r ) / VOA(k , r ) * ps(h, r ) …………..…….(53) heENDWC heENDWC
Output barang modal (capital goods) untuk setiap sektor: qcgds(r )
VOA(h, r ) / REGINV (r )* qo(h, r ) …………………….....(54) heCGDE
Harga barang investasi (price of investment goods): pcgds(r )
VOA(h, r ) / REGINV (r )* ps(h, r ) .....................................(55) heCGDE
122
Stok kapital awal di region r adalah:
kb(r ) ksvces(r ) ..........................................................................................(56) Pengembalian kapital netto saat ini di region r (current net rate of return on capital stock in region r) adalah:
rorc(r ) GRNETRATIO (r ) * rental(r ) pcgds(r ) ……………….….…(57) Sedangkan tingkat pengembalian netto yang diharapkan (expected net rate of return on capital stock in region r) adalah:
rore(r ) rorc(r ) RORFLEX (r ) * ke(r ) kb(r ) …………………..…...(58) Dalam model GTAP diasumsikan bahwa perubahan tingkat pengembalian kapital adalah sama untuk semua region: rore(r) = rorg, dimana rorg adalah persentase perubahan tingkat pengembalian kapital global.
Berdasarkan asumsi ini maka
perubahan tabungan global akan distribusikan secara merata ke seluruh region sehingga perubahan tingkat pengembalian kapital yang diharapkan di setiap regional adalah sama besarnya. Mekanisme pengalokasian investasi di semua region ditentukan dengan koefisien RORDELTA yang besarnya 0 atau 1 (binary). Apabila RORDELTA = 1 berarti investasi dialokasikan ke semua region sehingga perubahan tingkat pengembalian kapital yang diharapkan, rore(r), sama besarnya untuk semua region. Mekanisme alokasi investasi dengan RORDELTA = 1 dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:
RORDELTA * globalcgds (1 RORDELTA ) * rorg RORDELTA *
REGINV (r ) / GLOBINV * qcgds(r )
reREG
VDEP (r ) / GLOBINV * kb(r )} (1 RORDELTA ) * NETINV (r ) / GLOBINV * rore(r ) …………….………..........(59) reREG
123
Sedangkan untuk RORDELTA = 0 berarti investasi dialokasikan ke semua region agar jumlah stok kapital yang ada tetap tidak berubah, yang dinyatakan dengan persamaan: RORDELTA * rore(r ) (1 RORDELTA ) *
REGINV (r ) / NETINV (r )* qcgds(r ) VDEP (r ) / NETINV (r )* kb(r ) RORDELTA * rorg (1 RORDELTA ) * globalcgds cgdsslack(r )
Persamaan di atas adalah sama dengan persamaan (11) dan oleh karenanya menggantikan persamaan (11) tersebut. Dalam model GTAP diasumsikan semua rumah tangga menghadapi satu harga yang sama untuk komoditi tabungan, psave, yaitu:
NETINV (r ) / GLOBINV * pcgds(r ) ……………..….………...(60)
psave
reREG
4.4.
Sektor Transportasi Internasional Selain tabungan (saving), dalam model GTAP juga terdapat sektor global
lainnya, yaitu: jasa transportasi internasional. Sektor transportasi internasional merupakan variabel yang menggambarkan sifat multi-region dari model GTAP. Nilai komposit jasa transportasi internasional adalah: VT = QT * PT. Bentuk persentase perubahannya dinyatakan dengan persamaan: VT * pt
VST (i, r ) * pm(i, r )
……………………….……………(7‟)
ieTRAD reREG
Persamaan (7‟) adalah sama dengan persamaan (7) yang menggambarkan kondisi zero profit untuk sektor transportasi internasional. Selanjutnya tingkat permintaan input dari setiap region ke sektor transportasi global adalah:
qst(i, r ) qt pt pm(i, r ) ……………………………………..…….…(61)
124
Pada persamaan (61) diasumsikan bahwa share masing-masing region ke sektor transportasi global adalah konstan (berdasarkan fungsi Cobb-Douglas), dan input dari masing-masing region tersebut memiliki elastisitas subtitusi uniter (=1). Permintaan global untuk jasa transportasi, qt adalah: VT * qt
VTWR (i, r, s) * qxs(i, r, s) atr(i, r, s) ………..…..(62) ieTRAD reREG seREG
Persamaan (62) menunjukkan bahwa permintaan jasa transportasi untuk rute tertentu adalah proporsional terhadap jumlah komoditi yang diangkut, qxs(i,r,s).
Pada
persamaan tersebut dimasukkan koefisien teknis, atr(i,r,s), untuk menggambarkan tingkat efisiensi transportasi. Keterkaitan harga fob dengan harga cif untuk komoditi yang diekspor dari r ke s sebagaimana pada persamaan (26) selanjutnya dimodifikasi dengan memasukkan koefisien atr(i,r,s) tersebut untuk menunjukkan bahwa adanya peningkatan efisiensi transportasi akan menurunkan harga cif: pcif (i, r , s) FOBSHR (i, r , s) * pfob(i, r , s)
TRANSHR(i, r, s) * pt atr(i, r, s)…………………………..(26‟)
4.5.
Penutup Makroekonomi Model GTAP standar menggunakan penutup makroekonomi neo-klasik yang
memiliki karakteristik: (1) semua pasar dalam keseimbangan, (2) semua perusahaan / industri beroperasi pada kondisi zero profits, dan (3) rumahtangga regional mengahdapi kendala anggaran (budget constraint). Berdasarkan karakteristik tersebut maka investasi global harus sama dengan tabungan global. Model GTAP hanya dapat menentukan harga relatif, dimana tingkat harga adalah relatif terhadap bilangan numeraire. Sebagai penutup makroekonomi, variabel-variabel berikut ini dibuat eksogen:
125
pop
- population
psave
- numeraire
profitslack, incomeslack, endwslack, cgdslack, tradeslack
- slack variables
ao, af, afe, ava
- technical change
dpfpriv, dpfgov, dpfsave
- preferences
to, tfe, tf, tg, tp
- policy variables
qo(ENDW_COMM)
- endowments
Sedangkan variable-variabel lainnya adalah endogen.
4.6.
Summary Indices Pada bagian akhir dari struktur model GTAP standar memuat persamaan-
persamaan tambahan yang dirangkum dalam summary indices seperti pada Tabel 14. Persamaan-persamaan tersebut tidak mempengaruhi struktur keseimbangan model tetapi diperlukan untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada indikator ekonomi lainnya setelah dilakukan simulasi. Persamaan (64) dan (65) masing-masing menunjukkan harga agregat yang diterima , psw(r), dan harga yang dibayar, pdw(r), untuk komoditi yang dijual dan yang dibeli oleh setiap region. Selisih antara kedua harga tersebut merupakan persentase perubahan terms of trade, tot(r), dari setiap region yang dinyatakan dengan persamaan (66). Di dalam model GTAP, perubahan kesejahteraan masyarakat di satu region dinyatakan dalam Equivalent Variation EV(r), yang dihitung dengan persamaan: EV(r) = u(r) * INC(r)/100 ……………………………………………...………..(63)
126
dimana u(r) adalah persentase perubahan kesejahteraan per kapita dan INC(r) adalah pendapatan (income) sebuah region. Pada persamaan (67) perubahan kesejahteraan dihitung secara total untuk satu region dengan memasukkan nilai perubahan laju pertumbuhan penduduk. Dalam database GTAP, EV(r) dihitung berdasarkan nilai US$ tahun 1992 dalam juta. Selanjutnya persamaan (68) menghitung kesejahteraan dunia (WEV) yang merupakan penjumlahan dari kesejahteraan di semua region. Indek harga konsumen di region tertentu, ppriv(r), dihitung dengan persamaan (69). Dalam model GTAP, indek harga dan kuantitas diperlukan untuk menentukan besaran nilai perdagangan, GDP, dan pendapatan. Untuk memperoleh indek kuantitas maka terlebih dulu perlu dihitung indeks nilai (value) dan indeks harga (price) yang terkait sebab berbagai jenis komoditi telah diagregrasikan di dalam model. Sebagai contoh variabel qgdp(r) pada persamaan (72) adalah indek kuantitas untuk produk domestik. Untuk mengetahui indek kuantitas tersebut terlebih dulu dihitung indek nilai vgdp(r) pada persamaan (70), dan indek harga pgdp(r) pada persamaan (71). Selanjutnya indek kuantitas, qgdp(r) dihitung berdasarkan selisih antara vgdp(r) dengan pgdp(r). Dalam simulasi kebijakan perdagangan, nilai qgdp(r) yang dihasilkan umumnya kecil. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran kurva PPF (production possibilities frontier) yang disebabkan perbaikan efisiensi alokasi penggunaan sumberdaya. Persamaan (73) – (78) menghitung persentase perubahan nilai ekspor dan impor berdasarkan: (1) jenis komoditi dan region, (2) region untuk semua jenis komoditi yang diperdagangkan, dan (3) komoditi untuk semua region di dunia. Persamaan (79) digunakan untuk menghitung persentase perubahan total nilai perdagangan dunia, dan persamaan (80) menghitung persentase perubahan output dunia berdasarkan jenis komoditi. Persamaan (81) – (88) menghitung indek harga
127
terkait, yang selanjutnya masing-masing indek harga tersebut akan digunakan sebagai dasar dalam menghitung perubahan agregat volume perdagangan dan output sebagaimana pada persamaan (89) – (96). Persamaan (97) dan (98) digunakan untuk menghitung perubahan neraca perdagangan (trade balance) berdasarkan jenis komoditi dan region. Persamaan (98) menunjukkan perubahan transaksi berjalan (current account) di setiap region. Tabel 14. Persamaan-Persamaan Summary Indices Pada Model GTAP Standar
VXWD(i, r, s) * pfob(i, r, s)
VWDSALES (r ) * psw(r )
ieTRAD seREG
VST (i, r ) * pm(i, r ) REGINV (r ) VDEP(r )* pcgds (r ) …..
(64)
VIWS (i, k , r ) * pcif (i, k , r ) SAVE(r ) * psave ……
(65)
VWLDSALES (r ) * pdw(r )
ieTRAD keREG
tot(r ) psw(r ) pdw(r ) …………………………………………………... (66) EV (r ) INC (r ) / 100* URATIO(r ) * POPRATIO(r )* u (r ) pop(r ) 0 …………….
(67)
EV (r ) 0 ……………………………….………………………….
(68)
WEV
reREG
VDA(i, r ) * pp(i, r ) …………………………………..
PRIVEXP(r ) * ppriv (r )
(69)
ieTRAD
GDP (r ) * vgdp(r )
VGA(i, r ) * p g (i, r ) qg (i, r ) ieTRAD
VPA(i, r ) * p p(i, r ) qp(i, r ) REGINV (r ) * pcgds(r ) qcgds(r ) ieTRAD
VXWD(i, r, s) * pfob(i, r, s) qxs(i, r, s) VST (i, r ) * pm(i, r ) qst (i, r ) ieTRAD seREG
ieTRAD
VIWS (i, r, s) * pcif (i, r, s) qxs(i, r, s) ………………………………...
(70)
ieTRAD reREG
GDP (r ) * pgdp (r )
VGA(i, r ) * pg (i, r ) ieTRAD
VPA(i, r ) * p p(i, r ) qp(i, r ) REGINV (r ) * pcgds(r ) qcgds(r ) ieTRAD
VXWD(i, r, s) * pfob(i, r, s) qxs(i, r, s) VST (i, r ) * pm(i, r ) qst (i, r ) ieTRAD seREG
ieTRAD
VIWS (i, r, s) * pcif (i, r, s) ……………………………………………
ieTRAD reREG
(71)
128
Tabel 14. Lanjutan qgdp (r ) vgdp(r ) pgdp (r ) .................................................................................
VXW (i, r ) * vxwfob(i, r )
(72)
VXWD (i, r, s) * qxs(i, r, s) pfob(i, r, s) seREG
VST (i, r ) * qst(i, r ) pm(i, r ) ……………………….. (73) VIW (i, s) * viwcif (i, s)
VIWS (i, r, s) * pcif (i, r, s) qxs(i, r, s) ………………….
(74)
seREG
VXW (i, r ) * vxwfob(i, r ) …………………………
VXWREGION (r ) * vxwreg (r )
(75)
ieTRAD
VIW (i, s) * viwcif (i, s) …………………………...
VIWREGION ( s) * viwreg ( s)
(76)
ieTRAD
VXW (i, r ) * vxwfob(i, r ) ……………...
VXWCOMMOD (i) * vxwcom(i)
(77)
reREG
viw(i, s) * viwcif (i, s) …………………
VIWCOMMOD (i) * piwcom(i)
(78)
seREG
VXWLD * vxwld
VXWREGION (r ) * vxwreg(r ) ……………………….
(79)
reREG
VOW (i, r ) * pxw(i, r ) qo(i, r )……………….
VWOW (i) * valuew(i)
(80)
reREG
VXW (i, r ) * pxw(i, r )
VXWD (i, r, s) * pfob(i, r, s) VST (i, r ) * pm(i, r ) ..
(81)
seREG
VIW (i, s) * piw(i, s)
VIWS (i, r, s) * pcif (i, r, s) ………………………...
(82)
reREG
VXW (i, r ) * pxw(i, r ) ………………….
VXWREGION (r ) * pxwreg(r )
(83)
ieTRAD
VIWREGION ( s) * piwreg( s)
VIW (i, s) * piw(i, s) ……………………
(84)
ieTRAD
VXWCOMMOD (i) * pxwcom(i)
VXW (i, r ) * pxw(i, r ) ………………..
(85)
reREG
VIWCOMMOD (i) * piwcom(i)
VIW (i, s) * pxw(i, s) ………………….
(86)
seREG
VXWLD * pxwwld
VXWREGION (r ) * pxwreg(, r ) …………………...
(87)
reREG
VWOW (i) * pw(i)
VOW (i, r ) * pxw(i, r ) ………………………………
(88)
reREG
qxw(i, r ) vxwfob(i, r ) pxw(i, r ) ………………………………………….. (89)
129
Tabel 14. Lanjutan
qiw(i, s) viwcif (i, s) piw(i, s) …………………………………………… (90) qxwreg(r ) vxwreg(r ) pxwreg(r ) ………………………………………. (91) qiwreg(s) viwreg(s) piwreg(s) ………………………………………... (92) qxwcom(i) vxwcom(i) pxwcom(i) ……………………………………… (93) qiwcom(i) viwcom(i) piwcom(i) ……………………………………….. (94) qxwwld vxwwild pxwwld ……………………………………………… (95) qow(i) valuew(i) pw(i) …………………………………………………. (96) DTBALi (r ) VXW (i, r ) / 100* vxwfob(i, r ) VIW (i, r ) / 100* viwcif (i, r ) .. (97) DTBAL (r ) VXWREGION (r ) / 100* vxwreg(r ) ………………………... (98) VIWREGION (r ) /100* viwreg(r )
V.
KERANGKA MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah GTAP standar versi 6. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, model GTAP standar bersifat statis komparatif sehingga hasil simulasi hanya menggambarkan perbandingan antara kondisi keseimbangan ekonomi awal dengan keseimbangan waktu tertentu yang dikehendaki dalam simulasi jangka pendek (short-run). Di lain pihak, dampak liberalisasi perdagangan terhadap indikator ekonomi makro pada umumnya akan terlihat dalam jangka panjang, dimana dalam jangka panjang stok kapital telah melakukan penyesuaian terhadap goncangan (shock) sehingga laju pertumbuhan kapital sama dengan nol. Gambar 27 memberikan ilustrasi mengenai pertumbuhan kapital dalam jangka panjang setelah terjadinya goncangan. Pada gambar tersebut, stok kapital pada periode solusi (akan datang) ditentukan oleh kurva kontrol (control path) yang berawal di titik K(0) dan berakhir di titik K(t). Hubungan ke dua titik ini dirumuskan dengan: K (t ) K (0) * ( SRGROWTH )t ,
dimana: SRGROWTH sama dengan 1 ditambah dengan tingkat pertumbuhan rata-rata kapital selama waktu t, yaitu waktu antara terjadinya shock sampai periode solusi. Shock akan menyebabkan stok kapital berubah mengikuti kurva shock. Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 27, akibat dari adanya shock maka kapital berubah sebesar: 100(b a) / t 100c / t persen relatif terhadap kurva kontrol. Laju pertumbuhan kapital ditunjukkan oleh kemiringan (slope) masing-masing kurva. Pada kurva kontrol, laju pertumbuhan rata-rata selama periode goncangan (shock) dengan peiode solusi (snapshot period) adalah a/t. Sedangkan pada kurva shock, laju pertumbuhan rata-rata antara titik awal sampai dengan periode solusi meningkat
131
sebesar b/t.
Dengan demikian, persentase perubahan laju pertumbuhan adalah
sebesar: 100(b a) / t 100c / t persen. Pada jangka pendek, shock berpengaruh terhadap laju pembentukan kapital (yang pada gambar ditunjukkan oleh perbedaan slope kedua kurva), dan oleh karenanya merubah ukuran/besaran relatif stok kapital sepanjang waktu setelah terjadi shock. Sedangkan dalam jangka panjang, laju pertumbuhan kapital dan investasi akan kembali ke laju pertumbuhan semula sebelum terjadinya shock. Laju pertumbuhan kapital pada periode solusi akan sama baik sebelum dan sesudah shock (kedua kurva menjadi paralel). Dengan demikian, dalam jangka panjang, persentase perubahan laju pertumbuhan kapital adalah nol.
Log (KB) Shocked c
b
Contol
a
Shock
t
Snapshot/ Solution period
Sumber: Walmsley, 1998. Gambar 27. Pertumbuhan Kapital Dalam Jangka Panjang
Time
132
Untuk menangkap kondisi jangka panjang, maka simulasi harus dilakukan dalam jangka panjang (steady state). Simulasi jangka panjang dapat dilakukan dengan modifikasi model dan data dasar GTAP standar. Modifikasi dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah seperti yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu yang menggunakan model GTAP jangka panjang. Penelitian-penelitian tersebut diantaranya dilakukan oleh Francois, MacDonald dan Nordstrom (1996), Arndt, Hertel, Dimaranan, Huff dan McDougall (1997), Walmsley (1998) dan Oktaviani (2000).
Pada penelitian ini sebagian besar modifikasi yang dilakukan
mengikuti Walmsley (1998). Bab ini akan memfokuskan cara memodifikasi model dan data dasar GTAP stándar menjadi model GTAP jangka panjang. Pada bagian awal akan dibahas agregasi komoditas dan regional. Bagian berikutnya akan memaparkan cara modifikasi model dan data dasar GTAP standar. Selanjutnya pada bagian akhir akan dijelaskan beberapa simulasi yang akan dilakukan dalam penelitian.
5.1.
Agregasi Regional dan Sektoral Data dasar model GTAP versi 6 memuat antara lain: tabel input-output (I-O),
nilai tambah sektor produksi, nilai input primer dan input antara, perdagangan bilateral, transportasi, tingkat proteksi, pajak dan subsidi dari 87 region dan 57 sektor. Untuk keperluan penelitian ini, data dasar tersebut akan diagregasi menjadi 13 region dan 21 sektor yang relevan dengan tujuan penelitian. Ketigabelas region yang diagregasi tersebut meliputi negara-negara ASEAN dan China ditambah dengan negara mitra dagang utama ASEAN, yaitu: Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa-15, dan Amerika Serikat. Dalam data dasar (database) GTAP versi 6, data enam negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Philippines,
133
Singapore, Thailand, dan Viet Nam) dimuat secara terpisah, sedangkan empat negara ASEAN lainnya (Brunei Darussalam, Cambodia, dan Lao PDR, dan Myanmar) dikelompokkan menjadi satu ke dalam Rest of Southeast Asia. Oleh sebab itu, dalam simulasi istilah ASEAN-6 digunakan untuk merujuk kepada enam negara ASEAN sebagaimana disebutkan di atas, sedangkan istilah ASEAN berarti termasuk negara Timor Leste. Selain itu, data ekonomi negara China dalam data dasar GTAP versi 6 adalah tidak termasuk Hong Kong dan Taiwan. Pada penelitian ini, kedua region yang disebut terakhir dikelompokan ke dalam Rest of World. Selanjutnya dari 57 sektor dalam data dasar GTAP diagregasi menjadi 22 sektor yang menggambarkan produk-produk utama dalam perdagangan ASEAN China. Dalam agregasi sektoral, komoditi pertanian dan kehutanan tidak diagregasi, kecuali untuk komoditi yang sangat berdekatan, seperti: gula, gula bit dan gula tebu diagregasi menjadi gula. Hal ini dilakukan sesuai dengan fokus penelitian, yaitu menganalisis dampak sektoral dari kebijakan liberalisasi perdagangan. Sedangkan sektor manufaktur sebagian besar diagregasi ke dalam manufaktur lainnya, kecuali produk manufaktur utama dalam perdagangan antara ASEAN dan China seperti: tekstil, elektronik, mesin, tambang dan mineral. Untuk sektor jasa seluruhnya diagregasi menjadi satu ke dalam kelompok jasa. Untuk melakukan agregasi region dan sektor tersebut, pertama-tama disusun file pemetaan agregasi antara sektor yang terdapat pada model GTAP standar dengan sektor yang diinginkan dalam penelitian. Selanjutnya pemetaan tersebut di run dengan program DataAgg yang ada di dalam GTAP versi 6 sehingga dihasilkan header array file, parameter dan setting
sesuai dengan agregasi sektor dan region yang
dikehendaki. Daftar agregasi region dan sektor yang digunakan dalam penelitian ini selengkapnya disajikan pada Tabel 15 dan 16.
134 Tabel 15. Agregasi Region No.
Region dalam penelitian
Kode
Region dalam database GTAP
1. Indonesia
IDN
Indonesia
2. Malaysia
MYS
Malaysia
3. Philippines
PHL
Philippines
4. Singapore
SGP
Singapore
5. Thailand
THA
Thailand
6. Vietnam
VNM
Vietnam
7. Rest of Southeast Asia
XSE
Brunei Darussalam, Cambodia, Lao PDR, Myanmar; Timor Leste.
8. China
CHN
China
9. Japan
JPN
Japan
10. Korea Selatan
KOR
Korea
11. United States
USA
United Status
12. EU-15
EU
Austria; Belgium; Denmark; Finland; France; Germany; United Kingdom; Greece; Ireland; Italy; Luxembourg; Netherlands; Portugal; Spain; Sweden.
13. Rest of World
ROW
Australia; New Zealand; Rest of Oceania; Hong Kong; Taiwan; Rest of East Asia; India; Bangladesh; Sri Lanka; Rest of South Asia; Canada; Mexico; Rest of North America; Colombia; Peru; Venezuela; Rest of Andean Pact; Argentina; Brazil; Chile; Uruguay; Rest of South America; Central America; Rest of FTAA; Rest of the Caribbean; Switzerland; Rest of EFTA; Rest of Europe; Albania; Bulgaria; Croatia; Cyprus; Czech Republic; Hungary; Malta; Poland; Romania; Slovakia; Slovenia; Estonia; Latvia; Lithuania; Russian Federation; Rest of Former Soviet Union; Turkey; Rest of Middle East; Morocco; Tunisia; Rest of North Africa; Botswana; South Africa; Rest of South African Customs Union; Malawi; Mozambique; Tanzania; Zambia; Zimbabwe; Rest of SADC; Madagascar; Uganda; Rest of Sub Saharan Africa.
Sumber: Database GTAP versi 6
135 Tabel 16. Aggregasi Sektor Sektor dalam penelitian 1. Paddy rice 2. Processed Rice 3. Wheat
Paddy ProcRice Wheat
Sektor dalam database GTAP Paddy rice Processed rice Wheat
4. Cereal grains
Cereal
Cereal grains nec
17.
5. Vegetables and VegetFruit Fruit 6. Vegetable oils VegetOils and Fats 7. Sugar Sugar
Vegetables; Fruit; nuts
18.
Oil seeds; Vegetable oils and fats Sugar
8. Other Sugar 9. Meat Products
OtherSugar MeatProd
Sugar cane; Sugar beet Bovine meat products; Meat products nec.
10. Dairy products 11. Food products
DiaryProd FoodProd
Dairy products Food products nec
12. Livestock
Livestock
Bovine cattle, sheep and goats, horses; Animal products nec; Raw milk.
13. Fisheries
Fishery
Fishing
No.
Kode
Sumber: Database GTAP versi 6
No. 14. 15. 16.
Sektor dalam penelitian Forestry Wood products Other Agriculture Products Textile and Apparel Electronic
Kode Forestry WoodProd OtherAgric
Sektor dalam database GTAP
Textiles
Forestry Wood products Plant-based fibers; Crops nec; Wool, silk-worm cocoons; Textiles; Wearing apparel
Electronic
Electronic equipment
19. Machinery
Machinery
Machinery and equipment nec
20. Mining and minerals
MiningMnrl
21. Other Manufactures
OtherMnfcs
22. Services
Services
Coal; Oil; Gas; Minerals nec; Petroleum, coal products; Mineral products nec; Chemical, rubber, plastic products; Beverages and tobacco products; Leather products; Paper products, publishing; Ferrous metals; Metals nec; Metal products; Motor vehicles and parts; Transport equipment nec; Manufactures nec; Electricity; Gas manufacture, distribution; Water; Construction; Trade; Transport nec; Water transport; Air transport; Communication; Financial services nec; Insurance; Business services nec; Recreational & other services; Public Administration, Defense, Education, Health; Dwellings.
136
5.2.
Modifikasi Model GTAP Pada penelitian ini akan dilakukan analisis dampak jangka panjang (long-
run effects) dari liberasisasi perdagangan ASEAN – China. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa perubahan-perubahan variabel ekonomi yang terjadi dalam jangka panjang akan lebih realistis. Sebagaimana diuraikan pada bab terdahulu, model GTAP standar adalah bersifat komparatif statis untuk jangka pendek (short-run static comparative). Guna menangkap perubahan-perubahan dalam jangka panjang tersebut maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: (1) modifikasi dan penambahan persamaan struktural, (2) penyusunan data dasar baru yang mencerminkan kondisi keseimbangan dalam jangka panjang (steady state), dan (3) penyusunan penutup makro ekonomi jangka panjang (long-run closure). Secara teknis modifikasi model GTAP standar menjadi GTAP jangka panjang dilakukan terutama pada persamaan-persamaan yang berhubungan dengan kapital. Persamaan-persamaan yang berhubungan dengan kapital pada model GTAP standar dihapus untuk kemudian digantikan dengan persamaan kapital yang menggambarkan kondisi jangka panjang. Persamaan-persamaan yang mencerminkan model keseimbangan jangka panjang selanjutnya ditambahkan ke dalam file tablo model GTAP standar seperti disajikan pada Lampiran 4. Berikut ini diuraikan secara ringkas modifikasi persamaan-persamaan model GTAP standar menjadi model GTAP jangka panjang. Pengertian jangka panjang di sini adalah satu periode waktu yang memungkinkan stok kapital untuk menyesuaikan terhadap goncangan (shock) dan siap digunakan untuk kegiatan produksi berikutnya (Walmsley, 1998). Sedangkan yang dimaksud dengan kapital telah menyesuaikan (stabil) terhadap goncangan adalah apabila tingkat
137
pengembalian kapital sama untuk semua region dan untuk semua periode waktu (across regions and across time). Dengan demikian, analisis jangka panjang dari sebuah goncangan mencakup dua aspek, yaitu: efek investasi (dalam jangka pendek) dan efek akumulasi (jangka panjang). Dalam jangka pendek, investasi di masing-masing region ditentukan oleh alokasi tabungan global ke setiap region sedemikian rupa sehingga tingkat pengembalian kapital yang diharapkan sama untuk semua region:
rore(r ) rorg ……………………………………………………….(V-1) dimana: rore(r) adalah tingkat pengembalian kapital yang diharapkan di region r, dan rorg adalah tingkat pengembalian kapital global. Efek akumulatif kapital mencerminkan perubahan stok kapital yang diperlukan untuk menyamakan tingkat pengembalian pada satu periode waktu tertentu (across time). Efek akumulatif ditentukan dengan menyamakan tingkat pengembalian kapital saat ini sama dengan tingkat pengembalian yang diharapkan:
rorc(r ) rore(r ) …………………………………………………….(V-2) dimana: rorc(r) adalah tingkat pengembalian kapital saat ini di region r. Pada penutup jangka panjang (long-run closure) diasumsikan bahwa tingkat pertumbuhan kapital sebelum dan sesudah adanya goncangan adalah sama. dengan nilai kapital di akhir periode atau sesudah goncangan (KE(r)):
KE (r ) KBGROWTH (r ) * KB(r ) …………………………………...(V-3) dimana: KBGROWTH(r) adalah tingkat pertumbuhan kapital region r dan KB(r) adalah kapital di awal periode atau sebelum terjadi goncangan.
138
Tingkat pertumbuhan kapital atau disebut juga dengan the power of the growth rate dapat ditentukan dari investasi netto dengan persamaan: KBGROWTH (r ) 1
NETINV (r ) ………………………………..(V-4) VKB (r )
dimana: NETINV(r) adalah investasi netto di region r dan VKB(r) adalah nilai stok kapital awal di region r. Selanjutnya hubungan antara tingkat pengembalian kapital yang diharapkan dan tingkat pengembalian saat ini dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut: ROREXP (r ) KE (r ) RORCUR (r ) KB (r ) * AVGROWTH
RORFLEX ( R )
…………………(V-5)
dimana: ROREXP(r) adalah tingkat pengembalian yang diharapkan di region r, RORCUR(r) adalah tingakt pengembalian saat ini di region r, dan AVGROWTH adalah tingkat pertumbuhan kapital rata-rata yang ditentukan melalui persamaan:
AVGROWTH
VKB (r ) * KBGROWTH (r ) ………………...(V-6) rREG GLOBKB
dimana: GLOBKB adalah nilai total stok kapital. Dalam bentuk persentase perubahan, tingkat pertumbuhan kapital rata-rata dinyatakan dalam persamaan:
avgrow
VKE (r ) * kb(r ) pcgds(r ) kbgrow(r ) r REG GLOBKE
VKB (r ) * kb(r ) pcgds(r ) growavslack r REG GLOBKB
............(V-7)
dimana: growavslack adalah variabel slack yang biasanya ditentukan secara ekosogen dengan nilai nol.
139
Dengan mensubstitusikan persamaan (V-3) ke dalam persamaan (V-5) dan menjadikannya dalam bentuk persentase perubahan, maka diperoleh persamaan:
rore(r ) rorc(r ) RORFLEX (r ) * kbgrow(r ) avgrow .................(V-8) Oleh karena kbgrow(r) di semua region dan avgrow ditentukan secara eksogen dengan nilai nol, maka rore(r) = rorc(r) untuk semua region. Dengan demikian pada penutup jangka panjang, persentase perubahan dari tingkat pertumbuhan kapital adalah nol persen. Lebih lanjut, mengingat semua persamaan yang terdapat pada model GTAP ditulis dalam bentuk perubahan persentase, maka persamaan-persamaan yang telah dijelaskan di atas juga harus diganti menjadi persamaan dalam bentuk perubahan persentase.
5.3.
