Pemanfaatan Gulma dan Keongmas (Pomacea canaliculata) Sebagai Pellet Organik Buatan Dalam Budidaya Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) di Rawa Jombor Klaten Jawa Tengah Gema Paku Bumi, 1Sunarto, dan 2Agung Budiharjo Program Studi Pascasarjana Ilmu Lingkunga Universitas Sebelas Maret 2 Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret 1
Abstrak Gema Paku Bumi. A131302005. 2014. Pemanfaatan Gulma dan Keong-mas (Pomacea canaliculata) Sebagai Pellet Organik Buatan Dalam Budidaya Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) di Rawa Jombor Klaten Jawa Tengah. 1. Sunarto; 2. Agung Budiharjo. Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret. Rawa Jombor merupakan rawa yang memiliki peranan penting untuk irigasi, perikanan, pariwisata, dan konservasi lingkungan. Aktivitas penduduk yang tidak terkendali menyebabkan Rawa Jombor banyak ditumbuhi gulma dan hama, jika hal ini tidak segera diatasi, maka menyebabkan terganggunya ekosistem Rawa Jombor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pellet organik (gulma dan keongmas) terhadap pertumbuhan lobster air tawar (Cherax quadricarinatus), mengetahui formulasi pellet organik yang optimal untuk pertumbuhan lobster air tawar, dan berkaitan dengan kemelimpahan di Rawa Jombor, serta mengetahui pengaruh pemanfaatan gulma dan keong-mas sebagai pellet organik terhadap penekanan jumlah gulma dan keong-mas di Rawa Jombor. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan lobster yang diberi makan dengan formulasi antara lain: Pakan pellet formula A (kontrol); Pakan pellet formula B (T. Eceng-gondok 6%; T. Bayam 14%; T. Kangkung 30%; T. Keong-mas 50%); Pakan pellet formula C (T. Eceng-gondok 14%; T. Bayam 30%; T. Kangkung 6%; T. Keong-mas 50%); Pakan pellet formula D (T. Eceng-gondok 30%; T. Bayam 6%; T. Kangkung 14%; T. Keong-mas 50%). Masing-masing perlakuan dengan 25 ekor lobster dan dipelihara selama 8 minggu. Parameter yang diamati adalah pertumbuhan, mencakup berat, panjang, diameter abdomen, dan carapace, serta faktor abiotik meliputi suhu, pH, dan DO. Hasil penelitian menunjukkan pemberian pellet organik mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan lobster air tawar. Pemberian pellet organik formulasi D mempunyai pengaruh paling tinggi untuk pertumbuhan lobster air tawar jika dibandingkan dengan pellet organik formulasi yang lain, serta sesuai dengan pemanfaatan kemelimpahan gulma Email:
[email protected]
28
Jurnal EKOSAINS | Vol. 6 | No. 3 | Nopember 2014
Pemanfaatan Gulma Dan Keong-Mas
Gema Paku Bumi, Sunarto, Dan Agung Budiharjo
dan hama di Rawa Jombor. Pemanfaatan gulma dan keong-mas sebagai pellet organik berpengaruh terhadap penekanan jumlah gulma dan keong-mas di Rawa Jombor. Kata kunci: Gulma, Hama, Cherax quadricarinatus, pellet Pendahuluan Rawa Jombor merupakan rawa yang terletak di desa Krakitan, Kecamatan Bayat yang dilatar-belakangi oleh pegunungan kapur, merupakan salah satu rawa yang sangat luas di Kabupaten Klaten. Rawa tersebut memiliki peranan penting bagi penduduk untuk irigasi, perikanan, kawasan konservasi lingkungan dan juga tempat wisata (Setyowati, 2002). Aktivitas manusia di Rawa Jombor seperti, pembuangan sampah/sisa-sisa makanan dari warung apung, dari pupuk pertanian, serta pembuangan limbah rumah tangga (Merina, 2011), Menyebabkan Rawa Jombor dikategorikan tercemar sedang (Noor, 2012). Oleh sebab itu perlu adanya upaya pengelolaan gulma dan hama tersebut agar tidak terjadi penurunan kualitas lingkungan yang nantinya berdampak pada kehidupan organisme perairan, dan manusia sendiri. Cherax quadricarinatus merupakan lobster yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia karena dari spesiesspesies yang lain lobster ini yang memiliki pertumbuhan paling cepat. Lamanya waktu budidaya akan meningkatkan biaya pakan, belum lagi harga pakan yang tidak stabil, sehingga bila biaya pakan tidak ditekan, maka akan berpengaruh pada tingginya biaya produksi. Dari latar-belakang di atas dapat dilihat permasalahan gulma dan hama yang terdapat di Rawa Jombor dapat ditangani dengan memanfaatkan sebagai alternatif pakan alami/organik bagi lobster air tawar. Dalam ramuan pembuatan pakan, kadar serat kasar tidak baik jika bernilai tinggi (Mudjiman, 2004), oleh sebab itu perlu mengoptimalkan kadar kandungan serat
kasar tumbuhan air tersebut diantaranya dengan fermentasi (Syamsu, 2007). Dalam hal ini perlu penambahan EM4 yang mengandung bakteri perombak selulosa menjadi monosakarida, sehingga mudah diserap oleh lobster. Dalam pembuatan pakan ini menggunakan bahan baku berupa eceng-gondok, kangkung, keongmas, serta penambahan bayam, mengingat bahwa di dalam bayam terdapat senyawa vitomolt yang dapat memacu pertumbuhan Crustacea (Aslamyah dan Fujaya, 2009). Dari penelitian ini diharapkan dapat memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang berupa gulma dan keong-mas di Rawa Jombor Kabupaten Klaten sebagai alternatif pakan organik bagi pembudidaya lobster air tawar dalam rangka menekan biaya pakan, serta mewujudkan keberlangsungan dan fungsi Rawa Jombor. Metode Penelitian A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2014 - Juni 2014 di “Gemma Farm” beralamat di Becilen, Kajoran, Klaten Selatan. B. Alat dan Bahan Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kolam ukuran 2 x 3 x 1 m3 untuk pemeliharaan benih lobster, timbangan analitik dan digital, alat pengukur kualitas air berupa pH-meter dan DOmeter, termometer, aerator, paralon, sarung tangan karet, kertas tissue, Peralatan sampling berupa pipa paralon berukuran 3 x 3 m2, dan kantong plastik. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah eceng-gondok (Eichornia
