PROGRAM MANAJEMEN STRES KERJA ERGO-JSI MENINGKATKAN WORK ABILITY INDEX (WAI) KARYAWAN BANK SWASTA NASIONAL ”X” DI DENPASAR BALI Susy Purnawati Bagian Ilmu Faal FK UNUD Denpasar-Bali Email:
[email protected]
Abstract. Work ability may decline due to work stress. Because, the impact of work stress can not only lower the health status of workers but also reduce productivity. Ergonomics of working conditions with supported by the individual coping skills can reduce job stress, and could increase of work ability. This experimental study was conducted in January to September 2011 against 27 employees of a private national bank in Denpasar. The aim of the study was to determine the increase of WAI as the effect of an application of job stress management program Ergo-JSI on a national private bank employee "x" Denpasar-Bali. The results showed that the Ergo-JSI can increase WAI significantly in the intervention group (p <0.05) from the average of 40.54 ± 2.39 into average of 42.60 ± 2.67. The increase of WAI is occured due to changes in stress on the input receiving of the brain area (hypothalamus / limbic system), individuals have the ability to better manage the stressors, recognize and have the skills to manage emotions. In addition, individuals can work more ergonomics (efficient, healthy, safe and comfortable) for better job satisfaction. It can be concluded that the Ergo-JSI job stress management programs has effect to improve WAI of a national private bank employee in Denpasar-Bali. Keywords: Work Ability Index, job stress, stress management program, bank worker.
Abstrak. Work ability atau kemampuan kerja dapat menurun akibat stres kerja. Karena dampak stres kerja tidak saja bisa menurunkan status kesehatan pekerja tetapi juga dapat menurunkan produktivitas kerja. Kondisi kerja yang ergonomis yang didukung oleh coping skill individu dapat menurunkan stres kerja, sehingga akan terjadi peningkatan work ability. Telah dilakukan sebuah penelitian pada bulan Januari s.d. September tahun 2011 terhadap 27 orang karyawan bank swasta nasional “x” di Denpasar. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui peningkatan WAI sebagai efek aplikasi program manajemen stress kerja Ergo-JSI pada karyawan bank swasta nasional “x” Denpasar-Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi program manajemen stress kerja Ergo-JSI dapat meningkatkan secara bermakna WAI pada kelompok perlakuan (P<0,05) dari rerata 40,54 ± 2,39 menjadi rerata 42,60 ± 2,67. Peningkatan WAI terjadi karena terjadi perubahan pada area penerima input stres pada otak (hipotalamus / sistem limbik), individu memiliki kemampuan mengelola stresor dengan lebih baik, mengenali dan memiliki keterampilan mengelola emosi. Selain itu, individu dapat bekerja dalam kondisi kerja yang lebih ergonomis (efisien, sehat, aman dan nyaman) sehingga memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi. Dapat disimpulkan bahwa program manajemen stress kerja Ergo-JSI dapat meningkatkan WAI karyawan. Kata kunci: Work ability index, stres kerja, program manajemen stres, karyawan bank.