Modifikasi Data Dasar untuk Kondisi Jangka Panjang Persamaan struktural di atas: rore(r) = rorc(r) untuk semua region adalah
menggambarkan kondisi steady state karena pertumbuhan kapital telah mencapai keseimbangan dan kapital dapat berpindah secara sempurna (perfectly mobile). Di lain pihak, data dasar GTAP standar belum mencerminkan kondisi steady state sebab hanya menggambarkan kondisi ekonomi global yang sebenarnya pada satu periode tertentu. Apabila persamaan di atas digunakan dengan data dasar yang belum steady state maka hasil simulasi menjadi tidak sah. Dengan demikian agar hasil simulasi menjadi sah (valid) maka persamaan struktural dan data dasar harus konsisten, keduanya harus pada kondisi steady state. Untuk menyusun data dasar yang steady state maka data dasar GTAP standar harus dimodifikasi. Menurut Walmsley (1988), ada dua cara untuk menyusun data dasar steady state, yaitu:
140
(1) menyamakan tingkat pertumbuhan kapital, sehingga di sebuah region tingkat pengembalian modal saat ini akan sama dengan tingkat pengembalian yang diharapkan, dan (2) menyamakan tingkat pengembalian modal yang diharapkan di seluruh region. 1.
Menyamakan Tingkat Pertumbuhan Kapital Agar tingkat pertumbuhan kapital di suatu negara konsisten dengan
kondisi steady state maka stok kapital dan investasi harus disesuaikan. Walmsley (1998) mengasumsikan bahwa pada kondisi steady state tingkat pertumbuhan kapital di sebuah negara (KBGROWTH(r)) akan sama dengan tingkat pertumbuhan kapital dunia (SSGROWTH):
NETINV (r ) KBGROWTH (r ) 1 SSGROWTH ………………(V-9) VKB (r ) Selanjutnya diasumsikan bahwa SSGROWTH adalah sama dengan tingkat pertumbuhan kapital rata-rata (AVGROWTH) yang ada di dalam database standar. Agar tingkat pertumbuhan kapital sebuah region di dalam database GTAP standar menjadi steady state, maka dilakukan shock terhadap KBGROWTH(r) di seluruh region. Shock terhadap tingkat pertumbuhan kapital tersebut disimulasikan dengan menggunakan penutup ekonomi jangka panjang dimana stok kapital awal dibuat endogen. Dengan cara ini investasi dan stok kapital akan menyesuaikan atau merubah tingkat pertumbuhan kapital di semua negara menjadi sama. 2.
Menyamakan Tingkat Pengembalian Modal yang Diharapkan Untuk Semua Negara Berdasarkan persamaan (V-1) di atas, tingkat pengembalian yang
diharapkan (dalam bentuk persentase perubahan) untuk semua region adalah
141
sama. Sedangkan di dalam database standar tingkat pengembalian yang diharapkan tersebut masih belum sama untuk semua region. Untuk mengatasi perbedaan ini, model Walmsley (1998) menggunakan premi resiko (RISK(r)) sebagai faktor koreksi. Penggunaan premi resiko juga dilakukan dalam model Baldwin dan Francois (1996). Hal ini dilakukan dengan merubah persamaan di dalam Tablo dan menambahkan koefisien di dalam database GTAP. Tingkat pengembalian kapital saat ini di negara r (RORCUR(r)) adalah sama dengan tingkat pengembalian bebas-resiko (risk-free rate of return) (RORCFREE(r)) ditambah premi resiko (RISK(r)):
RORCUR (r ) RORCFREE (r ) RISK (r ) .......................................(V-10) dalam bentuk persentase perubahan persamaan (V-10) dapat ditulis menjadi:
RORCUR (r ) * rorc(r ) RORCFREE (r ) * rorcf (r ) RISK (r ) * rsk(r ) …..... …..........................(V-11) dimana: rorcf(r) adalah persentase perubahan dari RORCFREE(r), sedangkan rsk(r) merupakan persentase perubahan dari RISK(r). Demikian pula tingkat pengembalian yang diharapkan (ROEXP(r)) adalah sama dengan tingkat pengembalian bebas-resiko (ROREFREE(r)) ditambah premi resiko (RISK(r)):
ROREXP (r ) ROREFREE (r) RISK (r ) .........................................(V-12) dalam bentuk persentase perubahan:
ROREXP (r ) * rore(r ) ROREFREE (r ) * roref (r ) RISK (r ) * rsk(r ) ........................................(V-13) dimana: roref(r) adalah persentase perubahan dari ROREFREE (r).
142
Dengan menggunakan komponen bebas-resiko dan premi resiko di atas, selanjutnya persamaan-persamaan model GTAP dimodifikasi untuk memasukkan faktor resiko tersebut. Persamaan (V-1) berubah menjadi:
roref (r ) rorgf ...............................................................................(V-14) dimana: rorgf adalah persentase perubahan dalam tingkat pengembalian bebas resiko global. Hubungan antara tingkat pengembalian kapital yang diharapkan dan tingkat pengembalian saat ini (V-5) berubah menjadi:
ROREFREE (r ) RORCFREE (r ) * KE (r ) KB (r ) x AVGROWTH
RORFLEX ( r )
......................(V-15)
dalam bentuk persentase perubahan:
roref (r ) rorcf (r ) RORFLEX (r ) * kbgrow(r ) avgrow ...........(V-16) Selanjutya tingkat pengembalian kapital saat ini yang bebas-resiko di setiap region dinyatakan dalam persamaan:
RORCUR (r ) * rorc(r ) RORCFREE (r ) * rorcf (r ) .........................(V-17) Modifikasi data dasar GTAP stándar dilakukan dengan cara memasukan persamaan-persamaan yang dapat menyamakan tingkat pertumbuhan kapital dan persamaan yang menyamakan tingkat pengembalian modal yang diharapkan untuk semua negara ke dalam file tablo model GTAP standar. Persamaanpersamaan tersebut harus ditulis dalam bentuk perubahan persentase, dan selanjutnya ditambahkan ke dalam file tablo model GTAP standar seperti disajikan pada Lampiran 4.
143
Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk memperoleh data dasar disajikan pada Gambar 28. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa database GTAP standar versi 6 memiliki klasifikasi 87 negara dan 57 sektor. Database GTAP standar tersebut disusun berdasarkan kondisi ekonomi tahun 2001 dan belum mencerminkan kondisi steady state. Sesuai dengan tujuan penelitian, database tersebut diagregasi menjadi 13 region dan 21 sektor dengan menggunakan program agregasi yang ada di dalam GTAP. Selanjutnya untuk memperoleh database yang steady state, model GTAP standar dimodifikasi sehingga dapat mencerminkan kondisi steady state. Untuk menyamakan tingkat pengembalian kapital, maka pada data dasar GTAP standar perlu dimasukan parameter yang mencerminkan bahwa tingkat pengembalian kapital adalah sama di semua negara. Koefisien tersebut diberi simbol RORDELTA dan bernilai satu. Koefisien RORDELTA tersebut dimasukan ke dalam database GTAP standar melaui program MODHAR. Jika langkah tersebut sudah dilakukan maka akan diperoleh database yang telah disesuaikan (database dimana tingkat pengembalian kapital telah sama di semua negara). Setelah dilakukan penyesuaian pada data dasar, langkah selanjutnya adalah melakukan penyesuaian terhadap model. Untuk menyamakan tingkat pertumbuhan kapital di semua region, maka pada model perlu dilakukan shock tingkat pertumbuhan kapital dengan menggunakan fasilitas file Shock Tablo yang ada di dalam GTAP. File Shock Tablo tersebut disajikan pada Lampiran 5. Mengingat penelitian ini ingin memasukan faktor risiko, maka sebelum dilakukan shock perlu memasukan parameter baru yang mencerminkan adanya faktor risiko di dalam model. Parameter baru tersebut diberi nama RISKADJ dan diberi nilai
144
satu. Sebagai tambahan apabila peneliti tidak tertarik untuk memasukan faktor risiko maka parameter RISKADJ diberi nilai nol. Jika langkah tersebut sudah dilakukan maka akan diperoleh database steady state yang telah memasukan faktor risiko ke dalam model. Model ini selanjutnya siap untuk disimulasi sesuai dengan kebijakan yang diinginkan.
Database Awal GTAP Standar Versi 6 (87 Region & 57 Sektor) Agregasi Region dan Sektor Melalui DAGG Program Database Dengan Agregasi 13 Region dan 21 Sektor Menyamakan Tingkat Pengembalian Modal Di Setiap Negara. RORDELTA = 1 Database yang Telah Diseuaikan (Non Risk)
Modifikasi Model Dengan Memasukan Risiko (RISKADJ = 1)
Shock Tingkat Pengembalian Kapital
Database Steady State yang Telah Memasukan Faktor Risiko
Sumber: Oktaviani (2000). Dimodifikasi Gambar 28. Prosedur Penyusunan Database Steady State
145
5.4. Penutup Makroekonomi Jangka Panjang Model keseimbangan umum mensyaratkan bahwa jumlah persamaan harus sama dengan jumlah variable endogen. Namun demikian pada kenyataannya dalam model GTAP persamaan yang terdapat pada file tablo memiliki jumlah variabel yang lebih besar dibanding jumlah persamaan. Untuk mengatasi masalah tersebut maka kelebihan variabel tersebut harus dijadikan sebagai variabel eksogen, sehingga didapat jumlah variabel endogen yang persis sama dengan jumlah persamaan. Variabel-variabel yang dijadikan sebagai variabel eksogen itulah yang disebut dengan penutup makroekonomi (closure). Variabel eksogen digunakan sebagai shock untuk mensimulasikan sebuah kebijakan ekonomi. Model GTAP standar menggunakan penutup makroekonomi neo-klasik dengan karakteristik sebagai berikut: semua pasar dalam keseimbangan, semua perusahaan/industri beroperasi pada pasar bersaing sempurna (zero profit), dan rumahtangga regional menghadapi kendala anggaran (budget constraint). Berdasarkan karakteristik tersebut maka investasi global harus sama dengan tabungan global. Selain itu, model GTAP hanya dapat menentukan harga relatif, dimana tingkat harga adalah relatif terhadap bilangan numeraire. Pada penelitian ini penutup makroekonomi yang digunakan mengacu kepada closure jangka panjang yang digunakan oleh Walmsley (1998). Jangka panjang dicirikan oleh adanya penyesuaian kapital di setiap sektor pada masingmasing regional. Dengan demikian kapital harus dijadikan sebagai variabel endogen. Selanjutnya variabel-variabel yang menunjukan pertumbuhan kapital harus dijadikan sebagai variabel eksogen. Adapun closure yang digunakan dalam penelitian ini selengkapnya disajikan pada Tabel 17.
146 Tabel 17. Penutup Jangka Panjang Penutup Model
Keterangan
Population (Pop)
Jumlah penduduk
Saving prices (Psave)
Numeraire
Profitslack
Variabel-variabel slack
Incomeslack Endowents slack (endwslack) Trade slack (tradslack) Output augmenting technical change in all sectors and regions (aoall) Composite intermediate input augmenting technical change in all secotrs and regions (afall) Endowments augmenting technical change in all sectors and regions (afeall) Output augmenting technical change in sectors (aosec) Output augmenting technical change in regions (aoreg) Value added augmenting technical change in sectors (avasec) Value added augmenting technical change in regions (avareg) Composite intermediate input augmenting technical change in commodities (afcom) Composite intermediate input augmenting technical change in sectors (afsec) Composite intermediate input augmenting technical change in regions (afreg) Endowments augmenting technical change in commodities (afecom) Endowments augmenting technical change in sectors (afesec) Endowments augmenting technical change in regions (afereg)
Variabel-variabel perubahan teknologi
147 Tabel 17. Lanjutan Penutup Model Import augmenting technical change in Arminton nest (ams)
Keterangan Variabel-variabel perubahan teknologi
Transport mode augmenting technical change, worldwide (atm) Freight/shipping augmenting technical change, worldwide (atf) Freight/shipping augmenting technical change from a region (ats) Freight/shipping augmenting technical change to a region (atd) Input-neutral shift in utility function (au) Government consumption distribution parameter (dpgov) Private consumption distribution parameter (dppriv)
Parameter distribusi konsumsi pemerintah, rumah tangga dan tabungan
Saving distribution parameter (dpsave) Power of the tax on output or income of non-savings commodity (to)
Variabel-variabel kebijakan (pajak)
Power of the tax on imports of tradeable commodity (tms) Power of the tax on exports of tradeable commodity (txs) Power of the variable import tax on imports of tradeable commodity (tm) Power of the variable export tax on exports of tradeable commodity (tx) Power of the private consumption tax (tp) qo("land",REG) qo("unsklab",rEG) qo("sklab",REG) qo("NatRes",REG)
Variabel input primer
(rsk)
Variabel risiko
Sumber: Walmsley (1998). Dimodifikasi
148
5.5.
Simulasi Kebijakan Simulasi dilakukan untuk menganalisis dampak kebijakan liberalisasi
perdagangan ASEAN – China terhadap perekonomian Indonesia, terutama di sektor pertanian dan kehutanan. Simulasi dirancang dalam 5 (lima) skenario, yaitu: (1) liberalisasi perdagangan secara terbatas hanya di sektor pertanian dan kehutanan (early harvest programm dalam kerangka FTA ASEAN – China), (2) liberalisasi perdagangan secara penuh dengan melibatkan semua sektor dalam kerangka FTA ASEAN – China, (3) FTA ASEAN – China dikombinasikan dengan kebijakan unilateral Indonesia untuk meningkatkan investasi sektor pertanian, (4) FTA ASEAN – China dikombinasikan dengan kebijakan untuk mengurangi biaya transaksi dalam kegiatan perdagangan di Indonesia, dan (5) kombinasi skenario (3) dan (4). Sebelum kelima simulasi kebijakan di atas (counterfactual simulations) dilakukan, terlebih dahulu akan disimulasikan skenario dasar (baseline scenario) yang hasilnya akan dijadikan sebagai pembanding terhadap hasil simulasi kebijakan. Pada simulasi dasar ini negara-negara ASEAN diasumsikan sudah menerapkan liberalisasi perdagangan regional dengan skema AFTA dimana semua tarif dihapuskan atau diturunkan menjadi nol persen. Skenario Dasar Pada simulasi skenario dasar (baseline scenario) diasumsikan negaranegara ASEAN telah melaksanaan AFTA secara penuh, dengan menghapuskan semua jenis hambatan perdagangan. Penghapusan tarif dan non-tarif dilakukan dengan melakukan shock terhadap database GTAP versi 6 sebagai data dasar (benchmark). Meskipun kesepakatan AFTA memungkinkan anggota untuk
149
memasukkan sesuatu jenis komoditi ke dalam daftar Sensitive and Highly Sensitive List (misal: beras, gula) yang tarifnya dapat dipertahankan antara 5 – 20 persen, tetapi untuk kemudahan pada simulasi ini semua tarif dihapuskan. Hasil skenario dasar selanjutnya akan dibandingkan dengan hasil simulasi skenario lain dalam kerangka FTA ASEAN – China, sehingga dapat dievaluasi apakah kesepakatan liberalisasi perdagangan ASEAN – China tersebut menambah tingkat kesejahteraan atau malah sebaliknya merugikan ekonomi Indonesia. Perbedaan antara hasil simulasi skenario dasar dengan hasil simulasi skenario lainnya dinyatakan dalam bentuk persentase. Alasan untuk menggunakan AFTA sebagai skenario dasar adalah karena ASEAN telah sepakat untuk menghapuskan tarif perdagangaan barang dan jasa melalui skema CEPT – AFTA secara penuh pada 2010. Oleh sebab itu dengan atau tanpa adanya FTA ASEAN – China, negara-negara ASEAN tetap akan meliberalisasi
perdagangan diantara anggotanya. Pelaksanaan AFTA tersebut
diharapkan dapat meningkatkan perdagangan intra-ASEAN dan kesejahteraan masyarakat, khususnya bagi Indonesia. Menurut Hakim (2004), dengan AFTA pelaksanaan AFTA diperkirakan pada tahun 2010 GDP riil Indonesia akan meningkat sebesar 0.2 persen dan volume perdagangan bertambah sekitar 1.8 persen dari baseline skenario. Skenario 1: Early Harvest Programme FTA ASEAN – China Pembentukan FTA ASEAN – China akan dilaksanakan secara bertahap. Pada tahap awal yang disebut dengan Early Harvest Programme (EHP), disepakati untuk meliberalisasi komoditi pertanian di negara-negara ASEAN-6 dan China pada 2006, dan tahun 2010 di kelompok negara ASEAN - CLMV.
150
Meskipun masih terbatas hanya pada sektor pertanian, diharapkan langkah awal liberalisasi perdagangan ASEAN – China ini dapat menjadi katalisator untuk liberalisasi di sektor manufaktur dan jasa. Selain itu, mengingat tingkat proteksi komoditi pertanian di China masih lebih tinggi dibanding ASEAN maka ekspor komoditi ASEAN ke China diperkirakan akan meningkat. Pada skenario ini diasumsikan semua negara ASEAN dan China menghapuskan tarif dan non-tarif untuk komoditi pertanian dan kehutanan, sedangkan produk manufaktur dan jasa masih berlaku tarif MFN (most favored nations). Walaupun waktul pelaksanaan EHP ditetapkan secara berbeda antara ASEAN-6 dengan kelompok CLMV, pada simulasi ini diasumsikan jadwal pelaksanaan EHP adalah sama untuk semua negara ASEAN dan China. Hal ini dengan pertimbangan model yang digunakan bersifat komparatif statis (bukan dinamis) dan untuk memudahkan simulasi. Skenario 2: FTA ASEAN – China Secara Penuh Berdasarkan kesepakatan FTA ASEAN – China, penghapusan tarif untuk komoditi di luar EHP dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu: Normal Track I yang diharapkan tercapai sepenuhnya (untuk sepuluh negara ASEAN dan China) pada 2015, dan Normal Track II dijadwalkan sampai akhir 2018. Selain itu masih dimungkinkan untuk memasukkan komoditi ke dalam daftar sensitif yang penurunan tarifnya dilakukan secara bertahap antara 0 – 5 persen sampai dengan tahun 2020, dan daftar komoditi sangat sensitif yang tarifnya harus diturunkan menjadi setengah (50 persen) dari tingkat tarif saat ini pada awal tahun 2018. Meskipun skema penurunan tarif dalam kerangka FTA ASEAN – China dilakukan secara bertahap dan bervariasi menurut kelompok negara dan jenis
151
komoditi, namun pada simulasi ini diasumsikan bahwa seluruh negara ASEAN dan China telah menghapuskan semua hambatan tarif dan non-tarif perdagangan barang. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan selain untuk memudahkan dalam analisis, model yang digunakan dalam penelitian ini bersifat komparatif statik sehingga analisis lebih ditekankan kepada perubahan kondisi sebelum dan sesudah diberlakukannnya kebijakan liberalisasi perdagangan. Skenario 3: FTA ASEAN – China Ditambah Dengan Kebijakan Unilateral di Indonesia Untuk Mengurangi Biaya Transaksi Perdagangan Sebesar 30 Persen Biaya transaksi dalam kegiatan bisnis biasanya diasosiasikan dengan ekonomi biaya tinggi akibat berbagai jenis pungutan tidak resmi yang harus dikeluarkan oleh pengusaha. Ekonomi biaya tinggi tersebut menyebabkan terjadinya inefisiensi dan menurunkan daya saing. Menurut Gaduh (2006) permasalahan utama dalam upaya meningkatkan ekspor Indonesia bukan terletak pada kebijakan perdagangan tetapi lebih pada kebijakan untuk meningkatkan produktivitas. Berkaitan dengan hal ini, ekspor dapat ditingkatkan apabila kebijakan untuk mengurangi korupsi, pungutan liar, dan biaya transaksi lainnya dapat dilakukan secara efektif. Sebagai contoh mengenai tingginya biaya transaksi di Indonesia adalah biaya bongkar muat pelabuhan (Terminal Handling Charges). Meskipun sejak November 2005 THC Indonesia sudah diturunkan menjadi US$ 95 untuk kontainer ukuran 20 feet, namun biaya tersebut masih lebih tinggi dibanding dengan di beberapa negara tetangga yang berkisar US$ 90 – US$ 107. Selain itu, tingginya biaya transaksi tersebut juga disebabkan kualitas pelayanan dan infrastruktur di pelabuhan yang masih rendah.
152
Menurut
Bussolo
dan
Whalley
(2003)
biaya
transaksi
dapat
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu: biaya transaksi terkait dengan geografi, teknologi/infrastruktur, dan institusi/kebijakan. Salah satu contoh dari biaya transaksi kategori pertama adalah margin biaya transportasi. Jenis biaya transaksi ini adalah yang paling mudah dilihat dan diukur. Dalam perdagangan internasional biaya transaksi tersebut diukur berdasarkan rasio CIF / FoB. Kategori kedua adalah biaya transaksi yang terkait dengan kemajuan teknologi dan infrastruktur. Ketersediaan teknologi dan infrastruktur akan memperlancar arus perdagangan dan sekaligus mengurangi biaya transaksi. Sebagai contoh adalah penggunaan teknologi informasi dan telekomunikasi telah menurunkan secara drastis biaya perdagangan di negara-negara OECD. Kategori ketiga adalah biaya transaksi yang terkait dengan kelembagaan atau kebijakan ekonomi. Salah satu contoh dari jenis biaya transaksi ini adalah adanya pencari rente (rent seekers) yang memanfaatkan kelemahan sistim atau kebijakan pemerintah. Pada simulasi ini, penurunan biaya transaksi perdagangan dilakukan dengan melakukan shock terhadap variable perubahan atau perbaikan teknologi pengangkutan barang dari region r ke s. Shock terhadap variable tersebut selanjutnya akan mempengaruhi variable indeks biaya transportarsi dari region r ke s: [ptrans(i,r,s]. ptrans(i,r,s) = sum(m,MARG_COMM, VTFSD_MSH(m,i,r,s) * [pt(m) - atmfsd(m,i,r,s)]) …………………………...(V-18) dimana atmfsd(m,i,r,s) merupakan variabel perubahan teknologi pengapalan untuk komoditi i dari region r ke s. Variabel tersebut merupakan penjumlahan dari beberapa variable lain yang dirumuskan dengan persamaan:
153
atmfsd(m,i,r,s) = atm(m) + atf(i) + ats(r) + atd(s) + atall(m,i,r,s) ..........................................................(V-19) dimana: atm (m)
: perubahan teknologi moda pengapalan;
atf (i)
: perubahan teknologi pengapalan komoditi i;
ats (r)
: perubahan teknologi pengapalan dari region r;
atd(s)
: perubahan teknologi pengapalan ke region s;
atall(m,i,r,s) : perubahan teknologi pengapalan sebanyak m kali untuk komoditi i dari r ke s. Oleh karena penurunan biaya transaksi diasumsikan sebesar 30 persen, maka besaran shock yang dilakukan adalah –30. Asumsi tersebut konsisten dengan hasil penelitian Henderson, Shalizi, dan Venables (2001) dalam Bussolo dan Whalley (2003), yang memperkirakan besarnya biaya transaksi transportasi di negara-negara berkembang berkisar antara 30 – 40 persen. Penurunan biaya transaksi diharapkan akan meningkatkan efisiensi dan daya saing ekonomi Indonesia, sehingga manfaat dari liberalisasi perdagangan diharapkan akan semakin bertambah. Skenario 4: FTA ASEAN – China Ditambah Kebijakan Pemerintah Indonesia Dalam Meningkatkan Investasi Di Sektor Pertanian Sebesar 15 Persen. Salah satu kendala dalam meningkatkan produktivitas sektor pertanian di Indonesia adalah terbatasnya anggaran pemerintah dalam pembangunan infrastuktur pertanian. Investasi di bidang infrastuktur pertanian sangat diperlukan guna meningkatkan produktivitas dan daya saing sektor di pasar internasional.
154
Menurut Yudhoyono (2004) peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian akan meningkatkan PDB nasional dan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan investasi di sektor pertanian sebesar 15 persen akan meningkatkan PDB riil sebesar 10.8 persen, menurunkan tingkat pengangguran 4.9 persen dan total angka kemiskinan sebesar 0.6 persen. Dalam
model GTAP, investasi netto merupakan agregrat investasi di
setiap region (NETINV(r)). Persamaan investasi di tingkat sektor tidak ada di dalam model. Selain itu, pengeluaran pemerintah untuk masing-masing sektor di suatu region (VDGA(i,r)) mencakup alokasi pembelanjaan untuk barang konsumsi dan investasi. Dengan demikian, tidak ada variabel yang dapat digunakan secara langsung untuk menganalisis dampak investasi terhadap perubahan makro ekonomi. Untuk menganalisis dampak investasi atau pengeluaran pemerintah di sektor pertanian, digunakan proxy perubahan teknologi (produktivitas) sektor pertanian yang dalam model GTAP dinyatakan dengan variabel aoall(j, r), yaitu: peningkatan output sektor j di region r akibat adanya perbaikan teknologi. Diasumsikan bahwa investasi akan memperbaiki tingkat teknologi produksi sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas output sektor pertanian. Asumsi ini konsisten dengan hasil studi Oktaviani et al (2006) yang membuktikan adanya korelasi positif antara investasi dengan peningkatan produktivitas di semua sektor dengan koefisien korelasi sebesar 1.33. Selain itu, dalam studi tersebut juga diketahui bahwa pangsa (share) investasi pemerintah di sektor pertanian selama beberapa tahun terakhir rata-rata adalah sebesar 0.47 persen. Dengan menggunakan angka koefisien korelasi dan pangsa investasi pemerintah tersebut, serta asumsi peningkatan investasi sektor pertanian
155
sebesar 15 persen maka selanjutnya besaran shock atas variabel aoall(j, r) dapat ditentukan, yaitu sebesar: (1.33 * 0.47) * 1.15 = 0.71. Nilai shock ini selanjutnya digunakan di dalam simulasi kebijakan dengan skenario kombinasi kebijakan FTA ASEAN – China dengan peningkatan investasi sektor pertanian di Indonesia sebesar 15 persen. Skenario 5: Kombinasi Antara Skenario 3 dan 4 Pada simulasi ini akan dikombinasikan antara simulasi skenario 3 dan 4, dimana diasumsikan pemerintah Indonesia meliberalisasi perdagangan dan sekaligus melaksanakan kebijakan domestik yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi dan produktivitas sektor pertanian. Dengan kombinasi kebijakan tersebut maka dapat diharapkan dampak positif dari liberalisasi perdagangan terhadap kinerja ekonomi akan bertambah besar, dan sebaliknya dampak negatif akibat dari kebijakan liberalisasi perdagangan dapat dikurangi sehingga secara keseluruhan kesejahteraan masyarakat meningkat.
VI.
6.1.
HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN
Definisi Skenario Dasar Sebelum membahas hasil simulasi kebijakan (counterfactual scenario),
terlebih dahulu perlu disusun model skenario dasar (baseline scenario). Setelah model skenario dasar disusun, selanjutnya hasil simulasi kebijakan akan dibandingkan dengan hasil simulasi skenario dasar tersebut. Prosedur ini biasa dilakukan dalam analisis dampak kebijakan terhadap perubahan suatu ekonomi, khususnya dengan model keseimbangan umum dinamis (Hakim, 2004).
Meskipun model yang
digunakan dalam penelitian ini bersifat komparatif statis, simulasi skenario dasar masih relevan dilakukan mengingat kesepakatan AFTA tetap akan dilaksanakan oleh negara-negara ASEAN dengan atau tanpa adanya FTA ASEAN – China. Dengan melaksanakan kesepakatan AFTA tersebut dapat dianggap bahwa negara-negara ASEAN melakukan kegiatan ekonomi seperti biasa (business as usual), dan hasilnya penting untuk dibandingkan dengan apabila ASEAN melakukan liberalisasi perdagangan dengan negara China. Perbedaan antara hasil simulasi skenario dasar dengan simulasi kebijakan umumnya disajikan dalam bentuk persentase perubahan. Menurut Hakim (2004), ada dua komponen penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan skenario dasar, yaitu: meng-up date beberapa variabel di dalam model (baik eksogen maupun endogen) dengan menggunakan asumsi atau parameter baru, dan mengetahui tingkat tarif impor yang berlaku serta kebijakan perdagangan lainnya seperti: subsidi produksi dan subsidi ekspor. Informasi mengenai hambatan perdagangan ini merupakan komponen penting dalam simulasi skenario dasar untuk mengetahui seberapa besar tingkat proteksi awal di sebuah negara.
157
Pada skenario dasar yang dilakukan dalam penelitian ini, semua variabel, koefisien dan data perdagangan yang ada di dalam database GTAP versi 6 dijadikan sebagai acuan (benchmark). Database GTAP tersebut memuat data agregat untuk 86 region dan 57 sektor. Semua nilai moneter dinyatakan dalam dolar Amerika Serikat (US$) dengan tahun referensi 2001 (Hertel, 1997). Dari database GTAP dapat diperoleh variable-variabel makro ekonomi dari setiap region,
arus perdagangan
bilateral, tingkat proteksi perdagangan (tarif dan non-tarif), koefisien dan parameter setiap sektor, serta tabel input-output (I-O) setiap region. Tabel 18 menyajikan data GDP riil dan nilai ekspor yang diambil dari database GTAP versi 6. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa ukuran ekonomi Indonesia adalah yang terbesar diantara negara-negara ASEAN dengan GDP riil sebesar US$ 145 306.30 juta atau hampir 25 persen dari total GDP riil ASEAN. Dari sisi perdagangan, nilai ekspor Indonesia sebesar US$ 64 382.02 juta atau 44.31 persen dari total GDP masih jauh di bawah Malaysia, Singapore dan Thailand, dimana rasio nilai ekspor terhadap GDP masingmasing mencapai 118.42 persen, 105.34 persen dan 60.90 persen. Hal ini mencerminkan bahwa sektor perdagangan (ekspor) sangat penting peranannya bagi ekonomi ketiga negara ASEAN tersebut. Ekonomi mereka lebih berorientasi keluar (outward) sehingga sangat sensitif terhadap adanya goncangan ekspor. Dengan demikian, kebijakan liberalisasi perdagangan akan sangat berpengaruh terhadap perubahan output nasional dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Menurut Lee at al (2004) dan Hakim (2004) ada 2 (dua) faktor yang mempengaruhi tingkat perubahan kesejahteraan (EV), yaitu: pangsa (share) ekspor dan rasio ekspor terhadap output. Dalam model GTAP, variabel EV adalah pendapatan per kapita sebuah region, sehingga peningkatan ekspor berarti menambah pendapatan dan selanjutnya akan menambah tingkat kesejahteraan.
158
Tabel 18. Data Dasar Nilai GDP dan Ekspor, Tahun 2001 ,
Negara
GDP Riil
Nilai Ekspor
(US$ Juta)
(US$ Juta)
Rasio Ekspor thd GDP (%)
IDN
145 306.30
64 382.02
44.31
MYS
88 040.63
104 257.67
118.42
PHL
71 437.49
35 803.55
50.12
SGP
84 855.19
89 388.25
105.34
THA
114 681.16
69 841.83
60.90
VNM
32 722.70
13 375.21
40.87
XSE
79 052.98
7 533.14
9.53
CHN
1 159 031.38
362 021.12
31.23
ROW
29 503 474.63
4 915 784.68
16.66
Total
31 278 602.00
5 662 387.47
18.10
Sumber: GTAP versi 6
Di lihat dari tingkat proteksi perdagangan, secara umum tarif impor komoditi pertanian dan kehutanan Indonesia relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan Viet Nam.