Jurnal EKOSAINS | Vol. 6 | No. 3 | Nopember 2014
29
Pemanfaatan Gulma Dan Keong-Mas
Gema Paku Bumi, Sunarto, Dan Agung Budiharjo
crassipes), kangkung air (Ipomoea aquatica), bayam (Amaranthus spinosus), dan keong-mas (Pomacea canaliculata), yang diambil langsung dari Rawa Jombor. Lobster air tawar umur ±2 bulan ukuran ±2,54 cm, EM4, dan pakan pellet komersil “BINTANG” dengan kandungan protein kasar 40%, kadar air 6%, dan lemak 6%. C. Rancangan Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan lobster yang diberi makan dengan formulasi antara lain: 1. Pakan pellet formula A (kontrol) 2. Pakan pellet formula B (T. Ecenggondok 6%; T. Bayam 14%; T. Kangkung 30%; T. Keong-mas 50%) 3. Pakan pellet formula C (T. Ecenggondok 14%; T. Bayam 30%; T. Kangkung 6%; T. Keong-mas 50%) 4. Pakan pellet formula D (T. Ecenggondok 30%; T. Bayam 6%; T. Kangkung 14%; T. Keong-mas 50%). Masing-masing pakan pellet formula sebelumnya dilakukan uji kadar nutrisi terlebih dahulu, setelah itu masing-masing sampel lobster dimasukan dalam kolam yang berbeda sesuai perlakuan dengan jumlah sampel masing-masing 25 ekor. Kemudian dilakukan pemeliharaan selama 8 minggu. Parameter yang diamati adalah pertumbuhan, mencakup berat, panjang, diameter abdomen dan carapece, serta faktor lingkungan abiotik meliputi suhu, pH, dan kadar oksigen terlarut (DO). Selain itu juga dilakukan pengukuran kemelimpahan gulma dan hama di Rawa Jombor untuk menghubungkan formulasi pellet organik yang paling cepat untuk pertumbuhan lobster air tawar dengan ketersedian bahan baku pellet organik di alam. Metode observasi dan penentuan sampling stasiun secara purposive, yaitu dengan pengambilan sampel dengan mencatat sebagian dari populasi dengan memilih pengambilan sampel yang dianggap 30
mewakili perairan tersebut. Dalam metode sampling ini ditentukan tiga stasiun yaitu tepi/inlet, agak tengah, dan tengah, masing-masing stasiun tiga ulangan, dengan menggunakan transek berukuran 3 x 3 m2. D. Cara Kerja Prosedur penelitian ini meliputi persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian inti dan pengukuran kualitas air meliputi pH, suhu, dan oksigen terlarut. 1. Tahap Persiapan Kegiatan tahap persiapan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan Mempersiapkan hewan uji yaitu benih lobster air tawar yang memiliki umur ±2 bulan dan panjang tubuh ±2,54 cm. Persiapan media uji yaitu dengan mempersiapkan air yang digunakan berasal pada tampungan ke dalam bak pemeliharaan dan diberi aerasi didiamkan 24 jam kemudian diukur suhu, pH dan Oksigen terlarut. Persiapan pembuatan pakan pellet organik; Dipersiapkan semua bahan yang berupa eceng-gondok, kangkung, bayam, dan keong-mas, dilakukan pencucian dan aklimatisasi selama 2 hari, kemudian bahan tersebut dipotong kecil-kecil, lalu dicuci dengan air mengalir. Fermentasi dilakukan untuk bahan yang berupa gulma, dengan cara disiapkan media fermentasi dan EM4 dengan perbandingan 100 g bahan : 10 ml EM4 : 1 liter air, Kemudian masing-masing bahan difermentasi pada tempat yang berbeda. Fermentasi dilakukan selama satu minggu dengan melakukan pengadukan setiap satu hari sekali. Setelah satu minggu, bahan yang difermentasi disaring dan dicuci dengan air mengalir, setelah itu dijemur selama 3 hari Pembuatan tepung keong-mas caranya, pertama-tama rebus keong-mas selama 30 menit, kemudian dinginkan, setelah dingin pisahkan daging dengan cangkang
Jurnal EKOSAINS | Vol. 6 | No. 3 | Nopember 2014
Pemanfaatan Gulma Dan Keong-Mas
sambil dibuang bagian kotorannya, kemudian keong-mas dicuci bersih dengan air mengalir, setelah itu dipotong kecil-kecil dan baru dijemur selama 3 hari. Setelah semua bahan kering langkah selanjutnya adalah membuat bahan tersebut menjadi tepung dengan cara memasukan bahan tersebut kedalam mesin penepungan. Setelah masing-masing bahan menjadi tepung langkah selanjutnya adalah membuat pellet sesuai dengan formulasinya yaitu pellet formula A (kontrol), pellet formula B (T. Eceng-gondok 6%; T. Bayam 14%; T. Kangkung 30%; T. Keongmas 50%), pellet formula C (T. Ecenggondok 14%; T. Bayam 30%; T. Kangkung 6%; T. Keong-mas 50%), pellet formula D (T. Eceng-gondok 30%; T. Bayam 6%; T. Kangkung 14%; T. Keong-mas 50%). Setelah itu semua bahan dicampur dan ditambah zat perekat/white gluten dan air sampai adonan tercampur rata, setelah itu baru dicetak dengan mesin pellet, hasil dari cetakan mesin pellet kemudian dioven selama 20 menit. Setelah masing-masing pakan pellet ini jadi, maka tahap selanjutnya adalah melakukan analisa kadar nutrisi yang mencakup kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat. 2A. Tahap Pelaksanaan Memasukkan hewan uji ke dalam wadah pemeliharaan yang telah diisi dengan air setinggi 15 cm dan diberi aerasi untuk menambah pasokan oksigen dalam wadah budidaya. Melakukan pemeliharaan lobster selama 8 minggu dengan mencatat pertumbuhan lobster yang diamati dengan pengukuran berat, dan panjang, diameter abdomen dan carapace lobster, hal ini dilakukan setiap 2 minggu sekali. a. Untuk kegiatan harian Pemberian pakan dilakukan pada pukul 08.00 WIB dan 15.00 WIB sebanyak 3% dari total berat lobster, dan melakukan penyifonan sebanyak 30% dari volume air setiap hari dan diganti dengan air baru.