Pendahuluan Stres kerja dapat mempengaruhi kualitas kehidupan kerja karena berdampak kepada penurunan work ability (WA), menurunkan kemampuan kognitif (Kroemer, 2009; SusyPurnawati, 2010) dan dapat memicu risky behavior (Borrins, 2011). Stres kerja merupakan kondisi distres pada pekerja akibat faktor risiko pekerjaan yang berkombinasi dengan faktor individu. Tuntutan beban tugas yang semakin kompleks disertai relationship yang tidak harmonis di tempat kerja merupakan sumber utama timbulnya stres pada pekerja (Kawakami, 2010). Pekerja sektor perbankan menghadapi kondisi kerja yang potensial menjadi pencetus stres kerja. Selain faktor intrinsik pekerjaan, karakteristik psikologis individu dan beban psikososial sehubungan dgn tuntutan adat (sebagai relevansi kondisi sosio-budaya di Bali) merupakan hal yang potensial menjadi sumber memicu stres kerja. WHO mendefinisikan stres kerja sebagai gambaran reaksi-reaksi tubuh yang muncul ketika pekerja dihadapkan kepada tuntutan pekerjaan yang tidak sesuai dengan pengetahuannya, keterampilannya atau kemampuannya dan yang menantang kemampuannya untuk melakukan coping. Reaksi-reaksi yang dimaksud dapat dalam bentuk respon-respon fisiologis, responrespon emosi, respon-respon kognitif, dan reaksi-reaksi perilaku (WHO, 2007). Untuk mengantisipasi masalah stres kerja diperlukan penerapan program manajemen stres berbasis ergonomi yang dapat meningkatkan WA pekerja. Dalam penelitian ini dirancang sebuah program manajemen stres kerja berbasis ergonomi sebagai hasil kajian dari literatur-literatur dan diskusi dengan para pakar occupational mental health, pakar psikologi industri dan pakar-pakar ergonomi. Selanjutnya program yang dibuat peneliti diberi nama Ergo-JSI, yang kemudian diaplikasikan di tempat penelitian untuk mengetahui efektivitasnya dalam meningkatkan WA karyawan. Nama Ergo-JSI merupakan singkatan dari ergonomics job stress intervention. Ergo-JSI yang diaplikasikan dalam penelitian ini memiliki keunggulan dalam mengaplikasikan ergonomi partisipatori (pendekatan organisasi, mencakup aspek task, organisasi dan lingkungan) dan juga bercirikan pendekatan individu yaitu peningkatan kemampuan individu dalam pemberdayaan mekanisme coping. Pendekatan ini diaplikasikan melalui pelatihan peningkatan kemampuan/ keterampilan problem focus coping individu (Smith, 2002; Kawakami, 2010) yaitu dalam bentuk personal skill training dan keterampilan manajemen waktu. Personal skill training dapat disesuaikan dengan jenis stresor yang dihadapi pekerja. Pada prinsipnya, pelatihan kepada individu diberikan sesuai dengan permasalahan yang ada yang membutuhkan mekanisme coping tertentu dari individu. Selain itu, program juga mempertimbangkan faktor sosio-budaya setempat sehingga program dapat aplikatif secara berkesinambungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan peningkatan work ability index (WAI) sebagai efek dari aplikasi program manajemen stres kerja Ergo-JSI pada karyawan Bank Swasta Nasional “x” di Denpasar Bali. Metode Penelitian Penelitian eksperimental ini dilakukan pada bulan Januari s.d. September tahun 2011. Besar sampel dihitung memakai perangkat lunak G Power (Faul, 2015) untuk rancangan penelitian sama subjek, dengan α = 0,01; ß = 0,05 dan effect size sebesar 0.6. Hasilnya didapatkan jumlah sampel sebanyak 23 orang, akan tetapi untuk menghindari efek sampel yang drop out ditetapkan jumlah sampel sebanyak 27 orang. Sampel dipilih secara acak sederhana memakai metode undian dari sejumlah populasi sebesar 34 orang karyawan laki-laki.
Pengukuran work ability menggunakan kuesioner work ability index yang disingkat WAI (Ilmarinen, 2003) versi berbahasa Indonesia (Chronbach’s α = 0,61) yang memuat pertanyaanpertanyaan tentang: (1) Kemampuan kerja saat ini; (2) Kemampuan kerja sehubungan dengan tuntutan pekerjaan; (3) Penyakit yang diderita saat ini berdasarkan diagnosa dokter; (4) Ijin sakit tahun lalu (12 bulan); (5) Kemungkinan kemampuan kerja dua tahun ke depan; dan (7) Kondisi mental.