Satu-satunya negara ASEAN yang telah
meliberalisasi pasar domestik adalah Singapore, dimana tarif impor hampir semuanya telah dihapuskan. Tingkat tarif impor rata-rata komoditi pertanian dan kehutanan disajikan pada Tabel 19. Tingkat proteksi awal tersebut akan menentukan keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh dari liberalisasi perdagangan. Apabila tingkat proteksi awal tinggi maka dapat diharapkan keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh akan semakin besar. Sebaliknya jika tingkat tarif awal sudah rendah maka dampak liberalisasi perdagangan terhadap ekonomi akan relatif kecil. Pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa komoditi beras dan gula masih memperoleh proteksi yang cukup tinggi
159
di beberapa negara ASEAN. Hal ini dimungkinkan karena kedua jenis komoditi tersebut oleh sebagian besar negara anggota AFTA masih dimasukkan ke dalam daftar sangat sensitif (Highly Sensitive List) dengan alasan untuk melindungi petani domestik. Tarif impor beras (processed rice) Indonesia adalah sebesar 16.11 persen, lebih rendah dibanding di Philippines sebesar 29.63 persen.
Sedangkan untuk
komoditi gula, tarif impor di Indonesia adalah sebesar 15.87 persen masih lebih rendah dibandingkan dengan Philippines (31.30 persen), Viet Nam (24.96 persen) dan Thailand (23.13 persen). Untuk produk kayu olahan (wood-based products), tingkat tarif impor di Indonesia (4.36 persen) paling rendah kedua setelah Singapore (nol persen). Tingkat tarif impor tertinggi adalah di Thailand (15.65 persen), diikuti Viet Nam (14.96 persen), Malaysia (8.33 persen) dan Philippines (6.89 persen). Sedangkan untuk produk kehutanan (forestry), yang sebagian besar berupa kayu bahan baku industri, tingkat tarif impornya relatif rendah di semua negara ASEAN. Hal ini menggambarkan terjadinya kekurangan bahan baku industri perkayuan di negaranegara tersebut sehingga mereka membuka pasar impor komoditi tersebut dengan tingkat tarif rendah. Tingkat proteksi tarif dan non-tarif adalah faktor penentu dalam analisis dampak liberalisasi perdagangan. Analisis dampak liberalisasi perdagangan, terutama dengan menggunakan model keseimbangan umum, selalu difokuskan kepada penurunan atau penghapusan hambatan perdagangan secara bilateral.
Hal ini
disebabkan semakin tinggi tingkat proteksi awal yang diberlakukan secara bilateral, maka semakin besar pula dampak penghapusan hambatan perdagangan tersebut terhadap struktur perdagangan antara dua negara (Hakim, 2004). Oleh sebab itu, pada simulasi skenario dasar ini perlu untuk diketahui tingkat proteksi perdagangan yang diberlakukan secara bilateral di negara-negara ASEAN dan China yang menjadi fokus
160
dari penelitian ini. Tingkat tarif impor bilateral tersebut disajikan pada Lampiran 6 – Lampiran 12. Secara umum, tingkat tarif impor sangat bervariasi baik di tingkat sektor maupun di antara masing-masing negara. Indonesia mengenakan tarif impor cukup tinggi untuk komoditi beras padi (paddy) dan beras olahan (procrice) dari hampir semua negara, kecuali beras olahan dari Philippines dan beras padi dari EU-15 dengan tarif nol persen. Namun impor beras olahan dari Philippines dan beras padi dari EU-15 tersebut nilainya sangat kecil, sehingga secara keseluruhan tarif impor beras yang diberlakukan di Indonesia masih relatif tinggi. Komoditi lain yang memperoleh proteksi tarif cukup tinggi adalah gula, makanan olahan (food products), perikanan (fisheries), dan produk kayu olahan. Di luar produk manufaktur lainnya (other manufactures) yang terdiri dari beragam produk, produk tekstil dan peralatan mesin memiliki tingkat tarif yang masih cukup tinggi. Untuk tekstil, tarif impor tertinggi dikenakan atas impor dari China sebesar 10.08 persen dan Korea Selatan sebesar 9.70 persen. Demikian pula untuk peralatan mesin, tarif tertinggi dikenakan untuk impor dari China sebesar 5.03 persen. Berbeda dengan Indonesia, tarif impor beras dan gula di Malaysia sudah dihapuskan. Tingkat tarif tertinggi di Malaysia adalah untuk impor produk pertanian lainnya (other agriculture) seperti: plant-based fibers, crops nec, dan wool, silk-worm cocoons. Malaysia mengenakan tarif impor produk susu dari Indonesia sebesar 10.33 persen merupakan tarif tertinggi
dibanding tarif impor dari negara-negara lain.
Produk tekstil dari Indonesia juga dikenakan tarif impor relatif tinggi sebesar 10.82 persen. Di Philippines, tarif impor tinggi dikenakan untuk komoditi beras, produk daging (meat products), dan peternakan (livestock) dari Indonesia, masing-masing sebesar 50 persen, 38.38 persn dan 15 persen. Struktur tarif impor di Thailand hampir sama dengan di Vietnam dan China. Ketiga negara tersebut masih memberikan
161
proteksi tarif cukup tinggi untuk sebagian besar komoditi pertanian, kehutanan, dan produk manufaktur. Tarif impor relatif rendah hanya untuk komoditi beras dan gandum. Thailand mengenakan tarif impor produk kayu olahan dari Indonesia sebesar 24.31 persen, lebih tinggi dibandingkan tarif yang dikenakan Viet Nam dan China.
Tabel 19. Data Dasar Tingkat Tarif Rata-Rata, Tahun 2001 (%) Negara Sektor IDN
MYS
Paddy
14.88
0.00
7.61
0.00
0.27
1.15
1.19
8.92
ProcRice
16.11
0.00
29.63
0.00
5.55
7.19
1.23
0.64
Wheat
0.64
0.00
3.45
0.00
4.79
0.00
0.00
9.15
Cereal
0.15
0.00
9.75
0.00
27.96
0.99
0.29
19.70
VegetFruit
4.28
4.65
9.73
0.00
32.31
30.88
4.58
21.77
VegetOil
2.05
1.03
3.99
0.00
19.53
12.39
1.68
30.46
15.87
0.00
31.30
0.00
23.13
24.96
1.64
14.45
OtherSugar
0.00
0.77
0.00
0.00
0.00
0.77
0.38
3.08
MeatProd
3.95
2.56
24.52
0.00
29.43
16.22
6.89
13.95
DairyProd
3.71
1.68
3.10
0.00
14.36
15.26
5.89
23.76
FoodProd
6.12
3.26
5.23
0.00
36.55
25.10
7.37
19.08
Livestock
2.69
0.57
7.13
0.00
9.70
3.15
1.33
9.13
Fishery
3.10
0.37
2.99
0.00
32.29
10.26
1.95
13.90
Forest
1.42
0.36
0.69
0.00
4.78
1.62
1.35
4.50
WoodProd
4.36
8.33
6.86
0.00
15.65
14.96
12.89
9.88
OtherAgric
2.32 59.04
4.39
0.00
24.81
11.87
12.21
9.71
Sugar
Sumber: GTAP versi 6
PHL
SGP
THA
VNM
XSE
CHN
162
Selain proteksi tarif, pengenaan hambatan non-tarif (pajak/subsidi ekspor dan output) juga sangat berpengaruh pada hasil analisis dampak kebijakan liberalisasi perdagangan. Besarnya pajak dan subsidi ekspor di negara-negara ASEAN dan China disajikan pada Tabel 20. Fakta menarik dari data pada tabel tersebut adalah semua negara ASEAN dan China tidak memberikan subsidi ekspor untuk komoditi pertanian. Hal ini sangat berbeda dengan negara-negara maju yang pada umumnya memberikan subsidi ekspor cukup tinggi kepada sektor pertanian domestik. Perberian subsidi ekspor tersebut telah menyebabkan harga komoditi pertanian di pasar global menjadi
rendah
sehingga
merugikan produsen pertanian di
negara-negara
berkembang. Subsidi ekspor komoditi pertanian oleh negara-negara maju sampai saat ini menjadi isu penting yang belum dapat diselesaikan dalam negosiasi di WTO. Dalam hal pajak ekspor, hanya Vietnam dan kelompok negara Rest of Southeast Asian (XSE) yang mengenakan pajak ekspor produk kayu olahan masingmasing sebesar 13.06 persen dan 4.67 persen. Pengenaan pajak ekspor ini mencerminkan peranan penting industri perkayuan sebagai sumber pendapatan di negara-negara tersebut. Di sektor manufaktur, pajak ekspor untuk produk tekstil dan produk manufaktur lainnya dikenakan di hampir semua negara ASEAN dan China. Pajak ekspor tekstil Indonesia adalah sebesar 2.39 persen, merupakan yang tertinggi diantara negara-negara ASEAN. Sedangkan pajak ekspor produk manufaktur lain relatif rendah yaitu sebesar 0.31 persen. Diantara negara-negara ASEAN, Viet Nam mengenakan pajak ekspor tertinggi untuk produk manufaktur lain sebesar 4.21 persen. Sama dengan subsidi ekspor, hampir semua negara ASEAN dan China tidak memberikan subsidi output untuk semua komoditi, kecuali produk tambang dan mineral di Singapore yang diberi subsidi sebesar 4.50 persen. Di lain pihak, pajak output dikenakan atas semua sektor di ASEAN dan China, kecuali Malaysia.
163
Malaysia adalah satu-satunya negara di ASEAN yang tidak mengenakan pajak/subsidi output. Pengenaan pajak output atas sektor pertanian dan kehutanan menggambarkan bahwa sektor pertanian dan kehutanan di ASEAN dan China tidak memperoleh bantuan dari pemerintah, bahkan sebaliknya menjadi sumber pendapatan bagi negara. Di Indonesia, pajak output tertinggi dikenakan atas komoditi gula sebesar 9.18 persen. Pajak output komoditi gula di Indonesia tersebut adalah yang paling tinggi di antara negara-negara ASEAN dan China, sehingga menjadi salah satu penyebab rendahnya daya saing komoditi gula Indonesia di pasar regional.
Untuk sektor
kehutanan, pemerintah Indonesia mengenakan pajak output produk kehutanan sebesar 1.42 persen, lebih tinggi dibanding produk kayu olahan sebesar 0.84 persen. Di satu sisi, hal ini dapat dianggap sebagai upaya pemerintah untuk melindungi kelestarian sumberdaya hutan alam melalui instrumen pajak. Dengan mengenakan pajak output yang tinggi diharapkan pemanfaatan sumber bahan baku kayu dapat lebih efisien sehingga mendukung kelestarian hutan. Namun di sisi lain, tingginya pajak tersebut menunjukkan bahwa sumberdaya hutan masih menjadi andalan sumber pendapatan bagi pemerintah. Dengan memperhatikan besarnya pajak/subsidi ekspor dan output untuk setiap komoditi, maka dapat diperkirakan besarnya dampak penghapusan hambatan non-tarif tersebut terhadap perubahan ekspor dan output dari masing-masing komoditi. Menurut teori liberlisasi perdagangan, semakin besar tingkat proteksi awal yang diberlakukan atas sebuah komoditi maka semakin besar pula perubahan kinerja output dan perdagangan dari komoditi tersebut setelah dilakukan liberalisasi. Sebaliknya apabila komoditi tersebut sudah memiliki tarif awal yang rendah atau tidak diproteksi maka liberalisasi perdagangan akan memberikan dampak yang relatif kecil terhadap kinerja komoditi tersebut.
164
Tabel 20. Data Dasar Pajak/Subsidi Ekspor Rata-Rata, Tahun 2001 (%) Negara Sektor IDN
MYS
PHL
SGP
THA
VNM
XSE
CHN
Paddy
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
ProcRice
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Wheat
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Cereal
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
VegetFruit
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
VegetOil
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Sugar
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
OtherSugar
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
MeatProd
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
DairyProd
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
FoodProd
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Livestock
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Fishery
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Forest
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
WoodProd
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00 -13.06
-4.67
0.00
OtherAgric
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
-2.39
-2.26
-1.46
0.00
-1.54
-1.58
0.00
-3.84
Electronic
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Machinery
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
MiningMnrl
0.03
0.01
0.05
0.00
0.00
-1.05
-0.70
0.00
OtherMnfcs
-0.31
-0.14
-0.49
0.00
-0.29
-4.21
-0.08
-0.80
Textiles
Catatan: tanda negatif berarti pajak dan positif berarti subsidi Sumber: GTAP versi 6
165
Tabel 21. Data Dasar Pajak/Subsidi Output Rata-Rata, Tahun 2001 (%)
Negara Sektor IDN
MYS
PHL
SGP
THA
VNM
XSE
CHN
Paddy
-0.71
0.00
-2.24
-0.64
-0.26
-3.93
-1.31
-1.94
ProcRice
-0.42
0.00
-3.86
-0.38
-0.54
-0.94
-0.61
-3.88
Wheat
-1.27
0.00 -13.05
-0.64
-0.22
-1.79
-0.48
-1.94
Cereal
-1.27
0.00 -13.05
-0.64
-0.22
-1.79
-0.37
-1.94
VegetFruit
-0.87
0.00
-6.77
-0.64
-0.08
-1.79
-0.31
-1.94
VegetOil
-1.15
0.00
-6.35
-0.20
-0.98
-1.79
-0.99
-2.81
Sugar
-9.18
0.00
-3.97
-0.23
-5.00
-1.11
-4.77
-3.88
OtherSugar
-0.06
0.00
-4.89
-0.64
-0.12
-1.18
-0.21
-1.94
MeatProd
-1.38
0.00
-3.67
-1.16
-1.15
-5.39
-1.20
-2.07
DairyProd
-1.38
0.00
-3.67
-0.59
-1.15
-2.48
-1.25
-2.07
FoodProd
-1.85
0.00
-2.99
-0.58
-0.87
-0.94
-0.87
-3.88
Livestock
-0.67
0.00
-2.40
-19.22
-0.11
-0.37
-0.17
-1.44
Fishery
-0.80
0.00
-0.21
-0.42
-0.01
-3.26
-0.41
-1.59
Forest
-1.42
0.00
-4.49
-0.41
-1.67 -10.66
-4.17
-5.13
WoodProd
-0.84
0.00
-6.27
-0.64
-2.09
-1.04
-1.88
-4.89
OtherAgric
-0.87
0.00
-5.89
-0.44
-0.09
-1.78
-0.19
-1.80
Textiles
-1.92
0.00 -16.89
-0.54
-1.34
-1.93
-1.34
-5.42
Electronic
-3.36
0.00 -11.85
-0.41
-1.99
-1.76
-1.57
-3.81
Machinery
-4.13
0.00 -18.11
-0.65
-2.03
-0.72
-1.72
-4.61
MiningMnrl
-1.85
0.00 -12.08
4.50
-9.28
-3.94
-5.19
-6.26
OtherMnfcs
-4.19
0.00 -13.47
-1.10
-6.11
-2.83
-7.37
-5.83
Catatan: tanda negatif berarti pajak dan positif berarti subsidi Sumber: GTAP versi 6
166
6.2.
Hasil Simulasi Skenario Dasar Dengan diberlakukannya pasar bebas ASEAN (AFTA), GDP riil dan
kesejahteraan negara-negara ASEAN diperkirakan meningkat. Peningkatan GDP berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan masyarakat, dimana apabila GDP meningkat maka kesejahteraan negara yang bersangkutan diharapkan juga meningkat. Hasil simulasi dasar menunjukkan bahwa peningkatan GDP riil terbesar akan diperoleh Philippines yaitu sebesar 19.60 persen, diikuti Thailand sebesar 18.89 persen, dan Vietnam sebesar 9.02 persen. Peningkatan GDP riil yang relatif tinggi di ketiga negara ASEAN tersebut adalah konsisten dengan masih tingginya tingkat proteksi awal perdagangan di negara-negara tersebut. Penghapusan hambatan perdagangan akan menurunkan harga impor sehingga menaikkan daya beli riil (real purchasing power) konsumen domestik. Peningkatan daya beli masyarakat tersebut selanjutnya akan meningkatkan produksi industri di dalam negeri (Hakim, 2004). Oleh karena tingkat proteksi perdagangan di Indonesia sudah relatif rendah, maka peningkatan GDP riil diperkirakan hanya sebesar 3.21 persen dan kesejahteraan bertambah US$ 6 117.84 juta dihitung dari data dasar. Sedangkan bagi negara anggota ASEAN yang baru, seperti: Cambodia, Laos dan Myanmar, manfaat ekonomi dari pelaksanaan AFTA relatif kecil, dimana GDP riil hanya bertambah sebesar 0.02 persen dan kesejahteraan sedikit meningkat US$ 17.56 juta. Hal ini berkaitan dengan kepasitas sumberdaya manusia dan sistim perekonomian di negara-negara tersebut yang masih belum siap untuk melaksanakan liberalisasi perdagangan. Perubahan variabel makroekonomi dari hasil simulasi skenario dasar disajikan pada Tabel 22. Hasil simulasi di atas adalah konsisten dengan penelitian Hutabarat et al (2008) yang menyebutkan bahwa pelaksanaan AFTA akan meningkatkan GDP dan kesejahteraan negara-negara ASEAN, dimana untuk Indonesia diperkirakan akan memperoleh
167
peningkatan GDP sebesar 0.0027 persen dan kesejahteraan sebesar US$ 5.34 juta. Peningkatan GDP dan kesejahteraan ini diduga sebagai akibat dari peningkatan ekspor yang mendorong peningkatan neraca perdagangan. Lebih lanjut dikatakan bahwa apabila hasil simulasi ini benar, maka kekhawatiran akan dampak kesepakatan regional tidak perlu ada karena ternyata pengaruhnya positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di masing-masing negara. Sedangkan Hakim (2004) melakukan simulasi dampak AFTA terhadap perdagangan komoditi pertanian. Walaupun model yang digunakan berbeda dengan penelitian ini, hasil simulasi menunjukkan bahwa AFTA akan meningkatkan GDP riil negara-negara ASEAN. Pelaksanaan AFTA tersebut akan meningkatkan GDP Indonesia rata-rata sebesar 0.2 persen selama periode 2004-2010. Sejalan dengan peningkatan GDP, nilai perdagangan negara-negara ASEAN juga akan meningkat dengan diberlakukannya AFTA.
Nilai ekspor Philippines
diperkirakan mengalami peningkatan terbesar, diikuti oleh Thailand dan Vietnam. Hal ini dimungkinkan sebab hambatan perdagangan awal dari ketiga negara tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Dengan demikian penghapusan tarif impor menyebabkan harga-harga faktor produksi dan input antara menurun drastis, sehingga biaya produksi domestik menjadi jauh lebih murah. Rendahnya biaya produksi tersebut membuat daya saing meningkat sehingga ekspor juga meningkat. Untuk Indonesia, nilai ekspor dan impor masing-masing bertambah sebesar 8.37 persen dan 10.54 persen dihitung dari data dasar. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa pelaksanaan AFTA akan meningkatkan perdagangan negara-negara ASEAN. Menurut hasil penelitian Hakim (2004) pelaksanaan AFTA memberikan dampak kreasi perdagangan yang lebih besar dibandingkan dampak diversi perdagangan sehingga secara keseluruhan AFTA memberikan dampak positif.
168
Tabel 22. Perubahan Variabel Makroekonomi pada Simulasi Dasar
Negara
GDP riil (%)
Kesejahteraan (US$ juta)
Terms of Trade (%)
Nilai Ekspor (%)
Nilai Impor (%)
IDN
3.21
6 117.84
-0.27
8.37
10.54
MYS
2.45
1 422.79
0.21
2.84
3.70
PHL
19.60
20 215.39
-7.56
96.72
96.63
SGP
0.28
4 245.76
1.40
5.43
5.37
THA
18.89
15 057.75
-1.43
21.87
25.86
VNM
9.02
2 339.27
-0.69
21.29
21.04
XSE
0.02
17.56
0.84
0.84
1.06
CHN
0.16
-3 591.35
-0.06
-0.64
-0.93
JPN
0.13
-4 017.01
0.14
0.59
0.16
ROK
0.16
-435.56
0.03
-0.30
-0.37
USA
0.16
-2 755.76
0.15
0.12
-0.04
EU-15
0.15
-5 301.84
0.02
-0.34
-0.38
ROW
0.08
-5 555.85
0.06
-0.34
-0.41
Sumber: Hasil Simulasi Skenario Dasar
Nilai absolut dan pangsa (share) ekspor bilateral dari hasil simulasi dasar disajikan pada Lampiran 13 dan 14. Berdasarkan data pada lampiran tersebut, total ekspor ASEAN dan China mencapai 7.52 persen dan 5.34 persen dari total ekspor dunia. Ekspor ASEAN ke China mencapai US $ 37.07 milyar, atau sekitar 7.00 persen dari total ekspor ASEAN. Sedangkan ekspor China ke ASEAN sebesar US $ 36.57 milyar atau 9.74 persen dari total ekspor China. Selanjutnya apabila nilai total ekspor tersebut dibandingkan dengan nilai ekspor ASEAN dan China ke pasar EU-15,
169
Amerika Serikat dan Jepang, diketahui bahwa nilai perdagangan antara ASEAN dengan China masih relatif kecil. Dengan kata lain, masing-masing pihak bukan merupakan mitra dagang yang penting sebab sebagian besar ekspor masih mengandalkan pasar EU-15, Amerika Serikat dan Jepang. Total ekspor ASEAN ke negara-negara EU-15 mencapai 18.50 persen, Amerika Serikat 17.31 persen dan Jepang 11.46 persen dari total ekspor ASEAN. Sedangkan total ekspor China ke ke tiga negara tersebut masing-masing adalah 18.86 persen, 25.32 persen dan 21.93 persen dari total ekspor China. Dengan AFTA, nilai total ekspor Indonesia mencapai US$ 73.33 milyar atau meningkat sebesar 8.37 persen dari data dasar. Dalam perdagangan intra-ASEAN, negara Singapore merupakan mitra dagang terbesar bagi Indonesia. Nilai ekspor Indonesia yang mengalir ke Singapore adalah US$ 5.97 milyar atau 8.4 persen dari total ekspor, dan sebaliknya ekspor Singapore ke Indonesia sebesar US$ 4.04 milyar atau 14.43 persen dari total ekspor.
Untuk
perdagangan ekstra-ASEAN, ekspor Indonesia ke China relatif kecil dibandingkan dengan ekspor ke pasar EU-15, Amerika Serikat dan Jepang. Nilai ekspor Indonesia ke China adalah US$ 4.94 milyar (6.74 persen), sedangkan ekspor ke EU-15 mencapai US$ 12.36 milyar (12.36 persen), Amerika Serikat US$ 11.14 milyar (11.14 persen) dan Jepang mencapai US$ 11.91 milyar (11.91 persen). Berdasarkan data perdagangan bilateral antara negara-negara ASEAN dalam kerangka AFTA di atas dapat disimpulkan bahwa perdagangan antar negara-negara ASEAN (intra-ASEAN trade) cenderung terus meningkat, dan perdagangan ekstraASEAN masih mengandalkan pasar Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Perdagangan bilateral ASEAN dengan China masih relatif kecil. Dengan demikian timbul kekhawitran bahwa liberalisasi perdagangan ASEAN – China akan mengorbankan perdagangan intra-ASEAN dan perdagangan dengan mitra dagang
170
utama tersebut. Apabila diversi perdagangan lebih besar maka pelaksanaan FTA ASEAN – China menjadi tidak relevan untuk dilaksanakan. Dalam hal seperti ini negara-negara ASEAN lebih baik mengintensifkan perdagangan intra-ASEAN untuk memperkuat integrasi ekonomi di kawasan ASEAN (Tambunan, 2005). Pelaksanaan AFTA juga berdampak pada perubahan output, volume ekspor dan impor dari setiap komoditi di negara-negara ASEAN.
Data Tabel 23
menunjukkan hampir sebagian besar komoditi baik pertanian, kehutanan maupun manufaktur negara-negara ASEAN mengalami peningkatan output produksi. Peningkatan output yang cukup menonjol terjadi di sektor manufaktur. Untuk di Indonesia, beberapa komoditi
mengalami peningkatan output yang tinggi, yaitu:
produk susu (8.84 persen), produk makanan (5.88 persen) dan gula (4.05 persen). Hal yang menarik dari Tabel 23 adalah berbeda dengan negara ASEAN lainnya output komoditi kehutanan dan kayu olahan Indonesia akan mengalami penurunan. Hal ini menggambarkan bahwa pelaksanaan AFTA akan mendorong harga impor turun sehingga memberikan disinsentif bagi produsen domestik untuk berproduksi. Tabel 24 dan 25 menyajikan data perubahan volume ekspor dan impor setiap komoditi pada simulasi skenario dasar. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa perdagangan komoditi pertanian Indonesia akan mengalami peningkatan. Ekspor andalan komoditi pertanian Indonesia adalah minyak nabati (vegetable oils), produk daging (meat products), dan produk gula lainnya (other sugar). Sedangkan perdagangan di sektor manufaktur, diperkirakan akan mengalami penurunan baik di sisi ekspor maupun impor. Berkaitan dengan hal ini, Indonesia diharapkan dapat memanfaatkan peluang perdagangan bebas ASEAN dengan meningkatkan produksi pertanian dan kehutanan yang selama ini memiliki daya saing cukup baik seperti: minyak nabati dan produk kayu olahan.
171
Tabel 23. Perubahan Output Sektoral (qo) pada Simulasi Dasar (%) Region Sektor
IDN
MYS
PHL
SGP
THA
VNM
XSE
CHN
Paddy
0.30
13.58
-5.59
0.29
-2.27
11.48
0.43
0.15
ProcRice
0.38
52.87
-7.48
18.05
-0.94
21.25
0.45
0.28
Wheat
-10.10
407.33
-53.69 -13.72
-7.71
19.90
-1.06
-0.03
Cereal
4.02
5.32
8.41
-1.19
-3.47
0.43
0.28
0.39
VegetFruit
2.08
2.74
-2.25
7.05
9.00
-6.23
0.45
0.12
-1.96
5.45
-0.28
6.37
5.13
28.75
0.31
0.33
Sugar
4.05
21.24
20.71
80.08
13.08 -14.48
-0.08
1.03
OtherSugar
3.96
9.79
21.05
12.29
13.06 -10.24
-0.08
0.14
MeatProd
3.03
22.08
19.12
29.85
-1.31 -12.08
0.04
0.11
DairyProd
8.84
41.48
2.62
15.17
13.28
3.56
0.51
0.00
FoodProd
5.88
30.42
4.22
7.76
-3.78 -10.74
0.16
0.02
Livestock
2.81
9.56
22.03
38.33
0.97
1.78
0.53
-0.14
Fishery
3.19
5.08
14.66
-0.18
3.59
0.50
0.08
-0.04
Forest
-1.49
0.33
7.87
-0.89
8.85
6.81
0.55
0.09
WoodProd
-3.73
1.82
1.04
7.96
2.29
4.87
0.56
0.52
OtherAgric
-5.14
-11.03
-17.81
-5.07
-7.40 -21.09
-1.15
1.08
Textiles
12.95
54.42
136.23
14.34
17.80
14.77
-0.93
-0.34
Electronic
15.75
-1.45
151.16
7.84
26.58
69.46
-0.51
-2.07
Machinery
27.21
11.33
320.30
14.80
24.34
61.09
-0.57
-0.33
MiningMnrl
2.14
2.89
63.62 -18.72
50.84
12.80
0.05
-0.04
OtherMnfcs
15.37
5.58
71.03
32.09
16.00
-0.27
-0.30
VegetOil
Sumber: Hasil Simulasi Skenario Dasar
28.99
172
Tabel 24. Perubahan Volume Ekspor Sektoral (qxw) pada Simulasi Dasar (%) Region Sektor Paddy
IDN
MYS
0.56 -19.98
PHL
SGP
THA
VNM
XSE
CHN
1.01
-0.17
-6.87
-2.81
8.00
57.06
ProcRice
-4.95
-3.95
-1.46
-1.50
-3.83
-2.65
0.49
22.01
Wheat
-1.98
-5.69
0.78
-1.47
-6.12
50.12
0.20
11.80
Cereal
-5.35
-3.49
-1.56
-0.86
-2.22
-1.59
0.21
2.53
VegetFruit
-5.06
-1.67
21.44
-1.41
7.49
37.40
-0.38
6.09
7.39
10.65
10.19
2.63
6.43
11.04
0.57
17.73
Sugar
-2.05
-2.36
1.30
-9.69
8.28
-0.32
OtherSugar
26.55
-8.95
3.92
-2.09
-11.23
29.47
1.26
1.25
MeatProd
77.59
13.20
6.58
0.84
-1.56
-2.90
-8.47
58.05
DairyProd
-0.75
0.91
0.93
3.58
5.43
28.74
0.74
24.48
FoodProd
-1.00
0.24
0.30
0.74
-0.07
0.17
-0.96
19.97
Livestock
-1.15
-2.96
3.38
1.67
-0.34
4.09
-3.30
3.72
Fishery
0.31
-0.32
0.04
0.30
1.57
0.62
-0.04
-1.53
Forest
1.89
0.74
1.48
-0.49
12.78
28.65
0.12
3.31
WoodProd
0.89
-2.78
-5.23
2.76
-3.55
-0.18
-11.88
38.81
OtherAgric
0.72
-0.79
11.77
0.29
7.23
3.46
-1.98
11.14
Textiles
-0.42
-0.54
0.07
-0.15
-0.17
0.30
0.36
-0.65
Electronic
-0.69
-0.20
0.33
-0.12
-0.11
-0.17
0.46
-1.71
Machinery
-0.42
-0.16
0.24
0.06
-0.07
-0.30
0.55
-2.05
MiningMnrl
-0.39
-0.27
0.25
0.02
-0.80
-0.11
0.49
-1.94
OtherMnfcs
-0.75
-0.20
0.55
0.00
-0.14
-0.32
0.37
-0.86
VegetOil
Sumber: Hasil Simulasi Skeanrio Dasar
-5.12 187.13
173
Tabel 25. Perubahan Volume Impor Sektoral (qiw) pada Simulasi Dasar (%) Region Sektor
IDN
MYS
PHL
SGP
THA
VNM
XSE
CHN
Paddy
0.25
10.43
-0.92
0.08
2.57
99.04
-0.72
0.67
ProcRice
2.76
1.35
-1.24
0.05
6.86
4.71
-1.27
-8.37
Wheat
-0.24
0.95
-0.01
0.04
-0.46
-0.27
-0.06
-0.72
Cereal
0.77
0.95
4.59
0.03
15.88
3.46
-1.45
-0.10
VegetFruit
3.63
0.93
5.43
0.00
6.23
21.56
-1.02
13.78
VegetOil
1.53
5.70
3.59
1.06
0.29
2.30
-0.38
5.55
Sugar
1.68
0.96
6.81
-3.76
12.02
0.22
-1.02
4.14
OtherSugar
1.00
7.86
-2.84
-0.25
6.03
6.39
-0.81
2.33
MeatProd
3.69
3.99
13.01
0.28
-1.30
0.28
-1.78
6.77
DairyProd
0.27
0.61
0.01
0.26
0.33
0.22
0.19
-5.16
FoodProd
1.65
1.47
0.35
0.24
1.44
2.63
-0.24
-3.60
Livestock
7.72
8.97
-0.88
-0.37
0.19
2.97
-0.55
-0.46
Fishery
0.54
2.20
0.38
0.03
-0.35
1.32
-0.65
3.60
Forest
2.04
-1.00
-1.61
0.01
-3.05
-0.31
-4.54
1.89
WoodProd
4.37
0.16
1.13
0.51
3.25
8.45
1.24
3.75
OtherAgric
1.10
-1.00
0.04
0.01
2.12
2.53
-1.51
6.70
Textiles
-0.10
-0.09
0.19
-0.02
-0.16
-0.21
-0.23
0.50
Electronic
-0.14
-0.09
0.28
-0.10
-0.12
-0.01
-0.47
-0.52
Machinery
-0.19
0.04
0.09
-0.04
-0.16
-0.06
-0.32
0.90
MiningMnrl
-0.11
0.00
0.12
-0.02
-0.20
-0.16
-0.42
0.64
OtherMnfcs
-0.02
-0.04
0.00
-0.03
-0.11
-0.04
-0.29
0.37
Sumber: Hasil Simulasi Dasar
174
6.3.