Gema Paku Bumi, Sunarto, Dan Agung Budiharjo
b. Untuk kegiatan mingguan Membersihan wadah pemeliharaan dan setiap 2 minggu sekali melakukan pengukuran pertumbuhan lobster, hal ini diharapkan dalam waktu 2 minggu lobster sudah dapat diukur pertumbuhannya. Melakukan pengukuran kualitas air berupa suhu, pH, dan oksigen. 2B. Tahap Pelaksanaan Sampling Kemelimpahan Melakukan penghitungan masingmasing kemelimpahan untuk keong-mas, kangkung dan eceng-gondok, satu stasiun dengan spesifik satu sampling gulma/ hama. Dalam sampling ini dilakukan pada pagi hari dengan menetapkan tiga stasiun, yaitu tepi/inlet, agak tengah, dan tengah. Transek yang digunakan berukuran 3 x 3 m2. Masing-masing plot transek dihitung spesifik gulma/hama yang ditemukan, serta dilakukan pengukuran faktor abiotik, seperti suhu, pH dan DO. Setelah masingmasing sampel terkumpul maka dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat masing-masing gulma/hama per-m2. E. Pengumpulan data Data pertumbuhan yang diamati meliputi pertambahan panjang total, berat basah, diameter abdomen dan carapace. Pertambahan panjang total diukur menggunakan rumus pertambahan panjang Effendi (1997). Pertambahan rata-rata panjang total menurut Effendi (1997) menggunakan rumus: L = Lt – Lo Keterangan : L = Pertambahan rata-rata panjang individu (cm) Lo = Rata-rata panjang individu awal penelitian(cm) Lt = Rata-rata panjang individu akhir penelitian(cm) Dalam pengukuran panjang lobster ini dimulai dari bagian depan seperti tanduk yang disebut rostrum kemudian kearah belakang sampai uropoda/telson (ekor).
Jurnal EKOSAINS | Vol. 6 | No. 3 | Nopember 2014
31
Pemanfaatan Gulma Dan Keong-Mas
Gema Paku Bumi, Sunarto, Dan Agung Budiharjo
Gambar 1. Pengukuran Panjang Lobster Kemudian perhitungan berat rata-rata individu dihitung dengan menggunakan rumus Stickweg (1979) dengan rumus: W = Wt – Wo Keterangan : W = Pertambahan rata-rata berat biomassa (g) Wo = Rata-rata berat hewan uji awal penelitian (g) Wt = Rata-rata berat hewan uji akhir penelitian (g) Pengukuran diameter abdomen dilakukan pada bagian lengkungan kedua dari atas sedangkan untuk pengukuran diameter carapace dilakukan pada bagian bawah capit.
Gambar 2. Pengukuran Diameter Abdomen dan Carapace. 32
Menurut Soegianto (1994) menghitung kelimpahan atau kepadatan suatu spesies dalam suatu tempat dengan rumus sebagai berikut: Di = ni/A Keterangan : Di = kepadatan untuk spesies I (Ind/ m2) ni = jumlah total individu untuk spesies I (Ind) A = Total luas habitat yang disampling (m2) F. Analisa Data Data dianalisa disini adalah data rata-rata pertumbuhan berat, panjang, diameter abdomen dan carapace. Dengan uji ANOVA (uji analisa varians), jika terdapat beda nyata dilakukan uji lanjut menggunakan DMRT (Duncan). Hasil Dan Pembahasan A. Pakan Kemelimpahan sumberdaya alam yang tidak terkendali menyebabkan berbagai permasalah bagi lingkungan. Kemelimpahan tersebut dapat terjadi secara alami atupun karena campur tangan manusia. Berbagai aktivitas manusia di Rawa Jombor seperti, pembuangan sampah/sisa-sisa makanan dari warung apung, dari pupuk pertanian, serta pembuangan limbah rumah tangga hasil kegiatan mencuci warga sekitar (detergen) (Merina, 2011), menyebabkan Rawa Jombor dikatakan tercemar sedang (Noor, 2012). Aktivitas manusia tersebut menyebabkan perairan Rawa Jombor mengalami pengkayaan hara yang berpengaruh pada kemelimpahan dari pertumbuhan gulma. Seiring dengan pertumbuhan gulma ini, maka pertumbuhan akan hama, sebagai konsumen yang memakan gulma juga meningkat. Kemelimpahan akan gulma dan hama yang tidak terkendali ini akan menyebabkan kerusakan ekosistem Rawa Jombor.
Jurnal EKOSAINS | Vol. 6 | No. 3 | Nopember 2014
Pemanfaatan Gulma Dan Keong-Mas
Upaya pemanfaatan dari kemelimpahan gulma dan hama ini merupakan solusi untuk membatasi dari pertumbuhan gulma dan hama tersebut. Mengingat kandungan nutrisi yang masih tinggi dalam gulma dan hama tersebut, maka dapat dimanfaatkan sebagai pellet organik bagi lobster air tawar. Dalam hal ini digunakan lobster air tawar karena selain merupakan komoditas ekonomi yang memiliki nilai jual yang tinggi, juga karena lobster air tawar merupakan hewan omnivore yang memiliki daya cerna akan serat yang tinggi sekitar 94,4-96,1 % (Anderson et al., 2004). 1. Kualitas Pakan Pada masing-masing formula pakan tersebut, dilakukan uji kualitas pakan yang terdiri dari uji kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat. Pada masing-masing formula pakan tersebut, dilakukan uji kualitas pakan yang terdiri dari uji kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat. Berdasarkan hasil uji kualitas pakan dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini:
Formulasi A B C D
Gema Paku Bumi, Sunarto, Dan Agung Budiharjo
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa pellet formulasi A memiliki kadar air, abu dan karbohidrat yang rendah dibandikan formulasi yang lain yaitu sebesar 9,54%, 10,57% dan 41,21%, akan tetapi memiliki kadar lemak dan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan formulasi yang lain yaitu sebesar 7,11% dan 31,57%, sedangkan untuk formulasi A, B, dan C kadar kualitas pakannya tidak jauh beda hal ini dikarenakan komposisi pellet organik ini terbuat dari 50% bahan nabati dan 50% bahan hewani, sehingga perbedaan hasil pellet organik ini tidak jauh beda. B. Pertumbuhan Lobster Air Tawar Pertumbuhan merupakan perubahan ukuran tubuh yang dapat berupa panjang atau berat suatu organisme dalam waktu tertentu. Menurut Effendi (2002), pertumbuhan pada umumnya diakibatkan oleh adanya peningkatan jumlah dan ukuran sel. Pertumbuhan yang optimal memerlukan suplai pakan yang tepat agar nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan dapat dipenuhi.
