PROSES KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor)
SRI WAHYUNI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
1
ABSTRAK
SRI WAHYUNI. Proses Komunikasi dan Partisipasi dalam Pembangunan Masyarakat Desa ( Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor). (Dibawah bimbingan SUMARDJO sebagai ketua komisi, dan HADIYANTO sebagai anggota). Partisipasi masyarakat dalam Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea sangat ditentukan oleh proses komunikasi yang terjadi dalam program tersebut. Tujuan penelitian ini adalah menjawab masalah penelitian berikut: (1) seberapa jauh telah terjadi partisipasi masyarakat dalam program Raksa Desa dan faktor mana yang cenderung menentukan tingkat partisipasi tersebut, (2) seberapa tepat/efektifkah pola intervensi program Raksa Desa dalam mengembangkan partisipasi melalui proses komunikasi, dan (3) bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program Raksa Desa melalui upaya komunikasi yang tepat. Penelitian ini dilaksanakan pada tiga desa di kecamatan Ciampea Bogor, yakni desa Bojong Jengkol, Cinangka, dan Cibanteng. Penelitian ini menggunakan metode survai eksplanasi. Penentuan desa dan kelompok dilakukan secara purposive dan pengambilan sampel secara acak sederhana. Jumlah sampel 74 responden yang memperoleh bantuan program Raksa Desa tahap pertama Tahun 2003. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; pertama, karakteristik responden pada tiga desa memiliki pendidikan yang rendah, pengalaman usaha rendah, dan pendapatan yang rendah; kedua, pola intervensi pemerintah masih tinggi; ketiga, proses komunikasi yang terjadi masih top down ; prasyarat partisipasi yang terdiri atas kesempatan, kemampuan dan kemaua n masih rendah; dan kelima, partisipasi anggota dalam program Raksa Desa masih rendah. Pola intervensi yang cenderung melalui proses komunikasi linear (searah) cenderung tidak efektif mengembangkan prasyarat partisipasi (kesempatan, kemampuan dan kemauan) warga dalam program Raksa Desa. Akibatnya partisipasi masyarakat rendah, karena program tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program Raksa Desa perlu ditempuh melalui proses komunikasi yang lebih interaktif dan konvergen. Berdasarkan hasil penelitian disarankan, pemerintah perlu menetapkan pendekatan partisipatif yang bertumpu pada kelompok masyarakat, dan perlu merubah paradigma komunikasi top-down ke bottom-up. Kata kunsi: proses komunikasi, partis ipasi anggota.
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Proses Komunikasi dan Partisipasi dalam Pembangunan Masyarakat Desa (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor) adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan oleh seorang penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Bogor, Mei 2006
Sri Wahyuni P054030101
3
© Hak Cipta milik Sri Wahyuni, Tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm dan sebagainya
4
PROSES KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor)
SRI WAHYUNI
Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
5
Judul Tesis
Nama NRP Program Studi
: Proses Komunikasi dan Partisipasi dalam Pembangunan Masyarakat Desa (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor) : Sri Wahyuni : P054030101 : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Disetujui
Dr.Ir. Sumardjo, MS
Ir. Hadiyanto, MS
Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dr.Ir. Sumardjo, MS
Tanggal Ujia n : 1 Mei 2006
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc
Tanggal Lulus:
6
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sungai Penuh (Jambi) pada tanggal 17 September 1978, dari Ayah Syafri Salam dan Ibu Wahyu Liyalni. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara. Pada Tahun 1997 penulis lulus dari SMU Negeri I Sungai Penuh dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Komunikasi dan Penyuluhan Peternakan, Jurusan Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan. Pada Tahun 2003 penulis melanjutkan ke Program Pascasarjana IPB, Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi Dosen Luar Biasa mata kuliah Ilmu Komunika si dan Dinamika Kelompok Tahun Ajaran 2002/2003 dan Tahun Ajaran 2003/2004, mata kuliah periklanan Tahun Ajaran 2005/2006. Pada Tahun 2004 penulis memperoleh kepercayaan sebagai Tim Penyusun TOR Sustainable Capacity Building Development kerjasama Depdagri dan ADB di Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Pada Tahun 2005 Penulis bekerja sebagai Staff Marketing di PPA Consultants.
7
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT, Zat Yang Maha Tinggi ilmunya dan Maha Mengetahui segala yang ada di bumi ini. Melalui penelitian ini penulis menyadari baru sebagian kecil ilmu Allah SWT yang penulis pelajari dan ketahui, penulis bersyukur dapat memberikan sedikit ilmu tersebut dalam bentuk tesis yang berjudul “Proses Komunikasi dan Partisipasi Dalam Pemba ngunan Masyarakat Desa (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor)”. Tesis ini merupakan hasil penelitian penulis selama bulan Desember– Februari 2006, pada masyarakat penerima bantuan Program Raksa Desa. Penulis menyadari bahwa sebelum dan sesudah penulis melakukan penelitian, penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya dengan doa semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik. Terima kas ih penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Sumardjo, MS dan Ir. Hadiyanto, MS selaku pembimbing tesis, dan Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA selaku penguji ujian tesis. Atas segala petunjuk, bimbingan dan nasehat yang telah diberikan kepada penulis sehingga penelitian dan penyusunan tesis ini dapat selesai dengan baik. Dengan rasa hormat dan ungkapan tulus penulis mengucapkan terima kasih kepada Papa, Mama, Uni Laura dan Uda Roni, serta kakak iparku Ardizon dan Keponakanku Muhammad Rafi Muwaffaq atas segala kasih sayang, perhatian, motivasi dan doa -doanya. Terima kasih kepada keluarga besarku yang telah memberi dukungan moral dan materil kepada penulis. Terima kasih kepada Kepala Desa Cinangka, Bojong Jengkol, dan Kepala Desa Cibanteng atas segala bantuannya saat penulis dilapangan. Selanjutnya terima kasih penulis sampaikan kepada teman seangkatan KMP 2003 atas segala kerjasama dan kekompakannya. Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan pembuat kebijakan pada khususnya.
Bogor, Mei 2006
Penulis
8
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL........................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR...................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. viii
PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................ Perumusan Masalah................................................................................. Tujuan Penelitian..................................................................................... Kegunaan Penelitian................................................................................
1 3 3 4
TINJAUAN PUSTAKA ProgramRaksa Desa ................................................................................ Maksud dan Tujuan Program Raksa Desa .............................................. Satuan Pelaksana Desa ..................................................................... Diseminasi dan Sosialisasi Program Raksa Desa.............................. Strategi dan Pendekatan Program raksa Desa ......................................... Proses Komunikasi.................................................................................. Peranan Pemerintah dalam Pembangunan.............................................. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan..........................................
5 7 7 9 9 10 19 23
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran................................................................................ 33 Hipotesis .................................................................................................. 36 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu.................................................................................... Desain Penelitian..................................................................................... Populasi dan Sampel .............................................................................. Data dan Instrumentasi............................................................................ Definisi Operasional................................................................................ Validitas dan Reliabilitas Instrumen....................................................... Pengumpulan data ................................................................................... Analisa Data ............................................................................................
37 37 37 38 38 42 42 42
9
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Pelaksanaan Program Raksa Desa ............................. Karakteristik Responden ......................................................................... Pola Intervensi Pemerintah...................................................................... Proses Komunikasi.................................................................................. Prasyarat Partisipasi ................................................................................ Partisipasi Masyarakat............................................................................. Hubungan Karakteristik Anggota dengan Proses Komunikasi dalam program Raksa Desa ..................................................................... Hubungan Karakteristik Anggota dengan Prasyarat Partisipasi dalam program Raksa Desa ..................................................................... Hubungan Pekerjaan Anggota dengan Proses Komunikasi dan Prasyarat Partisipasi dalam program Raksa Desa .................................. Hubungan Pola Intevensi dengan Proses Komunikasi............................ Hubungan Proses Komunikasi dengan Prasyarat Partisipasi .................. Hubungan Prasyarat Partisipasi dengan Partisipasi Anggota dalam Program Raksa Desa ...............................................................................
43 50 52 54 56 57 58 59 60 61 63 65
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan.............................................................................................. 67 Saran ........................................................................................................ 68 DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 69
LAMPIRAN.................................................................................................... 72
10
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Perbedaan Pendekatan Top-down dan Bottom -up dalam Pemba ngunan ............................................................................................. 2. Hasil Pembangunan Fisik Program Raksa Desa ........................................ 3. Hasil Swadaya Masyarakat Desa Cibanteng.............................................. 4. Hasil Swadaya Masyarakat Desa Bojong Jengkol ..................................... 5. Hasil Swadaya Masyarakat Desa Cinangka ............................................... 6. Jenis Usaha dan Jumlah Dana yang Disalurkan......................................... 7. Perguliran Dana Tahap I............................................................................. 8. Perguliran Dana Tahap II ........................................................................... 9. Distribusi Karakteristik Anggota ............................................................... 10. Distribusi Pola Intervensi Pemerintah........................................................ 11. Distribusi Proses Komunikasi .................................................................... 12. Distribusi Prasyarat Partisipasi................................................................... 13. Distribusi Partisipasi Masyarakat............................................................... 14. Korelasi Rank Spearman antara Karakteritik Anggota dengan Proses Komunikasi dalam Program Raksa Desa ....................................... 15. Korelasi Rank Spearman antara Karakterisitik Anggota dengan Prasyarat Partisipasi dalam Program Raksa Desa ..................................... 16. Korelasi Chi Square antara Pekerjaan Anggota dengan Proses Komunikasi dan Prasyarat Partisipasi dalam Program Raksa Desa .......... 17. Korelasi Rank Spearman antara Pola Intervensi dengan Proses Komunikasi dalam Program Raksa Desa ....................................... 11. Korelasi Rank Spearman antara Proses Komunikasi dengan Prasyarat Partisipasi dalam Program Raksa Desa ........................ 12. Korelasi Rank Spearman antara Prasyarat Partisipasi dengan Partisipasi Anggota dalam Program Raksa Desa ..........................
21 45 46 46 47 47 48 49 50 52 54 56 57 58 59 60 61 63 65
11
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. 2. 3. 4.
Model Komunikasi Linear ...................................................................... Tangga Partisipasi Masyara kat dalam Program Pemerintah................... Siklus Partisipasi ..................................................................................... Kerangka Pemikiran Proses Komunikasi dan Partisipasi dalam Pembangunan Masyarakat Desa..............................................................
11 25 28 35
12
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Validitas dan Reliabilitas Instrumen.......................................................... 72 2. Korelasi Rank Spearman antara Karakteristik Anggota dengan Proses Komunikasi..................................................................................... 74 3. Korelasi Rank Spearman antara Karakteristik Anggota dengan Prasyarat Partisipasi................................................................................... 75 4. Korelasi Rank Spearman antara Pola Intervensi dengan Proses Komunikasi..................................................................................... 76 3. Korelasi Rank Spearman Proses Komunikasi dengan Prasyarat Partisipasi................................................................................................... 77 4. Korelasi Rank Spearman antara Prasyarat Partisipasi dengan Partisipasi .................................................................................................. 78 5. Kuesioner Penelitian................................................................................... 79
13
PENDAHULUAN Latar Belakang Program Raksa Desa merupakan salah satu upaya Pemerintah Propinsi Jawa Barat melaksanakan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 Tahun 2003 dalam meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Program Raksa Desa memiliki tujuan meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dasar masyarakat; meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendidikan dasar; meningkatkan kualitas sarana dan prasarana dasar perdesaan; meningkatkan kualitas sarana dan prasarana ekonomi perdesaan; meningkatkan ketersediaan modal bagi kelompok usaha ekonomi masyarakat dalam rangka meningkatkan
produksi,
kesempatan
kerja
dan
pendapatan
masyarakat;
meningkatkan kinerja aparat desa/kelurahan; dan meningkatkan upaya pemerataan pembangunan antarwilayah di Jawa Barat. Program tersebut ditujukan kepada desa-desa miskin di seluruh wilayah Jawa Barat, yaitu desa-desa yang berada pada tingkatan swadaya pemula. Dalam pelaksanaan program ini diutamakan peran aktif dan partisipasi masyarakat desa yang dikoordinasikan oleh Satuan Pelaksana (Satlak) desa. Prinsip yang menjiwai program Raksa Desa adalah pengembangan partisipasi masyarakat secara intensif melalui pola padat karya dalam melaksanakan pembangunan infrastruktur dan ekonomi modal bergulir. Penjiwaan ini sesuai dengan salah satu fungsi satlak desa, yaitu wadah partisipasi masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan serta dapat menggali, memanfaatkan potensi, dan menggerakkan swadaya gotong royong masyarakat untuk pembangunan. Satuan Pelaksana Desa bersama unsur masyarakat, kelompok masyarakat dan Tokoh Masyarakat melakukan musyawarah untuk mengidentifikasi potensi, diantaranya prioritas prasarana yang dibutuhkan, ketersediaan tenaga dan bahan setempat. Usulan tersebut dinila i kelayakannya oleh Satlak tingkat Kabupaten dengan dibantu oleh Sarjana Pendamping, untuk mengatur pelaksanaan pembangunan fisik dan pemba gian bantuan dana ekonomi bergulir. Di Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor terdapat sekitar 78 desa miskin yang telah ditangani pogram Raksa Desa Tahun Anggaran 2003/2004 sampai 2004/2005. Setiap desa diberikan bantuan sebesar Rp 100. 000.000 (seratus juta
14
rupiah), dengan alokasi 60 persen untuk ekonomi modal bergulir, dan 40 persen untuk pembangunan fisik. Berdasarkan keputusan Pemerintah Propinsi Jawa Barat dikemukakan bahwa pada tahun anggaran 2003/2004, telah ditunjuk penerima bantuan program Raksa Desa untuk Kabupaten Bogor sebanyak 30 desa di 6 kecamatan. Hasil evaluasi Tim Satuan Pelaksana Tingkat Kabupaten Bogor menunjukkkan bahwa diantara 6 kecamatan yang menerima bantuan program Raksa Desa, Kecamatan Ciampea mampu melaksanakan pembangunannya dengan swadaya masyarakat dan berhasil dalam kelancaran pengembalian dana ekonomi bergulir. Gambaran masyarakat
lebih
Kecamatan besar
Ciampea
dibanding
menunjukkan
kecamatan
ba hwa
lainnya.
partisipasi
Tumbuh
dan
berkembangnya program Raksa Desa diduga berhubungan dengan faktor (1) karakteristik anggota, (2) pola intervensi, (3) proses komunikasi, dan (4) prasyarat partisipasi. Karakteristik anggota, kepentingan, kebutuhan dan keyakinan tiap-tiap penerima bantuan mungkin berbeda. persepsi tentang program Raksa Desa.
Faktor-faktor tersebut mempengaruhi Pola intervensi yang dilakukan oleh
Satuan Pelaksana sebagai suatu proses komunikasi dalam progam Raksa Desa masih dirasakan sangat tinggi dan hal ini dapat mempengaruhi partisipasi anggota. Koentjaraningrat (Sastropoetro, 1988) menyatakan bahwa program-program yang diturunkan dari atas (pemerintah) kadang-kadang tidak dipahami manfaatnya dan oleh masyarakat dianggap merupakan kewajiban rutin yang tidak bisa dihindarkan, sehingga tumbuhnya partisipasi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Tujuan program Raksa Desa, bila ditinjau dari metode komunikasinya merupakan transformasi/aliran pesan solusi dari pemerintah melalui satlak ke masyarakat desa miskin. Kepala Desa sebagai ketua Satuan Pelaksana bersamasama perangkat kader pembangunan desa (kader teknis) serta Tokoh Masyarakat dengan
didampingi
Sarjana
Pendamping
program
Raksa
Desa
mengkomunikasikan untuk menyamakan persepsi program kepada masyarakat. Sementara
itu,
masyarakat
miskin
dikarakteristikkan
rendahnya
pendidikan dan pendapatan, terisolasinya tempat tinggal, serta kurangnya sarana komunikasi.
Kondisi demikian memungkinkan mereka kurang memperoleh
15
informasi program Raksa Desa, sehingga manfaat yang akan dite rima belum bisa dipahami. Hal tesebut diduga, Satuan Pelaksana Desa sebagai penanggung jawab pelaksanaan program belum ditempatkan sebagai sumber informasi. Perumusan Masalah Proses komunikasi dan partisipasi memegang peranan penting dalam pembangunan masyarakat desa, karena komunikasi dan partisipasi diperlukan mulai dari tahap perencanaa n, pelaksanaan, evaluasi dan pemanfaatan. Pola intervensi sebagai suatu pendekatan komunikasi turut mempengaruhi tinggirendahnya partisipasi masyarakat. Penelitian ini merumus kan masalah sebagai berikut: 1. Seberapa jauh telah terjadi partisipasi masyarakat dalam Program Raksa Desa dan faktor mana yang cenderung menentukan tingkat partisipasi tersebut? 2. Seberapa tepat/efektifkah pola intervens i Program Raksa Desa dalam mengembangkan partisipasi melalui proses komunikasi? 3. Bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Program Raksa Desa melalui upaya komunikasi yang tepat? Tujuan Penelitian Sejalan dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk dapat : 1. Mengetahui partisipasi masyarakat dalam Program Raksa Desa dan mengetahui faktor mana yang cenderung menentukan tingkat partisipasi masyarakat tersebut. 2. Mengetahui ketepatan/keefektifan pola in tervensi Program Raksa Desa dalam mengembangkan partisipasi melalui proses komunikasi. 3. Mengetahui cara meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Program Raksa Desa melalui upaya komunikasi yang tepat.
16
Kegunaan Penelitian Manfaat yang dapat diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain: 1. Sebagai masukan bagi Pemerintah Propinsi Jawa Barat, Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, dan Pemerintah Desa dalam merancang Program Pembangunan Masyarakat Desa selanjutnya. 2. Sebagai referensi pembanding dan stimula n untuk penelitian selanjutnya.
17
TINJAUAN PUSTAKA Program Raksa Desa Program Raksa Desa merupakan salah satu program pengembangan masyarakat desa dengan
memberdayakan pemerintah dan masyarakat desa
dengan mendayagunakan sumberdaya lokal secara mandiri dan sumberdaya pembangunan
secara optimal (Pemerintah Propinsi Jawa Barat, 2003).
Penyusunan kriteria dan penentuan desa yang akan memperoleh bantuan guna pembangunan desa ditentukan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Pemerintah Daerah, yang mana secara hierarkhi Pemerintah Daerah bekerjasama dengan kecamatan, desa dan RT/RW. Adapun kriteria desa yang memperoleh bantuan Program Raksa Desa adalah sebagai berikut: 1. Desa miskin, yang ditentukan dengan banyaknya rumah tangga yang berstatus keluarga pra-sejahtera dan sejahtera 1. 2. Desa rawan air bersih, yang ditentukan dengan sumber air bersih bagi kegiatan rumah tangga yang dominan digunakan di desa tersebut (sungai, danau, air hujan, dan rawa). 3. Desa rawan infras truktur jalan, yang ditentukan dengan jenis lapisan jalan yang dominan terdapat di desa tersebut (kerikil, batu, dan tanah) 4. Desa rawan listrik,
yang ditentukan oleh proporsi rumah tangga yang
berlangganan listrik, baik PLN maupun Non PLN (kurang dari 50 persen). 5. Desa rawan sanitasi, yang ditentukan oleh jenis pembuangan air besar yang dominan digunakan di desa tersebut ( sungai, danau) 6. Desa rawan prasarana pendidikan, yang ditentukan oleh proporsi bangunan Sekolah Dasar rusak berat (lebih dari 40 persen). Pertimbangan lain dalam penentuan desa yang mendapat bantuan dana adalah desa yang belum mendapatkan bantuan program sejenis, seperti Program Pengembangan
Kecamatan
(PPK),
Proyek
Penanggulangan
Kemiskinan
Perkotaan (P2KP), Pendukung Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah (P2MD).
18
Tugas Pembantuan kepada Desa ini dilaksanakan berdasarkan prinsipprinsip sebagai berikut: a
Kebijakan dan program Raksa Desa ditetapkan oleh Pemerintah Propinsi.
b Dana program Raksa Desa bersifat specific grant dari Pemerintah Propinsi dan penyaluran dana diberikan secara langsung kepada desa. c
Tenaga pendamping yaitu fasilitator kecamatan ditetapkan dan didanai oleh Pemerintah Propinsi melalui Satuan Pelaksana Kecamatan.
d Penentuan jenis kegiatan serta pelaksanaannya diselenggarakan oleh desa dengan membentuk kelompok kerja sesuai dengan garis kebijakan Propinsi Jawa Barat dengan memperhatikan aspirasi masyarakat desa yang secara teknis diusulkan oleh desa kepada Satuan Pelaksana Kecamatan. e
Pelaporan dan pertanggungjawaban dilakukan oleh desa dan disampaikan secara berjenjang kepada Satuan Pelaksana Tingkat Propinsi Jawa Barat.
f
Pemantauan dan pengawasan kegiatan dilakukan oleh Satuan Pelaksana Tingkat Propinsi bekerjasama dengan Satuan Pelaksana Kabupaten/Kota yang secara operasional dikendalikan dan dikoordinasikan oleh Camat sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota.
g Seluruh kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara teknis maupun administratif, transparansi dan partisipatif. h Hasil kegiatan dapat dilestarikan dan dikembangkan baik oleh pemerintah desa maupun masyarakat di kemudian hari. Pelaksanaan Program Raksa Desa sangat mengutamakan partisipasi masyarakat desa penerima bantuan melalui Satuan Pelaksana (Satlak) Desa dengan pendekatan-pendekatan sebagai berik ut: 1. Mengembangkan peran serta masyarakat melalui pola padat karya dengan memberikan insentif untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi sesuai persyaratan teknis. 2. Mengembangkan peran serta masyarakat dalam perguliran ekonomi dengan memberikan dana bagi pengembangan usaha masyarakat desa.
19
Bantuan Program Raksa Desa diberikan dalam bentuk pagu sebesar Rp 100 juta/desa, masing-masing 40 persen untuk perbaikan infrastruktur dan 60 persen untuk perguliran ekonomi yang disalurkan secara langsung ke rekening desa di Bank Jabar.