Dalam persiapan penelitian dilakukan pertemuan dengan wakil-wakil pekerja dan staf manajemen untuk pengumpulan data masalah kondisi kerja. Metode yang dipakai adalah focus group discussion dan plan survey. Mental Health Action Checklist (MHACL) (Kobayashi et al, 2008) dipadukan dengan Ergonomic Check Points (ECP) (ILO, 2010; Kogi, 2010) dipakai untuk monitoring atau mengetahui lebih rinci kondisi kerja yang perlu diperbaiki. Berdasarkan hasil monitoring di tempat kerja (7 item pada MHACL dan 5 items pada ECP merupakan prioritas untuk diperbaiki) yang dilanjutkan dengan FGD, didapatkan bahwa kondisi kerja yang menjadi prioritas untuk diintervensi adalah: penciptaan kemudahan komunikasi dan dukungan (aspek organisasi kerja), sikap kerja operator dan stasiun kerjanya (aspek task), illumination, serta pelaksanaan training yang berhubungan dengan kesehatan dan mengurangi stres kerja. Selanjutnya dilakukan sosialisasi perbaikan kondisi kerja, jadwal dan teknis pembelajaran manajemen stres dalam kelas yang dilakukan pada saat acara pertemuan bulanan karyawan. Dilakukan pengukuran WAI terhadap kelompok kontrol dan perlakuan sebelum dan sesudah intervensi. Intervensi yang dilakukan selama periode delapan minggu, secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut: (1) memaksimalkan peran personal EDP (electronic data processing) untuk mengaplikasikan sistem komputerisasi dan manajemen data yang terjamin pengamanannya. Sehingga setiap ada kerusakan sistem proses data operator dengan cepat mendapatkan back-up data. Hal ini dilakukan dengan supervisi yang teratur dan akses yang selalu terbuka antara subjek dengan personal di Bagian EDP; (2) penerapan ”program continous improvement” untuk media penyaluran ide-ide kreatif karyawan dalam melakukan perbaikan kondisi kerja secara berkesinambungan. Setiap karyawan yang menemukan ide-ide tertentu dalam hal perbaikan kondisi kerja dapat menuliskannya dalam formulir yang disediakan dan menyampaikan kepada manajemen, yang mendapat balikan (feedback) dari pihak manajemen perusahaan. Ide perbaikan kondisi kerja bisa disampaikan setiap saat kepada pihak menajemen (staf personalia). Umpan balik menyeluruh dilakukan dalam pertemuan bulanan karyawan dengan pihak manajemen yang dilakukan tiap akhir bulan; (3) perbaikan sistem penerangan / iluminasi dengan memaksimalkan penerangan alami di siang hari dan menyesuaikan arah sinar dengan posisi monitor untuk menghindari pantulan cahaya yang membuat silau; (4) perbaikan sikap kerja operator komputer dengan metode onsite self improvement, yaitu mengatur ketinggian kursi untuk menyesuaikan tinggi mata terhadap tepi atas monitor; mengosongkan ruang kaki dan memasang injakan kaki memakai karton bekas; mengatur posisi mouse dan keyboard. Subjek penelitian dapat selalu melihat contoh sikap kerja operator komputer yang ergonomis pada poster ”Guidance for Office Ergonomics” yang dipasang di area kerja dan telah disosialisasikan secara langsung di tempat kerja; (5) pengaturan istirahat pendek, peregangan / exercise di tempat kerja. Subjek dapat selalu melihat acuan cara peregangan yang ditempelkan di area kerja; (6) subjek diberi pembelajaran manajemen stres dalam kelas selama delapan minggu, dilakukan pada pukul 11.00 – 12.00 WITA (alokasi waktu masing-masing sesi satu jam pada setiap minggunya). Suasana pelatihan dirancang menyenangkan, ergonomis dan menarik. Peserta mendapat suplemen pembelajaran dan buku saku manajemen stres kerja. Dalam materi pembelajaran, peserta dikenalkan dengan manfaat dari penerapan ergonomi terhadap pencegahan stres kerja. Peserta juga dilatih langsung mempraktikkan teknik time management, komunikasi untuk meningkatkan relationship dan latihan relaksasi (teknik progressive muscle relaxation).