Tabel 1. Data Uji Kualitas Pakan Parameter Uji Air Abu Lemak Protein Karbo(% (% (% (% wb) hidrat wb) wb) wb) (% wb) 9,54 10,57 7,11 31,57 41,21 14,58 14,73 2,45 22,99 45,25 13,56 16,04 2,26 25,04 43,10 14,82 14,92 2,50 22,42 45,34
Keterangan: A = kontrol B = T. Eceng-gondok 6%; T. Bayam 14%; T. Kangkung 30%; T. Keongmas 50% C = T. Eceng-gondok 14%; T. Bayam 30%; T. Kangkung 6%; T. Keongmas 50% D = T. Eceng-gondok 30%; T. Bayam 6%; T. Kangkung 14%; T. Keongmas 50%
Salah satu upaya yang dilakukan agar pertumbuhan lobster air tawar yang dipelihara dapat optimal yaitu dengan pemilihan formulasi pakan yang optimal. Dalam pembuatan pellet organik ini menggunakan formulasi pakan yang seimbang antara bahan nabati sebesar 50% dan bahan hewani sebesar 50%, diharapkan dengan terpenuhinya akan komponen unsur nabati dan hewani tersebut akan saling melengkapi kebutuhan bagi pertumbuhan lobster
Jurnal EKOSAINS | Vol. 6 | No. 3 | Nopember 2014
33
Pemanfaatan Gulma Dan Keong-Mas
Gema Paku Bumi, Sunarto, Dan Agung Budiharjo
air tawar. Penelitian yang dilakukan selama 8 minggu dengan empat perlakuan formulasi pellet organik menghasilkan pertumbuhan lobster air tawar yang berbeda nyata (p<0.05). hasil penelitian menunjukan hubungan yang berbanding lurus antara kandungan protein dan pertumbuhan lobster air tawar. Semakin tinggi kandungan protein semakin tinggi pula pertumbuhan lobster air tawar.
pada lobster air tawar yang diberi pellet formulasi A (Kontrol/pellet komersil), karena kandungan proteinnya paling tinggi, yaitu sebesar 31,57%. Kemudian diikuti oleh pellet formulasi C (T. Eceng-gondok 14%; T. Bayam 30%; T. Kangkung 6%; T. Keong-mas 50%) dengan kandungan protein sebesar 25,04%, kemudian pellet formulasi D (T. Eceng-gondok 30%; T. Bayam 6%; T. Kangkung 14%; T. Keong-mas 50%) dengan kandungan protein 22,42%, serta
Tebel 2. Pertumbuhan Berat, Panjang, Diameter Abdomen, dan Carapace Lobster di Akhir Penelitian. Perlakuan Formula A Formula B Formula C Formula D
Berat Rata-rata ± Sd (gr) 7.05 ± 1.70b 5.84 ± 1.45a 6.93 ± 1.31b 6.37 ± 1.59ab
Perlakuan Formula A Formula B Formula C Formula D
Panjang Rata-rata ± Sd (cm) 5.94 ± 0.47b 5.37 ± 0.49a 5.79 ± 0.52b 5.67 ± 0.52ab
Perlakuan Formula A Formula B Formula C Formula D
Abdomen Rata-rata ± Sd (cm) 2.80 ± 0.34b 2.53 ± 0.22a 2.74 ± 0.23b 2.65 ± 0.27ab
Perlakuan Formula A Formula B Formula C Formula D
Carapace Rata-rata ± Sd (cm) 3.84 ± 0.38b 3.56 ± 0.28a 3.73 ± 0.21b 3.66 ± 0.29ab
Keterangan angka diikuti tanda notasi yang berbeda menunjukkan beda nyata pada taraf signifikan 5%. Pertumbuhan paling tinggi terdapat 34
pertumbuhan terendah terdapat pada perlakuan pellet formula B (T. Eceng-gondok 6%; T. Bayam 14%; T. Kangkung 30%; T. Keong-mas 50%) dengan kandungan protein tidak 22,99%.
Jurnal EKOSAINS | Vol. 6 | No. 3 | Nopember 2014
Pemanfaatan Gulma Dan Keong-Mas
Pada kedua formulasi pellet D dan B tersebut pertumbuhan lobster dengan formulasi D lebih tinggi dari formulasi B, hal ini dikarenakan selain faktor kandungan protein faktor kandungan mikronutrien juga berperan dalam pertumbuhan lobster air tawar dalam hal ini pada pellet formulasi D kandungan eceng-gondok jauh lebih banyak daripada pellet formulasi B. Ecenggondok ini mengandung mikronutrien yang berupa hormon steroid, kandungan steroid ini sebesar 1 mg/g bobot kering (Adriani, 1992). Hormon steroid inilah yang berperan dalam memacu pertumbuhan lobster melalui proses moulting, dan ketika terjadi moulting, nafsu makan lobster akan meningkat, sehingga proses pertumbuhan juga akan menjadi cepat. Fungsi hormon steroid selain untuk pertumbuhan adalah untuk metamorfosis dan reproduksi. Pada umumnya hormon steroid disekresi oleh organ Y dalam bentuk ecdysone. Di dalam hemolimph, hormon ini dikonversi menjadi hormon aktif 20–hydroxyecdysone oleh enzim 20–hydroxylase yang terdapat di epidermis organ dan jaringan tubuh lainnya. Titer 20–hydroxyecdysone dalam sirkulasi bervariasi sepanjang fase moulting. Sesaat setelah ecdysis (moulting) titernya sangat rendah dan juga sepanjang fase intermolt (Fujaya, 2004). Penambahan hormon steroid yang terdapat pada pellet organik ini dapat mempersingkat fase intermolt. Fase intermolt yang ditandai dengan rendahnya hormon steroid dalam tubuh lobster ini, akan dicukupi oleh asupan hormon steroid yang terdapat pada pellet organik. Pada keempat formulasi pellet tersebut setelah dilakukan uji statistik terlihat perbedaan yang signifikan antara perlakuan pellet formulasi B dengan pellet formulasi A, C, dan D, dari hasil statistik ini dapat disimpulkan bahwa formulasi pellet organik sebanding dengan pellet komersil dalam hal untuk meningkatkan pertumbuhan berat lobster air tawar, kecuali pellet formu-
Gema Paku Bumi, Sunarto, Dan Agung Budiharjo
lasi B.