Kepala Desa sebagai Ketua
Satuan Pelaksana yang
didampingi pengurus lainnya harus mengadakan pertemuan dengan melibatkan unsur masyarakat seperti kelompok masyarakat dan tokoh masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan berikut: 1. Memberikan informasi bantuan Program Raksa Desa kepada masyarakat. 2. Melakukan musyawarah desa untuk mengusulkan prioritas pembangunan infrastruktur dan penentuan prioritas penerima bantuan dana perguliran. Maksud dan Tujuan Program Raksa Desa Maksud Pemerintah Propinsi menyelenggarakan Program Raksa Desa adalah untuk mempercepat pencapaian peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dengan memberdayakan Pemerintah dan Masyarakat Desa dengan mendayagunakan sumberdaya lokal secara mandiri dan sumberdaya pembangunan secara optimal (Pemerintah Propinsi Jawa Barat, 2003). Adapun tujuan yang hendak dicapai dari terselenggaranya Program Raksa Desa adalah; a. Meningkatnya kualitas sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dasar masyarakat. b. Meningkatnya kualitas sarana dan prasarana pendidikan dasar. c. Meningkatnya kualitas sarana dan prasarana dasar perdesaan. d. Meningkatnya kualitas sarana dan prasarana ekonomi perdesaan. e. Meningkatnya ketersediaan permodalan bagi kelompok usaha ekonomi masyarakat dalam rangka meningkatkan produksi, kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat. f. Meningkatnya kinerja Aparat Desa/Kelurahan. g. Meningkatnya upaya pemerataan pembangunan antar wilayah di Jawa Barat. Satuan Pelaksana Desa Menurut
Keputusan
Gubernur
Jawa
Barat
No.
147/KEP.200.
DEKON/2003 tentang penyelenggaraan Program Raksa Desa, untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pengelolaan Program Raksa Desa dibentuk kelompok
20
kerja pada setiap tingkatan, yakni Satuan Pelaksana Tingkat Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, dan Tingkat Desa. Adapun untuk penyelenggaraan di tingkat Desa, maka Satuan Pelaksana Desa yang diketuai oleh Kepala Desa bertanggung jawab terhadap Program Raksa Desa. Sesuai petunjuk teknis Program Raksa Desa (2003) diuraikan tugas pokok dan fungsi Satuan Pelaksana Desa sebagai berikut: 1. Menyebarluaskan informasi tentang kegiatan Program Raksa Desa kepada masyarakat di desa. 2. Menyelenggarakan musyawarah Desa ke I dan Ke II. 3. Menampung usulan kegiatan dan usulan penerima bantuan permodalan. 4. Bersama masyarakat menentukan prioritas rencana kegiatan dan penerima bantuan. 5. Melaksanakan kegiatan program (permodalan untuk pemanfaatan bantuan dan pembangunan sarana dan prasarana dasar). 6. Melakukan pemantauan dan pengawasan pelaksanaan kegiatan. 7. Membuat laporan pelaksanaan kegiatan dan laporan pencairan dana triwulan kepada Satuan Pelaksana Kecamatan dan dapat mengirimkan secara langsung kepada Gubernur dengan tembusan kepada Bupati/Walikota dan Camat. Adapun tugas dan tanggung jawab Sarjana Pendamping yaitu: 1. Memberi pengertian dan informasi tentang konsep Program Raksa Desa kepada Desa melalui Forum Musyawarah Desa. 2. Memandu pelaksanaan Forum Musyawarah Desa ke I dan ke II. 3. Membantu Satuan Pelaksana Desa untuk menampung usulan-usulan kegiatan dari Tingkat RW/Dusun. 4. Membantu penyusunan rencana kegiatan dan rencana pelaksanaan. 5. Memberikan bimbingan teknis kepada Satuan Pelaksana Desa. 6. Melaksanakan pemantauan dan pengendalian. 7. Membantu Satuan Pelaksana Desa dalam menyusun dokumen untuk pencairan dana, serta menyusun laporan kemajuan pelaksanaan kegiatan program.
21
Diseminasi dan Sosialisasi Program Raksa Desa Diseminasi dan sosialisasi Program Raksa Desa dilakukan secara berjenjang yaitu: Sosialisasi di tingkat Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, dan sosialisasi di tingkat Desa, serta pelatihan bagi Satuan Pelaksana Kecamatan dan Satuan Pelaksana Desa. Penyebaran informasi Program Raksa Desa dilakukan melalui: 1. Berbagai forum musyawarah
dan kegiatan kemasyarakatan antara lain
kelompok pengajian, lembaga keagamaan lainnya, dan pemanfaatan papan pengumuman. 2. Media massa, penyebarluasan informasi dilakukan juga oleh Pemerintah Daerah melalui media massa elektronik dan cetak untuk diketahui oleh masyarakat luas. Strategi dan Pendekatan Program Raksa Desa Basis pembangunan nasional adalah pembangunan masyarakat Desa. Berdasarkan basis tersebut Pemerintah Jawa Barat menyadari pentingnya pembangunan masyarakat desa, sebagai langkah tepat dalam meningkatkan Indek Pembangunan Manusia (IPM) yang ditargetkan mencapai angka 80 pada tahun 2010 sesuai dengan visi dan misi Jawa Barat pada umumnya. Posisi demikian, upaya memerankan desa dalam tugas pembantuan sesuai dengan paradigma perencanaan
pembangunan
yang mengutamakan
pendekatan
partisipatif.
Pendekatan partisipatif ini diharapkan terjadi pelaksanaan pembangunan yang sinergis, efisien dan efektif serta meningkatkan iklim demokrasi pemerintahan dan pembangunan (Pemerintah Propinsi Jawa Barat, 2003). Adapun strategi yang diterapkan oleh Pemerintah Jawa Barat yakni; 1. Mendorong tumbuh dan berkembangnya prakarsa, partisipa si masyarakat serta transparansi. 2. Meningkatkan kemampuan kelembagaan dan organisasi yang berakar pada masyarakat desa. 3. Menjalin sinergi pembangunan desa dalam konteks kewilayahan. 4. Mendorong tumbuhnya kesetiakawanan sosial dalam pembangunan desa. 5. Meningkatkan
kontrol
sosial
masyarakat
terhadap
program-program
pembangunan desa.
22
Pendekatan pelaksanaan Program Raksa Desa adalah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan program dilakukan dengan pembangunan yang bertumpu pada kelompok masyarakat (Community Based Development). 2. Perencanaan prioritas kegiatan sepenuhnya diserahkan pada musyawarah masyarakat desa. 3. Pemberian kredit permodalan bagi masyarakat/kelompok masyarakat yang berusaha dalam skala mikro dan usaha kecil. 4. Pembangunan infrastruktur dasar perdesaan diarahkan pada pembangunan infrastruktur yang dapat mengungkit secara signifikan tingkat ekonomi masyarakat serta meningkatkan aksesibilitas masyarakat pada pelayanan kesehatan, pendidikan dasar serta sumberdaya ekonomi. Proses Komunikasi Menurut Mulyana (2003) terdapat tiga kerangka pemahaman mengenai komunikasi, yaitu: (1) komunikasi sebagai tindakan satu arah, (2) komunikasi sebagai interaksi, dan (3) komunikasi sebagai transaksi. Komunikasi Sebagai Tindakan Satu Arah. Pemahaman komunikasi sebagai proses satu arah disebutkan oleh Micheal Burgoon, sebagai “definisi berorientasi
sumber”
(source
komunikasi
sebagai
kegiatan
meyampaikan
ransangan
oriented yang
guna
definition)
sengaja
yang
dilakukan
membangkitkan
mengisyaratkan seseorang
respons
orang
untuk lain.
Konseptualisasi komunikasi sebagai tindakan satu arah ini mengisyaratkan bahwa semua kegiatan komunikasi bersifat persuasif. Model komunikasi linear merupakan konsep komunikasi yang paling sederhana, yang dimaknai sebagai proses komunikasi sepihak. Pada mode l ini komunikasi terjadi
karena ada seseorang yang menyampaikan pesan kepada
orang lain. Pengirim pesan menstimuli sehingga penerima pesan merespon sesuai yang diharapkan tanpa melakukan proses seleksi dan inte rpretasi lebih lanjut. Kejadian ini sesuai dengan ide dasar pembuatan model linear
yang didesain
berdasar sistem telepon (model Claude Shanon dan Warren, 1949) dalam Mulyana (2003), seperti Gambar 1 berikut:
23
Sumber
Pesan
Saluran
Penerima
Gambar 1. Model Komunikasi Linear Gambar ini memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjadi bersifat satu arah, yakni dari sumber pesan kepada penerima pesan. Model komunikasi ini lebih tepat digunakan menyampaikan informasi yang lebih bersifat instruksi atau indoktrinasi. Komunikasi Sebagai Interaksi. Pandangan komunikasi sebagai interaksi ini menyetarakan komunikasi dengan suatu proses sebab akibat atau aksi reaksi yang arahnya bergantian dan lebih dinamis. Komunikasi ini dianggap sedikit lebih dinamis daripada komunikasi satu arah, meskipun masih membedakan para komunikate sebagai komunikator dan komunikan, artinya masih tetap berorientasi sumber, meskipun kedua peran itu dianggap bergantian. Sehingga proses interaksi yang berlangsung pada dasarnya juga masih bersifat mekanis dan statis. Model interaktif menganggap komunikasi sebagai suatu transaksi yang terjadi antar komunikan yang saling berkontribusi pada terjadinya suatu transaksi walaupun dalam beda peringkat intensitas. Teori ini digambarkan dalam tiga bentuk yaitu (1) lingkaran tumpang tindih, (2) heliks dan (3) Ziczac. Menurut Schramm (1973) dalam Jahi (1993) lingkaran tumpang tindih mengindikasikan bahwa dalam setiap kegiatan komunikasi akan selalu ditemukan lebih dari dua komunikan dalam suatu situasi komunikasi. Dengan demikian akan ada pada suatu saat sejumlah lingkaran
komunikan atau ruang kehidupan yang tumpang
tindih. Model heliks menurut Dance (1967) dalam Jahi (1993) menunjukkan kegiatan komunikasi di kalangan komunikan yang menimbulkan situasi konvergen.
Hal ini dapat terjadi dalam beberapa cara, yaitu (1) komunikan
bergerak menuju ke suatu arah dalam arti saling memahami pesan yang disampaikan, dan (2) seorang partisipan mungkin bergerak menuju arah berbeda. Proses konvergen tidak selalu be rarti harus ada komitmen terhadap persoalan atau permasalahan yang dikomunikasikan, karena lebih merupakan suatu proses saling memahami dengan lebih baik, tentang segala sesuatu yang dikomunikasikan.
24
Model ziczac menurut Schramm (1973) dalam Jahi (1993) menunjukkan situasi kegiatan komunikasi sebagai proses interaktif melalui pertukaran tandatanda informasi baik verbal, nonverbal, atau paralinguistik. Model ini diperlukan adanya waktu untuk meyakinkan diri bahwa komunikan sedikit banyak telah memahami apa yaang dimaksud yang dimungkinkan oleh persoalan pemakaian iterasi. Peristiwa komunikasi dalam model ziczac lebih mendekati dengan proses negosiasi. Komunikasi Sebagai Transaksi. Dalam konteks komunikasi ini, proses penyandian (encoding) dan penyandian balik (decoding) bersifat spontan dan simultan diantara para komunikate. Semakin banyak orang yang berkomunikasi semakin rumit transaksi komunikasi yang terjadi karena akan terdapat banyak peran, hubungan yang lebih rumit, serta lebih banyak pesan verbal dan non verbal. Kelebihan konseptualisasi komunikasi sebagai transaksi adalah komunikasi tersebut tidak membatasi komunikan pada komunikasi yang disengaja atau respon yang dapat diamati. Dalam komunikasi transaksional, komunikasi dianggap telah berlangsung bila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, baik perilaku verbal maupun perilaku non verbal. Artinya konseptualisasi komunikasi ini lebih sesuai untuk konteks komunikasi interpersonal karena lebih bersifat dinamis dan para pela ku komunikasi tidak dibedakan antara sumber dan penerima, melainkan semuanya saling berpartisipasi dalam interaksi sebagai partisipan komunikasi. Ketiga konsep pemahaman komunikasi tersebut sangat dipengaruhi oleh ketepatan komunikasi (fidelity of communication). Dengan ketepatan komunikasi yang tinggi, para komunikate akan memperoleh apa yang mereka kehendaki dari tujuan berkomunikasinya.
Komunikator akan puas karena pesan yang
disampaikan dapat diterima dan dilaksanakan komunikan seperti yang dikehenda ki, dan komunikanpun akan puas karena pesan yang diterimanya sesuai dengan kebutuhan.
Ketepatan komunikasi tersebut merupakan indikator dari
efektifitas komunikasi Berlo (1960) mengemukakan, ada enam elemen dasar yang menentukan efektivitas komunikasi yaitu: sumber - encoder, pesan, saluran, dan penerima pesan – dekoder.
25
(a) Sumber - encoder Agar komunikasi menjadi efektif, seorang komunikator dalam proses berkomunikasi harus menentukan strategi bagaimana cara mempengaruhi komunikannya dan menganalisis pesan yang diterima sebelum memberi respon (encoding) terhadap pesan balik yang diterimanya. Ketepatan komunikasi sumber ditentukan oleh empat faktor yaitu: (1) keterampilan komunikasi (communication skills) secara lisan dan tulisan, (2) sikap jujur dan bersahabat (attitude), (3) tingkat pengetahuan yang luas tentang materi yang dikomunikasikan (knowledge), dan (4) mampu beradaptasi dengan sistem sosial budaya (social and cultural system) komunikan. Menurut Berlo (1960) terdapat lima keterampilan komunika si verbal yaitu menulis, dan berbicara (keterampilan meng -encoding ), keterampilan membaca, dan mendengar/menyimak (keterampilan meng-decoding), serta pemikiran atau pertimbangan (thought or reasoning) merupakan keterampilan yang paling penting di dalam meng-encoding maupun meng-decoding pesan. Sikap komunikator (attitude),
Sikap seorang komunikator yang
bersahabat, hangat dan jujur sangat mempengaruhi efektifitas komunikasi. Menurut
Berlo
(1960),
sikap
komunikator
mempengaruhi
kebiasaannya
berkomunikasi. Berlo mengartikan kata “sikap” dalam arti sempit dengan menjawab pertanyaan: How do the attitude of the source effect communication? Selanjutnya Berlo menjabarkan sikap komunikator menjadi tiga sikap yaitu: (1) sikap terhadap diri sendiri (attitude toward self), yang berkaitan dengan kepribadian individu dalam berkomunikasi; (2) sikap terhadap materi (pesan) yang dikomunikasikan (attitude toward subject matter). Bila seorang komunikator tidak yakin terhadap subject matternya, maka hal ini akan menyulitkan dia berkomunikasi secara efektif tentang subjek/materi itu.
(3) sikap terhadap
komunikan (attitude toward receiver). Sikap komunikator pada komunikannya berpengaruh terhadap komunikasi diantara mereka. Berlo mengilustrasikan; Bila pembaca atau pendengar menyadari bahwa apa yang ditulis/dibicarakan sama seperti yang mereka rasakan, maka kritik terhadap pesan yang dibaca/didengar akan sangat minim. Artinya kemungkinan besar pesan yang disampaikan oleh
26
penulis atau pembicara akan diterima oleh komunikan bila pesan itu sesuai kebutuhan mereka. Sedangkan pengertian sikap dalam konteks perilaku organisasi menurut Robbins (2001) adalah pernyataan evaluatif mengenai objek, orang atau peristiwa. Sikap tidak sama dengan nilai, tapi keduanya saling berhubungan.
Saling
keterhubungan antara sikap dan nilai tersebut dapat dilihat pada tiga komponen dari suatu sikap yaitu: (1) pengertian (understanding), (2) keharusan (affection), dan (3) perilaku (behavior). Komponen kognitif suatu sikap merupakan segmen pendapat atau keyakinan akan suatu sikap. Komponen afektif merupakan segmen emosional atau perasaan dari suatu sikap, sedangkan komponen perilaku suatu sikap merupakan suatu maksud untuk berperilaku dengan suatu cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu. Lebih lanjut Robbins menegaskan bahwa istilah sikap (attitude) pada hakekatnya merujuk ke bagian afektif dari tiga komponen tersebut. Bila kita kaitkan pengertian istilah sikap yang dikemukakan oleh Robbins dengan istilah sikap komunikator yang dikemukakan Berlo, maka dapat disimpulkan bahwa implementasi istilah sikap komunikator lebih mengarah pada komponen perilaku (behavior ) dari sikap. Sedangkan dalam perilaku organisasi, istilah sikap lebih mengarah pada komponen afektifnya. Tingkat pengetahuan (knowledge). Seorang komunikator harus memiliki tingkat pengetahuan yang luas tentang materi yang dikomunikasikan sehingga dia kredibel dimata khalayaknya. seorang
Menurut Aristoteles dalam Cangara (2000),
komunikator itu kredibel apabila memiliki ethos, pathos dan logos.
Ethos ialah kekuatan yang dimiliki pembicara dari karakter pribadinya sehingga ucapan-ucapannya dapat dipercaya.
Pathos adalah kekuatan yang dimiliki
pembicara dalam mengendalikan emosi pendengarnya. Sedangkan Logos ialah kekuatan yang dimiliki melalui argumentasinya (argumentasi kuat bila ditunjang tingkat pengetahuan yang luas). Memperluas pendapat Aristoteles, McCroskey, 1966 dalam Cangara (2000) mengungkapkan bahwa kredibilitas seorang komunikator dapat bersumber dari kompetensi (competence), sikap (attitude), tujuan (intension),
kepribadian (personality), dan dinamika (dynamism).
Kompetensi ialah penguasaan komunikator terhadap masalah yang dibahas
27
(tingkat pengetahuan terhadap materi yang cukup luas). Sikap menunjukkan pribadi komunikator apakah tegar atau toleran dalam prinsip.
Tujuan
menunjukkan apakah hal-hal yang disampaikan itu memiliki maksud baik atau tidak.
Kepribadian menunjukkan apakah komunikator memiliki pribadi yang
hangat dan bersahabat.
Sedangkan dinamika menunjukkan apakah hal yang
disampaikan itu menarik atau justru membosankan. Mampu beradaptasi dengan sistem sosial budaya (social and cultural system) komunikannya.
Berlo menyatakan bahwa derajat pesan yang dapat
diserap oleh penerima dipengaruhi oleh berbagai hal diantaranya adalah sistem sosial budaya penerima. Karena itu seorang komunikator seyogyanya memahami sistem sosial budaya komunikannya. (b) Pesan Berlo (1960) menegaskan pesan adalah sebagian produk fisik aktual (actual physical product) dari komunikator -komunikan.
Ketika seseorang
berpidato, menulis, menggambar, dan menggerakan anggota tubuh sebagai isyarat, maka isi pidato, tulisan, gambar, dan menggerakkan tangan serta ekspresi wajahnya merupakan pesan. Tiga faktor yang terkandung dalam pesan adalah kode pesan, isi pesan dan perlakukan pesan. Ketiga faktor tersebut ditinjau dari elemen dan struktur dari masing-masing faktor (elemen dan struktur dari kode pesan, elemen dan struktur dari isi pesan serta elemen dan struktur dari perlakukan pesan). Eleme n dan struktur pesan. elemen-elemen pesan.
Struktur pesan merupakan gabungan dari
Misalnya kita menulis sebuah kata Buku maka Buku
merupakan struktur yang tersusun dari elemen-elemen huruf b,u, k dan u. Hal yang penting diketahui dalam komunikasi adala h perbedaan antara bentuk (struktur) dan substansi (elemen) dalam proses komunikasi. Berlo menyatakan, perlu diperjelas dan menjadi bahan perdebatan dalam komunikasi, mana yang lebih penting antara ide (elemen) atau organisasi ide (struktur). Kode pesan. Pesan yang dikirim komunikator kepada komunikan terdiri atas rangkaian simbol dan kode. Simbol adalah lambang yang memiliki suatu objek. Sedangkan kode adalah simbol yang tersusun secara sistematis dan teratur sehingga memiliki arti.
Dengan demikian simbol yang tidak memiliki arti
28
bukanlah kode (Berlo, 1960 dalam Cangara, 2000). Lampu pengatur lalu lintas (Traffic light) adalah simbol polisi lalu lintas, sedangkan simbol warna adalah kode bagi pemakai jalan. Ketika kita meng-encode pesan, kita harus memutuskan kode yang akan digunakan meliputi (1) kode yang mana saja, (2) elemen kode yang mana, dan (3) metode struktur elemen dari kode mana yang kita pilih.
Tujuan pemilihan
tersebut adalah agar pesan dapat diterima komunikan tanpa distorsi. Isi pesan.
Isi pesan merupakan materi pesan yang terseleksi oleh
komunikator untuk mengekspresikan tujuan.
Yang termasuk isi pesan adalah
pernyataan/pemaknaan yang kita buat, informasi yang kita tampilkan, kesimpulan yang kita buat, dan pembenaran (judgments) yang kita maksud dalam pesan. Perlakuan pesan. Perlakuan pada pesan adalah keputusan komunikator untuk memilih dan menyusun kode dan isi pesan yang dikirim. Faktor penentu perlakuan pada pesan adalah kepribadian, karakter individu, keterampilan, sikap, pengetahuan, budaya, dan status dalam sistem sosial. Perlakuan pesan bisa juga disimpulkan sebagai cara komunikator menyusun kode dan isi pesan.
Berlo
menambahkan kita dapat mengidentifikasi individu berdasarkan karakter perilaku pesan melalui tulisan seseorang, musik yang dihasilkan, dll. Kemudian menganalisis pesan yang disampaikan dari segi kode, isi dan perlakuan pesan. Jadi karakter individu dapat dianalisis melalui pesan yang dihasilkan. (c) Saluran (channel) Saluran
komunikasi
adalah
alat
untuk
menyalurkan
pesan
dari
komunikator ke komunikan. Roger dan Shoemaker (1971) membedakan saluran komunikasi atas dua jenis yaitu (1) saluran media massa, dan (2) saluran interpersonal.
Saluran media massa adalah alat penyampai pesan yang
memungkinkan pencapaia n komunikan dalam jumlah besar, yang dapat menembus batas waktu dan ruang seperti radio, televisi, koran dan sebagainya. Sedangkan saluran interpersonal merupakan saluran komunikasi melalui pertemuan tatap muka antara komunikator dan komunikan. Hanafi
(1986)
dalam
bukunya
Memasyarakatkan
Ide-ide
Baru
menambahkan, saluran interpersonal dapat bersifat kosmopolit dan lokalit. Saluran interpersonal kosmopolit adalah saluran komunikasi yang melibatkan
29
komunikator yang berasal dari luar sistem sosial komunikan. Sedangkan saluran interpersonal lokalit adalah saluran komunikasi dimana komunikator berasal dari dalam sistem sosial komunikan. Penentuan dan penggunaan saluran komunikan yang tepat sangatlah penting di dalam proses penyampaian informasi.
