PERBEDAAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK) STIMULASI PERSEPSI DAN STIMULASI SENSORI TERHADAP KEMAMPUAN MENGONTROL HALUSINASI : MENGHARDIK DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH DR. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG
Manuscript
Oleh : Tiara Ragatika G2A211026
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2013
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Manuscript dengan judul Perbedaan TAK Stimulasi Persepsi dan Stimulasi Sensori Terhadap Kemampuan Mengontrol Halusinasi: Menghardik di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang
Telah diperiksa dan disetujui untuk dipublikasikan
Semarang, 8 Oktober 2013
Pembimbing I
Ns. Tri Nurhidayati, S.Kep., M.Med. Ed
Pembimbing II
Ns. Desi Ariyana Rahayu, M.Kep
Perbedaan TAK Stimulasi Persepsi dan Stimulasi Sensori Terhadap Kemampuan Mengontrol Halusinasi: Menghardik di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
ABSTRAK
Halusinasi pendengaran adalah kondisi dimana pasien mendengar suara, terutamanya suara-suara yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu. Pelaksanaan pengenalan dan pengontrolan halusinasi dapat dilakukan dengan cara kelompok yang disebut juga dengan istilah Terapi aktivitas kelompok (TAK). Selama pasien mengalami halusinasi diberikan TAK Stimulasi Persepsi dan Stimulasi Sensori. Fase halusinasi yang sering dialami pada pasien halusinasi di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang yaitu fase I dan II. Dalam hal ini pelaksanaan TAK sangat penting untuk mengurangi halusinasi pendengaran yaitu dengan TAK Stimulasi Persepsi Sesi I-II dan Stimulasi Sensori Sesi I untuk meningkatkan kemampuan mengontrol halusinasi: menghardik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi optimalitas perbedaan TAK Stimulasi Persepsi Sesi I-II dan Stimulasi Sensori Sesi I dengan TAK Stimulasi Persepsi Sesi I-II terhadap kemampuan mengontrol halusinasi: menghardik di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimental dengan nonrandomized control pretest-posttest design. Sampel pada penelitian ini adalah pasien halusinasi pendengaran di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang yang ditetapkan secara purposive sampling. Jumlah sampel ada 20 responden yang dibagi 2 kelompok yaitu kelompok intervensi 10 responden dengan TAK Stimulasi Persepsi Sesi I-II dan Stimulasi Sensori Sesi I , dan kelompok kontrol 10 responden TAK Stimulasi Persepsi Sesi I-II. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan lembar observasi kemampuan mengontrol halusinasi: menghardik dengan skala ratio. Hasil analisis uji statistic dengan menggunakan uji Independent t test didapatkan hasil untuk nilai ρ kontrol dengan intervensi = 0,007 < 0,005. Artinya kedua
upaya kemampuan mengontrol halusinasi: menghardik sama- sama dapat menurunkan halusinasi pendengaran tetapi diantara keduanya lebih optimal TAK Stimulasi Persepsi I-II dan Stimulasi Sesi I dibandingkan TAK Stmulasi Persepsi I-II dengan hasil
mean 5,70> 2,00. Disarankan dapat membantu memenuhi
kebutuhan rasa nyaman dalam mengontrol halusinasi secara non farmakologis dengan cara memberikan pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) tentang TAK Stimulasi Persepsi dan Stimulasi Sensori.