Kandungan protein pada pellet organik sebesar 22,42 - 25,04% akan tetapi jika dibandingkan dengan pellet komersil yang kandungan proteinnya sebesar 31,57% akan menghasilkan pertumbuhan berat yang tidak jauh beda. Kandungan protein pellet organik tersebut telah mencukupi kebutuhan protein lobster air tawar yang sebenarnya hanya sebesar 21,6% (Kakam, 2008), selain itu kandungan mikronutrien pada pellet organik lebih tinggi daripada pellet komersil. Kandungan lemak pada pellet organik jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pellet komersil. Kandungan lemak yang terlalu tinggi ini akan menyebabkan lobster kurang nafsu makan dalam mengkonsumsi makanannya, selain itu jika lobster terlalu banyak mengkonsusmsi pellet yang tinggi kadar lemaknya, maka lobster tersebut akan bermalas-malasan dalam aktivitasnya. Kandungan karbohidrat pada pellet organik jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pellet komersil. Kandungan karbohidrat pada pellet organik ini akan diubah menjadi lemak melalui proses yang disebut lipogenesis. Proses lipogenesis ini merubah karbohidrat menjadi lemak. Kandungan protein yang berlebih juga dapat diubah menjadi lemak (Almatsier, 2005). Kelebihan kandungan karbohidrat pada pellet organik ini juga dapat digunakan sebagai pencegah penggunaan protein untuk energi (penghemat energi), sehingga peran protein sebagai zat pembangun akan optimal. Pellet organik dalam penelitian ini mempunyai pengaruh yang sama dalam hal pertumbuhan lobster air tawar, kecuali pada formulasi B (T. Eceng-gondok 6%; T. Bayam 14%; T. Kangkung 30%; T. Keongmas 50%) yang menghasilkan pertumbuhan yang paling rendah dan hasilnya secara statistik berbeda nyata dengan formulasi pellet organik yang lain. Dari penelitian
Jurnal EKOSAINS | Vol. 6 | No. 3 | Nopember 2014
35
Pemanfaatan Gulma Dan Keong-Mas
Gema Paku Bumi, Sunarto, Dan Agung Budiharjo
ini dapat diketahui bahwa pellet organik formulasi C dan D dapat digunakan sebagi upaya pemanfaatan dari kemelimpahan gulma dan hama di Rawa Jombor Penggunaan pellet organik ini lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan penggunaan pellet komersil, selain berbahan baku kemelimpahan alam, juga karena kandungan pellet organik ini lebih mudah terdegradasi di alam, sehingga tidak merusak kualitas perairan. Berbeda dengan pellet komersil yang kandungan proteinnya jauh lebih tinggi dan tidak sesuai dengan kebutuhan lobster, maka kelebihan protein ini tidak dapat diserap oleh lobster, dan akan dibuang di perairan melalui kotoran, selain itu pellet komersil yang tidak termakan oleh lobster akan mengapung di perairan, dan lama kelamaan akan ditumbuhi oleh jamur. Jamur inilah yang akan merusak kualitas perairan dan dapat menimbulkan berbagai macam penyakit seperti penyakit ekor melepuh pada lobster, serta dapat memunculkan jenis-jenis hewan parasit bagi lobster air tawar, seperti cacing jangkar dan kutu/lintah. Keberadaan hewan parasit tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan lobster, apalagi jika parasit tersebut sudah menyerang pada bagian saluran pernafasan, sehingga akan mengakibatkan kematian tiba-tiba pada lobster, dan jika tidak segera ditangani parasit tersebut akan menyerang semua lobster dan menyebabkan kematian masal. 1. Moulting Pertumbuhan adalah pertambahan berat dan panjang tubuh yang terjadi secara berkala setelah terjadi moulting. Pada
proses pertumbuhan ini pasti akan didahului dengan proses moulting, tanpa adanya moulting tidak mungkin lobster air tawar akan tumbuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah moulting paling banyak terjadi pada pellet formula D yaitu sebesar 21 kali, kemudian disusul oleh pellet formula A sebesar 17 kali, serta pellet formula B dan C sebesar 12 kali. Walaupun dalam penelitian ini didapatkan frekuensi moulting tertinggi pada pellet formula D akan tetapi untuk permasalahan pertumbuhan secara statistik tidak jauh beda dengan pellet formula yang lain. 2. Sintasan Sintasan menunjukan prosentase tingkat kehidupan lobster selama menjalani perlakuan/treatmen yang diberikan. Tabel 3. Sintasan Formulasi Sintasan (%) A 92 B 80 C 72 D 88 Berdasarkan pencatatan lobster yang hidup selama penelitian didapatkan hasil bahwa lobster air tawar tidak ada yang mati karena serangan penyakit (jamur atau bakteri), Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya kerusakan organ pada tubuh lobster air tawar. Tetapi sebagian besar lobster air tawar yang mati karena terjadi kanibalisme antar lobster. Proses kanibalime pada lobster merupakan proses yang alami, dimana hal ini akan meningkat pada saat ada lobster yang mengalami moulting. Lobster yang mengalami proses
Tabel 2. Data Moulting Minggu 0-2 2-4 4-6 6-8 Total
36
Formula A 1 7 4 5 17
Formula B 2 6 3 1 12
Formula C 1 6 2 3 12
Formula D 2 8 2 9 21
Jurnal EKOSAINS | Vol. 6 | No. 3 | Nopember 2014
Pemanfaatan Gulma Dan Keong-Mas