Saluran komunikasi media
massa lebih efektif digunakan pada tahap pengenalan suatu ide/teknologi. Dimana saluran tersebut berfungsi untuk menyampaikan informasi/pengetahuan (knowledge) kepada khalayak dalam jumlah yang besar.
Sedangkan saluran
komunikasi interpersonal lebih tepat digunakan pada tahapan persuasi karena kontak antara komunikator dan komunikan lebih banyak bersifat pribadi, sehingga saluran interpersonal dapat memainkan peranan penting pada tahap persuasi. Jadi perbedaan kedua saluran tersebut pada da mpak (efek) yang ditimbulkan. Media interpersonal mempunyai efek yang tinggi pada pembentukan dan perubahan sikap dan rendah pada kognitif. Sedangkan media massa berefek tinggi pada kognitif dan rendah pada pembentukkan dan perubahan sikap komunikan (audience). Penggunaan saluran komunikasi ternyata berbeda antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Sebagaimana dijelaskan oleh Hanafi (1986) bahwa di negara berkembang media interpersonal masih memegang peranan penting dalam tahap pengenalan suatu ide/teknologi, terutama saluran interpersonal kosmopolit. Hal tersebut menurut Hanafi kemungkinan disebabkan oleh (1) kurang tersedianya media massa yang dapat menjangkau komunikasi di wilayah perdesaan, (2) masih tingginya tingkat buta huruf penduduk, dan (3) tidak relevannya pesan-pesan yang dimuat media massa itu dengan kebutuhan masyarakat, atau (4) mungkin media massa lebih dipandang sebagai sarana hiburan daripada sebagai media informasi. (d) Komunikan Komunikan biasa disebut juga dengan is tilah penerima pesan, decoder, khalayak, sasaran, audience dan lain sebagainya. Komunikan merupakan salah satu faktor dalam proses komunikasi. Berhasil tidaknya proses komunikasi sangat ditentukan oleh komunikan.
30
Komunikasi dalam studi komunikasi bisa be rupa individu, kelompok dan masyarakat (Cangara, 2000). Karena itu sebelum memulai proses komunikasi seorang komunikator harus mengetahui siapa dan bagaimana khalayaknya. Lebih lanjut Cangara menambahkan ada tiga aspek yang perlu diketahui komunikator te ntang komunikannya yaitu: aspek sosiodemografik, aspek profil psikologi, dan aspek karakteristik perilaku. Aspek sosiodemografik antara lain adalah: jenis kelamin, usia, jumlah populasi, lokasi, tingkat pendidikan, bahasa yang digunakan, agama, pekerjaan, ideologi, dan pemilikan media massa. Aspek profil psikologis ialah memahami komunikan dari segi kejiwaan seperti: emosi (bagaimana temperamennya), bagaimana pendapat-pendapat mereka, adakah keinginan mereka yang perlu dipenuhi, dan sebagainya. Sedangkan dari aspek karakteristik perilaku komunikan yang perlu diketahui diantaranya adalah hobi, nilai dan norma, mobilitas sosial, dan perilaku komunikasi, kebiasaan suka berterus terang atau tidak. Terlepas dari hal itu semua, perlu diingat bahwa derajat pesan yang dapat diserap (didecode) oleh komunikan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah keterampilan berkomunikasi, tingkat pengetahuan, dan sistem sosial budaya komunikan.
Sama halnya dengan komunikator seperti penjelasan
sebelumnya. Selama terjadi perbedaan kerangka acuan dan kerangka pengalaman yang mendasari sikap individu, memungkinkan terjadinya perbedaan persepsi tentang manfaat program yang diintroduksikan pada individu bersangkutan. Dengan kata lain, persepsi individu terhadap suatu stimuli bukan ditentukan oleh jenis atau bentuk stimuli, melainkan oleh karakteristik individu yang memberikan respon pada stimuli tersebut (Rakhmat, 2000) Menurut hasil penelitian Widatri (1995) tentang ”Birokrasi Lokal dan Partisipasi Masyarakat” dikata kan bahwa komunikasi sebagai faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pembangunan, pada dasarnya merupakan sarana untuk menyebarluaskan informasi
di dalam organisasi
birokrasi lokal, baik komunikasi dari atas ke bawah maupun dari bawah keatas. Sastropoetro (1988) mengatakan bahwa sikap masyarakat dalam berpartisipasi ditentukaan oleh karakteristik dan intensitas komunikasinya. Muliawati (1993)
31
mengatakan orang yang berpendidikan tinggi mempunyai partisipasi yang tinggi di dalam pembangunan, karena dengan berpendidikan tinggi ia mampu menganalisa serta aktif terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemanfaatan. Soemantri (1998) menjelaskan bahwa intensitas komunikasi berpengaruh pada perilaku petani, semakin tinggi intensitas komunikasi, maka semakin tinggi partisipasinya. Peranan Pemerintah dalam Pembangunan Di kebanyakan negara di Dunia Ketiga, Birokrasi pemerintahan merupakan suatu alat pembangunan yang paling dominan peranannya (Effendi, dalam Percikan Pemikiran Fisipol UGM tentang Pembangunan 1990). Dominasi birokrasi ini terjadi bukan semata-mata karena kelemahan sektor swasta dan preferensi ideologi di negara -negara tadi, tetapi lebih karena luasnya jangkauan birokrasi pemerintah, sehingga birokrasi memiliki fungsi integratif yang sangat besar. Sulit dan kompleknya peranan birokrasi di negara
dunia ketiga
diantaranya disebabkan karena birokrasi di negara dunia ketiga tidak hanya berfungsi untuk menjaga, mengatur serta mempeluas infrastruktur sosial bagi masing-masing masyarakat, tetapi juga bertugas untuk melaksanakan keputusan pimpinan politik, yang praktis
harus
dimulai dari menyusun rencana,
melaksanakannya sampai dengan memelihara segala program pembangunan. Keberhasilan pembangunan tergantung pada kemampuan birokrasi, sementara
dipihak
lain
proses
pembangunan
juga
menentukan
corak
perkembangan birokrasi, dalam arti semakin cepat gerakan roda pembangunan, maka semakin besar pula peran birokrasi tersebut. Pentingnya birokrasi dalam pembangunan ini juga dikemukakan oleh Moelyarto (1987) dengan mengajukan premis dalam makalahnya yang berjudul Budaya Birokrasi dalam Kontek Tranformasi Struktural antara harapan dan Kenyataan, antara lain menyebutkan birokrasi
menduduki
posisi
strategis
instrumental
untuk
mewujudkan
pembangunan suatu negara, value premis ini disimpulkan, bahwa secara normatif, semua elemen birokrasi, seperti struktur dan kultur birokrasi, complience system, working norms, prosedur kerja, serta client relationship mengacu pada tujuan pembangunan nasional, tujuan pembangunan nasional juga dapat berubah, maka
32
sosok dari elemen-elemen birokrasi tadi seharusnya juga merefleksikan perubahan tadi. Birokrasi
sebagai
wahana
strategis
instrumental
untuk
mencapai
pertumbuhaan ekonomi setinggi-tingginya, misalnya seharusnya mempunyai karakteristik lain dari birokrasi sebagai wahana strategis instrumental untuk mengemban tugas untuk melaksanakan pembangunan sumber daya manusia. Posisi dominan yang dimiliki oleh birokrasi tersebut makin memperoleh justifikasi, apabila dihubungkaan dengan konteks sosio-kultural dan ekonomi negara-negara dunia ketiga. Karakteristik dunia ketiga yang disamakan dengan kemiskinan merupakan salah satu faktor yang memandang birokrasi untuk tampil sebagai pelopor pembangunan (Ndraha, 1987). Kemiskinan, kemelaratan dan sebagainya tentu saja sangat menurunkan semangat dan kemampuan masyarakat dalam pembangunan, maka pada fase awal, prakarsa pembangunan hanya diharapkan
dan agen organisasi ya ng menonjol, hal ini dimungkinkan karena
birokrasi mempunyai kewenangan manusia dan sebagainya.
dalam
hal dana, teknologi, sumber daya
Didorong oleh realitas interaksi semacam ini, maka
strategi ”Top Down” dalam pelaksanaan pembangunan yang sering juga disebut dengan pendekatan birokratis, dapat berlangsung terus, dan lama kelamaan prakarsa pemerintah dalam pembangunan menjadi suatu pola dan
kemudian
melembaga sebagai sistem. Aplikasi model-model tersebut diatas tidak jarang menghasilkan programprogram pembangunan yang bukan hanya mengabaikan tetapi juga menurunkan kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah
yang mereka
hadapi melalui inisiatif lokal dan lebih dari itu membuat mereka menjadi sangat tergantung kepada birokrasi-birokrasi yang terpusat, yang memiliki absorbsi sumber daya yang sangat besar akan tetapi tidak memiliki kepekaan untuk menanggulangi kebutuhan-kebutuhan lokal. Terdapat tiga karakteristik utama peranan birokrasi dalam setiap strategi pembangunan seperti dikemukakan Korten (1985), dalam Moelyarto (1987) yaitu: pertama, dalam strategi pertumbuhan, birokrasi berperanan sebagai entrepreneur, kedua, dalam strategic basic needs, birokrasi berperanan sebagai service provider dan yang ketiga, dalam strategic people centered, birokrasi berperanan sebagai enabler atau fasilitator.
33
Sebagai entrepreneur, birokrasi tampil dalam proses pembangunan dengan menerapkan blue-print approach dan top-down , serta merumuskan proyek yang bersifat stereotip dan seragam. Ini dapat dilihat dalam aplikasi model pembangunan dalam P elita I dan II, yang terbukti efektif dalam meningkatkan pertumbuhan eknomi, hal ini memang merupakan suatu keuntungan dari penerapan pendekatan ”atas- bawah” dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam penerapan pendekatan atas bawah posisi birokrasi begitu kuat dan dominan, karena dia berperan sebagai ”agen tunggal” yang ditangannya terkonsentrasi kekuasaan di dalam mengelola pembangunan, kekuatan diluar birokrasi dipandang rendah, sehingga tidak dapat diharapkan peran sertanya dalam proses pembangunan. Hal ini disebabkan masyarakat kurang mempunyai ”rasa memiliki” dan menjadi terasing terhadap suatu proyek yang sebetulnya diperuntukkan bagi mereka sendiri. Proyek tersebut menjadi proyek pemerintah, sehingga proyek berakhir bersamaan dengan berakhirnya campur tangan birokrasi. Dalam
peranannya
sebagai
pembentukkan kemampuan
entrepreneur
dan proses
ini,
birokrasi
mengabaikan
pembinaan konstitusi, sehingga akan
membahayakan kemampuan masyarakat untuk tumbuh dengan kekuatan sendiri. Untuk lebih jelasnya akan terlihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Perbedaan Pendekatan Top-down dan Bottom-up dalam Pembangunan Pendekatan Pengelolaan sumberdaya yang bertumpu pada masyarakat 1. Ciri Khas Sumber-sumber pemacu adalah sumber lokal yang diarahkan sendiri 2. Keterandalan Sumber pusat yang tidak memadai. Sumber daerah tidak dimanfaatkan sepenuhnya. Pembangunan kemampuan lokal untuk ketahanan dan kepercayaan diri. 3. Keuntungan Cepat dan mudah Pemanfaatan daerah sepenuhnya 4. Kerugian Menciptakan ketergantungan Sulit dimulai, lamban dan sulit program pembangunan sosial mengelolanya berakhir 5. Prioritas Infrastruktur sistem diberikan Pengikisan kemiskinan. Sumberpusat sumber -sumber potensial sumber dikerahkan masyarakat lokal diekplorasi birokrasi pusat Sumber: Moelyarto, Politik Pembangunan Sebuah analisis konsep arah dan strategi, Tiara Wacana , Yogyakarta. Ciri-ciri
Atas-Bawah, Cetak biru Top Down; Blue Print Segala sumber disediakan birokrasi Manakala ada sumber pusat yang melimpah dan tidak ada sumber daerah yang menganggur
34
Tidak jauh berbeda dengan peranan khas yang ditampilkan birokrasi sebagai entrepreneur dalam proses pembangunan masyarakat, maka dalam penampilannya sebagai service provider, birokrasi tetap sebagai penentu dalam menciptakan fasilitas-fasilitas sosial bagi masyarakat secara seragam dan kurang memberi peluang bagi pemanfaatan sumber daya lokal
dalam pelaksanaan
program-programnya, masyarakat hanya diharapkan menerima secara pasif pelayanan apapun yang diberikan oleh birokr asi pemerintah sesuai dengan kebijaksanaan mereka, dengan cara, waktu dan tempat yang ditentukan oleh birokrasi (Korten, 1985). Masyarakat dipandang tidak memiliki pendapat dan aspirasi sendiri, tidak berpengalaman dalam pembangunan, hanya sebagai energi dan bukan sebagai sumber informasi yang penting bagi keberhasilan pembangunan
sehingga
tidak
menciptakan
partisipasi
masyarakat
dan
menghambat timbulnya suatu self sustaining development dalam pembangunan desa.
Dengan peranan yang demikian itu, tidak jarang pengabaian birokrasi
terhadap potensialitas partisipasi dan kontribusi masyarakat terhadap pemberian pelayanan sosial dan fasilitas sosia l akan membatasi kemampuannya
untuk
menjangkau mereka yang ada pada lapisan bawah dari piramida sosial. Peranan birokrasi baik sebagai entrepreneur maupun service provider ternyata kurang memberikan peluang kepada masyarakat untuk mandiri dalam mengelola pembangunannya, untuk mengatasi kelemahan tersebut Korten (1985) mengemukakan suatu alternatif strategi pembanguna n dan peranan birokrasi yang khas, yaitu pembangunaan yang berpusat pada manusia (people centered development), yang tidak hanya bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi juga mengembangkan secara lebih baik kualitas hidup masyarakat, serta memungkinkan berkurangnya ketergantungan masyarakat pada birokrasi yang lebih menjamin
tumbuhnya self sustaining capacity masyarakat dalam
pembangunan. Sementara itu Thoha (1987) mengatakan bahwa apabila birokrasi ingin berhasil dalam memainkan peranannya, maka birokrasi harus melihat kenyataan akan kecendrungaan arah baru proses pembangunan yang bersifat partisipatory, dengan menekankan model pembangunannya pada pelaksana atau implementasi
35
program-programnya dari arus papan bawah, yakni melihat sampai dimana peran serta masyarakat dalam proses pembangunan. Korten menyebut jenis manajemen atau administrasi yang cocok dalam rangka pelaksanaan model pembangunan dengan community based resource. Manajemen dengan ciri- ciri sebagai berikut: 1. Secara bertahap pr akarsa dan proses pengambilan keputusan
untuk
memenuhi kebutuhan harus diletakkan pada masyarakat sendiri. 2. Kemampuan masyarakat
untuk mengelola dan memobilisasi sumber-
sumber yang ada harus ditingkatkan. 3. Memperhatikan variasi lokal 4. Menekankan social learning antara birokrasi dan komunitas 5. Membentuk
net-working
antara
birokrasi
dan
lembaga -lembaga
masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut fasilitator
diatas, maka peranan birokrasi sebagai
atau enabler dipandang sebagai peranan yang lebih menentukan
pencapaian tujuan, karena sebagai fasilitator, birokrasi melaksanakan perencanaan bersama dengan masyarakat, dan menempatkan masyarakat sebagai partner yang memungkinkan masyarakat untuk aktif terlibat dalam keseluruhan proses pembangunan, sehingga menimbulkan rasa memiliki, ini berarti peranan birokrasi sebagai fasilitator memberi peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi terhadap pembangunan dengan cara: pertama, kemampuan memberi dukungan atau support, kedua komitmen terhadap program pembangunan, dan ketiga kepekaan terhadap aspirasi masyarakat. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Pembangunan
merupakan
suatu
proses
perubahan
sosial
dengan
partisipatori yang luas dalam suatu masyarakat yang dimaksudkan untuk kemajuan sosial dan material (termasuk bertambah besarnya keadilan, kebebasan dan kuaalitas lainnya yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih besar yang mereka peroleh terhadap lingkungaan mereka (Rogers, 1983) Dalam pembangunan, kepedulian dominan pada partisipasi telah dikaitkan dengan sektor ”masyarakat” atau sosial. Sebuah kajian yang sangat berpengaruh pada
36
akhir tahun 1970-an, mendefinisikan partisipasi sebagai ”upaya terorganisasi untuk meningkatkan pengawasan terhadap sumberdaya dan lembaga pengatur dalam keadaan sosial tertentu, oleh pelbagai kelompok dan gerakan yang sampai sekarang dikesampingkan dari fungsi pengawasan semacam itu” (Stiefel dan Wolfe:1994:5 dalam Gaventa dan Valderrama, 2001). Gaventa dan
Valderrama (2001) mengatakan bahwa belakangan ini,
definisi partisipasi dalam pembangunan sering ditemukaan dalam proyek dan program pembangunan, sebagai sarana penguatan relevansi, kualitas serta kesinambungannya.
Dalam sebuah pernyataan yang berpengaruh, kelompok
kajian Bank Dunia mengenai partisipasi mendefinisikan ”partisipasi sebagai proses dimana pemilik kepentingan (stakeholders) mempengaruhi dan berbagi pengawasan atas inisiatif dan keputusan pembangunan serta sumberdaya yang berdampak pada mereka”. Dari sudut pandang ini, partisipasi dapat dilihat pada tatanan konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek, dari evaluasi kebutuhan sampai penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi.
Walaupun proyek partisipasi itu bisa saja didanai oleh negara,
partisipasi didalamnya dipandang tidak terkait pada masalah-masalah politik atau pemerintahan yang lebih luas, namun sebagai cara untuk mendorong tindakan di luar lingkup pemerintah. Lagi pula, fokusnya lebih pada partisipasi langsung para pemilik kepentingan utama, dan
bukan pada partisipasi tak langsung melalui
para wakil yang dipilih. Salah satu cara untuk memahami partisipasi yang dikemukakan Sherry Arnstein dalam Gaventa dan Valderrama (2001) adalah dengan menggunakan ”tangga partisipasi”.
Walau sudah
20 tahun,
cara ini masih tetap relevan.
Tangga ini memperlihatkan berbagai cara organisasi menyikapi suatu kegiatan, misalnya suatu Pemerintah yang dalam
Daerah dapat melibatkan partisipannya (peserta),
hal ini adalah warganya. Untuk melihat tangga partisipasi dapat
dilihat pada Gambar 2 dibawah ini:
37
Pengawasan oleh warga Pendelegasian kekuasaan
Kekuasaan Warga
Kemitraan
Konsultasi
Menginformasikan
Tokenisme
Penentraman Manipulasi
Tidak ada partisipasi
Gambar 2: Tangga partisipasi masyarakat dalam program pemerintah. (Sumber. Gaventa dan Valderrama, Mewujudkan Partisipasi, The British Council, Jakarta) Tangga partisipasi diatas membantu kita memahami apa yang dimaksud oleh seseorang saat mereka berbicara mengenai “partisipasi” atau “keterlibatan”. Empat tangga dari bawah mengindikasikan besarnya intervensi pemerintah. Pada tangga manipulasi tergambar bahwa tidak ada partisipasi. Pada tangga konsultasi, menginformasikan dan pene ntraman tokenisme, artinya kebijakan sekedarnya
menggambarkan terjadinya
yang berupa
upaya superfisial
(dangkal, pada permukaan) atau tindakan simbolis dalam pencapaian tujuan. Djohani (1996) dalam Proyek Pengembangan Dataran Tinggi Nusa Tenggara (KPDTNT) dengan pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) menjelaskan bahwa PRA adalah suatu cara yang digunakan dalam melakukan kajian
untuk memahami keadaan
atau kondisi desa
dengan melibatkan
partisipasi masyarakat. Dengan cita-cita dasar bahwa kegiatan pembangunan pada akhirnya dikembangkan dan dimiliki sendiri oleh masyarakat, hal ini berarti yang ikut serta adalah ”orang luar” pembangunan
masyarakat
pada
yakni
kegiatan
para petugas lembaga -lembaga masyarakat, bukan sebaliknya,
38
masyarakatlah yang ikut serta pada kegiatan ”orang luar”. Artinya, program bukan dirancang oleh
orang luar
kemudian masyarakat diminta
ikut
melaksanakan, tetapi program dirancang oleh masyarakat dengan difasilitasi oleh orang luar.
Aktivitas pembangunan selalu menempatkan masyarakat sebagai
pelaku utama pembangunan. Yusri (1993) mengemukakan keberhasilan aparatur pemerintah dalam menghidupkan partisipasi masyarakat akan ditentukan oleh nilai efektivitas kepemimpinan aparatur pe merintah tersebut. Makin tinggi nilai efektivitasnya, akan besar pula peranannya dalam pembangunan. Hal ini dapat ditafsirkan, bahwa aparatur pemerintah/kepala desa dapat memikirkan peranannya yang lebih besar dalam melaksanakan program pembangunan yang sudah mendapat
simpati
masyarakatnya
dengan
melekatkan
simpati
mereka.
Kemampuan yang tinggi akan tercapai efektivitas yang tinggi pula. Kebijaksanaan dan kemampuan serta keterampilan kepala desa menjadi pokok masalah dalam hubungan kerja sama dalam pemba ngunan yang menjadi kunci keberhasilankeberhasilan dalam menghidupkan partisipasi masyarakat, sebab efektivitas itu suatu bentuk perpaduan nilai. Konteks yang sangat luas pengertian partisipasi dapat diacu dari pendapat Davis dalam Huneryager (1992) yang memberikan definisi partisipasi sebagai berikut: ”Participation is defined as an individuals mental and emotional involvement in a group situation that encourrager him to contribute to group goals and to share responsibility for them”. Definisi ini mengemukakan tiga hal pokok yang menjadi perhatian partisipasi, yakni: (1) titik berat keterlibatan partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional, ini berarti bahwa kehadiran secara fisik semata-mata didalam suatu kelompok, tanpa keterlibatan mental dan emosional bukanlah partisipasi, (2) sumbangan yang diberikan demi tercapainya tujuan kelompok itu sangat beragam, (3) kesediaan untuk bertanggung jawab diantara sesama anggota kelompok tersebut terbangkitkan.