Kata kunci: TAK Stimulasi Persepsi dan Sensori, halusinasi pendengaran
ABSTRACT
Sound hallucinations is condition where patient is hear the sound, specially sound that talking about what patient thinks and order him to do something. Recognizing and controlling this hallucinations can be done by group or what is known as therapeutic group activities. As patient become hallucinated, perception stimulation therapeutic group activities and sensory stimulation therapeutic group activities is given. At Dr Amino Gondohutomo mental hospital, patients are often experienced Phase I and II hallucination. Perception stimulation therapeutic group activities session I and II is given to reduce sound hallucination and sensory stimulation therapeutic group activities session I is also given to increase the ability to control the hallucination: scold.The goal of this research is to look which are optimal methods, perception stimulation therapeutic group activities session I and II and sensory stimulation therapeutic group activities session I or perception stimulation therapeutic group activities session I and II. This research is using experimental quasy design with nonrandomized controll. Pretest-post test design. Sample of this research are patient with sound hallucination at Dr Amino Gondohutomo mental hospital Semarang which are defined by purposive sampling. Sample are consist of 20 patients whis are devide by 2 groups. Intervension group, consist of 10 responden with perception stimulation therapeutic group activities session I and II and sensory stimulation therapeutic
group activities session I. Other 10 responder act as control group, with perception stimulation therapeutic group activities session I and II. Data collection is using observasion sheet: the ability to controll halucinations: scold, with ratio scale. With t test independent’s method, we obtained result for ρ controll with intervention group = 0,007 < 0,005, which mean that all of therapeutic group activities can be apply to decrease sound hallucination. But perception stimulation therapeutic group activities session I and II and sensory stimulation therapeutic group activities session I is more optimal than perception stimulation therapeutic group activities session I and II, with mean value of 5,70> 2,00. Recomended to help to meet the need of comfort on controlling hallucination in nonpharmacological way by giving perception stimulation therapeutic group activities and sensory stimulation
Keywords: Therapeutic Activity Group Stimulation and Stimulation Sensory Perception, auditory hallucinations
PENDAHULUAN Gangguan jiwa didefenisikan sebagai suatu sindrom atau perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya distres (misalnya gejala nyeri) atau disabilitas (kerusakan pada satu atau lebih area fungsi yang penting) (Videbeck, 2008). Pada studi terbaru WHO di 14 negara menunjukkan bahwa pada negara-negara berkembang, sekitar 76-85% kasus gangguan jiwa parah tidak dapat pengobatan apapun pada tahun utama (Hardian, 2008). Krisis ekonomi dunia yang semakin berat mendorong jumlah penderita gangguan jiwa di dunia, dan Indonesia khususnya kian meningkat, diperkirakan sekitar 50 juta atau 25% dari juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa (Nurdwiyanti, 2008). Menurut catatan WHO (2006), terdapat 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa atau depresi. Dari jumlah itu, menurut catatan Departemen Kesehatan 2,5 jutanya telah menjadi pasien Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia (Media Indonesia, 25 Agustus 2008). Menurut profil Jawa Tengah pada tahun 2008 dari 26.397.183 penduduk terdapat 0,37% atau 96.721
yang menderita gangguan jiwa. Sedangkan tahun 2009 jumlah penduduk 35.766.309 dengan jumlah penderita gangguan jiwa sebanyak 1,41% atau 505.135 jiwa. Melihat tingginya angka gangguan jiwa di Jawa Tengah dan Indonesia merupakan masalah serius bagi dunia kesehatan dan keperawatan Indonesia. Menurut Towsend (2000) gangguan-gangguan tersebut menunjukkan seperti klien berbicara sendiri, mata melihat kekanan kekiri, jalan mondar mandir, sering tersenyum dan sering mendengar suara-suara. Halusinasi adalah suatu keadaan dimana individu mengalami perubahan dalam jumlah atau pola dari stimulus yang mendekat ( yang diprakarsai secara internal atau eksternal ) disertai dengan suatu pengurangan, berlebih-lebihan, distorsi atau kelainan berespon terhadap stimulus. Penderita halusinasi jika tidak ditangani dengan baik akan berakibat buruk bagi klien sendiri, keluarga, orang lain dan lingkungan (Agus, 2011). Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara-suara yang bising atau mendengung, tapi yang paling sering berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang agak sempurna. Sensori dan persepsi yang dialami pasien tidak bersumber dari kehidupan
nyata.