moulting inilah yang akan dimangsa oleh lobster yang lain, karena lobster tersebut pada saat moulting mengeluarkan hormon atraktan yang memicu nafsu makan lobster yang lain untuk memangsanya. C. Kualitas Air Selama penelitian dilaksanankan, suhu air berkisar antara 26,7-26,80C. Pada kisaran suhu tersebut lobster air tawar dapat hidup dengan baik. Menurut Trijoko dan K. Madyaningrana (2004), bahwa suhu optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan lobster air tawar berkisar antara 26-280C. Derajat keasaman (pH) air selama penelitian berkisar antara 7,03-7,09. Kisaran pH ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Cortes-Jacinto et al., (2005) bahwa pH pemeliharaan lobster air tawar berkisar antara 7-8. Konsentrasi oksigen terlarut (DO) pada penelitian ini berkisar antara 4,40-4,58 mg/l. Tingkat konentrasi oksigen terlarut tersebut sudah memenuhi persyaratan untuk pemeliharaan lobster air tawar yaitu minimal 4 mg/l (Cortes-Jacinto et al., 2005). D. Kemelimpahan Gulma Dan Hama Untuk mengetahui jumlah kemelimpahan gulma dan hama yang terdapat di Rawa Jombor, maka perlu dilakukan sampling kemelimpahan. Dengan diketahui jumlah kemelimpahan gulma dan hama ini, maka dapat diketahui banyaknya gulma dan hama yang akan dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pellet organik sesuai dengan formulasi yang menghasilkan pertumbuhan lobster air tawar paling tinggi. Selain itu dengan mengetahui jumlah kemelimpahan gulma dan hama ini kita dapat memprediksi pertumbuhan gulma dan hama tersebut, sehingga diharapkan pemanfaatan gulma dan hama sebagai bahan baku pembuatan pellet organik ini tetap memperhatikan ketersedian bahan baku di alam. Dalam pengukuran kemelimpahan ini menggunakan transek dengan ukuran
Gema Paku Bumi, Sunarto, Dan Agung Budiharjo
3 x 3 m, kemudian ditentukan posisi pemasangan transek pada daerah yang melimpah akan gulma dan hama tersebut. Selain itu posisi pemasangan transek juga dilakukan pada daerah tepi, agak ketengah, dan daerah tengah Rawa Jombor. Hal ini dilakukan untuk mengetahui persebaran gulma dan hama berdasarkan luas. Pada daerah yang akan disampling diletakkan transek yang terbuat dari pipa paralon yang berukuran 3 x 3 m, kemudian pada tempat tersebut dihitung jumlah masing-masing gulma dan hama yang sudah ditentukan, setelah itu hasil sampling diangkut dan dilakukan penimbangan, selain itu juga dilakukan pengukuran faktor abiotik berupa suhu, pH dan DO. Pengukuran kemelimpahan gulma dan hama ini dilakukan pada musim penghujan dan diharapkan akan didapatkan kemelimpahan, karena kondisi air di Rawa Jombor pada musim penghujan relatif melimpah dan stabil, berbeda dengan kondisi di musim kemarau, karena debit air di rawa yang berkurang, maka kemelimpahan gulma dan hama juga berkurang. Pada musim kemarau ini sebagian besar daerah rawa dimanfaatkan oleh masyarakan untuk bertani baik padi, singkong, ketela, ubi, dan jagung. Dampak dari adanya alih fungsi ini akan menyebabkan meningkatnya kesuburan tanah, oleh sebab itu pada saat masuk musim penghujan kondisi rawa yang subur sangat membantu dalam kemelimpahan gulma dan hama. 1. Keong-Mas (Pomacea canaliculata) Keong-mas merupakan hawa yang dapat merusak pertanian ataupun dalam bidang perikanan. Keong-mas yang berada pada Rawa Jombor memiliki dampak positif dan negatif bagi ekosistem perairan tersebut antara lain, keberadaan keong-mas dapat menekan keberadaan gulma, dalam hal ini gulma atau sisa-sisa gulma merupakan makanan bagi keong-mas, akan tetapi dilain sisi keberadaan keong-mas pada
Jurnal EKOSAINS | Vol. 6 | No. 3 | Nopember 2014
37
Pemanfaatan Gulma Dan Keong-Mas
Gema Paku Bumi, Sunarto, Dan Agung Budiharjo
daerah karamba/perikanan dapat mengganggu pertumbuhan bagi ikan budidaya, dalam hal ini mengakhibatkan terjadi persaingan dalam mendapatkan makanan. Keong-mas di Rawa Jombor jumlahnya sangat banyak, dari daerah tepi ke tengah jumlahnya terus mengalami peningkatan. Pada daerah tepi/inlet jumlah populasi keong-mas yang ditemukan sebanyak 24/m2, hal ini bisa disebabkan karena pengaruh kemelimpahan gulma tertentu, dalam hal ini keong-mas terdapat pada tumbuhan kangkung. Kangkung merupakan tempat menempel keong-mas khususnya hanya pada bagian akar, karena pada bagian batang kangkung terlalu lemah, sehingga keong-mas tidak dapat menempel dan memakan bagian daun kangkung, oleh sebab itu kemelimpahan keong-mas pada kangkung ini hanya terdapat pada bagian akar atau pada bagian batang kangkung yang membusuk/mati. Kemudian untuk daerah Rawa Jombor agak ke tengah, terdapat jumlah keong-mas yang jumlahnya tidak jauh beda dengan bagian tepi yaitu sebanyak 18/m2, akan tetapi pada daerah ini keong-mas menempel pada tumbuhan krangkong londo. Krangkong londo mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan kangkung dalam hal sebagai tempat hidup keong-mas. Krangkong londo memiliki sifat batangnya yang tidak kuat, sehingga keong-mas sulit menempel/mudah rontok, serta tumbuhan ini memiliki daun yang sedikit. Kemudian pada bagian tengah Rawa Jombor didapatkan jumlah keong-mas yang melimpah yaitu sebanyak 220/m2, pada daerah ini keong-mas menempel pada tumbuhan krangkong jawa/hijau dan tumbuhan ini merupakan tumbuhan yang sesuai bagi kehidupan keong-mas, hal ini dikarenakan tumbuhan krangkong jawa memiliki batang yang kuat sehingga keong-mas mudah menempel dan mudah dalam mencari makan. Pada umumnya masyarakat sekitar lebih memilih mencari keong-mas pada 38