Analisa Dampak dan Manfaat FTA ASEAN – China
6.3.1. Tahap Early Harvest Programme (Hasil Simulasi-1) 6.3.1.1. Dampak Terhadap Kinerja Makroekonomi Pada tahap “program panen awal” atau Early Harvest Programme (EHP), penghapusan hambatan perdagangan masih terbatas di sektor pertanian dan kehutanan. Komoditi pertanian yang akan diliberalisasikan pada tahap EHP ini adalah produk yang terdaftar pada kode HS (Harmonized System) 01 – 08 yang meliputi lebih dari 600 pos tarif. Oleh karena liberalisasi perdagangan hanya melibatkan sebagian komoditi pertanian dan maka dampak terhadap variabel makroekonomi relatif kurang signifikan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 26. Selain itu, kontribusi sektor pertanian terhadap GDP negara-negara ASEAN juga relatif kecil jika dibandingkan dengan sektor manufaktur dan jasa. Berdasarkan data Tabel 26, Indonesia merupakan salah satu negara ASEAN yang diperkirakan memperoleh keuntungan ekonomi pada tahap EHP ini. GDP riil Indonesia naik sebesar 0.16 persen dan kesejahteraan bertambah sebesar US$ 71.23 juta dihitung dari skenario dasar. Peningkatan GDP dan kesejahteraan ini terjadi karena penghapusan hambatan perdagangan di sektor pertanian menurunkan harga impor, sehingga daya beli riil konsumen domestik meningkat dan selanjutnya produksi bertambah. Pada tahap EHP ini, total nilai perdagangan Indonesia dan beberapa negara ASEAN lainnya (Malaysia, Philippines, Vietnam) akan meningkat. Ekspor Indonesia bertambah sebesar 0.14 persen, sedangkan impor naik 0.10 persen atau terjadi surplus perdagangan sebesar 0.04 persen. Sementara ekspor China akan berkurang sebesar 0.01 persen dan impor naik sebesar 0.55 persen. Hal ini menunjukkan pentingnya perdagangan sektor pertanian dan kehutanan antara ASEAN dengan China. Di sisi lain, peningkatan nilai perdagangan tersebut menyebabkan diversi perdagangan
175
dengan negara-negara di luar ASEAN dan China. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya nilai ekspor dan impor negara-negara tersebut. Sebagai contoh, ekspor dan impor Uni Eropa akan berkurang masing-masing sebesar 0.06 persen dan 0.08 persen. Dilihat dari nilai Terms of Trade (TOT), persentase perubahan TOT tersebut sangat kecil untuk semua negara. Hal ini menggambarkan volume perdagangan sektor pertanian dan kehutanan negara-negara ASEAN dan China relatif kecil sehingga tidak mempengaruhi permintaan dan penawaran pasar dunia dan harga ekspor maupun impor relatif tidak berubah. Hasil simulasi di atas konsisten dengan hasil studi Hutabarat et al (2007), dimana tahap EHP akan memberikan tambahan GDP Indonesia sebesar 0.26 persen dan kesejahteraan sebesar US$ 452 juta. Peningkatan GDP dan kesejahteraan tersebut diduga sebagai akibat dari peningkatan ekspor pertanian agregat yang mendorong peningkatan neraca perdagangan pertanian. Ekspor pertanian Indonesia diperkirakan meningkat hingga 82.85 persen dan impor naik sebesar 21.19 persen. Apabila dibandingkan antara sebelum dan sesudah EHP, total nilai ekspor produk pangan dan pertanian Indonesia sejak dilaksanakannya EHP tahun 2004 telah meningkat dua kali lipat, yaitu mencapai US$ 4 trilyun atau 20 persen dari total ekspor ke China. Lebih lanjut disimpulkan bahwa kekhawatiran akan dampak kesepakatan regional tersebut tidak perlu terjadi karena pelaksanaan FTA ASEAN-China memberikan dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di masing-masing negara dengan syarat semua negara harus mematuhi
aturan penurunan tarif yang telah
disepakati bersama. Walaupun demikian, hasil studi tersebut perlu ditafsirkan secara hati-hati dan adalah statu tantangan tersendiri untuk mewujudkan keadaan tersebut. Dukungan dari berbagai pemangku kepentingan (pemerintah, swasta, dan kelompok masyarakat lainnya) di semua negara yang terlibat sangat dibutuhkan.
176
Tabel 26. Perubahan Variabel Makroekonomi pada Tahap Early Harvest Programme , Negara
GDP riil (%)
Kesejahteraan (EV) (US$ Juta)
Terms of Trade (tot) (%)
Nilai Ekspor (vxwreg) (%)
Nilai Impor (viwreg) (%)
IDN
0.16
71.23
0.13
0.14
0.10
MYS
0.13
93.76
0.04
0.09
0.07
PHL
-0.14
38.14
-0.03
0.32
0.28
SGP
-0.06
-30.22
0.00
-0.06
-0.07
THA
-0.06
-55.65
0.12
-0.02
-0.07
VNM
0.15
24.75
0.11
0.26
0.21
XSE
-0.18
-56.36
-0.13
-0.25
-0.30
CHN
-0.03
799.01
-0.06
-0.01
0.55
JPN
-0.07
-858.12
0.05
0.02
-0.07
ROK
-0.06
-59.89
0.03
-0.05
-0.05
USA
-0.08
-1 658.87
0.01
-0.01
-0.05
EU-15
-0.08
-2 183.96
0.00
-0.06
-0.08
ROW
-0.11
-2 688.90
-0.02
-0.08
-0.09
Sumber: Hasil Simulasi-1
6.3.1.2. Dampak Terhadap Produksi Pertanian dan Kehutanan Pada tingkat sektoral, pelaksanaan EHP akan menyebabkan perubahan tingkat produksi komoditi pertanian dan kehutanan di negara-negara ASEAN dan China. Perubahan tingkat produksi tersebut disebabkan oleh perubahan ekspor dan impor serta perubahan konsumsi domestik akibat penghapusan hambatan perdagangan. Penghapusan tarif impor untuk komoditi tertentu seperti: beras dan gula, akan menyebabkan harga di pasar domestik relatif murah sehingga produsen cenderung akan menurunkan tingkat produksi.
177
Selain itu, perubahan produksi juga dipengaruhi oleh keunggulan komparatif (comparative advantage) yang dimiliki masing-masing komoditi. Secara konsep, sebuah komoditi dengan keunggulan komparatif lebih baik maka akan mampu bersaing di pasar internasional sehingga penghapusan tarif menyebabkan harga lebih murah dan permintaan meningkat. Sebagaimana disajikan pada Tabel 27, pelaksanaan EHP menyebabkan produksi sebagian besar komoditi pertanian di Indonesia mengalami penurunan. Termasuk dalam kelompok komoditi yang produksinya turun adalah: food products (termasuk di dalamnya produk cokelat olahan) dan other agriculture (termasuk di dalamnya komoditi kopi). Kedua jenis komoditi tersebut selama ini merupakan andalan komoditi ekspor Indonesia ke China sehingga perlu kehati-hatian dalam memasukkan kedua komoditi tersebut ke dalam daftar EHP (Hutabarat et al, 2007). Pada tahap EHP, beberapa komoditi pertanian Indonesia yang diperkirakan mengalami peningkatan produksi, antara lain: vegetable oils (termasuk minyak kelapa sawit), meat products, dan livestock. Khusus untuk meat products dan livestock, persentase peningkatan produksi terlihat sangat signifikan, yaitu masing-masing meningkat sebesar 5.52 persen dan 2.21 persen. Oleh karena peningkatan produksi dinyatakan dalam bentuk persentase perubahan maka perlu kehati-hatian dalam menginterpretasikan data tersebut. Tingginya angka peningkatan produksi tidak berarti bahwa Indonesia akan menjadi produsen besar atau mampu swasembada untuk kedua jenis komoditi tersebut. Kondisi yang sebenarnya adalah data awal produksi kedua komoditi tersebut di dalam database GTAP adalah sangat kecil, sehingga perubahan yang sedikit saja dalam bentuk persentase akan menjadi besar. Namun secara nominal peningkatan produksi kedua komoditi tersebut tidak terlalu besar. Komoditi lain yang diperkirakan akan meningkat produksinya adalah produk
178
kehutanan dan kayu olahan (forest dan wood products). Peningkatan produk kehutanan dan kayu olahan tersebut lebih disebabkan daya saing yang relatif tinggi karena Indonesia memiliki sumber daya hutan lebih luas dan sistim pengelolaan lebih baik dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.
Selain itu, penghapusan tarif
menyebabkan harga impor relatif murah sehingga permintaan impor bertambah. Bagi China, tahap EHP memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi komoditi pertanian dan kehutanan. Komoditi yang mengalami peningkatan produksi cukup signifikan antara lain: kayu olahan (16.89 persen) dan gula (11.83 persen). Peningkatan produksi kayu olahan sudah barang tentu memerlukan bahan baku kayu cukup banyak. Selama ini kebutuhan bahan baku industri perkayuan di China sebagian besar diimpor dari negara-negara ASEAN, terutama Indonesia, Malaysia, dan Myanmar. Menurut Jukka (2006), pada tahun 2005 negara China telah menjadi eksportir kayu lapis terbesar di dunia dengan total ekspor mencapai hampir US$ 4.0 juta. Pada tahun yang sama impor kayu bulat (logs) dari Indonesia dan Malaysia tercatat sebesar 2.0 juta m3, sedangkan dari Myanmar 1.1 juta m3. Untuk kayu gergajian, China mengimpor dari Indonesia sebanyak 0.7 juta m3, Malaysia: 0.5 juta m3, Myanmar: 0.3 juta m3, dan Thailand: 0.8 m3. Padahal pemerintah Indonesia secara resmi telah menerapkan kebijakan untuk melarang ekspor kayu bulat sejak tahun 1985 dan ekspor kayu gergajian mulai tahun 2004.
Berbagai studi
menyebutkan bahwa sebagian besar ekspor kayu bulat dari Indonesia ke China diperkirakan dilakukan secara tidak sah (ilegal) dengan cara transhipment melalui negara ketiga. Dengan cara ini asal usul (country of origin) kayu bulat dari Indonesia diubah atau dipalsukan menjadi seolah-olah berasal dari negara lain. Untuk mengatasi masalah perdagangan kayu secara ilegal tersebut diperlukan upaya serius dari pemerintah Indonesia. Hal ini dapat dilakukan baik secara bilateral melalui kerjasama
179
pabean dan penegakan hukum dengan China, maupun melalui kerjasama regional dengan melibatkan negara-negara ASEAN lain yang biasanya dijadikan sebagai tempat transit perdagangan kayu dari Indonesia.
Tabel 27. Perubahan Output Sektor Pertanian dan Kehutanan (qo) pada Tahap Early Harvest Programme (%) Sektor
Region IDN
MYS
PHL
SGP
THA
VNM
CHN
Paddy
-0.18
-0.4
0.23
-0.48
-1.67
-1.27
0.87
ProcRice
-0.19
-1.32
0.28
0.35
-1.69
-0.83
1.01
Wheat
-1.67
-5.12
0.49
-1.43
-1.93
21.67
0.77
Cereal
-0.27
-1.47
-0.24
-0.84
-1.24
-1.16
1.41
VegetFruit
-0.45
-1.34
0.35
-0.97
0.18
3.92
0.66
2.43
9.41
1.68
1.91
0.22
6.97
2.51
Sugar
-0.06
1.22
-0.73
-5.22
3.28
-0.42
11.83
OtherSugar
-0.01
-0.1
-0.71
1.29
3.27
-0.24
2.32
MeatProd
5.52
11.24
-1.14
0.17
-0.38
-0.62
2.29
DairyProd
-0.47
0.9
0.6
1.54
1.06
0.13
3.07
FoodProd
-0.24
0.19
-0.02
0.27
-0.47
-0.42
2.34
Livestock
2.21
4.08
-0.48
1.21
-0.38
-0.13
0.72
Fishery
-0.05
0.27
0.01
0.09
-0.15
-0.05
0.47
Forest
0.52
-1.53
-0.69
-0.48
-0.88
-0.12
3.26
WoodProd
0.53
-2.76
-2.77
1.59
-3.18
-0.92
16.89
OtherAgric
-0.13
-0.8
0.49
0.26
2.93
2.37
-0.59
VegetOil
Sumber: Hasil Simulasi-1
180
6.3.1.3. Dampak Terhadap Perdagangan Komoditi Pertanian dan Kehutanan Peningkatan produksi pada umumnya juga diikuti dengan bertambahnya volume ekspor komoditi yang bersangkutan. Sebagaimana di sajikan pada Tabel 28, ekspor komoditi pertanian ASEAN yang mengalami peningkatan cukup signifikan adalah: minyak nabati, produk daging, dan kehutanan. Peningkatan ekspor tersebut terjadi karena asas timbal balik (reciprocal) dalam penurunan tarif sehingga masingmasing negara lebih efisien dalam melakukan alokasi sumberdaya dan mampu meningkatkan daya saing (Hutabarat et al, 2008). Untuk Indonesia, ekspor produk daging diperkirakan akan meningkat sebesar 78.67 persen, dan minyak nabati sebesar 7.74 persen. Demikian pula ekspor komoditi kehutanan dan kayu olahan mengalami peningkatan masing-masing sebesar 2.19 persen dan 1.03 persen. Di sisi lain, ekspor beberapa jenis komoditi akan mengalami penurunan, seperti: sayuran dan buah-buahan, produk makanan, yang disebabkan rendahnya daya saing komoditi tersebut. Menurut Tongzon (2005), nilai indeks keunggulan komparatif (RCA) komoditi sayuran dan buah-buahan dari Indonesia hanya 0.3 jauh lebih rendah dibandingkan Philippines (1.52) dan Thailand (1.53). Hasil simulasi di atas konsisten dengan penelitian Hutabarat et al (2008), dimana setelah (pasca) pelaksanaan tahap EHP, pertumbuhan laju ekspor komoditi pertanian Indonesia mengalami peningkatan cukup tinggi, terutama untuk minyak dan lemak dari sayuran, minyak sawit, serta seluruh produk karet. Berdasarkan data perkembangan nilai ekspor untuk 20 (duapuluh) jenis komoditi pertanian utama dari Indonesia ke China sebelum dan setelah tahap EHP sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 29, dapat dilihat bahwa permintaan pasar China untuk produk minyak dan lemak dari kacang-kacangan meningkat sangat tinggi selama periode 2004-2006 (pasca EHP), yaitu sebesar 149.32 persen per tahun.
181
Namun demikian dari keduapuluh jenis komoditi unggulan ekspor Indonesia di atas, hanya sebagian kecil jenis komoditi yang masuk dalam kerangka EHP. Data pada Tabel 30 menunjukkan bahwa hanya minyak kopra, minyak inti sawit, minyak dan lemak sayur serta margarine, yang masuk dalam daftar EHP. Sedangkan komoditi unggulan lain seperti: karet, kakao dan gaplek, tidak termasuk dalam skema EHP. Padahal ketiga komoditi unggulan tersebut sangat potensial untuk dikembangkan mengingat Indonesia masih memiliki sumberdaya lahan yang berlimpah. Selama ini andalan utama ekspor Indonesia ke China adalah komoditi perkebunan, terutama produk minyak sawit lainnya, karet, minyak sayur, minyak sawit, minyak inti sawit, karet lembaran, dan coklat. Sedangkan untuk produk tanaman pangan, sejalan dengan maraknya pengembangan bahan bakar yang berbasis tanaman atau dikenal dengan nama bio-energy, permintaan akan gaplek dalam bentuk chips dan kering meningkat dengan sangat tajam. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah Indonesia perlu menegosiasikan dengan China untuk memasukkan komoditi unggulan pertanian lainnya dalam kerangka EHP sehingga dapat memperoleh manfaat ekonomi yang lebih besar dari pelaksanaan FTA ASEAN-China. Melihat perkembangan ekspor produk komoditi pertanian dalam kerangka EHP selama tahun 2004-2005 sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 30, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan tahap EHP dalam kerangka FTA ASEAN-China diperkirakan akan menguntungkan bagi Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan nilai ekspor komoditi pertanian Indonesia yang masuk dalam daftar EHP tersebut. Pada tahun 2004 nilai ekspor Indonesia untuk komoditi pertanian yang masuk kerangka EHP adalah sebesar US$ 128.27 juta, selanjutnya pada tahun 2005 bertambah menjadi sebesar US$ 177.61 juta atau meningkat 38 persen. Nilai ekspor tersebut akan dapat lebih ditingkatkan lagi apabila produk komoditi ekspor andalan
182
lainnya seperti: karet, kakao dan gaplek dapat dimasukkan ke dalam daftar EHP. Sehubungan dengan hal ini, pemerintah Indonesia perlu melakukan negosiasi ulang dengan pihak China agar beberapa komoditi unggulan tersebut dapat dimasukkan ke dalam skema EHP.
Tabel 28. Perubahan Volume Ekspor Sektor Pertanian dan Kehutanan (qxw) pada Tahap Early Harvest Programme (%) Sektor
Region IDN
Paddy
MYS
PHL
SGP
THA
VNM
CHN
1.26
-18.31
0.75
0.03
-6.13
-2.18
57.12
ProcRice
-4.39
-3.35
-1.67
-1.37
-3.21
-2.02
17.23
Wheat
-1.89
-5.18
0.44
-1.44
-5.58
43.23
11.13
Cereal
-4.70
-2.14
-2.02
-0.73
-1.46
-0.95
1.75
VegetFruit
-4.51
-0.09
21.20
-1.31
9.14
41.26
6.16
7.74
10.78
10.10
2.71
6.66
12.35
14.99
Sugar
-1.69
-2.09
0.95
-9.71
9.30
0.51
175.97
OtherSugar
27.51
-6.88
3.27
-1.56
-9.03
31.13
1.37
MeatProd
78.67
14.39
5.85
0.85
-1.23
-2.39
53.78
DairyProd
-0.50
0.88
0.75
3.54
5.57
28.89
20.48
FoodProd
-0.82
0.54
0.05
0.72
-0.11
0.31
14.74
Livestock
0.14
-1.17
2.83
2.29
0.23
5.12
2.92
Fishery
0.29
0.36
0.04
0.57
1.26
0.45
-0.78
Forest
2.19
0.19
1.05
-0.80
12.36
28.21
2.04
WoodProd
1.03
-3.04
-5.38
2.27
-3.65
-0.76
30.35
OtherAgric
1.43
0.85
11.60
0.65
9.96
5.33
10.64
VegetOil
Sumber: Hasil Simulasi-1
183
Tabel 29. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditi Pertanian Utama Indonesia ke China (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Kode HS 151190 400122 151620 151110 400121 151321 151311 180100 400219 151329 071410 151790 400211 151710 151319 400599 400110 080450 400510 090111
Kode SITC 42229000 23125160 43122100 42221000 23121000 42241000 42231000 07210000 23211910 42249000 05481100 09109910 23211110 09101900 42239000 62119990 23110120 05787300 62111000 07111300
Minyak Sawit lainnya Karet SIR 20 Minyak dan lemak dari sayuran (kacang-kacangan) Minyak sawit Karet lembaran (smoked sheets) Minyak Inti Sawit (Crude Oil of Palm Kernel) Minyak Copra (Crude Oil of Copra) Biji coklat, pecah dan setengah pecah, mentah atau roasted Karet - Polybutadiene - styrene (SBR) Minyak Inti Sawit lainnya Gaplek iris dan kering (manioc) Other Edible Mixture of Vegetable Origin Polybutadiene - styrene Latex Margarine curah Minyak Copra lainnya Karet Campuran Lainnya Lateks dengan campuran amonia Manggis dikeringkan atau beku Karet campuran dengan silika Kopi tidak dipanggang dan tidak mengandung kafein
1997-2005 20.78 25.25 1.94 8.22 34.49 43.89 30.30 11.94 35.23 40.98 8.44 32.47 16.47 10.88 -2.59 36.37 22.56 45.85 -0.14 13.57
1997-2003 (Pra-FTA) 12.21 26.62 35.26 -4.80 15.20 46.27 29.30 -12.64 54.95 50.45 -13.41 -4.20 21.96 -9.55 -23.89 n.a -3.94 15.05 -0.14 -10.87
2004-2006 (Pasca FTA) 13.01 64.76 149.32 115.11 61.29 31.18 38.73 28.52 20.29 -16.84 -4.86 -64.26 -1.71 -88.28 -13.86 129.49 58.57 58.27 n.a 30.61 183
Sumber: Hutabarat et al. (2008)
Komoditi
184
Tabel 30. Nilai Ekspor Komoditi Pertanian Dalam Skema EHP, Tahun 2004 – 2005 (US$ 000) Kode HS
Jenis Produk
090111 Coffee, not roasted :-- Not decaffeinated
2004 (US$ 000)
2005
608.48
2 822.63
-
31.72
151311 Coconut (copra) oil and its fractions :-Crude oil
19 640.08
58 649.26
151319 Coconut (copra) oil and its fractions :-Other
7 521.65
4 977.62
151321 Palm kernel or babassu oil and fractions thereof :-- Crude oil
48 756.64
83 446.93
151329 Palm kernel or babassu oil and fractions thereof :-- Other
19 568.75
25 704.57
229.99
202.99
3 195.98
-
25 049.03
1 744.39
401691 Other :-- Floor coverings and mats
16.00
-
401693 Other :-- Gaskets, washers and other seals
64.50
30.97
401699 Other
3 627.38
-
Total
128 278.48
177 611.10
Total 20 Komoditi Pertanian Utama
876 280.85
852 976.04
14.64
20.82
090112 Coffee, not roasted :-- Decaffeinated
151620 Vegetable fats and oils and their fractions 151710 Margarine, excluding liquid margarine 151790 Other
Persentase Sumber: Hutabarat et al (2008)
Dilihat dari sisi impor, pelaksanaan tahap EHP diperkirakan akan berdampak terhadap peningkatan impor komoditi pertanian negara-negara ASEAN. Sebaliknya impor China mengalami penurunan, kecuali produk kehutanan dan kayu olahan. Impor China untuk kedua jenis komoditi kehutanan tersebut meningkat masing-
185
masing sebesar 4.54 persen dan 1.24 persen. Hal ini menegaskan kembali bahwa kebutuhan China atas sumber bahan baku kayu dari ASEAN akan terus meningkat. Data pada Tabel 31 menunjukkan bahwa peningkatan impor Indonesia yang cukup signifikan terjadi untuk produk peternakan, buah-buahan dan kayu olahan. Khusus untuk komoditi yang termasuk di dalam skema EHP, nilai impor Indonesia pada tahun 2005 adalah sebesar US$ 181.4 juta, dan satu tahun berikutnya meningkat menjadi US$ 241.2 juta. Impor produk EHP Indonesia yang cukup besar antara lain adalah: bawang putih (HS 070320) meningkat 21.6 persen, buah apel (HS 080810) meningkat 21.7 persen, dan buah jeruk mandarin (HS 080520) meningkat 23.3 persen masingmasing dibandingkan tahun sebelumnya. Namun demikian peningkatan nilai impor komoditi pertanian tersebut tidak perlu dikhawatirkan mengingat bahwa pada tahun yang sama secara total Indonesia masih mengalami surplus dalam perdagangan produk EHP sebesar US$ 105.5 juta. Menurut hasil penelitian Hutabarat et al. (2008), impor Indonesia dari China untuk 20 jenis komoditi utama mengalami peningkatan sejak diberlakukannya skema EHP. Peningkatan impor tersebut terutama untuk komoditi hortikultura seperti: bawang putih, buah-buahan dan jagung. Namun demikian, keduapuluh jenis komoditi tersebut tidak satupun yang masuk dalam skema EHP antara Indonesia dengan China. Dengan tidak memasukkan keduapuluh komoditi tersebut ke dalam EHP dinilai sebagai kebijakan yang tepat, mengingat sebagian besar komoditas itu dapat tumbuh dengan baik di Indonesia dan menjadi komoditi unggulan. Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 32, laju pertumbuhan volume impor bawang putih selama tahun 20042006 mencapai 10.50 persen, buah jeruk jenis mandarin sebesar 26.22 persen, dan tepung jagung sebesar 83.17 persen. Penghapusan tarif impor menjadi nol persen membuat harga impor semakin murah dibanding buah lokal sehingga buah impor
186
membanjiri pasar dalam negeri mulai dari pasar moderen sampai pasar tradisional. Kondisi ini perlu mandapat perhatian bersama untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi biaya produksi serta pemasaran dari buah lokal sehingga mampu bersaing dengan buah impor.
Tabel 31. Perubahan Volume Impor Sektor Pertanian dan Kehutanan (qiw) pada Tahap Early Harvest Programme (%) Sektor
Region IDN
MYS
PHL
SGP
THA
VNM
CHN
Paddy
0.25
10.43
-0.92
0.08
2.57
99.04
-0.72
ProcRice
2.76
1.35
-1.24
0.05
6.86
4.71
-1.27
Wheat
-0.24
0.95
-0.01
0.04
-0.46
-0.27
-0.06
Cereal
0.77
0.95
4.59
0.03
15.88
3.46
-1.45
VegetFruit
3.63
0.93
5.43
0.00
6.23
21.56
-1.02
VegetOil
1.53
5.70
3.59
1.06
0.29
2.30
-0.38
Sugar
1.68
0.96
6.81
-3.76
12.02
0.22
-1.02
OtherSugar
1.00
7.86
-2.84
-0.25
6.03
6.39
-0.81
MeatProd
3.69
3.99
13.01
0.28
-1.30
0.28
-1.78
DairyProd
0.27
0.61
0.01
0.26
0.33
0.22
0.19
FoodProd
1.65
1.47
0.35
0.24
1.44
2.63
-0.24
Livestock
7.72
8.97
-0.88
-0.37
0.19
2.97
-0.55
Fishery
0.54
2.20
0.38
0.03
-0.35
1.32
-0.65
Forest
2.04
-1.00
-1.61
0.01
-3.05
-0.31
4.54
WoodProd
4.37
0.16
1.13
0.51
3.25
8.45
1.24
OtherAgric
1.10
-1.00
0.04
0.01
2.12
2.53
-1.51
Sumber: Hasil Simulasi-1
187
Tabel 32. Laju Pertumbuhan Nilai dan Volume Impor Komoditi Pertanian Indonesia dari China Sebelum dan Setelah EHP (%) No
Kode HS
Komoditi
1 2 3 4
070320 080810 080820 080520
5 6 7
240120 210112 170490
8
401199
Bawang putih segar Buah Apel Buah Pir dan Kwini Mandarin segar, Mandarin kering, Mandarin lain segar; Mandarin lain kering Tembakau jenis virginia Bahan baku kopi Kembang gula tidak mengandung obat; kembang gula lainnya Karet ban dari jenis selain untuk kendaraan dan mesin
9 10
100590 230310
11 12 13
110100 080610 210690
14
100190
15 16 17
170199 110812 240110
Gula kasar lainnya Pati jagung Tembakau, jenis lain dari virginia
18
401120
19 20
120220 80510
New Pneumatic tyres, of rubber of kind used on buses of lorries Kacang tanah kupas Buah Jeruk
1997-2003 (Pra EHP) Nilai impor
Volume impor
2004-2006 (Pasca EHP) Nilai impor
Volume impor
1.45 43.85 28.73 22.50
17.47 38.60 23.53 11.66
67.14 17.06 -2.20 13.09
10.50 5.51 2.41 26.22
0.00 0.00 -66.64
0.00 0.00 -64.84
0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Jagung Lainnya Ampas pembuatan pati dan ampas semacam dari tapioka
18.70 0.00
21.44 0.00
-78.76 0.00
-83.75 0.00
Tepung gandum atau meslin Buah anggur segar Olahan ragi otolisa, Olahan makanan non-alkohol utk minuman dlm kemasan 25 kg; Olahan makanan yg digunakan utk membuat jelly Benih gandum, Gandum lainnya, Meslin
50.13 56.50 0.00
47.64 54.32 0.00
-21.97 37.21 0.00
-24.08 34.04 0.00
46.34
49.09
-21.96
-21.61
-33.89 5.46 0.00
-32.95 8.36 0.00
0.00 84.84 0.00
0.00 83.17 0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
-24.42 33.75
-18.76 29.23
-73.72 -81.50
-109.83 -85.79
Sumber: Hutabarat et al (2008)
188
6.3.2. Tahap Pelaksanaan FTA ASEAN – China Secara Penuh (Hasil Simulasi-2)
6.3.2.1. Dampak Terhadap Kinerja Makroekonomi Sebagaimana diperkirakan sebelumnya, pelaksanaan liberalsisasi perdagangan ASEAN – China secara penuh dengan melibatkan semua sektor akan memberikan dampak perubahan variabel makroekonomi (GDP riil, tingkat kesejahteraan, dan perdagangan) yang lebih besar dibandingkan pada tahap EHP. Secara umum, pelaksanaan FTA ASEAN – China akan meningkatkan GDP riil dan tingkat kesejahteraan negara-negara anggota seperti dapat dilihat pada Tabel 33. Peningkatan GDP riil dan tingkat kesejahteraan terbesar akan diperoleh negara China dengan kenaikan GDP riil sebesar 9.59 persen dan kesejahteraan bertambah US$ 80 269.59 juta. Keuntungan ekonomi yang diperoleh China lebih besar dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Hal ini konsisten dengan teori dimana liberalisasi perdagangan akan lebih menguntungkan (meningkatkan GDP riil dan tingkat kesejahteraan lebih tinggi) bagi negara-negara yang sebelumnya masih menerapkan tarif tinggi dibandingkan negara-negara yang tarifnya sudah rendah. Menurut Chirathivat (2002), China mengenakan tarif impor barang-barang dari ASEAN ratarata sebesar 9.4 persen, sebaliknya negara-negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Philippines, dan Thailand) mengenakan tarif impor barang dari China yang lebih rendah, yaitu rata-rata sebesar 2.3 persen. Sedangan Singapore merupakan satusatunya negara ASEAN yang telah meliberalisakan pasar domestiknya. Lebih lanjut berdasarkan data WTO (2005), tarif ad valorem rata-rata untuk produk pertanian dan non-pertanian di negara China dan beberapa negara ASEAN pada tahun 2004 masingmasing adalah: China (10.4 persen), Indonesia (6.9 persen), Malaysia (8.4 persen), Philippines (6.3 persen), Singapore (0.0 persen), dan Thailand (15.4 persen).