Data yang diperoleh dalam penelitian diproses dengan perangkat lunak komputer. Analisis dilakukan dengan cara sebagai berikut: (1) analisis deskriptif untuk mengetahui rerata dan simpang baku umur, masa kerja dan WAI; (2) uji normalitas tiap kelompok data untuk melihat distribusi data sebelum dan sesudah perlakuan; dan (3) uji beda WAI setelah intervensi antar kelompok dilakukan dengan uji Wilcoxon pada tingkat kemaknaan 0,05. Hasil dan Pembahasan (1) Karakteristik subjek penelitian Responden dalam penelitian ini adalah karyawan sebuah bank swasta nasional di Denpasar-Bali. Selama periode penelitian, karyawan tetap melakukan rutinitas tugas-tugas perbankan. Dalam penelitian terdapat dua orang responden yang tidak mengikuti pembelajaran kelas secara penuh yaitu tidak hadir lebih dari dua sesi, sehingga dikeluarkan sebagai subjek penelitian yang semula ditetapkan sebanyak 27 subjek menjadi 25 subjek. Subjek penelitian yang seluruhnya terdiri atas karyawan laki-laki, rerata umurnya 39 tahun. Sebagian besar suku Bali (76%), sarjana (88%), menikah (92%) dan memiliki tipe keperibadian extrovert (88%). Rerata umur karyawan Bank Swasta Nasional “X” di Denpasar-Bali yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah 39 ± 6,1 tahun. Rerata umur tersebut berada dalam usia yang tergolong cukup matur dalam penguasaan keterampilan kerja, proses pengambilan keputusan, maupun fungsi kognitif yang melibatkan suasana perasaan (kondisi emosi) lainnya. Rentang umur subjek empat tahun lebih muda jika dibandingkan dengan penelitian Shimazu et al, (2003) dan Takao et al, (2006) yang dalam penelitiannya melihat efek dari program manajemen stres masing-masing bagi guru-guru dan supervisor sebuah pabrik minuman beralkohol di Negara Jepang. Pada penelitian Shimazu et al, (2003) tersebut melibatkan subjek para guru yang berumur 44 tahun (SB = 5,0) sampai 44,8 tahun (SB = 4,0). Faktor umur memiliki hubungan terhadap risiko timbulnya stres kerja. Hirarki Maslow mengatakan bahwa makin tinggi umur kematangan akan rasa tanggungjawab dan munculnya kebutuhan-kebutuhan yang levelnya lebih tinggi akan makin besar (Corey, 1996). Hal ini akan berakibat seorang individu yang tidak memiliki kemampuan coping yang adekuat akan sering mengalami konflik yang memicu timbulnya stres kerja. Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin bertambahnya umur, semakin kuat kesadaran diri untuk melaksanakan kebebasan memilih, memutuskan atau bertindak yang disertai tanggungjawab. Menurut Corey (1996), kesadaran inilah yang sering menimbulkan kecemasan pada individu dewasa. Masa kerja subjek penelitian bervariasi, yang terendah adalah dua tahun. Karyawan dengan masa kerja dua tahun pada umumnya masih pada periode pengenalan lebih jauh terhadap kondisi kerja mereka. Dibutuhkan kemampuan adaptasi yang tinggi bagi karyawan pada saat mengetahui bahwa kondisi kerja mereka ternyata berbeda dari harapan dan dirasakan menimbulkan tekanan. Jika kondisi kerja ergonomis dan individu memiliki faktor internal yang positif, WAI karyawan akan tetap tinggi meskipun sudah memiliki masa kerja yang lama sampai mereka mencapai usia 45 tahun ke atas. Sebanyak 22 orang (80%) dari subjek penelitian memiliki tipe keperibadian extrovert yang merupakan faktor penurun risiko tekanan mental, meskipun secara teori tidak ada seorangpun yang terlahir murni sebagai extrovert. Karakter yang terbuka bagi orang lain akan memudahkan individu berbagi dengan teman dan kerabat, demikian juga terhadap upaya-upaya pembelajaran untuk pemberdayaan kepribadian seperti halnya penerimaan terhadap program manajemen stres. Menurut Goleman (2003), ciri-ciri individu mempengaruhi timbulnya stres. Stres dapat timbul akibat faktor individu, sejauh mana individu tersebut melihat situasinya sebagai situasi penuh stres, tergantung kepekaan individu. Reaksi-reaksi psikologis, fisiologis dan/atau dalam bentuk perilaku terhadap stres adalah hasil dari interaksi situasi dengan individunya. Kepekaan individu terhadap stresor dipengaruhi oleh faktor keperibadian. Faktor keperibadian dalam individu berfungsi sebagai faktor pengubah antara rangsang dari lingkungan yang merupakan