Pada
umumnya
pasien
mendengar
suara-suara
yang
membicarakan mengenai keadaan pasien atau yang dialamatkan pada pasien itu (Ilham, 2005). Pelaksanaan pengenalan dan pengontrolan halusinasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara kelompok dan individu. Secara kelompok selama ini dikenal dengan istilah Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) dan secara individu dengan cara face to face (Gunderson, 1984 dikutip dari Daley & Salloum, 2001). Terapi aktivitas kelompok (TAK) adalah aktivitas membantu anggotanya untuk mengatasi identitas hubungan yang kurang efektif dan mengubah tingkah laku yang adaptif (Stuart and Laraia, 2008). Ada empat terapi aktifitas kelompok yaitu : terapi aktivitas kelompok sosialisasi, stimulasi persepsi, stimulasi sensori, dan orientasi realita. Menurut Keliat dan Akemat (2005) dikutip dari Hamid (2008), TAK yang sesuai untuk pasien dengan masalah utama perubahan sensori persepsi : halusinasi adalah aktivitas berupa stimulasi dan persepsi. Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi: halusinasi adalah TAK yang diberikan dengan
memberikan stimulus pada pasien halusinasi sehingga pasien bisa mengontrol halusinasinya (Purwaningsih dan Karlina, 2010). Terapi aktifitas kelompok stimulasi sensori adalah upaya menstimulasi semua pancaindra (sensori) agar memberi respons yang adekuat (Keliat dan Akemat, 2002). Berdasarkan data awal yang diperoleh di ruang inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang pada bulan November 2012 dari empat ruang rawat inap, pasien berjumlah 313 orang dengan jumlah pasien halusinasi sebanyak 66 orang. Pasien halusinasi terbanyak di ruang Srikandi sebanyak 22 orang (33,33%), diikuti dengan ruang Arimbi sebanyak 20 orang (30,30%), ruang Kresno sebanyak 16 orang (24,24%), ruang Madrim 8 orang (12,12%). Berdasarkan wawancara dengan perawat ruangan dari 66 orang pasien halusinasi yang umum dan cukup banyak terjadi adalah halusinasi pendengaran mencapai 25,75%. METODE Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen semu (Quasiexperimental research) dengan desain penelitian Nonrandomized Control Group Pre and Posttest Design. Pada desain penelitian ini terdapat 2 kelompok, yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol (Santoso,2005). Kelompok intervensi (kelompok eksperimen) diberi perlakuan TAK Stimulus Persepsi dan Sensori, sedangkan kelompok kontrol (control group) tidak mendapat perlakuan TAK Stimulasi sensori tetapi mendapat perlakuan TAK Stimulasi Persepsi dari peneliti. Sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Sehingga didapatkan besar sampel sebanyak 20 orang, yang mana 10 orang diberi perlakuan TAK Stimulasi Persepsi dan Sensori, dan yang 10 orang hanya diberi perlakuan TAK Stimulasi Persepsi. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Alat pengumpulan data berupa kartu TAK dan lembar observasi untuk menilai kemampuan pasien mengontrol halusinasi : menghardik. Proses penelitian berlangsung dari minggu ke-1 April sampai dengan minggu ke-4 April 2013. Data analisis secara univariat, bivariat (Shapiro Wilk, uji paired t test, uji wilcoxon, uji independent t test).
HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat kemampuan mengontrol halusinasi: menghardik sebelum dan setelah dilakukan TAK Stimulasi Persepsi sesi I-II adalah tingkat kemampuan mengontrol halusinasi: menghardik yang dirasakan oleh pasien halusinasi audiotorik di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang sebelum dilakukan TAK Stimulasi Persepsi diperoleh rata-rata kemampuan 13,20, setelah dilakukan tindakan TAK Stimulasi Persepsi
mengalami
peningkatan dengan rata-rata kemampuan 15,20. Tingkat kemampuan mengontrol halusinasi: menghardik sebelum dan setelah dilakukan TAK Stimulasi Persepsi sesi I-II dan TAK Stimulasi Sensori sesi I adalah tingkat kemampuan mengontrol halusinasi: menghardik yang dirasakan oleh pasien halusinasi audiotorik di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang sebelum dan setelah dilakukan TAK Stimulasi Persepsi sesi I-II dan TAK Stimulasi Sensori sesi I diperoleh rata-rata kemampuan 13,60, setelah dilakukan tindakan TAK Stimulasi Persepsi sesi I-II dan TAK Stimulasi Sensori sesi I mengalami peningkatan dengan rata-rata kemampuan 19,30.