Gaffar (1986)
menyatakan hakekat partisipasi adalah kemandirian, artinya setiap individu yang melakukan kegiatan partisipasi harus berasal dari dirinya sendiri, atas inisiatif atau kemauan sendiri, kalau seorang individu melakukan kegiatan karena didorong atau digerakkan orang lain, atau karena merasa khawatir akan konsekuensi kalau
39
tidak melakukan partisipasi, maka apa yang sebenarnya terjadi adalah mobilisasi, atau istilah populernya partisipasi yang digerakkan. Perserikatan Bangsa -Bangsa memberikan definisi partisipasi masyarakat apabila dikaitkan dengan pembangunan sebagai keterlibatan aktif dan bermakna dari massa penduduk pada tingkatan-tingkatan yang berbeda, yaitu: (a) dalam proses pembentukkan keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan kemasyarakatan dan pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan tersebut, (b) pelaksanaan program-program dan proyek-proyek secara sukarela,
dan (c)
pemanfaatan hasil-hasil dari suatu program atau proyek. Sedangkan Mubyarto (1988) memberikan pengertian partisipasi masyarakat
dalam pembangunan
pedesaan sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program-program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan diri mereka sendiri. Sementara itu Nasikun (1990) mendefinisikan partisipasi menjadi empat tingkat konseptualis. Pertama , partisipasi pertama-tama harus mengandung arti keterlibatan
didalam
proses
pengambilan
keputusan-keputusan
kebijakan
pembangunan. Kedua, berkaitan erat dengan bentuk partisipasi yang pertama, tetapi pengungkapannya terjadi di dalam proses perkembangan program dimana penduduk lapisan miskin ditempatkaan sebagai konsumen utama dari programprogram pembangunaan pedesaan. Ketiga, lapisan penduduk miskin dilihat sebagai konstituen program-program pembangunan yang secara politik tidak berdaya, dan oleh karena itu membutuhkan stimulasi dan dukungan, dan akhirnya penduduk mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan.
Keempat,
menuntut keterlibatan penduduk miskin di dalam pekerjaan-pekerjaan
yang
disediakan masyarakat. Umumnya yang dimaksud partisipasi oleh ilmuwan politik adalah partisipasi
dalam pembuatan
keputusan, sedang menurut ilmuwan ekonomi,
partisipasi adalah dalam hal menikmati hasil pembangunan, namun yang didapati pemerintah adalah kecendrungan untuk mengartikan partisipasi sebagai partis ipasi dalam penerapan keputusan, bukan dalam pembuatan maupun evaluasi. Padahal menurut Cohen dan Uphoff keempat jenis partisipasi tersebut merupakan suatu siklus sebagaimana terlihat pada Gambar 3 berikut ini:
40
(1) Decision Making (2) Implementation (3) Benefit (4) Evaluasi
Gambar 3. Siklus Partisipasi Cohen dan Uphoff (1979) dari gambar di atas mendefinisikan empat jenis, dimulai dari partisipasi dalam pembuatan keputusan, partisipasi dalam penerapan keputusan, partisipasi dalam pencapaian hasil, serta yang perlu ditambahkan partisipasi dalam evaluasi. Salah satu syarat yang diajukan Cohen dan Uphoff adalah ”empowerment”
Efektivitas keikutsertaan warga masyarakat sangat
ditentukan oleh berapa banyak ”power” yang dipunyainya. Pembuatan keputusan secara lebih spesifik dalam partisipasi ini berpusat pada pengumpulan gagasan, perumusan pilihan-pilihan (option), evaluasi pilihan, tindakan memilih, dan merumuskan strategi untuk melakukan pilihan terhadap dampak yang timbul. Dalam hal ini dikenal tiga macam tipe keputusan: (1) initial decisions, (2) on going decisions, dan (3) operational decisions. Implementasi, untuk berperan serta dalam aspek ini dalam satu program dapat dilakukan melalui tiga cara yakni: (1) kontribusi sumber daya (recource contributions), (2) usaha -usaha administrasi dan koordinasi, (3) terlibat dalam program (programme enlisment activities). Benefit, terlibat dalam suatu program sedikitnya dapat menarik tiga macam keuntungan: (1) material, (2) sosial, dan (3) personal.
Keuntungan
material yaitu keuntungan untuk memenuhi kebutuhaan pokok individual. Keuntungan sosial yaitu, keuntungan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, Keuntungan personal biasanya berkaitan dengan keinginan yang bersifat individual dengan melibatkan diri dalam suatu kelompok/organisasi yang memiliki kekuasaan maupun sosial dalam suatu program. Evaluasi, untuk berperan serta dalam evaluasi program dapat dilakukan melalui dua kegiatan pokok yakni: (1) evaluasi formal terhadap proyek, (2)
41
pendapat umum. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan biasanya dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Pada saat ini, manajemen pengembangan sumberdaya yang berwawasan lokal begitu mencuat, model pembangunannya menekankan pada pelaksanaan implementasi program-program dari arus papan bawah, yakni melihat sampai dimana peran serta masyarakat tidak hanya orang dipengaruhi dan dikenai pembangunan saja yang menyukai partisipasi, akan tetapi juga para perencana pembangunan (birokrat pemerintah) menginginkan agar rakyat
berpartisipasi
bukan hanya karena agar bisa menyumba ngkan peran aktifnya dalam setiap langkah dari proses pembangunan ini, tetapi mulai dari pelaksanaan sampai ke monitoringnya (Morss, 1976 dalam Thoha, 1987). Adapun keuntungan yang diperoleh dengan adanya partisipasi dalam pelaksanaan-pelaksanaan program pembangunan ini antara lain sebagai berikut: 1.
Banyak proyek pembangunan tidak bisa keluar dari lilitan persoalan, jika rakyat yang dikenai proyek tidak terlibat. Sumber daya lokal merupakan sumber
daya yang mengetahui kondisi dan potensi daerah.
Jika timbul
masalah hanya orang-orang lokal yang memahaminya. 2.
Dengan partisipasi, planner dilengkapi dengan informasi amat berharga, yang tidak bisa diperoleh dengan cara lain. Dengan kata lain, partisipasi informasi yang sangat berharga akan diperoleh planner dan para birokrat, sedangkan cara -cara lain barangkali tidak seberharga partispasi,
3.
Rakyat akan sangat menerima perubahan yang diadakan jika mereka diajak berperan serta di dalam merancang, mengkonstruksi, melaksanakan, sampai pada saat mengevaluasi. Beberapa pendapat yang telah dirangkum diatas, dapatlah dikatakan bahwa
partisipasi telah menjadi mitos pembangunan, meskipun dalam prakteknya setiap strategi
pembangunan
yang
menampilkan
peranan
khas
birokrasi
pembangunannya, telah pula memberikan variasi dala m mengambil konsep partisipasi itu, nampaknya pendekatan top-down dan blue print praktis mengabaikan partisipasi masyarakat, karena pendekatan ini, seluruh kegiatan pembangunan diprakarsai, diarahkan dan dikontrol oleh pengaruh birokrasi, sedang masyarakat hanya dimobilisasikan untuk melaksanakan pembangunan.
42
Campur tangan birokrasi lokal yang tampil sebagai mesin utama pemerintahan dan pembangunan yang sangat dominan dalam keseluruhan proses pembangunan yang akan dilaksanakan tentunya telah merosotkan arti partisipasi, sebaliknya pendekatan pengelolaan yang bertumpu pada masyarakat sebagai derivasi pembangunan yang terpusat pada manusia, sangat memungkinkan adanya partisipasi yang tidak dimobilisasi yang mengakibatkan re-orientasi birokrasi pemerintah secara mendasar ke arah keterkaitan yang lebih efektif dengan komunitas. Menurut Pretty (1994) dalam Swanson et al. (1997) tipologi partisipasi dalam program pemerintah terdiri atas: (1) partisipasi pasif, (2) partisipasi informatif, (3) partisipasi konsultatif, (4) partisipasi insentif, (5) partisipasi fungsional, (6) partisipasi interaktif, dan (7) partisipasi mandiri. Partisipasi pasif memiliki karakterisitik yaitu: (a) masyarakat menerima pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi, (b) pengumuman sepihak oleh pelaksana program tanpa memperhatikan tanggapan masyarakat sasaran, (c) informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran.
Partisipasi informatif memiliki karakteristik yaitu: (a) masyarakat
menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian untuk proyek, (b) masyarakat tidak mendapat kesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses penelitian proyek, dan (c) akurasi hasil penelitian tidak dibatasi bersama masyarakat. Partisipasi konsultatif memiliki karakteristik yaitu: (a) masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi, (b) orang luar mendengarkan, menganalisis masalah
dan
memecahkannya, (c) tidak ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama, dan (d) para profesional
tidak berkewajiban
untuk mengajukan pandangan
masyarakat untuk ditindaklanjuti. Partisipasi
insentif
memiliki
karakteristik
yaitu:
memberikan korbanan/jasanya untuk memperoleh imbalan
(a)
masyarakat
berupa insentif/upah,
(b) masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran
atau eksperimen-
eksperimen yang dilakukan, dan (c) masyarakat tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan. Partisipasi fungsional mempunyai karakteristik yaitu: (a) masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai
tujuan program, (b) pembentukkan kelompok biasanya setelah ada
keputusan-keputusan utama yang disepakati, dan (c) pada tahap awal, masyarakat
43
tergantung
kepada
pihak
luar,
tetapi
secara
bertahap
menunjukkan
kemandiriannya. Partisipasi interaktif memiliki karakteristik yaitu: (a) masyarakat berperan dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukkan
atau
penguatan kelembagaan, (b) cenderung melibatkan metoda interdisipliner yang mencari
keragaman perspektif dalam proses
belajar yang terstruktur dan
sistematis, dan (c) masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas keputusankeputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan. Partisipasi mandiri mempunyai karakteristik yaitu: (a) masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas
(tidak dipengaruhi
oleh pihak luar)
untuk
mengubah sistem atau nilai- nilai yang mereka junjung, (b) masyarakat mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan-bantuan/dukungan-dukungan teknis dan sumberdaya yang diperlukan, dan (c) masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan. Selanjutnya menurut Margono Slamet (2003) dalam bukunya yang berjudul “ Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan” dikatakan bahwa setelah me nyadari betapa pentingnya partisipasi, maka perlu kita memikirkan lebih lanjut syarat-syarat yang diperlukan agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Adapun syarat-syarat tersebut digolongkan sebagai berikut: (1) adanya kesempatan untuk membangun, (2) adanya kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan, dan (3) adanya kemauan untuk berpartisipasi. Kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan yang menuju peningkatan kualitas hidup itu dapat bermacam-macam bentuknya, antara lain adanya sumber-sumber daya alam yang dapat dikembangkan, adanya pasaran yang terbuka (prospek untuk mengembangkan sesuatu), tersedianya modal (uang, kredit),
tersedianya
sarana
dan
prasarana,
terbukanya
lapangan
kerja
pembangunan dan lain sebagainya. Sedangkan kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan
yang
terbuka
adalah
pengertian,
pengetahuan,
keterampilan, sikap mental yang menunjang dan kesehatan tubuh yang memadai. Kecuali sumberdaya alam, kesempatan-kesempatan yang lain tentunya harus dapat diusahakan oleh pengelola-pengelola pembangunan untuk diadakan, dibuka, disediakan atau dikembangkan agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
yang
44
merasa memerlukannya.
Kemampuan
sangat dipengaruhi oleh pengetahuan,
keterampilan dan juga sikap mental.
Pengetahuan dan pengertian tentang
pembangunan sesuatu sampai pada seluk beluk pelaksanaannya sangat perlu bagi masyarakat sehingga mereka dapat cepat tanggap terhadap kesempatan yang ada. Pengetahuan tentang adanya potensi dilingkungannya yang dapat dikembangkan atau dibangun sangat penting artinya.
Demikian pula pengetahuan dan
keterampilan tentang teknologi tepat guna yang dapat
dimanfaatkan
untuk
mengembangkan sumberdaya alam yang ada untuk dipadukan dengan berbagai sarana produksi lain sangat penting bagi keberhasilan masyarakat yang membangun.
45
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Berkembangnya pembicaraan tentang partisipasi dalam pembangunan masyarakat desa, menempatkan partisipasi penting untuk terus dikaji dan diteliti. Sejak berkembangnya pembangunan masyarakat desa yang dimulai dari Pelita 1 di zaman orde baru, membawa perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat desa. Program-program atau proyek-proyek pembangunan masyarakat memberi harapan bagi masyarakat desa terhadap perubahan kesejahteraannya, namun harapan itu sirna setelah dilakukan evaluasi dan monitoring, ternyata programprogram pembangunan
tersebut hanya program di atas kertas, yang tidak
memiliki tujuan jangka panjang, sehingga masyarakat hanya dilibatkan sampai berakhirnya jangka waktu proyek tersebut. Namun proyek-proyek sejenis tidak berhenti sampai disitu, proyek-proyek sejenis terus berkembang mencari sebuah bentuk yang ideal, serta terus mengkaji berbagai faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat da lam program pembangunan. Hasil penelusuran panjang, berbagai ahli sosial mencermati bahwa partisipasi bukan hanya berupa kata-kata yang selalu harus diucapkan di awal pelaksanaan program, namun jauh dibalik itu partisipasi harus diaplikasi dalam bentuk nyata berupa tindakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat desa. Pemerintah Propinsi Jawa Barat melalui Program Raksa Desa melakukan pendekatan yang komprehensif dengan memadukan pola komunikasi top-down dan bottom-up berupa: (1) Pemerintah Propinsi Jawa Barat membentuk Satuan Pelaksana
Program Raksa Desa mulai dari tingkat Propinsi, Kabupaten,
Kecamatan dan Tingkat Desa, (2) Pemerintah Propinsi menugaskan Pemerintah Daerah untuk mengidentifikasi desa-desa miskin di daerahnya masing-masing, (3)
Satuan Pelaksana Kabupaten menyerahkan bantuan bagi desa-desa yang
memenuhi kualifikasi
penerima bantuan, dan (4) Satuan Pelaksana
Desa
bersama masyarakat desa menentukan pembangunan infrastruktur dan penerima bantuan modal bergulir. Program Raksa Desa untuk selanjutnya menjadi milik masyarakat desa tersebut. Program Raksa Desa dalam masa berlangsungnya yang telah mencapai tahap kedua memasuki tahap ketiga tentunya masih perlu dikaji keadaan yang sebenarnya, walaupun Pemerintah Propinsi sudah bercermin
46
pada program-program sejenis yang gagal sebelumnya, namun pelaku/pelaksana program tersebut perlu disoroti perannya dalam pembangunan. Tingginya intervensi pemerintah dalam program pembangunan selama ini disinyalir sebagai penyebab rendahnya partisipasi masyarakat dalam program tersebut. Pendekatan pemerintah terhadap masyarakat desa selama ini cenderung menggunakan pendekatan mobilisasi sehingga para peneliti dan para ahli sosial menganjurkan untuk merubah pendekatan tersebut ke pe ndekatan partisipasi. Keterlibatan fasilitator dalam pembangunan masyarakat desa selama diharapkan akan
ini,
membantu dan mempercepat proses pembangunan, namun
ternyata peran fasilitator tersebut dinilai masih belum efektif dapat membantu masyarakat.
Faktor lain yang dianggap mempengaruhi partisipasi adalah
ketepatan peluncuran program pembangunan dengan kebutuhan masyarakat. Banyak sekali program pembangunan menunda-nunda pelaksanaan program, dengan alasan salah satunya belum cairnya dana proyek atau belum siapnya aparat pelaksana proyek, sehingga dengan demikian proyek baru diselenggarakan setelah semua dianggap siap, sementara situasi yang ada dimasyarakat sudah berubah dan begitu juga kebutuhan masyarakat. Pendekatan program yang dilakukan pemerintah kepada masyarakat desa merupakan salah satu bentuk proses komunikasi yang terjadi. Arah komunikasi yang selama ini di kenal dalam program pembangunan masyarakat adalah komunikasi yang bersifat top-down , sehingga dengan pola komunikasi ini dikatakan ba hwa masyarakat hanya dianggap sebagai objek pembangunan, bukan sebagai pelaku pembangunan itu sendiri. Untuk itu pola komunikasi top-down dirubah ke pola komunikasi bottom-up, dengan demikian masyarakat dapat merasa memiliki program tersebut (dari dan untuk masyarakat). Penerapan pola komunikasi dapat memperlihatkan intensitas komunikasi yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat desa, karena intensitas bertanya, memberi informasi, meminta klarifikasi, penyebaran informasi dan kebutuhan informasi akan rendah jika komunikasi tersebut bersifat top-down . Selanjutnya konvergensi komunikasi sebagai salah satu keterpaduan antara pemerintah dan masyarakat desa yang bisa diwujudkan dalam musyawah akan rendah pada pola komunikasi top -down, karena pemerintah beranggapan tidak diperlukan adanya musyawarah
47
dengan masyarakat, karena semuanya sudah diatur oleh pemerintah dan masyarakat diharapkan melaksanakan apa yang telah direncanakan oleh pemerintah. Partisipasi sebagai bentuk kesadaran masyarakat akan pentingnya peran sertanya dalam pembangunan tidak terlepas dari adanya pras yarat partisipasi yakni adanya kesempatan, kemampuan dan kemauan. Kesempatan, kemampuan dan kemauan untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemanfaatan sangat dipengaruhi oleh
penguasaan informasi, motif, harapan,
kebutuhan, pengetahuan, keterampilan dan sikap mental. Secara diagramatik, kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 4.
X1.Karakteristik Individu X1.1 Umur X1.2 Pendidikan H1 X1.3 Penghasilan X1.4 Pekerjaan X1.5 Pengalaman Berusaha
H2
H1 Y1. Prasyarat Partisipasi
X3. Proses Komunikasi X3. Proses Komunikasi X3.1 Arah Arah Komunikasi Komunikasi X3.1 H2 X3.2 X3.2 Intensitas Intensitas Komunikasi Komunikasi X3.3 Konvergensi Konvergensi X3.3
H4
Y1.1 Kesempatan Y1.2 Kemampuan Y1.3 Kemauan
Y2 Partisipasi Masyarakat
H5
Y2.1 Perencanaan Y2.2 Pelaksanaan Y2.3 Evaluasi Y2.4 Pemanfaatan
H3 X2. Pola Intervensi X2.1 Pendekatan partisipatif X2.2 Peran pendamping X2.3 Ketepatan program
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Proses Komunikasi dan Partisipasi dalam Pembangunan Masyarakat Desa
48
Hipotesis Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa proses komunikasi tidak mempengaruhi partisipasi secara langsung, namun partisipasi juga dipengaruhi oleh prasyarat partisipasi, pola intervensi dan karakteristik anggota. Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H1. Ada hubungan yang nyata antara karakteristik anggota penerima bantuan dengan proses komunikasi dalam Program Raksa Desa H2. Ada hubungan yang nyata antara karakteristik anggota dengan prasyarat partisipasi masyarakat dalam Program Raksa Desa H3. Ada hubungan yang nyata antara pola interve nsi dengan proses komunikasi masyarakat dalam Program Raksa Desa H4. Ada hubungan yang nyata antara proses komunikasi dengan prasyarat partisipasi masyarakat dalam Program Raksa Desa. H5. Ada hubungan yang nyata antara prasyarat partisipasi dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam Program Raksa Desa. Hipotesis di atas yang terkait dengan masalah pertama di coba di jawab dengan hipotesis kelima. Masalah kedua di jawab dengan hipotesis ketiga dan keempat, dan masalah ketiga di jawab dengan hipotesis pertama dan kedua.
49
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Lokasi penelitian adalah 3 (tiga) desa yang memperoleh bantuan Program Raksa
Desa tahap pertama Tahun 2003 di Kecamatan Ciampea Kabupaten
Bogor, yakni: (1) Desa Bojong Jengkol, (2) Desa Cinangka, dan (3) Desa Cibanteng. Pengumpulan data dilakukan selama bulan Januari sampai dengan Februari 2006. Desain Penelitian Penelitian ini dirancang sebagai penelitian eksplanasi (explanatory research). Menurut Faisal (1995) penelitian eksplanasi adalah menguji hubungan antar variabel
yang dihipotesiskan.
Menurut Jalil (1997) penelitian dengan
rancangan ini tidak menghipotesiskan secara khusus tentang adanya hubungan kausal, melainkan hanya hubungan yang asosiatif.
Menurut Kerlinger (2003)
desain penelitian korelasional bukanlah untuk mengetahui hal-hal khusus tertentu melainkan mengetahui hubungan atau relasi antara fenomena -fenomena. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah warga masyarakat anggota kelompok penerima bantuan Program Raksa Desa tahap pertama Tahun 2003 di Kecamatan Ciampea. Populasi kelompok pada masing-masing desa yakni; (1) Desa Bojong Jengkol sebanyak 23 kelompok, (2) Desa Cinangka sebanyak 16 kelompok, dan (3) Desa Cibanteng seba nyak 14 kelompok. Desa sampel diambil secara purposive, dengan pertimbangan ketiga desa tersebut adalah desa yang mendapat bantuan Program Raksa Desa
tahap pertama yang ditetapkan oleh Pemerintah
Propinsi. Demikian juga sampel kelompok, yang dipilih secara purposif yang terdiri dari: (1) kelompok aktif (2) kelompok kurang aktif dan (3) kelompok tidak aktif . Pengambilan sampel responden secara stratified random sampling, berdasarkan strata keaktifan anggota dalam pembangunan infrastruktur dan ekonomi modal bergulir. Responden diambil dari unsur pengurus dan unsur anggota dari kelompok yang terpilih. Jumlah sampel penelitian adalah 74 orang.
50
Data dan Instrumentasi Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Instrumen penelitian adalah kuesioner yang dibagi dalam lima bagian yaitu: karakteristik anggota, pola intervensi, proses komunikasi, prasyarat partisipasi, dan partisipasi anggota dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemanfaatan. Definisi Operasional Untuk
mempermudah
pemahaman
terhadap
isitilah-istilah
dalam
penelitian, berikut ini didefinisikan beberapa peubah yang digunakan, sebagai berikut: X1. Variabel Karakteristik Individu meliputi : X1.1. Umur adalah usia anggota penerima bantuan pada saat penelitian dilakukan, yang dihitung dari hari kelahiran dan dibulatkan ke ulang tahun
terdekat
yang
dinyatakan
dalam
tahun.