pembangkit stres potensial pada individu. Faktor pengubah ini yang menentukan reaksi individu terhadap pembangkit stres potensial. Hasil reaksi seseorang terhadap stres merupakan umpan balik yang mempengaruhi cara reaksinya terhadap situasi stres yang dihadapi di kemudian hari. Individu dengan kepribadian introvert bereaksi lebih negatif dan menderita ketegangan yang lebih besar daripada individu yang berkepribadian extrovert ketika berhadapan dengan masalah konflik akan peran peran (role of ambiguity). Individu yang juga rentan terhadap stres adalah mereka yang termasuk tipe competitiveness, over commitment, tipe A yang bercirikan agresif, tidak sabaran, rasa bersaing yang tinggi, selalu bergelut dengan batas waktu dan sering menelantarkan aspek-aspek lain dari kehidupan seperti keluarga, kejaran sosial, kegiatan-kegiatan waktu luang dan rekreasi (Kamal, 2011). Sebaliknya pola perilaku yang lebih terhindar dari stres adalah individu tipe B yang digambarkan sebagai individu yang lebih menggampangkan masalah (easy-going), dan santai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara kepribadian tipe A dengan prevalensi dan insidens penyakit jantung koroner (PJK) (Gibson et al, 2003; Kamal, 2011). Diperkirakan bahwa para tipe A mempunyai kemungkinan tiga kali lebih besar mendapat serangan jantung dibandingkan para tipe B. Locus of control merupakan atribut kepribadian yang dibedakan atas locus of control internal dan eksternal. Individu yang memiliki locus of control internal meyakini bahwa nasibnya di bawah kendalinya sendiri, sedangkan individu dengan locus of control eksternal percaya bahwa nasibnya dikendalikan oleh kekuatan di luar dirinya. Individu yang mempunyai locul of control internal mengalami ancaman lebih sedikit daripada yang berorientasi eksternal. Reaksi terhadap pembangkit stres berbeda pada yang berorientasi internal dengan eksternal. Bagi mereka yang berorientasi internal ada kecenderungan untuk mencari informasi dan memecahkan masalah, sedangkan para eksternal lebih bereaksi dengan ketidakberdayaan. Individu dengan tipe keperibadian introvert memiliki perilaku di bawah kendali locus of control external. Sehingga kelompok tersebut lebih sering merasakan distres psikologis dan menghindari kontak sosial dibandingkan dengan tipe extrovert. Teori ini sejalan dengan teori model stres dari NIOSH yang memaparkan tentang peranan suatu sistem buffer dalam mekanisme respon dari stres yang terjadi pada individu. Sehingga dalam program manajemen stres, idealnya dapat melakukan pemberdayaan terhadap buffer tersebut agar dapat menurunkan respon tubuh terhadap stres. Faktor pendidikan berperan terhadap munculnya risiko stres kerja serta penerimaan terhadap aplikasi program manajemen stres. Subjek dalam penelitian ini dominan memiliki latar belakang pendidikan sarjana, yang merupakan status pendidikan tertinggi bagi pekerja pada umumnya. Hirarki Maslow mengatakan bahwa makin tinggi status pendidikan maka individu cenderung lebih luas memiliki pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan, makin mudah menguasai suatu keterampilan, serta memiliki kecenderungan membentuk need yang levelnya lebih tinggi (Corey, 1996). Status pendidikan yang tinggi juga membuat proses adaptasi suatu program menjadi lebih panjang, akan tetapi, jika individu tersebut sudah memutuskan untuk mengadopsi suatu program, maka pelaksanaannya akan lebih sempurna dan bahkan mereka mampu melakukan modifikasi menjadi program yang lebih baik. Sebagian besar subjek dalam penelitian ini memiliki status pendidikan sarjana, sehingga memiliki harapan yang lebih tinggi terhadap kondisi kerja dan penampilan kerja yang cenderung dapat memicu timbulnya konflik internal dalam diri mereka. Status perkawinan di satu sisi dapat menjadi bantalan pencegah timbulnya stres kerja, akan tetapi disisi lain dapat berlaku sebaliknya yaitu bersifat memperberat stres kerja. Dalam penelitian ini, subjek dominan sudah menikah, sehingga akan berisiko memiliki sumber-sumber tekanan tambahan yang memperberat tekanan yang didapat dari tempat kerja. Masalah-masalah dalam keluarga, beban tanggungan terhadap tanggung jawab keluarga yang anggotanya besar (tidak hanya menanggung keluarga induk) akan bercampur dengan beratnya beban kerja yang didapat secara nyata oleh karyawan di tempat kerja. Penelitian Shimazu et al, (2011) menemukan bahwa pekerja laki-laki yang memiliki istri yang sangat sibuk oleh pekerjaan karirnya (workaholism women) berisiko mengalami konflik dalam keluarga. Status perkawinan di sisi lain juga dapat menjadi buffer pencegah stres kerja. Karyawan yang memiliki kehangatan dan keharmonisan dalam keluarga akan lebih kuat menghadapi tuntutan tugas-tugas yang dirasakan berat dan juga menghadapi stresor-stresor lainnya. Karena keharmonisan dan kehangatan keluarga akan berperan memberi dukungan dan sebagai tempat berbagi perasaan dan pikiran yang
dirasakan tidak nyaman akibat situasi yang dihadapi di tempat kerja. Beban yang berat akan dirasakan menjadi ringan dan mereka akan tetap bisa menunjukkan penampilan kerja dan motivasi kerja yang baik. Faktor suku bangsa memberi corak yang unik bagi individu. Kelompok etnis tertentu memiliki perilaku di tempat kerja dan budaya kerja yang merupakan gambaran karakteristik sosio-budaya individu tersebut. Sehingga dalam pengorganisasian kerja aspek sosio-budaya harus selalu mendapat perhatian yang khusus agar tidak menjadi hambatan dalam produktivitas kerja.