189
Di antara negara-negara ASEAN, peningkatan GDP riil dan kesejahteraan terbesar akan diperoleh Thailand (5.44 persen), diikuti oleh Viet Nam (5.05 persen) dan Malaysia (2.29 persen). Sedangkan GDP riil Indonesia meningkat sebesar 1.29 persen dan tingkat kesejahteraan bertambah sebesar US$ 1,994.42 juta.
Hasil
simulasi ini konsisten dengan beberapa penelitian terdahulu (ASEAN Secretariat, 2001; Ma dan Wang, 2002; dan Lee et al, 2004), meskipun dengan besaran yang berbeda.
Menurut studi ASEAN Secretariat (2001), GDP riil Indonesia akan
meningkat sebesar 1.12 persen lebih rendah dari Vietnam (2.15 persen) dan Malaysia (1.17 persen). Kenaikan GDP riil dan kesejahteraan Indonesia yang lebih rendah dibandingkan ketiga negara ASEAN tersebut selain disebabkan tingkat tarif rata-rata awal yang sudah lebih rendah juga karena beberapa faktor lain seperti masih rendahnya rasio ekspor terhadap total output nasional (indeks keterbukaan) 19 . Sebagaimana disebutkan terdahulu, dampak liberalisasi perdagangan terhadap tingkat kesejahteraan antara lain ditentukan oleh indeks keterbukaan ekonomi sebuah negara. Semakin besar nilai indeks maka semakin besar kegiatan perdagangan sehingga semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. Rasio ekspor terhadap output di Indonesia adalah sebesar 44.31 persen, sedangkan di Malaysia mencapai 118.42 persen, dan Thailand sebesar 60.90 persen. Selain itu, struktur perdagangan Indonesia dengan China selama ini masih didominasi perdagangan inter-industri, dimana ekspor utama Indonesia ke China adalah komoditi non-manufaktur, sedangkan impor dari China lebih banyak berupa produk manufaktur. Nilai indeks perdagangan intra-industri antara Indonesia dengan China, khususnya di sektor manufaktur, masih rendah sehingga kreasi perdagangan tidak terlalu besar. Oleh sebab itu keuntungan ekonomi
19
Indeks keterbukaan (index of openness) adalah ukuran seberapa penting perdagangan internasional bagi sebuah ekonomi yang dihitung berdasarkan rasio ekspor terhadap total output domestik (Husted dan Melvin, 2004).
190
(peningkatan GDP riil dan kesejahteraan) yang dapat diperoleh Indonesia menjadi relatif kecil. Perbedaan dalam kenaikan GDP riil juga berkaitan dengan perubahan investasi. Di dalam model GTAP, investasi diartikan sebagai investasi bruto yaitu nilai total output barang modal di semua sektor yang ada di dalam model (Hertel, 1997). Barang modal tersebut merupakan investasi yang akan digunakan dalam kegiatan produksi berikutnya. Hasil simulasi menunjukan adanya peningkatan investasi sebagai akibat dari kebijakan liberalisasi perdagangan. Secara keseluruhan nilai investasi di negara-negara anggota FTA ASEAN – China mengalami peningkatan. Peningkatan investasi terbesar diperoleh China sebesar 24.83 persen, sedangkan investasi Indonesia bertambah 2.16 persen atau lebih rendah dibandingkan Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Dari sisi perdagangan, pelaksanaan FTA ASEAN – China secara penuh akan memberikan dampak diversi dan kreasi perdagangan. Diversi perdagangan (trade diversion) ditunjukkan dengan berkurangnya nilai perdagangan negara-negara di luar FTA ASEAN – China, seperti: Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa (EU-15). Sedangkan kreasi perdagangan (trade creation) terlihat dari meningkatnya nilai perdagangan diantara negara-negara ASEAN dan China. Peningkatan perdagangan tersebut lebih banyak akan dinikmati China daripada negara-negara ASEAN. Berdasarkan data Tabel 33, peningkatan nilai perdagangan yang terbesar diperoleh China dengan total nilai ekspor naik sebesar 10.09 persen dan impor bertambah 19.51 persen. Peningkatan nilai perdagangan Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya (Thailand, Malaysia, Singapore, dan Vietnam), dimana total nilai ekspor dan impor Indonesia masing-masing bertambah sebesar 2.96 persen dan 3.56 persen. Kondisi yang sama juga terlihat dari sisi perdagangan bilateral ASEAN – China, dimana peningkatan pangsa (share) ekspor dan nilai ekspor
191
Indonesia ke China jauh lebih rendah dibandingkan dengan Thailand, Singapore dan Malaysia seperti disajikan pada Lampiran 15. Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan mengapa peningkatan ekspor Indonesia relatif kecil dibandingkan negara-negara ASEAN lain. Pertama, struktur komoditi ekspor Indonesia dengan negara-negara ASEAN lainnya hampir sama (mirip) sehingga terjadi persaingan untuk memasuki pasar China. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 34, Indonesia kalah bersaing dengan Thailand dan Vietnam untuk produk SITC 0 (food and live animals) karena nilai revealed comparative advantage (RCA) 20 Indonesia jauh di bawah kedua negara ASEAN tersebut.
Untuk kategori produk SITC 2 (crude
materials, inedible), Indonesia memiliki daya saing yang tinggi tetapi menghadapi persaingan dari Thailand dan Vietnam. Demikian pula untuk kategori produk SITC 4 (animal, and vegetable oils, fats and waxes), Indonesia bersaing dengan Malaysia. Pada industri manufaktur, khususnya SITC 8 (miscellaneous manufactured goods), daya saing Indonesia cenderung terus menurun, sementara dalam periode yang sama daya saing Vietnam untuk jenis produk tersebut terus meningkat.
Kedua, pola
perdagangan bilateral Indonesia dengan China lebih banyak inter-industri. Surplus perdagangan Indonesia dengan China selama ini diperoleh dari sektor migas dan industri ekstraktif. Sementara untuk industri manufaktur, Indonesia lebih banyak mengimpor dari China. Oleh karena indeks perdagangan intra-industri sektor manufaktur Indonesia rendah maka produk manufaktur Indonesia kurang beragam (diversified) sehingga kemungkinan terjadinya kreasi perdagangan dengan China relatif kecil. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, indeks intra-industri 20
Nilai RCA menggambarkan kemampuan suatu negara memperoleh pangsa ekspor produk tertentu di pasar internasional. Indeks RCA dihitung dengan rumus: RCAij = (Xij / ÓXij) / (Xiw / ÓXiw), dimana Xij adalah nilai ekspor kelompok barang i dari negara j, ÓXij adalah total nilai ekspor negara j , Xiw adalah nilai ekspor dunia untuk kelompok barang i , dan ÓXiw adalah total nilai ekspor dunia. Nilai RCA ij > 1 berarti negara j memiliki daya saing komparatif di pasar dunia untuk barang i. Nilai RCA ij < 1 menunjukkan keadaan yang sebaliknya.
192
Indonesia untuk produk manufaktur (SITC 6 – 8) lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia, Singapore, dan Thailand. Selain itu, daya saing Indonesia untuk produk SITC 8 masih lebih rendah dibandingkan dengan China sehingga sulit bagi Indonesia untuk meningkatkan perdagangan di sektor manufaktur. FTA ASEAN – China juga memberikan dampak terhadap variabel harga faktor primer, seperti: lahan, kapital dan tenaga kerja. Hal ini terjadi karena kebijakan liberalisasi perdagangan akan meningkatkan kegiatan produksi sehingga permintaan atas faktor primer bertambah. Dengan asumsi tingkat penawaran (supply) faktor primer tetap maka harga-harga faktor primer naik ke harga keseimbangan baru. Di dalam model GTAP, lahan adalah faktor yang bersifat lembam (sluggish) sehingga harga lahan dapat bervariasi diantara sektor (Hertel, 1997). Harga lahan tersebut menggambarkan dampak agregat dari kebijakan tata guna lahan (land use). Oleh karena sektor non-pertanian tumbuh secara cepat di negara-negara ASEAN maupun China, maka permintaan lahan akan meningkat sehingga harga lahan naik. Di Indonesia, harga lahan diperkirakan meningkat sebesar 8.01 persen dan upah tenaga kerja tidak terampil (unskilled labour) naik sebesar 1.55 persen. Kenaikan harga kedua faktor produksi primer tersebut diharapkan dapat menambah tingkat kesejahteraan masyarakat.
6.3.2.2. Dampak Terhadap Produksi Pertanian dan Kehutanan FTA ASEAN – China diperkirakan akan memberikan dampak perubahan kinerja di tingkat sektoral yang berbeda di masing-masing negara. Beberapa jenis komoditi pertanian dan kehutanan di negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia menunjukkan peningkatan kinerja, baik output produksi, ekspor maupun impor, dan sebagian komoditi yang lain mengalami penurunan.
193
Tabel 33. Perubahan Variabel Makroekonomi pada Tahap Pelaksanaan FTA ASEAN-China Secara Penuh VARIABEL REGION
GDP Nominal (%)
Indeks Harga GDP (%)
GDP Riil (%)
Equivalent Variation (US$ juta)
Term of Trade (%)
Nilai Ekspor (%)
Nilai Impor (%)
Neraca Perdagangan (US$ juta)
Investasi Bruto (%)
Harga Lahan (%)
Upah Tenaga (%)
IDN
1.79
0.53
1.26
1 994.42
0.76
2.96
3.56
395.43
2.16
8.01
1.55
MYS
2.77
0.48
2.29
2 063.39
0.76
3.27
3.78
1 058.78
4.80
14.96
2.69
PHL
1.63
0.48
1.15
1 116.79
-0.02
1.70
1.66
-171.68
1.91
5.42
1.42
SGP
2.21
0.39
1.82
1 761.65
0.41
3.74
3.81
-70.72
3.47
8.72
1.66
THA
7.36
1.92
5.44
7 163.86
1.77
9.79
10.34
595.19
8.23
19.28
6.41
VNM
4.83
-0.22
5.05
1 485.00
-0.01
7.45
7.35
-424.42
8.18
14.76
5.59
XSE
-0.51
-0.52
0.01
-58.97
0.13
-0.53
-0.69
-8.89
0.04
3.05
-0.63
CHN
14.25
4.66
9.59
80 269.59
-1.07
10.09
19.51
115.27
24.83
39.02
25.9
JPN
-0.92
-1.04
0.12
-3 206.02
-0.14
-1.10
-0.80
-831.58
0.33
3.27
-0.96
ROK
-1.08
-1.04
-0.04
-1 511.40
-0.19
-1.41
-1.48
-420.54
-0.02
2.75
-1.19
USA
-0.83
-0.93
0.10
1 902.89
0.10
-0.83
-0.74
798.59
0.26
3.62
-0.87
EU-15
-0.77
-0.91
0.14
1 278.74
-0.01
-0.97
-0.90
-360.43
0.33
3.21
-0.84
ROW
-0.66
-0.78
0.12
1 307.79
0.10
-0.88
-0.86
-674.97
0.28
2.4
-0.71 193
Sumber: Hasil Simulasi-2
194
Tabel 34. Indeks Revealed Comparative Advantage ASEAN dan China, 1995 - 2003 SITC
Brunei Darussalam
Indonesia
Malaysia
Philippines
(1 Digit)
1995
2000
2003
1995
2000
2003
1995
2000
2003
1995
2000
2003
0
0.0
0.0
0.0
1.5
1.3
1.3
0.3
0.2
0.2
1.2
0.6
0.6
1
0.0
0.0
0.0
0.3
0.4
0.4
0.1
0.2
0.2
0.3
0.1
0.2
2
0.0
0.0
0.1
3.1
3.1
3.5
1.3
0.8
0.7
0.8
0.3
0.3
3
14.9
10.7
10.9
4.3
2.8
2.6
0.7
0.6
0.6
0.1
0.1
0.1
4
0.0
0.0
0.0
6.7
10.4
15.5
10.0
7.2
8.1
7.4
2.4
2.0
5
0.0
0.0
0.0
0.4
0.6
0.5
0.2
0.3
0.3
0.1
0.1
0.1
6
0.0
0.0
0.1
1.6
1.5
1.3
0.4
0.4
0.3
0.4
0.2
0.2
7
0.0
0.0
0.0
0.2
0.4
0.4
1.2
1.3
1.3
1.1
1.4
1.4
8
1.0
1.3
1.0
1.7
1.5
1.4
0.6
0.5
0.5
1.6
0.7
0.6
9
0.3
0.2
0.2
0.1
0.2
0.6
0.4
0.3
0.2
0.4
0.6
0.4
194
195
Tabel 34. Lanjutan Singapore
SITC
Thailand
Vietnam
China
(1 Digit)
1995
2000
2003
1995
2000
2003
1995
2000
2003
1995
2000
2003
0
0.2
0.2
0.2
2.6
2.3
2.1
5.7
4.5
3.5
0.7
0.7
0.5
1
0.3
0.2
0.1
0.2
0.2
0.2
0.1
0.2
0.2
0.5
0.3
0.2
2
0.2
0.2
0.2
1.3
1.2
1.3
1.7
1.0
0.9
0.6
0.5
0.3
3
1.2
0.8
1.0
0.0
0.2
0.2
3.3
3.1
2.3
0.3
0.2
0.2
4
0.7
0.8
0.9
0.1
0.2
0.3
2.2
0.7
0.1
0.2
0.1
0.1
5
0.5
0.7
1.1
0.3
0.6
0.5
0.1
0.1
0.1
0.4
0.3
0.3
6
0.2
0.2
0.2
0.7
0.8
0.7
0.5
0.5
0.5
1.0
1.0
0.9
7
1.4
1.3
1.3
1.0
1.0
1.1
0.0
0.2
0.3
0.6
0.8
1.0
8
0.4
0.4
0.4
1.4
1.2
1.1
3.1
3.6
4.2
3.9
3.4
2.7
9
0.7
0.7
0.7
0.4
0.4
0.5
0.2
0.1
0.1
0.2
0.2
0.2
Sumber: Kozo et al (2005) [http://www.uni-lehavre.fr/actua/itlcsge/kiyoko_2.pdf
195
196
Perubahan output sektoral pada tahap pelaksanaan FTA ASEAN-China secara penuh di sajikan pada Tabel 35 dan data yang lebih rinci untuk semua region dan sektor disajikan pada Lampiran 16. Secara umum, pelaksanaan FTA ASEAN-China secara penuh akan memberikan dampak posisif terhadap peningkatan output komoditi pertanian negara-negara ASEAN. Beberapa komoditi pertanian yang mengalami peningkatan produksi antara lain adalah: minyak nabati, produk daging, komoditi peternakan, perikanan dan kehutanan. Sebaliknya, tingkat produksi minyak nabati dan produk daging di China mengalami penurunan yang cukup signifikan. Penurunan produksi di China tersebut terjadi sebagai akibat tekanan impor yang tinggi atas minyak nabati khususnya Crude Palm Oils (CPO) yang memang tidak dihasilkan oleh negara China (Hutabarat et al, 2008).
Khusus komoditi kehutanan, poduksi
meningkat di semua negara kecuali produk kayu olahan di Malaysia dan Thailand. Peningkatan produksi komoditi kehutanan dan kayu olahan di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN. Hal ini disebabkan keunggulan komparatif komoditi kehutanan Indonesia lebih baik dan didukung ketersediaan sumber daya hutan yang lebih besar sehingga Indonesia sebaiknya berspesialisasi pada jenis komoditi tersebut. Di sektor manufaktur, pada umumnya output meningkat di negara-negara ASEAN, kecuali tekstil dan produk manufaktur lain. Namun demikian peningkatan output sektor manufaktur ASEAN tersebut tidak lebih tinggi dibanding dengan pertumbuhan sektor manufaktur di China. Berbeda dengan ASEAN, industri manufaktur China semuanya mengalami peningkatan produksi yang cukup tinggi. Industri elektronik China meningkat 23.21 persen, produk mesin dan tekstil masingmasing meningkat 14.72 persen dan 10.18 persen. Peningkatan produksi manufaktur China tersebut seperti ynag dikhawatirkan banyak pihak akan mengancam
197
kelangsungan industri manufaktur ASEAN. Apabila industri di ASEAN tidak lebih efisien dan memiliki keunggulan komparatif yang lebih baik maka produk manufaktur dari China akan terus membanjiri pasar di negara-negara ASEAN.
Tabel 35. Perubahan Output Sektoral (qo) pada Tahap Pelaksanaan FTA ASEANChina Secara Penuh (%) Region Sektor
IDN
MYS
PHL
SGP
THA
VNM
XSE
CHN
Paddy
0.53
-0.45
0.96
-1.74
-4.49
-1.58
0.18
2.20
ProcRice
0.50
1.19
1.20
4.94
-4.32
-1.46
0.19
1.10
Wheat
-7.13
-17.57
-5.85
-8.84
-9.27
2.22
-1.47
0.85
Cereal
0.42
-0.73
0.05
1.17
-3.74
2.41
0.34
1.93
VegetFruit
0.30
-0.34
1.00
1.87
7.83
7.18
0.40
1.92
VegetOil
3.31
13.03
3.56
2.74
4.79
5.57
0.62
-9.40
Sugar
1.06
1.53
-0.63
-0.60
1.48
-1.62
-0.14
-5.02
OtherSugar
1.12
-0.46
-0.61
3.49
1.48
-0.63
1.60
3.08
MeatProd
11.21
23.90
-0.02
9.98
-1.33
-6.06
0.03
-2.86
DairyProd
-1.78
3.30
-1.66
2.31
-0.43
-0.42
0.68
-1.48
FoodProd
0.48
-1.08
0.04
1.91
-5.11
-4.22
0.49
0.36
Livestock
4.96
9.34
0.34
3.91
-0.73
2.38
0.23
2.92
Fishery
0.83
1.07
0.44
0.38
0.37
0.79
0.23
1.61
Forest
5.12
2.11
0.88
0.95
3.83
1.98
4.21
3.91
WoodProd
3.66
-3.28
0.09
3.54
-5.14
0.01
-0.90
2.54
OtherAgric
-1.44
-3.83
-1.3
-0.42
1.26
-1.76
0.89
-2.87
Textiles
3.47
11.54
-1.59
4.97
-3.02
13.57
-0.72 10.18
Electronic
6.49
3.54
1.1
7.05
7.85
13.69
-0.67 23.21
Machinery
1.57
3.5
9.07
10.87
2.12
1.66
-0.65 14.72
MiningMnrl
0.85
3.79
1.77
8.46
26.75
4.61
0.33 10.47
OtherMnfcs
-1.88
0.01
-0.67
-6.42
-0.06
4.63
-0.32 11.67
Sumber: Hasil Simulasi-2
198
6.3.2.3. Dampak Terhadap Perdagangan Komoditi Pertanian dan Kehutanan Sama dengan output sektoral, volume ekspor dan impor setiap sektor juga mengalami perubahan yang bervariasi menurut jenis komoditi dan region sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 36 dan 37. Data yang lebih rinci mengenai perubahan volume ekspor dan impor sektoral di semua region disajikan pada Lampiran 17 dan 18. Secara umum, volume ekspor ASEAN untuk komoditi pertanian (terutama minyak nabati, produk daging), dan kehutanan mengalami peningkatan. Ekspor kayu olahan meningkat hanya di Indonesia dan Singapore, sedangkan di negara ASEAN lainnya turun. Di Indonesia, peningkatan ekspor komoditi pertanian yang cukup signifikan antara lain untuk produk daging (148.77 persen), gula lain (68.89 persen), dan (9.32 persen), dan peternakan (3.56 persen). Ekspor komoditi kehutanan meningkat 26.80 persen dan produk kayu olahan 5.62 persen. Keadaan yang sebaliknya terjadi di China, dimana ekspor komoditi pertanian dan kehutanan hampir semuanya turun. Khusus untuk ekspor kehutanan dan kayu olahan dari China berkurang masing-masing sebesar 50.37 persen dan 5.24 persen.
Untuk produk
manufaktur, volume ekspor negara-negara ASEAN akan meningkat, kecuali kelompok negara-negara XSE (Cambodia, Laos, Myanmar). manufaktur
China
semuanya
meningkat
dan
lebih
Sedangkan ekspor
tinggi
peningkatannya
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Peningkatan ekspor manufaktur China terbesar adalah untuk produk elektronik (26 persen). Di sisi impor, struktur impor ASEAN hampir seragam, kecuali kelompok negara XSE. Impor ASEAN mengalami peningkatan untuk hampir semua jenis komodti, termasuk produk manufaktur. Impor ASEAN yang menonjol adalah komoditi peternakan, sayuran dan buah-buahan. Di luar perkiraaan semula, volume impor komoditi beras Indonesia turun sebesar 1.01 persen.
199
Peningkatan impor China terutama untuk komoditi pertanian, kehutanan, dan bahan tambang. Hal ini menegaskan kembali bahwa negara China sangat membutuhkan sumber bahan baku dari ASEAN bagi industri di dalam negeri. Volume impor China untuk komoditi kehutanan dan produk kayu olahan diperkirakan meningkat tajam, yaitu sebesar 54.60 persen dan 27.42 persen. Peningkatan impor China untuk komoditi kehutanan ini perlu mendapat perhatian serius dari negaranegara ASEAN agar tidak terjadi eksploitasi sumberdaya hutan secara berlebihan sehingga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Berdasarkan data perubahan nilai ekspor dan impor di setiap sektor, dapat disimpulkan bahwa FTA ASEAN – China akan meningkatkan nilai perdagangan semua negara anggota. Namun demikian, ekspor negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia, akan lebih banyak mengandalkan komoditi yang berbasis sumberdaya alam dan industri ekstraktif, seperti: minyak nabati (kelapa sawit), kehutanan, dan bahan tambang. Sedangkan di sektor manufaktur, Indonesia masih kalah bersaing dengan China. Kondisi seperti inilah yang oleh banyak pihak dikhawatirkan bahwa China akan memanfaatkan negara-negara ASEAN sebagai pemasok kebutuhan bahan baku dan sekaligus sebagai pasar bagi industri manufaktur China. Daya saing industri manufaktur masih menjadi tantangan yang harus diselesaikan oleh Indonesia. Dalam jangka pendek, industri manufaktur Indonesia akan kalah bersaing dengan China karena keunggulan komparatif yang dimiliki masih rendah. Namun dalam jangka panjang, persaingan dengan China tersebut diharapkan akan mendorong industri domestik untuk lebih efisien, dan lebih banyak lagi melakukan investasi di bidang sumberdaya manusia serta perbaikan teknologi yang sangat diperlukan untuk meningkatkan keunggulan komparatif sehingga mampu menghadapi persaingan dengan China.
200
Tabel 36. Perubahan Volume Ekspor Sektoral pada Tahap Pelaksanaan FTA ASEAN-China Secara Penuh (%) Region Sektor
IDN
MYS
PHL
SGP
THA
VNM
Paddy
-6.94
-39.24
-19.30
0.65
-42.37
-17.90 16.46
ProcRice
-6.07
0.66
-3.43
4.56
-13.56
-7.95
6.58
-29.08
Wheat
-8.12
-19.31
-16.63
-9.16
-33.01
-2.84
-1.53
-63.92
Cereal
-5.51
-6.25
-5.72
1.16
-2.35
-12.37
0.11
-21.07
VegetFruit
-3.06
-1.59
30.15
2.24
-9.44
44.06
1.79
-37.64
8.47
14.28
12.83
3.16
-0.74
9.85
3.89
-37.77
Sugar
-5.74
-5.14
-6.27
-2.42
1.46
-12.01
-4.03
58.72
OtherSugar
62.03
-20.78
-5.91
-8.58
-33.16
36.12 54.77
-53.83
MeatProd
143.31
27.84
-9.61 17.14
-23.60
-35.27 12.43
-51.90
DairyProd
-5.69
3.32
-2.79
4.85
-4.71
27.00
-0.94
-45.17
FoodProd
-0.95
-1.85
-3.53
2.47
-7.35
-8.27
1.92
-28.15
Livestock
-1.23
-4.99
3.73
3.42
-6.85
-4.36 11.07
-39.36
Fishery
0.27
-0.80
-3.84
0.52
1.51
-10.11 12.96
-34.52
Forest
24.20
13.45
5.90
0.94
20.33
26.33
8.03
-50.37
WoodProd
4.91
-3.43
-0.67
4.31
-8.06
-3.49
-2.58
-5.24
OtherAgric
-1.86
-4.37
23.09
-0.55
-6.32
-2.15
9.12
-52.30
Textiles
11.44
15.91
0.73
5.34
5.39
38.74
-1.43
10.96
Electronic
9.30
3.70
1.09
7.19
9.17
17.93
-6.08
26.62
Machinery
2.18
5.34
10.24 11.98
2.97
1.67
-3.06
14.54
MiningMnrl
2.35
7.67
10.33 10.67
55.61
14.61
0.49
18.45
OtherMnfcs
-2.71
3.16
-2.48
-6.36
10.50
-2.48
11.64
VegetOil
Sumber: Hasil Simulasi-2
-9.81
XSE
CHN -31.59
201
Tabel 37. Perubahan Volume Impor Sektoral pada Tahap Pelaksanaan FTA ASEANChina Secara Penuh (%) Region Sektor
MYS
PHL
THA
VNM
-1.01
33.35
15.28
0.28
34.37
28.50
ProcRice
3.98
5.39
0.13
1.99
12.80
8.34
-5.21
32.14
Wheat
0.20
3.70
-0.05
-0.42
-5.10
0.92
0.01
64.66
Cereal
4.48
12.18
7.63
1.86
16.52
13.54
-0.13
7.62
VegetFruit
5.34
7.01
7.09
2.97
31.19
32.60
-1.56
58.50
VegetOil
3.72
8.66
1.89
3.02
9.16
6.82
-1.47
23.71
Sugar
3.35
3.61
6.84
-0.04
24.34
7.75
-2.73
21.54
OtherSugar
9.06
17.68
2.51
4.62
25.14
18.88
-2.95
58.26
MeatProd
9.81
10.18
9.92
2.65
7.06
17.35
-6.68
91.05
DairyProd
2.01
2.95
0.53
1.69
4.51
4.94
-0.74
35.14
FoodProd
4.10
4.06
2.67
1.29
2.97
8.39
-0.95
29.44
Livestock
19.10
23.63
5.63
5.10
11.63
19.35
0.28
52.58
Fishery
3.54
7.28
3.64
2.57
4.19
10.48
-0.52
38.96
Forest
8.61
3.12
0.47
4.19
-0.07
21.43
4.50
54.60
WoodProd
5.74
0.07
1.05
-0.71
7.36
11.89
-1.52
27.42
OtherAgric
6.27
7.57
2.70
2.02
8.41
9.85
-3.62
56.07
Textiles
9.01
8.83
2.87
2.92
25.08
12.45
-0.64
14.27
Electronic
7.51
2.70
0.63
5.01
7.35
6.90
1.67
20.26
Machinery
1.55
3.03
3.28
4.45
5.61
5.69
-0.30
15.96
MiningMnrl
3.62
5.23
1.44
4.52
21.07
11.23
-1.52
18.60
OtherMnfcs
4.06
5.26
2.84
0.92
6.02
7.24
-0.52
10.06
Paddy
IDN
Sumber: Hasil Simulasi-2
SGP
XSE
CHN
4.75 152.72
202
6.4.
Kombinasi FTA ASEAN – China dengan Kebijakan Domestik di Indonesia
6.4.1. Kombinasi FTA ASEAN – China dengan Kebijakan Penurunan Biaya Transaksi Perdagangan Sebesar 30 persen (Hasil Simulasi-3)
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, simulasi kebijakan ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa penurunan biaya transaksi perdagangan diharapkan akan meningkatkan efisiensi dan daya saing ekonomi Indonesia, sehingga manfaat dari liberalisasi perdagangan akan semakin bertambah. Hasil simulasi dengan skenario penurunan biaya transaksi (simulasi-3) akan dibandingkan dengan skenario FTA ASEAN – China (simulasi-2) untuk mengetahui besarnya manfaat tambahan dari kebijakan penurunan biaya transaksi yang dilakukan oleh Indonesia. Tabel 38 menyajikan data perubahan variabel makro ekonomi Indonesia sebagai dampak dari kebijakan FTA yang dikombinasikan dengan kebijakan penurunan biaya transaksi sebesar 30 persen. Dibandingkan dengan kebijakan FTA saja, kombinasi kebijakan FTA dengan penurunan biaya transaksi memberikan dampak positif yang lebih besar terhadap semua variabel makro ekonomi Indonesia. Nilai GDP riil akan meningkat 2.10 persen atau lebih besar dibanding pada simulasi-2 yang besarnya adalah 1.26 persen. Hal yang menarik dari data pada Tabel 38 adalah penurunan biaya transaksi dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebesar US$ 3 521.18 juta.. Hal ini terjadi karena indeks harga ekspor dan impor turun sehingga volume perdagangan naik dan selanjutnya meningkatkan konsumsi rumah tangga. Penurunan indeks harga ekspor (0.27 persen) lebih rendah dibanding penurunan indeks harga impor (2.02 persen), sehingga meningkatkan nilai Terms Of Trade (TOT) sebesar 1.79 persen. Peningkatan TOT tersebut diikuti dengan peningkatan neraca perdagangan (trade balance).
203
Penurunan biaya transaksi di Indonesia juga mendorong investasi yang lebih besar, yaitu dengan persentase peningkatan sebesar 3.55 persen. Hasil simulasi-3 ini konsisten dengan penelitian Bussolo dan Whalley (2003) yang dengan menggunakan Model Keseimbangan Umum (CGE) melakukan analisis keterkaitan antara biaya transaksi, distribusi pendapatan, dan kinerja ekonomi di Colombia. Penelitian Bussolo dan Walley membuktikan bahwa penurunan biaya transaksi perdagangan akan meningkatkan upah tenaga kerja, menambah pendapatan riil rumah tangga, dan mengurangi tingkat kemiskinan. Penurunan biaya transaksi sebesar 50 persen akan menambah pendapatan riil rumah tangga sebesar 10 persen. Angka ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan dampak penurunan tarif impor sebesar 50 persen yang hanya akan menambah pendapatan riil sebesar 0.3 persen.