Dikategorikan
berdasarkan sebaran normal responden sampel, yakni: (1) Muda (25 tahun – 41 tahun) (2) Dewasa (42 tahun – 59 tahun ) (3) Tua. (60 tahun - 76 tahun) X1.2. Pendidikan adalah jumlah tahun sekolah yang telah diselesaikan oleh responden. Dikategori atas: (1) Rendah (tidak bersekolah sampai tamat SD), (2) Sedang ( tidak tamat SMP sampai tidak tamat SMA) dan (3) Tinggi (SMA ke atas). X1.3. Penghasilan adalah pendapatan bersih yang diperoleh anggota penerima bantuan, baik dari pekerjaan utama maupun dari pekerjaan sampingan dalam satu bulan yang dinyatakan dalam rupiah.
Dikategorikan
berdasarkan sebaran normal responden sampel, yakni: (1) Rendah ( Rp 90.000 – Rp 226.000) (2) Sedang ( Rp 227.000 – Rp Rp 363.000) (3) Tinggi. (Rp 364.000 – Rp 500.000)
51
X1.4. Pekerjaan pokok adalah kegiatan usaha yang digeluti anggota penerima bantuan yang mendatangkan penghasilan.
Jenis pekerjaan ini sesuai
dengan Petunjuk Teknis dan Petunjuk Pelaksanaan. Dikategori atas: (1) Petani (2) Peternak (3) Pedagang (4) Pengrajin (5) Bengkel. X1.5. Pengalaman Berusaha adalah lamanya anggota penerima
bantuan
dalam menekuni kegiatan dari pekerjaan pokok yang dinyatakan dalam tahun. Dikategorikan berdasarkan sebaran normal responden sampel, yakni: (1) Sedikit (1 tahun – 12 tahun) (2) Sedang (13 tahun – 26 tahun) (3) Banyak (27 tahun – 40 tahun) X2. Variabel Pola intervensi meliputi : X2.1. Pendekatan partisipatif adalah penerapan program Raksa Desa yang diselenggarakan oleh Satuan Pelaksana Desa dengan kesadaran masyarakat. Dikategorikan secara interval skor, yakni : (1) Tidak partisipatif ( 8 – 11 ) (2) Kurang partisipatif ( 12 – 15 ) (3) P artisipatif ( 16 – 20 ) X2.2. Peran Pendamping adalah keterlibatan Sarjana Pendamping dalam memfasilitasi pelaksanaan program Raksa Desa. Dikategorikan secara interval skor, yakni : (1) Rendah ( 5 – 8 ) (2) Sedang ( 9 – 11 ) (3) Tinggi ( 12 – 15 ) X2.3. Ketepatan adalah kesesuaian pelaksanaan program dengan kebutuhan masyarakat. Dikategorikan secara interval skor, yakni :
52
(1) T idak tepat ( 4 – 6 ) (2) Kurang tepat ( 7 – 9 ) (3) Tepat ( 10 – 12 ) X3. Variabel Proses Komunikasi meliputi : X3.1. Arah komunikasi adalah proses penyampaian pesan, baik dari penyelenggara pembangunan desa kepada anggota kelompok atau dari anggota kelompok kepada penyelenggara pembangunan desa dalam pelaksanaan Program Raksa Desa. Dikategorikan secara interval skor, yakni : (1) Linear ( 2 – 4 ) (2) Interaktif ( 5 – 6) X3.2.
Intensitas komunikasi adalah frekuensi dan substansi yang dibicarakan dalam percakapan antara anggota kelompok dengan penyelenggara pembangunan desa dan sebaliknya. Intensitas ditinjau dari dua hal berikut: X3.2.1. Frekuensi komunikasi meliputi bertanya, menerima informasi, klarifikasi, penyebaran informasi, dan kebutuhan informasi. Dikategorikan secara interval skor, yakni : (1) Rendah ( 10 – 15 ) (2) Sedang ( 16 – 21 ) (3) Tinggi ( 22 – 28 ) X3.2.2. Substansi komunikasi meliputi pembicaraan tentang pembangunan infrastruktur dan perguliran modal. Dikategorikan secara interval skor, yakni : (1) Tidak pernah ( 2 – 3 ) (2) Jarang ( 4 – 5 ) (3) Sering. ( > 6 )
X3.3. Konvergensi komunikasi adalah keterpaduan antara masyarakat dengan penyelenggara pembangunan desa dalam
kegiatan program Raksa
Desa. Dikategorikan secara interval skor, yakni :
53
(1) Tidak konvergen ( 4 – 6 ) (2) Kurang konvergen ( 7 – 9 ) (3) Konvergen ( 10 – 12 ) Y1. Variabel Prasyarat Partisipasi meliputi: Y1.1. Kesempatan adalah adanya suasana atau kondisi lingkungan yang disadari oleh responden bahwa mereka berpeluang untuk berpartisipasi. Dikategorikan secara interval skor, yakni : (1) Rendah ( 4 – 6 ) (2) Sedang ( 7 – 9 ) (3) Tinggi. ( 10 – 12 ) Y1.2. Kemauan adalah adanya sesuatu yang mendorong/menumbuhkan minat dan sikap responden untuk termotivasi berpartisipasi.
Dikategorikan
secara interval skor, yakni : (1) Rendah ( 7 – 8 ) (2) Sedang ( 9 – 10 ) (3) Tinggi. ( 11 – 12 ) Y1.3. Kemampuan adalah adanya kesadaran atau keyakinan pada diri responden bahwa mereka mempunyai pengetahuan dan keterampilan untuk berpartisipasi dalam Program Raksa Desa. Dikategorikan secara interval skor, yakni : (1) Rendah ( 4 – 6 ) (2) Sedang ( 7 – 9 ) (3) Tinggi ( 10 – 12 ) Y2. Variabel Partisipasi Meliputi: Y2.1. Perencanaan adalah keterlibatan responden dalam tahap awal pengambilan keputusan dalam penentuan kegiatan Program Raksa Desa di tingkat desa. Dikategorikan secara interval skor, yakni : (1) Rendah ( 5 – 7 ) (2) Sedang ( 8 – 10 ) (3) T inggi ( 11 – 14 )
54
Y2.2. Pelaksanaan adalah keterlibatan responden dalam implementasi Program Raksa Desa. Dika tegorikan secara interval skor, yakni : (1) Rendah ( 2 – 3 ) (2) Sedang ( 4 – 5 ) (3) Tinggi ( > 6 ) Y2.3. Evaluasi adalah keterlibatan responden dalam menilai pelaksanaan dan hasil Program Raksa Desa. Dikategorikan secara interval skor, yakni : (1) Rendah ( 2 – 3 ) (2) Sedang ( 4 – 5 ) (3) Tinggi. ( > 6 ) Y2.4. Pemanfaatan adalah tingkat pemakaian dan penggunaan fasilitas hasil pembangunan infrastruktur oleh masyarakat. Dikategorikan
secara
interval skor, yakni : (1) Rendah ( 3 – 4 ) (2) Sedang ( 5 – 6 ) (3) Tinggi ( > 7 ) Validitas dan Reliabilitas Instrumen Hasil reliabilitas kuesioner yang dilakukan pada akhir Desember 2005 diperoleh nilai 0.944 (r hitung > r tabel
(0,444) ).
Nilai tersebut menunjukkan bahwa
instrumen yang digunakan reliabel untuk digunakan pada lokasi penelitian yang sesungguhnya. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner, wawancara mendalam (in depth) dengan berbagai pihak terkait serta informan kunci, dan mencatat data sekunder dari berbagai sumber. Analisa Data Distribusi variabel penelitian dianalisis menggunakan statistik deskriptif. Hubungan untuk data yang menggunakan skala nominal dianalisis menggunakan uji korelasi Chi-Square dan untuk data yang menggunakan skala ordinal di analisis menggunakan uji korelasi Rank Spearman dengan
menggunakan
Program SPSS Versi 12.
55
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Umum Keadaan Umum Jumlah penduduk Jawa Barat pada Tahun 2002 mencapai 37.291.946 jiwa dengan laju pertambahan penduduk sebesar 2,33 persen.
Secara kuantitatif
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Jawa Barat diukur dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada tahun 2002 mencapai 67,45.
Derajat
kesehatan yang tercermin dalam Usia Harapan Hidup (UHH) mencapai 64,93 tahun, derajat pendidikan diukur dari Angka Melek Huruf (AMH) mencapai 93,94 persen, dan rata-rata lama sekolah mencapai 7,04 tahun. Adapun kemampuan ekonomi yang diukur dari konsumsi per kapita mencapai Rp 551.350 (lima ratus lima puluh satu ribu tiga ratus lima puluh rupiah). Jumlah penduduk miskin pada tahun 2002 berjumlah 4. 938.200 jiwa atau sekitar 13,58 persen dari total jumlah penduduk Jawa Barat.
Kondisi
infrastruktur jalan dilihat dari indikator aksesibilitas (panjang jalan/luas area) ratarata Jawa Barat baru mencapai 20,53. Selanjutnya dilihat dari indeks mobilitas (panjang jalan/1000 penduduk) baru mencapai 0,54. Kondisi infrastruktur air, untuk air bersih cakupan air bersih baru mencapai 67,13 persen. Untuk irigasi Jawa Barat yang memiliki areal sawah seluas 767.443 Ha, sebesar 76,47 persen beririgasi teknis yang dikelola pemerintah dan 13,39 persen irigasi perdesaan yang dikelola oleh masyarakat, adapun 10,14 persen sawah tadah hujan. Untuk energi listrik sampai dengan Desember 2001 jumlah desa yang sudah menggunakan listrik 5.695 desa (99,11 persen), namun berdasarkan rasio elektrifikasi tahun 2000, sekitar 49,28 persen , sedangkan di daerah perkotaan sekitar 78,93 persen. Untuk infrastruktur telekomunikasi pembangunan jaringan telepon di propinsi Jawa Barat sampai tahun 2000 yang dilakukan TELKOM dan mitra KSO-nya sebanyak 676,051 SST (setara dengan 2,43 SST per 100 penduduk) jumlah desa yang terjangkau fasilitas telepon di setiap Kabupaten/Kota rata-rata 67,96 persen. Khusus kota Bandung, kota Cirebon, kota Sukabumi dan kota-kota Jabodebek seluruh desa telah terlayani fasilitas telekomunikasi.
56
Jumlah desa dan kelurahan di seluruh wilayah Jawa Barat adalah 5.776 yang terdiri dari 5.233 desa dan 543 kelurahan. Kondisi desa di Jawa Barat sampai saat ini masih memprihatinkan, hal tersebut dapat terlihat dari sekitar 35 persen desa di Jawa Barat yang masih rawan kemiskinan dan sekitar 3.302 desa yang masih rawan infrastruktur perdesaan seperti rawan air bersih, rawan infrastruktur jalan, rawan listrik dan rawan sanitasi perdesaan. Program Raksa Desa Tahun 2003 di Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor Tahun 2003 mendapat alokasi untuk program Raksa Desa di 55 Desa 11 Kecamatan. Dana keseluruhan program Raksa Desa Tahun 2003 untuk Kabupaten Bogor sebesar Rp 7.898.000.000 (tujuh milyar delapan ratus sembilan puluh delapan juta rupiah) dengan rincian; kegiatan fisik sebesar Rp 3. 300.000.000 (tiga milyar tiga ratus juta rupiah), ekonomi perguliran sebesar Rp 2.200.000.000 (dua milyar dua ratus juta rupiah), Biaya Operasioan Pelaksanaan (BOP) Satuan Pelaksana (Satlak) Kabupaten Rp 8.250.000 (delapan juta dua ratus lima puluh ribu rupiah), BOP Satlak Kecamatan sebesar Rp 13.750.000 (tiga belas juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), BOP Satla k desa Rp 220.000.000 (dua ratus dua puluh juta rupiah), insentif Sarjana Pendamping Rp 26.400.000 (dua puluh enam juta empat ratus ribu rupiah), peningkatan kinerja aparat desa/kelurahan sebesar Rp 2.130.000.000 (dua milyar seratus tiga puluh juta rupiah). Program Raksa Desa di Kabupaten Bogor juga didukung oleh APBD Kabupaten sebesar Rp 199.979.100 ( seratus sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus tujuh puluh sembilan seratus rupiah). Setiap desa mendapat dana tugas pembantuan sebesar Rp 100.000.000 yang dipergunakan untuk kegiatan fisik sebesar Rp 40.000.000 (empat puluh juta rupiah), dan kegiatan ekonomi modal bergulir Rp 60.000.000 (enam pulih juta rupiah).
Untuk Tahun 2003
terserap swadaya masyarakat sebesar Rp 1.140.075.000 (satu milyar seratus empat puluh juta tujuh puluh lima ribu rupiah).
Keseluruhan kegiatan fisik yang
dilaksanakan di 55 desa berjumlah sebanyak 195 kegiatan dengan macam-macam kegiatan seperti pembuatan jalan, jembatan, pipanisasi air bersih dan lain-lain. Sedangkan penerima pinjaman modal sebanyak 6.076 orang dengan berbagai jenis usaha seperti perdagangan, pertanian, perbengkelan dan lain-lain.
57
Hasil-hasil Pelaksanaan Program Raksa Desa Tahun 2003 di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor Sesuai dengan batasan pagu dan alokasi program Raksa Desa bagi desadesa terpilih masing-masing mendapatkan bantuan dana sebesar Rp 109.000.000 (seratus sembilan juta rupiah) dengan perencanaan sebagai berikut: a Dana untuk peningkatan kinerja aparatur desa
Rp 5.000.000
b Biaya Operasional Pela ksanaan Satlak Desa
Rp 4.000.000
c Dana modal ekonomi bergulir
Rp 60.000.000
d Dana pembangunan prasarana fisik
Rp 40.000.000
Total alokasi anggaran bantuan untuk 3 desa (Cibanteng, Bojong Jengkol, dan Cinangka) Rp 327.000.000 (tiga ratus dua puluh tujuh juta rupiah). Realisasi anggaran dilakukan melalui dua tahap, tahap pertama bagi desa terpilih mendapatkan dana Rp 68.000.000, dan tahap kedua masing-masing desa menerima Rp 41.000.000. B idang pembangunan sarana fisik Kecamatan Ciampea dapat dilihat pa da Tabel 2. Tabel 2. Hasil Pembangunan Fisik Program Raksa Desa Tahun 2003 di Kecamatan Ciampea No
1 2 3 4 5 6 7 8 9.
Jenis Kegiatan
Volume
Alokasi Anggaran (Rp)
Keterangan
Pembuatan jalan baru dan pengerasan Betonisasi jalan desa dan Gang Pembuatan jembatan
4,65 km
50.719.000
Desa Cinangka
6.700 m
68.850.000
3 unit
7.270.000
Pembuatan MCK/Bak air bersih Rehabilitasi Saluran air bersih Pembuatan bendungan air Pembuatan poskamling permanen Pembuatan bak sampah permanen Pemagaran TPU Total
3 unit
9.300.000
812 m
8.000.000
Desa Bojong Jengkol, Cibanteng dan Cinangka Des a Cibanteng dan Cinangka Desa Cibanteng dan Cinangka Desa Bojong Jengkol
200 m 2 unit
3.361.000 2.000.000
Desa Cinangka Desa Cibanteng
1 unit
250.000
Desa Cibanteng
500 m
5.250.000 155.000.000
Desa Cibanteng
58
Tabel 2 memperlihatkan bahwa jenis kegiatan pada ketiga desa adalah pembuatan jalan baru dan pengerasan, betonisasi jalan desa dan gang, pembuatan MCK/Bak air bersih, rehabilitasi saluran air bersih, pembuatan bendungan air, pembangunan poskamling permanen, pembuatan bak sampah permanen, dan pemagaran tempat pemakaman umum.
Sesuai Petunjuk Teknis dan Petunjuk
Pelaksanaan program Raksa Desa, maka jenis -jenis kegiatan yang telah diselenggarakan oleh masyarakat di Kecamatan Ciampea sudah meliputi pembangunan untuk kesehatan, dan kelancaran usaha.
Namun pembangunan
sarana fisik pendidikan belum dilaksanakan di Kecamatan Ciampea.
Hasil
swadaya masyarakat pada ketiga desa dapat dilihat pada tabel dibawah ini Tabel 3. Hasil Swadaya Masyarakat Desa Cibanteng dalam Program Raksa Desa Tahun 2003 di Kecamatan Ciampea No
Jenis Kegiatan
Volume
Lokasi
1
Betonisasi jalan desa
400X2,5
2 3
Betonisasi jalan setapak 2000X1 Pembangunan pos 2 unit kamling Pemagaran TPU 500 m Pembangunan Bak I unit sampah Pembangunan jembatan 2 unit Pembangunan Bak Air 6X10 m Bersih JUMLAH
RW 03/04/05/07 RT 01 s/d 36 RT 05/03
4 5 6 7
Dana Swadaya Tahap I (Rp) 4.640.000
Dana Swadaya Tahap II (Rp) -
37.464.000 2.055.500
3.600.000 -
RT 01 s/d 08 RT 01 s/d 08
5.833.000 -
-
-
-
4.469.000 1.705.000
49.992.500
9.774.000
Tabel 4. Hasil Swadaya Masyarakat Desa Bojong Jengkol dalam Program Raksa Desa Tahun 2003 di Kecamatan Ciampea No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Kegiatan
Volume
Betonisasi jalan Desa 900 m Betonisasi jalan Desa 100 m Betonisasi Gang 700 m Betonisasi Gang 300 m Betonisasi Gang 300 m Betonisasi Gang 200 m Betonisasi Gang 200 m Rehabilitasi Pembangunan 12 m Saluran Air bersih JUMLAH
Lokasi RW 08 RT 06 RT 05/03 RT 01 RT 03 RW 05 RW 07 RW 04
Dana Swadaya Tahap I (Rp) 5.555.000 4.920.000 1.500.000 2.373.000 2.377.000 1.830.000 1.095.000 2.169.000
Dana Swadya Tahap II (Rp) 1.497.500 1.248.000 446.500 555.500 692.000 460.000 305.000 402.500
21.819.000
5.607.000
59
Tabel 5. Hasil Swadaya Masyarakat Desa Cinangka dalam Program Raksa Desa Tahun 2003 di Kecamatan Ciampea No
1 2 3 4 5
Jenis Kegiatan
Pengerasan jalan desa Pembangunan jalan dan jembatan Pembuatan MCK
Volume
Lokasi
Dana Swadaya Tahap I (Rp)
Dana Swadya Tahap II (Rp)
1000 m 141,75 m 76 m
RT 12/03 RT 20/04
3.955.000 10.250.000
1.900.000
RT 10/02 dan RT 08/02 RT 28/05
3.793.000
-
-
3.015.000
RT 26 dan 15
6.460.000 24.458.000
4.915.000
Pembangunan bendungan 200 m air Pembangunan jembatan 50,7 m JUMLAH
Tabel 3, 4, dan 5 memperlihatkan bahwa swadaya masyarakat pada ketiga desa cenderung berorientasi pada pembangunan jalan dan bendungan. Berarti masyarakat lebih tertarik memberi sumbangan untuk aspek kesehatan dan kelancaran usaha .
Kesadaran masyarakat untuk membangunan sarana fisik
pendidikan belum muncul, padahal banyak bangunan sekolah yang harus diperbaiki. Untuk melihat jenis usaha dan jumlah dana yang disalurkan untuk ekonomi modal bergulir dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Jenis Usaha dan Jumlah Dana yang Disalurkan bagi Penerima Bantuan Ekonomi Bergulir Tahun 2003 di Kecamatan Ciampea No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Usaha Perdagangan Kerajinan Peternakan Pertanian Perikanan Perbengkelan Industri batako Angkutan Total
Jumlah Penerima (Orang)
Jumlah Dana yang disalurkan (Rp)
727 64 2 2 10 2 4 3 814
239.400.000 34.200.000 10.000.000 900.000 3.000.000 300.000 11.000.000 3.200.000 300.000.000
Tabel 6 memperlihatkan bahwa jenis usaha perdagangan menempati urutan tertinggi penerima bantuan dana ekonomi bergulir. Dalam program Raksa Desa dijelaskan jenis usaha yang dapat dikembangkan harus memenuhi syaratsyarat:
60
a
Cepat menghasilkan, yaitu jarak waktu antara penerima bantuan modal bergulir dengan penerimaan hasil kegiatan ekonomi produktif yang menguntungkan tidak terlalu lama.
b Tersedianya potensi (sumber daya manusia dan alam) yang siap digunakan. c
Produk yang dapat dipasarkan dan sesuai permintaan pasar, sehingga memberikan nila i tambah.
d Usaha yang dikembangkan dapat memenuhi kebutuhan dasar yang sifatnya mendesak. e
Pengembangan usaha dapat memberikan hasil dan dapat digulirkan kepada calon pemanfaat lain berdasarkan kesepakatan dalam musyawarah kelompok masyarakat.
f
Mudah dilaksanakan dengan keterampilan yang telah ada, telah dikenal dan dikuasai.
g Disesuaikan dengan potensi dan kondisi setempat, sehingga tidak merusak kelestarian lingkungan hidup. h Pengembangan usaha para anggota kelompok masyarakat harus saling mendukung jenis usahanya dan tidak bersaing. i
Pengembangan usaha secara sosial dapat diterima masyarakat. Adapun tahap perguliran dana program Raksa Desa dapat dilihat pada
Tabel 7 dan 8. Tabel 7. Tahap I Perguliran Dana Program Raksa Desa Tahun 2003 di Kecamatan Ciampea N o
Nama Des a
1 2
Cibanteng Bj. Jengkol
3
Cinangka
Waktu Pergulir an 16/09/03 12/09/03
13/09/03 JUMLAH
Jml Klpk
Jml Orng
Total Dana Bergulir
07 13
136 82
30.000.000 Gol 1: 19.500.000
08
65
Gol 2: 10.500.000 30.000.000 90.000.000
Masa Pinjam an/bln 10 12
06
Jasa % /bln
Total Angsuran
1% 1%
3.300.000 1.820.000
1,25%
1.881.249
1%
3.300.000 10.301.249
61
Tabel 8. Tahap II Perguliran Dana Program Raksa Desa Tahun 2003 di Kecamatan Ciampea No
Nama Des a
1 2
Cibanteng Bj. Jengkol
3
Cinangka
Tabel
Waktu Pergulir an 15/12/03 12/12/03
13/12/03 JUMLAH
Jml Klpk
Jml Orng
Total Dana Bergulir
07 10
121 84
30.000.000 Gol 1: 19.500.000
08
44
Gol 2: 10.500.000 30.000.000 90.000.000
Masa Pinjam an (bln) 10 12
06
Jasa % /bln
Total Angsuran
1% 1%
3.300.000 1.820.000
1,25%
1.881.249
1%
3.300.000 10.301.249
7 dan 8 memperlihatkan bahwa besarnya dana pada perguliran
pertama dan kedua sama jumlahnya, masa peminjamannya dan angsurannya. Hanya berbeda pada jumlah kelompok dan jumlah penerima bantuan. Hal ini mengindikasikan bahwa perguliran program Raksa Desa sudah sesuai dengan waktu yang direncanakan.