tumbuhan krangkong jawa dari pada tumbuhan lain, dan jumlah krangkong jawa lebih dominan dari pada krangkong londo. Parameter lingkungan yang didapat pada penelitian ini adalah suhu berkisar antara 29,0-29,60C, pH berkisar antara 7,44-7,67, dan DO berkisar antara 2,88-3,86 mg/l. 2. Kangkung (Ipomoea aquatica) Kangkung merupakan tumbuhan yang melimpah di Rawa Jombor. Masyarakat sekitar umumnya memanfaatkan tumbuhan kangkung ini sebagai sayuran, selain itu masyarakat juga memanfaatkan kangkung ini sebagai makanan ternak. Kemelimpahan kangkung dari daerah tepi ke tengah semakin sedikit. Pada daerah tepi/inlet didapatkan jumlah kangkung yang terbanyak yaitu 550/m2. Pada daerah tepi/inlet ini didapat jumlah kangkung yang melimpah dikarenakan pada daerah ini merupakan daerah air masuk yang berasal dari sungai. Daerah tepi/inlet ini membawa dampak kesuburan bagi daerah Rawa Jombor. Pada daerah agak ketengah didapatkan jumlah kangkung sebanyak 536/m2. Pada daerah ini terdapat tumpukan sampah yang masuk dari inlet yang menyebabkan banyak ikan yang mati pada daerah ini. Kemudian pada daerah tengah didapatkan jumlah kangkung sebanyak 433/m2. Jumlah kemelimpahan kangkung semakin ke tengah semakin sedikit, hal ini disebabkan karena tingkat kesuburan yang semakin rendah, selain itu pada daerah tengah juga dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat. Parameter lingkungan yang didapat pada penelitian ini adalah suhu berkisar antara 31,2-31,70C, pH berkisar antara 7,65-7,73, dan DO berkisar antara 3,27-4,38 mg/l. 3. Eceng-Gondok (Eichornia crassipes) Eceng-gondok merupakan tumbuhan yang melimpah di Rawa Jombor setelah tumbuhan kangkung. Tumbuhan ini kurang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Pada awalnya masyarakat sekitar memanfaatkan tumbu-
Jurnal EKOSAINS | Vol. 6 | No. 3 | Nopember 2014
Pemanfaatan Gulma Dan Keong-Mas
han ini sebagai pakan ternak, akan tetapi karena bau amisnya sangat jarang hewan ternak yang mau memakan tumbuhan ini. Tumbuhan eceng-gondok merupakan tumbuhan air yang dimanfaatkan sebagai tempat melekatnya telur keong-mas. Kemelimpahan tumbuhan eceng-gondok sama seperti pada kangkung, yaitu semakin ke tengah jumlahnya semakin sedikit. Pada daerah tepi/inlet didapatkan jumlah ecenggondok sebanyak 35/m2. Pada daerah ini didapatkan kemelimpahan eceng-gondok yang tertinggi, hal ini disebabkan karena pada daerah ini memiliki tingkat kesuburan yang lebih tinggi, selain itu pada daerah ini pada waktu musim kemarau dimanfaatkan sebagai sawah (kesuburan tinggi), kemudian pada waktu musim penghujan daerah ini kurang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, sehingga pada daerah ini tumbuhan eceng-gondok tidak terganggu oleh aktivitas manusia, sehingga didapatkan tumbuhan eceng-gondok yang batangnya tinggi-tinggi. Pada daerah agak tepi didapatkan eceng-gondok sebanyak 22/m2, sedangkan semakin ke tengah jumlah ecenggondok semakin berkurang, yaitu 16/m2. Kemelimpahan eceng-gondok semakin ke tengah semakin sedik ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yaitu kesuburan yang semakin ke tengah semakin rendah, serta aktivitas manusia di daerah lebih dominan dari pada daerah tepi. Parameter lingkungan yang didapat pada penelitian ini adalah suhu berkisar antara 28,8-29,50C, pH berkisar antara 7,40-7,53, dan DO berkisar antara 4,06-4,59 mg/l. 4. Pemanfaatan Sebagai Bahan Baku Pellet Organik Dari uji coba formulasi pellet organik terhadap pertumbuhan lobster air tawar didapatkan hasil yang tidak beda nyata (rata-rata selama penelitian), oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa pellet organik sebanding dengan pellet komersil dalam hal memacu pertumbuhan lobster air tawar. Dalam hal pemanfaatan ini maka akan
Gema Paku Bumi, Sunarto, Dan Agung Budiharjo
dipilih formulasi yang sesuai dengan tingkat percepatan pertumbuhan lobster dan dihubungkan dengan kemelimpahan gulma dan hama di daerah Rawa Jombor, dengan cara tersebut maka pemanfaatan gulma dan hama sebagai bahan baku pembuatan pellet organik akan optimal. Dari hasil penelitian pellet organik formulasi D didapatkan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pellet organik formulasi yang lain. Sedangkan berdasarkan sampling kemelimpahan didapatkan nilai berat tertinggi terdapat pada eceng-gondok yaitu sebesar 2,5-9,5 kg/ m2, kemudian kangkung sebesar 4,3-5,5 kg/m2, sedangkan untuk bayam digunakan sebagai penyusun komposisi paling rendah, karena pada musim penghujan daerah Rawa Jombor tidak ditemukan bayam, akan tetapi bayam ditemukan diluar daerah Rawa Jombor yang tidak tergenang air. Maka formulasi yang tepat digunkan berdasarkan pengaruh terhadap pertumbuhan dan kemelimpahan gulma dan hama adalah pellet organik formulasi D dengan komposisi T. Eceng-gondok 30%; T. Bayam 6%; T. Kangkung 14%; T. Keong-mas 50%. Rawa Jombor memiliki luas 198 ha atau 1.980.000 m2 dengan rata-rata tingkat kepadatan keong-mas 87/m2 dengan berat 0.432 kg dan laju pertumbuhan 0,25%/hari, kangkung 506/m2 dengan berat 5.07 kg dan laju pertumbuhan 0,73%/hari, sedangkan kepadatan eceng-gondok 24/m2 dengan berat 5.39 kg dan laju pertumbuhan 3,69%/ hari. Jika kepadatan gulma dan hama tersebut dikonversi kedalam luas Rawa Jombor, maka Rawa Jombor yang luasnya 198 ha atau 1.980.000 m2 akan terdapat tingkat kepadatan keong-mas sebesar 172.260.000/ m2 dengan berat 837.183,6 kg, tingkat kepadatan kangkung sebesar 1.001.880.000/m2 dengan berat 19.839,6 kg, sedangkan tingkat kepadatan eceng-gondok 47.520.000/ m2 dengan berat 444.668,4 kg. Upaya pemanfaatan gulma dan hama untuk setiap tahap pembuatan pel-
Jurnal EKOSAINS | Vol. 6 | No. 3 | Nopember 2014
39
Pemanfaatan Gulma Dan Keong-Mas
Gema Paku Bumi, Sunarto, Dan Agung Budiharjo