Tabel 38. Perubahan Variabel Makroekonomi Indonesia pada Kombinasi FTA ASEAN – China dengan Kebijakan Penurunan Biaya Transaksi Perdagangan Sebesar 30 persen Variabel Ekonomi Makro
Simulasi-2
Simulasi-3
GDP Nominal (%)
1.79
2.77
Indeks Harga GDP (%)
0.53
0.67
GDP Riil (%)
1.26
2.10
1 994.42
3 521.18
Terms of Trade (%)
0.76
1.79
Total Volume Ekspor (%)
2.97
4.95
Total Volume Impor (%)
4.35
7.80
395.43
615.38
2.16
3.55
Indeks Harga Ekspor (%)
-0.01
-0.27
Indeks Harga Impor (%)
-0.76
-2.02
Kesejahteraan (US$ Juta)
Neraca Perdagangan (US$ Juta) Investasi Bruto (%)
Sumber: Hasil Simulasi-3
204
Penurunan biaya transaksi perdagangan juga memberikan dampak positif terhadap variabel output, ekspor dan impor, serta harga dari setiap sektor. Hal ini disebabkan penurunan biaya transaksi dapat memperbaiki efisiensi dan produktivitas sehingga kegiatan ekspor meningkat (Gaduh, 2006). Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 39, presentase peningkatan output setiap sektor atau komoditi lebih besar dibanding pada simulasi skenario FTA (simulasi-2). Sebagai contoh: peningkatan output produk daging dan produk kayu olahan pada simulasi-2 masing-masing sebesar 11.21 persen dan 3.66 persen, pada simulasi-3 peningkatan tersebut lebih besar lagi, yaitu: 12.26 persen dan 4.07 persen. Hal yang sama juga terjadi pada volume ekspor dan impor, dimana peningkatannya lebih besar dibanding dengan hasil simulasi sebelumnya. Namun demikian oleh karena hasil simulasi dinyatakan dalam persentase perubahan maka perlu kehati-hatian dalam mengintepretasikan hasil simulasi tersebut. Perubahan persentase yang tinggi tersebut kemungkinan disebabkan nilai nominal dari data dasar yang kecil sehingga dengan peningkatan yang relatif sedikit akan menghasilkan nilai persentase yang tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meskipun Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan dalam produksi dan ekspor daging tidak berarti bahwa Indonesia akan menjadi produsen dan pengekspor utama produk tersebut. Dampak kebijakan penurunan biaya transaksi akan dirasakan manfaatnya secara langsung oleh produsen (petani) dan konsumen di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan kenaikan harga ekspor komoditi pertanian dan kehutanan, serta penurunan harga komoditi impor di pasar domestik. Dengan kata lain, penurunan biaya transaksi selain akan meningkatkan arus perdagangan, juga dapat mengurangi kemungkinan dampak negatif dari pelaksanaan perdagangan bebas ASEAN – China karena terjadi distribusi kesejahteraan di masyarakat.
205
Tabel 39. Perubahan Variabel Sektoral Indonesia pada Kombinasi FTA ASEAN – China dengan Kebijakan Penurunan Biaya Transaksi Perdagangan Sebesar 30 persen (%) Simulasi-3 Sektor
Output (qo)
Volume Ekspor (qxw)
Volume Impor (qiw)
Harga Ekspor
Harga Impor
px_ir[*Indonesia] pim[*Indonesia]
Paddy
0.55
-8.98
2.87
4.49
3.7
ProcRice
0.54
-7.48
12.39
3.71
-0.98
Wheat
-7.96
-8.87
0.59
0.96
-1.73
Cereal
0.44
-6.4
2.04
4.55
3.28
VegetFruit
0.26
-3.99
9.59
4.22
-0.69
VegetOil
3.24
8.38
9.35
0.81
-1.9
Sugar
1.07
-6.38
8.56
1.98
-0.7
OtherSugar
1.15
60.43
7.85
4.64
2.16
MeatProd
12.26
145.17
18.06
2.15
-1.94
DairyProd
-1.88
-5.58
5.23
0.94
-2.17
FoodProd
0.59
-1.08
10.57
1.09
-3.23
Livestock
5.41
-1.85
33.44
5.14
-5.01
Fishery
1.3
-1.6
7.95
3.17
-1.87
Forest
5.48
23.83
16.78
2.17
-2.72
WoodProd
4.07
5.4
16.66
0.59
-3.79
OtherAgric
-1.97
-2.76
9.22
3.35
-1.07
Textiles
5.47
16.33
14.87
-1.17
-4.76
Electronic
8.91
12.38
12.64
-0.95
-4.24
Machinery
4.41
6.28
5.14
-1.5
-3.1
MiningMnrl
1.24
4.38
9.42
-0.31
-3.29
OtherMnfcs
-1.1
-0.79
9.4
-0.55
-4.53
Sumber: Hasil Simulasi-3
206
6.4.2. Kombinasi FTA ASEAN – China dengan Kebijakan Peningkatan Investasi Sektor Pertanian Sebesar 15 Persen (Hasil Simulasi-4)
Investasi untuk memperbaiki infrastuktur pertanian sangat diperlukan guna meningkatkan produktivitas dan daya saing di pasar internasional. Kebijakan FTA ASEAN-China yang dibarengi dengan peningkatan produktivitas diharapkan dapat memperbesar manfaat sekaligus mengurangi dampak negatif dari liberalisasi perdagangan tersebut. Data pada Tabel 40 menunjukkan kombinasi kebijakan FTA ASEAN-China dengan peningkatan investasi sektor pertanian sebesar 15 persen (simulasi-4) mengakibatkan perubahan positif terhadap variabel ekonomimakro Indonesia yang lebih besar dibanding dengan kebijakan FTA ASEAN-China saja (simulasi-2). Dengan kata lain, kombinasi kebijakan tersebut memperbesar manfaat yang diperoleh dari FTA ASEAN-China.
Namun apabila dibandingkan dengan
kombinasi kebijakan FTA ASEAN-China dan penurunan biaya transaksi perdagangan (simulasi-3), nilai tambah dari simulasi-4 tersebut relatif lebih kecil.
Hal ini
disebabkan penurunan biaya transaksi akan berpengaruh secara langsung terhadap volume dan harga baik ekpor maupun impor. Di sisi lain, efek investasi terhadap perdagangan berlangsung secara bertahap melalui perbaikan proses produksi dan peningkatan output (output augmenting technical change). Selanjutnya peningkatan output tersebut akan dialokasikan untuk konsumsi domestik dan ekspor. Hasil simulasi-4 menunjukkan GDP riil dan tingkat kesejahteraan Indonesia masing-masing bertambah 1.81 persen dan US$ 2 743.81 juta dihitung dari skenario dasar. .Nilai terms of trade (TOT) naik 0.68 persen, lebih kecil dibanding nilai TOT pada simulasi-2 dan simulasi-3. Jika dibandingkan dengan simulasi-2, kecilnya persentasi perubahan nilai TOT tersebut disebabkan persentasi penurunan indeks harga ekspor yang relatif lebih besar, sedangakan persentasi penurunan indeks harga
207
impor tetap atau sama besarnya. Fakta ini mendukung argumentasi sebelumnya bahwa efek investasi terhadap perdagangan internasional relatif kecil karena terjadi secara bertahap dan dalam waktu yang panjang.
Tabel 40. Perubahan Variabel Makroekonomi Indonesia pada Kombinasi FTA ASEAN – China dengan Kebijakan Peningkatan Investasi Sektor Pertanian Sebesar 15 Persen Variabel Ekonomi Makro
Simulasi-2
Simulasi-3
Simulasi-4
GDP Nominal (%)
1.79
2.77
2.17
Indeks Harga GDP (%)
0.53
0.67
0.36
GDP Riil (%)
1.26
2.10
1.81
1 994.42
3 521.18
2 743.81
Terms of Trade (%)
0.76
1.79
0.68
Total Volume Ekspor (%)
2.97
4.95
3.30
Total Volume Impor (%)
4.35
7.80
4.51
395.43
615.38
494.69
2.16
3.55
2.56
Indeks Harga Ekspor (%)
-0.01
-0.27
-0.09
Indeks Harga Impor (%)
-0.76
-2.02
-0.76
Kesejahteraan (US$ Juta)
Neraca Perdagangan (US$ Juta) Investasi Bruto (%)
Sumber: Hasil Simulasi-4
Pada tingkat sektoral, hasil simulasi kombinasi kebijakan FTA ASEAN-China dan peningkatan investasi sektor pertanian (simulasi-4) memberikan dampak terhadap peningkatan output sektor pertanian dan kehutanan yang lebih besar jika dibandingkan dengan hasil simulasi-2. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 41 output komoditi minyak nabati dan kayu olahan pada simulasi-2 meningkat masingmasing sebesar 3.31 persen dan 3.66 persen, selanjutnya pada simulasi-4 peningkatan
208
output kedua komoditi tersebut menjadi 5.09 persen dan 6.91 persen. Peningkatan investasi sektor pertanian tidak hanya meningkatkan output komoditi pertanian tetapi juga output sektor manufaktur. Output produk elektronik dan tekstil masing-masing bertambah sebesar 5.85 persen dan 3.27 persen. Hal ini dimungkinkan karena sektor pertanian memiliki keterkaitan (linkages) dengan sektor lain baik di hulu maupun di hilir (Yudhoyono, 2004). Peningkatan output tersebut kemudian direspon dengan peningkatan permintaan tenaga kerja baik non-terampil (unskilled-labor) maupun terampil (skilled labor). Peningkatan permintaan tenaga yang cukup menonjol terjadi di sektor pertanian dan kehutanan, terutama untuk industri pengolahan daging, peternakan, dan industri kayu olahan. Peningkatan permintaan tenaga kerja tersebut selanjutnya mendorong kenaikan upah tenaga kerja non-terampil sebesar 1.94 persen dan upah tenaga terampil sebesar 1.52 persen.
Peningkatan produksi juga diikuti dengan
peningkatan volume ekspor dan impor sehingga secara keseluruhan volume perdagangan meningkat. Peningkatan volume ekspor yang cukup menonjol adalah minyak nabati, produk daging, kehutanan dan kayu olahan. Di sisi impor, komoditi beras padi, beras olahan dan gula masing-masing turun sebesar 10.92 persen, 3.53 persen dan 1.08 persen. Berdasarkan perubahan positif variabel sektoral sebagaimana diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa kombinasi kebijakan FTA ASEAN-China dengan peningkatan investasi sektor pertanian akan menambah nilai manfaat dari FTA tersebut sekaligus mengurangi dampak negatif di tingkat produsen (petani) dan konsumen. Peningkatan investasi tersebut juga akan menambah output produksi dan permintaan tenaga kerja sehingga dengan demikian diharapkan dapat mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.
209
Tabel 41. Perubahan Variabel Sektoral Indonesia pada Kombinasi FTA ASEAN – China dengan Kebijakan Peningkatan Investasi Sektor Pertanian Sebesar 15 Persen (%) Simulasi-4 Sektor
Output (qo)
Permintaan Tenaga Kerja qfe[UnSkLab]
qfe[SkLab]
Volume Ekspor (qxw)
Volume Impor (qiw)
Paddy
0.44
0.27
0.37
1.47
-10.92
ProcRice
1.13
-1.52
-1.07
1.58
-3.53
Wheat
-5.54
-6.34
-6.25
-6.44
1.23
Cereal
1.1
1.02
1.11
-3.86
-0.46
VegetFruit
0.77
0.64
0.74
-0.48
-1.43
VegetOil
5.09
3.88
4.12
12.99
2.23
Sugar
1.97
-0.56
-0.11
-0.98
-1.08
OtherSugar
1.28
1.21
1.31
66.72
4.37
MeatProd
13.41
10.62
11.12
162.47
6.49
DairyProd
0.74
-1.64
-1.2
0.27
2.63
FoodProd
1.97
-0.63
-0.18
2.61
2.94
Livestock
6.06
6.55
6.66
0.75
17.91
Fishery
1.57
0.99
1.07
1.29
1.41
Forest
6.93
6.47
6.55
24.69
10.58
WoodProd
6.91
3.92
4.45
9.21
5.16
OtherAgric
-0.08
-0.31
-0.22
0.87
5.08
Textiles
3.27
1.06
1.58
10.9
10.29
Electronic
5.85
3.64
4.17
8.54
9.69
Machinery
1.27
-0.31
0.2
1.64
2.78
MiningMnrl
0.77
-0.78
-0.4
1.89
4.74
OtherMnfcs
-1.89
-3.8
-3.31
-3.09
5.43
Sumber: Hasil Simulasi-4
210
6.4.3. Kombinasi Kebijakan FTA ASEAN-China dengan Penurunan Biaya Transaksi Perdagangan Sebesar 30 Persen dan Peningkatan Investasi Sektor Pertanian Sebesar 15 Persen (Hasil Simulasi-5) Simulasi-5 menggabungkan kebijakan FTA ASEAN – China dengan kebijakan domestik Indonesia berupa penurunan biaya transaksi sebesar 30 persen dan peningkatan investasi sektor pertanian sebesar 15 persen. Hasil simulasi secara umum menunjukkan perilaku yang mirip dengan simulasi skenario kebijakan sebelumnya (simulasi-2, 3, 4 dan 5), yaitu dapat menaikkan GDP riil, kesejahteraan masyarakat, volume perdagangan dan investasi.
Namun apabila dibandingkan dengan hasil
simulasi sebelumnya, simulasi-5 menghasilkan nilai persentase perubahan variabel makroekonomi Indonesia yang lebih besar Hal ini dimungkinkan karena kombinasi penurunan biaya transaksi dan peningkatan investasi akan memberikan efek ganda, yaitu efisiensi ekonomi dan productivitas sumberdaya. Kedua efek positif tersebut akan mampu mendorong kegiatan ekonomi domestik dan sekaligus meningkatkan perdagangan internasional. Sebagaimana data pada Tabel 42, kombinasi kebijakan FTA ASEAN – China dengan kebijakan domestik Indonesia berupa penurunan biaya transaksi sebesar 30 persen dan peningkatan investasi sektor pertanian sebesar 15 persen diperkirakan akan meningkatkan GDP riil dan tingkat kesejahteraan Indonesia sebesar 2.64 persen dan US$ 4,274.66 juta atau dua kali lipat jika dibandingkan dengan hasil simulasi-2. Nilai persentase perubahan terms of trade (TOT) bertambah sebesar 1.71 persen, hampir sama dengan hasil simulasi-3 tetapi lebih dari dua kali lipat dibandingkan pada simulasi-2. Peningkatan nilai total perdagangan (ekspor dan impor) memberikan tambahan surplus neraca perdagangan sebesar US$ 714.98 juta dan investasi sebesar 3.96 persen. Angka peningkatan neraca perdagangan dan investasi tersebut jauh lebih besar dibanding hasil simulasi sebelumnya.
211
Struktur perubahan variabel sektoral hampir sama dengan hasil simualsi sebelumnya tetapi dengan nilai persentase yang lebih besar. Data pada Tabel 43 menunjukkan peningkatan output komoditi pertanian dan kehutanan direspon dengan peningkatan
permintaan
tenaga
kerja
sehingga
dapat
menurunkan
tingkat
pengangguran dan kemiskinan. Pengecualian terjadi untuk komoditi beras olahan, gula, produk susu dan produk makanan, dimana output produksi meningkat tetapi permintaan tenaga kerja berkurang. Peningkatan output tersebut juga mendorong volume perdagangan yang lebih besar. Sama dengan hasil simulasi sebelumnya, peningkatan volume ekspor yang cukup menonjol adalah: minyak nabati, produk daging, kehutanan dan kayu olahan. Di sisi impor, hasil simulasi-5 berbeda dengan hasil simualsi sebelumnya dimana volume impor beras olahan dan gula menjadi meningkat masing-masing sebesar 8.76 persen dan 6.74 persen. Tabel 42. Perubahan Variabel Makroekonomi Indonesia pada Kombinasi FTA ASEAN-China dengan Penurunan Biaya Transaksi Perdagangan Sebesar 30 Persen dan Peningkatan Investasi Sektor Pertanian Sebesar 15 Persen Variabel Ekonomi Makro
Simulasi-2
Simulasi-3
Simulasi-4
Simulasi-5
GDP Nominal (%)
1.79
2.77
2.17
3.15
GDP Riil (%)
1.26
2.10
1.81
2.64
1 994.42
3 521.18
2 743.81
4 274.66
Terms of Trade (%)
0.76
1.79
0.68
1.71
Total Volume Ekspor (%)
2.97
4.95
3.30
5.27
Total Volume Impor (%)
4.35
7.80
4.51
7.96
395.43
615.38
494.69
714.98
2.16
3.55
2.56
3.96
Indeks Harga Ekspor (%)
-0.01
-0.27
-0.09
-0.35
Indeks Harga Impor (%)
-0.76
-2.02
-0.76
-2.03
Kesejahteraan (US$ juta)
Neraca Perdagangan (US$ juta) Investasi Bruto (%)
Sumber: Hasil Simulasi-5
212
Tabel 43. Perubahan Variabel Sektoral Indonesia pada Kombinasi Kebijakan FTA ASEAN-China dengan Penurunan Biaya Transaksi Perdagangan Sebesar 30 Persen dan Peningkatan Investasi Sektor Pertanian Sebesar 15 Persen (%) Simulasi-5 Sektor
Output (qo)
Permintaan Tenaga Kerja qfe[UnSkLab]
qfe[SkLab]
Volume Ekspor (qxw)
Volume Impor (qiw)
Paddy
0.47
0.22
0.3
-0.83
-2.22
ProcRice
1.18
-2.40
-2.02
0.03
8.76
Wheat
-6.38
-7.33
-7.26
-7.20
1.35
Cereal
1.12
0.95
1.03
-4.77
1.79
VegetFruit
0.72
0.50
0.59
-1.43
8.38
VegetOil
5.03
3.35
3.56
12.9
7.58
Sugar
1.99
-1.41
-1.03
-1.65
6.74
OtherSugar
1.31
1.16
1.24
65.05
5.43
MeatProd
14.48
10.68
11.11
164.40
14.56
DairyProd
0.63
-2.56
-2.18
0.38
5.26
FoodProd
2.08
-1.44
-1.05
2.48
9.29
Livestock
6.52
6.97
7.06
0.10
33.03
Fishery
2.05
1.57
1.64
-0.60
7.92
Forest
7.30
6.68
6.75
24.29
18.8
WoodProd
7.33
3.24
3.69
9.71
15.39
OtherAgric
-0.62
-1.00
-0.91
-0.06
8.65
Textiles
5.26
1.93
2.38
15.77
15.14
Electronic
8.26
4.92
5.39
11.62
12.89
Machinery
4.10
1.70
2.15
5.73
5.17
MiningMnrl
1.16
-1.15
-0.82
3.92
9.67
OtherMnfcs
-1.12
-3.96
-3.54
-1.17
9.72
Sumber: Hasil Simulasi-5
VII.
7.1.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil simulasi dan pembahasan pada Bab VI, maka dapat
dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
FTA ASEAN – China baik pada tahap Early Harvest Program (EHP) maupun pelaksanaan secara penuh dengan melibatkan sektor pertanian, kehutanan, dan manufaktur, secara umum akan memberikan dampak positif terhadap perdagangan, output nasional, dan kesejahteraan negara-negara ASEAN dan China Meskipun demikian, besarnya keuntungan ekonomi tersebut sangat bervariasi tidak hanya dari satu negara ke negara lain, tetapi juga di masingmasing sektor. Keuntungan ekonomi terbesar akan dinikmati China, diikuti oleh negara-negara ASEAN dengan ekonomi yang lebih maju seperti: Malaysia, Singapore dan Thailand.
2.
Keuntungan ekonomi yang akan diperoleh Indonesia dari FTA ASEAN China relatif kecil. Hasil simulasi menunjukkan pada tahap EHP, GDP riil dan kesejahteraan Indonesia masing-masing hanya bertambah sebesar 0.16 persen dan US$ 71.23 juta. Sementara nilai ekspor produk pertanian meningkat 0.14 persen dan impor 1.0 persen. Demikian pula pelaksanaan FTA ASEAN – China secara penuh hanya akan menambah GDP riil Indonesia 1.29 persen dan kesejahteraan sebesar
US$ 1 994.42 juta.
Total nilai ekspor dan impor
Indonesia diperkirakan bertambah masing-masing sebesar 2.96 persen dan 3.56 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu kehati-hatian bagi Indonesia dalam melakasanakan FTA ASEAN - China. Komoditi pertanian Indonesia
214
akan menghadapi persaingan tidak hanya dari negara-negara ASEAN tetapi juga produk dari China yang pada umumnya memiliki keunggulan komparatif lebih baik. 3.
Di tingkat sektoral, hasil simulasi menunjukkan tingkat produksi dan volume perdagangan (ekspor dan impor) Indonesia untuk komoditi berbasis sumberdaya alam (resource-based products), seperti: minyak nabati, produk daging, perikanan, kehutanan dan kayu olahan, bahan tambang dan migas akan meningkat. Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk produk berbasis sumberdaya alam tersebut. Kondisi sebaliknya terjadi di China, dimana produksi dan perdagangan produk berbasis sumberdaya alam dan industri ekstraktif akan mengalami kontraksi. Berkaitan dengan hal ini, Indonesia dan China memiliki potensi komplementaritas dalam perdagangan produk berbasis sumberdaya alam. Kebutuhan China akan sumber bahan baku dan energi menjadi peluang ekspor bagi Indonesia. Dengan demikian, apabila Indonesia berspesialisasi pada jenis komoditi ini maka keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh dari FTA ASEAN – China akan lebih besar.
4.
Pada simulasi kebijakan FTA ASEAN – China yang dikombinasikan dengan kebijakan unilateral pemerintah Indonesia untuk mengurangi biaya transaksi perdagangan, hasilnya menunjukkan bahwa penurunan biaya transaksi memberikan dampak positif yang lebih besar terhadap ekonomi Indonesia. Nilai GDP riil akan meningkat 2.10 persen dan tingkat kesejahteraan masyarakat bertambah sebesar US$ 3 521.18 juta. Penurunan biaya transaksi di Indonesia juga mendorong investasi yang lebih besar, yaitu dengan persentase peningkatan sebesar 3.55 persen. Selain, itu, dampak kebijakan penurunan biaya transaksi akan dirasakan manfaatnya secara langsung oleh
215
produsen (petani) dan konsumen di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan kenaikan harga ekspor komoditi pertanian dan kehutanan, serta penurunan harga komoditi impor di pasar domestik. 5.
Hasil simulasi kombinasi kebijakan FTA ASEAN – China dengan peningkatan investasi sektor pertanian di Indonesia menunjukkan bahwa investasi tersebut selain menambah manfaat positif dari FTA juga mampu meningkatan penyerapan tenaga kerja rata-rata sebesar 1.16 persen untuk tenaga kerja non-terampil dan 1.50 persen untuk tenaga kerja terampil. Selain itu, penambahan permintaan tenaga kerja juga diikuti dengan peningktanan upah baik untuk tenaga kerja non-terampil maupun terampil masing-masing sebesar 1.94 persen dan 1.52 persen. Dengan demikian, peningkatan investasi di sektor pertanian mampu menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia sehingga kemungkinan dampak negatif dari diberlakukannya kebijakan pasar bebas ASEAN – China dapat dikurangi.
7.2.
Implikasi Kebijakan Pemberlakuan FTA ASEAN – China akan membawa implikasi kebijakan di
masing-masing negara anggota. Penyesuaian kebijakan nasional diperlukan untuk mengurangi dampak negatif dari FTA ASEAN – China, khususnya untuk melindungi terhadap sektor-sektor yang belum siap menghadapi persaingan pasar bebas. Beberapa implikasi kebijakan yang perlu mendapat perhatian Pemerintah Indonesia, antara lain: 1.
Dalam jangka pendek, pemerintah perlu hati-hati dalam memasukkan komoditi pertanian ke dalam “Program Panen Awal” (EHP). Komoditi pertanian yang belum siap seperti: beras, gula dan produk makanan, agar
216
ditunda atau dimasukkan ke dalam daftar produk sangat sensitif (highly sensitive list) sampai komoditi tersebut mampu bersaing dan siap untuk diliberalisasikan.
Sebaliknya
untuk
komoditi
pertanian
yang
sudah
menunjukkan kinerja relatif baik seperti: minyak nabati, produk daging, dan kehutanan dapat dimasukkan ke dalam kategori produk normal atau bahkan dapat dipercepat liberalisasinya. 2.
Dalam jangka panjang, diperlukan upaya yang lebih sistematis untuk mempersiapkan semua jenis komoditi baik pertanian, kehutanan maupun manufaktur sehingga lebih efisien dan memiliki daya saing di pasar internasional. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan bantuan teknis dan permodalan bagi sektor yang belum siap menghadapi persaingan pasar bebas. Bantuan atau dukungan semacam ini akan memfasilitasi realokasi sumberdaya yang diperlukan dalam upaya meningkatkan daya saing. Di sisi lain, produsen pada sektor tersebut harus berupaya keras meningkatkan efisiensi dan produktifitas sehingga daya saing meningkat dan mampu bersaing dalam era perdagangan bebas regional.
3.
Guna
mengoptimalkan
manfaat
ekonomi
dari
kebijakan
liberalisasi
perdagangan dan sekaligus mengurangi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan, diperlukan kebijakan pemerintah yang mampu mendorong peningkatan produktifitas dan efisiensi ekonomi. Berkaitan dengan hal ini, diperlukan upaya serius dan terus menerus untuk menyederhanakan dan merampingkan (deregulasi) prosedur perijinan, meningkatkan infrastruktur perhubungan dan menghapuskan praktek-praktek illegal lainnya dalam kegiatan perdagangan.
217
4.
Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan perdagangan multilateral dan regional akan mempengaruhi tingkat kebebasan kebijakan ekonomi yang dapat diambil pemerintah. Adalah tugas pemerintah untuk mensosialisasikan hasil dan kesepakatan internasional (WTO, AFTA, FTA ASEAN – China) kepada seluruh pelaku ekonomi, agar mereka dapat melakukan antisipasi dengan sebaik-baiknya.
7.3.
Saran Penelitian Lanjutan Berdasarkan hasil penelitian dan keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian
ini, disarankan: 1.
Model yang digunakan dalam penelitian ini masih bersifat statis komparatif sehingga belum mampu melihat perubahan variabel ekonomi akibat adanya gongangan eksternal (external shock) dari waktu ke waktu. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan model keseimbangan umum dinamis. Selain itu, beberapa analisis yang dilakukan pada penelitian ini masih bersifat makro dan agregat. Untuk melakukan analisis perubahan variabel ekonomi yang lebih rinci di Indonesia, misalnya: dampak FTA ASEAN - China terhadap distribusi pendapatan dan investasi di tingkat sektoral, dapat dilakukan dengan modifikasi dan menambah persamaan di dalam model yang digunakan.
2.
Data dasar yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari database GTAP versi 6 yang menggambarkan kondisi ekonomi tahun 2001. Untuk memperoleh hasil simualsi yang lebih faktual, database tersebut dapat di-up date dengan menggunakan tabel Input - Output mutakhir.
(I – O) dan SAM yang
218
DAFTAR PUSTAKA
Adhikari, R. and Y. Yang, 2002. What Will WTO Membership Mean for China and Its Trading Partners? Finance and Development, September 2002. International Monetary Fund Publication, Washington DC. ASEAN Secretariat. 2001. Forging Closer ASEAN-China Economic Relations in the Twenty-First Century. Report submitted by the ASEAN – China Expert Group on Economic Cooperation. ASEAN Secretariat, Jakarta. ________________. 2006. ASEAN Statistical Year Book 2005. ASEAN Secretariat, Jakarta. ________________. 2006. ASEAN Free Trade Area (AFTA): An Update. download dari http://www.aseansec.org
Di
Asian Development Bank. 2006. Key Indicators of Developing Asian and Pacific Countries 2005. Volume XXXI. Oxford University Press (China) Ltd., Hongkong. _____________________. 2008. Key Indicators of Developing Asian and Pacific Countries 2008. Di download dari http://www.adb.org/statistics. Aslam, M. 2003. AFTA, ASEAN-China FTA dan Ekonomi Malaysia. FEA Working Paper No. 2003-1. Department of Applied Economics and Administration, University of Malaysia, Kuala Lumpur. Atje, R. and A. B. Gaduh, 1999. Indonesia-China Economic Relations: An Indonesian Perspective. Economics Working Paper Series WPE052, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta. Di akses dari http://www.csis.or.id/papers/wpe052 Austria, M. 2004. The Pattern of Intra-ASEAN Trade in the Priority Goods Sectors. Final Main Report for the REPSF Project. ASEAN Secretariat, Jakarta. Azis, H. A. 2003. Hubungan Dagang Indonesia – China. Jurnal Ekonomi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, 9 (1): 14 – 22. Badan Pusat Statistik. 2003. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia: Ekspor dan Impor 2003. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bhagwati, J., P. Krishna and A. Panagariya (eds), 1999. Trading Blocks: Alternative Approaches to Analyzing Preferential Trade Agreements. MIT Press, Cambridge. Brockmeier, M. 2001. A Graphical Exposition of the GTAP Model. GTAP Technical paper No.8. Center for Global Trade Analysis, Purdue University, Purdue.
219
Bussolo, M. and J. Whalley. 2003. Exploring the Links between Transaction Costs, Income Distribution and Economic Performance in a Case Study for Colombia. Economie Internationale, 3 (94 – 95): 235-260. Chirathivat, S. 2002. ASEAN – China Free Trade Area: Background, Implications and Future Development. Journal of Asian Economics, 13 (5): 671-686. Darwanto, H. 1997. Trade Liberalization in Indonesia: Impacts and Issues. The Indonesian Quarterly, 25 (2): 110-127. Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 2003. Menyongsong Pemberlakuaan FTA ASEAN – China. Media Industri dan Perdagangan, 3 (14): 37 – 38. Devarajan, S. 2002. The Impact of Computable General Equilibrium Models on Policy. International Food Policy Research Institute (IFPRI), Washington DC. Dornbusch, R, S. Fisher., and R. Startz. 1998. Macroeconomics. Seventh Edition. Irwin/McGraw Hill, New York. Dunn, R. M. 2000. International Economics. Fifth Edition. Routledge, New York. Erwidodo and T. Feridhanusetyawan. 1997. Indonesia‟s Agriculture: facing the APEC and WTO. Paper presented at the AARES Post Conference Workshop on Linkages between Agricultural Production, Trade and the Environment: Case Studies of Indonesia and China, Gold Cost. Erwidodo and A. Ratnawati, 2004. Indonesia‟s Agriculture in Global Unfair Trade: Policy Responses towards Efficient and Competitive Player. Paper presented at the Thematic Workshop on Trade and Industry: Why Trade and Industry Matters?. January 14 – 15, 2004, Jakarta. Feridhanusetyawan, T. dan Y. Rizal. 1998. Liberalisasi Perdagangan Dunia: Bagaimana Manfaatnya bagi Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)? Analisis Centre for Strategic and International Studies (CSIS), 27 (3): 258-278. Gaduh, A. B. 2006. When Being Just Good Enough Is Not Enough. Indonesia Outlook 2006 – Economic. Di akses dari http://www.thejakartapost.com/ Outlook2006/eco04b.asp Garnaut, R. 1998. Association of Southeast Asian Nations and the Regionalization and Globalization of World Trade. ASEAN Economic Bulletin, 14 (3):215-223. Hakim, D. B. 2004. The Implications of the ASEAN Free Trade Area (AFTA) on Agricultural Trade (A Recursive Dynamic General Equilibrium Analysis). PhD‟s Thesis. Georg-August Universitat, Gottingen. Hardono G.S, Handewi P. S., dan S. H. Suhartini, 2004. Liberalisasi Perdaganngan: Sisi Teori, Dampak Empiris dan Perspektif Ketahanan Pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 22 (2): 75-88.