62
Karakteristik Anggota Karakteristik anggota yang diamati meliputi: umur, pendidikan, pekerjaan, pengalaman, dan penghasilan. Sebaran anggota berdasarkan karakteristik dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Distribusi Karakteristik Anggota Penerima Bantuan Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor No 1
Karakteristik Responden Umur
2
Pendidikan
3
Pekerjaan
4
Pengalaman
5
Penghasilan per bulan
Kategori Muda (25-41 Tahun) Dewasa (42-59 Tahun) Tua (60-76 Tahun) Jumlah Rendah (Tdk sekolah – Tamat SD) Sedang (Tdk tamat SMP- Tdk tamat SMA) Tinggi (Tamat SMA ke atas) Jumlah Petani Peternak Pedagang Pengrajin Perbengkelan Jumlah Sedikit (1-12 Tahun) Sedang (13- 26 Tahun) Banyak (27-40 Tahun) Jumlah Rendah (Rp 90.000- Rp 226.000) Sedang ( Rp 227.000- Rp 363.000) Tinggi (Rp 364.000- Rp 500.000) Jumlah
Jumlah N 31 38 5 74 58 8 8 74 4 1 51 3 15 74 62 10 2 74 68 5 1 74
% 41,9 51,3 6,8 100,0 78,4 10,8 10,8 100,0 5,4 1,4 68,9 4,1 20,2 100,0 83,8 13,5 2,7 100,0 91,9 6,8 1,3 100,0
Pada Tabel 9 terlihat bahwa anggota kelompok penerima bantuan program Raksa Desa tahap I Tahun 2003 di Kecamatan Ciampea tergolong dalam kategori dewasa, dengan kisaran umur 42-59 Tahun. Tingkat pendidikan formal anggota umumnya tergolong rendah (78,4%) tidak bersekolah sampai tamat SD 58 orang, tidak tamat SMP sampai tidak tamat SMA 8 orang (10,8%), dan anggota yang tamat SMA 8 orang (10,8%). Latar belakang rendahnya pendidikan anggota berpengaruh terhadap pengetahuan dan sikap mental anggota dalam program Raksa Desa. Anggota yang berpendidikan rendah cenderung bersikap pasif,
63
sedangkan anggota yang berpendidikan tinggi mempunyai keberanian dan aktif terlibat dalam program Raksa Desa. Sebagian besar anggota yang bekerja sebagai pedagang (68,9%) lebih diprioritaskan untuk memperoleh bantuan ekonomi modal bergulir, karena jenis pekerjaan ini lebih cepat mengasilkan, sehingga dana dapat digulirkan ke anggota yang lain. Pengalaman anggota dalam berusaha umumnya sedikit (83,8%) dengan kisaran 1 – 12 tahun. Jumlah rata-rata pengalaman anggota sangat terkait dengan umur anggota dan jenis perkerjaan. Anggota yang memiliki umur lebih muda memiliki pengalaman usaha sedikit, sedangkan anggota yang berumur dewasa dan tua memiliki pengalaman usaha di atas rata-rata. Anggota yang bekerja sebagai petani memiliki pengalaman usaha 27-40 tahun. Sedangkan yang bekerja sebagai pedagang pengalaman usahanya cenderung sedikit, karena anggota tersebut cenderung sering beralih profesi. Tingkat pendapatan anggota sebagian besar tergolong rendah (91,9%) dengan kisaran Rp 90.000 – Rp 226.000 per bula n. Pendapatan anggota tersebut berada di bawah konsumsi per kapita Kabupaten Bogor yakni Rp 551. 350 (lima ratus lima puluh satu ribu tiga ratus lima puluh rupiah). Berarti pendapatan anggota belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi, dengan demikian hal ini berpengaruh pada tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat.
Rendahnya
pendapatan masyarakat menyebabkan masyarakat mengutamakan kebutuhan sandang pangan daripada biaya sekolah, dan untuk kesehatan masyarakat seadanya saja.
Keadaan demikian menggambarkan bahwa masyarakat masih
berada dalam tingkat pendidikan yang rendah, tingkat kesadaran kesehatan yang rendah, dan pendapatan yang rendah. Berdasarkan keadaan, masyarakat perlu mendapat perhatian pemerintah, karena
hal ini menyangkut kebutuhan dasar.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa anggota penerima bantuan program Raksa Desa tahap pertama, memiliki pendidikan rendah, pengalaman sedikit dalam berusaha, dan berpenghasilan rendah.
64
Pola Intervensi Pemerintah Pola intervensi yang diamati meliputi: pendekatan, peran pendamping, dan ketepatan program. Sebaran anggota berdasarkan pola inter vensi dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Distribusi Anggota berdasarkan Pola Intervensi Pemerintah dalam Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor No 1
Pola Intervensi Pemerintah Pendekatan partisipatif
2
Peran Pendamping
3
Ketepatan program
Kategori Tidak partisipatif (8-11) Kurang partisipatif (12-15) partisipatif (16-20) Jumlah Rendah (5-8) Sedang (9-11) Tinggi (12-15) Jumlah Tidak tepat (4-6) Kurang tepat (7-9) Tepat (10-12) Jumlah
Jumlah N 11 47 16 74 59 15 0 74 34 35 5 74
% 14,9 63,5 21,6 100,0 79,7 20,3 0 100,0 45,9 47,3 6,8 100,0
Pada Tabel 10 terlihat sebagian besar anggota beranggapan bahwa
pemerintah belum melakukan pendekatan partisipatif. Hanya sebagian kecil saja yang mengaku bahwa pemerintah telah melakukan pendekatan partisipatif. Sarjana Pendamping yang diharapkan lebih memperhatikan dan mementingkan aspirasi anggota juga lebih berorientasi kepada pemerintah (ke atas). Demikian pula masih terjadi rendahnya ketepatan program dengan kebutuhan masyarakat. Pendekatan mobilisasi dapat mengakibatkan rendahnya partisipasi anggota. Satuan Pelaksana Desa yang menggunakan pendekatan tersebut menganggap bahwa anggota masyarakat adalah pihak yang tidak tahu apa -apa, maka anggota tersebut tidak dilibatkan dalam penentuan kegiatan program. Sebaliknya, anggota beranggapan bahwa urusan rapat dan penentuan kegiatan adalah tanggung jawab pihak desa, karena itu anggota tidak menganggap penting keterlibatannya dalam musyawarah tersebut. Untuk tercapainya pendekatan partisipatif, maka Nugroho (1996) mengatakan terdapat 6 (enam) prinsip pendekatan partisipatif: (a) kesetaraan dan kemitraan (b) transparansi, (c) kesetaraan kewenangan (sharing power/equal powership), (d) kesetaraan tanggung
65
jawab (sharing responsibility), (e) pemberdayaan (empowerment), dan (f) kerjasama. Satuan Pelaksana Desa seharusnya menempatkan anggota sebagai partner yang memiliki kewenangan yang sama dan memiliki sikap yang terbuka kepada anggota tentang pelaksanaan program. Sarjana Pendamping sebagai agen pembaharuan dapat meningkatkan partisipasi anggota melalui orientasi kebutuhan anggota. Menurut Nasution (2000) terdapat tujuh tugas utama agen perubahan dalam melaks anakan difusi inovasi (Rogers dan Shoemaker, 1971): (a) menumbuhkan keinginan masyarakat untuk melakukan perubahan, (2) membina suatu hubungan dalam rangka perubahan, (c) mendiagnosa permasalahan yang dihadapi masyarakat, (d) menciptakan keinginan perubahan dikalangan klien, (e) menerjemahkan keinginan perubahan tersebut menjadi tindakan nyata, (f) menjaga kestabilan perubahan dan mencegah terjadinya drop -out, dan (g) mencapai suatu terminal hubungan. Namun hasil pengamatan di lapangan menggambarkan bahwa Sarjana Pendamping tidak berorientasi kepada kebutuhan masyarakat, sehingga tidak tercipta suatu hubungan antara anggota dengan Sarjana Pendamping. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Sarjana Pendamping lebih berorientasi ke atas (pemerintah) di banding ke bawah (anggota). Ketidaktepatan program dapat menyebabkan rendahnya partisipasi anggota. Dari hasil pembangunan infrastruktur ketidaktepatan pembangunan fisik seperti pembangunan pos kamling permanen, pembangunan bak sampah permanen, dan pembangunan gang jalan, dianggap oleh anggota tidak tepat. Hal ini disebabkan pembangunan fisik tersebut hanya untuk kepentingan kalangan tertentu dan belum dirasakan oleh semua masyarakat. Di samping itu, perguliran ekonomi juga dirasakah kurang tepat, karena besarnya dana yang dipinjamkan tidak sesuai dengan kebutuhan anggota. Kisaran modal yang diterima anggota Rp 200.000-Rp 300.000, dan masing-masing anggota harus membayar bunga 1-1,25 persen per bulan. Hal ini tidak sesuai dengan petunjuk teknis program, karena biaya operasioanl pelaksanaan sudah dialokasikan oleh Pemerintah Propinsi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa program Raksa Desa belum dilaksanakan secara tepat.
66
Proses Komunikasi Proses komunikasi yang diamati meliputi: arah komunikasi, intensitas komunikasi dan konvergensi komunikasi. Sebaran anggota berdasarkan pola intervensi dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Distribusi Anggota berdasarkan Proses Komunikasi dalam Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor No
Proses Komunikasi
1
Arah komunikasi
2
Intensitas komunikasi 2.1. Frekuensi komunikasi
2.2. Substansi komunikasi
3
Konvergensi komunikasi
Kategori
Jumlah
Linear (2-4) Interaktif (5-6) Jumlah
N 61 13 74
% 82,4 17,6 100,0
Rendah (10-15) Sedang (16-21) Tinggi (22-28) Jumlah Tidak pernah (2-3) Jarang (4-5) Sering (>6) Jumlah Tidak konvergen (4-6) Kurang konvergen (7-9) Konvergen (10-12) Jumlah
46 16 12 74 58 12 4 74 51 11 12 74
62,2 21,6 16,2 100,0 78,4 16,2 5,4 100,0 68,9 14,9 16,2 100,0
Pada Tabel 11 terlihat sebagian besar anggota beranggapan bahwa
komunikasi dari atas ke bawah (linear) masih mendominasi pelaksanaan program Raksa Desa. Satuan Pelaksanaan Desa dan Sarjana Pendamping tidak melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan tentang pembangunan infrastruktur dan ekonomi modal bergulir. Anggota masyarakat juga bersikap demikian, bahwa pengambilan keputusan adalah tanggung jawab Satuan Pelaksana Desa dan Sarjana Pendamping. Intensitas komunikasi anggota dalam frekuensi masih rendah, dan substansi tentang program Raksa Desa masih belum memadai. Secara konseptual konvergensi komunikasi sebagai salah satu upaya meningkatkan pemahaman kolektif dan berkesinambungan, ternyata menurut sebagian besar anggota juga tidak terjadi, hanya sebagian kecil saja yang mengaku bahwa telah terjadi diskusi antara anggota dengan Satuan Pelaksana Desa dan Sarjana Pendamping. Anggota yang berkedudukan sebagai Ketua RT/RW dan anggota yang berpendidikan tinggi sering datang ke desa untuk berinteraksi dengan
67
pegawai desa termasuk Satuan Pelaksana Desa. Sehingga anggota tersebut sering terlibat diskusi dengan Satuan Pelaksana terkait masalah program Raksa Desa. Arah komunikasi yang masih didominasi oleh pola komunikasi top-down dalam program Raksa Desa, dapat dilihat pada penentuan pembangunan infrastruktur dan pelaksanaan ekonomi modal bergulir. Anggota sebagai sasaran program tidak dilibatkan dalam penentuan pembangunan infrastruktur, ini terbukti dari rendahnya keterlibatan anggota dalam perencanaan program dan evaluasi program, namun anggota banyak terlibat pada tahap pelaksanaan program dan pemanfaatan program. Hal ini mengindikasikan anggota hanya ditempatkan sebagai pekerja, bukan sebagai pene ntu program. Demikian pula pengalokasian dana ekonomi modal bergulir, anggota tidak mengetahui tentang besarnya dana bantuan, namun anggota hanya diberi pinjaman yang sudah ditetapkan sebesar Rp 200.000-Rp 300.000 dengan bunga per-bulan 1-1,25 persen. Hal ini tidak sesuai dengan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan, karena pemerintah propinsi telah menetapkan biaya operasional pelaksanaan sebesar Rp 4.000.000 dan dana untuk peningkatan kinerja aparatur desa sebesar Rp. 5.000.000. Penambahan dana pengembalian menyebabkan keberatan dan kecurigaan masyarakat, karena alokasi dana tersebut tidak jelas. Namun Satuan Pelaksana Desa berdalih bahwa dana tersebut digunakan untuk biaya pemungutan dana pinjaman yang dilakukan setiap minggu oleh petugas penagih pin jaman, dan besarnya bunga pinjaman sudah disetujui oleh masyarakat. Masyarakat sebagai orang yang membutuhkan dana bantuan diminta persetujuannya pada saat penyerahan dana pinjaman oleh Satuan Pelaksana pada saat penandatanganan pengambilan uang pinjaman. Menyikapi hal itu,
berarti
masyarakat
dituntut
menerima
ketetapan
tersebut.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa komunikasi yang diterapkan masih menggunakan pola komunikasi dari atas ke bawah. Intensitas komunikasi anggota tentang program Raksa Desa dapat dilih at pada frekuensi bertanya, meminta klarifikasi dan kebutuhan informasi. Anggota memiliki frekuensi komunikasi yang rendah, karena anggota jarang melakukan kegiatan bertanya, dan meminta klarifikasi kepada Satuan Pelaksana dan Sarjana Pendamping. Rendahnya frekuensi komunikasi anggota disebabkan karena rendahnya pengetahuan anggota tentang program Raksa Desa, begitu pula dengan
68
Satuan Pelaksana tidak pernah mengajak atau mengundang anggota untuk membahas tentang program Raksa Desa tersebut. Begitu pula dengan substansi komunikasi anggota. Konvergensi komunikasi sebagai langkah tepat guna meningkatkan pengetahuan anggota dan pengurus tentang program Raksa Desa tidak terjadi. Hanya sebagian kecil saja yang mengaku bahwa telah terjadi komunikasi dua arah antara anggota dengan Satuan Pelaksana Desa dan Sarjana Pendamping. Konvergensi komunikasi yang rendah antara anggota dengan Satuan Pelaksana dan Sarjana Pendamping, disebabkan karena Satuan Pelaksana tidak menganggap penting untuk melibatkan anggota masyarakat dalam musyawarah perencanaan pembangunan infrastruktur dan perguliran ekonomi. Menurut Satuan Pelaksana Desa, anggota masyarakat tidak perlu dilibatkan dalam musyawarah karena pendidikan anggota yang rendah dan ketidaktahuan anggota tentang program Raksa Desa akan menyebabkan musyawarah tidak efektif. Anggapan yang demikian tentunya tidak sesuai dengan prinsip partisipatif, bagaimanapun melibatkan masyarakat dalam musyawarah akan dapat menggali kebutuhankebutuhan anggota. Prasyarat Partisipasi Prasyarat partisipasi yang diamati meliputi: kesempatan, kemampuan dan kemauan. Sebaran anggota berdasarkan prasyarat partisipasi dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Distribusi Anggota berdasarkan Prasyarat Partisipasi dalam Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor No 1 2 3
Prasyarat Partisipasi Rendah (%) 52,7 33,8 2,7
Kesempatan Kemampuan Kemauan
Kategori Sedang (%) Tinggi (%) 28,4 18,9 32,4 33,8 44,6 52,7
Total (74) 100,0 100,0 100,0
Keterangan: (74) adalah total responden
Pada Tabel 12 terlihat sebagian besar anggota tidak memperoleh
kesempatan untuk berpartisipasi, hanya sebagian kecil saja yang mengaku memperoleh kesempatan.
Kemauan anggota yang tinggi tidak dibarengi oleh
kemampuannya dalam perencanaan program.
Rendahnya kesempatan yang
69
dimiliki anggota disebabkan karena anggota tidak aktif mencari informasi dan tidak menangkap peluang yang ada. Kecenderungan sikap anggota adalah menunggu pihak desa memberi kesempatan kepada mereka. Kemauan anggota untuk terlibat dalam program Raksa Desa masih sebatas sebagai pekerja , anggota belum mampu membuat perencanaan program secara sistematis.
Untuk itu
anggota perlu didampingi oleh Satuan Pelaksana Desa dan Sarjana Pendamping. Partisipasi Anggota Partisipasi anggota yang diamati meliputi keterlibatan dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemanfaatan. Sebaran anggota berdasarkan partisipasi dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Distribusi Anggota berdasarkan Partisipasi dalam Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor No 1 2 3 4
Partisipasi Anggota Perencanaan Pelaksanaan Evaluasi Pemanfaatan
Rendah (%) 91,9 43,2 79,7 1,4
Kategori Sedang (%) Tinggi (%) 8,1 0 43,2 13,6 16,2 4,1 55,4 43,2
Total (74) 100,0 100,0 100,0 100,0
Keterangan: (74) adalah total responden
Pada Tabel 13 terlihat keterlibatan anggota dalam perencanaan dan evaluasi sebagian besar rendah. Namun keterlibatan anggota dalam pelaksanaan dan pemanfaatan sebagian besar terlibat. Hal ini berarti keterlibatan anggota masih pada tahap sebagai pekerja, bukan sebagai pembuat keputusan. Rendahnya keterlibatan anggota dalam pembuat keputusan disebabkan karena Satuan Pelaksana tidak memberi kesempatan kepada anggota untuk terlibat dalam penentuan kegiatan pembangunan infrastruktur dan ekonomi modal bergulir, sehingga keterlibatan anggota hanya pada tahap pelaksanaan dan pemanfaatan. Hal ini mengindikasikan bahwa intervensi pemerintah dalam program Raksa Desa masih tinggi, sehingga partisipasi masyarakat menjadi rendah.
70
Hubungan Karakteristik Anggota dengan Proses Komunikasi dalam Program Raksa Desa Analisis uji Rank Spearman antara karakterisitik anggota dengan proses komunikasi disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Koefisien Korelasi Rank Spearman antara Karakteristik Anggota dengan Proses Komunikasi dalam Program Raksa Desa
No 1 2 3 4
Karakteristik anggota Umur Pendidikan Penghasilan Pengalaman berusaha
Arah komunikasi -0,031 -0,146 0,203 -0,137
Proses Komunikasi Intensitas Komunikasi Konvergensi Frekuensi Substansi komunikasi komunikasi komunikasi -0,054 0,043 0,015 -0,010 -0,006 0,012 0,191 0,110 0,049 -0,137 0,189 -0,067
Pada Tabel 14 terlihat karakteristik anggota tidak mempunyai hubungan yang nyata dengan proses komunikasi. Rendahnya pendidikan, penghasilan, dan pengalaman mengakibatkan rendahnya interaksi anggota dengan Satuan Pelaksana Desa, rendahnya intensitas komunikasi anggota dan rendahnya konvergensi komunikasi
anggota
dalam
program
Hasil
pengamatan
di
lapangan
menggambarkan bahwa anggota yang berpendidikan rendah cenderung menerima informasi dari Satuan Pelaksana dan tidak memberi tanggapan, intensitas komunikasi anggota rendah, baik dalam bertanya dan meminta klarifikasi, maupun dalam membicarakan tentang program dengan sesama anggota. Di samping itu keterlibatan anggota dalam musyawarah rendah, walaupun sudah diundang untuk menghadiri rapat, anggota cenderung merasa tidak percaya diri dan tidak memiliki pengetahuan tentang program tersebut. Satuan Pelaksana Desa sebagai penanggung jawab program juga bersikap demikian, yakni menganggap keterlibatan anggota tidak berpengaruh besar dalam penentuan kegiatan program. Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan nyata antara karakterisitik anggota dengan proses komunikasi tidak terbukti.
71
Hubungan Karakteristik Anggota dengan Prasyarat Partisipasi dalam Program Raksa Desa Analisis uji Rank Spearman antara karakteristik anggota dengan prasyarat partisipasi disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Koefisien Korelasi Rank Spearman antara Karakteristik Anggota dengan Prasyarat Partisipasi dalam Program Raksa Desa No 1 2 3 4
Karakteristik Anggota Umur Pendidikan Penghasilan Pengalaman berusaha
Kesempatan -0,009 -0,059 0,054 -0,063
Prasyarat Partisipasi Kemampuan -0,051 0,069 -0,080 -0,012
Kemauan -0,086 0,184 -0,087 -0,178
Pada Tabel 15 terlihat tidak terdapat hubungan nyata antara karakteristik anggota dengan prasyarat partisipasi. Rendahnya pendidikan, penghasilan dan penglaman
usaha
anggota
menyebabkan
anggota
memiliki
kesempatan,
kemampuan dan kemauan yang rendah. Hasil pengamatan di lapangan menggambarkan anggota memperoleh kesempatan sebagai penerima bantuan program, namun bantuan yang diberikan sangat sedikit dan tidak bisa mengembangkan usaha anggota. Di samping itu kemampuan anggota untuk berpartisipasi dipengaruhi oleh pendidikan anggota yakni sikap dan pengetahuan anggota. Rendahnya pendidikan anggota berarti pengetahuan dan sikap mental anggota juga rendah, sehingga hal ini mempengaruhi kemampuan anggota. Penghasilan anggota pada umumnya rendah, karena sebagain besar mempunyai skala usaha mikro. Melalui program ini anggota tersebut diberi bantuan modal, namun modal tersebut ternyata tidak dapat mengembangkan usaha anggota. Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa hipotesa yang menyatakan bahwa terdapat hubungan nyata antara karakteristik dengan prasyarat partisipasi tidak terbukti.