let organik, hanya menggunakan sejumlah 50% dari bahan baku yang ada, harapannya agar pengurangan gulma dan hama yang dilakukan tidak secara langsung menghabiskan populasi gulma dan hama tersebut sehingga keseimbangan perairan akan terjadi secara bertahap. Keseimbangan perairan yang berubah secara bertahap ini, akan mempengaruhi sebagian besar organisme yang ada dalam perairan untuk mampu bertahan hidup. Selain itu dengan pemanfaatan bahan baku pembuatan pellet sebesar 50% dari bahan baku yang ada ini dapat memberikan kesempatan bagi gulma dan hama tersebut untuk dapat memperbanyak diri, sehingga populasinya tetap terjaga. Populasi gulma dan hama ini akan tetap terjaga, meskipun pada kenyataannya akan mengalami penurunan sampai pada titik tertentu. Dengan pemanfaatan gulma dan hama ini diperkirakan pada setiap 90 hari populasi gulma dan hama akan bertambah dan hal ini akan dimafaatkan sebagai bahan baku pellet organik. Pemanfaatan ini diprediksi dapat dilakukan sampai tahap produksi ke 15 dengan hasil produksi pellet hanya sekitar 7 kg dan waktu yang dibutuhkan 3 tahun 7 bulan. Kesimpulan Dan Saran A. Kesimpulan 1. Pemberian pellet organik (gulma dan keong-mas) mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan lobster air tawar (Cherax quadricarinatus). 2. Pemberian pellet organik formulasi D dengan komposisi T. Eceng-gondok 30%; T. Bayam 6%; T. Kangkung 14%; T. Keong-mas 50% mempunyai pengaruh paling tinggi untuk pertumbuhan lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) jika dibandingkan dengan pellet organik formulasi yang lain, serta sesuai dengan pemanfaatan kemelimpahan gulma dan hama di Rawa Jombor. 3. Pemanfaatan gulma dan keongmas sebagai pellet organik berpengaruh 40
terhadap pengendalian jumlah gulma dan keong-mas di Rawa Jombor dengan daya pengurangan satu ekor lobster dapat mengurangi 0,14 gr/hari. B. Saran Perlu adanya penelitian mengenai pengaruh pellet organik terhadap rasio terbentuknya lobster jantan dan betina, mengingat pertumbuhan lobster jantan jauh lebih cepat. Perlu adanya penelitian mengenai berbagai sumberdaya alam yang melimpah dan belum termanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pellet. Perlu adanya penelitian mengenai kandungan logam berat mengingat gulma yang dimanfaatan ini memiliki daya serap akan logam berat. Pemanfaatan sumberdaya alam yang melimpah di alam harus tetap menjaga kelestariannya. Daftar Pustaka Adeyeye E.A.EO. 2003. Amino Acid Composition Of Three Different Types Of Land Snails Consumed In Nigeria. Journals Food Chem. 85: 535-539. Adijaya, S.D. 2003. Tangkaran Lobster Air Tawar Di Akuarium. Jakarta: Trubus; hal. 64. Adriani. 1992. Analisa Kandungan Sterol Dalam Tanaman Eceng-Gondok (Eichornia Crassipes Solms.) Menggunakan Metode Spektrofotometeri. Jakarta: Universitas Indonesia. Afrianti, LH. 2009. Excellence Of Food Ferment (Keunggulan Makanan Fermentasi). http://www.wordpress.com. 20/8/2009. Agustono., A.S. Widodo., dan W. Paramita. 2010. Kandungan Protein Kasar Dan Serat Kasar Pada Daun Kangkung Air (Ipomoea aquatica) Yang Difermentasi. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Vol. 2,No. 1, April 2010. Fakultas Perikanan dan
Jurnal EKOSAINS | Vol. 6 | No. 3 | Nopember 2014
Pemanfaatan Gulma Dan Keong-Mas
Kelautan, Universitas Airlangga Ahvenharju, T., 2007. Food Intake, Growth and Social Interactions of Signal Crayfi sh, Pacifastacus leniusculus (Dana). Academic dissertation in Fishery Science, Finnish Game and Fisheries Research Institute, Evo Game and Fisheries Research, Helsinki. Aiken, D.E. dan Waddy, S.L. 1992. The growth Process in Crayfish. Rev. Aquat. Sci. 6, 335-381. Anderson, A, P. Mather & Richardson. 2004. Nitrition of the mud Crab Scylla serrate (forskal). In Allan & D. Fielder (Ed.). Proceeding and Southeast Asia. Pp 57-59. Anggorodi. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Ariyanto, P. 2008. Pengaruh Penambahan Hormon Thyroxine Dalam Pakan Terhadap Pertumbuhan dan Sintasan Benih Ikan Gurami (Osphronemus Gouramy). Skripsi. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Aslamyah, S. 2000. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan betutu (Oxyeleotris marmorata) yang diberi hormone metyltestosteron pada pakan dengan kadar protein berbeda. Jurnal Peternakan Universitas Hasanuddin, 8(2): 56-69. Barki., A, Karplus I., Manor R., Parnes S., Aflalo, E.D. and Sagi, A. 2006. Growth of Redclaw Crayfish (cherax quadricarinatus) in a Three Dimensional Compartment System : Does a Neighbor Matter?. Journal Aquaculture 252. 348-355. Budiharjo, A. 2007. Application of Food Suplement For Increasing Growth of Wader Fish (Rasbora argyrotaenia). Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sura-
Gema Paku Bumi, Sunarto, Dan Agung Budiharjo
karta. Solo. Cho, C.Y. & S.J. Kaushik. 1985. Effects of Protein Intake on Metabolizable and Net Energy Values of Fish Diets. In Cowey C.B., A.M. Mackie & J.G. Bell (Ed.). Nutrition and Feeding in Fish. Academic Press London, London. Pp 95-117. Cortes-Jacinto, E., H. Villarreal-Colmenares, L. E. Cruz-Suarez, R. Civera-Cerecedo, H. Nolasco-Soria, and A. HernandezLlamas. 2005. Effect Of Different Dietary Protein and Lipid Levels On Growth and Survival Of Juvenile Australian Redclaw Crayfish, Cherax quadricarinatu (Von Martens). Balckwell Publishing. Aquaculture nutrition 11:283-291. Dahril, T. dan Muchtar, A. 1989. Biologi Udang yang dibududayakan dalam Tambak. Yayasan Obor Indonesia Jakarta. Donalson, E.M., U.H.M. Fegerlund, D.A. Higgs, and J.R. McBrede. 1978. Hormonal enchantment of
Jurnal EKOSAINS | Vol. 6 | No. 3 | Nopember 2014
41