Diperoleh hasil tingkat kemampuan mengontrol halusinasi: menghardik sebelum dan setelah dilakukan TAK pada kelompok intervensi dan kontrol yang dirasakan oleh pasien halusinasi audiotorik di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang diperoleh rata-rata kemampuan peningkatan kemampuan kontrol antara kelompok intervensi dibanding kontrol terdapat perbedaan yang signifikan dengan rerata pada kelompok intervensi lebih tinggi (5,70 1,160) dibanding kelompok kontrol (2,00 1,054). Salah satu perbedaan yang dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan signifikan kemampuan mengontrol halusinasi : menghardik sebelum dan sesudah diberikan Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi dan TAK Stimulasi Sensori dengan TAK stimnlasi persepsi adalah konsentrasi dan adanya ketertarikan responden terhadap TAK yang sedang dilaksanakan, sehingga setelah dilaksanakannya TAK ini, kemampuan responden dalam mengontrol halusinasi : menghardik dapat mengalami peningkatan, seperti pada tabel 4.4, 4.5, 4.6, 4.7
Analisis Perbedaan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi dan Stimulkasi Sensori Terhadap Kemampuan Mengontrol Halusinasi : Menghardik di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang April 2013 (n1= n2 = 10) Tabel 4.1. Karakteristik Data Usia Variabel Dewasa muda < 30 tahun Dewasa tua > 30 tahun
Frekuensi 11 9
Persentase 55% 45%
Mean 29,70 31,00
SD 1,947 2,000
Min 27 31
Tabel 4.2. Karakteristik Data Jenis Kelamin Variabel Laki-Iaki Perempuan
Frekuensi 17 3
Persentase 85% 15%
Frekuensi 8 12
Persentase 40% 60%
Tabel 4.3. Karakteristik Data Halusinasi Variabel Fase I Fase II
Tabel 4.4. Uji Beda Berpasangan Wilcoxon kemampuan kontrol sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok kontrol Kontrol Sebelum intervensi (Mean SD) Sesudah intervensi (Mean SD)
Sebelum intervensi (Mean SD)
p
13,20 0,789 0,007 15,20 1,033
Tabel 4.5. Uji Beda Berpasangan Wilcoxon kemampuan kontrol sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi Intervensi Sebelum intervensi (Mean SD) Sesudah intervensi (Mean SD)
Sebelum intervensi (Mean SD)
p
13,60 1,075 0,005 19,30 0,675
Maks 30 34
Tabel 4.6. Uji Beda Berpasangan Wilcoxon Kemampuan Mengontrol: Menghardik Sebelum dan Sesudah Intervensi pada Kelompok Kontrol dan Intervensi Variabel Kontrol Intervensi
Sebelum intervensi 13,20 0,789 13,60 1,075
Sesudah intervensi 15,20 1,033 19,30 0,675
p 0,007 0,005
Tabel 4.7. Uji Beda Tidak Berpasangan Independent T Test Kemampuan Mengontrol Halusinasi: Menghardik pada Kelompok Kontrol dan Intervensi Variabel Kontrol Intervensi
mean SD 2,00 1,054 5,70 1,160
p 0,000
Hasil penelitian diperoleh dengan distribusi frekuensi menurut umur yang didapat, diketahui bahwa umur < 30 tahun dengan katagori dewasa muda sebanyak 11 responden (55%) dengan usia terendah 27 tahun, umur > 30 tahun sebanyak 9 (45%) dengan usia tertinggi 34 tahun. Sesuai dengan penelitian Sarijiwanti (2008) dalam penelitian umur yang digunakan yaitu dewasa muda < 30 tahun dan dewasa tua > 30 tahun. Terlihat dari data diatas bahwa umur < 30 tahun atau dewasa muda lebih bannyak mengalami gangguan jiwa, faktor penyebab yang mungkin terlihat yaitu mental dan psikologis yang kurang matang maupun keadaan ekonomi serta perkembangan zaman yang dianggap sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Siagian (1995), semakin lanjut usia seseorang semakin meningkat pula kedewasaan tekhnis dan tingkat kedewasaan psikologisnya yang menunjukkan kematangan jiwa, dalam arti semakin bijaksana, mampu berfikir secara rasional, mengendalikan emosi dan bertoleransi terhadap orang lain. Kemudian menurut Struat & Laraia (2005) menyatakan usia berhubungan dengan pengalaman seseorang dalam menghadapi berbagai macam stressor, kemampuan memanfaatkan sumber dukungan dan keterampilan dalam mekanisme koping.