72
Hubungan Pekerjaan Anggota dengan Proses Komunikasi dan Prasyarat Partisipasi dalam Program Raksa Desa Analisis uji Chi Square antara pekerjaan anggota dengan proses komunikasi dan prasyarat partisipasi disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Koefisien Korelasi Chi-square antara Pekerjaan Anggota dengan Proses Komunikasi dan Prasyarat Partisipasi dalam Program Raksa Desa No I 1 2 2.1 2.2 3 II 1 2 3
Pekerjaan Proses Komunikasi Arah komunikasi Intensitas komunikasi Frekuensi komunikasi Substansi komunikasi Konver gensi komunikasi Prasyarat Partisipasi Kesempatan Kemampuan Kemauan
6,246 12,808 3,257 2,898 7,476 3,921 10,593
Pada Tabel 16 terlihat pekerjaan anggota tidak memiliki hubungan yang nyata dengan proses komunikasi dan prasyarat partisipasi. Hasil pengamatan di lapangan menggambarkan bahwa anggota penerima bantuan memiliki berbagai macam pekerjaan, yaitu petani, peternak, pedagang, kerajinan dan perbengkelan. Pada umumnya anggota penerima bantuan bekerja sebagai pedagang, namun modal yang sedikit mengakibatkan anggota tidak dapat mengembangkan usahanya. Satuan Pelaksana sebagai pihak yang bertanggung jawab juga tidak melakukan pendekatan partisipatif kepada anggota, sehingga anggota tidak pernah berinterkasi, bertanya dan meminta klarifikasi.
Keadaan ini mengakibatkan
pengetahuan anggota tentang program Raksa Desa rendah. Di samping itu kesempatan sebagai penerima bantuan tidak dapat dimanfaatkan karena kemampuan sebagian besar anggota rendah. Kemauan anggota yang tinggi sangat diangkan karena tidak dibarengi oleh kemampuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pekerjaan anggota tidak mempengaruhi proses komunikasi dan partisipasi anggota dalam program Raksa Desa.
73
Hubungan Pola Intervensi dengan Proses Komunikasi dalam Program Raksa Desa Analisis uji Rank Spearman antara pola intervensi dengan proses komunikasi dalam program Raksa Desa disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Koefisien Korelasi Rank Spearman antara Pola Intervensi dengan Proses Komunikasi dalam Program Raksa Desa
No 1 2 3
Pola Intervensi Pendekatan partisipatif Peran Pendamping Ketepatan program
Arah komunikasi 0,371** 0,474** 0,426**
Proses Komunikasi Intensitas Komunikasi Konvergensi komunikasi Frekuensi Substansi komunikasi komunikasi 0,251* 0,150 0,149 0,392** 0,386** 0,316** 0,506** 0,397** 0,379**
Keterangan: ** signifikan pada taraf 0.01 * signifikan pada taraf 0.05
Pada Tabel 17 terlihat terdapat hubungan yang nyata antara pola intervensi dengan proses komunikasi. Dalam program Raksa Desa masih menggunakan pendekatan yang belum partisipatif (pendekatan mobilisasi) dengan komunikasi searah dan frekuensi rendah. Hasil pengamatan di lapangan menggambarkan bahwa Satuan Pelaksana Desa cenderung memberitahu anggota hasil keputusan, pengumuman disampaika n sepihak tanpa memperhatikan tanggapan anggota, dan masyarakat tidak dilibatkan dalam tukar pendapat. Komunikasi searah mengakibatkan frekuensi anggota untuk bertanya dan meminta informasi rendah, karena anggota beranggapan keputusan yang telah ditetapkan oleh Satuan Pelaksana Desa tidak bisa dirubah dan harus diikuti, sehingga tidak terjadi komunikasi yang dua arah antara anggota dengan Satuan Pelaksana.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan yang kurang partisipatif (pendekatan mobilisasi) mengakibatkan terjadinya komunikasi searah dan frekuensi bertanya dan meminta klarifikasi dari anggota kepada Satuan Pelaksana Desa rendah. Peran pendamping relatif masih lemah, dengan menerapkan komunikasi searah, itupun dengan fr ekuensi rendah dan substans i komunikasi yang kurang memadai, sehingga kurang terjadi konvergensi komunikasi. Hasil pengamatan di lapangan menggambarkan dalam musyawarah pertama dan kedua , Sarjana
74
Pendamping hanya menghimbau agar anggota penerima bantuan mengembalikan dana pinjaman sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Padahal, seharusnya sesuai dengan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan Sarjana Pendamping bertanggung jawab memberi pengertian dan informasi tentang konsep program Raksa Desa kepada Desa melalui forum musyawarah desa, membantu Satuan Pelaksana Desa untuk me nampung usulan-usulan kegiatan dari tingkat RW/Dusun. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa Sarjana Pendamping belum berorientasi kepada kebutuhan anggota, komunikasi yang terjadi masih searah, kesempatan anggota bertanya dan meminta klarifikasi masih rendah, sehingga konvergensi komunikasi antara anggota dengan Sarjana Pendamping tidak terjadi. Ketepatan program menunjukkan hubungan yang nyata dengan arah komunikasi, intensitas komunikasi, dan konvergensi komunikasi. Rendahnya ketepatan program dengan kebutuhan masyarakat disebabkan oleh komunikasi yang searah, intensitas komunikasi yang rendah antara anggota dengan Satuan Pelaksana selaku penanggung jawab program, dan masih rendahnya keterlibatan anggota dalam diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh Satuan Pelaksana Desa. Akibatnyapun tampak dalam program tersebut kurang terjadi konvergensi antara Satuan Pelaksana Desa dengan anggota kelompok penerima bantuan. Hasil pengamatan di lapangan menggamba rkan Satuan Pelaksana desa sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan program Raksa Desa cenderung lebih dominan dalam menentukan kegiatan pembangunan fisik di desa, bahkan program pembangunan desa dicampuradukkan dengan program Raksa Desa, seperti perbaikan balai desa, pembangunan pos kamling, membangun tembok sungai, pemagaran
tempat
pemakaman
umum,
dan
lain-lain.
Pembangunan-
pembangunan tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan petunjuk teknis program, karena biaya pembangunan fisik lebih diprioritaskan untuk pembangunan sarana dan prasarana yang dapat mendongkrak ekonomi desa. Timbulnya ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil pembangunan tersebut merupakan akibat dari penerapan komunikasi searah, tidak dilibatkannya anggota dalam tukar pendapat, dan tidak memberi kesempatan bagi anggota untuk bertanya dan meminta klarifikasi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
75
rendahnya ketepatan program dengan kebuthan anggota disebabkan oleh penerapan komunikasi searah, intensitas komunikasi yang tidak memadai dan konvergensi komunikasi yang rendah. Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa hipotesa yang menyatakan bahwa terdapat hubungan nyata antara pola intervensi dengan proses komunikasi terbukti. Pola intervensi yang menyebabkan terjadinya komunikasi searah, intensitas komunikasi dan konvergensi komunikasi yang rendah disebabkan oleh pendekatan yang kurang partisipatif (pendekatan mobilisasi), peran pendamping yang tidak berorientasi pada kebutuhan masyarakat, dan ketepatan program yang rendah.
Hubungan Proses Komunikasi dengan Prasyarat Partisipasi dalam Program Raksa Desa Analisis uji Rank Spearman antara proses komunikasi dengan prasyarat partisipasi disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Koefisien Korelasi Rank Spearman antara Proses Komunikasi dengan Prasyarat Partisipasi dalam Program Raksa Desa No 1 2
Proses Komunikasi Kesempatan 0,380**
Arah komunikasi Intensitas komunikasi 2.1. Frek. komunikasi 0,614** 2.2 Subs komunikasi 0,506** 3 Konvergensi komunikasi 0,698** Keterangan: ** signifikan pada taraf 0.01 * signifikan pada taraf 0.05
Prasyarat Partisipasi Kemampuan 0,227
Kemauan 0,302**
0,405** 0,311** 0,416**
0,416** 0,260* 0,526**
Pada Tabel 18 terlihat terdapat hubungan yang nyata antara proses komunikasi dengan prasyarat partisipasi. Dalam program Raksa Desa kesempatan dan kemauan anggota masih rendah, hal ini diakibatkan komunikasi searah (topdown). Hasil pengamatan di lapangan menggambarkan penerapan komunikasi searah yang dilakukan oleh Satuan Pelaksana Desa mengakibatkan rendahnya kesempatan anggota. Menurut Margono Slamet (2003) kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan bisa berbentuk pemberian modal. Anggota sebagai penerima bantuan modal program Raksa Desa telah diberi kesempatan
76
modal pinjaman untuk pengembangan usaha. Namun pemberian modal pinjaman tersebut terlalu sedikit yakni berkisar RP 200.000- Rp 300.000, sehingga modal tersebut tidak dapat mengembangkan usaha anggota. Dalam pembangunan fisik anggota secara bergotong royong membangun jembatan, jalan dan lain-lain. Kemauan anggota untuk berpartisipasi tergambar dari adanya swadaya anggota, berupa uang, bahan bangunan, dan tenaga. Dengan demikian dapat dikatakan komunikasi searah menyebabkan
rendahnya
kesempatan
anggota
untuk
memanfaatkan modal pinjaman guna pengembangan usaha, namun kemauan anggota tetap tinggi untuk berpartisipasi dalam pembangunan fisik. Intensitas komunikasi menunjukkan hubungan yang nyata dengan kesempatan, kemampuan dan kemauan anggota.
Rendahnya kesempatan,
kemampuan dan kemauan anggota disebabkan karena rendahnya frekuensi anggota dalam bertanya dan meminta klarifikasi kepada Satuan Pelaksana Desa. Hasil pengamatan di lapangan menggambarkan bahwa Satuan Pelaksana Desa dan Sarjana Pendamping sebagai pihak yang mengerti tentang program Raksa Desa jarang memberi informasi yang jelas kepada anggota tentang program. Menurut Margono
Slamet
(2003)
kemampuan
anggota
sangat
dipengaruhi
oleh
pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental. Dengan demikian, Satuan Pelaksana Desa dan Sarjana Pendamping perlu mensosialisasikan program dengan benar, sehingga kemampuan anggota tentang program Raksa Desa bisa meningkat. Di samping itu, anggota sendiri tidak juga kurang berusaha untuk mencari informasi tentang program Raksa Desa, baik dengan sesama anggota maupun dengan Satuan Pelaksana dan Sarjana Pendamping. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rendahnya kesemparan, kemampuan dan kemauan anggota dalam program Raksa Desa disebabkan rendahnya intensitas komunikasi anggota dalam bertanya, meminta klarifikasi kepada Satuan Pelaksana Desa dan Sarjana Pendamping. Konvergensi komunikasi mempunyai hubungan yang sangat nyata dengan kesempatan, kemampuan dan kemauan anggota.
Rendahnya kesempatan,
kemampuan dan kemauan anggota dalam program Raksa Desa disebabkan tidak terjadinya konvergensi komunikasi antara anggota dengan Satuan Pelaksana dan Sarjana Pendamping. Hasil penelitian di lapangan menggambarkan sebagian besar
77
anggota tidak dilibatkan dalam musyawarah penentuan kegiatan pembangunan fisik, sehingga anggota tidak memperoleh kesempatan menyampaikan kebutuhankebutuhannya. Satuan Pelaksana Desa cenderung melibatkan kalangan profesioanl di luar kelompok, seperti Sarjana Pendamping. Dengan demikian dapat dikatakan tidak terjadinya konvergensi komunikasi antara anggota dengan Satuan Pelaksana dan Sarjana Pendamping menyebabkan rendahnya kesempatan, kemampuan, dan kemauan anggota. Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa hipotesa yang menyatakan terdapat hubungan nyata antara proses komunikasi dengan prasyarat partisipasi
terbukti.
Proses
komunikasi
yang
menyebabkan
rendahnya
kesempatan, kemampuan, dan kemauan anggota dalam program Raksa Desa adalah penerapan komunikasi yang searah, intensitas komunikasi yang rendah, dan tidak terjadinya konvergensi komunikasi antara anggota dengan Satuan Pelaksana dan Sarjana Pendamping.. Hubungan Prasyarat Partisipasi dengan Partisipasi Anggota dalam Program Raksa Desa Analisis uji Rank Spearman antara prasyarat partisipasi dengan partisipasi anggota dalam program Raksa Desa disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Koefisien Korelasi Rank Spearman antara Prasyarat Partisipasi dengan Partisipasi Anggota dalam Program Raksa Desa No
Prasyarat Partisipasi Anggota Partisipasi Perencanaan Pelaksanaan Evaluasi 1 Kesempatan 0,073 0,611** 0,425** 2 Kemampuan 0,075 0,581** 0,223 3 Kemauan 0,212 0,528** 0,298** Keterangan: ** signifikan pada taraf 0.01 * signifikan pada taraf 0.05
Pemanfaatan 0,358** 0,271* 0,306**
Pada Tabel 19 terlihat terdapat hubungan yang nyata antara prasyarat
partisipasi dengan partisipasi anggota dalam program Raksa Desa. Rendahnya keterlibatan anggota dalam pelaksanaan, evaluasi dan pemanfaatan diakibatkan rendahnya kesempatan anggota dalam program Raksa Desa tersebut. Hasil pengamatan di lapangan menggambarkan anggota tidak memperoleh kesempatan dalam perencanaan program, sehingga keterlibatan anggota dalam pelaksanaan
78
masih kurang, begitu juga dalam evaluasi anggota tidak pernah sama sekali dilibatkan,
sedangkan
dalam
pemanfaatan
sebagian
anggota
saja
yang
memanfaatkan hasil pembangunan tersebut. Sedangkan yang lain menyatakan pembangunan tersebut banyak tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat umum. Keterlibatan sebagian anggota dalam pelaksanaan pembangunan fisik karena adanya insentif yang diterima, menurut Pretty dalam Swanson et al. (1997) pemberian insentif dalam pembangunan fisik di perdesaan tidaklah baik, karena partisipasi insentif tidak memberi pembelajaran yang baik kepada masyarakat, dan anggota tidak merasa memiliki program tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rendahnya keterlibatan anggota dalam pelaksanaan, evaluasi dan pemanfaatan disebabkan rendahnya kesempatan dalam program Raksa Desa. Kemampuan anggota berhubungan nyata dengan pelaksanaan dan pemanfaatan. Keterlibatan anggota dalam pelaksanaan dan pemanfaatan cukup tinggi, hal ini disebabkan kemampuan anggota dalam program Raksa Desa. Hasil pengamatan di lapangan menggambarkan bahwa sebagian anggota yang terlibat dalam pekerjaan pembangunan fisik mempunyai kemampuan sebagai tukang, namun mereka tidak mempunyai kemampuan menyusun program. Rendahnya keterlibatan anggota dalam menyusun program karena sebagain besar anggota berpendidikan rendah, sehingga mereka tidak ditempatkan pada posisi strategis sebagai penentu program. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan anggota hanya digunakan sebatas untuk pekerjaan fisik, bukan sebagai penentu kegiatan pembangunan. Kemauan anggota mempunyai hubungan yang nyata dengan pelaksanaan, evaluasi dan pemanfaatan. Kemauan anggota yang tinggi untuk terlibat dalam pelaksanaan pembangunan fisik, karena ada insentif yang mereka terima dari pekerjaan tersebut. Sedangkan kemauan anggota untuk terlibat dalam penentuan kegiatan pembangunan rendah, karena rendahnya pendidikan anggota. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada pekerjaan pembangunan fisik anggota memiliki kemauan yang tinggi, sedangkan pada level penentuan kegiatan pembangunan keterlibatan anggota rendah.. Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa hipotesa yang menyatakan terdapat hubungan nyata antara prasyarat partisipasi dengan
79
partisipasi anggota terbukti. Prasyarat partisipasi yang menyebakan rendahnya partisipasi anggota dalam program Raksa Desa adalah rendahnya kesempatan, kemampuan, dan kemauan anggota.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Partisipasi masyarakat dalam program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea selama ini masih rendah, karena: (1) kurang terpenuhinya prasyara t partisipasi, yakni kesempatan, kemampuan dan kemauan anggota masih rendah; dan (2) proses komunikasi antara anggota dengan Satuan Pelaksana Desa dan Sarjana Pendamping cenderung searah sehingga, intensitas dan konvergensi proses komunikasi antara pendamping dan satuan pelaksana dengan anggota masih rendah. 2. Pola intervensi yang diterapkan oleh Satuan Pelaksana belum efektif, karena pendekatannya masih bersifat mobilisasi (kurang partisipastif), peran pendamping dalam masyarakat masih rendah, dan berdampak pada rendahnya ketepatan program dengan kebutuhan masyarakat. 3. Peningkatan partisipasi masyarakat kurang efektif karena pengimplementasian program masih melalui proses komunikasi yang cenderung top-down dan searah, kurang terjadinya komunikasi bottom-up sehingga cenderung kurang dapat menggali aspirasi masyarakat. Intensitas komunikasi yang rendah antara anggota dengan Satuan Pelaksana dan Sarjana Pendamping cenderung menghasilkan
lemahnya pemahaman
pelaksanaan program Raksa Desa.
anggota
dan
pengurus
tentang
Konvergensi komunikasi yang rendah
cenderung tidak/ kurang berhasil meningkatkan motivasi anggota dalam program Raksa Desa.
80
Saran Satuan Pelaksana Desa perlu membuka kesempatan kepada masyarakat untuk menyampaikan saran dan pendapatnya dalam diskusi formal maupun informal. Sarjana Pendamping perlu lebih aspiratif melalui komunikasi dua arah dan berorientasi kepada kebutuhan anggota, sehingga masyarakat termotivasi untuk lebih partisipatif dalam program Raksa Desa. Artinya, Satuan Pelaksana dan Sarjana Pendamping harus memperhatikan kepentingan masyarakat, disamping tanggung jawab mereka memberi laporan kepada pemerintah propinsi.
81
DAFTAR PUSTAKA Berlo, D.K. 1960. The Process of Communication, USA : Hall, Rinehart and Winston, Inc. Cangara, H. 2000. Pengantar Ilmu Komunikasi. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Danim, S. 2004. Metode Penelitian Ilmu-ilmu Perilaku. Bumi Aksara. Jakarta. Djohani, Rianingsih . 1996. Berbuat Bersama Berperan Setara. Studio Driya Media. Bandung. Faisal, Sanapiah. 1995. Format-format Penelitian Sosial. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Gafar, A bdul. 1986. Partisipasi. Fisipol Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta . Gaventa, J., dan C. Valderrama. 2001. Mewujudkan Partisipasi; 21 Teknik Partisipasi Masyarakat untuk Abad 21. Terjemahan; E. Edin. The British Council. Jakarta. Hanafi, Abdillah. 1986. Memasyarakatkan Ide -ide Baru. Jakarta: Usaha Nasional. Huneryager, S.G. 1992. Komunikasi. Dahara Prize. Semarang. Jahi, Amri. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Jalil, Aria . 1997. Metode Penelitian. Universitas Terbuka. Jakarta. Kerlinger, F.N. 2003. Asas-asas Penelitian Behavioral. Gajah Ma da University Press. Yogyakarta. Moelyarto, T. 1987. Politik Pembangunan: Sebuah Analisis Konsep Arah dan Strategi. T iara Wacana. Yogyakarta. Mulyana, Deddy. 2003. Ilmu komunikasi. PT. Remadja Rosdakarya. Bandung. Nasikun. 1990. Partisipasi Penduduk Miskin dalam Pembangunan Pedesaan: Suatu Tinjauan Kritis, dalam Percikan Pemikiran Fisipol tentang Pembangunan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Nasution, Zulkarimein. 2002. Komunikasi Pembangunan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
82
Ndraha, T. 1987. Pembangunan Masyarakat: Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Bina Aksara. Jakarta. Nugroho, P. Adi. 1996. Participatory Rural Appraisal- Memahami Desa Secara Partisipatif. Kanisius. Yogyakarta. Rakhmat, Jalaluddin. 2000. Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung. Robbins, S.P. 2001. Perilaku Organisasi. Pearson Education Asia Pte. Ltd dan Prenhallindo. Jakarta. Rogers, E.M and Shoemaker, F.F. 1971. Communication of Innovation. A Cross Cultural Approach. Second Edition. The Free Press. New York. Santoso, S inggih. 2001. Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. PT. Gramedia. Jakarta. Sastropoetro, Santoso. 1988. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin Dalam Pembangunan Nasional. Alumni. Bandung. Singarimbun, Masri., dan Effendi, S. 1995. Metode Penelitian Survai. Edisi Revisi Cetakan ke -2. Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta. Slamet, Margono. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia pembangunan. IPB Press. Bogor. Swanson, B.E., Robert P.B., and Andrew J.S. 1997. Improving Agric ultural Extension. Food and Agriculture Organization of The United Nations Rome. Rome Thoha, M. 1987. Perspektif Perilaku Birokrasi: Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Rajawali. Jakarta. Uphoff, N.T., John M. Cohen, and A.M. Goldsmith. 1979. Rural Development Committee: Feasibility and Aplication of Rural Development Participation: A State of The Art Paper. Cornell University. Ithaca. New York. Yusri, Nurmaya. 1993. Beberapa Alternatif dan Model Pendekatan dalam Pembinaan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Desa; Makalah disampaikan pada Diskusi Partisipasi Masyarakat dalam pembangunan Desa. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran. Bandung.
83
Lembaga Pemerintah Propinsi Jawa Barat. 2003. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Program Raksa Desa Propinsi Jawa Barat. Bandung.