220
Hertel, Thomas W. (eds.). 1997. Global Trade Analysis, Modeling and Application. Cambridge University Press, London. Holst, D. and J. Weiss, 2004. ASEAN and China: Export Rivals or Partners in Regional Growth?. The World Economy, 27(8): 255-74. Husted, S. and M. Melvin, 2004. International Economics. Sixth edition. Pearson Education Inc., New York. Hutabarat B., H. Sawit, S. K. Darmoredjo, H. Purba, Wahida dan S. Nuryanti, 2008. Analisis Kesepakatan Perdagangan Bebas Indonesia – China dan Kerjasama AFTA dan Dampaknya terhadap Perdagangan Komoditas Pertanian Indonesia. Laporan Akhir Penelitian Tahun Anggaran 2007. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Ianchovichina, E. and W. Martin, 2004. Impacts of China‟s Accession to the World Trade Organization. The World Bank Economic Review, 18 (1): 3 - 27. Ianchovichina, E. and R. McDougall. 2000. Theoretical Structure of Dynamic GTAP. GTAP Technical Paper No.17. Center for Global Trade Analysis, Department of Agriculture Economics, Purdue University, Purdue. International Monetary Funds. 2006. World Economic Outlook 2005. International Monetary Funds, Washington DC. Jukka, T., 2006. Trade Flows of Timber between the EU and ASEAN. Paper presented at the TREATI Workshop on Trade in Wood Products. Kuala Lumpur, Malaysia, 24-25 May 2006. Krueger, A. O. 1999. Are Preferential Trading Arrangements Trade-Liberalizing or Protectionist? Journal of Economic Perspectives, 13 (4): 105–124. Krugman, P.R. and M. Obstfeld. 2000. International Economics: Theory and Policy. Fifth Edition. Addison-Wesley Publishing Co., New York. Lee, H., Roland-Holst, and van der Mensbrugghe. 2004. China‟s Emergence and the Implication of Prospective Free Trade Agreements in East Asia. http://www.rieb.kobe-u.ac.jp/academic/ra/dp/english/dp156.pdf Lijun, Sheng. 2003. China – ASEAN Free Trade Area: Origins, Developments and Strategic Motivations. ISEAS Working Paper: International Politics & Security Issues Series (1): 2003, Singapore. Lloyd, P. and P. Smith, 2004. Global Economic Challenges to ASEAN Integration and Competitiveness: A Prospective Look. ASEAN – Australia Development Program (AADCP), Regional Economic Policy Support Facility (RESPF) Project 03/006a. Final Report September 2004, ASEAN Secretariat, Jakarta.
221
Ma, Jun and Zhi Wang, 2002. Option and Implication of Free Trade Arrangements in East Asia. Paper presented for presentation at the 5th Annual Conference on Global Economic Analysis, Taipei, June 5 – 7, 2002. Malian, A. H. 2004. Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian (AKP), 2 (2): 135-156. Manna, M. L. 2001. Introduction to General Equilibrium. Lecture 21 EC2001. School of Economics, University of St Andrew. http://www..st-andrews.ac.uk/~mlm/ HomePage/EC2001/lecture7.pdf Mukherji, A. 2002. An Introduction to General Equilibrium Analysis. Walrasian and Non-Walrasian Equilibria. Oxford University Press, Oxford. Oktaviani, R. 2000. The Impact of APEC Trade Liberalization on Indonesian Economy and Its Agricultural Sector. PhD Thesis. Department of Agricultural Economics, University of Sydney, Sydney. Oktaviani, R., Sahara dan E. Puspitawati, 2006. Dampak Investasi Swasta dan Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Sektoral dan Regional di Indonesia. Laporan Akhir BAPPENAS, Jakarta. OECD. 1998. Open Markets Matter: The Benefits of Trade and Investment Liberalization. Organization for Economic Co-operation and Development, Paris. ______. 2002. Agriculture and Trade Liberalization: Extending the Uruguay Round Agreement. Organization for Economic Co-operation and Development, Paris. ______. 2003. Regionalism and the Multilateral Trading System. Organization for Economic Co-operation and Development, Paris. Panagariya, A. 1999. The Regionalism Debate: An Overview. The World Economy, 22 (4): 477-511. Pangestu, M. E. 2006. Keynote Speech at the Seminar Sino-Indonesian Realations: Substantiating the Strategic Partnership between Indonesia and China. Centre for Strategic and International Studies (CSIS) and Embassy of the People‟s Republic of China. Jakarta, 9 May 2006. Park, D., I. Park, and G. Estrada, 2008. Prospects of an ASEAN – People‟s Republic of China Free Trade Area: A qualitative and quantitative analysis. ADB Economic Working Paper Series (130), Manila. Ratnawati, A. 1996. Dampak Kebijakan Tarif Impor dan Pajak Ekspor terhadap Kinerja Perekonomian, Sektor Pertanian dan Distribusi Pendapatan di Indonesia: Suatu Pendekatan Model Keseimbangan Umum. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
222
Scollay, R and J. Gilbert, 2002. Impact of East Asian Regional or Subregional FTAs. Report for East Asian Analytical Unit of Australian Department of Foreign Affairs and Trade, Canberra. Siregar, H. 2000. Alternative Theories of International Trade and Their Empirical Support/Rejection: Is The Comparative Advantage Theory Obsolete? Journal of Agricultural and Resource Socio-Economics. Department of SocioEconomics, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University, Bogor, 13 (3): 57 – 65. Soesastro, H. 2004. Kebijakan Persaingan, Daya Saing, Liberalisasi, Globalisasi, Regionalisasi dan Semua Itu. Economics Working Paper Series, WPE 082, CSIS, Jakarta. http://www.csis.or.id/papers/wpe082 Suranovic, S. 2005. International Trade Theory and Policy Analysis. Online Lecture Note. The International Economics Study Center. George Washington University. http://internationalecon.com Starr, R. M. 1997. General Equilibrium Theory: An Introduction. University Press, Cambridge.
Cambridge
Tambunan, M. and D. Bakce, 2005. Do ASEAN Members Have Use Trade Opportunities with China and India: Competition or Complementary? Paper presented at the 30th Annual Conference of the Federation of ASEAN Economic Associations (FAEA), Manila, 24-25 November, 2005. Tambunan, T. 2005. Is ASEAN Still Relevant in the Era of ASEAN – China FTA? Paper presented at the Asia – Pacific Economic Association (APEA) second conference, Seattle, 29 – 30 July 2006. Tongzon, J. L. 2001. China‟s Membership in the WTO and the Exports of the Developing Economies of East Asia: a Computable General Equilibrium Approach. Journal Applied Economics, 33 (15): 1943-1959. ______________. 2005. ASEAN – China Free Trade Area: A Bane or Boon for ASEAN Countries? The World Economy, 28 (2): 191-210. UNCTAD. 2002. Trade and Development Report 2002. United Nations, New York. Urata, S. and K. Kiyota. 2003. The Impact of an East Asia Free Trade Agreement on Foreign Trade in East Asia. Di download dari http://www.nber.org/books/ ease14/urata-kiyota 6-2.04.pdf Voon, J. 1998. Export Competitiveness of China and ASEAN in the US Market. ASEAN Economic Bulletin, 14 (3): 273-291. Voon, J. and R. Yue, 2003. China–ASEAN Export Rivalry in the US Market: the importance of the HK–China production synergy and the Asian financial crisis. Journal of Asia Pacific Economy, 8 (2):157–79.
223
Walmsley, T. L. 1998. Long-run Simulation with GTAP: Illustrative Results from APEC Trade Liberalization. GTAP Technical Paper No. 9. Purdue University, Purdue. Wattanapruttipaisan, T. 2001. ASEAN – China Economic Relationships and Cooperation in Trade and Investment: Patterns and Potential. Paper presented at the Symposium on ASEAN – China Entrepreneur Exchanges, China National Committee for Pacific Economic Cooperation, Chengdu, China, 22 23 October 2001. ___________________. 2003. ASEAN – China Free Trade Area: Advantages, Challenges, and Implications for Newer ASEAN Member Countries. ASEAN Economic Bulletin, 20 (1): 31-48. Wei, Li. 2004. Progress of China – ASEAN FTA and Implications for East Asian FTA. International Conference on Customs Harmonization and Economic Cooperation in East Asia, 27 – 28 May 2004, Seoul. Woo, W. T. 2003. The Economic Impact of China‟s Emergence as a Major Trading Nation. Economic Forum. http://www.tdctrade.com World Bank. 2006. World Development Indicators 2005. The World Bank, Washington DC. WTO. 2006. Annual Report 2005 – International Trade Statistics. WTO, Geneva. http://www.wto.org Yudhoyono, S. B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi – Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
225
Lampiran 1. Tarif Rata-Rata Berdasarkan Skema CEPT-AFTA, Tahun 1993 – 2003 (%) Negara Brunei Darussalam
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
3.78
2.64
2.54
2.02
1.61
1.37
1.55
1.26
1.17
0.96
1.04
Indonesia
17.27
17.27
15.22
10.39
8.53
7.06
5.36
4.76
4.27
3.69
2.17
Malaysia
10.79
10.00
9.21
4.56
4.12
3.46
3.20
3.32
2.71
2.62
1.95
Philippines
12.45
11.37
10.65
9.55
9.22
7.72
7.34
5.18
4.48
4.13
3.82
Singapore
0.01
0.01
0.01
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Thailand
19.85
19.84
18.16
14.21
12.91
10.24
9.58
6.12
5.67
4.97
4.63
ASEAN-6
11.44
10.97
10.00
7.15
6.38
5.22
4.79
3.64
3.22
2.89
2.39
Cambodia
-
-
-
-
-
-
-
10.39
10.39
8.89
7.94
Lao PDR
-
-
-
-
-
5.00
7.54
7.07
7.08
6.72
5.86
Myanmar
-
-
-
-
-
2.39
4.45
4.43
4.57
4.72
4.61
Vietnam
-
-
-
0.92
4.59
3.95
7.11
7.25
6.75
6.92
6.43
CLMV
-
-
-
0.92
4.59
2.98
6.31
7.51
7.17
6.77
6.22
ASEAN-10
-
-
-
7.03
6.32
4.91
5.01
4.43
4.11
3.84
3.33
Sumber: ASEAN Secretariat, 2005
225
226
Lampiran 2. Jumlah Pos Tarif 0- 5 Persen Dalam Paket CEPT-AFTA, Tahun 2003 (%) Jumlah Pos Tarif Negara
0 - 5%
>5%
Persentase
Others
Total
0 - 5%
>5%
Others
Total
Brunei Darussalam
6 285
28
24
6 337
99.18
0.44
0.38
100
Indonesia
7 206
-
-
7 206
100
-
-
100
Malaysia
10 041
-
75
10 116
99.26
-
0.74
100
Philippines
5 565
23
44
5 632
98.81
0.41
0.78
100
Singapore
10 716
-
-
10 716
100
-
-
100
Thailand
9 204
-
7
9 211
99.92
-
0.08
100
ASEAN-6
49 017
51
150
49 218
99.60
0.10
0.30
100
Cambodia
831
2 284
-
3 115
26.68
73.32
-
100
Lao PDR
1 497
1 038
-
2 535
59.05
40.95
-
100
Myanmar
3 332
850
-
4 182
79.67
20.33
-
100
Vietnam
4 120
1 439
738
6 297
65.43
22.85
11.72
100
CLMV
9 780
5 611
738
16 129
60.64
34.79
4.58
100
58 797
5 662
888
65 347
89.98
8.66
1.36
100
ASEAN 10
Sumber: ASEAN Secretariat, 2005
22 6
227
Lampiran 3. Nilai Perdagangan ASEAN, Tahun 2001 (US $ Milyar) Uraian
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Intra-ASEAN Ekspor
43.7
58.6
70.2
81.0
85.4
69.3
74.9
92.9
82.3
86.4
99.7
Impor
38.8
46.9
53.6
64.2
64.6
51.6
57.8
73.2
66.8
72.3
74.8
Total
82.4
105.5
123.8
145.2
150.0
120.9
132.7
166.1
149.2
158.7
174.5
27.9
17.3
17.3
3.3
-19.4
9.7
25.2
-10.2
6.4
10.0
19.2
20.5
20.1
21.5
21.5
21.0
21.3
22.0
21.7
22.3
22.1
Ekspor
163.0
188.2
226.5
242.4
257.3
247.3
266.9
317.3
288.0
297.5
330.7
Impor
184.5
220.3
265.0
286.4
291.4
207.9
223.6
272.6
250.3
255.8
284.5
Total
347.5
408.5
491.5
528.8
548.7
455.2
490.5
589.9
538.3
553.3
615.2
17.6
20.3
7.6
3.8
-17.0
7.8
20.3
-8.7
2.8
11.2
80.8
79.5
79.9
78.5
78.5
79.0
78.7
78.0
78.3
77.7
77.9
429.9
514.0
615.3
674.0
698.6
576.1
623.2
756.0
687.5
712.0
789.7
19.6
19.7
9.5
3.7
-17.5
8.2
21.3
-9.1
3.6
10.9
Growth (%) % Total Trade Extra-ASEAN
Growth (%) % Total Trade Total ASEAN Trade Growth (%) Sumber: ASEAN Secretariat, 2005
22 7
Lampiran 4. Tambahan Persamaan Pada File Tablo GTAP Untuk Keseimbangan Umum Jangka Panjang !--------------------------------------------------! !Additions for the Long Run steady state simulations ! Variables ! !-----------------------------------------------------! VARIABLE (All,r,REG) kbgrow(r) # Growth Rate of Capital in region r # ! This variable is exogenously equal to zero in long run closure and endogenous in short run closure.! ; VARIABLE avgrow # Average growth rate of Capital across all regions # ! This variable is endogenous in both the short run and long run closures which are based on an initial steady state database. In the treatments of the long run which use the steady state database as their initial database, growthav will equal zero. In treatments of the long run which use the standard benchmark database as their initial database growthav must be set exogenously equal to zero.! ; VARIABLE growth # Single Growth Rate of Capital # ! Usually exogenous, unless the user wishes to shock the expected rates of return to equate the expected rates of return in the levels, when it is swapped with the global rate of return. ! ; VARIABLE (all,r,REG) growslack(r) # slack variable in the equation to equate kbgrow(r) and growth # ! Usually endogenous unless the user wishes to shock the expected rates of return to equate them in the levels. ! ; VARIABLE growavslack # slack variable in equation determing the average growth rate # ! This variable is exogenous in both the short run and long run treatments with steady state databases. It is endogenous in the long run treatment with standard benchmark data. ! ; VARIABLE # Global stock of capital #;
kb_tot
VARIABLE # Price of Global stock of capital #;
pkb
VARIABLE (All,r,REG) rsk(r) # Risk premia. # ! Usually exogenously equal to zero, unless user wants to alter risk premium. ! ; VARIABLE (All,r,REG) # Risk free expected rate of return. #;
roref(r)
229
Lampiran 4. Lanjutan VARIABLE (All,r,REG) # Risk free current rate of return. #;
rorcf(r)
VARIABLE rorgf # global risk free rate of return expected on capital. #; VARIABLE rorg # Global net rate of return on capital stock # ; VARIABLE (all, r, REG) cgdslack(r) # slack variable for qcgds(r) # ! this is exogenous, unless the user wishes to specify the level of new capital goods in a region ! ;
!------------------------------------------------------------! ! Additions for the Long Run simulations ! Database ! !------------------------------------------------------------! FILE (TEXT) GTAPRISK # The file containing behavioral parameters. # ; COEFFICIENT RISKADJ; READ RISKADJ FROM FILE GTAPRISK ; COEFFICIENT (all,r,REG) ! Expected Risk free rate of return UPDATE (all,r,REG) ROREFREE(r) = roref(r) ;
ROREFREE(r) ! ;
READ (all,r,REG) FROM FILE GTAPDATA HEADER "RREF" ;
ROREFREE(r)
!----------------------------------------------------------------! ! Additions for the Long Run simulations ! Derivatives of Database !----------------------------------------------------------------! COEFFICIENT (All,r,REG) ! Depreciation rate in region r ! FORMULA (All,r,REG) DEPRATE(r) = VDEP(r)/VKB(r)
DEPRATE(r) ; ;
COEFFICIENT (All,r,REG) ! Growth rate of capital in region r. ! FORMULA (All,r,REG) KBGROWTH(r) = 1 + (NETINV(r)/VKB(r))
KBGROWTH(r) ; ;
COEFFICIENT GLOBKB ! global capital stocks ! ; ! here, GLOBKB is computed as sum of VKB(r) ! FORMULA GLOBKB = sum(r,REG, VKB(r));
230
Lampiran 4. Lanjutan COEFFICIENT (All,r,REG) SHR_VKE(r); ! Share of regional net investment in total real net investment ! FORMULA (All,r,REG) SHR_VKE(r) = (VKB(r)+NETINV(r))/sum(s,REG, VKB(s)+NETINV(s)) ; COEFFICIENT (All,r,REG) FORMULA (All,r,REG) SHR_VKB(r) = VKB(r)/GLOBKB ;
SHR_VKB(r) ;
COEFFICIENT FORMULA AVGROWTH = sum(r,REG,SHR_VKB(r)*KBGROWTH(r)) ;
AVGROWTH ;
COEFFICIENT (all,r,REG) RORCUR(r) ; ! Current rate of return in region r. ! FORMULA (all,r,REG) RORCUR(r) = [(sum(h,ENDWC_COMM, VOA(h,r))/(VKB(r))) (VDEP(r)/VKB(r))] ; COEFFICIENT (all,r,REG) RORCFREE(r) ! Current risk free rate of return ! ; FORMULA (all,r,REG) RORCFREE(r) = [ROREFREE(r) * [(VKB(r)+NETINV(r))/(VKB(r)*(AVGROWTH))]^(RORFLEX(r))] ; COEFFICIENT (all,r,REG) ! Risk premium. ! FORMULA (all,r,REG) RISK(r) = RORCUR(r) - RORCFREE(r) ;
RISK(r) ;
COEFFICIENT (all,r,REG) ROREXP(r) ; ! Expected rate of return in region r. ! FORMULA (all,r,REG) ROREXP(r) = (1-RISKADJ)*[[RORCUR(r) * [(VKB(r)+NETINV(r))/(VKB(r)*(AVGROWTH))]^(-RORFLEX(r))]] +RISKADJ*(ROREFREE(r) + RISK(r)) ; DISPLAY RORCFREE ; RISK ; KBGROWTH ; DEPRATE ; AVGROWTH ; RORCUR ; ROREXP ; GLOBKB ; RISK ;
231
Lampiran 4. Lanjutan !------------------------------------------------------------- ! ! Additions for the Long Run simulations ! Equations !------------------------------------------------------------- ! EQUATION E_KBGROW ! Expected rate of return depends on the current rate of return and growth rates in the non risk adjusted method (RISKADJ=0). In the risk adjusted method the expected risk free rate of return depends on the current risk-free rate of return and the growth rates. This equation replaces an existing equation in the model (HT#58)! (all, r, REG) [1-RISKADJ]*rore(r) + [RISKADJ]*roref(r) = [RISKADJ]*{rorcf(r) - RORFLEX(r) * [ kbgrow(r) - avgrow]} + [1-RISKADJ]*{rorc(r) - RORFLEX(r) * [ kbgrow(r)- avgrow]} ; EQUATION E_KE ! Growth relationship between end-of-period capital and beginning-of-period capital ! (all, r, REG) ke(r) = kb(r) + kbgrow(r) ; EQUATION E_RORE ! This equation computes alternatively the global supply of capital goods or the global rental rate on investment for either the non risk adjusted (RISKADJ = 0) or risk adjusted method (RISKADJ = 1). This equation replaces an existing equation (HT#59) ! (all,r,REG) [1-RISKADJ]*{RORDELTA * [rore(r)] + [1 - RORDELTA] * {[REGINV(r)/NETINV(r)] * qcgds(r) - [VDEP(r)/NETINV(r)] * kb(r)}} + [RISKADJ]*{RORDELTA * [roref(r)] + [1 - RORDELTA] * {[REGINV(r)/NETINV(r)] * qcgds(r) - [VDEP(r)/NETINV(r)] * kb(r)}} = [1-RISKADJ]*{RORDELTA * rorg + [1 - RORDELTA] * globalcgds + cgdslack(r)} + [RISKADJ]*{RORDELTA * rorgf + [1 - RORDELTA] * globalcgds + cgdslack(r)} ; EQUATION E_GLOBALCGS ! This equation computes:either the change in global investment (when RORDELTA=1), or the change in the expected global rate of return on capital (when RORDELTA=0) under the non risk adjusted method (RISKADJ = 0) or risk adjusted method (RISKADJ=1). This equation replaces an existing equation (HT#11') !
232
Lampiran 4. Lanjutan [1-RISKADJ]*{RORDELTA * globalcgds + [1 - RORDELTA] * rorg} + [RISKADJ]*{RORDELTA * globalcgds + [1 - RORDELTA] * rorgf} = [1-RISKADJ]*{RORDELTA * [ sum(r,REG, {REGINV(r)/GLOBINV} * qcgds(r)- {VDEP(r)/GLOBINV} * kb(r)) ] + [1 - RORDELTA] * [ sum(r,REG, {NETINV(r)/GLOBINV} * rore(r)) ]} + [RISKADJ]*{RORDELTA * [ sum(r,REG, {REGINV(r)/GLOBINV} * qcgds(r){VDEP(r)/GLOBINV} * kb(r)) ] +[1 - RORDELTA] * [ sum(r,REG, {NETINV(r)/GLOBINV} * roref(r)) ]}; EQUATION E_KB_TOT !This equation calculates the percentage change in global capital stocks ! Sum(r,REG,VKB(r))*kb_tot = Sum(r,REG,VKB(r)*kb(r)) ; EQUATION E_PKB !This equation calculates the percentage change in global capital stocks ! pkb = Sum(r,REG,SHR_VKB(r)*pcgds(r)) ; EQUATION E_GROWSLACK ! Equates the percentage change in the growth rates of capital to the average growth rate of capital. Used when shocks are applied to equate the expected rates of return across regions ! (all,r,REG) kbgrow(r) = growth + growslack(r) ; EQUATION E_AVGROW ! This equation equates the change in growth rates across regions ! avgrow = sum(r,REG, SHR_VKE(r) * (kb(r)+pcgds(r)+kbgrow(r))) - (kb_tot+pkb) + growavslack ; EQUATION E_ROREF ! Equates Absolute changes in the expected and expected risk free rate of return.! (all, r, REG) (ROREXP(r) * rore(r)) = (ROREFREE(r) * roref(r) + RISK(r) * rsk(r)) ; EQUATION E_RORC (All,r,REG) ! Equates absolute changes in the current and current risk free rate of return ! (RORCUR(r) * rorc(r)) = (RORCFREE(r) * rorcf(r) + RISK(r) * rsk(r)) ; EQUATION E_RORG ! Equates percentage change in global expected rate of return (Risk Adjusted method: RISKADJ=1) or global risk free expected rate of return (non Risk adjusted method: RISKADJ=0). ! RISKADJ * rorg + (1-RISKADJ) * rorgf = (RISKADJ)*(sum(r,REG,(NETINV(r)/GLOBINV) * rore(r))) + (1-RISKADJ)*(sum(r,REG,(NETINV(r)/GLOBINV)* roref(r))) ;
233
Lampiran 4. Lanjutan
VARIABLE (change) (all,r,REG)
flows(r);
EQUATION GDP_TO_GNP (all,r,REG) ! Computes FDI income by region, assuming that initial holdings of global capital indexed by returns equal the domestic capital stock. This can be changed with more data. Marginal changes in the income flow from increased savings will be equal to qsave, while changes related to the rate of return will be rorg. The difference between this and the closed economy analogue is then calculated as a net inflow or outflow affecting thecurrent account and showing up in income.! flows(r) = sum(h,ENDWC_COMM,VOA(h,r)* [qsave(r)-qo(h,r) + RISKADJ*rorg + (1-RISKADJ)*rorgf]) - RISKADJ * sum(h,ENDWC_COMM,[VOA(h,r)*rorc(r)]) - (1-RISKADJ)* sum(h,ENDW_COMM, [VOA(h,r)*rorcf(r)]) - [INCOME(r) * incomeslack(r)]; ! -------------------------------------------------------------- ! ! END OF FILE ! -------------------------------------------------------------- !
Lampiran 5. Tambahan Persamaan Pada File Shock Tab Untuk Database Steady State !_______________________________SHOCKS.TAB FILE ______________________________! ! ! ! Global Trade Analysis Project ! ! The GTAP Modeling Framework ! ! version 1997 ! !_____________________________________________________________________________! !-----------------------------------------------------------------------------! ! HISTORY of SHOCKS.TAB ! !-----------------------------------------------------------------------------! ! Version 1 July 1994 (Used in GTAP Short Course, July-August 1994) Version 2 Nov. 1995 (Augments endowments to accommodate v.4 data. Display file is also eliminated, since this information can be accessed via GTAPVIEW) ! !-----------------------------------------------------------------------------! ! This file reads in any of the GTAP data sets and associated set specifications and computes the shocks needed to remove existing policies. These Shocks are written to text files which may then be edited in order to achieve partial liberalization. ! !-----------------------------------------------------------------------------! !----------------------------------------------------------------------------! ! Additions to determine steady state Data base ! !----------------------------------------------------------------------------! COEFFICIENT (all,r,REG) ! Current rate of return in region r. !
RORCUR(r) ;
FORMULA (all,r,REG) RORCUR(r) = [(sum(h,ENDWC_COMM, VOA(h,r))/(VKB(r))) - (VDEP(r)/VKB(r))] ; COEFFICIENT (all, r, REG) ! regional NET investment in region r ! ; FORMULA (all, r, REG) NETINV(r) = sum(k,CGDS_COMM, VOA(k,r)) - VDEP(r) ;
NETINV(r)
COEFFICIENT (all, r, REG) ! regional NET investment in region r ! ; FORMULA (all, r, REG) SHR_VKB(r) = VKB(r)/sum(k,REG,VKB(k)) ;
SHR_VKB(r)
COEFFICIENT (All,r,REG) FORMULA (All,r,REG) KBGROWTH(r) = 1 + {NETINV(r)}/{VKB(r)} ;
KBGROWTH(r) ;
COEFFICIENT FORMULA AVGROWTH = sum(r,REG,SHR_VKB(r)*KBGROWTH(r)) ;
AVGROWTH ;
COEFFICIENT SSGROWTH ; FORMULA SSGROWTH = AVGROWTH ; ! turn this equation on if you wish steady state growth rate to equal average growth rate in the std database. !
235 Lampiran 5. Lanjutan COEFFICIENT (All,r,REG) CHGKBGROW(r) ; FORMULA (All,r,REG) CHGKBGROW(r)= [(SSGROWTH - KBGROWTH(r))/KBGROWTH(r)]*100 ; COEFFICIENT (all,r,REG) ! Expected rate of return in region r. ! FORMULA (all,r,REG) ROREXP(r) = [RORCUR(r) * ((VKB(r)+(sum(k,CGDS_COMM,VOA(k,r))-VDEP(r))) /(VKB(r)*(1+AVGROWTH)))^(-RORFLEX(r))] ;
ROREXP(r) ;
COEFFICIENT ! Expected rate of return in region r. ! FORMULA AVROREXP = sum(r,REG,(SHR_VKB(r)*ROREXP(r)))
AVROREXP ; ;
COEFFICIENT (All,r,REG) CHGRORE(r) ; FORMULA (All,r,REG) CHGRORE(r)= ((AVROREXP - ROREXP(r))/ROREXP(r))*100 ; WRITE WRITE WRITE WRITE WRITE WRITE WRITE WRITE WRITE WRITE WRITE WRITE
TO_HAT TO FILE TOHAT ; TF_HAT TO FILE TFHAT ; TPD_HAT TO FILE TPDHAT ; TPI_HAT TO FILE TPIHAT ; TGD_HAT TO FILE TGDHAT ; TGI_HAT TO FILE TGIHAT ; TFD_HAT TO FILE TFDHAT ; TFI_HAT TO FILE TFIHAT ; TXS_HAT TO FILE TXSHAT ; TMS_HAT TO FILE TMSHAT ; CHGKBGROW to FILE KBGROW ; CHGRORE to FILE ROREEQ ;
DISPLAY TO_L ; DISPLAY TF_L ; DISPLAY TPD_L ; DISPLAY TPI_L ; DISPLAY TGD_L ; DISPLAY TGI_L ; DISPLAY TFD_L ; !DISPLAY TFI_L ;! DISPLAY TXS_L ; DISPLAY TMS_L ; DISPLAY KBGROWTH ; DISPLAY AVGROWTH ; DISPLAY CHGKBGROW; DISPLAY AVROREXP ; DISPLAY CHGRORE ; DISPLAY ROREXP ; DISPLAY RORCUR ; !_____________________________________________________________________________! ! ! !_______________________End of TABLO File SHOCKS.TAB__________________________!