(2) Efek program manajemen stres Ergo-JSI terhadap WAI Dilakukan analisis data WAI sebelum dan setelah perlakukan (masing-masing kelompok) dan dilihat perbedaannya menggunakan uji Wilcoxon (karena uji normalitas data menunjukkan data tidak terdistribusi sesuai kurve distribusi normal). Hasil uji tersebut dapat dilihat dalam Tabel 4.3. Tabel 4.3 Hasil Uji Beda WAI Sebelum dan Sesudah Aplikasi Program Manajemen Stres Kerja Ergo-JSI Variabel
Klp kontrol
Klp Perlakuan
Rerata
SB
Rerata
SB
WAI pre
39,88
2,23
40,54
2,39
Nilai t dan z -1.650
WAI post
40,68
2,32
42,60
2,67
-3.671
Nilai p 0,099* 0,001*
* = Wilcoxon test Ditemukan peningkatan WAI yang bermakna antara sebelum dan sesudah aplikasi ErgoJSI (p < 0,05) pada kelompok perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aplikasi ErgoJSI meningkatkan WAI sebesar 4,7%. Peningkatan WAI dalam penelitian ini terjadi karena Ergo-JSI berefek kepada perubahan kondisi kerja serta adanya perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku karyawan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan stres kerja serta cara mengantisipasinya. Munculnya kesadaran untuk selalu mengontrol mood dan pikiran serta secara aktif melakukan upaya-upaya perbaikan kondisi kerja bersama pihak manajemen perusahaan dan meningkatkan status kesehatan pribadi akan menjamin terciptanya kondisi kerja yang ergonomis dan kapasitas kerja yang baik sampai umur pensiun. Aplikasi program Ergo-JSI selama 8 minggu menghasilkan beberapa perbaikan, yaitu: berkurangnya hambatan pengoperasian dan pengorganisasian sistem komputerisasi pekerjaan perbankan, perbaikan iklim dukungan termasuk keterbukaan dalam komunikasi oleh pihak manajemen dan kolega (yang sangat penting peranannya dalam aspek tugas dan pengorganisasian kerja), perbaikan postur kerja menjadi lebih ergonomis, adanya pengaturan istirahat pendek dan aktivitas peregangan di tempat kerja untuk mengurangi sikap kerja sedentary berkepanjangan dan mengurangi kelelahan, perubahan persepsi tentang stresor dan memahami cara mengontrol emosi dan konsep/isi pikiran yang distorsi. Selain itu juga terjadi peningkatan keterampilan melakukan manjemen waktu dan berkomunikasi yang asertif dengan atasan maupun kolega, keterampilan melakukan progressive muscle relaxation serta perubahan sikap untuk bisa menilai kondisi stres kerja dan melakukan manajemen stres kerja secara mandiri. Perbaikan-perbaikan tersebut secara umum menghasilkan perbaikan kondisi kerja dan kapasitas individu dalam mengantisipasi tuntutan tugas dan stresor-stresor lainnya. Perbaikan kondisi kerja juga bermanfaat pada peningkatan kepuasan kerja. Karyawan yang memiliki
kepuasan kerja yang tinggi akan melakukan unjuk kerja (terutama fungsi kognitif) yang lebih baik (Susy-Purnawati, 2011), corporate culture menjadi lebih baik, kecepatan dan kualitas kerja meningkat dan image perusahan menjadi lebih baik di mata karyawan dan customer (Kroemer, 2009). Pelatihan peningkatan keterampilan problem focus coping yang diberikan kepada pekerja dalam program Ergo-JSI bertujuan untuk dapat mengubah stresor yang membangkitkan respon mood ataupun perilaku negatif (respon tersebut pengaturannya berlokasi di area sistem limbik otak) dipersepsikan berbeda menjadi