Hasil penelitian dilihat bahwa 17 responden (85%) berjenis kelamin laki-laki dan 3 responden (15%) berjenis kelamin perempuan. Jenis kelamin merupakan identitas responden yang dapat digunakan untuk membedakan responden lakilaki dengan responden perempuan (Utama, 2003). Jenis kelamin adalah kata yang umumnya digunakan untuk membedakan seks seseorang (laki-laki atau perempuan). Kata jenis kelamin dapat mendeskripsikan sifat atau karakter seseorang. Dapat dilcatakan seseorang yang merasa atau melakukan sesuatu yang bersifat seperti laki-laki (maskulin) atau wanita (feminin). Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa lebih besar proporsi responden laki-laki daripada responden perempuan yang mengikuti TAK: Stimulasi Persepsi. Hal tersebut disebabkan karena pada saat akan dilakukan TAK: Stimulasi Persepsi, proporsi dari responden perempuan yang menderita halusinasi audiotorik dan memenuhi kriteria inklusi dari penelitian tidak sebanyak proporsi dari responden laki-laki. Oleh karena itu proporsi responden perempuan yang diikutsertakan dalam TAK Stimulasi Persepsi dan Stimulasi Sensori tidak bisa sama jumlahnya antara kelompok laki-laki dan kelompok perempuan. Berdasarkan teori, proporsi pasien yang menderita halusinasi audiotorik antara pasien laki-laki dan pasien perempuan sebenamya tidak memiliki perbedaan. Terjadinya gangguan jiwa ini biasanya lebih dipengaruhi oleh bagaimana cara masing-masing individu dalam menghadapi atau mengatasi permasalahan yang dihadapinya (berkaitan dengan koping individu).
Berdasarkan tingkat halusinasi dari 20 responden di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang yang mengikuti TAK Stimulasi Persepsi dan Stimulasi Sensori dapat dilihat bahwa 8 responden (40%) tingkat halusinasi pada fase I dan 12 responden (60%) tingkat halusinasi pada fase II. Jadi didapatkan responden dengan tingkat halusinasi yang lebih banyak adalah fase 2. Fase 2 pada halusinasi ialah pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Klien mungkin mengalami dipermalukan oleh pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain. Psikotik ringan.
Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas seperti peninglcatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah. Rentang perhatian menyempit. Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dan realita (Keliat, 2004). Maka itu dengan adanya diberikan TAK stimulasi sensori responden dapat herkonsentrasi dengan rangsangan musik sehingga responden ada perasaan saling bekerja sama dalam kelompok dalam mempraktekan mengontrol halusinasi : menghardik.
Hasil penelitian ini terkait dengan penelitian sebelumnya dengan judul “Perubahan gejala halusinasi pasien jiwa sebelum dan setelah terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi halusinasi di RS Grhasia Prov. DIY”. Terdapat perubahan (penurunan) yang signifikan gejala halusinasi pasien jiwa sebelum dengan setelah Terapi Aktifitas Kelompok Stimulasi Persepsi di Rumah Sakit Grhasia Provinsi DIY. Terapi Aktifitas Kelompok Stimulasi Persepsi mampu menurunkan gejala halusinasi pasien jiwa di Rumah Sakit Grhasia Provinsi DIY sebesar= 44,737%. Rerata gejala halusinasi pasien jiwa sebelum Terapi Aktifitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi sebesar= 9,500 dan rerata setelah sebesar= 5,250. Hasil analisis dengan software komputer diperoleh t hitung= 10,902 dengan p<0,05 dan dinyatakan signifikan, sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Selain itu juga terkait dengan penelitian yang berjudul “Pengaruh terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi terhadap kemampuan mengontrol halusinasi di ruang cendrawasih dan ruang gelatik RS Jiwa Prof. HB Saanin Padang”. Hasil uji statistik didapatkan p=0,016 (p<0,05) ini menunjukkan terdapat pengaruh yang bermakna pemberian TAK stimulasi persepsi terhadap kemampuan mengontrol halusinasi. Diharapkan kepada perawat RSJ dapat meningkatkan pelaksanaan TAK stimulasi persepsi dengan memperhatikan indikasi klien yang bisa diikutsertakan dalam kegiatan TAK stimulasi persepsi dan melakukan follow up terhadap kemampuan klien mengontrol halusinasi. Merujuk pada penelitian dengan judul “Pengaruh TAK stimulasi persepsi terhadap kemampuan pasien mengontrol halusinasi di RSJ Daerah Provsu Medan tahun 2009/2010”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa TAK stimulasi persepsi
mempunyai pengaruh yang signifikan dalam mengontrol halusinasi pasien (p1 = 0,016, p2 = 0,016, p3 = 0.017, p4 = 0.016, p5 = 0.011. Perawat di ruangan sebaiknya membuat suatu jadwal dalam mengatur kegiatan pada kelompok pasien dengan masalah keperawatan yang sama serta mempunyai alat ukur untuk menilai keberhasilan dari kegiatan yang dilakukan. Salah satu perbedaan yang dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan signifikan kemampuan mengontrol halusinasi : menghardik sebelum dan sesudah diberikan Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi dan TAK Stimulasi Sensori dengan TAK stimnlasi persepsi adalah konsentrasi dan adanya ketertarikan responden terhadap TAK yang sedang dilaksanakan, sehingga setelah dilaksanakannya TAK ini, kemampuan responden dalam mengontrol halusinasi : menghardik dapat mengalami peningkatan.