Thesis Muliawati, N. Kartika. 1993. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Desa. Fakultas Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Somantri, D.A. 1998. Hubungan Karakteristik dan Intensitas Komunikasi Petani Peserta UPSA dengan Perilaku Mereka dalam Menerapkan Teknologi Teras di kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Tesis Magister Sains. Program P ascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Widatri, W. S ri. 1995. Birokrasi Pembangunan Lokal dan Partisipasi Masyarakat. Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
84
Lampiran 1. VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMENT Item-Total Statistics
X11 X12 X13 X14 X15 X211 X212 X213 X214 X215 X216 X217 X221 X222 X223 X224 X225 X231 X232 X233 X234 X311 X312 X3211 X3212 X3213 X3214 X3215 X3216 X3217 X3218 X3219 X32110 X3221 X3222 X3231 X3232 X3233 X3234 Y111 Y112 Y113 Y114 Y121 Y122 Y123 Y124 Y131 Y132 Y133 Y134 Y211 Y212 Y213 Y214 Y215 Y221 Y222 Y231 Y232 Y241 Y242
Scale Mean if Item Deleted 127.05 126.35 125.65 127.75 127.90 126.65 126.50 126.90 127.55 126.55 127.40 126.00 127.25 126.45 126.70 126.75 127.10 126.60 127.15 126.65 126.30 126.65 126.70 127.00 127.05 126.95 127.10 126.40 127.35 126.90 127.35 126.45 127.05 127.25 127.30 127.15 127.20 127.15 127.20 127.40 126.80 127.35 126.20 126.80 126.15 126.65 126.15 127.50 127.05 126.75 126.20 127.20 127.35 127.40 127.50 127.55 126.70 127.70 127.80 126.95 126.15 126.30
Scale Variance if Item Deleted 595.418 612.976 606.450 613.882 615.042 585.608 591.737 579.147 604.050 622.155 596.463 611.579 588.724 584.155 595.063 593.461 591.147 616.147 617.924 584.871 602.221 579.608 575.063 581.368 572.892 575.418 570.305 593.726 582.239 589.253 580.134 593.313 591.103 578.513 587.063 585.818 580.379 577.608 582.168 581.726 585.116 592.134 600.800 584.484 598.871 588.976 598.871 586.474 584.366 575.461 601.537 590.905 585.608 591.516 607.947 606.892 589.905 603.168 598.274 593.734 603.292 604.326
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted .331 -.049 .142 -.096 -.233 .556 .476 .676 .169 -.257 .333 .000 .467 .670 .374 .390 .442 -.122 -.156 .613 .322 .741 .758 .772 .836 .734 .825 .524 .677 .486 .728 .478 .426 .790 .497 .638 .661 .695 .621 .805 .593 .439 .410 .569 .521 .556 .521 .666 .665 .759 .381 .402 .595 .449 .065 .098 .498 .247 .429 .346 .453 .304
.943 .947 .944 .945 .944 .942 .943 .941 .944 .946 .943 .944 .943 .942 .943 .943 .943 .946 .946 .942 .943 .941 .941 .941 .940 .941 .940 .942 .941 .942 .941 .943 .943 .941 .942 .942 .941 .941 .942 .941 .942 .943 .943 .942 .943 .942 .943 .942 .942 .941 .943 .943 .942 .943 .945 .944 .942 .943 .943 .943 .943 .943
85
Scale Statistics Mean 129.00
Variance 611.579
Std. Deviation 24.730
N of Items 62
Case Processing Summary N Cases
a.
Valid Excluded Total
a
% 20 0 20
100.0 .0 100.0
Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items .944
62
86
87
Bila nilai Alpha dan rhitung > rtabel maka instrumen dianggap reliabel dan valid. Terdapat 6 butir pertanyaan yang gagal (tidak valid) yaitu butir X12, X14, X15, X215, X231, dan X232.
Instrumen mempunyai reliabilitas yang tinggi
yakni 0.994 (rhitung > rtabel 0.444).
88
Lampiran 2. Korelasi Rank Spearman antara Karakteristik Anggota dengan Proses Komunikasi Correlations
Spearman's rho
X11
X12
X14
X15
X31
X321
X322
X33
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
X11 1.000 . 74 -.280* .016 74 .234* .045 74 .019 .875 74 -.031 .794 74 -.054 .648 74 .043 .716 74 .015 .899 74
X12 -.280* .016 74 1.000 . 74 -.057 .628 74 -.155 .188 74 -.146 .215 74 -.010 .932 74 -.006 .960 74 .012 .918 74
X14 .234* .045 74 -.057 .628 74 1.000 . 74 -.002 .988 74 .203 .083 74 .191 .103 74 .110 .353 74 .049 .681 74
X15 .019 .875 74 -.155 .188 74 -.002 .988 74 1.000 . 74 -.137 .244 74 -.137 .246 74 .189 .107 74 -.067 .570 74
X31 -.031 .794 74 -.146 .215 74 .203 .083 74 -.137 .244 74 1.000 . 74 .495** .000 74 .320** .005 74 .428** .000 74
X321 -.054 .648 74 -.010 .932 74 .191 .103 74 -.137 .246 74 .495** .000 74 1.000 . 74 .610** .000 74 .727** .000 74
X322 .043 .716 74 -.006 .960 74 .110 .353 74 .189 .107 74 .320** .005 74 .610** .000 74 1.000 . 74 .562** .000 74
X33 .015 .899 74 .012 .918 74 .049 .681 74 -.067 .570 74 .428** .000 74 .727** .000 74 .562** .000 74 1.000 . 74
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
89
Lampiran 3. Korelasi Rank Spearman antara Karakteristik Anggota dengan Prasyarat Partisipasi Correlations Spearman's rho
X11
X12
X14
X15
Y11
Y12
Y13
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
X11 1.000 . 74 -.280* .016 74 .234* .045 74 .019 .875 74 -.009 .937 74 -.051 .667 74 -.086 .468 74
X12 -.280* .016 74 1.000 . 74 -.057 .628 74 -.155 .188 74 -.059 .615 74 .069 .558 74 .184 .116 74
X14 .234* .045 74 -.057 .628 74 1.000 . 74 -.002 .988 74 .054 .646 74 -.080 .496 74 -.087 .463 74
X15 .019 .875 74 -.155 .188 74 -.002 .988 74 1.000 . 74 -.063 .594 74 -.012 .920 74 -.178 .129 74
Y11 -.009 .937 74 -.059 .615 74 .054 .646 74 -.063 .594 74 1.000 . 74 .399** .000 74 .428** .000 74
Y12 -.051 .667 74 .069 .558 74 -.080 .496 74 -.012 .920 74 .399** .000 74 1.000 . 74 .601** .000 74
Y13 -.086 .468 74 .184 .116 74 -.087 .463 74 -.178 .129 74 .428** .000 74 .601** .000 74 1.000 . 74
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
90
Lampiran 4. Korelasi Rank Spearman antara Pola Intervensi dengan Proses Komunikasi Correlations Spearman's rho
X21
X22
X23
X31
X321
X322
X33
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
X21 1.000
X22 .230*
X23 .221
X31 .371**
X321 .251*
X322 .150
X33 .149
. 74 .230* .049 74 .221 .059 74
.049 74 1.000 . 74 .332** .004 74
.059 74 .332** .004 74 1.000 . 74
.001 74 .474** .000 74 .426** .000 74
.031 74 .392** .001 74 .506** .000 74
.203 74 .386** .001 74 .397** .000 74
.204 74 .316** .006 74 .379** .001 74
.371** .001 74 .251* .031 74 .150 .203
.474** .000 74 .392** .001 74 .386** .001
.426** .000 74 .506** .000 74 .397** .000
1.000 . 74 .495** .000 74 .320** .005
.495** .000 74 1.000 . 74 .610** .000
.320** .005 74 .610** .000 74 1.000 .
.428** .000 74 .727** .000 74 .562** .000
74 .149 .204 74
74 .316** .006 74
74 .379** .001 74
74 .428** .000 74
74 .727** .000 74
74 .562** .000 74
74 1.000 . 74
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
91
92
Lampiran 5. Korelasi Rank Spearman antara Proses Komunikasi dengan Prasyarat Partisipasi Correlations
Spearman's rho
X31
X321
X322
X33
Y11
Y12
Y13
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
X31 1.000 . 74 .495** .000 74 .320** .005 74 .428** .000 74 .380** .001 74 .227 .052 74 .302** .009 74
X321 .495** .000 74 1.000 . 74 .610** .000 74 .727** .000 74 .614** .000 74 .405** .000 74 .416** .000 74
X322 .320** .005 74 .610** .000 74 1.000 . 74 .562** .000 74 .506** .000 74 .311** .007 74 .260* .025 74
X33 .428** .000 74 .727** .000 74 .562** .000 74 1.000 . 74 .698** .000 74 .416** .000 74 .526** .000 74
Y11 .380** .001 74 .614** .000 74 .506** .000 74 .698** .000 74 1.000 . 74 .399** .000 74 .428** .000 74
Y12 .227 .052 74 .405** .000 74 .311** .007 74 .416** .000 74 .399** .000 74 1.000 . 74 .601** .000 74
Y13 .302** .009 74 .416** .000 74 .260* .025 74 .526** .000 74 .428** .000 74 .601** .000 74 1.000 . 74
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
93
94
Lampiran 6. Korelasi Rank Spearman antara Prasyarat Partisipasi dengan Partisipasi Anggota Correlations Spearman's rho
Y11
Y12
Y13
Y21
Y22
Y23
Y24
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Y11 1.000 . 74 .399** .000 74 .428** .000 74 .073 .537 74 .611** .000 74 .425** .000 74 .358** .002 74
Y12 .399** .000 74 1.000 . 74 .601** .000 74 .075 .528 74 .581** .000 74 .223 .056 74 .271* .019 74
Y13 .428** .000 74 .601** .000 74 1.000 . 74 .212 .070 74 .528** .000 74 .298** .010 74 .306** .008 74
Y21 .073 .537 74 .075 .528 74 .212 .070 74 1.000 . 74 .076 .521 74 .135 .250 74 .224 .055 74
Y22 .611** .000 74 .581** .000 74 .528** .000 74 .076 .521 74 1.000 . 74 .305** .008 74 .478** .000 74
Y23 .425** .000 74 .223 .056 74 .298** .010 74 .135 .250 74 .305** .008 74 1.000 . 74 .367** .001 74
Y24 .358** .002 74 .271* .019 74 .306** .008 74 .224 .055 74 .478** .000 74 .367** .001 74 1.000 . 74
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
95
Lampiran 7. No. Responden..................................
KUESIONER PENELITIAN
PROSES KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor)
Responden Nama
: ....................................................
Jenis Kelamin
: ....................................................
Alamat
: .................................................... .................................................... ....................................................
Pewawancara Tanggal wawancara : .................................................... Nama
: ....................................................
Tanda Tangan
: ....................................................
KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
96
1. Karakteristik Individu 1. Berapa Usia Bapak/Ibu sekarang? :.................Tahun 2. Pendidikan formal yang Bapak/Ibu capai? 1 Tidak Sekolah
5
2 Tamat SD
6 Tidak tamat SMP (Kelas.............. )
3 Tamat SMP
7 Tidak tamat SMA (Kelas..............)
Tamat SMA
8 Perguruan Tinggi (........................)
4
Tidak tamat SD (Kelas................ )
3. Sebutkan pekerjaan utama Bapak/Ibu sekarang? 1 Petani 2
Peternak
3
Pedagang
4
Pengrajin
5 Perbengkelan 6
Lain-lain......................................
4. Sebutkan pekerjaan sampingan Bapak/Ibu sekarang? 5. Sudah berapa la ma Bapak/Ibu menggeluti pekerjaan sampingan tersebut? ...............Tahun 6. Berapa penghasilan Bapak/Ibu selama sebulan? Rp.....................
2. Pola Intervensi Pemerintah 2.1. Pendekatan 7. Apakah Satuan Pelaksana Desa memberitahu kepada Bapak/Ibu tentang Program Raksa Desa sebelum program tersebut dilaksanakan? 1
Tidak pernah
2
Jarang
3
Sering
97
8. Apakah Bapak/Ibu memberi informasi kepada Satuan Pelaksana Desa apabila ketika mereka meminta informasi? 1 Tidak pernah 2
Jarang
3
Sering
9. Apakah Satuan Pelaksana Desa berkonsultasi kepada Bapak/Ibu sebelum menyelenggarakan kegiatan Program Raksa Desa? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3
Sering
10. Apakah Satuan Pelaksana Desa mengadakan musyawarah di rumah Bapak/Ibu, dan apakah Bapak/Ibu menjamu seluruh anggota musyawah desa tersebut? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3
Sering
11. Apakah Satuan Pelaksana Desa memasukkan Bapak/Ibu pada salah satu kelompok penerima bantuan Program Raksa Desa? 1 Tidak pernah 2
Jarang
3
Sering
12. Apakah Satuan Pelaksana Desa mengikutsertakan Bapak/Ibu dalam mengungkapkan masalah ekonomi modal bergulir. 1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Sering
13. Apakah Satuan Pelaksana Desa memberi kebebasan kepada Bapak/Ibu untuk mengelola dan memanfaatkan dana pinjaman modal bergulir? 1 Tidak pernah 2
Jarang
3
Sering
98
2.2. Peran pendamping 14. Sebelum Program Raksa Desa dilaksanakan, Apakah Sarjana Pendamping memberitahukan kepada seluruh masyarakat tentang Program Raksa Desa? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Sering
15. Apakah Sar jana Pendamping menyelenggarakan musyawarah desa tahap pertama dan tahap kedua? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3
Sering
16. Apakah Sarjana Pendamping ikut menentukan usulan kegiatan bagi anggota kelompok Program Raksa Desa? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Sering
17. Apakah Sarjana Pendamping menentukan rencana kegiatan Program Raksa Desa? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3
Sering
18. Apakah Sarjana Pendamping setiap bulan mengawasi dan menangani masalah dalam pelaksanaan Program Raksa Desa? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3
Sering
2.3. Ketepatan 19. Menurut Bapak/Ibu, apakah Program Raksa Desa sudah dilaksanakan tepat waktu? 1 Tidak tepat waktu 2
Kurang tepat
3
Tepat
99
20. Menurut Bapak/Ibu, apakah jumlah bantuan modal bergulir yang Bapak/Ibu terima sudah sesuai dengan kebutuhan Bapak/Ibu? 1 Tidak sesuai 2 Kurang sesuai 3
Sesuai
21. Menurut Bapak/Ibu, apakah pembangunan infrastruktur yang ada di desa Bapak/Ibu saat ini sudah sesuai dengan kebutuhan Bapak/Ibu? 1 Tidak sesuai 2
Kurang sesuai
3
Sesuai
22. Menurut Bapak/Ibu, apakah jenis kegiatan yang sudah diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan Bapak/Ibu? 1 Tidak sesuai 2 Kurang sesuai 3
Sesuai
3. Proses Komunikasi 3.1. Arah Komunikasi 23. Dalam pelaksanaan program Raksa Desa, apakah Bapak/Ibu cenderung menerima perintah dari aparat desa? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3
Sering
24. Dalam pelaksanaan Program Raksa Desa, apakah Bapak/Ibu sering berdiskusi dengan aparat desa? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3
Sering
100
3.2. Intensitas Komunikasi 3.2.1. Frekuensi Komunikasi 25. Apakah Bapak/Ibu bertanya kepada Satuan Pelaksana tentang tata cara pengembalian dana pinjaman Program Raksa Desa? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Sering
26. Setiap minggu saat Satuan Pelaksana Desa menagih cicilan pinjaman, Apakah Bapak/Ibu memperoleh informasi tentang perkembangan perguliran modal Program Raksa Desa? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Sering
27. Apakah Bapak/Ibu meminta penjelasan kepada Satuan Pelaksana Desa, apabila informasi yang Bapak/Ibu terima tidak jelas? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3
Sering
28. Apakah Satuan Pelaksana Desa menyebarkan informasi kepada Bapak/Ibu ketika bertemu secara tidak sengaja? 1 Tidak pernah 2
Jarang
3
Sering
29. Apakah Bapak/Ibu membutuhkan informasi tentang kegiatan pembangunan infrastruktur dan modal bergulir dari Satuan Pelaksana Desa? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Sering
30. Apakah Bapak/Ibu bertanya kepada Sarjana Pendamping tentang hal-hal yang bersifat teknis penyelenggaraan pembangunan infrastruktur dan modal bergulir? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3
Sering
101
31. Apakah Bapak/Ibu menerima informasi dari Sarjana Pendamping pada saat musyawarah desa tahap pertama dan kedua? 1 Tidak pernah 2
Jarang
3
Sering
32. Apakah Bapak/Ibu bertanya secara langsung kepada Sarjana Pendamping tentang hal-hal yang tidak saya mengerti pada saat musyawarah desa tahap pertama dan kedua? 1 Tidak pernah 2
Jarang
3
Sering
33. Apakah Sarjana Pendamping menyebarkan informasi dan menghimbau kepada ma syarakat agar disiplin dalam menggunakan modal bergulir pemerintah? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3
Sering
34. Apakah Sarjana Pendamping rutin datang ke desa, memberikan informasi yang Bapak/Ibu butuhkan? 1 Tidak pernah 2 3
Jarang Sering
3.2.2. Substansi Komunikasi 35. Ketika membicarakan tentang pembangunan sarana dan prasarna yang akan dibangun di desa, apakah masing-masing anggota masyarakat diberi kesempatan memberi masukkan sesuai dengan kebutuhan desa saat ini? 1 Rendah 2
Sedang
3
Tinggi
36. Ketika membicarakan calon penerima bantuan, apakah masing-masing anggota masyarakat diberi kesempatan mencalonkan orang yang dianggap layak menerima bantuan tersebut? 1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
102
3.3. Konvergensi Komunikas i 37. Sebelum pelaksanaan Program Raksa Desa, dalam musyawah desa, apakah Bapak/Ibu bersama -sama dengan Satuan Pelaksana Desa dan Sarjana Pendamping menyatukan pandangan antara tujuan pribadi dan tujuan program? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Sering
38. Dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan infrastruktur dan perguliran bantuan modal, apakah Bapak/Ibu melibatkan Satuan Pelaksana Desa dan Sarjana Pendamping baik dalam penanganan masalah maupun dalam penilaian hasil yang telah dicapai? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3
Sering
39. Apakah Bapak/Ibu memandang penting kerjasama dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan infrastruktur, apakah Bapak/Ibu memberitahu Satuan Pelaksana Desa dan Sarjana pendamping tentang jadwal pelaksanaan dan lokasi pelaksanaan tersebut? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Sering
40. Sebelum pelaksanaan kegiatan pembangunan infrastruktur, apakah Bapak/Ibu bersama-sama dengan Satuan Pelaksana Desa dan Sarjana Pendamping menyamakan pandangan dan tahapan kerja yang akan diselenggarakan? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Sering
4. Prasyarat Partisipasi 4.1. Kesempatan 41. Apakah Bapak/Ibu memperoleh kesempatan membuat perencanaan usulan kegiatan Program Raksa Desa? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Sering
103
42. Dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan infrastruktur, Apakah Bapak/Ibu memperoleh kesempatan melaksanakan kegiatan tersebut? 1 Tidak pernah 2
Jarang
3
Sering
43. Dalam menghadapi masalah-masalah dalam pelaksanaan kegiatan modal bergulir, Apakah Bapak/Ibu memperoleh kesempatan menangani masalah tersebut? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3
Sering
44. Apakah Bapak/Ibu mempunyai kesempatan menikmati hasil pembangunan infrastruktur desa? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3 Sering
4.2. Kemauan 45. Apakah Bapak/Ibu memiliki kemauan membuat perencanaan kegiatan Program Raksa Desa bersama anggota yang lain? 1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
46. Apakah Bapak/Ibu mempunyai harapan terhadap keberhasilan pelaksanaan kegiatan pembangunan infrastruktur di desa ini? 1 Rendah 2 Sedang 3
Tinggi
47. Apakah Bapak/Ibu memiliki kemauan untuk menilai keberhasilan pelaksanaan kegiatan modal bergulir? 1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
48. Apakah Bapak/Ibu mempunyai keinginan menjaga dan memelihara hasil pembangunan infrastruktur desa ini? 1 Rendah 2 3
Sedang Tinggi
104
4.3. Kemampuan 49. Apakah Bapak/Ibu memiliki pengetahuan dalam menyusun perencanaan kegiatan Program Raksa Desa? 1 Rendah 2 Sedang 3
Tinggi
50. Apakah Bapak/Ibu memiliki kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan infrastruktur desa? 1 Rendah 2
Sedang
3
Tinggi
51. Apakah Bapak/Ibu memiliki kesiapan melakukan penilaian terhadap keberhasilan modal bergulir dan pembangunan infrastruktur? 1 Rendah 2 Sedang 3
Tinggi
52. Apakah Bapak/Ibu memiliki kesiapan menanggung kegagalan dalam usaha modal bergulir ? 1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi
5. Partisipasi 5.1. Partisipasi dalam Perencanaan 53. Apakah Bapak/Ibu ikut dalam mengidentifikasi penerima bantuan modal bergulir tahap kedua dalam musyawarah desa? 1 Tidak pernah 2
Jarang
3
Sering
54. Apakah Bapak/Ibu ikut dalam penentuan kegiatan pembangunan infrastruktur desa? 1 Tidak pernah 2
Jarang
3
Sering
105
55. Apakah Bapak/Ibu ikut dalam menyusun skala prioritas kegiatan yang akan dilaksanakan? 1 Tidak pernah 2
Jarang
3
Sering
56. Apakah Bapak/Ibu ikut dalam membuat aturan kesepakatan modal bergulir? 1 Tidak pernah 2
Jarang
3
Sering
57. Apakah Bapak/Ibu ikut dalam menentukan calon penerima bantuan modal bergulir? 1 Tidak pernah 2
Jarang
3
Sering
5.2. Partisipasi dalam Pelaksanaan 58. Apakah Bapak/Ibu mencurahkan waktu dan tenaga dalam pembangunan infrastruktur desa? 1 Tidak pernah 2
Jarang
3
Sering
59. Apakah Bapak/Ibu menyumbangkan bahan bangunan untuk pembangunan infrastruktur desa? 1 Tidak pernah 2
Jarang
3
Sering
5.3. Partisipasi dalam Pelaksanaan 60. Apakah Bapak/Ibu ikut menilai keberhasilan kegiatan pembangunan infrastruktur desa dan modal bergulir dalam rapat evaluasi di desa? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3
Sering
106
61. Apakah B apak/Ibu ikut memantau ketersediaan Satuan Pelaksana Desa dan Sarjana Pendamping selama pelaksanaan tahap pertama yang Bapak/Ibu ikuti? 1 Tidak pernah 2
Jarang
3
Sering
5.4. Partisipasi dalam Pemanfaatan 62. Apakah Bapak/Ibu memanfaatkan bantuan modal pengembangan usaha kecil yang Bapak/Ibu kelola? 1 Tidak pernah 2
Jarang
3
Sering
bergulir
untuk
63. Apakah Bapak/Ibu menggunakan fasilitas umum yang telah disediakan oleh Program Raksa Desa? 1 Tidak pernah 2 Jarang 3
Sering
107
108
109
110
111
112
113