respon yang lebih positif oleh individu (Montgomery, 2008). Efeknya individu akan mampu memaksimalkan fungsi kognitif dalam mencari solusi dari setiap kondisi yang tidak menyenangkan di tempat kerja serta tetap fokus berpikir tentang masa depan (memaksimalkan fungsi kognitif tingkat tinggi/fungsi luhur otak manusia). Rancangan pelatihan problem focus coping dalam program Ergo-JSI mempertimbangkan pengaturan strategi pembelajaran dalam kelas yang mengacu pada aspek ergonomi, meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang kondisi emosi dan kognitif sehubungan dengan peristiwa stres kerja serta meningkatkan keterampilan individu dalam aspek komunikasi yang asertif dan keterampilan manajemen waktu. Pemberdayaan mekanisme coping individu yang didapatkan dari aplikasi program manajemen stres Ergo-JSI akan menjadi modal utama bagi karyawan dalam meningkatkan penampilan kerja dan membentuk pertahanan yang kuat dalam mengantisipasi stres kerja. Seperti telah diuraikan dalam pembahasan di atas, bahwa kepuasan kerja yang tinggi yang berakibat menurunkan stres kerja dan berkurangnya risiko penyakit/gangguan fisik dan mental dapat berdampak kepada peningkatan WAI. Alasan lainnya, bahwa kepuasan kerja yang tinggi dan perasaan bahagia yang dimiliki oleh individu akan memberi efek peningkatan kualitas hidup baik fisik maupun kondisi psikologis. Individu akan memiliki kapasitas kerja yang tinggi, memiliki kesan yang positif terhadap organisasi (fungsi manajerial), terhindar dari penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan, memiliki kulitas hubungan yang baik dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, dan tetap memiliki derajat kesehatan yang tinggi sepanjang masa kerja sampai kepada usia pensiun. Hal inilah yang mencerminkan adanya peningkatan WAI karyawan. Untuk dapat memaksimalkan efektivitasnya, dalam merancang suatu program manajemen stres kerja komponen perbaikan kondisi kerja hendaknya disesuaikan dengan jenis permasalahan yang ada yang benar-benar sudah dianalisis dengan teliti dan prioritas aplikasinya ditetapkan secara partisipatori bersama pihak perusahaan. Mengingat kondisi kerja sangat beragam dengan berbagai variasi faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja. Program manajemen stres kerja hendaknya benar-benar dapat menjadi suatu kebutuhan perusahaan (customer need) yang sudah mempertimbangkan berbagai aspek secara holistik agar program dapat diaplikasikan secara berkesinambungan dan dapat sampai membentuk suatu corporate culture yang positif. Untuk itu dibutuhkan pembentukan komitmen yang sungguh-sungguh kepada pihak perusahaan untuk merasa perlu melakukan program pencegahan dengan menerapkan program manajemen stres di tempat kerja. Selain itu, Peningkatan WAI juga terjadi karena postur kerja lebih ergonomis, berkurangnya hambatan stres teknologi menggunakan komputer yang meningkatkan kapasitas kerja, keterampilan komunikasi yang diajarkan dalam Ergo-JSI membantu karyawan untuk mampu menyampaikan perasaan dan pikirannya secara asertif kepada teman kerja maupun atasannya yang berakibat kondisi mental menjadi lebih baik, meningkatnya motivasi kerja dan image pekerja terhadap kondisi manajerial organisasinya menjadi lebih baik.