Pada saat sebelum dilakukannya TAK Stimulasi persepsi, sebagian besar responden hanya dapat mengingat dan melakukan satu atau dua cara untuk mengontrol halusinasinya. Apalagi dengan diberikan TAK Stimulasi sensori responden dapat menyalurkan kepekaannya terhadap rangsangan, mampu meningkatkan kemampuan dalam menghardik serta responden dapat merubah perilakunya yang adaptif menjadi seperti yang diinginkan. Sehinggan responden dapat melatih konsentrasi terhadap pengalaman sensori kerja seperti menghardik suara-suara yang mereka dengar dan dapat membedakan halusinasi dengan realitas. Namun setelah dilakukannya TAK, Stimulasi Persepsi dan Stimulasi sensori hampir seluruh responden dapat mengingat dan melakukan kesepuluh cara untuk rnengontrol halusinasi: menghardik baik secara mandiri maupun sedikit dibantu (diingatkan).Dalam penelitian terkait belum ada yang membahas tentang Perbedaan TAK Stimulasi Persepsi dan Stimulasi Sensori dengan Stimulasi Persepsi terhadap kemampuan pasien dalam mengontrol halusinasi : menghardik. Dan hasil penelitian tersebut dapat diperoleh informasi baru tentang nilai perbedaan kemampuan mengontrol halusinasi pada pasien halusinasi audiotorik sebelum dan sesudah dilakukan TAK Stimulasi Persepsi dan Stimulasi Sensori dengan Stimulasi Persepsi.
Keterbatasan yang ada dalam penelitian ini meliputi Jumlah sampel dalam penelitian ini sudah sesuai dengan jumlah perhitungan sampel minimal yang dibutuhkan. Penelitian ini kemungkinan akan menghasilkan data yang lebih baik lagi apabila dilakukan path populasi yang lebih besar dengan jum1ah sampel yang lebih banyak lagi dan waktu yang lama lagi. Namun hal tersebut belum dapat dilakukan pada penelitian ini karena adanya keterbatasan jumlah populasi pasien skizofrenia dengan halusinasi audiotorik dan memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan dan pada intervensi penelitian pada saat pelaksanaan TAK Stimulasi Persepsi Sesi I-II dan Stimulasi Sensori Sesi I sering terjadi kesulitan karena kurang kooperatifnya pasien pada saat mengikuti TAK dan waktu. Hal tersebut juga dapat disebabkan karena kurangnya konsentrasi pasien pada saat TAK sedang berlangsung yang disebabkan kondisi mereka yang labil.
PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Perbedaan TAK Stimulasi Persepsi dan Stimulasi Sensori Terhadap Kemampuan Mengontrol Halusinasi : Menghardik di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang dapat diperoleh mean dan standar deviasi responden berdasarkan kelompok intervensi sebelum dilakukan TAK Stimulasi Persepsi dan Stimulasi Sensori yaitu 13,60 1,075, sedangkan mean setelah dilakukan TAK Stimulasi Persepsi dan Stimulasi Sensori adalah 19,30 0,675. Mean dan standar deviasi responden berdasarkan kelompok kontrol sebelum dilakukan TAK Stimulasi Persepsi yaitu 13,20 0,789, sedangkan mean setelah dilakukan TAK Stimulasi Persepsi adalah 15,20 1,033. Didapatkan rerata kelompok intervensi lebih tinggi (5,70 1,160) dibanding kelompok kontrol (2,00 1,054). Artinya Ada perbedaan peningkatan kemampuan mengontrol halusinasi : menghardik yang signifikan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
KEPUSTAKAAN Ann, I. (2005). Keperawatan Kesehatan Jiwa & Psikiatrik. Edisi 3. Jakarta : EGC. Ariawan, I. (2003). Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Jakarta : FKM-UI. Arikunto S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi VI. Jakarta : Penerbit PT Rineka Cipta. Azwar, S. (2003). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2007). Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. Daley, P.C., & Salloum, I.M (Eds). (2001). A Clinician’s guide to mental illness. NY : McGraw-Hill. Fitriansyah. (1999). Usia Manusia. Dinkes. Dikutip dari http://wikipedia.com. Diambil tanggal 14 Agustus 2013. Ghozali, I. (2005). Aplikasi analisis multivariat dengan program SPSS. Semarang : Badan Penerbit universitas Diponegoro. Hamid, AY. (2000). Buku Pedoman Askep Jiwa 1 Keperawatan Teori dan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Hastono, S. (2006). Analisis Data. Jakarta : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Hawari, 2001. Dikutip dari http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/04/16/askep halusinasi diambil tanggal November 2012. Hawari, D. (2009). Psikometri Alat Ukur (Skala) Kesehatan Jiwa. Jakarta : FKUI. Hidayat, AA. (2007). Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika. ________. (2008). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta : Salemba Medika.
Keliat, BA. dan Akemat. (2005). Keperawatan Jiwa : Terapi Aktivitas Kelompok. Cetakan I. Jakarta. EGC.
Laraia, S. (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. 8 Edition. Philadelphia: Elsevier Mosby. Marasmis, W. F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9. Surabaya. Airlangga University Press. Mezzich JE, Lin KM, Hughes CC. (2000). Acute and transient psychotic disoders and culture-bound syndromes (7th ed). Philadelphia : lippincolt. Notoadmodjo. (2003). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta. Nursalam. (2001). Pendekatan Praktis Metodologi Resit Keperawatan. Jakarta : CV Info Medika. Purwaningsih, Wahyu dan Ina Karlina. (2010). Asuhan Keperawatan Jiwa. Cetakan II. Yogyakarta : Nuha Medika. Sarijiwanti. (2008). Hubungan karakteristik perawat pelaksana dengan penerapan komunikasi terapeutik dalam memberikan Asuhan Keperawatan di ruang rawat Inap di Rumah Sakit Kepolisian Pusat Raden Said Soekanto Keramat Jati. Jakarta Timur. Santoso, S. (2005). SPSS Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta: PT. Alex Media Komputindo. Siagian, Sondang. (1995). Teori Motivasi dan Aplikasinya. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Soekidjo, N. (2002). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta ________. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Stuart, G.W. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta : EGC. _________. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta : EGC. Stuart, G.W., & Laraia, M.T. (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing (8th ed). St. Louis, MO : Mosby, Elsevier. Sundeen & Stuart. (2005). Buku Saku Keperawatan Jiwa, edisi 3. Jakarta : EGC. ________. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Jakarta : EGC. Suyanto. (2008). Mengenal Kepemimpinan dan Manjemen Keperawatan di Rumah Sakit. Jogjakarta : Mitra Cendekia Press.
Towsend, M.C. (2000). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts Of Care. Edisi 3. Philadelphia: F. A. Davis Company. Utama. (2003). Praktik Keperawatan Profesional. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Videbeck, S L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Sheila L. Videbeck : alih bahasa, Renata Komalasari, Alfrina Hany; Editor edisi bahasa Indonesia, Pemilih Eko Karyuni. Jakarta : EGC. Yosep, I. (2007). Keperawatan Jiwa. Jakarta. Refika Aditama. Yudi H & Farida, K. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika. Agus, 2011, http://www.jevuska.com/id/prevalensihalusinasi/html diakses pada 15 September 2012. Media Indonesia. 2008. http://mediaumat.com/bisnis-syariah/3794-82-residupembangunan-dan-pengusaha-pejuang-html diakses pada 15 September 2012.