Lampiran 6. Tarif Impor Indonesia Untuk Semua Negara Asal, Tahun 2001 (%) Sektor Paddy ProcRice Wheat Cereal VegetFruit VegetOil Sugar OtherSugar MeatProd DairyProd FoodProd Livestock Fishery Forest WoodProd OtherAgric Textiles Electronic Machinery MiningMnrl OtherMnfcs
MYS 28.50 24.28 0.00 0.04 4.24 0.56 21.09 0.00 4.17 4.53 6.90 2.77 4.93 0.02 4.79 3.49 4.80 0.87 2.14 2.85 5.91
PHL 11.60 0.00 0.00 0.00 3.82 0.00 0.75 0.00 4.51 4.84 7.58 2.33 0.00 0.00 4.98 3.23 4.97 0.37 3.16 4.10 7.42
SGP 23.35 15.98 0.00 0.00 4.83 0.74 20.95 0.00 4.41 4.53 3.01 2.06 4.90 0.74 2.60 3.96 4.73 1.12 2.28 3.68 2.26
THA 19.62 28.42 0.00 0.02 4.84 1.11 20.45 0.00 4.59 1.33 5.34 2.62 4.74 0.00 5.34 1.15 4.38 2.06 3.54 3.21 5.54
VNM 11.32 17.47 0.00 0.00 4.12 4.87 20.31 0.00 4.92 0.00 2.81 2.73 0.00 0.00 3.06 4.14 5.00 0.69 3.18 0.37 6.19
XSE 18.76 29.74 1.65 0.04 4.57 0.02 19.04 0.00 2.06 5.00 4.88 2.92 0.00 0.38 0.27 1.34 5.49 3.74 1.59 0.07 1.12
CHN 12.91 25.84 0.00 0.04 5.00 4.45 21.11 0.00 4.94 4.85 4.74 4.84 5.47 6.82 5.52 4.52 10.06 5.90 5.03 4.71 12.48
JPN 14.17 13.14 1.67 0.92 5.00 5.10 16.90 0.00 3.93 5.00 7.24 2.24 4.96 4.06 9.53 1.10 5.61 0.65 3.17 4.92 10.41
KOR 25.52 15.72 0.00 0.27 5.00 1.29 21.16 0.00 5.17 3.35 12.99 4.67 4.22 4.83 7.46 1.74 9.70 1.40 3.88 4.30 9.90
USA 14.17 13.22 1.67 0.17 5.00 0.00 6.37 0.00 4.18 5.00 4.87 3.39 7.18 0.05 2.17 0.39 6.07 1.93 3.54 5.42 4.98
EU-15 0.00 9.33 1.67 0.00 4.31 4.89 20.89 0.00 3.99 4.82 16.23 2.53 0.16 1.17 7.87 4.11 6.37 3.29 2.36 5.85 7.51
ROW 13.54 16.31 1.65 0.42 4.91 3.64 17.24 0.00 4.46 4.94 2.92 1.88 3.72 0.41 3.04 0.99 8.83 2.51 2.34 2.54 4.35
Sumber: GTAP versi 6 23 6
Lampiran 7. Tarif Impor Malaysia Untuk Semua Negara Asal, Tahun 2001 (%) Sektor Paddy ProcRice Wheat Cereal VegetFruit VegetOil Sugar OtherSugar MeatProd DairyProd FoodProd Livestock Fishery Forest WoodProd OtherAgric Textiles Electronic Machinery MiningMnrl OtherMnfcs
IDN
PHL
0.00 0.00 0.00 0.00 2.39 0.63 0.00 5.00 0.41 10.33 4.75 0.24 0.73 0.02 8.09 27.39 10.82 0.84 3.51 5.47 10.29
0.00 0.00 0.00 0.00 13.90 0.00 0.00 0.00 3.97 0.11 4.24 2.28 0.00 0.00 8.84 195.74 13.42 0.02 4.23 8.27 12.52
SGP 0.00 0.00 0.00 0.00 1.81 1.94 0.00 0.00 2.63 1.92 4.34 0.32 0.34 0.05 6.25 0.94 9.71 0.21 3.53 3.49 9.01
THA 0.00 0.00 0.00 0.00 6.80 0.17 0.00 0.00 0.01 1.76 3.47 0.05 0.23 0.32 10.48 210.51 7.52 0.47 4.89 4.95 14.99
VNM 0.00 0.00 0.00 0.00 6.24 4.22 0.00 0.00 0.00 0.00 1.98 2.05 1.15 0.00 5.43 29.33 9.34 0.11 7.29 2.97 9.16
XSE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06 0.03 0.00 0.00 0.06 0.15 0.49 0.01 1.19 0.00 5.87 0.00 14.66 1.46 1.45 0.47 7.99
CHN 0.00 0.00 0.00 0.00 1.75 1.58 0.00 5.00 2.03 0.46 3.89 1.35 0.25 0.71 8.82 42.96 14.53 1.34 6.54 7.43 25.46
JPN 0.00 0.00 0.00 0.00 2.53 1.20 0.00 0.00 11.16 1.02 3.74 0.78 0.06 0.00 17.71 0.98 10.51 0.13 3.75 7.77 23.34
KOR 0.00 0.00 0.00 0.00 16.16 0.63 0.00 0.00 8.39 3.94 3.79 0.00 0.11 2.60 13.48 0.36 11.88 0.61 5.82 6.52 18.35
USA 0.00 0.00 0.00 0.00 3.75 0.20 0.00 0.00 1.16 0.61 5.04 0.16 0.30 0.47 6.40 139.57 10.92 0.12 3.15 7.41 11.22
EU-15 0.00 0.00 0.00 0.00 3.12 1.34 0.00 0.00 3.36 0.73 4.69 0.09 0.17 0.39 8.39 58.04 11.58 1.18 4.31 5.84 20.34
ROW 0.00 0.00 0.00 0.00 1.89 1.44 0.00 0.00 0.08 0.77 1.91 0.04 0.31 0.09 8.54 61.67 12.72 0.17 3.37 4.15 6.83
Sumber: GTAP versi 6 23 7
Lampiran 8. Tarif Impor Philippines Untuk Semua Negara, Tahun 2001 (%) Sektor Paddy ProcRice Wheat Cereal VegetFruit VegetOil Sugar OtherSugar MeatProd DairyProd FoodProd Livestock Fishery Forest WoodProd OtherAgric Textiles Electronic Machinery MiningMnrl OtherMnfcs
IDN 0.00 50.00 5.00 5.64 5.29 4.20 5.15 0.00 38.38 4.45 6.03 15.00 3.14 0.20 5.18 4.99 3.81 1.02 3.30 3.72 4.69
MYS 0.00 0.00 5.00 7.00 22.03 6.69 57.50 0.00 26.74 3.26 6.24 15.00 3.00 0.13 3.72 3.95 4.00 0.29 1.76 3.39 4.55
SGP 0.00 50.00 5.00 12.03 7.91 3.60 31.90 0.00 18.10 3.36 4.06 3.53 3.09 2.36 4.31 5.20 4.60 0.20 1.63 2.82 4.50
THA 0.00 50.00 5.00 3.22 11.24 3.12 50.27 0.00 34.48 4.32 3.74 13.64 3.00 1.01 5.14 4.50 3.12 0.03 2.20 4.19 6.62
VNM 0.00 50.00 0.00 0.00 4.41 4.84 0.00 0.00 0.00 0.00 3.65 3.31 0.00 0.00 3.69 9.52 4.01 0.00 3.62 3.54 3.91
XSE 0.00 0.00 4.98 0.00 4.51 1.11 0.00 0.00 33.11 4.78 3.13 0.00 0.00 0.00 6.31 3.89 3.30 0.92 1.68 3.28 6.79
CHN 0.00 50.00 5.00 31.60 13.58 9.53 57.50 0.00 47.95 2.88 7.48 4.92 7.89 2.49 12.18 4.99 7.44 1.73 4.39 5.07 8.14
JPN
KOR
USA
0.00 50.00 0.00 6.00 10.40 4.31 7.00 0.00 28.52 3.65 7.16 3.00 4.47 1.65 12.17 3.48 5.53 0.12 1.99 4.77 8.22
0.00 0.00 5.00 0.00 7.31 6.58 57.41 0.00 27.72 3.61 7.07 3.97 5.31 0.00 10.39 2.85 6.43 0.23 2.49 5.41 6.64
50.00 50.00 5.00 32.87 6.20 1.05 35.17 0.00 31.17 3.31 7.26 12.48 4.35 0.90 7.46 4.64 6.49 0.03 2.28 4.77 7.76
EU-15 37.25 14.18 0.00 6.81 26.99 3.14 53.52 0.00 21.00 3.50 6.14 14.68 0.39 0.19 11.06 4.61 6.21 0.06 2.37 4.02 6.42
ROW 11.62 20.97 4.89 21.54 6.60 3.64 51.53 0.00 11.57 3.21 6.09 3.16 4.18 0.05 7.63 4.43 6.11 0.08 3.05 3.54 4.89
Sumber: GTAP versi 6 23 8
Lampiran 9. Tarif Impor Singapore Untuk Semua Negara, Tahun 2001 (%) Sektor
IDN
Paddy ProcRice Wheat Cereal VegetFruit VegetOil Sugar OtherSugar MeatProd DairyProd FoodProd Livestock Fishery Forest WoodProd OtherAgric Textiles Electronic Machinery MiningMnrl OtherMnfcs
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
MYS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
PHL 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
THA 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
VNM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
XSE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
CHN 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.08
JPN 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.10
KOR 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.05
USA 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01
EU-15 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.32
ROW 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.08
Sumber: GTAP versi 6 23 9
Lampiran 10. Tarif Impor Thailand Untuk Semua Negara, Tahun 2001 (%) Sektor Paddy ProcRice Wheat Cereal VegetFruit VegetOil Sugar OtherSugar MeatProd DairyProd FoodProd Livestock Fishery Forest WoodProd OtherAgric Textiles Electronic Machinery MiningMnrl OtherMnfcs
IDN 0.00 0.00 0.00 28.26 58.75 22.52 45.47 0.00 28.21 26.03 54.13 26.27 59.70 1.30 24.31 29.65 14.38 11.52 11.42 6.69 15.92
MYS 0.00 0.00 0.00 49.89 45.75 20.04 32.98 0.00 48.80 13.74 33.50 3.98 60.00 1.17 5.02 32.14 15.95 6.87 10.51 8.55 17.30
PHL 0.00 0.00 23.61 18.15 20.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5.00 33.60 0.00 18.18 35.00 15.95 38.49 19.87 3.58 13.28 13.74 25.18
SGP 0.00 18.03 0.00 0.00 47.03 27.17 38.18 0.00 25.96 12.85 31.87 42.20 29.06 0.00 20.54 28.93 16.78 4.18 8.85 10.58 14.19
VNM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 47.48 0.00 0.00 43.57 17.50 48.13 0.00 36.13 0.00 28.29 31.98 11.28 8.27 19.31 2.53 26.84
XSE 0.00 0.00 0.00 45.15 37.22 31.92 0.00 0.00 49.71 30.04 56.85 8.05 59.99 1.11 5.42 19.26 16.83 4.99 10.40 0.06 6.45
CHN 0.00 0.00 0.00 68.76 19.07 25.15 41.30 0.00 34.41 15.09 32.64 14.05 19.76 6.11 22.32 21.80 18.60 7.13 10.88 10.62 14.94
JPN 0.00 18.03 0.00 32.52 35.21 26.37 20.00 0.00 26.10 32.33 45.16 0.65 22.36 8.85 20.29 33.77 15.32 2.87 7.32 13.32 20.79
KOR 0.00 0.00 0.00 0.00 54.86 0.00 30.87 0.00 26.20 0.00 39.76 17.63 0.00 0.00 24.22 38.22 17.15 5.96 10.08 12.46 15.05
USA 0.00 18.40 19.40 47.11 25.69 20.50 24.92 0.00 25.56 13.43 24.63 1.87 52.87 1.91 7.67 11.62 16.14 1.67 7.62 11.78 8.18
EU-15 0.00 5.16 0.00 51.81 34.07 12.80 39.50 0.00 36.66 11.01 25.31 9.32 7.36 4.91 18.80 30.32 19.96 5.78 7.28 11.46 19.41
ROW 3.45 12.47 19.26 21.82 42.38 19.90 27.44 0.00 37.45 9.71 49.59 2.10 54.34 1.81 10.57 6.40 16.54 4.36 7.85 2.78 7.01
Sumber: GTAP versi 6 24 0
Lampiran 11. Tarif Impor Viet Nam Untuk Semua Negara Asal, Tahun 2001 (%) Sektor Paddy ProcRice Wheat Cereal VegetFruit VegetOil Sugar OtherSugar MeatProd DairyProd FoodProd Livestock Fishery Forest WoodProd OtherAgric Textiles Electronic Machinery MiningMnrl OtherMnfcs
IDN 0.00 0.00 0.00 0.00 30.04 20.51 10.00 0.00 12.04 20.00 24.75 7.86 16.18 4.75 9.90 19.66 21.00 13.35 12.29 7.26 26.65
MYS 0.00 0.00 0.00 0.00 40.00 27.08 40.00 0.00 10.00 22.84 26.45 4.49 16.83 0.02 10.30 15.84 8.06 13.52 21.36 8.01 28.78
PHL 0.00 0.00 0.00 0.00 30.00 0.00 30.00 0.00 44.77 30.00 48.38 0.00 15.00 0.00 30.95 27.27 33.15 7.34 13.23 5.98 19.60
SGP 0.00 0.00 0.00 0.00 37.42 33.61 40.00 0.00 34.99 23.43 31.09 5.09 6.54 4.60 19.16 30.20 26.42 10.77 9.07 10.89 52.07
THA 0.00 30.00 0.00 2.58 39.99 5.43 22.86 0.00 16.73 27.55 13.27 3.48 20.29 0.00 8.44 5.51 27.33 17.55 11.45 5.80 27.48
XSE 0.00 0.00 0.00 0.00 40.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 31.67 0.00 0.00 0.00 26.67 19.86 30.25 45.00 11.74 19.09 36.95
CHN 15.00 0.00 0.00 4.99 28.95 6.62 40.00 10.00 2.58 0.00 29.82 5.69 13.07 9.28 24.02 12.66 34.77 19.11 8.72 10.55 38.99
JPN 0.00 0.00 0.00 0.00 37.09 19.48 13.60 0.00 34.52 0.00 19.45 4.37 0.00 0.27 15.18 1.05 36.27 2.58 6.96 6.45 20.56
KOR 0.00 0.00 0.00 0.00 30.85 30.02 34.44 0.00 11.16 22.50 24.21 4.91 0.00 1.60 25.43 1.23 31.74 13.20 11.95 6.40 30.84
USA 0.00 30.00 0.00 5.27 39.88 5.03 37.58 0.00 18.74 15.13 23.53 1.36 28.95 0.00 2.81 0.71 24.71 10.17 4.30 6.47 20.23
EU-15 0.00 14.92 0.00 0.00 15.74 5.35 36.91 0.00 14.00 19.04 24.08 1.73 0.00 0.29 10.52 11.33 32.04 7.62 4.59 5.78 13.47
ROW 0.00 18.57 0.00 0.04 31.45 7.97 19.14 0.00 11.35 17.88 29.59 1.99 16.57 0.22 11.07 9.06 30.59 11.58 8.07 5.88 20.57
Sumber: GTAP versi 6 24 1
Lampiran 12. Tarif Impor China Untuk Semua Negara, Tahun 2001 (%) Sektor Paddy ProcRice Wheat Cereal VegetFruit VegetOil Sugar OtherSugar MeatProd DairyProd FoodProd Livestock Fishery Forest WoodProd OtherAgric Textiles Electronic Machinery MiningMnrl OtherMnfcs
IDN 0.00 1.00 0.00 0.00 11.30 11.93 8.00 10.00 21.89 25.97 19.81 11.46 19.54 1.78 10.38 9.46 18.17 11.99 14.08 13.95 7.33
MYS 0.00 0.00 0.00 1.50 28.92 11.91 18.24 0.00 15.15 27.38 22.70 7.29 21.27 0.10 8.69 12.79 19.21 8.89 14.21 19.16 14.35
PHL 0.00 0.00 0.00 1.00 24.90 20.00 0.00 0.00 8.48 0.00 22.25 4.40 22.13 12.02 12.65 13.91 21.77 7.66 14.74 15.90 6.02
SGP 0.00 0.00 0.00 16.27 24.26 29.13 16.00 0.00 14.57 25.72 18.52 8.06 16.77 9.04 10.18 11.60 18.90 8.93 14.83 12.83 16.02
THA 1.00 1.00 1.00 1.02 18.87 16.07 18.87 0.00 11.70 40.39 21.78 11.13 17.29 4.92 7.36 13.83 17.58 9.53 14.40 33.75 14.27
VNM 0.00 0.00 0.00 1.00 24.13 25.49 9.00 10.00 24.49 44.00 21.04 17.97 13.05 7.71 13.36 14.93 19.25 11.27 15.33 10.13 19.70
XSE
JPN
114.00 3.50 114.00 3.83 26.02 9.51 20.95 10.00 10.12 42.49 21.85 7.01 6.98 0.39 4.34 19.60 12.97 30.41 8.97 8.01 13.22
0.00 0.00 1.00 1.81 22.50 24.98 19.46 0.00 17.97 19.52 24.14 9.74 13.60 9.97 19.65 3.31 21.81 10.53 12.99 12.47 16.65
KOR 0.00 1.00 0.00 0.00 28.41 28.10 19.97 0.00 13.47 30.74 19.86 12.92 15.04 10.04 15.05 9.07 20.38 11.27 12.96 11.67 14.38
USA 1.00 1.00 1.00 50.26 32.32 112.64 19.84 10.00 12.69 16.56 20.64 6.87 13.79 2.16 7.11 3.65 16.03 10.17 13.17 11.22 7.31
EU-15 0.00 0.20 0.99 90.75 17.63 13.27 18.51 0.00 16.99 12.16 20.53 13.06 6.94 0.30 13.77 5.68 17.07 10.81 12.78 11.49 19.00
ROW 0.00 0.61 0.98 88.72 23.76 92.90 18.97 0.00 13.84 23.92 14.98 8.80 14.31 0.05 5.86 8.45 19.79 9.08 13.30 6.57 9.57
Sumber: GTAP versi 6 24 2
Lampiran 13. Nilai Ekspor Bilateral Pada Harga Dunia (US$ Milyar) FROM
TO IDN
MYS
PHL
SGP
THA
VNM
XSE
CHN
JPN
KOR
USA
EU-15
ROW
TOTAL
IDN
0.00
3.02
1.70
5.97
3.55
0.83
0.16
4.94
11.91
3.22
11.14
12.36
14.55
73.33
MYS
1.86
0.00
2.57
18.46
5.61
1.34
0.40
9.95
12.44
3.63
20.34
22.28
23.23
122.10
PHL
0.32
2.57
0.00
6.42
4.84
0.25
0.02
3.40
11.36
2.35
19.95
10.65
10.80
72.91
SGP
4.04
14.73
6.23
0.00
7.37
6.27
0.94
10.46
7.82
4.20
18.70
26.38
27.99
135.11
THA
1.97
4.70
3.13
5.77
0.00
2.43
1.20
6.22
11.73
1.77
17.13
15.96
17.16
89.18
VNM
0.23
0.55
1.77
1.35
1.98
0.00
0.00
1.62
3.96
0.60
1.75
8.45
4.39
26.66
XSE
0.06
0.12
0.02
0.50
1.28
0.01
0.00
0.49
1.44
0.44
2.61
1.84
1.27
10.06
CHN
4.51
5.33
4.25
12.93
5.15
3.29
1.11
0.00
82.37
20.53
95.08
70.84
91.16
375.55
JPN
5.76
8.85
14.03
13.12
10.05
1.59
0.27
42.95
0.00
21.84
36.57
29.89
51.46
186.97
KOR
3.59
2.89
5.02
4.61
2.45
1.60
0.29
31.88
16.72
0.00
159.67
116.58
161.50
577.22
USA
5.29
9.91
18.50
24.47
7.54
2.96
0.35
35.53
78.90
32.20
0.00
298.54
487.14
1,001.33
EU-15
9.06
11.25
9.73
18.89
10.40
6.00
0.52
45.84
73.49
24.11
255.98
1,314.28
576.10
2,355.64
ROW
11.62
13.20
15.46
23.61
16.49
5.31
0.92
96.54
114.66
43.23
570.71
605.06
495.15
2,011.95 7,038.01
Sumber: Hasil Simulasi Skenario Dasar
24 3
Lampiran 14. Pangsa Ekspor Bilateral (%) FROM
TO IDN
MYS
PHL
SGP
THA
VNM
XSE
CHN
JPN
KOR
USA
EU-15
ROW
IDN
0.00
4.11
2.31
8.14
4.84
1.13
0.22
6.74
16.24
4.39
15.19
16.85
19.84
MYS
8.02
0.00
2.11
15.12
4.59
1.10
0.33
8.15
10.18
2.97
16.66
18.25
19.02
PHL
2.95
3.52
0.00
8.81
6.64
0.35
0.03
4.66
15.58
3.22
27.35
14.61
14.81
SGP
14.43
10.90
4.61
0.00
5.45
4.64
0.70
7.74
5.79
3.11
13.84
19.52
20.71
THA
11.50
5.28
3.51
6.47
0.00
2.72
1.35
6.98
13.16
1.98
19.21
17.90
19.25
VNM
5.17
2.07
6.66
5.06
7.42
0.00
0.01
6.07
14.88
2.25
6.58
31.69
16.47
XSE
4.46
1.18
0.21
4.94
12.68
0.07
0.02
4.88
14.34
4.38
25.91
18.25
12.58
CHN
4.94
1.42
1.13
3.44
1.37
0.88
0.30
0.00
21.93
5.47
25.32
18.86
24.27
JPN
11.20
4.74
7.51
7.02
5.37
0.85
0.14
22.97
0.00
11.68
19.56
15.98
27.52
KOR
2.22
0.50
0.87
0.80
0.43
0.28
0.05
5.52
2.90
0.00
27.66
20.20
27.98
USA
1.09
0.99
1.85
2.44
0.75
0.30
0.03
3.55
7.88
3.22
0.00
29.81
48.65
EU-15
1.57
0.48
0.41
0.80
0.44
0.25
0.02
1.95
3.12
1.02
10.87
55.79
24.46
ROW
2.35
0.66
0.77
1.17
0.82
0.26
0.05
4.80
5.70
2.15
28.37
30.07
24.61
Sumber: Hasil Simulasi Skenario Dasar
24 4
Lampiran 15. Nilai Ekspor Bilateral Pada Harga Dunia Pada Tahap Pelaksanaan FTA ASEAN – China Secara Penuh (US$ Millar) FROM
TO IDN
MYS
PHL
SGP
THA
VNM
XSE
CHN
JPN
KOR
USA
EU-15
ROW
TOTAL
IDN
0.00
2.81
1.58
5.97
3.41
0.61
0.16
10.81
11.22
3.00
10.50
11.70
13.74
75.52
MYS
1.72
0.00
2.40
18.22
5.34
1.11
0.39
20.61
11.50
3.33
18.79
21.05
21.67
126.14
PHL
0.30
2.51
0.00
6.61
4.62
0.21
0.02
7.02
10.84
2.22
19.11
10.34
10.35
74.16
SGP
3.79
14.14
6.02
0.00
7.21
4.43
0.92
22.26
7.46
3.98
17.85
25.49
26.78
140.31
THA
1.74
4.32
2.88
5.71
0.00
1.69
1.11
22.28
10.65
1.57
15.72
14.71
15.61
97.99
VNM
0.22
0.55
1.86
1.38
1.93
0.00
0.00
3.44
3.95
0.60
1.68
8.73
4.31
28.66
XSE
0.06
0.12
0.02
0.50
1.39
0.01
0.00
0.54
1.39
0.42
2.53
1.79
1.23
10.01
CHN
7.41
9.78
6.60
15.21
12.24
9.32
1.19
0.00
86.13
21.65
171.31
123.37
171.66
635.85
JPN
5.44
8.58
13.95
13.63
9.95
1.40
0.27
42.12
0.00
21.31
93.60
70.33
90.19
370.78
KOR
3.42
2.85
4.99
4.81
2.43
1.29
0.29
30.62
16.43
0.00
36.05
29.76
50.96
183.91
USA
5.33
9.89
18.43
25.24
7.79
3.04
0.35
36.76
77.74
31.56
0.00
295.79
480.70
992.63
EU-15
8.98
11.25
9.71
19.49
10.77
6.06
0.52
47.73
72.51
23.65
252.45
1,299.13
568.38
2,330.64
ROW
11.55
13.18
15.29
24.53
17.41
4.99
0.93
101.68
113.43
42.41
560.62
597.72
488.97
1,992.70
TOTAL
7,059.29
Sumber: Hasil Simulasi-2
24 5
Lampiran 16. Persentase Perubahan Output Sektoral (qo) Untuk Semua Negara Pada Tahap Pelaksanaan FTA ASEAN – China Secara Penuh (%) Sektor
IDN
MYS
0.53 0.50 -7.13 0.42 0.30 3.31 1.06 1.12 11.21 -1.78 0.48 4.96 0.83 5.12 3.66 -1.44 3.47 6.49 1.57 0.85 -1.88
-0.45 1.19 -17.57 -0.73 -0.34 13.03 1.53 -0.46 23.90 3.30 -1.08 9.34 1.07 2.11 -3.28 -3.83 11.54 3.54 3.50 3.79 0.01
Paddy ProcRice Wheat Cereal VegetFruit VegetOil Sugar OtherSugar MeatProd DairyProd FoodProd Livestock Fishery Forest WoodProd OtherAgric Textiles Electronic Machinery MiningMnrl OtherMnfcs
PHL 0.96 1.20 -5.85 0.05 1.00 3.56 -0.63 -0.61 -0.02 -1.66 0.04 0.34 0.44 0.88 0.09 -1.30 -1.59 1.10 9.07 1.77 -0.67
SGP -1.74 4.94 -8.84 1.17 1.87 2.74 -0.60 3.49 9.98 2.31 1.91 3.91 0.38 0.95 3.54 -0.42 4.97 7.05 10.87 8.46 -6.42
THA -4.49 -4.32 -9.27 -3.74 7.83 4.79 1.48 1.48 -1.33 -0.43 -5.11 -0.73 0.37 3.83 -5.14 1.26 -3.02 7.85 2.12 26.75 -0.06
VNM -1.58 -1.46 2.22 2.41 7.18 5.57 -1.62 -0.63 -6.06 -0.42 -4.22 2.38 0.79 1.98 0.01 -1.76 13.57 13.69 1.66 4.61 4.63
XSE 0.18 0.19 -1.47 0.34 0.40 0.62 -0.14 1.60 0.03 0.68 0.49 0.23 0.23 4.21 -0.90 0.89 -0.72 -0.67 -0.65 0.33 -0.32
JPN 2.20 1.10 0.85 1.93 1.92 -9.40 -5.02 3.08 -2.86 -1.48 0.36 2.92 1.61 3.91 2.54 -2.87 10.18 23.21 14.72 10.47 11.67
KOR 0.71 0.49 1.12 1.13 0.74 0.30 0.42 0.44 0.94 0.10 0.43 1.03 0.45 0.94 0.94 1.24 0.07 -0.91 0.06 -0.03 -0.02
USA 0.63 -0.11 -0.20 3.08 0.33 -1.00 -0.10 0.59 -0.54 -0.35 -0.47 -0.31 0.76 0.65 0.71 0.91 -0.03 -1.39 0.02 -1.39 0.25
EU-15 0.95 4.20 0.38 0.91 0.85 1.34 0.20 0.21 0.40 0.09 0.43 1.03 0.32 0.78 0.49 0.73 0.08 -1.69 -0.21 -0.02 -0.07
ROW 4.51 4.72 1.16 0.67 0.79 0.67 0.33 0.33 0.46 0.24 0.44 0.62 0.23 1.22 0.59 1.66 -0.08 -1.95 -0.52 -0.17 -0.24
Sumber: Hasil Simulasi-2
24 6
Lampiran 17. Persentase Perubahan Volume Ekspor Sektoral (qxw) Untuk Semua Negara Pada Tahap FTA ASEAN – China Secara Penuh (%) Sektor Paddy ProcRice Wheat Cereal VegetFruit VegetOil Sugar OtherSugar MeatProd DairyProd FoodProd Livestock Fishery Forest WoodProd OtherAgric Textiles Electronic Machinery MiningMnrl OtherMnfcs
IDN
MYS
PHL
-6.94 -6.07 -8.12 -5.51 -3.06 8.47 -5.74 62.03 143.31 -5.69 -0.95 -1.23 0.27 24.20 4.91 -1.86 11.44 9.30 2.18 2.35 -2.71
-39.24 0.66 -19.31 -6.25 -1.59 14.28 -5.14 -20.78 27.84 3.32 -1.85 -4.99 -0.80 13.45 -3.43 -4.37 15.91 3.70 5.34 7.67 3.16
-19.30 -3.43 -16.63 -5.72 30.15 12.83 -6.27 -5.91 -9.61 -2.79 -3.53 3.73 -3.84 5.90 -0.67 23.09 0.73 1.09 10.24 10.33 -2.48
SGP 0.65 4.56 -9.16 1.16 2.24 3.16 -2.42 -8.58 17.14 4.85 2.47 3.42 0.52 0.94 4.31 -0.55 5.34 7.19 11.98 10.67 -9.81
THA
VNM
-42.37 -13.56 -33.01 -2.35 -9.44 -0.74 1.46 -33.16 -23.60 -4.71 -7.35 -6.85 1.51 20.33 -8.06 -6.32 5.39 9.17 2.97 55.61 -6.36
-17.90 -7.95 -2.84 -12.37 44.06 9.85 -12.01 36.12 -35.27 27.00 -8.27 -4.36 -10.11 26.33 -3.49 -2.15 38.74 17.93 1.67 14.61 10.50
XSE 16.46 6.58 -1.53 0.11 1.79 3.89 -4.03 54.77 12.43 -0.94 1.92 11.07 12.96 8.03 -2.58 9.12 -1.43 -6.08 -3.06 0.49 -2.48
JPN -31.59 -29.08 -63.92 -21.07 -37.64 -37.77 58.72 -53.83 -51.90 -45.17 -28.15 -39.36 -34.52 -50.37 -5.24 -52.30 10.96 26.62 14.54 18.45 11.64
KOR 3.76 10.01 4.71 7.19 7.58 3.67 2.77 9.80 15.09 4.06 6.17 29.85 9.78 6.46 1.41 11.55 0.63 -2.14 0.24 -1.25 0.06
USA -3.16 5.43 -0.72 -0.51 5.18 -3.97 2.44 11.28 8.82 -1.40 -2.27 25.25 3.13 9.04 0.27 3.96 -0.04 -1.56 0.97 -4.37 0.74
EU-15 0.84 11.42 0.27 1.23 3.61 3.51 2.89 3.67 4.75 2.74 3.40 14.57 3.14 6.41 1.76 3.54 -0.15 -2.52 -0.53 -0.40 -0.35
ROW 6.40 10.45 1.96 1.05 1.57 2.41 1.23 5.82 1.90 0.69 1.22 2.90 1.73 10.71 1.19 4.72 -0.19 -3.03 -0.78 -0.43 -0.53
Sumber: Hasil Simulasi-2
24 7
Lampiran 18. Persentase Perubahan Volume Impor Sektoral (qiw) Untuk Semua Negara Pada Tahap FTA ASEAN – China Secara Penuh (%) Sektor Paddy ProcRice Wheat Cereal VegetFruit VegetOil Sugar OtherSugar MeatProd DairyProd FoodProd Livestock Fishery Forest WoodProd OtherAgric Textiles Electronic Machinery MiningMnrl OtherMnfcs
IDN -6.20 -0.28 0.47 -0.22 -0.32 3.93 0.62 6.79 9.77 2.61 4.15 18.29 1.43 8.71 6.34 5.63 10.02 9.44 2.75 4.50 5.12
MYS 32.18 1.46 3.97 4.03 4.09 8.30 3.65 15.63 9.70 3.26 3.54 22.59 5.80 1.76 -0.04 -0.24 9.68 4.11 4.04 5.88 6.18
PHL 14.74 -4.29 0.05 5.39 2.17 1.07 6.18 0.39 8.45 1.09 2.65 4.87 2.13 0.17 1.20 1.78 3.79 1.80 4.36 2.32 3.79
SGP 0.03 -1.92 -0.20 -0.34 -0.37 2.65 -0.17 -0.79 1.71 2.15 0.59 0.74 0.78 2.96 -0.75 0.06 3.68 6.31 5.57 5.34 1.96
THA 32.87 8.15 -4.89 13.35 26.45 8.59 24.24 22.53 4.28 5.16 2.45 9.59 2.93 -1.58 7.46 7.84 26.29 8.83 6.80 22.11 7.00
VNM 9.04 3.48 1.19 0.95 21.74 6.35 5.01 14.69 15.65 5.43 7.94 15.56 8.32 20.38 11.86 6.72 13.30 8.20 6.84 12.44 8.09
XSE 4.79 -9.88 0.13 -4.77 -7.15 -2.17 -4.67 -8.15 -8.88 -1.67 -2.24 -0.68 -2.39 4.33 -1.74 -6.73 0.15 3.47 0.91 -1.63 0.21
JPN 151.10 25.50 65.07 8.01 54.06 24.03 20.25 56.08 90.48 36.03 30.01 53.03 39.10 54.25 27.63 53.50 15.26 21.41 17.05 19.31 11.05
KOR -1.74 -3.51 0.23 0.48 -4.23 0.01 -0.13 -8.00 -2.83 -0.41 -3.08 -2.89 -2.22 -0.78 -1.41 -1.73 0.43 1.65 1.06 -0.20 1.00
USA -17.34 -6.61 -0.60 -0.60 0.42 0.36 -0.40 -1.84 1.29 0.63 -1.26 0.43 -7.63 -0.08 -1.26 -0.96 0.07 -0.42 -0.51 -1.04 0.23
EU-15 -0.24 -9.36 1.36 0.92 -0.02 0.50 -0.47 -1.31 -0.64 -0.20 -1.77 -1.87 -0.10 -1.41 -1.25 -0.79 -0.14 1.09 0.78 0.13 0.46
ROW 1.35 2.49 0.14 0.32 -0.02 -0.54 0.03 -2.83 -0.23 0.09 -0.12 -0.91 -0.05 -0.51 -0.15 -0.81 -0.07 0.28 0.19 -0.01 0.12
Sumber: Hasil Simulasi-2 24 8