Dalam WAI terdapat komponen penilaian kondisi mental selain kondisi kerja dan sistem manajerial. Sehingga peningkatan WAI merupakan gambaran terjadinya penurunan stres kerja. Simpulan Dapat disimpulkan bahwa program manajemen stres kerja Ergo-JSI meningkatkan WAI karyawan Bank Swasta Nasional ”x” di Denpasar Bali secara bermakna dengan nilai p = 0,001 (p < 0,05), dari rerata WAI 40,54 ± 2,39 menjadi rerata 42,60 ± 2,67. 5.2 Saran Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, maka dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut: (1) Masih dibutuhkan penelitian-penelitian eksperimen ataupun studi longitudinal di masa mendatang dengan jumlah sampel lebih besar pada beberapa perusahaan. (2) Pihak manajemen perusahan hendaknya melanjutkan aplikasi penelitian ini secara berkesinambungan, terutama training manajemen stres dengan orientasi individu agar manfaat dari program manajemen stres dapat dirasakan lebih besar oleh karyawan dan perusahaan. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Iwan dan seluruh staf karyawan Bank Andara, serta teman-teman yang bersedia membantu sebagai narasumber dan teman-teman dosen yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Daftar Pustaka Borrins, M. (2011). Work related stress. Dalam materi guest lecture 22 Juli. Denpasar: Pusat Kajian Ergonomi, Laboratorium Ilmu Faal FK UNUD. Corey, G. (1996). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy 5th Ed. USA: An International Thomson Publishing Company. p 280-364. Faul, F. E. (2015). G*Power 3: A flexible statistical power analysis program for the social, behavioral, and biomedical sciences. Behavior Research Methods, 39: 175-191. Retrieved 06 15, 2015, from http://www.psycho.uniduesseld: http://www.psycho.uniduesseld Gibson, J.L., Ivancevich, J.M., Donnelly Jr., J.H., and Konopaske, R. (2003). Individual behavior and differences. Dalam: Organizations, behavior, structure, processes, 11 Ed. New York: McGraw-Hill. Goleman, D. (2003). Penerapan kecerdasan emosional. Dalam Emotional Intelligent. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Ilmarinen, J. (2003). Promotion of work ability during aging. In Kumashiro, M., editor. Aging and Work. London: Taylor & Francis. ILO. (2010). Ergonomics check point 2nd Edition. Geneva.
Kamal, K. (2011). Manajemen risiko psikososial di tempat kerja. Workshop Faktor Psikososian di Tempat Kerja. 22-23 September. Kuta-Bali: Depnakertrans-Perdoki. Kawakami, N. (2010). Job stress and mental health among workers in Asia and the world. J Occup Health, 52: 1-3. Kobayashi, Y., Kaneyoshi, A., Yokota, A., and Kawakami, N. (2008). Effects of worker participatory program for improving work environments on job stressors and mental health among workers: a controlled trial. Journal of Occupational Health, 50 (6), November. Kogi, K. (2010). Workshop on stress prevention at work. November 21st. Material Workshop. Hongkong. Kroemer. (2009). Workload and stress. In Fitting the Human, Introduction to Ergonomics. USA: Taylor & Francis. Montgomery, B. (2008). CBT. International Workshop on Clinical Skill for Cognitive Behavioral Therapy. April 22-24th. Denpasar. Shimazu, A., Demerouti, E., Bakker, A.B., Shimada, K., Kawakami, N. (2011). Workaholism and well-being among Japanese dual-earner couples: A spillover-crossover perspective. Social Science & Medicine, 73 , 399-409. Shimazu, A., Okada, Y., Sakamoto, M. and Miura, M. (2003). Effect of stress management program for teachers in Japan: A pilot study. J Occup Health, 45, 202-208. Smith. (2002). Stress Management, A Comprehensive Handbook of Techniques and Strategies. New York: Springer Publishing Company, Inc. Susy-Purnawati. (2011). Pekerja stres dan solusinya. Koran mingguan Tokoh No.670/Tahun XII . Susy-Purnawati. (2010). Manajement stres CBO terhadap ketelitian, indeks stres dan kortisol darah karyawan Bank “X” Bali. Jurnal Spirits, 1(2) Mei , 133-148. Takao S., Tsutsumi A., Nishiuchi K., Mineyama S. and Kawakami N. (2006). Effects of the job stress education for supervisors on psychological distress and job performance among their immediate subordinates: a supervisor-based randomized controlled trial. J Occup Health, 48 , 494-503. WHO. (2007). Raising awareness of stress at work in developing countries. In: Protecting Workers’Health Series No. 6. Geneva: WHO.